24
PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF Oleh : Nama : Alfik Indarto NIM : B1J012037 Rombongan : III Kelompok :1 Asisten : Syarif Maulana Yusuf LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

Penetapan Kadar Crp Secara Kualitatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Praktikum imunnologi

Citation preview

PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF

Oleh :

Nama : Alfik IndartoNIM : B1J012037Rombongan : IIIKelompok : 1Asisten : Syarif Maulana Yusuf

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO

2014

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

CRP adalah protein fase akut yang dikeluarkan dalam sirkulasi

sebagai respon terhadap peradangan dan kerusakan jaringan. CRP disintesis

oleh hepatosit di bawah kontrol transkripsi sitokin inflamasi, khususnya

interleukin 6 (IL-6). Gen CRP manusia terletak pada kromosom 1.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Protein C-Reaktif (CRP) memainkan

peran penting dalam perkembangan penyakit kardiovaskular aterosklerotik.

CRP mungkin tidak hanya menjadi biomarker peradangan seperti yang telah

ditemukan pada plak aterosklerotik dan terbukti dapat menyebabkan

disfungsi sel endotel, stres oksidatif dan intima hipertrofi dalam model

eksperimental. Gen CRP dalam hepatosit dikontrol oleh IL-6 dan dan pada

tingkat lebih rendah dikontrol oleh interleukin 1b (IL-1b) dan Tumor

Necrosis Factor α (TNFα) (Nakou et al., 2010).

Penelitian terbaru telah menetapkan bahwa perubahan dalam

tingkat serum CRP tidak hanya respon terhadap perubahan lingkungan,

tetapi juga merupakan konsekuensi dari variasi genetik pada gen CRP.

Protein C-reaktif (CRP) dapat distimulasi karena adanya peradangan fase

akut termasuk infeksi, reaksi kekebalan, trauma, hipoksia prosedur pasca-

bedah, dan keganasan. Nama CRP berasal dari kemampuan protein C-

reaktif untuk bereaksi dengan polisakarida C yang diisolasi dari dinding sel

Pneumococus (Nakou et al., 2010).

Kadar CRP di dalam tubuh akan meningkat dengan cepat bahkan

hingga 1000 kali lipat, sekitar 6 jam setelah proses inflamasi terjadi. Inilah

yang menyebabkan kadar CRP banyak digunakan sebagai indikator

terjadinya proses inflamasi di dalam tubuh. Karena CRP merupakan sebuah

“pereaksi fase-akut” dan meningkat selama trauma besar dan infeksi,

beberapa dokter telah khawatir bahwa pengujian CRP bisa terlalu tidak

spesifik untuk penggunaan klinis. Akan tetapi, banyak penelitian yang

menunjukkan bahwa CRP, ketika diukur dengan uji sensitifitas tinggi pada

individu-individu yang stabil, agak spesifik untuk prediksi kejadian-

kejadian kardiovaskular di masa mendatang. Pada salah satu penelitian

terbaru, kadar CRP yang meningkat terkait dengan peningkatan mortalitas

kardiovaskular 8 kali lipat, tetapi tidak memiliki nilai prediktif untuk

kematian akibat penyebab lain. Penelitian-penelitian lain menunjukkan

bahwa kadar CRP memprediksikan serangan jantung dan stroke, tetapi tidak

memprediksikan kanker dan gangguan-gangguan utama lainnya. Sehingga,

kadar CRP yang meningkat terus menerus merupakan tanda dari risiko

penyakit jantung dan tanda atherosklerosis cepat yang mengenai orang-

orang dengan diabetes (Harper, 1979).

B. Tinjauan Pustaka

Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk

mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan

berbagai bahan dalam lingkuungan hidup. Pertahanan imun terdiri dari

sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan sistem imun

spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun non-spesifik terdiri dari fisik:

kulit, selaput lendir, silia, batuk, bersin. Larut: Biokomia (lisozim, sekresi

sebaceous, asam lambung, laktoferin, asam neuraminik). Humoral

(komplemen, interferon, CRP). Seluler: Fagosite (mononuclear dan

polimorfonuklear), sel NK, Sel mast, Basofil. Sedangkan sistem imun

spesifik dibagi menjadi dua yaitu humoral (Sel B: IgG, IgM, IgD, IgE, IgA)

dan seluler (Sel T: Th1, Th2, Ts, Tdth, Tc). Walaupun sistem imun ini

terbagi menjadi dua, tapi dalam mekanisme pertahanannya saling

berhubungan satu sama lain dan tidak bisa bekerja sendiri-sendiri

(Baratawidjaja, 2002).

Protein Fase Akut (PFA) atau disebut juga Acute Phase Protein adalah

plasma protein yang disintesis oleh hati selama peradangan akut. Contohnya

termasuk protein C-reaktif (CRP), fibrinogen, protein amiloid serum A, dan

faktor von Willebrand. CRP merupakan salah satu dari beberapa protein

yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk

memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang

dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun.

Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang

sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus,

penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit

Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada kehamilan

trimester akhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat

kontrasepsi oral (Bellanti, 2007).

CRP dalam keadaan alami berada dalam bentuk simetris pentamerik

dan dapat berdisosiasi yang disebut sebagai modified atau monomerik CRP

(mCRP). CRP dalam keadaan nature berada dalam bentuk simetris

pentamerik dan dapat berdisosiasi yang disebut sebagai modified atau

monomerik CRP (mCRP). High Sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP)

merupakan pemeriksaan untuk C-reactive protein (CRP) dengan metode

yang sangat sensitif. CRP merupakan substansi yang dapat berikatan dengan

C-polisakarida, fosfatidilkolin, atau fosforilkolin seperti lesitin dan

polianion seperti asam nukleat (Fattah, 2006).

CRP merupakan serum protein fase akut dan merupakan anggota dari

kelompok protein pentraksin yaitu protein yang berperan dalam pertahanan

yang mendahului fungsi adaptif sistem imun. Interaksi CRP dengan

komplemen dan Fcy reseptor memiliki peranan penting untuk menambah

apresiasi dari aliran regulatori CRP dalam inflamasi dan autoimunitas.

Aktivitas CRP beserta Fcy reseptor berperan dalam memerangi inflamasi

dan melingdungi diri dari penyakit khusus autoimun (Stuveling et al., 2000).

CRP merupakan substansi yang ada pada serum yang dapat bereaksi dengan

polisakarida somatik C pneumokokus yang biasanya diukur dengan

presipitasi dengan anti serum spesifik. Ini merupakan globulin β yang tidak

ditemukan pada serum orang sehat,tetapi banyak dijumpai pada serum orang

yang sedang terinfeksi dan sedang mengalami peradangan (Jawetz et al.,

1974). CRP adalah protein fase akut yang ditemukan pada manusia, kelinci

dan beberapa dari jenis mamalia lainnya. Protein ini diekspresikan dan

disekresi oleh hepatosit, tetapi ini juga diproduksi ketika terjadi inflamasi

oleh monosit. Konsentrasi serum CRP meningkat sampai seribu kali lipat

selama fase akut atau imflamasi (Udvarnoki et al., 2007).

CRP melaui serum dapat dilakukan untuk deteksi awal adanya infeksi

pada seseorang. Pemeriksaan CRP dapat digunakan untuk mendiagnosis

adanya penyakit kardiovaskuler dan diabetes type-2. Penyakit

kardiovaskular (PKV) merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas di negara-negara maju, 40% dari kasus kematian disebabkan

oleh penyakit ini. Munculnya epidemi baru pada penyakit kardiovaskuler

adalah adanya kondisi yang disebut sebagai sindroma metabolik, sindrom

metabolik merupakan pemicu munculnya tandem pandemik global antara

diabetes tipe-2 dan penyakit kardiovaskular (Fattah, 2006). Kadar

interleukin-1 β, interleukin-6 dan TNF-α yang rendah tidak mempengaruhi

kadar dari CRP (Rose, 1979).

C. Tujuan

Tujuan praktikum adalah dapat mendeteksi keberadaan CRP dalam

pemeriksaan serum darah dan dapat mengetahui kadar CRP dalam serum

darah.

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat dan bahan yang digunakan adalah antihuman CRP Latex

antibodi, serum sampel, mikropipet, tip, plate CRP, kontrol positif, kontrol

negatif dan batang pengaduk.

B. Metode

1. Reagen dihangatkan hingga mencapai temperatur kamar, kemudian

antihuman CRP antibodi dikocok pelan-pelan sampai homogen.

2. Dipipet pada plate CRP di tempat yang berbeda yaitu :

a. Serum sampel sebanyak 40 µl

b. R+ : kontrol positif sebanyak 1 tetes (40 µl)

c. R- : kontrol negatif sebanyak 1 tetes (40 µl)

d. Reagen latex CRP masing-masing 1 tetes (40 µl)

3. Dicampur dengan pengaduk berbeda dan cairan dilebarkan sepanjang sisi

lingkaran lalu digoyang selama ± 2 menit.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1 Plate CRP

Keterangan

1. Kontrol (-)

2. Kontrol (+)

3. Serum Kelompok 1

4. Serum Kelompok 2

5. Kontrol (-) oleh kelompok 3

6. Kontrol (+) oleh kelompok 4

2

1

4

56

3

B. Pembahasan

Praktikum penetapan kadar CRP kali ini yaitu secara kualitatif.

Metode pertama, reagen dihangatkan hingga mencapai temperatur kamar,

kemudian antihuman CRP antibody diaduk secara pelan-pelan sampai

homogen, kemudian dipipet pada plate CRP di tempat yang berbeda yaitu

serum sampel sebanyak 40 µl, R+ (kontrol positif) sebanyak 1 tetes (40 µl),

R- (kontrol negatif) sebanyak 1 tetes (40 µl), dan reagen latex CRP masing-

masing 1 tetes (40 µl), selanjutnya dicampur dengan pengaduk berbeda dan

cairan dilebarkan sepanjang sisi lingkaran lalu digoyang selama ± 2 menit,

terakhir diamati pada mikroskop. Kedua serum pada kelompok 1 dan 2

hasilnya adalah negatif karena tidak adanya aglutinasi. Aglutinasi

menunjukan adanya CRP pada serum lebih dari 12 mg/l. Peningkatan CRP

berkaitan dengan terjadinya infeksi atau peradangan atau kerusakan

jaringan. Peningkatan CRP lebih dari 100 kali menunjukkan peradangan

atau infeksi akut, terutama karena infeksi bakteri, misalnya penyakit

meningitis, tuberculosis dan dibronchitis kronis (Kresno, 2000).

Fungsi dan peranan CRP dalam tubuh (in vitro) belum diketahui

seluruhnya. Banyak hal-hal yang masih merupakan hipotesa-hipotesa

meskipun CRP mempunyai beberapa fungsi biologik yang menunjukkan

peranannya pada proses peradangan dan metabolisme daya tahan tubuh

terhadap injeksi (Bachtiar, 2011). Beberapa hal yang diketahui mengenai

fungsi biologiknya adalah sebagai berikut :

a. Dapat mengikat C-polisakarida dan berbagai laktat melalui reaksi

aglutinasi atau presipitasi.

b. CRP dapat meningkatkan aktivasi dan motalitas sel-sel fagosit seperti

granulosit dan monosit makrofag.

c. CRP dapat mengaktifkan komplemen, baik melalui jalur klasik

maupun jalur alternatif.

d. CRP dapat menghambat agregasi trombosit, baik yang ditimbulkan oleh

adrenalin, ADP ataupun kolagen.

e. CRP mempunyai daya ikat selektif (selective-bilhding) terhadap limfosit

T. Dalam hal ini CRP diduga memegang peranan dalam peraturan fungsi

tertentu selama proses keradangan.

Pada dasarnya penentuan CRP dapat dilakukan dengan 2 cara :

a. Tes Presipitasi sebagai antigennya adalah CRP yang akan ditentukan dan

sebagai antibodi adalah CRP yang telah diketahui.

b. Aglutinasi Pasif yang disalutkan pada partikel-partikel untuk penentuan

CRP adalah antigen, sedangkan antibodi yang disalutkan pada partikel-

partikel digunakan untuk menentukan adanya antigen dalam serum.

Menurut Thomas (1997) pengukuran CRP dilakukan dengan

pengambilan darah dari pembuluh darah vena, biasanya dilakukan pada

bagian siku atau belakang telapak tangan. Darah yang telah diambil

kemudian dianalisa kadar CRP-nya dengan menggunakan suatu senyawa

antiserum yang dapat digunakan untuk mengukur kadar protein tersebut.

Ada 3 jenis metode pengukuran CRP, yaitu :

a. Conventional CRP : Metode pengukuran ini digunakan untuk menganalisa

adanya infeksi, kerusakan jaringan, dan gangguan-gangguan akibat proses

inflamasi. Metode ini dapat mengukur kadar CRP secara tepat pada kadar 5

mg/l atau lebih. Orang yang sehat biasanya memiliki kadar CRP di bawah 5

mg/l, sedangkan adanya proses inflamasi ditunjukkan dengan kadar CRP

sebesar 20-500 mg/l.

b. High Sensitivity CRP ( hsCRP ) : Metode pengukuran ini digunakan untuk

menganalisa kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan proses

inflamasi. Metode ini bersifat lebih sensitif sehingga dapat mengukur kadar

CRP secara tepat hingga 1 mg/l.

c. Cardiac CRP ( cCRP ) : Metode pengukuran ini digunakan untuk

menganalisis tingkat resiko penyakit jantung. Metode ini memiliki

sensitivitas yang menyerupai dengan hsCRP , namun menggunakan metode

analisa yang lebih sensitif sehingga hasil yang diperoleh lebih spesifik untuk

menentukan resiko penyakit jantung.

CRP merupakan sebuah indikator risiko yang sangat kuat, khususnya

ketika digabungkan dengan evaluasi kolesterol. Beberapa dokter memilih

untuk mengukur CRP bersama dengan serangkaian faktor risiko “terbaru”

yang mencakup homocystein dan lipoprotein. Sementara yang lainnya

mengukur CRP bersama dengan tes-tes yang lebih mahal yang mengukur

subfraksi kolesterol spesifik. Akan tetapi, dengan perbandingan langsung,

nilai prediktif untuk CRP jauh lebih besar dibanding yang diamati untuk

penanda-penanda risiko “terbaru” alternatif ini. Lebih lanjut, hanya CRP

yang terbukti dapat menambah informasi prognostik yang penting terhadap

informasi yang sebelumnya didapatkan dari screening kolesterol standar

(Sadikin, 2001).

Setiap orang menghasilkan CRP, tetapi dengan jumlah berbeda

tergantung pada beberapa faktor, termasuk faktor genetik dan faktor gaya

hidup. Secara umum, orang yang merokok, memiliki tekanan darah tinggi,

berat badan berlebih, dan tidak mampu aktif secara fisik cenderung

memiliki kadar CRP yang tinggi, sedangkan orang yang kurus dan atletis

cenderung memiliki kadar CRP yang rendah. Meski demikian, hampir

setengah variasi kadar CRP antara setiap orang diwariskan sehingga

menunjukkan kadar yang telah diwariskan orang tua dan kakek-nenek

kepada anda melalui gen-gen yang mereka memiliki. Ini tidak

mengherankan karena peranan fundamental yang dimiliki CRP dalam

inflamasi, sebuah proses sangat penting untuk penyembuhan luka, untuk

menghilangkan bakteri dan virus, dan untuk berbagai proses kunci yang

penting bagi kelangsungan hidup. Penelitian selama 10 tahun terakhir telah

menunjukkan bahwa terlalu banyak inflamasi pada beberapa keadaan yang

bisa memiliki efek berbahaya, khususnya pada pembuluh darah yang

membawa oksigen dan gizi ke semua jaringan tubuh. Para ilmuwan

sekarang ini memahami bahwa atherosklerosis (proses yang mengarah pada

akumulasi kolesterol dalam pembuluh-pembuluh arteri) merupakan sebuah

penyakit inflammatory pembuluh darah, seperti halnya arthritis yang

merupakan penyakit inflammatory pada tulang dan sendi (Tizard, 1987).

Banyak penelitian telah menemukan bahwa penanda darah yang

mencerminkan proses inflammatory tersebut meningkat diantara orang-

orang yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit jantung di masa

mendatang. Inflamasi penting dalam semua fase penyakit jantung, termasuk

inisiasi dini plak-plak atheroslekrotik dalam arteri, serta kerusakan akut

plak-palk ini yang menghasilkan serangan jantung, dan terlalu sering,

menghasilkan kematian tiba-tiba. Sampai baru-baru ini, penanda-penanda

yang tersedia untuk inflamasi tidak cocok digunakan di ruang praktik

dokter. Sebaliknya, CRP sangat stabil dan agak mudah untuk diukur

(Sudoyo, 2006).

Jumlah CRP akan meningkat tajam beberapa saat setelah terjadinya

inflamasi dan selama proses inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga

pemeriksaan CRP kuantitatif dapat dijadikan petanda untuk mendeteksi

adanya inflamasi/infeksi akut. Saat ini telah tersedia pemeriksaan High

Sensitive CRP (Hs-CRP) yaitu pemeriksaan untuk mengukur kadar CRP

yang lebih sensitif dan akurat dengan menggunakan metoda LTIA (Latex

Turbidimetry Immunoassay), dengan range  pengukuran : 0.3 – 300 mg/L.

Berdasarkan penelitian, pemeriksaan Hs-CRP dapat mendeteksi adanya

inflamasi lebih cepat dibandingkan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED).

Terutama pada pasien anak-anak yang sulit untuk mendapatkan jumlah

sampel darah yang cukup untuk pemeriksaan LED (Denise, 2012).

CRP dapat meningkat disebabkan oleh berbagai jenis infeksi. Namun

CRP tidak dapat menentukan penyebab infeksi secara pasti. CRP juga tidak

dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri. Meskipun CRP

cenderung lebih tinggi pada infeksi bakteri yang lebih invasif/berat, korelasi

tersebut tidak selalu demikian. Sebagian besar infeksi virus menyebabkan

CRP meningkat ringan, tapi CRP yang sangat tinggi juga dapat ditemukan

pada infeksi virus tanpa komplikasi seperti adenovirus, influensa, dan

cytomegalovirus. Dengan demikian, tingginya CRP yang bervariasi tidak

dapat dipergunakan secara umum untuk membedakan penyakit infeksi

ringan dan berat. Penilaian ringan-beratnya suatu penyakit hendaknya tetap

mengacu pada kondisi klinis anak. Tes CRP seringkali dilakukan berulang-

ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang

dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka

dan untuk memantau pasien paska bedah, transplantasi organ, atau luka

bakar sebagai sistem deteksi dini untuk kemungkinan infeksi (Bellanti,

2007).

Praktikum CRP yang dilakukan menggunakan metode konvensional.

Reagen yang digunakan adalah lateks. Serum dimasukkan dalam test slide,

tambahkan satu tetes suspensi lateks, suspensi kemudian dihomogenkan.

Test slide diputar selama dua menit lalu lihat aglutinasi yang terjadi. Jika

hasil positif akan terjadi aglitunasi kasar, positif lemah akan terdapat

aglutinasi halus dan hasil negatif tidak ada aglutinasi. Aglutinasi ini terjadi

akibat reaksi dimana antibodi anti CRP yang berikatan dengan mikropartikel

latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel untuk membentuk

kompleks Ag-Ab (Baratawidjaja, 2002).

C Reactive Protein merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati

(oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi. Setelah

terjadi peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6

jam, jumlahnya bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan.

Konsentrasi puncak akan tercapai dalam 36 jam sampai 50 jam setelah

inflamasi. Kadar CRP akan terus meningkat seiring dengan proses inflamasi

yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Apabila terjadi penyembuhan

akan terjadi penurunan kadar CRP secara cepat oleh karena CRP memiliki

masa paruh 4 sampai 7 jam. 2,3 Kinetik metabolism CRP sejalan dengan

derajat peradangan dan derajat penyembuhan yang terjadi. Oleh karena itu

CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam keadaan akut.

Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh hasilnya dalam

waktu cepat serta tidak memerlukan volume darah yang banyak (Utama,

2012).

Groonroos menyatakan akurasi diagnose apendisitis akut berdasarkan

anamnese, nyeri McBurney dan leukosistosis kurang dari 80%, untuk itu

perlu adanya pemeriksaan laboratorium tambahan untuk menegakkan

diagnosa apendisitis akut untuk menghindari appendectomy yang tidak

perlu. C-Reactive Protein (CRP) merupakan indikator yang seinsitif

terhadap infeksi bakteri, peradangan dan kerusakan jaringan. Penelitian

melaporkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi CRP untuk diagnosa

apendisitis akut adalah 89,5%, 100% dan 90,9%.10 Peneliti lain, Gurleyik

mendapatkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi CRP untuk diagnosa

apendisitis akut adalah 93,5%, 80% dan 91%.11 Nilai CRP pada keadaan

normal < 0,8 mg/dl dan meninggi > 1 mg/dl pada keadaan patologis.12

Belum adanya indikator yang definitif untuk menegakkan diagnosa

apendisitis akut. Untuk mengetahui apakah CRP meningggi pada apendisitis

akut dan peninggian kadar CRP darah berbanding lurus dengan tingkat

keparahan apendisitis. Diharapkan bisa digunakan sebagai indicator untuk

menegakkan diagnosa apendisitis akut (Jehan, 2003).

High Sensitive C-Reactive Protein (hs-CRP) merupakan marker

inflamasi. Beberapa penelitian epidemiolohi telah mengevaluasi relasi

antara antara hs-CRP dengan sindroma metabolik. Penelitian tersebut

membuktikan tingginya tingkat hs-CRP (>3mg/L) memiliki korelasi dengan

angka kejadian sindroma metabolik sama dengan angka morbiditas dan

mortalitas penyekit kardiovaskular. Hs-CRP memiliki peran dalam

patogenesis atherosclerosis. Hs-CRP sebagai bagian sistem kekebalan tubuh

memiliki fungsi untuk mengaktifkan sistem komplemen, menimbulkan

adhesi ekspresi molekul, meningkatkan fagositosis makrofag, dan memicu

aktifasi leukosit. Hs-CRP juga menstimulasi produksi Reactive Oxygen

Species (ROS) dan menyebabkan apoptosis endothelial (Shital, 2012).

Ada beberapa faktor yang dapat menjadi sumber kesalahan pada

pemeriksaan CRP menurut Handojo (1982) yaitu :

a. Harus dibaca selambat-lambatnya dalam waktu 5 menit sebab aglutinasi non

spesifik dapat terjadi bila test mongering

b. Serum yang lipemik dapat menyebabkan hasil yang positif palsu

c. Reagen latex CRP harus disimpan pada suhu 40C dan dikocok dengan baik

sebelum dipakai

d. Botol reagen CRP harus ditutup rapat, sebab dapat mengakibatkan

terjadinya flokulasi reagen mengering.

Ada 3 jenis metode pengukuran CRP, yaitu Conventional CRP, High

Sensitivity CRP (hsCRP) dan Cardiac CRP (cCRP). Metode pengukuran

Conventional CRP digunakan untuk menganalisa adanya infeksi, kerusakan

jaringan, dan gangguan-gangguan akibat proses inflamasi. Metode ini dapat

mengukur kadar CRP secara tepat pada kadar 5 mg/l atau lebih. Orang yang

sehat biasanya memiliki kadar CRP di bawah 5 mg/l, sedangkan adanya

proses inflamasi ditunjukkan dengan kadar CRP sebesar 20-500 mg/l. High

Sensitivity CRP (hsCRP) digunakan untuk menganalisa kondisi-kondisi

yang mungkin berhubungan dengan proses inflamasi. Metode ini bersifat

lebih sensitif sehingga dapat mengukur kadar CRP secara tepat hingga 1

mg/l. Cardiac CRP (cCRP) digunakan untuk menganalisis tingkat resiko

penyakit jantung. Metode ini memiliki sensitivitas yang menyerupai dengan

hsCRP , namun menggunakan metode analisa yang lebih sensitif sehingga

hasil yang diperoleh lebih spesifik untuk menentukan resiko penyakit

jantung (Jawetz, 1974).

Penentuan secara kualitatif dapat dilakukan dengan metode

Imunoturbidimetri. CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik

terhadap CRP membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity)

yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.

Sementara pengukuran konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat

mengukur kadar sampai < 0,2 – 0,3 mg/L.5 yang menggunakan metode

High sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP) (Bachtiar, 2011).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari praktikum ini maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. CRP merupakan protein fase akut yang disintesis oleh hati.

2. Aglutinasi menunjukan adanya CRP pada serum lebih dari 12 mg/l.

3. Fungsi dan peranan CRP dalam tubuh (in vitro) belum dapat diketahui

seluruhnya.

DAFTAR REFERENSI

Bachtiar, S. 2011. Peran C-Reactive Protein (CRP) dalam Menentukan Diagnosa Apendisitis Akut. Majalah Kedokteran Nusantara, 39 (3) : 205-208.

Bellanti, J. A. 2007. Imunologi III. Yogyakarta : UGM Press.

Denise Janicki Deverts a, Sheldon Cohen a, Preety Kalra b, Karen A. Matthews. 2012. The prospective association of socioeconomic status with C-reactive protein levels in the CARDIA study. Brain, Behavior, and Immunity 26 : 1128–1135.

Fattah. 2006. An Introduction of Basic Immunology. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harper, V. W Rodwell, P. A Mayes. 1979. Biokimia. Jakarta : ECG.

Jawetz, E., J. L. Melniek and E. A. Adelberg. 1974. Review of Medical Microbiology. Canada : Lange Medical Publication.

Jehan, Emir. 2003. Peran C Reactive Protein dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis akut. Medan : Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kresno, S.B., 2000. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Penerbit FKUI.

Nakou., E.S, Elisaf., M.S dan Liberopoulus. 2010. High-Sensitivity C-Reactive Protein: To Measure or not to Measure? The Open Clinical Chemistry Journal, 3:10-18.

Rose, N. R., F. Milgrom and C. J. V. Oss. 1979. Principles of Imunology. New York : Macmillan Publishing, Co,Inc.

Sadikin, M. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.

Shital S Ghodke, Ramchandra K Padalkar, Sonali S Bhagat, Rahul A Ghone, Sangita M Patil. 2012. hs- CRP: A “Golden Marker” of Inflammation and Coronary Artery Disease. International Journal of Health Sciences & Research, 2 (6) : 42-46.

Stuveling, E. M., Hillage, H. L., Bakker, S. J., Gans R. O., De Jong P. E. and De Zeeuw D. 2000. C-Reactive Protein is Associated With Renal Function Abnormalities in A Non-Diabetic Population, http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada : 17 April 2014.

Sudoyo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Thomas Ng. 1997. Erythrocyte sedimentation rate & CRP on Clinical Practice. British Journal Hosp Medicine 91: 502–512.

Tizard, S. 1987. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.

Udvarnikold et al., 2007. Antibodies against C-Reactive Protein Cross-React with 60-Kilodalton Heat Shock Proteins. Clinical And Vaccine Immunology Vol. 14, No. 4: 335–341.

Utama, I Made Gede Dwi Lingga. 2012. Uji Diagnostik C-Reactive Protein, Leukosit, Nilai Total Neutrofil dan Suhu pada Anak Demam dengan Penyebab yang Tidak Diketahui. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 13 (6) : 412-419.