Upload
dodiep
View
273
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
A
PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH
(Capsicum frutescens) PETANI MITRA PT. INDOFOOD
FRITOLAY MAKMUR DAN PETANI NONMITRA
DI DESA CIGEDUG KECAMATAN CIGEDUG
KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
TUBAGUS FAZLURRAHMAN
H34080050
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
B
RINGKASAN
TUBAGUS FAZLURRAHMAN. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah
(Capsicum frutescens) Petani Mitra PT. Indofood Fritolay Makmur dan
Petani Nonmitra di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabubaten Garut.
Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. (Di bawah Bimbingan RITA NURMALINA).
Secara umum di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi cabai rawit dari
tahun 2004 hingga 2010. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat
produktivitas cabai rawit tertinggi se-Indonesia pada tahun 2007 hingga 2010
yaitu sebesar 12,04 ton pada tahun 2007; 10,82 ton pada tahun 2008; 14,96 ton
pada tahun 2009; dan 9,32 ton pada tahun 2010. Jumlah produksi cabai rawit Jawa
Barat mengalami fluktuasi pada tahun 2006 hingga 2010. Permasalahan dalam
kegiatan usahatani merupakan salah satu penyebab utama menurunnya tingkat
produksi cabai rawit. Risiko produksi merupakan salah satu faktor penurunan
jumlah produksi cabai rawit. Cabai rawit merupakan komoditas yang mengalami
fluktuasi harga yang disebabkan ketidakseimbangan antara jumlah pasokan
dengan jumlah permintaan konsumen di pasar.
Flutuasi harga dapat mempengaruhi penerimaan usahatani cabai rawit
merah. Terdapat hubungan kemitraan yang telah dijalin oleh PT Indofood Fritolay
Makmur dengan sebagian petani cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan
Cigedug Kabupaten Garut. Kemitraan tersebut mampu memberikan kepastian
harga kepada petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji keragaan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, menganalisis tingkat pendapatan usahatani
petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay
Makmur serta menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah
yang tidak menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur.
Proses pengambilan data primer dilaksanakan di Desa Cigedug,
Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut pada bulan Mei hingga Juli 2012. Jumlah
responden dalam penelitian ini berjumlah 24 orang. Responden diambil dengan
menggunakan metode purposive menggunakan data petani yang berasal dari
Gapoktan Cagarit yang disesuaikan dengan karakter petani dan jenis tanaman
tumpang sari yang diusahakan bersama cabai rawit merah. Analisis kualitatif pada
penelitian ini dilakukan dengan mengkaji keragaan usahatani. Analisis kuantitatif
meliputi analisis biaya, penerimaan, pendapatan usahatani dan R/C rasio.
Pengolahan data menggunakan program Microsoft Office Excell 2007 kemudian
disajikan secara tabulasi dan diinterpretasikan serta diuraikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani cabai rawit merah yang
dilakukan para petani responden baik petani mitra maupun nonmitra di Desa
Cigedug memiliki perbedaan pada proses budidayanya. Perbedaan terdapat pada
penggunaan faktor-faktor input seperti jumlah dan jenis pupuk yang digunakan,
jumlah dan dosis obat-obatan yang digunakan, penggunaan tenaga kerja,
perawatan dan proses pemanenan yang dilakukan. Penggunaan jenis pupuk
cenderung sama namun yang berbeda adalah dosis pupuk yang digunakan. Petani
mitra menggunakan pupuk relatif lebih banyak dibandingkan petani nonmitra.
Sedangkan petani nonmitra lebih banyak menggunakan obat-obatan daripada
C
petani mitra. Penggunaan pupuk yang baik dan sesuai kebutuhan dapat
meningkatkan produktivitas tanaman. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga baik
pada petani mitra maupun nonmitra secara berturut-turut paling banyak digunakan
pada kegiatan pemanenan, pemeliharaan, pengolahan lahan, dan pemupukan
tambahan. Perawatan yang dilakukan petani mitra relatif lebih intensif sehingga
risiko terserang hama dan penyakit lebih sedikit dibandingkan petani nonmitra.
Besar penerimaan yang berasal dari usahatani cabai rawit merah yang
dihasilkan petani nonmitra lebih sedikit dibandingkan yang dihasilkan oleh petani
mitra yaitu sebesar Rp 204.110.3002,6 sedangkan petani mitra mampu
menghasilkan penerimaan yang berasal dari usahatani cabai rawit merah sebanyak
Rp 307.734.619,72. Hal tersebut disebabkan produktivitas yang diterima petani
mitra lebih tinggi dibandingkan produktivitas yang diterima petani nonmitra.
Biaya total usahatani cabai rawit merah yang dikeluarkan oleh petani mitra adalah
sebesar Rp 83.501.592,36 sedangkan besar biaya total usahatani cabai rawit merah
pada petani nonmitra sedikit lebih besar yaitu sebesar Rp 84.014.177,51. Biaya
total usahatani cabai rawit merah terdiri dari biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan. Usahatani cabai rawit merah yang dijalankan petani mitra di
Desa Cigedug juga dapat disimpulkan lebih menguntungkan karena memiliki nilai
pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan petani nonmitra. Besar
pendapatan usahatani cabai rawit merah petani mitra adalah sebesar Rp
224.233.027,36 sedangkan pendapatan usahatani cabai rawit merah petani
nonmitra hanya sebesar Rp 120.096.125,06. Nilai R/C rasio atas biaya total petani
mitra sebesar 3,69 sedangkan nilai R/C rasio atas biaya total petani nonmitra di
Desa Cigedug adalah sebesar 2,43. Nilai tersebut menunjukan bahwa kegiatan
usahatani pada petani mitra lebih efisien daripada petani nonmitra.
Proses kemitraan dapat menjadi pilihan untuk dilakukan bagi petani cabai
rawit merah di Desa Cigedug karena memberikan keuntungan yang lebih besar
serta manfaat lain dilihat dari pendapatan usahatani cabai rawit merah antara
petani mitra dan nonmitra. Peran vendor pada proses kemitraan seharusnya dapat
melibatkan petani cabai rawit yang bermitra secara langsung agar margin sebesar
Rp 5.000,00/kg cabai rawit merah dapat pula dirasakan oleh petani cabai rawit
merah yang menjadi anggota Gapoktan Cagarit dalam proses kemitraan yang
dijalankan. Petani nonmitra tidak mendapatkan pembinaan dari agrofield
Indofood sehingga peran pemerintah daerah setempat melalui Penyuluh Pertanian
Lapang (PPL) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas per hektar
lahan usahatani cabai rawit merah yang dijalankan oleh petani nonmitra untuk
memberi penyuluhan dan pendampingan mengenai tata cara tanam yang baik.
Penelitian ini belum dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar
pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi terhadap tingkat
produktivitas cabai rawit merah sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut
tentang pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi terhadap
produktivitas cabai rawit merah.
D
PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH
(Capsicum frutescens) PETANI MITRA PT. INDOFOOD
FRITOLAY MAKMUR DAN PETANI NONMITRA
DI DESA CIGEDUG KECAMATAN CIGEDUG
KABUPATEN GARUT
TUBAGUS FAZLURRAHMAN
H34080050
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
E
Judul Skripsi : Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah (Capsicum
frutescens) Petani Mitra PT. Indofood Fritolay Makmur dan
Petani Nonmitra Di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut.
Nama : Tubagus Fazlurrahman
NIM : H34080050
Disetujui,
Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS
NIP. 19550713 198703 2 001
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
F
PERYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pendapatan Usahatani
Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Petani Mitra PT. Indofood Fritolay
Makmur dan Petani Nonmitra di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut” benar-benar hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan untuk skripsi
atau karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasar atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Tubagus Fazlurrahman
H34080050
G
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 November 1990. Penulis
adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syamsul Bahri dan
Ibu Janthi Wijantini.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pengadilan 2 Bogor pada
tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di
SLTPN 5 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 1 Bogor
diselesaikan tahun 2008. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif sebagai Ketua Forum
Mahasiswa Muslim dan Studi Islam (FORMASI) Fakultas Ekonomi dan
Manajemen periode 2010-2011, Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa
Peminat Agribisnis (HIPMA) Departemen Agribisnis periode 2009-2010. Selain
itu, penulis berperan sebagai Ketua Angkatan FEM 45.
Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan, antara lain Pentas Seni
Islam dan Gema Alunan Syukur (PEGAS) pada tahun 2011, Bedah Bogor pada
Tahun 2010 sebagai Kooordinator Publikas Dekorasi dan Dokumentasi (PDD),
Green In Action (Greenation) 3th pada tahun 2010, Agrination pada tahun 2010,
Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Orange FEM pada tahun 2010, dan Masa
Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) IPB pada tahun 2009.
H
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Petani Mitra
PT. Indofood Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra di Desa Cigedug Kecamatan
Cigedug Kabupaten Garut”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat dalam
menyelesaikan pendidikan pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaan usahatani cabai rawit
merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, menganalisis
tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan
dengan PT Indofood Fritolay Makmur serta menganalisis tingkat pendapatan
usahatani petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan dengan PT
Indofood Fritolay Makmur.
Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena
keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Besar harapan penulis, kiranya penelitian
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat maupun bagi para
pembaca.
Bogor, Desember 2012
Tubagus Fazlurrahman
I
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya yang
senantiasadirasakan oleh penulis, terutama selama proses penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi tidak lepas dari kerjasama,
doa, dukungan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, sebagai bentuk
rasa syukur kepada Allah SWT pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih dan penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan motivasi, arahan, dan masukan yang membangun
dengan penuh kesabaran serta mengikutsertakan dalam Penelitian Unggulan
Departemen (PUD) tahun 2012.
2. Ir. Popong Nurhayati, MM selaku penguji utama yang telah masukan, saran
dan perbaikan untuk penyempurnaan skripsi ini bagi penulis.
3. Dra. Yusalina, M.Si selaku penguji perwakilan Komisi Pendidikan
Departemen Agribisnis yang juga merupakan Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan, waktu dan kesabaran
kepada penulis selama menempuh perkuliahan di IPB dan juga dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Orang tua dan keluarga tercinta, Ayah Syamsul Bahri dan Ibu Janthi
Wijantini atas kasih sayang, dukungan, nasehat, dan arahan yang tiada henti-
hentinya diberikan kepada penulis. Karya tulis ini adalah persembahan dan
wujud terima kasih kepada Ayah dan Ibu.
5. Kakak dan adik yang saya sayangi, Tubagus Luqmaniandri dan Tubagus
Rahsa Hanifah atas dukungan dan bantuan yang diberikan.
6. Dr. Muhammad Syukur, SP, Msi selaku Dosen Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB yang telah memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat
khususnya tentang cabai kepada penulis.
7. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Agribisnis yang telah
memberikan pengetahuan dan bantuan selama penulis melakukan
perkuliahan.
J
8. Yayasan Karya Salemba Empat (KSE) beserta seluruh donatur atas bantuan
dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan studi dan penelitian bagi
penulis.
9. Rizal beserta rekan-rekan Agrofield PT. Indofood Fritolay Makmur, yang
telah bersedia memberi izin, masukan dan saran bagi penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
10. Bapak Odik dan Abdul Basith selaku Camat dan Kepala Desa Cigedug yang
telah memberikan izin, dukungan serta bantuan kepada penulis.
11. Bapak Jajang, Pak Uus, Pak Muchtar, Teh Siti, Teh Wati, The Lilis, Pak
Warjo, Pak Hendar dan seluruh staf Kantor Desa yang telah memberikan
bantuan, semangat dan dukungan bagi penulis selama melakukan penelitian.
12. Bapak H. Amin beserta keluarga atas segala bantuan dan kasih sayang yang
senantiasa diberikan kepada penulis selama tinggal di Desa Cigedug.
13. Bapak Bubun Bunyamin bersama seluruh pengurus Gapoktan Cagarit atas
segala informasi, bantuan dan kerjasamanya kepada penulis.
14. Bapak Dadang dan Pak Hedi beserta seluruh Penyuluh Pertanian Lapang atas
segala bantuan dan informasi yang diberikan kepada penulis.
15. Bapak Dikdik, Kang Aang, Kang Zaenal dan keluarga beserta seluruh warga
Desa Cigedug yang telah memberikan ilmu dan pengalaman tak terlupakan
dalam penelitian ini.
16. Asmayanti selaku rekan satu penelitian atas segala kerjasamanya serta
kesabarannya dalam memberikan dorongan, kritik dan saran dalam proses
penelitian dan penulisan yang dilakukan penulis.
17. Seluruh pihak yang telah mendukung dan berdoa bagi penulis, yang tidak
dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian
penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Tubagus Fazlurrahman
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... v
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 4
1.3. Tujuan ...................................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
1.5. Ruang Lingkup ........................................................................ 7
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 8
2.1. Cabai Rawit Merah .................................................................. 8
2.2. Budidaya Tanaman Cabai Rawit Merah ................................... 11
2.3. Fluktuasi Harga ........................................................................ 13
2.4. Kemitraan ……………………………………………………. 14
2.5. Penelitian Terdahulu ................................................................ 15
2.5.1. Penelitian Usahatani ...................................................... 15
2.5.2. Penelitian Kemitraan ..................................................... 17
III. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 20
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................. 20
3.1.1. Konsep Usahatani ........................................................ 20
3.1.2. Penerimaan Usahatani .................................................. 23
3.1.3. Biaya Usahatani ……………………………………… 23
3.1.4. Pendapatan Usahatani ................................................... 24
3.1.5. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio) ............. 25
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................... 25
IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 29
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 29
4.2. Metode Pengumpulan Data .................................................... 29
4.3. Metode Penarikan Contoh ...................................................... 29
4.4. Pengolahan dan Analisis Data ................................................ 30
4.4.1. Analisis Keragaan Usahatani ....................................... 30
4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani .................................... 30
4.4.3. Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya
(R/C ratio) ……………………………………………… 32
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................... 34
5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut ................ 34
5.2. Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug ................................. 38
5.3. Karakteristik Petani Cabai Rawit Merah ................................. 39
5.3.1. Usia dan Pengalaman Petani Responden ....................... 39
5.3.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden ........................... 41
5.3.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan .............................. . 42
5.3.4. Jenis dan Pola Tanam Tumpang Sari ............................. 43
ii
VI. KERAGAAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH .............. 45
6.1. Kondisi Usahatani Cabai Rawit Merah Desa Cigedug ............ 45
6.1.1. Pengolahan Lahan ......................................................... 46
6.1.2. Penyemaian Benih dan Pembibitan …………………… 48
6.1.3. Penanaman .................................................................... 50
6.1.4. Pemeliharaan Tanaman ................................................. 53
6.1.5. Panen ............................................................................. 55
6.1.6. Pemasaran Hasil Panen .................................................. 56
6.2. Kondisi Kemitraan di Desa Cigedug ....................................... 57
VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT
MERAH ............................................................................................ 61
7.1. Sistem Usahatani Cabai Rawit Merah ...................................... 61
7.1.1. Bibit ................................................................................ 61
7.1.2. Lahan …………………………………………………… 62
7.1.3. Tenaga Kerja ……………………………………………. 63
7.1.4. Alat-Alat Pertanian …………………………………….. 65
7.2. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah ………….. 67
7.2.1. Penerimaan Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Mitra ……………………………………………... 68
7.2.2. Biaya Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra …….. 68
7.2.3. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Mitra …………………………………………….. 70
7.2.4. Penerimaan Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Nonmitra ………………………………………... 72
7.2.5. Biaya Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra … 73
7.2.6. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Nonmitra ………………………………………... 74
7.3. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Cabai Rawit
Merah Petani Mitra dan Nonmitra …………………………… 76
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. 79
8.1. Kesimpulan …………………………………………………... 79
8.2. Saran …………………………………………………………. 80
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….. 81
LAMPIRAN ……………………………………………………………. 83
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Luas Panen, Produktivitas Dan Produksi Cabai Rawit
Jawa Barat, 2006-2010 ………………………………………. 2
2. Contoh Perhitungan Pendapatan Usahatani dan R/C Ratio
Per Hektar Per Tahun Tanaman Musiman ………………….... 33
3. Perbandingan Rata-rata Luas Tanam Kentang, Tomat,
Cabe Besar, dan Cabai Rawit di Kabupaten Garut
Tahun 2011-2012 …………………………………………….. 35
4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit
di Tingkat Kecamatan Kabupaten Garut Tahun 2009-2011 …. 38
5. Sebaran Petani responden berdasarkan pengalaman usahatani
cabai rawit merah di desa cigedug tahun 2012 ……………….. 41
6. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
di Desa Cigedug tahun 2012 ………………………………….. 42
7. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan
Lahan Tahun 2012 ……………………………………………. 43
8. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Mitra Per Ha Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam
Di Desa Cigedug Tahun 2011 ………………………………… 63
9. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawit Merah Petani
Nonmitra Per Ha Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam
Di Desa Cigedug Tahun 2011 ……………………………….. 65
10. Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Rawit Merah Untuk
Satu Musim Tanam Di Desa Cigedug Per Ha Luasan Lahan ... 66
11. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra
Di Desa Cigedug Per Hektar Luasan Lahan Untuk Satu
Musim Tanam ………………………………………………… 71
12. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra
Di Desa Cigedug Per Hektar Luasan Lahan Untuk Satu
Musim Tanam ………………………………………………... 75
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional Pendapatan Usahatani
Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) (Kasus : Petani
Mitra PT Indofood Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra
Di Desa Cigedug Kec. Cigedug Kab. Garut ………………….. 28
2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut
Tahun 2007-2011 ……………………………………………... 34
3. Perbandingan Jumlah Produksi Cabai Besar dan Cabai Rawit
Kabupaten Garut Tahun 2001-2011 ………………………….. 37
4. Perbandingan Kelompok Usia Responden …………………… 40
5. Perbandingan Luas Lahan Petani Responden ………………... 42
6. Bagan Alur Proses Prooduksi Usahatani Cabai Rawit Merah
Di Desa Cigedug ……………………………………………… 46
7. (a) Pola Tanam Sejajar ; (b) Pola Tanam Menyilang ………… 48
8. Jarak dan Pola Tanam Cabai Rawit, Kol, dan Tomat Merah
di Desa Cigedug ……………………………………………… 51
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga .. 84
2. Perbandingan Besar Konsumsi Cabai Rawit dengan
Cabai Merah dan Cabai Hijau Dalam Rumah Tangga
di Indonesia,2004-2010 ………………………………………… 85
3. Produksi Cabai Rawit (ton) Menurut Provinsi 2007-2010 …….. 86
4. Produktivitas Cabai Rawit (ton/ha) Menurut Provinsi
Tahun 2007-2010 ………………………………………………. 87
5. Perkembangan Harga Rata-rata (Rp) Jenis Cabai Rawit Merah
di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, 2011 ………………………. 86
6. Luas Areal Tanam (ha) Cabai Rawit Tahun 2005-2009
Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat …………………… 87
7. Harga Rata-rata Mingguan Cabai Rawit Merah di Tingkat
Petani dan Pasar Induk Kramat Jati ……………………………. 88
8. Contoh Kontrak Kemitraan Gapoktan dengan
PT. Indofood Fritolay Makmur ………………………………… 89
9. Kuesioner Pendapatan Petani Cabai Rawit ……………………. 95
10. Dokumentasi Penelitian ………………………………………… 103
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura
(2008)1 komoditi unggulan pada tanaman sayuran selain bawang merah adalah
cabai. Di Indonesia secara umum masyarakat mengenal dua jenis cabai yakni
cabai besar dan cabai kecil (rawit). Cabai rawit merupakan salah satu jenis cabai
yang banyak dikonsumsi sebagai bahan bumbu masakan sehari-hari. Beragamnya
jenis masakan nusantara yang menggunakan cabai rawit sebagai bahan baku
membuat kebutuhan akan cabai rawit pada masyarakat Indonesia semakin besar.
Cabai rawit dipercaya dapat meningkatkan selera makan bagi sebagian orang
(Setiadi, 2005).
Di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi cabai rawit dari tahun 2004
hingga 2010. Besar konsumsi cabai rawit pada tahun 2004 yang mencapai 1,147
kg/kapita dan mengalami peningkatan menjadi 1,298 kg/kapita pada tahun 2010
dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 2,49 persen2. Namun,
tingkat konsumsi cabai rawit dari tahun ke tahunnya cenderung mengalami
fluktuasi. Peningkatan konsumsi cabai rawit diprediksi masih akan terjadi pada
tahun 2011. Besar peningkatan tersebut diperkirakan mencapai 1,307 kg/kapita
atau naik 0,66 persen dibandingkan tahun 2010. Pada tahun 2012 juga
diperkirakan konsumsi cabai rawit akan kembali meningkat sebesar 0,66 persen
dari besar konsumsi 2011 (Lampiran 1).
Pemenuhan kebutuhan konsumsi cabai rawit nasional yang semakin
meningkat dapat ditunjang oleh peningkatan produksi cabai rawit. Kemampuan
produksi cabai rawit dipengaruhi oleh perkembangan luas lahan dan tingkat
produktivitas cabai rawit pada daerah tertentu. Provinsi Jawa Barat merupakan
1 http://hortikultura.go.id/download/6_Pilar.pdf [diakses tanggal 22 Januari 2012]
2 BPS. 2012. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2004-
2012
2
provinsi dengan tingkat produktivitas cabai rawit tertinggi se-Indonesia3. Namun,
produktivitas cabai rawit Jawa Barat mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya
(Tabel 1).
Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas Dan Produksi Cabai Rawit Jawa Barat, 2006-
2010
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas
(ton/ha) Produksi (ton)
2006 6,66 11,00 73,30
2007 6,62 12,04 79,71
2008 6,77 10,82 73,26
2009 7,11 14,96 106,30
2010 8,47 9,32 78,90
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2011 (Diolah)
Kegiatan usahatani cabai rawit pada umumnya memiliki risiko yang sering
dihadapi oleh petani. Permasalahan/kendala utama antara lain risiko gagal panen,
tidak adanya kepastian jual, harga yang berfluktuasi, kemungkinan rendahnya
margin usaha, dan lemahnya akses pasar. Musim penghujan merupakan salah satu
faktor pada budidaya yang menyebabkan penurunan jumlah produksi cabai rawit.
Air hujan yang sangat lebat dapat menyebabkan bunga sebagai bakal buah
menjadi berguguran (Harpenas dan Dermawan 2011). Pada musim penghujan
tanaman cabai rawit lebih rentan terhadap penyakit seperti layu fusarium dan layu
bakteri (pseudomonas) sedangkan pada musim kemarau tanaman cabai rawit
rentan terhadap serangan hama. Serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan
penurunan jumlah produksi sehingga berisiko pula menurunkan besar penerimaan
yang diperoleh petani. Salah satu upaya mencegah serangan hama dan penyakit
adalah menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida dapat meningkatkan biaya
usahatani cabe rawit terutama pada penggunaan fungisida dan bakterisida guna
menanggulangi layu fusarium dan bakteri pseudomonas.4 Cabai rawit memiliki
sifat perishable atau mudah rusak terutama kerusakan terjadi pada saat
3 Deptan. 2010. Produktivitas Cabai Rawit http://www.deptan.go.id/ [diakses pada 2 Februari
2012] 4 Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Budidaya Cabai Rawit Pada Musim Penghujan
http://foragri.blogsome.com [diakses pada 17 September 2012]
3
pengemasan dan pengangkutan. Risiko-risiko tersebut akan secara langsung
mempengaruhi jumlah pendapatan petani.
Terdapat dua jenis cabai rawit yang banyak di konsumsi masyarakat yaitu
cabai rawit hijau yang termasuk ke dalam spesies C.annum dan cabai rawit merah
yang termasuk spesies C. frutescens. Cabai rawit merah memiliki rasa lebih pedas
dibandingkan dengan jenis cabai rawit hijau sehingga lebih digemari masyarakat
(Setiadi 1999). Tingginya tingkat konsumsi cabai rawit khususnya cabai rawit
merah menunjukkan tersedianya peluang pasar bagi produsen cabai rawit merah
(Lampiran 2).
Cabai rawit merah memiliki harga yang sangat fluktuasi bila dibandingkan
dengan jenis cabai lainnya termasuk cabai rawit hijau. Banyaknya jumlah pasokan
(over supply) cabai rawit merah di pasar menyebabkan rendahnya harga jual cabai
rawit di pasaran. Harga cabai rawit merah akan meningkat signifikan ketika
pasokan cabai rawiit merah di pasar tidak dapat memenuhi permintaan
konsumen5. Berdasarkan data dari Pasar Induk Kramat Jati sebagai Pasar Acuan
Nasional dapat diketahui bahwa harga rata-rata cabai rawit merah tertinggi terjadi
pada bulan Januari 2011 yang mencapai Rp 75.964/kg. Akan tetapi, harga
terendah cabai rawit merah hingga mencapai Rp 8.957/kg pada delapan bulan
kemudian. Ketidakpastian harga yang didapat oleh petani dapat menyebabkan
banyak petani mengalami kesulitan dalam menjaga kesinambungan produksinya
akibat kekurangan modal (Lampiran 5). Dibutuhkan sebuah sistem pemasaran
yang dapat memberikan jaminan harga tetap kepada petani, salah satunya adalah
melalui kemitraan.
Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra penghasil cabai rawit merah
terbesar di Propinsi Jawa Barat. Luas areal tanam cabai rawit Kabupaten Garut
merupakan yang terbesar dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Potensi
luas lahan sebesar 1.314 hektar pada tahun 2005 yang mengalami peningkatan
menjadi 1.463 hektar pada tahun 2009 berbanding terbalik dengan salah satu
penghasil cabai rawit di Jawa Barat yaitu Kabupaten Cianjur. Luas areal
Kabupaten Cianjur mengalami penurunan menjadi 921 hektar pada tahun 2009
5 Redaksi Agromedia. 2011. Petunjuk Praktis Bertanam Cabai. Jakarta : PT Agromedia Pustaka
4
yang semula memiliki luas arela tanam sebesar 1.061 hektar pada tahun 2005 serta
belum menjalin kemitraan (Lampiran 6).
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug adalah salah satu daerah yang
membudidayakan cabai rawit merah di Kabupaten Garut dan telah menjalankan
kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Petani mitra adalah petani cabai
rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur
karena lebih memilih untuk tidak mengambil risiko dalam menjalankan usahatani
cabai rawit merah dengan harga jual yang berfluktuasi di pasar. Beberapa manfaat
yang ditawarkan oleh PT indofood Fritolay Makmur dalam menjalin proses
kemitraan antara lain adalah harga jual yang tetap, pasar yang tetap serta sarana
berupa bantuan pinjaman modal dalam bentuk benih serta adanya pembinaan
selama menjalankan usahatani cabai rawit merah. Sedangkan petani nonmitra
adalah petani cabai rawit merah yang lebih memilih untuk mengambil risiko untuk
menjalankan usahatani cabai rawit merah dengan tetap berharap pada peningkatan
drastis harga cabai rawit merah di pasar pada waktu yang belum dapat ditentukan.
Petani yang menjalankan kemitraan bersama PT Indofood Fritolay
Makmur tergabung kedalam Gabungan Kelompok Tani Cabai Garut Intan
(Gapoktan Cagarit) yang berfungsi sebagai salah satu unit usaha pemasaran cabai
rawit merah di Desa Cigedug. Gapoktan Cagarit juga berperan sebagai vendor
bagi PT. Indofood Fritolay Makmur yaitu merupakan sebuah lembaga dalam
rantai pemasaran yang berfungsi mengumpulkan hasil produksi dari petani Desa
Cigedug, menyortir dan melakukan pengiriman, serta membuat kesepakatan harga
dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.
1.2. Rumusan Masalah
Naiknya permintaan akan komoditi cabai rawit pada waktu tertentu
menyebabkan terjadinya fluktuasi harga di pasar. Ketika harga cabai rawit
mengalami peningkatan, petani akan berlomba-lomba untuk menanam tanaman
cabai rawit pada lahannya. Namun, jika harga cabai rawit di pasar sedang
mengalami penurunan maka petani dengan mudahnya mengganti komoditi yang
mereka tanam dengan tanaman hortikultura lainnya selain cabai rawit. Informasi
harga cabai rawit merah yang akan datang di pasar tidak dapat diketahui secara
5
pasti oleh petani. Hal itu terjadi akibat penyebaran informasi yang tidak sempurna
yang berasal dari pasar kepada petani selaku produsen.
Ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan jumlah permintaan
yang dibutuhkan konsumen merupakan faktor penyebab utama terjadinya
fluktuasi harga pada komoditas pertanian. Sesuai dengan hukum supply dan
demand dalam pasar maka semakin tinggi jumlah pasokan (supply) hingga terjadi
sebuah excess supply akan berdampak pada turunnya harga suatu komoditas.
Begitu juga sebaliknya, jika banyaknya permintaan (demand) lebih besar daripada
jumlah pasokan (supply) yang ada akan menyebabkan kenaikkan harga komoditi
pertanian. Pola produksi secara alami (on sesason dan off season) dan pola tanam
yang digunakan oleh petani merupakan salah satu faktor penyebab
ketidakseimbangan di sisi supply.
Tanaman cabai rawit termasuk tanaman musiman dengan waktu tanam
mencapai 7 sampai 8 bulan mulai dari pembibitan hingga pemanenan. Penanaman
cabai rawit yang dilakukan oleh para petani cabai rawit di Desa Cigedug biasa
dilaksanakan pada akhir musim penghujan ataupun pada awal musim kemarau.
Hal tersebut dilakukan untuk menghindari musim penghujan karena tanaman
cabai rawit rentan akan penyakit saat musim penghujan.
Setiap daerah penghasil cabai rawit merah memiliki pola dan waktu tanam
yang berbeda. Perbedaan inilah yang akan menyebabkan fluktuasi supply cabai
rawit di beberapa pasar induk yang menjadi acuan harga nasional seperti Pasar
Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Cibitung mengalami fluktuasi harga. Kondisi
ini disebabkan karena tidak adanya koordinasi dan kerjasama antar kabupaten
sentra produksi dalam hal jaringan informasi pasar, perkembangan produksi,
perkembangan luas tanam, penggunaan teknologi, dan tidak ada informasi alur
distribusi atau jaringan pemasaran baik di tingkat regional maupun pasar lokal6.
Petani menjadi pihak yang sering kali dirugikan akibat adanya fluktuasi
harga. Sebagai produsen petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal
penentuan harga dipasar sehingga petani hanya berperan sebagai price taker.
Petani juga harus menghadapi risiko produksi dalam kegiatan usahatani. Oleh
6 Dinas Tanaman dan Hortikultura kabupaten Garut. 2009. Profil Cabai
http://www.garutkab.go.id/ [diakses tanggal 25.Januari 2012]
6
karena itu, fluktuasi harga yang terjadi sangat mempengaruhi penerimaan yang
diterima oleh petani sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat
pendapatan usahatani. Kemitraan merupakan salah satu alternatif bagi petani agar
mendapat kepastian harga pada hasil produksinya.
Kemitraan yang terjalin antara petani Desa Cigedug dengan PT Indofood
Fritolay Makmur dilandasi oleh prinsip saling menguntungkan dan saling
membesarkan usaha. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1)
adanya fluktuasi harga yang tajam dirasakan oleh petani; (2) modal petani yang
terbatas; dan (3) kebutuhan pasokan cabai rawit merah bagi pabrik PT. Indofood
Fritolay Makmur. Kemitraan ini telah memberikan kepastian harga yang akan
diterima oleh petani cabai rawit merah sebesar Rp 10.000,00/kg yang berasal dari
vendor. Sementara itu, vendor menerima harga sebesar Rp 15.000/kg dari PT.
Indofood Fritolay Makmur. Sehingga terdapat margin sebesar Rp 5.000,00/kg
yang diperoleh pihak vendor. Margin tersebut merupakan gambaran risiko biaya
yang dikeluarkan oleh pihak vendor atas aktifitas-aktifitas seperti biaya
pengumpulan, penyortiran, biaya penyusutan dan biaya transportasi.
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah :
1. Bagaimana keragaan usahatani cabai rawit di Desa Cigedug Kecamatan
Cigedug Kabupaten Garut?
2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang
menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur?
3. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang
tidak menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur?
1.3. Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1 Mengkaji keragaan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.
2 Menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang
menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.
3 Menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang
tidak menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.
7
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada :
1. Para petani cabai rawit, sebagai informan dan narasumber untuk
membantu dalam perencanaan analisis pendapatan usahatani antara yang
bermitra dan yang tak bermitra.
2. Lembaga terkait, sebagai bahan masukan dan acuan dalam membentuk dan
membuat kebijakan yang berpihak pada petani.
3. Pihak peneliti lainnya, sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
4. Mahasiswa, sebagai salah satu bahan referensi mengenai usahatani cabai
rawit dan untuk pengetahuan pembaca.
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut dengan cabai rawit merah sebagai komoditi
yang diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani
cabai rawit merah, baik yang telah menjalin kemitraan dengan PT. Indofood
Fritolay Makmur maupun yang tidak menjalin kemitraan di Desa Cigedug.
Definisi dari petani cabai rawit merah adalah petani yang membudidayakan
tanaman cabai rawit minimal satu kali dalam satu kali musim tanam di Desa
Cigedug.
Analisis kajian dibatasi untuk melihat perbandingan tingkat pendapatan
usahatani cabai rawit merah antara petani yang menjalin kemitraan dengan PT
Indofood Fritolay Makmur dan petani yang tidak menjalin kemitraan. Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis keragaan usahatani, analisis
pendapatan usahatani berdasarkan pendekatan penerimaaan dan biaya usahatani,
dan analisis R/C rasio untuk melihat tingkat efisiensi usahatani cabai rawit merah.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cabai Rawit Merah
Cabai termasuk kedalam jenis tanaman sayuran. Awalnya tanaman
sayuran ini dikenal sebagai tanaman perkebunan rakyat, namun sekarang lebih
dikenal dengan nama hortikultura (Sunarjono 2006, diacu dalam Siregar 2008).
Tanaman jenis ini dapat berbentuk perdu, rumput, semak, atau pohon akar
tunggang dengan akar samping yang dangkal serta memiliki banyak cabang pada
bagian batangnya. Daunnya panjang, berwarna hijau tua dengan ujung runcing
(oblongus acutus). Cabai memilki bunga sempurna dengan benang sari yang
saling lepas. Pada umumnya bunga cabai berwarna putih dengan bentuk seperti
terompet kecil. Bentuk pertumbuhannya tegak pendek, menjulang, atau menjalar
dengan hasil berupa umbi, bunga, buah atau biji. Tanaman ini tersebar ke negara-
negara benua Amerika, Eropa, dan Asia termasuk Indonesia. Cabai termasuk
kedalam family terong-terongan dan merupakan tanaman semusim berbentuk
perdu.
Cabai memiliki nama ilmiah Capsicum sp. berasal dari daerah Peru benua
Amerika. Menurut Pickersgill (1989) diacu dalam Inti (2000) terdapat lima
spesies cabai, yaitu Capsicum annum, Capsicum frutescens, Capsicum chinense,
Capsicum bacctum dan Capsicum pubescens. Diantara kelima spesies tersebut
yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan adalah Capsicum frutescens
atau cabai rawit merah. Spesies ini banyak banyak dibudidayakan di Indonesia
bersama dengan cabai rawit hijau (Capsicum annum). Keduanya memiliki
karakteristik yang serupa teteap tidak sama. Varietas cabai rawit merah yang
sering dibudidayakan oleh petani Indonesia adalah varietas cakra putih dengan ciri
fisiologis saat muda buahnya berwarna putih kekuningan yang berubah merah
cerah saat masak. Sedangkan cakra hijau merupakan varietas cabai rawit merah
dimana saat tanaman muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah
merah (Prajnanta, 2004).
Capsicum frutescens atau cabai rawit merah memiliki batang yang
berbuku-buku dan bersudut, daunya tidak berbulu, berbentuk bundar telur sampai
lonjong. Panjang daunnya berkisar antara 1 - 12 cm. Bunga Capsicum frutescens
9
keluar dari ketiak daun, dengan mahkota bunga berbentuk seperti bintang,
berwarna putih, putih kehijauan, atau ungu. Buahnya tegak (pada hibrida
merunduk), berbentuk bulat telur atau lonjong. Panjang buah berkisar antara 1 – 3
cm dan lebarnya 0,25 – 1,2 cm. Buahnya muda berwarna hijau tua putih atau putih
kehijau-hijauan. Buah tua yang berwarna hijau tua akan berubah warna menjadi
hijau kemerah-merahan, lalu menjadi merah. Buah tua yang berwarna putih akan
berubah warna menjadi kuning kemerah-merahan, setelah itu berubah warna
menjadi merah menyala (jingga). Selain itu, buah tua dapat juga mengalami
perubahan warna dari putih kehijau-hijauan menjadi kemerah-merahan, lalu
menjadi merah.
Capsicum baccatum memiliki batang yang lebih pendek dari Capsicum
frutescens. Bunganya memiliki mahkota yang kecil dengan panjang sekitar 1 cm.
Buahnya berbentuk telur dengan bagian tengah yang mengembung. Di Indonesia
keberadaan Capsicum baccatum belum diketahui. Capsicum chinense memiliki
ketinggian sekitar 75 cm. Posisi bunganya tegak, setengah menggantung, atau
menggantung. Mahkotanya berwarna kuning kehijau-hijauan. Buahnya tumbuh
menggerombol (3-5 buah per gerombol). Tangkai buah agak besar, melengkung,
dan bagian antara tangkai buah kelihatan mengerut. Buah tua berwarna jingga
(merah menyala). Sama halnya dengan Capsicum baccatum keberadaannya di
Indonesia belum diketahui (Setiadi, 1999).
Bagian buah dari tanaman cabai rawit merah merupakan bagian yang biasa
dikonsumsi oleh manusia. Buah cabai kaya akan kandungan gizi dan vitamin
diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1 dan
vitamin C. Cabai rawit merah banyak memiliki kandungan yang bermanfaat dan
tidak dimiliki oleh cabai jenis lain seperti dapat menyembuhkan sakit
tenggorokan, sakit perut, iritasi kulit, dan sekaligus perangsang nafsu makan bagi
sebagian orang. Cabai rawit merah segar mengandung 11.050 SI (Skala Indeks)
vitamin A, sedangkan cabai rawit kering 1.000 SI. Sementara itu, cabai lainnya
hanya 260 SI (cabai hijau segar), 470 SI (cabai merah segar), dan 576 SI (cabai
merah kering). Selain itu, cabai mengandung beberapa zat yang merangsang rasa
pedas dan rasa panas seperti kapsaisin, minyak atheris dihidrokapsaisin, damar,
zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, lutein, dan
10
mineral tingkat kepedasan yang ada pada cabai rawit merah mencapai 50.000 –
100.000 skala Scoville, yang berarti sangat pedas. Rasa pedas itu berasal dari
senyawa kimia Capsaisin (Redaksi Agro Media 2011).
Dalam pemanfaatannya juga buah cabai rawit merah dapat digunakan
untuk beberapa keperluan antara lain masak-memasak serta sebagai bahan ramuan
obat tradisional. Selain itu, buah cabai rawit merah sering dimanfaatkan sebagai
pakan bagi burung oceh dan burung hias. Bubuk hasil pengolahan buah cabai
rawit merah dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan industri makanan dan
minuman sebagai pengganti lada dan utuk meningkatkan selera makan dari
konsumen7.
Umumnya, para petani di Pulai Jawa mengenal tiga musim, yaitu musim
labuhan (saat hujan mulai turun), musim marengan (saat hujan akan berakhir), dan
musim kemarau. Cabai rawit merah dapat dibudidayakan pada musim marengan
dan kemarau. Dalam satu tahun cabai rawit hanya dapat di tanam satu kali tetapi
dengan pemanenan setiap minggunya saat musim panen.
Cakra putih merupakan varietas yang banyak dibudidayakan oleh petani
cabai rawit merah. Pada varietas ini pertumbuhan tanaman sangat kuat dengan
membentuk banyak percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak
pipih dan rasa sangat pedas. Mampu menghasilkan buah 12 ton per hektarnya
dengan rata-rata 300 buah per tanaman, dipanen pada umur 85-90 HST (Hari
Setelah Tanam). Cakra putih ini pun tahan terhadap serangan penyakit
antraksnosa (Rukmana, 2002).
Varietas lainnya yang ada yakni cakra hijau. Varietas cakra hijau ini
mampu beradaptasi dengan baik di dataran rendah maupun tinggi. Saat tanaman
muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah. Potensi hasilnya
600 g per tanaman atau 12 ton per hektar. Rasanya pedas, tahan terhadap serangan
hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada umur 80
HST.
7Widianto A. 2010. Karakteristiik dan manfaat cabai. http://www.scribd.com/ [diakses tanggal 22
Januari 2012]
11
Dari sisi harga jual cabai rawit merah dapat dikatakan lebih unggul
dibandingkan dengan cabai besar serta cabai rawit hijau. Hal itu dikarenakan
cabai rawit merah lebih disenangi oleh konsumen karena rasanya yang lebih pedas
dibandinggkan dua jenis cabai lainnya.
2.2. Budidaya Tanaman Cabai Rawit Merah
Secara umum tanaman cabai dapat dengan mudah ditanam dan
dibudidayakan baik didataran tinggi maupun di dataran rendah. Namun, pada
cabai rawit merah paling cocok tumbuh pada dataran dengan ketinggian 0-500
meter dari permukaan laut. Kondisi tanah secara umum harus subur dengan
derajat keasaman (PH) tanah antara 6,0 ‐7,0, suhu yang sedang berkisar antara 15°
‐ 28° C dan kelembaban tanah dengan kandungan air yang tidak berlebihan dan
tidak kekurangan.
Pada musim penghujan umumnya tanaman cabai rawit merah rentan akan
berbagai macam penyakit terutama penyakit layu akibat tanah yang becek atau
kebanyakan air. Bunga tanaman cabai rawit merah akan mudah gugur ketika
sedang terkena hujan. Oleh karena itu tanaman cabai rawit merah biasa ditanam
pada awal kemarau atau pada akhir musim penghujan.
1. Cara Tanam
Tanaman cabai rawit merah dikembangbiakkan dengan biji yang diambil
dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih
dahulu. Tanah persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang
supaya bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh
hari kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji
dengan daya kecambah 75 persen. Sebelum ditanam, tanah yang akan
ditanami cabai rawit merah dicangkul dan diberi pupuk kandang. Pupuk
kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang kecil yang dibuat lurus
dengan jarak antar lubang 50-60 cm dan jarak antar baris 60-70 cm,
tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit berumur 1-1,5
bulan, bibit dipindahkan ke lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam,
tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk tersebut merupakan campuran urea,
TSP, dan KCL dengan perbandingan 1: 2: 1 sebanyak 10 gram tiap
tanaman. Oleh karena itu, diperlukan 150 kg urea, 300 kg TSP dan 150 kg
12
KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan sampai 200 kg per
hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman sejauh 5 cm dari
batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi urea susulan
150 kg/ ha.
2. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman cabai rawit merah tidak terlalu sulit, dengan cara
membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan
memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman
cabai rawit merah ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus
persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan
menusuk buah cabai rawit merah hingga berguguran. Pemberantasan hama
ini dengan penyemprotan Kelthane 0,1- 0,2%. Penyakit yang sering
mengancam tanaman cabai rawit merah adalah penyakit busuk buah.
Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum. Cendawan
Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan
Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit
busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan
Dithane M-45 atau Anthracol 0,2%. Penyakit utama yang sering
menggagalkan tanaman cabai rawit merah ialah penyakit yang disebabkan
virus daun keriting (TMV). Virus TMV ditularkan kutu daun. Virus
tersebut merusak daun muda sehingga menjadi keriting atau menggulung
dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum dapat diberantas sehingga
bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan dibuang agar tidak
menular ke tanaman yang lain.
3. Pemanenan
Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur
empat bulan pada dataran rendah dan 6-7 bulan pada dataran tinggi.
Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 30- 45 ton buah per hektar
atau paling maksimum mencapai 3kg/pohon dengan banyak pohon per
hektarnya mencapai 10.000 – 15.000 pohon per hektar. Hasil panen
tanaman cabai rawit merah selanjutnya dapat dipasarkan dengan harga
rata-rata antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 15.000,- per kilogram. Hasil panen
13
cabai rawit merah mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar
negeri. Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai
Eropa dan Amerika. Akan tetapi, harga cabai rawit merah sangat tidak
stabil.
2.3. Fluktuasi Harga
Fluktuasi merupakan sebuah kondisi tidak stabil, bervariasi, dan sulit
diperkirakan. Sedangkan harga merupakan nilai yang terbentuk akibat adanya
permintaan dan penawaran dalam jumlah tertentu dalam sebuah mekanisme pasar.
Fluktuasi harga pertanian merupakan sebuah kondisi harga pada komoditi
pertanian yang tidak stabil dan bervariasi sehingga sulit di perkirakan oleh
berbagai pihak baik petani, pedagang, maupun pemerintah. Fluktuasi harga
pertanian sama-sama memiliki dampak bagi petani maupun pedagang. Namun,
petani sering kali menjadi pihak yang merasakan dampak negatif akibat adanya
fluktuasi harga pertanian. Hal tersebuut dapat terjadi akibat lemahnya posisi tawar
para petani untuk ikut serta dalam mekanisme penentuan harga pasar.
Komoditas hortikultura merupakan subsector pertanian yang memiliki
fluktuasi harga pertanian paling tinggi8. Harga yang sangat berfluktuatif secara
teoritis akan menyulitkan prediksi bisnis bagi para pelaku bisnis. Perhitungan rugi
laba maupun manajemen risiko menjadi sebuah ketidakpastian bagi para pelaku
agribisnis hortikultura. Spekulan yang berprofesi sebagai pedagang sering kali
dianggap sebagai pihak yang diuntungkan akibat adanya perubahan harga tersebut
(Ismet,2009). Tetapi dengan syarat harus disertai dengan kemampuan pengelolaan
stok dengan baik dan benar.
Menurut Irawan (2007), penerimaan dan keuntungan usaha dari hasil
kegatan usahataninya menjadi sangat berfluktuasi akibat adanya fluktuasi harga
yang tinggi di pasar. Irawan (2007) menambahkan bahwa daya tarik utama bagi
pelaku bisnis untuk melakukan investasi dan memperluas usahanya pada sektor
pertanian khususnya subsector hortikultura terhambat karena keuntungan yang
tidak stabil walaupun nilainya tinggi dalam waktu tertentu.
8http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/03/22066/mentan_fluktuasi_harga_hor
tikultura_indonesia_memprihatinkan/#.Tzxyi8X9P44
14
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu inovasi teknologi baik teknis maupun
social untuk dapat mengatasi permasalahan fluktuasi harga yang terjadi pada
komoditas . Teknologi tersebut dapat berupa sebuah sistem yang dapat menjamin
stabilitas harga di tingkat petani sebagai produsen utama yang sering kali
dirugikan akibat fluktuasi harga.
2.4. Kemitraan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mitra dapat berarti
teman, kawan kerja, pasangan kerja, dan rekan. sedangkan kemitraan dapat berarti
perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Kemitraan adalah suatu
strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu
tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan
dan saling membesarkan. Sebagai sebuah strategi bisnis, kemitraan sangat
ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang menjalin kemitraan dalam
menjalankan etika bisnis.
Kemitraan juga dapat berarti sebagai sebuah cara untuk melakukan bisnis
dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan
bisnis bersama. Kemitraan dikatakan sebagai sebuah sistem produksi dan
pemasaran berskala menengah dimana terjadi pembagian beban risiko produksi
dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan petani kecil (Patrick et al 2004).
Kemitraan memiliki unsur-unsur yang yang penting dalam
pelaksanaannya. Unsur-unsur kemitraan antara lain : (1) Adanya kerjasama suatu
usaha antar pengusaha besar dan kecil. (2) Terdapat rasa saling memerlukan,
memperkuat, dan menguntungkan. (3) Adanya pembinaan dan pengembangan
dari salah satu pihak kepada pihak yang lainnya.
Kemitraan merupakan tuntutan obyektif bagi keberadaan agribisnis karena
dalam sebuah sistem agribisnis memiliki tuntutan untuk terintegrasi pada setiap
subsistem pembangunnya. Tuntutan itu berlaku karena agribisnis dibangun oleh
banyak pelaku usaha dengan tingkat keberagaman yang berbeda-beda. Kemitraan
juga diperlukan untuk mendapatkan pasar baru dan menghilangkan permasalahan
dalam sistem agribisnis.
Secara garis besar kemitraan dibutuhkan oleh masyarakat khususnya
petani adalah karena masyarakat desa perlu akan peluang perdagangan dan
15
pemasaran yang baru. Pada proses kemitraan, pihak-pihak ekternal yakni
Agroindustry berusaha mengubah pola pikir para petani subsisten untuk dapat
menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal tersebut
akan memiliki efek berlipat pada pekonomian pedesaan. Oleh karena itu,
mekanisme kemitraan mungkin dapat meningkatkkan kehidupan petani kecil
dengan memberi segudang manfaat untuk melawan era liberalisasi ekonomi yang
terjadi.
Beberapa manfaat kemitraan antara lain adalah dapat mengurangi biaya
transaksi yang tinggi akibat dari kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah
dalam upaya menyediakan sarana dan prasarana input pertanian baik kredit,
asurannsi, informasi serta lembaga-lembaga pemasarannya. Dengan berkurangnya
biaya transaksi maka laba yang didapatkan oleh pihak produsen akan semakin
tinggi. Alur informasi yang lancar juga akan memberikan kemudahan akses
pemasaran.
Penerapan kemitraan dalam agribisnis dibagi menjadi 2 jenis kemitraan,
yakni kemitraan vertikal dan kemitraan horizontal. Kemitraan vertikal biasanya
akibat adanya masing-masing kebutuhan antar subsistem dalam sistem agribsnis.
Sedangkan kemitraan horizontal biasanya dilakukan didalam satu subsistem yang
sama.
2.5. Penelitian Terdahulu
2.5.1. Penelitian Usahatani
Penelitian mengenai usahatani cabai rawit yang terkait dengan kemitraan
belum pernah dijadikan sebagai topik penelitian di IPB. Adapun berbagai macam
penelitian usahatani yakni yang dilakukan pada spesies cabai lainnya seperti cabai
merah besar dan cabai keriting. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Nurliah (2002), dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran
Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten
Garut. Hasil pennelitian diperoleh bahwa hasil produksi cabai merah keriting
petani dalam satu musim tanam untuk luasan satu hektar sebesar 10.714,3 kg,
harga jual rata- rata yang terjadi di tingkat petani sebesar Rp. 3.000,00 sehingga
total penerimaan sebesar Rp. 32.142.900,00. Biaya tunai terbesar yang
16
dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 4.032.480,00 atau
sebesar 26,86%. Biaya tunai terbesar kedua adalah pestisida sebesar Rp.
3.375.710,00 atau sebesar 22,49%. Selain biaya tunai, dihitung pula biaya yang
diperhitungkan yang terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan
sewa tanah. Petani memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp.
17.131.413,00 per hektar dengan R/C yang diperoleh sebesar 2,14.
Khairina (2006), juga melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan
Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa
Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor), dengan hasil bahwa analisis pendapatan
terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel
organik sebesar Rp.8.577.806,08 per hektar dan Rp.6.715.338,37 per hektar.
Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik atas biaya total dan biaya
tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh
petani wortel organik menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,28 untuk biaya total
yang dikeluarkan dan Rp 3,53,- untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan
nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai petani wortel
konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan R/C atas biaya tunai
dan biaya total petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang
lebih tinggi dibandingkan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan
bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani
wortel konvensional.
Iryanti (2005), melakukan penelitian dengan judul Analisis Usahatani
Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus: Desa Batulayang,
Kecamatan Cisarua, Bogor). Dari analisis ini diperoleh bahwa sistem usahatani
tomat organik yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang secara umum sama
dengan sistem usahatani tomat secara konvensional/ anorganik. Perbedaan yang
terdapat dalam usahatani tomat secara organik dan anorganik adalah tidak adanya
penggunaan pupuk kimia dalam sistem usahatani organik. Rata- rata produksi
tomat yang dihasilkan petani organik untuk luasan rata- rata lahan 0,18 ha
sebanyak 4.589,24 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 25.495,75 kg, sedangkan
produksi tomat yang dihasilkan petani anorganik untuk luasan rata- rata lahan
0,15 ha sebanyak 4.515,95 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 30.106,33 kg. Hal ini
17
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi produksi
tomat. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang berusahatani
tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai pada luasan lahan
0,18 ha sebesar Rp. 6.280.275,85 sedangkan pada luasan lahan 1 ha pendapatan
atas biaya tunai sebesar Rp. 34.890.421,39. Pendapatan atas biaya total yang
diperoleh pada luasan lahan 0,18 ha untuk tomat organik sebesar Rp. 5.728.221,46
sedangkan pendapatan total pada luas lahan 1 ha sebesar Rp. 31.823.452,55.
Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh dari tomat anorganik untuk lahan 0,15
dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 4.083.678,56 dan Rp. 27.224.490,96
sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada lahan 0,5 dan 1 ha
masing-masing adalah Rp. 3.579.549,60 dan Rp. 23.863.631,23.
Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat
persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini.
Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang pendapatan yang
dihasilkan oleh petani, baik pada komoditas cabai ataupun komoditas lainnya
seperti tomat dan wortel. Ada juga yang bertujuan melihat pendapatan usahatani
dari organik dan organik sedangkan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat
pendapatan usahatani kemitraan dan non-kemitran. Untuk perbedaanya yaitu
lokasi penelitian yang berbeda, komoditi yang berbeda dan responden/ petani
yang digunakan juga berbeda, sehingga hasil yang diharapkan juga berbeda
dengan penelitian lainnya.
2.5.2. Penelitian Kemitraan
Penelitian tentang kemitraan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti
terdahulu. Achmad (2008) meneliti tentang manfaat kemitraan agribisnis bagi
petani (kasus: kemitraan PT Pupuk Kujang dengan kelompok tani Sri Mandiri
yang berlokasi di Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat. PT Pupuk Kujang melakukan kemitraan dengan petani
khususnya yang dekat dengan lokasi PT Pupuk Kujang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan perusahaan dengan petani
yaitu kemitraan saham. Hasil analisis kuantitatif menggunakan regresi berganda
dengan bantuan sofware SPSS 13, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang
18
sangat kuat mempengaruhi manfaat kemitraan bagi petani mitra yaitu luas lahan,
jarak tempuh rumah ke lahan, sumber informasi yang digunakan, ketersediaan
modal kredit, dan proses manajemen kemitraan. Manfaat ekonomi yang diperoleh
petani mitra dari pola kemitraan yaitu produktivitas yang lebih tinggi, pendapatan
yang lebih tinggi, harga produk yang lebih baik dan meningkatkan teknologi
pertanian (pangan) melalui penggunaan pupuk yang merupakan produk
perusahaan mitra. Manfaat sosial yang diperoleh petani yaitu keberlanjutan
kerjasama antara perusahaan dengan petani, dan juga pola kemitraan yang
dilaksanakan berhubungan dengan kelestarian lingkungan.
Penelitian mengenai kemitraan yang dilakukan oleh Purnaningsih dan
Sugihen (2008) dengan judul “Manfaat Keterlibatan Petani Dalam Pola Kemitraan
Agribisnis Sayuran Di Jawa Barat” menyimpulkan bahwa keterlibatan petani
dalam pola kemitraan terbukti merupakan salah satu peubah yang berpengaruh
terhadap penggunaan teknologi yang lebih baik yang berpengaruh terhadap
pendapatan petani dengan memberi manfaat baik secara teknis maupun secara
ekonomi.
Manfaat ekonomi yang diperoleh petani dari keterlibatannya dalam pola
kemitraaan selain pendapatan yang lebih tinggi, adalah harga yang lebih pasti,
produktivitas lahan lebih tinggi, penyerapan tenaga kerja dan modal yang lebih
tinggi, dan resiko usaha ditanggung bersama. Manfaat teknis yang diperoleh
petani dari pola kemitraan adalah penggunaan teknologi yang lebih baik dalam
rangka mencapai mutu produk yang lebih baik sesuai harapan konsumen.
Manfaat sosial yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah ada
kesinambungan kerjasama antara petani dan perusahaan, koperasi maupun
pedagang pengumpul, serta pola kemitraan mempunyai kontribusi terhadap
kelestarian lingkungan. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan petani, di mana pendapatan yang diperoleh dari
usahatani kemitraan memberi sumbangan yang sangat signifikan terhadap
pengeluaran total.
Saptana et al (2009) yang meneliti mengenai “ Strategi Kemitraan Usaha
Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Cabai Merah Di Jawa Tengah”
menyimpulkan bahwa salah satu prinsip dasar dari sebuah kemitraan adalah
19
Keterbukaan (tranparancy) diantara pihak-pihak yang bermitra. Keterbukaan
tersebut iterutama dalam hal pembagian hak dan kewajiban, penetapan kontrak
atau penetapan harga, dan penegakkan kontrak berdasarkan prisisp kesetaraan.
Selain itu kemampuan dalam menembus dan memperluas jaringan pasar oleh
perusahaan mitra dan kemampuan pendalaman industry pengolahan melalui
pengembangan produk juga dapat menjadi manfaat dari sebuah pola kemitraan.
Menurut penenlitian Nurdiniyawati (1997) disimpulkan bahwa jalinan
hubungan kemitraan membawa banyak manfaat antara lain adanya jaminan pasar,
jaminan keberlanjutan, jaminan harga dan keuntungan. Hal tersebut juga tidak
berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Marliana (2008) yang meneliti
tentang “Analisis Manfaat Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Lettuce Di PT Saung Mirwan”.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa petani yang bermitra akan
mendapatkan banyak manfaat diantaranya adalah Manfaat yang dirasakan petani
diantaranya yaitu kemudahan dalam pemasaran, harga lebih baik, keuntungan
lebih tinggi, bantuan budidaya, serta memiliki ikatan kuat atau jalinan
kekeluargaan dengan petani. Manfaat teknis lainnya dengan menjadi mitra yaitu
adanya penyediaan bibit, sehingga petani mitra tidak perlu melakukan pembibitan
sendiri.pendapatan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak
bermitra. Hal itu berdasarkan analisis pendapatan usahatani lettuce yang dilihat
dari pendapatan tunai dan non tunai serta R/C rasio.
Berdasarkan beberapa contoh penelitian terdahulu diatas terlihat bahwa
salah satu manfaat dari kemitraan adalah adanya jaminan harga dan pasar
sehingga mampu menjamin penerimaan petani. Oleh karena itu, pendapatan petani
tidak akan berfluktuasi akibat harga yang didapat oleh petani bermitra telah tetap.
Jaminan keberlanjutan bagi petani juga menjadi sebuah kepastian bagi petani yang
bermitra sedangkan yang tidak bermitra sewaktu-waktu bisa tidak mendapat
jaminan keberlanjutan.
20
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Usahatani
Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan
oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan
oleh Soekartawi (2006), yakni ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu
terterntu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan
sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan
efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output)
yang melebihi pemasukan (input).
Soekartawi et al. (1986) menambahkan bahwa tujuan berusahatani adalah
memaksimalkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Konsep
memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya
dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan
maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya, yaitu bagaimana menekan
biaya sekecil mungkin untuk mencapai tingkat produksi tertentu. Ciri usahatani
Indonesia adalah : 1) sempitnya lahan yang dimilik petani, 2) kurangnya modal, 3)
terbatasnya pengetahuan petani dan kurang dinamis, dan 4) tingkat pendapatan
petani yang rendah.
Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa usahatani adalah
kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan
kepada produksi di lapangan pertanian. Definisi tersebut menunjukkan bahwa
komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan
manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal
merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan
tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan.
Tingkat produksi dan produktivitas usahatani dipengaruhi oleh teknik
budidaya, yang meliputi varietas yang digunakan, pola tanam, pemeliharaan, dan
penyiangan, pemupukan serta penanganan pasca panen. Hernanto (1996)
21
berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari
segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan
berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di
atasnya juga bervariasi. Oleh karena itu, manusia yang beragam menyebabkan
beragam juga putusan yang ditetapkan untuk usahataninya. Secara umum
beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik
yang ada di lingkungan usahataninya.
Terdapat beberapa definisi usahatani yang diambil dari buku Suratiyah
(2006), yaitu :
1. Menurut Daniel, ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari cara- cara
petani mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi
seperti lahan, tenaga, dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih
jenis dan besarnya cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga
emberikan hasil maksimal dan kontinyu.
2. Menurut Efferson, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-
cara mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang
dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu.
3. Menurut Vink (1984), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari
norma- norma yang digunakan untuk mengatur usahatani agar memperoleh
pendapatan yang setinggi- tingginya.
4. Menurut Prawirokusumo (1990), ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang
membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan
sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan, atau
perikanan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian,
peternakan atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati
oleh petani/ peternak tersebut.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan melalui
produksi pertanian yang berlebih maka diharapkan memperoleh pendapatan
tinggi. Dengan demikian harus dimulai dengan perencanaan untuk menentukan
dan mengkoordinasikan penggunaan faktor- faktor produksi pada waktu yang
akan datang secara efisien sehingga dapat diperoleh pendapatan yang maksimal.
22
Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga
kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani.
Yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan
kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan
ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006).
Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani
yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat
mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman,
produktivitas, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki
karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain
yang bukan pertanian.
Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah
sebagai berikut :
1. Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak
merata.
2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas.
3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan.
4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.
Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula
dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006) benda- benda termasuk
tanah yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagi modal. Dalam
pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan
faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-
barang baru, yaitu produksi pertanian.
Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah (Hernanto, 1996) :
1. Tanah
2. Bangunan- bangunan (gudang, kandang, pabrik, dan lain-lain)
3. Alat- alat pertanian (traktor, sprayer, cangkul, parang, dan lai-lain)
4. Tanaman, ternak dan ikan di kolam
5. Bahan- bahan pertanian (pupuk, bibit, obat- obatan)
23
6. Piutang di bank
7. Uang tunai.
3.1.2. Penerimaan Usahatani
Pendapatan kotor atau dalam istilah lain penerimaan usahatani
didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu,
baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya
satu tahun dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga
petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan
untuk pembayaran, disimpan atau digudangkan pada akhir tahun. penerimaan ini
dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang
berlaku (Soekartawi et al. 1986).
Soeharjo dan Patong (1973) menyebutkan bahwa penerimaan usahatani
berwujud tiga hal, yaitu :
1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual.
Adakalanya yang dijual ialah hasil ternak, misalnya susu, daging dan telur.
Adakalanya pula yang dijual adalah hasil dari pekarangan yaitu, pisang,
kelapa, dan lain- lain.
2. Produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan
kegiatan.
3. Kenaikan nilai inventaris. Nilai benda- benda inventaris yang dimiliki
petani, berubah- ubah setiap tahun. Dengan demikian akan ada
perhitungan. Jika terjadi kenaikan nilai benda- benda inventaris yang
dimiliki petani, maka selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun
perhitungan merupakan penerimaan usahatani.
3.1.3. Biaya Usahatani
Soekartawi et al. (1986) biaya usahatani meliputi biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan tidak
berpengaruh terhadap besarnya jumlah produksi. Biaya tetap meliputi pajak,
penyusutan alat produksi, bunga pinjaman, sewa lahan dan iuran irigasi.
Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya selalu berubah dan
24
besarnya tergantung dari jumlah produksi. Biaya variabel meliputi biaya input
produksi dan upah tenaga kerja.
Pengelompokan biaya usahatani yang lain adalah biaya tunai dan biaya
tidak tunai (Hernanto 1996). Biaya tunai dan tidak tunai berasal dari biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap yang termasuk dalam biaya tunai adalah iuran
irigasi dan pajak tanah. Sedangkan untuk biaya variabel meliputi biaya input
produksi dan upah tenaga kerja. Biaya diperhitungkan yang merupakan biaya
tetap adalah biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja keluarga. Sedangkan yang
termasuk dalam biaya variabel yaitu sewa lahan.
3.1.4. Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya.
Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani
disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur
imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi
kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang
diinvestasikan ke dalam usahatani, oleh karena itu pendapatan bersih merupakan
ukuran keuntungan usahatani yang dapat digunakan untuk membandingkan
beberapa penampilan usahatani (Soekartawi et al. 1986).
Analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun
bagi pemilik faktor produksi. Tujuan utama dari analisis pendapatan ada dua,
yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha, dan
menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan.
analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur seberapa jauh kegiatan
usahanya pada saat ini berhasil atau tidak bagi seorang petani.
Pendapatan usahatani akan berbeda untuk setiap petani, dimana perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan faktor produksi, tingkat produksi yang dihasilkan
dan harga jual yang tidak sama hasilnya. Pendapatan cabang usaha adalah selisih
antara penerimaan cabang usaha yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan.
Pengukuran pendapatan pada dasarnya dapat menggunakan beberapa perhitungan.
Pilihan bergantung pada tingkat perkembangan usahataninya. Jika usahatani yang
menggunakan tenaga kerja dari keluarga maka lebih tepat pendapatan itu dihitung
sebagai pendapatan yang berasal dari kerja keluarga. Pada kasus tersebut kerja
25
keluarga tidak usah dihitung sebagai pengeluaran. Ada pula usahatani yang
menggunakan tenaga kerja yang diupah. Dalam hal yang demikian, upah kerja
dihitung sebagai pengeluaran.
Prinsip penting yang perlu diketahui dalam menganalisis mengenai
pendapatan pada usahatani adalah keterangan mengenai keadaan penerimaan dan
keadaan pengeluaran. Penerimaan didapat dari hasil perkalian antara berapa besar
produksi yang dicapai dan dapat dijual dengan harga satuan komoditi tersebut di
pasar. Pengeluaran usahatani dapat diperoleh dari perolehan nilai penggunaan
faktor produksi serta seberapa besar penggunaanya pada suatu proses produksi
yang bersangkutan (Soekartawi et al, 1986).
3.1.5. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)
Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah rasio imbangan penerimaan
dan biaya (Return and Cost). Rasio R/C ini menunjukkan pendapatan kotor yang
diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk memproduksi tiap satuan
produksi. Alat analisis ini dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari
suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan financial sehingga dapat
dijadikan penilaian terhadap keputusan petani untuk menjalankan usahatani
tertentu. Titik tekan pada konsep ini adalah unsur biaya merupakan unsur modal.
Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang
digunakan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai
penerimaan sebagai manfaatnya (Soeharjo dan Patong 1973).
Usahatani efisien apabila R/C lebih besar dari 1 (R/C>1) artinya untuk
setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan lebih dari
Rp. 1,00. Sebaliknya jika rasio R/C lebih kecil satu (R/C<1) maka dikatakan
bahwa untuk setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan memberikan penerimanaan
lebih kecil dari Rp. 1,00 sehingga usahatani dinilai tidak efisien. Semakin tinggi
nilai R/C, semakin menguntungkan usahatani tersebut (Gray et al 1992).
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Salah satu komoditi sayuran unggulan nasional adalah cabai. Kebutuhan
akan komoditi ini khususnya cabai rawit terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan industri di Indonesia
26
(Lampiran 1). Penelitian ini dilakukan berdasarkan kecenderungan yang terjadi
pada permasalahan agribisnis cabai rawit di Indonesia. Permasalahan tersebut
menyebabkan ketidakpastian pendapatan petani akibat dari terjadinya fluktuasi
harga di pasar nasional.
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut merupakan desa yang
memiliki potensi untuk mengembangkan tanaman hortikultura khususnya cabai
rawit sebagi komoditas unggulan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi alam dan
kondisi sosial masyarakatnya yang mendukung produksi cabai rawit hingga
mencapai 5,5 ton dari total potensi sebesar 7,5 ton (Programa 2012 BP3K
Cigedug). Berdasarkan potensi tersebut, PT Indofood Fritolay Makmur menjalin
kemitraan dengan petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Namun, tidak semua
petani cabai rawit merah di Desa Cigedug memilih menjalin kemitraan dengan PT
Indofood Fritolay Makmur.
Resiko dari segi pasar akibat fluktuasi harga cabai rawit merah yang tinggi
dirasakan oleh petani cabai rawit merah di Desa Cigedug yang lebih memilih
untuk tidak menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Sedangkan
bagi petani cabai rawit merah yang memilih untuk menjalin kemitraan dengan PT
Indofood Fritolay Makmur mendapatkan manfaat berupa harga yang tetap, pasar
yang tetap dan pembinaan dalam menjalankan usahatani cabai rawit merah dari
pihak Indofood.
Perubahan harga cabai rawit merah tersebut kemudian digunakan sebagai
dasar pemikiran bahwa perubahan harga cabai rawit merah akan berdampak
kepada perubahan penerimaan yang diperoleh oleh petani cabai rawit merah di
desa Cigedug. Perbedaan penerimaan petani juga akan menyebabkan perbedaan
pendapatan yang diterima petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Hubungan
kemitraan antara petani cabai rawit merah dan perusahaan yang bermitra dapat
dijadikan salah satu alternatif solusi yang telah dilakukan oleh beberapa petani
cabai rawit merah di Desa Cigedug. Hal tersebut didasarkan kepada manfaat yang
diterima oleh para petani berupa kepastian harga yang tetap sehingga keuntungan
yang didapat oleh petani tergantung dari kemampuan efisiensi biaya produksi
yang dikeluarkan.
27
Kegiatan usahatani cabai rawit merah sebagai suatu proses produksi harus
dilakukan secara efisien, sehingga diperoleh keuntungan yang maksimum.
Kondisi keuntungan kegiatan usahatani cabai rawit merah didekati dengan analisis
pendapatan usahatani. Identifikasi biaya dan penerimaan diperlukan dalam
analisis pendapatan usahatani tersebut. Identifikasi biaya dilakukan agar biaya-
biaya produksi yang dikeluarkan dalam usahatani dapat diketahui. Harga jual juga
diperlukan karena merupakan komponen penerimaan cabang usahatani.
Keuntungan diperoleh dari total penerimaan dikurangi biaya yang dikeluarkan.
Penerimaan yang diterima untuk setiap satuan unit biaya yang dikeluarkan dapat
dihitung dengan pendekatan rasio R/C. Usahatani yang dilakukan menguntungkan
jika rasio tersebut lebih besar dari satu.
Oleh karena itu, seberapa jauh setiap nilai rupiah yang diterima petani
cabai rawit merah dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan gambaran
sejumlah nilai dan pengeluaran sebagai biayanya. Sehingga dapat diketahui sistem
pertanian mana yang lebih efisien antara petani bermitra dan petani yang tidak
bermitra. Berdasarkan hasil analisis pendapatan dan efisiensi maka penelitian
dapat dijadikan bahan masukan untuk para petani dalam membudidayakan cabai
rawit, baik dengan pola kemitraan maupun non-kemitraan. Bagan Alur kerangka
pemikiran dari usahatani cabai rawit dengan bermitra dan cabai rawit tanpa mitra
dapat dilihat pada Gambar 1.
28
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Pendapatan Usahatani Cabai Rawit
Merah (Capsicum frutescens) (Kasus : Petani Mitra PT Indofood
Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra Di Desa Cigedug Kec. Cigedug
Kab. Garut
Potensi Pengembangan
Cabai Rawit Merah di Desa
Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut
Petani Cabai Rawit Merah
Bermitra Dengan PT
Indofood Fritolay Makmur
Harga Tetap
Petani Cabai Rawit Merah yang
tidak Bermitra Dengan PT
Indofood Fritolay Makmur
Harga Berfluktuasi
Analisis Pendapatan Usahatani
Cabai Rawit Merah
Analisis Pendapatan Usahatani
Cabai Rawit Merah
R/C Rasio
R/C Rasio
Rekomendasi
29
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Garut
merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Indonesia. Pemilihan
Kecamatan Cigedug dikarenakan wilayah tepatnya di Desa Cigedug terdapat
banyak petani yang telah menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay
Makmur. Pelaksanaan penelitian akan dilakukan pada bulan Mei hingga Juni
2012.
4.2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
didapat dengan melakukan observasi langsung di daerah penelitian serta
pembuatan daftar pertanyaan yang telah disiapkan untuk melakukan wawancara.
Metode yang digunakan adalah wawancara langsung kepada petani sebagai
responden dengan menggunakan kuisioner sebagai alat bantu seperti yang tertera
pada Lampiran 9.
Data sekunder didapat dari instansi-instansi terkait yakni Badan Penyuluh
Pertanian (BPP), Kecamatan Cigedug, Departemen Pertanian, Departemen
Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi Pertanian
(Pusdatin), serta hasil-hasil penelitian berupa publikasi-publikasi dan jurnal-jurnal
pertanian oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Selain
itu, data sekunder juga didapat dari situs web internet, buletin, literatur-literatur
serta sumber-sumber yang terkait dengan topik penelitian ini.
4.3. Metode Penarikan Contoh
Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 petani cabai rawit
merah yang terdiri dari 9 petani yang menjalin kemitraan dan 15 petani yang tidak
menjalin kemitraan di wilayah Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut. Penentuan petani responden dilakukan menggunakan metode purposive
menggunakan data petani yang berasal dari Gapoktan Cagarit dan disesuaikan
30
dengan karakteristik dan jenis tanaman tumpang sari yang dominan diusahakan
bersama cabai rawit merah. Adapun definisi petani cabai rawit merah yang
menjadi fokus dalam penelitian ini adalah para petani Desa Cigedug yang
membudidayakan tanaman cabai rawit merah secara tumpang sari dengan
tanaman tomat dan kol minimal satu kali dalam satu musim tanam di lahan sendiri
atau di lahan garapan, baik yang telah bermitra dengan PT. Indofood Fritolay
Makmur maupun yang tidak bermitra.
4.4. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan
kuantitatif kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Metode analisis data
kuantitatif menggunakan analisis pendapatan usahatani yang berdasarkan pada
penerimaan dan biaya usahatani, sedangkan R/C rasio digunakan untuk
mengetahui tingkat efisiensi usahatani tersebut. Metode analisis data kualitatif
dianalisis secara deskriptif pada analisis keragaan usahataninya. Jadi analisis data
yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis keragaan usahatani dan
analisis pendapatan usahatani dari komoditi cabai rawit merah yang telah menjalin
kemitraan dan tidak menjalin kemitraan.
4.4.1. Analisis Keragaan Usahatani
Analisis keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif dengan mengamati
secara langsung proses usahatani mulai dari persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan hingga pemanenan. Analisis ini juga ditunjang dengan data-data
primer yang diperoleh melalui proses wawancara langsung terhadap petani
responden. Analisis keragaan usahatani digunakan untuk mengetahui secara detail
kegiatan usahatani yang berlangsung mulai dari sarana produksi yang digunakan
hingga teknik budidaya yang digunakan oleh masing-masing petani responden.
Keragaan usahatani ini dapat memberi penjelasan tentang hasil produksi serta
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani yang dijalankan.
4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani
Pendapatan dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi dua, pertama
pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) yaitu biaya yang benar-benar
dikeluarkan secara tunai oleh petani (explicit cost). Kedua, pendapatan atas biaya
31
total (pendapatan total) dimana semua input milik keluarga juga diperhitungkan
sebagai biaya (Siregar 2008).
Penerimaan total usahatani (total farm revenue) merupakan nilai produk
dari usahatani yaitu harga produk dikalikan dengan total produksi periode tertentu.
Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang
dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu.
Pendapatan total usahatani dapat diartikan sebagai penerimaan total dikurang
dengan semua biaya yang telah dikeluarkan, baik biaya tunai maupun tidak tunai.
(Soekartawi 2006). Secara matematis tingkat pendapatan usahatani dapat ditulis
sebagai berikut (Soekartawi 1986) :
TR = P x Q
TC = biaya tunai + biaya diperhitungkan
π atas biaya tunai = TR - biaya tunai
π atas biaya total = TR – TC
Keterangan :
TR : total penerimaan usahatani (Rp)
TC : total biaya usahatani (Rp)
P : harga output (Rp/Kg)
Q : jumlah output (Kg)
π : pendapatan atau keuntungan (Rp)
Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa besar likuiditas tunai yang
dibutuhkan petani untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya tunai terdiri
dari sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga, dan pajak dan sewa lahan. Biaya
tidak tunai digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja
petani jika penyusutan, bibit sendiri dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
Biaya yang diperhitungkan meliputi, penyusutan alat, dan tenaga kerja dalam
keluarga serta biaya bibit sendiri.
Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi
selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya
modal pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini
digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan
32
diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Soekartawi
2006) :
Biaya penyusutan :
Dengan : Nb = Nilai pembelian (Rp)
Ns = tafsiran nilai sisa (Rp)
n = jangka usia ekonomis (Tahun)
4.4.3. Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C-ratio)
Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi.
Salah satu ukuran efisiensi penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan
(revenue cost ratio) adalah analisis R/C. Analisis R/C rasio dalam usahatani
menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya yang
bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari usahatani yang dilaksanakan. Selain
itu R/C rasio juga merupakan perbandingan antara penerimaan dengan
pengeluaran usahatani.
Rasio R/C yang dihitung dalam analisis ini terdiri dari R/C atas biaya tunai
dan R/C atas biaya total. Rasio R/C atas biaya tunai dihitung dengan
membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode
tertentu. Rasio R/C atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara
penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis
imbangan penerimaan dan biaya usahatani adalah sebagai berikut (Soekartawi
1986) :
R/C rasio atas biaya tunai = TR / biaya tunai
R/C rasio atas biaya total = TR / TC
Keterangan :
TR : total penerimaan usahatani (Rp)
TC : total biaya usahatani (Rp)
Secara teoritis R/C menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C. Suatu usaha dapat
dikatakan menguntungkan dan layak untuk diusahakan apabila nilai R/C rasio
lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai R/C menunjukkan bahwa
penerimaan yang diperoleh semakin lebih besar dari tiap unit biaya yang
33
dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut. Namun apabila nilai R/C
lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak mendatangkan keuntungan
sehingga tidak layak untuk diusahakan karena penerimaan yang diterima lebih
kecil dari tiap unit yang dikeluarkan. Contoh perhitungan pendapatan usahatani
dapat dilihat pada Tabel 2 (Soekartawi 1986).
Tabel 2. Contoh Perhitungan Pendapatan Usahatani dan R/C Ratio Per Hektar
Per Tahun Tanaman Musiman.
No Keterangan Jumlah Harga per
Satuan (Rp)
Total
(Rp)
A Penerimaan
B Biaya tunai
1 Bibit
2 Pupuk
3 Obat-obatan
4 Tenaga kerja luar keluarga
5 Plastik
6 Koran
Total biaya tunai
C Biaya yang diperhitungkan
1 Penyusutan
2 Sewa lahan
3 Tenaga kerja keluarga
Total biaya yang diperhitungkan
D Total biaya (B+C)
E Pendapatan atas biaya tunai (A-B)
F Pendapatan atas biaya total (A-D)
G R/C atas biaya tunai (A/B)
H R/C atas biaya total (A/D)
34
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut
Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif
sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten Garut masih merupakan sektor
andalan karena secara geografis Kabupaten Garut bedekatan dengan Kota
Bandung yang menjadi ibukota propinsi Jawa Barat. Oleh karena itu Kabupaten
Garut dapat dikatakan sebagai daerah penyangga bagi pengembangan wilayah
Bandung Raya. Peran sektor pertanian Kabupaten Garut yang strategis dalam
memasok kebutuhan lokal Garut sekaligus warga Kota dan Kabupaten Bandung
menjadi salah satu penunjang perkembangan agroekonomi Kabupaten Garut.
Berdasarkan produktivitasnya, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Garut menyatakan bahwa terdapat enam komoditas andalan tanaman
pangan dan sayuran Kabupaten Garut yakni padi, jagung, kentang, tomat, cabai
merah dan ubi kayu.9
Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun 2007-
2011
9 Disampaikan dalam acara Hari Krida Pertanian Jawa Barat oleh Ir. Tatang Hidayat (Kepala Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut) pada 3 Juli 2012.
-
50
100
150
200
250
300
2007 2008 2009 2010 2011
Pro
du
ktiv
itas
(K
w/h
a)
Kentang Tomat Cabe Besar Cabe Rawit Padi Jagung Ubikayu
35
Bedasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sejak tahun 2007-2011
komoditas tomat memiliki tingkat produktivitas tertinggi dengan rata-rata
produktivitas sebesar 276,32 kw/ha per tahun disusul dengan kentang sebesar
228,54 kw/ha per tahun dan ubi kayu sebesar 221,44 kw/ha per tahun. Dapat
diketahui juga rata-rata tingkat produktivitas cabai rawit sebesar 99,73 kw/ha per
tahun masih berada di bawah cabai besar dengan rata-rata produktivitas sebesar
146,05 kw/ha per tahun. Sedangkan untuk padi dan jagung secara berturut-turut
hanya memiliki rata-rata produktivitas sebesar 59,12 kw/ha dan 65,18 per tahun.
Secara geografis dan iklim di beberapa daerah Kabupaten Garut sangat
mendukung penanaman dan pengembangan komoditas sayuran seperti tomat,
kentang, serta cabai baik cabai besar maupun cabai rawit. Iklim dataran tinggi
dan dekatnya dengan sejumlah sumber mata air yang berada di sejumlah wilayah
Kabupaten Garut memang merupakan salah satu faktor utama tanaman sayuran
seperti kentang, tomat dan cabai dapat dibudidayakan dengan baik. Perbandingan
luas lahan tanam keempat komoditi sayuran tersebut di Kabupaten Garut dapat
terlihat seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Rata-rata Luas Tanam Kentang, Tomat, Cabe Besar, dan
Cabai Rawit di Kabupaten Garut tahun 2011-2012
No Komoditi LUAS TANAM (Ha)
Jumlah Rata -
rata 2007 2008 2009 2010 2011
1
Kentang
(ha)
5,448
5,230
5,342
5,919
6,065
28,004
5,601
2 Tomat (ha)
3,080
3,102
3,478
3,285
3,401
16,346
3,269
3
Cabe
Besar (ha)
848
852
972
870
933
4,475
895
4
Cabe
Rawit (ha)
1,341
1,285
1,476
1,149
2,186
7,422
1,484 Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut
Beberapa daerah dataran tinggi di Kabupaten Garut yang cocok sebagai
tempat budidaya kentang antara lain Kecamatan Pamulihan, Cikajang,
Bayongbong, Cigedug, Cisurupan, Samarang, Wanaraja dan Pasirwangi. Terdapat
dua jenis varietas kentang yang dominan digunakan oleh para petani di Kabupaten
Garut yaitu Granola dan Atlantik. Varietas Granola biasa dibudidayakan untuk
memenuhi kebutuhan pasar-pasar tradisional sedangkan untuk varietas Atlantik
36
biasa dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan industri-industri seperti keripik
kentang baik dalam skala industri kecil maupun besar.
PT. Indofood Fritolay Sukses Makmur merupakan salah satu pelaku
industri yang memberi pengaruh terhadap perkembangan penggunaan varietas
kentang di Kabupaten Garut. Perusahaan industri makanan tersebut memang
sengaja menjalin sebuah hubungan kemitraan dengan banyak petani kentang di
berbagia daerah termasuk Kabupaten Garut guna memenuhi kebutuhan supply
input ke pabriknya. Harga yang ditentukan oleh PT. Indofood Fritolay Makmur
bersama petani kentang adalah berkisar antara Rp 5.000,00-5.250,00 Rp/kg.
Harga tersebut berada diatas rata-rata harga pasar yang hanya berkisar Rp 4.000-
4.500/kg untuk kentang yang termasuk varietas Atlantik.
Berbeda dengan kentang, pada komoditi tomat petani di Garut cenderung
menggunakan benih hibrida yang dihasilkan baik oleh perusahaan lokal maupun
luar negeri. Varietas yang digunakan antara lain adalah maya, memara, seminis,
martha, warani, natama, permata dan livino. Kemudahan akses petani dalam
memperoleh benih tomat hibrida serta sulitnya melakukan kegiatan pembenihan
sendiri oleh petani terhadap benih lokal telah mendorong sebuah ketergantungan
terhadap benih impor. Tingginya kemampuan produktivitas pada tomat
merupakan salah satu potensi bagi Kabupaten Garut. Namun, tingginya
produktivitas para petani tomat tidak diikuti dengan harga pasar yang baik. Harga
rata-rata tomat di tingkat pasar berkisar antara 3.000-6.000 Rp/kg sedangkan di
tingkat petani hanya berkisar 500,00-3.000,00/kg.
Pada cabai besar, varietas dominan yang digunakan oleh para petani di
Kabupaten Garut antara lain varietas Biola, Fantastic, dan Tanjung. Varietas-
varietas tersebut termasuk kedalam jenis varietas hibrida yang cukup mudah untuk
diperbanyak sendiri pembenihannya. Adapun kisaran harga rata-rata yang
diterima di tingkat produsen berkisar antara Rp 5.000,00-7.000,00/kg. Namun,
harga cabai besar dapat mencapai Rp 70.000,00 /kg di tingkat pasar. Hal tersebut
terjadi akibat tingginya permintaan di pasar pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Sedangkan untuk cabai rawit di Kabupaten Garut didominasi oleh varietas
lokal yang sering disebut dengan sebutan “cengek” atau “cabai inul”. Varietas
lokal tersebut dianggap paling cocok dibudidayakan oleh para petani di
37
Kabupaten Garut karena lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit
daripada cabai sejenisnya. Besar perbandingan jumlah produksi antara cabai besar
dan cabai rawit merah di Kabupaten Garut dapat di lihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Jumlah Produksi Cabai Besar dan Cabai Rawit
Kabupaten Garut Tahun 2001-2011.
Berdasarkan data pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa terdapat
perbedaan tren jumlah produksi yang terjadi antara cabai besar dengan cabai
rawit. Pada cabai besar terjadi peningkatan jumlah produksi yang cukup signifikan
pada tahun 2008 hingga tahun 2010. Tercatat sebesar 61.045 ton produksi cabai
besar pada tahun 2008 kemudian meningkat menjadi 79.492 ton pada tahun 2010.
Sedangkan untuk jumlah produksi cabai rawit tidak mengalami perubahan yang
signifikan dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 22.628 ton.
Cabai rawit khususnya jenis cabai rawit merah memang merupakan salah
satu komoditas unggulan Kabupaten Garut yang mendapat perhatian karena tren
harga yang sangat berfluktuasi tiap pekannya. Dalam waktu satu tahun harga rata-
rata ditingkat petani Desa Cigedug mencapai Rp 9000,00 per kilogram sedangkan
di tingkat pasar lokal Rp 12.000,00. Beberapa kecamatan penghasil utama cabai
rawit di Kabupaten Garut antara lain adalah Kecamatan Cigedug, Caringin,
Talegong, dan Bungbulan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui perbandingan luas
panen, produksi, dan produktivitas antara keempat kecamatan tersebut.
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
2007 2008 2009 2010 2011
Jum
lah
Pro
du
ksi (
ton
)
Cabe Besar
Cabe Rawit
38
Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit di Tingkat
Kecamatan Kabupaten Garut Tahun 2009-2011
Kecamatan Luas Panen (Ha)
2009 2010 2011
Caringin 318 180 283
Talegong 266 107 152
Bungbulang 162 142 139
Cigedug 162 152 254
Produksi (Ton)
Caringin 4.410 231 3.667
Talegong 3.134 1.220 1.831
Bungbulang 1.963 1.601 1.669
Cigedug 1.865 1.869 3.304
Produktivitas (Ton/Ha)
Caringin 138,68 128,17 129,58
Talegong 117,82 113,99 120,46
Bungbulang 121,17 112,75 120,07
Cigedug 115,12 122,94 130,08 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
5.2. Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug
Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah
dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 1.200 meter di atas permukaan
laut dengan tingkat kemiringan 75 persen berbukit, 20 persen landai dan 5 persen
curam. Desa Cigedug terletak di sebelah selatan dari kabupaten Garut dengan
jarak 30 km dari ibu kota kabupaten.
Desa Cigedug memiliki luas wilayah sekitar 1138,2 ha, yang terdiri dari
tanah sawah 3,90 ha, tanah kering 644,87 ha, lahan perkebunan 67 aa, fasilitas
umum 4,14 ha, dan tanah hutan 172,39 ha. Tanah kering dimanfaatkan untuk
tanaman sayuran dan buah-buahan 76,9 persen, dan tanaman keras 22 persen, dan
kolam air 1,1 persen. Penduduk Desa Cigedug berjumlah 10.201 jiwa yang terdiri
dari 5.117 jumlah laki-laki dan 5.084 jumlah perempuan, dengan jumlah Kepala
Keluarga sebanyak 2.647 KK yang mayoritas memeluk agama islam. Secara
umum masyarakat Desa Cigedug bermata pencaharian di sektor pertanian dengan
Jumlah rumah tangga petani sebanyak 661 orang.
Jenis tanahnya terdiri dari Regosol 60 persen Latosol, 25 persen dan tanah
Alluvia,l 15% dengan keadaan drainase 70 persen baik, 20 persen cukup baik dan
39
10% kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penanaman tanaman
sepanjang tahun. Berdasarkan hasil analisis pengamatan curah hujan tiga tahun
terakhir menunjukan bahwa rata-rata jumlah hari hujan 156 hari dan tipe iklim
untuk Kecamatan Cigedug termasuk tipe iklim C (agak basah), dimana setiap
tahunnya antara 7-8 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Keadaan iklim seperti ini
membuat wilayah Desa Cigedug sesuai untuk pengembangan budidaya sayuran,
seperti tomat, kentang, kol, cabai, jagung, pecay, dan wortel.
5.3. Karakteristik Petani Cabai Rawit Merah
Petani Cabai Rawit Merah yang dipilih sebagai responden adalah sebanyak
30 responden di Desa Cigedug. Usahatani yang dilakukan responden
menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman pokok tumpangsari yaitu
tomat dan kol. Hal ini dilakukan karena tanaman cabai rawit merah di dataran
tinggi seperti di Desa Cigedug memiliki waktu siap panen yang cukup lama yakni
6 bulan sehingga akan lebih efisien dan ekonomis jika dijadikan sebagai tanaman
tumpang sari dari tomat dan kol yang hanya berumur 3-4 bulan.
Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi usia dan pengalaman
petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap.
Karakteristik petani responden selengkapnya diuraikan sebagai berikut.
5.3.1. Usia dan Pengalaman Petani Responden
Secara umum, rata- rata usia petani responden yang mengusahakan cabai
rawit merah baik yang melakukan kemitraan maupun yang tidak adalah antara 30-
80 tahun. Sebaran umur petani ini dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu petani
responden yang berusia muda dengan umur kurang dari 40 tahun, petani berusia
sedang dengan umur 41 sampai 60 tahun, dan petani responden berusia tua dengan
umur lebih dari 60 tahun. Jika dilihat dari sebaran umur petani responden,
sebagian besar responden adalah petani yang usianya tergolong kategori petani
berusia sedang yaitu pada kelompok usia 41-60 tahun sebesar 54,17%. Sebaran
usia petani responden dapat dilihat pada Gambar 4.
40
Gambar 4. Perbandingan Kelompok Usia Responden
Menurut Nainggolan (2001) diacu dalam Iryanti (2005) bahwa umur
seseorang dapat mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut.
Semakin muda umur petani diduga akan mempengaruhi kemampuan dan kemauan
dalam mengadopsi inovasi. Para petani tersebut melakukan kegiatan usahatani
sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga tingkat adopsi mereka
terhadap inovasi dan sistem yang baru tinggi.
Dari 24 responden yang ada diketahui bahwa sebanyak 58,33 persen
memiliki pengalaman usahatani antara 3 hingga 5 tahun, 37,50 persen telah
berusahatani cabai rawit merah kurang dari 3 tahun, dan sebanyak 4,17 persen
dari petani responden telah menjalankan usahatani cabai rawit merah selama lebih
dari 5 tahun. Bagi petani di Desa Cigedug budidaya cabai rawit merah bukanlah
hal yang relatif sulit dilakukan. Teknik budidaya cabai rawit merah tidak jauh
berbeda dengan tanaman lain sejenisnya seperti tomat dan cabai merah besar atau
cabai keriting. Pengalaman usahatani yang berbeda-beda pada setiap petani sangat
berpengaruh terhadap teknik budidaya cabai rawit merah terutama pada
penggunaan jenis dan dosis pupuk serta obat-obatan yang digunakan.
Petani yang berusia lebih tua tidak selalu memiliki pengalaman usahatani
cabai rawit merah lebih lama dibandingkan petani yang berusia lebih muda. Para
petani di Desa Cigedug rata-rata baru membudidayakan tanaman cabai rawit
merah akibat adanya peningkatan harga secara signifikan di pasaran. Usahatani
37.50 %
54.17%
8.33 %
Usia ≤40
Usia 41 - 60
Usia ≥ 61
41
cabai rawit merah dianggap sebagai usahatani yang kurang menguntungkan
sebelum terjadinya ledakan harga di pasar. Kemitraan bukan merupakan alasan
para petani membudidayakan cabai rawit merah.
Tabel 5. Sebaran Petani responden berdasarkan pengalaman usahatani cabai
rawit merah di desa cigedug tahun 2012
Lama Berusahatani (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%)
kurang dari 3 9 37,50
3 hingga 5 14 58,33
lebih dari 5 1 4,17
Total 24 100,00
5.3.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden
Inovasi dan teknologi baru yang berkembang dalam usahatani dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal dalam memperoleh dan
mengaplikasikannya. Baik dari sisi produksi, pemasaran, pengolahan, maupun
keuangan. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki
pendidikan yang beragam mulai dari jenjang SD, SMP SMA dan sarjana. Sebaran
tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 6.
Namun, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden,
dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap
kegiatan usahatani. Pengetahuan usahatani yang petani miliki berasal dari
pengalaman bertani dan pengetahuan turun-temurun.
Menurut Soeharjo dan Patong (1973), tingkat pendidikan pada umumnya
akan mempengaruhi cara berpikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur
yang muda menyebabkan petani lebih dinamis dalam mengadopsi inovasi baru.
Salah satu petani responden yang memiliki pendidikan setingkat sarjana terlihat
lebih matang dalam melakukan perencanaan usahataninya. Hal tersebut dapat
dilihat adanya sebuah perencanaan secara tertulis baik dalam mempersiapkan
faktor input maupun dalam hal pemasaran.
42
Tabel 6. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa
Cigedug tahun 2012
Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
SD 9 37,50
SMP 6 25,00
SMA 8 33,33
Sarjana 1 4,17
Total 24 100,00
5.3.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan
Rata-rata petani responden memiliki dan menggarap lahan cabai rawitnya
sendiri. Beberapa petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1 ha memberikan
kepercayaan kepada orang lain untuk menggarap lahannya. Petani tersebut hanya
mengawasi dan mengambil keputusan terhadap kegiatan usahatani pada lahannya.
Besar luas lahan yang dikelola untuk lahan cabai rawit merah sangat
beragam. Namun, sebanyak 25% dari petani responden menjalankan usahatani
cabai rawit merah pada lahan yang relatif kecil yaitu kurang dari 0,2 ha. Besar
luas lahan petani responden dalam menjalankan usahatani cabai rawit merah dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan Luas Lahan Petani Responden
25.00
37.50
16.67
20.83
Persentase Luas Lahan (%)
≤ 2.000
2.001 – 5.000
5.001 - 10.000
≥ 10.001
43
Sebagian besar petani di Desa Cigedug baik yang bermitra maupun yang
tidak bermitra memiliki lahan sendiri untuk menjalankan kegiatan usahatani cabai
rawit merah. Namun ada sebagian kecil petani yang menyewa lahan untuk
menjalankan kegiatan usahataninya. Petani yang tidak memiliki lahan sehingga
harus menyewa lahan untuk menjalankan usahatani cabai rawit merah hanya
sebesar 29,17 persen dari 24 orang petani responden. Tabel 7 menunjukkan
perbandingan status kepemilikan lahan antara petani yang memiliki lahan sendiri
dengan petani yang meyewa lahan.
Tabel 7. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
Tahun 2012
Status Kepemilikan Jumlah (jiwa) Persentase
Milik 17 70,83
Sewa 7 29,17
Total 24 100,00
Hernanto (1996) menyatakan bahwa pengaruh status kepemilikan lahan
terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain :
a) Petani bebas mengelola lahan pertaniannya.
b) Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam.
c) Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya.
d) Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya.
e) Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang
dimilikinya.
5.3.4. Jenis dan Pola Tanam Tumpang Sari
Tanaman cabai rawit merah di Desa Cigedug ditanam bersama dengan
tanaman lain atau dikenal dengan istilah pola tanam tumpang sari. Tanaman cabai
rawit merah dapat ditumpang sarikan dengan tanaman seperti tomat, kol, kentang,
kacang merah, dan pecay. Tanaman cabai rawit merah memiliki usia produktif
lebih lama dibandingkan tanaman tomat, kol, kentang dan sebagainya. Tanaman
cabai rawit dianggap sebagai tanaman yang dapat menghasilkan penerimaan
tambahan tanpa harus menambah lebih banyak biaya yang dikeluarkan.
44
Sebanyak 66,67 persen petani di Desa Cigedug membudidayakan cabai
rawitnya dengan tomat dan kol dalam satu musim tanam. Tanaman pecay ditanam
sebagai substitusi dari tanaman kol sedangkan tanaman kacang merah dapat
ditanam sebagai substitusi tanaman tomat. Tanaman kentang juga bisa ditumpang
sari dengan cabai rawit merah menggunakan teknik khusus sehingga tidak banyak
petani yang melakukannya. Pada umumnya petani yang menggunakan pola tanam
seperti ini termotivasi karena efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
penerimaan setinggi-tingginya. Petani cenderung menggunakan pola tanam
tumpang sari dengan menanam tomat dan cabai rawit secara bersamaan disusul
dengan kol saat tanaman tomat selesai di panen. Hal tersebut dapat dilakukan
karena tanaman cabai rawit memiliki umur produktif selama 1,5 tahun dengan
umur siap panen selama 6 bulan sedang umur produktif tomat dan kol hanya
berkisar 3 hingga 5 bulan saja.
45
VI. KERAGAAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH
6.1. Kondisi Usahatani Cabai Rawit Merah Desa Cigedug
Kegiatan usahatani cabai rawit merah mulai berkembang di Desa Cigedug
pada 5 tahun yang lalu yaitu pada tahun 2007. Pada mulanya, benih yang
digunakan merupakan benih impor. Namun, benih impor dianggap memiliki
kelemahan antara lain adalah tidak tahan dengan serangan hama dan penyakit
serta jumlah produksi yang lebih rendah dibandingkan benih lokal. Beberapa
petani yang tidak puas menggunakan benih impor mulai mencoba menggunakan
benih lokal yang berasal dari kawasan Lembang Bandung.
Budidaya cabai rawit merah dianggap sebagai usaha yang kurang
menguntungkan karena terdapat fluktuasi harga yang berlaku di pasar pada
beberapa tahun ke belakang sehingga tidak menjadi pilihan bagi sebagian besar
petani di Desa Cigedug. Padahal, cabai rawit merupakan jenis tanaman tumpang
sari yang memiliki nilai ekonomis. Sebab sebagian biaya cabai rawit merah telah
tertutupi oleh penerimaan hasil tanaman pokok tumpang sari. Cabai rawit merah
juga memiliki masa panen yang cukup lama yakni dapat mencapai satu hingga
satu setengah tahun dengan intensitas panen satu minggu hingga dua minggu
sekali panen.
Faktor produksi yang umum digunakan dalam usahatani cabai rawit merah
di Desa Cigedug antara lain bibit, pupuk kandang, pupuk kimia, obat- obatan dan
tenaga kerja. Terdapat beberapa tahapan proses usahatani cabai rawit merah di
Desa Cigedug yakni pengolahan lahan (pencangkulan, pembedengan, pemupukan
dasar, dan pemasangan mulsa), penanaman, perawatan (pemupukan,
penyemprotan, dan pengairan), hingga panen dan pasca panen. Keragaan
usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug diuraikan sebagai berikut :
46
Gambar 6. Alur Proses Produksi Usahatani Cabai Rawit Merah Di Desa
Cigedug
6.1.1. Pengolahan Lahan
Pada umumnya pengolahan lahan yang dilakukan oleh petani mitra
maupun nonmitra di Desa Cigedug dimulai dengan membersihkan sampah, plastik
mulsa dan sisa-sisa tanaman pada periode tanam sebelumnya. Kemudian untuk
mengembalikan kondisi kesuburan tanah agar tetap gembur, hampir 80 persen
petani mengolah tanah menggunakan cangkul. Penggunaaan cangkul dilakukan
karena hampir 80 persen petani memiliki lahan dengan luas kurang dari 0,5 ha
sehingga akan lebih efisien dibandingkan menggunakan traktor.
Tanah dicangkul hingga menjadi gembur. Kedalaman cangkul berkisar
antara 20 cm hingga 30 cm agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh
zat hara yang ada di dalam tanah. Setelah gembur tanah dibuat bedengan setinggi
30 cm hingga 40 cm, dengan lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar bedengan
± 40 cm hingga 50 cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Sedangkan
untuk panjang bedengan bergantung pada bentuk dan luas lahan yang dimiliki
oleh petani.
Setelah tanah selesai dibedeng kemudian dilakukan pemupukan dasar.
Pemupukan dasar perlu dilakukan petani untuk menjaga kebutuhan akan unsur
hara tanah bagi tanaman yang telah hilang pada periode sebelumnya. Pemupukan
Pengolahan Lahan (Pembersihan, Pencangkulan, Pemasangan
Mulsa)
Pemupukkan Dasar (pupuk kandang)
Penanaman
Perawatan (Pemupukkan, Pengobatan, Pengairan)
Pemanenan
Penyortiran dan Pemipilan oleh Vendor (Petani
Mitra)
Pemasaran Oleh Tengkulak Desa
(Petani Nonmitra)
47
dasar yang dilakukan petani menggunakan jenis pupuk kandang baik yang berasal
dari kotoran ayam maupun dari kotoran kambing atau domba.
Pada petani mitra dosis rata-rata pupuk kandang yang digunakan yang
diberikan berkisar 18 ton per hektar sedangkan pada petani nonmitra dosis rata-
rata pupuk kandang yang digunakan hanya sebesar 9,5 ton per hektar.
Penambahan zat kapur dapat ditambahkan jika kondisi tanah telah jenuh dan
bersifat asam. Tanah kembali diaduk rata dikubur pada bedengan agar kandungan
pada pupuk dasar yang diberikan merata.
Pada umumnya petani cabai rawit merah di Desa Cigedug melakukan
pemasangan mulsa pada lahannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan
gulma, hama dan penyakit, menjaga kelembaban dan suhu tanah agar relatif stabil.
Plastik mulsa juga berfungsi untuk mencegah pupuk terbawa oleh air hujan. Agar
bedengan dapat tertutup rapat pemasangan mulsa dapat dilakukan pada waktu
menjelang siang hari sehingga plastik mulsa dapat sedikit memanjang akibat
pemuaian.
Pemasangan mulsa dilakukan dengan cara ditarik pada kedua ujung mulsa
sepanjang bedengan yang dibuat. Plastik mulsa direkatkan ke tanah menggunakan
pasak yang terbuat dari bilah bambu berbentuk U kemudian ditancapkan pada
setiap sisi bedengan hingga permukaan atas bedengan tertutup rapat. Setelah
mulsa terpasang dengan rapih, selanjutnya mulsa diukur untuk menentukan jarak
tanaman yang diinginkan sesuai dengan pola tumpang sari yang digunakan.
Rata-rata petani mitra menggunakan pola menyilang pada setiap bedengan.
Dua lubang pada kedua sisi kanan dan kiri dengan masing jarak antar lubang 50 x
50 cm dan satu lubang yang berada di tengah kedua lubang kanan dan kiri dengan
jarak antar lubang 75 x 75 cm. Sedangkan petani nonmitra biasanya menggunakan
pola tanam sejajar pada setiap bedengan. Jarak antar masing-masing lubang
adalah 30 x 30 cm. Plastik mulsa yang telah diukur kemudian dilubangi
menggunakan alat pembolong mulsa yang dapat dibeli pada toko Saprotan
seharga Rp. 50.000/buah.
48
(a) (b)
Gambar 7. (a) Pola Tanam Sejajar ; (b) Pola Tanam Menyilang
6.1.2. Penyemaian Benih dan Pembibitan
Pembibitan untuk budidaya cabai rawit merah dapat dilakukan oleh petani
responden sendiri. Pada petani mitra sebanyak 78,54 persen memperoleh bibit
dengan cara membeli dari para penyemai benih. Sedangkan pada petani nonmitra
sebanyak 36,48 persen petani yang memilih untuk membeli bibit langsung kepada
petani lain yang melakukan pembibitan. Petani lebih memilih untuk membeli bibit
yang telah jadi karena luas lahan yang dimiliki oleh rata-rata petani tidak terlalu
besar. Sedangkan untuk tomat dan kol sebagai tanaman tumpang sari benih dapat
diperoleh dengan membeli di toko yang telah di percaya oleh masing-masing
petani. Proses pembibitan dapat dilihat sebagai berikut.
6.1.2.1. Penyiapan Benih
Secara umum dalam hal penyemaian benih cabai rawit merah yang
dilakukan oleh petani mitra dan non mitra tidak memiliki perbedaa yang
signifikan. Benih cabai rawit merah diperoleh dari tanaman induk harus berasal
dari tanaman yang sehat dan buah yang baik. Biji buah cabai rawit merah diambil
dari buah yang telah matang yaitu pada saat usia tanaman mencapai sembilan
bulan. Buah yang memenuhi syarat dipotong menjadi tiga bagian yang setiap
bagiannya harus sama panjang. Biji untuk benih diambil dari potongan bagian
tengah. Potongan bagian tengah ini umumnya memiliki biji yang lebih padat,
lebih banyak, lebih besar, dan kemungkinan sudah mengalami penyerbukan
sempurna.
Potongan yang dipilih dibelah, kemudian bijinya dikeluarkan untuk
dijemur sampai kering. Setelah biji cabai rawit merah untuk benih diperoleh,
49
tahap berikutnya melakukan seleksi biji untuk mendapatkan benih cabai rawit
merah yang baik. Penyeleksian dilakukan dengan cara biji calon benih
dimasukkan ke dalam ember atau bak berisi air dan diaduk- aduk. Perhatikan
hingga tampak terdapat biji yang mengambang dan yang tenggelam. Biji yang
mengambang merupakan biji yang kurang baik untuk benih. Biji ini merupakan
biji yang tidak berisi (kosong). Sebaliknya, biji yang tenggelam merupakan biji
yang berisi. Setelah dilakukan seleksi pada biji maka biji siapa untuk disemaikan.
Bila tidak langsung digunakan, benih yang terpilih dapat disimpan.
Untuk dapat disimpan benih dikeringkan terlebih dahulu dengan cara
dijemur di atas tampah, tetapi tidak langsung di bawah sinar matahari. Lama
penjemuran tergantung kondisi cuaca saat itu. Bila hari panas, lamanya
pengeringan 3 hari. Sebaliknya bila hari hujan, lamanya pengeringan dapat
dilakukan hingga seminggu. Benih yang sudah kering dapat dimasukkan ke
dalam botol hingga ¾ tinggi botol, sedangkan ruang sisanya diisi abu
pembakaran. Dengan cara ini benih cabai rawit merah dapat disimpan hingga 2-3
bulan tanpa mempengaruhi daya tumbuhnya.
Sebelum disemai, benih yang terpilih direndam selama 1-2 jam ke dalam
air hangat. Cara ini agar dapat mempercepat perkecambahan dan juga dapat
membantu menghilangkan sisa- sisa bakteri dan cendawan yang bisa
mengganggu. Setelah itu, benih dapat langsung ditebarkan ke persemaian.
Persiapan benih tanaman kol dan tomat dilakukan dengan cara yang lebih
sederhana. Benih yang dibeli di toko terpercaya cukup direndam dalam larutan
fungisida seperti Frevikur N (0,1 persen) selama ± 2 jam, kemudian dikeringkan.
Hal tersebut perlu dilakukan agar mikroorganisme yang dapat menimbulkan
penyakit mati. Setelah semua perlakuan selesai dilakukan benih kol dan tomat
siap untuk disemai.
6.1.2.2. Penyemaian Benih
Penyemaian benih secara umum baik pada cabai rawit merah, kol maupun
tomat dapat dilakukan pada bedengan yang dibuat khusus untuk pembibitan atau
menggunakan suatu media yang dinamakan “complong”. Media ini terbuat dari
daun pisang yang dibentuk menyerupai tabung kecil yang berisikan campuran
tanah dan kompos sebagai media.
50
Jika disemai diatas bedengan maka jarak tebaran antara 3–6 cm. Setelah
benih ditebarkan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos.
Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5–10 kg pupuk kandang. Benih yang
ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung ataupun air
hujan. Di atas bedengan diberi naungan yang tingginya sekitar 1 m di bagian barat
dan 1,5 m di bagian timur.
Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus dirawat
dengan baik. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman
serta pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali
sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila udara
dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali
penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja.
Persemaian perlu dijaga dari kemungkinan serangan hama dan penyakit.
Hama dan penyakit yang sering mengganggu persemaian antara lain semut, cacing
dan jamur. Biasanya petani responden melakukan pengendalian hama dan
penyakit dengan menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan daun
sirsak, daun surai, ataupun bisa juga dengan daun sereh.
Setelah berumur 1–2 minggu setelah penebaran, bibit cabai rawit merah
sudah mulai bertunas. Bila umur calon bibit sudah dua minggu, sebagian
naungannya dibuang. Sisa naungannya dapat dibuang setelah umur bibit tersebut
sudah 3 minggu dan bibit sudah siap dipindah kepada lahan untuk ditanam. Bibit
tanaman kol yang telah berumur 3–4 minggu dan memiliki 4–5 daun juga dapat
dikatakan telah siap ditanam. Sedangkan bibit tanaman tomat siap untuk ditanam
setelah berumur 30–45 hari.
6.1.3. Penanaman
Secara umum budidaya cabai rawit merah di Desa Cigedug dilakukan
secara tumpang sari dengan tanaman utama kol dan tomat. Satu musim tanam
dalam budidaya tanaman cabai rawit merah ini dilakukan selama 1–1,5 tahun
yakni mengikuti usia produktif tanaman cabai rawit. Penanaman ini dilakukan
pada bedengan-bedengan lahan yang sudah disiapkan sebelumnya.
51
6.1.3.1. Penentuan Jarak dan Pola Tanam
Penentuan jarak tanam ditentukan saat selesai dilakukan pemasangan
mulsa. Berdasarkan pengalaman petani di Desa Cigedug jarak tanam yang lebar
akan lebih baik untuk kesehatan tanaman. Petani mitra rata-rata menggunakan
pola menyilang dengan dua lubang pada kedua sisi kanan dan kiri dengan masing
jarak antar lubang 50 x 50 cm dan satu lubang yang berada di tengah kedua
lubang kanan dan kiri dengan jarak antar lubang 75 x 75 cm. Petani nonmitra
biasanya menggunakan pola tanam sejajar pada setiap bedengan. Jarak antar
masing-masing lubang adalah 30 x 30 cm. Pola tanam antara tomat dan cabai
rawit merah bersifat saling berlawanan. Apabila tomat ditanam dengan dengan
pola menyilang, maka cabai rawit merah akan ditanam dengan pola lurus, begitu
juga sebaliknya,tetapi dengan waktu penanaman yang bersamaan.
Jarak tanam dan pola tanam yang digunakan dapat mempengaruhi
produktifitas yang didapat oleh masing-masing petani. Secara umum jarak tanam
yang lebar akan memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman utama
dan tanaman tumpang sari lain karena dapat mengurangi tingkat kompetisi
masing-masing tanaman dalam memperoleh makanan, air, dan sinar matahari atau
cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak saling menaungi. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa pada petani nonmitra dengan rata-rata pola dan jarak
tanam yang lebih rapat memiliki kemampuan produktifitas yang lebih kecil
daripada petani mitra.
Gambar 8. Jarak dan Pola Tanam Cabai Rawit, Kol, dan Tomat Merah di
Desa Cigedug.
Waktu dan pola penananam terhadap ketiga tanaman tumpang sari yakni
tomat, kol dan cabai rawit merah merupakan salah satu faktor penting penunjang
52
keberhasilan produktifitas yang baik bagi semua tanaman. Waktu tanam tanaman
cabai rawit yang dibudidayakan di dataran tinggi seperti di Desa Cigedug dapat di
lakukan pada segala musim dengan tingkat risiko yang berbeda-beda. Penanaman
yang dilakukan pada musim kemarau memiliki risiko kekeringan dan hama seperti
lalat buah dan trip. Sedangkan penanaman yang dilakukan pada musim penghujan
dapat meningkatkan risiko terserang penyakit sepertis layu fusarium, busuk
batang, dan jamur. Petani mitra dituntut untuk dapat memproduksi cabai rawit
merah pada setiap musim untuk menjaga keberlanjutan pasokan ke pabrik
Indofood. Sedangkan petani responden yang tidak bermitra dapat
memperhitungkan waktu tanam yang paling tepat agar dapat mendapat harga
pasar terbaik.
Pada umumnya pola tanam yang dilakukan petani cabai rawit merah baik
yang bermitra maupun yang tidak bermitra di Desa Cigedug menanam cabai rawit
merah terlebih dahulu. Selang satu bulan tomat baru ditanam. Sedangkan
penanaman kol baru dilakukan setelah tomat selesai di panen. Pada saat itu
tanaman cabai rawit merah telah berusia 4 bulan belum mencapai masa panen.
Namun, ada pula yang menanam dengan waktu hampir secara bersamaan ketiga
tanaman tersebut tergantung pada musim saat penanaman. Jarak dan pola tanam
yang dilakukan petani Desa Cigedug dapat dilihat pada Gambar 8.
6.1.3.2. Penanaman Bibit
Sebelum penanaman biasanya perlu dilakukan penyemprotan insektisida
ke dalam lubang tanam. Bibit yang telah siap tanam ditempatkan di tengah lubang
tanam yang telah digali kemudian ditimbun kembali oleh media tanam bekas
galian sebelumnya hingga kembali cukup padat. Hal ini bertujuan agar akar
tanaman lebih kokoh dan tanaman tidak mudah goyah.
Jumlah bibit yang akan ditanam baik tomat, kol maupun cabai rawit merah
sangat bergantung pada jarak dan pola tanam ketiganya. Apabila menggunakan
jarak 50 x 50 cm maka dalam satu hektar bibit tanaman cabai rawit merah dapat
ditanam sebanyak 15.000 - 17.000 pohon. Sedangkan jika jarak tanamnya
mencapai 30 x 30 tanaman cabai rawit merah dapat ditanam sebanyak 17.000 –
20.000 pohon. Sedangkan untuk tanaman tomat dan kol secara bergantian
biasanya hanya mampu ditanam sebanyak 15.000 pohon.
53
Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00-
09.00 WIB atau sore hari setelah pukul 15.00 WIB. Setelah penanaman,
penyiraman dapat langsung dilakukan. Terkadang pelindung tanaman juga
diperlukan untuk tanaman cabai merah, fungsinya untuk melindungi tanaman agar
tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar dari
terpaan air hujan dan angin kencang.
6.1.4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan sejak tanaman ditanam hingga
tanaman selesai dipanen. Adapun kegiatan pemeliharaan tanaman cabai rawit
merah beserta kol dan tomat antara lain yaitu penyulaman, pemasangan ajir,
pemupukan tambahan (cor atau suntik), pengendalian hama dan penyakit dengan
menyemprot obat-obatan yang tersedia serta penyiraman. Penyulaman tanaman
pada cabai rawit merah diperlukan untuk mengganti tanaman utama yang gagal
tumbuh atau mati. Proses penyulaman ini dilakukan sejak satu hingga dua minggu
setelah tanam. Caranya adalah dengan mengganti tanaman yang mati dengan
tanaman yang baru. Bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah sisa bibit
yang masih ada.
Pemasangan ajir dilakukan saat umur cabai rawit merah atau tomat
mencapai empat minggu agar tidak merusak tanaman yang masih kecil.
Pemasangannya dilakukan dengan sistem ajir miring, yaitu dua bilah bambu
ditancapkan secara menyilang secara sejajar pada percabangan tanaman cabai
rawit merah mengikuti arah panjang bedengan. Masing-masing tanaman
dipasangkan satu ajir. Antara ajir yang satu dengan ajir yang lainnya dihubungkan
dengan bilah bambu memanjang atau melintang kemudian diikat dengan tali galar
atau tali rafia. Pemasangan ajir itu dimanfaatkan sebagai penyangga tanaman
tomat dan cabai rawit merah.
Seminggu setelah penanaman, dapat pula dilakukan pemupukan tambahan.
Tujuan pemupukan ini adalah agar tanaman yang ditanam baik tomat, kol maupun
cabai rawit merah mendapat mendapatkan cukup nutrisi makanan yang tersedia
dalam tanah tanpa terjadi perebutan makanan antara masing-masing tanaman.
Proses pemupukan baik pada petani mitra maupun nonmitra dilakukan dengan
teknik kocoran larutan hasil campuran pupuk dengan air dengan dosis tertentu.
54
Hal ini dilakukan agar tanah yang sudah tetutup mulsa pada permukaan mudah
menyerap nutrisi pupuk. Pupuk yang biasa digunakan baik oleh petani mitra
maupun oleh petani nonmitra adalah campuran dari pupuk kimia seperti TSP,
KCL, KNO, dan NPK. Pada tanaman tomat dan kol biasanya cukup menggunakan
larutan NPK Mutiara sebagai pupuknya. Dosis yang diberikan oleh petani mitra
cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan dosis pemakaian pupuk kimia yang
digunakan oleh petani nonmitra. Pada petani mitra pemakaian pupuk kimia
dibatasi sesuai dengan petunjuk dari agrofield Indofood sebagai syarat agar dapat
diterima di pabrik. Sedangkan pada petani nonmitra dosis pemakaian pupuk kimia
didasarkan pada pengalaman petani masing-masing.
Baik pada petani mitra maupun nonmitra, aturan pemberian pupuk pada
tomat dan kol yang dilakukan petani pada yaitu sebanyak 3 kali dalam satu
musim. Pengecoran pada tomat dilakukan ketika tanaman tomat berusia 30 hari,
60 hari dan 90 hari sedangkan untuk kol pupuk diberikan pada saat usia tanaman
kol 15 hari, 30 hari dan 45 hari. Pengecoran pupuk tambahan pada cabai rawit
merah dilakukan ketika tanaman tomat dan kol telah habis di panen. Hal ini
dilakukan agar cabai rawit tetap mendapatkan kebutuhan nutrisi untuk menunjang
hasil panen.
Pemberian obat-obatan seperti fungisida dan insektisida diberikan untuk
mencegah serangan hama dan penyakit pada tanaman terutama pada tomat dan
cabai rawit merah. Adapun jenis obat-obatan yang biasa digunakan oleh petani
responden antara lain Dakonil, Antrakol, Prepaton, Polaram, Cekpoin, Unicef,
Ekuisen, Oktanil, Manep, Bion M, Klorotaronil, Afidor, Confidor, Demolis,
Gramaxon, Kolikron, Kurakron, ABSA, Napel, Supergo, Abamektin dan obat
sejenis lainnya. Pada umumnya penyemprotan obat-obatan dilakukan setiap 2
minggu sekali. Namun jika memasuki musim penghujan maka untuk mencegah
serangan hama dan penyakit maka penyemprotan dapat dilakukan setiap satu
hingga 2 kali dalam seminggu.
Rata-rata penggunaan obat-obatan pada petani mitra relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan pada petani nonmitra. Hal ini
terjadi karena perawatan terhadap serangan hama dan penyakit pada petani mitra
dilakukan berdasarkan saran dan masukan dari agrofield Indofood sehingga
55
pemakaian obat diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Selain itu cara
penanggulangan terhadap tanaman yang telah terserang hama dan penyakit benar-
benar diperhatikan oleh para petani mitra, sedangkan petani nonmitra bertindak
apa adanya tanpa ada target dan batasan tertentu.
6.1.5. Panen
Proses panen pada tanaman cabai rawit merah akan dapat dilakukan
pertama kalinya pada usia 5-7 bulan setelah masa tanam. Sedangkan tomat dan
kol mulai dapat dipanen pada usia 3 bulan setelah masa tanam. Kondisi siap panen
cabai rawit merah pada dataran tinggi menjadi lebih lama dibandingkan di dataran
rendah. Tanaman cabai rawit merah pada dataran rendah mulai dapat dipanen
pada usia 3-4 bulan. Setelah mencapai usia 1,5 tahun rata-rata tanaman cabai rawit
merah tidak mampu berproduksi sehingga petani memilih untuk mencabut
tanaman tersebut. Selama masa produktif tanaman yaitu 1,5 tahun rata-rata cabai
rawit merah di Desa Cigedug dapat dipanen sebanyak 48 kali dengan intensitas
panen setiap seminggu satu kali selama satu tahun masa panen.
Pada kondisi yang ideal, jumlah hasil panen cabai rawit merah akan
mengalami peningkatan hingga mencapai panen ke -15. Kemudian biasanya akan
mengalami jumlah pemanenan yang stabil hingga panen ke-20. Kemudian secara
bertahap akan mengalami penurunan jumlah panen hingga seperti kondisi awal
panen. Setiap pemanenan membutuhkan tenaga kerja dengan maksimum kekuatan
setiap tenaga kerja dalam sehari adalah 10 hingga 15 kg.
Proses panen biasanya dilakukan pada pagi hari. Tenaga kerja yang
digunakan adalah tenaga kerja wanita. Namun beberapa petani memberikan upah
borongan untuk proses pemanenannya. Cara pemetikan buah hendaknya
dilakukan dengan mengikutkan tangkai buahnya. Tujuannya agar buah tidak cepat
busuk setelah dipanen. Tingkat kematangan buah sewaktu panen pun dapat
disesuaikan dengan kebutuhan. Petani dapat memanen dua jenis panenan, yakni
panen hijau atau panen merah.
Para petani yang melakukan kemitraan mempunyai aturan tersendiri dalam
proses pemanenan. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dari pabrik
Indofood sesuai dengan kualitas dan kualitas yang telah disepakati kedua belah
pihak. Ciri-ciri buah yang menjadi spesifikasi pabrik antara lain harus merupakan
56
panen merah atau minimal lebih dari 70 persen telah berwarna merah, Warna
cabai rawit merah yang digunakan untuk pabrik akan mempengaruhi warna dari
produk yang dihasilkan yakni sambal. Buah cabai rawit merah hasil panen petani
mitra tidak boleh busuk atau terkena hama patek dan tidak boleh terlihat bekas
pestisida. Petani langsung melakukan proses penyortiran sendiri di kebun sebelum
hasil panen diberikan kepada Gapoktan Cagarit sebagai vendor Indofood yang
berada di desa untuk kembali dilakukan penyortiran dan “pemipilan” atau
pembuangan tangkai cabai agar menjadi siap olah di pabrik.
Bagi petani nonmitra, proses pemanenan tidak ada aturan khusus yang
mengikat. Petani hanya perlu memanen sesuai dengan kebutuhan. Setelah dipanen
buah cabai rawit merah langsung dikemas menggunakan karung bekas pupuk
dengan ukuran 45-50 kg per karung. Kemudian dijual kepada “calo” atau
tengkulak untuk selanjutnya didistribusikan ke pasar lokal atau pasar induk.
Proses penyortiran dilakukan oleh petani nonmitra dilakukan saat pemanenan
dikebun. Buah yang dipanen hanya buah yang sehat sedangkan buah yang terkena
hama dibiarkan begitu saja di pohon.
6.1.6. Pemasaran Hasil Panen
Hasil cabai rawit merah yang telah dipanen oleh para petani mitra
selanjutnya didistribusikan kepada pihak yang disebut sebagai vendor, yaitu
Gapoktan “Cagarit” dengan harga yang diterima petani antara Rp. 10.000,00/kg
dengan margin harga sebesar Rp 5.000,00/kg yang diterima oleh vendor dari
pabrik menjadi Rp 15.000,00/kg cabai rawit merah. Vendor merupakan pihak
perwakilan para petani yang menjalin kemitraan dengan Indoofood dan memiliki
bukti hukum yang jelas yakni kontrak. Vendor indofood dalam kasus ini adalah
Gapoktan “Cagarit”. Peran Gapoktan Cagarit sebagai vendor cukup membantu
bagi pihak Indofood untuk mengkoordinir hasil dari kemitraan dari petani agar
sesuai dengan spesifikasi pabrik yang diinginkan baik dari kuantitas maupun
kualitas cabai rawit merah.
Sedangkan petani nonmitra menjual cabai rawit merah yang telah dipanen
kepada tengkulak tingkat desa yang kemudian didistribusikan ke pasar lokal yaitu
Pasar Cikajang ataupun didistribusikan langsung ke pasar-pasar induk seperti
Caringin Bandung, Tanah Tinggi Tanggerang, Cibitung Bekasi, dan Keramat Jati
57
Jakarta. Salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi harga yang diterima oleh
petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan adalah terdapat fluktuasi
harga pasar karena adanya perbedaan waktu tanam antara masing-masing daerah
penghasil cabai rawit merah. Harga akan semakin meningkat di pasar saat
pasokan cabai rawit merah di pasar induk acuan dari daerah penghasil cabai rawit
merah lain seperti di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur belum memasuki
musim panen. Informasi mengenai waktu tanam yang tepat belum dijadikan acuan
bagi petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan di Desa Cigedug
agar dapat menjual hasil panen cabai rawit merahnya dengan harga yang tinggi di
pasar. Harga yang diterima oleh petani responden berbeda-beda tergantung
kepada masing-masing tengkulak yang menjalin kerja sama dengan petani
tersebut. Namun rata-rata harga yang diterima oleh petani non mitra adalah
sebesar Rp 10.397,00.
6.2. Kondisi Kemitraan di Desa Cigedug
Bedasarkan sudut pandang perusahaan, kemitraan antara petani di Desa
Cigedug dengan perusahaan mitra seperti PT. Indofood Fritolay Makmur telah
terjalin kurang lebih selama 5 tahun. Pada mulanya kemitraan antara petani Desa
Cigedug dengan PT Indofood Fritolay Sukses makmur dilakukan pada komoditi
kentang. Jenis kentang yang dibudidayakan oleh petani merupakan jenis kentang
impor yaitu kentang Atlantik. Jenis kentang ini berbeda dengan jenis kentang
impor lainnya yaitu kentang Granola karena kentang atlantik memiliki kadar air
dan kandungan gula yang lebih rendah sehingga cocok untuk kebutuhan industri
Indofood. Selain itu, benih kentang atlalntik belum dapat dibudidayakan di
Indonesia sehingga penggadaan benih kentang masih diatur oleh perusahaan.
PT. Indofood Fritolay Makmur melakukan pengembangan pada komoditas
cabai rawit merah dan singkong untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Pada tahun
2009 perusahaan melakukan riset di Desa Cigedug untuk komoditi cabai rawit
merah dan mulai melakukan jalinan kemitraan pada komoditi cabai rawit merah.
Keberhasilan jalinan kemitraan pada komoditi cabai rawit merah di Cigedug
mendorong perusahaan melakukan pengembangan di daerah Kabupaten Garut dan
Tasikmalaya pada tahun 2010. Namun, pada akhir 2010 terjadi peningkatan harga
cabai rawit merah di pasaran yang sangat signifikan. Hal ini membuat sebagian
58
besar petani yang menjalin kemitraan melanggar kontrak kemitraan dan menjual
hasil panen cabai rawitnya ke pasar untuk mendapatkan keutungan dari
peningkatan harga yang signifikan di pasar.
Berkurangnya jumlah pasokan yang dialami perusahaan dalam memenuhi
kebutuhan pabrik mendorong perusahaan melakukan pengembangan kemitraan di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2011-2012. Sebanyak
kurang lebih 500 petani cabai (rawit merah dan besar) tersebar di Pulau Jawa.
Pada dasarnya latar belakang dibentuknya kemitraan di Desa Cigedug adalah
karena perusahaan membutuhkan kepastian pasokan cabai rawit merah untuk
diolah dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Perusahaan juga membutuhkan
kepastian budgeting dalam menjalankan industrinya. Kemitraan merupakan
bentuk program pemberdayaan masyrakat khususnya petani yang dilakukan oleh
Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT. Indofood Fritolay Makmur.
Perbaikan aturan yang mengikat antara petani dan perusahaan senantiasa
dilakukan agar hak dan kewajiban masing-masing dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Alasan petani bermitra dengan perusahaan cenderung karena
adanya kepastian harga dan pasar yang diberikan perusahaan kepada petani.
Selain itu, adanya bantuan berupa kemudahan pinjaman modal dan saprotan
kepada petani menambah minat petani untuk menjalin kemitraan dengan PT.
Indofood Sukses Makmur. Petani juga mendapatkan pembinaan dan kesempatan
berkonsultasi kepada para agrofield Indofood yang bertugas di Desa Cigedug
mulai dari teknis budidaya hingga sistem administrasi.
Disamping hak-hak yang didapat oleh petani, petani juga memiliki
kewajiban diantaranya menjamin pasokan dari kualitas yakni panen merah dan
kuantitas sesuai hasil panen yang terdaftar pada lahan yang dibudidayakan cabai
rawit merah serta mengembalikkan segala bentuk bantuan pinjaman secara
berangsur-angsur. Pada umumnya petani menganggap proses kemitraan ini mudah
dilakukan walaupun sebagain kecil petani menganggap sulit karena terdapat
beberapa kendala seperti harga yang dianggap tidak sesuai, barang yang terkena
sortiran pabrik sehingga dikembalikkan sebagai barang afkir serta masalah
pemenuhan kuantitas produk karena hasil panen yang menurun akibat cuaca yang
59
kurang mendukung. Hak dan kewajiban baik petani maupun perusahaan dapat
dilihat selengkapnya pada Lampiran 8.
Penentuan harga kemitraan didasarkan pada harga kesepakatan antara
petani dan perusahaan yang diwakilkan oleh Gapoktan Cagarit. Harga yang
menjadi rujukan adalah harga pasar induk seperti Keramat Jati, Cibitung dan
pasar-pasar induk lainnya. Besar harga yang diterima oleh petani sesuai dengan
kesepakatan pada mulanya sebesar Rp 7.000,00. Namun, harga pasar yang
cenderung naik dari tahun ke tahun membuat kesepakatan harga yang diterima
oleh petani meningkat menjadi Rp 10.000,00 dengan harga yang diterima oleh
vendor sebesar Rp 15.000,00. Oleh karena itu terdapat margin sebesar Rp
5.000,00 sebagai biaya untuk penyortiran, pemipilan, dan pengangkutan yang
dilakukan oleh Gapoktan Cagarit.
Bagi petani cabai rawit merah sendiri adanya selisih harga yang diterima
oleh Gapoktan Cagarit sebagai vendor dengan petani sebesar Rp 5.000,00
dianggap tidak wajar dan kurang menguntungkan bagi petani. Besar margin harga
sebanyak Rp 5.000,00 digunakan oleh Gapoktan Cagarit sebagai imbalan atas
proses penyortiran, pemipilan dan biaya transportasi untuk mengantar cabai rawit
merah ke pabrik. Margin ini dapat diminimalkan apabila petani mitra mau untuk
melakukan proses pascapanen masing-masing sebelum diserahkan ke pabrik
sehingga manfaat margin sebesar Rp 5.000,00/kg dapat dirasakan juga oleh para
petani yang menjalin kemitraan.
Terdapat biaya kompensasi yang diterima oleh petani mitra apabila harga
pasar melebihi Rp 20.000,00. Besar biaya kompensasi harga atas harga pasar yang
diterima oleh petani mitra adalah sebanyak 50 persen dari kelebihan harga diatas
Rp 20.000,00. Namun sebaliknya apabila harga pasar kurang dari Rp 10.000,00
maka harga yang diterima petani sesuai dengan harga kesepakatan awal yakni
sebesar Rp 10.000,00. Kebijakan yang cenderung menguntungkan bagi petani
tersebut secara nyata tidak menjadikan loyalitas petani untuk bermitra semakin
tinggi. Salah satu kelemahan dari pola kemitraan ini adalah belum ditetapkannya
sanksi yang dianggap paling bijaksana terhadap petani yang melanggar
kesepakatan kontrak selain diputus sebagai petani mitra.
60
Peningkatan harga yang sangat tinggi di pasar dianggap sangat
memberikan keuntungan bagi petani dibandingkan tetap menjalin kemitraan.
Walaupun kondisi tersebut hanya terjadi pada waktu yang tidak menentu. Bagi
petani nonmitra menjalin sebuah kemitraan hanya memberikan keuntungan yang
tidak seimbang kepada petani. Sehingga petani lebih memilih tetap bertahan
dengan tengkulak yang selama ini menjadi agen pemasar dari hasil produksi cabai
rawit yang dihasilkan.
61
VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT
MERAH
7.1. Sistem Usahatani Cabai Rawit Merah
Faktor produksi merupakan faktor atau sarana pengantar produksi
usahatani. Beberapa sarana atau faktor produksi pada usahatani cabai rawit merah
baik pada petani mitra maupun non-mitra antara lain adalah bibit, lahan, tenaga
kerja, serta peralatan pertanian yang digunakan selama kegiatan usahatani
berlangsung. Berikut ini merupakan penjelasan dari beberapa faktor produksi
yang terdapat dalam kegiatan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.
7.1.1. Bibit
Bibit merupakan salah satu faktor produksi penting dalam kegiatan
usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut. Bibit Cabai rawit merah yang digunakan oleh petani di Desa Cigedug
merupakan jenis bibit lokal yang diperoleh dari benih lokal hasil rekayasa para
petani yang berasal dari Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Bibit
lokal ini memilik berbagai macam nama antara lain cabai inul, cabai domba, dan
cengek.
Dalam perkembangannya para petani di Desa Cigedug mampu
menghasilkan bibit yang berasal dari hasil panen mereka sendiri. Namun, petani di
Desa Cigedug pada umumnya cenderung untuk tidak melakukan kegiatan
pembibitan dan lebih memilih untuk membeli bibit dari petani bibit. Sebesar
78,54 persen petani mitra lebih memilih untuk membeli bibit dari petani bibit
daripada melakukan penyemaian bibit sendiri. Sedangkan pada petani nonmitra
sebesar 63,51 persen petani mitra melakukan penyemaian sendiri sebagai upaya
menekan biaya produksi. Jika dikonversi maka harga bibit buatan sendiri hanya
berkisar Rp. 20,00 hingga Rp. 30,00 per pohonnya.
Bibit lokal yang digunakan baik oleh petani mitra maupun petani nonmitra
memiliki keunggulan dibandingkan dengan bibit impor. Keunggulan tersebut
diantaranya adalah lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit lokal,
buahnya cendrung lebih besar walaupun lebih pendek, dan memiliki rasa yang
62
lebih pedas. Dalam satu hektar lahan mampu ditanam sebanyak 15.000 hingga
20.000 bibit tergantung pada jarak dan pola tanam yang digunakan oleh petani.
Harga bibit cabai rawit merah secara umum di Desa Cigedug adalah Rp. 50,00 per
pohonnya sedangkan harga bibit tomat dan kol secara berturut-turut adalah
sebesar Rp. 100,00 dan Rp. 50,00 per pohonnya.
Bibit cabai rawit merah yang baik dan optimal dalam pertumbuhan dan
perkembangannya memiliki kemampuan produktivitas mencapai 3,5 kg setiap
pohonnya hingga habis satu musim tanam. Produktivitas tanaman tergantung dari
iklim perawatan yang dilakukan oleh masin-masing petani terhadap tanaman.
7.1.2. Lahan
Lahan yang digunakan oleh petani untuk berusahatani cabai rawit merah
baik oleh petani mitra maupun nonmitra di Desa Cigedug pada umumnya
merupakan lahan milik sendiri. Namun, terdapat beberapa petani baik petani mitra
maupun nonmitra masih ada yang menyewa lahan untuk usahatani cabai rawit
merah agar dapat mencapai economic of scale dari usahatani cabai rawit merah
ini. Petani yang tidak memilki lahan harus mengeluarkan biaya rata-rata sewa
lahan setiap 1 patok atau setara dengan 0,04 ha adalah sebesar Rp 350.000,00 per
musim tanam. Jadi jika dikonversikan ke dalam 1 ha luasan lahan maka biaya
rata-rata yang dikeluarkan untuk menyewa lahan adalah sebesar Rp. 8.750.000,-.
Luas kepemilikan lahan cabai rawit merah di Desa Cigedug berkisar antara
0,1 hektar hingga 6 hektar dengan rata-rata luas sebesar 0,69 ha. Luas rata-rata
lahan yang dimiliki oleh petani mitra adalah sebesar 1,06 hektar sedangkan petani
non-mitra memiliki rata-rata luas lahan sebesar 0,43 hektar. Lahan petani cabai
rawit merah di Desa Cigedug pada umumnya ditanami oleh lebih dari satu jenis
tanaman. Hal tersebut dilakukan oleh petani dalam rangka meningkatkan
pendapatan dan mengurangi risiko produksi yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Pola tanam yang digunakan adalah tumpang sari. Pola tumpang sari juga dapat
bermanfaat dalam menjaga kesuburan tanah agar tidak jenuh terhadap satu jenis
tanaman saja. Tanaman tumpang sari yang dibudidayakan petani responden baik
yang mitra mauupun nonmitra di Desa Cigedug dalam satu kali musim tanam
adalah tomat dan kol.
63
7.1.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menetukan
dalam sebuah kegatan usahatani. Tenaga kerja yang digunakan dalam sebuah
kegiatan usahatani pada umumnya dapat berupa tenaga kerja dalam keluarga yaitu
tenaga kerja yang berasal dari dalam anggota keluarga petani dan tenaga kerja luar
keluarga yaitu merupakan tenaga kerja upahan.
Pada kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani di Desa Cigedug pada
umumnya tidak menganggap tenaga kerja dalam keluarga sebagai biaya usahatani
yang harus dikeluarkan. Tenaga kerja dalam keluarga semata-mata hanya
dianggap sebagai salah satu bentuk kewajiban masing-masing anggota keluarga
yang ingin menikmati hasil panen dari usahatani yang dijalankan. Padahal untuk
dapat menghitung biaya total yang harus dikeluarkan oleh petani seharusnya
tenaga kerja dalam keluarga dimasukkan kedalam komponen biaya yang
diperhitungkan.
Tabel 8. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra
Per Ha Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam Di Desa Cigedug
Tahun 2011
No Kegiatan
Usahatani
Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) Total
(HOK) (%) Dalam Keluarga Luar keluarga
L P L P
1 Persiapan
Lahan 9,7 1,8 136,9 3,6 151,9 5,89
2 Penanaman 1,8 1,7 3,7 6,5 13,7 0,53
3 Penyulaman 13,6 0,0 27,6 38,6 79,8 3,09
4 Pemasangan
Ajir 2,5 0,0 13,6 15,1 31,1 1,21
5 Pemupukan 18,5 6,2 46,7 96,4 167,8 6,50
6 Pemeliharaan 54,0 0,0 130,2 12,6 196,8 7,63
7 Pemanenan 31,4 19,1 69,2 1819,3 1.939,1 75,1
5
Total 131,6 28,8 427,8 1.992,1 2.580,2 100
Nilai Tenaga Kerja 1.973.693,8 431.281,0 6.417.395,7 29.880.896 38.703.266,7
Sumber : Data Primer Diolah
Tabel 8 menunjukkan besarnya kontribusi tenaga kerja pada setiap proses
usahatani cabai rawit merah untuk petani yang bermitra per hektar luasan lahan.
Dapat dilihat bahwa pada kegiatan pemanenan menyerap tenaga kerja paling besar
dengan kontribusi sebesar 75,15 persen dari dari total kontribusi tenaga kerja
64
sebesar 2.580,2 HOK. Hal ini terjadi karena kegiatan pemanenan memiliki
intensitas yang tinggi yaitu 48 hingga 52 kali untuk setiap musim tanamnya dan
menggunakan sistem borongan dengan upah panen Rp. 1.000,- untuk setiap
kilogram cabai rawit merah yang dapat dipanen. Tenaga kerja wanita lebih banyak
digunakan terutama pada kegiatan pemanenan yang menggunakan sistem
borongan.
Baik tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja upahan
diberlakukan waktu kerja untuk melaksanakan kegiatan usahatani pada umumnya
mulai dari pukul 07.00 sampai pukul 12.00 WIB atau setara dengan 5 jam kerja
untuk tenaga kerja laki-laki, sedangkan untuk tenaga kerja perempuan biasaya
hanya bekerja selama 4 jam kerja yaitu mulai pukul 07.00 hingga pukul 11.00
WIB. Tingkat upah rata-rata yang dibayarkan bagi tenaga kerja laki-laki adalah
sebesar Rp 15.000,-/hari dan untuk tenaga kerja perempuan adalah sebesar Rp
12.000,-/hari. Banyaknya anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani cabai
rawit merah rata-rata sebanyak 2 orang yakni petani itu sendiri bersama istri atau
anaknya.
Dalam kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani nonmitra (Tabel 9) ,
total tenaga kerja yang digunakan sebanyak 2.224,1 HOK denggan perincian
jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 376,5 HOK dan jumlah tenaga kerja
luar keluarga sebanyak 1847,6 HOK. Penggunaan tenaga kerja paling banyak
adalah pada kegiatan pemanenan yaitu sebesar 43 persen. Tenaga kerja pria
banyak digunakan pada kegiatan yang membutuhkan tenaga yang cukup besar
seperti persiapan lahan dan pemeliharaan. Tenaga kerja pria yang dibutuhkan pada
persiapan lahan dan pemeliharaan mencapai 300,3 HOK dan 194,9 HOK.
Sedangkan tenaga kerja wanita paling banyak dibutuhkan dalam kegiatan
pemanenan yaitu sebanyak 866,5 HOK untuk tenaga kerja wanita luar keluarga
yang diupah menggunakan sistem borongan sebesar Rp. 1.000,- untuk setiap
kilogram cabai rawit merah yang berhasil di panen. Pada kegiatan pemanenan
tenaga kerja wanita dianggap lebih teliti dan lebih rapih dalam melakukan proses
pemanenan.
65
Tabel 9. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Rawit Merah Petani
Nonmitra Per Ha Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam Di Desa
Cigedug Tahun 2011
No Kegiatan
Usahatani
Penggunaan Tenaga Kerja (HOK) Total
(HOK) (%) Dalam Keluarga Luar keluarga
L P L P
1 Persiapan
Lahan 35,9 7,9 264,4 63,0 371,2 16,69
2 Penanaman 4,2 0,9 7,4 9,0 21,6 0,97
3 Penyulaman 18,9 2,6 24,1 9,2 54,8 2,46
4 Pemasangan
Ajir 11,5 2,8 26,6 18,3 59,2 2,66
5 Pemupukan 71,0 12,7 123,9 114,3 321,9 14,47
6 Pemeliharaan 171,7 3,0 264,3 0,0 438,9 19,74
7 Pemanenan 28,5 4,9 56,5 866,5 956,4 43,00
Total 341,7 34,8 767,3 1.080,3 2.224,1 100,0
0 Nilai Tenaga Kerja 5.125.323 521.963,8 11.509.0 16.205.178 33.361.508,9
Sumber : Data Primer Diolah
Pemakaian tenaga kerja dalam keluarga relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan pemakaian tenaga kerja luar keluarga. Hal ini disebabkan karena petani
mitra lebih memilih untuk memperkerjakan tenaga kerja luar keluarga untuk
kegiatan usahataninya dibandingkan menggunakan tenaga kerja upah sebagai
bentuk dampak sosial dari kegiatan usahatani yang dijalankan.
7.1.4. Alat-Alat Pertanian
Alat-alat pertanian yang digunaan dalam kegiatan usahatani cabai rawit
merah meliputi cangkul, Parang atau golok, plastik mulsa, ajir bambu, drum,
ember, jirigen, handsprayer, pembolong mulsa, tali galar/rafia, mesin penyemprot
obat, dan mesin air. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa total nilai
penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani cabai rawit
merah pada luasan seluas 1 ha adalah sebesar Rp 5.193.396,00 per tahun. Nilai
biaya penyusutan dapat diperloleh menggunakan metode garis lurus dengan
asumsi peralatan tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur
teknis.
Alat-alat pertanian tidak selalu dibeli oleh petani cabai rawit merah setiap
kali musim tanam, karena setiap alat yang digunakan memiliki umur teknis lebih
dari dua tahun sedangkan musim tanam hanya berlangsung selama 1,5 tahun.
66
Jumlah penggunaan alat-alat pertanian dalam kegiatan budidaya cabai rawit merah
tergantung pada luas lahan yang digarap oleh petani.
Tabel 10. Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Rawit Merah Untuk Satu
Musim Tanam Di Desa Cigedug Per Ha Luasan Lahan
No Jenis
Alat
Jumlah
(Buah)
Harga
(Rp) Nilai (Rp)
Umur
Teknis
(Tahun)
Penyusutan
(Rp/Tahun)
1 Cangkul 19 50.000 950.000 5 171.000
2 Arit 9 25.000 225.000 5 40.500
3 Mulsa 13 450.000 5.850.000 1,5 3.510.000
4 Ajir 19.565 100 1.956.521 3 586.956
5 Drum 4 250.000 1.000.000 15 60.000
6 Ember 19 7.000 133.000 5 23.940
7 Jirigen 4 25.000 100.000 5 18.000
8 Hand sprayer 4 450.000 1.800.000 10 162.000
9 Mesin Obat 1 3.500.000 3.500.000 10 315.000
10 Mesin air 1 2.500.000 2.500.000 10 225.000
11 Pembolong
mulsa 3 50.000 150.000 5 27.000
12 Tali 9 10.000 90.000 1,5 54.000
Jumlah
18.254.521 5.193.396
Sumber : Data Primer Diolah
Petani cabai rawit merah di Desa Cigedung cenderung menggunakan
cangkul sebagai alat untuk mengolah lahan pertaniannya. Handtracktor atau
traktor sejenisnya tidak digunakan oleh petani cabai rawit di Desa Cigedug karena
dianggap tidak efektif untuk mengolah lahan yang hanya memiliki rata-rata luas
lahan sebesar 0.61 ha. Parang atau golok biasanya digunakan petani untuk
membersihkan atau menyiangi gulma dan rumput-rumput pada saat pengolahan
tanah dan perawatan tanaman.
Penggunaan mulsa pada lahan cabai rawit merah berguna untuk
mengurangi penguapan air dan pupuk serta mencegah gulma tumbuh selama masa
tanam berlangsung. Ajir bambu yang di bantu dengan tali galar digunakan sebagai
penyangga tanaman cabai rawit merah dan tomat yang telah dewasa. Tanaman
cabai rawit merah yang telah dewasa dapat dikatakan lebih rimbun sehingga
memiliki luas tajuk yang lebih besar dibandingkan jenis tanaman cabai lainnya
sehingga membutuhkan ajir sebagai penyangga.
67
Drum, ember dan jirigen digunakan oleh petani sebagai alat untuk
menampung dan mengangkut air baik untuk kegiatan pemupukan, penyemprotan
obat maupun penyiraman jika diperlukan. Kapasitas drum yang diunakan dapat
menampung air berkisar 200 hingga 220 liter. Sedangkan handsprayer digunakan
sebagai alat untuk menyemprotkan obat-obatan dengan kapasitas angkut sebanyak
16 liter air. Pembolong mulsa digunakan oleh melubangi mulsa agar lebih rapih,
teratur dan efisien.
Tidak semua petani menggunakan mesin air dan mesin obat dalam
kegiatan usahataninya. Petani yang menggunakan mesin air dan mesin obat adalah
petani yang memiliki luas lahan garapan yang luas. Hal ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan air yang cukup banyak dan mengefisienkan tenaga kerja
pada kegiatan penyemrpotan obat.
7.2. Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah
Pada umumnya kegiatan usahatani bertujuan untuk memperoleh
pendapatan yang optimal sebagai imbalan atas usaha dan kerja yang telah
dijalankan oleh petani. Bibit, pupuk, tenaga kerja dan peralatan pertanian yang
digunakan selama kegiatan usahatani termasuk dalam input produksi yang
dibutuhkan. Sedangkan output produksi yang diharapakan dari sebuah kegiatan
usahatani adalah berupa hasil panen yang berlimpah. Analisis pendapatan
usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug menggambarkan besarnya
penggunaan input-input produksi dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan demi
menghasilkan output-output produksi selama proses usahatani berlangsung.
Analisis pendapatan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan dalam
penelitian ini dibedakan berdasarkan cara pemasaran yang dilakukan, yaitu petani
yang menjalankan hubungan kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur
dan petani yang tidak menjalin kemitraan dengan pihak manapun. Berdasarkan
perbedaan tersebut kemudian akan dianalisis apakah perbedaan cara pemasaran
tersebut akan berpengaruh pada penerimaan petani sehingga berpengaruh juga
pada pendapatan usahatani cabai rawit merah.
68
7.2.1. Penerimaan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra
Penerimaan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan oleh petani yang
menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur dihitung berdasarkan
perkalian antara total produksi cabai rawit merah yang dihasilkan dengan harga
kesepakatan antara petani dengan vendor PT. Indofood Fritolay Makmur yaitu
sebesar Rp 10.000,00/kg serta produk hasil tanaman pokok tumpang sari yakni
tomat dan kol yang dikalikan dengan harga rata-rata yang berlaku. Harga yang
diterima petani mitra dapat menjadi lebih tinggi apabila petani dapat melakukan
tugas Gapoktan Cagarit sebagai vendor indofood untuk mengumpulkan, menyortir
ulang, dan melakukan pembuangan tangkai buah sehingga margin sebesar Rp
5000,00/kg yang diterima oleh Gapoktan Cagarit dapat meningkatkan penerimaan
dari petani yang bermitra dengan Indofood
Jumlah produksi rata-rata cabai rawit merah petani mitra per hektar luas
lahan per musim tanam adalah 19.979,34 kg. Maka besar penerimaan yang
diperoleh petani mitra adalah hasil kali jumlah produksi rata-rata cabai rawit
merah per hektar per musim dengan harga kesepakatan kemitraan sebesar Rp
10.000/kg yaitu sebesar Rp 199.793.382,5,-.
Penerimaan petani tidak hanya berasal dari cabai rawit merah saja. Petani
mitra juga mendapatkan penerimaan yang berasal dari penjualan hasil produksi
tanaman utama tumpang sari yakni tomat dan kol. Jumlah rata-rata produksi tomat
dan kol per hektar luas lahan per musim secara berturut-turut adalah 37.803,67 kg
dan 25.284,09 kg. Sedangkan harga rata-rata tomat dan kol yang berlaku di
tingkat produsen secara berturut-turut adalah sebesar Rp 1.785,00 dan Rp
1.600,00.
Jadi besar penerimaan yang didapatkan oleh petani cabai rawit merah yang
berasal dari hasil produksi tomat dan kol per hektar luasan lahan per musim tanam
secara berturut-turut adalah Rp 67.486.692,00 dan Rp 40.454.545,00. Maka Total
penerimaan yang diterima oleh petani mitra baik yang berasal dari cabai rawit
merah, tomat, dan kol adalah sebesar Rp 307.734.619,5.
7.2.2. Biaya Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra
Analisis terhadap biaya yang dikeluarkan petani dilakukan dengan
menganalisis input yang digunakan untuk usahatani cabai rawit meliputi bibit,
69
pupuk, obat-obatan, tenaga kerja dan peralatan pertanian. Menurut Soeharjo dan
Patong (1977), biaya usahatani dapat berupa biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang dibayar secara tunai dengan
uang, seperti biaya pembelian sarana produksi dan biaya upah tenaga kerja. Biaya
yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung seberapa besar pendapatan
kerja petani yang sesungguhnya kalau modal dan nilai tenaga kerja dalam
keluarga diperhitungkan. Besarnya nilai tenaga kerja keluarga juga dihitung
berdasarkan upah yang berlaku saat itu.
Petani mitra Desa Cigedug mengeluarkan biaya tunai dalam usahatani
cabai rawit merah dalam bentuk pembelian terhadap sarana produksi seperti bibit,
pupuk alami yakni pupuk kandang dan pupuk kimia (ZA, TSP, KCL,Phonska,
NPK dan pupuk cair), obat-obatan baik yang berjenis padat maupun yang cair
serta upah tenaga kerja dari luar keluarga. Sewa lahan bagi petani yang tidak
memilikin lahan dan pajak lahan bagi petani yang memiliki lahan sendiri juga
termasuk kedalam biaya tunai dalam usahatani cabai rawit pada petani yang
bermitra.
Pada Tabel 11 tampak bahwa biaya pupuk memiliki persentase biaya
sebesar 15,41 persen dari total seluruh biaya usahatani petani mitra. Bagi petani
mitra selain bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas pemberian pupuk
dengan dosis yang tepat juga akan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap
penyakit. Oleh karena itu petani mitra relatif menggunakan pupuk lebih banyak
dan relatif mengurangi penggunaan obat-obatan kimia dibandingkan dengan
petani nonmitra.
Biaya obat-obatan merupakan biaya kedua terbesar dalam kegiatan
usahatani pada petani mitra yaitu sebesar 16,31 persen. Ada 2 jenis obat
berdasarkan bentuknya yakni padat dan cair. Obat-obatan padat termasuk kedalam
fungisida dan herbisida sedangkan yang berbentuk cair merupakan racun berupa
insektisida, pestisida, pupuk daun dan perekat sebagai bahan aktifnya. Obat-
obatan padat yang digunakan oleh petani mitra antara lain Anthrakol, Kurset,
Afidor, Dakonil, Mankosep,Klorotaronil, Polaram, Akrobat, Gita dan Smoksan.
Sedangkan obat-obatan cair antara lain Prepaton, Demolish, Kolikron, Confidor,
Petrogenol, Gramaxon, Confidor ABSA, Supergo Dan Napel.
70
Biaya pembelian bibit termasuk kedalam biaya tunai yaitu sebesar 0,86
persen. Biaya sewa lahan sebesar 1,97 persen merupakan biaya yang benar-benar
dikeluarkan oleh petani mitra yang menyewa lahan untuk menjalankan
usahataninya. Bagi petani mitra yang memiliki lahan sendiri biaya atas lahan yang
dimilikinya dimasukkan kedalam biaya yang diperhitungkan.
Upah tenaga kerja luar keluarga sebesar 43,47 persen merupakan
komponen biaya tertinggi diantara komponen biaya lainnya. Tingginya biaya
tenaga kerja luar keluarga disebabkan oleh intensitas kegiatan pemanenan yang
dapat mencapai 48 hingga 52 kali menggunakan sistem borongan. Jadi total biaya
tunai yang dikeluarkan oleh petani mitra adalah sebesar Rp. 68.681.023,27 atau
sebesar 82,25 persen dari total biaya usahatani cabai rawit merah yang dilakukan
oleh petani mitra.
Tabel 11 menunjukkan bahwa total biaya yang diperhitungkan dalam
kegiatan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan petani mitra di lokasi
penelitian rata-rata per hektar adalah sebesar Rp14.820.568,99. Biaya yang
diperhitungkan ini meliputi biaya untuk bibit, tenaga kerja dalam keluarga, dan
penyusutan peralatan. Biaya untuk bibit cabai rawit merah hanya 0,14 persen dari
total biaya sedangkan biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga sesuai dengan
tingkat upah yang berlaku sebesar Rp. 15.000,- per HOK adalah sebesar 2,88
persen, serta besar biaya untuk penyusutan peralatan sebesar 6,22 persen dari total
biaya.
7.2.3. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra
Analisis pendapatan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan oleh
petani mitra meliputi analisis pendapatan atas biaya total dan analisis pendapatan
atas biaya tunai. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 11 dapat diperoleh
gambaran bahwa dari satu musim tanam selama maksimal 1,5 tahun, petani mitra
memperoleh penerimaan yang berasal dari hasil produksi cabai rawit merah,
tomat, dan kol adalah sebesar Rp. 307.734.619,72. Total biaya usahatani adalah
sebesar Rp. 83.501.592,36. Biaya yang dikeluarkan dalam usahatani tersebut
terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Jadi, besar pendapatan
petani mitra atas biaya tunai untuk satu hektar cabai rawit merah di Desa Cigedug
dengan mengurangkan total penerimaan terhadap total biaya tunai adalah sebesar
71
Rp 239.053.596,34. Sedangkan pendapatan atas biaya total untuk satu hektar
lahan cabai rawit adalah sebesar Rp 224.233.027,36. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa usahatani cabai rawit merah masih memberikan keuntungan bagi petani
mitra di Desa Cigedug.
Tabel 11. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Mitra Di Desa
Cigedug Per Hektar Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam
Uraian Satuan Jumlah
Fisik
Harga
(Rp/Satuan)
Nilai Total
(Rp) (%)
A. Penerimaan
Produksi Cabai Rawit Merah kg 19.979,34 10.000 199.793.382,50 64,92
Produksi Tomat kg 37.807,67 1.785 67.486.691,76 21,93
Produksi Kol kg 25.284,09 1.600 40.454.545,45 13,15
Total Penerimaan
307.734.619,72 100,00
B. Biaya Usahatani
1. Biaya Tunai
a. Bibit Cabai Rawit Merah pohon 14.371 50 718.553,46 0,88
b. Bibit Tomat pohon 20.794 125 2.599.250,00 3,11
c. Bibit Kol pohon 18.542 50 927.083,03 1,11
b. Pupuk
Pupuk Kandang kg 18.105,12 300 5.431.536,39 6,50
ZA kg 376,91 1.800 678.436,66 0,81
TSP kg 514,20 2.000 1.028.406,71 1,23
KCL kg 281,93 1.700 479.286,46 0,57
NPK kg 655,18 8.000 5.241.449,54 6,28
Pupuk Cair kg 0,63 17.000 10.679,10 0,01
c. Obat-obatan
Obat Padat kg 59,95 130.000 7.794.071,00 9,33
Obat Cair liter 13,06 446.118 5.828.409,50 6,98
d. TKLK HOK 2.419,9 15.000 36.298.291,92 43,47
e. Sewa Lahan Rp
1.645.569,62 1,97
Total Biaya Tunai 68.681.023,37 82,25
2. Biaya Tidak Tunai (Yang diperhitungkan)
a. Bibit Cabai Rawit Merah pohon 3.926 30 117.767,30 0,14
b. TKDK HOK 160,3 15.000 2.404.974,79 2,88
c. Penyusutan Peralatan Rp
5.193.396,52 6,22
d. Sewa Lahan Rp
7.104.430,38 8,51
Total Biaya Yang Diperhitungkan 14.820.568,99 17,75
C. Total Biaya Usahatani (B1+B2) 83.501.592,36 100,00
D. Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) 239.053.596,34
E. Pendapatan Atas Biaya Total (A-C) 224.233.027,36
F. R/C ratio Atas Biaya Tunai (A/B1) 4,48
G. R/C ratio Atas Biaya Total (A/C) 3,69
72
Salah satu alat untuk menganalisis efisiensi pendapatan usahatani adalah
dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio
analysis). Dari analisis R/C yang telah dilakukan menunjukkan bahwa usahatani
cabai rawit merah yang dilakukan petani mitra di Desa Cigedug selama satu
musim tanam memiliki penerimaan yang lebih besar dibandingkan biaya
usahatani yang dikeluarkan. Hal ini ditunjukkan dari nilai R/C yang lebih besar
dari satu. Besar nilai R/C atas biaya tunai sebesar 4,48 berarti bahwa setiap Rp
1,00 biaya tunai yang dikeluarkan maka akan memperoleh penerimaan sebesar Rp
4,48. Petani mitra di Desa Cigedug lebih banyak menggunakan faktor produksi
dengan biaya tunai, daripada biaya tidak tunai. Hal tersebut ditunjukkan dari
perbedaan nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total yang tidak berbeda
jauh. Selisih tersebut juga dapat menunjukkan bahwa usahatani cabai rawit merah
yang dilakukan petani mitra di Desa Cigedug dikelola secara komersial.
Nilai R/C yang ada juga dapat menunjukkan bahwa usahatani cabai rawit
merah yang dilakukan petani mitra telah efisien dan menguntungkan untuk
dikembangkan karena penerimaannya lebih besar dibandingkan biaya yang
dikeluarkan dan masih memberikan keuntungan bagi petani cabai rawit merah
yang bermitra di Desa Cigedug.
7.2.4. Penerimaan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra
Besar penerimaan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan oleh petani
nonmitra juga di peroleh dari jumlah produksi cabai rawit merah, tomat dan kol
dikalikan dengan rata-rata harga yang berlaku. Namun, perbedaannya adalah pada
petani mitra harga cabai rawit merah yang berlaku merupakan harga kesepakatan
antara Gapoktan Cagarit dengan PT. Indofood Fritolay Makmur sedangkan bagi
petani yang tidak bermitra harga didapat dari rata-rata harga yang diterima oleh
petani hasil kesepakatan dengan tengkulak. Tengkulak khususnya tengkulak
tingkat desa merupakan komponen lembaga terpenting dalam penentuan harga
cabai rawit merah kepada petani nonmitra. Harga yang diterima oleh tengkulak
sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga yang terjadi di pasar induk acuan seperti
Ps. Induk Kramat Jati Jakarta. Berdasarkan data harga pada Lampiran 7 dapat
73
diperoleh bahwa rata-rata harga cabai rawit merah yang diterima oleh petani cabai
rawit merah yang tidak menjalin kemitraan adalah sebesar Rp 10.397,00/kg.
Harga cabai rawit merah yang berfluktuatif dapat berpengaruh secara
langsung terhadap besar penerimaan usahatani cabai rawit merah pada petani
nonmitra. Besar total penerimaaan yang diperoleh petani nonmitra berdasarkan
harga yang berlaku adalah sebesar Rp 204.110.302,57. Sebanyak 50,23 persen
penerimaan diperoleh dari hasil produksi cabai rawit merah, artinya fluktuasi
harga yang terjadi di pasar dapat memberikan pengaruh terhadap nilai penerimaan
usahatani cabai rawit merah petani nonmitra sebesar 25,11 persen. Sedangkan
untuk produksi tomat dan kol mampu memberikan kontribusi terhadap
penerimaan usahatani cabai rawit merah pada petani nonmitra sebesar 32,05
persen dan 17,72 persen.
Total penerimaan yang diterima oleh petani nonmitra relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan total penerimaan yang diperoleh petani mitra. Hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan perlakuan pada proses budidaya masing-masing
petani. Petani mitra yang diberikan pengarahan dan pembinaan oleh para
Agrofield Indofood relatif merawat tanamannya dengan baik. Sedangkan petani
nonmitra relatif kurang merawat tanamannya dengan teratur. Perawatan yang baik
akan berdampak pada produktivitas yang tinggi. Sebaliknya, perawatan yang
kurang baik akan menurunkan tingkat produktivitas karena tanaman akan mudah
terserang penyakit dan hama.
7.2.5. Biaya Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra
Biaya tunai dalam kegiatan usahatani cabai rawit merah rata-rata per
hektar yang dilakukan oleh petani nonmitra adalah sebesar Rp 65.644.065,95
Salah satu biaya yang termasuk kedalam biaya tunai adalah biaya pembelian bibit
cabai rawit merah sebesar 0,53 persen sedangkan biaya untuk pupuk sebesar 12,73
persen relatif lebih sedikit dibandingkan dengan biaya pupuk yang dikeluarkan
oleh petani mitra. Alokasi biaya obat-obatan menjadi biaya tunai dengan alokasi
kedua terbesar dalam biaya usahatani cabai rawit merah yang dilakukan oleh
petani nonmitra. Besar biaya obat-obatan yang dikeluarkan petani cabai rawit
nonmitra mencapai 25,90 persen dari total biaya usahatani yang dikeluarkan.
Tingginya biaya obat-obatan pada kegiatan usahatani cabai rawit merah
74
disebabkan tingginya kebutuhan obat-obatan untuk mencegah tanaman terserang
hama dan penyakit.
Biaya untuk tenaga kerja luar keluarga merupakan biaya terbesar dalam
biaya tunai yaitu sebesar 32,99 persen dari total biaya tunai usahatani. Hal ini
disebabkan karena banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan terutama pada
kegiatan pemanenan. Selain tenaga kerja luar keluarga, sewa lahan juga termasuk
kedalam komponen biaya tunai. Besar biaya sewa lahan adalah sebesar 2,00 dari
total biaya usahatani.
Biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya pembuatan bibit, upah tenaga
kerja dalam keluarga, dan biaya penyusutan peralatan. Alokasi biaya yang
diperhitungkan pada usahatani cabai rawit merah petani nonmitra mencapai 21,87
persen dari total biaya usahatani cabai rawit merah. Jadi total biaya usahatani
cabai rawit merah petani nonmitra per hektar luas lahan adalah sebesar Rp
18.370.111,55. Total biaya usahatani cabai rawit merah petani nonmitra relatif
lebih sedikit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani mitra
Indofood. Besar alokasi biaya-biaya usahatani cabai rawit merah petani non mitra
per hektar di Desa Cigedug dapat dilihat pada Tabel 12.
7.2.6. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra
Tabel 12 menunjukkan besar pendapatan usahatani atas biaya tunai yang
didapat oleh petani nonmitra yaitu sebesar Rp 138.466.236,61 sedangkan
pendapaatan usahatani atas biaya total sebesar Rp 120.096.125,06. Hasil tersebut
menunjukkan seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh setelah seluruh
biaya tertutupi ditandai dengan seluruh biaya hasil yang bernilai positif.
Pendapatan atas biaya tunai belumdapat menggambarkan pendapatan sebenarnya
yang diterima oleh petani karena petani masih mengeluarkan biaya-biaya yang
bersifat tidak tunai atau diperhitungkan. Pendapatan atas biaya tunai yang didapat
oleh petani nonmitra merupakan pengurangan total penerimaan usahatani dengan
total biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan pendapatan usahatani atas biaya
total merupakan pengurangan dari total penerimaan usahatani dengan total biaya
usahatani termasuk biaya yang diperhitungkan di dalamnya.
Usahatani cabai rawit merah yang dilakukan petani nonmitra di Desa
Cigedug dapat dikatakan efisien dan menguntungkan dilihat dari nilai
75
perbandingan antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
(R/C ratio). Berdasarkan Tabel 12, nilai R/C rasio atas biaya total yang diperoleh
petani nonmitra dengan luasan lahan sebesar satu hektar adalah sebesar 2,43. Nilai
tersebut berarti setiap pengeluaran petani sebesar Rp 1,00 akan mendapatkan
imbalan penerimaan sebesar Rp 2,43. Nilai R/C rasio bernilai positif
menunjukkan bahwa usahatani cabai rawit merah yang dilakukan petani nonmitra
pada lahan seluas satu hektar telah efisien untuk dijalankan karena besar
penerimaan yang dihasilkan lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan.
Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai juga dapat digunakan untuk menunjukkan
seberapa besar penerimaan yang didapat petani nonmitra tetapi terhadap biaya
tunai yang benar-benar dikeluarkan tanpa biaya yang diperhitungkan.
Tabel 12. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah Petani Nonmitra Di Desa
Cigedug Per Hektar Luasan Lahan Untuk Satu Musim Tanam
Uraian Satuan Jumlah
Fisik
Harga
(Rp/Satuan)
Nilai Total
(Rp) (%)
A. Penerimaan
Produksi Cabai Rawit Merah kg 9.860,17 10.397 102.516.233,4 50,23
Produksi Tomat kg 36.648,89 1.785 65.418.266,67 39,34
Produksi Kol kg 22.609,88 1.600 36.175.802,47 21,76
Total Penerimaan 204.110.302,6 100,00
B. Biaya Usahatani
1. Biaya Tunai
a. Bibit Cabai Rawit Merah pohon 8.863 50 443.152,45 0,53
b. Bibit Tomat pohon 20.157 125 2.519.625,00 3,00
c, Bibit Kol pohon 16.581 50 829.050,00 0,99
d. Pupuk
Pupuk Kandang kg 9.496,26 300 2.848.878,74 3,39
ZA kg 318,26 1.800 572.868,22 0,68
TSP kg 354,01 2.000 708.010,34 0,84
KCL kg 159,43 1.700 271.033,59 0,32
NPK kg 676,38 8.000 5.411.059,43 6,44
Ponska kg 385,44 2.300 886.520,24 1,06
e. Obat-obatan
Obat Padat kg 92,70 145.000 13.441.383,91 16,00
Obat Cair liter 19,60 424.223 8.314.770,27 9,90
f. TKLK HOK 1.847,6 15.000 27.714.222,07 32,99
g. Sewa Lahan Rp
1.683.491,69 2,00
Total Biaya Tunai 65.644.065,95 78,13
76
2. Biaya Tidak Tunai (Yang Diperhitungkan)
a. Bibit Cabai Rawit Merah pohon 15.431 30 462.919,90 0,55
b. TKDK HOK 376,5 15.000 5.647.286,82 6,72
c. Penyusutan Peralatan Rp
5.193.396,52 6,18
d. Sewa Lahan Rp
7.066.508,314 8,41
Total Biaya Yang Diperhitungkan 18.370.111,55 21,87
C. Total Biaya Usahatani (B1+B2)) 84.014.177,51 100,00
D. Pendapatan Atas Biaya Tunai (A-B1) 138.466.236,61
E. Pendapatan Atas Biaya Total (A-C) 120.096.125,06
F. R/C ratio Atas Biaya Tunai (A/B1) 3,11
G. R/C ratio Atas Biaya Total (A/C) 2,43
Besar nilai R/C atas biaya tunai petani cabai rawit merah yang tidak
bermitra pada lahan satu hektar adalah 3,11. Artinya setiap Rp 1,00 rupiah biaya
tunai yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 3,11. Selisih
antara nilai R/C rasio atas biaya tunai dengan nilai R/C rasio atas biaya total
adalah 0,68. Selisih nilai yang relatif kecil ini menunjukka bahwa kegiatan
usahatani cabai rawit merah yang dilakukan oleh petani yang tidak bermitra pada
lahan satu hektar di Desa Cigedug termasuk kedalam kegiatan komersil.
7.3. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah
Petani Mitra dan Nonmitra
Bedasarkan analisis pendapatan usahatani yang dilakukan pada petani
yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur dan petani yang
tidak menjalin kemitraan maka dapat diketahui bahwa besar pendapatan usahatani
atas biaya total yang diperoleh petani mitra yaitu sebesar Rp 224.233.027,36 lebih
besar dibandingkan pendapatan usahatani atas biaya total yang diperoleh petani
nonmitra yaitu sebesar Rp 120.096.125,06. Hal tersebut terjadi karena adanya
perbedaan penerimaan yang dipengaruhi oleh produktivitas cabai rawit merah.
Perbedaan produktivitas dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan antara petani mitra
dan nonmitra terhadap tanaman cabai rawit merah yang dibudidayakan.
Petani mitra memiliki kemampuan produktivitas lebih tinggi dibandingkan
petani nonmitra. Dalam menjalankan kegiatan usahataninya petani mitra
cenderung berfokus pada peningkatan produktifitas karena harga dan pasar yang
sudah jelas. Sedangkan bagi petani nonmitra motivasi pada kegiatan usahatani
yang dijalankan lebih kepada penambah pendapatan dari tanaman tumpang sari
77
yang di budidayakan. Selain itu harga yang diterima oleh petani nonmitra juga
tidak jelas sehingga petani hanya berperan sebagai price taker.
Pendampingan dan pembinaan yang dilakukan oleh pada agrofield
Indofood dilakukan untuk menjaga kestabilan pasokan cabai rawit merah ke
perusahaan. Hal itu berdampak pada kestabilan produktivitas usahatani cabai
rawit merah yang dijalankan petani mitra. Sedangkan petani nonmitra hanya
menjalankan usahatani cabai rawit merahnya tanpa tujuan tujuan tertentu sehingga
perlakuan terhadap kegiatan usahataninya belum maksimal. Usia produktif
tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas tanaman.
Pada petani responden nonmitra terdapat beberapa responden yang memiliki usia
produktif tanaman cabai rawit merah lebih rendah dibandingkan usia produktif
tanaman pada petani mitra. Intensitas panen juga mempengaruhi produktivitas
tanaman cabai rawit merah per hektar. Intensitas panen satu kali dalam satu
minggu merupakan intensitas yang paling tepat untuk dilakukan karena mencegah
buah terlalu matang di pohon sehingga mengurangi potensi terkena serangan
hama dan penyakit.
Perbedaan nilai R/C rasio antara petani mitra dengan petani nonmitra
dapat menunjukkan perbedaan efisiensi atas kegiatan usahatani yang dilakukkan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai R/C rasio atas biaya total pada usahatani
cabai rawit merah yang dilakukan petani mitra lebih besar dibandingkan dengan
usahatani cabai rawit merah yang dilakukan petani nonmitra di Desa Cigedug.
Bagi petani mitra, setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan mampu
menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,69 sedangkan petani nonmitra hanya
menghasilkan Rp 2,43 sehingga petani mitra dapat dikatakan memiliki efisiensi
usahatani lebih tinggi daripada petani nonmitra di Desa Cigedug.
Secara umum berdasarkan pada hasil perbandingan pendapatan usahatani
cabai rawit merah antara petani mitra dan nonmitra tersebut dapat dilihat bahwa
proses kemitraan lebih memberikan manfaat bagi usahatani yang dijalankan oleh
petani cabai rawit di Desa Cigedug. Namun, tidak semua petani yang tertarik
untuk menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Hal ini terjadi
karena faktor harga pasar yang dapat meningkat secara drastis menjadi harapan
utama bagi para petani nonmitra. Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya
78
petani yang tidak berkomitmen saat harga cabai rawit merah di pasar mengalami
peningkatan drastis melebihi harga kontrak yang di tetapkan.
79
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
1. Keragaan usahatani cabai rawit merah yang dilakukan para petani
responden baik petani mitra maupun nonmitra di Desa Cigedug pada
umumnya memiliki persamaan pada proses budidayanya. Namun terdapat
beberapa perbedaan proses budidaya yang dapat menyebabkan tingkat
produktifitas per hektar lahan. Perbedaan terdapat pada jarak tanam serta
penggunaan faktor-faktor input seperti jumlah dan jenis pupuk yang
digunakan, jumlah dan dosis obat-obatan yang digunakan, penggunaan
tenaga kerja, perawatan dan proses pemanenan yang dilakukan. Perbedaan
tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
produktifitas usahatani cabai rawit merah pada petani mitra lebih tinggi di
bandingkan dengan petani nonmitra.
2. Besar penerimaan yang berasal cabai rawit merah yang dihasilkan petani
nonmitra lebih sedikit dibandingkan yang dihasilkan oleh petani mitra
yaitu sebesar Rp 102.516.233,43 sedangkan petani mitra mampu
menghasilkan penerimaan yang berasal dari cabai rawit merah sebanyak
Rp 199.793.382,50. Hal tersebut disebabkan produktivitas petani mitra
lebih tinggi dibandingkan produktivitas petani nonmitra.
3. Usahatani cabai rawit merah yang dijalankan petani mitra di Desa Cigedug
juga dapat disimpulkan lebih menguntungkan karena memiliki nilai
pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan petani nonmitra. Besar
pendapatan usahatani cabai rawit merah pada petani mitra adalah sebesar
Rp 224.233.027,36 sedangkan pendapatan usahatani cabai rawit merah
petani nonmitra hanya sebesar Rp 120.096.125,06.
4. Nilai R/C rasio petani mitra sebesar 3,69 sedangkan nilai R/C rasio petani
nonmitra di Desa Cigedug adalah sebesar 2,43. Nilai tersebut menunjukan
bahwa kegiatan usahatani pada petani mitra lebih efisien daripada petani
nonmitra.
80
8.2. Saran
Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa saran yang dapat dikembangkan
antara lain :
1. Proses kemitraan dapat menjadi pilihan untuk dilakukan bagi petani cabai
rawit merah di Desa Cigedug karena lebih efisiean dan dapat memberikan
keuntungan yang lebih besar dilihat dari pendapatan usahatani cabai rawit
merah, kepastian harga dan pasar, kemudahan pinjaman modal dan sarana
produksi pertanian serta pembinaan pada usahatani cabai rawit merah dari
agrofield Indofood.
2. Peran vendor pada proses kemitraan seharusnya dapat melibatkan petani
cabai rawit yang bermitra secara langsung agar margin sebesar Rp
5.000,00/kg cabai rawit merah dapat pula dirasakan oleh petani cabai rawit
merah yang menjadi anggota Gapoktan Cagarit dalam proses kemitraan
yang dijalankan.
3. Dalam menjalankan kegiatan usahatani cabai rawit merah petani nonmitra
tidak mendapatkan pembinaan dari agrofield Indofood, sehingga peran
pemerintah daerah setempat melalui Penyuluh Pertanian Lapang (PPL)
sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas per hektar lahan
usahatani cabai rawit merah yang dijalankan oleh petani nonmitra.
4. Penelitian ini belum dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar
pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi terhadap tingkat
produktivitas cabai rawit merah sehingga masih diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi
terhadap tingkat produktivitas cabai rawit merah.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ali F. 2005. Analisis Tingkat Pendapatan dan Kepuasan Petani Terhadap
pelaksanaan Kemitraan Jagung Manis di Kecamatan Jampang Tengah
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Cabai,2009-2010. http://www.bps.go.id [Diakses pada 21 Januari 2012].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi
9 Februari 2011. http://dds.bps.go.id [Diakses pada 17 Februari 2012].
[Deptan RI] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2010. Luas Panen Cabai
Rawit Menurut Provinsi, 2006-2010. http://www.deptan.go.id [Diakses
pada 3 Februari 2012].
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Produksi Cabai Rawit Menurut Provinsi,
2006-2010. http://www.deptan.go.id [Diakses pada 3 Februari 2012]
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Produktivitas Cabai Rawit Menurut
Provinsi, 2006-2010. http://www.deptan.go.id [Diakses pada 3 Februari
2012]
Dillon JL, Brian HJ. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan
Petani Kecil. Soekartawi, Soeharjo A, penerjemah; Jakarta: UI-Press.
Terjemahan dari:Farm Management Research for Small Development
[Diperta] Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut.
2009. Profil Kawasan Cabai Merah di Garut. http://www.garutkab.go.id
[Diakses pada 25.Januari 2012].
[Diperta] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2010. Luas
Areal Tanaman Sayuran Tahun 2005 – 2009 Menurut Kabupaten dan
Kota di Jawa Barat. http://diperta.jabarprov.go.id/. [Diakses pada 21
Januari 2012]
[Ditjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Membangun
Hortikultura Berdasarkan Enam Pilar Pengembangan.
http://hortikultura.go.id [Diakses pada 22 Januari 2012].
[Ditjen Hortikultura] Direktorat Jenderal Hortikultura. 2009. Gambaran Kinerja
Makro Hortikultura 2008. http://hortikultura.go.id. [Diakses pada 22
Januari 2012].
Iryanti R. 2005. Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik
(Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor). [Skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya
Khairina Y. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan
Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua,
Bogor). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
82
Marliana. 2008. Analisis Manfaat dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Keputusan Petani Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Lettuce Di PT Saung
Mirwan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Patrick I et al. 2004. Contract farming in Indonesia : Smallholders and
agribusiness working together.
[Pemerintah Kabupaten Garut]. 2010. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kabupaten Garut Tahun 2009.
Pertiwi I. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Pemasaran Cabai
Merah Keriting (studikasus di Desa Cisarua Kabupaten Sukabumi Jawa
Barat). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Purnaningsih N, Sugihen BG. 2008. Manfaat Keterlibatan Petani Dalam Pola
Kemitraan Agribisnis Sayuran Di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Vol. 4
No. 2 .
Purwadi T. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani Pisang Ambon Melalui Program
Primatani (Kasus: Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Setiadi. 1999. Jenis dan Budidaya Cabai Rawit. Jakarta: Penebar Swadaya
Setiadi. 2005. Bertanam Cabai. Jakarta : Penebar Swadaya
Siregar FM. 2008. Analisis Usahatani Cabai Merah Organik (Studi Kasus
Kelompok Tani "Kaliwung Kalimuncar" Desa Tugu Utara, Kecamatan
Cisarua, Bogor). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Jakarta: UI Press.
Suratiyah K. 2009. Ilmu Usahatani Cetakan Ke 3. Jakarta : Penebar Swadaya.
Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi- Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogor: Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Tohir KA 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. Bagian Dua.
Jakarta: PT. Bina Aksara.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga
di Indonesia, 2004-2012
Tahun Konsumsi (Kg/kapita) Pertumbuhan (%)
2004 1,147
2005 1,272 10,91
2006 1,168 -8,20
2007 1,517 29,91
2008 1,444 -4,81
2009 1,288 -10,83
2010 1,298 0,81
Rata-rata 1,273 2,49
2011*) 1,307 0,66
2012*) 1,316 0,66
Sumber : Susenas, BPS (2012)
Keterangan : *) angka prediksi pusdatin, Kementrian Pertanian
85
Lampiran 2. Perbandingan Besar Konsumsi Cabai Rawit dengan Cabai Merah dan Cabai Hijau Dalam Rumah Tangga di
Indonesia,2004-2010
Tahun
Cabai Merah Cabai Hijau Cabai Rawit Total
Kg/Kapita Pertumbuhan
(%) Kg/Kapita Pertumbuhan
(%) Kg/Kapita Pertumbuhan
(%) Kg/Kapita Pertumbuhan
(%)
2004 1,361 0,240 1,147 2,748
2005 1,564 14,94 0,261 8,70 1,272 10,91 3,097 12,71
2006 1,382 -11,67 0,235 -10,00 1,168 -8,20 2,748 -10,10
2007 1,470 6,42 0,302 28,89 1,517 29,91 3,290 18,16
2008 1,549 5,32 0,266 -12,07 1,444 -4,81 3,259 -0,95
2009 1,523 -1,68 0,235 -11,76 1,288 -10,83 3,045 -6,56
2010 1,528 0,34 0,256 8,89 1,298 0,81 3,082 1,20
Rata-rata 1,482 1,935 0,256 2,108 1,305 2,965 3,038 2,41
Sumber : Susenas, BPS (2012)
Keterangan : *) angka prediksi pusdatin, Kementrian Pertanian
86
Lampiran 3. Produksi Cabai Rawit (ton) Menurut Provinsi Tahun 2007-2010
Provinsi Tahun Pertumbuhan
2009 ke 2010 2007 2008 2009 2010
Aceh 11.207 10.238 14.093 28.825 104,53
Sumatera Utara 17.541 19.438 30.377 41.653 37,12
Sumatera Barat 2.826 5.132 5.745 6.665 16,01
R i a u 4.021 2.520 3.468 4.333 24,94
J a m b i 2.813 2.961 4.033 5.149 27,67
Sumatera Selatan 3.560 5.793 7.863 9.806 24,71
Bengkulu 4.979 7.541 7.562 12.694 67,87
Lampung 7.393 7.393 8.022 9.916 23,61
Bangka Belitung 2.919 2.638 2.791 2.989 7,09
Kep. Riau 1.647 1.792 1.589 1.441 -9,31
Jawa Barat 79.713 73.261 106.304 78.906 -25,77
Jawa Tengah 48.811 50.662 80.936 60.399 -25,37
DI Yogyakarta 1.825 1.617 1.892 2.056 8,67
Jawa Timur 140.552 130.490 177.795 142.109 -20,07
Banten 3.110 2.390 2.351 2.797 18,97
B a l i 14.677 14.713 14.506 11.826 -18,48
NTB 36.993 40.977 34.835 13.090 -62,42
NTT 3.923 7.072 5.639 3.331 -40,93
Kalimantan Barat 4.240 4.863 7.205 4.372 -39,32
Kalimantan Tengah 3.478 5.653 5.830 2.514 -56,88
Kalimantan Selatan 6.126 5.833 3.606 3.191 -11,51
Kalimantan Timur 7.728 9.781 8.653 7.721 -10,77
Sulawesi Utara 5.660 5.832 12.899 9.150 -29,06
Sulawesi Tengah 3.926 5.057 5.434 9.957 83,34
Sulawesi Selatan 8.721 11.443 9.660 14.429 49,37
Sulawesi Tenggara 1.489 915 2.600 4.952 90,46
Gorontalo 10.023 11.260 14.690 17.001 15,73
Sulawesi Barat 2.366 953 1.590 2.004 26,04
M a l u k u 1.908 617 245 768 213,47
Maluku Utara 554 1.081 290 362 24,83
Papua Barat 578 677 2.337 3.122 33,59
Papua 6.654 6.803 6.454 4.176 -35,30
Indonesia 451.965 457.353 591.294 521.704 -11,77
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)
87
Lampiran 4. Produktivitas Cabai Rawit (ton/ha) Menurut Provinsi Tahun 2007-
2010
Provinsi Tahun Pertumbuhan
2009 ke 2010 2007 2008 2009 2010
Aceh 4,59 4,15 5,49 7,79 41,89
Sumatera Utara 6,70 7,13 8,07 8,43 4,46
Sumatera Barat 3,47 5,27 5,07 5,66 11,64
R i a u 3,74 2,48 3,14 3,57 13,69
J a m b i 2,91 3,30 3,67 3,74 1,91
Sumatera Selatan 2,64 3,79 5,22 4,78 -8,43
Bengkulu 2,43 3,38 4,52 5,89 30,31
Lampung 4,03 3,47 3,72 4,65 25,00
Bangka Belitung 3,81 3,35 4,71 5,86 24,42
Kep. Riau 5,58 6,29 3,48 3,83 10,06
Jawa Barat 12,04 10,82 14,96 9,32 -37,70
Jawa Tengah 3,80 3,79 5,28 4,38 -17,05
DI Yogyakarta 3,32 3,18 3,86 3,43 -11,14
Jawa Timur 3,96 3,51 3,79 3,24 -14,51
Banten 5,10 4,89 3,74 4,22 12,83
B a l i 5,76 7,08 5,72 4,22 -26,22
NTB 5,04 5,39 5,05 3,38 -33,07
NTT 4,93 6,65 6,16 3,85 -37,50
Kalimantan Barat 3,30 4,03 4,68 3,00 -35,90
Kalimantan Tengah 3,29 3,86 5,40 2,30 -57,41
Kalimantan Selatan 8,48 5,29 4,40 4,15 -5,68
Kalimantan Timur 4,18 4,35 4,63 4,05 -12,53
Sulawesi Utara 4,62 4,72 4,73 3,50 -26,00
Sulawesi Tengah 4,24 2,80 2,81 4,50 60,14
Sulawesi Selatan 2,42 2,86 2,61 3,72 42,53
Sulawesi Tenggara 3,05 2,40 3,50 3,99 14,00
Gorontalo 5,28 6,42 5,10 6,87 34,71
Sulawesi Barat 5,15 1,76 2,11 4,06 92,42
M a l u k u 6,04 4,90 3,95 3,04 -23,04
Maluku Utara 2,32 1,75 1,00 1,28 28,00
Papua Barat 3,42 3,11 6,81 9,16 34,51
Papua 4,49 4,37 5,55 4,93 -11,17
Indonesia 4,67 4,47 5,07 4,56 -10,06
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)
86
Lampiran 5. Perkembangan Harga Rata-rata (Rp) Jenis Cabai Rawit Merah di
Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, 2011.
Bulan
Harga (Rp/Kg)
Cabai
Keriting
Cabai
Merah
Cabai Rawit
Merah
Cabai Rawit
Hijau
Januari 37.107 24.321 75.964 32.571
Februari 28.000 19.035 73.964 29.642
Maret 18.536 13.696 66.179 16.000
April 10.571 10.107 35.429 11.532
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
6.268
5.582
5.218
7.158
10.932
8.660
5.936
5.775
8.272
10.275
19.107
18.536
11.768
11.329
8.957
6.464
4.786
3.536
5.236
5.612
Oktober 17.196 16.714 9.921 15.536
November 24.429 28.321 13.464 13.429
Desember 30.679 27.893 21.821 10.286
87
Lampiran 6. Luas Areal Tanam (ha) Cabai Rawit Tahun 2005-2009 Menurut
Kabupaten dan Kota di Jawa Barat.
Kabupaten/Kota Tahun (Hektar)
2005 2006 2007 2008 2009
Bogor 226 322 371 286 253
Sukabumi 687 603 461 482 538
Cianjur 1061 924 1419 1482 921
Bandung 559 643 477 335 260
Garut 1314 1485 1343 1335 1463
Tasikmalaya 248 189 202 222 243
Ciamis 131 92 262 137 152
Kuningan 160 192 197 203 278
Cirebon 32 59 11 12 25
Majalengka 745 613 455 420 518
Sumedang 252 227 232 212 235
Indramayu 42 82 87 403 354
Subang 196 238 191 164 159
Purwakarta 95 203 146 175 224
Karawang 302 125 199 82 452
Bekasi 1 6 2 36 10
Bandung Barat 0 0 0 240 412
Bogor 15 12 12 15 26
Sukabumi 1 0 0 5 0
Bandung 2 7 7 7 5
Cirebon 7 10 4 2 2
Bekasi 4 5 8 0 4
Depok 0 0 0 0 0
Cimahi 0 2 8 2 16
Tasikmalaya 2 1 3 5 1
Banjar 13 5 5 24 16
Jumlah 6095 6045 6102 6286 6567
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)
88
Lampiran 7. Harga Rata-rata Mingguan Cabai Rawit Merah di Tingkat Petani
dan Pasar Induk Kramat Jati.
Tahun
Bulan Harga di Tingkat Petani di Desa Cigedug*
Harga di Pasar Induk Kramat
Jati**
2011 Juni 10.000 18.857
9.200 16.286
9.850 18.571
9.900 20.429
Juli 9.100 14.571
8.600 12.000
8.000 10.857
7.300 9.643
Agustus 7.800 10.071
7.500 13.800
7.425 9.143
8.000 12.800
September 8.200 10.400
8.400 8.929
7.400 8.714
5.500 6.786
Oktober 5.600 8.857
5.500 10.043
7.000 10.214
7.200 10.571
November 7.100 11.429
7.325 12.429
7.300 14.286
8.125 15.714
Desember 8.000 18.429
8.500 22.714
8.500 22.857
8.100 23.286
2012 Januari 7.500 19.714
10.300 11.429
11.800 12.429
11.900 19.143
Februari 9.700 14.429
10.125 15.143
11.000 12.571
11.400 13.286
Maret 16.725 22.000
21.300 22.714
23.200 29.429
29.800 33.714
April 29.000 35.857
29.100 34.571
18.300 21.429
7.000 13.429
Mei 5.500 11.714
5.000 8.214
5.000 8.571
5.000 10.429
Rata-rata 10.397 16.685
89
Lampiran 8. Contoh Kontrak Kemitraan Gapoktan dengan PT. Indofood
Fritolay Makmur.
PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
SUPPLIER CRM CAGAR INTAN
DENGAN
………………………………………
TENTANG
PENGANGKATAN KETUA KELOMPOK TANI
Nomor :……/MOU-KT/CGD-CI/……/2011
Perjanjian kerjasama ini (selanjutnya disebut “PERJANJIAN”) dibuat dan
ditandatangani pada hari …… tanggal
………………………………….(…./…./2011) di …………. oleh dan antara:
1. Bubun Bunyamin : bertindak sebagai Supplier CRM Cagar Intan
berdasarkan
……………………………………………..yang
beralamat di Kp. Situgede No.83 RT03/RW08,
Kec. Cugedug, Kabupaten Garut, selanjutnya
dalam Nota Kesepahaman ini disebut sebagai
PIHAK PERTAMA.
2. …………….. : Selaku Ketua Kelompok Tani yang beralamat di
…………………………….., selanjutnya dalam
Nota Kesepahaman ini disebut sebagai PIHAK
KEDUA.
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA untuk selanjutnya secara bersama-
sama disebut Para Pihak.
90
Bahwa PIHAK PERTAMA adalah Organisasi tunggal yang mewadahi dan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan dan sekaligus sebagai pembawa
aspirasi kelompok tani sesuai dengan prinsip-prinsip kelompok tani, yang mana
ditunjuk sebagai supplier penanaman cabai rawit merah (CRM) untuk memenuhi
kebutuhan PT. Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk..
Bahwa PIHAK KEDUA adalah petani mandiri yang memiliki kewenangan untuk
megkoordinir dan mengelola beberapa orang petani anggota dengan pembagian
areal yang telah ditetapkan.
Para Pihak telah bersepakat, tentang akan bergabungnya PIHAK KEDUA
menjadi ketua kelompok tani didaerah ............... dibawah koordinasi Supplier
Cagar Intan Garut dalam kegiatan penanaman cabai rawit merah (CRM) untuk
memenuhi kebutuhan PT. Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk..
Berdasarkan uraian diatas, Para Pihak sepakat membuat dan menandatangani
Perjanjian ini dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut :
PASAL I
LINGKUP KERJASAMA
Kerjasama Para Pihak dalam hal ini adalah tentang penanaman Cabai
Rawit Merah (CRM) sebagai pemenuhan kebutuhan PT. Indofood CBP Sukses
Makmur, Tbk.
PASAL II
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
2.1. PIHAK PERTAMA
A. KEWAJIBAN PIHAK PERTAMA
a.1. Memberikan uang pembinaan tepat waktu kepada PIHAK
KEDUA;
a.2. Melakukan pembinaan kepada PIHAK KEDUA;
B. HAK-HAK PIHAK PERTAMA
b.1. Berhak melakukan seleksi calon Ketua Kelompok tani;
b.2. Berhak mengangkat dan memberhentikan ketua kelompok tani
atas sepersetujuan PIHAK INDOFOOD;
91
2.2. PIHAK KEDUA
A. KEWAJIBAN PIHAK KEDUA
a.1. Mengajukan perencanaan tanam dan supply per 3 (tiga) bulan
terhadap PIHAK PERTAMA;
a.2. Mengantarkan supply CRM (DT) hingga kegudang penyimpanan
atau diterima oleh PIHAK PERTAMA;
a.3. Melakukan pembinaan dan pengontrolan terhadap anggota
kelompok dalam sisi teknis maupun non-teknis sesuai dengan
arahan PIHAK PERTAMA;
a.4. Bertanggungjawab atas pendataan administrasi anggota kelompok
masing-masing area kerja;
a.4. Menandatangani kontrak perjanjian di atas materai;
B. HAK-HAK PIHAK KEDUA
b.1. Menerima uang pembinaan dari PIHAK PERTAMA dengan
ketentuan sebagai berikut. Uang pembinaan didasarkan atas
supply dari masing – masing kelompok tani dengan ketentuan Rp.
400,- /Kg CRM (DT)
Keterangan :
DT = Dengan Tangkai
TT = Tanpa Tangkai
b.2. Mendapatkan uang pembinaan tepat waktu yaitu, 7 (tujuh) hari
kerja setelah supply barang (CRM) dan tagihan diterima oleh
pabrik.
PASAL III
EVALIASI KERJA DAN PEMUTUSAN KERJASAMA
3.1. Evaluasi kerja dilakukan secara periodik dengan rentang waktu per 3
(tiga) bulan;
3.2. Evaluasi kerja dihadiri oleh Para Pihak dan PIHAK INDOFOOD,
dalam hal ini sebagai pembina dan pengawas kinerja Para Pihak;
3.3. Pemutusan kerjasama dilakukan dengan dua cara yaitu:
92
A. Pengunduran diri dari PIHAK KEDUA secara tertulis;
B. Pemberhentian secara sepihak dari PIHAK PERTAMA secara
tertulis setelah 2 (dua) kali surat peringatan dan berkoordinasi
dengan PIHAK INDOFOOD, dalam hal ini sebagai pemegang
keputusan tetap;
PASAL IV
PENYELESAIAN PERMASALAHAN
4.1. Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak diluar klausul-
klausul diatas maka pada dasarnya akan diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat;
4.2. Apabila Pasal IV ayat 4.1. tidak tercapai maka penyelesaian
permasalahan akan ditempuh melalui jalur hukum di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
PASAL V
SANKSI-SANKSI
5.1. Apabila terjadi pengingkaran terhadap klausul-klausul di atas, PIHAK
KEDUA akan diberhentikan selaku Ketua Kelompok Tani dibawah
koordinasi Supplier Cagar Intan;
5.2. Apabila PIHAK KEDUA melakukan kecurangan dan atau
mengetahui penjualan hasil panen kelompoknya ke pihak lain dengan
tidak memberikan informasi kepada PIHAK PERTAMA dan
PIHAK INDOFOOD maka, PIHAK KEDUA akan diberhentikan
sebagai Ketua Kelompok Tani secara sepihak, dan mengembalikan 10
(sepuluh) kali dari seluruh uang pembinaan yang telah diterima;
5.3. Barang dari anggota kelompok PIHAK KEDUA yang telah terdaftar,
dijamin akan dibeli oleh PIHAK PERTAMA.
93
PASAL VI
PEMBERITAHUAN
6.1. Semua pemberitahuan Para Pihak sehubungan dengan perjanjian ini
dilakukan secara lisan dan tulisan;
6.2. Pemberitahuan secara tertulis dan surat menyurat dalam rangka
perjanjian ini, dialamatkan kepada :
Pihak Pertama :
SUPPLIER CRM CAGAR INTAN
Pihak Kedua :
KETUA KELOMPOK TANI
Kp. Situgede No.83 RT03/RW08,
Kec. Cugedug, Kabupaten Garut,CODE
POS
Telp. +62….. Mobile.
+62…
PASAL VII
LAIN-LAIN
7.1. Hal-hal yang belum cukup diatur dalam perjanjian ini atau perubahan-
perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak akan diatur
kemudian atas dasar pemufakatan bersama oleh kedua belah pihak
yang dituangkan ke dalam suatu perjanjian tambahan atau addendum
yang dibuat dan ditandatangani oleh Para Pihak yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini;
7.2. Perjanjian ini hanya dapat dirubah dengan perjanjian tertulis yang
ditandatangi oleh keduabelah pihak.
PASAL VIII
PENUTUP
8.1. Perjanjian ini dinyatakan berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
94
8.2. Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai
cukup dan mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang setiap
halamannya diparaf oleh kedua belah pihak.
Demikian perjanjian kesepakatan ini dibuat dan disepakati oleh kedua belah
pihak, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, dengan penuh kesadaran dan
tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Perjanjian kesepakatan ini dibuat sebagai
legalitas kesepakatan bagi kedua belah pihak dan tidak dapat dipergunakan
sebagai jaminan kepada pihak ke-3 (tiga).
Garut, ................... 2011
PIHAK PERTAMA
Bubun Bunyamin,
PIHAK KEDUA
Supplier Crm Cagar Intan
95
Lampiran 9. Kuesioner Pendapatan Petani Cabai Rawit
KUESIONER PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan penyusun skripsi ” Analisis
Pengaruh Kemitraan Terhadap Pendapatan Usahatani Petani Cabai Rawit
Capsicum frutescens. (Kasus : Sentra Usahatani Cabai Rawit Di Desa
Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut)” oleh Tubagus
Fazlurrahman (H34080050), Mahasiswa Program Sarjana, Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
No. responden :
Tanggal wawancara :
Nama responden :
Nomor telp/HP :
Kelompok tani :
Alamat :
A. Identitas dan Karakteristik Responden
1. Nama responden :
2. Jenis kelamin : Laki-laki/Perempuan
3. Alamat :
4. Umur responden : _____tahun
5. Pendidikan terakhir :_____ tahun
6. Status usahatani *) : 1) Pekerjaan utama
2) Pekerjaan sampingan
*dilihat dari curahan waktu kerja
7. Pengalaman bertani cabai rawit :_____tahun,_____bulan
8. Tergabung dalam kelompok tani :
1) Ya, sebagai ………….. ………. …… 2) Tidak
Alasan : …………………………………………………………………………….
9. Jika ya, nama kelompok tani ………………………,bergabung sejak tahun……,
10. Identitas dan Karakteristik Sumberdaya yang digunakan dalam usahatani.
Nama Umur
(Tahun)
Jenis
Kelamin
1. Lk
2. Pr
Hubungan dengan
Kepala Keluarga
1. Isteri
2. Anak Lk
3. Anak Pr 4. Hubungan Lain
5. Tanpa Hubungan
Pendidiikan
Formal
(Tahun)
Pengalaman
Bertani (Tahun)
Pekerjaan Utama
1. Petani
2. Pedagang/bisnis
3. Penerima gaji
4. Penerima Upah 5. Lainnya,
(jelaskan)
96
B. Penguasaan Lahan dan Pola Tanam Cabai Rawit Merah
B.1. Penguasaan lahan cabai rawit merah
No.
Digarap sendiri Digarap orang lain Sewa Bagi Hasil Lainnya Total
Area (ha) Harga
(Rp/m2)
Area (ha) Harga
(Rp/m2)
Area
(ha)
Harga
(Rp/m2)
Area
(ha)
Harga
(Rp/m2)
Area (ha) Harga
(Rp/m2)
Area
(ha)
Harga
(Rp/m2)
1
2
3
4
5
Total
B.1. Pola Tanam setahun terakhir pada semua kebun cabai yang dikuasai:
a. Monokultur b. Tumpang Sari, dengan ………………………….
Alasan : ……………………………………………………………………………………..
B.2. Pola Tanam Tanaman cabai rawit merah per luas lahan per tahun
Luas Lahan
Tiap Persil
Bulan1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persil 1
..…..ha
Persil 2
..…..ha
Persil 3
..…..ha
Ket : 1) Bulan 1 = Bulan Awal Tanam/Pembibitan
97
C. Analisis Usahatani Cabai rawit yang Diusahakan pada Lahan yang Ditanami Cabai rawit dalam
Setahun Terakhir
1. Proses Produksi
2. Panen
a. Umur siap panen : ________________________ (*bulan/hari)
b. Intensitas panen ;__________ _______________kali per minggu
c. Usia produktif tanaman : _________________________Bulan
d. Siklus Panen
Panen Ke - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 total
Jumlah
Produksi (kg)
Harga (Rp)
Panen Ke - 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jumlah
Produksi (kg)
Harga (Rp)
Total (Kg)
3. Produksi rata-rata cabai rawit : ..……………………………………………………
4. Harga rata-rata cabai rawit (Rp/kg) : ……………………………………………………
5. Produksi dan harga Tomat
Panen
Ke -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 total
Jumlah
Produksi
(kg)
Harga
(Rp)
6. Produksi Kol (kg) : ……………………………………………………………
7. Harga Rataan Kol (Rp/kg) : ……………………………………………………
98
8. Biaya- Biaya Variabel :
Uraian Fisik (Kg, Liter) Harga (Rp/Kg,Liter) Nilai (Rp)
1. Bibit Cabai Rawit Merah
a. Milik
- Varietas :……………
b. Beli
- Varietas :……………
Bibit Tomat
a. Milik
- Varietas :……………
b. Beli
- Varietas :……………
Bibit Kol
a. Milik
- Varietas :……………
b. Beli
- Varietas :……………
2. Jenis Pupuk
a. Organik
- Kandang
Beli
Milik
- Kompos
Beli
Milik
b. Anorganik
- NPK
- ZA
- Urea
- TSP
c. Lainnya
-
-
-
3. Pestisida
a. Padat
-
-
-
b. Cair
-
_
_
c. Lainnya
-
-
-
4. Biaya variable Lainnya
a. Biaya irigasi/Beli Air
b. Iuran Desa
c. Lainnya
99
Uraian Fisik (Kg, Liter) Harga (Rp/Kg,Liter) Nilai (Rp)
Total
9. Biaya Tetap
a. Penyusutan Peralatan yang Digunakan dalam Usahatani Cabai rawit
Jenis Alat Jumlah
(buah)
Tahun
Pembelian/
Pembuatan
Nilai
Pembelian
(Rp)
Estimasi
umur
ekonomis
(Thn)
Biaya Penyusutan/Tahun
(Rp)
Cangkul
Sekop
Traktor tangan
Arit
Bajak (besi/kayu)
Mulsa plastik
Gunting
Botol bibit
Gelas plastic bibit
Polybag
Bedengan Pembibitan
(bambu/lainnya)
Ajir (Bambu)
Lainnya
b. Penggunaan Tenaga Kerja Per Musim Tanam
Kegiatan
Musim Tanam
Keluarga (JK) Upahan (JK) Borongan (Rp)
L P L P
1. Persiapan lahan
a. Pembersihan gulma
b. Pengolahan tanah
i. Ternak
ii. Traktor
iii. Manusia
c. Pembuatan Bedengan
d. Pemupukan lahan
e. Pemasangan mulsa
2. Pembibitan
3. Penyemaian
4. Penanaman
5. Perawatan
a. Penyulaman
b. Perempelan
c. Pemasangan Ajir
d. Pengairan
100
Kegiatan
Musim Tanam
Keluarga (JK) Upahan (JK) Borongan (Rp)
L P L P
e. Penyiangan
6. Pemupukan
7. Pengendalian hama dan penyakit
8. Pemeliharaan lainnya
9. Pemanenan
10. Pasca Panen
a. Penyortiran
b. Pengemasan
c. Pengangkutan
d. Lainnya
Jumlah
Keterangan :
- Upah buruh laki-laki (termasuk nilai makan, dll) = Rp._________________untuk......jam/hari
- Upah buruh perempuan (termasuk nilai makan, dll) = Rp._________________untuk......jam/hari
- Cara pengisian kolom L atau P adalah (Jumlah orang x jam per hari x jumlah hari kerja) misal
(5 x 4 x 11) HOK
- Kalau kegiatan diborongkan tulis kolom borongan jumlah biaya borongan saja
- Kalau borongan sistem bawon (untuk panen) tulis pada kolom borongan produksi fisik yang
dikeluarkan kali harga saat panen
10. Biaya Usahatani Lainnya
Jenis Pengeluaran (Rp)
- PBB
- Lainnya
……………………………
D. Penanganan Hasil Panen dan Pemasaran oleh Petani Nonmitra
1. Bagaimana saluran pemasaran cabai rawit merah?
2. Penanganan hasil panen terakhir (Jika tidak ada, isikan dengan angka 0 (nol) )
Disimpan untuk stok dan dijual kemudian Kg
Disimpan untuk konsumsi Kg
Disimpan yang akan digunakan untuk bibit Kg
3. Pada umumnya (volume terbesar penjualan), kapan menjual hasil panen?
a. menjelang musim tanam; c. harga tinggi;
b. sedang butuh uang; d. lainnya..........................
4. Siapa yang menentukan harga cabai rawit yang dijual ?
a. Petani b. tawar-menawar c. pembeli d. harga pasar e. Lainnya,……..
5. Apakah responden mengikuti perubahan harga cabai rawit
a. Ya, dari,……………..
101
b. Tidak
Jika Ya, Bagaimana perubahannya?
………………………………………………………………………………………………
6. Biaya pemasaran cabai rawit (jika petani melakukan pemasaran sendiri)
No. Uraian Penjualan (Rp/Kg)
1. Transportasi dan bongkar muat
2. Transportasi
3. Bongkar muat
4. Penyortiran
5. Pengemasan
6. Jaminan kualitas
7. Biaya penyimpanan
8. Penyusutan (hilang, rusak)
7. Apakah Bapak/Ibu akan menanam cabai rawit kembali pada periode selajutnya walaupun terjadii fluktuasi
harga?
Alasan : ……………………………………………………………………………………
E. Penanganan Hasil Panen dan Pemasaran oleh Petani Mitra
1. Alasan menjalankan kemitraan?
2. Sistem Pemasaran Hasil Produksi dengan Mitra
Uraian Bentuk 1)
Volume
(Kg)
Harga
(Rp/Kg)
Penentuan
harga 2)
Keterangan
Tingkat Petani
Vendor
(Gapoktan)
Isikan 1) : A. Muda B. Masak
2) : a. Gapoktan b. Petani c. Perusahaan Mitra
d. Lainnya
3. Hak Petani terhadap mitra ? (bisa lebih dari satu jawaban)
a. Mendapat modal dana pinjaman, sebesar ………………..
b. Mendapat modal bibit, sebanyak ………………………..
c. Mendapat Pembinaan atau pelatihan, selama …………….
d. Mendapat jaminan harga.
e. Mendapat jaminan pasar.
f. Lainnya,………………………………………………..
4. Kewajiban Petani terhadap mitra? (bisa lebih dari satu jawaban)
a. Mengembalikkan modal pinjaman
b. Mengembalikan modal bibit
c. Mengikuti Pelatihan dan pembinaan
d. Memberikan jaminan pasokan
e. Memberikan jaminan kualitas
f. lainnya,…………………………………………………
5. Kesepakatan harga saat harga melonjak seperti apa?
a. Adanya tambahan intensif bagi petani;Sebesar……………………….
b. Sesuai dengan kontrak awal;
c. Lainnya..........................
6. Persepsi terhadap kemudahan menjual hasil panen terhadap mitra ________
1= sangat mudah 2= mudah 3=kadang sulit 4= sulit
7. Harga yang menjadi pedoman penentuan harga jual cabai rawit;
a. Petani daerah lain b. harga di pasar rujukan di ….……
c. Biaya Produksi d .lainnya, ………..
8. Apakah responden mengikuti perubahan harga cabai rawit di pasar :
a. Ya, sumber informasi perubahan harga,……………..
b. Tidak
102
9. Jika harga sedang tinggi, apakah beralih dari kemitraan?
a. Ya b. Tidak
Alasan ………………………………………………………………………
10. Siapa pihak yang menanggung biaya pengangkutan dan transportasi?
a. Perusahaan Mitra Seluruhnya
b. Petani seluruhnya
c. Gapoktan seluruhnya
d. Lainny,……………………………………………………………
11. Kendala dan masalah dalam proses kemitraan?
a. Budidaya bermasalah
b. Harga tidak sesuai
c. Realisasi pembinaan dan pelatihan tidak ada
d. Kualitas produk bermasalah.
e. Lainnya …………………………………………………………..
103
Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian
Lahan Cabe Rawit Merah Pembibitan
Pemasangan Mulsa Pola Tanam Sejajar
Pengukuran Lubang Mulsa Pola Tanam Zigzag
104
Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan
Kol dan Tomat Kol
Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan Penyakit Patek Kering
Sawi
Patek dan Lalat Buah Obat-Obatan
105
Pupuk Kandang Sortasi dan Grading