40
Penetapan Kadar Abu Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan memiliki kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar SNI 01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil diversifikasi dari jelly fish product (kamaboko) yang tidak diolah menjadi surimi dahulu memiliki standar kadar abu antara 0,44 – 0,69% menurut SNI 01-2693-1992. Contoh jelly fish product, yakni otak- otak, bakso dan kaki naga. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah). A. Penentuan kadar abu secara langsung Prinsip pengabuan cara langsung yaitu semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600 o C, kemudian zat yang tertinggal setelah proses pembakaran ditimbang.

Penetapan Kadar Abu makanan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kimia makanan

Citation preview

Page 1: Penetapan Kadar Abu makanan

Penetapan Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Produk perikanan memiliki kadar abu yang berbeda-beda. Standar mutu ikan segar berdasar SNI 01-2354.1-2006, ialah memiliki kadar abu kurang dari 2%. Produk olahan hasil diversifikasi dari jelly fish product (kamaboko) yang tidak diolah menjadi surimi dahulu memiliki standar kadar abu antara 0,44 – 0,69% menurut SNI 01-2693-1992. Contoh jelly fish product, yakni otak-otak, bakso dan kaki naga.

Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam yang cukup tinggi menunjukan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara basah).

A.   Penentuan kadar abu secara langsungPrinsip pengabuan cara langsung yaitu semua zat organik dioksidasi pada suhu tinggi, yaitu sekitar

500-600oC, kemudian zat yang tertinggal setelah proses pembakaran ditimbang.Mekanisme pengabuan cara langsung yaitu

1.     Cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit dalam desikator.

2.     Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram.3.     Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b

gram.4.     Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pemanasan pada suhu 300oC agar kandungan bahan volatil dan

lemak terlindungi hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan hingga asam habis. Selanjutnya, pemanasan pada suhu bertahap hingga 600oC agar perubahan suhu secara tiba-tiba tidak menyebabkan cawan menjadi pecah.

B.    Penentuan kadar abu secara tidak langsungPrinsip pengabuan cara tidak langsung yaitu bahan ditambahkan reagen kimia tertentu sebelum

dilakukan pengabuan.

Page 2: Penetapan Kadar Abu makanan

Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol atau pasir bebas anorganik yang selanjutnya dipanaskan dalam suhu tinggi. Pemanasan menyebabkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan memperbesar oksidasi. Pemanasan pada pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas sehingga proses pengabuan semakin cepat.

Mekanisme pengabuan cara tidak langsung yaitu1.     cawan porselen dioven terlebih dahulu selama 1 jam kemudian diangkat dan didinginkan selama 30 menit

dalam desikator.2.     Cawan kosong ditimbang sebagai berat a gram.3.     Setelah itu, bahan uji dimasukan sebanyak 5 gram ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat sebagai berat b

gram.4.     Gliserol alkohol ditambahkan dalam cawan sebanyak 5 ml dan dimasukan dalam tanur pengabuan hingga

putih keabu-abuan.5.     Abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari.6.     Cawan porselen dioven terlebih dahulu untuk mengeringkan air yang mungkin terserap saat disimpan dalam

muffle lalu dimasukan ke desikator.7.     Penimbangan cawan setelah pengabuan dicatat sebagi berat c gram. Suhu yang tinggi menyebabkan elemen

abu yang volatil, seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu, seperti K2CO3 dan CaCO3. Pengeringan dengan metode ini bertujuan mendapatkan berat konstan.

ANALISIS PROKSIMAT TEPUNG IKAN

Pengamatan Fisik

Berdasarkan pengamatan fisik, meliputi  pengamatan tekstur, warna, bau, dan rasa dapat diketahui jenis pakan yang digunakan dalam praktikum. Hasil pengamatan fisik pada sampel terangkum dalam tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan fisik

Parameter Pengamatan

Tekstur Lembut  menggumpal

Warna Kuning kecoklatan

Bau Bau pellet ikan

Rasa Asin,pahit

Berdasarkan pengamatan fisik tekstur dapat diketahui bahwa sampel yang digunakan mempunyai tekstur yang lembut menggumpal, warna sampel yang digunakan berwarna kuning kecoklatan, bau sampel yang digunakan berbau seperti bau pelet ikan, dan mempunyai rasa asin dan pahit. Berdasarkan pengamatan tersebut sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah tepung ikan. Bau dan warna, uji rasa bisa digunakan untuk mendeteksi kualitas. Jika rasa tepung ikan sama seperti asinnya masakan, maka diprediksikan kadar garamnya sekitar 2 sampai 3% (Anonim, 2011).

Tepung ikan. Tepung ikan (Fish meal) adalah salah satu bahan pakan konsentrat sumber protein. Ikan digiling, dimasak dan diproses untuk menghasilkan presscake, soluble ikan, dan minyak. Produk akhir tepung ikan adalah tepung presscake, tepung utuh (semua soluble dicampur lagi ke presscake) atau beberapa kombinasi presscake dan soluble (Agus, 2008). Tabel 2 memperlihatkan hasil analisis kandungan proksimat dari tepung ikan menurut Darsudi (2011).

 Tabel 2. Kandungan nutrisi tepung ikan

Page 3: Penetapan Kadar Abu makanan

Parameter Pengamatan

Bahan kering

Air

Abu

Lemak kasar

Protein kasar

Serat kasar

ETN

93%

7,00%

17,93%

6,89%

59,58%

4,48%

4,12%

(Darsudi, 2011)

Syarat mutlak dari bahan baku ransum ialah tidak mengandung rancun (toksik) yang dapat mengganggu kesehatan dan produktivitas ayam. Zat anti nutrisi pada pakan seringkali menjadi faktor penghambat dalam pemakaian bahan baku alternatif. Jenis zat anti nutrisi yang terdapat dalam bahan baku tepung ikan adalah Gizzerosine dan histamine. Perkembangan teknologi pakan, bisa ditekan atau bahkan beberapa dapat dihilangkan permasalahan anti nutrisi ini. Teknologi yang biasa diterapkan antara lain pemberian enzim, fermentasi maupun perlakuan kimia dan biologi lainnya (Anonim, 2008).

Tepung ikan yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak harus distabilkan dengan antioksidan seperti ethoxyquin untuk mencegah minyak menjadi tengik. Protein pada tepung ikan memiliki nilai bypass rumen yang tinggi karena kaya lisin, asam amino esensial dan methionine. Karena itu cukup baik bila dicampur alfafa atau silase rumput muda, yang biasanya mengandung protein terdegradasi dalam rumen dalam jumlah tinggi. Tepung ikan harus diberikan sedikit demi sedikit untuk menghidari penolakan oleh ternak. Pemberian tepung ikan yang terbaik adalah pada laktasi awal ketika protein sangat dibutuhkan (Agus, 2008).

Tepung ikan umumnya dalam formula ransum unggas komersial, baik itu ayam raas, itik atau burung puyuh. Tepung ikan terdapat pada ransum bagi unggas yang berproduksi tinggi. Pemakaian tepung ikan dalam ransum ayam ras, oleh para ahli makanan unggas Negara barat selalu dibatasi di bawah 10% (Rasyaf, 1990).

Menurut Kamal (1998), tepung ikan termasuk bahan pakan yang cukup mahal harganya, oleh karena itu penggunaanya hanya umtuk ternak non-ruminansia yang omnivora (babi, unggas) dan merupakan bahan pakan standar bagi kedua jenis ternak tersebut yang gunanya untuk memenuhi kekurangan asam amino esensial di dalam ransumnya. Penggunaan tepung ikan di dalam ransum akan menunjukkan respon yang lebih baik dari pada menggunakan konsentrat protein yang lain.penggunaan di dalam ransum babi cukup sekitar 7%, dan di dalam ransum unggas sekitar 10% untuk massa pertumbuhan, 8% untuk masa akhir ayam daging, dan 5 sampai 6% untuk masa produksi telur. Penggunaan tepung ikan di dalam ransum unggas dengan aras yang tinggi akan dapat mengakibatkan bau amis atau anyir pada daging atau telur yang dihasilkannya.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat atau analisis Weende dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, yaitu suatu metode analisis dan menggolongkan komponen yang ada pada makanan. Cara ini dipakai hampir di seluruh dunia dan disebut “analisis proksimat” (proximate analysis). Analisis ini didasarkan atas komposisi susunan kimia dan kegunaannya (Tillman et al., 1998). Hasil pengamatan analisis prosimat pada sampel terangkum dalam tabel 2 berikut:

Page 4: Penetapan Kadar Abu makanan

Tabel 2. Analisis kimia (proksimat)

Parameter Pengamatan

     I                    II               rata-rata

Bahan kering % 86,69 %          78,18 %      82,44 %

Protein kasar %Serat kasar % 20,68 %           17,92 %       19,3%11,19 %          19,18 %      15,19 %

Lemak kasar % 12,90 %          19,18 %      16,04 %

Abu % 11,49 %          12,14 %      11,82 %

BETN % 43,74 %          31,58 %      37,66 %

Total 100 %              100%         100 %

Penetapan kadar air. Air yang terkandung di dalam tepung ikan akan menguap seluruhnya apabila bahan tersebut dipanaskan selama beberapa waktu pada suhu 105 sampai 110 0C dengan tekanan udara bebas.  Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah silica disk yang berfungsi sebagai tempat sampel yang tidak mudah rusak karena memiliki titik leleh lebih dari 1000oC sehingga dapat digunakan dalam menentukan analisis proksimat dan merusak sampel pada suhu yang tinggi, desikator yang berfungsi sebagai penstabil suhu, silica gel berfungsi menyerap air. Alat lain yang digunakan adalah oven (105 sampai 110 0C), yang berfungsi untuk menguapkan seluruh air yang terdapat dalam sampel, tang penjepit untuk mengeluarkan silica disk dari dalam oven, dan timbangan analitik yang digunakan untuk menimbang sampel baik yang belum atau sudah di oven ataupun untuk menimbang silica disk. Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka kadar air dapat dihitung dengan mejumlah bobot gelas timbang dan bobot cuplikan kemudian dikurangi bobot gelas timbang dan cuplikan setelah dioven 105 sampai 110oC, kemudian dikali 100% dan dibagi bobot cuplikan pakan.

Hasil penetapan kadar air dari kelompok empat dalam sampel yang digunakan adalah 13,31%, sedangkan kadar air kelompok satu adalah 21,819%, sehingga rata-rata kadar air dari tepung ikan adalah 17,56 %. Karena air yang terkandung dalam suatu bahan pakan akan menguap seluruhnya apabila bahan tersebut dipanaskan selama beberapa waktu pada suhu 105 sampai 110 0C dengan tekanan udara bebas. Menurut Darsudi (2011), kadar air tepung ikan sebesar 7%, perbedaan kadar air karena dipengaruhi kandungan air pada tepung ikan yang digunakan tercampur dengan air yang berlebih. Faktor yang mempengaruhi kadar air dalam suatu bahan pakan adalah cara penyimpanan, iklim tempat penyimpanan kemasan dan jenis ikan. Proses pembuatan tepung ikan juga mempengaruhi kualitas nutrisi tepung ikan. Pengeringan dan lama pengeringan juga mempengaruhi kualitas tepung ikan (Rasyaf, 1992)

Sampel makanan ditimbang dan diletakan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven pada temperatur 105 0C. Pemanasan berjalan hingga sampel sudah tidak lagi turun beratnya. Setelah pemanasan tersebut sampel makanan disebut “sampel bahan kering” dan pengurangannya dengan sampel makanan tadi disebut persen air atau kadar airnya (Tillman et al., 1998)

Penetapan kadar abu. Menurut Anggorodi (1990), abu merupakan zat-zat mineral sebagai suatu golongan dalam bahan makanan atau jaringan hewan ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan kemudian menimbang sisanya. Suatu bahan pakan bila dibakar pada suhu 550 sampai 600OC selama beberapa waktu maka semua zat organiknya akan terbakar sempura menghasilkan oksida yang menguap yaitu berupa CO2, H2O dan gas-gas lain, sedangkan yang tertinggal tidak menguap adalah oksida mineral atau yang disebut abu. Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka kadar abu dapat dihitung dengan menghitung bobot sampel dan silica disk setelah ditanur 550 sampai 600oC, kemudian dikurangi bobot silica disk kosong sebelum ditenur dan dikali 100% dan dibagi bobot sampel sebelum ditanur.

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah silica disk, desikator, tang penjepit, oven pengering, timbangan analitik, dan tanur (550oC sampai 600oC ) yang berfungsi untuk membakar bahan organik secara

Page 5: Penetapan Kadar Abu makanan

sempurna. Hasil penetapan kadar abu dalam sampel kelompok empat yaitu 11,497 % sedangkan kelompok satu yaitu 12,1384% sehingga diperoleh rata-rata kadar abu dari tepung ikan adalah 11,82 %. Kadar abu  menurut Darsudi (1990) sebesar 17,93%. Menurut Rasyaf (1992), proses pengeringan pada pembuatan tepung ikan yaitu pengeringan matahari, pengeringan vacuum, pengeringan dengan uap panas dan pengeringan dengan api pijar sesaat. Pengeringan dan lama pengeringan mempengaruhi kualitas tepung ikan. Seluruh senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2 dan H2O dan gas lain yang menguap, sedang sisanya adalah abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung di dalamnya. Abu hasil pembakaran dapat digunakan sebagai titik tolak untuk determinasi persentase zat-zat tertentu yang terdapat dalam bahan pakan (Anggorodi, 1990).

Penetapan kadar serat kasar. Menurut Tillman et al., (1998), perbedaan antara berat endapan sebelum dibakar dan berat abu disebut serat kasar. Serat kasar adalah bahan organik yang tidak larut saat dihidrolisis dengan H2SO4 1,25% dan NaOH 1,25%. Perebusan dengan menggunakan H2SO4 1,25% setelah itu diberi NaOH 1,25% supaya suasananya asam menjadi basa sesuai dengan suasana pencernaan pada ruminansia yang di dalam rumen yang asam dan usus halus suasana basa.

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah beaker glass 600ml, desikator, tang penjepit, timbangan analitik, tanur  (550oC sampai 600oC), pemanas untuk mendidihkan campuran bahan dalam beaker glass, saringan linen yang berfungsi untuk menyaring bahan organik yang tertinggal, gelas arloji, glass wool dan gooch crucible yang berfungsi sebagai penyaring bahan organik yang tertinggal. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah H2SO4 1,25% (0,255N) yang berfungsi untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein, NaOH 1,25% (0,313N) yang berfungsi untuk penyabunan lemak, dan ethyl alkohol 95%. Semua senyawa organik kecuali serat kasar akan larut bila direbus dalam H2SO4 1,25% (0,255N) dan NaOH 1,25% (0,313N)  yang berurutan masing-masing selama 30 menit. Bahan organik yang tertinggal disaring dengan glass wool dan gooch crucible. Hilangnya bobot setelah dibakar  550oC sampai 600oC adalah serat kasar. Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka kadar serat kasar dapat dihitung dengan menghitung bobot sampel setelah dioven 105oC dikurangi bobot sisa pembakaran 550 sampai 600oC dan dikali 100% dan dibagi bobot sampel awal.

Hasil percobaan yang dilakukan dengan bahan tepung ikan kadar serat kasa yang diperoleh kelompok empat adalah 11,1927 % sementara kelompok satu memperoleh kadar abu nya sebesar 19,1792% sehingga diperoleh rata-rata kadar serat kasar adalah 15,19 %. Menurut Darsudi (2011), kadar serat kasar pada tepung ikan yaitu 4,48%. Menurut Rasyaf (1994), kualitas tepung ikan bervariasi berdasarkan macam ikan dan bagian mana yang dimasukkan ke dalam tepung ikan itu. Faktor yang membedakan kadar serat kasar yaitu asal usul tepung ikan, jenis ikan dan proses pembuatan tepung ikan.

Penetapan kadar protein kasar. Penentuan protein kasar dengan alat Kjeldahl. Analisis ini menggunakan asam sulfat dengan suatu katalisator dan pemanasan (Tillman et al., 1998). Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik, labu kjeldahl 650 ml yang berfungsi sebagai tempat sampel pada saat destruksi dan destilasi, labu erlenmeyer sebagai tempat penampung sampel pada saat titrasi, gelas ukur 100 ml untuk mengukur reagensia yang digunakan, buret yang berfungsi sebagai tempat HCl pada saat titrasi, pipet volume 25 atau 50 ml untuk mengambil larutan reagensia yang digunakan, corong yang berfungsi untuk mempermudah dalam memasukkan larutan HCl ke dalam buret, alat destruksi yang berfungsi untuk melepaskan N-organik sampel, dan alat destilasi yang berfungsi untuk mendestilasi sampel.

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah H2SO4 pekat yang berfungsi untuk melepas N-organik dari sampel, CuSO4, K2SO4, dan kjeltab yang berfungsi sebagai katalisator, NaOH 50% yang berfungsi sebagai pensuasana basa, HCl 0,1 N, H3BO3 0,1 N yang berfungsi menangkap NH3 yang terlepas pada saat destilasi, indikator mix yang berfungsi sebagai indikator warna, dan Zn logam yang berfungsi untuk mencegah terjadinya superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar.

Kadar protein kasar =

Page 6: Penetapan Kadar Abu makanan

Keterangan :        x = jumlah titrasi sampel (ml)

y = jumlah titrasi blanko (ml)

N = normalitas HCl

z = bobot sample

Hasil penetapan kadar protein kasar dalam sampel yang digunakan adalah 20,68 % sementara kelompok satu memperoleh kadar protein kasar sebesar 17,9246% sehingga rata-rata protein kasar tepung ikan adalah 19,3%. Menurut Darsudi (2011), kadar protein kasar 59,58%. Menurut Rasyaf (1994), berdasarkan kadar protein kasar yang dihitung berbeda dengan literatur karena tepung ikan yang digunakan berasal dari jenis ikan yang berbeda. Protein kasar asal ikan herring yang tertinggi dan yang terendah dari ikan tuna. Kandungan protein kasar yang menengah berasal dari ikan menhaden dan sarden.

Penetapan kadar lemak kasar. Lemak kasar merupakan campuran dari berbagai senyawa yang larut dalam pelarut lemak. Menurut Tillman et al., (1998), sampel bahan kering diekstrasi dengan etil eter selama beberapa jam, maka bahan yang didapatkan adalah lemak, eter akan menguap. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik, tang penjepit, oven pengering, desikator, seperangkat alat ekstraksi dan selongsong dari soxhlet  yang berfungsi untuk ekstraksi lemak, labu penampung yang berfungsi menampung sisa petroleum benzene yang jatuh dari soxhlet , alat pendingin yang berfungsi untuk mengkondensari uap hasil penguapan petroleum benzen agar tidak mencemari lingkungan, dan kertas saring bebas lemak yang berfungsi untuk menyaring ekstrak.

Berdasarkan data-data yang diperoleh, maka kadar lemak kasar dapat dihitung dengan menghitung bobot sampel dan kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (sebelum diekstraksi), kemudian dikurangi bobot sampel dan kertas saring bebas lemak setelah oven 105°C (setelah diekstraksi) dan dikali 100% dan dibagi bobot sampel sebelum ditanur. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah petroleum benzene yang berfungsi sebagai pelarut lemak. Hasil penetapan kadar lemak kasar kelompok empat dalam tepung ikan  yang digunakan adalah 12,90 % sedangkan kadar lemak kasar kelompok satu sebesar 19,18 % sehingga kadar rata-rata lemak kasar 16,04 %. Menurut Darsudi (2011), besar kadar lemak kasar pada tepung ikan 6,89%. Perbedaan penghitungan dengan literatur karena kualitas tepung ikan bervariasi, tergantung dengan macam ikan, bagian mana yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan dan proses pembuatan tepung ikan.

Penetapan kadar ekstrak tanpa nitrogen (ETN). Menurut Darsudi (2008), hasil analisis proksimat pada tepung ikan yaitu kadar air 7,00%, kadar abu 17,93%, kadar lemak 6,89%, kadar protein 59,58% dan kadar serat 4,48%, sehingga ETN yang diperoleh dari mengurangi sempel bahan kering dengan semua komponen – komponen air, serat kasar, lemak, protein dan abu. Besar ETN dari tepung ikan adalah 4,12%. Menurut Rasyaf (1994), kualitas tepung ikan bervariasi berdasarkan macam ikan dan bagian mana yang dimasukkan ke dalam tepung ikan itu. Faktor yang membedakan kadar serat kasar yaitu asal usul tepung ikan, jenis ikan dan proses pembuatan tepung ikan.

Page 7: Penetapan Kadar Abu makanan

Penentuan pH tanah (pH H2O dan pH KCl)

1.         Latar Belakang

Penetapan reaksi tanah (pH) tertentu yang terukur pada tanah ditentukan oleh seperangkat faktor

kimia tertentu. Oleh karena itu, penentuan pH tanah adalah salah satu uji yang paling penting yang dapat

digunakan untuk mendiagnosa masalah pertumbuhan tanaman.

Reaksi tanah atau pH tanah menggambarkan status kimia tanah yang menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Bila konsentrasi ion H+ bertambah maka pH turun, sebaliknya bila konsentrasi ion H+ berkurang daan ion OH- bertambah, pH akan naik, status kimia tanah mempengaruhi proses biologi seperti pertumbuhan tanaman.

Reaksi tanah menunjukkan kemasaman atau alkalinits tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai

pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H) dalam tanah. Nilai pH tanah sebenarnya

dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah yang komplit sekali, yang diantaranya adalah kejenuhan basa, sifat

isel dan macam kation yang diserap.

Reaksi tanah yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: masam, netral, dan basa. Tanah

pertanian yang masam jauh lebih luas masalahnya dari pada tanah yang memiliki sifat alkalinitas. Tanah

masam terjadi akibat tingkat pelapukan yang lanjut dan curah hujan yang tinggi serta akibat bahan induk

yang masam pada tanah podsolik yang banyak terdapat di Indonesia, mempunyai aspek kesuburan

keracunan ion-ion terutama keracunan H+.

Nilai pH berkisar antara 0-14. Makin tinggi kepekatan / konsentrasi (H+) dalam tanah, makin rendah pH

tanah dan sebaliknya, makin rendah konsentrasi (H+) maka makin tinggi pH tanah. Sehubungan dengan nilai

pH dijumpai 3 kemungkinan, yaitu : masam, netral dan basa (alkali). Kemasaman tanah dibedakan atas

kemasaman aktif dan kemasaman potensial. Kemasaman aktif disababkan oleh ion H+ dan Al3+ yang terjerap

pada kompleks jerapan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu untuk mengetahui gambaran mengenai tanah yang baik

untuk pertumbuhan tanaman, maka diperlukan adanya pengetahuan tentang pH suatu tanah.

2.        Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini adalah:

Menentukan reaksi atau derajat kemasaman dan kebasaan suatu tanah.

Page 8: Penetapan Kadar Abu makanan

Untuk mengetahui cara penetapan pH tanah dengan menggunakan pH meter dan mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhi pH tanah.

Mahasiswa mengetahui cara mengukur pH tanah dan dapat dijadikan sebagai informasi apabila

dilakukan penanganan lebih lanjut pada tanah tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Reaksi tanah merupakan salah satu sifat kimia dari tanah yang mencakup berbagai unsur-unsur dan

senyawa-senyawa kimia yang lengkap. Reaksi tanah menunjukkan tentang keadaan atau status kimia tanah

dimana status kimia tanah merupakan suatu faktor yang mempengaruhi proses-proses biologis seperti pada

pertumbuhan tanaman. Reaksi atau pH yang ekstrim berarti menunjukkan keadaan kimia tanah yang dapat

disebutkan proses biologis terganggu (Pairunan,dkk, 1985).

Larutan tanah adalah air tanah yang mengandung ion-ion terlarut yang merupakan hara bagi tanaman.

Konsentrasi ion-ion terlalu sangat beragam dan tergantung pada jumlah ion yang terlarut dan jumlah bahan

pelarut. Pada musim kemarau atau kering dimana air banyak yang menguap, maka konsentrasi garam akan

berubah drastis yang akan mempengaruhi pertumbuhan dari suatu tanaman (Hakim,dkk, 1986).

Nilai pH tanah dipengaruhi oleh sifat misel dan macam katron yang komplit antara lain kejenuhan basa,

sifat misel dan macam kation yang terserap. Semakin kecil kejenuhan basa, maka semakin masam tanah

tersebut dan pH nya semakin rendah. Sifat misel yang berbeda dalam mendisosiasikan ion H beda walau

kejenuhan basanya sama dengan koloid yang mengandung Na lebih tinggi mempunyai pH yang lebih tinggi

pula pada kejenuhan basa yang sama (Pairunan,dkk, 1985).

Reaksi tanah secara umum dinyatakan dengan pH tanah. Kemasaman tanah bersumber dari asam

organik dan anorganik serta H+ dan Al3+ dapat tukar pada misel tanah. Sedangkan tanah alkalis dapat

bersumber dari hasil hidroksil dari ion dapat tukar atau garam-garam alkalis seperti : Belerang dan

sebagainya (Hakim dkk, 1986).

pH tanah adalah logaritma dari konsentrasi ion H+ di dalam tanah, hal ini dapat dilihat pada

persamaan berikut: pH = - log (H+). Dilihat dari pHnya lebih besar dari tanah mempunyai tiga sifat yaitu

bersifat basa jika pHnya lebih besar dari 7 dan bersifat netral apabila pHnya antara 6-7 serta jika tanah

memiliki pH di bawah 7 maka tanah akan dikatakan bersifat asam (Pairunan, dkk, 1997).

Page 9: Penetapan Kadar Abu makanan

Larutan mempunyai pH 7 disebut netral, lebih kecil dari 7 disebut masam, dan lebih besar dari 7

disebut alkalis. Reaksi tanah ini sangat menunjukkan tentang keadaan atau status kimia tanah. Status

kimia tanah mempengaruhi proses-proses biologik (Hakim, dkk, 1986).

pH tanah sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung berupa ion hidrogen sedangkan pengaruh tidak

langsung yaitu tersedianya unsur-unsur hara tertentu dan adanya unsur beracun. Kisaran pH tanah

mineral biasanya antara 3,5–10 atau lebih. Sebaliknya untuk tanah gembur, pH tanah dapat kurang dari

3,0. Alkalis dapat menunjukkan pH lebih dari 3,6. Kebanyakan pH tanah toleran pada yang ekstrim rendah

atau tinggi, asalkan tanah mempunyai persediaan hara yang cukup bagi pertumbuhan suatu tanaman

(Sarwono, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah unsur-unsur yang terkandung dalam tanah,

konsentrasi ion H+ dan ion OH-, mineral tanah, air hujan dan bahan induk, bahwa bahan induk tanah

mempunyai pH yang bervariasi sesuai dengan mineral penyusunnya dan asam nitrit yang secara alami

merupakan komponen renik dari air hujan juga merupakan faktor yang mempengaruhi pH tanah (Kemas,

2005), selain itu bahan organik dan tekstur. Bahan organik mempengaruhi besar kecilnya daya serap tanah

akan air. Semakin banyak air dalam tanah maka semakin banyak reaksi pelepasan ion H+ sehingga tanah

menjadi masam. Tekstur tanah liat mempunyai koloid tanah yang dapat yang dapat melakukan kapasitas tukar

kation yang tinggi. tanah yang banyak mengandung kation dapat berdisiosiasi menimbulkan reaksi masam.

Sistem tanah yang dirajai oleh ion-ion H+ akan bersuasana asam. Penyebab keasaman tanah adalah ion

H+ dan Al3+ yang berada dalam larutan tanah dan komplek jerapan. Bila pH sama dengan 7 menunjukkan

keadaan netral, pH kurang dari 7 itu menunjukkan keadaan asam, dan pH lebih dari 7 menunjukkan keadaan

alkalis. (Ganesa Tanah, oleh Poerwowidodo, Institut Pertanian Bogor).

Kemasan tanah ada dua macam, yaitu:

1. Kemasaman aktif: Yaitu kemasaman yang disebabkan oleh adanya ion H+ yang ada pada koloid tanah.

2. Kemasaman pasif: Yaitu kemasaman yang disebabkan oleh ion H+ dan Al3+ yang ada pada kompleks jerapan

tanah.

3.3. Cara Kerja

1. Ayak tanah dengan menggunakan ayakan, ambil tanah yang paling halus.

2. Kemudian timbang tanah halus sebanyak 10 gram.

Page 10: Penetapan Kadar Abu makanan

3. 10 gram tanah halus masukkan ke tabung kocok ditambah 10 ml air suling (1:1; yaitu 10 gram tanah dengan

pelarut 10 gram).

4. Kocok kurang lebih 10 menit dengan mesin pengocok.

5. Ukur dengan pH meter (standarisasi dengan pH 4 dan pH 7).

6. Bilas elektroda dengan air suling dan keringkan dengan tisuue dan siap digunakan untuk sampel lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

KELOMPOK pH H2O pH KClpH MUATAN TANAH (KCl – 

H2O)

I 4,94 3,94 -1,00

II 4,80 3,90 -0,90

III 4,98 3,99 -0,99

IV 4,75 3,87 -0,88

V 4,15 3,90 -0,25

VI 5,04 4,02 -1,02

4.2. Pembahasan

Dilihat dari pHnya lebih besar dari tanah mempunyai tiga sifat yaitu bersifat basa jika pHnya lebih

besar dari 7 dan bersifat netral apabila pHnya antara 6-7 serta jika tanah memiliki pH di bawah 7 maka

tanah akan dikatakan bersifat asam. Reaksi tanah ini sangat menunjukkan tentang keadaan atau status

kimia tanah. Status kimia tanah mempengaruhi proses-proses biologik.

Pada praktikum penentuan pH tanah (pH H2O dan pH KCl), adapun didapat data hasil setiap kelompok

seperti data tabel diatas. Tanah pada lahan Universitas Jambi merupakan tanah ultisol yaitu tanah mineral

yang pH-nya berada diantara 4-5,5. Pada kelompok I-V pH H2O dan pH KCl tidak jauh berbeda rata-rata berada

Page 11: Penetapan Kadar Abu makanan

pada pH 4-5. Akan tetapi, pada kelompok VI pH H2O = 5,04 dan pH KCl = 4,02 sedikit ada perbedaan dengan

kelompok lain, ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, hal ini disebabkan karena lapisan ini

mengandung bahan organik yang cukup tinggi pada permukaan tanah yang tercampur dengan bahan

mineral tanah dan mengalami penguraian oleh mikroba yang mengakibatkan terbentuknya asam sulfida

dan asam nitrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hakim, dkk. (1986), bahwa rombakan organik diserang

oleh sebagian besar mikroorganisme yang diantara hasil metabolisme akhirnya adalah asam organik dan

bahan organik yang banyak. Bila asam ini sampai kebagian mineral dalam tanah, mereka tidak

memberikan H tetapi menggantikan basa dan meningkatkan kemasaman tanah. Hal ini Juga disebabkan

jumlah ion H dalam tanah tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah OH. Hal ini sesuai dengan pendapat

Hardjowigeno, S. (1992), bahwa pH tanah yang rendah dan tinggi dipengaruhi oleh adanya perbedaan

kandungan ion H+ dan ion OH-, dimana jumlah ion H+ dan ion OH- juga menentukan kemasaman suatu

tanah. Jika jumlah ion H+ lebih tinggi dari jumlah ion OH - maka tanah akan bersifat masam dan sebaliknya

jika jumlah ion OH- lebih besar daripada ion H+ maka tanah akan bersifat basa.

Selain itu, Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah Sistem tanah yang dirajai oleh ion-ion H+

akan bersuasana asam.Penyebab keasaman tanah adalah ion H+ dan Al3+ yang berada dalam larutan tanah

unsur-unsur yang terkandung dalam tanah, konsentrasi ion H+ dan ion OH-, mineral tanah, air hujan dan

bahan induk. Bahwa bahan induk tanah mempunyai pH yang bervariasi sesuai dengan mineral penyusunnya

dan asam nitrit yang secara alami merupakan komponen renik dari air hujan juga merupakan faktor yang

mempengaruhi pH tanah, selain itu bahan organik dan tekstur.

Bahan organik mempengaruhi besar kecilnya daya serap tanah akan air. Semakin banyak air dalam

tanah maka semakin banyak reaksi pelepasan ion H+ sehingga tanah menjadi masam. Tekstur tanah liat

mempunyai koloid tanah yang dapat yang dapat melakukan kapasitas tukar kation yang tinggi. tanah yang

banyak mengandung kation dapat berdisiosiasi menimbulkan reaksi masam.

Pada tanah yang masam dalam hal ini tanah ultisol, pengapuran sangat penting dilakukan, karena

tujuan pengapuran adalah menetralisir kemasaman meniadakan pengaruh Al yang beracun, dan secara

langsung menyediakan Ca bagi tanaman. Dua masalah utama yang melekat pada tanah-tanah masam bagi

suatu tanaman adalah: Keracunan Alumunium, Kejenuhan Al yang lebih tinggi. Keracunan alumunium

langsung merusak akar tanaman, menghambat pertumbuhannya, dan menghalangi pengambilan dan

translokasi kalsium maupun fospor.

Page 12: Penetapan Kadar Abu makanan

KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan mengenai reaksi (pH) tanah dapat disimpulkan bahwa :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain adalah perbandingan air dengan tanah, kandungan

garam-garam dalam larutan tanah, dan keseimbangan CO2 udara dan CO2 tanah.

2. Penetapan pH tanah dengan digital pH hasilnya lebih akurat dibandingkan menggunakan indikator universal

yang sifatnya kualitatif.

3. Metode penetapan pH dengan cara elektrometrik dapat dengan menggunakan H2O atau pun KCl.

4. Fungsi dari penambahan H2O adalah untuk mengetahui kemasaman aktif, sedangkan fungsi dari

penambahan KCl adalah untuk mengetahui kemasaman potensialnya.

5. pH tanah ultisol lebih tinggi daripada pH oxizol, baik pada penembahan dengan H2O maunpun KCl.

6. Berdasarkan penentuan dengan H2O, tanah ultisol tersebut bersifat sangat masam, dan oxisol cukup masam.

7. Pengukuran pH tanah ultisol dan oxisol dengan larutan pengekstraksi KCl memberikan nilai pH lebih rendah,

yaitu 0,15-0,89 dibanding dengan yang menggunakan H2O.

8. tingkat kemasaman tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui pengaruh ion H dan pengaruh tak

langsung, yaitu tidak tersedianya unsur hara tertentu dan adanya unsur yang beracun.

DAFTAR PUSTAKA

Buckman N. C dan Brady C. B. 1982. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara, Jakarta.

Foth. H. D. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjahmada University Press, Yogyakarta.

Hakim Nurhajati, M. Yusuf Nyakpa, A.M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H.

Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas, Lampung.

Hardjowigeno. S. 1992. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta.

Pairunan,A. K. J. L.Nanere,Arifin.Solo,S.R.Samosir,Romadulus.Teingkaisari,J.R.

Lalo Pua, Bachrul.Ibrahim,Hariadj.Asmadi. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan

Tinggi Negri Indonesia Timur, Makassar.

Indranada K. Henry. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 13: Penetapan Kadar Abu makanan

REAKSI (pH) TANAH

A. Latar Belakang

pH tertentu yang terukur oleh pada tanah ditentukan oleh seperangkat factor kimia tertentu. oleh karena itu,

penentuan pH tanah adalah sebuah satu uji yang paling penting yang dapat digunakan untuk mendiagnosa

masalah pertumbuhan tanaman. Biasanya tanah pada daerah basah bersifat masam dan tanah pada daerah kering

bersifat basa (alkali).

Nilai pH berkisar antara 0-14. Makin tinggi kepekatan / konsentrasi (H+) dalam tanah, makin rendah pH tanah

dan sebaliknya, makin rendah konsentrasi (H+) maka makin tinggi pH tanah. Sehubungan dengan nilai pH

dijumpai 3 kemungkinan, yaitu : masam, netral dan basa (alkali).

Kemasaman tanah dibedakan atas kemasaman aktif dan kemasaman potensial. Kemasaman aktif disababkan

oleh ion H+ dan Al3+ yang terjerap pada kompleks jerapan.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :

1.      Menetapkan pH tanah dengan menggunakan lakmus.

2.      Mengetahui cara menetapkan pH tanah dengan menggunakan pH meter.

3.      Mengetahui hasil perbandingan pH tanah dengan menggunakan kertas lakmus dan pH meter.

II .TINJAUAN PUSTAKA

Air bersifat netral karena konsentrasi H+ dan OH+ yang sama. Pada keadaan nbetral, pH adalah 7. Suatu ukuran

skala pH digunakan untuk memudahkan menyatakan konsentrasi H+ yang sangat kecil di dalam air maupun di

dalam berbagai system hayati penting. Kation-kation yang dapat dipertukarkan terserap dengan tenaga yang

cukup besar untuk memperlambat pencuciannya dari tanah, tetapi sejumlah kation yang cukup besar mengalami

disosiasi dari permukaan perukaran kation yang terdapat dalam larutan dimana kation itu siap untuk digunakan

Page 14: Penetapan Kadar Abu makanan

tanaman. Pada disosiasi, basa yang dapat dipertukarkan menyebabkan terjadinya hidrolisis sehingga dihasilkan

ion-ion OH- ( Foth, 1994).

Pengukuran pH tanah di lapangan dengan prinsip kalori meter dengan menggunakan indicator (larutan, kertas

lakmus), yang menunjukkan warna tertentu pada pH berbeda. Kesalahan pengukuran dapat terjadi antara 0,1 –

0,5 unit pH atau bahkan lebih besar karena pengaruh pengenceran dan faktor-faktor lain. Untuk mengukur pH

basa kuat di lapangan, indikator fenolptalin yang tidak berwarna sangat bermanfaat karena akan berubah

menjadi ungu sampai merah pada pH 8,3 – 10. Kondisi yang sama pada pengukuran pH di lapangan pada

kondisi luar biasa asam dihunakan indikator Brom Cresol Green (0,1 gram dilarutkan pada 250 ml 0,006N

NaOH) yang berubah dari hijau sampai kuning pada pH 5,3 dan yang lebih rendah dari pada 3,8. Untuk

mengetahui pH tanah di lapangan, secara umum dapat digunakan indikator universal / campuran (Mohr, 1972).

Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalis tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH

menunjukan banyaknya konsentrasi ion hydrogen H+ di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah,

maka semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion  lain ditemukan pula ion OH-, yang

jumlahnya berbanding terbalik dengan oin H+. pada tanah-tanah yang masam ion H+ lebih tinggi daripada OH-,

sedangkan pada tanah alkalis kandungan ion OH- lebih tinggi daripada ion H+. bila kandungan H+ sama dengan

OH- maka tanah bersifat netral yaitu mempunyai nilai pH 7. Kemasaman tanah terdapat pada daerah dengan

curah hujan tinggi, sedangkan pengaruhnya sangat besar dapa tanaman, sehingga kemasaman tanah harus

diperhatikan karena merupakan sifat tanah yang sangat penting (Syaifuddin Syarief H.F, 1998).

Sifat kemasaman tanah ada dua jenis, yaitu kemasaman aktif dan memasaman potensial. Reaksi kemasaman

aktif ialah yang diukurnya konsentrasi ion H+ yang terdapat pada pemakaian sehari-hari. Reaksi tanah potensial

ialah banyaknya kadar hidrogen dapat ditukar baik yang terjerap olehn kompleks koloid tanah maupun yang

terdapat dalam larutan. Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam ataupun

basa. Asam-asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organic tanah. Menentukan

kemasaman tanah ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang  dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas

lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi

dapat dipakai berulang-ulang dengan hasil pengukuran lebih akurat adalah pH tester dan soil tester

(Hardjowigeno S, 1987).

Page 15: Penetapan Kadar Abu makanan

III.  METODOLOGI PERCOBAAN

A.       Alat dan Bahan

1. Penetapan pH dengan lakmus

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung plastic dan kertas lakmus. Sedangkan bahan yang

digunakan adalah  tanah ultisol, tanah inceptisol, air destilata (H2O) dan larutan KCl 1N.

2. Penetapan pH dengan pH meter

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan, tabung plastic, mesin pengocok dan pH meter.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah tanah inceptisil, tanah ultisol, air destilata (H2O) dan larutan KCl 1N.

B. Prosedur Kerja

1. Penetapan pH dengan lakmus

Ditimbang 5 gram tanah ultisol dan 5 gram tanah inceptisol, masing-masing tanah dimasukkan ke dalam

tabung plastik.

                              ↓

Ditambahkan 12,5 ml air destilata (H2O) dan 12,5 ml larutan KCl 1N, lalu dikocok selama 10 menit dan

diamkan selama 5 menit hingga terbentuk cairan bening yang terpisah dari endapan (lumpur).

                              ↓

Dicelupkan kertas lakmus pada cairan bening di atas lumpur, jangan sampai kena lumpur.

                               ↓

Disesuaikan warna lakmus dengan warna dikotak lakmus dan dicatat pH.

                               ↓

Diulangi kegiatan tersebut menggunakan 3 gram tanah ultisol dan 3 gram tanah inceptisol dicampur

masing-masing 15 ml air destilata (H2O) dan 15 ml larutan KCl 1N.

Page 16: Penetapan Kadar Abu makanan

2. Penetapan pH dengan pH meter

Ditmbang 5 gram tanah ulisol dan 5 gram tanah inceptisol, masing-masing tanah dimasukkan ke dalam

tabung plastik.

                              ↓

Ditambahkan masing-masing 12,5 ml air destilata (H2O) dan 12,5 ml larutan KCl 1N ke dalam tabung

plastic.

                              ↓

Tabung dikocok selama 30 menit dengan mesin pengocok dan diamkan sebentar.

                              ↓

Diukur dengan pH meter.

                              ↓

Diulangi kegiatan di atas dengan menggunakan 3 gram tanah ultisol dan 3 gram tanah inceptisol, serta

tambahkan 15 ml air destilata dan 15 ml larutan KCl 1N.

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PENBAHASAN

A.      Hasil Pengamatan

Tabel hasil pengamatan

Jenis tanahpH (pH meter) pH (lakmus)

H2O KCl H2O KCl1:2,5 1:05 1:2,5 1:05 1:2,5 1:05 1:2,5 1:05

Ultisol 5,73 6,85 2,52 1,99 6 6 2 2Inceptisol 5,51 5,64 2,12 1,81 5 6 3 2

B.Pembahasan

Dari table hasil pengamatan penetapan pH tanah ,dengan percobaan menggunakan pH meter terlihat bahwa pH

H2O lebih tinggi dibandingkan pH KCl. Pelarut pada KCl lebih rendah jika di bandingkan dengan pelarut H2O

dikarenakan garam KCl akan melepas H+ dari kompleks  jerapan, sehingga tanah akan lebih masam. Tanah

yang masam karena kandunganH+ yang tinggi dan banyak ion Al3+  yang bersifat masam karena dengan air ion

tersebut dapat menghasilkan H+. Dengan menggunakan H2O dan KCl, pH H2O dihasilkan lebih tinggi dari pH

KCl. Hal ini disebabkan karena kemasaman yang di ukur dengan menggunakan H2O adalah kemasaman aktif

sedangkan pH KCL mengukur kemasan aktif dan kemasaman potensial. KCl mampu mengukur mengukur

Page 17: Penetapan Kadar Abu makanan

aktivitas H+  yang ada diluar tanah disebabkan karena ion K+ yang berasal dari KCl  dapat ditukar dengan ion

H+, sedangkan hal tersebut tidak berlaku untuk H2O.

Tanah inceptisol umumnya hanya mempunyai horizon yang banyak  mengandung sulfat asam (catday) pH < 3,5

dan terdapat karatan kisaran kadar C organic dan KTK dalam tanah Inceptisol sangat besar, begitu juga dengan

kejenuhan basa, pH tanah < 3,5 menenjukkan bahwa tanah tersebut bersifat masam yang berarti kepekatan H+

lebih tinggi dari kepekatan OH-. Sedangkan tanah ultisol memiliki tingkat pelapukan dan pembentukan ultisol

berjalan lebih cepat pada daerah-daerah beriklim humial dan suhu tinggi dengan curah hujan tinggi seperti

halnya di Indonesia. Ini brarti ultisol merupakan tanah yang telah mengalami proses pencucian sangat intensif.

Hal ini menyebabkan ultisol mempunyai kejenuhan basa yang rendah (kurang dari 3,55 pada standar pH 8,2)

dan kadar mineral lapuknya sangat rendah.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi pH tanah,yang menyebabkan perbedaan nilai pH adalah :

1.      Kejenuhan Basa (KB), apabila semakin besar kejenuhan basa, semakin tinggi pH tanah dan sebaliknya bila

kejenuhan basa rendah, maka pH rendah.

2.      Sifat koloid, merupakan koloid organik mudah mendisosiasikan ion H+ ke larutan tanah dan sebaliknya untuk

koloid Fe dan Al hidroks oksida dan liat silikat, pH tanah organik < pH tanah mineral yang kaya Fe dan Al

hidroks oksida atau liat silikat pada kejenuhan basa yang sama.

3.      Maacam kation yang terjerap, koloid-koloid yang menjerap Na+ dan ion basa-basa yang lain akan mempunyai

pH tinggi.

4.      Jumlah curah hujan

5.      Drainase tanah internal

6.      Tipe vegetasi

7.      Aktivitas manusia

8.      Ketersediaan unsur hara

9.      Tekstur tanah dan stuktur tanah

10.  Ketersediaan air

11.  Bahan organik

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan pH tanah antara lain :

1.      Perbandingan tanah dengan air, faktor ini harus diperhatikan karena perbandingan tersebut menentukan besar

kecilnya pH, jika perbandingan menurun, maka elektroda tidak sempurna.

2.      Kandungan garam-garam dalam larutan tanah, tanah-tanah masam mengandung cukup garam-garam terlarut

untuk mengganggu pertumbuhan tanaman, terutama dengan meningkatnya tekanan osmosis larutan tanah dan

Page 18: Penetapan Kadar Abu makanan

membatasi larutan air. Garam-garam terlarut mungkin mengendap secara alami dalam tanah di daerah-daerah

kering, sebagai akibat penambahan air irigasi.

3.      Keseimbangan CO2 udara dan CO2 tanah, CO2 yang dihasilkan dari pernapasan melarut dalam larutan tanah

membentuk asam karbonat rendah. Pengaruh ini terlihat pada tanah-tanah kapur dan tanah alkali lainnya untuk

ribuan tahun, yang menunjukkan bahwa terbentuknya asam karbonat dalam tanah mempunyai peranan yang

kurang berarti dalam menentukan pH tanah.

Upaya yang mungkin dilakukan untuk mencapai pH dan optimal bagi pertumbuhan tanaman antara lain :

1.      Dengan cara pemeliharaan rutin, seperti memperbaiki biologi tanah, yaitu mikroba tanah sebagai bahan

organik tanah, humufikasi, mineralisasi dan pengikat  nitroksin udara.

2.      Memperbaiki kimia tanah yaitu melakukan pemupukan, mengamati reaksi tanah dan tersedianya unsure hara

bagi pertumbuhan tanaman dan memperbaiki pH tanah sehingga mencapai pH sekitar 7 (pH netral). Misalnya

dengan pemberian kapur dan pupuk fosfat. Upaya mengatasi kendala kemasaman dan kejenuhan Al3+ yang

tinggi dapat dilakukan pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari masam ke

pH netral, serta menurunkan kadar Al3+. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun

pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa.

Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah ultisol, karena disamping kadar P rendah, juga

terdapat unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah ultisol dapat

disebabkan oleh kandungan P pada bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P

sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe.

3.      Penambahan bahan organik, bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan

perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui

fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Penyediaan bahan

organik dapat pula diusahakan melalui pertanaman lorong (alley cropping).

V. KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan mengenai reaksi (pH) tanah dapat disimpulkan bahwa :

1.      pH H2O lebih tinggi dibandingkan pH KCl.

2.      Denagn pengukuran menggunakan pH meter dan kertas lakmus, dahasikan bahwa pH tanah ultisol lebih tinggi

daripada pH tanah inceptisol.

3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain adalah perbandingan air dengan tanah, kandungan

garam-garam dalam larutan tanah, dan keseimbangan CO2 udara dan CO2 tanah.

Page 19: Penetapan Kadar Abu makanan

4.      Penetapan pH tanah dengan pH meter hasilnya lebih akurat dibandingkan menggunakan kertas lakmus yang

sifatnya kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Foth, Henry D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah.Jakarta : Erlangga

Hardjowigeno. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo

Mohr. 1972. Tropical Soils. Net Herlands. Geuze Dordrecht

Syarief h.F, Syarifudin. 1998. Fisika Kimia Tanah Pertanian. Bandung : Pustaka Buana

PERTANYAAN

1.      Terangkan mangapa dalam penetapan pH tanah, perbandingan antara air dengan tanah harus diperhatikan!

2.      Mungkinkah pH KCl lebih tinggi dari pH H2O? Terangkan!

Jawab :

1.      Karena perbandingan tersebut menentukan besar kecilnya pH tanah. Nisbah antara tanah dan air yang

digunakan biasanya 1:1, 1:2,5 dan 1:5. Makin tinggi nisbah, maka makin tinggi pH tanah dan jika perbandingan

terlalu rendah akan terjadi kontak antara larutan tanah dengan elektroda tidak sempurna, akibatnya pengukuran

kurang teliti. Air merupakan unsure hara utama bagi kelompok H dan O yang harus tersedia di dalam tanah

yang berguna bagi tanaman. Jadi air dan tanah dalam penetapan pH harus diperhatikan.

2.      Tidak mungkin, karena KCl berasal dari KOH dan HCl, dan untuk keduanya asam kuat dan basa kuat, tidak

mungkin melakukan pelepasan H+ dari kompleks jerapan.

Page 20: Penetapan Kadar Abu makanan

Daya Cerna Air Liur

Sistem pencernaan akan menguraikan bahan-bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh secara mekanik dan kimiawi menjadi bentuk yang dapat diasimilasi, enzim pencernaan berperan penting untuk menghidrolisis bahan makanan tersebut menjadi bentuk yang lebih sederhana (Murray et al. 1999).

Air liur atau saliva merupakan salah satu enzim pencernaan yang disekresikan oleh tiga pasang kelenjar air liur yaitu kelenjar parotis, kelenjar submaksilaris, dan kelenjar sublingual yang menghasilkan enzim α-amilase. Enzim ini akan menghidrolisis protein menjadi asam amino, pati menjadi monosakarida, triasilgliserol menjadi gliserol, asam lemak dan monoasilgliserol (Murray et al. 1999). Cairan yang dihasilkan tiap kelenjar pada rongga mulut berbeda-beda. Kelenjar submaksilaris lebih dominan dalam pengeluaran glikoprotein, sedangkan kelenjar parotis menghasilkan ptialin.

Saliva atau air liur mengandung enzim amilase dan penyusun-penyusun saliva lainnya sehingga dapat mengkatalisis beberapa reaksi di dalam rongga mulut (Glivery 1996). Penyusun saliva ini dapat diketahui dengan melakukan pengujian. Uji biuret misalnya untuk mengidentifikasi ikatan peptida pada protein, sampel pada uji biuret dapat membentuk warna ungu kompleks untuk hasil positif apabila direaksikan dengan CuSO4 (Soedarmono 1989). Uji Molisch akan membentuk turunan karbohidrat, uji ini sangat sensitif akan tetapi tidak spesifik. Pengujian dengan benedict akan mereduksi ion Cu2+  pada gula yang mengandung gugus aldehida dan keton bebas dalam suasana alkali sehingga terbentuk Cu+ berupa endapan Cu2O berwarna merah bata. Uji iodium akan membentuk kompleks adsorpsi berwarna spesifik pada polisakarida. Amilosa pada pati dengan iodium akan menghasilkan warna biru. Uji Millon menggunakan pereaksi merkuri dan ion merkuro dalam asam nitrat dan asam nitrit, tujuannya untuk mengidentifikasi adanya senyawa hidroksi fenolik sehingga protein yang mengandung tirosin akan memberikan hasil positif berwarna merah.

Kinerja enzim air ludah atau saliva dipengaruhi oleh suhu optimum pada 37ºC dan pH 6,8. Saliva mengandung enzim pencernaan berupa α-amilase yang akan menghidrolisis pati menjadi dekstrin dan maltosa, enzim ini berperan penting sebagai penghidrolisis awal dari makanan yang masuk ke dalam tubuh.

PENDAHULUAN

Enzim adalah golongan protein yang paling banyak terdapat dalam sel hidup dan mempunyai fungsi penting sebagai katalisator reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk metabolism perantara (intermediary metabolism) dari sel (Wirahadikusumah 1977).

Menurut Aisjah (1986) berdasarkan strukturnya, enzim terdiri atas komponen yang disebut apoenzim yang berupa protein dan komponen lain yang disebut gugus prostetik yang berupa nonprotein. Gugus prostetik dibedakan menjadi koenzim dan kofaktor. Koenzim berupa gugus organik yang pada umumnya merupakan vitamin, seperti vitamin B1, B2, NAD+ (Nicotinamide Adenine Dinucleotide). Kofaktor berupa gugus anorganik yang biasanya berupa ion-ion logam, seperti Cu2+, Mg2+, dan Fe2+. Beberapa jenis vitamin seperti kelompok vitamin B merupakan koenzim. Jadi, enzim yang utuh tersusun atas bagian protein yang aktif yang disebut apoenzim dan koenzim, yang bersatu dan kemudian disebut holoenzim.

Page 21: Penetapan Kadar Abu makanan

Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri dari 99% air, berbagai elektrolit yaitu sodium, potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat, fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba, glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida yang berperan dalam kesehatan rongga mulut. Saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% subtansi yang larut. Beberapa komposisi saliva adalah protein (mucoid, enzim, protein serum, waste product), ion-ion organik, gas, dan zat-zat aditif di rongga mulut (Suharsono 1986).

TUJUAN

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui sifat dan susunan air liur, pengaruh suhu dan pH pada aktifitas amilase air liur, serta mengetahui hidrolisis pati matang dan mentah oleh amilase air liur.

ALAT DAN BAHAN

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah tabung reaksi, gelas piala, pipet tetes, pipet volumetrik, dan pemanas air, kertas saring, karet penyumbat, tabung erlenmeyer, urinometer, glass wool, dan porselen.

Bahan praktikum yang digunakan adalah lakmus PP, lakmus MO, pereaksi Biuret, pereaksi Molisch, pereaksi millon, klorida, sulfat, fosfat, pereaksi musin, HCl, asam asetat, akuades, Na2CO3, pereaksi iodium encer, pereaksi benedict, air liur, larutan pati/kanji 1%.

PROSEDUR PERCOBAAN

Pada percobaan pertama, yaitu sifat dan susunan air liur. Hal pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan air liur sebanyak 50 ml. Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan glass wool pada tabung erlenmeyer. Pengujian pertama yaitu menentukan bobot jensnya dengan urinometer, lalu uji reaksi dengan lakmus PP dan lakmus MO, diuji juga dengan pereaksi Biuret, dan pereaksi millon untuk mengetahui adanya protein, dan pereaksi Molisch untuk uji karbohidrat. Uji dilakukan juga terhadap klorida, sulfat, dan fosfat untuk menuji adanay mineral yang terkandung dalam air pati. Dan untuk mengetahui adanya endapan putih diberikan pereaksi musin pada 2 ml air liur.

Percoban kedua, pengaruh suhu pada aktifitas amilase enzim. Pertama-tama siapkan empat tabung reaksi, diisi dengan 2 ml ar liur dan 2 ml akuades, larutan tersebut dikocok dengan baik, lalu tabung pertama disimpan pada penangas air bersuhu 10°C, tabung kedua pada suhu kamar, tabung ketiga pada suhu 37°C, dan tabung keempat pada suhu 80°C selama 15 menit. Kemudian masing-masing tabung ditambah dengan 2 ml larutan kanji 1%, dikocok dengan baik, dan diletakkan pada kondisi suhu selama 10 menit. Uji dengan pereaksi iodum encer dan pereaksi benedict.

Percobaan ketiga, pengaruh pH pada aktifitas amilase air liur. Pertama-tama siapkan empat tabung reaksi, lalu tabung pertama diisi dengan 2 ml HCl, tabung kedua dengan 2 ml asam asetat, tabung ketiga dengan 2 ml akuades, dan tabung keempat dengan 2 ml Na2CO3. Masing-masing tabung ditambah dengan 2 ml larutan kanji 1%, adan 2 ml air liur, dkocok dengan baik, dan diletakkan pada penangas air bersuhu 37°C selama 15 menit. Dan diuji dengan pereaksi iodium dan benedict.

Percobaan keempat, hidrolisis pati matang oleh amilase air liur. Pada tabung diisi 3 ml larutan pati atau kanji 1% dan air liur yang telah disaring sebanyak 0,2 ml atau 4 tetes lalu dikocok. Masukkan ke penangas air bersuhu 37°C. Setiap 1 menit ambil 1 tetes larutan tersebut ke porselen untuk diuji dengan pereaksi iodum encer. Lihat perbedaan warna yang ditimbulkan pada setiap menit dan catat pada menit keberapa timbul warna biru, coklat, dan kapan tidak ada perubahan warna lagi. Setelah diuji dengan iodium telah menghasilkan positif,

Page 22: Penetapan Kadar Abu makanan

yaitu menjadi warna kuning (tidak ada perubahan warna atau adanya titik akromatik) diuji dengan pereaksi benedict.

Percobaan kelima, hidrolisis pati mentah oleh amilase air liur. Tabung diberi sedikit tepung pati, lalu ditambah dengan 5 ml akuades dan dikocok. Tambahkan 10 tetes air liur, simpan pada penangas air bersuhu 37°C selama 20 menit. Kemudian disaring dan diuji filtratnya terhadap produksi hidrolisis pati oleh amilase seperti pada percobaan keempat, yaitu Lihat perbedaan warna yang ditimbulkan pada setiap menit dan catat pada menit keberapa timbul warna biru, coklat, dan kapan tidak ada perubahan warna lagi. Setelah diuji dengan iodium telah menghasilkan positif, yaitu menjadi warna kuning (tidak ada perubahan warna atau adanya titik akromatik) diuji dengan pereaksi benedict. Kemudian hasilnya dibandingkan.

HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Sifat fisik dan susunan air liur

Uji Hasil Pengamatan Keterangan

Bobot Jenis 1,010 gr/mm BJ air liur>BJ alat

Lakmus Merah Asam

FF Putih +

MO Jingga +

Biuret Violet +

Millon Gumpalan Kuning +

Molisch Violet +

Musin Endapan putih +

Klorida Endapan putih +

Sulfat Endapan putih +

Fosfat Hijau kekuningan -

Ket : + : Positif

- : Negatif

Contoh perhitungan:

FK

=

= 2,333 x 10-3

= 0,002BJ terkoreksi = BJ terbaca + FK

= 1,008 + 0,002

= 1,010 gr/mm

Page 23: Penetapan Kadar Abu makanan

Gambar 1. Hasil uji FF dan MO

Gambar 2. Hasil uji Biuret, Millon, dan Molisch

Gambar 3. Hasil Uji  Musin

Gambar 4. Hasil Uji Klorida

Gambar 5. Hasil Uji Sulfat dan Fosfat

 

 

Tabel 2. Pengaruh suhu pada aktivitas amilase air liur

Nomor Tabung

Uji Iod Uji Benedict

1 (-) Bening Ungu (+) terdapat endapan merah

2 (-) Bening hijau kekuningan (+) terdapat endapan merah

3 (-) Bening kuning (+) terdapat endapan merah

4 (+) Biru pekat (-) tidak terdapat endapan merah

Ket : + : Positif

- : Negatif

Page 24: Penetapan Kadar Abu makanan

  Gambar 6. Hasil uji iod pada suhu 10oC, 27oC,37oC, dan 80oC.

 

 

Gambar 7. Hasil uji benedict pada suhu 10oC, 27oC,37oC, dan 80oC.

 

PEMBAHASAN

Tubuh manusia menghasilkan berbagai macam enzim yang tersebar di berbagai bagian dan memiliki fungsi tertentu. Salah satu enzim yang penting dalam sistem pencernaan manusia adalah enzim amilase. Enzim ini terdapat dalam saliva atau air liur manusia. Saliva yang disekresikan oleh kelenjar liur selain mengandung enzim amilase juga mengandung 99,5% air, glikoprotein, dan musin yang bekerja sebagai pelumas pada waktu mengunyah dan menelan makanan. Amilase yang terdapat dalam saliva adalah α-amilase liur yang mampu membuat polisakarida (pati) dan glikogen dihidrolisis menjadi maltosa dan oligosakarida lain dengan menyerang ikatan glikosodat α(1 4). Amilase liur akan segera terinaktivasi pada pH 4,0 atau kurang sehingga kerja pencernaan makanan dalam mulut akan terhenti apabila lingkungan lambung yang asam menembus partikel makanan.

Saliva adalah cairan yang lebih kental daripada air biasa dan mengandung enzim amilase. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan air liur (saliva) yang menunjukkan bahwa saliva memiliki bobot jenis lebih besar daripada air, yaitu 1.008 g/mL.

Uji lakmus tidak dilakukan pada praktikum kali ini. Namun, menurut Amerongen (1991), rata-rata pH air liur normal yaitu 6,8, yaitu bersifat asam. Sehingga jika diuji dengan lakmus merah, warna lakmus akan tetap berwarna merah. Lakmus adalah asam lemah. Lakmus memiliki molekul yang sungguh rumit yang akan kita

Page 25: Penetapan Kadar Abu makanan

sederhanakan menjadi HLit. "H" adalah proton yang dapat diberikan kepada yang lain. "Lit" adalah molekul asam lemah. Tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi kesetimbangan ketika asam ini dilarutkan dalam air.

Lakmus yang tidak terionisasi adalah merah, ketika terionisasi adalah biru (Keusch 2003).

Enzim amilase yang berada dalam air liur tetap berwarna bening ketika ditambahkan dengan Fenolftalein (FF). Warna bening yang dihasilkan dalam uji FF menandakan bahwa larutan bersifat asam. Hal ini menguatkan pernyataan bahwa air liur bersifat asam. Fenolftalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan, dan fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah yang lain.

Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya - mengubah indikator menjadi merah muda. Range pH berkisar antara 8-10. Sifat asam air liur juga dibuktikan melalui percobaan Metil Oren (MO). Jingga metil adalah salah satu indikator yang banyak digunakan dalam titrasi. Pada larutan yang bersifat basa, jingga metil berwarna kuning dan strukturnya adalah:

Sumber : Keusch 2003

Dari hasil percobaan, didapatkan bahwa air liur yang dicampurkan dengan MO menghasilkan warna oren (jingga) yang berarti larutan bersifat asam.

Hasil uji Biuret terhadap enzim amilase menunjukkan hasil yang positif dengan berubahnya warna larutan menjadi violet (tabel 1). Uji Biuret dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus amida pada larutan yang diuji. Menurut Raras et al (2010), reaksi Biuret menggunakan beberapa macam reagen, yaitu CuSO4 dan NaOH. CuSO4 berfungsi sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan membentuk kompleks dengan protein. Sementara penambahan NaOH berfungsi untuk menyediakan basa. Suasana basa akan membantu membentuk Cu(OH)2 yang nantinya akan menjadi Cu2+ dan 2OH-. Reaksi yang terjadi pada pengujian Biuret adalah :

Hasil yang positif menunjukkan bahwa enzim amilase yang terkandung dalam air liur mengandung gugus amilase. Hasil positif pun didapatkan pada uji millon. Prinsip dari uji millon adalah pembentukan garam merkuri dari tirosin yang ternitrasi. Tirosin merupakan asam amino yang mempunyai molekul fenol pada gugus R-nya, yang akan membentuk garam merkuri dengan pereaksi millon. Pereaksi millon berisi merkuri dan ion merkuro dalam asam nitrat dan asam nitrit. Warna yang mengalami perubahan kekuningan merupakan garam merkuri dan tirosin yang ternitrasi. Sehingga pada air liur terdapat kandungan garam tirosin. Uji Molisch juga dilakukan pada pengujian sifat air liur. Prinsip uji Molisch adalah kondensasi dari hidroksi metal furfural (heksosa) atau furfural (pentosa) dengan

Page 26: Penetapan Kadar Abu makanan

alfa-naftol akan membentuk suatu cincin berwarna ungu. Alfa-naftol berfungsi sebagai indicator warna untuk memudahkan saja, sedangkan H2SO4 berfungsi untuk menghidrolisis glukosa (heksosa) menjadi hidroksimetil fufural atau arabinosa (pentosa) yang akan diubah menjadi furufural. Reaksi Molisch ini positif untuk semua karbohidrat. Hasil uji molish pada air liur menghasilkan perubahan warna campuran air liur dengan pereaksi molish menjadi violet. Perubahan warna menjadi violet menunjukkan reaksi positif yang berarti dalam air liur terkandung karbohidrat.

Uji klorida adalah uji untuk mendeteksi adanya kandungan ion klorida pada suatu larutan. Hasil uji klorida menunjukkan terdapat endapan putih yang menunjukkan reaksi positif pada uji ini. Uji klorida menunjukkan bahwa air liur mengandung ion klorida.

Uji Musin yang dilakukan pada air liur dihasilkan reaksi positif dengan terbentuknya endapan berwarna putih pada dasar tabung reaksi (gambar 3). Uji Musin menunjukkan bahwa air liur mengandung musin.

Uji fosfat merupakan uji untuk mengetahui adanya ion fosfat pada suatu larutan. Pada tabung reaksi setelah penambahan HNO3 pekat terdapat endapan kuning. Sebelumnya pada preparasi untuk uji fosfat dan kalsium asam asetat yang ditambahkan berfungsi untuk melarutkan endapan Ca-Mg-fosfat. Asam nitrat pekat yang ditambahkan berfungsi untuk melepaskan asam fosfat menjadi asam fosfat. Setelah penambahan ammonium molibdat, fosfat yang terlepas berikatan menjadi ammonium fosfomolibdat . Hasil uji fosfat bereaksi negatif dengan terbentuknya warna hijau kekuningan. Sehingga dalam saliva tidak mengandung ion fosfat (Gilvery 1996).

Uji sulfat pada air liur menunjukkan reaksi positif dengan terbentuknya endapan putih pada larutan yang diuji (gambar 5). Pengujian sulfat ini menggunakan BaCl2 yang akan membentuk BaSO4 yang memiliki kelarutan rendah sehingga akan mengakibatkan terbentuknya endapan dalam larutan yang diasamkan. Dalam hasil pengamatan terlihat endapan putih (lebih keruh). Hal ini membuktikan adanya ion sulfat di dalam air liur (saliva). Menurut Maryati (2000), ion-ion utama yang ditemukan dalam saliva adalah kalsium dan fosfat yang berperan penting dalam pembentukan kalkulus. Ion-ion lain yang memiliki jumlah yang lebih kecil terdiri dari sodium, potasium, klorida, sulfat dan ion-ion lainnya. Saliva terdiri atas 99.24% air dan 0.58% terdiri atas ion-ion Ca2+, Mg2+, Na+, K+, PO43-, Cl-, HCO3-, SO42-, dan zat-zat organik seperti musin dan enzim amilase (ptialin). Musin suatu glikoprotein dikeluarkan oleh kelenjar sublingual dan kelenjar submaksilar, sedangkan ptialin dikeluarkan oleh kelenjar parotid. Cairan air liur mengandung α-amilase yang menghidrolisa ikatan α(1→4) pada cabang sebelah luar glikogen dan amilopektin menjadi glukosa, sejumlah kecil maltosa, dan suatu inti tahan hidrolisa yang disebut dekstrin. Hanya sebagian kecil amilum yang dapat dicema di dalam mulut, oleh karena itu sebaiknya makanan dikunyah lebih lama untuk memberi kesempatan lebih banyak pemecahan amilum di rongga mulut.

Aktivitas enzim amilase dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perubahan pH, suhu, pelarut organik, dan yang menyebabkan denaturasi protein. Pengujian pengaruh suhu terhadap air liur digunakan dua pereaksi yang berbeda. Uji Yodium terhadap hasil percobaan pengaruh suhu aktivitas amilase air liur yang dipanaskan pada suhu 80oC dan 37oC memberikan hasil yang positif, yaitu larutan menjadi berwarna kuning dan kecokelatan. Hal tersebut menunjukkan pati dihidrolisis oleh amilase air liur. Campuran amilase air liur dan pati yang disimpan pada suhu 10oC, dan suhu kamar memberikan hasil yang negatif. Hal ini ditunjukkan dengan warna biru larutan. Warna ini disebabkan oleh belum terhidrolisisnya pati secara sempurna. Larutan iod berperan sebagai indikator hidrolisis. Senyawa polisakarida akan memberikan warna yang spesifik dengannya, yaitu berupa warna ungu kehitaman tetapi jika polisakarida tersebut dihidrolisis maka warna yang ditimbulkan adalah warna kuning kecokelatan (Maryati 2000). Sementara hasil uji Benedict menunjukkan campuran yang disimpan pada suhu 80oC menunjukkan reaksi negatif. Hal ini menunjukkan bahwa enzim amilase tidak bekerja pada suhu di atas 80oC. Pada suhu 37oC reaksi ini menimbulkan warna merah bata pada larutan. Hal tersebut dikarenakan glukosa yang dihidrolisis dari pati akan berikatan dengan pereaksi benedict membentuk kompleks berwarna merah bata (Poedjadi 1994). Berdasarkan hasil percobaan, dapat diketahui bahwa suhu optimum aktivitas enzim amilase adalah 37oC. Suhu optimum untuk aktivitas enzim amilase adalah 37oC (Ahmad 2000).

Page 27: Penetapan Kadar Abu makanan

Uji benedict didapatkan hasil positif pada pemanasan suhu 10oC, 27oC (suhu kamar), dan 37oC. Sementara pada pemanasan 80oC didapatkan hasil negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 80oC, enzim amilase mengalami denaturasi. Sehingga pada suhu 80oC, glikogen tidak terdeteksi. Pati matang lebih cepat terhidrolisis dibanding dengan pati mentah, karena matang berarti pada suhu 100°C dan ikatan rantai sudah terputus-putus sehingga akan mudah terhidrolisis dan menimbulkan warna merah bata yang menunjukkan ada banyak kabohidrat yang terkandung (Simanjuntak & Silalahi 2003). Hal tersebut dikarenakan uji benedict merupakan uji untuk menguji kandungan gula pereduksi. reaksi dinyatakan positif apabila terbentuk endapan berwarna biru kehijauan sampai merah batu bata. (tergantung pada kadar gula reduksi yang tersedia). Sementara pada uji pada suhu 10oC, 27oC (suhu kamar), dan 37oC didapatkan hasil positif. Hal ini dikarenakan pada suhu tersebut, enzim masih bisa bertahan (tidak mengalami denaturasi), sehingga enzim dapat mengubah pati yang terlarut dalam air liur menjadi glikogen. Terbentuknya glikogen dibuktikan dengan uji positif terhadap benedict dengan munculnya endapan merah pada uji benedict. Uji benedict ini spesifik untuk karbohidrat yang mempunyai gugus karbonil bebas, yaitu semua monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dan trehalosa. Dasar reaksi ini yaitu adanya reduksi dan oksidasi. Dalam reagen terdapat CuSO4, Na-sitrat, dan Na2CO3. CuSO4 berfungsi untuk menyediakan Cu2+. Na-sitrat berfungsi untuk mencegah terjadinya endapan Cu(OH)2 atau CuCO3, sementara Na2CO3 berfungsi sebagai alkali yang mengubah gugus karbonil bebas dari gula menjadi bentuk enol yang reaktif. Enol yang reaktif mereduksi Cu2+ dari senyawa kompleks dengan sitrat menjadi Cu+. Cu+ bersama OH membentuk CuOH (berwarna kuning), yang dengan pemanasan akan berubah menjadi endapan Cu2O yang berwarna merah. Warna yang terbentuk bervariasi mulai dari hijau, kuning, orange, merah sampai endapan merah bata, tergantung jumlah Cu2O yang terbentuk, sehingga reaksi ini dapat digunakan untuk menentukan adanya gula baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Kerja enzim yang terdeteksi pada suhu 10oC, 27oC (suhu kamar), dan 37oC membuktikan bahwa enzim dapat bekerja baik dalam suhu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pada kisaran suhu tersebut enzim bekerja secara optimum sehingga nilai kuantitatif aktivitasnya besar. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Gaman & Sherrington (1994) menurutnya, aktivitas enzim dipengaruhi oleh suhu. Suhu optimal enzim berkisar antara 30- 40 ºC, yaitu suhu tubuh. Pada suhu diatas dan dibawah optimalnya, aktifitas enzim berkurang. Diatas suhu 50 ºC enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100 ºC semua enzim rusak. Pada suhu sangat rendah, enzim tidak benar – benar rusak tetapi aktifitasnya sangat banyak berkurang.

KESIMPULAN

Saliva bersifat asam dengan hasil percobaan FF dan MO. Saliva mengandung ion-ion organik seperti sulfat, klorida, musin, tanpa mengandung fosfat. Selain itu saliva mengandung enzim amilase. Enzim amilase dapat bekerja baik dalam suhu antara 30- 40 ºC, yaitu suhu tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad H. 2000. Larutan Asam dan Basa. Bandung: Ganesa.

Amerongen AVN. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah : Arti Bagi Kesehatan Gigi. Surabaya : Gadjah Mada University Press.

Aisjah G. 1986. Enzim dalam Biokimia 1. Jakarta: Gramedia.

Page 28: Penetapan Kadar Abu makanan

Gaman & Sherrington. 1992. Ilmu Pangan. Surabaya: Gadjah Mada University press.

Gilvery G. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3. Airlangga University Press: Surabaya

Keusch P. 2003. Basic and acid Azo Dyes. USA: Chemie-uni.

Maryati S. 2000. Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Erlangga.

Poedjaji A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Raras HAA et al. 2010. Penetapan Kadar Protein Secara Biuret. Yogyakarta: Universitas Sanatha Dharma.

Simanjuntak MT, Silalahi J. Penuntun Praktikum Biokimia. Sumatera: USU Digital Library.

Suharso M. 1986. Enzim dalam Biokimia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wirahadikusumah M. 1977. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. Bandung : Penerbit ITB.