Upload
jeanna-salima
View
17
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kejang neonatus patofisiologi terbaru
Citation preview
Kejang pada Neonatus : Sebuah Perbaruan dalam Mekanisme dan
Penatalaksaan.
Frances E. Jensen, MD
Abstrak
Risiko kejang tertinggi selama masa hidup seseorang terletak pada usia neonatus.
Terapi yang paling sering diterapkan saat ini memiliki efikasi yang sangat terbatas.
Walaupun belum ada perubahan besar dari terapi yang dilakukan pada kejang
neonatus dalam beberapa dekade terakhir ini, telah ditemukan beberapa pemahaman
baru mengenai mekanisme perubahan pada otak seiring perkembangan neonatus yang
diaman hal ini sangatlah berkaitan dengan munculnya kejang dan kemampuan respon
terhadap obat-obatan antikejang. Di sini kami menyediakan sebuah ringkasan dari
pendekatan terbaru terhadap diagnosis dan penatalaksanaan kejang yang terjadi pada
neonatus, mengidentifikasi beberapa temuan terbaru dari patofisiologi kejang pada
neonatus yang mungkin dapat dijadikan dasar untuk merancang sebuah rencana terapi
yang lebih baik.
PEDAHULUAN
Kejang pada neonatus merupakan sebuah contoh penting dari sindrom penyakit
kejang yang hanya terjadi pada usia spesifik tertentu. Apabila dibandingkan dengan
kejang yang terjadi pada usia lebih tua, kejang yang terjadi pada neonatus memiliki
etiologi semilogi dan temuan elektroencephalografi yang berbeda, dan dapat
menunjukkan resistensi terhadap obat-obatan kejang yang efektif digunakan pada
kejang pada populasi usia lain. Patofisisologinya yang unik telah lama menJadi
subjek dari berbagai studi klinis, dan usaha untuk menemukan sebuah upaya
pengobatan baru seringkali menemukan kesulitan karena hal tersebut.
Epidemiologi dan Etiologi
Risiko tertinggi terjadinya kejang selama masa hidup terletak pada masa neonatus
(1.8–5/1000 neonatus hidup di Amerika Serikat). Insidensi relative lebih tinggi pada
neonatus yang lahir premature kurang dari 30 minggu masa kehamilan. [1], terjadi
pada sekitar 3.9% neonatus dari kelompok ini dibandingkan dengan hasil kejadian
berupa 1.5% pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan yang lebih tua. Pada
neonatus, terdapat kemungkinan besar terjadinya kejang akibat kelainan yang hanya
bersifat kecil pada sistem saraf pusat dan sistemik pada neonatus. Kebanyakan kejang
pada neonatus menunjukkan gejala yang jelas; kejadiannya dapat bersifat sangat
parah dan sulit dikontrol dengan AEDs (telah didefinisikan) yang tersedia saat ini. ,
dan dapat meninggalkan sekuel jangka panjang pada sistem saraf. Salah satu kejadian
kejang yang ringan seperti benign familial neonatal seizures dan kejadian kejang yang
hanya bersifat sementara lain, seperti kejang yang diakibatkan kelainan elektrolit
yang dapat dengan mudah diobati. Kebanyakan dari kejadian kejang ini dapat sembuh
tanpa ada gejala sisa jangka panjang.
Penyebab paling umum dari kejang neonatus ialah hypoxic/ischemic encephalopathy
(HIE), yang dialami sekitar 1–2/1000 neonatus hidup [2] [3]. Faktanya, sekitar dua
pertiga dari kasus kejang pada neonatus disebabkan oleh HIE [4]. Kejadian ini
biasanya terjadi pada kondisi di mana anak menderita asfiksia pada saat dilahirkan,
respiratory distress, atau sebagai komplikasi dari diberikannya extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO) pada usia yang dini atau pada anak yang dilakukan
cardiopulmonary bypass sebagai tindakan operatif [5]. Dalam kasus HIE, kejadian ini
biasanya terjadi pada hari pertama hingga ke 2 masa hidup awal dan seringkali
berulang dalam beberapa hari setelah episode kejang pertama berhasil diatasi, beserta
risiko terjadinya epilepsy jangka panjang dan deficit sistem saraf kognitif. [6,7]. HIE
berhubungan erat dengan kejadian kejang pada neonatus, sebagaimana dilaporkan
dalam 40– 60% of kasus [8],[9]. Kelaian otak lainnya , termasuk diantaranya stroke
pembuluh darah vena dan arteri serta perdarahan intracerebral dan subaraknoid juga
terkadang secara klinis tampak diserta dengan kejang. Selain dari HIE dan penyebab
dari cerebrovascular, penyebab kejang terumum kejang pada neonatus selanjutnya
berasal dari etiologi infeksi dan malformasi pembentukan korteks otak. Infeksi
bakteri yang paling umum mengakibatkan kejang pada neonatus ialah infeksi Group
B streptococcus dan Escherichia coli. Infeksi yang disebabkan agen infeksi bukan
bekteri ialah infeksi toxoplasmosis intra-rahim, herpes simplex, coxsackie, atau
cytomegalovirus. Malformasi perkembangan dari korteks otak yang umumnya
ditemukan bersamaan dengan kejadian kejang neonatus termasuk diantaranya adalah
lissencephaly, polymicrogyria, focal cortical dysplasia, dan tuberous sclerosis
Kelainan metabolic yang biasanya mengakibatkan kejang pada neonatus ialah
hypoglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, serta kelainan elektrolit dan asam
amino lain. Banyak kelainan metabolik ini yang pada umumnya dapat dengan segera
diatasi, (seperti koreksi glukosa dan gangguan elektrolit) dan ketika ketika kelainan
metabolik tersebut yang dibuktikan menjadi penyebab utama kejang pada neonatus,
jarang ditemukan adanya kaitan dengan kejadian komplikasi jangka panjang. Kejang
yang tergantung dengan Pyridoxine-dependent dapat terjadi sebagai kejang yang
bersifat tunggal dan refrakter (tidak menunjukkan respon terhadap terapi antikejang)
dalam hari pertama kehidupan, namun dapat segera diatasi dengan pemberian
pyridoxine intravena. Kelainan metabolism asam amino dan asam organic pada awal
kehidupan juga dapat terjadi. Dengan terjadinya kejang pada hari pertama setelah
bayi dilahirkan, seperti pada kejadian hyperglycinemia, type II glutaric aciduria, dan
kelainan siklus ureum.
Penyebab utama lain yang jarang terjadi dari kejang pada neontuas terdiri dari benign
familial neonatal convulsions, sebuah kelainan autosom dominan yang muncul pada
minggu-minggu awal kehidupan dan berhubungan dan biasanya terjadi pada neonatus
dengan perkembangan normal sekalipun. Analisis genetic telah menunjukkan bahwa
hal ini terjadi karena mutasi pada kanal kalium pada sistem saraf, CNQ2 atau
KCNQ3 [10–12]. Sebuah sindrom ringan lain yang mungkin terjadi dan berhubungan
erat dengan mutasi KCNQ2 ialah is kejadian “fifth day fits” (fenomena kejang pada
hari ke 5), yang terjadi secara sementara selama 1 hari atau lebih pada hari ke 5 atau
ke enam setelah bayi dilahirkan [13].
Kejang pada neonatus dapat bersifat resisten terhadapa obat-obatan antiepilepsi
(AED) yang seringkali ditemukan dengan efektif dapat mengatasi kejadian kejang
yang terjadi pada individu dengan usia lebih tua, terutama apabila kejang bersifat
simtomatik dan dikarenakan HIE. Terapi konvensional AEDs yang efektif pada anak
dengan usia lebih tua dan orang dewasa tidak menunjukka efek berarti pada neonatus,
mungkin dikarenakan fakta bahwa kejang yang dicetuskan dari otak yang belum
sepenuhnya berkembang dengan sempurna memiliki mekanisme pencetusan kejang
yang unik. (didiskusikan di bawah).
Hasil dari kejang pada neonatus yang berkepanjangan dapat melibatkan konsekuensi/
sekuel yang dapat terjadi pada kehidupan neonatus pada masa pertumbuhannya nanti
(terjadi pada sekitar 30% dari neonatus yang bertahan hidup setelah mengalami
episode kejang), dengan deficit pada kemampuan kognitifnya yang bervariasi dari
ketidakmampuan mempelajari sesuatu (27%) hingga hambatan perkembangan dan
retardasi mental (20%), beserta epilepsi pada masa anak dan dewasanya (27%) [6].
Risiko kematian yang pernah dilaporkan pada studi sebelumnya mencapai sekitar
35% [14], namun studi baru-baru ini yang dilakukan pada subjek bayi dengan klinis
kejang menunjykkan sebuah angka kematian neonatus yang lebih rendah dari 20%
yang dikarenakan perbaikan pelayanan kesehatan dari neonatal intensive care [4,6].
Walaupun angka bertahan hidup pada neonatus ini menunjukkan peningkatan, namun
angka kejadian sekuel sistem saraf jangka panjang tetap berada pada angka yang
cukup tinggi dengan laporan dari sebuah studi yang melaporkan kejadian sekuel
berkisar anatara 28% [4] hingga 46% [6]. Tidak semua kejadian kejang pada neonatus
menunjukkan risiko yang sama, dan nemapaknya prognosis yang terburuk
ditunjukkan pada neonatus dengan kejang simtomatik yang dikarenakan HIE atau
cerebral dysgenesis [4]. Dan prognosis yang lebih baik sangat berkaitan dengan
kelaian EEG yang bersifat ringan dan tidak ditemukannya kelainan pada pemeriksaan
neuroimaging [15–17]. Sebagai hasil dari majunya pelayanan kesehatan, beberapa
dari etiologi kejang neonatus dengan hasil akhir yang lebih baik, seperti kejang
hypocalcemic, telah menurun angka kejadiannya dari yang sebelumnya sekitar 30%
pada tahun 1960s menjadi 5% pada saat ini [2]. Saat ini, HIE menjadi penyebab yang
paling umum menyebabkan kejang yang bersifat refrakter pada neonatus. [4].
Sementara bayi yang lahir pada usia cukup bulan memiliki risiko tertinggi terhadap
kejang (hal ini berlawanan dengan apa yang telah dinyatakan pada halaman 3) telah
disadari akhir-akhir ini bahwa kejang dapat menjadi masalah yang signifikan pada
bayi yang lahir premature. Menurut studi yang baru dilakukan akhir-akhir ini, kejang
dapat terjadi pada sekitar 5.6% dari bayi yang lahir dengan berat lahir sangat rendah,
pada usia kehamilan yang lebih kecil, jenis kelamin laki-laki, dan kerusakan parah
pada sistemik dan sistem sarafnya seperti pada kasus perdarahan intraventrikular atau
periventricular leukomalacia sebagai predictor independen bagi kejang pada neonatus
[18] [19].
Diagnosis
Diagnosis kejang pada neonatus dapat jadi sangat sulit untuk dilakukan karena
seringkali tidak terdapat kolerasi klinis kejang dari gambaran kejang yang
digambarkan pada pemeriksaan electrografi, sebuah fenomena yang disebut dengan
electroclinical dissociation. Koneksi antara area otak termasuk didalamnya koneksi
antar hemisfer dan juga kortikospinal, tidak sepenuhnya matang dikarenakan
myelinasi yang belum komplit dari traktus white matter, yang kemudian hanya
menyebabkan perubahan pada sikap pasien, yang merupakan kenampakan klinis
kejang yang sifatnya sedang. Kejang pada bayi dapat bermanifestasi hanya sebagai
gerakan tonik atau klonik yang sangat kecil (subtle) yang hanya terbatas pada satu
ekstremitas atau bahkan tidak menunjukkan klinis kejang sama sekali. Dan hal ini
menjadikannya sulit melakukan diagnosis dikarenakan sulitnya membedakannya
dengan kejadian myoclonus atau automatisme lain [20]. Sebuah studi baru
menunjukkan sekitar 80% dari pemeriksaan EEG pada neonatus menunjukkan
kejadian kejang secara grafis EEG, yang tidak disertai klinis kejang yang kasat mata.
[21]. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG sangatlah penting dilakukan untuk
mengevaluasi keberhasilan terapi pada kelompok usia ini. Sebuah EEG, full lead,
(dengan 20 lead) merupakan alat yang paling sensitive dalam mendeteksi kejang
multifocal (Gambar 1). Karena EEG full lead sulit didapatkan pada kondisi emergensi
pada banyak NICU (neonatal intensive care units), penggunaan alat amplitude
integrated EEG (aEEG) banyak digunakan sebagai alternative. refs) aEEG biasanya
didapatkan dari sepasang atau beberapa lead dalam jumlah terbatas, yang
ditampakkan sebagai fast Fourier spectral transform. Dengan aEEG, kejang dapat
dideteksi dengan perubahan akut yang teradapat pada lebar spektral, dan sebuah
gambaran mentah EEG dari satu channel EEG dapat dilakukan oleh pemeriksaan
untuk melakukan konfirmasi [22]. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pemeriksaan
dengan aEEG memiliki spesifitas yang relative tinggi namun kurang sensitif. Dapat
mendeteksi setidaknya 75% dari pemeriksaan EEg full lead konvensional. [23–28]
[29].
Sekali kejadian kejang pada neonatus telah dikonfirmasi, perlu diidentifikasikan
kemungkinan terjadinya kejang berasal etiologi yang dapat disembuhkan, seperti
kejang yang dikarenakan kelainan metabolik. Penilaian serologis termasuk
pemeriksaan darah dan uji serologis perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya
infeksi. Kelainan metabolic yang mungkin terjadi meliputi seperti asidosis,
hipokalemi, hipomagnesemia, dan hypoglikemia. Waktu terjadinya kejang dapat
menjadi indikator yang penting, contohnya pada kejadian kejang dalam fenomena
“fifth day fits”, dikarenakan hipokalsemia.(tolong diklarifikasi) kejang yang
dikarenakan dependensi terhadap Pyridoxine Nampak sebagai kejang yang bersifat
refrakter yang terjadi pada masa awal kehidupan neonatus secara khusus
menunjukkan respon baik terhadap administrasi pyridoxine parenteral [30,31].
Kejang yang berlanjut dan bersifat refrakter biasanya konsisten dengan riwayat HIE
yang terjadi pada 24-48 jam awal masa kehidupan neonatus tersebut, yang menetap
selama beberapa hari, dan berulang secara bertahap.
MR imaging memungkinkan dilakukannya penilaian risiko lanjut pada bayi dengan
kejang neonatus. Pencitraan dapat menyediakan informasi penting dalam kejadian
cerebral dysgenesis dan kejadian malformasi anatomis pada sistem saraf. Beberapa
kelainan structural pada sistem saraf yang dapat dijadikan sebagai kemungkinan
penyebab kejang ialah tuberous sclerosis, hemimegalencephaly, atau cortical
dysplasia. Untuk kejang simtomatik yang dikarenakan HIE, sebuah T2 abnormal,
FLAIR dan difusi sinyal dapat digunakan untuk menunjukkan pada area mana
kerusakan dan seberapa parah kerusakan tersebut terjadi. [32] . pada studi baru,
menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan magnetic resonance spectroscopy dapat
digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan dan hasil akhir yang mungkin
dialaami pasien dengan kejang neonatus. Miller et al melaporkan bahwa pada kasus
HIE dengan kejang, terdapat sebuah peningkatan rasio laktat : kolin, dan juga
penurunan rasio N-acetyl-aspartate, yang ditemukan lebih tidak normal pada bayi
dengan klinis kejang yang lebih parah. [17]. Sebuah studi lain yang dengan subjek
studi bayi dengan asfiksia dengan/atau kejang yang dilakukan oleh Glass et al [16]
menunjukkan bahwa setelah disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan pada
gambaran MRI, tingkat keparahan kejang berhubungan erat dengan risiko
abnormalitas neuromotorik yang lebih tinggi pada usia 4 tahun daripada dengan anak
tanpa riwayat kejang. Hasil ini menunjukkan bahwa kejang neonatus dapat dengan
sendirinya memperburuk hasil akhir walaupun tidak ditemukannya lesi yang
berkaitan dengan kejadian HIE pada pemeriksaan MRI.
Treatment
Kejang pada neonatus dapat menunjukkan sifat refrakter terhadap AEDs
konvensional, terutama pada kejadian kejang yang berhubungan dengan riwayat HIE.
Diagnosis dini harus terlebih dahulu dievaluasi kemungkinan kelainan metabolic atau
infeksi dan dilakukan penatalaksanaan untuk mengatasi penyebab utamanya. Namun,
kebanyakan dari kejang refrakter terjadi dikarenakan asfiksia berulang dan jangka
waktu yang pendek (selama 72–96 jam) dan prognosis yang buruk, terapi awal
sangatlah pentingdan haruslah berdasarkan kelainan aktivitas kejang yang
ditunjukkan dari pemeriksaan EEG. Praktis baru termasuk didalamnya
penatalaksanaan awal dengan phenobarbital (dosis bervariasi antara 20–40 mg/kg)
[33], dengan phenytoin (20 mg/kg), atau fosphenytoin, dan/atau benzodiazepines
seperti lorazepam (0.05–0.1 mg/kg) sebagai terapi adjuvant lini dua therapy untuk
kejang bersifat refrakter. (dibahas dalam Volpe, 2008). Namun, konsensus yang ada
sekarang ini masih menggunakan AED yang telah banyak dinyatakan tidak efektif
dalam mengatasi kejang pada neonatus. [34] [35]. Tentu efikasi dari phenobarbital
nampaknya sama, dan keduanya tidak efektif secara keseluruhan, dan dua obat ini
hanya efektif mengatasi tidak sampai setengah dari tingkat keparahan kejang
neonatus yang digambarkan di EEG, apabila obat ini digunakan secara tunggal tanpa
obat penyerta lain. [36]. Sebagai pilihan alternative, sebuah terapi lini kedua,
midazolam, memiliki efikasi yang beragam, namun obat ini memiliki efek samping
distress pernafasan yang lebih rendah (disbanding apa?) [37] [38]. Lidocaine bisa
jadi efektif dalam mengatasi kejang neonatus yang bersifat refrakter, namun
penggunaannya mungkin dibatasi karena potensi toksiknya terhadap jantung. [39].
AED yang lebih baru, seperti topiramate dan levetiracetam telah dilaporkan dapat
mengatasi keadaan kejang neonatus [40–42]. Dan, masih belum diketahui juga berapa
lama sebuah terapi antikejang harus tetap diberikan setelah terjadinya kejadian kejang
neonatus yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek. [33], dan juga bagaimana
lamanya terapi berpengaruh terhadap hasil akhir dari kejadian kejang pada bayi.
Sebagai tambahan bagi terapi farmakologinya, neonatus dengan riwayat HIE juga
banyak diterapi dengan terapi hipotermia. Sebuah studi klinis baru-baru ini yang
dilakukan telah menghasilkan sebuah review yang dilakukan oleh Cochrane
menyatakan bahwa hipotermia pada seluruh tubuh atau pada yang terbatas pada
kepala meningkatkan hasil neurologis dan hasil akhir keseluruhan pada bayi yang
diterapi dengan cara ini [8,9,43,44]. Untuk hipotermi pada seluruh tubuh, praktis baru
saat ini ialah dengan cara menurunkan suhu basal tubuh menjadi 33.5 derajat C
selama 72 jam [8]. Sementara sebuah pemeriksaan dengan aEEG dilakukan secara
rutin untuk memonitor aktivitas otak selama kondisi hipotermia ini, efek dari
hipotermia pada kejadian dan tingkat parah kejang pada neonatus belum dapat
ditentukan [44].
Pathophysiology
Sebagai respon dari pernyataan bahwa kejang pada neonatus biasanya tidak
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi obat antiepilepsi konvensional dan
dapat menimbulkan efek samping berupa sequel serius terhadap status neurologis
anak, telah didirikan sebuah badan tertentu yang dengan aktif meneliti kelainan
kejang yang hanya menyerang kelompok neonatus ini, pembentukan ini ditujukan
untuk merancang sebuah target terapi baru dan biomarkernya. Telah ditemukan
beberapa pemahaman baru mengenai patofisiologi, dan lebih spesifiknya, faktor yang
hanya ada pada fase tertentu dari perkembangan otak yang berpengaruh terhadap
pencetusan kejang dalam sistem saraf, responnya terhadap antikejang, dan efeknya
terhadap perkembangan lanjut sistem saraf pusat (untuk review yang lebih mendetil,
lihat [45]). Ditambah dengan data dari sebuah uji eksperimental yang meningkatkan
perhatian terhadap potensi efek samping dari obat-obat golongan barbiturates dan
benzodiazepines yang banyak digunakan akhir-akhir ini terhadap perkembangan otak.
Peningkatan pemahaman dari mekanisme unik yang hanya terjadi pada usia tertentu
ini harusnya dapat menghasilkan sebuat target terapi yang baru dengan potensi klinis
yang baik. Tentu saja, hingga saat ini, masih belum ada komponen yang
dikembangkan secara spesifik atau sebuah obat yang telah disetujui FDA sebagai
terapi yang secara khusus dapat mengatasi kejang pada neonatus [34].
Mekanisme yang hanya terjadi pada usia perkembangan tertentu ini memepengaruhi
proses tercetusnya kejang, dan kenampakan klinis kejang, efek dari kejang pada
struktur otak dan fungsinya, dan juga efikasi dari terapi antikejang yang diberikan.
Salah satu diantara Faktor-faktor yang bertanggungjawab mencetuskan kejadian
kejang pada neonatus, ialah kondisi sistem saraf yang terlalu sensitive
(hipereksitabilitas) pada usia neonatus, yang dibuktikan dengan rendahnya ambang
kejang pada periode sangat rentan kejang ini. [46] [47], dan dengan cara yang sama,
pada sebuah model tikus, kerentanan akan kejadian kejang juga meningkat pada
minggu kedua setelah bayi dilahirkan. [48] [45,49].(tolong diklarifikasi) sebagai
akibat dari perkembangan yang belum sempurna dari sistem neurotransmitter, yang
biasanya menjadi target utama obat-obatan antiepilepsi konvensional. Pada akhirnya,
status mielinasi minimal pada daerah struktur korteks dan subkorteks menghasilkan
kelainan dari fungsi yang bersifat multifocal pada otak, dan hal inilah yang berpotensi
mencetuskan kejang pada kelompok usia ini. [50,51].
Periode neonatus merupakan periode di mana terjadi peningkatan fisiologi
eksitabilitas yang intens dari sinaptik, karena sinaptogenesis yang terjadi pada periode
ini secara keseluruhan bergantung terhadap aktivitas tersebut.(REFS) pada manusia,
kepadatan sinaps dan spina dendrite mencapai puncaknya pada usia gestasi cukup
bulan dan pada bulan pertama sejak lahirnya bayi [52] [53]. Ditambah dengan
keseimbangan dengan sinaps pemicu dan penghambar lebih condong kepada sinaps
yang cenderung mencetuskan sebuah aktivitas listrik yang berlebihan pada otak, yang
pada akhirnya dapat berakibat kejang [45] . glutamate merupakan neurotransmitter
pemicu utama pada sistem saraf pusat, sementara γ-amino-butyric acid (GABA)
merupakan neurotransmitter penghambat utama. Terdapat banyak bukti yang
didaptkan dari penelitian terhadap model binatang dan juga jaringan manusia yang
menunjukkan bahwa neurotransmitter…