87
Bidang Unggulan : Ekonomi Pembangunan Pariwisata LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan Pendapatan TIM PENELITI Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi NIDN : 0022115407 Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME NIDN : 0018066801 Drs I Ketut Sutrisna, MSi NIDN : 0011125708 Jurusan Studi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2014 ABSTRAK

Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Bidang Unggulan : Ekonomi

Pembangunan

Pariwisata

LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN

Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis

Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka

Pemerataan Pendapatan

TIM PENELITI

Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi

NIDN : 0022115407

Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME

NIDN : 0018066801

Drs I Ketut Sutrisna, MSi

NIDN : 0011125708

Jurusan Studi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2014

ABSTRAK

Page 2: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Arah perkembangan perekonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental

perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat

dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis

dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya

saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di daerah Bali.

World Travel Tourism Council (2011) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar

penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat

sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah

mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2010.

Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi

terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan

masyarakat, sehingga dengan sendirinya berpotensi menciptakan permintaan pasar pariwisata

(Loandse dan Debbage, 2004). Pemerataan pembangunan pariwisata di Bali dengan

membangun bandara internasional di wilayah Bali utara, adalah upaya mendekatkan destinasi

pariwisata Bali utara melalui pengadaan sarana transportasi udara.

Penelitian ini melakukan penelitian persepsi dengan mengembangkan community-based

tourism (CBT) sebagai strategi pembengan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat

di Bali utara. Penelitian melakukan konstruksi model berdasarkan referensi teoritik yang

membentuk CBT dimaksud. Sejumlah variabel antara lain Infras (X1), Commitment (X2),

Modal social Network (X3), kebijakan pemerintah (X4), Kolaborasi (Y1) serta destinasi

wisata CBT (Y2).

Berdasarkan penggunaan analisis SEM dan path variance-based PLS, diperoleh hasil

analisis bahwa modal social ternyata merupakan asset strategis masyarakat yang mampu

diangkat sebagai kekuatan baru dalam mengembangkan destinasi wisata berbasis

kepemilikan rakyat. Kebijakan pemerintah (X4), Commitment (X2) dan Modal social (X3)

adalah signifikan terhadap pembentukan kolaborasi (Y1), sedangkan kolaborasi (Y1)

berpengaruh secara langsung membentuk destinasi wisata berbasis masyarakat.

Melalui penggunaan second order procedure pada SmartPls, diperoleh dukungan bahwa

komponen modal social linkage (Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) memiliki kontribusi yang

seimbang dalam membentuk laten variabel Network (X3). Hasil penelitian dengan

menelusuri peran intermediasi antar variabel amatan, ternyata modal social memiliki

pengaruh secara tidak langsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui commitment (X2) dan

kebijakan pemerintah (X4). Destinasi wisata CBT (Y2) tidak terbukti dipengaruhi secara

intermediasi oleh sejumlah variabel yang membentuk destinasi wisata CBT tersebut,

melainkan hanya terbukti dapat diwujudkan melalui hubungan langsung kolaborasi (X2) dan

kebijakan pemerintah (X4).

Rekomendasi yang dapat dirumuskan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah

untuk memperhatikan dengan cermat partsipasi pengusaha lokal non pariwisata sebagai

komponen commitment (X2) yang memiliki tanda parameter negative, dalam hal mana

prilaku dalam membentuk kolaborasi berlawanan arah, sehingga pemberdayaan melalui

capacity building serta sosialisasi tentang manfaat pentingnya kebersamaan adalah salah satu

cara yang dapat dilakukan untuk mengajak pengusaha non pariwisata menjadi satu kesatuan

gerak langkah dalam mewujudkan destinasi wisata di kabupaten Buleleng. ***

BAB I

Page 3: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pariwisata sebagai salah satu sektor kegiatan perekonomian telah mengalami

pertumbuhan sangat pesat di berbagai negara, tidak saja berperan sebagai penyedia lapangan

kerja, tetapi juga berdampak nyata sebagai sumber pendapatan devisa, serta membantu

mengurangi tekanan defisit pada neraca pembayaran ( Dapatdoran, 2001).

World Travel Tourism Council (2002) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar

penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat

sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah

mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2002 tersebut.

Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi

terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan

masyarakat, sehingga berpotensi dengan sendiriya menciptakan permintaan pasar pariwisata (

Loandse dan Debbage, 2004).

Arah perkembangan pereonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental

perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat

dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis

dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya

saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di Indonesia.

Berkaitan dengan potensi sektor pariwisata dengan arah perkembangan pasar dunia

yang sangat menjanjikan bagi upaya perluasan lapangan kerja dan pembentukan pendapatan

masyarakat, maka destinasi pariwisata perlu diperluas wilayahnya untuk tidak saja terpusat

pada Bali selatan, tetapi juga dapat diperlebar ke wilayah Bali utara yang relatif memiliki

obyek wisata pantai, pegunungan dan atraksi maupun obyek kawasan suci, tetapi potensi

Page 4: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

yang sedemikian besar tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pariwisata, terbatasnya

akses pariwisata, serta kendala sumber daya terlatih dalam menyediakan akomodasi,

restaurant dan hotel yang memadai sebagai komponen strategis penunjang pariwisata.

Meskipun banyak pihak telah menyadari bahwa pemusatan kegiatan pariwisata di Bali

selatan telah berdampak nyata pada kemacetan lalu-lintas dan aktivitas wisatawan yang padat

telah menghasilkan persoalan sampah yang mengurangi kenyamanan wiisatawan dimasa

depan.

Perencanaan pemerintah pusat dalam rangka pengembangan bandara Bali Baru yang

ditempatkan di Bali utara dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan melalui

pengembangan sektor pariwisata, namun keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia

untuk mampu mewujudkan kualitas pelayanan pariwisata yang bermutu, tentu masih menjadi

permasalahan yang perlu ditelusuri peran serta masyarakat untuk dapat berfungsi

menggerakkan industri pariwisata yang berkelanjutan.

Collaboration network yang saat ini banyak muncul ke permukaan sebagai salah satu

bentuk solidaritas komunitas dapat difungsikan sebagai lokomotif dalam pengembangan

industri pariwisata pada kawasan Bali utara. Palmer dan Bejau (2005) merumuskan

colloaboration network sebagai keterpaduan langkah bersama dalam produk pelayanan

pariwisata, sehingga dapat menyajikan produk berdaya saing. Potensi sumber daya manusia

yang dapat memuat kolaborasi dalam menghasilkan produk barang dan jasa pada industri

pariwisata adalah issue strategis saat ini sebagai upaya menyajikan produk wisata bernilai

tambah tinggi dimasa depan.

( Sriram, et al, 1999).

Faktor penentu yang dapat membentuk networ collaboration adalah sejumlah

komponen yang lazim ditemukan pada pembahasan modal sosial sebagai bagian dari human

capital development, adalah yang dikenal dengan konsep trust. Mengikuti Cook, (2005), dan

Page 5: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

juga Dwyer, (1999), menyatakan bahwa konsep trust merupakan proses pembentukan

komunikasi antar kelompok yang saling percaya satu sama lainnya, tentunya sebagai proses

awal terbentuknya collabration network,

Kerangka hubungan trust yang dapat dipetakan pada kondisi industri pariwisata

tertentu, akan dicermikan oleh pola hubungan transaksi antara hotel sebagai sarana

kepariwisataan dengan travel agent dan komponen pendukung industri pariwisata lainnya (

Diego dan Juan, 2000).

Collaboration network juga dapat dibentuk oleh komponen modal sosial commitment,

sebagai variabel yang akan membentuk collaboration network. Anderson dan White (1992)

menyatakan bahwa commitment adalah kehendak untuk mewujudkan relasi bisnis dalam

jangka panjang.

Komponen pembentuk collaboration network berkutnya adalah komponen modal

sosial norma atau tradisi yang dapat menjadi pedoman dan garis kebijakan orang perorangan

pada anggota masyarakat, tetapi terikat kuat dengan tradisi norma kemasyarakatan pada

komunitas masyarakat bersangkutan. Keterikatan pada aturan organisasi dalam bentuk lisan

atau tertulis, adalah merupakan potensi yang akan membentuk collaboratian network.

Infrastruktur pariwisata dilain fihak, adalah accomodation services, food and

beverages services, attractions, events and activities ( Ontario TourismCompetitiveStudy,

2009), serta akses yang dapat mempermudah tercapainya lokasi destinasi ( Shara, et al

(2009).

Page 6: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Pemetaan potensi ekonomi kerakyatan yang tersedia saat ini di wilayah kabupaten

Buleleng dilakukan melalui penelitian persepsi, untuk melihat keberadaan ekonomi rakyat

dan kemungkinannya dapat ditingkatkan menjadi potensi modal sosial untuk mendukung

kegiatan industri pariwisata berbasis komunitas. Potensi modal sosial pada sebuah struktur

sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga pilar utama modal sosial ( Putnam, 1998),

mencakup antara lain networking, trust dan norma. Apabila ketiga komponen modal sosial

tersebut hidup berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan pada masyaraat lokal,

maka sangat mungkin dapat ditingkatkan menjadi fondasi dalam rangka pengembangan

community-based tourism (CBT) di kabupaten Buleleng.

1.2 Rumusan Pokok Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian diatas, dapat dirumuskan menjadi pokok

Page 7: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

permasalahan sebagai berikut.

a. Bagaimana pengaruh kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital

berpengaruh terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupate

Buleleng.

b. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

c. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

d. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) berpengaruh terhadap

pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).

e. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4)

berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi

komunitas (Y1).

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah potensi modal sosial

masyarakat lokal serta pengkaitannya dimasa depan dengan kemungkinan

terwujudnya industri pariwisata berbasis komunitas lokal CBT.

a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung variabel kolaborasi yang

terbentuk dari potensi social capital terhadap terwujudnya komunitas industri

pariwisata CBT di kabupaten Buleleng.

b. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1)

terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).

Page 8: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

c. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi

commitment (X2) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui

kolaborasi (Y1).

d. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) terhadap

pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).

e. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah

(X4) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi(Y1).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sebagai masukan bagi kegiatan pembelajaran bagi perguruan tinggi, terutama pada

bidang ilmu ekonomi pembangunan pariwisata, yang semakin berkembang dewasa ini

sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya

peningkatan permintaan pasar pariwisata.

b. Sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan

kebijakan rencana induk pariwisata daerah (RIPDA) serta arah perumusan kebijakan

jangka pendek untuk mengantsipasi pembangunan bandara Bali Baru yang telah

mencapai rintisan lokasi di kecamata Kubutambahan Buleleng.

c. Sebagai sarana pelatihan bagi mahasiswa yang ikut serta menjadi peneliti lapangan,

sehingga dapat memberikan wadah kegiatan diluar kampus yag bermanfaat bagi

mahasiswa dimasa depan.

Page 9: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Fondasi Ekonomi Kerakyatan Social Capital

Community-based tourism adalah sebuah tatanan industri pariwisata masyarakat

berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai owner ( Cavaye, 2000).

Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada

masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan,

2009).

S.C. Narayan (2005) menggambarkan social capital sebagai komponen yang

terbentuk dari sejumlah prilaku yang terdapat pada struktur kemasyarakatan, seperti

kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan

aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat,

pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan

kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi

dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan,

prilaku dan cara pandang untuk mendahuukan kepentingan orang lain, sehingga dapat

menjadi balas jasa atas perbuatan baik kepada sesama dimasa depan, serta adanya kebutuhan

untuk membangun fondasi kepercayaan (trust) dengan keberadaan pimpinan kelompok

sebagai panutan. Lihat Gambar 1.1.

Bentuk sosial capital dalam kebersamaan (better together) tercermin dari prilaku

kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pada fondasi dimana social

capital memegang peranan penting, maka partisipasi dalam kegiatan pengambilan komunitas

dilaksanakan atas upaya mewujudkan kepentingan bersama.

Page 10: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Trust adalah komponen social capital berikutnya yang akan menjadi bagi terwujudnya

industri paruwusata berbasis masyarakat, termasuk terkondisikannya trust dalam membangun

komunikasi antar tetangga, antar anggota masyarakat dengan pimpinan kelompok, pimpinan

pemerintahan serta komunitas lainnya.

Kesediaan untuk berbuat dan menolong anggota kelompok lain yang sedang

memerlukan bantuan, adalah bentuk kebersamaan (togethesness) yang berpotensi menjadi

kekuatan baru dalam suatu aktivitas bisnis, karena akan membentuk kekuatan kolaborasi.

Gambar 1.2

Komponen Pembentuk Social Capital

UNEP (2002) merekomendasikan peranan pemerintah dan komponen aliansi non

pemerintah untuk membangun capacity building masyarakat lokal dalam mewujudkan

kondisi yang memungkinkan terbentuknya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan

Page 11: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

keputusan yang lebih luas. S.C. Nayaran (2005) melihat pemberdayaan masyarakat dalam

mewujudkan kebersamaan dapat ditelusuri melalui dua penentu pembentukan social capital

yang kuat pada masyarakat lokal, yaitu melalui bentuk penyeragaman komunikasi,

penyamaan cara pandang dan tujuan organisasi bersama, serta upaya pemberdayaan

9empowerment) melalui peranan dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan dan

membangkitkan social capital sebagai cara dalam mencapai tujuan akhir bersama.

Gambar 1.3

Peranan Pemerintah Dalam pembentukan Modal Sosial

2.2 Komunitas Industri Berbasis Masyarakat CBT.

Proses pembangunan masyarakat berbasis CBT tidak terwujud begitu saja, melainkan

dilaksanaan melalui pendekatan konsep dan strategi yang terarah, konsisten dan

berkesinambungan. Aref dan Redzuan (2009), memberikan tahapan capacity building melalui

tahapan pengembangan dan pemberdayaan the ability to act, dari peranan individual ke

tingkat kelompok, kemudian memasuki proses yang lebh luas yaitu komunitas masyarakat.

Page 12: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Peningkatan keterampilan dan pengetahuan anggota komunitas yang memiliki kecakapan

khusus, dapat ditingkatkan peranan mereka untuk memasuki komunitas bisnis, dimana

mereka memiliki kecakapan yang memadai dalam ikut serta melaksanaan proses perencanaan

dan pengendalian bersama. Kecakapan anggota komunitas dalam proses pengambikan

keputusan ini kemudian ditingkatkan perananya sebagai pemilik atas kegiatan bisnis, maka

pada industri pariwisata, maka peranan anggota dalam komunitas adalah sebagai pemilik atas

kegiatan industri. Kepemilikan ini yang selanjutnya dikenal sebagai industri pariwisata

berbasis masyaarakat CBT (Akama dan Kieti, 2007).

Gambar 1.4

Proses Pembentukan Masyarakat Industri Wisata

Berbasis Masyarakat Lokal

Berdasarkan Gambar 1.4 maka tampak bahwa untuk mencapai sasaran akhir

pelayanan industri wisata yang berdaya saing (municipal services), diperlukan dukungan

perencanaan yang terarah dan konsisten didukung oleh infrastruktur dan kapasitas sumber

daya, serta pada sisi lain adalah pengelolaan jasa pelayanan yang tepat sasaran, sehingga

menjadi destinasi wisata yang akan dikunjungi secara berulang.

Gambar 1.5

Tahapan Community Capacity Building Mencapai Sasaran

Sustainable Community based Development

Page 13: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Sustainable community based tourism akan dapat dicapai jika pemberdayaan

masyarakat menuju tahapan ownership dapat diwujudkan, sehingga proses partisipasi dalam

pengambilan keputusan bisnis manageent destinasi wisata tentu menjadi lebih stabil dan

berkesinambungan, karena kolaborasi berbasis modal sosial memiliki fondasi komunitas

sharing profit together, dibandingkan usaha swasta nasional yang tidak memiliki basis

masyarakat sebagai pengawal konservasi destinasi wisata.

Page 14: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Model Kerangka Pikir

Penyusunan kerangka piker penelitian dirumuskan berdasarkan konsep teori yang

telah disajikan pada BAB 2, serta berdasarkan rumusan tujuan penelitian yang telah

ditetapkan, maka model teoritik disusun untuk menjawab tujuan penelitian yang telah

dirumuskan pada BAB 1.

Model kerangka penelitian yang akan disusun merupakan pendekatan pemecahan

masalah yang disusun berdasarkan teori, berdasarkan kerangka teoritik tersebut diharapkan

menjadi panduan dalam rangka memilih variabel penelitian yang relevan dengan tujuan

penelitian ini.

Penelitian ini melakukan kajian tentang peluang dan kemungkinan pengembangan

community-based tourism di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu suatu tatanan industri

pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai

pemilik atas inustri pariwisata tersebut ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk

CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki

fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009). Basis industri pariwisata

setdaknya diharapkan dapat mewujudkan kolaborasi tiga pilar industry, yaitu masyarakat

lokal dimana destinasi wisata itu diselenggarakan, pengusaha lokal dan pemerintah kabupaten

sebagai fasilitator dan legasi atas keberadaan destinasi wisata yang terbangun. Kerangka

konsep hubungan CBT dengan basis komunitas disajikan pada Gambar 3.1

Page 15: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Masterplan

Pengembangan Destinasi Wisata

Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal

( Community-based Tourism)

Destinasi

Wisata Berbasis

Masyarakat Lokal

(CBT)

PARTISIPASI

PENGUSAHA

LOKAL DALAM

RANGKA

PELAYANAN

PRODUK

WISATA

PARTISIPASI

MASYARAKAT

DALAM RANGKA

MENCIPTAKAN

KONDISI

KENYAMANAN

PARIWISATA

FASILITAS HOTEL

AKOMODASI WISATA

RESTAURANT

ATRAKSI WISATA

PRAMUWISATA

INFORMATION CENTER

PELAYANAN KESEHATAN

SOUVERNIR DAN

CENDRAMATA

Gambar 3.1 Model Kerangka Pikir

Partisipasi Masyarajat Umum dan Pengusaha terhadap Pembangunan

Destinasi Wisata Berkelanjutan

S.C. Narayan (2005) menggambarkan potensi social capital yang telah tersedia pada

masyarakat dapat dimanfaatkan dalam rangka memantapkan dan penguatan struktur

kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang

masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan

yang mengikat masyarakat (norms), pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan

kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup

bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan

komunikasi dalam pelbagai kepentingan yang berbasis kepada kebersamaan. Kerangka

Page 16: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

konsep CBT sebagaimana dipetakan berbasis kepada modal social disajikan pada Gambar

3.1.

Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, maka secara operasional kebijakan pemerintah

Kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan strategi pembangunan yang berbasis ekonomi

kerakyatan pada industri pariwisata dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat

(capacity building), untuk menggerakkan potensi modal sosial sebagai basis kebersamaan

(better together) mencakup potensi norma dan budaya masyarakat, potensi network

masyarakat Buleleng, serta membangkitkan rasa percaya diri, kebersamaan dalam organisasi

kemasyarakatan, serta menempatkan aparat pemerintah sebagai motivator dan fasilitator

untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam merumuskan kepentingan mereka

melalui pola kekerabatan dan kebersamaan.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pembentukan trust pada

masyarakat sebagai modal dasar bagi pembangunan kawasan, (Hilde & Benny (2005),

Pepfar (2000), UNEP (2005). Pengembangan potensi social capital trust akan berdampak

positif bagi etos kerja kebersamaan sebagai modal kerja masyarakat diluar modal dalam

bentuk uang dan fasilitas financial lainnya.

Kajian peneliti Noya & Clarence (2009), dan Kimmo (2010), menyatakan pembentukan

social capital merupakan proses yang berkaitan dengan dukungan tradisi, norma masyarakat

serta semangat tradisi kebersamaan yang berjalan searah dengan dinamika masyarakat

menuju terwujudnya kesejahtraan yang dikelola bersama.

2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, serta mengacu kepada pokok

Page 17: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

permasalahan dan tujuan penelitian, maka keterkaitan ketiga hal tersebut diatas, dipetakan

menjadi kerangka pikir penelitian, yang juga dapat dirumuskan sebagai hipotesis penelitian

yang dissusun secara parsial dengan kerangka hubungan model penelitian sebagaimana

disajikan pada Gambar 3.2 .

Model CBT yang dibangun dan tersajikan pada Ganbar 3.2 mencakup basis modal

social yang diharapkan dapat diwujudkan melalui dua sumber utama, yaitu partisipasi

masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata, dan kompoen pengusaha lokal yang

dipersiapkan senagai enterprenenurs dalam membangun sarana destinasi termasuk

penginapan, restaurant, ketersediaan pramuwisata, pengadaan atraksi budaya, kesenian dan

atraksi seni lainnya. Partisipasi masyarakat secara garis besar dinyatakan sebagai

infrastruktur pariwisata (INFRAS). Dukungan komponen partisipasi dalam rangka

mewujudkan ekonomi kerakyatan pada industry pariwisata juga akan ditentukan oleh tokoh

masyarakat dalam lingkungan detinasi wisata yang dikonstruksi sebagai commitment

(COMTT), yaitu persepsi yang diharapkan dapat memberikan ruang yang konsisten dalam

mengawal dan mendorong terwujudnya masyarakat industry wisatya berbasis kepemilikan

masyaraat lokal.

Persepsi tentang ruang entrepreneurs untuk masyarakat lokal dipetakan pada potensi

network, yaitu adanya kebersamaan para pengusaha dalam mewujudkan kawasan industri

berbasis masyarakat lokal. Potensi network dipetakan dengan linkage, norma dan trust.

Linkage adalah potensi modal social dalam melihat tingkatan network para pengusaha dalam

menjangkau transaksi bisnis, mencakup wilayah lokal desa, antar desa, network kecamatan

atau bahkan kabupaten/propinsi. Potensi network akan menjadi acuan bagi kesiapan

pengusaha lokal dalam membangun jaringan dan menetapkan target dalam melaksanakan

pelayanan pada industry kepariwisataan. Keterbatasan kemampun membangun jaringan, tentu

akan memperkecil peluang masyarajat lokal dapat mewujudkan bisnis pariwisata berbasis

Page 18: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

masyarakat.

Trust adalah salah satu komponen modal sosial yang memiliki peranan strategis

dalam mewujudkan kebersamaan dalam komunitas. Apabila komponen trust adalah rendah

pada komunitas masyaraat, maka peluang pengembangan industri wisata berbasis masyarakat

relative sulit untuk diwujudkan.

Variabel Infras (X1) mencakup dukungan prasarana termasuk didalamnya kondisi dan

karakter kependudukan dan kualitas lingkungan alam dengan managemen pelestariannya (

Gooroochurn dan Sugiyarto, 2005). Aspek yang lain dari Infrastruktur pariwisata adalah

destination infrastructure yang sangat menentukan permintaan atas layanan destinasi (

Murphy et al, 2000). Crouch dan Riche (1999) serta Kadaroo dan Seetanah (2007)

menyatakan bahwa kualitas destinasi tidak mungkin mengabaikan peranan transortasi udara,

laut, jalan darat yang memadai, serta dukungan fasilitas listrik dan ketersediaan air untuk

berbagai kepentingan.

Infrastructure tourism tidak sebatas dalam pengertian transportasi jalan raya, tetapi

juga termasuk ketersediaan jaringan telekomunikasi dan sistem informasi, serta dukungan

atas fasilitas pelayanan wisata termasuk sarana hotel, restaurant dan dukungan yang layak

dan memadai bagi pelayanan wisatawan ( Crouch dan Richie, 1999).

Commtt (X2) adalah bentuk hubungan yang memiliki dimensi jangka panjang.

Dweyer et al (1997) menyatakan bahwa commitment adalah bentuk pertanggung-jawaban

seorang individu atau organisasi yang konsisten yang akan berdampak pada keberlangsungan

organisasi yang bersangkutan. Anderson dan Weitz (1992) menjelaskan bahwa commitment

adalah upaya dari organisasi untuk mewujudkan langkah kebijakan secara konsisten dalam

rangka mempertahankan hubungan yang bersifat jangka panjang. Ganesan (1994) bahkan

menyatakan keberhasilan organisasi dalam memelihara dan mewujudkan tindakan

pengorbanan dalam rangka memenuhi kewajiban tertentu adalah basis organanisasi dalam

Page 19: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

mencapai sustainable competitive advantages bagi sebuah organisasi. Dengan demikian,

commitment adalah intangible asset dan merupakan komponen yang sangat strategis dalam

mewujudkan perluasan usaha dan memantapkan nilai tambah atas perusahaan dalam suatu

rangkaian proses bisnis pariwisata ( Anderson dan Weitz, 1992).

Schulz (1994) menyatakan bahwa commitment hotels dapat memberikan jaminan

akan keberlangsungan dalam meraih lebih banyak pelanggan dengan dukungan travel agent

dalam suatu tatanan komunikasi dan kepatuhan terhadap commitment yang telah disepakati

dalam kerangka kerja sama bisnis. Jika terbentuk commitment yang kuat dari pengusaha,

maka potensi commitment bisa diwujudkan dalam kerangka collaboration untuk

menghasilkan destinasi wisata yang berdaya saing.

Collab (Y1) adalah bentuk komunikasi saling keterkaitan satu sama lainnya dengan

persepsi yang sama dalam menghasilkan tujuan akhir organisasi yang diinginkan. Studi

tentang peranan kolaborasi pada bisnis parwisata telah dilakukan oleh Bramwell dan

Sharman (1999), dimana proses kolaborasi dilihat dalam kerangka perumusan bersama atas

kebijakan bisnis pariwisata. Penguatan atas peran kolaborasi akan menjadi penentu bagi

keberhasilan suatu wilayah dalam menyajikan destinasi wisata berdaya saing.

Mohr et al (1996) merumuskan collaboration sebagai bentuk komunikasi dalam

tahapan kerja sama tertentu, membangun komunikasi, sehingga tingkatan kolaborasi yang

dapat diwujudkan akan sangat tergantung kepada kedalaman atas peran komunikasi dan

proses pengambilan kebijakan. Keberhasilan atas kolaborasi akan sangat ditentukan oleh

kepatuhan para pihak dama menjaga commitment yang telah mereka sepakati.

Keberlangsungan atas peran kolaborasi sebagai penggerak strategis untuk mendorong

terwujudnya basis destinasi CBT akan sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang

menentukan terbentuknya kolaborasi dari Inftas (X2), Commtt (X2) dan Network (X3).

Network (X3) merupakan basis kemampuan berkomunikasi dan pengembangan lebih

Page 20: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

jauh dari kebutuhan berkomunikasi dalam suatu jaringan yang saling mempengaruhi.

Logsdon (1991) menyatakan bahwa dalam membangun komunikasi terdapat benefit tertentu

yang diperoleh, sehingga basis kemampuan setiap individu dalam membangun kolaborasi

adalah potensi modal sosial yang akan membentuk lebih jauh peluang pengembangan

destinasi wisata berbasis komunitas (CBT). Dalam rangka mengembangkan kemampuan

personal dalam membangun komunikasi dalam kebersamaan, maka potensi network akan

dibentuk oleh tiga variabel yaitu pertama, adalah linkage (potensi keterkaitan antar individu)

baik dalam lingkungan terbatas pada satuan keluarga maupun pada jalur komunikasi diluar

keluarga dapat mencakup wilayah tempat tinggal, satuan wilayah desa, kabupaten atau

propinsi. Kedua, adalah trust, yang mendorong semakin berkembangnya komunikasi dalam

bentuknya yang lebih permanent melalui hubungan personal dalam sebuiah kolaborasi

organisasi uapun sebaliknya, pola hubungan organisasi dengan individu sebagai bagian dari

organisasi tersebut. Trust seringkali dikaitkan dengan network ( Cook, 2005). Trust sebagai

salah satu komponen modal social dapat dipandang sebagai aspek fundamental dalam

membangun perikatan transaksi antar kelompok masyarakat yang dapat memberikan jaminan

suasana kenyamanan. Ketika trust adalah variabel yang dapat ditempatkan dalam kerangka

hubungan saling ketergantungan dalam masyarakat, maka trust menjadi komponen penggerak

transaksi yang didukung oleh fondasi commitment yang sangat kuat ( Emmer et al ( 1993).

Moorman et al (1993) mengemukakan definisi trust sebagai tindakan setiap orang

yang dapat memberikan jaminan bahwa kepentingan antar pihak akan berjalan dengan baik

sesuai dengan yang diharapkan. Trust berkaitan dengan kepercayaan (belief), sikap prilaku,

yang terkondisikan menjadi percaya bahwa partner bisnis dapat memberikan sesuatu yang

dapat diwujudkan sesuai dengan harapan semestinya.

Trust merupakan komponen modal social yang akan menciptakan penguatan dalam

kebersamaan, terbukti telah berhasil membangun keterkaitan hubungan jangka panjang antara

Page 21: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

pembeli dan penjual dalam suatu proses dimana konsumen berkeyakinan selalu mendapatkan

nilai tambah atas transaksi dengan penjual ( Ramayah et al, 2003).

Diego dan Juan, (2000) bahkan menyatakan modal social trust merupakan komonen

strategis yang sangat mementukan pembentukan hubungan jangka panjang antara

management hotel dengan travel agent. Sangat tidak mungkin dapat dikembangkan business

partner hotel dan travel agent, apabila tidak dilandasi oleh kondisi trust dalam saling

keterkaitan kepentingan antara management hotel dengan travel agent, sehingga terbentuknya

proses network akan terhenti dan tidak berkelanjutan.

Morgan dan Hunt (2004) merumuskan bahwa trust adalah causal antecedent terhadap

commitment, sedangkan commitment adalah factor yang mendorong terbentuknya jalinan

hubungan yang berkualitas. Ndubisi (2007) telah mengembangkan studi tentang peranan

network dalam mendorong terbangunnya kualitas detinasi wisata yang dapat diwujudkan

melalui inter-organization learning. Deniscolai et al (2010), menyajikan aspek yang sama,

yaitu peranan positif dari komponen trust dalam mendorong stabilitas pelayanan destinasi

wisata berkelanjutan.

Sigala (2004) melihat komponen trust sebagai aspek strategis dalam mengurangi

transaction coast melalui pengendalian dan berbagi informasi bersama. Barney dan Hansen,

(2004) menyajikan peta analisis tentang peranan trust sebagai pendorong terbentuknya

kepercayaan antar pihak yang berkepentingan, telah menciptakan sustainable long-term

relationship.

Studi tentang potensi network sebagai penggerak modal social dalam rangka

mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT) telah banyak digagas selama 5 tahun

terakhir ini. Saxena (2005), Cravens dan Piercy (2004), menyatakan bahwa network dapat

berfungsi secara fleksibel dalam menggerakkan marketing information sharing, innovation,

peluang untuk menjalin transaksi baru dengan network yang lain, pengelolaan resources

Page 22: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

management serta pemberdayaan organisasi untuk meingkatkan kecakapan dan pengetahuan

serta keterampilan.

Novelli et al (2006), menyajikan peta studi tentang network dan clustering sebagai

kerangka strategi dalam upaya menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi local

community. Aspek lain dari social capital adalah norms yang membentuk prilaku pada

social structures dan social networks. Pada kondisi dimana social capital memiliki struktur

jaringan yang sangat kuat, maka interaksi masyarakat telah mencapai norms of trust and

reciprocity. (Putnam, 2000). Sebaliknya, apabila norma masyarakat yang berlaku tidak

memiliki keterikatan yang kuat serta kurang memiliki prilaku yang memandang kebersamaan

adalah penting, maka keberadaan struktur network dan struktur social dalam menyatukan

kebersamaan juga otomatis akan menjadi rendah. Stone ( 2001) menyatakan pengukuran

social capital dapat dilihat dari structure of network dan normative attribute.

Coleman (1990) dan Krisna and Shrader (1999) menyatakan bahwa struktur potensi

network masyarakat dapat dipetakan dari sejumlah komponen mencakup ukuran (size),

kapasitas dan derajat keterbukaan masyarakat. Pelebaran jaringan (size) berkaitan dengan

kemampuan individu pada masyarakat dalam membangun jaringan secara geografik, mulai

dari dusun, desa, kota dengan dengan wilayah propinsi. Capacity, berkaitan dengan kualitas

dari jaringan yang mereka miliki dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan

tertentu. Sedangkan keterbukaan adalah gaya masyrakat dalam berkomunikasi. Pada

masyarakat tertutup, yaitu norma yang banyak ditemukan pada budaya tertetu, peluang untuk

m=membangun jaringan yang berkualitas relative kecil untuk berhasil. (Coleman, 1990).

Potensi social capital tidak dapat dipisahkan dari nroma atau cara pandang masyarakat

terhadap kebutuan kebersamaan, yang ternyata keduanya bisa saling meniadakan, karena

kompleksitas struktur masyarakat atas berbagai perbedaan, mencakup dominasi ras tertentu,

gender, usia, status ekonomi dan social serta banyak kendala lain termasuk norma yang tidak

Page 23: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

sejaklan dengan potensi network sebagai salah satu kpomponen modal social yang paling

strategis (Uslaner 1999), sehingga apabila norma tentang kebersamaan adalah cara pandang,

gaya hidup dan kebutuhan yang telah diterima sebagai kebutuhan bersama, maka peluang

perluasan struktur network menjadi lebih terbuka (Cox and Caldwell,2000)

DEST CBT (Y2) sebagai tujuan akhir yang ingin diwujudkan dalam rangka

pengembangan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat lokal telah dikembangkan

di banyak negara. Studi tentang CBT memiliki orientasi yang berbeda dengan pendekatan

pembangunan destinasi wisata secara trandisional yang umumnya memiliki pola top-down

tourism planning.

CBT mengupayakan keterlibatan seluruh lokal input proses pengendalian

management pariwisata, sehingga komunitas memiliki peluang untuk mendapatkan nilai

tambah atas kegiatan bisnis pariwisata (Mowfort dan Munt, 2003).

Berbeda dengan pendekatan tradisional pembangunan sektor pariwisata, pada CBT

menekankan kepada bootom-up community dalam rangka pengembangan destinasi wisata,

pengembangan jasa pelayanan wisata termasuk komponen penunjang penginapan, restaurant,

jasa pramuwisata, akomodasi dan atraksi budaya serta produk terkait lainnya ( Hall, 2000).

Blackstock (2005) menyatakan bahwa bisnis pariwisata berbasis CBT merupakan

konsep pengembangan destinasi wisata yang melibatkan sepenuhnya local community,

memberdayakan sepenuhnya masyarakat lokal sebagai pemegang kendali bisnis pariwisata,

membagikan laba atas bisnis pariwisata dalam kebersamaan pada komunitas tersebut.

Berdasarkan orientasi bottom-up policy, maka sudah barang tentu dengan tidak

disertakannya modal besar pada investasi pada sebuah destinasi wisata tertentu, maka

business setting pada model CBT memiliki karakter small-scale production ( Amin et al

(2002). CBT juga disebut sebagai social economy enterprises yang tetap ber-orientasi kepada

laba tetapi memiliki basis pengembangan sumber daya bersama dan pusat training.

Page 24: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Sehubungan dengan itu, maka penguatan modal social dan kebersamaan adalah basis

kekuatan bisnis yang dikelola oleh komunitas lokal. Amin et al (2002) bahkan menyatakan

bahwa konsep CBT dapat menjadi alternative dalam rangka memperhatikan komunitas lokal

yang juga berhak untuk mendapatkan kesejahtraan dan peranan yang lebh besar sebagai the

new stages of capitalism.

Blackstock (2005), Koster dan Rendall (2005) menyatakan CBT adalah sejalan

dengan social economy dimana tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan community

benefits melalui pembangunan yang berorientasi dari proses bottom-up dimana komunitas

lokal mendapat ruang dalam pengambilan keputusan management, sehingga diperlukan

upaya pemberdayaan (capacity bilding), yang akhrinya juha diperlukan dalam rangka

menyediakan alternative pendekatan yang berbeda dengan neoliberal economic.

Pendekatan konsep CBT yang berbeda dari kebijakan pemerintah selama ini yang

secara tradisional lebih memberikan ruang kepada investor dalam pembangunan destinasi

wisata, maka perubahan pendekatan ini menghendaki lebih banyak penyiapan sumber daya

pemerintahan untuk menjadi fasilitator dan memahami dengan benar gagasan tentang

keberadaan CBT sebagai kerangka pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang berbasis

kepada kesejahtraan masyarakat lokal (Harvey, 1989).

Page 25: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

COLLAB

(Y1)

DEST

CBT

(Y2)

INFRAS

(X1)

COMMTT

(X2)

NETWORK

(X3)

H4

H3

I1 I2 I3

C1

C2

C3

L1

L2

L3

D1

D2

D3

H1

GOVERM

(X4)

H5

G1 G2 G3Linkage

Trust

Norma

T1 T3 T3

N1 N2 N3

C3

H2

Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4

Gambar 3.1

Kerangka Operasional Penelitian CBT

Sudjana Budhi - 2014

Y2 = α1 + β1Y1 (1)

Y1 = α2 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 (2)

Persamaan (1) dan (2) adalah model persamaan struktural (simultaneous equation

model) dengan pengembangan hierarchy latent model ( Loehlin, 2004), juga Hair (2010),

serta Lin, et al (2008). Variabel Y1 dan Y2 dinyatakan sebagai endogen variable, juga

disebut sebagai dependent variable, sehingga perubahan variasi nilainya ditentukan oleh

variabel pemberi tanda panah. Sedangkan variabel yang bebas tidak mendapat tanda panah

Page 26: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

dari variabel lainnya, disebut variabel eksogen atau variable dimana nilainya ditentukan

diluar model. Semua variabel X1, X2, X3 dan X4 adalah variabel eksogen, karena

pembentukannya tidak terikat pada variabel lain, kecuali pada X3, dimana pembentukan nilai

X3, sepenuhnya secara formative ditentukan oleh latent variable linkage, trust dan norma.

Seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

Y2 = Destinasi Wisata CBT ( komponen pramuwisata lokal mewakili wisatawan )

Y1 = Kolaborasi adalah tokoh masyarakat dan desa adat sekitar destinasi wisata

X1 = Infras adalah partisipasi masyarakat sekitar destinasi wisata

X2 = Commitment adalah pengusaha non pariwisata lokal

X3 = Modal sosial Network adalah pengusaha pariwisata lokal

X4 = Persepsi kebijakan pemerintah versi penerima layanan publik

Page 27: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian mempergunakan data primer dengan melakukan perekaman data melalui

penyusunan daftar pertanyaan kepada responden terpilih. Pertanyaan disusun berdasarkan

kebutuhan model hipotesis yang dirancang penelitian ini, karena itu daftar pertanyaan disusun

atas item-item indikator yang mendukung pembentukan variabel latent penelitian ini.

Pengambilan responden terpilih dilaksanakan pada 4 lokasi penelitian terpilih, yang

dilaksanakan berdasarkan karakteristik lokasi destinasi wisata, yaitu wisata pegunungan dan

wisata pantai. Pada destinasi wisata pegunungan dipilih lokasi air terjun Gitgit kecamata

Sukasada kabupaten Buleleng dan desa wisata Munduk kecamatan Banjar kabupaten

Buleleng.

Destinasi wisata pantai dipilih destinasi wisata air sanih kecamatan Kubutambahan

kabupaten Buleleng dan destinasi wisata Lovisa desa lovina kecamatan Banjar kabupaten

Buleleng. Berdasarkan 4 pemilihan lokasi destinasi wisata dapat dipandang telah mewakili

seluruh potensi destinasi wisata berdasarkan pola karakteristik daerah wisata, yang umumnya

terpolakan menjadi dua kelompok besar, yaitu wisata wilayah pegunungan dan wisata

wilayah pantai, sesuai dengan potensi destinasi yang memiliki tofografis pantai dan

pegunungan.

Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian

No. Nama Obyek Wisata Lokasi Penelitian Type Wisata

1 Air Terjun Gitgit Desa Gitgit Kec. Sukasada Wisata Pegunungan

2 Desa Wisata Munduk Desa Munduk Kec. Banjar Wisata Pegunungan

3 Desa Wisata Lovina Desa Lovinsa Kec. Banjar Wisata Pantai

4 Air Sanih Desa Sanih Kec. Kubutambahan Wisata Pantai

Page 28: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Obyek penelitian penelitian yang akan ditelusuri untuk mendapatkan jawaban atas

tujuan penelitian yaitu mencakup dua kelompok pembentuk destinasi wisata yaitu, pertama,

adalah masyarakat lokal yang bertempat tinggal disekitar destinasi wisata. Kedua, adalah

pengusaha lokal yang berada disekitar destinasi wisata yang bertindak sebagai penjual jasa

pariwisata termasuk usaha parkir, pedagang dan jasa lainnya. Sampel penelitian ditentukan

dengan metode pengambilan sampel (sampling method) sebagai berikut:

1. Sampel untuk masyarakat lokal dipilih secara purposive dengan memperhatikan

ketokohan dari masing-masing individu sampel. Pada setiap lokasi dipilih sebanyak 10

(sepuluh) anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili masyarakat desa yang

berada disekitar destinasi wisata yang bersangkutan. Individu-individu masyarakat yang

terpilih diharapkan dapat mewakili persepsi tentang potensi network sosial

kemasyarakatan (X3), commitment (X2), kondisi infrastruktur wisata (X1) serta persepsi

masyarakat tentang peran kebijakan dan layanan pemerintah terhadap pembentukan

kenyamanan destinasi wisata di masing-masing lokasi wisata (X4). Jumah seluruh sampel

yang diambil pada komponen masyarakat warga sekitar destinasi usaha pada 4 lokasi

terpilih adalah 40 responden.

2. Sampel untuk pengusaha lokal dipilih sebanyak 10 (sepuluh) pengusaha lokal pada

masing-masing destinasi wisata, untuk mewakili persepsi pengusaha dalam membangun

network dan pengembangan modal sosial sebagai basis kegiatan enterpreneur ang

bergerak bersama masyarakat dalam menetapkan pelayanan wisata yang berdaya saing.

Keterkaitan antara kolaborasi masyarakat (Y1) yang terbentuk dari partisipasi masyarakat

disekitar destinasi wisata dengan pelaku usaha (Y1) akan membentuk sebuah destinasi

wisata berbasis komunitas lokal CBT, dimana masyarakat umum dan pengusaha akan

menerima manfaat yang sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing fihak yaitu

Page 29: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

masyarakat warga desa disekitar lokasi usaha dan pengusaha sebagai penggerak dan

penyaji pelayanan wisata. Total responden yang terpilih untuk ditetapkan sebagai

responden adalah 10 x 4 lokasi = 40 responden pengusaha lokal yang berada disekitar

lokasi destinasi wisata.

4.3 Definis Operasional Variabel

Penelitian mempergunakan 6 variabel latent yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas

tujuan penelitian yang diracang penelitian ini. Ke 6 variabel penelitian dijelaskan sebagai

berikut.

a. Destinasi wisata berbasis CBT, adalah pengukuran variabel latent tentang persepsi

pengguna destinasi wisata, yaitu wisatawan. Sehubungan dengan terbatasnya

frekuensi kunjungan wisatawan dan pola kunjungan tidak teratur, maka untuk

mendapatkan data tentang kualitas layanan wisata yang diinginkan oleh pengguna,

maka penelitian mempergunakan data proksi dengan memilih pramuwisata (guide)

sebagai wakil pengguna jasa pariwisata. Besarnya jumlah responden pramuwisata

disesuaikan dengan pasangan sample lainnya, yaitu sebesar 40 sample. Notasi yang

dipergunakan untuk variabvel destinasi wisata CBT adalah Y2.

b. Kolaborasi (Y1) adalah didefinisikan sebagai komponen yang memiliki kekuatan

untuk mengatur, mengendalikan dan memiliki leadership yang memadai dalam rangka

mengkombinasikan seluruh potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kebersamaan

dalam gerak dan langkah dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT.

Komponen kolaborasi dinyatakan dengan Y1, adalah tokoh masyarakat dan adat, yang

digali karakter dan prilakunya berdasarkan penelitian persepsi yang dipandu dengan

rekeman wawancara berdasarkan daftar pertanyaan.

Page 30: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

c. Infrastruktur Infras (X1) didefiniskan sebagai sarana penunjang yang memberikan

ruang bagi kenyamanan wisatawan, termasuk pelayanan keamanan, kenyamanan

wisatawan, penataan lingkugan kebersihan, komunikasi dan dukungan masyarakat

terhadap atraksi wisata dan pelestarian alam ( Warnken, 2002), Philips dan Jones

(2006). Notasi variabel untuk konstruk latent infrastruktur adaah X1. Penelitian

dipersepsikan sebagai prilaku dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta

mnewujudkan destinasi wisata yang memungkinkan wisatawan mendapatkan

kenyamanan, dan keramahan masyarakat sebagai obyek wisata, dengan didalamnya

adalah budaya dan kehidupan keseharian masyarakat.

d. Commitment adalah sikap budaya masyarakat lokal yang akan menjadi penentu

terbentuknya kolaborasi masyarakat dalam menetapkan acuan pelayanan wisatawan.

Pola prilaku yang dapat memberi jaminan bagi komunikasi yang terarah dan produktif

akan menjamin dukungan bagi kepentingan organisasi kemasyarakatan dalam

menetapkan pelayanan wisatawan secara nyaman, konsisten dan berkesinambungan.

Notasi yang diberikan untuk pengukuran persepsi latent dari commitment adalah X2.

Pemetaan terhadap persepsi commitment ditetapkan dari pengusaha lokal non

pariwisata.

e. Network adalah potensi modal sosial yang terpendam dalam struktur budaya

kemasyarakatan. Network merupakan variabel latent yang dibentuk oleh variabel

pendukung lainnya, mencakup linkage, trust dan norma ( Putnam, 1994), yang

membentuk social capital. Melalui pengembangan hierarchy latent variabel ( Lohlien,

2004), dapat diketahui peranan pembentuk latent variabel network dari pembentuk

latent dibawahnya.Network (X3) dipetakan dari pengusaha lokal pariwisata

f. Peranan pemerintah melalui kebijakan pelayanan terhadap masyarakat juga menjadi

penentu terbentuknya kolaborasi yang memungkinkan terciptanya kondisi awal bagi

Page 31: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

terselenggaranya pelayanan pariwisata yang berdaya saing. Peran kebijakan

pemerintah juga dapat berdampak secara langsung kepada destinasi wisata melalui

pembinaan pengusaha lokal, sehingga peluang bagi terbentuknya destinasi wisata yag

berbasis komunitas CBT tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan pemerintah

dalam ikut serta membentuk dan mempengaruhi keberadaan destinasi wisata berbasis

masyarakat CBT. Notasi peran pemerintah dinayatakan sebagai latent variabel X4.

Kebijakan pemerintah dipersepsikan dari pengguna layanan pemerintah terkait dengan

wilayah destinasi, sehingga yang menjadi obyek peneliotian adalah masyarakat

pengguna layanan publik, termasuk masyarakat umum dan pengusaha.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang dibangun untuk mendapatkan data penelitian ini direkam melalui

kuesioner yang dibuat secara terpisah untuk masing-masing jenis responden. Item-item

pernyataan atau pertanyaan pada kuesioner disusun berdasaran kerangka teori yang melandasi

dari masing-masing variabel amatan, dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pendapat

responden yang diukur berdasaran penggunaan skala Likert berderajat 5.

Berdasarkan penelitian dengan penggunaan kuesioner sebagai instrumen yang

digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, maka menjadi sangat penting untuk

mengukur reliabilitas dan validitas dari masing-masing item (pernyataan atau pertanyaan)

diperiksa. Validitas suatu variabel laten akan ditentukan dengan meneliti setiap item sebagai

unsur pembangun latencontruct yang bersesuaian, sedangkan reliabilitas merupakan ukuran

yang menggambarkan tingkat keandalan (degree of reliability) sekumpulan item yang

merepresentasikan variabel laten (Hair et al., 2010). Sekumpulan indikator/item dapat

dianggap tingkat keandalan dipercaya apabila memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach (α) –

sebagai ukuran reliabilitas menunjukkan sebaran lebih besar atau sama dengan 0,7 (Nunnaly,

Page 32: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

1975).

Koefisien Alpha Cronbach yang diintroduksi oleh Lee J. Cronbach pada tahun 1951

(Cronbach, 2004) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:

Persamaan matematika diatas, k menyatakan jumlah item-item pengukur suatu laten,

si2 menyatakan ragam (variance) dari item ke-i dan st

2 menyatakan ragam dari total item

untuk seluruh responden. Nilai dari koefisien Alpha Cronbach (α) berkisar antara 0 sampai

dengan 1. Konsistensi internal dianggap memenuhi syarat apabila nilai α lebih besar atau

sama dengan 0,7.

Jika ukuran keandalan sekumpulan item/indikator dalam merepresentasikan sebuah

variabel laten diukur melalui koefisien Alpha Cronbach, maka validitas yang merujuk kepada

kemampuan sebuah indikator dalam menjelaskan suatu konsep dapat diukur dengan

mengamati koefisien korelasi Pearson untuk data yang telah diskalakan ulang. Sebuah item

dinyatakan valid sebagai indikator laten jika memiliki nilai koefisien korelasi sekurang-

kurangnya 0,3 dan memiliki tanda (sign) yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya.

Jika sebuah item memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0,3 tetapi memiliki tanda

yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya dan nilai tersebut tidak menyimpang terlalu

jauh dari nilai-nilai lainnya, maka masih dianggap cukup memadai untuk dilanjutkan ke

proses analisis berikutnya.

4.5 Metode Analisis Data

Kerangka teori yang dijadikan acuan dalam pemetaan pemodelan menunjukkan

bahwa tidak semua latent variable memiliki karakter reflective, seperti network (X3) dan

peran pemerintah (X4) yang dipandang memiliki karakter formative ( Diamantopolous,

2002), Jarvis, et al (2004), sehingga pendekatan yang paling mungkin dipergunakan untuk

Page 33: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

analisis statistik adalah pendekatan Varian-bases PLS ( Hair, 2010), Christian C. Ringer

(2011).

Pertimbangan dalam memilih PLS-PM sebagai metode analisis kuantitatif adalah

model konseptual dari penelitian ini sebagaimana telah dinyataja diatas, adalah melibatkan

indikator-indikator formatif pada model persamaan struktural yang dibangun. Apabila

seluruh konstrak penyusun model tergolong ke dalam konstrak reflektif, maka model

struktural yang terbentuk disebut model reflektif, sebaliknya, jika sekurang-kurangnya ter-

dapat sebuah konstrak formatif, maka model struktural yang terbentuk disebut model formatif

(Petter et al., 2007). Memperhatikan model yang dikembangkan adalah model formatif,

maka model persamaan struktural berbasis peragam (variance-based SEM) seperti LISREL

dan SmartPLS. Dalam hal ini, PLS-PM merupakan solusi untuk menyelesaikan sebuah

model formatif (Henseler et al., 2009). Pada model PLS-PM, terdapat dua sub-model yang

dipisahkan secara konsep pendekatan, yaitu:

1. Measurement Model: atau juga disebut sebagai outer model yang menjelaskan hubungan

antara variabel-variabel pengukurnya (manifest variables) dengan variabel laten yang

yang bersesuaian dengan itu.

2. Structural Model: atau disebut juga sebagai inner model, menjelaskan hubungan antar

variabel laten yang menjadi perhatian dari periset. Pada penelitian ini, variabel-variabel

destinasi wisata CBT Y1 dan kolaborasi Y2, beserta latent variabel X1, X2, X3 dan X4

merupakan variabel-variabel termasuk dalam lingkaran inner model.

4.5.1 Variabel Laten Reflective

Pengukuran model latent reflective adalah metode pengukuran latent yang

merefleksikan kondisi terbentuknya variabel latent atau konstruk berdasarkan item-item

pengukuran dimana indikator sebagai pemetaan pengukuran skala merupakan reflektif dari

Page 34: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

latent variable, sehingga tanda panah bergerak dari variabel laten menuju kepada indikator.

Penggambaran tanda panah tersebut dimaksudkan sebagai metode yang diartikan sebagai

hubungan fungsi, yaitu dimana variable laten berpengaruh terhadap pembentukan indikator

tersebut ( Hair et al, 2013).

Sejumlah penulis lain seperti Henseller (2010) dan Straub et al, (2004) menyatakan

bahwa karakter laten reflektif adalah karakter yang memiliki sifat uni-dimensional, yaitu

adanya kesamaan covary dari loading factor, sehingga menghilangkan salah satu dari

indikator tidak akan menyababkan terjadinya perubahan nilai terhadap model structural

(Jarvis, et al (2003).

Berdasarkan karakter yang memiliki kondisi uni-dimensional tersebut, kemudian

dapat ditentukan metode analisis dan prosedur pengujian dengan melakukan pengujian

internal consistency reability, indikator reability, pengujian corvergent reability serta

discriminan reability. Pengujian atas kelayakan model reflective yang bersifat uni-

dimensional dapat dilakukan dengan mempergunakan software SPSS ver 17, untuk

melengkapi sejumlah pengujian yang tidak tersedia pada SmartPLS ver 2. Sejumlah peneliti (

Afthanorhan, 2013 ) bahkan menyarankan untuk melakukan drop-out terhadap sebaran item

indikator yang memiliki factor loading dibawah 0.50, sehingga dapat ditemukan sebaran item

indikator menjadi lebih memiliki kesetaraan (covary) sebagai syarat sebagaimana

direkomendasi oleh Hanseler, 2013. Prosedur pengujian kelayakan model model disajikan

selengkapnya pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment reflective

Jenis Uji

Validitas

Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti

Uni-dimensional Explanatory Factor

Analysis (EFA)

Melakukan seleksi

variable dengan

menetapkan nilai

Eigen value >1

Garbing and

Anderson, 1988.

Page 35: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Internal

consistency

Reability

Cronbach Alpha Reabilitas item

Indikator harus

lebih besar dari 0.70

Nunanlly and

Bernstein (1994)

Internal

consistency

Reability

Composite

Reability

Perbandingan dari

factor loading

terhadap penjumlahan

factor loading

ditambah variance.

Chin (1978)

Indicator Reability Indicator

Loading

Memberikan informasi

seberoa banyak variasi

dari item indikator dapat

dijelaskan oleh latent

variable

Chin (1978)

Convergent

Validity

Average Variance

Extracted (AVE)

Sebaran nilai AVE

diharapkan lebih besar

dari 0.50

Fornell dan Larcker

(1981)

Discriminant

Validity

Fornell and Larcker

criterion

Sebaran nilai AVE dari

latent variable lebih

besar dari korelasi antar

laten variable

Fornell dan Larcker

(1981)

4.5.2 Variabel Laten Formative

Diamantopolous Dan Winkhover (2004), serta Jarvis et al (2003) menyatakan

perlunya penelitian memperhatikan dengan seksama akan adanya fenomena formative dalam

menetapkan status variabel laten tertentu. Syarat bahwa sebuah latent variable memiliki

kecenderungan formative adalah apabila antara lain, bahwa variabel latent yang dijadikan

variabel penelitian memiliki nuansa kuantitatif, sehingga berpeluang untuk memposisikan

indikator sebagai penentui atau pembentuk variabel latent.

Berbeda dengan pendekatan covariance-based SEM yang menganut persyaratan ketat

dalam menerapkan asumsi SEM, tetapi sekaligus hanya mampu menyajikan latent reflective,

Page 36: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

yaitu pembentukan indikator yang dipengaruhi kepada latent variable itu, sendiri, maka pada

konsep pendekatan SEM PLS dapat dikembangkan konsep pengukuran model latent yang

memiliki karakter formative.

Berdasarkan pendekatan metodologi yang berbeda dengan variabel latent yang

reflective, maka sebagai konsekusnsinya, penerapan model uji kelayakan model sebagaimana

disajikan pada Tabel 4.1 tidak dapat diterapkan pada latent yang memiliki karakter formative

( Bollen, 1989). Sejumlah peneliti lain, Hair (2013), Henseller (2010), Ringer et al (2013)

menyatakan bahwa karakter latent formative dapat diuji kelayakannya dengan

mempergunakan uji korelasi antar VIF yang diharapkan berkisar antara 0.20 sampai dengan

0.50, sehingga diluar nilai tersebut maka model formative memiliki persoalan multi-

collinearity, sehingga model menjadi tidak layak untuk diteruskan atau diperlukan cara re-

sampling untuk memperbaiki kualitas prediksi latent variable. Prosedur re-sampling ayau

teknik bootstrapping diperkenalkan oleh Efron dan Tashabrani (1991) yang dapat menjadi

pertimbangan dalam upaya melakukan pembenahan data yang diperoleh dari hasil penelitian

lapangan. Berikut disajikan kriteria model pengujian kelayakan model latent formative.

Tabel 4.2 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment yang Formative

Jenis Uji

Validitas

Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti

Indicator

Validity

Indicator Weight Loading factor tidak

memiliki sebaran covary

Jarvis, et al (2003)

Indicator

Validity

Variance Inflation

Factor (VIF)

VIF memiliki sebaran

antara 0.20 sampai 0.50,

maka diperlukan metode

lain seperti second order

apabila syarat tersebut

tidak terpenuhi.

Ringer et al (2013),

Diamantopolous and

Siguaw (2006).

Page 37: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Construct

Validity

Interconstruct

Correlations

Jika korelasi antar

variable laten dibawah

0.85, meng-indikasikan

terdapat perbedaan nyata

antar latent, yang

menunjukkan model

cukup layak untuk

diteruskan.

Mackenzie et al

(2005), Bruhn et al

(2008).

4.5.3 Pengujian Model Struktural ( Inner-model)

Langkah pengujian structural model dilakukan untuk mengkaitkan hubungan variable

laten yag satu terhadap latent lainnya berdasarkan kerangka hubungan model yang telah

ditetapkan berdasarkan theoretical building yang telah disusun. Dalam rangka melakukan

prosedur pengujian model structural tersebut, maka langkah pertama yang harus dipetakan

adalah signifikansi model dan nilai R2 dari model penelitian secara keseluruhan. Pengujian

model hubungan dipolakan terlebih dahulu secara parsial, dengan menetapkan hubugan

pengaruh signifikansi antar vaiabel bebas dengan variable terikat. Masing-masing dari

variable terikat memiliki nilai R2 yang menjelaskan informasi sejauh mana variasi nilai

variable terikat dapat dijelaskan oleh factor factor yang mempengaruhinya. Semakin tinggi

nilai R2, akan menunjukkan semakin besar variasi nilai variable latent terikat dapat dijelaskan

oleh factor factor yang mempengaruhinya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2 yang

didapatkan, maka semakin terbatas informasi yang didapatkan dari pengaruh variabel bebas,

sehingga menjadi penting dipertimbangkan penelitian lanjutan untuk menyertakan variable

tambahan dalam rangka meningkatkan nilai R2.

Evaluasi menyeruh terhadap model penelitian untuk menentukan seberapa besar

model structural dapat dijelaskan oleh seluruh interaksi model, maka perlu didapatkan

koefisien determinasi R2 secara multivariate ( Hair et al, 2010).

Jika tujuan penelitian telah dapat ditelusuri melalui pemanfaatkan analisis jalur dan

Page 38: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

model structural melalui pengujian statistic t secara parsial dengan tingkat keyakinan sebesar

5%, maka tahap berikutnya adalah melakukan pengembangan analisis intermediasi antar

variable laten yang tidak secara langsung tertuju kepada sasaran akhir dari penelitiana ini

yaitu destinasi wisata berbasis ekonomi rakyat.

Sobel (1991) dan Baron dan Kenny (1990) melakukan terobosan untuk mendapatkan

signifikansi dari uji intermediasi. Berdasarkan metode Sobel (1990) dapat diketahui

signifikansi koefisien beta secara gabungan dari jalur mediasi yang ditetapkan pada model,

sehingga dapat diketahui seberapa besar parameter intermediasi itu berperan dibandingkan

dengan apabila varabel laten bersangkutan berhubungan secara langsung (direct effect)

terhadap sasaran akhir penelitian ini.

Page 39: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Destinasi Wisata Bali Utara

Destinasi wisata kabupaten Buleleng tersebar secara merata di 9 wilayah kecamatan,

dengan tipologi pantai dan pegunungan. Sembilan wilayah kecamatan memiliki pola tanaman

tadah hujan dan sawah beririgasi teknis, sehingga semua kecamatan memiliki pola karakter

dataran rendah dan pegunungan sebagai sumber air irigasi. Dengan demikian, potensi

kawasan pantai yang memanjang dari batas timur kecamatan Tejakula sampai dengan

wilayah barat kecamatan Grokgak menggembarkan kawasan potensi wisata pantai yang dapat

menjadi sumber kegiatan destinasi pariwisata dimasa depan.

Meskipun demikian, potensi kawasan pantai pada setiap kecamatan memiliki basis

nilai jual wisata yang spesifik. Bulelelng barat dengan dukungan situs pura Pulaki, taman

satwa serta kawasan pulau Menjangan adalah potensi wisata unik yang memiliki nilai jual

dimasa depan. Sedangkan di wilayah kecamatan Tejakula terdapat pura Dang kayangan

Ponjok Batu, desa wisata Julah sebagai prototype desa pra Bali dengan budaya adat yang

relative unik, sedangan di kawasan Buleleng tengah terdapat desa wisata Munduk yaitu tipe

wisata alam pegunungan yang telah berjalan dewasa ini dan mendapat kunjungan wisata

cukup padat. Kawasan wisata danau Buyan di wilayah kecamatan Sukasada adalah potensi

wisata yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka pengembangan destinasi wisata.

Desa wisata Julah merypakan salah satu obyek wisata yag sudah banyak dikunjungi

wisatawan, tetapi tampak belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari para pengusaha

dan pemerintah kabupaten Buleleng untuk memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut

sebagai media dalam menciptakan nilai tambah produksi dan pelayanan wisata. Hal ini

Page 40: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

memberikan indikasi bahwa industri pariwisata belum dipetakan secara optimal dalam rangka

mewujudkan nilai tambah tersebut, seperti kesiapan komponen pengusaha dalam meata bisnis

pelayanan wisata termasuk pengadaan penginapan, restaurant, akomodasi bidang transportasi,

bahkan pramusata dan atraksi seni budaya yag seharusnya dapat ditampilkan sebagai

pelengkap dan keragaman pelayanan pada destinasi wisata yang bersangkutan. (Lihat

Gambar 5.1).

Gambar 5.1

Desa Wisata Bali Mule Julah Kecamatan Tejakula

Potensi wisata air dan sumber air alami pegunungan tidak saja telah terbangun sejak

lama kolam renang air sanih Kubutambahan yang sudah banyak dikenal sejak lama, tetapi

juga terdapat air terjun Gitgit, desa Gitgit kecamatan Sukasada yang merupakan sumber air

terjun dari mata air pegunungan yang sejuk dan dingin, banyak wisatawan telah

memanfaatkan sebagai sarana untuk mandi, tetpi tidak terlihat terdapat dukungan industri

pariwisata yang kuat sebagai pendamping destinasi wisata tersebut, sehingga tidak

menghasilkan nilai tambah bagi komunitas lokal di wilayah desa Gitgit tersebut. Hal ini tentu

merupakan bagian terpenting dari inisiatif dan kebijakan pemerintah kabupaten Buleleng

Page 41: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

tidak saja sebagai fasilitator, tetapi juga dapat melakukan pendampingan dan upaya

pemberdayaan masyarakat dan komponen pengusaha lokal untuk bangkit memanfaatkan

peluang destinasi wisata tersebut sebagai proses untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat

disekitar lokasi destinasi wisata. ( lihat Gambat 5.2)

Gambar 5.2

Air Terjun Gitgit Kecamatan Sukasada Buleleng Tengah

Potensi lain yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan

destinasi wisata bernilai tambah adalah potensi alam pegunungan desa Pancasari dengan latar

belakang danau Buyan, serta desa wisata Bali Handara dan sekitarnya (lihat Gambar 5.3).

Alam pegunungan dengan panorama yang indah dapat menjadi kawasan wisata yang

menjanjikan dimasa depan. Desa wisata Munduk yang dikemas melalui kombinasi alam

pegunungan yang indah dengan budaya masyarakat setempat, ternyata mampu mewujudkan

nilai jual yang sangat baik, dimana penduduk desa menerima manfaat atas kehadiran

pariwisata sebagai sumber mata pencaharian diluar mata pencaharian sebagai petani.

Page 42: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Gambar 5.3

Kawasan Wisata Desa Pancasari Sukasada Buleleng

Kawasan destinasi wisata sawah terrace terdapat di desa Ambengan kecamatan

Sukasada, serta desa Busungbiu kecamatan Banjar (lihat Gambar 5.4). Sebagaimana juga

terdapat pada destinasi wisata yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya,

destinasi wisata sawah terrace hanyak tampil sendirian sebagai obyek wisata, sehingga tidak

menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat sekitar destinasi wisata bersangkutan. Komponen

industri pariwisata yang lebih dan terabaikan, menyebabkan peluang nilai tambah yang

seharusnya terbentuk dikawasan tersebut menjadi hilang tidak termanfaatkan.

Penelitian ini dari awal mengajukan konsep pegembangan destinasi wisata berbasis

komunitas lokal, dimana masayakat lokal bertindak menjadi pemilik atas industri wisata.

Meskipun tidak mudah untuk diwujudkan, namun pengalaman dibanyak negara bahwa peran

dan dukungan kebijakan pemerintah dapat bertindak melalui anggaran belanja melakukan

pemberdayaan dalam rangka mewujudkan pariwisata berbasis kepemilikan masyarakat. Salah

satu dari pendekatan strategi menuju pembangunan destinasi eisata berbasisi CBT tersebut

adalah dengan mengkonstruksi industri komponen pendukung destinasi wisata yangselama

Page 43: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

ini tidak tamak kehadirannya di pelbagai destinasi wisata di kabupaten Buleleng.

Gambar 5.4

Kawasan Sawah Teraserinf Busungbiu

Kecamatan Banjar Buleleng Barat

Kebeadaan pantai Loviba di barat kota Singaraja adalah atraksi wisata laut dengan

dukungan atraksi ikan Dolpin merupakan potensi alam wisata yang unik dan bernilai jual

tinggi. Gambar 5.5 menyajikan pentas ikan Dolpin yang menari-nari dipermukaan laut

adalah atraksi wisata yang telah mampu ditampilkan sebagai obyek wisata yang sangat

diminati wisatawan manca negara. Para wisatawan diajak ketengah laut sekitar 300 meter

dari permukaan laut melalui sarana transportasi sampan nelayan yang sangat sederhana.

Sebagimana juga ditemukan pada destinasi wisata pantai Lovina ini, bahwa kehadiran

industri pendukung pariwisata tidak tampak seperti kehadiran handicraft produk kerajinan

masyarakat Buleleng, serta tidak tersedianya pentas atraksi budaya lokal sebagai sajian

alternative yang dapat dinikmati wisatawan.

Page 44: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Gambar 5.5

Pentas Ikan Dolpin Kawasan Laut Pantai Lovina

Kecamatan Banjar Buleleng Barat

Potensi destinasi wisata di Buleleng barat menawarkan yang lebih spesfik dan bernilai

jual tinggi, yaitu taman margasatwa Bali barat, situs terkemuka pura Pulaki, serta kawasan

pulau Menjangan dengan pasir putih yang memukai serta habitat binatang menjangan

sebagai penghuni utama pulau Menjangan.

Gambar 5.6 menyajikan areal transportasi lokal dari kawasan Buleleng barat menuju

pulau menjangan dengan angkutan sampan penduduk tradisional untuk mencapai sekitar 2

km dari pantai daratan di desa Sumberkima menuju kawasan pulau Menjangan yang tidak

berpenduduk tersebut.

Page 45: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Gambar 5.6

Kawasan Wisata Pulau Menjangan

Buleleng Barat

Berdasarkan uraian tentang profile potensi destinasi wisata yang tersebar di sembilan

kecamatan di kabupaten Buleleng tersebut, diperoleh kesimpulan sementara bahwa destinasi

wisata belum ditata secara maksimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah kesejahtraan

bagi penduduk lokal. Kajian yang akan dikonstruksi adalah strategi pengembangan destinasi

wisata community-based tourism (CBT) sebagaimana pendekatan konsep dan arah

pengembangannya telah tersajikan pada BAB 3 kerangka piker penelitian ini.

Page 46: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

5.2 Uji Outer-model Persepsi Destinasi Wisata Berbasis CBT

Model destinasi wisata berbasis CBT dikembangkan dengan sangat bergantung

kepada daftar pertanyaan yang dirancang khusus menurut kebutuhan model teori yang

melatar-belakanginya, sehingga terbentuk variabel laten sebagai alat ukur untuk menetapkan

derajat kepekaan masing-masing variabel penunjang dalam membentuk destinasi wisata

berbasis CBT (lihat Gambar 3.2 pada hipotesis penelitian BAB 3). Lampiran 1.1 sampai

dengan Lampiran 1.2 menyajikan hasil penelitian lapangan tentang persepsi masyarakat

disekitar destinasi wisata yang terpilih mewakili responden, para pengusaha lokal, yang

mewakili konstruk modal social network, serta kolaborasi yang didukung oleh satuan pemuka

tokoh masyarakat sebagai pengikat konstruksi kolaborasi yang menghubungkan antara

variabel Infras (X1) yang mewakili dinamika partisipasi masyarakat yang berada disekitar

destinasi wisata, variabel X3 (network) adalah responden pengusaha lokal yang bergelut di

sektor industri wisata yang dilihat dalam dimensi potensi modal sosial mencakup linkage,

trust dan norma.

Sedangkan X2 adalah variabel commitment mencerminkan prilaku pengusaha non

pariwisata dalam dimensi persepsi untuk mendukung kolaborasi dalam rangka penguatan

basis industri pariwisata. Responden X2 dirumuskan sebagai komponen usaha lokal non

pariwisata yang memiliki potensi memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan potensi

kebersamaan dalam gerak dan langkah untuk mewujudkan community-based tourism yaitu

tipe industry wisata berbasis kepemilikan dan partisipasi rakyat.

Variabel Y1 adalah kolaborasi yaitu keberadaan tokoh masyarakat dan peran desa

adat sebagai kekuatan informal sebagai persepsi dinamis yang menjadi penentu keberhasilan

dalam memadukan potensi partisipasi pengusaha lokal dan masyarakat yang bermukim

disekitar destinasi wisata yang akan menjadi penentu kebersilan pengembangan destinasi

wisata berbasis komunitas. Terakhir, variabel Y2 adalah destinasi wisata berbasis CBT yang

Page 47: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

mencerminkan dinamika pasar pengguna jasa destinasi wisata dengan memanfaatkan

pramuwisata sebagai proksi atas permintaan jasa pariwisata. Pramuwisata adalah komponen

penggerak pelayanan yang menjadi partner wisatawan yang berkunjung ke wilayah

Buleleleng. Dengan demikian, diharapkan terdapat tali sambungan antara peran partipasi

masyarakat, tokoh masyarakat dan pengusaha lokal dalam membangun kolaborasi pelayanan

wisata disatu pihak, dengan dinamika pasar wisata yang dipersepsikan oleh para pramusisata

sebagai wakil dari dinamika pasar pariwisata di wilayah kabupaten Buleleng.

Hasil wawancara disampaikan dengan pengukuran skala Likert sebagaimana disajikan

pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2, sedangkan pola distribusi sebaran data skala

Likert disajikan pada Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran 1.5 dalam bentuk sajian grafik.

Meskipun syarat distribusi normal tidak menjadi pertimbangan utama pada penelitian ini,

namun pola sebaran data setidaknya dapat memberikan indikasi awal tentang arah dinamika

persepsi responden yang diwawancarai. Ternyata sebagian besar data terpolakan pada sisi

kiri dan sisi kanan, dengan sedikit terkonsentrasi ditengah. Hal ini menujukkan pola sikap

responden dengan pandangan yang lebih banyak bersifat memilih ketimbang berpandangan

netral (Skala 3).

Penelitian ini membangun pemodelan persepsi dengan pengembangan outer-model

sebagai focus konstruksi yang memuat didalamnya latent variable reflective dan latent

variable formative, sehingga analisis yang memadai untuk dipetakan adalah pendekatan

variance-based PLS. ( Ringers et al (2012), Hair et al (2013) serta Henseler (2010). Langkah

pertama untuk menguji outer-model yang memenuhi syarat kecukupan untuk dapat diangkat

ke tingkat lanjutan ke proses penyelesaian inner-model, adalah bahwa model reflective

memiliki outer-loading yang memiliki syarat penyebaran nilai secara covary, sedangkan pada

latent formative akan ditentukan sebaliknya ( Jarvis et al (2003).

Penelitian juga melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kualitas data Likert

Page 48: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

yang telah ditabulasi untuk kemudian diuji dengan mempergunakan pendekatan explanatory

factor analysisi sebagaimana direkomendasikan oleh Cohen (1987) serta Tenenhous et al

(2005). Dengan demikian, evaluasi data mempergunakan software SPSS versi 17 untuk

menetapkan tahaoan pengujian KMO dan Barlet test, serta sebaran nilai correlation image,

yang bermanfaat untuk melihat kualitas masing-masing indikator yang membentuk masing-

masing variabel latent.

5.2.1 Uji Latent Variabel Infras (X1) – Laten Reflective

Uji analisis factor menunukkan nilai KMO relative rendah kurang dari 70% yang

direkomendasikan, sehingga masih harus ditelusuri kualitas questionnaire, dengan

kemungkinan terjadinya sampling error sebagai akibat dari daftar pertanyaan yang kurang

dimengerti oleh responden. Jalan keluar untuk mendapatkan informasi sekitar kualitas

indikator dalam membentuk latent variable X1, diperoleh melalui anti-image matrices,

ternyata indikator X1.4 memiliki nilai jauh dibawah 0.50, sehingga harus dikeluarkan dari

pembentuk indikator laten X1.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .510

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 164.284

Df 6

Sig. .000

Anti-image Matrices

X1.1 X1.2 X1.3 X1.4

Anti-image Covariance X1.1 .052 .051 .029 .085

X1.2 .051 .075 -.033 .070

X1.3 .029 -.033 .208 .082

X1.4 .085 .070 .082 .174

Anti-image Correlation X1.1 .494a .816 .276 .887

X1.2 .816 .572a -.263 .612

X1.3 .276 -.263 .783a .429

X1.4 .887 .612 .429 .200a

Hasil reduksi atas indkator pada variabel X1 menghasilkan kemajuan pada nilai KMO

Page 49: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

menjadi 0.622 paling tidak medekati nilai 0.70 tetapi dengan perbaikan pada anti-image

correlation dengan sebaran diatas 0.50. Dilihat dari criteria KMO, maka indkator X1.4 adalah

titik lemah yang mengurangi kinerja prediksi atas variabel laten X1.

Kriteria lain yang dapat dijadikan pedoma untuk menguji kualitas indikator X1.1

sampai dengan X1.4 dalam membentuk latent X1 adalah uji reability, uji composite dan uji

discriminant validity yang disajikan pada Lampiran 1. 12. Rekomendasi pengujian yang

dianggap dapat mewakili ketiga uji indikator diatas adalah dengan melihat sebaran loading

factor dari masing-masing indikator sebagaimana direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003),

yaitu bahwa model latent reflective wajib memiliki sebaran loading factor yang covary (

Jarvis et al (2003), Petter et al (2006).

X1

X1.1 X1.2 X1.3

0.9640.613 0.967

Gambar 5.7

Loading Factor Latent Variable X1

Ternyata outer-model yang membentuk latent variable X1 tidak memiliki sebaran

yang covary terbukti dengan indikator X1.1 yang tidak memiliki kesejajaran loading factor

dengan indikator X1.2 dan X1.3, sehingga pembentukan variabel laten X1 masih memiliki

kendala karena tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan seagai variabel laten yang

memiliki karakter reflective. Mengeluarkan X1.4 dari model ternyata belum maksimal

sebagai upaya mengkoreksi model. Menghilangkan lebih banyak indikator tentu menjadi

Page 50: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

beresiko karena akan menjauhkan model latent dari konstruksi teori yang dibangun sejak

awal, karena metode SEM dan path dibangun berdasarkan confirmatory factor model ( Hair,

2010). Dengan demikian, hasil analisis ini akan menjadi catatan bagi perbaikan teknik

wawancara dan upaya menemukan responden yang lebh tepat fungsi, sehingga dapat direkam

data persepsi yang lebh berkualitas.

5.2.2 Uji Latent Variabel Commitment (X2) – Laten Reflective

Uji analisis factor menunjukkan nilai KMO untuk variabel X2 adalah 0.773 yaitu

syarat terpenuhinya bahwa variasi nilai X2 telah mendapat dukungan variasi informasi yang

memadai dan layak untuk diteruskan ke analisis factor berikutnya. Analisis anti-image

correlation menujukkan nilai korelasi seluruh indikator berada diatas 0.50 sehingga cukup

memberikan dukungan atas kualitas data persepsi untuk diteruskan ke tingkat penyelesaian

model SEM dan Path berbasis variance-based PLS.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .773

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 198.651

df 10

Sig. .000

Anti-image Matrices

X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5

Anti-image Covariance X2.1 .477 .034 .082 -.103 -.006

X2.2 .034 .062 .051 -.035 .075

X2.3 .082 .051 .090 .038 .014

X2.4 -.103 -.035 .038 .302 -.071

X2.5 -.006 .075 .014 -.071 .183

Anti-image Correlation X2.1 .825a .197 .397 -.271 -.019

X2.2 .197 .698a .679 -.258 .706

X2.3 .397 .679 .786a .233 .113

X2.4 -.271 -.258 .233 .868a -.302

X2.5 -.019 .706 .113 -.302 .746a

Hasil analisis dengan mempergunakan SmartPLS ver 2 diperoleh sebaran loading

Page 51: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

factor sebagaimana disajikan pada Gambar 5.8. Ternyata untuk variabel X2 memenuhi syarat

dimana loading factor dari semua indikator yang ada menyebar secara covary, sehingga

memenuhi syarat uni-dimensional ( Petter, 2006), dimana menghilangkan sala satu dari

indikator tidak akan berpengaruh kepada variabel latent lainnya dalam suatu hungan

struktural.

X2

X2.1 X2.2 X2.3

0.879 0.815

X2.4 X2.5

0.820 0.899 0.828

Gambar 5.8

Loading Factor Latent Variable X2

5.2.3 Uji Latent Variabel Commitment (X3) – Laten Formative

Berbeda dengan variabel laten reflective yang memiliki karaktek uni-dimensional

dengan syarat indikator loading factor yang covary, maka untuk laten formative dimana

indikator bertindak mempengruhi variabel laten X3, maka pada laten formative berlaku

karakter multi-dimensional, dimana menggantikan salah satu dari indikator akan berdampak

pada variabel laten lainnya dalam suatu hubugan model struktural. Pada model laten

formative, pengukuran uji reability dan uji discriminate validity tidak berlaku, karena antar

indikator tidak memerlukan syarat covary. Jika pada latent reflective berlaku syarat covary

dengan sifat data hight multi-collinearity, maka pada laten formative, justru sebaliknya yaitu

hubungan antar indikator tidak mengandung multi-collinearity. Dengan demkian, maka

Page 52: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

indikator yang harus ditampilkan dari loading factor setiap indikator bersifat tidak covary.

Uji KMO dan anti-image correlation menunjukkan informasi yang mendukung

karakter laten formative yang multi-dimensional dimana KMO sebesar 0.149 dan anti-image

correlation seluruhnya lebih rendah dari 0.50, menunjukkan bahwa antar indikator tidak

menunjukkan gejala saling berhubungan satu indikator dengan indikator lainnya.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .149

Bartlett's Test of Sphericity

Approx. Chi-Square

265.072

df 36

Sig. .000

Anti-image Matrices

X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9

Anti-image Covariance X3.1 .050 .045 .065 .037 .073 .034 .049 .057 .065

X3.2 .045 .048 .070 .042 .072 .034 .049 .056 .062

X3.3 .065 .070 .145 .068 .117 .052 .084 .099 .092

X3.4 .037 .042 .068 .042 .066 .031 .045 .053 .058

X3.5 .073 .072 .117 .066 .151 .055 .091 .099 .111

X3.6 .034 .034 .052 .031 .055 .028 .032 .043 .048

X3.7 .049 .049 .084 .045 .091 .032 .080 .067 .079

X3.8 .057 .056 .099 .053 .099 .043 .067 .084 .081

X3.9 .065 .062 .092 .058 .111 .048 .079 .081 .116

Anti-image Correlation X3.1 .199a .915 .763 .813 .847 .913 .780 .875 .857

X3.2 .915 .127a .839 .932 .848 .926 .798 .881 .828

X3.3 .763 .839 .070a .875 .792 .811 .779 .893 .711

X3.4 .813 .932 .875 .189a .827 .917 .778 .892 .827

X3.5 .847 .848 .792 .827 .064a .846 .829 .875 .836

X3.6 .913 .926 .811 .917 .846 .217a .680 .886 .854

X3.7 .780 .798 .779 .778 .829 .680 .233a .822 .823

X3.8 .875 .881 .893 .892 .875 .886 .822 .074a .819

X3.9 .857 .828 .711 .827 .836 .854 .823 .819 .128a

Bukti analisis KMO dan anti-image correlation yang diolah dengan software SPSS versi 17,

ternyata searah dengan hasil analisis SmartPls melalui proses outer-model, dimana variabel

X4 dinyatakan sebagai laten formative.

Page 53: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Hasil analisis latent formative sebagaimana disajikan pada Gambar 5.9 tidak

mendukung analisis factor sebelumnya, bahwa ternyata loading factor yang dihasilkan

memiliki karakter covary, dimana loading factor antar yang dihasilkan memiliki dimensi

yang covary, padahal latent formative seyogyanya memiliki sebaran loading factor yang tidak

covary. Lohlin (2005) menyarankan perlunya dilakukan prosedur second order yaitu dengan

mengelompokkan indikator sedemikian rupa, tentunya dengan membagi kelompok indikator

berdasarkan konstruksi teori yang membentuknya yaitu Z1 adalah linkage, Z2 adalah trust

serta Z3 adalah norma, sehingga diperoleh tiga latent yang membentuk latent variable X3.

X3

X3.1 Y3.2 Y3.3

0.863 0.920

Y3.4

0.940 0.813

Y3.5

0.825

Y3.6 Y3.7 Y3.8 Y3.8

0.8250.920 0.9200.920

Gambar 5.9

Loading Factor Latent Variable X2

Prosedur second order formative ternyata menghasilkan pola penyebaran indikator

yang memiliki karakter tidak covary, sehingga menjadi lebih layak untuk ditetapkan sebagai

unit analisis untuk variabel network (X3). Gambar 5.10 adalah bentuk second order laten

formative, dimana latent formative X3 dibentuk oleh kelompok latent Z1, Z2 dan Z3.

Page 54: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Z1

X3.1 X3.2 X3.3

0.2820.496 0.296

Z2

X3.4 X3.5 X3.6

0.283 0.347 0.544

Z3

X3.7 X3.8 X3.9

0.224 0.5160.354

X3

0.353 0.317 0.370

Gambar 5.10

Loading Factor Latent Variable X3

Pengembangan model laten formative mengikuti second order procedure telah

berhasil meningkatkan kualitas hasil analisis dimana loading factor dari indikator pembentuk

laten X3 adalah tidak covary. Dengan demikian, maka penyelesaian model structural akan

diselesaikan berdasarkan model SEM dan path dengan pengembangan second order latent

model ( Lohlin, 2005), Lin et al (2008).

5.2.4 Uji Latent Variabel Kebijakan Pemerintah (X4) – Laten Formative

Latent formative kedua yang dipetakan sebagai konstruksi laten yang memenuhi

nuansa kuantitatif serta memiliki dinamika indikator sebagai pembentuk laten variabel X4

( Diamantopolous, 2001), Hair et al (2010). Meskipun uji reability dan discriminate validity

tidak berlaku sebagai alat analisis untuk menetapkan kualitas variabel latent formative,

namun informasi kualitas data berdasarkan pendekatan explanatory factor analyisis dapat

menjadi pemetaan awal bagi kualitas data yang berbasis penelitian persepsi dengan skala

katagori. Hasil analisis SPSS yang memuat nilai KMO dan anti-image correlation disajikan

Page 55: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

kembali dari Lampiran 1.19 yang dikutip kembali sebagai berikut.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .165

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 183.846

df 6

Sig. .000

Anti-image Matrices

X4.1 X4.2 X4.3 X4.4

Anti-image Covariance X4.1 .034 .031 .021 .015

X4.2 .031 .032 .021 .015

X4.3 .021 .021 .014 .010

X4.4 .015 .015 .010 .007

Anti-image Correlation X4.1 .098a .963 .974 .983

X4.2 .963 .098a .976 .984

X4.3 .974 .976 .157a .993

X4.4 .983 .984 .993 .277a

Nilai KMO sebesar 0.165 yang ternyata lebih rendah dari 0.70 serta sebaran nilai anti-

image correlation lebih kecil dari 0.50 menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan

penelusuran latent formative X3 sebelumnya. Analisis explanatory factor analysis yang

tersajikan diatas mendukung syarat bahwa latent variabel formative selalu berlawanan dengan

model laten reflective, karena pada model reflective ditentukan memiliki karakter uni-

dimensional yang dipetakan sebagai sebaran loading factor yang covary, sedangkan pada

laten formative terdapat sebaran loading factor yang tidak covary.

Hasil analisis dengan mempergunakan SmartPls versi 2 disajikan pada Gambar 5.1.

Ternyata sebaran loading factor tidak menyebar secara covary sehingga syarat bahwa laten

formative memiliki karakter multi-dimensional terpenuhi dengan baik, sehinga dapat

diteruskan ke tingkat penyelesaian model structural SEM dan path.

Page 56: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

X4

X4.1 X4.2 X4.3

0.519 0.026

X4.4

0.153 0.382

Gambar 5.11

Loading Factor Latent Variable X2

5.2.5 Uji Latent Variabel Kolaborasi (Y1) – Laten Reflective

Model laten reflective adalah dirumuskan berdasarkan kajian teoritik, karena basis

teori SEM dan path adalah berdasarkan konsep confirmatory factor analysis. Hasil analisis

factor dengan mempergunakan bantuan SPSS disajikan dengan mengutip kembali Lampiran

1.9 sebagai berikut.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .623

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 65.640

df 6

Sig. .000

Anti-image Matrices

Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4

Anti-image Covariance Y1.1 .314 -.243 .028 -.049

Y1.2 -.243 .304 -.036 -.054

Y1.3 .028 -.036 .668 -.322

Y1.4 -.049 -.054 -.322 .579

Anti-image Correlation Y1.1 .591a -.786 .061 -.114

Y1.2 -.786 .602a -.080 -.129

Y1.3 .061 -.080 .630a -.518

Y1.4 -.114 -.129 -.518 .703a

Page 57: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Nilai KMO sebesar 0. 623 ternyata lebih kecil dari ketentuan minimal sebear 0.70,

meskpiun demikian, kisaran nilai KMO yang masih diatas 0.50 serta dukungan yang

memadai dari anti-image correlation dimana sebaran korelasinya seluruh indikator diatas

0.50 menunjukkan kondisi data idikator cukup ideal untuk tetap dapat dilanjutkan.

Hasil analisis loading factor yang diperoleh dari penggunaan bantuan software

SmartPls versi 2 disajikan pada Gambar 5.12. Ternyata loading factor yang diperoleh dari

hasil analisis menunjukkan adanya sebaran nilai loading factor yang cukup covary, sehingga

cukup ideal untuk menggambarkan kondisi latent variable reflective sebagaimana

direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003).

Y1

Y1.1 Y1.2 Y1.3

0.908 0.927

Y1.4

0.889 0.915

Gambar 5.12

Loading Factor Latent Variable Y1

5.2.6 Uji Latent Variabel Destinasi Wisata CBT (Y2) – Laten Reflective

Variabel Laten destinasi wisata CBT dipersepsikan dari prilaku pengguna jasa

Page 58: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

destinasi wisata di wilayah destinasi yang terpilih sebagai obyek penelitian. Karena

keterbatasan wisatawan, serta kesulitan untuk mendapatkan tamu yang berkunjung pada

lokasi yang bersangkutan, maka persepsi wisatawan tentang kualitas destinasi wisata

dipetakan dari pramuwisata (guide) sebagai pendamping wisatawan keseharian. Setidaknya,

pramuwisata dapat memberikan gambaran tentang kendala pelayanan, mutu destinasi wisata,

ketersediaan fasilitas penunjang wisata, serta persoalan keamanan dan sarana lain yang masih

dianggap penting ditingkatkan, sekiranya akan memberikan gambaran tentang potensi pasar

wisata yang tersedia pada destinasi wilayah Buleleng secara umum.

Hasil wawancara dipetakan mempergunakan skala Likert, data hasil penelitian

disajikan pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2. Berdasarkan uji explanatory

factor analysis dengan bantuan software SPSS ver 17, disajikan pada Lampiran dan dikutip

sebagian sebagai berikut.

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .466

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 89.819

df 10

Sig. .000

Anti-image Matrices

Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5

Anti-image Covariance Y2.1 .419 .022 -.065 .267 .268

Y2.2 .022 .253 -.195 -.015 .106

Y2.3 -.065 -.195 .208 .020 -.154

Y2.4 .267 -.015 .020 .683 .079

Y2.5 .268 .106 -.154 .079 .434

Anti-image Correlation Y2.1 .483a .067 -.221 .499 .629

Y2.2 .067 .482a -.849 -.035 .319

Y2.3 -.221 -.849 .456a .053 -.514

Y2.4 .499 -.035 .053 .566a .145

Y2.5 .629 .319 -.514 .145 .392a

a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Ternyata hasil analisis menunjukkan nilai KMO sebesar 0.466 masih sangat

terkendala untuk dapat dinyatakan indikator memiliki kualitas yang baik dalam membentuk

Page 59: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

variabel laten Y2. Anti-image correlation ternyata juga terkendala pada indikator Y2.5 yaitu

dengan nilai korelasi 0.392 yang masih jauh dari nilai minimum 0.50. Meskipun demikian,

uji Barlets yang positif dan relative dengan nilai Chi relative besar, dapat memberikan

keyakinan bahwa hasil wawancara masih layak dapat diteruskan ke penyelesaian outer-model

denan bantuan SmartPls ver 2. Hasil analisis dengan bantuan SmartPls ver 2 disajikan pada

Gambar

Y2

Y2.1 Y2.2 Y2.3

0.863 0.920

Y2.4

0.940 0.813

Y2.5

0.825

Gambar 5.13

Loading Factor Latent Variable Y2

Berdasarkan Gambar 5.13, sebaran nilai loading factor memenuhi syarat covary, yaitu

adanya kesetaraan sebaran nilai diantara indikator yang tidak menyimpang terlalu jauh,

sehingga dapat dinyatakan variabel laten destinasi wisata CBT (Y2) cukup layak untuk

disertakan menjadi bagian dalam sebuah model structural path dan SEM berbasis variance-

based PLS.

5.3 Analisis Struktural Model Destinasi Wisata CBT.

Penelitian ini mengembangkan analisis data melalui tiga tahap. Tahap pertama, adalah

Page 60: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

melakukan uji coba dengan menggabungkan seluruh indikator pada modal social sebagai

indikator langsung yang membentuk netrowk (X3). Hasil uji pendahuluan dengan bantuan

analisis factor SPSS, sebagaimana telah dibahas sebelumnya ternyata tidak memuaskan dan

dengan kualitas analisis yang sangat tidak memadai, dimana seluruh temuan indikator

memiliki sebaran loading factor yang covary, padahal variabel laten X3 adalah formative.

Pada tahap kedua, analisis dilanjutkan dengan melakukan revisi atas model penelitian

dengan mempergunakan second order procedur sebagaimana direkomendasikan oleh Lohlin

(2005), Lin (2006), Afthanorhan (2014), Wetzel et al (2009). Hasil analisis sem dan path

berbasis variance-based PLS disajikan mulai dari Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran

1.14.

Tahap ketiga, adalah dengan mempetakan analisis intermediasi dengan banuan

software SmartPls ver2, sehingga dapat ditentukan hasil analisis signifikansi pada jalur

intermediasi model penelitian CBT ini, dalam hal mana dilakukan untuk melengkapi jawaban

dari tujuan penelitian ini.

5.3.1 Kelayakan Model Penelitian

Kelayakan model penelitian dapat dibuktikan dengan melihat analisis koefisien

determinasi multivariate yang dinyatakan sebagai Q2, dengan detail teknik perhitungan

sebagai berikut.

Q2 = 1 – (1-R

2x2)*((1-R

2y1) *(1-R

2y2)

Berdasarkanm Lampiran 1.12 dengan sumber rinian nilai R2 untuk tiga variabel endogen,

maka diperoleh nilai Q2 = 1 – (1-0.7456) * (1-0.8474) * ( 1-0.8962) = 0.9959.

Berdasarkan temuan nilai Q2 sebesar 0.99 dapat dinyatakan bahwa model penelitian

memenuhi goodness of fits dimana hanya sebesar 1% dari variasi seluruh endogen variable

ditentukan oleh variabel lain yang tiak disertakan pada model penelitian. Dengan demikian,

Page 61: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

bahwa model path dapat memberikan informasi secara memadai secara keseluruhan untuk

melihat proses interdependensi antar variabel penelitian yang disertakan pada model

penelitian ini.

5.3.2 Analisis Bootstrapping Model Penelitian

Hasil analisis tahap kedua, yaitu penggunaan prosedur second order disajikan untuk

sebagian dikutip kembali dari Lampiran 1.21 tentang hasil analisis bootstrapping untuk

menetapkan sejauh mana tujuan penelitian yang telah dirumuskan penelitian ini dapat

dijawab oleh hipotesis model yang disusun. Hasil analisis bootstrapping disajikan pada Tabel

5.1. Ternyata dari enam hipotesis yang dirmuskan, terdapat satu tujuan penelitian yaitu Infras

(X1) tidak berpengaruh signifikan terhadap kolaborasi (Y1) berdasarkan criteria uji t sebesar

5%, dengan t table = 1.645, selebihnya sebanyak lima tujuan penelitian dinyatakan signifikan

berdasarkan criteria uji t 5%, karena t table masih lebih kecl dibandingan dengan T statistics

yang diperoleh dari perhitungan SmartPls.

Tabel 5.1

Hasil Analisis Bootstrapping statistic t dengan Sampel N = 80

Variables Original Sample Standard Standard T

Sample Mean Deviation Error Statistics

X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131

X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864

X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148

X3 -> Y1 0.5394 0.5754 0.1037 0.1037 5.1991

X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472

Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697

Hasil analisis statistic t yang tidak signifikan pada variabel Infras (X1) telah dideteksi

sejak awal, yaitu dengan lemahnya hasil uji explanatory factor analysis denan nilai KMO

yang tidak memadai, serta anti-image correlation yang tidak memuaskan. Terdapat beberapa

indikasi yang dapat menjadi penyebab terjadinya sampling error yang cukup besar, antara

Page 62: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

lain adanya kesalahan dalam memilih calon responden, adanya pertanyaan items kuestioner

yang tidak dijawab sesuai dengan konteks pertanyaan, serta keterbatasan dalam alokasi waktu

peneliti dalam melakukan sosialisasi atas konsep pertanyaan yang diajukan, sehingga dimasa

depan penelitian perlu memprtimbangkan alokasi waktu yang lebh banyak untuk memahami

karakter responden, sehingga dapat dihindarkan bias informasi dari responden terpilih.

Dari lima variabel yang dinyatakan signifikan, ternyata variabel commitment (X2)

yang memiliki sign negative terhadap variabel kolaborasi, yaitu sebesar -0,3692. Hal ini

menunjukkan ada keterkaitan hubungan yang berlawanan arah antara commitment pengusaha

non pariwisata (X2) terhadap kolaborasi (Y1). Dengan demikian, meskipun pengaruh

commitment adalah signifikan terhadap kolaborasi, tetapi indikasi parameter menyatakan

pengusaha lokal non pariwisata tidak sepenuhnya memberikan signal bagi penguatan

kolaborasi dalam rangka mewujudkan community-based tourism (CBT) di wilayah

kabupaten Buleleng.

Hasil analisis dalam bentuk grafik yang dikutip kembali dari Lampiran 1.29 dan

Lampiran 1.30 disajikan pada Gambar 5.14 dan Gambar 5.15. Gambar 5.14 menunjukkan

pola keterkaitan hubungan antar variabel untuk menuju sasaran akhir yaitu destinasi wisata

CBT sebagai target yang ingin diketahui peluang dan kemungkinan pengembangannya.

Ternyata signifikansi statistic t juga ditunjukkan oleh second order latent variable dari linkage

(Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) yang membentuk latent pada first order (X3), sehingga

penelusuran tentang kontribusi masing-masing latent variable pembentuk X2 tersebut dapat

dilakukan dengan melihar outer-weight loading factor, sehingga dapat dilihat secara spesifik

power effect dari variabel Z1, Z2 dan Z3 dalam mengkonstruksi latent variabel Network

(X3).

Page 63: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Gambar 5.14

Hasil Bootstrapping statistic t Antar Variabel Penelitian

Berdasarkan Gambar 5.15 dapat diketahui bahwa norma (Z3) atau aspek budaya

dalam kesetaraan memiliki koontribusi terbesar, disusul oleh variabel linkage (Z2) dan

kemudian trust (Z2) sebagai nominasi terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa profile

masyarakat Buleleng memiliki kesetaraan lebih kuat dalam membangun kebersamaan,

dengan mengabaikan struktur kelas, gender dan perbedaan lainnya dalam masyarakat. Potensi

modal social berikutnya adalah linkage, yaitu kemampuan pengusaha lokal bidang pariwisata

dalam membangun jaringan pergaulan dimulai dari dusun, desa sampai dengan pola linkage

Page 64: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

warga masyarakat antar satu kecamatan dengan kecamatan yang lain.

Gambar 5.15

Prediksi Parameter Hubungan Antar Variabel Penelitian

Penelusuran tingkat kontribusi pembentukan kolaborasi (Y1) yang bersumber dari

persepsi tokoh masyarakat dan adat, ternyata peran kebijakan pemerintah (X4) memainkan

peranan teroenting dalam membentuk kolaborasi, disusul kemudian oleh peranan potensi

modal social Network (X3), sedangkan konstribusi variabel pengusaha non pariwisata (X2)

Page 65: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

memiliki persepsi dengan sign parameter negative. Dengan demikian, dari ketiga pembentuk

kolaborasi dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas lokal di kawasan

destinasi Buleleng, ternyata peran pengusaha lokal non pariwisata masih menjadi kendala

karena berlawanan arah dengan tujuan untuk mewujudkan kolaborasi dalam menghimpun

kebersamaan untuk mewujudkan destinasi berbasis CBT di wlayah kabupaten Buleleng.

Kolaborasi (Y1) dilihat dalam keterkaitan parsial sebagai variabel pembentuk

destinasi wisata CBT (Y2) ternyata memiliki kontribusi lebih besar dibandingkan dengan

variabel kebijakan pemerintah (X4). Lihat Gambar 5.15. Hal ini menunjukkan bahwa

kemandirian masyarakat Buleleng dalam mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT

setidaknya menurut penelitian persepsi ini sanat kuat, terbukti dengan kontribusi positif lebih

besar dari peran kolaborasi dibandingkan dengan kebijakan pemerintah (X4).

5.3.3 Analisis Peran Intermediasi Model Penelitian

Model hubungan parsial yang dibahas sebelumnya, adalah berkaitan dengan rumusan

tujuan penelitian yang perlu dibuktikan secara empiric dalam penelitian ini berdasarkan uji

statistic atas fenomena yang berkembang di lapangan. Pada tahap tersebut, belum dapat

diperoleh gambaran final apakah dalam hubungan parsial tersebut, masih terdapat besaran

dari parameter prediksi itu tidak sacar berpengaruh secara langsung terhadap variabel yang

dipengaruhinya, tetapi juga terdapat konsep pendekatan teori yang menyatakan bahwa

perubahan prilaku pada satu variabel amatan berpengaruh pada tingkatan intermediasi,

dimana terdapat satu atau lebih dari variabel penelitian dapat berfungsi sebagai mediator yang

memperkuat pembentukan sasaran variabel akhir atau bisa juga bahkan memperlemah

pembentukan sasaran akhir yang ingin diwujudkan yaitu destinasi wisata CBT di kabupaten

Buleleng.

Penyelesaian model path dan SEM untuk mendapatkan intermediasi antar variabel

Page 66: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

yang berhubungan diselesaikan dengan mempergunakan software SmartPls ver 2, dengan

hasil analisis disajikan pada Lampiran 1.34 sampai dengan Lampiran 1.44.

Tabel 5.2

Hasil Analisis Bootstrapping statistic t dengan Sampel N = 80

( Uji Intermediasi Variabel Endogen )

Variabls Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics

X1 -> Y1 0.3593 0.1696 0.2948 0.2948 1.2187

X2 -> Y1 -0.1705 -0.1621 0.0824 0.0824 2.0689

X2 * X3 -> Y1 0.2541 0.2473 0.1102 0.1102 2.3065

X3 -> X2 0.8712 0.8658 0.0398 0.0398 21.9135

X3 -> Y1 0.0715 0.0819 0.1237 0.1237 0.578

X3 * X1 -> Y1 -0.2812 -0.2619 0.1397 0.1397 2.0127

X3 * X4 -> Y1 -0.301 -0.4229 0.2307 0.2307 1.3048

X4 -> Y1 0.8079 0.6265 0.2526 0.2526 3.1982

X4 -> Y2 0.1316 0.1345 0.0836 0.0836 1.5734

X4 * X1 -> Y1 -0.4291 -0.1895 0.3566 0.3566 1.2032

X4 * Y1 -> Y2 -0.1108 -0.1296 0.0689 0.0689 1.6084

Y1 -> Y2 0.7302 0.7081 0.1053 0.1053 6.9359

Z1 -> X3 0.3683 0.3634 0.0164 0.0164 22.4241

Z2 -> X3 0.3168 0.3253 0.0187 0.0187 16.9271

Z3 -> X3 0.37 0.3645 0.0153 0.0153 24.1099

Berdasarkan sajian Tabel 5.2 diperoleh sebaran nilai statistic t yang lebih besar dari t

table adalag intermediasi variabel X2 * X3 ke Y1 dan X3 * X1 ke Y1, tiga intermediasi

lainnya tidak signifikan, yaitu nilai t dibawah nilai table t = 1.645 pada level keyakinan

sebesar 5%. Dengan demikian, pernyataan bahwa modal sosial Network (X3) memiliki

dampak hubungan secara tidak lngsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui peranan modal

social dapat didukung penelitian ini.

Intermediasi berikutnya yang terbukti signifikan berdasarkan kriteria uji statistic 5% ,

adalah proses pengaruh secara tidak langsung dari modal social Netwok (X3) ke kolaborasi

(Y1) terbukti dan dapat didukung penelitian ini. Sebaliknya, tidak ditemukan bukti empiris

Page 67: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

dari pembentukan peran kebijakan pemerintah (X4) memiliki dampak tidak langsung

terhadap kolaborasi, demikian juga tidak berhasil dibuktikan bahwa destinasi wisata CBT

(Y2) ditentukan oleh proses intermediasi variabel lainnya, selain menerima dampak

hubungan langsung baik melalui kolaborasi (Y1) maupun melalui kebijakan pemrinah (X4).

Gambar 5.16

Bootstrapping Intermediasi Variabel Endigen Model Penelitian

Gambar 5.16 yang dipetik kembali dari Lampiran 1.44 menunjukkan bahwa modal

social Network (X3) ternyata memiliki kinerja untuk mendorong penguatan kolaborasi (Y1)

dengan memanfaatkan Infras (X1) dan Commitment (X2) sebagai mediator dalam

Page 68: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan sasaran akhir terwujudnya destinasi

wisata berbasis CBT di kabupaten Buleleng.

Gambar 5.16

Bootstrapping Intermediasi Variabel Endigen Model Penelitian

Pada sisi lain, tidak terdapat satu pun variabel amatan yang dapat menjadi mediator

dalam membentuk terwujudnya destinasi wisata CBT (Y2) sebagai sasaran akhir.

Intermediasi ternyata hanya terbukti berdasarkan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 5%,

Page 69: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

adalah penguatan kolaborasi (Y1) dengan peran variabel Infras (X1) dan variable

Commitment (X2) sebagai mediator.

Commitment (X2) adalah persepsi yang dipetakan dari responden pengusaha lokal

non pariwisata, sedangkan Infras (X1) adalah persepsi warga masyarakat disekitar lokasi

destinasi wisata yang diposisikan sebagai variabel eksogen dalam ikut serta memperkuat

kolaborasi (Y1). Meskioun Infras (X1) ternyata tidak signifikan, tetapi upaya untuk

membangun link dengan menempatkan Infras (x1) sebagai variabel mediator, ternyata

memiliki pengaruh yang signifikan, meskipun sifat dari prediksi adalah bertanda negative.

Dengan demikian dapat diprediksi berdasarkan hasil analisis PLS, bahwa masyarakat umum

(X1) memerlukan pemberdayaan tentang peran modal social, sehingga dimasa depan dapat

meningkatkan fungsi partisipasi masyarakat dalam rangka membangun kawasan destinasi

wisata yang berkelanjutan, dimana masyarakat lokal ikut serta secara aktif memberikan

sumbangsih bagi keamanan wisata, pelayanan wisata, serta kondisi yang semakin sejuk dan

menyenangkan untuk dengan tulus hati menerima kehadiran pendatang wisatawan sebagai

pembawa nilai tambah kesejahtraan bagi masyarakat di wilayah Bali utara.

Page 70: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

6.1 Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang disampaikan sehubugan dengan hasil pembahasan yang telah

disampaikan sebelumnya, dengan penjabaran sebagai berikut.

a. Bahwa modal sosial yang memiliki komponen linkage, trust dan norma ternyata dapat

dibuktikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kolaborasi (Y1) maupun

terhadap commitment para pengusaha non pariwisata untuk mewujudkan destinasi

wisata berbasis CBT di kabupaten Bulelelng.

b. Peran kebijakan pemerintah (X4) ternyata berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kolaborasi usaha (Y1) maupun terhadap variabel destinasi wisata berbasis CBT di

kabupaten Buleleng.

c. Ternyata telah terjadi intermediasi hubungan pengaruh dari modal social terhadap

kolaborasi usaha (Y1) melalui peran mediator variabel commitment usaha non

pariwisata (X2). Meskipun demikian, tidak dapat dibuktikan penelitian ini bahwa

destinasi wisata CBT dipengaruhi secara tidak langsung oleh variabel penelitin yang

dipergunakan penelitian ini.

d. Bahwa commitment (X2) yang dipersepsikan sebagai partisipasi pengusaha lokal non

pariwisata, ternyata negative dan signifikan. Hal ini memilik makna bahwa

commitment pengusha non pariwisata berbeda arah dengan masyarakat umum dan

pengusaha lokal pariwisata maupun para tokoh masyartakat dan adat yang telah

diwawancarai selama peneitian ini berlangsung.

Page 71: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

6.2 Saran-saran

Sejumlah saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan berakhirnyua penelitian ini yaitu

sebagai berikut.

a. Bahwa community-based tourism (CBT) adalah konsep dan strategi pengembangan

destinasi wisata berbasis kepemilikan rakyat. Sebagai sebuah konsep baru dalam

pengembangan industry wisata, akan terdapat kesenjangan pengetahuan antara

peneliti dengan pihak terkait sepeti pejabat pemerintah kabupaten Bulelelng beserta

jajarannya, sehingga menjadikan hasil penelitian ini menghadsapi tantangan untuk

dapat mencapai tahap implementasi.

b. Bahwa destinasi wisata Buleleng saat ini tidakj berkembang secara optimal, sehingga

menggairahkan suasana investasi dan mendapatkan peminat para pengusaha untuk

berani memulai kiat dan strategi baru yang membawa resiko bisnis tertentu,m adalah

fakta yang memerlukan kerja keras semua pihak berjuang mewujudkan destinasi

wisata berbasis ekonomi rakyat.

************

Page 72: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

DAFTAR PUSTAKA

Archer, B. and Cooper, C. 1994.The Positive and Negative Impacts of Tourism.

Pp. 73 -91 in W.F. Theobald (ed.) Global Tourism: The Next Decade,

Butterworth - Heinemann, Oxford

Aref., F. Redzuan, M. 2009. Community Capacity Building for

TourismDevelopment, Journal of Hum. Ecology

Asker, S., Boronyak. L., Naomi, C. 2010. Effective Community Based Tourism,

Asia Pacific Ec. Coorporation.

Breugel., L. 2013. Community-based tourism: Local participation and perceived

impacts A comparative study between two communities in Thailand.

Research Master Social and Cultural Science , Faculty of Social Sciences.

Radboud University Nijmegen

Chantradoan., P.K., Janes, N. 2012. Mechanism of Social Capital in

CommunityTourism Participatory Planning in Samui Island, Thailand,

Tourismos, vol 7 nomor 1.

Danicia, C. 2000. The Network and The Social Capital - Important Aces for

Tourism Enterpreneurs, Uivi. Of Romania

Etsuko, O. 2008. A Community-based Tourism Model : Its Conception and Use,

Journal of Sustainable Tourism

Gianna,M. Andrea, S., Elena, K., Nancy M.G. 2010. Using Tourism to Build

Social Capital in Communities, New Pathways to Sustainable Tourism Futures

Hilde,. C. Benny, G. 2005. Insitutional performance and Social Capital :

Application to the Local Government Level. Journal of Urban Affairs, Vol 27

Number 5.

Jacqueline, M. 2002. A Study of Social Capital and Sustainability in the

Canadian Tourism Sector. Available at Google.com

Jim, C. 2008. Understanding Community Development, [email protected]

Jim, K. 2000. The Role Of Government in Community Caapacity Building,

Quennsland Government

Jim, M., Dean. C., Jeremy, N. 2004. Social Capital, Tourism and Regional

Development : SPCC as a Basis for Innovation and Sustainability, Murdoch

Univ. Western Australia

Kimmo, O. 2010. Local Government Association Capacity Building - Rationale,

Cooperation Practice, and Strategies for the Future, Local and Regopnal Gov.

Finland

Lynn, H. 2003. Making Community-based Tourism Work : An Assesment of

Factors Contributing to Succesful Community-owned Tourism Development in

Namibia. DRD Papers

Michael,.W. 2010.The Place of Social Capital in Understanding Social and

Economic Outcomes.US

Miller, G. -. The development of indicators for sustainable tourism: results of a

delphi survey of tourism researchers. University of Westminster. London

Nelson Fred. 2003. Community-based Tourism in Northern Tanzania : Increasing

Opportunities, Escalaing Conflicts and An Uncertain Future

Walter,. J. 2011. The Role of Community-based Tourism in Ensuring Responsible

and Sustainable Development, Thammasat Univ

Page 73: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Vinzi VE and LA Amato, 2010, PLS Path modeling form foundations to recent developments

and open issues for model assesment and improvement. Springer-Verlag Berlin. 2010.

Soriya, Yin, 2012, Testing a Model of Perceived Effects of Inter-govermental Collaboration

on Sustainable Tourism in the greter Mekong Sub-Sahara. A Ph.D Dissertation Minesota

Univ. USA.

Joe F Hair, Marko Stersted, and Christin M Ringle, 2011, An Assesment of the Used of

Partial of Least Square Structural Equation Modeling in Marketing Research. Journal of

Academic Marketing Research.

WMA Aftanorhan, 2014, Hierarchical Component Using Reflective-Formative

Measurenment Model in Partial Least Square Structural Equation Modeling. International

journal of Math and Statistics Invention.

Gooroochurn, N., & Sugiyarto, G. (2004). Measuring competitiveness in the tourism and

travel

industry, International Conference on Tourism Modeling and Competitiveness.

Cyprus

Mo, C., Handy, D. & Havitz, M. (1993). Testing an international tourist role typology.

Annals of

Tourism Research, 20, 319-335.

Murphy, P., Pritchard, M., & Smith, B. (2000). The destination product and its impact on

traveller perceptions. Tourism Management, 21(1), 43-52.

Kaul, R. (1985). Dynamics of Tourism: A Trilogy (Vol. 3). New Delhi: Sterling Publishers.

Khadaroo, J., & Seetanah, B. (2007). Transport infrastructure and tourism development.

Annals

of Tourism Research, 34(4), 1021-1032.

Crouch, G., & Richie, J. R. (1999). Tourism, competitiveness, and societal prosperity.

Journal of

Business Research, 44, 137-152.

Mazanec, J., Wober, K., & Zins, A. (2007). Tourism destination competitiveness: From

definition to explanation? Journal of Travel Research, 46, 86-95.

Chathoth, P. (2001). Causal modeling methodology in tourism: An empirical analysis.

Journal of

Services Research, 1(2).

Buhalis, D. (1998). Strategic use of information technologies in the tourism industry Tourism

Management, 19(5), 409-421.

Mathieson, A., & Wall, G. (1982). Tourism: Economic, physical, and social impacts. New

York:

Longman House.

Page 74: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Turner, J. H. (1986). The structure of sociological theory. Chicago: The Dorsey Press.

Var, T., Kendall, K.W., &Tarakcoglu, E. (1985). Residents’ attitudes toward tourists in a

Turkish

resort town. Annals of Tourism Research, 12, 652-658.

Ritchie, J. R., Brent, G. I., Crouch, I., & Hudson, S (2001). Assessing the role of consumers

in

the measurement of destination competitiveness and sustainability. Tourism Analysis,

5(2-4), 69-76.

Briedenhann, J., & Wickens, E. (2004). Tourism routes as a tool for the economic

development of rural areas—vibrant hope or impossible dream? Tourism Management, 25,

71–79.

Busby, G., & Rendle, S. (2000). The transition from tourism on farms to farm tourism.

Tourism Management, 21, 635–642.

Mair, H. (2006). Global restructuring and local responses: Investigating rural tourism policy

in two Canadian communities. Current Issues in Tourism, 9(1), 1–45.

Gill, A. M., & Reed, M. G. (1997). The reimaging of a Canadian resource town:

Postproductivism in a North American context. Applied Geographic Studies, 1(2), 129–147.

Sharpley, R. (2002). Rural tourism and the challenge of tourism diversification: The case of

Cyprus. Tourism Management, 23, 233–244.

Lane, B. (1994). What is rural tourism? Journal of Sustainable Tourism, 2(1), 8–22.

Mowforth, M., & Munt, I. (2003). Tourism and sustainability: Development and new tourism

in the Third World (2nd ed.). London: Routledge.

Hall, C. M. (2000). Tourism planning: Policies, processes and relationships. Harlow,

England: Prentice Hall.

Blackstock, K. (2005). A critical look at community based tourism. Community Development

Journal, 40(1), 39–49.

Hiwasaki, L. (2006). Community-based tourism: A pathway to sustainability for Japan's

protected Areas. Society and Natural Resources, 19, 675–692.

Nyaupane, G. P., Morais, D. B., & Dowler, L. (2006). The role of community involvement

and number/type of visitors on tourism impacts: A controlled comparison of Annapurna,

Nepal and Northwest Yunnan, China. Tourism Management, 27, 1373–1385.

Page 75: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Murphy, P. E. (1985). Tourism: A community approach. New York: Methuen.

Murray, M., & Dunn, L. (1995). Capacity building for rural development in the United

States. Journal of Rural Studies, 11(1), 89–97.

Nyaupane, G. P., Morais, D. B., & Dowler, L. (2006). The role of community involvement

and number/type of visitors on tourism impacts: A controlled comparison of Annapurna,

Nepal and Northwest Yunnan, China. Tourism Management, 27, 1373–1385.

Becker, B., & Bradbury, S. (1994). Feedback on tourism and community development: The

downside of a booming tourist economy. Community Development Journal, 29(3), 268.

Briassoulis, H. (2002). Sustainable tourism and the question of the commons. Annals of

Tourism Research, 29(4), 1065–1085.

Laverack, G., & Thangphet, S. (2009). Building community capacity for locally managed

ecotourism in Northern Thailand. Community Development Journal, 44(2), 172–185.

Bahaire, T., & Elliott-White, M. (1999). Community participation in tourism planning and

development in the historic city of York, England. Current Issues in Tourism, 2(2), 243–276.

Amin, A. (2005). Local community on trial. Economy and Society, 34(4), 612–633.

Mair, H. (2006). Global restructuring and local responses: Investigating rural tourism policy

in two Canadian communities. Current Issues in Tourism, 9(1), 1–45.

Markey, S., Halseth, G., & Manson, D. (2009). Contradictions in hinterland

Ninacs, W., & Toye, M. (2002). A review of the theory and practice of social

economy/économie sociale in Canada: Social Research and Demonstration Corporation.

Quarter, J., Mook, L., & Richmond, B. (2003). What is the social economy? (Research

Bulletin No. 13). University of Toronto Centre for Urban and Community Studies. Retrieved

October 7, 2009, from http://www.urbancenter. utoronto.ca/pdfs/researchbulletins/13.pdf

Mertens, S. (1999). Nonprofit organisations and social economy: Two ways of understanding

the third sector. Annals of Public and Cooperative Economics, 7(3), 501–520.

Teague, P. (2007). Developing the social economy in Ireland? International Journal of

Urban and Regional Research, 31(1), 91–108.

Lukkarinen, M. (2005). Community development, local economic development and the social

economy. Community Development Journal, 40(4), 419–424.

Amin, A., Cameron, A., & Hudson, R. (2002). Placing the social economy. London:

Routledge.

Koster, R., & Randall, J. E. (2005). Indicators of community economic development through

mural-based tourism. The Canadian Geographer, 49(1), 42–60.

Simmons, D. (1994). Community participation in tourism planning. Tourism Management,

15(2), 98–108.

Harvey, D. (1989). From managerialism to entrepreneurialism: The transformation in urban

governance in late capitalism. Geografiska Annaler. Series B. Human Geography, 71(1), 3–

17.

Arnstein, R. (1969). A ladder of citizen participation. Journal of the American Institute of

Planners, 35, 216–224.

Connor, D. (1988). A new ladder of citizen participation. National Civic Review, 77(3), 249–

257.

Tosun, C. (2006). Expected nature of community participation in tourism development.

Tourism Management, 27, 493–504.

Saxena G (2005) Relationships, networks and the learning regiions: Case evidence from the

Peak

DistrickNational Park. Tour Manag 26:277–289

Page 76: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Cravens DW, Piercy NF (1994) Relationship marketing and collaborative networks in service

organizations. Int J Serv Ind Manag 5(5):39–53

Wong EPY, Mistilis N, Dwyer L (2010) Understanding ASEAN tourism collaboration:

the preconditionsand policy framework formulation. Int J Tour Res 12:291–302

Emiliani ML (2003) The inevitability of conflict between buyers and suppliers. Supply Chain

Manage IntJ 8(2):107–115

Mason K, Doyle P, Wong V (2006) Market orientation and quasi-intergration: adding value

Throughrelationships. Ind Mark Manage 35:140–155

Gray B, Wood DJ (1991) Collaborative alliances: moving from practice to theory.

J Appl Behav Sci27(1):3–22

Novelli M, Schmitz B, Spencer T (2006) Networks, clusters and innovation in tourism:

a UK experience.Tour Manag 27:1141–1152

Lemmetyinen A, Go FM (2009) The key capabilities required for managing tourism

business networks.Tour Manag 30:31–40

Augustyn M, Knowles T (2000) Performance of tourism partnerships: a focus on York.

Tour Manag21:341–351

Morrison AL, Lynch P, Johns N (2004) International tourism networks.

Int J Contemp Hosp Manag16(3):197–202

Pechlaner H, Abfalter D, Raich F (2002) Cross-border destination management systems

in the Alphineregion: the role of knowledge network on the example of Alpnet.

In: Bouncken, Pyo S (eds)Knowledge management in hospitality and tourism.

The Haworth Hospital Press, New York

Sigala M (2004) Networking the Tourism Supply chain: Evaluating the Readiness

of Small and MediumTourism Enterprises of An Island Economy. University of

Aegean,

GreeceNovelli M, Schmitz B, Spencer T (2006) Networks, clusters and innovation in

tourism: a UK experience.Tour Manag 27:1141–1152

Oliver C (1990) Determinants of interorganizational relationships: integration and

future directions. AcadManag Rev 15(2):241–265

Wong EPY, Mistilis N, Dwyer L (2010) Understanding ASEAN tourism collaboration:

the preconditionsand policy framework formulation. Int J Tour Res 12:291–302

Morgan RM, Hunt SD (1994) The commitment-trust theory of relationship marketing.

J Mark58(July):20–38

Hofstede G, Bond MH (1988) The Confucian connection: From cultural roots

to economic growth. OrganDyn 16(4):4–21

Page 77: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Palmer A, Bejou D (2005) The future of relationship marketing. J Relatsh Mark 4(3/4):1–10

Sriram V, Krapfel R, Spekman R (1992) Antecedents to buyer-seller collaboration:

an analysis from thebuyer’s perspective. J Bus Res 25(4):303–320

Logsdon JM (1991) Collaboration to regulate L.U.S.T.: leaking underground storage

tanks in siliconvalley. J Bus Res 23(1):99–111

Cook KS (2005) Networks, norms and trust: the social psychology of social capital.

Soc Psychol Q68:4–14

Crotts JC, Aziz A, Raschid A (1998) Antecedents of supplier’s commitment

to wholesale buyers in theinternational travel trade. Tour Manag 19(2):127–134

Dwyer FR, Schurr PH, Oh S (1987) Developing buyer–seller relationships.

J Mark 51(April):11–27

Emmer RM, Tauck C, Wilkinson S, Moore RG (1993) Marketing hotels:

using global distributionsystems. Cornell Q 34(6):2–11

Anderson JC, Narus JA (1990) A model of distributor firm and manufacturer

firm working partnerships.J Mark 54(1):42–58

Moorman C, Deshpande R, Zaltman G (1993) Factors affecting trust in market research

relationships.J Mark 57(January):81–101

Ganesan S (1994) Determinants of long-term orientation in buyer-seller relationships.

J Mark 58(2):1–19

Ramayah T, Noor N, Nasurdin AM, Muthu VK (2003) Buyer’s long-term orientation in

buyer–

Sellerrelationship within the haulage industry in Northern Malaysia. J Acc Manag

Econ

Res 3(1):51–66

Diego MM, Juan MGF (2000) Successful relationships between hotels and agencies.

Ann Tourism Res27(3):737–762

Greer J (2001) Developing trans-jurisdictional tourism partnerships –

insights from the Island of Ireland.Tour Manag 23:355–366

Denicolai S, Cioccarelli G, Zucchella A (2010) Resource-based local development and

networked corecompetenciesfor tourism excellence. Tour Manag 31:260–266

Barney JB, Hansen MH (1994) Trustworthiness as a source of competitive advantage.

Strateg Manag J15:175–190

Anderson E, Weitz B (1992) The use of pledges to build and sustain commitment

in distribution channels.J Mark Res 29(Feb):18–34

Page 78: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Schulz C (1994) Hotels and travel agents: the new partnerships. Cornell Q 35(2):45–50

Williamson OE (1985) The economic institutions of capitalism : firms markets,

relational contracting.Free Press, New York

Stone, W. 2001, Measuring Social Capital: Towards a Theoretically Informed Measurement

Framework for Researching Social Capital in Family and Community Life, Research

Paper No. 24, Australian Institute of Family Studies, Canberra, February.

Uslaner, E.M. 1999, Trust but verify: social capital and moral behaviour, Social Science

Information, vol. 38, pp. 29–56.

Putnam, R.S. 2000, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community,

Simon and Schuster, New York.

Krishna, A. and Shrader, E. 1999, Social capital assessment tool, Conference on Social

Capital and Poverty Reduction, The World Bank, Washington, DC.

Adamantios Diamantopoulos ⁎, Petra Riefler 1, Katharina P. Roth

Advancing formative measurement models

Journal of Business Research 61 (2008)

CHERYLB URKEJ ARVIS SCOTT B. MACKENZIE PHILIPM . PODSAKOFF, 2003

A Critical Review of Construct Indicators and MeasurementM odel Misspecification

in

Marketing and Consumer Research, JOURNAL OF CONSUMER RESEARCH Vol. 3

Adamantios Diamantopoulos and Judy A. Siguaw, 2006,

Formative Versus Reflective Indicators in Organizational Measure Development:

A Comparison and Empirical Illustration. British Journal of Management, Vol. 17.

Christian M. Ringle, Marko Sarstedt, Rainer Schlittgen, Charles R. Taylor, 2013

PLS path modeling and evolutionary segmentation. Journal of Business

Research

Joseph F. Hair, Marko Sarstedt, Torsten M. Pieper and Christian M. Ringle, 2012.

The Use of Partial Least Squares Structural Equation Modeling in Strategic

Management

Research: A Review of Past Practices and Recommendations for Future Applications

Long Range Planning 45 (2012)

Michel Tenenhaus, Vincenzo Esposito Vinzia, Yves-Marie Chatelinc, Carlo Lauro, 2005

PLS path modeling. Computational Statistics & Data Analysis 48 (2005)

Marko Sarstedt, Christian M. Ringle, Donna Smith, Russell Reams, Joseph F. Hair Jr., 2014

Partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM): A useful tool for

family

business researchers. Journal of Family Business Strategy 5 (2014) 105–115

Page 79: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

ADAMANTIOS DIAMANTOPOULOS and HEIDI M. WINKLHOFER, 2001.

Index Construction with Formative Indicators: An Alternative to Scale

Development.

Juumul of Marketing Research. Vol. XXXV

Kenneth A. Bollen, 2002, LATENT VARIABLES IN PSYCHOLOGY

AND THE SOCIAL SCIENCES. Annu. Rev. Psychol.

Adamantios Diamantopoulos, 2006, The error term in formative measurement models:

interpretation and modeling implicationsJournal of Modelling in

Management Vol. 1 No. 1.

Stacie Petter Detmar Straub Arun Rai, 2007,

SPECIFYING FORMATIVE CONSTRUCTS IN INFORMATION

SYSTEMS RESEARCH. MIS Quarterly Vol. 31 No. 4, pp. 623-656.

LIN HSIN-CHIH, 2013, PLS PATH MODELING OF USEFULNESS, SATISFACTION

AND BEHAVIORAL INTENTION OF PROFESSIONAL DEVELOPMENT

PROGRAMS FOR SCHOOL PRINCIPALS. International Journal of

Innovative Management, Information & Production ISME International.

Volume 4, Number 3, September 2013

Jörg Henseler · Marko Sarstedt, 2013

Goodness-of-fit indices for partial least squares path modeling

Computer Stat (2013) 28:565–580.

Wan Mohamad Asyraf Bin Wan Afthanorhan, 2014,

Hierarchical Component Using Reflective-Formative Measurement Model In

Partial Least Square Structural Equation Modeling (Pls-Sem). International Journal

of Mathematics and Statistics Invention (IJMSI.)

Henseler JORG, Christian M. Ringle and Rudolf R. Sinkovics, 2009,

THE USE OF PARTIAL LEAST SQUARES PATH MODELING IN

INTERNATIONAL MARKETING. EmeraldGroupPublishingLimited

Wan Mohamad Asyraf Bin Wan Afthanorhan, 2013,

A Comparison Of Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM)

and

Covariance Based Structural Equation Modeling (CB-SEM) for Confirmatory Factor

Analysis. International Journal of Engineering Science and Innovative Technology

(IJESIT) Volume 2, Issue 5.

Ken Kwong-Kay Wong, 2013,

Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM)

Techniques Using SmartPLS. Marketing Bulletin, 2013, 24, Technical Note 1

Christian M. Ringle, Marko Sarstedt, Rainer Schlittgen, Charles R. Taylor, 2013,

PLS path modeling and evolutionary segmentation. Journal of Business Research 66

Page 80: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

(2013) 1318–1324

Joseph F. Hair, Marko Sarstedt, Torsten M. Pieper and Christian M. Ringle, 2012,

The Use of Partial Least Squares Structural Equation Modeling in Strategic

Management

Research: A Review of Past Practices and Recommendations for Future Applications

Long Range Planning 45. 320e340

Jan-Michael Becker, Kristina Klein and Martin Wetzels, 2012,

Hierarchical Latent Variable Models in PLS-SEM: Guidelines for Using Reflective-

Formative Type Models. Long Range Planning 45.359e394

Jorg Henseler, Christian M. Ringle and Rudolf R. Sinkovics, 2009,

THE USE OF PARTIAL LEAST SQUARES PATH MODELING IN

INTERNATIONAL MARKETINGAdvances in International Marketing,

Volume20,277–319 . Emerald Group Publishing Limited.

Joseph F. Hair, Jr, William C. Black, Berry J. Babin, Rolp E. Anderson,2010,

Multivariate Data Analysis, Sevent Edition. Pearson Prentice Hall. USA.

Joe F. Hair & Marko Sarstedt & Christian M. Ringle & Jeannette A. Mena, 2012,

An assessment of the use of partial least squares structural equation modeling in

marketing researchJ. of the Acad. Mark. Sci.

Gustafsson, Anders;Johnson, Michael D, 2004.

Determining Attribute Importance in a Service Satisfaction Model, Journal of Service

Research : JSR;

Chien-Hsin, Lin;Sher, Peter J;Hsin-Yu, Shih, 2005,

Past progress and future directions in conceptualizing customer perceived value

International Journal of Service Industry Management.

Martin Wetzels, Gaby Odekerken-Schroder, Claudia van Oppen, 2009.

USING PLS PATH MODELING FOR ASSESSING HIERARCHICAL

CONSTRUCT MODELS: GUIDELINES AND EMPIRICAL

ILLUSTRATION, MIS Quarterly Vol. 33 No. 1, pp. 177-195

T. Ramayah • Jason Wai Chow Lee , Julie Boey Chyaw In,2011,

Network collaboration and performance in the tourism Sector. Springer-Verlag 2011

Page 81: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Lampiran 1.1

Hasil Analisis Path dan SEM SmartPls Prediksi Parameter

Lampiran 2

Hasil Analisis Path dan SEM SmartPls Bootstrapping

Page 82: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Lampiran 3

Hasil Analisis Prediksi Path dan SEM SmartPls Second Order

Page 83: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Lampiran 4

Hasil Analisis Bootstrapping Path dan SEM SmartPls Second Order

( Sample Original N = 40 )

Page 84: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

Lampiran 5

Hasil Analisis Outer-loading Bootstrapping N = 80 Statistik t

Variable Original Sample Standard Standard T

Sample Mean Deviation Error Statistics

X1.1 <- X1 0.6126 0.6045 0.1295 0.1295 4.7307

X1.2 <- X1 0.9638 0.9615 0.009 0.009 106.5525

X1.3 <- X1 0.9671 0.9662 0.0065 0.0065 149.6447

X2.1 <- X2 0.8795 0.8771 0.0228 0.0228 38.6431

X2.2 <- X2 0.8153 0.8129 0.0325 0.0325 25.0602

Page 85: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

X2.3 <- X2 0.8188 0.8112 0.0585 0.0585 13.9882

X2.4 <- X2 0.8991 0.8974 0.0152 0.0152 59.3045

X2.5 <- X2 0.8239 0.8223 0.037 0.037 22.2881

X3.1 -> X3 0.8312 0.8283 0.0366 0.0366 22.72

X3.2 -> X3 0.9011 0.8942 0.0285 0.0285 31.5992

X3.3 -> X3 0.8482 0.8426 0.0466 0.0466 18.1846

X3.4 -> X3 0.8175 0.8036 0.0629 0.0629 12.9909

X3.5 -> X3 0.8139 0.8148 0.0362 0.0362 22.4641

X3.6 -> X3 0.8899 0.8856 0.0293 0.0293 30.3369

X3.7 -> X3 0.8166 0.8187 0.0385 0.0385 21.2019

X3.8 -> X3 0.8315 0.8259 0.056 0.056 14.8461

X3.9 -> X3 0.8685 0.8631 0.0331 0.0331 26.2313

X4.1 -> X4 0.9071 0.9006 0.0341 0.0341 26.6322

X4.2 -> X4 0.843 0.8353 0.0437 0.0437 19.2767

X4.3 -> X4 0.9002 0.8904 0.0376 0.0376 23.9679

X4.4 -> X4 0.9609 0.9543 0.0289 0.0289 33.2422

Y1.1 <- Y1 0.9075 0.9069 0.0218 0.0218 41.6325

Y1.2 <- Y1 0.927 0.9274 0.0167 0.0167 55.5471

Y1.3 <- Y1 0.8895 0.8886 0.0231 0.0231 38.4313

Y1.4 <- Y1 0.9105 0.9104 0.0231 0.0231 39.3373

Y2.1 <- Y2 0.863 0.8628 0.0339 0.0339 25.4935

Y2.2 <- Y2 0.9208 0.9222 0.0156 0.0156 58.9541

Y2.3 <- Y2 0.941 0.9419 0.0102 0.0102 91.9756

Y2.4 <- Y2 0.8116 0.8114 0.0428 0.0428 18.9457

Y2.5 <- Y2 0.8739 0.8718 0.037 0.037 23.6457

Lampiran 6

Hasil Analisis Outer-Weight Bootstrapping N = 80 Statistik t

Original Sample Standard Standard T

Sample Mean Deviation Error Statistics

X1.1 <- X1 0.1073 0.1048 0.0863 0.0863 1.2426

X1.2 <- X1 0.4763 0.474 0.0362 0.0362 13.1642

X1.3 <- X1 0.4914 0.487 0.0329 0.0329 14.9384

X2.1 <- X2 0.2603 0.2612 0.0196 0.0196 13.2564

X2.2 <- X2 0.2439 0.2431 0.0206 0.0206 11.857

X2.3 <- X2 0.201 0.199 0.0273 0.0273 7.3676

X2.4 <- X2 0.2543 0.2554 0.0167 0.0167 15.256

X2.5 <- X2 0.2172 0.2197 0.0137 0.0137 15.905

X3.1 -> X3 0.0875 0.0708 0.098 0.098 0.8924

X3.2 -> X3 0.1478 0.1284 0.1123 0.1123 1.3166

X3.3 -> X3 0.2335 0.2318 0.054 0.054 4.321

X3.4 -> X3 0.2431 0.2405 0.0745 0.0745 3.264

Page 86: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

X3.5 -> X3 0.1006 0.1065 0.081 0.081 1.2421

X3.6 -> X3 0.0009 0.0208 0.1216 0.1216 0.0076

X3.7 -> X3 0.0911 0.1104 0.0824 0.0824 1.1055

X3.8 -> X3 0.0405 0.0431 0.0778 0.0778 0.5204

X3.9 -> X3 0.2379 0.224 0.0723 0.0723 3.2911

X4.1 -> X4 0.4169 0.4025 0.1271 0.1271 3.2807

X4.2 -> X4 0.0242 0.0272 0.1042 0.1042 0.2318

X4.3 -> X4 0.0904 0.0809 0.1464 0.1464 0.6176

X4.4 -> X4 0.5412 0.5595 0.2093 0.2093 2.5861

Y1.1 <- Y1 0.2811 0.2809 0.0079 0.0079 35.4481

Y1.2 <- Y1 0.2816 0.2814 0.009 0.009 31.3517

Y1.3 <- Y1 0.2757 0.276 0.0088 0.0088 31.2656

Y1.4 <- Y1 0.2621 0.2628 0.0049 0.0049 53.9597

Y2.1 <- Y2 0.2129 0.2132 0.0081 0.0081 26.196

Y2.2 <- Y2 0.23 0.2308 0.0107 0.0107 21.5983

Y2.3 <- Y2 0.2468 0.247 0.0129 0.0129 19.1445

Y2.4 <- Y2 0.216 0.2153 0.0074 0.0074 29.3753

Y2.5 <- Y2 0.2254 0.2245 0.0068 0.0068 33.3107

Lampiran 7

`

Hasil Analisis Path Coefficient Bootstrapping N = 80 Statistik t

Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics

X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131

X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864

X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148

X3 -> Y1 0.5394 0.5754 0.1037 0.1037 5.1991

X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472

Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697

Total Effects ( Standard Deviation)

Original Sample Standard Standard T Sample Mean Deviation Error Statistics

X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131

X1 -> Y2 0.0266 0.0327 0.0646 0.0646 0.4124

X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864

X2 -> Y2 -0.3495 -0.3556 0.1023 0.1023 3.4163

Page 87: Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan … · sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan

************

X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148

X3 -> Y1 0.2206 0.2461 0.1353 0.1353 1.6303

X3 -> Y2 0.2088 0.2335 0.1295 0.1295 1.6126

X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472

X4 -> Y2 0.6535 0.6255 0.1165 0.1165 5.6091

Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697