68
Penetapan Batas-Batas Negara Menurut Hukum Internasional dan Kedaulatan NKRI di Pulau-Pulau Terluar 1 Idris 2 Abstract I Pendahuluan Kekalahan Indonesia di forum Mahkamah Internasional (International Court of Justice) “melawan” Malaysia telah menimbulkan pendapat pro-kontra di masyarakat karena dianggap Indonesia kehilangan dua pulau Sipadan dan Ligitan yang dijadikan objek sengketa antarnegara tersebut. Banyak masyarakat menilai bahwa kekalahan tersebut karena Pemerintah lalai dan tidak serius mengurus kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi ada juga yang menyikapi bahwa putusan tanggal 17 Desember 2002 tersebut memberikan hikmah bahwa mulai saat ini Pemerintah dan seluruh komponen bangsa untuk lebih peduli mengurus Negara kepulauan ini sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti itu. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki laut terluas, yaitu 5, 9 juta km2 atau ¾ total wilayah Indonesia, sehingga menuntut perhatian besar untuk menjaganya termasuk di dalamnya setiap daerah punya peranan penting dalam memelihara dan menegakkan hukum 1 Makalah ini dipresentasikan di Kantor Bupati Pemerintah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau 12 Desember 2006 dalam rangka Seminar Hasil Penelitian Tata Ruang Pembangunan di Kawasan Perbatasan RI-Negara Tetangga. 2 Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Mahasiswa Program Doktor 2006 Pascasarjana Universitas Padjadjaran 1

Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

  • Upload
    nafisaa

  • View
    624

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Penetapan Batas-Batas Negara Menurut Hukum Internasional dan Kedaulatan NKRI di Pulau-Pulau Terluar 1

Idris 2

Abstract

I Pendahuluan

Kekalahan Indonesia di forum Mahkamah Internasional (International Court of

Justice) “melawan” Malaysia telah menimbulkan pendapat pro-kontra di masyarakat

karena dianggap Indonesia kehilangan dua pulau Sipadan dan Ligitan yang dijadikan

objek sengketa antarnegara tersebut. Banyak masyarakat menilai bahwa kekalahan

tersebut karena Pemerintah lalai dan tidak serius mengurus kedaulatan Negara Kesatuan

Republik Indonesia, tetapi ada juga yang menyikapi bahwa putusan tanggal 17 Desember

2002 tersebut memberikan hikmah bahwa mulai saat ini Pemerintah dan seluruh

komponen bangsa untuk lebih peduli mengurus Negara kepulauan ini sehingga tidak

terjadi lagi kasus-kasus seperti itu.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki laut terluas,

yaitu 5, 9 juta km2 atau ¾ total wilayah Indonesia, sehingga menuntut perhatian besar

untuk menjaganya termasuk di dalamnya setiap daerah punya peranan penting dalam

memelihara dan menegakkan hukum kedaulatan NKRI di pulau-pulau terluar Indonesia

sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam menentukan batas-batas

kedaulatan NKRI dengan negara-negara tetangga itu memang hukum yang berlaku

adalah hukum internasional, tetapi hukum nasional pun mempunyai peranan penting

dalam menjaga dan mengelola wilayah Indonesia di pulau-pulau terluar tersebut yang

selama ini masyarakat mengkhawatirkan akan terulangnya kasus Sipadan-Ligitan.

Sengketa perbatasan negara sering terjadi baik di negara-negara maju yang

mempunyai wilayah laut atau tidak maupun sengketa perbatasan di negara-negara

berkembang seperti Indonesia dengan negara-negara tetangga. Penyelesaian sengketa

perbatasan negara tersebut tidak jarang menyulut perang, tetapi pada umumnya

1 Makalah ini dipresentasikan di Kantor Bupati Pemerintah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau 12 Desember 2006 dalam rangka Seminar Hasil Penelitian Tata Ruang Pembangunan di Kawasan Perbatasan RI-Negara Tetangga. 2 Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Mahasiswa Program Doktor 2006 Pascasarjana Universitas Padjadjaran

1

Page 2: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

diselesaikan dengan cara-cara damai melalui forum internasional yang sudah diatur oleh

hukum internasional atau sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk

memilih forum yang tepat bagi mereka. Tulisan ini membahas dasar-dasar ketentuan

hukum internasional tentang penyelesaian sengketa perbatasan negara terutama

Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 1985 dan implikasi sederhananya bagi kedaulatan NKRI di pulau-pulau

terluar serta peran daerah menjaga kedaulatan Indonesia tersebut.

II Penyelesaian Sengketa Perbatasan Negara menurut Piagam PBB (Charter of the

United Nations)

Penetapan batas-batas satu negara dengan negara lain terutama di laut yang sulit

dilakukan karena menyangkut kedaulatan negara atau faktor lainnya akan menimbulkan

sengketa berkepanjangan yang tidak jarang diselesaikan melalui penggunaan kekuatan

atau perang. Menurut hukum internasional penggunaan kekuatan militer untuk

menyelesaikan sengketa tersebut dilarang karena pada dasarnya hanya dengan cara damai

yang harus dilakukan oleh negara-negara tersebut sesuai dengan aturan hukum

internasional yang terdapat dalam Piagam PBB. Penyelesaian sengketa internasional

(settlement of international disputes) termasuk sengketa perbatasan negara itu telah diatur

oleh Piagam PBB, yaitu penyelesaian sengketa secara damai (Pacific Settlement of

Disputes) dalam Bab VI Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut :

1. The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger

the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek

a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration,

judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other

peaceful means of their own choice.

2. The Security Council shall, when it deems necessary, call upon the parties

to settle their dispute by such means.

Pasal 33 Piagam PBB menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa diminta

untuk tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internsional, sehingga harus segera

menyelesaikannya dengan cara melakukan perundingan/negosiasi, penyelidikan, mediasi,

2

Page 3: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian secara hukum, badan-badan peradilan regional, atau

dengan cara damai lainnya yang mereka sepakati. Menurut hukum internasional

penyelesaian sengketa internasional antarnegara harus dengan cara damai, tetapi menurut

ada pendapat ahli hukum internasional dikenal dua cara, yaitu selain cara damai tersebut

(peaceful means of settlement) juga dikenal dengan penyelesaian dengan menggunakan

kekerasan (forcible or coercive means of settlement).3 Penyelesaian sengketa dengan

menggunakan kekerasan atau kekuatan militer sebenarnya tidak diakui oleh aturan

hukum internasional, tetapi dalam praktik sering terjadi penyelesaian sengketa

antarnegara dengan menggunakan kekuatan militer seperti dalam kasus agresi militer

Amerika Serikat ke Afghanistan, ke Irak, dan beberapa Negara lain. Penggunakan

kekuatan militer oleh AS yang menelan korban penduduk sipil dan harta benda yang tak

terhitung itu mendapat kecaman masyarakat internasional, tetapi hanya kecaman saja

tidak ada negara yang berani mencegah AS sekalipun PBB sendiri, sehingga terjadi

pelanggaran hukum internasional yang juga tidak sanksinya.

Apabila penyelesaian sengketa antarnegara yang tidak dapat diselesaikan

secara damai atau tidak ada kesepakatan, maka sering digunakan cara-cara

kekerasan atau kekuatan militer yang mencakup : (1)perang dan aksi bersenjata

bukan perang (war and non-war armed action); (2)pembalasan secara halus

(retorsion) seperti pemutusan hubungan diplomatik atau penarikan fiscal/konsesi

tarif, ; (3)pembalasan secara kasar (reprisals) seperti boykot, embargo, demo

kekuatan militer sampai pemboman; (4) blokade damai (pacific blockade) seperti

dalam kasus pengerahan kekuatan Inggris di sekitar laut Falkland Island, dan

(5)campur tangan (intervention).4 Hukum internasional secara tegas menyatakan

bahwa penyelesaian sengketa harus secara damai dan tidak boleh suatu Negara

mengancam atau menggunakan kekuatan militer terhadap Negara lain dengan

alasan apapun sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 3 dan 4 Piagam PBB yang

berbunyi sebagai berikut :

“All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their international relations from the

3 JG Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, hlm. 485-486.4 Ibid., hlm. 519.

3

Page 4: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”

Pasal 3 dan 4 Piagam PBB tersebut adalah bahwa setiap Negara harus

menyelesaikan sengketanya dengan cara damai sehingga tidak membahayakan

perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan dan setiap Negara harus

menahan diri untuk tidak mengancam dan menggunakan kekuatan terhadao

integritas territorial atau kemerdekaan politik setiap Negara atau dengan cara

apapun yang bertentangan dengan tujuan PBB.

II. Konvensi Hukum Laut 1982 (The 1982 United Nations Convention on

the Law of the Sea- UNCLOS) dan Rejim-Rejimnya yang Berlaku

Penetapan batas-batas Negara sering menjadi sengketa internasional

karena belum adanya kesepakatan dengan para pihak yang terlibat, tetapi

umumnya sengketa internasional dalam hal penentuan batas-batas Negara tersebut

diselesaikan lewat cara-cara damai, yaitu melalui negosiasi, jasa-jasa baik (good

offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan (enquiry), arbitrase, dan Mahkamah

Internasional (International Court of Justice). Penyelesaian sengketa termasuk

sengketa batas-batas negara di laut telah dilakukan melalui arbitrasi seperti kasus

landas kontinen antara Perancis dan Inggris tahun 1977 -1978, kasus batas

maritim antara Guinea dan Guinea-Bissau tahun 1985, dan kasus batas maritim

antara Kanada dan Prancis tahun 1992. Kasus-kasus penyelesaian sengketa batas-

batas maritim atau status kepemilikan suatu pulau banyak diselesaikan di forum

Mahkamah Internasional seperti dalam kasus Sipadan-Ligitan antara Indonesia

dan Malaysia yang diputuskan tanggal 17 Desember 2002.

Penyelesaian sengketa di bidang hukum laut sekarang sudah ada

pengadilan khusus berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya

menunjuk beberapa forum termasuk forum Mahkamah Internasional yang selama

ini mempunyai tingkat integritas dan kepercayaan sangat tinggi. Putusan-putasan

Mahkamah Internasional juga telah memberikan pengaruh penting terhadap

4

Page 5: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

perkembangan hukum internasional terutama prinsip-prinsip hukum internasional

yang dikemukakan oleh para hakim ICJ tersebut. Konvensi Hukum Laut 1982

tersebut mengatur secara komprehensif bidang hukum laut yang di dalamnya

terdiri dari 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran (Annexes). Konvensi Hukum Laut

1982 ini mulai berlaku efektif pada tanggal 16 September 1994 setelah ratifikasi

ke-60 negara terpenuhi oleh Guyana pada setahun sebelumnya tanggal 16

September 1993.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) tahun 1982 mulai berlaku

sejak tanggal 16 September 1994 ketika terpenuhi ratifikasi ke-60 oleh Guyana.

Nama Konvensi ini adalah hukum laut (the law of the sea), bukan hukum laut

internasional, tetapi yang dimaksud dengan hukum laut internasional, yaitu

Konvensi itu sendiri yang berlaku secara internasional. Konvensi Hukum Laut

1982 ini terbentuk melalui perjalanan panjang yang diawali dengan Konferensi

PBB tentang Hukum Laut I tahun 1958 dan II tahun 1960 di Jenewa, yang

menghasilkan 4 Konvensi Jenewa, yaitu : (1)Konvensi tentang Laut Teritorial dan

Jalur Tambahan (Convention on the Territorial and the Contiguous Zone);

(2)Konvensi tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas); (3)Konvensi

tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas (Convention on

the Fishing and Conservation of the the Living Resources of the High Seas);

(4)Konvensi tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).

Konvensi Jenewa tersebut belum berhasil menentukan batas laut teritorial karena

beragamnya klaim oleh setiap negara, dan baru berhasil dalam Konvensi Hukum

Laut 1982.

Konvensi Hukum Laut 1982 ini merupakan a monumental achievement of

the international community dan merupakan perjanjian internasional yang

komprehensif yang mengatur hampir semua aspek kegiatan di laut. Laut bagi

Indonesia mempunyai arti strategis dan antisipatif, karena Indonesia merupakan

negara kepulauan terbesar di dunia yang teridiri dari 17.508 pulau dengan garis

pantai sepanjang 81.000 km, 5 tetapi dengan kekayaan tersebut banyak pihak

5 Rokhmin Dahuri, Dkk., Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 1.

5

Page 6: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

menyatakan bahwa laut belum memberikan manfaat secara optimal kepada

masyarakat, padahal seharusnya laut dijadikan harapan bangsa masa sekarang dan

mendatang karena merupakan kekayaan sumber daya alam hayati dan non-hayati,

yang seharusnya pula memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional

atau daerah sejalan dengan berlakunya otonomi daerah sebagaimana diatur oleh

UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari segi juridis Indonesia berhasil “mengharumkan” namanya melalui

Konvensi Hukum Laut 1982, melalui perjuangan Mochtar Kusumaatmadja, yang

keahlian hukum lautnya diakui dunia, dan karenanya Indonesia telah meratifikasi

Konvensi tersebut dengan UU No. 17/1985. Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri

dari 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran (Annex). Dengan telah diratifikasinya

Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, maka sesuai dengan materi yang diatur

dalam Konvensi Hukum Laut 1982, timbul beberapa rezim hukum laut yang

berlaku, yaitu sebagai berikut :

1. Laut Teritorial

Berdasarkan rejim hukum ini Indonesia menjadi sebuah negara kepulauan

(archipelagic state) yang memiliki kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan

kepulauan, dan laut teritorial sejauh 12 mil sebagaimana ditentukan oleh Pasal 3

Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi : “Every State has the right ti

establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12 nautical

miles measured from baselines determined in accordance with this Convention”.

Kedaulatan atas laut wilayah tersebut mencakup dasar laut dan tanah di bawahnya

(seabed and subsoil), ruang udara di atasnya, dan segala kekayaan sumber daya

alam (hayati dan non-hayati) yang ada di dalamnya, sehingga Indonesia harus

menetapkan batas-batasnya, seperti lebar laut teritorial (territorial sea), zona

tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone),

dan landas kontinen (continental shelf). 6

2. Hak lintas damai (right of innocent passage)

Indonesia berdasarkan Konvensi tersebut mempunyai kedaulatan secara

penuh pada perairan pedalaman dan laut teritorial, tetapi tidak berarti negara lain

6 Pengertian negara kepulauan dan garis pangkal kepulauan di atur lebih lengkap dalam Bab IV Pasal 46-54 Konvensi Hukum Laut 1982, akan di jelaskan secara singkat di bawah ini.

6

Page 7: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

tidak mempunyai hak lintas, sehingga tetap berlaku bahwa ada hak lintas damai

(innocent passage) bagi kapal-kapal asing di laut territorial atau di perairan

kepulauan (archipelagic waters).7 Lintas harus terus menerus, langsung, dan

secepat mungkin serta lintas dianggap tidak damai apabila membahayakan

perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, tetapi lintas tersebut

dianggap membahayakan perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai

jika dilaut teritorial melakukan kegiatan seperti berikut ini :

a. setiap ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara pantai atau segala sesuatu yang melanggar prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana terdapat dalam Piagam PBB;

b. setiap latihan atau praktik dengan senjata berbagai jenis;c. setiap tindakan yang dimaksudkan untuk mengumpulkan

informasi yang merugikan pertahanan atau keamanan negara pantai;

d. setiap tindakan propaganda yang ditujukan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai;

e. peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal;

f. peluncuran, pendaratan atau penerimaan peralatan militer di atas kapal;

g. bongkar muat setiap komoditi, mata uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi atau sanitasi negara pantai;

h. setiap perbuatan sengaja mengakibatkan terjadinya pencemaran serius yang bertentangan dengan Konvensi ini;

i. setiap kegiatan perikanan;j. melakukan riset atau kegiatan survei;k. setiap kegiatan yang bertujuan mengganggu sistem komunikasi

atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai;l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung

dengan lintas.

3. Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)

Pada bagian-bagian tertentu di perairan kepulauan dan laut teritorial,

Indonesia harus menetapkan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI - sea lanes and

traffic separation schemes) untuk keperluan pelayaran internasional.8 Penyediaan

alur laut kepulauan ini sebagai konsekuensi Indonesai sebagai Negara Kepulauan

7 Pasal 17-19, 52 Konvensi Hukum Laut 1982.8 Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982.

7

Page 8: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(Archipelagic States) sebagaimana diminta oleh Pasal 53 Konvensi Hukum Laut

1982. Berdasarkan Pasal 53 Konvensi Hukum Laut ini diatur sebagai berikut,

antara lain :

a. Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di

atasnya yang sesuai digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara

asing secara terus menerus, langsung, dan secepat mungkin melalui

dan diatas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan

dengannya;

b. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut

kepulauan (archipelagic sea lanes passage) dalam alur laut dan rute

penerbangan ini;

c. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan

penerbangan sesuai dengan Konvensi dalam keadaan normal semata-

mata untuk tujuan transit terus menerus, langsung, dan secepat

mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona

ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif

lainnya;

d. Kapal-kapal dan pesawat udara di lintas alur laut kepulauan ini harus

tidak melebihi 25 mil ke kedua sisi garis sumbu dan tidak boleh

kurang 10% ke arah pantai dari titik terdekat pulau yang berbatasan

dengan alur laut tersebut;

e. Apabila Negara Kepulauan tidak menentukan alur laut dan rute

penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan

melalui rute-rute normal yang biasa digunakan untk pelayaran

internasional.

Ketentuan Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982 ini sudah dilakukan oleh

Indonesia sebagai Negara Kepulaan dengan adanya UU No. 6/1996 tentang

Perairan Indonesia dan PP No. 37/2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan

Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Berdasarkan PP No. 37/2002 ini,

Indonesia sebagai Negara Kepulauan telah menetapkan tiga jalur Alur Laut

8

Page 9: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu ALKI I dengan Cabang ALKI IA, ALKI II,

ALKI IIIA dengan Cabang IIIB, IIIC, IIID, dan IIIE sebagaimana terdapat dalam

Lampiran-lampiran PP tersebut. Pasal 11 ayat (1)menyatakan bahwa ALKI I

untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudra Hindia atau sebaliknya

melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda, sedangkan

ayat (2) adalah ALKI IA untuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut

Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia atau

sebaliknya atau melintasi Laut Natuna ke Laut Cina Selatan atau sebaliknya.

ALKI II untuk pelayaran dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores

dan Selat Lombok ke Samudra atau sebaliknya. ALKI IIIA untuk pelayaran dari

Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai

dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu ke Samudra Hindia atau sebaliknya.

ALKI Cabang IIIB untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku,

Laut Seram, Laut Banda dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya. ALKI

Cabang IIIC untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut

Seram dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. ALKI Cabang IIID

untuk pelayaran dari Samudra Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut

Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra

Hindia atau sebaliknya. ALKI Cabang IIIE untuk pelayaran dari Laut Sulawesi

melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu

sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudra

Hindia atau sebaliknya, atau melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda,

Selat Leti dan Laut Timor ke Samudra Hindia atau sebaliknya, atau Laut Seram

dan Laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.

4. Zona Tambahan

Zona tambahan (contiguous zone) bagi setiap negara pantai adalah sejauh

24 mil yang diukur dari garis pangkal sebagaimana mengukur luas laut teritorial.

Dalam zona ini Indonesia memiliki jurisdiksi control terhadap pencegahan

pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi, dan penegakan hukumnya. 9

5. Selat untuk pelayaran internasional

9 Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982.

9

Page 10: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Selat-selat yang terletak di antara dua negara atau lebih yang digunakan

untuk kepentingan pelayaran internasional (straits used for international

navigations) berlaku aturan hukum internasional tanpa merugikan status hukum

nasional, 10 sehingga diperlukan kerjasama antara negara-negara tersebut yang

bisa dibentuk sesuai dengan kesepakatan mereka, seperti Agreement antara

Indonesia, Malaysia, dan Singapore tentang Selat Malaka. Pada selat-selat untuk

pelayaran internasional ini berlaku hak lintas transit (transit passage) bagi kapal

(ships) dan pesawat udara (aircraft) asing. 11

6. Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE – Exclusive Economic Zone) diatur dalam

Pasal 55-75 Konvensi, yaitu suatu zona di luar dan berbatasan dengan laut

teritorial yang lebarnya 200 mil dari garis pangkal, di mana Indonesia mempunyai

hak berdaulat (sovereign rights) atas sumber kekayaan laut (hayati dan non-

hayati), riset ilmiah kelautan, perlindungan dan konservasi lingkungan laut,

pembuatan pulau-pulau buatan dan pemasangan instalasi dan bangunan. Dalam

pelaksanaannya, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban negara lain.

Pasal 61 menegaskan bahwa Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan

sumber daya hayati (pemanfaatan ikan secara optimal) dan konservasinya

termasuk di dalamnya pemberian izin kepada nelayan, penetapan jenis ikan yang

boleh ditangkap, aturan alat-alat penangkapan ikan dan pengelolaan jenis-jenis

ikan di ZEE (seperti anadromous, catadromous). 12

Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982 menguraikan hak, jurisdiksi, dan

kewajiban Negara pantai sebagai berikut :

Rights, jurisdiction and duties of the coastal State in the exclusive economic zone

1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:

(a) sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation and exploration of the zone, such as the production of energy from the water, currents and winds;

10 Pasal 34-36 Konvensi Hukum Laut 1982.11 Pasal 37-39 Konvensi Hukum Laut 1982.12 Lebih lanjut perhatikan Pasal 55- 75 Konvensi Hukum Laut 1982.

10

Page 11: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(b) jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this Convention with regard to:

(i) the establishment and use of artificial islands, installations and structures;

(ii) marine scientific research;

(iii) the protection and preservation of the marine environment;

(c) other rights and duties provided for in this Convention.

2. In exercising its rights and performing its duties under this Convention in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the rights and duties of other States and shall act in a manner compatible with the provisions of this Convention.

Pasal 56 di atas menjelaskan bahwa bahwa Negara pantai mempunyai hak

berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola

sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati termasuk juga kegiatan

kepentingan ekonomi seperti memproduksi energi dari air, arus, dan gelombang

laut. Di samping itu Negara pantai mempunyai jurisdiksi untuk membangun dan

memanfaatkan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan, melakukan

riset ilmiah kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 58

Konvensi yang berbunyi sebagai berikut :

1. In the exclusive economic zone, all States, whether coastal or land-locked, enjoy, subject to the relevant provisions of this Convention, the freedoms referred to in article 87 of navigation and overflight and of the laying of submarine cables and pipelines, and other internationally lawful uses of the sea related to these freedoms, such as those associated with the operation of ships, aircraft and submarine cables and pipelines, and compatible with the other provisions of this Convention.

2. Articles 88 to 115 and other pertinent rules of international law apply to the exclusive economic zone in so far as they are not incompatible with this Part.

3. In exercising their rights and performing their duties under this Convention in the exclusive economic zone, States shall have due regard to the rights and duties of the coastal State and shall comply with the laws and regulations adopted by the coastal State in accordance with the provisions of this Convention and other rules of international law in so far as they are not incompatible with this Part.

Maksud ketentuan Pasal 58 ini adalah bahwa semua Negara baik Negara

pantai maupun tidak berpantai menikmati kebebasan, penerbangan, dan

pemasangan kabel-kabel bawah laut dan pipa, serta penggunaan lainnya yang sah

11

Page 12: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

secara internasional, tetapi harus mentaati hukum dan peraturan perundang-

undangan di ZEE yang dibuat oleh Negara pantai itu sesuai dengan Konvensi ini

dan aturan hukum internasional lainnya. Sedangkan Pasal 59 menyatakan

penyelesaian apabila terjadi konflik mengenai pelaksanaan hak dan jurisdiksi di

ZEE suatu negara sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 59 Konvensi yang

berbunyia sebagai berikut :

“In cases where this Convention does not attribute rights or jurisdiction to the coastal State or to other States within the exclusive economic zone, and a conflict arises between the interests of the coastal State and any other State or States, the conflict should be resolved on the basis of equity and in the light of all the relevant circumstances, taking into account the respective importance of the interests involved to the parties as well as to the international community as a whole.”

Pasal 58 Konvensi ini menegaskan bahwa dalam hal terjadinya sengketa

antara Negara pantai dan negara tidak berpantai, maka harus diselesaikan dengan

memperhatikan prinsip-prinsip keadilan (the basis of equity) dan keadaan-

keadaan yang relevan dengan masyarakat internasional secara menyeluruh.

Adapun Pasal 60 Konvensi menguraikan hak eksklusif Negara pantai di pulau-

pulau buatan, instalasi, dan bangunan-bangunan sebagai berikut :

1. In the exclusive economic zone, the coastal State shall have the exclusive right to construct and to authorize and regulate the construction, operation and use of:

(a) artificial islands;

(b) installations and structures for the purposes provided for in article 56 and other economic purposes;

(c) installations and structures which may interfere with the exercise of the rights of the coastal State in the zone.

2. The coastal State shall have exclusive jurisdiction over such artificial islands, installations and structures, including jurisdiction with regard to customs, fiscal, health, safety and immigration laws and regulations.

3. Due notice must be given of the construction of such artificial islands, installations or structures, and permanent means for giving warning of their presence must be maintained. Any installations or structures which are abandoned or disused shall be removed to ensure safety of navigation, taking into account any generally accepted international standards established in this regard by the competent international organization. Such removal shall also have due regard to fishing, the protection of the marine environment and the rights and duties of other States. Appropriate publicity shall be given to the depth, position and dimensions of any installations or structures not entirely removed.

12

Page 13: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

4. The coastal State may, where necessary, establish reasonable safety zones around such artificial islands, installations and structures in which it may take appropriate measures to ensure the safety both of navigation and of the artificial islands, installations and structures.

5. The breadth of the safety zones shall be determined by the coastal State, taking into account applicable international standards. Such zones shall be designed to ensure that they are reasonably related to the nature and function of the artificial islands, installations or structures, and shall not exceed a distance of 500 metres around them, measured from each point of their outer edge, except as authorized by generally accepted international standards or as recommended by the competent international organization. Due notice shall be given of the extent of safety zones.

6. All ships must respect these safety zones and shall comply with generally accepted international standards regarding navigation in the vicinity of artificial islands, installations, structures and safety zones.

7. Artificial islands, installations and structures and the safety zones around them may not be established where interference may be caused to the use of recognized sea lanes essential to international navigation.

8. Artificial islands, installations and structures do not possess the status of

islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not

affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the

continental shelf.

7. Landas Kontinen

Landas kontinen ini merupakan daerah dasar laut dan tanah di bawahnya

yang merupakan kelanjutan alami (natural prolongation) dari daratan yang berada

di luar dan berbatasan dengan laut teritorial yang panjangnya 200 mil dari garis

pangkal. Pada landas kontinen tersebut Indonesia memiliki hak-hak berdaulat

untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam terutama non-

hayati. Lebar landas kontinen ini bisa mencapai 350 mil atau tidak melebihi 100

mil yang diukur dari kedalalamn (isobath) 2500 meter asalkan merupakan

kelanjutan alamiah dari daratan setiap negara pantai (coastal State). 13 Pasal 76

Konvensi Hukum Laut 1982 menentukan beberapa cara penarikan delimitasi

landas kontinen sebagai berikut :

1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to

13 Pasal 76-85 Konvensi Hukum Laut 1982.

13

Page 14: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.

2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits provided for in paragraphs 4 to 6.

3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.

4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by either:

(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to the foot of the continental slope; or

(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental slope.

(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient at its base.

5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.

6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.

7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of latitude and longitude.

8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical representation. The Commission shall make recommendations to coastal States on

14

Page 15: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

matters related to the establishment of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these recommendations shall be final and binding.

9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall give due publicity thereto.

10. The provisions of this article are without prejudice to the question of delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts.

Sedangkan hak negara pantai di landas kontinen ini sebagaimana diatur oleh Pasal 77 Konvensi adalah :

1. The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources.

2. The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities without the express consent of the coastal State.

3. The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation.

4. The natural resources referred to in this Part consist of the mineral and other non-living resources of the seabed and subsoil together with living organisms belonging to sedentary species, that is to say, organisms which, at the harvestable stage, either are immobile on or under the seabed or are unable to move except in constant physical contact with the seabed or the subsoil.

8. Laut Lepas

Laut lepas (high seas) adalah bagian laut (all parts of the sea) yang tidak

termasuk ZEE, Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, atau bagian laut setelah batas

ZEE. Di laut lepas setiap negara, baik negara pantai maupun tidak berpantai

(landlocked state), memiliki kebebasan, yang salah satunya adalah kebebasan

menangkap ikan (freedom of fishing, yang lebih lanjut diatur dalam Section 2

mengenai Conservation and Management of the Living Resources of the High

Seas. 14

9. Kawasan

Kawasan (the Area), yaitu suatu resources, kekayaan mineral berupa

padat, cair atau gas (solid, liquid and gaseous) termasuk polymetallic nodules

14 Pasal 86 – 120 Konvensi Hukum Laut 1982.

15

Page 16: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

yang terdapat di bawah dasar laut yang diatur lebih lanjut oleh International

Seabed Authority (ISA). Dalam Kawasan ini berlaku prinsip Common heritage of

mankind (warisan bersama umat manusia), artinya tidak ada negara yang boleh

melaksanakan kedaulatannya di Kawasan tersebut, tetapi Kawasan adalah untuk

kepentingan penelitian ilmiah dan tujuan damai bagi seluruh umat manusia. 15

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 itu Indonesia harus menundukkan diri terikat dan harus menetapkan batas-batas wilayah negara di berbagai zona maritim sesuai dengan rezim-rezimnya, yaitu sebagai berikut :

No. Zona Maritim Status Hukum Kedaulatan atau Yurisdiksi

Batas Terluar

1. Laut Teritorial Wilayah Negara (NKRI)

Kedaulatan 12 mil laut

2. Perairan Kepulauan Wilayah Negara (NKRI)

Kedaulatan Garis pangkal

3. Perairan Pedalaman Wilayah Negara (NKRI)

Kedaulatan Garis penutup

4. Zona Tambahan Bukan Wilayah Negara

Yurisdiksi khusus 24 mil laut

5. Zona Ekonomi Eksklusif Bukan Wilayah Negara

Hak berdaulat & yurisdiksi khusus

200 mil laut

6. Landas Kontinen Bukan Wilayah Negara

Hak berdaulat 200-350 mil laut / 100 mil dari isobath 2500 m

7. Laut Lepas Tunduk Rezim Internasional

Terbuka/kebebasan bagi semua negara

Di luar ZEE

8. Kawasan Tunduk pada Rezim Internasional (ISA)

Common heritage of mankind

Di luar ZEE dan/atau LK

Penetapan batas-batas wilayah negara pantai seperti Indonesia sebagaimana diatur

oleh Konvensi ini adalah jelas secara juridis, sedangkan teknisnya dilakukan oleh negara-

negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan (opposite or adjacent coasts) baik

15 Lihat selanjutnya ketentuan Pasal 133 – 153 Konvensi Hukum Laut 1982.

16

Page 17: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

melalui perjanjian bilateral maupun multilateral yang menyangkut perbatasan wilayah

negara di laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, atau di landas kontinen.

IV. Prinsip - prinsip Penetapan Batas Negara di Laut Teritorial, Zona Ekonomi

Eksklusif (ZEE), dan Landas Kontinen menurut Konvensi Hukum Laut 1982

dan Putusan Hakim dari Kasus-Kasus

1. Laut Teritorial (Territorial Sea) : Penegasan batas wilayah negara di laut

teritorial diatur dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 (Delimitation of the

territorial sea between States with opposite or adjacent coasts) berbunyi :

“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.”

“Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan

satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan

diantara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah

yang titik-titiknya sama jarak dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal

dimana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur. Tetapi ketentuan di

atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain

yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua

Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.” 16

Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa penetapan batas wilayah negara di laut

teritorial adalah sebagai berikut : (1)ditetapkan melalui persetujuan; (2)batasnya

berupa suatu garis tengah (median line) yang diukur sama jarak (equidistance)

16 Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982 : “Where the coasts of the States are opposite or adjacent to each other , neither of the two States is tittle, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historical title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith.”

17

Page 18: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

dari titik-titik terdekat pada garis pangkal masing-masing negara; (3) ditetapkan

batas-batasnya dengan memperhatikan adanya hak historis (historical tittle) atau

keadaan khusus lainnya. Ketentuan Pasal 15 Konvensi ini sudah diadopsi oleh

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yaitu Pasal 10

yang berbunyi : ayat (1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau

berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis

batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah

yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal

darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur; ayat (2) Ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak

historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas

laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan

ketentuan tersebut. Ketentuan Pasal 10 UU No.6/1996 sama persis dengan

ketentuan Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan lebih lanjut mengenai

titik pangkal garis pangkal adalah Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia. Pasal 16 Konvensi menyatakan bahwa penetapan batas laut teritorial

ini harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai penetapan garis

posisinya, atau membuat daftar titik-titik koordinat geografis yang menjelaskan

datum geodetik (geodatic datum). Setelah itu diumumkan sebagaimana mestinya

dan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini

harus dilakukan oleh Indonesia, mendaftarkan data wilayah termasuk semua

pulau yang berada di bawah kedaulatan NKRI di PBB, sehingga tidak terulang

kasus pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi milik Malaysia karena Indonesia kalah

telak di forum Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002 itu. Beberapa

kasus penyelesaian sengketa perbatasan negara di zona maritim ini misalnya :

Delimitation of Maritime Boundary in Gulf of Maine Area tahun 1984 (Kanada

dan USA), Frontier Dispute tahun 1987 (Burkina Faso dan Mali), Land, Island,

and Maritime Frontier Dispute tahun 1986 (El Salvador dan Honduras).

Dalam menentukan batas negara di laut teritorial berdasarkan praktik

umum adalah berdasarkan kesepakatan garis tengah (median line), yaitu garis

18

Page 19: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

sama jarak (equidistant) dari titik-titik terdekat pantai negara yang saling

berhadapan, seperti dalam kasus Perjanjian Swedia-Denmark tahun 1932,

Perjanjian Inggris-Sultan Johor di Selat Johor tahun 1928. Penentuan garis batas

di laut teritorial antara negara yang saling berdampingan (adjacent States)

menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle), yaitu menarik garis

tengah dari batas pantainya, seperti dalam kasus Perjanjian Kolombia-Panama

tahun 1976, Perjanjian Polandia-USSR tahun 1958, Perjanjian Brasil-Uruguay

tahun 1972 tentang Tepi Sungai Chuy dan Batas Laut Lateral (1972 Brazil-

Uruguay Agreement on the Chuy River Bank and the Lateral Sea Limit).

Batas maritim antara negara yang berdampingan ada yang menggunakan

cara garis lintang (the line of latitude), yaitu garis melalui titik dimana batas darat

(land boundary) bertemu di laut, seperti yang digunakan dalam kasus Perjanjian

antara Ekuador-Kolombia tahun 1975 (the 1975 delimitation agreement between

Ecuador and Colombia). Demikian juga penetapan batas negara ini ada dengan

memperhatikan keadaan khusus (special circumstances) seperti :

(1)adanya pulau di lepas pantai (presence of offshore islands);

(2)konfigurasi umum dari sebuah pantai (the general configuration of the coast);

dan (3)klaim terhadap batas negara berdasarkan nilai sejarah (based upon an

historic title). Kasus Perjanjian antara India dan Srilanka tentang Batas di Perairan

bersejarah antara dua negara itu (the 1974 Agreement between India and Srilanka

on the Boundary in Historic Waters), atau garis tengah yang dimodifikasi (a

modified median line) dengan memperhatikan faktor-faktor bersejarah (historical

factors). Penetapan batas negara di laut teritorial umumnya menggunakan

koordinat geografis demi kepastian (certainty) dan sederhana (simplicity) atau

yang dilandasi dengan semangat kesepakatan (a spirit of compromise).

Dalam kasus Guinea/Guinea-Bissau tahun 1985 Mahkamah memutuskan

bahwa delimitasi antara dua negara harus diukur untuk mencapai satu tujuan,

yaitu penyelesaian secara adil (an equitable solution) sesuai dengan keadannya.

Penentuan batas negara di laut teritorial menurut aturan hukum internasional telah

sesuai dengan praktik negara-negara itu sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 15

Konvensi Hukum Laut 1982 di atas. Dalam kasus Dubai/Sharjah Border

19

Page 20: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Arbitration tahun 1981 dimana kedua negara Arab ini saling berdampingan

(adjacent) satu sama lain yang mempunyai garis pantai lurus (straight coast), dan

Arbitrasi menggunakan hukum kebiasaan internasional (customary international

law), yaitu menarik garis sama jarak menyamping dari kedua pantai negara itu (a

lateral equidistance line from the coast) sesuai dengan ketentuan Pasal 12

Konvensi Laut Teritorial tahun 1958 atau Pasal 15 Konvensi Hukum Laut 1982

yang berlaku sekarang.

2. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)

Penetapan batas negara untuk melaksanakan hak berdaulat di zona ekonomi

eksklusifnya diatur dalam Pasal 74 Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi :

1. The delimitation of the exclusive economic zone between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.

2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.

3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.

4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions relating to the delimitation of the exclusive economic zone shall be determined in accordance with the provisions of that agreement.

Negara Pantai harus menunjukkan batas-batas negaranya di Zona Ekonomi

Eksklusif dengan daftar kordinat geografis dan skala petanya (Charts and lists of

geographical coordinates) yang diakui oleh negara pantai tersebut sebagai

diminta oleh Pasal 75 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu yang berbunyi :

1. Subject to this Part, the outer limit lines of the exclusive economic zone and the lines of delimitation drawn in accordance with article 74 shall be shown on charts of a scale or scales adequate for ascertaining their position. Where appropriate, lists of geographical coordinates of points, specifying the geodetic datum, may be substituted for such outer limit lines or lines of delimitation.

20

Page 21: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

2. The coastal State shall give due publicity to such charts or lists of geographical

coordinates and shall deposit a copy of each such chart or list with the Secretary-

General of the United Nations.

(1)Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya

berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan berdasarkan

hukum internasional untuk mencapai solusi yang adil; (2)Apabila tidak dapat

dicapai persetujuan, Negara-negara tersebut harus menggunakan ketentuan Bab

XV (Settlement of Disputes); (3)Apabila belum ada persetujuan, Negara-negara

tersebut harus membentuk pengaturan sementara (provisional arrangement) untuk

mencapai penetapan akhir mengenai perbatasan di zona ekonomi eksklusif.

Penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini harus dicantumkan dalam peta

dengan skala daftar titik-titik koordinat geografis yang kemudian diumumkan dan

disampaikan kepada Sekjen PBB, seperti halnya ketentuan Pasal 16 Konvensi

Hukum Laut 1982 mengenai perbatasan di laut teritorial. Jadi berbeda dengan

cara penetapan batas laut teritorial, penetapan batas di zona ekonomi eksklusif ini

hanya dengan persetujuan di antara negara-negara tersebut. Beberapa kasus

berkenaan dengan zona ini adalah, misalnya, kasus Franco-Canadian Fisheries

Arbitration tahun 1985.

Penentuan batas negara di Zona Ekonomi Eksklusif mengacu pada hukum

kebiasaan international yang dikembangkan oleh Mahkamah Internasional dan

pengadilan arbitrasi lainnya, seperti dalam kasus Greenland/Jan Mayen, Gulf of

Maine tahun 1984 antara AS dan Kanada. Dalam kasus Gulf of Maine, Mahkamah

menegaskan dua norma dasar dalam menyelesaikan sengketa delimitasi maritim,

yaitu sebagai berikut :

(1) No martime delimitation between States with opposite or adjacent coasts may

be effected unilaterally by one of those States. Such delimitation must be

sought and effected by means of an agreement, following negotiations

conducted in good faith and with athe genuine intention of achieving a

positive result. Where, however, such agreement cannot be achieved,

delimitations should be effected by recourse to a third party possessing the

necessary competence;

21

Page 22: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(2) In either case, delimitation is to be effected by application of equitable

criteria and by the use of practical methods capable of ensuring, with regard

to the geographic configuration of the area and other relevant circumstances,

an equitable result.

Pendapat Mahkamah ini adalah bahwa tidak ada delimitasi maritim antara

negara yang berhadapan atau berdampingan dapat efektif dengan tindakan satu

pihak saja, tetapi perbatasan itu akan efektif oleh perjanjian melalui perundingan

yang dilakukan dengan itikad baik (good faith) dan mencapai hasil yang positif.

Apabila persetujuan tersebut tidak tercapai, perbatasan negara itu diselesaikan

oleh pihak ketiga yang mempunyai kewenangan. Dalam kasus lain, delimitasi

harus dilakukan melalui penerapan kriteria yang adil dan menggunakan cara yang

praktis untuk menjamin hasil yang adil seperti memperhatikan konfigurasi

geografik dan keadaan-keadaan khusus. Pendapat Mahkamah ini diadopsi oleh

Konvensi Hukum Laut 1982 dan bahkan sudah menjadi hukum kebiasaan

internasional.

3. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Pengukuran batas negara di landas kontinen tidak berdasarkan pada

prinsip yang tetap, tetapi berdasarkan perjanjian antara negara-negara yang

berbatasan dengan landas kontinen tersebut. Sejarah pertama pengukuran

perbatasan di landas kontinen terjadi tahun 1942 antara koloni Inggris (British

colony), yaitu Trinidad dan Venezuela di Teluk Paria (the Gulf of Paris) dengan

menggunakan prinsip pembagian yang adil (equitable division). Pada tahun 1945

AS mengeluarkan Truman Proclamation yang mengacu pada prinsip keadilan

(equitable principles) dalam menentukan batas-batas negara di landas kontinen.

Dalam praktik negara-negara pengukuran landas kontinen memperhatikan

konfigurasi pantai negara yang bersangkutan, seperti kasus penentuan landas

kontinen antara Belanda, Denmark, dan Jerman tahun 1969 yang dikenal dengan

kasus North Sea Continental Shelf. Dalam kasus Laut Utara ini Jerman menolak

menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle) karena Jerman menilai

prinsip ini tidak adil baginya disebabkan Jerman memiliki keadaan khusus

22

Page 23: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(special circumstances). Apabila ada keadaan khusus tersebut, maka pengukuran

landas kontinen berdasarkan prinsip sama jarak dapat disimpangi karena tidak adil

bagi negara tersebut, seperti pada Jerman. Ketentuan delimitasi landas kontinen

dalam kasus Laut Utara ini mengacu pada Konvensi Landas Kontinen (Konvensi

Jenewa 1958) dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “… the boundary of the

continental shelf appertaining to such States shall be determined by agreement

between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is

justified by special circumstances … the boundary shall be determined by

application of the principle of equidistance from the nearest points of the

baselines …”

Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 ini menerapkan prinsip sama jarak

(equidistance) dan memperhatikan keadaan khusus (special circumstances) dalam

mengukur landas kontinen apabila memang tidak ada kesepakatan antara kedua

negara tersebut. Dalam kasus North Sea itu, Jerman tidak meratifikasi Konvensi

Jenewa 1958, tetapi apabila ada negara yang bukan peserta Konvensi ini, maka

hukum kebiasaan internasional dapat diterapkan. Hukum kebiasaan internasional

dikembangkan oleh putusan-putusan Mahkamah Internasional (International

Court of Justice) dan pengadilan-pengadilan arbitrase.

Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional misalnya

kasus ‘landmark’ North Sea Continental Shelf tahun 1969 (Jerman, Denmark, dan

Beland), kasus Continental Shelf tahun 1982 (Tunisia dan Libya), kasus

Continental Shelf tahun 1985 (Libya dan Malta), Kasus Maritime Delimitation in

the Area berween Greenland and Jan Mayen (Denmark dan Norwegia) tahun

1993, Application for revision and interpretation of judgment of 24 February

1982 concerning the Continental Shelf (Tunisia dan Libya), kasus Aegean Sea

Continental Shelf tahun 1978 (Yunani dan Turki), Kasus Teluk Maine (Gulf of

Maine) antara batas landas kontinen dan zona penangkapan ikan antara AS dan

Kanada. Kasus Sipadan-Ligitan yang diputuskan Mahkamah Internasional 17

Desember 2002 semula dari landas kontinen yang ketika itu akan diukur oleh

Indonesia dan Malaysia. Dalam kasus Sipdan-Ligitan tersebut Mahkamah

memutuskan bahwa kedaulatan atas kedua pulau itu adalah menjadi milik

23

Page 24: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Malaysia. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa persoalan perbatasan wilayah

di landas kontinen adalah persoalan yang sangat pelik dan penting bagi negara-

negara bahkan mungkin dapat menjadi sengketa bersenjata. Sedangkan

pembentukan hukum kebiasaan internasional melalui pengadilan-pengadilan

arbitrasi misalnya kasus the Anglo-French Continental Shelf tahun 1977, kasus

the Dubai/Sharjah Border Arbitration tahun 1981, dan kasus the Delimitation of

Maritime Areas between Canada and the French Republic tahun 1992 mengenai

batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif 200 mil laut.

Dalam beberapa kasus tersebut, Mahkamah Internasional dan pengadilan

lainnya tidak mendasarkan pada aturan konvensi internasional, tetapi pada praktik

negara-negara sehingga menjadi hukum kebiasaan internasional yang diterima

oleh negara dan sesuai dengan opinio juris sive necessitaties. Dalam kasus North

Sea tahun 1969 itu adalah hukum kebiasaan internasional yang digunakan dimana

Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal untuk mengukur batas

negara di landas kontinen yang harus dilakukan (compulsory) karenanya

Mahkamah menegaskan berdasarkan hukum kebisaan sebagai berikut :

“delimitation is to be effected by agreement in accordance with equitable

principles and taking account of all the relevant circumstances, in such a way as

to leave as much possible to each Party all those parts of the continental shelf

that constitute a natural prolongation of its land territory into and under the sea,

without encroachment on the natural prolongation on the land territory of the

other.” Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut, Mahkamah memberikan a

larger share kepada Jerman dibandingkan kalau pengukuran landas kontinen di

Laut Utara itu menggunakan prinsip sama jarak (the equidistance principle)

karena landas kontinen Jerman mempunyai kelanjutan alamiah dari wilayah

daratannya. Mahkamah mengakui bahwa kasus-kasus sengketa perbatasan negara

di landas kontinen akan efektif dengan adanya persetujuan sesuai dengan prinsip

keadilan (equitable principles) dan memperhatikan keadaan-keadaan yang

relevan.

Mahkamah Internasional sejak adanya kasus Tunisia/Libya telah

menekankan pentinya pengukuran delimitasi di wilayah laut, yaitu untuk

24

Page 25: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

mencapai tujuan hasil yang seadil-adilnya (an equitable result), meskipun

pendapat ini tidak berarti putusan Mahkamah harus bersifat ex aequo et bono

(putusan berdasarkan kepatutan dan keadilan). Sedangkan pengadilan arbitrase

dalam kasus Anglo-French Continental Shelf tahun 1977 antara Prancis dan

Inggris itu yang keduanya peserta Konvensi Jenewa 1958 menyatakan bahwa

aturan equidistance dan special circumstances sebagaimana terdapat dalam Pasal

6 itu merupakan satu-satunya cara penentuan batas negara di landas kontinen

apabila tidak ada perjanjian, sedangkan norma umumnya adalah bahwa

pengukuran landan kontinen ditentukan berdasarkan prinsip keadilan (equitable

principles). Mahkamah Internasional dalam kasus Greenland/Jay Mayen antara

Norwegia dan Denmark menyatakan sebagai berikut : “ If the equidistance-

special circumstances rule of the 1958 Convention is, in the light of this 1977

Decision, to be regarded as expressing a general norm based on equitable

principles, it must be difficult to find any material difference – at any rate in

regard to delimitation between opposite coasts – between the effect of Article 6

and the effect of the customary rule which also requires a delimitation based on

equitable principles.”

Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi Jenewa yang

mengatur Landas Kontinen merupakan sebuah hukum kebiasaan internasional

sekurang-kurangnya untuk mengukur landas kontinen negara yang berhadapan

dengan menggunakan prinsip sama jarak dengan memperhatikan keadaan-

keadaan khusus. Dalam kasus Landas Kontinen antara Prancis dan Inggris itu,

pengadilan arbitrase menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 itu memiliki sifat

mengikatnya diwajibkan (obligatory force), yang berarti tidak mempunyai

kekuatan yang sama berdasarkan ketentuan hukum kebiasaan dan bahwa aturan

hukum kebiasaan itu adalah relevan dan bahkan merupakan cara yang penting

baik untuk menafsirkan maupun melaksanakan ketentuan Pasal 6 Konvensi

Jenewa 1958 tersebut. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam menentukan batas-

batas negara sesuai dengan hukum kebiasaan itu sering dijadikan oleh pengadilan

untuk menyelesaikan sengketa perbatasan antarnegara.

25

Page 26: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Ketentuan penetapan batas di landas kontinen menurut perjanjian

internasional terdapat dalam Pasal 83 (Delimitation of the continental

shelfbetween States with opposite or adjacent coasts) Konvensi Hukum Laut 1982

yang format bunyi pasalnya sama dengan Pasal 74, yaitu melalui kesepakatan

kedua negara atau lebih yang berhadapan atau berdampingan berdasarkan hukum

internasional. Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi sebagai berikut :

1. The delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution.

2. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, the States concerned shall resort to the procedures provided for in Part XV.

3. Pending agreement as provided for in paragraph 1, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature and, during this transitional period, not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation.

4. Where there is an agreement in force between the States concerned, questions relating to the delimitation of the continental shelf shall be determined in accordance with the provisions of that agreement.

Maksud ketentuan Pasal 83 ini adalah bahwa delimitasi landas kontinen

antara negara yang berhadapan atau berdampingan harus dilakukan melalui

persetujuan berdasarkan hukum internasional sebagaimana diatur oleh Pasal 38

Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai solusi yang adil. Pasal 38

Statuta Mahkamah mengatur sumber hukum internasional, yaitu ada empat : 17

(1)perjanjian; (2)kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum;

(3)prinsip-prinsip umum hukum; (4)keputusan pengadilan dan ajaran sarjana

terkemuka. Keempat sumber hukum internasional dapat dijadikan acuan untuk

menentukan batas-batas negara di landas kontinen. Apabila belum ada

kesepakatan yang dicapai oleh negara-negara, maka negara yang bersangkutan

dapat menempuh prosedur sebagaimana diatur oleh Bab XV Konvensi Hukum

Laut 1982. Bab XV ini mengatur penyelesaian sengketa antarnegara dengan cara-

cara damai seperti diatur oleh Pasal 279-299 Konvensi Hukum Laut 1982 yang

17 Article 38 of the Statute of the International Court of Justice : (a)international convention; (b)international customary; (c)the general principles of law; (d)judicial decision and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations as subsidiary means.

26

Page 27: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

memberikan mekanisme penyelesaian sengketanya yang diatur dalam. Pasal 279

menyatakan bahwa negara-negara berkewajiban menyelesaikan sengketanya

dengan cara damai (peaceful means) yang menunjuk ketentuan Pasal 33 Piagam

PBB sebagaimana dikemukakan di atas. 18

Pilihan prosedur penyelesaian sengketa menurut Konvensi terdapat dalam

Pasal 287, yaitu : (a)Mahkamah Internasional Hukum Laut (the International

Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS) yang diatur lebih lanjut dalam Annex VI;

(b)Mahkamah Internasional (the International Court of Justice-ICJ);

(c)Mahkamah Arbitrase (arbitral tribunal) yang diatur lebih lanjut dalam Annex

VII; (d)Mahkamah Arbitrase khusus (special arbitral tribunal) yang diatur lebih

lanjut dalam Annex VIII. Apabila belum ada perjanjian yang dimaksud ayat (1)

Pasal 83 di atas, maka negara-negara yang bersangkutan dalam semangat

pengertian dan kerja sama harus membuat pengaturan sementara (provisional

arrangements) selama waktu transisi yang tidak merusak atau membahayakan

perjanjian akhir atau delimitasi akhir, sehingga persoalan yang menyangkut

perbatasan landas kontinen ini harus mengacu pada kesepakatan sementara itu.

Penerapan hukum kebiasaan yang mengacu pada prinsip equidistance atau

equitable solution itu untuk mencapai penyelesaian secara adil itu digunakan

dalam beberapa kasus, seperti kasus Libya/Malta yang diselesaian oleh forum

Mahkamah Internasional pada tahun 1985 dan Greenland/Jan Mayend, North

Sea Continental Shelf tahun 1969, dan Tunisia/Malta tahun 1982. Dalam kasus

Laut Utara tahun 1969 itu, Mahkamah Internasional menganalisis ketentuan Pasal

6 Konvensi Landas Kontinen 1958 yang mempertimbangkan setiap keadaan

khusus (special circumstances) yang membenarkan penarikan garis tengah

(median line) batas landas kontinen, sedangkan hukum kebiasaan internasional

meminta harus memperhatikan keadaan yang relevan (relevant circumstances).

Keadaan khusus atau special circumstances itu secara tradisional berarti sebagai

berikut : (a)keadaan pantai yang menyempit (fairly narrow in scope);

18 Pasal 33 Piagam PBB : “the parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements , or other peaceful means of their own choice”.

27

Page 28: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(b)konfigurasi pantai yang beda dengan konfigurasi pantai negara lain, (c)adanya

pulau-pulau (the presence of islands); dan (d)jalur yang digunakan pelayaran

(navigable channel). Sedangkan keadaan yang relevan atau relevant

circumstances itu berarti keadaan pantai yang meluas (much wider in scope)

seperti dalam kasus North Sea Continental Shelf dimana Mahkanah Internasional

menyarankan bahwa tidak ada batas terhadap jenis keadaan tersebut yang dapat

diperhatikan dalam menghasilkan delimitasi yang adil (equitable delimitation).

Dalam kasus Greenland/Jan Mayen Mahkamah Internasional menyatakan bahwa

ketentuan Pasal 6 itu adalah sebuah kebiasaan internasional yang didalamnya

memperhatikan special circumstances dan relevant circumstances yang berbeda

asal-usulnya, tetapi keduanya dapat digunakan untuk mencapai hasil secara adil

(equitable result) khususnya negara-negara yang mempunyai pantai berhadapan

(opposite coasts) seperti kasus Libya/Malta dan Greenland/Jan Mayen dan

Mahkamah Internasional mempunyai pertimbangan yang luas untuk menentukan

hasil yang adil tersebut yang sering mengacu pada kasus-kasus sebelumnya.

Mahkamah internasional dalam berbagai putusan terhadap kasus-kasus

sengketa perbataan sangat memperhatikan keadaan khusus atau yang relevan

tersebut, seperti dalam kasus Tunisia/Libya memperhatikan perubahan arah garis

pantai Tunisia, kasus North Sea Continental Shelf karena dalam kasus ini garis

pantai Jerman mempunyai keadaan khusus. Demikian juga Mahkamah

mempertimbangkan keadaan yang relevan dalam hal kehadiran pulau (the

presence of islands). Pulau-pulau kecil biasanya diberikan aturan atau tindakan

tidak penuh (less than full effect), yaitu Mahkamah yang biasanya menggunakan

garis sama jarak (an equidistance line) sebagai cara untuk membuat perbatasan,

tetapi akan menggunakan jarak tidak sama (not equidistant) antara pulau itu

dengan pantai yang berhadapan, seperti dalam contoh kasus Anglo-French

Continental Shelf tahun 1977 dimana Mahkamah memperlakukan Pulau Sisilia

(the Scilly Isles) dengan setengah effek (half effect), yaitu garis perbatasan dibagi

dua atau setengah dari keduanya (halfway between). Demikian juga dalam kasus

Tunisia/Libya. Mahkamah memberikan tindakan sepenuh efek dalam kasus

Libya /Malta dan Greenland/Jan Mayen.

28

Page 29: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

4. Garis Pangkal (Baselines) :

Garis Pangkal Normal

Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi : “Every State has the right

to establish the breadth of its territorial sea up to a limit not exceeding 12

nautical miles, measured from baselines determined in accordance with this

Convention”, yang artinya adalah bahwa setiap negara mempunyai hak untuk

menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut yang

diukur dari garis pangkal sesuai dengan Konvensi ini. Konvensi ini mengatur tiga

jenis penetapan garis pangkal, yaitu garis pangkal normal (normal baseline), garis

pangkal lurus (straight baseline), dan garis pangkal kepulauan (archipelagic

baselines). Garis pangkal normal diatur oleh Pasal 5 Konvensi yang berbunyi :

“Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for

measuring the breadth of the territorial sea is the low water line along the coast

as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”, yaitu

garis pangkal normal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah

sepanjang pantai yang ditandai dalam peta skala besar yang resmi diakui oleh

Negara pantai tersebut.

Garis Pangkal Lurus (Straight Baselines)

Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa apabila pantai

suatu negara menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam (deeply indented

and cut into) atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai (a fringe of

islands), maka dapat digunakan penarikan garis pangkal lurus (straight baseline)

untuk mengukur lebar laut teritorialnya. Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh

menyimpang terlalu jauh dari arah umum pada pantai suatu negara. Garis pangkal

lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika di atasnya didirikan

mercu suar atau instalasi serupa yang permanen. Dalam menentukan garis

pangkal ini dapat diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus yang

kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktik yang berlangsung

lama. Pasal 7 ini juga menegaskan bahwa sistem penarikan garis pangkal lurus

29

Page 30: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

tidak boleh digunakan, sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut

lepas atau zona ekonomi eksklusif.

Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines)

Pasal 46-47 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan pengertian Negara

Kepulauan dan garis pangkal kepulauan. Pasal 46 huruf (a) berbunyi : (a)

"archipelagic State" means a State constituted wholly by one or more

archipelagos and may include other islands”, yaitu bahwa Negara kepulauan

berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan

dapat mencakup pulau-pulau lain, sedangkan arti kepulauan terdapat dalam huruf

(b) yang berbunyi : “archipelago" means a group of islands, including parts of

islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely

interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic

geographical, economic and political entity, or which historically have been

regarded as such. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,

perairan diantaranya dan wujud alamiah lainnya yang hubungan satu sama lain

demikian erat, sehingga perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu

kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau secara historis dianggap

demikian.

Pasal 47 Konvensi Hukum Laut menjelaskan bahwa Negara Kepulauan

dapat menggunakan garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik

terluar dari pulau-pulau dan karang kering terluar dari kepulauan itu (outermost

points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago), dengan

ketentuan garis pangkal ini termasuk pulau-pulau utama (the main lands) dengan

perbandingan perairan dan daratan antara satu berbanding satu dan sembilan

berbanding satu (1 to 1 and 9 to 1). Panjang garis pangkal ini tidak boleh melebihi

100 mil kecuali hingga 3 % dari jumlah total garis pangkal yang mengelilingi

setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut sampai maksimu 125 mil.

Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi

umum kepulauan tersebut. Garis pangkal kepulauan tidak boleh ditarik ke dan

dari elevasi surut kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercusuar atau

instalasi yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apaabila

30

Page 31: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang

tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat. Penarikan garis pangkal

kepulauan tidak boleh memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau

zona ekonomi eksklusif. Garis pangkal kepulauan ini harus dicantumkan pada

peta dengan skal yang memadai menegaskan posisinya, atau sebagai gantinya

dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas merinciu datum

geodetik. Negara Kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta

atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan salinannya pada

Sekretaris Jenderal PBB.

Pasal 14 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi : “the Coastal State may

determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing

articles to suit different condition”, yang maksudnya adalah bahwa Negara Pantai

dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara

penarikan manapun yang diatur dalam Konvensi. Penetapan garis pangkal baik

garis pangkal normal, garis pangkal lurus, maupun garis pangkal kepulauan secara

bergantian ini telah dilakukan oleh Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus

Negara Kepulauan sebagaimana terdapat dalam aturan Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia. Pasal 3 dari PP tersebut ditegaskan bahwa di antara

pulau-pulau terluar dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal

untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis pangkal lurus kepulauan.

Berdasarkan PP ini ada Pulau Dana yang merupakan pulau terluar yang termasuk

Propinsi Nusa Tenggara Timur (dekat Pulau Roti) yang tidak berpenduduk tidak

ada suar yang berbatasan dengan Australia di Karang Ashmore (Ashmore reef).

Pulau Dana ini terletak di titik dasar 121 52’ 22’’ Bujur Timur dengan jarak 65.43

mil dan di pulau terluar ini Indonesia menggunakan garis pangkal lurus

kepulauan.

VI. Implikasinya Bagi Kedaulatan NKRI di Pulau-Pulau Terluar

Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 Tahun 2005 terdapat 92 pulau

dengan statuts pulan terluar atau yang berbatasan langsung dengan negara-negara

31

Page 32: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

tetangga, tetapi dari 92 pulau terluar itu hanya ada 12 pulau yang memerlukan

perhatikan serius pemerintah karena dikhawatirkan diokupasi oleh pihak asing.

Dinas Hidro-Oseanografi Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan

Laut yang selama ini mencatat dan memantau ke-12 pulau terluar RI yang

berbatasan dengan negara tetangga itu mengatakan perlu mendapat perhatian

khusus karena dikhawatirkan akan menjadi sengketa dengan negara tetangga

tersebut. Dengan adanya perhatian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap

pulau-pulau terluar tersebut diharapkan tetap menjadi bagian dari kedaulatan dan

keutuhan NKRI. Pulau-pulau terluar tersebut adalah Pulau Rondo (1) yang berada

di Provinsi Aceh (Nagroe Aceh Darussalam) berbatasan dengan India, di mana

pulau ini tidak berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar. Pulau Berhala (2) yang

terletak di Provinsi Sumatra Utara, tidak berpenduduk, tetapi telah dibangun suar

berbatasan dengan Malaysia. Pulau Nipa (3) termasuk ke daerah Provinsi Riau,

tidak berpenduduk, telah dibangun suar dan berbatasan dengan Singapore. Pulau

Sekatung (4) masih termasuk Provinsi Riau, tidak berpenduduk, telah dibangun

suar dan berbatasan dengan Vietnam. Pulau Marore (5) dan Miangas (6) yang

keduanya berada di Provinsi Sulawesi Utara, berpenduduk, telah dibangun suar

dan berbatasan dengan Philipina. Di kedua pulau terluar ini sudah kental dengan

budaya negara tetangga tersebut bahkan kebutuhan sehari-hari masyarakatnya di

dapat dari Philipina. Pulau Fani (7) dan Pulau Fanildo/PP Mapia (8) dan Pulau

Bras/PP Mapia (9) atau termasuk Provinsi Irian Jaya (Papua), tidak berpenduduk,

di Pulau Fani telah dibangun suar, tetapi di Pulau Fanildo dan Bras belum ada

suar, ketiga pulau terluar ini berbatasan dengan Palau. Pulau Batek (10) termasuk

ke daerah NTT, tidak berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar berbatasan dengan

Timor Leste. Pulau Dana (11) berada di Provinsi NTT, tidak berpenduduk, belum

ada suar dan berbatasan dengan Australia, sedangkan pulau terluas ke-12 adalah

Pulau Marampit yang berada di Provinsi Maluku sudah ada penduduknya, tetapi

belum ada suar dan berbatasan dengan Philipina.

Beberapa perjanjian perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga adalah sebagai berikut :

32

Page 33: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

No. Pokok Perjanjian Indonesia – Negara lain

Tempat/tgl Perjanjian

Status Perjanjian

1 Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen RI-Malaysia

Indonesia - Malaysia

Kualalumpur, 27 Oktober 1969

Ratifikasi dgn Keppres No. 89/1969 (5 Nov 1969)

2 Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia

Indonesia - Malaysia

Kualalumpur, 17 Maret 1970

Ratifikasi dgn UU No. 2/1971 (10 Maret 1971)

3 Persetujuan Garis Batas Dasar Laut Tertentu di Landas Kontinen RI-Australia

Indonesia - Australia

Canberra, 18 Mei 1971

Ratifikasi dgn Keppres No. 42/1971 (1 Juli 1971)

4 Persetujuan Batas Landas Kontinen RI-Thailand

Indonesia - Thailand

Bangkok, 17 Desember 1971

Ratifikasi dgn Keppres No. 21/1972 (11 Maret 1972)

5 Persetujuan Batas Landas Kontinen RI-Malaysia-Thailand

Indonesia-Malaysia-Thailand

Kualalumpur, 21 Desember 1971

Ratifikasi dgn Keppres No. 20/1972 (11 Maret 1972)

6 Persetujuan Batas-Batas Laut Tertentu di Landas Konitinen Tambahan Persetujuan 1971

Indonesia – Australia

Jakarta, 9 Oktober 1972

Ratifikasi dgn Keppres No. 66/1972 (4 Desember 1972)

7 Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah

Indonesia - Singapore

Jakarta, 25 Mei 1973

Ratifikasi dgn UU No. 7/11973 (8 Desember 1973)

8 Perjanjian Garis-Garis Batas Tertentu RI-PNG antara RI-Australia

Indonesia - Australia

Jakarta, 12 Februari 1973

Ratifikasi dgn UU No. 6/1973 (8 Desember 1973)

9 Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen

Indonesia - India

Jakarta, 8 Agustus 1974

Ratifikasi dgn Keppres No. 51/1974 (25 September 1974)

10 Persetujuan Perpanjangan Batas Landas Kontinen

Indonesia - India

New Delhi, 14 Januari 1977

Ratifikasi dgn Keppres No. 6/1973 (8

33

Page 34: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Desember 1973)

11 Persetujuan Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas & Penetapan Garis Batas Landas Kontinen

Indonesia – Thailand - India

Jakarta, 22 Juni 1978

Ratifikasi dgn Keppres No. 24/1978

12 Persetujuan Batas Maritim dan Kerjasama tentang Masalah-Masalah bersangkutan RI – PNG

Indonesia - PNG

Jakarta, 13 Desember 1980

Ratifikasi dgn Keppres No. 21/1982

13 Persetujuan Garis Batas ZEE dan Dasar Laut Tertentu RI - Australia

Indonesia - Australia

Perth, 16 Maret 1997

Belum berlaku karena belum diratifikasi

14 Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen RI - Vietnam

Indonesia - Vietnam

Hanoi, 26 Juni 2003

Belum berlaku karena belum diratifikasi

15 Batas RI – Australia di ZEE sedang dirundingkan

Dengan adanya perhatian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap pulau-pulau

terluar tersebut diharapkan tetap menjadi bagian dari kedaulatan dan keutuhan NKRI.

Pulau-pulau terluar tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pulau Rondo yang berada di Provinsi Aceh (Nagroe Aceh

Darussalam) berbatasan dengan India, di mana pulau ini tidak

berpenduduk, tetapi sudah dibangun suar.

2. Pulau Berhala yang terletak di Provinsi Sumatra Utara, tidak

berpenduduk, tetapi telah dibangun suar berbatasan dengan Malaysia.

3. Pulau Nipa termasuk ke daerah Provinsi Riau, tidak berpenduduk,

telah dibangun suar dan berbatasan dengan Singapore.

4. Pulau Sekatung masih termasuk Provinsi Riau, tidak berpenduduk,

telah dibangun suar dan berbatasan dengan Vietnam.

5. Pulau Marore dan Miangas keduanya berada di Provinsi Sulawesi

Utara, berpenduduk, telah dibangun suar dan berbatasan dengan

Philipina. Di kedua pulau terluar ini sudah kental dengan budaya

34

Page 35: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

negara tetangga tersebut bahkan kebutuhan sehari-hari masyarakatnya

di dapat dari Philipina.

6. Pulau Fani telah dibangun suar;

7. Pulau Fanildo/PP Mapia;

8. Pulau Bras belum ada suar ;

9. Pulau Fani telah dibangun suar, tetapi di Pulau Fanildo dan Bras belum

ada suar, ketiga pulau terluar ini berbatasan dengan Palau.

10. Pulau Batek termasuk ke daerah NTT, tidak berpenduduk, tetapi

sudah dibangun suar berbatasan dengan Timor Leste.;

11. Pulau Dana berada di Provinsi NTT, tidak berpenduduk, belum ada

suar dan berbatasan dengan Australia;

12. Pulau Marampit yang berada di Provinsi Maluku sudah ada

penduduknya, tetapi belum ada suar dan berbatasan dengan Philipina;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah

mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah pusat dengan daerah

kota/kabupaten, yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 yang berbunyi sebagai

berikut :

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.       politik luar negeri;b.       pertahanan;c.       keamanan;d.       yustisi;e.       moneter dan fiskal nasional; danf.       agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

35

Page 36: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:

a.   menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;b.   melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur

selaku wakil Pemerintah; atauc.   menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Kewenangan provinsip diatur oleh Pasal 13 UU No. 32/2004, yaitu sebagai berikut :

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

a.             perencanaan dan pengendalian pembangunan;b.             perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.             penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d.             penyediaan sarana dan prasarana umum;e.             penanganan bidang kesehatan;f.             penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial; g.             penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;h.             pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;i.             fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah

termasuk lintas kabupaten/kota;j.              pengendalian lingkungan hidup;k.             pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;l.              pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m.           pelayanan administrasi umum pemerintahan;n.             pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota;o.             penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; danp.            urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang

-undangan. (2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Sedangkan kewenangan daerah untuk kabupaten/kota terdapat dalam ketentuan Pasal 14, yaitu sebagai berikut :

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a.              perencanaan dan pengendalian pembangunan;b.              perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c.              penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;d.              penyediaan sarana dan prasarana umum;e.              penanganan bidang kesehatan;

36

Page 37: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

f.               penyelenggaraan pendidikan; g.              penanggulangan masalah sosial;h.              pelayanan bidang ketenagakerjaan;i.               fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;j.               pengendalian lingkungan hidup;k.              pelayanan pertanahan;l.               pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m.           pelayanan administrasi umum pemerintahan;n.              pelayanan administrasi penanaman modal;o.             penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p.             urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Daerah yang mempunyai wilayah laut diatur kewenangannya menurut ketentuan Pasal 18 UU No. 32/2004 sebagai berikut :

(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.      eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;b.      pengaturan administratif; c.      pengaturan tata ruang;d.      penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau

yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e.      ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f.       ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.

37

Page 38: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Pemerintah Pusat

Kewenangan Daerah Keterangan

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara

1. Eksplorasi, eksploitasi,

konservasi, dan pengelolaan

kekayaan laut;

Perhatikan : UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI

2. pengaturan administratif; UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

3. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara

3. pengaturan tata ruang UU No. 32/2004 tentang Pemeritah Daerah

4. HAM dan Lingkungan Hidup

4. penegakan hukum perda dan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan

5. Pembentukan kaidah hukum baru

5. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri

6. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara

Peran Daeran dan kasus-kasus cara Memperoleh Kedaulatan Teritorial (Acquisition

of Territory)

Dalam hukum internasional dikenal beberapa teori tentang cara-cara memperoleh

kedaulatan teritorial (territorial sovereignty), yaitu pendudukan atau okupasi

(occupation-conquest), pencaplokan atau aneksasi (annexation), penambahan alami atau

akresi (accretion), preskripsi atau kedaulatan atas wilayah yang berlangsung lama

(prescription), dan penyerahan (cession). Selain cara tradisional tersebut, terdapat cara

lain, yaitu putusan sebuah konferensi seperti Konferensi Perdamaian Versailles

(Versailles Peace Conference) tahun 1919, plebiscite (Soviet Doctrine), penetapan

38

Page 39: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

perbatasan baik oleh putusan pengadilan atau tidak yang di dalamnya berlaku prinsip ex

aequo et bono. Kedaulatan teritorial diputuskan oleh Max Huber, hakim pada forum

arbitrase dalam kasus Pulau Palmas (the Island of Palmas Arbitration) tahun 1928

sebagai berikut : “Sovereignty in the relations between States signifies independence.

Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise therein, to the

exclusion of any other State, the functions of a State… the fact that the functions of a

State can be performed by any State within a given zone is, on the other hand, precisely

the characteristic feature of the legal situation pertaining in those parts of the globe

which, like the high seas or lands without a master, cannot or do not yet form the

territory of a State... tittle of acquisition of territorial sovereignty in present-day

international law are either based on an act of effective apprehension, such as

occupation or conquest or like cession.

Penerapan prinsip uti possidetis (as you possess, you shall continue to possess)

dalam kasus Burkina Faso-Republic of Mali Case tahun 1986, a special chamber

Mahkamah Internasional menerapkan prinsip tersebut yang mempunyai kepentingan luar

biasa (exceptional importance) benua Afrika dengan alasan bahwa tujuan utama dari

prinsip itu adalah untuk menjamin penghormatan terhadap perbatasan wilayah

(territorial boundaries) yang sudah ada pada waktu wilayah-wilayah Afrika memperoleh

kemerdekaannya, wilayah-wilayah itu sudah melaksanakan kepemilikannya sebagai dasar

pelaksanaan kedaulatannya. Kedaulatan teritorial (territorial sovereignty) telah

dikemukakan oleh Hakim Max Huber dalam kasus Island of Palmas seperti di atas.

Dalam kasus Western Sahara tahun 1975 Mahkamah Internasional memberikan Advisory

Opinion bahwa ada ikatan hukum (legal ties) kedaulatan teritorial dari orang dengan

tanahnya yang harus dibedakan dengan ikatan kesetiaan (ties of allegiance) dalam hal

orang dan hak-hak adat dengan tanahnya. Di lain pihak, aktivitas negara dalam skala

yang memadai menunjukkan pelaksanaan otoritas yang sebenarnya tanda adanya

eksistensi kedaulatan teritorial tersebut, yang sekaligus menunjukkan konsep pelaksanaan

fungsi negara (the functions of a State).

Pendudukan (occupation)

Pendudukan biasanya terjadi pada wilayah yang belum ada pemerintahan, terra

nullius. Wilayah yang di dalamnya terdapat suku atau masyarakat asli yang mempuyai

39

Page 40: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

hubungan sosial dan politik tidak dapat disebut sebagai terra nullius. (Advisory Opinion

of the ICJ on the Western Sahara 1975). Pendudukan atas sebuah wilayah ada atau

tidak ada bergantung pada prinsip keefektivan (principle of effectiveness) terhadap

sebagian besar wilayah tersebut. Dalam kasus Eastern Greenland tahun 1933

Mahkamah Permanen Internasional (PCIJ) menyatakan bahwa pendudukan harus efektif

dengan memenuhi dua unsur, yaitu pertama adanya maksud atau keinginan untuk

bertindak sebagai yang berdaulat (an intention or will to act as sovereign) dan yang

kedua adalah adanya pelaksanaan yang memadai atau menunjukkan adanya kedaulatan

(the adequate exercise or display of sovereignty). Dalam kasus Eastern Greenland

antara Norwegia dan Denmark itu, menurut PCIJ Denmark telah menunjukkan dua syarat

tersebut. Padahal Norwegia secara resmi membuat deklarasi tanggal 10 Juli 1931 bahwa

Eastern Greenland adalah milik Norwegia, tetapi Mahkamah memandang bahwa

deklarasi tersebut tidak efektif. Unsur keinginan dapat dilaksanakan secara resmi dalam

notifikasi resmi kepada para pihak yang berkepentingan dan melakukan kontrol,

sedangkan syarat kedua adalah adanya tindakan ril secara fisik sebagai bukti kepemilikan

atau adanya tindakan simbolik baik oleh eksekutif maupun legislatif yang mempengaruhi

wilayah yang diklaim itu, atau dengan adanya perjanjian dengan negara lain yang

mengakui klaim kedaulatan tersebut yang di dalamnya ada penetapan batas-batas negara

dan sebagainya.

Dalam kasus Clipperton Island Arbitration tahun 1931 antara Prancis dan

Meksiko dengan Arbitrator King Victor Emmanuel dari Itali yang menyatakan sebagai

berikut : “ … an actual manifestation of sovereignty on the locus of the territory may

serve to create a stronger title than a historic claim of right, unsupported by such a

concrete act. In point of fact, the actual award indicated also that importance was

attached to the circumstance, inter alia, that France, the claimant by virtue of the

symbolic act, had given due notice to the world of what it had done by the publication of

a declaration of sovereignty in English in a journal in Hawaii”.

Dalam kasus Minquiers and Ecrehos antara Inggris dan Prancis yang mengklaim

pulau kecil Channel, Mahkamah Internasional tahun 1953 menyatakan bahwa …”the

importance of actual exercise of State functions, eg. local administration, local

jurisdiction, and acts of legislative authority as proving the continuous display of

40

Page 41: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

sovereignty necessary to confirm title. For this reason, upon the evidence as to long

continued exercise of state functions by British authorities, the Court preferred the claim

of Great Britain”. Prinsip pelaksanaan aktivitas negara dalam skala yang memadai,

dibedakan dengan routine or inconlusive acts not necessarily evidencing a firm intention

to establish territorial sovereignty, was applied also by the Court in 1975 dalam Advisory

Opinion kasus Western Sahara oleh Mahkamah Internasional tahun 1975. Max Huber,

arbitrator dalam kasus Palmas Island bahwa : “a mere act of discovery by one state

without more is not sufficient to confer a tittle by occupation and that such incomplete

appropriation must give way to a continuous and peaceful display of authority by

another state. In this arbitration, the contest of title lay between the US claiming as

successor to Spain which had originally discovered the island disputed, and the

Netherlands which according to the historical evidence submitted to the Arbitrator, had

for a very long period purported to acts as sovereign over the island. The Arbitrator

adjudged the island to the Netherlands, that long continuous exercise of effective

authority can confer tittle at international law”.

Ada 2 teori yang berkenaan dengan klaim atas kedaulatan teritorial, yaitu teori

kontinuitas (the theory of continuity) dan teori kontiguitas (the theory of contiguity).

Teori continuity menyatakan bahwa tindakan pendudukan atas wilayah tertentu menjadi

kedaulatan negara yang mendudukinya sejauh diperlukan untuk keamanan atau natural

development wilayah tsb. Teori contiguity adalah bahwa kedaulatan negara yang

mendudukinya mencakup wilayah berdekatan secara geografis. Teori contiguity ditolak

oleh Max Huber dalam kasus Pulau Palmas. Dalam beberapa kasus putusan hakim di atas

memperlihatkan bahwa daerah mempunyai peranan penting menjaga kedaulatan NKRI,

seperti peranan Kabupaten Natuna menjaga dan menunjukkan adanya fungsi pemerintah

daerah di pulau-pulau terluar, sehingga kasus Sipadan-Ligitan tidak terulang.

VII. Penutup

Penetapan batas-batas Negara sudah diatur oleh hukum internasional

khususnya Konvensi Hukum Laut 1985 dan Indonesia sudah meratifikasi tersebut

dengan UU No. 17/1985, sehingga Indonesia terikat untuk melaksanakan semua

41

Page 42: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

ketentuan yang diatur oleh Konvensi tersebut sebagaimana implikasinya terhadap

kedaulatan dan jurisdiksi negara Indonesia di wilayah laut. Indonesia harus

menetapkan batas-batas Negara terutama di perbatasan pulau-pulau terluar dengan

Negara-negara tetangga dengan mengacu pada Konvensi itu dan ketentuan-

ketentuan hukum internasional lainnya atau memperhatikan prinsip-prinsip yang

diputuskan oleh mahkamah/pengadilan internasional, supaya tidak diokupasi

pihak asing. Oleh karena itu, pihak berwenang harus mengelola pulau-pulau

terluar yang menurut catatan Dishidros ada 12 pulau terluar yang memerlukan

perhatikan khusus.

Berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No. 5/1983 tentang

ZEE Indonesia, UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 3/2002

tentang Pertahanan Negara, UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan peraturan

pelaksanaannya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya termasuk menambah

kekuatan TNI-AL dan pihak terkait lainnya. Demikian juga pemerintah daerah

baik provinsi maupun kota/kabupaten mempunyai peranan penting dalam

menjaga kedaulatan NKRI sebagaimana dalam kasus arbitrasi internasional

bahwa local government dapat mewakili Negaranya sebagai pemilik suatu

wilayah. Oleh karena itu, pemerintah daerah seperti Kabupaten Natuna yang

berhadapan langsung dengan Negara tetangga harus menunjukkan bahwa ia

adalah bagian terpenting dari NKRI dalam menjaga dan melindungi wilayahnya,

jangan sebaliknya dengan adanya otonomi daerah semakin tidak terkendalinya

pengelolaan kekayaan sumber daya alam di wilayah laut hanya untuk mengejar

pendapatan daerahnya.

Daftar Pustaka

Buku :

Chairul Anwar, 1989, Hukum Internasional : Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta.

Churchill and Lowe AV, 1999, The Law of the Sea, Juris Publishing, Manchester University Press.

Etty R. Agoes, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982 : Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung.

42

Page 43: Penelitian Batas Negara Batek RI Aus2008

Harris, DJ., 1991, Cases and Materials on International Law, Fourth Edition, Sweet& Maxwell, London.

Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.

------------------, Indonesia and the Law of the Sea, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta, 1995.

Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Alumni, Bandung, 1982.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Bandung, 1978.

Rokhmin Dahuri, dkk., 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.

Starke, JG., 1999, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworths, London, 1989.

Jurnal :

Fordham International Law Journal, Vol. 24, Number 5, June 2001, hlm. 1480-1482.

Democratic Governance and International Law Journal, Cambridge University Press,

hlm. 239-240.

Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1 No. 2 Agustus 2002, Bagian Hukum Internasional

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Dokumen :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahana

Konvensi Hukum Laut (United Nations Covention on the Law of the Sea) 1982

Piagam PBB 1945 (United Nations Charter) dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum

Internasional 1970

Peraturan Perundang-undangan Indonesia

43