Upload
dangmien
View
293
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
SISTEM PEMASARAN CABAI RAWIT MERAH (Capsicum
frutescens) DI DESA CIGEDUG KECAMATAN CIGEDUG
KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
ASMAYANTI
H34080034
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
RINGKASAN
ASMAYANTI. Sistem Pemasaran Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens)
Di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Skripsi. Departemen
Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di
bawah bimbingan RITA NURMALINA).
Salah satu komoditas unggulan nasional hortikultura adalah cabai. Cabai
merupakan komoditas agribisnis yang besar pengaruhnya terhadap dinamika
perekonomian nasional sehingga dimasukkan dalam jajaran komoditas
penyumbang inflasi yang terjadi setiap tahun, inflasi di tahun 2010 cabai rawit
merah menyumbang 0,22 persen. Cabai rawit merah memiliki harga yang sangat
fluktuasi bila dibandingkan dengan jenis cabai lainnya. Belum lama ini,
masyarakat Indonesia dikejutkan pada tingginya harga cabai rawit merah yang
mencapai Rp 120.000 per kg. Fluktuasi harga cabai rawit merah dipasaran
menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh sehingga petani
cabai rawit merah menanggung risiko usaha yang tinggi.
Desa Cigedug merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit merah di
Jawa Barat. Jaringan pemasaran cabai rawit merah di desa ini menempatkan
pedagang pengumpul desa pada posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan
petani produsen cabai rawit merah pada penentuan harga jual. Selain itu,
terbatasnya akses informasi pasar yang diterima petani dimana informasi pasar
berasal dari pedagang pengumpul desa serta kurangnya jalinan kerjasama antar
petani atau antar kelompok. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan pada sistem
pemasaran cabai rawit merah.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis saluran pemasaran, fungsi
pemasaran cabai rawit merah, struktur pasar, dan perilaku pasar, (2) menganalisis
marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, serta keterpaduan
pasar vertikal cabai rawit merah antara pasar di tingkat petani di Desa Cigedug
sebagai pasar lokal dengan Pasar Induk Kramat Jati sebagai pasar acuan.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut. Pengambilan responden petani dilakukan dengan metode purposive
sebanyak 30 orang, sedangkan untuk pedagang dilakukan dengan mengikuti alur
distribusi cabai rawit merah yang dimulai dari petani. Responden pedagang terdiri
dari 7 pedagang pengumpul desa, 8 pedagang besar, dan 7 pedagang pengecer.
Terdapat lima saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug yang
melibatkan beberapa lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul desa (PPD),
pedagang besar, dan pedagang pengecer. Saluran I : petani – pedagang pengumpul
desa (PPD) – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – pedagang
pengecer – konsumen Jakarta, saluran II : petani – PPD – pedagang besar Pasar
Induk Cikajang – konsumen Kecamatan Cikajang, saluran III: petani – PPD –
pedagang besar Pasar Induk Cikajang – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati
Jakarta – pedagang pengecer – konsumen Jakarta, saluran IV: petani – PPD –
pedagang besar Pasar Induk Caringin Bandung – pedagang pengecer – konsumen
Bandung, dan saluran V: petani – PPD – pedagang besar Pasar Induk Caringin
Bandung – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – pedagang pengecer
– konsumen Jakarta. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing
lembaga pemasaran sebagian besar melakukan ketiga fungsi utama yaitu fungsi
pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas, namun fungsi penyimpanan yang
termasukdalam fungsi fisik hanya dilakukan oleh pedagang pengecer. Struktur
pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug
yaitu cenderung berada pada kondisi pasar oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah
pembeli lebih sedikit dari jumlah penjual, penentuan harga dilakukan secara
tawar-menawar namun pihak pedagang besar memiliki kekuatan yang lebih tinggi
dalam penentuan harga. Perilaku pasar yang terjadi di tingkat petani jika dilihat
dari praktik penjualan langsung dengan menggunakan sistem pembayaran tunai.
Adapun di tingkat pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer adalah
sistem pembayaran tunai dan kemudian. Sedangkan di tingkat pedagang besar
menggunakan sistem pembayaran kemudian. Pembayaran kemudian dilakukan
satu hingga tiga hari ke depan.
Hasil analisis marjin bahwa marjin pemasaran terkecil terdapat pada
saluran II yaitu 55 persen. Farmer’s share terbesar terdapat pada saluran II
sebesar 45,00 persen dan rasio πi/Ci terbesar terdapat pada saluran IV sebesar
3,251. Walaupun saluran I memiliki perolehan marjin terkecil ketiga diantara lima
pola saluran yang terbentuk yaitu sebesar 75 persen dan farmer’s share tertinggi
ketiga sebesar 25 persen. Namun jika dilihat dari harga jual cabai rawit merah di
tingkat petani, saluran I memiliki harga jual yang paling tinggi dan volume
penjualan terbesar sebanyak 1.490 kilogram dengan tujuan pemasaran yaitu
wilayah Jakarta (Pasar Induk Kramat Jati Jakarta). Nilai rasio πi/Ci pada saluran I
lebih besar dari 1 yaitu 3,203. Tingginya volume penjualan cabai rawit merah
pada saluran I menunjukkan tingginya kontinuitas pemasaran pada saluran I ini
sehingga saluran I dinilai sebagai alternatif saluran yang efisien.
Analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu sebesar 4,2
artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien b2 memiliki
nilai < 1, yaitu sebesar 0,493 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka panjang.
Hal ini mengindikasikan bahwa informasi mengenai perubahan harga di Pasar
Induk Kramat Jati, Jakarta tidak diteruskan atau diterima di pasar lokal (tingkat
petani) secara proporsional. Artinya perubahan harga cabai rawit merah di Pasar
Induk Kramat Jati pada kurun waktu sebelumnya tidak ditrasmisikan ke harga saat
ini di tingkat petani. Tidak adanya keterpaduan pasar ini menunjukkan tidak
lancarnya arus informasi dan komunikasi. Arus informasi tidak berjalan dengan
lancar dan seimbang, menyebabkan petani tidak mengetahui informasi yang
dihadapi oleh pedagang besar di Pasar Induk Kramat jati, sehingga petani di Desa
Cigedug tidak dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga.
Tidak lancarnya arus informasi harga ini sesuai dengan struktur pasar yang terjadi
dimana pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati memiliki kekuatan oligopsoni,
dapat mengendalikan harga beli dari petani. Komunikasi yang terjadi tidak
transparan dan sehingga menyulitkan terjadinya integrasi harga dengan baik.
Di Desa Cigedug, infrastruktur transportasi, sistem informasi harga, dan
fasilitas pasar desa dan pasar yang transparan relatif belum tersedia secara
memadai. Infrastruktur transportasi dari lahan petani cabai rawit merah ke pasar
induk relatif buruk dimana kondisi lahan di Desa Cigedug yang berbukit-bukit
sehingga aksesibilitas ke dan dari sentra produksi petani relatif sulit. Demikian
juga dengan fasilitas-fasilitas dasar seperti pasar desa belum tersedia. Sistem
informasi harga yang mestinya dibangun oleh pemerintah juga belum tersedia.
Struktur pasar yang oligopsoni pada lembaga pemasaran cabai rawit merah di
Desa Cigedug juga menjadi penyebab rendahnya integrasi harga di tingkat petani
dengan pedagang besar di pasar induk Kramat Jati.
Saran yang dapat diberikan a untuk petani yaitu sebaiknya memilih
saluran pemasaran I (petani – pedagang pengumpul desa – pedagang besar
Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – pedagang pengecer – konsumen Jakarta) yang
merupakan saluran pemasaran yang paling efisien dibandingkan saluran lainnya
dan saluran ini merupakan saluran yang paling banyak digunakan dalam
pendistribusian cabai rawit merah, dan diperlukan pengaktifan kembali kelompok
tani yang sudah ada di Desa Cigedug sehingga dapat meningkatkan posisi tawar
petani dalam penentuan harga serta pemasaran dapat dilakukan secara bersama
untuk mengurangi biaya pemasaran. Ketidakterpaduan pasar terjadi akibat
ketidaklancaran aliran informasi harga. Oleh karena itu, pemerintah daerah
sebaiknya menciptakan lembaga Sub Terminal Agribisnis (STA) yang membantu
untuk pembukaan akses pasar. Selain itu pemerintah perlu menyediakan fasilitas
dasar seperti pasar di Desa Cigedug, dengan tersedianya pasar di Desa ini
diharapkan para petani dapat memperoleh informasi harga yang lebih mudah.
SISTEM PEMASARAN CABAI RAWIT MERAH (Capsicum
frutescens) DI DESA CIGEDUG KECAMATAN CIGEDUG
KABUPATEN GARUT
ASMAYANTI
H34080034
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Judul Skripsi : Sistem Pemasaran Cabai Rawit Merah (Capsicum
frutescens) Di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut.
Nama : Asmayanti
NIM : H34080034
Tanggal Lulus :
Disetujui,
Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MS
NIP. 195507131987032001
Diketahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Sistem
Pemasaran Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
Asmayanti
H34080034
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 26 Desember 1989. Penulis
adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Abdullah dan Ibunda
Djani Inaku.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Mangkura IV Makassar
pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama SMPN 5 Makassar pada
tahun 2005. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di
SMAN 5 Makassar pada tahun 2008.
Penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2008.
Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis tercatat aktif pada
organisasi yaitu sebagai pengurus Himpunan Profesi Mahasiswa Pecinta
Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (2010-2011) dan aktif di
berbagai kepanitian intra kampus baik di lingkungan Departemen maupun
Fakultas (2009-2011).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sistem
Pemasaran Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis sistem pemasaran cabai rawit merah secara
kualitatif meliputi saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar dan
perilaku pasar cabai rawit merah maupun secara kuantitatif meliputi marjin
pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya serta keterpaduan pasar
secara vertikal antara petani dengan Pasar Induk Kramat Jati.
Bogor, Desember 2012
Asmayanti
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan dan
nikmat yang diberikan-Nya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. selaku dosen pembimbing skripsi dan juga
dosen pembimbing akademik atas arahan, motivasi, kesabaran, dan waktu
yang diluangkan kepada penulis selama penulisan skripsi serta
mengikutsertakan dalam Penelitian Unggulan Departemen.
2. Dr. Ir. Heny K Daryanto, M. Ec. dan Ir. Narni Farmayanti, M Sc selaku dosen
penguji pada ujian siding penulis yang telah meluangkan waktunya serta
memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Orangtua, Ayahanda Abdullah, Ibunda Djani Inaku, kakanda Ahmad Yani dan
Ariyani serta adik satu-satunya Aryanto atas bantuan, motivasi, cinta kasih,
serta doa yang diberikan. Semoga skripsi ini menjadi hasil yang terbaik.
4. Seluruh dosen dan staf Departemen Agribisnis.
5. Dr. M. Syukur selaku dosen dari Departemen Agronomi dan Holtikutura IPB
atas waktu dan informasi yang telah diberikan.
6. Masyarakat Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, khususnya
Bapak Jajang Soleh, Bapak Uus Bachtiar, dan Bapak Muhtar atas bantuan,
kemudahan, arahan, kesempatan yang telah diberikan serta waktu yang telah
diluangkan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
7. Teman satu lokasi penelitian Tubagus, Syifa Maulia, dan Eka atas
kebersamaan dan kerja keras selama ini.
8. Teman-teman tercinta, Dila, Arin, Prisca, Gena, Stevi, Arifah, Frida, Hera,
Amelia, dan Hanny atas dorongan, motivasi, dan bantuan selama ini.
9. Semua teman-teman Agribisnis 45 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
atas kekeluargaan, kebersamaan, dan kekeluargaan selama tiga tahun ini.
Bogor, Desember 2012
Asmayanti
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9
1.5 Ruang Lingkup .......................................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 10
2.1 Karakteristik Cabai Rawit ....................................................................... 10
2.2 Fluktuasi Harga Komoditas Sayuran ....................................................... 11
2.3 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 12
III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 15
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 15
3.1.1 Sistem Pemasaran ......................................................................... 15
3.1.2 Saluran Pemasaran........................................................................ 16
3.1.3 Fungsi Pemasaran ......................................................................... 17
3.1.4 Struktur Pasar ............................................................................... 17
3.1.5 Perilaku Pasar ............................................................................... 21
3.1.6 Marjin Pemasaran ......................................................................... 22
3.1.7 Farmer’s Share ............................................................................. 23
3.1.8 Rasio Keuntungan dan Biaya ....................................................... 24
3.1.9 Keterpaduan Pasar ........................................................................ 24
3.1.10 Efisiensi Pemasaran ...................................................................... 28
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................ 29
IV. METODE PENELITIAN ............................................................................ 32
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 32
4.2 Data dan Instrumentasi ............................................................................ 32
4.3 Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 32
4.4 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 33
4.4.1 Analisis Saluran Pemasaran ......................................................... 33
4.4.2 Analisis Fungsi Pemasaran ........................................................... 33
4.4.3 Analisis Struktur Pasar ................................................................. 33
4.4.4 Analisis Perilaku Pasar ................................................................. 34
4.4.5 Analisis Marjin Pemasaran ........................................................... 34
4.4.6 Analisis Farmer’s Share............................................................... 35
4.4.7 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ......................................... 35
4.4.8 Analisis Keterpaduan Pasar .......................................................... 36
4.4.9 Pengujian Hipotesis ...................................................................... 36
xii
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ........................................................ 40
5.1 Keadaan Pertanian di Kabupaten Garut .................................................. 40
5.2 Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug ................................................. 44
5.3 Gambaran Umum Usahatani Cabai Rawit Merah ................................... 45
5.4 Karakteristik Responden Petani .............................................................. 51
5.5 Karakteristik Responden Pedagang ......................................................... 54
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 56
6.1 Saluran dan Lembaga Pemasaran Cabai Rawit Merah ........................... 56
6.1.1. Saluran Pemasaran 1..................................................................... 58
6.1.2. Saluran Pemasaran 2..................................................................... 60
6.1.3. Saluran Pemasaran 3..................................................................... 60
6.1.4. Saluran Pemasaran 4..................................................................... 62
6.1.5. Saluran Pemasaran 5..................................................................... 62
6.2 Fungsi Pemasaran .................................................................................... 63
6.2.1 Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani ............................................ 63
6.2.2 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa........... 65
6.2.3 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Besar ............................. 67
6.2.4 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Pengecer ....................... 69
6.3 Struktur Pasar .......................................................................................... 71
6.4 Perilaku Pasar .......................................................................................... 73
6.4.1 Praktek Penjualan dan Pembelian ................................................ 73
6.4.2 Sistem Penentuan Harga ............................................................... 75
6.4.3 Sistem Pembayaran ...................................................................... 76
6.4.4 Kerjasama Antar Lembaga Pemasaran ......................................... 77
6.5 Analisis Marjin Pemasaran ...................................................................... 78
6.6 Analisis Farmer’s Share ......................................................................... 82
6.7 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran .................................. 84
6.8 Analisis Keterpaduan Pasar ..................................................................... 90
VII. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 95
7.1 Kesimpulan .............................................................................................. 95
7.2 Saran ........................................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 98
LAMPIRAN ........................................................................................................ 101
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga di
Indonesia, 2004-2010 Serta Prediksi Tahun 2011-2012 .......................2
2. P erkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai
Rawit Menurut Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2010 ........................3
3. Karakteristik dan Struktur Pasar ..........................................................20
4. Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung, dan Kedelai di
Kabupaten Garut Tahun 2008-2010 ....................................................41
5. Produksi, dan Produktivitas Kentang, Tomat, dan Cabai di
Kabupaten Garut Tahun 2009-2011 ...................................................42
6. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit di Tingkat
Kecamatan Kabupaten Garut tahun 2009-2011 ...................................44
7. Karakteristik Responden Petani Berdasarkan Usia di Desa
Cigedug ................................................................................................52
8. Tingkat Pendidikan Petani Responden ................................................53
9. Luas Lahan Garapan Cabai Rawit Merah di Tingkat Petani
Responden ...........................................................................................53
10. Pengalaman Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-masing
Jenis Pedagang yang Terlibat Dalam Tataniaga Cabai Rawit
Merah Desa Cigedug ...........................................................................55
11. Fungsi Lembaga Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa
Cigedug ................................................................................................70
12. Struktur Pasar Yang Dihadapi Oleh Tiap Lembaga Pemasaran
Cabai Rawit Merah ..............................................................................71
13. Perilaku Pasar Antara Tingkat Lembaga Pemasaran Cabai Rawit
Merah ...................................................................................................73
14. Praktek Penjualan dan Pembelian ........................................................74
15. Analisis Marjin Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa
Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut ...............................79
16. Farmer’s Share Pada Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah di
Desa Cigedug .......................................................................................83
17. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Pemasaran
Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug ..................................................85
18. Nilai Efisiensi Pemasaran Pada Masing-masing Pola Saluran
Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug ................................89
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Harga Cabai Tahun 2009-2011 .....................................4
2. Marjin Pemasaran.................................................................................22
3. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................31
4. Perbandingan Luas Lahan Padi, Jagung, Kedelai, Kentang,
Tomat, Cabai Besar, dan Cabai Rawit di Kabupaten Garut
Tahun 2011 ..........................................................................................40
5. Perbandingan Luas Tanam Kentang, Tomat dan Cabai di
Kabupaten Garut Tahun 2009-2011 ....................................................42
6. Komoditas Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug ................................45
7. Kegiatan Pemasangan Mulsa di Desa Cigedug ....................................47
8. Kegiatan Pembibitan Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug ................48
9. (a) Pemasangan Ajir, (b) Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan ...........50
10. Kegiatan Pemanenan dan Pengemasan Cabai Rawit Merah ................51
11. Pola Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut ..................................................57
12. Pola Saluran Pemasaran Petani Mitra Cabai Rawit Merah di
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut ..........................57
13. Kegiatan Sortasi dan Pengemasan Cabai Rawit Merah di Tingkat
Pedagang Pengumpul Desa ...................................................................67
14. Kegiatan Bongkar Muat dan Penimbangan Cabai Rawit Merah di
Tingkat Pedagang Besar ........................................................................68
15. Kegiatan Penjualan dan Pengemasan Cabai Rawit Merah di
Tingkat Pedagang Pengecer ..................................................................70
16. Farmer’s Share di Setiap Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah ......84
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perkembangan Konsumsi Cabai Dalam Rumah Tangga di
Indonesia Tahun 2004-2010 ............................................................... 102
2. Produksi Cabai Rawit Menurut Provinsi Tahun 2007-2010 ............... 103
3. Produktivitas Cabai Rawit Menurut Provinsi Tahun 2007-2010 ........ 104
4. Luas Areal Tanam Cabai Rawit Tahun 2005-2010 Menurut
Kabupaten dan Kota Jawa Barat ......................................................... 105
5. Peta Administratif Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut ................................................................................. 106
6. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas
Komoditas Unggulan Sayuran Kabupaten Garut ............................... 106
7. Biaya Yang Dikeluarkan Lemabaga Pemasaran Pada Setiap
Saluran ............................................................................................... 107
8. Analisis Marjin Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug,
Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut .............................................. 108
9. Harga Rata-rata Mingguan Caai Rawit Merah di Tingkat Petani
dan Pasar Induk Kramat Jati ............................................................... 110
10. Hasil Estimasi Model Pasar Petani dengan Pasar Induk Kramat
Jati ...................................................................................................... 111
11. Pengujian Keterpaduan Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang
antara Tingkat Petani di Desa Cigedug dengan Pasar Induk
Kramat Jati ......................................................................................... 112
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hortikultura merupakan sektor penting untuk memenuhi kebutuhan pokok
manusia. Khususnya tanaman buah dan sayuran merupakan komoditas
hortikultura yang berkembang pesat di Indonesia. Kebanyakan sayuran
mempunyai nilai komersial yang cukup tinggi disebabkan produk hortikultura ini
senantiasa dikonsumsi setiap saat. Komoditas unggulan nasional hortikultura
adalah pisang, mangga, manggis, jeruk, durian, anggrek, rimpang, kentang,
bawang merah, dan cabai (Direktorat Jenderal Hortikultura 2008)1.
Cabai merupakan komoditas agribisnis yang besar pengaruhnya terhadap
dinamika perokonomian nasional sehingga dimasukkan dalam jajaran komoditas
penyumbang inflasi yang terjadi setiap tahun. Angka inflasi tahun 2010 sebesar
6,96 persen dan jenis bahan makanan yang memberikan andil besar dalam inflasi
antara lain beras sebesar 1,29 persen, cabai merah sebesar 0,32 persen, dan cabai
rawit sebesar 0,22 persen (BPS 2011)2. Hal ini karena produk cabai digunakan
dalam berbagai produk pangan baik olahan masakan tradisional maupun modern.
Hampir seluruh menu masakan di Indonesia menggunakan cabai. Selain itu, cabai
tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lain.
Tanaman cabai dapat dikelompokkan menjadi dua jenis: (1) cabai besar
(C. annum) yang terdiri dari cabai merah dan cabai keriting, (2) cabai kecil
dikenal dengan nama cabai rawit (Capsicum frustescens, C. pendulum, C.
baccatum, dan C. chinense). Bila dibandingkan dengan cabai besar,
pembudidayaan cabai rawit relatif lebih mudah karena cabai rawit memiliki
keunggulan lebih tahan terhadap serangan hama penyakit serta dapat ditanam di
lahan apapun (Setiadi 1999).
Cabai rawit digemari untuk dijadikan bahan bumbu masakan karena
memiliki rasa yang sangat pedas dibandingkan cabai besar. Selain itu, cabai rawit
dapat membuat tampilan masakan menjadi cerah dan mampu meningkatkan selera
1 http://hortikultura.go.id/download/6_Pilar.pdf [diakses tanggal 22 Januari 2012]
2 http://dds.bps.go.id/download_file/IP_Februari_2011.pdf [diakses tanggal 17 Februari 2012]
2
makan. Kebutuhan akan cabai rawit semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan variasi menu masakan.
Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga di
Indonesia, 2004-2010 Serta Prediksi 2011-2012 Tahun Kilogram/kapita Pertumbuhan (%)
2004 1,147
2005 1,272 10,91
2006 1,168 -8,20
2007 1,517 29,91
2008 1,444 -4,81
2009 1,288 -10,83
2010 1,298 0,81
Rata-rata 1,305 2,965
2011*) 1,307 0,66
2012*) 1,316 0,66
Sumber : Susenas, BPS (2012)
Keterangan : *) angka prediksi pusdatin, Kementrian Pertanian
Konsumsi cabai rawit selama periode tahun 2004-2010 relatif berfluktuasi
namun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dapat dilihat pada
Tabel 2, konsumsi cabai rawit pada tahun 2004 mencapai 1,147 kilogram/kapita
kemudian berfluktuasi namun mengalami peningkatan menjadi 1,298 pada tahun
2010 atau meningkat sebesar 2,49 persen per tahun. Peningkatan konsumsi cabai
rawit diprediksi masih akan terjadi pada tahun 2011 sehingga menjadi sebesar
1,307 kilogram/kapita atau naik 2,49 persen dibandingkan tahun 2010, kemudian
diprediksikan kembali naik menjadi 1,316 kilogram/kapita pada tahun 2012.
Permintaan masyarakat Indonesia akan kebutuhan cabai rawit terus meningkat
terutama saat menjelang hari besar seperti hari raya.
Untuk menghadapi prediksi permintaan yang cenderung meningkat maka
harus didukung dengan peningkatan produksi cabai rawit. Sentra penghasil cabai
rawit yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang merupakan
kontributor utama produksi cabai rawit nasional. Namun provinsi yang memiliki
tingkat kesuburan tanah yang cocok dan mendukung untuk ditanami cabai rawit
3
yang menunjukkan nilai produktivitas terbesar berada di Provinsi Jawa Barat
(Lampiran 3).
Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai Rawit
Menurut Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2010
Tahun Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/Ha)
2007 6.623 79.713 12,04
2008 6.773 73.261 10,82
2009 7.106 106.304 14,96
2010 8.466 78.906 9,32
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)3
Berdasarkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa luas panen di Provinsi
Jawa Barat mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sedangkan produksi dan
produktivitas cenderung mengalami fluktuasi. Fluktuasi ini diperkiraan karena
faktor perubahan cuaca yang mengganggu pola tanam dan kuantitas produksi
cabai rawit. Musim hujan yang berkepanjangan pada tahun 2010 membuat
produksi cabai rawit turun sebesar 25,77 persen. Selain itu, genangan air pada
daerah penanaman dapat mengakibatkan kerontokan daun dan terserang penyakit
akar. Pukulan air hujan dapat menyebabkan bunga dan bakal buah berguguran.
Sementara itu, kelembaban udara yang tinggi meningkatkan penyebaran dan
perkembangan hama serta penyakit tanaman (Harpenas dan Dermawan 2011).
Apabila dicermati, hubungan antara produksi cabai rawit dan harga di tingkat
pasar adalah negatif atau produksi berpengaruh nyata terhadap harga cabai rawit,
artinya naik dan turunnya produksi selalu diikuti dengan turun dan naik harga
cabai rawit.
Cabai rawit memiliki beberapa jenis yaitu C. frutescens, C.baccatum,dan
C. chinense. Keberadaan jenis C.baccatum dan C. chinense masih belum
diketahui di Indonesia, sehingga yang teridentifikasi keberadaannya di Indonesia
hanya jenis C. frutescens (Setiadi 1999). Capsicum frutescens memiliki beberapa
varietas salah satunya cabai rawit cakra putih atau di pasaran dikenal dengan
3 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=19 [diakses tanggal 21 Januari 2012].
4
nama cabai rawit merah (Prajnanta 2004). Cabai rawit merah memiliki harga
yang sangat fluktuasi bila dibandingkan dengan jenis cabai lainnya termasuk
cabai rawit hijau dikarenakan pasokan cabai rawit merah di pasaran yang
fluktuatif disamping permintaan yang cenderung stabil (Lampiran 2).
Gambar 1. Perkembangan Harga Cabai Tahun 2009-2011 . Sumber : Pasar Induk Kramat Jati (2012)
DKI Jakarta (melalui Pasar Induk Kramat Jati) merupakan daerah tujuan
pasar tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di Jawa sehingga Pasar
Induk Kramat Jati sebagai pusat pasokan pasar cabai untuk wilayah Jabotabek dan
sekitarnya, dapat digunakan sebagai patokan harga cabai dari titik produksi. Harga
rata-rata tertinggi cabai rawit merah terjadi pada bulan Januari 2011 yang
mencapai Rp 75.964,00 per kilogram. Tetapi delapan bulan kemudian harga cabai
rawit merah jatuh hingga mencapai Rp 8.957,00 per kilogram. Ketidakmampuan
para petani cabai rawit merah untuk melaksanakan dengan peramalan produksi
dan pasar dapat menyebabkan banyak petani yang tidak mampu menjaga
kesinambungan produksinya. Hal ini yang membuat harga cabai rawit merah
cenderung mengalami fluktuasi disamping permintaannya yang cenderung stabil.
5
Kabupaten penghasil cabai rawit di wilayah Jawa Barat dengan luas areal
tanam terbesar berada di Kabupaten Garut (Lampiran 4). Sesuai dengan
karakteristik wilayah Kabupaten Garut, peran sektor pertanian masih merupakan
sektor andalan. Hal ini tercermin dari mata pencaharian masyarakat Kabupaten
Garut sampai tahun 2008 sebesar 32,57% bertumpu pada sektor pertanian,
meningkat dari sebesar 31,45% pada tahun 2007, serta dilihat dari kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun 2008 sebesar 48,36% paling tinggi
bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Subsektor hortikultura telah
berperan besar dalam pembangunan Kabupaten Garut, baik peran langsung
terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan
kerja, sumber pendapatan masyarakat, dan penciptaan ketahanan pangan, maupun
peran tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan
pembangunan dan hubungan sinergis dengan subsektor dan sektor lain (LPPD
Kabupaten Garut 2010). Sayuran yang teridentifikasi sebagai komoditas unggulan
di Kabupaten Garut salah satunya yaitu cabai rawit merah, tepatnya berada di
Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug.
Pada umumnya, petani cabai tidak menjual langsung hasil produksinya ke
pasar-pasar di kota besar disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki petani,
seperti alat transportasi, pengepakan, dan kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan pemasaran komoditi tersebut. Selain itu, adanya keterikatan petani kepada
pedagang pengumpul dalam permodalan untuk pembelian benih atau bibit, pupuk,
pestisida, dan lainnya, yang berjumlah cukup besar. Hal ini mendorong petani
untuk menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul. Sebaliknya, bagi
petani yang tidak terikat pinjaman, bebas dalam menentukan pilihan kepada siapa
ia akan jual hasil produksinya seperti menjual langsung kepada konsumen
pemakai melalui pasar-pasar di tingkat desa atau pasar tingkat kecamatan.
Biasanya petani yang demikian mencari pembeli dengan harga tertinggi (Setiadi
1995; Hutabarat dan Rahmanto 2004).
Sama halnya dengan yang terjadi di Kabupaten Garut yaitu mekanisme
pemasaran untuk komoditas cabai rawit merah di Kabupaten Garut adalah
mekanisme yang menganut sistem pasar terbuka. Sistem pasar terbuka pada
komoditas cabai rawit merah menempatkan pedagang pengumpul pada posisi
6
tawar yang lebih kuat dibandingkan dengan petani produsen cabai rawit merah
pada penentuan harga jual. Masa panen pada komoditas cabai rawit merah
seringkali hanya ditangani oleh satu orang pengumpul dari awal panen hingga
akhir panen. Kondisi ini telah membatasi kebebasan petani dalam menjual cabai
rawit merah kepada pengumpul lain pada saat panen berikutnya. Pemasaran cabai
rawit merah selalu melibatkan berbagai lembaga pemasaran pada berbagai tingkat
saluran distribusi. Banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat berarti pula sistem
pemasaran yang terjadi tidak efisien dan farmer’s share yang diperoleh tidak
sebanding atau tidak proporsional dengan harga di tingkat konsumen akhir (LPPD
Kabupaten Garut 2010).
1.2 Perumusan Masalah
Harga komoditas cabai rawit merah sulit diprediksi, mengingat fluktuasi
harga cabai rawit merah yang berubah-ubah. Pada dasarnya, fluktuasi harga cabai
ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan
jumlah permintaan yang dibutuhkan konsumen. Kelebihan jumlah pasokan ini
akan berdampak pada turunya harga komoditas, dan sebaliknya jika terjadi
kekurangan jumlah pasokan. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya
ketidakseimbangan tersebut disebabkan karena pola produksi (adanya on season
dan off season) dan pola tanamnya.
Selama ini budidaya cabai rawit merah dilakukan secara musiman
(seasonal) dengan umur panen 4 hingga 8 bulan lamanya. Kebanyakan petani
cabai rawit merah di Desa Cigedug melakukan budidaya setelah musim hujan atau
pada bulan Desember - Januari sehingga saat panen pada bulan Mei sampai
dengan puncak panen raya pada bulan Juli dan Agustus harga cenderung
menurun. Sedangkan pada musim penghujan, produksinya akan menurun
sehingga membuat harga cabai rawit merah melambung tinggi. Oleh karena itu
dikatakan prospek pasarnya tidak stabil dan pola ini hampir terjadi setiap
tahunnya. Belum lama ini, masyarakat Indonesia dihadapkan pada kelangkaan
cabai rawit merah saat menjelang hari besar yang berakibat pada kenaikan harga
yaitu mencapai Rp 120.000,00 per kilogram. Kenaikan harga ini bahkan melebihi
harga cabai merah besar yang hanya mencapai Rp 90.000,00 per kilogram.
7
Kenaikan ini didorong permintaan yang tinggi menjelang Hari Raya dan musim
hujan sepanjang tahun (Lukman Ismail 2011)4.
Menurut Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut
(2009), kondisi ini disebabkan karena tidak adanya koordinasi dan kerjasama
antar kabupaten sentra produksi dalam hal jaringan informasi pasar,
perkembangan produksi, perkembangan luas tanam, penggunaan teknologi, dan
tidak ada informasi alur distribusi atau jaringan pemasaran baik di tingkat regional
maupun pasar lokal5. Selain itu, karena persebaran produksinya tidak merata
sepanjang tahun di seluruh daerah, maka menyebabkan harganya tidak merata dan
menjadi tidak stabil. Hal ini berdampak pada keputusan investasi petani cabai
rawit merah akibat ketidakpastian penerimaan yang akan diperoleh karena petani
menanggung risiko usaha yang tinggi.
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug sebagai salah satu sentra produksi
cabai rawit merah dengan rata-rata nilai produktivitas sebesar 26 ton/ha6. Sistem
tanam yang dilakukan oleh petani di desa ini yaitu monokultur dan tumpang sari.
Jaringan pemasaran cabai rawit merah di Kecamatan Cigedug pada tahun 2011
dimana 97 persen hasil produksi disalurkan melalui pedagang pengumpul desa
dan pedagang pengecer (BP3K Kecamatan Cigedug 2011). Cabai rawit merah ini
kemudian disalurkan ke pasar induk serta industri makanan seperti Indofood.
Namun, dominan hasil panen disalurkan ke pasar induk dikarenakan pedagang
pengumpul desa lebih memilih menghadapi fluktuasi harga yang dapat
memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Dilihat dari sisi petani, para petani cabai rawit merah di Desa Cigedug
memiliki ketergantungan dengan pihak pedagang pengumpul desa. Hal ini terjadi
akibat adanya masalah keterbatasan ilmu dan pengalaman serta diperlukan modal
yang besar seperti menyewa alat transportasi dalam mendistribusikan cabai rawit
merah sehingga menjadikan petani di Desa Cigedug tidak berani untuk terjun
langsung ke pasar sehingga keuntungan yang didapat di tingkat petani relatif
kecil. Kondisi ini melemahkan posisi petani karena daya tawar petani yang lemah
4 http://m.politikana.com/baca/2011/01/08/kupipaste-rencana-pemerintah-terkait-kenaikan-harga-cabai [diakses tanggal 25
Januari 2012] 5 http://www.garutkab.go.id/galleries/pdf_link/sda/profil_cabe.pdf [diakses tanggal 25Januari 2012]
6 Monografi Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 (diolah).
8
khususnya dalam penetapan harga. Selain itu, terbatasnya akses informasi pasar
yang diterima petani dimana informasi pasar berasal dari pedagang pengumpul
desa serta kurangnya jalinan kerjasama antar petani atau antar kelompok.
Berdasarkan kondisi tersebut petani menjadi pihak yang sering kali
dirugikan akibat adanya fluktuasi harga dan para pedaganglah yang mendapatkan
akses lebih untuk memperoleh harga yang lebih tinggi. Sebagai produsen, petani
tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal penentuan harga dipasar
sehingga petani hanya berperan sebagai price taker. Oleh karena itu, perlu adanya
perbaikan pada sistem pemasaran, sehingga para petani cabai rawit merah
diharapkan dapat memperoleh bagian harga yang memadai bagi peningkatan
usahataninya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, dan
perilaku pasar cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut.
2. Bagaimana marjin pemasaran, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan
biaya serta keterpaduan pasar vertikal cabai rawit merah antara pasar di
tingkat petani di Desa Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Jati?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui sistem pemasaran cabai rawit
merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut meliputi:
1. Menganalisis saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, dan
perilaku pasar cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut.
2. Menganalisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan
biaya, serta keterpaduan pasar vertikal cabai rawit merah antara pasar di
tingkat petani di Desa Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Jati.
9
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberi manfaat bagi:
1. Produsen cabai rawit merah, sebagai informasi untuk membantu dalam
perencanaan produksi dan pemasarannya sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan petani.
2. Lembaga terkait, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan.
3. Pihak peneliti lainnya, sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
4. Mahasiswa, sebagai salah satu referensi mengenai sistem pemasaran cabai
rawit merah untuk menambah pengetahuan para pembaca.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut dengan berfokus pada komoditas cabai rawit merah segar. Responden
dalam penelitian ini adalah petani yang berada di Desa Cigedug sebagai produsen
dan lembaga pemasaran yang terkait. Wilayah ini dipilih secara sengaja
(purposive) karena Desa Cigedug merupakan salah satu sentra produksi cabai
rawit merah. Analisis penelitian difokuskan menganalisis sistem pemasaran cabai
rawit merah segar. Analisis sistem pemasaran mengkaji saluran pemasaran cabai
rawit merah segar, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin
pemasaran, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya serta keterpaduan
pasar vertikal. Model yang digunakan untuk menganalisis keterpaduan pasar
vertikal cabai rawit merah di tingkat petani di Desa Cigedug Pasar Induk Kramat
Jati yaitu menggunakan model pendekatan Autoregressive Distributited Lag.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Cabai Rawit
Cabai rawit (Capsicum frutescens) memiliki ukuran buah yang kecil
dengan rasa yang pedas bila dibandingkan dengan cabai besar. Tanaman cabai
rawit dikenal sebagai tanaman cabai paling mudah beradaptasi dengan lingkungan
tempat tumbuhnya dan tanaman yang luwes dibudidayakan. Namun daerah
tumbuh yang paling cocok yaitu dataran dengan ketinggian 0-500 meter dari
permukaan laut. Kondisi tanah secara umum harus subur dengan derajat keasaman
(ph) tanah antara 6,0 ‐7,0. Kelembaban tanahnya harus cukup dengan ditandai
oleh kandungan air yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Tanah tersebut
juga mempunyai suhu yang sedang, tidak terlalu panas, dan tidak terlalu tinggi
yaitu berkisar antara 15° ‐ 28 ° C. Hanya saja, cabai rawit yang ditanam di tempat
yang berbeda akan menghasilkan produksi yang berbeda pula. Oleh karena itu,
cabai rawit lebih unggul dibandingkan dengan cabai besar. Keunggulan tersebut
yaitu cabai rawit lebih tahan terhadap hama penyakit khususnya penyakit layu
bakteri, busuk buah, dan bercak daun (Setiadi 1999).
Umumnya, para petani di Pulau Jawa mengenal tiga musim dalam
menanam cabai rawit, yaitu musim labuhan (saat hujan mulai turun), musim
marengan (saat hujan akan berakhir), dan musim kemarau. Namun petani cabai
rawit di Kabupaten Garut umumnya memiliki umur pemanenan yaitu berkisar
antara 7-12 bulan dan pada umumnya melakukan penanaman bibit pada musim
marengan. Pemanenan dilakukan tiap minggu atau dua minggu sekali. Pada situasi
lapang, kebanyakan petani melakukan pemanenan berdasarkan pada keadaan
pasar. Bila pasar cabai kurang menguntungkan, buah dipanen dalam keadaan yang
benar-benar tua. Sebaliknya bila keadaan pasar menguntungkan, petani menanam
cabai rawit dengan selang waktu pendek dengan warna yang belum merah merata.
11
Cabai rawit memiliki beberapa varietas, salah satunya yaitu cakra putih.
Cakra putih merupakan varietas cabai rawit merah yang berwarna putih
kekuningan saat muda dan akan berubah merah cerah saat masak. Pertumbuhan
tanaman varietas ini sangat kuat dan membentuk banyak percabangan. Posisi buah
tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa sangat pedas. Optimal hasil
panen varietas ini mampu menghasilkan buah 12 ton per hektarnya dengan rata-
rata 300 buah per tanaman. Cakra putih dapat dipanen pada umur 85-90 hari
setelah tanam. Keunggulan dari varietas ini yaitu tahan terhadap serangan
penyakit antraknose (Rukmana 2002).
2.2 Fluktuasi Harga Komoditas Sayuran
Fluktuasi harga yang tinggi merupakan salah satu isu sentral yang sering
muncul dalam pemasaran komoditas hortikultura. Harga yang sangat berfluktuatif
secara teoritis akan menyulitkan prediksi bisnis, baik dalam perhitungan rugi laba
maupun manajemen risiko. Harga yang demikian seringkali hanya
menguntungkan para spekulan yang umumya para pedagang tertentu yang
mampu mengelola pasokan secara baik dan benar.
Menurut Irawan (2007), fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi
akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan yang dibutuhkan
konsumen. Jika pasokan berlebih maka harga komoditas akan turun, sebaliknya
jika terjadi kekurangan pasokan. Dalam proses pembentukan harga, perilaku
petani dan pedagang menjadi penting karena mereka dapat mengatur volume
penjualan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa
pada dasarnya fluktuasi harga yang relatif tinggi pada komoditas sayuran terjadi
akibat kegagalan petani dan pedagang sayuran dalam mengatur volume
pasokannya sesuai dengan kebutuhan konsumen. Kondisi demikian dapat
disebabkan oleh:
1. Adanya konsentrasi produksi sayuran pada daerah-daerah tertentu,
misalnya 82 persen produksi cabai dihasilkan di 7 provinsi. Kondisi ini
menjadi tidak kondusif bagi stabilitas harga karena jika terjadi anomali
produksi (misalnya gagal panen akibat hama atau lonjakan produksi akibat
pengaruh iklim) di salah satu daerah sentra produksi maka akan
berpengaruh besar terhadap keseimbangan pasar secara keseluruhan.
12
2. Konsentrasi produksi secara regional diperparah pula oleh pola produksi
yang tidak sinkron antar daerah produsen sehingga total produksi sayuran
cenderung terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu. Konsentrasi produksi
secara temporer tersebut misalnya dapat dilihat pada pola produksi cabai
merah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan
sentra cabai merah. Di ketiga provinsi tersebut sekitar 60-65 persen
produksi cabai merah hanya dihasilkan pada bulan Juni hingga Agustus
sehingga pada bulan-bulan tersebut harga cabai merah cenderung
mengalami penurunan tajam.
3. Umumnya permintaan komoditas sayuran sangat sensitif terhadap
perubahan kesegaran produk yang mana sifat komoditas sayuran
umumnya relatif cepat busuk sehingga petani dan pedagang tidak mampu
menahan penjualannya terlalu lama. Akibatnya adalah pengaturan volume
pasokan yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen tidak mudah
dilakukan karena setelah dipanen petani cenderung segera menjual hasil
panennya agar sayuran yang dipasarkan masih dalam keadaan segar.
4. Dibutuhkan sarana penyimpanan yang mampu mempertahankan kesegaran
produk secara efisien sehingga pengatur volume pasokan yang sesuai
dengan kebutuhan konsumen dapat dilakukan. Namun ketersediaan sarana
penyimpanan tersebut umumnya relatif terbatas akibat kebutuhan investasi
yang cukup besar sedangkan teknologi penyimpanan sederhana yang dapat
diterapkan oleh petani sangat terbatas.
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan tentang sistem pemasaran dalam
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Agustian dan Anugrah (2008)
yang meneliti tentang perkembangan harga dan rantai pemasaran komoditas cabai
merah di Provinsi Jawa Barat, penelitian yang dilakukan Azir (2002) tentang
kajian sistem pemasaran dan integrasi pasar cabai merah keriting di DKI Jakarta
dan penelitian yang dilakukan Muslikh (2000) tentang analisis sistem tataniaga
cabai rawit merah di DKI Jakarta.
Sistem pemasaran yang dianalisis meliputi saluran pemasaran, struktur
pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar meliputi analisis marjin, farmer’s share,
13
dan keterpaduan pasar cabai (Muslikh 2000; Azir 2002; Agustian dan Anugrah
2008). Pemasaran cabai merah dimulai dari petani cabai menjual ke pedagang
pengumpul desa atau ke pedagang besar sekitar petani, dan selanjutnya dijual ke
pedagang besar, dan pedagang besar menjual cabai merah yang diperolehnya ke
berbagai tujuan seperti ke pasar-pasar yang ada di Kabupaten Garut dan ke Pasar
Induk Cibitung, ke Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, ke Pasar Induk Kramat
Jati dan Ke Pasar Kemang di Bogor (Agustian dan Anugrah, 2008). Sedangkan
saluran pemasaran cabai merah keriting di DKI Jakarta dimulai dari pedagang
besar, pedagang eceran, selanjutnya diteruskan kepada konsumen (Azir 2002).
Struktur pasar cabai rawit merah di tingkat pedagang besar Pasar Induk
Kramat Jati cenderung tidak bersaing sempurna (oligopoli). Hal ini dapat
ditunjukkan dalam perilaku pasar, penentuan harga ditentukan oleh pedagang
besar Pasar Induk Kramat Jati yang kekuatan tawar-menawar yang lebih tinggi
dibanding pedagang pengecer. Berbeda dengan cabai merah keriting, struktur
pasar di tingkat pedagang besar cenderung bersifat bersaing monopolistik
dikarenakan tidak adanya kebebasan dalam memasuki maupun keluar dari pasar
serta cabai merah keriting telah terdiferensiasi dari segi harga maupun kualitas
(Muslikh 2000; Azir 2002). Perilaku pasar cabai yang dilakukan oleh masing-
masing lembaga pemasaran diamati melalui praktek pembelian dan penjualan,
penentuan harga, sistem pembayaran, serta kerjasama yang terjadi antar lembaga
pemasaran (Muslikh 2000; Azir 2002).
Pendekatan efisiensi secara operasional dapat diukur melalui marjin
pemasaran, farmer’s share dan biaya pemasaran. Jika penyebaran marjin
pemasaran, farmer’s share dan biaya pemasaran tersebar merata maka dari segi
operasional sistem pemasaran akan semakin efisien.
Analisis marjin pemasaran menunjukkan bahwa sebaran marjin kurang
merata atau besarnya perbedaan marjin yang diperoleh antar satu lembaga dengan
lembaga lainnya yang disebabkan oleh adanya perbedaan fungsi yang dilakukan,
dan dapat pula disebabkan adanya ketidakefisienan dalam menjalankan fungsi
yang sama. Rendahnya farmer’s share disebabkan oleh dua hal yaitu tingginya
biaya pemasaran atau dapat pula disebabkan keuntungan yang diambil oleh
lembaga pemasaran tinggi. Dengan kata lain farmer’s share mempunyai
14
hubungan negatif dengan marjin pemasaran artinya semakin tinggi marjin
pemasaran, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Rasio
keuntungan dan biaya adalah persentase keuntungan yang diterima lembaga
pemasaran terhadap biaya pemasaran yang secara teknis untuk mengetahui tingkat
efisiensinya.
Analisis keterpaduan pasar dalam jangka panjang dapat dilihat dari nilai b2
=1, dimana koefisien ini menunjukan pengaruh perubahan harga di pasar acuan
terhadap harga di tingkat pasar yang dipengaruhi (pasar lokal) pada waktu t.
Semakin dekat nilai parameter dugaan b2 dengan satu maka keterpaduan jangka
panjang akan semakin baik. Diperoleh nilai b2 sebesar 0,453 dan 0,522, keadaan
ini menunjukkan bahwa tidak terdapat keterpaduan pasar jangka panjang di
tingkat pedagang pengecer dengan pedagang besar atau perubahan harga yang
terjadi di pedagang besar tidak dapat diteruskan sepenuhnya ke pedagang
pengecer. Hal ini disebabkan karena posisi pedagang pengecer berada pada pihak
yang lemah (kekuatan tawar lemah). Sedangkan keterpaduan pasar dalam jangka
pendek dapat dilihat dari nilai IMC = 0. Apabila IMC<1 maka dapat disimpulkan
pasar acuan ada hubungan yang kuat, sebaliknya apabila IMC>1 maka pasar
acuan tidak ada hubungan dengan pasar lokal. Diperoleh nilai IMC pedagang
pengecer dengan pedagang besar sebesar 0,286 (nilai IMC lebih mendekati 0)
dibandingkan dengan nilai IMC sebesar 0,645. Hal ini menunjukkan telah terjadi
keterpaduan pasar dalam jangka pendek artinya perubahan harga yang terjadi di
pedagang besar diteruskan sepenuhnya ke pedagang pengecer. Hal ini disebabkan
informasi akan permintaan dan penawaran di kedua pasar telah terhubung dengan
baik (Muslikh 2000; Azir 2002).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, diperoleh persamaan yaitu
menggunakan alat analisis yang sama, sedangkan perbedaannya terletak pada
waktu dan lokasi penelitian yang dilakukan serta analisis keterpaduan pasar secara
vertikal dengan mengambil titik yang berbeda yaitu pasar lokal (di tingkat petani)
dengan pasar acuan (Pasar Induk Kramat Jati).
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Penelitian ini menggunakan teori sistem pemasaran dengan mengkaji
saluran pemasaran, fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, marjin
pemasaran, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya cabai rawit merah.
Adapun analisis keterpaduan pasar dilihat antara tingkat petani cabai rawit merah
dengan pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ). Keterpaduan pasar ini
diukur dengan menggunakan pendekatan model Autoregressive Distributed Lag.
3.1.1 Sistem Pemasaran
Kotler (2002) berpendapat pemasaran adalah suatu proses sosial dan
manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan
mempertukarkan prosuk yang bernilai kepada pihak lain. Menurut Purcell (1979),
pemasaran adalah suatu proses atau sistem yang menjembatani gap antara apa
yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen. Pemasaran juga dapat
diartikan sebagai salah satu kegiatan dalam perekonomian yang membantu dalam
menciptakan nilai ekonomi. Nilai ekonomi itu sendiri menentukan harga barang
dan jasa. Faktor penting dalam menciptakan nilai tersebut adalah produksi,
pemasaran dan konsumsi. Pemasaran menjadi penghubung antara kegiatan
produksi dan konsumsi sehingga sistem pemasaran merupakan suatu kesatuan
konseptual yang secara fisik terdiri dari bagian-bagian yang bekerja bersama
dalam suatu kesatuan yang terorganisasi (Purcell 1979).
Dalam kegiatan pemasaran ini, aktivitas pertukaran merupakan hal
sentral. Pertukaran merupakan kegiatan pemasaran dimana seseorang berusaha
menawarkan sejumlah barang atau jasa dengan sejumlah nilai keberbagai macam
kelompok sosial untuk memenuhi kebutuhannya. Pemasaran sebagai kegiatan
manusia diarahkan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses
pertukaran.
Menurut Limbong dan Sitorus (1985), sistem pemasaran mencakup segala
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
16
dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen
ke tangan konsumen termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang
menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih
memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada
konsumennya. Bila ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan pemasaran merupakan
kegiatan produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat dan hak
milik.
3.1.2 Saluran Pemasaran
Menurut Limbong dan Sitorus (1985), saluran pemasaran adalah rangkaian
lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen
ke konsumen dimana di dalamnya terlibat beberapa lembaga pemasaran.
Lembaga pemasaran menurut fungsi yang dilakukan dibedakan atas: (1) lembaga
fisik pemasaran yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya
badan pengangkut atau transportasi, (2) lembaga perantara pemasaran adalah
suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran, (3) lembaga fasilitas
pemasaran adalah lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas
seperti Bank Desa, Kredit Desa, KUD. Adapun lembaga pemasaran menurut
penguasaan terhadap barang terdiri atas: (1) lembaga yang tidak memiliki tetapi
menguasai barang misalnya agen, perantara dan broker, (2) lembaga pemasaran
yang memiliki dan menguasai barang misalnya pedagang pengumpul, pedagang
pengecer, grosir, eksportir dan importir, (3) lembaga pemasaran yang tidak
memiliki dan tidak menguasai adalah fasilitas pengangkut, pergudangan, asuransi,
dan lain-lain.
Ada beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
saluran pemasaran yaitu sebagai berikut:
1. Pertimbangan pasar, meliputi konsumen akhir dengan melihat potensi
pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume tataniaga.
2. Pertimbangan barang, meliputi nilai barang per unit, besar, berat, harga,
tingkat kerusakan, dan jenis barang.
3. Pertimbangan intern perusahaan, meliputi sumber permodalan,
pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan.
17
4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga, meliputi segi
kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan
kebijakan perusahaan.
Banyaknya jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran
dipengaruhi oleh jarak dari podusen ke konsumen, semakin jauh jarak antara
produsen ke konsumen akan mengakibatkan panjangnya rantai pemasaran serta
banyaknya aktivitas bisnis yang dilakukan perlu melibatkan sejumlah pelaku-
pelaku pemasaran. Selain itu banyaknya lembaga yang terlibat dalam saluran
pemasaran juga dipengaruhi oleh sifat komoditinya apakah cepat rusak atau tidak.
Komoditi yang cepat rusak membutuhkan rantai pemasaran yang pendek dan
harus dengan cepat diolah atau langsung diterima oleh konsumen. Kemudian
saluran pemasaran tergantung pula pada skala produksi. Bila produksi
berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan
berukuran kecil pula, dan akan tidak menguntungkan bila produsen menjual
langsung ke pasar. Dalam keadaan yang demikian kehadiran pedagang perantara
diharapkan, dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. Kekuatan
modal dan sumberdaya yang dimiliki juga berpengaruh bagi keterlibatan lembaga-
lembaga tersebut dalam saluran pemasaran karena produsen atau pedagang yang
posisi modalnya kuat akan dapat melakukan lebih banyak fungsi pemasaran
sehingga pemasaran dapat diperpendek.
3.1.3 Fungsi Pemasaran
Lembaga pemasaran di setiap saluran melakukan fungsi-fungsi pemasaran.
Fungsi dari pemasaran tersebut dinyatakan sebagai kegiatan, tindakan ataupun
jasa dalam proses pengalirannya dari produsen sampai konsumen. Menurut
Limbong dan Sitorus (1985), secara garis besar fungsi pemasaran dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Fungsi pertukaran merupakan fungsi yang mencakup perpindahan hak
milik barang atau jasa dari penjual kepada pembeli. Fungsi ini terdiri atas
fungsi pembelian dan penjualan.
a. Fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang
akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhannya baik untuk dikonsumsi
langsung maupun untuk kebutuhan produksi . Kegiatan utama dari
18
fungsi ini adalah menentukan jenis, jumlah, kualitass, tempat
pembelian, serta cara pembelian barang dan jasa yang akan dibeli
b. Fungsi penjualan diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang
tepat untuk melakukan penjualan barang sesuai dengan yang
diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, mutu bentuk, dan
mutunya.
2. Fungsi fisik merupakan fungsi yang mencakup aktivitas penanganan,
pergerakan, dan perubahan fisik dari komoditas pemasaran. Fungsi ini
mencakup fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi
pengolahan.
a) Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama
belum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran atau
menunggu sebelum diolah. Fungsi penyimpanan ini terutama sangat
penting bagi hasil-hasil pertanian yang biasanya dihasilkan secara
musiman tetapi dikonsumsi sepanjang tahun. Pelaksanaan
penyimpanan akan memberikan kegunaan waktu dan selama
pelaksanaan penyimpanan dilakukan beberapa tindakan untuk
menjaga mutu, hal ini terutama bagi hasil-hasil pertanian yang
mempunyai sifat mudah busuk.
b) Fungsi pengangkutan bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di
daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut
waktu, jumlah dan mutunya. Fungsi pengangkutan mempunyai
kegiatan perencanaan jenis alat angkutan yang digunakan, volume
yang diangkut, waktu pengangkutan, dan jenis barang yang akan
diangkut.
c) Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang
bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang
maupun meningkatkan nilainya serta untuk memenuhi kebutuhan
konsumen.
3. Fungsi fasilitas merupakan fungsi yang mencakup aktivitas yang
memperlancar atau sebagai perantara antara fungsi pertukaran dan fungsi
fisik yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas
19
mencakup fungsi standardisasi dan grading, fungsi keuangan, fungsi
penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar, dan fungsi pembiayaan.
a) Fungsi standarisasi adalah suatu ukuran atau penentuan mutu suatu
barang seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan dan
ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa, dan kriteria lainnya.
Sedangkan grading merupakan tindakan menggolongkan atau
mengklasifikasikan hasil-hasil pertanian menurut standarisasi yang
diinginkan sehingga kelompok-kelompok barang yang terkumpul
sudah menurut satu ukuran standar. Fungsi standarisasi dan grading
akan mempermudah memberikan nilai terhadap barang bersangkutan,
mudah pelaksanaan jual beli, mengurangi biaya pemasaran terutama
biaya pengangkutan dan dapat memperluas pasaran.
b) Fungsi penanggungan risiko, risiko yang mungkin terjadi di dalam
proses pemasaran dapat dibedakan atas dua macam yaitu risiko fisik
berupa kebakaran, kehilangan, susut dan lainnya serta risiko ekonomi
atau risiko penurunan harga akibat kebijakan moneter dan adanya
perubahan harga.
c) Fungsi informasi pasar merliputi kegiatan pengumpulan informasi
pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. Dengan
mendapat informasi pasar yang lengkap, maka akan dapat lebih
terarah pelaksanaan proses produksi baik dilihat dari jumlah yang
diinginkan, kapan dibutuhkan, barang apa yang diinginkan dan
dimana diinginkan.
d) Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama
proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Biaya
ini dapat berupa kontan maupun kredit. Dengan sistem pemberian
kredit bagi para pembeli akan dapat memperluas pasar dari suatu
barang maupun jasa yang dipasarkan.
20
3.1.4 Struktur Pasar
Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai
hubungan antara pembeli dan penjual yang secara strategi mempengaruhi
penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Struktur pasar
mempengaruhi efektivitas pasar dalam realitas sehari-hari yang diukur dengan
variabel-variabel seperti harga, biaya dan jumlah produksi. Empat faktor penentu
dari karakteristik struktur pasar yaitu jumlah atau ukuran perusahaan, kondisi atau
keadaan produk, kondisi keluar masuk pasar, dan tingkat pengetahuan yang
dimiliki partisipan dalam pemasaran. Berikut lima jenis struktur pasar dengan
berbagai karakteristiknya.
Tabel 3. Karakteristik dan Struktur Pasar
Karakteristik Struktur pasar dan produk
Jumlah
perusahaan Sifat produk
Kemudahan
Masuk
Pasar
Pengaruh
perusahaan
terhadap harga
Sudut
pembeli Sudut penjual
Banyak Homogen Mudah,
tidak ada
hambatan
Tidak
berpengaruh
Persaingan
sempurna
Persaingan
sempurna
Banyak Diferensiasi Relatif
mudah
Sedikit
berpengaruh,
dibatasi oleh
subtitusi
Persaingan
monopilistik
Persaingan
monopolistik
Sedikit Homogen Sulit dengan
beberapa
hambatan
Berpengaruh,
dibatasi oleh
pesaing
Oligopsoni
murni
Oligopoli
murni
Sedikit Diferensiasi Sulit dengan
beberapa
hambatan
Berpengaruh,
dibatasi oleh
pesaing
Oligopsoni
diferensiasi
Oligopoli
diferensiasi
Satu Unik Tertutup Berpengaruh Monopsoni Monopoli
Sumber: Hammond dan Dahl (1977), Kolhs dan Uhl (1985)
Menurut Kirana (2003), berdasarkan sifat dan bentuknya, pasar dibedakan
menjadi dua macam struktur pasar yaitu: (1) pasar persaingan sempurna, (2) pasar
tidak bersaing sempurna. Pasar dapat digolongkan ke dalam struktur pasar
bersaing sempurna jika memenuh ciri-ciri antara lain: terdapat banyak penjual
maupun pembeli, pembeli dan penjual hanya menguasai sebagian kecil dari
barang dan jasa yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar
sehingga penjual dan pembeli berperan sebagai penerima harga (price taker),
barang dan jasa yang dipasarkan bersifat homogen, penjual dan pembeli bebas
21
keluar masuk pasar. Namun pada umumnya, karakteristik jumlah penjual dan
keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam
menentukan struktur pasar.
3.1.5 Perilaku Pasar
Menurut Asmarantaka (2009), perilaku pasar adalah seperangkat strategi
dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli untuk
mencapai tujuannya masing-masing. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan
konsumsi dari lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang meliputi
kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antara
lembaga-lembaga pemasaran yang ada. Perilaku pasar sering juga disebut sebagai
saluran tingkah laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur
pasar tempat lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan.
Perilaku suatu pemasaran akan sangat jelas terlihat pada saat beroperasi, misalnya
pada saat penentuan harga, lokasi, promosi, penjualan, pembelian dan strategi
pemasaran.
Sedangkan menurut Kohl dan Uhl (2002), ada empat hal yang harus
diperhatikan untuk mengetahui perilaku pasar yaitu: (1) Input-output system,
sistem input-output ini menerangkan bagaimana tingkah laku perusahaan dalam
mengelola sejumlah input menjadi satu set output, (2) Power system, menjelaskan
bagaimana suatu perusahaan dalam suatu sistem pemasaran, misalnya kedudukan
perusahaan dalam suatu sistem pemasaran sebagai perusahaan yang memonopoli
suatu produk sehingga perusahaan tersebut dapat sebagai penentu harga, (3)
Communications system, mempelajari tentang perilaku perusahaan mengenai
mudah tidaknya mendapatkan informasi dan, (4) System for adapting to internal
and external change, menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam
beradaptasi pada suatu sistem pemasaran agar dapat bertahan di pasar.
Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan
pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran, sistem
penentuan harga, kemampuan pasar menerima jumlah produk yang dijual,
stabilitas pasar dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga
pemasaran.
22
M
3.1.6 Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran adalah perbedaan antara harga di tingkat lembaga
pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin sering digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang menjebatani gap antara pasar di tingkat petani
dengan pasar di tingkat eceran (Asmarantaka 2009).
Tomek dan Robinson (1990), memberikan dua alternatif dari definisi
marjin pemasaran yaitu: (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima produsen (petani) yang secara matematis dapat dirumuskan
yaitu M=Pr-Pf, (2) harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat
adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem pemasaran tersebut.
Secara grafis, marjin pemasaran dapat digambarkan sebagai jarak vertikal antara
kurva permintaan primer dengan kurva permintaan turunan, atau antara kurva
penawaran primer dengan kurva penawaran turunan.
Harga (P) Dr Sr
Pr Df Sf
Pf
Qr, f
Gambar 2. Marjin Pemasaran
Keterangan :
Sr –Penawaran tingkat pengecer, Sf – Penawaran tingkat petani,
Dr–Permintaan tingkat pengecer, Df –Permintaan tingkat petani,
Q – Jumlah keseimbangan di tingkat M – Marjin pemasaran
petani dan pengecer,
Perbedaan harga jual dari lembaga yang satu dengan lembaga lain sampai
ke tingkat konsumen akhir disebabkan karena adanya perbedaan kegiatan dari
etiap lembaga. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam
23
penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai ke titik konsumen, maka
akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di titik produsen
dibandingkan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen. Perbedaan harga yang
terjadi antara lembaga pemaasaran satu dengan lembaga pemasaran lainnya dalam
saluran pemasaran suatu komoditas yang sama disebut sebagai marjin pemasaran.
Pada umumnya besarnya marjin pemasaran merupakan indikator yang
paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya efisiensi pemasaran. Marjin
pemasaran yang rendah belum tentu dapat mencerminkan pasar itu sudah efisien.
Namun, marjin yang tinggi juga tidak selalu ditunjukkan oleh adanya keuntungan
pedagang yang berlebihan. Hal ini karena besarnya marjin pemasaran tersebut
pada dasarnya merupakan total biaya pemasaran yang meliputi biaya operasional
pemasaran yang dikeluarkan pedagang (biaya pengangkutan, penyimpanan,
sortasi, grading) dan keuntungan pedagang (Irawan 2007).
Ketika nilai margin pemasaran tinggi sebagai akibat adanya pengolahan
dan penanganan produk lebih lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan
konsumen maka tingginya marjin pemasaran mengindikasikan sistem pemasaran
tersebut berlangsung secara efisien.
Nilai marjin pemasaran dipengaruhi oleh sifat barang yang
diperdagangkan, tingkat pengolahan, biaya pemasaran, keuntungan lembaga
pemasaran, harga eceran dan harga produsen. Sifat komoditas atau barang juga
mempengaruhi marjin pemasaran dan jarak antar daerah produsen dengan
konsumen, serta biaya-biaya tidak resmi (Azzaino 1982 : Mubyarto 1979).
3.1.7 Farmer’s Share
Salah satu indikator untuk melihat efisiensi pemasaran yaitu dapat dilihat
dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap
harga yang dibayarkan konsumen akhir (Limbong dan Sitorus 1985). Farmer’s
share mempunyai hubungan negatif dengan marjin pemasaran artinya semakin
tinggi marjin pemasaran, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah
yang secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut:
Fs x 100%
24
Keterangan :
Fs = Persentase yang diterima petani,
Pf = Harga di tingkat petani,
Pr = Harga di tingkat konsumen
3.1.8 Rasio Keuntungan dan Biaya
Asmarantaka (2009), efisiensi operasional lebih tepat menggunakan rasio
antara keuntungan (π) dengan biaya (C) karena pembanding oppurtunity cost dari
biaya adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah π/C dan nilainya harus
positif ( > 0). Menurut Limbong dan Sitorus (1985), tingkat efisiensi suatu sistem
pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya. Meratanya
penyebaran rasio keuntungan dan biaya serta marjin pemasaran terhadap biaya
pemasaran, maka secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien. Untuk
mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga
pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rasio keuntungan biaya (π/C)
Keterangan :
πi = keuntungan lembaga pemasaran,
Ci = biaya pemasaran.
3.1.9 Keterpaduan Pasar
Keterpaduan pasar penting dilakukan untuk melihat sejauh mana
kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran pada pasar. Menurut Asmarantaka
(2009), keterpaduan pasar merupakan indikator dari efisiensi pemasaran,
khususnya efisiensi harga yaitu suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh
perubahan harga yang terjadi pada pasar acuan akan menyebabkan terjadi
perubahan pada pasar pengikutnya. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat
informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu
pasar ke pasar lainnya misalnya perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan
atau ditransfer secara cepat ke pasar lain sehingga fluktuasi perubahan harga
terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran
25
perubahan yang sama. Hal tersebut pada gilirannya merupakan faktor yang dapat
digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan bagi produsen (Heytens
1986).
Analisis keterpaduan pasar erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.
Menurut Comforti (2004), integrasi harga yang simetris terjadi pada pasar yang
menganut prinsip law of one price artinya jika harga pada suatu pasar mengalami
peningkatan maka pasar yang menjual produk yang sama akan merespon
perubahan harga tersebut mengikuti harga yang terjadi di pasar. Hal ini
menandakan bahwa pasar sudah terintegrasi dengan baik dan sudah efisien karena
persebaran informasinya merata yang dapat dilihat melalui respon yang
ditimbulkan terhadap perubahan harga tersebut. Keterpaduan pasar digunakan
untuk melihat tingkat keeratan hubungan antar pasar produsen (petani) dan pasar
acuan (Pasar Induk Kramat Jati). Suatu pasar dikatakan terpadu dengan baik
apabila harga pada suatu lembaga pemasaran diteruskan kepada lembaga
pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran.
Adanya keterpaduan pasar juga menunjukkan transmisi harga yang baik
antara pelaku. Hal ini dapat terjadi karena kedekatan hubungan dan pola
komunikasi yang baik antar pelaku. Tingkat keterpaduan pasar yang tinggi
menunjukkan telah lancarnya arus informasi diantara lembaga pemasaran
sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran
yang lebih rendah dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan apabila arus informasi berjalan dengan lancar dan seimbang, tingkat
lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi yang dihadapi oleh
lembaga pemasaran di atasnya, sehingga dapat menentukan posisi tawarnya dalam
pembentukan harga (Sianturi 2005).
Keterpaduan pasar dapat diukur dengan menggunakan pendekatan, yaitu
1) metode korelasi (r), 2) metode regresi sederhana, 3) hubungan lag bersebaran
autoregresif (Autoregressive Distribute Lag) antara harga di tingkat pasar acuan
dan pasar pengikut. Menurut Ravallion (1986) model keterpaduan pasar
autoregresif dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal
dipengaruhi oleh harga di pasar acuan dengan mempertimbangkan harga pada
waktu yang lalu (t-1) dan harga pada saat ini (t). Aktivitas pasar-pasar tersebut
26
dihubungkan oleh adanya arus komoditi, sehingga harga dan jumlah komoditi
yang dipasarkan akan berubah jika terjadi perubahan harga di pasar lain.
Hubungan antara kedua pasar dapat dibedakan ke dalam hubungan jangka pendek
dan jangka panjang. Model statistik yang mampu menjelaskan perubahan harga
pada pasar lokal sebagai fungsi dari beberapa variabel bebas menurut Heytens
(1986) adalah sebagai berikut :
Pit - Pit-1 = ß0 + (1+ ß1)Pit-1 + ß 2 (Pjt - Pjt-1) + (ß 3- ß1) Pjt-1 + ß 4Xt + et……..(1)
Keterangan:
Pit = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu ke-t (rupiah/kilogram)
P it-1 = Harga di tingkat pasar lokal pada waktu ke t-1 (rupiah/kilogram)
Pjt = Harga di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke-t (rupiah/kilogram)
Pjt-1 =Harga di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke t-1
(rupiah/kilogram)
X t = Peubah exogenus (musim panen atau regional)
ßi = Parameter estimasi dengan i = 1,2,3,....n
et = Random error
Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal dan pasar
acuanmempunyai pola musim yang sama, maka tidak perlu memasukkan peubah
boneka (Xt) untuk musim setempat, persamaan dapat disederhanakan lagi
menjadi:
Pit = b0 + b1Pit-1 + b2 (Pjt - Pjt-1) + b3Pjt-1 + et………..(2)
Dimana: b1 = 1+ ß1, b2 = ß 2, b3 = ß 3- ß1
b1 = Koefisien perubahan harga di tingkat pasar lokal
b2 = Koefisien perubahan margin harga di tingkat pasar acuan
b3 =Koefisien perubahan harga di tingkat pasar acuan
Berdasarkan persamaan (2) dapat diketahui bahwa koefisien b2 mengukur
bagaimana perubahan harga di pasar acuan diteruskan ke pasar lokal.
Keterpaduan pasar dalam jangka panjang dicapai jika b2 = 1, maka perubahan
harga yang terjadi bersifat netral dan proposional dengan persentase yang
27
sama.Tentunya b2 tidak harus sama dengan satu, meskipun informasi perubahan
harga ditingkat pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar lokal.
Jika Pjt - Pjt-1= 0, maka pasar acuan berada pada keseimbangan jangka
pendek, berarti koefisien b2 dikeluarkan dari persamaan. Koefisien yang
menghubungkan dua bentuk harga (1+ ß1) dan (ß 3- ß1) menjelaskan kontribusi
relatif dari pasar lokal pada saat diinginkan. Kedua bentuk harga yang diperoleh
ini dapat digunakan untuk mengetahui indeks keterpaduan pasar (IMC = Index
Market connection). IMC merupakan rasio dari kedua bentuk harga tersebut, yaitu
bentuk harga pasar lokal terhadap bentuk harga pasar acuannya. Nilai IMC ini
dapat digunakan untuk mengetahui keterpaduan pasar dalam jangka pendek.
Secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut :
IMC = atau IMC =
Jika harga yang terjadi di pasar rujukan pada waktu sebelumnya
merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di suatu pasar
lokal tertentu, berarti kedua pasar tersebut terhubungkan dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa informasi permintaan dan penawaran di pasar rujukan
diteruskan ke pasar lokal dan akan mempengaruhi harga yang terjadi di pasar
lokal tersebut. Jika koefisien b1 = 0 dan b3 > 0 maka nilai IMC = 0 artinya harga di
tingkat pasar lokal pada waktu sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga
yang diterima pada pasar lokal sekarang. Hal ini berarti pasar tersebut berada
dalam keadaan integrasi jangka pendek yang kuat. Jika koefisien b1 > 0 dan
koefisien b3 = 0, maka IMC menjadi tak hingga. Hal ini menunjukkan pasar
tersebut mengalami segmentasi pasar. Integrasi pasar jangka pendek akan
cenderung terjadi pada kondisi dimana b1< b3 sehingga nilai IMC antara 0 dan 1.
Semakin mendekati nol maka derajat integrasi pasar jangka pendek relatif tinggi.
Jika nilai b2= 1 berarti bahwa pasar berada dalam keseimbangan jangka panjang
yang kuat dimana kenaikan harga di pasar rujukan akan segera diteruskan ke pasar
lokal.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa koefisien b2
digunakan untuk mengetahui keterpaduan jangka panjang dan IMC untuk
mengetahui ketertpaduan pasar jangka pendek. Keterpaduan jangka pendek
28
disebut juga keterkaitan pasar dalam menjelaskan bagaimana pelaku pemasaran
berhasil menghubungkan pasar-pasar yang secara geografis terpisah melalui aliran
informasi dan komoditas.
3.1.10 Efisiensi Pemasaran
Menurut Asmarantaka (2009), pemasaran yang efisien adalah pasar
persaingan sempurna, namun struktur pasar ini secara nyata tidak dapat
ditemukan. Ukuran efisien adalah kepuasan dari konsumen, produsen, maupun
lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang dan jasa. Ukuran untuk
menentukan tingkat kepuasan tersebut sulit dan sangat relatif. Kegiatan
pemasaran dikatakan efisien apabila biaya pemasaran dapat ditekan sehingga
keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang
dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.
Efisiensi pemasaran dapat ditinjau dari input output yaitu efisiensi
operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan
penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input
pemasaran. Input pemasaran adalah sumberdaya (tenaga kerga, pengepakan,
mesin-mesin, dan lainnya) yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
pemasaran. Output pemasaran termasuk di dalamnya adalah kegunaan waktu,
tempat, bentuk, dan kepemilikan yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
Oleh sebab itu sumberdaya adalah biaya, sedangkan kegunaan (utilities) adalah
benefit dari rasio efisiensi pemasaran. Rasio efisiensi pemasaran (operasional)
dapat dilihat dari peningkatan dalam dua cara yaitu :
1. Pada perubahan sistem pemasaran dengan mengurangi biaya perlakuan
pada fungsi-fungsi pemasaran tanpa mengubah manfaat atau kepuasaan
konsumen.
2. Meningkatkan kegunaan output dari proses pemasaran tanpa
meningkatkan biaya pemasaran.
Pengukuran efisiensi operasional juga dapat diketahui dengan
menganalisis marjin pemasaran atau sebaran harga antara harga di tingkat petani
dengan di tingkat pengecer. Efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi
pemasaran. Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran
29
yang sesuai dengan keinginan konsumen. Sasaran dari efisiensi harga adalah
efisiensi alokasi sumberdaya dan maksimum output (ekonomi). Efisiensi harga
dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat dalam pemasaran
merasa puas atau responsif terhadap harga yang berlaku. Efisiensi harga dapat
dianalisis melalui ada atau tidaknya keterpaduan pasar antara pasar acuan dengan
pasar pengikutnya, misalnya antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat
konsumen akhir.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan nasional dan
memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Kebutuhan cabai rawit merah terus
meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai rawit merah.
Selain itu, cabai tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lain, sehingga bila terjadi
ketidakseimbangan antara produksi dan serapan pasar pasti akan terjadi fluktuasi
harga. Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya ketidakseimbangan
tersebut yaitu pola produksi (adanya on season dan off season) dan pola tanam
yang tidak terencana dan tidak terkoodinasi antar tiap kabupaten sentra produksi
cabai rawit merah sehingga petani-petani cabai rawit merah memperoleh
pendapatan yang fluktuatif sehingga pendapatan menjadi tidak pasti.
Salah satu sentra produksi cabai rawit merah berada di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug. Jaringan pemasaran cabai rawit merah di Kecamatan
Cigedug pada umumnya melalui pedagang pengumpul desa, semua petani di Desa
Cigedug menjual hasil panennya kepada pihak pedagang pengumpul desa atau
dengan kata lain petani bergantung kepada pedagang pengumpul desa dalam
pemasaran cabai rawit merah. Kondisi ini terjadi akibat petani memiliki
kelemahan memasarkan sendiri dikarenakan butuh modal yang besar khususnya
dalam menyewa alat transportasi dan pengalaman yang cukup sehingga
pengambilan keputusan dalam penetapan harga lebih cenderung kepada pihak
pedagang pengumpul desa. Selain itu, akses informasi harga cabai rawit merah
yang diterima petani tidak lancar. Kondisi ini melemahkan posisi petani karena
daya tawar petani yang lemah. Selanjutnya cabai rawit merah disalurkan ke pasar
30
induk seperti Pasar Induk Cikajang, Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk
Caringin.
Berdasarkan kondisi yang terjadi di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug,
Kabupaten Garut maka perlu dianalisis sistem pemasaran sehingga dapat diambil
kebijakan yang tepat untuk memperbaiki mekanisme pasar dan rekomendasi bagi
para petani yang memberikan bagian keuntungan yang layak untuk petani maupun
lembaga pemasaran.
31
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Salah satu sentra produksi cabai rawit merah
(Capsicum frutescens) di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.
Fluktuasi harga cabai rawit merah tinggi
Adanya ketergantungan petani kepada pengumpul
sehingga posisi tawar petani rendah.
Analisis Sistem Pemasaran
Analisis saluran pemasaran
Analisis fungsi pemasaran
Analisis struktur pasar
Analisis perilaku pasar
Analisis marjin pemasaran
Analisis farmer’s share
Analisis rasio keuntungan dan biaya
Analisis keterpaduan pasar petani cabai rawit merah di
Desa Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Jati
Rekomendasi
32
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
(purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan yang
merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Jawa Barat. Penelitian
dilakukan pada bulan Mei – Juni 2012.
4.2 Data dan Instrumentasi
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan melakukan observasi langsung melalui pembagian kuisioner
yang telah disiapkan dengan teknik wawancara kepada petani cabai rawit merah
dan lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat seperti pedagang pengumpul desa
dan pedagang pengecer cabai rawit merah.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Departemen Pertanian,
Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi, Pasar Induk Kramat Jati,
dan hasil penelitian dari PSEKP. Selain itu diperoleh informasi melalui situs web
internet, buletin, literatur-literatur serta sumber-sumber yang terkait dengan judul
penelitian.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung kepada
petani responden dengan menggunakan kuisioner. Responden yang akan diambil
dalam penelitian ini adalah para petani cabai rawit merah yang berada di wilayah
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut dan lembaga pemasaran
terkait. Penentuan petani responden dilakukan secara purposive yaitu petani cabai
cabai rawit merah yang sedang melakukan pemanenan. Jumlah petani responden
sebanyak 30 orang. Penarikan sampel pada lembaga-lembaga pemasaran
dilakukan dengan mengikuti alur perdagangan cabai rawit merah, diambil
berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya yaitu dari
tingkat petani. Jumlah pedagang respoden sebanyak 22 orang.
33
4.4 Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan untuk menganalisis
saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar serta perilaku pasar
melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Pengolahan data dilakukan secara
deskriptif.
Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin pemasaran,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya, serta keterpaduan pasar vertikal
cabai rawit merah yang terjadi pada tingkat petani dengan Pasar Induk Kramat
Jati. Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan Microsoft Excel dan sistem
tabulasi data. Sedangkan untuk keterpaduan pasar menggunakan pendekatan
model Autoregressive Distributed Lag dengan penggunaan software yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu program Minitab versi 14.
4.4.1 Analisis Saluran Pemasaran
Analisis saluran pemasaran dilakukan dengan mengamati rantai distribusi
cabai rawit merah yang terjadi mulai dari produsen hingga ke konsumen akhir.
Jalur pemasaran ini dapat menggambarkan pola saluran pemasaran. Saluran
pemasaran yang semakin panjang akan menunjukkan marjin yang semakin tinggi
pula (Limbong dan Sitorus 1985).
4.4.2 Analisis Fungsi Pemasaran
Analisis fungsi pemasaran digunakan untuk mengamati fungsi - fungsi
pemasaran yang dilakukan dalam saluran pemasaran cabai rawit merah, meliputi
yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan,
pengemasan, penyimpanan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanganan risiko,
pembiayaan, dan informasi pasar) (Limbong dan Sitorus 1985).
4.4.3 Analisis Struktur Pasar
Struktur pasar cabai rawit merah dianalisis secara deskriptif dengan
berdasarkan pada jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, mudah tidaknya
memasuki pasar, dan pengaruh perusahaan terhadap harga (Kolhs dan Uhl 1985;
Hammond dan Dahl 1977). Analisis struktur pasar dilakukan pada setiap interaksi
34
antara dua pelaku lembaga pemasaran yang melakukan aktivitas pembelian dan
penjualan kemudian menentukan struktur pasar yang terjadi.
4.4.4 Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar cabai rawit merah dianalisis secara deskriptif dengan tujuan
untuk memeperoleh informasi perilaku lembaga pemasaran. Adapun perilaku
yang diamati adalah : (1) praktek penjualan dan pembelian, yaitu bagaimana
proses penjualan dan pembelian berlangsung, (2) penentuan harga yaitu pada
tingkat lembaga manakah yang lebih dominan dalam penentuan harga, (3) sistem
pembayarannya secara tunai atau kredit, (4) adanya kerjasama antara lembaga-
lembaga pemasaran yaitu bentuk kerjasama yang terjalin antar lembaga
pemasaran (Asmarantaka 2009).
4.4.5 Analisis Marjin Pemasaran
Efisiensi suatu pemasaran dapat dilihat dari penyebaran marjin pemasaran,
farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya. Menurut Asmarantaka (2009),
marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan
harga yang diterima produsen (M=Pr-Pf). Marjin pemasaran ini termasuk semua
ongkos yang dikeluarkan oleh pelaku-pelaku pemasaran sehingga marjin
pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut:
Mi = Ci + πi
Selain itu marjin pemasaran digunakan untuk mengetahui perbedaan
pendapatan yang diterima oleh masing- masing lembaga yang terkait dengan
membandingkan perbedaan harga pada masing-masing lembaga. Besarnya
pendapatan yang diperoleh lembaga pemasaran pada tingkat ke-i adalah:
πi = Pji – Pbi – Ci
Sehingga besarnya marjin pemasaran pada suatu saluran pemasaran
tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari marjin pada masing-masing
lembaga pemasaran yang terlibat (Asmarantaka, 2009; Limbong dan Sitorus
1985). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
M = Σ Mi
35
Keterangan:
Mi = Marjin pemasaran pada pasar tingkat ke-i ,
Pji = Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i ,
Pbi = Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i,
Ci = Biaya pembelian pada pasar tingkat ke-i,
πi = Keuntungan pemasaran pada pasar tingkat ke-i, i= 1,2,3,…….,n.
4.4.6 Analisis Farmer’s Share
Farmer’s share merupakan bagian yang diterima petani atau perbandingan
persentase harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen
akhir (Limbong dan Sitorus 1985). Secara matematis farmer’s share dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan:
Fs = Farmer’s share,
Pf = Harga di tingkat petani,
Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir.
4.4.7 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Rasio keuntungan dan biaya adalah persentase keuntungan yang diterima
lembaga pemasaran terhadap biaya pemasaran yang secara teknis untuk
mengetahui tingkat efisiensinya (Limbong dan Sitorus 1985). Rasio keuntungan
dan biaya setiap lembaga pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio keuntungan biaya (π/C)
Keterangan : π i = keuntungan lembaga pemasaran, Ci = biaya pemasaran
Apabila π/C lebih dari satu (π/C >1), maka usaha tersebut efisien, dan
apabila π/C kurang dari satu (π/C < 1), maka usaha tersebut tidak efisien.
Meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya maka secara teknis sistem
pemasaran tersebut semakin efisien.
36
4.4.8 Analisis Keterpaduan Pasar
Analisis keterpaduan pasar bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh
pembentukan harga cabai rawit merah pada suatu tingkat lembaga pemasaran
dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Penelitian ini
menganalisis keterpaduan pasar tingkat petani dengan Pasar Induk Kramat Jati.
Data harga yang digunakan adalah data mingguan. Analisis indeks keterpaduan
pasar antara harga di pasar lokal dan harga dipasar acuan (rujukan) dapat diukur
dengan menggunakan metode IMC. Penyusunan persamaan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan regresi sederhana (OLS) dimana persamaannya sebagai
berikut:
Pit = b1 Pit-1 + b2 (Pjt - Pjt-1) + b3 Pjt-1 + et
Keterangan :
P it = Harga cabai rawit merah di tingkat pasar lokal pada waktu ke t
(rupiah/kilogram)
P it-1 = Harga cabai rawit merah di tingkat pasar lokal pada waktu ke t-1
(rupiah/kilogram)
Pjt = Harga cabai rawit merah di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke t
(rupiah/kilogram)
Pjt-1 = Harga cabai rawit merah di tingkat pasar rujukan/acuan pada waktu ke
t-1 (rupiah/kilogram)
bi = Parameter estimasi dengan i = 1,2,3,....n
et = Random error
4.4.9 Pengujian Hipotesis
Untuk menguji apakah secara statistik peubah bebas yang dipilih
berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah tidak bebas dapat dilakukan uji
statistik t dan uji statistik F. Uji statistik t dapat digunakan untuk menguji
koefisien regresi dari masing-masing peubah, apakah secara terpisah dan apakah
peubah ke-i berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Uji F digunakan
untuk menguji koefisien regresi secara serentak, apakah peubah-peubah bebas
secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi dari peubah tidak bebas.
37
Pengujian dari masing-masing koefisien regresi dilakukan dengan uji t-student,
dengan hipotesis:
H0 : b1 = 0
H1 : b1 ≠ 0
Pengujian dengan t hitung :
bi - 0
t hitung =
Se (bi )
Keterangan: Se (bi) adalah standar error parameter dugaan bi
Kriteria uji : t hitung < t tabel : terima H0
t hitung > t tabel : tolak H0
Jika hipotesa nol ditolak, berarti peubah yang diuji berpengaruh nyata
terhadap peubah tidak bebas. Sebaliknya jika hipotesa nol diterima, maka peubah
yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap peubah bebas. Sedangkan mekanisme
yang digunakan untuk menguji koefisien regresi secara serentak adalah :
H0 : b1 = b2 = ...... = b k= 0
H0 : b1 ≠ b2 ≠ ...... ≠ b k≠ 0
Statistik uji yang digunakan dalam uji F adalah :
SSR/ (k-1)
Fhit =
SSR/ (n-k)
Dengan derajat bebas (k-1), (N-k),
Keterangan :
SSR = Jumlah kuadrat regresi
SSE = Jumlah kuadrat sisa
N = Jumlah pengamatan
k = Jumlah parameter
Kriteria uji : t hitung < t tabel : terima H0
t hitung > t tabel : tolak H0
38
Jika hipotesa nol ditolak berarti minimal ada satu peubah yang digunakan
berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas. Sebaliknya jika hipotesa nol
diterima berarti secara bersama peubah yang digunakan tidak bisa menjelaskan
variasi dari peubah tidak bebas. Uji autokorelasi bertujuan untuk melihat apakah
ada korelasi antar pengamatan. Uji autokorelasi ini menggunakan uji Durbin
Watson. Pengujian dengan metode ini dilakukan karena di dalam model terdapat
variabel lag. Pengujian ini digunakan dengan hipotesa :
H0 : ρ = 0 dan H1: ρ ≠ 0
Sedangkan koefisien Durbin-h diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
∑(et-et-1)
dw =
∑(e2t)
Keterangan :
dw = Nilai Durbin Watson
et-et-1 = Lag nilai kesalahan e
e2t = Kuadrat nilai kesalahan
Koefisien Durbin watson (d) hitung dibandingkan dengan nilai tabel dU
dan nilai dL. Jika nilai d hitung < dL maka terdapat autokorelasi (+) dan (d)
hitung > 4-dL terdapat autokorelasi (-). Jika nilai (d) hitung terdapat pada daerah
lain, maka tidak terdapat autokorelasi antar pengamatan. Artinya model dapat
digunakan dalam pembahasan selanjutnya.
Untuk mengetahui apakah suatu pasar terpadu dalam jangka panjang
maupun jangka pendek, maka dilakukan pengujian hipotesis terhadap keterpaduan
pasar.
1. Keterpaduan Pasar Jangka Panjang
H0 : b2 = 1
H0 : b2 ≠ 1
Pengujian dengan t hitung :
b2 - 1
t hitung =
Se (b2 )
Keterangan : Se (b2) adalah standar error parameter dugaan b2.
39
Apabila t hitung < t tabel maka terima H0 yang artinya kedua pasar
terpadu dalam jangka panjang. Sebaliknya t hitung > t tabel, maka tolak H0
hipotesis al alternatif diterima secara statistik, artinya kedua pasar tidak
terpadu dalam jangka panjang.
2. Keterpaduan Pasar Jangka Pendek
H0 : b1/b3 = 0
H0 : b1/b3 ≠ 0
Keterangan : b1/ b3 = 0 setara dengan b1 = 0, sehingga hipotesis sebagai
berikut:
H0 : b1 = 0
H0 : b1 ≠ 0
b1 - 0
t hitung =
Se (b1)
Apabila t hitung < t tabel maka terima H0 secara statistik, yang
artinya kedua pasar terpadu dalam jangka pendek. Sebaliknya jika t hitung
> t tabel, maka tolak H0 dan hipotesa alternatif diterima secara statistik,
artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka pendek.
40
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN
5.1 Keadaan Pertanian di Kabupaten Garut
Kabupaten Garut terletak di Propinsi Jawa Barat bagian selatan dan
memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha (3.065,19 km²). Secara
administratif, sampai saat ini Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan, 21
kelurahan dan 403 desa. Sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Garut,
pertanian masih merupakan sektor andalan. Secara nasional, Kabupaten Garut
belum menjadi salah satu sentra produksi pangan, tetapi untuk lingkup Jawa Barat
berpotensi kuat menjadi sentra produksi padi, jagung, dan kedelai. Namun dari
sektor hortikultura, Kabupaten Garut menjadi salah satu sentra produksi
sayuran.dan sebagian besar sayuran yang dibudidayakan oleh petani di Kabupaten
Garut adalah sayuran dataran tinggi yang mempunyai nilai ekonomis cukup
tinggi. Beberapa sayuran yang teridentifikasi sebagai komoditas unggulan
pertama adalah kentang, cabai (cabai besar dan cabai rawit ), dan tomat (LPPD
Kabupaten Garut 2010). Berikut perbandingan luas tanam ketujuh komoditas
tersebut pada tahun 2011 dapat dilihat pada gambar 4 dimana luas tanam dan luas
panen ketiga komoditas tersebut mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Gambar 4. Perbandingan Luas Lahan Padi, Jagung, Kedelai, Kentang, Tomat,
Cabai Besar, dan Cabai Rawit di Kabupaten Garut Tahun 2011. Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012).
41
Padi, jagung, dan kedelai jika dilihat produksi dan produktivitasnya
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Realisasi produksi padi tahun 2009
mencapai 804.457 ton atau 110,18 persen bila dibandingkan dengan realisasi
tahun 2008 (730.167) atau naik sebesar 9,23 persen bila dibandingkan dengan
produksi pada tahun 2009 dan di tahun 2010 terus mengalami peningkatan sebesar
21,44 persen. Sedangkan komoditas jagung juga mengalami peningkatan sebesar
12,91 persen pada tahun 2010. Adapun produksi kedelai tahun 2009 mencapai
12.647 ton biji kering dan terus mengalami peningkatan sebesar 32 persen di
tahun 2010.
Tabel 4. Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung, dan Kedelai di Kabupaten
Garut Tahun 2008-2010.
Komoditas Produksi (Ton)
2008 2009 2010
Padi 730.167 804.457 918.735
Jagung 336.025 367.790 422.309
Kedelai 7.857 12.647 18.601
Komoditas Produktivitas (Ton/Ha)
Padi 5,596 5,938 6,224
Jagung 6,016 6,513 6,92
Kedelai 1,407 1,516 1,624
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
Dilihat dari sektor hortikultura khususnya sayuran, secara ekologis, faktor
alam (tipe iklim) di beberapa daerah Kabupaten Garut sangat cocok untuk
pengembangan komoditas sayuran seperti kentang, tomat, dan cabai. Varietas
kentang yang dominan digunakan di Kabupaten Garut ialah granola dan atlantik.
Adapun tomat yang sering diusahakan oleh petani di Kabupaten Garut terdiri dari
berbagai jenis, dari jenis lokal hingga benih hasil hibrida. Sedangkan untuk
komoditas cabai merah yang sering diusahakan oleh petani di Garut terdiri dari
berbagai jenis, dari jenis lokal hingga benih hasil hibrida. Varietas cabai besar
yang dominan digunakan oleh petani yaitu di Kabupaten Garut ialah biola,
fantastic, dan tanjung. Sedangkan varietas cabai rawit yang dominan digunakan di
Kabupaten Garut ialah inul yang merupakan varietas lokal.
42
Gambar 5. Perbandingan Luas Tanam Kentang, Tomat dan Cabai di
Kabupaten Garut Tahun 2009-2011. Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
Pada gambar 5 dapat dilihat luas tanam kentang mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Pada tahun 2011 luas tanam kentang mencapai 6.065 ha atau
mengalami peningkatan 2,407 persen dari tahun 2010 seluas 5.919 ha. Sedangkan
produksi dan produktivitas mengalami fluktuasi. Tanaman tomat, cabai besar, dan
cabai rawit merupakan tanaman tumpang sari sehingga luas tanam, produksi, dan
produktivitas setiap tahunnya cenderung fluktuasi.
Tabel 5. Produksi, dan Produktivitas Kentang, Tomat, dan Cabai di Kabupaten
Garut Tahun 2009-2011
Komoditas Produksi (Ton)
2009 2010 2011
Kentang 120.048 143.342 127.090
Tomat 100.912 100.248 98.142
Cabai Besar 70.641 79.492 80.390
Cabai Rawit 19.251 17.178 22.628
Komoditas Produktivitas (Ton/Ha)
Kentang 23,42 22,05 22,22
Tomat 28,17 27,23 27,41
Cabai Besar 14,85 14,41 14,45
Cabai Rawit 12,73 12,13 12,51
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
43
Varietas granola biasa dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pasar-
pasar tradisional sedangkan untuk varietas atlantik biasa dibudidayakan untuk
memenuhi kebutuhan industri-industri seperti keripik kentang baik dalam skala
industri kecil maupun besar. PT. Indofood Fritolay Sukses Makmur merupakan
salah satu pelaku industri yang menjalin sebuah hubungan kemitraan dengan
banyak petani kentang di berbagai daerah termasuk Kabupaten Garut guna
memenuhi kebutuhan supply input ke pabriknya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa petani, harga yang diberikan oleh PT. Indofood Fritolay Sukses
Makmur terhadap petani kentang adalah berkisar antara Rp 5.000 – Rp 5.250 per
kilogram. Harga tersebut berada diatas rata-rata harga pasar yang hanya
berkisarRp 4.000 – Rp 4.500 per kilogram untuk kentang yang termasuk varietas
atlantik.
Adapun komoditas tomat yang menunjukkan nilai produktivitas paling
tinggi jika dibandingkan dengan kentang dan cabai, namun produktivitas ini tidak
diikuti dengan harga pasar yang baik. Harga rata-rata tomat di tingkat pasar
berkisar antara Rp 3.000 - Rp 6.000 per kilogram sedangkan di tingkat petani
hanya berkisar Rp 500 - Rp 3.000 per kilogram.
Komoditas cabai besar memiliki kisaran harga rata-rata yang diterima di
tingkat produsen berkisar antara Rp 5.000 – Rp 7.000 per kilogram dan dapat
mencapai Rp 70.000 per kilogram di tingkat pasar sedangkan komoditas cabai
rawit merah memiliki kisaran harga antara Rp 4.000 – Rp 20.000 per kilogram di
tingkat petani dan dapat mencapai Rp 29.000 per kilogram di tingkat pasar. Hal
tersebut terjadi akibat tingginya permintaan di pasar pada hari perayaan seperti
Idul Fitri. Beberapa daerah sentra produksi utama tanaman cabai rawit yaitu
berada di Kecamatan Caringin, Kecamatan Talegong, Kecamatan Bungbulang,
dan Kecamatan Cigedug.
44
Tabel 6. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit di Tingkat
Kecamatan Kabupaten Garut Tahun 2009-2011
Kecamatan Luas Panen (Ha)
2009 2010 2011
Caringin 318 180 283
Talegong 266 107 152
Bungbulang 162 142 139
Cigedug 162 152 254
Produksi (Ton)
Caringin 4.410 231 3.667
Talegong 3.134 1.220 1.831
Bungbulang 1.963 1.601 1.669
Cigedug 1.865 1.869 3.304
Produktivitas (Ton/Ha)
Caringin 138,68 128,17 129,58
Talegong 117,82 113,99 120,46
Bungbulang 121,17 112,75 120,07
Cigedug 115,12 122,94 130,08
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
5.2 Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug
Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah
dataran tinggi dengan ketinggian 1.200 meter dpl dengan tingkat kemiringan 75
persen berbukit, 20 persen landai dan 5 persen curam. Desa Cigedug terletak di
sebelah selatan dari kabupaten Garut dengan jarak 30 km dari ibu kota kabupaten
dan secara administrasi batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa
Sukahurip, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Barusuda, sebelah Timur
berbatasan dengan Gunung Cikuray, dan sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Cikajang. Desa Cigedug memiliki luas wilayah sekitar 1138,2 ha,
yang terdiri dari tanah sawah 3,90 ha, tanah kering 644,87 ha, lahan perkebunan
67 ha, fasilitas umum 4,14 ha, dan tanah hutan 172,39 ha. Tanah kering
dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan 76,9 persen, tanaman
keras 22 persen, dan kolam air 1,1 persen.
45
Penduduk Desa Cigedug berjumlah 10.201 jiwa yang terdiri dari 5.117
jumlah laki-laki dan 5.084 jumlah perempuan, dengan jumlah KK sebanyak 2.647
KK yang mayoritas memeluk agama islam. Secara umum masyarakat Desa
Cigedug bermatapencaharian di sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani
(59,3 persen).
Jenis tanahnya terdiri dari Regosol 60 persen, Latosol 25 persen dan tanah
Alluvial 15 persen dengan keadaan drainase 70 persen baik, 20 persen cukup baik
dan 10 persen kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penanaman
tanaman sepanjang tahun. Berdasarkan hasil analisis pengamatan curah hujan tiga
tahun terakhir menunjukan bahwa rata-rata jumlah hari hujan 156 hari dan tipe
iklim untuk Kecamatan Cigedug termasuk tipe iklim C (agak basah), dimana
setiap tahunnya antara 7-8 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Keadaan iklim
seperti ini membuat wilayah Desa Cigedug sesuai untuk pengembangan budidaya
sayuran, seperti tomat, kentang,kol, cabai, terong, jagung, pecay, dan wortel.
5.3 Gambaran Umum Usahatani Cabai Rawit Merah
Produksi cabai rawit merah di Desa Cigedug melalui beberapa tahapan,
mulai dari penyiapan lahan, penyemaian benih dan pembibitan, pemasangan
mulsa, penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan dan pasca panen.
Gambar 6. Komoditas Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug
1. Persiapan Lahan
Pada tahap pertama dilakukan pengolahan tanah dengan cara lahan
dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa tanaman sebelumnya, plastik mulsa, dan
sampah lainnya. Kemudian tanah dibajak dengan menggunakan alat cangkul
dengan tujuan yaitu mengembalikan kondisi kesuburan tanah agar tetap gembur.
46
Kedalaman cangkul berkisar antara 20 cm hingga 30 cm agar akar tanaman dapat
dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di dalam tanah. Pada umumnya
petani cabai rawit merah di Desa Cigedug memiliki lahan dengan luas kurang dari
0,5 ha sehingga penggunaan cangkul akan lebih efisien dibandingkan
menggunakan traktor.
Setelah gembur tanah dibuat bedengan setinggi 30 cm hingga 40 cm,
dengan lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar bedengan ± 40 cm hingga 50
cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Sedangkan untuk panjang
bedengan bergantung pada bentuk dan luas lahan yang dimiliki oleh petani.
Pemupukan dasar siap dilakukan pada bedengan yang telah terbentuk,
dengan pupuk kandang yaitu kotoran ayam maupun dari kotoran kambing atau
domba. Dosis rata-rata pemupukan yang diberikan berkisar 1 ton per patok (0,04
ha) dengan asumsi 1 kg pada satu tanaman. Pada tanah yang pHnya rendah, maka
pengapuran dilakukan bersamaan dengan pemupukan. Tanah bedengan diaduk
secara merata dan dibiarkan selama 2 minggu. Persiapan lahan ini pada umumnya
menggunakan tenaga kerja pria sebanyak 2-3 orang, namun untuk lahan di atas
10.000 m2 menggunakan tenaga kerja borongan.
2. Pemasangan Mulsa
Pada umumnya, petani di Desa Cigedug melakukan pemasangan mulsa
untuk menghindari gangguan gulma, hama penyakit, dapat menjaga suhu tanah
dan kelembaban tanah relatif stabil serta dapat menghindari tercucinya pupuk oleh
air hujan. Cara pemasangan yaitu tarik kedua ujung mulsa ke masing-masing
ujung bedengan dengan arah memanjang dan kuatkan dengan pasak bilah bambu
berbentuk U yang ditancapkan di setiap sisi bedengan, kemudian tarik sisi kanan
dan kiri hingga permukaan atas bedengan tertutup rapat dan kuatkan lagi dengan
pasak bilah bambu berbentuk U.
Setelah pemasangan mulsa, selanjutnya mulsa dilubangi dengan
menggunakan alat pembolong mulsa dengan jarak tanam yang diinginkan. Di desa
Cigedug, pola mulsa yang dilubangi oleh para petani ada yang berbentuk sejajar
dan ada pula yang berbentuk pola menyilang . Hal ini tergantung dari jenis
tanaman sayuran yang ditumpangsarikan dengan cabai rawit merah.
47
Rata-rata petani responden menggunakan pola menyilang pada setiap
bedengan. Dua lubang pada kedua sisi kanan dan kiri dengan masing jarak antar
lubang 50 x50 cm atau 50 x 75 cm dan satu lubang yang berada di tengah kedua
lubang kanan dan kiri dengan jarak antar lubang 30 x 30 cm. Plastik mulsa yang
telah diukur kemudian dilubangi menggunakan alat pembolong mulsa yang dapat
dibeli pada toko Saprotan seharga Rp 50.000,00 per buah.
Gambar 7. Kegiatan Pemasangan Mulsa di Desa Cigedug
3. Penyemaian Benih dan Pembibitan
Pembibitan dapat dilakukan oleh petani responden sendiri. Namun pada
umumnya petani responden lebih memilih untuk membeli bibit langsung kepada
petani lain yang melakukan pembibitan. Petani lebih memilih untuk membeli bibit
yang telah jadi karena luas lahan yang dimiliki oleh rata-rata petani tidak terlalu
besar.
Penyemaian benih cabai rawit merah secara umum dapat dilakukan pada
bedengan yang dibuat khusus untuk pembibitan atau menggunakan suatu media
yang dinamakan “complong”. Media ini terbuat dari daun pisang yang dibentuk
menyerupai tabung kecil yang berisikan campuran tanah dan kompos sebagai
media.
Jika disemai diatas bedengan maka jarak tebaran antara 3–6 cm. Setelah
benih ditebarkan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos.
Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5–10 kilogram pupuk kandang. Benih
yang ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung ataupun air
hujan. Di atas bedengan diberi naungan yang tingginya sekitar 1 m di bagian barat
dan 1,5 m di bagian timur.
48
Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus dirawat
dengan baik. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman
serta pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali
sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila udara
dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali
penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja.
Persemaian perlu dijaga dari kemungkinan serangan hama dan penyakit.
Hama dan penyakit yang sering mengganggu persemaian antara lain semut,
cacing dan jamur. Biasanya petani responden melakukan pengendalian hama dan
penyakit dengan menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan
daun sirsak, daun surai, ataupun bisa juga dengan daun sereh.
Setelah berumur 1–2 minggu setelah penebaran, bibit cabai rawit merah
sudah mulai bertunas. Bila umur calon bibit sudah dua minggu, sebagian
naungannya dibuang. Sisa naungannya dapat dibuang setelah umur bibit tersebut
sudah 3 minggu dan bibit sudah siap dipindah kepada lahan untuk ditanam.
Gambar 8. Kegiatan Pembibitan Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug
4. Penanaman
Sebelum penanaman, perlu dilakukan penyemprotan insektisida ke dalam
lubang tanam. Bibit cabai rawit merah ditempatkan di tengah lubang tanam dan
selanjutnya dimasukkan sambil ditimbun media tanam hingga cukup padat. Hal
ini bertujuan agar akar tanaman lebih kokoh dan tanaman tidak mudah goyah.
Tanaman cabai rawit merah biasanya hanya mampu ditanam sebanyak 15.000
pohon.
Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00-
09.00 WIB atau sore hari setelah pukul 15.00 WIB. Setelah penanaman,
49
penyiraman dapat langsung dilakukan. Terkadang pelindung tanaman juga
diperlukan untuk tanaman cabai merah, fungsinya untuk melindungi tanaman agar
tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar dari
terpaan air hujan dan angin kencang. Setelah penanaman bibit, dilakukan
penyemprotan awal untuk menghindari hama penyakit. Tenaga kerja yang
digunakan cukup 2-3 orang, namun untuk lahan seluas 10.000 m2 menggunakan
tenaga kerja borongan sebanyak 20 orang.
5. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan selama masa proses produksi cabai rawit merah
berlangsung. Pada tahap ini diperlukan perhatian dan waktu luang untuk
mengawasi dan memelihara tanaman. Adapun kegiatan pemeliharaan tanaman
cabai rawit merah yaitu penyulaman, penyiraman, pemasangan ajir, pemupukan
tambahan, dan pengendalian hama penyakit.
Penyulaman tanaman pada cabai rawit merah diperlukan untuk mengganti
tanaman utama yang gagal tumbuh atau mati. Proses penyulaman ini dilakukan
sejak satu hingga dua minggu setelah tanam. Caranya adalah dengan mengganti
tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Bibit yang digunakan untuk
penyulaman adalah sisa bibit yang masih ada. Adapun kegiatan penyiraman perlu
dilakukan tiap hari terutama pada musim kemarau atau jika kondisi tanah tampak
kering. Namun pada musim hujan, tidak perlu dilakukan secara rutin.
Pemeliharaan selanjutnya yaitu pemasangan ajir yang dilakukan saat
umur cabai rawit merah mencapai 4 minggu. Pemasangannya dilakukan dengan
sistem ajir miring, caranya yaitu menancapkan dua bilah bambu secara
menyilang secara sejajar pada percabangan tanaman cabai rawit merah mengikuti
arah panjang bedengan. Masing-masing tanaman dipasangkan satu ajir. Antara
ajir yang satu dengan ajir yang lainnya dihubungkan dengan bilah bambu
memanjang atau melintang kemudian diikat dengan tali galar atau tali rafia.
50
(a) (b)
Gambar 9. (a) Pemasangan Ajir, (b) Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan
Seminggu setelah penanaman, dapat pula dilakukan pemupukan tambahan.
Tujuan pemupukan ini adalah agar cabai rawit merah yang ditanam mendapatkan
cukup nutrisi makanan yang tersedia dalam tanah tanpa terjadi perebutan makanan
antara masing-masing tanaman. Proses pemupukan dilakukan dengan teknik
kocoran larutan hasil campuran pupuk dengan air dengan dosis tertentu. Hal ini
dilakukan agar tanah yang sudah tetutup mulsa pada permukaan mudah menyerap
nutrisi pupuk. Pupuk yang biasa digunakan petani responden adalah campuran
dari pupuk kimia seperti TSP, KCL, KNO, dan NPK.
Sedangkan untuk pemberian obat-obatan seperti fungisida dan insektisida
pada umumnya dilakukan dua minggu sekali. Namun jika serangan hama penyakit
lebih parah dari biasanya maka penyemprotan dilakukan 1-2 kali dalam seminggu.
Adapun jenis obat-obatan yang biasa digunakan oleh petani responden antara lain
Dakonil, Antrakol, Prepaton, Polaram, Cekpoin, Unicef, Ekuisen, Oktanil, Manep,
Bion M, Klorotaronil, Afidor, Confidor, Demolis, Gramaxon, Kolikron,
Kurakron, ABSA, Napel, Supergo, Abamektin dan obat sejenis lainnya.Tenaga
kerja yang digunakan pada pemeliharaan tanaman cabai rawit merah adalah
tenaga kerja pria atau dilakukan sendiri tanpa tenaga kerja tambahan. Namun, jika
lahan seluas 10.000 m2, maka tenaga kerja yang digunakan sebanyak 25 orang.
6. Panen dan Pasca Panen
Tanaman cabai rawit merah dapat dipanen setiap 1 minggu sekali hingga
umur tanaman maksimal mencapai 1,5 tahun Proses panen pada tanaman cabai
51
rawit merah akan dapat dilakukan pertama kalinya pada usia 5-7 bulan setelah
masa tanam dan panen dapat dilakukan selama 48-72 kali. Namun pada umumnya
masa panen cabai rawit merah di Desa Cigedug hanya dilakukan sebanyak 48 kali
atau selama 1 tahun lamanya. Masa panen cabai rawit merah lebih lama dari jenis
cabai lainnya. Produksi cabai rawit merah setiap panen hasilnya tidak selalu sama.
Pada awal hingga panen ke-5 , hasil yang diperoleh belum optimal yaitu rata-rata
mencapai 305 kilogram setiap panennya untuk 10.000 m2.
. Pada panen ke-8 akan
menunjukkan kenaikan produksi hingga ke panen ke-12 yang akan mencapai
produksi optimal sebanyak 1.543 kilogram kemudian akan menunjukkan
kestabilan jumlah produksi hingga panen ke-20 yaitu rata-rata mencapai 996
kilogram setiap panennya untuk 10.000 m2 dan akan menurun dengan lambat
sampai habis masa produksinya hingga hanya mencapai 10 kilogram.
Panen biasanya dilakukan pada pagi hari dan tenaga kerja yang digunakan
yaitu tenaga kerja wanita yang diupah Rp 12.000,00 per orang. Penyortiran
dilakukan saat panen berlangsung dimana para pekerja hanya memetik cabai rawit
merah yang berwarna orange dan merah serta tidak terjangkit penyakit busuk
buah. Cabai rawit merah kemudian siap dikemas menggunakan karung bekas
pupuk dimana satu karung berisi 50 kilogram cabai rawit merah. Setiap
pemanenan membutuhkan tenaga kerja dengan maksimum kekuatan setiap tenaga
kerja dalam sehari adalah 10 hingga 15 kg.
Gambar 10. Kegiatan Pemanenan dan Pengemasan Cabai Rawit Merah
5.4 Karakteristik Responden Petani
Responden petani dalam penelitian ini adalah petani cabai rawit merah
yang berada di wilayah Desa Cigedug yaitu sebanyak 30 orang. Cara bercocok
52
tanam yang digunakan oleh petani responden adalah dengan menggunakan sistem
tumpang sari. Tanaman cabai rawit merah sebagai tanaman tumpang sari dengan
tanaman utama yaitu kentang, tomat, kol, dan pecay. Cabai rawit merah memiliki
masa panen dan umur tanaman yang cukup lama yaitu masa panen selama 6,7
atau 8 bulan dan umur tanaman selama 1,5 tahun.
Identitas responden dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat pendidikan,
luas lahan garapan, dan kepemilikan lahan. Berdasarkan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa umur petani responden di Desa Cigedug berkisar antara 31-
80 tahun. Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa kelompok usia tertinggi
terdapat pada usia 31 – 40 tahun sebanyak 10 petani atau sebesar 33.33 persen.
Kelompok usia ini termasuk ke dalam usia produktif atau usia kerja. Di desa ini
juga terdapat petani dengan kelompok usia ≥ 61 atau sebesar 26,67 persen. Hal
ini menggambarkan bahwa petani yang berusia relatif tua ( ≤ 61 tahun) juga masih
mampu untuk mengelola lahan untuk kebutuhan hidup. Berikut karakteristik
responden petani berdasarkan usia pada Tabel 7.
Tabel 7. Karakteristik Responden Petani Berdasarkan Usia di Desa Cigedug
Kelompok Umur
(tahun)
Jumlah Responden
(orang)
Persentase
(%)
31 - 40 10 33.33
41 - 50 7 23.33
51 - 60 5 16,67
≥ 61 8 26,67
Total 30 100
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Petani responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi karena
ada beberapa petani yang sudah menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat
perguruan tinggi. Persentase pendidikan petani responden tertinggi adalah sekolah
dasar sebesar ada umumnya memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar sebesar
43,33 persen, sedangkan persentase terendah adalah tingkat perguruan tinggi yaitu
6,67 persen (Tabel 8).
53
Tabel 8. Tingkat Pendidikan Petani Responden
Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
SD 13 43,33
SMP 9 30
SMA 6 20
S1 2 6,67
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Rata-rata luas lahan yang digarap petani responden sebesar 5.140 m2
(0,514 hektar) dengan luas lahan terkecil adalah 1.000 m2 (0,1 hektar) dan luas
terbesar adalah 40.000 m2 (4 hektar). Data luas lahan petani responden dapat
dilihat pada Tabel 5. Status kepemilikan lahan petani responden sebagian besar
merupakan milik sendiri dengan persentase sebesar 90 persen dan 10 persen
merupakan lahan sewa. Karakteristik luas lahan yang dimiliki petani responden di
Desa Cigedug dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Luas Lahan Garapan Cabai Rawit Merah di Tingkat Petani Respoden.
Luas Lahan (m2) Jumlah (orang) Persentase (%)
≤ 2.000 13 43,33
2.001 – 5.000 8 26,67
5.001 – 8.000
8.000 – 12.000
5
1
16,67
3,33
≥ 12.000 3 10
Jumlah 30 100
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Kebanyakan petani responden berjenis kelamin laki-laki (93,33 persen)
dan hanya terdapat dua petani yang berjenis kelamin perempuan (6,67 persen).
Petani merupakan pekerjaan utama penduduk Desa Cigedug dan hampir semua
kepala keluarga melakukan kegiatan pertanian sedangkan istri membantu suami
54
untuk melakukan pemeliharaan dan pemanenan. Kegiatan pertanian juga
dilakukan bersama anggota keluarga lainnya.
Para petani yang menjadi responden dalam penelitian ini mengelola
kegiatan usaha budidaya dan pemasaran secara individu. Berdasarkan
karakteristik petani di Desa Cigedug dilihat dari usia kebanyakan berada pada
rentang 31 – 40 tahun, dengan latar belakang belakang pendidikan SD serta luas
lahan kepemilikan ≤ 2.000 m2. Namun tidak ada perbedaan pada kegiatan
pemasaran yang dilakukan oleh petani cabai rawit merah di Desa Cigedug karena
semua hasil panen cabai rawit merah dijual ke para pedagang pengumpul desa.
Petani responden, tidak melakukan penjualan langsung ke pasar, dikarenakan
jarak antara lokasi produksi dengan pasar tujuan cukup jauh, sehingga
memerlukan biaya transportasi yang besar.
5.5 Karakteristik Responden Pedagang
Pedagang yang terlibat dalam saluran pemasaran cabai rawit merah di
Desa Cigedug ini berjumlah 22 orang yan terdiri dari 7 orang pedagang
pengumpul desa, 8 orang pedagang besar, 7 orang pedagang pengecer. Pedagang
pengumpul berasal dari Desa Cigedug dimana pedagang pengumpul desa
memperoleh pasokan cabai rawit merah dari petani langsung dengan mencari
petani cabai rawit merah yang mulai panen dengan kesepakatan jumlah yang
diminta dan kesepakatan harga oleh kedua belah pihak. Pedagang besar terbagi
atas dua wilayah yaitu pedagang besar di Pasar Induk Cikajang Kecamatan
Cikajang dan luar Kabupaten Garut seperti pedagang besar di Pasar Induk Kramat
Jati Jakarta dan Pasar Induk Caringin Bandung. Sedangkan pedagang pengecer
yang dikunjungi berlokasi di dua kota yaitu Pasar Ciroyom Bandung dan Pasar
Kramat Jati Jakarta. Karakteristik yang diperhatikan terhadap pedagang responden
diantaranya umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang cabai
rawit merah.
Berdasarkan karakteristik umur, pedagang responden memiliki umur yang
bervariasi dengan jumlah kelompok umur tebanyak adalah pedagang berumur
antara 31 – 40 tahun yaitu sebanyak sebelas pedagang atau 50 persen. Sedangkan
tujuh pedagang lainnya atau sebesar 31,82 persen berumur lebih dari 41 tahun.
Namun ada pula pedagang yang berada pada kelompok usia muda ( ≤ 30 tahun)
55
yaitu sebanyak empat pedagang yang sudah memulai berdagang di usia ini
dikarenakan usaha ini merupakan usaha turun-temurun keluarga.
Pada umumnya pedagang responden berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 20 pedagang atau sebesar 90,91 persen dan dua pedagang berjenis
kelamin perempuan yang berdagang sebagai pedagang pengecer. Jika dilihat dari
tingkat pendidikan pedagang cabai rawit merah juga bervariasi didominasi oleh
pedagang yang tamat Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak sepuluh orang atau
sebesar 45,45 persen, enam orang yang tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan enam orang yang tamat lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Tabel 10. Pengalaman Rata-rata Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-
masing Jenis Pedagang yang Terlibat Dalam Pemasaran Cabai Rawit
Merah Desa Cigedug.
Jenis Pedagang Pengalaman Berdagang (Tahun) Bentuk
Usaha
Pedagang Pengumpul 11 Perorangan
Pedagang Besar 13 Perorangan
Pedagang Pengecer 13 Perorangan
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Pengalaman berdagang rata-rata dari pedagang responden berbeda-beda
tetapi bentuk usaha dari masing-masing jenis pedagang adalah sama yaitu
perorangan (Tabel 11) dan terlihat bahwa masing-masing jenis pedagang
cenderung memiliki pengalaman berdagang yang relatif cukup lama sehingga
sudah terbentuk kepercayaan dari masing-masing lembaga atau pihak yang
berhubungan langsung dengannya.
56
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah
Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu
cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai rawit merah
yang dijual ke PT Indofood (petani mitra). Penelitian ini berfokus pada petani non
mitra yang penyaluran cabai rawit merah di jual ke pasaran yang terkait dengan
beberapa lembaga pemasaran, meliputi pedagang pengumpul desa, pedagang
besar, dan pedagang pengecer. Saluran pemasaran cabai rawit merah ini sangat
dipengaruhi oleh hubungan dagang dan saling percaya antar masing-masing.
Begitu pula antara pedagang pengumpul desa dan pedagang besar memiliki
hubungan yang sama berdasarkan saling kepercayaan. Hubungan dagang ini
sangat sulit berubah karena telah terjalin selama bertahun-tahun.
Para petani menjual cabai rawit merah kepada pedagang pengumpul desa
dikarenakan adanya akses kemudahan serta hemat biaya dalam hal pemasaran.
Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug secara rinci dapat dilihat
pada Gambar 11. Terdapat lima saluran pemasaran cabai rawit merah yaitu:
1. Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati
Jakarta – Pedagang Pengecer – Konsumen Jakarta.
2. Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar Pasar Induk Cikajang –
Konsumen di Kecamatan Cikajang.
3. Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar Pasar Induk Cikajang –
Pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – Pedagang pengecer –
Konsumen Jakarta.
4. Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar Pasar Induk Caringin
Bandung – Pedagang pengecer – Konsumen Bandung.
5. Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar Pasar Induk Caringin
Bandung – Pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – Pedagang
Pengecer – Konsumen Jakarta.
57
63
,
9
%
33,2%
36,1%
Gambar 11. Pola Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug
Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.
Keterangan:
: Saluran pemasaran I
: Saluran pemasaran II
: Saluran pemasaran III
: Saluran pemasaran IV
: Saluran pemasaran V
: Diluar cakupan penelitian
Untuk pola saluran pemasaran petani mitra cabai rawit merah dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 12. Pola Saluran Pemasaran Petani Mitra Cabai Rawit Merah di
Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.
Petani Vendor PT Indofood
66,8 %
91,5%
91,5 %
8,5 %
36
,
1
%
63,9 %
4,45 %
100 %
10,49 %
33,2 %
91,5 % 85,0
5
%
63,9%
PB
PIKJ
Konsumen
(Jakarta dan
Bandung)
Pedagang
Besar Luar
Jawa
Petani
PPD
PB (Pasar
Induk
Caringin)
PB (Pasar
Induk
Cikajang)
Pedagang
Pengecer
Konsumen
(Cijakang)
58
Jumlah cabai rawit merah yang dipasarkan dari Desa Cigedug mencapai
5.279 kilogram tiap minggunya. Berdasarkan kelima saluran pemasaran tersebut,
terlihat bahwa 100 persen cabai rawit merah dipasarkan melalui pedagang
pengumpul desa. Dari 30 orang responden, 22 orang petani responden pada
saluran I menjual hasil panennya sebesar 85,05 persen atau sebanyak 4.490
kilogram kepada 5 orang pedagang pengumpul desa kemudian cabai rawit merah
ini dijual ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta. Pada saluran II dan saluran III,
sebanyak 3 orang petani responden menjual hasil panennya sebesar 4,45 persen
atau sebanyak 235 kilogram kepada 2 orang pedagang pengumpul desa dan
selanjutnya cabai rawit merah ini dijual ke pedagang besar yang ada di Pasar
Induk Cikajang, Garut.
Pada saluran IV dan saluran V, terdapat 5 orang petani responden menjual
hasil panennya kepada 2 orang pedagang pengumpul desa sebesar 10,49 persen
atau sebanyak 554 kilogram. Tujuan pemasaran cabai rawit merah pada saluran
ini adalah Pasar Induk Caringin, Bandung.
6.1.1 Saluran Pemasaran 1
Pada pola saluran pemasaran I merupakan pola saluran yang paling banyak
digunakan oleh petani dan pedagang pengumpul desa. Petani menjual langsung
kepada pedagang pengumpul desa, kemudian pedagang pengumpul desa
menjualnya kepada pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, kemudian
ke pedagang pengecer yang ada di Pasar Kramat Jati yang berhadapan langsung
dengan konsumen akhir. Pedagang pengumpul desa biasanya mensortir cabai
rawit merah yang telah mereka beli dari petani sebelum menjualnya kepada pihak
pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati. Penyerahan cabai rawit merah ini
dilakukan dengan memotong berat cabai rawit merah sebanyak 1 kilogram kepada
masing-masing petani. Penyerahan ini dilakukan dengan memotong berat cabai
rawit merah sebanyak 1 kilogram kepada masing-masing petani. Pemotongan 1
kilogram ini diperhitungkan sebagai berat karung yang digunakan untuk
pengemasan cabai rawit merah oleh petani dan diperhitungkan sebagai biaya
penyusutan yang ditanggung oleh pihak petani (cabai rawit merah yang
mengalami pembusukan). Harga yang diterima petani adalah Rp 5.000,00 per
kilogram.
59
Cabai rawit merah yang telah disortir ini kemudian dikemas dengan
menggunakan karung dan langsung didistribusikan ke pedagang besar di Pasar
Induk Kramat Jati. Pengangkutan cabai rawit merah ke Pasar Induk Kramat Jati
dilakukan dengan menggunakan mobil truk. Biaya sewa truk ditanggung oleh
pedagang pengumpul desa. Pengangkutan cabai rawit merah dilakukan bersamaan
dengan sayuran lain seperti kol, tomat, wortel dan kentang. Harga yang terjadi
antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar di Pasar Induk Kramat
Jati yaitu Rp 8.500,00 per kilogram. Harga ini digunakan sebagai patokan para
pedagang besar di pasar lain dan pedagang pengumpul desa dalam menetapkan
harga beli kepada para petani. Volume rata-rata penjualan cabai rawit merah dari
pedagang pengumpul desa responden ke pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati
berkisar 3.000-5.000 kilogram per minggu.
Jumlah cabai rawit merah yang dipasarkan oleh pedagang pengumpul
desa pada pola saluran ini sebanyak 4.490 kilogram, kemudian didistribusikan ke
pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang besar pada saluran I
melakukan aktivitas pembelian tidak terfokus pada komoditas cabai rawit merah
saja, namun juga melakukan pembelian terhadap komoditas sayuran lainnya
seperti bawang merah, bawang putih, cabai rawit hijau, cabai merah besar, dan
cabai merah keriting. Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati juga melakukan
kegiatan penyortiran cabai rawit merah yang telah mereka beli dari pedagang
pengumpul desa sebelum menjualnya kepada pihak pedagang pengecer dan
pedagang besar luar Jawa. Setelah disortir, cabai rawit merah ini langsung
didistribusikan ke pedagang besar luar Jawa sebanyak 3.000-5.000 kilogram,
sedangkan sisanya akan dijual ke pedagang pengecer. Cabai rawit merah yang
disalurkan ke luar Jawa merupakan luar lingkup dari penelitian ini.
Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati memberikan batas minimal
pembelian sebanyak 5 kilogram kepada pihak pedagang pengecer. Volume rata-
rata cabai rawit merah yang dibeli oleh para pedagang pengecer adalah 10
kilogram. Harga yang terjadi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer
yaitu Rp 10.500,00 per kilogram dan selanjutnya cabai rawit merah ini akan
dipasarkan langsung ke konsumen akhir di Jakarta dengan harga sebesar
Rp 20.000,00 per kilogram.
60
6.1.2 Saluran Pemasaran 2
Pada pola saluran pemasaran II digunakan oleh 3 orang petani yang
menjual hasil panennya kepada 2 responden pedagang pengumpul desa. Volume
rata-rata penjualan cabai rawit merah dari pedagang pengumpul desa responden
ke pedagang besar Pasar Induk Cikajang berkisar 500-1.000 kilogram per
minggu. Pedagang pengumpul desa biasanya mensortir cabai rawit merah yang
telah mereka beli dari petani sebelum menjualnya kepada pihak pedagang besar
di Pasar Induk Cikajang. Harga yang diterima oleh petani adalah Rp 4.500,00 per
kilogram.
Cabai rawit merah yang dikumpulkan oleh pedagang pengumpul desa
dikirim ke Pasar Induk Cikajang dengan menggunakan motor dengan biaya
Rp 5.000,00 - Rp 10.000,00 per karung, dimana 1 karung berisi 50 kilogram cabai
rawit merah, biaya pengangkutan ini ditanggung oleh pedagang pengumpul desa.
Harga yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar
Pasar Induk Cikajang adalah Rp 7.00,000 per kilogram. Pedagang besar di Pasar
Induk Cikajang juga melakukan kegiatan penyortiran cabai rawit merah yang
telah mereka beli dari pedagang pengumpul desa. Pedagang besar pada saluran II
melakukan aktivitas pembelian tidak terfokus pada komoditas cabai rawit merah
saja, namun juga melakukan pembelian terhadap komoditas sayuran lainnya
seperti bawang merah, bawang putih, cabai rawit hijau, cabai merah besar, cabai
merah keriting, kol, kentang, dan wortel.
Pedagang besar di Pasar Induk Cikajang tidak memberikan batas minimal
pembelian karena pedagang besar di pasar induk ini langsung berhadapan dengan
pihak konsumen akhir di Kecamatan Cikajang yang membeli cabai rawit merah
sesuai dengan kebutuhan dapur dengan harga sebesar Rp 10.000,00 per kilogram.
Volume rata-rata cabai rawit merah yang dijual di tingkat pedagang besar berkisar
antara 15-20 kilogram.
6.1.3 Saluran Pemasaran 3
Sama halnya pada saluran II, pola saluran pemasaran III digunakan oleh 3
orang petani yang menjual hasil panennya kepada 2 responden pedagang
pengumpul desa. Volume rata-rata penjualan cabai rawit merah dari pedagang
61
pengumpul desa responden ke pedagang besar Pasar Induk Cikajang berkisar 500-
1.000 kilogram per minggu. Pedagang pengumpul desa biasanya mensortir cabai
rawit merah yang telah mereka beli dari petani. Harga yang diterima oleh petani
adalah Rp 4.500,00 per kilogram.
Pengangkutan ke Pasar Induk Cikajang dilakukan dengan menggunakan
motor dengan biaya Rp 5.000,00 - Rp 10.000,00 per karung, biaya pengangkutan
ini ditanggung oleh pedagang pengumpul desa. Cabai rawit merah yang tidak laku
terjual pada saluran II, maka pada saluran III cabai rawit merah ini didistribusikan
ke Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang besar di Pasar Induk Cikajang juga
melakukan penyortiran cabai rawit merah yang telah mereka beli dari pedagang
pengumpul desa sebelum menjualnya kepada pihak pedagang besar di Pasar Induk
Kramat Jati. Harga yang terjadi antara pedagang besar di Pasar Induk Cikajang
dengan pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati yaitu Rp 9.000,00 per
kilogram. Pengangkutan ke Pasar Induk Kramat Jati dilakukan dengan
menggunakan mobil truk bersama dengan sayuran lainnya seperti wortel, kentang,
tomat, dan kol. Biaya pengangkutan ini ditanggung oleh pihak pedagang besar di
Pasar Induk Cikajang. Pengiriman ke Pasar Induk Kramat Jati ini bertujuan untuk
menghindari pembusukan cabai rawit merah yang lebih banyak yang dapat
mempengaruhi harga jualnya. Oleh karena itu, fungsi penyimpanan tidak
dilakukan oleh pedagang besar di Pasar Induk Cikajang.
Penyortiran juga dilakukan oleh pedagang besar di Pasar Induk Kramat
Biasanya cabai rawit merah yang busuk (hasil dari kegiatan penyortiran) dijual
setengah harga dari harga normal kepada para konsumen yang berprofesi sebagai
pedagang gerobak seperti tukang bakso dan tukang siomai.
Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati memberikan batas minimal
pembelian sebanyak 5 kilogram kepada pihak pedagang pengecer. Volume rata-
rata cabai rawit merah yang dibeli oleh para pedagang pengecer adalah 10
kilogram dengan harga jual sebesar Rp 10.500,00per kilogram. Pedagang
pengecer akan langsung menjual cabai rawit merah kepada konsumen akhir di
Jakarta dengan harga Rp 20.000,00 per kilogram.
62
6.1.4 Saluran Pemasaran 4
Pada pola saluran pemasaran IV digunakan oleh 5 orang petani yang
menjual hasil panennya kepada 2 pedagang pengumpul desa. Pada saluran ini
petani menjual langsung hasil panennya ke pedagang pengumpul desa dengan
harga yang diterima oleh petani adalah Rp 4.700,00 per kilogram. Pedagang
pengumpul desa pada saluran IV juga melakukan penyortiran cabai rawit merah
yang telah mereka beli dari petani sebelum menjualnya kepada pihak pedagang
besar di Pasar Induk Caringin Bandung.
Selanjutnya cabai rawit merah langsung didistribusikan ke pedagang besar
di Pasar Induk Caringin Bandung. Volume rata-rata penjualan cabai rawit merah
dari pedagang pengumpul desa responden ke pedagang besar Pasar Induk
Caringin berkisar 500-1.000 kilogram per minggu. Pengangkutan ke Pasar Induk
Caringin dilakukan dengan menggunakan mobil truk. Biaya sewa truk ini
ditanggung oleh pedagang pengumpul desa. Pedagang besar di Pasar Induk
Caringin pada saluran ini juga melakukan pembelian terhadap komoditas sayuran
lainnya seperti bawang merah, bawang putih, cabai rawit hijau, cabai merah besar,
dan cabai merah keriting.
Sama halnya yang terjadi di Pasar Induk Kramat Jati, pedagang besar di
Pasar Induk Caringin Bandung juga memberikan batas minimal pembelian
sebanyak 5 kilogram kepada pihak pedagang pengecer wilayah Bandung. Volume
rata-rata cabai rawit merah yang dibeli oleh para pedagang pengecer adalah 10
kilogram dengan harga jual sebesar Rp 10.000,00 per kilogram. Cabai rawit
merah ini kemudian dijual kepada konsumen akhir di wilayah Bandung sebesar
Rp 18.000,00 per kilogram.
6.1.5 Saluran Pemasaran 5
Pada pola saluran pemasaran V digunakan oleh 5 orang petani yang
menjual hasil panennya kepada 2 pedagang pengumpul desa. Sama halnya
dengan saluran III, pada saluran V para pedagang besar di Pasar Induk Caringin
Bandung juga melakukan penjualan cabai rawit merah kepada pedagang besar di
Pasar Induk Kramat Jati. Pengiriman ke Pasar Induk Kramat Jati ini bertujuan
untuk menghindari pembusukan cabai rawit merah yang lebih banyak yang dapat
63
mempengaruhi harga jualnya sehingga fungsi penyimpanan tidak dilakukan.
Cabai rawit merah yang di jual ke Pasar Induk Kramat Jati dijual dengan harga
Rp 9.000,00 per kilogram. Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati tidak
memberi batasan jumlah dalam mekanisme penerimaan cabai rawit merah.
Pengangkutan ke pasar induk dilakukan dengan menggunakan mobil pick up
Biaya pengangkutan ini ditanggung oleh pihak pedagang besar di Pasar Induk
Caringin.
Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati akan melakukan kegiatan
penjualan kepada pedagang pengecer dengan harga jual sebesar Rp 10.500,00 per
kilogram. Pedagang pengecer akan langsung menjual cabai rawit merah kepada
konsumen akhir di Jakarta dengan harga Rp 20.000,00 per kilogram.
6.2 Fungsi Pemasaran
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pemasaran cabai rawit merah,
masing-masing menjalankan fungsi-fungsi pemasaran dimana setiap lembaga
memiliki fungsi yang berbeda-beda. Fungsi pemasaran bertujuan untuk
memperlancar penyaluran cabai rawit merah dari petani ke konsumen.
Pengelompokan fungsi pemasaran menggunakan teori Limbong dan Sitorus
(1985) yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengangkutan, pengemasan, penyimpanan), dan fungsi fasilitas (sortasi,
penanganan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
6.2.1 Fungsi Pemasaran di Tingkat Petani
Secara umum petani di Desa Cigedug melakukan fungsi pertukaran yaitu
menjual cabai rawit merah ke para pedagang pengumpul desa, sebagian petani
melakukan fungsi fisik (pengangkutan dan pengemasan), dan fungsi fasilitas
(sortasi, penanganan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar). Petani dalam lima
pola saluran pemasaran melakukan fungsi tersebut. Proses penjualan cabai rawit
merah dilakukan secara bebas oleh petani dengan sistem cabai rawit merah dijual
kepada para pedagang pengumpul desa yang menawarkan harga tertinggi kepada
petani dan biasanya para pedagang pengumpul desa yang menghubungi para
petani melalui telepon seluler. Para petani melakukan pemilihan jalur pemasaran
64
ini karena lebih mudah dan tidak membutuhkan biaya banyak. Adapun petani
yang menjual cabai rawit merah kepada satu pedagang pengumpul desa saja
dikarenakan adanya ikatan keluarga sehingga loyalitaspun terbentuk.
Fungsi pengangkutan dilakukan oleh 25 petani responden, dari lahan
mereka hingga ke pinggir jalan dengan menggunakan motor (ojeg) dengan biaya
Rp 25,00 per kilogram hingga Rp 150,00 per kilogram dan selanjutnya akan
diambil oleh para pedagang pengumpul desa. Pengangkutan sendiri ini terjadi jika
lahan mereka jauh dari jalan utama, sehingga pengemasan juga dilakukan sendiri.
Namun jika lahan berada di dekat jalan utama maka para pedagang pengumpul
desa akan mendatangi lahan petani untuk mengangkut cabai rawit merah.
Pengemasan dilakukan dengan menggunakan karung bekas pupuk untuk
mengemas cabai rawit merah dan satu karung dapat memuat cabai rawit merah
sebanyak 50 kilogram.
Fungsi fasilitas seperti sortasi dilakukan langsung di lahan petani saat
panen yaitu dengan memetik cabai rawit merah yang dalam kondisi baik atau
tidak terkena patek yang sangat parah yang menyebabkan busuk buah secara
keseluruhan. Fungsi penaggungan risiko yang dilakukan petani antara lain adalah
risiko produksi seperti terserang hama penyakit sehigga jumlah cabai rawit merah
yang dipanen lebih kecil dari yang semestinya. Selain itu, risiko harga juga sering
dihadapi petani yaitu harga jual cabai rawit merah yang terkadang sangat rendah
dan fluktuasi harga yang tajam. Dua orang petani respoden menghadapi risiko ini
dengan cara melakukan siasat atau strategi pola tanam cabai rawit merah sehingga
pemanenan tidak dilakukan secara serempak yang menyebabkan pasokan cabai
rawit merah di pasaran menumpuk dan harga otomatis akan menurun.
Petani responden juga melakukan fungsi pembiayaan dan informasi harga.
Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh petani yaitu menanggung dan
mengusahakan biaya-biaya untuk produksi dan biaya pasca panen seperti biaya
input, biaya produksi, biaya tenaga kerja, biaya pengemasan, biaya penyusutan
dan biaya pengangkutan. Sumber pembiayaan usahatani petani cabai rawit merah
berasal dari modal sendiri dan lembaga keuangan, baik formal maupun non
formal. Namun, sedikit sekali yang mengajukan permohonan dana ke lembaga
keuangan formal. Lembaga keuangan non formal yang menjadi sumber
65
pembiayaan yaitu keluarga. Informasi pasar seperti informasi harga yang diterima
petani bersifat tidak transparan atau dapat dikatakan informasi harga sering tidak
tersampaikan dengan baik kepada petani. Para petani memperoleh informasi dari
sesama petani dan juga pedagang pengumpul desa melalui nota penjualan, dimana
berdasarkan hasil lapang ternyata ada beberapa pedagang pengumpul desa yang
melakukan tindak kecurangan seperti pemalsuan nota penjualan.
6.2.2 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa
Pedagang pengumpul desa hampir melakukan kegiatan yang sama dalam
setiap saluran pemasaran cabai rawit merah. Pedagang pengumpul memperoleh
cabai rawit merah dari para petani langsung yang ada di Desa Cigedug. Pedagang
pengumpul desa dan petani saling merundingkan syarat-syarat jual beli seperti
sistem pembayaran serta penetapan harga jual. Selain itu, para pedagang
pengumpul juga menentukan tempat pembelian (yaitu dengan mendatangi lahan
petani langsung, namun jika lahan jauh dari jalan utama maka petani harus
mengantar cabai rawit merah ke pinggir jalan utama). Sedangkan fungsi
penjualan, pedagang pengumpul menjual hasil pembeliannya kepada pasar
pengumpul lokal atau Pasar Cikajang dan pedagang besar non lokal. Pedagang
pengumpul melakukan kesepakan kepada pedagang besar seperti penetapan
jumlah cabai rawit merah yang diminta, harga jual serta sistem pembayaran
kepada para pedagang besar, pemesanan dilakukan melalui telepon selular.
Biasanya sistem pembayaran dilakukan dengan nota penjualan, dimana hasil
penjualan hari ini akan dibayar keesokan harinya atau dua hari kedepan.
Penggunaan nota ini sebagai pedoman penetapan harga di tingkat petani cabai
rawit merah.
Pengangkutan dilakukan secara dua kali yaitu dari lahan petani atau
pinggir jalan menuju ke rumah pedagang pengumpul desa dan dari rumah
pedagang pengumpul desa menuju ke pasar-pasar tujuan. Pengangkutan dari lahan
petani atau pinggir jalan biasanya menggunakan motor pribadi atau menyewa
ojeg. Jika jarak dekat, pengangkutan cabai rawit merah dikenakan biaya sebesar
Rp 75,00 per kilogram dan jika jaraknya jauh dikenakan biaya sebesar Rp 150,00
per kilogram, sedangkan jika tujuannya ke pasar maka pengangkutan dilakukan
dengan menggunakan mobil truk dalam jumlah besar yang tidak hanya memuat
66
cabai rawit merah saja melainkan sayuran lain seperti kol, kentang, tomat, pecai,
sawi, dan wortel. Untuk pengemasan cabai rawit merah ini menggunakan karung
bekas pupuk yang memuat 50 kilogram cabai rawit merah per karung.
Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul yaitu sortasi,
penanganan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Sortasi dilakukan dengan
memilih cabai rawit merah yang dibeli dari para petani yaitu memisahkan cabai
rawit merah busuk yang terkena patek dan yang tidak, karena jika tidak
dipisahkan maka cabai rawit merah yang tidak terkena patek akan ikut terjangkit
sehingga penyusutan saat pengiriman akan lebih besar yang akan berdampak pada
harga jual nantinya. Cabai rawit merah yang terkena patek ini tidak dibuang
melainkan diberikan kepada para pekerja sortasi untuk dikonsumsi sendiri. Fungsi
penanganan risiko yang dihadapi oleh pedagang pengumpul yaitu risiko harga
yang dapat berubah sesuai kesepakan awal dan risiko keuangan seperti hasil
penjualannya tidak dibayar oleh pedagang besar atau kejahilan tenaga kerja
angkut yang mengambil cabai rawit merah secara diam-diam saat harga jual cabai
rawit merah tinggi di pasaran. Risiko harga ini tidak dapat diatasi karena harga
beli yang diterima oleh pedagang pengumpul ini berdasarkan harga jual yang
terbentuk di pasar induk langsung. Sedangkan risiko keuangan diatasi dengan cara
mencari pedagang besar lain yang dapat dipercaya serta melakukan pemecatan
kepada pegawai yang melakukan kecurangan tersebut.
Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul ini yaitu
penyediaan modal untuk membayar cabai rawit merah kepada pedagang
pengumpul, biaya pengangkutan, tenaga kerja, pengemasan, retribusi (biaya
masuk pasar), penyusutan, bongkar muat, sortasi, dan sewa lapak dengan sumber
modal berasal dari modal sendiri. Informasi pasar mengenai perkembangan harga
cabai rawit merah diperoleh pedagang pengumpul dari pedagang besar di pasar
induk.
67
Gambar 13. Kegiatan Sortasi dan Pengemasan Cabai Rawit Merah di Tingkat
Pedagang Pengumpul Desa.
6.2.3 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Besar
Biasanya volume permintaan yang dipesan oleh pedagang besar di Pasar
Induk Kramat Jati lebih besar dibandingkan Pasar Induk Caringin Bandung
sehingga pengiriman lebih banyak dikirim ke pasar tersebut. pabila cabai rawit
merah telah terkumpul maka akan langsung didistribusikan ke pedagang besar di
Kecamatan Cikajang dan luar kota Garut seperti wilayah Bandung dan Jakarta.
Pedagang besar di Pasar Cikajang, Pasar Caringin dan di Pasar Induk Kramat Jati
melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengangkutan dan pengemasan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanganan risiko,
pembiayaan, dan informasi pasar).
Fungsi pertukaran, transaksi pembelian baik antara pedagang pengumpul
dengan pedagang besar maupun antar pedagang besar awalnya dilakukan melalui
telepon untuk menentukan jumlah pesanan yang diminta serta penetapan harga
beli. Jika kedua belah pihak setuju maka cabai rawit merah langsung dikirim ke
pasar tujuan. Penjualan yang terjadi antar pedagang besar bertujuan untuk
menghabiskan pasokan cabai rawit merah sehingga tidak diperlukan fungsi
penyimpanan. Selain itu, menghindari biaya penyusutan yang dapat
mempengaruhi harga jual nantinya. Fungsi pembelian ini dilakukan dengan sistem
nota penjualan dan pembayaran dilakukan pada keesokan harinya. Setelah sampai
ke tempat pedagang besar, cabai rawit merah yang telah dikemas diturunkan dari
mobil truk atau mobil pick- up kemudian ditimbang dan siap untuk dijual.
(Gambar 14)
Begitupun dengan fungsi penjualan kepada pedagang besar dan pedagang
pengecer yang dilakukan secara nota yaitu sistem keluar masuk atau barang keluar
68
lebih dulu dan pembayaran dilakukan 2 hari atau bahkan 3 hari kedepan dan
adapula yang membayar secara tunai. Khusus untuk penjualan ke pedagang
pengecer, pedagang besar memberikan batas minimal pembelian yaitu 5 kilogram.
Fungsi fisik seperti pengemasan yang digunakan untuk pengiriman ke
pedagang besar lain menggunakan karung sedangkan jika pembelinya adalah
pengecer maka cabai rawit merah dikemas dalam plastik bening besar yang dapat
memuat 10 kilogram cabai rawit merah.
Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang besar yaitu kegiatan
penyortiran. Kegiatan ini dilakukan dengan memisahkan cabai rawit merah yang
terkena patek dan yang tidak untuk mengurangi biaya penyusutan yang ada.
Cabai rawit merah yang patek ini akan dijual setengah harga dari cabai rawit
merah segar. Risiko yang dihadapi oleh pedagang besar yaitu tunggaknya bayaran
dari para pedagang pengecer dan bahkan cabai rawit merah yang terjual tidak
dibayar. Penanganannya yaitu dengan memilih-milih pembeli yang dapat
dipercaya. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang besar diantaranya
modal untuk pembelian cabai rawit merah kepada pedagang pengumpul, biaya
pengangkutan, pengemasan, tenaga kerja, penyusutan, bongkar muat, penyortiran,
dan sewa lapak dimana sumber modalnya berasal dari modal sendiri. Informasi
pasar berupa perkembangan harga beli dan harga jual cabai rawit merah langsung
terbentuk di pasar dengan melihat jumlah pasokan cabai rawit merah yang ada di
pasar serta banyaknya permintaan yang ada.
Gambar 14. Kegiatan Bongkar Muat dan Penimbangan Cabai Rawit Merah di
Tingkat Pedagang Besar.
69
6.2.4 Fungsi Pemasaran di Tingkat Pedagang Pengecer
Pedagang pengecer melakukan kegiatan yang sama pada semua saluran
pemasaran cabai rawit merah, baik saluran pemasaran I, II, III, IV maupun V.
Kegiatan tersebut yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan), dan fungsi fasilitas (sortasi,
penanganan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar).
Pedagang pengecer adalah pedagang yang berhubungan langsung dengan
konsumen akhir dan memperoleh pasokan cabai dari para pedagang besar dengan
jumlah pembelian lebih dari lima kilogram. Pedagang pengecer biasanya langsung
mendatangi pedagang besar untuk melakukan pembelian cabai rawit merah
sehingga transaksi langsung terjadi di pasar induk. Oleh karena itu, biaya
transportasi menjadi tanggungan pedagang pengecer. Pengangkutan biasanya
menggunakan motor atau mobil angkutan umum. Sedangkan untuk pengemasan
dilakukan dengan menggunakan kantong plastik untuk memudahkan pembeli
dalam membawanya. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila
cabai rawit merah tidak laku terjual. Penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang
pengecer biasa saja tanpa ada perlakuan khusus seperti menyimpan di kios untuk
pendagang pengecer yang memiliki kios sedangkan pedagang pengecer yang tidak
memiliki kios (hanya sekedar lapak) maka cabai rawit merah akan dibawa pulang
ke rumah mereka.
Fungsi fasilitas seperti sortasi dilakukan sendiri oleh pedagang pengecer
saat tidak ada pembeli dengan memisahkan cabai rawit merah yang busuk dan
tidak. Cabai rawit merah yang busuk akan dijual setengah harga dari cabai rawit
merah segar. Penanganan risiko berupa penyusutan akibat penyimpanan, fungsi
pembiayaan berupa modal untuk membeli cabai rawit merah, biaya pengangkutan,
retribusi, tenaga kerja, pengemasan, penyusutan, dan sewa lapak. Sedangkan
fungsi informasi berupa perkembangan harga beli dan jual yang diperoleh dari
pedagang besar dan sesama pengecer di pasar tersebut.
70
Gambar 15. Kegiatan Penjualan dan Pengemasan Cabai Rawit Merah di Tingkat
Pedagang Pengecer.
Tabel 11. Fungsi Lembaga Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug Saluran
dan
Lembaga
Pemasaran
Fungsi Pemasaran
Pertukaran Fisik Fasilitas
Beli Jual Angkut Kemas Simpan Sortasi Risiko Biaya Informasi
Pasar
Saluran I
Petani - v * * - v v v v
PPD v v v v - v v v v
PB Kramat
Jati v v v v - v v v v
Pengecer v v v v v v v v v
Saluran II
Petani - v * * - v v v v
PPD v v v v - v v v v
PB
Cikajang v v v v - v v v v
Saluran
III
Petani - v * * - v v v v
PPD v v v v - v v v v
PB
Cikajang v v v v - v v v v
PB Kramat
Jati v v v v - v v v v
Pengecer v v v v v v v v v
Saluran
IV
Petani - v * * - v v v v
PPD v v v v - v v v v
PB
Caringin v v v v - v v v v
Pengecer v v v v v v v v v
Saluran V
Petani - v * * - v v v v
PPD v v v v - v v v v
PB
Caringin v v v v - v v v v
PB Kramat
Jati v v v v - v v v v
Pengecer v v v v v v v v v
Keterangan : v: dijalankan -: tidak dijalankan *: dijalankan sebagian
PPD: Pedagang Pengumpul Desa PB: Pedagang Besar Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
71
6.3 Struktur Pasar
Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi pasar yang
mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Struktur pasar cabai
rawit merah dapat diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat
produk, mudah tidaknya memasuk pasar, dan informasi mengenai harga cabai
rawit merah di pasar.
Tabel 12. Struktur Pasar Yang Dihadapi Oleh Tiap Lembaga Pemasaran Cabai
Rawit Merah.
Karakteristik
Tingkat
Petani PPD PB
Pedagang
Pengec
er
Jumlah penjual Sedikit Sedikit Sedikit Sedikit
Jumlah pembeli Sedikit Sedikit Sedikit Banyak
Sifat produk Homogen Homogen Homogen Homogen
Pengaruh
terhadap harga Sedikit Banyak Banyak Sedikit
Hambatan Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Struktur Pasar Oligopsoni Oligopsoni Oligopoli Oligopoli
Sumber : Data Primer 2012
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani cabai rawit merah di Desa
Cigedug terhadap pedagang pengumpul desa mengarah kepada struktur pasar
oligopsoni. Jumlah petani cabai rawit merah lebih banyak dari jumlah pedagang
pengumpul desa sehingga posisi tawar petani lebih rendah. Jika dikaitkan dengan
perilaku pasar, penentuan harga yang terjadi ditentukan oleh pihak pedagang
pengumpul desa sedangkan petani cabai rawit merah sebagai penerima harga.
Informasi pasar mengenai harga cabai rawit merah biasanya dibawa oleh para
pedagang pengumpul desa langsung dengan memperlihatkan nota penjualan dari
pasar induk. Sifat produk yang dijual adalah homogen. Petani menjual hasil
panennya ke beberapa pedagang pengumpul desa. Adapun dilihat dari hambatan
masuk pasar petani relatif rendah karena petani bebas keluar masuk pasar serta
tidak ada ikatan bagi petani untuk memasarkan cabai rawitnya kepada para
72
pedagang pengumpul desa. Selain itu, jika terjadi kerugian seperti harga cabai
rawit merah rendah di pasaran, para petani dapat dengan mudah untuk beralih
dengan mengkonversi ke tanaman lain yang dinilai lebih menguntungkan.
Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul desa terhadap pedagang
besar mengarah kepada kondisi pasar oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah
pedagang pengumpul desa lebih banyak dari jumlah pedagang besar. Jika
dikaitkan dengan perilaku pasar, penentuan harga dilakukan secara tawar-
menawar, namun penentu harga dominan kepada pedagang besar. Sifat produk
yang diperjualbelikan bersifat homogen dan tidak terdapat diferensiasi secara
nyata. Hambatan keluar masuk pasar di tingkat pedagang pengumpul desa relatif
tinggi karena untuk masuk ke dalam pasar diperlukan modal yang cukup besar.
Modal yang diperlukan besar karena harus menanggung biaya transportasi dan
biaya penyusutan yang cukup tinggi. Pedagang pengumpul desa memperoleh
informasi harga melalui pedagang besar yang berada di Pasar Induk Caringin
Bandung dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Informasi ini diakses dengan
menghubungi pedagang besar secara langsung.
Struktur pasar di tingkat pedagang besar terhadap pedagang pengecer
mengarah kepada struktur pasar oligopoli. Jumlah pedagang pengecer lebih
banyak dari jumlah pedagang besar. Proses penentuan harga didasarkan pada
proses tawar-menawar, namun penentuan harga ditentukan oleh pedagang besar di
pasar induk yang kekuatan tawar-menawar yang lebih tinggi dibanding pedagang
pengecer dengan informasi harga yang diperoleh dari sesama pedagang besar
maupun dari pedagang pengecer. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen
yaitu cabai rawit merah segar. Hambatan keluar masuk pasar di tingkat pedagang
pengumpul desa relatif tinggi karena untuk masuk ke dalam pasar diperlukan
modal yang cukup besar serta dipengaruhi oleh sulitnya mendapatkan izin
berdagang dari pengelola pasar induk serta semakin tingginya harga kios di dalam
pasar induk.
Adapun pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer terhadap
konsumen akhir kondisi seperti oligopoli. Jumlah pedagang pengecer lebih sedikit
dari jumlah konsumen akhir. Proses penentuan harga didasarkan pada proses
tawar-menawar, namun penentu harga tetap di tangan pedagang pengecer.
73
Informasi harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diperoleh dari
pedagang besar dan sesama pedagang pengecer di pasar yang sama sehingga
informasi dapat diperoleh pedagang pengecer dengan mudah. Jumlah produk yang
dipertukarkan bersifat homogen yang dikemas dengan menggunakan kantong
plastik. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena skala
usaha pedagang pengecer relatif kecil dan jika pedagang pengecer tidak
memperoleh keuntungan maka pedagang pengecer dapat meninggalkan usaha
tersebut.
6.4 Perilaku Pasar
Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga
pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian dan
penjualan, penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antara lembaga
pemasaran yang ada. Perilaku pasar sering juga disebut sebagai saluran tingkah
laku dari lembaga pemasaran yang menyesuaikan dengan struktur pasar tempat
lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Perilaku pasar
antara tiap lembaga pemasaran akan diuraikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Perilaku Pasar Antara Tingkat Lembaga Pemasaran Cabai Rawit Merah
No Kegiatan Tingkat
Petani - PPD PPD - PB Antar PB PB - Pengecer
1. Penjualan dan
pembelian
Bebas dan
terikat
Bebas Bebas Bebas
2. Penentuan
harga
Tawar-
menawar,
namun dominan
oleh PPD
Tawar-
menawar,
namun dominan
oleh PB
Kesepakatan
(Patokan harga
oleh PB PIKJ)
Tawar-menawar,
namun dominan
oleh PB
3. Pembayaran Tunai Tunai dan
Kemudian
Kemudian Tunai dan
Kemudian
4. Kerjasama
antar lembaga
pemasaran
Saling
kepercayaan
Saling
kepercayaan
(langganan)
Saling
kepercayaan
(langganan)
Saling
kepercayaan
(langganan)
Sumber : Data Primer 2012
6.4.1 Praktek Penjualan dan Pembelian
Praktek penjualan dan pembelian cabai rawit merah melibatkan beberapa
lembaga, terkecuali petani yang hanya melakukan praktek penjualan dan
konsumen yang hanya melakukan praktik pembelian.
74
Tabel 14. Praktek Penjualan dan Pembelian
Lembaga Pemasaran Praktek Pembelian Praktek Penjualan
Petani - v
PPD v v
Pedagang Besar v v
Pedagang Pengecer v v
Konsumen Akhir v -
Sumber : Data Primer 2012
Petani melakukan proses penjualan dengan menjual cabai rawit merah
kepada para pedagang pengumpul desa yang ada di desa Cigedug. Proses
penjualan cabai rawit merah dilakukan secara bebas oleh petani dimana cabai
rawit merah akan dijual kepada pedagang pengumpul desa yang menawaran harga
tertinggi. Transaksi awal dilakukan melalui telepon seluler, jika kedua belah pihak
telah sepakat mengenai harga maka proses penjualan akan dilaksanakan sesuai
dengan tempat yang telah disepakati. Adapula petani yang pembelinya tetap
seperti kepada satu pedagang pengumpul saja dikarenakan adanya hubungan
kerabat keluarga yang menciptakan rasa segan menjual kepada pedagang
pengumpul desa lain. Hampir seluruh petani masih menggantungkan pemasaran
cabai rawit merah kepada para pedagang pengumpul karena jalur ini lebih mudah
baik dalam hal pembayaran secara tunai, tidak membutuhkan biaya banyak seperti
biaya transportasi dan biaya penyusutan. Petani juga tidak memiliki alternatif
pemasaran lain karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh petani.
Biasanya penyerahan cabai rawit merah dilakukan langsung di lahan
petani atau pinggir jalan utama dan selanjutnya cabai rawit merah akan diangkut
menggunakan motor pribadi atau ojeg menuju ke rumah pedagang pengumpul
desa. Penyerahan ini dilakukan dengan memotong berat cabai rawit merah
sebanyak 1 kilogram kepada masing-masing petani. Pemotongan 1 kilogram ini
diperhitungkan sebagai berat karung yang digunakan untuk pengemasan cabai
rawit merah oleh petani, selain itu diperhitungkan sebagai biaya penyusutan yang
ditanggung oleh pihak petani (cabai rawit merah yang mengalami pembusukan).
Cabai rawit merah kemudian langsung didistribusikan kepada pedagang
besar di Pasar Induk Cikajang Garut, Pasar Induk Caringin Bandung dan Pasar
Induk Kramat Jati Jakarta, biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang
75
pengumpul desa. Sistem penjualan ini menggunakan nota penjualan yaitu
pembayaran dilakukan tidak langsung saat transaksi, tetapi saat transaksi
berikutnya. Hal ini dikarenakan harga cabai rawit merah belum terbentuk. Namun,
terkadang pedagang pengumpul melakukan kecurangan berupa pemalsuan nota
penjualan khususnya harga. Harga yang diterima oleh pedagang pengumpul
berimplikasi pada harga yang akan diterima oleh para petani.
Kebanyakan pedagang besar sudah memiliki langganan namun tidak ada
keterikatan antara kedua belah pihak. Praktek pembelian dan penjualan juga
terjadi di antar para pedagang besar. Sifat cabai rawit merah yang mudah busuk
ini membuat pedagang besar menghindari fungsi penyimpanan. Akibatnya cabai
rawit merah yang tidak laku terjual di Pasar Cikajang dan Pasar Induk Caringin
Bandung maka akan dikirim ke Pasar Induk Kramat Jati. Pengiriman dilakukan
dengan menggunakan mobil pick up. Penyerahan cabai rawit merah berlangsung
di Pasar Induk Kramat Jati. Selanjutnya dilakukan kegiatan penjualan kepada
pedagang pengecer. Kegiatan penjualan juga berlangsung di tempat pedagang
besar. Praktek penjualan dilakukan pedagang pengecer dengan konsumen akhir.
6.4.2 Sistem Penentuan Harga
Pada umumnya sistem penentuan harga dalam pemasaran cabai rawit
merah di Desa Cigedug dilakukan dengan cara tawar menawar antara penjual dan
pembeli dengan kisaran perbedaan harga dari harga sebelumnya yaitu Rp 100-
200 per kilogram. Harga di tingkat petani ditentukan oleh para pedagang
pengumpul desa yang merupakan lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini
dikarenakan para pedagang pengumpul desa memiliki informasi harga yang lebih
banyak. Pedagang pengumpul desa memperoleh informasi harga langsung dari
Pasar Induk Caringin dan Pasar Induk Kramat Jati yang merupakan pasar acuan
dalam pembentukan harga sayuran termasuk cabai rawit merah.
Sedangkan penentuan harga yang terjadi antara pedagang pengumpul desa
dan pedagang besar ditentukan oleh pedagang besar di pasar induk karena
pedagang besar memiliki kekuatan lebih besar dalam penentuan harga. Penetapan
harga ini dilakukan dengan melihat jumlah pasokan cabai rawit merah yang ada di
pasar saat itu juga dan jumlah permintaan yang ada yang dapat diamati dengan
banyaknya pedagang pengecer yang datang ke pasar. Jika pasokan cabai rawit
76
merah melimpah maka harga akan jatuh atau lebih rendah dan sebaliknya jika
pasokan cabai rawit merah sedikit di pasaran maka secara otomatis pedagang
besar tidak ragu-ragu penetapkan harga tinggi. Namun penetapan harga ini juga
didasarkan pada biaya pemasaran dan keuntungan yang ingin diambil oleh
pedagang besar. Harga pada tingkat konsumen lebih ditentukan oleh pedagang
pengecer. Penetapan harga di tingkat pengecer ditetapkan dari harga beli ditambah
dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Pada umumnya petani cabai rawit
merah di Desa Cigedug hanya bisa menerima harga yang diberikan karena petani
bergantung kepada para pedagang pengumpul desa untuk menjual dan
memasarkan hasil panennya. Penetapan harga di tingkat petani disesuaikan
dengan harga pasar yang sedang berlaku melalui nota penjualan dari pedagang
pengumpul desa. Petani akan tetap melakukan penanaman meskipun harga cabai
rawit merah di pasar rendah, dengan harapan harga akan melambung tinggi
kembali.
6.4.3 Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga pemasaran cabai rawit
merah di Desa Cigedug beragam yaitu sistem pembayaran secara tunai dan sistem
pembayaran kemudian.
1. Sistem Pembayaran Tunai
Sistem pembayaran tunai diterapkan oleh pedagang pengumpul desa
kepada petani cabai rawit merah, 2 orang pedagang besar Pasar Induk
Cikajang ke 2 orang pedagang pengumpul desa, 1 orang pedagang pengecer
wilayah Bandung ke 1 orang pedagang besar Pasar Induk Caringin Bandung,
serta konsumen ke pedagang pengecer baik di wilayah Bandung maupun
Jakarta.
2. Sistem Pembayaran Kemudian
Sistem pembayaran kemudian adalah sistem yang diterapkan oleh 2 orang
pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta ke 5 orang pedagang
pengumpul desa, 2 orang pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati ke 2
orang pedagang besar di Pasar Induk Cikajang dan 4 orang pedagang besar di
Pasar Induk Caringin Bandung. Pembayaran dilakukan satu hari setelah cabai
77
rawit merah telah habis terjual. Hal ini disebabkan karena harga cabai rawit
merah belum terbentuk.
Selain itu, sistem pembayaran kemudian juga dilakukan oleh . 1 orang
pedagang pengecer kepada 3 orang pedagang besar Pasar Induk Caringin
Bandung dan 5 orang pedagang pengecer wilayah Jakarta ke 2 orang pedagang
besar di Pasar Induk Kramat Jati. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh
kedua belah pihak ini biasanya disebut dengan sistem keluar masuk. Maksud
dari “keluar” cabai rawit merah akan diambil terlebih dahulu oleh para
pedagang pengecer wilayah Bandung dan Jakarta dan “masuk” diartikan
sebagai uang yang masuk ke pedagang besar di Pasar Induk Caringin Bandung
dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta dimana pembayaran yang dilakukan oleh
pedagang pengecer ini akan dilakukan dua hingga tiga hari setelah cabai rawit
merah terjual habis ke konsumen. Pedagang pengecer melakukan pembayaran
sekaligus mengambil cabai rawit merah untuk dijual pada hari berikutnya
dimana pembayaran akan dilakukan dua atau tiga hari ke depan pula. Sistem
pembayaran ini merupakan kesepakatan antara kedua lembaga pemasaran.
6.4.4 Kerjasama Antar Lembaga Pemasaran
Kerjasama telah dilakukan oleh lembaga pemasaran dalam pendistribusian
cabai rawit merah dari produsen ke konsumen. Kerjasama antar petani belum
berjalan dengan baik walaupun dengan keberadaan kelompok tani di desa ini,
karena kelompok tani belum dimanfaatkan dengan baik. Pemasaran dilakukan
secara individu tanpa koordinasi melalui kelompok tani sehingga harga jual petani
cabai rawit merah akan sangat dipengaruhi oleh pedagang pengumpul desa. Petani
sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik dengan pihak pedagang
pengumpul desa, meskipun kejadian seperti penipuan atau kejahilan masih dapat
ditemukan diantara mereka seperti pemalsuan nota penjualan cabai rawit merah
yang dilakukan pihak pedagang pengumpul desa dengan mengubah harga jual
dengan kisaran perbedaan harga sebesar Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram dari
harga sebelumnya kepada pihak petani cabai rawit merah di Desa Cigedug.
Adapun, petani responden yang melakukan penjualan kepada satu pedagang
pengumpul desa, kerjasama yang terjalin ini biasanya disebabkan adanya ikatan
78
keluarga sehingga mereka sudah saling percaya satu sama lain dan penipuan
seperti pemalsuan nota dapat dihindari.
Selain itu, kerjasama juga terjadi antara pedagang pengumpul desa
dengan pedagang besar, dan antara pedagang besar dengan pedagang pengecer
dalam transaksi jual beli cabai rawit merah. Kerjasama yang terjalin antara
pedagang besar dan pedagang pengumpul desa serta pedagang besar dengan
pedagang pengecer atas dasar lamanya mereka melakukan hubungan dagang dan
rasa saling percaya sehingga tercipta hubungan langganan diantara mereka.
Kerjasama antara lembaga pemasaran ini bertujuan agar kontinuitas cabai rawit
merah tetap terpenuhi dan dapat meringankan biaya dalam proses pencarian
pasar.
6.5 Analisis Marjin Pemasaran
Analisis marjin dihitung berdasarkan pengurangan harga jual dengan harga
beli pada setiap lembaga pemasaran cabai rawit merah. Marjin pemasaran
dihitung dengan melihat besarnya biaya pemasaran cabai rawit merah dan
keuntungan yang diambil oleh lembaga pemasaran yang terlibat. Biaya pemasaran
merupakan biaya yang dikeluarkan dalam memasarkan cabai rawit merah hingga
ke konsumen akhir. Jenis biaya yang dikeluarkan setiap lembaga pemasaran
berbeda-beda meliputi biaya pengangkutan, pengemasan, tenaga kerja, retribusi,
dan penyusutan, dan sewa lapak. Sedangkan keuntungan pemasaran merupakan
selisih antara harga jual dengan harga beli dikurangi dengan biaya pemasaran oleh
lembaga pemasaran yang terlibat.
Pada Tabel 15 mendapatkan bahwa harga jual petani untuk komoditas
cabai rawit merah berbeda untuk setiap saluran pemasaran. Hal tersebut terjadi
karena informasi dan kesepakatan harga yang didapat antar petani berbeda dari
pedagang pengumpul desa. Selain itu harga jual cabai rawit merah di tingkat
pedagang besar berbeda-beda. Perbedaan harga ini dikarenakan setiap saluran
pemasaran memiliki daerah pemasaran yang berbeda-beda serta pembentukan
harga terjadi langsung di pasar induk sehingga harga jual lembaga pemasaran
berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat keuntungan yang ingin diperoleh.
79
Tabel 15. Analisis Marjin Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug,
Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut.
Uraian (Rp/kilogram) Saluran Pemasaran
I II III IV V
Petani
a. Harga jual 5000,00 4500,00 4500 4700,00 4700,00
b. Biaya Pemasaran 1391,40 1373,10 1373,10 1405,50 1405,50
PPD
a. Harga Beli 5000,00 4500,00 4500,00 4700,00 4700,00
b. Biaya Pemasaran 619,10 763,15 763,15 616,76 616,76
c. Keuntungan 2880,90 1736,85 1736,85 2183,23 2183,23
d. Harga Jual 8500,00 7000,00 7000,00 7500,00 7500,00
e. Marjin 3500,00 2500,00 2500,00 2800,00 2800,00
PB di Pasar Induk Cikajang
a. Harga Beli - 7000,00 7000,00 - -
b. Biaya Pemasaran - 617,30 622,30 - -
a. Keuntungan - 2382,70 1377,70 - -
d. Harga Jual - 10000,00 9000,00 - -
e. Marjin - 3000,00 2000,00 - -
PB di Pasar Induk Caringin
a. Harga Beli - - - 7500,00 7500,00
b. Biaya Pemasaran - - - 699,80 703,30
c. Keuntungan - - - 1800,20 796,70
d. Harga Jual - - - 10000,00 9000,00
e. Marjin - - - 2500,00 1500,00
PB di PIKJ
a. Harga Beli 8500,00 - 9000,00 - 9000,00
b. Biaya Pemasaran 770,65 - 770,65 - 770,65
c. Keuntungan 1229,35 - 729,35 - 729,35
d. Harga Jual 10500,00 - 10500,00 - 10500,00
e. Marjin 2000,00 - 1500,00 - 1500,00
Pedagang Pengecer
a. Harga Beli 10500,00 - 10500,00 10000,00 10500,00
b. Biaya Pemasaran 2179,50 - 2179,50 1812,00 2179,50
c. Keuntungan 7320,50 - 7320,50 6188,00 8820,50
d. Harga Jual 20000,00 - 20000,00 18000,00 20000,00
80
e. Marjin 9500,00 - 9500,00 8000,00 9500,00
Total Biaya Pemasaran 3569,25 1380,45 4335,60 3128,60 4270,25
Total Keuntungan 11430,75 4119,55 11164,40 10171,40 11029,75
Total Marjin 15000,00 5500,00 15500,00 13300,00 15300,00
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Berdasarkan total marjin yang diperoleh pedagang perantara, marjin
pemasaran terbesar terdapat pada saluran III sebesar 77,50 persen dari harga jual
pedagang pengecer. Besarnya marjin ini dikarenakan saluran III melibatkan dua
pedagang besar yang saling melakukan transaksi penjualan cabai rawit merah,
cabai rawit merah yang tidak laku terjual di Pasar Induk Cikajang dan Pasar
Caringin akan didistibusikan ke pasar Induk Kramat Jati Jakarta, sehingga saluran
pemasaran III merupakan salah satu saluran pemasaran terpanjang. Kemudian
diikuti oleh saluran V yaitu sebesar 76,50 persen dimana kondisi pada saluran ini
hampir sama dengan saluran III yaitu terjadi transaksi antara dua pedagang besar
di Pasar Induk Caringin dan Pasar Induk Kramat Jati.
Adapun saluran I yang memiliki marjin sebesar 75,00 persen. Hal ini tidak
berbeda jauh dengan marjin yang diperoleh pada penelitian sebelumnya (Muslikh
1999) dengan tujuan pemasaran yang sama yaitu wilayah Jakarta sebesar 65,39
persen. Saluran I merupakan saluran yang pendistribusian cabai rawit merah
paling banyak karena Pasar Induk Kramat Jati yang merupakan pasar acuan dari
seluruh pasar induk yang ada di Jawa Barat dimana jika ada permintaan dari luar
di luar Pulau Jawa maka Pasar Induk Kramat Jati ini akan siap mengirim cabai
rawit merah sesuai permintaan. Adapun saluran IV memiliki marjin pemasaran
sebesar 73,89 persen. Sedangkan untuk saluran II dengan marjin pemasaran
sebesar 55,00 persen yang merupakan marjin pemasaran terkecil. Hal ini karena
saluran II melibatkan sedikit lembaga pemasaran dalam mendistribusikan cabai
rawit merah hingga ke konsumen akhir dan daerah tujuan pemasaran cabai rawit
merah dari pola saluran pemasaran ini tidak jauh dari lokasi penanaman cabai
rawit merah sehingga pedagang tidak menjual dengan harga yang tinggi.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan panjang pendeknya
saluran rantai pemasaran adalah penentu dari besar kecilnya marjin yang
81
dihasilkan. Besar marjin yang dihasilkan untuk tiap saluran pemasaran juga
ditentukan dari jarak lokasi pemasaran.
Adapun total biaya pemasaran tertinggi terdapat pada saluran pemasaran
III yaitu sebesar Rp 4.335,60 per kilogram. Hal ini disebabkan karena pada
saluran ini, pendistribusian cabai rawit merah melibatkan banyak lembaga
pemasaran sehingga masing-masing lembaga melakukan fungsi-fungsi pemasaran
yang membutuhkan biaya. Biaya pemasaran tertinggi pada saluran ini berasal dari
tingkat pedagang pengecer wilayah Jakarta yaitu 50,27 persen dari total biaya
pemasaran pada saluran ini, dengan biaya penyusutan sebesar Rp 1.050,00 per
kilogram. Saluran pemasaran lain yang juga melibatkan banyak lembaga
pemasaran adalah saluran V, besarnya biaya pemasaran pada saluran ini adalah
Rp 4.270,25 per kilogram. Biaya pemasaran tertinggi pada saluran ini berasal dari
tingkat pedagang pengecer wilayah Jakarta yaitu 51,04 persen dari total biaya
pemasaran pada saluran ini, dengan biaya penyusutan sebesar Rp 1.050,00 per
kilogram. Perbedaan biaya pemasaran pada saluran III dan V adalah perbedaan
biaya pemasaran pada tingkat pedagang pengumpul desa dan pedagang besar
dimasing-masing saluran. Hal ini dikarenakan masing-masing daerah pemasaran
cabai rawit merah pada kedua saluran ini memiliki biaya pengangkutan, biaya
tenaga kerja, biaya retribusi, biaya bongkar muat, biaya penyusutan, biaya sortasi,
dan biaya sewa lapak yang berbeda-beda.
Total biaya pemasaran pada saluran I sebesar Rp 3.569,25 per kilogram.
Biaya pemasaran tertinggi berasal dari tingkat pedagang pengecer wilayah Jakarta
yaitu 61,06 persen dari total biaya pemasaran pada saluran ini, dengan biaya
penyusutan sebesar Rp 1.050,00 per kilogram. Total biaya pemasaran pada
saluran IV sebesar Rp 3.128,60 per kilogram. Biaya pemasaran tertinggi berasal
dari tingkat pedagang pengecer wilayah Bandung sebesar 57,92 persen, dengan
biaya penyusutan sebesar Rp 1.000,00 per kilogram. Perbedaan biaya pemasaran
pada saluran I dan IV dikarenakan masing – masing daerah pemasaran cabai rawit
merah pada kedua saluran ini memiliki biaya pengangkutan, biaya tenaga kerja,
biaya penyusutan, biaya sortasi, biaya restribusi, dan biaya sewa lapak pasar yang
berbeda–beda.
82
Sedangkan biaya pemasaran terkecil terdapat pada saluran II yaitu sebesar
Rp1.380,45 per kilogram karena pada jalur ini jarak distribusinya cukup dekat dan
merupakan rantai pemasaran terpendek. Biaya terbesar berasal dari tingkat
pedagang pengumpul desa yaitu 55,28 persen dari total biaya pemasaran pada
saluran ini, dengan biaya penyusutan sebesar Rp 378,60 per kilogram.
Berdasarkan kelima saluran pemasaran yang ada, biaya pemasaran tertinggi
berasal dari biaya penyusutan. Hal ini sesuai dengan sifat cabai rawit merah yang
mudah rusak dan mengalami pembusukan (perishable).
Keuntungan pemasaran terbesar terdapat pada saluran I sebesar Rp
11.430,80 per kilogram. Keuntungan pemasaran ini terjadi karena pada saluran ini
terjadi keuntungan yang besar pada proses pengambilan keuntungan yang
dilakukan pedagang pengumpul desa, pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati
dan pedagang pengecer yang mendistribusikan cabai rawit merah ke konsumen
masing-masing sebesar Rp 2.880,90 per kilogram, Rp 1.229,35 per kilogram dan
7320,50 per kilogram. Kemudian disusul oleh saluran pemasaran III dan V yaitu
masing-masing sebesar Rp 11.164,40 per kilogram dan Rp 11.029,80 per
kilogram, hal ini disebabkan karena kedua saluran ini merupakan saluran yang
banyak melibatkan lembaga pemasaran, namun keuntungan yang diambil oleh
lembaga pemasaran pada kedua saluran ini lebih kecil dibandingkan saluran I.
Keuntungan pemasaran pada saluran IV yaitu sebesar Rp 10.171,40 per
kilogram, dengan keuntungan terbesar diambil oleh pedagang pengecer sebesar
Rp 6.188,00 per kilogram. Sedangkan keuntungan terkecil terdapat pada saluran
pemasaran II sebesar Rp 4.119,55 per kilogram. Hal ini dikarenakan saluran ini
memiliki jarak distribusi yang dekat dari Desa Cigedug.
6.6 Analisis Farmer’s Share
Analisis farmer’s share merupakan perbandingan harga yang diterima oleh
petani cabai rawit merah dengan harga yang dibayar oleh konsumen. Analisis
farmer’s share merupakan salah satu indikator untuk menentukan efisiensi
operasional pemasaran suatu komoditas. Hal ini tergantung dari upaya yang
dilakukan oleh lembaga pemasaran yang terlibat dalam memberikan value added
pada produk sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan keinginan konsumen.
Analisis farmer’s share berbanding terbalik dengan analisis marjin pemasaran.
83
Farmer’s share yang diterima petani pada saluran pemasaran cabai rawit merah di
Desa Cigedug dapat dilihat pada Tabel 16.
Berdasarkan data yang tersaji pada Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa
bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran II yaitu sebesar 45
persen. Saluran II merupakan saluran dengan total marjin pemasaran terendah dan
saluran pemasaran terpendek jika dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang
terlibat.
Tabel 16. Farmer’s Share Pada Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa
Cigedug
Saluran
Pemasaran
Harga di tingkat
petani
(Rp/kilogram)
Harga di tingkat
konsumen
(Rp/kilogram)
Farmer’s Share
(%)
Saluran I 5000 20000 25,00
Saluran II
Saluran III
4500
4500
10000
20000
45,00
22,50
Saluran IV 4700 18000 26,11
Saluran V 4700 20000 23,50
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Kemudian diikuti oleh saluran IV dan I masing-masing sebesar 26,11
persen dan 25 persen. Seperti pada penelitian sebelumnya (Muslikh 1999) farmer
share yang diperoleh yaitu sebesar 21,15 persen. Besarnya proporsi farmer’s
share ini dikarenakan harga jual petani yang cukup tinggi yaitu Rp 4.700,00 –
Rp 5.000,00 per kilogram dikarenakan cabai rawit merah ini didistribusikan
keluar Kabupaten Garut yaitu wilayah Jakarta dan Bandung, dan tingginya marjin
pemasaran yang diambil oleh pihak pedagang pengumpul desa, pedagang besar
dan pedagang pengecer. Marjin terbesar pada saluran ini terdapat pada pedagang
pengecer masing-masing sebesar Rp 8.000,00 per kilogram dan Rp 9.500,00 per
kilogram. Hal ini dikarenakan besarnya biaya penyusutan yang harus ditanggung
oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 1.000,00 per kilogram pada saluran IV
dan Rp 1.050,00 per kilogram pada saluran I akibat banyaknya cabai rawit merah
yang mengalami pembusukan atau rusak.
Adapun saluran pemasaran V dan III memiliki nilai farmer’s share yaitu
masing-masing sebesar 23,5 persen dan 22,5 persen yang merupakan nilai
84
farmer’s share terkecil. Hal ini dikarenakan kedua saluran ini merupakan saluran
pemasaran terpanjang jika dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat
dengan tujuan akhir ke konsumen yang berada di daerah Jakarta dan kedua
saluran ini merupakan saluran dengan total marjin pemasaran tertinggi.
Pengambilan margin terbesar pada saluran ini terdapat pada pedagang pengecer
yaitu Rp 9.500,00 per kilogram. Untuk rincian farmer’s share yang diperoleh
pada tiap saluran pemasaran lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Farmer’s Share di Setiap Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah.
6.7 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran
Efisiensi operasional juga dapat ditunjukkan dengan membandingkan
antara besarnya keuntungan dengan biaya pemasaran suatu lembaga pemasar.
Indikator dikatakan efisien jika meratanya penyebaran nilai rasio keuntungan dan
25% 45 % 22,5 % 26,11 % 23,5%
Fs I Fs IIa Fs IIb Fs III Fs IV
FS I FS II FS III FS IV FS V
I
Harga di tingkat petani
Rp 4.500,00/kg
Harga di
tingkat petani
Rp 5.000,00/kg
Harga di
tingkat petani
Rp 4.500,00/kg
Harga di
tingkat petani
Rp 4.700,00/kg
Harga di
tingkat petani
Rp 4.700,00/kg
Harga jual di
tingkat
pengecer Rp
20.000,00/kg
Total Biaya
Rp 3.569,25/kg
Total
Keuntungan
Rp 11.430,80/kg
Total Marjin
Rp 15.000,00
Harga di
tingkat PB di Pasar Induk
Cikajang
Rp 10.000,00/kg
Total Biaya /kg Rp 1.380,45
Total
Keuntungan
Rp 4.119,55/kg
Total Marjin
Rp 5.500,00
Harga di tingkat
pengecer
Rp 18.000,00/kg
Total Biaya Rp 3.128,60/kg
Total Keuntungan
Rp
10.171,40/kg
Total Marjin
Rp 13.300,00
Harga di
tingkat
pengecer Rp
20.000,00/kg
Total Biaya
Rp 4.335,60/kg
Total
Keuntungan
Rp 11.164,40/kg
Total Marjin
Rp 15.500,00
Harga di tingkat
pengecer
Rp 20.000,00/kg
Total Biaya Rp 4.270,2/kg5
Total Keuntungan
Rp
11.029,80/kg
Total Marjin
Rp 15.300,00
85
biaya di setiap lembaga pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya cabai rawit
merah di Desa Cigedug dapat dilihat pada Tabel 17. Pada saluran pemasaran I
diperoleh nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,20, berbeda dengan nilai
rasio keuntungan dan biaya pada penelitian yang dilakukan oleh Muslikh (1999)
sebesar. Biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran pada saluran I sebesar Rp
3.569,25 per kilogram. Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu
sebesar Rp 2179,50 per kilogram dan biaya pemasaran terendah ditanggung oleh
pedagang pengumpul desa yaitu sebesar Rp 619,10 per kilogram
Tabel 17. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Pemasaran Cabai
Rawit Merah di Desa Cigedug.
Lembaga
Pemasaran
Saluran Pemasaran
I II III IV V
Pedagang Pengumpul Desa
Ci (Rp/kg) 619,10 763,15 763,15 616,78 619,10
Πi (Rp/kg) 2880,90 1736,85 1736,85 2183,23 2880,90
Rasio Πi /Ci 4,65 2,28 2,28 3,54 3,54
PB di Pasar Induk Cikajang Kabupaten Garut
Ci (Rp/kg) - 617,30 622,30 - -
Πi (Rp/kg) - 2382,70 1377,70 - -
Rasio Πi /Ci - 3,86 2,21 - -
PB di Pasar Induk Caringin Bandung
Ci (Rp/kg) - - - 699,80 703,30
Πi (Rp/kg) - - - 1800,20 796,70
Rasio Πi /Ci - - - 2,57 1,13
PB di PIKJ Jakarta
Ci (Rp/kg) 770,65 - 770,65 - 770,65
Πi (Rp/kg) 1229,35 - 729,35 - 729,35
Rasio Πi /Ci 1,59 - 0,95 - 0,95
Pedagang Pengecer
Ci (Rp/kg) 2179,50 - 2179,50 1812,00 2179,50
Πi (Rp/kg) 7320,50 - 7320,50 6188,00 7.320,50
Rasio Πi /Ci 3,36 - 3,36 3,42 3,36
Total
Ci (Rp/kg) 3569,25 1380,45 4335,60 3128,58 4270,23
Πi (Rp/kg) 11430,75 4119,55 11164,40 10171,43 11029,78
86
Rasio Πi /Ci 3,20 2,98 2,56 3,25 2,58
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Pada saluran I, pedagang pengecer mengeluarkan biaya pemasaran yang
cukup besar karena besarnya biaya penyusutan yang harus ditanggung, dimana
dari 10 kilogram cabai rawit merah yang dibeli terdapat 1 kilogram cabai rawit
merah yang busuk sehingga biaya penyusutan yang harus ditanggung sebesar Rp
1.050,00 per kilogram. Oleh karena itu, keuntungan yang diambil oleh pedagang
pengecer juga besar yaitu Rp 7.320,50 per kilogram, sedangkan besarnya
keuntungan yang diperoleh pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati adalah Rp
1.229,35 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 770,65 per kilogram.
Hal ini dikarenakan pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati melakukan
perlakuan biaya yang lebih banyak dan cukup besar dibandingkan pedagang
pengumpul desa seperti biaya pengangkutan, pengemasan, tenaga kerja, retribusi,
penyusutan, bongkar muat, dan biaya sewa lapak. Biaya penyusutan merupakan
biaya pemasaran yang paling tinggi yang harus ditanggung oleh pedagang besar
dan pedagang pengumpul desa.
Saluran pemasaran II memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar
2,98. Total biaya yang dikeluarkan pada saluran II adalah sebesar Rp 1380,45 per
kilogram yang hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang
besar di Pasar Induk Cikajang, diantara kedua lembaga pemasaran yang terlibat
pada saluran II, pedagang pengumpul desa yang lebih banyak mengeluarkan biaya
yaitu sebesar Rp 763,15 per kilogram. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul
desa melakukan perlakuan biaya yang lebih banyak dibandingkan pedagang besar
di Pasar Induk Cikajang seperti adanya biaya pengangkutan yang harus
ditanggung oleh pihak pedagang pengumpul desa dimana tidak dilakukan oleh
pihak pedagang besar di Pasar Induk Cikajang pada saluran ini. Sementara itu
keuntungan terbesar didapat oleh pedagang besar di Pasar Induk Cikajang yaitu
sebesar Rp 2.382,70 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 617,30 per
kilogram. Sedangkan pedagang pengumpul desa mendapatkan keuntungan
pemasaran sebesar Rp 1.736,85 per kilogram.
Adapun saluran III memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,56
dengan total biaya pemasaran adalah Rp 4.335,60 per kilogram yang dilakukan
87
oleh pedagang pengumpul desa, pedagang besar di Pasar Induk Cikajang,
pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati, dan pedagang pengecer. Biaya
pemasaran terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp
2.179,50 per kilogram. Besarnya biaya pemasaran pada tingkat pedagang
pengecer ini disebabkan oleh tingginya biaya penyusutan yang harus ditanggung
sebesar Rp 1.050,00 per kilogram. Keuntungan terbesar juga diperoleh oleh
pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 7.320,50 per kilogram, dimana keuntungan
pemasaran yang diperoleh pedagang pengecer ini dipengaruhi oleh harga jual
yang tinggi untuk menghindari penurunan permintaan cabai rawit merah dari
konsumen akhir yang dapat menyebabkan biaya penyusutan yang lebih besar.
Pedagang pengumpul desa mendapat keuntungan pemasaran sebesar Rp 1.736,85
per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 763,15 per kilogram.
Keuntungan pemasaran terendah pada saluran ini terdapat pada pedagang besar di
Pasar Induk Kramat Jati yaitu sebesar Rp 729,35 per kilogram dengan biaya
pemasaran sebesar Rp 770,65 per kilogram. Keuntungan yang diperoleh ini
dipengaruhi oleh harga beli yang tinggi akibat cabai rawit merah dibeli dari pihak
pedagang besar di Pasar Induk Cikajang.
Saluran pemasaran IV memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar
3,25. Total biaya yang dikeluarkan pada saluran IV adalah sebesar Rp 3.128,58
per kilogram yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa, pedagang besar di
Pasar Induk Caringin Bandung dan pedagang pengecer. Biaya pemasaran
terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 1.812,00 per
kilogram. Besarnya biaya pemasaran pada tingkat pedagang pengecer ini
disebabkan oleh tingginya biaya penyusutan. Selain itu pedagang pengecer juga
harus mengeluarkan biaya pengangkutan, pengemasan, tenaga kerja, dan
retribusi pasar. Keuntungan terbesar juga diperoleh oleh pedagang pengecer
adalah sebesar Rp 6.188,00 per kilogram, yang mana keuntungan pemasaran
yang diperoleh pedagang pengecer ini dipengaruhi oleh harga jual yang tinggi
untuk menghindari penurunan permintaan cabai rawit merah dari konsumen
akhir yang dapat menyebabkan biaya penyusutan yang lebih besar. Pedagang
pengumpul desa mendapat keuntungan pemasaran sebesar Rp 2.183,23 per
kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 616,78 per kilogram. Keuntungan
88
pemasaran terendah pada saluran ini terdapat pada pedagang besar Pasar Induk
Caringin, yaitu sebesar Rp 110,00 per kilogram dengan biaya pemasaran
sebesar Rp 1.800,20 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 699,80
per kilogram. Besarnya biaya pemasaran yang harus dikeluarkan oleh pedagang
besar di Pasar Induk Caringin ini disebabkan pedagang besar di Pasar Induk
Caringin melakukan perlakuan biaya yang lebih banyak dan cukup besar
dibandingkan pedagang pengumpul desa seperti biaya pengangkutan,
pengemasan, tenaga kerja, retribusi, penyusutan, bongkar muat, dan biaya sewa
lapak.
Adapun saluran pemasaran V, nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar
2,58, total biaya pemasaran adalah Rp 4.270,23. Saluran V melibatkan pedagang
pengumpul desa, pedagang besar di Pasar Induk Caringin, pedagang besar di
Pasar Induk Kramat Jati, dan pedagang pengecer. Biaya pemasaran terbesar
dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 2.179,50 per kilogram.
Besarnya biaya pemasaran pada tingkat pedagang pengecer ini disebabkan oleh
tingginya biaya penyusutan yang harus ditanggung. Keuntungan terbesar juga
diperoleh oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 7.320,50 per kilogram,
dimana keuntungan pemasaran yang diperoleh pedagang pengecer ini dipengaruhi
oleh harga jual yang tinggi untuk menghindari penurunan permintaan cabai rawit
merah dari konsumen akhir yang dapat menyebabkan biaya penyusutan yang lebih
besar. Pedagang pengumpul desa mendapat keuntungan pemasaran sebesar Rp
2.183,23 per kilogram dengan biaya pemasaran sebesar Rp 616,76 per kilogram.
Keuntungan pemasaran terendah pada saluran ini terdapat pada pedagang besar di
Pasar Induk Kramat Jati yaitu sebesar Rp 729,35 per kilogram dengan biaya
pemasaran sebesar Rp 770,65 per kilogram. Keuntungan yang diperoleh ini
dipengaruhi oleh harga beli yang tinggi akibat cabai rawit merah dibeli dari pihak
pedagang besar di Pasar Induk Caringin.
Efisiensi merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam suatu
aktivitas pemasaran. Suatu saluran dikatakan efisien apabila penyebaran nilai
rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga pemasaran merata.
Artinya setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran
89
akan memberikan keuntungan yang tidak jauh beda dengan lembaga pemasaran
lainnya yang terdapat pada saluran tersebut.
Nilai total rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran cabai rawit merah
terbesar terdapat pada saluran IV yaitu sebesar 3,25. Artinya untuk setiap 1 satuan
rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran akan menghasilkan
keuntungan sebesar 3,25 rupiah. Rasio keuntungan terhadap biaya pemasaran
terbesar ditingkat lembaga pemasaran terjadi pada tingkat pedagang pengumpul
desa pada saluran I sebesar 4,65. Hal ini dikarenakan harga jual cabai rawit merah
pada saluran I lebih tinggi dibanding saluran lainnya. Adapun rasio terkecil
terdapat pada pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati pada saluran III dan V
sebesar 0,95.
Berdasarkan Tabel 18 untuk mengetahui saluran pemasaran cabai rawit
merah di Desa Cigedug yang paling efisien dapat ditinjau dari beberapa poin
analisis terhadap pola pemasaran cabai rawit merah diantaranya margin
pemasaran, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Selain itu dapat
dilihat dari pola saluran pemasaran yang terbentuk, berjalannya fungsi- fungsi
pemasaran, struktur pasar, dan perilaku pasar.
Tabel 18. Nilai Efisiensi Pemasaran pada masing – masing Pola Saluran
Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug. Saluran
Pemasaran
Harga
(Rp/kg)
Total Biaya
(Rp/kilogram)
Marjin
(%)
Farmer’s
Share (%) Πi/Ci
Volume
(kilogram)
Saluran I 5.000,00 3.569,30 75,00 25,00 3,20 1.490
Saluran II 4.500,00 1.380,50 55,00 45,00 2,98 20
Saluran III 4.500,00 4.335,60 77,50 22,50 2,56 215
Saluran IV 4.700,00 3.128,60 73,89 26,11 3,25 200
Saluran V 4.700,00 4.270,30 76,50 23,50 2,58 354
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
Berdasarkan Tabel 18 yang menyajikan data mengenai nilai efisiensi
pemasaran pada setiap pola saluran pemasaran yang terbentuk, saluran I
merupakan saluran yang paling efisien dibandingkan empat saluran yang lain. Jika
dilihat dari harga jual cabai rawit merah di tingkat petani, saluran I memiliki harga
jual yang paling tinggi dan volume penjualan terbesar sebanyak 1.490 kilogram
dengan tujuan pemasaran yaitu wilayah Jakarta (Pasar Induk Kramat Jati Jakarta).
90
Nilai rasio πi/Ci pada saluran I lebih besar dari 1 yaitu 3,20 artinya setiap 1 satuan
rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran pada saluran ini akan
menghasilkan keuntungan sebesar 3,20 rupiah.
Jika dilihat dari nilai marjin dan rasio keuntungan dan biaya maka saluran
IV yang penyebarannya paling merata namun volume penjualan pada saluran IV
berada kedua terkecil dari kelima saluran yang ada dengan tujuan pemasaran yaitu
wilayah Bandung (Pasar Induk Caringin Bandung). Cabai rawit merah yang tidak
laku terjual di Pasar Induk Caringin Bandung akan dijual ke Pasar Induk Kramat
Jati sehingga pengangkutan terjadi dua kali yang mempunyai risiko kerusakan
cabai rawit merah yang lebih besar dan akan berdampak pada harga jual cabai
rawit merah. Tingginya volume penjualan cabai rawit merah pada saluran I
menunjukkan tingginya kontinuitas pemasaran pada saluran I ini.
6.8 Analisis Keterpaduan Pasar
Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa besar pembentukan harga suatu
komoditas pada suatu tingkat lembaga atau pasar dipengarhi oleh harga di tingkat
lembaga lainnya. Pada penelitian ini dilakukan analisis keterpaduan pasar secara
vertikal antara pasar petani dengan Pasar Induk Kramat Jati. Data harga ini
merupakan harga mingguan cabai rawit merah dari bulan Juni 2011 sampai bulan
Mei 2012 (Lampiran 9). Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan model
Indeks of Market Connection (IMC) melalui pendekatan model Autoregressive
Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary
Least Square, OLS). Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar pada
tingkat petani di Desa Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Jati sebagai berikut:
Pit = - 383 + 0,765 Pit-1 + 0,493 Pjt-Pjt-1 + 0,182 Pjt-1
Keterangan :
b1 = parameter variabel harga cabai rawit merah di tingkat petani pada waktu
t-1
b2 = indikator keterpaduan pasar jangka panjang
b3 = parameter variabel harga cabai rawit merah di Pasar Induk Kramat Jati
pada waktu t-1
Hasil estimasi parameter koefisien penduga b1 (harga di tingkat petani
minggu lalu) adalah sebesar 0,765 dengan nilai P-value adalah 0,000 (Lampiran
91
10). Model akan signifikan jika nilai P-value lebih kecil dari nilai taraf nyata lima
persen. Hal ini berarti berapapun harga yang terjadi di tingkat petani pada minggu
lalu berpengaruh nyata pada penentuan harga minggu ini, dimana peningkatan
perubahan harga pada minggu lalu sebesar 100 persen, cateris paribus, akan
meningkatkan harga pada minggu ini sebesar 76,5 persen pada taraf nyata lima
persen.
Nilai koefisien b2 adalah 0,493 dengan nilai P-value adalah 0,000
(Lampiran 10) yang menunjukkan bahwa peningkatan perubahan harga di pasar
acuan, Pasar Induk Kramat Jati sebesar 100 persen, cateris paribus, akan
meningkatkan harga di tingkat petani sebesar 49,3 persen. Keseimbangan jangka
panjang (b2) ditunjukkan oleh nilai b = 1. Semakin dekat nilai parameter dugaan
b2 dengan satu, maka keterpaduan jangka panjang akan semakin baik. Nilai b2 = 1
juga dapat diartikan bahwa pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna,
sedangkan apabila nilai b2 kurang dari satu menunjukkan pasar dalam kondisi
tidak bersaing sempurna. Namun, apabila nilai b2 lebih besar dari satu maka
perubahan harga pada pasar acuan akan sangat berpengaruh terhadap
pembentukkan harga di pasar lokal, dengan kata lain akan terjadi keterpaduan
jangka panjang antara harga di pasar acuan dengan harga dipasar lokal. Pasar
cabai rawit merah di Desa Cigedug berada dalam kondisi tidak bersaing sempurna
karena memiliki nilai b2 yang lebih kecil dari satu.
Koefisien penduga b3 (harga di Pasar Induk Kramat Jati minggu lalu)
sebesar 0,182 dengan P-value 0,044 (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa
pada taraf nyata lima persen peningkatan perubahan harga di Pasar Induk Kramat
Jati berpengaruh nyata pada peningkatan harga di tingkat petani dimana
peningkatan perubahan harga pada minggu lalu sebesar 100 persen, cateris
paribus, akan meningkatkan harga pada minggu ini sebesar 18,2 persen pada taraf
nyata lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak Pasar Induk
Kramat Jati dengan pasar lokal (petani di Desa Cigedug) memberikan pengaruh
terhadap besar kecilnya perubahan harga minggu lalu di pasar acuan terhadap
minggu ini di pasar lokal. Perbedaan jarak ini akan menimbulkan biaya
transportasi bagi pedagang sehingga pedagang tidak meneruskan perubahan harga
tersebut kepada petani seutuhnya.
92
IMC = = = 4,2
Berdasarkan hipotesis uji-t, maka dapat diukur tingkat keterpaduan
jangka pendek dan jangka panjang. Hipotesis uji-t untuk koefisien b1 memiliki t-
hitung lebih besar dari t-tabel sehingga hipotesis nol ditolak pada taraf nyata lima
persen (Lampiran 11). Artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek antara
perubahan harga di Pasar Induk Kramat Jati dengan perubahan harga di tingkat
petani di Desa Cigedug. Indikator keterpaduan jangka pendek dapat dilihat dari
nilai IMC sebesar 4,2, artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek karena
nilai IMC lebih besar dari satu. Keterpaduan jangka pendek akan terjadi jika nilai
IMC lebih kecil dari satu.
Adapun keterpaduan jangka panjang berdasarkan uji-t dengan melihat
indikator dari variabel bebas b2 menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak karena
nilai t-hitung lebih besar dari nilai t-tabel pada taraf nyata lima persen. Artinya
harga di pasar lokal tidak terpadu dengan harga di pasar acuan dalam jangka
panjang (Lampiran 11). Indikator tidak adanya keterpaduan jangka panjang dapat
dilihat dari nilai koefisien b2 yang lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,493.
Keterpaduan jangka panjang akan terjadi apabila nilai koefisien b2 sama dengan
satu.
Uji F-hitung digunakan untuk uji hipotesis model dugaan secara bersama-
sama yang menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu dari peubah bebas
pada persamaan berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada taraf nyata
lima persen. Hal ini dapat dilihat dari nilai P-value model yang lebih kecil dari
taraf nyata lima persen. Pengujian autokorelasi hasil uji Durbin-Watson bernilai
1,57, hal ini berarti secara statistik terima Ho pada taraf nyata lima persen. Dari
hasil tersebut menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat autokorelasi (error yang
berpola) pada pengujian tingkat pertama. Uji multikolinearitas yang dilakukan
terhadap model yang diduga dengan melihat Varian Inflation Factor (VIF). Hasil
VIF menunjukkan bahwa semua variabel yang memiliki nilai VIF < 10,
menunjukkan tidak adanya gejala multikolinearitas antar masing-masing variabel
bebas.
93
Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar melalui pendekatan analisis
harga di tingkat petani yang berperan sebagai pasar lokal selaku pengikut harga
dan Pasar Induk Kramat Jati yang berperan sebagai pasar acuan selaku penentu
harga, dapat diketahui bahwa pasar di tingkat petani cabai rawit merah di Desa
Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Jati tidak terpadu baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi mengenai
perubahan harga di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta tidak diteruskan atau diterima
di tingkat petani secara proporsional. Artinya perubahan harga cabai rawit merah
di Pasar Induk Kramat Jati pada kurun waktu sebelumnya tidak ditrasmisikan ke
harga saat ini di tingkat petani.
Tidak adanya keterpaduan pasar ini menunjukkan tidak lancarnya arus
informasi dan komunikasi diantara lembaga pemasaran sehingga harga yang
terjadi pada pasar yang dihadapi oleh petani tidak dipengaruhi oleh Pasar Induk
Kramat Jati. Arus informasi tidak berjalan dengan lancar dan seimbang, petani
tidak mengetahui informasi yang dihadapi oleh pedagang besar di Pasar Induk
Kramat jati, sehingga petani di Desa Cigedug tidak dapat menentukan posisi
tawarnya dalam pembentukan harga. Tidak lancarnya arus informasi harga ini
sesuai dengan struktur pasar yang terjadi dimana pedagang besar di Pasar Induk
Kramat Jati memiliki kekuatan oligopsoni, dapat mengendalikan harga beli dari
petani sehingga walaupun harga di tingkat konsumen relatif tetap tetapi pedagang
besar di Pasar Induk Kramat Jati dapat menekan harga beli dari petani untuk
memaksimumkan keuntungannya. Begitupun jika terjadi kenaikan harga di
tingkat konsumen maka pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati dapat
meneruskan kenaikan harga tersebut secara tidak sempurna. Komunikasi yang
terjadi tidak transparan sehingga menyulitkan terjadinya integrasi harga dengan
baik.
Laping (1997), menyatakan respon harga dengan segera dapat terjadi jika
infrastruktur trasportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem
informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Selama
faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka respon harga dengan segera
tersebut sukar untuk dapat terwujud. Di Desa Cigedug, infrastruktur transportasi,
sistem informasi harga, dan fasilitas pasar desa dan pasar yang transparan relatif
94
belum tersedia secara memadai. Infrastruktur transportasi dari lahan petani cabai
rawit merah ke pasar induk relatif buruk dimana kondisi lahan di Desa Cigedug
yang berbukit-bukit sehingga aksesibilitas ke dan dari sentra produksi petani
relatif sulit. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas dasar seperti pasar desa
belum tersedia. Sistem informasi harga yang mestinya dibangun oleh pemerintah
juga belum tersedia. Struktur pasar yang oligopsoni pada lembaga pemasaran
cabai rawit merah di Desa Cigedug juga menjadi penyebab tidak terpadunya harga
di tingkat petani dengan pedagang besar di pasar induk Kramat Jati.
95
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Terdapat lima saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug yang
melibatkan beberapa lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul desa (PPD),
pedagang besar, dan pedagang pengecer. Saluran I : petani – pedagang pengumpul
desa (PPD) – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – pedagang
pengecer – konsumen Jakarta, saluran II : petani – PPD – pedagang besar Pasar
Induk Cikajang – konsumen Kecamatan Cikajang, saluran III: petani – PPD –
pedagang besar Pasar Induk Cikajang – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati
Jakarta – pedagang pengecer – konsumen Jakarta, saluran IV: petani – PPD –
pedagang besar Pasar Induk Caringin Bandung – pedagang pengecer – konsumen
Bandung, dan saluran V: petani – PPD – pedagang besar Pasar Induk Caringin
Bandung – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati Jakarta – pedagang pengecer
– konsumen Jakarta.
Sebagian besar lembaga pemasaran yang terlibat melakukan ketiga fungsi
utama yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas, namun fungsi
penyimpanan yang termasukdalam fungsi fisik hanya dilakukan oleh pedagang
pengecer. Struktur pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran cabai rawit
merah di Desa Cigedug yaitu cenderung berada pada kondisi pasar oligopsoni.
Perilaku pasar yang terjadi di tingkat petani jika dilihat dari praktik penjualan
langsung dengan menggunakan sistem pembayaran tunai. Adapun di tingkat
pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer adalah sistem pembayaran
tunai dan kemudian. Sedangkan di tingkat pedagang besar menggunakan sistem
pembayaran kemudian. Pembayaran kemudian dilakukan satu hingga tiga hari ke
depan.
Hasil analisis marjin bahwa marjin pemasaran terkecil terdapat pada
saluran II yaitu 55 persen. Farmer’s share terbesar terdapat pada saluran II
sebesar 45,00 persen dan rasio πi/Ci terbesar terdapat pada saluran IV sebesar
3,251. Walaupun saluran I memiliki perolehan marjin terkecil ketiga diantara lima
pola saluran yang terbentuk yaitu sebesar 75 persen dan farmer’s share tertinggi
ketiga sebesar 25 persen. Namun jika dilihat dari harga jual cabai rawit merah di
96
tingkat petani, saluran I memiliki harga jual yang paling tinggi dan volume
penjualan terbesar sebanyak 1.490 kilogram dengan tujuan pemasaran yaitu
wilayah Jakarta (Pasar Induk Kramat Jati Jakarta). Nilai rasio πi/Ci pada saluran I
lebih besar dari 1 yaitu 3,20. Tingginya volume penjualan cabai rawit merah pada
saluran I menunjukkan tingginya kontinuitas pemasaran pada saluran I ini
sehingga saluran I dinilai sebagai alternatif saluran yang efisien.
Adapun hasil analisis keterpaduan pasar antara petani cabai rawit merah di
Desa Cigedug dengan Pasar Induk Kramat Kati menghasilkan bahwa tidak
terdapat keterpaduan antar kedua pasar baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Artinya informasi perubahan harga yang terjadi di Pasar Induk Kramat
Jati tidak akan mempengaruhi perubahan harga yang terjadi di tingkat petani cabai
rawit merah di Desa Cigedug. Tidak adanya keterpaduan pasar ini menunjukkan
tidak lancarnya arus informasi dan komunikasi. Tidak lancarnya arus informasi
harga ini sesuai dengan struktur pasar yang terjadi dimana pedagang besar di
Pasar Induk Kramat Jati memiliki kekuatan oligopsoni, dapat mengendalikan
harga beli dari petani. Komunikasi yang terjadi tidak transparan sehingga
menyulitkan terjadinya integrasi harga dengan baik. Selain itu di Desa Cigedug,
infrastruktur transportasi, sistem informasi harga, dan fasilitas pasar desa dan
pasar yang transparan relatif belum tersedia secara memadai.
7.2 Saran
1. Disarankan untuk petani memilih saluran pemasaran I (petani –
pedagang pengumpul desa – pedagang besar Pasar Induk Kramat Jati
Jakarta – pedagang pengecer – konsumen Jakarta) yang merupakan saluran
pemasaran yang paling efisien dibandingkan saluran lainnya dan saluran
ini merupakan saluran yang paling banyak digunakan dalam
pendistribusian cabai rawit merah.
2. Diperlukan pengaktifan kembali kelompok tani yang sudah ada di Desa
Cigedug sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam
penentuan harga serta pemasaran dapat dilakukan secara bersama untuk
mengurangi biaya pemasaran.
3. Ketidakterpaduan pasar terjadi akibat ketidaklancaran aliran informasi
harga. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebaiknya menciptakan lembaga
97
Sub Terminal Agribisnis (STA) yang membantu untuk pembukaan akses
pasar. Selain itu pemerintah perlu menyediakan fasilitas dasar seperti pasar
di Desa Cigedug, dengan tersedianya pasar di Desa ini diharapkan para
petani dapat memperoleh informasi harga yang lebih mudah.
98
DAFTAR PUSTAKA
Agustian A, Anugerah IS. 2008. Analisis perkembangan harga dan rantai
pemasaran komoditas cabai merah di Provinsi Jawa Barat. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Anonim. 2011. Rencana pemerintah terkait kenaikan harga cabai.
http://m.politikana.com/baca/2011/01/08/kupipaste-rencana-pemerintah-
terkait-kenaikan-harga-cabai. Diakses tanggal 25 Januari 2012.
Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Dalam Bunga
Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor: IPB Press.
Azir R. 2002. Kajian sistem pemasaran dan integrasi pasar cabai merah keriting
(Capsicum Annuum) di DKI Jakarta (Studi Kasus: Pasar Induk Kramat
Jati, Pasar Tanah Abang, dan Pasar Jatinegara) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Azzaino Z. 1982. Pengantar Pemasaran. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011.
http://dds.bps.go.id/download_file/IP_Februari_2011.pdf. Laporan
Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 9 Februari 2011. Diakses tanggal 17
Februari 2012.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=55
¬ab=19 . Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai Rawit, 2007-
2010. Diakses tanggal 21 Januari 2012.
[Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat]. 2010.
http://diperta.jabarprov.go.id/. Luas Areal Tanaman Sayuran Tahun 2005
– 2009 Menurut Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Diakses tanggal 21
Januari 2012
[Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut]. 2009.
http://www.garutkab.go.id/galleries/pdf_link/sda/profil_cabe.pdf. Profil
Kawasan Cabai Merah di Garut. Diakses tanggal 25Januari 2012.
[Direktorat Jenderal Hortikultura]. 2008.
http://hortikultura.go.id/download/6_Pilar.pdf. Membangun Hortikultura
Berdasarkan Enam Pilar Pengembangan. Diakses tanggal 22 Januari
2012.
[Direktorat Jenderal Hortikultura]. 2009.
http://hortikultura.go.id/home/?q=node/218. Gambaran Kinerja Makro
Hortikultura 2008. Diakses tanggal 22 Januari 2012.
99
Fadhla T, Nugroho BA, Mustadjab MM. 2008. Integrasi pasar komoditi pangan
(beras, kacang tanah kupas dan kedelai kuning) di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Agritek. Vol. 6. No. 9. Universitas Brawijaya.
Hutabarat B, Rahmanto B. 2004. Dimensi oligopsonistik pasar domestik cabai
rawit. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4.
No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 45 – 56.
Irawan B. 2003. Membangun agribisnis hortikultura terintegrasi dengan basis
kawasan pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 21 No.1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Irawan B. 2007. Fluktuasi harga, transmisi harga, dan marjin pemasaran sayuran
dan buah. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 5 No 4. hal 358-373. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Kirana WJ. 2003. Ekonomi Industri. Edisi kedua., Fakultas Ekonomi dan
Manajemen UGM. Yogyakarta.
Kohls RL, Uhl JN. 1985. Marketing of Agriculture Product. Seventh Edition.
Purdue University. Maccmillan Publishing Company. New York.
Kotler P. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium. Prenhalindo. Jakarta
Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Pemasaran Pertanian. Bahan
Kuliah. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Laping W. 1997. Food Price Differences and Market Integration in China. College
of Economics and Management. China Agricultural University.
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta.
Muslikh. 2000. Analisis sistem tataniaga cabai rawit merah (capsicum frustecens)
di DKI Jakarta (Studi Kasus: Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Jatinegara,
dan Pasar Tanah Abang) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
[Pemerintah Kabupaten Garut]. 2010. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kabupaten Garut Tahun 2009. Garut: Pemerintah Kabupaten
Garut.
Prajnanta F. 2004. Kiat Sukses Bertanam Cabai Dimusim Hujan. Jakarta: Penebar
Swadaya
Purcell WD. 1979. Agriculture Marketing System, Coordination. Cash and
Future Prices. Reston Publishing Company.Inc. Reston
Ravallion M. 1986. Testing market integration. Amerian Journal of Agricultural
Economics, 68 (1): 102-109
Setiadi. 1995. Pemasaran Cabai (agribisnis Cabai). Jakarta: Penebar Swadaya
Setiadi. 1999. Jenis dan Budidaya Cabai Rawit. Jakarta: Penebar Swadaya.
100
Simatupang P. 1999. Industrialisasi pertanian sebagai strategi agribisnis dan
pembangunan pertanian dalam era globalisasi. Dalam Dinamika Inovasi
Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku-2. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor
Tomek, WE dan Kenneth LR. 1990. Agricultural Product Prices. Second Edition.
Cornell University Press. Ithaca.
Kirana WJ. 2003. Ekonomi Industri. Edisi kedua., Fakultas Ekonomi dan
Manajemen UGM. Yogyakarta.
101
LAMPIRAN
102
Lampiran 1. Perkembangan Konsumsi Cabai Dalam Rumah Tangga di
Indonesia, 2004-2010
Tah
un
Cabai Merah Cabai Hijau Cabai Rawit Total
Kilogram/Ka
pita
Pertumbu
han (%)
Kilogram/Ka
pita
Pertumbu
han (%)
Kilogram/Ka
pita
Pertumbu
han (%)
Kilogram/Ka
pita
Pertumbu
han (%)
2004 1,361 0,240 1,147 2,748
2005 1,564 14,94 0,261 8,70 1,272 10,91 3,097 12,71
2006 1,382 -11,67 0,235 -10,00 1,168 -8,20 2,748 -10,10
2007 1,470 6,42 0,302 28,89 1,517 29,91 3,290 18,16
2008 1,549 5,32 0,266 -12,07 1,444 -4,81 3,259 -0,95
2009 1,523 -1,68 0,235 -11,76 1,288 -10,83 3,045 -6,56
2010 1,528 0,34 0,256 8,89 1,298 0,81 3,082 1,20
Rata
-rata 1,482 1,935 0,256 2,108 1,305 2,965 3,038 2,41
Sumber : Susenas, BPS (2012)
103
Lampiran 2. Produksi Cabai Rawit Menurut Provinsi Tahun 2007-2010
Provinsi Tahun Pertumbuhan
2009 ke
2010 2007 2008 2009 2010
Aceh 11.207 10.238 14.093 28.825 104,53
Sumatera Utara 17.541 19.438 30.377 41.653 37,12
Sumatera Barat 2.826 5.132 5.745 6.665 16,01
R i a u 4.021 2.520 3.468 4.333 24,94
J a m b i 2.813 2.961 4.033 5.149 27,67
Sumatera Selatan 3.560 5.793 7.863 9.806 24,71
Bengkulu 4.979 7.541 7.562 12.694 67,87
Lampung 7.393 7.393 8.022 9.916 23,61
Bangka Belitung 2.919 2.638 2.791 2.989 7,09
Kep. Riau 1.647 1.792 1.589 1.441 -9,31
Jawa Barat 79.713 73.261 106.304 78.906 -25,77
Jawa Tengah 48.811 50.662 80.936 60.399 -25,37
DI Yogyakarta 1.825 1.617 1.892 2.056 8,67
Jawa Timur 140.552 130.490 177.795 142.109 -20,07
Banten 3.110 2.390 2.351 2.797 18,97
B a l i 14.677 14.713 14.506 11.826 -18,48
NTB 36.993 40.977 34.835 13.090 -62,42
NTT 3.923 7.072 5.639 3.331 -40,93
Kalimantan Barat 4.240 4.863 7.205 4.372 -39,32
Kalimantan Tengah 3.478 5.653 5.830 2.514 -56,88
Kalimantan Selatan 6.126 5.833 3.606 3.191 -11,51
Kalimantan Timur 7.728 9.781 8.653 7.721 -10,77
Sulawesi Utara 5.660 5.832 12.899 9.150 -29,06
Sulawesi Tengah 3.926 5.057 5.434 9.957 83,34
Sulawesi Selatan 8.721 11.443 9.660 14.429 49,37
Sulawesi Tenggara 1.489 915 2.600 4.952 90,46
Gorontalo 10.023 11.260 14.690 17.001 15,73
Sulawesi Barat 2.366 953 1.590 2.004 26,04
M a l u k u 1.908 617 245 768 213,47
Maluku Utara 554 1.081 290 362 24,83
Papua Barat 578 677 2.337 3.122 33,59
Papua 6.654 6.803 6.454 4.176 -35,30
Indonesia 451.965 457.353 591.294 521.704 -11,77
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)
104
Lampiran 3. Produktivitas Cabai Rawit Menurut Provinsi Tahun 2007-2010
Provinsi Tahun Pertumbuhan
2009 ke 2010 2007 2008 2009 2010
Aceh 4,59 4,15 5,49 7,79 41,89
Sumatera Utara 6,70 7,13 8,07 8,43 4,46
Sumatera Barat 3,47 5,27 5,07 5,66 11,64
R i a u 3,74 2,48 3,14 3,57 13,69
J a m b i 2,91 3,30 3,67 3,74 1,91
Sumatera Selatan 2,64 3,79 5,22 4,78 -8,43
Bengkulu 2,43 3,38 4,52 5,89 30,31
Lampung 4,03 3,47 3,72 4,65 25,00
Bangka Belitung 3,81 3,35 4,71 5,86 24,42
Kep. Riau 5,58 6,29 3,48 3,83 10,06
Jawa Barat 12,04 10,82 14,96 9,32 -37,70
Jawa Tengah 3,80 3,79 5,28 4,38 -17,05
DI Yogyakarta 3,32 3,18 3,86 3,43 -11,14
Jawa Timur 3,96 3,51 3,79 3,24 -14,51
Banten 5,10 4,89 3,74 4,22 12,83
B a l i 5,76 7,08 5,72 4,22 -26,22
NTB 5,04 5,39 5,05 3,38 -33,07
NTT 4,93 6,65 6,16 3,85 -37,50
Kalimantan Barat 3,30 4,03 4,68 3,00 -35,90
Kalimantan Tengah 3,29 3,86 5,40 2,30 -57,41
Kalimantan Selatan 8,48 5,29 4,40 4,15 -5,68
Kalimantan Timur 4,18 4,35 4,63 4,05 -12,53
Sulawesi Utara 4,62 4,72 4,73 3,50 -26,00
Sulawesi Tengah 4,24 2,80 2,81 4,50 60,14
Sulawesi Selatan 2,42 2,86 2,61 3,72 42,53
Sulawesi Tenggara 3,05 2,40 3,50 3,99 14,00
Gorontalo 5,28 6,42 5,10 6,87 34,71
Sulawesi Barat 5,15 1,76 2,11 4,06 92,42
M a l u k u 6,04 4,90 3,95 3,04 -23,04
Maluku Utara 2,32 1,75 1,00 1,28 28,00
Papua Barat 3,42 3,11 6,81 9,16 34,51
Papua 4,49 4,37 5,55 4,93 -11,17
Indonesia 4,67 4,47 5,07 4,56 -10,06
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010)
105
Lampiran 4. Luas Areal Tanam Cabai Rawit Tahun 2005-2009 Menurut
Kabupaten dan Kota di Jawa Barat.
Kabupaten/Kota Tahun (Hektar)
2005 2006 2007 2008 2009
Bogor 226 322 371 286 253
Sukabumi 687 603 461 482 538
Cianjur 1061 924 1419 1482 921
Bandung 559 643 477 335 260
Garut 1314 1485 1343 1335 1463
Tasikmalaya 248 189 202 222 243
Ciamis 131 92 262 137 152
Kuningan 160 192 197 203 278
Cirebon 32 59 11 12 25
Majalengka 745 613 455 420 518
Sumedang 252 227 232 212 235
Indramayu 42 82 87 403 354
Subang 196 238 191 164 159
Purwakarta 95 203 146 175 224
Karawang 302 125 199 82 452
Bekasi 1 6 2 36 10
Bandung Barat 0 0 0 240 412
Bogor 15 12 12 15 26
Sukabumi 1 0 0 5 0
Bandung 2 7 7 7 5
Cirebon 7 10 4 2 2
Bekasi 4 5 8 0 4
Depok 0 0 0 0 0
Cimahi 0 2 8 2 16
Tasikmalaya 2 1 3 5 1
Banjar 13 5 5 24 16
Jumlah 6095 6045 6102 6286 6567
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010)
106
Lampiran 5. Peta Administratif Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten
Garut.
Lampiran 6. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Komoditas
Unggulan Sayuran Kabupaten Garut. Tahun Komoditas Luas
Tanam (Ha)
Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Ton/Ha)
2009 Kentang 5.342 5.126 120.048 23,42
Tomat 3.478 3.582 100.912 28,17
Cabai Besar 972 4.757 70.641 14,85
Cabai Rawit 1.476 1.512 19.251 12,73
2010 Kentang 5.919 6.502 143.342 22,05
Tomat 3.285 3.682 100.248 27,23
Cabai Besar 870 5.516 79.492 14,41
Cabai Rawit 1.149 1.416 17.178 12,13
2011 Kentang 6.065 5.720 127.090 22,22
Tomat 3.401 3.581 98.142 27,41
Cabai Besar 933 5.565 80.390 14,45
Cabai Rawit 2.186 1.809 22.628 12,51
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)
107
Lampiran 7. Biaya Yang Dikeluarkan Lembaga Pemasaran Pada Setiap Saluran
Uraian Biaya (Rp/kg) Saluran Pemasaran
I II III IV V
Petani
Biaya Panen 1000,00 1000,00 1000,00 1000,00 1000,00
Biaya Pengangkutan 112,50 112,50 112,50 112,50 112,50
Biaya Penyusutan 258,90 240,60 240,60 273,00 273,00
Biaya Pengemasan 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00
Pedagang Pengumpul Desa
Biaya Pengangkutan 118,25 262,50 262,50 116,00 116,00
Biaya Pengemasan 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00
Biaya Retribusi 0,25 0,05 0,05 0,18 0,18
Biaya Penyusutan 378,60 378,60 378,60 378,60 378,60
Biaya Bongkar Muat 20,00 20,00 20,00 20,00 20,00
Biaya Sortasi 82,00 82,00 82,00 82,00 82,00
PB di Pasar Induk Cijakang
Biaya Pengangkutan - 5,00
Biaya Pengemasan 25,00 25,00
Biaya TK 65,00 65,00
Biaya Retribusi 3,10 3,10
Biaya Penyusutan 280,00 280,00
Biaya Bongkar Muat 22,00 22,00
Biaya Sortasi 200,00 200,00
Biaya Sewa lapak 22,20 22,20
PB di Pasar Induk Caringin
Biaya Pengangkutan - 3,50
Biaya Pengemasan 25,00 25,00
Biaya TK 3,50 3,50
Biaya Retribusi 0,22 0,22
Biaya Penyusutan 350,00 350,00
Biaya Bongkar Muat 20,00 20,00
Biaya Sortasi 300,00 300,00
Biaya Sewa lapak 1,10 1,10
PB di PIKJ
Biaya Pengangkutan - - -
Biaya Pengemasan 20,00 20,00 20,00
Biaya TK 3,40 3,40 3,40
Biaya Retribusi 0,45 0,45 0,45
Biaya Penyusutan 425,00 425,00 425,00
Biaya Bongkar Muat 20,00 20,0 20,00
Biaya Sortasi 300,00 300,00 300,00
Biaya Sewa lapak 1,80 1,80 1,80
Pedagang Pengecer
Biaya Pengangkutan 106,30 106,30 60,70 106,30
Biaya Pengemasan 50 5,00 5,00 5,00
Biaya TK 682,20 682,20 625,00 682,20
Biaya Retribusi 336,00 336,00 121,30 336,00
Biaya Penyusutan 1050,00 1050,00 1000,00 1050,00
Total Biaya Pemasaran 3569,25 1380,45 4335,60 3128,60 4270,25
108
Lampiran 8. Analisis Marjin Pemasaran Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut.
Uraian Saluran I Saluran II Saluran III Saluran IV Saluran V
Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg %
Petani
a. Harga jual 5000,00 25,00 4500,00 45,00 4500 22,50 4700,00 26,11 4700,00 23,50
b. Biaya Pemasaran 1391,40 6,96 1373,10 13,73 1373,10 6,87 1405,50 7,81 1405,50 7,03
Pedagang Pengumpul Desa
a. Harga Beli 5000,00 25,00 4500,00 45,00 4500,00 22,50 4700,00 26,11 4700,00 23,50
b. Biaya Pemasaran 619,10 3,09 763,15 7,63 763,15 3,82 616,76 3,43 616,76 3,08
c. Keuntungan 2880,90 14,40 1736,85 17,37 1736,85 8,68 2183,23 12,13 2183,23 10,92
d. Harga Jual 8500,00 42,50 7000,00 70,00 7000,00 35,00 7500,00 41,67 7500,00 37,50
e. Marjin 3500,00 17,50 2500,00 25,00 2500,00 12,50 2800,00 15,56 2800,00 14,00
PB di Pasar Induk Cikajang
a. Harga Beli - 7000,00 70,00 7000,00 35,00 - -
b. Biaya Pemasaran - 617,30 6,17 622,30 3,11 - -
b. Keuntungan - 2382,70 23,83 1377,70 6,89 - -
d. Harga Jual - 10000,00 100,00 9000,00 45,00 - -
e. Marjin - 3000,00 30,00 2000,00 10,00 - -
PB di Pasar Induk Caringin
a. Harga Beli - - - 7500,00 41,67 7500,00 37,50
b. Biaya Pemasaran - - - 699,80 3,89 703,30 3,52
c. Keuntungan - - - 1800,20 10,00 796,70 3,98
d. Harga Jual - - - 10000,00 55,56 9000,00 45,00
e. Marjin - - - 2500,00 13,89 1500,00 7,50
PB di PIKJ
a. Harga Beli 8500,00 42,50 - 9000,00 45,00 - 9000,00 45,00
b. Biaya Pemasaran 770,65 3,85 - 770,65 3,85 - 770,65 3,85
c. Keuntungan 1229,35 6,15 - 729,35 3,65 - 729,35 3,65
d. Harga Jual 10500,00 52,50 - 10500,00 52,50 - 10500,00 52,50
e. Marjin 2000,00 10,00 - 1500,00 7,50 - 1500,00 7,50
Pedagang Pengecer
109
a. Harga Beli 10500,00 52,50 - 10500,00 52,50 10000,00 55,56 10500,00 52,50
b. Biaya Pemasaran 2179,50 10,89 - 2179,50 10,89 1812,00 10,01 2179,50 10,89
c. Keuntungan 7320,50 36,60 - 7320,50 36,60 6188,00 34,38 8820,50 44,10
d. Harga Jual 20000,00 100,00 - 20000,00 100,00 18000,00 100,00 20000,00 100,00
e. Marjin 9500,00 47,50 - 9500,00 47,50 8000,00 44,44 9500,00 47,50
Total Biaya Pemasaran 3569,25 24,79 1380,45 27,53 4335,60 28,54 3128,60 25,14 4270,25 28,37
Total Keuntungan 11430,75 57,15 4119,55 41,20 11164,40 55,82 10171,40 56,51 11029,75 62,85
Total Marjin 15000,00 75,00 5500,00 55,00 15500,00 77,50 13300,00 73,89 15300,00 76,50
Sumber : Data Primer 2012 (diolah)
110
Lampiran 9. Harga Rata-rata Mingguan Cabai Rawit Merah di Tingkat Petani dan
Pasar Induk Kramat Jati. Tahun
Bulan Harga di Tingkat Petani di Desa Cigedug*
Harga di Pasar Induk Kramat
Jati**
2011 Juni 10000 18.857
9200 16.286
9850 18.571
9900 20.429
Juli 9100 14.571
8600 12.000
8000 10.857
7300 9.643
Agustus 7800 10.071
7500 13.800
7425 9.143
8000 12.800
September 8200 10.400
8400 8.929
7400 8.714
5500 6.786
Oktober 5600 8.857
5500 10.043
7000 10.214
7200 10.571
November 7100 11.429
7325 12.429
7300 14.286
8125 15.714
Desember 8000 18.429
8500 22.714
8500 22.857
8100 23.286
2012 Januari 7500 19.714
10300 11.429
11800 12.429
11900 9.143
Februari 9700 14.429
10125 15.143
11000 12.571
11400 13.286
Maret 16725 22.000
21300 22.714
23200 29.429
29800 33.714
April 29000 35.857
29100 34.571
18300 21.429
7000 13.429
Mei 5500 11.714
5000 8.214
5000 8.571
5000 10.429
Sumber : * Data Primer, 2012
** Dari Dinas Pasar Induk Kramat Jati, 2012
111
Lampiran 10. Hasil Estimasi Model Pasar Petani dengan Pasar Induk Kramat Jati
Regression Analysis: Pit versus Pit-1; Pjt-Pjt-1; Pjt-1
Pasar Petani dengan Pasar Induk Kramat Jati
The regression equation is
Pit = - 383 + 0,765 Pit-1 + 0,493 Pjt-Pjt-1 + 0,182 Pjt-1
47 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -383,4 796,4 -0,48 0,633
Pit-1 0,76534 0,09831 7,79 0,000 3,6
Pjt-Pjt-1 0,49338 0,08774 5,62 0,000 1,1
Pjt-1 0,18174 0,08773 2,07 0,044 3,8
S = 2178,81 R-Sq = 88,7% R-Sq(adj) = 87,9%
PRESS = 287648449 R-Sq(pred) = 84,12%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 1606724589 535574863 112,82 0,000
Residual Error 43 204129427 4747196
Total 46 1810854016
No replicates.
Cannot do pure error test.
Source DF Seq SS
Pit-1 1 1455797973
Pjt-Pjt-1 1 130556662
Pjt-1 1 20369954
Unusual Observations
Obs Pit-1 Pit Fit SE Fit Residual St Resid
30 7500 10300 4852 880 5448 2,73R
38 16725 21300 16767 471 4533 2,13R
40 23200 29800 24835 902 4965 2,50R
43 29100 18300 21687 1415 -3387 -2,04RX
44 18300 7000 13570 863 -6570 -3,28R
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large
influence.
Durbin-Watson statistic = 1,57005
112
Lampiran 11. Pengujian Keterpaduan Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang
antara Tingkat Petani di Desa Cigedug dengan Pasar Induk
Kramat Jati
1. Keterpaduan Jangka Pendek
H0 : b1 = 0
H0 : b1 ≠ 0
b1 – 0
t hitung =
Se (b1 )
0,765-0
=
0,09831
= 7,782
t-tabel (lima persen) = 1,645
Karena t-hitung > t-tabel, pengujian nyata dalam taraf nyata lima persen.
Hipotesis nol ditolak secara statistik yang berarti kedua pasar tidak terpadu
dalam jangka pendek.
2. Keterpaduan Jangka Panjang
H0 : b2 = 1
H0 : b2 ≠ 1
b2 – 1
t hitung =
Se (b2 )
0,493 - 1
=
0,08774
|t|-hitung = 5,778
t-tabel (lima persen) = 1,645
Karena t-hitung > t-tabel, pengujian nyata dalam taraf nyata lima persen.
Hipotesis nol ditolak secara statistik yang berarti kedua pasar tidak terpadu
dalam jangka panjang.