Upload
dangtuyen
View
294
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 81
P-1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN VAN HIELE UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN SISWA SMP KARUNADIPA PALU TERHADAP
KONSEP BANGUN- BANGUN SEGIEMPAT
M. Nur Yadil
Pendidikan Matematika, FKIP Univesitas Tadulako
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas untuk mengatasi masalah
pembelajaran geometri SMP Karunadipa Palu. Untuk mencapai maksud tersebut, maka
peneliti menerapkan pembelajaran geometri model Van Hiele.
Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah tiga siswa kelas I
SMP Karunadipa Palu tahun ajaran 2008/2009 khususnya tahap berpikirnya berada
pada tahap visualisasi. Sedangkan bahan ajar dibatasi pada bangun-bangun segiempat
yang terdiri dari jajargenjang, persegipanjang, belah ketupat, persegi, trapesium dan
layang-layang.
Sedangkan rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model Spiral
Kemmis dan Mc Taggart yang meliputi tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap
observasi/ evaluasi dan tahap refleksi. Penelitian ini dibagi dalam tiga siklus kegiatan,
masing-masing sebagai berikut: (1) siklus pertama dengan bahan ajar jajargenjang dan
persegipanjang, (2) siklus kedua dengan bahan ajar persegi dan belah ketupat dan (3)
siklus ketiga dengan bahan ajar trapesium dan layang-layang. Sedangkan data
dikumpul melalui tes , lembar observasi dan hasil wawancara. Pada umumnya data
bersifat kualitatif. Oleh karena itu pengolahan data menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa skenario pembelajaran yang dirancang
pada setiap siklus dapat meningkatkan pemahaman siswa dari tahap berpikir
visualisasi ke tahap analitik.
Kata Kunci: Van Hiele, pembelajaran, pemahaman, Bangun Segiempat, dan konsep.
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu matapelajaran sekolah yang sulit
dipahami siswa pada umumnya. Mungkin karena obyek kajian matematika sifatnya
abstrak dan hanya ada dalam mental atau pikiran yang mempelajarinya. Meskipun
demikian bila sajian materi matematika itu dikemas sedemikianrupa dengan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 82
pendekatan pembelajaran tertentu dan disesuaikan dengan perkembangan
inteletual siswa, maka akan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap
materi yang akan dipelajarinya.
Bangun-bangun segiempat merupakan bagian materi geometri dari
matapelajaran matematika SMP. Menurut Kurikulum 2006 (KTSP) materi ini
diajarkan pada semester pertama di kelas I SMP. Berdasarkan kurikulum tersebut
kajian materinya meliputi pengertian bangun-bangun segiempat, sifat-sifat
bangun-bangun segiempat, keliling dan luas bangun-bangun segiempat.
Berdasarkan pengalaman mengajar para guru matematika yang
mengajarkan konsep-konsep bangun-bangun segiempat di SMP Karuna Dipa Palu
ternyata materi tentang pengertian dari bangun-bangun segiempat tersebut sangat
sulit dipahami siswa. Dalam hal ini siswa sangat sulit memahami pengertian
bangun-bangun segiempat itu bila disajikan dalam bentuk definisi formal. Pada
umumnya siswa hanya menghafal saja definisi itu tanpa memahami makna dari
definisi tersebut. Sebagai akibatnya siswa sulit untuk memahami sifat-sifat dan
hubungan antara sifat dari bangun-bangun segiempat tersebut. Sebagai contoh
dari hasil tes yang merupakan hasil survey awal kami dari calon peneliti ditemukan
bahwa ada siswa berpendapat bahwa jajargenjang merupakan persegipanjang
dengan alasan bahwa bentuk kedua bangun datar tersebut serupa.
Bila kondisi tersebut tidak ditangani secara intensif oleh pengajar (guru
matematika), maka siswa akan mengalami kesulitan yang lebih fatal lagi dalam
memahami konsep-konsep bangun-bangun ruang (kubus, balok, limas dan lain-
lain). Karena untuk memahami konsep-konsep bangun-bangun ruang dalam
geometri siswa terlebih dahulu harus memahami dengan baik konsep-konsep
bangun-bangun datar (bangun-bangun segiempat). Hal ini sesuai dengan pendapat
Hudojo (1990:4) bahwa “...mempelajari konsep B yang mendasarkan pada konsep
A, seseorang perlu memahami lebih dahulu konsep A. Tanpa memahami konsep A,
tidak mungkin orang tersebut akan dapat memahami konsep B”.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian (Sunardi:2000, Kho:1996,
Fuys,dkk:1988, Burger & ShaughnessyL 1986) menyatakan bahwa tahap berpikir
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 83
siswa SMP dalam belajar geometri dicapai tertinggi pada tahap dua (abstraksi) dan
sebagian besar mereka berada pada tahap nol (visualisasi). Padahal berdasarkan
teori perkembangan intelektual dari Piaget bahwa siswa SMP ideal tahap
berpikirnya berada pada tahap formal. Akibat dari fenomena tersebut bahwa siswa
yang berada pada tahap berpikir visualisasi pada umumnya mereka mengalami
kesulitan dalam memahami konsep-konsep geometri yang disajikan secara formal.
Hal ini berarti pembelajaran dengan pendekatan informal- induktif perlu untuk
kelompok siswa yang berada pada tahap berpikir visualisasi.
Salah satu pembelajaran geometri yang menggunakan pendekatan informal
– induktif adalah pembelajaran geometri model Van Hiele. Menurut Van Hiele
apabila pembelajaran ini dirancang dengan tepat akan dapat meningkatkan tahap
berpikir siswa. Dengan demikian berarti akan dapat meningkatkan pemahaman
siswa terhadap konsep yang akan dipelajarinya.
Dengan demikian, atas dasar pemikiran dan fenomena di atas kami calon
peneliti tertarik untuk mengkaji masalah tersebut lewat suatu penelitian tindakan
kelas khusus untuk kelompok siswa yang berada pada tahap berpikir visualisasi.
b. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan di atas, maka masalah penelitian ini
dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
“Bagaimanakah skenario pembelajaran model Van Hiele yang dapat meningkatkan
pemahaman siswa SMP Karuna Dipa Palu dalam memahami konsep bangun-
bangun segiempat?”.
c. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
a. menghasilkan perangkat (skenario) pembelajaran tertentu untuk meningkatkan
pemahaman siswa SMP dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat.
Tentu skenario pembelajaran yang dimaksud mengacu pada model pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 84
Van Hiele khusus untuk kelompok siswa yang tahap berpikirnya visualisasi (kasus
tertentu).
b. membantu guru matematika dalam rangka meningkatkan pemahaman kelompok
siswa yang tahap berpikirnya visualisasi dalam memahami konsep bangun-bangun
segiempat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi:
a. guru matematika SMP Karuna Dipa Palu dalam upaya meningkatkan kualitas
pembelajaran geometri. Karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan selama ini
bersifat mekanistik sehingga perlu ada suatu inovasi pembelajaran yang bersifat
konstruktivis. Selain itu juga hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan
banding atau bekal pengetahuan bagi guru matematika SMP Karuna Dipa Palu
khususnya dalam rangka merancang pembelajaran untuk kegiatan remidi.
b. siswa SMP Karuna Dipa Palu dalam rangka meningkatkan kemampuan dirinya
untuk dapat memahami konsep bangun-bangun segiempat.
c. pihak sekolah dalam rangka menambah khasanah perangkat pembelajaran
geometri SMP yang dimilikinya. Selain itu pula sebagai bahan informasi bagi pihak
sekolah (SMP) Karuna Dipa Palu dalam rangka mengambil kebijakan perbaikan dan
inovasi dalam bidang pendidikan.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian tindakan kelas ini termasuk penelitian tindakan partisipan.
Siswa kelas I SMP Karuna Dipa tahun ajaran 2007/2008 yang dijadikan subyek
penelitian. Kriteria siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah siswa yang
tahap berpikirnya dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat berada pada
tahap visualisasi.
Jenis data dalam penelitian ini pada umumnya bersifat kualitatif. Data ini
diperoleh dari hasil observasi selama tindakan dan setelah tindakan pembelajaran
pada setiap siklus. Data ini juga diperoleh dari hasil wawancara sebelum
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 85
dan setelah tindakan pembelajaran bila semua siklus telah selesai. Data kualitatif juga
diperoleh dari hasil observasi dalam bentuk catatan lapangan para observer.
Wawancara dengan menggunakan Pedoman wawancara Terstruktur yang diadopsi dari
Eksprimental Task yang terdapat pada Appendix A (pp.35-53) dalam Final Report
Assessing Children’s Intellectual Growth In Geometry. Pedoman wawancara ini untuk
menjaring siswa yang menjadi subyek penelitian. Selain itu juga untuk menentukan
tahap berpikir siswa dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat setelah
diberikan tindakan pembelajaran (bila semua siklus telah berakhir).
Observasi dengan menggunakan Pedoman Observasi Terstruktur untuk
mengetahui kesesuian pelaksanaan tindakan pembelajaran yang dilakukan dengan
rancangan dan perangkat pembelajaran yang digunakan.
Sedangkan perangkat pembelajarannya terdiri atas (1) Skenario pembelajaran
yang merupakan rencana pembelajaran (RP) dan, (2) Lembaran Kerja Siswa (LKS).
Perangkat pembelajaran ini dibuat sedemikian rupa mengacu pada teori pembelajaran
geometri menurut Van Hiele.
Rancangan penelitian tindakan kelas ini mengikuti model Spiral Kemmis dan Mc
Taggart yang terdiri atas tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap observasi/ evaluasi
dan tahap refleksi.
Indikator keberhasilan tindakan pembelajaran pada setiap siklus ditentukan oleh
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) minimal dicapai 75% dari keseluruhan TPK pada tes
tindakan pembelajaran pada siklus tersebut. Bila pada suatu siklus indikator
keberhasilan itu belum dicapai, maka akan dilanjutkan tahap-tahap kegiatan seperti
diuraikan diatas dengan memperbaiki rancangan dan perangkat pembelajaran yang
digunakan. Bila pada suatu siklus tertentu indikator keberhasilannya tercapai maka
kegiatan-kegiatan pada siklus tersebut dinyatakan berakhir dan akan dilanjutkan pada
siklus berikutnya dengan materi (bahan ajar) yang lain. Bila semua bahan ajar tersebut
telah selesai diajarkan dengan mengalami beberapa siklus dan setiap tindakan pada
siklus tersebut berhasil, maka kegiatan penelitian selanjutnya mewawancarai subyek
penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang dianggap telah baku
tersebut untuk menentukan tahap berpikir siswa setelah diberikan pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 86
dengan menerapkan model pembelajaran Van Hiele. Bila tahap berpikir subyek
penelitian telah mencapai tahap analitik, maka skenario (perangkat) pembelajaran
yang digunakan dalam penelitian ini cukup berhasil dapat meningkatkan pemahaman
siswa SMP Karunadipa Palu dalam memahami konsep bangun-bangun segiempat.
Demikian sebaliknya bila ada subyek penelitian tahap berpikirnya belum pencapai
tahap analitik, maka akan dilakukan pengecekan kembali terhadap kelemahan atau
kekurangan pada perangkat pembelajaran tersebut.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil tindakan pada siklus I
Dari hasil tindakan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus pertama
ini diperoleh hasil bahwa hasil wawancara dan tes tindakan I menunjukan bahwa:
1. Subyek penelitian 1 (S1) mampu menentukan sifat-sifat persegi panjang dan
jajargenjang dengan lengkap. S1 juga mencoba mendefinisikan persegi panjang
dan jajargenjang, tetapi salah. S1 dapat menggambar jajargenjang dan
persegipanjang serta diagonal-diagonalnya dengan sempurna.
2. Subyek penelitian 2 (S2) hanya dapat menetukan sebagian sifat-sifat
persegipanjang dan jajargenjang serta dapat menggambar kedua bangun
tersebut dengan sempurna. Tetapi ia tidak dapat mendefinisikan kedua bangun
tersebut.
3. Sedangkan subyek penelitian 3 (S3) dapat menentukan sifat-sifat
persegipanjang dan jajargenjang serta dapat menggambar kedua bangun
tersebut dengan sempurna. S3 mencoba mendefinisikan kedua bangun
tersebut, tetapi kurang tepat (salah). Berdasarkan hasil tes tindakan 1 ini,
ternyata S3 dalam menggunakan istilah –istilah dalam geometri. Misalnya
susut-sudut dalam persegipanjang sama panjang dan titik-titik sudutnya sama
besar. Padahal yang ia maksudkan adalah besar sudutnya bukan titik sudutnya.
Dengan demikian penguasaan ketiga subyek penelitian tentang materi ini
cukup baik, hal ini ditandai dengan ketuntasan TPK utama (100%) dicapai.
Dengan kata lain tindakan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada siklus
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 87
pertama ini cukup berhasil. Hasil ini dapat memberi rekomandasi peneliti untuk
melanjutkan penelitian ini pada siklus berikutnya.
Hasil Tindakan Siklus II
Berdasarkan hasil tes tindakan 2 serta hasil wawancara kepada subyek
penelitian, diperoleh informasi bahwa:
1. Subyek penelitian 1 (S1) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat
meskipun tidak lengkap. S1 ini belum dapat menentukan definisi kedua bangun
tersebut. Kemampuan verbal yang dimiliki S1 ini relatif kurang, sehingga dalam
proses pembelajaran perlu dibimbing secara hati-hati oleh guru sehingga tingkat
pemehamannya terhadap konsep yang diajarkan dapat lebih meningkat.
2. Subyek penelitian 2 (S2) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat
dengan lengkap. Tetapi S2 belum mampu mendefinisikan kedua bangun tersebut,
ia hanya mengulangi saja menulis sifat-sifat persegi dan belah ketupat. Hal ini
berarti S2 belum memahami cara mendefinisikan suatu konsep. Berdasarkan hasil
wawancara S2 ini beranggapan bahwa belah ketupat merupakan jajargenjang yang
dibalik. Hal ini berbarti konversi siswa terhadap suatu gambar merupakan hal yang
perlu diperhatikan dengan baik oleh guru dalam mengajarkan geometri.
3. Subyek penelitian 3 (S3) dapat menentukan sifat-sifat persegi dan belah ketupat
dengan lengkap, tetapi mereka tidak dapat mendefinisikan kedua bangun tersebut.
Ternyata ketiga subyek penelitian itu dapat menentukan sifat-sifat persegi dan
belah ketupat. Hal ini berarti kedua TPK utama yakni siswa dapat menentukan sifat-
sifat persegi dan belah ketupat dalam tindakan pembelajaran pada siklus ini telah
tercapai (100%). Hal tersebut juga menggambarkan tingkat penguasaan siswa
terhadap bahan ajar mencapai di atas 85%. Dengan demikian tindakan pembelajaran
yang dilaksanakan pada siklus dua cukup berhasil, sehingga kegiatan penelitian ini
dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya.
Hasil Tindakan Siklus III
Berdasarkan hasil wawancara dan tes tindakan 3 diperoleh informasi bahwa:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 88
1. Subyek penelitian 1 (S1) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan layang-layang
meskipun belum lengkap. S1 juga dapat mendefinisikan trapesium dengan tepat,
tetapi belum dapat mendefinisikan layang-layang dengan lengkap.
2. Sedangkan subyek penelitian 2 (S2) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan
layang-layang meskipun belum lengkap, tetapi S2 mampu mendefinisikan
trapesium dan layang-layang meskipun belum sempurna.
3. Subyek penelitian 3 (S3) dapat menentukan sifat-sifat trapesium dan layang-layang
dengan lengkap, tetapi tidak mampu mendefinisikan kedua bangun tersebut
dengan sempurna. Dengan demikian TPK yang dirumuskan dalam tindakan
pembelajaran pada siklus ini dapat dicapai. Ternyata semua bahan ajar (materi)
bangun-bangun segiempat itu hanya dilaksanakan dalam tiga siklus dan setiap
tindakan dalam siklus tersebut cukup berhasil.
Sedangkan hasil wawancara dengan menggunakan Pedoman Wawancara yang
diadopsi dari Eksprimental Task yang terdapat pada Appendix A (pp.35-53) dalam Final
Report Assessing Children’s Intellectual Growth In Geometry terhadap ketiga subyek
penelitian ini setelah ketiga siklus tersebut selesai, diperoleh hasil ketiga subyek
penelitian itu telah mencapai tahap berpikir analitik. Hal ini berarti skenario
pembelajaran yang dirancang berdasarkan teori pembelajaran Van Hiele dapat
meningkatkan tahap berpikir siswa dari tahap visualisasi ke tahap analitik khususnya
pada topik bangun- bangun segiempat.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Ternyata skenario pembelajaran model Van Hiele yang digunakan dalam
pembelajaran pada pokok bangun-bangun segiempat dapat meningkatkan
pemahaman siswa. Skenario pembelajaran itu terdiri dari Rencana Pembelajaran
(RP 01, RP 02 dan RP 03) dan Lembar Kerja Siswa (LKS 1.1, LKS1.2, LKS 2.1, LKS
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 89
2.2, LKS 3.1 dan LKS 3.2). Peningkatan pemahaman siswa dimaksud dari tahap
berpikir visualisasi ke tahap berpikir analitik. Perangkat pembelajaran ini dapat
dilihat pada lampiran laporan penelitian ini.
2. Pembelajaran dalam seting kelompok yang sifatnya heterogen ternyata sangat
membantu siswa dalam memahami suatu konsep. Karena melalui negosiasi ide
dalam diskusi tingkat perkembangan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep
yang diajarkan dapat lebih meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky
bahwa dalam pembelajaran kelompok hakekat sosial belajar memegang peranan
sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi .1999. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara.
Bekti, Susilo. 2000. Pengembangan paket pembelajaran geometri pokok bahasan
segiempat berpandu pada langkah-langkah pembelajaran Van Hiele untuk
meningkatkan tahap berpikir siswa dari tahap visualisasi ke tahap analitik.
Tesis. PPS Unesa .
Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1990. Assessing Children’s Intelectual Growth in
Geometry . Final Report . Oregon : Oregon State University .
Carey,Lou and Dick, Walter. 1978. The Systematic Design of Instruction (3rd
ed). United
States Of America, Harper Collins.
Clements, D.H & Battista, M.T. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Handbook of
research on mathematics teaching and learning. NCTM.
Dahar, Ratna Willi. 1989. Teori- Teori Belajar. Erlangga.Jakarta
Depdikbud. 1993. GBPP SLTP Mata Pelajaran Matematika. Kurikulum Pendidikan
Dasar.Proyek Peningkatan SMA , Tenaga Edukatif dan BPG Jawa Timur.
Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SLTP.
Diknas Jakarta.
Fuys, D; Geddes, D:& Tischer, R. 1988. The Van Hiele Model of Thingking in Geometry
Among Adolescents. JRME , Monograph no.3 Reston: NCTM.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 90
Ibrahim, Muslimin. 2001. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut
Jerold E. Kemp & Thiagarajan. A reference used in the Overseas Fellowship
Program Contextual Learning Materials Development Proyek Peningkatan
Mutu SLTP, Jakarta.
Mudhoffir. 1990. Teknologi Instruksional. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Kho, Ronaldo. 1996. Tahap Berpikir Dalam Belajar geometri Siswa-siswa kelas II SMP
Abepura berpandu Model Van Hiele. Tesis. PPS IKIP Malang .
Pandoyo dkk.1994. Matematika 1b untuk SLTP. Balai Pustaka. Jakarta.
Ratumanan, T.G. 2001. Pengenalan Teori Vygotsky dan Implikasinya Dalam Pendidikan
Matematika. Buletin Pendidikan Matematika. Tahun 3, no.1 PS
Pend.Matematika FKIP Universitas Patimura Ambon.
Ruseffendi . 1985. Pengajaran Matematika Modern. Tarsito Bandung.
Soebakri. 1998. Penguasaan Tingkat Penalaran Geometrik Siswa SMU Negeri Kodya
Surabaya (Suatu Paradigma Evaluasi Penguasaan Tingkat Penalaran
Geometrik). Tesis. PPS IKIP Surabaya.
Soedjadi & Moesono, Djoko.1994. Matematika 2a untuk SLTP . Balai Pustaka .Jakarta.
Soedjadi.1996. Diagnosis Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Belajar Matematika
(Kajian kualitatif pembelajaran topik yang sering menjadi masalah). Laporan
Penelitian. FPMIPA IKIP Surabaya .
--------- . 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia . Dikti . Jakarta.
--------- . 1993. Fungsi Penelitian Kelas Secara Mandiri oleh Pengajar Matematika
sehubungan dengan Orientasi Matematika Sekolah Dalam Era
Perkembangan IPTEK ( Suatu upaya perbaikan implisit dan mencari model
pengajaran ). Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Tahun 15, no. 64
IKIP Surabaya .
Suparno ,P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.
Suwarsono ,ST .2000. Permasalahan-Permasalahan Dalam Pembelajaran Geometri dan
Pemikiran Tentang Upaya-upaya Pemecahannya .Makalah seminar nasional
geometri FPMIPA Univeritas Negeri Surabaya .
Soekamto , T & Winataputra, U.S.1995. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran.
Depdikbud Dikti. Jakarta.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 91
Sunardi.2000a. Pembelajaran Geometri SLTP dan Problematikanya. Makalah disajikan
pada seminar nasional pengajaran matematika sekolah menengah di
Universitas Negeri Malang . FPMIPA Universitas Negeri Malang.
-------- . 2000b. Teori Van Hiele sebagai dasar Pengembangan Bahan Pembelajaran
Geometri SLTP . Makalah kuliah Psikologi Kognitip. PPS Universitas Negeri
Surabaya.
-------- . 2000c. Hubungan Tingkat Berpikir Siswa Dalam Geometri dan Kemampuan
Siswa dalam Geometri. Jurnal Matematika .Universitas negeri Malang.
--------. 2000d. Tingkat Perkembangan Konsep Geometri Siswa Kelas 3 SLTP Di Jember.
Proseding Konferensi Naional X Matematika ITB, 17-20 Juli 2000.
Usiskin ,Z,& Senk,S. 1990. Evaluating a Test of Van Hiele Levels : A Response to Crowley
and Wilson. Journal for Research in Mathematics Education. Vol.21, no 3.
Reston : NCTM.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 92
P-2
MODEL PENGAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA GURU SMP
Drs. Syaiful, M.Pd
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FKIP Universitas Jambi
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mencobakan suatu model pengajaran Pemecahan Masalah
Matematika (PMM) di SMP. Rancangan penelitian berbentuk eksperimen dengan tes
awal dan tes akhir. Subyek sampel penelitian adalah 18 guru matematika di SMP di
Jambi. Pemilihan penelitian guru dilakukan dengan cara mengundang partisipasi
mereka secara sukarela. Sampel guru dipilih sedemikian rupa sehingga mewakili semua
tingkat kelas (I, II, dan III) yang berasal dari SMP.
Perlakuan diberikan secara bertingkat, yaitu peneliti mengajarkan PMM kepada
sampel guru, kemudian mereka mengajarkan PMM kepada siswa di kelasnya masing-
masing. Perlakuan kepada guru dilakukan sebanyak 7 kali pertemuan dengan sekitar 3
jam tiap pertemuan. Perlakuan kepada siswa dilaksanakan kepada subyek sample guru
sesuai dengan jadwal masing-masing dan dengan materi yang sama untuk tiap tingkat
kelas yang sama.
Penelitian ini melibatkan beberapa macam instrument, yaitu tes untuk guru
sebagai tes awal dan tes akhir, skala pendapat model Likerst dan angket tentang PMM
untuk guru, dan 6 set tes PMM untuk siswa, masing-masing 2 set tes (tes awal dan tes
akhir) untuk siswa kelas I, II, dan III. Instrumen untuk guru dibuat oleh peneliti, dan
penelitian untuk siswa dibuat oleh guru dan diperiksa kembali bersama-sama dengan
peneliti.
Dari hasil penelitian menemukan bahwa hasil belajar PMM guru tergolong baik,
sedang hasil belajar PMM siswa masih tergolong kurang, dan pendapat guru tentang
PMM cenderung positif. Selanjutnya ditemukan pula pengajaran PMM memberikan
perolehan belajar yang berarti untuk siswa kelas III. Meskipun guru menyatakan
kesetujuannya terhadap pengajaran PMM di SMP, dan ada kenaikan skor pendapat
guru terhadap PMM, perlakuan tidak memberikan peningkatan yang berarti mengenai
derajat kepositifan pendapat guru terhadap PMM.
Kata Kunci: PBM, pemecahan masalah matematika (PPM), model pengajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 93
Pendahuluan
Proses berfikir banyak diperlukan orang dalam memecahkan berbagai masalah.
Dalam beberapa hal mungkin sekali masalah perhitungan dapat diselesaikan dengan
menggunakan bantuan alat hitung yang sederhana atau yang canggih. Sebaliknya
proses berfikir dalam pemecahan memerlukan kemampuan intelektual tertentu yang
akan mengorganisasi strategi yang ditempuh sesuai dengan data dan permasalahan
yang dihadapi. Kemampuan intelektual seperti di atas akan melatih orang berfikir
kritis, logis dan kreatif, dimana cara berfikir semacam ini sangat diperlukan dalam
menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks.
Pentingnya pemilikan kemampuan penyelesaian masalah oleh siswa dalam
matematika dikemukakan oleh Branca (1980) sebagai berikut: 1) kemampuan
penyelesaian masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, bahkan
sebagai jantungnya matematika, 2) penyelesaian masalah meliputi metode, prosedur,
dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan 3)
penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Sebagai implikasi dari pendapat di atas, maka kemampuan penyelesaian masalah
hendaknya dimiliki oleh semua anak yang belajar matematika mulai dari tingkat
Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Polya(1956) dalam bukunya “How To Solve It”
menguraikan secara rinci empat langkah penyelesaian masalah disertai dengan
ilustrasi masalah, pertanyaan yang membimbing pemahaman tiap langkah, soal
latihan, dan menyelesaikannya dalam matematika. Keempat langkah itu adalah: 1)
memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian atau mencari alternatif
penyelesaian, 3) melaksanakan rencana atau perhitungan, dan 4) memeriksa atau
menguji kebenaran perhitungan atau penyelesaian. Serupa dengan Polya (1956),
Novak (1977) mengemukakan lima urutan kegiatan dalam penyelesaian masalah
sebagai berikut: 1) memahami masalah, 2) memilih atau mencari pengetahuan yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 94
relevan, 3) menyeleksi kemungkinan penyelesaian, 4) mengolah data, dan 5) menilai
kembali permasalahan
Dua penelitian (Utari dkk, 1993): Utari dalam Sanusi 1993) dengan
menggunakan tes yang berdasarkan langkah pemecahan masalah Polya, menemukan
masih rendahnya keterampilan siswa SMP (Utari, 1993) dan (Utari dalam Sanusi, 1993)
dalam menyelesaikan masalah matematika. Penemuan di atas mendorong peneliti
untuk merancang suatu model pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika pada guru SMP. Secara rasional bila guru telah
memiliki keterampilan pemecahan masalah matematika yang memadai, diharapkan
mereka dapat melaksanakan pengajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah
dan pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan keterampilan pemecahan masalah
matematika siswanya. Dengan memperhatikan pentingnya pemilikan keterampilan
pemecahan masalah matematika untuk semua yang belajar matematika, maka
penelitian ini dirasakan semakin perlu untuk dilaksanakan.
Perumusan Masalah
Penelitian ini mencoba suatu model pengajaran yang dapat meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah matematika subyek. Perlakuan diberikan secara
bertingkat, yaitu: peneliti memberikan perlakuan terhadap beberapa guru matematika
SMP, yang sedang mengikuti studi lanjut di Program Studi Pendidikan Matematika, dan
selanjutnya mereka memberikan perlakuan serupa kepada siswanya. Dengan demikian
penelitian ini menelaah efek perlakuan terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika pada guru dan siswa SMP.
Secara umum keberhasilan belajar seseorang antara lain dipengaruhi oleh
kesiapan belajar yang bersangkutan. Terdapat dua macam kesiapan belajar yaitu yang
bersifat kognitif dan yang bersifat afektif. Kesiapan belajar secara kognitif antara lain
berkaitan dengan penguasaan subyek terhadap pengetahuan dan jenis belajar yang
relevan dan pernah dipelajari dengan tuntutan belajar yang sedang dihadapi. Kesiapan
belajar secara efektif antara lain berhubungan dengan kesediaan subyek untuk
melaksanakan belajar, dan pandangan subyek terhadap obyek atau proses yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 95
dipelajarinya. Dalam penelitian ini kesiapan belajar yang ditelaah dibatasi pada subyek
guru.
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini ingin mengungkap empat pertanyaan
utama yaitu:
1) Bagaimana kualitas hasil belajar pemecahan masalah matematika guru dan siswa
SMP, ditinjau pada tiap langkah pemecahan masalah, secara keseluruhan, dan
pada tiap tingkat kelas siswa?
2) Adakah perolehan belajar yang berarti mengenai pemecahan masalah matematika
pada guru dan siswa SMP, ditinjau pada tiap langkah pemecahan dan secara
keseluruhan dan pada tiap tingkat kelas siswa?
3) Adakah perubahan pendapat guru terhadap proses belajar mengajar pemecahan
masalah matematika?
4) Apakah kelemahan dan keunggulan PBM pemecahan masalah matematika di
tingkat SMP?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a) meneliti kualitas hasil belajar pemecahan masalah matematika guru dan siswa SMP,
ditinjau pada tiap langkah pemecahan, secara keseluruhan dan pada tiap tingkat
kelas siswa.
b) meneliti kecendrungan dan perubahan pendapat guru tentang pendekatan proses
belajar mengajar pemecahan masalah matematika, setelah mereka mendapat
perlakuan.
c) mengembangkan model pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
penyelesaian masalah matematika pada guru dan siswa SMP. Dengan kata lain
yang akan diteliti sejauh mana perolehan belajar yang dicapai guru dan siswa
sesudah perlakuan.
d) Meneliti kelemahan dan keunggulan pendekatan proses belajar mengajar
pemecahan masalah matematika di SMP.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 96
Manfaat Penelitian
Pembahasan mengenai proses belajar mengajar dan hasil belajar dalam
pemecahan masalah pada berbagai bidang studi, terutama pada matematika, untuk
siswa pada berbagai tingkat sekolah pada dasarnya adalah sangat penting. Terdapat
beberapa alasan yang mendasari rasionalitas di atas.. Pertama, kemampuan
pemecahan masalah pada dasarnya merupakan satu diantara tujuan umum
pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika. Kedua, pemecahan
masalah merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika. Ketiga,
penyelesaian masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Studi
mengenai pengembangan PBM pemecahan masalah dapat dicobakan terhadap subyek
pada tiap tingkat kelas dan tiap tahap kognitif siswa, asalkan disesuaikan dengan
kesiapan belajar subyek. Dalam kaitan ini dapat dikembangkan bermacam-macam
pendekatan baik mengenai PBM maupun dalam menyusun instrument untuk
pemecahan masalah matematika.
Dengan menelaah kelemahan dan keunggulan PBM pemecahan masalah, dan
dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu belajar di sekolah, pendekatan PBM
ini dapat dicobakan untuk topik-topik tertentu yang merupakan topik esensial.
Penguasaan keterampilan pemecahan masalah merupakan topik esensial, dapat
dikembangkan oleh subyek terhadap topik lain, bidang studi lain, bahkan untuk
bertindak cerdas dalam kehidupan sehari-hari. Melalui PBM pemecahan masalah
diharapkan akan terbina sikap belajar yang positif, kreatif dan tidak mudah menyerah
dalam menghadapi tantangan. Sikap belajar di atas akan memberikan sumbangan
terhadap pribadi yang tangguh, karena pada dasar hidup di masyarakat adalah penuh
tantangan.
Dalam penelitian ini dilaksanakan PBM pemecahan masalah terhadap guru
yang kemudian akan diterapkan kepada siswanya. Oleh karena itu penelitian ini
memberikan manfaat ganda pada saat yang bersamaan, yaitu meningkatkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 97
kemampuan pemecahan masalah terhadap guru serta mencoba mengajarkannya
kepada siswa yang kemudian diharapkan akan meningkatkan kemampaun pemecahan
masalah pada siswanya
Metode Penelitian
Disain dan Sampel Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi eksperimen yang melibatkan guru
matematika SMP dan siswanya. Eksperimen dilakukan secara bertingkat dengan disain
seperti terlihat pada gambar 1.
Kelas eksperimen 0 01 X1 0 01
------------------------------------------------- Sampel guru
0 01
Kelas eksperimen 02 X2 03
------------------------------------------------ Sampel siswa
Kelas control 03
Keterangan :
0 : Skala pendapat guru terhadap PBM Pemecahan Masalah.
01 : Tes awal dan tes akhir PMM (tes yang sama) untuk guru disusun oleh peneliti.
02 :Tes awal PMM untuk siswa (terdiri dari 3 set, masing-masing satu set untuk
Tiap kelas, disusun oleh guru dan peneliti.
03 : Tes akhir PMM untuk siswa (terdiri dari 3 set, masing-masing satu set untuk
tiap kelas, disusun oleh guru dan peneliti
X1 : Pendekatan PBM pemecahan masalah untuk guru oleh peneliti.
X2 : Pendekatan PBM pemecahan masalah untuk siswa oleh guru.
Gambar 1. Disain Penelitian
Untuk memperoleh kualitas pelayanan terhadap guru dan tingkat ketelitian
dalam analisis data yang memadai maka penelitian ini bekerja dengan ukuran sampel
guru yang kecil. Subyek sample terdiri dari 18 orang guru matematika SMP dan 806
orang siswanya, dengan rincian seperti table berikut
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 98
Catatan: * Satu kelas siswa dari tiap guru
** Satu kelas siswa dari tiap guru kelompok kontrol ditambah 1 kelas siswa
dari guru yang sama pada kelompok eksperimen untuk kelas I, II, dan III.
Pemilihan subyek sampel guru kelompok eksperimen (12 0rang) dilakukan
dengan cara mengundang partisipasi guru matematika SMP yang bersamaan waktu ini
mereka sedang mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Universitas Jambi.. Dari 12 orang guru kelompok eksperimen, 3 orang
guru masing-masing seorang guru kelas I, II, dan III juga mengajar pada siswa kelompok
kontrol. Subyek sampel guru pada kelompok kontrol (6 orang) dipilih dengan cara
mengundang partisipasi (secara sukarela) guru matematika yang bersesuaian kelas dari
tiap subyek kelompok eksperimen pada SMP yang sama. Dengan demikian siswa kelas
kontrol terdiri dari 3 kelas siswa yang diajar oleh guru kelompok eksperimen, dan 6
kelas siswa yang diajar oleh guru kelompok kontrol; siswa kelompok eksperimen
terdiri dari 9 kelas siswa dari guru kelompok eksperimen, dan 3 kelas dari guru
kelompok eksperimen yang tidak disertai kelompok kontrol. Pengolahan data siswa
dari ketiga guru kelompok eksperimen di atas dilakukan secara terpisah dari kelompok
eksperimen yang lainnya.
Beberapa alasan yang mendasari cara pemilihan subyek guru seperti di atas
adalah: (1) dengan mengambil subyek guru yang sedang melanjutkan studi,
memudahkan pelaksanaan perlakuan dari peneliti dan tidak mengganggu jadwal
kegiatan mengajar subyek guru; (2) dengan kesertaan mereka secara sukarela, subyek
akan melaksanakan program (perlakuan kepada siswanya) tanpa merasa terpaksa; (3)
dengan mengambil subyek guru kelompok kontrol dari sekolah yang sama dengan guru
kelompok eksperimen akan mengurangangi faktor keragaman keadaan awal subyek
siswa.
Perlakuan Penelitian
Eksperimen dalam penelitian ini diberikan dengan tahap sebagai berikut:
1) Subyek guru dilatih mengembangkan pendekatan PBM pemecahan masalah
matematika. Latihan dilaksanakan dalam 10 kali pertemuan sekitar 3 – 4 jam tiap
pertemuan. Dalam perlakuan ini disediakan satu makalah dan satu set hand out
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 99
mengenai; pengertian pemecahan masalah, perencanaan pemecahan masalah dalam
PBM matematika, tahap-tahap pemecahan masalah, menyusun dan mengevaluasi tes
pemecahan masalah matematika, merancang PBM yang sesuai untuk siswa pada kelas
yang berkaitan.
2) Berdasarkan penjelasan pada butir 1) subyek guru menyusun tes dan pendekatan
PBM PMM untuk siswa masing-masing. Hasil tes yang disusun guru, kemudian dibahas
bersama dengan peneliti, dan disunting oleh peneliti untuk disiapkan sebagai tes akhir
PMM guru.
3) Berdasarkan hasil tes untuk guru, kemudian dilakukan penyederhanaan bahasa agar
mudah dipahami siswa, dan pengurangan banyaknya butir tes agar sesuai dengan
waktu yang tersedia. Diperoleh dua set tes PMM untuk tiap tingkat kelas siswa (untuk
tes awal dan tes akhir).
4) Subyek guru kelompok eksperimen melaksanakan pendekatan PBM pemecahan
masalah matematika untuk siswa di kelas masing-masing, dengan pokok bahasan yang
sama untuk tiap kelas yang sama. Perlakuan dari guru dimulai dengan pemberian tes
awal PMM, dan diakhir dengan tes akhir PMM. Pemantauan pelaksanaan PBM guru
kelas eksperimen dijaring melalui angket yang diberikan setelah tes akhir untuk siswa.
Pengajaran yang diberikan guru kelompok kontrol berjalan seperti biasa dengan
pokok bahasan yang sama dengan yang diberikan subyek guru kelompok eksperimen.
Rincian pokok bahasan yang diberikan pada penelitian ini adalah:
1). Himpunan, kalimat matematika, persaman dan pertidaksamaan sudut, dan bilangan
cacah untuk kelas I.
2). Teorema Phytagoras, perbandingan, keliling dan luas persegipanjang, dan jajar
genjang untuk kelas II.
3). Aritmatika, jarak dan waktu, lingkaran, kesebangunan, operasi aljabar, bangun
ruang, barisan bilangan, persamaan dan pertidaksamaan untuk kelas III.
Karena pelaksanaan tes awal pada kelompok kontrol pada beberapa sekolah
bersamaan waktu dengan kegiatan lain maka data tes awal tersebut tidak lengkap.
Selanjutnya data awal kelompok kontrol dalam penelitian ini tidak diolah.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 100
Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Penelitian ini melibatkan 3 macam instrument yaitu: Tes Pemecahan Masalah
Matematika (Tes PMM), Skala pendapat tentang PMM, dan angket untuk guru tentang
pelaksanaan pengajaran PMM. Tes PMM terdiri dari 7 set, yaitu tes PMM awal untuk
guru dan 2 set tes PMM untuk siswa kelas I, II, III SMP, masing-masing sebagai tes awal
dan tes akhir.
Pengembangan instrument dilakukan sebagai berikut:
1). Tes Pemecahan Masalah Matematika (tes PMM).
a). Tes awal PMM untuk subyek guru.
Tes disusun oleh peneliti khusus untuK studi ini, berdasarkan langkah-langkah
Polya (1954) dan model intrumen yang dikembangkan oleh IPSP (Schoen dan Ohmke,
1980). Materi tes dipilih mengenai matematika SMP dengan asumsi subyek guru telah
menguasai materi tes dengan baik. Ditinjau dari kecocokan antara kisi-kisi tes dengan
butir tes yang bersangkutan, tes menunjukkan mempunyai kesaihan isi yang memadai.
b). Tes akhir PMM untuk guru, tes awal dan akhir PMM untuk siswa. Tes akhir PMM
untuk guru yang juga merupakan tes awal dan tes akhir PMM untuk siswa terdiri dari 2
set, dan disusun oleh guru bersama-sama peneliti selama perlakuan terhadap guru.
Cara ini dilaksanakan untuk beberapa tujuan, yaitu:
(1) sebagai usaha untuk menilai apakah subyek guru telah menguasai cara
menyusun dan menilai PMM untuk siswa.
(2) sebagai tes akhir PMM subyek guru.
(3) untuk meninjau kesaihan isi dan kesaihan muka tes PMM, terutama untuk
siswa.
Tes PMM awal mengenai materi yang sudah diajarkan guru sebelum perlakuan
PMM diberikan dan tes PMM akhir mengenai materi yang diajarkan guru kepada siswa
dalam perlakuan guru terhadap siswa. Tes disusun bedasarkan langkah-langkah Polya
(1954) dan model instrument yang dikembangkan oleh IPSP (Schoen dan Ohmke,
1980). Berdasarkan kecocokan antara kisi-kisi tes dan butir yang bersangkutan, tes
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 101
akhir PMM untuk guru yang juga merupakan tes awal dan akhir PMM untuk siswa,
telah memiliki kesaihan isi dan kesaihan muka yang memadai. Reliabelitas tes PMM
untuk siswa kelas I, II, dan III yang ditinjau melalui koefesien Cronbach, berturut-turut
diperoleh sebesar 0, 48, 0,59, dan 0,60 untuk tes awal, dan 0,76, 0,74, dan 0,58 untuk
tes akhir. Hasil di atas menunjukkan bahwa tes PMM mempunyai derajat ketegapan
(reliabelitas) antara sedang dan tinggi dan dipandang telah memadai untuk diujikan,
menunjukkan tes mempunyai koefesien reliabelitas tes memadai.
2). Skala pendapat terhadap PBM pemecahan masalah matematika.
Skala pendapat terdiri dari 3 sub skala yaitu mengenai: (1) pandangan
konstruktivisme dalam pemecahan masalah; (2) pandangan cara PMM harus diajarkan;
dan (3) pandangan bahwa pemecahan masalah mendukung pencapaian pemahaman
yang lebih baik.
Pengembangan Skala dilakukan sebagai berikut:
a). Skala disusun dalam model Skala Likert dalam lima pilihan. Skala dikembangkan
dengan cara memodifikasi model skala pendapat dalam studi Pui Yee (1993).
Berdasarkan kecocokan antara kisi-kisi dengan butir skala yang bersangkutan, skala
pendapat telah memiliki kesaihan isi yang memadai.
b). Skala diuji cobakan kepada 24 orang guru matematika SMP, untuk medapatkan
butir-butir yang memadai. Butir skala yang dapat dipakai adalah butir yang mempunyai
respon pada kelima pilihan jawabannya (sangat tidak setuju, tidak setuju, netral,
setuju, dan sangat tidak setuju). Berdasarkan kriteria tersebut, dari 42 butir skala
terpilih sebanyak 38 butir terdiri dari 22 butir positif dan 16 butir negative. Pemberian
skor tiap pilihan jawaban (5 pilihan) dilakukan berdasarkan “pembobotan deviasi
normal dari kategori respons” (Edwarrs, 1969).
c). Reliabelitas skala ditinjau dari koefesien korelasi motode parohan untuk butir
ganjil dan genap. Perhitungan menghasilkan koefesien r = 0,67 untuk separoh tes, dan
0, 81 untuk keseluruhan tes dengan n = 24 yang menunjukkan releabilitas skala yang
memadai.
3). Angket Pelaksanaan Pengajaran PMM.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 102
Angket ditujukan kepada subyek guru untuk memperoleh umpan balik dan
informasi mengenai pelaksanaan PBM pemecahan masalah matematika yang
dilaksanakan guru terhadap siswanya.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1). Perhitungan rata-rata dan simpangan baku skor tes pemecahan masalah
matematika untuk guru dan siswa pada awal dan akhir perlakuan, baik pada kelas
eksperimen maupun kelas kontrol, tiap langkah PMM dan secara keseluruhan untuk
tiap tingkat kelas.
2). Perhitungan perolehan belajar pemecahan masalah matematika pada guru dan
siswa pada kelompok eksperimen dan kontrol, tiap langkah PMM dan secara
keseluruhan untuk tiap tingkat kelas.
3). Perhitungan rata-rata dan simpangan baku skor skala pendapat terhadap PBM
pemecahan masalah matematika untuk guru pada awal dan akhir perlakuan, baik pada
kelas eksperiment maupun kelas kontrol, secara keseluruhan dan berdasarkan tingkat
kelas.
4). Perhitungan perubahan pendapat guru terhadap PBM pemecahan masalah
matematika pada kelompok eksperimen dan kontrol secara keseluruhan dan pada tiap
tingkat kelas.
5). Pengujian hipotesis perbedaan rerata skor PMM guru, skor PMM siswa, dan
pendapat guru terhadap PMM dengan menggunakan uji statistik t, setelah pengujian
kenormalan distribusi data yang terkait.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan yang
bervariasi. Beberapa temuan tersebut adalah:
1). Mengenai kualitas penguasaan pemecahan masalah matematika (PMM) guru dan
siswa; a) Penguasaan PMM guru yang mendapat pengajaran PMM tergolong baik,
namun sebaliknya; b) ditinjau pada tiap tingkat kelas dan secara keseluruhan,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 103
penguasaan PMM siswa SMP terutama kelas II masih belum memuaskan. Proses PMM
masih merupakan proses yang sulit untuk siswa SMP.
2). Mengenai pengajaran dan hasil belajar PMM pada guru dan siswa SMP; a) ditinjau
dari segi pemahaman mengenai tahap-tahap PMM, cara menyusun soal latihan dan tes
PMM serta cara pemberian skornya, pengajaran PMM pada guru memberikan
peningkatan pemahaman proses PMM yang baik; b) ditinjau dari keadaan awal dan
akhir, pengajaran PMM bagi guru memberikan perolehan belajar PMM yang
bermakna, dengan kata lain terdapat peningkatan hasil belajar guru dalam PMM; c)
untuk siswa, meskipun hasil belajar PMM masih tergolong belum memuaskansekitar
44% dari skor ideal, pengajaran PMM memberikan perolehan belajar yang bermakna
pada siswa kelas II dan II SMP, terutama pada siswa kelompok pandai. Pada siswa kelas
III, pengajaran PMM belum memberikan peningkatan hasil belajar yang bermakna.
Namun jika ditinjau dari besarnya persentase siswa yang mencapai skor di
atas`kalisifikasi cukup, pengajaran PMM pada siswa memberikan peningkatan hasil
belajar yang bermakna.
3). Mengenai pendapat guru terhadap pengajaran PMM, dan pelaksanaannya; a)
ditinjau berdasarkan tingkat kelas dan secara keseluruhan, pendapat guru mengenai
pengajaran PMM di SMP tergolong positif. Ditinjau antar tingkat kelas, terdapat
peningkatan derajat kepositifan pendapat pada guru kelas yang makin tinggi.
Meskipun terdapat peningkatan derajat kepositifan pendapat guru setelah pengajaran
PMM, namun secara khusus pengajaran PMM belum memberikan peningkatan derajat
kepositifan pendapat guru terhadap PMM. Peningkatan derajat kepositifan pendapat
guru “mungkin” lebih banyak ditentukan oleh tingkat kematangan siswa dari guru yang
bersangkutan; b) meskipun hasil belajar siswa dalam PMM belum memuaskan, guru
setuju dengan pengajaran PMM di SMP antara lain untu: memberikan variasi bentuk
soal latihan matematika, dan mendorong siswa belajar lebih aktif; c) Kelemahan dan
kelebihan pengajaran PMM di SMP. Beberapa hambatan pelaksanaan PMM di SMP
diantaranya adalah: bentuk soal masih baru bagi siswa. Siswa belum terbiasa dengan
bentuk soal PMM; sukar menyusun soal latihan/tes bentuk PMM terutama untuk butir
yang mengukur tahap “mencari alternative penyelesaian”; pelaksanaan pengajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 104
PMM memerlukan waktu relative lebih lama; dalam tes sumatif matematika dan
pengajaran bidang studi lain proses pemecahan masalah belum merupakan aspek yang
akan diujikan. Kebaikan pengajaran PMM diantaranya adalah: memberikan variasi
bentuk soal yang baru sehingga diharapkan siswa lebih kreatif dan tidak bosan,
terutama untuk siswa yang padai.
Implikasi dan Saran-Saran
Meskipun penelitian ini ditinjau dari berbagai segi, memberikan kesimpulan
tentang pengajaran PMM di SMP yang bervariasi, namun implikasi dari temuan
penelitian mendukung rasional bahwa pengajaran PMM di SMP merupakan satu
bentuk alternative pengajaran yang dapat dilaksanakan, dikembangkan, dan
disempurnakan lebih lanjut.
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, antara lain dikemukakan saran sebagai
berikut:
1). Pengajaran PMM pada dasarnya pernah dilaksanakan oleh guru dalam latihan/tes,
sehingga beberapa bentuk soal pada dasarnya sudah dikenal oleh siswa. Keterbatasan
penelitian ini antara lain, adalah untuk menyelesaikan soal bentuk PMM memerlukan
waktu belajar yang cukup, siswa belum terbiasa dengan bentuk soal PMM, dan waktu
belajar yang terbatas karena menghadapi persiapan tes sumatif. Oleh karena itu
pengajaran PMM di SMP perlu dibiasakan, dan dikembangkan lebih lanjut, dengan
memilih topik-topik yang relevan. Saran tersebut pada dasarnya merupakan pemikiran
rencana pengajaran yang dapat merangsang siswa berpikir, dan beroreantasi pada
tantangan di masa depan.
2). Saran untuk penelitian selanjutnya. Secara umum proses PMM masih merupakan
aspek yang sukar untuk siswa SMP. Namun demikian aspek proses PMM adalah suatu
aspek penting dalam belajar matematika. Proses PMM melibatkan beberapa aspek
proses prasyarat yang lebih rendah. Ada kemungkinan hasil belajar siswa berkaitan
dengan tahap struktur hasil belajar siswa. Oleh karena itu disarankan dilakukan suatu
studi mengenai keterkaitan tahap struktur hasil belajar dalam matematika dan
penguasaan PMM, dan studi mengenai alternative pengajaran matematika yang
memungkinkan peningkatan tahap struktur hasil belajar siswa dan aspek kognitif
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 105
tingkat tinggi lainnya untuk berbagai tingkat sekolah dan atau tingkat kepandaian
siswa.
Daftar Pustaka
Arikunto S, (1998), Prosedur Penelitian Suatu Penedekatan Praktek. Rineka Cipta,
Jakarata
Anonim, (2003) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMA da MA. Diknas,
Jakarta
Branca, N. A (1980). “Problem Solving as Agoal, Process, and Basic Skill”, dalam Krulik,
S. dan Reys, R. E. Problem Solving in School Mathematics. NCTM.
Butts, T, (1980). “ Posing Problem Properly”, dalam Krulik, S. dan Reys, R.E. Problem
Solving in School Mathematics. NCTM
Krulik, S, dan Rudnick, L. A, (1980). Developing Problem Solving Skiils Mathematics
Teacher. Vol. 78, No. 9, Desember 1985
Margono S, (1997), Metodologi Penelitian Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta.
Polla G, 2001), Upaya Mencipta Pengajaran Matematika yang Menyenangkan. Buletin
Pelangi Pendidikan, Vol.2, Jakarta
Polya, G, (1956), Haw to Solve IT.
Pui Yee, F, (1993). Teachers Pedagogical Beliefs in Teaching Mathematical Problem
Solving in Primary School. Makalah Conference on Mathematics Education (SEACMEA)
dan Konferensi Matematika Nasional ke tujuh, di Surabaya, 7 – 11 1993
Ruseffendi, E.T. (1997), Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinnya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Bandung:
Tarsito
Schoen, H. L, dan Oehmke, T. “A New Approach to The Mesurement of Problem
Solving Skiils”. NCTM.
Skemp, R.R (1975), The Psychology of Learning Mathematics, Harsmonsworth: Penguin
Book.
Utari, S dkk, (1993). Peranan Kemampuan Logik dan Kegiatan Belajat Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa di Kodya Bandung, Laporan
Penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 106
Utari, S dkk, (1991). Hubungan Antara Kegiatan Belajar, Pelaksanaan Perkuliah, dengan
Hasil Belajar Mahasiswa Dalam Matakuliah Kalkulus I, Laporan Penelitian.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 107
P-3
PERILAKU METAKOGNISI ANAK DALAM MATEMATIKA: KAJIAN BERDASARKAN ETNIS
DAN GENDER PADA SISWA SMP DI KALIMANTAN BARAT
Dwi Astuti dan Bambang Hudiono
Pend.Matematika Univ.Tanjungpura
Abstrak
Luaran penelitian ini berupa temuan teori ataupun hipotesis yang mengungkap
karakteristik aktivitas metakognisi anak dalam keterkaitannya dengan kemampuan
akademis dalam bidang matematika yang dikaji dari perbedaan etnis dan gender.
Penelitian ini adalah penelitian investigasi yang dapat dipandang sebagai bagian dari
penelitian pengembangan tentang kemampuan metakognisi dalam matematika. Siswa
yang terlibat sebagai partisipan adalah siswa SMP kelas VIII dari empat daerah di
Kalimantan Barat yang terbagi dalam empat etnis dan dua jenis kelamin. Instrumen
yang digunakan berupa angket metakognisi, perangkat tes pemecahan masalah, dan
pedoman wawancara. Sistematika penyajian analisis data disusun dengan
menggunakan langkah analisis kuantitatif (statistik deskriptif dan statistik inferensial),
dan analisis kualitatif. Dari analisis deskriptif terdapat pengaruh etnis dan gender
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dan kemampuan metakognisi
siswa. Namun dari uji statistik, diperoleh simpulan bahwa kemampuan metakognisi
untuk ke-empat etnis tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sedangkan dari uji
Anova: rata-rata skor kemampuan dasar dan pemecahan masalah untuk keempat
etnis, tidak identik. Dari hasil Post Hoc Test disimpulkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika etnis Cina dengan etnis Dayak dan antara etnis Dayak
dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan. Berdasarkan
uji t dengan equal variance not assumed kemampuan pemecahan masalah dan
metakognisi untuk siswa laki-laki maupun siswa perempuan, tidak berbeda secara
signifikan. Begitu juga tidak ada interaksi antara etnis dan gender dalam kemampuan
memecahkan masalah matematika, dan dalam kemampuan metakognisi. Dalam
menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi siswa
sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi belum
optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang.
Kata kunci: Metakognisi, Pemecahan Masalah Matematika
Pendahuluan
Dalam pembelajaran matematika, kemampuan metakognisi dapat tergali dan
teramati ketika siswa memecahkan masalah. O’Neil dan Abedi (1996) menyatakan
bahwa metakognisi adalah kesadaran seseorang untuk merancang, menerapkan, dan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 108
memonitor strategi kognisinya. Untuk memecahkan permasalahan yang kompleks,
sangat diperlukan kemampuan metakognisi. Siswa sebagai pemecah masalah yang baik
jika dapat membimbing usahanya sendiri dengan menemukan cara dan informasi dan
mengkaitkannya antara pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan situasi masalah
yang dihadapi (Lerch, 2004).
Kajian beberapa tahun terakhir menunjukkan pentingnya metakognisi dalam
perolehan dan penerapan keterampilam belajar dalam berbagai domain inkuiri
(Alexander, Fabricus, Fleming, Zwahr & Brown, 2003). Menurut Sperling (2004) kajian
metakognisi ada dua aspek, yaitu pengetahuan tentang kognisi yang merujuk pada
tingkatan pemahaman siswa terhadap memori dan cara mereka belajar; dan regulasi
kognisi merujuk pada bagaimana siswa dapat mengatur sistem belajar yang dimiliki.
(Boekaerts, 1997; Fernandez-Duque, Baird & Posner, 2000).
Mestre (1989) menyatakan bahwa budaya berpengaruh terhadap cara belajar
matematika. Upaya komprehensif untuk mengembangkan kemampuan matematika,
harus memperhitungkan faktor budaya, bahasa, sosioekonomi, dan sikap. Bahkan,
Shipman & Shipman (1985) menyatakan bahwa gaya kognisi dari kelompok etnis
sejenis, lebih baik dari pada kelompok dari berbagai etnis. Ini menunjukkan bahwa
adanya pengaruh kelompok etnis terhadap aktivitas kognisi siswa.
Kalimantan Barat merupakan propinsi yang penduduknya terdiri dari beberapa
kelompok etnis, diantaranya etnis Cina, Dayak, Melayu, Madura, Jawa dan etnis lain
yang masih kuat memegang adat budayanya masing-masing. Untuk itu timbul
pertanyaan ” Bagaimanakah keragaman perilaku metakognisi anak dari berbagai
kelompok etnis dan gender dalam menyelesaikan permasalahan matematika di
Kalimantan Barat?
Luaran penelitian ini berupa temuan teori ataupun hipotesis yang mengungkap
karakteristik aktivitas metakognisi anak dalam keterkaitannya dengan kemampuan
akademis dalam bidang matematika yang dikaji dari perbedaan etnis dan gender.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 109
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian investigasi yang dapat dipandang sebagai
bagian dari penelitian pengembangan tentang kemampuan metakognisi dalam
matematika. Kajian investigasi ditekankan pada keterkaitan beberapa variabel seperti
kemampuan metakognisi anak dalam matematika, kemampuan siswa dalam
memecahkan permasalahan matematika, dan latar belakang siswa baik secara etnis
dan gender. Siswa yang terlibat sebagai partisipan adalah siswa SMP kelas VIII dari
empat daerah di Kalimantan Barat berjumlah 219 orang, yang terbagi dalam empat
etnis dan dua jenis kelamin. Instrumen yang digunakan berupa angket metakognisi,
perangkat tes pemecahan masalah, dan pedoman wawancara.
Prosedur penelitian meliputi: pemberian tes pemecahan masalah untuk
melihat penalaran dan kemampuan akademis siswa, juga untuk menyegarkan proses
kognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika, pemberian angket
metakognisi dalam bentuk skala likert yang terdiri dari empat kelompok pertanyaan
berkaitan dengan self monitoring yaitu: sebelum, ketika, setelah, dan strategi ketika
menghadapi soal pemecahan masalah matematika, dan wawancara terhadap wakil-
wakil dari kelompok, baik berdasarkan kemampuan, etnis, dan gender.
Hasil dan Pembahasan
Kemampuan Dasar dan Pemecahan Masalah Matematika
Untuk melihat kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika dari
para siswa, diamati dari hasil pengerjaan soal kemampuan dasar dan pemecahan
masalah matematika yang dilakukan oleh para siswa yang dikaji berdasarkan etnis dan
gender. Ringkasan skor para siswa berdasarkan etnis dan gender disajikan pada tabel 1
berikut ini.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 110
TABEL 1
RINGKASAN SKOR HASIL PENGERJAAN SOAL KEMAMPUAN DASAR
DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PARA SISWA
KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER
DI KALIMANTAN BARAT
Etnis
Jenis
Kelami
n
Skor
Terting
gi
Skor
Terend
ah
Rera
ta
Rerata
dalam
%
Ukura
n
Samp
el
Simpanga
n
Baku
1. Cina 1 26 1 10,9
1
35,19 43 6,023
2 26 1 9,74 31,42 57 5,780
2. Dayak 1 15 1 7,29 23,52 14 3,561
2 26 1 6,92 22,32 26 5,137
3.
Melayu
1 20 1 9,62 31,03 21 6,289
2 29 3 12,1
6
39,22 45 8,099
4. Lain 1 18 2 8,4 27,10 5 6,269
2 16 5 9,00 29,03 8 4,375
Keterangan: Skor maksimal = 31
Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan
Data tabel 1 memperlihatkan, secara deskriptif kemampuan dasar dan
pemecahan masalah matematika siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik
dibanding siswa perempuan dari etnis yang lain dan lebih baik dibanding siswa laki-laki
dari semua etnis dengan rata-rata skor 12,16 dari skor maksimal 31, kemampuan dasar
dan pemecahan masalah matematika untuk siswa laki-laki dicapai kelompok etnis Cina
dengan rata-rata skor 10,96. Skor tertinggi dicapai oleh siswa perempuan dari etnis
Melayu yaitu 29. Namun demikian secara umum kemampuan dasar dan pemecahan
masalah matematika siswa di Kalimantan Barat masih tergolong rendah karena
presentasi rata-rata skor nya sekitar 30 % dari skor maksimal.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 111
Metakognisi Siswa
Untuk melihat kemampuan metakognisi siswa, diamati dari hasil angket
metakognisi yang terdiri dari empat kelompok pertanyaan yaitu: sebelum, ketika
(selama), setelah, dan strategi ketika menghadapi soal pemecahan masalah
matematika. Setiap aspek terdiri dari beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
perilaku aktivitas metakognisi yang dapat dijawab oleh siswa dengan kategori: ya
(setuju), kadang-kadang (tidak yakin), dan tidak (tidak setuju). Ringkasan skor para
siswa berdasarkan etnis disajikan pada tabel 2.
TABEL 2
RINGKASAN SKOR HASIL JAWABAN ANGKET METAKOGNISI
PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN
SELF MONITORING DI KALIMANTAN BARAT
Rerata Rerata (%) Simpangan Baku Ukuran Sampel
Sebelum 1
2
3
4
Total
8,02
8,13
8,18
8,92
8,14
66,83
67,75
68,17
74,33
67,83
2,00
1,539
1,672
1,847
1,818
100
40
66
13
219
Selama 1
2
3
4
Total
6,90
6,78
7,65
6,92
7,11
69
67,8
76,5
69,2
71,1
1,580
1,968
1,544
2,100
1,706
100
40
66
13
219
Setelah 1
2
3
4
Total
5,54
5,53
6,06
5,69
5,70
69,25
69,12
75,75
71,12
71,25
1,660
1,396
1,201
1,182
1,471
100
40
66
13
219
Jawab Soal 1
2
3
4
Total
6,22
5,80
6,18
6,08
6,12
51,83
48,33
51,5
50,67
51,00
2,521
2,151
2,155
1,656
2,296
100
40
66
13
219
Keterangan: 1: etnis Cina, 2: etnis Dayak, 3: etnis Melayu, 4: etnis Lain
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 112
Dari data tabel 2 terlihat bahwa secara deskriptif kemampuan metakognisi para
siswa dari kelompok etnis lain (selain etnis Cina, Dayak dan Melayu) yang berkaitan
dengan aktivitas-aktivitas sebelum memecahkan masalah, lebih tinggi dari siswa-siswa
etnis Cina, Dayak dan Melayu. Kemampuan metakognisi kelompok siswa dari etnis Cina
yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sebelum memecahkan masalah paling rendah
dibanding etnis lainnya. Kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas-
aktivitas selama dan setelah memecahkan masalah paling tinggi dicapai siswa dari
kelompok etnis Melayu , dan terendah dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Dayak.
Kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas dalam menghadapi
soal, rerata skor tertinggi dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Cina, dan skor
terendah dicapai oleh siswa dari kelompok etnis Dayak. Namun demikian secara
klasikal kemampuan metakognisi yang berkaitan dengan aktivitas sebelum, selama,
dan setelah menyelesaikan masalah matematika tergolong sedang karena persentase
rerata skor kemampuan metakognisinya sekitar 70% dan kemampuan metakognisi
yang berkaitan dengan aktivitas menghadapi soal pemecahan masalah matematika,
tergolong rendah karena persentase rerata skor kemampuan metakognisinya kurang
dari 60%.
Untuk melihat kemampuan metakognisi siswa berdasarkan etnis dan gender,
dapat dilihat melalui ringkasan skor para siswa yang disajikan pada tabel 3 berikut ini.
TABEL 3
RINGKASAN SKOR HASIL JAWABAN ANGKET METAKOGNISI
PARA SISWA KELAS VIII SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER
DI KALIMANTAN BARAT
Etnis Jenis
Kelamin Rerata
Rerata
dalam %
Ukuran
Sampel
Simpangan
Baku
1. Cina 1 26,14 62,24 43 5,379
2 27,09 64,50 57 5,432
2. Dayak 1 25,64 61,05 14 5,242
2 26,54 63,19 26 5,508
3. Melayu 1 27,90 66,43 21 5,999
2 28,13 66,98 45 3,769
4. Lain 1 26,40 62,86 5 3,435
2 28,38 67,57 8 5,208
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 113
Keterangan: Skor maksimal = 42
Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan
Dari data tabel 3 terungkap bahwa etnis dan gender berpengaruh terhadap
kemampuan metakognisi siswa. Hal ini telihat bahwa kemampuan metakognisi siswa
perempuan untuk etnis lain lebih baik dibanding semua siswa dari etnis Cina, Dayak,
dan Melayu. Kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik
dibanding siswa laki-laki maupun perempuan dari etnis Cina dan Dayak. Kemampuan
metakognisi siswa perempuan untuk setiap etnis lebih baik dibanding siswa laki-
lakinya. Kemampuan metakognisi untuk siswa laki-laki rata-rata tertinggi dicapai oleh
siswa laki-laki dari etnis Melayu, disusul kemudian siswa laki-laki dari etnis lain, etnis
Cina dan rata-rata paling rendah dicapai siswa laki-laki dari etnis Dayak.
Hubungan Metakognisi dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Jika hasil pengamatan kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika
dihubungkan dengan hasil pengamatan kemampuan metakognisi siswa, secara lengkap
ringkasan skor para siswa disajikan pada tabel 4.
TABEL 4
RINGKASAN SKOR HASIL PENGERJAAN SOAL KEMAMPUAN DASAR
DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SERTA SKOR HASIL JAWABAN
ANGKET METAKOGNISI PARA SISWA KELAS VIII
SMP BERDASARKAN ETNIS DAN GENDER
DI KALIMANTAN BARAT
Etnis Jenis
Kelamin
Rerat
a
K.D. &
PM
Rerata
K.D. &
PM
dalam %
Simp.Baku
K.D & Rerata
MK
Rerata MK
dalam %
Simp.
Baku
MK
Ukuran
Sampel
1. 1 10,91 35,19 6,023 26,14 62,24 5,379 43
2 9,74 31,42 5,780 27,09 64,50 5,432 57
2. 1 7,29 23,52 3,561 25,64 61,05 5,242 14
2 6,92 22,32 5,137 26,54 63,19 5,508 26
3. 1 9,62 31,03 6,289 27,90 66,43 5,999 21
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 114
2 12,16 39,22 8,099 28,13 66,98 3,769 45
4. 1 8,4 27,10 6,269 26,40 62,86 3,435 5
2 9,00 29,03 4,375 28,38 67,57 5,208 8
Total 1 9,82 31,68 5,831 26,52 63,14 5,831 83
2 9,96 32.13 6,677 27,40 65,24 6,677 136
Keterangan: Skor maksimal = 31
Etnis : 1 = Cina, 2 = Dayak, 3 = Melayu, 4 = etnis lain
Jenis Kelamin: 1 = laki-laki; 2 = Perempuan
KD & PM = Kemampuan Dasar dan Pemecahan Masalah
Matematika
MK = Meta Kognisi
Dari data tabel 4 tersebut dapat terungkap secara deskriptif: kemampuan dasar
dan pemecahan masalah matematika siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik
dibanding siswa perempuan dari etnis yang lain tetapi tidak demikian halnya dengan
kemampuan metakognisinya, kemampuan metakognisi tertinggi dicapai oleh siswa
perempuan dari etnis lain. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika
dan kemampuan metakognisi siswa perempuan untuk etnis Melayu lebih baik
dibanding siswa laki-laki dari semua etnis. Kemampuan dasar dan pemecahan masalah
matematika siswa laki-laki untuk etnis Cina lebih baik dibanding siswa laki-laki dari
etnis yang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan kemampuan metakognisinya,
kemampuan metakognisi tertinggi dicapai oleh siswa laki-laki dari etnis Melayu. Untuk
kelompok siswa laki-laki dari etnis Cina dan Dayak kemampuan dasar dan pemecahan
matematikanya lebih baik dibanding kelompok siswa perempuannya. Akan tetapi
kemampuan metakognisi kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding dengan
kelompok siswa laki-laki. Sedangkan untuk kelompok siswa perempuan dari etnis
Melayu dan etnis lain, kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika serta
kemampuan metakognisinya lebih baik dibanding kelompok siswa laki-laki.
Untuk memberikan gambaran lebih lanjut tentang analisis deskriptif yang telah
dikaji, berikut diungkap analisis statistik dengan bantuan program SPSS 17. Untuk
melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata skor secara signifikan, dilakukan uji ANOVA
dan diperoleh simpulan bahwa rata-rata skor kemampuan dasar dan pemecahan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 115
masalah untuk keempat etnis, tidak identik. Dari uji statistik t dapat disimpulkan
bahwa untuk etnis Cina dengan etnis Dayak memiliki perbedaan rata-rata skor yang
signifikan dengan nilai probabilitas 0,033; demikian juga antara etnis Dayak dengan
etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang signifikan dengan nilai
probabilitas 0,004. Untuk yang lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan. Selainjutnya berdasarkan uji ANOVA dapat disimpulkan bahwa rata-rata
skor kemampuan metakognisi siswa untuk keempat etnis, identik. Dan berdasarkan
hasil Post Hoc Test disimpulkan kemampuan metakognisi untuk ke-empat etnis tidak
memiliki perbedaan yang signifikan.
Keterkaitan antara perbedaan jenis kelamin atau gender terhadap kemampuan
pemecahan masalah dan kemampuan metakognisi yang dikaji menggunakan uji t,
disimpulkan baik untuk siswa laki-laki maupun siswa perempuan, kemampuan
pemecahan masalahnya dan kemampuan metakognisinya tidak berbeda secara
signifikan. Selain daripada itu dari hasil uji statistik diperoleh simpulan bahwa tidak ada
interaksi antara etnis dan gender dalam kemampuan memecahkan masalah
matematika dan dalam kemampuan metakognisi.
Aktivitas Metakognisi Siswa
Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi
siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi
belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, dari aktivitas sebelum menyelesaikan
soal, sebagian besar siswa mencoba membaca soal dengan cara diulang-ulang sampai
merasa paham, kemudian mengingat soal-soal yang pernah diajarkan guru dan
menyelesaikan dengan rumus sampai diperoleh jawab soal tersebut tanpa menuliskan
terlebih dahulu apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Selama menyelesaikan
soal siswa lebih sering mengerjakan dengan mengingat soal-soal yang pernah
dikerjakan sebelumnya, dan menggunakan cara lain jika siswa tidak ingat cara yang
pernah diajarkan guru itupun dengan cara menebak, hanya sebagian siswa saja yang
berusaha mengaitkan dengan konsep-konsep yang pernah diperoleh sewaktu masih di
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 116
sekolah dasar. Untuk mengecek hasil pekerjaan, siswa lebih sering mengerjakan
kembali dengan cara yang sama. Aktivitas setelah menyelesaikan soal, dari hasil angket
metakognisi sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka melakukan evaluasi atau
memeriksa kembali hasil pemecahan masalah, ternyata berdasarkan hasil wawancara
yang dimaksud disini adalah mengecek langkah-langkah pengerjaan dan perhitungan-
perhitungan matematikanya bukan menginterpretasikan perhitungan matematika ke
masalah. Kemudian dalam menghadapi soal yang sulit atau yang merupakan masalah
bagi mereka, sebagian besar siswa cenderung meninggalkan soal tersebut (pasrah),
hanya beberapa siswa yang menyatakan berusaha mencari jawab karena tertantang.
Simpulan
Berdasarkan temuan penelitian bahwa perbedaan etnis yang terdiri dari etnis
Cina, etnis Dayak, etnis Melayu, dan etnis lain, tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan dalam rata-rata kemampuan metakognisinya. Kemampuan
metakognisinya dalam kategori rentangan relatif rendah sampai sedang (berada pada
kisaran 61%).
Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika, menurut etnis yang
berbeda, secara deskriptif menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kemampuan,
etnis Melayu (37%) diikuti dengan etnis Cina (34 %), etnis lain (29 %) dan terakhir etnis
Dayak (23,5%). Dari hasil uji statistik (Post Hoc Test ) dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika etnis Cina dengan etnis Dayak dan
antara etnis Dayak dengan etnis Melayu memiliki perbedaan rata-rata skor yang
signifikan dengan nilai probabilitas masing-masing 0,033 dan 0,004. Untuk yang
lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Secara keseluruhan
kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika-nya dalam kategori rendah.
Hal ini diperlihatkan dari rata-rata kemampuannya kurang dari 50%.
Secara umum, ada pengaruh gender terhadap kemampuan metakognisi dan
terhadap kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika. Hal ini ditunjukkan:
kemampuan metakognisi siswa perempuan (27,40) lebih tinggi dari kemampuan
metakognisi siswa laik-laki (26,52). Dan kemampuan pemecahan masalah matematika
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 117
dari siswa perempuan (9,96) lebih tinggi dari kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa laki-laki (9,82). Namun demikian, perbedaan kemampuan tersebut
tampak relatif kecil.
Kemampuan dasar dan pemecahan masalah matematika untuk etnis Cina dan
Dayak, secara deskriptif kelompok siswa laki-laki lebih baik dibanding kelompok siswa
perempuan. Akan tetapi kemampuan metakognisinya kelompok siswa perempuan
lebih baik dibanding dengan siswa laki-laki. Sedangkan kemampuan dasar dan
pemecahan masalah matematika serta kemampuan metakognisi untuk etnis Melayu
dan etnis lain, secara deskriptif kelompok siswa perempuan lebih baik dibanding
kelompok siswa laki-laki.
Dalam menghadapi soal pemecahan masalah matematika aktivitas metakognisi
siswa sebelum, selama, setelah dan dalam menghadapi soal sudah terlihat tetapi
belum optimal, masih dalam rentang kategori rendah sampai sedang.
Saran
Berdasarkan temuan dan hasil penelitian yang dituangkan dalam kesimpulan,
terdapat beberapa saran yang dapat diajukan yaitu bahwa pembelajaran matematika
pada sekolah menengah pertama perlu lebih menekankan pada kemampuan
memecahkan masalah matematika, dan perlu perancangan pengembangan model
pembelajaran yang memuat perpaduan kemampuan pemecahan masalah dan
kemampuan metakognisi yang disesuaikan dengan konteks berdasarkan etnis dan
lingkungan siswa.
Daftar Pustaka
Alexander, J., Fabricus, W., V., Fleming, V., Zwahr, M., & Brown, S. (2003). The
development of metacognitive causal explanations, Learning and Individual
Differences, 13. 227-238.
Boekaerts, M. (1997). Self-regulated learning: A new concept embraced by
researchers, policy makers, educators, teachers and students, Learning and
Instruction, 7 (2). 161-186.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 118
Ernest, P. 1989. The impact of beliefs on the teaching of mathematics. In P. Ernest
(Ed.), Mathematics teaching: The state of the art. London, England: Falmer Press.
Fernandez-Duque, D., Baird, J., & Posner, M. (2000). Awareness and Metacognition,
Consciounes and Cognition, 9, 324-326.
Hitt, F. 2001. Construction of mathematical concepts and internal cognitive frames.
[on-line].Available:http://www.matedu.cinvestav.mx/Hitt-w.pdf.[11 Juni 2002].
Janvier, C. 1987. Translation processes in mathematics education, In C. Janvier (Ed.).
Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Lerch, C. (2004). Control decisions and personal beliefs: their effect on solving
mathematical problems, Journal of Mathematical Behaviour, 23, 21-36.
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. 1987. Representations and translations among
representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.).
Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Mestre, J. (1989). Impact of culture of learning math. College Prep. Volume 5:
Counseling students for higher education. New York: The College Board, Inc.
Niss, G. 1996. Goals of Mathematics Teaching. In A.J. Bishop, K. Clements, C. Keitel, J.
Kilpatrick, & C. Laborde (Eds.). International handbook of mathematics
education. Netherlands; Kluwer Academic Publisher.
O’Neil, H. F., Jr., & Abedi, J. (1996). Reliability and validity of a state metacognitive
inventory: Potential for alternative assessment. Jpurnal of Educational Research,
89. 234 – 245.
Schoenfield, A.H. 1987. What’s all the fuss about metacognition? In A.H. Schoenfield
(Ed.). Cognitive scence and mathematics education. Hillsdale, NJ:Lawrence
Erlbaum Associates.
Schoenfield, A.H. 1992 . Learning to think mathematically: Problem solving,
metacognition, and sense making in mathematics. In D.A. Grouws (Ed).
Handbook of research on mathematics teaching and learning. NCTM. New York :
Macmilan Publishing Company.
Shipman, S. & Shipman, V. (1985). Cognitive style: Some conceptual, methodological
and applied issues. Review of Research in Education, 12. 229-291.
Sperling, R. (2004). Metacognition and self-regulated learning constructs, educational
Research and Evaluation, 10 (2). 117-139.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 119
P-4
KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR
DALAM MEMAHAMI MATEMATIKA SD
Budiyono
Prodi Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran sejauh mana
kompetensi guru-guru sekolah dasar dalam memahami pelajaran matematika SD.
Untuk memperoleh data hasil penelitian digunakan instrumen tes kemampuan
menyelesaikan matematika SD. Subyek dalam penelitian ini adalah guru-guru sekolah
dasar Pokjar UT Borobudur dan Tegalrejo Kabupaten Magelang semester VIII tahun
Akademik 2008/2009. Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa kompetensi guru-
guru Sekolah Dasar dalam memahami matematika SD termasuk rendah (66,80%).
Kata kunci: kompetesi guru SD, matematika SD.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Penguasaan (pemahaman) guru pada konsep pembelajaran harus baik.
Apalagi untuk mata pelajaran matematika yang sampai saat ini masih dirasa-
kan sulit oleh sebagian besar siswa sebagai peserta didik maupun bagi guru se
bagai pendidik. Pentingnya akan penguasaan terhadap matematika bagi siswa,
maka diperlukan peninjauan dan perbaikkan yang terus menerus pada metode
pengajaran matematika di sekolah-sekolah. Oleh karena itu guru matematika
yang profesional harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan baru di
dalam silabus yang sering berubah. Penguasaan konsep-konsep dasar
matematika merupakan langkah pertama menuju pengajaran yang efektif.
Dengan demikian guru harus memberikan pengalaman-pengalaman untuk
membangun konsep-konsep dasar bagi muridnya.
Alasan mengambil penelitian tentang kompetensi pemahaman operasi
hitung, notasi matematika, dan garis bilangan pada guru SD karena guru SD
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 120
merupakan pendidik dasar bagi siswanya yang mengajarkan konsep-konsep
awal pembelajaran . Jika kemampuan guru SD tentang kompetensi pemahaman
operasi bilangan, notasi matematika, dan garis bilanagan dalam kategori baik
sekali maka kemungkinan pembelajaran pada murid juga baik. Selain itu jarang
sekali penelitian pada guru SD atau sangat sedikit penelitian pada guru SD,
sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Penelitian tentang penguasaan guru SD pada kompetensi pemahaman operasi
hitung, notasi (lambang) matematika, dan garis bilangan sangat penting
dilakukan, mengingat bahwa matematika tidak lepas dari operasi hitung, notasi
matematika, dan garis bilangan.
Menggunakan garis bilangan merupakan tahap pengenalan konsep
operasi hitung bilangan bulat secara semi konkret atau semi abstrak. Pada
sekolah dasar penyampaian topik bilangan bulat ilustrasinya kurang tepat dan
terlalu abstrak, padahal dalam usia sekolah dasar proses abstraksi siswa masih
perlu dibantu media lain, seperti halnya menggunakan garis bilangan. Seberapa
besar kemampuan seorang guru sekolah dasar dalam menggunakan garis
bilangan ini sangat penting karena dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.
Kemampuan menggunakan garis bilangan pada guru sekolah dasar
sangat menarik untuk diteliti oleh penulis karena tehnik penyampaian seorang
guru dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
siswa apalagi pada sekolah dasar. Karena pendidikan matematika pada jenjang
sekolah dasra mempunyai peranan yang sangat penting, sebab jenjang ini
merupakan pondasi yang sangat menentukan dalam membentuk sikap,
kecerdasan, dan kepribadian anak.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran kompetensi guru sekolah dasar dalam memehami
kompetensi hitung matematika SD ?
b. Bagaimana gambaran kompetensi guru-guru sekolah dasar memahami
notasi / simbol matematika SD ?
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 121
c. Bagaimana gambaran guru-guru sekolah dasar dalam memahami garis
bilangan untuk pembelajaran operasi hitung matematika SD ?
3. Tujan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang hal-
hal berikut ini :
a. Kompetensi guru sekolah dasar dalam memahami konsep operasi
hitung matematika SD.
b. Kompetensi guru sekolah dasar memahami notasi / simbol matematika
SD.
c. Kompetensi guru sekolah dasar dalam memahami garis bilangan dalam
pembelajaran matematika SD.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Sebagai bahan acuan bagi guru SD dalam pembelajaran operasi
bilangan, notasi / simbol matematika dan penggunaan garis bilangan.
2. Memberikan informasi bagi pengambil kebijaksanaan dalam menindak
lanjuti hasil penelitian ini.
B. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
. Variabel dalam penelitian ini adalah kompetensi konsep operasi hitung,
notasi matematika dan garis bilangan dalam mata pelajaran matematika SD guru
SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008 /2009.
2. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD
Pokjar Tegalrejo sebanyak 112 orang dengan perincian guru SD Pokjar Boro-
budur sebanyak 43 orang dan guru SD Pokjar Tegalrejo 69 orang.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 122
3. Sampel
Sampel penelitian ini adalah guru SD Pokjar Borobudur dan Tegalrejo
sebanyak 81 orang.
4. Tehnik Sampling
Tehnik sampling yang digunakan penelitian ini adalah purposive random
sampling.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik tes.
6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berbentuk tes tentang
operasi bilangan, notasi, dan garis bilangan dalam matematika, berturut-turut
sebanyak 25, 25 dan 30 soal .
7. Tehnik Analisis Data
Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
deskriptif, akan dibahas cara penyajian data dengan tabel distribusi frekuensi
tentang pemahaman operasi bilangan, notasi, dan garis bilangan. Selanjutnya dari
distribusi tersebut dihitung nilai rerata dari pemahaman operasi bilangan, notasi
bilangan, dan garis bilangan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 123
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan data didapat hasil statistik yang disajikan
dalam tabel-tabel berikut.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam
Pemahaman Operasi Hitung, Guru SD Pokjar Borobudur dan Guru SD
Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009
No Kelas f i ix ii xf
1 12 − 21 3 16,5 49,5
2 22 − 31 0 26,5 0
3 32 − 41 4 36,5 146
4 42 − 51 7 46.5 325,5
5 52 - 61 31 56,5 1.782,5
6 62 − 71 25 66,5 1.663,5
7 72− 81 10 76,5 765
8 82− 91 1 86,5 86,5
Σ f i = 81 Σ ii xf = 4786,5
Dari tabel 1 di atas diperoleh rerata kompetensi pemahaman operasi hitung
sebagai berikut.
rerata ( x ) = 59,09
Selanjutnya, diperoleh standar deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung
sebagai berikut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 124
S = 13,21
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kompetensi Guru Sekolah Dasar dalam Pemahaman
Notasi Matematika Guru SD Pokjar Borobudur dan Guru SD Pokjar
Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009
No Kelas f i ix ii xf
1 28 − 37 3 32,5 97,5
2 38 − 47 1 42,5 42,5
3 48−57 9 52,5 472,5
4 58 − 67 9 62,5 562,5
5 68 − 77 11 72,5 797,5
6 78 − 87 16 82,5 1.320
7 88 − 97 30 92,5 2.775
8 98 − 107 2 102,5 205
Σ f i = 81 Σ ii xf = 6.272,5
Dari tabel 2 di atas diperoleh rerata kompetensi pemahaman notasi
matematika sebagai berikut.
rerata ( x )= 77,44
Selanjutnya, diperoleh standar deviasi kompetensi pemahaman notasi
matematika sebagai berikut.
S = 17,18
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 125
Tabel 3. Kompetensi Pemahaman Garis Bilangan Guru SD Kelompok
Belajar Borobudur dan Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009
No. Instrumen Persentase
1 Peragaan penjumlahan dua bilangan bulat positif 100,00 %
2 Peragaan penjumlahan bilangan bulat negatif dan
positif yang menghasilkan bilangan bulat positif
77,78 %
3 Peragaan penjumlahan bilangan bulat negatif dan
positif yang menghasilkan bilangan bulat negatif
76,67 %
4 Peragaan penjumlahan dua bilanga bulat negatif 55,56 %
5 Peragaan pengurangan dua bilangan bulat positif yang
menghasilkan bilangan bulat positif
97,78 %
6 Peragaan pengurangan dua bilangan bulat positif yang
menghasilkan bilangan bulat negatif
95,56 %
7 Peragaan pengurangan bilangan bulat negatif dan
bilangan bulat positif
67,78 %
8 Peragaan pengurangan bilangan bulat positif dan
negatif
64,44 %
9 Peragaan pengurangan dua bilangan bulat negatif
yang menghasilkan bilangan bulat positif
78,89 %
10 Peragaan pengurangan dua bilangan bulat negatif
yang menghasilkan bilangan bulat negatif
82,22 %
11 Peragaan perkalian dua bilangan bulat positif 92,22 %
12 Peragaan perkalian dua bilangan bulat positif dan
negatif
16,67 %
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 126
13 Peragaan pembagian dua bilangan bulat positif 23,33 %
14 Peragaan pembagian dua bilangan bulat positif dan
negatif
37,78 %
15 Peragaan pembagian dua bilangan bulat negatif 65,56 %
16 Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan dua
bilangan bulat positif atau bukan
24,44 %
17 Pada garis bilangan memperagakan bilangan bulat
positif dan negatif yang menghasilkan bilangan bulat
negatif
26,67 %
18 Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan
bilangan bulat positif dan negatif yang menghasilkan
bilangan bulat positif
80,00 %
19 Pada garis bilangan memperagakan penjumlahan dua
bilangan bulat negatif
87,78 %
20 Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
bilangan bulat positif yang menghasilkan bilangan
bulat positif
72,22 %
21 Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
bilangan bulat positif yang menghasilkan bilangan
bulat negatif
26,67 %
22 Garis bilangan memperagakan pengurangan bilangan
bulat positif dan negatif
56,67 %
23 Garis bilangan memperagakan pengurangan bilangan
bulat negatif dan positif
71,11 %
24 Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
bilangan bulat negatif yang menghasilkan bilangan
74,44 %
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 127
bulat positif
25 Garis bilangan memperagakan pengurangan dua
bilangan bulat negatif yang menghasilkan bilangan
bulat negatif
85,56 %
26 Garis bilangan memperagakan perkalian dua bilangan
bulat positif
28,89 %
27 Garis bilangan memperagakan perkalian bilangan
bulat positif dan negatif
75,56 %
28 Garis bilangan memperagakan pembagian dua
bilangan bulat positif
40,00 %
29 Garis bilangan memperagakan pembagian bilangan
bulat positif dan negatif
66.67 %
30 Garis bilangan memperagakan pembagian dua
bilangan bulat negatif
67,78 %
Dari tabel 3 dihitung nilai rerata kompetensi pemahaman garis bilangan
pada guru SD kelompok belajar Borobudur dan Tegalrejo, diperoleh:
rerata ( x ) = 63,89
Selanjutnya, diperoleh juga standar deviasi kompetensi pemahaman garis
bilangan pada guru SD kelompok belajar Borobudur dan Tegalrejo, sebagai
berikut.
S = 22,99
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 128
Pembahasan
Dalam pengolahan data yang telah dilakukan diperoleh rerata dan standar
deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika, dan garis
bilangan pada guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun
Akademik 2008 / 2009. Dari pengumpulan data, diperoleh skor tertinggi untuk
kompetensi pemahaman operasi hitung adalah 21 dan skor terendah untuk
kompetensi pemahaman operasi hitung adalah 3. Skor tertinggi untuk kompetensi
pemahaman notasi matematika adalah 25 dan skor terendahnya adalah 7.Skor
tertinggi untuk kompetensi pemahaman garis bilangan 30 dan skor terendahnya
adalah 5. Dari hasil pengolahan data diperoleh persentase tertinggi kompetensi
pemahaman operasi hitung adalah 84% dan persentase terendahnya adalah 12%.
Persentase tertinggi untuk kompetensi pemahaman notasi matematika adalah
100% dan persentase terendahnya sebesar 28%, persentase tertinggi untuk
kompetensi pemahaman garis bilangan adalah 100 % dan persentase terendah
adalah 16, 67 %.
Dari perhitungan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi
diperoleh rerata kompetensi pemahaman operasi hitung penguasaan pada guru
SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun Akademik 2008/2009
ada-lah 59,09, rerata kompetensi pemahaman notasi matematika sebesar 77,44,
dan rerata kompetensi pemahaman garis bilangan sebesar 63,89. Hal itu berarti
persentase kompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika dan garis
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 129
bilangan seluruh guru SD Pokjar Borobudur dan guru SD Pokjar Tegalrejo Tahun
Akademik 2008/ 2009 termasuk kategori rendah. Dari hasil perhitungan diperoleh
standar deviasi kompetensi pemahaman operasi hitung besarnya adalah 13,21,
standar deviasi untuk notasi matematika sebesar 17,18, dan standar deviasi
kompetensi pemahaman garis bilangan sebesar 22,99. Dari hasil tersebut terlihat
perbedaan antarakompetensi pemahaman operasi hitung, notasi matematika dan
garis bilangan. Rerata persentase kompetensi pemahaman notasi matematika
lebih tinggi dibanding rerata kompetensi pemahaman operasi hitung dan garis
bilangan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa guru SD Pokjar Borobudur dan Pokjar
Tegalrejo lebih menguasai kompetensi pemahaman notasi matematika.
D. Simpulan dan Saran
Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa kompetensi guru sekolah
dasar dalam pemahaman konsep operasi hitung, notasi / simbol dan konsep
garis bilangan dalam matematika sekolah dasar masih belum memuaskan
(termasuk dalam kategori rendah). Hal ini ditunjukan oleh rerata yang nilainya
kurang dari 80 % (batas tuntas belajar).
Saran yang diberikan adalah untuk menjadi guru yang profesional
pertama harus menguasai konsep-konsep yang ada dalam matematika dan
selanjutnya menguasai metode-metode pembelajaran matematika.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 130
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Ja-karta: PT
Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006a. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Ri-neka Cipta
Masykur, Moch. 2007. Mathematikal Intelligence. Jogjakarta: Ar-ruzz Media..
Muhsetyo, Gatot. 2008. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sudjana, Nana dan Ibrahim.2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sumantri, Bambang. 1988. Metode Pengajaran Matematika untuk Sekolah Dasar.
Jakarta: Erlangga.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 131
P-5
JENIS-JENIS KESALAHAN DALAM MENYELESAIKAN SOAL PERSAMAAN DIFFERENSIAL
BIASA (PDB) STUDI KASUS PADA MAHASISWA SEMESTER V PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
Budiyono dan Wanti Guspriati
Program Studi Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Jenis-jenis Kesalahan dalam Menyelesaikan Soal Persamaan Differensial Biasa
(PDB) Studi Kasus pada Mahasiswa Semester V Program Studi Pendidikan Matematika
Tahun Akademik 2008/2009 dimaksudkan untuk mengetahui jenis kesalahan apa yang
banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal Ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa
semester V Program Studi Pendidikan Matematika sesuai dengan jenis-jenis kesalahan
yang telah teridentifikasi, mengetahui kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal
Ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan
Matematika.
Teknik pengumpulan sampel yang digunakan adalah unrestricted random
sampling. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan
metode tes. Pengolahan data yang digunakan adalah (1) Menghitung persentase jenis
kesalahan, (2) Mengelompokkan jenis-jenis kesalahan
Dari hasil penelitian diperoleh: (1) jenis kesalahan yang banyak dilakukan dalam
menyelesaikan soal mata kuliah PDB yaitu tentang kesalahan mendifferensi-alkan
fungsi /ke x sebesar 83,33% dalam penyelesaian soal PD eksak.(2) kriteria ketuntasan
dalam menyelesaikan soal Ujian mata kuliah PDB, untuk kelompok kriteria ketuntasan
yang persentasenya terdapat sebanyak 20 jenis kesalahan, termasuk dalam kriteria
sangat tuntas sekali dan untuk jenis kesalahan yang persentasenya >20% menurut
pengelompokkan yaitu kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 8 jenis
kesalahan termasuk dalam kriteria tuntas, kelompok yang persentasenya terdapat
sebanyak 18 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria agak tuntas, kelompok yang
persentasenya terdapat sebanyak 4 jenis kesalahan termasuk dalam kriteria tidak
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 132
tuntas, dan untuk kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 2 jenis kesalahan
termasuk dalam kriteria tidak tuntas sama sekali.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Persamaan Differensial Biasa merupakan salah satu mata kuliah yang ada pada
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo. Pada mata kuliah ini banyak mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar dan menyelesaikan soal latihan PDB, dari kesulitan
tersebut sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan pada saat menyelesaikan soal
ujian. Salah satu cara untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan
mahasiswa yaitu dengan melakukan identifikasi kesalahan mahasiswa dalam
menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB.
Kesalahan yang dilakukan mahasiswa perlu untuk diidentifikasi, agar dapat diketahui
apa saja jenis kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa. Kesalahan tersebut nantinya
dapat dikurangi ketika menyelesaikan soal yang sama. Hal ini menunjukan bahwa pada
saat menyelesaikan soal ujian tersebut adalah yang sulit atau materi tersebut sulit
untuk dikuasai oleh mahasiswa.
II. Rumusan Masalah
Permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Jenis kesalahan apa yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal Ujian mata
kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika sesuai
dengan jenis-jenis kesalahan yang telah teridentifikasi?
2. Bagaimana kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB
pada mahasiswa semaster V program Studi Pendidikan Matematika?
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 133
III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian tentang Identifikasi kesalahan dalam Menyelesaikan soal Ujian Mata Kuliah
Persamaan Differensial Biasa (PDB) yang dilakukan peneliti bertujuan untuk:
1. mengetahui jenis kesalahan apa yang banyak dilakukan dalam menyelesaikan soal
ujian mata kuliah PDB pada mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan
Matematika sesuai dengan jenis-jenis kesalahan yang telah teridentifikasi;
2. mengetahui kriteria ketuntasan dalam menyelesaikan soal ujian mata kuliah PDB
pada mahasiswa semaster V program Studi Pendidikan Matematika.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. memberikan informasi dibagian mana mahasiswa melakukan kesalahan dalam
penyelesaian jawaban pada soal Persamaan Differensial Biasa;
2. mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan sehingga dapat dicari alternatif
pemecahannya agar tidak terjadi kesalahan yang berlanjut;
3.. pada dosen dan mahasiswa agar bisa mengetahui kesalahan yang dikarenakan
kurang pahamnya materi prasyarat seperti kalulus 1 dan kalkulus II; dan
4. dapat digunakan sebagai acuan peneliti selanjutnya.
METODE PENELITIAN
I. Waktu dan Tempat Penelitian
Peneltian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan Juli 2009 di
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Purworejo.
II. Subyek dan Sampel Penelitian
Semua mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo Tahun
Akademik 2008/2009. Berdasarkan subyek maka sampel yang diambil dalam penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 134
ini sejumlah 40 mahasiswa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah unrestricted random sampling.
III. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal-soal tes dalam
bentuk uraian sebanyak 22 soal dari Ujian Tengah dan Akhir Semester.
IV. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data pada penelitian ini secara
terperinci dilakukan sebagai berikut.
1. Menghitung persentase jenis kesalahan
2. Mengelompokkan jenis-jenis kesalahan
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
I. Hasil Penelitian
Untuk jenis kesalahan yang persentasenya terdapat sebanyak 20 jenis kesalahan, dan
untuk jenis kesalahan yang persentasenya >20% menurut pengelompokkan yaitu
kelompok yang persentasenya terdapat sebanyak 8 jenis kesalahan, kelompok yang
persentasenya terdapat sebanyak 18 jenis kesalahan, kelompok yang persentasenya
terdapat sebanyak 4 jenis kesalahan, dan untuk kelompok yang persentasenya
terdapat sebanyak 2 jenis kesalahan.
II. Pembahasan
Berikut adalah jenis-jenis kesalahan yang terjadi pada saat mahasiswa menyelesaiakan
soal Persamaan Differensial Biasa (PDB).
1. Kesalahan menyebutkan pengertian tingkat dan menentukan tingkat (order)
tertinggi pada PD diperoleh persentase sebesar 43,36%, kesalahan tersebut terjadi
karena mahasiswa tidak dapat menyebutkan pengertian dari tingkat.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 135
2. Kesalahan menyebutkan pengetian derajat dan menentukan derajat tertinggi pada
PD diperoleh persentase sebesar 51,56%, kesalahan ini terjadi karena mahasiswa tidak
dapat menyebutkan pengertian dari derajat.
3. Kesalahan menyamakan penyebut bentuk pecahan pada PD yang mudah diperoleh
persentase sebesar 27,55%, kesalahan tersebut terjadi karena kurangnya pehaman
pada materi prasyarat yaitu pada kalkulus I.
4. Kesalahan menentukan bentuk baku integral diperoleh persentase sebesar 7,14%,
kesalahan terjadi karena tidak paham pada materi prasyarat yaitu pada mata kuliah
kakulus II.
5. Kesalahan menyatakan bahwa bentuk PD tersebut adalah suatu PD yang tidak
Mudah, karena tidak bisa diubah kebentuk dengan suatu fungsi x atau dengan suatu
fungsi y yang merupakan bentuk pd yang mudah diperoleh persentase sebesar 45,91%,
kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk suatu PD yang mudah.
6. Kesalahan mengubah bentuk PD tingkat 1, menjadi bentuk , dengan fungsi x dan
fungsi y diperoleh persentase sebesar 58,51%, kesalahan tersebut terjadi karena
mahasiswa tidak mengetahui bentuk PD yang mudah.
7. Kesalahan menyederhanakan bentuk persamaan pada integral ke y dan
menentukan hasil integral ke y diperoleh persentase sebesar 62,77%, kesalahan
teersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham mata kuliah prasyarat pada mata
kuliah kalkulus I.
8. Kesalahan menyederhanakan bentuk persamaan pada integral ke x dan
menentukan hasil integral ke x diperoleh persentase sebesar 62,77%, kesalahan
tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi pada mata kuliah prasyarat
yaitu pada kalkulus I.
9. Kesalahan menentukan bentuk baku dalam penyelesaian integral ke y diperoleh
persentase sebesar 18,94%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham
pada materi matakuliah prasyarat kalkulus II.
10. Kesalahan menentukan bentuk fungsi homogen diperoleh persentase sebesar
25,98%, kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk fungsi
homogen.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 136
11. Kesalahan menentukan hasil fungsi pada koefisien dx yang merupakan suatu
fungsi homogen diperoleh persentase sebesar 54,87%, kesalahan tersebut terjadi
karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I.
12. Kesalahan menentukan hasil fungsi pada koefisien dx yang merupakan suatu
fungsi homogen diperoleh persentase sebesar 5,51%, kesalahan tersebut terjadi
karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat kalkulus I..
13. Kesalahan menyatakan bahwa suatu PD tersebut bukan merupakan PD yang
homogen diperoleh persentase sebesar 32,28%, kesalahan tersebut terjadi karena
mahasiswa tidak tahu suatu bentuk fungsi homogen.
14. Kesalahan karena tidak menggunakan substitusi maka dalam menyelesaikan PD
yang Homogen diperoleh persentase sebesar 49,33%, kesalahan tersebut terjadi
karena mahasiswa tidak paham materi matakuliah prasyarat yaitu kalkulus I..
15. Kesalahan menentukan bentuk PD yang merupakan koefisien-koefisien linear
dengan bentuk yang pertama yaitu (ax + by + c)dx + (px+qy+r)dy = 0, untuk dan yang
merupakan suatu PD yang homogen diperoleh persentase sebesar 46,06%. Kesalahan
tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk PD homogen..
16. Kesalahan karena tidak mengambil substitusi maka , dan disubstitusikan ke PD
tingkat 1 diperoleh persentase sebesar 9,01%, kesalahan tersebut terjadi karena
mahasiswa tidan tahu bentuk penyelesaian suatu PD homogen..
17. Kesalahan mendifferensialkan fungsi ke y diperoleh persentase sebesar 25,64%,
kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah
prasyarat kalkulus I.
18. Kesalahan mendifferensialkan fungsi ke x diperoleh persentase sebesar 83,33%,
kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak paham materi mata kuliah
prasyarat kalkulus I.
19. Kesalahan menentukan sarat PD tidak Eksak diperoleh persentase sebesar 19,23%
kesalahan tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk PD eksak.
20. Kesalahan menentukan sarat PD Eksak diperoleh persentase sebesar 14,11%,
kesalahan tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk suatu PD eksak.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 137
21. Kesalahan karena tidak bisa menentukan bentuk baku penyelesaian PD Eksak atau
diperoleh persentase sebesar 43,52%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak bisa
menentukan bantuk baku penyelesaian suatu PD eksak.
22. Kesalahan menentukan bentuk baku turunan pada fungsi f1 diperoleh persentase
sebesar 25,92% kesalahan tersebut terjadi karena tidak paham materi mata kuliah
prasyarat yaitu kalkulus I.
23. Kesalahan menentukan hasil determinan Wronsky dari f1, f2, dan f3 dengan
bentuk diperoleh persentase sebesar 56,48%, kesalahan tersebut terjadi karena
mahasiswa tidak paham materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus II.
24. Kesalahan menentukan hasil determinan Wronsky dari f1, f2, dan f3 dengan
bentuk diperoleh persentase sebesar 52,77%, kesalahan terjadi karena tidak paham
materi mata kuliah prasyarat yaitu kalkulus I.
25. Kesalahan dalam menyimpulkan hasil dari determinan Wronsky 0 yang tidak
merupakan bebas linear pada diperoleh persentase sebesar 44,44%, kesalahan
tersebut terjadi karena mahasiswa tidak tahu bentuk determinan Wronsky.
26. Kesalahan menentukan turunan pada fungsi f1 diperoleh persentase sebesar
23,80%, kesalahan terjadi karena tidak tahu materi mata kuliah prasyarat yaitu
kalkulus II tentang turunan fungsi.
27. Kesalahan menentukan hasil fungsi f1 yang disubstitusikan ke PD Orde Dua
sehingga PD ruas kiri = ruas kanan diperoleh persentase sebesar 9,52%, kesalahan
terjadi karena tidak tahu materi prasyarat.
28. Kesalahan menentukan bentuk baku dengan substitusi dan diperoleh persentase
sebesar 45,94%, kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk baku penyelesaian pada
PD Bernoulli.
29. Kesalahan dalam menyelesaikan bentuk PD Bernoulli untuk dan pada persamaan
yang telah direduksi menjadi PD Orde Satu diperoleh persentase sebesar 51.35%,
terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk penyelesaian pada PD Bernoulli.
30. Kesalahan penulisan rumus baku dari diperoleh persentase sebesar 43,18, terjadi
kesalahan karena tidak tahu bentuk rumus baku dari determinan Wronsky.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 138
31. Kesalahan menentukan hasil persamaan dengan dan diperoleh persentase
sebesar 65,90%, kesalahan terjadi karena tidak paham materi mata kuliah prasyarat
kalkulus I.
32. Kesalahan menentukan hasil pada persamaan diperoleh persentase sebesar
18,18%, kesalahan terjadi karena tidak paham materi prasyarat pada mata kuliah
kalkulus I.
33. Kesalahan penulisan solusi umum PD diperoleh persentase sebesar 18,18%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum PD.
34. Kesalahan menentukan persamaan karakteristik pada PD Li near Orde Dua
Homogen dengan koefisian konstanta diperoleh persentase sebesar 24,46% kesalahan
terjadi karena tidak tahu bentuk persamaan karakteristiknya.
35. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kompleks
diperoleh persentase sebesar 51,06%, kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk akar
kompleks.
36. Kesalahan menuliskan solusi basis , diperoleh persentase sebesar 18,09%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum..
37. Kesalahan menentukan persamaan karakteristik pada PD Linear Orde Dua
Homogen dengan koefisian konstanta diperoleh persentase sebesar 17,39%, kesalahan
terjadi karena tidak dapat menentukan persamaan karakteristik.
38. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kembar
diperoleh persentase sebesar 56,52%, kealahan terjadi karena tidak paham materi
mata kuliah pra syarat yaitu kalkulus I.
39. Kesalahan menuliskan solusi basis dan diperoleh persentase sebesar 14,51%,
terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi basis.
40. Kesalahan menuliskan solusi umum diperoleh persentase sebesar 16,7%, terjadi
kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi umum.
41. Kesalahan menentukan nilai a, b, dan c dari persamaan pada PD Orde Dua yang
merupakan PD Cauchy atau PD Euler diperoleh persentase sebesar 8,86%.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 139
42. Kesalahan menentukan hasil akar-akar m1 dan m2 yang merupakan akar kompleks
pada PD Cauchy diperoleh persentase sebesar 18,50%, kesalahan terjadi karena tidak
paham pada materi prasyarat yaitu pada mata kuliah kalkulus I.
43. Kesalahan menuliskan solusi basis , diperoleh persentase sebesar 15,49%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi basis.
44. Kesalahan menuliskan solusi umum diperoleh persentase sebesar 29,57%,
kesalahan terjadi karena tidak tahu bentuk solusi umum pada PD Cauchy Euler.
45. Kesalahan dalam penulisan simbol solusi komplementer diperoleh persentase
sebesar 53,08%, terjadi kesalahan karena tidak tahu bentuk solusi komplementer.
46. Kesalahan dalam penulisan simbol solusi partikuler diperoleh persentase sebesar
53,08%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak tahu bentuk solusi patikuler.
47. Kesalahan menentukan hasil koefisien-koefisien dan pada solusi diperoleh
persentase sebesar 80,24%, kesalahan tersebut terjadi karena tidak paham materi
prasyarat yaitu materi pada mata kuliah kalkulus lanjut.
48.. Kesalahan menentukan hasil pada solusi umum diperoleh persentase sebesar
18,51%, kesalahan tersebut terjadi karena paham materi pada mata kuliah prasyarat
yaitu pada kalkulus I dan II.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Astuti, Puji Erni. 2006. Identifikasi Kesalahan dalam Menyelesaikan Ujian Tengah dan
Akhir Semester Mata Kuliah Kalkulus Lanjut pada Mahasiswa Semester III
Program Studi Pendidikan Matematika. Skripsi UMP.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metode Research.. Andi Yogyakarta.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 140
Hamalik, Oemar. 2005. Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung:
Tarsito.
Hudojo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di
Deapan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
_______________. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Nababan. Persamaan differensial Linear Orde Dua Homogen.
Narbuko, Cholid dkk. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugraheni, Atika. 2003. Jenis-jenis Kesulitan dalam Menyelesaikan Soal Cerita yang
Berkaitan dengan Pokok Bahasan dan Peluan pada Siswa kelas II Semester I SMU
Pancasila Purworejo Tahun Pelajaran 2002/2003. Skripsi UMP.
Riduwan. 2007. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru dan Karyawan dan Peneliti
Pemula. Jakarta: Alfabeta.
Sudjana, 2005. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.
Sudjana, Nana. 2002. Penilaian Hasil Proses belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sufiyah, Siti. 2002. Analisis Kesalahan Penyelessaian Soal Persamaan Differensial Biasa
Orde satu pada Mahasiswa Semester V Uiversitas Muhammadiyah Purworejo.
Skripsi UMP.
Sudaryat, Sueb. Persamaan Differensial Tingkat Satu Derajat Satu.
Wardiman. 1981 Persamaan Differensial. Yogyakarta: Citra Offset Yk.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 141
P-6
PEMBELAJARAN FPB DAN KPK DENGAN DAN TANPA
ALAT PERAGA PADA SISWA KELAS V SD NEGERI BLENGORKULON KECAMATAN
AMBAL KABUPATEN KEBUMEN TAHUN PELAJARAN 2008/2009
Abu Syafik dan Siti Khanifah
Program Studi Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo
ABSTRAK
Pembelajaran FPB dan KPK dengan dan Tanpa Alat Peraga pada Siswa Kelas
V SD Negeri Blengorkulon kecamatam Ambal kabupaten Kebumen Tahun
pelajaran 2008/2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kriteria
hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok eksperimen; (2) kriteria hasil
pembelajaran FPB dan KPK kelompok kontrol; dan (3) perbedaan rerata nilai
prestasi belajar antara kelompok eksperimen dan kontrol.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai bulan Juli
2009. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas V SD N
Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran
2008/2009. Teknik pengumpulan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sampling jenuh. Metode dalam mengumpulkan data adalah meto-de
tes.
Kriteria hasil pembelajaran bahasan FPB dan KPK kelompok eksperi-men
memuaskan dengan persentase tertinggi 100% dan persentase terrendah
sebesar 48%. Sedangkan kriteria hasil pembelajaran bahasan FPB dan KPK
kelompok kontrol kurang memuaskan dengan persentase tertinggi 100% dan
persentase terrendah sebesar 41,66%.. Hasil pembelajaran FPB dan KPK ke-
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 142
lompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, ini ditinjau
dari besarnya rerata dan standar deviasi, yaitu rerata pada kelompok eksperi-
men sebesar 79,99% dengan standar deviasi sebesar 131,20%, dan rerata pa-da
kelompok kontrol sebesar 70,82% dengan standar deviasi sebesar 146,78%.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Matematika merupakan bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan
dibangun melalui proses penalaran yang deduktif, matematika juga sebagai
ilmu dasar dari semua ilmu pengetahuan yang melalui suatu tahapan yang ha-
rus dimiliki siswa setelah melalui proses tahapan program pembelajaran. Ilmu
matematika diajarkan disetiap jenjang pendidikan, sehingga diharapkan
matematika mempunyai kontribusi yang berarti bagi bangsa dimasa sekarang
dan yang akan datang..
Dalam kurikulum matematika Sekolah Dasar, terdapat salah satu bahasan
FPB dan KPK yang diajarkan dari kelas empat sampai kelas lima. Dalam mem-
pelajari FPB dan KPK banyak melibatkan pemahaman materi pendukung dan
prosedur-prosedur pembelajaran, oleh karena itu guru hendaknya meng-
gunakan alat peraga yang dapat mempermudah pemahaman materi FPB dan
KPK.
Banyak kendala yang dihadapi oleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal
FPB dan KPK. Banyak siswa yang masih bingung membedakan cara-cara
menyelesaikan FPB dan KPK. Dalam menghadapi masalah tersebut hendaknya
guru menggunakan alat peraga sebagai alat bantu dalam pembelajaran, karena
usia anak Sekolah Dasar akan mudah menerima materi yang diajarkan oleh
guru jika diberikan dalam bentuk permainan.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian di atas selanjutnya dapat
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 143
1. bagaimana hasil pembelajaran FPB dan KPk antara kelompok eks-
perimen dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Negeri Blengor-
kulon, Kecamatan Ambal Kabupaten Kebunen Tahun Pelajaran
2008/2009?
2. bagaimana kemampuan siswa kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dalam menyelesaikan soal-soal FPB dan KPK pada siswa kelas V SD
Negeri Blengorkulon, Kecamatan Ambal, Kabupaten Ke-bumen Tahun
Pelajaran 2008 / 2009?
3. bagaimana perbedaan prestasi belajar matematika pada bahasan
FPB dan KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan
Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008 / 2009?
4. sejauh mana peranan alat peraga dalam pembelajaran FPB dan KPK
pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan Ambal Ka-bupaten
Kebumen Tahun Pelajaran 2008 / 2009?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk:
1. mengetahui bagaimana hasil pembelajaran FPB dan KPK kelom-
pok eksperimen dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Ne-geri
Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran
2008/2009?
2. mengetahui kemampuan kelompok eksperimen dan kelompok
kon-trol dalam menyelasiakan soal-soal FPB dan KPK pada siswa kelas V
SD Negeri Blengorkulon Kecanatan Ambal Kabupaten Kebu-men Tahun
Pelajara 2008/2009?
3. mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan prestasi belajar
matematika pada bahasan FPB dan KPK antara kelompok eksperi-men
dan kelompok kontrol pada siswa kelas V SD Negeri Blengor-kulon
Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009?
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 144
4. mengetahui pengaruh alat peraga dalam pembalajaran FPB dan
KPK pada siswa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecanatan Am-bal
Kabupaen Kebumen Tahun Pelajara 2008/2009?
4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. untuk penulis, dapat menambah pengalaman dan pengetahuan se-
hingga dapat dijadikan pedoman untuk mengadakan penelitian di-masa
yang akan ating serta mengembangkan pikiran dalam rang-ka
mengembangkan disiplin ilmu yang dimiliki;
2. untuk guru dan calon guru, dapat dijadikan masukan untuk me-
nentuan model pembelajaran matematika di dalam kelas sehingga
tercipta suasana belajar yang bervariasi dan tercapai tujuan pem-
belajaran yang diharapkan;
3. untuk siswa, dengan adanya penelitian ini maka siswa dapat me-
ngetahui beraneka ragam alat peraga yang dapat digunakan untuk
mempelajari matematika dengan mudah dan sangat menyenang-kan;
dan
4. bahan informasi bagi penelitian sejenis berikutnya.
METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian di laksanakan di SD Blengorkulon Kecamatan Ambal Ka-bupaten
Kebumen. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, dimulai da-ri bulan
Oktober 2008 sampai dengan Juli 2009
2. Subyek dan Sampel Penelitian
Semua siawa kelas V SD Negeri Blengorkulon Kecamatan Ambal Kabupaten
Kebumen Tahun Pelajaran 2008/2009.Berdasarkan subyek ma-ka sampel yang
diambil dalam penelitian ini sejumlah 42 siswa. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah unrestricted random sampling.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 145
3. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal-soal
tes dalam bentuk uraian sebanyak 25 soal tentang FPB dan KPK semester I.
4. Teknik Analisis Data
Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data pada pene-litian
ini secara terperinci dilakukan sebagai berikut.
1. Mengubah jawaban benar menjadi skor
2. Menghitung persentase kemampuan
3. Menghitung rerata dan standar deviasi
4. Menguji normalitas data dengan Khai kuadrat
5. Menguji homogenitas data
6. Menguji hipotesis dengan uji-t
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
I. Hasil Penelitian
Dari hasil pengumpulan data diperoleh jumlah jawaban benar dalam pokok
bahasan FPB dan KPK kelompok eksperimen (kelompok yang menggunakan alat
peraga) dan kelompok kontrol (kelompok tanpa alat peraga). Jumlah jawa-ban be-
nar tersebut penulis sajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut.
Tabel 2. Daftar Jumlah Jawaban Benar Kelompok Eksperimen.
No. Kode Sampel Jumlah Jawaban Benar
1 A.01 16
2 A.02 19
3 A.03 22
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 146
4 A.04 19
5 A.05 19
6 A.06 16
7 A.07 15
8 A.08 15
9 A.09 18
10 A.10 20
11 A.11 20
12 A.12 14
13 A.13 17
14 A.14 15
15 A.15 24
16 A.16 19
17 A.17 17
18 A.18 15
19 A.19 14
20 A.20 16
21 A.21 18
22 B.01 23
23 B.02 12
24 B.03 19
25 B.04 22
26 B.05 23
27 B.06 23
28 B.07 23
29 B.08 23
30 B.09 23
31 B.10 25
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 147
32 B.11 19
33 B.12 24
34 B.13 24
35 B.14 24
36 B.15 23
37 B.16 25
38 B.17 22
39 B.18 25
40 B.19 22
41 B.20 24
42 B.21 23
Tabel 3. Daftar Jumlah Jawaban Benar Kelompok Kontrol.
1 A.01 16
2 A.02 14
3 A.03 12
4 A.04 11
5 A.05 11
6 A.06 10
7 A.07 11
8 A.08 16
9 A.09 17
10 A.10 13
11 A.11 12
12 A.12 17
13 A.13 12
14 A.14 10
15 A.15 13
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 148
16 A.16 11
17 A.17 12
18 A.18 13
19 A.19 11
20 A.20 10
21 A.21 15
22 B.01 23
23 B.02 20
24 B.03 22
25 B.04 21
26 B.05 24
27 B.06 21
28 B.07 24
29 B.08 18
30 B.09 23
31 B.10 21
32 B.11 23
33 B.12 24
34 B.13 24
35 B.14 22
36 B.15 23
37 B.16 21
38 B.17 19
39 B.18 24
40 B.19 22
41 B.20 19
42 B.21 19
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 149
II. Pembahasan
Dari tahap pengolahan data ada tujuh kegiatan yang dilakukan oleh pe-nulis, yaitu
mengubah jawaban benar menjadi skor, menghitung persentase kemampuan,
menghitung rerata dan standar deviasi, menguji normalitas data, menguji
homogenitas data, dan menguji hipotesis dengan uji-t.
Dari tabel 3 dan 4 yaitu daftar skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol,
dalam menghitung skor diperoleh skor tertinggi kelompok eksperi-men adalah 25
dan kelompok kontrol sebesar 24. Skor terrendah kelompok eksperimen sebesar
14 dan kelompok kontrol sebesar 10.
Dari tabel 5 dan 6 yaitu daftar persentase kelompok eksperimen dan ke-lompok
kontrol, diperoleh persentase kemampuan tertinggi kelompok eksperi-men sebesar
100% dan kelompok kontrol 100%. Persentase kemampuan ter-rendah kelompok
eksperimen 48,00% dan kelompok kontrol sebesar 41,66%.
Dalam menghitung rerata, diperoleh rerata kelompok eksperimen sebesar
79,99% dan rerata kelompok kontrol sebesar 70,82%. Hal itu berarti per-sentase
kelompok eksperimen sebesar 79,99% dan persentase kelompok kon-trol sebesar
70,82%.
Dalam menghitung standar deviasi, diperoleh standar deviasi kelompok
eksperimen sebesar 131,20% dan standar deviasi kelompok kontrol sebesar
146,78. Artinya penyimpangan data sebesar satu standar deviasi kelompok
eksperimen terhadap rerata 79,99% adalah 131,20% dan penyimpangan data
sebesar satu standar deviasi kelompok kontrol terhadap rerata 70,20% adalah
146,78%.
Dalam menguji normalitas data diperoleh harga c²hitung kelompok eksperi-men
sebesar 257,30% dan c²hitung kelompok kontrol sebesar 119,21%, sehing-ga
perbandingan harga c²hitung dengan harga c²tabel sebagai berikut.
Dengan membandingkan harga c²hitung dengan harga c²tabel pada kelompok
eksperimen, maka untuk a = 0,05 dan dk = 40 diperoleh harga c²hitung ≥ c²tabel atau
257,30 ≥ 43,77. Dengan membandingkan harga c²hitung dengan harga c²tabel
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 150
kelompok kontrol, maka untuk a = 0,05 dan dk = 40 diperoleh harga c²hitung ≥ c²tabel
atau 119,21 ≥ 43,77, sehingga data normal.
Dari perhitungan dengan taraf signifikan 5 % atau 0,05 dan dengan dk =
n - 2 = 40, diperoleh nilai ttabel sebesar 1,68. Hal ini menunjukkan bahwa thitung >
ttabel atau 2,51 > 1,68. Maka sesuai dengan kriteria homogenitas dapat dikatakan
data tidak homogen.
Dalam menguji normalitas data diperoleh sebesar 3146,30%, B sebe-sar
293,81%, dan c²hitung sebesar 17,549%. Dari perhitungan dengan taraf sig-nifikan
5% atau 0,05 dengan dk = 41 diperoleh harga c²hitung > harga c²tabel atau 17,549 >
0,308. Maka sesuai dengan kriteria normalitas data dapat di-katakan data tidak
normal.
Pengujian hipotesis ditentukan dengan uji-t, menentukan daerah penerimaan
dan penolakan dengan taraf signifikan sebesar 5% dengan uji dua pihak. Jika thitung
> ttabel maka thitung berada dalam daerah penerimaan, dan se-baliknya jika thitung <
ttabel maka thitung berada dalam daerah penolakan. Dengan taraf signifikan 5% atau
0,05 dan dengan dk = n - 2 = 40, diperoleh nilai ttabel sebesar 1,68 dan ni-lai thitung
sebesar 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel atau 0,75 < 1,68. Sesuai
dengan kriteria maka Ho diterima dan Ha ditolak.
Hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok eksperimen lebih baik dari-pada
kelompok kontrol, hasil tersebut dipengaruhi oleh proses belajar meng-ajarnya.
Pada kelompok eksperimen proses belajar mengajarnya mengguna-kan alat
peraga. Dalam proses belajar kelompok eksperimen lebih aktif dan cepat
menangkap materi pelajaran, karena siswa tertarik dengan penggunaan alat
peraga yang mudah digunakan. Kelompok eksperimen juga lebih cepat
mengerjakan instrumen yang diberikan. Apabila dilihat dari rata-rata kelom-pok
eksperimen memperoleh rata-rata yang lebih baik daripada kelompok kontrol.
Hasil pembelajaran FPB dan KPK kelompok kontrol belum dapat menunjukkan
hasil yang baik. Hal ini karena proses belajar mengajarnya ti-dak menggunakan
alat peraga dan menggunakan metode konfensional dimana peneliti menjelaskan
dan siswa memperhatikan. Metode seperti ini membuat siswa tidak kreatif. Dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 151
pengerjaan instrumen kelompok kontrol lebih lam-bat daripada kelompok
eksperimen dan hasilnya belum baik. Apabila dilihat dari rerata kelompok kontrol
memperoleh rerata yang rendah.
Dalam mempelajari pokok bahasan FPB dan KPK dapat berhasil dengan baik
apabila menggunakan alat peraga, karena siswa akan dengan mudah me-ngerti
materi dan akan lebih cepat dalam menyelasaikan instrumen. Dengan alat peraga
juga siswa lebih kreatif karena suasana belajar berbeda dari biasa-nya. Tetapi alat
peraga bukanlah satu-satunya media untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, hal
ini harus disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan disampaikan kepada siswa.
Penggunaan alat peraga juga harus menarik dan praktis supaya siswa dapat
dengan mudah menggunakannya.
Dari metode-metode yang dipakai peneliti dalam memberikan materi FPB dan
KPK ternyata mengajar menggunakan alat peraga lebih tepat digunakan. Dengan
menggunakan alat peraga siswa akan senang belajar matematika dan menyukai
pelajaran matematika. Hal ini terbukti dari hasil pembelajaran ke-lompok
eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhsetyo, Gatot. 2008. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Sudjana, Nana. 2008. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Sudjana, Nana dan Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar
Baru.
Riduwan. 2004. Statistik Penelitian untuk Pemula. Bandung: Alfabeta.
Sagala, Syaiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 152
Sukmadinata, Syaodih Nana. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 153
P-7
KARAKTERISTIK PROSES BERPIKIR SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR
PADA SAAT MELAKUKAN AKTIVITAS MEMBAGI
Sulis Janu Hartati
Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya
Dosen S1 Sistem Informasi STIKOM Surabaya
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pembagian termasuk konsep matematika yang sulit dipahami oleh siswa kelas
III Sekolah Dasar. Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu usaha yang
diperlukan adalah mengetahui karakteristik proses berpikir siswa, khususnya
pada saat melakukan aktivitas membagi. Hal ini dipandang penting karena
aktivitas membagi merupakan konsep empirik untuk memahami konsep
pembagian. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggali
karakteristik proses berpikir siswa kelas III Sekolah Dasar pada saat melakukan
aktivitas membagi. Penelitian dilakukan secara eksploratif, dengan pendekatan
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, karakteristik proses berpikir
siswa pada saat melakukan aktivitas membagi meliputi 2 aktivitas mental,
yaitu: asimilasi dan akomodasi.
Kata Kunci: Aktivitas Membagi, Berpikir, Proses Berpikir, Karakteristik, Konsep
Empirik, Aktivitas Mental, Asimilasi, Akomodasi.
1. Pendahuluan
Berdasarkan pengamatan terhadap 2 siswa kelas III Sekolah Dasar (SD) dalam
menyelesaikan 10 soal pembagian diindikasikan bahwa mereka menyelesaikan soal-
soal tersebut hanya menggunakan prosedur pembagian yang terbatas (Hartati, 2009).
Setelah digali lebih lanjut melalui wawancara dan catatan siswa ditemukan bahwa
pengetahuan siswa tentang prosedur pembagian tergolong pengetahuan figuratif.
Pengetahuan figuratif dihasilkan oleh berpikir figuratif (Piaget, dalam Soeparno, 2001).
Ciri-ciri yang ditemukan adalah: perilaku meniru atau mengulang materi yang terakhir
dipelajari. Dari temuan tersebut dapat diartikan bahwa siswa belum memahami
prosedur pembagian. Menurut Silver (1986), untuk memahami pengetahuan
prosedural dibutuhkan pemahaman pengetahuan konseptual yang terkait.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 154
Pemahaman siswa, yang diteliti, tentang prosedur pembagian tidak terhubung
dengan konsep pengurangan, maupun perkalian. Akibatnya siswa gagal membangun
relasi antara prosedur pembagian dengan prosedur pengurangan berulang, maupun
prosedur perkalian. Pemahaman yang demikian disebut dengan pemahaman
”instrumental”, yaitu pemahaman yang merujuk pada kinerja prosedur melalui
hafalan (Skemp, 1982).
William Brownell dan para pendukung pembelajaran “bermakna” aritmetika
seperti Skemp, Byers & Hersvovics menyatakan bahwa pemahaman prosedur
perhitungan tidak dapat dicapai tanpa dasar pengetahuan konseptual yang solid
(Silver, 1986). Menurut Silver (1986), kelancaran pengetahuan prosedural tidak harus
didasarkan pada pengetahuan konseptual, namun demikian pengetahuan prosedural
menjadi sangat terbatas jika tidak dihubungkan dengan dasar pengetahuan
konseptual.
Suatu usaha yang dipandang dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang
prosedur pembagian, adalah menggali karakteristik proses berpikir siswa pada saat
melakukan aktivitas membagi. Harapannya adalah pengetahuan siswa tentang
prosedur pembagian meningkat dari pengetahuan figuratif menjadi pengetahuan
operatif.
Karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ciri khusus. Sedangkan
yang dimaksud dengan berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi secara internal
dalam otak (tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang
tampak), melibatkan manipulasi pengetahuan untuk menghasilkan pengetahuan baru.
Proses berpikir adalah rangkaian aktivitas kognitif pada saat berpikir.
Oleh karena itu perumusan masalah yang diajukan adalah: ‘bagaimanakah
karakteristik proses berpikir siswa kelas III SD pada saat melakukan aktivitas
membagi?’. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik proses
berpikir siswa kelas III SD pada saat melakukan aktivitas membagi. Hal ini dipandang
penting karena aktivitas membagi merupakan konsep empirik untuk memahami
prosedur pembagian, yang merupakan operasi aritmetika yang sulit dipahami bagi
siswa kelas III SD (Hartati, 2009). Manfaat dari penelitian ini adalah membantu guru
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 155
mengestimasi sumber representasi siswa, khususnya yang berkaitan dengan konsep
pembagian.
2. Pembahasan
Penelitian diawali dengan memilih subjek, yaitu 2 orang siswa kelas III SD yang
menggunakan aspek berpikir figuratif pada saat menyelesaikan soal-soal pembagian.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati secara langsung anak yang
sedang berpikir ketika melakukan aktivitas membagi. Kemudian mendiskripsikan
pemikiran subjek dengan wawancara klinis (Piaget, dalam Ginsburg, 1983; Hunting,
1997; McDonough, Clarke, and Clarke, 2002; dan Voutsina and Jones, 2004) berbasis
tugas. Tugas diberikan dalam bentuk suruhan untuk melakukan aktivitas membagi.
Objek digunakan dalam penelitian adalah sekantong kelereng. Perilaku yang diamati
dari subjek meliputi: (1) bahasa yang diucapkan, (2) coretan atau simbol-simbol ketika
melakukan aktifitas membagi, (3) gerak-gerik atau ekspresi wajah ketika melakukan
aktifitas membagi, dan (4) jawaban tertulis ketika menyelesaikan aktifitas membagi.
Instrumen yang digunakan meliputi: (1) lembar soal, yang memuat suruhan-suruhan
untuk melakukan aktivitas membagi, (2) alat tulis, (3) 4 kantong kelereng, masing-
masing berisi 25 kelereng, dan (4) 11 buah boneka kecil dan 11 buah gelas aqua
kosong. Isi instrumen lembar soal adalah seperti berikut:
‘(1) Ambilah 1 kantong kelereng yang tersedia, (2) ada berapa kelereng dalam
kantong, (3) tulis lambang bilangannya, (4) bagilah kelereng tersebut kepada 5
orang, setiap orang menerima kelereng sama banyak, (5) berapa kelereng yang
diterima setiap orang, (6) tulis lambang bilangan kelereng yang diterima setiap
orang’.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, kedua subjek dapat melakukan suruhan 1, dan
2 secara otomatis. Kedua subjek melakukan suruhan ke-2 dengan cara yang sama,
yaitu menghitung kelereng satu persatu. Namun demikian, subjek ke-1 sebelum
melakukan aktivitas membilang, dia mengeluarkan semua kelereng dari kantong,
sementara subjek ke-2 mengeluarkan kelereng satu persatu bersamaan dengan proses
membilang. Pada saat melakukan suruhan ke-3, kedua subjek terlihat ragu, mereka
bertanya ‘lambang bilangan itu apa?’. Setelah diberikan contoh lambang bilangan,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 156
mereka dapat mengerjakannya. Kedua subjek memberi sebutan lambang bilangan
dengan angka. Suruhan ke-4 dikerjakan dengan cara yang berbeda (Hartati, 2009).
Subjek ke-1 melakukannya dengan cara mengambil sejumlah kelereng, tanpa pola, dari
kantong dan membaginya satu per satu ke 5 orang sampai kelerengnya habis. Subjek
ke-2 melakukannya dengan cara mengambil kelereng menggunakan pola yang sama,
yaitu setiap kali mengambil 2 kelereng dari kantong, kemudian memberikannya
kepada 1 orang. Aktivitas ini diulang sampai kelereng dalam kantong tinggal 5 buah.
Aktivitas terakhir yang dilakukan adalah mengambil ke 5 kelereng secara bersamaan
kemudian memberikannya satu per satu ke setiap orang. Suruhan ke-5 dilakukan
secara otomatis, tidak mengajukan pertanyaan lagi tentang lambang bilangan.
Kemudian suruhan ke-6 juga dilakukan secara berbeda oleh kedua subjek. Subjek ke-1
menghitung kembali jumlah kelereng yang diterima masing-masing orang dengan cara
membilang kelereng pada setiap orang. Sementara subjek ke-2 melakukan
penghitungan dalam hati, hanya dengan melihat atau mengamati masing-masing
kelereng yang diterima setiap orang. Instrumen yang dipilih subjek untuk melakukan
aktivitas membagi sama, yaitu: (1) alat tulis yang disediakan, (2) sekantong kelereng,
dan (3) 5 buah gelas aqua yang kosong.
Bahasan hasil pengamatan dalam makalah ini dibatasi pada aktivitas yang terkait
dengan aktivitas matematika. Oleh karena itu, bahasan dimulai dengan hasil
pengamatan pada suruhan ke-2.
Suruhan ke-2 dilakukan oleh kedua subjek secara otomatis, sepertinya tidak
berpikir. Perilaku tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) sifat otomatis yang
dinampakan kedua subjek pada saat melakukan suruhan ke-2 menunjukkan bahwa
kedua subjek mengenali perintah pada suruhan tersebut, (2) mereka menghubungkan
perintah tersebut dengan aktivitas membilang, yang merupakan konsep empirik (KE)
dari konsep bilangan. Ini berarti, mereka mengasimilasi suruhan ke-2. Asimilasi adalah
proses kognitif yang mengintegrasikan presepsi, konsep, atau pengalaman baru ke
dalam skema yang sudah ada dalam pikiran individu (Piaget, dalam Suparno, 2001).
Menurut Skemp (1982), asimilasi adalah proses masuknya informasi baru yang sesuai
dengan skema yang sudah dimiliki. Asimilasi tidak menyebabkan skema berubah,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 157
tetapi mengembangkan skema yang sudah terbentuk. Skema adalah pengetahuan
matematika (yang asli) yang sudah dimiliki yang terorganisasi pola-pola tindakan yang
bertujuan (Skemp, 1982). Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, tetapi
merupakan rangkaian proses dalam sistem kesadaran individu.
Hasil pengamatan suruhan ke-3 menunjukkan bahwa kedua subjek tidak
mengenali istilah ‘lambang bilangan’. Perilaku yang dinampakkan kedua subjek adalah
mempertanyakan ‘hakekat pertanyaan yang diajukan, dengan mengajukan
pertanyaan: lambang bilangan itu apa?’. Setelah dilakukan komunikasi matematika,
ditemukan bahwa subjek mengenali lambang bilangan sebagai ‘angka’. Fenomena
demikian disebut dengan akomodasi. Akomodasi mengacu pada proses pengubahan
struktur mental supaya konsisten dengan realitas luar. Akomodasi terjadi ketika skema
harus dimodifikasi, atau skema baru harus dibuat untuk menerangkan pengalaman
baru. Setelah cocok, pengalaman baru tersebut kemudian mengalami proses adaptasi.
Adaptasi adalah proses terbentuknya skemata baru melalui proses asimilasi dan
akomodasi, sebagai mana yang dijelaskan oleh Piaget (dalam Bhattacharya & Han,
2001), prinsip utama teori pertumbuhan intelektual dan pengembangan biologis
adalah adaptasi dan organisasi, selengkapnya:
‘according to Piaget, two major principles guide intellectual growth and
biological development: adaptation and organization’.
Setiap individu harus beradaptasi terhadap stimulus yang diterimanya, secara
fisik dan mental, supaya dapat bertahan dalam lingkungannya. Proses adaptasi
meliputi asimilasi dan akomodasi. Akomodasi adalah proses pengembangan skema
lewat pengubahan atau modifikasi skema lama untuk menyesuaikan dengan informasi
atau pengalaman baru yang masuk dalam pikiran individu. Menurut Piaget
(Bhattacharya & Han, 2001), skema adalah struktur mental yang dibangun oleh
konsep-konsep yang saling berelasi.
Hasil pengamatan suruhan ke-2, ke-4, dan ke-5 dilakukan oleh subjek secara
berbeda karena struktur berpikir kedua subjek berbeda (Hartati, 2009). Menurut
pemikiran Piaget (dalam Steffe, Glaserveld, et all, 1983; Bhattacharya, & Han, 2001),
pengetahuan secara aktif dibangun oleh pemikiran subjek, kognisi berfungsi adaptif,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 158
dalam pengertian biologi cenderung kearah yang cocok. Kognisi menurut dia, melayani
pengorganisasian dunia pengalaman subjek, bukan penemuan suatu realitas
ontological objektif. Menurut Piaget (dalam Suparno, 2001) pengetahuan bukan
merupakan refleksi suatu realitas, tetapi semata-mata merupakan suatu organisasi
dari pengalaman subjek tentang dunia. Pengetahuan hanya dapat dipahami dengan
jalan memeriksa kejadian-kejadiannya.
Hasil pengamatan suruhan ke-4, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) kedua
subjek langsung mengenali aktivitas membagi, (2) kedua subjek menghubungkan
aktivitas membagi dengan aktivitas mengurangi, yang dilakukan secara berulang
sampai objek yang dibagi habis, dan (3) berdasarkan penggalian data lewat
wawancara, kedua subjek mengenali istilah atau konsep ‘sama banyak’ secara
matematika, dan (4) perilaku yang ditunjukkan oleh kedua subjek dapat diartikan
bahwa keduanya memahami ‘KE membagi’ pada situasi partitif (Silver, 1986). Hasil
penggalian data lewat wawancara menunjukkan bahwa keduanya mengatakan ‘kalau
membagi harus sampai habis’, dan masing-masing banyaknya sama. Jawaban subjek
seperti pengertian situasi partitif yang ditulis oleh Silver (1986), adalah suatu kegiatan
membagi ke dalam beberapa bagian dengan banyaknya bagian diketahui dan masing-
masing bagian ukurannya sama, kemudian diminta menentukan ukuran masing-masing
bagian. Perilaku kedua subjek tersebut mirip dengan hasil penelitian Stefe, von
Glaserfeld, Richard, & Cobb pada tahun 1983 tentang anak-anak yang belajar konsep
penjumlahan. Dicontohkan oleh mereka bahwa, anak-anak pada usia antara 3-6 tahun
belajar bahwa 2 kumpulan objek, masing-masing jumlahnya tertentu, dapat
digabungkan dan banyaknya objek gabungan ditentukan dari banyaknya masing-
masing kumpulan objek semula. Mereka mendapatkan bahwa menghitung secara
berulang-ulang sekumpulan objek yang diberikan memberikan jumlah yang sama, tak
peduli sesering apa dilakukan dan bagaimana cara melakukannya (Stefe, von
Glaserfeld, Richard, & Cobb, 1983).
Hasil pengamatan suruhan ke-6 dapat dijelaskan sebagai berikut: subjek sudah
mengenali istilah 'lambang bilangan’. Ini berarti, setelah melakukan suruhan ke-3
subjek berhasil memahami konsep bilangan. Indikatornya adalah subjek sudah dapat
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 159
menghubungkan antara aktivitas membilang yang merupakan KE dari bilangan dengan
objek matematika (OM) yang disebut bilangan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam
Gambar 1 berikut:
Menurut Mitchelmore dan White (2004), pada saat siswa belajar ide matematika
dasar, 3 hal yang penting yang harus diperhatikan adalah: (1) mereka belajar konsep
empirik, (2) mereka belajar tentang objek matematika, dan (3) mereka belajar tentang
hubungan antara konsep empirik dan objek matematika yang merupakan potongan-
abstrak. Siswa yang gagal membuat hubungan antara potongan-abstrak objek
matematika dengan konsep empirik yang bersesuaian akan mengalami kesulitan dalam
belajar matematika. Pendapat Mitchelmore dan White selengkapnya sebagai berikut:
‘When students learn a fundamental mathematical idea in the way described
above, three things happen: They learn an empirical concept, they learn about a
mathematical object, and they learn about the relationship between the
empirical concept and the mathematical object’.
Hasil penelitian Vygotsky (Confrey, 1994) tentang pembagian dapat dijadikan
contoh dari uraian di atas. Dia mengajukan 2 soal pada siswa kelas III. Soal tersebut
adalah “bagaimana cara membagi 696 permen untuk 3 anak?”, dan “bagaimana cara
membagi 174 permen untuk 2 anak?”. Masalah tersebut diselesaikan dengan cara
sangat beragam oleh anak-anak dengan bantuan alat, kotak Dienes. Namun kesulitan
muncul pada kelompok siswa yang menggunakan prosedur pembagian secara pendek,
yang diajarkan oleh orang tua mereka, khususnya soal yang ke-2, yaitu “membagi 174
permen untuk 2 anak”.
Gambar 1: hubungan antara KE dan OM pada Konsep Bilangan
Simbol dari Diberi Simbol dg
Kegiatan menghitung sekumpulan objek
Konsep empirik (KE)
Bilangan
Objek matematika (OM)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 160
Pada saat siswa ke sekolah, mereka mempunyai pemahaman intuitif tentang
beberapa konsep matematika, termasuk bilangan, pengukuran dan probabilitas.
Contoh, siswa taman kanak-kanak dan kelas 1 SD menyelesaikan masalah
penggabungan, pemisahan, atau pembandingan kuantitas secara intuitif dengan
melakukan aktivitas penyelesaian masalah dengan sekumpulan objek (Carpenter &
Lehrer, 1999). Perluasan strategi ini, kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk
mengembangkan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian
(Carpenter, Fennema, Fuson, Hiebert, Human, Murray, Oliver, & Wearne, 1999).
Berdasarkan bahasan hasil pengamatan, proses berpikir kedua subjek pada saat
melakukan aktifitas membagi disajikan dalam Gambar 2 berikut:
Menurut Piaget (Suparno, 2001), unsur paling penting dalam perkembangan
pemikiran seorang anak adalah ekuilibrium. Ekuilibrium merupakan mekanisme
internal, yang mengatur diri seseorang ketika berhadapan dengan rangsangan atau
tantangan dari luar. Rangsangan dari luar menimbulkan ketidakseimbangan, atau
disekuilibrium, atau konflik dalam diri seseorang. Konflik berpikir inilah yang
Gambar 2: Proses Berpikir Lewat Kerangka Asimilasi dan Akomodasi
Rangsangan dari luar
Ketidakseimbangan (disekuilibrium)
Asimilasi Akomodasi
Keseimbangan (ekuilibrium)
Pengembangan Skemata
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 161
menantang untuk melakukan asimilasi dan akomodasi terhadap skema awal anak.
Proses untuk menjadi ekuilibrium itu disebut ekuilibrasi. Kalau sudah sampai ke
keseimbangan lagi, proses dapat diulang lebih lanjut. Dengan demikian, proses berpikir
seseorang semakin lama akan semakin kompleks.
3. Simpulan dan Saran
Berdasarkan uraian pada pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik proses berpikir subjek yang diteliti meliputi:
a) Jika subjek mempunyai pengalaman yang sama atau hampir sama dengan suruhan
yang diberikan, maka aktivitas mental yang dilakukan subjek adalah proses
asimilasi.
b) Jika pengalaman subjek tidak sesuai dengan suruhan yang diberikan, maka aktivitas
mental yang dilakukan subjek adalah proses akomodasi.
Daftar Pustaka
Bhattacharya, K. & Han, S.. 2001. Piaget and Cognitive Development. In Orey, M. (Ed),
emerging prespectives on learning, teaching, and technology. Diakses pada
tanggal 23 Januari 2008 dari http://projects.coe.uga.edu/epltt/.
Confrey, Jere. 1994. A Theory Of Intellectual Development, Part I. Journal For The
Learning Of Mathematics 14, 3. Canada: FLM Publishing.
Confrey, Jere. 1994. A Theory Of Intellectual Development, Part II. Journal For The
Learning Of Mathematics 14, 3. Canada: FLM Publishing.
Hartati, J., Sulis. 2009. Strategi Mengkonstruksi Konsep Pembagian Siswa Kelas III SD
dengan Pembelajaran Kontekstual. Prosiding: Seminar Nasional Matematika LSM
XVII. Yogjakarta: Universitas Negeri Yogjakarta.
Hartati, J., Sulis. 2009. Pentingnya Mengetahui Berpikir Struktur Siswa Dalam
Pembelajaran. Prosiding: Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Hunting, P., Robert. 1997. Clinical Interview Methods In Mathematics Education
Research And Practice. The Journal of Mathematical Behavior, 16, Issue 2, 145-
165. USA: Elsevier Science Inc. All rights reserved.
McDonough, A., Clarke, B. A., & Clarke, D. M..2002. Understanding assessing and
developing young childrens mathematical thinking: The power of the one-to-one
interview for preservice teachers in providing insights into appropriate
pedagogical practices. International Journal of Education Research, 37(2), 211-
226.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 162
Mitchelmore, M., and White, P..2004. Abstraction In Mathematics and Mathematics
Learning. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the
Psychology of Mathematics Educations. Vol 3, p. 329-336.
Silver, E. A..1986. Using Conceptual And Procedural Knowledge: A Focus On
Relationships. In J. Hiebert (Ed.), "Conceptual And Procedural Knowledge: The
Case Of Mathematics". (pp. 181-197). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Skemp, Richard R.. 1982. The Psychology Of Learning Mathematics. Great Britain:
Hazell Watson &Vney Ltd.
Soedjadi, R.. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah.
Surabaya: PSMS Unesa.
Steffe, L.P., von Glaserveld, E., Richards, J., & Cobb, P. 1983. Children’s Counting Types:
Phylosophy Theory And Applications. New York: Praeger.
Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jogjakarta: Kanisius.
Voutsina, C., and Jones, K. .2004. Studying Change Processes in Primary School
Arithmetic Problem Solving: issues in combining methodologies. Proceedings of
the British Society for Research into Learning Mathematics, 24(3), 57-62.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 163
P-8
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DENGAN MATHEMATICAL DISCOURSE DALAM
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK
PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Hamdani
PMIPA FKIP Untan Pontianak
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi pengembangan model pendekatan
pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematik dengan
menerapkan mathematical discourse. Tujuannya adalah menyediakan pendekatan
pembelajaran dengan menerapkan mathematical discourse untuk mengembangkan
komunikasi matematik. Metode penelitian adalah penelitian pengembangan atau
development research, dengan pengumpulan data dilakukan melalui :dokumentasi,
observasi kelas, angket, dan wawancara. Subyek penelitian adalah guru-guru
matematika sekolah menengah di Kota Pontianak dan kabupaten Sambas, sedangkan
teknik analisis data yang digunakan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk
saling melengkapi. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek komunikasi pada
beberapa buku referensi beragam. Komunikasi matematika masih dipahami oleh
sebagian besar guru sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Pengembangan
model pembelajaran dengan mathematical discourse yang sesuai digunakan guru
adalah pembelajaran yang memberikan ruang untuk pengajuan pertanyaan, adu
argumentasi, negosiasi pendapat antar seluruh warga kelas.
Kata Kunci: Komunikasi matematika, mathematical discourse, pendekatan
pembelajaran
Pendahuluan
Dalam Curriculum and Evaluation Standards (NCTM,1989:6) dinyatakan bahwa
salah satu kemampuan dasar berpikir matematika yang diharapkan dimiliki siswa yaitu
berkomunikasi secara matematika. Sejumlah pakar, seperti Baroody (1993); Miriam
dkk (2000) mengemukakan bahwa komunikasi matematika tidak hanya sekedar
menyatakan ide melalui tulisan, tetapi labih luas lagi, yaitu kemampuan siswa dalam
hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja
sama.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 164
Untuk meningkatkan kemampuan tersebut, menurut Janvier (1987:27) adalah
dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengembangkan dan mengintegrasikan ketrampilan berkomunikasi melalui berbagai
representasi eksternal, seperti deskripsi verbal, grafik, tabel, ataupun formula.
Aktivitas tersebut, disamping memberi peran matematika sebagai bahasa, juga
sekaligus menekankan matematika sebagai aktivitas (doing mathematics) dimana
dalam aktivitas bermatematika, tidak hanya terfokus pada solusi akhir tetapi juga pada
prosesnya yang mencakup proses translasi seperti interpretasi, pengukuran,
pensketsaan, permodelan dan lain-lain.
Dalam pembelajaran matematika, komunikasi merupakan suatu cara berbagi
ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi obyek
refleksi, diskusi, dan pengembangan. Proses komunikasi juga membangun makna dan
kekokohan ide. Ketika siswa ditantang berfikir dan bernalar tentang matematika dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada yang lain secara verbal ataupun tertulis, mereka
belajar untuk menjadi lebih memahami dan lebih yakin. ”When students attempt to
articulate their thoughts and reason wiyh others about mathematics, they are pressed
to clarify their own thinking” (Chapin, O’Connor, & Anderson, 2003: NCTM, 1991)
Namun demikian, pembelajaran matematika yang berlangsung selama ini,
tidak menunjukkan adanya peluang untuk pengembangan kemampuan komunikasi.
Pengembangan kemampuan komunikasi matematik dikalangan siswa, tidak akan
optimal jika tidak difasilitasi dengan pembelajaran yang menunjang. Pembelajaran
yang dimaksudkan ”mathematical discourse”. Melalui aktivitas pembelajaran ini guru
memungkinkan mengamati aktivitas siswa dan melihat kemajuan siswa dalam
kemampuannya mengumpulkan informasi, mengorganisir dan menafsirkan informasi,
serta menyajikan dan berbagi informasi. Kazemi (1998) menyatakan bahwa ”deeper
conceptual understanding happends throught discourse when students reason,
communicate, and reflect upon the mathematics of these explatory tasks”. Oleh karena
itu merupakan hal menarik untuk mengkaji permasalahan sebagai kajian penelitian,
yaitu : Model pengembangan pembelajaran dengan mathematical discourse seperti
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 165
apakah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
matematik pada siswa sekolah menengah pertama ? Tujuan dari penelitian ini adalah
dihasilkannya sebuah model pengembangan pembelajaran matematika dengan
melibatkan mathematical discourse yang berorientasi pada peningkatan kemampuan
komunikasi matematik. Penelitian ini dipandang bermanfaat terhadap pembaharuan
dalam pendekatan pembelajaran. Melalui pendekatan ini diharapkan siswa lebih aktif
dalam pembelajaran dan mengekspresikan ide, setiap siswa dapat
mengkomunikasikan masalah dengan cara yang dimiliki dan dipahami.
Metode Penelitian
Penelitian ini berupa suatu pengembangan model pendekatan pembelajaran
untuk tujuan mengoptimalkan potensi kemampuan berfikir matematik siswa melalui
pengembangan kemampuan komunikasi matematik. Pendekatan penelitian yang
digunakan pada prinsipnya mengikuti langkah-langkah yang disarankan dalam
Developmental Research, berupa siklus yang diawali dengan pengembangan model
pendekatan secara konseptual dan dilanjutkan dengan tahapan implementasi.
Penelitian dilaksanakan di Kalimantan Barat, khususnya Kota Pontianak dan
kabupaten Sambas dengan subyeknya adalah guru-guru matematika sekolah
menengah. . Penjaringan dan pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara,
seperti: dokumentasi, observasi kelas, angket, dan wawancara. Sedangkan teknik
analisis data yang digunakan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk saling
melengkapi.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan, yaitu: tahap pengembangan,
perancangan, uji coba dalam lingkup terbatas; dan tahap eksperimentasi yang lebih
luas sekaligus sebagai validasi.
Diakhir penelitian, diharapkan dihasilkan sebuah model pembelajaran yang
melibatkan intervensi mathematical discourse untuk mengembangkan kemampuan
matematika komunikasi siswa. Model pembelajaran ini diharapkan dapat disusun
dalam bentuk buku panduan yang yang dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu
alternatif model pembelajaran matematika.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 166
Hasil dan Pembahasan
Indikator dari komunikasi matematika untuk siswa setingkat SMP adalah
sebagai berikut:
• Membuat model dari situasi melalui lisan, tulisan, benda-benda konkrit,
gambar, grafik, dan metode-metode aljabar
• Menyusun refleksi dan membuat klarifikasi tentang ide-ide matematika
• Mengembangkan pemahaman dasar matematika termasuk aturan-aturan
definisi matematika
• Menggunakan kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk
menginterpretasi dan mengevaluasi suatu ide matematika
• Mendiskusikan idea-idea, membuat konjektur, menyusun argumen,
merumuskan definisi, dan generalisasi,
• Mengapresiasi nilai-nilai dari suatu notasi matematis termasuk aturan—
aturannya dalam mengembangkan ide matematika.
Untuk mengungkap tercakupnya indikator komunikasi pada buku referensi
matematika, berikut ini diungkap hasil analisis dari buku matematika SMP terbitan
Grasindo dan buku matematika SMP terbitan Intan Pariwara. Berdasarkan kajian,
secara kualitas sajian pada buku terbitan Intan Pariwara dianggap lebih memadai
daripada buku terbitan Grasindo, khususnya aspek-aspek komunikasi matematika. Hal
yang dianggap kurang pada buku terbitan Grasindo adalah pada aspek menggunakan
kemampuan membaca, menyimak, dan mengamati untuk menginterpretasi dan
mengevaluasi suatu ide matematika dan pada aspek mengapresiasi nilai-nilai dari
suatu notasi matematika termasuk aturan-aturannya dalam mengembangkan ide
matematika. Hal yang menonjol dari buku terbitan Intan pariwara adalah selain
memenuhi semua aspek komunikasi matematika, adalah menonjolkan aktivitas siswa
dan paparannya lebih komunikatif. Selain itu, soal-soal yang ditampilkan lebih variatif
dan kontekstual
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 167
Dari hasil observasi pembelajaran matematika, komunikasi matematika yang
sudah dilakukan adalah tanya jawab antara guru - siswa ketika membahas materi
pelajaran atau ketika menjawab suatu soal matematika. Diskusi atau adu argumentasi
antara siswa – guru, maupun siswa-siswa masih relatif jarang dilakukan. Hal ini nampak
ketika siswa merespon pertanyaan guru, respon tersebut tidak ditindak lanjuti dengan
pertanyaan “mengapa?” atau meminta siswa yang lain untuk menanggapi respon yang
diberikan oleh temannya tadi. Ini menunjukkan bahwa komunikasi matematika masih
dipahami sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Berdasarkan data yang
diperoleh dari angket, bahwa walaupun pembelajaran guru masih berpola
konvensional (item 3), dimana guru menjelaskan konsep kemudian memberikaan
tugas kepada siswa, guru juga melaksanakan percakapan atau diskusi, baik antar siswa,
maupun antara guru dan siswa (item 2). Namun, percakapan atau diskusi yang terjadi
masih sebatas tanya jawab antar siswa, maupun antara guru dan siswa. Artinya
discourse yang terjadi masih dalam kadar yang rendah.
Untuk memperoleh gambaran tentang pembelajaran dengan Mathematical
Discourse, berikut disajikan cuplikan dari pembelajaran materi Persamaan garis lurus.
Guru : 1. Menjelaskan tujuan pembelajaran.
2. (Menggali prasyarat) Untuk mempelajari persamaan
garis lurus, harus dipahami dulu titik pada sistim
koordinat Cartesius. Sekarang siapa yang bersedia ke
depan untuk menempelkan paku pada posisi yang
diminta?
3. (Karena banyak yang angkat tangan, guru menunjuk
siswa E1-1). Silahkan siswa E1-1 ke depan.
Guru : Coba siswa E1-2 sebutkan titik sembarang dan mintalah
siswa E1-1 untuk menempatkan paku sesuai yang diminta.
Siswa E1-2 : Titik lima koma empat.
Siswa E1-1 : (Menempatkan paku berwarna merah dengan benar).
Guru : Coba siswa E1-1, tempatkan paku lain pada sumbu
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 168
koordinat yang x nya negatif, dan minta temanmu untuk
menyebutkan posisinya.
Siswa E1-1 : (Menempatkan paku biru di (-2,6) kemudian menyebut
nama temannya) Siswa E1-3.
Siswa E1-3 : Min dua koma enam.
Guru :
Ada yang mau mengomentari jawaban tersebut?
(Karena tidak ada jawaban, guru berkomentar). Meskipun
jawaban tersebut tidak salah, namun penyebutan yang lebih
tepat adalah “negatif dua koma enam”.
Dari cuplikan tersebut tampak bahwa guru sebagai fasilitator. Bila perlu guru
dapat mengambil keputusan untuk menjaga aktivitas belajar siswa. Misalnya guru
langsung menunjuk seseorang untuk ke depan atau melakukan pembenaran konsep
yang dipandang tidak tepat. Dari langkah ini selain kesiapan untuk mempelajari materi
baru juga ada pembenaran terhadap konsep yang telah dimiliki siswa. Selanjutnya,
guru memasuki tahap pengembangan dengan cuplikan sebagai berikut.
Guru : (Menyajikan masalah dalam bentuk lembar kerja untuk
didiskusikan dalam kelompok kecil dan memberi kesempatan
pada siswa untuk membaca dan mempelajarinya). Coba
kerjakan dan didiskusikan masalah pada lembar kerja
tersebut.
Siswa : (Beberapa siswa secara bersamaan) Bingung Bu, tolong
dijelaskan.
Guru : Baiklah, akan Ibu terangkan sebentar, setelah itu kamu
kerjakan (Dengan tanya jawab menanamkan pengertian garis
y = mx + c dan menyajikannya dalam berbagai representasi,
seperti: tabel pasangan koordinat, diagram Cartesius,
mendaftar beberapa titik pada garis, dan daftar pasangan
berurut).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 169
Guru : (Setelah selesai menerangkan guru berkeliling dan berhenti di
kelompok IV) Silahkan dicoba.
Siswa E1-4 : (Sambil mengamati lembar kerja, bertanya pada siswa E1-5
yang dianggap lebih tahu) Mengapa di kolom ini isinya (0,4)?
Siswa E1-5 : (Mengajak teman sekelompoknya memperhatikan)
0 adalah nilai x. y = 2.0 + 4 = 4. Jadi P (0,4).
Satunya, 0 adalah nilai y. 0 = 2x + 4 atau -2x = 4 atau x = -2
Jadi Q (-2,0).
Siswa E1-6 : (Tampak kebingungan) Bagaimana cara mendapatkan x = -2?
Saya belum jelas.
Siswa E1-5 : (Tidak dapat menjawab) Bu, bagaimana cara
menjelaskannya?
Guru : (Melakukan intervensi) Bagaimana bisa yakin bahwa jawaban
x = -2 itu benar?
Siswa E1-5 : Sebab kalau –2 dikalikan –2 hasilnya 4.
Guru : Apakah yang lain punya pendapat?
Siswa E1-7 : Kalau positif semua, mudah Bu. Misalnya 2x = 4, x = 4 / 2 = 2.
Guru : Apa bedanya dengan yang tadi?
Siswa E1-5 : Oh ya Bu, sama. –2x = 4, x = 4/ -2 = -2.
Guru : Silahkan dilanjutkan pekerjaannya ( guru berpindah ketempat
lain ).
Selama siswa berdiskusi, guru mengomentari hasil siswa. Kemampuan
membicarakan dan diskusi sangat bermanfaat, di antaranya: siswa yang melakukan
diskusi; siswa dapat memahami konsep dengan bahasanya sendiri; melalui
percakapan memungkinkan melakukan klarifikasi sehingga terjadi pemahaman konsep
yang lebih baik. Jika siswa memiliki kesulitan, guru dapat melakukan intervensi, baik
melalui pertanyaan terarah maupun tidak terarah agar sampai pada pemahaman
matematika yang diharapkan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 170
Simpulan
Upaya pengembangan kemampuan komunikasi matematika oleh guru
matematika sekolah menengah pertama selama ini dapat ditinjau dari beberapa aspek:
• Kurikulum
Berdasarkan kajian terhadap buku ajar matematika sekolah menengah
pertama, tampak bahwa aspek-aspek komunikasi matematika sudah termuat di
dalamnya, walaupun kadar komunikasi matematika antara buku yang satu dengan
buku lainnya berbeda-beda.
• Pemahaman guru
Hasil wawancara dan angket terhadap guru menunjukkan bahwa pemahaman
guru berkaitan dengan komunikasi matematika sudah dimiliki oleh guru. Sebanyak 96
% responden menyatakan bahwa dalam setiap proses pembelajaran sudah terjadi
percakapan baik antar siswa, maupun antara guru dan siswa. Namun, komunikasi
matematika masih dipahami sebagai tanya jawab antara guru dan siswa saja. Kadar
komunikasi atau discourse yang terjadi masih dalam taraf yang rendah. Diskusi yang
terjadi yang belum memberi ruang untuk diskusi multi arah sehingga siswa dapat adu
argumentasi, negosiasi pendapat, pengajuan pertanyaan dan sebagainya.
Pengembangan model pembelajaran dengan mathematical discourse yang
sesuai digunakan guru untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematika
adalah pembelajaran yang menekankan pada pembentukan cara berpikir secara
matematika sekaligus pemahaman konsep. Pembelajaran yang dimaksud adalah
pembelajaran yang memberikan ruang untuk pengajuan pertanyaan, adu argumentasi,
negosiasi pendapat antar seluruh warga kelas. Peran guru adalah sebagai fasilisator
yang mendorong siswa untuk terlibat dalam discourse. Mengajukan pertanyaan
terarah/ tidak terarah; melakukan konkritisasi ide (memperjelas ide); mengarahkan
kekeliruan siswa; menyaring berbagai ide dari siswa; memberikan waktu tunggu pada
siswa untuk solusi; menciptakan suasana siswa yang bebas terbuka untuk berbagi dan
mengeluarkan ide; menciptakan diskusi dalam kelaompok kecil maupun diskusi kelas.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 171
DAFTAR PUSTAKA
Acuna, C. (2001). Highschool students’ conceptions of graphic representations
associated to the construction of a straight line of positive abscissas. Proceedings
of the 25rd International Conference for the Psychology of Mathematics
Education. Cuernavaca, Mexico : Cinvestav.
Baroody, A.J (1993) Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8, Helping
Children Think Mathematically, New York: macmillan Publishing Company
Chapin, O’Connor, Anderson (2003). Clasroom Discussing Using Math Talk to Help
students learn, grades 1-6. Sausalito CA: Math Solution Publications
Berk, K.N., & Carey, P. (2000). Data analysis with microsoft excel. New York: Duxbury
Press.
Erland, & Kuyper, J.(1998) Cognitive skills and accelerated learning memory training
using interactive media improves academic performance in reading and math:
Journal of Accelerated Learning and Teaching. 23, 3-58.
Hamdani. (2007). Peran mathematical discourse dalam pengembangan kemampuan
komunikasi matematika pada siswa SMP. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Hiebert, J., & Carpenter, T.P. (1992). Learning and teaching with understanding. In D.A.
Grouws (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning.
NCTM. New York: Macmilan Publishing Company.
Janvier, C. (1987). Translation processes in mathematics education. In C. Janvier (Ed).
Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics.
London: Lawrence Erlbaum Associates.
Kazemi, E (1998) Discourse that promotes conceptual understanding . Teaching
Children mathematics 4(7), 410-414
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. (2001). Adding it up : Helping children learn
mathematics. Washington, DC. : National Academy Press.
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987). Representations and translations among
representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.).
Problem of representation in the teaching and learning of mathematics. London:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Ludlow, A. S. (2001). The object-process duality of representation: A peircean
perspective. In H. Hitt (Ed.). Working group on representations and mathemtics
visualization (1998 - 2001). [on-line]. Available:http://www. matedu. cinvestav.
mx/Adalira.pdf. [11 Juni 2002].
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 172
McCoy, L.P., Baker, T.H., & Little, L.S. (1996). Using multiple representations to
communicate: An algebra chllenge. In P.C. Elliot (Ed). Communication in
Mathematics, K-12 and Beyond. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
Miriam (2000) Using Communication to develop students ‘mathematical Literacy,
Mathematics Teaching in the Midle School. Virginia: NCTM
National Assessment of Educational Progress. (2000). Mathematics framework for the
1996 and 2000. Washington: NAEP.
NCTM (1989). Curriculum and evaluation standards for school mathematics. Reston,
VA: National Council of Teachers of Mathematics.
National Council of Teachers of Mathematics. (1991). Principles and standards for
school mathematics. Reston, VA: NCTM.
Rivera, D. P. (1996). Using cooperative learning to teach mathematics to students with
learning disabilities [Online]. Tersedia: http://www.ldonline. org/ld_indepht/
math_skills/coopmath.html [7 Mei 2002].
Rose, C., & Nicholl, M.J. (1977). Accelerated learning for the 21ST
century. London: Judy
Piatkus.
Ruseffendi, E.T. (1991) Pengantar kepada membantu guru mengembangkan
kompetensinya dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1994). Dasar-dasar penelitian pendidikan dan bidang non-eksakta
lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.
Ruseffendi, E.T. (1998) Statistika dasar untuk penelitian pendidikan. Bandung : IKIP
Bandung Press.
Sidi, I.D. (2001). Menuju masyarakat belajar. Jakarta : Paramadina.
Silver, E.A., Shapiro, L.J., & Deutsch, A. (1993). Sense making and the solution of
division problems involving remainders : An examination of middle school
students’ solution processes and their interpretations of solutions. Journal For
Research in Mathematics Education. 24, 117-135.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 173
Lampiran:
ANGKET
DISCOURSE (PERCAKAPAN) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
N
o
Item setuju Ragu-
ragu
Tidak
setuju
1 Istilah discourse dalam pembelajaran belum pernah saya
dengar atau saya pelajari sebelumnya
2 Menurut saya dalam setiap pembelajaran selalu terjadi
percakapan aantar siswa dan antara guru dan siswa
3 Dalam pembelajaran, sebaiknya guru menjelaskan
konsep dan contoh, setelah itu memberikan tugas
kepada siswa
Yang utama dalam proses pembelajaran adalah siswa
dapat menyelesaikan soal atau latihan dengan cepat dan
benar sesuai dengan cara yang diajarkan guru
5 Memhamai soal-soal cerita adalah salah satu bentuk
berkomunikasi secara matematika
6 Saya kurang setuju dengan pembelajaran yang
menggunakan pendekatan dengan cara diskusi, karena
waktunya tidak efektif
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 174
P-9
FUNGSI DAN PENTINGNYA PERTANYAAN DALAM PEMBELAJARAN
Tina Yunarti
Pendidikan Matematika Universitas Lampung
ABSTRAK
Tujuan utama dalam pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan
berpikir siswa dan mempersiapkan siswa dalam dunia kerja. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sudah selayaknya kita mengajarkan siswa tentang “how to think” sebagai
pengganti dari “what to think”. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan
berpikir siswa adalah melalui pertanyaan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa
seseorang akan berpikir jika dihadapkan oleh suatu masalah atau pertanyaan. Ada
empat fungsi berikut peran penting pertanyaan yang dibahas secara teoritis. Dengan
menyadari akan pentingnya peranan pertanyaan dalam pembelajaran, guru
diharapkan dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang baik dan efektif untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
Kata Kunci: fungsi, peran penting, pertanyaan, kemampuan berpikir
1. Pendahuluan
Matematika merupakan sebuah cara untuk berpikir, sebuah alat komunikasi,
sebuah alat untuk mempelajari bidang ilmu lain, dan sebuah usaha intelektual (Kon-
ming, 2003). Matematika pun dapat dipelajari dengan banyak cara dengan tujuan
meningkatkan aktivitas belajar siswa, merangsang ketertarikan dan rasa ingin tahu
siswa pada matematika, menawarkan pada siswa peluang-peluang yang sering muncul
untuk diprediksi dan didiskusikan validitasnya, serta menolong siswa memonitor
pemahamannya (Terrell, 2003). Jika digeneralisasikan, maka tujuan utama dalam
pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan
mempersiapkan siswa dalam dunia kerja (Donald Norman dalam Schafersman, 1991).
Bisa saja timbul pertanyaan berikut: Bukankah dengan mengajarkan
matematika (secara tradisional sekalipun) kepada siswa berarti kita sudah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 175
mengajarkan mereka untuk berpikir? Dengan kata lain, tidak diperlukan keterampilan
khusus dalam mengajar karena matematika sendiri sudah memuat logika berpikir.
Jawaban yang diperoleh dari banyak studi adalah: tidak. Kita sudah seharusnya
mengajarkan siswa tentang “how to think” sebagai pengganti dari “what to think”
(Clement and Lochhead dalam Schafersman, 1991).
Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah melalui
pertanyaan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa seseorang akan berpikir jika
dihadapkan oleh suatu masalah. Umumnya, masalah-masalah yang dihadapi tersebut
dipresentasikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Thinking is not driven by
answers but by questions (The Critical Thinking Community, 2009a). Agar dapat
berpikir, kita harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang
pemikiran kita. Dalam pembelajaran, pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa
dimunculkan baik oleh guru maupun siswa.
Makalah ini bertujuan untuk mengupas fungsi dan pentingnya peranan
pertanyaan dalam pembelajaran, khususnya matematika, secara teoritis. Dengan
menyadari akan pentingnya peranan pertanyaan dalam pembelajaran, guru
diharapkan dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang baik dan efektif untuk
meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
2. Jenis-Jenis Pertanyaan
Seni bertanya merupakan suatu keterampilan yang harus dikuasai guru. Melalui
keterampilan ini guru tidak saja dapat memperoleh inti sari dari informasi yang faktual
tetapi juga dapat menolong siswa dalam menghubungkan konsep, membuat
kesimpulan, meningkatkan kesadaran, mendorong kemampuan berpikir kreatif dan
imajinatif, mendorong proses berpikir kritis, dan mengeksplor lebih dalam tentang
pengetahuan, berpikir, dan pemahaman siswa (Wilson, 1997).
Lebih jauh, menurut Wilson (1997), ada lima jenis dasar dari pertanyaan-
pertanyaan.
a. Faktual
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 176
Pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban-jawaban yang jujur dan
sederhana namun masuk akal berdasarkan fakta atau kesadaran yang nyata. Jenis
pertanyaan ini umumnya merupakan level terendah dari proses kognitif atau afektif
dan jawaban-jawaban yang diberikan biasanya adalah “benar” atau “salah”
Contoh: Apakah benar jumlah sudut dalam sebarang segitiga adalah 180o?
b. Konvergen
Jawaban untuk jenis pertanyaan ini biasanya berada dalam suatu selang ketelitian
yang dapat diterima dan sangat berhingga. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa saja
berada dalam level-level kognisi yang berbeda seperti: pemahaman, aplikasi,
analisis, atau lainnya dengan penjawab membuat kesimpulan atau dugaan
berdasarkan pada kesadaran pribadi, atau pada bahan yang dibaca, disajikan, atau
diketahui.
Contoh: Tentukan rata-rata hitung dari data berikut: 54, 12, 30, 24, dan 60
c. Divergen
Jenis pertanyaan ini mengizinkan siswa untuk menggali kesempatan-kesempatan
yang berbeda dan mengkreasikan banyak variasi, alternatif, atau skenario yang
berbeda. Kebenaran diperoleh berdasarkan proyeksi-proyeksi logis, bisa saja
kontekstual, atau sampai pada pengetahuan dasar, dugaan, kesimpulan, proyeksi,
kreasi, intuisi, atau imajinasi. Jenis pertanyaan ini sering meminta siswa untuk
menganalisis, mensintesis, atau mengevaluasi sebuah dasar pengetahuan, lalu
memperhitungkan atau memperkirakan hasil-hasil yang berbeda.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan divergen ini dapat dibantu dengan fungsi-fungsi
afektif tingkat tinggi. Jawaban umumnya berada dalam selang yang lebar yang dapat
diterima. Umumnya kebenaran dinyatakan secara subjektif berdasarkan pada
kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan. Seringkali pertanyaan ini ditujukan
untuk merangsang berpikir imajinatif dan kreatif, atau menginvestigasi sebab dan
akibat suatu hubungan, atau membangkitkan pemikiran yang lebih mendalam, atau
membangkitkan penyelidikan yang lebih luas. Setiap orang harus disiapkan untuk
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 177
menghadapi fakta bahwa tidak terdapat jawaban tunggal atau pasti untuk jenis
pertanyaan ini. Pertanyaan-pertanyaan divergen dapat juga diberikan dalam konteks
yang lebih besar yang digunakan untuk memimpin suatu penyelidikan yang
kemudian dikenal dengan istilah “pertanyaan-pertanyaan essensial” yang
merupakan kerangka isi dari sebuah materi pelajaran/perkuliahan.
Contoh: Jarak kota A ke kota B adalah 35 km. Jarak kota C ke kota B adalah 48 km.
Berapakah jarak kota A ke kota C?
d. Evaluatif
Tipe pertanyaan ini membutuhkan tingkat kognitif dan atau keputusan emosional
yang cukup rumit. Dalam usaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan evaluatif
siswa dapat mengkombinasikan proses-proses berpikir logis berganda dan atau
proses-proses berpikir afektif atau menggunakan kerangka kerja komparatif.
Seringkali sebuah jawaban dianalisis pada level-level berganda dan dari perspektif
yang berbeda sebelum si penjawab sampai pada informasi yang disintesiskan
dengan cara yang baru atau kesimpulan-kesimpulan.
Contoh: Tentukan persamaan dan perbedaan antara daerah layang-layang dengan
jajar genjang
e. Kombinasi
Pertanyaan jenis ini merupakan campuran dari ke-4 jenis pertanyaan di atas.
Contoh: Luas persegi panjang ABCD adalah 120 cm2. Pada sisi CD terletak titik-titik
E dan F, sehingga CE : EF : FD = 1 : 2 : 1. Perpanjangan AF dan BE
berpotongan di G. Tentukan luas ∆ ABG!
3. Fungsi dan Pentingnya Pertanyaan dalam Pembelajaran
Jika kita menanyakan para guru, apakah mereka selalu menggunakan
pertanyaan dalam mengajar, maka bisa dipastikan jawabannya adalah: ya. Para guru,
tanpa melihat efektifitas mengajar mereka, merasa bahwa memberi pertanyaan
merupakan langkah termudah untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran interaktif.
Kondisi ini terus berlangsung sampai kemudian muncul suatu pendapat yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 178
mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berbobot dapat meningkatkan
kemampuan berpikir siswa yang menandakan pembelajaran yang sebenarnya.
Sebagian besar guru percaya bahwa memberi pertanyaan yang efektif
membutuhkan kemampuan untuk menyebarkan perhatian secara acak, yang dibentuk
atau diekspresikan secara intuitif selama pembelajaran. Mereka sering berpikir bahwa
semakin banyak pertanyaan yang diberikan berarti semakin baik pula keterlibatan
siswa dalam pembelajaran (Krishnan, E.R., 2009). Hal ini tentu saja keliru karena tidak
semua pertanyaan dapat membuat siswa terlibat aktif.
Kesalahpahaman lainnya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan open-ended
hanya untuk siswa-siswa dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Krishnan, E.R.,
2009). Padahal, apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut diberikan secara terstruktur
dan sistematis serta menggunakan strategi pembelajaran yang tepat maka bisa
dipastikan semua siswa akan mampu memikirkannya.
Seorang guru tidak dapat mendorong siswa mengajukan pertanyaan hanya
dengan berdiri di depan kelas seraya berkata,”Ada pertanyaan?” Meskipun itu
dilakukan dengan setulus hati, akan tetapi hal tersebut tidak serta merta membuat
siswa mau bertanya. Terdapat banyak tekanan yang memaksa siswa untuk tidak
bertanya (Brain, 1998). Rasa malu, takut, rendah diri, dan ketidakpedulian merupakan
faktor-faktor yang banyak dijumpai dalam banyak kasus.
Satu-satunya cara untuk mendorong siswa bertanya adalah dengan
menciptakan “lingkungan tanya-jawab” di kelas. Guru harus mendorong siswa untuk
bertanya melalui variasi tekhnik-tekhnik pengajaran (Brain, 1998).
Satu dari sekian banyak metode yang digunakan di sekolah menengah dan
dasar adalah hapalan yang meliputi kegiatan tanya-jawab cepat yang dipandu guru.
Metode ini sering digunakan dengan maksud untuk menilai sejauh mana siswa
menguasai isi pelajaran (Wilen, 1992). Dengan demikian, hanya kemampuan
menanyakan ingatan siswa saja yang dapat memberikan guru pengetahuan esensial
mengenai pengembangan ide-ide atau pengetahuan matematika siswa yang mungkin
saja tidak tercapai (Martino & Maher, 1999). Dengan kata lain, guru harus melengkapi
diri dengan serangkaian pertanyaan logis dan sistematis yang dapat mempertajam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 179
persepsi siswa, menyaring pemikiran mereka, dan menghubungkan sesuatu yang tidak
diketahui dengan sesuatu yang diketahui (Dantonio & Beisenherz, 2001).
Sebuah strategi pembelajaran yang efektif selalu meminta guru untuk
mengubah peran mereka dari penyebar pengetahuan semata menjadi pendidik serba
bisa, seperti sebagai fasilitator, konsultan, konselor, dan assesor. Tidak masalah peran
apa yang dimainkan guru, komunikasi antara guru dan siswa tidak dapat dihindari.
Guru dapat memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa untuk mengekspresikan
diri secara terbuka, mendiskusikan pekerjaan mereka di dalam kelas dan di depan
umum untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka (Kon-ming, 2003).
Adapun fungsi-fungsi pertanyaan dalam pembelajaran di kelas adalah sebagai
berikut:
a. Merangsang Aktivitas Berpikir
Memberi pertanyaan merupakan bagian penting dari kemampuan guru untuk
menghasilkan atmosfer kelas yang kondusif untuk mengembangkan kemampuan
berpikir matematika (Burns, 1985). Selain itu, pertanyaan-pertanyaan guru dapat
menstimulasi pemikiran siswa, memfasilitasi diskusi-diskusi kelas, membangkitkan
ekspresi, dan menyelidiki proses berpikir sebaik mungkin (Dilon, 1982; Wilen,
1992). Hal ini penting sekali untuk siswa-siswa muda yang memiliki aktivitas
mental yang sangat dependen. Wilen (1992) mengatakan bahwa sebuah
pertanyaan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan merangsang aktivitas mental
siswa. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, siswa harus membuat
penggunaan operasi-operasi berpikir mereka, seperti membandingkan,
menkontraskan, atau mengelompokkan, dan lain-lain. Sesudah siswa memberikan
jawaban mereka, Bulgar et al (2002) menyarankan untuk menggunakan
pertanyaan-pertanyaan responsif untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan,
untuk menolong siswa mengembangkan kebenaran (justifikasi) yang sesuai, dan
untuk mengalihkan perhatian mereka saat mereka terlibat dalam penalaran yang
salah. Selain itu, hal tersebut digunakan untuk membantu siswa menguji ide-ide
mereka dan ide-ide orang lain. Kedalaman proses elicit ini sangat bermakna untuk
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 180
para siswa (Wilen, 1992). Dengan demikian, memberi pertanyaan merupakan
sesuatu yang berguna untuk menjelaskan dan memperluas pemikiran (Sund &
Carin, 1978). Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi sebuah katalis yang
menghimbau siswa untuk melakukan justifikasi terhadap ide-ide mereka dan
menjelaskan ide-ide tersebut kepada siswa lain. Hal ini, pada gilirannya, memiliki
pengaruh dalam mengembangkan pemikiran yang lebih dalam mengenai ide-ide
yang termuat dalam situasi-situasi masalah (Bulgar et al, 2002).
b. Memfasilitasi Komunikasi
Melalui pertanyaan-pertanyaan, guru dapat mengkomunikasikan elemen-elemen
pelajaran dengan siswa mereka. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan guru,
siswa harus mampu meningkatkan pandangan mereka, mengatur ekspresi mereka,
menunjukkan hasil belajar mereka, dan memainkan pemikiran logis
mereka.Sebagai tambahan, melalui ide-ide yang didiskusikan, siswa dapat belajar
melalui teman-teman mereka. Martini & Maher (1999) menganjurkan agar siswa
diberi kesempatan untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam pembelajaran
mereka dan siswa lain. Hal ini akan membangun komunitas kelas yang
mendatangkan partisipasi aktif siswa, kepercayaan diri siswa, dan kemajuan dalam
belajar (Kon-ming, 2003).
Jika pertanyaan itu dimunculkan oleh siswa, maka siswa belajar untuk memberi
pertanyaan yang baik dan menerima umpan balik dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut Seorang siswa yang memberikan sebuah pertanyaan, berarti sudah
menempatkan dirinya sebagai seorang peneliti. (Brain, 1998). Wilen (1992)
menjelaskan bahwa untuk menarik perhatian dalam mendapatkan respon-respon
yang afektif seperti perasaan, sikap, apresiasi, ketertarikan, dan nilai-nilai maka
penjelasan mereka dapat memberi lebih banyak makna personal untuk seluruh
pembelajaran. Komunikasi dari respon-respon afektif ini dijembatani oleh
pertanyaan-pertanyaan guru yang sesuai dan tepat waktu. Itulah yang membuat
Hunkins (1976) menegaskan bahwa untuk menyelidiki ketertarikan-ketertarikan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 181
dan perasaan-perasaan menuju sebuah gejala dapat diidentifikasikan melalui
pengalaman dan pertanyaan-pertanyaan kognitif level rendah.
c. Memperkuat Konseptualisasi
Jika sebagai guru kita mengetahui apa yang sudah dipahami siswa maka kita dapat
menolong mereka menggunakan pemahaman yang mereka miliki tersebut untuk
membentuk pengetahuan baru (Vace, 1993). Ini merupakan langkah pertama
untuk menolong siswa membentuk konsep pembelajaran baru dengan
mengidentifikasi pengetahuan awal mereka melalui pertanyaan-pertanyaan
ingatan. Selama proses pembelajaran, guru harus mengalihkan pertanyaan-
pertanyaan untuk mendapatkan lebih banyak respon, menggali pertanyaan-
pertanyaan untuk mendapatkan respon yang lebih baik, dan memeriksa
pertanyaan-pertanyaan untuk pemahaman yang benar (Kon-ming, 2003).
Jawaban-jawaban yang bersifat ingatan dapat dipandang sebagai sebuah batu
loncatan untuk bentuk pemahaman yang lebih tinggi dan ini lebih baik jika hanya
dipandang sebagai produk akhir pembelajaran (Ryan, 1971). Melalui bertanya,
guru dapat mengevaluasi kesiapan, pengembangan konsep pendukung,
memperkuat pemahaman, dan meminta siswa untuk teliti (Wilen, 1992).
Selanjutnya, pembelajaran afektif sama pentingnya dengan pembelajaran kognitif.
Oleh sebab itu, Wilen (1992) juga menyarankan agar pertanyaan-pertanyaan guru
dapat menolong siswa bekerja memahami suatu nilai, misal menolong siswa
menjelaskan seberapa kuat keyakinannya terhadap sebuah nilai.
.
d. Menilai Pembelajaran
Pertanyaan-pertanyaan akan memberitahu guru bahwa siswa-siswanya dapat
memahami dan memikirkan tentang apa yang dikatakan guru (Brain, 1998). Ini
merupakan hal yang umum dilakukan guru untuk menilai hasil pembelajaran
melalui pertanyaan-pertanyaan formal maupun informal. Diagnosa tingkat
penguasaan siswa diperoleh berdasarkan jawaban-jawaban mereka (Wilen, 1992).
Yang harus diperhatikan, jika guru berbicara terlalu tinggi melebihi level siswa,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 182
maka siswa akan berhenti untuk memahami dan berpikir serta tidak ingin bertanya
lebih lanjut (Brain, 1998).
Hasil yang diperoleh antara jawaban lisan siswa dengan jawaban tertulis mereka
saat ujian bisa saja berbeda. Umumnya guru lebih memilih nilai ujian tertulis siswa
karena menurut mereka pertanyaan-pertanyaan lisan tidak selalu dipersiapkn
dengan baik. Siswa pun cenderung mengerjakan soal-soal ujian tertulis lebih serius
dibandingkan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara lisan (Kon-ming, 2003).
Selain hal-hal di atas, pertanyaan-pertanyaan yang diberikan guru akan memberi
tahu guru bahwa siswa-siswanya tengah tidur atau terjaga (Brain, 1998)
4. Simpulan dan Saran
Dari ke-4 fungsi pertanyaan di atas tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan di kelas memiliki peran penting sebagai alat untuk: (1) menstimulus
kemampuan kognitif dan afektif siswa; (2) menguji kebenaran; (3) memunculkan atau
mengkomunikasikan ide; (4) memperkuat konseptualisasi; (5) mengevaluasi atau
merefleksi suatu kegiatan atau perbuatan yang telah dilakukan.
Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pertanyaan di dalam kelas, ada
baiknya setiap guru menguasai keterampilan bertanya sesuai dengan tingkat
kemampuan siswa. Pemberian pertanyaan hendaknya dilakukan secara sistematis dan
terstruktur dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami siswa sehingga siswa
mudah menerima pelajaran dengan baik. Kalimat pertanyaan tidak perlu panjang. Yang
penting, usahakan setiap pertanyaan dapat dijawab siswa dengan mudah sehingga
pada akhirnya menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa. Beri kesempatan juga pada
siswa untuk bertanya dan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam
suasana kelas yang kondusif.
5. Daftar Pustaka
Brain, M. 1998. Emphasis on Teaching: The Importance of Questions. [Online].
Tersedia: http://www.bygpub.com/eot/eot2.htm
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 183
Bulgar,S., Schorr,R.Y. & Maher,C.A. (2002). Teachers’ questions and their role in
helping students build an understanding of division of fractions. In Cockburn,A.D.
& Nardi,E. (Eds). International Group for the Psychology of Mathematics
Education : PME 26,University of East Anglia, 21-26 July 2002, Norwich UK :
proceedings, 161-168. Norwich : School of Education and Professional
Development, University of East Anglia.
Burns,M. (1985). The role of questioning. The Arithmetic Teacher, 32(6), 14-16.
Dantonio,M. & Beisenherz,P.C. (2001). Learning to question, questioning to learn:
Developing effective teacher questioning practices. Boston: Allyn and Bacon.
Dillon, J.T. (1982). The effect of questions in education and other enterprise. Journal of
Curriculum Studies, 14(2), 127-152. 26 EduMath 17 (12/2003)
Hunkins,F.P. (1976). Involving students in questioning. Boston: Allyn and Bacon
Krishnan,E.R. 2009. Teaching with HEART: Using questions as part of your teaching
strategy; Encourage students to interact in class. Bangkok Post Life. [Online].
Tersedia: http://www.bangkokpost.com/life/education/23896/using-questions-
as-part-of-your-teaching-strategy
Wilson, L.E. 1997. Newer Views of Learning-TYpes of Questions. [Online]. Tersedia:
http://www.uwsp.edu/education/lwilson/learning/quest2.htm
Martino,A.M. & Maher,C.A. (1999). Teacher questioning to promote justification and
generalization in Mathematics: What research practice has taught us. The Journal
of Mathematics Behavior, 18(1), 53-78.
Ryan,F.L. (1971). Exemplars for the new social studies: Instructing in the elementary
school. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Schafersman, S D.1991. An Intoduction to Critical Thinking. [Online]. Tersedia:
http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html [May 25th
2009]
Sund,R.B. & Carin,A. (1978). Creative questioning and sensitive listening technique: A
self concept approach. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill
Tang, K.M. (2002). An investigation on alternative thinking in mathematics education
[in Chinese]. EduMath, 14, p.28-34.
Tang K.M. 2003. Empowering Student Thinking in Learning Mathematics by Effective
Questioning. EduMath 17 (12/2003)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 184
Terrell, M. 2003. Asking good questions in the mathematics classroom. AMS-MER
Workshop Excellence in Undergraduate Mathematics: Mathematics for Teachers
and Mathematics for Teaching, March 13-16, 2003; Ithaca College, Ithaca, New
York.
The Critical Thinking Community (Foundation for Critical Thinking). 2009a. Critical
Thinking: Basic Questions & Answers. [Online]. Tersedia:
http://www.criticalthinking.org/aboutCT/CTquestionsAnswers.cfm. [May 24th
2009]
The Critical Thinking Community (Foundation for Critical Thinking). 2009b. The Role of
Questions in Teaching, Thinking and Learning. [Online]. Tersedia:
http://www.criticalthinking.org/page.cfm?PageID=521&CategoryID=71[May 24th
2009].
Vace,N.N. (1993). Implementing the professional standards for teaching mathematics:
Questioning in the mathematics classroom. Arithmetic Teacher, 41(2), 88-91
Wilen,W.W. (1992). Questions, questioning techniques and effective teaching (3rd Ed.).
Washington, D.C.: NEA Professional Library, National Education Association
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 185
P-10
MEMBANDINGKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG PEMBELAJARANNYA
MENGGUNAKAN MODEL KOOPERATIF TIPE JIGSAW DENGAN TIPE STAD
PADA MATERI LINGKARAN
Supratman
Prodi Pend. Matematika, MIPA,
FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK
Pembelajaran matematika dapat disampaikan dengan menggunakan berbagai
model pembelajaran yang diduga membuat siswa terlibat aktif dalam proses
pembelajaran. Model pembelajaran yang dapat dipilih di antaranya adalah model
pembelajaran kooperatif. Pada model pembelajaran kooperatif terdapat berbagai tipe
di antaranya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student
Teams Achievement divisions (STAD)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar antara siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe
Student Teams Achievement divisions (STAD) pada materi lingkaran, siswa kelas VIII
MTsN Cikatomas Tahun Ajaran 2007/2008 yang terdiri dari 4 kelas sebanyak 141
orang.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams
Achievement divisions (STAD) lebih baik dibandingkan dengan yang pembelajarannya
menggunakan tipe Jigsaw pada materi lingkaran.
Kata Kunci: Hasil belajar siswa matematika siswa, Tipe Jigsaw, Student Teams
Achievement divisions (STAD)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan pembelajaran matematika mempunyai peranan yang penting untuk
mengembangkan kemampuan dan keterampilan nalar serta membentuk sikap
peserta didik, oleh karena itu proses komunikasi yang terjadi antara guru sebagai
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 186
pengajar dan siswa sebagai pembelajar dalam pembelajaran harus berlangsung
harmonis. Interaksi antar guru dan siswa akan menentukan berhasil tidaknya
pembelajaran matematika yang diterapkan.
Proses pembelajaran matematika saat ini dilihat dari prestasi belajar yang
dicapai siswa dalam bidang studi matematika belum mencapai kriteria ketuntasan
minimal (KKM) khususnya untuk SMP Negeri 1 Cineam. Rata-rata hasil Ujian Akhir
Semester Ganjil untuk mata pelajaran matematika hanya mencapai rata-rata 52,60
untuk kelas VIII. Hal ini menunjukkan bahwa belum Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) untuk mata pelajaran matematika belum tercapai. Karena KKM yang
ditentukan untuk mata pelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam
60,00.
Pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh guru matematika adalah
pembelajaran klasikal dengan menggunakan metode ekspositori. Siswa hanya aktif
mencatat materi sesuai dengan yang ditugaskan atau yang dituliskan oleh guru di
papan tulis. Dampaknya hasil belajar siswa tidak sesuai harapan yaitu tidak
mencapai KKM. Oleh karena itu guru matematika perlu mencari strategi baru untuk
memperbaiki proses pembelajaran sehingga hasil belajar siswa optimal. Dari
beberapa model pembelajaran yang ditawarkan salah satunya adalah model
pembelajaran kooperatif. Wardani, Sri (2006:2) menyatakan bahwa belajar
kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4 – 6 orang,
dengan struktur kelompok heterogen, selain itu dikemukakan juga bahwa model
“Cooperative Learning” yaitu suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang
khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja
sama selama berlangsungnya proses pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe di antaranya yaitu:
tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD), tipe Jigsaw, tipe Investigasi
Kelompok (IK), tipe Pendekatan Struktural (PS), tipe Teams Games Tournaments
(TGT), tipe Nomber tipe Teams Assisted Individualization (TAI), dan sebagainya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 187
Masing-masing tipe tentu memiliki kelebihan atau kekurangan dibandingkan
dengan tipe lainnya.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk membandingkan hasil belajar
matematika, antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw.
Pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD)
menurut Slavin(Ginanjar, 2001:15) “Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat melakukan kerja sama dengan
anggota kelompoknya dalam menghadapi persoalan.” Sedangkan model
pembelajaran tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) menurut Anita
(2003:68) “Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif
dan saling membantu dalam menguasai materi pembelajaran untuk mencapai
prestasi yang maksimal.” Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Divisions (STAD) maupun tipe Jigsaw diduga dapat
meningkatkan aktivitas siswa dan kerja sama di antara anggota kelompok.
Penelitian ini dibatasi pada materi lingkaran kompetensi dasar 4.2.
Menghitung keliling dan luas lingkaran di kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Semester
II Tahun Ajaran 2007/2008 dengan membandingkan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw.
Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik melaksanakan penelitian
dengan judul, “Perbandingan Hasil Belajar Matematika Antara yang Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD)
Dengan Jigsaw (Studi Terhadap Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Tahun Ajaran
2007/2008)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah manakah yang lebih baik antara hasil belajar matematika
yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams
Achievement Divisions (STAD) dengan tipe Jigsaw?.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 188
C. Definisi Operasional
1. Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions
(STAD).
Inti utama pembelajaran kooperatif adalah pembentukan kelompok
heterogen yaitu terdiri dari 4 – 6 orang, berdasarkan kemampuan akademik
terdiri dari siswa kelompok atas, kelompok sedang dan kelompok bawah.
Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) pada pelaksanaan proses pembelajarannya menggunakan
5 tahap yaitu: tahap penyajian materi, tahap kegiatan kelompok, tahap tes
individual, tahap perhitungan skor pembelajaran individual dan tahap
pemberian penghargaan kelompok. Penyajian materi pada proses
pembelajaran melalui diskusi kelompok.
2. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah pembelajaran yang
diterapkan melalui aktivitas-aktivitas membaca, diskusi kelompok ahli,
laporan kelompok, kuis, perhitungan skor kelompok dan menentukan
penghargaan kelompok. Kelompok ditentukan berdasarkan kemampuan
akademik secara heterogen terdiri dari 4 – 6 orang siswa untuk setiap
kelompok. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran tipe Jigsaw
menggunakan 5 tahap yaitu : (1) Pembentukan kelompok siswa, setiap
anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu
kemudian perwakilan siswa-siswa atau perwakilan dari kelompok-kelompok
bertemu dalam kelompok ahli. (2) Setelah masing-masing perwakilan dari
kelompok ahli menguasai materi yang ditugaskan kemudian mereka
kembali ke kelompok asal. (3) Siswa diberi tes/kuis. (4) Tahap skor
perkembangan individu. (5) tahap penghargaan kelompok.
3. Hasil Belajar
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 189
Hasil belajar adalah merupakan uraian untuk menjawab pertanyaan
“apa yang digali, dipahami dan dikerjakan siswa”. Pada penelitian ini hasil
belajar dilihat dari rata-rata skor ulangan harian.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar matematika mana
yang lebih baik antara siswa yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan
tipe Jigsaw.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut :
1. Masukan bagi guru matematika bahwa dalam proses pembelajaran dapat
menggunakan salah satu tipe dalam model pembelajaran kooperatif untuk
memperbaiki proses pembelajaran.
2. Agar siswa terbiasa belajar dalam kelompok sehingga dapat saling
membantu bila di antara anggota kelompoknya ada yang belum mengerti
atau memahami materi yang telah diajarkan.
II PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Menurut Arikunto,(2006:160) “Metode Penelitian adalah cara yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya”. Metode
penelitian yang digunakan penulis adalah metode eksperimen, dengan
menggunakan dua kelompok eksperimen. Kelompok eksperimen 1 dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) dan kelompok eksperimen 2 dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
1. Variabel Penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 190
Menurut Margono, ( 2005:13), variabel dapat juga diartikan sebagai
pengelompokan yang logis dari dua atribut atau lebih misalnya variabel jenis
kelamin (laki-laki dan wanita), variabel ukuran industri (kecil, sedang, dan
besar), variabel sumber modal (modal dalam negeri dan modal asing), dsb.
Berdasar pendapat di atas dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan tipe Jigsaw, sedangkan
variabel terikatnya adalah hasil belajar siswa pada materi lingkaran.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui ulangan
harian. Ulangan harian digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan
dan pemahaman yang dimiliki siswa setelah pembelajaran pada materi
lingkaran, melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student
Teams Achievement Divisions (STAD). Ulangan harian dilaksanakan dua kali,
yaitu setelah pembelajaran satu kompetensi dasar selesai dilaksanakan.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal ulangan
harian berbentuk uraian. Ulangan harian digunakan untuk mengetahui hasil
belajar siswa. Sebelum instrumen digunakan pada sampel penelitian, peneliti
terlebih dahulu melakukan uji coba di luar sampel yaitu di kelas IX A untuk
menguji validitas dan reliabilitasnya.
a) Uji Validitas Instrumen
Untuk menguji validitas butir soal ulangan harian akan digunakan
rumus korelasi product moment angka kasar menurut Suherman,
(2003:120) dirumuskan sebagai berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 191
r xy = })(}{)({
))((2222 yyNxxN
yxxyN
∑−∑∑−∑
∑∑−∑
Keterangan :
r xy = koefisien korelasi antara variabel x dengan variabel y
N = banyak subyek (testi) / responden
x = skor item
y = skor total
Klasifikasi interpretasi koefisien korelasi menurut J.P. Guilford
(Suherman, 2003:113) adalah sebagai berikut :
0, 90 ≤ r xy ≤ 1,00 validitas sangat tinggi (sangat baik)
0, 70 ≤ r xy < 0,90 validitas tinggi (baik)
0, 40 ≤ r xy < 0,70 validitas sedang (cukup)
0, 20 ≤ r xy < 0,40 validitas rendah (kurang)
0, 00 ≤ r xy < 0,20 validitas sangat rendah
r xy < 0,00 validitas tidak valid
Hasil perhitungan uji validitas per butir soal pada ulangan harian
materi lingkaran dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Hasil Perhitungan Uji Validitas Materi Lingkaran
Soal Ulangan
Harian
Nomor
Soal rxy Kriteria Keterangan
I 1 0,85 Validitas Tinggi Digunakan
2 0,74 Validitas Tinggi Digunakan
3 0,71 Validitas Tinggi Digunakan
4 0,55 Validitas Sedang Digunakan
5 0,80 Validitas Tinggi Digunakan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 192
Soal Ulangan
Harian
Nomor
Soal rxy Kriteria Keterangan
II 1 0,80 Validitas Tinggi Digunakan
2 0,73 Validitas Tinggi Digunakan
3 0,76 Validitas Tinggi Digunakan
4 0,77 Validitas Tinggi Digunakan
5 0,71 Validitas Tinggi Digunakan
b) Uji Reliabilitas Instrumen
Untuk mengukur reliabilitas butir soal ulangan harian akan digunakan
rumus Cronbach Alpha (Suherman, 2003:154) sebagai berikut:
r 11 =
∑−
− 2
2
11 t
i
S
S
n
n
Keterangan :
r = koefisien reliabilitas
n = banyaknya soal
2iS∑ = jumlah varian skor
S 2t = varian skor total
Klasifikasi interpretasi derajat reliabilitas menurut J.P. Guilford
(Suherman, 2003:139) adalah sebagai berikut :
r 11 < 0,20 reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r 11 < 0,40 reliabilitas rendah
0,40 ≤ r 11 < 0,70 reliabilitas sedang
0,70 ≤ r 11 < 0,90 reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r 11 ≤ 1,00 reliabilitas sangat tinggi
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 193
Dari hasil perhitungan uji reliabilitas instrumen ulangan harian pada
materi lingkaran untuk ulangan harian ke-1 diperoleh nilai koefisien
reliabilitas (r11) sebesar 0,79, sedangkan hasil perhitungan uji reliabilitas
butir soal ulangan harian ke-2 diperoleh nilai koefisien reliabilitas (r11)
sebesar 0,80. Berdasarkan klasifikasi di atas, reliabilitas untuk soal ulangan
harian ke-1 dan soal ulangan harian ke-2 pada materi lingkaran masuk ke
dalam kategori reliabilitas tinggi
4. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Margono, S (2005:118 ) menyatakan, “Populasi adalah seluruh data
yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita
tentukan.” Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa
kelas VIII SMP Negeri 1 Cineam Tahun Pelajaran 2007/2008. Agar lebih jelas,
populasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Penyebaran Data Populasi
No Kelas
Jumlah Siswa
Jumlah
Laki-laki Perempuan
1 VIII A 22 18 40
2 VIII B 19 21 40
3 VIII C 19 14 33
4 VIII D 15 16 31
5 VIII E 17 15 32
6 VIII F 17 14 31
7 VIII G 15 15 30
Jumlah 124 113 237
Sumber: TU SMP Negeri 1 Cineam Tasikmalaya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 194
b. Sampel
Margono, S (2005:121) menyatakan, “Sampel adalah bagian dari
populasi sebagai contoh (master) yang diambil dengan menggunakan cara
tertentu.” Sesuai dengan pendapat tersebut dalam penelitian ini penulis
mengambil sampel secara acak (random) menurut kelas sebanyak dua kelas
dari seluruh kelas yang menjadi populasi, dengan alasan setiap kelas
mempunyai karakteristik yang sama dilihat dari kemampuan akademik yaitu
terdiri dari siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang dan kurang.
Pengambilan sampel diundi dan keluar dua kelas yaitu kelas VIII A dengan
jumlah siswa 40 orang, untuk pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD)
dan kelas VIII B dengan jumlah siswa 40 orang, untuk pembelajaran yang
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
5. Desain Penelitian
Menurut Arikunto,(2006:51) menyatakan bahwa desain penelitian adalah
rencana atau rancangan yang dibuat peneliti sebagai ancar-ancar kegiatan yang
akan dilakukan. Dari pendapat tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa
desain penelitian adalah rancangan yang menyebabkan alur dan arah
penelitian. Menurut Ruseffendi,(1994:46) bahwa desain eksperimen
perbandingan kelompok statistik melibatkan paling tidak dua kelompok.
Kelompok pertama memperoleh perlakuan khusus yang kita rencanakan ( X
atau X1 ) dan kelompok lain tidak atau (kelompok kedua ini) hanya memperoleh
perlakuan biasa ( X2 ) sedangkan notasi O artinya diadakan postes bila
perlakuan yang lazim kita lihat ada dua macam ( X1 dan X2 ) untuk kelompok
yang berbeda maka desain penelitiannya adalah sebagai berikut :
A X1 O
A X2 O
Keterangan :
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 195
A = Acak Kelas
O = Tes Akhir (Postes)
X1 = Perlakuan terhadap kelompok eksperimen 1 berupa penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD
X2 = Perlakuan terhadap kelompok eksperimen 2 berupa penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
a. Teknik Pengolahan Data
1) Penskoran untuk ulangan harian
Memberi skor tiap butir soal terhadap hasil ulangan harian dengan
rumus menurut Depdiknas (Widaningsih, Dedeh, 2007:60)
SBS = cb
a ×
Keterangan:
SBS = skor butir soal
a = skor mentah yang diperoleh
b = skor mentah maksimum butir soal
c = bobot butir soal
2) Penskoran Tugas Kelompok dan Tugas Individu
Setiap tugas kelompok dan tugas individu diberi penskoran dan
pembobotan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan
dengan materi, kedalaman materi dan tingkat kesukaran. Soal diberi
bobot yang berbeda sesuai dengan kedalaman materi dan tingkat
kesukaran soal. Skor yang diberikan untuk tugas individu dan tugas
kelompok menggunakan skala 100.
3) Penskoran Akhir
Skor akhir merupakan rata-rata dari skor ulangan harian ke-1 dan
skor ulangan harian ke-2. Karena ulangan harian dilaksanakan dua kali.
Untuk menghitung skor akhir peneliti menggunakan rumus:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 196
Skor Akhir = 2
21 UHUH +
Keterangan :
UH 1 = Skor ulangan harian ke-1
UH 2 = Skor ulangan harian ke-2
b. Teknik Analisis Data
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data hasil
ulangan harian, setelah data diperoleh dilakukan pengolahan dan analisis
data untuk menguji hipotesis penelitian. Langkah-langkah untuk menguji
hipotesis menurut Nurgana, Endi (1993:34) sebagai berikut:
a) Menentukan sampel yang representatif
b) Mengetes normalitas dari masing-masing kelompok
1) Mencari rata-rata ( x )
2) Mencari deviasi standar (σn-1)
3) Membuat daftar distribusi frekuensi observasi dan frekuensi
ekspektasi
4) Menghitung nilai chi kuadrat (χ2)
5) Menentukan derajat kebebasan (db)
6) Menentukan nilai chi kuadrat (χ2) dari daftar
7) Penentuan normalitas
Pasangan hipotesis:
H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian: Jika χ2hitung < χ2
daftar, terima H0, maka populasi
berdistribusi normal dan jika χ2hitung > χ2
daftar, tolak H0 maka populasi
berdistribusi tidak normal.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 197
c) Jika keduanya berdistribusi normal dilanjutkan dengan homogenitas
variansnya.
Langkah-langkah untuk menentukan homogenitas 2 (dua) varians
menurut Nurgana, (1993:38) yaitu:
1) Mencari nilai Fhitung
Dengan rumus:
Fhitung = k
b
v
v
Keterangan:
vb = n1−1
vk = n2−1
2) Menghitung derajat kebebasan (db)
Rumus:
db1 = n1 – 1
db2 = n2 – 1
d) Jika ternyata kedua variannya homogen dilanjutkan dengan tes t,
langkah-langkah tes t menurut Nurgana, (1993:39) yaitu:
1) Mencari deviasi standar gabungan
Rumus: dsg = 2
)1()1(
21
2211
−+−+−
nn
vnvn
2) Mencari nilai thitung
Rumus: thitung =
21
21
11dsg
nn
xx
+
−
3) Menentukan derajat kebebasan (db)
Rumus: db = n1 + n2 – 2
4) Menentukan nilai t dari daftar
5) Menguji hipotesis
Pasangan hipotesis: H0 : µx2 < µx1
H1 : µx2 > µx1
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 198
Keterangan:
µx1 = parameter rerata kelompok eksperimen 1
µx2 = parameter rerata kelompok eksperimen 2
Kriteria pengujian adalah:
Tolak H0 jika thitung > α)(db)(1t − dengan α taraf nyata pengujian. Pada
keadaan lainnya H0 diterima.
e) Jika ternyata salah satu atau dua distribusi tersebut tidak normal,
langkah selanjutnya menggunakan statistika tak parametrik. Dalam hal
ini menggunakan tes Wilcoxon yaitu:
1) Membuat daftar rank
2) Menentukan nilai W
f) Jika kedua distribusi tersebut normal, tetapi variannya tidak homogen
dilanjutkan dengan tes t’.
1) Mencari nilai t menurut Nurgana, E. (1993:44)
Rumus: t =
2
2
1
1
21
n
v
n
v
xx
+
−
2) Menghitung nilai kritis t dan pengujian hipotesis
Rumus: nk1 = 21
2211
ww
twtw
++
w1 = 1
1
n
v
w2 = 2
2
n
v
III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data Hasil Penelitian
Pada penelitian terdapat dua kelas eksperimen yaitu kelas VIII B dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kelas VIII A dengan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 199
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) pada materi lingkaran.
Agar penelitian sesuai dengan rencana, maka peneliti sudah menyiapkan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar, tugas kelompok berupa Lembar
Kerja Siswa (LKS), ulangan harian, dan tugas individu. Pada saat pembelajaran
berlangsung, pada kedua kelas eksperimen siswa diberi LKS sebagai tugas
kelompok yang harus dikumpulkan setelah selesai dikerjakan. Skor yang diperoleh
selengkapnya terdapat pada lampiran F. Skor rata-rata untuk kedua kelas
eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Data Rata-rata skor Tugas Kelompok
Materi Lingkaran
Kelas Rata-rata Skor Rata-
rata I II III IV V
Eksperimen 1 (Jigsaw) 97,0 89,4 93,5 89,1 95,3 92,8
Eksperimen 2 (STAD) 84,9 81,4 85,2 83,6 86,1 84,2
Berdasarkan data pada Tabel 4.1 terlihat dari pertemuan ke-1 sampai
pertemuan ke-5 rata-rata skor tugas kelompok pada kelas eksperimen yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor tugas kelompok pada kelas
eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata
skor keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 adalah 8,6.
Setiap pembelajaran selesai dilaksanakan, pada kedua kelas eksperimen
siswa diberi tugas individu yang harus dikerjakan di luar waktu pembelajaran.
Hasil yang diperoleh untuk rata-rata skor tugas individu dapat dilihat pada
Tabel 2.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 200
Tabel 2
Data Rata-rata skor Tugas Individu
Materi Lingkaran
Kelas Rata-rata Skor
Rata-rata I II III IV V
Eksperimen 1 (Jigsaw) 84,1 79,5 83,0 79,5 85,4 82,3
Eksperimen 2 (STAD) 78,8 78,5 80,3 79,5 79,0 79,2
Berdasarkan data pada Tabel 4.2 terlihat dari pertemuan ke-1 sampai
pertemuan ke-5 rata-rata skor tugas individu pada kelas eksperimen yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor tugas individu pada kelas
eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata
skor keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 adalah 3,1.
Selama penelitian berlangsung, ulangan harian dilaksanakan dua kali.
Ulangan harian dianggap sebagai postes. Rata-rata skor ulangan harian untuk
kedua kelas eksperimen disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Data Rata-rata Skor Ulangan Harian
Materi Lingkaran
Kelas Rata-rata Skor Ulangan Harian
Rata-rata Ke-1 Ke-2
Eksperimen 1 (Jigsaw) 69,6 72,4 71,0
Eksperimen 2 (STAD) 66,9 68,8 67,8
Berdasarkan data pada Tabel 3 terlihat dari rata-rata skor ulangan harian
ke-1 dan rata-rata skor ulangan harian ke-2 pada kelas eksperimen yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata skor ulangan harian pada kelas
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 201
eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Selisih rata-rata
skor ulangan harian keseluruhan antara kelas eksperimen 1 dan kelas
eksperimen 2 adalah 2,2.
Pengujian Persyaratan Analisis
Hasil perhitungan yang berkaitan dengan syarat-syarat yang diperlukan dalam
pengujian hipotesis sebagai berikut:
Tes Normalitas Distribusi dari Masing-masing Kelompok
Analisis skor ulangan harian pada materi lingkaran melalui pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw.
Rata-rata ( x ) = 76,25
Deviasi standar (σn-1) = 8,21
Menghitung nilai χ 2 didapat χ 2 = 3,85
Menentukan derajat kebebasan (db) didapat db = 3
Menghitung nilai χ 2 dari daftar didapat χ
20,99(3) = 11,3
Penentuan normalitas
Ternyata χ 2 hitung < χ 2
0,99(3), terima Ho, maka populasi berdistribusi
normal.
Analisis skor ulangan harian pada materi lingkaran melalui model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD).
Rata-rata ( x ) = 86,33
Deviasi standar (σn-1) = 10,62
Menghitung nilai χ 2 didapat χ 2 = 2,18
Menentukan derajat kebebasan (db) didapat db = 3
Menghitung nilai χ 2 dari daftar didapat χ 20,99(3) = 11,3
Penentuan normalitas
Ternyata χ 2
hitung < χ 2
0,99(3), terima Ho, maka populasi berdistribusi
normal.
Tes Homogenitas Varians
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 202
Pasangan hipotesis: H0 : V1 = V2
H1 : V1 ≠ V2
Keterangan:
V1 = Variansi kelompok pertama
V2 = Variansi kelompok kedua
Kriteria pengujian adalah:
Tolak H0 jika F > 1)(n1)α(nkVbV
F −− dengan α taraf nyata pengujian, artinya variansi
kedua populasi tidak homogen. Dalam hal lainnya H0 diterima.
Mencari Nilai Fhitung didapat
Fhitung = 1,67
Menentukan derajat kebebasan
db1 = 29
db2 = 29
Menentukan nilai F dari daftar untuk α = 1%, diperoleh F 0,01(29/29) = 2,42
Menentukan homogenitas
Ternyata Fhitung < F 0,01(29/29), maka H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya kedua
varians tersebut homogen.
Pengujian Hipotesis
Hasil perhitungan dari pengujian hipotesis, menggunakan uji perbedaan dua rata-
rata sebagai berikut:
Pasangan hipotesis: H0 : µx2 < µx1
H1 : µx2 > µx1
Keterangan:
µx1 = parameter rerata kelompok eksperimen 1
µx2 = parameter rerata kelompok eksperimen 2
Kriteria pengujian adalah:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 203
Tolak H0 jika thitung > α1t − dengan α taraf nyata pengujian. Dalam hal lainnya Ho
diterima.
a) Mencari deviasi standar gabungan (dsg) didapat dsg = 9,49
b) Mencari nilai t didapat thitung = 4,11
c) Menentukan derajat kebebasan didapat db = 58
d) Menentukan nilai t dari daftar untuk α = 1%, diperoleh t0,99(58) = 2,393
Dari hasil perhitungan diperoleh t = 4,11 dan t 0,99(58) = 2,393. Ternyata thitug > t
0,99(58), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya hasil belajar matematika siswa
yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student
Teams Achievement Divisions (STAD) lebih baik dibandingkan dengan yang
pembelajarannya menggunakan tipe Jigsaw.
Pembahasan
Hasil pengujian hipotesis diperoleh hasil belajar siswa yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan
dengan yang pembelajarannya menggunakan tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) pada materi lingkaran.
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat digambarkan pada diagram batang untuk
pembelajaran materi lingkaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw dan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Student
Teams Achievement Divisions (STAD).
Berdasarkan diagram batang pada Gambar 1 terlihat perbedaan rata-rata skor
untuk pembelajaran materi lingkaran dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw dengan yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dilihat
dari ulangan harian, yang lebih baik adalah yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 204
Gambar1. Diagram Batang Perbandingan Hasil belajar Siswa
Pada saat pembelajaran berlangsung siswa diberi tes individu untuk menghitung
skor perkembangan kelompok yang hasilnya untuk kriteria kelompok. Kriteria
kelompok yang diperoleh untuk setiap pertemuan pada kelas eksperimen 1 dan
kelas eksperimen 2 dapat dilihat pada Tabel 4
Berdasarkan Tabel 4. untuk seluruh pembelajaran pada kelas eksperimen 1 hanya
ada tiga pertemuan yang mendapat sebutan kelompok tanpa kriteria, yaitu pada
pertemuan ke-2, ke-3, dan ke-4. Jika dijumlahkan ada 9 kelompok yang tanpa
kriteria dari pembelajaran ke-1 sampai dengan pembelajaran ke-5 dan terdapat 5
kelompok dari seluruh pembelajaran yang memperoleh kriteria kelompok super
team. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 dari pertemuan ke-1 sampai pertemuan
ke-5 terdapat 17 kelompok yang tidak memperoleh kriteria, dan hanya satu
pertemuan yaitu pertemuan ke-4 yang semua kelompok memperoleh kriteria.
Terdapat 4 kelompok yang memperoleh kriteria super team.
Tabel 4
Perolehan Kriteria Kelompok
66
67
68
69
70
71
Rerata Skor Ulangan Harian
DIAGRAM BATANG PERBANDINGAN HASIL BELAJAR SISWA
Tipe Jigsaw Tipe STAD
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 205
Kelas Pertemuan
Kriteria Kelompok
Tanpa Kriteria Good
Team
Great
Team
Super
Team
Eksperimen 1
(Jigsaw)
1 I,VIII II,III,IV,V,
VII
VI -
2 III,IV,V I,VII, VIII - II,VI
3 III,V,VI,V
II
II,VIII - I,IV
4 I,VII VIII - II,III,IV,V,VI
5 IV I,V,VII II,III,VI,VI
II
-
Eksperimen 2
(STAD)
1 II,V,VIII VI,VII - I,III,IV
2 V,VII IV I,II,III VI,VIII
3 I,II,V - - III,IV,VI,VII,VIII
4 IV I,II,III,V,V
I,VII
VIII -
5 VI - - I,II,III,
IV,V,VII,VIII
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat tahap-tahap dalam
penyelenggaraannya yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan manfaat belajar
kelompok. Pada kegiatan ini keterlibatan guru dalam proses belajar mengajar
semakin berkurang dalam arti guru tidak lagi menjadi pusat kegiatan. Guru
berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar
mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab. Diharapkan juga siswa akan
merasa senang berdiskusi tentang materi lingkaran dalam kelompoknya. Siswa
dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan juga dengan gurunya sebagai
pembimbing. Guru tetap mengendalikan aturan hanya siswa yang menjadi pusat
kegiatan kelas. Karena dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terdapat
dua kali pengelompokan yaitu kelompok asal dan kelompok ahli, dalam
pelaksananya memerlukan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan waktu
yang digunakan dalam pembelajaran lainnya di luar Jigsaw.
Pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada model pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Divisions (STAD) sama dengan persiapan untuk Jigsaw
yaitu mulai dari mempersiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran, menyiapkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 206
bahan ajar, Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk tugas kelompok, tes individu dan tugas
individu serta ulangan harian. Pengelompokannya sama-sama heterogen
berdasarkan kemampuan akademik. Pada model pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Divisions (STAD) siswa sepertinya pada kelompok
pembelajaran yang biasa dilakukan. Hanya pada pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Divisions (STAD) terdapat tes individu yang
dilaksanakan pada setiap pembelajaran sehingga dari hasil tes individu itulah siswa
memperoleh penghargaan kelompok.
Jika dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam
aktivitas siswa lebih baik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw karena siswa merasa senang dengan adanya perubahan kelompok dari
kelompok asal bergabung ke kelompok ahli kemudian mereka kembali lagi kepada
kelompok asal. Hal ini menimbulkan perasaan tidak jenuh yang dialami siswa,
sesuai dengan pendapat Karli, Hilda dan Margaretha S.Y. (2002:70) bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat melatih siswa untuk mendengarkan
pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat teman-teman dalam satu
kelompoknya.
III. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pengolahan dan analisis data serta pengujian hipotesis maka
diperoleh kesimpulan, hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih baik dibandingkan dengan yang
pembelajarannya menggunakan tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa saran sebagai berikut:
Kepada kepala sekolah diharapkan dapat memfasilitasi diterapkannya berbagai
model pembelajaran seperti kooperatif tipe Jigsaw dan tipe Student Teams
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 207
Achievement Divisions (STAD), sehingga guru matematika mempunyai pilihan dalam
mengajarkan suatu materi.
Sebaiknya guru matematika mencoba menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw dan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams
Achievement Divisions (STAD) dalam pembelajaran matematika.
Kepada peneliti selanjutnya diharapkan meneliti pada materi yang lain dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Bumi Aksara.
Budiningsih, (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta.
Depdiknas. (2005). Teori Belajar. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim, Muslimin et.al. (2000). Pembelajaran Kooperatif, Surabaya : University Press.
Karli, Hilda dan Margaretha S.Y. (2002). Model-Model Pembelajaran, Bandung : Bina
Media Informasi.
Lie, Anita. (2005). Cooperative Learning. Jakarta: Gramedia Widiasarana Informatika
Margono, S. (2005). Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta.
Nurgana, Endi. (1993). Statistika Penelitian, Bandung : C.V. Permadi.
Ruseffendi. E. T. (2001). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA,
Bandung : Tarsito.
Ruseffendi. E. T. (1994). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta
Lainnya , Semarang : IKIP Semarang.
Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning. Allyn dan Bacon. Needham Heights,
Massachsetts.
Sudjana. (1996). Metode Statistika, Bandung : Tarsito.
Suherman, Eman. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika, Bandung : UPI.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 208
Suherman, Eman. (2004). Model-Model Pembelajaran, Bandung : Tidak di Publikasikan.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2003). Landasan Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung : JICA.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 209
P-11
BERFIKIR KREATIF DALAM KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA
Akhmad Jazuli
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ABSTRAK
Dalam makalah ini akan dibahas kemampuan komunikasi matematika yang dikaitkan
dengan kemampuan berfikir kreatif. Kemampuan komunikasi matematika meliputi
kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan, kemampuan
menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa, dan kemampuan menyatakan
suatu ide matematika melalui gambar, grafik sera bentuk visual lain. Sedangkan
berfikir kreatif secara kognitif pada umumnya memenuhi empat ciri yaitu : fluency,
flexibility, originality dan elaboration. Hasil pembahasan, diperoleh bentuk definisi
operasional kemampuan komunikasi matematika yang fluency, flexibility, originality
dan elaboration.
kata kunci : berfikir kreatif, komunikasi matematika.
1. PENDAHULUAN
Permasalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah rendahnya
kualitas dalam proses berfikir matematika. Hal ini ditunjukkan pada rendahnya
penalaran dan kemampuan dalam memecahkan masalah. Menurut NCTM (2000)
proses berfikir matematika dalam pembelajaran matematika meliputi lima kompetensi
standar yang utama yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran,
kemampuan koneksi, kemampuan komunikasi dan kemampuan representasi.
Rendahnya kemampuan ini akan berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya
manusia, yang ditunjukkan dalam rendahnya kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
Sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006 merekomendasikan
bahwa dalam pembelajaran perlu diciptakan suasana aktif, kritis, analisis, dan kreatif
dalam pemecahan masalah. Oleh karena itu perlu dikaji secara teoritis tentang
keterkaitan kemampuan berfikir kreatif terhadap kemampuan matematika, khususnya
kemampuan komunikasi matematika.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 210
Tujuan kajian ini adalah untuk merumuskan definisi operasional dalam
pembelajaran pada aspek kemampuan komunikasi matematika siswa ditinjau dari
berfikir kreatif. Adapun manfaatnya adalah untuk memberikan alternatif kepada para
guru/pengajar dalam menjabarkan tujuan pembelajaran yang dapat mengungkap
berfikir kreatif pada kemampuan komunikasi matematika.
2. PEMBAHASAN
a. BERFIKIR KREATIF DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Dalam pembelajaran matematika, siswa sering dihadapkan pada suatu
masalah yang rumit atau masalah yang tidak rutin. Oleh karena itu berfikir kreatif
dalam pembelajaran matematika itu sangat dibutuhkan. Berfikir kreatif
berhubungan erat dengan berfikir kritis. Keduanya merupakan kemampuan
manusia yang sangat mendasar, yang dapat mendorong seseorang untuk
senantiasa memandang setiap masalah secara kritis serta mencoba untuk
menyelesaikannya secara kreatif.
Perlu dibahas keterkaitan antara kreativitas dan berfikir kreatif. Menurut
Harris (2004), pengertian kreativitas meliputi beberapa aspek, yaitu dapat
diartikan sebagai :
• suatu kecakapan. bahwa kreativitas adalah kecakapan untuk menghayal atau
banyak akal untuk sesuatu yang baru. Kreativitas bukan kecakapan untuk
menghasilkan sesuatu yang tidak ada (hanya tuhan yang dapat melakukannya),
tetapi kecakapan untuk membentuk ide baru dengan mengkombinasi,
mengubah, atau menerapkan kembali ide-ide yang ada. Suatu ide-ide yang
kreatif adalah menakjubkan dan brilian,
• suatu sikap. bahwa kreativitas adalah sikap untuk menerima perubahan dan
kebaruan. Keinginan untuk bermain dengan ide dan kemungkinan, fleksibilitas
keluar, kebiasaan menyenangi yang bagus, ketika mencari jalan/cara untuk
mengembangkannya. Sebagai contoh coklat yang dibungkus strobery, bagi
orang yang kreatif, ingin merealisasikan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan
yang lain. seperti kacang dibungkus mentega.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 211
• Suatu proses. bahwa orang yang kreatif adalah orang bekerja keras dan kontinu
untuk mengembangkan ide dan penyelesaian dengan membuat peningkatan
dan perbaikan secara perlahan-lahan untuk kerjanya.
Selanjutnya Harris (2004) mengemukakan beberapa metode yang telah
diidentifikasi untuk memproduksi hasil-hasil kreatif. Ada lima macam metode yang
lazim, yaitu :
• Evaluasi, adalah metode untuk peningkatan pengembangan. Ide-ide baru
menjadi batang dari ide-ide yang lain; penyelesaian baru menjadi batang dari
penyelesaian sebelumnya. Penyelesaian baru lebih tajam dikembangkan atas
penyelesaian yang sebelumnya.
• Sintesis, adalah metode untuk mengkombinasikan dua atau lebih ide yang ada
menjadi ide baru. Tentunya ide yang baru tersebut lebih ungggul dari ide-ide
awal yang dikombinasikan..
• Revolusi, adalah metode untuk melakukan perubahan. Kadang-kadang ide
brilian muncul dan menjadi sebuah ide yang benar-benar berbeda. Perubahan
yang nyata dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.
• Penerapan kembali, adalah metode menggali kembali sesuatu yang sudah ada,
menjadi sesuatu yang sesuai dengan kondisi yang sekarang. Melihat pada
sesuatu yang kuno dalam era yang baru. Muncul prasangka, harapan dan
asumsi dan mendapati bagaimana sesuatu dapat diterapkan kembali. Kuncinya
adalah untuk melihat di luar masa lalu atau aplikasi yang ditetapkan untuk
beberapa ide, solusi, atau sesuatu dan untuk melihat bagaimana aplikasi yang
lain mungkin.
• Mengubah arah, banyak kreatif terjadi bila perhatian dinaikan dari satu sudut
masalah ke yang lain. Ini sering disebut insight kreatif (kreatif sadar)
Menurut Supriadi (1994) tak ada definisi kreativitas yang dapat mewakili
pemahaman yang beragam tentang kreativitas. Hal ini disebabkan oleh dua alasan
yaitu : (1) kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan
multidimensional yang mengundang berbagai penafsiran yang beragam, (2) definisi
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 212
kreativitas memberikan tekanan yang beragam tergantung dasar teori yang
mendasarinya.
Menurut Munandar (2002), Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dari
hasil pemikiran atau prilaku manusia dan sebagai proses pemikiran berbagai
gagasan dalam menghadapi suatu persoalan atau masalah. Kreativitas juga dapat
dipandang sebagai proses bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur
dalam fikiran, sehingga merupakan suatu kegiatan yang penuh tantangan bagi siswa
yang kreatif. Menurut Costa (2001) Kreativitas dan berfikir kreatif keduanya secara
konsep terkait tetapi tidak identik. Kreativitas merupakan payung gagasan yang di
dalamnya ada berfikir kreatif. Menurut De Potter (dalam Supriadi, 1994) terdapat 4
langkah penting dalam berfikir kreatif yaitu : (1) tidak selalu mudah puas dan tidak
selalu mau menerima apa adanya. (2) tidak terpaku pada satu cara (3) selalu ingin
mempertajam rasa ingin tahu (4) selalu melakukan pelatihan otak.
b. CIRI-CIRI BERFIKIR KREATIF
Menurut Guilford (dalam Hudgins, 1983) tentang kreativitas berkaitan dengan
berfikir divergen yang faktor utamanya adalah fluency, flexibility, dan elaboration.
Torrance (dalam Hudgins,1983) menambahkan faktor originality sebagai konsep
yang fundamental dalam berfikir divergen. Menurut Evans (1991) komponen
berfikir divergen terdiri atas problem sensitivity, fluency,
flexibility, dan originality dengan penjelasan sebagai berikut :
(1) problem sensitivity (kepekaan masalah) adalah kemampuan mengenal adanya
suatu masalah atau mengabaikan fakta yang kurang sesuai untuk mengenal
masalah yang sebenarnya.
(2) fluency (kelancaran) adalah kemampuan membangun banyak ide. Semakin
banyak ide yang didapat berpeluang untuk mendapatkan ide yang bagus.
(3) flexibility (keluwesan) adalah kemampuan membangun ide yang beragam, yaitu
kemampuan untuk mencoba berbagai pendekatan dalam memecahkan
masalah.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 213
(4) originality (keaslian) adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang luar
biasa yang tidak umum.
Menurut Munandar (2002) kreativitas seseorang tidak muncul begitu saja, tapi
perlu ada pemicu. Kratifitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dengan
lingkungannya, yang berarti bahwa lingkungan dapat menunjang atau menghambat
kreativitas seseorang. Selanjutnya Munandar menjelaskan ciri-ciri ketrampilan
berfikir kreatif adalah sebagai berikut :
(1) ketrampilan berfikir lancar (fluency)
(2) ketrampilan berfikir luwes (flexibility)
(3) ketrampilan berfikir orsinil (originality)
(4) ketrampilan berfikir rinci (elaboration)
Ervynck (2002) memberikan definisi tentatif tentang kreativitas matematika.
Dikatakan bahwa kreativitas matematika adalah kemampuan untuk memecahkan
masalah dan atau mengembangkan struktur berfikir, melakukan perhitungan yang
aneh dari disiplin logika deduktif, dan kemampuan membangun konsep yang
terintegrasi ke dalam inti yang penting dalam matematika.
Menurut William (dalam Killen,1998) menyatakan bahwa ada 8 prilaku
siswa terkait dengan kreativitas atau berfikir tingkat tinggi.
(1) fluency : kemampuan untuk menghasilkan sejumlah besar ide,
produk dan respon
(2) flexibility : kemampuan untuk memperoleh pendekatan yang berbeda,
membangun berbagai ide, mengambil jalan memutar
dalam jalan pikirannya, dan mengadopsi situasi baru.
(3) originality : kemampuan untuk membangun ide, yang tidak biasa, ide
cerdas yang mengubah cara dari yang nyata.
(4) elaboration : kemapuan untuk memotong, mengembangkan atau
membubuhi ide atau produk.
(5) risk taking : mempunyai keberanian untuk menyatakan sendiri
kesalahan atau kritikan, tebakan dan
mempertahankan ide sendiri
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 214
(6) complexity : mencari berbagai alternatif, membawa keluar dari
kekacauan, dan menyelidiki ke dalam masalah atau ide
yang rumit.
(7) curiosity : keinginan untuk tahu dan kagum, bermain dengan suatu
ide, membuka situasi teka teki dan mempertimbangkan
sesuatu yang misteri
(8) imaginaton : mempunyai kekuatan untuk visualisasi dan membangun
mental image dan meraih di luar lingkungan nyata.
Menurut Costa (2001) Berfikir kreatif meliputi cognitive skill (kecakapan
kognisi), metacognitive skill (kecakapan metakognisi) dan afective skill (kecakapan
sikap). Kecakapan-kecakapan ini dapat diterapkan dalam kehidupan di semua
bidang. Berfikir kreatif masuk dalam domain kreativitas dan merefleksikan sifat
beraneka ragam gagasan yang lebih luas. Selanjutnya Costa menjabarkan kecakapan
kognisi dan kecakapan sikap yang lebih detil. Kecakapan kognisi dalam berfikir
kreatif meliputi : (1) mengidentifikasi masalah dan peluang (2) mengajukan
pertanyaan yang lebih baik dan berbeda (3) menilai relevan dari data yang tidak
relevan (4) memisahkan masalah produktif dan peluang (5) mengutamakan
persaingan pilihan dan informasi (6) menaikan diantara ide produksi [fluency] (7)
menaikan produksi kategori yang berbeda dan macam-macam ide [flexibility] (8)
menaikan produksi ide baru atau ide yang berbeda [originality] (9) melihat hubungan
diantara pilihan (option) dan pengganti (alternatif). (10) menghentikan pola fikir
lama dan kebiasaan (11) membuat koneksi baru (12) merinci, mengembangkan
atau menyaring ide, situasi atau rencana [elaboration] (13) melihat dengan cermat
kriteria (14) mengevaluasi pilihan.
Dari beberapa pendapat para pakar tentang berfikir kreatif, ada beberapa ciri
umum secara kognisi yang dapat didefinisikan sebagai berikut :
(1) fluency : dapat lancar memberikan banyak ide untuk menyelesaikan
suatu masalah (termasuk banyak dalam memberikan
contoh).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 215
(2) flexibility : dapat memunculkan ide baru (untuk mencoba dengan
cara lain) dalam menyelesaikan masalah yang sama.
(3) originality : dapat menghasilkan ide yang luar biasa untuk
menyelesaikan suatu masalah. (dapat menjawab menurut
caranya sendiri)
(4) elaboration : dapat mengembangkan ide dari ide yang telah ada atau
merinci masalah menjadi masalah yang lebih sederhana.
c. KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA
Dalam NCTM (2000) direkomendasikan lima kompetensi standar yang utama
dalam pembelajaran matematika yaitu kemampuan Pemecahan Masalah (Problem
Solving), kemampuan Komunikasi (Communication), kemampuan Koneksi
(Connection), kemampuan Penalaran (Reasoning), dan kemampuan Representasi
(Representation). Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas tentang kemampuan
komunikasi matematika saja.
Komunikasi matematika adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan
suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa
mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafis, kata-
kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa
memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. (NCTM, 1991).
Kusumah Y.S.(2008), menyatakan bahwa komunikasi merupakan bagian
yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. Melalui komunikasi ide
matematika dapat dieksploitasi dalam berbagai perspektif; cara berfikir siswa
dapat dipertajam; pertumbuhan pemahaman dapat diukur; pemikiran siswa dapat
dikonsolidasikan dan diorganisir; pengetahuan matematika dan pengembangan
masalah siswa dapat ditingkatkan; dan komunikasi matematika dapat dibentuk.
Tingkat kemampuan komunikasi matematika beragam, sesuai dengan
tingkat/jenjang dalam pendidikannya.
Menurut NCSM (1988) matematika sebagai komunikasi adalah siswa akan
belajar bahasa dan notasi matematika. Untuk contoh mereka akan memahami
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 216
nilai tempat dan notasi sain. Mereka akan belajar untuk menerima ide
matematika melalui mendengar, membaca dan melihat. Mereka akan dapat
menyajikan ide matematika dengan berbicara, menulis, menggambar dan grafik,
dan mendemonstrasikan dengan model-model konkrit. Mereka akan dapat
mendiskusikan matematika dan menyampaikan pertanyaan tentang matematika.
Menurut NCTM (1989) komunikasi matematika lebih ditekankan pada
kemampuan siswa dalam hal : (1) Membaca dan menulis matematika dan
menafsirkan makna dan ide dari tulisan itu. (2) Mengungkapkan dan menjelaskan
pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya. (3) Merumuskan
definisi matematika dan membuat generalisasi yang ditemui melalui investigasi.
(4) Menuliskan sajian matematika dengan pengertian. (5) Menggunakan kosa
kata/ bahasa, notasi struktur secara matematika untuk menyajikan ide
menggambarkan hubungan dan pembuatan model. (6) Memahami, menafsirkan,
dan menilai ide yang disajikan secara lisan, dalam tulisan atau dalam bentuk
visual.(7) Mengamati dan membuat konjektur, merumuskan pertanyaan,
mengumpulkan dan menilai informasi. (8) Menghasilkan dan menyajikan
argumentasi yang meyakinkan.
Menurut tim MKPBM (2001) mengatakan bahwa untuk memungkinkan
terjadinya komunikasi yang lebih bersifat multiarah dapat diterapkan model
pembelajaran diskusi kelompok kecil atau yang lebih dikenal dengan istilah small
group discussion. Menurut Kramarski (2002) mengatakan bahwa untuk
mempertinggi kemampuan mengkomunikasikan penalaran matematika secara
alami adalah dengan memberi kesempatan belajar kepada siswa dalam kelompok
kecil dimana mereka dapat berinteraksi.
Baroody (1993) menjelaskan bahwa komunikasi perlu
ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran matematika di kalangan siswa, tidak
hanya sekedar alat bantu berfikir, alat bantu menemukan pola, alat bantu dalam
menyelesaikan masalah atau menarik kesimpulan, tetapi komunikasi juga
berperan dalam aktifitas sosial, sebagai wahana interaksi antar siswa, dan interaksi
antar guru dan siswa.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 217
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi matematika adalah kemampuan untuk menyatakan suatu ide
matematika melalui tulisan, bahasa, gambar, grafik dan bentuk-bentuk visual
lainnya. Sehingga mampu memberikan suatu argumentasi untuk pemecahan suatu
masalah.
d. KAITAN BERFIKIR KREATIF DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA
Dalam pembahasan ini akan dikaitkan beberapa indikator berfikir kreatif yang
termasuk dalam kecakapan kognitif (flunency, flexibility, originality, dan
elaboration) terhadap jenis kemampuan matematika yaitu kemampuan
komunikasi matematika untuk dilihat keterkaitan dan kontribusi berfikir kreatif
terhadap kemampuan matematika tersebut.
Kemampuan berfikir kreatif yang meliputi indikator-indikator tersebut secara
teoritik dapat dikaitkan dengan kemampuan komunikasi. Dengan berfikir kreatif,
siswa peka dan luwes dalam melihat berbagai keterkaitan untuk menyatakan
sesuatu. Hal ini dapat mendukung kemampuan untuk melakukan komunikasi,
yaitu kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan, bahasa, dan
berbagai bentuk visual seperti gambar dan grafik.
Oleh karena itu untuk merumuskan definisi operasional dalam mencapai
kemampuan komunikasi matematika yang berkaitan dengan berfikir kreatif dapat
digambarkan sebagai berikut :
kemampuan Berfikir kreatif
indikator fluency flexibility originality elaboration
Ko
mu
nik
asi
ma
tem
ati
ka
Tulisan
Bahasa
Bentuk
visual
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 218
(1) komunikasi yang fluency, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika dengan
memberikan contoh-contoh yang banyak yang meliputi:
• memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk tulisan.
• memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk bahasa
• memberikan contoh komunikasi yang banyak dalam bentuk visual seperti
gambar dan grafik.
(2) komunikasi yang flexibility, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika
dengan berbagai cara yang meliputi:
• memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan dengan berbagai cara.
• memberikan komunikasi dalam bentuk bahasa dengan berbagai cara
• memberikan komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik
dengan berbagai cara
(3) komunikasi yang originality, yaitu dapat menyatakan suatu ide matematika
dengan caranya sendiri yang meliputi:
• memberikan komunikasi dalam bentuk tulisan.dengan caranya sendiri.
• memberikan komunikasi dalam bentuk bahasa dengan caranya sendiri
• memberikan komunikasi dalam bentuk visual seperti gambar dan grafik
dengan caranya sendiri.
(4) komunikasi yang elaboration, yaitu dapat merinci komunikasi dengan detil
yang meliputi:
• merinci komunikasi dalam bentuk tulisan secara detil
• merinci komunikasi dalam bentuk bahasa secara detil
• merinci komunikasi dalam bentuk visual secara detil.
e. KESIMPULAN
1) Kemampuan berfikir kreatif ranah kognisi secara umum meliputi :
a) fluency
b) flexibility
c) originality
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 219
d) elaboration
2) Kemampuan komunikasi matematika meliputi :
a) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan.
b) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa.
c) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui gambar, grafik
dan bentuk visual lain.
3) Definisi operasional kemampuan komunikasi matematika pada tingkat berfikir
kreatif dibangun berdasarkan :
a) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui tulisan secara
fluency, flexibility, oroginality dan elaboration.
b) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui bahasa secara
fluency, flexibility, oroginality dan elaboration.
c) kemampuan menyatakan suatu ide matematika melalui gambar, grafik
dan bentuk visual lain secara fluency, flexibility, oroginality dan
elaboration.
DAFTAR PUSTAKA
Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning and CommunicationK-8 Helping
Children Think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.
BSNP (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
Costa, A.L. (2001). Developing Mind A Resource book for Teaching Thinking. Virginia
USA :ASCD.
Ervynck, G.(2002), Mathematical Creativity (dalam David Tall, Advance Mathematical
Thinking), New York : Kluwer Academic Publisher.
Harries, T. & Barmby, P. (2006). Representing Multiplication. Proceeding of the British
Society for Research into Learning Mathematics. 26(3), 25 – 30.
Hudgins, B.B. dkk.(1983). Educational Psychology. USA : F.E. Peacock Publishers,
Inc.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 220
Killen, R. (1998), Effective Teaching Strategies, Australia : social science press.
Kusumah,Y.S. (2008), Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer Based
Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking
(Pidato Pengukuhan Jabatan Profesor, 23 Oktober 2008), Bandung : UPI
Munandar, S.C.U.(2002). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation
Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and Evaluation
Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
National Council of Teachers of Mathematics. (1991). Professional for teaching
Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
National Council of Supervisors of Mathematics. (1988). Component of essential
Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Supriadi, D. (1994), Kreativitas Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung :
Alfabeta.
Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran matematika kontemporer. Bandung : UPI
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 221
P-12
PEMANFAATAN INTERNET DALAM MEMPERSIAPKAN GURU MENGAJAR DI KELAS
RSBI
Agustin Ernawati1)
Sitti Maesuri Patahuddin2)
Abstrak
Internet adalah salah satu sumber belajar yang tidak terbatas. Para
guru seharusnya dapat memanfaatkan internet tersebut dalam
menfasilitasi siswa belajar. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah
tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), yang menuntut
guru harus mampu memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK), termasuk internet.
Saat ini SD Lab Unesa memulai merintis satu kelas bertaraf
internasional. Namun demikian, pada umumnya guru-guru SD Lab Unesa
belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk
mengajar menggunakan teknologi internet dan mengajar menggunakan
bahasa Inggris. Oleh karena itu, kegiatan pengabdian masyarakat dengan
pendekatan design research (DR) ini dimaksudkan menfasilitasi guru
memanfaatkan internet dalam belajar dan mengajar matematika,
sekaligus untuk membangun kemampuan bahasa Inggris mereka.
Makalah ini menyajikan sebagian dari kegiatan tersebut, yaitu
mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran matematika para guru SD
Lab Unesa yang memanfaatkan website-website matematika berbahasa
Inggris.
Kata kunci: internet, RSBI.
PENDAHULUAN
Sekolah Dasar Laboratorium (SD Lab) Unesa, tempat kami melakukan kegiatan
pengabdian masyarakat, adalah sekolah yang berlokasi di dalam Kampus Unesa
Ketintang dan pengelolaannya di bawah naungan Yayasan Dharma Wanita Unesa. Awal
tahun ajaran 2009/2010, sekolah tersebut sedang merintis terbentuknya kelas RSBI
1 Agustin Ernawati adalah anggota Institute for Educational Development (IFED), Surabaya. 2 Sitti Maesuri Patahuddin adalah dosen Jurusan Matematika FMIPA Unesa dan ketua (IFED), Surabaya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 222
(Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Untuk tahap awal direncanakan hanya satu
kelas dari Kelas 1 dan 2.
Dengan adanya rencana tersebut, tantangan bagi guru yang akan mengajar di
Kelas RSBI adalah penguasaan kemampuan berbahasa Inggris di samping penguasaan
materi ajar. Selain itu, guru juga diharapkan menggunakan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK), termasuk internet, ke dalam pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai
dengan salah satu kompetensi pedagogi yang harus dimiliki oleh para guru
(Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
Pada kenyataannya, guru-guru SD Lab Unesa belum dibekali pengetahuan
tentang pembelajaran matematika menggunakan bahasa Inggris serta pemanfaatan
internet sebagai sumber belajar. Hal ini tidak sejalan dengan kenyataan bahwa fasilitas
internet di sekolah tersebut telah tersedia meskipun masih terbatas.
Internet sebagai sumber belajar yang tidak terbatas menyediakan berbagai
aplikasi yang memungkinkan adanya interaksi dengan pengguna internet lain baik
secara interpersonal maupun massal. Banyak studi yang telah mengevaluasi sumber-
sumber pembelajaran matematika yang tersedia melalui internet yang bisa digunakan
dalam pembelajaran (Dengate, 2001; Engelbrecht, 2005; Herrera, 2001; Moyer, 2002).
Hal ini sejalan dengan tujuan penggunaan internet dalam pembelajaran matematika
yaitu untuk mencari objek ajar matematika, sebagai alat belajar siswa {Gibson, 2004;
Patahuddin, 2008; Patahuddin & Dole, 2006 ) dan untuk menunjang kemampuan dan
pengetahuan siswa tentang teknologi (Patahuddin, 2008; Patahuddin & Dole, 2006. Di
samping itu, pembelajaran dengan menggunakan internet dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa, meningkatkan keinginan untuk mengambil resiko (take risk) dan
kemauan bereksperimen atau mengeksplorasi beberapa cara yang berbeda dalam
menyeesaikan masalah matematika (Moor, 2000 ).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dikembangkan pertemuan-
pertemuan rutin untuk membantu mempersiapkan guru, khususnya guru kelas rendah,
dalam mengajar di kelas RSBI. Dalam proses ini, peneliti memanfaatkan internet
sekaligus memfasilitasi guru belajar menggunakan internet dengan website-website
berbahasa Inggris. Penggunaan website-website berbahasa Inggris ini dimaksudkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 223
untuk membantu guru dalam meningkatkan pemahaman mereka tentang bahasa
Inggris, khususnya tentang mengajarkan konsep matematika menggunakan bahasa
Inggris.
Makalah ini menyajikan secara singkat karakteristik dari program
pengembangan profesionalisme guru di SD Lab Unesa serta pemanfaatan internet
dalam mempersiapkan guru mengajar di Kelas RSBI.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Design Research (DR). Tiga
fase yang dilaksanakan dalam penelitian ini meliputi; (1) perencanaan/perancangan,
yaitu mempersiapkan eksperimen dalam hal ini workshop atau pertemuan rutin.
Perencanaan meliputi menetapkan tujuan pada pertemuan rutin, menyiapkan materi
serta segala sesuatu yang dibutuhkan selama pelaksanaan eksperimen. (2)
eksperimen, yaitu melaksanakan pertemuan rutin sesuai dengan yang telah
direncanakan, yang dilanjutkan dengan refleksi antarfasilitator. Refleksi ini dilakukan
untuk mengevaluasi pelaksanaan pertemuan yang menghasilkan data berupa catatan
lapangan selama pertemuan. (3) analisis restrospektif, yaitu menjadikan hasil analisis
data sebagai bahan laporan kegiatan untuk selanjutnya dijadikan salah satu dasar
dalam merencanakan pertemuan selanjutnya.
Keikutsertaan guru-guru kelas rendah SD Lab Unesa dalam kegiatan ini
merupakan sebuah kesadaran dalam diri guru yang berkeinginan untuk belajar
memanfaatkan internet dalam mengajarkan matematika. Guru-guru tersebut terdiri
atas, tiga guru kelas 1, tiga guru kelas 2, dua guru kelas 3 serta 2 guru cadangan.
Penelitian yang telah berjalan dua bulan ini dilaksanakan seminggu sekali, yaitu tiap
hari Jum’at atau Sabtu (kondisional), hal ini disesuaikan dengan aktivitas fasilitator
(dalam hal ini peneliti) serta guru (dalam hal ini guru-guru SD Lab Unesa). Sedangkan
lokasi penelitian dilaksanakan di lingkungan SD Lab Unesa dengan ruang pertemuan
yang belum pasti (terkadang di ruang multimedia, ruang guru, ruang kelas, maupun
ruang lab komputer) karena pelaksanaannya menyesuaikan dengan kondisi sekolah.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 224
Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui catatan
lapangan (fieldnotes), video, foto, serta informal interview. Data yang terkumpul
dianalisis secara kualitatif, bersifat ongoing (terus-menerus), coding, merumuskan
hipotesis serta membuat kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan secara singkat karakteristik, pemanfaatan internet serta
respon guru selama program pengembangan dalam mempersiapkan guru mengajar di
kelas RSBI.
1. Karakteristik Program Pengembangan Guru di SD Lab Unesa
Karakteristik dari workshop/kegiatan ini adalah mempertimbangkan peran
dari peserta. Hal ini berarti, setiap masukan, ide maupun harapan guru selalu
menjadi pertimbangan utama bagi fasilitator. Hal ini tampak sejak awal pertemuan,
yaitu ketika brainstroming (curah pendapat) pada pertemuan perkenalan awal
antara fasilitator dan guru. Melalui kegiatan tersebut, diperoleh informasi tentang
kebutuhan guru untuk belajar lebih banyak bahasa Inggris, khususnya dalam
mengajarkan matematika menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, guru
menghendaki agar materi yang dibahas pada pertemuan rutin disesuaikan dengan
materi yang sedang atau akan dipelajari di kelas. Dengan pertimbangan tersebut,
maka topik yang dibahas pada pertemuan selanjutnya adalah waktu (time).
Selain pertimbangan tersebut, permasalahan pembelajaran di kelas juga
menjadi salah satu pertimbangan dalam mengambil topik diskusi antarguru. Hal ini
terjadi ketika fasilitator bersama guru melakukan reviu terhadap kurikulum SD/MI
khususnya untuk kelas rendah. Hasil diskusi antarguru setelah melakukan reviu
kurikulum menunjukkan bahwa materi tentang waktu yang perlu dikuasai anak
adalah mengingat urutan hari dan membaca jam menggunakan kosakata bahasa
Inggris serta menentukan letak jarum jam. Selain temuan tersebut, kesulitan yang
sering dijumpai guru dalam mengajarkan waktu adalah kesulitan anak, khususnya
siswa kelas satu, dalam berpikir balik (irreversible) tentang urutan hari. Selain itu,
anak mengalami kesulitan dalam belajar membaca jam yang melibatkan 15, 30
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 225
maupun 45 menit menggunakan kosakata bahasa Inggris. Penggunaan “to” dan
“past”, juga merupakan salah satu kesulitan yang diungkapkan guru. Hal ini
dikarenakan, dari sisi guru itu sendiri, guru belum dibekali oleh pengetahuan
tentang pembelajaran waktu menggunakan bahasa Inggris sebelumnya.
Sedangkan tuntutan sekolah, guru kelas RSBI harus mampu menguasai
kemampuan dalam mengajarkan matematika juga kemampuan dalam berbahasa
Inggris.
Selain pertimbangan dalam mengambil topik diskusi, informasi di atas
merupakan suatu masukan bagi fasilitator untuk mengetahui kemampuan
matematika atau kompetensi pedagogi yang saat ini dimiliki guru.
Karakteristik lain dalam workshop ini adalah menekankan pada peningkatan
kemampuan berbahasa Inggris guru, khususnya yang yang digunakan dalam
percakapan pembelajaran dan yang berhubungan dengan topik matematika
(mathematical vocabularies). Untuk memfasilitasi guru dalam membangun
pengetahuan bahasa Inggris, khususnya yang berhubungan dengan topik waktu
(time), peneliti memberikan aktivitas berpasangan untuk menyelesaikan crossword
puzzle (teka-teki). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa guru
mengalami kesulitan dalam mengeja penulisan. Selain itu, beberapa guru merasa
kebingungan dalam mengingat urutan hari, sebagai contoh, Selasa itu Tuesday atau
Thursday, Senin itu Sunday atau Monday. Selain kesulitan tersebut, guru
mengungkapkan bahwa, melalui kegiatan ini mereka menemukan kosakata baru
dalam bahasa Inggris tentang waktu, diantaranya, leap year/ tahun kabisat,
century/ abad, decade/ dekade dan beberapa kosakata yang lain.
2. Pemanfaatan Internet
Penugasan menggunakan crossword puzzle merupakan salah satu bentuk
pemanfaatan internet dalam workshop ini. Hal ini dikarenakan lembar tugas
crossword puzzle tersebut dibuat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh
http://puzzle-maker.com/. Berikut ini contoh lembar crossword puzzle yang
dimaksud.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 226
Pemanfaatan lain dilakukan fasilitator dalam mengatasi salah satu kesulitan
yang dihadapi guru dalam mengajarkan cara membaca jam menggunakan bahasa
Inggris. Dengan menggunakan salah satu website yang menyediakan sebuah
aplikasi media belajar yang bernama ‘Analog and Digital Clocks Animation’,
fasilitator menunjukkan salah satu peran internet dalam pembelajaran. Berikut ini
tampilan dari media tersebut.
Gambar 1 Contoh crossword puzzle
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 227
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
http://www.mathisfun.com/measure/index.html.
Sedangkan untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menggunakan kata ’to’
dan ‘past’ ketika membaca jam dapat dijelaskan dengan menggunakan bagan
sederhana seperti berikut.
Berdasarkan hasil diskusi pada pertemuan sebelumnya tentang kesulitan
guru dalam mengajarkan cara membaca jam, fasilitator menetapkan untuk
memantapkan cara guru membaca jam dalam bahasa Inggris. Hal yang dilakukan
adalah memberikan sebuah LKS tentang waktu. LKS tersebut meminta guru untuk
menuliskan waktu dalam kata-kata serta menggambarkan letak jarum jam sesuai
Gambar 3 Bagan Waktu Sederhana
7
to past
Gambar 2 Contoh Aplikasi Media Belajar dari sebuah website
Analog clock Digital clock
Time in words
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 228
dengan gambar yang diberikan. LKS yang diberikan merupakan hasil pemanfaatan
salah satu website yang menyediakan kemudahan bagi pengguna untuk membuat
LKS sesuai kriteria yang tersedia. Website tersebut adalah
http://themathworksheetsite.com/telling_time.html.
Untuk lebih memantapkan guru tentang peran internet dalam membantu
guru mengajar matematika, fasilitator menyajikan secara singkat tentang tinjauan
beberapa website yang telah dreviu sebelumnya oleh fasilitator. Salah satu website
yang disajikan adalah http://www.mathsisfun.com/ yang menyediakan ulasan
materi secara singkat, permainan dan LKS sebagai latihan. Topik matematika yang
dibahas antara lain numbers (bilangan), geometry (geometri), algebra (aljabar),
measurement (pengukuran), dan beberapa topik lain. Website lain yang disajikan
adalah http://www.homeschoolmath.net/worksheets/grade_2.php yang
menyediakan free math worksheet sehingga kita bisa membuat LKS mandiri.
Website http://www.mathfactcafe.com/time/timemoney.aspx,
http://math.about.com/od/tellingtimeworksheets/ss/Timehalf-hr.htm, dan
http://www.superteacherworksheets.com/index.html merupakan beberapa
contoh website yang menyediakan beberapa LKS yang dapat diunduh guru maupun
dapat dibuat sendiri. Dalam penyajian ini, diinformasikan kepada guru bahwa teka-
teki, LKS dan kajian tentang internet tersebut dibuat dengan memanfaatkan
internet. Informasi tersebut mendorong keinginan guru untuk langsung
berinteraksi dengan internet pada pertemuan selanjutnya. Hal ini mendorong
fasilitator untuk merancang pertemuan yang melibatkan guru dalam
mengeksplorasi internet.
Sebagai tindak lanjut dari rancangan pertemuan tersebut, fasilitator
menyiapkan sebuah blog sebagai media belajar bagi guru. Blog tersebut adalah
http://ict-sdlab.blogspot.com/. Dalam blog ini fasilitator menyajikan posting yang
ditujukan sebagai panduan bagi guru dalam mengeksplorasi website pembelajaran
matematika. Berikut ini potongan halaman blog tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 229
Dengan menggunakan fasilitas dua unit komputer yang terkoneksi dengan
internet, guru antusias dalam mengeksplorasi website secara bergantian. Karena
terbatasnya komputer yang terkoneksi tersebut, maka tiap komputer digunakan
oleh empat hingga lima orang. Akan tetapi keterbatasan ini bukan merupakan
halangan bagi guru untuk berinteraksi dengan internet. Melalui blog tersebut, guru
diminta untuk melakukan eksplorasi terhadap beberapa website yang telah
direkomendasikan oleh fasilitator. Selain melakukan eksplorasi website, guru
diminta untuk memilih salah satu website yang paling mereka senangi. Selanjutnya
masing-masing guru diminta untuk presentasi hasil eksplorasi dari website yang
terpilih. Adapun daftar website yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Tabel 1
Daftar Website Pembelajaran Matematika
No Website Uraian
1. http://puzzle-maker.com/ Melalui website ini guru dapat membuat
crossword puzzle maupun word search puzzle.
2. http://www.mathsisfun.com/ Website ini berisi beberapa topik matematika
diantaranya numbers (bilangan), geometry
(geometri), algebra (aljabar), measurement
Gambar 3 Potongan halaman blog
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 230
No Website Uraian
(pengukuran), dan beberapa topik lain. Topik
tersebut berupa ulasan materi secara singkat,
permainan dan LKS sebagai latihan serta link-
link ke website-website lain yang terkait.
3. http://www.homeschoolmath.
net/worksheets/
Website ini menyediakan fasilitas free math
worksheet sehingga bisa membuat LKS
mandiri.
4. http://www.kidport.com/Grad
e1/math/MathIndex.htm
Website ini menyediakan activities atau
kegiatan interaktif yang melibatkan pengguna
khususnya siswa untuk bermain sekaligus
belajar. Aktivitas yang ditawarkan
diklasifikasikan dalam beberapa topik. Selain
activities, website ini juga menyediakan lesson
atau contoh pembelajaran materi tertentu.
5. http://math.about.com/od/w
orkshee2/a/Grade1WS.htm
Website ini menyediakan berbagai LKS yang
dapat diunduh secara gratis oleh guru sesuai
dengan topik dan kelasnya.
6. http://www.ixl.com/math/pra
ctice/
Website ini menyediakan berbagai latihan
interaktif yang disesuaikan dengan topik dan
kelasnya. Selain itu juga memberikan
explanation atau penjelasan tambahan
apabila siswa memasukkan jawaban yang
salah.
7. http://www.beenleigss.eq.edu
.au/requested_sites/mathsby
outcome/index.html
Dengan sangat interaktif dan menarik, website
ini dikemas sebagai permainan yang dapat
membantu siswa dalam belajar matematika.
Apabila guru menggunakan website ini untuk
kelas tertentu, misalnya kelas rendah,
sebaiknya guru memilih beberapa topik
dengan mempertimbangkan kesesuaiannya
dengan kurikulum.
8. http://www.woodlands-
junior.kent.sch.uk/maths/mea
sures.htm" \l "Time
Seperti pada beberapa website yang
interaktif, website ini juga menyajikan
berbagai kegiatan interaktif siswa yang
dikemas dengan menarik, khususnya tentang
time atau waktu. Topik yang lain juga tersedia
dalm website ini, sepertinya number skills,
data & probability, dan beberapa topik yang
lain.
9. http://www.mathfactcafe.co
m/time/default.aspx
Website ini menyediakan aplikasi bagi guru
untuk membuat LKS tentang waktu yang
dapat disesuaikan dengan keperluan dengan
memilih beberapa pilihan yang tersedia.
10 http://themathworksheetsite.
com/telling_time.html
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 231
3. Respon Guru
Selama kegiatan workshop, peneliti (fasilitator) sering melakukan pengamatan
terhadap aktivitas guru baik ketika di dalam maupun di luar workshop. Selama
mengikuti workshop, guru memberikan respon yang cukup positif. Hal ini tampak
ketika guru melakukan persiapan, melalui tanya jawab, diperoleh informasi bahwa
guru mengalami kesulitan ketika harus presentasi menggunakan bahasa Inggris. Akan
tetapi, hal itu bukan merupakan hambatan, karena beberapa guru tidak segan latihan
presentasi dengan menghadap tembok bahkan berbicara sendiri (private speech).
Aktivitas seperti ini mengindikasikan bahwa guru memberikan respon positif terhadap
kegiatan tersebut.
Melalui wawancara informal di luar kegiatan tersebut, diperoleh informasi
bahwa guru mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Inggris. Selain itu, kurang
dekatnya guru dengan TIK khususnya komputer dan internet juga merupakan kesulitan
yang dijumpai guru, khususnya dalam mempersiapkan diri untuk mengajar di Kelas
RSBI. Akan tetapi dengan fasilitas komputer yang terkoneksi internet, beberapa guru
mengungkapkan bahwa mereka sering belajar mandiri di luar pertemuan rutin.
Kemajuan terlihat ketika beberapa guru mulai mengenal situs pertemanan serta mahir
dalam memainkan beberapa permainan (games) yang tersedia dalam website
pembelajaran matematika, seperti
http://www.beenleigss.eq.edu.au/requested_sites/mathsbyoutcome/index.html. Hal
lain yang tidak kalah penting adalah guru mengungkapkan bahwa blog yang telah
disiapkan fasiliator sangat membantu dalam memanfaatkan internet untuk
pembelajaran matematika. Bahkan guru-guru lain yang tidak tergabung dalam
pertemuan rutin juga memanfaatkan blog tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 232
Pertemuan rutin yang dilakukan di SD Lab Unesa merupakan salah satu usaha
memfasilitasi guru dalam mempersiapkan diri mengajar di kelas RSBI, khususnya
melalui pemanfaataan internet yang telah tersedia di SD Lab Unesa. Karakteristik yang
menonjol dari workshop ini adalah mempertimbangkan peran dari guru serta
menekankan pada peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Sedangkan
pemanfaatan internet dalam workshop ini antara lain dalam membuat crossword
puzzle, menyajikan animasi tentang cara membaca jam, pembuatan LKS mandiri, serta
memfasilitasi guru belajar internet dengan membuatkan sebuah blog. Respon guru
dalam workshop ini cukup positif, terutama setelah guru dilibatkan langsung dengan
internet.
Seiring perkembangannya, sangat dimungkinkan akan terjadi peningkatan
layanan internet di lingkungan SD Lab Unesa. Melihat pentingnya pertemuan rutin
seperti ini, maka perlu diperkuat komunitas belajar antarguru, salah satunya melalui
kegiatan sharing website. Selain itu, untuk jangka panjang, pertemuan ini perlu
dilanjutkan hingga guru mampu mengimplementasikan di kelas, khususnya
pembelajaran matematika dengan memanfaatkan internet.
DAFTAR PUSTAKA
Dengate, B. (2001, June). Pedagogical integrity and the Internet. Australian
Mathematics Teacher, 57, 8-15.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru. Retrieved. from
http://www.depdiknas.go.id/produk_hukum/permen/permen_16_2007.pdf.
Engelbrecht, J., & Harding, A. (2005). Teaching undergraduate mathematics on the
Internet. Part1: Technologies and taxonomy. Educational Studies in
Mathematics, 58(2), 235 - 252.
Gibson, S., & Skaalid, B. (2004). Teacher professional development to promote
constructivist uses of the Internet: A study of one graduate-level course.
Journal of Technology and Teacher Education, 12(4), 577-592.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 233
Herrera, T. A. (2001, March). A valid role for the Internet in the mathematics
classroom. The Australian Mathematics Teacher, 51, 24-28.
Moor, J., & Zazkis, R. (2000). Learning mathematics in a virtual classroom: Reflection
on experiment. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching,
19(2), 89-113.
Moyer, P. S., & Bolyard, J. J. (2002, March). Exploring representation in the middle
grades: Investigations in geometry with virtual manipulatives. The Australian
Mathematics Teacher, 58, 19-25.
Patahuddin, S. M. (2008). Exploiting the Internet for teacher professional development
and mathematics teaching and learning: An ethnographic intervention.
Unpublished Dissertation, The University of Queensland, Brisbane.
Patahuddin, S. M., & Dole, S. (2006). Using the Internet for mathematics teaching,
learning and professional development in the primary school. In Dhindsa &
Harkirat (Eds.), The Eleventh International Conference of the Sultan Hassanal
Bolkiah Institute of Education (Vol. 1, pp. 230-240). Universiti Brunei
Darussalam: Educational Technology Centre UBD.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 234
P-13
PENGGUNAAN PERMAINAN ONLINE DALAM BELAJAR MATEMATIKA
Alfath Famela Rokhim3
Sitti Maesuri Patahuddin4
Abstrak
Dunia anak adalah dunia bermain. Pertanyaan yang muncul: Dapatkah
anak bermain sambil belajar? Perkembangan pesat teknologi internet
serta harganya yang semakin terjangkau telah membuka kesempatan
yang luas untuk belajar, termasuk belajar matematika dengan
menyenangkan. Hal ini karena, tak terhingga banyaknya website-website
permainan matematika yang tersedia melalui internet, baik untuk
membangun mental math anak, maupun mengembangkan berfikir kritis
mereka. Dalam makalah ini, disajikan beberapa contoh dan deskripsi
singkat website permainan matematika serta pembahasan hasil ujicoba
terbatas pada sekelompok siswa SD.
A. Pendahuluan
Internet mengalami perkembangan yang signifikan baik di dalam negeri dan
luar negeri (Internetworldstats, 2009; Patahuddin, 2009). Salah satu wujud dari
perkembangan ini adalah internet telah menjadi bagian dari gaya hidup
masyarakat meliputi banking, belanja online, e-learning, dan bahkan sarana
bermain anak-anak.
Ke (2007) mengadakan penulisan studi kasus permainan matematika. Penulisan
ini mengenai penerapan latihan dan praktik permainan pada 15 siswa kelas 4 dan
5 di sekolah selama 5 minggu. Salah satu fokus penelitian ini menganalisis interaksi
siswa dengan permainan komputer matematika dan permainan berbasis
3 Anggota IFED (Institut for Educational Development) 4 Dosen Universitas Negeri Surabaya dan Ketua IFED
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 235
lingkungan, serta mengetahui jawaban dari apakah dengan bermain dapat
memperbaiki hasil pembelajaran matematika siswa.
Metode penelitian yang digunakan oleh Ke adalah kombinasi kualitatif dan
kuantitatif. Peneliti tersebut memberikan pretest sebelum siswa mengikuti
permainan matematika dengan komputer, dan setelah itu siswa diberi post test.
Pretes dan post test digunakan untuk mengetahui keterampilan kognitif
matematika, keterampilan metakognitif dan sikap siswa terhadap matematika
secara kuantitatif. Sedangkan selama siswa dikenai perlakuan bermain komputer
matematika, ia menggunakan beberapa metode seperti observasi lapangan, think-
aloud, dan analisis rekaman permainan yang dilakukan siswa. Dari data-data
tersebut, Ke mengidentifikasi pola-pola yang unik yang muncul pada siswa,
kemudian menggunakan cross-analisis kasus tematik untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan tanggapan seluruh partisipan dan dengan tujuan
menemukan tema yang berulang-ulang dan mengorganisasikan dan
mengkategorisasikan data ke dalam analisis sistematis.
Hasil kuantitatif menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang kredibel hubungan
antara kemampuan kognitif matematika atau kemampuan metakognitif siswa
dengan permainan komputer matematika. Namun ada bukti yang kredibel yang
mendukung efek yang signifikan permainan komputer terhadap sikap belajar
siswa.
Hasil analisis kualitatif juga menjelaskan tentang aspek kognitif dan afektif
siswa dalam berinteraksi dengan komputer yang desainnya yang berbeda-beda,
juga interaksi dengan teman sebaya, dan lingkungan kelas offline. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa permainan yang terlalu matematis kurang menarik perhatian
siswa. Hal ini diindikasikan dengan perilaku siswa yang cenderung hanya sekedar
memenuhi tujuan untuk segera menyelesaikan permainan tanpa merasa terlibat
sepenuhnya. Temuan lain adalah permainan komputer dengan menggunakan
teman sebaya menyebabkan siswa lebih ekspresif dan lebih komunikatif
dibandingkan ketika mereka belajar tanpa menggunakan permainan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 236
Mengacu pada hasil penelitian Ke, penulis tertarik untuk mengetahui dan
menganalisis lebih jauh website pembelajaran matematika yang dapat dikerjakan
oleh siswa dalam suasana bermain. Oleh karena itu dalam makalah ini dipaparkan
beberapa contoh website yang menyiapkan permainan online yang potensial
digunakan siswa untuk belajar matematika.
B. Metode
Berangkat dari kesadaran kecenderungan anak yang suka bermain serta
pemahaman penulis tentang benyaknya website-website permainan matematika
yang tersedia melalui internet maka langkah yang dilakukan penulis adalah
mereviu sejumlah pilihan yang tersedia di website IFED (www.ifed.or.id).
Website-website permainan dicoba berulang kali oleh penulis sambil
menganalisis jalannya permainan, kecocokan dengan usia anak, dan
kesesuaiannya dengan kurikulum SD. Selanjutnya penulis melibatkan beberapa
teman sejawat untuk turut mencoba website tersebut dan memberi tanggapan,
serta mengujikan beberapa website yang terpilih terhadap satu siswwa Kelas V SD.
C. Pembahasan
Berikut ini paparan beberapa contoh website permainan pembelajaran
matematika disertai dengan gambar masing-masing permainan.
1. Bang on time
Permainan ini adalah menentukan letak jarum pendek dan panjang dari jam
analog yang terus bergerak dan pemain harus menekan tombol “Stop The
Clock”, ketika jarum pendek dan panjang jam yang bergerak menempati posisi
angka-angka sesuai dengan tulisan/perintah yang tertera di bawah jam.
Permainan yang dapat diakses melalui
http://resources.oswego.org/games/BangOnTime/clockwordres.html ini akan
menampilkan umpan balik “SPOT ON” jika pemain menempatkan jarum-jarum
tersebut secara tepat, “NO SCORE” jika pemain salah menempatkan jarum-
jarum tersebut atau “SO CLOSE” jika pemain kurang tepat menempatkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 237
jarum beberapa menit dari letak jarum jam seharusnya. Hal lain yang menarik,
laju gerak jarum jam tersebut dapat diatur, dari yang paling lambat ke paling
cepat. Jadi bilamana anak baru belajar kosakata-kosakata bahasa Inggris atau
baru mempelajari materi ini, mereka pun tetap dapat mengikuti permainan
tersebut. Game ini diilustrasikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1 : Game Bang On Time
2. Division Mine
Dengan setting meletakkan barang tambang ke dalam bak-bak sejumlah hasil
dari operasi bilangan-bilangan pada permainan ini, pemain harus menjawab
secara benar pertanyaan yang ditampilkan dengan cara mengeklik satu dari
tiga pilihan jawaban yang disediakan di bagian bawah permainan. Berikut
Gambar 2 yang menampilkan permainan Division Mine dan dapat diakses di
alamat http://bbc.co.uk/schools/ks1bitesize/numerancy/division/fs.shtml.
Gambar 2: Game Division Mine
3. Fantastic fish shop
Fantastic fish shop adalah salah satu permainan yang dapat digunakan untuk
melatihkan “mental math”, dalam hal ini perkalian. Tingkat kesulitannya pun
dapat dipilih yaitu easy (mudah), medium (sedang), dan hard (sulit). Pada
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 238
permainan ini, pemain bertindak sebagai penjual ikan. Seorang penjual
seharusnya melayani pelanggan sesuai permintaan. Jika penjual membuat
satu kali kesalahan, pelanggan mungkin dapat memaafkannya, tapi jika
membuat kesalahan dua kali, pelanggan akan kecewa meninggalkannya.
Kehilangan pelanggan bagi penjual adalah ancaman dalam suatu bisnis jual
beli. Dalam permainan ini, sebagai penjual, untuk melayani pelanggan secara
benar, kita harus mampu menjawab dua soal perkalian. Caranya adalah
mengambil ikan dari akuarium yang berlabel bilangan yang merupakan
jawaban soal perkalian yang diberikan. Jika kedua jawaban benar, maka
pelanggan berekspresi bahagia dan ada umpan balik “thanks”. Jika pemain
melakukan kesalahan dua kali maka pelanggan berekspresi kecewa dan
meninggalkan toko tersebut. Tingkat kepuasan pelanggan pun terekam
seperti diilustrasikan pada Gambar 3 di bawah akuarium. Permainan ini dapat
diakses dengan alamat www.multiplication.com/flashgames/FishShop.htm.
Gambar C: Game Fantastic Fish Shop
4. Fraction dart
Game ini bertujuan untuk memperkirakan nilai dari suatu pecahan. Tombol ↑
atau ↓ pada keyboard dapat digunakan untuk mengatur angka yang tampil
sebagai pembilang. Untuk mengatur angka yang muncul sebagai penyebut
dapat menggunakan tombol ← atau → pada keyboard. Setelah menentukan
nilai pecahan, langkah selanjutnya adalah menekan tombol Throw Dart.
Bersamaan dengan ditekannya tombol Throw Dart, sebuah dart melesat
menuju target. Jika pemain tepat dalam menentukan pecahan yang mewakili
posisi target –dalam game ini target adalah sebuah balon- maka dart dapat
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 239
mengenai balon. Jika tidak tepat menentukan nilai pecahannya, maka dart
tidak akan mengenai balon. Game ini dapat diakses melalui
www.ciese.org/math/activities/fractiondarts/fractiondartslesson1.html.
Gambar D: Game Fraction Dart
5. Fraction monkey
Game yang beralamat di www.sums.co.uk/playground/n6a/playground.htm
adalah game yang dapat digunakan untuk mengasah kemampuan pemain
mengenai pecahan. Cara memainkan game ini adalah dengan memindahkan
monyet yang memegang kartu bertuliskan pecahan dan meletakkannya pada
bagian yang sesuai. Jika pemain meletakkan monyet pada tempat yang benar,
maka tanda centang berwarna hijau akan muncul di bawah posisi monyet.
Namun jika pemain gagal menempatkan monyet pada posisi yang benar maka
monyet akan terjun bebas dan berparasut.
Gambar E: Fraction Monkey
6. Mental machine2
Untuk pemain yang menginginkan permainan yang menguji keterampilan
menghitung matematika, permainan ini menyajikan sepuluh pertanyaan dan
menyajikan skor di akhir game. Permainan berpengantar bahasa Inggris ini
dapat diakses melalui situs
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 240
www.amblesideprimary.com/ambleweb/mentalmaths/mentalmachine2.html.
Pemain tinggal mengisi jawaban pertanyaan pada textbox yang disediakan
dan menekan tombol berbentuk lingkaran dengan segitiga di tengahnya untuk
menampilkan pertanyaan selanjutnya.
Gambar F: Game Mental Machine 2
7. Power line
Jika hanya sekedar menjumlahkan beberapa bilangan saja sudah menjadi hal
yang biasa dilakukan, maka permainan berikut bisa menjadi pilihan untuk
menguji keterampilan menghitung siswa sekaligus melatihkan berfikir kritis
siswa. Hal ini karena pada permainan tersebut pemain tidak hanya diminta
mengoperasikan bilangan tetapi juga bilangan-bilangan yang disediakan
sedemikian sehingga hasil operasinya pada satu garis sama dengan jumlah
yang diminta soal seperti tercantum di bawah “Power Line Total”. Cara
memainkan permainan ini adalah dengan men-drag bilangan-bilangan yang
disediakan ke dalam lingkaran-lingkaran kosong yang tersedia. Permainan ini
dapat diakses melalui www.primarygames.co.uk/pg2/powerlines1.html.
Gambar G: Game Power Line
8. Stop the clock
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 241
Permainan ini meminta pemain memasangkan jam digital dengan jam analog
dengan cara men-drag atau memindahkan kotak berisi jam digital ke atas jam
analog yang bersesuaian seperti diilustrasikan pada Gambar H. Di bawah
gambar jam analog, terdapat pencatat waktu yang dapat merekam waktu
yang diperlukan pemain untuk menyelesaikan permainan tersebut. “TRY
AGAIN” adalah umpan balik yang diterima pemain jika pemain salah dalam
mencocokkan jam digital dengan jam analog. “STOP THE CLOCK” akan muncul
jika pemain benar mencocokkan seluruh jam yang ada. Dengan demikian,
melalui permainan ini anak bisa juga melatih kecepatan dalam menjawab
soal-soal matematika. Permainan ini dapat diakses melalui
http://resources.oswego.org/games/stoptheclock/sthec3.html.
Gambar H : Game Stop The Clock
9. Telling time to practice
Pada permainan Telling time to practice ini, pemain diminta menggerakkan
letak jarum panjang dan pendek jam sesuai dengan perintah yang tertulis di
bawah jam. Wow!, Great, Super, Not quite adalah beberapa ucapan untuk
pemain yang berhasil menempatkan jarum jam secara tepat. Nice try akan
diperoleh pemain yang ini dan Ask your parents akan diterima pemain jika
belum berhasil menjawab betul 10 soal pada permainan ini. Permainan ini
beralamat di www.worsleyschool.net/socialarts/telling/time.html.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 242
Gambar I: Game Telling Time Practice
10. Tic tac toe squares
Pemain dapat memenangkan permaian yang beralamat di
www.funbrain.com/cgi-bin/ttt.cgi ini jika berhasil menghasilkan tanda X
dalam satu baris secara horizontal, vertikal, dan diagonal. Untuk menghasilkan
tanda X, pemain harus menjawab benar soal yang disajikan. Berikut tampilan
Game Tic Tac Toe Squares.
Gambar J: Games Tic Tac Toe Squares
11. World cup
Game dengan setting permainan sepak bola ini dimainkan dengan cara
mengeklik salah satu pilihan jawaban dari pertanyaan yang ditayangkan. Pada
menu utama, pemain dapat memilih jenis soal dan atribut pemain bola. Jenis
soal yang ditawarkan meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian. Bola dapat memasuki gawang jika jawaban yang dipilih benar.
Game ini dapat diakses melalui www.mrnussbaum.com/football/index.html.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 243
Gambar K: Games Worrld Cup dengan soal penjumlahan
Tabel Deskripsi Singkat Website Permainan Matematika Online
No Website Materi Deskripsi singkat
1. Bang On Time Mengenal
waktu
Permainan yang dilakukan
dengan cara menghentikan gerak
jarum jam analog sesuai dengan
waktu yang tertulis di bawah jam.
Permainan ini dapat digunakan
untuk siswa kelas 2 dan 3 SD.
2. Division Mine Pembagian Pemain memilih bilangan yang
benar sebagai hasil dari soal yang
diajukan. Materi pada permainan
ini dapat digunakan untuk siswa
kelas 2 dan 3 SD.
3. Fantastic Fish
Shop
Perkalian Pemain bertindak sebagai penjual
ikan dan harus dapat melayani
permintaan pelangga.
4. Fraction Dart Pecahan Menentukan nilai pecahan yang
sesuai dengan posisi target dalam
permainan. Permainan ini dapat
digunakan oleh siswa Kelas 3 SD.
5. Fraction
Monkey
Pecahan Monyet yang membawa kartu
bernilai sebuah pecahan pada
tempat yang sesuai dengan nilai
tsb. Permainan ini dapat
digunakan oleh siswa Kelas 3 SD.
6. Mental
Machine 2
Perkalian,
penjumlahan,
Permainan yang menampilkan 10
pertanyaan matematika dengan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 244
D. Simpulan dan saran:
Berdasarkan hasil review dan analisis penulis terhadap website-website
permainan matematika yang disajikan dalam makalah ini, dapat disimpulkan
beberapa karakteristik website permainan matematika.
Pertama, website dengan tipe website yang dapat dimanfaatkan untuk
melatihkan mental math, misalnya sekedar berlatih untuk memantapkan
keterampilan siswa dalam menghitung. Sebagai contoh Mental Machine, World
Cup, Fraction Monkey, dan Division Mine. Hal ini tentu berbeda dari apa yang
penjumlahan,
Pembagian
skor pencapaian di akhir
permainan. Siswa kelas 3 dan 4
SD dapat menggunakan
permainan ini.
7. Power Line Penjumlahan Pemain diminta untuk
meletakkan bilangan-bilangan
yang disediakan dalam suatu
pola. Siswa kelas 3 dan 4 dapat
menggunakan permainan ini.
8. Stop The Clock Waktu Meletakkan jam-jam digital di
atas jam analog yang sesuai.
Permainan yang dapat digunakan
Kelas 2 dan 3 SD.
9. Telling Time to
Practice
Waktu Mengatur letak jarum pendek
dan panjang jam analog sesuai
dengan permintaan soal.
Permainan yang dapat digunakan
Kelas 2 dan 3 SD.
10. Tic Tac Toe
Squares
Penjumlahan Memunculkan tanda X segaris
dalam posisi vertikal, horizontal,
dan diagonal. Untuk
memunculkan tanda, pemain
harus benar dalam menjawab
pertanyaan. Siswa kelas 2, 3 dan
4 SD dapat menggunakan
permainan ini.
11. World Cup
Math
Penjumlahan,
pengurangan,
perkalian, dan
pembagian
Pemain dapat memasukkan bola
ke dalam gawang jika berhasil
menjawab benar. Siswa kelas 2, 3
dan 4 SD dapat menggunakan
permainan ini.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 245
disajikan di buku. Pengguna internet dapat memperoleh feedback dengan segera
tanpa menunggu feedback dari guru. Dengan demikian website-website tsb dapat
dimanfaatkan siswa secara mandiri misal dalam mempersiapkan diri mereka
mengikuti tes.
Kedua, website permainan yang tidak hanya melatihkan keterampilan
berhitung, tetapi juga menuntut siswa berpikir kritis atau menggunakan
strategi/taktik dalam penyelesaiannya. Contoh website yang memenuhi karakter
tersebut adalah Fantastic Fish Shop, Fraction Dart, Power Line, dan Tic Tac Toe
Squares.
Ketiga, website permainan yang melibatkan kecepatan untuk menyelesaikan
permainan tetapi tetap menawarkan level kesulitan yang berbeda-beda. Beberapa
contoh yang termasuk dalam website ini adalah Telling Time To Practice, dan Stop
The Clock.
Menyadari potensi internet yang sangat besar dalam membantu siswa belajar
matematika dengan cara menyenangkan melalui permainan maka penulisan lebih
lanjut yang mengujicobakan website-website tersebut diperlukan.
Daftar pustaka
Bang On Time. (http://resources.oswego.org/games/BangOnTime/clockwordres.html,
diakses 24 Nopember 2009)
Division Mine. (www.bbc.co.uk/schools/ks1bitesize/numeracy/division/fs.shtml,
diakses 24 Nopember 2009)
Fish Shop. (www.multiplication.com/flashgames/FishShop.htm, diakses 24 Nopember
2009)
Fraction Dart. (www.ciese.org/math/activities/fractiondarts/fractiondartslesson1.html,
diakses 24 Nopember 2009)
Fraction Monkey. (www.sums.co.uk/playground/n6a/playground.htm, diakses 24
Nopember 2009)
IFED. 2009. (www.ifed.or.id, diakses 24 Nopember 2009)
Ke, Fengfeng. 2007. A Case Study of Computer Gaming for Math: Engaged Learning
from Gameplay? Computer and Education (p.1609-1620)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 246
MentalMachine.(www.amblesideprimary.com/ambleweb/mentalmaths/mentalmachin
e2.html, diakses 24 Nopember 2009)
Power Line. (www.primarygames.co.uk/pg2/powerlines/powerlines1.html, diakses 24
Nopember 2009)
Stop The Clock. (http://resources.oswego.org/games/stoptheclock/sthec3.html,
diakses 24 Nopember 2009)
Telling Time. (www.worsleyschool.net/socialarts/telling/time.html, diakses 24
Nopember 2009)
Tic Tac Toe Squares. (www.funbrain.com/cgi-bin/ttt.cgi, diakses 24 Nopember 2009)
World Cup Math. (www.mrnussbaum.com/football/index.html, diakses 24 Nopember
2009)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 247
P-14
SPEKTRUM HASIL BELAJAR ANALISIS REAL MAHASISWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA IKIP PGRI MADIUN
TAHUN AKADEMIK 2008/2009
Oleh: Darmadi
IKIP PGRI Madiun
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan
matematika IKIP PGRI Madiun sehingga program pengembangan
model pembelajaran analisis real yang akan dilakukan dapat lebih
tepat, efektif, praktis dan efisien. Analisis dilakukan pada hasil belajar
analisis real 96 mahasiswa program studi pendidikan matematika IKIP
PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa spektrum hasil belajar mahasiswa program
studi pendidikan matematika di IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik
2008/2009 adalah sebagai berikut: 1) paham konsep 36,46%, 2)
prosedural 6,25%, 3) multiprosedural 17,71%. Berdasarkan hasil
penelitian ini maka dalam pengembangan model pembelajaran
analisis real termasuk penyusunan perangkat dan sebagainya
mestinya dimulai dari pemahaman konsep.
Katakunci: spektrum hasil belajar analisis real
A. Pendahuluan
Permasalahan yang dihadapi peneliti sebagai dosen program studi pendidikan
matematika di IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009 muncul pada
pembelajaran analisis real. Analisis real merupakan suatu mata kuliah wajib dengan
tujuan memperkenalkan dan memperdalam pemahaman mahasiswa pada matematika
dengan pembuktian deduksi formal. Pemahaman definisi formal sampai pembuktian
dan sifat-sifatnya merupakan tantangan tersediri bagi mahasiswa. Untuk beberapa
mahasiswa tantangan ini menimbulkan kesulitan sehingga membuat frustrasi.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 248
Permasalahan ini juga menjadi suatu tantangan bagi dosen pengampu untuk
menanganinya. Salah satu alternatif penyelesaian yang diambil adalah dengan
pengembangan metode pembelajaran analisis real. Telah banyak peneliti yang
mengembangkan model pembelajaran dengan perangkatnya. Namun, untuk model
pengembangan pembelajaran analisis real bagi mahasiswa pendidkan matematika
selama ini belum pernah dilakukan atau mungkin bagi peneliti belum ditemukan.
Pengembangan model pembelajaran analisis real yang akan dikembangkan
pada penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran berbasis teori David
Tall. Produk pengembangan model pembelajaran yang diharapkan adalah model
pembelajaran analisis real sesuai teori David Tall. Model pembelajaran harus memuat
landasan teoritis, komponen, dan pelaksanaan pembelajaran sesuai model. Perangkat
pembelajaran terdiri dari Buku Siswa LKS, LJLKS, RP, Paket Kuis, Paket Tes Penguasaana
Bahan Pelajaran, dan Paket Tes Tingkat kemampuan analisis mahasiswa dalam
matakuliah analisis real. Penelitian ini merupakan bagian dari investigasi awal. Untuk
pengembangan model pembelajaran analisis real yang perlu dilakukan adalah 1)
melakukan investigasi awal, 2) mendesain model pembelajaran yang dikembangkan, 3)
merealisasi dan mengkunstruksi model pembelajaran baru, dan 4) melakukan tes,
evaluasi, dan merevisi model pembelajaran yang telah dikembangkan.
Prinsip pembelajaran analisis real yang diidekan David Tall dimulai dari dunia
pertama (emboded word) atau dunia kedua (procept word) baru dapat mencapai dunia
ketiga (formal word). Analisis real termasuk dunia ketiga (formal word). Dunia pertama
merupakan pembelajaran yang dimulai dari gambar-gambar sehingga diperoleh
konsep, definisi, dan sifat-sifatnya. Dunia ini membangun konsep-konsep imajeri yang
dibutuhkan dalam pembelajaran. Dunia kedua merupakan pembelajaran yang dimulai
dari proses perhitungan-perhitungan sehingga diperoleh konsep, definisi, dan sifat-
sifatnya. Dunia ini membangun cara-cara pemikiran, logika dan penyajian tertulis
secara formal. Dunia ketiga merupakan pembelajaran yang dimulai dari definisi-definisi
formal yang diturunkan dengan logika deduksi sehingga diperoleh teorema beserta
lemma-lemmanya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 249
Karakteristik analisis real dalam penyajiannya lebih cenderung melalui dunia
kedua karena bersifat formal. Pada dunia kedua belajar dimulai dari tahap prosedural,
proses sampai diperoleh konsep. Tahap prosedural merupakan tahap awal yang bisa
dipilah kembali menjadi tahap preprosedural, tahap prosedural, dan tahap
multiprosedural. Tahap-tahap berpikir ini disebut spektrum prosedural.
Berdasarkan teori David Tall, spektrum hasil belajar meliputi: 1) preprosedural
yaitu tahapan dimana mahasiswa tidak mampu menyelesaikan atau menyelesaikan
tetapi hanya bagian perbagian saja namun tetap terhitung belum mampu, 2)
prosedural yaitu tahapan dimana mahasiswa mampu menyelesaikan namun masih
selangkah demi selangkah, 3) multiprosedural yaitu tahapan dimana mahasiswa
mampu menyelesaikan secara efisien, 4) proses yaitu tahapan dimana mahasiswa
mampu menyelesaikan dengan alternatif-alternatif konseptual, dan 5) prosept yang
ditunjukkan dengan kemampuan berpikir menggunakan simbol matematika. Teori
tersebut dipandang berdasarkan pemrosesan informasi individu dari awal (elementary)
sampai tingkat yang tinggi (advanced). Namun dengan pertimbangan dari karakteristik
serta alokasi waktu matakuliah analisis real maka spektrum hasil belajar pada
penelitian ini sedikit dimodifikasi menjadi 1) pemahaman konsep, 2) prosedural, dan 3)
multiprosedural.
Penelitian ini merupakan investigasi awal dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana spektrum hasil belajar mahasiswa program studi pendidikan matematika
IKIP PGRI Madiun sehingga program pengembangan model pembelajaran analisis real
yang akan dilakukan dapat lebih tepat, efektif, praktis dan efisien.
B. Metode Penelitian
Analisis dilakukan pada hasil belajar analisis real mahasiswa program studi
pendidikan matematika IKIP PGRI Madiun tahun akademik 2008/2009. Jumlah
mahasiswa yang menempuh matakuliah analisis real pada semester VI tahun akademik
2008/2009 berjumlah 179 mahasiswa. Mahasiswa semester VI dikelompokkan menjadi
7 kelas yaitu kelas VIA, VIB, VIC, VID, dan VIE. Dari sampling, VIA, VIB, dan VID terpilih
sebagai sample penelitian. Jumlah mahasiswa VIA adalah 21 mahasiswa, jumlah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 250
mahasiswa VIB adalah 43 mahasiswa, jumlah mahasiswa kelas VID adalah 32. Dengan
demikian jumlah sampel pada penelitian ini adalah 96 mahasiswa.
Spektrum hasil belajar pada penelitian ini meliputi: 1) paham konsep, 2)
prosedural, dan 3) multiprosedural. Jika mahasiswa mampu memahami konsep dari
suatu definisi dikatakan paham konsep. Jika mahasiswa mampu menggunakan konsep
definisi dalam pembuktian sederhana, maka dikatakan telah masuk prosedural. Jika
mahasiswa mampu menghubungan dua (atau lebih) konsep untuk mendapatkan
konsep baru (termasuk teorema) dikatakan masuk kelompok multiprosedural. Urutan
spektrum disesuaikan dengan urutan perkembangan kemampuan mahasiswa dalam
belajar analisis real.
Penskoran msing-masing butir disajikan dalam bentuk angka 0, ½, dan 1. Nilai 0
artinya mahasiswa belum mampu, belum bisa memulai samasekali atau belum
menunjukkan kemampuannya. Nilai ½ artinya mahasiswa sudah menunjukkan
fenomena mampu namun kurang teliti seperti kurang memperhatikan sketsa atau
perhitungan sehingga masih terjadi kesalahan. Nilai 1 artinya mahasiswa telah mampu
atau bisa. Total nilai disajikan dalam bentuk prosentase untuk masing-masing tahapan.
C. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa spektrum hasil belajar mahasiswa
program studi pendidikan matematika di IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik
2008/2009 adalah sebagai berikut: 1) paham konsep 36,46%, 2) prosedural 6,25%, 3)
multiprosedural 17,71%.
Data hasil penelitian menunjukkan demikian mungkin dikarenakan dosen
pengampu terlalu menekankan pemahaman konsep definisi dan sedikit penerapan
untuk pembuktian maupun menggabungkan konsep baru. Hal ini dilakukan dosen
karena berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan didukung dari hasil tanya jawab
langsung pada mahasiswa yang mengharuskan penjelasan lebih pada pemahaman
konsep. Mungkin ini lebih bermakna daripada dipaksakan sementara mahasiswa tidak
mampu memahami.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 251
Berdasarkan hasil penelitian di atas tampak bahwa 63,54% mahasiswa belum
mampu memahami konsep definisi formal, 93,75% mahasiswa belum mampu sampai
tahap prosedural yaitu masih kesulitan dalam menggunakan definisi formal untuk
pembuktian, dan 82,29% mahasiswa belum mampu mencapai tahap multiprosedural
yaitu masih kesulitan menggabungkan dua konsep atau lebih untuk mendapatkan
konsep atau sifat baru. Oleh karena itu dalam pengembangan model pembelajaran
analisis real termasuk penyusunan perangkat dan sebagainya mestinya dimulai dari
pemahaman konsep.
DAFTAR PUSTAKA
David Tall. 2006. A Theory of Mathematical Growth through Embodiment, Symbolism
and Proof3. Mathematics Education Research Centre University of Warwick,
UK
Eddie Gray, Marcia Pinto, Demetra Pitta, David Tall. 1999. Knowledge Construction and
Diverging Thinking in Elementary & Advanced Mathematics.
Darmadi. 2008. Miskonsepsi pada Turunan dan Integral. Studi Kasus di Semester IVE
Program Studi Pendidikan Matematika IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik
2007/2008. Laporan Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP
MIPA IKIP PGRI Madiun.
______. 2009. Spektrum Hasil Belajar Kalkulus Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika IKIP PGRI Madiun Tahun Akademik 2008/2009. Laporan
Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI Madiun.
______. 2009. Proses Pembentukan Definisi Pada Awal Pembelajaran Analisis Real.
Laporan Penelitian. Program Studi Pendidikan Matematika FP MIPA IKIP PGRI
Madiun.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 252
P-15
PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DITINJAU DARI GAYA BELAJAR SISWA
Endang Rahayu
Jurusan Pendidikan Matematika IKIP PGRI Madiun
Abstrak: Pembelajaran konstruktivisme membantu siswa membangun
konsep/prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi (proses pemerolehan informasi) dan proses transformasi (proses
pengolahan informasi). Gaya belajar siswa adalah kombinasi dari cara
bagaimana siswa menyerap informasi (modalitas), modalitas dibedakan
menjadi modalitas visual, auditorial dan kinestetik. Penelitian dengan Cluster
Random Sampling. pada siswa kelas X SMK Bidang Keahlian Teknologi,
Pertanian dan Kesehatan. Analisis data menunjukkan ada pengaruh
pembelajaran konstruktivisme dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar
matematika siswa tetapi tidak ada interaksi antara pembelajaran
konstruktivisme dan gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika
siswa.
Kata-kata Kunci: Pembelajaran Konstruktivisme, Gaya Belajar Siswa
Perubahan paradigma dalam pendidikan yaitu dari paradigma mengajar menjadi
paradigma belajar mengisyaratkan adanya kemauan untuk berubah menjadi yang
lebih baik dari kalangan praktisi pendidikan maupun akademisi yang
dimplementasikan dalam perubahan proses dalam pembelajaran di sekolah dari
yang sebelumnya hanya berorientasi/berpusat pada guru dalam mengajar menjadi
berorientasi/berpusat kepada siswa untuk belajar.
Cronbach berpendapat (dalam Adrian, 2004): Learning is shown by change in
behaviour as result of experience; belajar ditunjukkan dari perubahan pada tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman atau belajar dapat dilakukan secara baik dengan
jalan mengalami.
Hilgard dan Bower (dalam Purwanto, 1984) “Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 253
perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan
respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang
(misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya)”.
Dari definisi-definisi di atas ada beberapa hal yang mencirikan pengertian
belajar yaitu: 1) belajar merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah kepada
perubahan yang lebih baik atau sebaliknya, 2) belajar terjadi melalui pengalaman
atau latihan, 3) dalam belajar perubahan harus dalam jangka waktu yang relatif
panjang atau merupakan akhir dari suatu periode waktu tertentu, 4) perubahan
tingkah laku tersebut terjadi pada aspek fisik mapun psikis baik berupa
keterampilan, kecakapan, kebiasaan maupun sikap.
Belajar dalam arti yang terbatas –siswa di sekolah- dapat berarti
penguasaan/penambahan materi pelajaran dalam berbagai kompetensi yaitu
kompetensi kognitif, afektif maupun psikomotorik yang terjadi melalui proses
interaksi aktif dari individu yang sedang belajar dengan lingkungan di sekitarnya.
Pendekatan konstruktivisme yang menganggap pembentukan pengetahuan
sebagai suatu proses konstruksi yang terus menerus, terus berkembang dan terus
berubah memaknai belajar sebagai proses aktif siswa mengonstruksi sesuatu.
Dalam bidang matematika, pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah
pembelajaran yang membantu siswa untuk membangun konsep-konsep
matematika dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri
melalui proses internalisasi yaitu proses pemerolehan informasi dan proses
transformasi yaitu proses pengolahan informasi dalam diri siswa
Menurut paham konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi
(bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak dapat
ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skemata
sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan
proses kognitif dimana terjadi asimilasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skemata yang baru. Seorang yang belajar itu berarti
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 254
membentuk pengertian atau pengetahun secara aktif dan terus-menerus (Suparno,
1998).
Yang terpenting dalam proses pembelajaran konstruktivisme ini adalah siswa
yang harus aktif mengembangkan pengetahuan. Penekanan belajar siswa secara
aktif perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka
untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa (Suparno, 1998)
Salah satu teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental
Piaget yang disebut juga teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkontruksi ilmu pengetahuan (Ruseffendi, 1988).
Tiga dalil pokok Piaget mengemukan 1) perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama,
maksudnya setiap manusia mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan
yang sama, 2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi
mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan 3)
gerak melalui tahap-tahap yang dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangkan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi) (Ruseffendi, 1998).
Hanbury (dalam Suparno 1998) mengemukan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu 1) siswa mengkonstruksi
pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, 2)
matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, 3) strategi siswa lebih
bernilai, dan 4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling tukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Pentahapan yang lengkap dalam implementasi pembelajaran konstruktivisme
dalam pembelajaran matematika adalah:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 255
1) Tahap pertama, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya
tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing dengan
pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai
sehari-hari oleh siswa dan mengkaitkannya dengan konsep yang akan dibahas.
Selanjutnya siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan
mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut.
2) Tahap kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan
konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan mengintepretasian data
dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan tahap
ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam
lingkungannya.
3) Tahap ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada
hasil observasi siswa, ditambah dengan penguatan guru. Selanjutnya siswa
membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
4) Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik
melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah-masalah yang berkaitan
dengan isu-isu dalam lingkungan siswa tersebut.
METODOLOGI
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
1. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi untuk memperoleh data NEM
SMP Bidang studi Matematika yang digunakan untuk uji keseimbangan, tes
prestasi berupa tes obyektif yang dilakukan setelah selesai pembelajaran dan
instrumen tes telah diujicobakan untuk standart kompetensi Menerapkan
Konsep Dasar Logaritma. dan angket yang dilakukan sebelum materi Logarima
diberikan untuk mempeoleh data tentang gaya belajar siswa dan sebelumnya
instrument angket juga telah diujicobakan pada kelompok siswa yang
mempunyai karakteristik yang sama dengan subyek penelitian.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 256
2. Melakukan proses pembelajaran di kelas eksperimen dan mengamati proses
pembelajaran di kelas kontrol
3. Analisis data dengan menggunakan Anava dua jalan.
HASIL
Data prestasi belajar siswa yang diperoleh dari tes yang telah diujicobakan pada
subyek ujicoba yang mempunyai karakteristik yang sama dengan subyek penelitian
untuk mengetahui aspek validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda dari
soal tes untuk bidang studi matematika dengan Standart Kompetensi Menerapkan
Konsep Logaritma sebanyak 25 butir soal dan waktu mengerjakan 75 menit untuk kelas
eksperimen maupun kelas kontrol disajikan dalam tabel berikut:
Tabel : Prestasi Belajar Matematika Siswa
Prestasi Belajar Matematika Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
n 70 70
∑ Xi 1060 1282
Mean ( X ) 15.1429 18.3143
∑ X2
16586 24169
Standart Deviasi (S) 2.7834 2.2037
Variansi (S2) 7.7474 4.8563
Nilai Minimal 9 12
Nilai Maksimal 19 21
Nilai maksimal dan nilai minimal dalam tabel di atas merupakan nilai hasil tes
prestasi belajar matematika yang diperoleh siswa untuk masing-masing kelas
eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan nilai maksimal dari soal tes adalah 25
karena tiap soal mempunyai bobot nilai yang sama yaitu 1.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 257
Sedangkan data gaya belajar siswa yang diperoleh dari angket tertutup
tentang gaya belajar siswa untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol disajikan
dalam tabel berikut:
Tabel : Gaya Belajar Siswa
Pembelajaran
Gaya Belajar
Konvensional Konstruktivisve Total Prosentase
Visual 37 29 66 47%
Auditorial 23 23 46 33%
Kinestetik 10 18 28 20%
Total 70 70 140 100%
Sebelum dilakukan uji hipotesis yaitu Anava Dua Jalan dengan Sel Tidak Sama
terlebih dahulu dilakukan dilakukan uji pendahuluan yaitu uji keseimbangan, dan
uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji homogenitas untuk mengetahui apakah
sampel-sampel penelitian memenuhi uji pendahuluan dan uji prasyarat untuk
melakukan uji Anava.
1. Uji Keseimbangan
Uji keseimbangan digunakan untuk melihat apakah kelas kontrol dan kelas
eksperimen merupakan kelas yang seimbang atau mempunyai kemampuan
awal sama. Data yang akan diuji berupa data Nilai Ebtanas Murni SMP untuk
bidang studi Matematika. Dari langkah-langkah uji t diperoleh thitung = - 1.73995
dan ttabel = ± 1.96. Dengan daerah kritik DK = {t t < -t (α/2 ; v) atau t > t (α/2 ; v)}
maka thit ∉ DK maka H0 diterima dan kesimpulannya adalah kedua sampel kelas
penelitian mempunyai kemampuan awal yang sama atau seimbang.
2. Uji Prasyarat
a. Uji Normalitas
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 258
2) Uji Normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian
berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dan karena
sampel penelitian mengandung variabel bebas yang terdiri dari variabel
baris dengan 2 kategori yaitu pendekatan pembelajaran konstruktivisme
dan pendekatan pembelajaran konvensional serta variabel kolom yang
terdiri dari 3 kategori yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial
dan gaya belajar kinestetik maka dilakukan 5 kali uji normalitas yaitu
dengan menggunakan Uji Liliefors dan hasil dari Uji Normalitas disajikan
dalam tabel berikut:
Tabel : Hasil Uji Normalitas
Populasi N Lmak Ltabel Keputusan
Konvensional 70 0.0853 0.1059 H0 diterima
Konstruktivisme 70 0.0934 0.1059 H0 diterima
Gaya Belajar Visual 66 0.0976 0.1091 H0 diterima
Gaya Belajar Auditorial 48 0.097 0.1306 H0 diterima
Gaya Belajar Kinestetik 28 0.1112 0.1670 H0 diterima
Dari tabel di atas diketahui bahwa sampel penelitian berasal dari populasi
yang berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel penelitian
mempunyai variansi sama. Karena sampel terdiri dari 2 kategori yaitu
pendekatan pembelajaran dan gaya belajar siswa maka uji homogenitas
dilakukan dua kali yaitu Uji homogenitas untuk Pendekatan Pembelajaran
dan Uji Homogenitas untuk Gaya Belajar Siswa. Hasil uji homogenitas
dengan Uji Bartlet diperoleh:
Tabel : Hasil Uji Homogenitas
Uji Homogenitas χ2
hit χ2tabel = χ(α; k-1) Keputusan
Pembelajaran 3.5426 3.841 H0 diterima
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 259
Gaya Belajar 1.727978 5.991 H0 diterima
Dari tabel di atas dapat disimpulkan kedua sampel penelitian mempunyai
variansi yang sama/homogen untuk variabel pembelajaran dan untuk
variabel gaya belajar siswa.
3. Uji Hipotesis
Setelah uji prasyarat Anava telah terpenuhi dilakukan Uji Anava Dua Jalan
dengan Sel Tidak Sama. Hasilnya disajikan dalam tabel berikut:
Tabel : Rangkuman Hasil Anava Dua Jalan
Sumber Variansi JK DK RK Fobs Fα Keputusan
Pembelajan(A) 397.9566 1 397.9566 58.7615 3.84 H0 ditolak
Gaya belajar(B) 116.501 2 58.2505 8.6012 3.00 H0 ditolak
Interaksi(AB) 16.9312 2 8.46558 1.2500 3.00 H0 diterima
Galat 907.5024 134 6.7724
Total 1438.891 139
Dari tabel di atas dapat disimpulkan
a. Karena Fa = 58.7615 > Ftabel = 3.84 maka H0A ditolak atau ada perbedaan efek
antar baris terhadap variabel terikatnya atau dengan kata lain pendekatan
pembelajaran berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa.
b. Karena Fb = 8.6012 > Ftabel = 3.00 maka H0B ditolak atau ada perbedaan efek
antar kolom terhadap variabel terikatnya atau dengan kata lain terdapat
pengaruh gaya belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa.
c. Karena Fab = 1.25 < Ftabel = 3.00 maka H0AB diterima atau tidak ada interaksi
antara efek baris dan efek kolom terhadap variabel terikatnya dengan kata
lain perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang
diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan
pembelajaran konvensioanl berlaku sama (konsisten) pada masing-masing
gaya belajar siswa dan perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan gaya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 260
belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik berlaku
sama (konsisten) untuk tiap-tiap pendekatan pembelajaran.
4. Uji Komparasi Ganda
Dari hasil kesimpulan uji hipotesis pada butir a dan butir b di atas maka
perlu diadakan uji lanjut pasca Anava atau Uji Komparasi Ganda. Untuk itu data
hasil Anava disajikan dalam bentuk tabel berikut:
Tabel : Rataan Masing-Masing Sel
Pembelajaran
Gaya Belajar Rataan
Marginal Visual Auditorial Kinestetik
Konstruktivisme 18.48276 18.913043 17.27778 18.2245266
Konvensional 15.75676 15.217391 12.7 14.5580494
Rataan Marginal 17.11976 17.065217 14.98889
Karena efek baris yaitu pendekatan pembelajaran hanya terdiri dari 2
kategori maka yaitu pendekatan pembelajaran konvensional dan pendekatan
pembelajaran konstruktivisme maka tidak perlu dilakukan komparasi ganda
antar baris. Jadi efek baris dapat langsung dilihat pada rataan marginalnya
untuk pendekatan pembelajaran konvensional diperoleh nilai rataan marginal
adalah 14.5580 dan untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme diperoleh
nilai rataan marginalnya adalah 18.2245 sehingga dapat diambil kesimpulan
bahwa prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pendekatan
pembelajaran konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang diberikan
pendekatan pembelajaran konvensional.
Untuk efek kolom yaitu gaya belajar siswa karena mempunyai 3 kategori
yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik
maka akan diadakan uji komparasi ganda antar kolom dengan Metode Scheffe
dan hasilnya disajikan dalam tabel berikut:
Tabel : Metode Scheffe untuk Anava Dua Jalan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 261
Komparasi 2
.. )( ji XX −
+
ji nn ..
11
RKG F
Daerah
Kritik
μ1 vs μ2 0.002975 0.0368906 6.772406 0.01190627 6
μ1 vs μ3 4.540602 0.0508658 6.772406 13.1808839 6
μ2 vs μ3 4.31114 0.0574534 6.772406 11.0798346 6
Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
a. Untuk Komparasi antara μ1 vs μ2 H0 diterima atau tidak ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya
belajar visual dan gaya belajar auditorial.
b. Untuk Komparasi antara μ1 vs μ3 H0 ditolak atau ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya
belajar visual dan gaya belajar kinestetik.
c. Untuk Komparasi antara μ2 vs μ3 H0 ditolak atau ada perbedaan yang
signifikan antara prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya
belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data diketahui 1) prestasi belajar matematika siswa
dilihat dari pendekatan pembelajaran yang diberikan, 2) prestasi belajar matematika
siswa menurut gaya belajar siswa sedangkan untuk 3) perbedaan prestasi belajar
matematika siswa antara siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran
konstruktivisme dengan pendekatan pembelajaran konvensional selalu sama
(konsisten) untuk tiap-tiap gaya belajar siswa dan perbedaan prestasi belajar antara
siswa dengan gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik
selalu sama (konsisten) untuk tiap-tiap pendekatan pembelajaran akan dibahas lebih
lanjut berikut ini:
1. Prestasi belajar matematika siswa dilihat dari pendekatan pembelajaran.
Dengan jumlah siswa yang sama untuk masing-masing kelas kontrol dan
eksperimen yaitu 70 siswa, prestasi belajar matematika siswa dengan pendekatan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 262
pembelajaran konvensional mempunyai nilai rata-rata 15.1429 dengan nilai
minimal 9, nilai maksimal 19 dan ada 31 siswa yang memperoleh nilai di bawah
rata-rata sedangkan 39 siswa memperoleh nilai di atas rata-rata. Sedangkan untuk
pendekatan pembelajaran konstruktivisme diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar
matematika siswa 18.3143 dengan nilai minimal 12, nilai maksimal 21, terdapat 32
siswa memperolah nilai di bawah nilai rata-rata dan 38 siswa memperoleh nilai di
atas nilai rata-rata.
Jika dilihat dari jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas rata-rata untuk
masing-masing jenis pendekatan pembelajaran yaitu 38 siswa untuk pendekatan
pembelajaran konstruktivisme dan 39 siswa untuk pendekatan pembelajaran
konvensional maka selisih jumlahnya tidak banyak, tetapi jika dilihat dari nilai
variansinya yaitu 7.7474 untuk kelas kontrol dan 4.8563 untuk kelas eksperimen
maka terlihat kelas eksperimen mempunyai sebaran data yang lebih baik karena
nilai yang diperoleh siswa banyak berada disekitar nilai rata-rata dan range (selisih
antara nilai maksimal – nilai minimal) lebih kecil.
Selain itu jika dilihat dari rataan marginal dari pendekatan pembelajaran
konstruktivisme adalah 18.2245 dan rataan marginal untuk pendekatan
pembelajaran konvesional adalah 14.5580 maka dapat dikatakan prestasi belajar
matematika siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme lebih
baik daripada siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran konvensional.
Siswa dengan pendekatan pembelajaran konstruktivisme mempunyai nilai
yang lebih baik dibandingkan siswa dengan pendekatan pembelajaran
konvensional karena pada proses pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran
konstruktivisme guru lebih berorientasi kepada siswa, dengan membuat suasana
pembelajaran yang mendukung siswa untuk belajar secara aktif baik secara
individu maupun kerja kelompok. Situasi pembelajaran yang menyenangkan dan
tidak monoton akan membuat siswa aktif dan nyaman belajar. Belajar menjadi hal
yang tidak menakutkan bagi siswa karena jika siswa salah atau mengalami kesulitan
dalam belajar matematika tidak perlu malu untuk bertanya baik kepada temannya
sendiri maupun guru.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 263
Siswa didorong untuk bekerja secara berkelompok sehingga suasana
persaingan tidak mencolok dan siswa didorong untuk mengungkapkan
pengetahuan atau konsep awal yang telah diperolehnya baik secara individu
maupun interaksi dengan kelompoknya sehingga menambah rasa percaya diri
siswa dalam mengerjakan dan memahami materi yang diberikan.
Dengan menciptakan situasi yang memungkinkan siswa untuk belajar mandiri
dan menyenangkan akan membuat siswa lebih tenang dalam mengerjakan soal tes
sehingga siswa lebih percaya diri dan tidak berusaha untuk mencontek temannya
atau membuka buku catatan atau buku pelajaran.
2. Prestasi belajar matematika siswa dilihat dari jenis gaya belajar
Jika dilihat dari jenis gaya belajar siswa prestasi belajar matematika siswa
untuk siswa dengan gaya belajar visual diperoleh nilai rataan marginalnya adalah
17.1976, untuk siswa dengan gaya belajar auditorial nilai rataan marginalnya
adalah 17.06522 dan untuk siswa dengan gaya belajar kinestetik nilai rata-rata
adalah 14.98889.
Jika dilihat hanya dari nilai rataan marginal siswa yang memiliki gaya belajar
visual prestasi belajar matematikanya paling baik dibandingkan siswa yang
mempunyai gaya belajar auditorial dan kinestetik. Tapi dari hasil komparasi ganda
menunjukkan bahwa siswa dengan gaya belajar visual dan gaya belajar auditorial
tidak ada perbedaaan yang signifikan prestasi belajar matematikanya. Hal ini juga
terlihat dari selisih rataan marginalnya yang kecil antara siswa dengan gaya belajar
visual dan gaya belajar auditorial. Tapi jika dibandingkan dengan siswa dengan gaya
belajar kinestetik, siswa dengan gaya belajar visual mempunyai nilai rata-rata yang
lebih baik dan hasil komparasi gandanya menyatakan ada perbedaan yang
signifikan antara keduanya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar matematika siswa dengan gaya belajar visual lebih baik dari siswa dengan
gaya belajar kinestetik dan tidak lebih baik dari siswa dengan gaya belajar
auditorial.
Siswa visual mempunyai catatan yang rapi, lebih mudah untuk mengingat apa
yang dibaca sehingga memudahkan siswa untuk mengulang pelajaran dengan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 264
membuat catatan/coretan dibuku sehingga akan lebih memahami materi pelajaran
atau mampu membangun konsep dengan baik.
Jika dilihat dari nilai rata-rata, siswa auditoral lebih baik dari pada siswa siswa
dengan gaya belajar kinestetik dan dari uji komparasi ganda terlihat jika perbedaan
prestasi belajar matematika antara siswa dengan gaya belajar kinestetik signifkan.
Dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya belajar auditorial prestasi belajar
matematikanya lebih baik dari pada siswa dengan gaya belajar kinestetik tetapi
sama baiknya dengan siswa dengan gaya belajar visual.
Siswa dengan gaya belajar auditorial lebih mudah memahami materi
pelajaran jika dilakukan sambil diskusi dengan teman dalam kelompok maupun
diluar kelompoknya, mendengarkan penjelasan yang diberikan guru dengan kritis
Hal ini memudahkan mereka untuk memahami suatu konsep dari materi pelajaran
yang disampaikan oleh guru maupun teman diskusinya.
Siswa dengan gaya belajar kinestetik mempunyai perbedaan yang signifikan
prestasi belajar matematika dibandingkan siswa dengan gaya belajar visual dan
kinestetik. Dapat dikatakan prestasi belajar matematika siswa dengan gaya belajar
visual dan gaya belajar auditorial lebih baik daripada siswa dengan gaya belajar
kinestetik.
Siswa kinestetik aktif dalam kelompoknya dan mampu atau mudah
mengingat jika materi pelajaran dapat diperagakan dengan bantuan alat/media
pembelajaran. Mereka mempunyai keterampilan untuk menggunakan alat/media
pembelajaran.
Karena tidak semua pelajaran dapat dilakukan dengan peragaan atau dengan
alat peraga/media pembelajaran (baik disebabkan oleh keterbatasan sarana dan
prasarana di sekolah maupun suasana pembelajaran di kelas yang tidak
mendukung) membuat siswa dengan gaya belajar kinestetik tidak mampu
berkembang sebaik siswa dengan gaya belajar visual maupun auditorial.
Jadi gaya belajar visual dan auditorial memberikan prestasi belajar
matematika siswa lebih baik daripada gaya belajar kinestetik.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 265
3. Prestasi belajar matematika siswa jika dilihat dari pendekatan pembelajaran dan
gaya belajar siswa.
Perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang diberikan
pendekatan pembelajaran konstruktisme dan pendekatan pembelajaran
konvensional selalu sama (konsisten) pada tiap-tiap gaya belajar siswa hal ini
menunjukkan bahwa siswa kelas X di SMK berada dalam tahap dan perkembangan
umur yang cukup siap untuk belajar mandiri yang tidak terlalu tergantung penuh
pada orang lain (guru di sekolah maupun orang tua di rumah). Sesuai dengan tahap
perkembangan mental dari Piaget siswa kelas X termasuk dalam tahap abstrak
dimana siswa mampu membangun konsep atau memahami suatu konsep dengan
baik karena mereka dalam tahap usia yang cukup matang dan siap untuk belajar.
Siswa mampu mengenali kebiasaan–kebiasaan yang dapat membuat mereka dapat
belajar dengan optimal atau dapat dikatakan mereka mampu mengoptimalkan
gaya belajar yang dipunyai khususnya untuk siswa dengan gaya belajar visual dan
audiorial jika dalam proses pembelajaran guru menggunakan pendekatan
pembelajaran konvensional (menerangkan, mencatat dan memberikan latihan
soal).
Selain itu prestasi belajar matematika siswa dipengaruhi oleh banyak faktor
lainnya bukan hanya faktor pendekatan pembelajaran dan gaya belajar siswa saja.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan:
1. Prestasi belajar matematika siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran
konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang diberikan pendekatan
pembelajaran konvensional..
2. a. Siswa dengan gaya belajar visual lebih baik prestasi belajar matematikanya
dibandingkan siswa dengan gaya belajar kinestetik, tetapi tidak lebih baik
dari siswa dengan gaya belajar auditorial.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 266
b. Siswa dengan gaya belajar auditorial lebih baik prestasi belajar
matematikanya dibandingkan siswa dengan gaya belajar kinestetik
3. Perbedaan prestasi belajar matematika siswa antara siswa yang diberikan
pendekatan pembelajaran konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran
konvensional selalu sama (konsisten) untuk tiap-tiap gaya belajar demikian juga
antara siswa dengan gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar
kinestetik terhadap pendekatan pembelajaran.
B. Implikasi Hasil Penelitian
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas berimplikasi pada proses pembelajaran
matematika di kelas. Adapun implikasinya dibedakan menjadi:
1. Implikasi Teoritis
- Guru lebih berorientasi pada siswa dalam proses belajar mengajar di kelas,
lebih memahami siswa dan menciptakan suasana pembelajaran yang
bermakna tetapi tidak menakutkan bagi siswa, sehingga dalam membangun
suatu konsep siswa diberikan waktu untuk menemukan, mengalami dan
mengeksplorasi pengetahuan matematika melalui proses interaksi diri siswa
dengan lingkungan disekitarnya baik berupa bahan belajar, teman
sekelas/diskusi maupun guru.
- Guru mampu memberikan penguatan materi jika pemahaman konsep atau
konsep yang dibangun siswa sudah tepat, mampu mengetahui jika siswa
mengalami kesulitan dalam memahami konsep atau membangun suatu
konsep dan mengetahui dan dapat membenarkan kesalahan konsep yang
dialami siswa.
2. Implikasi Praktis.
- Untuk menghadapi siswa yang cenderung bergaya belajar visual guru dapat
menggunakan alat/media pembelajaran yang menarik perhatian siswa
visual seperti menggunakan VCD, LCD maupun komputer. Atau dapat
mengajarkan bagaimana membuat catatan yang baik dengan merangkum
ataupun menggunakan peta konsep
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 267
- Untuk siswa auditorial guru dapat membantu siswa dengan menggunakan
intonasi atau pengucapan yang jelas dan bahasa yang baik dan benar dalam
menjelaskan materi yang akan disampaikan. Guru dapat meminta siswa
untuk menerangkan materi tugas yang telah dibuatnya atau membacakan
rangkuman/kesimpulan yang telah dibuatnya.
- Untuk siswa kinestetik yang cenderung aktif dapat diberikan tugas untuk
memperagakan hasil diskusi yang telah dilakukan bersama kelompok atau
temannya.
C. Saran
Saran-saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Guru harus lebih siap menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivisme
dalam proses pembelajaran.
2. Guru dapat lebih kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran sehingga
pembelajaran yang bermakna bagi siswa dapat tercapai.
3. Siswa dapat berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga proses
transfer ilmu dengan guru sebagai fasilitator dapat terpenuhi..
4. Sekolah dapat memberikan dukungan sarana dan prasarana belajar bagi siswa
untuk memperlancar proses pembelajaran. Selain itu sekolah memberikan
kesempatan bagi guru untuk pengembangkan pembelajaran dikelas dengan
pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan bagi siswa.
5. Kelemahan penelitian terjadi disebabkan oleh keterbatasan peneliti dalam
mengembangkan instrument penelitian yang memenuhi kriteria. Selain itu juga
keterbatasan waktu penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, 2004. Mengajar Berdasarkan Tipelogi Belajar Siswa. Diambil dari
www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html tanggal 20 Oktober 2004.
Agus Suharjana. 2005. Pengaruh Penggunaan Metode Konstruktivis Dengan Alat
Peraga Terhadap Prestasi Belajar Matematika Topik Pecahan Ditinjau Dari
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 268
Gaya Belajar Pada Siswa Kelas VII Semester 1 SMP Negeri di Kabupaten
Sleman Yogyakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Studi
Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Asmin, 2006. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistic (RME) dan Kendala
yang Muncul di Lapangan. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/
editor.html.
Budiyono A, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
________ B, 2004. Statistika Dasar. Surakarta: UNS Press.
De Porter, Bobbi & Hernacki, Mike, 2001, Quantum Learning, Bandung: Kaifa.
Don Kumanireng, 2005. Konstruktivisme dan Pembelajaran Lima Level. Diambil dari
www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html.
Hamzah. 2006. Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.
Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/ editor.html.
Herman Hudojo. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pembelajaran
Kontruktivistik. (Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan
Matematika PPS IKIP Malang). Malang.
______________. 2003. Guru Matematika Kontruktivis. (Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma)
Yogyakarta
Joesmani, 1988. Pengukuran Dan Evaluasi Dalam Pengajaran. Jakarta: Depatemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Kusaeri , 2000. Penerapan Pendekatan Diskusi Dalam Pembelajaran Persamaan
Kuadrat Pada Siswa Kelas 1 SMU Negeri 1 Magetan. Disertasi tidak
diterbitkan. Madiun: Program Pascasarjana Universitas Widya Mandala.
Muhibbin Syah, 1999. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Ngalim M Purwanto, 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Paul Suparno. 2005. Konstruktivisme dan Dampaknya terhadap Pendidikan.. Diambil
dari Kompas Online.
___________. 1998. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 269
Poppy Yaniawati. 2003. Pendekatan Open Ended: Salah Satu Alternatif Model
Pembelajaran Matematika yang Berorientasi pada Kompetensi Siswa.
(Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta.
Rose, Colin, and J. Nicholl, Malcolm. 2001. Accelerated Learning For The 21st
Century.
Bandung: Yayasan Nuansa.
Rusdy A Siroj. 2005. Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan dan Implikaisnya Pada
Pembelajaran Matematika. Diambil dari www.depdiknas.go.id/jurnal/ 44/
editor.html.
Ruseffendi. 1998. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Soehardjo, 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. UNS Press. Makalah Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Pendidikan MIPA FKIP Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Sutarto Hadi. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. (Makalah disajikan pada
pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan di Rantau
Kabupaten Tapin, 30 April 2003).
Wheatley. G.H. 1991. Constructivist Perspective on Science an Mathematic Learning.
Science Education Journal.
W.S Winkel. 2002 Psikologi Pendidikan Dan Evaluasi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Y Marpaung. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah
(Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta
Zainuddin Maliki, 2006. Paradigma Baru Pendidikan. (Makalah Seminar disajikan dalam
Konferensi Pendidikan Muhammdiyah tanggal 2 September 2006) Malang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 270
P-16
KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL
Armiati
(Dosen Matematika UNP/Mahasiswa S3 Matematika UPI)
Email: [email protected]
Abstrak
Seringkali kita menemukan siswa yang cerdas dalam matematika, tetapi tidak mampu
menyampaikan hasil pemikirannya, apa yang ia pikirkan hanya dia sendiri yang
mengerti. Tidak jarang pula kita menemukan siswa yang terlalu ngotot dengan
pendapatnya, tidak mau menerima masukan dari orang lain. Hal ini menyiratkan
kelemahan mereka dalam berkomunikasi. Padahal sebagai makhluk social setiap orang
perlu melakukan komunikasi dengan orang lain. Selain itu kondisi ini juga menyiratkan
emosi yang tidak terkontrol. Dalam makalah ini akan dikaji komunikasi matematis dan
kaitannya dengan kecerdasan emosi.
Key word: komunikasi matematis, kecerdasan emosi
1. Pendahuluan
Komunikasi merupakan bagian penting dalam setiap kegiatan manusia. Setiap
saat orang melakukan kegiatan kumunikasi. Untuk dapat berkomunikasi secara baik,
orang memerlukan bahasa. Matematika merupakan salah satu bahasa yang juga dapat
digunakan dalam berkomunikasi. Tetapi kenyataannya banyak siswa/mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam bermatematika. Matematika dianggap sebagai barang
mewah, dimana wajar kalau banyak orang yang tidak mampu memilikinya.
Dilain pihak, siswa-siswa yang cerdas dalam matematika seringkali kurang
mampu menyampaikan hasil pemikirannya. Mereka kurang mampu berkomunikasi
dengan baik, seakan apa yang mereka pikirkan hanyalah untuk dirinya sendiri. Suatu
keadaan yang sangat kontradiksi, dimana matematika itu sendiri merupakan bahasa,
tatapi banyak siswa yang kurang mampu berkomunikasi dengan matematika. Keadaan
ini tidak saja berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, tetapi juga berkaitan
dengan kecerdasan emosi.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 271
Komunikasi matematika bukanlah kemampuan yang sudah ada, tetapi
kemampuan itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran. Untuk dapat
mengembangkian kemampuan tersebut perlu dikaji apa dan bagaimana kemampuan
komunikasi matematis yang dimaksud secara teoritis.
Kemampuan komunikasi seseorang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi.
Menurut Goleman (2006,p.7), “emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana
seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur
oleh evolusi”. Artinya seseorang akan mampu berkomunikasi jika ada dorongan untuk
melakukannya.
2. Pembahasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1998, komunikasi (communication)
berasal dari bahasa Latin “communis” yang artinya “sama” dalam arti “sama makna”
mengenai satu hal. Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, 1996)
disebutkan bahwa secara terminology komunikasi berarti proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain. Dari dua pengertian ini dapat disimpulkan
bahwa komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan dari seseorang kepada
yang yang lain sehingga mereka mempunyai pengertian yang sama terhadap hal yang
mereka bicarakan.
Untuk dapat berkomunikasi diperlukan alat. Alat utama dalam melakukan
komunikasi adalah bahasa. Matematika merupakaan salah satu bahasa yang juga
dapat digunakan dalam berkomunikasi selain bahasanya sendiri. Matematika
merupakan bahasa yang universal, dimana untuk satu symbol dalam matematika dapat
dipahami oleh setiap orang dengan bahasa apapun didunia, misalnya dalam
matematika untuk menyatakan jumlah digunakan lambang ∑, dan semua orang
memahami bahwa lambang itu menyatakan jumlah.
Menurut The Intended Learning Outcomes (ILOs), komunikasi matematika
adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk
mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 272
melalui bahasa lisan dan tulisan. Melalui keterampilan ini siswa mengembangkan dan
memperdalam pemahaman matematika mereka bila mereka menggunakan bahasa
matematika yang benar untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka
kerjakan. Bila siswa berbicara dan menulis tentang matematika, mereka
mengklarifikasi ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argument yang
meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide matematika secara verbal, gambar dan
symbol.
Baroody (dalam Chap Sam dan Cheng Meng, 2007) menyatakan ada dua alasan
untuk fokus pada komunikasi matematika. Alasan pertama adalah matematika
merupakan bahasa yang esensial bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya
sebagai alat berpikir yang membantu siswa untuk mengembangkan pola,
menyelesaikan masalah dan memberikan kesimpulan, tetapi juga sebagai alat untuk
mengkomunikasikan pikiran, memvariasikan ide secara jelas, tepat dan singkat. Alasan
kedua adalah belajar dan mengajar matematika merupakan suatu aktifitas sosial yang
melibatkan sekurangnya dua pihak yaitu guru dan siswa. Berkomunikasi dengan teman
adalah kegiatan yang penting untuk mengembangkan keterampilan komunikasi,
sehingga siswa dapat belajar seperti seorang ahli matematika dan mampu
menyelesaikan masalah dengan sukses.
Baroody (1993) menyebutkan ada lima aspek komunikasi, yaitu represenrasi
(representing), mendengar (listening), membaca (reading), diskusi (discussing) dan
menulis (writing). Tetapi dalam standart kurikulum matematika NCTM (2000),
representasi tidak lagi termasuk dalam komunikasi tetapi menjadi salah satu standart
yang juga perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Sehubungan dengan
hal ini berarti aspek dalam komunikasi tidak lagi memuat representasi.
Kemampuan mendengar (listening) dengan baik sangat diperlukan oleh siswa,
karena ia tidak akan mampu mencerna materi yang sedang disajikan guru jika ia tidak
mampu menangkap informasi melalui mendengar. Tanpa mendengar ia juga tidak
dapat menangkap topik inti yang sedang dibicarakan dalam suatu diskusi sehingga
iapun tidak dapat memberikan komentar. Sehubungan dengan hal ini, Baroody (1993)
menyebutkan bahwa mendengar dengan hati-hati pertanyaan teman dalam suatu
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 273
kelompok dapat membantu siswa mengkonstruksi lebih lengkap pengetahuan
matematika dan mengatur strategi untuk menjawab yang lebih efektif. Kemampuan
mendengar yang diharapkan dalam komunikasi adalah kemampuan mendengar kritis,
karena hal ini dapat mendorong siswa berpikir tentang jawaban sambil mendengar.
Pirie (1990, h. 105) menyebutkan bahwa dalam komunikasi diperlukan pendengar dan
pembicara. Kondisi ini hanya bisa terjadi, jika kepada siswa/mahasiswa diberi
kesempatan dan didorong untuk berdiskusi, berbagi pendapat dengan teman-
temannya.
Membaca (reading) yang dimaksud dalam aspek komunikasi adalah membaca
aktif. Membaca aktif berarti ketika membaca seseorang harus fokus pada paragraf-
paragraf yang diperkirakan mengandung informasi penting, paragraf yang memuat
informasi yang relevan dengan konsep yang sedang dipelajari atau dengan masalah
yang sedang ia hadapi. Melalui membaca aktif siswa akan dapat mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya. Ketika membaca aktif siswa akan mampu mengaitkan
pengetahuan yang telah ia miliki dengan informasi yang sedang ia baca. Dalam
membaca aktif siswa tidak hanya terlibat secara fisik tetapi juga secara mental. Artinya
ketika seseorang sedang membaca, pikiran dan perasaannya juga terlibat dalam
kegiatan tersebut. Seseorang yang terlihat sedang membaca tetapi pikirannya tidak
tertuju kepada apa yang sedang ia baca, tidak dapat dikatakan sebagai membaca aktif.
Dalam komunikasi matematis kemampuan membaca harus ditinjau dari aspek
tujuan membaca. Karena keterlibatan mental disaat seseorang sedang membaca akan
dipengaruhi oleh tujuan tersebut. Tujuan membaca antara lain adalah; mencari
informasi, melihat hubungan atau mencari sesuatu yang tersirat dalam bacaan
tersebut. Membaca yang bertujuan mencari informasi berarti ketika membaca
seseorang harus mencermati dan menemukan informasi-informasi penting yang
terkandung dalam bacaan yang sedang dihadapinya. Ia harus menandai informasi yang
ia dapatkan. Jika tujuan membaca adalah melihat hubungan, selain melihat informasi
yang ada dalam bacaan, siswa/mahasiswa juga harus dapat menemukan hubungan
antara satu informasi dengan informasi lainnya. Sedangkan membaca yang bertujuan
mencari sesuatu yang tersirat, selain melihat apa yang tersurat dalam bacaan siswa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 274
juga harus mampu melihat pesan-pesan yang tersirat dalam bacaan yang sedang
dibaca. Artinya komunikasi matematis menuntut kemampuan membaca aktif.
Menurut Siegel (1996) melalui kegiatan membaca matematis siswa telah
dibantu membuat pemahaman tentang konsep dan prosedur secara matematika,
melihat hubungan antara matematika dan kehidupan nyata, mengembangkan secara
luas pandangan terhadap matematika, mengembangkan strategi untuk saling berbagi
informasi dan menilai sendiri ide-ide mereka dan lain sebagainya.
Aspek berikutnya dari komunikasi adalah diskusi (discussing). Seorang siswa
akan mampu berdiskusi dengan baik jika ia mempunyai kemampuan mendengar dan
membaca, serta keberanian yang memadai. Dalam diskusi diperlukan kemampuan
komunikasi secara lisan (oral-communication skill). Kemampuan ini dapat diasah
melalui latihan secara teratur yang dirancang oleh guru. Kegiatan yang dapat dilakukan
antara lain; (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil
pekerjaannya di kelas, (2) membiasakan siswa bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil, (3) membuat permainan matematika, dan sebagainya.
Menulis merupakan aspek keempat dari kemampuan komunikasi. Menulis yang
baik menuntut pemikiran yang baik (Whimbey, Lochhead, Linden, Welsh, 2001, h.298).
Menulis adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk mengungkapkan dan
merefleksikan pikiran. Menurut Mayer (dalam Masingila & Wisniowska, 1996, h.96),
menulis adalah proses bermakna dimana siswa secara aktif membangun hubungan
antara konsep yang sedang ia pelajari dengan konsep yang sudah ia pahami. Melalui
kegiatan ini siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran. Agar kegiatan menulis
menjadi bermakna, maka harus diperhatikan tujuan dari menulis tersebut. Beberapa
tujuan menulis antara lain adalah; membuat catatan agar tidak lupa, membuat
penjelasan secara rinci, dan membuat tulisan agar dapat dibaca dan dipahami oleh
orang lain. Berkaitan dengan kemampuan komunikasi, kemampuan menulis yang
diharapkan tentulah kemampuan yang dapat bermanfaat secara maksimal, yaitu
kemampuan menulis yang bertujuan agar tulisannya dapat dibaca dan dipahami oleh
orang lain.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 275
Sipka (1989) memberikan dua kategori yang berkaitan dengan kemampuan
menulis matematika, yaitu informal dan formal. Kemampuan menulis matematis yang
termasuk kategori informal adalah (a) in-class writing; (b) math autobiographies; (c)
reading logs; (d) journals;dan (e) letters. Sedangkan kemampuan menulis matematis
yang termasuk dalam kategori formal adalah (a) proof; (b) process papers; (c)
summaries of journal; (d) solution of journal problem; (e) research papers; dan (f)
lecture/learning notes
Kemampuan-kemampuan ini tidak mungkin dapat muncul dengan sendirinya,
tetapi perlu dilatihkan dalam kegiatan pembelajaran. Hal yang dapat dilakukan guru
untuk mendorong siswa dalam menulis antara lain adalah dengan
meminta/menugaskan siswa membuat pertanyaan (question), membuat penjelasan
(explanation), membuat definisi dengan bahasa mereka sendiri, atau membuat
rangkuman.
Komunikasi dapat dilakukan jika siswa/mahasiswa mempunyai pemahaman
tentang materi atau konsep yang akan dikomunikasikan dan mempunyai keberanian
untuk melakukan. Pemahaman ini dapat terjadi berdasarkan hasil pemikiran rasional
yang merupakan dimensi kecerdasan kognitif dan intelektual. Kecerdasan kognitif dan
intelektual lebih dikenal dengan IQ. Sebelumnya kecerdasan kognitif dan intelektual
dianggap sebagai kecerdasan yang sangat menentukan dalam kehidupan seseorang.
Namun belakangan disadari bahwa ada kecerdasan lain yang tak kalah pentingnya,
yaitu kecerdasan non intelektual (non- kognitif) berupa emosi, faktor-faktor pribadi
dan sosial. Kecerdasan non-inetelektual inilah yang akan menuntun siswa/ mahasiswa
untuk mempunyai keberanian dalam melakukan komunikasi.
Seorang ahli psikologi David Wechsler (dalam Mubayidh, 2006, p. 13)
mendefinisikan kecerdasan sebagai ”kemampuan sempurna (komprehensif) seseorang
untuk berprilaku terarah, berpikir logis dan berinteraksi secara baik dengan
lingkungannya”. Sejak akhir tahun tiga puluhan beberapa ahli (seperti Thorndike,
Wechsler, Hempil) telah meyakini peranan kecerdasan non-intelektual ini dalam
keberhasilan seseroang, tetapi untuk beberapa tahun pendapat ini diabaikan. Mulai
pada dekade 90-an barulah dimensi non-intelektual untuk menilai kecerdasan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 276
seseorang diperhitungkan. Dimensi non inteletual mulai dipandang sebagai faktor
penting yang menetukan keberhasilan manusia, baik dalam kehidupan pribadinya
maupun dalam aktifitas lainnya.
Seperti telah disebutkan kecerdasan non-intelekrual diantaranya adalah emosi.
Beberapa ahli memberikan definisi tentang kecerdasan emosional. Salovey dan Mayer
(dalam Mubayidh, 2006, p. 15) menyebutkan kecerdasan emosional sebagai ”suatu
kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau
baik emosi-dirinya maupun emosi orang lain, dan juga kemampuan dalam
membedakan emosi-dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini
digunakannya untuk mengarahkan pola pikir dan perilakunya”. Sementara Goleman
(2006, p.45) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah ” kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa”. Kedua
definisi ini menyiratkan bahwa kecerdasan emosional dapat menuntun seseorang
untuk selalu bertindak hati-hati, tidak meledak-ledak, tidak emosional dan selalu dapat
berempati terhadap apa yang sedang dirasakan orang yang sedang dihadapinya.
Definisi lainnya tentang kecerdasan emosional dikemukakan oleh Mubayidh
(2006, p. 7) yaitu ”kemampuan untuk menyikapi pengetahuan emosional dalam
bentuk menerima, memahami dan mengelolanya”. Menurut definisi ini terdapat
empat dimensi dari kecerdasan emosional, yaitu
(1) mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi (kefasihan emosional), dengan
cara:
• mampu membaca emosi yang tergambar pada wajah, suara, gerak anggota
badan, alunan musik, intisari cerita atau hikayat, dan juga mampu
mengungkapkan emosi-emosi ini dengan baik
• mampu membedakan emosi orang lain, bentuk, dan tulisan, baik melalui suara,
ekspresi wajah dan tingkah laku
• mampu membedakan emosi yang jujur dan emosi yang dibuat-buat, atau emosi
yang biasa dan mendalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 277
(2) menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual, dengan cara
• mampu mengaitkan emosi tertentu dengan tindakan responsif akal atau mampu
mengaitkan emosi dengan kegiatan berpikir, memberikan penilaian atau
memecahkan suatu masalah
• mampu memasukkan emosi dalam kegiatan intelektual untuk menganalisa atau
memahami
• mampu mengurutkan prioritas berpikir
• mampu mengarahkan memori, membuat penilaian dan keputusan akhir
• emosi mendorong manusia untuk menerima pandangan dan pendapat yang
beragam
• sikap dan pengarahan yang diberikan emosi mempengaruhi metode seseorang
dalam memecahkan masalah tertentu
(3) memahami dan menganalisa emosi, dengan cara
• mampu menafsirkan tanda-tanda yang disampaikan emosi (sedih, bahagia)
• mampu memahami emosi-emosi yang rancu, campur aduk antara cinta dan
benci, takut atau terkejut
• mampu mengetahui perubahan dari satu emosi ke emosi lainnya, seperti dari
marah menjadi rela atau lega
• memahami nilai emosi dalam kehidupan dan keberlangsungan hidupnya
(4) mengelola emosi, dengan cara
• mampu bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya
• mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar yang membangun,
memandang emosi negatif sebagai sebuah kesempatan untuk berkembang
• mampu membantu orang lain untuk mengenali dan memanfaatkan emosinya
• mampu melestarikan hubungan terbuka dan interaktif dengan emosi yang
menyenagkan maupun menyedihkan
• mampu mendekati dan menjauhi emosi tertentu sesuai dengan makna dan
pemikiran yang dibawanya
• mampu memantau emosi sendiri atau orang lain
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 278
• mampu meringankan emosi negatif dan memperkuat emosi positif
Selanjutnya dicermati kembali aspek-aspek yang terdapat dalam kemapuan
komunikasi matematis, yaitu listening, reading, discussing, dan writing kemudian
dikaitkan dengan kecerdasan emosional. Listening adalah kemampuan untuk
mencerna informasi yang diterima melalui pendengaran. Seseorang tidak akan mampu
mencerna informasi yang ia dengar jika ia tidak mempunyai kemampuan menerima
dan mengelola emosinya. Reading (membaca) yang dimaksud dalam aspek komunikasi
adalah membaca aktif. Membaca aktif hanya dapat dilakukan jika seseorang mampu
bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya dan mampu
mengubah emosi negatif menjadi proses belajar yang membangun serta memperkuat
emosi positifnya. Artinya ketika mebaca aktif ia melibatkan kecerdasan intelektual dan
non-intelektual. Ketika berdiskusi seseorang harus mampu mengelola emosinya, agar
ia menyadari kapan ia harus menjadi pendengar atau kapan ia harus mengungkapkan
pendapatnya. Kemampuan writing sangat membutuhkan kepiawaian memasukkan
emosi dalam kegiatan intelektual untuk menganalisa atau memahami, mengurutkan
prioritas berpikir, mampu mengarahkan memori, membuat penilaian dan keputusan
akhir.
Dari semua ini terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematis akan dapat
berkembang dengan baik jika dalam waktu yang bersamaan kecerdasan emosional
juga berkembang. Menurut Agustian (2001, p.xliii) pendidikan di Indonesia selama ini,
terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja, jarang
sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosional yang mengajarkan:
integritas; kejujuran; komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan;
keadilan; prinsip kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah yang
terpenting. Pendapat ini menyiratkan kepada kita bahwa lemahnya kemampuan
komunikasi siswa/mahasiswa selama ini bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang
masih sangat mengabaikan aspek kecerdasan emosional yang dapat digolongkan
dalam aspek afektif.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 279
3. Penutup
Salah satu alasan mengapa komunikasi matematis menjadi penting adalah
karena matematika tidak hanya sebagai alat berpikir yang membantu siswa untuk
mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan memberikan kesimpulan, tetapi
juga sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikiran, memvariasikan ide secara jelas,
tepat dan singkat. Ada empat aspek komunikasi matematis, yaitu mendengar
(listening), membaca (reading), diskusi (discussing) dan menulis (writing).
Komunikasi dapat dilakukan jika siswa/mahasiswa mempunyai pemahaman
tentang materi atau konsep yang akan dikomunikasikan dan mempunyai keberanian
untuk melakukan. Kecerdasan non-inetelektual (emosional) akan menuntun siswa/
mahasiswa untuk mempunyai keberanian dalam melakukan komunikasi. Kecerdasan
emosional dapat menuntun seseorang untuk selalu bertindak hati-hati, tidak meledak-
ledak, tidak emosional dan selalu dapat berempati terhadap apa yang sedang
dirasakan orang yang sedang dihadapinya. Lemahnya kemampuan komunikasi
siswa/mahasiswa selama ini bisa jadi karena sistem pendidikan kita yang masih sangat
mengabaikan aspek kecerdasan emosional yang dapat digolongkan dalam aspek afektif
Daftar Bacaan
[1] Agustian, Ary Ginanjar. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual (ESQ). Jakarta: Penerbit Arga
[2] Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8, Helping
Children Think Mathematically. New York: Merril, an inprint of Macmillan
Publishing , Company.
[3] Chap Sam, LIM,. Cheng Meng, CHEW . (2007). Mathematical Communication in
Malaysian Bilingual Classrooms. Paper to be presented at the 3rd APEC-Tsukuba
International Conference 9 -14 2007 at Tokyo and Kanazawa, Japan [online]
[4] Goleman, Daniel. ( 2006). Kecerdasan Emosional. Edisi Bahasa Indonesia
terjemahan T. Hermaya. Jakarta: PT SUN
[5] Masingila, J.O., & Wisniowska, E.P. (1996). Developing and Assesing Mathematical
Understanding in Calculus Through writing. In P.C Elliot, and M.J. Kenney (eds).
1996 Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. USA: NCTM
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 280
[6]Mubayidh, Makmun. (2006). Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak. Referensi
Penting bagi Para Pendidik & Orang Tua. Edisi Bahasa Indonesia terjemahan
Muhamad Muchson Anasy. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar
[7] Siegel, Marjorie. (1996). Using Reading to Construct Mathematical Meaning. In P.C
Elliot, and M.J. Kenney (eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics,
K-12 and Beyond. USA: NCTM
[8] Sipka, T. (1989). Writing in Mathematics: A Plethora of Possibilities. Using Writing
to Teach Mathematics. (ed) Andrew Sterrett. Mathematical Association of
America (MAA Notes Series)
Whimbey, Arthur,. Lochhead, Jack,. Linden, Myra J,. Wels, Carol. (2001). What is Write
for thinking. In Developing Minds a Resource Book For Teaching Thinking.
Edited by Arthur L. Costa. USA: ASCD
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 281
P-17
PENGEMBANGAN LKS BERBASIS ICT
PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP RSBI
Sitti Maesuri Patahuddin
Siti Rokhmah
Mohamad Nur
Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa
ABSTRAK
Perkembangan teknologi internet yang cepat dan tuntutan kebijakan
sekolah RSBI yang mengharapkan integrasi teknologi dan pembelajaran
yang berbahasa Inggris menjadi motivasi utama dalam mengekplorasi
cara memanfaatkan website matematika berbahasa Inggris untuk
pembelajaran matematika di RSBI. Artikel ini mendeskripsikan proses
pengembangan LKS berbasis ICT dan membahas hasil ujicoba terbatas
pada siswa tersebut mencakup pemahaman materi matematika dan
respon siswa. Implikasi dari hasil pengembangan dan ujicoba ini juga
didiskusikan dalam kaitannya penerapan pada kelas besar, peran LKS,
kesesuaian dengan kurikulum, serta isu berkaitan dengan bahasa Inggris.
Kata kunci: internet, website matematika berbahasa Inggris, LKS berbasis ICT,
RSBI
PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 50 Ayat 3 (Sekretaris Negara Republik Indonesia, 2003) dan diperkuat
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 61 Ayat 1 tentang sekolah
bertaraf internasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2007), maka apabila terdapat
sekitar 500 kabupaten/kota di Indonesia, maka di masa yang akan datang terdapat
sekitar 200.000 sekolah bertaraf internasonal (SBI) di seluruh Indonesia.
Profil lulusan siswa SBI yang diharapkan, menurut Effendy (2009) antara lain
kemampuan memecahkan masalah, kemampuan dalam Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) dan penguasaan materi pelajaran. Effendi juga mengemukakan
bahwa kualitas pengajaran di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) harus
ditingkatkan. Di samping guru dituntut mampu menggunakan media/sumber belajar
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 282
berbasis TIK dalam pembelajaran, guru juga dituntut melaksanakan pembelajaran
dalam bahasa Inggris secara efektif.
Namun demikian, meminta para guru untuk mengubah pengajarannya dari
bahasa Indonesia ke bahasa Inggris bukanlah hal yang mudah. Temuan peneliti di
lapangan, guru matematika sering kurang percaya diri dalam berkomunikasi bahasa
Inggris dan bahkan sering terjadi, kemampuan bahasa Inggris siswa di kelas RSBI
melebihi kemampuan gurunya. Akibatnya, pembelajaran matematika (berbahasa
Inggris) yang berkualitas sulit tercapai.
Bersamaan dengan tuntutan pengajaran dengan bahasa Inggris, guru maupun
siswa diharapkan mampu memanfaatkan teknologi yang telah tersedia, termasuk
teknologi internet. Pertanyaan yang menarik untuk dicermati: apakah untuk
memenuhi tuntutan di atas, pemanfaatan website matematika berbahasa Inggris
dapat dijadikan sebagai salah satu solusi.
Penelitian oleh Patahuddin (2009) di Sekolah Dasar di Australia tentang
pemanfaatan internet untuk pembelajaran dan pengajaran matematika, menunjukkan
bahwa penggunaan internet dapat memperkaya pembelajaran matematika siswa,
membantu guru melayani kebutuhan belajar siswa yang berbeda-beda.
Pertanyaan lain yang muncul, jika kita ingin mengajarkan matematika dengan
website maka website mana sajakah yang visible digunakan untuk pembelajaran
matematika di Indonesia. Website pembelajaran matematika yang selama ini
dieksplorasi oleh peneliti adalah website yang berbahasa Inggris. Hal ini menjadi
tantangan karena jika belajar matematika itu sendiri sudah dianggap sulit atau pun
membosankan bagi anak, bagaimana jika ditambah kesulitannya dengan penggunaan
bahasa Inggris. Sementara itu, berdasarkan penelusuran peneliti dalam lima tahun
terakhir website-website pembelajaran matematika yang telah tersedia dalam bahasa
Indonesia masih terbatas.
Temuan Rokhmah (2009) dalam penelitiannya tentang pembelajaran
matematika menggunakan website berbahasa Inggris di salah satu RSBI di Sidoarjo
memberikan indikasi positif. Meskipun siswa tampak kesulitan dalam aspek bahasa
tetapi banyak siswa yang antusias dalam belajar matematika dengan website tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 283
Hal ini dikarenakan, mereka dapat belajar sekaligus dua hal, yaitu bahasa Inggris dan
matematika. Selain itu, animasi pada website merupakan tambahan variasi dalam
belajar matematika. Penelitian Rokhmah juga menunjukkan bahwa penggunaan
internet bagi para siswa bukanlah hal yang asing atau sulit bagi mereka. Mereka telah
menggunakan secara terbatas pada situs pertemanan seperti friendster, facebook, dan
google. Para siswa tersebut juga mengakui bahwa belajar matematika dengan
menggunakan internet merupakan hal yang baru dan menyenangkan.
Menyadari bahwa di satu sisi banyak sekali sumber-sumber belajar yang tersedia
melalui internet yang dapat digunakan untuk membantu pemahaman matematika
siswa, di sisi lain pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut dapat menjadi
tantangan tersendiri (baik aspek teknis maupun strategi pembelajaran dan
pengajarannya), maka makalah ini mendeskripsikan proses pengembangan LKS yang
mengintegrasikan website-website matematika berbahasa Inggris serta hasil dari
ujicoba terbatas LKS tersebut.
Website pembelajaran Matematika
Ketersediaan website-website pembelajaran sangat berpengaruh pada
kelancaran proses pembelajaran dengan menggunakan internet. Guru dituntut untuk
mampu menentukan website yang sesuai dengan pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Banyak studi yang telah mengevaluasi sumber-sumber pembelajaran
matematika yang tersedia melalui internet yang bisa digunakan dalam pembelajaran
(misalnya Engelbrecht & Harding, 2005; Moyer & Bolyard, 2002).
Salah satu organisasi profesi yang telah lebih dulu meluncurkan website
pembelajaran matematika adalah NCTM (National Council of Teachers of
Mathematics) dari Amerika. Salah satu website yang diluncurkan oleh NCTM adalah
http://illuminations.nctm.org. Website tersebut menyediakan sumber-sumber belajar
online yang bisa digunakan guru dalam pembelajaran matematika. Dalam website ini
siswa juga bisa learning by doing karena banyak aktifitas yang interaktif yang bisa
dilakukan siswa selama belajar dengan menggunakan website tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 284
Pembelajaran Matematika dengan Internet
Saat ini, perhatian terhadap pentingnya internet dalam pendidikan semakin
meningkat. Beberapa studi telah dilakukan kaitannya dengan penggunaan Internet di
sekolah dasar dan menengah pertama (Alejandre & Moore, 2003; Gerber, Shuell &
Harlos, 1998), di sekolah menengah atas (Hsu, Cheng, & Chiou, 2003) dan di perguruan
tinggi atau universitas (Foster, 2003; Timmerman, 2004; Varsavsky, 2002).
Tujuan penggunaan internet dalam pembelajaran matematika adalah untuk
mencari objek ajar matematika, sebagai alat belajar siswa (Gibson & Oberg, 2004;
Patahuddin & Dole, 2006; Patahuddin, 2009), dan untuk menunjang kemampuan dan
pengetahuan siswa tentang teknologi (Patahuddin & Dole, 2006; Patahuddin, 2009).
Pembelajaran dengan menggunakan internet dapat meningkatkan motivasi belajar
siswa, meningkatkan keinginan untuk mengambil resiko (take risk) dan kemauan
bereksperimen atau mengeksplorasi beberapa cara yang berbeda dalam menyeesaikan
masalah matematika (Moor & Zazkis, 2000).
Internet, dalam hal ini website pembelajaran matematika, sangat membantu
guru memfasilitasi siswa belajar (Gibson & Oberg, 2004; Patahuddin & Dole, 2006;
Patahuddin, 2009). Guru tidak perlu membuat website karena sudah banyak tersedia
di internet. Akan tetapi masih didominasi oleh website berbahasa Inggris. Hal ini
sekaligus akan membantu guru dalam pembelajaran matematika di RSBI yang dituntut
untuk menggunakan bahasa Inggris.
METODE PENELITIAN
Penelitian pengembangan ini mengacu pada siklus pengembangan instruksional
Fenrich (1997). Langkah-langkah pengembangan tersebut meliputi fase analysis,
planning, design, development, dan implementationseperti tampak pada Gambar 1.
Pada siklus tersebut, evaluation and revision merupakan kegiatan berkelanjutan yang
dilakukan pada tiap fase di sepanjang siklus pengembangan tersebut.
LKS berbasis ICT yang dikembangkan dilengkapi dengan Kunci LKS, kit alat dan
bahan serta vocabulary list. Pengembangan dilakukan dalam periode Oktober-
November 2009 dan diujicobakan pada tiga orang siswa Kelas VII RSBI SMP Al Hikmah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 285
Surabaya pada tanggal 30 Oktober 2009. Proses ujicoba bertempat di ruang
laboratorium IPA yang dilengkapi koneksi internet Wi-fi. Ketiga siswa dipilih oleh guru
matematikanya (1 berkemampuan tinggi, 1 sedang, dan 1 rendah) masing-masing
membawa laptop.
Instrument utama penelitian ini adalah tim peneliti. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan log book atau diary penelitian. Pada saat pelaksanaan
ujicoba, tim peneliti yang dibantu oleh seorang pengamat mengumpulkan data
menggunakan catatan lapangan, kamera video dan foto. Data lain juga bersumber dari
hasil kerja siswa pada ketiga LKS serta angket respon siswa terhadap pembelajaran
matematika berbasis ICT.
Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Proses analisis ini
berlangsung secara berkelanjutan, baik dengan menggunakan mindmapping, diskusi
antar tim peneliti, metode triangulasi untuk melihat kesesuaian data dari sumber-
sumber yang berbeda, misalnya dari percakapan informal dengan guru, dari catatan
lapangan, dan video proses pembelajaran.
PROSES PENGEMBANGAN LKS BERBASIS ICT
Fase analisis
Pada tahap ini, peneliti mereviu berbagai macam website pembelajaran
matematika berbahasa Inggris. Selanjutnya menganalisis kurikulum matematika SMP
dan mereviu kembali website-website pembelajaran matematika yang sesuai dengan
kurikulum matematika SMP. Hasil reviu tersebut disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Daftar Contoh Website Pembelajaran Matematika dan Topik Matematika yang
Tercakup
No
. Website
Topik
Bilanga
n
Aljaba
r
Geome
tri
Pengukur
an
Statistik
&
Peluang
1 http://illuminations.nctm.org √ √ √ √ √
2 http://nlvm.usu.edu √ √ √ √ √
3 http://math.com √ √ √ - -
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 286
4 http://www.webmath.com √ √ √ √ √
5 http://nrich.maths.org √ √ √ √ √
6 http://oneweb.utc.edu - - √ - -
7 http://math.rice.edu/~lanius/les
sons √ √ √ - √
8 http://aplusmath.com/games/in
dex.html √ √ √ - -
9 http://coolmath.com - √ √ - -
1
0 http://mathisfun.com √ √ √ √ √
Berdasarkan hasil pertimbangan kecocokan materi yang ada di kurikulum dan
website yang telah ditemukan, ditetapkan materi LKS berbasis ICT, yaitu segitiga dan
segi empat dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sperti terlihat dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dan website Segitiga dan Segi
Empat
N
o
.
Kelas/
Semest
er
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Contoh Website
1 VII/2
Memahami konsep
segi empat dan
segitiga serta
menentukan
ukurannya
Mengidentifikasi sifat-sifat
segitiga berdasarkan sisi dan
sudutnya
http://math.com/sch
ool/subject3/lessons/
S3U2L2GL.html
http://illuminations.n
ctm.org/ActivityDetai
l.aspx?ID=142
2 VII/2
Memahami konsep
segi empat dan
segitiga serta
menentukan
ukurannya
Menghitung keliling dan luas
bangun segitiga serta
menggunakannya dalam
pemecahan masalah
http://illuminations.n
ctm.org/ActivityDetai
l.aspx?ID=21
Fase perencanaan dan perancangan
Setelah website dan materi ajar ditetapkan, peneliti memikirkan cara
mengajarkan topik terpilih dan mengemasnya dalam LKS berbasis ICT serta
mempertimbangkan alat dan bahan yang diperlukan. Pada tahap perancangan, peneliti
memfokuskan perhatian untuk mengkonstruksi LKS yang dapat membantu siswa
memanfaatkan website matematika berbahasa Inggris untuk membangun pemahaman
matematika siswa dan membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 287
Pada fase ini, peneliti juga memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi dalam
pembelajaran dengan LKS tersebut serta memikirkan antisipasinya. Misalnya peneliti
memprediksi ada kemungkinan siswa belum terbiasa dengan istilah matematika,
meskipun mereka mungkin mampu berbahasa Inggris sehari-hari. Oleh karena itu,
peneliti menyiapkan vocabulary list berisi istilah-istilah bahasa Inggris dan
terjemahannya untuk materi segitiga dan segi empat. Peneliti juga menyediakan
kamus matematika online yang ada dalam http://math.com.
Prediksi yang lain adalah banyaknya link dalam website memungkinkan siswa
membuka halaman (page) yang tidak sesuai dengan LKS dan akibatnya dapat
membingungkan siswa. Oleh karena itu, peneliti mengantisipasi dengan menuliskan
alamat lengkap website yang langsung menuju pada halaman yang dimaksud pada LKS.
Instruksi yang diberikan pun diupayakan sejelas mungkin dan website yang dipilih
memuat animasi yang bisa merangsang ketertarikan siswa dalam belajar matematika.
Prediksi lain dari peneliti adalah siswa mungkin tidak fokus mengerjakan LKS,
terutama yang terkait dengan website. Misalnya siswa asal mengeklik, tidak
mengerjakan tugas sesuai petunjuk LKS. Oleh karena itu, siswa diminta
mendokumentasikan hasil kerjanya dengan menggunakan print screen. Dengan
demikian hasil kerja siswa tersebut dapat diprint ditempelkan pada LKS. Dalam LKS
tersebut pun dibuat beberapa tabel yang perlu dilengkapi oleh siswa berdasarkan
temuannya melalui website, dan beberapa ruang kosong untuk menuliskan jawaban
siswa atas pertanyaan yang diberikan. Sehingga siswa tetap diminta untuk
menunjukkan bukti hasil belajar siswa menggunakan website berbahasa Inggris.
Dengan demikian, hal terpenting pada tahap perancangan ini adalah memikirkan
proses pembelajaran menggunakan website untuk membantu siswa mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan.
Fase pengembangan
LKS matematika berbasis ICT yang diujicobakan sebanyak 3. Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar, Tujuan Pembelajaran serta website yang digunakan
pada masing-masing LKS secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 288
Tabel 3. Daftar LKS, deskripsi tujuan dan website yang digunakan
Standar Kompetensi Kompetensi
Dasar Tujuan pada LKS Website
Memahami konsep
segi empat dan
segitiga serta
menentukan
ukurannya
Mengidentifika
si sifat-sifat
segitiga
berdasarkan
sisi dan
sudutnya
LKS 01
Tujuan:
1. Mengklasifikasikan segitiga
berdasarkan panjang sisi-
sisi dan besar sudutnya.
2. Menjelaskan jenis-jenis
segitiga berdasarkan
panjang sisi-sisi dan besar
sudutnya
http://math.com/
school/subject3/le
ssons/S3U2L2GL.h
tml
Memahami konsep
segi empat dan
segitiga serta
menentukan
ukurannya
Mengidentifika
si sifat-sifat
segitiga
berdasarkan
sisi dan
sudutnya
LKS 02
Tujuan:
1. Mengklasifikasikan segitiga
berdasarkan panjang sisi-
sisi dan besar sudutnya.
2. Mengkonstruksi berbagai
macam segitiga dengan
menggunakan software
yang tersedia secara
online.
http://illumination
s.nctm.org/Activit
yDetai.aspx?ID=14
2
Memahami konsep
segi empat dan
segitiga serta
menentukan
ukurannya
Mengidentifika
si sifat-sifat
kubus, balok,
prisma, dan
limas serta
bagian-
bagiannya
LKS 03
Tujuan:
1. Menemukan rumus luas
persegi panjang.
2. Menemukan rumus luas
jajargenjang dengan
mengacu pada luas persegi
panjang
http://illumination
s.nctm.org/Activit
yDetai.aspx?ID=21
LKS matematika berbasis ICT yang telah direviu secara intensif oleh Tim Peneliti
dan telah melalui beberapa kali revisi, diujicobakan pada 3 siswa seperti dijelaskan
sebelumnya. Hasil analisis pengamatan dan video, membantu proses revisi
selanjutnya. Misalnya perlunya kata print screen dicetak tebal pada LKS dan perlu
mengubah format vocabulary list, yaitu harus dipisahkan kosa kata berdasarkan
masing-masing LKS.
Tiga LKS matematika berbasis ICT yang dikembangkan adalah: LKS Klasifikasi
Segitiga berdasarkan panjang sisi dan besar sudutnya, dan LKS untuk mengkonstruksi
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 289
berbagai macam jenis segitiga serta LKS Luas Segi Empat dalam hal ini persegi panjang
dan jajargenjang.
Hasil Ujicoba LKS Matematika Berbasis ICT
Pada LKS 01 siswa banyak belajar tentang mathematics vocabulary tentang
segitiga yang belum mereka ketahui sebelumnya. Setelah belajar melalui LKS dan
website yang terkait, siswa mampu mengklasifikasikan segitiga, baik berdasarkan
panjang sisinya, besar sudutnya, maupun berdasarkan kedua-duanya. Mereka tidak
hanya mampu mengklasifikasikannya ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,
tetapi mereka juga mampu menjelaskan karakteristik dari masing-masing segitiga
tersebut.
Dalam kegiatan dengan LKS 02 siswa mampu mengkonstruksi segitiga siku-siku
dan segitiga sama kaki, baik melalui hands-on activity maupun virtual hands-on, jika
diberikan satu segmen garis dan segmen garis tersebut menjadi salah satu sisi dari
segitiga tersebut. Meskipun awalnya siswa hanya mampu menunjukkan satu bentuk
dari masing-masing segitiga, tetapi pada akhirnya siswa mampu membuat lebih dari
tiga bentuk segitiga yang berbeda. Bahkan di akhir kegiatan mereka mampu
menyimpulkan bahwa akan terbentuk tak hingga banyaknya segitiga dengan syarat
seperti yang tersebut di atas.
Setelah belajar dengan LKS 03 siswa dapat menentukan luas jajargenjang
dengan mengacu pada luas persegi panjang. Website dengan animasi memberikan
ilustrasi proses terjadinya jajargenjang menjadi persegipanjang. Pada akhir kegiatan,
siswa dapat menyimpulkan bahwa setiap jajargenjang dapat dibentuk menjadi persegi
panjang.
Selain itu, siswa dapat mendemonstrasikan cara membuat persegi panjang dari
model jajargenjang yang terbuat dari kertas karton dengan memotongnya menjadi
dua. Awalnya ada siswa yang beranggapan bahwa untuk membuat persegi panjang
dari jajargenjang harus memotong jajargenjang tersebut menjadi dua bagian yang
sama, seperti yang dicontohkan dalam website. Akan tetapi setelah mencoba sendiri
membuat persegi panjang dari berbagai macam bentuk jajargenjang, siswa tersebut
menyimpulkan bahwa tidak harus memotong jajargenjang menjadi dua bagian yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 290
sama untuk membuat sebuah persegi panjang tergantung dari bentuk jajargenjang
tersebut.
Pada akhir kegiatan, siswa dapat menyimpulkan bahwa jika jajargenjang dapat
dibentuk menjadi persegi panjang maka luas jajargenjang tersebut sama dengan luas
persegi panjang yang dibentuk sehingga rumus luas jajargenjang sama dengan rumus
luas persegi panjang sama dengan panjang kali lebar. Berdasarkan pengamatan,
tampak bahwa pada kegiatan pembelajaran berbasis ICT ini, siswa mengalami minds-
on, virtual hands-on, dan hands-on.
Respon Siswa
Pada akhir kegiatan ujicoba siswa dibagikan angket untuk mengetahui respon mereka
terhadap pembelajaran dengan LKS berbasis ICT. Berdasarkan hasil analisis angket
tersebut, diketahui bahwa semua siswa belum pernah menggunakan website
pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini sejalan dengan dugaan kami bahwa guru
belum terbiasa menggunakan internet di sekolah, sebab gurunya pun belum
mengetahui password yang harus digunakan untuk dapat terkoneksi dengan internet.
Temuan lain, siswa senang dan berminat mengikuti pembelajaran ini karena mereka
dapat belajar banyak hal yang belum mereka ketahui sebelumnya dari internet.
Mereka merasa belajar dengan menggunakan internet seru dan tidak membosankan.
Mereka juga menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan internet dapat
meningkatkan motivasi belajar matematika mereka, seperti tergambar pada respon
siswa di bawah ini.
Website-website yang digunakan selama pembelajaran ini menurut mereka menarik
karena bagus, terdapat animasi dan materinya cukup jelas serta mempermudah
pemahaman mereka terhadap materi. Selain itu, adanya peran pendamping, dalam hal
ini guru, yang selalu bertanya dan menjawab pertanyaan siswa, juga membantu siswa
belajar. Secara umum siswa tidak mengalami hambatan selama pembelajaran ini.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 291
Hanya saja pada pelaksanaan LKS 1, waktu pelaksanaan tidak sesuai dengan yang
direncanakan karena siswa memerlukan waktu lebih untuk mengingat istilah-istilah
matematika dalam bahasa Inggris tersebut.
Pada ujicoba ini terdapat siswa yang sangat positif pandangannya tentang penggunaan
website berbahasa Inggris dalam pembelajaran matematika, meskipun dua siswa
lainnya masih sering bertanya arti kata-kata tertentu. Berdasarkan pengamatan, secara
umum mereka dapat mengerti kata-kata yang ada dalam website sebab dalam banyak
kesempatan meraka diminta menerjemahkan dan mereka mampu malakukannya,
antara lain seperti tampak pada kutipan transkrip berikut.
Guru : I want to listen to Ammar to explain to Nukman about how to do this
Siswa : Nukman, The classification of the triangle based on the length of the sides
it means klasifikasi segitiga berdasarkan panjang sisi-sisinya, yaitu
Isosceles, scalene, and equilateral.
Selama ujicoba berlangsung satu siswa mengeluhkan tentang tempat dan waktu
pelaksanaan. Hal ini karena mereka sudah terbiasa belajar di ruang berAC (Air
Condition) sedangkan di Lab IPA tersebut tidak tersedia AC. Akibatnya, siswa yang
sama pun menyarankan agar tidak melakukan ujicoba dalam waktu yang lama (pukul
07.30-16.00). Meskipun muncul keluhan tersebut, ketiga siswa ujicoba tetap terlibat
aktif dalam proses pembelajaran.
PENUTUP
Keberadaan LKS berbasis ICT tampak membantu proses pembelajaran matematika
siswa. Penggunaan LKS pada saat pembelajaran matematika dengan internet tentu
tidak menjadi satu keharusan namun upaya mengantisipasi apa yang akan terjadi pada
siswa ketika diminta belajar dengan internet harus dipertimbangkan. Misalnya,
kemungkinan waktu download suatu website yang lambat sehingga waktu belajar
terganggu. Demikian juga, kemungkinan siswa mengeklik website-website lain.
Pelaksanaan ujicoba ini hanya dilakukan pada tiga orang siswa. Pertanyaan yang
muncul adalah, apakah penggunaan LKS berbasis ICT ini dapat diterapkan pada kelas
besar. Jawabannya tentu sangat terkait dengan situasi kelas. Pembelajaran dengan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 292
internet tentunya dipengaruhi oleh banyaknya komputer yang terkoneksi dengan
internet. Dalam kasus ujicoba terbatas ini, terdapat siswa dapat membaca dan
menavigasi internet relatif mudah tanpa bantuan yang banyak dari peneliti. Ini berarti,
jika dalam suatu kelas terdapat siswa-siswa yang sudah berkarakteristik mandiri, maka
mereka dapat belajar sesuai dengan kecepatan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan
temuan Patahuddin (2009) bahwa internet menjadi salah satu alat yang sangat
“powerful” untuk melayani para siswa yang mempunyai kecepatan berbeda dalam
proses belajar matematika.
Berdasarkan pengalaman dalam mengembangkan LKS berbasis ICT, hal yang paling
menantang adalah menemukan website-website yang bersesuaian dengan kurikulum
yang sedang berlaku. Kurikulum tampak linier atau mempunyai urutan-urutan
tertentu, sedangkan sifat internet yang “multilink” menyebabkan tidak linier. Website-
website matematika yang tersedia di Internet tidak dikembangkan secara kaku
berdasarkan suatu kurikulum tertentu. Demikian pula dengan kurikulum yang tidak
dikembangkan berdasarkan pada pertimbangan yang cermat akan karakteristik dari
teknologi internet.
Hal ini relevan dengan temuan Patahuddin, ketika pengamatan dilakukan di kelas satu
di SD di Australia, dimana siswa belajar tentang penjumlahan. Tetapi seorang anak
merasa bahwa materi yang ada pada website itu terlalu mudah, maka dengan
inisiatifnya sendiri, siswa tersebut mengeklik website yang berkaitan dengan
pengurangan. Guru yang melihat hal ini melarang siswa melakukan hal tersebut karena
materi itu dianggapnya untuk siswa Kelas II. Guru juga mempertimbangkan jika siswa
tersebut diberi kebebasan maka dikhawatirkan akan mempengaruhi siswa lainnya.
Dengan demikian, tantangan yang muncul adalah bagaimana guru menyikapi isu
antara kurikulum dan potensi internet untuk mendukung pembelajaran matematika.
LKS yang dikembangkan berbahasa Inggris. Di satu sisi, ada tuntutan bagi siswa RSBI
untuk lebih aktif menggunakan bahasa Inggris. Akan tetapi, di sisi lain bahasa bisa
menjadi penghambat pemahaman siswa bila bahasa itu sendiri tidak dikuasai secara
optimal. Pada pelaksanaan ujicoba ini, peneliti mengantisipasi kemungkinan tersebut
dengan menyediakan Mathematics vocabulary list yang berisi istilah-istilah khusus
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 293
matematika. Penyediaan cukup membantu anak. Hal lain, bahwa ternyata dengan
seringnya siswa menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris, siswa jadi dapat
menguasainya. Istilah jenis-jenis segitiga baru dikenal oleh siswa pada saat
mengerjakan LKS pertama, dan pada proses pengerjaan LKS 02 dan 03, istilah-istilah
tersebut tampaknya sudah dhafalkan oleh anak. Ini mengindikasikan bahwa jika siswa
dibiasakan menggunakan sumber-sumber belajar bahasa Inggris (secara mudah
menggunakan website-website matematika yang berbahasa Inggris), tuntutan siswa
RSBI yang bisa lancar menggunakan teknologi dan lancar berbahasa Inggris dapat
sekaligus dicapai oleh para siswa. Hal ini menjadi salah satu solusi bagi guru untuk
memfasilitasi siswa belajar matematika dengan menggunakan bahasa Inggris,
khususnya bila bahasa Inggris siswa lebih baik dari kemampuan bahasa Inggris guru.
DAFTAR PUSTAKA
Alejandre, S., & Moore, V. (2003, September). Technology as a tool in the primary
classroom. Teaching Children Mathematics, 16-19.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Pedoman Penjaminan Mutu
Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional. Retrieved. from.
Effendy. (2009). Eksperimen dengan Program S1 MIPA Sekolah Menengah Bertaraf
Internasional (SBI). Unpublished power point presentation. Universitas Negeri
Malang.
Engelbrecht, J., & Harding, A. (2005). Teaching undergraduate mathematics on the
Internet. Part1: Technologies and taxonomy. Educational Studies in
Mathematics, 58(2), 235 - 252.
Foster, B. (2003). On-line teaching of mathematics and statistics. Teaching
Mathematics and its Applications, 22(3), 145-153.
Gerber, S., Shuell, T. J., & Harlos, C. A. (1998). Using the Internet to learn mathematics.
Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 17(2/3), 113-132.
Gibson, S., & Oberg, D. (2004). Visions and realities of Internet use in schools: Canadian
perspectives. British Journal of Educational Technology, 35(5), 569-585.
Hsu, Y.-S., Cheng, Y.-J., & Chiou, G.-F. (2003). Internet use in a senior high school: a
case study. Innovations in Education and Teaching International, 40(4), 356-
368.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 294
Moor, J., & Zazkis, R. (2000). Learning mathematics in a virtual classroom: Reflection
on experiment. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching,
19(2), 89-113.
Moyer, P. S., & Bolyard, J. J. (2002, March). Exploring representation in the middle
grades: Investigations in geometry with virtual manipulatives. The Australian
Mathematics Teacher, 58, 19-25.
Patahuddin, S. M. (2009). Exploiting the Internet for Teacher Professional Development
and Mathematics Teaching and Learning: An Ethnographic Intervention.
Unpublished Dissertation, The University of Queensland, Brisbane.
Patahuddin, S. M., & Dole, S. (2006). Using the Internet for mathematics teaching,
learning and professional development in the primary school. In Dhindsa &
Harkirat (Eds.), The Eleventh International Conference of the Sultan Hassanal
Bolkiah Institute of Education (Vol. 1, pp. 230-240). Universiti Brunei
Darussalam: Educational Technology Centre UBD.
Rokhmah, S. (2009). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Internet di
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Unpublished S1, Universitas
Negeri Surabaya, Surabaya.
Sekretaris Negara Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Retrieved 16
September 2009. From http://www.dikti.go.id/Archive2007/UUno20th2003-
Sisdiknas.htm.
Timmerman, M. (2004, April). Using the Internet: Are prospective elementary teachers
prepared to teach with technology? Teaching Children Mathematics, 410-415.
Varsavsky, C. (2002, July). Fostering student engagement in undergraduate
mathematics learning using a text-based online tool. Paper presented at the
2nd International Conference on the Teaching of Mathematics (ICTME2),
Greece.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 295
P-18
PENERAPAN GLOBAL LEARNING DAN MIND MAPPING
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEBAGAI JARINGAN KONSEP
Drs. Mustangin, M.Pd
Universitas Islam Malang
Agustin Debora MS
SMPN 1 Pajarakan, Kabupaten Probolinggo
Pendahuluan
Matematika sebagai ilmu dasar (basic science) merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern dan mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin untuk mengembangkan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan
mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak
dini. Matematika sebagai mata pelajaran, perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
Permasalahan yang dihadapi guru sampai saat ini adalah rendahnya hasil
belajar matematika sebagai akibat kurang optimalnya proses pembelajaran.
Rendahnya hasil belajar matematika secara umum disebabkan oleh karena adanya
kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Salah satu faktor penyebab kesulitan belajar
adalah faktor pedagogis (Widdiharto,2008:9), di mana faktor ini adalah faktor utama
yang dapat mengkondisikan belajar matematika menjadi lebih mudah atau justru
menyebabkan siswa mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini seharusnya guru dapat
mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologinya secara tepat, sehingga
faktor pedagogis tersebut dapat mengoptimalkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu
evaluasi pembelajaran sebaiknya diawali dari faktor pedagogis.
Pada pokok bahasan tertentu, matematika dapat dipandang sebagai jaringan
konsep karena terdiri dari beberapa konsep yang satu sama lain saling terkait. Dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 296
pembelajaran matematika sebagai jaringan konsep, kesulitan utama yang dialami oleh
siswa adalah mengaitkan konsep yang satu dengan konsep yang lain
(Widdiharto,2008:6). Seringkali rencana pembelajaran yang didesain oleh guru sangat
dipengaruhi oleh buku penunjang yang menjadi referensi guru dan siswa di dalam
kelas, sehingga proses pembelajaran di dalam kelas belum optimal
mempertimbangkan konsepsi yang ada pada siswa.
Matematika sebagai jaringan konsep jika disajikan secara analitik ataupun
parsial sangat menyulitkan siswa dalam menganalisis keterkaitan antar konsep. Hal ini
mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami sebuah masalah.
Permasalahan di atas secara umum disebabkan oleh karena jaringan konsep yang
diterima siswa tidak diperoleh secara utuh. Adanya fakta bahwa siswa tidak paham
dan lupa menjadi fenomena yang sangat penting dalam kesulitan belajar pada
pembelajaran matematika sebagai jaringan konsep.
Guru sebagai manajer dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan
mampu menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu konsepsi guru tentang
perkembangan psikologi kognitif serta pandangan guru tentang konsepsi siswa
merupakan bagian terpenting dalam konteks ini. Proses berpikir serta berbagai
kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, sebagai modalitas dan gaya belajar, semaksimal
mungkin dapat dikelola menjadi sebuah strategi pembelajaran yang efektif dan
harmonis.
Berikut ini akan dibahas tentang proses berpikir di dalam otak, fungsi belahan
otak kiri dan fungsi belahan otak kanan, modalitas dan gaya belajar, mind mapping
sebagai bagian dari longterm memory system, serta desain pembelajaran global-
analitik dalam menyajikan matematika sebagai jaringan konsep.
Proses Berpikir di Dalam Otak
a. Membangun Otak Sendiri
Otak manusia memiliki kapasitas yang sangat luar biasa. Otak manusia memiliki
100 miliar sel otak. Setiap kali satu stimulus (gambar, suara atau sentuhan) mencapai
salah satu indra, sel otak menciptakan pikiran atau kesan yang keluar dari sel otak dan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 297
menyusuri salah satu benang (dendrit), kemudian kesan ini menyeberang ke sel otak
yang lain. Proses ini terus berlanjut melibatkan jutaan sel otak yang terhubung sel yang
berurutan.
Setiap kali reaksi berantai terjadi, koneksi baru terbentuk di antara sel-sel otak.
Sebagian ini menjadi koneksi yang permanen jika terjadi berulang-ulang. Itulah
sebabnya manusia dapat mengingat banyak hal tanpa perlu mengerahkan upaya
secara sadar. Bukan jumlah sel otak yang menentukan hebatnya otak manusia,
melainkan jumlah koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak.
Beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa kecerdasan tidaklah tetap. Semakin
sering manusia menggunakan otaknya, semakin banyak pula koneksi antara sel-sel
otaknya. Semakin banyak koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak, maka semakin
besar pula potensi untuk berpikir cerdas. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya, KITA
ADALAH ARSITEK OTAK KITA SENDIRI.
Bagian otak yang Bagian otak yang
Terangsang Tidak terangsang
b. Fungsi Belahan Otak Kiri dan Fungsi Belahan Otak Kanan
Manusia menyerap informasi melalui enam jalur utama : lihat, dengar, kecap,
sentuh, bau atau apa yang kita lakukan. Secara umum otak kiri manusia memproses
logika, kata-kata, matematika, analitik dan urutan, yang disebut pembelajaran
akademis. Otak kanan memproses irama, rima, musik, gambar atau imajinasi, dan
global yang disebut dengan aktivitas kreatif.
Colllin Rose memberikan contoh sederhana tentang bagaimana aspek-aspek
otak yang berbeda dapat bekerja sama secara terpadu. ”Jika kita mendengarkan
sebuah lagu, otak kiri akan memproses syairnya dan otak kanan memproses
musiknya”. Betapa luar biasanya kerja otak manusia. Kita tidak perlu bekerja keras
untuk itu. Kita menghafalnya atau mengingatnya begitu cepat karena otak kiri dan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 298
otak kanan kita keduanya terlibat, begitu pula dengan pusat emosi otak pada sistem
limbik. Pusat emosi otak manusia juga berhubungan erat dengan sistem penyimpanan
memori jangka panjang. Oleh karena itu kita perlu mengetahui sedikit cara ingatan
bekerja dan cara meningkatkannya. Semua manusia telah dianugerahi ingatan yang
sudah bagus, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkannya.
Manusia memiliki memori jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka
pendek dirancang untuk menyimpan informasi sementara. Manusia cenderung
mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim. Oleh karena itu jika ingin
mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk mengaitkan dengan gambaran yang
lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak digunakan untuk pemrosesan visual. Membuat
diagram, grafik, sketsa, warna atau garis bawah sangat membantu.
Modalitas dan Gaya Belajar
Howard Gardner(1983) dalam teori Multiple Intelligence, mengemukakan
bahwa siswa sebagai tokoh pebelajar dianugerahi dengan “delapan kecerdasan”
sejak mereka lahir, yaitu : (1) kecerdasan logika matematika, (2) kecerdasan linguistik,
(3) kecerdasan spasial, (4) kecerdasan kinestetik, (5) kecerdasan musikal, (6)
kecerdasan intrapersonal, (7) kecerdasarn interpersonal, serta (8) kecerdasan
naturalis. Setiap kecerdasan peranannya sama pentingnya dalam pencapaian sebuah
potensi.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 299
Dari ragam kecerdasan yang dimiliki serta didukung oleh kemampuan indrawi
manusia, dalam proses belajar manusia dapat menjadi karakteristik modalitas belajar
dan gaya terima belajar siswa.
a.Modalitas Belajar
Modalitas belajar adalah suatu cara bagaimana otak menyerap informasi yang
masuk melalui panca indra secara optimal. Menurut Howard Gardner, modalitas
belajar dapat dikarakteristikkan sebagai gaya belajar Auditory, Visual, Reading dan
Kinesthetic.
• Auditory
Orang yang memiliki gaya belajar auditory, belajar dengan mengandalkan indra
pendengarannya untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik
belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk
menyerap informasi.
• Visual
Orang yang memiliki gaya belaja visual, belajar dengan menitikberatkan ketajaman
penglihatannya. Konkretnya, pebelajar visual lebih mudah menerima informasi
lewat materi bergambar, selain itu mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap
penggunan warna.
• Reading
Orang yang memiliki gaya belaja reading, belajar dengan menitikberatkan pada
tulisan atau catatan. Karakteristik belajar ini benar-benar menempatkan bacaan
atau tulisan sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan.
Artinya, untuk bisa memahami dan mengingat informasi tertentu, yang
bersangkutan haruslah membaca atau menuliskannya terlebih dahulu.
• Kinesthetic
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 300
Orang yang memiliki gaya belajar kinesthetic mengharuskannya menyentuh
sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar dapat mengingatnya. Karakter
pertama yang dimiliki tipe pebelajar ini adalah menempatkan tangan sebagai alat
penerima informasi utama agar dapat terus mengingatnya. Karakter berikutnya
dicontohkan sebagai orang yang tak tahan duduk manis berlama-lama
mendengarkan penyampaian informasi. Mereka yang memiliki karakteristik ini
dianjurkan untuk belajar melalui pengalaman dengan menggunakan berbagai
model peaga, contoh kegiatan di laboratorium atau belajar dengan bermain di luar.
b. Spectrum
Dari segi memandang sesuatu, manusia memiliki dua kecenderungan, yaitu
abstrak atau konkret. Sedangkan dari sisi bagaimana mengelola informasi, manusia
cenderung mengolahnya secara sekuensial (teratur/urut) atau random (acak).
Anthony Gregorc menggabungkan kedua faktor di atas menjadi 4 karakter gaya
berpikir seseorang. Tiap orang memiliki salah satu gaya berpikir yang dominan di
antara 4 tipe yang ada.
• Concret Sequensial (CS)
Orang dengan tipe ini adalah orang yang cenderung teratur dan rapi. Mereka selalu
mengerjakan tugas tepat waktu, terencana dan tidak suka dengan hal-hal yang
bersifat mendadak. Pada umumnya perfeksionis, sehingga segala sesuatunya ingin
dikerjakan dengan sempurna dan terencana.
• Abstract Sequensial (AS)
Biasanya merupakan pemikir yang cerdas dan punya ide-ide brilian. Orang tipe ini
senang mengetahui dan berpikir apa yang tidak dipikirkan orang lain. Senang
membuatnya senang berdiskusi bahkan berdebat, hingga kadang mereka lupa
bahwa orang di sekitarnya sama sekali tidak paham dengan ide-idenya yang terlalu
“tinggi”. Lebih menyukai belajar secara individu, dan mereka lebih sering disebut
“konseptor ulung” dan handal menganalisis informasi.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 301
• Abstract Random (AR)
Segala sesuatu sering dikaitkan dengan perasaan dan emosi, sehingga mereka
terkenal sangat sensitive. Semua menjadi menyenangkan jika moodnya sesuai,
namun menjadi buruk jika tidak memilki emosi positif terhadap sesuatu. Mudah
kehilangan konsentrasi, banyak pertimbangan dan suka mencoret-coret tanpa arti
di bukunya. Mereka juga sangat menjaga hubungan dengan orang lain, cenderung
menghindari konflik dan sangat perhatian pada lingkungan sekitarnya. Ekspresi
spontan yang mereka miliki dikarenakan kesulitan mereka mengngkapkan sesuatu
secara verbal kepada orang lain.
• Concret Random (CR)
Sering dianggap sebagai orang kreatif karena senang mencoba menyelesaikan
sesuatu dengan caranya sendiri. Karena asyiknya, mereka cenderung lupa waktu.
Terkenal sebagai “Deadliner”, karena sering mengerjakan sesuai dengan batas
akhir, meski memiliki banyak waktu sebelumnya. Tipe ini dapat mengerjakan
beberapa pekerjaan dalam satu waktu. Spontanitas dan impulsive menjadi ciri khas
tipe ini, karena begitu banyak ide yang muncul spontan dari kepala mereka. Orang
tipe CR biasanya cukup dipercaya untuk menjadi pemimpin, meskipun sering
menimbulkan situasi kritis karena sifat “deadliner”nya. Mereka sering
bereksperimen meskipun mungkin banyak orang lain tidak menyenanginya.
c. Gaya Terima
Seorang peneliti psikolog, Herman Witkin melalui studi risetnya
mengemukakan ada dua karakteristik gaya belajar yang dimiliki seseorang, yaitu gaya
belajar Global dan gaya belajar Analitik.
• Belajar Analitik
Orang yang berpikir secara analitik ketika memandang segala sesuatu
cenderung lebih terperinci, spesifik, terorganisir, urut atau teratur, namun pada
umumnya cenderung kurang dapat memahami sesuatu secara menyeluruh. Sehingga
dalam mengerjakan sesuatu selalu dilakukan tahap demi tahap. Mereka dapat
menemukan fakta-fakta namun seringkali kurang memahami gagasan utamanya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 302
Begitu juga dengan siswa, belajar dengan analitik berarti mempelajari suatu
topik atau pokok bahasan tertentu diawali dengan mempelajari sub-sub konsep atau
pokok bahasannya, tanpa memandang konsep atau pokok bahasan terbesar yang
memuat hal yang sedang dipelajari.
Jika kita kembali membahas tentang fungsi otak kiri dan fungsi otak kanan,
belajar analitik diproses oleh belahan otak kiri, sementara proses memandang sesuatu
secara utuh, terjadi pada belahan otak sebelah kanan. Hal ini mengakibatkan siswa
mengalami kesulitan ketika menganalisa keterkaitan antar sub konsep. Selain itu
berpikir analitis atau linier masih diproses pada belahan otak kiri dimana hanya short-
term memory yang diproses di dalamnya, sehingga fenomena “lupa” besar
kemungkinan masih terjadi.
• Belajar Global.
Orang yang berpikir secara global, cenderung melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, dengan gambaran yang besar, memuat konsep secara utuh, sehingga
mereka dapat melihat hubungan antar satu bagian dengan bagian yang lain. Pebelajar
global juga dapat melihat hal-hal yang tersirat, serta dapat menjelaskannya dengan
kalimat-kalimatnya sendiri. Mereka dapat melihat berbagai pilihan dalam mengerjakan
tugasnya, sehingga mereka dapat mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus dalam
satu kurun waktu.
Pribadi pebelajar global dapat bekerjasama dengan orang lain, fleksibel, senang
bekerja keras untuk menyenangkan orang lain, senang menerima dan member pujian,
sehingga ini berdampak mereka membutuhkan banyak dorongan semangat untuk
memulai pekerjaannya. Ciri khas yang lain mereka kurang rapi, walaupun mereka ingin
merapikannya, sehingga pebelajar global cenderung untuk merapikan sistem
pekerjaannya.
Demikian pula bila gaya belajar global ini kita terapkan untuk siswa, maka
jaringan konsep yang diberikan dapat dipahami secara utuh, sehingga memudahkan
mereka dalam menganalisa keterkaitan antar konsep. Bila dikaitkan dengan fungsi
otak, proses berpikir global terjadi pada belahan otak kanan. Dengan demikian sistem
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 303
longterm memory secara tidak sengaja telah berlangsung, sehingga berbagai konsep
yang telah dipelajari tidak akan mudah terlupakan.
Mind Mapping dalam Longterm Memory
Pemetaan pikiran mirip dengan outlining, namun lebih menarik secara visual,
serta pembuatannya melibatkan kedua belahan otak. Joyce Wycoff (2003:66)
mengutip pernyataan Michael Gelb bahwa kekuatan istimewa pemetaan pikiran
adalah melatih otak melihat secara menyeluruh sekaligus secara terperinci, dan dalam
hal ini terjadi integrasi antara logika dan daya khayal.
Tony Buzan bersama Michael Gelb koleganya pada tahun 1960-an
mengembangkan pemetaan pikiran sebagai pendekatan yang melibatkan seluruh otak,
serta telah mengajarkannya kepada ribuan orang. Oleh karena itu pemetaan pikiran
telah banyak digunakan di dunia pekerjaan maupun pendidikan.
Pemetaan pikiran merupakan catatan nonlinier dengan unsur-unsur: (1) fokus
pusat yang berisi citra atau lambang gambar masalah atau informasi yang dipetakan,
diletakkan di tengah halaman; (2) gagasan dibiarkan mengalir bebas tanpa penilaian;
(3) kata-kata kunci digunakan untuk menyatakan gagasan; (4) hanya satu kata kunci
ditulis perbaris; (5) gagasan kata kunci dihubungkan ke fokus pusat dengan garis: (6)
warna digunakan untuk menerangi dan menekankan pentingnya sebuah gagasan; (7)
gambar dan lambang digunakan untuk menyoroti gagasan dan merangsang pikiran
agar membentuk kaitan yang lain.
Untuk mengaitkan beberapa gagasan atau konsep, kita dapat menggunakan
garis, panah atau lambang. Kita dapat mengembangkan sistem lambang yang
merupakan bentuk singkat untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Sistem
manapun yang cocok bagi kita sah-sah saja, karena pemetaan pikiran adalah cara kita
memanfaatkan pikiran secara maksimal.
Dalam pembelajaran matematika, peranan mind mapping sangat penting.
Karena matematika sebagai jaringan konsep memuat beberapa konsep yang saling
terkait dan merupakan hubungan sebab akibat, maka peta pikiran yang akan dibuat
tidak berbeda jauh dengan peta konsep sebagai catatan linier.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 304
Tanda atau simbul-simbul yang digunakan serta warna sangat mempengaruhi
dalam penguatan pemahaman dan memorinya. Tiap konsep dapat dinyatakan dengan
satu kata gagasan dan sedapat mungkin divisualkan dengan satu lambang atau
gambar.
Desain Pembelajaran Global-Analitik dengan Bantuan Mind Mapping
Sebagaimana ketika orang bermain menyusun puzzle. Misalkan Andre bermain
dengan kondisi awal bagian-bagian puzzle yang acak. Dedi bermain puzzle dengan
kondisi awal yang utuh, kemudian bagian-bagian puzzle diacak. Sedangkan Yuda
bermain puzzle dengan kondisi awal acak, tetapi ada satu gambar utuh yang
menggambarkan posisi bagian-bagian puzzle. Jelas sekali bahwa Yuda lebih mudah dan
cepat memainkan puzzle daripada permainan yang dilakukan Dedi. Namun jika
dibandingkan dengan permainan Dedi dan Yuda, maka permainan yang dilakukan oleh
Andre jauh lebih sulit.
Dari gambaran permainan di atas, Andre bermain dengan cara analitik/linier.
Dia harus mencoba-coba mencari keterkaitan antara potongan demi potongan dari
gambar. Sementara Andre tidak tahu gambar apa sebenarnya yang sedang disusunnya.
Keadaan ini jelas memakan waktu dan tenaga untuk berpikir, bahkan ada peluang
bahwa Andre tidak berhasil menyusun puzlenya, karena dari awal ia tidak mengetahui
bentuk gambar secara utuh. Dari fakta di atas, nampak bahwa Andre mengalami
kasulitan dalam menyelesaikan permainannya.
Dedi bermain dengan cara global tanpa alat bantu. Dalam permainannya Dedi
diberi kesempatan satu kali untuk melihat gambar utuh yang akan disusunnya kembali.
Ketika menyusun puzlenya, Dedi dapat mengimajinasikan/mengingat kembali gambar
utuh puzzlenya di awal permainan. Hal ini sangat membantu Dedi ketika menyusun
puzlenya, karena Dedi telah mengetahui gambar apa yang akan disusunnya. Namun
ada satu kelemahan yang mungkin terjadi yaitu jika Dedi lupa akan gambar detailnya,
karena gambar di awal hanya dilihatnya satu kali.
Lain halnya dengan Yuda yang bermain global dengan menggunakan alat bantu
gambar utuh puzzlenya. Yuda akan lebih mudah dan cepat dalam menyusun puzlenya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 305
Gambar utuh dapat dilihatnya berulang-ulang sepanjang permainannya berlangsung.
Sehingga Yuda dengan tepat dan cepat memilih potongan-potongan puzzle yang akan
disusunnya. Dengan demikian kerumitan permainan dapat diminimalkan, serta ada
efisiensi waktu dan tenaga. Hal yang paling penting dalam permainan Yuda adalah
kemudahan dan ketepatan pada hasil yang diharapkan.
Demikian pula dengan proses pembelajaran matematika. Pada beberapa
Standar (SK) Kompetensi ataupun Kompetensi Dasar (KD), materi pokok matematika
disajikan sebagai jaringan konsep. Contoh pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
SMP adalah Aritmatika Sosial, Perbandingan, Himpunan, Persamaan Garis Lurus,
Sistem Persamaan Linier Dua Variabel, Bangun Datar Segiempat, Bangun Datar
Segitiga, Lingkaran, Bangun Ruang Sisi Datar, dan Bangun Ruang Sisi Lengkung.
Guru diharapkan mampu mendesain pembelajaran dengan metodologi yang
efektif, efisien dan mudah bagi siswanya. Dalam hal ini pembelajaran global sangat
memudahkan siswa untuk memahami jaringan konsep matematika secara utuh.
Sebagaimana analog permainan yang dibawakan oleh Yuda pada contoh di atas,
peranan Mind Mapping sangat membantu dalam visualisasi konsep yang utuh. Dalam
permainan ini prinsip berpikir dan belajar sebagaimana Collin Rose(1999:19-20)
paparkan, selain penggunaan fungsi otak kiri; pemberdayaan fungsi otak kanan juga
telah dilakukan.
Demikian pula dengan desain pembelajaran yang menyajikan matematika
sebagai jaringan konsep. Prinsip-prinsip yang sebaiknya dirancang adalah: (1)
penyajian pembelajaran global; (2) penyajian pembelajaran global-analitik/linier; (3)
penggunaan peta pikiran pada seluruh proses penyelesaian masalah.
Penyajian pembelajaran global. Pada awal pertemuan dalam satu Standar
Kompetensi ataupun satu Konpetensi Dasar, secara umum dibahas tentang jaringan
konsep secara utuh tentang keterkaitannya, fungsinya, kapan menggunakannya, serta
bagaimana menggunakannya. Pada proses ini guru dapat menggunakan berbagai
pendekatan, misalnya dengan diskusi kelas, atau studi pustaka ataupun studi lapangan;
yang kesemuanya dikondisikan dengan potensi siswa, lingkungan serta waktu yang
tersedia. Dengan diperolehnya pemahaman jaringan konsep yang utuh, maka hasilnya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 306
dituangkan dalam catatan mind mapping. Karena yang dibahas adalah matematika,
tentunya seluruh konsep ada hubungan sebab akibat, sehingga bentuk peta pikiran
yang dihasilkan dapat mengadopsi sifat catatan linier, dengan melibatkan berbagai
simbul yang dirasa sangat membantu dalam mengoptimalkan lonterm memorynya.
Penyajian pembelajaran global-analitik/linier. Pada tahap ini pembelajaran
dirancang mengkombinasikan antara pembelajaran global dengan pembelajaran
analitik. Ini adalah bagian inti dari pembahasan jaringan konsep matematika. Bagian
demi bagian satu konsep dibahas dengan detail. Pada bagian pembelajaran ini sangat
dibutuhkan desain pembelajaran yang mengkonstruksi sebuah konsep. Sementara itu
mind mapping atau peta konsep yang telah dibuat tetap dipaparkan, kemudian hasil
konstruksi sebuah konsep diletakkan pada peta pikiran untuk
meyempurnakan/melengkapkan keterkaitan dalam peta pikiran antara gagasan utama
dengan konsep detailnya. Hal ini dilakukan dalam beberapa pertemuan hingga seluruh
konsep yang ada telah dapat dibangun detailnya dan terhubung dengan gagasan
utama atau konsep utamanya.
Menyelesaikan masalah dengan bantuan mind mapping. Pada tahap ini
pembelajaran dapat didesain berbasis masalah. Setiap masalah yang dimunculkan,
peta pikiran sebaiknya juga ditampilkan. Kemudian data atau gambaran dari masalah
disubstitusikan pada peta pikiran, sehingga masalah yang diberikan dapat dipahami
secara tepat, dengan demikian konsep yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
juga akan dipilih dengan tepat. Demikian dilakukan berulang dan dicoba pada
beberapa varian masalah, hingga diperoleh data assessment bahwa siswa sangat
menguasai seluruh jaringan konsep matematika yang sedang dibahas.
Dari tiga hal di atas guru diharapkan mampu mendistribusikan waktu yang ada
untuk mendesain satu jaringan konsep pada tiga prinsip tahap pembelajaran di atas.
Secara prinsip tahap ke dua dan ke tiga urutan penyajiannya dapat dikondisikan sesuai
dengan materi pokok yang sedang dibahas. Jika materi pokok tersebut mengandung
beberapa aksioma yang sebelumnya harus dipahami siswa, sebaiknya pembelajaran
analitik diletakkan setelah pembelajaran global. Namun jika pendekatan konsep dapat
PROSIDING
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5
menggunakan basis masalah, maka pembelajaran global
bersama-sama dengan pembelajaran berbasis masalah.
Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa
menerima gagasan/informasi secara utuh, sehingga se
menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam
hal ini dibantu oleh mind mapping
berjalan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam mengorganisir tah
penyajian pembelajaran yang efektif sangat menentukan keberhasilan siswa.
Contoh Pembahasan Persamaan Linier dalam Pembelajaran Global
disajikan dalam Mind Mapping
Pertemuan 1 (2x40 menit)
Membahas Gradien, Gradien pada bidang Car
garis melalui satu titik dengan gradien tertentu, menemukan gradien
persamaan garis, menemukan persamaan garis melalui dua titik.
ISBN : 978-979
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
ndidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009
menggunakan basis masalah, maka pembelajaran global-analitik dapat disajikan
sama dengan pembelajaran berbasis masalah.
Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa
menerima gagasan/informasi secara utuh, sehingga secara otomatis siswa dapat
menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam
mind mapping, maka proses optimalisasi longterm memory
berjalan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam mengorganisir tah
penyajian pembelajaran yang efektif sangat menentukan keberhasilan siswa.
Contoh Pembahasan Persamaan Linier dalam Pembelajaran Global-Analitik yang
Mind Mapping
Membahas Gradien, Gradien pada bidang Cartecius, menemukan persamaan
garis melalui satu titik dengan gradien tertentu, menemukan gradien
persamaan garis, menemukan persamaan garis melalui dua titik.
979-16353-3-2
307
analitik dapat disajikan
Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa
cara otomatis siswa dapat
menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam
longterm memory telah
berjalan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam mengorganisir tahap-tahap
penyajian pembelajaran yang efektif sangat menentukan keberhasilan siswa.
Analitik yang
tecius, menemukan persamaan
garis melalui satu titik dengan gradien tertentu, menemukan gradien
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 308
Pertemuan 2 ( 2x40 menit)
Menemukan sifat gradien 2 garis sejajar dan gradien 2 garis tegak lurus.
Mengkaitkan sifat gradien 2 garis dengan bentuk persamaan garis.
Pertemuan 3 ( 2x40menit)
Melukis persamaan garis.
Pertemuan 4,5,6(6x40menit)
Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan persamaan garis, dengan
bantuan mind mapping.
Penutup
Matematika sebagai ilmu dasar (basic science) mempunyai peran penting dalam
mengembangkan daya pikir siswa. Matematika sebagai mata pelajaran, perlu diberikan
kepada semua peserta didik untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
Oleh karena itu, maka setiap guru harus selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas
proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Salah satu aspek penting yang harus
dilakukan guru adalah mengembangkan desain pembelajaran dengan melakukan
inovasi-inovasi baru khususnya yang terkait dengan metodologi pembelajaran.
Guru diharapkan mampu mendesain pembelajaran dengan metodologi yang
efektif, efisien dan mudah bagi siswanya. Dalam hal ini pembelajaran global sangat
memudahkan siswa untuk memahami jaringan konsep matematika secara utuh.
Desain pembelajaran yang menyajikan matematika sebagai jaringan konsep, sebaiknya
dirancang dengan prinsip-prinsip: (1) penyajian pembelajaran global; (2) penyajian
pembelajaran global-analitik/linier; (3) penggunaan peta pikiran pada seluruh proses
penyelesaian masalah.
Guru diharapkan mampu mendistribusikan waktu yang ada untuk mendesain
satu jaringan konsep pada tiga prinsip tahap pembelajaran di atas. Secara prinsip tahap
ke dua dan ke tiga urutan penyajiannya dapat dikondisikan sesuai dengan materi
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 309
pokok yang sedang dibahas. Jika materi pokok tersebut mengandung beberapa
aksioma yang sebelumnya harus dipahami siswa, sebaiknya pembelajaran analitik
diletakkan setelah pembelajaran global. Namun jika pendekatan konsep dapat
menggunakan basis masalah, maka pembelajaran global-analitik dapat disajikan
bersama-sama dengan pembelajaran berbasis masalah.
Pada intinya, sebelum siswa masuk pada pembahasan detail, sebaiknya siswa
menerima gagasan/informasi secara utuh, sehingga secara otomatis siswa dapat
menganalisa seluruh keterkaitan yang ada dalam jaringan konsep. Terutama jika dalam
hal ini dibantu oleh mind mapping, maka proses optimalisasi longterm memory telah
berjalan.
Semoga makalah ini bias menjadi initial point yang tepat untuk introspeksi diri
khususnya para guru dalam memberikan layanan prima untuk anak-anak didiknya dan
kehadiran para guru senantiasa dirindukan oleh siswanya. Selamat mencoba.
DAFTAR PUSTAKA
Rose,Colin. 1999. Kuasai Lebih Cepat , Buku Pintar Accelerated Learning, Bandung :
KAIFA
Dryden, Gordon & Dr. Jennette Vos. 2003. The Learning Revolution ( Revolusi Cara
Belajar ), Bandung : Kaifa.
Wycoff, Joyce. 2003. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran.
Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi.2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di
Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 310
P-19
MENINGKATKAN KOMPETENSIGURU MATEMATIKA DAN IPA SMP
MELALUI KEGIATAN LESSON STUDY
Dwikoranto
Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Unesa
E-mail: [email protected]
Abstrak: Telah dikembangkan kegiatan lesson study guru-guru IPA dan Matematika di
wilayah Selatan Kota Surabaya. Pada tahap perencanaan teridentifikasi masalah bahwa
pembelajaran IPA dan Matematika kurang diminati siswa sehingga aktivitas, motivasi
belajar, kreativitas siswa masih rendah, alat peraga fisika dan matematika di sekolah
sangat terbatas, dan siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan persoalan fisika
yang mengandung persamaan matematika. Alternatif solusinya dikembangkan rencana
pembelajaran termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching
material dan strategi pembelajaran yang dapat memberi pengalaman belajar kepada
siswa melalui kegiatan eksplorasi, mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika
dan matematika yang bersifat local material dan mengembangkan pembelajaran fisika
dan matematika yang kontekstual, handson activities dan daily life. Pada tahap
pelaksanaan dan refleksi diperoleh temuan bahwa siswa tampak sangat antusias pada
saat melakukan percobaan dan analisis matematika sederhana, namun untuk abstraksi
yang lebih tinggai pada mata pelajaran IPA dan matematika masih kurang. Dalam
mengikuti pembelajaran, sebagian besar siswa dapat berinteraksi dengan baik namun
belum tumbuh aktivitas siswa untuk mengungkapkan gagasan atau ide-ide. Guru
model bisa menciptakan proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan menegaskan
konsep sementara siswa melakukan eksplorasi untuk menemukan konsep. Keutuhan
struktur pembelajaran terlaksana dengan baik, sekalipun masih belum sempurna.
Keterampilan mengajar seperti penguasaan materi, penggunaan media pembelajaran,
pengelolaan kelas, keterampilan bertanya dan keterampilan memotivasi tergolong
baik. Kegiatan lesson study sangat potensial dalam peningkatan kualitas
keprofesionalan guru yang berdampak pada peningkatan kualitas proses dan hasil
pembelajaran dan menciptakan proses interaksi antar berbagai pihak terkait.
Kata kunci : Kompetensi Guru, Lesson Study.
PENDAHULUAN
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional merupakan salah satu
agenda yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya ini diarahkan agar setiap
lembaga pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan kualitas kepada
pihak-pihak yang bekepentingan atau masyarakat. Jaminan yang dimaksud adalah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 311
suatu jaminan bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah sekolah atau lembaga
pendidikan sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan harapan
masyarakat. Apabila setiap lembaga penyelenggara pendidikan selalu berupaya untuk
memberikan jaminan kualitas dan upaya ini dilakukan secara terus menerus, maka
diharapkan kualitas pendidikan secara nasional akan terus meningkat.
Peningkatan kualitas pendidikan ini diharapkan berdampak pada peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara nasional. Halini sangat penting, mengingat
dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan, baik yang
bersifat nasional maupun global, Padahal berbagai kesempatan dan tantangan
tersebut hanya dapat diraih dan dijawab apabila sumber daya manusia yang kita miliki
berkualitas. Kita menyadari kenyataan yang menunjukkan bahwa dewasa ini kualitas
penyelenggaraan pendidikan pada berbagai lembaga pendidikan cukup bervariasi. Hal
ini dapat diamati pada berbagai aspek, baik aspek-aspek yang terkait dengan masukan
instrumental, seperti: kurikulum, tenaga pengajar, bahan ajar; maupun masukan
lingkungan, seperti: kondisi lingkungan fisik dan manajerial kepala sekolah; aspek-
aspek yang terkait dengan proses, seperti: proses belajar mengajardan sarana serta
prasarana yang dibutuhkan maupun aspek-aspek yang terkaitdengan keluaran, seperti:
hasil ujian dan keterserapan lulusan oleh pasar tenaga kerja. Guru sebagai ujung
tombak dalam melaksanakan misi pendidikan di lapangan merupakan faktor sangat
penting dalam mewujudkan system pendidikan yang bermutu dan efisien. Oleh karena
itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih kompleks untuk
mengantisipasi perubahan yang terjadi di era reformasi dan globalisasi dewasa ini
(Suyanto, 2000).
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah telah mensahkan
Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosenyang menuntut
penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru agar guru menjadi
profesional. Standar guru yang tertuang dalam UURI No 14tahun 2005 tersebut,
menyatakan bahwa guru memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogic
(kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik), kompetensi kepribadian
(kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 312
menjadi teladan peserta didik), kompetensi sosial (kemampuan guru untuk
berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama
guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakatsekitar), dan kompetensi
professional (kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam).
Disamping itu pemerintah juga menaruh perhatian terhadap mutu proses
pembelajaran. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19
tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakanbahwa:“ Proses pembelajaran
pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktifserta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa , kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.Upaya pemerintah
tersebut harus ditindaklanjuti sehingga mutu pendidikan menjadi kenyataan yang akan
berdampak terhadap pembangunan Indonesia di masa mendatang.
Upaya peningkatan mutu guru dan proses pembelajaran senantiasa dilakukan
melalui berbagai pelatihan guru, namun belum memberikan dampakyang diharapkan.
Hal ini disebabkan guru yang dilatih adalah yang setelah kembali dari pelatihan
kesulitan mengimbaskan pada guru-guru lain di daerahnya bahkan tidak sedikit
kesulitan mengimplementasikan hasil-hasil pelatihan disekolahnya sendiri. Hasil kajian
menunjukkan bahwa pembelajaran di sekolah masih banyak dilakukan secara
konvensional / pembelajaran berpusat pada guru(Sardjono,2000). Sementara hasil
kajian lain menunjukkan pula bahwa masih banyak guru IPA dan matematika yang
menggunakan metode ceramah sehingga siswa beranggapan bahwa IPA bersifat
hafalan.
Guru kurang dapat mengaitkan konsep-konsep IPA dan matematika dalam
proses pembelajaran di kelas dengan fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Guru
kurang kreatif dan terampil dalam memanfaatkan sarana prasarana yang ada, misalnya
keterampilan menggunakan alat-alat laboratorium serta mengajak siswa untuk
membuat model-model alat sederhana untuk praktik. Guru tidak mempersiapkan
rencana pembelajaran setiap melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, tidak
memotivasi siswa untuk menyenangi mata pelajaran IPA, sistem pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 313
monoton dan tidak muncul variasi. Siswa lebih ditekankan pada penguasaan
penyelesaian soal bukan penguasaan keterampilan (Sidi,2000).
Secara faktual ditemukan beberapa masalah yang di hadapi guru-guru di
lapangan seperti yang terekam dalam hasil angket, observasi, dan wawancara dengan
guru-guru sekolah-sekolah mitra Jurusan Pendidikan Fisika dan Matematika FPMIPA
Unesa sebagai berikut: 1) Guru mengalami kesulitan dalam merencanakan
pembelajaran berdasarkan kurikulum. Metoda yang dikembangkan masih didominasi
metoda ceramah. Rencana pembelajaran yang dikembangkan masih lemah dalam
merencanakan kegiatan awal. Langkah langkah pembelajaran masih kurang
memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sains, 2) Guru kesulitan memanfaatkan
dan mengembangkan media pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar yang
harus dicapai siswa, 3) Guru mengalami kesulitan mengimplentasikan pembelajaran
berdasarkan kurikulum yang berlaku. Struktur pembelajaran yang dikembangkan
masih kurang menunjukkan struktur pembelajaran sains, 4) Guru mengalami kesulitan
mengembangkan materi ajar menjadi bahan ajar, dan 5) Guru mengalami kesulitan
dalam aspek penilaian terhadap hasil belajar siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum.
Dari temuan-temuan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa permasalahan yang terkait dengan kemampuan guru yaitu: penguasaan
materi ajar, penguasaan pedagogik, kemampuan menterjemahkan kurikulum dalam
merancang pembelajaran , kemampuan melakukan asesmen, dan keterampilan
mengajar. Untuk itu perlu ada upaya pembinaan terhadap kompetensi guru tersebut
yang lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta
permasalahan yang dihadapainya masing-masing. Lesson Study merupakan model
pembinaan yang dapat dijadikan alternative solusi masalah-masalah yang dihadapi
para guru.
Lesson Study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui
pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-
prinsip kolegalitas, dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Sumar
Hendayana, dkk, 2007). Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran, tetapi
kegiatan. Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 314
yang sesuai dengan situasi , kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru. Dalam
Lesson Study sejumlah guru mata pelajaran tertentu di daerah tertentu secara periodik
bersama-sama mengemukakan, menganalisis, dan mencari solusi masalah masalah
yang ihadapi. Solusi yang dipilih dituangkan dalam suatu rancangan dan implementasi
pembelajaran.
MEKANISME KEGIATAN LESSON STUDY
Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan (merencanakan), Do
melaksanakan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Tahap Perencanaan (Plan)
dilakukan melalui kegiatan workshop antara sejumlah guru yang berasal dari sekolah-
sekolah wilayah sasaran untuk menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam
pembelajaran. Permasalahan dapat berkaitan dengan materi ajar, pedagogik maupun
fasilitas pembelajaran. Permasalahan yang berkaitan dengan materi ajar misalnya
bagaimana menyusun bahan ajar atau bagaimana menjelaskan suatu konsep.
Permasalahan yang berkaitan dengan pedagogik misalnya metode apa yang harus
digunakan agar pembelajaran lebih efektif dan efisien. Permasalahan yang berkaitan
dengan fasilitas misalnya bagaimana mengembangkan peralatan dan mensiasati
kekurangan fasilitas pembelajaran. Selanjutnya secara bersama-sama peserta
workshop mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika solusinya harus
dicobakan dalam suatu pembelajaran, maka solusi itu dituangkan dalam RPP. Kegiatan
perencanaan dilakukan dalam beberapa pertemuan untuk menyepakati scenario yang
akan ditampilkan, merancang dan melengkapi/mengembangkan media yang telah ada,
menyusun LKS dan metoda evaluasi yang digunakan serta kapan open class dilakukan
dan siapa yang akanmenyajikan model pembelajaran. Pertemuan-pertemuan
berikutnya membahas kajian rancangan alat dan sekaligus rancangan percobaannya.
Bahan- bahan yang diperlukan dan pembuatan alat disediakan dan dilakukan secara
kolaboratif. Selanjutnya dilakukan uji coba alat kemudian menyusun scenario
pembelajaran dalam bentuk RPP yang utuh.
Tahap Pelaksanaan (Do) dilakukan berupa open class. Seorang guru membuka
kelas untuk mengimplementasikan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 315
pada tahap perencanaan. Guru tersebut mengundang selain guru-guru dan dosen yang
terlibat dalam perencanaan juga guru- guru dan dosen lain dan kepala sekolah untuk
menjadi observer dalamn pembelajaran yang dilaksanakan. Tahapan pelaksanaan open
class dimulai dengan pengantar dan penjelasan umum oleh kepala sekolah yang
bersangkutan, dilanjutkan dengan penjelasan oleh guru model berkaitan dengan
model pembelajaran yang telah disusun dan aktivitas siswa yang diharapkan. Dalam
mengobservasi kegiatan pembelajaranb para observer memfokuskan perhatian pada
aktivitas siswa: selama pembelajaran diamati bagaimana interaksi siswa dengan siswa,
siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan media pembelajaran, saat-
saat kapan siswa nampak antusias dan kapan siswa nampak bosan. Bagaimana siswa
beinteraksi dalam kelompoknya, bagaimana distribusi dan komposisi siswa dalam
kelompok. Siswa mana yang paling aktif dan siswa mana yang Nampak mengalami
kesulitan. Kelompok mana yang aktif dan mana yang kurang aktif. Siswa yang diamati
oleh seorang observer biasanya terbatas hanya satu atau dua kelompok agar
pengamatannya lebih fokus. Selama proses pengamatan, observer tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun, dan observer mengambil
posisi yang tidak mengganggu kegiatan pembelajaran
Tahap Refleksi (See) dilaksanakan sesaat setelah berakhirnya pembelajaran,
diskusi antara guru dan observer dipandu oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
Tahap ini diawali dengan pengarahan kepala sekolah mengenai tata cara refleksi,
kemudian guru penyaji menyampaikan kesan-kesan atau penilaian diri terhadap
pembelajaran yang baru saja dilaksanakannya, selanjutnya para observer
menyampaikan hasil pengamatan atau komentar dan lesson learnt dari pembelajaran
terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Hasil pengamatan para observer
diharapkan menjadi bahan masukan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 316
HASIL KEGIATAN LESSON STUDI GURU-GURU IPA DAN MATEMATIKA
1. Tahap Perencanaan (Plan)
Wilayah: Selatan, tempat di Sekolah senter: SMPN 22 (Jl. Gayungsari Barat X/
38). Partisipan: guru IPA dan Matematika 36 orang, Kepala sekolah: 1 orang,
Pengawas: 2 orang dan Nara Sumber 4 orang.
a. Tahap Identifikasi Masalah
Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 18 Agustus 2009.
Diskusi dipandu oleh nara sumber dari LPTK. Diskusi cukup dinamis, terutama ketika
para guru engungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam mengimplementasikan
pembelajaran fisika. Masing-masing guru mengungkapkan permasalahan yang
berbeda. Misalnya: Motivasi siswa, keterbatasan alat peraga, dan kesulitan dalam
penggunaan matematika. Setiap permasalahan didiskusikan pula upaya mengatasinya,
setiap guru memberikan pengalamannya, sehingga termotivasi untuk membuat
pembelajaran yang dapat mengatasi semua permasalah tersebut. Seluruh guru terlibat
aktif dalam diskusi, masalah-masalah yang teridentifikasi: 1) Selama ini pembelajaran
fisika tidak diminati siswa, karena selain materinya sulit dipahami juga banyak
menggunakan rumus matematika. Pembelajaran yang hanya bersifat ceramah
membuat siswa menjadi tambah berkurang motivasi belajarnya. Pembelajaran fisika
yang bagaimana yang dapat mengaktifkan siswa? Alternatif solusi: memberikan
pengalaman belajar kepada siswa melalui kegiatan eksplorasi, 2) Alat peraga fisika di
sekolah sangat terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya. Bagaimana
mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika yang terbatas? Alternatif solusi:
mengembangkan alat peraga pembelajaran fisika yang bersifat local material, 3)
Kesulitan yang banyak dialami siswa dalam menyelesaikan persoalan fisika yang
mengandung persamaan matematika. Pembelajaran fisika yang bagaimana yang dapat
mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan fisika yang menggunakan
operasi matematika? Alternatif solusi: mengembangkan pembelajaran fisika yang
kontekstual, hands-on activities dan daily life. Setiap guru ditugaskan untuk membuat
Rencana Pembelajaran yang akan dibahas pada kegiatan MGMP pertemuan
berikutnya. Penentuan topik didasarkan pada Kurikulum 2004 dan program sekolah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 317
yang disesuaikan dengan jadwal implementasi 20 September 2009 di SMP 36
Surabaya. Berdasarkan hasil diskusi karena pada umumnya guru mengajar pada kelas
VIII, maka ditetapkan topik yang ada di kelas VIII. Penentuan topik didiskusikan oleh
seluruh guru dengan mengacu pada masalah yang akan diatasi. Topik yang dipilih
adalah Hukum Kirchooff. Guru-guru berperan aktif dalam diskusi, semua guru turut
menyumbangkan saransaran untuk memperkaya ide-ide, selanjutnya menentukan
topik yaitu Hukum Kirchooff. Nara sumber memberikan motivasi dalam memandu
jalannya diskusi danmemberikan masukkan.
b. Tahap Perencanaan Pembelajaran
Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 18 Agustus
2009.Masing-masing guru telah membuat Rencana pembelajaran untuk didiskusikan.
Setelah diskusi yang dipandu oleh Narasumber akhirnya diputuskan satu Rencana
pembelajaran yaitu tentang Hukum Kirchooff. Dalam diskusi hanya empat orang guru
yang terlibat, sedangkan lainnya kurang aktif. Komponen dalam Rencana Pembelajaran
yaitu: a) Hands-on Activity: Dalam diskusi nara sumber mengarahkan agar dalam
pembelajaran mengandung unsur hands-on activity. Guru menanggapi dengan baik,
hal ini tampak dengan adanya usulan agar siswa membuat rangkaian listrik sederhana
dan dapat mengamati arus listrik pada rangkaian dengan ampermeter, b) Local
Material: Unsur local material pada rencana pembelajaran tampak baterai, kabel,
tempat baterai dari karton, seloptape, bola lampu senterl, c) Daily Life: Dalam
mendiskusikan skenario pembelajaran guru mendiskusikan pada tahap pendahuluan
siswa diajak membahas tentang aplikasi Hukum Kirchooff dalam kehidupan sehari-hari.
c. Tahap Ujicoba Teaching Material
Tahap ini dilaksanakan pada pertemuan MGMP tanggal 22 Agustus
2009.Diskusi dipandu oleh nara sumber membahas tentang Rencana Pembelajaran
yang telah dilengkapi dengan LKS, dan instrument penilaian. Rencana Pembelajaran
dibuat guru model bekerja sama dengan guru lain. Dalam diskusi empat orang guru
aktif dalam diskusi, sedangkan empat guru lainnya kurang aktif termasuk guru fisika di
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 318
sekolah yang bersangkutan. Selanjutnya ujicoba teaching material dilakukan dengan
mencoba alat peraga dan alat praktikum yang dikembangkan. Semua guru mencoba
dan cukup berhasil. Proses pengadaan teaching material, LKS dan alat evaluasi akan
diusulkan kepada sekolah. Pengadaan alat peraga dan praktikum sebagian ditugaskan
pada siswa. Peran Nara sumber dari LPTK yaitu memandu diskusi dan memberikan
masukkan bila diperlukan. Misalnya pada saat adanya pertentangan pendapat antara
guru model dan guru lain. Peran Fasilitator MGMP cukup baik, terutama dalam
memfasilitasi kegiatan Lesson Study, juga terlibat aktif dalam diskusi.
2. Tahap Pelaksanaan (Do)
Wilayah: Selatan, tempat : SMPN 36 Surabaya. Pada tanggal 20 September
2008. Partisipan: guru IPA 36 orang, Kepala sekolah: 2 orang, Pengawas: 1 orang dan
Nara Sumber 4 orang.
Hal-hal yang teramati pada tahap pelaksanaan:
Pendahuluan: Kegiatan diawali dengan sambutan dari Kepala Sekolah yang
memberikan pengarahan dan memotivasi kepada guru agar dapat mengambil manfaat
dari kegiatan Open Lesson. Nara sumber memberikan pengarahan tentang teknik
mengamati oleh pada guru observer dan teknik pelaksanaan kegiatan refleksi. Proses
Pembelajaran: 1) Aktivitas siswa pada awal pembelajaran yaitu siswa tampak
memperhatikan dan menjawab pertanyaan apersepsi dan penggalian konsepsi awal.
Tetapi tidak ada siswa yang bertanya pada kegiatan ini, 2). Aktivitas siswa pada
kegiatan inti siswa belajar secara berkelompok dan tampak didominasi oleh satu atau
dua orang siswa. Tidak ada interaksi antar kelompok. Semua siswa berpartisipasi dan
terampil dalam menggunakan alat peraga. Dalam mengambil kesimpulan siswa
mengalami kesulitan sehingga dibantu oleh guru. LKS yang diberikan dapat dipahami
oleh siswa. Siswa tidak diajak untuk berpikir kritis dan tidak ada siswa yang bertanya
jika mengalami kesulitan. Siswa tidak mempresentasikan hasil kegiatannya, 3) Pada
kegiatan penutup revieu diarahkan oleh guru. Keterlibatan pengamat: kehadiran
observer dan video shooting tidak mengganggu konsentrasi siswa belajar. Para
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 319
observer menempati di sisi kelas dan melakukan pengamatan sambil mengisi lembar
observasi. Observer cukup antusias dalam mengamati pembelajaran.
3. Tahap Refleksi (See)
Tahap refleksi dilakukan setelah tahap implementasi selesai. Hal-hal yang
teramati pada tahap refleksi: 1) Guru model merasa grogi jika diawasi, oleh karena itu
ada langkah skenario yang terlewatkan. Kurang ada keterkaitan dengan kegiatan
sebelumnya. Waktu kelebihan selama 10 menit, 2) Guru pengamat (observer)
memberikan komentar tentang ada anak yang menyontek dalam mengisi LKS, tes awal
dan tes akhir bukan berasal dari hasil praktek, tapi hafal dari syair nyanyian. Kegiatan
praktikum yang dilaksanakan sulit disimpulkan oleh siswa, 3) Kepala sekolah dari SMPN
36 Surabaya memberikan komentar sebagai berikut: Anak-anak bosan setelah aktivitas
selesai, tidak ada kerjasama antar kelompok, dan siswa belum berani mencoba hal
yang baru. Tanggapan dari Guru Model: 1) Proses pembelajaran kurang berjalan
dengan lancar sehingga ada langkah-langkah pembelajaran yang terlewati. Hal ini
disebabkan karena adanya pengamat sehingga saya merasa grogi dan kaku, 2) Siswa
dalam menggunakan LKS masih ada yang mengalami kesulitan terutama dalam
memperoleh bayangan yang diperkecil dan terbalik. Upaya yang dilakukan guru adalah
membantu siswa untuk memperoleh bayangan tersebut, 3) Instrumen penilaian sulit
diterapkan karena siswa banyak yang berubah posisi tempat duduk, sedangkan
komponen penilaian cukup banyak, 4) Repon siswa cakup baik, walaupun ada
beberapa anakyang kurang bersemangat, tetapi dengan adanya nyanyian anak-anak
tersebut menjadi kembali bersemangat, 5) Saran untuk kegiatan MGMP adalah
memotivasi peserta agar dapat terus hadir dalam kegiatan lesson study.
Tanggapan dari Guru Observer: 1) Menurut Guru Observer, pembelajaran yang
adi dilaksanakan sudah inovatif terutama dalam memotivasi anak dalam belajar, 2) Jika
model tersebut diterapkan, yang menjadi kendala adalah pengkondisian proses
pembelajaran yang dihadapi anak ke arah pembaharuan. Cara mengatasinya adalah
dengan sosialisasi pada siswa, 3) Media pembelajaran yang digunakan dapat diadopsi
dan dimodifikasi. Yang harus dipersiapkan supaya menjadi pembelajaran lebih baik
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 320
adalah pengkajian materi ajar sehingga semua media yang digunakan dapat tepat
guna, 4) Yang menjadi fokus perhatian adalah keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran. Siswa mulai belajar pada saat materi yang diajarkan dapat dipahami
oleh siswa, siswa akan berhenti belajar ketika materi yang diberikan tidak bisa diikuti
siswa, 5) Guru model menyatakan bersedia, dan ingin merasakan adanya tantangan
tersebut, 6) Menurut observer lesson study dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran. Manfaat kegiatan ini adalah memberikan penyegaran terhadap
langkah-langkah pembelajaran yang telah terlupakan. Diharapkan kegiatan lesson
study dapat berjalan secara berkesinambungan. Tanggapan dari Fasilitator MGMP: 1)
Kegiatan lesson study sangat bermanfaat, kalau betul-betul dilaksanakan di KBM
sehari-hari dan kalau dilaksanakan berkelanjutan. Lesson study ini sudah mengalami
banyak kemajuan baik dari kesiapan administrasi maupun saat implementasi
pembelajaran. Tampak sudah terlihat gambaran peningkatan pengetahuan tentang
lesson study pada peserta MGMP, 2) Manfaat lesson study bagi anggota MGMP adalah
diperolehnya pengalaman dan pembelajaran bagi peserta sehingga rencana yang
sudah disusun dapat dipraktekan di sekolah masing-masing, 3) MGMP dapat
melaksanakan lesson study tanpa keterlibatan LPTK karena pengalaman yang sudah
diberikan sudah cukup untuk melaksanakan secara mandiri. Kepala Sekolah harus terus
diajak untuk mendukung kegiatan Lesson Study -MGMP ini, 4) Kesulitan yang dihadapi
adalah mengkoordinir para peserta agar tetap berpartisipasi dan apakah semua kepala
sekolah terutama swasta tetap akan mendukung, 5) Komunikasi antara sekolah dan
LPTK sebaiknya tetap dipelihara, karena kami tetap memerlukan nara sumber untuk
mendapatkan masukan yang berkaitan dengan pembelajaran Sains. Diharapkan ada
kegiatan membuat metode KBM yang efektif, dan berlatih membuat alat-alat
pembelajaran yang mudah, murah sehingga membantu siswa dalam memahami
pelajaran. Tanggapan dari Siswa: 1) Menurut tiga orang siswa, pelajaran fisika
terkadang sulit dan kadang mudah. Kesulitan yang dihadapi jika materinya berkaitan
dengan rumus matematika. Mudah dipelajari jika ada kegiatan praktikum, 2) Menurut
siswa pembelajaran yang baru dialami cukup menyenangkan karena ada kegiatan
menyanyi, yang tidak perah dilakukan sebelumnya. Pembelajaran fisika yang biasa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 321
dilakukan adalah diskusi, membuat alat sederhana seperti termometer, cerobong asap,
termos sederhana, 3) Siswa merasa senang setelah mengikuti pembelajaran, terutama
pada kegiatan menyanyi, praktikum dan diskusi kelompok, 4) Kesulitan yang dialami
adalah pada saat mencari bayangan yang jelas, kecil dan terbalik, 5) Kehadiran
pengamat tidak ngganggu kami belajar. Kegiatan pembelajaran tadi lebih baik dari
pada biasanya karena ada nyanyian, berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, ada
percobaannya dan mengkaitkan dengan agama.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dan refleksi kegiatan lesson study tersebut
diperoleh temuan bahwa rata-rata siswa mulai belajar pada saat guru memberikan
apersepsi dan penggalian konsepsi awal. Siswa tampak lebih aktif dan sangat antusias
pada saat melakukan percobaan. Dalam mengikuti pembelajaran, sebagian besar siswa
berinteraksi dengan baik terhadap guru, terhadap bahan ajar dan terhadap sesama
teman, dan siswa sudah mampu mengapresiasi percobaan. Namun proses
pembelajaran yang dikembangkan belum mampu memacu siswa untuk
mengungkapkan gagasan atau ide-ide, siswa tampak mengalami kesulitan dalam
menarik kesimpulan berdasarkan percobaan, belum ada interaksi antar kelompok dan
LKS yang digunakan masih menimbulkan sedikit kebingungan siswa, maka alternatif
langkah pemecahannya yaitu pengelolaan kelas perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan aktifitas siswa baik dalam kelompok maupun antar kelompok, LKS
dikembangkan untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih kreatif dan
terbuka serta cakupan materi sebaiknya tidak terlalu banyak, tetapi lebih memberikan
kesempatan belajar
bagi siswa sehingga siswa memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Merujuk
kepada berbagai hasil penelitian dan kajian tentang pembelajaran maka dalam
merancang dan melaksanakan pembelajaran IPA hendaknya guru memperhatikan hal-
hal sebagai berikut: a) mempertimbangkan pengetahuan awal siswa, b) memandang
pembelajaran sebagai proses transformasi konsepsi yang menyebabkan terjadinya
perubahan konsepsual pada diri siswa, c) melibatkan siswa dalam kegiatan IPA melalui
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 322
percobaan karena perubahan konseptual atau pengetahuan dikonstruksi siswa melalui
partisipasi aktif dalam aktivitas handon dan mind-on, d) memperhatikan interaksi sosial
dengan melibatkan siswa dalam kegiatan diskusi kelompok atau kelas (Bell, 1993).
Berdasarkan hasil observasi dan tanggapan guru model, guru pengamat
(observer), fasilitator MGMP, dan Kepala Sekolah, maka kegiatan lesson study telah
mampu menumbuhkan ompetensi guru.Kemampuan guru dalam mengatasi
permasalahan pembelajaran tergolong baik, guru terbiasa melakukan identifikasi
masalah pembelajaran yang dihadapinya dan terpacu untuk memikirkan alternatif cara
pemecahan masalah melalui kolaborasi dan mutual learning dengan guru lainnya
sehingga kesulitankesulitan dalam melaksanakan pembelajaran dapat teratasi, baik
yang berhubungan dengan materi pembelajaran maupun pengadaan bahan dan alat
percobaaan. Terkait dengan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran,
pada awalnya rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh masing masing guru
cukup bervariasi dan masing-masing memiliki kelemahan, misalnya: tidak
terungkapnya upaya untuk menggali konsepsi awal siswa, tidak jelasnya
metode/strategi yang digunakan untukmemotivasi aktivitas belajar siswa, kurang
tampak adanya kreativitas dalam mengembangkan alat/media pembelajaran, serta
pengembangan rancangan asesmen yang belum memadai. amun melalui kegiatan
lesson study terutama pada tahap perencanaan yang dilakukan secara kolaborasi
kelemahan tersebut dapat diatasi. Kemampuan guru dalam pelaksanaan pembelajaran
tergolong baik . Guru model lesson study, bisa menciptakan proses pembelajaran
menjadi lebihn menarik dan tidak membosankan. Guru lebih mudah dalam
menegaskan konsep sementara siswa bisa melakukan eksplorasi untuk menemukan
konsep.
Keutuhan struktur pembelajaran seperti kelengkapan fase-fase pembelajaran
dan kesinambungan antar fase pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, sekalipun
masih belum sempurna. Dari sisi keterampilan mengajar seperti penguasaan materi,
penggunaan media pembelajaran, pengelolaan kelas, keterampilan bertanya dan
keterampilan memotivasi juga tergolong baik. Kegiatan lesson study seperti yang telah
dilakukan akan memberikan manfaat bagi guru seperti meningkatnya pengetahuan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 323
guru tentang materi ajar dan pembelajarannya, meningkatnya pengetahuan guru
tentang cara mengobservasi aktivitas siswa, menguatnya hubungan kolegalitas baik
antar guru maupun observer selain guru, menguatnya hubungan antara pelaksanaan
pembelajaran sehari-hari dengan tujuan pembelajaran jangka panjang, meningkatnya
motivasi guru untuk senantiasa berkembang, dan meningkatnya kualitas rencana
pembelajaran (termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching
material berbasis handsondan minds-on , dan strategi pembelajaran.
KESIMPULAN
Lesson Study sebagai suatu kegiatan yang diawali dengan pengembangan
perencanaan secara bersama, proses pembelajaran terbuka dengan melibatkan
sejumlah observer, dan refleksi atau diskusi pasca pelaksanaan pembelajaran,
merupakan suatu kegiatan yang sangat potensial dalam peningkatan kualitas
keprofesionalan guru IPA dan Matematika (membangun kompetensi guru) yang
berdampak pada peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran dan menciptakan
proses interaksi antar berbagai pihak, yaitu guru, dosen, kepala sekolah, pengawas,
pejabat dinas pendidikan , dan lain-lain.
SARAN
Kegiatan lesson study seyogianya dikembangkan secara terus menerus agar
sosok guru yang profesional yang memiliki sejumlah kompetensi seperti yang
disyaratkan oleh Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 agar guru menjadi
profesional dan berdampak positif terhadap peningkatan mutu proses pembelajaran
seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tentang Standar Nasional
Pendidikan kelak akan tumbuh dengan sendirinya dan terwujud menjadi kenyataaan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 324
DAFTAR PUSTAKA
Bell, B. F.(1993). Children’s Science, Constructivism and Learning in Science.Victoria:
Deakin University.
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Fisika
SMP/MTs. Jakarta:Balitbang Depdiknas
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar
Depdiknas, (2001), Standar Kompetensi Guru SLTP. Jakarta: Dirjen
Dikdasmen.Indonesia. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Sardjono. (2000). Permasalahan Pendidikan MIPA di Sekolah dan Upaya
Pemecahannya. Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA. FPMIPA UM
Malang.
Sidi, I. D. (2000). Pendidikan IPA di Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah,
Makalah pada Seminar dan Lokakarya Pendidikan MIPA di Indonesia. Bandung:
ITB.
Sumar Hendayana, dkk. (2007). Lesson Study “Suatu Strategi untuk Meningkatkan
Keprofesionalan Pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). UPI PRESS.
Suyanto, S. (2000). Reformasi Pola Pengembangan Guru Menyongsong Era Globalisasi
dan Otonomi. Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan MIPA
di Era Globalisasi . FMIPA
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 325
P-20
LKS MATEMATIKA BERBASIS ICT
UNTUK MEMFASILITASI SISWA BERPIKIR KRITIS
Siti Rokhmah
Sitti Maesuri Patahuddin
Mohamad Nur
Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa
ABSTRAK
Kemampuan berpikir kritis adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
siswa di era perkembangan internet yang pesat. Hal ini berimplikasi pada
pentingnya peran guru dan perangkat pembelajaran dalam memfasilitasi
siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka. Makalah ini
memaparkan aspek-aspek berpikir kritis dari LKS matematika berbasis ICT
yang dikembangkan peneliti di Pusat Sains dan Matematika Sekolah
(PSMS) Unesa.
Kata kunci: LKS berbasis ICT, internet, website matematika berbahasa
Inggris,berpikir kritis, RSBI.
Pendahuluan
Salah satu butir Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) SMP/SMPLB,
yaitu menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
(Permendiknas No. 23/2006). Hal ini menjadi salah satu dasar dikembangkannya LKS
berbasis ICT yang memfasilitasi perkembangan berpikir kritis siswa.
Menurut Traherne yang dikutip oleh Johnson (2002), bahwa tak ada yang lebih mudah
dari berpikir, demikian juga tidak ada yang lebih sulit dari berpikir dengan baik. Ini
mengindikasikan bahwa berpikir kritis bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang dan
oleh karena itu berpikir kritis perlu ditumbuhkembangkan sejak kecil.
Menurut Johnson (2002: 100) bahwa:
Critical thinking is a clear, organized process used in such mental
activities as problem solving, decision making, persuading, analyzing
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 326
assumptions, and scientific inquiry. Criticl thinking is the ability to reason
in an organized way. It is the ability to systematically evaluate the quality
of one’s own reasoning and that of others.
Jadi orang yang berpikir kritis adalah orang yang menggunakan proses yang
jelas, terorganisasi dalam kegiatan-kegiatan mental misalnya dalam pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, proses mempengaruhi orang lain, manganalisis
asumsi-asumsi, dan dalam melakukan inkuiri yang bersifat ilmiah. Berpikir kritis
merupakan kemampuan mengajukan alasan secara terorganisasi, dan sekaligus
kemampuan untuk mengevaluasi secara sitematis kualitas dari penalaran yang
dilakukan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Johnson menjelaskan bahwa berpikir kritis memungkinkan siswa mendeteksi
kebenaran dalam kejadian-kejadian dan informasi yang mereka terima setiap hari.
Berpikir kritis merupakan proses yang sistemetatis yang memungkinkan siswa
memformulasikan dan mengevaluasi apa yang mereka percayai atau pernyatan-
pernyataan mereka. Berpikir kritis merupakan yang terorganisir yang memungkinkan
mereka mengevaluasi bukti-bukti, asumsi-asumsi, logika, atau bahasa yang mendasari
pernyatan yang dibuat oleh orang lain.
Johnson juga menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah untuk mencapai
pemahaman yang mendalam dan pemahaman tersebut memungkinkan seseorang
melihat ide-ide yang mendasari ide-ide yang memberi arah dalam kehidupan sehari-
hari kita. Pemahaman menyampaikan makna di balik suatu kejadian.
Sedangkan kemampuan berpikir kritis menurut Mulyanto (2008) adalah kemampuan
membuat kesimpulan dan menilai keaslian serta kebenaran sesuatu dengan
beradasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki. Selain itu menurut Halpen (dalam
Achmad 2007), menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah memberdayakan
keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Sejalan dengan hal itu,
Anggelo (dalam Achmad 2007) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah
mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 327
menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya,
menyimpulkan, dan mengevaluasi.
Begitu kompleknya kemampuan yang harus dimiliki siswa untuk dapat berpikir
kritis, maka dalam era teknologi yang sangat pesat ini, pengembangan kemampuan
berpikir siswa perlu dikembangkan sejak dini. Hal ini perlu di dukung oleh guru yang
berkompeten dan perangkat pembelajaran yang dapat digunakan untuk menfasilitasi
perkembangan berfikir kritis siswa. Makalah ini secara khusus akan menganalisis
aspek-aspek berpikir kritis dari LKS matematika berbasis ICT yang telah dikembangkan
peneliti di Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) Unesa.
Metode Penelitian
Penelitian pengembangan LKS berbasis ICT mengacu pada model pengembangan
Fenrich (1997), meliputi fase analysis, planning, design, development,
implementation, evaluation and revision. Tetapi tahap implementasi belum dilakukan.
Pengembangan ini dilaksanakan bulan Oktober – November 2009 dan diujicobakan
pada tiga siswa kelas VII RSBI SMP Al Hikmah Surabaya pada tanggal 30 Oktober 2009.
Ujicoba dilaksanakan di ruang laboratorium IPA yang mempunyai koneksi internet Wi-
fi.
Pada fase analisis peneliti mencari dan mereviu website-website pembelajaran
matematika, mencermati isi kurikulum matematika SMP dan kembali mereviu website-
website pilihan yang telah ditelusuri sebelumnya yang sesuai dengan kurikulum
tersebut. Selanjutnya peneliti menetapkan segitiga dan segi empat sebagai materi
yang akan dikembangkan dalam LKS berbasis ICT serta menentukan website-website
matematika berbahasa Inggris yang bersesuaian.
Pada tahap perencanaan dilakukan perancangan skenario pembelajaran, perencanaan
rinci tentang aktifitas siswa, identifikasi alat dan sarana penunjang pembelajaran
seperti komputer/laptop, jaringan internet, dan printer.
Tahap selanjutnya adalah perancangan LKS berbasis ICT, yaitu mengintegrasikan
website matematika berbahasa Inggris untuk membantu siswa mencapai tujuan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 328
belajar matematika dan memfasilitasi siswa untuk mencapai SKL yang sesuai dengan
kurikulum.
Pada fase development dilakukan telaah atau evaluasi terhadap LKS berbasis ICT
beserta perangkat pelengkapnya (Kunci LKS, Lembar Penlaian beserta kuncinya, kit alat
dan bahan serta vocabulary list).
Instrumen utama adalah Tim Peneliti dengan menggunakan diary penelitian. Pada
saat pelaksanaan ujicoba, Tim Peneliti yang dibantu oleh seorang pengamat
mengumpulkan data menggunakan catatan lapangan, camcorder dan kamera. Data
lain juga bersumber dari hasil kerja siswa pada ketiga LKS dan angket respon siswa.
Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Catatan pengamatan dianalisis
untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan maksud penelitian seperti yang
telah disebutkan. Video pada dasarnya digunakan untuk mengecek ketepatan catatan
atau melengkapinya, misalnya mencermati cara tim peneliti memfasilitasi mereka,
mengecek kembali aktifitas-aktifitas yang dilakukan siswa. Kelebihan video ini adalah
kejadian-kejadian yang terekam dapat diputar berkali-kali sehingga membantu peneliti
dalam proses analisis khususnya dalam membuat interpretasi pada data yang telah
dikumpulkan.
Pembahasan
Dalam penelitian pengembangan ini, LKS yang diujicobakan sebanyak tiga. LKS 01
tentang klasifikasi segitiga, LKS 02 tentang mengkonstruksi segitiga dan LKS 03 tentang
luas persegi panjang dan jajargenjang. Dalam makalah ini peneliti membatasi pada
analisis aspek berpikir kritis. Berikut akan dideskripsikan bagian dari LKS dan salah satu
website yang memfasilitasi siswa berpikir kritis.
Aspek berpikir kritis LKS
Pada kegiatan hands on activity LKS 01 siswa diminta membuat beberapa model
segitiga yang berbeda dengan menggunakan stik kayu yang disediakan. Siswa mampu
membuat berbagai macam bentuk segitiga dengan jenis yang terbatas (segitiga sama
kaki, segitiga sama sisi dan segitiga siku-siku). Akan tetapi mereka belum banyak
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 329
mengetahui mathematics vocabulary terkait materi segitiga tersebut. Guru sebagai
fasilitator membimbing siswa dalam melakukan investigasi, seperti melakukan tanya
jawab seputar perbedaan masing-masing segitiga yang mereka buat. Mereka
menjelaskan bahwa perbedaannya ada pada panjang sisi (sama atau tidak) dan besar
sudutnya (sama atau berbeda).
Berdasarkan penjelasan dan tulisan pada sticky notes, mereka belum bisa menentukan
karakteristik segitiga tersebut dalam bahasa Inggris dengan benar. Sebagai contoh,
siswa menyebut sama kaki dengan “same feet”, siku-siku dengan “90 degrees”, dan
sama sisi dengan “same angles”. Contoh hasil kerja siswa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Hasil kerja siswa pada Kegiatan 1 LKS 01
Pada LKS 02 siswa diminta menempatkan titik C sehingga terbentuk segitiga siku-siku
dan segitiga sama kaki ABC jika diberikan ruas garis AB, di mana AB menjadi salah satu
sisi dari segitiga tersebut. Awalnya siswa hanya dapat membuat masing-masing satu
jenis segitiga. Setelah dibimbing oleh guru, seperti “bisakah kamu membuat segitiga
siku-siku dan sama kaki yang lain?’ dan “berapa banyak segitiga siku-siku dan sama
kaki yang bisa kamu buat?”, akhirnya siswa mampu membuat berbagai macam (lebih
dari 4) bentuk, baik segitiga siku-siku maupun segitiga sama kaki. Hasil kerja siswa
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam kegiatan ini salah satu siswa, disetujui
oleh dua siswa lain, mengatakan bahwa segitiga yang mungkin terbentuk tak hingga
banyaknya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 330
Gambar 2. Berbagai macam segitiga siku-siku yang dibuat salah satu siswa
Sedangkan pada LKS 03, siswa diminta mendemonstrasikan cara membuat persegi
panjang dari model jajargenjang yang terbuat dari kertas karton. Awalnya ada siswa
yang beranggapan bahwa untuk membuat persegi panjang dari jajargenjang harus
memotong jajargenjang tersebut menjadi dua bagian yang sama. Akan tetapi setelah
mencoba sendiri membuat persegi panjang dari berbagai macam bentuk jajargenjang,
siswa tersebut menyimpulkan bahwa tidak harus memotong jajargenjang menjadi dua
bagian yang sama untuk membuat sebuah persegi panjang tergantung dari bentuk
jajargenjang tersebut. Seperti tampak pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Hasil demonstrasi siswa membentuk persegi panjang
dari sebuah jajargenjang
Pada akhir kegiatan siswa dapat menyimpulkan bahwa jika jajargenjang dapat
dibentuk menjadi persegi panjang maka luas jajargenjang tersebut sama dengan luas
persegi panjang yang dibentuk sehingga rumus luas jajargenjang sama dengan rumus
luas persegi panjang sama dengan panjang kali lebar.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 331
Contoh website memuat aspek berpikir kritis
Banyak sekali sumber-sumber belajar matematika yang telah tersedia melalui internet,
termasuk materi yang dapat digunakan untuk memacu berpikir kritis siswa. Beberapa
contoh seperti yang digunakan dalam LKS berbasis ICT yang dikembangkan oleh tim
peneliti.
Namun demikian hal yang perlu disadari bahwa materi-materi yang telah tersedia itu
dapat tidak berarti atau tidak bermanfaat dalam membangun berpikir kritis siswa,
misalnya siswa hanya sekedar membacanya tanpa ada upaya untuk mengeksplorasi
lebih jauh apa yang dibacanya atau tanpa keingintahuan siswa pada materi yang
disajikan melalui internet tersebut. Pendampingan guru atau arahan guru dalam
mengoptimalkan internet sebagai alat belajar sangat diperlukan.
Sebagai contoh, pada website illumination, ketika pengguna internet mengunjungi
http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142, halaman web yang muncul
adalah seperti pada Gambar 4 berikut. Di bawah judul Triangle Classification, terdapat
pertanyaan dimana titik C seharusnya ditempatkan sehingga terbentuk segitiga siku-
siku ABC, dan segitiga lainnya.
Gambar 4. Tampilan awal
http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142
Di bawah subjudul Exploration, pengguna internet dapat mengeklik Show Randon
Triangle, hasilnya akan muncul gambar segitiga dengan ukuran sisi dan sudut-sudutnya
diberikan, seperti terlihat pada Gambar 5.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 332
Selanjutnya siswa dapat dengan bebas menggerakkan titik C ke segala arah (yaitu 360
derajat) dan bersamaan dengan itu, ukuran setiap sudut maupun sisi juga diberikan
pada layar. Dengan demikian siswa dapat mengamati kapan salah satu sudut segitiga
menjadi 90 derajad.
Gambar 5. Tampilan website ketika ”Show Random Triangle” diklik
Hal yang menarik dari website ini adalah, ketika siswa mengunjungi website ini,
petunjuk pada Instruction atau pun pertanyaan pada sub judul Exploration tidak
tampak. Hal ini baru tampak jika pengguna mengeklik tanda tambah pada kedua
subjudul tersebut, seperti tampak pada Gambar 6 berikut. Petunjuk-petunjuk tersebut
dapat dimanfaatkan guru dalam mempersiapkan dirinya menfasilitasi belajar siswa
dengan internet atau membantu guru dalam memacu siswa berpikir kritis. Dengan
demikian, hal-hal yang tidak positif yang mungkin terjadi dapat dihindari misalnya
siswa mengeklik tanpa ada arah yang jelas atau tanpa pemikiran yang cermat.
Meskipun pada kegiatan internet pada saat-saat tertentu, siswa tentunya perlu diberi
kesempatan untuk mengeksplorasi internet secara lebih bebas.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 333
Gambar 6. Tampilan website ketika Instructions dan Exploration diklik
Kelebihan lain dari website tersebut adalah tersedianya animasi yang dapat
dimanfaatkan siswa untuk menjelaskan bahwa tak terhingga banyaknya segitiga siku-
siku yang dapat terbentuk. Dengan adanya Show/Hide buttons, dimungkinkan bagi
para pengguna untuk menunjukkan alasan rasional mengapa banyak sekali
kemungkinan menempatkan titik C tersebut. Pada Gambar 7, tampak segitiga hijau
yaitu segitiga siku-siku dan dua garis sejajar. Bilamana titik C ditempatkan di sebarang
tempat di sepanjang dua garis lurus (garis hijau) tersebut, maka salah satu sudut
segitiga tersebut 90 derajad.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 334
(a) (b)
Gambar 7. Tampilan website ketika Show/Hide buttons diklik
Lebih jauh, siswa dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain, misalnya
letak garis AB di ubah. Hal ini dimungkinkan karena titik A dan titik B dapat digerakkan
secara bebas, sehingga bisa tampak gambar lain, misalnya pada Gambar 7a (sebelum
titik A atau B digeser) dan Gambar 7b (setelah titik A atau B digeser) di atas.
Simpulan dan Saran
LKS berbasis ICT yang dikembangkan dengan pertimbangan aspek berpikir kritis
ternyata pada pelaksanaan ujicoba aspek tersebut muncul. Sumber utama ide LKS ini
ditemukan dari website matematika berbahasa Inggris yang penulis belum temukan
dalam buku-buku paket matematika yang telah beredar.
Banyak sumber belajar yang tersedia di internet yang dapat digunakan guru dalam
membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Salah satu contohnya
telah dideskripsikan dalam makalah ini, dan masalah-masalah dalam website tersebut
belum ditemukan dalam buku paket. Kelebihan lain dibandingkan dengan buku, pada
website ini disiapkan gambar yang dapat dimanipulasi oleh siswa untuk meyakinkan
banyaknya segitiga yang dapat dikonstruksi pada situasi yang diberikan. Dengan
menggunakan website, pembelajaran menjadi lebih dinamis dan siswa dapat lebih
mudah memperoleh
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 335
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. (2007). Memahami Berpikir Kritis. Retrieved October, 2009, from http://re-
searchengines.com/1007arief3.html.
Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Mandikdasmen (Mei 2007). Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) Sekolah Menengah Pertama – Bertaraf Internasional (SMP-SBI).
Retrieved 16 September 2009. from
http://www.scribd.com/doc/19318295/skl-smp-sbi-semua-mapel.
Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning. Corwin Press, Inc. California.
Mulyanto, A. (2008). Tuntutan di Era Krisis: Pembiasaan Berpikir Kritis dengan
Pembiasaan membaca Kritis. Retrieved October, 2009, from http://www.fkip-
uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/artikel-pendidikan/58.
NCTM. (2009). Triangle Classification. Retrieved October, 2009, from
http://illuminations.nctm.org/ActivityDetail.aspx?ID=142.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 336
P-21
MENGOPTIMALKAN MEMORI JANGKA PANJANG
SISWA SMPN 1 PAJARAKAN DALAM MEMAKNAI KONSEP
GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DUA LINGKARAN DENGAN PENYANDIAN
Agustin Debora MS, SMPN 1 Pajarakan
Drs. Mustangin, M.Pd., Universitas Islam Malang
Dra. Santi Irawati, M.Si,Ph.D., Universitas Negeri Malang
PENDAHULUAN
Sudah menjadi wacana yang sangat umum, bahwa banyak siswa mengalami
kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran matematika. Di kalangan guru, yang
sering menjadi pembahasan adalah, ketika siswa diberi penjelasan tentang suatu topik
mereka menyatakan mengerti, namun pada saat mengerjakan soal banyak siswa yang
masih melakukan kesalahan. Dalam hal ini seolah-olah kesalahan ditimpakan kepada
siswa. Guru yang senantiasa berupaya meningkatkan profesionalitasnya, fenomena ini
menjadi bahan yang sangat perlu untuk segera diselesaikan dengan mengidentifikasi
penyebabnya.
Jika dianalisa penyebabnya, Widiharto (2008:6) mengutip tulisan Brueckner dan
Bond, Cooney.Davis dan Henderson (1975) mengelompokkan penyebab kesulitan
belajar menjadi lima faktor, yaitu : (1) Faktor Fisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor
Emosional, (4) Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis.
Adapun kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa yang ditulis oleh
Rachmadi R (2008:14), setelah mempelajari konsep, hal-hal yang sering terjadi pada
siswa adalah : * tidak memahami, samar-samar, segera lupa atau lupa sebagian, atau
sangat memahami. Kesulitan yang terjadi di atas sangat terkait dengan : (1)
Ketidakmampuan memberi nama singkat atau nama teknis, (2) Ketidakmampuan
menyatakan arti istilah yang menandai konsep, (3) Ketidakmampuan mengingat, (4)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 337
Ketidakmampuan memberikan contoh konsep tertentu, (5) Kesalahan klasifikasi, dan
(6) Ketidakmampuan mendeduksikan informasi berguna dari suatu konsep.
Dari kesulitan belajar di atas, tidak semuanya dapat dijawab dengan
mengoptimalkan faktor intelektual yang diproses di belahan otak kiri saja. Ada
beberapa kesulitan di atas yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan fungsi
otak kiri dan otak kanan secara sinergis. Selama ini yang terjadi adalah hanya fungsi
otak kiri saja yang masih digunakan.
Dalam makalah ini akan dibahas proses berpikir di otak manusia, yaitu proses
mengingat di dalam otak ajaib kita, serta cara mengubah memori jangka pendek
menjadi memori jangka panjang. Pengetahuan in sebaiknya perlu diketahui dan
dipahami oleh guru sebagai dasar perencanaan pembelajaran yang efektif dan mudah
bagi siswanya, sebagai bagian dari kemampuan pedagogis seorang guru.
Adapun dalam pembahasan ini, penulis memilih kurikulum SMP pada
kompetensi dasar mengitung panjang garis singgung persekutuan luar dan
persekutuan dalam dua lingkaran, karena dari hasil evaluasi pembelajaran siswa, sejak
penulis berkarya hingga munculnya ide pembelajaran ini, hasil evaluasi yang diperoleh
siswa masih di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah.
Siswa dianugerahi otak yang begitu ajaib. Jika beranjak dari cara kerja otak
manusia, ada hal yang belum tepat diberikan kepada siswa. Ada hal yang terlewatkan,
dan ini sangat disayangkan. Selama ini guru belum memaksimalkan fungsi otak yang
memproses long-term memory, sedangkan yang diberikan kepada mereka masih
sebatas short-term memory, dan tiba-tiba mereka dipaksa untuk diuji kemampuannya.
Melalui pembahasan ini, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tentang
kesulitan belajar. Dengan demikian seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal
dan tantangan. Semakin banyak siswa tahu cara belajar yang efektif dan efisien,
semakin banyak hal yang akan dicari oleh mereka. Harapan dan tujuan jangka panjang
dari pembahsan masalah ini adalah menjadikan siswa kita, anak-anak kita menjadi
manusia yang penuh percaya diri dan mereka akan menjadi insan yang jujur dengan
kemampuannya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 338
Sebagaimana yang tertulis di atas, fakta yang terjadi adalah lupa akan konsep
yang pernah dipelajari. Alasan tersebut menarik dan klasik, yang sudah berlangsung
sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia dan dialami siswa secara umum. Hal ini
berarti bahwa permasalahan yang harus dikupas, dipahami serta harus dicoba adalah
(1) Bagaimanakah proses mengingat di dalam otak ajaib kita? (2) Bagaimanakah cara
mengubah memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang? (3) Bagaimana
implementasinya, jika kedua hal di atas kita integrasikan dalam pembelajaran yang
membahas tentang GSPDL?
Siswa dianugerahi otak yang begitu ajaib. Jika beranjak dari cara kerja otak
manusia, ada hal yang belum tepat diberikan kepada siswa. Ada hal yang terlewatkan,
dan ini sangat disayangkan. Selama ini guru belum memaksimalkan fungsi otak yang
memproses Long-term Memory, sedangkan yang diberikan kepada mereka masih
sebatas Short-term Memory, dan tiba-tiba mereka dipaksa untuk diuji kemampuannya.
Dari bagan di bawah ini, dapat dilihat kesenjangan perlakuan antara yang
seharusnya dilakukan dengan yang telah dilakukan. Ada beberapa hal penting yang
seharusnya menjadi hak siswa yang belum kita berikan kepada mereka.
YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN YANG TELAH DILAKUKAN
FAKTA BARU
↓
SHORT-TERM MEMORY
↓
MENGULANG
↓
MEREKAM
↓
MENYIMPAN
↓
LONG-TERM MEMORY
↓
MENGINGAT
FAKTA BARU
↓
SHORT-TERM MEMORY
↓
↓
↓
↓
↓
MENGINGAT
Sehingga pada RPP yang akan dilaksanakan perlu direncanakan untuk proses :
(1) mengulang, (2) merekam dalam bentuk sandi, (3) menyimpan, dan (4) mengingat.
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menyelesaikan persoalan tentang
mengingat, sehingga seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal dan tantangan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 339
Tidak ada lagi siswa lupa dengan teori-teori yang harus digunakan, dan dengan cepat
segera menyelesaikannya.
Melalui pembahasan ini, diharapkan mampu menyelesaikan persoalan tentang
kesulitan belajar. Dengan demikian seseorang akan lebih terbuka dengan banyak hal
dan tantangan. Semakin banyak siswa tahu cara belajar yang efektif dan efisien,
semakin banyak hal yang akan dicari oleh mereka. Harapan dan tujuan jangka panjang
dari pembahsan masalah ini adalah menjadikan siswa kita, anak-anak kita menjadi
manusia yang penuh percaya diri dan mereka akan menjadi insan yang jujur dengan
kemampuannya.
Diharapkan siswa mengetahui dan merasakan betapa ajaibnya otak mereka,
serta mengembangkannya pada mata pelajaran yang lain. Selain itu, ketika di rumah
mereka dapat menerapkannya sebagai pola belajar sehari-hari sebelum mereka
menimba ilmu di sekolah.
Pada akhirnya guru mengetahui hal yang paling tepat untuk siswa atau anak-
anak. Jika dikombinasikan dengan kreativitas serta kondisi yang ada, maka ”pelayanan
untuk anak-anak kita” dapat dipandang sebagai sebuah karya seni. Semua menjadi
lebih mudah, lebih harmonis dan efektif jika kita persepsikan ”mengajar sebagai
sebuah seni”. Profesionalitas bukan sebuah impian, melainkan sesuatu yang telah siap
kita raih.
Definisi Operasional
1) Fakta Baru.
Kegiatan menggali informasi dari fakta yang telah ditemukan (explorasi 1)
2) Short Term Memory
Berhubungan dengan apa yang sedang dipikirkan atau dialami seseorang pada suatu
saat ketika menerima stimulus dari lingkungannya. Durasi informasi yang tersimpan
di dalam Short-term Memory adalah 15-20 detik saja.
3) Mengulang.
Mengulang kegiatan seperti yang dialami pada penemuan fakta baru ( eksplorasi 2).
4) Merekam/Penyandian.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 340
Dengan imaginasi melakukan simbulisasi atau pencitraan untuk informasi baru yang
telah diterima.
5) Long-term Memory
Merupakan memory penyimpanan yang relatif permanen, yang dapat menyimpan
informasi meskipun informasi tersebut tidak diperlukan lagi. Informasi yang
tersimpan di dalam Long-term Memory diorganisir ke dalam bentuk struktur
pengetahuan tertentu atau yang disebut skema.
6) Mengingat
Mempertahankan di dalam ingatan.
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
Kapasitas otak yang sangat luar biasa baru kita sadari. Otak kita memiliki 100
miliar sel otak. Setiap kali satu stimulus (gambar,suara atau sentuhan) mencapai salah
satu indra, sel otak menciptakan pikiran atas kesan yang keluar dari sel otak dan
menyusuri salah satu benang (dendrit), kemudian kesan ini menyeberang ke sel otak
yang lain. Proses ini terus berlanjut melibatkan jutaan sel otak yang terhubung sel yang
berurutan.
Setiap kali reaksi berantai terjadi, koneksi baru terbentuk di antara sel-sel otak.
Sebagian ini menjadi koneksi yang permanen jika terjadi berulang-ulang. Itulah
sebabnya kita dapat mengingat banyak hal tanpa perlu mengerahkan upaya secara
sadar.
Bukan jumlah sel otak yang menentukan hebatnya otak kita, melainkan jumlah
koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak kita.
Beberapa ilmuwan menyimpulkan bahwa kecerdasan tidaklah tetap. Semakin
sering kita menggunakan otak, semakin banyak pula koneksi antara sel-sel otak kita.
Semakin banyak koneksi yang terjadi di antara sel-sel otak kita, maka semakin besar
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 341
pula potensi kita untuk berpikir cerdas. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya, KITA
ADALAH ARSITEK OTAK KITA SENDIRI.
Bagian otak yang Bagian otak yang
Terangsang Tidak terangsang
Kita menyerap informasi melalui enam jalur utama : lihat, dengar, kecap,
sentuh, bau atau apa yang kita lakukan. Secara umum otak kiri kita memproses logika,
kata-kata, matematika dan urutan, yang disebut pembelajaran akademis. Otak
kanan kita memproses irama, rima, musik, gambar atau imajinasi, yang disebut
dengan aktivitas kreatif.
Colllin Rose memberikan contoh sederhana tentang bagaimana aspek-aspek
otak yang berbeda dapat bekerja sama secara terpadu. ”Jika kita mendengarkan
sebuah lagu, otak kiri akan memproses syairnya dan otak kanan memproses
musiknya”. Betapa luar biasanya kerja otak kita. Kita tidak perlu bekerja keras untuk
itu. Kita menghafalnya atau mengingatnya begitu cepat karena otak kiri dan otak
kanan kita keduanya terlibat, begitu pula dengan pusat emosi otak pada sistem
limbik. Pusat emosi otak kita juga berhubungan erat dengan sistem penyimpanan
memori jangka panjang. Oleh karena itu kita perlu mengetahui sedikit cara ingatan
bekerja dan cara meningkatkannya. Semua manusia telah dianugerahi ingatan yang
sudah bagus, tinggal bagaimana cara kita mengoptimalkannya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 342
Manusia memiliki memori jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka
pendek dirancang untuk menyimpan informasi sementara. Contohnya, nomor telepon
yang dicari dari buku telepon, atau mendengar pembicaraan seseorang dengan
sepintas. Informasi ini hanya diingat selama dibutuhkan. Coba kita bandingkan dengan
melihat gerakan jari–jari ketika menekan nomor telepon, kemudian kita coba
mengulangnya satu atau beberapa kali sambil kita merasakannya, apalagi ada suara
tone pada nomor yang ditekan, kemudian kita coba menirukan suara tone pada nomor
telepon yang ditekan, maka nomor telepon ini akan lebih lama diingat dari pada hanya
melihat nomor telepon dari buku telepon.
Dari kedua contoh di atas dapat kita bandingkan keterlibatan indra kita. Pada
contoh pertama yang dilibatkan hanya indra penglihatan saja dan tidak ada proses
pengulangan. Sedangkan pada contoh yang kedua, indra yang terlibat adalah
penglihatan, gerak, pendengaran dan rasa, serta ada proses mengulang. Jadi aspek
audio-visual-kinestetiknya nampak dalam proses mengingat sesuatu.
Manusia cenderung mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim.
Oleh karena itu jika ingin mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk mengaitkan
dengan gambaran yang lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang dilakukan oleh orang-
orang yang memiliki ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak digunakan untuk
pemrosesan visual. Membuat diagram, grafik, sketsa, warna atau garis bawah sangat
membantu.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 343
Ada beberapa sifat penyandian yang bisa saling melengkapi, di antaranya :
1) Penyandian Akustik (bunyi, suara, lagu)
2) Penyandian Visual (gambar)
3) Penyandian Fisik/Kinestetik (gerakan)
4) Penyandian Verbal (operasi bilangan dan logika)
Teori Memori menyatakan lupa sebagai kegagalan pada satu atau lebih stadium
tersebut.
Hipotesis Tindakan
Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan lupa yang
terjadi pada siswa kita, dapat diselesaikan dengan tahap-tahap sebagaimana terurai di
atas. Penulis berusaha mengkombinasikannya sehingga dapat dinyatakan dalam bagan
berikut, serta dapat dijadikan dasar dalam prosedur pelaksanaan penelitian tindakan
kelas.
Desain Pembelajaran yang Mengoptimalkan Otak Kiri dan Otak Kanan
Ada beberapa sifat penyandian yang bisa saling
melengkapi, di antaranya :
1) Penyandian Akustik (bunyi, suara, lagu)
2) Penyandian Visual (gambar)
3) Penyandian Fisik/Kinestetik (gerakan)
4) Penyandian Verbal (operasi bilangan dan
logika)
Teori Memori menyatakan lupa sebagai
kegagalan pada satu atau lebih stadium tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 344
Mendesain sebuah pembelajaran sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal
yang ada pada siswa dan mengacu pada proses berpikir. Sebagaimana tertulis pada
kajian proses mengingat di dalam otak, maka rencana pembelajaran yang
mengoptimalkan Longterm Memory System seyogyanya mengakomodasi tahap-tahap
sebagai berikut .
1) Fakta Baru
Pada fase ini berlangsung proses ”eksplorasi”. Siswa menemukan fakta,
kemudian mengkonstruksinya hingga menjadi sebuah konsep. Pendekatan kontekstual
penting sekali dalam hal ini, dan dapat dikemas dengan pengelolaan kelas dalam
kegiatan individu ataupun berkelompok. Pada tahap ini, informasi telah diterima oleh
indra siswa kita, direspon oleh otak sebagai koneksi-koneksi antar sel-sel otak.
2) Mengulang
Fase ini adalah mengulang kegiatan eksplorasi sebagaimana pada tahap
menemukan fakta baru. Jika dimungkinkan, kegiatan ini sebaiknya dilakukan secara
individu, karena justru pada tahap ini terjadi proses mempertahankan koneksi-koneksi
yang terjadi antara sel-sel pada otak siswa.
3) Menyandikan
Ini adalah tahap yang paling penting pada pembahasan ini. Konsep yang telah
didapat, diwujudkan dalam sebuah atau beberapa bentuk sandi. Bentuk sandi yang
dapat digunakan adalah sandi visual, sandi audio, sandi fisik/kinestetik, ataupun sandi
verbal.
4) Menyimpan
Menyimpan adalah mempertahankan koneksi-koneksi pada sel-sel otak. Tahap
ini adalah mengimaginasikan simbul-simbul yang telah dibuat, semakin sering
mengimaginasikannya, semakin permanen simbul itu tersimpan di dalam otak. Pada
awalnya sebaiknya guru sesering mungkin mengkondisikan proses ini di dalam kelas
walaupun dilakukan hanya beberapa saat ketika mengawali sebuah pembelajaran.
Pada akhirnya siswa akan dapat melakukannya sendiri sebagai pola belajar di rumah
ataupun di sekolah.
5) Mengingat
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 345
Ini adalah tahap memanggil sandi ketika dihadapkan pada sebuah persoalan
yang harus diselesaikan. Pada saat siswa menemukan sebuah persoalan, mereka akan
mengkaitkan dengan fakta yang telah mereka temukan sebelumnya, kemudian
mengimaginasikan sandi yang telah mereka miliki.
6) Menyelesaikan Masalah
Masih mengambil contoh persoalan di atas, dalam hal ini ada 2 konsep yang
diperlukan, yaitu konsep garis singgung persekutuan luar dua lingkaran dan teorema
Pythagoras. Oleh karena itu ada dua sandi yang dipanggil dan digunakan, yaitu sepeda
(sandi visual) dan jari-jari (sandi visual dan sandi verbal).
Contoh masalah :
Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm.
Sedangkan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari lingkaran
terkecil adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK), dengan
tujuan untuk mengkaji secara mendalam beberapa aspek penting dalam pembelajaran
matematika, yaitu:
a. Kemampuan menemukan fakta baru.
b. Kemampuan menyimpulkan.
c. Kemampuan merekam dalam bentuk SANDI VISUAL atau KINESTETIK.
d. Kemampuan mengingat kembali.
e. Kemampuan menyelesaikan persoalan.
Subyek, Tempat dan Waktu
Subyek : Siswa kelas VIIIB & VIIIE SMPN 1 Pajarakan Probolinggo
Tempat : SMPN 1 Pajarakan Probolinggo
Jln. Condong – Pajarakan Kulon Kec. Pajarakan – Kab.Probolinggo.
Waktu : Tahun Pelajaran 2008/2009 Semester.2
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 346
Kelas VIIIB : Senin, 16 Maret 2009 & Kamis, 19 Maret 2009
Kelas VII E : Senin, 16 Maret 2009 & Kamis, 19 Maret 2009
Prosedur Pelaksanaan
1) Perencanaan
Kegiatan awal untuk melaksanakan penelitian ini adalh menyiapkan semua piranti yang
dibutuhkan ketika pelaksanaan. Adapun yang perlu disiapkan adalah :
(1) Alat & bahan eksplorasi, (2) RPP dan Rubrik Autentik Assesment, (3) Lembar Kerja
Siswa, (4) Instrumen Penelitian
2) Pelaksanaan
KEGIATAN WAKTU
PENDAHULUAN :
Review : Teorema Pythagoras.
Definisi garis singgung sebuah lingkaran.
5 menit
KEGIATAN INTI:
PENEMUAN FAKTA BARU
EXPLORASI 1
Dilaksanakan kelompok.
1. Membuat 2 lingkaran dengan jari - jari yang berbeda.
R1 = 6cm dan R2 = 2cm. ( Disiapkan di rumah )
2. Meletakkan kedua lingkaran berdampingan dengan jarak antara
kedua pusat lingkaran adalah 10 cm, kemudian direkatkan dengan
lem.
3. Membuat garis singgung persekutuan luarnya.
4. Menentukan titik singgungnya.
5. Menghubungkan titik singgung dengan pusat lingkarannya.
6. Membuat garis yang sejajar garis singgung yang melalui titik pusat
lingkaran yang terkecil.
7. ADAKAH ”PYTHAGORAS” DI SANA ?
8. Membuat kesimpulan sementara (dalam diskusi kelompok).
12 menit
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 347
9. Menguji dengan teo. Pythagoras.
MENGULANG
EXPLORASI 2
Dilaksanakan individu
1. Mengulang kegiatan explorasi 1 dengan R1 dan R2 yang ditentukan
oleh siswa. ( Disiapkan di rumah )
2. Membuat kesimpulan dari kegiatan explorasi 2.
3. Apakah hasilnya sama dengan kegiatan explorasi 1 ?
4. Uji dengan Teo. Pythagoras.
10 menit
Diskusi kelas
Membuat kesimpulan Konsep Garis Singgung Persekutuan 2 Lingkaran
MEREKAM & MENYIMPAN DENGAN SANDI
• Apakah diperlukan sebuah RUMUS untuk menyatakan konsep garis
singgng persekutuan dua lingkaran ?
1. Imaginasikan / bayangkan ketika explorasi.
2. Imaginasikan sketsa konsep yang ada.
3. Sketsalah konsep di atas kertas →SANDI VISUAL
4. Imaginasikan, dengan jari tangan kita, sketsalah konsep tanpa kertas
→SANDI KINESTETIK.
5. Ulangi hingga jari kita terbiasa. →SANDI KINESTETIK
6. Sketsalah kembali konsep di atas kertas →SANDI VISUAL
Dapat kita bayang sebagai sebuah sepeda
5 menit
10 menit
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 348
MEMANGGIL SANDI
1. Diberikan sebuah persoalan.
2. Menyatakan persoalan dalam bentuk sketsa/gambar.
3. Sketsa konsep dalam bentuk sandi
4. Kaitkan antara sketsa persoalan dengan sketsa konsep.
5. Menggunakan konsep dalam bentuk sandi visual untuk
menyelesaikan sebuah persoalan.
15 menit
MEYELESAIKAN MASALAH
QUIS.
Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm.
Sedangkan jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari
lingkaran terkecil adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran
tersebut. 13 menit
PENUTUP :
Refleksi
Angket.
10 menit
3) Observasi
Selama tahap pelaksanaan penulis dibantu rekan-rekan melakukan observasi
terhadap (1) Tiap tahap kegiatan eksplorasi, (2) Mencoba mengulang eksplorasi
dengan data lain, (3) Merekam-menyimpan kesimpulan dalam bentuk sandi visual,
kinestetik dan verbal, (4) Memanggil sandi dengan mensketsa sandi, (5)
Menggunakan konsep dalam bentuk sandi untuk menyelesaikan persoalan.
4) Refleksi dan Instrumen Penelitian
(1) Analisis hasil observasi meliputi:
(a) Kegiatan eksplorasi1, (b) Kegiatan eksplorasi 2, (c) Merekam-menyimpan
(d) Memanggil sandi, (e) Menyelesaikan masalah → Quis
(2) Indikator keberhasilan proses dan instrumen penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 349
OBSERVASI
P R O S E S
Pencapaian yang
diharapkan CARA
MENGUKUR
ALAT
UKUR KKM
Ketuntasan
klasikal
Menemukan Fakta
Baru (explorasi 1 ) 80 % 80 %
Rubrik penilaian
keg. Explorasi 1.
Lembar
Observasi keg
explorasi 1.
Mengulang
Menemukan Fakta
Baru (explorasi 2 )
100% 80% Rubrik penilaian
keg. explorasi 2.
Lembar
Observasi keg
explorasi 2.
Merekam
Sandi Visual
Sandi Kinestetik
Sandi Verbal
100%
100%
100%
80%
80%
80%
Rubrik sandi
visual
Rubrik sandi
kinestetik
Rubrik sandi
visual & verbal.
Lembar observasi
sandi visual
Lembar observasi
sandi kinestetik
Lembar observasi
sandi visual &
verbal.
Memanggil Sandi 80% 80%
Rubrik
memanggil
sandi
Lembar observasi
memanggil sandi
Menyelesaikan
Masalah 70% 80%
Rubrik
penyelesaian
masalah
Lembar penilaian
penyelesaian
masalah
HAL YANG DIOBSERVASI ALAT UKUR
SISWA Lemb. Angket Refleksi Siswa
Lemb. Observasi Siswa
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, tes dan dokumentasi.
Teknik observasi dan dokumantasi digunakan untuk merekam kualitas seluruh aktivitas
siswa. Sedangkan tes digunakan untuk mengukur kualitas hasil belajar. Data dari
rekaman kualitas kegiatan dan hasil belajar siswa dianalisis kemudian dibandingkan
dengan hasil belajar dari kompetensi dasar sebelumnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi penelitian, diperoleh data sebagai berikut :
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 350
P R O S E S
∑ siswa % siswa
RENTANG SKOR RENTANG SKOR
0 2 3 5 0 2 3 5
Menemukan
Fakta Baru
(explor 1 )
2 78 2.5% 97.5%
Mengulang Fakta
Baru (explor 2 ) 2 78 2.5% 97.5%
MEREKAM
Sandi Visual 2 78 2.5% 97.5%
Sandi Kinestetik 2 78 2.5% 97.5%
Sandi Verbal 2 78 2.5% 97.5%
Memanggil Sandi 2 2 76 2.5% 2.5% 95%
Menyelesaikan
Masalah 2 2 76 2.5% 2.5% 95%
Keterangan : 0 = tidak ada hasil 3 = ada hasil, sebagian benar
2 = ada hasil, salah 5 = ada hasil, benar sempurna
Dari seluruh kegiatan hanya terdapat 2 orang dari 80 orang yang tidak dapat
sama sekali karena keterbatasan kemampuan mereka, 78 orang lainnya dapat
melakukan kegiatan eksplorasi dengan benar baik secara kelompok ataupun mandiri.
Demikian pula pada proses penyandian, ini adalah bagian yang paling penting, 78
orang dapat melakukannya dengan benar dan cepat. Namun pada saat menyelesaikan
masalah, ada dua orang yang gagal dalam penghitungan karena keterbatasan mereka
dalam operasi bilangan bulat.
Adapun analisa hasil dari tiap tahap kegiatan adalah sebagai berikut :
1. Menemukan Fakta Baru.
Kegiatan “menemukan fakta baru” adalah menemukan / membangun konsep
Garis singgung Persekutuan Luar Dua Lingkaran dengan pendekatan Kontekstual. Baik
secara berkelompok dan kemudian dilanjutkan kegiatan individu sebagai tahap
“pengulangan”, siswa diarahkan membuat sketsa GSPLuarDL dan dengan diskusi
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 351
kelompok dan diskusi kelas diperoleh konsep GSPLuarDL dengan utuh. Hal detail yang
dibahas dalam diskusi kelas adalah : panjang garis singgung persekutuan dua lingkaran,
jarak kedua pusat lingkaran, panjang jari-jari kedua lingkaran dan selisih jari-jari kedua
lingkaran.
Hasil kegiatan di atas 2 siswa gagal sama sekali dan 78 siswa berhasil
mensketsanya dengan benar. Artinya : ketercapaian indikator kegiatan tiap individu
yang berhasil mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 97,5%.
Fakta di atas menunjukkan bahwa konsep panjang GSPLuarDL dapat dibangun
cukup dengan membuat sketsanya tanpa harus melukisnya dengan detail dan benar.
2.Merekam
a. Merekam Konsep Fakta Baru
No INDIKATOR
PENILAIAN
MEREKAM/MENYIMPAN DENGAN SANDI
Imaginasi sandi
dengan jari
SANDI KINESTETIK
Sketsa sandi di atas kertas
SANDI VISUAL
∑siswa
dengan skor
% siswa dengan
skor
∑siswa dengan
skor
% siswa dengan
skor
0 5 0 5 0 5 0 5
1.
1
1
39
39 2.5% 97.5%
1
1
39
39 2.5% 97.5%
HASIL 2 78 2.5% 97.5% 2 78 2.5% 97.5%
Keterangan: 0 = gagal 5 = berhasil
Karena kegiatan ini baru pertama kali dilakukan oleh siswa, maka peran guru
memandu ketika merekam dalam bentuk sandi sangat menentukan proses dan hasil
imaginasinya.
Memulai proses di otak kanan. Diawali mengimaginasikan proses menemukan
fakta dan dilakukan berulang-ulang, kemudian siswa dipandu mengimaginasikan
dengan gerakan jari-jarinya ketika mereka menemukan fakta baru. (Sandi
Kinestetik/Fisik). Dilakukan berulang-ulang sampai tidak ada satupun sketsa yang
terlewat.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 352
Proses berikutnya adalah membuat sketsa di atas kertas tentang sandi
kinestetiknya sehingga menjadi sandi visual. Dilakukan berulang-ulang hingga tidak
ada satupun sketsa yang terlewat.
Hasil kegiatan ini, 2 siswa gagal sama sekali dan 78 siswa dapat
mengimajinasikan dan mensketsa sandi kinestetik dan sandi visualnya dengan benar.
Artinya : ketercapaian indikator kegiatan tiap individu mencapai 100% dan
ketercapaian klasikal mencapai 97,5%, serta dicapai oleh siswa yang sama pada
kegiatan “menemukan fakta baru”.
Kesimpulan sementara : Jika siswa dapat menemukan fakta baru dengan
benar, maka pada kegiatan mengimajinasikan dan menyandikannya juga dapat
melakukannya dengan benar.
b. Merekam Konsep GSPLuarDL
No INDIKATOR
PENILAIAN
MEREKAM/MENYIMPAN DENGAN SANDI
Sketsa sandi di atas kertas
SANDI VISUAL
Sketsa sandi di atas kertas
SANDI VERBAL
∑siswa
dengan skor
% siswa dengan
skor
∑siswa
dengan skor
% siswa dengan
skor
0 5 0 5 0 5 0 5
1.
1
1
39
39 2.5% 97.5%
1
1
39
39 2.5% 97.5%
2.
T. Pythagoras
1
1
39
39 2.5% 97.5%
1
1
39
39 2.5% 97.5%
HASIL 2 78 2.5% 97.5% 2 78 2.5% 97.5%
Keterangan: 0 = gagal 5 = berhasil
Kegiatan ini mulai mengaitkan dua buah sandi dari dua konsep yang berbeda,
yaitu sandi visual GSPLuarDL dengan sandi visual jari dari Teorema Pythagoras. Hal ini
dapat dilihat dari mengaitkan dua gambar berikut :
r
x Gs
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 353
Konsep akhir yang diperoleh, siswa dapat membuat konsep GSPLuarDL dengan utuh,
dalam bentuk sandi visual dan sandi verbal, tanpa rumus, sebagaimana yang tertulis
dari beberapa buku, yaitu :
GS = ( )2221 )()( kecilbesar rrPP −−
Dengan : GS = panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran
P 1P 2 = jarak kedua pusat lingkaran.
r besar = panjang jari-jari lingkaran terbesar
r kecil = panjang jari-jari lingkaran terkecil
3. Mengingat
Mengingat – memanggil sandi
No INDIKATOR
PENILAIAN
∑ siswa % siswa
RENTANG SKOR RENTANG SKOR
0 2 3 5 0 2 3 5
1. Kaitkan antara sketsa
persoalan dengan
sketsa konsep
1
1
1
1
38
38 2.5% 2.5% 95%
2.
HASIL
Menggunakan konsep
dalam bentuk sandi
visual untuk
menyelesaikan
sebuah persoalan
1
1
1
1
38
38 2.5% 2.5% 95%
Keterangan : 0 = tidak ada hasil 3 = ada hasil, sebagian benar
2 = ada hasil, salah 5 = ada hasil, benar sempurna
Mengingat, dalam hal ini adalah memanggil kembali konsep yang disimpan
dalam bentuk sandi. Dalam kegiatan ini siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang
berkaitan dengan konsep yang telah dibahas. Soal yang diberikan adalah sebagai
berikut :
Panjang garis singgung persekutuan luar dua lingkaran adalah 24 cm. Sedangkan
jarak antara kedua pusat lingkaran adalah 25 cm. Jika jari-jari lingkaran terkecil
adalah 5 cm, tentukan selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 354
Yang dilakukan siswa adalah mensketsa soal, kemudian memanggil sandi yang
terkait dengan persoalan yang diberikan. Langkah berikutnya adalah substitusi data
dari persoalan ke dalam sketsa konsep, sehingga data yang dicari atau yang ditanyakan
di dalam soal secara langsung dapat dilihat pada sketsa konsep yang telah diberi data.
Hasil kegiatan ini adalah 2,5% dari jumlah siswa gagal sama sekali, 2,5% dari
jumlah siswa belum tepat mensubstitusikan data ke dalam sketsa konsep karena
keterbatasan kemampuan bahasa, dan 95% dari jumlah siswa dapat melakukan semua
tahap memanggil sandi dengan sempurna. Sehingga ketercapaian indikator kegiatan
tiap individu yang berhasil mencapai 100% dan ketercapaian klasikal mencapai 95%,
serta dicapai oleh siswa yang sama pada kegiatan “merekam dengan sandi”.
Kesimpulan sementara : Jika siswa dapat merekam dengan sandi visual,
kinestetik dan verbal dengan benar, maka pada kegiatan mengingat siswa juga dapat
melakukannya dengan benar.
4. Menyelesaikan Masalah
No INDIKATOR
PENILAIAN
∑ siswa % siswa
RENTANG SKOR RENTANG SKOR
0 2 3 5 0 2 3 5
1.
Menggunakan
konsep dalam
bentuk sandi visual
untuk
menyelesaikan
sebuah persoalan
1
1
1
1
38
38 2.5% 2.5% 95%
2. Menyelesaikan
penghitungan
matematis
1
1
1
1
38
38 2.5% 2.5% 95%
HASIL 2 2 76 2.5% 2.5% 95%
Keterangan : 0 = tidak ada hasil 3 = ada hasil, sebagian benar
2 = ada hasil, salah 5 = ada hasil, benar sempurna
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 355
Kegiatan ini adalah menyelesaikan penghitungan matematis dari tahap
penyelesaian masalah. Jika substitusi data ke dalam konsep salah, maka proses
penghitungan akan salah.
Masih mengambil contoh persoalan di atas, dalam hal ini ada 2 konsep yang
diperlukan, yaitu konsep garis singgung persekutuan luar dua lingkaran dan teo.
Pythagoras. Oleh karena itu ada dua sandi yang dipanggil dan digunakan, yaitu sepeda
(sandi visual) dan jari-jari (sandi visual dan sandi verbal).
Contoh penyelesaian
24
24 24 25
25 ∆r
(∆r) 2 = 25 2 - 24 2
(∆r) 2 = 625 - 576
(∆r) 2 = 49
∆r = 49
∆r = 7
Jadi selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah 7 cm.
Dari penyelesaian di atas dapat dibandingkan dengan penyelesaian berikut.
(GS) 2 = (P 1P 2 ) 2 - ( r b - r k ) 2
24 2 = 25 2 - ( r b - 5 ) 2
576 = 625 - ( r b - 5 ) 2
( r b - 5 ) 2 = 625 - 576
( r b - 5 ) 2 = 49
r b - 5 = 49
r b - 5 = 7
r b = 7 + 5
r b = 12
Selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah :
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 356
∆r = r b - r k
∆r = 12 - 5
∆r = 7
Jadi selisih jari-jari kedua lingkaran tersebut adalah 7 cm.
Dari kedua model penyelesaian di atas dapat diamati beberapa kemudahan
yang dapat dimanipulasi dan dijelaskan oleh konsep dalam bentuk sandi, antara lain :
(1) tidak perlu menulis rumus GSPLDL, (2) dari sketsa konsep langsung dapat ditunjuk
bagian “selisih jejari 2 lingkaran”, tanpa harus mencari r b terlebih dahulu, (3) cukup
dilakukan dengan satu proses penghitungan, tidak perlu dengan dua tahap
penghitungan.
Hasil kegiatan ini adalah 2,5% dari jumlah siswa sama sekali tidak dapat
menyelesaikan, 2,5% dari jumlah siswa salah substitusi data sehingga salah melakukan
penghitungan, dan 95% dari jumlah siswa dapat menyelesaikan penghitungan dengan
benar. Sehingga ketercapaian indikator kegiatan tiap individu yang berhasil mencapai
100% dan ketercapaian klasikal mencapai 95%, serta dicapai oleh siswa yang sama
pada kegiatan “mengingat-memanggil sandi”.
Ada catatan yang menarik dari kegiatan ini. Ada beberapa siswa yang sangat
menguasai triple Pythagoras. Cukup dengan mensketsa, tanpa menghitung, mereka
langsung dapat menjawab secara lisan dengan benar. Bahkan ada satu siswa, cukup
dengan mengimaginasikan sketsanya, dan sangat menguasai triple Pythagoras, secara
spontan langsung menyebutkan jawabannya dengan benar.
Kesimpulan : Jika siswa dapat mengingat dan memanggil sandi dengan benar,
maka pada kegiatan menyelesaikan masalah, siswa juga dapat melakukannya
dengan benar.
5. Penyajian konsep hasil pilihan siswa.
Pada akhir pembahasan, dari hasil angket 100% dari jumlah siswa lebih memilih
menyimpan konsep dalam bentuk sandi visual daripada dalam bentuk rumus. Alasan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 357
mereka sangat sederhana : “ lebih mudah “. Ada beberapa siswa yang mengemukaan
alasan mereka yaitu “lebih mudah dan unik, sehingga mudah sekali mengingatnya.”
BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA
GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN LUAR DUA LINGKARAN
BENTUK RUMUS BENTUK SANDI
GS = ( )2221 )()( kecilbesar rrPP −−
0 Siswa yang memilih 80 Siswa yang memilih
BENTUK KONSEP PILIHAN SISWA
GARIS SINGGUNG PERSEKUTUAN DALAM DUA LINGKARAN
BENTUK RUMUS BENTUK SANDI
GS = ( )2221 )()( kecilbesar rrPP +−
0 Siswa yang memilih 80 Siswa yang memilih
Dari hasil pembahasan di atas, nampak jelas bahwa kriteria ketuntasan yang
diharapkan dalam penelitian ini dapat dicapai dalam satu siklus. Bahkan jika
dibandingkan dengan Kriteria Ketuntasan Minimal 65% yang distandardkan oleh
sekolah serta dari Kriteria Ketuntasan Klasikal 80% telah terlampaui dalam proses
penelitian ini. Sehingga tidak ada alasan rasional yang mengharuskan penelitian ini
Gs
P P
Gs r
1 1
1
r 2
r
x
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 358
harus dilakukan dalam dua siklus. Hal ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya
menyajikan matematika jika fungsi otak kiri dan otak kanan difungsikan secara sinergis.
PENUTUP
Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri, dengan dasar kajian teori perkembangan kognitif dan
fakta yang ada, pada akhirnya matematika dapat disajikan sebagai hal yang mudah.
Prinsip penemuan fakta ( dalam hal ini Contextual Teaching Learning ), pengulangan
dan multi indrawi dilanjutkan dengan penyandian telah mengoptimalkan fungsi otak
kiri dan otak kanan secara sinergis.
Dengan demikian kita sebagai guru telah memperlakukan siswa kita dengan
benar sebagai layaknya insan yang utuh. Semua potensi dan kecerdasan mereka
digunakan dengan optimal. Matematika disajikan dan disimpan secara unik dan
harmonis sebagai bagian dari memori jangka panjang serta dikuasai secara utuh,
sehingga segala persoalan yang berkaitan dengan garis singgung persekutuan dua
lingkaran dapat dipahami secara utuh dan diselesaikan dengan mudah dan cepat
Saran
Guru sebagai pengendali dalam proses belajar mengajar sangat diharapkan
mampu menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswanya. Oleh karena itu
kompetensi pedagogis guru tentang perkembangan psikologi kognitif serta pandangan
guru tentang konsepsi siswa merupakan bagian terpenting dalam konteks ini. Proses
berpikir serta berbagai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa, sebagai modalitas dan
gaya belajar, semaksimal mungkin dapat dikelola menjadi sebuah strategi
pembelajaran yang efektif dan harmonis.
Oleh karena itu guru adalah satu-satunya tokoh penting dalam pengelolaan
pembelajaran. Laksana seorang “chef”, guru matematika diharapkan mampu
menyajikan matematika menjadi sebuah sajian menu yang mudah dinikmati, rasanya
berkesan, penyajiannya menarik , bermanfaat serta dicari kembali oleh penikmatnya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 359
Jika pada setiap desain pembelajaran guru juga memfungsikan otak kanan, suka
tidak suka, guru dan siswa secara bersama-sama telah membangun kreatifitas. Oleh
karena itu, guru dipacu untuk menjelajah beberapa bentuk konsep yang disimbulkan,
sehingga simbul-simbul itu memudahkan siswa menyimpan konsep matematika yang
telah mereka peroleh.
Bagi lembaga sekolah, sebaiknya membudayakan pola belajar di atas sebagai
bagian dari program MOS dan menjadi bagian dalam program “character building” di
sekolah. Sehingga Rencana Pembelajaran yang dirancang guru terintegrasi dengan
budaya belajar di sekolah, serta terpadu dengan pola belajar mata pelajaran yang lain.
Bagi pengambil kebijakan Pendidikan Nasional, sebagai bagian dari upaya
peningkatan profesionalisme guru, hendaknya konsep belajar ini juga diintegrasikan
sebagai materi pelatihan pada setiap kegiatan pelatihan guru. Di satu sisi ini sebagai
bagian dari domain guru, di sisi lain guru memiliki banyak pilihan yang terbaik untuk
siswanya.
DAFTAR PUSTAKA
Rose,Colin. 1999. Kuasai Lebih Cepat , Buku Pintar Accelerated Learning, Bandung :
KAIFA
Atkinson, Rita L, Richard C. Atkinson, Edward E Smith, Daryl J Bem, 1953, Introduction
to Psycology, 11th.ed. ( Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas,Jilid 1), Batam :
Interaksara.
Dryden, Gordon & Dr. Jennette Vos. 2003. The Learning Revolution ( Revolusi Cara
Belajar ), Bandung : Kaifa.
Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Wycoff, Joyce. 2003. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran.
Bandung: Kaifa.
DePorter, Bobbi.2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di
Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 360
Nurhadi & Senduk,A.G. 2003. Pembalajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam
KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosa Kesulitan Belajar Matematika SMP dan
Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta: P4TKMatematika.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 361
P-22
PERANAN REPRESENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Kartini
(Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNRI)
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak pernah atau jarang diberikan
kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru cara
guru dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya, kemampuan representasi matematis
siswa tidak berkembang. Padahal, representasi matematis sangat diperlukan dalam
pemahaman konsep maupun penyelesaian masalah matematik. Selain itu, representasi
matematis juga dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis. Secara
umum representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika.
Tulisan ini akan membahas secara teoritis tentang representasi matematis dan
peranannya dalam pembelajaran matematika.
Keyword: representasi matematis, pemahaman konsep, komunikasi matematis,
pemecahan masalah.
A. Pendahuluan
Pengajaran matematika tidak sekedar menyampaikan berbagai informasi
seperti aturan, definisi, dan prosedur untuk dihafal oleh siswa tetapi guru harus
melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar. Keikutsertaan siswa
secara aktif akan memperkuat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika.
Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kontruktivisme yakni pengetahuan dibangun oleh
siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali melalui keaktifan siswa sendiri untuk menalar,
siswa aktif untuk mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep menuju kearah yang lebih kompleks, guru sekedar membantu menyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan.
Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda untuk mengkontruksikan
pengetahuannya. Dalam hal ini, sangat memungkinkan bagi siswa untuk mencoba
berbagai macam representasi dalam memahami suatu konsep. Selain itu representasi
juga berperan dalam proses penyelesaian masalah matematis. Sebagaimana
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 362
dinyatakan Brenner bahwa proses pemecahan masalah yang sukses bergantung
kepada keterampilan merepresentasi masalah seperti mengkonstruksi dan
menggunakan representasi matematik di dalam kata-kata, grafik, tabel, dan
persamaan-persamaan, penyelesaian dan manipulasi simbol (Neria & Amit, 2004: 409).
Namun demikian dalam pembelajaran matematika selama ini siswa tidak
pernah atau jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya
sendiri. Siswa cendrung meniru langkah guru dalam menyelesaikan masalah.
Akibatnya, kemampuan representasi matematis siswa tidak berkembang. Padahal
representasi matematis sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika, baik bagi
siswa maupun bagi guru. Mungkin ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
guru tentang representasi matematis dan peranannya dalam pembelajaran
matematika. Makalah ini akan mengkaji secara teoritis tentang representasi matematis
dan peranannya dalam pembelajaran matematika.
B. Pembahasan
Konsep tentang representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang
digunakan dalam pendidikan matematika untuk menjelaskan beberapa phenomena
penting tentang cara berfikir anak-anak (Janvier dalam Radford, 2001). Namun
sebelumnya Davis, dkk (dalam Janvier, 1987) menyatakan bahwa sebuah representasi
dapat berupa kombinasi dari sesuatu yang tertulis diatas kertas, sesuatu yang eksis
dalam bentuk obyek fisik dan susunan ide-ide yang terkontruksi didalam pikiran
seseorang. Sebuah representasi dapat dianggap sebagai sebuah kombinasi dari tiga
komponen: simbol (tertulis), obyek nyata, dan gambaran mental. Kalathil dan Sherin
(2000) lebih sederhana menyatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat siswa untuk
mengekternalisasikan dan memperlihatkan kerjanya disebut representasi. Dalam
pengertian yang paling umum, representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat
menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara (Goldin, 2002).
Selanjutnya dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi
hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007). Representasi adalah
sesuatu yang melambangkan objek atau proses. Misalnya kata-kata, diagram, grafik,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 363
simulasi komputer, persamaan matematika dan lain-lain. Beberapa representasi
bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang lebih
abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah (Rosengrant, D, et. al ,
2005).
Sejalan dengan itu repsentasi dipandang sebagai yang digunakan seseorang
untuk memikirkan dan mengkomunikasikan ide-ide matematik dengan cara tertentu
sebagaimana yang dikemukakan Ostad (http://www.idp-europe.org / indonesia/buku-
inklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf) Untuk memikirkan dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika, maka kita perlu merepresentasikannya
dengan cara tertentu. Komunikasi memerlukan representasi fisik, yaitu representasi
eksternal, dalam bentuk bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sebuah
ide matematika tertentu sering dapat direpresentasikan dengan salah satu dari bentuk
representasi itu atau dengan kesemua bentuk representasi itu. Namun, dalam belajar
matematika representasi tidak terbatas hanya pada representasi fisik saja. Untuk
berfikir tentang ide matematika kita perlu merepresentasikannya secara internal,
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pikiran kita beroperasi. Oleh karena itu,
istilah representasi dapat juga dipergunakan bila menggambarkan proses kognitif
untuk sampai pada pemahaman tentang suatu ide dalam matematika. Anak dapat
diekspos pada sejumlah perwujudan fisik, misalnya ”lima”, dan kemudian mulai
mengabtraksikan konsep lima tersebut. Dalam proses ini, anak tersebut dapat
membangun sebuah representasi internal (representasi mental, representasi kognitif,
gambaran mental, skema).
Dalam kasus-kasus tertentu, representasi mempunyai kaitan erat dengan
konsep matematika, seperti grafik dengan fungsi, yang sulit untuk memahami dan
memperoleh konsep tanpa menggunakan representasi tertentu. Namun, setiap
representasi tidak dapat menggambarkan secara seksama konsep matematika, karena
memberikan informasi hanya untuk bagian aspeknya saja. Representasi-representasi
berbeda yang mengacu pada konsep yang sama akan saling melengkapi dan semuanya
bersama-sama berkontribusi untuk pemahaman global darinya (Gagatsis & Shiakalli
dalam Gagatsis & Elia, 2005). Oleh karena itu, tiga anggapan untuk penguasaan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 364
konsep dalam matematika ialah sebagai berikut. Pertama, kemampuan untuk
mengidentifikasi konsep dalam beragam representasi (multiple representasi). Kedua
kemampuan untuk menangani secara fleksibel konsep dalam sistem-sistem
representasi tertentu. Ketiga, kemampuan untuk menterjemahkan konsep dari sistem
representasi ke sistem representasi lainnya (Lesh, et. al dalam Gagatsis & Elia, 2005).
Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan
dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upayanya
untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya. Adapun standar
representasi yang ditetapkan National Council of Teacher of Mathematics (NCTM)
untuk program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 adalah
bahwa harus memungkinkan siswa untuk:
1. membuat dan menggunakan representasi untuk mengatur, mencatat, dan
mengkomunikasikan ide-ide matematika,
2. memilih, menerapkan, dan menterjemahkan antar representasi matematika untuk
memecahkan masalah,
3. menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan
fenomena fisik, sosial, dan matematika.
(NCTM, 2000).
Representasi yang dihadirkan oleh siswa tidak mesti yang konvensional atau
yang sudah biasa kita kenal tapi dapat merupakan representasi yang tidak
konvensional yang dapat mereka mengerti. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
NCTM. Penting bagi kita mendorong para siswa untuk merepresentasikan berbagai
gagasan mereka di dalam cara-cara yang mereka mengerti, bahkan jika representasi-
representasi pertama mereka tidak konvensional. Penting juga bahwa mereka
mempelajari bentuk-bentuk representasi yang konvensional untuk mempermudah
belajar matematika dan komunikasi mereka dengan orang lain tentang gagasan-
gagasan matematis. (NCTM, 2000)
Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa representasi
matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan,
definisi, dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 365
hasil kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional atau tidak konvensional)
sebagai hasil interpretasi dari pikirannya.
Sejumlah pakar (Goldin; 2002, Ostad, http://www.idp-europe.org /
indonesia/buku-inklusi/pdf/13-Memahami_dan_Menangani Bilangan. pdf, Hiebert dan
Carpenter dalam Harries dan Barmby, 2006) membagi representasi menjadi dua
bagian yakni representasi eksternal dan internal. Representasi eksternal, dalam bentuk
bahasa lisan, simbol tertulis, gambar atau objek fisik. Sementara untuk berfikir tentang
gagasan matematika maka mengharuskan representasi internal. Representasi internal
(representasi mental) tidak bisa secara langsung diamati karena merupakan aktivitas
mental dalam otaknya.
Schnotz (dalam Gagatsis, 2004) membagi representasi eksternal dalam dua
kelas yang berbeda yaitu representasi descriptive dan depictive. Representasi
descriptive terdiri atas simbol yang mempunyai struktur sembarang dan dihubungkan
dengan isi yang dinyatakan secara sederhana dengan makna dari suatu konvensi, yakni
teks, sedangkan representasi depictive termasuk tanda-tanda ikonic yang dihubungkan
dengan isi yang dinyatakan melalui fitur struktural yang umum secara konkret atau
pada tingkat yang lebih abstrak, yaitu, display visual.
Lebih lanjut Gagatsis dan Elia (2004) mengatakan bahwa untuk siswa kelas 1, 2
dan 3 sekolah dasar, representasi dapat digolongkan menjadi empat tipe, yaitu
representasi verbal (tergolong representasi descriptive), gambar informational,
gambar decorative, dan garis bilangan (tergolong representasi depictive). Perbedaan
antara gambar informational dan gambar decorative adalah pada gambar decorative,
gambar yang diberikan dalam soal tidak menyediakan setiap informasi pada siswa
untuk menemukan solusi masalah, tetapi hanya sebagai penunjang atau tidak ada
hubungan langsung kepada konteks masalah. Gambar informational menyediakan
informasi penting untuk penyelesaian masalah atau masalah itu didasarkan pada
gambar.
Shield & Galbraith (dalam Neria & Amit, 2004) menyatakan bahwa siswa dapat
mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka tentang strategi matematika atau
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 366
solusi dalam bermacam cara, yaitu secara simbolis (numerik dan/atau simbol aljabar),
secara verbal, dalam diagram, grafik, atau dengan tabel data.
Lesh, Post dan Behr (dalam Hwang, et. al., 2007) membagi representasi yang
digunakan dalam pendidikan matematika dalam lima jenis, meliputi representasi objek
dunia nyata, representasi konkret, representasi simbol aritmatika, representasi bahasa
lisan atau verbal dan representasi gambar atau grafik. Di antara kelima representasi
tersebut, tiga yang terakhir lebih abstrak dan merupakan tingkat representasi yang
lebih tinggi dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan representasi
bahasa atau verbal adalah kemampuan menerjemahkan sifat-sifat yang diselidiki dan
hubungannya dalam masalah matematika ke dalam representasi verbal atau bahasa.
Kemampuan representasi gambar atau grafik adalah kemampuan menerjemahkan
masalah matematik ke dalam gambar atau grafik. Sedangkan kemampuan representasi
simbol aritmatika adalah kemampuan menerjemahkan masalah matematika ke dalam
representasi rumus aritmatika.
Dari beberapa penggolongan representasi tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1)
representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik
(pernyataan matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3)
representasi verbal (teks tertulis/kata-kata). Penggunaan semua jenis representasi
tersebut dapat dibuat secara lengkap dan terpadu dalam pengujian suatu masalah
yang sama atau dengan kata lain representasi matematik dapat dibuat secara beragam
(multiple representasi).
Penggunaan beragam representasi akan memperkaya pengalaman belajar
siswa. McCoy, et al (1996) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika di
kelas, representasi tidak harus terikat pada perubahan satu bentuk ke bentuk lainnya
dalam satu cara, tetapi bisa dua cara atau bahkan dalam multi cara. Misalnya disajikan
representasi berupa grafik, guru dapat meminta siswa membuat representasi lainnya
seperti menyajikannya dalam tabel, persamaan/model matematika atau
menuliskannya dengan kata-kata. Jadi dalam pembelajaran matematika tidaklah selalu
harus guru memberikan suatu masalah verbal atau suatu situasi masalah yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 367
kemudian guru meminta siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan
berbagai representasi, namun dengan multiple representasi, guru dapat meminta
siswa melakukan hal sebaliknya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi
matematis adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah,
pernyataan, solusi, definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar,
diagram grafik, atau tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks
tertulis/kata-kata, sebagai interpretasi dari pikirannya.
Pentingnya representasi dalam pembelajaran matematika telah banyak diteliti
seperti penelitian Kalathil & Sherin (2000), Neria & Amit (2004), Gagatsis & Elia (2004),
Elia (2004), Michaelidou, N, et al. (2004), Amit dan Fried (2005), Harries & Barmby
(2006), Hwang, dkk (2007), dan lain-lain.
Kalathil & Sherin (2000) dalam studinya melaporkan bahwa ada tiga fungsi
representasi eksternal yang dihasilkan siswa dalam belajar matematika. 1)
Representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru mengenai
bagaimana siswa berpikir mengenai suatu konteks atau ide matematika. 2)
Representasi digunakan untuk memberikan informasi tentang pola dan kecenderungan
(trend) diantara siswa. 3) Representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat
bantu dalam proses pembelajaran.
Michaelidou, et. al. (2004) dan Harries & Barmby (2006) melaporkan tentang
peran representasi dalam memahami konsep matematika di kelas. Kedua penelitian ini
representasi ditafsirkan sebagai alat dalam merepresentasikan gagasan-gagasan
matematika. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Kalathil & Sherin (2000) dan
Confrey & Smith (dalam Michaelidou, et. al, 2004). Hal yang serupa juga dinyatakan
Hiebert dan Carpenter (dalam Harries dan Barmby, 2006) bahwa matematika
dipahami jika representasi mentalnya adalah bagian dari jaringan representasi. Dengan
kata lain, pembuatan dan pertukaran antar representasi penting untuk memahami
matematika.
Gagatsis & Elia (2004) melaporkan bahwa empat representasi, yaitu repersentasi
verbal, gambar informasional, gambar dekoratif, dan garis bilangan memberikan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 368
pengaruh yang signifikan pada kemampuan pemecahan soal matematika siswa. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Brenner, et. al (dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa proses
pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan
representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika
dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol. Selanjutnya
Gagatsis & Elia (2004) melaporkan disamping model pembelajaran yang menggunakan
keempat representasi dan faktor kemampuan umum siswa dalam memecahkan
masalah lebih baik dari pada model belajar yang hanya menggunakan salah satu
kemampuan representasi dalam memecahkan masalah. Hal ini sesuai dengan Proses
pemecahan masalah yang sukses tergantung pada keterampilan-keterampilan
representasi masalah termasuk membuat dan menggunakan representasi matematika
dalam kata, grafik, tabel, persamaan, manipulasi penyelesaian dan simbol (Brenner, et.
al dalam Neria dan Amit, 2004).
Hwang, et. al (2007), meneliti tentang pengaruh kemampuan multiple
representasi dan kreativitas terhadap pemecahan masalah matematika dengan
menggunakan sistem multimedia whiteboard. Dari studi ini, diperoleh hasil bahwa skor
siswa yang menggunakan representasi rumus lebih baik dari siswa yang menggunakan
representasi verbal dan gambar (grafik atau simbol). Kemampuan elaborasi
(kemampuan memecahkan masalah menggunakan berbagai ilustrasi dan penjelasan)
adalah faktor paling penting yang mempengaruhi keterampilan multiple representasi
dalam pemecahan masalah matematis.
Elia (2004) melaporkan bahwa model representasi memberikan pengaruh yang
signifikan dalam cara memecahkan masalah (soal). Namun demikian, representasi
(gambar informasional atau garis bilangan) tidak selalu membuat cara menyelesaikan
masalah menjadi lebih mudah, tetapi justru lebih sulit. Hal ini disebabkan oleh proses
mentalnya lebih rumit dibandingkan model-model representasi lainnya.
Siswa dapat mengkomunikasikan penjelasan-penjelasan mereka mengenai
strategi atau solusi matematika dalam berbagai cara: simbolis (angka dan simbol
aljabar), secara verbal, secara diagram, secara grafik, atau dengan tabel data (Shield
dan Galbraith dalam Neria dan Amit, 2004). Sehubungan dengan hal itu Neria dan Amit
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 369
( 2004) meneliti model-model model representasi yang dipilih siswa kelas sembilan
dalam mengkomunikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dan justifikasi
mereka, serta untuk menyelidiki hubungan antara model-model representasi dan
tingkat prestasi siswa. Studi ini melaporkan bahwa bahwa mayoritas siswa lebih
menyukai representasi numerik dan verbal, dan minoritas siswa menyukai representasi
aljabar. Hasil ini mungkin berhubungan dengan kesulitan siswa pada abstraknya
aljabar dan cara aljabar yang diajarkan di sekolah. Hal ini sesuai temuan (Hembree,
1992, Shield & Galbraith, 1998, dalam Neria dan Amit, 2004) bahwa siswa mengalami
kesulitan dalam abstraksi aljabar dan hanya siswa yang berbakat dan berani yang
melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan (Herscovics & Lichevski, 1994, Lee &
Wheeler, 1989, dalam Neria dan Amit, 2004) untuk dapat menggunakan bahasa
aljabar, siswa perlu terbiasa pada model berfikir yang lebih berbeda dan lebih abstrak
dibanding terbiasa dalam aritmatika, dan siswa cendrung untuk mundur pada dasar
yang solid seperti bilangan atau kata.
C. PENUTUP
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa representasi matematis
adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi,
dan lain-lain) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) hasil
kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional atau tidak konvensional) sebagai
hasil interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis
adalah kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika (masalah, pernyataan, solusi,
definisi, dan lain-lain) kedalam salah satu bentuk: (1) Gambar, diagram grafik, atau
tabel; (2) Notasi matematik, numerik/simbol aljabar; dan (3) Teks tertulis/kata-kata,
sebagai interpretasi dari pikirannya.
Representasi sangat berperan dalam membantu peningkatan pemahaman siswa
terhadap konsep matematika. Kemudian representasi juga dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah matematis siswa. Secara umum
representasi sangat berperan dalam peningkatan kompetensi matematika siswa. Selain
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 370
itu representasi siswa dapat memberikan informasi kepada guru mengenai bagaimana
siswa berpikir mengenai suatu konteks atau ide matematika, tentang pola dan
kecenderungan siswa dalam memahami suatu konsep. Oleh karena itu guru perlu
mencari cara yang tepat untuk dapat menghadirkan representasi siswa dalam
pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka
Amit, M & Fried, M,N. (2005). Multiple Representations In 8th Grade Algebra Lessons:
Are Learners Really Getting It . In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Proceedings
of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education, Vol. 2, pp. 57-64.
Elia, I. (2004). Multiple representations in mathematical problem solving : Exploring sex
differences.[Online].Tersedia:
http://prema.iacm.forth.gr/does/ws1/papers/iliada%20 Elia.pdf.
Gagatsis, A. & Elia, I. (2004). The Effects Of Different Modes Of Representation On
Mathematical Problem Solving. Proceedings of the 28th
Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 2, pp.
447–454.
Gagatsis, A. (2004). The Role of Representasi in Secondary Mathematics Education.
Proceedings of 10th
International Congress on Mathematical Education. 141-
146.
Gagatsis, A. & Elia, I. (2005). A Review Of Some Recent Studies On The Role Of
Representations In Mathematics Education In Cyprus And Greece.
[Online].Tersedia:
http://cerme4.crm.es/Papers%20definitius/1/gagatsis.pdf.
Goldin, G. A. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. In
L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197-
218. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates.
Hwang, et al. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on
Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System.
Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212.
Harries, T. & Barmby, P. (2006). Representing Multiplication. Proceeding of the British
Society for Research into Learning Mathematics. 26(3), 25 – 30.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 371
Janvier, C. (1987). Problem of Representation in the Teaching and Learning of
Mathematics. Hillsdale. New Jersey/London: Lawrence Erlbaum.
Kalathil, R.R., & Sherin, M.G. (2000). Role of Students' Representations in the
Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth
International Conference of the Learning Sciences (pp. 27-28). Mahwah, NJ:
Erlbaum.
McCoy,L.P., et. al (1996). Using Multiple Representation to Communicate: an Algebra
Challenge. In P.C. Elliot & M.J. Kenney (Ed). Yearbook Communication in
Mathematics K-12 and Beyond. Reston. VA: NCTM.
Michaelidou, N, et al. (2004). The Number Line as a Representasion Decimal Number.
Journal for Research in Mathematics Education. 38, 173 – 192.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Curriculum and Evaluation
Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of
Mathematics.
Neria, D. & Amit, M. (2004). Students Preference of Non-Algebraic Representations in
Mathematical Communication. Proceedings of the 28th
Conference of the
International Group for the Psychology of Mathematical Education, 2004. Vol. 3
pp 409 – 416.
Ostad, S.A. Memahami dan Menangani Bilangan. [Online].Tersedia :
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/pdf/13-
Memahami_dan_Menangan_Bilangan.pdf
Radford, L. (2001). Rethinking Representations. [Online].Tersedia:
http://www.matedu.cinvestav.mx/Radford.pdf
Rosengrant, D, et.al (2005). An Overview of Recent Research on Multiple
Representations. [Online]. Tersedia:
http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/Downloads/Papers/DavidRosperc2006.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 372
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 373
P-23
Hypothetical Learning Trajectory
dan Peningkatan Pemahaman Konsep Pengukuran Panjang
Ariyadi Wijaya
Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA – Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Suatu kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari proses perencanaan dan
desain. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau lesson plan merupakan
salah satu bentuk nyata proses perencanaan pembelajaran. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran sangat bermanfaat sebagai panduan guru dalam
melaksanaan kegiatan pembelajaran. Pendidikan Matematika Realistik
memberikan perhatian pada perumusan hypothetical learning trajectory
sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran sekaligus sebagai suatu
tindakan antisipatif terhadap kemungkinan masalah yang dihadapi siswa
dalam proses pembelajaran. Artikel ini menyajikan contoh perumusan
hypothetical learning trajectory untuk pembelajaran pengukuran panjang.
Kata kunci: hypothetical learning trajectory, pengukuran panjang
I. Pendahuluan
Suatu proses pembelajaran yang ideal tidak bisa dipisahkan dengan proses
perencanaan dan desain pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau
lesson plan merupakan salah satu bentuk nyata proses perencanaan dan desain
pembelajaran. Akan tetapi, pada kenyataannya suatu Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran hanya memuat hal-hal yang bersifat formalitas dalam bentuk “paket
standar” pembelajaran, yaitu gambaran singkat tentang kegiatan pembukaan,
kegiatan inti dan kegiatan penutup. Informasi selain ketiga tahap pembelajaran
tersebut hanyalah sekedar ringkasan materi yang akan disampaikan. Sangat jarang
guru menyiapkan hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan
siswa sehingga proses pembelajaran cenderung kurang bersifat open ended.
Adanya hipotesis alternatif strategi pemecahan masalah yang digunakan siswa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 374
akan membantu guru dalam menentukan strategi penanganan terhadap
kemungkinan kesulitan yang dihadapi siswa.
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik menekankan pada dua hal
penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran, yaitu
hypothetical learning trajectory (rute belajar) siswa dan pengembangan model.
Pentingnya hypothetical learning trajectory bisa dianalogikan dengan perencanaan
rute perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan
kita maka kita bisa memilih rute yang baik. Selain itu, kita juga bisa menyelesaikan
permasalahan yang kita hadapi dalam perjalanan jika kita paham rute tersebut.
Sebagai contoh adalah kita bisa mengantisipasi kehabisan bahan bakar jika kita
tahu posisi pom bensin. Sedangkan pengembangan model sangat penting untuk
membawa pengetahuan informal siswa (modal awal siswa yang terbentuk melalui
kegiatan berbasis pengalaman) menuju konsep matematika formal (sebagai tujuan
akhir pembelajaran matematika). Namun, dalam artikel ini hanya akan dibahas
peran perumusan hypothetical learning trajectory dalam peningkatan pemahaman
konsep pengukuran panjang.
Pada umumnya, pembelajaran tentang Pengukuran dilakukan secara langsung
pada tahap formal (Castle & Needham, 2007; Kamii & Clark, 1997 and Van de
Walle & Folk, 2005). Pembelajaran tentang Pengukuran langsung terpusat pada
penggunaan penggaris sebagai suatu bentuk prosedur yang instrumental. Salah
satu akibat dari pendekatan tersebut adalah siswa kurang memahami konsep
pengukuran dan mereka akan cenderung melakukan pengukuran sebagai suatu
bentuk prosedur instrumental. Kurangnya pemahaman konsep pengukuran
menjadi salah satu penyebab ketidakmampuan siswa dalam mengukur panjang
suatu benda yang tidak diletakkan pada posisi “0” di penggaris (Kamii & Clark,
1997; Kenney & Kouba in Van de Walle, 2005 and Lehrer et al, 2003). Sebagai
contoh, lihat ilustrasi berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 375
Siswa yang kurang memahami konsep pengukuran akan menjawab bahwa panjang
pensil adalah 9 (cm) karena pangkal pensil terletak pada posisi “9”.
Buys & de Moor (2005) dan Castle & Needham (2007) berpendapat bahwa
pembelajaran tentang pengukuran bagi siswa sekolah dasar sebaiknya diawali
dengan kegiatan mengukur yang bermakna. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya penggunaan kegiatan berbasis pengalaman (experience-based
activities) yang memuat konsep dasar pengukuran. Dalam kegiatan berbasis
pengalaman, pengetahuan informal tentang pengukuran digunakan sebagai
jembatan untuk penggunaan penggaris sebagaai alat ukur baku. Prinsip dasar
pembelajaran berbasis pengalaman sejalan dengan prinsip Pendidikan
Matematika Realistik yang menekankan matematika bukanlah suatu obyek yang
harus ditransfer kepada siswa, melainkan matematika merupakan suatu bentuk
kegiatan manusia (Freudenthal, 1991). Oleh karena itu, Freudenthal menekankan
pada pentingnya koneksi antara matematika dengan realitas melalui situasi
permasalahan yang berkontribusi pada pembentukan konsep matematika.
II. Hypothetical Learning Trajectory
Menurut Simon (1995), ada tiga komponen utama dari learning trajectory,
yaitu: tujuan pembelajaran (learning goals), kegiatan pembelajaran (learning
activities) dan hipotesis proses belajar siswa (hypothetical learning process).
Tujuan pembelajaran sebagai komponen pertama mengindikasikan perlunya
perumusan tujuan pembelajaran sebagai bentuk hasil yang akan kita tuju atau
capai setelah proses pembelajaran. Penentuan tujuan pembelajaran sangat
bermanfaat dalam penentuan arah dan strategi pembelajaran yang akan
digunakan. Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka
kegiatan pembelajaran (learning activities) sebagai “jalan” untuk mencapai tujuan
pembelajaran bisa dirancang. Kegiatan pembelajaran disusun menjadi beberapa
sub-sub kegiatan dengan sub-sub tujuan pembelajaran. Komponen terakhir adalah
hipotesis proses belajar siswa yang berguna untuk merancang tindakan ataupun
strategi alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang mungkin dihadapi siswa
dalam proses pembelajaran.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 376
Artikel ini akan menyajikan contoh Hypothetical Learning Trajectory untuk
pembelajaran pengukuran panjang, yaitu:
A. Tujuan pembelajaran
Jika mengacu pada kurikulum, maka tujuan pembelajaran pengukuran panjang
adalah:
− Mengenal panjang suatu benda melalui kalimat sehari-hari (pendek,
panjang) dan membandingkannya
− Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan waktu dan panjang
− Menggunakan alat ukur panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan
− Menggunakan satuan panjang tidak baku dan baku yang sering digunakan
− Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan panjang benda
B. Kegiatan pembelajaran
Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan maka kegiatan
pembelajaran bisa dirancang. Namun, hal yang harus dilakukan sebelum
merancang kegiatan pembelajaran adalah memahami kesatuan konsep
pengukuran panjang secara utuh sehingga urutan atau tahapan kegiatan
pembelajaran sesuai dengan konsep dasar pengukuran panjang.
Van De Walle dan Folk (2005) mendefinisikan pengukuran sebagai suatu
proses pembandingan atribut suatu benda dengan atribut yang sama dari
suatu alat ukur. Ada beberapa tahapan untuk mencapai kegiatan pengukuran,
yaitu tahap perbandingan, tahap estimasi atau perkiraan dan tahap
pengukuran. Prosedur berikut menggambarkan tahapan dari pengukuran
panjang:
a. Perbandingan panjang (comparing length)
Perbandingan merupakan suatu bentuk paling sederhana dari
pengukuran yang dapat dilakukan dengan cara “covering”
(memadukan/menempelkan benda-benda yang akan dibandingkan)
ataupun “matching” (memadankan benda-benda yang akan
dibandingkan). Cara sederhana untuk mengekspresikan hasil
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 377
perbandingan panjang adalah dengan kata “lebih panjang” atau “lebih
pendek”.
Ada dua macam perbandingan, yaitu:
− Perbandingan langsung
Perbandingan langsung dilakukan jika benda-benda yang akan
dibandingkan bisa diletakkan berdekatan sehingga bisa dibandingkaan
secara langsung.
− Perbandingan tidak langsung
Ketika benda yang akan dibandingkan tidak bisa diletakkan secara
berdampingan maka kita membutuhkan “pihak ketiga” untuk
membandingkan benda tersebut. Pada perbandingan tidak langsung,
“pihak ketiga” digunakan sebagai referensi atau acuan. Pada
perkembangan tahap pengukuran maka “pihak ketiga” tersebut akan
dikembangkan sebagai unit pengukuran.
b. Perkiraan panjang (estimating length)
Perkiraan panjang merupakan bentuk perbandingan panjang yang
dilakukan secara mental. Mental benchmarks sangat dibuthkan untuk
melakukan estimasi panjang.
c. Pengukuran panjang (measuring length)
Perbandingan tidak langsung merupakan awal munculnya pengukuran.
“Pihak ketiga” yang digunakan pada perbandingan tidak langsung
dikembangkan menjadi unit pengukuran.
Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dapat digambarkan dalam
skema alur belajar siswa sebagai berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 378
Prosedur atau tahapan pengukuran tersebut dibentuk berdasarkan
konsep dasar pengukuran. Lehrer (2003) membagi konsep dasar pengukuran
panjang menjadi dua ide utaama, yaitu: konsepsi unit (conceptions of unit)
dan konsepsi skala (conceptions of scale).
Kedua konsep utama tersebut digambarkan dalam table berikut:
Konsep Dasar Deskripsi
Konsepsi Unit
• Iterasi unit
• Unit yang identik
• Tiling
• Partisi
Unit pengukuran perlu diulang
untuk mendapatkan hasil
pengukuran
Suatu panjang bisa dibagi
menjadi sub-sub yang identik
Unit pengukuran harus
“memenuhi” benda yang
diukur
Suatu unit bisa dibuat menjadi
unit yang lebih kecil
Konsepsi Skala
• Titik NOL
• Presisi
Setiap titik atau posisi (pada
alat ukur) bisa digunakan
sebagai titik awal pengukuran
Pemilihan unit pengukuran
sangat berpengaruh pada
tingkat presisi pengukuran.
Semakin kecil unit pengukuran
maka akan menghasilkan
pengukuran yang lebih presisi
Kombinasi antara prosedur dan konsep dasar pengukuran panjang
menghasilkan rumusan kegiatan instruksional untuk pembelajaran
pengukuran panjang. Tabel berikut menggaambarkan satu set kegiatan
instruksional untuk pembelajaran pengukuran yang dirumuskan oleh Van de
Walle dan Folk (2005):
Pengetahuan
konseptual yang harus
dikembangkan
Jenis aktivitas yang digunakan
1. Memahami jenis atribut 1. Kegiatan perbandingan berdasarkan atribut
(misal: membandingkan panjang,
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 379
atau dimensi yang akan
diukur
membandingkan berat dll)
2. Memahami bagaimana
cara melakukan
covering ataupun
matching untuk
membandingkan atribut
benda yang akan diukur
2. Penggunaan model unit pengukuran
berbentuk fisik (jengkal, kaki, langkah, dll)
untuk memadukan (cover) atau
memadankan (match)
3. Memahami cara kerja
alat ukur
3. Memadukan alat ukur baku (misal penggaris)
dengan alat ukur yang tidak baku (misal
rangkaian manik-manik) untuk memahami
bagaimana cara kerja alat ukur baku.
Skema berikut menggambarkan contoh rangkaian kegiatan
pembelajaran pengukuran panjang yang disusun berdasarkan alur belajar
siswa.
Perbandingan tidak langsung
Unit pengukuran yang tidak baku
Unit pengukuran yang baku
Alat ukur tidak baku (yaitu: “Penggaris buatan siswa”)
Bermain kelereng
Patil Lele atau Benthik
Mengukur dengan manik-
manik
Membuat penggaris
Mengukur dengan penggaris “buta”
Iterasi unit
Mengukur sebagai Covering
Unit yang identik
Kekekalan panjang
Exp
erie
nce-
base
d A
ctiv
itie
s “B
ridge
” A
ctiv
itie
s F
orm
al M
eas
urem
ent
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 380
Catatan:
• Penggaris buta : penggaris yang hanya terdiri dari garis-garis tanpa bilangan
ukuran
• Penggaris normal: penggaris biasa yang dimulai dari angka NOL
• Penggaris patah: penggaris yang tidak dimulai dari NOL, melainkan sebarang
bilangan
C. Hipotesis proses belajar siswa
Salah satu unsure yang sangat penting dari Hypothetical Learning Trajectory
adalah hipotesis proses belajar siswa. Ketika mendesain kegiatan pembelajaran, guru
sebaiknya menyusun hipotesis tindakan atau reaksi siswa pada setiap tahap
pembelajaran. Pada tahap awal perencanaan pembelajaran, hipotesis tersebut
didasarkan pada perkiraan pengetahuan awal (pre knowledge) yang sudah dimiliki
siswa serta berdasarkan pengalaman atau praktik pembelajaran topik tersebut pada
tahun sebelumnya. Pada tahap selanjutnya, hipotesis dielaborasikan pada
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 381
perencanaan harian serta disebut sebagai hypothetical learning trajectory
(Gravemeijer, 2004).
Contoh hipotesis proses belajar siswa dalam pembelajaran tentang pengukuran
panjang adalah sebagai berikut:
1. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan jengkal
Ketika siswa mengukur panjang suatu benda yang panjang seharusnya adalah
dua setengah jengkal, maka siswa menekuk jengkal terakhir supaya
mendapatkan bilangan bulat untuk banyak jengkal (yaitu: mereka mendapatkan
hasil tiga jengkal). Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut:
Pada kejadian ini siswa masih belum memahami konsep pecahan dan siswa juga
belum memahami konsep identical unit atau unit yang identik, yaitu bahwa
panjang unit ukuran adalah tetap. Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajak
siswa untuk mengukur benda tersebut dengan menggunakan unit ukuran yang
tidak fleksibel, misalkan pensil.
2. Dalam kegiatan mengukur panjang benda dengan kalung manik-manik
Karakteristik kalung manik-manik adalah konkret dan mudah dioperasikan
sehingga siswa tidak mengalami masalah berarti dalam mengukur benda dengan
Panjang seharusnya adalah tiga setengah jengkal
Siswa menekuk jengkal terakhir sehingga diperoleh tiga jengkal
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 382
menggunakan kalung manik-manik. Tapi sangat mungkin ada siswa yang
mengalami kesulitan, contoh adalah seperti diilustrasikan pada gambar berikut:
Kejadian tersebut menunjukkan kalau siswa masih bingung membedakan unit
ukuran apa yang digunakan untuk mengukur, yaitu antara panjang satu utas
kalung atau banyak manik-manik dalam satu kalung. “Lima puluh” menunjukkan
kalau siswa menggunakan manik-manik pada kalung sebagai unit ukuran. Tetapi
ketika siswa menjawab ½, hal ini menunjukkan kalau siswa menggunakan
panjang satu utas kalung sebagai unit ukuran.
Untuk mengatasi hal ini, guru bisa mengajukan pertanyaan: “Apa yang kamu
gunakan untuk mengukur sehingga kamu peroleh hasil 50? Bagaimana kamu
bisa mendapatkan hasil ½ ?”
Selanjutnya guru bisa mengajak siswa untuk mengukur panjang benda yang lebih
pendek dari satu utas kalung.
3. Dalam keegiatan membuat penggaris berdasarkan panjang kalung manik-manik
Gambar berikut menunjukkan contoh kemungkinan bentuk penggaris buatan
siswa:
50
½
50 ½
1 2 3
Gambar 1. Siswa menuliskan bilangan “1” pada strip pertama
1 2 3
Gambar 2. Siswa menuliskan bilangan “1” pada ruas pertama
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 383
− Gambar 1 menunjukkan kalau siswa masih belum memahami konsep
menguku sebagai covering space. Siswa mengukur dengan menghitung
banyaknya strip/garis pada penggaris.
Untuk mengatasi hal ini, siswa bisa meminta siswa mengukur suatu benda
dengan kalung manik-manik dan penggaris buatan mereka. Ketika siswa
menemukan kalau hasil pengukuran dengan penggaris selalu satu lebih
banyak dari hasil mengukur dengan kalung, maka siswa diminta
mendiskusikan hal tersebut dengan teman mereka.
− Gambar 2 menunjukkan kalau siswa sudah memahami kalau mengukur
sebagai covering space, yaitu mengukur adalah banyaknya ruas (daerah
antara dua garis) yang sesuai dengan panjang benda. Namun, siswa tersebut
belum memahami penulisan bilangan pada penggaris sebagai upaya
memudahkan pembacaan hasil pengukuran.
− Gambar 3 menunjukkan kalau siswa sudah memahami konsep mengukur
sebagai covering space dan juga tujuan penulisan bilangan ukuran.
4. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “buta”
Beberapa kemungkinan aktivitas atau jawaban siswa ketika mengukur dengan
penggaris “buta” adalah sebagai berikut:
− Siswa menghitung banyaknya strip/garis pada penggaris.
Siswa yang menggunakan strategi ini belum memahami konsep mengukur
sebagai covering space karena mereka tidak menghitung banyaknya ruas.
0 1 2
Gambar 3. Siswa menuliskan bilangan “0” pada strip pertama
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 384
− Siswa menghitung banyaknya ruas
Siswa yang menggunakan strategi ini sudah memahami bahwa mengukur
adalah covering space.
Untuk siswa yang belum memahami bahwa mengukur adalah covering space,
maka guru dapat melakukan kegiatan berikut:
Guru dapat kembali menggunakan kalung manik-manik untuk memberikan
pemahaman tentang konsep mengukur sebagai covering space.
Guru meminta siswa mengukur panjang suatu benda dengan penggaris buta dan
kalung manik-manik. Ketika siswa mengukur dengan manik-manik, siswa
menghitung banyaknya manik-manik. Guru mengajak siswa untuk
membandingkan kalung dengan penggaris untuk mengamati diwakili oleh
apakah manik-manik pada penggaris (lebih jelas lihat ilustrasi berikut).
5. Dalam kegiatan mengukur dengan penggaris “patah”
Pada kegiatan mengukur dengan penggaris patah, siswa diminta untuk mengukur
panjang benda dengan menggunakan penggaris yang tidak dimulai dari “0”.
1 ruas sama panjang dengan 1 manik-manik
Dua manik-manik sama panjang dengan dua ruas
1 ruas merupakan representasi 1 manik
1 2 3
10 atau 8?
1 2 3 1 2 3
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 385
Kemungkinan strategi siswa adalah sebagai berikut:.
− Siswa akan menjawab kalau panjang pensil adalah 10 karena pangkal pensil
terletak pada garis dengan nomor “10”.
Siswa yang melakukan strategi ini belum memahami konsep zero point, yaitu
bahwa sembarang bilangan/posisi bisa digunakan sebagai titik awal
pengukuran. Siswa tersebut hanya membaca (read out) penggaris.
Strategi yang bisa dilakukan oleh guru adalah dengan memberikan penggaris
patah yang “ekstrim”, misal yang diawali pada posisi/nomor “25”. Jika siswa
masih menggunakan strategi read out maka siswa akan memperoleh hasil
bahwa panjang pensil adalah 33. Diharapkan siswa memiliki kepekaan
panjang (ssense of length) bahwa pensil yang pendek tidak mungkin memiliki
panjang 33 sehingga siswa bisa diajak untuk memberi perhatian pada titik
awal pengukuran (yaitu 25).
− Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan langsung
menghitung banyak garis.
Guru dapat melakukan kegiatan atau strategi yang sama dengan strategi
yang digunakan pada kegiatan mengukur dengan penggaris “buta”.
− Siswa tidak mempedulikan bilangan-bilangan pada penggaris dan mereka
menghitung banyak ruas.
Untuk membantu siswa memahami cara menggunakan penggaris, maka
guru dapat memberi tugas untuk mengukur panjang benda secepat
mungkin. Dengan diminta supaya cepat dalam mengukur maka siswa
diharapkan tidak lagi melakukan penghitungan ruas tetapi mulai
memperhatikan bilangan-bilangan pada penggaris.
III. Kesimpulan
Berdasarkan uraian contoh penerapan hypothetical learning trajectory, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 386
1. Hypothetical learning trajectory memberikan pemahaman pada guru tentang
betapa pentingnya memperhatikan pengetahuan awal siswa dan juga
perbedaan kemampuan siswa dalam menyusun desain pembelajaran.
2. Hypothetical learning trajectory dapat digunakan sebagai petunjuk guru
dalam membagi tahapan pembelajaran, yaitu dengan membuat beberapa
sub tujuan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang utama.
3. Hypothetical learning trajectory bermanfaat sebagai panduan pelaksanaan
pembelajaran sekaligus memberikan berbagai alternatif strategi ataupun
scaffolding untuk membantu siswa mengatasi kesulitan dalam memahami
konsep yang dipelajari.
Daftar Pustaka:
Castle, K. & Needham, J. (2007). First Graders’ Understanding of Measurement. Early
Childhood Education Journal 35, 215 – 221.
Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht,
The Netherlands: Kluwer Academics Publisher.
Gravemeijer, K. (2004). “Local Instruction Theories as Means of Support for Teachers in
Reform Mathematics Education”. Mathematical Thinking and Learning, 6(2), 105-
128.
Henshaw, J.M. (2006). Does Measurement Measure up? How Numbers Reveal &
Conceal the Truth. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
Kamii, C., & Clark, F. B. (1997). Measurement of length: The need for a better approach
to teaching. School Science and Mathematics, 97(3), 116–121.
Lehrer, R.; Jaslow, L. & Curtis, C. (2003). “Developing an Understanding of
Measurement in the Elementary Grades”. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.),
Learning and Teaching Measurement (pp. 57 – 67). Reston: NCTM.
Simon, M. A. & Tzur, Ron. (2004). Explicating the Role of Mathematical Tasks in
Conceptual Learning: An Elaboration of the Hypothetical Learning Trajectory.
Mathematical Thinking & Learning 6 (2), 91-104.
Stephen, M & Clements, H. D. (2003). Linear and Area Measurement in
Prekindergarten to Grade 2. In Clement, H.D. & Bright, G. (Eds.), Learning and
Teaching Measurement (pp. 100 – 121). Reston: NCTM.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 387
Van de Wall, J. & Folk, S. (2005). Elementary and Middle School Mathematics. Teaching
Developmentally. Toronto: Pearson Education Canada Inc
Zack, V. & Graves, B. (2001). Making mathematical meaning through dialogues: “Once
you think of it the Z minus three seems pretty weird”. Educational studies in
mathematics 46, 229-271.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 388
P-24
PEMBELAJARAN KELILING DAN LUAS LINGKARAN
DENGAN STRATEGI REACT PADA SISWA KELAS VIII
SMP NEGERI 6 KOTA MOJOKERTO
Abdussakir, M.Pd (Dosen Jurusan Matematika UIN Malang)
Nur Laili Achadiyah, S.Pd (Guru Matematika SMPN 6 Kota Mojokerto)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran keliling
dan luas lingkaran dengan strategi REACT. Penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kolaboratif.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pembelajaran keliling dan luas
lingkaran dengan strategi REACT dapat memahamkan siswa kelas VIII
SMPN 6 Kota Mojokerto. Meskipun demikian, dibutuhkan waktu yang
lebih banyak daripada pembelajaran dengan metode ekspositori.
Keywords: pembelajaran, keliling, luas, strategi REACT.
Matematika secara garis besar dibagi ke dalam 4 cabang yaitu aritmetika,
aljabar, geometri, dan analisis (Bell, 1978:27). Geometri merupakan cabang
matematika yang menempati posisi penting untuk dipelajari karena geometri
digunakan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari (Van de Walle, 1990:269).
Selain itu, geometri mempunyai peran penting dalam mempelajari cabang matematika
yang lain dan menyediakan sarana yang dapat digunakan untuk mempermudah
memecahkan masalah dengan penggunaan gambar, diagram, dan sistem koordinat.
Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami
siswa daripada cabang matematika yang lain, namun kenyataan menunjukkan bahwa
masih banyak siswa yang sulit belajar geometri. Prestasi belajar siswa dalam geometri
masih rendah (Purnomo, 1999:6) dan perlu ditingkatkan (Bobango, 1993:147). Bahkan,
di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling
memprihatinkan (Sudarman, 2001:3).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 389
Kesulitan siswa dalam mempelajari geometri juga terjadi pada materi keliling
dan luas lingkaran. Sesuai diskusi dengan guru, dari pengalamannya selama mengajar
di SMP Taman Siswa Mojokerto dan SMPN 6 Kota Mojokerto, diperoleh informasi
bahwa masih banyak siswa kelas VIII yang mengalami kesulitan memahami rumus
keliling dan luas lingkaran. Jika siswa ditanya berapa keliling atau luas lingkaran yang
diketahui jari-jari atau diameternya, siswa tidak langsung menjawab. Ada yang
mengatakan lupa rumusnya dan ada yang salah menggunakan rumus. Apalagi jika
ditanya mengapa rumus keliling atau luas lingkaran adalah 2πr (atau πd) atau πr2
(atau
4
1 πd2), siswa tidak dapat memberikan jawaban sama sekali. Kesulitan ini sangat
mempengaruhi pemahaman siswa pada materi selanjutnya, misalnya materi volum
kerucut dan tabung.
Kesulitan siswa dalam memahami rumus keliling dan luas lingkaran diduga
disebabkan cara guru mengajar. Guru hanya terpaku pada metode ceramah dengan
menuliskan rumus, memberikan contoh soal, dan memberikan tugas-tugas. Siswa
sekedar menerima dan menghafal rumus keliling dan luas lingkaran. Akibatnya,
pengetahuan yang diperoleh siswa hanya bertahan sementara karena pengetahuan
tersebut tidak dikonstruk sendiri oleh siswa.
Kesulitan siswa dalam mempelajari keliling dan luas lingkaran perlu diatasi
dengan strategi pembelajaran yang sesuai. Strategi merupakan kiat atau siasat yang
sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran
agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa
hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Di samping menguasai materi, guru
dituntut memiliki keterampilan menyampaikan materi yang akan disampaikan dan
guru harus mampu memilih serta menggunakan suatu strategi pembelajaran yang
tepat pada suatu materi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hudojo (1988:96) bahwa
strategi belajar mengajar yang selanjutnya menentukan hasil belajar. Dengan
pemilihan strategi yang tepat akan memudahkan proses terbentuknya pengetahuan
pada siswa. Lebih lanjut Hudojo (1998:2) menyatakan bahwa strategi pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 390
yang jitu dalam menghadapi masa depan serba tidak menentu adalah membelajarkan
siswa dengan melibatkan intelektual siswa secara maksimal.
Untuk melaksanakan pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan
daya matematika siswa dan meningkatkan keaktifan siswa maka diperlukan adanya
suatu strategi pembelajaran yang tepat sesuai tujuan pembelajaran. Strategi
pembelajaran yang diharapkan dapat mengaktifkan, memahamkan, dan
mengembangkan daya pikir siswa adalah strategi yang dapat (a) mengaitkan materi
dengan situasi nyata dan pengetahuan awal siswa, (b) melibatkan siswa dalam
pemecahan masalah dan manipulasi alat peraga, (c) melibatkan siswa untuk belajar
secara kooperatif, dan (d) memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan
sendiri, mengaplikasikan, dan mentransfer konsep yang dipelajari.
Strategi pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah strategi
REACT. Strategi ini memfokuskan pada pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari siswa. Strategi REACT memuat lima komponen, yaitu
mengaitkan (Relating), mengalami (Experiencing), menerapkan (Applying),
bekerjasama (Cooperating), dan mentransfer (Transferring). Mengaitkan (Relating),
mempunyai arti bahwa dalam belajar, materi harus dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari siswa atau dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa.
Mengalami (Experiencing), mempunyai arti bahwa siswa belajar dengan mengalami
secara langsung (doing mathematics) melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan
penciptaan. Menerapkan (Applying), yaitu belajar dengan menempatkan konsep-
konsep untuk diaplikasikan pada masalah yang bersifat realistik dan relevan.
Bekerjasama (Cooperating), yaitu belajar dalam konteks saling berbagi, saling
menanggapi, dan berkomunikasi dengan siswa lainnya. Mentransfer (Transferring),
yaitu menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru, yaitu konteks
atau situasi yang belum tercakup dalam kelas (Crawford, 2001:3-13).
Penerapan strategi REACT mempunyai berbagai kelebihan, yaitu dapat
memperdalam pemahaman siswa, mengembangkan sikap positif siswa,
mengembangkan sikap menghargai diri sendiri dan orang lain, membuat belajar secara
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 391
inklusif, mengembangkan rasa saling memiliki, mengembangkan keterampilan untuk
masa depan, mengembangkan sikap menyukai lingkungan, dan menjelaskan
pentingnya materi dan aplikasinya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik menerapkan strategi REACT untuk
membangun pamahaman siswa kelas VIII SMPN 6 Kota Mojokerto pada pembelajaran
materi keliling dan luas lingkaran. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah
pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT pada siswa kelas VIII
SMP Negeri 6 Kota Mojokerto? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
paparan secara jelas dan rinci tentang pembelajaran keliling dan luas lingkaran dengan
strategi REACT yang dapat memahamkan siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Kota
Mojokerto.
METODE
Penelitian ini dimaksudkan sebagai usaha untuk membantu siswa memahami
rumus keliling dan luas lingkaran dengan strategi REACT. Dalam usaha membangun
pemahaman tersebut, peneliti berperan sebagai perancang tindakan dan guru sebagai
pelaksana pembelajaran. Oleh sebab itu, rancangan penelitian yang dipandang cocok
dengan tujuan tersebut adalah penelitian tindakan kolaboratif.
Lokasi penelitian ini adalah SMP Negeri 6 Kota Mojokerto. SMP ini dipilih
karena masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami rumus keliling
dan luas lingkaran. Selain itu, di SMP ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai
pembelajaran dengan strategi REACT.
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-3 semester genap SMP
Negeri 6 Kota Mojokerto. Siswa kelas VIII-3 terdiri atas 36 siswa dengan 21 siswa laki-
laki dan 15 siswa perempuan. Subyek wawancara terdiri dari 4 siswa yang terdiri dari 1
siswa berkemampuan tinggi, 1 siswa berkemampuan sedang dan 2 siswa
berkemampuan rendah. Pengambilan 4 subyek dengan kriteria tinggi, sedang, dan
rendah berdasarkan skor tes ulangan harian siswa. Subyek wawancara juga
dipertimbangkan yang mudah diajak berkomunikasi.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 392
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi hasil tes, hasil wawancara,
hasil observasi, dan hasil catatan lapangan. Sesuai data yang dikumpulkan dalam
penelitian, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi (1) tes, (2)
wawancara, (3) observasi, dan (4) catatan lapangan.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama dan sesudah pengumpulan
data. Analisis data dilakukan pada tahap refleksi dari siklus penelitian. Analisis data
yang dilakukan menggunakan analisis data kualitatif model alir yang dikembangkan
oleh Miles dan Huberman (1992:18) yang terdiri dari tahap (1) mereduksi data, (2)
menyajikan data, dan (3) menarik kesimpulan dan verivikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Pratindakan
Sebelum pelaksanaan tindakan, peneliti dan guru berdiskusi tentang rencana
pelaksanaan tindakan dan skenario pembelajaran yang akan dilakukan. Peneliti perlu
memastikan bahwa guru memahami sungguh-sungguh strategi yang akan digunakan,
karena guru yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas. Selain itu, peneliti dan
guru menyiapkan RPP, LKS, instrumen penelitian, daftar kelompok, dan subyek
wawancara. Kelompok siswa tidak dibentuk oleh guru, karena siswa kelas VIII-3 SMPN
6 Mojokerto sejak awal sudah terbentuk ke dalam kelompok-kelompok sesuai
keinginan siswa. Kelompok terdiri dari 4 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal
ini sesuai pendapat Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 1996:286) bahwa kelompok
yang sangat ideal terdiri dari 4 orang.
Pada tanggal 24 Januari 2009, guru menjelaskan kepada siswa tentang rencana
kegiatan pembelajaran pada Kamis, 29 Januari 2009. Guru menjelaskan secara garis
besar langkah-langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan. Guru juga meminta
siswa sesuai kelompok masing-masing untuk membawa benda-benda berbentuk
tabung (seperti potongan pipa, kaleng, tutup topless, dan lainnya), benang, gunting,
penggaris, kalkulator, kertas manila 2 warna, kertas karton, lem, busur, dan jangka
yang akan digunakan dalam pembelajaran. Penggunaan media belajar ini sesuai
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 393
dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1996:305) bahwa siswa perlu diberi sumber-
sumber belajar yang mendukung pelaksanaan penyelidikan.
Data Tindakan
Pembelajaran rumus keliling dan luas lingkaran dilaksanakan pada hari Kamis,
29 Januari 2009. Pembelajaran dimulai dengan siswa sudah menempati posisi masing-
masing berdasarkan kelompoknya. Pembelajaran dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu
tahap awal, tahap inti dan tahap akhir.
Pada tahap awal, guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa
tentang pentingnya materi kaitannya dengan materi lain dan aplikasinya dalam
kehidupan, membangkitkan pengetahuan awal siswa tentang luas persegi panjang dan
konsep lingkaran, dan terakhir menjelaskan tugas dan tanggung jawab kelompok. Pada
tahap awal, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan (relating) dan
bekerjasama (cooperating). Tahap awal diakhiri dengan pembagian Lembar Kerja Siswa
(LKS). Tahap awal membutuhkan waktu sekitar 15 menit (dalam RPP 10 menit).
Tujuan pembelajaran perlu disampaikan kepada siswa sebelum membahas
materi. Penyampaian tujuan berfungsi agar siswa dapat mengetahui arah kegiatan
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahar (1988:174) bahwa penyampaian
tujuan pembelajaran selain dapat memotivasi juga dapat memusatkan perhatian siswa
terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran.
Motivasi belajar sangat penting peranannya dalam rangka menyiapkan siap
untuk belajar. Siswa yang termotivasi akan lebih siap untuk belajar dan akan mencapai
hasil belajar yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton (1992:9-10) bahwa
siswa yang termotivasi, tertarik dan mempunyai keinginan untuk belajar akan belajar
lebih banyak.
Kegiatan mengingat kembali materi prasyarat sangat perlu dilakukan untuk
mempermudah siswa memahami materi yang akan dipelajari. Jika siswa tidak paham
materi prasyarat, maka siswa akan sulit mempelajari materi keliling dan luas lingkaran.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 394
Hal ini sesuai pendapat Skemp (1987:20) bahwa jika pemahaman konsep kurang
sempurna, maka konsep lain yang berkaitan dengan konsep tersebut akan berada
dalam keadaan bahaya.
Tahap inti terdiri dari dua kegiatan, yaitu pelaksanaan diskusi kelompok dan
penyajian laporan. Sebelum melaksanakan diskusi kelompok, masing-masing kelompok
diminta untuk memahami Lembar Kerja Siswa (LKS). Pada kegiatan diskusi, masing-
masing kelompok bekerja dengan bantuan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan alat peraga.
LKS terdiri dari tiga bagian, yaitu LKS I untuk menentukan nilai π dan rumus keliling
lingkaran, LKS II untuk menentukan rumus luas lingkaran, dan LKS III untuk soal-soal
aplikasi dan transfer. Siswa diminta untuk mengerjakan LKS secara berurutan mulai LKS
I sampai LKS III.
Pada saat diskusi menyelesaikan LKS I, siswa mengukur diameter dan keliling
masing-masing alat peraga yang telah dibawa dan mencatat ke dalam tabel dalam LKS.
Siswa mengukur diameter dengan penggaris. Keliling diukur menggunakan benang
dengan cara dililitkan pada alat peraga, menandai benang, memotong benang, dan
terakhir mengukur panjang benang. Pada kegiatan ini, sebagian besar kelompok
berbagi tugas. Ada anggota kelompok yang bertugas mengukur dan ada yang bertugas
mencatat. Ada juga kelompok yang masing-masing anggota kelompoknya mengukur
sendiri-sendiri dan mencatatnya ke dalam tabel.
Setelah siswa mengukur diameter dan keliling semua alat peraga yang dibawa,
siswa menghitung nilai KELILING : DIAMETER dan memasukkan nilainya pada kolom
terakhir tabel LKS I. Sebagian kelompok ada yang menghitung dengan kalkulator dan
sebagian lagi menghitung dengan HP (handpone). Proses ini dengan bantuan LKS
mengarahkan siswa untuk menemukan nilai bilangan π. Setelah siswa mengetahui
bahwa π diperoleh dari Keliling : Diameter, maka mereka tidak mengalami kesulitan
untuk menemukan bahwa Keliling = π × Diameter.
Selanjutnya, melalui LKS I siswa diarahkan untuk melakukan penggunaan notasi
simbol untuk menyatakan rumus keliling lingkaran. Sesuai pengamatan di kelas dan
hasil LKS siswa, semua kelompok dapat menyatakan dengan benar bahwa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 395
K = π × d atau K = πd
Namun demikian, ketika simbol d diganti r sebagian besar kelompok (7 kelompok)
menuliskan
K = π × 2r.
Hanya 2 kelompok yang menuliskan
K = π × 2r = 2πr.
Guru akhirnya memberikan bimbingan agar semua kelompok dapat menuliskan
menjadi K = 2πr.
Pada kegiatan LKS I ini, komponen REACT yang muncul adalah mengaitkan
(relating), mengalami (experiencing), mengaplikasikan (applying), dan bekerjasama
(cooperating). Penggunaan LKS I terbukti sangat membantu arah kerja siswa
menemukan rumus keliling lingkaran. Siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri
secara aktif dengan bantuan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Clements & Battista
(2001) bahwa pengetahuan harus dibentuk dan ditemukan oleh siswa secara aktif.
Pengetahuan matematika dikonstruksi siswa dengan melakukan refleksi fisik dan
mental, yaitu berbuat dan berpikir.pendapat.
Pada LKS II, siswa diarahkan untuk menemukan rumus luas lingkaran. Pertama
siswa dalam kelompok membuat 2 lingkaran berukuran sama pada kertas manila
dengan warna yang berbeda. Masing-masing lingkaran dibagi dua bagian dan
menyatukannya bagian-bagian tadi menjadi lingkaran baru dengan dua warna berbeda
seperti pada gambar.
Salah satu lingkaran AB selanjutnya dipotong menjadi 12 bagian yang sama dan
disusun sebagai berikut.
A B AB AB
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 396
Siswa diminta menentukan ukuran “panjang” dan “lebar” bentuk di atas. Pada tahap
ini kelompok dengan mudah menyatakan bahwa “panjang”nya adalah 2
1Keliling dan
“lebarnya” adalah jari-jari atau 2
1Diameter. Meskipun demikian, ada kelompok yang
mengukur dengan penggaris untuk memastikan bahwa “lebar”nya sama dengan jari-
jari lingkaran yang mereka buat pertama kali.
Selanjutnya siswa diminta membagi lingkaran AB kedua menjadi bagian-bagian
yang sama sebanyak mungkin dan menyusun kembali seperti pada lingkaran AB
pertama. Dalam kegiatan tersebut siswa bekerja secara fisik dengan memanipulasi alat
peraga dan bekerja secara mental yaitu berpikir untuk menemukan rumus luas
lingkaran. Hal ini sangat baik karena didukung oleh pendapat Hudojo (1998:7) bahwa
siswa perlu dilibatkan secara fisik dan mental dalam belajar serta melibatkan
pengalaman konkret.
Pada tahap ini, kelas menjadi ramai. Siswa dalam kelompok nampak bekerja
dengan aktif dan senang. Ada yang memotong, ada yang mengelem, dan ada yang
menempel. Kegiatan saling bekerjasama dan berbagi tugas dalam menyelesaikan tugas
kelompok merupakan hal penting. Sesuai pendapat Eggen dan Kauchak (1996:281),
keterampilan sosial tersebut merupakan aspek yang sangat penting dalam belajar
kooperatif.
LKS II ini mengarahkan siswa untuk menyadari bahwa potongan tadi setelah
disusun kembali akan membentuk “persegipanjang” dengan panjang 2
1K dan lebar r,
sehingga luasnya adalah (2
1K × r). Karena persegipanjang tersebut diperoleh dari
lingkaran dengan jari-jari r, maka luas lingkaran sama dengan luas persegipanjang.
Melalui alur LKS II dan bimbingan guru, siswa akhirnya melakukan manipulasi symbol
sebagai berikut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 397
LLingkaran = LPersegipanjang
= p × l
= 2
1K × r
= 2
1(2πr) × r, K = 2πr
= πr2
Lebih lanjut, dengan bimbingan guru, kelompok diminta mengganti simbol r dengan d
melalui hubungan d = 2r atau r = 2
1d. Akhirnya, siswa dapat memperoleh
LLingkaran = π (2
1d)
2 =
4
1 πd2.
Untuk sampai pada kesimpulan ini, guru melakukan bimbingan pada masing-masing
kelompok. Hampir semua kelompok mengalami kesulitan dalam manipulasi simbol
aljabar menemukan rumus akhir luas lingkaran. Guru memberikan bimbingan tetapi
tetap berusaha agar siswa sendiri yang membentuk pengetahuan mereka melalui
kegiatan penyelidikan dan diskusi. Hal ini sesuai dengan prinsip konstruktivisme bahwa
guru berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu siswa membangun
pengetahuan (Suparno, 1997:67). Pada kegiatan LKS II ini, komponen REACT yang
muncul adalah mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), mengaplikasikan
(applying), dan bekerjasama (cooperating).
Perolehan luas lingkaran dengan cara membentuk persegipanjang terlebih
dahulu memberikan gambaran pada siswa tentang aplikasi luas persegipanjang dan
keterkaitan antara luas persegi panjang dan luas lingkaran. Keterkaitan ini akan
memberikan pemahaman yang kuat pada benak siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hudojo (1998:7) bahwa informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya
sehingga menyatu dalam skemata yang dimiliki siswa.
Selanjutnya guru mempersilahkan kelompok untuk mengerjakan LKS III yang
memuat 2 soal, yaitu soal aplikasi dan soal transfer. Berdasarkan pengamatan, semua
kelompok dapat menjawab soal aplikasi dengan benar. Ketika mengerjakan soal-soal
transfer, yaitu soal yang berkiatan dengan situasi baru, semua kelompok mengalami
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 398
kesulitan. Guru tetap meminta siswa untuk mengerjakan soal transfer dengan
bimbingan secukupnya. Pada kegiatan ini, komponen REACT yang muncul adalah
mengaplikasikan (applying) dan mentransfer (transferring).
Ketika waktu pelajaran tinggal 10 menit (tahap inti sudah berlangsung selama
55 menit), guru meminta siswa menghentikan pekerjaannya dan mengumpulkan LKS
seadanya. Guru menjelaskan bahwa pembelajaran akan dilanjutkan pada hari Sabtu,
tanggal 31 Januari 2009. Guru menjelaskan bahwa pertemuan berikutnya adalah
penyajian laporan. Guru menjelaskan bahwa tidak semua kelompok akan melaporkan
hasil LKS. Guru akan menyeleksi kelompok pelapor tetapi tetap meminta masing-
masing kelompok bersiap-siap. Kegiatan jam pelajaran habis, guru menutup pelajaran.
Pada hari Sabtu, 31 Januari 2009 merupakan pertemuan kedua untuk
pembelajaran keliling dan luas lingkaran. Setelah membuka pelajaran, guru meminta
ketua kelompok terpilih menyiapkan diri untuk melaporkan LKS pertemuan
sebelumnya. Berdasarkan pemeriksaan hasil LKS dan pertimbangan waktu, peneliti dan
guru memutuskan untuk memanggil satu kelompok yang akan melaporkan hasil
diskusi. Hal ini dilakukan karena hasil LKS semua kelompok adalah sama meskipun ada
redaksi yang berbeda. Kelompok yang terpilih untuk menyajikan laporan adalah
kelompok VI. Pemilihan kelompok VI berdasarkan pertimbangan karena hasil LKSnya
paling bagus dibanding kelompok yang lain. Selain itu, kelompok VI dapat menjawab
semua soal pada LKS III dengan benar.
Setelah ketua kelompok VI selesai menyajikan LKSnya, guru meminta siswa
memberikan tepuk tangan dan sekaligus memuji pelaksanaan diskusi kelompok yang
telah berlangsung dengan baik. Selanjutnya guru memberikan penekanan lagi
mengenai bilangan π, rumus keliling, dan luas lingkaran yang telah dipelajari siswa.
Guru melakukan tanya jawab untuk mengetahui pemahaman siswa dengan kembali
menanyakan rumus keliling dan luas lingkaran. Selain itu, guru juga meminta siswa
untuk membuat simpulan. Pada akhir pembelajaran, guru sempat menanyakan respon
siswa mengenai pembelajaran yang telah dilaksanakan sejak pertemuan sebelumnya.
Siswa menyatakan senang, bersemangat, mengerti, dan meminta pembelajaran
selanjutnya tetap berkelompok. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subyek
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 399
wawancara merasa senang dan dapat memahami materi dengan baik. Hal ini
mendukung pendapat Hill & Hill (1993:2) bahwa belajar kelompok (kooperatif) dapat
menyenangkan siswa dan memperdalam pemahaman.
Berdasarkan hasil tes akhir pada 5 Pebruari 2009, diperoleh bahwa 34 siswa
memperoleh skor di atas 70 dan hanya 2 siswa memperoleh skor di bawah 70. Hasil ini
menunjukkan bahwa pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran dalam
penelitian ini sangat baik. Pemahaman siswa ini dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya perasaan senang saat belajar, situasi belajar kelompok, penggunaan LKS dan
alat peraga serta manipulasi alat peraga, serta mereka sendiri yang menemukan rumus
keliling dan luas lingkaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan paparan data dan pembahasan maka hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi REACT dapat membantu siswa kelas
VIII SMP Negeri 6 Kota Mojokerto untuk membangun pemahaman pada materi keliling
dan luas lingkaran. Meskipun demikian, waktu yang diperlukan adalah dua kali
pertemuan. Jika dibanding pembelajaran dengan metode ekspositori, maka strategi
REACT lebih banyak memakan waktu.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan
adalah sebagai berikut.
1. Guru matematika kelas VIII SMP disarankan untuk mempertimbangkan penerapan
strategi REACT pada pembelajaran materi keliling dan luas lingkaran.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 400
2. Guru matematika kelas VIII SMP yang menerapkan pembelajaran dengan strategi
REACT hendaknya mengatur penggunaan waktu seefektif mungkin mengingat
penelitian ini ternyata membutuhkan banyak waktu.
3. Kepada peneliti yang lain disarankan untuk mengadakan penelitian mengenai
penerapan strategi REACT pada materi yang lain baik di sekolah yang sama
maupun sekolah yang lain.
DAFTAR RUJUKAN
Bell, F.H.. 1978. Teching Learning Mathematics: In Secondary Shooles. Iowa: Wn. C.
Brown Company Publishers.
Bobango, J.C. 1993. Geometry for All Student: Phase-Based Instruction. Dalam Cueves
(Eds). Reaching All Students With mathematics, reston, VA. Virginia: National
Council of Teachers of Mathematics.
Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Constructivist Learning and Teaching.
(Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/constructivistlearning.html,
diakses tanggal 02 Pebruari 2002).
Crawford, M. L., 2001. Teaching and Contextually. Research, Rationale, and Techniques
for Improving Student Motivation and Achievement in Mathematics and
Science. Waco, Texas. CCI Publishing, Inc.
Dahar, R.W. 1988. Teori-teori Belajar. Jakarta: Depdikbud
Eggen, P.D & Kauchak, P.P.. 1996. Strategies for Teacher: Teaching Content and
Thingking Skill. Boston: Alyn & Bacon.
Hill, Susan & Hill, Tim. 1993. The Collaborative Classroom: A Guide to Co-operative
Learning. Victoria: Eleanor Curtin Publishing.
Hudojo, H.. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK.
Hudojo, H.. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivis.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional “Upaya-upaya Meningkatkan Peran
Pendidikan Matematika dalam Era Globalisasi”. PPS IKIP MALANG. Malang: 4
April.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 401
Miles, M.B. & Huberman, A.M.. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep
Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Orton, A.. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain:
Redwood Books.
Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Teori
Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya
Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP MALANG.
Skemp, R.R.. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publisher
Sudarman. 2000. Pengembangan Paket Pembelajaran Berbantuan Komputer Materi
Luas dan Keliling Segitiga untuk Kelas V Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan.
Malang: PPS UM.
Suparno, P.. 1997. Filsafat Konstuktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Van de Walle, J.A..1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally.
New York: Longman.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 402
P-25
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS
MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA:
APA dan BAGAIMANA MENGEMBANGKANNYA
Oleh
Djamilah Bondan Widjajanti
Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Abstrak
Suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah apabila soal atau
pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur untuk
menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin.
Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Selain empat langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal yang
dikemukakan oleh G. Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”, terdapat juga model
pemecahan masalah yang disebut dengan Bransford’s IDEAL model dan Gick model.
Mahasiswa calon guru matematika harus cukup mendapatkan kesempatan
untuk mengembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah, mengingat
termasuk di dalam tugasnya nanti ketika menjadi guru adalah membimbing siswa
belajar memecahkan masalah matematika. Mengajarkan bagaimana menyelesaikan
masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan tantangan atau motivasi kepada
para siswa agar mereka mampu memahami masalah tersebut, tertarik untuk
memecahkannya, mampu menggunakan semua pengetahuannya untuk merumuskan
strategi dalam memecahkan masalah tersebut, melaksanakan strategi itu, dan menilai
apakah jawabannya benar.
Melalui perkuliahan berbasis masalah (PBL), mahasiswa calon guru matematika
dapat dikembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Ada banyak mata
kuliah di Program Studi Pendidikan Matematika yang cocok diberikan menggunakan
pendekatan PBL. Salah satu diantaranya adalah Matematika Diskret. Di dalam makalah
ini diberikan contoh implementasi PBL dalam mata kuliah Matematika Diskret. Untuk
dapat menjadi wahana pengembangan kemampuan pemecahan masalah, maka bahan
ajar untuk mata kuliah Matematika Diskret dirancang secara khusus sedemikian hingga
mahasiswa dapat belajar konsep tertentu melalui masalah yang diselesaikannya,
sekaligus akan menjadi trampil menyelesaikan masalah matematis yang beragam.
Kata Kunci: pemecahan masalah, mahasiswa
Pendahuluan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 403
Salah satu tujuan belajar matematika bagi siswa/mahasiswa adalah agar ia
mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal
matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis,
kritis, dan kreatif. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah menjadi fokus
pembelajaran matematika di semua jenjang. Lebih-lebih bagi seorang mahasiswa calon
guru matematika, tentu tidaklah cukup jika ia hanya mempunyai kemampuan tersebut
untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas
yang berat yaitu menjadikan siswanya memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah matematika.
Memperhatikan pentingnya seorang mahasiswa calon guru matematika
mempunyai kemampuan pemecahan masalah, maka perkuliahan di Program Studi
Pendidikan Matematika sudah seyogyanya difungsikan sebagai wahana bagi
mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya. Makalah ini akan membahas apa dan
bagaimana mengembangkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon
guru matematika.
Pembahasan
a. Masalah
Dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah
soal yang biasa dijumpai siswa. Hudoyo (1988) menyatakan bahwa soal/pertanyaan
disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Dapat
terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur
rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut
memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin.
Senada dengan pendapat Hudoyo, Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa
suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan
untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang anak dan anak
tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi anak tersebut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 404
Memperhatikan pendapat-pendapat tentang masalah seperti tersebut di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah
apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab,
dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan
secara rutin, sebagaimana Bell (1978) menyatakan bahwa “a situation is a problem for
a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it requires action, wants
or needs to act and does so, and is not immediately able to resolve the situation”.
b. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pada tahun 1983, Mayer mendefinisikan pemecahan masalah sebagai suatu
proses banyak langkah dengan si pemecah masalah harus menemukan hubungan
antara pengalaman (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya
dan kemudian bertindak untuk menyelesaikannya (Kirkley, 2003).
Pentingnya belajar pemecahan masalah dalam matematika, banyak ahli yang
mengatakannya. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam pelajaran
matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi
pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara matematis dapat
membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan dapat menolong
mereka dalam menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam situasi.
Conney (dikutip Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan
penyelesaian masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu menjadi
lebih analitis di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan perkataan
lain, bila peserta didik dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta didik itu akan
mampu mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi trampil tentang
bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi, dan
menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar memecahkan
masalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian yang sangat penting,
bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini karena pada dasarnya salah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 405
satu tujuan belajar matematika bagi siswa adalah agar ia mempunyai kemampuan atau
ketrampilan dalam memecahkan masalah atau soal-soal matematika, sebagai sarana
baginya untuk mengasah penalaran yang cermat, logis, kritis, analitis, dan kreatif.
Romberg (dalam Schoenfeld, 1994) menyebutkan 5 tujuan belajar matematika bagi
siswa, yaitu: (1) belajar nilai tentang matematika, (2) menjadi percaya diri dengan
kemampuannya sendiri, (3) menjadi pemecah masalah matematika, (4) belajar untuk
berkomunikasi secara matematis, dan (5) belajar untuk bernalar secara matematis.
NCTM (2000) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja
merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama
untuk melakukan belajar itu. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah
menjadi fokus pembelajaran matematika di semua jenjang, dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Dengan mempelajari pemecahan masalah di dalam matematika, para
siswa akan mendapatkan cara-cara berfikir, kebiasaan tekun, dan keingintahuan, serta
kepercayaan diri di dalam situasi-situasi tidak biasa, sebagaimana situasi yang akan
mereka hadapi di luar ruang kelas matematika. Di kehidupan sehari-hari dan dunia
kerja, menjadi seorang pemecah masalah yang baik bisa membawa manfaat-manfaat
besar.
Karena menyelesaikan masalah bagi siswa itu dapat bermakna proses untuk
menerima tantangan, sebagaimana dikatakan Hudoyo (1988), maka mengajarkan
bagaimana menyelesaikan masalah merupakan kegiatan guru untuk memberikan
tantangan atau motivasi kepada para siswa agar mereka mampu memahami masalah
tersebut, tertarik untuk memecahkannya, mampu menggunakan semua
pengetahuannya untuk merumuskan strategi dalam memecahkan masalah tersebut,
melaksanakan strategi itu, dan menilai apakah jawabannya benar. Untuk dapat
memotivasi para siswa secara demikian, maka setiap guru matematika harus
mengetahui dan memahami langkah-langkah dan strategi dalam penyelesaian masalah
matematika.
Langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal dikemukakan oleh G.
Polya, dalam bukunya ”How to Solve It”. Empat langkah pemecahan masalah
matematika menurut G. Polya tersebut adalah: ” (1) Understanding the problem, (2)
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 406
Devising plan, (3) Carrying out the plan, (4) Looking Back” (Alfeld, 1996). Hall (2000)
juga membuat iktisar dari buku G Polya tersebut, dan merinci bahwa: (1) Memahami
masalah, meliputi memberi label atau _able_ dan mengidentifikasi apa yang
ditanyakan, syarat-syarat, apa yang diketahui (datanya), dan menentukan solubility
masalahnya, (2) Membuat sebuah rencana, yang berarti menggambarkan
pengetahuan sebelumnya untuk kerangka teknik penyelesaian yang sesuai, dan
menuliskannya kembali masalahnya jika perlu, (3) Menyelesaikan masalah tersebut,
menggunakan teknik penyelesaian yang sudah dipilih, dan (4) Mengecek kebenaran
dari penyelesaiannya yang diperoleh dan memasukkan masalah dan penyelesaian
tersebut kedalam memori untuk kelak digunakan dalam menyelesaikan masalah
dikemudian hari.
Hampir sama dengan Polya, Dominowski (2002) menyatakan ada 3 tahapan
umum untuk menyelesaikan suatu masalah, yaitu: interpretasi, produksi, dan evaluasi.
Interpretasi merujuk pada bagaimana seorang pemecah masalah memahami atau
menyajikan secara mental suatu masalah. Produksi menyangkut pemilihan jawaban
atau langkah yang mungkin untuk membuat penyelesaian. Evaluasi adalah proses dari
penilaian kecukupan dari jawaban yang mungkin, atau langkah lanjutan yang telah
dilakukan selama mencoba atau berusaha menyelesaikan suatu masalah.
Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang umum
pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify the problem, (2)
Define the problem through thinking about it and sorting out the relevant information,
(3) Explore solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out
different points of view, (4) Act on the strategies, and (5) Look back and evaluate the
effects of your activity.
Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering
digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari
tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah,
termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi
tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian,
termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 407
guna mencapai tujuan, dan (3) Menerapkan penyelesaian, termasuk melaksanakan
rencana dan menilai hasilnya.
Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Suherman, dkk. (2003)
antara lain menyebutkan beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu: (1) Act it Out
(menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda kongkrit), (2) Membuat
gambar dan diagram, (3) Menemukan pola, (4) Membuat tabel, (5) Memperhatikan
semua kemungkinan secara sistematis, (6) Tebak dan periksa, (7) Kerja mundur, (8)
Menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan,
(9) Menggunakan kalimat terbuka, (10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang
lebih mudah, dan (11) Mengubah sudut pandang.
Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara penyelesaiannya,
sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi untuk
mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari jenis masalah yang
diselesaikannya, Kirkley (2003) menyebutkan ada 3 jenis masalah, yaitu: (1) Masalah-
masalah yang terstruktur dengan baik (well structured problems), (2) Masalah-masalah
yang terstruktur secara cukup (moderately structured problems), dan (3) Masalah-
masalah yang strukturnya jelek (ill structured problems). Masalah yang terstuktur
dengan baik, strategi untuk menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu
jawaban yang benar, dan semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan
masalahnya. Masalah yang terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu
strategi penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih
memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang
strukturnya jelek, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak terduga,
mempunyai banyak perspekif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian, serta masih
memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya.
Berbagai jenis masalah perlu diberikan kepada siswa secara bertahap. Adalah
penting bagi seorang guru matematika untuk memahami bahwasanya orientasi di
dalam pendidikan adalah peserta didik. Menurut Hudoyo (1988) peserta didik harus
dibekali bagaimana belajar itu sebenarnya. Karena itu peserta didik harus dilatih
menyelesaikan berbagai jenis masalah.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 408
Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar matematika,
sehingga NCTM (2000) menyebutkan bahwa program-program pembelajaran dari pra
TK hingga kelas 12 seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu: (1)
Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah, (2)
Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam konteks-
konteks lain, (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang sesuai untuk
memecahkan permasalahan, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses
pemecahan masalah matematis.
c. Kemampuan Pemecahan Masalah
Memperhatikan pengertian masalah, pentingnya siswa belajar pemecahan
masalah, langkah-langkah dan strategi pemecahan masalah, seperti tersebut di atas,
maka memiliki kemampuan pemecahan masalah tidak hanya penting untuk siswa,
tetapi juga penting untuk mahasiswa, khususnya mahasiswa calon guru matematika.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah bagi seorang calon guru
matematika, seperti halnya kemampuan yang lain, yaitu penalaran dan pembuktian,
komunikasi, koneksi, maupun representasi matematik, terbukti dari ditentukannya
standar untuk kemampuan-kemampuan tersebut dalam NCTM (National Council of
Teachers of Mathematics, 2003). Seorang calon guru matematika haruslah
mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan proses dari pemecahan masalah
matematika. Lebih-lebih bagi seorang calon guru matematika, tidaklah cukup hanya
mempunyai kemampuan pemecahan masalah untuk dirinya sendiri, sebab kelak jika ia
telah menjadi guru, ia akan mempunyai tugas yang berat, yaitu membimbing siswanya
agar memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah matematika.
Indikator yang dapat menunjukkan apakah seorang calon guru matematika
telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah, menurut NCTM (2003) adalah: (1)
Menerapkan dan mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk
menyelesaikan masalah, (2) Menyelesaikan masalah yang muncul di dalam
matematika atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, (3) Membangun
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 409
pengetahuan matematis yang baru lewat pemecahan masalah, dan (4) Memonitor dan
merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis.
Terkait dengan indikator pertama, yaitu mampu menerapkan dan
mengadaptasi berbagai pendekatan dan strategi untuk menyelesaikan masalah ini
sangat penting bagi seorang calon guru terkait dengan tugasnya nanti dalam
membimbing siswa menyelesaikan masalah.
Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul di dalam matematika
atau di dalam konteks lain yang melibatkan matematika, penting bagi seorang calon
guru matematika agar ia mempunyai cukup ketrampilan yang akan digunakannya
untuk membimbing siswa belajar matematika nantinya, apalagi jika dikaitkan dengan
perlunya siswa belajar matematika dalam konteks yang beragam, sebagaimana
disarankan dalam pendekatan kontekstual.
Indikator ketiga, yaitu mampu membangun pengetahuan matematis yang baru
lewat pemecahan masalah, terutama terkait dengan perlunya seorang calon guru
matematika mampu memilih dan mengembangkan masalah dan penyelesaiannya, agar
nanti iapun kelak jika telah menjadi guru akan dapat mengarahkan para siswanya
belajar berbagai ketrampilan matematis, dan membangun gagasan-gagasan matematis
yang penting.
Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis,
bermakna bahwa untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, seorang calon
guru matematika haruslah mampu secara kritis meninjau sendiri apa strategi
penyelesaian yang sudah dipilihnya. Bransford (dalam NCTM, 2000) menyatakan
bahwa para pemecah masalah yang baik menyadari apa yang sedang mereka lakukan
dan seringkali memonitor, atau meninjau sendiri, kemajuan diri mereka sendiri, atau
menyesuaikan strategi-strategi mereka saat menghadapi dan memecahkan
permasalahan.
Memperhatikan uraian standar dan indikator kemampuan pemecahan masalah
seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa seorang calon guru matematika
dikatakan telah mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang baik
jika ia telah mampu: (1) Memahami masalah, (2) Memilih strategi yang tepat untuk
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 410
menyelesaikan masalah, (3) Menyelesaikan masalah dengan benar dan sistematis, dan
(4) Memeriksa sendiri ketepatan strategi yang dipilihnya dan kebenaran penyelesaian
masalah yang didapatkannya.
Meskipun sudah terdapat panduan yang menyangkut langkah-langkah dan
strategi-strategi umum untuk menyelesaikan suatu masalah seperti tersebut di atas,
namun tidak berarti seseorang tidak menemui kendala dalam mempraktekkannya.
Beberapa kendala yang mungkin ditemui seseorang dalam menyelesaikan masalah
antara lain menyangkut salah interpretasi, ukuran masalah, dan motivasi (Dominowski,
2002).
Terkait dengan kendala salah interpretasi, besar kemungkinan hal ini
dikarenakan ketidakjelasan deskripsi masalahnya, kerancuan bahasa yang digunakan,
atau kekurangtepatan penggunaan istilah, notasi, gambar, tabel atau grafik yang
digunakan untuk merepresentasikan masalah tersebut. Dengan demikian, kemampuan
untuk memecahkan masalah juga terkait erat dengan kemampuan komunikasi
matematis.
d. Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah: sebuah contoh
Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa calon guru
matematika dapat dilakukan melalui perkuliahan dengan pendekatan berbasis masalah
(Problem Based Learning, PBL). Pendekatan perkuliahan berbasis masalah yang
mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2)
Para mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, dan (3) Dosen mengambil peran
sebagai ”fasilitator” dalam perkuliahan; diyakini cukup menjanjikan kemungkinan
untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa.
PBL menampilkan perkuliahan sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi
mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut para mahasiswa
akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi,
dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Juga, mahasiswa-mahasiswa yang mengikuti
perkuliahan dengan pendekatan PBL mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi,
pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 411
membantu para mahasiswa dalam mengonstruksi pengetahuan dan ketrampilan
penalaran (Tan, 2004).
Untuk memberi gambaran bagaimana cara mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah matematis mahasiswa melalui PBL, berikut ini diberikan sebuah
contoh implementasi PBL dalam perkuliahan Matematika Diskret untuk mahasiswa
Program Studi Pendidikan Matematika di FMIPA UNY. Perkuliahan Matematika Diskret,
3 sks, untuk mahasiswa semester V, secara khusus dirancang untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika..
Pada prinsipnya, mata kuliah Matematika Diskret berisi bahasan konsep-
konsep, prinsip-prinsip, prosedur atau algoritma tentang dasar-dasar kaidah
pencacahan, permutasi, kombinasi, relasi rekurensi, fungsi pembangkit, dan graf, serta
penerapannya dalam berbagai bidang. Menguasai dengan baik mata kuliah ini akan
sangat membantu mahasiswa calon guru matematika dalam mempelajari penerapan
matematika dalam berbagai bidang, seperti dalam teori peluang, hitung keuangan,
masalah transpotasi, riset operasi, dan ilmu komputer.
Mata kuliah Matematika Diskret dipandang tepat disampaikan menggunakan
pendekatan berbasis masalah mengingat karakteristik topik-topik yang dibahas
memuat banyak terapan dalam berbagai bidang. Buku Discrete Mathematics and Its
Applications karangan Rosen, H. K terbitan McGraw-Hill tahun 1999 menyajikan
banyak sekali contoh-contoh dan soal-soal Matematika Diskret yang beragam. Oleh
karena itu, selalu tersedia banyak dan beragam pilihan masalah yang dapat digunakan
dosen untuk memandu perkuliahan. Meskipun buku teks Matematika Diskret banyak
yang menyajikan contoh dan soal yang beragam, namun masih diperlukan handout
atau bahan ajar yang harus dirancang secara khusus, disesuaikan dengan pendekatan
perkulihan yang dipilih, yaitu PBL.
Dimulai dengan pemberian masalah, dengan tingkat kesulitan yang beragam,
mulai dari yang lebih mudah ke yang lebih sukar, mahasiswa belajar memahami
masalah, memilih strategi penyelesaian, menyelesaikan masalahnya, dan mengecek
penyelesaian yang diperolehnya. Pada menit-menit awal perkuliahan mahasiswa diberi
kesempatan untuk memahami masalah dan memikirkan strategi penyelesaiannya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 412
secara mandiri/individual, kemudian baru diberikan kesempatan diskusi dalam
kelompok untuk mengklarifikasi pemahaman dan strategi yang dipilihnya untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Adanya topik-topik yang berkaitan dalam
Matematika Diskret, misalnya Kombinatorika, Relasi Rekurensi, dan Fungsi Pembangit,
menjadikan masalah yang harus diselesaikan mahasiswa dapat dipilih yang open-ended
(multi strategi), sehingga sangat memungkinkan terjadinya diskusi, sebagaimana
dianjurkan dalam PBL.
Penutup
Kendala yang dihadapi seorang dosen dalam mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah matematis mahasiswa calon guru matematika antara lain adalah
dalam pemilihan masalah yang dimaksudkan untuk memandu perkuliahan. Kendala ini
muncul mengingat keragamam mahasiswa dalam satu kelas pada umumnya.
Pertanyaan atau soal yang menjadi masalah bagi seseorang atau sekelompok
mahasiswa, belum tentu merupakan masalah bagi mahasiswa atau kelompok lain.
Sharing pengetahuan, wawasan, dan pengalaman antar dosen mata kuliah yang sama
dapat menjadi solusi untuk kendala ini.
Daftar Pustaka
Alfeld, Peter. (1996). Understanding Mathemathics.[online]. Tersedia:
http://www.math. utah.edu/~pa/math/polya.html. [ 10 Juli 2007].
Bell, F. H. (1978). Teaching and Learning Mathematics. USA: Wm.C. Brown Company
Publishers.
Dominowski, R.L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Assosiates Publishers.
Hall, A. (2000) Math Forum: Learning and Mathematics: Common –Sense Questions –
Polya. [Online]. Tersedia: http://mathforum.org/~sarah/discussion.Sessions/
Polya.html. [15 Juli 2007].
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 413
Hudoyo, Herman. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kirkley, Jamie. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning, Inc.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Prinsiples and Standards for
School Mathematics. Reston: NCTM.
National Council of Teachers of Mathematics. (2003). NCTM Program Standards.
Programs for Initial Preparation of Mathematics Teachers. Standards for
Secondary Mathematics Teachers. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/
uploadedFiles/Math_Standards/ [ 10 Maret 2008].
Roh, Kyeong Ha. (2003). Problem-Based Learning in Mathematics. Dalam ERIC Digest.
ERIC Identifier: EDO-SE-03-07. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/.
[4 Desember 2007].
Rosen, H. K. (1999). Discrete Mathematics and Its Applications. Singapore: McGraw-
Hill.
Schoenfeld, H.A. (1994). Mathematical Thinking and Problem Solving. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Assosiates Publishers.
Suherman, Erman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: UPI dan IMSTEP JICA.
Tan, Oon-Seng. (2004). Cognition, Metacognition, and Problem-Based Learning, in
Enhancing Thinking through Problem-based Learning Approaches. Singapore:
Thomson Learning.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 414
P-26
PANDANGAN MATEMATIKA SEBAGAI AKTIVITAS INSANI BESERTA
DAMPAK PEMBELAJARANNYA
Oleh: Sugiman
Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Perbedaan pandangan terhadap matematika mempengaruhi perbedaaan
pembelajarannya. Trend sekarang memandang bahwa matematika sebagai aktivitas
insani dengan menerapkan paradigma belajar. Melalui belajar matematika sekolah,
siswa tidak hanya belajar matematika namun juga kegunaan matematika dalam
kehidupan sehingga mereka tumbuh menjadi warga negara yang mempunyai
kemampuan literasi matematis. Pembelajaran matematika di kelas bersifat kolaboratif
dan bermula dengan pemberian soal pemecahan masalah yang konstekstual dan
kemudian melalui tahapan enaktif, ikonik, dan simbolik siswa mengalami proses
matematisasi horisontal dan vertikal.
Kata kunci: aktivitas insani, literasi matematis, kolaboratif, matematisasi.
A. Pendahuluan
Perbedaan pandangan terhadap matematika muncul sejak zaman dahulu
sampai sekarang. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat yang dianutnya.
Sedikitnya ada tiga aliran besar dalam filsafat matematika, yaitu Platonisme,
Formalisme, dan Intuisionisme. Para penganut Platonisme menganggap bilangan
adalah abstrak, memerlukan eksistensi objek, dan bebas dari akal budi manusia.
Menurut aliran Formalisme, matematika adalah tidak lebih dan tidak kurang dari
bahasa matematika (mathematical language). Sedangkan menurut paham
Intuisionisme, matematika adalah suatu kreasi dari akal budi manusia (Anglin, 1994: p.
218-219). Aliran keempat yang sering tidak disebut adalah Eklektisisme yakni faham
yang memadukan ketiga filosofi di atas. Perbedaan sudut pandang terhadap
matematika mengakibatkan perbedaan dalam mengembangkan dan mengajarkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 415
matematika. Seiring dengan perbedaan tersebut, berkembang pula berbagai teori
belajar mengajar matematika.
Sampai saat ini terdapat banyak ahli pendidikan yang mengembangkan teori
belajar dan mengajar. Tokoh-tokoh tersebut misalnya Jean Piaget dengan teori
perkembangan mental, Vygotsky dengan teori ZPD, Jerome S. Bruner dengan metode
penemuan dan teori scaffolding, Zoltan P. Dienes mengenai pengajaran matematika,
Van Hiele dalam pengajaran geometri, Albert Baruda dengan belajar menirunya,
Ausubel dengan belajar bermakna, Robert M. Gagne dan B.F. Skinner dalam paham
tingkah laku, dan Freudenthal dengan Matematika Realistik (Vygotsky, 1978; Hudojo,
1988; Dahar, 1996; Gravemeijer, 1994; Oakly, 2004; Ruseffendi, 2006).
Secara umum terjadi perubahan trend strategi dalam pembelajaran
matematika dari masa ke masa. Trend ini terjadi di seluruh dunia walaupun tidak
dalam waktu yang bersamaan. Di masa lalu pada permulaan abad ke-20, otak dianggap
tersusun atas fakulti-fakulti yang perlu dilatih sehinga pembelajaran matematika
dianggap sebagai latihan mental (Ruseffendi, 2006: h. 129). Akibatnya materi yang
diberikan adalah yang sulit, semakin sulit semakin bagus. Pada saat ini paradigma
tersebut bergeser menuju pada paradigma belajar yang mana pelaksanaan
pembelajaran lebih mengedepankan pada kepentingan siswa. Terkait dengan hal ini,
Canfied dan Hansen (2004: hal. 3) mengutip ungkapan Meladee McCarty bahwa “Anak-
anak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan
kepada mereka. “
Penempatan anak yang merupakan sasaran pertama dalam sistem pendidikan
sudah menjadi program UNESCO. UNESCO menetapkan arah dari pendidikan berupa
learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Namun
demikian dalam rembug nasional yang yang selenggarakan oleh Balitbang-Depdiknas
(2007) menyebutkan bahwa empat konsep UNESCO harus ditambah dengan learning
to learn agar pembelajaran dapat berlangsung sepanjang hayat, sehingga pendidikan
yang diberikan dalam dunia pendidikan formal seyogyanya dapat memberikan
pembelajaran untuk belajar sepanjang hayat. Konsep learning to learn telah lama
dikemukakan oleh dikemukakan oleh Jerome Bruner (dalam Bell, 1981, p. 69).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 416
Lange (1992) memandang bahwa pembelajaran matematika yang baik adalah
yang memperhatikan pada tiga dimensi tujuan, terlihat pada Gambar 1, yakni dimensi
menjadikan warga yang cerdas melalui literasi matematis, dimensi penyiapan ke dunia
kerja dan ke sekolah lanjutan, dan dimensi matematika sebagai suatu disiplin.
Di tingkat nasional, Kurikulum 2006 menyebutkan bahwa melalui pembelajaran
matematika siswa dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan ini berguna dalam
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada
keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Dalam kenyataannya tidak mudah agar perubahan paradigma berjalan di
sekolah-sekolah. Dalam sebuah seminar, secara jujur, seorang guru mengungkapkan
mengenai kekurangsiapannya dalam menerapkan paradigma belajar. Ia menyebutkan
bahwa para guru banyak yang takut apabila tidak bisa menjawab pertanyaan siswa,
itulah sebabnya mengapa siswa tidak dirangsang guru agar bertanya dan bertanya-
tanya (Panca, 2003). Perubahan paradigma tersebut tidak mungkin berlangsung
secara serta merta, namun melalui proses yang panjang dan harus diupayakan secara
terus menerus. Ungkapan Panca (2003) di atas didukung dengan penemuan dari Sato
(2007) yang berdasarkan pengalamannya dalam kegiatan IMSTEP-JICA di Indonesia, ia
mengemukakan bahwa sebagian besar guru di Indonesia masih menerapkan metode
konvensional dengan ciri-ciri:
Gambar 1. Dimensi Tujuan Pembelajaran Matematika (Lange, 1992)
Matematika sebagai disiplin ilmu
Warga yang literasi matematik
Dunia kerja dan sekolah lanjutan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 417
1. Guru memberikan perintah pada sekelompok siswa dengan metode ceramah.
2. Pertanyaan yang diajukan guru kepada siswa masih berupa pertanyaan
sederhana, seperti “apakah ini?“ dan “apakah ini benar?”
3. Apabila siswa dikategorikan dalam kelom pok “atas, “menengah”, dan
“bawah”; materi buku teks yang digunakan lebih cocok bagi tingkat menengah
dari kelompok atas siswa.
4. Guru cenderung mengelola pelajaran bagi tingkat menengah dari kelompok
atas siswa.
5. Siswa yang mampu memetik ilmu hanyalah mereka yang dalam kelompok
menengah.
Dari uraian di atas tampak bahwa problematika pembelajaran matematika di
Indonesia masih terjadi, walaupun secara formal Indonesia telah meratifikasi program
UNESCO. Problematika ini muncul akibat dari pandangan guru terhadap matematika
yang masih dipengaruhi oleh faham matematika sebagai ilmu berhitung dan aliran
matematika modern dan pandangan guru terhadap pembelajaran matematika yang
masih dipengaruhi pembejajaran tradisional ataupun konvensional. Secara umum,
guru belum memberdayakan siswa selama pembelajaran matematika, yang baru
dilaksanakan guru masih berkisar pada pelaksanaan langkah-langkah ‘pengajaran.’
B. Matematika sebagai Aktivitas Insani
Pandangan terhadap tentang apa itu matematika akan berpengaruh pada cara
pembelajaran matematika itu sendiri. Oleh karena itu akan diulas sekilas tentang apa
itu matematika sebagai penopang pembelajaran matematika. Sejak zaman dahulu
terjadi perbedaan dalam memandang apa itu matematika. Padahal sebagaimana kita
tahu, matematika itu sendiri adalah tunggal, hanya saja matematika dapat dilihat dari
berbagai sudut berbeda yang sebenarnya satu sama lain saling melengkapi bukan
saling kontradiksi. Plato bersama penganutnya yang disebut platonisme memandang
bahwa matematika berasal dari kerajaan Tuhan yang turun ke bumi (Matematics
descends from a divine realm) sedangkan Aristotheles beserta penganutnya yang
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 418
disebut dengan aristotelisme berpendapat bahwa matematika tumbuh dari
permasalahan kehidupan insani (Mathematics ascends from the human animal)
(Anglin, 1994: p. 1).
Apabila ditilik dari prosesnya maka matematika pada permulaannya bermula dari
masalah situasional kehidupan insani. Kemudian melalui proses idealisasi, abstraksi,
dan generalisasi berkembang menuju kepada ilmu matematika formal. Pada akhirnya,
dalam pembuktian matematika formal yang berlaku adalah cara berfikir yang deduktif
dan menolak cara berfikir induktif. Oleh karenanya bukti dengan induksi
matematikapun juga memakai cara berfikir deduktif (Ruseffendi, 2006).
Dari tingkatan masalah situasional menuju tingkatan matematika formal terdapat
dua tingkatan antara, yakni tingkatan referensial dan tingkatan general sebagaimana
diilustrasikan pada Gambar 2 (Gravemeijer, 1994: p. 102).
Gambar 2. Tingkatan Matematisasi
Proses yang dimulai dari masalah-masalah situasional insani berpindah menuju
pada matematika formal dialami oleh setiap orang. Secara mudah dikatakan bahwa
setiap aktivitas insani selalu melibatkan matematika baik secara langsung maupun
tidak langsung. Olah karenanya Hans Freudenthal, seorang matematikawan dari
Belanda, mengemukakan gagasan bahwa matematika dianggap sebagai akvititas insani
(mathematics as human activity) (Lange, 2000; Hadi, 2005). Kiranya pandangan
Freudenthal tentang matematika sesuai bila diterapkan dalam pembelajaran
matematika di sekolah.
C. Matematika Sekolah
Tidak semua siswa, bahkan mungkin hanya sedikit siswa, yang belajar matematika
akan menjadi matematikawan di kelak kemudian hari. Oleh karena alasan itulah
Mathematics formal General
Referensial
Situational
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 419
pembelajaran matematika di sekolah harus memperhatikan kegunaannya bagi
kehidupan insani siswa. Soedjadi (1999) mendefisikan matematika sekolah sebagai
bagian-bagian dari matematika yang dipilih dengan orientasi kepada kepentingan
kependidikan dan perkembangan IPTEK. Perbedaan matematika sekolah dan
matematika sebagai ilmu terletak pada (1) penyajian, (2) pola pikir, (3) keterbatasan
semesta, dan (4) tingkat keabstrakannya.
Pendefinisian matematika sekolah di atas baru terbatas pada yang berhubungan
dengan objek dalam pembelajaran matematika yang bersifat langsung. Terdapat dua
macam objek dalam matematika, yakni objek langsung dan tak langsung. Objek belajar
matematika yang langsung meliputi konsep, fakta, prinsip, dan keterampilan.
Sedangkan objek taklangsung meliputi pembuktian teorema, pemecahan masalah,
belajar bagaimana belajar, pengembangan intelektual, bekerja secara individu, bekerja
dalam kelompok, dan sikap positif terhadap matematika (Bell, 1981; Ruseffendi, 2006).
Dengan demikian sasaran pembelajaran matematika sekolah tidak hanya pada objek
langsung matematika saja, bilamana demikian maka pembelajaran matematika dapat
berubah menjadi kering dari konteks, kurang bermakma (meaningless), dan sulit
tersimpan dalam long-term memory siswa (Matlin, 2003). Objek tak langsung
matematika tidak boleh diabaikan karena hal itu akan menghilangkan ruh yang
terkandung dalam matematika. Bagaimana dengan pembelajaran matematika di
Indonesia?
Pada dasarnya, secara nasional, telah ditetapkan berbagai kompetensi yang harus
dikuasai siswa terhadap mata pelajaran matematika. Sebagai contoh, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 dan No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan
Standar Kelulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada kedua
instrumen hukum tersebut telah dijelaskan bahwa pembelajaran matematika di
sekolah harus meliputi objek langsung dan objek tak langsung. Siswa diharapkan
menjadi literasi (melek) matematika. Peraturan Menteri di atas dalam meningkatkan
kemampuan literasi matematika siswa sejalan dengan program pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 420
matematika yang dicanangkan di banyak negara di luar negeri. Programme for
International Student Assessment (PISA) memaknai literasi matematika sebagai:
“Mathematical literacy is an individual’s capacity to identify and understand the
role that mathematics plays in the world, to make well founded judgments and
to use and engage with mathematics in ways that meet the needs of that
individual’s life as a constructive, concerned and reflective citizen” (PISA, 2003).
Lebih lanjut PISA (2003) membagi dimensi literasi matematika menjadi berikut.
1. Dimensi isi yang meliputi: (a) ruang dan bentuk, (b) perubahan dan relasi, (c)
kuantitas, dan (d) ketidakpastian (uncertainty).
2. Dimensi proses meliputi: (a) reproduksi definisi dan komputasi, (b) koneksi dan
terintegrasi untuk pemecahan masalah, dan (c) refleksi terhadap berfikir
matematis, generalisasi, dan pengertian.
3. Dimensi situasi/konteks meliputi: (a) personal, (b) pendidikan dan pekerjaan, (d)
masyarakat, dan (e) sains atau intra-matematika.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa literasi matematika terkait dengan
kemampuan siswa dalam menggunakan matematika untuk menghadapi masalah-
masalah yang ada pada kehidupannya sehingga literasi matematika cocok sebagai
materi matematika sekolah. Bahkan, lebih dari itu, Jacobs (2007) berpendapat bahwa
literasi matematika mendidik siswa dalam memasuki budaya demokrasi.
D. Pembelajaran Matematika Berbasis Aktivitas Insani
Lange (2006) menyatakan bahwa banyak negara mempunyai tiga tujuan utama
dalam pendidikan matematika dalam kerangka agar warga negaranya menjadi insan
yang melek (literasi) matematika, yaitu:
1. Menyiapkan siswa untuk bermasyarakat;
2. Menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah dan bekerja; dan
3. Memperlihatkan kepada siswa tentang indahnya disiplin (the beauty of discipline).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 421
Pertanyaannya kemudian adalah pembelajaran yang bagaimana yang dapat
meningkatkan literasi matematika sehingga siswa menjadi insan yang berdaya guna
bagi masyarakatnya? Dalam bukunya yang berjudul Cognition, Matlin (2003)
menekankan agar konsep-konsep (matematika) bermanfaat dan tersimpan lama dalam
Long-Term Memory siswa, tidak sekedar tersimpan dalam short-term memory, maka
pembelajaran yang dilakukan hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip berikut.
1. Pelajaran harus bermakna (meaningfull) bagi siswa.
2. Siswa didorong untuk mengembangkan apa yang dipelajari secara kaya.
3. Siswa melakukan encoding ketika mempelajari matematika dalam bentuk
elaborasi.
4. Siswa mengaitkan materi pelajaran dengan pengalaman diri sebagai bentuk dari
self-reference effect.
Pembelajaran bermakna (meaningfull) merupakan kata kunci dalam
memberdayakan siswa. Gagasan pembelajaran bermakna pertamakali dikemukakan
oleh David Ausubel (Budiningsing, 2005; Ruseffendi, 2006). Ems dkk (2005) memberi
nama belajar bermakna dengan Natural Learning. Ciri-ciri belajar natural menurutnya
adalah: (1) Belajar akan menjadi natural bila bermakna, (2) Siswa mempelajari
bagaimana menerapkan apa yang dipelajari bagi kehidupan profesionalnya, dan (3)
Siswa mengembangkan kualitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah realitas
yang kompleks.
Kembali ke pengertian bahwa siswa yang berdaya guna harus mempunyai
kemampuan literasi matematika. Lange (2006) menyebutkan bahwa kata literasi
terkait dengan masalah “nyata” yang berarti bahwa masalah tersebut bukan “murni”
matematika. Pada dasarnya, siswa mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah
nyata dengan menggunakan apa yang dipelajarinya di sekolah dan berdasarkan
pengalaman di luar sekolah. Proses yang mendasari hal itu adalah proses
matematisasi. Gagasan proses matematisasi dari Lange (2006) sejalan dengan proses
penyelesaian masalah dari Polya. Ciri-ciri proses matematisasi tersebut adalah (1)
bermula dari masalah realitas, (2) pengidentifikasian konsep matematika yang relevan
dengan masalah tersebut, (3) secara bertahap membawa masalah realitas ke dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 422
dunia matematika, (4) menyelesaikan masalah matematika yang diperolehnya, dan
(5) memberikan makna penyelesaian terhadap masalah semula.
Melalui proses matematisasi ini sebenarnya siswa melakukan belajar bermakna
dengan starting point pembelajaran pada masalah-masalah kontekstual. Sebagai
contoh, penulis memberikan masalah kepada para siswa kelas 3 SD Muhammadiyah
Bodon Yogyakarta dengan menggunakan model dari Hudojo (2003) seperti pada
Gambar 3.
Pengetahuan Objektif Matematika
Pengetahuan Subjektif Matematika
Rekonstruksi Matematika (Individu)
Konsepsi awal
Mengkaji/Menyelidiki
Menjelaskan
Memperluas
Mengevaluasi
Pengetahuan baru (Konsepsi siswa setelah belajar)
Rekonstruksi Matematika (Kolaborasi-Scaffolding)
Siswa A Siswa B
Guru
Perangkat belajar
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 423
Gambar 3. Proses Konstruksi Matematika Siswa secara Kolaboratif
Problem kontekstual yang diberikan kepada siswa adalah mereka diminta
menentukan banyaknya kubus maksimal yang dapat termuat dalam kotak makanan.
Para siswa membawa berbagai ukuran kardus tempat makanan seperti tempat snack,
tempat roti, dan tempat kue. Sedangkan kubus-kubus disediakan namun dengan
jumlah yang dibatasi yakni paling banyak hanya cukup untuk menutupi alas. Dalam
menyelesaikan problem, siswa bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari
3-4 siswa. Dari hasil observasi, para siswa ternyata menyelesaikan masalah tersebut
melalui tahapan-tahapan dalam teori Bruner yakni melalui aktivitas enaktif , ikonik,
dan kemudian simbolik (Ruseffendi, 2006: h. 151). Dokumentasi aktivitas siswa tampak
pada Gambar 4.
Gambar 4. Tiga Ragam Aktivitas Menurut Bruner
a.Enaktif b. Reprensentasi Ikonik
c. Representasi Ikonik d. Representasi Simbolik
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 424
Dari sudut pandang RME (Realistic Mathematics Education), Gambar 4
menggambarkan aktivitas matematisasi dimana melalui materi non-matematis para
siswa menggunakan bahasa simbol yang informal kemudian membawanya menjadi
lebih matematis (Suryanto, 2000: h. 111). Secara lebih khusus Gambar 4. a dan b
merupakan aktivitas matematisasi horizontal dimana siswa masih menggunakan alat
peraga dan bahasa informal matematika sedang pada Gambar 4.b siswa menunjukkan
sudah berada dalam matematisasi vertikal dimana mereka telah bekerja dalam simbol-
simbol matematika dalam menyelesaikan masalah (Armanto, 2003: p. 36; Hadi, 2005:
h. 21-22).
Permasalahan di atas dikerjakan siswa di dalam kelas secara kolaboratif dalam
kelompok kecil 3-5 orang tiap kelompok. Secara teoritis, melalui kegiatan kolaborasi
memungkinkan apa yang dipelajari siswa melebihi batas yang dituntut guru dan
terjadinya loncotan belajar (Sato, 2007). Dalam contoh pembelajaran di atas, loncatan
belajar terjadi dalam bentuk siswa mulai menggagas rumus menghitung volum kubus.
Loncatan belajar ini merupakan scaffolding yang efektif ketika nanti siswa belajar
volum.
Contoh di atas merupakan pembelajaran yang berbasis aktivitas insani.
Pembelajaran diawali dengan masalah-masalah kontekstual kemudian dilanjutkan
dengan melakukan kegiatan doing math dimana dalam menyelesaikannya dengan
menggunakan cara informal maupun formal matematika. Kemampuan menyelesaikan
masalah tersebut merupakan ujud dari literasi matematika.
E. Penutup
Di Indonesia, pencanangan menciptakan generasi yang handal sudah dimulai
sejak lama dengan program wajib belajarnya. Wajib belajar (wajar) 9 tahun tersebut
dimulai tahun 1993. Masalah yang belum tuntas adalah dalam menentukan
matematika mana yang sebaiknya diajarkan dalam wajar tersebut dan pembelajaran
yang seperti apa yang cocok. Berdasarkan kajian singkat di atas, pandangan
matematika sebagai aktivitas insani rupanya merupakan pilihan yang tepat dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 425
kerangka menjadikan warga negara Indonesia menjadi literasi dalam matematika.
Kemampuan literasi matematika harus dikuasai oleh setiap warga Indonesia dalam
menuju “mathematics for all”. Fungsi dari mathematics for all tentu saja harus (1)
mendasari matematika lebih lanjut serta (2) dapat diaplikasikan dalam kehidupan
keseharian umumnya bagi mereka yang tidak akan melanjutkan studinya (Soedjadi,
1999).
Perlu diyakini bahwa secara teori kita mampu memberdayakan siswa agar menjadi
insan yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya dan sekaligus siap untuk
melanjutkan studi melalui cara menerapkan pembelajaran yang bermakna. Melalui
pembelajaran bermakna maka siswa akan menjadi mahir matematika karena ia tidak
hanya belajar objek langsung matematika namun juga belajar objek tak langsung
matematika. Masalah yang merupakan tantangan adalah bagaimana agar teori
tersebut dapat diimplementasikan di sekolah. Untuk itu perlu kesadaran dan usaha
bersama agar dalam mengajar matematika guru tidak menyampaikan matematika
secara kering tanpa konteks, namun pembelajaran matematika harus disertai dengan
ruh matematika itu sendiri.
F. Referensi
Anglin, W.S. (1994). Mathematics: A Concise History and Pholosophy. New York:
Springer Verlag.
Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Anonim (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kemampuan Lulusan.
Armanto, Dian (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesian
Primary School: A Prototype of Local Instructional Theory. Disertasi. Enschede:
PrintPartner Ipskamp.
Balitbang-Depdiknas . 2007. Rembug Nasional Pendidikan Tahun 2007, Badan
Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics: In Secondary Schools.
Second Printing. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown. Company.
Budiningsih, C. Asri (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Canfied, Jack dan Hansen, Mark Vivtor (2004). Chicken Soup for The Teacher’s Soul. Alih
Bahasa: Rina Buntaran. Jakarta: Gramedia.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 426
Dahar, Ratna Wilis (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ems, Alex van dkk. (2005). Natural Leaning dalam Twenty Two Theories. Utrecht: APS
International Ltd.
Gravemeijer, Koeno (1994). Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD
β Press.
Hadi, Sutarto (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip.
Hudojo, Herman (1998). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti
Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan.
Hudojo, Herman (2003). Guru Matematika Konstruktivis. Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran
Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret
2003.
Jacobs, Mark (2007). Mathematical Literacy for South Africa. Download tanggal 19
November 2007. Artikel tersedia di flightline.highline.edu/waccmath/
LinksFromConference.
Lange, Jan de. 1992. No Change without Problems. Tersedia dalam CD-Rom of
Freundenthal Institute for ICME9 in Japan, July 2000.
Lange, Jan de. 2000. Freudenthal Institute. CD-Rom in Brochure for the 9th
International Congress on Mathematical Education (ICME9) in Japan, July 2000.
Lange, Jan de (2006). Mathematical Literacy for Living From OECD-PISA Perspective.
Proceeding Seminar. Download 5 Oktober 2007. Tersedia di www.criced.tsukuba.
ac.jp/math/apec 2006/pdf/
Matlin, Margaret W. (2003). Cognition. Fifth Edition. Hoboken, New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Oakly, Lisa (2004). Cognitive Development.London: Routledge-Taylor & Francis Group.
Panca, Hellena R. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika dari
Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar. Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Pusat Studi Pembelajaran
Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 27-28 Maret 2003.
PISA (2003). The PISA 2003 Assessment Framework- Mathematics, Reading, Science
and Problem solving Knowledge and Skill.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA:
Perkembangan Kompetensi Guru. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Tarsito.
Sato, Manabu. (2007). Tantangan yang Harus Dihadapi Guru. Dalam Bacaan Rujukan
untuk Lesson Study: Sisttems (Strengthening In-service Training of Mathematics
and Science Education at Junior Secondary Level). Dirjen PMPTK-Depdiknas dan
JICA.
Soedjadi (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa
Kini menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suryanto (2000). Pendekatan Realistik: Suatu Inovasi Pembelajaran Matematika.
Cakrawala Pendidikan, Juni 2000 Th. XIX No. 3.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 427
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological
Processes. Editor Michael Cole dkk. Cambridge: Harvara University Press.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 428
P-28
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP
melalui Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir 1)
Kadir2)
Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa SMP melalui penerapan pembelajaran
kontekstual pesisir. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian dan
pengembangan serta eksperimen. Subyek sampel penelitian dipilih secara acak dari
dua kelas VIII pada SMP Negeri 1 Kapontori (sekolah sedang) dan dua kelas VIII pada
SMP Negeri 1 Batauga (sekolah rendah) dan membaginya ke dalam kelas eksperimen
yang mendapat pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dan kelas kontrol mendapat
pembelajaran konvensional (PKV). Instrumen penelitian ini adalah pretes dan postes
kemampuan pemecahan masalah matematik, lembar observasi aktivitas siswa dan
guru, dan pedoman wawancara siswa, guru, dan tokoh masyarakat. Analisis data yang
digunakan adalah uji beda rata-rata U atau uji t, ANAVA satu jalan, dan ANAVA dua
jalan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran kontekstual pesisir lebih efektif digunakan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir daripada
pendekatan pembelajaran konvensional baik ditinjau dari peringkat sekolah maupun
pengetahuan awal matematika siswa.
Kata kunci: pendekatan pembelajaran kontekstual pesisir (PKP), kemampuan
pemecahan masalah matematik
PENDAHULUAN
Pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari lima standar proses
dalam NCTM, selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan representasi
matematik. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks (Gagne
dalam Ruseffendi, 2006: 166) dan merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika
(NCTM, 1989 dalam Kirkley, 2003: 1). Pengembangan kemampuan pemecahan
masalah matematik ini dapat membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif. Sayangnya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada
jenjang pendidikan formal di daerah pesisir belum mengupayakan terbentuknya
kemampuan ini. Hal ini berakibat pada rendahnya kemampuan pemecahan masalah
1)
Hasil Penelitian Hibah Doktor 2009 2)
Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unhalu Kendari; email: [email protected]
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 429
matematik siswa pesisir sebagaimana terlihat dari rendahnya daya serap siswa
terhadap soal cerita dan pemecahan masalah pada ujian nasional matematika SMP
(BSNP, 2007, 2008; Kadir, 2009; Kadir et al., 2009).
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa juga disebabkan
oleh proses pembelajaran matematika di kelas kurang meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kurang terkait langsung dengan
kehidupan nyata sehari-hari (Shadiq, 2007: 2). Pembelajaran seperti ini tidak sejalan
dengan tujuan pemberian matematika pada siswa SMP, yaitu agar siswa memiliki
kemampuan pemecahan masalah, dan tidak sejalan pula dengan prinsip
pengembangan KTSP, yaitu berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya serta relevan dengan kebutuhan
kehidupan. Kondisi ini mendorong perlunya suatu inovasi pembelajaran matematika
yang memanfaatkan berbagai konteks sumberdaya pesisir Indonesia.
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri
dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya
tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental
services) (Dahuri et al., 2001). Sumberdaya pesisir tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal untuk kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Bahkan, perilaku destruktif
masyarakat seperti pemanfaatan perluasan daratan untuk reklamasi pantai,
penebangan pohon bakau (mangrove), pencemaran perairan oleh lumpur,
penambatan jangkar perahu, pencemaran limbah, tumpahan minyak, dan lain-lain
(Majalah Demersial, April 2007) telah mempercepat laju kerusakan sumberdaya pesisir
tersebut. Kondisi tersebut menarik untuk dijadikan masalah kontekstual dalam
pembelajaran matematika. Di samping karena dibutuhkan, dan terkait dengan
kehidupan sehari-hari, masalah kerusakan potensi pesisir tersebut juga perlu
diperkenalkan kepada siswa agar mereka memiliki pengetahuan, kesadaran, keinginan
untuk memecahkannya, dan berupaya untuk melestarikan sumberdaya pesisir yang
masih ada.
SDM pesisir mestinya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik.
Kemampuan ini dapat dilatihkan dalam pembelajaran matematika dengan merancang
suatu pembelajaran yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai masalah kontekstual.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 430
Melalui pembelajaran kontekstual yang memanfaatkan potensi pesisir sebagai titik
awal pembelajaran matematika atau dalam bentuk soal-soal cerita matematika atau
disajikan dalam lembar kerja siswa (LKS) matematika di SMP, siswa dapat mengenal,
memahami, menyadari, dan menjadi seorang good problem solver terkait potensi
pesisir. Dalam tulisan ini dibahas tentang pemecahan masalah matematik, potensi
pesisir dan permasalahannya serta hasil analisis terhadap data ujicoba LKS dan tes
pemecahan masalah matematik. Hasil analisis tersebut berguna untuk mengetahui
kualitas perangkat dan instrumen penelitian untuk mengungkap kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa SMP di wilayah pesisir.
METODE PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan penelitian dan
pengembangan (R & D) yang digunakan untuk mengembangkan model pembelajaran
kontekstual pesisir (PKP) dan pendekatan penelitian eksperimen untuk menguji
efektifitas model PKP dalam upaya peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa SMP di daerah pesisir. Pengujian efektifitas ini diukur berdasarkan
signifikansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa setelah
mendapat pembelajaran dengan model PKP dan perbedaannya dengan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran
konvensional (PKV).
Pada pendekatan eksperimen, desain penelitian yang digunakan adalah desain
faktorial 2 x 2 x 3, yaitu dua pendekatan pembelajaran (PKP dan PKV), dua peringkat
sekolah (sedang dan rendah), dan tiga kelompok pengetahuan awal matematika siswa
(tinggi, sedang, dan rendah). Di samping itu juga digunakan desain pretest-postest
control group design.
2. Subyek dan Lokasi Penelitian
Subyek sampel penelitian ditentukan berdasarkan gabungan teknik sampel
strata (stratified random sampling) dan sampel bertujuan (purposive sampling).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 431
Melalui teknik strata peneliti mengambil sampel kelas VIII siswa SMP pada sekolah
peringkat sedang (SMPN 1 Kapontori) dan rendah (SMPN 1 Batauga) Kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara. Pengambilan subyek sampel dengan teknik sampel
bertujuan didasarkan pada kurangnya jumlah kelas dan jumlah siswa pada masing-
masing kelas di SMP wilayah pesisir.
Dari tiga kelas VIII SMPN 1 Kapontori diambil secara acak dua kelas, yaitu kelas
VIIIA mendapat pembelajaran konvensional dengan jumlah siswa 23 orang dan kelas VIIIC
mendapat pembelajaran PKP dengan jumlah siswa 28 orang. Sedangkan dari lima kelas VIII
siswa pada SMPN 1 Batauga terambil secara acak dua kelas, yaitu kelas VIIIA mendapat
pembelajaran PKP dengan jumlah siswa 36 orang dan kelas VIIIB mendapat pembelajaran
konvensional dengan jumlah siswa 32 orang. Siswa kedua kelas pada masing-masing
sekolah memiliki pengetahuan awal matematika yang relatif sama. Penelitian ini juga
melibatkan dua orang guru matematika sebagai observer dan lima orang ahli pendidikan
matematika sebagai validator model, perangkat, dan instrumen penelitian.
3. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam peneltian ini digunakan beberapa instrumen: (1)
lembar validasi LKS dan RPP; (2) tes kemampuan pemecahan masalah matematik (pretes
dan postes); (3) lembar observasi untuk mencatat aktivitas guru dan siswa selama proses
pembelajaran; (4) pedoman wawancara untuk mengeksplorasi informasi tentang
keterlaksanaan model dan kesulitan siswa dalam menjawab tes yang tidak dapat
diperoleh dari lembar jawabannya, dan (5) catatan lapangan dan dokumentasi terkait
potensi pesisir dan permasalahannya. Hasil analisis pertimbangan validator
menunjukkan bahwa instrumen dan perangkat penelitian ini cukup baik untuk
digunakan dalam penelitian. Hasil ujicoba tes kemampuan pemecahan masalah
matematik menunjukkan bahwa kelima item tes adalah valid dengan reliabilitas sedang.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dianlaisis secara dskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan adalah uji U, uji t uji SNAVA satu jalan,
dan uji ANAVA dua jalan serta uji beda lanjut LSD pada taraf signifikansi α = 0,05. Data
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 432
yang dianalisis adalah data pengetahuan awal matematika siswa dan data peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika yang sudah tenormalisasi (N-Gain) yang
diperkenalkan oleh Hake dan secara sederhana merupakan gain absolut dibagi dengan
gain maksimum yang mungkin (ideal), yaitu
g = pretesskoridealmaksimalskorpretesskorpostesskor
−−
. (Meltzer, 2002: 3)
Untuk melaksanakan keseluruhan pengujian hipotesis ini digunakan paket program
statistik SPSS-15 for windows pada α = 0,05.
HASIL PENELITIAN
1. Analisis Deskriptif Data Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
(KPMM)
Data kemampuan pemecahan masalah matematik dikumpulkan dan dianalisis
untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sebelum dan
sesudah pembelajaran. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa berdasarkan
kelompok model pembelajaran, kedua kelompok siswa baik yang mendapat
pembelajaran PKP maupun yang mendapat pembelajaran PKV memiliki kemampuan
awal pemecahan masalah matematik yang relatif sama. Namun setelah pelaksanaan
pembelajaran, rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
mendapat pembelajaran dengan pendekatan PKP sebesar 45,563 dan secara signifikan
lebih tinggi daripada yang mendapat pembelajaran PKV yang hanya sebesar 30,760.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang diajar dengan
pembelajaran PKP sebesar 33,3 % lebih besar daripada yang mendapat pembelajaran
PKV yang hanya sebesar 15,9 %.
Ditinjau dari peringkat sekolah, kemampuan awal dan akhir pemecahan
masalah matematik siswa sekolah peringkat sedang lebih tinggi dibandingkan dengan
kemampuan siswa sekolah peringkat rendah. Rata-rata peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa sekolah sedang sebesar 27,59 % lebih tinggi jika
dibandingkan dengan siswa sekolah rendah yang hanya sebesar 23,5 %.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 433
Ditinjau dari kelompok PAM, perbedaan kemampuan awal pemecahan masalah
matematik siswa pada kelompok PAM tinggi dan kelompok PAM sedang relatif kecil.
Perbedaan yang relatif besar terjadi pada siswa kelompok PAM rendah. Pada
kelompok ini, kemampuan awal pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat
pembelajaran PKP lebih tinggi dari siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Namun
demikian, setelah ketiga kelompok mendapatkan pembelajaran, terdapat perbedaan
kemampuan pemecahan masalah matematik yang signifikan dari semua kelompok
siswa antara yang mendapat pembelajaran PKP dan yang mendapat pembelajaran
PKV. Kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang mendapat pembelajaran
PKP lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran PKV.
2. Pengujian Signifikansi Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematik (KPMM)
Hasil pengujian signifikansi peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa (N-Gain) berdasarkan kelompok PAM, peringkat sekolah, dan model
pembelajaran menunjukka bahwa ada peningkatan KPMM siswa yang signifikan untuk
semua model pembelajaran, peringkat sekolah, dan kelompok PAM. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran PKP dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa lebih besar daripada pembelajaran
konvensional.
3. Pengujian Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematik (KPMM)
Hasil pengujian perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa (N-Gain) berdasarkan kelompok PAM, peringkat sekolah, dan model
pembelajaran menunjukkan adanya perbedaan peningkatan KPMM siswa yang
signifikan antara yang mendapat pembelajaran PKP dan yang mendapat pembelajaran
PKV. Peningkatan KPMM siswa yang mendapat pembelajaran PKP lebih besar daripada
siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Berdasarkan peringkat sekolah, walaupun
peningkatan KPMM siswa sekolah sedang lebih besar daripada siswa sekolah rendah
namun perbedaan tersebut tidak signifikan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 434
Berdasarkan pengelompokan PAM, ada perbedaan peningkatan KPMM siswa
yang signifikan dari semua kelompok PAM. Perbedaan tersebut terjadi pada siswa
kelompok PAM tinggi dengan rendah dan siswa kelompok PAM sedang dengan rendah.
Sedangkan peningkatan KPMM pada kelompok PAM tinggi dengan sedang tidak
terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan.
4. Pengujian Interaksi Peringkat Sekolah, Model Pembelajaran, dan PAM dalam
KPMM
Hasil uji interaksi peringkat sekolah, model pembeajaran, dan PAM
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa berdasarkan peringkat sekolah dan interaksi peringkat
sekolah, model pembelajaran, dan PAM. Walaupun demikian, PAM dan model
pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan
pembelajaran kontekstual pesisir dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa. Siswa yang mendapat pembelajaran
kontekstual pesisir memiliki peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik
yang lebih besar daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Beberapa
temuan lain sehubungan dengan penerapan pembelajaran kontekstual pesisir
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dijelaskan sebagai berikut.
1. Model Pembelajaran Kontekstual Pesisir
Model pembelajaran kontekstual pesisir (coast-contextual teaching and learning)
adalah suatu model pembelajaran kontekstual yang proses pelaksanaannya diawali oleh
penyajian masalah pesisir untuk diselesaikan secara individu pada setiap kelompok
kemudian solusi masalah diajukan pada diskusi kelas. Dalam pelaksanaannya, proses ini
tidak mudah untuk diikuti oleh siswa SMP di daerah pesisir. Karakteristik kemampuan awal
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 435
pemecahan masalah matematik siswa yang rendah mengakibatkan siswa perlu lebih
sering dibimbing untuk memahami masalah, membuat model matematika, memecahkan
masalah, bahkan dalam operasi aljabar matematika. Kondisi ini memerlukan kerja keras
guru untuk menguasai permasalahan dan proses penyelesaian masalah yang ada pada
LKS, menguasai sintaks pembelajaran, menguasai kelas, mengendalikan diri, dan memiliki
berbagai teknik mengajar dan pembimbingan kepada siswa untuk menghadapi berbagai
situasi yang muncul di kelas SMP pesisir. Ketertarikan siswa terhadap masalah pesisir yang
disajikan harus senantiasa menjadi rujukan guru untuk membangun komunikasi yang
positif dengan siswa. Komunikasi tersebut dapat memperlancar proses pemecahan
masalah dan penanaman konsep-konsep matematika yang dipelajari kepada siswa.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik (KPMM)
a. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan model
Pembelajaran
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa yang mendapat
pembelajaran PKP dan siswa yang mendapat pembelajaran PKV. Perbedaan
peningkatan ini sangat wajar terjadi sesuai dengan karakteristik kedua pembelajaran.
Pada pembelajaran PKP, siswa belajar secara aktif dalam kelompok untuk
berdiskusi memecahkan masalah pesisir yang ada pada LKS. Kegiatan ini membutuhkan
kegiatan mental yang tinggi. Penggunaan masalah pesisir yang terkait dengan kehidupan
siswa sehari-hari telah menggugah ketertarikan siswa untuk memecahkan masalah yang
disajikan. Penggunaan masalah pesisir dengan berbagai model penyajian juga telah
memberikan tantangan bagi siswa untuk memecahkannya secara kelompok atau
bertanya kepada guru ketika masalah yang disajikan tidak dipahami.
Kegiatan siswa tersebut sangat berbeda dengan kegiatan siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran konvensional, siswa belajar
berdasarkan petunjuk dan penjelasan guru sesuai dengan buku paket yang digunakan
sekolah. Latihan-latihan soal yang digunakan sangat jauh dari kegiatan keseharian
siswa dan kurang mengarahkan siswa pada penerapan matematika pada
kehidupannya. Siswa pada kelas konvensional lebih banyak mendapat pengetahuan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 436
dari guru daripada mencari sendiri pengetahuan matematika itu dari buku, soal atau
bertanya kepada guru. Secara umum kondisi kelas kedua model ini sangat jauh berbeda
dan berakibat pada perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik kedua kelompok siswa.
b. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan peringkat
sekolah
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa sekolah sedang
dan siswa sekolah rendah. Rerata peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematik siswa sekolah sedang sebesar 0,276 lebih besar dari peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa sekolah rendah dengan rerata
hanya sebesar 0,235. Perbedaan kedua nilai rata-rata ini hanya sebesar 0,041. Hal ini
menunjukkan bahwa peringkat sekolah tidak berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
c. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik berdasarkan PAM
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik antara siswa kelompok PAM tinggi,
sedang, dan rendah. Semakin tinggi PAM siswa, maka semakin tinggi pula peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Hal ini berarti bahwa untuk
mendapatkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik yang tinggi,
maka siswa harus memiliki pengetahuan awal matematika yang tinggi pula. Jika tidak,
walaupun kemudian kemampuan pemecahan masalah matematik mereka meningkat,
tetapi peningkatannya tidak terlalu besar, walaupun masih signifikan.
Hasil-hasil penelitian di atas semakin memperjelas pentingnya penerapan
pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa. Bahwa, semakin tinggi peringkat sekolah dan pengetahuan
awal matematika siswa, maka akan semakin tinggi pula peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematik siswa. Hasil ini mengindikasikan tidak adanya interaksi
antara model pembelajaran, peringkat sekolah, dan PAM dalam peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematik siswa.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 437
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan dan
berdasarkan pada hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa
hasil pengujian peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa
menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual pesisir lebih efektif digunakan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa SMP di daerah
pesisir daripada model pembelajaran konvensional baik ditinjau dari peringkat sekolah
maupun pengetahuan awal matematika.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian ini dikemukakan beberapa saran berikut.
a. Model pembelajaran kontekstual pesisir (PKP) dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa SMP di daerah pesisir.
b. Untuk menggunakan model PKP, guru harus berusaha maksimal menguasai
masalah yang disajikan dalam LKS dan proses pemecahannya sehingga dengan
mudah dapat melakukan pembimbingan ketika siswa kurang memahami masalah
dan melaksanakan proses penyelesaian masalah tersebut.
c. Guru harus menyadari bahwa penggunaan masalah pesisir dalam pembelajaran
dengan model PKP tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah matematik tetapi juga untuk memberikan
pemahaman dan kesadaran kepada siswa tentang potensi dan berbagai masalah
terhadap potensi pesisir yang perlu dilestarikan karena nilainya yang sangat
ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Jilid I.
Cetakan Pertama. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 438
Arthur L. Benton. (2008). Problem Solving. U.S.: Wikimedia Foundation, Inc. Tersedia:
http://en.wikipedia.org/wiki/Problem_Solving.(7 April 2008).
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2007). Laporan Hasil Ujian Nasional
SMP/MTs, SMA/MA, & SMK Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta: Pusat
Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas.
Bay, J. (2000). Linking Problem Solving to Student Achievement in Mathematics: Issues
and Outcomes. [Online] Tersedia: http://www.ngacasi.org/jsi/
2000v1i2/problem_solv_3 [27 Mei 2008]
Brenner, M. E. (1998). Development of Mathematical Communication in Problem
Solving Groups by Language Minority Students. Bilingual Research Journal,
22:2, 3, & 4 Spring, Summer, & Fall.. [Online]. Tersedia: Http://www. [11
Juni 2008]
Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches.
California: Sage Publications, Inc.
Dahuri, R. et al. (1998). Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Kelautan yang Berakar dari Masyarakat. Kerjasama Ditjen Bangda dengan
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, IPB. Laporan Akhir.
Dahuri R. et al. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Departemen Perikanan dan Kelautan. (2002). Lampiran Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan
Ruang, Pesisiran Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Departemen Perikanan dan
Kelautan.
Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. [Online].
Tersedia: www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf [27 Mei 2008]
Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Woodland Hills: Dept. of Physics,
Indiana University. [Online]. Tersedia: http://www.physics.
ndiana.du/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [19 Maret 2009].
Huang, Hsin-Mei E. (2004). The impact of context on children's performance in solving
everyday mathematical problems with real-world settings. Journal of
Research in Childhood Education. [Online]. Tersedia: http://goliath.ecnext.
com/coms2/gi_0199-270803/The-impact-of-context-on.html [4 Pebruari
2008]
Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi
SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Johnson, E. B. (2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-
Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Cetakan Kedua. Penerjemah: Ibnu
Setiawan. Bandung: Mizan Learning Center.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 439
Kadir. (2009). Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII
SMP. Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di
Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2009.
Kadir, Wahyudin, Kusumah, Y.S., & Dahlan, J.A. (2009). Telaah Pengembangan Model
Pembelajaran Kontekstual Pesisir untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. Makalah yang disajikan pada
Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM-3) di Universitas Negeri
Medan, Medan, 23 - 25 Juli 2009.
Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana
University: Plato Learning Inc.
Latama, G. et al. (2002). Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Di
Indonesia. [Online]. Tersedia: http://tumoutou.net/702_05123/group2_
123.htm [19 Mei 2008]
Majalah Demersial. (2007). Pentingnya Tata Ruang dalam Pembangunan Wilayah
Pesisir. Berita: Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. 14 Juni 2007.
McIntosh, R. dan Jarret, D. (2000). Teaching Mathematical Problem Solving:
Implementing The Vision. [Online]. Tersedia: http://www.nwrel.org/
msec/images/mpm/pdf/monograph.pdf [12 Mei 2008]
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: a Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores. Ames, Iowa: Department of Physics and Astronomy. [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/ docs/Addendum_on_normalized_gain.pdf [19 Maret 2009].
Muijs, D. & Reynolds, D. (2008). Effective Teaching Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua.
Terjemah oleh: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A. dan Dra. Sri Mulyantini
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Drive, Reston, VA:
The NCTM.
Plomp, T. (1997). Educational and Training System Design. Enschede, The
Netherlands: Univercity of Twente.
Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second
Edition. New Jersey: Princeton University Press.
Ratnaningsih, N. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah
Menengah Atas. Disertasi SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Searsh, S. J. dan Hersh, S.B. (2001). Contextual Teaching and Learning: An Overview of
the Project. Dalam K.R. Howey et al. (Eds). Contextual Teaching and Learning:
Preparing Teacher to Enhance Student Success I The Workplace and Beyond.
USA: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 440
Shadiq, F. (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika
dengan tema “Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka
Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan
pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika Yogyakarta.,
Slavin, R. E. (2008). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Penterjemah:
Nurulita. Bandung: Nusa Media.
Soedjadi, R. (2007). Masalah Kontekstual sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah.
Pusat Sains dan Matematika Sekolah, UNESA, Surabaya.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar.
Laporan Hibah Bersaing. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.
Tim Pustaka Yustisia. (2007). Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) SD, SMP, dan SMA. Seri Perundangan. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Wikipedia. (2008). Mathematical Problem. U.S: Wikimedia Foundation, Inc. [Online].
Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Mathematical_Problem [7 April 2008].
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 441
P-30
PENGGUNAAN PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM MENGEMBANGKAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA DI KOTA BENGKULU
Risnanosanti
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Email: [email protected]
Abstrak
Kemampuan Berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan yang mendasar
yang perlu untuk dimiliki oleh setiap orang dalam menghadapi tantangan saat ini.
Sehingga rendahnya kemampuan berpikir kreatif siswa saat ini merupakan suatu
permasalahan yang penting dalam pendidikan matematika. Untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif siswa perlu adanya upaya dengan menerapkan suatu
model pembelajaran yang memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, memecahkan
masalah, berpikir kritis dan kreatif serta menjadi siswa yang mandiri. Salah satu
pembelajaran yang dapat membuat siswa melakukan eksplorasi adalah pembelajaran
inkuiri. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dan melibatkan 211 siswa
kelas XI Sekolah Menengah Atas di Kota Bengkulu. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah: 1) secara umum kemampuan berpikir kreatif siswa yang
memperoleh pembelajaran inkuiri lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran biasa; 2) model pembelajaran, peringkat sekolah dan
pengetahuan awal matematika berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan
berpikir kreatif matematis siswa pada sekolah peringkat tinggi ; 3) terdapat interaksi
antara peringkat sekolah dan model pembelajaran dalam kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa; 4) terdapat interaksi antara pengetahuan awal siswa dan model
pembelajaran terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari
proses berpikir. Sehingga untuk dapat bertahan pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti dan kompetitif tersebut, orang harus mempunyai kemampuan untuk
memperoleh, memilih dan mengelola informasi. Kemampuan ini membutuhkan
pemikiran kritis, sistematis, logis, dan kreatif serta mempunyai kemauan berkerjasama
yang efektif.
Berpikir kritis dan kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking). Berpikir kritis dan kreatif diibaratkan sebagai dua sisi mata
uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling berkaitan dan saling
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 442
menunjang. Selain itu berpikir kritis dan kreatif merupakan dua kemampuan yang
mendasar, karena kedua kemampuan ini dapat mendorong seseorang untuk
senantiasa memandang setiap permasalahan yang dihadapi secara kritis serta
mencoba mencari jawabannya secara kreatif sehingga diperoleh suatu hal baru yang
lebih baik dan bermanfaat bagi kehidupannya.
Oleh karena itu program pendidikan yang dikembangkan perlu menekankan
pada pengembangan kemampuan berpikir yang harus dimiliki siswa. Pengembangan
kemampuan berpikir ini dapat dilakukan melalui pembelajaran, salah satunya adalah
pembelajaran matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang
kuat dan jelas antar konsepnya. Pengembangan kemampuan berpikir dalam
pembelajaran matematika juga didukung oleh Pemerintah seperti yang terdapat dalam
Standar Kompetensi Kurikulum 2006 (2006). Standar Kompetensi dalam kurikulum
(2006) menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Kurikulum
tersebut juga menyebutkan bahwa salah satu prinsip kegiatan belajar mengajar dalam
matematika adalah mengembangkan kreativitas siswa.
Namun, pengembangan berbagai kompetensi tersebut belum tercapai secara
optimal. Berdasarkan hasil ujicoba terbatas pada beberapa orang siswa SMUN 9 Kota
Bengkulu, berkaitan dengan pembelajaran matematika di kelas XI terungkap
permasalahan bahwa siswa belum terbiasa dalam memecahkan soal matematika yang
bersifat soal terbuka. Menurut siswa selama ini soal yang mereka peroleh adalah soal-
soal yang sebelumnya sudah pernah diberikan oleh guru. Kemudian, melalui observasi
diketahui bahwa dalam melaksanakan pembelajaran, guru cenderung prosedural dan
lebih menekankan pada hasil belajar. Siswa belajar sesuai dengan contoh yang
diberikan guru, dan soal-soal yang diberikan kepada siswa hanya soal-soal tertutup
atau soal yang langsung pada pemakaian rumus yang sudah ada. Akibatnya, siswa
kurang berkesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan produktivitas
berpikirnya.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 443
Pengembangan kreativitas dan keterampilan bermatematika dapat dilakukan
melalui pembelajaran yang mendorong timbulnya keingintahuan siswa untuk
melakukan penyelidikan. Rasa ingin tahu siswa akan muncul jika diberikan suatu situasi
yang menimbulkan tantangan bagi mereka. Salah satu pendekatan yang dimulai
dengan memberikan rasa ingin tahu siswa adalah pendekatan inkuiri. Sebagaimana
yang disarankan Silver (1997: 4) bahwa pembelajaran matematika berorientasi inkuiri
yang kaya aktivitas pengajuan masalah dan pemecahan masalah dapat digunakan guru
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Selain itu setiap siswa mempunyai potensi untuk berpikir kreatif, jika potensi
itu didukung oleh lingkungan maka dia akan berkembang dengan baik. Hal ini berarti
lingkungan sekolah ikut mempengaruhi berkembangnya potensi berpikir kreatif
matematis siswa. Sehingga faktor peringkat sekolah diprediksi juga mempengaruhi dan
perlu mendapat perhatian khusus dalam perkembangan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa. Oleh karena itu dalam melakukan penelitian tentang pengembangan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa ini, juga diperhatikan faktor peringkat
sekolah, dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa.
B. Rumusan Masalah
Beberapa faktor yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: faktor pendekatan
pembelajaran, peringkat sekolah, dan kemampuan berpikir kreatif. Selain itu
diperhatikan juga faktor peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah) dan kelompok
pengetahuan awal matematika (atas, tengah, bawah) sebagai variabel kontrol.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, permasalahan dalam
penelitian ini yang ingin diungkap dan dicari jawabannya dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa antara
yang memperoleh pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa, ditinjau dari: a)
keseluruhan, b) peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah), dan pengetahuan
awal matematika (atas, tengah, bawah) ?
2. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kelompok sekolah
dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 444
3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan pengetahuan awal
matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, secara umum
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan pembelajaran inkuiri
terhadap pengembangan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Secara rinci
tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis secara komprehensif kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa antara yang memperoleh pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa,
ditinjau dari: a) keseluruhan, b) peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah), dan
pengetahuan awal matematika (atas, tengah, bawah).
2. Menganalisis secara komprehensif kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa yang mendapat pembelajaran inkuiri dibandingkan dengan siswa yang
mendapat pembelajaran biasa.
3. Menelaah secara mendalam tentang interaksi antara model pembelajaran dan
kelompok sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa.
4. Menelaah secara mendalam tentang interaksi antara model pembelajaran dan
pengetahuan awal matematika dalam mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat bagi siswa, guru, dan
peneliti.
1. Bagi Siswa, dengan pembelajaran inkuiri akan memberikan dampak pada kebiasaan
belajar yang baik dan berpandangan positif terhadap matematika. Dengan
berkembangnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, diharapkan dapat
memberikan dampak pada cara siswa menanggapi suatu permasalahan yang
ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 445
2. Bagi guru, pembelajaran inkuiri dapat dijadikan salah satu pembelajaran alternatif
dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru dapat memilih pembelajaran ini
untuk menggali kemampuan berpikir kreatif matematis siswa serta keaktifan siswa
dalam proses pembelajarannya.
3. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan pengayaan pengetahuan sehingga
dapat mengembangkan penelitian-penelitian lanjut yang berguna untuk
meningkatkan kualitas pendidikan.
4. Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa pada berbagai jenjang pendidikan dan perluasan materi yang
berbeda.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental berbentuk ‘kuasi eksperimen’
yang menerapkan pembelajaran inkuiri. Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok
subjek secara acak kelas pada masing-masing kelompok sekolah.
Selanjutnya digunakan disain kelompok kontrol pretes-postes (Ruseffendi,
2005) seperti berikut:
A O X O
A O O
Keterangan: A = Pemilihan sampel secara acak kelas ; X = Pembelajaran Inkuiri
O = Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas
(SMA) di Kota Bengkulu. Sedangkan sampelnya ditentukan dengan teknik stratified
sampling. Ukuran sampel pada penelitian ini adalah 211 siswa. Instrumen penelitian ini
adalah perangkat tes untuk mengukur pengetahuan awal matematika siswa, tes
kemampuan berpikir kreatif matematis, dan lembar observasi aktivitas guru dan siswa
dalam pembelajaran inkuiri.
F. Teknik Analisis Data
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 446
Pengolahan data kuantitatif yang diperoleh melalui tes pengetahuan awal
matematika dan tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan melalui dua
tahapan utama. Tahap pertama, menguji pensyaratan statistik yang diperlukan sebagai
dasar dalam pengujian hipotesis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians
terhadap bagian-bagiannya maupun keseluruhannya. Tahap kedua, untuk mengetahui
ada atau tidaknya perbedaan dari masing-masing kelompok, terdapat interaksi atau
tidak antara variabel bebas dengan variabel kontrol terhadap variabel terikat,
digunakan uji-t dan ANOVA dua jalur dengan bantuan perangkat lunak SPSS-17 for
windows.
G. Hasil Penelitian
Gambaran umum kualitas kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
berdasarkan masing-masing kelompok disajikan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Model Pembelajaran,
Peringkat Sekolah dan Pengetahuan Awal Matematika (PAM)
Kel.
PAM
Data
Stat.
Pembelajaran
Inkuiri Biasa
Sekolah
Tinggi
Sekolah
Sedang
Sekolah
Rendah
Sekolah
Tinggi
Sekolah
Sedang
Sekolah
Rendah
Atas
n 13 6 7 9 6 7
Rerata 43,62 38,67 39,43 36,56 30,83 30,14
SB 5,27 3,83 2,57 5,27 11,18 7,29
Tengah
n 11 22 25 20 18 22
Rerata 39,27 31,68 24,24 31,05 24,89 25,68
SB 5,24 4,61 6,81 6,63 5,93 8,09
Bawah
n 13 4 5 7 8 8
Rerata 31,38 25,00 24,20 21,57 13,38 25,63
SB 7,27 8,60 4,49 3,46 2,72 7,19
Total
n 37 32 37 36 32 37
Rerata 38,03 32,16 27,11 30,58 23,13 26,51
SB 7,89 6,24 8,41 7,60 8,89 7,77
n 106 105
Rerata 32,55 26,88
SB 8,81 8,54
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 447
Keterangan:
Skor Ideal adalah 52; SB : Simpangan Baku
a. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Berdasarkan
Kelompok Pembelajaran
Perbandingan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa berdasarkan model
pembelajaran, menggunakan uji-t. Hasil perhitungan dapat dilihat pada table 2 berikut.
Tabel 2
Hasil Analisis Uji-t Sampel Independen Skor Kemampuan Berpikir Kreatif
Berdasarkan Model Pembelajaran
Model Pembelajaran
Skor Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Perb. Rerata t Sig.(2-
tailed) H0
Inkuiri : Biasa 32,44 : 26,88 4,652 0,0000 Tolak
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa nilai t sebesar 4,652 dan Sig. (2-tailed) =
0,0000. Nilai ini lebih kecil dari taraf signifikan 0,05 yang ditetapkan, sehingga hipotesis
nol ditolak. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran inkuiri dengan kemampuan berpikir kreatif matematis yang mengikuti
pembelajaran biasa.
b. Interaksi antara Kelompok Model Pembelajaran dengan Peringkat Sekolah dalam
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis.
Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara kelompok model
pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa, digunakan uji ANOVA dua jalur. Hasil Perhitungan disajikan
pada table 3 berikut.
Tabel 3
ANOVA Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Berdasarkan Model Pembelajaran dan Peringkat Sekolah
Sumber Jumlah
Kuadrat Dk
Rerata
Kuadrat F Sig. H0
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 448
Model
Pembelajaran 1700,345 1 1700,345 27,598 0,0000 Tolak
Peringkat
Sekolah 2436,578 2 1218,289 19,774 0,0000 Tolak
Interaksi 713,588 2 356,794 5,791 0,0004 Tolak
Total 203207,00 211
Berdasarkan tabel 3. dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,0000) lebih kecil dari 0,05. Demikian pula
peringkat sekolah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan
berpikir kreatif matematis. Ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,0000)
lebih kecil dari 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa berdasarkan kelompok pembelajaran dan peringkat sekolah.
Dari hasil uji ANOVA pada tabel 3 diperoleh nilai F = 27,598 dengan nilai
probabilitas (sig.) = 0,0000. Oleh karena nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05,
maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pembelajaran
(inkuiri dan biasa) dengan peringkat sekolah (tinggi, sedang dan rendah) dalam
kemampuan berpikir kreatif matematis.
Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam
kemampuan berpikir kreatif matematis diperlihatkan pada gambar 1.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Inkuiri Biasa
Model Pembelajaran
Rer
ata Sko
r KBK
Sekolah Tinggi
Sekolah Sedang
Sekolah Rendah
Gambar 1. Interaksi antara Pembelajaran dengan Peringkat Sekolah
Pada gambar 1 terlihat bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan
peringkat sekolah. Hal ini karena selisih kemampuan berpikir kreatif matematis antara
pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa terdapat perbedaan yang cukup jauh
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 449
pada sekolah peringkat sedang dan rendah. Sedangkan selisih skor kemampuan
berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa pada sekolah
peringkat tinggi tidak berbeda jauh dengan sekolah peringkat sedang.
c. Interaksi antara Kelompok Model Pembelajaran dengan Pengetahuan Awal
Matematika dalam Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Untuk mengetahui ada tidaknya interaksi antara kelompok model
pemeblajaran dengan peringkat sekolah dalam mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa, digunakan uji ANOVA dua jalur. Hasil Perhitungan disajikan
pada table 4 berikut.
Tabel 4
ANOVA Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan
Model Pembelajaran dan Kelompok PAM
Sumber Jumlah
Kuadrat dk
Rerata
Kuadrat F Sig. H0
Pembelajaran 1845,260 1 1845,260 33,884 0,000 Tolak
Kelompok
PAM 4076,274 2 2038,137 37,425 0,000 Tolak
Interaksi 428,135 2 214,068 3,931 0,021 Tolak
Total 203207,000 211
Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan bahwa pembelajaran memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,000) lebih kecil dari 0,05. Demikian pula
kelompok PAM memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir
kreatif matematis. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig. = 0,000) lebih kecil
dari 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa berdasarkan kelompok pembelajaran dan kelompok PAM.
Dari hasil uji ANOVA pada tabel 4 diperoleh nilai F = 3,931 dengan nilai
probabilitas (sig.) = 0,002. Oleh karena nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05,
maka hipotesis nol ditolak. Hal ini berarti terdapat interaksi antara pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 450
(inkuiri dan biasa) dengan kelompok PAM (atas, tengah dan bawah) dalam
kemampuan berpikir kreatif matematis.
Secara grafik, interaksi antara pembelajaran dengan peringkat sekolah dalam
kemampuan berpikir kreatif matematis diperlihatkan pada gambar 2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Inkuiri Biasa
Model Pembelajaran
Sko
r Rer
ata
KBK
Kelompok Atas
Kelompok Tengah
Kelompok Baw ah
Gambar 2 Interaksi antara Pembelajaran dan Pengetahuan
Awal Matematika Siswa dalam Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis
Pada gambar 2 terlihat bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan
pengetahuan awal matematika siswa. Hal ini karena terdapat perbedaan selisih
kemampuan berpikir kreatif matematis antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran
biasa pada siswa kelompok tengah dan bawah. Demikian juga selisih skor kemampuan
berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa pada siswa
kelompok atas berbeda dengan siswa kelompok tengah. Sedangkan selisih skor
kemampuan berpikir kreatif antara pembelajaran inkuiri dan pembelajaran biasa tidak
berbeda untuk siswa kelompok atas dengan siswa kelompok bawah.
D. Kesimpulan
Dari temuan, hasil analisis, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada
bagian sebelum ini, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: Terdapat
perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang
mengikuti pembelajaran inkuiri dengan kemampuan berpikir kreatif matematis yang
mengikuti pembelajaran biasa. Dengan memperhatikan nilai rata-rata kedua
kelompok tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa yang telah mengikuti pembelajaran inkuiri lebih tinggi atau lebih baik dari
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 451
kemampuan berpikir kreatif siswa yang telah mengikuti pembelajaran biasa pada
gabungan ketiga peringkat sekolah.
E. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini diajukan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Pembelajaran inkuiri baik untuk sekolah tinggi, sedang dan rendah dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Oleh karena itu
hendaknya pembelajaran ini terus dikembangkan di lapangan dan dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif pilihan guru dalam menentukan model pembelajaran
matematika yang membuat siswa aktif secara mental dan termotivasi untuk
belajar. Selain itu guru hendaknya tetap memperhatikan pengetahuan awal yang
dimiliki siswa sehingga pembelajaran inkuri yang digunakan dapat mencapai hasil
yang optimal.
2. Agar dapat mengimplementasikan pembelajaran inkuiri di kelas, guru perlu
mempersiapkan bahan ajar yang cocok serta membuat antisipasi dari respon yang
mungkin muncul dari siswa. Sehingga guru dapat memberikan scaffolding yang
tepat untuk siswa. Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang disusun hendaknya memuat
indikator pembelajaran inkuiri serta masalah yang menantang dan memunculkan
konflik kognitif dalam diri siswa, sehingga merangsang siswa untuk melakukan
ekplorasi dan penyelidikan dalam memperoleh pengetahuan baru yang lebih
bermakna.
3. Berdasarkan hasil temuan di lapangan ternyata indikator kebaruan masih
merupakan indikator yang memperoleh tingkat pencapaian terendah. Oleh karena
itu perlu adanya suatu usaha pembudayaan pada siswa agar dapat memunculkan
ide atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Untuk memunculkan kemampuan
kebaruan ini, hendaknya guru lebih sering memberi siswa soal yang meminta siswa
untuk menggunakan caranya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang
diberikan.
4. Bagi peneliti selanjutnya, apabila ingin mengembangkan kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa perlu digali secara lebih mendalam kemampuan siswa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 452
pada masing-masing indikator berdasarkan peringkat sekolah, pengetahuan awal
matematika siswa dan secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher, R. (1995). Teaching Children to Think. Hong Kong: Stanley Thornes Ltd.
Munandar, U. (1999). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan potensi kreatif
& Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Munandar, U, (2002). Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika. Diktat Kuliah: Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kometensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Silver, E.A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical
Problem Solving and Thinking in Problem Posing.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/ zdm ZDM Volum 29 (June 1997)
Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 453
P-31
PEMAHAMAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA
PEMBELAJARAN DENGAN MODEL RECIPROCAL TEACHING
Oleh :
Abd. Qohar Dosen Jurusan Matematika F MIPA UM, Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UPI
e-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam makalah ini akan disampaikan hasil penelitian dalam menjawab permasalahan,
bagaimana pemahaman matematis siswa sekolah menengah pertama dalam
pembelajaran dengan model Reciprocal Teaching dan pembelajaran konvensional.
Penelitian eksperimen dengan desain kelompok hanya postes. Subjek populasi dalam
penelitian adalah seluruh siswa SMP di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian
ini melibatkan 254 siswa kelas 9 dari 3 sekolah SMP yang mewakili peringkat rendah,
sedang, dan tinggi. Kemudian masing-masing sekolah dipilih dua kelas yang terdiri dari
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan Model
Reciprocal Teaching, dan kelas kontrol diberi perlakuan Pembelajaran matematika
konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) siswa yang diajar dengan
pendekatan reciprocal teaching mempunyai kemampuan pemahaman matematis lebih
baik bila dibandingkan siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran
konvensional, baik ditinjau secara keseluruhan maupun berdasarkan level sekolah,
namun pada sekolah level tinggi peningkatan tersebut tidak signifikan; (2) terdapat
interaksi yang signifikan antara pembelajaran (reciprocal teaching, konvensional) dan
level sekolah (tinggi, sedang,rendah) terhadap kemampuan pemahaman matematis
siswa. (3) tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pembelajaran dan
kemampuan awal matematika siswa (atas, tengah, bawah) terhadap kemampuan
pemahaman matematis.
Kata kunci : reciprocal teaching, pemahaman matematis, pembelajaran matematika
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dekade
belakangan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari peran matematika.
Hal tersebut bisa diartikan bahwa individu maupun golongan yang mempunyai
kemampuan matematika yang tinggi akan bisa ikut mewarnai perkembangan ilmu dan
teknologi tersebut, sebaliknya individu maupun golongan yang mempunyai
kemampuan matematika yang rendah akan sulit untuk ikut dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 454
mengembangkannya. Kenyataan inilah yang mengharuskan ummat manusia yang tidak
ingin ketinggalan dalam arus perkembangan ilmu dan teknologi untuk belajar
matematika.
Bangsa Indonesia tentu tidak ingin ketinggalan dalam penguasaan ilmu dan
teknologi tersebut, sehingga Departemen Pendidikan Nasional dalam Kurikulum 2006
menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta
didik mulai dari sekolah dasar. Hal tersebut tidak berlebihan, sebab dengan memahami
dan menguasai matematika, diharapkan bangsa Indonesia dapat menguasai dan ikut
mengembangkan ilmu dan teknologi, yang pada gilirannya akan membawa pada
kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Salah satu aspek yang masih perlu dikembangkan dalam mempelajari
matematika adalah kemampuan pemahaman matematis. Seorang siswa kelas satu
SMP yang diberi pertanyaan “Berapa 7 × 11 ?” akan dengan mudah menjawabnya
dengan jawaban 77. Tetapi jika siswa tersebut diberi pertanyaan lanjutan “Jelaskan
mengapa 7 × 11 = 77 ? ”, belum tentu siswa tersebut bisa menjelaskannya. Hal ini
dikarenakan, untuk pertanyaan pertama hanya diperlukan prosedur rutin untuk
menjawabnya. Sedangkan untuk pertanyaan kedua diperlukan kemampuan
pemahaman yang cukup tentang masalah tersebut untuk bisa menjawabnya. Menurut
Skemp (1976), kemampuan pertama merupakan kemampuan pemahaman
instrumental, sedangkan kemampuan kedua merupakan kemampuan pemahaman
relasional. Pemahaman relasional memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding dengan
pemahaman instrumental. Baik pemahaman instrumental maupun pemahaman
relasional perlu ditingkatkan pada pembelajaran matematika.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemahaman matematis banyak sekali dibutuhkan
agar dalam memutuskan sesuatu masalah mendapatkan hasil yang optimal. Seorang
pimpinan proyek yang memahami masalah optimasi akan bisa mengatur bagaimana
agar para pekerja tidak banyak yang menganggur. Tukang bangunan yang paham akan
teorema Pythagoras, untuk membuat sudut 90° pada suatu pondasi, tidak perlu repot
dengan penggaris siku yang terlalu kecil, karena bisa dengan menggunakan tripel
pythagoras untuk mengecek apakah sudutnya sudah siku-siku atau belum.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 455
Dalam suatu telewicara radio BBC London dengan beberapa siswa SLTP di
Indonesia yang diadakan tanggal 10 Juni 2008, setelah para siswa tersebut
melaksanakan ujian nasional (UN) terungkap bahwa mata pelajaran yang paling sulit di
antara mata pelajaran yang di UN-kan adalah matematika. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk memahami matematika baik secara relasional maupun instrumental merupakan
hal yang relatif lebih sulit dibandingkan dengan memahami mata pelajaran lain. Dari
fakta lain di lapangan juga dapat diketahui bahwa kemampuan pemahaman matematis
siswa khususnya siswa SMP masih rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil UN
matematika yang nilainya relatif lebih rendah dibandingkan dengan UN pelajaran
bidang studi yang lainnya.
Pada tingkat internasional, prestasi matematika para siswa Indonesia juga
masih rendah. Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa prestasi matematika siswa-siswa
sekolah Indonesia tertinggal dari prestasi matematika siswa sekolah di beberapa
negara tetangga. Misalnya, dari hasil studi TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study) tahun 1999 prestasi matematika siswa kita berada pada urutan ke
34 dari 38 negara yang berpartisipasi, pada tahun 2003 berada pada urutan ke 36 dari
45 negara yang berpartisipasi, sedangkan pada tahun 2007 berada di rutan 36 dari 49
negara yang berpartisipasi. Prestasi ini jauh di bawah prestasi siswa-siswa dari negara
tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, di mana ketiga negara tersebut
pada TIMSS tahun 2007 masing-masing berada di urutan ke-3, ke-20 dan ke-29.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman matematis siswa SMP dalam penelitian ini
akan diterapkan reciprocal teaching. Hal ini dikarenakan reciprocal teaching
merupakan salah satu model pembelajaran yang diduga kuat bisa mengembangkan
kemampuan pemahaman matematis siswa. Dugaan ini sejalan dengan yang dinyatakan
oleh Palinscar and Brown (1984) bahwa reciprocal teaching dapat meningkatkan
kemampuan pemahaman siswa.
Reciprocal teaching merupakan salah satu model pendekatan pembelajaran di
mana siswa dilatih untuk memahami suatu naskah dan menjelaskannya pada teman
sebaya, sehingga para ahli banyak yang menyebut reciprocal teaching ini sebagai peer
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 456
practice (latihan dengan teman sebaya). Palinscar (1986) menyatakan bahwa
reciprocal teaching adalah suatu kegiatan belajar yang meliputi membaca bahan ajar
yang disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan
menyusun prediksi. Pembelajaran ini dilakukan secara kooperatif di mana salah satu
anggota kelompok berperan sebagai guru (siswa guru) dan dilakukan secara
bergantian. Salah seorang siswa yang bertugas sebagai siswa guru tersebut memimpin
teman-teman dalam kelompoknya dalam melaksanakan tahap-tahap reciprocal
teaching. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan, dan
pembimbing yang melakukan scaffolding.
Rumusan Masalah
1. Apakah perkembangan kemampuan pemahaman matematis siswa yang
memperoleh Reciprocal Teaching (RT) lebih baik dari pada siswa yang memperoleh
pembelajaran secara konvensional, ditinjau dari (a) keseluruhan siswa, (b) level
sekolah (tinggi, sedang, rendah) ?
2. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor level sekolah
terhadap perkembangan kemampuan pemahaman matematis siswa ?
3. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dengan faktor kemampuan awal
matematika siswa (atas, tengah, bawah) terhadap perkembangan kemampuan
pemahaman matematis siswa ?
Definisi Operasional
a. Reciprocal teaching adalah pembelajaran dalam kelompok yang diawali dengan
tugas membaca bahan ajar oleh siswa dan dilanjutkan dengan melaksanakan
empat kegiatan yaitu : merangkum bacaan, membuat pertanyaan, memberikan
penjelasan, dan membuat pertanyaan atau permasalahan lanjutan. Pembahasan
dalam kelompok dipimpin oleh siswa dan guru berperan sebagai fasilitator dan
pembimbing.
b. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan : mengklasifikasikan
obyek-obyek matematika; menginterpretasikan gagasan atau konsep; menemukan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 457
contoh dari sebuah konsep; memberikan contoh dan bukan contoh dari sebuah
konsep; menyatakan kembali konsep matematika dengan bahasa sendiri.
METODOLOGI PENELITIAN
Subyek populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
SMP Negeri se-Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur dan bisa diperluas untuk seluruh
siswa SMP yang mempunyai karakteristik yang sama. Pemilihan subyek sampel
dilakukan dengan teknik purposive sampling (melalui pertimbangan) dan melibatkan
sekolah yang mewakili level tinggi, level sedang dan level rendah. Level sekolah
ditetapkan berdasarkan ranking hasil Ujian Nasional (lampiran). Kemudian dari
klasifikasi tersebut dipilihlah tiga sekolah yaitu satu sekolah dari level tinggi, satu
sekolah dari level sedang dan satu sekolah dari level rendah. Dari kelompok sekolah
level tinggi, terpilih SMPN 2 Bojonegoro, dari kelompok sekolah level sedang, terpilih
SMPN 7 Bojonegoro dan dari kelompok sekolah level rendah terpilih SMPN 4
Bojonegoro.
Selanjutnya dari siswa kelas IX masing-masing sekolah yang sudah terpilih
sebagai subyek sampel tersebut, dipilihlah secara acak masing-masing dua kelas, satu
kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Dari sekolah
SMPN 2 Bojonegoro terpilih kelas IX-A sebagai kelas eksperimen dan kelas IX-C sebagai
kelas kontrol, dari sekolah SMPN 7 terpilih kelas IX-E sebagai kelas eksperimen dan
kelas IX-D sebagai kelas kontrol dan dari sekolah SMPN 4 terpilih kelas IX-C sebagai
kelas eksperimen dan kelas IX-D sebagai kelas kontrol. Secara keseluruhan, siswa yang
terlibat dalam penelitian ini sebanyak 254 siswa.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan disain kelompok
kontrol hanya postes. Unit-unit penelitian ditentukan berdasarkan kategori
pendekatan pembelajaran (reciprocal teaching (RT), Pembelajaran Konvensional (PK)),
kategori level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan kategori kemampuan awal
matematika siswa (atas, tengah, bawah). Dengan demikian untuk mengetahui adanya
perbedaan kemampuan pemahaman matematis dilakukan dengan disain penelitian
sebagai berikut:
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 458
A X O
A O
Pada disain ini, pengelompokan subjek penelitian dilakukan secara acak kelas
(A), kelompok eksperimen diberi perlakukan pembelajaran dengan pendekatan
reciprocal teaching (X), dan kelompok kontrol diberi perlakuan pembelajaran dengan
pendekatan konvensional. Masing-masing kelas penelitan diberi postes (O), tidak ada
perlakuan khusus yang diberikan pada kelas kontrol. Untuk melihat secara lebih
mendalam pengaruh penggunaan pendekatan tersebut terhadap kemampuan
pemahaman matematis maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor level sekolah
(tinggi, sedang, rendah) sebagai variabel kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis merupakan gambaran kualitas
Kemampuan Pemahaman Matematis baik secara keseluruhan maupun berdasarkan
jenis pendekatan pembelajaran (reciprocal teaching dan konvensional), level sekolah
(tinggi, sedang, dan rendah), dan kemampuan awal matematika (atas, tengah, dan
bawah) siswa. Deskripsi yang dimaksud adalah rerata, standar deviasi, dan jumlah
siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran, level sekolah, dan kemampuan awal
matematika disajikan pada Tabel 1, sedangkan dalam bentuk diagram batang disajikan
dalam gambar 1.
Tabel 1
Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran, Level Sekolah, dan Kemampuan Awal Matematika
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 459
LEVEL
SEKO-
LAH
KEMAMPUAN AWAL
MATEMATIKA
PENDEKATAN PEMBELAJARAN
TOTAL RECIPROCAL
TEACHING KONVENSIONAL
RE-RATA SD N RE-RATA SD N RE-
RATA
SD N
TIN
GG
I
ATAS 18.73 2.15 11 18.54 1.66 13 18.63 1.86 24
TENGAH 18.14 2.23 22 17.05 1.54 20 17.62 1.99 42
BAWAH 15.90 1.60 10 14.91 2.55 11 15.38 2.16 21
TOTAL 17.77 2.30 43 16.95 2.27 44 17.36 2.31 87
SE
DA
NG
ATAS 17.86 1.21 7 15.38 2.39 8 16.53 2.26 15
TENGAH 16.43 2.48 21 13.40 2.58 20 14.95 2.93 41
BAWAH 13.86 2.03 14 11.87 1.73 15 12.83 2.11 29
TOTAL 15.81 2.60 42 13.23 2.55 43 14.51 2.87 85
RE
ND
AH
ATAS 17.75 2.06 4 13.00 1.83 4 15.38 3.11 8
TENGAH 16.17 2.01 18 11.63 2.55 16 14.03 3.21 34
BAWAH 13.45 1.34 22 11.11 1.88 18 12.40 1.97 40
TOTAL 14.95 2.29 44 11.53 2.20 38 13.37 2.82 82
TO
TA
L
ATAS 18.27 1.86 22 16.64 2.86 25 17.32 2.53 47
TENGAH 16.97 2.39 61 14.20 3.16 56 15.64 3.11 117
BAWAH 14.11 1.86 46 12.32 2.50 44 13.23 2.37 90
TOTAL 16.17 2.66 129 14.02 3.26 125 15.11 3.15 254
Keterangan: Skor ideal 22
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 460
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
Ata
s
Ten
gah
Baw
ah
Tot
al
Ata
s
Ten
gah
Baw
ah
Tot
al
Ata
s
Ten
gah
Baw
ah
Tot
al
Ata
s
Ten
gah
Baw
ah
Tot
al
TINGGI SEDANG RENDAH TOTAL
R e
r a
t a
R T
K V
Keterangan : RT = Reciprocal Teaching ; KON = Konvensional.
Gambar 1
Diagram Batang Kemampuan Pemahaman Matematis Berdasarkan Faktor
Pembelajaran, Level Sekolah (Tinggi, Sedang, Rendah) dan KAM (Atas, Tengah,
Bawah)
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 di atas, dapat diungkap beberapa hal
mengenai kemampuan pemahaman matematis siswa sebagai berikut.
1) Secara keseluruhan, siswa yang pembelajarannya dengan reciprocal teaching
mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (16,17 >
14,02) dan mempunyai deviasi standar lebih kecil (2,66 < 3,26) dibandingkan
dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
2) Untuk siswa di sekolah level tinggi, siswa yang pembelajarannya dengan
reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis
lebih tinggi (17,77 > 16,95) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,30 >
2,27) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 461
3) Untuk siswa di sekolah level sedang, siswa yang pembelajarannya dengan
reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis
lebih tinggi (15,81 > 13,23) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,60 >
2,55) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
4) Untuk siswa di sekolah level rendah, siswa yang pembelajarannya dengan
reciprocal teaching mempunyai rerata hasil kemampuan pemahaman matematis
lebih tinggi (14,95 > 11,53) dan mempunyai deviasi standar lebih besar (2,29 >
2,20) dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan pendekatan konvensional.
5) Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok atas yang
pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (18,27 > 16,64) dan mempunyai
deviasi standar lebih kecil (1,86 < 2,86) dibandingkan dengan siswa dengan KAM
kelompok atas yang diajar dengan pendekatan konvensional.
6) Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok tengah yang
pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (16,97 > 14,20) dan mempunyai
deviasi standar lebih kecil (2,39 < 3,16) dibandingkan dengan siswa dengan KAM
kelompok tengah yang diajar dengan pendekatan konvensional.
7) Siswa dengan KAM (Kemampuan Awal Matematika) kelompok bawah yang
pembelajarannya dengan reciprocal teaching mempunyai rerata hasil
kemampuan pemahaman matematis lebih tinggi (14,11 > 12,32) dan mempunyai
deviasi standar lebih kecil (1,86 < 2,50) dibandingkan dengan siswa dengan KAM
kelompok bawah yang diajar dengan pendekatan konvensional.
Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara keseluruhan baik ditinjau dari level
sekolah maupun ditinjau dari kemampuan awal matematika, rerata kemampuan
pemahaman matematis siswa yang diberi pembelajaran reciprocal teaching lebih baik
daripada siswa dengan pembelajaran konvensional. Untuk sekolah level tinggi pada
kelas dengan pembelajaran reciprocal teaching reratanya 17,77 dan pada kelas
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 462
konvensional reratanya 16,95. Untuk sekolah level sedang pada kelas dengan
pembelajaran reciprocal teaching reratanya 15,81 dan pada kelas konvensional
reratanya 13,23. Sedangkan untuk sekolah level rendah pada kelas dengan
pembelajaran reciprocal teaching reratanya 14,90 dan pada kelas konvensional
reratanya 11,53. (Skor maksimal test pemahaman matematis adalah 22).
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hasil kemampuan pemahaman
matematis siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah model
pembelajaran dan level sekolah. Pada level sekolah tinggi, sedang dan rendah serta
gabungan level sekolah, ditemukan bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa
yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching lebih baik dari pada siswa
yang pembelajarannya menggunakan model konvensional. Namun demikian pada
sekolah tinggi perbedaan rerata kemampuan pemahaman matematis antara siswa
yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching dan siswa yang
pembelajarannya menggunakan model konvensional tidak signifikan. Perbedaan rerata
tersebut paling besar terjadi pada sekolah rendah, yaitu 3,42, sedangkan pada sekolah
sedang perbedaan reratanya adalah 2,58 dan pada sekolah tinggi perbedaan reratanya
adalah 0,82.
Dari hasil perhitungan dengan ANOVA menggunakan SPSS juga diketahui bahwa
terdapat interaksi yang signifikan antara faktor pembelajaran dan faktor sekolah
terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Interaksi pada faktor
Pembelajaran*Sekolah angka signifikansinya 0,001. Dengan adanya interaksi ini
menunjukkan bahwa faktor bersama antara pembelajaran dan level sekolah
berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemampuan pemahaman matematis
siswa.
Faktor lain yang berpengaruh pada kemampuan pemahaman matematis siswa
adalah kemampuan awal matematika siswa (KAM). Pada KAM siswa kelompok atas,
tengah dan bawah serta gabungan ditemukan bahwa kemampuan pemahaman
matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching lebih baik
dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan model konvensional. Perbedaan
rerata kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang pembelajarannya
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 463
menggunakan reciprocal teaching dan siswa yang pembelajarannya menggunakan
model konvensional tidak, paling besar terjadi pada kelompok KAM tengah, yaitu 2,27,
sedangkan pada kelompok KAM bawah perbedaan reratanya adalah 1,79 dan pada
kelompok KAM atas perbedaan reratanya paling kecil yaitu 1,63.
Interaksi yang terjadi antara faktor pembelajaran dan faktor KAM terhadap
kemampuan pemahaman matematis siswa tidak signifikan. Faktor
Pembelajaran*Sekolah angka signifikansinya di atas 0,05, yaitu 0,266. Dengan tidak
adanya interaksi ini menunjukkan bahwa faktor bersama antara pembelajaran dan
KAM tidak berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemampuan pemahaman
matematis siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemahaman matematis siswa secara keseluruhan yang pembelajannya
menggunakan reciprocal teaching lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya
dilakukan secara konvensional, walaupun pada level sekolah tinggi tidak berbeda
secara signifikan.
2. Terdapat iteraksi yang signifikan dari faktor model pembelajaran (RT dan KV) dan
faktor level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah) terhadap kemampuan
pemahaman matematis siswa. Rerata kemampuan pemahaman matematis antara
kelas yang pembelajarannya menggunakan reciprocal teaching dan kelas yang
pembelajarannya dilakukan secara konvensional pada sekolah level rendah,
perbedaannya paling tinggi dibandingkan pada sekolah level sedang atau level
tinggi.
3. Tidak terdapat iteraksi yang signifikan dari faktor model pembelajaran (RT dan KV)
dan faktor KAM (atas, tengah, dan bawah) terhadap kemampuan pemahaman
matematis. Namun demikian, rerata kemampuan pemahaman matematis siswa
antara siswa yang pembelajannya menggunakan reciprocal teaching dan siswa
yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional, pada kelompok KAM tengah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 464
perbedaannya paling tinggi dibandingkan pada kelompok KAM bawah atau
kelompok KAM atas.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L.W.& Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching and
Assessing. New York: Addison Wesley Longman.
Arikunto, S. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta : Bumi
Aksara.
Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan
Pembelajaran Open Ended. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan.
Even, R.,& Tirosh, D.(2002). Teacher Knowledge and Understanding of
Students’Mathematical Learning. In English L.D.(Ed) Handbook of International
Research in Mathematics Education (pp 219-240). National Council of Teachers
of Mathematics. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Hendriana, H. (2002). Meningkatkan Kemampuan, Pengajuan dan Pemecahan
Masalah Matematika dengan Pembelajaran Berbalik Studi Eksperimen pada
Siswa Kelas I SMU Negeri 23 Kota Bandung. Tesis S2 UPI.: Tidak Diterbitkan.
Kahre, S. et.al.(1999). Improving Reading Comprehension Through The Use of
Reciprocal Teaching. Master’s Action Research Project. Xavier Saint
University.Chicago, Illinois [On line] Tersedia:
http://www.eric.ed.gov/ericdocs/data/ericdocs2sql.pdf [30 April 2008]
Palinscar, A.(1986). Strategies for Reading Comprehension Reciprocal Teaching.
[online]. Tersedia : http://curry.edschool.virginia.edu/go/readquest/
strat/rt.html [29 April 2008]
Palinscar, A. & Brown, A. (1984). Reciprocal Teaching in Comprehension-Fostering and
Comprehension-Monitoring Activities Cognition and Instruction. [online]
Tersedia: http://teams.lacoe.edu/documentation/classroom/patti/2-
3/teacher/ resources/reciprocal.html [29 April 2008]
Palinscar, A.(1994). Reciprocal Teaching. [online]. Tersedia : http:// depts.washington/
edu/centerme/recipro.htm [8 Mei 2008].
Rahman, A.(2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan
Generalisasi Matematik Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbalik. Tesis S2
UPI.: Tidak Diterbitkan.
Reys, R. E. et. al. (1998). Helping Children Learn Mathematics 5th
Edition. Boston : Allyn
and Bacon.
Rosyid, D. M. & Ibrahim,I. (2007). Reciprocal Teaching Sebagai Strategi. [online].
Tersedia: http://kpicenter.web.id/neo/content/view/17/1.html [29 April 2008]
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 465
Skemp, R. R. (1976) Relational Understanding and Instrumental Understanding.
Mathematics Teaching, 77, 20–26.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA
Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur
Proses Belajar Mengajar. Disertasi S3 UPI.: Tidak Diterbitkan.
Wikipedia(2008). Constructivism_(learning_theory). [Online] Tersedia :
http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory).htm [29 April
2008]
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 466
P-32
Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika
Oleh: Ali Mahmudi
Jurusan Pend.Matematika FMIPA UNY Yogyakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Komunikasi yang baik antara guru dan siswa merupakan prasyarat mutlak bagi
berhasilnya kegiatan pembelajaran. Salah satu bentuk komunikasi tersebut
adalah melalui tulisan. Dalam pembelajaran, siswa dapat diminta untuk
mengemukakan ide-ide mereka secara tertulis. Dengan menulis, pemikiran siswa
yang masih mentah dan belum tertata akan lebih terkoordinasi secara lebih utuh.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa menulis dapat dipandang sebagai salah
satu cara bagi siswa untuk belajar. Dengan kata lain, menulis dapat dipandang
sebagai strategi belajar. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana menulis
menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar matematika.
Kata kunci: menulis, strategi belajar matematika
A. Pendahuluan
Jika kita menengok sejarah, akan tampak nyata bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban salah satunya ditentukan oleh kegigihan para ilmuwan
yang menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui tulisan, ilmu-ilmu
tersusun rapi dan sistematis sehingga dapat dipelajari orang lintas generasi. Ilmu-ilmu
itu selanjutnya mendasari berbagai temuan teknologi yang kita nikmati saat ini. Tak
berlebihan jika dikatakan bahwa tulisan para pemikir-pemikir itu telah menjadi salah
satu kekuatan yang menopang kemajuan peradaban suatu bangsa.
Diyakini bahwa setiap anak memiliki potensi untuk menulis. Tentu dengan kadar
yang berbeda-beda. Potensi ini dapat berkembang atau sebaliknya justeru terabaikan,
bergantung pada lingkungan di mana siswa tumbuh. Mengingat demikian pentingnya
kemampuan menulis sebagaimana dikemukakan di atas, mengembangkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 467
kemampuan menulis bagi anak adalah suatu keniscayaan. Sekolah perlu merancang
aktivitas pembelajaran yang dapat memicu tumbuhnya kemampuan menulis anak.
Terdapat beberapa tujuan dari aktivitas menulis. Salah satunya adalah sebagai
sarana berkomunikasi. Selain itu, menulis juga dimaksudkan untuk merangsang pikiran
dan menata serta memperjelas pemikiran. Ide-ide yang masih mentah dan belum
teratur akan lebih tertata bila dituliskan. Tujuan kedua inilah yang mendasari
munculnya ide bahwa anak dapat belajar melalui aktivitas menulis. Dengan kata lain,
aktivitas menulis dapat dipandang sebagai strategi belajar. Aktivitas menulis tidak
hanya dimaksudkan untuk membentuk kemampuan menulis itu sendiri, melainkan
dipandang sebagai cara untuk membelajarkan anak, termasuk belajar matematika.
Bagaimana caranya? Secara singkat tulisan ini akan menguraikan hal itu.
B. Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika
Pemberian tugas menulis dalam kegiatan pembelajaran telah mendapat
dukungan yang luas. Misalnya The National Student of Mathematics for Australian
School menganjurkan pemberian perhatian yang tinggi terhadap pemberian tugas
menulis dalam pembelajaran matematika untuk semua tingkatan sekolah (Swinson,
1992). National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) juga merekomendasikan
pemberian tugas menulis dalam pembelajaran matematika (Miller, et al, 2004).
Menurut Sipka (1990), terdapat beberapa bentuk tugas menulis yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran matematika. Secara umum, menulis dapat
dikategorikan sebagai menulis informal dan menulis formal. Menulis informal
misalnya: in-class writing (focus writing, free writing); math autobiographies; journal;
and letters. Sedangkan yang termasuk kategori menulis formal adalah: proof,
summaries of journal article, research paper, and lecture note. Menulis informal lebih
memfokuskan pada kebenaran ide tulisan. Sementara pada menulis formal, selain
kebenaran ide, kualitas tulisan juga diperhatikan.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 468
Pemberian tugas menulis dapat dilakukan pada sembarang tahap kegiatan
pembelajaran, di awal pembelajaran, selama proses pembelajaran, maupun pada akhir
pembelajaran. Pada awal pembelajaran, siswa dapat diminta untuk menuliskan hal-hal
yang telah dan belum dipahami terkait dengan materi prasyarat. Hal ini
memungkinkan guru untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami siswa. Pengetahuan
akan hal ini akan mempermudah guru untuk menentukan dari mana harus memulai
pembelajaran dan menekankan perhatian pada miskonsepsi yang dialami siswa.
Selama proses pembelajaran, tugas menulis akan membantu guru untuk
mengklarifikasi gagasan dan pemahaman siswa. Sedangkan pada akhir pembelajaran,
tugas menulis memungkinkan guru untuk mengetahui tingkat pemahaman yang telah
dicapai siswa. Tugas dimaksud di antaranya adalah meminta siswa menuliskan
pengertian suatu konsep dengan kalimat sendiri, membuat rangkuman suatu materi
topik tertentu, menuliskan prosedur atau langkah-langkah dalam menyelesaikan soal,
dan sebagainya. mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam
menyelesaikan soal dari suatu topik tertentu.
Russek (2004) memberikan contoh tugas menulis sebagai berikut.
� Write a letter to classmate who could not attend class today so that she/he
will understand what we did and learn as much as you did. Be as complete as
possible
� Reflect on your participation in class today and then complete the following
statement. Select one of your choice.
I learn that I ….
I was surprised that I ….
I discovered that I ….
I was pleased that I ….
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 469
� Reflect on where you are in the course and complete the following statements.
Select two
Now I understand ….
I still do not understand ….
I can help myself by doing ….
You can help me by ….
� Write a letter of advice to student who is going to take this class next year.
� Explain to a high school senior why it is important or not important to do
mathematics.
� Design two mathematical bumper stickers, one funny and one serious.
Contoh bentuk tugas menulis lainnya dikemukakan Miller & Swinson (Hamdani,
1999) sebagai berikut.
In your own word describing why ….
Explain the process you used to ….
In your own word define….
Explain the errors you made in the last night homework ….
Terdapat beragam bentuk tulisan siswa. Pillo dan Sovhick (Hamdani, 1999)
mengemukakan salah satu tulisan siswa ketika mereka diminta menulis tentang
pecahan sebagai berikut.
Think a fraction is a like number of colored squares in a group of squares. Here’s
an example. The fraction is 3/5. You can use basically any shape. Here’s an
example of another kind of fraction. This fraction is 7/8 [1].
Miller et al (2004) juga memberikan contoh tulisan siswa ketika siswa diminta
menulis tentang pengertian penalaran deduktif dan induktif beserta contoh-
contohnya, yaitu sebagai berikut.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 470
Russek (2004) memberikan contoh tulisan siswa lainnya sebagai berikut.
Dear Classmate …
Today was not a good day to miss because we went over Scientific Notation.
Scientific Notation is a system used that makes very big #’s and very small #’s
easer (sic) to see and write. For example, 72,000,000 = 7.2 x 107, because if you
did (this) out you would get 72,000,000. It’s just nicer. Make sure you get class
next time.
Now I understand the problems that involve charts. At first I had trouble with the
coin, stamp, and Integer problem. After reading the corresponding text, which I
read slowly and thoroughly to make sure I absorbed every bit of info, I began the
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 471
homework. I breezed right through it. I find it much easier to do all the reading
before I start the work.
Tugas menulis yang telah dikerjakan siswa perlu diberi umpan balik oleh guru.
Pemberian umpan balik dapat dilakukan secara tertulis di lembar tugas secara
individual atau dapat juga diberikan secara klasikal. Pemberian umpan balik ini
demikian penting agar siswa mengetahui apakah pemahaman mereka benar.
C. Manfaat Menulis
Terdapat berbagai manfaat dari pemberian tugas menulis. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Possamentier (1995) mengungkapkan bahwa anak yang menuliskan
konsep-konsep yang baru mereka pelajari mempunyai ingatan yang jauh lebih tepat
daripada siswa yang tidak belajar demikian. Selain itu, Miller et al (2004) juga
mengungkapkan bahwa hasil penelitian mengindikasikan bahwa kemampuan anak
untuk mengekspresikan ide-ide mereka secara tertulis dapat membantu pemahaman
mereka.
Manfaat menulis bagi guru dikemukakan Drake dan Amspaugh (Hamdani, 1999)
yaitu sebagai berikut. (1) untuk mendiagnosis kesulitan belajar siswa dengan melihat
pola-pola kesalahannya; (2) memberikan wawasan tentang dari mana pelajaran
seharusnya dimulai; (3) memberikan wawasan mengapa seorang siswa tidak mempu
menyelesaikan tugas-tugas individual, dan (4) memberikan gagasan tentang
bagaimana memperjelas pemahaman siswa. Sedangkan bagi siswa, tugas menulis
dapat membatu mereka mengkoordinasikan informasi dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga menjadi suatu pengetahuan yang utuh. Menulis juga memungkinkan siswa
untuk menganalisis dan menyusun informasi yang diterima menuju pemahaman yang
lebih mendalam.
D. Penutup
Aktivitas menulis perlu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.
Bagaimanapun juga, anak memerlukan waktu untuk merasa nyaman untuk menuliskan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 472
apa yang mereka pikirkan. Pada tahap awal, anak tidak perlu dituntut secara ketat
untuk memperhatikan aspek tata bahasa. Menuntut kesempurnaan tulisan anak
adalah cara berpikir yang tidak baik dan dapat mematikan kreativitas anak. Namun,
tentu saja, tetap perlu memberikan komentar secara bijak terhadap tulisan anak. Guru
dapat memotivasi anak dengan cara memberikan komentar atau catatan positif atau
membacakan tulisan anak yang menarik di kelas.
Demikianlah, aktivitas menulis perlu dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan, sehingga berbagai manfaat sebagaimana diuraikan di atas dapat
mewujud nyata. Aktivitas menulis yang tidak hanya dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan menulis itu sendiri, melainkan menulis untuk belajar.
E. Daftas Pustaka
Hamdani, (1999). Tugas Menulis Jurnal sebagai Strategi dalam Proses Pembelajaran
Matematika di SLTP. Makalah Komprehensif Program Pascasarjana Universitas
Negeri Surabaya.
Miller, Heeron, Hornsby. (2004). Using Writing to Learn about Mathematics. [Online].
Tersedia: http://www-rohan.sdsu.edu/~ituba/math303s08/
mathideas/mmi10_01ext.pdf. [30 Nopember 2009]
Possamentier, Alfred. 1995. Teaching Secondary School Mathematics, Techniques and
Enrichment Unit (Fourth Edition). New Jersey-Pretice Hall.
Russek, Bernadette. (1998). Writing to Learn Mathematics. [Online]. Tersedia:
http://wac.colostate.edu/journal/vol9/russek.pdf. [30 Nopember 2009
Sipka, Timothy. 1990. Writing in Mathematics: A Plethora of Possibilities. In Andrew
Sterrett (editor). Using Writing to Teach Mathematics. USA: The Mathematical
Assosiation of America. p. 17-21).
Swinson, Kevin. 1992. Wriiting Activities as Strategies for Konwledge Constuction and
the Identification of Misconceptions in Mathematic. SEAMEO, Regional Center
for Education in Science ang Mathematic. Vol. XV No. 2 Dec. 1992, Penang,
Malaysia.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 473
P-33
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Sri Hastuti Noer
Dosen Pendidikan Matematika FKIP Universitas Lampung
Email: [email protected]
Abstrak
Kemampuan berpikir matematis khususnya berpikir matematis tingkat tinggi
sangat diperlukan siswa, terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir
matematis terutama yang menyangkut doing math (aktivitas matematika) perlu
mendapatkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran matematika.Namun
kenyataan menunujukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa-siswa
Indonesia khususnya siswa SMP masih belum memuaskan.
Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui kualitas peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa SMP sebagai akibat penerapan
pembelajaran berbasis masalah dan konvensional. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas IX SMP di kota Bandar Lampung.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran matematika dengan PBM lebih baik daripada siswa yang mendapatkan
pembelajaran secara konvensional.
Keyword: Berpikir Kritis, Pembelajaran Berbasis Masalah
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdasarkan kurikulum yang berlaku pada saat ini
adalah dimilikinya kemampuan berpikir matematis. Kemampuan berpikir matematis
khususnya berpikir matematis tingkat tinggi sangat diperlukan siswa, terkait dengan
kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir matematis terutama yang
menyangkut doing math (aktivitas matematika) perlu mendapatkan perhatian khusus
dalam proses pembelajaran matematika.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 474
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka isu mutakhir dalam
pembelajaran matematika saat ini adalah mengembangkan High Order Thinking Skills
(HOTS), dan menjadikan HOTS sebagai tujuan utama dari pembelajaran matematika.
Dokumen kurikulum matematika terbaru secara internasional, pada umumnya
mempromosikan pendekatan berorientasi perubahan dan mengenalkan pentingnya
melibatkan para siswa dalam memanfaatkan matematika melalui suatu proses yang
termasuk di dalamnya adalah pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian,
komunikasi, koneksi, dan representasi. Dalam silabus matematika menyiratkan bahwa
dalam pembelajaran matematika proses Working Mathematically menyertakan lima
proses yang saling berhubungan yaitu questioning, applying strategies,
communicating, reasoning and reflecting.
Sementara dalam Kurikulum Nasional juga tercantum bahwa standar kelulusan
siswa SMP untuk pelajaran matematika adalah menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif dan inovatif, menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri
sesuai potensi yang dimilikinya, dan menunjukkan kemampuan menganalisis dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bermuara pada penarikan
kesimpulan tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita
lakukan. Bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah
mempertanyakan jawaban, fakta, atau informasi yang ada.
Namun kenyataan menunujukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis
siswa-siswa Indonesia khususnya siswa SMP masih belum memuaskan. Hal ini antara
lain dapat dilihat pada rendahnya persentase jawaban benar siswa kita dalam Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 dan 2003 serta dalam
Program for International Students Assessment (PISA) 2003. Secara internasional dua
studi ini merupakan indikator hasil belajar matematika.
Pada studi TIMSS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah dalam
menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan jastifikasi atau pembuktian,
pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan
generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 475
yang diberikan. Sedang dalam studi PISA, siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan
soal-soal yang difokuskan pada mathematics literacy yang ditunjukkan oleh
kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk
menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan fakta di atas,
dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis,
kreatif, dan reflektif siswa pada umumnya masih rendah.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia terlihat pula dari standar kelulusan
Ujian Nasional (UN). Standar kelulusan untuk siswa Sekolah Menengah meskipun dari
tahun ke tahun makin meningkat, namun standar ini masih tergolong rendah. Dengan
standar yang rendah ini, masih saja dikeluhkan oleh masyarakat bahwa standar
tersebut terlalu tinggi. Kenyataannya, pada ujian nasional banyak peserta didik yang
tidak lulus.
Selain fakta di atas, ditemui juga bahwa dalam pembelajaran matematika
masih banyak guru matematika yang menganut paradigma transfer of knowledge.
Dalam hal ini interaksi dalam pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru
sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Siswa tidak diberikan
banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar
(KBM) di kelas, dengan kata lain pembelajaran lebih berpusat pada guru, bukan pada
siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan dewasa ini orientasinya lebih
kepada hasil dan bukan kepada proses.
Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan
harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya
yang inovatif untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika
melalui perbaikan proses pembelajaran.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pembelajaran yang
menjadikan masalah sebagai basisnya. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa
perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan,
mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Lingkungan belajar
PBM memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuan matematis mereka, untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 476
merubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi solusi, yang sesuai dengan
situasi yang baru diperoleh.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, maka masalah yang dikaji dalam
penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa yang mengkuti PBM dan siswa yang belajar secara konvensional
ditinjau dari kualifikasi sekolah?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan hasil penelitian secara komprehensif tentang kualitas
peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa menurut penggunaan
PBM dan konvensional ditinjau dari kualifikasi sekolah.
2. Memberikan suatu kesimpulan dan implikasi teoritis penelitian yang bermanfaat
bagi calon guru, guru, dosen, atau insan pendidikan lainnya dalam upaya
peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa khususnya, dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan dihasilkan suatu model pembelajaran
matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa SMP. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi
upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya, dan kualitas SDM
umumnya dalam menjawab tuntutan masa depan.
E. Desain Penelitian dan Proses Analisis Data
1. Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain eksperimen dengan menggunakan kelas
kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran berbasis
masalah (PBM) dan pembelajaran konvensional (PK) yang dilakukan oleh guru. Variabel
terikatnya adalah kemampuan berpikir kritis siswa. Variabel pengontrol dalam
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 477
penelitian ini kualifikasi sekolah. Desain penelitian ini adalah desain kelompok control
pretes-postes (Pretest-Postest Control Group Design).
2. Prosedur Analisis Data
Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan berpikir kritis
matematis. Untuk menganalisis data hasil tes digunakan statistika deskriptif dan
inferensial. Proses inferensi diawali dengan uji prasyarat yakni uji normalitas dan
homogenitas variansi. Setelah prasyarat ini dipenuhi, maka dilanjutkan dengan
pengujian perbedaan rata-rata menggunakan uji-t. Berdasarkan pengujian asumsi
diketahui bahwa populasi berdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen,
Dengan demikian pengujian perbedaan rata-rata dapat dilakukan.
F. Hasil Penelitian dan Diskusi
Hasil perhitungan rata-rata tes akhir kemampuan K2R disajikan pada Tabel 1.
berikut.
Tabel 1. Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa berdasarkan Peringkat Sekolah
Peringkat
sekolah
Kelompok Penelitian
Eksperimen Kontrol
Tinggi 65,51 57,51
Sedang 40,26 25,85
Gabungan 52,88 41,48
Berdasarkan data pada Tabel 1, perbandingan skor rata-rata antara kelas
eksperimen dan control digambarkan pada Gambar 1. Dari gambar terlihat bahwa
rata-rata kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol,
Gambar 1: Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Berdasarkan Peringkat Sekolah dan kelompok
Penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 478
Hasil perhitungan rata-rata gain kemampuan berpikir kritis disajikan pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2.. Skor Gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Siswa berdasarkan Peringkat Sekolah
Peringkat
Sekolah
Rata-rata Skor Gain
PBM PK
Tinggi 0,51 0,40
Sedang 0,29 0,12
Gabungan 0,40 0,26
Berdasarkan data pada Tabel 2, perbandingan skor rata-rata N-gain dari
kemampuan berpikir kritis digambarkan pada Gambar 2,. Dari gambar terlihat bahwa
rata-rata gain kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimen lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kelompok control,
Gambar 2: Skor N-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Berdasarkan Peringkat Sekolah dan kelompok Penelitian
Selanjutnya untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rata-rata
kedua kelompok sampel berdasarkan peringkat sekolah dan gabungannya, dilakukan
uji perbedaan rata-rata skor gain kemampuan berpikir kritismatematis dengan
menggunakan uji-t.
Ringkasan hasil uji perbedaan rata-rata sebagaimana yang dimaksud disajikan
pada tabel 4.3 berikut ini.
Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji-t Skor Awal Kemampuan Berpikir Kritis
Berdasarkan Peringkat Sekolah
Peringkat Faktor Skor Gain
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 479
Sekolah Pembelajaran Perb. Rata-
rata
T Sig.(2-
tailed)
H0
Tinggi PBM*PK 0,51 ≈ 0,40 3,94 0,00 Ditolak
Sedang PBM*PK 0,29 ≈ 0,12 13,613 0,00 Ditolak
Gabungan PBM*PK 0,40 ≈ 0,26 5,519 0,00 Ditolak
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3, nilai probabilitas
(sig.) pada masing-masing peringkat sekolah maupun kelompok gabungannya untuk
kedua model pembelajaran lebih kecil dari 0,05. Ini berarti hipotesis nol ditolak.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara gain
kemampuan berpikir kritis matematis pada kelompok eksperimen (PBM) dan
kelompok kontrol (PK) ditinjau dari peringkat sekolah maupun kelompok
gabungannnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang pembelajarannya dengan PBM lebih baik daripada
siswa yang belajar secara konvensional.
G. Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat dikemukakan
kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi.
1. Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan
menggunakan PBM dan siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika secara
konvensional. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran matematika dengan menggunakan PBM lebih baik
daripada siswa yang pembelajaran matematikanya secara konvensional baik pada
peringkat sekolah tinggi, peringkat sekolah sedang dan gabungan kedua peringkat
sekolah.
2. Implikasi
Kesimpulan ini memberikan implikasi bahwa PBM layak dipergunakan oleh guru
bidang studi Matematika di SMP sebagai alternatif untuk mengembangkan
kemampuan berpiki kritis dan untuk menjawab isu kualifilkasi sekolah siswa di SMP
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 480
dalam pembelajaran matematika, khususnya untuk pengembangan beberapa aspek
kemampuan berpikir kritis
3. Rekomendasi
• Pembelajaran matematika dengan PBM, hendaknya menjadi alternatif pilihan guru
di SMP; terutama untuk meningkatkan kemampuan K2R siswa.
• Generalisasi penerapan PBM dalam pembelajaran matematika di SMP tidak
terbatas pada topik Kesebangunan Bangun Datar. Penerapan PBM dimungkinkan
untuk topik yang lain.
• Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengkaji aspek lain dari kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Tiwari, S. (1999). Enhancing Students’ Critical Thinking through Problem-Based
Learning. In J. Marsh (Ed.) Implementing Problem Based Learning Project:
Proceedings of the First Asia Pacific Conference on Problem- Based Learning
(pp.75-86). Hong Kong: The University Grants Committee of Hong Kong,
Teaching Development Project.
Anderson, J. dan Bobis, J. (2005). In Chick, H. L. & Vincent, J. L. (Eds.). Reform-Oriented
Teaching Practices: A Survey Of Primary School Teachers: Proceedings of the
29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education, Vol. 2, pp. 65-72. Melbourne: Australia.
Anonim. (2000). Critical Reflection. [Online]. Tersedia: http:// www.nwlink.com/
~donclark/hrd/ development/reflection.html
Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. (1980). Problem-Based Learning: An approach to
Medical Education. New York: Springer.
Bhattacharya, M., MacIntyre, B., Ryan , S. dan Brears, L. (2005). PBM Approach: A
Model for Integrated Curriculum. Department of Technology, Science and
Mathematics Education. College of Education, Massey University, NewZealand.
Tersedia:http://www.tki.org.nz/r/integration/interact/communicate/faqs/
faqs_e.php#Q01
Brookfield, S. (1988). Developing Critically Reflective Practitioners: A Rationale for
Training Educators of Adults. In Training Educators of Adults: The Theory and
Practice of Graduate Adult Education, edited by S. Brookfield. New York:
Routledge
Bullen, M. (1997). A Case Study of Participation and Critical Thinking in a University
Level Course Delivered by Computer Conferencing. Tersedia:
http://www2.cstudies.ubc.ca/~bullen/Diss/thesis.doc. [28 Nopember 2007]
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 481
Chung, J.C.C. & Chow, S. M.K. (1999). Imbedded PBM in an Asian context:
Opportunities and challenges. In J. Marsh (ed.) Implementing Problem Based
Learning Project: Proceedings of the First Asia Pacific Conference on Problem
Based Learning (pp. 25-34). Hong Kong: The University Grants Committee of
Hong Kong, Teaching Development Project on Enhancing Health Science
Education through Problem Based Learning.
Duch, B.J., Groh, S.E., dan Allen, D.E. (2001). Why Problem-Based Learning: A Case
Study of Institutional Change in Undergraduate Education. In B.J. Duch, S.E.
Groh, dan D.E. Allen (Eds): The Power of Problem-Based Learning. Virginia,
Amerika: Stylus Publishing.
Erickson, D.K. (1999). A Problem-Based Approach to Mathematics Instruction. The
Mathematics Teacher. Reston, VA: NCTM.
Garrison. D. R., Anderson, T. & Archer, W. (2001). Critical Thinking and Computer
Conferencing: A Model and Tool to Assess Cognitive Presence. Tersedia:
http://communitiesofinquiry.com/documents/ CogPres_Final.pdf
Ghokhale, A.A. (1996). Effectiveness of Computer Simulation for Enhancing Higher
Order Thinking. Journal of Industrial Teacher Eduacation. 33, (4). 1-8.
Henningsen, M. dan Stein, M.K. (1997), Mathematical Task and Student Conigtion:
Classroom Based Factors That Support and Inhibit High-Level Thinking and
Reasoning, JRME, 28, 524-549.
Hmelo, D., & Ferrari, M. (1997). The problem-based learning tutorial: Cultivating higher
order thinking skills. Journal for the Education of the Gifted, 20(4), 401-422.
Ibrahim, M. dan Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
UNESA University Press.
Johnson, I. D. (2002). Using Problem-Based Learning (PBM) to Address the Needs of
Teaching and Learning Mathematics for Students in the Non-dominant Cultures
of our Society. Miami University, Oxford, Ohio, USA
Labinowicz, E.(1985). Learning from Children: New Beginnings for Teaching Numerical
Thinking: A Piagetian Approach. Menlo Park, CA: Addison-Wesley.
Launch Pad. (2001) Thinking Skill. Westminster Institute of Education. Oxford Brookes
University.
Lipman, M. (2003). Thinking in education. Cambridge: The United Kingdom at the
University Press.
Marzano, R.J. et al. (1994). Assessing Student Outcomes. Virginia: Association for
Supervision and Curriculum Development.
Meltzer, D.E. (2002). Addendum to :The Relationship between Mathematics
Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden
Variable” in Diagnostics Pretest Scores. [On Line]. Tersedia:
http://www.physics.iastate.edu/per/docs/Addendum_on_normalized_gain.
Mullis, et.al. (2000). TIMMS 1999: International Mathematics Report. Boston: The
International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 482
Mullis, et.al. (2003). TIMMS 2003: International Mathematics Report. Boston: The
International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.
NCTM (2000). Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia:
http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk_2/session_03
/sectio_03_a.html
NCTM. (2003). Program for Initial Preperation of Mathematics Specialists.
Tersedia:http://www.ncate.org/ProgramStandars/NCTM/NCTMELEMStandars.pd
f. [28 April 2007]
Norris, S.P. & Ennis, R. (1989). Evaluating Critical Thinking. In R. J. Schwartz & D. N.
Perkins (Eds), The Practitioners' Guide to Teaching Thinking Series. Pacific
Grove, California: Midwest Publications.
Office Educational Research and Improvement (OERI). (2001). School Improvement
Research Series: Teaching Thinking Skills. Northwest: NW Regional Education
Laboratory.
Resnick, L. B. (1987).Education and Learning to Think. Committee on Research in
Mathematics, Science, and Technology Education. [online] Tersedia: National
Academies Press at: http://www.nap.edu/catalog/1032.html.
Roh, K.H. (2003). Problem-based Learning in Mathematics. Clearinghouse for Science,
Mathematics, and Environmental Education.
[Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/2004-3/math.html
Savery, J.R. dan Duffy, T.M. (1996). PBM: An Instructional Model and is Constructivist
Framework. In Contructivist Learning Environments: Case Studies in
Instructional Design. B.G. Wilson (ed). Englwood Cliffs, NJ: Educational
Technology Publications.
Schoenfeld, A. H. (1994). Learning to Think Mathematically: Problem Solving,
Metacognition, and Sense-making in Mathematics. In D. Grouws (Ed.),
Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 334-370).
New York: MacMillan.
Sternberg, R.J. dan Ben-Zev, T. (Eds).(1996). The Nature of Mathematical Thinking.
USA: LaurenceErlbaum Associates, Inc. Publisher
Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan
SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) Melalui Berbagai Pendekatan
Pembelajaran. Laporan Penelitian Hibah Pascasarjana Tahun Ketiga. UPI
Bandung.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta
Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP.
Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan.
Torp, L. & Sage, S. (1998) Problem as Posibillities: Problem-Based Learning for K-12
Eduacation, Aurora, IL:ASCD
Ward, J.D. dan Lee, C.L. (2002). A Review of Problem-Based Learning. Journal of Family
and Consumer Sciences Education, Vol. 20, no.1.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 483
Yesildare, S. dan Turnuklu, E. B. (2006). In Novotná, J., Moraová, H., Krátká, M. &
Stehlíková, N. (Eds.). How to Assess Mathematical Thinking : Proceedings 30th
Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics
Education, Vol. 1 p. 431. Prague: Czech Republik.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 484
P-34
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP
MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
Nila Kesumawati ([email protected])
FKIP Universitas PGRI Palembang
ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada upaya untuk mengetahui perbandingan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebagai akibat dari
pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) dan konvensional. Penelitian ini
adalah penelitian eksperimen, dengan subjek populasi seluruh siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama peringkat tinggi, sedang, dan rendah di Palembang. Sampel yang
terlibat sebanyak 275 orang siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tes kemampuan pemecahan masalah. Analisis data menggunakan uji
perbedaan dua rata-rata sampel independent. Untuk mengetahui kemampuan, pola
jawaban, dan strategi yang digunakan siswa dalam pemecahan masalah, dilakukan
analisis terhadap hasil pekerjaan siswa. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh
kesimpulan bahwa secara keseluruhan, ada perbedaan peningkatan antara
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti pendekatan PMR
dengan siswa yang mengikuti pendekatan konvensional.
Kata-kata kunci: pemecahan masalah matematis, pendidikan matematika realistik
A. Latar Belakang Masalah
Setiap berakhirnya penyelenggaraan UN, standar kelulusan selalu menjadi
perhatian baik di dunia pendidikan maupun dimasyarakat. Pada jenjang sekolah
lanjutan atas, standar kelulusan dari tahun ke tahun makin meningkat terlihat dari
tahun 2007 yaitu angka standar kelulusan adalah 5,00 dari tiga mata pelajaran menjadi
5,25 pada tahun 2008 dari enam mata pelajaran. Standar kelulusan tahun 2008
didasarkan pada enam mata pelajaran membuat beban siswa menjadi lebih berat itu
terlihat dari angka ketidaklulusan 2008 lebih besar 2% dari tahun 2007 yaitu sebesar
10% (Media Indonesia, 6 Juni 2008). Hal yang sama juga terjadi pada UN tahun 2009.
Dinas Pendidikan Nasional memastikan standar nilai rata-rata kelulusan UN 2009 naik.
Dari sebelumnya 5,25 menjadi 5,50. Nilai 4 hanya ditoleransi dua mata pelajaran saja,
bila lebih dipastikan siswa tidak lulus (Sriwijaya Post, 30 Januari 2009).
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 485
Dari setiap UN, mata pelajaran matematika selalu dimasukan sebagai mata
pelajaran yang diujikan. Meskipun kurikulum matematika terus menerus
disempurnakan, penelitian-penelitian dilakukan, para ahli dan praktisi pendidikan
matematika berkumpul diseminar-seminar untuk menemukan solusinya, akan tetapi
tetap saja matematika menjadi momok bagi siswa-siswa dalam menghadapi UN.
Rendahnya penguasaan materi matematika pada siswa SMP, dapat dilihat pula
pada rendahnya persentase jawaban benar para peserta Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 dan Program for International Students
Assessment (PISA) 2003. Secara internasional ada dua indikator hasil belajar
matematika, yaitu hasil tes TIMSS 2003 dan PISA 2003.
Hal ini dapat dijadikan cermin bahwa materi ujian standar internasional yang
diujikan belum semuanya dikuasai oleh siswa, sehingga banyak tidak bisa dijawab oleh
siswa kita. Karena materi tes yang diberikan merupakan soal-soal tidak rutin (masalah
matematis yang membutuhkan kemampuan penalaran). Di sekolah tempat siswa
belajar matematika menekankan pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal.
Mereka hanya mengerjakan soal latihan menggunakan rumus dan algoritma sehingga
siswa dilatih seperti mekanik. Konsekuensinya jika mereka diberikan soal non rutin
mereka akan membuat kesalahan. Namun mereka relatif lebih baik dalam
menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur (Mullis, et al., 2000).
Berdasarkan kenyataan di atas, siswa kita akan membuat kesalahan jika
diberikan soal non rutin. Itu berarti kemampuan pemecahan masalah siswa Indonesia
masih kurang, padahal dalam pembelajaran matematika kemampuan pemecahan
masalah sangat penting, sebagaimana dikemukakan oleh Branca (Gani, 2007) bahwa
kemampuan pemecahan masalah sebagai jantungnya matematika. Kemampuan
pemecahan masalah amatlah penting dalam matematika, yang dikemudian hari dapat
diterapkan dalam bidang studi lain dan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Nasution (2000) penyelesaian masalah dapat dipandang sebagai
proses siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang dipelajarinya lebih dahulu
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang baru. Siswa yang terlatih dengan
pemecahan masalah akan terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 486
menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Keterampilan itu akan menimbulkan
kepuasan intelektual dalam diri siswa, meningkatkan potensi intelektual, dan melatih
siswa bagaimana melakukan penelusuran melalui penemuan. Ini berarti kemampuan
pemecahan masalah merupakan hal yang harus mendapat perhatian, mengingat
peranannya yang sangat strategis dalam mengembangkan potensial intelektual anak.
Menurut Polla (2001: 48) “Pendidikan matematika di Indonesia, nampaknya
perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya. Hal ini disebabkan karena sampai
saat ini begitu banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat
sulit dan merupakan momok, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada
pelajaran matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan
mendasar dalam pendidikan matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan
pendekatannya.” Ini berarti untuk melakukan reformasi dalam pendekatan
pembelajarannya, yaitu pendekatan pembelajaran matematika dari biasanya kegiatan
terpusat pada guru ke situasi dimana siswa menjadi pusat perhatian. Guru sebagai
fasilitator dan pembimbing sedangkan siswa membangun matematika untuk mereka
sendiri, tidak hanya menyalin mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep
matematikanya.
Prinsip utama dalam pembelajaran matematika saat ini adalah untuk
memperbaiki dan menyiapkan aktivitas belajar yang bermanfaat bagi siswa yang
bertujuan untuk beralih dari paradigma mengajar matematika ke belajar matematika,
keterkaitan siswa secara aktif dalam pembelajaran harus ditunjang dengan
disediakannya aktivitas belajar yang khusus sehingga siswa dapat melakukan “doing
math” untuk menemukan dan membangun matematika dengan fasilitas oleh guru.
Pendekatan dalam pembelajaran matematika yang dilakukan saat ini pada
jenjang persekolahan khususnya cenderung dilakukan dengan cara: “(1) guru
menjelaskan pengertian konsep dalam matematika, (2) memberikan dan membahas
contoh soal dari konsep tersebut, (3) menyampaikan dan membahas soal-soal aplikasi
dari konsep, (4) membuat rangkuman dan (5) memberikan tugas berupa pekerjaan
rumah (PR)” (Haji, 2004). Melalui pendekatan seperti di atas, kreativitas siswa kurang
berkembang. Akibatnya, prestasi siswa dalam mata pelajaran matematika rendah dan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 487
siswa kurang menyenangi matematika. Menurut Sunoto (2002), “faktor penyebab
rendahnya prestasi belajar matematika antara lain disebabkan oleh pola pembelajaran
yang dilaksanakan guru, kurangnya minat siswa dalam belajar matematika, dan proses
belajar mengajar yang kurang kondusif”. Menurut Suwarsono (2001), “secara umum
proses belajar mengajar matematika di sekolah-sekolah di Indonesia terpusat pada
guru yaitu guru menjelaskan, siswa mendengarkan sambil mencatat, guru bertanya,
murid menjawab, siswa mengerjakan soal-soal latihan”.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan perubahan pendekatan
dalam pembelajaran matematika dari pendekatan yang digunakan saat ini ke suatu
pendekatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk aktif dalam belajar
matematika. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pendekatan PMR merupakan
pendekatan dalam pembelajaran matematika yang memandang matematika sebagai
suatu aktivitas manusia. Pendekatan tersebut bercirikan: “(1) menggunakan masalah
kontekstual, (2) menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi murid, (4)
interaktivitas, (5) terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya” (Haji, 2004).
Memperhatikan uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa
pendekatan PMR diperkirakan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman,
pemecahan masalah, dan disposisi matematis siswa. Karena studi ini dilaksanakan di
SMP, maka judul penelitiannya adalah: “Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas maka permasalahan
dalam penelitian ini ingin diungkapkan dan dicari jawabannya dirumuskan sebagai
berikut: “Apakah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP?
C. Tujuan Penelitian
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 488
Penelitian ini bertujuan, mengkaji secara komprehensif tentang peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran
dengan pendekatan PMR dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada:
(a) gabungan ketiga peringkat sekolah; (b) sekolah peringkat tinggi; (c) sekolah
peringkat sedang; dan (d) sekolah peringkat rendah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan suatu produk berupa prototipe model
pembelajaran Bangun Ruang Sisi Lengkung Sekolah Menengah Pertama.
E. Desain Penelitian dan Prosedur Analisis Data
1. Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan
desain kelompok kontrol pretes-postes (Pretest-Posttest Control Group Design). Secara
singkat, desain eksperimen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut.
R O X O
R O O
Keterangan:
X = Pembelajaran dengan pendekatan PMR.
R = pengambilan sampel secara acak kelas.
O = pretes = postes.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama.
Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik stratified sampling (teknik
strata). Sampel penelitian adalah siswa SMPN kelas IX di Palembang.
2. Prosedur Analisis Data
Data pada penelitian ini diperoleh dari tes kemampuan pemecahan masalah
matematis. Untuk menganalisis data hasil tes digunakan analisis statistik deskriptif dan
statistik inferensial. Prosedur inferensi diawali melalui uji prasyarat yaitu uji
homogenitas varians dan uji normalitas. Berdasarkan uji normalitas data berdistribusi
normal maka dilanjutkan dengan uji perbedaan rata-rata menggunakan uji t dan uji F
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 489
dengan tingkat kesalahan α = 5 %. Jika data tidak berditribusi normal maka untuk
menguji perbedaan rata-ratanya menggunakan uji Mann Whitney.
E. Hasil Penelitian
Untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang normal gain skor tes
pemecahan masalah matematis disajikan model Weiner skor rata-rata n gain tes
pemecahan masalah matematis (TPMM).
Tabel 1
Model Weiner Skor Rata-rata n gain Tes Pemahaman (TPHM),
Pemecahan Masalah (TPMM), dan Disposisi Matematis (DM)
Peringkat
Sekolah
Model
Pembelajaran N
Rata-rata n gain
TPMM
Tinggi (A) PMR 41 0,70
PMK 40 0,21
Sedang (B) PMR 70 0,46
PMK 64 0,19
Rendah (C) PMR 28 0,51
PMK 32 0,18
Gabungan
(A+B+C)
PMR 139 0,54
PMK 136 0,19
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis diperoleh
melalui pretes dan postes pemecahan masalah matematis. Perbandingan skor n gain
pemecahan masalah matematis siswa berdasarkan model pembelajaran dan peringkat
sekolah disajikan dalam diagram batang berikut ini.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 490
0.7
0.21
0.46
0.19
0.51
0.18
0.54
0.19
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
A B C A+B+C
PERINGKAT SEKOLAH
RATA-RATA N GAIN TPMM
PMR
PMK
Rerata N Gain Pemecahan masalah Matematis
Dari uji perbedaan dua rata-rata dengan uji-t diperoleh ringkasan hasil uji H0 dan
hipotesis penelitian terkait pemecahan masalah matematis sebagaimana disajikan
pada tabel berikut ini.
Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji H0 dan Hipotesis Penelitian
Terkait Pemecahan Matematis Siswa pada Taraf Signifikansi 5%
No Hipotesis Penelitian H0
1 Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
pada gabungan ketiga peringkat sekolah (A+B+C). (Diterima)
Ditolak
2 Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
pada peringkat sekolah tinggi (A). (Diterima)
Ditolak
3 Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
pada peringkat sekolah sedang (B). (Diterima)
Ditolak
4 Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan PMR lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
pada peringkat sekolah rendah (C). (Diterima)
Ditolak
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, pembahasan, dan temuan-temuan dalam
penelitian yang telah dikemukakan pada sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 491
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan PMR lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional jika didasarkan pada peringkat sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan
keseluruhan siswa.
G. Implikasi
Penelitian ini berhasil mengungkapkan, bahwa peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan
Pendekatan PMR lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan
pendekatan konvensional jika ditinjau dari masing-masing peringkat sekolah dan
gabungannya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan beberapa implikasi
dari kesimpulan penelitian sebagai berikut.
1. Penerapan pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis sesuai dengan tujuan
pembelajaran sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum tingkat satuan
pembelajaran (KTSP).
2. Diskusi yang merupakan salah satu sarana bagi siswa untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis melalui pendekatan PMR mampu
menumbuhkan suasana kelas menjadi lebih dinamis, demokratis dan
menimbulkan rasa senang dalam belajar matematika.
3. Peran guru sebagai mediator dan fasilitator membawa konsekuensi bagi guru
lebih memahami kelemahan dan kekuatan dari bahan ajar serta karakteristik
kemampuan individu siswa. Jika hal ini dilaksanakan secara berkesinambungan
dan didiskusikan dengan sesama guru maka akan membawa dampak yang lebih
positif terhadap pengetahuan guru di masa yang akan datang.
H. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, diajukan beberapa
saran sebagai berikut.
1. Pendekatan PMR secara signifikan lebih baik daripada pendekatan
konvensional dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 492
matematis siswa SMP, ditinjau dari semua peringkat sekolah. Dengan
demikian, PMR sangat potensial diterapkan di sekolah dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Untuk menunjang keberhasilan implementasi pendekatan PMR diperlukan
bahan ajar yang lebih menarik, permasalahan kontekstual dirancang agar
menantang sehingga memicu terjadinya konflik kognitif yang dapat
mengembangkan pemecahan masalah matematis, serta setiap aspek
kemampuan berpikir yang lainnya secara optimal.
3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana pengaruh pendekatan PMR
terhadap kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan daya matematis.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson., et al. (2001). A Taxonomi for Learning Teaching and Assessing. New York:
Longman
Arthur, L.B. (2008). Problem Solving. U.S.: Wikimedia Foundation, Inc. Tersedia:
http://en.wikipedia.org/wiki/Problem Solving. [7 April 2008]
Diknas Sumsel. (2009). “Nilai 4 Masih Diteleransi (Maksimal Hanya Dua Pelajaran)”.
Sriwijaya Post (30 Januari 2009).
Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta Terhadap
Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa sekolah
Menengah Atas. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan.
Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik Terhadap Hasil Belajar
matematika Di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak
dipublikasikan.
Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Disertasi Doktor pada PPS UPI: tidak dipublikasikan.
Media Indonesia, Ujian Nasional Angka Ketidaklulusan sekitar 12%. Jumat, 6 Juni
2008.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 493
Mullis, et.al., (2000). TIMSS 1999: International Mathematics Report. Boston: The
Internasional Study Center, Boston College, Lynch School of Education.
Mullis, et.al., (2003). TIMSS 2003: International Mathematics Report. Boston: The
Internasional Study Center, Boston College, Lynch School of Education.
Nasution, S. (2000). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Bumi Aksara.
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. [Online].
Tersedia: http://www.nctm.org/focalpoints. [3 September 2007].
NCTM. (2000). Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia:
http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk 2/session
03/sectio 03 a.html. [3 September 2007].
Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi
Pendidikan. 4(2).
Santoso, S. (2009). Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta:
Gramedia.
Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung:
UPI.
Sujono. (1988). Pengajaran Matematika Untuk Sekolah Menengah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunoto, U. (2002). “Pendekatan Ketrampilan Proses Melalui Metode Penemuan untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa”, Matematika Jurnal
Matematika dan Pembelajarannya. 7 (Edisi Khusus), 618-625.
Suwarsono, St. (2001). “Pembelajaran Matematika di Sekolah dalam Rangka
Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”. Prosiding Seminar Nasional
Matematika, FMIPA UNY Yogyakarta.
Tim Pustaka Yustisia, (2007). Panduan Lengkap KTSP. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Zulkardi (2005). Pendidikan Matematika di Indonesia Beberapa Permasalahan dan
Upaya Penyelesaiannya. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Pendidikan Matematika Pada FKIP Unsri.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 494
P-35
Model Pembelajaran Computer Support Collaborative Learning (CSCL)
Eri Satria
Sekolah Tinggi Teknologi Garut
Jl. Mayor Syamsu No 1 Garut
email : [email protected]
Abstrak
Makalah ini mendiskusikan mengenai model pembelajaran Computer Support
Collaborative Learning (CSCL) ditinjau secara teoritis dan mengkaji beberapa hasil
penelitian yang dilandasi model pembelajaran CSCL. Kontribusi makalah ini adalah
menggambarkan sebuah alternatif model pembelajaran berbasis teknologi yang
teramu dengan model pembelajaran kolaboratif. Model pembelajaran CSCL mengatasi
kendala lokasi dan waktu, serta memiliki kelebihan dari sisi akademik, sosial dan
psikologis.
Temuan penelitian Krange dan Ludvigsen (2007) adalah lebih dominannya
langkah prosedural dibandingkan membangun pengetahuan yang dilakukan oleh siswa
dalam kerangka kerja CSCL, hal ini memberi peluang untuk mendesain pembelajaran
dalam kurikulum yang digunakan untuk memprioritaskan kepada konstruksi
pengetahuan yang dilakukan oleh siswa. Penelitian Laurillard (2008) menunjukkan
bahwa kerangka kerja model pembelajaran CSCL merupakan sebuah tantangan pada
era digital dalam penyampaian materi dan pengalaman belajar yang baru. Sementara
penelitian Cress dan Kimmerle (2008) dengan menggunakan media wiki, menemukan
terjadinya kolaborasi membangun pengetahuan secara internal dan eksternal pada diri
siswa dalam memecahkan masalah, dilihat dari sudut pandang sistem dan kognitif.
Kata kunci : Computer Support Collaborative Learning (CSCL), wiki, konstruksi
pengetuhan.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi dewasa ini semakin pesat. Penggunaan komputer
sebagai bagian dari teknologi juga semakin meluas dan sudah merambah dunia
pendidikan. Komputer di dalam dunia pendidikan tidak hanya digunakan sebagai
media pembelajaran di kelas yang membantu guru dalam mempresentasikan bahan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 495
pelajaran. Komputer bisa difungsikan lebih dari sekedar hal tersebut, yaitu bisa
digunakan sebagai media belajar bagi siswa.
Fungsi komputer dalam pembelajaran pada awal perkembangannya
diklasifikasikan menjadi dua hal, yaitu computer assisted instruction (CAI) dan
computer managed instruction (MAI). Namun seiring meningkatnya kebutuhan
penggunaan komputer dalam pembelajaran, maka fungsi komputer diperluas menjadi
tiga klasifikasi yaitu : fungsi manajemen, fungsi pembelajaran dan fungsi penelitian
tindakan. Fungsi manajemen diperuntukan dalam membuat penganggaran sekolah,
akuntansi, pencatatan arsip, komunikasi elektronik, pencetakan dan penelusuran
informasi. Sementara itu, fungsi pembelajaran dibedakan menjadi dua, yaitu
pembelajaran yang berpusat pada guru dan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Fungsi penelitian tindakan mencakup aplikasi penyimpanan data dan analisis statistik
yang membantu guru dalam mengolah hasil pembelajaran.
Model pembelajaran computer supported collaborative learning (CSCL)
merupakan bagian dari fungsi pembelajaran dengan model pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Model pembelajaran CSCL merupakan kombinasi model
pembelajaran kooperatif dan penggunaan komputer serta internet sebagai media
dalam pembelajarannya. Dengan teknologi yang semakin canggih, individu-individu
yang berada pada lokasi yang berjauhan memungkinkan untuk berkolaborasi secara
on-line. Penggunaan model pembelajaran ini dapat dimanfaatkan oleh guru secara
efektif, meski merupakan sesuatu hal baru yang mungkin masih banyak kendalanya.
Namun diyakini pada masa mendatang model pembelajaran jarak jauh ini akan
berkembang dengan pesat seiring perkembangan teknologi dan perkembangan
metode pembelajaran.
Model pembelajaran CSCL dipandang dari psikologi pendidikan termasuk paham
konstruktivisme, yaitu siswa membangun pengetahuannya sendiri. Siswa dapat belajar
secara mandiri atau berkelompok, membentuk jaringan komunikasi dan berinterkasi
dengan anggota kelompoknya. Siswa dapat berinteraksi tidak terbatas pada waktu,
sekolah, kota, bahkan negara yang menjadi kendala pembelajaran jarak jauh selama
ini. Model pembelajaran CSCL disinyalir mampu membentuk kemandirian dan rasa
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 496
tanggung jawab belajaran siswa, meningkatkan motivasi belajar siswa, membentuk
kemampuan metakognisi dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pemecahan
masalah.
Rumusan Masalah
Bagaimana model pembelajaran CSCL ditinjau secara teoritis? Apa kelebihan dan
kekurangan dari model CSCL? Bagaimana kajian hasil penelitian model CSCL sebagai
alternatif model pembelajaran?
Tujuan dan Manfaat
Makalah ini bertujuan :
- Mengkaji model pembelajaran CSCL secara teori.
- Mengkaji beberapa hasil penelitian CSCL sebagai alternatif model pembelajaran
berbasis teknologi.
Manfaat yang dapat diperoleh :
- Memberikan deskripsi CSCL sebagai alternatif model pembelajaran berbasis
teknologi
- Menawarkan CSCL sebagai sebuah inovasi pembelajaran
Pembahasan
Pembahasan makalah ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu kajian teoritis
model pembelajaran CSCL dan kajian beberapa hasil penelitian model CSCL.
Model Pembelajaran Computer Supported Collaborative Learning (CSCL)
Perkembangan yang sangat pesat dari penggunaan komputer dalam pendidikan
dan perubahan penyampaian materi berbasis web, hal ini menyebabkan ketertarikan
kepada pelaku pendidikan untuk menggunakan metode pembelajaran yang tidak
tradisional dalam desain dan cara penyampaian materi. Model pembelajaran
kolaboratif dicobakan dan ditemukan berhasil pada akhir abad 18 oleh George Jardine
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 497
di Universitas Glasgow. Ia berpendapat bahwa guru seharusnya merubah aktivitasnya
di kelas, dan seharusnya memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar satu sama
lainnya (Gaillet dalam Robert, 2005).
CSCL menawarkan suatu inovasi dan kelebihan dari penggunaan teknologi
komputer dalam model pembelajaran Teknologi dipandang sebagai cara untuk
mengotomatisasi pembelajaran dan dapat menghemat biaya, tanpa merubah sudut
pandang pembelajaran tradisional sebagai transfer ilmu dari sumber yang berwenang
kepada ingatan siswa yang relatif pasif. CSCL menggunakan media yang berbeda dari
cara tradisional untuk membuat pengalaman belajar baru bagi siswa, dimana siswa
dapat berinteraksi satu sama lain dalam suatu struktur pembelajaran yang didesain
oleh guru untuk menciptakan situasi eksplorasi dan diskusi (Stahl, 2009).
Teknologi komputer pada saat sekarang memungkinkan kepada individu-individu
yang berada pada lokasi yang berjauhan untuk berkolaborasi secara online.
Penggunaan alat ini semakin meningkat, contoh yang nyata adalah banyaknya peminat
game online yang memungkinkan para pemain pada lokasi berbeda bekerja sama atau
saling bertanding dalam sebuah permainan online. Penggunaan dalam dunia
pendidikan juga dimungkinkan untuk dikembangkan, meski merupakan sesuatu yang
baru, namun seiring merebaknya penggunaan internet maka model pembelajaran
secara online ini dapat digunakan secara efektif.
Computer Support Collaborative Learning (CSCL) adalah sebuah model
pembelajaran yang membawakan keuntungan dari model pembelajaran kolaboratif
dan kooperatif untuk pelaku pembelajar yang terlokalisasi dengan sebuah jaringan
komputer. Tujuan dari CSCL adalah memberikan bimbingan atau dukungan kepada
siswa dalam belajar bersama secara efektif. CSCL mendorong pembelajar untuk
mengkomunikasikan ide dan informasi, mengkolaborasi akses informasi dan dokumen,
serta memungkinkan pembelajar memberikan feedback selama aktivitas
pembelajaran. Selain itu, CSCL mendorong dan memfasilitasi proses pengelompokan
dan dinamika kelompok yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan tatap
muka langsung.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 498
Banyak kelebihan yang ditawarkan oleh model pembelajaran CSCL. Relevan
dengan yang dikemukakan Vygotsky yang menganut paham sosial konstruktivisme,
bahwa sangat penting adanya interaksi efektif yang terjadi selama proses
pembelajaran. Model CSCL jika diimplementasikan dengan baik akan memberikan
situasi atau lingkungan ideal bagi siswa untuk berperan aktif selama proses
pembelajaran. Panitz dalam Robert (2005) mengungkapkan manfaat dari model CSCL
dilihat dari akademik, sosial dan psikologi.
Manfaat akademik yang dapat diperoleh dengan pembelajaran kolaboratif, yaitu :
- Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
- Keterlibatan secara aktif oleh siswa selama proses pembelajaran
- Meningkatkan hasil belajar
- Merupakan model pemecahan masalah bagi siswa
Manfaat yang dapat diperoleh dilihat dari sisi sosial dengan pembelajaran
kolaboratif, yaitu :
- Menumbuhkan sikap sosial siswa
- Membangun kebersamaan dan memahami perbedaan antar siswa
- Membentuk suasana positif dalam kebersamaan dan saling membantu diantara
siswa
Manfaat yang dapat diperoleh dilihat dari sisi psikologis yaitu :
- Meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri siswa
- Mengembangkan sikap positif terhadap guru
Selain yang dikemukakan oleh Panitz, masih banyak yang kelebihan dari CSCL.
Secara umum model CSCL tidak memerlukan adanya ruangan kelas sebagai sesuatu
yang utama. Siswa tidak wajib hadir pada waktu reguler atau ketinggalan sesi
pembelajaran tidak menjadi masalah karena siswa dapat mempelajari pada saat atau
waktu yang berbeda. Dialog atau diskusi dapat dilakukan kapan saja, tidak mengenal
waktu, karena dimungkinkan ide-ide muncul kapan saja. Opini tidak dibatasi oleh
gender, ras atau keadaan fisik seseorang, karena proses pembelajaran tidak perlu
langsung bertatap muka.
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 499
Kesempatan kerja dewasa ini menuntut kemampuan komputer yang baik. Hal ini
pula menjadikan model pembelajaran CSCL memberikan nilai tambah bagi siswa
karena kemampuan komputer sebagai sarana penunjang sudah menjadi kemampuan
standar bagi peserta pembelajaran CSCL.
Model pembelajaran CSCL, selain memiliki banyak manfaat dan kelebihan dari
model pembelajaran tradisional, namun ada tiga masalah yang menyertai CSCL, yaitu :
- Sudut pandang stakeholder. Guru, siswa, orang tua dan administrator pendidikan
yang menentang dan meragukan kesuksesan pembelajaran CSCL.
- Sudut pandang guru. Guru lebih nyaman dengan menggunakan model
pembelajaran tradisional, dan seandainya CSCL diterapkan maka diperlukan
kemampuan yang relatif kompleks dibandingkan model pembelajaran dengan tatap
muka.
- Sudut pandang siswa. Siswa mungkin mengalami masalah dengan “CS” dan “CL”.
Kemampuan komputer menjadi prasyarat penting bagi siswa dan membangun
kebersamaan dalam sebuah team atau kelompok harus ditumbuhkan pada diri
siswa.
Graham dan Misanchuk (dalam Robert, 2005) menyarankan tiga langkah untuk
kesuksesan dalam model pembelajaran CSCL, yaitu:
- Membentuk Grup
- Menstrukturkan aktivitas pembelajaran
- Memfasilitasi interaksi dalam grup
Sementara itu Davis (dalam Robert, 2005) memberikan solusi untuk masalah CSCL
adalah :
- Membuat stategi umum
- Mendesain grup
- Mengorganisasi grup
- Mengevaluasi grup
- Menyepakati pemahaman diantara siswa
- Membentuk grup pembelajaran
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 500
Penggunaan alat komputer merupakan hal penting dalam CSCL. Alat-alat yang
dapat digunakan untuk pembelajaran kolaboratif melalui sistem online via internet
adalah penggunaan wiki, blog, learning management system (LMS), course
management system (CMS), online image/video sharing, aplikasi chat/file sharing,
forum kolaborasi online, papan tulis online, dan dunia maya.
Beberapa hasil kajian CSCL
Dalam tulisan yang dikemukakan oleh Laurillard (2008), ia menyoroti perbedaan
kerangka kerja yang dianut oleh paham instruksionis, sosialis, konstruktivis dan
pembelajaran kolaboratif dengan menggunakan komputer dan yang tidak
menggunakan komputer. Hal ini menjadi dasar untuk mendesain kebutuhan yang
diperlukan dalam pembelajaran kolaboratif. Secara kontras, dalam pembelajaran
pedagogik kebutuhan media menjadi hal penting dalam aspek berkomunikasi. Dalam
pembelajaran kolaboratif, aspek komunikasi dapat berupa akses terhadap informasi,
mengajukan pertanyaan, pemahaman terhadap konsep, merumuskan tujuan,
pengulangan latihan, refleksi, diskusi, debat, artikulasi dan dokumentasi dari ide-ide
yang disampaikan. Dalam kerangka kerja pembelajaran CSCL, alat-alat tradisional
seperti papan tulis atau ruangan kelas, bukanlah menjadi syarat utama dalam
pembelajaran kolaboratif, ada cara baru dengan yang dapat digunakan. Model CSCL
menekankan kepada penggunaan teknologi komputer sebagai media pembelajaran
untuk meningkatkan pengalaman belajar.
Cress dan Kimmerle (2008) mengkaji penggunaan wiki sebagai media untuk
membangun pengetahuan dilihat dari sudut pandang sistem dan kognitif. Kerangka
kerja teoritis disajikan mengenai bagaimana pembelajaran dan kolaborasi dilakukan.
Terdapat tiga aspek yang diperlukan, yaitu bagaimana aspek sosial difasilitasi oleh wiki,
bagaimana proses kognitif dialami oleh pengguna wiki dan bagaimana aspek sosial dan
proses kognitif secara bersama diperlukan dalam proses pembelajaran. Model
menggunakan pendekatan sistem yang dikemukakan Luhman yang mirip dengan teori
Piaget tentang equalibrium. Model menganalisis proses sistem sosial yang terjadi
seperti sistem kognitif yang terjadi dari pengguna wiki. Model menggambarkan
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 501
aktivitas pembelajaran sebagai proses internalisasi dan eksternalisasi. Individu
mengalami proses asimilasi dan akomodasi dalam proses internal ketika memperoleh
informasi dari wiki. Selanjutnya ketika melakukan perubahan terhadap isi informasi
dari wiki, individu melakukan aktivitas eksternal dalam membentuk pengetahuannya.
Kondisi equilibrium terjadi ketika individu mengalami ketidakselaran pengetahuan
yang dimiliki dan informasi yang disajikan dalam wiki. Hal ini menyebabkan konflik
kognitif yang mana merupakan potensi untuk melakukan proses aktivitas
pembelajaran dalam membentuk pengetahuan secara kolaboratif.
Krange dan Ludvigsen (2007) meneliti tentang prosedur dan konsep pemecahan
masalah dengan desain pembelajaran CSCL untuk bidang pendidikan sains. Kontribusi
dari kajian ini adalah menggambarkan suatu penomena mengenai interpretasi yang
ada dalam kultur-sosial dan desain situasi pembelajaran. Data penelitian diperoleh dari
sekolah menengah kelas sains. Media pembelajaran yang digunakan adalah video
model 3D yang terdapat di web mengenai masalah biologi. Hasil penelitian
menemukan langkah-langkah prosedur pemecahan masalah mendominasi dalam
interaksi kegiatan belajar siswa, sementara konstruksi pengetahuan/konsep dilakukan
oleh guru jika hanya diperlukan untuk memperoleh pemecahan masalah. Temuan ini
didasarkan kepada siswa yang mampu menemukan pemecahan masalah yang
diberikan, tetapi dia tidak memahami konsep apa yang sebenarnya sedang dia pelajari,
sehingga peran guru untuk menjelaskan konsep pengetahuan menjadi hal penting.
Berdasar temuan ini, maka perlu kiranya disusun suatu kurikulum berbasis CSCL yang
memprioritaskan kepada siswa untuk menemukan pengetahuannya secara mandiri.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan kajian teoritis dan beberapa penelitian yang sudah dilakukan,
beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu :
PROSIDING ISBN : 978-979-16353-3-2
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009 502
- Model pembelajaran CSCL sebagai sebuah inovasi pembelajaran yang dapat
digunakan sebagai alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan
kemampuan kritis siswa.
- Banyak kelebihan hal yang dapat diperoleh dengan model pembelajaran CSCL
untuk mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa menjadi lebih baik,
yaitu sisi akademik, sosial dan psikologis.
Adapun saran yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi, yaitu :
- Revisi terhadap kurikulum, dengan menyertakan model CSCL dalam pembelajaran
siswa.
- Mengeksplorasi media-media yang tersedia secara online untuk keperluan
pembelajaran siswa.
Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Computer-Support Collaborative Learning. http://en.wikipedia.org/wiki/
Computer-supported_collaborative_learning [diakses 20 November 2009]
Cress, U dan Kimmerle, J. 2008. A systemic and cognitive view on collaborative
knowledge building with wikis. Journal Computer-Support Collaborative Learning
volume 3: 105-122.
Krange, I dan Ludvigsen, S. 2008. What does it mean? Students’ procedural and
conceptual problem solving in a CSCL environment designed within the field of
science education. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume 3:
25-51.
Laurillard, D. 2008. The pedagogical challenges to collaborative technologies. Journal
Computer-Support Collaborative Learning volume 4: 5-20.
Robert,T. S. 2005. Computer-Supported Collaborative Learning in Higher Education.
Idea Grup Publishing, United State.
Stahl. G. 2008. Yes we can!. Journal Computer-Support Collaborative Learning volume
4: 1-4.