Upload
trinhkhue
View
237
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN SANKSI DENDA PADA AKAD MURABAHAH
DI BANK SYARIAH MANDIRI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
OLEH :
M. RIF’AT HANIN HIDAYAT
1111046100145
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ii
iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : M. Rif‟at Hanin Hidayat
2. Tempat, Tanggal Lahir : P. Siantar, 16 Juni 1994
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jl. Mutiara XI DSN V No.6, Desa Sigara-
gara, Kec.Patumbak, Kab. Deli Serdang,
Sumatera Utara
6. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1. 1999 – 2002 : SD Muhammadiyah P. Brandan
2. 2002 – 2005 : SD Yayasan Pendidikan Islam Delitua
3. 2005 – 2008 : SMP Nurul Ilmi P. Sidempuan
4. 2008 – 2011 : PP KMI Ar- Raudhatul Hasanah Medan
5. 2011 – 2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
ABSTRACT
M. Rif’at Hanin Hidayat, NIM 1111046100145, Implementation of
Financial Pinalties on Murabaha Agreement in Bank Syariah Mandiri,
Bachelor Thesis of Shari‟a Banking Department, Faculty of Economics and
Bussiness, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, Year 2017, Total
Page xiii + 76 + 38.
To avoid the losses suffered by sharia banking due to delayed payment of
customers for their obligations that have matured, especially on murabaha, then
the conditions on the application of sanctions by taking a number of property as
fines for the delays by customers was made. The purpose of this study is to know
the views of Islamic Scholars on the application of financial penalties for
customers in default on murabaha, the concept and provisions applied in
Indonesia, as well as the practice in Bank Syariah Mandiri.
This research uses qualitative research method that aims to understand the
data in depth. The type of this study is descriptive that is describing an event.
Sources of data used in the form of primary data derived from interviews and
secondary data derived from literature review. This research uses descriptive
analysis so that it can get an objective conclusion, logical, consistent and
systematic.
This study concludes that there are differences of opinion among Islamic
Scholars about permission to impose financial penalties for customers who
delayed the payment of their obligations, with the main problem related to the
status of the fund whether it is usury or not. In Indonesia, financial penalties in the
form of ta'zir and ta'widh may be applied in sharia banking activities. In Bank
Syariah Mandiri itself only applied financial penalties in the form of ta'zir for
customers in default by a percentage of delayed obligation.
Keywords: financial penalty, ta‟zir, ta‟widh, murabaha, default
Advisor : AM Hasan Ali, M. A.
Bibliography : from year 1946 to 2016
vi
ABSTRAK
M. Rif’at Hanin Hidayat, NIM 1111046100145, Penerapan Sanksi
Denda Pada Akad Murabahah di Bank Syariah Mandiri, Skripsi Jurusan
Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017, Jumlah Halaman xiii + 76 + 38.
Untuk menghindari kerugian yang dialami perbankan syariah akibat
penundaan pembayaran nasabah atas kewajibannya yang telah jatuh tempo,
khususnya pada akad murabahah, maka dibuatlah ketentuan mengenai penerapan
sanksi dengan mengambil sejumlah harta sebagai denda atas penundaan yang
dilakukan nasabah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan
para ulama terhadap penerapan sanksi denda bagi nasabah wanprestasi pada akad
murabahah, konsep dan ketentuannya yang diterapkan di Indonesia, serta
praktiknya di Bank Syariah Mandiri.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan
memahami data secara mendalam. Adapun jenis penelitian ini bersifat deskriptif
yakni bersifat memaparkan suatu peristiwa. Sumber data yang digunakan berupa
data primer hasil wawancara dan sekunder berasal dari kajian kepustakaan.
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptis sehingga didapat kesimpulan yang
objektif, logis, konsisten dan sistematis.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapatnya perbedaan pendapat para
ulama akan bolehnya menerapkan sanksi denda bagi nasabah yang menunda
pembayaran kewajibannya, dengan masalah utama terkait status dana tersebut
apakah riba atau bukan. Di Indonesia sanksi denda berupa ta‟zir dan ta‟widh
boleh diterapkan dalam kegiatan perbankan syariah. Di Bank Syariah Mandiri
sendiri hanya menerapkan sanksi denda berupa ta‟zir bagi nasabah yang menunda
pembayaran kewajibannya berupa persentase dari kewajiban yang tertunda.
Kata kunci: sanksi denda, ta‟zir, ta‟widh, murabahah, wanprestasi
Pembimbing : A.M Hasan Ali, M. A
Daftar Pustaka : tahun 1990 s.d. 2016
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah s.w.t.
atas segala rahmat hidayah dan iman serta nikmat yang selalu diberikan, sehingga
saya dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir studi perkuliahan berupa skripsi
ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada utusan akhir zaman, Rasulullah
s.a.w. seorang hamba Allah yang diutus sebagai Role Model yang membawa
agama Islam bagi seluruh umat manusia dan sebagai pembawa kabar gembira bagi
orang-orang mukmin.
Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari bahwa saya tidak akan bisa
menyelesaikannya dengan sendiri, oleh karenanya saya banyak menerima bantuan
dari berbagai pihak yang sangat mendukung dalam penyelesaian skripsi ini baik
berupa bimbingan, saran, penyediaan data, motivasi dan lainnya. Pada kesempatan
ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. M. Arief Muraini, Lc., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Cut Erika Ananda F, MBA dan Ibu Fitri Damayanti, S.E., M.Si. selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi
dan Bisnis yang selalu menyediakan pelayanan administratif.
viii
4. Bapak AM. Hasan Ali, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah sekaligus dosen pembimbing yang selalu membimbing
dan memberikan arahan serta saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah yang selalu menyediakan bantuan administratif demi
kelancaran penyelesaian tugas akhir studi.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
ikhlas dalam mengajarkan ilmunya kepada mahasiswa.
7. Bank Syariah Mandiri cabang Ciputat yang telah bersedia menyediakan
seluruh kebutuhan berupa data-data yang berguna bagi penelitian
penulisan skripsi ini.
8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan dalam penyediaan data pustaka yang saya butuhkan.
9. Keluarga tercinta, penulis haturkan rasa terima kasih yang tulus kepada
Ayahanda Anwar Hidayat dan Ibunda Falvi Anita Nst, Adik-adikku
Raihan, Hakiki dan Mumtazah, Kakek dan Nenek, Paman serta Bibi
keluarga besar yang selalu memberikan doa dan motivasi sehingga saya
bersemangat dalm menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh teman-teman mahasiswa Perbankan Syariah angkatan 2011
khususnya teman-teman PSD, serta sahabat-sahabat Pejuang Skripsi yang
ix
bersama-sama saling memotivasi dan memberikan semangat serta banyak
memberikan saran atas penyelesaian skripsi ini.
Jakarta, 18 Mei 2017
Penulis
M. Rif‟at Hanin Hidayat
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .......................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... iv
ABSTRACT........................................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK .................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 8
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 9
E. Kerangka Teori dan Konsep ....................................................................... 9
F. Metode Penelitian ..................................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 14
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Murabahah ................................................................................................ 16
1. Pengertian Murabahah ....................................................................... 16
2. Landasan Hukum .............................................................................. 18
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah ............................................. 19
4. Ketentuan-Ketentuan terkait Pembiayaan Murabahah ....................... 20
B. Sanksi Denda .......................................................................................... 22
1. Ta‟zir ................................................................................................. 23
2. Ta‟widh .............................................................................................. 24
C. Review Studi Terdahulu ........................................................................... 25
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI
A. Riwayat Singkat ..................................................................................... 28
B. Produk-Produk ........................................................................................ 30
1. Produk Pembiayaan ............................................................................ 30
2. Produk Pendanaan ............................................................................ 34
3. Produk Jasa ........................................................................................ 37
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Pendahuluan ............................................................................................. 42
1. Perjanjian ............................................................................................ 42
2. Konsekuensi Perjanjian ...................................................................... 42
B. Pandangan Syariah Terhadap Penerapan Sanksi Denda Bagi Nasabah
Wanprestasi Pada Akad Murabahah ........................................................ 43
C. Ketentuan Sanksi Denda Pada Akad Murabahah di Indonesia ............ 58
D. Sanksi Denda Pada Bank Syariah Mandiri ............................................ 63
1. Prosedur Penerapan Sanksi ............................................................... 63
2. Perhitungan Sanksi Denda ................................................................. 69
3. Pengalokasian Dana Sanksi Denda .................................................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 71
B. Saran ......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74
LAMPIRAN ........................................................................................................ 77
xii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 1.1 Jumlah Aset, Pembiayaan dan DPK Perbankan Syariah di
Indonesia Tahun 2010 s.d. 2016 (dalam Milyar Rupiah) ............... 2
Tabel 4.1 Perbedaan Pendapat Mengenai Denda Ta‟zir .............................. 51
Tabel 4.2 Perbedaan Pendapat Mengenai Denda Ta‟widh ......................... 57
Tabel 4.3 Perbedaan Ta‟zir dan Ta‟widh ..................................................... 63
Grafik 1.1 Jumlah Aset, Pembiayaan dan DPK Perbankan Syariah di
Indonesia Tahun 2010 s.d. 2016 (dalam Milyar Rupiah) ............... 2
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Fatwa DSN MUI No.04 tentang Murabahah ................................ 77
Lampiran 2 Fatwa DSN MUI No.17 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang
Menunda-nunda Pembayaran ....................................................... 82
Lampiran 3 Fatwa DSN MUI No.43 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh) ............... 85
Lampiran 4 Standar Produk Perbankan Syariah No. 3.19 dan 3.20 ................. 91
Lampiran 5 Resolution of Islamic Fiqh Council Muslim World League, The
Eighth Resolution on Whether Bank Can Impose Penalty on
Borrower for Delay in Debt Payment within Fixed Period .......... 94
Lampiran 6 AAOIFI Shari‟a Standard No. (3) about Default in Payment by a
Debtor .......................................................................................... 96
Lampiran 7 Hasil Interview dengan pihak BSM ............................................ 110
Lampiran 8 Laporan Manajemen BSM hal.225 tentang Pendapatan Non Halal
dan Penggunaannya .................................................................... 114
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan Bank Syariah pertama kali berjalan di Indonesia pada tahun 1992,
yang ditandai dengan beroperasinya PT.Bank Muamalat Indonesia.1 Hingga pada
Desember 2016, seperti dilangsir oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Statistik
Perbankan Syariah, telah ada 13 BUS dengan jumlah kantor sebanyak 1.869 dan
21 UUS dengan 332 kantor serta 287 kantor BPRS yang tersebar di Indonesia.2
Dengan komposisi masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam tidak
menutup kemungkinan untuk perkembangan market share Perbankan Syariah di
Indonesia yang lebih besar. Pertumbuhan bisnis perbankan syariah juga terus
meningkat melihat peningkatan aset dari Rp296,26 triliun (Des 2015) meningkat
20,33% menjadi Rp356,50 triliun (Des 2016). Sisi pembiayaan mencapai
Rp248,00 triliun (Des 2016), naik 16,44% dari tahun sebelumnya sebesar
Rp212,99 triliun (Des 2015). Perolehan dana pihak ketiga juga tumbuh 20,83%
dari posisi Rp231,17 triliun (Des 2015) menjadi Rp279,33 triliun (Des 2016).3
1 Muhammad Syafi‟I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,
2001), h.25. 2 Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Statistik Perbankan Syariah (Desember 2016),
h.5. 3 “Kinerja Perbankan Syariah 2016 Tumbuh Positif”, artikel diakses pada 18 Maret 2017 dari
https://ekbis.sindonews.com/read/1184537/178/kinerja-perbankan-syariah-2016-tumbuh-positif-14
883 90865.
2
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jum
lah
(dal
am M
ilyar
Ru
pia
h)
Tahun
Aset
Pembiayaan
DPK
Tabel 1.1 Jumlah Aset, Pembiayaan dan DPK Perbankan Syariah di
Indonesia Tahun 2010 s.d. 2016 (dalam Milyar Rupiah)4
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Aset 97.519 145.467 195.018 242.276 272.343 296.262 356.504
Pembiayaan 68.181 102.655 147.505 184.122 199.330 212.996 248.007
DPK 76.036 115.415 147.512 183.534 217.858 231.175 279.335
Grafik 1.1 Jumlah Aset, Pembiayaan dan DPK Perbankan Syariah di
Indonesia Tahun 2008 s.d. 2016
Berbeda dengan bank kovensional yang memberikan kredit sebagai bentuk
penyaluran dananya, bank syariah melakukan penyaluran dalam bentuk
pembiayaan. Pasal 1 angka 25 UU Perbankan Syariah menjelaskan :
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk
piutang murabahah, salam, dan istishna‟; d. Transaksi pinjam meminjam
4 Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia, Statistik Perbankan Syariah (Desember 2014),
h.6 & Statistik Perbankan Syariah (Desember 2016), h.4, 9, 27.
3
dalam bentuk piutang qardh; dan e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam
bentuk ijarah untuk transaksi multijasa...dst.5
Pada pembiayaan tersebut terdapat nasabah yang wanprestasi dimana
adanya kelalaian dalam memenuhi kewajiban yang telah disepakati khususnya
pada transaksi yang berbentuk jual beli yang menghasilkan piutang. Dimana ada
nasabah yang dengan sengaja; padahal mampu; melakukan kelalaian atau
keterlambatan dalam pemenuhan kewajibannya sehingga merugikan pihak LKS.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, hal yang menjadi perbedaan utama
antara bank syariah dan bank konvensial terletak pada system penyaluran dananya.
Seperti tertera dalam Pasal 2 UU Perbankan Syariah, bahwa perbankan syariah
dalam melakukan kegiatannya harus berdasarkan prinsip syariah. Dimana yang
dimaksud dengan prinsip syariah ini yakni harus terbebas dari riba, maisir, gharar,
haram, dan zalim.
Bunga yang menjadi asas utama dalam kegiatan perbankan konvensional
merupakan riba. Hal ini telah difatwakan oleh beberapa lembaga fatwa di
Indonesia sendiri maupun di dunia.6 Oleh karnanya di bank syariah tidak ada yang
namanya bunga, karena ini sudah jelas bertentangan dengan prinsip syariah.
Dalam UU Perbankan Syariah, riba sendiri diartikan sebagai :
Yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan
waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi‟ah).7
5 Undang-Undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 1
angka 25. 6 Muhammad Syafi‟I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.61-67. 7 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah Pasal 2 huruf a.
4
Dan juga dalam kaidah fiqih disebutkan „Setiap piutang yang
mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.‟8 Kita lihat dari
definisi tersebut, jelas bahwa bank syariah sama sekali tidak boleh
memungut/mengambil tambahan dari kegiatannya yang berkaitan dengan piutang.
Oleh karena itulah, bank syariah tidak bisa menetapkan tambahan apapun
pada nasabah yang wanprestasi, seperti yang dilakukan oleh bank konvensional,
karna itu akan sama halnya dengan bunga yang merupakan salah satu bentuk riba.
Didasarkan pada kasus tersebut, DSN-MUI sebagai lembaga fatwa yang
ditunjuk oleh Undang-Undang sebagai pengatur/penjelas terhadap Prinsip Syariah
yang menjadi landasan kegiatan LKS, mengeluarkan fatwa terkait sanksi yang
dapat diberikan pada nasabah wanprestasi. Secara khusus, peraturan tersebut
dimuat dalam fatwa No.17 tahun 2000 dan No.43 tahun 2004.
Dalam fatwa No.17 tahun 2000 tentang „Sanksi atas Nasabah Mampu
yang Menunda-Nunda Pembayaran‟ dijelaskan bahwa LKS dapat mengenakan
sanksi terhadap nasabah mampu yang wanprestasi yang didasarkan pada prinsip
ta‟zir. Sanksi tersebut dapat berupa denda sejumlah uang yang telah disepakati di
awal saat penandatanganan akad antara LKS dan nasabah. Dana tersebut nantinya
akan diakui sebagai dana sosial.
Sama halnya dengan ta‟widh yang hanya boleh diterapkan pada nasabah
mampu yang wanprestasi, seperti dijelaskan pada fatwa No.43 tahun 2004 tentang
„Ganti Rugi (Ta‟widh)‟. Besarnya ta‟widh didasarkan pada kerugian riil yang
8 Muhammad Arifin bin Badri, Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah (Bogor: Pustaka
Darul Ilmi, 2009), h.171.
5
nyata dialami oleh LKS. Namun berbeda dengan denda biasa, dana ta‟widh yang
dibayarkan oleh nasabah dapat diakui sebagai pendapatan.
Berdasarkan fatwa DSN-MUI tersebut, bank syariah dapat menerapkan
sanksi bagi nasabah yang lalai, dimana sanksi tersebut dapat berbentuk denda
uang. Sanksi dalam bentuk uang tersebut dapat berupa „denda ta‟zir‟ dan
„ta‟widh‟.Dengan adanya fatwa tersebut bank syariah di Indonesia khususnya
dapat menerapkan sanksi denda bagi nasabahnya yang lalai dengan beberapa
syarat yang telah difatwakan.
Walaupun ta‟widh difatwakan halal oleh DSN-MUI, ulama-ulama lain
atau lembaga fikih internasional lainnya memfatwakan haram ta‟widh ini. Seperti
halnya keputusan Majma‟ al-Fiqh al-Islami yang merupakan divisi fikih OKI
(Organisasi Kerjasama Islam) No.51 (2/6) 1990, berbunyi: “Bagi nasabah yang
mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh
tempo. Meskipun demikian, Syari‟at tidak membolehkan penjual membuat
persyaratan ta‟widh (ganti rugi) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajiban
pembayaran”.9 Keputusan serupa juga dikeluarkan oleh al-Majma‟ al-Fiqhy al-
Islami divisi fikih Rabithah Alam Islami dan AAOIFI (Accounting & Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions) dalam al-Ma‟âyir al-Syar‟iyyah
yang mereka keluarkan.10
9 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV (Bogor: PT. Berkat Mulia
Insani, 2013), h.409. 10
Ibid.
6
Begitu juga halnya dengan dana ta‟zir atau denda keterlambatan. Al-
Majma‟ al-Fiqhy al-Islami divisi fikih Rabithah Alam islami pada muktamar ke-
11 tahun 1989 menyatakan :
Apabila kreditur mensyaratkan atau mewajibkan kepada debitur untuk
membayar sejumlah uang dalam bentuk denda, dikarenakan keterlambatan
pembayaran angsuran yang jatuh tempo maka persyaratan dan kewajiban ini
batil, tidak harus dipenuhi dan bahkan tidak halal dipenuhi, baik pihak yang
membuat persyaratan adalah bank atau perorangan. Karena persyaratan ini
merupakan riba jahiliyah yang telah diharamkan oleh al-Quran.11
Hal serupa
juga difatwakan oleh Majma‟ al-Fiqh al-Islami divisi fikih OKI no.51 (2/6)
tahun 1990 dengan redaksi berbeda.12
Jika kita perhatikan, penerapan sanksi denda ini mengundang kontroversi.
Sekilas hal ini mirip seperti bunga yang merupakan bagian dari riba,dengan
perbedaan pada pengakuan dan perhitungannya. Hal inilah yang memunculkan
ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam ketentuan sanksi denda ini.
Apalagi dalam praktiknya di perbankan syariah, celah-celah untuk
terjerumus dalam riba sangatlah besar. Seperti halnya dana ta‟zir, walaupun
masuk kedalam rekening dana sosial, namun tetap dana tersebut masih dalam
penguasaan bank sehingga akan menimbulkan kecendrungan penyalahgunaan
dana tersebut.
Seperti yang dikisahkan oleh Prof. Dr. Al Qarh Daghi dalam bukunya
bahwa hal ini pernah terjadi pada sebuah bank syariah di Timur Tengah, “Direksi
mendapat izin dari dewan syariah untuk menarik Late Charge dengan syarat dana
tersebut diakui seluruhnya sebagai dana sosial. Namun dengan berbagai alasan
pihak direksi berhasil mendapat izin dari dewan syariah untuk mengambil biaya
11 Muslim World League, Resolution of Islamic Fiqh Council Makkah Mukarramah from 1st
to 18th
Sessions During 1398-1427H (1977-2006), h.335. 12 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, h.409.
7
ganti rugi akibat kredit macet dari dana Late Charge. Ternyata melalui akuntannya
pihak direksi berhasil meraup seluruh dana sosial untuk ganti rugi kredit macet
yang dialami bank”.13
Kemudian dalam penyaluran dana sosial, bank syariah melakukan
penyaluran baik melalui sebuah lembaga zakat misalnya, ataupun secara langsung,
mereka akan mencantumkan logo bank syariah mereka. Hal ini bisa menjadi ajang
promosi bagi bank syariah. Sehingga secara tak langsung bank syariah dapat
mengambil keuntungan/manfaat dari dana sosial tersebut.
Begitu juga dalam penerapan ta‟widh yang merupakan ganti rugi bagi
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank yang hanya boleh diterapkan pada
nasabah wanprestasi secara sengaja padahal mampu. Dalam praktiknya, bank
syariah tidak melihat sebab dari kelalaian nasabah tersebut, apakah memang
dengan kesengajaan atau memang karena force majeur. Dan juga dari jumlah
yang dikenakan yang bahkan sampai 15% dari sisa pembiayaan yang belum
terbayar.14
Atas dasar itulah permasalahan ini perlu dikaji, sehingga penulis; dengan
melafazkan basmalah; memulai penelitian ini dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Penerapan Sanksi Denda Pada Akad Murabahah di Bank SyariahMandiri”.
13 Ibid., h.414. 14 Muis Hidayat, “Analisis Penerapan Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang
Ta‟widh Pada Pembiayaan Murabahah di PT Bank Syariah Bukopin,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.48-61.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, penulis dapat
mengidentifikasi masalah terkait penerapan sanksi denda pada akad murabahah:
1. Secara Syar‟i, bolehkah penerapan sanksi denda bagi nasabah yang terlambat
membayar utangnya pada akad transaksi jual-beli?
2. Apa yang menjadi alasan utama perbedaan pandangan ulama terhadap hukum
penerapan sanksi denda pada akad jual-beli?
3. Bagaimana konsep penerapan sanksi denda murabahah yang ditentukan oleh
regulator (OJK dan DSN MUI)?
4. Bagaiman praktek penerapan dan pengelolaan sanksi denda pada akad
murabahah oleh Bank Syariah di Indonesia?
5. Bagaimana alokasi dana kebajikan yang berasal dari penerapan sanksi denda
oleh Bank Syariah di Indonesia?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis perlu memberikan
batasan masalah dalam penelitian ini. Masalah penilitian hanya terfokus pada
penerapan sanksi denda pada akad murabahah di Bank Syariah Mandiri.
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan para ulama terhadap penerapan sanksi denda bagi
nasabah wanprestasi pada akad murabahah?
2. Bagaimana konsep dan ketentuan sanksi denda pada akad murabahah yang
ditetapkan oleh Regulator bagi Bank Syariah di Indonesia?
9
3. Bagaimana penerapan sanksi denda pada akad murabahah di Bank Syariah
Mandiri?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pandangan para ulama terhadap penerapan sanksi denda
bagi nasabah wanprestasi pada akad murabahah.
b. Untuk mengetahui konsep dan ketentuan sanksi denda yang ditetapkan oleh
Regulator bagi Bank Syariah di Indonesia.
c. Untuk mengetahui penerapan sanksi denda pada akad murabahah di Bank
Syariah Mandiri.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Bagi peneliti, sebagai tambahan wawasan keilmuan serta dapat menjadi
sumber pustaka bagi penelitian sejenis selanjutnya.
b. Bagi MUI, sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwa.
c. Bagi masyarakat, dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman terkait
penerapan sanksi denda di Bank Syariah di Indonesia.
E. Kerangka Teori dan Konsep
Kerangka Teori
Ba‟i al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati.15
Dalam ba‟i al-murabahah atau jual beli
murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan
15 Muhammad Syafi‟I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.101.
10
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah
mengharuskan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah,
bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan
konvensional.
Dalam prakteknya di bank syariah, nasabah datang untuk mengajukan
sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan
persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Kemudian bank memesan
barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah
barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli
antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah,
kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Dalam operasinya menyalurkan pembiayaan, khususnya pada akad
murabahah yang merupakan akad yang paling banyak dipakai dalam financing
bank syariah, terdapat kelalaian dan wanprestasi yang dilakukan nasabah baik
karna force majeur ataupun memang kesengajaan, yang berakibat pada kerugian
bank. Sehingga untuk menghadapi resiko tersebut, bank perlu membuat tidak
lanjut dan perlakuan yang tepat untuk mencegah dan meng-cover kerugian
tersebut.
Dalam kontraknya bank syariah menetapkan sanksi berupa denda bagi
para nasabah lalai yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya. Sanksi denda
tersebut meliputi denda ta‟zir dan denda ta‟widh. Denda ta‟zir diatur dalam fatwa
DSN-MUI no.17 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda
11
pembayaran, sedangkan denda ta‟widh diatur dalam fatwa no.43 tentang ganti
rugi (ta‟widh).
Denda ta‟zir dan ta‟widh sama-sama dikenakan pada nasabah yang dengan
sengaja menunda-nunda pembayaran kewajibannya pada bank. Bedanya hanya
dalam jumlah dan pengakuan dalam akuntansi. Denda ta‟zir nilainya ditetapkan
ketika kontrak dibuat sedangkan ta‟widh atau ganti rugi dihitung berdasarkan
kerugian nyata atau real loss yang dialami bank diakibatkan oleh kelalaian
nasabah. Dalam pengakuannya, dana ta‟zir diakui dan dimasukkan dalam dana
kebajikan yang nantinya akan disalurkan melalui akad-akad tabarru‟. Sedangkan
dana ta‟widh diakui sebagai pendapatan bank, sebagai ganti rugi bagi kerugian
yang dialami.
12
Kerangka Konsep
Sanksi Keterlambatan Pembayaran
Nasabah Wanprestasi
Ta‟widh Denda Ta‟zir
Data
Wawancara Kajian Pustaka
Sanksi berupa denda
uang
Praktik
Analisis Deskriptif
Hasil / Kesimpulan
Konsep& Hukum
13
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan jenis penilitan deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan
atau menghubungkannya dengan variabel lain.16
Jadi secara singkat, dikatakan
penelitian deskriptif jika penelitian yang dilakukan bersifat pemaparan atau
menjelaskan suatu peristiwa. Penelitian tersebut kemudian dilakukan dengan
metode kualitatif yang bertujuan untuk memahami secara mendalam dan menggali
makna dari subjek yang diteliti.17
2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer berupa
hasil wawancara dari salah satu pihak BSM. Sedangkan data sekunder berupa
kajian kepustakaan. Data tersebut berupa studi literatur yang ditemukan dalam
buku-buku, jurnal, majalah, artikel, laporan keuangan dan lain sebagai.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peneletian lapangan yang berupa wawancara (interview) untuk mendapatkan data
primer dan kajian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder.
4. Teknik Analisis Data
16
Ety Rochaety, dkk, Metodologi Penelitian Bisnis Dengan Aplikasi SPSS (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2009), h.17. 17
Hendri Tanjung dan Abrista Devi, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam (Jakarta: Gramata
Publishing, 2013), h.74.
14
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptis, yaitu suatu metode analisis
data dimana menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, sehingga
didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai
dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.18
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, dengan perincian sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan oleh penulis mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang landasan teori dan review studi
terdahulu yang dapat membantu dalam memahami dan menafsirkan data yang
akan diteliti.
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI
Akan dipaparkan dalam bab ini hal-hal yang berhubungan dengan sumber
data, yakni hal-hal yang berkaitan dengan Bank Syariah Mandiri yaitu riwayat
singkat dan produk-produk yang terdapat pada bank tersebut.
BAB IV :HASIL PENELITIAN
18 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, dan R & D. (Bandung: Alfabeta,2007), hal 244.
15
Dalam bab ini akan disampaikan terkait analisis yang dilakukan pada
penerapan sanksi denda baik secara konsep maupun praktek.
BAB V : PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dari penelitian yang dilakukan serta saran
yang dapat diberikan berkaitan dengan penelitian ini.
16
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Secara bahasa murabahah berasal dari kata Ar-Ribhu yang berarti
“keuntungan, laba, tambahan (margin)”. Murabahah dalam istilah para ulama
fikih terdahulu yaitu bagian dari jual-beli amanah; dimana penjual menyebut
harga pokok barang dan mensyaratkan laba sekian kepada pembeli.19
Wahbah az-
Zuhaili memberikan definisi murabahah yaitu “jual beli dengan harga perolehan
ditambah keuntungan”.20
Antonio menyebutkan ”Bai‟ al-murabahah adalah jual-beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati”.21
Begitu juga Karim
menyebutkan “Murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut
ditambah keuntungan yang disepakati”.22
Istilah murabahah tidak dikenal di zaman Rasulullah s.a.w. dan para
sahabat, namun prakteknya sudah dikenal di zaman itu.23
Imam Malik bekata
“Penduduk Madinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli
pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya
tambahan keuntungan yang telah disepakati”. Imam Syafi‟i juga menyatakan
19 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV, h.382. 20 Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, h.7. 21 Muhammad Syafi‟I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.101. 22 Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, cet.VIII. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h.113. 23 Ibid.
17
pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada
seseorang dan berkata “Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu
keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya,
maka transaksi demikian ini adalah sah”.24
Murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah saat ini memang tidak
sama persis dengan definisi murabahah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih yang
disebutkan oleh para ulama terdahulu.25
Murabahah dapat dilakukan secara
pemesanan disebut sebagai Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP). Imam
Syafi‟i menamai transaksi ini dengan istilah al-aamir bisy-syira` (اش تاىششاء ).26
OJK mendefinisikan murabahah sebagai akad transaksi muamalah dengan
menerapkan prinsip jual beli barang sebesar harga perolehan barang ditambah
margin yang disepakati oleh para pihak. Harga perolehan diinformasikan oleh
penjual kepada pembeli. Sedangkan pembiayaan murabahah adalah produk
pembiayaan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan Nasabah dengan
penggunaan akad Murabahah dan Wakalah di dalamnya.27
Sedangkan Mahkamah Agung menyebutkan murabahah adalah
pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan
pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa
harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan
24
Tri Setiady, ”Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqh Islam, Hukum Positif dan
Hukum Syariah”, Fiat Justisia VIII, no.3 (September 2014): h.521. 25 Muhamad Nadratuzaman Hosen, Buku Saku Perbankan Syariah (Jakarta: PKES, 2005),
h.15. 26 Muhammad Syafi‟I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h.102. 27
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, h.16.
18
keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara
tunai atau angsur.28
2. Landasan Hukum
a. Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli,
diantaranya adalah firman Allah:
(275:2/الباقرة) وأحل اهلل البيع وحرم الربا
Artinya: "...dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan
murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.
b. Al-Hadist
Diantara hadist yang menunjukkan bolehnya murabahah adalah hadits dari
riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
ا ا الخلال علي بي الحسي حذث ا البزار ثابج بي بشر حذث داود بي الرحوي عبذ عي القاسن بي صر حذث
عي صهيب بي صالح عي قال أبي
رسىل قال صلى الل الل بالشعير البر وأخلاط والوقارضت أجل إلى البيع البركت فيهي ثلاث وسلن علي
ابي هاج) للبيع لا للبيج (روا29
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal berkata,
telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Tsabit Al Bazzar berkata, telah
menceritakan kepada kami Nashr bin Al Qasim dari 'Abdurrahman bin Dawud
dari Shalih bin Shuhaib dari Bapaknya ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan; menjual
dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual."
(HR. Ibnu Majah).
Menjual dengan pembayaran secara tangguh merupakan salah satu dari
karakteristik Murabahah yang dipraktekkan di perbankan syariah saat ini.
28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Buku II Pasal 20 ayat (6). 29
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Sunanu Ibn Mâjah Jilid III
(Beirut: Dâru al-Jîl, 1998), h.605.
19
c. Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
األصل فى الوعاهالث اإلباحت إال أى يذل دليل على ححريوها
Artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
Selama tidak ada dalil naqli yang mengharamkan suatu kegiatan
muamalah, maka kegiatan tersebut boleh dilakukan. Selain itu transaksi ini sudah
dipraktikkan di berbagai tempat tanpa ada yang mengingkarinya.30
d. Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia No.04/DSN-
MUI /IV/2000 tentang MURABAHAH
3. Rukun dan Syarat Jual Beli Murabahah
Jual beli murabahah dalam perspektif Ekonomi Islam memiliki beberapa
rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah:31
a. Adanya pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu:
(1) Penjual (Bank)
(2) Pembeli (Nasabah)
(3) Pemasok (Supplier)
b. Obyek yang diakadkan, yang mencakup:
(1) Barang yang diperjualbelikan
(2) Harga barang
c. Tujuan akad
d. Akad/Sighat yang terdiri dari:
30 Muhammad Farid, ”Murabahah dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab”, Epistemé VIII,
no.1 (Juni 2013): h.120. 31
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, h.7-8.
20
(1) Ijab (serah)
(2) Qabul (terima)
Selanjutnya masing-masing rukun diatas harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Pihak yang berakad, harus:
(1) Cakap hukum.
(2) Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan terpaksa atau berada dibawah tekanan
atau ancaman.
b. Obyek yang diperjualbelikan tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang
secara syariah maupun hukum negara
c. Tujuan akad adalah pemindahan hak milik kebendaan dari pihak Penjual
(Bank) kepada Pembeli (Nasabah)
d. Akad/Sighat
(1) Tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki.
(2) Adanya kesesuaian antara ijab dan kabul
(3) Menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak
terpaksa.
4. Ketentuan-Ketentuan terkait Pembiayaan Murabahah
DSN-MUI telah menetapkan beberapa fatwa yang berisikan ketentuan-
ketentuan umum maupun tambahan yang terkait dengan pembiayaan murabahah
ini. Ketentuan utama diatur dalam Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah. Beberapa ketentuan yang disebutkan antara lain:
21
a. Akad murabahah harus bebas riba
b. Bank harus membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri (artinya dimiliki oleh bank), dan pembelian tersebut harus sah.
c. Harga pokok, harga jual, margin, dan biaya harus transparan
d. Jangka waktu pembayaran disepakati bersama
e. Nasabah dapat mewakilkan bank dalam membeli barang dari supplier,
dengan syarat, akad murabahah dilakukan setelah barang dimiliki bank
secara prinsip.
f. Bank boleh meminta uang muka dari nasabah, dan disepakati bersama.
g. Bank boleh meminta jaminan dari nasabah.
Beberapa fatwa DSN-MUI lain yang terkait dengan transaksi murabahah
ini diantaranya adalah :
a. Fatwa DSN No.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
b. Fatwa DSN No.13/DSN-MUI/IV/2000 tentang Uang Muka dalam
Murabahah
c. Fatwa DSN No.16/DSN-MUI/IV/2000 tentang Diskon dalam Murabahah
d. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IV/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah yang
Mampu Menunda-nunda Pembayaran
e. Fatwa DSN No.23/DSN-MUI/IV/2003 tentang Potongan Pelunasan dalam
Murabahah
f. Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/IV/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh)
g. Fatwa DSN No.45/DSN-MUI/IV/2005 tentang Line Facility
22
h. Fatwa DSN No.46/DSN-MUI/IV/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah
i. Fatwa DSN No.47/DSN-MUI/IV/2005 tentang Penyelesaian Piutang
Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Bayar
j. Fatwa DSN No.48/DSN-MUI/IV/2005 tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murabahah
k. Fatwa DSN No.49/DSN-MUI/IV/2005 tentang Konversi Akad Murabahah
B. Sanksi Denda
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sanksi (hukum)
memiliki arti (a) imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan yang
ditentukan di hukum dan (b) imbalan positif, yang berupa hadiah atau anugerah
yang ditentukan di hukum. Sedangkan denda memiliki arti hukuman yang berupa
keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan, undang-
undang, dsb). Jadi, sanksi memiliki arti imbalan negatif ketika dikait dengan
denda, sehingga kita dapat memahami sanksi denda sebagai suatu imbalan negatif
berupa pembebanan keharusan pembayaran dalam bentuk uang.
Di Indonesia, secara umum, dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi
yaitu: (a) sanksi hukum pidana, (b) sanksi hukum perdata, dan (c) sanksi
administrasi/administratif. Sanksi denda termasuk dalam sanksi administrasi/
administratif. Secara khusus, untuk pelanggaran undang-undang negara, sanksi
denda diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan
Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.
23
Dalam syariah khususnya ekonomi syariah dikenal setidaknya dua bentuk
sanksi denda yaitu denda ta‟zir dan denda ta‟widh. Dalam kegiatan perbankan
syariah khususnya di Indonesia, kedua bentuk sanksi denda tersebut diatur dan
dikenal sebagai suatu solusi permasalahan pembiayaan yang dikenakan pada
nasabah wanprestasi atas tindakan pelanggarannya terhadap kontrak atau akad
yang telah disetujui.
1. Ta’zir
Denda Ta‟zir atau sebagian menyebutnya Late Charge, dan di Malaysia
dikenal sebagai Gharamah merupakan sanksi berupa pembayaran sejumlah uang
akibat keterlambatan nasabah dalam melakukan pembayaran kewajibannya
kepada bank (menunggak). Perolehan denda akan dimasukkan ke dalam rekening
dana sosial (Qardhul Hasan).32
Sanksi didasarkan pada prinsip ta‟zir yang
bertujuan untuk mendisiplinkan nasabah agar memenuhi kewajibannya. Karena
didasarkan pada prinsip ta‟zir, sanksi denda ini hanya dikenakan pada nasabah
LKS yang dengan sengaja menunda-nunda pembayaran padahal mereka mampu.
Oleh karenanya, nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force
majeur tidak boleh dikenakan denda.
Nilai atau besaran denda yang dikenakan terhadap nasabah diserahkan
kepada masing-masing LKS dengan dasar kesepakatan antara nasabah dan LKS
saat akad ditandatangani. Denda yang diterima oleh LKS selanjutnya dimasukkan
dan diakui sebagai dana sosial dalam pembukuan LKS tersebut dan tidak dapat
32
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, h.18.
24
diakui sebagai laba. Dana sosial tersebut nantinya dapat disalurkan oleh bank
kepada masyarakat dengan tujuan sosial baik dalam bentuk bantuan atau lainnya.
2. Ta’widh
Ta‟widh atau ganti rugi adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan. OJK mendefinisikan ta‟widh sebagai penggantian
terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam proses memperoleh
pembayaran dari nasabah akibat penyimpangan yang dilakukan oleh nasabah
(wanprestasi), termasuk namun tidak terbatas pada saat nasabah menunggak
pembayaran angsuran. Perolehan ta'widh akan diakui sebagai pendapatan dalam
pembukuan Bank.33
Begitu juga dengan denda ta‟zir, denda ta‟widh hanya boleh
dikenakan bagi nasabah yang sengaja atau karena kelalaian menunda pembayaran
kewajibannya. Pengenaan ta‟widh didasarkan pada kerugian riil yang dapat
diperhitungkan dengan jelas yang dialami oleh LKS. Besar ganti rugi yang dapat
dikenakan pada nasabah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti
dialamai (fixed cost) berupa biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka
penagihan hak bank. Kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss)
karena adanya peluang yang hilang (potential loss) tidak dapat dimasukkan dalam
besaran ganti rugi.
33 Ibid.
25
C. Review Studi Terdahulu
Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian yang telah dilakukan yang
berkaitan baik langsung atau tidak dengan penelitian pada skripsi ini:
1. Peneliti Ezani Yaakub, Mohamed Azam Mohamed Adil, Asmak
Husin, Mohd Dani Muhammad, Mohd Solahuddin
Shahruddin, dan Nur Hidayat Md Yazid (2013)
Judul Late Payment Charge In Islamic Bank
Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Bank Syariah di Malaysia diperbolehkan untuk
membebankan denda pada nasabah yang gagal bayar yang
berupa ta‟widh dan gharamah, dimana mekanisme
implementasinya berbeda dengan riba pada bank
konvensional.
2 Peneliti Ezani Yaakub, dkk (2014)
Judul A Revisit to the Practice of Late Payment Charge by
Islamic Banks in Malaysia
Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Kebijakan Islam membolehkan bank syariah untuk
membebankan sanksi denda pada nasabah yang gagal
bayar berupa ta‟widh dan gharamah. Kebijakan dapat
memberi peningkatan kompetitif bank syariah terhadap
bank konvensional. Dalam aplikasinya, bank syariah harus
26
menjelasakan pada nasabah secara baik dan jelas agar
menghindarkan kesalahpahaman bagi nasabah.
3. Peneliti Yetty Nur Indah sari (2008)
Judul Denda Murabahah Dalam Pandangan Sistem Ekonomi
Islam (studi Kasus di Bank Syariah Mega Indonesia)
Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Denda dapat diberikan pada nasabah yang lalai tanpa
alasan yang dibenarkan sebagai sarana disiplin bagi
nasabah, dengan ketentuan telah disepakati kedua pihak.
Denda murabahah adalah sah menurut fatwa DSN-MUI
No.17.
Di BSMI, denda dapat diberikan bagi nasabah mampu
namun nakal. Dana denda tersebut nantinya menjadi dana
sosial. Oleh karnanya BSMI telah mengikuti prosedur
DSN-MUI.
4. Peneliti Muis Hidayat
Judul Analisis Penerapan Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-
MUI/VIII/2004 tentang Ta‟widh pada Pembiayaan
Murabahah di PT Bank Syariah Bukopin
Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif
Hasil Penelitian Penetapan ta‟widh didasarkan pada kemaslahatan dan
mencegah kemudharatan bagi salah satu pihak sehingga
dikeluarkanlah fatwa yang mengatur hal ini. Dalam
27
perhitungan ta‟widh haruslah berdasarkan pada biaya rill
dan akan menjadi pendapatan bank sebagai penutup atas
biaya tersebut. Dalam praktiknya BSB telah menerapkan
ta‟widh sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI
A. Riwayat Singkat
Krisis multi-dimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998
membawa hikmah tersendiri bagi tonggak sejarah Sistem Perbankan Syariah di
Indonesia. Di saat bank-bank konvensional terkena imbas dari krisis ekonomi,
saat itulah berkembang pemikiran mengenai suatu konsep yang dapat
menyelamatkan perekonomian dari ancaman krisis yang berkepanjangan.
Di sisi lain, untuk menyelamatkan perekonomian secara global,
pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan penggabungan (merger) 4
(empat) Bank milik pemerintah, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya,
Bank Exim dan Bapindo, menjadi satu, satu Bank yang kokoh dengan nama PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk. pada tanggal 31 Juli 1999. Kebijakan penggabungan
tersebut juga menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai pemilik
mayoritas PT Bank Susila Bakti (BSB). PT BSB merupakan salah satu Bank
konvensional yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai (YKP) PT Bank
Dagang Negara dan PT Mahkota Prestasi.
Untuk keluar dari krisis ekonomi, PT BSB juga melakukan upaya merger
dengan beberapa Bank lain serta mengundang investor asing.
Sebagai tindak lanjut dari pemikiran Pengembangan Sistem Ekonomi
Syariah, pemerintah memberlakukan UU No.10 tahun 1998 yang memberi
peluang bagi Bank Umum untuk melayani transaksi syariah (dual banking system).
Sebagai respon, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk melakukan konsolidasi serta
29
membentuk Tim Pengembangan Perbankan Syariah, yang bertujuan untuk
mengembangkan Layanan Perbankan Syariah di kelompok perusahaan PT Bank
Mandiri (Persero) Tbk.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah memandang bahwa pemberlakuan
UU tersebut merupakan momentum yang tepat untuk melakukan konversi PT
Bank Susila Bakti dari Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Oleh
karenanya, Tim Pengembangan Perbankan Syariah segera mempersiapkan sistem
dan infrastruktur, sehingga kegiatan usaha BSB berhasil bertransformasi dari
Bank Konvensional menjadi Bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah
dengan nama PT Bank Syariah Mandiri sebagaimana tercantum dalam Akta
Notaris: Sutjipto, SH, No. 23 tanggal 8 September 1999.
Perubahan kegiatan usaha BSB menjadi bank umum syariah dikukuhkan
oleh Gubernur Bank Indonesia melalui SK Gubernur BI No. 1/24/ KEP.BI/1999,
25 Oktober 1999. Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia No. 1/1/KEP.DGS/ 1999, BI menyetujui perubahan nama menjadi
PT Bank Syariah Mandiri (BSM).
Menyusul pengukuhan dan pengakuan legal tersebut, PT Bank Syariah
Mandiri secara resmi mulai beroperasi sejak Senin tanggal 25 Rajab 1420 H atau
tanggal 1 November 1999.
PT Bank Syariah Mandiri hadir dan tampil dengan harmonisasi idealisme
usaha dengan nilai-nilai spiritual. Bank Syariah Mandiri tumbuh sebagai bank
yang mampu memadukan keduanya, yang melandasi kegiatan operasionalnya.
30
Harmonisasi idealisme usaha dan nilai-nilai spiritual inilah yang menjadi salah
satu keunggulan Bank Syariah Mandiri dalam kiprahnya di perbankan Indonesia.
B. Produk-Produk
Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah Mandiri menerbitkan
berbagai macam produk yang secara umum terbagi dalam tiga kategori:
1. Produk Pembiayaan
Produk pembiayaan merupakan produk yang difasilitasi oleh BSM untuk
membantu masyarakat pada umumnya atau nasabah dan calon nasabah yang
memerlukan dana atau barang-barang aktiva untuk memenuhi kebutuhan modal
usaha ataupun konsumsi bagi nasabah. Produk-produk tersebut dapat kita bagi
dalam 2 kategori menurut cara pembayarannya.
a. Pembiayaan yang bersifat angsuran
(1) BSM Pembiayaan Murabahah Pembiayaan berdasarkan akad jual beli
antara bank dan nasabah. Bank membeli barang yang dibutuhkan dan
menjualnya kepada nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan margin
keuntungan yang disepakati. Dapat dipergunakan untuk keperluan usaha
(investasi, modal kerja) dan pembiayaan konsumer.
(2) BSM Pembiayaan Istishna Pembiayaan pengadaan barang dengan skema
Istishna adalah pembiayaan jangka pendek, menengah, dan panjang yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengadaan barang (obyek istishna), di
mana masa angsuran melebihi periode pengadaan barang (goods in process)
dan bank mengakui pendapatan yang menjadi haknya pada periode angsuran,
31
baik pada saat pengadaan berdasarkan persentase penyerahan barang,
maupun setelah barang selesai dikerjakan.
(3) Pembiayaan dengan Skema IMBT (Ijarah Muntahiyah Bittamliik)
Pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bittamliik adalah fasilitas pembiayaan
dengan skema sewa atas suatu obyek sewa antara Bank dan Nasabah dalam
periode yang ditentukan yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan
nasabah.
(4) Pembiayaan PKPA Pembiayaan kepada Koperasi Karyawan untuk Para
Anggota (PKPA) adalah penyaluran pembiayaan kepada koperasi karyawan
untuk pemenuhan kebutuhan consumer para anggotanya (kolektif) yang
mengajukan pembiayaan kepada koperasi karyawan.
(5) BSM Pembiayaan Implan Pembiayaan konsumer dalam valuta rupiah yang
diberikan oleh bank kepada karyawan tetap Perusahaan yang pengajuannya
dilakukan secara massal (kolektif) melalui rekomendasi perusahaan.
(6) BSM Pembiayaan Griya BSM Pembiayaan konsumtif dalam valuta rupiah
yang diberikan oleh Bank kepada perseorangan/individual untuk membiayai
pembelian rumah baru, rumah second, renovasi maupun take over berupa
rumah tinggal.
(7) BSM Pembiayaan PemiIikan Rumah Sejahtera Syariah Tapak
Pembiayaan BSM Pemilikan Rumah Sejahtera Syariah Tapak adalah
Pembiayaan berdasarkan prinsip dengan dukungan FLPP (Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh
Kementerian Perumahan Rakyat) yang diterbitkan oleh Bank pelaksana yang
32
beroperasi secara syariah kepada masyarakat ber-penghasilan rendah dalam
rangka pemilikan Rumah Sejahtera Syariah Tapak yang dibeli dari orang
perseorangan dan/atau badan hukum.
(8) BSM Pembiayaan Griya PUMP-KB Pembiayaan Griya BSM Pinjaman
Uang Muka Perumahan Kerjasama Bank (PUMP-KB) adalah Pembiayaan
dengan dukungan pendanaan yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan kepada
BSM untuk pemilikan atau pembelian rumah kepada peserta BPJS
Ketenagakerjaan.
(9) BSM Optima Pembiayaan Pemilikan Rumah Pembiayaan Griya BSM
Optima adalah pembiayaan pemilikan rumah dengan tambahan benefit
berupa adanya fasilitas pembiayaan tambahan yang dapat diambil nasabah
pada waktu tertentu sepanjang coverage atas agunannya masih dapat meng-
cover total pembiayaannya dan dengan memperhitungkan kecukupan debt to
service ratio nasabah.
(10) BSM Pembiayaan Pensiun Pembiayaan BSM Pensiun adalah pembiayaan
yang diberikan kepada para pensiunan atau pegawai yang ≤ 6 bulan lagi akan
pensiun (pra pensiun) atau janda pensiun dan telah menerima SK pensiun.
(11) BSM Pembiayaan Alat Kedokteran Pembiayaan untuk pembelian barang
modal atau peralatan penunjang kerja di bidang kedokteran.
(12) BSM Pembiayaan Oto Pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor
berupa mobil baru atau bekas berdasarkan prinsip syariah.
(13) BSM Pembiayaan Eduka Pembiayaan BSM Eduka adalah Pembiayaan
untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan.
33
(14) Pembiayaan Umrah Pembiayaan jangka pendek yang digunakan untuk
memfasilitasi kebutuhan biaya perjalanan umroh, seperti untuk tiket,
akomodasi, dan persiapan biaya umroh lainnya dengan akad ijarah.
(15) BSM Pembiayaan Warung Mikro Pembiayaan jangka pendek yang
digunakan untuk memfasilitasi kebutuhan usaha dan multiguna dengan
maksimal pembiayaan sampai dengan Rp100 juta dengan akad Murabahah
dan Ijarah.
(16) Pembiayaan Cicil Emas BSM pembiayaan kepemilikan emas dengan
menggunakan akad Murabahah.
b. Pembiayaan yang tidak bersifat angsuran
(1) BSM Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan dimana seluruh modal kerja
yang dibutuhkan nasabah ditanggung oleh bank. Keuntungan yang diperoleh
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.
(2) BSM Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan khusus untuk modal kerja,
dimana dana dari bank merupakan bagian dari modal usaha nasabah dan
keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.
(3) Pembiayaan Dana Berputar Fasilitas pembiayaan modal kerja dengan
prinsip musyarakah yang penarikan dananya dapat dilakukan sewaktu-waktu
berdasarkan kebutuhan riil nasabah.
(4) Pembiayaan dengan Agunan Investasi Terikat Syariah Mandiri
Pembiayaan dengan agunan berupa dana investasi (cash collateral) dimana
34
pemilik dana (investor) memberikan batasan kepada Bank mengenai tempat,
cara dan objek investasinya.
(5) Pembiayaan Gadai Emas BSM Pembiayaan yang menggunakan akad qardh
dengan jaminan berupa emas yang diikat dengan akad rahn, dimana emas
yang diagunkan disimpan dan dipelihara oleh Bank selama jangka waktu
tertentu dengan membayar biaya pemeliharaan atas emas sebagai objek rahn
yang diikat dengan akad ijarah.
2. Produk Pendanaan
Produk pendanaan adalah produk yang digunakan dalam menghimpun
dana masyarakat atau yang biasa disebut dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
tujuannya adalah menerima dana masyarakat dalam bentuk titipan, tabungan
maupun deposito. Produk pendanaan ini diklasifikasikan dalam 3 bentuk produk:
a. Produk titipan
(1) BSM Giro Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek, bilyet giro, atau alat perintah bayar lainnya dengan prinsip
wadiah yad dhamanah.
(2) BSM Giro Valas Simpanan dalam mata uang dollar Amerika yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan prinsip wadiah yad
dhamanah.
(3) BSM Giro Singapore Dollar Simpanan dalam mata uang dollar Singapura
yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan prinsip wadiah yad
dhamanah.
35
(4) BSM Giro Euro Simpanan dalam mata uang Euro yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan prinsip wadiah yad dhamanah.
b. Produk tabungan
(1) Tabungan BSM Tabungan dalam mata uang rupiah dengan akad
Mudharabah Mutlaqah yang penarikannya sesuai syarat tertentu yang
disepakati.
(2) BSM Tabungan Berencana Tabungan berjangka dengan nisbah bagi hasil
berjenjang serta kepastian bagi penabung maupun ahli waris untuk
memperoleh dananya sesuai target waktu dan dengan perlindungan asuransi
gratis.
(3) BSM Tabungan Simpatik Tabungan dalam mata uang rupiah berdasarkan
prinsip wadiah, yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat berdasarkan
syarat-syarat tertentu yang disepakati.
(4) BSM Tabungan Mabrur Tabungan perorangan untuk merencanakan ibadah
haji & umrah.
(5) BSM Tabungan Mabrur Junior Tabungan anak untuk merencanakan
ibadah haji & umrah.
(6) BSM Tabungan Dollar Tabungan dalam mata uang Dollar yang penarikan
dan setorannya dapat dilakukan setiap saat atau sesuai ketentuan dengan
menggunakan slip penarikan.
36
(7) BSM Tabungan Investa Cendekia (TIC) Tabungan berjangka yang
diperuntukkan bagi masyarakat dalam melakukan perencanaan keuangan,
khususnya pendidikan bagi putra/putri.
(8) BSM Tabungan Perusahaan Tabungan yang digunakan untuk menampung
kelebihan dana rekening giro yang dimiliki Institusi/Perusahaan berbadan
hukum dengan menggunakan fasilitas autosave.
(9) BSM Tabungan Pensiun Tabungan dalam mata uang rupiah hasil kerjasama
BSM dengan PT Taspen yang diperuntukkan bagi pensiunan pegawai negeri
Indonesia.
(10) BSM Tabunganku Tabungan untuk perorangan dengan persyaratan mudah
dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh bank-bank di Indonesia guna
menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
(11) BSM Simpanan Pelajar iB Tabungan untuk siswa yang diterbitkan secara
nasional oleh bank-bank di Indonesia, dengan persyaratan mudah dan
sederhana serta fitur yang menarik dalam rangka edukasi dan inklusi
keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak dini.
c. Produk yang bersifat deposito atau simpanan berjangka
(1) BSM Deposito Produk investasi berjangka yang penarikannya hanya dapat
dilakukan setelah jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan.
37
(2) BSM Deposito Valas Produk investasi berjangka yang penarikannya hanya
dapat dilakukan setelah jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan dalam
bentuk valuta asing.
3. Produk Jasa
Produk BSM dalam kategori jasa adalah produk-produk yang berupa
fasilitas sesuai kebutuhan nasabah dalam rangka pemenuhan aktivitas bisnih
nasabah dengan menempatkan bank sebagai perantara/mediasi dan bank
meempatkan posisinya sebagai lembaga intermediasi.
a. Bank sebagai agen produk pasar (market product) di pasar
keuangan dan pasar modal
(1) Sukuk Negara Ritel
Bank Syariah Mandiri sebagai Agen Penjual di Pasar Perdana,
menawarkan produk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang bersifat ritel
atau yang dikenal dengan istilah Sukuk Negara Ritel. Sukuk Negara Ritel adalah
Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) yang dijual kepada individu atau
perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual di Pasar Perdana
dalam negeri. Penunjukan Bank Syariah Mandiri sebagai Agen Penjual Sukuk
Negara Ritel ditetapkan oleh Pemerintah. Produk Sukuk Negara Ritel yang
ditawarkan oleh Bank Syariah Mandiri adalah sebagai berikut:
(a) Sukuk Negara Ritel Seri SR-001: Telah jatuh tempo pada 25 Februari 2012.
(b) Sukuk Negara Ritel Seri SR-002: Telah jatuh tempo pada 10 Februari 2013.
(c) Sukuk Negara Ritel Seri SR-003: Telah jatuh tempo pada 23 Februari 2014.
38
(d) Sukuk Negara Ritel Seri SR-004: Telah jatuh tempo pada 21 September
2015.
(e) Sukuk Negara Ritel Seri SR-005: Tanggal jatuh tempo 27 Februari 2016.
(f) Sukuk Negara Ritel Seri SR-006: Tanggal jatuh tempo 5 Maret 2017.
(g) Sukuk Negara Ritel Seri SR-007: Tanggal jatuh tempo 11 Maret 2018.
(2) Reksa Dana
Bank Syariah Mandiri telah terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana (APERD) berdasarkan Surat Tanda Terdaftar Nomor:
25/BL/STTD/APERD/2007 dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tanggal 24 April 2007.
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana
dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek
oleh Manajer Investasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal, Reksa Dana dapat berbentuk Perseroan Tertutup atau Terbuka dan
Kontrak Investasi Kolektif. Bentuk hukum Reksa Dana yang dipasarkan melalui
Bank Syariah Mandiri adalah Kontrak Investasi Kolektif. Adapun produk Reksa
Dana yang ditawarkan melalui Bank Syariah Mandiri adalah sebagai berikut:
(a) Reksa Dana Mandiri Investa Syariah Berimbang (MISB)
Produk Reksa Dana Syariah yang dikeluarkan oleh PT Mandiri
Manajemen Investasi (MMI), jenis Reksa Dana Campuran (balanced fund) yaitu
wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal
39
(investor) untuk selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi dalam
portofolio Efek Saham Syariah, Efek Pasar Uang Syariah dan Obligasi Syariah.
(b) Reksa Dana Mandiri Investa Atraktif Syariah (MITRA Syariah)
Produk Reksa Dana Syariah yang dikeluarkan oleh PT Mandiri
Manajemen Investasi (MMI), jenis Reksa Dana Saham (equity fund) yaitu wadah
yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor)
untuk selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi minimal 80% dalam
portofolio Efek Saham Syariah.
(c) Reksa Dana Syariah BNP Paribas Pesona Syariah (BNPP PS)
Produk Reksa Dana Syariah yang dikeluarkan oleh PT BNP Paribas
Investment Partners, jenis Reksa Dana Saham (equity fund) yaitu wadah yang
digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor) untuk
selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi minimal 80% dalam portofolio
Efek Saham Syariah.
(3) Tabungan Saham Syariah
Tabungan Saham Syariah adalah Rekening Dana Nasabah berupa produk
tabungan yang khusus digunakan untuk keperluan penyelesaian transaksi Efek
(baik berupa kewajiban maupun hak Nasabah), serta untuk menerima hak
Nasabah yang terkait dengan Efek yang dimilikinya melalui Pemegang Rekening
KSEI.
40
b. Sebagai pemberi produk layanan BSM sendiri
(1) BSM Card Merupakan kartu yang diterbitkan oleh Bank Syariah Mandiri
dan memiliki fungsi utama yaitu sebagai kartu ATM dan kartu Debit.
Disamping itu dengan menggunakan BSM Card, nasabah bisa mendapatkan
discount diratusan merchant yang telah bekerja sama dengan BSM.
(2) BSM ATM Mesin Anjungan Tunai Mandiri yang dimiliki oleh BSM. BSM
ATM dapat digunakan oleh nasabah BSM, nasabah bank anggota Prima,
nasabah bank anggota ATM Bersama dan nasabah anggota Bankcard
(Malaysia).
(3) BSM CALL 14040 Layanan perbankan melalui telepon dengan nomor akses
14040 atau 021 2953 4040, yang dapat digunakan oleh nasabah untuk
mendapatkan informasi terkait layanan perbankan.
(4) BSM SMS Banking Merupakan produk layanan perbankan yang berbasis
teknologi SMS telepon selular (ponsel) yang memberikan kemudahan untuk
melakukan berbagai transaksi perbankan di mana saja, kapan saja.
(5) BSM Mobile Banking Merupakan saluran distribusi yang dimiliki oleh BSM
untuk mengakses rekening yang dimiliki nasabah melalui smatphone dengan
teknologi GPRS/EDGE/3G/BIS dan WIFI. Platform smartphone yang dapat
digunakan yaitu BB, Android, iOS dan Symbian.
(6) BSM Net Banking Merupakan fasilitas layanan bank yang dapat digunakan
nasabah untuk melakukan transaksi perbankan (ditentukan bank) melalui
jaringan internet menggunakan komputer/smart phone.
41
(7) BSM Notifikasi Layanan untuk memberikan informasi segera dari setiap
mutasi transaksi nasabah sesuai dengan jenis transaksi yang didaftarkan oleh
nasabah yang dikirimkan melalui media SMS atau email.
(8) MBP (Multi Bank Payment) Merupakan layanan untuk mempermudah
pembayaran kepada institusi (lembaga pendidikan, asuransi, lembaga khusus,
lembaga keuangan non bank) melalui menu pemindahbukuan di ATM bank
manapun.
(9) BPI (BSM Pembayaran Institusi) Merupakan layanan pembayaran yang
terhubung ke institusi secara real time on line.
(10) BPR Host to Host Merupakan bentuk kerjasama BSM dengan BPR/ BPRS
yang memungkinkan nasabah BPR/BPRS untuk mempunyai kartu ATM
yang dapat digunakan di ATM BSM, ATM BM, ATM Bersama dan ATM
Prima.
(11) BSM E-Money Merupakan kartu prabayar berbasis smart card yang
diterbitkan oleh Bank Mandiri bekerjasama dengan BSM.
(12) Transfer D.U.I.T. Jasa pengiriman uang dari luar negeri ke semua bank dan
kantor Pos di Indonesia secara cepat dan mudah.
(13) Transfer Valas Layanan transfer valuta asing (valas) antar rekening bank di
Indonesia atau luar negeri dalam 130 mata uang.
(14) Western Union Jasa pengiriman uang domestik atau antar-negara dengan
jaringan outlet yang luas dan tersebar di seluruh dunia.
(15) Transfer Nusantara Jasa pengiriman uang antar-daerah di dalam negeri
(domestik) ke Seluruh Pelosok Nusantara secara cepat dan mudah.
42
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pendahuluan
1. Perjanjian
Lazim dilakukan di dunia perbankan maupun bisnis pada umumnya bahwa
kerjasama antara pihak bank dan pihak nasabah diuraikan dan dituangkan secara
jelas dalam sebuah akad/perjanjian. Akad atau perjanjian ini memuat segala
sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tanggung jawab pihak-
pihak yang mengadakan kerjasama. Kewajiban bank adalah memenuhi kebutuhan
nasabah sebagaimana yang telah disepakati dalam suatu perjanjian baik berupa
kerja sama, utang piutang, sewa menyewa, dan sebagainya. Bank harus memenuhi
kewajibannya sebagai penyedia dana dan/atau barang sesuai yang telah disepakati
dalam besar, jumlah, nominal, dan kriteria, sebagai bentuk pemenuhan tangung
jawab bank pada nasabah. Sedangkan kewajiban nasabah/mudharib/musyarik
adalah memenuhi jadwal pengembalian ataupun jadwal angsuran tepat besar dan
tepat waktu, serta kewajiban menginformasikan hal-hal yang terkait dengan usaha
maupun tujuan pemberian pembiayaan.
2. Konsekuensi Perjanjian
Menjadi suatu keharusan dalam perjanjian selain mencantumkan hak dan
kewajiban juga mencantumkan tanggung jawab. Tanggung jawab adalah hal-hal
yang mengikat dua pihak jika terjadi tindakan atau aktivitas yang tidak sesuai
dengan perjanjian, misalnya pengenaan sanksi oleh bank terhadap nasabah atau
43
debitur yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran penembalian baik besar
maupun waktu.
Ta‟zir dan ta‟widh menjadi dua solusi yang diterapkan oleh bank syariah
Indonesia dalam mengatasi masalah pembiayaan yang terjadi pada beberapa akad
yang digunakan dalam produk-produk financing bank syariah. Namun dalam
ketentuannya, beberapa ulama dan cendekiawan ekonomi islam menyelisihi
praktek tersebut karena dianggap sama saja dengan riba.
B. Pandangan Syariah Terhadap Penerapan Sanksi Denda Bagi Nasabah
Wanprestasi Pada Akad Murabahah
Terdapat dua jenis sanksi denda yang dapat diberikan bagi nasabah yang
melakukan keterlambatan atas kewajibannya pada suatu akad utang-piutang, yakni
sanksi denda berupa pembayaran sejumlah uang (biasanya berdasarkan persentase
dari kewajiban jatuh tempo) yang berlandaskan ta‟zir, dan sanksi denda berupa
pembayaran uang yang dihitung berdasarkan kerugian yang dialami oleh bank
yang berlandaskan ta‟widh atau ganti rugi.
Tentang penjatuhan sanksi berupa denda pembayaran/pengambilan harta
benda atau uang (اىاه), para ulama mazhab berbeda pendapat dalam hal ini.
Sayyid Sabiq dalam bukunya menyebutkan bolehnya sanksi dengan mengambil
harta. Dan ini merupakan mazhab Abu Yusuf dan Imam Malik.34
Pendapat ini
juga merupakan pendapat qaul qadim Imam Syafi‟i, serta didukung oleh Ibnu
34
Sayyid Sâbiq, Fiqhu as-Sunnah al-juz`u al-tsâni, cet.khusus, (Kairo: al-Fathu Li al-I‟lâmi
al-„araby, 1946), h. 377.
44
Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Adapun mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali
mengharamkannya.35
Para ulama kontemporer pun berbeda pendapat tentang hukum pengenaan
ta‟zir. Ulama yang berpendapat akan kehalalan ta‟zir diantaranya adalah Prof. Dr.
Wahbah Zuhayli, Dr. Muhammad Syubair, dan lembaga AAOIFI (Accounting &
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions).36
Dewan Syariah
Nasional MUI juga menghukumkan halal pengenaan ta‟zir ini. Adapun beberapa
dalil yang dikemukakan oleh para ulama tentang kebolehan ta‟zir diantaranya:
Firman Allah s.w.t pada QS: al-Maidah [5] ayat 1 :
(1:5/اىاءدج)
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu....“
Hadist Nabi s.a.w dari „Amr bin „Auf
ػ ض ف اى ػ ش ت ػ ت ػثذ اىي زذثا مثش ت ش اىؼقذ اىخياه زذثا أت ػا ػي ت زذثا اىسس
خذ ػ أت
ا أزو زشا زياىا أ إىا صيسا زش سي اى قاه اىصير خائض ت سي ػي صي اىي سسه اىي أ
ا أزو زشا زياىا أ إىا ششعا زش ػي ششع سي اى
صسر زا زذث زس (سا اىرشز) قاه أت ػس 37
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal, telah
menceritakan kepada kami Abu Amir Al 'Aqadi, telah menceritakan kepada kami
Katsir bin Abdullah bin Amru bin 'Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perdamaian
diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh
menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih.
(HR.Turmuzi)
35 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV, h.408. 36 Ibid.,h.411. 37
Abî al-„alâ Muhammad ibn „Abdi ar-Rahmân ibn „Abdi ar-Rahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfatu
al-ahwazî bi Syarhi Jâmi‟i al-turmudzi Jilid ke-4 (Dâru al-Fikr), h.584-585.
45
ػ اىي شج سض ش أت اىأػشج ػ أت اىضاد ػ اىل ػ سف أخثشا ت زذثا ػثذ اىي
رثغ في ي ػي فئرا أذثغ أزذم ظي غو اىغ قاه سي ػي صي اىي سسه اىي (صا اىثخاس) أ38
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila
seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia
ikuti".(HR. Bukhari)
ش ت ػ ػ ذ ت س يح ػ أت دى تش ت ثاسك ػ اى قاه زذثا ات آد ذ ت س أخثش
قاه أت اىششذ ػ
ػقتر اخذ سو ػشض اى ى سي ػي صي اىي (سا اىساء) قاه سسه اىي39
Artinya: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Adam telah menceritakan
kepada kami Ibnu Al Mubarak dari Wabr bin Abu Dulailah dari Muhammad bin
Maimun dari 'Amru bin Asy Syarid dari ayahnya, dia berkata; "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Penundaan pembayaran hutang yang
dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya menghalalkan kehormatan
(untuk dighibah) dan hukumannya." (HR.Nasa`i)
ػقثح زذثا إسسق ت س ت زذثا ا سي غيس زذثا فضو ت أت اى ش خاىذ اى ت زذثا ػثذ ست
د اىصا ػثادج ت ىذ ػ اى س ت
ىا ضشاس ىا ضشس قض أ سي ػي صي اىي سسه اىي (سا ات اخ) أ40
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdu Rabbih bin Khalid An Numairi
Abu Al Mughallis berkata, telah menceritakan kepada kami Fudlail bin Sulaiman
berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin Uqbah berkata, telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Yahya bin Al Walid dari Ubadah bin Ash
Shamith berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memutuskan bahwa
tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madarat." (HR. Ibnu
Majah)
Rasulullah s.a.w. melalui hadist-hadist diatas menjelaskan bahwa setiap
muslim wajib memenuhi akad dan perjanjian yang telah dibuat. Dua pihak yang
melakukan transaksi wajib memenuhi syarat-syarat dan perjanjian yang telah
mereka buat ketika melakukan akad. Seorang pembeli yang melakukan pembelian
barang secara kredit atau tidak tunai wajib untuk memenuhi pembayarannya pada
38 Abî Yahya Zakariyya ibn Muhammad al-Ansâriy, Tuhfatu al-Bârî bi Syarhi Sahîhi al-
Bukhârî Jilid III, cet.II, (Beirut: Dâru Ibni Hazm, 2012), h.110. 39 Imam al-Sindî, Sunanu al-Nasâ î bi Syarhi al-Suyûtî wa Hâsyiah al-Sindî Jilid IV (Beirut:
Dâru al-Ma‟rifah, 1990), h.363. 40
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînnî Ibnu Mâjah, Sunanu Ibn Mâjah Jilid IV
(Beirut: Dâru al-Jîl, 1998), h.27.
46
waktu yang telah diperjanjikan. Seorang yang menunda-nunda pembayaran;
sebagaimana pada hadist diatas; dibolehkan mengenakan hukuman baginya. Maka
pengenaan sanksi denda ta‟zir diperbolehkan sebagai bentuk hukuman dan
pelajaran bagi pembeli yang menunda-nunda pembayaran. Sebagaimana pada
kaidah fiqh disebutkan :
األصو ف اىؼاالخ اإلتازح اال ا ذه دىو ػي ذسشا
Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk mu‟amalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.”
Denda ta‟zir yang dikenakan bukanlah riba sebagaimana yang Rasulullah
haramkan sebagaimana disebutkan secara marfu‟ yang diriwayatkan oleh Ali bin
Abi Thalib41
:
مو قشض خش فؼح ف ستا
Ta‟zir disini bukanlah termasuk manfaat yang diambil dari utang-piutang
yang terjadi, karena ta‟zir tersebut diperuntukkan untuk kebutuhan sosial, dimana
penjual (lembaga keuangan) wajib menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk bantuan sosial.
Para ulama yang tergabung dalam AAOIFI menyebutkan dalam standar
syariah mereka :
“It is permitted to prescribe in contracts involving indebtedness (such as
Murabaha) an obligation on the debtor, in the case of default in payment, to
donate an amount or percentage of the payment due on condition that this be
donated to charitable courses under the supervision of the bank‟s Sharia
supervisory board.”42
41 Ammi Nur Baits, Ada Apa Dengan Riba? (Yogyakarta: Pustaka Muamalah, 2006), h.86. 42
Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI),
Shari‟a Standards for Islamic financial Institutions (Bahrain: AAOIFI, 2010), h.33.
47
Artinya: “Diperbolehkan untuk menentukan dalam kontrak yang terkait
dengan utang-piutang (seperti murabahah) kesiapan debitur untuk
mendonasikan sejumlah uang (persentase dari pembayaran) pada saat ia
menunda-nunda pembayaran dengan syarat usng tersebut akan diakui sebagai
dana sosial dan diawasi oleh dewan pengawas syariah tersebut.”
Pemungutan denda ta‟zir dihukumkan halal oleh beberapa ulama dan
dihukumkan haram oleh sebagian yang lain dengan alasan bahwa itu sama halnya
dengan riba walaupun diperuntukkan untuk dana sosial. Hadist dari Amru bin 'Auf
Al Muzani yang menjadi dasar pembolehan ta‟zir menjelaskan bahwa perjanjian
yang dibuat oleh seorang muslim harus dipenuhi. Sehingga penetapan denda bagi
nasabah yang menunda-nunda pembayaran wajib dipenuhi sebagai bentuk
hukuman, sehingga nasabah lebih termotivasi untuk membayar kewajibannya
tepat waktu demi menghindari riba. Dana tersebut nantinya akan digunakan
sebagai dana sosial yang akan disalurkan kepada masyarakat dan tidak boleh
digunakan bank karna dana tersebut akan menjadi riba jika dimanfaatkan oleh
bank.
Para ulama yang mengharamkan ta‟zir beranggapan bahwa pendalilan
tersebut tidak kuat, karena pembayaran uang denda yang telah ditentukan diawal
kontrak jelas-jelas hal itu adalah riba. Tambahan tersebut jelas merupakan riba
karna telah disyaratkan diawal, walaupun tujuannya akan digunakan untuk dana
sosial, tetap saja uang tersebut merupakan tambahan akan transaksi utang-piutang
yang diharamkan oleh Rasulullah s.a.w, berapa banyakpun jumlahnya dan
bagaimanapun tujuannya.
48
أخغ اىسي قال ػ ث صي اهلل ػي سي أ اشرشاط اىضادج ف اىسيف ستا ى ما قثضح
ػيف43
Artinya: “Kaum muslimin sepakat, bersumber dari keterangan nabi mereka
shallallahu „alaihi wa sallam bahwa mempersyaratkan adanya tambahan dalam
utang adalah riba. Meskipun hanya segenggam pakan ternak.”
Tidak juga bisa kita pungkiri bahwa bank sama sekali tidak menerima
manfaat dari dana sosial yang disalurkan, karena saat pihak bank menyalurkan
dana sosial yang terkumpul melalui denda-denda keterlambatan yang dibayar oleh
nasabah, secara otomatis akan menjadi suatu iklan dan promosi yang akan
meningkatkan reputasi bank.44
Walaupun manfaat yang diterima oleh bank tidak
langsung dan bukan berupa uang/barang, tetap saja hal ini juga bisa dikatakan
tambahan yang berupa riba. Seperti yang disebutkan Bukhari dan Ibnu Majah :
أت أت تشدج ػ سؼذ ت زشب زذثا شؼثح ػ ت ا زذثا سي
د ث ذذخو ف ت شا ذ قا ل س فقاه أىا ذدء فأعؼ ػ اىي سض سيا ت ذح فيقد ػثذ اىي د اى أذ
و قد فيا ز و شؼش أ ز أ و ذث ل ز ذ إى ىل ػي سخو زق فأ ا فاش إرا ما قاه إل تأسض اىشتا ت
ستا فئ ذأخز
د شؼثح اىث ة ػ د أت دا زمش اىضش (سا اىثخاس) ى45
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb telah bercerita kepada
kami Syu'bah dari Sa'id bin Abu Burdah dari bapaknya;
"Aku mengunjungi Madinah lalu bertemu dengan 'Abdullah bin Salam radliallahu
'anhu. Dia berkata; "Tidakkah sebaiknya kamu berkunjung ke rumahku, Nanti
kusuguhi makanan terbuat dari tepung dan kurma dan kamu masuk ke dalam
rumah. Kemudian dia berkata lagi; "Sungguh kamu sekarang berada di negeri
praktek riba sudah merajalela. Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian
orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau
pakan ternak, maka janganlah kamu mengambilnya karena itu riba". An-Nadlar,
Abu Daud dan Wahb tidak menyebutkannya dari Syu'bah tentang „rumah‟." (HR.
Bukhari)
43 Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakrin al-Qurtubiy, al-Jâmi‟ li Ahkâmi al-
Qur`an Jilid IV, (Beirut: Al-Resalah Publishers, 2006), h.225. 44 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, h.414. 45
Abî Yahya Zakariyya ibn Muhammad al-Ansâriy, Tuhfatu al-Bârî bi Syarhi Sahîhi al-
Bukhârî Jilid IV, cet.II, (Beirut: Dâru Ibni Hazm, 2012), h.242.
49
ائ أت إسسق اى س ت ػ ذ اىضث ز ػاش زذث ػرثح ت ؼو ت اس زذثا إس ػ ت شا زذثا
اىل قاه سأىد أس ت
قشضا إرا أقشض أزذم سي ػي صي اىي قاه قاه سسه اىي ذ ى اه ف اى ا قشض أخا اىشخو
قثو رىل ت خش ت ن إىا أ ىا قثي ا ػي اىذاتح فيا شمث ي ز أ ذ ى (سا ات اخ) فأ46
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata, telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin Ayyasy berkata, telah menceritakan
kepadaku Utbah bin Humaid Adl Dlabbi dari Yahya bin Abu Ishaq Al Huna`i ia
berkata, "Aku bertanya kepada Anas bin Malik;
"Seorang lelaki dari kami meminjamkan harta kepada saudaranya, lalu ia
memberi hadiah kepada yang memberi pinjaman" Anas berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila salah seorang kalian memberi
hutang (pada seseorang) kemudian dia memberi hadiah kepadanya, atau
membantunya naik ke atas kendaraan maka janganlah ia menaikinya dan jangan
menerimanya, kecuali jika hal itu telah terjadi antara keduanya sebelum itu".”
(HR. Ibnu Majah)
Dikarenakan bahwa persyaratan sanksi denda ta‟zir tersebut termasuk ke
dalam riba, maka persyaratan yang telah dibuat diawal tidak boleh dipenuhi.
Kemudian yang dimaksudkan oleh Rasullah s.a.w. tentang bolehnya
memberikan hukuman bagi debitur mampu yang menunda; sebagaimana hadist
dari Syarid bin Suwaid; bukanlah dengan memberikan ganti rugi. Imam Bukhari
berkata : “Sufyan Tsauri menafsirkan maksud hadis di atas, mencemarkan nama
baik debitur yang sengaja menunda dengan ucapan: Si Fulan menunda
pembayaran utangnya kepadaku. Dan maksud boleh menjatuhkan sanksi, yaitu
hukuman kurungan (penjara).”47
Pendapat yang mengharamkan pemungutan denda ta‟zir didukung oleh
Syaikh Abdullah bin Mani‟ (anggota dewan ulama besar kerajaan Arab Saudi),
Prof.Dr.Al Qarh Daghi, dr.Fahmi Abu Sunnah dan Dr.Iyadh Al Anzi dalam
46 Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînnî Ibnu Mâjah, Sunanu Ibn Mâjah Jilid IV,
h.84. 47 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV, h.408-409.
50
disertasinya “Asy Syuruth ta‟widhiyyah”. Dewan Fikih Islam Liga Muslim Dunia
(Muslim World League) juga menyebutkan dalam fatwanya:
“If creditor imposed a condition on debtor that debtor would pay to
creditor an amount of money as a fixed monetary penalty or with a certain ratio
in case, he delayed the payment in the period fixed between them, then it is an
invalid condition or stipulation which must not be fulfilled rather it is not
permissible whether the stipulator is bank or somebody else, because it is the
usury of Jahiliyah (pre-Islamic period of ignorance) which the Qur‟an has
prohibited.”48
Artinya: “Apabila Kreditur memberikan suatu kondisi bagi debitur, dimana
debitur akan membayar kepada kreditur sejumlah uang baik sebagai hukuman
denda yang tetap atau dengan sebuah rasio, pada saat debitur menunda
pembayaran angsuran yang telah disepakati pada periode tertentu, maka
kondisi tersebut tidak sah atau ketentuan tersebut tidak boleh dipenuhi, baik
ketentuan tersebut berasal dari bank ataupun orang lain, karena hal tersebut
merupakan riba Jahiliyyah (Periode ketidaktahuan sebelum Islam) yang telah
Alquran larang.”
Mengenai perbedaan pendapat mengenai denda ta‟zir ini dapat dilihat
dalam tabel yang telah dirangkum di bawah ini:
48
Muslim World League, Resolution of Islamic Fiqh Council Makkah Mukarramah from 1st
to 18th Sessions During 1398-1427H (1977-2006), h.335.
51
Tabel 4.1 Perbedaan Pendapat Mengenai Denda Ta‟zir
Boleh Tidak Boleh
Ulama yang
berpendapat
Prof. Dr. Wahbah Zuhayli, Dr.
Muhammad Syubair, AAOIFI,
DSN MUI
Syaikh Abdullah bin Mani‟, Prof.Dr.
Al Qarh Daghi, Dr. Fahmi Abu
Sunnah, Dr. Iyadh al Anzi, Dewan
Fikih Islam Liga Muslim Dunia
Argumen a. Bolehnya menerapkan sanksi
dengan mengambil harta
b. Bolehnya mengenakan
hukuman bagi orang yang
menunda pembayaran utang
c. Denda yang dibayar
bukanlah riba karena
diperuntukkan untuk
kebutuhan sosial
d. Perjanjian dibuat agar
debitur memenuhi
kewajibannya, dan perjanjian
haruslah dipenuhi
a. Tidak boleh menerapkan sanksi
dengan mengambil harta
b. Hukuman yang dibolehkan
dikenakan kepada orang yang
menunda pembayaran denda adalah
dengan pencemaran nama baik atau
penjara.
c. Kreditur (bank) yang menerima
dana denda, mendapatkan
keuntungan berupa promosi dan ini
termasuk riba
d. Perjanjian yang dibuat untuk
menghalalkan suatu yang haram
tidak boleh dipenuhi.
52
Adapun mengenai ta‟widh, secara umum, para ulama yang membolehkan
ta‟widh berargumen dengan dalil yang sama dengan yang telah tersebut mengenai
ta‟zir. Ta‟widh berbeda dengan ta‟zir, dimana ta‟widh tidak ditentukan di awal
namun ditetapkan berdasarkan perhitungan kerugian riil yang dialami. Oleh
karenanya ada sebagian ulama yang mengharamkan ta‟zir namun menghalalkan
ta‟widh, dan juga sebaliknya ada yang menghalalkan ta‟zir namun mengharamkan
ta‟widh.
Pada tahun 1985 Syaikh Mustafa Zarqa mengajukan solusi ta‟widh dalam
tulisannya yang dimuat oleh Journal Islamic Economic, edisi. II, th.1985 yang
diterbitkan oleh pusat penelitian ekonomi Islam, Universitas King Abdul Aziz,
Jeddah, Arab Saudi. Kemudian solusi ta‟widh ini didukung oleh Syaikh Abdullah
bin Mani‟ dalam makalahnya yang diajukan ke Seminar Fikih yang diadakan Bait
Tamwil, Kuwait pada tahun 1985. Diperkuat dengan dalil-dalil.49
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hal 342, bahwa penundaan
pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya
harus dihindarkan; ia mengatakan :
ظشا ؼ أساد غش إرا أساد اىسفش أ اىذ ػي ثو : اىسفش سو قذ قثو سو اىذ ما فئ
اىسفش، أل ؼ ر اىسدح، في أ سش سو ف اى د سفش إال ف إى اىسح الق سفش ن أ
اىسفش، أل سو، في ذ اى ػ ا ف تاىذ دفغ س ا أ ض أقا ؛ فئ سي ذ ػ ش زق ذأخ ضشسا ف ػي
ه تزىل .اىضشس ض
Artinya: "Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau
jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan
perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang
ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan
untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh
49 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, h.406-407.
53
tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh
melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita
kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh
tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan
jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia
boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur
dapat dihindarkan."50
Kemudian Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Dimasyq:
Dar al-Fikr, 1998:
ض اىخغأ : اىرؼ أ اقغ تاىرؼذ ذغغح اىضشس اى (87)
ض اىرؼ أ ا ف اىض ا، مئصالذ اىسائظ : األصو اىؼا إصاىح اىضشس ػ ... إػادذ ريف خثش اى أ
اىقذ أ ثي ض اى خة اىرؼ ذؼزس رىل سا، فئ س صس نس مئػادج اى نا ذ اإل ػ ا ما سا م صس
(94)
ؤمذج ش اى رظشج غ اىخساسج اى صاىر ا ضاع اى سرقثيح)أ اى ح فال (أ ؼ اى األضشاس األدتح أ أ
اىفق أصو اىسن ا ف ض ػ ششػا , ؼ رق اى سقق فؼال د اى خ اه اى اى ض سو اىرؼ أل
(96)
(1998ثح اىضزي، ظشح اىضا، داس اىفنش، دشق، )
Artinya: "Ta'widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan" (h. 87).
"Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup
kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding...
(b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama
dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh
kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan
benda yang sama (sejenis) atau dengan uang" (h. 93).
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di
masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh
hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek
ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat
untuk memanfaatkannya." (h. 96).51
Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li, Mafahim Asasiyyah fi al-
Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ؼح دح عث اىضشس ر ما ش ف اىسذاد، خشاء اىرأخ ػي اىضشس اىساصو فؼال ذاس غو اى ا ض
اىسذاد (115)ىؼذ
50 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.43/DSN-MUI/
VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‟widh). 51 Ibid.
54
Artinya: "Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu
didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran
dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran
tersebut."52
Pendapat ulama yang membolehkan ta'widh sebagaimana dikutip oleh
`Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami,al-
Qahirah: al-Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
ذ اىذائ اعو ال ذف اى ذ ؼاقثح اى ض، ال إصاىح إال تاىرؼ اػذ اىششؼح، اىضشس ضاه زسة ق
س ضش . اى
ذج ب غص افغ اى اىغاصة ض أ ، أخز زن ثغ أ اىغصة، ش أداء اىسق شث ذأخ
يل ب ى غص ح اى ق ا ة ض س، إى خ ذ اىد (16-15)اىغصة ػ
"Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari'ah dan kerugian itu tidak
akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur
mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi
kreditur yang dirugikan.
Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya
status hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas
manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama,
di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak."53
Para ulama yang membolehkan ta‟widh berpendapat bahwa segala sesuatu
yang mengandung mudharat (merugikan) harus dihilangkan sebagaimana hadist
Rasulullah s.a.w. ( Ketika debitur menunda pembayaran, maka .(ال ضرر و ال ضرار
bisa jadi kreditur mengalami kerugian, sehingga kerugian tersebut tidak dapat
dihilangkan melainkan dengan pembayaran ganti rugi oleh debitur. Dan juga
Rasulullah s.a.w telah membolehkan menjatuhkan sanksi hukuman kepada orang
yang mampu membayar namun menunda dengan sengaja menunda
pembayarannya.54
52 Ibid. 53
Ibid. 54 Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV, h.408.
55
Sedangkan para ulama yang menentang ta‟widh beranggapan bahwa
kerugian yang dialami kreditur seharusnya dapat dihilangkan dengan menjual
barang jaminan yang telah diberikan oleh debitur di awal, dengan mengajukannya
ke pengadilan. Atau bisa juga dengan mensyaratkan pada debitur dengan
menjadikan seluruh sisa angsuran menjadi tunai, walaupun belum jatuh tempo.
Ganti rugi dengan uang pembayaran dari debitur juga akan mengakibatkan
kerugian bagi pihak debitur, sedangkan kerugian tidak boleh dihilangkan dengan
kerugian yang sama.
Hukuman yang dimaksudkan oleh Rasullah s.a.w. yang boleh diberikan
bagi debitur mampu yang menunda, bukanlah dengan memberikan ganti rugi
namun dengan pencemaran nama baik atau hukuman kurungan.
Beberapa lembaga fatwa yang mengharamkan ta‟widh, seperti yang
disampaikan Dewan Fikih Islam Liga Muslim Dunia (Muslim World League) :
“Apabila Kreditur memberikan suatu kondisi bagi debitur, dimana debitur
akan membayar kepada kreditur sejumlah uang baik sebagai hukuman denda
yang tetap atau dengan sebuah rasio, pada saat debitur menunda pembayaran
angsuran yang telah disepakati pada periode tertentu, maka kondisi tersebut
tidak sah atau ketentuan tersebut tidak boleh dipenuhi, baik ketentuan tersebut
berasal dari bank ataupun orang lain, karena hal tersebut merupakan riba
Jahiliyyah (Periode ketidaktahuan sebelum Islam) yang telah Alquran larang.”
AAOIFI juga menyatakan dalam Standar Syariah Nomor 3 Penundaan
Pembayaran oleh Debitur pada pasal 2/1(b) dan 2/1(c) :
“2/1(b) It is not permitted to stipulate any financial compensation, either in
cash or in other consideration, as a penalty clause in respect of a delay by a
debtor in settling his debt, whether or not the amount of such compensation is
pre-determined; this applies both to compensation in respect of loss of income
(opportunity loss) and in respect of a loss due to a change in the value of the
currency of the debt.
56
2/1(c) It is not permitted to make a judicial demand on a debtor in default
to pay financial compensation, in the form either of cash or of other
consideration, for delay in settling his debt.”55
Artinya: “2/1(b) Tidak dibolehkan untuk menentukan kompensasi financial
(ta‟widh), baik dalam bentuk kas (uang) ataupun pertimbangan lainnya,
sebagai ketentuan sanksi atas penundaan yang dilakukan debitur dalam proses
pelunasan utangnya, apakah jumlah kompensasinya ditetapkan di awal
ataupun tidak. Ketetapan ini berlaku pada kompensasi dalam bentuk hilangnya
laba (peluang yang hilang) dan juga dalam bentuk kerugian yang diakibatkan
oleh perubahan nilai mata uang (fluktuasi) daripada utang.
2/1(c) Tidak diperbolehkan untuk mengajukan debitur yang lalai ke
pengadilan dengan tuntutan kompensasi finansial (ta‟widh), baik dalam bentuk
uang kas atau pertimbangan lainnya, atas penundaan dalam pelunasan utang
yang ia lakukan.”
Keputusan Majma‟ Al Fiqh Al Islami (divisi Fikih OKI) No.51 (2/6) 1990
yang berbunyi, “Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda
kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Meskipun demikian, Syariat tidak
membolehkan penjual membuat persyaratan ta‟widh (ganti rugi) pada saat
nasabah terlambat melunasi kewajiban pembayaran.56
Ibnu Abdil Barr berkata, “Ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa riba
yang diharamkan Alquran adalah menarik uang ganti rugi (ta‟widh) dari debitur
yang terlambat membayar kewajibannya setelah jatuh tempo.57
55 Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI),
Shari‟a Standards for Islamic financial Institutions (Bahrain: AAOIFI, 2010), h.33. 56
Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV, h.409. 57 Ibid., h.410.
57
Tabel 4.2 Perbedaan Pendapat Mengenai Denda Ta‟widh
Boleh Tidak Boleh
Ulama yang
berpendapat
Syekh Mustafa Zarqa, Syaikh
abdullah bin Mani‟, „Abd al-hamid
Mahmud al-Ba‟li, „Isham Anas al-
Zaftawi, DSN-MUI.
Dr. Iyadh al Anzi, Dewan Fikih
Islam Liga Muslim Dunia, AAOIFI,
Divisi Fikih OKI.
Argumen a. Bolehnya menerapkan sanksi
dengan mengambil harta.
b. Bolehnya mengenakan
hukuman bagi orang yang
menunda pembayaran utang
c. Menghilangkan mudarat berupa
kerugian yang dialami kreditur
akibat penundaan pembayaran
oleh debitur dengan
pembayaran ganti rugi
d. Bukan termasuk riba, karena
kreditur tidak mendapatkan
manfaat.
a. Tidak boleh menerapkan sanksi
dengan mengambil harta.
b. Hukuman yang dibolehkan
dikenakan kepada orang yang
menunda pembayaran denda
adalah dengan pencemaran nama
baik atau penjara.
c. Menghilangkan kerugian bisa
dengan cara lain, sseperti
eksekusi jaminan atau seluruh
angsuran menjadi tunai.
d. Termasuk riba yang diharamkan
dalam al-Qur‟an.
58
C. Ketentuan Sanksi Denda Pada Akad Murabahah di Indonesia
Pada awal tahun 1999, Dewan Syariah Nasional secara resmi didirikan
sebagai lembaga syariah yang bertugas mengayomi dan mengawasi operasional
aktifitas perekonomian Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Selain itu juga untuk
menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh
kesamaan dalam penanganannya oleh masing-masing dewan pengawas syariah
(DPS) yang ada di masing-masing LKS. Beberapa fatwa telah dikeluarkan oleh
lembaga tersebut guna mendukung kinerja lembaga keuangan syariah di Indonesia
salah satunya perbankan syariah. Ketentuan terhadap akad murabahah secara
umum diatur dalam fatwa No:04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
Ketentuan denda ta‟zir diatur dalam fatwa no.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang
sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Beberapa
ketentuan umum yang disebutkan mengenai denda ta‟zir yakni :
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS
kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda
pembayaran dengan disengaja.
2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur
tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
59
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas
dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Sedangkan ta‟widh diatur pada fatwa no.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ganti Rugi (Ta‟widh) yang berbunyi :
Ketentuan Umum
1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta‟widh sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real
loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya
peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i‟ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna‟ serta
murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah
apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
60
Ketentuan Khusus
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak
(pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya
lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketentuan terkait sanksi denda pada murabahah juga dapat kita temukan di
Buku Standar Produk Murabahah yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Berikut beberapa ketentuan yang termaktub dalam poin 3.19 tentang
Standar Wanprestasi dan 3.20 tentang Standar Denda (Ta‟zir) dan Ganti Rugi
(Ta‟widh)58
:
3.19. Standar Wanprestasi
3.19.1. Wanprestasi adalah kegagalan Nasabah dalam memenuhi kewajiban
atau segala hal yang ditentukan dan bersama dalam kontrak sehingga
menimbulkan kerugian bagi Bank baik dalam berupa penyusutan nilai modal
maupun pengurang dan nilai bagi hasil untuk Bank.
3.19.2. Jika wanprestasi terjadi akibat kelalaian nasabah yang mengakibatkan
kerugian pihak Bank, maka Bank berhak mendapatkan ganti rugi (ta‟widh).
58
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa
Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah, h.53-55.
61
3.20. Standar Denda (Ta’zir) dan Ganti Rugi (Ta’widh)
3.20.1. Bank dapat memberikan sanksi kepada Nasabah yang terbukti mampu
bayar namun melakukan tunggakan atas pembayaran angsuran dan/atau
wanprestasi atas setiap ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak.
3.20.2. Sanksi yang dapat diterapkan adalah berupa denda (ta‟zir) dan/atau
ganti rugi (ta‟widh). Bank dapat menerapkan salah satu atau keduanya sesuai
dengan syarat dan kondisi yang dijelaskan dalam standar ini.
3.20.3. Denda atas tunggakan (ta‟zir) harus diperuntukkan sebagai dana social
atau dana kebajikan sementara ganti rugi (ta‟widh) dapat diakui sebagai
pendapatan dalam pembukuan Bank.
3.20.4. Denda atas tunggakan (ta‟zir) hanya dikenakan kepada Nasabah jika
Nasabah terbukti lalai atas kewajiban pembayaran angsurannya.
3.20.5. Kelalaian Nasabah didefinisikan sebagai kesalahan yang dilakukan oleh
Nasabah dalam hal keterlambatan pembayaran atas pembiayaan yang diberikan
dalam kontrak ini.
3.20.6. Ketentuan mengenai pembebanan ganti rugi (ta‟widh) kepada Nasabah
dibatasi oleh beberapa standar berikut ini:
3.20.6.1. Ganti rugi dikenakan kepada nasabah yang memang sengaja atau
karena lalai melakukan sesuatu yang menyimpang dari akad dan
mengakibatkan kerugian pada Bank.
3.20.6.2. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank
adalah sesuai dengan kerugian riil (real loss) dan bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss).
62
3.20.6.3. Bank hanya dapat mengenakan ganti rugi pada keuntungan Bank
yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah.
3.20.6.4. Klausul ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan
dipahami oleh nasabah.
3.20.6.5. Penetapan ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Bank dan Nasabah.
3.20.7. Kerugian riil adalah biaya riil yang dikeluarkan oleh Bank dalam
melakukan penagihan hak Bank yang seharusnya ditunaikan oleh Nasabah.
Ketentuan-ketentuan mengenai sanksi yang dapat diberikan pada nasabah
wanprestasi yang tersebut dalam Buku Standar Produk Murabahah yang
dikeluarkan OJK bersesuain dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Fatwa
DSN-MUI. “Buku Standar Produk Murabahah ini sebagai salah satu upaya
standarisasi produk perbankan syariah secara serial yang dilakukan oleh OJK
bekerjasama dengan pelaku industri dan Dewan Syariah Nasional serta nara
sumber lainnya.”59
sebut Pak Mulya E. Siregar sebagai sambutan dalam buku
standar tersebut.
Sebagaimana yang telah ditetapkan, ta‟zir dan ta‟widh memiliki perbedaan
masing-masing diantaranya mencakup kondisinya, perhitungannya, dan
pengakuannya dalam laporan keuangan. Beberapa perbedaan yang dapat
dirangkum antara lain :
59 Ibid., h.vi.
63
Tabel 4.3 Perbedaan Ta‟zir dan Ta‟widh
Aspek
perbedaan
Ta‟zir Ta‟widh
Kondisi Tidak mensyaratkan adanya
kerugian yang dialami bank
Mensyaratkan adanya
kerugian riil yang diakibatkan
oleh biaya penagihan yang
keluar
Perhitungan Dapat berupa uang yang
nilainya berdasarkan
kesepakatan kontrak di awal
Kerugian riil yang memang
benar dialami bank, bukan
kerugian yang diperkirakan
akan terjadi
Pengakuan Sebagai dana sosial atau dana
kebajikan
Sebagai pendapatan dalam
pembukuan bank
D. Sanksi Denda Pada Bank Syariah Mandiri
1. Prosedur Penerapan Sanksi
Pada kontrak akad murabahah yang dilakukan antara BSM dan
nasabahnya terdapat persetujuan mengenai hal-hal yang menjadi kewajiban dan
hak bagi tiap pihak. Kedua belah pihak terikat dalam perjanjian tersebut, sehingga
tidak dibenarkan untuk melakukan hal-hal yang diluar atau menyelisihi isi
perjanjian/kontrak. Dalam hal nasabah melanggar ketentuan yang ada, maka bank
berhak mengambil tindakan penanganan (tercantum dalam kontrak) sebagai
bentuk penyelamatan asset bank. Ada banyak cara yang dapat dilakukan bank
64
mulai dari pembatalan kontrak, pengambil alihan jaminan, restrukturisasi
pembiayaan, dan lain sebagainya.
Bagi nasabah yang tidak memenuhi ketetapan waktu dalam membayar
angsurannya, maka BSM mengenakan sanksi berupa pembayaran sejumlah denda
yang berupa denda ta‟zir. Denda ta‟zir merupakan denda berupa uang yang
dikenakan oleh bank syariah pada nasabahnya yang menunda pembayaran
kewajibannya atas bank, yang mana denda tersebut didasarkan pada prinsip ta‟zir
yang bertujuan untuk mendisiplinkan nasabah dalam melaksanakan kewajibannya.
BSM mengenakan sanksi ta‟zir bagi tiap nasabah yang melakukan
keterlambatan dalam pembayaran angsurannnya yang terhitung mulai dari hari
pertama keterlambatan tanpa melihat alasan atau kondisi nasabah tersebut. Denda
tersebut terus terakumulasi tiap harinya sampai nasabah membayar kewajibannya.
Walaupun sanksi denda sudah mulai terhitung sejak hari pertama keterlambatan,
nasabah dapat mengajukan permohonan penghapusan sanksi denda tersebut. Bagi
nasabah yang memang karna alasan tertentu, khususnya karna force majeur atau
keadaan memaksa, dapat mengajukan permohonan penghapusan.
Dalam hal ini, pegawai bank (bag.marketing) yang mengurus nasabah
tersebut, melakukan analisis pada nasabah. Dengan melihat itikad baik dari
nasabah, bank menghapus sanksi denda yang dibebankan pada nasabah. Perlu
diketahui juga, bahwa di BSM lebih memprioritaskan pada pengembalian modal
dana pembiayaan atau dalam hal ini pokok dan margin daripada memaksakan
sanksi denda pada nasabah. Jadi, sifat sanksi denda ini hanya mengikut dan tidak
65
dipaksakan pada nasabah. Hal ini dikarnakan sanksi denda hanya sebagai ta‟zir,
sebagi pendisiplinan nasabah saja.
Telah disebutkan bahwa BSM menjadikan pengembalian modal dan
margin sebagai prioritas, oleh karenanya BSM akan menempuh berbagai cara
yang dapat mempermudah nasabah dalam memenuhi kewajiban mereka. Tidak
ada ketentuan baku yang ditetapkan oleh bank bagi para karyawannya, jadi
penanganan tiap kasus berbeda-beda. Namun secara umum, bank akan
memberikan kemudahan bagi nasabah yang kurang mampu seperti melalui proses
restrukturisasi pembiayaan atau perubahan angsuran, agar nasabah dapat kembali
mampu.
Dari yang telah dijelaskan, kita dapat melihat bahwa BSM sangat
mengedepankan dan memprioritaskan nasabah agar dapat mengembalikan dana
yang disalurkan oleh bank. Hal ini dikarenakan beberapa sebab, diantaranya
sebagai berikut:
a. Dana yang disalurkan oleh bank bukanlah dana bank, namun dana
nasabah bank lainnya (nasabah funding). Bank secara umum hanyalah
sebuah lembaga mediasi, termasuk bank syariah. Dana yang disalurkan
bank kepada masyarakat atau nasabah; pada bank konvensional kita
sebut sebagai kredit, sedangkan pada bank syariah kita sebut
pembiayaan; bukanlah milik bank. Dana tersebut milik nasabah lain
yang disalurkan melalui bank. Dana tersebut berasal dari nasabah
funding yang mengharapkan pengembalian berupa keuntungan/laba;
khususnya pada deposito; dan terlebih lagi dana yang mereka tabung
66
atau modal yang mereka tanam aman dan dapat kembali tanpa
pengurangan sedikitpun secara fisik. Oleh karnanya bank memliki
tanggung jawab yang besar terhadap nasabah funding-nya atas dana
tersebut agar tetap aman dan dapat dikembalikan tepat waktu, beserta
sejumlah keuntungan yang telah diperjanjikan sebelumnya berupa
nominal mutlak (bank konvensional) ataupun nisbah/bagian (bank
syariah). Sehingga dalam hal ini diharapkan BSM tidak men-dzolim-i
nasabah funding akibat keterlambatan kewajiban nasabah financing.
Apalagi dalam Islam perbuatan dzolim sangat tercela, sehingga bank
syariah harus berusaha agar tidak ada pihak yang merasa di-dzolim-i
akibat kegiatan bank syariah tersebut.
b. Menjaga citra baik bank. Bank merupakan lembaga yang sangat
berkaitan dengan amanah, karena bank berkaitan dengan tanggung
jawab yang bank emban. Agar bank dapat selalu kompetitif baik antara
bank satu dengan lainnya dan secara khusus bank syariah dengan bank
konvensional, maka bank harus terus menjaga citra baik bank tersebut.
Sebelum bank menghadapi masalah pembiayaan, bank terlebih dahulu
menghadapi masalah pendanaan. Dalam menjaga pendanaan, bank
perlu menarik para nasabah sehingga mereka mau dan tetap loyal
untuk menyimpan dan menginvestasikan dana mereka pada bank
tersebut. Oleh karnanya bank sangat memperhatikan setiap kegiatan
dan pelayanannya agar bank selalu dipandang baik oleh para
nasabahnya.
67
c. Menjaga penilaian OJK terhadap kolektabilitas pembiayaan bank. OJK
(Otoritas Jasa Keuangan). OJK merupakan lembaga independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan
di sektor jasa keuangan. Penilaian OJK sangat penting bagi bank. Oleh
karenanya BSM harus terus memperhatikan setiap kegiatannya agar
tidak mengurangi penilaian OJK terhadap BSM. Makanya BSM harus
terus menjaga kolektabilitasnya, menjaga agar nilai kredit pembiayaan
bermasalah dalam batas normal yang dibolehkan oleh OJK.
DSN-MUI telah menetapkan melalui fatwa-fatwanya bahwa bank syariah
boleh mengenakan sanksi denda bagi nasabah wanprestasi dalam dua bentuk,
ta‟zir dan ta‟widh. BSM sebagai salah satu bank syariah di Indonesia lebih
memilih menggunakan bentuk sanksi ta‟zir daripada ta‟widh. Hal ini dikarenakan
oleh beberapa alasan:
a. Dalam perhitungannya denda ta‟zir lebih simple dan lebih mudah
daripada ta‟widh.
b. Perhitungan ta‟zir dapat dilakukan melalui sistem komputer dan
penarikannya dapat dilakukan secara otomatis (auto-debet) dari
rekening nasabah sehingga tidak perlu dilakukan perhitungan manual
oleh pegawai bank atas besar nominal dendanya seperti halnya ta‟widh
yang memang harus dihitung secara real berdasarkan kerugian yang
benar dialami oleh bank.
68
c. Setelah diketahui nominal denda ta‟zir, bank bisa langsung
menariknya dari rekening nasabah tanpa harus mengabarkan kepada
nasabah, karena telah tertera dalam kontrak besaran denda yang akan
dibebankan pada nasabah.
Memang lebih ideal jika bank syariah tidak menetapkan sanksi denda baik
ta‟zir maupun ta‟widh pada nasabahnya yang wanprestasi, karna hal itu lebih
dekat terhadap riba nasiah. Namun, denda tersebut tetap diadakan sebagai bentuk
pendidikan pada nasabah, melihat karakter nasabah yang berbeda-beda, ada yang
mampu namun masih menunda-nunda. Jika denda tidak diterapkan nasabah akan
seenaknya menunda pembayaran cicilan atau kewajibannya. Padahal bank disini
sebagai lembaga mediasi. Jika dana tidak kembali maka bank tidak dapat
mengembalikan dana tersebut kembali ke masyarakat, dan hal ini dapat
menghambat kinerja operasional bank. Oleh karenanyalah bank syariah
menerapkan ta‟zir dan ta‟widh.
Jika kita teliti lebih jauh, kita akan bertanya bagaimana BSM dapat
menutup kerugian yang dialami jika terjadi kasus keterlambatan pembayaran,
sedangkan BSM tidak menerapkan ta‟widh? Untuk menghindari kerugian, diawal
kontrak BSM telah menghitungkan besaran margin yang akan diperoleh oleh bank
sehingga jumlah dari margin tersebut dapat menutupi biaya-biaya; seperti biaya
penagihan dan operasional tambahan; yang akan dialami oleh bank jikalau nanti
nasabah lalai atau terlambat dalam membayar cicilannya. Jadi bank akan
memperoleh keuntungan yang lebih besar jika pengembalian pembiayaan yang
disalurkan oleh bank berjalan lancar. Dan juga, sebagai bentuk apresiasi pada
69
nasabah yang tepat waktu dalam pengembalian atau pembayaran angsuran, BSM
dapat memberikan potongan atas kewajiban pembayaran nasabah. Hal ini sesuai
dengan fatwa DSN nomor 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan
Dalam Murabahah.
2. Perhitungan Sanksi Denda
Denda ta‟zir yang BSM bebankan bagi nasabah yang terlambat membayar
sebesar 0,00069 x kewajiban angsuran nasabah yang belumterbayar (tertunggak);
untuk tiap hari keterlambatan (hari kerja bank). Misalnya nasabah membeli suatu
barang dari bank dengan harga Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah)
yang akan dibayar secara angsur pada tanggal 15 tiap bulannya mulai bulan
Januari selama 1 (satu) tahun. Berarti angsuran tiap bulannya sebesar Rp
3.000.000,-. Dari bulan Januari sampai bulan Juni dibayar tepat waktu. Pada bulan
Juli nasabah membayar angsurannya pada tanggal 27, sehingga nasabah
membayar terlambat 10 hari (dengan asumsi 2 hari libur bank) dari jadwal yang
diharuskan. Maka denda ta‟zir yang dibebankan sebesar 0,00069 x Rp 3.000.000,-
= Rp 2.070,- untuk tiap hari keterlambatan. Karena nasabah terlambat selama 10
hari, maka denda yang dibebankan pada nasabah sebesar Rp 20.700,-.
3. Pengalokasian Dana Sanksi Denda
Dana yang terkumpul dari pembayaran sanksi denda dimasukkan dalam
akun dana kebajikan atau dana sosial, yang dalam laporan keuangan diakui
sebagai pendapatan non-halal, yang oleh bank tidak boleh digunakan untuk
kepentingannya. BSM menyalurkan dana sosialnya melalui Lembaga Amil Zakat
70
Nasional Bangun Sejahtera Mitra Umat (Laznas BSM) yang berada di bawah
Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat.
Pendapatan non-halal dan penggunaannya dalam bank syariah harus
diungkapkan dalam laporan tahunan pelaksanaan Good Corporate Governance
sebagaimana diatur dalam SEBI No.12/13/DPbS, tanggal 30 April 2010, perihal
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah. Pendapatan non-halal menjadi sumber dana sosial Bank yang
terdiri atas:60
a. Dana Sosial Ex Penalty, yakni dana yang berasal dari denda keterlambatan
(penalty) pembayaran angsuran atau denda lain yang berhubungan dengan
transaksi antarpihak Bank dengan pihak ketiga.
b. Dana Sosial Ex Jasa Giro, yakni dana sosial yang berasal dari giro yang
diterima oleh Bank dari penempatan pada bank konvensional.
c. Dana Sosial Lainnya, yakni dana sosial yang berasal dari komisi, fee, atau
dalam pendapatan dalam bentuk lainnya dari rekanan Bank selain
pendapatan yang berhak diterima sebagai ketentuan manajemen.
60 PT Bank Syariah Mandiri, Laporan Tahunan 2015, (Jakarta: PT BSM, 2016) h. 225.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Murabahah merupakan bagian dari jual-beli amanah, dimana penjual
menyebut harga pokok barang dan mensyaratkan laba kepada pembeli. Pada
prakteknya di perbankan, akad tersebut digunakan dalam produk pembiayaan
yang berasaskan jual-beli secara kredit yang akan berimplikasi pada terjadinya
perjanjian utang-piutang antar nasabah dan bank.
Nasabah yang menggunakan produk berakadkan murabahah berkewajiban
untuk melakukan pembayaran angsuran sebagai bentuk kewajibannya terhadap
bank pada waktu yang telah disepakati bersama selama periode yang juga telah
disepakati. Nasabah sebagai pihak yang berutang seyogyanya memenuhi
kewajibannya dengan sungguh-sungguh, tanpa melakukan penundaan yang
merupakan suatu tindakan kezaliman yang mendatangkan kerugian bagi bank
sebagai pihak pemberi utang. Bahkan Rasulullah s.a.w. menghalalkan kehormatan
orang yang menunda pembayaran utangnya padahal ia mampu, sebagai bentuk
wajibnya melunasi utang.
Penundaan pembayaran kewajiban yang dilakukan oleh nasabah akan
berakibat pada kerugian yang dialami bank. Atas dasar itu, beberapa ualama
menfatwakan dan memberi solusi untuk pemberian sanksi yang dapat berupa uang
yakni sanksi berupa denda keterlambatan yang berdasarkan ta‟zir dan sanksi
pembayaran yang berdasarkan ganti rugi atau ta‟widh.
72
Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan dari penelitian ini, beberapa hal
yang dapat disimpulkan adalah:
1. Tidak semua ulama membolehkan penerapan sanksi denda atas
keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh nasabah. Hal ini
dikarenakan mereka beranggapan bahwa sanksi denda tersebut sama
halnya dengan riba, karena merupakan tambahan yang dibebankan atas
penundaan pembayaran utang. Sedangkan ulama yang membolehkan
beranggapan bahwa sanksi denda tersebut bukanlah riba, karena digunakan
sebagai dana sosial (untuk denda ta‟zir), dan sebagai ganti-rugi atas biaya
yang dikeluarkan oleh bank atas aktifitas penundaan nasabah (untuk denda
ta‟widh).
2. Di Indonesia, sanksi denda boleh diterapkan oleh lembaga keuangan
syariah khususnya perbankan syariah. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur
oleh DSN-MUI dalam fatwanya dan OJK dalam standarnya. Sanksi denda
hanya boleh diterapkan bagi nasabah yang mampu, namun dengan sengaja
menunda pembayaran kewajibannya. Denda ta‟zir diakui sebagai dana
sosial yang akan disalurkan ke masyarakat sebagai bantuan. Sedangkan
denda ta‟widh dapat diakui pendapatan bank, namun jumlahnya harus
sesuai dengan kerugian riil yang dialami oleh bank.
3. Bank Syariah Mandiri hanya menerapkan sanksi denda berupa ta‟zir, yang
jumlahnya sudah ditentukan di awal kontrak yakni 0,00069 bagian dari
kewajiban nasabah yang tertunda pada bulan berjalan untuk tiap hari
keterlambatan. Nasabah dapat mengajukan penghapusan denda kepada
73
pihak BSM selama memiliki alasan yang jelas dan dibenarkan oleh
peraturan yang ada. Jadi, pihak BSM akan mengenakan denda kepada
setiap nasabah yang melakukan keterlambatan pembayaran selama
nasabah tersebut tidak meminta atau mengajukan penghapusan denda.
Dana yang diterima bank dari pembayaran sanksi denda nasabah
dimasukkan ke dalam Dana Sosial Ex Penalty diakui sebagai pendapatan
non-halal dalam laporan keuangan.
B. Saran
Banyak perbedaan pendapat ulama terhadap kebolehan penerapan sanksi
denda pada produk perbankan syariah khususnya murabahah. Lembaga fatwa
yang ada beserta lembaga regulasi dapat mempertimbangkan kembali tentang
penerapan sanksi denda ini, sehingga pendapat-pendapat para ulama yang ada
dapat dikompromikan. Memang secara sekilas sanksi denda tersebut terlihat
seperti riba, karena bagaimanapun juga dana yang didapat masih dalam
penguasaan bank, sehingga memungkin bank masih dapat mengambil manfaat
dari dana tersebut.
74
DAFTAR PUSTAKA
Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI), Shari‟a Standards for Islamic financial Institutions. Bahrain:
AAOIFI, 2010.
al-Ansâriy, Abî Yahya Zakariyya ibn Muhammad. Tuhfatu al-Bârî bi Syarhi
Sahîhi al-Bukhârî, cet.II. Beirut: Dâru Ibni Hazm, 2012.
al-Mubârakfûrî, Abî al-„alâ Muhammad ibn „Abdi ar-Rahmân ibn „Abdi ar-Rahîm.
Tuhfatu al-ahwazî bi Syarhi Jâmi‟i al-turmudzi. Dâru al-Fikr.
al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. Ensiklopedia
hadits 3; Shahih Muslim 1, Penerjemah Ferdinand Hasmand, dkk, Jakarta:
almahira, 2012.
al-Sindî, Imam. Sunanu al-Nasâ`î bi Syarhi al-Suyûtî wa Hâsyiah al-Sindî. Beirut:
Dâru al-Ma‟rifah, 1990.
al-Qurtubiy, Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakrin. al-Jâmi‟ li Ahkâmi
al-Qur`an Jilid IV. Beirut: Al-Resalah Publishers, 2006.
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Amalia, Euis. Sejarah pemikiran Ekonomi Islam. Depok: Gramata Publishing,
2010.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Badri, Muhammad Arifin Bin. Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syari‟ah.
Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009.
Baits, Ammi Nur. Ada Apa Dengan Riba?. Jogjakarta: Pustaka Muamalah, 2016
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah MUI
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah
Otoritas Jasa Keuangan, Standar Produk Perbankan Syariah Murabahah.
OJK: Jakarta, 2016.
Efendi, Sofian dan Tukiran, Ed. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, 2012.
75
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM FSH UIN Jakarta,
2012.
Farid, Muhammad. ”Murabahah dalam Perspektif Fikih Empat Mazhab”.
Epistemé VIII. No.1 (Juni 2013): h.115-134.
Hasan, Zubairi. Undang-Undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam
dan Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Hidayat, Muis. “Analisis Penerapan Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-
MUI/VIII/2004 Tentang Ta‟widh Pada Pembiayaan Murabahah di PT
Bank Syariah Bukopin.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Hosen, Muhamad Nadratuzaman. Buku Saku Perbankan Syariah. Jakarta: PKES,
2005.
Ibnu Mâjah, Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînnî. Sunanu Ibn
Mâjah. Beirut: Dâru al-Jîl, 1998.
Jusmaliani, dkk. Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Karim, Adiwarman A.. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, cet.VIII.
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Khan, Tariqullah dan Habib Ahmad. Manajemen Resiko: Lembaga Keuangan
Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Muslim World League, Resolution of Islamic Fiqh Council Makkah Mukarramah
from 1st to 18
th Sessions During 1398-1427H (1977-2006).
Nuruddin, Amiur. Ekonomi Syariah Menepis Badai Krisis dalam Semangat
Kerakyatan. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009.
PT Bank Syariah Mandiri, Laporan Tahunan 2015. Jakarta: PT BSM, 2016.
Rochaety, Ety, dkk. Metodologi Penelitian Bisnis Dengan Aplikasi SPSS. Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2009.
Sâbiq, Sayyid. Fiqhu as-Sunnah al-juz`u al-tsâni, cet.khusus. Kairo: al-Fathu Li
al-I‟lâmi al-„araby, 1946.
76
Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Saparuddin, “Qardh dalam Perspektif al-Quran.” Studia Economica I. No.1
(Desember 2013): h.1-16.
Setiady, Tri. ”Pembiayaan Murabahah dalam Perspektif Fiqh Islam, Hukum
Positif dan Hukum Syariah” Fiat Justisia VIII. No.3 (September 2014):
h.517-530.
Sugianto. “Membangun Lemma Ekonomi Islam Berbasis Qawa‟id al-Fiqhiyah.”
Human Falah I. No.1 (Juni 2014): h.1-15.
Tanjung, Hendri dan Abrista Devi. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam. Jakarta:
Gramata Publishing, 2013.
Tarigan, Azhari Akmal, dkk. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Bandung: Citapustaka
Media, 2006.
Tarmizi, Erwandi. Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet.IV. Bogor: PT.
Berkat Mulia Insani, 2013.
Taswan. Manajemen Perbankan Konsep, Teknik & Aplikasi, cet.II. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN, 2010
Undang Undang Republik Indonesia No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
Sumber Internet
https://ekbis.sindonews.com
http://gudangilmusyariah.blogspot.co.id
http://themwl.org
http://www.academia.edu
http://www.dsnmui.or.id
http://www.koran-jakarta.com
http://www.ojk.go.id
http://www.syariahmandiri.co.id
77 INTERVIEW________
78 INTERVIEW________
79 INTERVIEW________
80 INTERVIEW________
81 INTERVIEW________
82 INTERVIEW________
83 INTERVIEW________
84 INTERVIEW________
85 INTERVIEW________
86 INTERVIEW________
87 INTERVIEW________
88 INTERVIEW________
89 INTERVIEW________
90 INTERVIEW________
91 INTERVIEW________
92 INTERVIEW________
93 INTERVIEW________
94 INTERVIEW________
95 INTERVIEW________
96 INTERVIEW________
97 INTERVIEW________
98 INTERVIEW________
99 INTERVIEW________
100 INTERVIEW________
101 INTERVIEW________
102 INTERVIEW________
103 INTERVIEW________
104 INTERVIEW________
105 INTERVIEW________
106 INTERVIEW________
107 INTERVIEW________
108 INTERVIEW________
109 INTERVIEW________
110 INTERVIEW________
Bagaimana karakteristik akad murabahah pada BSM?
Salah satu akad pembiayaan adalah Murabahah (Jual Beli) dimana didalamnya untuk
transaksi tsb ditntukan jumlah pokok dan keuntungan yang diketahui oleh dua pihak tersebut
yg dijual secara muajjal atau dicicil. Karna dicicil ada potensi keterlambatan pembeli
(nasabah) baik sengaja atau tidak baik dalam kondisi mampu ataupun force majeur (Bencana).
Bank tidak menilai personal tapi mengeneralisir semua nasabah, tidak membedakan satu
kasus dgn kasus lain, semua nasabah dikenakan denda, namun penanganannya berbeda
tergantung karakter nasabah. Ada yang mampu tetap dikenakan denda.
Bagi yang tidak mampu dilakukan restrukturisasi atau perubahan angsuran, supaya
kembali mampu. Hitungan denda tetap berjalan, namun bank memberi kebijakan untuk
penghapusan denda. Atau dengan penjualan aset nasabah yang hasilnya dapat digunakan
untuk membayar seluruh kewajiban nasabah pada bank, dengan kata lain penyelesaian
kontrak. Dalam hal ini bank juga dapat menghapus denda yang telah dibebankan diawal.
Ada dua jenis denda yang ditentukan oleh MUI yaitu Ta‟zir dan ta‟widh. BSM
menggunakan ta‟zir. Dana ta‟zir akan disalurkan melalui lembaga sosial bank yang bernama
BSM (Bina Sarana Mandiri) Ummat.
Denda ta‟zir yang dibebankan pada nasabah sebesar 0,00069 x kewajiban nasabah
yang belum terbayar (tertunggak); untuk tiap harinya. Misal pada bulan ini nasabah wajib
membayar cicilannya Rp 2.000.000,- sedangkan pada rekening nasabah hanya ada Rp
1.000.000,- (bank memakai sistem auto-debet). Sisa yang belum terbayar untuk bulan ini
sebesar Rp 1.000.000,- maka denda ta‟zir nasabah sebesar 0,00069 x Rp 1.000.000,- = Rp
690,- untuk tiap hari keterlambatannya, dihitung sampai nasabah menyelesaikan pembayaran
tunggakannya.
Dalam pengenaan denda BSM menggunakan denda ta‟zir. Untuk ta‟widh sendiri tidak
digunakan karna perhitungan denda ta‟widh cukup sulit dan ribet serta tidak bisa dilakukan
otomatis oleh sistem. Sedangkan denda ta‟zir dalam perhitungannya cukup simpel dan dapat
dilakukan secara otomatis oleh. Memang lebih idealnya jika bank syariah tidak menetapkan
sanksi denda baik ta‟zir maupun ta‟widh pada nasabahnya yang wanprestasi, karna hal itu
lebih dekat terhadap riba nasiah. Namun, denda tersebut teap diadakan sebagai bentuk
pendidikan pada nasabah, melihat karakter nasabah yang berbeda-beda, ada yang mampu
namun masih menunda-nunda.
Jika denda tidak diterapkan nasabah akan seenaknya menunda pembayaran cicilan
atau kewajibannya. Padahal bank disini sebagai lembaga mediasi. Jika dana tidak kembali
maka bank tidak dapat mengembalikan dana tersebut kembali ke masyarakat, dan hal ini
dapat menghambat kinerja operasional bank. Oleh karenanyalah bank syariah menerapkan
ta‟zir dan ta‟widh.
Untuk menghindari kerugian, diawal kontrak BSM telah menghitungkan besaran
margin yang akan diperoleh oleh bank sehingga jumlah dari margin tersebut dapat menutupi
biaya-biaya; seperti biaya penagihan dan operasional tambahan; yang akan dialami oleh bank
111 INTERVIEW________
jikalau nanti nasbah lalai atau terlambat dalam membayar cicilannya. Jadi bank akan
memperoleh keuntungan yang lebih besar jika pengembalian pembiayaan yang disalurkan
oleh bank lancar.
Ta‟zir dibebankan mulai hari pertama keterlambatan. Sampai pada satu bulan,
nasabah diingatkan melalui telepon atau juga bisa dengan bertemu langsung kepada nasabah.
Tidak ada ketentuan baku dalam hal ini yang ditetapkan dari BSM sendiri, namun lebih
kepada kebijakan personal pegawai bank yang menangani kasus tersebut. Namun biasanya,
jika sudah mulai memasuki bulan kedua keterlambatan, nasabah masih belum membayar,
bank akan memberikan surat peringatan pertama pada nasabah. Jika belum dibayar juga pada
bulan berikutnya, bankakan memberikan surat peringatan kedua. Begitu juga pada bulan
berikutnya, bank akan mengeluarkan surat peringatan ketiga. Dengan dikeluarkannya surat
peringatan ketiga ini, bank telah mewanti-wanti nasabah untuk melelang barang jaminan
milik nasabah.
Bagi nasabah yang tidak mampu ataupun bangkrut, dan bank melihat
ketidakmungkinan untuk merestrukturisasi pembiayaan nasabah tersebut, maka bank akan
melakukan eksekusi jaminan. Dalam melelang jaminan, bank memberikan opsi pada nasabah
apakah barang tersebut akan dijual bank atau nasabah. Dalam kasus bank yang menjual, bank
akan menawarkan barang tersebut dengan harga yang biasanya lebih rendah dari yang
diinginkan nasabah atau yang telah diperkirakan diawal.
Dalam kasus nasabah yang keras kepala, dengan artian bahwa dia tidak menerima
harga jual bank, dan nasabah itu sendiri pun tidak mampu untuk menjualnya, maka barang
jaminan tersebut akan diserahkan ke badan lelang. Dan perlu diperhatikan tidak semua
barang jaminan yang dijaminkan nasabah pada bank syariah diterima oleh badan lelang.
Badan lelang akan melihat kelengkapan dokumen barang jaminan tersebut terlebih dahulu.
Misalkan barang jaminan tersebut berupa tanah, maka tanah tersebut harus yang telah
bersertifikat. Jika tanah yang yang dilelang belum bersertifikat, atau tanah girik/AJB, maka
bank akan menawarkan pada nasabah bank lainnya atau orang lain untuk membelinya dengan
harga yang ditetapkan melalui negosiasi.
Hasil dari penjualan barang jaminan tersebut yang akan digunakan untuk menutupi
kewajiban nasabah yang belum terbayarkan pada bank. Jika terdapat kelebihan dana hasil
penjualan barang jaminan, maka akan diserahkan pada nasabah pemilik, karna hal itu masih
merupakan hak nasabah pemilik jaminan. Jika ternyata dana hasil penjualan tersebut belum
mencukupi untuk menutupi kewajiban nasabah, maka sisa kewajiban tersebut masih
merupakan tanggung jawab nasabah yang akan dibayarkan di kemudian hari.
Walaupun bank dapat menjual barang yang telah dijaminkan oleh nasabah dengan
sebab ketidakmampuan, BSM tetap lebih memilih dan mengusahakan cara kekeluargaan. Hal
ini dikarenakan tindakan penjualan barang jaminan yang berlebih akan memperburuk citra
bank di mata masyarakat. Oleh karnanya BSM senantiasa untuk terus memperjuangkan jalan
kekeluargaan. BSM hanya mengharapkan agar nasabah segera melunasi angsuran kewajiban
mereka.
112 INTERVIEW________
Setiap angsuran yang dibayarkan oleh nasabah setiap bulannya terdiri atas pokok dan
margin yang diterima bank.Nasabah diharapkan membayarkan angsuran setiap bulannya
secara tepat waktu. Namun nasabah juga bisa melunasi kewajibannya di awal, atau
mempercepat pembayarannya. Hal ini tentu akan sangat menguntungkan bank. Dalam hal ini
DSN MUI membolehkan bagi Bank Syariah untuk memberikan diskon bagi nasabah yang
melakukan pelunasan di awal. Dengan niat baik nasabah tersebut, bank menawarkan pada
nasabah untuk hanya membayarkan sisa pokoknya saja artinya bank hanya menerima
keuntungan(margin) bulan berjalan saja tanpa menagih keuntungan bulan berikutnya. Hal ini
dilakukan agar Bank Syariah dapat bersaing dengan Bank Konvensional yang hanya
mewajibkan nasabahnya untuk membayarkan pokok saja tanpa membayar bunga jika nasabah
melunasi kewajibannya di awal.
Hal ini tentu mengurangi keuntungan yang akan diterima bank padahal sudah berada
di depan mata. Banyak dari BPR dan koperasi yang tidak melakukan itu. Mereka tetap
membebankan nominal awal pada nasabah, walaupun mereka ingin melunasi kewajiban
mereka di awal. Namun, karna BSM merupakan bank yang lumayan besar dan telah banyak
dikenal, dan supaya bisa bersaing bank lainnya yang sudah lebih dulu besar, maka BSM
menerapkan pemberian diskon tersebut. Agar nasabah BSM tetap loyal dan akan terus
menjadi nasabah BSM.
Nasabah yang menunggak akan dikenakan denda sebesar yang telah ditetapkan
dikontrak. Sehingga nasabah yang nunggak wajib melunasi kewajibannya sebesar nominal
yang ada yang terdiri dari pokok+marjin+denda. Jikalau terasa memberatkan, nasabah dapat
mengajukan permohonan pengurangan terhadap nominal kewajiban yang harus ia bayar.
Merupakan kewenangan Pimpinan Bank untuk memberikan pengurangan tersebut atau tidak.
Dari ketiga unsur kewajiban tersebut, BSM dapat menghapus marjin atau denda ataupun
keduanya. Penghapusan tidak dapat dilakukan pada unsur pokok, karna unsur pokok tersebut
merupakan hak/milik nasabah BSM yang lain (Nasabah Funding/Pendanaan). Bagi bank
yang terpenting adalah nasabah dapat segera melunasi kewajibannya. Semakin lamanya
nasbah tersebut melunasi kewajibannya ataupun semakin banyaknya jumlah nasabah yang
menunda pembayaran kewajibannya (menunggak) dapat memperburuk nama bank di Bank
Indonesia (atau OJK).
Dalam pengalaman BSM, adakah bentuk pelanggaran lain yang dilakukan nasabah
selain keterlambatan dalam membayar?
Karena sistem Murabahah di bank syariah menggunakan sistem wakalah, artinya
nasabah yang mewakilkan bank untuk membeli barang yang diinginkan, pelanggaran lain
dapat berupa penyalahgunaan dana yang diberikan oleh bank, atau penyalahan kontrak yang
telah ditetapkan. Sanksi yang diberikan pada nasabah bisa sampai pada pembatalan akad.
Jenis pelanggaran dalam akad murabahah bisa dalam : 1)Pembelian barangnya, 2)Informasi
yang diberikan untuk pengajuan pembiayaan, mulai dari informasi identitas dan legalitas.
Jika informasi yang diberikan ternyata palsu, kontrak akad dapat dibatalkan. Jika dana masih
113 INTERVIEW________
berada di rekening, bisa ditarik kembali. Jikalalu dana telah dipakai, maka dilakukan cara
kekeluargaan untuk meminta nasabah mengembalikan dana pembiayaan yang telah diberikan.
Namun kasus ini sangat jarang sekali, karena hal ini menunjukkan analisa bank kurang bagus.
Dalam menangani kasus tersebut bank juga dapat menjual barang yang telah dijaminkan
dengan keadaan dimana legalitas jaminan tersebut asli. Jika jaminan tersebut sengketa/palsu,
maka tidak bisa dilakukan.
114 INTERVIEW________