Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
127
PENDIDIKAN YANG MEMBERDAYAKAN1
Oleh Suwito2
Prawacana
Sudah menjadi kenyataan bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang
penuh kritik. Diakui oleh Mastuhu bahwa debat akademik mengenai
masalah pendidikan tidak pernah selesai dan tidak terelakkan3. Menurutnya,
hal ini disebabkan karena salah satu keunikan dalam kehidupan manusia
tidak pernah sepi dari nilai-nilai luhur yang dicita-citakan. Sementara itu,
manusia memang mampu membuat berbagai pertanyaan dan menciptakan
berbagai jalan yang semakin lama semakin maju dan canggih. Akan tetapi ia
juga mengakui bahwa manusia belum pernah memperoleh jawaban final
yang memuaskan hidupnya. Manusia selalu berada dalam proses terus-
menerus mencari jawaban.
Sejalan dengan itu, A. Malik Fadjar berpendapat bahwa pendidikan
dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup
seseorang. Oleh karenanya pendidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey, menurut
penjelasannya, berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai
pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk
disiplin hidup. Fungsi pendidikan ini dapat dicapai melalui transmisi, baik
dalam bentuk (pendidikan) formal maupun non formal.4
Sehubungan dengan itu, dipastikan terdapat banyak masalah
pendidikan yang sangat kompleks, sejalan dengan makin kompleksnya
kehidupan masyarakat. Berbagai faktor saling berkaitan seperti ekonomi,
politik, kebudayaan, dan lainnya. Oleh karenanya suatu masalah pendidikan
tidak mungkin bisa dijelaskan apalagi diselesaikan oleh ilmu pendidikan itu
1Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Bidang Sejarah Pemikiran dan
Pendidikan Islam, Disampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 3 Januari 2002. Diterbitkan dalam buku Kaya Gagasan Miskin
Kesulitan oleh Young Progressive Muslim (YPM) 20 Mei 2018. http://www.ypm-
publishing.com 2Pembantu Rektor I Bidang Akademik IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3Baca orasinya dalam upacara pengukuhan sebagai Guru Besar pada tanggal 14 Mei
1992 yang berjudul Pendidikan Islam Indonesia dalam Perspektif Sosiologi. 4A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia: 1999),
Cetakan I, h. 35.
Pendidikan yang Memberdayakan
128
sendiri. Masalah-masalah pendidikan adalah masalah-masalah manusia yang
terikat oleh ruang dan waktu yang terjadi karena adanya interaksi dengan
bidang-bidang lainnya.
Namun demikian, masih diperlukan adanya beberapa pemikiran yang
dinilai dapat memberikan alternatif pemecahan masalah yang lebih
fundamental. Oleh karena itu, uraian berikut diharapkan dapat menemukan
jawaban yang dimaksud.
Beragam Kritik
Muhammad Abduh (1849-1905) dapat disebut sebagai tokoh yang
banyak melakukan kritik terhadap praktik pendidikan yang dilakukan oleh
umat Islam. Ia antara lain menilai bahwa metode pengajaran yang
digunakan para guru adalah salah. Ia mencontohkan, para guru memberikan
term-term tata Bahasa Arab dan hukum fikih untuk dihafal tanpa
menjelaskan arti term-term itu. Abduh secara keras mengkritik pengajaran
di al-Azhar Mesir5. Akhirnya ia dituduh sebagai tokoh yang akan
menghidupkan pemikiran-pemikiran Mu’ta-zilah6 oleh para ulama al-Azhar
seperti Syaikh Alaisy. Abduh secara tegas menyatakan bah-wa ‚Jika saya
meninggalkan taklid kepada Asy’ari, mengapa saya mesti taklid kepada
Mu’tazilah. Saya tidak mau taklid kepada siapapun. Yang saya utamakan
adalah argumen yang kuat‛.7
5Di antara kritik yang dimajukannya ketika itu ialah: kurikulum al-Azhar banyak
menekankan kepada perbedaan pendapat daripada mempelajari nilai argumentasinya,
perbedaan bahasa daripada arti dan tujuan gramatika bahasa, hukum-hukum fikih yang
timbul dalam saat tertentu daripada metode penilaian hukum-hukum tersebut untuk
dijadikan pedoman. Oleh karena itu Abduh mencari ilmu-ilmu yang disebut oleh Syaikh
Darwisy di luar al-Azhar. Ilmu-ilmu itu ia jumpai pada seorang ulama bernama Syaikh
Hasan Thawil yang mengetahui falsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik.
Akan tetapi, Abduh kurang puas dengan pelajaran yang diberikannya. Kepuasan dalam
mempelajari falsafat, matematika, teologi dan sebagainya ia peroleh dari Jamal al-Din al-
Afghani yang datang ke Mesir pada tahun 1870. 6Mu’tazailah merupakan salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal sebagai
kelompok rasionalis Islam. 7Teks Arab pernyataan tersebut adalah اذا كنت أتسك تقليد األشعسى فلواذا أقلد الوعتزلي؟ اذا أتسك
Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh الجويع وآخر بالدليلMuhammad Abduh, (Kairo: al-Manar, 1931), Jilid I, h. 134. Bandingkan dengan uraian
tentang Muhammad Abduh dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987) dan Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt¸(London: Oxford University Press, 1933) serta Muhammad al-Bahi,
Ada karena Berubah
129
Abduh berpendapat bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung
menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumu>d, membeku, statis, tidak
ada perubahan. Oleh karena paham jumu>d ini, maka umat Islam tidak
menghendaki perubahan, dan tidak mau menerima perubahan.8
Selain Abduh, Fadhil al-Jamali, seorang ilmuan muslim
berkebangsaan Irak yang hijrah ke Tunisia kemudian menjadi Guru Besar
dalam Ilmu Pendidikan di Universitas Tunis, juga tergolong orang yang
terpanggil untuk memberikan berbagai kritik terhadap pendidikan Islam. Ia
mengakui bahwa umat Islam mengalami keterbelakangan di bidang
pendidikan. Menurutnya, keterbelakangan di bidang pendidikan disebabkan
oleh berbagai kemunduran dan keterbelakangan bidang-bidang lain9
Seharusnya orang-orang yang bertugas di bidang pendidikan, menurutnya,
menyediakan obat penyembuh segala penyakit yang dilaporkan oleh
masyarakat. Akan tetapi kenyataannya justru sebaliknya, mereka sendiri
malah menjadi orang sakit. Jika demikian, benarlah pepatah Arab yang
menyatakan طبيب يدا الىاس مزيط : Seorang dokter yang mengobati
orang sakit padahal ia sendiri menderita sakit. Pada bagian lain, Fadhil al-
Jamali masih berharap agar pendidikan berperan besar bagi pengembangan
ilmu dan iman. Ilmu pengetahuan dalam Islam harus tunduk kepada iman.
Iman dalam Islam mendasari para ahli ilmu pengetahuan dengan getaran
hati nurani akhlaqi yang menyelamatkan orang lain. Menurutnya, ilmu
pengetahuan meliputi: 1) ilmu-ilmu pengukuran yang dibakukan, 2) ilmu
alam, dan 3) ilmu kemanusiaan.10
Yang pertama, meliputi ilmu matematika
Pemikiran Islam Modern, terjemahan dari al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th wa s{ilatuh bi al-Isti’ma>r al-Gharb>, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986).
8Baca uraian Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 62. 9Bidang-bidang lain dimaksud adalah: 1) kemunduran di bidang agama, 2)
keterbelakangan dalam akhlak, 3) keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan, 4)
keterbelakangan dalam bidang teknologi, 5) keterbelakangan di bidang ekonomi, 6)
keterbelakangan di bidang sosial, 7) keterbelakangan di bidang kesehatan, 8)
keterbelakangan di bidang politik, dan 9) keterbelakangan di bidang manajemen. 10
Klasifikasi dan pembidangan ilmu versi al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan al-
Shafa, hasil konferensi Internasional II tentang pendidikan Islam di Islamabad tahun 1980,
SK Menteri Agama No. 110 Tahun 1982, dan Komisi Disiplim Ilmu Agama Dirjen Dikti
Depdiknas dapat dibaca pada Suwito, Muhbib dkk pada Peta dan Wacana Studi Islam: Analisis Substansi dan Metodologi Tesis Peserta Program Pascasarjana IAIN Jakarta 1991-2000, (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), h. 13-22.
Sebagai bahan perbandingan baca juga Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, terjemahan J. Mahyudin dari Science and Civilization in Islam, (Bandung: Pustaka,
Pendidikan yang Memberdayakan
130
dan logika. Kedua, meliputi ilmu biologi (binatang, tumbuh-tumbuhan dan
manusia), juga mencakup benda-benda mati seperti kimia dan fisika, lapisan
bumi, geografi, ilmu alam, ilmu pasti dan ilmu falak. Yang ketiga, meliputi
ilmu agama, falsafat, ilmu jiwa, ilmu pendidikan, ilmu bahasa, sejarah,
antropologi, sosiologi, ekonomi, hukum, perundang-undangan dan
administrasi. Selain itu ada ilmu yang berkaitan dengan kehidupan manusia
dan kebudayaan. Ia menekankan bahwa Pendidikan Islam yang sebenarnya
adalah pendidikan yang mencakup semua ilmu pengetahuan tersebut. Dalam
memperkuat argumen ini Fadhil mensitir ayat 28 surat Fâthir sbb: إوما ...
hanya para ilmuanlah yang takut kepada Allah … : مه دبااي الاءما. ...يخش هللا
Swt …11
Lain halnya dengan A. Malik Fadjar. Ia antara lain berpendapat bahwa
dalam tataran normatif-filosofis, pendidikan Islam selalu berkutat pada
perdebatan semantik, apakah pendidikan Islam menggunakan peristilahan
tarbiyah, ta’di>b, atau ta’li>m. Dari segi muatan (content), menurutnya,
pendidikan Islam masih dihadapkan pada persoalan dualisme-dikotomi
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Selain itu, pendidikan Islam,
dinilai masih belum menuntaskan konsep-konsep normatif yang
berhubungan dengan cita ideal manusia yang dihasilkan12
. Oleh karenanya
diperlukan reorien-tasi dan reformasi dalam pendidikan Islam.
Multipersoalan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan secara umum di Indonesia juga memperoleh berbagai
kritikan, baik dengan menunjukkan hasil penelitian maupun sekedar melalui
hasil pengamatan. Di anta-ranya terlihat dalam uraian berikut.
Kantor Wilayah Pendidikan Nasional DKI Jakarta telah melakukan
penelitian tentang mutu dan kompetensi guru. Hasil penelitiannya sungguh
mengagetkan. Dalam uji pemahaman ilmu dan kurikulum terhadap 3.000
guru SMU di Jakarta, 421 di antaranya adalah guru fisika. Dari jumlah itu,
lebih dari 90% hanya mendapat nilai di bawah lima. Bahkan, dalam seminar
tentang rivalitas sumber daya manusia dalam upaya pemberdayaan
1997), mulai h. 42., dan C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
terjemahan Hasan Basri dari Philosophy ans Science in the Islamic World, (Jakarta:
Yayasan Obor, 1988), mulai h. 5. 11
Lihat Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Islam dierjemahkan Muzayin
Arifin, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1988), h. mulai 95. 12
A. Malik Fadjar, op.cit., h. 79.
Ada karena Berubah
131
madrasah di Jakarta, pertengahan September 2001, terungkap bahwa jumlah
guru madrasah yang berkualitas di Jakarta hanya 203.485 orang atau 53,2%.
Sisanya, 179.329 atau 46,8% dinilai tidak berkualitas13
.
Para ahli pendidikan Indonesia yang artikelnya dimuat dalam buku
Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia umum-nya merasakan kegelisahan
akan beberapa kekurangan yang ada pada dunia pendidikan. Aljufri B.
Syarif, misalnya, cukup gelisah karena pembaharuan pendidikan di
Indonesia lebih banyak bersifat periferal dan bukan memecahkan masalah
yang fundamental. Selain itu, ia juga resah karena isu pemba-haruan
pendidikan hampir selalu datang dari para pengambil keputusan dan bukan
dari lapangan, anak didik dan guru. Zamroni menilai bahwa proses
pendidikan yang ada cenderung tidak demokratis. Ia berpendapat bahwa
proses pendidikan yang tidak demokratis akan menghasilkan lulusan yang
tidak memiliki kemandirian dan kreativitas Sementara itu, Mastuhu menilai
bahwa pendidikan yang telah berjalan sampai sekarang cenderung
mementingkan hasil akhir ketimbang proses dan dinamikanya. Hal tersebut,
menurutnya, diakibatkan oleh budaya akademik yang lemah.14
Selaku Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fadjar ketika
melaporkan situasi umum pendidikan di Indonesia pada rapat Koordinasi
Kesejahteraan Rakyat tanggal 12 September 2001 pada intinya sepakat
dengan laporan The Jakarta Post edisi 3 September 2001. Laporan tersebut
menyebutkan hasil survai yang dilakukan oleh the Political and Economic
Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil survai
menyimpulkan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12
setelah Vietnam.15
13
http://www.gamma.co.id/artikel/31-3/pendidikan-GM10109-98. shtml 14
Selengkapnya dapat dibaca dalam Aljufri B. Syarif ‚Pendi-dikan Indonesia: Aspek
yang Terlupakan‛, Zamroni, ‚Menuju Praktik Pendidikan Egaliter Demokratis‛, dan
Mastuhu, ‚Pembaharuan Pendidikan Indonesia‛, dalam Reorientasi Ilmu Pendidikan di Indonesia, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1996, h. 15, 117, dan 197-198.
15Tabel Skor kualitas sistem pendidikan pada 12 negara di Asia. Skor 0
menunjukkan kualitas sistem pendidikan tertinggi dan skor 10 mencerminkan kualitas
sistem pendidikan terendah.
Negara Skor Negara Skor
1. Korea Selatan 3.09 7. Malaysia 4.41
2. Singapore 3.19 8. Hongkong 4.72
3. Jepang 3.50 9. Philipina 5.47
4. Taiwan 3.96 10. Thailan 5.96
Pendidikan yang Memberdayakan
132
Ketua Komite Reformasi Pendidikan (KRP) Prof. Suyanto, dalam
seminar Strategi Pembangunan Nasional di Yogyakarta menguraikan secara
panjang lebar bahwa dalam aspek mutu kinerja, sistem pendidikan kita saat
ini belum sesuai dengan harapan nasional, bahkan cenderung menurun.
Apalagi, jika dibandingkan dengan standar internasional, mutu pendidikan
nasional masih mengecewakan. Hal itu dikemukakan oleh Indikator
rendahnya mutu pendidikan nasional. Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia No 16369-IND, dari hasil studi di Asia Timur,
menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
tingkat terendah.16
Anak-anak kita hanya mampu menguasai 30% dari
materi bacaan. Mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian
yang memerlukan kegiatan penalaran. Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematics and Science Study, 1999, memperlihatkan
bahwa di antara 38 negara peserta, prestasi siswa kelas II SLTP Indonesia
berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan ke-34 untuk matematika.
Sedangkan di dunia pendidikan tinggi, dari data yang disajikan oleh Asia
Week menunjukkan bahwa empat universitas terbaik di Indonesia, ternyata
menempati peringkat ke-61, 68, 73, dan ke-75 dari 77 universitas yang
disurvei di Asia Pasifik. Suyanto menyebutkan, mutu pendidikan nasional
yang masih jauh dari harapan itu terkait dengan kualitas guru SD/MI yang
rendah.17
Aspek lain yang sangat perlu diperhatikan, lanjut Suyanto, adalah
5. India 4.24 11. Vietnam 6.21
6. Cina 4.27 12. Indonesia 6.56
16
Ia memberi contoh, dalam skala nasional, berdasarkan studi yang dilakukan
menunjukkan rata-rata nilai tes siswa SD kelas VI untuk tiga mata pelajaran pokok (bahasa
Indonesia, matematika, dan IPA) adalah 35, 33, dan 37 pada 1976, menjadi 27,7; 21,5; dan
24,2 pada 1989 dibandingkan dengan standar penguasaan (50%).Tabel nilai rata-rata
kemampuan membaca tingkat SD:
Negara Nilai Rata-rata
1. Hongkong 75,5
2. Singapura 74.0
3. Thailand 65.1
4. Filipina 52.6
5. Indonesia 51.7
17
Ia menyatakan: dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan
Diploma II Kependidikan ke atas. Selain itu, dari 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8%
yang lulusan Diploma III Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503
Ada karena Berubah
133
kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Indonesia. Indikatornya, antara
lain, terjadinya praktik-praktik KKN, berbagai pelanggaran hukum dan
HAM, pengedaran narkoba, penyebaran HIV/ AIDS, dan banyaknya
tawuran di berbagai tempat.
Menyangkut relevansi pendidikan, Suyanto menga-takan bahwa
pendidikan di Indonesia juga masih meng-alami masalah relevansi dengan
tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi karena belum
terjalin kerja sama yang serasi antara dunia usaha sebagai pengguna hasil
pendidikan dan lembaga pendidikan, serta kurangnya penekanan pada aspek
kreativitas dalam proses pembelajaran.18
Sementara itu, dalam lokakarya Kebijakan Nasional tentang Dewan
Sekolah di Padang, Deputi SDM Bappenas Lela Ratna Komala
mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian Human Development Index
(HDI-UNDP) tahun 2000, peringkat mutu pendidikan Indonesia berada di
urutan 10919
.
Keterkejutan muncul ketika nilai hasil tes calon mahasiswa yang
diterima di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun akademik 2001/2002
untuk lima bidang studi (Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris,
Pengetahuan Agama, dan Pengetahuan Umum) ternyata tidak mencapai
angka rata-rata 6020
. Tidak mengherankan jika Institut Teknologi Bandung
(ITB) masih mewajibkan semua mahasiswa barunya mengambil mata kuliah
matri-kulasi pada ilmu-ilmu yang dinilai dasar bagi ITB.21
Dialog Pemberdayaan
Uraian di atas memberi pemahaman bahwa lembaga pendidikan
diharapkan berdaya dan memberda-yakan sehingga berbagai kritik akan
guru, hanya 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Dan, di tingkat pendidikan tinggi,
dari 181.544 dosen baru 18,56 yang bergelar S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). 18
Vietnam yang relatif baru berkembang justru lebih baik, yaitu di urutan 108. Cina
99, Sri Lanka 84, Filipina 77, Thailand 76, Malaysia 61, dan Singapura 24. Sedangkan
negara yang baik sistem pendidikannya adalah Kanada, berada di peringkat satu dunia.
Baca: Media Indonesia-Pendidikan dan Kebudayaan (05 Oktober 2001) 19
http://www.geocities.com/klipingddk/data2001/mar/Sistem_Pendidikan_Indonesia
_Terjelek_di_Dunia.htm. Media Indonesia - Pen- didikan dan Kebudayaan (29/03/2001) 20
Jika yang diterima nilai minimal 60 maka hanya akan terjaring 5% dari seluruh
pendaftar melalui tes masuk. 21
Informasi diperoleh dari Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan, 12
Desember 2001
Pendidikan yang Memberdayakan
134
berkurang. Uraian berikut bertujuan me-nemukan upaya lahirnya lembaga
pendidikan yang berdaya dan juga memberdayakan.
Dalam sejarahnya, hubungan pemerintah terhadap lembaga
pendidikan dapat berpengaruh besar terhadap keberdayaan suatu lembaga
pendidikan. Pesatnya perkem-bangan pendidikan di Indonesia yang baru
saja berlalu ternyata dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke
arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan
pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai ‚sabda
pandita ratu‛ yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini
dapat ditunjukkan antara lain sejak kemestian memakai pakaian seragam
sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian
cenderung menjadikan ‚keseragaman‛ sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang
demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas ‘juklak‛ dan ‚juknis‛
menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Akibat lebih jauhnya
akan melahirkan manu-sia yang memiliki mentalitas yang selalu dalam
bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan
tunduk pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah tersebut.
Kebijakan yang demikian dapat diduga karena pemerintah ketika itu
cenderung berpendapat bahwa stabilitas nasional menjadi kunci
keberhasilan pembangunan. Stabilitas akan terwujud apabila pemerintah
kuat dan mampu mengontrol kekuatan dan perkembangan yang ada di
masyarakat. Diakui bahwa pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang
birokra-tis sentralistik membuahkan hasil antara lain pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, pendapatan nasional meningkat, pembangunan berbagai
sarana dan prasarana terlihat dan dapat dinikmati.
Akan tetapi, pendidikan yang terlalu birokratis sentralistik di atas
dapat menimbulkan dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan
bagi masyarakat umum. Dampak yang paling mencolok adalah
berkembangnya mentalitas ‚jalan pintas‛ dalam dunia pendidikan. Selain
itu, semakin lama semakin dirasakan bahwa praktik pendidikan cenderung
memunculkan generasi terdidik yang bersifat materialistik. Hal ini
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan praktik
pendidikan yang mementingkan ekonomi. Mentalitas ‚jalan pintas‛, yakni
semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin
tanpa harus mengeluarkan pengorbanan yang setimpal, merupakan salah
satu hasil dunia pendidikan dengan kondisi politik dan sosial yang birokratis
Ada karena Berubah
135
sentralistik. Faktor lain yang mendorong munculnya watak materialistik
dan jalan pintas tersebut adalah adanya tekanan kemiskinan, lebih-lebih
ketimpangan penda-patan dan ketidakadilan sosial-ekonomi.
Pendidikan di Indonesia masih diberlakukan sebagai lembaga yang
mencetak ‚tenaga kerja‛, dan bukan sebagai lembaga yang menghasilkan
manusia utuh. Sekolah atau kuliah dijalani seseorang agar mendapatkan
ijazah untuk bekerja22
. Proses sekolah/kuliahnya sendiri tidak pernah
dinikmati, kare-na tidak penting. Mental demikian dapat menjadi faktor
yang akan merusak kehidupan masyarakat.
A. Malik Fadjar - sebelum menjadi Mendiknas - dan Ki Supriyoko
dalam seminar pendidikan oleh Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di
Indonesia, Selasa 5 Juni 200123
, di Jakarta menyatakan bahwa Perguruan
swasta di bawah Muhammadiyah, Taman Siswa, ataupun lembaga agama
Kristen (dan swasta lainnya – pen) lebih baik membebaskan dirinya dari
pemikiran pemerintah. Pasalnya, keberadaan perguruan swasta merupakan
cikal-bakal pelopor pendidikan di Tanah Air yang sudah sejak lama
independen. Peran pemerintah bagi perguruan swasta sebaiknya hanya
menjadi mitra dalam konteks akademik dan mengurusi hal-hal lebih teknis.
Menurut A. Malik Fadjar, kekuatan perguruan swasta justru pada
kepeloporan dan kemandiriannya, sedangkan peran pemerintah hanya
begitu-begitu saja. Pemerintah lebih banyak mengurusi administrasi,
menerima setoran, dan memperbanyak buku.
Ki Supriyoko juga menyatakan, eksistensi perguruan swasta tak
bergantung pada siapa-siapa, tetapi kepada diri sendiri. Karena itu, lupakan
saja pemerintah kalau tak memper-baiki kinerjanya atas perguruan swasta.
A. Malik Fadjar mengingatkan agar perguruan swasta selalu
menyegarkan dan menghidupkan filosofi, input, proses, dan keluaran dari
sebuah proses pendidikan. Menurutnya, filosofi menjadi energi kita, oleh
karena itu ia harus terus-menerus menyala. Dalam proses pendidikan, ia
cenderung membiarkan swasta melakukannya dengan kekuatan dan ciri
sendiri, serta tidak melakukan sesuatu secara rutin. Pelajaran agama pun
hendaknya bisa mem-bawa wacana hidup yang segar, bukan sekadar
22
Baca artikel Aji Setiawan Ada Uang, Bayar, Bawa Gelar: Banyak yang merelakan jutaan rupiah hanya untuk selembar bukti gelar. Demi gengsi? Lihat
http://himmah.kampuskita.com/pddk.shtml 23Kompas, 6 Juni 2001.
Pendidikan yang Memberdayakan
136
menakut-nakuti. Adapun out put pendi-dikan merupakan cermin dari potret
lulusan yang punya prototipe sendiri. Itu sebabnya, A. Malik Fadjar
mengusulkan pembubaran ulangan umum bersama (UUB), ebtanas, dan
ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Sebab, menurutnya,
masing-masing perguruan punya standar. Sebagai gantinya diadakan saja
standar akreditasi. Perguruan tinggi biarkan membuat tes masuk sendiri
sehingga ada kompetisi kualitas, bukan hanya melihat dari nilai ebtanas
murni (NEM).
Agaknya beberapa pendapat A. Malik Fadjar sebelum menjadi
Mendiknas betul diwujudkan. Melalui SK No. 178/U/ 2001 tertanggal 21
November 2001 misalnya, ia memberikan kelonggaran kepada perguruan
tinggi untuk mengusulkan jenis gelar yang sesuai dengan bidang keahlian
Program Studi yang diselenggarakan. SK ini tentunya membuat perasaan
lega terutama mahasiswa IAIN/STAIN dan PTAIS serta Perguruan Tinggi
Agama non Islam yang selama ini menggunakan gelar Sarjana Agama
dan/atau Magister Agama yang banyak digugat oleh para mahasiswa24
.
Selain itu, SK No. 184/U/2001 tertanggal 23 Nopember 2001, Mendiknas
banyak memberi tanggung jawab secara mandiri lembaga perguruan tinggi
swasta. Ujian negara dan legalisasi ijazah ditiadakan. Penerimaan
mahasiswa baru diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sekolah/
perguruan tinggi. Oleh karena itu UMPTN, Ebtanas atau sebangsanya yang
ada selama ini tidak diperlukan.25
Dengan berlakunya beberapa kebijakan
baru ini diharapkan tahun-tahun mendatang lembaga pendidikan dapat lebih
berdaya dan memberdayakan.
Kasus Mihnah (inkuisisi)26
pada masa pemerintahan al-Makmun (814-
833) dapat dijadikan cermin bahwa kebijakan pemerintah yang birokratis-
sentralistik terhadap suatu paham ternyata membawa efek negatif bagi
24
Tentang penggunaan gelar ini penulis pernah mengusulkan tertulis kepada Komite
Reformasi Pendidikan dan Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal
DPR RI pada diskusi tanggal 20 Maret 2001 agar sebaiknya gelar akademik cukup
dicantumkan dalam ijazah dan tidak perlu dicantumkan dalam nama, kecuali Doktor. 25
Informasi lebih lengkap baca antara lain Kompas, 13 Desember 2001 26
Merupakan madzhab resmi yang dianut negara mulai tahun 827 dan dibatalkan
oleh al-Mutawakkil pada tahun 848. Madzhab ini antara lain berpendapat bahwa al-Qur’an
tidak qadim. Paham adanya qadim selain Allah digolongkan sebagai syirk. Bagi al-
Makmun, orang yang mempunyai paham syirk tidak dapat dipakai untuk menempati posisi
penting dalam pemerintahannya. Oleh karenanya, al-Makmun melalui para gubernurnya
mengadakan berbagai ujian terhadap para pemuka masyarakat tentang paham ini.
Ada karena Berubah
137
masyarakat dan pemerintah Abbasiyah sendiri. Kasus serupa juga pernah
terjadi di Indonesia ketika adanya kewajiban mengikuti penataran P427
bagi
semua lapisan masyarakat. Kewajiban semacam ini akhirnya membawa
dampak yang negatif karena dinilai sebagai pemaksaan suatu paham dan
kehendak penguasa.
Dalam sejarahnya, budaya militerisme dan feodalisme dalam
praktiknya juga membawa efek yang tidak mendukung lahirnya lembaga
pendidikan yang berdaya. Sistem militer adalah sistem komando-hierarkis,
suatu sistem instruktif atas-bawah. Apa yang dikehendaki oleh komandan
itulah yang harus dijalankan oleh bawahan tanpa boleh mempertanyakan
baik keabsahan, validitas, kebenaran maupun relevansi dari perintah
tersebut. Menjadi bawahan berarti menjadi budak atau pelaksana bisu dan
buta. Sistem dan pola serupa juga berlaku dalam dunia belajar-mengajar.
Istilah belajar-mengajar yang mestinya menuntut adanya proses dialogis
antara siswa-guru, pada kenyataannya tidak berjalan seperti yang
dimaksudkan oleh istilah itu. Guru adalah komandan dan murid adalah
bawahan. Guru akan tersinggung apabila murid terlalu banyak bertanya atau
mempertanyakan perintah dan instruksi yang diberikan guru kepadanya.
Metode yang dipakai dalam pola pendi-dikan semacam ini pastilah ceramah.
Tugas murid ada-lah menelan tanpa mengunyah.
Lebih parah lagi, sistem dan pola militerisme ini masih dilengkapi
dengan budaya feodalisme yang begitu kuat men-cengkeram masyarakat.
Pola feodalisme cenderung berarti atasan/komandan tidak bisa salah,
sebaliknya bawahan selalu salah. Semangat yang sama juga seringkali
melandasi pola pendidikan kita. Guru berada di kelas dengan jiwa "father
knows best". Guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa. Guru tidak
bisa salah dan sebaliknya murid selalu salah. Murid tidak didorong untuk
mengembangkan kreativitasnya dengan mengoptimalkan daya imajinasi dan
inovasinya me-lainkan cukup menghafalkan. Dengan demikian mereka tidak
akan pernah menjadi manusia yang mandiri, tetapi pengekor.
Tentu saja pola dan sistem ini tidak hanya berlaku dalam hubungan
guru-siswa, tetapi juga antara kepala sekolah-guru, antara yayasan-guru-
guru dan kepala sekolah. Dalam banyak kasus sering terbentuk suatu
jaringan yang sangat menindas. Dalam suatu sistem dan pola pendidikan
27
Kewajiban adanya Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) didasarkan atas ketetapan MPR No. II/ MPR/ 1978.
Pendidikan yang Memberdayakan
138
semacam itu sulit diharapkan lahirnya suatu generasi muda yang kreatif,
inovatif dan mandiri. Apalagi kalau keluarga dan masyara-katnya juga
mempraktikkan sistem dan pola hubungan yang sejenis. Yang dihasilkan
tidak lain adalah generasi muda pem-beo yang tidak pernah mampu
berkreasi dan berinovasi secara mandiri.28
Reformasi pendidikan seperti yang didialogkan di atas tentunya juga
dapat dipraktikkan dalam hubungan antara lembaga pendidikan dengan para
siswa atau mahasiswa. Perlu dipikirkan lebih jauh bahwa adanya sekat-sekat
Fakultas, Jurusan/Program Studi yang terlalu ketat sejak awal sekolah atau
kuliah cenderung dapat memasung potensi siswa atau mahasiswa untuk
berkembang lebih jauh. Apalagi para siswa atau mahasiswa pemula diduga
belum memiliki kemampuan dan pertimbangan yang matang tentang
keahlian yang ingin didalami. Sebaiknya perlu dipikirkan kembali bahwa
penen-tuan Fakultas, Jurusan/Program Studi setelah seseorang maha-siswa
menyelesaikan 50% atau lebih ilmu-ilmu dasar pada perguruan tinggi yang
dimasuki. Jika demikian maka penen-tuan Fakultas, Jurusan/Program Studi
baru dapat dilakukan setelah mahasiswa kuliah pada semester empat atau
lima.
Pemilihan mata kuliah yang tertera dalam kurikulum sebaiknya berupa
mata kuliah wajib yang minim dan yang mayoritas adalah mata kuliah
pilihan. Jumlah mata kuliah wajib sebaiknya ditetapkan antara 25-30% dari
seluruh beban studi yang diwajibkan. Jika beban seluruh mata kuliah
bernilai 144 sks maka mata kuliah wajibnya hanya mencapai 36-44 sks,
sedangkan mata kuliah pilihan bisa mencapai 100–108 sks. Tentu saja harus
diingat bahwa pemilihan mata kuliah didasar-kan kepada keahlian akhir
yang akan didalami. Berdasarkan pertimbangan ini dapat diketahui bahwa
pada dasarnya penentuan Fakultas, Jurusan/Program Studi bagi seseorang
mahasiswa dapat diduga setelah lulus mata kuliah pilihan seni-lai 36-42 sks.
Berdasarkan penghitungan ini diharapkan maha-siswa akan lebih yakin
dalam penentuan Fakultas, Jurusan/ Program Studi.
Diakui bahwa kebijakan yang demikian memerlukan administrasi
yang canggih, sistem komputerisasi yang prima, bermental baja untuk tidak
berebut mahasiswa, dan toleransi yang tinggi jika suatu Program Studi tidak
mendapatkan peminat.
28
Bandingkan dengan uraian Mungki A. Sasmita Reformasi dan Pendidikan dalam
http://www.bpkpenabur.or.id
Ada karena Berubah
139
Lembaga pendidikan yang demikian agaknya dapat dikatakan lebih
memberdayakan dibanding memperlakukan para mahasiswa sebagai
penerima dawuh berupa paket jadual dan paket mata kuliah seperti yang
terjadi sampai sekarang pada umumnya di perguruan tinggi.
Perspektif Islam
Banyak ayat al-Quran yang dapat dipahami sebagai isyarat pentingnya
perilaku pemberdayaan. Di antara indikator suatu pemberdayaan adalah
adanya suasana dialogis dalam berbagai kegiatan termasuk pendidikan.
Jumlah ayat al-Quran mencapai 6000 lebih dalam 114 surat. Walau belum
ditemukan hasil penelitian secara keseluruhan, tetapi informasi dari Muhbib
setidaknya dapat dijadikan salah satu indikator. Muhbib – melalui tesis
Magisternya – berkesimpulan bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah
Nabi Ibrahim mayoritas bergaya bahasa dialog.29
Surat-surat pendek dalam
al-Quran banyak juga dijumpai ayat-ayat yang bernuansa dialog.30
Hal ini
dapat dipahami bahwa al-Quran mendukung adanya suasa-na dialogis dalam
bermasyarakat termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan. Perlu juga
dicermati bahwa ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw
adalah اقزأ(bacalah!). Ayat ini dapat dinilai sebagai pemicu lahir dan ber-
kembangnya tradisi tulisan, sebagai ganti dari tradisi lisan yang saat itu
sangat berkembang. Tradisi tulis menulis merupakan cikal bakal dinamika
keilmuan.
Selain itu tidak dijumpai ayat-ayat dalam al-Quran yang menyuruh
agar para Nabi atau Rasul merasa sebagai manusia super sehingga berlaku
tidak adil atau diktator. Menurut ajaran al-Quran Nabi dan Rasul adalah
manusia biasa (Q.S. 14:10-11, 18:110, 21:8, 41:6) yang hidup berkeluarga
dan berketurunan (Q.S. 13:38). Mereka ini menerima wahyu dengan bahasa
kaumnya (Q.S. 14:4). Tugas mereka adalah menyampaikan amanat Tuhan
kepada manusia (Q.S. 5:99, 33:39) dan tidak menyuruh untuk menyembah
29
Ayat yang du=ijumpai mencapai 237 yang tersebar dalam 25 surat. Jumlah ayat
tersebut 83,12%nya (197 ayat dalam 13 surat) bergaya bahasa dialog. Ayat-ayat tersebut
mayoritas (89,85%) ayat (177 ayat dalam 11 surat) tergolong turun pada periode Mekkah.
Tema-tema dialog menyangkut kosmologi, sosial, pendidikan, dan eskatologi yang
merupakan perekat dan penguat ketauhidan. Lihat Muhbib, Konsep Dialog dalam al-Quran: Studi tentang Kisah Ibrahim AS, (Jakarta: Program Pascasarjana, 1997), h. 164.
30Perhatikan antara lain QS. 114:1, 113:1, 112:1, 109, 107, 105, 104:5, 101, 100:9,
97, 96, 95:8, 90, 88)
Pendidikan yang Memberdayakan
140
dirinya (Q.S. 3:79-80) serta tidak semua Nabi diceritakan dalam al-Quran
(Q.S. 40:78). Al-Quran mengajarkan agar Nabi Muhammad Saw berlaku
lemah lembut, suka memberi maaf dan suka bermusyawarah (Q.S. 3:159,
42:38). Selain itu, al-Quran juga mengajarkan keadilan (Q.S. 4:135, 5:8,
6:152, 16:90, 17:35, 49:9) dan persamaan (Q.S. 49:13). Dalam kaitan
hubungan antar umat berbeda agama, al-Quran mengajarkan untuk tidak
saling memaksa (Q.S 2:256), 7:64, 10:99) dan sebaliknya diwajibkan
berbuat baik kepada mereka (Q.S. 60:8-9).
Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad Saw memberdayakan para
sahabat dan bahkan musuhnya. Setidaknya Nabi telah menunjuk sebahagian
sahabatnya sebagai penulis wahyu. Dialog antara Nabi Muhammad Saw
dengan Mu’az ibn Jabal setelah diangkat sebagai Gubernur Yaman
merupakan contoh lain bagaimana Nabi memberdayakan shahâbatnya.
Menarik digarisbawahi bahwa kaum muslimin generasi pertama yang hidup
sezaman dan pernah bertemu dengan Nabi disebut sahabat. Sahabat artinya
mitra, bukan bawahan. Dengan kata lain Nabi memperlakukan para
sahabatnya sebagai mitra sejajar, egaliter dan berada dalam posisi dan relasi
yang demokratis.
Tidak lama sesudah berada di Yasrib (yang kemudian berubah nama
menjadi Madinah), Nabi Muhammad memper-maklumkan satu piagam yang
mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang
majemuk baik yang beragama Islam maupun non Islam. Dalam berbagai
kejadian, Nabi Muhammad Saw juga sering melakukan konsultasi atau
musyawarah dengan para sahabatnya. Selain itu Nabi juga memberdayakan
para tawanan perang antara lain untuk meng-ajar membaca dan menulis.
Sesudah Nabi Muhammad Saw wafat, al-Quran dan al-Sunnah
ternyata mampu menjadi motivator bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Banyak ilmu yang lahir dan berkembang karena adanya al-Quran menjadi
motivator31
. Para khalifah setelah Khulafa al-Rasyidin banyak memberikan
31
Di bidang hukum tercatat nama-nama seperti: Imam Abu Hanifah (699-767),
Imam Malik (712-795), Imam Syafii (767-819), Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M). Di
bidang teologi tercatat nama-nama: Washil ibn Atha’ (81-131 H), Abu al-Huzail (135-235
H), al-Nazzam (185-221 H), al-Jubbai (w. 295 H), al-Asy’ari (873-935), al-Maturidi (w.
944 M), al-Bazdawi (421-493 H). Di bidang tasawuf dikenal nama-nama Rabiah al-
Adawiyah (714-801 M), Zu al-Nun al-Misri (w. 859 M), Abu Yazid al-Bustami (874-947
M), al-Hallaj (858-922), Ibn Arabi (1165-1240). Di bidang falsafat dikenal nama al-Kindi
(w. 870), al-Farabi (870-950), Ibn Miskawaih (930-1030), Ibn Sina (980-1037). Di bidang
Ada karena Berubah
141
penghargaan yang sangat tinggi kepada para ilmuan. Di antaranya mereka
memberikan imbalan berupa emas seberat kertas hasil terjemahan32
.
Akan tetapi pendidikan di dunia Islam sesudah abad ke 12 dirasakan
kurang memberdayakan terhadap banyak hal. Al-Quran dan al-Sunnah tidak
dijadikan motivator penggerak bagi pemberdayaan. Al-Quran dan al-Sunnah
sudah lama ditinggal-kan oleh umat Islam33
. Yang dipelajari umat Islam
adalah selain al-Quran, melainkan ilmu-ilmu yang muncul karena motivasi
al-Quran. Pada umumnya yang dipelajari oleh umat Islam adalah Ulum al-
Quran, Tafsir, Fiqh dan semacamnya. Ilmu-ilmu ini sebetulnya lahir karena
adanya al-Quran. Ayat-ayat al-Quran cenderung dipahami menurut
pemahaman mufassirnya. Akibatnya para pengkaji tafsir tidak leluasa
mengembangkan makna ayat-ayat al-Quran. Para siswa dan mahasiswa
cenderung dipaksa untuk memahami teks tafsir dan bukannya didorong
untuk secara kreatif mengembangkan makna ayat al-Quran.
Para siswa dan mahasiswa tidak didorong berlatih melahirkan ulum al-
Quran yang baru. Yang ada hanya dipaksa memahami ulum al-Quran karya
orang lain. Para siswa dan mahasiswa tidak didorong dan diberi kesempatan
melahirkan pemikiran fiqh yang baru, yang ada hanya berkutat kepada
pemahaman pemikiran fiqh ulama terdahulu. Sebagai akibat dari pengajaran
yang demikian, kitab-kitab selain al-Quran cenderung menempati posisi
atas dalam pembelajaran dan al-Quran ditempatkan pada posisi di bawahnya
atau bahkan tidak sempat dikaji secara mendalam.
Sehubungan dengan hal tersebut Abû al-Hasan al-‘Amirî (w.
381H/992M) sangat menekankan untuk tidak mengadakan dikotomi
pembelajaran ilmu-ilmu hasil pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan34
. Oleh
ilmu pengetahuan dikenal nama Ibn Haitsam (965-1039), ibn Hayyan (721-815), al-
Khawarizmi (780-850 M), al-Mas’udi (w. 957), dan al-Razi (865-923 M). 32Bayt al-Hikmah Baghdad merupakan salah satu pusat kegiatan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam Bahasa Arab. Pemimpinnya adalah
Hunayn ibn Ishaq. Lihat Philip K. Hittii, History of the Arabs, (London: The Macmillan
Press, 1974), h. 312. 33
Lihat juga komentar Abu al-Hasan ‘Ali al-Husnî al-Nadawi, Nah{w al-Tarbiyah al-Isla>miy>ah al-H{urrah fî> al-Huku>ma>t wa al-Bila>d al-Isla>miy>ah, (Beirut: Muassah al-Risa>lah,,
1958), h. 13-14 dan 89-90 34
Setidaknya ada 5 alasan yang dimajukan oleh al-Âmirî tentang ini: 1) Wahyu tidak
bertentangan dengan pendapat akal, 2) Al-Quran mendorong umat Islam untuk mempelajari
penciptaan alam, 3) Bahwa mempelajari penciptaan alam akan mendapatkan hukum
kausalitas, 4) Menambah keyakinan, 5) Bermanfaat secara nyata bagi kehidupan. Baca
Ahmad Abd al-Hamid Ghurab, Abu> al-H{asan al-A<miri> wa A<ra>’uh al-Tarbawiy>ah, dalam
Pendidikan yang Memberdayakan
142
karena ilmu-ilmu selain al-Quran merupakan hasil ijtihad maka perlu
dikritisi agar tidak terjebak pada paham bahwa ilmu-ilmu tersebut sebagai
ilmu yang telah final dan absolut. Hal itu dikarenakan para ahli tersebut
bukanlah manusia ma’s{u>m35.
Pendapat serupa dimajukan oleh Abduh (1849-1905). Menurutnya,
ijtihad hendaknya dilakukan secara langsung terhadap ayat al-Quran dan al-
Hadis, sedangkan pendapat ulama terdahulu tidak mengikat karena mereka
tidak ma’shum.36
Pendapat al-‘Amirî dan Muhammad Abduh ini diakui
sulit dilaksanakan apabila pola pikir rasional tidak ditumbuh-kembangkan.
Oleh karena itu agar ilmu pengetahuan dapat berkembang, Harun Nasution
menekankan adanya perubahan sikap dari mental tradisional menjadi sikap
mental yang rasional37
Beberapa kebijakan pemerintah dan pendapat mayoritas umat Islam
Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang juga dinilai turut menjadikan
pendidikan di kalangan umat Islam tidak berdaya dan memberdayakan38
.
Dikotomi pendidikan yang pernah dialami oleh umat Islam pada masa
sebelum kemerdekaan dipertajam menjadi lebih dikotomis dengan beberapa
kebijakan yang ada. Madrasah, pesantren, Perguruan Tinggi Agama
cenderung hanya sekedar dilirik, bukannya diperhatikan ketika menetapkan
kebijakan. Hal ini terlihat pada penetapan anggaran pendidikan,
pemanfaatan lulusan, dan kewenangan mema-sukkan ilmu-ilmu umum
(ilmu-ilmu rasional) di perguruan agama. Akibatnya pendidikan umum dan
pendidikan agama sama-sama tidak mampu memberdayakan ilmu yang
integratif yang sebetulnya bersumber dari Tuhan yang Satu. Dampak dari
kebijakan tersebut makna pendidikan Islam menyempit menjadi sekadar
pengajaran agama. Ilmu rasional dianggap sekuler dan diharamkan masuk ke
dalam kurikulum. Upaya A. Mukti Ali ketika menjadi Menteri Agama RI
misalnya, untuk mensejajarkan lulusan Madrasah dengan sekolah umum
pada tahun 1974 sampai dengan 1975 ternyata mendapat tantangan yang
Min A’la>m al-Tarbiyah al-Arabiy>ah al-Isla>miy>ah, Jilid II, Maktab al-Tarbiyah al-Arabi> li
Duwal al-Khali>j, 1988, h. 96-97. 35Ibid. h. 104. 36
Lihat uraian Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 64.
37Baca antara lain pada Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 146. 38
Tidak terlalu salah jika Abduh menyatakan bahwa Islam tidak dapat berkembang
disebabkan oleh pemeluknya sendiri )اإلسالم هحجوب بالوسلوين(
Ada karena Berubah
143
luar biasa di kalangan umat Islam sendiri karena dinilai akan
menghancurkan lembaga pendidikan Islam. Tantangan masyarakat muncul
kembali ketika ia membuat kebijakan berupa pengiriman para dosen IAIN
ke Barat.39
Nasib serupa menimpa ketika sebahagian IAIN akan diubah
menjadi universitas.
Fazlur Rahman (w. 1998) sebagaimana dikutip Ensiklopedi Islam
untuk Pelajar, Jilid 5, h. 2, berpendapat bahwa sejarah pendidikan di dunia
Islam lebih mencerminkan sejarah pendidikan agama dan bukan pendidikan
Islam. Hal ini terutama tampak sejak abad ke-12, ketika sains, ilmu
kemanusiaan, dan ilmu sosial dikeluarkan dari kurikulum sekolah dan
universitas. Hal ini berawal dari disintegrasi ilmu pengetahuan dalam sistem
pemikiran Islam, ketika ilmu rasional dianggap berbahaya bagi agama dan
para sarjana yang mengembangkannya dimusuhi.
Penyempitan makna pendidikan Islam berlangsung hingga tingkat
pelembagaan dan metodenya, khususnya di kalangan kaum Sunni. Para
ulama mulai menarik garis tegas antara ilmu sekuler dan ilmu agama.
Mereka menentang ilmu sekuler dan mengeluarkannya dari kurikulum
madrasah. Anak didik lebih banyak diminta menghafal teks baku
dibandingkan mengembangkan pemikiran kreatif. Dalam jangka panjang,
hal ini berakibat fatal: bukan saja disiplin ilmu rasional menjadi tidak
berkembang di dunia Islam, tetapi perkembangan pemikiran Islam secara
keseluruhan pun terhambat karena tidak ada tantangan serta dorongan
intelektual.
Pendidikan merupakan tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir
hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan
alam dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang
terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran
martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam
pendidikan ini) adalah "subyek" dari -- pendidikan. Karena merupakan
subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar
tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa
manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia
39
Informasi lebih lengkap baca pada Ali Munhanif, Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam
(Ed.), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: INIS, PPIM dan
Departemen Agama, 1998), h. 271-319.terutama mulai h. 311.
Pendidikan yang Memberdayakan
144
pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi
pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas
untuk "ada" dan menjadi dirinya sendiri, yaitu manusia yang berpribadi dan
bertanggung jawab.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di
dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan
sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia
menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadar-annya itu
mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian
dan tidak tercerabut dari akar tradisinya. Sistem pendidikan yang ada
sekarang masih didominasi oleh manajemen top-down (dari atas ke bawah)
atau kalau meng-gunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank.40
Konsep pendidikan gaya bank mengakibatkan terjadinya kebekuan
berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya
mendengarkan, mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan
yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dan
makna yang sesungguhnya. Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan
bisu (the culture of silence). Kesadaran kritis merupakan titik tolak
pemikiran pendidikan yang memberdayakan. Tanpa kesadaran kritis, tak
mungkin pemberdayaan dapat dilakukan.
Dalam sejarahnya, sikap kritis dan/atau ketidak puasan atas
kekurangan dalam dunia pendidikan sangat diperlukan karena sikap serupa
ini akan dapat melahirkan keputusan-keputusan atau aksi-aksi baru yang
dinilai dapat mengatasi permasalahan yang muncul. Oleh karena
menyangkut hidup maka keputusan atau aksi baru yang ditetapkan tidak
dapat dianggap sesuatu yang final. Mengkritisi suatu perguruan tinggi
semisal IKIP, dapat melahirkan Universitas41
. Upaya mengkritisi pesantren
tradisional melahirkan pesantren modern. Upaya mengkritisi kedua model
pesantren tersebut melahirkan pesan-tren kilat. Upaya mengkritisi terhadap
40
Baca Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, terjemahan Tim Redaksi, (Jakarta:
LP3ES, 1972). 41
Antara lain lihat Keppres No. 93 Tahun 1999 tgl. 4 Agustus 1999 berisi perubahan:
1) IKIP Yogyakarta menjadi Universitas Negeri Yogyakarta, 2). IKIP Surabaya menjadi
Universitas Negeri Surabaya, 3). IKIP Malang menjadi Universitas Negeri Malang, 4) IKIP
Ujung Pandang menjadi Universitas Negeri Makasar, 5) IKIP Jakarta menjadi Universitas
Negeri Jakarta, dan 6) IKIP Padang menjadi Universitas Negeri Padang.
Ada karena Berubah
145
madrasah tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melahirkan
madrasah modern yang mempelajari juga ilmu-ilmu umum. Upaya
mengkritisi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta
dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, melahirkan Institut
Agama Islam Negeri (IAIN)42
melalui Peraturan Presiden No. 11 Tahun
1960. Kritik dan atau ketidakpuasan terhadap IAIN yang me-nyediakan
program studi keagamaan semata, melahirkan IAIN with wider mandate
(dengan mandat yang diperluas). Upaya mengkritisi berbagai IAIN cabang
melahirkan STAIN43
. Bisa jadi upaya mengkritisi IAIN with wider
mandateakan mucul Universitas Islam Negeri (UIN).
Hanya saja, upaya membuka kesadaran kritis ini sering dipahami oleh
pihak penguasa sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan
yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh
pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan model ini merupakan
pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masya-rakat kerucut"
(submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Berdasarkan cermin Freire tersebut, perlu dicermati kembali hakekat
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk manusia. Pendidikan
42
Sampai sekarang tercatat 14 IAIN di seluruh Indonesia. 1) IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (berdiri 26-9-1951), 2) IAIN Syarif Hidaya-tullah Jakarta (1 Juni 1957), 3)
IAIN Ar-Raniri Banda Aceh (5-10-1963), IAIN Raden Fatah Palembang (13-11-1964), 5)
IAIN Antasari Banjarmasin (20-11-1964), 6) IAIN Sunan Ampel Surabaya (5-7-1965), 7)
IAIN Alauddin Ujung Pandang (10-11-1965), 8) IAIN Imam Bonjol Padang (21-11-1965),
9) IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi (8-9-1967), 10) IAIN Sunan Gunung Jati Bandung
(8-4-1968), 11) IAIN Raden Intan Bandar Lampung (13-10-1968), 12) IAIN Walisongo
Semarang (1-4-1970), 13) IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru (16-9-1970), dan 14) IAIN
Sumatera Utara (19-11-1973). Baca Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Tahun 2000/2001.
43Sampai sekarang tercatat 33 STAIN di seluruh Indonesia: 1) STAIN Ambon, 2)
STAIN Prof. Dr. Mahmud Yunus Batu Sangkar, 3) STAIN Bengkulu, 4) STAIN Syaikh
Djamil Jambek Bukittinggi , 5) STAIN Cirebon, 6) STAIN Curup, 7) STAIN Sultan Amai
Gorontalo, 8) STAIN Jember, 9) STAIN Kediri, 10) STAIN Kendari, 11) STAIN Kerinci,
12) STAIN Kudus, 13) STAIN Malang, 14) STAIN Manado, 15) STAIN Mataram, 16)
STAIN Jurai Siwo Metro, 17) STAIN Padang Sidempuan, 18) STAIN Palangkaraya, 19)
STAIN Palopo, 20) STAIN Datolarama Palu, 21) STAIN Pamekasan, 22) STAIN Pare-
pare, 23) STAIN Pekalongan, 24) STAIN Ponorogo, 25) STAIN Ponttianak, 26) STAIN
Purwokerto, 27) STAIN Salatiga, 28) STAIN Samarinda, 29) STAIN Maulana Hasanuddin
Serang, 30) STAIN Surakarta, 31) STAIN Ternate, 32) STAIN Tulungagung, dan 33)
STAIN Watampone. Pembentukan STAIN berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 1997.
Semua STAIN ini secara serempak diresmikan pada 30 Juni 1997. Baca Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Tahun 2000/2001.
Pendidikan yang Memberdayakan
146
pemberdayaan atau pembebasan yang digelindingkan oleh Freire sebetulnya
telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah
Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi
dipraktikkan sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan,
dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya Nabi, dalam kerangka
dakwah Islam untuk pemberdayaan dan pembebasan umat, tidak langsung
menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan
sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius
problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan
penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak
eksploitatif, adil dan egaliter. Islam dengan pilar ال ال اال هللا adalah agama
pemberdayaan dan pembebasan karena Islam memberikan penghargaan
terhadap manusia secara sejajar, mengutama-kan kemanusiaan, menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan
benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas. Ayat Al Qur'an, diantaranya
mengajarkan وزيد أن ومه دء الذيه استضافا ف األرض وجاءم أئمة وجاءم الارثيه
(5)القصص: "...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang
tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris
bumi..." (QS. 28:5).
Sikap kritis dan tidak puas seperti gambaran di atas tidak harus
dipahami sebagai pemikiran yang negatif. Sikap semacam ini justru perlu
dikembangkan agar terjadi perkem-bangan pemikiran di berbagai bidang.
Penutup
Untuk rekonseptualisasi dan sosialisasi pendidikan yang berdaya dan
memberdayakan akhirnya orasi ini ditutup dengan beberapa catatan sebagai
berikut:
1. Pendidikan yang masih berbasis birokrasi harus sudah diganti dengan
sistem pendidikan yang berorentasi pada kebutuhan masyarakat.
2. Pendidikan harus menumbuhkan jiwa independensi, menggerakkan
(encourage) pernyataan diri (self expression), dan mengajar
siswa/mahasiswa untuk hidup dalam harmoni dengan menghargai
adanya perbedaan-perbedaan. Ke depan sistem pendidikan harus berubah
dari instruksional menjadi motivasional berprestasi, berkreasi dan
berbudi pekerti.
Ada karena Berubah
147
3. Sistem pendidikan yang membebani para siswa/mahasiswa dengan
jumlah mata pelajaran/mata kuliah yang terlalu banyak dan sifatnya
repetitif di semua kelas maupun semester hingga menyerap waktu,
membuat proses belajar berpikir menjadi mandul/beku/statis.
4. Proses belajar dengan terlalu banyak memberi tekanan pada menghafal
dan multiple choice tanpa mempertanyakan mengapa tidak banyak
membantu pembentukan kepribadian.
5. Peranan pendidikan sebagai sarana pemberdayaan (empowerment) harus
secara sadar menyiapkan peserta didik dalam kehidupan masyarakat
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan kata
lain, pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan
masyarakat guna menghadapi masa depan. Pemberdayaan hanya
mempunyai makna jika proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi
dari kebudayaan.
6. Pendidikan Islam yang berdaya dan memberdayakan akan terwujud
apabila:
a. Memiliki visi, misi, dan orientasi strategis ke depan yang jelas.
b. Memiliki legitimasi sosial, intelektual dan moral yang kuat.
c. Berbasis pada masyarakat dan meresponi tuntutan zaman.
d. Dikelola dengan manajemen modern yang profesional, rasional,
terbuka, akuntabel, humanis, memiliki akses, kerjasama dan
kemitraan global.
Terima kasih, semoga bermanfaat. Âmîn.
والسالم عليكن وزحوة هللا وبسكاته
Pendidikan yang Memberdayakan
148