17
Kejang pada Neonatus : Sebuah Perbaruan dalam Mekanisme dan Penatalaksaan. Frances E. Jensen, MD Abstrak Risiko kejang tertinggi selama masa hidup seseorang terletak pada usia neonatus. Terapi yang paling sering diterapkan saat ini memiliki efikasi yang sangat terbatas. Walaupun belum ada perubahan besar dari terapi yang dilakukan pada kejang neonatus dalam beberapa dekade terakhir ini, telah ditemukan beberapa pemahaman baru mengenai mekanisme perubahan pada otak seiring perkembangan neonatus yang diaman hal ini sangatlah berkaitan dengan munculnya kejang dan kemampuan respon terhadap obat-obatan antikejang. Di sini kami menyediakan sebuah ringkasan dari pendekatan terbaru terhadap diagnosis dan penatalaksanaan kejang yang terjadi pada neonatus, mengidentifikasi beberapa temuan terbaru dari patofisiologi kejang pada neonatus yang mungkin dapat dijadikan dasar untuk merancang sebuah rencana terapi yang lebih baik. PEDAHULUAN

penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kejang neonatus patofisiologi terbaru

Citation preview

Page 1: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

Kejang pada Neonatus : Sebuah Perbaruan dalam Mekanisme dan

Penatalaksaan.

Frances E. Jensen, MD

Abstrak

Risiko kejang tertinggi selama masa hidup seseorang terletak pada usia neonatus.

Terapi yang paling sering diterapkan saat ini memiliki efikasi yang sangat terbatas.

Walaupun belum ada perubahan besar dari terapi yang dilakukan pada kejang

neonatus dalam beberapa dekade terakhir ini, telah ditemukan beberapa pemahaman

baru mengenai mekanisme perubahan pada otak seiring perkembangan neonatus yang

diaman hal ini sangatlah berkaitan dengan munculnya kejang dan kemampuan respon

terhadap obat-obatan antikejang. Di sini kami menyediakan sebuah ringkasan dari

pendekatan terbaru terhadap diagnosis dan penatalaksanaan kejang yang terjadi pada

neonatus, mengidentifikasi beberapa temuan terbaru dari patofisiologi kejang pada

neonatus yang mungkin dapat dijadikan dasar untuk merancang sebuah rencana terapi

yang lebih baik.

PEDAHULUAN

Kejang pada neonatus merupakan sebuah contoh penting dari sindrom penyakit

kejang yang hanya terjadi pada usia spesifik tertentu. Apabila dibandingkan dengan

kejang yang terjadi pada usia lebih tua, kejang yang terjadi pada neonatus memiliki

etiologi semilogi dan temuan elektroencephalografi yang berbeda, dan dapat

menunjukkan resistensi terhadap obat-obatan kejang yang efektif digunakan pada

kejang pada populasi usia lain. Patofisisologinya yang unik telah lama menJadi

subjek dari berbagai studi klinis, dan usaha untuk menemukan sebuah upaya

pengobatan baru seringkali menemukan kesulitan karena hal tersebut.

Page 2: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

Epidemiologi dan Etiologi

Risiko tertinggi terjadinya kejang selama masa hidup terletak pada masa neonatus

(1.8–5/1000 neonatus hidup di Amerika Serikat). Insidensi relative lebih tinggi pada

neonatus yang lahir premature kurang dari 30 minggu masa kehamilan. [1], terjadi

pada sekitar 3.9% neonatus dari kelompok ini dibandingkan dengan hasil kejadian

berupa 1.5% pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan yang lebih tua. Pada

neonatus, terdapat kemungkinan besar terjadinya kejang akibat kelainan yang hanya

bersifat kecil pada sistem saraf pusat dan sistemik pada neonatus. Kebanyakan kejang

pada neonatus menunjukkan gejala yang jelas; kejadiannya dapat bersifat sangat

parah dan sulit dikontrol dengan AEDs (telah didefinisikan) yang tersedia saat ini. ,

dan dapat meninggalkan sekuel jangka panjang pada sistem saraf. Salah satu kejadian

kejang yang ringan seperti benign familial neonatal seizures dan kejadian kejang yang

hanya bersifat sementara lain, seperti kejang yang diakibatkan kelainan elektrolit

yang dapat dengan mudah diobati. Kebanyakan dari kejadian kejang ini dapat sembuh

tanpa ada gejala sisa jangka panjang.

Penyebab paling umum dari kejang neonatus ialah hypoxic/ischemic encephalopathy

(HIE), yang dialami sekitar 1–2/1000 neonatus hidup [2] [3]. Faktanya, sekitar dua

pertiga dari kasus kejang pada neonatus disebabkan oleh HIE [4]. Kejadian ini

biasanya terjadi pada kondisi di mana anak menderita asfiksia pada saat dilahirkan,

respiratory distress, atau sebagai komplikasi dari diberikannya extracorporeal

membrane oxygenation (ECMO) pada usia yang dini atau pada anak yang dilakukan

cardiopulmonary bypass sebagai tindakan operatif [5]. Dalam kasus HIE, kejadian ini

biasanya terjadi pada hari pertama hingga ke 2 masa hidup awal dan seringkali

berulang dalam beberapa hari setelah episode kejang pertama berhasil diatasi, beserta

risiko terjadinya epilepsy jangka panjang dan deficit sistem saraf kognitif. [6,7]. HIE

berhubungan erat dengan kejadian kejang pada neonatus, sebagaimana dilaporkan

dalam 40– 60% of kasus [8],[9]. Kelaian otak lainnya , termasuk diantaranya stroke

pembuluh darah vena dan arteri serta perdarahan intracerebral dan subaraknoid juga

terkadang secara klinis tampak diserta dengan kejang. Selain dari HIE dan penyebab

Page 3: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

dari cerebrovascular, penyebab kejang terumum kejang pada neonatus selanjutnya

berasal dari etiologi infeksi dan malformasi pembentukan korteks otak. Infeksi

bakteri yang paling umum mengakibatkan kejang pada neonatus ialah infeksi Group

B streptococcus dan Escherichia coli. Infeksi yang disebabkan agen infeksi bukan

bekteri ialah infeksi toxoplasmosis intra-rahim, herpes simplex, coxsackie, atau

cytomegalovirus. Malformasi perkembangan dari korteks otak yang umumnya

ditemukan bersamaan dengan kejadian kejang neonatus termasuk diantaranya adalah

lissencephaly, polymicrogyria, focal cortical dysplasia, dan tuberous sclerosis

Kelainan metabolic yang biasanya mengakibatkan kejang pada neonatus ialah

hypoglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, serta kelainan elektrolit dan asam

amino lain. Banyak kelainan metabolik ini yang pada umumnya dapat dengan segera

diatasi, (seperti koreksi glukosa dan gangguan elektrolit) dan ketika ketika kelainan

metabolik tersebut yang dibuktikan menjadi penyebab utama kejang pada neonatus,

jarang ditemukan adanya kaitan dengan kejadian komplikasi jangka panjang. Kejang

yang tergantung dengan Pyridoxine-dependent dapat terjadi sebagai kejang yang

bersifat tunggal dan refrakter (tidak menunjukkan respon terhadap terapi antikejang)

dalam hari pertama kehidupan, namun dapat segera diatasi dengan pemberian

pyridoxine intravena. Kelainan metabolism asam amino dan asam organic pada awal

kehidupan juga dapat terjadi. Dengan terjadinya kejang pada hari pertama setelah

bayi dilahirkan, seperti pada kejadian hyperglycinemia, type II glutaric aciduria, dan

kelainan siklus ureum.

Penyebab utama lain yang jarang terjadi dari kejang pada neontuas terdiri dari benign

familial neonatal convulsions, sebuah kelainan autosom dominan yang muncul pada

minggu-minggu awal kehidupan dan berhubungan dan biasanya terjadi pada neonatus

dengan perkembangan normal sekalipun. Analisis genetic telah menunjukkan bahwa

hal ini terjadi karena mutasi pada kanal kalium pada sistem saraf, CNQ2 atau

KCNQ3 [10–12]. Sebuah sindrom ringan lain yang mungkin terjadi dan berhubungan

erat dengan mutasi KCNQ2 ialah is kejadian “fifth day fits” (fenomena kejang pada

hari ke 5), yang terjadi secara sementara selama 1 hari atau lebih pada hari ke 5 atau

ke enam setelah bayi dilahirkan [13].

Page 4: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

Kejang pada neonatus dapat bersifat resisten terhadapa obat-obatan antiepilepsi

(AED) yang seringkali ditemukan dengan efektif dapat mengatasi kejadian kejang

yang terjadi pada individu dengan usia lebih tua, terutama apabila kejang bersifat

simtomatik dan dikarenakan HIE. Terapi konvensional AEDs yang efektif pada anak

dengan usia lebih tua dan orang dewasa tidak menunjukka efek berarti pada neonatus,

mungkin dikarenakan fakta bahwa kejang yang dicetuskan dari otak yang belum

sepenuhnya berkembang dengan sempurna memiliki mekanisme pencetusan kejang

yang unik. (didiskusikan di bawah).

Hasil dari kejang pada neonatus yang berkepanjangan dapat melibatkan konsekuensi/

sekuel yang dapat terjadi pada kehidupan neonatus pada masa pertumbuhannya nanti

(terjadi pada sekitar 30% dari neonatus yang bertahan hidup setelah mengalami

episode kejang), dengan deficit pada kemampuan kognitifnya yang bervariasi dari

ketidakmampuan mempelajari sesuatu (27%) hingga hambatan perkembangan dan

retardasi mental (20%), beserta epilepsi pada masa anak dan dewasanya (27%) [6].

Risiko kematian yang pernah dilaporkan pada studi sebelumnya mencapai sekitar

35% [14], namun studi baru-baru ini yang dilakukan pada subjek bayi dengan klinis

kejang menunjykkan sebuah angka kematian neonatus yang lebih rendah dari 20%

yang dikarenakan perbaikan pelayanan kesehatan dari neonatal intensive care [4,6].

Walaupun angka bertahan hidup pada neonatus ini menunjukkan peningkatan, namun

angka kejadian sekuel sistem saraf jangka panjang tetap berada pada angka yang

cukup tinggi dengan laporan dari sebuah studi yang melaporkan kejadian sekuel

berkisar anatara 28% [4] hingga 46% [6]. Tidak semua kejadian kejang pada neonatus

menunjukkan risiko yang sama, dan nemapaknya prognosis yang terburuk

ditunjukkan pada neonatus dengan kejang simtomatik yang dikarenakan HIE atau

cerebral dysgenesis [4]. Dan prognosis yang lebih baik sangat berkaitan dengan

kelaian EEG yang bersifat ringan dan tidak ditemukannya kelainan pada pemeriksaan

neuroimaging [15–17]. Sebagai hasil dari majunya pelayanan kesehatan, beberapa

dari etiologi kejang neonatus dengan hasil akhir yang lebih baik, seperti kejang

hypocalcemic, telah menurun angka kejadiannya dari yang sebelumnya sekitar 30%

Page 5: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

pada tahun 1960s menjadi 5% pada saat ini [2]. Saat ini, HIE menjadi penyebab yang

paling umum menyebabkan kejang yang bersifat refrakter pada neonatus. [4].

Sementara bayi yang lahir pada usia cukup bulan memiliki risiko tertinggi terhadap

kejang (hal ini berlawanan dengan apa yang telah dinyatakan pada halaman 3) telah

disadari akhir-akhir ini bahwa kejang dapat menjadi masalah yang signifikan pada

bayi yang lahir premature. Menurut studi yang baru dilakukan akhir-akhir ini, kejang

dapat terjadi pada sekitar 5.6% dari bayi yang lahir dengan berat lahir sangat rendah,

pada usia kehamilan yang lebih kecil, jenis kelamin laki-laki, dan kerusakan parah

pada sistemik dan sistem sarafnya seperti pada kasus perdarahan intraventrikular atau

periventricular leukomalacia sebagai predictor independen bagi kejang pada neonatus

[18] [19].

Diagnosis

Diagnosis kejang pada neonatus dapat jadi sangat sulit untuk dilakukan karena

seringkali tidak terdapat kolerasi klinis kejang dari gambaran kejang yang

digambarkan pada pemeriksaan electrografi, sebuah fenomena yang disebut dengan

electroclinical dissociation. Koneksi antara area otak termasuk didalamnya koneksi

antar hemisfer dan juga kortikospinal, tidak sepenuhnya matang dikarenakan

myelinasi yang belum komplit dari traktus white matter, yang kemudian hanya

menyebabkan perubahan pada sikap pasien, yang merupakan kenampakan klinis

kejang yang sifatnya sedang. Kejang pada bayi dapat bermanifestasi hanya sebagai

gerakan tonik atau klonik yang sangat kecil (subtle) yang hanya terbatas pada satu

ekstremitas atau bahkan tidak menunjukkan klinis kejang sama sekali. Dan hal ini

menjadikannya sulit melakukan diagnosis dikarenakan sulitnya membedakannya

dengan kejadian myoclonus atau automatisme lain [20]. Sebuah studi baru

menunjukkan sekitar 80% dari pemeriksaan EEG pada neonatus menunjukkan

kejadian kejang secara grafis EEG, yang tidak disertai klinis kejang yang kasat mata.

[21]. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG sangatlah penting dilakukan untuk

mengevaluasi keberhasilan terapi pada kelompok usia ini. Sebuah EEG, full lead,

(dengan 20 lead) merupakan alat yang paling sensitive dalam mendeteksi kejang

Page 6: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

multifocal (Gambar 1). Karena EEG full lead sulit didapatkan pada kondisi emergensi

pada banyak NICU (neonatal intensive care units), penggunaan alat amplitude

integrated EEG (aEEG) banyak digunakan sebagai alternative. refs) aEEG biasanya

didapatkan dari sepasang atau beberapa lead dalam jumlah terbatas, yang

ditampakkan sebagai fast Fourier spectral transform. Dengan aEEG, kejang dapat

dideteksi dengan perubahan akut yang teradapat pada lebar spektral, dan sebuah

gambaran mentah EEG dari satu channel EEG dapat dilakukan oleh pemeriksaan

untuk melakukan konfirmasi [22]. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pemeriksaan

dengan aEEG memiliki spesifitas yang relative tinggi namun kurang sensitif. Dapat

mendeteksi setidaknya 75% dari pemeriksaan EEg full lead konvensional. [23–28]

[29].

Sekali kejadian kejang pada neonatus telah dikonfirmasi, perlu diidentifikasikan

kemungkinan terjadinya kejang berasal etiologi yang dapat disembuhkan, seperti

kejang yang dikarenakan kelainan metabolik. Penilaian serologis termasuk

pemeriksaan darah dan uji serologis perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya

infeksi. Kelainan metabolic yang mungkin terjadi meliputi seperti asidosis,

hipokalemi, hipomagnesemia, dan hypoglikemia. Waktu terjadinya kejang dapat

menjadi indikator yang penting, contohnya pada kejadian kejang dalam fenomena

“fifth day fits”, dikarenakan hipokalsemia.(tolong diklarifikasi) kejang yang

dikarenakan dependensi terhadap Pyridoxine Nampak sebagai kejang yang bersifat

refrakter yang terjadi pada masa awal kehidupan neonatus secara khusus

menunjukkan respon baik terhadap administrasi pyridoxine parenteral [30,31].

Kejang yang berlanjut dan bersifat refrakter biasanya konsisten dengan riwayat HIE

yang terjadi pada 24-48 jam awal masa kehidupan neonatus tersebut, yang menetap

selama beberapa hari, dan berulang secara bertahap.

MR imaging memungkinkan dilakukannya penilaian risiko lanjut pada bayi dengan

kejang neonatus. Pencitraan dapat menyediakan informasi penting dalam kejadian

cerebral dysgenesis dan kejadian malformasi anatomis pada sistem saraf. Beberapa

kelainan structural pada sistem saraf yang dapat dijadikan sebagai kemungkinan

penyebab kejang ialah tuberous sclerosis, hemimegalencephaly, atau cortical

Page 7: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

dysplasia. Untuk kejang simtomatik yang dikarenakan HIE, sebuah T2 abnormal,

FLAIR dan difusi sinyal dapat digunakan untuk menunjukkan pada area mana

kerusakan dan seberapa parah kerusakan tersebut terjadi. [32] . pada studi baru,

menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan magnetic resonance spectroscopy dapat

digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan dan hasil akhir yang mungkin

dialaami pasien dengan kejang neonatus. Miller et al melaporkan bahwa pada kasus

HIE dengan kejang, terdapat sebuah peningkatan rasio laktat : kolin, dan juga

penurunan rasio N-acetyl-aspartate, yang ditemukan lebih tidak normal pada bayi

dengan klinis kejang yang lebih parah. [17]. Sebuah studi lain yang dengan subjek

studi bayi dengan asfiksia dengan/atau kejang yang dilakukan oleh Glass et al [16]

menunjukkan bahwa setelah disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan pada

gambaran MRI, tingkat keparahan kejang berhubungan erat dengan risiko

abnormalitas neuromotorik yang lebih tinggi pada usia 4 tahun daripada dengan anak

tanpa riwayat kejang. Hasil ini menunjukkan bahwa kejang neonatus dapat dengan

sendirinya memperburuk hasil akhir walaupun tidak ditemukannya lesi yang

berkaitan dengan kejadian HIE pada pemeriksaan MRI.

Treatment

Kejang pada neonatus dapat menunjukkan sifat refrakter terhadap AEDs

konvensional, terutama pada kejadian kejang yang berhubungan dengan riwayat HIE.

Diagnosis dini harus terlebih dahulu dievaluasi kemungkinan kelainan metabolic atau

infeksi dan dilakukan penatalaksanaan untuk mengatasi penyebab utamanya. Namun,

kebanyakan dari kejang refrakter terjadi dikarenakan asfiksia berulang dan jangka

waktu yang pendek (selama 72–96 jam) dan prognosis yang buruk, terapi awal

sangatlah pentingdan haruslah berdasarkan kelainan aktivitas kejang yang

ditunjukkan dari pemeriksaan EEG. Praktis baru termasuk didalamnya

penatalaksanaan awal dengan phenobarbital (dosis bervariasi antara 20–40 mg/kg)

[33], dengan phenytoin (20 mg/kg), atau fosphenytoin, dan/atau benzodiazepines

seperti lorazepam (0.05–0.1 mg/kg) sebagai terapi adjuvant lini dua therapy untuk

kejang bersifat refrakter. (dibahas dalam Volpe, 2008). Namun, konsensus yang ada

Page 8: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

sekarang ini masih menggunakan AED yang telah banyak dinyatakan tidak efektif

dalam mengatasi kejang pada neonatus. [34] [35]. Tentu efikasi dari phenobarbital

nampaknya sama, dan keduanya tidak efektif secara keseluruhan, dan dua obat ini

hanya efektif mengatasi tidak sampai setengah dari tingkat keparahan kejang

neonatus yang digambarkan di EEG, apabila obat ini digunakan secara tunggal tanpa

obat penyerta lain. [36]. Sebagai pilihan alternative, sebuah terapi lini kedua,

midazolam, memiliki efikasi yang beragam, namun obat ini memiliki efek samping

distress pernafasan yang lebih rendah (disbanding apa?) [37] [38]. Lidocaine bisa

jadi efektif dalam mengatasi kejang neonatus yang bersifat refrakter, namun

penggunaannya mungkin dibatasi karena potensi toksiknya terhadap jantung. [39].

AED yang lebih baru, seperti topiramate dan levetiracetam telah dilaporkan dapat

mengatasi keadaan kejang neonatus [40–42]. Dan, masih belum diketahui juga berapa

lama sebuah terapi antikejang harus tetap diberikan setelah terjadinya kejadian kejang

neonatus yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek. [33], dan juga bagaimana

lamanya terapi berpengaruh terhadap hasil akhir dari kejadian kejang pada bayi.

Sebagai tambahan bagi terapi farmakologinya, neonatus dengan riwayat HIE juga

banyak diterapi dengan terapi hipotermia. Sebuah studi klinis baru-baru ini yang

dilakukan telah menghasilkan sebuah review yang dilakukan oleh Cochrane

menyatakan bahwa hipotermia pada seluruh tubuh atau pada yang terbatas pada

kepala meningkatkan hasil neurologis dan hasil akhir keseluruhan pada bayi yang

diterapi dengan cara ini [8,9,43,44]. Untuk hipotermi pada seluruh tubuh, praktis baru

saat ini ialah dengan cara menurunkan suhu basal tubuh menjadi 33.5 derajat C

selama 72 jam [8]. Sementara sebuah pemeriksaan dengan aEEG dilakukan secara

rutin untuk memonitor aktivitas otak selama kondisi hipotermia ini, efek dari

hipotermia pada kejadian dan tingkat parah kejang pada neonatus belum dapat

ditentukan [44].

Pathophysiology

Sebagai respon dari pernyataan bahwa kejang pada neonatus biasanya tidak

menunjukkan respon yang baik terhadap terapi obat antiepilepsi konvensional dan

Page 9: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

dapat menimbulkan efek samping berupa sequel serius terhadap status neurologis

anak, telah didirikan sebuah badan tertentu yang dengan aktif meneliti kelainan

kejang yang hanya menyerang kelompok neonatus ini, pembentukan ini ditujukan

untuk merancang sebuah target terapi baru dan biomarkernya. Telah ditemukan

beberapa pemahaman baru mengenai patofisiologi, dan lebih spesifiknya, faktor yang

hanya ada pada fase tertentu dari perkembangan otak yang berpengaruh terhadap

pencetusan kejang dalam sistem saraf, responnya terhadap antikejang, dan efeknya

terhadap perkembangan lanjut sistem saraf pusat (untuk review yang lebih mendetil,

lihat [45]). Ditambah dengan data dari sebuah uji eksperimental yang meningkatkan

perhatian terhadap potensi efek samping dari obat-obat golongan barbiturates dan

benzodiazepines yang banyak digunakan akhir-akhir ini terhadap perkembangan otak.

Peningkatan pemahaman dari mekanisme unik yang hanya terjadi pada usia tertentu

ini harusnya dapat menghasilkan sebuat target terapi yang baru dengan potensi klinis

yang baik. Tentu saja, hingga saat ini, masih belum ada komponen yang

dikembangkan secara spesifik atau sebuah obat yang telah disetujui FDA sebagai

terapi yang secara khusus dapat mengatasi kejang pada neonatus [34].

Mekanisme yang hanya terjadi pada usia perkembangan tertentu ini memepengaruhi

proses tercetusnya kejang, dan kenampakan klinis kejang, efek dari kejang pada

struktur otak dan fungsinya, dan juga efikasi dari terapi antikejang yang diberikan.

Salah satu diantara Faktor-faktor yang bertanggungjawab mencetuskan kejadian

kejang pada neonatus, ialah kondisi sistem saraf yang terlalu sensitive

(hipereksitabilitas) pada usia neonatus, yang dibuktikan dengan rendahnya ambang

kejang pada periode sangat rentan kejang ini. [46] [47], dan dengan cara yang sama,

pada sebuah model tikus, kerentanan akan kejadian kejang juga meningkat pada

minggu kedua setelah bayi dilahirkan. [48] [45,49].(tolong diklarifikasi) sebagai

akibat dari perkembangan yang belum sempurna dari sistem neurotransmitter, yang

biasanya menjadi target utama obat-obatan antiepilepsi konvensional. Pada akhirnya,

status mielinasi minimal pada daerah struktur korteks dan subkorteks menghasilkan

kelainan dari fungsi yang bersifat multifocal pada otak, dan hal inilah yang berpotensi

mencetuskan kejang pada kelompok usia ini. [50,51].

Page 10: penemuan baru dari patofisiologi kejang neonatus

Periode neonatus merupakan periode di mana terjadi peningkatan fisiologi

eksitabilitas yang intens dari sinaptik, karena sinaptogenesis yang terjadi pada periode

ini secara keseluruhan bergantung terhadap aktivitas tersebut.(REFS) pada manusia,

kepadatan sinaps dan spina dendrite mencapai puncaknya pada usia gestasi cukup

bulan dan pada bulan pertama sejak lahirnya bayi [52] [53]. Ditambah dengan

keseimbangan dengan sinaps pemicu dan penghambar lebih condong kepada sinaps

yang cenderung mencetuskan sebuah aktivitas listrik yang berlebihan pada otak, yang

pada akhirnya dapat berakibat kejang [45] . glutamate merupakan neurotransmitter

pemicu utama pada sistem saraf pusat, sementara γ-amino-butyric acid (GABA)

merupakan neurotransmitter penghambat utama. Terdapat banyak bukti yang

didaptkan dari penelitian terhadap model binatang dan juga jaringan manusia yang

menunjukkan bahwa neurotransmitter…