PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN Porphyridium cruentum.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    1/7

    1

    *Alamat koresponden: [email protected]

    PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN SEL FITOPLANKTON

    Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgar is, Dunali ell a salina, DANPorphyridium cruentum

    Yusi Anda Rizky*, Indah Raya, Seniwati Dali1

    1Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan 90245

    Abstrak. Penelitian tentang Penentuan Laju Pertumbuhan Sel Fitoplankton Chaetoceros calcitrans,Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, danPorphyridium cruentum telah dilakukan. Pada penelitian kali inidigunakan air laut dengan penambahan medium Conway dan vitamin sebagai media kultur pada keempatjenis fitoplankton uji. Fitoplankton uji diberikan perlakuan yang sama. Hasil Penelitian memperlihatkan

    bahwa fitoplankton Chlorella vulgaris menghasilkan jumlah kepadatan sel paling tertinggi, yakni 3060 x 104

    sel/mL pada hari ke-14.

    Kata kunci: Chlorella vulgaris, fitoplankton, laju pertumbuhan, kepadatan sel

    Abstract. The research about Determination of Cell Growth Rate by phytoplankton Chaetoceros calcitrans,

    Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, and Porphyridium cruentum have been done. It used sea water that

    was added by Conway medium and vitamin as culture media on the fourth species of phytoplankton test. The

    phytoplankton test has given same conditions. The result indicated that phytoplankton C. vulgaris is the

    higher cell density 3.060 x 104 cell/mL on 14th day.

    Key words: cell density, Chlorella vulgaris, growth rate, phytoplankton

    PENDAHULUANPerubahan terhadap kualitas perairan

    dapat ditinjau dari kelimpahan dan komposisi

    fitoplankton. Keberadaan fitoplankton di

    suatu perairan dapat memberikan informasi

    mengenai keadaan perairan. Fitoplankton

    merupakan parameter biologi yang dapat

    dijadikan indikator untuk mengevaluasi

    kualitas dan tingkat kesuburan suatu

    perairan (bioindikator) (Wijaya dan Hariyanti,

    2005).Dalam proses fotosintesisnya,

    fitoplankton memanfaatkan dan mengubah

    unsur-unsur anorganik menjadi bahan

    organik dengan bantuan cahaya matahari.

    Kemampuan dalam menyerap cahaya

    matahari oleh seluruh permukaan sel

    menjadikan peranannya lebih penting dari

    pada tanaman air (Asmara, 2005).

    Selain memiliki peranan penting

    dalam habitatnya, fitoplankton juga memiliki

    peranan penting dalam kehidupan manusia,

    salah satunya dalam bidang kesehatan. Hal ini

    disebabkan kandungan nilai gizi yang tinggi

    yang terdapat pada fitoplankton. Menurut

    Hasanah (2011), fitoplankton dapat

    menambah nilai gizi pada makanan dan

    mempunyai pengaruh yang positif terhadap

    kesehatan manusia. Biomassa fitoplankton

    kaya nutrien antara lain asam lemak omega 3

    dan 6, asam amino esensial (leusin, isoleusin,

    valin, dan lain-lain), dan karoten. Beberapa

    jenis fitoplankton juga memiliki kandungan

    protein yang tinggi. Asam amino padafitoplankton lebih baik jika dibandingkan

    dengan sumber protein makanan yang lain.

    Fitoplankton juga memiliki kandungan

    karbohidrat dalam bentuk pati, glukosa, gula,

    dan polisakarida lain. Beberapa keunggulan

    lain dari fitoplankton tidak tergantung pada

    iklim dan cuaca, waktu tumbuh cepat

    sehingga dapat dipanen dalam waktu yang

    tidak terlalu lama, dapat diproduksi terus-

    menerus, tidak dapat menyebabkan dampak

    buruk bagi lingkungan, serta produksinya

    dapat dikendalikan sesuai dengan kebutuhan

  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    2/7

    2

    *Alamat koresponden: [email protected]

    dan keinginan, serta aman bagi kesehatan.

    Fitoplankton memiliki komponen aktif

    yang dimanfaatkan dalam bidang industri

    pangan, kosmetik, pharmaceutical dan

    neutraceutical. Komponen aktif fitoplankton

    antara lain fenol, terpenoid, sterol, flavonoid

    dan polisakarida. Selain itu, fitoplankton jugamengandung pigmen (klorofil, phycobillin,

    karoten) tokoperol, EPA dan DHA (El-Baky

    dkk, 2008). Komponen aktif mikroalga

    mempunyai aktivitas antimikroba (Abedin

    dan Taha 2008); antitumor dan antimikroba

    (Taskin dkk, 2010); dan aktivitas antioksidan

    (Marxen dkk, 2007).

    Salah satu fitoplankton yang

    mempunyai komponen aktif tersebut adalah

    Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris,

    Dunaliella salina, dan Porphyridiumcruentum. C. vulgaris telah digunakan

    sebagai alternatif obat yakni sebagai

    antioksidan dan antinyeri selain memiliki efek

    hipoglikemik. Secara luas, C. vulgaris telah

    diproduksi dan dipasarkan sebagai suplemen

    makanan pada Negara Cina, Jepang, Eropa,

    dan Amerika (Mayasari, 2012). Menurut

    Hasanah (2011), P. cruentum memiliki

    komponen aktif yang dimanfaatkan sebagai

    antivirus, antibakteri, dan antioksidan.

    Menurut Mayasari (2012), Dunaliella salinamemiliki kandungan -karoten yang tinggi

    dan berpotensi sebagai suplemen makanan,

    serta Chaetoceros calcitrans yang memiliki

    kandungan protein yang banyak. Mengingat

    fungsi dari fitoplankton yang sangat

    bermanfaat, maka perlu dilakukan penelitian

    untuk menentukan laju pertumbuhan sel

    fitoplankton tersebut.

    Berdasarkan uraian di atas, maka perlu

    dilakukan penelitian mengenai PenentuanLaju Pertumbuhan Sel Fitoplankton

    Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris,

    Dunaliella salina, dan Porphyridium

    cruentum.

    METODE PENELITIAN

    Bahan PenelitianBahan-bahan yang digunakan pada

    penelitian kali ini yakni biakan fitoplankton

    Chaetoceros calcitrans yang berasal dari

    Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

    Maros, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina,

    danPorphyridium cruentum yang berasal dari

    Balai Budidaya Air Jepara, air laut yang

    berasal dari daerah pantai Makassar, alkohol,

    FeCl2.6H2O, H3BO3, MnCl2.4H2O,Na-EDTA,

    NaH2PO4.2H2O, NaNO3, ZnCl2, CoCl2.6H2O,

    (NH4)6MoO24.4H2O, CuSO4.5H2O, VitaminB12, Vitamin B1, Na2SiO3.5H2O, akuades,

    kertas saring, dan aluminium foil.

    Alat PenelitianAlat-alat yang digunakan pada

    penelitian kali ini yakni alat-alat gelas yang

    pada umumnya digunakan pada laboratorium,

    set lampu neon philips 40 watt, toples yang

    terbuat dari bahan gelas, panci, selang, batu

    aerator, aerator,salinometer, haemositometer,

    pompa vakum, corong Buchner, danmikroskop Nikon type 102.

    Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilakukan di

    Laboratorium Kimia Anorganik dan

    Laboratorium Organik, Jurusan Kimia

    Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

    Alam Universitas Hasanuddin Makassar pada

    bulan Juni 2012Oktober 2012.

    Prosedur

    Pembuatan medium ConwaySatu liter larutan stok A dididihkan

    dan ditambahkan 2 mL larutan stok B.

    Campuran larutan Conway ini ditambahkan

    ke dalam air laut steril yang tidak

    mengandung fitoplankton (1 mL per 1 L air

    laut), kemudian ditambahkan 1 tetes stok C.

    Untuk Fitoplankton yang dinding selnya

    terbuat dari silika, ditambahkan lagi 1 mL

    stok D.

    Mengkultur Fitoplankton Chaetoceros

    calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella

    salina, danPorphyri dium cruentumAir laut ditampung dalam wadah

    kemudian disterilkan dan disaring dengan

    menggunakan kertas saring, selanjutnya

    diukur salinitasnya dengan menggunakan alat

    salinometer. Setelah itu, air laut steril

    ditambahkan medium Conway, kemudian

  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    3/7

    3

    *Alamat koresponden: [email protected]

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    2000

    2200

    2400

    2600

    2800

    3000

    3200

    3400

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

    Jumlahkepadatansel(104mL/sel)

    Waktu Pertumbuhan (hari)

    C.calcitrans

    C.vulgaris

    D.salina

    P.cruentum

    dilakukan aerasi untuk pengkondisian CO2,

    dan ditambahkan fitoplankton.

    Untuk memperoleh salinitas air laut

    yang sesuai untuk spesies fitoplankton uji

    dilakukan dengan cara pengenceran atau

    pemekatan. Cara mendapatkan kepadatan

    fitoplankton yang diinginkan digunakanrumus pengenceran:

    V1 x N1 = V2 x N2

    Dimana; V1 = Volume fitoplankton yang

    dibutuhkan, V2 = Volume kultur,

    N1 = Kepadatan sel fitoplankton stok,

    N2 = Kepadatan sel fitoplankton kultur

    Penghitungan kepadatan sel

    fitoplankton menggunakan alat

    Haemositometer dengan pengamatan

    mikroskop.

    Menentukan Waktu PertumbuhanFitoplankton Chaetoceros calcitrans,

    Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, dan

    Porphyri dium cruentum.Penentuan pola pertumbuhan

    fitoplankton, dilakukan dengan penghitungan

    jumlah sel per mililiter medium setiap 24 jam.

    Contoh diambil dengan pipet tetes steril,

    diteteskan sekitar 0,1-0,5 mL pada

    Haemositometer, kemudian diamati melalui

    mikroskop. Bila kepadatan sel masih normal,

    penghitungan kepadatannya menggunakan

    rumus:

    ( )

    Bila kepadatan selnya terlalu tinggi,

    penghitungannya menggunakan rumus:

    Jumlah sel/mL =Jumlah sel dalam 4 bagian x

    4 x 10.000

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pertumbuhan Sel Fitoplankton laut

    Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris,

    Dunaliella salina, dan Porphyridium

    cruentum.

    Pengamatan pola pertumbuhan keempat selfitoplankton dilakukan setiap 1 hari selama 18

    hari waktu pertumbuhan dalam media kultur

    air laut dengan penambahan medium Conway

    serta vitamin. Grafik pola pertumbuhan

    keempat sel fitoplankton tersebut ditunjukkan

    pada Gambar 1:

    Gambar 1. Grafik pola pertumbuhan sel masing-masing fitoplankton

    1 3 5 7 9 11 13 15 17

    Train Line

  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    4/7

    4

    *Alamat koresponden: [email protected]

    Menurut Martossudarmo dan Wulani

    (1990), dalam Budidaya (2009), pertumbuhan

    fitoplankton secara umum ditandai dengan

    empat tahap terpisah yaitu tahap adaptasi,

    tahap eksponensial, tahap stationer, dan tahap

    kematian. Berdasarkan grafik yang

    ditunjukkan pada Gambar 1, dapat diketahuibahwa waktu pertumbuhan yang dibutuhkan

    oleh fitoplankton C. calcitrans, C. vulgaris,

    D. salina, dan P. cruentum untuk beradaptasi

    terhadap media kultur (air laut yang

    ditambahkan dengan medium Conway dan

    vitamin) cukup singkat, yakni dua hari. Hal

    ini dapat dilihat pada grafik kepadatan sel,

    dimana kepadatan sel pada hari pertama

    hingga hari kedua belum menunjukkan

    jumlah pertumbuhan sel yang signifikan, hal

    ini dikarenakan masih sedikitnya jumlah selyang mengalami proses pembelahan.

    Pertumbuhan signifikan mulai terjadi pada

    hari ketiga, yang berarti proses pembelahan

    sel yang terjadi mulai optimal. Proses

    pertumbuhan signifikan terjadi hingga hari

    ke-11 untuk C. calcitrans dengan kepadatan

    sel tertinggi berjumlah 1238 x 104 mL/sel,

    hari ke-14 untuk C. vulgaris dengan

    kepadatan sel tertinggi berjumlah

    3060 x 104 mL/sel dan D. salina dengan

    kepadatan sel tertinggi berjumlah515 x 104 mL/sel, serta hari ke-16 untuk

    P. cruentum dengan kepadatan sel tertinggi

    berjumlah 2387 x 104mL/sel. Setelah proses

    pembelahan sel mencapai puncak, maka tak

    terjadi proses pembelahan sel lagi, yang

    artinya laju pertumbuhan seimbang dengan

    laju kematian. Tahap ini dinamakan tahap

    stationer. Tahap stationer mulai terjadi pada

    hari ke-12 untuk C. calcitrans, hari ke-15

    untuk C. vulgaris dan D. salina, serta harike-17 untukP. cruentum. Tahap stationer

    terjadi dikarenakan jumlah pertumbuhan sel

    fitoplankton dalam media kultur semakin

    banyak, namun jumlah kandungan nutrien

    dalam media kultur semakin menurun.

    Selanjutnya keempat fitoplankton mengalami

    tahap kematian, yakni penurunan jumlah sel

    dikarenakan laju kematian sel lebih tinggi

    daripada laju pertumbuhan sel sehingga

    kepadatan populasi semakin menurun.

    Menurut Rusyani (2001), terjadi penurunan

    jumlah sel dikarenakan baik kandungan

    nutrien maupun media kultur berada dalam

    jumlah yang terbatas. Pada awal kultur,

    kandungan nutrien masih tinggi, yang

    dimanfaatkan oleh masing-masing

    fitoplankton untuk melakukan proses

    pertumbuhan. Peningkatan jumlah sel akanterhenti pada satu titik puncak populasi, pada

    titik tersebut kebutuhan nutrien menjadi

    semakin lebih besar, sedangkan kandungan

    nutrien dalam media semakin menurun karena

    tidak dilakukannya penambahan nutrien.

    Selain itu, juga terjadi persaingan

    memperebutkan tempat hidup karena semakin

    banyak jumlahnya sel dalam volume yang

    tetap. Menurut Fogg (1975) dalam Utomo

    dkk (2005), adanya bayangan populasi dari

    selnya sendiri (self shading) jugamenyebabkan berkurangnya intensitas cahaya

    yang diserap sehingga dapat mengakibatkan

    kematian. Ketiga faktor inilah yang

    menyebabkan kematian individu dan

    sekaligus memperkecil jumlah sel-sel yang

    tumbuh, sehingga setelah mengalami puncak

    akan mengalami penurunan jumlah sel.

    Penggunaan medium Conway dan

    vitamin sebagai media kultur untuk keempat

    fitoplankton dengan kepadatan awal

    10 x 104 sel/mL medium untukC. calcitrans,C. vulgaris, dan P. cruentum serta 20 x 104

    sel/mL medium untukD. salina.C. calcitrans

    mengalami peningkatan sebanyak 28 kali

    lipat dari kepadatan awal selama 14 hari

    kultur, C. vulgaris sebanyak 69,5 kali lipat

    dan D. salina sebanyak 10,5 kali lipat dari

    kepadatan awal selama 15 hari kultur, serta

    P. cruentum 85 kali lipat dari kepadatan awal

    selama 17 hari kultur.

    Menurut Garofalo (2010) dalamMayasari (2012), kebutuhan nutrien sangat

    berkorelasi dengan sifat morfologi dari

    fitoplankton, dalam hal ini ukuran sel dan

    tingkat pergerakan sel, yakni 6-8 m untuk

    C. calcitrans (Sumeru, 2008), 2-8 m untuk

    C.vulgaris (Chinnasamy dkk, 2009), 9-11 m

    untukD. salina (Abusara dkk, 2011), dan

    4-9 m untukP. cruentum (Lee, 1989).

    Gambar 1 menunjukkan pola

    pertumbuhan dari keempat fitoplankton di

    dalam kondisi medium Conway dan vitamin

  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    5/7

    5

    *Alamat koresponden: [email protected]

    yang mana jumlah nutrien yang terkandung

    adalah sama. Dari gambar tersebut dapat

    dilihat bahwa jumlah pertumbuhan sel pada

    keempat fitoplankton dari yang paling tinggi

    ke yang paling rendah secara berturut-turut

    adalah C. vulgaris, P. cruentum,

    C. calcitrans, dan D. salina. Hal inidisebabkan karena sifat morfologi dari

    C. vulgaris. C. vulgaris mempunyai ukuran

    sel yang paling kecil bila dibandingkan

    dengan P. cruentum, C. calcitrans, dan

    D. salina, yang menyebabkan luas permukaan

    sel semakin besar sehingga proses masuknya

    nutrien ke dalam jaringan sel lebih cepat

    terjadi. Selain itu, Menurut Mayasari (2012),

    C. vulgaris tak memiliki alat gerak berupa

    flagella, tak seperti ketiga fitoplankton

    lainnya, sehingga nutrien hanya dimanfaatkanuntuk proses pertumbuhan dan pergerakan sel

    saja, tak untuk pergerakkannya.

    Namun apabila diperbandingkan

    pertumbuhan antara C. calcitrans, D. salina,

    danP. cruentum, makaP. cruentum memiliki

    tingkat pertumbuhan sel yang lebih tinggi

    daripada C. calcitrans danD. salina. Apabila

    diperbandingkan lagi antara C. calcitrans dan

    D. salina, C. calcitrans memiliki tingkat

    pertumbuhan yang lebih tinggi daripada D.

    salina. Hal ini terjadi dikarenakan ukuran seldari fitoplankton tersebut. Semakin kecil

    ukuran sel fitoplankton, maka luas permukaan

    sel semakin besar, sehingga proses masuknya

    nutrien ke dalam jaringan sel lebih cepat

    terjadi. Urutan ukuran sel dari yang paling

    kecil ke yang paling besar secara berturut-

    turut adalah P. cruentum 4-9 m, C.

    calcitrans 6-8 m, dilanjutkan dengan D.

    salina 9-11 m.

    KESIMPULAN

    Fitoplankton Chlorella vulgaris

    merupakan jenis fitoplankton yang memiliki

    jumlah kepadatan sel paling banyak, yakni

    3060 x 104mL/sel pada hari ke-14.

    DAFTAR PUSTAKAAbusara, N.F., Emeish, S., and Sallal, A.K.J.,

    2011, The Effect of Certain

    Environmental Factors on Growth

    and -carotene Production by

    Dunaliella sp. Isolated from Dead

    Sea, Jordan Journal of Biological

    Science, 4 (1): 29-36.

    Andewi, N.M.A.Y. dan Hadi, W., 2011,

    Produksi Gas Hidrogen melalui

    Proses Elektrolisis Air sebagaiSumber Energi, skripsi tidak

    diterbitkan, Jurusan Teknik

    Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil

    dan Perencanaan, Institut Teknik

    Sepuluh November, Surabaya.

    Anggreani, N., 2009, Penentuan Parameter

    Pencemaran berdasarkan

    Keragaman Jumlah Fitoplankton

    Cholerra sp. di Perairan, skripsi

    tidak diterbitkan, Jurusan Teknikkimia, Fakultas Teknik, Universitas

    Indonesia, Jakarta.

    Berg, J.M., Tymoczko, J.L., and Stryer L.,

    2002, Biochemistry 5th edition, New

    York, WH Freeman.

    Boney, A.D., 1983, Phytoplankton, Edwar

    Arnold ( Publishers) Limited,

    London.

    Budidaya P., 2009, Budidaya Pakan Alami

    (Fytoplankton, Zooplankton, dan

    Benthos), (online),

    (http://ardivedca.blogspot.com/, diakses

    tanggal 25 Mei 2012, pukul

    22.45 wita).

    Carlsson, A.S., Bellen, J.B.V., Moller, R., and

    Clayton, D., 2007, Micro and Macro

    Algae: Utility For IndustrialApplications, EPOBIO Project, USA.

    Fazeli, M.R., Tofighi, H., Samadi, N.,

    Jamalifar, H., and Fazeli, A., 2006,

    Carotenoid Accumulation by

    Dunaliella tertiolecta (Lake Urmia

    Isolate) and Dunaliella salina (CCAP

    19/18 & WT) under Stress Condition,

    Department of Drug and Food and

    Pharmaceutical Science Research

    Center, Iran.

    http://ardivedca.blogspot.com/http://ardivedca.blogspot.com/http://ardivedca.blogspot.com/http://ardivedca.blogspot.com/
  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    6/7

    6

    *Alamat koresponden: [email protected]

    Hemschemeier, A., Melis, A., and Happe, T.,

    2009, Analytical approaches to

    photobiological hydrogen production

    in unicellular green alga, Photosynth

    res, 102 (2009): 523-540.

    Herlinah, 2010, Karakteristik Genetik

    Berbagai Spesies Chaetoceros Serta

    Analisis Pemanfaatannya pada

    Perbenihan Udang Windu (Panaeus

    monodon), laporan tidak diterbitkan,

    Dewan Riset Nasional Kementrian

    Negara Riset dan Teknologi, Jakarta.

    Karyati, Y., Rahmawati, I., Rachmawaty, R.,

    Addarojah, Z., 2011,Manajemen dan

    Konservatif Energi AnalisaBiohidrogen, skripsi tidak

    diterbitkan, Jurusan Teknik Kimia,

    Fakultas Teknik, Universitas

    Diponegoro, Semarang.

    Kundu, K., Kulshrestha, M., Dhar, N., and

    Roy, A., 2012, Production of

    Hidrogen as a Potential Source of

    Renewable Energy from Green

    Algae, 2012 IACSIT Coimbatore

    Conferences,28: 57-62

    Kurniawan, M., Izzati, M., dan Nurchayati,

    Y., 2010, Kandungan Klorofil,

    Karotenoid, dan Vitamin C pada

    Berbagai Spesies Tumbuhan Akuatik,

    Buletin Anatomi dan Fisiologi,

    18 (1): 31-37.

    Kusmiyati dan Agustini, N.W.S, 2007, Uji

    Aktivitas Senyawa Antibakteri dariMikroalga Porphyridium cruentum,

    Jurnal Biodiversitas 8 (1): 48-53.

    Lee, E.R., 1989, Phycology, Second edition,

    Cambridge, Cambridge University

    Press.

    Mayasari, E., 2012, Efek Penambahan Fe2+dan Mn2+ Terhadap Produktifitas-Karoten oleh FitoplanktonDunaliella salina, Isocrysis galbana,dan Chlorella vulgaris, thesis tidak

    diterbitkan, Program Magister IlmuKimia, Fakultas Matematika danIlmu Pengetahuan Alam UniversitasHasanuddin, Makassar.

    Muliawati, N., 2008, Hidrogen sebagai Sel

    Bahan Bakar Sumber Energi Masa

    Depan, skripsi tidak diterbitkan,

    Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

    Teknik, Universitas Lampung,

    Lampung.

    Rahman, A., 2010, Nutrien Pembatas diEast

    River; Korea, Bioscientiae, 7 (2):

    1-16.

    Riyono, S.H., 2006, Beberapa Metode

    Pengukuran Klorofil FitoplanktonLaut, Oseana, 31 (3): 33-44.

    Riyono, S.H., 2007, Beberapa Sifat Umum

    dari Klorofil Fitoplankton, Oseana,

    32 (1): 23-31.

    Rusyani, E., 2001, Pengaruh Dosis Zeolit

    yang Berbeda terhadap Pertumbuhan

    Isochrysis galbana Klon Tahiti Skala

    Laboratorium dalam Media

    Komersial, skripsi tidak diterbitkan,Progran Studi Budidaya Perairan,

    Fakultas Perikanan dan Kelautan,

    Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    Sumeru, S., 2008, Artikel Budidaya

    Perikanan, (online),

    (http://www./2008_10_01_arcive.html,

    diakses tanggal 25 Mei 2012, pukul

    01.30 wita).

    Suzuki, J.Y., Bollivar, D.W., dan Bauer, C.E.,1997, Genetic Analysis of

    Chlorophyll Biosynthesis, Annual

    Review of Genetics, (31): 61-89.

    Utomo, N.B.P., Winarti, dan Erlina, A., 2005,

    Pertumbuhan Spriluna plantesis yang

    Dikultur dengan Pupuk Inorganik

    (Urea, TSP, dan ZA) dan Kotoran

    Ayam, Jurnal Akuakultur Indonesia,

    4 (1): 41-48.

    http://www./2008_10_01_arcive.htmlhttp://www./2008_10_01_arcive.htmlhttp://www./2008_10_01_arcive.htmlhttp://www./2008_10_01_arcive.html
  • 7/22/2019 PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN FITOPLANKTON Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella salina, DAN

    7/7

    7

    *Alamat koresponden: [email protected]

    Wang, W.Y., Wang, W.L., Boynton, J.E., dan

    Gillham, N.W., 1974, Genetic

    Control of Chlorophyll Biosynthesis

    in Chlamydomonas, The Journal of

    Cell Biology, (63): 806-823.

    Yudha, A.P., 2008, Senyawa Antibakteri dari

    Mikroalga Dunaliella sp. Pada UmurPanen yang Berbeda, skripsi tidak

    diterbitkan, Program Studi Teknologi

    Perikanan Fakultas Perikanan dan

    Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

    Bogor, Bogor.