16
1 PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBENTUKAN MORALITAS Oleh: Triyana, M.Ag A. Pendahuluan Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa” 1 . Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia. Fenomena yang kita saksikan bersama, pendidikan hingga kini masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan sesuai dengan landasan dan tujuan dari pendidikan itu. Membentuk manusia yang cerdas yang diimbangi dengan nilai keimanan, ketaqwaan dan berbudi pekerti luhur, belum dapat terwujud. Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, kejujuran, keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka. Krisis akhlak pada elite politik terlihat dengan adanya penyelewengan, penindasan, saling menjegal atau adu domba, fitnah dan perbuatan maksiat lainnya. Pada lapisan masyarakat, krisis akhlak juga terlihat pada sebagian sikap mereka yang sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main 1 Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 163.

Pendidikan moral

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pendidikan moral

1

PERAN PENDIDIKAN

DALAM PEMBENTUKAN MORALITAS

Oleh: Triyana, M.Ag

A. Pendahuluan

Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional

(SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan

berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani

dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

kemasyarakatan dan bangsa”1. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari

pendidikan nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia.

Fenomena yang kita saksikan bersama, pendidikan hingga kini masih

belum menunjukkan hasil yang diharapkan sesuai dengan landasan dan tujuan

dari pendidikan itu. Membentuk manusia yang cerdas yang diimbangi dengan nilai

keimanan, ketaqwaan dan berbudi pekerti luhur, belum dapat terwujud. Gejala

kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat sudah mulai

luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, kejujuran, keadilan dan

kasih sayang tinggal slogan belaka.

Krisis akhlak pada elite politik terlihat dengan adanya penyelewengan,

penindasan, saling menjegal atau adu domba, fitnah dan perbuatan maksiat

lainnya. Pada lapisan masyarakat, krisis akhlak juga terlihat pada sebagian sikap

mereka yang sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main

1 Drs. Ary H. Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 163.

Page 2: Pendidikan moral

2

hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa merasa bersalah, mudah terpancing

emosi, mudah diombang-ambingkan dan perbuatan lain yang merugikan orang

lain atau diri sendiri. Kemerosotan nilai-nilai moral yang tadinya hanya menerpa

sebagian kecil elite politik dan sebagian masyarakat yang lebih tepatnya pada

orang dewasa yang mempunyai kedudukan, jabatan, profesi dan kepentingan, kini

telah menjalar pada masyarakat kalangan pelajar. Banyaknya keluhan orang tua,

guru, pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang keagamaan

serta pengaduan masyarakat sosial umumnya, yang berkenaan dengan ulah

sebagian pelajar yang sukar dikendalikan, nakal, sering bolos sekolah, tawuran,

merokok, mabuk-mabukan dan lebih pilu lagi sudah memasuki dunia pornografi.

Pada saat ini sudah menjadi kenyataan timbulnya kemerosotan nilai akhlak

generasi muda atau kalangan pelajar, yang pada prinsipnya adalah karena

mereka tidak mengenal agama, tidak diberikan pengertian agama yang cukup,

sehingga sikap dan tindakan serta perbuatannya menjadi liar2. Adanya sikap,

tindakan dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus,

maka tak ayal lagi kalau generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan

hancurnya tatanan perikehidupan umat manusia.

B. Pembahasan

1. Sebab Timbulnya Krisis Akhlak

Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak

dalam masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:

2 Drs. Moh. Saifulloh Al-Aziz, Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit terang, Surabaya,

2000, hal. 303.

Page 3: Pendidikan moral

3

Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap

agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control)3.

Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun

karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat

kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan

pelanggaran tanpa ada yang menegur.

Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh

orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung

jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan

pemerintah4. Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang

mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.

Ketiga, krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup

materialistik, hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian

didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan

material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya

bagi kerusakan akhlak para generasi penerus bangsa.

Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang

sungguh-sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya

manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak

digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian

semakin diperparah dengan ulah sebagian elite politik penguasa yang semata-

mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang

3 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Manajemene Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan

Islam di Indonesia, Kencana, Bogor, 2003, hal. 221. 4 Drs. H.M. Arifin M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan, Umum dan Agama, CV. Toha Putra,

Semarang, 1981, hal. 11.

Page 4: Pendidikan moral

4

tidak mendidik, sepeati adanya praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal

yang demikian terjadi mengingat bangsa Indonesia masih menerapkan pola hidup

paternalistik.5

Fenomena yang kita saksikan memang benar, bahwa nilai-nilai akhlak dan

moral yang berkembang kini telah jauh dari harapan dan sangat

mengkhawatirkan. Sebagai kambing hitamnya sering kita menyalahkan dunia

pendidikan yang bertanggung-jawab atas semua yang terjadi. Rasanya memang

ada benarnya juga kalau dipikirkan secara mendalam, sebab kemerosotan nilai-

nilai itu tak terlepas dari peran dunia pendidikan yang tugas salah satunya adalah

mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mendidik nilai-nilai

moral bangsa6.

Belakangan ini, berbagai seminar digelar kalangan pendidik yang bertekad

mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak. Pera pemikir pendidikan

menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidikan

agama. Pendidikan moral harus siap menghadapi tantangan global, pendidikan

harus memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat yang

semakin berbudaya (masyarakat madani)7.

5 Paternalistime adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan hubungan antara pemimpin dengan

yang dipimpin, hubungan antara seorang ayah dengan anaknya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hal. 736. 6 Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada

Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Maksudnya yaitu manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, disamping juga memiliki pengetahuan

dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yanng mantap dan mandiri sertarasa tanggunng

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Lihat, Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era

Otonomi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 17. 7 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Op. Cit, hal. 219-220.

Page 5: Pendidikan moral

5

2. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi krisis moral

Sejalan dengan sebab-sebab timbulnya krisis akhlak tersebut di atas, maka

cara untuk mengatasinya dapat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

Pertama, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan

pelaksanaan pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal

yang demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang

bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pengajaran agama

hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat

perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-

golongan yang hendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Madrasah-

madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan salah satu alat dan

sumber pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan beragama yang telah

berurat dalam masyarakat umumnya, maka hendaklah mendapat perhatian dan

bantuan baik material ataupun dorongan spiritual dari pemerintah8.

Kedua, dengan mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran.

Hampir semua ahli pendidikan sepakat, bahwa pengajaran hanya berisikan

pengalihan pengetahuan (transfer of knowladge), keterampilan dan pengalaman

yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan keterampilan.9

Sedangkan pendidikan tertuju kepada upaya membantu kepribadian, sikap dan

pola hidup yang berdasarkan nilai-nilai yang luhur. Pada setiap pengajaran

sesungguhnya terdapat pendidikan dan secara logika keduanya telah terjadi

integrasi yang penting. Pendidikan yang merupakan satu cara yang mapan untuk

8 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar

Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 374 9 Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Op.Cit., hal. 224

Page 6: Pendidikan moral

6

memperkenalkan pelajar (learners) melalui pembelajaran dan telah

memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan

mengimplementasikan alternatif-alternatif baru untuk membimbing perkembangan

manusia10. Dengan integrasi antara pendidikan dan pengajaran diharapkan

memberikan kontribusi bagi perubahan nilai-nilai akhlak yang sesuai dengan

tujuan pendidikan dalam menyongsong hari esok yang lebih cerah.

Ketiga, bahwa pendidikan akhlak bukan hanya menjadi tanggung jawab

guru agama saja, melainkan tanggung-jawab seluruh guru bidang studi. Guru

bidang studi lainnya juga harus ikut serta dalam membina akhlak para siswa

melalui nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada seluruh bidang studi.

Melekatnya nilai-nilai ajaran agama pada setiap mata pelajaran atau bidang

studi umum lainnya yang bukan pelajaran agama mempunyai nilai yang sangat

penting dalam upaya mengembangkan nilai keagamaan pada anak didik. Melalui

mata pelajaran umum selain siswa dapat memperlajari substansi, prinsip-prinsip

dan konsep-konsep dari ilmu pengetahuan itu, diharapkan juga ada dimensi nilai

yang terkandung dalam pendidikan itu. Dalam pembelajaran siswa mempunyai

kewajiban agar mentaati peraturan tertulis, etika, adab sopan santun dan norma-

norma umum lainnya. Selain itu siwa dapat belajar untuk lebih mencintai

lingkungan, baik di sekolah, keluarga atau masyarakat.

Melalui pendidikan bidang studi lainnya, siswa juga dapat lebih memahami

betapa agung dan perkasanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan

alam semesta ini dengan segala isinya yang berjalan dengan tertib, sesuai

dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Siswa

10 Harold G. Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

hal. 39.

Page 7: Pendidikan moral

7

akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya

berasal dari Yang Maha Mencipta. Inilah pendidikan mata pelajaran bidang studi

umum sebagai contoh yang menjadi wahana untuk pendidikan nilai-nilai agama.

Keempat, pendidikan akhlak harus didukung oleh kerjasama yang kompak

dan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tua (keluarga), sekolah dan

masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap

anak-anaknya dengan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,

keteladanan dan pembiasaan yang baik. Orang tua juga harus berupaya

menciptakan rumah tangga yang harmonis, tenang dan tenteram, sehingga anak

akan merasa tenang jiwanya dan dengan mudah dapat diarahkan kepada hal-hal

yang positif.

Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) secara bertahap

dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi

mudanya. Ketiga penanggung jawab pendidikan ini dituntut melakukan kerjasama

di antara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling

menopang kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama11.

Dengan kata lain, perbuatan mendidik yang dilakukan oleh orang tua terhadap

anak juga dilakukan oleh sekolah dengan memperkuat serta dikontrol oleh

masyarakat sebagai lingkungan sosial anak.

Pendidikan keluarga adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan

melalui pendidikan dan di sinilah peran utama orang tua sebagai pendidik yang

akan mendasari dan mengarahkan anak-anaknya pada pendidikan selanjutya.

Dalam Islam, rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak

11 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 37

Page 8: Pendidikan moral

8

dibesarkan melalui pendidikan Islam12. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan

dalam Islam adalah: mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah

tangga; Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis; Mewujudkan

sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anak-anak saleh; Memenuhi

kebutuhan cinta kasih anak-anak; dan Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan

penyimpangan-penyimpangan.13 Tanggung-jawab pendidikan keluarga ada di

pundak para orang tua, sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan,

mengingat banyaknya sendi kehidupan sosial yang melenceng dari tujuan

pendidikan.

Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di

sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang

jelas dan ketat14. Pada dasarnya pendidikan sekolah merupakan bagian dari

pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan dari

pendidikan keluarga. Sekolah merupakan jembatan bagi anak yang

menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.

Pendidikan Masyarakat ditandai dengan adanya mosi Mangunsarkoro yang

ditujukan kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP),

yang mendesak pemerintah agar memberi perhatian lebih banyak pada

pendidikan masyarakat dan kemudian diterima, maka pada 1 Januari 1946

terbentuklah Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan,

Pengajaran dan Kebudayaan15. Adapun isinya menjelaskan dengan tegas: (1)

Memberantas buta huruf, (2) Menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, dan

12 Abdurrahman An-Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,

Penerjemah: Shihabudin, Gema InsaniPress, 1995, hal. 139. 13 Ibid., hal 140-145

14 Hasbullah, Op.Cit., hal. 46.

15 Redja Mudyahardjo, Op. Cit, hal. 376-377.

Page 9: Pendidikan moral

9

(3) Mengembangkan perpustakaan rakyat. Dengan adanya pendidikan ini,

diharapkan pendidikan diharapkan sebagai proses pembudayaan kodrat alam

yang merupakan usaha memelihara dan memajukan serta mempertinggi dan

memperluas kemampuan-kemampuan kodrati untuk mempertahankan hidup.

Proses pembudayaan pendidikan yang bertujuan membangun kehidupan

individual dan sosial yang bercita-cita untuk membangun manusia yang merdeka

lahir dan batin. Manusia yang merdeka lahir dan batin maksudnya adalah

tertanamnya dalam diri setiap individu tiang-tiang kemerdekaan hidup, yang

memiliki kecakapan panca indera, ketajaman berpikir, kejernihan berperasaan,

kemantapan dan kuatnya kemauan serta keluhuran budi pekerti.

Kelima, pendidikan akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan,

berbagai sarana termasuk tekhnologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran,

kunjungan, berkemah dan kegiatan lainnya harus dilihat sebagai peluang untuk

membina akhlak. Demikian juga dengan sarana yang telah canggih pada masa

kini, seperti: siaran TV, Handphone (HP), surat kabar, majalah, internet dan

tekhnologi lainnya tidak disalahgunakan, sehingga sarana tersebut dapat

mempermudah proses pendidikan demi terwujudnya akhlak yang baik.

Diakui bahwa sistem pendidikan yang kita miliki dan dilaksanakan selama

ini masih belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan tekhnologi,

sehingga dunia pendidikaan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga

pembangunan yang terampil, kreatif dan aktif, yanng sesuai dengan tuntutan

mansyarakat luas. Bahaya dan masalah negatif yang ditimbulkan dengan

perkembangan ilmu dan tekhnologi, sebisa mungkin dijauhi dan dihilangkan atau

sekurangnya dapat di minimalisir. Bagaimanapun berkembangnya ilmu

Page 10: Pendidikan moral

10

pengetahuan modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan

penguasaan kemampuan yang terus menerus.

Pendapat Harold G. Shane dalam bukunya yang berjudul “Arti Pendidikan

Bagi Masa Depan”, ada beberapa karakteristik dari desain pendidikan yang akan

muncul untuk kehidupan di masa depan16, karakteristik itu adalah:

1. Tekanan perlu diberikan pada mendapatkan kembali, dalam bentuk yang

jelas, disiplin sosial yang telah menuntun orang Barat dan barangkali yang

telah menuntun sebagian besar umat manusia, sebelum timbulnya krisis

nilai sekarang ini. Krisis yang sifatnya relatifisme dan permisif ini

mengganggu keterikatan orang pada norma-norma yang ditetapkan

kebudayaan yang menuntun setiap individu agar berbuat menurut cara

tertentu. Kita harus bergerak maju menuju nilai-nilai dan tipe hidup yang

baru yang diperlukan dalam menyongsong masa depan.

2. Melalui pendidikan, serangan akan dilancarkan terhadap kubu materialisme

yang kuat, secara spesifik, terhadap kekeliruan yang telah meletakkan

kepercayaan besar pada nilai-nilai materialisme. Diharapkan melalui

pendidikan dapat mengubah nilai-nilai yang selama ini bersifat “cinta

benda” yaitu selera besar untuk memperoleh benda-benda konsumsi yang

tak terkendalikan.

3. Bahaya dan masalah penggunaan tekhnologi dalam menyongsong hidup di

masa depan. Dengan pendidikan diharapkan dapat meminimalisir bahaya

dan masalah tekhnologi, sehingga menjadikan tekhnologi itu sarana

16 Harold G. Shane, Op.Cit, hal. 103-108.

Page 11: Pendidikan moral

11

penting dalam memperbaiki kedudukan manusia dan perlunya dipikirkan

lagi agar pemanfaatan tekhnologi dapat diinjeksikan ke dalam kurikulum.

4. Kurikulum harus mulai responsif secara lebih memadai terhadap ancaman

kerusakan atau krisis nilai yang menimpa lingkungan sosialnya. Secara

paten, pendidikan akan mempunyai peranan penting saat keputusan-

keputusan sosial yang penting dicapai berkenaan dengan kebijakan

nasional dan dalam keadaan bagaimanapun juga terdapat banyak dasar

untuk memulainya di sekolah.

5. Pendidikan perlu terus mendidik pelajar supaya keluaran pendidikan yang

baru dapat membuat pelajar menghadapi potensi kekuatan media massa

dalam bentuk opini dan sikap publik.

Inilah sosok pendidikan yang berkembang kini, dan bagaimana sosok

masyarakat masa depan dengan nilai-nilainya yang dominan. Memang kita semua

mengetahui betapa sektor pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sektor

pembangunan lainnya, bukan karena sektor itu lebih di lihat sebagai sektor

konsumtif juga karena pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu

sendiri17. Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga

sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri. Dalam aspek inilah peran pendidikan

memang sangat strategis karena menjadi tiang sanggah dari kesinambungan

masyarakat itu sendiri.

Proses perubahan tata nilai akan berjalan sesuai dengan dinamika

masyarakat dalam era tertentu. Selain itu nilai-nilai pada generasi yang

mendahului sebagian atau keseluruhan masih tetap hidup dalam generasi

17 Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa

Depan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal. 80.

Page 12: Pendidikan moral

12

berikutnya. Nilai-nilai yang dominan pada setiap generasi ada yang bersifat positif

dan ada yang negatif, maka kita perlu mengidentifikasinya dan waspada sehingga

kita bisa menyaring mana yang perlu dihidari dan mana yang perlu diambil untuk

kemajuan di masa mendatang.

Salah satu tugas dari Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yakni

menjaga, melestarikan dan membangun nilai-nilai luhur bangsa18. Dalam

perkembangannya, generasi nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia kita lihat

adanya nilai-nilai antar generasi. Pendidikan menjadikan nilai-nilai dasar akan

semakin kokoh dalam perjalanan kehidupan bangsa, seperti nasionalisme dan

patriotisme sebagai nilai-nilai generasi pertama dari perjalanan hidup bangsa.

Sudah tentu nilai-nilai luhur itu perlu ditempa, dihaluskan dan diasah terus

menerus sesuai dengan perubahan kehidupan

C. Penutup

Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat

sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, keujujuran,

keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka. Bahkan krisis itu telah melanda

generasi muda sebagai penerus bangsa. Adanya sikap, tindakan dan perbuatan

yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus, maka tak ayal lagi kalau

generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan hancurnya tatanan

perikehidupan umat manusia.

18 Ibid., hal. 80.

Page 13: Pendidikan moral

13

Sebab timbulnya krisis akhlak antara lain:

1. Krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang

menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam

2. Krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang

tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung

jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat

dan pemerintah.

3. Krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik,

hedonistik dan sekularistik.

4. Krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-

sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya

manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak

digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa.

Kerisauan kita mengenai akhlak yang mengkhawatirkan bisa saja

diperpanjang dengan mencari siapapun yang disalahkan dan menjadi kambing

hitamnya, akan tetapi hal itu tidaklah arif dan bijaksana tanpa memusatkan

perhatian untuk mencari solusinya. Menyadari akan pentingnya akhlak, tentu kita

tidak bisa melepaskan diri dari dunia pendidikan itu sendiri. Pendidikan berusaha

mencetak kader-kader yang selain mempunyai wawasan dan ilmu pengetahuan

yang luas atau bersifat teoritis, juga harus bisa mengaktualisasikan dalam

kehidupan sehari-hari. Pendidikan akhlak tidak sebatas pengetahuan tetapi lebih

berpijak pada perilaku yang dibiasakan.

Pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan

pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang

Page 14: Pendidikan moral

14

demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang

bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pendidikan akhlak

merupakan konsep nilai-nilai yang terbungkus dalam tataran norma-norma, adat,

kebiasaan atau dalam bentuk seni dan berkebudayaan. Inilah arti penting

pendidikan dalam tataran mengatasi krisis akhlak yang berkembang dalam

kehidupan sehari-hari.

Page 15: Pendidikan moral

15

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Moh. Saifulloh al-Aziz, Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit terang,

Surabaya, 2000.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Manajemenen Pendidikan: Mengatasi

Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, Bogor, 2003.

Drs. H.M. Arifin M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan, Umum dan Agama, CV.

Toha Putra, Semarang.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.

Balai Pustaka, Jakarta, 1997.

Aminuddin Rasyad, dalam Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan

Islam, Bandung:Fak.Tarbiyah MIN Sunan Gunung Jati,1995

Warul Walidin AK, Strategi Peniheniukan Nilai, Upaya Pengembangan

Dimensi Afektif, Jurnal Didaktika, Vol 1, No.2, 2 September 2000

Hasan Langgulung, Asas-Avas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-

Husna, 1992

H.Una Kartawisastra dkk, dalam Noeng Muhadj i r , Teknologi

Pendidikan, Yogyakarta,IAIN Sunan Kalijaga

H.M. Arifin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994.

Nasir Budiman, Pendidikan Moral Qurani, Disertasi, Yogyakarta : MIN

Sunan Kalijaga, 1996

Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,1996.

M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Quran, Jakarta:

Madam Press,2001

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-

Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Harold G. Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo

Page 16: Pendidikan moral

16

Persada, Jakarta, 2002.

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1997.

Abdurrahman An-Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah

danMasyarakat, Penerjemah: Shihabudin, Gema Insani Press, 1995.

Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian

Pendidikan Masa Depan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.

------------------------------