Upload
nguyennhu
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENELUSURAN MAKNA DAN PENAFSIRAN JIHAD
DARI MASA KE MASA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Rizky Ediputratama
NIM: 106034001256
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2011 M.
2
PENELUSURAN MAKNA DAN PENAFSIRAN JIHAD
DARI MASA KE MASA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Rizky Ediputratama
NIM: 106034001256
Pembimbing
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, M.A
NIP: 19560221 199603 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2011 M.
3
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA
NIP: 19560221 199603 1 001
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP: 19600908 198903 1 005
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP: 19711003 199903 2 001
Penguji I
Hasanuddin Sinaga, MA
NIP: 19701115 199703 1 002
Penguji II
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP: 19711003 199903 2 001
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skrip yang berjudul “PENELUSURAN MAKNA DAN PENAFSIRAN
JIHAD DARI MASA KE MASA”, telah diajukan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Juni
2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 22 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Anggota,
Pembimbing
i
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir akademis
(skripsi) ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Nabi
SAW beserta keluarga dan sahabatnya, dan semoga kita semua mendapat
syafaatnya di kemudian hari nanti.
Atas pertolongan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
sangat sederhana ini, walaupun tidak sedikit rintangan dan hambatan hingga batas
waktu yang diberikan oleh pihak Fakultas. Di samping itu, rampungnya penulisan
skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin memberikan apresiasi
yang tinggi serta ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini:
1. Prof. Dr. Zainul Kamaluddin F. M.Ag selaku dekan dan Prof. Dr. M. Ikhsan
Tanggok, M.Si selaku pudek., dan Dr. Bustamin SE, M.Si selaku ketua
jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, M.A selaku pembimbing, yang dengan sabar
telah membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini sampai rampung,
dengan kesabaran beliau sungguh sangat berarti bagi kelancaran penulisan
skripsi ini, penulis hanya bisa berdoa “Jazakumullah ahsana al-jaza”.
3. Dan terimakasih tidak lupa penulis sampaikan kepada para penguji, yang telah
dengan sabar menguji dan mengkoreksi skripsi ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada bapak Dr. M. Suryadinata, M.Ag selaku ketua panitia sidang
munaqasyah dan ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA sebagai sekretasis.
Kemudian ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Hasanuddin
Sinaga, MA selaku penguji I dan ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku
penguji II dalam sidang munaqasyah.
ii
4. Segenap dosen dan civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah, khususnya
Jurusan Tafsir Hadis, yang dengam ikhlas dan tulus mencurahkan dan
mentransfer wawasan serta pengetahuannya selama penulis menempuh studi
di kampus tercinta ini.
5. Segenap pimpinan dan stap Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
perpustakaan Ushuluddin dan juga tak lupa kepada seluruh staf perpustakaan
Iman Jama‟ Lebak bulus yang telah memberikan fasilitas sumber
rujukan/referensi.
6. Ibunda tecinta, ibu Wirdaniwati Koto yang telah mengasuh, mendidik,
mendo‟akan, dan memberikan kasih saying serta dukungan, baik moril
ataupun materil selama penulis menjalani studi. Dan juga kepada kakak-
kakak, om, serta seluruh keluarga penulis yang kesemuanya selalu
memberikan semangat kepada penulis selama menempuh studi di kampus ini.
7. Kepada teman-teman penulis yang satu nasib, satu perjuangan, yang tangguh
dan gagah berani di kelas Tafsir Hadis A dan B. Terutama sahabat penulis
Soimuddin, Zainal Muttaqin, Syafiqul Subuh, Muhtar Hafifi, Rahmat
Hidayatullah, Tomi Sutrisno, Sulaiman, Sugeng Sugiarto, Mujiburrahman,
Ramfalak Siregar, Kokom, Lia. Serta teman-teman penulis yang telah sukses,
Fauziah Hasni, Nur Jannah, Monel, Nur Hidayah, Sahla, Riri, Taufik (petong),
dan bung Surna.
8. Dan teman-teman penulis satu kamar, Mahfud, Umam, Zein, Dayat, Muslih
(syeikh) yang selalu mendukung dan memberi semangat serta penuh
pengertian.
9. Kepada segenap kawan-kawan yang aktif dalam oraganisasi, baik yang berada
di dalam dan di luar kampus (KMM, IMM, HMI, PMII, KAMMI). Kepada
mereka penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah
memberikan kepada penulis sebuah contoh cerminan Mahasiswa yang
tangguh dan kreatif.
iii
Dengan rampung dan selesainya karya tulis ini, penulis sangat menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan disana-sini dan jauh dari kesempurnaan, baik
berkaitan dari segi penulisan, susunan kalimat ataupun yang lainnya. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan
yang sangat sederhana ini ada manfaatnya bagi nusa, bangsa dan agama, lebih
khusus bagi penulis sendiri, Amin amin ya robbal „alamin.
Jakarta, 03 Juni 2011
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d da د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan „ ع
gh ge dan ha غ
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008/2009, hal. 492 - 495.
v
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha هـ
apostrof „ ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab sama seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ a fathah
______ i kasrah
______ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__ __ ai a dan i
__ __ au a dan u
vi
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــ
û u dengan topi di atas ـــ
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti oleh
huruf syamsyyiah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (– ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-darûrah tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
vii
diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh
no Kata Arab Alih aksara
tarîqah طشمح 1
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah انجامعح اإلسالمح 2
wahdat al-wujûd حذج انجد 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i
PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………………… iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .………………………………………..... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………. 6
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………… 7
D. Tinjauan Pustaka ………………………………………………… 7
E. Metodologi Penelitian …………………………………………… 9
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………. 10
BAB II PEMAHAMAN DASAR SEPUTAR JIHAD
A. Definisi Jihad dan Makna Fî Sabîlillah…………………………… 12
B. Jihad di dalam Dustur Islam…… ………………………………... 18
a) Lafaz-lafaz Jihâd dalam Al-Quran…………………………… 18
ix
b) Jihad di dalam Hadis Nabi SAW……………………………... 22
C. Status Hukum Jihad………………………………………………. 24
BAB III JIHAD DALAM AL-QURAN
A. Perintah Jihad …………………………………………………..... 29
B. Sasaran (objek), Sarana (media) dan Macam-macam Jihad ……... 34
a) Berjihad Melawan Orang-orang Kafir dengan Menggunakan
Argumen (Hujjah) dan Peperangan….……………………….. 38
b) Jihad Melawan Hawa Nafsu dan Setan………………………. 41
C. Tujuan Diperintahkannya Jihad ………………………………….. 45
BAB IV PENAFSIRAN JIHAD DARI MASA KE MASA
A. Sejarah Singkat Perjalanan Tafsir …………………………… 51
B. Penafsiran Ayat Jihad dari Periode Mutaqaddimîn Hingga Modern. 54
a) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Mutaqaddimîn
(abad 1-4 Hijrah) …………………………………………… 54
b) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Muta‟akhkhirîn
(abad 4-12 Hijrah) ………………………………………… 56
c) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Modern (abad 12 Hijrah) . 58
x
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 61
B. Saran-saran .……………………………………………………… 62
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menganugrahkan alam semesta serta menundukkannya bagi
manusia sebagai fasilitas penunjang yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.
Dia tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak mampu dicerna oleh
akal, berbicara sesuatu yang tidak diketahui, dan berjalan tanpa petunjuk,
melainkan Allah menurunkan risalah-Nya yang bisa menuntun manusia kepada
tujuan hidup. Serta memberikan petunjuk bagi manusia bagaimana menata
rincian-rincian kehidupan dan interaksi sosial di antara mereka. Demikianlah
Allah menjamin bagi manusia tiang-tiang pokok eksistensi yang bersifat materil.
Allah juga menjamin eksistensi manusia secara rohani dan sosial yang tergambar
dalam petunjuk dan aturan yang diturunkan kepada mereka.
Risalah Allah selalu turun bagi manusia berturut-turut melalui perantara
seorang nabi dan rasul yang diutus kepada setiap kaum secara khusus dan
temporer, sebagaimana firman-Nya “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus
sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya…”.2 Kemudian Allah
menyempurnakan agama-Nya dengan mengutus Muhammad SAW sebagai rasul
terakhir bagi seluruh umat manusia dan dengannya Allah menghapus setiap
risalah yang pernah datang sebelumnya. Keterangan ini senada dengan firman-
Nya yang berbunyi:
2 Depertemen Agama RI, AL-QURQN DAN TERJEMAHANNYA, (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), h. 344.
2
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”
(Q.s. Saba‟ [34]: 28)
Allah SWT menurunkan kepada Muhammad SAW kitab-Nya yang kekal
yaitu Al-Quran. Di dalamnya terangkum seluruh risalah secara sempurna yang
meliputi tanda-tanda kenabian dan petunjuk bagi kebahagian manusia di dunia
dan akhirat. Risalah yang sempurna ini kemudian diberi nama “Islam” dan
menjadi satu-satunya agama yang mendapat pengakuan serta keridhaan di sisi
Allah, sebagaimana firmannya “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam…”.3 Selanjutnya Allah menjadikan umat Islam sebagai umat
panutan yang memimpin seluruh umat kepada agama yang benar serta
mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya kemenangan, dan untuk
terwujudnya hal tersebut diperlukan sebuah perjuangan.
Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata “jihâd”, suatu
keharusan bagi umat yang telah Allah pilih untuk peran ini dan telah dipercayakan
tugas penting agar menjadi umat yang berjuang. Karena itu datang perintah Allah
kepada umat Islam untuk berjihad sebagai konsekuensi pengemban tanggung
jawab menyiarkan Islam keseluruh penjuru dunia. Jihad di dalam Islam
merupakan unsur fundamental dan pokok karena merupakan sarana efektif untuk
3 Depertemen Agama RI, AL-QURQN DAN TERJEMAHANNYA, h. 80.
3
mencegah kejahatan, baik yang terang-terangan maupun tersembunyi dan
mencegah kejahatan yang tumbuh dari dalam jiwa atau datang dari yang lain.
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia
agar menghiasi diri dengannya serta memerintahkan manusia agar
memperjuangkan Islam hingga mengalahkan kebatilan.4 Menurut Sayyid Qutb inti
agama Islam itu adalah suatu gerakan pembebasan, mulai dari hati nurani setiap
individu dan berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah
menghidupkan sebuah hati lalu dipasrahkan menyerah tunduk kepada suatu
kekuasaan di atas permukaan bumi selain dari keuasaan Tuhan Yang Satu dan
Maha Perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati kemudian
melepaskannya terbelenggu oleh keaniayaan dalam segala macam bentuk.5 Islam
mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa berjuang melalui jihad untuk
menegakkan kebebasan menganut serta menjalankan agama.
Jihad yang merupakan bagian integral wacana Islam sejak masa-masa awal
kedatangannya hingga sekarang telah melahirkan pendapat dan pandangan yang
bervariasi. Ketika mengkaji tentang jihad akan muncul berbagai pandangan dari
para ulama dan cendikiawan Islam, baik yang bersifat keras (mereka yang selalu
mengidentikkan antara jihad dan perang) serta yang besifat lunak (mereka yang
ingin mendistorsi makna jihad sehingga Islam tenggelam dalam kelemahan).
4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan
Ummat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-3, h. 501. 5 Sayyid Qutb, Dirasah Islamiyah, terjemah Dr. A. Rahman Zainuddin, MA. (Jakarta:
Media Da‟wah, t.th), h. 29.
4
Di sisi lain, secara sosiologis ada kegelisahan di kalangan umat Islam
terhadap adanya kesenjangan realitas dengan ajaran ideal Islam. Satu sisi, Islam
diyakini sebagai agama yang cinta perdamaian, kasih sayang, toleran, dan
menghargai terhadap setiap perbedaan termasuk perbedaan agama dan keyakinan.
Bentuk-bentuk pemaksaan dan kekerasan bertentangan dengan ajaran Islam.
Tetapi pada sisi lain, sulit dibantah bahwa dalam Islam ada ajaran “jihad” yang
bisa dipahami dan diartikan dengan perang (dalam pengertian khusus).6 Hal ini
kemudian mendorong banyak aksi-aksi kekerasan akibat dari pengkajian yang
tidak menyeluruh terhadap ajaran Islam.
Bermula dari hancurnya sebuah pusat perbelanjaan yang terdapat di
Amerika berjuluk World Trade Center (WTC), sebuah tragedi dahsyat yang
mengantarkan tudingan miring terhadap eksistensi agama dan umat Islam di
seluruh dunia. Sejak saat itu berbergai dunia Islam, khususnya di Indonesia
stigmatisasi baru muncul, konsep jihad yang ada di dalam ajaran Islam
diidentikkan dengan kekerasan, radikalisme dan terorisme. Sehingga di Barat
konsep “jihad Islam” diartikan dengan peperangan yang bermotifkan agama
(perang suci). Seolah-olah mereka menganggap bahwa perang merupakan
kewajiban bagi umat Islam dalam mengukuhkan eksistensi agama, sedangkan
pedang dianggap sebagai instrumen yang beperan penting untuk menumpas
musuh-musuh Tuhan.
6 Penjelasan tentang masalah ini dapat dilihat pada bab berikutnya, namun untuk
memberikan sebuah contoh penulis mengemukakan pendapat Murtadha Mutthaharhi yang menitik
beratkan jihad dalam arti perang. Bahwa perang yang sifatnya defensif itu sah bagi individu,
selengkapnya baca; Murtadha Mutthaharhi, Jihad, terj. M. Hasem (Bandar Lampung: Yapi, 1987),
h. 27.
5
Secara literatur istilah perang suci (the holy war) sebenarnya tidak dikenal
dalam perbendaharaan Islam. Menurut Drs. Muhammad Chirzin istilah the holy
war berasal dari sejarah Eropa dan dimengerti sebagai perang karena alasan-
alasan keagamaan. Pandangan Barat tersebut memberi corak kepada Islam sebagai
agama yang meyakini cara-cara kekerasan.7
Meskipun sebagian pelaku terorisme mengklaim dan diklaim sebagai
aktivis Islam, namun menjastis agama Islam sebagai pemicu yang bertanggung
jawab dibalik serangkaian aktivitas terorisme adalah sebuah tidakan yang sangat
terburu-buru dan terlalu dini. Sebab seluruh tindakan yang pada prinsifnya
mengandung kekerasan dilarang dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Di
dalam Islam haram hukumnya menghilangkan nyawa dan darah seseorang tanpa
alasan syar‟i, hal ini dapat dirujuk di dalam Al-Quran:
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu
tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak
akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu,
kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu
mempersaksikannya.”
(Q.s. al-Baqarah [2]: 84)
Dibutuhkan klarifikasi terhadap persoalan ini untuk menemukan
kebenaran tentang signifikansi spiritual jihad agar tidak ada kesalahan terhadap
aplikasi dalam menjalankannya. Serta terhindar dari spekulasi negatif khususnya
7 Muhammad Chirzin, Jihad di Dalam Al-Qur‟an; Telaah Normatif, Historis, dan
Prospektif, (Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 1997), cet. 1, h. 4.
6
dari kalangan umat Islam itu sendiri. Menjadi amat penting bagi setiap muslim
untuk memperolah jawaban tuntas atas pertanyaan mendasar tentang jihad dan
batasan-batasannya. Kenyataaan di atas mendorong penulis mengadakan
penelitian seputar perkembangan yang terjadi terhadap konsep jihad, yang
tertuang kedalam sebuah skripsi yang berjudul PENELUSURAN MAKNA DAN
PENAFSIRAN JIHAD DARI MASA KE MASA.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dan cendikiawan Islam dalam
mengkaji seputar konsep jihad seyogianya menjadi sebuah batu-loncatan dalam
menemukan solusi terhadap problematika kehidupan umat Islam dengan cara
mencari titik temu. Kita seharusnya menghormati setiap perbedaan pandangan
yang terjadi di kalangan ulama agar perbedaan tersebut menjadi sebuah rahmat
yang dapat mempersatukan umat Islam bukan sebaliknya, perbedaan tersebut
menjadi bencana yang mengantarkan kepada pertikaian di antara sesama muslim.
B. Pembatasan dan Perumasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam tulisan ini, maka
penulis merasa perlu memberikan batasan dan rumusan permasalahan. Pertama,
penulis membatasi pembahasan seputar pengkajian terhadap ayat-ayat Al-Quran
tentang jihad, tidak seluruhnya akan tetapi sebagian yang menyangkut
pembahasan. Kedua, agar skripsi ini terarah dan lebih komprehensif, maka penulis
akan merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu
bagaimana relevansi dan mengaktualisasikan jihad dengan konteks sosial
masyarakat Islam pada masa sekarang?.
7
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya seluruh usaha yang terkait dengan kajian keislaman
bertujuan untuk menemukan solusi terhadap problematika-problematika yang
terjadi di tubuh umat Islam. Demikian pula dengan skripsi ini, diharapkan dapat
menemukan jalan keluar terhadap perbedaan pendapat menganai pemahaman
jihad. Di samping itu, tujuan penulisan skripsi ini di antaranya:
1. Guna melengkapi salah satu persyaratan kelulusan pada akhir program S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadis dalam meraih gelar
S.Th.I (Sarjana Theologi Islam).
2. Sumbangan ilmiah untuk kepustakaan Islam, khususnya dalam kajian Al-
Quran.
3. Penulis mencoba menghadirkan bagaimana perkembangan konsep jihad dari
masa-kemasa, sehingga dapat dikomparasikan agar dapat diaktualisasikan
pada masa sekarang.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang jihad ini cukup menarik dan banyak dikaji oleh kalangan
akademis Muslim maupun non-Muslim. Begitu juga dengan buku-buku atau karya
tulis yang bertemakan tentang jihad sudah banyak sekali yang ditulis oleh tokoh-
tokoh Islam maupun non-Muslim. Di antaranya: FIQIH JIHAD karya Yusuf
Qardhawi, Jihad di Dalam Al-Qur‟an; Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif
karya Drs. Muhammad Chirzin, M. Ag, Krisis Islam; Antara Jihad dan Teror
yang Keji karya Bernard Lewis, Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan
8
Al-Bana; RUKUN JIHAD karya Ali Abdul Halim Mahmud (Penerj. Khozin Abu
Faqih, dkk).
Sementara itu karya-karya dalam bentuk skripsi yang betemakan jihad di
antaranya:
1. Perintah Berjihad (Pendekatan Ilmu Rijal Al-Hadits), karya Robinson Rahmat
Kuroso.8
2. Telaah Hadis Argumentasi Pelaku Bom Bunuh Diri Dalam Buku “Meluruskan
Makna Jihad”: Takhrij Hadis dan Analisa Sanad dan Matan, karya Ahmad
Nur Kholid.9
3. Dekonstruksi Tafsir Menuju Jihad Intelektual dan Moral (Studi Penafsiran
Terhadap QS Al-Ankabut : 69), karya Sulaiman Afifuddin yang berjudul 10
4. Jihad Dalam Al-Qur‟an Menenurut Perspektif Abdul Hadi Awang, karya
Mohd Hilman Bin Hasim yang berjudul.11
8 Robinson Rahmat Kuroso, Perintah Berjihad (Pendekatan Ilmu Rijal Al-Hadits), (Sripsi
S1 fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam Negri Jakarta, 2004). Dalam skripsi ini
yang dibahas adalah kualitas sanad hadis yang membicarakan perintah berjihad. Pendekatan yang
digunakan penulis dalam membahas kualitas sanad hadis adalah Ilmu Rijal Al-Hadits. 9 Ahmad Nur Kholid, Telaah Hadis Argumentasi Pelaku Bom Bunuh Diri Dalam Buku
“Meluruskan Makna Jihad”: Takhrij Hadis dan Analisa Sanad dan Matan, (Sripsi S1 fakultas
Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam Negri Jakarta, 2009). Dalam karyanya penulis
menghadirkan argumentasi Imam Samudra berupa hadis tentang pelaku bom bunuh diri.
Kemudian si penulis mentakhrij hadis tersebut dan melakukan penelitian terhadap sanad dan
matannya. 10
Sulaiman Afifuddin, Dekonstruksi Tafsir Menuju Jihad Intelektual dan Moral (Studi
Penafsiran Terhadap QS Al-Ankabut : 69), (Sripsi S1 fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Universitas Islam Negri Jakarta, 2009). Pembahasan di dalam skripsi ini adalah seputar jihad yang
ditransformasikan kedalam jihad yang bermakna luas mencakup di dalamnya jihad intelektual. 11
Mohd Hilman Bin Hasim, Jihad Dalam Al-Qur‟an Mnenurut Perspektif Abdul Hadi
Awang, (Sripsi S1 fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009).
9
5. Gerakan Haji Wasyid Serta Relevansinya Terhadap Konsep Jihad Dalam
Islam, karya Sa‟atu Adhia.12
6. Konsep Jihad Ahmadiyah: Sebuah Kajian Teologis, karya Ahmad Yani.13
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan dan Sumber Data
Untuk mengumpulkan dan meneliti data dalam penulisan skripsi ini
penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library riserch). Dalam hal ini
penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber utama (primary resource) dan
sumber pendukung (secondary resource). Sumber pertama berasal dari kitab Al-
Quran dan kitab-kitab tafsir dari masa klasik hingga modern, sedangkan sumber
pendukungnya adalah buku-buku yang bertemakan jihad, media cetak dan web
yang memuat isu-isu tentang jihad dan sumber-sumber informasi lainnya.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah
deskriptif-analitis. Pendekatan dengan metode deskriptif ini diharapkan dapat
memaparkan dengan jelas serta terperinci mengenai makna dan batasan jihad.
Kemudian dengan menganalisa data-data yang sudah ada penulis berharap dapat
terbangun sebuah konsep jihad yang sesuai untuk diterpkan pada masa sekarang.
12
Sa‟atu Adhia, Gerakan Haji Wasyid Serta Relevansinya Terhadap Konsep Jihad
Dalam Islam, (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis, Universitas Islam
Negri Jakarta, 2007). Skripsi ini membahas realitas sosial dan perjuangan masyarakat Banten
dalam menghadapi penjajah Belanda. Peran ulama‟ sangat signifikan di dalam memimpin
perlawanan tersebut. Penulis memaparkan sejarah perlawanan para ulama‟ di Banten (yang
dipimpin oleh Haji Wasyid) dan mengkomparasikannya dengan jihad dalam Islam. 13
Ahmad Yani, Konsep Jihad Ahmadiyah: Sebuah Kajian Teologis, (Skripsi S1 fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta, 2006).
10
3. Metode Penulisan
Sebagai pedoman penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku
“Pedoman Akademk”, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008/ 2009.
F. Sitematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam
penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika
penulisan. Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab dibagi
menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing
yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.
Bab I :Berisikan pendahuluan yang menguraikan argumentasi
signifikansi studi ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah,
tinjauan pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II :Bab ini membahas tentang pemahaman dasar seputar jihad dan
batasan-batasannya dengan sub-pembahasan sebagai berikut; A.
Definisi jihad dan makna fî sabîlillah. B. Jihad di dalam dustur
Islam; a) lafaz-lafaz jihâd dalam Al-Quran, b) jihad di dalam hadis
Nabi SAW. C. Status hukum jihad.
Bab III :Pada bab ini penulis membahas sebagian ayat jihad dalam Al-
Quran, diantaranya mengenai: perintah jihad, sasaran (objek),
sarana (media), dan macam-macam jihad: berjihad melawan orang-
orang kafir dengan menggunakan argumen atau hujjah, jihad
11
melawan hawa nafsu dan setan, dan yang terakhir adalah tujuan
diperintahkannya jihad.
Bab IV :Pada bab ini menelusuri penafsiran jihad dari periode
mutaqaddimîn hinggga modern. Terdiri dari; sejarah singkat
perjalanan tafsir, penafsiran ayat jihad dari periode mutaqaddimîn
hingga modern. a) penafsiran ayat jihad oleh ulama mutaqaddimîn
(abad 1-4 Hijrah), b) penafsiran ayat jihad oleh ulama
muta‟akhkhirîn (abad 4-12 Hijrah), c) penafsiran ayat jihad oleh
ulama modern (abad 12 Hijrah-Modern).
Bab V :Merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan
dan saran-saran.
12
BAB II
PEMAHAMAN DASAR SEPUTAR JIHAD
A. Definisi Jihad dan Makna Fî Sabîlillah
Dalam kurun waktu terakhir, pasca runtuhnya WTC dan meletusnya aksi
terorisme istilah jihad mulai mencuat kepermukaan. Bukan hanya itu saja,
kalangan Islam sendiri menaruh perhatian besar terhadap konsep jihad
sebagaimana pemahaman Barat terhadap jihad yang hanya sebatas peperangan
(holy war). Di dalam Al-Quran memang terdapat kata perang dan anjuran untuk
melakukannya, namun kita harus menkaji terlebih dahulu sebelum memberikan
penilaian yang bersifat mengidentikkan antara jihad dengan peperangan.
Kitab-kitab bahasa Arab menyatakan bahwa kata jihâd dan mujâhadah
berarti “menguras kemampuan”. Secara bahasa, jihād berasal dari kata jahada,
artinya tenaga, usaha, atau kekuatan.14
Di dalam bahasa Arab kata benda جياد
(jihâd) adalah bentuk mashdar dari kata kerja جاىذ (jâhada), yang selanjutnya
merupakan turunan dari kata kerja جيذ (jahada) dengan jalan penambahan satu
huruf alif. Dengan perubahan berupa penambahan huruf alif itu menyebabkan
artinya berubah menjadi lebih intensif, yaitu “kesungguhan melaksakan
pekerjaan” meningkat menjadi maksimal “dengan jalan mencurahkan seluruh
potensi yang ada”.15
Menurut Yusuf Qardhawi jihâd adalah isim mashdar dari kata jâhada-
yujâhidu-jihâdân-mujâhadah. Kata jihad merupakan derivasi dari kata jahada-
14
Ahsin W. al-Hafidz, M.A., Kamus Ilmu AL-QUR‟AN, (Jakarta: AMZAH, 2006), cet. 2,
h.138. 15
Jan Ahmad Wassil, Tafsir Quran Ulul-Albab, h. 294
13
yajhadu-jahdân. Dalam sebuah ungkapan diterangkan “Seorang laki-laki berjihâd
dalam sebuah hal”, itu berarti ia bersungguh-sungguh dalam hal tersebut.
Selanjutnya Ibn Mandzur dalam Lisan al-„Arab menulis, jihad ialah memerangi
musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan,
atau segala sesuatu yang di sanggupi.16
Jadi makna dari kata جاىذ (jâhada)
ditinjau dari segi kebahasaan adalah kesungguhan dalam melaksanakan sebuah
pekerjaan dengan jalan mencurahkan segenap potensi yang ada.
Sementara itu menurut istilah, jihad adalah suatu kewajiban bagi umat
Islam yang sifatnya berkelanjutan hingga hari kiamat. Tingkat terendahnya berupa
penolakan hati atas keburukan dan kemungkaran, sedangkan tingkatan
tertingginya berupa perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan
dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan
penguasa yang zalim.17
M. Quraisy Shihab dalam memakmanai kata jihad dengan
mengutip pendapat Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu‟jam al-Maqayîs fi
al-Lughah, “Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung
arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya”.18
Menurut Fairuz Abadi
dalam kitabnya yang berjudul Basha-ir Dzawit Tamyiz, sebagaimana yang dikutip
oleh Dr. Ali Abdul Halim Mahmud beliau berkata:
“Jihad dan mujâhadah adalah menguras kemampuan dalam memerangi
musuh. al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Fudhalah bin
„Ubaid, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Mujahid adalah
16
Imam al-Allamah abi al-Fdhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn al-Mandzur,
Lisan al-„Arab al-Muhith, (t.t.: Dar Lisan al-„Arab, t.th), h. 100. 17
Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Bana, Terj. Bustami A.
Gani dan Zaenal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 74. 18
M. Quraish Shihab, M.A., Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai
Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 500.
14
orang yang berjihad melawan jiwanya (hawa nafsunya) dalam rangka
menaati Allah”.19
Adapun menurut ulama fiqih, jihad berarti membunuh orang-orang kafir.
Sebagian ulama fiqih berpendapat bahwa jihad adalah mengerahkan kemampuan
untuk membunuh orang-orang kafir atau pemberontak (bughât). Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad adalah mengajak kepada agama yang benar dan
memerangi orang-orang yang menolaknya. Ada juga yang mendefinisikan jihad
sebagai pengerahan usaha dan kemampuan di jalan Allah dengan nyawa, harta,
pikiran, lisan, pasukan, dan yang lainnya.20
Berpijak pada pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa jihad
adalah sebuah aktivitas dalam menjalakan ibadah kepada Allah SWT yang
didasarkan pada kesungguhan dengan cara mengerahkan seluruh kemampuan
yang dimiliki dengan nyawa, harta, pikiran, lisan, pasukan, dan lainnya. Defenisi
ini lebih relevan dalam memaknai jihad, karena mencakup seluruh jenis jihad
yang diterangkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Selain itu, defenisi ini juga juga
tidak membatasi jihad sebagai bentuk peperangan terhadap orang-orang kafir saja.
Orientasinya adalah agar istilah jihad bisa mencakup seluruh usaha umat
Muslim dalam mencurahkan segenap kemampuan melawan keburukan dan
kebatilan. Dimulai dengan jihad terhadap keburukan yang ada di dalam diri
individual Muslim, berupa godaan setan, dilanjutkan dengan melawan keburukan
19
Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan al-Bana;
RUKUN JIHAD, Penerj. Khozin Abu Faqih, dkk., (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2001), cet.
1, h. 31. 20
Lihat al-Kasani, Badâ‟I‟ Al-Shanâ‟I‟, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, t.t.), juz 7, h. 97.
Lihat juga Ibn „Abidin, al-Durr al-Mukhtâr, (Beirut: Dar Ihya‟ Al-Turats Al-„Arabi, 1272 H.), juz
3, h. 217.
15
di sekitar masyarakat (Muslim). Hingga berakhir pada perlawan terhadap
keburukan di manapun, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kata jihâd di dalam Al-Quran sering di sandingkan dengan lafaz fi
sabîlillah (pada jalan Allah), misalnya dalam Q.s. al-Maidah [5]: 54, al-Anfal [8]:
72, al-Taubah [9]: 41 dan 81. Hal ini mengisyaratkan bahwa seluruh yang di
korban, baik jiwa dan harta dalam rangka mengamalkan jihad akan bernilai jika di
dasarkan „pada jalan Allah‟ (fi sabîlillah) serta mengharapkan keridhaan-Nya.
Ayat-ayat Al-Quran mengidentifikasikan sabîlillah sebagai jalan Allah,
seruan agama, dan ajaran-ajaran-Nya yang berdimensi keimanan, akhlak, sosial,
kemanusiaan dan pengasuhan yang dikandung Al-Quran dan tuntunan Nabi
Muhammad SAW. Hal itu tertera dalam firman Allah dalam surat al-An‟âm [6],
ayat 151-153:
16
“Katakanlah, "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang kami perintahkan ini)
adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar
kamu bertakwa.”
(Q.s. al-An‟âm [6]: 151-153).
Nabi Muhammad SAW menafsirkan lafaz sabîlillah dengan kalimat Allah,
seruan-Nya, prinsip-prinsip dan manhaj-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan
sebuah hadis yang artinya sebagai berikut:
“Seseorang berperang untuk memperoleh rampasan, yang lain berperang
untuk memperoleh sebutan dan seseorang berperang supaya dilihat
kedudukannya. Siapakah di antara mereka yang fi sabilillah? Nabi SAW
menjawab, Siapa berperang agar kalimat Allah unggul, maka ia fi
sabilillah.”21
21
Abu „Abdillah al-Bukahri, Shahih al-Bukhari,(Beirut: Darul Fikr, 1414 H./1994 M.),
juz IV, h. 25.
17
Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa sabilillah
adalah jalan yang mengantarkan kepada keridhaan Allah yang dengannya agama
dipelihara dan keadaan umat membaik.22
Selain dirangkaikan dengan kata sabîlillah, kata jihâd juga sering
disandingkan dengan lafaz qitâl, hijrah, dan infaq, seperti dalam Q.s. al-Baqarah
[2]: 154, 190, 246, 261, Q.s. al-Nisâ [4]: 89, 100, al-Hajj [22]: 58, dan al-Nûr
[24]: 22. Jadi, ketika Al-Quran di suatu tempat merangkai lafaz jihâd dan fi
sabîlillah kemudian di tempat lain menyebutkan lafaz qitâl dan fi sabîlillah,
menurut penulis kedua lafaz tersebut (jihâd dan qitâl) berbeda makna meskipun
memiliki orientasi dan hasil yang sama ketika dirangkaikan dengan lafaz fi
sabîlillah, karena kandungan makna dari kata jihâd lebih luas dari pada istilah
qitâl. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa qitâl adalah suatu bentuk dari
jihad.
Meskipun demikian, jihâd yang dijumpai di dalam Al-Quran tidak
semuanya memiliki arti berjuang di jalan Allah karena ada juga ayat yang
menggunakan kata jihâd untuk pengertian “berjuang dan berusaha seoptimal
mungkin untuk mencapai tujuan, walaupun tujuan tersebut condong kearah yang
negatif”. Kasus seperti ini dapat dijumpai di dalam Q.s. al-Ankabût [29]: 8 dan
Q.s. Luqmân [31]: 15. Kedua ayat tersebut berbicara di dalam konteks hubungan
antara anak yang beriman dan orang tua yang kafir.
B. Jihad di dalam Dustur Islam
22
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran Al-Hakim, (Mesir: Dar al-Manar, 1367 H.),
h. 254.
18
a) Lafaz-lafaz Jihâd dalam Al-Quran
Sebelum mengkaji ayat-ayat tentang jihad, terlebih dahulu penulis akan
mengeksplor kata “jihâd” dan berbagai bentuk perubahan katanya (tashrif) di
dalam Al-Quran. Kata jihâd dan berbagai bentuknya terulang sebanyak empat
puluh satu kali di dalam Al-Quran. Kata jihâd yang mengandung pengertian
„berjuang di jalan Allah‟, ditemukan pada 33 ayat: 13 kali di dalam bentuk fi‟il
mâdhi ( kata kerja bentuk lampau), lima kali di dalam bentuk fi‟il/فعم ماض
mudhâri‟ (فعم مضاسع/kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang), tujuh
kali di dalam bentuk fi‟il amr (فعم أمش/kata kerja perintah), empat kali di dalam
bentuk mashdar, dan empat kali di dalam bentuk isim fâ‟il (إسم فاعم/kata benda
yang menunjukkan pelaku).23
M. Dawam Rahardjo24
mendeteksi kata-kata jihâd dan derivasi katanya di
dalam Al-Quran, berasal dari kata jahd (جـيـذ), kata ini terulang sebanyak lima
kali yaitu terdapat pada; Q.s. al-Mâidah [5]: 53, al-An‟âm [6]: 109, al-Nahl [16]:
38, al-Nûr [24]: 53, Fâthir [35]: 42. Dan berasal dari kata juhd (جـيـذ) yang hanya
ditemukan pada satu tempat saja di dalam Al-Quran, yaitu pada surat Al-Taubah,
ayat 79.
Muhammad Fuad Abdul Baqi merangkum kata jihâd dan berbagai bentuk
perubahan di dalam Al-Quran dalam kitabnya yang berjudul al-Mu‟jam Al-
23
M. Quraish Shihab, et.al, ENSIKLOPEDIA AL-QURAN: Kajian Kosakata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. 1, h. 396. 24
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Quran; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: PARAMADINA, 1996), cet. 1, h. 516.
19
Mufahras li al-Fadzhi al-Qur‟an al-Karim dengan berbagai bentuk, lebih jelasnya
penulis tuangkan dalam bentuk tabel di bawah ini.
Terma Jihâd Beserta Perubahan Bentuk Katanya di Dalam Al-Quran25
No Bentuk Kata Q.S Ayat Lafadz
1. al-Taubah [9] 19
2. al-„Ankabût [29] 6
3. al-„Ankabût [29] 8
4. Luqmân [31] 15
5. al-Baqarah [2] 218
6. Ali Imran [3] 142
7. al-Anfâl [8] 72
8. al-Anfâl [8] 74
9. al-Anfâl [8] 75
10. al-Nahl [16] 110
11. al-Ankabût [29] 69
12. al-Taubah [9] 16
13. al-Taubah [9] 20
14. al-Taubah [9] 88
15. al-Hujurât [49] 15
16. al-Shaff [61] 11
17. al-Ankabût [29] 6
18. al-Taubah [9] 44
25
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Quran al-Karim,
(Beirut: Darul Fikr, 1407H ), h. 182-183.
20
19. al-Taubah [9] 81
20. al-Mâ‟idah [5] 54
21. al-Taubah [9] 73
22. al-Tahrîm [66] 9
23. al-Furqân [25] 52
24. al-Mâ‟idah [5] 35
25. al-Taubah [9] 41
26. al-Taubah [9] 86
27. al-Hajj [22] 78
28. al-Mâ‟idah [5] 53
29. al-An‟âm [6] 109
30. An-Nahl [16] 38
31. An-Nûr [24] 53
32. Fâthir [35] 42
33. At-Taubah [9] 79
34. At-Taubah [9] 24
35. Al-Furqân [25] 52
36. Al-Mumtahanah [60] 1
37. Al-Hajj [22] 78
38. An-Nisâ‟ [4] 95
39. An-Nisâ‟ [4] 95
21
40. An-Nisâ‟ [4] 95
41. Muhammad [47] 31
Jika ditinjau dari tempat turunnya ayat (al-asbâb al-nuzûl), ayat-ayat
tersebut (ayat-ayat tentang jihad) di atas sebagian turun pada saat Nabi
Muhammad SAW berada di Makkah, sedangkan ayat yang lain turun pada saat
Nabi telah hijrah ke Madinah atau biasa dikategorikan sebagai ayat madaniyah.26
Terdapat perbedaan antara ayat-ayat jihad periode Makkah dan ayat-ayat jihad
periode Madinah. Ayat-ayat jihad periode Makkah pada umumnya menyeru untuk
bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh dan memang tidak ada pilihan lain
bagi mereka selain itu, di samping terus berdakwah secara lisan di tengah-tengah
umat manusia. Sedangkan ayat-ayat jihad periode Madinah cenderung menyeru
untuk menghadapi musuh secara konfrontatif dan membolehkan umat Islam
membalas ketika diserang musuh, ini sesuai dengan kondisi umat Islam pada saat
itu yang telah siap untuk membalas perlawanan musuh.
Demikianlah terma jihad beserta derivasinya di dalam Al-Quran yang
berhasil penulis kumpulkan dari sumber-sumber buku, eknsiklopedi, dan kamus
Al-Quran. Untuk mengantar penulis lebih dalam membahas seputar jihad, penulis
sudah memiliki modal awal dengan mengetahui tempat-tempat surat dan ayat
yang berbicara seputar jihad serta mengenal bentuk-bentuk kata yang digunakan
Al-Quran ketika berbicara tentang jihad.
26
(al-Furqân [25]: 52, al-Nahl [16]: 110, al-„Ankabut [29]: 6 dan 69) yang biasa di
masukkan oleh para ulama tafsir ke dalam kategori ayat makkiyah, sedangkan ayat yang lain
dikategorikan sebagai ayat madaniyah. Baca: Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, h. 73.
22
b) Jihad di dalam Hadis Nabi SAW
Bagaimanapun hukum jihad di dalam Islam, kedudukannya tidak dapat
digantikan oleh sesuatu yang lain. Sebab melalui jihad umat dapat terlindungi dan
kehormatan negara-negara Islam dapat terjaga, serta kebebasan umat Muslim
dalam menyampaikan dakwah Islam terpelihara. Jihad merupakan benteng dan
pilar pertahanan umat, dengan jihad lahir para pahlawan Islam, pasukan-pasukan
Muslim yang tangguh, serta rela mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk
kepentingan agama Allah. Banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang
memotivasi kita untuk berjihad di jalan Allah, menerangkan keutamaanya, dan
mejelaskan kedudukan para pelakunya di sisi Allah SWT. Mereka memiliki
derajat yang sama dengan orang berpuasa serta orang yang mengerjakan shalat
malam dan tidak bosan melakukannya.
Di samping Al-Quran, di dalam hadis juga terrekam pesan-pesan tentang
jihad yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Di antaranya adalah hadis
yang terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari, yang matan hadisnya sebagai
berikut:
انعمم أفضم لال سأنت عنو سسل انهو صه اهلل -أن سجال لال التن مسعد أ
التيا » فمال - عهو سهم مارا ا سسل انهو لال . «انصالج عه م تش » لهت
ن انذ مارا ا سسل انهو لال . «ان .«انجياد ف سثم انهو » لهت Seorang laki-laki berkata kepada ibn Mas‟ud, „amal apa yang paling
baik?‟, lalu ibn Mas‟ud berkata, “aku menanyakan hal yang serupa
kepada Rasulullah shalallahu „alaihi wa sallam, maka beliau menjawab,
"Shalat pada waktunya", aku berkata apa lagi ya Rasulallah, beliau
menjawab"Berbuat baik kepada kedua orang tua", aku berkata apa lagi ya
Rasulullah, beliau menjawab "Dan jihad di jalan Allah".27
27
Abu Abdillah al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, (Semarang: Toha Putra, t.th), juz ke-3, h.
200.
23
(H.R. Bukhari)
Ibnu Hajar al-„Asqalani menerangkan bahwa penyebutan tiga macam amal
kebajikan yang utama itu adalah karena ketiganya merupakan lambang ketaatan-
ketaatan lainnya. Artinya, siapa yang mengabaikan shalat fardu hingga melampaui
waktunya tanpa uzur, padahal shalat itu demikian besar keutamaannya, maka
orang itu akan lebih mengabaikan ibadah yang lainnya. Siapa yang tidak berbuat
kebajikan kepada kedua orang tuanya, padahal demikian banyak hak mereka atas
diri anaknya maka ia akan lebih sedikit berbuat kebajikan kepada selain keduanya.
Dan barang siapa yang meninggalkan jihad menghadapi orang-orang kafir, setelah
sedemikian jelas-jelas perlawanan mereka terhadap agama Allah SWT, maka
terhadap berbagai jenis kefasikan ia akan lebih tidak perduli.28
Hadis lainnya yang berbicara seputar jihad adalah sebagai berikut:
حذثنا مسذد حذثنا خانذ حذثنا حثة تن أت عمشج عن عائشح تنت طهحح عن
أنيا لانت ا سسل انهو تش انجياد أفضم انعمم ، - سض اهلل عنيا - عائشح
.«نكن أفضم انجياد حج مثشس » أفال نجاىذ لال
Aisyah ra bertanya kepada Rasulullah saw, “Rasulullah, telah ditunjukkan
kepada kami bahwa jihad adalah amal yangpaling utama, apakah kami
(kaum wanita) tidak berjihad?”, Rasulullah saw menjawab, “Bagi kalian
jihad yang paling utama adalah haji mabrur”.
(H.R. Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa jihad memiliki cakupan makna yang
luas di dalam wawasan Islam, jihad bukanlah semata-mata berjuang di medan
perang. Di dalam hadis di atas diidentifikasikan oleh Nabi bahwa berhaji juga
termasuk jihad. Walaupun dalam konteksnya hadis ini berbicara tentang jihad bagi
28
Ahmad Ibn „Ali Hajar al-„Atsqalani, Kitab al-jihad was Siyar min Fathil Bari (Beirut:
Dar al-Balaghah, 1985), h. 11-12. 29
Muhammad bin Isma‟il abu Abdullah al-Bukhari, Al-Jami‟ Ash-Shahîh Al-Mukhtashar
(Shahîh Al-Bukhari), juz 10, h. 175.
24
wanita, namun pemakaian kata jihad di dalam hadis ini memberikan indikasi
bahwa kata jihad memiliki makna yang luas. Dari hadis di atas dapat juga ditarik
kesimpulan bahwa jihad adalah setiap usaha sungguh-sungguh yang memerlukan
pencurahan tenaga untuk melakukannya dalam rangka memperoleh ridha Allah
SWT. Allah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, yang artinya sebagai berikut:
“Siapapun di antara hamba-hamba-Ku yang menunaikan jihad pada
jalan-Ku karena mengharap dan mencari keridhaan-Ku, Aku jamin untuk
mengembalikannya, jika ia Ku kembalikan, dengan segala apa yang
didapatnya berupa pahala atau harta rampasan. Dan jika ia Kuwafatkan
dalam jihad maka ia Kuampuni, Kuberi rahmat dan akan Kumasukkan ke
dalam surga”.30
Hadis-hadis tentang jihad secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian. Pertama, hadis-hadis yang menyebutkan jihad dalam konteks perang
di jalan Allah. Hal itu ditunjukkan dengan penyebutan kematian di medan jihad
serta perolehan ghanimah. Kedua, hadis-hadis yang menyebutkan jihad dalam arti
luas, yakni segala usaha yang memerlukan pencurahan tenaga dalam rangka
memperoleh ridha Allah, baik berupa ibadah khusus yang bersifat individual
maupun ibadah umum yang bersifat kolektif, berupa amar ma‟ruf nahi munkar.
C. Status Hukum Jihad
Ulama fiqih membagi fiqih Islam kedalam dua bagian besar, yaitu ibadah
dan muamalah. Yang dimaksud dengan ibadah adalah segala amalan yang
diwajibkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran dan diterangkan di dalam hadis
Nabi Muhammad SAW, dipahami oleh umat Islam sebagai rukun-rukun dan
30
M. Ali Usman, et.al, Hadis Qudsi: Pola Pembinaan Akhlak Muslim, (Bandung: CV
Diponegoro, 1991), h. 23.
25
dasar-dasar agama Islam. Adapun yang dimaksud dengan muamalah adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan urusan kehidupan, baik berkaitan dengan
individu (seperti halal dan haram), keluarga (seperti nikah, talak, waris, wasiat),
masyarakat dalam bentuk aktivitas sipil, perdagangan dan negara (seperti
tanggung-jawab, syarat, hak, kewajiban pemimpin), umat (seperti persatuan,
negeri, aturan hukum syariat, serta hubungan dengan negara lain).31
Jika
demikian, dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa jihad dipandang dari
perspektif fiqih memasuki ranah muamalah.
Jihad merupakan warisan penting di dalam ajaran Islam karena ia adalah
media efektif untuk menjaga serta menyebar-luaskan agama tauhid ke seluruh
penjuru bumi. Islam bukanlah sebuah agama ekspoliatasi yang mengharus umat
manusia untuk takut dan memaksa mereka untuk memeluknya. Al-Quran sebagai
sumber ajaran Islam sejak empat belas abad yang lalu sudah mengajarkan
pluralisme, reformasi, dan fleksibelitas dalam beragama. Oleh karena itu, Islam
hanya datang menawarkan sebuah jalan lurus dalam menapaki kehidupan, baik
kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat. Itu artinya tidak mungkin di
dalam Al-Quran ada syariat yang mewajibkan umatnya untuk menyulut api
peperangan dengan tujuan teror. Orientasi jihad adalah untuk mempertahankan
dan menyebarkannya agama Islam dengan menganut asas pluralisme bukan
bertujuan menghancur umat dengan jalan terorisme.
Berbicara masalah hukum, ulama fiqih sepakat bahwa hukum jihad adalah
wajib (fardhun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang kapasitas hukum
31
Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, h. 10.
26
kefardhun-annya (fardhu „ain atau fardhu kifayah). Di dalam kitab Bidayatul
Mujtahid karangan Ibnu Rusyd di terangkan bahwa jumhur ulama sepakat hukum
jihad adalah fardhu kifayah. Argumentasi yang menjadi pegangan terhadap
pendapat para jumhur ulama dalam menetapkan hukum jihad fardhu kifayah
adalah firman Allah:
...
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci… dan Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak
mengetahui.”
(Q.s. al-Baqarah [2]: 216).
Mengenai fardhu kifayah jihad, yakni apabila sebagian atau sekelompok
orang telah melaksanakan jihad maka yang demikian itu sudah bisa mengcover
dan menggugurkan kewajiban jihad bagi seluruh orang yang ada. Alasan ini
disandarkan pada firman Allah swt dalam surat al-Taubah ayat 122, sebagai
berikut:
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."
(Q.s. al-Baqarah [2]: 122)
Dan dalam firman-Nya yang lain disebutkan:
27
"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas
orang yang duduk dengan pahala yang besar."
(Q.s. al-Nisâ‟ [4]: 95)
Rasulullah SAW tidak pernah keluar berperang melainkan ditinggalkannya
sebagian orang. Jika ayat-ayat ini digabungkan, maka penggabungan ini
menghendaki bahwa tugas berperang itu adalah fardhu kifayah.32
Di dalam al-
Mughnî, Ibn Quddamah menjelaskan makna kifâyah di dalam jihad yaitu jika ada
suatu kaum yang mumpuni untuk melakukan peperangan, bisa berupa tentara
yang telah disiapkan untuk perang atau orang yang memiliki kesiapan jiwa untuk
melakukannya secara sukarela. Dengan demikian, jika ada serangan dari musuh
yang datang dari luar atau dari musuh yang berada di negara Islam dapat
dihadapi.33
Beberapa ulama fiqih menyebutkan batasan tentang kewajiban perang
dengan fardhu kifâyah, yaitu jika pemimpin merasa yakin ia memiliki kekuatan
32
Berbeda dengan ulama yang lain, syeikh Abdu „I-Lah bin Hasan menyatakan bahwa
hukum jihad adalah “sukarela” (tathawwu‟), selengkapnya tentang penjelasan masalah jihad ini
lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa‟, 1990), jilid II, cet. 1, h. 139-140. 33
Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Quddamah, al-Mughnî, tahqîq oleh Abdullah
Abdul Hasan al-Turki dan Dr. Muhammad Abdul Fatah al-Hulwi, (Kairo: Hajar, 1410 H./1990
M.), cet. 1, juz 13, h. 8.
28
yang bisa menyamai musuh. Jika tidak, mereka (musuh) tidak boleh diperangi
karena hal tersebut bisa membahayakan orang-orang Islam. Para ulama fiqih juga
menerangkan hal lain yang sangat penting seputar fardhu kifâyah, yaitu kewajiban
jihad akan gugur jika sebagian orang dari suatu negara itu sendiri yang
melakukannya.34
Ibnu al-Qayyim berkomentar seputar hukum jihad, menurut
beliau jihad adalah fardhu „ain, baik dilakukan dengan hati, lisan harta atau
tangan.35
34
Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, h. 24. 35
Muhammad Ibn Abu Bakr ibn Ayuyub ibn Sa‟ad al-Zar‟I ibn al-Qayyim, Zâd al-
Ma‟âd, tahqîq oleh Syu‟aib dan Abdul Qadir al-Arna‟uth, (Beirut: Mu‟assasah Al-Risalah, 1399
H./1979 M.), cet. 1, juz 3, h. 73.
29
BAB III
JIHAD DALAM AL-QURAN
A. Perintah Jihad
Telah terpatri dalam pandangan mayoritas ulama Islam bahwa jihad yang
merupakan bagian penting di dalam agama Islam diperintahkan setelah hijrahnya
Nabi ke kota Madinah. Pendapat ini lahir dari pandangan bahwa jihad hanya
sekedar peperangan yang dilakukan dalam membela agama Islam. Jika ditinjau
dari tempat turunnya ayat (al-asbâb al-nuzûl), ayat-ayat tentang jihad sebagian
turun pada saat Nabi Muhammad SAW berada di Makkah.36
Setelah Rasulullah
hijrah ke Madinah dan menetap di sana, barulah ushul jihadiyah (dalil pokok
diperintahkannya berperang) ini muncul dan diwajibkan.
Kesabaran Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam di
Makkah merupakan manifestasi jihad yang besar, meskipun beliau mengalami
banyak hambatan dan rintangan berupa cemoohan dan siksaan. Dan satu lagi yang
termasuk jihad pada masa Rasulullah SAW menyebarkan Islam di Makkah yaitu
kesungguhan mereka (Nabi dan para sahabatnya) dalam mempelajari kitab suci
Al-Quran. Hal tersebut dikatakan jihad sesuai dengan penjelasan Al-Quran dalam
surat al-Furqân dan al-Nahl, sebagai berikut:
36
(al-Furqân [25]: 52, al-Nahl [16]: 110, al-„Ankabut [29]: 6 dan 69) yang biasa di
masukkan oleh para ulama tafsir ke dalam kategori ayat makkiyah, sedangkan ayat yang lain
dikategorikan sebagai ayat madaniyah. Baca: Yusuf Qardhawi, FIQIH JIHAD, terj. Irfan Maulana
Hakim, et.al., (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), cet.1, h. 73.
30
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.”
(Q.s .al-Furân [25]: 52)
“Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang
berhijrah sesudah menderita cobaan, Kemudian mereka berjihad dan
sabar; Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.s .al-Nahl [16]: 110)
Mengenai kedua ayat tersebut di atas para ulama (Ibnu Zubair, Hasan al-
Basri, Ikrimah dan Jabir) sepakat bahwa kedua ayat tersebut turun di Makkah.
Ibnu Abbas berkata
“surah ini (an-Nahl) adalah Makkiyah, kecuali tiga ayat yaitu ayat ke 95-
97 yang dimulai dari firman Allah, „dan janganlah kamu tukar
perjanjianmu dengan Allah dengan haraga yang sedikit…‟ sampai pada
firman Allah, „…dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”.37
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Amar bin Yasir disiksa hingga
tidak tahu apa yang mesti dikatakannya. Demikian juga Shuhaib, Abu Fukaikah,
Bilal, Amir bin Fuhairah, dan kaum Muslimin lainnya. Ayat ini (Q.s. al-Nahl [16]:
110) turun berkenaan dengan mereka yang telah diselamatkan oleh Allah SWT.38
Demikianlah sebab turunnya (asbâb an-nuzûl) ayat yang kedua.
37
Muhammad Sa‟id Ramadhan al-Buthy, Menjadi Mujahid Sejati, terj. Saiful Hadi,
S.Ag., (Jakarta: PT. INTIMEDIA CIPTANUSANTARA, t.th.), cet. 1, h. 18. 38
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa‟d di dalam kitab al-Thabaqât, yang bersumber dari „Umar
bin al-Hakam, selengkapnya baca: K.H.Q. Shaleh, et.al., ASBÂBUN NUZÛL (Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat Al-Quran), (Bandung: CV Penerbit Ponegoro, 2009), ed. 2, cet. 10, h. 316-
317.
31
Firman Allah ”Kemudian mereka berjihad dan sabar” mengindikasikan
bahwa makna jihad yang terdapat di dalam ayat tersebut adalah berdakwah dan
bersabar, serta jihad dalam menanggung penderitaan dan kepayahan. Inilah yang
dilakukan umat Islam di Makkah sebelum hijrah ke Madinah. Dalam Islam antara
jihad, dakwah, dan sabar adalah ibadah yang memiliki perbedaan, akan tetapi
dakwah dan sabar masuk kedalam bagian dari jihad jika dilakukan dengan cara
sungguh-sungguh dengan seluruh kemampuan yang ada di dalam diri. Karena
prinsif dasar dari jihad itu sendiri adalah menuntut adanya kesungguhan dari si
pelaku dalam menjalankan ibadah, baik berupa dakwah dan sabar dalam kesulitan.
Sehingga nyata bagi Allah SWT kesungguhan yang dilakukan seorang hamba
dalam menjalankan perintah-Nya.
Jihad dalam bentuk fi‟il amr adakalanya ditujukan kepada mukhatab
mufrad (orang kedua tunggal) dan adakalanya ditujukan kepada mukhatab jama‟
(orang kedua jamak). Amar jihad yang ditujukan kepada mukhatab mufrad dapat
dipahami bahwa pesan jihad tersebut ditujukan kepada perseorangan dan dapat
dilaksanakan secara perseorangan, sebagaimana pesan untuk menyeru manusia ke
jalan Allah (Q.s. al-Nahl [16]: 125) dan perintah untuk menyeru kepada kebajikan
(Q.s. al-A‟raf [7]: 199).
Amr jihad untuk mukhatab jama‟ mengandung pengertian bahwa perintah
tersebut ditujukan kepada khalayak agar dilaksanakan secara berjamaah. Hal
tersebut mengandung kemungkinan bahwa jihad tidak dapat dilaksanakan kecuali
secara bersama-sama atau melalui kerjasama yang satu dengan lainnya, seperti
tertera dalam firman Allah sebagai berikut:
32
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat,
dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”
(Q.s. al-Taubah [9]: 41)
( ثماال Khifâfan wa tsiqâlan: Khifâf adalah bentuk plural dari kata (خفافا
khafîf, yaitu pemuda yang memiliki fisik yang kuat, mempunyai kesungguhan
berupa pembekalan dan kendaraan. Tsiqâlan adalah bentuk plural dari kata tsaqîl
yang memiliki arti seseorang yang sudah berumur tua, sakit dan fakir yang tidak
mempunyai kesungguhan dan persiapan. (رنكم) Dzâlikum mengandung maksud
bahwa berjihad dengan harta dan jiwa lebih baik daripada berdiam diri di rumah.
Ayat di atas berbicara tentang ajuran Hal itu memiliki nilai plus di hadapan Allah
SWT, baik di dunia maupun di akhirat. Ayat di atas masih berbicara tentang
anjuran untuk pergi berjihad, dalam hal ini umat Islam akan melawan bangsa
Romawi yang berada di Syam.39
Kembali pada permasalahan sebelumnya bahwa ayat di atas merupakan
contoh amr jihad kepada mukhatab jama‟ yang mengandung arti undangan untuk
berjihad adalah bagi seluruh umat Islam dengan segala persiapan yang dapat
mereka bawa. Bahkan mereka yang sudah tua sekalipun harus ikut serta dalam
berjihad, orang-orang yang sudah berpengalaman untuk ditempatkan di tempat-
tempat berbahaya. Sedangkan yang belum berpengalaman, mereka ditempatkan
39
Ayat ini termasuk ayat yang tidak dinasaskh (dihapus), ayat ini yang menjadi
argumentasi terhadap adanya otoritas seorang pemimpin dalam mengumumkan jihad kepada
seluruh umat. Syaikh Abu Baakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur‟an al-AISAR, terj. Nafi‟
Zainuddin, Lc dan Suratman, Lc, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007), cet. 1, h. 378.
33
untuk tugas-tugas yang sesuai dengan keahlian masing-masing.40
Dari sini kita
dapat melihat bahwa setiap lapisan masyarakat Islam, baik tua maupun muda, kuat
maupun lemah, miskin maupun kaya bisa berpartisipasi dan memiliki kesempatan
untuk melaksanakan jihad.
Perintah jihad kepada kelompok tidak menutup kemungkinan untuk
dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, tampa melibatkan seluruh kaum
Muslimin. Jika keadaan demikian, maka bagi yang tidak terlibat aktivitas tersebut,
seyogyanya mengambil alternatif kegiatan yang relatif sama nilainya dengan
kegiatan yang ia tinggalkan. Hal itu dapat disandarkan pada firman Allah swt:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(Q.s. al-Taubah [9]: 122)
Sehubungan dengan ayat ini, Abdullah Yusuf Ali mengindikasikan bahwa
ayat di atas mengungkapkan sebuah amalan yang dapat dilakukan bagi mereka
yang tidak berangkat ke barisan depan. Amalan tersebut adalah liyatafaqqahû fi
dîn (memperdalam ilmu agama). Perang mungkin tidak dapat dihindari, namun
perang bukunlah hal yang diungul-ungulkan dengan mengabaikan amalan yang
lain. Memperdalam ilmu agama untuk mengetahui rincian dari syariat Islam akan
melahirkan sebuah keyakinan dengan sungguh dan akidah yang mantap, sehingga
40
Abdullah Yusuf Ali, Qur‟an Terjemah dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta: PT.
Pustaka Litera AntarNusa, 2009), cet. 3, h. 446.
34
saat kembali kebarisan jihad akan melahirkan prajurit jihad dengan jiwa ketaatan
dan kedisiplinan.41
B. Sasaran (objek), Sarana (media) dan Macam-macam Jihad
Jihad dalam bentuk fi‟il (kata kerja), sebagian disertai dengan maf‟ul bih
(objek) dan sebagian lain tanpa menyebutkannya. Ayat-ayat yang disertai
pernyataan objeknya antara lain:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata
orang-orang yang sabar.”
(Q.s. al-Tahrîm [66]: 9)
Setelah memaparkan tentang keindahan surga bagi orang-orang beriman,
baik laki-laki maupun perempuan (mu‟minîn wa mu‟minât) pada ayat sebelumnya,
maka pada ayat ini Allah SWT menerangkan cara agar dapat mencapai surga
tersebut. Caranya adalah dengan berjihad melawan orang-orang kafir dan munfik
yang tidak mau menerima Islam sebagai akidah serta mengusik umatnya. Dalam
ayat ini, Allah SWT menganjurkan agar umat Islam yang ada pada masa
rasulullah untuk berjihad bersama beliau melawan kekuatan orang-orang kafir dan
kelicikan orang-orang munafik. Jika umat Islam pada saat itu bertahan dengan
kesabarannya dalam berjihad melawan musuh yang mereka hadapi (Kafir dan
41
Abdullah Yusuf Ali, Qur‟an Terjemah dan Tafsirnya, h. 470.
35
Munafik),42
maka itu adalah modal awal bagi mereka untuk menggapai surga
yang berisakan segala keindahan.
Ulama berbeda pendapat tentang berjihad melawan orang kafir dan
munafik yang diperintahkan ayat ini. Ada yang memahami dalam arti
“berperanglah melawan orang-orang kafir dan beradu argumen dengan orang-
orang munafik”. Ada juga ulama yang memahami perintah jihad terhadap orang
munafik dengan tangan atau lidah, atau paling rendahnya menampakkan raut
muka keruh terhadap mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad terhadap
orang-orang munafik adalah dengan menegakkan sanksi hukum atas dosa dan
pelanggaran mereka. Menurut M. Quraish Syihab semua hal di atas (pendapat
para ulama seputar jihad terhadap orang munafik) dapat ditampung oleh perintah
berjihad, sebab itulah beliau dalam mengartikan kata ”انمنافمن yaitu ”جاىذ انكفاس
berjihadlah dengan berbagai cara yang sesuai, melawan orang kafir dan
munafik.43
Seluruh amal yang akan dikerjakan tentunya tidak luput dan penting
memperhatikan sarana yang harus dipergunakan. Tidak terkecuali dalam hal
ibadah kepada Allah SWT, seorang hamba harus mempersiapkan sarana-sarana
yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu ibadah tertentu. Sebagian ayat jihad
menyebutkan sarana yang dimaksud untuk melaksanakan jihad dan sebagian
42
Di dalam kitab tafsirnya, syeikh Mutawalli Sya‟rawi mengatakan bahwa kaum Kafir
dan Munafik dijadikan objek sasaran jihad karena dianggap dapat menghambat dakwah kebaikan
karena mereka para pembela kemungkaran. Munafik merupakan musuh yang sulit dari pada kaum
Kafir, karena sulitnya untuk mendeteksi orang-orang demikian. Lihat: Syeikh Muhammad
Mutawalli Sya‟rawi, TAFSIR SYA”RAWI, terj. H. Zainal Arifin, et.al., (Medan: Duta Azhar,
2006), cet. 1, h. 710-716. 43
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, h. 618-
619.
36
lainnya tanpa menyebutkannya. Ayat jihad yang menyebutkan sarana yang
digunakan dalam berjihad antara lain firman Allah sebagai berikut:
"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)
yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan
Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang
yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas
orang yang duduk dengan pahala yang besar."
(Q.s. al-Nisâ [4]: 95)
Dan di dalam firman-Nya yang lain:
"Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?. (yaitu)
Kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui."
(Q.s. ash-Shaff [61]: 10-11)
Di dalam kedua ayat di atas jelas di sebutkan sarana yang dipergunakan
untuk berjihad, yakni harta benda dan diri atau nyawa. Pengertian harta benda
mencakup segala sesuatu yang dimiliki manusia yang tidak melekat pada dirinya.
37
Sedangkan diri atau nyawa adalah meliputi segala sesuatu yang melekat pada diri
seseorang berupa tenaga, ilmu, pemikiran, dan lainnya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan:
Ketika Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bermuzakarah bersama para
sahabat beliau, tiba-tiba di antara para sahabat ada yang berkata,
“Sekiranya kami mengetahui amal yang lebih dicintai Allah, pasti kami
akan mengerjakannya.”Kemudian Rasulullah membacakan ayat yang
terdapat dalam surat ash-Shaf dari awal hingga akhir surat. Dalam riwayat
yang lain disebutkan bahwa ketika turun ayat “ ا أيا انزن آمنا ىم أدنكم
Hai orang-orang yang beriman, sukakah) عه تجاسج تنجكم من عزاب أنم
kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari
azab yang pedih?)”, kaum Muslimin berkata, “sekiranya kami tahu apa
yang dimaksud dengan tijârah (perniagaan) itu, pasti kami akan ikut serta
memberikan harta benda dan ahli family.”, maka Allah SWT menurunkan
ayat selanjutnya (Q.s. al-Shaff [61]: 11) yang menjelaskan bahwa tijârah
itu adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-
Nya.44
Sedangkan Ayat-ayat jihad yang tidak menyebutkan sarananya antara lain
sebagai berikut:
"Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang
berhijrah sesudah menderita cobaan, Kemudian mereka berjihad dan
sabar; Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Q.s. al-Nahl [16]: 110)
44
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa‟id bin Jubair,
selengkapnya baca: K.H.Q. Shaleh, et.al., ASBÂBUN NUZÛL (Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat Al-Quran), h. 569-571.
38
"Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu
adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
(Q.s. al-Ankabût [29]: 6)
"Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan
bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan
itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali."
(Q.s. al-Tahrîm [66]: 9)
Dibandingkan dengan ayat-ayat jihad yang menyebutkan sarananya, ayat-
ayat jihad yang tidak menyebutkan sarananya memberikan sinyalemen untuk para
pelaku jihad agar menggunakan sarana apapun dalam berjihad sesuai dengan
kebutuhan, sejauh tidak bertentangan dengan norma-norma agama. Artinya,
mengamalkan jihad dalam konteks yang seluas-luasnya tidak semerta-merta
melalui pertempuran dan menghadapi orang-orang kafir tidak selalu harus
menggunakan pedang terhunus.
a) Berjihad Melawan Orang-orang Kafir dengan Menggunakan Argumen
(Hujjah) dan Peperangan
"Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar."
(Q.s. al-Furqân [25]: 52)
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT menerangkan bahwa seandainya Dia
mau mengutus ke setiap negri seorang utusan untuk memperingatkan mereka dari
39
kelalaian serta kezaliman. Namun Dia hanya mengutus satu orang utusan saja
untuk menyebarkan risalah-Nya, seorang Nabi dengan yang ukuran pribadi dan
ajarannya bukan hanya untuk satu negri saja tetapi untuk seluruh dunia. Allah
SWT menentukan bahwa tidak perlu lagi untuk setiap negri diutus seorang rasul
karena ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW dapat meliputi seluruh ragam
umat di seluruh dunia.
Maka diturunkanlah ayat 52 surat al-Furqân sebagai dorongan bagi Nabi
Muhammad SAW agar tidak tunduk terhadap orang-orang yang ingin
menghalangi penyebaran agama Islam. “Maka janganlah kamu mengikuti orang-
orang kafir…”, maksudnya adalah bahwa Nabi Muhammad jangan sampai
menyerah dengan menghentikan dakwah beliau hanya karena siksaan dari orang-
orang kafir. “Teruskan jihad dan dakwah ini dengan menggunakan Al-Quran,
“…dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang
besar.”. Al-Quran merupakan wahyu tuhan untuk seluruh umat manusia di muka
bumi ini, dan misi Nabi adalah berjuang menyebarkan Al-Quran selama hayatnya
masih dikandung badan, hingga kebenarannya dapat diterima umat manusia di
seluruh penjuru negri.45
Surat al-Furqân ayat 51-52 ini merupakan apresiasi dan sebuah
kehormatan yang diberikan kepada Muhammad karena telah diberikan amanah
untuk menyebarkan risalah bagi seluruh umat di muka bumi ini hingga hari
kiamat. Seolah Allah SWT berkata, “Kami telah memilih/mengkhususkanmu
Muhammad dengan keumuman risalah kepada sekalian umat manusia, sebagai
45
Prof. Dr. Hamka, TAFSIR AZHAR, (Jakarta: PT PUSTAKA PANJIMAS, 1982), juz 14,
h.30.
40
penghormatan terhadap dirimu dan ketinggian kedudukanmu. Oleh sebab itu,
terimalah dengan kesungguhan dan kekuatan penuh dalam menyampaikan risalah,
dan janganlah mengikuti orang-orang kafir”.46
Sebagai balasan terhadap apresiasi
Allah ini, Nabi diharapkan tidak mudah menyerah terhadap serangan orang-orang
kafir Quraisy dan tetap menyampaikan al-Quran sembari berjihad dengannya.
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar
bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”
(Q.s. al-Baqarah [2]: 190-191)
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah berjihad melawan orang-orang
kafir melalui perang, yang mana perang tersebut harus dilaksanakan dalam
kerangka difensif bukan opensif. Perang dalam konteks ayat di atas diperkenankan
sejauh untuk mempertahankan dan melindungi jiwa dari serangan musuh. Dalam
ayat ini juga terjawab sikap yang harus ditunjukkan terhadap musuh apabila
mereka memperlihatkan ancaman, artinya sikap tegas harus ditunjukkan kepada
46
Syaikh al-Syanqithi, Adhwa‟ul Bayan, Terj. Ahmad Affandi, (Jakarta: PUSTAKA
AZZAM, 2010), cet. 1, h. 276.
41
orang-orang kafir meskipun harus melalui peperang (walaupun perang identik
dengan kekerasan) demi menjaga kehormatan agama. Adapun sebagai batasannya
adalah bahwa umat Islam di dalam berperang tidak boleh berlebihan, artinya ayat
ini melarang membunuh perempuan, anak-anak, orang tua renta, dan para
pendeta.47
Adapun sebab turun ayat ini terkait dengan perjanjian Hudaibiyyah,
Rasulullah SAW beserta sahabatnya berekonsiliasi dengan orang-orang musyrik
untuk kembali ke Masjid Haram pada musim haji tahun depan. Pada tahun
berikutnya ketika rasul dan para sahabat beliau hendak kembali lagi ke Masjid
Haram beliau khawatir tidak bisa memasukinya. Kemudian Allah SWT
menurunkan ayat di atas.48
Dalam ayat ini ada satu hal yang perlu mendapat
perhatian, bahwa perang harus dilakukan di jalan Allah (fî sabîlillâh). Perang akan
terjadi jika ada bingkai yang melatar-belakangi dan menjadi tujuan dari perang
tersebut adalah mempertahankan diri dari serangan musuh.
b) Jihad Melawan Hawa Nafsu dan Setan
Tingkatan pertama dari jihad yang disebutkan Ibn al-Qayyim dan ulama
lainnya adalah jihad melawan hawa nafsu atau diri (jihâd al-nafs). Maksudnya
adalah mencurahkan segenap usaha dan kemampuan untuk berkomitmen terhadap
aturan Allah dan meniti jalan-Nya yang lurus. Hal ini mencakup ketaatan dan
peribadahan kepada Allah SWT, menjauhi maksiat, dengan melaksanakan
47
Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad al-Zmakhsyari, Tafsir al-
Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah), jilid 1, h. 233. 48
Abu Hasan al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl, (Kairo: Dar al-Hadits, 1998), h. 49-50.
42
kewajiban terhadap Tuhan, diri, umat, semua manusia, alam, serta semua
makhluk.
Jihad spiritual, yaitu jihad yang medan perjuangannya adalah nafsu,
insting, dan tendensi. Inilah sebagaimana yang diterangkan rasulullah SAW dalam
hadisnya, dari Fadahalah bin „Ubaid:
تن إسحاق ، لال أنثأنا : أنثأنا عثذ اهلل ، عن اتن انمثاسن ، لال : حذثنا عه
ح ، لال ج تن شش ، أنو سمع عمش تن مانه : ح الن أخثشن أت ىانئ انخ
، مل ذ ، مل : انجنث سمعت سسل اهلل صه انهو : سمعت فضانح تن عث
سهم مل و جم: عه .انمجاىذ من جاىذ نفسو ف سثم اهلل عز
Dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: al-Mujâhidu adalah orang yang berjihad melawan dirinya
(nafsunya) di jalan Allah „Azza wa Jalla.”49
(H.R. Ahmad)
Hal senada diungkapkan pula dalam firman Allah SWT di dalam surat al-
Ankabût ayat 69, yang berbunyi sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-
benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.”
(Q.s. al- Ankabût [29]: 69)
Imam al-Thabari menyebutkan bahwa ayat sebelumnya mengindikasikan
tempat kembali bagi orang-orang kafir adalah neraka. Pada ayat ini Allah SWT
menyebutkan bahwa mereka yang mendustakan atas Allah dengan sebenar-benar
dusta, dari kaum Quraisy, akan diperangi oleh orang-orang yang mengharapkan
49
Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal,
(Beirut: „Âlimul Kutub, 1449 H./1998 M.), cet. 1, juz 6, h. 22. Selain imam Ahmad, hadis ini juga
di riwayatkan oleh ima Tirmidzi dan Ibn Hibban.
43
tegaknya kalimat Allah dan menolong agama Allah. Terhadap orang-orang
tersebut (Islam) Allah akan menunjukkan jalan yang lurus ( نيم سثهناننيذ ).
Sedangkan imam Alusi menjelaskan di dalam tafsirnya, di antara manusia orang
yang dari awal berjihad (جاىذا) dengan menginginkan jihad yang kekal Kami
akan menunjukkan mereka (نيم maknanya adalah orang-orang yang berjihad ,(ننيذ
dengan istiqmahnya iman sungguh Allah akan menunjukkan jalannya yang lurus
menuju syurga.50
Dan Allah akan bersama orang-orang yang berbuat baik ( إن انهو نمع
artinya Allah akan menolong hambanya yang berjihad, baik jihad ,(انمحسنن
dalam arti makna dan lapaz. Arti jihad dari lafaz dalam ayat ini yaitu berperang
mempertahankan agama Allah, sedangkan dari aspek maknanya mengandung
pengertian orang-orang yang membersihkan hati dari segala bentuk dosa, dan
Allah akan menunjukkannya jalan yang lurus menuju surga dengan pertolongan-
Nya.
Yusuf Qardhawi mendiskretkan godaan setan terhadap manusia pada dua
jalan, yaitu melalui jalan penghiasan (tazyîn) dan jalan penyesatan (ighwâ).
Makna tazyîn yang digunakan setan adalah dengan jalan memperindah suatu
kejelekan dan keburukan sehingga terlihat baik, lalu menutupi kebenaran dengan
kebatilan-kebatilan sehingga berbagai urusan menjadi membingungkan. Adapun
jalan penyesatan (ighwâ) yaitu sebagaimana rayuan setan terhadap Adam agar
mau memakan buah dari pohon terlarang, hal tersebut terrekam dalam Al-Quran
50
Syihabuddin Mahmûd ibn Abdullah al-Alusi, Rûhul Ma‟âni fi Tafsîril Qur‟an al-„Azîm,
(Mawqi‟ al-Tafâsîr, t.th), juz 15, h. 318.
44
(Q.s. al-A‟râf [7]: 21 dan Q.s. Thâ Hâ [20]: 120). Hal tersebut terus berlangsung
hingga menjatuhkan adam kepada kesesatan. Bujukan setan telah merusaknya
dengan memamfaatkan faktor kelemahan dan kealfaan manusiawinya.
Al-Quran memberikan kita senjata untuk memerangi musuh yang abstrak
ini, dinataranya dengan:
1. Memohon perlindungan (isti‟âdzah) kepada Allah dari kejahatan setan, Allah
SWT berfirman:
“Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku Aku berlindung kepada Engkau dari
bisikan-bisikan syaitan.”
(Q.s. al-Mu‟minûn [23]: 97)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan makna “Aku berlindung
kepada Allah” adalah “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari godaan
setan yang terkutuk agar tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan
dunia, atau menghalangi untuk mengerjakan apa yang telah Allah perintahkan”.
Allah memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari setan jenis
jin, karena ia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi kebaikan.51
2. Mengingat Allah (dzikrullâh), karena ia (setan) adalah makhluk yang
tabiatnya sering bersembunyi (khannâs) dan penakut.
3. Merancang permusuhan dengan setan, karena memang ia adalah musuh yang
nyata bagi umat manusia (lihat: Q.s. al-Baqarah [2]: 208)
51
Abu al-Fadâ‟ Isma‟il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟â al-„Azîm, (Dar Thaibah,
1420 H./1999 M.), juz 1, h. 5.
45
4. Mewaspadai intrik dan tipu-daya setan yang banyak sekali. Sebagiannya ada
yang tampak, seperti minuman keras, judi, dan wanita.
C. Tujuan Diperintahkannya Jihad
Tegaknya kalimat tauhid membutuhkan lahan yang subur bagi
persemaiannya, serta membutuhkan pupuk untuk menumbuh-suburkan dalam
pemeliharaan orang-orang yang beriman. Di samping itu, kalimat tauhid yang
Allah mandatkan kepada rasulullah SAW menghajatkan pribadi-pribadi yang
kokoh serta kuat dan senantiasa siap menghalau segala rintangan yang
menghadang. Agar kalimat Allah tercermin dalam segala kebajikan yang
senantiasa diupayakan untuk dapat terwujud dalam segala aspek kehidupan di
dunia.
Seluruh kewajiban yang ada di dalam agama Islam memiliki hikmah dan
kemaslahatan yang tidak akan kembali kepada Allah, karena Allah Maha Kaya
atas semesta alam. Hikmah dan kemaslahatan tersebut hanya akan kembali kepada
manusia. Di dalam Islam tidak hanya cukup memerintahkan seorang hamba untuk
menyembah Allah dalam bentuk shalat, shaum, dan tasbîh pada waktu petang dan
pagi. Islam pun tidak cukup memerintahkan umat untuk menyembah Allah
dengan cara mengeluarkan sebagian hanrtanya dalam bentuk zakat yang berfungsi
sebagai penyucian dan bantuan bagi orang-orang lemah. Islam pun tidak cukup
untuk memerintahkan seorang Muslim untuk menyembah Allah dengan cara pergi
haji ke Ka‟bah.
Hal tersebut di atas tidak cukup dilakukan oleh seorang Muslim selama
dunia penuh dengan kebatilan, kerusakan, serta orang-orang yang menentang
46
kebaikan. Umat Muslim bukanlah umat yang menerima apa-adanya kebatilan dan
kezaliman sementara ia hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan tindakan
pencegahan. Ibadah yang dilakukan seorang Muslim harus menjadi modal untuk
melawan segala bentuk keburukan, sebagaimana ibadah zakat sebagai saham
dalam melakukan kebaikan dan hidup di akhirat. Inilah yang disebut jihad di jalan
Allah, yaitu mencurhkan kemampuan dengan jiwa, harta, akal, dan lisan untuk
membela kebenaran. Ibadah tersebut bukan ibadah ritual (sya‟â‟îriyyah) seperti
shalat dan haji, melaikan ibadah yang dilakukan dengan niat dan tujuan serta
mengandung nilai muamalah.52
Seorang Muslim diperintahkan untuk melakukan kewajiban jihad sama
seperti ia diperintahkan untuk shalat, shaum, dan zakat. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-
Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.s. al-Mâ‟idah [5]: 35)
Dan firman Allah
52
Yusuf Qrdhawi, FIQIH JIHAD, h. 6.
47
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-
orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka
dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.”
(Q.s. al-Hajj [22]: 77-78)
Allah SWT menjadikan jihad sebagai barometer dan bukti keimanan yang
nyata, serta untuk mengingkari kaum yang mengaku beriman tetapi enggan
melakukan pengorbanan dan jihad. firman Allah SWT yang menggambarkan
realitas tersebut tertera di dalam Al-Quran,53
kemudian Allah menjelaskan bahwa
mereka bukan kaum Mukmin yang sejati serta menjelaskan bahwa orientasi jihad
adalah sebagai sebuah manifestasi keimanan seseorang, bukan hanya iman itu
sekedar ucapan yang keluar dari mulut, melalui firman-Nya:
53
QS. al-Hujurât ayat 14 yang berbunyi: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami
Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk',
Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”. baca: DEPERTEMAN AGAMA RI, AL-QURAN DAN
TERJEMAHANNYA, (Bandung: Diponegoro, 1995), h. 413.
48
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.”
(Q.s. al-Hujurât [49]: 15)
Seorang Muslim adalah pemilik risalah-komprehensif, risalah tersebut
tidak layak diemban orang-orang negatif dan mengisolasi diri. Risalah ini hanya
layak diemban oleh orang-orang positif dan mujahid. Risalah tersebut adalah
risalah yang memiliki tujuan agar kebenaran dan keadilan menjadi kendali serta
petunjuk kepada kebaikan dan istiqamah ada di mana-mana sehingga kalimat
Allah menjadi yang paling tinggi di bumi-Nya. Risalah Islam ini datang untuk
melawan kelemahan di dalam hati, kekeliruan di dalam berfikir, penyimpangan di
dalam perilaku, kezaliman di dalam kehidupan sosial, penindasan di dalam
kehidupan bernegara, dan kezaliman antar manusia.
Allah SWT menjadikan kehidupan di alam semesta ini dalam bentuk
berpasang-pasangan. Ada kebaikan yang bersandingan dengan kejahatan serta
kenikmatan dan rasa sakit, manusia memiliki akal dan insting serta sehat dan
sakit. Dunia diiringi oleh cahaya dan kegelapan serta malam dan siang, dalam
dunia materi ada cahaya dan kegelapan sedangkan di dunia gaib ada malaikat dan
setan. Manusia pun memiliki potensi kebaikan dan kuburukan, jiwa kebaikan
manusia diberikan oleh malaikat dan jiwa keburukan manusia dibisikan oleh
setan. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatu apapun yang
tersembunyi dari-Nya, baik di langit maupun di bumi.
Dari berbagai ayat-ayat yang berbicara masalah jihad sebagaimana yang
telah dipaparkan sebelumnya tampak empat unsur pokok jihad, di mana antara
yang satu dan yang lainnya saling berkaitan dengan tambahan satu unsur sebagai
unsur kelima di luar sistem. Keempat unsur pertama adalah pelaku, tujuan sarana
49
dan objek. Unsur kelima yang terdapat di luar sistem tidak lain adalah pihak yang
member tugas jihad, yaitu Allah SWT.
Berdasarkan uraian terhadap ayat-ayat jihad yang terdahulu , pihak yang
diseru untuk mengemban tugas jihad yaitu Rasulullah dan orang-orang beriman
sebagai pelaku jihad (lihat di dalam Q.s. al-Nisâ [4]: 76). Unsur yang kedua
adalah sarana jihad yang mencakup jiwa raga dan harta benda, hal itu meliputi
segala sarana fisik dan non-fisik. Lisan dan pena termasuk di antara sarana-sarana
yang dapat dipergunakan untuk berjihad, dengan kata lain dalam seluruh aspek
kehidupan dapat dijumpai sarana-sarana yang bisa dipergunakan untuk berjihad.
Kemudian unsur selanjutnya adalah tujuan jihad, yaitu esensi tegaknya agama
Islam di muka bumi ini serta untuk menguji keabsahan iman seorang hamba.
Unsur yang keempat yaitu objek jihad, kita sudah mengetahui bahwa
wawasan tentang jihad bukanlah sekedar wacana tetang perang dan kekerasan
melaikan usaha sungguh-sungguh dalam menyebarkan dan menjaga agama Islam
yang bersifat universal. Umat Islam bukan hanya rentan terhadap serangan orang-
orang kafir, namun mereka juga rentan terhadap serangan dari problem-problem
sosial kehidupan seperti kemiskinan, kobodohan, dan juga hawa nafsu individu
umat Islam itu sendiri. Dan unsur yang terakhir yaitu Allah SWT yang menjadi
tolak ukur jihadnya umat Islam menjadi bernilai, sebab jihad merupakan media
bagi seorang hamba untuk mendapat keridhaan Allah.
50
BAB IV
PENAFSIRAN JIHAD DARI MASA KE MASA
A. Sejarah Singkat Perjalanan Tafsir
Tafsir54
memiliki sejarah yang panjang, berlangsung melalui berbagai
tahapan dan kurun waktu sehingga mencapai bentuknya seperti yang terlihat pada
saat sekarang. Sejarah tafsir telah dimulai sejak dini, yaitu sejak zaman Rasulullah
SAW sebagai orang pertama yang bertugas mengurai maksud-maksud dalam
wahyu-wahyu Allah dan dan menyampaikannya kepada umat. Upaya menelusuri
sejarah penafsiran Al-Quran yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap
penjuru dunia Islam itu tentu saja bukan perkara mudah, apalagi untuk
menguraikannya secara panjang lebar dan detil. Atas dasar itu, skripsi ini tidak
akan menguraikan sejarah penafsiran Al-Quran dengan uraian panjang-lebar, luas,
mendalam, dan kongkrit.
Drs. Ahmad Izzan dengan mengutip pendapat sebagian ahli tafsir mebagi
periodesasi penafsiran Al-Quran kedalam tiga fase: periode mutaqaddimîn (abad
1-4 Hijrah), periode muta‟akhkhirîn (abad 4-12 Hijrah), dan periode modern (12-
sekarang). Periode mutaqaddimîn meliputi masa Nabi Muhammad SAW, sahabat,
tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟în. Sepeninggal Nabi penafsiran ayat Al-Quran dilakukan
oleh para sahabat. Dari kalangan sahabat tercatat beberapa ahli tafsir, di
54
Secara bahasa (etimologis), tafsir berarti menjelaskan (al-îdhah), menerangkan (al-
tibyân), menampakkan (al-izhâr), menyibak (al-kasyf), dan merinci (al-tafshîl). Kata tafsir
terambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibânah dan al-kasyf yang keduanya berarti membuka
(sesuatu) yang tertutup (kasyf al-mughaththâ). Secara isltilah, tafsir adalah rangkaian penjelasan
dari pembicaraan atau teks Al-Quran, atau tafsir juga dapat difahami sebagai penjelasan lebih
lanjut terhadap ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan oleh seorang ulama tafsir. Orang yang
menafsirkan al-Quran disebut mufassir (jamaknya adalah mufassirûn atau mufassirîn), dengan
persyaratan khusus, baik bersifat fisik dan psikis maupun diniyyah (keagamaan), terutama syarat-
syarat yang bersifat akademik. Untuk ulasan yang lebih jelas dan spesifik baca: H. Ahmad Izzan,
Metodelogi Ilmu Tafsir, (Jakarta: Tafakur, 2011), cet. 3, h. 4 dan 27.
51
antaranya: al-khulafa al-râsyidîn (13 H/ 634 M-40 H/ 661 M), Ibnu Mas‟ud (w.
32 H/ 652 M), Zaid bin Tsabit (w. 45 H/ 665 M), Ubay bin Ka‟ab (w. 20 H/ 692
M), Abu Musa al-Asy‟ari (w. 44 H/ 664 M), Abdullah bin Zubair (w. 73 H/ 692
M), dan Abdullah bin Abbas (68 H/ 687 M). Tidak dapat dipungkiri bahwa para
sahabat Nabi Muhammad SAW memiliki peran penting dalam pengembangan
tafsir Al-Quran.55
Selanjutnya langkah mulia para sahabat (menafsirkan ayat Al-Quran)
diikuti oleh generasi berikutnya. Tegasnya, penafsiran dari para sahabat diterima
baik oleh generasi tabi‟în di berbagai daerah Islam. Generasi tabi‟în
menyampaikan ilmu tafsir yang mereka peroleh dari para sahabat ke generasi
selanjutnya (tabi‟ al-tabi‟în). Pada generasi ketiga inilah pentadwinan atau
pembukuan tafsir dimulai. Akan tetapi, tafsir-tafsir karya ulama generasi sahabat
hingga tabi‟ al-tabi‟în tidak dapat kita jumpai pada masa sekarang, yang ada
hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana termuat
dalam kitab-kitab tafsir bil ma‟tsur.
Perluasan wilayah agama dan pergaulan umat Islam dengan dunia luar
turut mempengaruhi kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
pada masa selanjutnya. Peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin mengalami
kemajuan, termasuk tafsir. Dalam upaya menafsirkan Al-Quran, para ahli tafsir
merasa tidak cukup hanya dengan mengutip riwayat-riwayat dari para sahabat
nabi, tabi‟în, dan tabi‟ al-tabi‟în sebagaimana yang dilakukan selama ini, tetapi
55
H. Ahmad Izzan, Metodelogi Ilmu Tafsir, h. 18.
52
mereka mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran berdasarkan pendekatan ilmu
bahasa dan penalaran ilmiah.
Dalam kalimat lain, tafsir Al-Quran pada periode ini (muta‟akhkhirîn)
tidak hanya berpedoman degan metode tafir bi ma‟tsur sebagaimana yang
dilakukan selama ini, tetapi juga berupaya keras mengembangkan tafsir bil al-
dirâyah dengan segala macam implikasinya. Karena itu, tafsir Al-Quran
mengalami perkembangan sedemikian rupa dengan fokus-perhatian pada
pembahasan aspek-aspek tertentu sesuai dengan tendensi dan kecenderungan
kelompok ulama tafsir itu sendiri.
Ulama tafsir yang hidup pada periode ini di antaranya: imam al-
Zamkhsyari (467-538 H/ 1074-1143 M) dengan karyanya al-Kasysyaf yang
menafsirkan Al-Quran menggunakan pendekatan bahasa (keindahan bahasa/
balaghah). al-Qurthubi (w. 671 H/ 1272 M) dengan karyanya al-Jami‟ li Ahkâm
al-Qur‟an yang fokus terhadap penafsiran ayat-ayat hukum. Ibn al-„Arabi (w. 638
H/ 1240 M) dengan karyanya Ahkâm al-Qur‟an. Masih banyak ulama tafsir
dengan karya-karyanya yang lahir pada periode mutakhkhirîn, dan dengan
pendekatan yang berbeda-beda dalam menafsirkan Al-Quran.
Periode selanjutnya dari perjalanan tafsir adalah yaitu periode modern
yang dimulai dari akhir abad Sembilan belas hingga kini (sekitar tahun 1830-an).
Pada periode ini munculnya tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti Sayyid Ahmad
Khan dengan karyanya Tafhîm Al-Qur‟ân dan Muhammad Abduh dengan karya
tafsir al-Manâr. Keduanya terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk
53
penafsiran para ulama terdahulu yang di anggap tidak lagi relevan dengan konteks
zaman modern.56
B. Penafsiran Ayat Jihad dari Periode Mutaqaddimîn Hingga Modern
a) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Mutaqaddimîn (abad 1-4 Hijrah)
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang
bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
(Q.s. al-mâ‟idah [5]: 54)
Menurut sejarah, setelah Rasulullah SAW wafat sekelompok orang dari
suku Arab Badui murtad dan menolak mengeluarkan zakat, sehingga Abu Bakar
dan para sahabatnya memerangi mereka sampai mereka kembali kepangkuan
Islam dan memperbaharui keislamannya. Mereka inilah (Abu Bakar dan para
sahabatnya) yang disebutkan ciri-cirinya oleh Allah SWT dalam ayat ini sebagai
orang-orang yang mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka, karena
mereka berjihad (berjuang) di jalan Allah dan tidak pernah gentar terhadap celaan
orang-orang yang mencela.
56
H. Ahmad Izzan, Metodelogi Ilmu Tafsir, h. 20-25.
54
Anas bin Malik berkata: “Para sahabat tidak suka memerangi orang-orang
yang enggan membayar zakat…, maka Abu Bakar menyandang pedangnya…”
Ibnu Mas‟ud berkata: “Mulanya kami tidak suka, kemudian akhirnya kami mau
menyandang pedang (untuk memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan
zakat)”.57
Ayat ini menggambarkan dan mengajarkan para sahabat agar tetap
teguh dalam menjaga kemurnian dan keorisinilan syariat Islam, terrealisasikan
dalam usaha mereka memerangi orang-orang yang murtad sepeninggal Nabi SAW
serta mereka yang tidak mau membayar zakat dan tidak mau menjalan syariat
Islam.
Sikap tegas para sahabat kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang
digambarkan oleh Ibnu Mas‟ud di atas, bukan berarti memaksa mereka untuk
tidak memegang kepercayaannya. Namun, sikap tegas para sahabat ini diarahkan
pada musuh dan upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan umat Islam.
Inilah yang mengobarkan semangat jihad di dalam diri para sahabat nabi yang
besikap tegas, kuat pendirian, dan tidak bertoleransi dalam hal-hal yang prinsipil
terhadap orang-orang kafir.
Jihad merupakan sarana dalam mempertahankan agama dan kemurnian
syariat Islam, karena sesungguhnya Islam bukan sebuah agama yang terikat
dengan ruang dan waktu. Nabi Muhammad diutus bagi seluruh umat bumi,
berbeda halnya dengan dengan nabi-nabi sebelum beliau yang diutus hanya untuk
suatu kaum dan bersifat temporer. Maka Allah SWT menurunkan ayat yang
terdapat di dalam surat al-Furqân ayat 52, demikianlah ditafsirkan oleh Ibnu
57
Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas‟ud, terj. Ali Murtadho Syahudi, (Jakarta:
PUSTAKA AZZAM, 2009), cet. 1, h.471.
55
Abbas.58
Dari penafsiran Ibnu Abbas dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas
Rasulullah adalah untuk menyebarkan Islam hingga seluruh umat yang berada di
seluruh pelosok bumi dapat merasakannya, langkah awal beliau adalah mendidik
sahabatnya untuk mengerti Islam, mempersiapkan mental mereka, dan
mewariskan semangat untuk tetap membela serta meneruskan dakwah Islam ke
seluruh penjuru bumi.
b) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Muta’akhkhirîn (abad 4-12 Hijrah)
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka
dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.
(Q.s. al-Hajj [22]: 78)
Al-Thabari di dalam tafsirnya berkomentar mengenai masalah jihad yang
terdapat di dalam ayat di atas, menurut beliau terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ahli ta‟wil menganai ta‟wil dari ayat (جاىذا ف انهو حك جياده ), sebagian
mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dari potongan ayat di atas adalah
58
Muhammad Nasib al-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Drs. Syihabuddin,
(Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2001), cet. 3, h. 556.
56
seruan untuk berjihad melawan orang-orang musrik pada jalan Allah dengan
sebenar-benarnya jihad. berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Katsir memberikan
penjelasan mengenai ayat yang berbunyi جاىذا ف انهو حك جياده memiliki arti
berjihad menggunakan harta, lidah, dan diri kamu. Bunyi ayat ini identik dengan
bunyi ayat اتما انهو حك تماتو (Q.s. Ali Imran [3]: 102).59
Sedangkan mengenai jihad yang terdapat di dalam surat al-Baqarah
imam al-Thabari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ,(جاىذا ف سثم انهو)
wa jâhidû di dalam ayat tersebut bermakna berperanglah (wa qâtilû wa hâribû).
Dan adapun fî sabîlillâh adalah jalan atau agama Allah, jadi yang dimaksud oleh
ayat جاىذا ف سثم انهو انزن ىاجشا adalah orang-orang yang berpaling atau
menjauh dari pemerintahan umat yang syirik adalah hijrah bagi mereka.
Kemudian memerangi orang-orang musyrik agar mereka masuk Islam dan
berharap mendapatkan rihda Allah dan memasukkan mereka ke dalam surganya
Allah dengan keutamaan rahmat-Nya.60
Imam al-Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat diatas (Q.s. al-Hajj [22]:
78) mengatakan bahwa ayat tersebut tidak hanya sekedar menjelaskan perintah
perang saja. Perintah jihad dalam ayat ini berarti memadukan antara ibadah ritual
dan ibadah sosial, dan ini adalah sebuah dimensi terpenting dalam kehidupan ini.
Imam al-Zamakhsyari melanjutkan, ayat ini merupakan revolusi terbesar dalam
jihad melalui perintah dari Allah SWT. Maksud beliau adalah hendaknya dalam
59
Abu al-Fadâ‟ Isma‟il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur‟â al-„Azîm, (t.tt.: Dar Thaibah,
1420 H./1999 M.), juz 4, h. 455. 60
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ul Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟ân, (t.tt.: Mu‟assasah
al-Risalah, 1420 H./2000 M.), cet. 1, juz 4, h. 318.
57
berjihad jangan hanya bertumpu pada jihad dalam arti perang, melainkan pada
upaya membersihkan jiwa dari nafsu. Perintah jihad hakiki (haqqa jihâdihi) yang
dimaksud dalam ayat ini adalah bukan semata-mata jihad untuk tujuan duniawi,
melainkan jihad degan tujuan melaksanakan perintah-Nya dan mencari ridha-
Nya.61
c) Penafsiran Ayat Jihad oleh Ulama Modern (abad 12 Hijrah)
Sayyid Qutb mengemukakan bahwa di dalam Islam amal yang dimaksud
dengan ibadah tidak hanya sebatas amal-amal yang wajib saja, melainkan segala
gerakan dan aktivitas berfikir yang diniatkan oleh seseorang kepada Allah
termasuk ibadah. Ibadah menghubungkan seorang hamba dengan penciptanya
sehingga kehidupannya berdiri di atas fondasi yang kukuh dan jalur yang
menghubungkan antara mahluk dan Tuhannya. Ibadah dapat membangkitkan
kehidupan yang istiqamah, dan kehidupan jamaah yang berdiri di atas fondasi
iman dan kemurnian ideologi.
Bila umat Islam telah bersiap-siap dengan bekal hubungan dengan Allah
dan kehidupan istiqamah, sehingga hatinya lurus dan kehidupannya juga lurus,
maka pada saat itu mereka dibebankan dengan konsolidasi umum yang berat.
....
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya…”
(Q.s. al-Hajj [22]: 78)
61
Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad al-Zmakhsyari, Tafsir al-
Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah), jilid 3, h. 168. Pendapat demikian juga dutarakan
oleh ima al-Razi, bahwa makna jihad di dalam ayat tersebut sangat beragam maknanya.
58
Ungkapan ini menurut Sayyid Qutb adalah umum, sehingga yang
dimaksud berjihad di dalam ayat ini adalah menghadapi musuh-musuh yang
mengancam keamanan dalam beragama, baik musuh yang datangnya dari luar
(setan, orang kafir, orang munafik, dan orang fasik) diri dan yang datang dari diri
sendiri (hawa nafsu, kebodohan, kemalasan). Karena sesungguhnya Allah telah
menetapkan pilihan-Nya terhadap umat yang istiqimah untuk menangung
tanggung jawab besar.62
Al-Maraghi dalam menjelaskan ayat di atas berkomentar bahwa berjihad
di jalan Allah merupakan ibadah yang utama, dengan catatan niat tulus dan ikhlas
demi mendapatkan keridhaan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang besar
karena dibutuhkan kesabaran yang tinggi terhadap celaan orang-orang yang
mencela dalam menjalankan jihad. Menurut al-Maraghi, dengan mengutip
pendapat al-Raghib, beliau mendefenisikan jihad sebagai aktivitas yang menuntut
pengerahan segala kemampuan dalam mengantisipasi musuh. Selanjutnya al-
Maraghi membagi jihad kepada tiga macam, yaitu:
1. Jihad melawan musuh yang tampak, seperti orang-orang kafir (mereka yang
memberikan ancaman)
2. Jihad melawan setan
3. Jihad melawan hawa nafsu, adapun macam jihad yang terkhir inilah menurut
beliau yang paling berat.63
62
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, terj. As‟ad Yasin, et.al., (Jakarta: GEMA
INSANI, 2004), cet. 1, jilid 8, h. 151. 63
Ahmad Musthafa al-Maraghi, TAFSIR AL-MARAGHI, terj. Drs. Anwar Rasyidi, et.al.,
(Semarang: TOHA PUTRA, 1989), cet. 1, h. 251.
59
Dalam hal ini, harus diakui bahwa istilah jihad sering ditafsirkan dengan
makna perang melawan orang-orang kafir yang dirasa akan mengancam Islam,
akan tetapi peperangan yang dilancarkan kaum Muslimin bukanlah penperangan
melainkan sebuah pertahanan untuk tetap tegaknya agama tauhid ini. Namun,
seiring perjalanan waktu maka penafsiran terhadap ayat-ayat jihad berkembang
melalui pendekatan berbeda yang dipakai oleh para ulama tafsir yang datang
setelahnya. Hal ini disebabkan keluasan makna jihad yang terdapat di dalam ayat-
ayat Al-Quran dan disampaikan dalam berbagai konotasi dan denotasi dalam
rangka menunjukkan adanya distingsi dari segi makna jihad yang terdapat di
dalam setiap ayat.
Keluasan cakupan jihad memberikan peluang terhadap seluruh umat Islam
untuk dapat menjalankannya. Jihad bukan hanya bagi prajurit yang ahli dalam
menggunakan senjata dan memungkinnya untuk menghalangi orang-orang yang
mengusik ketentraman agama Islam. Setiap individual umat Islam yang
melakukan penempahan diri untuk dapat menaklukkan hawa nafsu agar menurut
perintah darinya termasuk ke dalam hamba-hamba yang berjihad. Karena itu,
Allah berpesan agar jihad tidak disalah-gunakan untuk tujuan duniawi dan gengsi
belaka. Jihad tidak boleh dilakukan hanya karena ada harta rampasan (al-
ghanimah) karena jihad merupakan ibadah yang totalitas dari kehidupan, baik di
medan perang maupun di luar medan perang.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hal penting yang harus kita ingat adalah bahwa jihad merupakan suatu
kewajiban yang pasti dan berlaku hingga hari kiamat. Perintah jihad tidak
meneriman naskh (penghapusan), karena tidak ada nasakh setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Setiap hukum Islam yang ditetapkan oleh Al-Quran dan
sunnah, maka relevansinya akan berlaku hingga hari kiamat. Termasuk persoalan
yang disepakati oleh umat Islam adalah bahwa perintah, larangan, dan hukum-
hukum yang ditetapkan Al-Quran tidak memiliki batasan waktu, baik hukum yang
menyangkut ibadah atau muamalah, yang salah satunya adalah ketentuan tentang
jihad. Selain itu, Nabi sendiri mengatakan bahwa tidak ada hijrah setelah
pembebasan kota Makka yang ada hanya jihad dan niat, jika kamu diseru untuk
melakukannya maka bergegaslah (H.R. Bukhari).
Barangkali setiap hukum, cara dan strategi pelaksanaannya berkembang
sesuai dengan konteks-sosial umat Islam, tetapi konsepsi utama mengenai hukum
ini tetap terjaga dan tidak berubah. Adapun konsepsi utama dalam jihad adalah
umat Islam harus senantiasa dalam keadaan disegani, baik dalam bidang militer,
ekonomi, pemikirin, keilmuan. Hal ini dapat terwujud dengan andanya usaha
sungguh-sunggu untuk menciptakan individual Muslim yang tangguh dan terlatih
dalam segala aspek kehidupan agar siap dan mampu melawan musuh-musuh
Islam, mengusir penjajah, menjaga kebebasan dakwah, dan menyelamatkan
orang-orang yang tertindas di muka bumi.
61
Islam tidak memerintahkan umatnya untuk memerangi musuh, selama
mereka tidak memerangi umat Islam. Namun apabila umat Islam merasa terancam
dengan keberadaan musuh, Isalm menganjurkan umatnya untuk mengantisipasi
kemungkinan tersebut jika bukti-bukti yang mengarah kesana sudah jelas terlihat.
Hal ini memberikan sinyalemen bahwa tujuan Islam dan risalahnya adalah
menciptakan perdamaian dalam kehidupan, bukan dengan menghilangkan
semangat jihad dari jiwa kaum Mulim. Jika semangat jihad sudah tidak ada di
dalam jiwa umat Islam, maka akan digantikan oleh penyakit wahn yang
mengakibatkan umat Islam menjadi mangsa empuk bagi musuh-musuhnya.
Di zaman kontemporer seperti sekarang ini kaum Muslim wajib berusaha
membangun kekuatan di berbagai sapek kehidupan, seperti kekuatan ekonomi,
kekuatan militer, dan kekuatan pribadi umat, yang mencakup materi, pemikiran,
keilmuan, keimanan, dan moral. Mempersiapkan umat untuk berjihad adalah
wajib sampai benar-benar siap untuk bertarung dalam mempertahankan keutuhan
agama Islam.
B. Saran-saran
Setelah panjang lebar membahas makna dan penafsiran jihad dari masa ke
masa, dengan merujuk kepada al-Quran, kitab-kitab tafsir, dan hadis Nabi, maka
penulis merumuskan saran-saran bagi para pembaca sebagai berikut:
1. Bagi seluruh lapisan masyarakat hendaknya mengerti atau paham betul setiap
detail dari ajaran Islam umumnya, khususnya menyangkut maslalah jihad
harus dikaji secara menyeluruh agar tidak ada lagi sikap phobia tehadapnya.
62
2. Jihad bukanlah semata-mata mengenai peperang, ia mencakup seluruh aspek
kehidupan, oleh karena itu hendaklah setiap muslim berjihad dengan
keahliannya masing-masing yang mamfaat dapat menjaga keutuhan agama
Islam
3. Hal-hal yang dapat mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan umat
Islam mengenai kajian seputar jihad hendaknya dihindari, diupayakan mencari
titik temunya.
4. Dan bagi para pembaca, penulis menyarankan agar memberi kritik, saran dan
masukan yang sifatnya membangun bagi penulis. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penulisan maupun
materi. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
khasanah ilmu pengetahuan ke-Islaman pada umumnya, dan khususnya bagi
diri penulis sendiri. Alhamdulillâhirabbil „âlamîn, akhirul kalâm wassalâmu
„alaikum wa rahmatullâhi wa barakatuhu.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah Yusuf, Qur‟an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Ali Audah, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993)
al-Atsqalani, Ahmad Ibn „Ali bin Hajar, Fathil Bari (Beirut: Dar al-Balaghah,
1985)
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis
Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, al-Mu‟jam al-Mufahras li Al-Fâzh Al-Quran Al-
Karim, (Beirut: Darul Fikr, 1407H )
al-Buthy, Muhammad Sa‟id Ramadhan, Menjadi Mujahid Sejati, terj. Saiful Hadi,
S.Ag., (Jakarta: PT. INTIMEDIA CIPTANUSANTARA, t.t.)
Chirzin, Drs. Muhammad, M. Ag, Jihad di Dalam Al-Qur‟an; Telaah Normatif,
Historis, dan Prospektif, (Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 1997)
Dahlan, M.D., et.al., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-
ayat Al-Quran, , (Bandung: CV Diponegoro, 1975)
al-Dzahabi, Dr. Muhammad Husain, al-Tafsîr wal Mufassirûn, (T.tp.: T.pn., 1396
H./ 1976 M.)
al-Hafidz, Drs. Ahsin W., Kamus Ilmu AL-QUR‟AN, (Jakarta: AMZAH, 2006)
Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas‟ud, terj. Ali Murtadho Syahudi,
(Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009)
Johnson, James Turner, Ide Perang Suci Dalam Tradisi Islam dan Barat, terj. Ali
Noor Zaman, (Yogyakarta: QALAM, 2002)
Katsir, Abu al-Fadâ‟ Isma‟il bin Umar bin, Tafsîr al-Qur‟â al-„Azîm, (T.tp.: Dar
Thaibah, 1420 H./1999 M.)
Khan, Majid Ali, Muhammad Saw Rasul Terakhir, Terj. Fathul Umam (Bandung:
Pustaka, 1985)
64
Lewis, Bernard, Krisis Islam; Antara Jihad dan Teror yang Keji, Terj. Ahmad
Lukman, (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004)
Mahmud, Ali Abdul Halim, Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan Al-
Bana; RUKUN JIHAD, Penerj. Khozin Abu Faqih, dkk., (Jakarta: Al-
I‟tishom Cahaya Umat, 2001)
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, TAFSIR AL-MARAGHI, terj. Drs. Anwar Rasyidi,
et.al., (Semarang: TOHA PUTRA, 1989)
al-Mandzur, Imam al-Allamah abi al-Fdhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim
Ibn, Lisan Al-„Arab al-Muhith, (T.tp.: Dar Lisan al-„Arab, t.t.)
Mutthaharhi, Murtadha, Jihad, terj. M. Hasem (Bandar Lampung: Yapi, 1987)
Nasr, Seyyed Hossein Umar, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern,
terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994)
Prasetya, Avie, “Pelaku Bom Bali Tak Sangka Dahsyatnya Ledakan.”, Artikel ini
diakses pada 5 April 2011 dari
http://news.okezone.com/read/2007/12/15/1/68528/pelaku-bom-bali-
tak-sangka-dahsyatnya-ledakan
Qardhawi, Yusuf, FIQIH JIHAD, terj. Irfan Maulana Hakim, et.al., (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2010)
_______Fiqih Zakat, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1405 H/ 1985 M)
_______Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Bana, terj. Bustami A. Gani
dan Zaenal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Qutb, Sayyid, Dirasah Islamiyah, terj. Dr. A. Rahman Zainuddin, MA. (Jakarta:
Media Da‟wah, t.th)
_______Fî Zhilâl Al-Qur‟an, (Beirut: Dar Ihya Turats Al-„Arabi, 1967)
al-Qaththan, Manna‟, Mabâhits fi „Ulûm Al-Quran, (Riyad: Mansyurat al-„Asr al-
Hadist, 1973)
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Quran; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, (Jakarta: PARAMADINA, 1996)
65
RI, Depertemen Agama, AL-QUR‟AN DAN TERJEMAHANNYA, (Bandung: CV
Diponegoro, 1995)
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Quran Al-Hakim, (Mesir: Dar al-Manar,
1367 H.)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa‟, 1990)
Shaleh, et.al., ASBÂBUN NUZÛL (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Al-
Quran), (Bandung: CV Penerbit Ponegoro, 2009)
Shihab, M. Quraish, ENSIKLOPEDIA AL-QURAN: Kajian Kosakata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007)
_______Membumikan Al-Quran jilid 2, (Tanggerang: Lentera Hati, 2011)
_______Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan Ummat,
(Bandung: Mizan, 1996)
Suara Media, “Italia Bongkar Konspirasi Akbar Mossad-CIA Dalam Peristiwa
9/11.” Artikel ini diakses pada 7 April 2011 dari
http://www.suaramedia.com/berita-dunia/eropa/10681-italia-bongkar-
konspirasi-akbar-mossad-cia-dalam-peristiwa-911.html
Syari‟ati, Ali, Rasulullah Saw Sejak Hijrah Hingga Wafat, terj. Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995)
al-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jâmi‟ul Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟ân, (T.tp.:
Mu‟assasah al-Risalah, 1420 H./2000 M.)
al-Wahidi, Abu Hasan, Asbâb al-Nuzûl, (Kairo: Dar al-Hadits, 1998)
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Ithaca, 1976)
Yunus, H. Mahmud, KAMUS ARAB-INDONESIA, (JAKARTA: PT.
HIDAKARYA AGUNG)
al-Zmakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad, Tafsir
al-Kasysyaf, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah)