347
Pluralisme Metodologi | i Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf PENGANTAR PENULIS Bismillahirrahmanirrahim Segala pujian dipersembahkan ke hadirat Allah Swt., pemilik ilmu, yang mengajarkannya kepada manusia melalui transmisi dan konstelasi pena atau melimpahkan secara langsung sehingga manusia berada dalam cahaya-Nya. Disertasi ini adalah hasil bacaan terhadap setetes terkecil dari ilmu Allah yang tak terbatas dengan memaksimalkan potensi indra, akal, dan hati penulis yang sesungguhnya sangat terbatas. Tanpa inayah-Nya, upaya ini tidak mungkin dapat membuahkan tulisan yang utuh. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Saw., pewaris terbaik ilmu Allah. Main problem buku ini diawali dari kegelisahan penulis terhadap dinamika keilmuan Islam yang terstagnansi oleh situasi problematis tertentu. Secara internal, terdapat realitas pemihakan serta klaim validitas dan keunggulan suatu metode ilmiah atas metode ilmiah lainnya sehingga sejarah epistemologi Islam diwarnai oleh silang pendapat antar disiplin ilmu. Peristiwa kasuistik untuk problem ini antara lain penolakan prinsip kausalitas yang merupakan asumsi dasar sains, serangan

PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | i Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

PENGANTAR PENULIS

Bismillahirrahmanirrahim

Segala pujian dipersembahkan ke hadirat Allah Swt.,

pemilik ilmu, yang mengajarkannya kepada manusia melalui

transmisi dan konstelasi pena atau melimpahkan secara langsung

sehingga manusia berada dalam cahaya-Nya. Disertasi ini adalah

hasil bacaan terhadap setetes terkecil dari ilmu Allah yang tak

terbatas dengan memaksimalkan potensi indra, akal, dan hati

penulis yang sesungguhnya sangat terbatas. Tanpa inayah-Nya,

upaya ini tidak mungkin dapat membuahkan tulisan yang utuh.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada

Rasulullah Muhammad Saw., pewaris terbaik ilmu Allah.

Main problem buku ini diawali dari kegelisahan penulis

terhadap dinamika keilmuan Islam yang terstagnansi oleh situasi

problematis tertentu. Secara internal, terdapat realitas

pemihakan serta klaim validitas dan keunggulan suatu metode

ilmiah atas metode ilmiah lainnya sehingga sejarah epistemologi

Islam diwarnai oleh silang pendapat antar disiplin ilmu.

Peristiwa kasuistik untuk problem ini antara lain penolakan

prinsip kausalitas yang merupakan asumsi dasar sains, serangan

Page 2: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

ii

terhadap metodologi filsafat yang berimplikasi pada pengkafiran

beberapa filosof muslim, superioritas metode yang ditunjukkan

pada peristiwa eksekusi al-Hallaj, dominasi saintisme, serta

pemaknaan ilmu yang hirarkis-dikotomis. Secara eksternal,

terdapat fakta dominasi epistemologi positivistik terhadap

kinerja ilmuwan muslim dalam melakukan penelitian ilmiah

sehingga kajian keilmuan dalam Islam diwarnai oleh paradigma

logis empiris yang merupakan karakter esensial sains. Atas dasar

itulah penulis mengangkat tema pluralisme dalam konteks

metodologi dengan asumsi bahwa Islam bersifat terbuka untuk

berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk

pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

metodologi Ilmiah dalam perspektif Islam perlu dilakukan.

Pembahasan epistemologi Islam dalam kajian ini sama

sekali tidak bermaksud untuk membuat kontras dengan

epistemologi Barat sebab akan semakin mengukuhkan

eksklusivitas epistemologi Islam. Untuk itu, penulis mengungkap

epistemologi Barat di samping epistemologi Islam ke dalam

suasana dialog sehingga pada hal-hal prinsipil tertentu kedua

sistem epistemologi tersebut dapat dipertemukan dan prinsip-

prinsip umum sebagai syarat sebuah bangunan epistemologi

dapat dipertanggungjawabkan. Namun secara faktual, suatu

sistem epistemologi tentunya tidak lahir dari ruang yang hampa

sejarah. Ia lahir dalam dialektikanya dengan suatu konteks

kultural sehingga refleksi epistemologinya memiliki keunikan

tersendiri. Sebagai sebuah fenomena kultural, keunikan

epistemologis merupakan hal yang natural.

Tulisan ini berasal dari disertasi penulis ketika

menempuh pendidikan doktoral di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Zainun

Page 3: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

iii

Kamaluddin Fakih, MA dan Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,

MA. Kedua nama besar inilah yang turut membangun

kepercayaan diri bagi penulis untuk mempublikasi tulisan ini ke

dalam sebuah buku. Bimbingan dan arahan dari beliau berdua

dapat diibaratkan gading pada gajah, itulah yang menjadikan

tulisan ini menjadi istimewa. Namun demikian, harus diakui

bahwa tidak ada gading yang tak retak. Keretakan tulisan ini

dipastikan karena kebodohan penulis.

Secara khusus, ucapan terima kasih disampaikan kepada

Ayahanda H. S. Surachman yang telah menjadi bagian dari

perjuangan berat penulis dalam menempuh studi di kampus

tercinta ini. Dukungan material dan spiritualnya memberikan

kekuatan yang sangat besar pada penulis untuk senantiasa tabah,

tawakal, serta berusaha memaksimalkan setiap upaya

penyelesaian studi ini. Segenap do’a tulus untuknya juga untuk

yang tercinta alm. Ibunda Hj. Djuariah.

Kepada para guru, mulai guru di jenjang pendidikan

doktoral, yang mengajarkan cara menganalisis sederet proposisi

menjadi teori, sampai guru di jenjang pendidikan dasar yang

mengajarkan cara merangkai huruf menjadi kata, buku ini adalah

untaian kata-kata dengan huruf yang sama. Semoga nilai manfaat

dari disertasi ini menjadi bagian dari mata air‘amal jariyat untuk

mereka.

Untuk keluarga kecil penulis yang di dalamnya lahir

puteri dan putera penyejuk hati, Maysara Hawra Adnin dan

Alayka Nur Elhaq, karya ini adalah bagian dari perjuangan

mereka yang telah merelakan sebagian besar ruang kebersamaan

mereka dengan penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Semoga Allah Swt menjadikan setiap kebaikan yang diberikan

menjadi pintu pembuka segenap keberkahan di dunia dan

Page 4: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

iv

mengekalkannya menjadi pahala yang berlipat ganda di akhirat.

Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat

akademis dan menjadikannya sebagai batu bata bangunan

keilmuan dalam epistemologi Islam.

Tasikmalaya, Februari 2020

Penulis,

Nani Widiawati

Page 5: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | v Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

PENGANTAR EDITOR

Sebagai makhluk jasmani dan rohani, manusia

membutuhkan asupan untuk keduanya. Asupan jasmani dipenuhi

oleh makanan yang sehat, asupan rohani dipenuhi dengan

pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar inilah yang

dapat membuat jiwa menjadi nyaman dalam pertumbuhannya

yang terus-menerus (tidak seperti jasmani yang pertumbuhannya

berbatas). Pengetahuan yang benar, apalagi untuk aspek yang

sakral seperti spiritualitas, dibutuhkan sekali oleh jiwa manusia.

Dalam kebutuhan spiritual ini, manusia berusaha memenuhinya

dengan agama.

Kaidah agama perlu dipelajari melalui cara yang benar,

sistematis, dan kepada orang yang punya sanad keilmuan yang

jelas. Pengetahuan agama, sama seperti beberapa pengetahuan

lainnya seperti logika dan matematika, tidak bisa dipelajari

secara otodidak. Pembelajarannya harus sistematis,

mengutamakan pengamalan, dan kepada guru yang punya

pengetahuan mendalam, menyeluruh dan telah belajar pada

ulama sebelumnya (mu’tabar). Bila tidak, maka pengetahuan

agama yang dimiliki tidak ada bedanya dengan pengetahuan atas

suatu berita di koran dan portal berita. Pemahaman agama

Page 6: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

vi

menjadi tidak utuh. Akibatnya muncullah paham-paham radikal,

intoleran, dan eksklusif.

Pembelajaran agama yang serba tanggung biasanya

terjadi di lembaga-lembaga dakwah kampus, organisasi Islam

modern dan bahkan dalam ruang kelas perguruan tinggi. Di

perguruan tinggi, ilmu-ilmu agama dipelajari secara mendadak,

serba instan, dan kejar target (baik itu target silabus maupun

target absensi). Model semacam ini membuat pembelajaran

agama menjadi semacam mempelajari buku panduan konsep-

konsep semata. Padahal agama itu lebih mengutamakan amal

daripada gagasan.

Problem orientasi konseptual dalam mempelajari agama

telah menjadi budaya di perguruan tinggi. Hal ini terjadi untuk

hampir semua mata kuliah. Bahkan tema-tema inti dalam

pembelajaran agama seperti teologi juga bernasib serupa.

Pembelajaran teologi dalam Islam (ilmu kalam) hanya mengulas

perbedaan-perbedaan antar aliran. Bahkan predikasi-predikasi

negatif bagi aliran tertentu sangat sering dibuat dalam

pembelajaran teologi Islam. Akibatnya pembelajaran ilmu kalam

menjadi pembelajaran tentang panduan pengkafiran.

Pembelajaran teologi Islam dimaknai dengan sangat

sempit dengan segmen hanya mempelajari aliran-aliran teologi.

Padahal sebagian besar aliran-aliran kuno dalam teologi Islam

telah punah. Tetapi tradisi pembelajaran ilmu kalam model ini

terus dipelihara di perguruan tinggi. Pembelajaran tentang

ketuhanan dalam ilmu kalam membuat disiplin tersebut parsial

dengan kehidupan sehari-hari. Tuhan terkesan menjadi jauh dari

kehidupan sehari-hari. Tuhan menjadi tidak berhubungan dengan

problem-problem kekinian. Padahal masalah-masalah yang

dihadapi setiap hari semakin banyak.

Page 7: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

vii

Problem besar yang diusung dan terus-menerus

diwariskan oleh para teolog adalah menilai perspektif keilmuan

lainnya yaitu tasawuf, sains, filsafat, melalui perspektif ilmu

teoretis yang mereka pahami. Padahal setiap disiplin keilmuan

memiliki kaidah metodologinya sendiri. Merupakan sebuah

kezaliman terhadap ilmu pengetahuan ketika memberi penilaian

atas suatu disiplin keilmuan melalui disiplin keilmuan lain.

Untuk menyelesaikan problem diskriminasi terhadap

disiplin keilmuan tertentu dan sikap superioritas disiplin ilmu

lainnya, Nani Widiawati, penulis buku ini, berusaha menjelaskan

bahwa setiap disiplin keilmuan memiliki validitas untuk

segmennya masing-masing selama kaidah metode ilmiahnya

dilaksanakan dengan tepat. Misalnya ilmu sains yang berbasis

analisis empiris akurat bagi dirinya ketika dilakukan mekanisme

observasi, analisis, pengujian, verifikasi, dan pengujian sesuai

dengan kaidah sains. Ilmu filsafat menjadi akurat untuk

wilayahnya ketika tepat menentukan definisi, menyusun

proposisi, mengatur premis, silogisme, dan penarikan kesimpulan

yang sesuai dengan kaidahnya. Ilmu kalam menjadi tepat, akurat

untuk wilayahnya ketika melakukan penafsiran yang sesuai

dengan kaidahnya. Ilmu tasawuf menjadi valid untuk wilayahnya

ketika dirumuskan penjelasan, analogi akurat, dan mekanisme

yang sesuai dengan kaidah tasawuf.

Karena memiliki kaidah yang berbeda-beda, menjadi

kurang dapat diterima ketika menggunakan suatu wilayah

keilmuan untuk melakukan penilaian terhadap wilayah keilmuan

lainnya. Berbagai problem keagamaan, sosial, politik, dan etika

ilmiah muncul ketika suatu bidang keilmuan digunakan untuk

menilai bidang keilmuan lainnya. Untuk itulah, apalagi untuk

zaman sekarang yang mana setiap disiplin keilmuan dikaji

Page 8: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

viii

semakin mendalam, maka layaknya ilmuwan untuk suatu bidang

keilmuan untuk semakin mendalami filsafat keilmuannya

masing-masing, tidak menilai perspektif keilmuan tertentu

lainnya melalau kaidah keilmuan yang dia kuasai.

Hari ini setiap disiplin keilmuan dapat menggunakan

disiplin keilmuan lainnya untuk membantu disiplinnya. Dalam

hal ini prasyarat utamanya adalah dengan mampu menunjukkan

hakikat permasalahan yang dihadapi suatu disiplin keilmuan dan

mengkaji disiplin manakah yang dapat digunakan untuk

membantu disiplinnya. Dalam usaha ini, kajian ontologi,

epistemologi, dan aksiologi suatu disiplin keilmuan harus

dikuasai, diperjelas, dan ditemukan bagian-bagian yang integratif

antara dua disiplin keilmuan. Di sampuig itu, menjadi galat

ketika digunakan untuk menilai disiplin keilmuan tertentu, bukan

menggunakannya untuk membantu menyelesaikan problem

filsafat yang dihadapi suatu disiplin keilmuan lainnya.

Sebagai pengkaji filsafat Islam, Nani Widiawati

menemukan bahwa setiap disiplin keilmuan memiliki basis yang

sama yakni nilai tauhid. Nilai tersebutlah yang membuka

peluang bawa integrasi antar disiplin keilmuan menjadi mungkin.

Namun demikian, penulis buku ini memperjelas bahwa kesadaran

bahwa setiap disiplin keilmuan memiliki independensi dan

validitasnya masing-masing harus diterima sebagai prasyarat

integralisasi.

Dengan semangat tauhid, buku ini menunjukkan bahwa

universalisme disiplin-disiplin keilmuan adalah suatu modal

penting untuk menemukan semangat integrasi keilmuan.

Semangat ini dapat menjadi landasan merumuskan metodologi

integrasi yang menjadi kebutuhan para ilmuwan hari ini.

Page 9: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

ix

Selain memberikan sumbangan penting dalam rangka

integrasi keilmuan, buku ini dapat menjadi pembangun kesadaran

bahwa setiap kajian itu memiliki aspek kebenarannya masing-

masing sehingga tidak perlu menilai bidang lainnya melalui

bidang yang berbeda. Dewasa ini keretakan sosial yang terjadi

akibat perbedaan pendapat, pandangan politik, keyakinan agama,

dan perbedaan identitas lainnya telah menjadi masalah besar

yang berpeluang meruntuhkan semangat berbangsa. Untuk

itulah, dengan kehadiran buku ini, diharapkan kepada setiap

individu maupun kelompok sosial menyadari bahwa kebenaran

itu tidak hanya terdapat pada indentitas, keyakinan, dan

pedoman yang dimiliki. Kebenaran juga dimiliki oleh identitas

dan komunitas lainnya. Penilaian keyakinan, cara pandang, dan

cara bersikap kelompok lain melalui keyakinan, cara pandang,

dan cara bersikap kelompok kita adalah jalan yang keliru.

Buku ini berusaha membangun kesadaran bahwa dalam

setiap keyakinan, cara pandang, dan cara bersikap setiap

kelompok memiliki nilai kebenaran yang universal. Kebenaran

universal inilah yang harus ditemukan dan diapresiasi supaya

terwujudnya harmonisme sosial. Harmonisme merupakan

tonggak utama membangun bangsa yang beradab, cerdas, dan

dapat meraih kebahagiaan bersama. Inilah yang menjadi tujuan

dasar bangsa ini dibangun, dipertahankan, dan kita wariskan

untuk anak cucu.

Langsa, 05 Maret 2020

Miswari

Editor

Page 10: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

x

Page 11: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

xi

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS .............................................. i

PENGANTAR EDITOR ................................................ v

DAFTAR ISI ................................................................... xi

BAB I

PENDAHULUAN ........................................................... 1

BAB II

DIALOG EPISTEMOLOGI BARAT DAN ISLAM ... 33

A. Metode Ilmiah ..................................................... 34

B. Kerangka Epistemologis Metode Ilmiah ............. 51

C. Nilai dalam Metode Ilmiah .................................. 68

BAB III

SINGULARISME METODE ILMIAH DALAM

DINAMIKA KEILMUAN ISLAM ............................... 75

A. Analisis Kasus Dominasi Metode ....................... 76

B. Corak Positivistik dalam Tradisi

Keilmuan Islam ................................................... 130

Page 12: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

xii

BAB IV

TRANSFORMASI EPISTEMOLOGIS

PLURALISME METODE ILMIAH: ANTARA

PARADIGMA SAINS ISLAM DAN SAINS

INTEGRATIF ................................................................. 141

A. Paradigma Sains Islam ........................................ 143

B. Paradigma Sains Integratif .................................. 171

C. Analisis Paradigma Sains Islam dan Sains

Integratif dalam Konteks ..................................... 196

BAB V

PLURALISME METODE ILMIAH ............................ 211

A. Kerangka Konseptual Pluralisme Metode

Ilmiah ................................................................... 212

B. Interpretasi dan Implikasi Pluralisme Metode

Ilmiah dalam Konteks Universalitas Metode ..... 226

C. Signifikasi Teori Pluralisme Metode Ilmiah ....... 242

BAB VI

PENUTUP ....................................................................... 265

DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 293

GLOSARIUM ................................................................. 320

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................... 325

INDEKS ........................................................................... 326

BIODATA PENULIS

TENTANG EDITOR

Page 13: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 1 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam setiap sistem epistemologi, metode ilmiah

berkaitan dengan pandangan mengenai realitas yang dianggap

ada, sebagai realitas yang memiliki rujukan konkret atau bersifat

eksternal. Disebut bersifat eksternal karena pola perwujudannya

bersifat objektif di luar pikiran manusia. Sifat ini kemudian

menegaskan keberadaannya. Dengan kalimat lain, realitas

eksternal memiliki referensi objektif terlepas dari cara pikiran

manusia mengkonstruksinya. Realitas eksternal bersifat nyata,

baik manusia berpikir atau tidak mengenai realitas tersebut.

Kenyataan objektif dari realitas ini mendasari kepastian

statusnya sebagi objek ilmu.

Anggapan mengenai realitas ada ini kemudian

menentukan perspektif epistemologis tertentu, misalnya

epistemologi Islam dan epistemologi positivisme. Prinsip ini, di

samping melahirkan perbedaan signifikan, juga dapat

mempertemukan epistemologi positivisme dengan epistemologi

Islam. Dialog antara Barat dengan Islam menunjukkan bahwa

masalah metodologi sains adalah sama, yaitu melibatkan

eksperimen, observasi, dan pekerjaan teoretis. Perbedaannya

Page 14: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

2

terletak pada dasar pandangan dunia terhadap Tuhan, kosmos,

dan kemanusiaan, dan memengaruhi keputusan mereka mengenai

konsekuensi praktis dari refleksi ilmiah keduanya. Di samping

itu, Islam tidak membatasi pengetahuan hanya pada realitas yang

diperoleh melalui eksperimen dan penalaran teoretis saja. Islam

mengakomodasi wahyu dan intuisi yang mencakup spiritualitas

serta aspek fisik manusia dan alam semesta.1 Wahyu dan intuisi,

dalam tradisi positivisme, tidak diakui. Pendekatan empiris

positivisme, dengan sendirinya membatasi wilayah ontologi pada

fenomena empiris saja.

Dalam epistemologi Islam, realitas yang dianggap ada

tidak dibatasi pada realitas empirik saja, tetapi juga realitas

metafisik. Baik alam shahadat (seen world) maupun alam ghaib

(unseen world) adalah bagian dari realitas yang diakui, termasuk

realitas yang mengantarai keduanya. Mulyadhi Kartanegara

menyebutkan keberadaan realitas ketiga tersebut dengan realitas

matematik yang mencakup ide-ide abstrak.2 Dalam konteks ini,

realitas memiliki berbagai variasi eksistensi dengan alat

epistemologi yang relevan untuk mengetahuinya meliputi panca

indera, baik indra eksternal atau indra internal, akal, serta hati.

Hal ini berimplikasi pada pengakuan pluralitas metode

ilmiahnya.

Menurut Oliver Leaman, keistimewaan sains Islam

terletak pada wataknya yang permisif dalam hal metodologi.

Sains Islam dapat memperluas konsep pengetahuannya sehingga

1 Nasser Mansour, “Science Teachers‟ Interpretations of Islamic Culture Related

to Science Education versus the Islamic Epistemology and Ontology of Science”, Cultural

Studies of Science Education 5, 127 – 140, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=

10000&key=Science_Teachers‟_Interpretations_of_Islamic_Culture_Related_to_Science_

Education_versus_the_Islamic_Epistemology_and_Ontology_of_Science 2 Lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi

Islam (Bandung: Mizan, 2003), 43.

Page 15: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

3

dapat melahirkan ragam pengetahuan yang lebih kaya. Islam

memberikan validasi terhadap varian metode untuk mengetahui

sesuatu dan semuanya dinilai valid, sekalipun sebagian metode

tertentu dipandang personal dan subjektif.3 Varian metode yang

dimaksud yaitu metode eksperimen untuk menelaah objek fisik,

metode demonstratif untuk menelaah objek abstrak, dan metode

intuitif untuk menelaah entitas metafisik.

Menurut Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair,

metode suatu ilmu bergantung dari objek formal ilmu tersebut.

Sebaliknya, sesuai dengan metode yang dipergunakan, juga akan

tampak objek formal yang selaras dengan metode itu. Misalnya

keberadaan Tuhan yang tidak dapat melalui jalan indera atau

dengan perpanjangannya seperti mikroskop. Dengan begitu tidak

membuat manusia lantas tidak percaya keberadaan Tuhan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa diperlukan metode yang

relevan untuk setiap ilmu yang karakter objeknya berbeda. Cara

mendekati kenyataan atau kebenaran itu berbeda-beda karena

metode merupakan penghampiran menurut objek formal.4 Setiap

metode digunakan berdasarkan objeknya yang khas.5

Berkaitan dengan validitas metode pada suatu jenis ilmu,

suatu teori ilmu dikatakan valid apabila fakta-faktanya didekati

secara metodis. Dengan demikian, karena objek yang berupa

teks, objek fisik, objek abstrak, dan objek metafisik dipandang

3 Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity

Press, 1999), 56-57. Metodologi merupakan cabang epistemologi yang mengkaji langkah-

langkah yang ditempuh supaya memperoleh pengetahuan yang memiliki ciri-ciri ilmiah.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),

107. 4 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 27. 5 John Mingers, “Combining IS Research Methods: Towards a Pluralist

Methodology”, Information Systems Research12 (2001), 240 – 259, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Combining_IS_Research_Methods:_Tow

ards_a_Pluralist_Methodology

Page 16: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

4

real atau benar-benar ada, penggunaan metode yang sesuai dapat

menghasilkan pengetahuan dengan tingkat validitas yang dapat

dipertanggungjawabkan. Kompetensi yang dimiliki masing-

masing metode, memiliki konsekuensi tidak adanya dominasi

satu metode atas metode lain. Hal ini merupakan prinsip yang

mendasari keniscayaan bagi paradigma pluralisme metode

ilmiah.

Pluralisme, sebagaimana yang diteorikan Michael P.

Lynch sebagai pemikiran mengenai kemungkinan adanya cerita-

cerita yang berbeda tentang dunia, satu sama lain tidak cocok,

tetapi semuanya dapat diterima. Tidak ada fakta-fakta absolut,

kecuali keragaman kebenaran yang menuntut perhatian sama.6

Istilah pluralisme ini digunakan juga oleh Sean Esbjorn-Hargens

dan Ken Wilber dengan istilah pluralisme metodologi

(methodological pluralism). Menurut mereka, tidak ada metode

yang dapat mengungkap realitas secara keseluruhan. Masing-

masing metode memiliki perspektif kebenaran dan manfaat

sendiri.7

Atas dasar ini, tampaknya pemutlakan metode ilmiah

tertentu yang berakar pada absolutisme epistemologis tidak

relevan dengan sifat dasar metodologi. Masing-masing metode

memiliki kelebihan serta keterbatasannya. Kelebihan metode

eksperimen terletak pada keterukuran eksaknya, namun demikian

setiap metode membatasi diri pada wilayah kompetensinya.

Ilmuwan yang menguraikan pluralitas metode ilmiah

dalam porsi yang netral dan apresiatif, antara lain Murtada

Mutahhari (1920-1979). Ia mengetengahkan empat metode

6 Michael P. Lynch, Truth in Context An Essay on Pluralism and Objectivity

(London: MITPress Paperback, 2001), 1. 7 Philip Clayton dan Zachary Simpson, ed., The Oxford Handbook of Religion and

Science, (New York: Oxford University Press, 2006), 529.

Page 17: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

5

dalam sistem epistemologi Islam, yaitu metode deduktif filsafat

paripatetik, metode iluminatif, metode ‘irfan (intuitif), dan

metode kalam deduktif. Di tempat lain, empat metode tersebut

diistilahkan dengan hikmah deduktif, hikmah intuitif, hikmah

tajribi, dan hikmah dialektis.8 Berdasarkan alat epistemologi

dasar yang dimiliki manusia, metode-metode tersebut dibangun

oleh indera, akal, dan hati. Ketiga alat epistemologi ini

diposisikan setara. Menurut Murtada Mutahhari, semua alat

epistemologi tersebut diakui Alquran. Alquran tidak melebihkan

satu alat epistemologi dari alat epistemologi lainnya, karena

setiap alat memiliki wilayahnya masing-masing.9

Sinonim metode tajribi, metode burhani, dan metode

‘irfani, dikemukakan Adelbert Snijders dengan istilah scientifical

insight, philosophical insight, dan metaphysical insight.

Scientifical insight merupakan metode untuk menelaah realitas

empiris, philosophical insight merupakan metode untuk

menelaah realitas abstrak-logis, dan metaphysical insight

merupakan metode transendental untuk menemukan kehadiran

suatu prapengetahuan sebagai kondisi apriori segala kegiatan

khas manusiawi. Menurutnya, ketiga metode tersebut bersifat

otentik.10

Sebagaimana pemikiran Murtadha Mutahhari,

pemikiran Adelbert Snijders mengenai metode ilmiah

mencerminkan adanya pengakuan terhadap pluralitas metodologi

dan dalam banyak hal lebih relevan dengan tema penelitian ini.

8 Murtada Mutahhari, Understanding Islamic Sciences Philosophy, Theology,

Mysticism, Morality, Jurisprudence, trans. R Campbell, Ali Quli al-Qarai, dan Salman

Tawhidi (London: ICAS, 2002), 25-26, 29. 9 Murtada Mutahhari, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap

Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. Muhammad Jawad

Bafaqih (Jakarta: Lentera, 2001),87, 71. 10 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009)

Page 18: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

6

Namun demikian, terdapat problem eksternal dan

internal dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam. Secara

eksternal, epistemologi positivisme masih menjadi warna

dominan dalam proses keilmuan Islam yang hanya menampilkan

paradigma logis-empiris dari realitas dan cenderung

mengabaikan realitas lain yang status ontologisnya diakui dalam

epistemologi Islam, antara lain dimensi metafisik. Fokus kajian

ini mengakibatkan terlepasnya nilai spiritual yang sebenarnya

merupakan ciri esensial dalam tradisi ilmiah Islam. Mahmoud

Hamid al-Migdadi menyatakan bahwa banyak pemikiran muslim

yang tersekularisasi sehingga tidak dapat membedakan

pengetahuan yang sesuai dengan cara pandang Islam atau tidak.11

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa secara eksternal,

perkembangan ilmu dalam Islam didominasi oleh epistemologi

positivisme.

Secara internal, problem keilmuan Islam antara lain

disebabkan oleh realitas pemihakan serta klaim validitas dan

keunggulan suatu metode atas metode lain, bahkan dominasi

metodologis. Sebagaimana dinyatakan Abid al-Jabiri, sejarah

Islam didominasi oleh sejarah perpecahan pendapat dalam setiap

disiplin, bukan sejarah bangunan pemikiran.12

Sejarah keilmuan

Islam adalah sejarah yang terkotak-kotak, mulai dari sejarah

dominasi Hermeneutika (ilmu bayan), Filsafat (ilmu burhan), dan

mistisisme (ilmu ‘irfan). Masing-masing penggal sejarah tidak

membuka ruang untuk berkembangnya sejarah metodologi pada

disiplin yang lain.

11 Mahmoud Hamid al-Migdadi, “Issues in Islamization of Knowledge, Man and

Education”, Revue Académique des Études Sociales et Humaines 7(2012), 3 http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Issues_in_Islamization_of_Knowledge_

Man_and_Education 12 Abid al-Jabiri, Taqwin al-„Aql al-„Arabi (Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi al-

„Arabi, 1991), 332.

Page 19: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

7

Dominasi hermeneutika, dikemukakan Mahmud Arif

setelah mengungkap tiga struktur epistemologi yang saling

bersaing pada masa keemasan Islam, yakni: bayani

(hermeneutik), burhani (logika) dan ‘irfani (intuitif).

Menurutnya, dominasi epistemologi bayani memiliki kaitan erat

dengan kondisi sosial-politik saat itu, seperti: peristiwa mihnah

yang menimbulkan reaksi keras dari kalangan ulama bayaniyyun

sehingga pemikiran rasional termarginalkan dalam bingkai

konflik politik-teologis. Dominasi ini antara lain berdampak pada

absolutisme epistemologis, yakni menganggap kebenaran bersifat

tunggal dan hanya dapat diungkap dengan satu cara. Tidak ada

kebenaran dan cara lain yang dianggap valid. Sikap absolutisme

epistemologis ini kemudian memunculkan dikotomi ‛ilmu-ilmu

sekuler‛ dan ‛umum‛ dengan kecenderungan pengunggulan ilmu-

ilmu keislaman.13

Dalam perspektif epistemologis, kasus eksekusi al-Hallaj

yang melibatkan fuqaha, merupakan sejarah dominasi metode

hermeneutik atas metode intuitif. Masih menurut Abid,

patronase politik yang diberikan al-Ma‘mun terhadap metode

demonstratif, sebenarnya berperan dalam pertarungan

metodologis.14

Kritik al-Ghazali (1058–1111) terhadap para

filosof yang berujung pada pengkafiran filosof, secara

epistemologis dapat dilihat sebagai dominasi metode intuitif atas

metode demonstratif, sehingga pasca kritik al-Ghazali dan

pemihakannya terhadap metode intuitif, sejarah ilmu didominasi

oleh ilmu intuitif.

Al-Ghazali mengklaim bahwa metode yang digunakan

para sufi merupakan metode terbaik. Menurut al-Ghazali, metode

13 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 84-

85,225-226. 14 Abid al-Jabiri, Taqwin al-„Aql al-„Arabi, 345.

Page 20: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

8

intuitif merupakan metode paling baik karena disinari oleh

cahaya kenabian yang senantiasa mencerahkan. Jika semua

metode ilmu digabung untuk memperoleh pengetahuan yang

benar, gabungan tersebut tidak akan dapat menghasilkan

pengetahuan sebaik pengetahuan yang diperoleh melalui metode

intuitif.15

Metode intuitif merupakan metode yang digunakan

kaum sufi melalui penyucian hati yang diklaimnya sebagai ilmu

yang nyata.16

Dengan ini, al-Ghazali mengkritik sains dengan

menolak kepastian hubungan kausalitas17

serta mengkritik

metode filsafat yang tidak dapat memberikan bukti yang pasti

mengenai teori metafisika berdasarkan kaidah-kaidah logika.18

Bersama dua filosof sebelumnya, yaitu al-Farabi (870-

950) dan Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198)

mengklaim penalaran demonstratif dapat melahirkan

pengetahuan yang benar karena merupakan bagian logika yang

paling penting di antara jenis logika lain. Namun ketiga filosof

itupun mendapat kritikan tajam dari Ibn Taymiyyah (1262-

1329) yang meyakini wahyu sebagai satu-satunya kebenaran

mutlak dan karena itu logika harus tunduk kepada teks wahyu.19

15 Al-Ghazali, “Al-Munqidh min al-Dalal”, dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar

al-Fikr, 1996), 554-555. 16 Masudul Alam Choudhury, “The Epistemologies of Ghazzali, Kant and the

Alternative Formalism in Unification of Knowledge Applied to the Concepts of Markets

and Sustainability”, International Journal of Social Economics 24 (1997), 918–

940,http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=The_Epistemologies_of_Ghazzali_Kant_

and_the_Alternative_Formalism_in_Unification_of_Knowledge_Applied_to_the_Concept

s_of_Markets_and_Sustainability 17 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Bayrut: Dar wa Maktabah al-Hilal), 189. 18 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-D}alal, 119. 19 Kritik Ibn Taymiyyah terhadap logika, tertuang dalam kitabnya Al-Radd „ala

al-Mant}iqiyyin (Beirut: Dar al-Fikr, 1993). Kritik Ibn Taymiyya pada dua subjek utama

logika, yaitu definisi dan silogisme, dapat dilihat pada Sobhi Rayan, “Ibn Taymiyya's

Criticism of the Syllogism”, Der Islam86 (2011), 93, http://e-resources.

pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Ibn_Taymiyya's_Criticism_of_the_Syllogism

Page 21: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

9

Melalui pemaknaan Ibn Taymiyyah yang sangat ketat terhadap

teks Alquran, ia mengkafirkan filosof atas penalaran

demonstratif yang melahirkan teori metafisika rasional, yaitu

mu‘jizat, kenabian, malaikat, dan emanasi.

Dalam konteks modern, realitas pemihakan metode

dilakukan Abid al-Jabiri. Ia memilih metode demonstratif karena

karakteristik ilmu demonstratif memiliki tingkat kematangan

dan akan melahirkan kemajuan sebab didasarkan pada

pengalaman empiris dan penarikan kesimpulan rasional sebagai

metodenya. Sebaliknya, kajian teks tidak mungkin memuat unsur

kemajuan. Demikian halnya dengan pengetahuan intuitif, karena

ilmu tersebut hanya merupakan bentuk penyingkiran akal dan

berorientasi pada akhirat yang bersifat kontradiktif dengan

kemajuan.20

Ilmuwan modern lain yang memandang satu metode

lebih unggul dibanding metode yang lain adalah Muhammad

Taqi Misbah Yazdi. Sekalipun berusaha konsisten dengan

patokan-patokan akal, Misbah Yazdi tampak lebih

mengistimewakan pengetahuan dengan kehadiran (‘ilm huduri)

sebagai kesadaran yang bersifat intuitif atau pengetahuan yang

diperoleh melalui metode intuitif.21

Klaim validitas metode ini kemudian memengaruhi

penilaian terhadap suatu ilmu. Fuqaha beranggapan bahwa ilmu

yang benar terdapat dalam sumber hukum dengan

memprioritaskan pada hadith. Menurut sufi, ilmu yang benar

didasarkan pada latihan dan pengalaman spiritual. Menurut

sastrawan, ilmu didasarkan pada penggunaan bahasa yang benar,

20 Abid al-Jabiri, Taqwin al-„Aql al-„Arabi, 343. 21 Muh}ammad Taqi Mis}bah} Yazdi, Philosophical Instructions an Introduction

to Contemporary Islamic Philosophy, trans. (Muh}ammad Legenhausen dan „Azim

Sarvdalir (New York: Institute of Global Cultural Studies, 1999), 102.

Page 22: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

10

gramatikal, serta mengenal norma-norma retorika dan komposisi.

Menurut filosof, ilmu yang benar didasarkan pada penggunaan

metode logika.22

Hal demikian, dapat dilihat pada pemikiran al-

Ghazali, al-Farabi, dan untuk kasus modern pada Muhammad

Taqi Misbah Yazdi. Selain memengaruhi sistem klasifikasi ilmu,

klaim validitas metode juga berdampak pada sejarah

perkembangan ilmu. Atas dasar ini, penulis termotivasi untuk

mengeksplorasinya dalam bentuk penelitian serta

menerapkannya dalam disiplin sains, filsafat, dan mistisisme.

Namun demikian, terdapat beberapa konsep dalam

tulisan ini yang akan diperjelas, yaitu metode ilmiah,

epistemologi Islam, pluralisme metodologi, serta kedudukan

filsafat dan mistisisme sebagai ilmu.

Dalam kegiatan ilmiah, metodologi dibedakan dengan

metode. Metodologi adalah ilmu tentang metode, sementara

metode berarti teknik yang digunakan peneliti dalam praktik

ilmiah tertentu, misalnya praktik yang terkait dengan instrumen

pengumpulan data, terkait dengan alat analisis data, atau terkait

dengan proses penelitian seperti sampling.23

Dengan ini, ilmu

merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah

dan metode ilmiah berarti prosedur atau cara sistematis untuk

membentuk ilmu.

Ilmiah adalah kata sifat untuk kata dasar ilmu. Ilmu

merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-

ya’lamu-‘ilm) yang berarti pengetahuan (al-ma’rifah). Dalam

22 Paul L. Heck, “The Hierarchy of Knowledge in Islamic Civilization”, Jurnal of

Arabica and Islamic Scholars, no. 1, (Januari 2002), http://eresources.pnri.go.id/

library.php?id=10000&key=The_Hierarchy_of_Knowledge_in_Islamic_Civilization 23 Alan Bryman,“Of methods and Methodology”, Qualitative Research in

Organizations and Management: An International Journal 3 (2008), 159 – 168, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Of_methods_and_Meth odology

Page 23: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

11

Alquran, ilmu disebut 105 kali dengan 744 kali kata jadiannya.24

Dengan ini, selain berasal dari bahasa Arab yang seringkali

diidentifikasi sebagai bahasa Islam, istilah ilmu ditemukan pula

dalam Alquran. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu dalam Islam

bersifat transendental.

Dari beberapa definsi tentang ilmu, yang digunakan

dalam karya ini adalah ilmu yang dimaknai dengan menemukan

hakikat sesuatu secara objektif (idrak al-shay’i ‘ala ma huwa

bih).25

Dengan kalimat yang lebih umum, ilmu didefinisikan

sebagai pengetahuan objektif tentang sesuatu. Yang disebut

‚sesuatu‛, dalam sistem epistemologi Islam sifatnya plural,

bahwa yang ada atau sesuatu itu tidak hanya merealisasi pada

realitas empirik, tetapi juga realitas imaginal, dan entitas

metafisika.

Definisi mengenai ilmu sebagaimana tersebut di atas

mensyaratkan pengetahuan benar-benar merepresentasikan objek

yang dikaji, lepas dari asumsi, pendapat, perkiraan, atau opini

pribadi pengkajinya. Definisi ini hampir selaras dengan definisi

sains dalam perspektif epistemologi Barat pada awal abad ke-19,

yang diartikan dengan pengetahuan yang terorganisir (any

organized knowledge). Definisi ini dengan sendirinya

mengeluarkan pengetahuan yang tidak terorganisir dari kategori

sains. Hanya saja, sains kemudian membatasi wilayah kajiannya

hanya pada wilayah empiris yang pada gilirannya menolak

24 Kata jadian tersebut adalah „alima (35 kali), ya‟lamu (215 kali), i‟lām (31 kali),

yu‟lamu (1 kali), „alīm (18 kali), ma‟lūm (13 kali), „ālamīn (73 kali), „alam (3 kali), „a‟lam

(49 kali), „alīm atau „ulamā‟ (163 kali), „allām (4 kali), „allama (12 kali), yu‟limu (16

kali), „ulima (3 kali), mu‟allām (1 kali), dan ta‟allama (2 kali). Lihat M. Dawam Rahardjo,

“Ensiklopedi al-Qur‟ān: Ilmu”, dalam Ulumul Qur‟ān, (Vol.1, No. 4, 1990), hlm. 58. 25 Definisi lain, misalnya: 1). Asumsi yang selaras dengan realitas. 2). Ilustrasi

yang dihasilkan akal. 3). Hilangnya sesuatu yang samar dari sesuatu yang diketahui dan

bodoh adalah kebalikan ilmu. 4). Sampainya jiwa kepada hakikat makna sesuatu. Lihat Ali

Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta‟rifat (Libanon: Dar al-Rayyan al-Turats, 740), 199.

Page 24: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

12

wilayah di luar empiris sebagai objek sains sehingga produknya

tidak dianggap ilmiah.

Istilah ilmu (‘ilm) dalam tulisan ini tidak dibedakan baik

dengan sains (science) maupun knowledge.26

Hanya saja, dalam

tulisan ini, ilmu memiliki referensi yang tidak merujuk pada

totalitas science juga pada knowledge sebagaimana yang

dipahami dalam epistemologi Barat. Ilmu dan sains memiliki arti

dan nilai sejarah yang berbeda, dibedakan berdasarkan ruang

lingkupnya. Ruang lingkup sains dalam epistemologi Barat

hanya terbatas pada fakta-fakta empiris, sementara ruang lingkup

sains atau ilmu dalam epistemologi Islam tidak hanya menelaah

objek-objek empiris tetapi juga objek-objek matematis dan

metafisis. Istilah sains merujuk pada pengetahuan objektif yang

ada-nya bersifat empiris, sementara istilah ilmu merujuk pada

pengetahuan sebagaimana ada-nya, baik ada yang merujuk pada

objek empiris, objek matematis, atau entitas metafisis.27

Penelitian ini tidak membuat pembedaan istilah antara

ilmu dengan sains. Ilmu adalah istilah Indonesia untuk

menerjemahkan istilah science dalam bahasa Inggris. Namun

demikian, epistemologi Islam memiliki perspektif yang lebih

komprehensif tentang ilmu, yang cakupannya tidak hanya berisi

telaah terhadap objek-objek fisikal saja tetapi juga meliputi

wilayah metafisika. Demikian halnya dengan objektivitasnya.

26 Terdapat kekacauan semantik dalam memahami konsep ilmu dan sains,

misalnya Jujun S. Suriasumantri menggunakan istilah “ilmu”, yaitu “science”, untuk

membedakannya dengan “pengetahuan” (knowledge), atau menggunakan istilah “ilmu

pengetahuan” untuk “ilmu”. Jujun S. Suriasumantri dkk, penerj. Ilmu Dalam Perspektif

Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1992), 9. 27 Menurut Mulyadhi Kartanegara, kata ilmu memiliki kemiripan dengan kata

sains. Sebagaimana science dibedakan dari knowledge, „ilm juga dibedakan dengan ra‟y

(opini). Karena telah teruji kebenarannya berdasarkan bukti-bukti yang kuat tidak

berdasarkan praduga atau asumsi, maka ilmu bukan sembarang pengetahuan atau opini

Mulyadhi Kartanegara, Menyibak …. , 3-4.

Page 25: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

13

Karakteristik ‘ala ma huwa bihi sifatnya lebih komprehensif

sebab realitas pengalaman yang dilegitimasi tidak hanya realitas

pengalaman empirik saja tetapi juga pengalaman imaginal, dan

pengalaman spiritual. Dengan demikian, pemaknaan substansial

metode ilmiah di sini bukan merupakan terjemahan langsung dari

scientific method sebagaimana yang dipahami dalam

epistemologi Barat karena scientific method sendiri merupakan

bagian dari metode ilmiah.

Pemaknaan istilah metode ilmiah ke dalam cakupan yang

lebih luas, tidak dimaksudkan sebagai penolakan atau peniadaan

eksistensi metode saintifik yang sudah terbakukan. Sebagai

refleksi metode ilmiah, metode saintifik telah terbukti

memberikan kontribusi yang berharga berupa kemudahan,

efektivitas, dan efisiensi bagi umat manusia dalam hal

teknikalitas. Dengan kontribusi ini, umat manusia dapat hidup

sejahtera dengan mengakses serta menguasai sains.28

Sekalipun

ada beberapa catatan kritis bagi metode ilmiah modern yang

terlahir dari perbedaan konseptual dengan metode ilmiah Islam,

reformulasi konsep metode ilmiah bukan refleksi pemikiran anti

sains Barat. Sejarah Islam mencacat penggunaan metode

saintifik oleh saintis muslim. Dalam konteks ini, maka realisasi

metode ilmiah dalam sistem epistemologi Islam meliputi

penggunaan metode sains.

28 Melalui sains modern, manusia telah melakukan perjalanan ke bulan, mengirim

pesawat antariksa ke sistem terjauh tata surya, dan menemukan banyak misteri DNA

seputar penyakit manusia dan kehidupannya. Manusia telah mengembangkan teknologi

luar biasa di hampir setiap bidang pengalamannya seperti pengetahuan kosmologi,

perkembangan kehidupan di bumi, serta dapat berkomunikasi melalui telepon seluler dan

internet, dan sebagainya. Emery J. Hyslop-Margison dan M. Ayaz Naseem, Scientism and

Education Empirical Research as Neo-Liberal Ideology (New York: Springer, 2007).

Page 26: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

14

Sementara itu, istilah ‘epistemologi’ sendiri dibagi dua,

yaitu epistemologi dasar dan epistemologi khusus.29

Epistemologi pada pembagian pertama membahas pengetahuan

manusia. Menurut Richad Fumerton, materi pembahasan

epistemologi meliputi konsep pengetahuan, alasan untuk

mempercayai (keabsahan pengetahuan), justifikasi,

kemungkinan, hal yang harus dipercayai (terkait dengan kriteria

kebenaran), serta konsep lainnya yang hanya dapat dipahami

melalui salah satu pertanyaan di atas atau lebih.30

Definisi lain

menyatakan bahwa epistemologi adalah telaah filosofis

mengenai karakteristik, keadaan-keadaan, serta tingkat

pengetahuan manusia.31

Epistemologi khusus membatasi bidang

cakupannya pada pengetahuan tertentu, misalnya pengetahuan

empiris. Pembahasan mengenai metode ilmiah merupakan bagian

dari pembahasan epistemologi dalam pemaknaan yang kedua,

bahwa metode ilmiah merupakan landasan epistemologi ilmu.

Kajian epistemologi dalam Islam disesuaikan dengan

prinsip-prinsip dasar agama Islam. Secara ontologis, wilayah

telaah ilmu meliputi wilayah yang diakui oleh ajaran Islam, yaitu

tidak hanya menelaah objek-objek fisikal saja. Secara

epistemologis, metode ilmiah untuk mengkaji wilayah tersebut

bervariasi. Secara aksiologis ilmu dalam Islam menegaskan

keberpihakannya pada nilai. Karakter epistemologis ini dengan

sendirinya menunjukkan kekhususan sains Islam dari tradisi

epistemologis peradaban yang lain.

29 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 22. 30 Richard Fumerton, Epistemology (Malden: Backwell Publishing, 2006), 1. 31 Ernest Sosa and Jaegwon Kim, ed., Epistemology an Anthology (Oxford:

Backwell Publishers Ltd., 2000), ix. Definisi epistemologi dalam pemaknaan ini, lihat pula

Barry Stroud, “Epistemology, the History of Epistemology, Historical Epistemology”,

Erkenntnis75 (2011), 495 – 503, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key

=Epistemology_the_History_of_Epistemology_Historical_Epistemology

Page 27: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

15

Dengan perspektif lain, Ziauddin Sardar menyatakan

bahwa sains merupakan fenomena kultural. Setiap kultur

mempunyai pandangan khas mengenai dunia, masyarakat, dan

pengetahuan. Maka kultur itu mempunyai semacam sains juga

sebagaimana Barat.32

Argumen inilah yang mendasari

keniscayaan eksistensi epistemologi Islam. Dalam hal ini,

keberadaan epistemologi Islam yang secara khusus merealisasi

pada sains Islam, adalah hal yang realistis. Argumen mengenai

keniscayaannya dikemukakan Sardar pada empat argumen.

Pertama, suatu peradaban yang berbeda akan menghasilkan ilmu

yang berbeda pula. Kedua, identitas sains Islam bersifat khusus

yang diungkapkan dalam sifat dan gaya karakteristiknya yang

unik dalam sejarah. Ketiga, sains Barat cenderung bersifat

destruktif sehingga dapat menjadi ancaman bagi kesejahteraan

umat manusia. Keempat, sains Barat juga tidak dapat memenuhi

kebutuhan dan persyaratan fisik, budaya dan spiritual masyarakat

muslim.33

Namun demikian, kekhususan karakter epistemologi

Islam bukan menunjukkan dimensi parsialitasnya sebab susbtansi

epistemologisnya tetap menujukkan dimensi universalitasnya.34

32 Ziauddin Sardar, Sains Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, terj.

Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1989), 30. 33 Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam,

Science and Cultural Relations (London: Pluto Press, 2006), 121-158 34 Pada sains misalnya, Sardar menyatakan bahwa dalam kesejarahannya, struktur

nilai sains Islam memiliki sifat dan gaya yang unik. Ini pada dasarnya adalah usaha yang

objektif, yaitu solusi objektif untuk tujuan dan masalah normatif dicari dalam area yang

dipetakan oleh nilai-nilai abadi dan konsep Islam. Dalam sains Islam, tujuan dan sarana

sains dikawal oleh sistem etika Islam. Dengan demikian, baik tujuan, alat, proses, maupun

metodenya harus sesuai dengan diktum Islam. Diktum ini tidak ada hubungannya dengan

dogma tetapi berkaitan dengan etika. Sains Islam berada di luar dogma dan tidak terjebak

pada tingkat penyelidikan yang naif. Sains Islam adalah pencarian kebenaran yang

sistematis, teliti, perusahaan pemecahan masalah yang rasional dan objektif yang berupaya

memahami keseluruhan realitas. Lihat Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading

Ziauddin Sardar on Islam, Science and Cultural Relations (London: Pluto Press, 2006),

160

Page 28: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

16

Dalam istilah ‘pliralisme metodologi, John Mingers

melansir tiga istilah di samping "pluralisme metodologi", yaitu

pluralis melonggar (loose pluralism), komplementarisme, dan

pluralis menguat (strong pluralism). Ia menggunakan istilah

terakhir dengan argumen bahwa semua situasi penelitian pada

dasarnya bersifat kompleks dan multidimensi. Kompleksitas

dimensi merujuk pada tiga level eksistensi, yaitu dunia material,

dunia sosial, dan dunia personal. Dengan demikian, penggunaan

multi metode dimungkinkan dapat mencapai hasil yang relevan.

Di samping itu, karena penelitian merupakan suatu proses dari

berbagai jenis kegiatan yang masing-masing akan mendominasi

pada waktu yang berbeda, maka metode penelitian tertentu

dipandang lebih tepat daripada metode yang lain.35

Teori-teori tersebut di atas dijadikan dasar bagi gagasan

pluralisme metodologi yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini.

Teori tersebut kemudian dikontraskan dengan problem eksternal

dan internal, yaitu dominasi epistemologi positivisme dan

pendirian singularisme metodologi yang selanjutnya menggulir

menjadi problem praktis bagi pengembangan tradisi keilmuan

Islam, seperti saintisme dalam kerja akademis ilmuwan muslim

dalam kajian keislaman, problem praktis hirarki ilmu, serta fakta-

fakta diskriminatif yang terkait dengan pendirian singularisme

metodologi. Inilah yang menjadi fokus penelitian untuk

mengekplorasi pluralisme metodologi.

Dalam diskursus epistemologi Islam, terdapat tema yang

disepakati oleh semua ilmuwan muslim, yaitu prinsip kesatuan

pengetahuan, kesatuan kebenaran, dan kesatuan metodologi yang

35 John Mingers, “Combining IS Research Methods: Towards a Pluralist

Methodology,” Information Systems Research 12 (2001), 240 – 259,http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Combining_IS_Research_Methods:_Tow

ards_a_Pluralist_Methodology

Page 29: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

17

merupakan elaborasi dari tema integrasi ilmu. Penggunaan istilah

pluralisme merupakan perluasan bagi konsep integrasi ilmu.

Sesuai dengan konteks permasalahannya, pluralisme merupakan

respon terhadap persoalan eksternal dan internal umat Islam

berkenaan dengan stagnasi ilmu di dunia Islam sebagaimana

yang dikemukakan sebelumnya. Sementara itu, pembicaraan

mengenai integrasi ilmu biasanya merupakan respon terhadap

adanya dikotomi ilmu. Namun pada integrasi ilmu,

penggagasnya tampak masih belum melepaskan diri dari

pandangan yang bersifat hirarkis pada aspek ontologi,

epistemologi, dan aksiologi keilmuannya sehingga menjadi

kontradiksi bagi konsep integrasi sendiri. Karena konsep

pluralisme merupakan perluasan bagi konsep integrasi, tulisan ini

akan mencoba meminimalisir kontradiksi ini yang akan

mengawali keberlakuannya di wilayah metodologi.

Yang perlu ditegaskan di sini adalah penjelasan

mengenai makna esensial dari pluralisme sendiri yang

adakalanya disalahpahami sebagai bentuk relativisme.

Penjelasan mengenai ini, penulis lakukan dengan meminjam

penjelasan Jalaluddin Rakhmat, M. Syafi’i Anwar, dan Ahmad S.

Moussalli sekalipun pada narasi aslinya yang dibicarakan bukan

mengenai pluralisme metodologi tetapi pluralisme agama.

Pada pemikiran Jalaluddin Rakhmat, pluralisme tidak

mengandung unsur relativisme sebab dalam pluralisme

meniscayakan adanya perbedaan sebagai sebuah kenyataan.36

M.

Syafi’i Anwar menekankan pluralisme sebagai sistem nilai yang

menghargai pluralitas. Puralisme metodologi adalah sikap yang

menghargai pluralitas metode yang digunakan dalam keilmuan

36 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi

Perbedaan, (Jakarta: Serambi, 2006), 33.

Page 30: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

18

lain. Pluralisme metodologi tidak mengarah pada pemahaman

yang bertendensi pada relativisme tetapi diarahkan untuk

mengakui perbedaan di antara ragam metode serta ada kesediaan

untuk menerima perbedaan itu. Dia mengutip pendapat Diana L.

Eck bahwa pluralisme bukan hanya bahasa yang mendeskripsikan

perbedaan, tetapi juga bahasa yang mendeskripsikan keterikatan,

keterlibatan, dan partisipan.

Dengan ini, dalam pluralisme terdapat dialog dan

pertukaran pendapat yang dapat dijadikan alternatif. Pluralisme

adalah proses dinamis bukan skema yang dirancang oleh

kelompok kiri dan bukan bentuk kelas dari relativisme. Sebagai

sebuah proses dinamis, setiap yang berbeda terhubung satu sama

lain meskipun perbedaannya sangat mendalam. 37

Menurut

Ahmad S. Moussalli, pluralisme justru sangat dibutuhkan dalam

pembangunan identitas, yang membutuhkan pengakuan

perbedaan antara satu individu dan lainnya atau satu kelompok

dengan yang lain, bahwa pluralitas merupakan masalah universal

dan sebagai sesuatu yang alami.38

Adapun ‘ilmu’ dalam pengertian science (Inggris,

Prancis) menunjuk pada pengetahuan yang tersistematisasi

melalui metode ilmiah. Karakter ilmu didasarkan pada tiga

pertanyaan utama yang mencakup masalah apa yang dikaji

(landasan ontologi), bagaimana cara mengetahuinya (landasan

epistemologi), serta bagaimana nilai gunanya (landasan

aksiologi).39

37 M. Syafi‟i Anwar, “Pluralisme dan Amanah Kecendekiawanan; Belajar

Bersama Dawam Rahardjo”, dalam Ihsan Ali Fauzi, dkk. Ed., Demi Toleransi Demi

Pluralisme, (Jakarta: Paramadina, 2007), 188-9 38 Ahmad S. Moussalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human

Rights, (Florida: University of Florida, 2003), 97 39 Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”,

dalam Jujun S. Suriasumantri, penerj. Ilmu Dalam Perspektif…, 4-5.

Page 31: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

19

Dalam tulisan ini, filsafat dan mistisisme diposisikan

sebagai ilmu berdasarkan pemenuhan syarat ilmu sebagaimana

pada sains. Bahwa baik filsafat maupun mistisisme keduanya

merupakan ilmu sebab dibangun oleh metode ilmiahnya serta

memiliki landasan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya

masing-masing.

Secara spesifik, kajian dalam buku ini dirumuskan untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai tiga problem utama

berikut. Pertama, kerangka konseptual pluralisme metode ilmiah

dalam perspektif epistemologi Islam. Kedua, interpretasi dan

implikasi pluralisme metode ilmiah dalam konteks universalitas

metode. Ketiga, signifikansi pluralisme metode ilmiah bagi

pengembangan tradisi keilmuan dalam Islam.

Karena tema mengenai metode ilmiah dalam perspektif

Islam merupakan tema yang cakupannya sangat luas, penulis

melakukan beberapa pembatasan. Luasnya cakupan tersebut

semakin diperluas oleh keragaman perspektif para ilmuwan

muslim mengenai tema tersebut. Dengan demikian, penelitian

komprehensif mengenai tema tersebut hampir sulit dilakukan

kecuali membuat beberapa pembatasan supaya proses penelitian

dapat dituntaskan secara rasional.

Berdasarkan pembatasan terhadap ruang lingkup ilmu

dalam penelitian ini, secara sederhana dikatakan bahwa ilmu

dapat disimplifikasi pada tiga kategori, yaitu ilmu yang dibangun

berdasarkan proses pengamatan yang bertumpu pada alat indra,

ilmu yang dibangun berdasarkan proses penalaran yang bertumpu

pada akal, dan ilmu yang lahir berdasarkan proses penyucian jiwa

yang bertumpu pada hati.

Sebagai bentuk simplifikasi, klasifikasi di atas dengan

sendirinya tidak memasukkan semua kategori ilmu secara

Page 32: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

20

keseluruhan. Pertama, berdasarkan sumbernya. Secara hakiki,

sumber dari segala sumber berbagai ilmu adalah Allah. Semua

ilmu tanpa kecuali bersumber dari Allah. Allah adalah pemilik

ilmu dan kebenaran. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam

Alquran surat al-Mujadalat ayat 11 bahwa manusia hanya

sebagai penerima ilmu. Ilmu ini diberikan Allah melalui dua cara,

ada yang secara langsung diberikan Allah kepada manusia (ilmu

ladunni, ilmu huduri) dan ada yang diperoleh melalui usaha

manusia (ilmu husuli, ilmu kasbi). Ilmu yang diberikan secara

langsung ada yang berupa wahyu ada pula yang berupa ilham.

Wahyu adalah pengetahuan yang hanya diberikan kepada Nabi

sebagai konsekuensi kenabiannya sementara ilham diberikan

kepada manusia biasa. Pengetahuan yang diberikan kepada Nabi

memiliki tingkat objektivitas yang tidak dapat diragukan lagi

termasuk interpretasi Nabi pribadi terhadapnya sebagaimana

dijamin dalam surat al-Najm ayat 3. Sementara ilmu yang

diberikan melalui ilham sifatnya masih debatable. Sifat

debatable ini terutama didasarkan pada proses epistemologinya

yang ketiga, yaitu ketika ilmu mukashafat ini diungkapkan

secara lisan. Lagipula, dalam hal objektivitas, alat epistemologi

hati tidak memiliki jaminan yang menunjukkan keabsolutannya.

Berdasarkan pembagian ilmu di atas, dapat disimpulkan

bahwa pengetahuan dalam epistemologi Islam terpusat pada

Tuhan dan manusia. Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan

manusia sebagai penerimanya. Ilmu yang disampaikan secara

langsung kepada manusia biasa diperoleh melalui proses tazkiyat

al-nafs dan ilmu yang diusahakan manusia diperoleh melalui

pengalaman indrawi dan penalaran rasional. Dalam penelitian ini,

ilmu yang dikaji adalah ilmu yang diberikan Allah secara

langsung kepada manusia biasa dan ilmu yang diusahakan

Page 33: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

21

manusia melalui kekuatan indra dan akalnya. Dengan kalimat

lain, ilmu yang terpusat pada manusia di luar Nabi yang

diperoleh melalui tiga potensi mengetahuinya, yaitu indra, akal,

dan hati.

Kedua, berdasarkan metode dan alat epistemologi yang

membangunnya. Dalam tradisi epistemologi Islam dikenal varian

metode ilmiah, yaitu metode bayani, metode tajribi, metode

burhani, dan metode ‘irfani. Bayani adalah bentuk epistemologi

yang didasarkan pada otoritas teks dengan menempuh dua jalan

yaitu berpegang teguh pada redaksi lafad teks dengan

menggunakan kaidah ilmu kebahasaaraban dan menggunakan

metode analogi atau qiyas. Metode tajribi menghususkan diri

pada telaah empiris dari realitas. Metode ini dikenal juga dengan

metode observasi atau eksperimen. Metode burhani adalah

bentuk epistemologi yang mendasarkan pada kekuatan akal

melalui penggunaan kaidah-kaidah logika. ‘Irfani adalah bentuk

epistemologi yang mendasarkan pada kashf, yaitu penyingkapan

rahasia realitas oleh Tuhan. Metode ini menempuh jalan

penyucian jiwa atau hati sebagai media pelimpahan pengetahuan

secara langsung dari Tuhan. Tahapam umum metode ‘irfani

adalah persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Dalam

penelitian ini dibatasi pada tiga metode, yaitu metode tajribi,

metode burhani, dan metode ‘irfani yang masing-masing

mewakili alat epitemologi indra, akal, dan hati.

Ketiga, berdasarkan kategori jenis pegetahuan yang

dikaji. Kajian penelitian memfokuskan diri pada sains yang

diasumsikan mewakili ilmu yang dibangun oleh metode

tajribi/observasi/eksperimen, filsafat yang mewakili ragam

pengetahuan rasional yang dibangun oleh metode burhani, dan

Page 34: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

22

mistisisme yang mewakili pengetahuan yang dibangun oleh

metode ‘irfani.

Penulisan buku ini berorientasi untuk melahirkan

kontribusi baik secara teoretis bagi pengembangan teori

keilmuan di bidangnya maupun secara praktis bagi para

penggunanya. Secara teoretis diarahkan untuk memenuhi tiga

relevansi teoretis berikut. Pertama, memperkuat dan mendukung

hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pluralisme

metode ilmiah dalam perspektif Islam. Penelitian terdekat

dengan dengan tema ini adalah penelitian yang mengkhususkan

diri pada telaah tentang gagasan islamisasi ilmu dan integrasi

ilmu. Kedua, memberi landasan teoretis dan dasar rasional bagi

keniscayaan gagasan islamisasi ilmu dan integrasi ilmu. Ketiga,

membuka ruang bagi pengembangan tradisi keilmuan dalam

Islam pada aspek metodologi keilmuannya.

Secara praktis, diharapkan dapat memecahkan persoalan

metodologis yang dihadapi umat Islam, terutama yang bersifat

internal. Secara internal dapat meredakan konflik pemikiran di

antara umat Islam mengenai klaim validitas metode dengan

terbangunnya kesadaran terhadap realitas plural metode ilmiah

Islam, bahwa masing-masing metode memiliki objeknya yang

khas dan hanya dapat dibedah dengan metode yang relevan.

Problem internal lain yang terkait adalah persoalan praktis yang

terlahir dari pandangan dikotomis tentang ilmu. Di samping itu,

juga diharapkan memberikan kontribusi positif bagi model

pengembangan keilmuan di Universitas Islam Negeri di

Indonesia yang telah menerapkan pola integrasi ilmu sehingga

dapat meminimalisir kekhawatiran yang muncul terkait dengan

karakteristik gagasan integrasi ilmu sendiri. Bahwa gagasan

Page 35: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

23

integrasi ilmu akan merealisasi dengan baik jika dibangun di atas

pemahaman positif mengenai realitas metode yang plural.

Kajian mengenai pluralisme metode ilmiah dalam

perspektif epistemologi Islam merupakan kelanjutan pemikiran

ilmuwan muslim yang konsern terhadap ide islamisasi ilmu pada

level epistemologis.40

Akar pemikiran mengenai islamisasi ilmu

ini berawal dari pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang dilanjutkan

oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Ziauddin Sardar.

Seyyed Hossein Nasr menyoroti metodologi sekuler yang

digunakan sains modern kemudian menganjurkan untuk melihat

metodologi tersebut berdasarkan dimensi spiritual. Garis besar

pemikirannya mengenai dimensi spiritual dalam sains,

dituangkan dalam tulisannya yang berjudul The Need for a

Sacred Science, dengan istilah sains tertinggi (the supreme

science) atau sains metafisik (the metaphysics science).41

Ziaudin Sardar juga berupaya melakukan islamisasi ilmu pada

level metodologis. Pluralitas metodologi dalam epistemologi

Islam tersirat dalam tulisannya mengenai keragaman ilmu yang

dikembangkan oleh filosof dan ilmuwan muslim, yang dengannya

40 Islamisasi ilmu dikategorikan pada tiga level, yaitu level ontologis, level

epistemologis, dan level aksiologis. Islamisasi ilmu pada level ontologis, misalnya model

islamisasi ilmu Isma‟il Raji al-Faruqi, Abdul H}amid Abu Sulaiman, A.M. Saefuddin, atau

Mohammad Abdul al-Sami dan Muslim Sajjad. Lihat Mahmoud H}amid al-Migdadi,

“Issues in Islamization of Knowledge, Man and Education”, Revue Académique des

Études Sociales et Humaines 7(2012), 3, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Issues_in_Islamization_of_Knowledge_Man_and_Education, Mohammad Abdus Sami

dan Muslim Sajjad, Planning Curricula for Natural Sciences: The Islamic Perspektif

(Islamabad: Institute of Policy Studies, 1983). Islamisasi ilmu pada level aksiologis,

misalnya tercermin dalam pemikiran Armahedi Mahzar dan M.A.K.Lodhi.Lihat Armahedi

Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi

(Bandung: Mizan, 2004); M.A.K.Lodhi, ed. Islamization of Attitudes and Practices in

Science and Technology (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1989). 41 Seyyed Hossein Nas}r, The Need for a Sacred Science (Richmond: Curzon

Press, 1993), 1-2.

Page 36: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

24

meniscayakan keragaman metode.42

Selanjutnya Sardar

menyatakan bahwa epistemologi Islam menghendaki sebuah

metodologi yang menyertakan pengalaman batin manusia, di

samping penginderaan, eksperimen, induksi, dan deduksi. Semua

pengalaman manusia tersebut sama realnya. Karena itu,

semuanya dapat diteliti.43

Di Indonesia, pemikiran Mulyadhi Kartanegara

mengenai islamisasi ilmu tampak bersifat komprehensif dan

dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari pemikiran tokoh-tokoh

yang disebut di muka. Ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang

berjudul Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi

Islam, Integrasi Ilmu Sebuah Pendekatan Holistik, Sains dan

Matematika dalam Islam, atau Tradisi Ilmiah Islam. Di samping

itu, ada beberapa sarjana yang juga ikut konsern dengan

persoalan islamisasi ilmu dengan menulis tesis atau disertasi.

Namun demikian, secara umum penelitian tersebut terpusat pada

kajian pemikiran tokoh-tokoh islamisasi ilmu kemudian

dihubungkan dengan konsep yang lain, misalnya pendidikan,

bukan pada upaya islamisasi ilmu pada aspek pembangunan

metodologi sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini.44

Adapun kajian yang disinyalir mengkhususkan telaahnya

pada metode ilmiah dalam perspektif epistemologi Islam antara

42 Ziauddin Sardar and others, Routledge‟s Encyclopedia of Islamic Philosophy,

rearranged into Islamic Version by Mulyadhi Kartanegara (London and New York:

Routledge, 1998), 55. 43 Ziauddin Sardar, Sains Teknologi & Pembangunan, 34-35. 44 Zainal Abidin (2008) menulis disertasi Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi (1921-

1986) tentang Islamisasi Sains dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Dasar-Dasar

Filosofi Pendidikan Islam. Gagasan islamisasi ilmu Isma‟il Raji al-Faruqi diasumsikan

berpengaruh secara filosofis dalam merekonstruksi paradigma epistemologi dan

pengembangan sistem pendidikan Islam. Abu Darda (1997) menulis tesis Akar Teologis

Gagasan Islamisasi Ilmu-Ilmu Sosial Ismail al-Faruqi pada sekolah Pascasarjana IAIN

Syarif Hidayatulah Jakarta dengan dua fokus telaah, yaitu corak pemikiran kalam Ismail

Al-Faruqi yang bersifat tradisional dan implikasi pandangan tauhidnya.

Page 37: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

25

lain, Manhaj Ilmiah Islam karya Hasan Al-Sharkawi. Tulisan

tersebut hanya mengemukakan karakteristik metode ilmiah

islami yang bersifat fitri, sempurna, tetap, dan benar. Secara

eksklusif, dalam buku tersebut dikemukakan anjuran untuk

menggunakan istilah-istilah islami, seperti al-zahir

(pengendalian), fitrah, huda, istiqamah, dan al-taskhir

(penundukkan).45

Ragam metode ilmiah sebagaimana yang

dikehendaki dalam tulisan ini tidak ditemukan.

Dalam tulisannya tentang dasar pengetahuan, Louay Safi

mengkritisi metode penelitian yang digunakan dalam tradisi

keilmuan klasik serta metode andalan peneliti Barat modern. Di

satu sisi, metode penelitian Islam lebih terfokus pada tradisi

kewahyuan dan karenanya tidak memadai untuk mendampingi

aktivitas ilmiah modern, terjebak pada bahasa yang eksklusif dan

pola-pola pemikiran yang bersifat formalistik, serta bersifat

atomistik dan hanya bersandar pada penalaran analogis. Metode

penelitian Islam klasik memberikan porsi yang sangat minimal

terhadap penelitian sosial yang memerlukan pendekatan holistik.

Di pihak lain, metode penelitian Barat terjebak pada penelitian

empiris yang karenanya tidak mengakui wahyu sebagai sumber

pengetahuan. Atas dasar itu, Louay Safi mengemukakan satu

alternatif metodologis dengan memberikan sintesa, yaitu

menyatukan pendekatan yang digunakan keduanya.46

Dalam bukunya, Juhaya S. Praja mengemukakan metode-

metode dalam Islam, yaitu metode deduktif filsafat paripatetik

yang mengandalkan deduksi rasional dan demonstratif, metode

45 Hasan Al-Sharqawi, Manhaj Ilmiah Islami, terj. (Jakarta: Gema Insani Press,

1994). 46 Louay Safi, The Foundation of Knowledge a Comparative Study in Islamic and

Western Methods of Inquiry (Selangor: International Islamic University Malaysia Press,

1996).

Page 38: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

26

illuminasionis yang dihidupkan oleh Shihab al-Din Suhrawardi

Sirazi, metode sufisme yang berdasarkan pada penyucian jiwa,

metode deduktif dalam kalam yang mengandalkan deduksi

rasional dari teks suci, dan gabungan metode induktif-deduktif

yang dikembangkan oleh Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-

Jawziyya.47

Namun pembahasan komprehensif mengenai metode-

metode tersebut belum ditemukan.

Sementara itu, Mujamil Qomar mengemukakan metode

dalam epistemologi, yaitu metode rasional, metode intuitif,

metode dialogis, metode komparatif, dan metode kritik yang

diterapkan dalam praktik pendidikan. Dalam tulisan ini, Mujamil

Qomar cenderung merespon epistemologi Barat yang bersifat

skeptis, rasional-empirik, dikotomik, positif-objektif, dan anti

metafisika. Ia membandingkannya dengan karakteristik ilmu

dalam Islam yang bersandar pada kekuatan spiritual,

menghubungkan wahyu dan akal secara harmonis, terdapat

interdependensi antara akal dan intuisi, memiliki orientasi

teosentris, dan terikat nilai. Menurutnya, karakteristik ilmu

sedemikian, karena ilmu merupakan refleksi maksimal seluruh

potensi yang dianugerahkan Tuhan, yaitu indra, akal, dan hati.48

Pembahasan ini di luar kajian peneliti yang mengelaborasi

metode, antara lain berdasarkan kapasitas potensi mengetahui

manusia.

Dalam makalahnya, Amin Abdullah memodifikasi model

epistemologi bayani, buhani, dan ‘irfani yang dipetakan al-Jabiri

dengan menghubungkan ketiganya secara sirkuler. Ia menyebut

cara ini dengan ‚gerak lingkar hermeneutis nalar epistemologi‛

47 Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya

di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002). 48 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga

Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).

Page 39: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

27

sebagai model ta’wil al-‘ilm untuk menafsirkan Alquran yang

bercorak humanistik-transformatif-emansipatoris.49

Dalam

makalah tersebut, pemetaan metode bayani, burhani, dan ‘irfani

dilakukan untuk kepentingan penafsiran Alquran, tidak

mendeskripsikan karakteristik metode-metode tersebut terkait

dengan objeknya.

Dalam Pengantar Epistemologi Islam, Murtada

Mutahhari mengemukakan instrumen untuk memperoleh ilmu

yang terdiri dari indra, akal, dan penyucian hati disertai cara

kerjanya. Instrumen ilmu yang plural ini selaras dengan pluralitas

objek ilmuya yang terdiri dari alam, rasio, hati, dan sejarah.

Terkait dengan metode ilmiah, dia menyebut cara kerja indra

yang memiliki kemampuan menangkap sensasi indrawi sehingga

terbentuk pengetahuan, cara kerja akal mengetahui sesuatu

melalui pemilahan (tazjiah), penguraian (tahlil), dan penyusunan

(tarkib), serta cara kerja penyucian hati yang dengannya berbagai

kebijaksanaan Ilahi dan jalan yang harus dilalui manusia akan

tampak serta menghilangkan debu yang menghalangi pandangan

manusia.50

Namun demikian, pembahasan mengenai metode-

metode tersebut masih memerlukan eksplorasi lebih lanjut.

Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ditulis Mulyadhi

Kartanegara. Dalam buku tersebut dikemukakan secara lebih

jelas dan rinci mengenai tradisi ilmiah di dunia Islam. Bahwa

umat Islam pada masa lalu pernah memiliki tradisi ilmiah yang

mengagumkan. Di dalamnya dibahas mengenai metode-metode

ilmiah yang digunakan ilmuwan muslim untuk membentuk

49 M. Amin Abdullah, “At-Ta‟wil al-„ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma

Penafsiran Kitab Suci”, Al-Jami‟ah39 (2001), 365-370. 50 Murtad}a Mut}ah}h}ari, Pengantar Epistemologi Islam. Terj. Muhammad

Jawad Bafaqih (Jakarta: Shadra Press, 2010).

Page 40: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

28

ilmu.51

Dalam buku tersebut dikemukakan metode-metode ilmiah

dalam Islam, yaitu metode tajribi, metode burhani, metode

‘irfani, dan metode bayani. Namun demikian, penempatan

bahasan metode ilmiah dalam bab tertentu mengindikasikan

bahwa buku tersebut tidak dihadirkan untuk mengupas secara

khusus mengenai metode ilmiah dalam Islam. Pluralitas

metodologi dalam buku tersebut dikembangkan lagi dalam

tulisannya yang berjudul Integrasi Ilmu. Dikatakan mengenai

integrasi metode ilmiah bahwa semua metode bersifat valid,

namun pada bagian lain metode-metode tersebut diposisikan

secara hirarkis sehingga konsep integrasi sendiri menjadi bias.

Konsep integrasi ilmu juga terdapat dalam pemikiran M.

Amin Abdullah dan Zayn al-Abidin Baqir. Namun pembahasan

komprehensif mengenai integrasi ilmu dalam konteks pluralisme

metodologi dalam epistemologi Islam, sepanjang penelusuran

penulis belum dilakukan sekalipun buku-buku yang

mengisyaratkan hal tersebut cukup banyak jumlahnya.52

Tulisan

ini berupaya membahas secara komprehensif mengenai

pluralisme metodologi dalam kerangka islamisasi dan integrasi

ilmu.

Secara material, objek kajian dari tulisan ini adalah

metode ilmiah dalam perspektif Islam, dengan mendeskripsikan

tiga metode yang digunakan dalam sains, filsafat, dan mistisime,

yaitu metode eksperimen, metode demonstratif, dan metode

intuitif. Objek formal penelitian ini, dengan latar belakang

dominasi epistemologis serta klaim validitas metode, dilihat dari

51 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul

Ihsan, 2006). 52 Buku-buku yang mengisyaratkan keniscayaan metode penelitian Islam, antara

lain Muhammad Iqbal, et.al.,Sains dan Islam: Wacana, Dilema, dan Harapan (Bandung:

Nuansa, 2007). Buku tersebut dimaksudkan sebagai pengantar untuk merealisasikan sains

Islam.

Page 41: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

29

telaah substansi metodologis dalam mendeskripsikan ketiga

metode ilmiah tersebut, sebagai pengantar ke arah gagasan

pluralisme metode ilmiah.

Penelitian bercorak kualitatif (qualitative research).

Corak ini diselaraskan dengan tujuannya, yaitu memahami

fenomena yang dialami subjek, antara lain persepsi, secara

holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk penyataan dan

bahasa kualitatif, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan metode yang alamiah pula.53

Dalam hal

ini, telaah penelitian mengkhususkan diri pada pernyataan

persepsional para pakar di bidangnya.

Penelitian ini difokuskan pada penemuan teori formal,

yaitu teori yang ditemukan dan dibentuk untuk kategori teori

konseptual. Teori ini dibedakan dengan teori substantif yang

ditemukan dan dibentuk untuk kawasan substantif tertentu.54

Teori formal dipandang lebih relevan dengan karakteristik kajian

filsafat yang bersifat teoretis-konseptual. Teori ini digali dengan

menggunakan data-data kepustakaan atau studi pustaka (library

research) yang lebih memerlukan olahan filosofik dan teoretik

daripada uji empirik.55

Tulisan menggunakan metode reinterpretasi historis,

yaitu model telaah historis yang sifatnya reinterpretatif.56

Metode ini dipandang tepat mengingat substansi penelitian tidak

53 Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2006), 6. 54 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,

1994), 88-89. 55 Studi ini dibedakan dari studi pustaka yang memerlukan olahan uji

kebermaknaan empirik di lapangan. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,

159. 56 Penulis menggunakan metode yang direkomendasikan Noeng Muhadjir pada

pembahasannya tentang metodologi penulisan disertasi dengan pertimbangan seperti yang

dikemukakan di atas. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 222.

Page 42: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

30

sekedar mendeskripsikan metodologi keilmuan Islam di masa

lalu, tetapi juga sebagai upaya menyadarkan umat Islam

mengenai perannya di masa depan.

Sumber kajian dikelompokkan pada sumber primer dan

sumber sekunder. Sumber data primer adalah sumber-sumber

pustaka yang berkaitan dengan tema yang diusung dalam

penelitian ini, yaitu pendapat tokoh yang pemikirannya selaras

dengan tema pluralisme metode ilmiah. Sesuai dengan hasil

identifikasi tokoh sebelumnya, maka sumber utama dalam

tulisan ini adalah karya-karya Mulyadhi Kartanegara, dan M.

Amin Abdullah. Karya-karya Mulyadhi Kartanegara, terutama

difokuskan pada tulisannya yang berjudul integrasi ilmu.

Demikian halnya dengan karya-karya Amin Abdullah, yaitu

tulisannya yang terkait dengan model integrasi interkoneksi

antar ilmu merupakan sumber utama tulisan ini.

Sumber data sekunder adalah sumber-sumber mengenai

pluralisme metodologi yang ditulis oleh tokoh lain yang

berkaitan dengan pluralisme metodologi termasuk tulisan yang

bertolakbelakang dengan gagasan tersebut, misalnya tulisan

tentang singularitas metode ilmiah. Tulisan yang menunjukkan

karakter pluralisme terdapat dalam karya-karya Adelbert

Snijders, seperti Manusia Paradoks dan Seruan, Manusia &

Kebenaran, dan Seluas Segala Kenyataan, adalah tulisan yang

mengusung gagasan pluralisme metodologi. Tulisan lainnya

adalah Toward Comprehensive Integration of Science and

Religion: A Post Metaphysical Approach karya Sean Esbjorn-

Hargens dan Ken Wilber, dan sebagainya.

Tulisan-tulisan yang menunjukkan singularisme yang

digunakan dalam tulisan ini adalah karya-karya al-Ghazali,

seperti al-Munqidh min al-Dalal, Risalat al-Laduniyat, Mi’raj al-

Page 43: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

31

Salikin, Mishkat al-Anwar, Rawdah al-Talibin wa ‘Umdah al-

Salikin, Fatihat al-‘Ulum, Risalat al-Laduniyat, dan Tahafut al-

Falasifah. Tulisan-tulisan lainnya antara lain The Principles of

Epistemology in Islamic Philosophy karya Mehdi Ha’iri Yazdi,

dan Philosophical Instructions: an Introduction to Contemporary

Islamic philosophy karya Muhammad Taqi Misbah Yazdi.

Page 44: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

32

Page 45: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 33 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB II

DIALOG EPISTEMOLOGI BARAT DAN ISLAM

Secara umum, wilayah kajian dalam setiap sistem

epistemologi adalah sama, yaitu telaah ontologis, epistemologis,

dan aksiologis. Namun demikian, refleksinya berbeda sesuai

dengan latar belakang asumsi ideologi pengembangnya. Hal yang

mempertemukan epistemologi Barat dengan Islam adalah

kenyataan historis bahwa kedua peradaban ini pernah saling

memberi dan menerima dalam proses transmisi ilmu. Sekalipun

ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memutus fakta historis

ini dengan menyatakan bahwa peradaban Barat dibangun oleh

Barat (Kristen) sendiri, atau menapikan kaitan temuan ilmiah

ilmuwan muslim dengan temuan ilmiah di Barat di abad-abad

sesudahnya.57

Dialog akan difokuskan pada tiga masalah utama

57 James Hannam, “Modern Science's Christian Sources”, First Things 47 (2011),

47, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Modern_Science's_Christian_

Sources

Page 46: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

34

dalam epistemologi, yaitu metode ilmiah, kerangka

epistemologis, serta paradigma nilai yang membangunnya.

A. Metode Ilmiah

Metode ilmiah merupakan prosedur untuk memperoleh

ilmu. Dengan pendekatan ini, metode ilmiah menjadi klaim

bahwa pengetahuan yang dihasilkan dapat diberi label ilmiah.

Label ilmiah suatu konstruksi pengetahuan, antara lain

didasarkan pada metodenya.58

Atas dasar ini, pengetahuan yang

dikonstruksi melalui metode ilmiah kemudian dibedakan dengan

pengetahuan yang dihasilkan melalui metode non-ilmiah.59

Yang

pertama nilainya, valid, objektif, observatif, dan universal.

Sementara yang kedua nilainya invalid, subjektif, personal, dan

partikular. Kajian mengenai metode ilmiah akan mengungkap

konsep dasar ilmiah serta historisitas metode ilmiahnya.

1. Konsep dasar metode ilmiah

Ilmiah artinya bersifat keilmuan. Untuk mengidentifikasi

sifat keilmuan dapat diketahui setelah konsep ilmu duduk dalam

konteksnya. Menurut Adelbert Snijders, dengan kelahiran ilmu-

ilmu baru, istilah ‚ilmu‛ juga mendapat arti baru. Sebelumnya

ilmu yang merupakan bangunan pengetahuan yang sistematis dan

58 Perspektif yang menekankan peran penting metode ilmiah dalam ilmu

menyatakan bahwa metode ilmiah merupakan penentu dalam memberi label ilmiah dalam

suatu konstruksi ilmu bukan atas dasar materinya. Lihat Paul Humphreys, Extending

Ourselves: Computational Science, Empiricism, and Scientific Method (New York: Oxford

University Press, 2004), 92, 153. 59 Justifikasi ilmiah didasarkan pada tiga karakter berikut, yaitu dalam hal

ojektivitas, akurasi pengukuran, serta kritik diri. Objektivitas berkaitan dengan

kemampuan mengklasifikasi fakta secara akurat dan teliti. Akurasi pengukuran berkaitan

dengan penggunaan metode yang relevan dengan fakta. Adapun kritik diri berkaitan

dengan sikap ilmuwan yang secara objektif serta kritis menguji kembali hasil

penelitiannya. Dipak Kumar Bhattacharyya, Research Methodology (New Delhi: Excel

Books, 2006), 16-17.

Page 47: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

35

metodis itu merujuk pada ilmu empiris, filsafat, teologi, dan

metafisika yang dipertentangkan dengan pengalaman. Sekarang,

istilah ‚ilmu‚ secara eksklusif digunakan untuk merujuk pada

ilmu-ilmu baru, yaitu ragam ilmu empiris, positif, dan

eksperimental atau science. Kata ilmu dalam arti science, menuju

scientifical insight. Dengan pemaknaan ini, maka kata ‚ilmu‛

dipertentangkan dengan filsafat, metafisika, dan teologi.60

Secara substansial, ilmu dalam arti science bersinonim

dengan pengetahuan empiris, pengetahuan tentang dunia

material, proses, dan kekuatan alam. Sains bukan tentang

kepercayaan tetapi mengenai bagaimana segala sesuatu bekerja,

mengeksplorasi penyebab alami untuk menjelaskan fenomena

alam.61

Di luar wilayah empiris, bukan merupakan wilayah

penelaahan ilmu dan hasil pengetahuannya tidak dapat

dikategorikan sebagai ilmu. Karena bukan merupakan ilmu maka

pengetahuan tersebut tidak memiliki sifat keilmuan atau ilmiah.

Suatu bangunan pengetahuan manusia, dapat dikatakan ilmiah

apabila menelaah objek empiris yang kebenarannya diverifikasi

melalui metode empiris pada ketiga tahapan intinya, yaitu titik

tolak, hipotesa, dan verifikasi.62

Menurut Bernard Ostle dan Richard W. Mensing, metode

ilmiah ditempuh melalui eksperimen, observasi, argumen logis

60 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 14. 61 Nasser Mansour, “Science Teachers‟ Interpretations of Islamic Culture Related

to Science Education versus the Islamic Epistemology and Ontology of Science”, Cultural

Studies of Science Education 1 (2010), 127 – 140, http://eresources.pnri.go.id/

library.php?id=10000&key=Science_Teachers‟_Interpretations_of_Islamic_Culture_Relat

ed_to_Science_Education_versus_the_Islamic_Epistemology_and_Ontology_of_Science 62 Secara lebih terperinci, langkah-langkah dalam metode ilmiah dimulai dari

penentuan masalah, penelitian (pendahuluan), merumuskan hipotesis, melakukan

eksperimen, observasi, kemudian memberikan kesimpulan berdasarkan bukti dari

eksperimen. Watson, Scott B;James, Linda, “The scientific method: Is it still useful?”,

Science Scope 3 (2004), 37, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

The_scientific_method%3A_Is_it_still_useful%3F

Page 48: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

36

dari postulat yang diterima, serta kombinasi ketiganya dalam

proporsi yang bervariasi.63

Namun demikian, kecenderungan

dominan dari kombinasi metode saintifik ini terletak pada

eksperimen atau observasi.64

Dalam epistemologi Islam, metode

saintifik diakui sebagai salah satu metode ilmiah, tetapi bukan

satu-satunya metode. Tradisi ilmu yang merupakan derivat dari

objek penelaahannya tidak hanya ilmu empirik atau science saja,

tetapi mencakup keilmuan rasional, metafisika, dan ilmu

naqliyya.65

Science adalah salah satu jenis ilmu bukan satu-

satunya ilmu.

Dengan demikian, maka rujukan ilmiah dalam

epistemologi Islam berbeda dengan perspektif modernisme.

Perbedaan ini terletak pada perbedaan tradisi serta karakteristik

ilmu yang dikonstruksikan. Dalam epistemologi Islam, istilah

yang digunakan untuk pengetahuan adalah ilmu karena secara

hakiki ilmu merupakan pengetahuan. Dengan kalimat lain,

pengetahuan (ma’rifat) sama dengan ilmu (‘ilm). Sementara

dalam epistemologi Barat ilmu (science) dibedakan dengan

pengetahuan (knowledge). Ilmu berbeda dengan pengetahuan

63 Dikutip dari C. R. Kothari, Research Methodology Methods and Techniques

(New Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers, 2004), 9. 64 Fokus dan landasan pengetahuan ilmiah adalah pengamatan atau observasi

bukan pengetahuan yang bersifat deduktif sekalipun ilmu berbasis hipotesis, bukan hanya

menganalisis generalisasi sebab pengamatan dalam sains tidak bersifat serampangan.

Robert Audi, Epistemology a Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge

(Canada: Taylor & Francis e-Library, 2005), 259-260. 65 Mulyadhi Kartanegara mengklasifikasi ilmu berdasarkan objek kajiannya, yang

mengikuti pemikiran Ibn Khaldun sebagai berikut: 1) Ilmu naqliyya. Dalam ilmu naqliyya

terdapat bidang keilmuan al-Qur„an dan ilmunya, Fiqh dan Us}ul Fiqh, Ilmu Kalam, dan

Tas}awuf. 2) Ilmu rasional. Ilmu rasional terbagi ke dalam ilmu teoretis dan ilmu praktis.

Ilmu teoretis meliputi tiga kelompok ilmu, yaitu Fisika (Minerologi, Botani, Zoologi,

Anatomi, Kedokteran, dan Psikologi), Matematika (Aritmatika, Geometri, Aljabar, Musik,

dan Astronomi), dan Metafisika (Ontologi, Teologi, Kosmologi, Antropologi, dan

Eskatologi). Ilmu rasional meliputi Etika, Ekonomi, dan Politik. 3) Sastra (Adab). 4) Ilmu

Bahasa Arab, dan 5) Ilmu Sosial. Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah

Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), 119-181.

Page 49: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

37

karena dibangun oleh metode ilmiah yang disebut scientific

method. Scientific method inilah yang menjustifikasi keabsahan

ilmu yang tanpanya suatu pengetahuan tidak memiliki dasar

objektifnya.66

Satu-satunya persamaan kedua perspektif

keilmuan ini bahwa baik ilmu (‘ilm) yang cakupannya lebih luas

atau ilmu (science) yang membatasi diri telaahnya pada objek

empiris, keduanya menilai valid terhadap masing-masing tradisi

keilmuannya. Namun demikian, sementara epistemologi Islam

mengakui validitas science, modernisme hanya mengakui satu

varian ilmu Islam yaitu ilmu dalam arti science. Epistemologi

Islam menetapkan basis ilmiah bagi semua varian ilmu,

sementara epistemologi Barat hanya memvalidasi sains.

Pluralitas ruang lingkup ilmu sebenarnya terdapat dalam

pemikiran David Luwis. Ia menganjurkan tesis tentang pluralitas

dunia yang menyatakan bahwa dunia ini adalah salah satu dari

dunia lainnya. Namun dalam pandangannya, antara satu dunia

dengan dunia yang lain tidak memiliki hubungan serta kesamaan

karakteristik.67

Dalam epistemologi Islam, pluralitas kenyataan

tidak mengada secara mandiri. Semuanya memiliki keterkaitan

karena berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.

Konsep ilmiah mengacu pada suatu proses keilmuan

tertentu. Pada Peter Kosso, istilah ilmiah biasanya

66 Cara ilmiah untuk mengetahui sering disebut metode santifik, karena dianggap

sebagai satu-satunya metode, metode saintifik menyiratkan kelemahan dari cara sains

mengetahui realitas. Lihat Arthur D'Adamo, Science Without Bounds A Synthesis of

Science, Religion and Mysticism (http://www.AdamFord.com , 2004), 52. 67 Doktrin ini dikemukakan berdasarkan 7 tesis berikut: (1). Dunia mungkin

(termasuk dunia ini) adalah ada. (2) Dunia-dunia tersebut merupakan hal yang mungkin

juga. (3) Dunia mungkin, seperti dunia nyata, tidak dapat direduksi menjadi hal lain. (4)

Tidak ada kekhususan ontologis tentang dunia aktual. Setiap dunia adalah aktual bagi

penghuninya. (5) “Aktual” hanya sebuah indeksikal, seperti “di sini”. (6) Dunia-dunia

mungkin terisolasi secara kausal satu sama lain. (7) Dunia mungkin tidak tergantung pada

pikiran. Brian Garrett, What Is This Thing Called Metaphysics? (New York: Routledge,

2006), 22.

Page 50: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

38

menggambarkan suatu proses atau standar proses, tidak mengacu

pada jenis objek. Proses yang merupakan tindak lanjut dari

metode, menggabungkan unsur pengamatan, bukti, pengujian,

dan penggunaan logika. Apabila tidak ada bukti atau

argumentasi logis, maka tidak dikategorikan ilmu. Proses ilmiah

dilakukan secara lebih disengaja, eksplisit, dan lambat untuk

kepentingan kontrol dan transparansi. Saintis berusaha

menghindari pelanggaran metodis serta subjektivitas. Sikap ini

kemudian membedakan ilmu dengan non ilmu.68

Dengan kalimat

lain, sikap yang membedakan sikap ilmiah dengan non ilmiah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam perspektif

Islam, pengetahuan sama dengan ilmu. Ilmu berasal dari bahasa

Arab ‚’ilm‛, bahasa yang digunakan oleh ilmuwan muslim.

Mengikuti pendapatnya Ibn Sina, Mulyadhi Kartanegara

mengemukakan cakupan realitas pada tiga kelas eksistensi, yaitu

wujud fisik, wujud matematik, dan wujud metafisik.69

Penelaahan objek-objek fisik melahirkan ilmu empiris. Maka

dalam sistem epistemologi Islam, science Barat dalam banyak

hal merupakan bagian dari ilmu dan secara etimologis bukan

merupakan kontras untuk knowledge.

Dalam literatur filsafat ilmu yang mendasarkan diri pada

sistem epistemologi Barat, pengetahuan (knowledge)

dikontraskan dengan ilmu (science). Pengetahuan didefinisikan

sebagai segala hal yang diketahui manusia, antara lain ilmu.

Dengan logika ini, maka science adalah bagian dari pengetahuan

atau pengetahuan khusus. Kekhususan science dibedakan dengan

pengetahuan lainnya karena memiliki metode yang khas, yaitu

metode ilmiah yang merupakan terjemahan dari scientific

68 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method (New York: Springer, 2011), 1-2. 69 Untuk selanjutnya lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan

Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), 31-43.

Page 51: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

39

method. Jujun S. Suriasumantri dan Miska Muhammad Amien

termasuk ilmuwan yang menggunakan istilah ilmu untuk sains.70

Rujukan ilmu pada science selaras dengan pendirian epistemologi

Barat dengan latar belakang positivistiknya. Dengan ini, wilayah

ilmu dalam epistemologi Barat lebih sempit daripada ilmu dalam

epistemologi Islam karena hanya menelaah objek yang bersifat

empiris.

Pertemuan kedua sistem epistemologi ini, dikemukakan

Mulyadhi Kartanegara bahwa ilmu memiliki kemiripan dengan

science. Ketika science dibedakan dengan knowledge, ilmu juga

dibedakan dengan ra’y (opini). Dengan demikian, ilmu bukan

sembarang pengetahuan atau opini tetapi pengetahuan objektif

yang kebenarannya teruji melalui bukti kuat, tidak berdasarkan

praduga atau asumsi.71

Yang membedakan science dengan ilmu

adalah ruang lingkupnya.

Jika ilmu dimaknai sebagai pengetahuan objektif tentang

realitas, realitas sendiri tidak dapat disimplifikasi hanya pada

realitas empiris. Temuan modern tentang teori big bang, materi,

atau atom menunjukkan keberadaan realitas non empiris sebagai

bagian dari realitas yang penelaahannya memerlukan metode

yang berbeda. Dalam konteks positivisme, pengakuan hanya

pada realitas empiris dengan sendirinya menolak status ilmiah

70 Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan,

yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu atau pengetahuan keilmuan. Supaya

tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan”

(knowledge), maka digunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan”. Jujun S.

Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1990), 9. Menurut Miska Muhammad Amien, kata pengetahuan diambil dari kata Inggris

knowledge, sedangkan ilmu dialihkan dari kata Arab „ilm atau kata Inggris science. Miska

Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta:

UI-Press, 1983), 3. 71 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan....., 3-4.

Page 52: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

40

tradisi keilmuan yang wilayah telaahnya di luar objek-objek

empiris, semisal filsafat dan mistisisme.

Menurut Ahmad Tafsir, filsafat menelaah objek-objek

abstrak sehingga temuannya pun bersifat abstrak yang dianalisis

berdasarkan metode rasional.72

Rasional berarti cara berpikir

yang selaras dengan kaidah-kaidah logika sehingga secara praktis

metode rasional bertumpu pada metode yang disediakan logika.

Objek-objek abstrak yang menjadi wilayah penelaahannya,

memang tidak mengada secara eksternal tetapi keberadaannya

menjadi real sebab dapat diterapkan pada objek-objek

eksternalnya.

Adapun mistisisme, pengetahuan ini dikarakteristikkan

sebagai kesadaran tanpa analitis, pengalaman kesatuan mutlak,

kebersatuan dengan yang transenden, atau kesadaran langsung

akan kehadiran Tuhan. Pengetahuan ini, demikian menurut

Haidar Bagir, bersumber dari segala ada yang diyakini atau

dialami sebagai Logos, yaitu sejenis intelegensia, bahkan Sang

Intelegensia, yang identik dengan kebenaran atau pengetahuan.

Dalam konteks inilah pengetahuan mistis diyakini memiliki

kandungan kognitif.73

Atas dasar itu, objek-objek ilmu tidak hanya objek

empiris, tetapi juga ada objek abstrak serta objek-objek metafisis

yang semuanya memiliki status ontologis yang real. Kenyataan

objektif dari objek-objek tersebut memungkinkan untuk ditelaah

berdasarkan metode yang relevan sehingga status ilmiahnya

dapat dipertanggungjawabkan.

72 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi Epistemologi dan Aksiologi

Pengetahuan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 9. 73 Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan,

2017), 51-53.

Page 53: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

41

2. Historisitas Metode Ilmiah

Metode ilmiah yang berkembang saat ini sebenarnya

merupakan kreativitas kemanusiaan universal. Dengan demikian

tidak ada klaim eksklusif yang menyatakan kepemilikan tunggal

metode ini. Asal metode ilmiah dapat ditelusuri sejak 2600 SM

dalam dokumentasi papyrus Edwin Smith (1600 SM) mengenai

metode bedah kuno. Pada abad ke-4 SM, metode ilmiah di

Yunani dikembangkan oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles

(384-322 SM).74

Menurut Plato, hukum-hukum alam dapat

dijelaskan melalui penalaran intelektual (metode deduktif),

sementara Aristoteles cenderung dengan metode induktif.

Penalaran deduktif adalah prosedur logis penarikan kesimpulan

dari premis atau aksioma yang diterima, sementara metode

induktif memulai dari observasi untuk menderivasi prinsip

umum. Pada abad ke-8 sampai abad ke-15 Masehi, metode ilmiah

dalam Islam dikembangkan oleh Ibn al-Haitham atau Alhazen

(965-1040 M), yang menawarkan metode eksperimen untuk

penelitian optiknya. Nama lainnya adalah al-Biruni (973-1048

M) yang berkontribusi dalam bidang filsafat, matematika, sains,

dan kedokteran.75

Metode ilmiah dalam pengertian scientific

method mulai muncul di Barat pada abad ke-16 melalui

74 Pada awal kemunculannya, metode ilmiah mencakup bidang telaah serta

prosedur yang bersifat umum tidak merujuk pada metode sains saja. Andrew Barker

menyebut istilah scientific method untuk tradisi ilmiah pada masa Ptolomeus. Andrew

Barker, Scientific Method in Harmonics (New York: Cambridge, 2003) 75Don K Mak, Angela T Mak, Anthony B Mak, Solving Everyday Problems with

the Scientific Method Thinking Like a Scientist (London: Word Scientific Publishing Co.

Pte. Ltd, 2009), 3-7.

Page 54: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

42

Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1642)76

, dan

Newton (1642-1727).

Secara formal, epistemologi Barat yang merealisasi pada

metode imiah dalam pengertian scientific method dapat dilacak

mulai masa renaissance. Masa ini kemudian dibedakan dari masa

sebelumnya, yaitu abad pertengahan, dengan epistemologi-

teosentris di mana kebenaran ilmiah terpusat pada Tuhan.

Lembaga-lembaga pendidikan dibangun untuk menyebarkan

nilai-nilai agama. Di samping itu, perkembangan ilmu non agama

dikontrol secara ketat untuk memastikan keselarasannya dengan

nilai-nilai al-Kitab.77

Sementara epistemologi Barat bercorak

antroposentris, bahwa kebenaran terpusat pada manusia. Corak

epistemologi humanisme ini, pada gilirannya menempatkan

agama dan Tuhan pada peran yang tidak signifikan.78

Peralihan

karakter dari teosentris ke antroposentris, dapat dilihat dari

karya: Pico Della Mirandola (1463-1494) dalam Oration on the

Dignity of Man yang membayangkan Tuhan memproses serah

76 Sekalipun pemikiran Galileo merupakan kelanjutan dari pemikiran

pendahulunya, awal kemunculan metode saintifik biasanya dirujukkan pada Galileo. Hal

ini karena Galileo telah mengembangkan metode eksperimen sebagai metode baru dalam

konteks zamannya. Lihat Barry Gower, Scientific Method an Historical and Philosophical

Introduction (London and New York: Routledge, 2002), 21. 77 Ibrahima Diallo, “Introduction: The interface between Islamic and western

pedagogies and epistemologies: Features and divergences”, International Journal of

Pedagogies & Learning 3 (2012), 17, http://e-resources.pnri. go.id/library.php?id=

10000&key=Introduction%2C_The_interface_between_Islamic_and_western_pedagogies

_and_epistemologies%2C_Features_and_divergences 78 David O. Tolman memaparkan pendapat Weinberg yang mendukung

pernyataan ini bahwa semua ilmu menyangkal keberadaan Tuhan dan menilai agama

sebagai kebangkrutan intelektual yang berdampak pada disintegrasi yang

mengatasnamakan agama itu sendiri. Lihat David O. Tolman, “Search for an

Epistemology: Three Views of Science and Religion”, Dialogue: A Journal of Mormon

Thought 1 (2003), 89, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Search_for_an_Epistemology%2C_Three

_Views_of_Science_and_Religion

Page 55: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

43

terima peran dan fungsi-Nya sebagai pengendali sejarah terhadap

manusia.79

Di antara tokoh-tokoh kunci yang dinilai berjasa dalam

penemuan ilmiah pada masa rennaisance antara lain Roger

Bacon (1214-1294) penggagas metode eksperimen, William

Ockham (1285-1349) pelopor prinsip parsimoni, Copernicus

(1473-1543) penemu teori heliosentris, Francis Bacon (1561-

1626) dengan metode observasinya, Johannes Kepler (1571-

1630) penyempurna metode Covernicus, dan Galileo Galilei

(1546-1642) penemu hukum gravitasi universal.80

Pada

umumnya, metode ilmiah perspektif tokoh di atas mencerminkan

eksperimen dan observasi.

Secara epistemologis, metode ilmiah yang

dikembangkan pada masa renaissance pada dasarnya merupakan

bentuk penolakan terhadap epistemologi abad pertengahan.

Ilmuwan pada masa renaissance cenderung merekonstruksi

bentuk epistemologi baru yang terbebas dari agama. Roger

Bacon, Copernicus, Francis Bacon, Tycho Brahe, Johannes

Kepler, dan Galileo Galilei melepaskan peran Tuhan dari dunia

ilmiah. Metode ilmiah yang mereka bangun, dipercaya

sebagai alat yang tepat untuk mengetahui dunia yang nyata.

Dunia nyata yang dimaksud yaitu dunia empiris. Di

luar dunia empiris, bukan merupakan objek telaah ilmu

karena keberadaannya tidak dapat diukur, baik melalui

observasi atau eksperimen. Metafisika, dengan demikian,

ditinggalkan dari dunia ilmiah karena dianggap tidak riil.

Sikap ini mendominasi pemikiran ilmuwan masa renaissance.

79 Pico Della Mirandola, On The Dignity of Man. Trans. Charles Glenn Wallis

(Cambridge: Hackett Publishing Company, Inc., 1998), 4-5. 80 Lebih lengkapnya, lihat Don K Mak, Angela T Mak, Anthony B Mak, Solving

Everyday Problems with the Scientific Method, 8-11.

Page 56: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

44

Apabila ada pemikiran ilmuwan yang cenderung mengakui

keberadaan dunia metafisik, maka pemikiran tersebut akan

ditinggalkan pengikutnya.81

Renaissance, dengan latar historis abad pertengahan,

menjelaskan perubahan karakter teosentris menjadi

antroposentris, tidak menjelaskan mengenai perkembangan

metode ilmiah itu sendiri. Penjelasan mengenai sejarah

metode ilmiah sebenarnya dapat ditelusuri dari perjalanan

metode ilmiah setelah Socrates, Plato, dan Aristoteles, yang

mengalami stagnasi dan dominasi gereja. Metode ilmiah

yang ditemukan Yunani Kuno dan sebenarnya merupakan

temuan peradaban lainnya, diwarisi umat Islam melalui

penerjemahan karya dari bahasa Yunani, Sansakerta, dan

Pahlazi ke dalam bahasa Arab.82

Penggunaan metode ilmiah pertama dalam Islam

dilakukan Jabir bin Hayyan. Kenyataan bahwa ia merupakan

pionir metode ilmiah sebenarnya masih belum begitu jelas.

Namun apabila membandingkan dengan sejarah munculnya ilmu

dalam Islam yang berkisar tahun 777 M, tahun yang sama dengan

wafatnya Jabir bin Hayyan, dapat dikatakan bahwa Jabir bin

Hayyan adalah salah seorang ilmuwan yang memiliki peran

penting dalam pengembangan tradisi ilmiah Islam. Setidaknya,

hal ini selaras dengan temuan sejarah mengenai keberadaan

universitas pertama al-Andalus (Spanyol) dengan masa hidup

Jabir bin Hayyan (kira-kira akhir abad kesembilan dan akhir abad

81 Sebenarnya ada pemikiran Bacon yang menyiratkan keberadaan aspek

metafisika. Lihat Barry Gower, Scientific Method …. 43. Namun pemikiran tersebut jarang

diperkenalkan. 82 Aftab Ahmad Khan, “Islam & Philosophy”, Defence Journal 3 (2011), 42,

http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islam_%26_Philosophy

Page 57: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

45

kedelapan). Bapak ‚kimia‛ ini memberikan penekanan pada

eksperimen ilmiah.83

Pengembangan ilmu dalam Islam didasarkan pada

sumber asasinya yaitu Alquran sehingga mengalami proses

metamorfosa dari bentuknya yang semula. Dalam studi alam,

karya umat Islam antara lain Kitab al-Manazir (Optik) dari Ibn

al-Haytham dan Kitab al-Tahdid Nihayat Amakin Li'tas}ih

Musafat al-Masakin (Kitab Penentuan koordinat dari Posisi

untuk Koreksi Jarak antara Kota) al-Biruni. Kreativitas

pengembangan karya ilmiah ini juga berlaku untuk ilmuwan yang

disinyalir banyak terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles seperti

al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd. Mereka tetap

memodifikasi elemen penting untuk menggabungkan sistem

kepercayaan dasar Islam.84

Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Islam,

antara lain Metafisika, Kosmologi, Kosmogoni, Kosmografi,

Geografi, Geodesi, Kartografi, Matematika, Astronomi, Fisika,

Geologi, Mineralogi, Kedokteran, Zoologi, Botani, dan disiplin

terkait lainnya. Melalui ilmuwan muslim inilah metode ilmiah

menyeberang ke masa renaissance melalui gerakan penerjemahan

karya-karya mereka ke Eropa.85

Gerakan penerjemahan ini antara

83 Muzaffar Iqbal, Science and Islam (Westport: Greenwood Press, 2007), 9, xxvi. 84 Muzaffar Iqbal, Science and Islam , 23 85 Tulisan ilmuwan muslim tentang fisika, matematika, dan kedokteran yang

komprehensif ditulis oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd. Tulisan mereka beredar luas di Barat

selama berabad-abad, baik dalam bahasa Arab aslinya atau dalam terjemahan Latin.

Demikian halnya dengan karya medis al-Razi. Di samping al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn

Rusgd. Tercatat al-Kindi, Thabit Ibn Qurra, dan Ibn al-Haytham yang memberikan

kontribusi signifikan bagi perkembangan Aljabar, Aritmatika, Astronomi, Kalkulus,

Kartografi, Kimia, Kosmologi, Geografi, Geometri, Oftalmologi, dan Sosiologi. Charles E.

Butterworth, “Islam as a Civilization”, Academic Questions 1 (2012), 101, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id= 10000&key=Islam_as_a_Civilization

Page 58: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

46

lain yang mengilhami kelahiran renaissance sebagai titik tolak

dan fondasi filsafat Barat modern. 86

Pada abad ke-17, epistemologi ilmu dikerangkai oleh

rasionalisme. Tokoh-tokoh rasionalisme abad ini adalah Rene

Descartes (1596-1650), Leibniz (1646-1716), Christian Woff

(1679-1754), dan Spinoza (1632-1677). Namun secara formal,

epistemologi Barat biasanya merujuk pada pemikiran rasional

Rene Descartes (1596-1650).

Rasionalisme Descartes yang bermuara pada pernyataan

‚cogito ergo sum‛, dibangun dari keraguan untuk memperoleh

pengetahuan yang tidak meragukan. Dengan metode keraguan

tersebut, ditemukan dua hal yang meyakinkan, yaitu bahwa

dirinya sedang berpikir dan bahwa pengetahuan terlahir dari

pikiran.87

Dengan kalimat lain, pengetahuan yang melekat dalam

pikiran memiliki klaim objektif tanpa harus dikorespondensikan

dengan fakta. Dalam rasionalisme, akal diklaim sebagai sumber

pengetahuan yang benar. Adapun metode ilmiah Rene Descartes

dalam melakukan penelitian adalah geometri. 88

Kenyataan ini

menjadi warna dominan metode sains. Rasionalisme menggeser

struktur metafisika dalam epistemologi yang pada abad

pertengahan merupakan epistemologi determinan.

86 Tulisan Ibn al-Haytham menjadi literatur andalan di Barat. Pengaruh karya Ibn

al-Haytham mengenai optik yang dicetak dalam abad kesepuluh/keenambelas dapat dilihat

dalam studi optik Kepler. Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam

(Chicago: ABC International Group, Inc., 2001), 130. Kitab al-Qanun fi al-Tib menjadi

literatur medis yang otoritatif selama enam abad, yaitu menjadi buku teks di universitas di

Louvain dan Montpellier. Pada abad ke-19, Charles Lyell (1897-1875) membangun

geologi modern yang dasar-dasarnya mengambil teori geologi Ibn Sina. Lihat David

Deming, Science and Technology in World History Volume 2: Early Christianity, the Rise

of Islam and the Middle Ages (Jefferson, North Carolina, and London: McFarland &

Company, Inc., 2010), 95, 99. 87 Laurence BonJour, Epistemology Classic Problems and Contemporary

Responses (Plymouth: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2010), 13-14. 88 George Couvalis, The Philosophy of Science: Science and Objectivity (London:

SAGE Publications, 1997), 1.

Page 59: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

47

Pada abad ke-18, argumen rasionalisme dipatahkan oleh

empirisme. Empirisme menggagas pengalaman sebagai otoritas

epistemik yang prinsipil.89

Tokoh-tokoh empirisme yang

mengkritik rasionalisme, antara lain John Locke (1632-1704),

David Hume (1711-1776), dan Berkeley (1685-1753). Pemikiran

John Locke merupakan kontras bagi Descartes. Jika Descartes

menyakini objektivitas pengetahuan yang bersumber dari akal,

John Locke menolak ide bawaan tersebut. Menurutnya, ketika

melakukan proses berpikir, pikiran bergerak dan mengandung

ide. Ide tersebut tidak melekat dalam pikiran sejak awal tetapi

merupakan hasil pengamatan dan pengalaman seseorang. Semua

ide hadir melalui sensasi atau refleksi. Sebelum mengalami

sesuatu, pikiran tidak memiliki ide apapun seperti halnya kertas

putih yang belum berisi tulisan. Hal ini berarti bahwa semua ide

berasal dari pengalaman melalui pengamatan dan dari sinilah

pengetahuan dibangun.90

Empirisme mengajukan metode

observasi untuk menelaah dan membangun pengetahuan tersebut.

Selanjutnya perkembangan metode ilmiah pada abad ke-19

merealisasi pada filsafat positivisme. Tokoh yang membidani

kelahiran Positivisme adalah pemikir Prancis, Hendry Sain

Simon (1760-1825) dan muridnya, Auguste Comte (1798-1857).

Positivisme memberi penekanan yang lebih terhadap sains yang

direduksi dalam fisika.91

Kekuatan Fisika antara lain lebih

menjamin objektivitas.

89 Anil Gupta, Empiricism and Experience (New York: Oxford University Press,

Inc., 2006), 4. 90 John Locke, Essay Concerning Human Understanding (Hazleton: The

Pennsylvania State University, 1999), 86-87. 91 Bernhard Plé, “Auguste Comte On Positivism And Happiness”, Journal of

Happiness Studies 4 (2000), 423 – 445, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id

=10000&key=Auguste_Comte_On_Positivism_And_Happiness

Page 60: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

48

arakteristik positivisme sedemikian, pada gilirannya

menuai banyak kritik bahkan dari kalangan ilmuwan Barat

sendiri. Thomas Kuhn mengkritisi sifat universal ilmu. Ia

mendukung klaimnya dengan studi sejarah revolusi-revolusi

ilmiah yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mengalami

krisis yang hanya dapat diselesaikan ketika praktisi mengubah

standar mereka untuk menilai teori secara radikal. Feyerabend

mengemukakan pandangan yang lebih radikal bahwa tidak ada

yang disebut metode ilmiah. Teori-teori ilmiah tidak ada yang

dapat dijustifikasi objektivitasnya.92

Sekelompok filsuf Cina

mengusulkan untuk memperluas epistemologi, antara lain Feng

Qi (1915-1995). Tesis Feng Qi, sebagaimana sains menjadi

mungkin, maka demikian pula dengan kebijaksanaan metafisik.

Setelah membahas cara memperoleh dan mengungkapkan

kebijaksanaan metafisik, Feng Qi mengklaim kemungkinan ini

sebab manusia memiliki intuisi intelektual untuk memahaminya

dan karena manusia adalah makhluk yang bersifat sadar terhadap

dirinya.93

Realisasi metode ilmiah yang memiliki perbedaan

karakter dalam

kurun waktu serta lingkup geografis tertentu pada

kenyataannya selalu terkait dengan nilai-nilai subjektif

pengembangnya. Karena itulah, mengapa ilmu dalam arti science

membatasi wilayah telaahnya pada dimensi empiris dan

menggunakan metode serta verifikasi empiris. Sekalipun rujukan

ilmu dalam sistem epistemologi Islam berbeda dengan rujukan

ilmu yang dibangun di atas filsafat positivisme. Namun

92 Dikutip dari George Couvalis, The Philosophy of Science…., 6-7. 93 YU Zhenhua, “The Expansion of Epistemology: The Metaphysical vs. the

Practical Approach”, Dao 1 (2012), 83 – 100, http://e-resources.pnri.go.id/library.

php?id=10000&key=The_Expansion_of_Epistemology%3A_The_Metaphysical_vs._the_

Practical_Approach

Page 61: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

49

demikian, perbedaan tersebut tidak mengubah pengertian ilmu

sebagai pengetahuan sistematis dan metodis.

Pada masa pra modern, semua capaian intelektual, baik

yang empiris maupun tidak, dianggap bagian dari ilmu yang cara

memerolehnya bersifat majemuk, yaitu empiris, logis, dan mistis.

Bahkan, ilmu yang bersifat empiris pun dapat diperoleh dengan

cara mistis atau melibatkan latihan-latihan spiritual tertentu.94

Dengan demikian, pada praktiknya, metode ilmiah yang

membangun karakter metodisnya dengan paradigma logis-

empiris, sebenarnya bukan satu-satunya metode dalam sejarah

umat manusia. Menurut Haidar Bagir, penggunaan metode non

empiris bahkan mencapai lebih dari 99 % dalam sejarahnya.

Dalam konteks mistisisme, kecenderungannya di barat muncul

pada era postmodernisme dalam bentuk ketertarikan pada

agama-agama di dunia timur serta lahirnya tradisionalisme.

Dengan ini, fitrah spiritualitas manusia sebagai kontras bagi

pendirian positivisme semakin menjamur. Faktanya, bukan hanya

agama dan spiritualitas, ribuan organisasi kultus menjamur di

seluruh bagian dunia.95

Pada sisi ini, fakta penggunaan metode non empiris pada

fase pasca modern dapat dilihat sebagai paradoks bagi tesis

positivisme yang menetapkan kepercayaan penuh pada dimensi

faktual dari realitas sebagai fase puncak dalam sejarah

kecerdasan umat manusia. Ini juga semakin mengukuhkan

spiritualitas sebagai bagian dari fitrah manusia. Hanya saja, pada

sementara orang fitrah tersebut tidak memiliki ruang aktualisasi

yang memadai.

94 Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf…, 46 95 Haidar Bagir, Epistemologi Tasawuf…, 37-41.

Page 62: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

50

Menurut Bertrand Russell, upaya untuk memahami dunia

secara keseluruhan, sejak awal dibangun oleh kesatuan dan

konflik antara misitisisme dan sains sebagai kecenderungan

manusiawi yang berbeda. Ada kalangan yang memiliki

kecenderungan kuat pada sains semisal Hume. Ada kalangan

yang kecenderungan kuatnya pada mistisisme sebagaimana

terlihat pada Blake. Namun, para filosof merasakan kebutuhan

pada keduanya, baik sains maupun mistisisme.96

Pada Auguste

Comte, aktualisasinya bertahap mulai dari mistisisme (baca:

mitologi), filsafat, lalu sains. Pada al-Ghazali, aktualisasinya

juga bertahap dimulai dari sains, filsafat, dan puncaknya di

mistisisme.97

Dalam konteks pluralisme metodologi, setiap ilmu

memiliki tempat yang setara, teori-teori yang dibangunnya dapat

menjadi landasan pengembangan teori dalam ilmu yang lain, dan

secara metodologis, metode yang mengkonstruksikannya

memiliki hubungan spiritual dengan metode lainnya. Dengan

demikian, di samping seseorang dapat konsisten pada bidang

keilmuan yang menjadi kekhususannya sebagai seorang saintis,

filosof, atau mistikus dengan sikap menghargai metodologi yang

digunakan ilmu yang lain, juga dapat menjadi saintis, filosof,

sekaligus mistikus.

Tulisan ini berupaya untuk membuat deskripsi rasional

tentang keberadaan metode baik yang empiris maupun non

empiris. Dengan kalimat lain, penjelasan mengenai metode

mistisisme lebih diarahkan pada pertanggungjawaban ilmiahnya.

Hal demikian karena metode yang disebut belakangan banyak

dikritik telah melepaskan diri dari koridor rasional.

96 Bertrand Russel, Mysticism and Logic (London: Umwin Book, 1963), 9 97 Lihat al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dalal dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut:

Dar al-Fikr, 1996), 556.

Page 63: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

51

B. Kerangka Epistemologis Metode Ilmiah

Karena perbedaan wilayah ontologisnya, antara metode

ilmiah dengan metode ilmiah yang lainnya memiliki perbedaan

karakter. Epistemologi Barat juga mengakui adanya perbedaan

metodis ini, tetapi pluralitas tersebut berada di bawah naungan

satu wilayah ontologis, yaitu wilayah empirik. Menurut Robert

Nola dan Howard Sankey, terdapat berbagai praktek metodologis

yang berbeda dalam ilmu, antara lain praktek pengamatan,

praktik materi dalam eksperimen, dan praktek matematika.

Praktek metodologis ini merupakan bagian dari penggunaan

metode penelitian. 98

Berdasarkan paradigma positivistik, metode ilmiah

dibangun dari cara berpikir deduktif-induktif atau rasional-

empirik. Penjelasan rasional dalam metode ilmiah diposisikan

sebagai hipotesis, tetapi setelah diuji secara empirik posisinya

menjadi teori ilmiah. Perkawinan cara berpikir deduktif dengan

induktif ini kemudian dikenal sebagai proses logiko-hipotetiko-

verifikatif. Peter Kosso mensinyalir bahwa proses ilmiah ini

adalah proses standar. Penerapan metode ilmiah tidak hanya

berlaku pada metode ilmiah baku saja, tetapi juga digunakan

dalam kehidupan. Perbedaannya, bahwa dalam ilmu, proses

ilmiah tersebut lebih disengaja dan eksplisit dalam mengikuti

langkah-langkah dan standar metode.99

Selanjutnya, dialog akan difokuskan pada kajian tentang

sumber dan cara membentuk ilmu. Pembicaraan mengenai

sumber ilmu terkait dengan asumsi ontologis yang mendasari

keabsahan metode ilmiah tertentu. Sementara pembicaraan

98 Lihat Robert Nola dan Howard Sankey, Theories of Scientific Method An

Introduction (Stocksfi eld Hall: Acumen, 2007), 14-15. 99 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method, 2.

Page 64: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

52

mengenai cara membentuk ilmu terkait dengan prosedur yang

ditempuh metode ilmiah dalam membangun ilmu.

1. Wilayah Penelaahan Metode Ilmiah

Metode ilmiah bekerja atas dasar asumsi ontologis

tertentu. Apabila suatu realitas dipandang memiliki status

ontologis, yaitu sebagai eksistensi yang keberadaannya bersifat

eksternal di luar pikiran, maka metode ilmiah dapat memasuki

wilayah ontologis tersebut serta dapat menerapkan prosedur

bakunya. Asumsi ontologis yang mendasari kerja metode ilmiah

ini bersifat urgen sebab menentukan kewenangan metode ilmiah

untuk menelaah wilayah tersebut yang dipandang sebagai sumber

ilmu.

Perbedaan antara epistemologi Barat dengan

epistemologi Islam terkait dengan sumber ilmu ini. Dalam

epistemologi Islam, sumber ilmu yang paling utama adalah

wahyu. Namun demikian, ini tidak berarti mengabaikan realitas

yang dapat dijangkau akal dan persepsi indrawi.100

Dengan

demikian, cakupan realitas yang dianggap real terdiri dari realitas

empirik, matematik, dan metafisik. Barat dan Islam menyepakati

realitas empirik, tapi berbeda pendirian dalam hal realitas

matematik dan metafisik. Dengan istilah empirik, Barat

mengklasifikasi objek material ilmu dari objek empirik. 101

100 Ali Raza Tahir, “Islam and Philosophy (Meaning and Relationship)”,

Interdisciplinary Journal of Contemporary Research In Business 9 (2013), 1287, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islam_and_Philosophy_%28Meaning_an

d_Relationship%29 101 Klasifikasi umum abad ke-19 memahami alam semesta pada tiga arena besar:

non-hidup (the non-living), makhluk hidup (living things), dan sosial (the social). Dalam

perspektif Spencer, seluruh upaya ilmiah diklasifikasi pada tiga, yaitu anorganik

(Astronomi, Meteorologi, Mineralogi, Geologi, Kimia Murni, dan Mekanika Umum),

organik (Biologi, Fisiologi dan Psikologi, Kedokteran), dan super organik (Kosmologi

dalam pengertian fisik). Sebagai Darwinis, prosedur klasifikasi Spencer berbeda dengan

Page 65: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

53

Sekalipun terdapat kesepakatan mengenai sumber ilmu

yang bersifat empirik, bukan berarti tidak ada perbedaan

paradigma dalam cara melihat realitas empirik tersebut.

Disepakati bahwa realitas empirik merupakan realitas niscaya,

namun epistemologi Islam melihat bahwa eksistensinya tidak

bersifat mandiri tetapi bergantung pada Tuhan. Realitas empirik

dilihat sebagai tanda yang menunjukkan makna spiritualnya.102

Dalam konteks ini, sains dilihat sebagai metode untuk mengenali

dan mengidentifikasi keberadaan Tuhan.103

Sementara

epistemologi Barat melihat realitas empirik sebagai realitas

mandiri yang keberadaannya tidak terkait dengan eksistensi lain.

Sumber keilmuan filsafat bersifat abstrak. Penjelasan

mengenai objek ini, dapat ditemukan dalam pemikiran Kant yang

membangun epistemologi matematika berdasarkan distingsi

pengetahuan a priori dan a posteriori, serta penilaian analitik

dan sintetik. Kepastian penilaian kedua intuisi a priori, yaitu

penilaian Geometri dan Aritmatika, menjadikan keduanya tahan

terhadap pemalsuan pengalaman indrawi.104

Secara konkret,

keberadaan realitas abstrak berupa pikiran dijelaskan dalam

Comte yang mengklasifikasi tiga cabang Fisika pada inorganik (Astronomi, Ilmu Bumi,

dan Kimia), organik (Biologi, Fisiologi, dan Psikologi) dan Sosial (Fisika Sosial). G W

Trompf, “The Classification of the Sciences and the Quest for Interdisciplinarity: a Brief

History of Ideas from Ancient Philosophy to Contemporary Environmental Science”,

Environmental Conservation 2 (2011), 113 – 126, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

The_Classification_of_the_Sciences_and_the_Quest_for_Interdisciplinarity%3a_Brief_Hi

story_of_Ideas_from_Ancient_Philosophy_to_Contemporary_Environmental_Science 102 Lihat Charles E. Butterworth, “Islam as a Civilization”, Academic Questions 1

(2012), 97, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islam_as_a_

Civilization 103 Adel al-Sharaf, “Developing Scientific Thinking Methods and Applications in

Islamic Education”, Education 3 ( 2013), 272, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=

10000&key=Developing_Scientific_Thinking_Methods_and_Applications_in_Islamic_Ed

ucation 104 Stuart G.Shanker, ed., Philosophy of Science, Logic and Mathematics in the

Twentieth Century (New York: Routledge,1996), 51-52.

Page 66: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

54

pemikiran Descartes yang mengidentifikasi ‚Aku‛ sebagai

subjek berpikir.105

Dalam filsafat Barat, keniscayaan status ontologis

Matematika dapat ditemukan dalam model teori semantik

sebagai dasar terapan matematika. Model teori semantik

menunjukkan realisme pada matematika dalam dua pengertian.

Pertama, menurut model-teori semantik, istilah tunggal dari

bahasa matematika menunjukkan objek dan variabel yang

merentang dalam wacana. Dengan demikian, objek-objek

matematika, angka, fungsi, set, dan sejenisnya, adalah ada.

Stewart Shapiro menyebutnya dengan realisme dalam ontologi.

Di sini berlaku teori Quine yang menyatakan ‚mengada adalah

menjadi nilai dalam sebuah variabel‛. Pengertian realisme kedua

disarankan oleh kerangka model teori bahwa setiap kalimat

bermakna memiliki determinasi dan nilai kebenaran nonvacuous,

baik kebenaran atau kepalsuan. Ini adalah realisme dalam nilai

kebenaran. Realisme merupakan pemikiran filsafat yang

mengasumsikan keberadaan independen objek matematika yang

nilai kebenarannya bersifat objektif. Strategi realisme untuk

keperluan ini adalah mengembangkan sebuah epistemologi untuk

matematika dengan tetap menjaga komitmen ontologis dan

semantik. Dengan ini, maka matematika merupakan bagian dari

pengetahuan ilmiah.106

Klaim-klaim kesadaran matematik, dengan demikian,

memiliki keabsahan ontologis tersendiri. Keniscayaan realitas

abstrak ini bahkan tersirat dalam wujud realitas objektif yang

105 Lihat Gabriel Vacariu, “Mind, Brain, an Epistemologically Different World”,

Synthese 3 (2005), 515 – 548, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Mind%2C_Brain%2C_an_Epistemologically_Different_World 106 Stewart Shapiro, Philosophy of Mathematics: Structure and Ontology (New

York: Oxford University Press, 1997) 3-4.

Page 67: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

55

terbentuk karena keniscayaan realitas murni dalam kesadaran.

Eksistensi realitas ini, dalam kerangka Plato, merealisasi pada

wujud nyata di dunia ide yang sekalipun bersifat eksternal tetapi

pikiran dapat mengenalinya dengan cara yang sempurna. Dalam

epistemologi Islam, wujud-wujud platonik ini tidak bersifat

eksternal tetapi dekat, imanen, atau identik dengan pikiran.

Dalam konteks ini, Mehdi Ha’iri Yazdi menyatakan bahwa

istilah objek harus dipahami dalam dua konteks pengertian.

Pertama sebagai sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan

subjek. Kedua, sebagai sesuatu yang keberadaannya bersifat

eksternal terhadap subjek. Keberadan objek imanen ini bersifat

niscaya dan esensial sebab tindakan mengetahui sendiri

mengharuskan adanya objek imanen.107

Keberadaan objek imanen memiliki wujud yang mandiri

sehingga dapat diterapkan pada objek indrawi, dibayangkan, atau

dipahami secara transendental, menyesuaikan dengan derajat

pengetahuan abstrak dan kekuatan pemahaman subjek.108

Semakin abstrak suatu objek, maka semakin terlepas

keterikatannya pada dunia materi sehingga status ontologisnya

murni metafisik.

Objek-objek imanen tersebut merupakan pengetahuan

noetic yang merujuk pada dua jenis pengetahuan, yaitu

pengetahuan sebagai konsekuensi fungsi fakultas akal dan

sebagai pengetahuan bawaan. Objek metafisika sendiri

sebenarnya merujuk pada dua jenis pengetahuan tersebut. Pada

yang pertama, masih dapat ditemukan padanannya dalam

kenyataan. Pada yang kedua tidak dapat ditemukan padanannya

107 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy

Knowledge by Presence, trans. (New York: State University of New York, 1992), 20-32. 108 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy..,

39.

Page 68: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

56

karena sifatnya yang esensial, imanen, identik dengan kesadaran,

atau dengan kata lain metafisika murni. Telaah terhadap objek

ini menghasilkan pengetahuan swaobjektif yang terbebas dari

dualisme subjek-objek dengan pola identitas bukan

korespondensi yang merupakan ciri khas metafisika.

Metafisika merupakan topik kontroversial. Kontroversi

kontemporer mengenai metafisika umumnya diperhadapkan

dengan panteisme.109

Mulai masa Yunani Kuno, metafisika

berkembang sampai abad pertengahan kemudian kehilangan

pendukungnya pada masa renaissance dan memuncak di masa

modern pada positivisme. Karena detotalisasi saintisme menuai

masalah, metafisika mulai berkembang lagi sekalipun masih

disalahpahami. Ini terjadi karena metafisika membedakan

kenyataan dari penampilan sehingga apa yang tampak bukan

merupakan yang nyata.110

Saintisme menilai metafisika dengan

stigma buruk. Beberapa teori yang dikembangkan pada abad

kedelapan belas dan kesembilan belas memberikan metafisika

dengan nama buruk, yaitu setara dengan pemikiran kuno di masa

lalu,111

wilayah yang tidak berarti112

, tidak menghasilkan

pengetahuan sebagaimana yang dinyatakan Russel dan Richard

109 Freya Mathews, “A Contemporary Metaphysical Controversy”, Sophia 2

(2010), 231–236, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=A_Contemporary

_Metaphysical_Controversy 110 Peter Van Inwagen membedakan realitas pada “really” (benar-benar atau yang

sebenarnya) dengan “apparently”. Peter Van Inwagen, Metaphysics (Boulder: Westview

Press, 2009), 3. 111 Ilmuwan positivistik berpendapat bahwa pemikiran metafisika tidak lebih baik

dari pemikiran liar yang berkembang ratusan tahun lalu. Bruce Aune, Metaphysics: the

Elements (London: University of Minnesota Press, 1985),10. 112 Hans-Johann Glock, “Does Ontology Exist?”, Philosophy 300 (2002), 235–

260, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Does_Ontology _Exist%3F

Page 69: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

57

Taylor atau Hume yang menyatakan bahwa pemikiran metafisika

harus dilemparkan ke nyala api.113

Namun penolakan metafisika pada gilirannya

ditunjukkan sendiri oleh hasil penelitian pada wilayah fisik.

Menurut Peter Van Inwagen, yang menampakkan diri belum

tentu menunjukkan yang sebenarnya, misalnya yang sebenarnya

terjadi bahwa bumi benar-benar berputar, meskipun faktanya

tampak diam. Perkataan ‚benar-benar‛ dan ‚tampaknya‛ terjadi

ketika sesuatu dinyatakan benar, tapi kemudian menyiratkan

sesuatu yang lain ternyata benar. Kata benda ‚appearance‛

(penampilan) dan ‚reality‛ (realitas) berasal dari apparently

(tampaknya) dan really ('benar-benar) yang satu sama lain saling

berkaitan. Realitas dibicarakan ketika ada penampilan

menyesatkan: realitasnya adalah bahwa bumi berputar, bahwa

langit tidak berputar mengelilingi bumi. Yang ditemukan di balik

penampilan seringkali menyembunyikan realitas yang lebih

dalam. Pada tahun 1920, misalnya, ilmu pengetahuan

menemukan bahwa apa yang orang selalu berpikir tentang benda

padat (hal-hal seperti meja dan kursi), dalam kenyataannya justru

‚sebagian besar ruang kosong‛.114

Secara filosofis, kenyataan bahwa sebagian besar dari

ruang fisik adalah kosong dapat ditemukan dalam tema

prinsipialitas wujud yang terdiri dari tiga kategori, yaitu wujud

pasti, potensial, dan mustahil. Asal alam fisik adalah potensial

113 Gary H. Merrill, “Ontology, Ontologies, and Science”, Topoi 1 (2011), 71–83,

http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Ontology%2_Ontologies%2_and_

Science 114 Peter Van Inwagen, Metaphysics , 3.

Page 70: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

58

yang eksistensinya diaktualkan oleh wujud niscaya.115

Selanjutnya diketahui bahwa ruang kosong itu ternyata tidak

sama sekali kosong tetapi ruang yang padat oleh penghuninya.

Dalam konteks ini, maka realitas di balik penampakan

lahiriyahnya bersifat nyata. Realitas ini disebut realitas terakhir

yang merupakan wilayah kajian metafisika. Realitas tertinggi

dalam metafisika adalah Tuhan. Karena Tuhan merupakan sebab

segala yang ada, maka keberadaan Tuhanlah sebenarnya yang

paling nyata. Pendirian ini, secara teoretis terdapat dalam

pemikiran Ibn Sina, Suhrawardi, dan Ibn Sab’in.116

Karena bukan kategori sains, argumen metafisik tidak

bersifat saintifik. Metafisika juga berbeda dengan teologi, baik

secara historis maupun secara metodologis. Metafisika

merupakan bagian filsafat yang lebih umum namun harus

dibedakan dari bagian filsafat lain. Setiap perbedaan antara

metafisika dan bagian-bagian lain dari filsafat akan menimbulkan

pertanyaan metafisik dan karena itu tidak dapat dianggap

sebagai benar-benar berbeda dari metafisika.117

Persamaan

filsafat dengan metafisika bahwa keduanya berada di wilayah

metafisika. Sementara objek metafisika murni bersifat metafisik,

objek filsafat masih berkaitan dengan objek fisik melalui proses

abstraksi.

Sebagai realitas ada, entitas metafisik dapat dijadikan

wilayah telaah ilmu. Urgensi metafisika, antara lain untuk

115 Penjelasan singkat mengenai wujud niscaya dipaparkan oleh William C.

Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul The Pertinence of Islamic Cosmology

in the Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2007), 140. 116 Oliver Leaman, “Islamic Philosophy and the Attack on Logic”, Topoi 1

(2000), 18-19, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islamic_Philosophy_and

_the_Attack_on_Logic 117 Peter Van Inwagen, Metaphysics , 7-8.

Page 71: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

59

menjawab pertanyaan yang tidak dapat dipertanyakan sains.

Menurut Cynthia Macdonald, apa yang dapat disampaikan

metafisika yang tidak dapat disampaikan sains karena objek

kajiannya yang tidak terkait dengan objek fisik atau objek

matematis. Kajian metafisika memfokuskan diri pada dua hal.

Pertama; metafisika berkaitan dengan realitas paling mendasar

dari segala sesuatu. Kedua: konsern metafisika bukan hanya pada

keberadaan realitas fundamental saja, tetapi melihat realitas

tersebut berdasarkan jenisnya. Sebagaimana objek fisik yang

merupakan benda yang berasal dari sejenisnya, jenis umum juga

merupakan jenis untuk objek metafisika.118

Konsep ontologis dalam metafisika, lebih khususnya

mistisisme, menyatakan bahwa hanya Tuhanlah yang memiliki

wujud hakiki. Pendirian ini sebenarnya merupakan inti pendirian

yang dianut dalam agama samawi. Inti dari keyakinan dalam

Islam, Yahudi, dan Kristen terletak pada pengakuan adanya

realitas tunggal, yang hanya satu-satunya, yaitu Tuhan.119

Permasalahannya adalah dasar pembuktian adanya keberadaan

realitas tunggal ini, dalam konteks saintisme tidak diterima.

Keniscayaan eksistensi metafisika, dikemukakan Quine

bahwa ketika bermetafisika terlebih dahulu perlu mengetahui

kondisi identitas benda. Dalam konteks teori really dan teori

apparently, akan memunculkan pertanyaan apakah calon objek

dapat ditempatkan dalam teori ontologi aktual, dan menjawab

pertanyaan yang dialamatkan pada objek tersebut secara

memuaskan untuk menentukan kondisi identitas benda-benda

yang dianggap sebagai nilai-nilai dalam kalimat terukur yang

118 Cynthia Macdonald, Varieties of Things Foundations of Contemporary

Metaphysics (Amherst: Blackwell publishing, 2005), 6. 119 Aftab Ahmad Khan, The Universe, “Science & God”, Defence Journal 15

(2012), 38, http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Science_&26_ God

Page 72: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

60

relevan. Proposisi ‚tidak ada entitas tanpa identitas‛,

mengandung arti tidak ada teori yang berkomitmen untuk benda

apapun kecuali memiliki kondisi yang berdasar. Menurut Quine,

mengada adalah menjadi nilai suatu variabel.120

Satu benda yang sama, katakanlah sebuah batu, dapat

ditelaah oleh sains, matematika, dan metafisika. Tentu dengan

cara pandang yang berbeda dalam melihat batu tersebut. Batu

empirik ditelaah oleh sains, abstraksi batu ditelaah matematika,

dan kenyataan fundamental atau eksisten nyata di balik yang

ditampakkan batu tersebut ditelaah metafisika. Dalam konteks

ini, status ontologis suatu objek ditentukan oleh keberadaan

nilainya dalam suatu variabel. Nilai empiris pada objek empiris

menjadi penentu keniscayaan adanya objek fisik. Nilai abstrak

dalam suatu objek fisik menjadi penentu keniscayaan adanya

objek matematik. Nilai fundamental yang terdapat dalam

eksisten fisik menjadi penentu keniscayaan eksisten metafisik.

Adanya realitas tersembunyi di balik yang tampak

menunjukkan bahwa studi metafisika bukan merupakan studi

yang tidak berdasar. Metafisika mempunyai wilayah penelaahan

yang status ontologisnya bersifat nyata. Apabila tidak ada

realitas yang nyata ini, maka studi metafisika merupakan studi

tanpa objek material.

Titik temu yang melandasi pendirian ini sebagaimana

empirisme dalam realisme. Empirisme menyatakan bahwa

sumber pengetahuan berasal dari pengalaman, sementara

realisme mengakui adanya realitas non-empirik sebagai sumber

pengetahuan. Anjan Chakravartty membedakan realitas menjadi

yang teramati, yang tidak teramati, yang terdeteksi, dan yang

120 Dikutip dari Cynthia Macdonald, Varieties of Things…., 57-58.

Page 73: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

61

tidak terdeteksi.121

Klasifikasi ini sekaligus merupakan

pengakuan terhadap realitas metafisika dan mengukuhkan status

ontologisnya sebagai objek ilmu. Untuk lebih memperjelas, objek

yang teramati dan tidak teramati dapat dilihat pada gambar

1:Objek teramati dan tidak teramati

Gambar 1: Objek teramati dan tidak teramati

Menurut James Ladyman, distingsi realitas ke dalam

kategori teramati dan tidak teramati merupakan teori yang paling

memungkinkan untuk membuktikan keniscayaan realitas

metafisika. Kepastian adanya realitas metafisika ini, bahkan

dapat ditemukan dalam teori-teori sains yang menunjukkan

keberadaan objek-objek yang tidak teramati ini. Isu-isu metafisik

penting muncul dalam perkembangan ilmu. Dalam biologi

perkembangan teori struktur teramati dari DNA, gen, kebugaran

121 Anjan Chakravartty, A Metaphysisics For Scientific Realism Knowing the

Unobservable (New York: Cambridge University Press, 2007), 15.

Entitas dan proses ilmiah

Teramati Tidak teramati

Terdeteksi Tidak terdeteksi

Page 74: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

62

dan fungsi, informasi, dan seleksi alam memunculkan masalah

metafisik tentang esensi, identitas dan individualitas, jenis, dan

teleologi.122

Di samping itu, secara praktis pengetahuan

metafisika sudah mulai diterapkan, misalnya di wilayah

keperawatan terdapat konsep intuisi klinis, nursologi, dan lain-

lain.123

Secara logis, praktik merupakan realisasi ilmu. Ilmu

sendiri dibangun di atas basis ontologisnya.

Dengan demikian, sains sebagai salah satu sistem

keilmuan Islam adalah ilmu yang dikembangkan modernisme.

Dalam hal-hal tertentu, epistemologi Barat juga menerima

matematika sebagai ilmu sekalipun pendirian ini tidak disepakati

semua kalangan tidak seperti pada sains.

2. Cara Kerja Metode Ilmiah

Menurut George Couvalis, ilmu harus berbasis

pengalaman dan percobaan sebagai bukti adanya kebenaran

umum tentang dunia.124

Ilmu kealaman yang membatasi diri pada

kenyataan fisik membutuhkan pembenaran dan metode empiris.

Metode verifikasi untuk ilmu empiris menggunakan metode

induksi. Metode induksi mengalami tiga proses empiris, yaitu

titik tolak observasi, pertanyaan penelitian yang dimulai dengan

hipotesis, dan pembuktian empiris. Kebenaran dalam

pengetahuan rasional adalah persesuaian dengan aksioma yang

eviden dari awal.125

Pengetahuan rasional berhubungan dengan

122 James Ladyman, Science, “Metaphysics and Method, Philosophical Studies 1

(2012), 34, 38, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Metaphysics_and_ Method 123 Lihat Diane Billay, “A Pragmatic View of Intuitive Knowledge in Nursing

Practice”, Nursing Forum 3 (2007), 147 – 155, http://e-resources.pnri.go.id/library.

php?id=10000&key=A_Pragmatic_View_of_Intuitive_Knowledge_in_Nursing_Practice 124 George Couvalis, The Philosophy of Science…., 8. 125 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 12, 23.

Page 75: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

63

pemeriksaan kritis dan analisis konsep-konsep dasar yang

digunakan dalam ekspresi keyakinan tersebut. Adapun

pengetahuan intuitif berkaitan dengan identifikasi apa yang ada

sejauh ada.126

Wilayah intuitif ini merupakan wilayah khas metafisika.

Dalam Metafisika, demikian Peter Van Iwagen dalam tulisannya

yang berjudul Metaphysics, tidak ada informasi dan fakta yang

pasti untuk dipelajari, kecuali informasi atau fakta tentang

pemikiran tokoh-tokoh yang dinyatakan sebagai figur di bidang

ini semisal Plato, Descartes, atau tokoh-tokoh metafisis lainnya.

Diakuinya bahwa dalam buku yang ditulisnya pun tidak

memberikan banyak informasi mengenai hal tersebut, kecuali

mengungkapkan beberapa filosof yang berbicara tentang topik

ini.127

Identifikasi tentang ada sejauh ada tampaknya sulit

dilakukan. Namun demikian bukan berarti tidak mungkin

dilakukan. Hanya saja, diperlukan metode yang relevan untuk

mengetahuinya.

Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmuwan muslim

menggunakan empat macam metode sesuai dengan karakteristik

objeknya, yaitu metode observasi (tajribi), metode demonstratif

(burhani), metode intuitif (‘irfani), dan metode hermeneutik

(bayani). Metode observasi bersumber pada indra untuk objek

fisik, metode rasional bersumber pada akal untuk objek

matematis, metode intuitif bersumber pada hati untuk objek

metafisis, dan metode hermeneutik digunakan untuk melakukan

kajian teks.128

126 Aftab Ahmad Khan, “Islam & Philosophy”, Defence Journal 3 (2011), 42,

http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islam_%26_Philosophy 127 Peter Van Inwagen, Metaphysics , 10-11. 128 Untuk metode bayani selanjutnya lihat Mulyadhi Kartanegara, Reaktualissi

Tradisi Ilmiah Islam, 2006), 194-196, dan untuk tiga metode lainnya lihat Mulyadhi

Kartanegara, Menyibak Tirai …, 53-63.

Page 76: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

64

Ilmuwan muslim yang pernah menggunakan metode

observasi atau eksperimen antara lain Ibn Haytham dan al-

Biruni. Ibn Haytham melanjutkan teori Euclid, Ptolemy, dan

Meteorologi Aristoteles, kemudian mengubah dasar studi optik

dan membuatnya disiplin baru. Ia menggabungkan pendekatan

matematika rumit dengan model fisika yang sistematis dan

eksperimen cermat. Seperti Archimedes, dia adalah fisikawan

teoretis sekaligus eksperimental. Dia membuat eksperimen untuk

menentukan gerak lurus cahaya, sifat bayangan, penggunaan

lensa, kamera obscura, dan lain-lain. Dia memiliki mesin bubut

untuk membuat lensa dan cermin cekung untuk eksperimennya.

Di antara kontribusi penting Ibn Haitham adalah studi tentang

fisiologi mata dan masalah penglihatan. Seperti ilmuwan

sezamannya Ibn Sina dan al-Biruni, Ibn Haytham percaya bahwa

dalam proses meihat, cahaya berjalan dari dan ke mata.129

Dengan kalimat lain, objek memantulkan cahaya ke mata

sehingga tercipta penglihatan.

Metode demonstratif pada dasarnya adalah metode

logika yang digunakan untuk menguji kebenaran atau kekeliruan

sebuah pernyataan dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi

pembentukan kesimpulan. Metode ini dilakukan dengan

memerhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam

premis mayor atau minornya serta keberadaan unsur-unsur sama

(middle term) dan sah yang mengantarai kedua pernyataan

tersebut. Secara formal, bentuk metode demonstratif adalah

silogisme, yang terdiri dari premis mayor, premis minor, dan

konklusi.

Metode intuitif ditempuh dengan mengikuti "panduan

spiritual" atau mengembangkan kemampuan untuk

129 Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 128-130.

Page 77: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

65

mengendalikan diri berdasarkan panduan tersebut.130

Dalam

terminologi Islam, panduan spiritual serta pengendalian diri

disebut dengan maqamat dan mujahadah. Berdasarkan

pencapaiannya, pengetahuan intuitif diperoleh secara

langsung.131

Sifat langsung tersebut dapat dijelaskan ke dalam

beberapa hal. Pertama, pengetahuan intuitif ditandai oleh

hadirnya objek dalam diri subjek. Kedua, pengetahuan intuitif

dapat pula dipahami melalui gagasan ‚kenampakan‛ sebagai

eksistensi yang niscaya yang dalam kerangka metafisik merujuk

pada ‚really‛ bukan ‚apparently‛. Ketiga, pengetahuan intuitif

dicapai melalui pengalaman langsung atau mistisisme, yang

terdiri dari tiga kategori, yaitu pengalaman eksistensial yang

tidak dapat dikonseptualisasikan ke dalam terminologi umum

karena merupakan bahasa khas mistisisme (al-shatahiyyah al-

sufiyyah), pemikiran mistik introspektif dan rekonstruktif

sebagai bahasa murni mistisisme, serta mistisisme yang

gagasannya dikomunikasikan melalui metamistisisme dengan

menggunakan terminologi filsafat yang dinamai ‘irfan. Intuisi

mengenal objek bukan melalui representasi tetapi melalui

pencerahan atau emanasi dan penyerapan.132

Pola penyerapan dan

pemancaran merupakan pola yang khas dalam sistem emanasi.

Kehadiran Tuhan dalam tindak mengetahui

menghasilkan keidentikan pengetahuan. Keidentikan ini menjadi

130 Kubilay Akman, “Sufism, spirituality and sustainability: Rethinking Islamic

mysticism through contemporary sociology”, Journal of US - China Public

Administration, no 4 (2009), http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Sufism%2C_

spirituality_and_sustainability%3A_Rethinking_Islamic_mysticism_through_contemporar

y_sociology 131 Lihat Raymon Nelson, “Mysticism and the Problems of Mystical Literature”,

Rocky Mountain Modern Language and Literature, no 1 (1976), http://www.jstor.org 132 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy....,

43, 90, 113, 160-161, 145-46.

Page 78: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

66

dasar swaobjektivitas yang terbebas dari kemungkinan benar dan

salah. Prinsip kemungkinan berada di luar landasan swaobjektif.

Kehadiran berarti apa yang dikenal, hadir dalam diri, dalam

dirinya sendiri adalah sesuatu yang segera diketahui, bukan

melalui representasi atau penampakan.133

Pengetahuan yang

didasarkan pada kehadiran bukan merupakan konsepsi, abstraksi,

persepsi, atau representasi tetapi merupakan presentasi dalam

pengertian yang hakiki sehingga tidak berlaku verifikasi empiris

atau penalaran logis.

Secara ontologis, pengetahuan melalui kehadiran

memang mendasarkan diri pada objek subjektif. Tetapi, karena

objek subjektif tersebut berada secara niscaya, maka

pengetahuan melalui kehadiran mempunyai nilai objektifnya.

Subjektif secara ontologis, dengan demikian, tidak berimplikasi

pada keraguan objektivitasnya sebab dengan objek sedemikian

membuat pengetahuan dengan kehadiran terbebas dari dualisme

kebenaran dan kesalahan. Keadaan objeknya yang bersifat

subjektif juga tidak membuat pengetahuan melalui kehadiran

tertolak dari karakter universal sebagaimana yang disyaratkan

modernisme sehingga menempatkannya sebagai pengetahuan

yang partikular.134

Universalitas pengetahuan melalui kehadiran mendapat

justifikasi dalam pemikiran filosof modern, antara lain William

James. Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap kesadaran

mistik yang dialami para mistikus pada umumnya, ditemukan

adanya keseragaman dan keteraturan pengalaman mistik.

Siapapun dan dari agama manapun dapat mengalami hal yang

133 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy....,

58. 134 Definisi mengenai universalitas dan partikularitas, lihat Mehdi Ha‟iri Yazdi,

The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy...., 98.

Page 79: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

67

disebutnya sebagai ineffability (yang tak terlukiskan), kualitas

noetic, tranciency (kefanaan), atau passivity (kepasifan). Inti dari

pengalamannya sama hanya saja metode pengembangannya

untuk tiap agama berbeda. Misalnya, pada Hindu Budha dikenal

‚samadhi‛ atau ‚dhyana‛, dalam Islam ada ‚sufism‛, atau dalam

Kristen terdapat istilah ‚the orison of union‛ (meditasi

penyatuan).135

Adanya keseragaman dan keteraturan ini dengan

sendirinya menolak anggapan partikularitas sifat pengetahuan

melalui kehadiran. Ontologi pengetahuan melalui kehadiran

memang bersifat subjektif, tetapi tidak partikular. Karena

langkah-langkah ilmiah dalam pengetahuan melalui kehadiran

dapat dilakukan oleh semua orang serta dapat diterapkan pada

banyak objek individual. Permasalahan bahwa pengetahuan

melalui kehadiran hanya dapat ditempuh oleh sejumlah kecil

pelakunya, berada di luar prinsip universalitas sehingga klaim

partikular tidak dapat dilabelkan pada pengetahuan melalui

kehadiran begitu saja.

Jenis objek yang ditangkap oleh pengetahuan melalui

kehadiran atau ilmu hudhuri adalah objek imanen sebagai bentuk

pengetahuan noetic dengan berbagai variasinya, dapat

merupakan pengetahuan tentang diri, perasaan, keadaan khusus

yang bersifat personal, atau pengalaman eksistensial seorang

mistikus. Dalam konteks ini, pengetahuan yang dimaksud adalah

pengalaman eksistensial seorang mistikus dalam hal

kedekatannya dengan sumber hakiki ilmu, yaitu Tuhan.

Pengungkapannya menggunakan bahasa metamistisisme atau

‘irfan dikenal pula dalam disiplin tasawuf. Dengan demikian,

135 William James, The Varieties of Religious Experience A Study of Human

Nature (New York: Literacy Classics of The United States, 1987), 342-368.

Page 80: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

68

tasawuf adalah bagian dari ilmu huduri yang mode

epistemologisnya dapat dijelaskan berdasarkan metode intuitif.

C. Nilai dalam Metode Ilmiah

Terdapat pandangan bahwa ilmu hanya terkait dengan

fakta. Metode ilmiah membatasi diri pada fakta, tidak berlaku

untuk masalah nilai. Ilmu, dengan sisi empiris akal sehat,

membantu mengetahui cara dunia ini, bukan cara dunia

seharusnya. Metode observasi, hipotesis, serta pengujian

berorientasi pada deskripsi, tidak memberikan klaim benar atau

salah. Ilmu mengatakan bahwa bumi adalah fakta miliaran tahun,

tidak mengomentari apakah hal tersebut baik atau buruk, benar

atau salah, sesuai atau tidak. Bukti empiris serta cara metode

tidak menunjukkan dukungan nilai. Metode ilmiah bekerja untuk

deskripsi, bukan untuk evaluasi. Menurut Peter Kosso,

menyimpulkan bahwa hal-hal yang benar harus menjadi cara

tertentu karena seharusnya demikian, merupakan kekeliruan

logis. Kesalahan penalaran filsuf dan ahli logika adalah

mengubah arah perdebatan dari ‚adalah‛ menjadi ‚harus‛,

misalnya keharusan menerima teori geosentris.136

Teori geosentris berkembang pada abad pertengahan atas

intervensi gereja yang dikaitkan dengan keberadaan Yesus di

bumi. Teori Ptelemeous yang dianggap sarat dengan kejanggalan

dan cemooh ini,137

disinyalir sebagai akibat peresapan nilai ke

dalam konstruksi teoretis ilmu. Kenyataan ini kemudian

mempertegas kedudukan ilmu yang bebas nilai dan keharusan

136 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method, 3-4 137 Diceritakan ketika Raja Alfonso dari Kastilia dan Leon diperkenalkan pada

teori Ptolemeus di abad ke-13, ia berkomentar, "Jika Tuhan telah membuat alam semesta

seperti itu, mestinya Dia konsultasi dulu padaku". Don K Mak, Angela T Mak, Anthony B

Mak, Solving Everyday Problems ...., 10.

Page 81: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

69

ilmuwan untuk mengambil jarak dengan nilai. Peresapan nilai ke

dalam struktur ilmu akan berakibat pada rapuhnya ilmu atas

klaim objektivitas.

Secara fundamental, ilmu itu netral. Menurut argumen

ini, ilmu tidak membatalkan nilai-nilai kemanusiaan atau

mendukung nilai-nilai tertentu, apakah "baik" atau "buruk". Ilmu

hanya berurusan dengan fakta-fakta bukan nilai-nilai, hanya

dengan teknik bukan tujuan, dan hanya dengan sarana untuk

tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Pertanyaan tentang bagaimana

menggunakan serta untuk tujuan apa ilmu diterapkan,

sepenuhnya diserahkan pada manusia.138

Dengan demikian, nilai

tidak terdapat dalam konstruksi ilmu tetapi ada dalam struktur

subjektif ilmuwan.

Pendirian ini mendasarkan diri pada tiga klaim. Pertama,

ilmu menawarkan pengetahuan objektif tentang kerja dunia.

Kedua, menurut cita-cita klasik, ilmu dibangun untuk

kepentingan ilmu sendiri, yaitu mengembangkan pengetahuan,

nilai hanya diakui ketika terlibat dalam penerapan ilmu. Ketiga,

penerapan ilmu adalah keputusan masyarakat. Memutuskan

untuk menggunakan hasil penelitian di luar tanggung jawab

ilmuwan.139

Mengikuti paradigma ini, metode ilmiah hanya

berurusan dengan teori, bukan dengan nilai. Nilai hanya muncul

menyertai tindakan praktis pada ilmu terapan ketika manusia

untuk memenuhi berbagai keinginan atau tujuan.

Menurut Hugh Lacey, ilmu dan nilai-nilai hanya

menyentuh, tidak menyusup. Untuk menyangkal hal ini

disebutkan bahwa ilmu adalah usaha rasional yang handal.

Namun demikian, dengan hadirnya feminisme, konstruktivisme

138 Leslie Stevenson, Flenry Byefly, The Many Faces of Science An Introduction

to Scientists, Values, and Society (Oxford: Westview Press, 2000), 34 139 Leslie Stevenson, Flenry Byefly, The Many Faces of Science….., 34-36.

Page 82: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

70

sosial, pragmatisme, fundamentalisme, dan sejumlah dunia

ketiga serta pandangan masyarakat adat, menjadikan hubungan

antara ilmu dengan nilai banyak diperdebatkan.140

Perdebatan ini

dapat dipahami sebab konsistensi modernisme terhadap klaim

bebas nilai kemudian dipertanyakan mengingat adanya nilai yang

diusung oleh ragam keilmuan sosial yang semula mendefinisikan

diri sebagai ilmu yang bebas nilai.

Persoalan nilai dalam ilmu sebenarnya muncul ketika

peneliti memutuskan untuk menerapkan fakta-fakta ilmiah dalam

kehidupan nyata. Menurut John T. Roberts, di samping

keberhadapannya dengan fakta sebenarnya ilmu terkait dengan

asumsi yang membimbing penelitinya terhadap putusan ilmiah.

Dengan ini, maka ilmu sebenarnya tidak bisa sepenuhnya "bebas

nilai," karena ilmu merupakan aktivitas manusia yang bertujuan.

Ilmu tidak dapat dicapai tanpa menerima penilaian. Penggunaan

istilah bebas nilai tidak berarti benar-benar terbebas dari semua

nilai. Bebas nilai di sini berarti bebas dari semua pertimbangan

nilai selain nilai epistemik. Justifikasi pembenaran teori, teori

informatif, atau teori-teori empiris yang memadai antara lain

merupakan nilai-nilai epistemik, karena itu perlu dimiliki ilmu.

Nilai non epistemik antara lain moral, nilai politik, nilai sosial,

dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut diadopsi ke dalam struktur

ilmu untuk pertimbangan non epistemik.141

Atas dasar ini, maka nilai yang dianggap mengkonstruksi

ilmu dibagi menjadi dua kategori, nilai epistemik dan nilai non

epistemik. Nilai epistemik adalah nilai intrinsik dalam ilmu,

140 Hugh Lacey, Is Science Value Free? Values and Scientific Understanding

(New Yorak: Routledge, 1999), 1. 141 John T. Roberts, “Is Logical Empiricism Committed to the Ideal of Value-Free

Science?”, dalam Harold Kincaid, John Dupré, Alison Wylie. Ed., Value Free Science?

Ideal and Illusions (New York: Oxford University Press, Inc., 2007), 143.

Page 83: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

71

antara lain bahwa ilmu dibangun untuk mencapai tujuan ilmiah

tertentu termasuk tujuan semata-mata untuk pemenuhan

kuriositas ilmuwan. Nilai non epistemik adalah nilai ekstrinsik

yang keberadaannya di luar struktur ilmu, antara lain nilai agama

atau etika yang diyakini ilmuwan. Menurut Heather Douglas,

sejak tahun 1980, "ilmu yang bebas nilai" berarti ilmu bebas dari

nilai non epistemik.142

Dengan demikian nilai epistemik dapat

diterima semua ilmuwan sebagai nilai dalam ilmu yang dijadikan

pedoman untuk pilihan teori.

Terkait dengan penolakan nilai non epistemik, John T

Robert kemudian mempertanyakan komitmen empirisme logis

sebagai sebuah pendekatan dalam filsafat ilmu, terhadap ide ilmu

bebas nilai. Menurutnya, empirisme logis yang semula

berkomitmen untuk setia terhadap nilai-nilai epistemik saja, pada

kenyataannya justeru secara implisit berkomitmen untuk

menolak idea tersebut. Ketika ilmu diterapkan, tampaknya

terapan ilmu dimaksudkan untuk melayani nilai-nilai non

epistemik (sosial, moral, politik): melakukan hal-hal seperti

meringankan penderitaan fisik dan meningkatkan perkembangan

materi.143

Metode induksi dalam metode sains sebenarnya

menyiratkan keberadaan nilai. Induksi murni tidak pernah bisa

menyiratkan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang teramati

atau tidak teramati. Ide-ide tentang kuman atau atom bukan hasil

generalisasi dari pengamatan, karena keberadaannya tidak dapat

diamati. Generalisasi yang tidak teramati tidak cukup dengan

induksi murni kecuali menghadirkan nilai. Induksi tidak dapat

142 Heather Douglas, “Rejecting the Ideal of Value-Free Science”, Harold

Kincaid, John Dupré, Alison Wylie (Ed.), Value–Free Science? Ideal and Illusions. New

York: Oxford University Press, 2007), 120. 143 John T. Roberts, Is Logical Empiricsm......, 146.

Page 84: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

72

menghasilkan keseluruhan cerita, atau bahkan bagian cerita yang

paling penting, tentang metode ilmiah. Dalam konteks sains,

persepsi dipengaruhi ide-ide. Pengamatan ilmiah dipengaruhi

oleh teori-teori ilmiah, sehingga urutan kejadian tidak bisa ketat

sebagaimana yang diandaikan dalam induksi murni. Selanjutnya,

pengamatan dalam metode ilmiah tidak hanya dipengaruhi teori

tetapi juga menunjukkan bagaimana pengaruh ini terjadi.144

Menurut Agnieszka Lekka-Kowalik, ilmu bukan

seperangkat teori atau instruksi untuk diterapkan, tetapi sebagai

praktek sosial sehingga tidak bebas nilai. Aspek sarat nilai dari

ilmu dapat dilihat dari tiga argumen berikut, yaitu partisipasi

ilmu di divisi sosial kekuasaan dengan memberikan pengetahuan

dan teknologi berbasis pengetahuan, ilmu mendasari evaluasi

ide-ide dan kebijakan, dan penggunaan putusan nilai non kognitif

dalam argumentasi ilmiah. Yang pertama berkaitan dengan fakta

pembiayaan penelitian. Yang kedua, bahwa penerimaan dana

penelitian secara implisit berarti menerima dan dalam hal-hal

tertentu mempromosikan ideologi pemberi dana dan berarti

mendukung program politiknya. Terakhir, keputusan ilmiah

berupa penerimaan atau penolakan terhadap hipotesis yang

diajukan sebelumnya, berkaitan erat dengan pertimbangan moral

ilmuwan. Hal ini jelas bahwa para ilmuwan bertanggung jawab

untuk nilai kognitif hasil penelitian dan keandalan teknologi

sebab semua keputusan memengaruhi realisasi nilai yang tidak

hanya nilai kognitif, tetapi juga nilai non-kognitif.145

144 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method, 9-10 145 Agnieszka Lekka-Kowalik, “Why Science can not be Value Free:

Understanding the Rationality and Responsibility of Science”, Science and Engineering

Ethics 1 (2010), 33 – 41, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Why_Science_can_not_be_

Value_Free%3A_Understanding_the_Rationality_and_Responsibility_of_Science

Page 85: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

73

Secara objektif, ilmu tidak bisa melepaskan diri dari

nilai. Kenyataan ini bersifat universal, yang berarti juga

merealisasi pada bangunan keilmuan yang dikonstruksi Barat.

Ketika Barat membatasi objek penelaahan ilmu hanya pada objek

empirik, hal tersebut terlahir dari pandangan ideologis yang

tentang ketiadaan objek meta-empiris. Apabila penolakan

terhadap realitas non empiris itu berarti pemisahan antara yang

empiris dengan non-empiris, maka penolakan tersebut

merupakan pendirian sekularisme. Namun apabila sifatnya

menolak secara total, maka penolakan itu merupakan pendirian

positivisme. Sekularisme dan positivisme adalah ideologi filsafat

sekaligus merupakan nilai. Dengan demikian sains yang

didefinisikan sebagai pengetahuan sistematis mengenai dunia

empiris sebenarnya terlahir dari pandangan yang berpihak pada

nilai.

Karena terlahir dari pandangan nilai yang berbeda, maka

dalam epistemologi Islam kerja ilmiah pada hakikatnya

merupakan ibadah. Menurut Mehdi Golshani, ilmu merupakan

salah satu bentuk ibadah. Fisika adalah ibadah. Sains

memberikan alat yang luar biasa untuk mempelajari karya-karya

Tuhan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Itu adalah

kekuatan utama yang memotivasi para filsuf dan ilmuwan

muslim awal. Di samping itu, sains modern memberikan banyak

bukti akan peran Tuhan dalam merancang alam semesta. Secara

khusus, Golshani percaya bahwa penyempurnaan dari hukum-

hukum dan sifat-sifat fisika menunjukkan adanya desain yang

disengaja, adanya agen yang mendesain segala realitas.146

146 Lihat W. Mark Richardson and Gordy Slack, Fight and Science Scientists

Search for Truth (Canada: Routledge, 2001), 120-122.

Page 86: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

74

Penolakan terhadap ide netralitas tentu saja tidak

diterima oleh sebagian filosof ilmu. Kehadiran nilai non

epistemik dalam ilmu dianggap penghancuran ilmu dan

objektivitas. Padahal, signifikansi serta objektivitas ilmu seperti

yang diusung modernisme sebenarnya merupakan gagasan yang

bias. Menurut Heather Douglas, secara logis, nilai non epistemik

diperlukan untuk penalaran dalam ilmu, bahkan dalam proses

tahap internal. Kehadiran nilai non epistemik dalam struktur

ilmu tidak akan menghancurkan objektivitas ilmu justru

objektivitas sendiri dapat dievaluasi.147

Dalam Islam, segala ilmu baik ilmu dalam kategori sains,

filsafat, maupun mistisisme, bersumber dari Tuhan. Karena itu,

tidak mungkin ilmu terbangun tanpa elemen nilai di dalamnya.148

Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa idealisme

ilmu yang bebas nilai tidak dapat dipertahankan, baik secara

teori maupun secara praktis. Secara historis ilmu terbukti

dibangun berdasarkan nilai. Bukti historis menunjukkan

bagaimana ilmu berubah bentuk menyesuaikan diri dengan

ideologi pengembangnya. Pada masa skolastik ilmu mengalami

kristenisasi, pada masa pertengahan Islam ilmu mengalami

islamisasi, dan sejak masa renaissance ilmu mengalami

sekularisasi.

147 Heather Douglas, “Rejecting ....., 121-122. 148 Mahmoud Hamid Al Migdadi, “Issues in Islamization of Knowledge, Man and

Education”, Revue Académique des Études Sociales et Humaines 7(2012), 3,http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Issues_in_Islamization_of_Knowledge_

Man_and_Education

Page 87: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 75 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB III

SINGULARISME METODE ILMIAH

DALAM DINAMIKA KEILMUAN ISLAM

Konflik metodologi antara sains, filsafat, dan mistisisme

terlihat jelas dengan kecenderungan penggunaan metode yang

digunakan dalam sains untuk kepentingan objektivitas.

Kecenderungan sikap pemihakan terhadap metode melahirkan

ketegangan epistemologis dalam mempertahankan keunggulan

metode tertentu atas metode yang lain. Hal ini berimplikasi pada

kasus-kasus dominasi epistemologis baik secara teoretis maupun

secara praktis. Secara teoretis, fakta singularisme merealisasi

pada penolakan prinsip kausalitas dalam sains serta superioritas

metode dan disiplin ilmiahnya. Secara praktis, fakta tersebut

dapat dilihat pada fakta pengkafiran beberapa teori filsafat,

peristiwa eksekusi al-Hallaj, serta fenomena saintisme. Bagian

ini akan menampilkan potret kasus tersebut beserta pendirian

filosofisnya masing-masing, di samping argumen filosofis

pendirian pluralisme metodologis, pendirian yang dikontraskan

dengan pemikiran singularisme.

Page 88: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

76

A. Analisis Kasus Dominasi Metode

1. Analisis Teoretis Klaim Validitas Metode Ilmiah

a. Negasi Prinsip Kausalitas dalam Sains

Prinsip kausalitas merupakan prinsip yang dianggap

niscaya dalam sains. Prinsip kausalitas yang menetapkan

hubungan antara sebab dan akibatnya, dapat mengambil formula

berikut: apabila penyebabnya terjadi, maka efeknya harus

mengikuti. Untuk setiap A dan B (A) (B), terjadinya A

menyebabkan terjadinya B. Formula ini cukup umum untuk

diterapkan dalam bidang ilmiah yang berbeda sebagai rumus

ilmiah umum yang simbol-simbol logisnya dapat berdiri untuk

variabel yang berbeda.149

Fakta yang menyatakan bahwa seluruh

logam akan memuai jika dipanaskan, dihasilkan melalui metode

observasi dan eksperimen. Dengan metode ini studi empiris

terhadap kasus-kasus partikular menuju formula umum disajikan

dalam bentuk ‚seluruh‛. Berdasarkan perspektif saintifik, segala

fenomena alam, terjadi dalam lingkaran sebab akibat sebab alam

sendiri merupakan jaringan kausal yang kompleks. 150

Dengan ini, prinsip kausalitas menyatakan bahwa segala

fenomena, benda, fakta, peristiwa, situasi, gerak, diam, dan

sebagainya memiliki sebab. Prinsip kausalitas bersifat pasti dan

rasional sehingga keberadaan sebab bagi akibat merupakan hal

yang niscaya. Sisi rasional pada prinsip ini mendorong manusia

149 Ali Tajmir Riahi, Mahmoodreza Rahbargazi, Reza Mahmoodoghli, Ahmad

Abbaszadeh, “Investigating The Role Of Intellect In Islam”, Interdisciplinary Journal Of

Contemporary Research In Business, http//ijcrb.webs.com (accessed April, 2012). 150Atanu Chatterjee , “Causality: Physics and Philosophy”, European Journal of

Physics Education (2013), http://e-

resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/3403477

331/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Chatterjee%2C+Atanu&cit%3Atitle=Causality%

3A+Physics+and+Philosophy&cit%3Apub

Page 89: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

77

sebagai makhluk rasional untuk memperoleh informasi mengenai

suatu fenomena dengan berupaya menemukan penyebab

rasionalnya.151

Sifat rasional yang diperkuat oleh rasa ingin tahu

manusia, menyebabkan manusia selalu mempertanyakan

penyebab segala yang ada yang pada gilirannya melahirkan

berbagai disiplin ilmu. Karena merupakan prinsip yang niscaya,

maka pengingkaran terhadap kausalitas adalah mustahil.

Menurut Muhammad Baqir As-Sadr, prinsip kausalitas tidak

mungkin ditolak dengan argumen apapun. Setiap upaya

pengingkaran terhadap prinsip ini akan menyebabkan pengakuan

terhadap prinsip itu sendiri. Prinsip kausalitas tetap kukuh

sebelum dibuktikan manusia.152

Keniscayaan sebab bagi akibat, pada Muhammad Baqir

As-Sadr melahirkan empat teori, yaitu teori wujud (eksistensi),

teori penciptaan, teori kemungkinan esensial, dan teori

kemungkinan eksistensial.153

Dengan demikian, setiap fenomena

merupakan akibat yang membutuhkan sebab. Tidak ada

fenomena yang terjadi tanpa sebab. Proposisi tersebut

membentuk kaidah yang bersifat niscaya. Pikiran akan

membentuk teori ketika ada satu eksistensi yang keberadaannya

bergantung pada eksistensi yang lain. Eksistensi pertama disebut

akibat, dan yang kedua disebut sebab. Korelasi antara keduanya

disebut hubungan sebab akibat yang kemudian membentuk

prinsip universal, yaitu kausalitas.

Keniscayaan hubungan yang diperlukan antara sebab

dengan akibatnya, ditolak al-Ghazali. Menurutnya, hubungan

151Atanu Chatterjee , “Causality: Physics and Philosophy”, European Journal of

Physics Education (2013) 152Muhammad Baqir as}-S}adr, Falsafatuna terj. M. Nur Mufid bin Ali

(Bandung: Mizan, 1998), 212. 153 Lihat Muhammad Baqir As}-S}adr, Falsafatuna, 217-221.

Page 90: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

78

antara apa yang biasa diyakini menjadi penyebabnya dan apa

yang biasanya diyakini sebagai efek adalah tidak perlu. Tidak

ada keharusan bahwa adanya sesuatu mengharuskan adanya

sesuatu yang lain, atau sebaliknya ketiadaan sesuatu

mengharuskan ketiadaan yang lain, seperti hilangnya haus

dengan minum, adanya pembakaran dan kontak dengan api,

cahaya dan munculnya matahari, kematian dan pemenggalan

kepala, penyembuhan dan minum obat, cuci perut dan minum

obat pencahar, dan sebagainya.154

Selaras dengan ajaran dasar

agama Ibrahim, al-Ghazali menyakini bahwa hanya Tuhanlah

satu-satunya penyebab utama dari semua fenomena alam. Semua

peristiwa temporal terjadi karena kuasa Tuhan yang sama sekali

tidak terkait dengan prinsip kausalitas. Sebuah pandangan yang

identik dengan prinsip rasionalisme di Barat.155

Analisis hubungan antara sebab dan akibat yang

memiliki formula umum ‚Jika A (sebab) terjadi, maka B (akibat)

terjadi pula, terdiri dari sebab (A), akibat (B), dan hubungan

antara A dengan B. Hubungan tersebut dapat mengambil pola

kondisional (jika … maka), transitif (jika A menyebabkan B, dan

B menyebabkan C, maka A merupakan sebab utama dari B dan

C), asimetris (jika A menyebabkan B, adalah tidak mungkin B

menyebabkan A), atau temporal (A sebagai sebab, menghadirkan

B sebagai akibat, secara bersamaan).156

Tema kausalitas dalam

sains menyiratkan kekuatan kausal yang efektif atas agen atau

154 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal), 189. 155Edward Omar Moad, “Al-Ghazali On Power, Causation, And 'Acquisition'”,

Philosophy East and West 57, (Jan 2007, 1 – 13, http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/ 216883950?pq-origsite=summon 156 Ali Tajmir Riahi and others, Investigating .....

Page 91: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

79

hukum-hukum fisika untuk mempengaruhi proses lainnya.157

Dalam perspektif al-Ghazali, hubungan tersebut tidak bersifat

mesti tetapi dapat dilihat berdasarkan dua aspek, yaitu

merupakan hubungan kebiasaan dan hubungan yang tidak mesti.

Hubungan antara apa yang biasa diyakini menjadi penyebabnya

dan apa yang biasanya diyakini menjadi efek adalah tidak perlu.

Bukan merupakan keharusan adanya salah satu, kemudian yang

lain harus ada. Demikian halnya, bukan suatu keharusan dari

ketiadaan sesuatu mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain.

Supaya memahami konsepnya mengenai kebiasaan

(habitual) dan keharusan (necessity), dengan memberikan contoh

pada api yang menyebabkan terbakarnya kapas, al-Ghazali

menyangkal api sebagai agen pembakaran. Menurutnya, yang

melakukan pembakaran kapas, menyebabkan pemisahan dalam

bagian-bagiannya, dan membuatnya abu, adalah Allah. Sebagai

benda mati, api tidak memiliki tindakan. Terhadap pendapat

filosof yang menyatakan api sebagai agen pembakar, al-Ghazali

menyatakan bahwa para filosof tidak punya bukti lain selain

mengamati terjadinya pembakaran pada kontak dengan api.

Bagaimanapun, observasi hanya menunjukkan terjadinya

pembakaran pada saat kontak ‚dengan‛ api, tetapi tidak

menunjukkan terjadinya pembakaran ‚oleh‛ api dan bahwa tidak

ada penyebab lain baginya.158

Dalam hal ini, filosof berpegang

pada prinsip keharusan yang dalam filsafat Ibn Sina terformulasi

dalam pemikirannya mengenai konsep ontologis wajib al-wujud

dan mumkin al wujud.159

157Fabio Boschetti, “Causality, Emergence, Computation and Unreasonable

Expectations”, Synthese 185 (Mar 2012), 190, http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/

1111803202?pq-origsite=summon, 158Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 190-191. 159Jika keberadaan sesuatu, bila dianggap dalam dirinya sendiri, adalah mungkin,

maka keberadaannya dan tidak adanya keduanya karena suatu sebab. Richardson, Kara,

Page 92: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

80

Kebiasaan menghubungkan ide pada kasus kapas dan api

dari ‚dengan‛ menjadi ‚oleh‛ adalah dugaan bahwa api

merupakan satu-satunya penyebab tunggal terbakarnya kapas.

Menurut al-Ghazali, kebiasaan terus-menerus dan terjadi secara

berulang, merupakan isyarat bahwa hal demikian sebagaimana

kebiasaannya di masa lalu. Padahal, api tidak memiliki kualitas

alami intrinsik dalam pembakaran, dan kapas tidak memiliki

kualitas alami intrinsik untuk dibakar. Jika demikian, maka api

akan selalu membakar dan kapas akan selalu dibakar karena

kebutuhan, dan tidak akan ada cara untuk mengganggu proses

ini.160

Oleh karena itu, hubungan antara sebab dan akibat tidak

diperlukan. Sekalipun kapas dan api selalu terhubung satu sama

lain, koneksi terus-menerus di antara mereka telah selalu diamati

dari pengalaman masa lalu. Pengamatan masa lalu tidak

menjamin keterhubungan keduanya di masa depan. Di samping

itu, pada hakikatnya mereka dihubungkan oleh sebab eksternal,

yaitu Tuhan yang telah memutuskan untuk menciptakan ‚sebab‛

dan ‚akibat‛ secara berdampingan sejak sebelumnya. Namun

demikian, hal tersebut bukan merupakan keharusan sebab

Tuhanlah yang kuasa dan menjadi penyebab segala sesuatu.

Hubungan api dengan kapas hanya bersifat mungkin, yaitu

mungkin terjadi atau mungkin juga tidak terjadi.161

Hubungan kausalitas tidak bersifat pasti. Karena itu,

hubungan di masa depan antara sebab dan efeknya tidak selalu

menyerupai hubungan yang terjadi di masa lalu. Kausalitas

bukan merupakan pengetahuan apriori. Kausalitas berkaitan

“Avicenna And The Principle Of Sufficient Reason”, The Review of Metaphysics 67

(2014), http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1542373777?pq-origsite=summon, 160Menurut al-Ghazali, keterhubungan antara subjek yang disebut sebab dan

akibat lebih dipahami sebagai kesiapan pada subjek penerima.Lihat al-Ghazali, Tahafut al-

Falasifat, 191-192. 161Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 197-198.

Page 93: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

81

dengan pengalaman empiris. Dalam empirisme, pengalaman

masa lalu tidak mengharuskan dan akan membenarkan kejadian

masa depan. Logika ini membawa al-Ghazali pada kenyataan

terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan asumsi kausalitas,

seperti menghidupkan kembali orang yang sudah mati atau

mengubah tongkat menjadi ular. Pada gilirannya, materi dapat

menerima apapun.162

Konsep al-Ghazali mengenai keharusan dan

kemungkinan berhubungan dengan dua jenis proposisi: analitik

dan sintetik.163

Proposisi analitik adalah benar menurut definisi

dan negasinya adalah kontradiksi. Ketika kebenarannya diperoleh

sebelum mengalaminya disebut a priori yang kebenarannya pasti.

Sebagaimana dikatakan: ‚hajar aswad berwarna hitam‛. Di sini

tidak perlu pengalaman untuk membuktikan kebenaran laporan

tersebut. Proposisi a priori adalah tautologis sebab arti

predikatnya tidak memberikan informasi baru tentang topik

‚hajar aswad‛, kecuali mengulangi yang sudah ada dalam subjek.

Proposisi tersebut adalah analitik dan tidak mengenai apapun

kecuali dirinya sendiri, sementara kausalitas tidak analitik karena

terjadi di dunia eksternal. Adapun laporan sintetis berasal dari

pengalaman yang nilai kebenarannya ditentukan melalui

observasi. Pengetahuan tentang sebab dan akibat termasuk ke

dalam jenis ini dan dengan demikian tidak memiliki keharusan

untuk selalu sama. Pengetahuan induktif tidak menjamin adanya

kesamaan atau perbedaan dengan kenyataan yang terjadi di masa

lalu.

Dalam kerangka Hume, pengetahuan tidak dapat

melampaui pengalaman indrawi (sense perception). Karena tidak

162 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 195 163 Untuk selanjutnya lihat Ali Tajmir Riahi and others, Investigating .....

Page 94: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

82

a priori, maka tidak dibenarkan adanya koneksi yang diperlukan

antara sebab dan akibat kecuali ide yang menyesatkan.164

Hubungan yang dianggap sebagai kausalitas hanya merupakan

hubungan spasial dan temporal yang terjadi berulang kali.165

Koneksi demikian tidak dapat digunakan untuk menjustifikasi

pengetahuan masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu.

Tidak ada bukti untuk hubungan sebab dan akibat lebih dari

persepsi tentang korelasi konstan antara dua efek diamati.

Dengan kata lain, pengamatan merupakan acuan utama

pembenaran pengetahuan mengenai hubungan kausalitas ini.

Pengamatan tidak cukup untuk membuktikan koneksi yang

diperlukan antara sebab dan akibat. Hubungan antara sebab dan

akibat di masa depan, hanya dijamin berdasarkan catatan memori

di masa lalu.

Dengan demikian, kebenaran pernyataan bahwa air tidak

akan mengalir dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi

tidak bersifat mutlak. Kebenarannya hanya didasarkan pada

catatan masa lalu. Pengetahuan mengenai karakter air tersebut

tidak bersifat apriori karena dihasilkan melalui induksi dan

observasi di masa lalu. Karena itu, kebenarannya tidak mencakup

karakter keberadaan air di masa depan. Tampak ada kedekatan

pemikiran antara al-Ghazali dengan Hume terkait dengan

penolakan terhadap kepastian hubungan kausalitas.166

164Abraham SesshuRoth, “The Necessity of "Necessity": Hume's Psychology of

Sophisticated Causal Inference”, Canadian Journal of Philosophy41 (2011), 282,http://e-

resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/2432495351/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3

Aauth=Roth%2C+Abraham+Sesshu&cit%3Atitle=The+Necessity+of+%22Necessity%22

%3A+Hume%27s+Psychology+of+Sophisticated+Causal+Inference&cit%3Apub=, 165Yumiko Inukai, ‟‟ Hume on Relations: Are They Real?”,Canadian Journal of

Philosophy 40, (Jun 2010),http://e-resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/

2100143511/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Inukai%2C+Yumiko&cit%3Atitle=Hu

me+on+Relations%3A+Are+They+Real%3, 166 Edward Omar Moad, “Al-Ghazali On Power, Causation, And 'Acquisition'”

Page 95: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

83

Al-Ghazali mengembalikan semua sebab pada satu-

satunya sebab efisien, yaitu Tuhan. Dalam hal ini, Ibn Rushd

mendebat pandangan al-Ghazali mengenai penyebab efisien.

Menurutnya, Tuhan memang menjadi penyebab utama dari

setiap fenomena. Namun, Tuhan telah menciptakan penyebab

sekunder untuk setiap fenomena tersebut. Tuhan mampu

mewujudkan kenyang tanpa makan, melepas haus tanpa minum,

dan membakar tanpa kontak dengan api, tetapi Tuhan tidak

melakukannya.167

Pengetahuan, menurut Ibn Rushd, berlangsung

melalui pembentukan hubungan sebab dan akibat. Penyangkalan

terhadap penyebab mengindikasikan penolakan pengetahuan.

Dengan kalimat lain, penolakan al-Ghazali terhadap prinsip

kausalitas bersifat kontra produktif dengan perkembangan sains.

Kritisasi yang dikemukakan Ibn Rushd lebih dari 500 tahun yang

lalu tersebut memperoleh dukungan pada pemikiran modern,

antara lain melalui Sir Syed Ahmad Khan (1817-1898) yang

berpendapat bahwa mukjizat para nabi selaras dengan hukum

alam, atau Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa konsep

kausalitas merupakan keyakinan yang melandasi Islam.168

Pengakuan terhadap hukum kausalitas ini, bukan berarti Ibn

Rusyd menegasikan kehendak Tuhan. Baik Ibn Rusyd maupun

al-Ghazali, keduanya mengakui bahwa segala sesuatu tunduk

pada kehendak dan kuasa Allah. Hanya saja pada al-Ghazali,

kausalitas sepenuhnya pengaruh Tuhan, sementara Ibn Rusyd

167Pandangan ini berbeda dengan al-Ghazali yang melihat hubungan kemungkinan

antara sebab dan akibat. Prinsip kemungkinan ini pada gilirannya mendasari kemungkinan

terjadinya mu‟jizat.Lihat al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 194. 168 Yudian W. Asmin, “Makna Penting Hukum Kausalitas Dalam Peradaban

Islam (Studi Tentang Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd)”, Al-Jami‟ah 57 (1994), 118,

http://digilib.uin-suka.ac.id/496/1/12.%20Yudian%20W.%20Yasmin%20-%20MAKNA%

20PENTING%20HUKUM%20KAUSALITAS%20DALAM%20PERADABAN%20ISL

M%20%3B%20Studi%20tentang%20Pemikiran%20al%20Ghozali%20dan%20Ibn%20Ru

syd.pdf,

Page 96: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

84

menganggap penyebab bekerja dalam eksistensi atau realitas

sendiri.169

Penolakan al-Ghazali terhadap kausalitas pada

dasarnya diorientasikan pada penegasan bahwa hanya Allah yang

memiliki kekuasaan mutlak.170

Namun demikian, sekalipun berpegang pada prinsip

kemungkinan dalam hubungan kausalitas, al-Ghazali juga

menolak kemungkinan sporadis di dalamnya, seperti buku

menjadi kuda, tidak ada proses kelahiran yang menyebabkan

adanya anak, dan sebagainya. Menurut al-Ghazali, ada tiga hal

yang dapat dipercayai dalam pengetahuan berdasarkan

kausalitas. Pertama, sesuatu dapat menjadi mungkin dan dapat

menjadi salah satu bagian kekuasaan dari kekuasaan Tuhan.

Kedua, sekalipun bersifat mungkin, namun keberadaan sesuatu di

masa lalu menunjukkan ketidakmungkinan bagi Tuhan untuk

melakukannya. Ketiga, kemungkinan Tuhan menciptakan

pengetahuan yang menginformasikan bahwa Tuhan tidak

melakukan hal-hal yang bersifat khusus tersebut.171

Dalam kerangka pemikiran al-Ghazali, jika manusia telah

memiliki pengetahuan mengenai keniscayaan prinsip kausalitas,

itu berarti Tuhan memang telah menciptakan pengetahuan

mengenai hal ini sebab tidak ada apapun yang terlepas dari

pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Maka prinsip kausalitas yang

menjadi prinsip utama dalam pengetahuan induktif memiliki

unsur pengetahuan a priori, yaitu pengandaian adanya

169 Yahya Yasrebi, “A critique of causality in Islamic philosophy”, Topoi 26 (July

2007), http://e-resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/2144175741/fmt/pi/rep/

NONE?hl=&cit%3Aauth=Yasrebi%2C+Yahya&cit%3Atitle=A+critique+of+causality+in

+Islamic+philosophy&cit%3Apub=, 170 Sajjah H Rizvi, “Mulla Sandra and Causation: Rethinking a Problem in Later

Islamic Philosophy”, Philosophy East And West 55.4 (oct 2005), E-

resources.pnri.go.id:2057/docview/216883163?pg-origsite=summon, 171Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 194.

Page 97: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

85

keseragaman dalam fenomena alam. Dalam sains, kepercayaan

terhadap prinsip kausalitas menjadi basis asumsi saintifiknya.

Tanpa kepercayaan terhadap prinsip ini, maka kegiatan saintifik

apapun tidak dapat dijalankan.

b. Kritik terhadap Metode Filsafat

Telaah al-Ghazali terhadap karya-karya al-Farabi dan Ibn

Sina yang merealisasi pada karyanya Tahafut al-Falasifah,

melahirkan serangan polemik terhadap filsafat. Di satu sisi,

penelaahan tersebut mengakibatkan penyerapan banyak konsep

baru ke dalam teologi, terutama dari logika silogisme

Aristotelian. Dengan ini, al-Ghazali telah memperkaya kerangka

konseptual teologi sistematis atau kalam. Namun di sisi lain,

serangannya terhadap filsafat menyebabkan gerhana pada filsafat

sebagai studi independen, setidaknya di dunia Islam bagian

timur.172

Dengan demikian, hubungan al-Ghazali dengan filsafat

sebenarnya sedikit rumit. Di satu sisi, dia memberi apresiasi

tinggi terhadap Logika dalam hal ketepatan dan kepastian

kebenaran rasional dalam bahasa logika sehingga

menggunakannya untuk menolak ajaran sesat. Namun pada saat

yang sama, logika tidak dianggap sebagai alternatif alat yang

utama untuk menemukan kebenaran karena kapasitasnya

dianggap terbatas. Pemikiran epistemologis inilah yang

mendasari label anti akal pada al-Ghazali. Seyyed Hossein Nasr

menggambarkan ini sebagai serangan yang paling terkenal

terhadap filsuf peripatetik dalam upaya menghancurkan

pandangan para filsuf, menuduh mereka menyimpang dari Islam

172 Joseph Kenny, Philosophy of the Muslim World (Washington: The Council for

Research in Values and Philosophy, 2003), 12-13.

Page 98: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

86

dalam penyangkalan mereka terhadap keterciptaan dunia,

pengetahuan Allah tentang hal-hal khusus, serta kebangkitan

jasmani.173

Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menyanggah

peran akal melalui penentangan serta penolakannya terhadap

filsafat Aristoteles. Al-Ghazali mengkritik pendirian filosof

terhadap keabsahan metode demonstratif (rasional) yang

mengungguli pengetahuan teologis. Keyakinan ini menyebabkan

para filosof muslim mengabaikan shariat. Dalam karya tersebut

al-Ghazali membahas dua puluh ajaran utama filosof dan

menolak klaim bahwa ajaran-ajaran ini terbukti secara

demonstratif. Menurutnya, tidak satu pun dari keduapuluh ajaran

tersebut yang memenuhi standar demonstratif tetapi bersifat

dialektis sebab tidak disepakati secara bulat oleh kalangan filosof

sendiri. Argumen filosof dipandang al-Ghazali semakin

mengukuhkan keangkuhan epistemologis para filosof sehingga

mereka hanya mengulangi ajaran-ajaran ini dari pendiri gerakan

mereka tanpa sikap kritis.174

Kekeliruan filosof, demikian al-

Ghazali, terdapat dalam keilmuan metafisika. Para filosof tidak

dapat memberikan bukti yang pasti berdasarkan kaidah-kaidah

logika. Hal inilah yang mendasari perbedaan pendapat di

kalangan mereka sendiri.175

Sebagaimana hasil analisa Ali Tajmir Riahi, dan kawan-

kawan, dalam pendahuluan buku Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali

mengawali kritik terhadap metode filsafat dengan menyatakan

bahwa para filosof tidak melakukan kajian teoretis secara

173Seyyed Hossein Nasr, “Philosophy”,Oxford Islamic Studies,

http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0634?_hi=5&_pos=3#match, 174Ali Tajmir Riahi, and others, Investigating…. 175Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dalal dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-

Fikr, 1996), 545.

Page 99: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

87

mendalam yang muncul karena tersesat oleh tipuan rancu. Hal ini

dengan sendirinya memalingkan kebenaran untuk kemudian

tunduk pada ilusi imajinasi. Karena hal ini bersumber dari

kekaguman terhadap Socrates, Hippocrates, Plato, Aristoteles,

dan lain-lain, maka pada dasarnya para filosof tidak membangun

teori filosofisnya secara ajeg dan orisinal kecuali terjebak pada

taqlid terhadap kekeliruan. Atas dasar itu, mereka adalah bodoh

dan batil sebab meninggalkan kebenaran yang diyakini secara

taqlid kemudian menerima kebatilan dan membenarkannya tanpa

pengujian.176

Pemikiran filosof dalam pandangan al-Ghazali, tidak ada

yang baku, konstan, dan sempurna. Teori filsafat mereka

dibangun berdasarkan hipotesis dan pemikiran spekulatif, tidak

berdasarkan pada penelaahan positif serta dikonfirmasi dengan

keyakinan. Dengan ini, filosof mencoba mencari landasan bagi

teori metafisik berdasarkan aritmatika dan logika. Metode ini

tidak valid serta steril dari nilai spekulatif sebab teori yang

dihasilkan mereka tidak sama. Pada bagian pendahuluannya yang

ketiga, al-Ghazali secara eksplisit menyatakan bahwa mereka

tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai mengenai

masalah metafisika melalui penggunaan logika dan analisis

matematika. Matematika, lebih khususnya aritmatika, sama

sekali tidak memiliki keterkaitan dengan metafisika.177

Kritik lain yang dialamatkan al-Ghazali terhadap logika

sebagai perangkat metodis filsafat adalah ketidakkonsistenan

176Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 28. Untuk tuduhan tersebut, Ibn Rushd

menyatakan bahwa al-Ghazali kurang memahami pemikiran para filosof secara lebih baik.

Jika benar filosof salah, sebenarnya terletak pada kekeliruan memahami filsafat Aristoteles

dengan benar. Lihat Taneli Kukkonen , “Possible worlds in the tahafut al-tahafut: Averroes

on plenitude and possibility”, Journal of the History of Philosophy 38 (Peb 2000), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/210612502?pq-origsite=summon, 177Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 31, 39.

Page 100: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

88

para filosof muslim terhadap logika sendiri. Menurutnya, para

filosof mengharuskan syarat-syarat terpenuhinya pembuktian

untuk meraih pengetahuan yang pasti. Namun dalam metafisika,

para filosof tetap membahas permasalahan-permasalahan agama.

Karena tidak dapat memenuhi persyaratan formal logika,

kemudian mereka menetapkan syarat-syarat tersebut secara

serampangan.178

Di sinilah al-Ghazali menunjukkan beberapa

tesis filsafat bertentangan dengan agama, antara lain penolakan

kebangkitan jasmani, penolakan pengetahuan Allah tentang

peristiwa partikular, dan keyakinan tentang keabadian dunia. Al-

Ghazali menyerang argumen filosof dalam topik teologis yang

dipandangnya tidak absah karena logika digunakan tidak pada

wilayahnya.179

Keberatan paling ringan terhadap filsafat dibanding

pengharamannya adalah penolakan terhadap kegunaan dan

kebenarannya. Murtadha Muthahhari mencatat tiga kritik

terhadap logika berikut argumen yang digunakan untuk

menjawabnya. Pertama, jika berguna seharusnya ilmuwan atau

filosof tidak melakukan kesalahan atau berbeda pendapat. Kritik

kedua memuat keberatan terhadap logika sebagai sarana ilmu

yang pada kenyataannya tidak menambah pengetahuan sama

sekali. Pengetahuan objektif hanya dapat dicapai melalui

eksperimen dan proses induktif, serta penalaran alami secara

langsung yang bukan merupakan bagian dari logika. Kritik ketiga

memuat keberatan terhadap fungsi logika sebagai sarana yang

dapat mencegah kesalahan berpikir.180

178 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 545. 179Parviz Morewedge,“Theology”,The Oxford Encyclopedia of the Islamic World,

http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0799?_hi=0&_pos=1#MysticalThe

ology, 180 Untuk selanjutnya lihat Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam,

terj. Ibrahim Husein al-Habsyi, dkk. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), 163-167.

Page 101: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

89

Pertama, logika hanya bertanggung jawab terhadap

kebenaran bentuk suatu pernyataan. Adapun kesalahan-kesalahan

manusia dapat bermuara pada materi-materi yang terkandung

dalam proposisi penyusun kesimpulan. Materi-materinya

mungkin saja benar namun kesalahannya terletak pada sejenis

argumen keliru yang tidak memperhatikan struktur pemikiran.

Dalam hal ini, logika menjamin kebenaran dari segi kedua, yaitu

dalam hal penyusunan proposisi sehingga tidak terjadi kesalahan

yang disebabkan oleh penyusunan proposisi yang salah. Kedua,

logika berfungsi sebagai sarana bagi ilmu bukan ‚sarana untuk

menghasilkan ilmu‛. Ketiga, pencegahan kesalahan pada bentuk

proposisi memiliki kegunaan relatif. Pencegahan terhadap materi

proposisi, sekalipun tidak dapat menjamin dengan aturan-aturan

logis, tetapi dapat dipastikan dengan ketelitian serta penjagaan

yang lengkap pada materi proposisi, serta dapat menerapkan

kaidah-kaidah logis, dapat mencegah ketergelinciran secara

absolut.181

c. Superioritas Metode Mistisisme

Pada awalnya al-Ghazali tidak menyatakan bahwa

pilihannya terhadap mistisisme disebabkan karena mistisisme

merupakan disiplin yang paling benar tapi karena ia

menyetujuinya. Namun kemudian dinyatakan bahwa

kesetujuannya terhadap disiplin tersebut karena ia telah

menyelami dan menguasai body of knowledge keseluruhan

disiplin yang merupakan ajaran penganut batiniyah (kaum

esoteris), penganut atheis, filosof, ahli kalam, mistikus, ahli

ibadah, atau kaum zindik. Artinya, kesetujuan al-Ghazali linier

dengan klaim kebenaran dalam mistisisme. Dengan kalimat lain,

181 Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, 163-167.

Page 102: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

90

hanya mistisisme yang dinilai benar. Ini selaras dengan tujuan

pencarian ilmu al-Ghazali sendiri, yaitu pengetahuan hakiki dari

segala sesuatu atau ‘ilm al-haq, ilmu yang mampu menyingkap

sesuatu secara jelas sehingga tidak membuka peluang untuk

meragukannya.182

Berdasarkan pencarian intelektual al-Ghazali untuk

menemukan ilmu yang benar, pencari kebenaran diklasifikasi

pada empat kategori, yaitu teolog, filosof, penganut esoterisme,

dan mistikus. Menurutnya, teologi hanya memadai bagi

tujuannya sendiri, yaitu menjaga akidah ahl Sunnah dari

kerancuan yang ditimbulkan para ahli bid’at dengan bersandar

pada paradigma berpikir lawan untuk menemukan titik lemah

argumen mereka. Ilmu yang benar ini tidak pula ditemukan

dalam filsafat sebab pengkajian intensif terhadap disiplin ini

telah menunjukkan kadar kepalsuan, penyimpangan, serta tanda-

tanda kekafirannya. Pada aliran esoterisme, substansi ajarannya

tidak lebih dari sebuah bid’ah yang bersumber dari Pythagoras,

filosof yang lemah dan pemikiran filsafatnya sangat rendah,

kemudian dikemas dengan argumen yang tidak kuat kecuali

fanatisme.183

Dari keempat ilmu tersebut, al-Ghazali menemukan

bahwa mistisisme merupakan tipikal ilmu yang menjadi tujuan

pencariannya. Dengan ini, al-Ghazali membahas berbagai variasi

epistemologi kemudian menolaknya setelah menemukan

kebenaran mistis berupa cahaya Tuhan yang masuk ke dalam

hatinya. Atas dasar itu, maka pengetahuan yang benar tidak

diperoleh melalui argumentasi logis, teologi atau tradisi, tapi

182 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 537-8. 183 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 540-1, 543, 549, 552.

Page 103: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

91

dianugerahkan oleh Tuhan.184

Menurutnya, jalan kaum sufi hanya

dapat diwujudkan melalui ilmu dan amal. Mistisisme bertujuan

mematahkan semua rintangan nafsu, menghilangkan kebiasaan

dan sifat buruk nafsu supaya mengosongkan hati dari segala

sesuatu kecuali Allah, kemudian menghiasinya dengan

mengingat Allah.185

Ilmu ini diperoleh melalui pengalaman

langsung dan benar-benar terlibat dalam jalan tersebut.186

Al-

Ghazali telah sampai pada ilmu yang membuatnya mencapai

pengetahuan yang kuat kepada Allah, kenabian, dan hari

akhirat.187

Hati, ituisi, atau dawq, diumpamakan al-Ghazali

sebagai raja. Hanya rajalah yang dapat memahami Raja. Dengan

konsep tersebut, mistisisme yang menggunakan hati sebagai

medianya diklaim sebagai pengetahuan objektif.188

Kesimpulan yang diberikan al-Ghazali terhadap

mistisisme adalah pengetahuannya yang pasti bahwa kaum sufi

adalah mereka yang menempuh jalan menuju Tuhan secara

khusus. Cara hidup sufi adalah cara terbaik, jalannya paling

tepat, dan akhlaknya paling tulus. Jika seseorang berusaha

menggabungkan pandangan ilmuwan, kearifan filosof, dan ilmu

ulama yang memahami shari’ah untuk membuat cara yang lebih

baik dari cara kaum sufi, maka upaya tersebut tidak akan

184 Imtiaz Ali Zain, “Al-Ghazali And Schoupenhauer On Knowledge And

Suffering”, Philosophy East and West57.4 (Oct 2007), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/216884473?pg-origsite=summon, 185Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 552. 186 Dalam tradisi epistemologi Barat, mistisisme sebagai ilmu yang diperoleh

secara langsung diidentifikasi dengan intuisionisme. Lihat Dirk Schlimm, ”Against

Against Intuitionism” Synthese 147 (Oct 2005), http://e-resources.pnri.go.id:2061/media/

pq/classic/doc/958836401/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Schlimm%2C+Dirk&cit%

3Atitle=Against+Against+Intuitionism&cit%3Apub=, 187Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 553. 188 Tamara Albertini, “Crisis And Certainty Of Knowledge In Al-Ghazali (1058-

1111) And Descartes (1596-1650), Philosophy East and West 55 (Jan 2005), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/216882645?pq-origsite=summon,

Page 104: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

92

berhasil. Semua gerak dan diam seorang sufi, baik lahir maupun

batin, diperoleh dari relung cahaya kenabian. Di luar cahaya itu,

tidak ada cahaya yang dapat memberikan pencerahan.189

Dengan

karakteristik pengetahuan ini, al-Ghazali sampai pada keyakinan

mengenai kebenarannya, baik secara objektif maupun

subjektif.190

Bagi al-Ghazali, pengalaman sufi bersifat niscaya dan

tidak dapat diragukan lagi. Pembenaran pengetahuan sufi bagi

orang yang belum mengalami keadaan fana, adalah dengan

bergaul secara intens dengan para sufi. Dipastikan, siapapun

yang bergaul dengan para sufi akan memperoleh keyakinan kuat

mengenai pengetahuan. Jalan tasawuf ini, yang diklaim al-

Ghazali telah membawanya pada tingkat kepastian, merupakan

jalan yang tidak dapat diketahui akal. Sebab jalan serta

pengetahuan yang dihasilkannya bukan merupakan wilayah akal.

Mengenai pengetahuan sufistik, akal hanya berfungsi

mengkonfirmasi, membenarkan, serta mengakui kelemahannya

dalam memahami hakikat kenabian.191

2. Realitas Superioritas Metode

a. Pengkafiran Beberapa Filosof Muslim

Perdebatan antara kaum rasionalis, diwakili al-Farabi

dan Ibn Sina, dengan tradisionalis, diwakili al-Ghazali,

dimenangkan oleh kaum tradisionalis sehingga eksistensi kaum

rasionalis tidak mendapat tempat dalam pemikiran umat. Untuk

itu, al-Ghazali menulis buku yang berisi kritik terhadap filosof

189Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 554-5. 190 Tamara Albertini, “Crisis and Certainty of Knowledge in Al-Ghazali (1058-

1111) and Descartes (1596-1650) 191Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 555, 558.

Page 105: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

93

muslim yang diklaimnya sebagai pengikut Aristoteles dan neo

platonisme.

Dalam Tahafut al-Falasifah al-Ghazali mengkafirkan tiga

pemikiran filsafat mengenai qadim-nya alam, pengetahuan

Tuhan yang tidak meliputi partikular, dan pengingkaran terhadap

kebangkitan jasmani.192

Kritik al-Ghazali terhadap filosof yang

berujung pada pengkafiran pelakunya dinilai Taneli Kukkonen

memiliki kerancuan internal.193

Namun pengaruh kritik al-

Ghazali terhadap tradisi berpikir falsafi, tidak dapat

dikesampingkan, terutama jika dilihat dari dua sisi. Pertama

sebagai figur otoritatif di dunia sunni, sikap al-Ghazali linier

dengan sikap kaum sunni sendiri yang kurang well come

terhadap filsafat yang pada gilirannya memengaruhi stagnasi

pemikiran filsafat di dunia sunni. Kedua terma kafir yang

digunakan al-Ghazali adalah sebuah justifikasi yang berimplikasi

teologis dan berdampak pada sikap menolak filsafat.

Al-Ghazali menolak pendirian filosofis yang menyatakan

bahwa alam ini kekal dan mengaktualisasi melalui proses

emanasi. Alam semesta pada hakikatnya tidak diciptakan Tuhan

tetapi mengaktual secara niscaya sebagai hasil pelimpahan

Tuhan. Pelimpahan tersebut tidak langsung melimpahkan banyak

tetapi melimpahkan satu wujud secara beruntun. Logika ini

dinilai kontradiksi sebab ada wujud yang pada dirinya merupakan

kombinasi. Kontradiksi lainnya adalah kelahiran kelipatan tiga

pada akibat pertama.194

Konsep penciptaan pada Tuhan tidak

sesuai dengan penalaran sebab mengindikasikan adanya kebaruan

192Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 209. Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-D}alal,

545. 193Taneli Kukkonen, “Possible Worlds in the Tahafut al-Tahafut: Averroes on

Plenitude and Possibility” Journal of the History of Philosophy, (Jul 2000), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/210612502?pq-origsite=summon, 194 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 89-92

Page 106: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

94

pada alam dan terutama pada kehendak Tuhan. Jika Tuhan

qadim, maka kehendak-Nya mestilah qadim pula. Kebaruan pada

kehendak Tuhan, yakni Tuhan baru berkehendak menciptakan

alam pada suatu waktu, merupakan kemustahilan bagi Tuhan.195

Berdasarkan teori kemungkinan, Ibn Rushd mengemukakan dasar

rasional mengenai kekekalan alam. Disimpulkan bahwa alam

kekal dapat dianggap mungkin, dan bahwa alam mungkin kekal

sebenarnya kekal.196

Atas dasar itu, maka alam semesta tidak

diciptakan berdasarkan kehendak-Nya dalam waktu tertentu

tetapi mengaktual secara niscaya dari Tuhan melalui emanasi.

Dalam konteks metode, argumen ini diturunkan dari penalaran

sillogisme.

Pandangan ini berimplikasi pada kesimpulan bahwa alam

adalah qadim, kesimpulan yang diyakini bertentangan dengan

ajaran Islam yang menyatakan bahwa bahwa alam adalah hadith.

Pada umumnya umat Islam meyakini bahwa yang abadi hanyalah

Tuhan. Selain-Nya, yaitu alam, dikategorikan pada ma siwa

Allah. Alam diciptakan Tuhan dalam waktu berdasarkan

kehendak-Nya yang mutlak. Jika alam itu qadim, maka akan ada

dua yang qadim (ta’addud al-quddama), yakni alam dan Tuhan.

Di samping itu, alam tidak membutuhkan pencipta atau

penyebab keberadaannya. Dengan demikian, alam itu hadith

yang diciptakan Tuhan yang qadim. Sifat-sifat kesempurnaan

yang dimiliki Tuhan, antara lain qudrat (Maha Kuasa) dan iradat

(Maha Berkehendak), membuat-Nya tidak menemukan kesulitan

mengadakan yang hadith secara langsung. Dengan kehendak

Tuhan, ketiadaan akan terus berlangsung atau keberadaan akan

bermula pada saat kehendak mengadakannya bermula. Dengan

195Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 44-45. 196 Dikutip dari Taneli Kukkonen, “Possible Worlds in the Tahafut al-Tahafut:

Averroes on Plenitude and Possibility”...

Page 107: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

95

ini, adanya alam sebelum waktu yang dikehendaki adalah di luar

qudrat Tuhan sehingga alam tidak akan mengaktual.197

Mengenai kemungkinan adanya waktu yang kosong

tanpa ciptaan, dinyatakan bahwa tidak ada waktu sebelum

adanya alam. Bagi al-Ghazali, waktu hanya merupakan bayangan

pikiran mengenai bergeraknya peristiwa-peristiwa alam. Karena

akal tidak mampu mengandaikan adanya hal tertinggi sebelum

alam, maka lahirlah asumsi bahwa di balik alam ada ruang,

kemudian akal menghadirkan wujud ketiga, yaitu waktu. Asumsi

tersebut tidak rasional, sebab waktu dan ruang sebenarnya

merupakan akibat penciptaan dan pergerakan pada alam.

Argumen ini melahirkan kesimpulan bahwa waktu tidak dapat

dijadikan dasar untuk membuktikan qadim atau tidak qadimnya

alam.198

Dengan penjelasan yang terutama ditujukan kepada Al-

Farabi dan Ibn Sina ini, al-Ghazali ingin membuktikan bahwa

hanya Tuhanlah yang qadim, dan selain-Nya hadith. Argumen

yang dibangun al-Ghazali di atas, juga dibangun berdasarkan

prinsip-prinsip sillogisme, prinsip penalaran yang dikritik al-

Ghazali.

Perhelatan tajam yang berujung pada pengkafiran

beberapa filosof muslim, didamaikan oleh Ibn Rushd melalui

karyanya yang berjudul tahafut al-tahafut, kerancuan dari (buku)

tahafut yang ditulis al-Ghazali. Ibn Rushd memberikan

penjelasan mengenai permasalahan yang membuat al-Ghazali

mengkafirkan filosof. Masalah keabadian berada di wilayah

teoretis. Pengertian qadim yang dimaksud filosof, sebenarnya

bukan pengertian yang dikafirkan al-Ghazali.199

197 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 45 198Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, 59-61. 199 Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidah, Ibnu Rushd Filosof Muslim Dari

Andalusia Kehidupan Karya, dan Pemikirannya, terj. (Jakarta: Riona Cipta, 2001), 54-55.

Page 108: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

96

Demikian adalah salah satu contoh silang pendapat

ulama-filosof antara al-Ghazali dalam keberhadapannya dengan

Ibn Sina dan al-Farabi. Ini merupakan adalah tipikal perdebatan

serius pada saat itu yang berujung pada dikafirkannya filosof

yang berpendapat demikian. Dalam posisinya sebagai figur

otoritatif Sunni, al-Ghazali diklaim sebagai penyebab redupnya

filsafat di kalangan Sunni. Sebagai sanggahan terhadap

pemikiran al-Ghazali, Ibn Rushd (w. 595/1198) menulis Tahafut

al-Tahafut. Melalui karya tersebut dia melakukan penyelamatan

atas tenggelamnya tradisi rasional di dunia Islam hampir delapan

puluh lima tahun setelah serangan al-Ghazali. Kedua kitab

Tahafut tersebut, yaitu karya al-Ghazali dan Ibn Rushd, secara

jelas mencerminkan esensi konflik ide-ide tentang akal dan

wahyu yang berlaku di dunia Islam sejak abad kedua/kedelapan

sampai abad ketujuh/ketiga belas dan yang muncul di Barat lima

abad kemudian. Sejumlah tuduhan al-Ghazali yang dialamatkan

pada filosof muslim dijawab Ibn Rushd. Menurutnya, setiap

agama didasarkan pada wahyu, tetapi tetap satu paket dengan

peran akal. Dalam karyanya yang berjudul Fasl al-Maqal, Ibn

Rushd merekonsiliasi agama dengan filsafat.200

Dalam kesejarahannya, penolakan terhadap filsafat

sejalan dengan pesatnya perkembangan Asy’ariyah. Upaya untuk

memotong perkembangan filsafat dilakukan secara sistematis

dengan menghidupkan aliran Asy’ariyah melalui jalur

pendidikan, sebagaimana merealisasi pada Madrasah Nizamiyah,

dipandang tepat. Filsafat terpinggirkan karena dianggap

membahayakan keyakinan agama, bahkan sampai pada tingkat

pengharamannya. Filsafat mengalami kemunduran dalam

keberhadapannya dengan interpretasi agama. Kuatnya terma

200Ali Tajmir Riahi and others, Investigating…

Page 109: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

97

kafir dan haram turut mempertegas sikap penolakan terhadap

filsafat.

Ibn Rushd mengemukakan bahwa agama dan filsafat

memiliki keterkaitan karena kerja filsafat merupakan kerja yang

dianjurkan agama. Mengikuti paradigma ini, agama memiliki

hubungan dialektis-korelatif sehingga berujung pada kesimpulan

bahwa berfilsafat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

agama terutama karena filsafat dijustifikasi oleh Alquran.201

Mencermati tipikal kritik al-Ghazali terhadap filosof

muslim, diketahui bahwa tema utama filsafat al-Ghazali adalah

konsep Tuhan dan hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya yang

secara teologis lebih merupakan representasi Asy'ariyah. Tuhan

diyakini sebagai satu-satunya sebab dari setiap peristiwa di

dunia, besar dan kecil, masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Dengan ini, pandangan al-Ghazali terpusat pada Tuhan sehingga

dia menyangkal adanya kebebasan penuh pada manusia. Di pihak

lain, filosof muslim adalah prototype rasionalis muslim yang

mengakui peran penting akal untuk memberi dasar rasional suatu

persoalan. Dalam konteks metodologis, perdebatan ini dapat

dipahami dari sudut pandang adanya dominasi metodologi

keilmuan agama atas metodologi keilmuan rasional.

b. Eksekusi al-Hallaj

Mistisisme Islam sudah berkembang sejak abad pertama

Hijriyah. Sampai abad kedua, perkembangannya masih bercorak

akhlaqi. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu abad ketiga dan

keempat, ajaran tasawuf mengarah pada pemahaman ajaran Islam

secara intuitif, antara lain konsep hulul yang merupakan ajaran

201 Ibn Rushd,Fasl al-Maqal fi ma Bayna al-Hikmat wa al-Shari‟at min al-Ittisal

(Kairo: al-Maktabah al-Mahmudiyah al-Tijariyah), 1968.

Page 110: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

98

al-Hallaj yang pemikiran dan ketokohannya banyak dikutip

dalam tulisan ini. Dari masa ini, banyak ditemukan penjelasan

historis yang menyatakan bahwa ajaran tasawuf seringkali

bertolak belakang dengan fuqaha dan karenanya dianggap

menyimpang dari ajaran Islam.

Pada tahap awal perkembangannya, tasawuf mengalami

masa formatif yang ditandai adanya beberapa aturan mistik bagi

para pengikutnya. Terdapat variasi ahwal dan maqamat untuk

mencapai ma’rifat sebagai sebab fana’. Keadaan ahwal dan

maqamat diklaim sebagai jalan untuk menemukan kebenaran

hakiki yang merupakan satu dari tiga tingkat evolusi kosmik di

samping eksoteris (shariah) dan esoteris (tarekat). Pengalaman

mistik ini tidak mengikat secara kelembagaan tetapi hanya

berlaku pada individu atau sekelompok orang yang dinyatakan

sebagai guru sufi, shaikh, atau wali Allah. Ini merupakan

perubahan kecenderungan tasawuf dalam fase ketiga saja.

Awalnya, secara intelektual dan sosial, pada umumnya tasawuf

diwakili oleh para ahli dengan kecenderungan individualistis

tanpa organisasi dan suprastruktur teoretis yang rumit, yang

hanya muncul secara bertahap. Termotivasi oleh ketidakpuasan

dengan situasi politik dan sosial di sekitar mereka, yaitu

sebagian besar ulama ortodoks dan fuqaha, tasawuf juga sebuah

gerakan menentang pembentukan legalisme, yang datang untuk

memerintah kehidupan umat Islam. Dari luar, tasawuf terlihat

tenang dan mundur. Tetapi dari dalam, tasawuf kuat dan aktif.

Eksekusi al-Hallaj merupakan manifestasi secara bertahap

meningkatkan visibilitas sufi, visibilitas yang pernah menjadi

Page 111: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

99

simbol anti-otoritarian dan perjuangan masyarakat anti-

ortodoks.202

Al-Hallaj merupakan figur sufi yang kisah dramatisnya

paling sering dibahas. Eksekusi terhadapnya melahirkan

perbincangan polemis dalam sejarah tasawuf. Bagi para

pengikutnya, ia dikenal sebagai pribadi yang rendah hati. Atas

dasar itu, banyak ditemukan cerita yang menunjukkan

karamahnya.203

Namun bagi yang menolaknya, pengalaman

mistik al-Hallaj ditafsirkan sebagai pengakuan kekurangan

dimensi spiritual.204

Ajaran al-Hallaj menjadi isu umum yang berkembang di

masyarakat pada saat itu. Konsekuensinya, banyak cercaan yang

dialamatkan terhadapnya, antara lain tuduhan sesat, kafir, bid’ah,

tukang sihir, dan bahkan dianggap gila. Tuduhan ini dapat

dipahami, sebab Islam eksoteris membedakan eksistensi Tuhan

dengan eksistensi selain-Nya secara tegas. Bahwa Tuhan berbeda

dari segala sesuatu. Dengan demikian, pandangan yang

meniscayakan adanya persatuan hamba dengan Khalik

merupakan keyakinan yang keliru. Pernyataan ‚Akulah

Kebenaran‛ berarti pengakuan dirinya sebagai Tuhan. Namun

bagi para pengikutnya, ia dianggap sebagai ahli ma’rifat, Hallaj

al-asrar, wali, atau guru mulia.

Di berbagai kota, al-Hallaj menyampaikan ajarannya

mengenai persatuan hamba dengan Tuhan. Ajarannya sulit

dipahami masyarakat awam sehingga ia tidak diterima di

202Jamal Malik and John Hinnells (ed.), Sufism in the West (New York:

Routledge, 2006), 5 203Lihat Farid al-Din At}t}ar, Muslim Saints and Mystics, trans. A. J. Arberry

(Iowa: Omphaloskepsis, 2000), 361-367. 204 Sebagaimana para sufi sezamannya, al-Ghazali melihat al-Hallaj sebagai

korban ilusi. Éric Geoffroy, Introduction to Sufism: The Inner Path of Islam. Trans. Roger

Gaetani (Bloomington: World Wisdom, Inc., 2010), 72

Page 112: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

100

masyarakat. Di Baghdad tindakannya mengantarkan dirinya pada

putusan hukuman mati dan dieksekusi secara kejam pada 29

Dhu'l-Qa'da 309 (28 Maret 9I3). Sebelum itu, menurut Farid al-

Din Attar, al-Hallaj diusir dari lima puluh kota sebagai akibat

ajarannya yang disalahpahami masyarakat. Akhirnya, diputuskan

bahwa ia harus dihukum mati atas pernyataannya, "Akulah

Kebenaran." Menurut para pendukungnya, pernyataan al-Hallaj

mesti dipahami dalam pengertian esoterik. Sementara yang

menolaknya menyatakan bahwa bagi mereka penilaian

manusiawi hanya terkait dengan hal eksoteris. Atas aduan para

pemuka agama, Khalifah memerintahkan untuk memenjarakan

al-Hallaj.205

Sebenarnya al-Hallaj bukan satu-satunya sufi yang

melahirkan ide kontroversial. Tercatat nama al-Hakim al-

Tirmidzi (dc 910) dengan konsep al-awliya khatm, al- Bistami

(w. 875) dari Khurasan, yang menyebarkan konsep fana dan

baqa, dan al-Junaid (w. 910) dengan konsep sukr dan malama.

Namun demikian, pernyataan ana al-Haq dari al-Hallaj

tampaknya dipandang sebagai klimaksnya sehingga membuatnya

kehilangan nyawa. Eksekusi dramatis al-Hallaj pada 922

merupakan refleksi dari pergumulan yang muncul secara

bertahap antara perwakilan shari’ah dan tasawuf, fuqaha dan

ulama di satu sisi serta sufi dan 'urafa di sisi lain.206

Tragedi

eksekusi al-Hallaj sangat dramatis. Menurut riwayat, al-Hallaj

dipenjarakan dengan enam belas rantai berat yang melilit di

kakinya, dipukul dengan tongkat sampai tiga ratus kali,

dilempari batu, digantung, dipotong tangan dan kakinya,

205Farid al-Din At}t}ar, Muslim Saints and Mystics, trans. A. J. Arberry (Iowa:

Omphaloskepsis, 2000), 360. 206Jamal Malik and John Hinnells (ed.), Sufism in the West, 5.

Page 113: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

101

dicungkil matanya, dipotong lidahnya, dipenggal kepalanya,

kemudian dibakar jasadnya. 207

Berdasarkan ide kontroversial para sufi, hasutan dan

penganiayaan sudah dimulai sejak awal. Ajaran mereka dinilai

berbahaya bagi keutuhan masyarakat. Fuqaha menilai bahwa

klaim spiritual beberapa individu seharusnya tidak boleh

menentang bangunan norma-norma politik-keagamaan.

Gelombang penganiayaan berlanjut sampai sufi berikutnya.

Seolah-olah fuqaha ingin memanggil seluruh manusia sebagai

saksi. Abu Sulaiman Darani dari Damaskus dan Sahl Tustari

diusir dari Tustar (Iran) karena mengatakan telah berbicara

dengan para malaikat, Bistami harus meninggalkan kotanya

karena telah membicarakan "kenaikan surgawi" nya, Abū Hamza

dibuang dari Tarsus (Turki) karena telah mengaku mendengar

suara Allah dalam lenguhan sapi, Abu Said Kharraz diusir dari

Fustat karena telah menjelaskan pengalaman mistiknya,

kemudian diusir dari Mekkah karena telah meremehkan penganut

awam, Tirmidzi dipanggil untuk menjelaskan klaim keunggulan

pengalaman sufistik dari pengalaman kenabian di depan

pengadilan, dan sebagainya. Gelombang penganiayaan tidak

hanya menyentuh mistik. Pada abad kesembilan, pertengkaran

teologis menciptakan terobosan besar antara arus rasionalistik

Mu’tazilah dengan tradisionis, yang mengarah ke represi

tambahan. Sufi Mesir Dhu al-Nun Misri, misalnya, dibawa dalam

rantai ke Baghdad untuk mempertahankan posisi teologisnya,

bukan ajaran spiritualnya.208

Dalam konsep mistisisme, pengalaman mistik para sufi

adalah mungkin, termasuk persatuan antara hamba dengan Tuhan

207Farid al-Din At}t}ar, Muslim Saints and Mystics, 361-367. 208Éric Geoffroy, Introduction to Sufism…, 74-75.

Page 114: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

102

atau hulul. Mengikuti paradigma hulul, manusia memiliki sifat

lahut (ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan). Tuhan juga

memiliki kedua sifat ini. Sifat lahut Tuhan adalah sifat yang

menunjukkan ketuhanan-Nya. Karena sifat-Nya sedemikian,

maka tidak ada orang yang yang mampu sampai pada sifat ini.

Adapun sifat nasut Tuhan adalah sifat yang dapat dipahami

manusia dan bahkan dapat memanifestasi pada manusia. Kedua

sifat dasar inilah yang memungkinkan adanya hulul atau

persatuan antara Tuhan dengan manusia, yaitu sifat ketuhanan

manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan Tuhan. Hulul terjadi

apabila manusia sudah mampu menghilangkan sifat-sifat

kemanusiaannya, yaitu fana.

Dalam hulul, dualitas khalik-makhluk menghilang. Tidak

ada yang lain kecuali Tuhan. Selama penyatuan mistik, dualitas

manusia-Tuhan menghilang. Jiwa manusia dihapuskan dan

diserap dalam Satu yang Unik.209

Dengan demikian, pernyataan

al-Hallaj yang menyatakan: ‚Ana al-Haq‛, tidak terlahir dari al-

Hallaj sebab dimensi manusiawinya sudah hilang. Menurut

William C. Chittick, pernyataan ini merupakan realisasi terakhir

dari kesaksian awal bahwa hanya Tuhanlah yang ada dan segala

sesuatu selain-Nya tidak. Segala hal yang bersifat nisbi telah

dinegasikan dan mengafirmasi keberadaan Tuhan, Tuhan

Sendiri.210Ana al-Haq adalah konsep ontologis dalam tasawuf al-

Hallaj yang menegasikan segala sesuatu selain-Nya, kecuali

Tuhan sendiri. Dalam konsep tasawuf, hal ini adalah penafsiran

konsekuensial pernyataan la mawjud illa Allah. Pendirian ini

menekankan bahwa tidak ada eksistensi yang sejati kecuali

Tuhan, bahwa Tuhan adalah satu-satunya kebenaran dalam alam

209 Dikutip dari Éric Geoffroy, Introduction to Sufism…, 74. 210 William C. Chittick, Sufism A Beginner‟s Guide (Oxford: Oneworld Book,

2008), 21.

Page 115: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

103

semesta, dan bahwa segala sesuatu berada dalam Tuhan.

Mengikuti pandangan ini, keberadaan Tuhan adalah satu-satunya

kebenaran (Haq), sehingga konsep alam semesta diciptakan

terpisah adalah kesalahan (batil).211

Tetapi bagi fuqaha, penegasan persatuan dengan Tuhan

merupakan penghinaan terhadap transendensi-Nya. Pada sisi ini,

mungkin pengalaman al-Hallaj adalah reaksi terhadap jarak

ekstrim antara Khalik dan makhluk dalam teologi Islam. Fuqaha

membebankan al-Hallaj dengan sejumlah dakwaan yang sama

dengan dakwaan terhadap Shi’ah ekstrim yang dianggap sebagai

komunitas bidah. Di samping dituduh telah mengklaim sifat

ketuhanan pada dirinya, pemikiran al-Hallaj dikaitkan dengan

gerakan politis yang dilakukan Shi’ah sekte Qaramitah212

Menunjukkan adanya inkarnasi (hulul) Allah dalam manusia,

keyakinan muslim telah dikritik Kristen, dan pentingnya

memberi makna esoteris dari ritus eksternal mereka, yang

dikhawatirkan dapat mengakibatkan pengabaian hukum dan

otoritas kenabian. Atas dasar ini, al-Hallaj dicurigai berkoalisi

dengan kelompok-kelompok Shi’ah yang mengancam kekuasaan

Abbasiyah. Ia ditangkap dan dinyatakan bersalah. Eksekusinya,

pada tahun 922, memiliki motivasi agama dan politik. Sebab sufi

yang lainnya, seperti Bistami, tidak dianggap berbahaya

sebagaimana al-Hallaj. Ini sebenarnya dapat ditolak al-Hallaj

sebab ia sendiri seorang sunni dan pernah mewakili khalifah Abu

Bakr al-Siddiq memerangi Shi’ah. Namun keinginannya untuk

211 Yusri Mohamad Ramli, “Martyrdom of al-Hallaj and Unity of the Existence:

the Condemners and the Commenders”, International Journal of Islamic Thought, June

2013,

http://www.ukm.my/ijit/IJIT%20Vol%203%202013/10%20Yusri%20Mohd%20Ramli%2

0IJIT%20Vol%203%202013.pdf, 212 Yusri Mohamad Ramli, “Martyrdom of al-Hallaj and Unity of the Existence:

the Condemners and the Commenders”

Page 116: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

104

shahid lebih kuat. Ia memilih kehidupan abadi melalui eksekusi

supaya dapat bersatu dengan Tuhan. 213

Pergumulan tasawuf dengan hukum Islam berkembang

selama puncak kekhalifahan ‘Abasiyah. Secara teologis,

penguasa ‘Abasiyah menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai

keyakinan resmi negara. Mu’tazilah mendasarkan keyakinan dan

interpretasi agama pada perspektif rasional. Dalam konteks ini,

pemikiran rasional dihadapkan pada ketajaman intuitif hati yang

menjadi paradigma tasawuf. Hal ini semakin merasionalisasi

sikap politis kontroversial penguasa ‘Abasiyah terhadap al-

Hallaj. Dengan demikian, motivasi politik dalam putusan hukum

al-Hallaj masih terkait juga dengan persoalan teologis. Di

samping itu, gejala hidup mewah para penguasa linier dengan

pertumbuhan tasawuf, yaitu sikap anti kemewahan yang

ditampilkan para sufi, antara lain al-Hallaj, menginspirasi rakyat

untuk menuntut perbaikan kehidupan dan masyarakat kepada

penguasa. Keadaan ini pada gilirannya memposisikan al-Hallaj

sebagai oposan penguasa dengan media kritik tasawuf menjadi

media kritik.

Dalam dunia tasawuf, para sufi dipandang memiliki

tingkat kesalihan spiritual melebihi manusia pada umumnya.

Dengan kualitas kesucian demikian, mereka seringkali merasakan

pengalaman batin yang juga berbeda dengan manusia

kebanyakan. Sebagian dari mereka berupaya menjelaskan

pengalaman sufistik tersebut untuk membagi kebahagiaan yang

mereka rasakan. Namun, sesuai dengan karakter bahasa mistik,

pengalaman mereka tidak dapat dipahami oleh masyarakat biasa

karena bahasa bersifat terbatas sehingga tidak dapat mewadahi

pengalaman spiritual-eksistensial. Penggunaan bahasa simbolik,

213Éric Geoffroy, Introduction to Sufism, 71-72

Page 117: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

105

metafor, dan bahasa yang seringkali berbeda dengan istilah

teknis dalam pemahaman agama eksoteris, tidak jarang

melahirkan kesalahpahaman dan bahkan melahirkan keresahan di

kalangan masyarakat. Kejadian inilah yang dialami al-Hallaj.

Ekspresi mistiknya bertabrakan dengan pemahaman tekstual

fiqih yang sudah menjadi mindset dan metodologi berpikir umat

Islam secara umum.

Sebagai akibat konflik pemahaman ajaran agama dengan

fuqaha, al-Hallaj sering ke luar dan masuk penjara atau terusir

dari satu kota menuju kota lain. Hal ini menunjukkan bahwa

pengaruh ulama fiqih lebih besar dari pengaruh kaum sufi.

Melalui fatwa fuqahalah ajaran al-Hallaj dinyatakan sesat.

Namun demikian, ia tetap teguh pada pendiriannya. Sampai

tahun 309 H/921 M, ulama memutuskan fatwa hukuman mati

bagi al-Hallaj. Hukuman mati yang dilakukan dengan cara kejam,

sebagai peringatan terhadap ulama terutama kaum sufi yang

memiliki pemahaman agama yang bertolak belakang dengan

pemahaman manusia pada umumnya.

Logika yang menyatakan bahwa putusan hukuman mati

sedemikian disebabkan perbedaan pemahaman keagamaan kaum

sufi dengan fuqaha yang mendapat dukungan penuh penguasa,

pada gilirannya menuntun pada kesimpulan adanya dominasi

metodologi pada kasus tersebut. Hanya saja, konsekuensi hukum

al-Hallaj lebih berat dari sufi lainnya sebab dominasi itu telah

meminjam tangan penguasa yang kasusnya dikaitkan dengan

gerakan politis. Berdasarkan penelusuran literatur, tampak

bahwa kematian al-Hallaj lebih dipahami dalam konteks politik

daripada teologis. Namun demikian, klaim shirk, bid’ah, atau

anti-shari’at, jelas merupakan istilah teknis dalam teologi.

Page 118: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

106

Dengan demikian, kasus al-Hallaj tetap dapat dipahami dalam

dialektikanya dengan persoalan teologis.

c. Saintisme

Sejak perkembangan metode ilmiah pada abad ke-17

merealisasi pada fisika, sains modern digunakan untuk merujuk

kepada ilmu. Menurut Leslie Stevenson dan Flenry Byefly,

kemunculan tradisi ilmiah yang merujuk pada fisika merupakan

komponen utama zaman modern yang diperkuat oleh bukti-bukti

historis.214

Pandangan ini melahirkan pro dan kontra. Bagi yang

menolaknya, sains modern, bagaimanapun dibangun dari temuan

ilmuwan paling awal, bahkan jauh sebelum Thales. Anggapan

bahwa sains lahir secara tunggal dalam peradaban Barat menjadi

titik balik lahirnya saintisme. Saintisme adalah pendirian

epistemologis yang menyatakan bahwa hanya sainslah yang

dapat mengungkapkan kebenaran atau menghasilkan

pengetahuan yang benar. Tesis ini berkaitan dengan tesis

ontologis mengenai realitas yang benar-benar ada, yaitu realitas

yang dapat ditemukan sains.215

Melalui metode yang mampu menunjukkan kebenaran

faktual yang berdayaguna dalam memberikan deskripsi, prediksi,

serta mengontrol alam secara rasional dan empirik, sains terbukti

tidak hanya handal secara metodologis tetapi pada tataran

teknikalitasnya telah melahirkan kesejahteraan material bagi

214Leslie Stevenson, Flenry Byefly, The Many Faces of ScienceAn Introduction to

Scientists, Values, and Society (Oxford: Westview Press, 2000), 5-8. 215Michael Loughlin, George Lewith, Torkel Falkenberg, "Science, Practice and

Mythology: A Definition and Examination of the Implications of Scientism in Medicine”

Health Care Analysis, ISSN 1065-3058, 06/2013, Volume 21, Issue 2, pp.130 – 145,

http://e-resources.pnri.go.id:2075/media/pq/classic/doc/2983630711/fmt/pi/rep/NONE?hl=

&cit%3Aauth=Loughlin%2C+Michael%3BLewith%2C+George%3BFalkenberg%2C+Tor

kel&cit%3Atitle=Science%2C+Practice+and+Mythology%3A+A+Definition+and+Exami

nation+of+the+...&cit%3Apub=, 131-32,

Page 119: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

107

negara yang menguasainya. Industrialisasi yang dikembangkan

negara-negara di abad 17-18 tidak lepas dari peran sains di

dalamnya.216

Prestasi inilah yang kemudian semakin

mengukuhkan pandangan yang serba sains.

Perkembangan saintisme linier dengan ditemukannya

metode saintifik yang melahirkan perspektif baru mengenai

kriteria serta nilai kebenaran ilmiah. Awal saintisme sebenarnya

dapat dilacak dari tokoh-tokoh tersebut di atas, yaitu sejak

kemunculan teori Copernican pada masa Renaissance abad ke-16

M yang bentuk sempurnanya ditemukan dalam pemikiran

Auguste Comte. Temuan ilmiah di bidang astronomi melalui

penggunaan geometri dan matematika oleh Copernicus, Kepler,

dan Galileo yang melahirkan teori heliosentris, berhasil

mengubah kepercayaan orang terhadap agama seiring tumbuhnya

pandangan dunia (worldview) yang serba saintifik dengan

berpijak pada riset empiris eksperimental. Ketika Newton

menemukan hukum gravitasi pada pergerakan benda-benda di

alam semesta, bahwa alam memiliki hukum yang pasti, maka

pergerakan alam dapat diketahui sebab-sebabnya termasuk

manusia, dan karena itu terbukti bahwa alam bersifat objektif, ini

juga telah mengubah kepercayaan manusia yang terpenjara dalam

kepercayaan religius sebab dalam kerangka Newton tidak

memberi ruang bagi kemungkinan adanya campur tangan Tuhan.

Rasionalisme Descartes dan determinisme ilmiah Spinoza pada

gilirannya semakin memperkuat pengaruh saintisme dalam alam

pikiran Barat yang merealisasi menjadi karakter khas

epistemologi Barat.

216 Mengenai peran sains, selanjutnya lihat Emery J. Hyslop-Margison dan M.

Ayaz Naseem, Scientism and Education Empirical Research as Neo-Liberal Ideology

(New York: Springer, 2007)

Page 120: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

108

Dalam konteks ini, saintisme dibangun di atas lima tesis

empirisme ilmiah, yaitu bahwa sains adalah satu, tidak ada batas

untuk sains, sains telah sangat sukses dalam melakukan prediksi,

penjelasan, serta kontrol, metode sains menghasilkan

objektivitas, dan sains telah melahirkan manfaat bagi umat

manusia.217

Atas dasar itu, lahir kemudian kepercayaan yang

berlebihan terhadap sains, sehingga sains hadir sebagai kekuatan

hegemonik terhadap perkembangan disiplin lain di luar ilmu

alam. Semua penelitian, dinilai objektif apabila memiliki desain

eksperimental. Kuatnya dominasi metode sains terhadap disiplin

lain dinilai Emery J. Hyslop-Margison dan M. Ayaz Naseem

lebih merupakan gerakan ideologis daripada gerakan

epistemologis. Menurut mereka, ideologi saintisme ini telah

menjadi tiran epistemologis yang memerintah.218

Sebagai ideologi, kepercayaan penuh terhadap sains lebih

memiliki konotasi negatif. Hal ini selaras dengan penggunaan

istilah ideologi, terutama dalam pemaknaan modern, yang

bergeser secara pejoratif, antara lain suatu keyakinan yang tidak

ilmiah. Pemaknaan ini sebenarnya terdapat dalam filsafat dan

sains yang berhaluan positivistik, yaitu menyatakan bahwa

segala sesuatu yang tidak dapat diuji secara logis dan empiris

disebut ideologi. Dengan ini, maka konsep-konsep normatif,

sistem nilai, moralitas, agama, dan sebagainya dikategorikan

pada ideologi. Menurut Franz Magnis Suseno, pandangan

demikian sebenarnya mengandung muatan ideologis. Positivisme

memberi kesan bahwa hanya pengetahuan yang kebenarannya

dapat dibuktikan secara logis empirislah yang diakui

217Tom Sorell, Scientism Philosophy and the Infatuation with Science (London

and New York: Routledge: 1991), 4. 218Emery J. Hyslop-Margison dan M. Ayaz Naseem, Scientism and Education .....,

10-11.

Page 121: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

109

keabsahannya.219

Kesan inilah yang mengukuhkan sains sebagai

ideologi.

Ideologi yang dimaksudkan di sini, sebagaimana yang

dipahami Franz Magnis Suseno, yaitu suatu teori menyeluruh

mengenai makna hidup dan/atau nilai-nilai yang melahirkan

kesimpulan mutlak mengenai cara manusia seharusnya hidup dan

bertindak. Ciri khas sebuah ideologi adalah adanya muatan

tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan.220

Ketika metode sains diklaim lebih unggul dibandingkan metode

yang lainnya, dengan sendirinya telah lahir ideologi sains atau

saintisme.

Melalui saintisme, metode ilmu alam diunggulkan di atas

semua modus lain penyelidikan manusia. Saintisme mencakup

hanya indra dan akal untuk menjelaskan fenomena dari berbagai

dimensinya, baik secara fisik, sosial, budaya, atau psikologis.

Menggambar dari empirisme umum pencerahan, saintisme paling

erat terkait dengan positivisme Auguste Comte (1798-1857),

yang memegang pandangan ekstrim empirisme, bersikeras bahwa

pengetahuan sejati dunia hanya muncul dari pengalaman

perseptual.221

Menurut Adelbert Snijders, saintisme dibedakan

dengan science. Science itu adalah ilmu sementara saintisme

merupakan filsafat. Science disebut eksperimental karena

diverifikasi melalui eksperimen, bersifat eksak, dan positif

karena objek telaahnya bersifat faktual. Pada saintisme,

kenyataan bersifat satu dimensi saja dan ini merupakan

detotalisasi karena kenyataan yang sifatnya multidimensi

219 Franz Magnis Soseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius,

1992), 230-231. 220 Franz Magnis Soseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 21. 221 Carl Mitcham, Ed. Encyclopedia of Science Vol. 4. Technology and Ethics

(Detroit: Macmillan Reference USA, 2005). p1735.

Page 122: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

110

menjadi satu dimensi.222

Pandangan ini sebenarnya sudah

melampaui filsafat. Sementara filsafat tidak pernah berhenti

mengkritisi suatu kebenaran, saintisme menutup ruang kritik

dengan meyakini satu kebenaran tunggal.

Filsafat saintisme meyakini bahwa pengetahuan yang

benar hanya dapat dibangun melalui metode sains. Metode ini

berdiri di atas dua alat epistemologi manusia, berupa rasio dan

indra. Mengikuti logika ini suatu pengetahuan dapat disebut

benar (true) jika dan hanya jika memenuhi dua syarat

pembuktian, yaitu masuk akal dan terdeteksi serta teridentifikasi

indra. Yang masuk akal harus dibuktikan oleh hasil pengamatan

dan pengukuran indrawi, sebaliknya yang teramati harus

dianalisis berdasarkan kaidah-kaidah berpikir logis. Karakteristik

pengetahuan ini merupakan karakteristik khas ilmu alam.

Menurut Tom Sorell, saintisme adalah keyakinan bahwa sains,

terutama sains kealaman, merupakan bagian pengetahuan

manusia yang palingotoritatif, serius, atau bermanfaat.223

Logika

ini kemudian melahirkan gerakan intelektual untuk

mengaplikasikan metode sains pada berbagai disiplin ilmu.

Di samping itu, sains yang diklaim lahir dalam revolusi

ilmiah Eropa selama abad XVI dan XVII ini, ditandai dengan

empat prinsip, yaitu prinsip empiris yang menekankan perlunya

observasi, eksperimen hipotesis, dan kembali ke pengamatan,

prinsip kuantitatif yang menekankan perlunya mencapai

ketepatan dalam pengukuran, prinsip mekanik yang menekankan

kebutuhan untuk merumuskan hukum umum atau persamaan

yang menggambarkan dan menjelaskan perilaku, serta prinsip

kemajuan melalui sains. Konsekuensinya, pengetahuan manusia

222 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 18. 223 Tom Sorell, Scientism Philosophy...., 1.

Page 123: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

111

mengerucut pada sains sehingga metafisika dan etika

didiskualifikasi sebagai bagian dari pengetahuan manusia, karena

tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya oleh prinsip-prinsip

saintifik.224

Bentuk saintisme semakin tegas pada positivisme

Auguste Comte di abad ke-19. Filosof dan bapak sosiologi

modern ini tidak melihat sisi ilmiah sedikitpun dari psikologi

apalagi teologi. Dalam perspektif positivistik, realitas yang riil

adalah realitas positif atau faktual saja. Saintisme tidak hanya

memengaruhi bentuk ilmu sosial, tetapi terlihat juga dalam ilmu

ekonomi (mekanisme pasar Adam Smith), biologi (teori evolusi

Darwin), psikologi (pemikiran Freud yang ikut menyosialisasikan

penolakan manusia modern kepada peranan kesadaran), atau

pada simplifikasi materialisme dialektik atau historis yang

memberikan deskripsi tentang gap di antara kekuatan-kekuatan

ekonomi dalam masyarakat berdasarkan analisis kelas serta

pengaruhnya terhadap kegiatan sosial, termasuk kebudayaan.

Epistemologi yang dikembangkan Barat memengaruhi

konstruk berpikir ilmuwan dunia sejalan dengan pengenalan dan

sosialisasi sains dan teknologi. Epistemologi tersebut dijadikan

acuan pengembangan pemikiran di negaranya sehingga dengan

sendirinya menjadi terbaratkan terutama dalam hal mempersepsi

pengetahuan. Padahal epistemologi mestinya dijadikan sarana

penalaran yang dapat mewujudkan dinamika pemikiran bukan

menjadi sarana penyeragaman cara-cara berpikir. Kondisi ini

menunjukkan terjadinya imperialisme epistemologi Barat

terhadap masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Islam.225

224 Shiping Hua, Scientism and Humanism Two Cultures In Post-Mao China

(19781989), (New York: State University of New York, 1995), 10. 225 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional

Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005), 42-43.

Page 124: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

112

Di antara contoh warna dominan epistemologi Barat dalam kerja

ilmiah ilmuwan Islam, dapat dilihat dari literatur yang mereduksi

entitas metafisika ke dalam dataran logis-empiris atau fenomena

sosial.

3. Implikasi Problem Singularisme Metode Ilmiah Islam

a. Hierarki Ilmu

Dalam Islam, singularisme metode tidak merealisasi

pada penolakan ekistensi metode lain sebagaimana terjadi di

Barat tetapi mengambil pola hierarkis. Pola ini memposisikan

metode-metode secara bertingkat sesuai kualifikasinya masing-

masing. Standar kualifikasi ini pada gilirannya berpengaruh pada

klaim objektif disiplin ilmu yang dibangunnya. Hierarki metode

dalam sains, terlihat dalam sistem klasifikasi ilmu dalam sains.

Di Barat, klasifikasi ilmu versi Comte menempatkan Ilmu Alam

pada tingkat pertama yang terdiri dari Astronomi, Ilmu Bumi,

dan Kimia; Ilmu Organik yang terdiri dari Biologi, Fisiologi, dan

Psikologi; dan Ilmu Sosial atau tepatnya Fisika Sosial.226

Dalam perspektif al-Ghazali, secara hierarkis ilmu terdiri

dari ilmu religius dan ilmu intelektual.227

Yang termasuk ke

dalam kategori ilmu religius adalah ilmu usul dan ilmu furu’.

Ilmu usul terdiri dari Ilmu Tauhid, ilmu yang berkaitan dengan

kenabian, eskatologi, dan sumber ilmu religius. Adapun ilmu

furu’ terdiri dari tiga kelompok keilmuan. Kelompok pertama

adalah ilmu yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu ilmu tentang

ritual dan ibadah dalam agama. Kelompok kedua adalah ilmu

226 G W Trompf, “The Classification of the Sciences and the Quest for

Interdisciplinarity: a Brief History of Ideas from Ancient Philosophy to Contemporary

Environmental Science”, Interdisciplinary Progress (Jun 2011),http://e-

resources.pnri.go.id:2057/docview/869235261?pq-origsite=summon, 227 Untuk selanjutnya, lihat al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat dalam Majmu„at

Rasa‟il (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 226.

Page 125: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

113

yang berkaitan dengan hak hamba, yaitu ilmu tentang transaksi

dan kewajiban kontraktual. Kelompok ketiga adalah kelompok

yang berkaitan dengan hak jiwa, yaitu ilmu akhlak. Adapun yang

termasuk kategori ilmu rasional adalah Matematika, Logika,

Fisika, dan Metafisika. Matematika terdiri dari Aritmatika,

Geometri, Astronomi dan Astrologi, serta Musik, Fisika terdiri

dari Kedokteran, Arkeologi, Mineralogi, dan Kimia, sedangkan

metafisika terdiri dari Ontologi, Teologi, Anggelologi, ilmu

tentang dunia halus, dan kenabian.

Berdasarkan hierarki tersebut, disebutkan bahwa ilmu

yang paling utama, tinggi, dan sempurna adalah ilmu tauhid.

Karena itu, ilmu tauhid menjadi ilmu yang wajib diikuti oleh

semua manusia.228

Di tempat lain, al-Ghazali menjelaskan alasan

hierarki ilmunya dengan memberi contoh pada ilmu tauhid, fiqh,

dan kedokteran. Hierarki ilmu didasarkan pada kebahagiaan

menemui Tuhan. Tampaknya al-Ghazali melihat ilmu tauhid

sebagai ilmu mukashafat sebab kajian utama ilmu ini adalah

tentang sifat-sifat Allah dan malaikat-Nya. Ilmu mukashafat

disebut ‘ilm al-aqsa atau ilmu yang paling tinggi derajatnya.

Ilmu yang lain hanya sebagai cabang atau pengantar sekalipun

keberadaannya bukan berarti tidak penting. Ilmu fiqh berada di

bawah ilmu tauhid sebab kajian ilmu ini hanya menyangkut

aspek formal agama, yaitu mengenai Islam, ibadah, serta

persoalan halal haram tidak sampai pada esensinya, seperti

penyucian jiwa. Adapun alasan penempatan ilmu kedokteran di

bawah ilmu fiqh, al-Ghazali mendasarkan pendapatnya pada tiga

hal. Pertama, fiqh merupakan ilmu yang bersumber secara

langsung dari para nabi, sementara ilmu kedokteran merupakan

ilmu indrawi yang diperoleh melalui eksperimen. Kedua, ilmu

228Al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat, 224.

Page 126: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

114

kedokteran hanya dibutuhkan oleh orang sakit, sementara ilmu

fiqh dibutuhkan oleh semua orang baik yang sakit maupun yang

sehat. Ketiga, ilmu fiqh berposisi sebagai pendamping ilmu tariq

al-akhirat, sementara ilmu kedokteran hanya bertugas menjaga

kesehatan badan tidak berhubungan secara langsung dengan

persoalan-persoalan agama.229

Tampaknya al-Ghazali membuat hierarki ilmu

berdasarkan fungsi ilmu tersebut. Ketinggian suatu ilmu dilihat

dari fungsinya yang secara langsung dapat mendekatkan diri

kepada Tuhan. Jika berfungsi sebaliknya, maka ilmu tersebut

berada di pada hierarki terrendah. Semakin tinggi nilai

fungsional suatu ilmu, kewajiban mencarinyapun semakin tinggi

atau dinilai fardu ‘ain. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu

berdasarkan fungsinya kepada ilmu yang penting dan ilmu yang

tidak penting. Ilmu yang penting ada yang bersifat fardu ‘ain ada

yang bersifat fardu kifayat.230

Kriteria penting al-Ghazali pada suatu ilmu tampaknya

dinilai berdasarkan kondisinya, tidak berdasarkan jenis ilmunya.

Sebab jenis ilmu yang ditunjuk al-Ghazali pada klasifikasi fardu

‘ain dan fardu kifayat adalah sama, yaitu ilmu mu’amalat dan

ilmu mukashafat. Ilmu-ilmu tersebut menjadi bernilai fardu ‘ain

atau fardu kifayat berdasarkan pada kondisi kepentingannya.

Pada kondisinya tersebut, maka seseorang harus mendahulukan

ibadah fardu ‘ain sebelum fardu kifayat.231

Dalam konteks hierarki ilmu, al-Ghazali mempertalikan

kebahagiaan dengan sarana ilmiahnya. Menurutnya, kebahagiaan

terbagi pada kebahagiaan absolut dan kebahagiaan sementara.

229Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum (Mesir: Al-Mat}ba‟ah al-Husainiyah al-

Mis}riyah, 1322 H), 43-5 230 Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 35 231 Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 39.

Page 127: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

115

Disiplin yang menjadi sarana kebahagiaan ilmiah terdiri dari

Ilmu Alam, Matematika, Ilmu Politik, dan ilmu ketuhanan.

Kebahagiaan absolut adalah kebahagiaan yang berjangka panjang

dan tidak berakhir. Adapun kebahagiaan sementara adalah

kebahagiaan yang dibatasi oleh kondisi tertentu, yaitu sarana

ilmiah yang diperoleh melalui sophistry, orasi, debat, dan syair.

Disiplin ilmiah yang menjadi sarana kebahagiaan absolut di atas,

dirinci berdasarkan tujuannya. Tujuan ilmu alam adalah

mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan alam fisik

berkaitan dengan komposisi dan karakteristiknya, mengenai

tumbuh-tumbuhan, hewan, barang tambang, penyakit, serta

temperamen yang baik atau yang rusak. Sebagaimana alam

merupakan pelayan dan pembantu bagi manusia, demikian

halnya dengan ilmu alam bagi manusia. Disiplin Matematika

terdiri dari Teknik, Ilmu Hitung, Logika, dan Astrologi. Ilmu

Teknik bertujuan untuk mengetahui panjang, kuantitas, dan

ukuran-ukuran sebagai alat bantu. Logika bertujuan untuk

membedakan hal-hal rasional dari hal-hal indrawi serta

membedakan argumentasi yang meragukan dari yang

meyakinkan. Sedangkan Astrologi bertujuan mengetahui

pergerakan bintang-bintang, galaksi dan hukum-hukumnya.

Disiplin Politik lebih bertujuan untuk menata jiwa untuk meraih

kemanfaatan serta menghindari madharat. Adapun ilmu

ketuhanan bertujuan untuk mengetahui Tuhan, malaikat-Nya,

kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, serta hari akhirat.232

Sebagaimana disebut sebelumnya, keempat disiplin

tersebut diposisikan al-Ghazali dengan interpretasi hierarkis,

yaitu ilmu alam sebagai disiplin terendah dan ilmu ketuhanan

232 Al-Ghazali, “Mi‟raj al-Salikin” dalam Majmu„at Rasa‟il(Beirut: Dar al-Fikr,

1996), 87-8.

Page 128: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

116

sebagai disiplin tertinggi. Dalam al-Risalat al-Ladunniyat, al-

Ghazali menyatakan bahwa pengetahuan yang paling mulia,

utama, dan tinggi adalah pengetahuan mengenai Tuhan. Ilmu

tersebut, yaitu Ilmu Tauhid, merupakan disiplin ilmu yang paling

utama, tinggi, dan sempurna. Dengan segala keutamaan yang

dimiliki ilmu tauhid, maka ilmu tauhid merupakan disiplin

penting yang harus dipelajari oleh setiap orang yang berakal.

Menurut al-Ghazali, hadith Nabi yang mewajibkan setiap muslim

untuk menuntut ilmu, juga hadith yang mewajibkan menuntut

ilmu sampai ke negeri Cina, sebenarnya berkaitan dengan ilmu

tauhid.233

Selanjutnya, al-Ghazali membedakan ilmu pada ilmu

duniawi dan ilmu ukhrawi. Ilmu mu’amalat dan ilmu mukashafat

sebagaimana dikemukakan sebelumnya, merupakan bagian dari

ilmu ukhrawi. Ilmu mu’amalat berorientasi praktis, yaitu untuk

diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Sementara ilmu

mukashafat dipelajari supaya pengetahuan ma’rifat terbuka tanpa

upaya praktis. Ilmu mukashafat bersifat esoteris dan merupakan

puncak segala ilmu serta merupakan tujuan semua ilmu, sebab

semua ilmu bertujuan sebagai media pendekatan diri kepada

Tuhan.234

Ilmu mukashafat merupakan limpahan cahaya ke dalam

hati setelah dibersihkan dari segala jenis kotoran sifat-sifat

tercela. Melalui riyadat, maka terbukalah hakikat segala yang

ada, misalnya mengetahui hal yang akan terjadi, mendengar

sesuatu yang akan disebut, membaca sesuatu yang belum jelas,

mengetahui rahasia diciptakannya dunia dan akhirat, mengetahui

rahasia kenabian, mengetahui esensi hati dalam

233Al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat, 224. 234Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 39.

Page 129: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

117

keterhubungannya dengan alam metafisik. Pada intinya, ilmu

mukashafat merupakan ilmu mengenai Dzat Tuhan, sifat-sifat

dan perbuatan-Nya, serta pengetahuan mengenai hakikat hari

kiamat yang selama ini dipahami secara beragam. Ilmu

mukashafat adalah terbukanya tabir-tabir alam ghaib dari hati

seseorang sehingga sinar al-Haq akan tampak dengan jelas. Di

pernyataan terakhir diketahui bahwa ilmu mukashafat ini

terletak dalam hati yang bersih dari segala kotoran hati berupa

sifat-sifat rendah dan tercela yang menjadi penghalang ma’rifat

kepada Tuhan.235

Ilmu ini diperoleh setelah melakukan penyucian

jiwa. Semakin besar upaya pemurnian jiwa pada seseorang,

semakin mampu untuk melihat cahaya Tuhan serta memperoleh

pengetahuan yang benar.236

Berdasarkan upayanya, ilmu terbagi pada tiga tingkatan.

Pertama ilmu perbekalan, misalnya Ilmu Fiqih yang berkaitan

dengan kemaslahatan sosial. Kedua, ilmu yang dimanfaatkan

untuk menyucikan hati dari sifat buruk serta akibat yang muncul

darinya. Ketiga, ilmu tentang sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat

para malaikat. Dalam konteks ilmu mukashafat, ilmu dalam

kategori terakhir disebut al-Ghazali sebagai ilmu yang paling

tinggi derajatnya. Ilmu selainnya, hanya berfungsi sebagai

pengantar dan cabang ilmu yang bersumber dari ilmu

mukashafat. Ilmu mukashafat disebut memiliki derajat paling

tinggi sebab dapat mengantarkan pada kebahagiaan sejati, yaitu

bertemu Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan hanya mungkin

dicapai melalui ilmu mukashafat.237

235 Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 40-41. 236Imtiaz Ali Zain, “Al-Ghazali And Schopenhauer of Knowledge And

Suffering”, Philosophy East and West57.4 (Oct 2007): 409-419, http://e-resources

.pnri.go.id:2057/docview/216884473?pg-orisite=summon, 237Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 43.

Page 130: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

118

Hierarki ini, memiliki kemiripan dengan versi Ibn Sina

dan Suhrawardi, yaitu memposisikan mistisisme sebagai ilmu

yang paling tinggi tingkatannya.238

Namun pada sistem

klasifikasi ilmu al-Farabi, dikemukakan lima kategori ilmu yang

disusun secara hierarkis. Linguistik ditempatkan pada hierarki

tertinggi, kemudian setelah itu ditempatkan ilmu logika,

matematika, fisika dan metafisika, serta ilmu politik, fiqh, dan

ilmu kalam.239

Dalam klasifikasi tersebut, al-Farabi tidak

memposisikan ilmu agama pada posisi teratas.

Meminjam istilah dikotomis ilmu agama dan ilmu

umum, al-Farabi lebih menekankan superioritas ilmu umum

daripada ilmu agama. Berdasarkan argumentasi yang

dikemukakan al-Farabi dalam bukunya, tampak bahwa al-Farabi

menaruh perhatian pada basis metodologis atau tingkat

kedalaman bukti. Dengan ini, derajat suatu ilmu dinilai lebih

tinggi dibandingkan ilmu yang lain apabila validitasnya dapat

dipertanggungjawabkan secara logis dan metodologis. Penekanan

al-Farabi terhadap metode pembuktian didasarkan pada

pendapatnya bahwa bukti merupakan argumen atau penalaran

sebagai sarana untuk membangun ilmu. Konsepnya mengenai

metode pembuktian tertuang dalam teori logisnya, khususnya

silogisme. Sementara pada al-Ghazali, ilmu agama ditempatkan

pada posisi paling tinggi. Hal ini selaras dengan keberpihakan

metodologis al-Ghazali pada metode ‘irfani.

238 Mehdi Aminrazavi, “How Ibn Sinian is Suhrawardi‟s theory of

knowledge?”,Philosophy East and West53.2 (Apr 2003), http://e-

resources.pnri.go.id:2057/docview/216883274?pg-origsite=summon, 239 Al-Farabi, Ihs}a„ al-„Ulum tahqiq: Usman Amin (Kairo: Maktabah Angel al-

Mis}riyyat, 1968), 53

Page 131: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

119

b. Hierarki Metode Ilmiah dan Alat Ilmu

Secara metodologis, hierarki ilmu versi al-Ghazali

ternyata memiliki korelasi logis dengan metode ilmiah yang

digunakan untuk membangun ilmu. Menurut al-Ghazali, ada dua

cara yang digunakan pengkaji ilmu untuk memeroleh ilmu.

Pendekatan pertama melalui pengindraan dan penalaran, dan

pendekatan kedua melalui bimbingan ketuhanan. Pendekatan

kedua terjadi melalui dua cara, yaitu penyampaian wahyu atau

melalui ilham. Bimbingan wahyu disampaikan Tuhan kepada

para nabi secara langsung yang disebut ilmu nabawi, sementara

ilham diberikan kepada orang-orang yang telah suci serta

memiliki daya kesiapan yang disebut ilmu ladunni. Di antara

ilham dan wahyu, wahyu memiliki tingkat keilmuan yang paling

mulia.240

Namun apabila dibandingkan dengan ilmu yang

dihasilkan melalui eksperimen dan penalaran rasional,

pengetahuan ilham lebih mulia sebab ilham diperoleh secara

langsung dari Tuhan.

Berdasarkan kekuatan metode ilmiah yang digunakan

untuk mengkonstruksi ilmu, secara bertingkat metode ilmiah

dimulai dari metode observasi yang merupakan metode andalan

sains, metode rasional yang secara dominan digunakan dalam

filsafat, dan metode intuitif yang merupakan ciri khas metode

dalam tasawuf. Di antara ketiga metode tersebut, metode intuitif

diklaim sebagai metode yang paling objektif. Metode intuitif

memiliki akses langsung dengan Tuhan sehingga akan

menghasilkan ilmu yang objektif secara absolut sebab bersumber

secara langsung dari Tuhan, yaitu ilmu ladunni.

Ibarat kilauan cahaya dari lentera ghaib yang jatuh pada

hati yang suci, ilmu ladunni diperoleh tanpa ada media lain dari

240 Al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat, 230-1

Page 132: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

120

Tuhan. Semua ilmu pada dasarnya merupakan hasil pengetahuan

di dalam esensi jiwa makro. Namun sebagaimana adanya hierarki

pada dataran wujud, maka pengetahuan juga memiliki hierarki.

Akal makro lebih utama daripada jiwa makro. Jiwa makro lebih

mulia daripada seluruh makhluk. Dari pancaran akal makro,

lahirlah wahyu. Dari emanasi jiwa mikro melahirkan ilham.

Sebagaimana kedudukan jiwa berada di bawah akal, maka

kedudukan ilham berada di bawah wahyu. Ilham lebih lemah

daripada wahyu, tetapi melebihi kekuatan mimpi.241

Pada ilmu ladunni, ilham mengalir setelah melalui proses

penyempurnaan jiwa. Dari sudut pandang ini, maka ilmu dapat

diklasifikasi berdasarkan derajatnya sebab ilmu merupakan

proses pembenaran terhadap sesuatu disertai bukti yang jelas.

Sementara pengalaman pribadi mengenai keadaan yang sama

disebut dzawq. Adapun penerimaan berdasarkan ucapan dan

pengalaman orang lain disebut iman. Tiga hal tersebut

(pembenaran empiris, pengalaman langsung, dan penerimaan)

merupakan tingkatan pengetahuan.242

Pandangan ini memiliki korelasi dengan pemikiran

hirarkisnya mengenai alat ilmu yang berupa indra, akal, dan hati.

Pertama al-Ghazali memulai penyelidikannya pada kekuatan

indra. Supaya keberadaan yang konkret diyakini sebagai

keberadaan yang niscaya, al-Ghazali melakukan perenungan

mendalam terhadapnya. Ketika ilmu empiris tidak menjaminnya

dari keraguan, telaah epistemologis kemudian beralih pada

pengetahuan rasional yang mendasarkan diri pada kekuatan akal.

Lagi-lagi pengetahuan filsafatpun menjebaknya dalam keraguan.

Keraguan al-Ghazali mengenai validitas pengetahuan rasional

241 Al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat, 232 242 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 555.

Page 133: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

121

berlangsung selama dua bulan. Kemungkinan adanya keadaan

yang berada di luar wilayah akal ditawarkan oleh kaum sufi.

Menurut kaum sufi, ketika memusatkan mata batin diketahui ada

realitas yang tidak sesuai dengan laporan akal. Kemungkinan

alam ini akan dicapai setelah kematian. Ketika seseorang mati,

segala sesuatu akan tampak berbeda, karena kepadanya

disingkapkan penutup mata yang menyebabkan tajamnya

penglihatan seseorang (QS Qaf: 22).243

Menurut Kamarudin,

mata batin tersebut dapat menangkap objek spiritual secara

langsung dan segera. Dunia spiritual yang ditangkap mata batin

ini disebut ilmu huduri, ilmu ladunni, atau ilmu ilhami.

Pengetahuan ini bersifat imanen pada setiap orang namun hanya

mengaktual pada sufi karena mereka mengalami secara langsung

melalui cahaya kenabian.244

Dinyatakan al-Ghazali kemudian bahwa kesembuhannya

dari penyakit ragu tidak lahir melalui penyusunan bukti atau

pengumpulan dalil. Menurutnya, pencapaiannya terhadap ilmu

hak semata karena Allah, yaitu Allah telah memasukkan cahaya

yang merupakan kunci sebagian besar pengetahuan.245

Sampai di

sini, sebenarnya al-Ghazali telah sampai pada pengalaman

eksistensial sebagai bentuk lain pengungkapan kebenaran di

samping bukti empiris dan argumentasi logis. Kebenaran suatu

ilmu hanya dapat diperoleh melalui cahaya Tuhan. Untuk jenis

pengetahuan ini, manusia harus memiliki kesiapan menerimanya,

sebab cahaya itu memancar sewaktu-waktu.246

243 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 538-9. 244 Kamarudin Haji Salleh, “An Examination on the Nature of al-Ghazali Sufism”,

Islamiyyat 17, (1996), 57, http://journalarticle.ukm.my/7643/1/4028-9284-1-SM.pdf, 245 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 539 246 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 540

Page 134: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

122

Pada al-Ghazali, selain menegasikan prinsip kausalitas

ini, validitas sains untuk mengkonstruksi teori saintifik yang

tidak terbantahkan, juga diragukan. Sains berpotensi salah, sebab

alat epistemologinya, yaitu indra, bersifat terbatas. Di samping

itu, dalam hierarki alat epistemologi, al-Ghazali menempatkan

indra sebagai alat yang pertama diciptakan Tuhan untuk

manusia. Wilayah yang dapat dijangkau indra merupakan

wilayah pengetahuan yang paling dasar dan sederhana.247

Namun keilmuan empiris atau sains tidak menjaminnya

dari keraguan. Keraguannya melahirkan analisis mengenai alat

epistemologi yang digunakan untuk mengkonstruksinya. Sumber

paling kuat dari sains adalah mata. Laporan mata dinilainya

berpotensi pada kesalahan. Bayangan dilaporkan mata tidak

bergerak padahal yang terjadi sebaliknya. Mata melihat bintang

sebagai benda yang sangat kecil, namun dalil geometri kemudian

membuktikan bahwa bintang ternyata lebih besar dari bumi.248

Indra terbagi pada dua kategori, yaitu daya motorik

(muharrikat) dan daya mempersepsi (mudrikat). Daya motorik

ada yang bersifat eksoterik dan ada yang bersifat esoterik. Daya

eksoterik pada daya tangkap yaitu daya pendengaran,

penglihatan, penciuman, perasaan, dan perabaan. Adapun daya

esoterik terdiri dari daya imajinasi, daya ilusi, dan daya

refleksi.249

Daya imajinasi berfungsi mengendapkan gambaran-

gambaran materi yang dilihat mata setelah pemejaman dan

keterputusan hal yang terjangkau indra. Daya ini disebut juga

indra bersama (al-hiss al-mushtarak). Daya ilusi berfungsi

menangkap makna-makna tanpa gambar dan materi. Melalui

247 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 556 248 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 538-9. 249 Al-Ghazali, Mi‟raj al-Salikin, 58.

Page 135: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

123

daya ini, seekor kambing misalnya, dapat menangkap makna

negatif dari seekor serigala yang mengharuskannya untuk

menghindar. Pada kasus lain, seekor anak domba mengetahui

kasih sayang sang induk terhadapnya sehingga ia bermanja

dengannya. Adapun daya refleksi, berfungsi menyusun gambar-

gambar sebagaimana kerja alat penganyam. Daya penggerak

mempunyai dua kemungkinan fungsi, yaitu menstimulus gerak

serta melakukan gerak. Daya stimulan adalah daya hasrat

kerinduan yang ketika menemukan sesuatu akan menyukai atau

membencinya. Daya ini menstimulasi daya gerak untuk

melakukan tindakan.250

Dengan fungsi-fungsi yang dimiliki daya indra, maka

wilayah indra terbatas pada wilayah fisikal saja (mahsusat).

Berdasarkan wilayah dan fungsinya tersebut, secara implisit

menunjuk pada keterbatasan indra untuk mengetahui

pengetahuan di luar fungsi dan wilayahnya. Dalam konteks ini,

al-Ghazali menyatakan bahwa alat epistemologi yang pertama

diciptakan adalah indra, kemudian akal, dan selanjutnya dzawq.

Yang pertama diciptakan bagi manusia adalah indra

peraba. Dengan indra peraba manusia memahami kelas dan

kategori wujud tertentu, seperti dingin, panas, kering, basah,

kasar, halus, dan sebagainya. Ini adalah wilayah yang diketahui

alat peraba, maka di luar wilayah ini, seperti warna dan suara,

merupakan wujud yang tidak diketahui alat indra peraba. Setelah

itu diciptakan indra penglihatan untuk memahami warna dan

bentuk. Warna dan bentuk merupakan wilayah indrawi yang

paling luas. Setelah itu dibuka untuknya pendengaran sehingga

dapat mengenali suara dan nada. Diciptakan pula baginya indra

perasa. Dengan indra-indra tersebut manusia dapat melampaui

250 Al-Ghazali, Mi‟raj al-Salikin, 58.

Page 136: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

124

dunia indrawi.251

Dalam Mi’raj al-Salikin, al-Ghazali

menempatkan daya indra sebagai tangga pertama dalam

pendakian menuju Tuhan, yaitu daya fungsional tubuh. Ini dapat

pula dipahami bahwa indra merupakan alat epistemologi pertama

yang berfungsi memahami pengetahuan yang mendasar.

Adapun wilayah yang dapat diketahui akal meliputi

empat kategori, yaitu disiplin ma’qulat (rasional), mahsusat

(fisikal), maqbulat (resepsional), dan mashurat (eminental).

Disiplin ma’qulat (rasional) adalah hal abstraktif seperti dua hal

yang berlawanan tidak dapat mengada secara bersama-sama.

Seperti dikatakan bahwa satu benda tidak dapat disebut bergerak

dan diam pada waktu yang sama, satu sebelum dua, bahwa hal

yang hadith bersifat temporal, dan lain-lain. Disiplin mahsusat

(fisikal) adalah hal yang dapat diketahui melalui pengindraan,

seperti perbedaan rasa, warna, dan sentuhan, serta perbedaan

antara hal-hal yang didengar, dicium, dan dirasa. Disiplin

maqbulat (resepsional) adalah hal-hal yang diperoleh melalui

pemberitaan baik dari satu atau beberapa orang yang adil dan

terpercaya. Adapun disiplin mashurat (eminental) adalah adat-

adat yang kembali pada adat istiadat manusia, negeri, bangsa,

dan masa.252

Keempat kategori tersebut memiliki karakteristik

masing-masing. Disiplin ma’qulat (rasional) ketentuan hukum

akalnya tidak dapat berubah. Adapun disiplin mahsusat (fisikal),

sekalipun hukum akalnya tidak berubah tetapi tidak menutup

kemungkinan terjadi kekeliruan yang disebabkan oleh kelemahan

alat indra. Disiplin maqbulat (resepsional) dan mashurat

(eminental) tidak bersifat tetap karena adat istiadat pada suatu

251 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 556. 252 Al-Ghazali, Mi‟raj al-Salikin, 89-90.

Page 137: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

125

komunitas senantiasa berbeda. Dengan karakteristiknya yang

khas, maka masing-masing batasan definitifnya tidak dapat

dipertukarkan.253

Hukum-hukum atau teori-teori ilmiah yang dibentuk akal

bersifat pasti, terutama jika dibandingkan dengan teori-teori

ilmiah yang dibentuk indra. Kepastian teori ilmiah yang dibentuk

akal, dapat dilihat dari contoh-contoh teori yang dikemukakan

al-Ghazali. Teori bahwa suatu hal tidak mungkin lama dan

sekaligus baru, ada sekaligus tiada, atau pernyataan yang benar

sekaligus salah, adalah teori yang bersifat pasti. Contoh lainnya

adalah ketentuan hukum bahwa ketika sesuatu dibolehkan, maka

kebolehan itu ditentukan pada hal sejenis. Bahwa dengan

maujudnya yang lebih khusus, maka yang lebih umum menjadi

wajib al-wujud. Jika ada hitam, maka pasti ada warna, jika ada

manusia maka pasti ada hewan, tidak sebaliknya. Adanya warna

tidak mengharuskan adanya hitam sebagaimana adanya hewan

tidak mengharuskan adanya manusia.254

Akal memiliki dua kekuatan, yaitu daya praktis dan daya

teoretis. Daya praktis berfungsi sebagai basis gerak badan pada

keterampilan-keterampilan tertentu. Sementara daya praktis

berfungsi menangkap hakikat-hakikat ilmu yang bersifat abstrak

yang merupakan wilayah yang khas bagi akal.255

253 Al-Ghazali, Mi‟raj al-Salikin, 90. 254 Al-Ghazali, “Mishkat al-Anwar” dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-Fikr,

1996), 273. 255 Al-Ghazali, Mi‟raj al-Salikin, 58. Al-Ghazali memberikan makna akal dengan

dua pengertian. Pertama, dimaknai sebagai pengetahuan mengenai hakikat segala sesuatu.

Dalam konteks ini, term akal digunakan untuk merujuk pada sifat ilmu yan tersimpan

dalam hati. Kedua, dimaknai sebagai sifat memahami dan mengerti hal yang diketahui

(pengetahuan). Di sini, akal adalah sinonim kalbu yang merupakan lat}ifah yang menjadi

jati diri manusia sebagai unsur pemahaman dan pengetahuan manusia mengenai hakikat

sesuatu. Adakalanya akal digunakan sebagai konotasi hati jasmani dalam dada manusia.

Hal ini karena antara hati jasmani dana lat}ifah „alimah memiliki hubungan khusus.

Lat}ifah „alimah berhubungan dengan seluruh anggota tubuh melalui kalbu jasmani. Kalbu

Page 138: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

126

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, wilayah akal

merupakan wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh indra sebab

karakter fungsional indra hanya dapat memahami wilayah

fungsionalnya sendiri. Ketidakmampuan indra untuk memahami

wilayah fungsional akal, dijadikan dasar argumentasi bagi al-

Ghazali mengenai kelemahan indra dibanding akal.

Mata, sebagai salah satu alat indra yang paling dominan

dalam mengkonstruksi pengetahuan, dinilai al-Ghazali memiliki

banyak kelemahan. Mata dapat melihat sesuatu yang lain tapi

tidak dapat melihat dirinya. Mata tidak dapat melihat objek yang

lebih jauh atau sebaliknya yang lebih dekat. Mata tidak dapat

melihat objek dibalik hijab. Mata hanya dapat melihat objek luar

dari sesuatu, tidak pada esensi dan kedalamannya. Mata hanya

dapat mengetahui sebagian dari eksistensi yang dilihatnya. Mata

hanya dapat melihat sisi yang terbatas dari suatu eksistensi tidak

pada jangkauan akhirnya. Di samping itu, mata juga seringkali

memberikan informasi yang tidak tepat atau terjebak pada

kesalahan, seperti terlihat kecil padahal besar, tampak dekat

padah jauh dekat, seperti bergerak padahal diam atau sebaliknya.

Mata manusia yang tersucikan dari kesalahan sedemikian adalah

akal.256

Dengan demikian, akal lebih tinggi tingkatannya

dibanding indra.

Kelebihan akal dibandingkan indra, sebab akal

diciptakan setelah indra untuk mengetahui wilayah lain yang

tidak dapat dijangkau indra. Menurut al-Ghazali, pada usia tujuh

tahun diciptakan bagi manusia kemampuan untuk membedakan

(tamyiz). Penciptaan tamyiz merupakan tahapan keberadaan

jasmani merupakan naluri tubuh sekaligus pusat seluruh gerakan tubuh. Al-Ghazali,

“Rawdah al-T}alibin wa „Umdah al-Salikin”, dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-

Fikr, 1996), 114. 256 Al-Ghazali, “Mishkat al-Anwar”, 270-271.

Page 139: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

127

manusia mampu memahami wujud-wujud non indrawi. Pada

tahap berikutnya diciptakan akal yang berfungsi memahami hal-

hal wajib, mungkin, mustahil, serta persoalan yang tidak

ditemukan dalam tahapan sebelumnya.257

Selanjutnya, al-Ghazali menderivasi bentuk-bentuk

kekurangan indra dibanding akal pada tujuh hal yang tidak dapat

diketahui indra. Pertama, mata tidak dapat melihat dirinya

sementara akal mampu melihat diri sekaligus sifat-sifatnya.

Kedua, tidak seperti mata, akal dapat melihat objek yang paling

jauh atau sebaliknya. Bagi akal, jauh dekat adalah sama. Akal

dapat naik sampai ke langit tertinggi dan dapat turun ke perut

bumi paling dasar. Ketiga, mata tidak dapat melihat objek

dibalik hijab, sementara akal mampu melihat objek bahkan

objek-objek dibalik hijab langit. Keempat, mata hanya mampu

melihat sisi artifisial dari suatu objek, sementara akal mampu

mengetahuinya sampai level hakikat. Akal mampu menembus

sampai di kedalaman objek dan rahasianya, mengetahui hakikat

dan dimensi spiritualnya, sehingga mampu menyimpulkan sebab-

sebab, kausa-kausa, dan hukum-hukumnya. Kelima, mata hanya

dapat melihat sebagian eksistensi tetapi tidak dapat mengetahui

sebagian besar eksistensi yang diketahui alat indra selainnya

yang merupakan batas eksistensi yang paling rendah. Sementara

wilayah akal meliputi seluruh eksistensi. Akal mampu menembus

seluruh eksistensi serta menjustifikasi keberadaan mereka secara

objektif. Rahasia eksistensi yang tertutup bagi indra dapat

diketahui akal. Keenam, mata tidak dapat melihat objek secara

tak terbatas kecuali atribut-atribut material yang sudah diketahui

keterbatasannya. Sebaliknya, akal mampu mengetahui dunia

imateri yang tak terbatas. Ketujuh, jika mata melihat objek yang

257 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 556.

Page 140: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

128

besar sebagai kecil, akal dapat mengetahui bahwa objek tersebut

sebenarnya berukuran besar, sebagaimana besarnya ukuran

bintang dan matahari yang dilihat kecil oleh indra. Akal

mengetahui gerak dalam diam yang diketahui mata.258

Namun demikian, bagi al-Ghazali akal bukan alat yang

dapat mengetahui segala sesuatu tanpa kecuali. Ada wilayah

yang tidak dapat diketahui akal, yaitu pengalaman eksistensial

yang melebur distingsi objek-subjek ke dalam satu kenyataan

tunggal. Wilayah ini hanya dapat diketahui oleh dzawq. Alat

epistemologi ini merupakan alat yang paling tinggi mengatasi

indra dan akal. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan al-

Ghazali mengenai tingkatan penciptaan alat epistemologi.

Tahapan setelah akal adalah tingkatan tersingkapnya

‚mata ‘’ain‛ yang memiliki kemampuan melihat yang

tersembunyi, mengetahui sesuatu yang akan terjadi di masa

depan, dan lain-lain. Pada tahap ini, akal tidak mampu

memahaminya sebagaimana kekuatan tamyiz tidak mampu

memahami dunia rasional yang dipahami akal, serta sebagaimana

kekuatan indra tidak mampu memahami dunia tamyiz.259

Berdasarkan batasan wilayahnya, seseorang yang hanya

mampu memahami dunia rasional, pasti akan menolak wilayah

yang diketahuinya. Karena itulah sebagian orang yang hanya

memiliki kekuatan akal akan menolak hal-hal yang hanya dapat

dipahami oleh kekuatan kenabian kemudian menganggapnya

sebagai kemustahilan. Padahal, penolakannya sebenarnya karena

ia belum mencapai tahapan tersebut. Dalam persepsinya hal

tersebut tidak ada sebagaimana orang buta sejak lahir yang

258Al-Ghazali,“Mishkat al-Anwar, 271-272. 259 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 556

Page 141: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

129

belum pernah mendengar sesuatu mengenai warna dan bentuk.

Maka ia akan sulit menerima penjelasan mengenai keduanya.260

Mengenai kasus di atas, al-Ghazali mengemukakan

contoh pada peristiwa kenabian yang tidak dapat dipahami akal.

Keraguan mengenai peristiwa kenabian berkaitan dengan tiga

hal, yaitu kemungkinannya, kebenaran kejadiannya, dan

kebenaran kenabian seseorang. Bukti kemungkinannya adalah

bukti keberadaannya. Bukti keberadaannya adalah pengetahuan

di alam yang tidak dapat dicapai hanya dengan akal, seperti ilmu

kedokteran dan astronomi. Kedua ilmu tersebut tidak akan

dicapai melalui percobaan, tetapi melalui ilham dan taufiq dari

Allah. Misalnya, gejala astronomi yang hanya terjadi setiap

seribu tahun sekali serta khasiat obat-obatan. Dari pembuktian

tersebut maka dimungkinkan ada jalan lain untuk memahami

persoalan yang tidak dapat diketahui akal, yaitu kenabian.

Kebenaran peristiwa kenabian hanya dapat dimengerti melalui

dzawq dengan menempuh jalan tasawuf atau melalui hal yang

dialami orang kebanyakan, yaitu peristiwa mimpi. Adapun

kebenaran kenabian seseorang dapat dibuktikan dengan

pengetahuan mengenai ciri-ciri, baik secara langsung maupun

melalui jalur periwayatan atas biografinya. Dengan pengetahuan

ini, akan diketahui kebenaran kenabian seseorang sebagaimana

seorang dokter dan seorang faqih dikenali dan dibedakan

berdasarkan pengetahuan mengenai keduanya. Ciri-ciri kanabian

sangat banyak, namun ciri utama seorang nabi dapat dilihat dari

ketakwaannya.261

Namun demikian, kebenaran hakiki peristiwa

kenabian hanya dapat dipahami melalui dzawq. Mengenai

penyaksian langsung dalam dzawq (mushahadat), al-Ghazali

260 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 556 261 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 557

Page 142: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

130

mengumpamakannya seperti menyentuh dengan tangan. Dzawq

hanya terdapat pada jalan para sufi.262

Dalam terminologi filsafat

Islam, dzawq merupakan sinonim untuk hati, ruh, atau al-nafs al-

mutma’innat.

Dalam perspektif al-Ghazali, hati tidak merujuk pada

segumpal darah sebagaimana pada orang mati atau binatang-

binatang, tetapi merupakan suatu rahasia (sirr) di antara berbagai

rahasia Tuhan yang tidak dapat diindrai. Hati yang merupakan

rahasia Tuhan adalah hati yang dapat membuka tabir segala

sesuatu sebab ia merupakan unsur yang termasuk pada persoalan

ilahiyah. Karena itu, hati dapat berjalan menuju al-hadrat al-

rububiyat.263 Dengan demikian, alat epistemologi dalam

perspektif al-Ghazali diposisikan sebagai peringkat, dimulai dari

indra yang menempati peringkat terendah, kemudian akal, dan

selanjutnya hati yang menempati peringkat tertinggi.

B. Corak Positivistik dalam Tradisi Keilmuan Islam

1. Tradisi Penelitian

Metode ilmiah modern menuntut kesetiaan pada

fakta serta objektivitas yang tahan uji. Di luar fakta,

objektivitas tidak mungkin tercapai. Kriteria ilmiah merujuk

pada pengetahuan faktual subjek. Konsekuensinya, metode yang

dipakai adalah "induktif-verifikatif" dengan pola kerja observasi,

eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif. Penerapan

metode dan pola kerja tersebut berlaku untuk semua eksistensi

termasuk manusia, sebab sebagaimana sifat alam, sifat

historisitas manusia dipandang natural dan linier. Dengan ini,

diasumsikan bahwa seluruh realitas di alam berjalan menurut

262 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal, 558 263 Al-Ghazali, Fatihat al-„Ulum, 44.

Page 143: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

131

hukum alam (law of nature). Penelitian sosial diarahkan untuk

meramalkan perkembangan sejarah berdasarkan hukum alam

tersebut. Inilah yang mendasari penerapan metode induktif-

verifikatif terhadap ilmu sosial dan sejarah. Pada perkembangan

selanjutnya, terdapat kecenderungan penggunaan metode ilmu

alam dalam penelitian ilmu agama. Penggunaan metode sains ini

didasarkan pada klaim objektivitas sebagai syarat sah sebuah

konstruksi ilmu.264

Sains yang diklaim lahir dalam revolusi ilmiah Eropa

selama abad XVI dan XVII ini, ditandai dengan empat prinsip,

yaitu prinsip empiris yang menekankan perlunya observasi,

eksperimen hipotesis, dan kembali ke pengamatan, prinsip

kuantitatif yang menekankan perlunya mencapai ketepatan

dalam pengukuran, prinsip mekanik yang menekankan kebutuhan

untuk merumuskan hukum umum atau persamaan yang

menggambarkan dan menjelaskan perilaku, serta prinsip

kemajuan melalui sains. Konsekuensinya, pengetahuan manusia

mengerucut pada sains sehingga metafisika dan etika

didiskualifikasi sebagai bagian dari pengetahuan manusia, karena

tidak dapat dibuktikan benar atau salahnya oleh prinsip-prinsip

saintifik.265

Di antara contoh warna dominan epistemologi Barat

dalam kerja ilmiah ilmuwan Islam, untuk kasus Indonesia, dapat

dilihat dari literatur yang mereduksi entitas metafisika ke dalam

dataran logis-empiris. Dalam tulisan yang secara khusus

membahas metode penelitian, M. Sayuthi mendeskripsikan

264 Ichwan Supandi Azis, Karl Raimund Popper Dan Auguste Comte (Suatu

Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi) Jurnal Filsafat, Desember 2003,

Jilid 35, Nomor 3, h 255 http://www.orientalscholar.com 265 Shiping Hua, Scientism and Humanism Two Cultures In Post-Mao China

(19781989), (New York: State University of New York, 1995), 10.

Page 144: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

132

bentuk-bentuk penelitian agama berdasarkan tujuan penelitian,

sumber data, dan jenis data. Berdasarkan tujuan penelitian,

bentuknya dapat bersifat eksploratif, deskriptif, historis,

korelasional, eksperimen, dan kuasi eksperimen. Berdasarkan

sumber data, bentuk penelitian dapat berupa penelitian lapangan

dan kepustakaan. Berdasarkan jenis data, penelitian agama dapat

berupa penelitian kuantitatif dan kualitatif.266

Penekanan agama sebagai fenomena sosial dapat dilihat

dari tulisan Imam Suprayogo dan Tobroni. Agama dapat diteliti

dengan mengunakan pendekatan dan metode sains (scientific

method), karena pada tulisan tersebut agama diposisikan sebagai

gejala atau fenomena sosial.267

Fakta yang disebut Cecep

Sumarna sebagai penjajahan epistemologi disebabkan tidak

semua dimensi agama dapat dibedah melalui pendekatan logis-

empiris, misalnya pendekatan yang digunakan untuk

membuktikan keberadaan Tuhan.268

Setiap kelompok keilmuan memiliki karakteristik yang

berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan pendekatan

penelitian, teknik pengumpulan data, serta metode ilmiahnya

masing-masing. Ilmu alam dibangun di atas asumsi

determinisme, yaitu bahwa fenomena alam terjadi secara kausal

dan bersifat tetap. Berdasarkan asumsi ini, ilmu alam bertujuan

mencari hukum-hukum yang bekerja di alam dan metode sains

yang menggabungkan logika deduktif induktif serta tahapan

analisisnya menjadi relevan. Daya deskripsi, prediksi, serta

kontrol sains sejalan dengan kepentingan ilmu alam untuk

266 M. Sayuthi, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori & Praktek

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 20-68. 267 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 24. 268 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu Dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-

Rasional Teistik (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 89.

Page 145: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

133

memahami, menguasai, serta mengontrol alam. Tetapi

keterandalan metode ilmiah untuk ilmu alam ini bukan berarti

akan bersifat handal juga jika diterapkan untuk penelitian dalam

disiplin ilmu lain yang dalam penelitian ini mengemukakan

filsafat dan tasawuf di samping sains. Ilmu yang dibangun di atas

pilar positivistik pun, yaitu ilmu sejarah serta ragam keilmuan

yang bersifat praktis (politik atau sosiologi) menganggap bahwa

metode sains tidak relevan untuk diterapkan dalam wilayah

keilmuannya. Ilmu sejarah bertujuan untuk mengungkap makna,

sementara ilmu yang bersifat praktis bertujuan untuk

membangun kehidupan yang manusiawi. Fakta disrelevansi

metode sains untuk sosiologi serta ilmu parktis tersebut dapat

dilihat dari kritik tokoh-tokoh modern sendiri terhadap metode

sains, antara lain Karl R. Popper (1902-1994), Thomas S. Kuhn,

Richard Rorty (1931–2007), dan Paul Feyerabend (1924-1994).

Karl Raimund Popper menolak prinsip verifikasi atau

pengujian dan pembuktian teori melalui fakta melainkan proses

falsifikasi. Di samping itu, sebagai proses deduktif, sains tidak

dimulai dari observasi tetapi dari teori.269

Kuhn menolak

pandangan yang menyatakan prinsip akumulasi ilmu. Banyak

269Menurut Popper pendekatan induktif dalam sains memiliki beberapa kecacatan.

Pertama, metode induktif tidak dapat menjamin generalisasi yang benar secara absolut.

Fakta bahwa sesuatu telah terjadi di masa lalu, tidak menjamin bahwa fakta yang sama

akan terjadi dengan cara yang sama di masa depan. Dengan demikian, hukum-hukum alam

yang digeneralisasikan dari peristiwa tertentu atau fakta di dunia adalah keliru dan sia-sia.

Masalah induksi menyiratkan bahwa setiap teori yang dibangun tidak pernah dapat

dibuktikan secara ilmiah, tetapi difalsifikasi. Kedua, sains tidak dimulai dari observasi

tetapi dimulai dari usulan teori tentang suatu masalah. Sains bukan merupakan proses

induktif, melainkan deduktif. Ilmuwan mengidentifikasi masalah tertentu, mengusulkan

teori untuk menyelesaikannya, kemudian berusaha memalsukan teori-teori ini. Fakta tidak

digunakan untuk membuktikan teori dan tidak dianggap sebagai sumber hukum umum

alam, melainkan digunakan untuk menyimpulkan apakah suatu teori memberikan

kebenaran pengetahuan tentang dunia pada saat ini atau tidak. Sains tidak dimulai dari

observasi, tetapi dalam penempatan teori di sekitar masalah. Phil Parvin, Karl Popper

(New York: The Continuum International Publishing Group Inc, 2010), 36-39.

Page 146: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

134

keyakinan ilmiah di masa lalu terbukti salah. Ini membuktikan

bahwa tidak ada teori yang berlaku secara mutlak. Ilmuwan

selalu mendasarkan kerja ilmiahnya di bawah payung paradigma

tertentu. Kondisi normal pada sains kemudian mengalami krisis

dengan adanya anomali yang menuntun kelahiran revolusi

sains.270

Richard Rorty menolak gagasan objektivitas dalam sains

dengan mengemukakan ide filosofis pengetahuan sebagai

representasi, sebagai cerminan mental dunia pikiran yang

eksistensinya bersifat eksternal. Dengan teori ini, Rorty

meruntuhan gagasan Cartesian mengenai legitimasi subjek yang

mengkonstruksi pengetahuan.271

Paul Feyerabend menolak

prinsip metode ilmiah tunggal karena bersifat membatasi

aktivitas dan kemajuan ilmiah. Menurutnya, tidak ada aturan

metodologis yang selalu digunakan ilmuwan. Jika berorientasi

pada kemajuan, maka pedoman ilmiah yang baku mesti

ditinggalkan sebagaimana yang telah dilakukan Covernicus.

Mempertahankan klaim universalitas melalui penggunaan

metode tunggal dalam situasi sejarah hanya akan mencegah

revolusi ilmiah.272

Namun demikian, kritik yang dilancarkan oleh tokoh-

tokoh tersebut di atas bukan berarti imperialisme epistemologis

modernisme berakhir. Secara filosofis, pengagungan terhadap

metode sains dianggap tidak memiliki landasan filosofis yang

ajeg serta tidak didukung oleh bukti empiris. Namun pada

praktiknya, kerja ilmiah masih sangat didominasi oleh metode

sains. Imperialisme ini bahkan telah berlangsung selama 300

270 Alexander Bird, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen Publishing Limited, 2000),

209-210. Untuk lebih jelasnya, lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific

Revolutions (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1996). 271 Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (New Jersey: Princeton

University Press, 1979) 272 Paul Feyerabend, Against Method (London: New Left Books, 2002), 14-19

Page 147: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

135

tahun. Klaim universal pada metode sains dengan sendirinya

mengesampingkan cara mengetahui dengan alternatif metode

lain sebab dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara

saintifik.

2. Realisasi Bangunan Keilmuan Islam: Kasus Filsafat

Pendidikan Islam

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tengah

terjadi imperialisme epistemologis dalam struktur pengetahuan

dunia, tidak terkecuali dalam bangunan keilmuan Islam.

Imperialisme ini tidak hanya terjadi di wilayah epistemologis

tetapi juga di wilayah ontologis. Secara ontologis, terdapat

kajian ilmu keislaman filosofis yang menjadikan teori dan

perspektif filsafat barat sebagai landasan penelaahannya. Fakta

ini, antara lain ditemukan dalam struktur Filsafat Pendidikan

Islam. Mata kuliah yang seharusnya merepresentasikan bangunan

teori dalam Ilmu Pendidikan Islam, terbingkai oleh perspektif

pemikiran tokoh filsafat Barat. Upaya untuk menunjukkan nilai

filosofis penelaahannya, selain tidak relevan juga mengaburkan

eksistensi ilmu keislamannya.

Hakikat filsafat pendidikan Islam tentu saja merupakan

filsafat. Namun sebagai bagian dari ilmu keislaman, substansi

filsafat pendidikan Islam memokuskan diri pada Islam. Jadi

derivasi rasionalnya, filsafat pendidikan Islam merupakan

turunan dari filsafat Islam, bukan filsafat Barat. Ontologi

keilmuannya harus merupakan bagian dari materi keislaman.

Epistemologi keilmuannya mestilah mestinya merupakan produk

dari Filsafat Islam.

Berdasarkan paradigma keilmuan yang membangunnya,

filsafat Barat tidak mungkin melahirkan filsafat pendidikan

Page 148: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

136

Islam. Dengan demikian, pengutipan teori filsafat Barat menjadi

payung yang berkontradiksi dengan nilai-nilai Islam. Secara

genetis, Filsafat Pendidikan Islam tidak memiliki keterkaitan

dengan tradisi filsafat Barat manapun. Hal ini bukan berarti

pengutipan pemikiran Barat menjadi sesuatu yang dilarang,

pengutipan teori apapun menjadi sah sejauh memiliki relevansi

dengan konteks pengutipannya. Berikut adalah contoh kasus

irelevansi dalam bangunan Filsafat Pendidikan Islam.

Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam, Ramayulis

mendefinisikan filsafat sebagaimana perspektif filosof Yunani

yang sifat kebenarannya sepenuhnya bergantung pada nalar

manusia. Bahwa filsafat pendidikan merupakan cara untuk

mengatur dan menerangkan nilai pencapaian tujuan pendidikan

berdasarkan analisis filosofis. Filsafat Pendidikan Islam

didefinisikan dengan kajian berbagai pemikiran komprehensif

dan radikal mengenai pendidikan yang didasarkan pada ajaran

Islam.273

Di beberapa tempat ia kembali mengutip pemikiran

filosof barat untuk memberi basis filosofis tema yang dikaji.

Kajian tampak tidak linier dengan dasar filosofisnya. Hal

demikian karena filsafat pendidikan dengan filsafat Pendidikan

Islam adalah dua sistem filsafat yang berbeda, dan bahwa filsafat

pendidikan Islam hanya mungkin dilahirkan dari filsafat Islam.

Djunatul Munawaroh dan Tanenji mengawali kajiannya

dengan mengatakan bahwa Filsafat pendidikan secara umum dan

filsafat Islam secara khusus adalah bagian dari ilmu filsafat. Di

bagian lain ia mengatakan bahwa filsafat pendidikan

menganalisis ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah

yang nyata dan rasional. Hal yang kontradiktif lainnya adalah

273 Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem Pendidikan

Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), 1-4.

Page 149: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

137

pernyataan bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan bagian

dari filsafat Islam dan bagian dari ilmu pendidikan. Sehingga

filsafat pendidikan Islam memiliki peran dalam pengembangan

filsafat Islam.274

Kontradiksi ini dikarenakan filsafat Islam

berbeda dengan filsafat pada umumnya. Keduanya dibangun

dalam ruang, waktu, serta pendirian filosofis yang berbeda.

Sebagai kajian filsafat pendidikan dalam perspektif Islam dan

umum. Penulis menyajikan pemikiran filsafat Barat, yaitu

materialisme, idealisme, aliran serba ruh, dan aliran dualisme.

Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa ide-ide filsafat

pendidikan tersimpul dalam teori hukum empirisme, nativisme,

dan konvergensi.275

Namun sangat disayangkan bahwa tidak

seorangpun ditampilkan tokoh serta pemikiran filosof muslim.

Pola yang sama terdapat dalam buku filsafat pendidikan

yang lainnya. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan hal yang

fatal bagi bangunan keilmuannya. Menurut al-Shaybani, filosof

pendidikan berperan dalam merancang proses dan usaha

pendidikan berbasis hikmah, menyiapkan generasi muda dan

warga negara yang beriman serta memahami sifat-sifat alam

dengan benar, dan memperkenalkan ciri-ciri dan nilai-nilai yang

dimilikinya dalam hidup.276

Sebagai filsafat pendidikan Islam,

maka bangunan keilmuannya pastilah diderivasi dari sumbernya

yang paling asasi, yaitu Alquran dan Sunnah. Dengan kalimat

lain, Filsafat Pendidikan Islam mesti menjadikan Alquran dan

Sunnah sebagai basis teoretisnya yang paling utama. Atas dasar

itulah mengapa pengutipan pemikiran filosof barat merupakan

274 Lihat Djunatul Munawaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan Perspektif Islam

dan Umum (Jakarta: UIN Jakarta Press, 3003), 1, 10, 19. 275 Djunatul Munawaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan..., 51-52. 276 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta:

Logos, 1998), 75. Lihat juga Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah

Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 28-29.

Page 150: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

138

sesuatu yang fatal bagi ilmu keislaman sebab mendasarkan

konstruk teoretisnya pada sesuatu yang tidak terlahir dari

Alquran dan Sunnah.

Untuk menunjukkan titik beda antara pemikiran filsafat

Barat dengan filsafat Islam, pada bab sebelumnya dikemukakan

sekilas tentang hakikat pemikiran sistem filsafat tersebut. Pada

intinya, secara keseluruhan bertentangan dengan nilai

fundamental Islam. Empirisme bukan hanya berpendirian bahwa

sumber pengetahuan adalah pengalaman melalui pencerapan alat

indra, tetapi juga mengemukakan dengan sangat sistematis

ketidakmungkinan wilayah metafisik dijadikan sebagai sumber

ilmu dengan menyatakan bahwa konsep-konsep metafisis

merupakan hasil rekayasa akal. Konsep tabula rasa yang sepintas

terlihat ada kemiripan dengan konsep fitrah dalam Islam, pada

kenyataannya berbeda sama sekali.

Dalam filsafat Islam terdapat sejumlah tokoh yang

dikategorikan filosof idealis, empirisis, rasonalis, eksistensialis,

maupun esensialis. Sekalipun semua filosof muslim tersebut

hampir tidak pernah mengutip satu ayat Alquran pun atau

Sunnah, namun pemikiran mereka tidak lepas dari sumber asasi

tersebut. Pemikiran mereka memiliki justifikasi islaminya sebab

pemikiran mereka disinari oleh kedua sumber tersebut sehingga

sekalipun dikategorikan pada sistem filsafat yang sama namun

pemaknaannya sangat berbeda. Pemikiran filosof inilah yang

mestinya diadaptasi ke dalam sistem filsafat pendidikan Islam.

Sekalipun demikian, hal tersebut bukan berarti tidak ada

tulisan relevan mengenai filsafat pendidikan Islam sama sekali.

Ada di antara penulis yang mulai berusaha menggali teori-teori

dalam filsafat pendidikan Islam dari sumbernya yang relevan,

yaitu dari filsafat Islam melalui pemikiran filosof muslim, seperti

Page 151: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

139

pada tulisan Muhammad Kosim yang berjudul Pemikiran

Pendidikan Islam Ibn Khaldun. Tulisan tersebut

merepresentasikan pokok-pokok pemikiran Ibn Khaldun dalam

Muqaddimah mengenai hakikat manusia, tujuan pendidikan

Islam, kurikulum, metode pendidikan, pendidik dan peserta

didik, serta lingkungan pendidikan kemudian menganalisis

relevansi keenam unsur pendidikan tersebut dalam konteks

pendidikan di Indonesia.

Page 152: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

140

Page 153: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 141 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB IV

TRANSFORMASI EPISTEMOLOGIS PLURALISME

METODE ILMIAH: ANTARA PARADIGMA SAINS

ISLAM DAN SAINS INTEGRATIF

Istilah paradigma dipopulerkan Thomas Kuhn, yang

kemudian dipahami menjadi worldview.277

Dalam konteks

pemikiran Kuhn, paradigma adalah pencapaian ilmiah yang

memiliki dua karakter esensial, yaitu kebaruan sehingga dapat

menghindarkan persaingan di antara komunitas ilmuwan

penganut mengenai cara melakukan kegiatan ilmiah, dan

keterbukaan sehingga setiap masalah diserahkan kepada

kelompok praktisi ilmu yang ditetapkan kembali untuk

dipecahkan.278

277 Menurut George Ritzer, paradigma adalah seluruh sistem kepercayaan, nilai,

serta teknik yang digunakan bersama oleh sekelompok komunitas ilmuwan. George Ritzer,

Sosiologi Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 5 278 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, The University Of

Chicago Press, Chicago, 1996, h. 10.

Page 154: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

142

Meminjam istilah paradigma untuk menganalisis gagasan

sains Islam dan sains integratif memang belum sepenuhnya dapat

diterapkan. Hal demikian karena ada beberapa konsep kunci

dalam istilah paradigma yang digagas Kuhn yang

direpresentasikan oleh gagasan sains Islam dan sains integratif,

seperti konsep sains normal, anomali, krisis, atau sains

revolusioner. Konsep kunci yang sudah terbakukan akan tampak

kurang matching dengan gagasan sains Islam atau sains integratif

yang usianya relatif muda. Namun demikian, penulis tetap

meminjam istilah paradigma sebagai alat analisis dengan

pertimbangan bahwa terdapat hal-hal spesifik dari gagasan sains

Islam dan sains integratif yang dapat diidentifikasi berdasarkan

konsep-konsep kunci yang dimiliki sebuah paradigma.

Berdasarkan pemahaman terhadap paradigma

sebagaimana dikemukakan di atas, dalam konteks itulah

paradigma pluralisme metode ilmiah dibicarakan. Pluralisme

metode ilmiah adalah sebuah penawaran terhadap keberadaan

gagasan baru di tengah-tengah gagasan yang menjadi diskursus

ilmuwan sebelumnya sebagai bentuk transformasi atau shifting

gagasan. Hal demikian karena perubahan, transformasi, atau

pergeseran dalam sebuah paradigma adalah sebuah keniscayaan.

Pluralisme metode ilmiah adalah teori baru sebagai bentuk

revolusi dari paradigma sebelumnya, yaitu paradigma sains Islam

dan paradigma sains integratif.

Dengan menggunakan istilah paradigma, Kuhn

mengemukakan bahwa beberapa kasus praktik ilmiah nyata yang

diterima menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-

tradisi tertentu dari suatu riset ilmiah. Tradisi-tradisi inilah yang

oleh sejarawan dilukiskan dengan astronomi Ptolemeus,

Page 155: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

143

dinamika Aristoteles, optika korpuskular, dan sebagainya.279

Dalam penelitian ini, paradigma yang akan ditawarkan adalah

pluralisme metode ilmiah.

Dalam perspektif Thomas Kuhn, pada ilmu seringkali

terjadi perumusan ulang paradigma yang kemudian menghasilkan

perubahan-perubahan mendasar pada paradigma itu sendiri.

Perubahan tersebut terjadi karena adanya penemuan-penemuan

atau fakta-fakta baru yang menuntut penciptaan teori baru.

Proses ini disebut fase ‚revolusi sains‛. Revolusi ini lahir jika

paradigma lama mengalami krisis karena kegagalan ilmu

sehingga mengakibatkan penghancuran paradigma secara besar-

besaran. Kuhn menyatakan bahwa revolusi ilmu terjadi jika

paradigma yang ada tidak lagi berfungsi ketika digunakan untuk

mengeksplorasi suatu aspek dari alam.280

Sekalipun tampaknya tidak terlalu tepat memposisikan

istilah pluralisme metode ilmiah sebagai paradigma, terutama

karena penulis menyandingkan temuan ilmiah sebelumnya adalah

paradigma sains Islam dan sains integratif. Namun demikian,

penulis mencoba mendeskripsikannya dalam kerangka pemikiran

yang bersifat rasional. Dengan demikian, dalam hal-hal tertentu

gagasan ini dapat dipertanggungjawabkan.

A. Paradigma Sains Islam

Gagasan sains Islam mengemuka seiring kritik terhadap

sains modern. Sains modern yang diklaim telah mengantarkan

peradaban manusia pada fase positif, telah melahirkan sains yang

secara metodologis merujuk pada metode saintifik yang

kemudian menghasilkan berbagai revolusi sains seperti revolusi

279 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, h. 10. 280 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, h. 66-67.

Page 156: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

144

informasi, revolusi genetika, dan sebagainya. Dengan kemajuan

sains dan sekaligus melahirkan kemudahan teknis bagi manusia,

penggunanya dapat bekerja berdasarkan prinsip efektivitas dan

efisiensi. Karena itu, di era modern, kesejahteraan dapat dengan

mudah dinikmati selama seseorang memiliki kemampuan untuk

mengakses ilmu serta menguasai teknologi.281

Namun kemajuan sains pada aspek teknis, berimplikasi

pada kemunduran pada aspek lain. Bukti yang seringkali disebut

untuk kasus ini adalah kerusakan lingkungan, berkurangnya

keanekaragaman hayati, materialisme praktis, militerisme,

despiritualisme, depsikologisme, dehumanisasi, dan sebagainya.

Keterasingan manusia dari dimensi humanitasnya

mengakibatkan epistemologi modern dinilai tidak memiliki

keberpihakan pada kemanusiaan. Netralitas sains yang diusung

modernisme melahirkan malapetaka fisik sekaligus fsikis. Secara

fisik terdapat problem mulai insektisida sampai evolusi genetika,

malapetaka atomik, dan sebagainya. Secara psikis, isme yang

terlahir dari landasan filsafat yang inhern dalam sains telah

melahirkan manusia tanpa wajah kemanusiaan.

Kritik terhadap sains dapat dipetakan pada ranah

ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara geneologis, ilmu

dibangun di atas landasan humanisme, rasionalisme, empirisme,

dan positivisme. Keseluruhan landasan tersebut dinilai turut

bertanggungjawab. Karakter sekular yang menempatkan manusia

sebagai pusat sejarah di satu sisi serta nilai-nilai sakral agama di

sisi yang terpisah, yang menjadikan agama, Tuhan, nilai, dan

norma pada peran yang sama sekali tidak signifikan, dinilai

memiliki andil yang kuat dalam membidani sains yang berpihak

281 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik-

Rasional Teistik (Bandung: Benang Merah Press, 2005), h. 3-4.

Page 157: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

145

pada kemanusiaan. Demikian halnya dengan rasionalisme yang

menutup kemungkinan epistemologi lain selain epistemologi

rasional, atau empirisme yang hanya memercayai epistemologi

empiris, pada gilirannya mereduksi realitas serta pengalaman

manusiawi lainnya. Semua landasan ini menyatu dalam filsafat

positivisme yang menyaratkan standar ilmiah pada tahap

positivis dengan pada dimensi faktualitas dari suatu objek.

Secara ontologis, sains membatasi wilayah

penelaahannya pada realitas empirik. Sains dinilai bersifat

parsial-reduksionistik terhadap realitas yang berimplikasi pada

sikap abai pengembangnya terhadap kemungkinan negatif

penerapannya. Secara epistemologis, sains yang unsur konstitutif

metodisnya terdiri dari rasionalisme dan empirisme dinilai lemah

dalam mengkonstruksi realitas sebab sains menolak

kemungkinan kebenaran lain selain yang rasional dan faktual.282

Secara aksiologis, penerapan sains dinilai sudah ke luar dari

hakikat tujuan diciptakannya. Sains berkembang menjadi subjek

yang mengendalikan manusia yang sejak era humanisme

mengklaim dirinya sebagai subjek pengendali sejarah.

Dalam kerangka paradigma sebagaimana yang diteorikan

Kuhn, era yang digambarkan telah melahirkan berbagai problem

bagi kemanusiaan adalah gambaran fase anomali. Sains berada

pada fase ini sebab keberadaannya tidak lagi sejalan dengan

tujuan penciptaannya. Adapun era di mana praktisi ilmu

282 Dengan cara ini, hakikat metode sains yang digambarkan Stanley M. Honer

dan Thomas C. Hunt bersifat mekanistik, hanya menunjukkan hubungan kausal dari setiap

benda, tetapi tidak dapat menjelaskan hakikat eksistensialnya. Hal demikian karena

verifikasi ilmiah pada dasarnya bersifat pragmatis. Prinsip relativitas yang diakui ilmu,

sebenarnya dapat dijadikan alasan untuk berpaling kepada metode-metode yang lain.

Stanley M. Honer dan Thomas C. hunt, “Metode Dalam Mencari Pengetahuan:

Rasionalisme, Empirisme Dan Metode Keilmuan”, dalam Jujun S. Suriasumantri

(Penyunting), Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,

Yayasan Obor, Jakarta, Cet. 16, 2006, h. 109.

Page 158: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

146

mempertanyakan dan mengkritik hampir seluruh konstruksi dasar

keilmuan yang sudah mapan dan baku pada zaman modern

merupakan gambaran fase revolusioner. Dalam kasus Islam, fase

revolusioner sains mengilhami lahirnya gagasan sains Islam

sebagai paradigma baru.

Bagi para pendukungnya, islamisasi sains terjadi karena

mode pengembangan ilmu didominasi oleh mode epistemologi

modern yang merupakan representasi filsafat positivisme dengan

penekanan kuat pada empirisme dan rasionalisme. Dalam Islam,

kedua sumber pengetahuan ini diiakui validitasnya. Namun Islam

juga mengakui adanya sumber lain selain pengalaman empiris

dan rasional, yaitu pengalaman batin. Pengalaman yang disebut

terakhir diakui keberadaannya sejalan dengan keberadaan potensi

mengetahui yang dimiliki manusia di samping indra dan akal,

yaitu hati. Dengan demikian, penolakan Islam terhadap

epistemologi positivisme pada dasarnya tidak menolak sistem

epistemologi tersebut secara keseluruhan. Hanya saja, asumsi

yang mendasari pengembangan ilmu dalam Islam berbeda dengan

asumsi pengembangan ilmu perspektif positivisme. Nilai

ketuhanan dalam epistemologi Islam menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari struktur ilmu yang dibangunnya. Perbedaan

asumsi inilah yang kemudian, pengembangan ilmu dalam Islam

tampak sangat berbeda dengan pengembangan ilmu perspektif

positivisme.

Perbedaan asumsi tersebut menjadikan pengembangan

ilmu yang didominasi oleh epistemologi positivisme dianggap

tidak relevan dengan karakter serta kebutuhan masyarakat

muslim. Sains positivisme terpapar paham sekularisme,

utilitarianisme, materialisme, dan pragmatisme. Dalam Islam,

paham ini tidak sesuai dan justru bertentangan dengan nilai-nilai

Page 159: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

147

fundamental yang dibawanya. Atas dasar itu, gagasan islamisasi

ilmu kemudian mengemuka.

Secara eksternal, gagasan islamisasi sains dapat

dipahami dalam konteks posisi dunia Islam dalam konstelasi

supremasi global yang keberadaannya tertinggal jauh dari yang

dicapai oleh umat beragama lainnya. Analisis ini dikemukakan

Nurcholish Madjid dengan menunjuk penganut Protestan di

Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru; oleh

penganut Katolik Romawi di Eropa Selatan, dan Amerika

Selatan; oleh penganut Katolik Ortodoks di Eropa Timur; oleh

penganut Yahudi Israel; oleh penganut Hindu di India; oleh

penganut Budhist-Konfusianis di Cina, Korea Selatan, Taiwan,

Hongkong, dan Singapura; oleh penganut Budhist-Taois di

Jepang, dan oleh penganut Budha di Thailand. Menurutnya, umat

Islam masih lebih rendah kemajuan ilmu dan teknologinya

daripada umat agama besar lainnya.283

Kemajuan peradaban barat

ini direspon oleh sebagian kalangan melalui pembaharuan Islam

dengan pola westernisasi. Dalam konteks ini, islamisasi ilmu

dapat pula dikatakan sebagai respons terhadap reformasi model

westernisasi. Model reformasi yang banyak menuai kritik karena

lebih mencerminkan karakter inferior umat Islam alih-alih

menunjukkan identitasnya secara total.

Gagasan islamisasi sains dikemukakan Seyyed Hossein

Nasr melalui tulisannya Science and Civilization in Islam dan

Sacred Science. Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan

Muhammad Naquib al-Attas yang secara formal dikemukakan

dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam yang diselenggarakan

di Mekkah pada 1977. Gagasannya tentang formulasi islamisasi

283 Lihat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2001),

21

Page 160: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

148

sains lebih jelas dalam bukunya yang berjudul Islam and

Secularism (1978) dan The Concepts of Education in Islam A

Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980).

Gagasan Islamisasi ilmu Muhammad Naquib al-Attas ini

memperoleh respon positif Isma’il Raji al-Faruqi. Istilah

islamisasi ilmu yang dinyatakan memiliki akar historisnya sejak

masa Nabi, dikembangkan dalam kerangka epistemologi pada

tahun 70-an. Islamisasi digagas untuk membangun kembali

peradaban Islam karena fakta perbedaan mendasar antara sistem

keilmuan dalam peradaban Barat dengan Islam baik pada tataran

ontologi dan epistemologi.

Secara sederhana, islamisasi berarti proses

mengislamkan ilmu. Definisi tersebut mengasumsikan bahwa

ilmu yang dikembangkan Barat tidak sejalan dengan ajaran Islam

sehingga perlu diislamkan. Perspektif ini dianut oleh sebagian

orang yang bersikap apriori karena kemajuan ilmu pengetahuan

di Barat tidak menjadikan Barat lebih beradab, bahkan dinilai

telah mengalami alienasi oleh pengetahuan dan teknologi yang

dikembangkannya. Gagasan Islamisasi Ilmu lahir seiring temuan

fakta mengenai berbagai keterpurukan dan ketimpangan dalam

kehidupan umat manusia sebagai akibat dari pemisahan ilmu dari

agama. Ilnu dan teknologi berkembang semakin canggih namun

semakin mengabaikan nilai etis dan agama. Sebaliknya,

interpretasi agama tidak ditopang dengan ilmu.284

Menurut Muhammad Naquib al-Attas, islamisasi ilmu adalah

proses pembebasan ilmu dari tradisi magis, mitologis, animistis,

kultur-nasional yang tidak sesuai dengan ajaran Islam,

pembebasan dari belenggu pemikiran dan bahasa dari

284 Ismail Thoib dan Mukhlis, “Dari Islamisasi Ilmu Menuju Pengilmuan Islam:

Melawan Hegemoni Epistemologi Barat”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 17

Nomor 1 (Juni) 2013, h. 67

Page 161: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

149

pemahaman sekuler, serta pembebasan dari kontrol dorongan

fisik yang juga cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat

diri atau jiwanya. Islamisasi adalah suatu proses ilmu kembali

pada fitrah ilmiahnya yang tidak sekuat proses evolusi dan

delusi.285

Masih menurut al-Attas, budaya dan peradaban Barat

hanya mengandalkan akal, pandangan mengenai realitas dan

kebenaran bersifat dualistik, menegaskan dimensi eksistensi yang

merepresentasikan ideologi sekuler, mendukung doktrin

humanisme, dan menjadikan drama serta tragedi sebagai unsur-

unsur yang dominan dalam fitrah kemanusiaan. Kelima hal

tersebut harus diisolir dari setiap bidang ilmu yang berkembang

saat ini. Dalam ilmu-ilmu alam dan fisika, yang diislamkan

adalah penerapannya setelah diadakan penafsiran fakta ketika

memformulasikan teori. Setelah proses isolasi dilakukan, unsur

dan konsep utama Islam yang terdiri dari konsep: manusia, dīn,

‘ilm, dan ma’rifat, hikmat, ‘adl, ’amal, ‘adab, dan kulliyat-

jam’iyyat (konsep universalitas) kemudian diserapkan dalam

konsep ilmu kontemporer. Semua unsur tersebut ditambatkan

pada konsep tauhid, syariat, sunah, dan sejarah.286

Dalam pemikiran al-Attas, solusi untuk semua

permasalahan yang di atas adalah dengan mengislamisasi ilmu

pengetahuan, yaitu mengembalikan kembali ilmu pada bentuk

awalnya, yaitu Islam, yang karena perkembangan zaman, ilmu

mengalami perubahan bentuk seiring dengan proses sekularisasi

yang terjadi pada masyarakat Eropa yang menyeberang ke dunia

Islam. Sekularisasi yang didefinisikan Al-Attas sebagai

pembebasan seseorang dari kontrol religius dan kemudian

285 Dikutip dari Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan

Islam, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 1998), 336 286 Dari Ismail Thoib dan Mukhlis, “Dari Islamisasi Ilmu…, h. 74

Page 162: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

150

metafisis dari pemikiran dan bahasanya.287

Atas dasar itu, al-

Attas bercita-cita ingin menghidupkan kembali peradaban Islam

yang memengaruhi warna peradaban global umat manusia.

Karena itu, ia berupaya revitalisasi peradaban Islam, untuk

mengaktualisasi kembali nilai-nilai supremasi umat Islam ke

dalam setiap dimensi kehidupan umat Islam saat ini.

Bentuk pembebasan kedua adalah pembebasan jiwa

manusia dari sikap tunduk pada kecenderungan jiwa

jasmaniahnya yang bertolak belakang dengan jiwa rasionalnya

sehingga menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri. Karakter jiwa

jasmaniah tanpa kontrol jiwa rasional, dapat mengabaikan fitrah

manusiawinya dan dengan sendirinya dapat membuat lupa pada

tujuan penciptaan dirinya. Pada pengertian ini, islamisasi

merupakan satu proses pengembalian manusia kepada fitrahnya

(original nature).

Ilmu tidak dibangun di atas ruang hampa sejarah, tetapi

didasarkan pada nilai-nilai budaya, ideologi, dan agama yang

dianut oleh ilmuan di wilayah tempat lahirnya ilmu tersebut.

Ilmu lahir dalam dan dipengaruhi oleh suatu konteks. Dengan

cara ini, kemudian dikenal dengan istilah helenisasi, kristenisasi,

islamisasi, westernisasi, atau sekularisasi terhadap ilmu.

Menurut Sardar, pandangan dunia Islam berbeda dengan

pandangan dunia Barat. Karena itu, umat Islam juga memerlukan

sains yang berbeda untuk menyesuaikan dengan pandangan

dunianya. Argumen untuk pendapat ini didasarkan pada empat

hal. Pertama, perbedaan peradaban linier dengan perbedaan

sainsnya. Kedua, sifat dasar dan style sains Islam memiliki

identitas yang unik dalam sejarah. Ketiga, sains Barat bersifat

287 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung: Pustaka,

1981), h. 17.

Page 163: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

151

destruktif. Keempat, karakter sains Barat tidak dapat memenuhi

kebutuhan fisik, budaya, dan spiritual masyarakat muslim.288

Oleh karena itu, kepentingan terhadap keberadaan sains Islam

merupakan hal yang esensial bagi umat Islam.

Di bagian lain, Sardar menegaskan kembali bahwa

peradaban yang berbeda memiliki ilmu yang berbeda yang

mencerminkan pandangan dunia mereka. Sardar mencoba

menunjukkan bahwa sains Islam dalam sejarah memiliki sifat dan

gaya yang unik dan sains Barat dewasa ini juga mewujudkan

warisan intelektual Yahudi-Kristen dalam dirinya. Lebih jauh,

dia berpendapat bahwa sains Barat pada hakikatnya destruktif:

penerapan sains dan teknologi Barat dalam masyarakat muslim

melahirkan malapetaka dengan nilai-nilai dan budaya suatu

bangsa dan tidak memenuhi kebutuhan dan persyaratan bangsa

tersebut. Dengan latar belakang ini, kebutuhan akan sains Islam

kontemporer menjadi keharusan. Dalam hal ini, keberadaan sains

Islam bukan hanya wacana semata sebab Islam adalah sistem

total, konsep-konsep ini menembus setiap aspek kehidupan

manusia tidak terkecuali dengan sains.289

1. Konstruksi Sains Islam

Salah seorang penggagas sains Islam adalah Isma’il Raji

al-Faruqi. Pokok pemikiran Isma’il Raji al-Faruqi antara lain

mengenai prinsip-prinsip pokok metodologi Islam beserta

langkah-langkah islamisasi ilmu. Menurutnya, konstruksi sains

Islam harus dibangun di atas prinsip-prinsip pokok metodologi

288 Ziauddin Sardar, “Argument for Islamic Science”, dalam Rais Ahmad dan S.

Naseem Ahmad, Quest for New Science (Aligarh: Centre for Studies on Science, 1984),

31. 289 Ziauddin Sardar, How Do You Know? Reading Ziauddin Sardar on Islam,

Science and Cultural Relations (London: Pluto Press, 2006), 158-159

Page 164: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

152

Islam supaya menghilangkan dualisme dalam sistem pendidikan

sebagai derivasi dari dualisme kehidupan yang diwariskan

epistemologi Barat. Sains Islam membangun diri di atas prinsip

keesaan Allah sebagai prinsip pertama dalam Islam, prinsip

kesatuan alam semesta yang dilihat melalui tiga sisi, yaitu tata

kosmik, penciptaan bersama eternalitas tujuan-tujuannya, dan

tunduknya alam semesta kepada manusia, prinsip kesatuan

kebenaran dan kesatuan pengetahuan yang terpusat pada wahyu,

prinsip kesatuan hidup yang dilihat dari tiga sisi, yaitu amanah,

khilafah, dan kelengkapan, dan prinsip kesatuan umat manusia

yang bersumber dari satu nafs.290

Secara metodologis, gagasan islamisasi ilmu tersebut

tertuang. Adapun langkah-langkah islamisasi ilmu tertuang

dalam 12 langkah. Kedua belas langkah tersebut dimulai dari:

Pertama, pemahaman utuh atas disiplin ilmu modern secara

analitis-kategoris. Kedua, survey disiplin ilmu untuk

menyepakati identitas, sejarah, topografi, dan garis depan dari

ilmu yang akan diislamkan. Ketiga, pemahaman khazanah Islam

dengan cara menerbitkan karya akademisnya semisal antologi.

Keempat, menganalisa latar belakang karya-karya umat Islam

dan keterkaitannya dengan berbagai bidang kehidupan manusia.

Kelima, penentuan relevansi keilmuan Islam dengan disiplin ilmu

modern. Keenam, evaluasi kritis terhadap tingkat perkembangan

ilmu modern di masa kini, antara lain melihat keterkaitannya

dengan lima kesatuan yang diajarkan Islam. Ketujuh, melakukan

penilaian kritis terhadap tingkat perkembangan khazanah Islam

saat ini supaya tetap memerankan peran dinamisnya dalam

kehidupan muslim masa kini serta relevan dengan wawasan

290 Isma‟il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (terj), Pustaka, Bandung, Cet.

2, 1995, h. 55-97.

Page 165: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

153

Islam, kebutuhan umat masa kini, dan semua pengetahuan

modern. Kedelapan, mengoreksi khazanah Islam yang tidak

sesuai atau salah. Kesembilan, melakukan survey seluruh

persoalan umat Islam. Kesepuluh, melakukan survey

permasalahan kemanusiaan secara keseluruhan. Kesebelas,

melakukan analisa kreatif dan sintesa antara ilmu tradisional dan

ilmu modern supaya mendobrak kemandekan Islam, selaras

dengan hasil modern, tetap relevan dengan realitas permasalahan

umat yang sudah teridentifikasi sehingga dapat memberikan

penyelesaian bagi permasalahan umat manusia secara universal

secara tuntas. Keduabelas, menuangkan disiplin ilmu moderen

dalam kerangka Islam berbentuk buku daras tingkat universitas.

Ketigabelas, menyebarluaskan ilmu yang sudah diislamisasi.291

Di Indonesia, istilah islamisasi ilmu juga digunakan oleh

Mulyadhi Kartanegara namun tidak didefinisikan dengan proses

pengislaman ilmu. Ia memberikan dua catatan untuk istilah

islamisasi. Pertama, unsur Islam dalam kata islamisasi dimaknai

sebagai nilai fundamental Islam. Kedua, islamisasi sains

beroperasi pada level epistemologis. Yang pertama dilakukan

adalah melakukan dekonstruksi terhadap epistemologi Barat

kemudian merekonstruksi epistemologi yang berakar pada tradisi

intelektual Islam sejak masa klasik yang berujung pada deskripsi

status ontologis objek ilmu, klasifikasi ilmu, dan metodologi

ilmu. Ketiga, islamisasi sains dibangun di atas asumsi bahwa

sains tidak bebas nilai.292

Berkenaan dengan status ontologis objek ilmu,

keberadaan objek yang ditelaah ilmu dalam Islam tidak terbatas

pada objek-objek empiris tetapi juga objek atau entitas metafisik.

291Isma‟il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, h. 98-118. 292 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi

Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 130-131.

Page 166: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

154

Dalam kerangka al-Farabi, objek ilmu ini dielaborasi berdasarkan

wujudnya yang secara hirarkis dimulai dari Tuhan, malaikat,

benda-benda langit (celestial), dan benda-benda bumi

(terrestrial). Pada Ibn Sina, pengelompokkan dilakukan

berdasarkan sifat wujudnya ke dalam tiga kategori, yaitu wujud

fisik, wujud matematis, dan wujud metafisik.293

Secara metodis, ilmuwan muslim menggunakan tiga

jenis metode sesuai dengan karakter objeknya, yaitu metode

observasi (tajribi), metode rasional atau demonstratif (burhani),

dan metode intuitif (‘irfani). Metode observasi digunakan untuk

menelaah objek yang bersifat fisik, metode rasional digunakan

untuk menelaah objek yang bersifat matematis, dan metode

intuitif digunakan untuk mengetahui objek yang bersifat

metafisis. Menurut Mulyadhi Kartanegara, melalui ketiga

metode tersebut seluruh rangkaian wujud menjadi objek yang

dapat diketahui. Indra berkompeten untuk mencerap objek-objek

fisikal, antara lain dengan cara mengamatinya. Akal dapat

mengabstraksi benda-benda fisik ke dalam konsep universal dan

menyimpulkan objek-objek nonfisik. Hati mampu menangkap

objek-objek nonfisik melalui kontak langsung dengan

menghadirkan objek tersebut dalam jiwa.294

Pada al-Attas, pengembangan sains Islam selalu

dikaitkan dengan visi spiritual-transendental. Hal ini diketahui

ketika ia memulai memberikan penjelasan ontologis mengenai

konstruksi sains Islam bahwa semua ilmu bersumber dari Allah.

Menurutnya, alam raya ini merupakan buku yang hebat, di mana

setiap detail di dalamnya, yang mencakup cakrawala terjauh dan

293 Untuk selanjutnya lihat Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kajahilan…, h.

31-43. 294 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam

(Bandung: Mizan, 2005), h. 66.

Page 167: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

155

dalam setiap diri manusia, seperti kata dalam buku besar yang

berbicara kepada manusia tentang Pengarangnya. Kata-kata yang

terhampar di alam raya ini merupakan simbol untuk mengetahui

sesuatu sebagaimana adanya, apa artinya, atau apa yang

disimbolkannya. Dengan demikian, cara mempelajari kata adalah

memperlakukannya sebagai simbol, bukan hanya kata sebagai

kata atau menganggapnya memiliki realitas independen. Dalam

konteks penelitian, kerja tersebut tidak memiliki makna serta

tujuan yang nyata.295

Hal tersebut tergambar dalam karakter sains Islam.

Sebagai sains, sains Islam juga merupakan studi sistematis

tentang alam. Tetapi sains Islam tidak berhenti sampai di situ,

sebab Islam mewarnai perkembangannya. Sebagaimana yang

dinyatakan al-Attas, Muzaffar Iqbal juga menyatakan bahwa

sains Islam tidak melihat alam sebagai entitas yang terpisah dari

Islam. Alam berproses berdasarkan perintah Ilahi.296

Pendirian

ontologis dalam sains ini kemudian menjadi pembeda dengan

pendirian epistemologis sains Barat yang melihat alam bersifat

mandiri, terlepas dengan segala keterkaitannya dengan konsep-

konsep metafisis. Dalam epistemologi Islam, alam bergantung

sepenuhnya pada yang menciptakannya sehingga alam

digambarkan senantiasa bertasbih kepada Tuhan (Alquran,

24:41). Namun ketergantungan alam bukan berarti sistem alam

terjadi secara acak atau sembarang sebab hukum Tuhan untuk

alam tidak berubah (Alquran, 33:62) yang semua menunjuk pada

sumber asasinya, yaitu Tuhan. Dengan ini, sains Islam bukan

sains dari dunia ketiga tetapi sains universal yang dapat

berdialog dengan tradisi peradaban lain.

295 Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam,

http://www.mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf 296 Muzaffar Iqbal, Science and Islam (Westport: Greenwood Press, 2007), 6.

Page 168: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

156

Sebagai bagian dari refleksi peradaban, sains Islam

berkembang dalam dialektika dengan semua konteksnya.

Perluasan geografis Islam dalam abad pertama, demikian

menurut Muzaffar Iqbal, disertai revolusi yang mengkonfigurasi

ulang iklim sosial, kebudayaan, dan intelektual dari sistem sosial

sebelumnya. Revolusi tersebut memberi peluang bagi peradaban

Islam untuk mengakses sejumlah besar karya ilmiah dari sumber-

sumber Yunani, Persia, dan India. Proses transmisi ini tidak acak.

Proses tersebut merupakan upaya terorganisir dan berkelanjutan

yang tersebar selama tiga abad, melibatkan ribuan ilmuwan,

cendekiawan, penerjemah, pelindung, buku, instrumen, dan

naskah langka. Sebuah peradaban terjadi karena prosesnya

disertai dengan kemampuan peradaban penerima untuk

menyerap.297

Berdasarkan pernyataan di atas, maka kemunculan

sains dalam Islam terbangun dalam lingkungan peradaban

kosmopolit yang tidak hanya melibatkan tradisi asli muslim

tetapi juga Yahudi, Kristen, Hindu, Zoroaster, dan penganut

agama yang lainnya.

Apabila mencermati pola islamisasi yang ditawarkan al-

Attas, tampak bahwa upayanya beroperasi pada level

epistemologis dengan cara mendekonstruksi sains Barat sebelum

mengkonstruksi sains Islam sehingga tidak semata merupakan

labelisasi teks Alquran atau Hadits pada sains yang tampak

relevan dengan suatu temuan sains.

Pada al-Attas, proses islamisasi ilmu menyertakan dua

proses yang saling terkait, yaitu proses eliminasi unsur-unsur dan

istilah-istilah kunci yang membentuk budaya dan peradaban

Barat serta proses memasukkan unsur-unsur dan istilah-istilah

kunci Islam ke dalam setiap ilmu relevan masa kini yang

297 Muzaffar Iqbal, Science and Islam, 10

Page 169: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

157

diislamisasi.298

Dengan cara ini, islamisasi versi al-Attas bukan

memberi label sains dengan prinsip Islam pada ilmu sekuler,

sebab apabila demikian, susbstansi dari islamisasi sendiri akan

hilang dan tujuannya, yaitu melindungi umat Islam. Islamisasi

ilmu bertujuan untuk mengembangkan karakter umat Islam yang

sesungguhnya sehingga melahirkan kemaslahatan dan kekuatan

iman.

Menurut Al-Attas, tujuan mengkonstruksi ilmu adalah

untuk menanamkan kebaikan bahwa visi pendidikan adalah

melahirkan pribadi yang baik secara spiritual dan material. Hal

ini sangat mungkin mengingat manusia memiliki fitrah kognisi

spiritual berupa pengakuan terhadap Tuhan sebagai pemilik

kebenaran. Bagi al-Attas, ilmu yang berharga adalah yang

direfleksikan dalam bentuk tindakan dan tindakan yang berharga

adalah yang dibimbing ilmu. Orang yang adil, dengan demikian,

adalah yang menanamkan etika tersebut pada dirinya sehingga

menghasilkan pribadi yang baik.299

Ilmuwan lain yang memiliki pemikiran yang senafas

dengan al-Attas, adalah seorang berkebangsaan Palestina

bernama Isma’il Raji al-Faruqi pada 1982 dengan bukunya yang

berjudul ‚Islamization of Knowledge‛. Menurutnya, penggunaan

alat, kategori, konsep, dan model analisis yang berasal dari Barat,

tidak relevan dengan lingkungan dan realitas sosial negara Islam,

tidak dapat beradaptasi, dan akan berseberangan dengan etika

Islam. Karena itu, perbedaan pendapat antara ulama tradisional

dengan tokoh-tokoh reformasi dalam membangun masyarakat

298 Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan

Islam, 336-337. Lihat juga Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,

Perkembangan dan Arah Tujuan,” dalam Majalah Islamia, No. 6 Thn. 2. Jakarta : Juli-

September, 2005., 35. 299 Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, 12

Page 170: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

158

muslim akan terlaksana dengan menerapkan etika Islam dalam

metodologi para filosof muslim awal. Dia menganjurkan untuk

merevisi metode-metode modern dan mengintegrasikannya

dengan nilai-nilai Islam. Bagi al-Faruqi, islamisasi ilmu

merupakan upaya untuk mereformulasi ilmu. Hal ini dilakukan

dengan cara mendefinisikan, menyusun data, membangun

argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu,

mengevaluasi kesimpulan dan tafsiran, serta membentuk kembali

tujuan dan disiplin itu supaya relevan dengan visi dan perjuangan

Islam.300

Pada versi ini, islamisasi ilmu didefinisikan sebagai

proses mengislamkan ilmu dengan menyusun dan

mengkonstruksikan kembali sains sastra dan sains eksakta dan

memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan

Islam. Setiap metodologi, strategi, data-data, dan problem-

problem sains harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan

prinsip-prinsip Islam di dalamnya serta mengungkapkan

relevansi Islam yang bersumber pada tauhid.301

Tauhid menjadi

prinsip sentral sebagai kerangka pemikiran, metodologi, dan cara

hidup dalam Islam yang dikembangkan menjadi lima prinsip

derivatif, yaitu keesaan Tuhan, kesatuan ciptaan, kesatuan

kebenaran danr pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan

kemanusiaan.302

Sebagai tindak lanjut, al-Faruqi menggariskan satu

kerangka kerja dengan lima tujuan, yaitu penguasaan disiplin

ilmu modern, penguasaan khazanah warisan Islam, membangun

300 Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah,

Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, Tahun II No. 6 (Juli-September, 2005), 35-6. 301 Isma‟il Raji al-Faruqi. Islamisasi Ilmu pengetahuan, ter. Anas Mahyuddin

(Bandung: Pustaka, 1984), h 77-78. 302 Isma‟il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan. 55-59.

Page 171: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

159

relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern.

memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif

dengan ilmu-ilmu modern, dan pengarahan aliran pemikiran

Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana

Allah.303

Realisasi dari tindak lanjut tersebut, al-Faruqi

menyusun 12 langkah seperti tersebut sebelumnya.

Tokoh islamisasi ilmu yang lain adalah Osman Bakar.

Menurutnya, islamisasi ilmu merupakan upaya untuk

memecahkan persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat

pertemuan Islam dengan sains modern sebelumnya.304

Proses

islamisasi versi Osman Bakar menekankan aspek aksiologinya,

yaitu manfaat sains bagi umat Islam. Dengan ini dapat

disimpulkan bahwa program islamisasi adalah sebagai gerakan

pemikiran yang mempunyai misi untuk membebaskan umat

Islam dari asumsi serta realisasi sains modern yang dinyatakan

bertolak belakang dengan ajaran Islam serta bertentangan dengan

visi kemanusiaan secara umum.

Menurut al-Attas, islamisasi adalah upaya pembebasan

manusia, mulai dari pembebasan dari tradisi magis, mitologis,

animistik, nasional-budaya yang bertentangan dengan Islam, dan

kemudian dari kontrol sekuler pada pemikiran dan bahasanya.

Dengan cara ini, pemikiran tokoh muslim tidak lagi dikendalikan

oleh sihir, mitos, takhayul, animisme, tradisi budaya dan

nasionalnya sendiri yang tidak sejalan dengan Islam dan

sekularisme.305

Dari pengertian di atas, diketahui bahwa gagasan

islamisasi ilmu dibangun di atas pendapat bahwa ilmu tidak

303 Isma‟il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 98. 304 Osman Bakar, Tauhid dan Sains (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), 233 305 Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC,

1993), h. 182

Page 172: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

160

terbebas dari nilai tetapi diikat oleh nilai-nilai kebenaran yang

merupakan keyakinan ilmuwan pembangunnya. Terdapat

kesepakatan bahwa tujuan yang dimiliki ilmu adalah sama yang

secara konseptual didasarkan pada prinsip ontologis,

epistemologis, dan aksiologis dengan tauhid sebagai

pengikatnya. Saintis muslim sepakat bahwa segala ilmu

bersumber dari Allah dan realisasi ilmu yang tidak relevan

dengan ajaran Islam merupakan akar permasalahan umat Islam

saat ini.

Dalam epistemologi Islam, sumber pengetahuan selain

alam fisik adalah wahyu. Keberadaan sumber pengetahuan ini

berimplikasi pada persoalan metodologis. Ini yang menurut M.

Azram menjadi titik pembeda antara epistemologi Islam dengan

sistem epistemologi materialis yang disebutnya sebagai sistem

epistemologi ateis materialistis. Epistemologi Islam membangun

bukti dari alam semesta yang dapat diamati karena klaimnya

mengenai sumber pengetahuan berupa wahyu sebagai sumber

utama pengetahuan tetapi bukan satu-satunya.306

Terdapat dua tipe pengetahuan yang disepakati

kebanyakan ilmuwan muslim, yaitu pengetahuan diberikan

dengan cara diwahyukan dan pengetahuan yang diberikan dengan

cara diperoleh melalui upaya manusiawi. Yang pertama adalah

pengetahuan wahyu, terbagi pada pengetahuan naluriah dan

pengetahuan yang diungkapkan kepada manusia melalui Nabi.

Dalam wahyu terdapat konsep fikr (refleksi) sebagai upaya

pencarian pengetahuan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah dan

dzikr (kontemplasi/mengingat) sebagai ingatan dari pengetahuan

yang sebelumnya diberikan. Fikr-lah yang rasional dan upaya

306 M. Azram, Episemology an Islamic Perspective, https://www.researchgate.net/

publication/268267434_Epistemology_An_Islamic_Perspective?EnrichId=rgreg, 180

Page 173: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

161

untuk menjangkau Tuhan, yaitu tahap akhir ‘ilm al-yaqin dan

‘ain al-yaqin. Namun dzikr terfokus pada upaya mengingat

Tuhan dan memuji-Nya sebagaimana yang dinyatakan Alquran

surat Ali Imran ayat 190-191. Adapun jenis pengetahuan kedua

bersumber dari Allah juga, tetapi manusia memerolehnya melalui

penggunaan metodologi Islam dan fakultas yang diberikan Allah

melalui penelitian, dan pemikiran mendalam yang berpotensi

dalam membuat konsep, memperoleh, memahami, dan mencari

pengetahuan jenis kedua ini. Karena ilmu bersumber dari Allah,

maka ketulusan dalam pencarian menjadi prioritas. 307

Karakter mendasar dari sains Islam adalah pendiriannya

bahwa sains tidak bebas nilai. Sains Islam menegaskan

keberpihakannya pada kebenaran dan kemaslahatan. Realisasi

sains Islam tidak berhenti setelah pengetahuan diperoleh. Saintis

tidak hanya mempelajari alam tetapi belajar dari alam serta

berusaha mencari penjelasan moral terhadap teori yang

dibangunnya. Dengan begitu, ilmu bukan hanya bersifat

informatif, tetapi menjadi dasar moral yang pada tahap akhirnya

merealisasi pada tindakan, yaitu tindakan yang selaras dengan

teori yang ditemukannya.

Keberadaan sains Islam adalah mungkin, demikian

menurut Mulyadhi Kartanegara. Hal demikian karena terdapat

perbedaan dari sudut lingkup dan metodologi yang mendasar

antara sains Islam dengan sains modern. Penjajakan

kemungkinan bagi islamisasi ilmu ini dapat menjadi fondasi bagi

naturalisasi ilmu. Dengan cara ini, maka dampak negatif yang

disebut terlahir dari penerapan sains modern dapat dihindari.308

307 M. Azram, Epistemology an Islamic Perspective, 181-182 308 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar Sebuah Respons terhadap

Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 15-16

Page 174: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

162

2. Sosialisasi Sains Islam

Sebagai pionir isu islamisasi sains, al-Attas

menunjukkan suatu modelnya yang dituangkan dalam karyanya

The Concept of Education in Islam. Karya lain setelahnya ditulis

Malik Badri dalam Dilema of a Muslim Psychologist (1990),

Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Concept of Knowledge in

Islam (1989), dan Rosnani Hashim dalam Educational Dualism in

Malaysia, Implications for Theory and Practice (1996).

Islamisasi pada Psikologi dilakukan Hanna Djumhana B. dan

Hasan Langgulung, EKONOMI Islam oleh Syafi'i Antonio,

Adiwarman, Mohammad Anwar, dan banyak lagi karya yang

lainnya.

Al-Faruqi memulai upayanya dengan menyelenggarakan

konferensi di Mekkah pada 1977. Kemudian ia melanjutkan

upaya seminasi gagasan di Swiss. Ia menginisiasi pendirian

International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 1981 di

Washington DC. Konferensi tentang gagasan yang sama,

diadakan lagi di Islamabad Pakistan pada 1983 untuk

menyebarkan hasil konferensi I dan hasil rumusan IIIT tentang

cara menyelesaikan krisis umat, melakukan penelitian untuk

mengevaluasi krisis tersebut, serta mencari penyebab dan

gejalanya. Konferensi lanjutan diselenggarakan di Malaysia pada

1984 yang mengagendakan kerja metodologis dan di Khortoum

Sudan pada 1987 untuk kembali memantapkan persoalan

metodologi sebagai problem mendasar program islamisasi sains.

Di samping itu, ia juga menulis Islamization of Knowledge.309

Hasil kerja al-Faruqi, menuai hasil. Beberapa Perguruan

Tinggi mengapresiasinya dengan menjadikan agenda islamisasi

309 Baca Ahmad Khudori Soleh, “Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu,” dalam Majalah

Inovasi, ed. 22 Tahun 2005, UIN Malang, 27-28

Page 175: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

163

sains sebagai bagain dari refleksi agenda akademis mereka.

Beberapa Perguruan Tinggi yang dimaksud antara lain

International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala

Lumpur, Akademi Islam di Cambridge, dan International

Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala

Lumpur. Gagasan islamisasi sains diseminasikan oleh Perguruan

Tinggi tersebut melalui penerbitan jurnal yang berkaitan dengan

program islamisasi sains, seperti American Journal of Islamic

Social Sciences (IIIT), The Muslim Education Quarterly

(Akademi Islam), dan al-Shajarah (ISTAC).310

Sains Islam

diseminasikan, dan didukung oleh beberapa Perguruan Tinggi,

dalam konteks teori Kuhn dapat diinterpretasi bahwa gagasan

tersebut sudah menjadi paradigma yang disepakati oleh

komunitas ilmuan di bidangnya.

Di Indonesia, gagasan mengenai sains Islam mulai

mengemuka yang pada awalnya dilaksanakan seminar

internasional di Universitas Islam ’45 sebagai bentuk sosialisasi

gagasan sains Islam IIIT yang diinisiasi al-Faruqi. Pada

perkembangan berikutnya, bentuk penerimaan gagasan ini adalah

menguatnya model pemikiran al-Attas, baik dalam bentuk

komunitas studi yang tergabung dalam Institute for the Study of

Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang ditandai

dengan terbitnya jurnal Islamia pada Maret 2004. Pada jurnal ini,

tema Islam dan ilmu pengetahuan memiliki rubrik khusus yang

pada awalnya bernama rubrik Sains Islam sebelum kemudian

menjadi rubrik Sains.311

310 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,” dalam Majalah Islamia, No.

6 Thn. 2. Jakarta : Juli-September, 2005, 33. 311 Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama & Sains Analisis

Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 92

Page 176: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

164

Hal yang lain yang mengemuka di Indonesia seiring

dengan semakin populernya gagasan tentang sains Islam adalah

menjamurnya kajian-kajian lintas disiplin dan lintas agama yang

melahirkan lembaga yang secara intensif mendiskusikan tema

tentang sains Islam. Kajian ini dipelopori oleh Center for

Religiuos and Cross-cultural Studies (CRCS), sekolah

pascasarjana yang dibidani John Raines dan Alwi Shihab di

Universitas Gadjah Mada Jogjakarta pada 2000. Sekolah ini

merupakan pusat kajian yang melihat agama di Indonesia dengan

metode kajian lintas budaya (cross-cultural studies), yaitu kajian

yang tidak mempersoalkan agama mana yang benar atau salah

tetapi berusaha menemukan apa yang dapat dipelajari oleh setiap

pemeluk agama untuk memperkaya spiritualitasnya sendiri.

Keberadaan lembaga ini semakin kuat setelah dilakukan

publikasi kekaryaannya dalam bentul jurnal Relief serta dengan

melakukan kerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga atau penerbit

Mizan sebagai salah satu penerbit yang produktif dalam

penerbitan buku-buku mengenai wacana agama dan sains

terutama dari karya-karya asing.312

3. Kritisasi Gagasan Sains Islam

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan islamisasi

ilmu sendiri menuai pro dan kontra. Kontroversi terjadi sejak

program tersebut dikemukakan sekitar 30 tahun yang lalu. Bagi

pihak yang mendukung, islamisasi dipandang sebagai bentuk

revivalisme Islam. Namun bagi yang menolaknya, islamisasi ilmu

tidak lebih hanya sekedar gerakan pemikiran yang bersifat reaktif

dan apologetik dari umat yang gagal dalam merespons

modernitas. Gerakan islamisasi merupakan refleksi inferioritas

312 Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama…, 92-95.

Page 177: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

165

umat Islam yang merasa tertinggal oleh dunia Barat. Islamisasi

hanyalah sebuah euphoria sesaat dan hanya membuang waktu

serta tenaga karena sifatnya yang sesaat.

Atas dasar itu, Rosnani Hashim mengklasifikasi

kelompok penggagas islamisasi tersebut pada empat kategori.

Pertama, kelompok yang konsisten dengan gagasan islamisasi

ilmu. Secara teoretis memiliki pengetahuan teoretis yang sama,

secara praktis berusaha merealisasikan gagasan islamisasi ilmu

dengan menghasilkan karya yang relevan. Kedua, kelompok yang

mendukung gagasan islamisasi secara teoretis tetapi tidak secara

praktis. Ketiga, kelompok yang tidak sependapat dan berbalik

mencemoohnya. Keempat, kelompok yang tidak melibatkan diri

dengan isu islamisasi ilmu dan cenderung tidak

memperdulikannya. Pihak yang kontra dengan isu islamisasi

sebagaimana disebut sebelumnya adalah kelompok ketiga.313

Di kalangan muslim yang mengharuskan adanya

islamisasi ilmu ini, belum ada rumusan dan langkah kerja yang

baku untuk merealisasikannya. Kenyataan demikian

menyebabkan istilah islamisasi ilmu kurang marketable.

Berbagai sindiran terhadap gagasan islamisasi ilmu dilontarkan

bahkan dari kalangan ilmuwan muslim sendiri. Islamisasi tidak

lebih dari ayatisasi yang terlahir dari miskinnya kreativitas

muslim dalam merespon modernitas. Islamisasi merupakan upaya

yang bersifat reaktif, bukan kreatif. Pervez Hoodbhoy menolak

keberadaan sains Islam tentang dunia fisik, dan semua upaya

untuk mengkonstruksi sains Islam adalah upaya yang sia-sia,

karena tujuan agama adalah menyempurnakan moralitas bukan

menjelaskan fakta-fakta sains dan karena ketidakmungkinan

untuk membangun konstruksi ilmu dari permulaan. Alasan

313 Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Kontemporer…, 40

Page 178: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

166

lainnya, sains memiliki logika yang bersifat internal yang dengan

logika internalnya itulah sains tidak dapat dipaksa untuk

mematuhi sebuah ideologi.314

Ilmuwan yang bersikap kontra dengan isu islamisasi

ilmu, antara lain Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdul Karim

Soroush, Bassan Tibi, Hoodbhoy dan Abdul Salam. Tokoh-tokoh

ini menyangsikan isu tersebut sebab secara hakiki, semua ilmu

adalah islami. Menurut Fazlur Rahman, ilmu tidak dapat

diislamisasi karena yang salah bukan dari sisi ilmunya tetapi

pada pihak yang menyalahgunakannya.315

Bahwa umat tidak

perlu merencanakan untuk membuat sains baru tetapi sebaiknya

adalah berkreasi.316

Dalam hal ini, ilmu seperti senjata dengan

kedua sisinya. Baik dan buruk suatu ilmu bergantung pada

kualitas moral penggunanya.317

Menurut Salam, ilmu universal hanya ada satu.

Sebagaimana pendapat tokoh yang menolak keberadaan sains

Islam dengan agumen universalitas sains, Abdus Salam menolak

pendirian Islam sebagai sumber independen ilmu dengan

menyandarkan pendapatnya pada Alquran 3 : 190 dan 29 : 20

bahwa ilmu diperoleh berdasarkan studi tentang alam, telaah

ciptaan Tuhan, yang dalam konteks ilmu merupakan wilayah

telaah sains. Alquran sebagai sumber ilmu yang

menginformasikan bahwa ilmu berusaha mengungkap rahasia

alam sebagaimana yang dinyatakan Alquran surat Yunus ayat 5,

memang bersifat normatif, atau tidak empiris, tetapi kerja

314 Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara Sains Dan

Ortodoksi Islam, (terj.), Mizan, Bandung, Cet. 1, 1996, h. 138-146. 315 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,” dalam Majalah Islamia, No.

6 Thn. 2. Jakarta : Juli-September, 2005, 15 316 Mohammad Shopan, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dalam Jurnal Logos, Vol. 4

No. 1, Januari 2005, 11. 317 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 409.

Page 179: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

167

ilmuwan tidak dapat beranjak dari alam. Berdasarkan Alquran

surat al-Baqarah ayat 2-3, Abdus Salam mengklasifikasi ilmu

pada pengetahuan absolut dan pengetahuan fungsional.

Pengetahuan absolut hanya diketahui Tuhan dan hanya akan

diketahui dengan jelas di akhirat. Sementara pengetahuan

fungsional dihasilkan dari proses evolusi transmisi pengetahuan

dan pengalaman yang diperoleh dalam semua sub-sistem alam.318

Karena itu, tidak ada penamaan ilmu Islam, sebagaimana

tidak ada nama ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen.319

Salam memisahkan pandangan hidup muslim mendasari

metafisika dalam sains. Pandangan hidup ilmuwan tidak terkait

dengan pemikiran dan aktivitas ilmiahnya. Pandangan tersebut

berseberangan dengan Alparsalan Acikgenc yang menyatakan

bahwa kerja saintis berkaitan dengan framework dan pandangan

hidupnya.320

Pendapat yang sama juga dapat dilihat dari

pemikiran Pervez Hoodbhoy yang menolak distingsi sains pada

sains Barat, sains Islam, sains Yunani, atau sains peradaban lain.

Sebagaimana Salam, Hoodbhoy juga berpendirian bahwa sifat

sains adalah universal, lintas bangsa, agama, atau peradaban.321

Pada Abdul Karim Soroush, Islamisasi sains merupakan hal yang

irasional atau tidak mungkin sebab realitas tidak dapat

diidentifikasi pada realitas bukan islami atau kebalikannya.

Proposisi sains berkaitan dengan proposisi benar, bukan islami

atau tidak islami. Metode yang merupakan presupposisi dalam

sains bersifat independen dari Islam, karena itu metode tidak

dapat diislamkan. Jawaban benar dari sains tidak dapat

318 Abdus Salam, “Is There an Islamic Epistemology? Role of HRD”,

https://www.researchgate.net/publication/299410378_Is_There_an_Islamic_Epistemology

_Role_of_HRD?enrichId=rgreg, 4-5 319 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 419 320 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,” 16 321 Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Kontemporer…, 42

Page 180: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

168

diislamkan sebab kebenaran adalah kebenaran. Setiap pertanyaan

sains bertujuan untuk menemukan kebenaran terlepas yang

mengajukannya tidak beragama Islam.322

Ilmuwan lain yang menolak isu islamisasi sains adalah

Muhsin Mahdi. Menurutnya, ide sains Islam merupakan produk

filsafat agama yang pada gilirannya merupakan usaha untuk

menerapkan sistem filsafat Kristen neo-Thomist ke dalam Islam.

Usaha ini tidak tepat sebab, tidak seperti Katholik, Islam tidak

memiliki konsep ‚induk dari segala ilmu‛ sebagai prinsip

fundamental dalam aktivitas filsafat ilmu.323

Kritik selanjutnya

dikemukakan Usep Fahrudin yang menilai islamisasi sains bukan

merupakan kerja kreatif dan lebih merupakan pencurian atau

pengakuan terhadap kreativitas dan karya orang lain. Pada level

teknis, islamisasi mirip kerja tukang, yaitu menangkap dan

mengislamkan sains yang diciptakan dan dikembangkan ilmuwan

lain.324

Secara keseluruhan, kritisasi menilai bahwa gagasan

islamisasi sains masih belum berkontribusi secara konkret bagi

umat Islam. Editor American Journal of Islamic Social Sciences

(AJISS) mengakui bahwa proyek tersebut belum menghasilkan

silabus, buku teks, atau buku panduan untuk para pengajar

sekalipun telah melalui enam kali konferensi serta telah

berdirinya beberapa Perguruan Tinggi yang konsern terhadap isu

islamisasi sains.325

Hal ini dinyatakan Hanna Djumhana

322 Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,” 16, lihat juga dalam Wan

Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 420-421 323 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 418-419 324 Dikutip dari Topik R, Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Majalah Inovasi

UIN Malang, ed. 22 Thn. 2005, 14. 325 Dikutip dari Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan

Islam, 399-400. Enam kali konferensi yang dimaksud diselenggarakan di Mekkah Arab

Saudi (1977), Islamabad Pakistan (1980), Dakka Afrika (1981), Jakarta Indonesia (1982),

Kairo Mesir (1985), dan Amman Yordania (1990).

Page 181: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

169

Bastaman karena proyek islamisasi tersebut masih menampakkan

perpisahan yang cukup tajam antara agama dengan sains itu

sendiri. Berdasarkan identifikasinya, islamisasi dikelompokkan

pada enam pola pemikiran. Pertama similarisasi, yaitu

mengidentifikasi konsep-konsep agama yang belum tentu sama

dengan hasil penelitian. Kedua paralelisasi, karena kemiripan

konotasinya, konsep yang berasal dari sains dianggap paralel

dengan konsep agama. Ketiga komplementasi, yaitu sains dan

agama saling mengisi dan memperkuat tanpa meleburkan

eksistensinya masing-masing. Keempat komparasi, yaitu

membandingkan gejala yang sama dari konsep atau teori sains

dengan agama. Kelima induktifikasi, yaitu melanjutkan

pemikiran yang berasal dari asumsi dasar suatu teori ilmiah yang

didukung oleh temuan empiriknya secara teoretis-abstrak ke arah

pemikiran metafisik, dan selanjutnya dihubungkan dengan

prinsip-prinsip agama. Keenam verifikasi, yaitu mempublikasi

hasil-hasil penelitian ilmiah dan membuktikan kebenaran ayat-

ayat Alquran.326

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa isu

islamisasi sains masih berhadapan dengan problem praktis, yaitu

pada dataran realisasi masih menyisakan persoalan yang belum

diselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itu, tampak pula bahwa

bahwa proyek islamisasi berhenti pada tataran wacana diskusi

akademik semata yang bersifat kontroversial. Bahwa hegemoni

epistemologi positivisme adalah fakta sebagaimana fakta tidak

relevannya tradisi filsafat tersebut apabila diterapkan dalam

sistem masyarakat yang religius. Problem lainnya berasal dari

gagasan islamisasi itu sendiri yang bervariasi, baik dari segi

326 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1997), 32-33.

Page 182: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

170

konsep, maupun dari segi teknisnya. Jika problem ini dapat

diselesaikan, sangat mungkin gagasan sains Islam dapat menjadi

paradigma baru yang disepakati oleh komunitas ilmuwan muslim

sehingga problem realisasi dengan sendirinya dapat teratasi.

Bahwa ciri keislaman suatu ilmu tidak mesti disalahartikan

sebagai kerja labelisasi, tampaknya perlu dimunculkan ke

permukaan sebab di tengah-tengah perkembangan ilmu yang

bersifat hegemonik meniscayakan ciri keislaman yang tegas

dalam pengembangan tradisi ilmiahnya. Dengan demikian,

penggagas sains Islam berhadapan pula dengan probem identitas

tradisi ilmu yang dibangunnya. Di pihak lain, penyimpangan

sains dengan pandangan Islam juga merupakan fakta yang tidak

terbantahkan.

Secara umum, pengkritik islamisasi ilmu membangun

kritisasinya dari gagasan universalitas ilmu. Sains mengkaji fakta

objektif dan independen dari manusia dan karena itu persoalan

nilai harus terpisah dari sains. Abdus Salam berpendirian bahwa

sains universal hanya ada satu, problem dan bentuknya bersifat

internasional sehingga kepadanya tidak dapat dibubuhkan label

yang mengatasnamakan agama, semisal sains Islam.327

Dengan

pendirian tersebut, penolakan sains Islam semakin kukuh

bersama para pengkritik lainnya.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, Abdul Karim

Soroush menyatakan bahwa islamisasi sains tidak logis (the

impossibility or illogicality of Islamization of knowledge) sebab

realitas tidak dapat disimplifikasi pada kategori islami atau tidak

islami. Penentu standar kebenaran hanyalah proposisi yang

benar. Secara ringkas, Soroush menyatakan empat hal. Pertama,

327 Muhammad Abdus Salam, Renaissance of Sciences in Islamic Countries

(Singapore: World Scientific Publishing, 1994), h. 224.

Page 183: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

171

semua metode, baik metode metafisis, empiris, maupun logis

bersifat independen dari agama, termasuk Islam. Independensi

metode membuatnya tidak dapat diislamisasi. Kedua, jawaban-

jawaban yang benar adalah kebenaran itu sendiri yang juga tidak

bisa diislamkan. Ketiga, sekalipun diajukan oleh non muslim,

pertanyaan dan masalah ilmiah ditujukan untuk menemukan

kebenaran. Keempat, metode sains, dengan demikian, bukan

objek yang bisa diislamkan.328

Namun demikian, pengkritik gagasan islamisasi ilmu

tidak serta merta memberi solusi untuk ke luar dari dilema

eksklusivisme yang dihadapi para pengusung islamisasi ilmu.

Penulis melihat bahwa problem yang belum sepenuhnya

dituntaskan oleh penggagas sains Islam membuka ruang bagi

kelahiran gagasan baru mengenai sains integratif.

B. Paradigma Sains Integratif

Secara umum, model integrasi menyarankan berbagai

cara supaya agama dan sains saling meresapi, yaitu bagaimana

supaya agama memasukkan sains yang sudah mapan ke

dalamnya. Demikian sebaliknya, model ini juga terbuka pada

cara supaya agama dapat masuk ke dalam pandangan dunia

ilmiah.329

Dalam setting Indonesia, ilmuwan yang berbicara

masalah integrasi ilmu antara lain Amin Abdullah. Ilmuwan yang

ahli dalam bidang studi agama dan filsafat ini mengkritik realitas

pengembangan keilmuan dalam Islam yang masih terjebak pada

kajian yang bersifat normatif dan doktriner dengan menawarkan

pendekatan yang bersifat historis. Ia menganalisa tradisi

328Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, Forum Tarbiyah Vol 11 No 2,

Desember 2013, h. 212 329 Kelly James Crark, REligoin and the Sciences of Origins Historical and

Contemporary Discussions (New York: Palgrave Macmillan, 2014), h. 29

Page 184: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

172

keilmuan yang dikembangkan dalam Islam, mulai Filsafat, ‘Ilmu

Kalam, Ushul Fiqh, Metode Tafsir, Pluralisme, dan Pendidikan,

kemudian menjalinnya menjadi sistem epistemologi yang

terintegrasi, ibarat jaring laba-laba (spider web). Integrasi

tersebut diberlakukan pada ilmu yang kerangka dasarnya bersifat

normatif dengan ilmu empiris-rasional.

Amin Abdullah memulai kritiknya terhadap pola

dikotomis-atomistik dalam bangunan ilmu-ilmu agama yang

dikembangkan di PTAIN. Menurutnya, secara metodologis

pengembangan keilmuannya lebih didominasi oleh model

epistemologi bayani yang karenanya sulit berdialog dengan

tradisi epistemologi 'irfani dan burhani. Oleh karena itu, dalam

bagan di bawah penulis sebut sebagai corak atau model

dikotomis-atomistik. Ketiga kluster yang dinyatakannya masih

satu rumpun, tetapi secara praktis tidak dapat sejalan bahkan

tidak jarang saling mendiskreditkan satu sama lain. Akibat

hegemoni tersebut, model pemikiran keislaman tidak bersifat

luwes. Di samping itu, sistem epistemologi keagamaan Islam

menjadi kurang memperhatikan permasalahan keagamaan yang

bersifat kontekstual bahthiyyat. Jika model ini dipertahankan,

maka setidaknya pengembangan pola pikir bayani harus disertai

kemampuan memahami, berdialog, dan mengambil manfaat dari

hal-hal fundamental yang dimiliki oleh pola pikir 'irfani maupun

pola pikir burhani, demikian sebaliknya. Jika tidak, maka

pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam menuntaskan

problem-problem kontemporer akan sulit direalisasikan.330

330 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi Pendidikan di Asia Tenggara: Dari

Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik kearah integratif-interdisiplinary”, dalam

https://aminabd.files.wordpress.com/2010/06/islam-dan-modernisasi-pendidikan-di-asia-

tenggara-ugm-10-11-des-2004.pdf, h. 6-7. Diakses pada 18 Mei 2019

Page 185: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

173

Realitas konstruksi keilmuan yang dikembangkan di

PTAI masih terjebak pada diskursus normatif yang terlepas dari

dimensi historisnya. Menurutnya, hal ini menyebabkan substansi

ilmu agama yang menghendaki adanya jalinan harmonis antara

dimensi ilmiah dengan dimensi agama menjadi kabur. Hal

demikian karena bangunan keilmuan di PTAI belum menerapkan

model interconnected entities. Dengan model ini, suatu ilmu

tidak dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri dan terlepas

dari keterkaitan dengan ilmu yang lain atau tidak dapat

melakukan dialog metodologis dengan disiplin lain, tetapi

dipahami sebagai bangunan ilmu yang menyadari

keterbatasannya dalam memecahkan kompleksitas persoalan

manusia, lalu menjalin kerjasama dalam hal pendekatan, metode

berpikir, serta penelitian dengan ilmu lain.331

Sementara pada level praksis, praktisi suatu ilmu tidak

mengenal asumsi dasar keilmuan yang dibangun pada disiplin

ilmu yang lain, terlebih pada aspek metodologis. Fragmentasi ini

pada gilirannya berakibat pada stagnasi paradigma ilmu. Kajian

yang bersifat normatif menapikan setiap diskusi mengenai

asumsi dasar serta kerangka teori suatu ilmu, termasuk ilmu yang

menjadi bidang kekhususannya. Diskursus yang merupakan kerja

khas filsafat ilmu.

Menurut Amin Abdullah, sepinya diskursus filosofis ini

dikarenakan diskusi filsafat, terlebih filsafat ilmu, sangat dijauhi

fuqaha dan mutakallimun karena dianggap membingungkan

umat. Keadaan ini menyulitkan para pemikir untuk berijtihad

secara mandiri. Filsafat masih dicurigai dan dengan sendirinya

semakin mengukuhkan adanya dikotomi ilmu agama dengan ilmu

331 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi…

Page 186: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

174

umum. Hal ini mengakibatkan pengembangan ilmu keagamaan

semakin sulit direalisasikan.

Tokoh lain yang berbicara tentang integrasi ilmu adalah

Mulyadhi Kartanegara. Ia mengungkapkan pluralitas alat

epistemologi manusia yang difungsikan untuk mengkaji objek

ilmu yang juga bervariasi. Karena objek ilmunya bervariasi,

maka metode ilmiah yang digunakan juga beragam sesuai dengan

karakteristik objek yang diteliti. Karena semua objek ilmu

dihampiri secara metodis, maka setiap ilmu yang terbangun

memiliki basis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebelum itu, epistemologi Islam dibahas dalam refleksi

autobiografisnya yang berjudul Menembus Batas Waktu:

Panorama Filsafat Islam. Dengan ini, pemikiran mengenai

integrasi ilmu merupakan konsistensi dari pemikiran sebelumnya.

Gagasan integrasi ilmu, secara internal disampaikannya

sebagai respons bagi fakta dikotomi ilmu dalam Islam yang

membagi ilmu secara diametral pada ilmu agama dengan ilmu

umum. Menurutnya, problem dikotomi ilmu menguat seiring

diperkenalkannya sistem pendidikan sekuler ke dunia Islam.

Melalui fakta dikotomis ini, ilmu-ilmu agama diajarkan di

pesantren dan ilmu sekular diajarkan di sekolah. Puncak

dikotomi tersebut adalah penolakan terhadap validitas dan status

ilmiah satu sama lain. Kaum tradisional beranggapan bahwa ilmu

umum hukumnya bid’ah atau haram dipelajari sebab berasal dari

orang kafir. Di pihak lain, pendukung ilmu-ilmu umum

meragukan status ilmiah keilmuan agama dengan menyebutnya

sebagai pseudosains. Dikotomi tersebut pada gilirannya

Page 187: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

175

menimbulkan problem-problem derivat dalam sistem pendidikan

di Indonesia.332

Mulyadhi Kartanegara melihat ada enam problem yang

muncul dari masalah dikotomi tersebut. Pertama, ilmu-ilmu

umum tercerabut dari basis keagamaannya, demikian sebaliknya.

Ilmu agama sama sekali terlepas dari misi historis empirisnya.

Kedua, pendukung ilmu agama hanya menganggap valid ilmu

agama sebab bersumber dari kitab suci dan tradisi kenabian yang

bersifat absolut. Sebaliknya, ilmuwan sekuler hanya mengakui

validitas keilmuan yang diperoleh melalui observasi sebab

sumber ilmu berasal dari pengalaman. Ketiga, ilmu umum

berpendirian bahwa objek sah ilmu adalah objek yang dapat

diobservasi secara empiris. Sementara praktisi ilmu agama

menganggap bahwa objek-onjek non fisik sifatnya lebih mulia

daripada objek fisik. Keempat, pada sistem klasifikasi ilmu, sains

memfokuskan diri pada cabang ilmu fisika beserta remifikasinya.

Di pihak lain, pemuka agama mengutamakan ilmu agama

daripada ilmu umum. Kelima, sains hanya mengenal metode

observasi atau eksperimen. Sementara kaum agama menjauhkan

penggunaan pengamatan indrawi serta telaah rasional dalam

kajian ilmu agama. Keenam, sains hanya mengakui pengalaman

empiris yang bersifat objektif. Sementara ulama menekankan

pengalaman mistik dan religius yang seringkali mengabaikan

pentingnya pengalaman indrawi dan rasional.333

Problem-problem di atas disinyalir sebagai problem yang

muncul dari persoalan dikotomi ilmu yang menguat setelah

pemikiran sekuler diperkenalkan ke dunia Islam. Disebut

menguat sebab, sebenarnya persoalan dikotomi sudah terjadi di

332 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:

Mizan, 2015), 20. 333 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 22-31.

Page 188: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

176

wilayah internal Islam. Namun demikian, dikotominya masih

dipandang netral sebab setiap cabang ilmu masih mengakui

keabsahan cabang ilmu yang lain, tidak sampai saling

meniadakan atau menafikan.

Namun dalam pandangan Amin Abdullah, fakta

dikotomi ilmu disebut sebagai kecelakaan sejarah. Fakta ini telah

membuat Perguruan Tinggi Islam tidak mengenal tradisi ilmiah

gemilang yang telah dicapai umat Islam masa klasik, terlebih

dalam dinamika metodologi ilmu kealaman yang berkembang

sekarang ini, dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu-

ilmu keislaman yang ada sekarang.334

1. Konstruksi Sains Integratif

Menurut Amin Abdullah, secara teori, epistemologi

Islam yang berakar pada epistemologi bayani, ‘irfani dan

burhani masih berada dalam satu pohon epistemologi, tetapi

dalam praktiknya hampir tidak pernah beriringan. Pemikiran

keislaman lebih didominasi oleh epistemologi bayani yang

bersifat tekstual. Sebagai implikasi, pola pemikiran keagamaan

Islam menjadi kaku. Pemikiran keislaman yang berbasis teks

serta salafi menggeser sumber otoritas keilmuan lain seperti ilmu

kealaman (kawniyat), akal (‘aqliyat), atau intuisi (wijdaniyat).

Dominasi pola pemikiran tekstual bayani membuat sistem

epistemologi keagamaan Islam kurang memerhatikan isu-isu

keagamaan yang bersifat kontekstual.335

Amin Abdullah menunjukkan kelemahan fundamental

epistemologi bayani ketika berhadapan dengan teks-teks

keagamaan suatu komunitas, kultur, bangsa, atau masyarakat

334 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 13-14 335 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 6.

Page 189: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

177

beragama yang lain. Corak argumen tekstual-bayani biasanya

mencerminkan sikap mental yang dogmatik, defensif, apologis,

dan polemis. Hal demikian sangat mungkin terjadi sebab peranan

akal hanya digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran teks.

Padahal, pemahaman mengenai kebenaran suatu teks bersifat

subjektif. Peran akal dibatasi sebab nalar epistemologi bayani

pada dasarnya selalu mencurigai akal karena dianggap akan

memalingkan penafsiran dari teks itu sendiri. Menurutnya,

penyatuan teks dan akal pada gilirannya memunculkan kekakuan

dan ketegangan, disintegrasi, dan kekerasan (violence) yang

bersumber dari corak berpikir ini.336

Pada kondisi demikian, diperlukan keberanian untuk

merekonstruksi dan mereformulasi pemikiran Islam dalam

wilayah tasawuf-'irfani era kontemporer, seiring munculnya

tuntutan untuk lebih melihat dan mencermati kembali dimensi

spiritualitas dalam Islam. Jika sumber utama ilmu dalam

keilmuan bayani adalah "teks" (wahyu), maka sumber utama

ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir 'irfani adalah

"experience" (pengalaman).337

Secara praktis, Amin Abdullah memotret realitas

pandangan dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum.

Anggapan yang menyatakan bahwa ‚agama‛ dan ‚ilmu‛,

‚madrasah‛ dan ‚sekolah‛ adalah dua subjek yang tidak bisa

dipertemukan, masih tertanam kuat di kalangan masyarakat. Di

pihak lain, dalam dunia pendidikan Islam terdapat dua fenomena:

Pertama, pembelajaran ilmu agama Islam yang normatif-tekstual

terlepas dari perkembangan ilmu-ilmu umum. Kedua, pengajaran

ilmu kealaman diislamisasi dengan pola ayatisasi pada temuan

336 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 19 337 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 10.

Page 190: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

178

dan keberhasilan ilmu dan teknologi, tetapi tidak dimasukkan

dalam konteks perkembangan ilmu sosial dan humaniora.

Pendidikan dan pengajaran di sekolah dan madrasah dilakukan

secara terpisah dengan pola pengajaran yang dikotomis. Hal ini

pada gilirannya melahirkan krisis relevansi. 338

Di bagian lain, Amin Abdulah mengungkapkan realitas

relasi dan jaringan intelektual antara tradisi keilmuan ulum al-

din (religious knowledge), al-fikr al-islamiy (islamic

thought) dan dirasat islamiyat (islamic studies) yang dalam

tradisi intelektual Islam masih berpisah dan berjalan sendiri-

sendiri. Tugas ilmu keislaman kontemporer adalah

mendeskripsikan pola-pola interrelasi, mendamaikan, serta

mempertautkan di antara ketiganya. Hal demikian karena

hubungan ketiganya tidak bersifat hirarkis tetapi bersifat dialogis

dan negosiatif dan karena ketiganya sebenarnya bersaudara,

hanya saja berbeda secara metodologis.339

Atas dasar itu,

Perguruan Tinggi Agama harus mengkaji ulang visi, misi, dan

paradigma keilmuan yang dibangun dan dikembangkannya,

demikian halnya dengan Perguruan Tinggi Umum yang sudah

mapan. Bangunan ilmu yang dikotomik harus diubah menjadi

bangunan keilmuan baru yang lebih integralistik atau paling

tidak keduanya bersifat komplementer.340

338 Amin Abdullah, “Integras i Epis temologi Keilmuan Umum Dan

Agama Dalam Sis tem Sekolah Dan Madrasah (Ke ar ah rumusan baru

Filsafa t Pendidikan Is lam yang integra l is t ik)” , da lam

https://aminabd.wordpress.com/2010/ 04/30/integrasi-epistemologi-keilmuan-umum-dan-

agama-dalam-sistem-sekolah-dan-madrasah/ 339 Amin Abdullah, “Mempertautkan Ulum Al -Din, Al-Fikr Al-Is lamiy

Dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Is lam untuk

Peradaban Global” , da lam

https://aminabd.wordpress.com/2010/06/20/mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-

islamiy-dan-dirasat-islamiyyah-sumbangan-keilmuan-islam-untuk-peradaban-global/, 340 Amin Abdullah, “Integras i Epis temologi Keilmuan…

Page 191: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

179

Menurut Amin, prasyarat yang harus dipenuhi untuk

mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan Islam (ulum al-din) dan

studi keislaman pada umumnya (islamic studies/dirasat

islamiyat) adalah perlunya persentuhan dan dialog secara intensif

dengan filsafat ilmu dan dengan disiplin keilmuan sejenis yang

lain khususnya yang terkait dengan ilmu-ilmu sosial dan

humanities seperti sejarah, sosiologi, filsafat, linguistik, kritik

sastra, hermeneutika cultural studies, psikologi, antropologi,

demikian seterusnya. Perpaduan antara keduanya disebut

teoantroposentrisme.341

Untuk itu, diperlukan adanya gerakan kesediaan saling

menerima perbedaan atau gerakan integrasi epistemologi

keilmuan untuk mengantisipasi perkembangan yang serba

kompleks dan tidak terduga.342

Integrasi yang sebelumnya

disebut sebagai jaring laba-laba. 343

Satu hal yang menarik dari

teori spiderweb keilmuan ini adalah positioning Alquran di

tengah kompleksitas perkembangan keilmuan. Hal ini

menegaskan bahwa epistemologi Islam menempatkan Alquran

sebagai sumber utama pengetahuan, sekalipun diakui bukan satu-

satunya sumber.

341 Amin Abdullah, “Profil Kompetensi Akademik Lulusan Program Pascasarjana

Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Era Masyarakat Berubah”, dalam

https://aminabd.files.wordpress.com/2010/06/makalah-24-25-nop-20021.pdf, h. 11-12, 342 Amin Abdullah, “Integrasi Epistemologi Keilmuan… 343 Horison spider web yang bersifat peta konsep tersebut memiliki empat

pemaknaan. Pertama, ada keterhubungan antar setiap item dalam peta itu satu sama lain

yang disebut keilmuan integratif. Kedua, semua keilmuan itu berpusat pada al-Qur‟an dan

Sunnah yang ditempatkan secara hirarkis berdasarkan tingkat abstraksi dan applied-nya.

Ketiga, item-item yang terdapat dalam satu lapis lingkar menunjukkan kesetaraan dilihat

dari tingkat abstraksi atau teoretisnya. Keempat, garis pemisah antara satu item dengan

item lain dalam satu lapis lingkar tidak dapat dipahami sebagai garis pemisah. Dalam peta

konsep tersebut, al-Qur‟an dan al-Sunnah berkedudukan sebagai sumber utama ilmu,

setelah itu ilmu ushuluddin, ilmu teoretik, dan terakhir ilmu aplikatif. Parluhutan Siregar,

“Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah”, MIQOT Vol.

XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014, 344

Page 192: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

180

Paradigma keilmuan baru yang menyatukan dan bukan

sekedar menggabungkan antara wahyu Tuhan dan hasil

penelitian ilmuwan (ilmu-ilmu holistik-integralistik) tidak akan

berimplikasi pada sikap mengecilkan peran Tuhan (sekularisme)

atau mengucilkan manusia sehingga terasing dari dirinya sendiri,

lingkungan masyarakatnya, dan lingkungan hidup sekitarnya.

Konsep integralisme dan reintegrasi epistemologi keilmuan

sekaligus diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara

sekularisme ekstrim dengan fundamentalisme negatif agama-

agama yang kaku dan radikal dalam banyak hal. Keilmuan yang

terintegrasi dan berbasis moralitas keagamaan yang humanis ini

dituntut supaya dapat masuk ke wilayah-wilayah yang lebih luas

seperti Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Social Work,

Lingkungan, Kesehatan, Bioteknologi, Ekonomi, Politik,

Hubungan Internasional, Hukum dan Peradilan, dan keilmuan

lainnya. 344

Secara praktis, model integrasi ini merealisasi pada

kelahiran UIN sebagai hasil migrasi dari IAIN. Bahwa harapan

pengembangan IAIN menjadi UIN adalah lahirnya pendidikan

Islam yang ideal di masa depan yang lepas dari bias-bias

dikotomis antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti

yang telah berjalan sebelumnya.345

Struktur keilmuan dalam gagasan integrasi ilmu terdiri

dari tiga kategori, yaitu ‘ulum al-din (religious knowledge), al-

fikr al-islami (islamic thought) dan dirasah islamiyah (islamic

studies). Yang pertama merupakan pengetahuan berbasis teks,

344 Amin Abdullah, “Profil Kompetensi Akademik… 345 Amin Abdullah, “Integras i Epis temologi Keilmuan…

Page 193: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

181

yang kedua pengetahuan berbasis rasio, dan yang ketiga

merupakan pengetahuan berbasis pengalaman.346

Pada Mulyadhi Kartanegara, gagasan integasi ilmu

menempatkan tauhid sebagai pilar prinsipilnya. Prinsip yang

menjadi prinsip pertama dan utama para pemikir muslim. Dengan

prinsip ini, semua gagasan pemikiran integratif tentang ilmu

dikerangkai serta dipayungi oleh tauhid. Di antara tafsir filosofis

tentang tauhid, Mulyadhi Kartanegara memilih konsep tauhid

Mulla Sadra sebagai basis bagi upaya integrasi ilmu.

Sebagaimana diketahui, pemikiran Mulla Sadra tentang

tauhid bermuara pada konsep wahdah al-wujud yang merupakan

kelanjutan dari pemikiran penggagas awalnya, yaitu Ibn ‘Arabi.

Konsep wahdah al-wujud Mulla Sadra sendiri tampak memiliki

kedekatan intepretasi dengan filosof terdekat dengannya, yaitu

Suhrawardi dengan pemikiran filsafatnya yang terkenal, yaitu

filsafat cahaya. Oleh karena itu, untuk memudahkan memahami

alur pemikiran Mulyadhi Kartanegara tentang basis tauhid

integrasi ilmu, tampaknya akan semakin jelas apabila

menguraikan dua pemikiran filsafat yang menginspirasinya,

antara lain pemikiran filsafat Mulla Sadra.

Konsep kesatuan wujud itulah yang dijadikan prinsip

dasar integrasi ilmu oleh Mulyadhi Kartanegara. Prinsip kesatuan

wujud menjadi basis utama integrasi objek-objek ilmu dan pada

saat yang sama menjadi basis bagi yang lainnya sebagai

implikasi, yaitu bagi sumber ilmu, klasifikasi ilmu, metode

ilmiah, dan sebagainya. Sebagai basis bagi integrasi objek ilmu,

konsep wahdah al-wujud Mulla Sadra berguna untuk

mengafirmasi status ontologis objek ilmu yang terdiri dari objek

fisik, matematik, dan metafisik. Hal demikian pada gilirannya

346 Amin Abdullah, “Mempertautkan „Ulum al-Din,…

Page 194: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

182

mengafirmasi keabsahan status ilmiah metode yang

digunakannya.347

Berdasarkan paradigma wahdah al-wujud, objek-objek

ilmu, sumber, metode, sistem klasifikasi, atau pengalaman

manusia adalah satu pada hakikatnya, yaitu bermuara pada

konsep tauhid. Objek-objek ilmu dalam sistem epistemologi

Islam dipahami dalam keterkaitannya dengan wujud spiritual

yang pada tingkatan tertingginya berhenti pada wujud tunggal,

Allah. Kesemua wujud tersebut pada dirinya adalah sebagai

objek ilmu yang secara prinsip dapat diketahui manusia sebab

manusia merupakan makhluk multidimensi sehingga

pengalamannya bersifat kompleks, mulai dari pengalaman

empiris, pengalaman rasional, serta pengalaman intuitif.

Dalam buku Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi

Holistik, Mulyadhi Kartanegara melakukan integrasi pada

integrasi objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu, integrasi

sumber ilmu, integrasi pengalaman manusia, integrasi metode

ilmiah, integrasi penjelasan ilmiah, serta integrasi ilmu teoretis

dan praktis. Sesuai dengan fokus penelitian, penulis memilah

tema pada integrasi ontologi ilmu, integrasi epistemologi ilmu,

dan integrasi aksiologi ilmu. 348

a. Integrasi Ontologi Ilmu

Dalam filsafat Islam, fenomena alam tidak dipandang

otonom tanpa keterkaitannya dengan kekuasaan Tuhan. Hal ini

diungkap secara rasional oleh para filosof muslim, antara lain al-

Farabi. Dalam pandangannya, setiap objek ilmu bukan

merupakan objek mandiri tetapi selalu memiliki nilai spiritual.

347 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik, 37-40. 348 Selanjutnya lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi

Holistik, 22-150

Page 195: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

183

Nilai ini berupa interrelasi objek fisik dengan entitas-entitas

spiritual. Interrelasi tersebut ditunjukkan pada salah satu bidang

ilmu yang disebut astrologi. Berdasarkan pengamatannya,

peristiwa di dunia sangat mungkin ditentukan oleh sebab-sebab

partikular tertentu. Dalam hal ini, benda-benda samawi

mempunyai pengaruh kausal tertentu atas peristiwa duniawi.349

Sebaliknya, energi pada benda material tertentu

terhubung dengan daya langit sehingga setiap pergerakan atau

proses evolusi pada suatu benda fisik hanya dapat dipahami

melalui keterkaitan kausal dari pengaruh benda-benda langit.

Daya-daya yang mempengaruhi tersebut diidentifikasi sebagai

akal, jiwa, atau nafs.350 Dengan ini, tidak ada satu benda fisik

yang terlepas dari akal-akal langit sebab keberadaannya sendiri

merupakan pelimpahan dari akal-akal tersebut.

Dalam kerangka integrasi objek ilmu, hal ini

menunjukkan bahwa secara ontologis, keilmuan empiris

memusatkan diri pada telaah objek yang dipandang sebagai tanda

kekuasaan Tuhan. Secara tekstual, tanda ini merealisasi pada

ayat-ayat yang tercantum dalam Alquran. Dengan demikian,

dalam posisinya sebagai tanda, tidak ada pretensi hirarkis di

antara keduanya. Kedua objek ini bersatu dalam statusnya

sebagai ayat-ayat Allah.

Berdasarkan klasifikasi ayat Tuhan pada ayat-ayat

qawliyat (qur’aniyat) dan ayat-ayat kawniyat, keduanya merujuk

pada sumber yang sama, yaitu Tuhan sebagai sumber segala

kebenaran. Titik temunya tidak lain adalah pada ayat-ayat Tuhan

349 Madjid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta:

Pustaka Jaya, 1987), 71. 350 Herbert A. Davidson, Alfarabi, Avicenna, & Averroes, on Intelect Their

Cosmologies, Theories of the Active Intellect & Theories of Human Intellect (New York:

Oxford University Press, 1992), 47.

Page 196: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

184

yang berupa kitab di satu pihak, dan alam semesta sebagai

representasi ideal dari kitab tersebut di pihak lain. Dilihat dari

kedudukannya yang sama-sama sebagai ayat Allah, baik ayat

Alquran maupun alam memiliki hubungan yang sama dari sisi

sumber. Apabila yang satu disebut sakral, maka yang lain berbagi

sakralitas tersebut. Sebagai tanda Ilahi, alam tidak dipandang

independen dari realitas lainnya yang dianggap lebih tinggi.

Sebagai ayat yang realitasnya satu dan sama, keduanya

berhubungan secara positif, tidak bersifat eksklusif, tetapi saling

merasuk satu sama lain.

Kesamaan status ontologis kedua objek ilmu tersebut

pada gilirannya berujung pada sebuah kesimpulan tentang

kesamaan keilmuannya. Ilmu alam tidak lebih ilmiah daripada

ilmu agama, demikian sebaliknya. Ilmu agama tidak lebih mulia

daripada ilmu alam, demikian sebaliknya. Dalam statusnya

sebagai ayat Allah keduanya sama-sama ilmiah dan mulia. Jika

pada Sadra yang dinyatakan bahwa segala wujud yang ada pada

hakikatnya satu dan sama, yang tampak membedakan satu dari

lainnya hanyalah gradasi yang disebabkan oleh perbedaan dalam

esensinya. Pada Mulyadhi dinyatakan bahwa semua objek

penelitian, baik yang bersifat fisik, matematik, maupun

metafisik, pada dasarnya adalah satu dan sama serta memiliki

status ontologis yang sama kuatnya. Dengan begitu, semua

tingkat wujud dapat dijadikan sebagai objek penelitian yang

valid sebab realitas ontologis mereka telah ditetapkan.

Dalam pemaknaan inilah, konsep wahdah al-wujud Mulla

Sadra memiliki relevansi dengan gagasan integrasi ilmu

Mulyadhi Kartanegara. Sebagai basis bagi integrasi objek-objek

ilmu, konsep wahdah al-wujud berguna untuk menegaskan status

ontologis objek-objek ilmu yang dalam tradisi positivisme

Page 197: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

185

dibatasi pada objek fisik saja. Dengan mengafirmasi semua objek

ilmu dalam kerangka wahdah al-wujud, maka status ontologis

semua kelas objek ilmu diakui dan dipandang sama. Dengan

kejelasan status ontologis mereka, maka varian objek ilmu dapat

dijadikan objek yang sah.

Lebih jelasnya, integrasi ontologis dapat dipahami

sebagai integrasi objek-objek ilmu sebagai sebuah sistem terpadu

dari objek-objek yang bersifat metafisik, imajinal, dan fisik yang

disajikan secara utuh. Objek-objek ilmu tidak dibatasi hanya

pada bagian tertentu dengan mengabaikan objek-objek yang lain.

Sesuai dengan konsep wahdah al-wujud, wujud-wujud yang

mengisi rangkaian wujud ini merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisah atau diperlakukan secara pilih kasih. Integrasi ontologis

meniscayakan sebuah sistem epistemologi holistik sehingga

keseluruhan wujudnya harus diperlakukan sama dengan status

ontologis yang sama kuat pula.

b. Integrasi Epistemologi Ilmu

Karakter manusia sebagai makhluk multidimensi

menunjukkan kekayaan pengalaman manusia. Manusia memiliki

potensi untuk mengetahui keseluruhan pengalaman tersebut. Jika

sains hanya membatasi pada pengalaman empiris saja, maka

pembatasan tersebut cenderung mereduksi fitrah pengalaman

manusia yang lainnya, yaitu pengalaman rasional serta

pengalaman intuitif. Reduksi tersebut didasarkan pada fakta

bahwa manusia memiliki potensi indra, potensi akal, serta

potensi hati yang berperan dalam proses mengetahui wilayah

yang berada dalam kapasitas kompetensinya. Indra berkompeten

dalam mengetahui wilayah empiris, akal berpotensi mengetahui

Page 198: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

186

wilayah rasional, sementara hati berpotensi mengetahui wilayah

metafisik.

Dalam kerangka wahdah al-wujud, jika semua objek ilmu

berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan, maka secara

rasional harus ada alat yang mampu memahami objek-objek

tersebut. Sebagai makhluk multidimensional, manusia memiliki

keseluruhan alat itu, yaitu indra, akal, dan hati. Sebagaimana

objek-objek ilmu, alat ilmu pun berasal dari sumber yang sama,

yaitu Allah. Logikanya, jika Allah menciptakan berbagai objek

ilmu, maka harus ada alat yang mampu untuk mengetahuinya.

Selanjutnya dapat pula disimpulkan bahwa secara teori alat

tersebut mestilah mampu mengetahui objek yang diketahui

secara objektif. Maka indra merupakan alat yang berkompeten

menelaah dan membentuk pengetahuan empiris, akal

berkompeten menelaah dan mengkonstruksi pengetahuan

rasional, dan hati berkompeten untuk mengetahui dan

mengkonstruksi pengetahuan intuitif. Sebagaimana keabsahan

dan kekuatan status ontologis objek yang dikaji, demikian

dengan status keabsahan dan objektivitas alat ilmunya.

Setiap alat memiliki kekuatannya masing-masing dalam

memeroleh pengetahuan. Pengamatan indra dapat mengenal

objek-objek fisik dari berbagai dimensinya, bentuk, bunyi, bau,

raba, dan rasanya. Di samping itu, pengamatan indra juga bisa

menghasilkan pengetahuan mengenai manfaat atau bahaya

objek-objek yang dicerap indra. Untuk kepentingan ilmiah,

kekuatan indra ini semakin dipertajam oleh alat-alat bantunya,

seperti pengukuran yang berperan dalam melakukan pengukuran

terhadap tekanan darah, tekanan udara, bahkan mengukur suhu

udara. Alat bantu lainnya adalah observatorium yang

Page 199: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

187

memungkinkan pengamatan indra menjadi lebih akurat

berkenaan dengan benda-benda fisik yang berjarak jauh.

Untuk mengetahui objek-objek non-indriawi, dapat

dilakukan dengan menempuh salah satu di antara cara intelektual

melalui penyelidikan akal atau melalui pengamatan hati

(intuitif). Akal mampu menjangkau objek-objek yang tidak dapat

dicapai indra. Akal dapat menangkap bentuk-bentuk abstrak

yang tidak tertangkap panca indra. Dengan metode yang tepat,

akal dapat terhindar dari miskonsepsi terhadap objek yang

ditangkapnya. Adapun pengamatan intuisi dapat dilihat dari sifat

kelangsungannya, yaitu terjadi pengenalan langsung terhadap

objeknya tanpa perantara. Hal ini terjadi karena telah terjadi

proses identifikasi antara yang mengetahui dengan yang

diketahui. Identitas antara subjek dengan objek terjadi karena

subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui tidak lain

adalah diri sendiri.

Dalam epistemologi Islam, sebagaimana diketahui

sebelumnya, terdapat pluralitas metodologi, antara lain metode

observasi, metode rasional, dan metode intuitif yang memiliki

relevansi dengan alat epistemologinya yang khas. Metode

observasi menekankan peran indra dalam mengkonstruksi ilmu,

metode rasional menekankan peran akal, sementara metode

intuitif menekankan peran hati, atau disebut juga dengan metode

tajribi, metode burhani, dan metode ‘irfani.

Dalam kerangka wahdah al-wujud, metode-metode

tersebut harus dipandang sah sebab perbedaannya bukan karena

kualitasnya sebagai metode tetapi karena perbedaan sifat dasar

objek yang diteliti. Dengan begitu, status keilmuan ketiga

metode tersebut adalah ilmiah sekalipun objek-objek

penelitiannya tidak hanya meneliti wilayah fisik. Inilah yang

Page 200: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

188

dimaksud integrasi epistemologi dalam pemikiran Mulyadhi

Kartanegara.

c. Integrasi Aksiologi Ilmu

Aksiologi membahas, antara lain mengenai masalah

validitas ilmu serta kemanfaatan ilmu. Mengenai integrasi

aksiologi ilmu, tampak bahwa Mulyadhi Kartanegara pun

melihatnya dari kedua sisi itu. Mengenai validitas ilmu, jika

objek dan metodenya sudah dianggap legitimate, maka validitas

suatu ilmu juga dipandang legitimate. Ilmu apapun, baik ilmu

empiris, ilmu rasional, atau metafisika, ketiganya dipandang

valid apabila dihampiri oleh metode yang relevan. Dengan ini,

definisi ilmu sebagai pengetahuan sistematis menemukan

maknanya. Selama suatu pengetahuan disistematisasi oleh

metode ilmiah khasnya, maka ia layak didefinisikan sebagai

sebuah disiplin ilmu.

Nilai validitas setiap ilmu, tidak diposisikan secara

hirarkis. Sebab semuanya dihampiri oleh metode khasnya,

metode yang kompatibel dalam menelaah objeknya. Disebut

metode khasnya sebab setiap metode hanya berkompeten

menelaah objek yang relevan dengan karakter metodisnya.

Karena hanya berkompeten menelaah objek relevannya, maka

objek selainnya tidak dapat diteliti. Bukan masalah keterbatasan,

tetapi lebih merupakan sebuah keniscayaan sebab potensi

mengetahuinya tidak ada. Ibarat kemampuan terbang yang tidak

dimiliki seekor rusa sama sekali bukan merupakan kelemahannya

sebab tidak ada potensi terbang padanya. Dengan ini, validitas

setiap tradisi keilmuan diintegrasikan berdasarkan objek serta

metodenya.

Page 201: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

189

Setiap ilmu memiliki fungsi deskriptif. Melalui integrasi

ilmu, deskripsi ilmu tidak hanya berisi penjelasan sebab

materialnya, tetapi juga berisi penjelasan mengenai sebab efisien,

sebab formal, dan sebab final. Menurut Mulyadhi Kartanegara,

keempat sebab ini tidak dijadikan bagian penjelasan keilmuannya

kecuali hanya memuat penjelasan mengenai sebab efesien.

Karena, sebab material dan sebab formal dianggap kuno dan

tidak memiliki makna atau nilai yang signifikan kecuali dalam

estetika. Demikian halnya dengan sebab final yang telah lama

disingkirkan dari fisika. Dengan demikian, satu-satunya sebab

yang masih diperhatikan pada masa modern adalah sebab efisien

yang dipandang sebagai sebab terjadinya gerak atau perubahan.

Sekalipun terbuka untuk diikuti, menurut Mulyadhi Kartanegara,

langkah sains modern ini bersifat timpang dan distorsif dari

sudut pandang keilmuan yang integral dan holistik.

Pandangan ilmiah yang holistik mesti dibangun dengan

menyertakan keempat penjelasan tersebut, yaitu penjelasan

tentang sebab formal, sebab material, sebab efisien, dan sebab

final. Hal demikian karena pandangan ilmiah yang holistik,

penjelasannya tidak memadai jika hanya menggunakan satu

sebab saja. Sebab telaah holistik menghendaki pengenalan

sebuah objek dari berbagai dimensinya.

Dalam Islam, keempat prinsip sebab ilmiah ini

diperhatikan. Pemahaman komprehensif mengenai keempat

sebab ini akan berujung pada pandangan yang komprehensif pula

mengenai realitas. Sebab material mempertanyakan sebab wujud

yang terkait dengan bahan, sebab formal mempertanyakan

bentuk sesuatu sehingga disebut sesuatu, sebab efisien

mempertanyakan proses rasional mewujudnya sesuatu, dan sebab

final mempertanyakan tujuan adanya sesuatu. Jika suatu objek

Page 202: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

190

dibedah berdasarkan empat prinsip sebab tersebut, maka

pandangan yang diintegrasikan oleh prinsip tauhid akan

merealisasi dengan baik. Dengan pandangan ini, setiap objek

akan senantiasa terhubung dengan Tuhan serta melahirkan

interpretasi yang berbasis hikmah.

Sebab material suatu benda merujuk pada bahan atau

wujud yang secara real merupakan tanda kekuasaan Allah. Benda

tersebut pada hakikatnya merupakan derivat dari wujud mungkin

yang aktualisasinya ke dalam dataran eksistensi meniscayakan

adanya Wujud Wajib, yaitu Tuhan. Sebab efektif terdekat suatu

benda adalah sebab sebelumnya yang menjadikan benda tersebut

sebagai akibat. Dalam rangkaian teori kausalitas, rangkaian

rasional dari sebab efektif berujung pada Sebab Pertama, yakni

Tuhan, yang menjadi sebab keberadaan seluruh wujud. Sebab

formal suatu benda menunjuk pada akhir sebuah proses mawjud

suatu benda yang tidak mungkin terlahir dari benda itu sendiri.

Bentuk suatu benda meniscayakan adanya kreasi sempurna, yang

apabila dilacak sampai ke ujungnya akan sampai pada Tuhan.

Sementara sebab final suatu benda, lagi-lagi secara rasional akan

mengantarkan pengkajinya pada Tuhan, sebab tujuan mawjud

suatu benda tidak mungkin terlahir dari dirinya kecuali dari

Tuhan. Penjelasan komprehensif mengenai suatu objek

melahirkan nilai serta makna yang didasari oleh pandangan

tauhid pola wahdah al-wujud.

2. Sosialisasi Sains Integratif

Pemikiran Amin Abdullah sebenarnya dapat juga dilihat

dalam konteks islamisasi sains, tetapi kerangka berpikirnya

berbeda. Islamisasi sains Amin Abdullah mengambil bentuk

dialog dan integrasi antara agama dengan sains. Kedua

Page 203: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

191

pendekatan ini digunakan untuk membentuk konstruk berpikir

umat dalam mengembangkan sikap keberagamaan serta konstruk

berpikir praktisi ilmu dalam mengembangkan pendekatan baru

dalam kajian ilmu agama. Bentuk hubungan ini menjadi asumsi

dasar pemikiran khas tokoh islamisasi sains. Gagasan ini

tampaknya telah menginspirasi beberapa PTAI untuk

menerapkannya ke dalam struktur penyajian kurikulum sejak

dekade tahun terakhir, sekalipun konsepnya masih bervariasi.

Karena itu, pengembangan dan konversi IAIN menjadi

UIN pada dasarnya merupakan proyek keilmuan dan upaya untuk

membenahi serta menyembuhkan luka dikotomi ilmu. Proyek ini

meniscayakan perlunya dialog dan kerjasama antara disiplin ilmu

umum dan agama, melalui pendekatan interdisipliner,

interkoneksitas, dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu.351

Jika dilihat substansi gagasannya, pemikiran Amin

Abdullah tampaknya tidak terlepas dari konteks pemikiran

sebelumnya. Terdapat konsep teoantroposentris, dediferensiasi,

dan objektivikasi yang awalnya merupakan pemikiran

Kuntowijoyo. Perumusan ulang paradigma bersumber dari

pemikiran Thomas Kuhn, dan penafsiran teks terilhami dari

Derrida dan Habermas. Implikasi dari pemikiran tersebut adalah

studi keislaman yang selalu berada dalam kondisi on going

process, sebab semua pemikiran senantiasa berada dalam konteks

historis tertentu.

Sekalipun demikian, gagasan Amin Abdullah tetap

merupakan terobosan baru dalam era kegamangan metodologis

ini. Pendekatan interconnected entities yang ditawarkannya

merupakan respons terhadap dua problem kemanusiaan

sekaligus, yaitu rekonstruksi pendekatan kajian agama dengan

351 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 17

Page 204: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

192

memberikan dasar-dasar konstruk teori keilmuan maupun

rekonstruksi pola hubungan antaragama.352

Lain halnya dengan Mulyadhi Kartanegara. Ia lebih

menggunakan media tulisan untuk mensosialisasikan

gagasannya. Secara keseluruhan, karya-karyanya berbicara

tentang epistemologi Islam dengan penekanan pada dimensi

pluralitas. Karya-karyanya sebagian sudah diterjemahkan de

dalam bahasa Inggris sehingga cakupan seminasi gagasannya

lebih luas.

3. Kritisasi Gagasan Sains Integratif

Amin Abdullah memandang perlu usaha

menginterkoneksikan ilmu agama dan ilmu sekuler yang tampak

tidak sejalan supaya integrasi ilmu tidak mengalami hambatan.

Interkoneksitas merupakan usaha untuk memahami kompleksitas

kehidupan manusia, sehingga setiap konstruksi ilmu tidak dapat

berdiri sendiri tetapi terhubung satu sama lain. Sekalipun

demikian, pendekatan integratif-interkonektif tidak berpretensi

untuk membuat bias batas keilmuan umum dan agama. Inti dari

pendekatan ini bertujuan supaya terjadi proses objektivikasi

sehingga suatu ilmu dilihat oleh non muslim sebagai suatu yang

natural sekalipun oleh orang Islam dipandang sebagai perbuatan

keagamaan. Proses ini berbeda dengan yang terjadi pada

islamisasi ilmu karena pendekatan integrasi interkoneksi bersifat

saling menghargai di antara ilmu-ilmu yang terkoneksi dan

karena itu masing-masing ilmu telah memiliki basis

epistemologi, ontologi, dan aksiologi yang mapan. Bersama itu,

dicari letak persamaannya untuk kemudian memasukkan nilai-

nilai Islam, yaitu tauhid, akhlaq al-karimat dan prinsip rahmat li

352 Parluhutan Siregar, “Integrasi Ilmu-Ilmu… h. 349

Page 205: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

193

al-‘alamin ke dalamnya.353

Dengan cara ini, ilmu agama dan ilmu

umum dapat bekerja sama tanpa saling mengalahkan.

Mencermati problem gagasan integrasi dalam islamisasi

sains dan juga dalam integrasi ilmu, diperlukan sebuah integrasi

konstruktif yang memberikan kontribusi baru yang tidak

diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Diperlukan pola

integrasi yang dapat menghindarkan diri dari dampak negatif

yang mungkin muncul jika ilmu umum dan ilmu agama

dibedakan. Pengikisan atau pembiasan sangat mungkin terjadi

jika suatu ilmu yang memiliki karakter berbeda diintegrasikan.

sebaliknya, superiorisme, fanatisme, atau eksklusivisme juga

sangat mungkin terjadi apabila ilmu-ilmu tersebut dipisahkan.

Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan

islamisasi ilmu terletak pada hubungan antara ilmu umum

dengan ilmu agama. Dalam pendekatan islamisasi ilmu terjadi

pemilahan, pemisahan, dan pelumatan ilmu umum oleh ilmu

agama. Sementara dalam pendekatan integrasi interkoneksi lebih

menunjukkan adanya penghargaan terhadap keilmuan umum

yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki

basis epistemologi, ontologi, dan aksiologi yang mapan, sambil

mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach)

dan metode berpikir (procedure) antar keilmuan dan

memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya, sehingga keilmuan

umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling

mengalahkan.354

Di sisi lain, pemikiran integrasi ilmu yang pada awalnya

merupakan sebuah upaya membangun landasan epistemologis

yang kukuh bagi studi keislaman yang terdominasi oleh arus

353 Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, EQUILIBRIUM, Volume 1, No.1,

Juni 2013, 63-64 354 Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, h. 69

Page 206: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

194

epistemologi Barat. Hal demikian merupakan problem tersendiri

bagi perkembangan tradisi keilmuan dalam Islam. Perbedaan

yang substansial antara sistem epistemologi Islam dengan sistem

epistemologi Barat membuat keduanya tidak dapat

menyumbangkan substansi pemikirannya bagi pengembangan

tradisi keilmuan yang lain, kecuali sebatas dialog untuk

menegaskan perbedaan keduanya, bukan titik temu. Memang

apabila dipaksakan, titik temu dapat pula ditemukan, tetapi

bukan dalam kapasitas pertemuan gagasan tetapi sebagai

penegasan argumentasi bagi konsistensi gagasan tradisi filsafat

masing-masing.

Di samping itu, Amin Abdullah memetakan lapis-lapis

lingkar spiderweb-nya masih pada tataran filosofis. Dengan

demikian, pemikirannya menyisakan persoalan metodologis. Ia

tidak mendeskripsikan cara mengelaborasi pemikirannya menjadi

teori untuk dapat menjawab isu kontemporer sebagaimana yang

diungkapkannya. Dengan kalimat lain, gagasannya belum

dikembangkan ke arah perumusan teori-teori ilmiah yang dapat

diterapkan. Padahal, tema integrasi ilmu merupakan tema yang

diusung PTAI dalam merumuskan struktur kurikulumnya akhir-

akhir ini.

Pada tempat lain dinyatakan bahwa untuk menghindari

kekakuan dan rigiditas dalam pemikiran keagamaan yang

bersumber pada teks, epistemologi ‘irfani dapat dilibatkan

sebagai kontrol perimbangan pemikiran dari dalam (internal

control). Namun kemudian dinyatakan bahwa status dan

keabsahan metode 'irfani selalu dipertanyakan baik oleh tradisi

berpikir bayani atau burhani. Epistemologi bayani meragukan

validitasnya karena dianggap terlalu bebas sehingga tidak

mengikuti pedoman yang dikehendaki teks. Di pihak lain,

Page 207: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

195

validitasnya juga diragukan oleh epistemologi burhani karena

dipandang tidak mengikuti kaidah berpikir logis. Terlebih jika

dikaitkan dengan dinamika sejarah epistemologi ‘irfani, citra

positif epistemologi 'irfani sulit dikembalikan.355

Hal yang sama ditemukan dalam pemikiran integrasi

ilmu versi Mulyadhi Kartanegara. Di banyak tempat ditemukan

pemikiran hirarkis, baik pada dimensi ontologis, epistemologis,

maupun aksiologis. Secara ontologis, dinyatakan bahwa dalam

Islam objek atau entitas metafisik lebih ril dibanding objek fisik.

Hal demikian karena entitas metafisik merupakan sumber

eksistensi objek-objek fisik. Secara epistemologis, terdapat

pemikiran hirarkis tentang status validitas pemerolehan ilmu

oleh alat epistemologi. Bahwa indra memiliki keterbatasan yang

hanya dapat ditutupi ketika akal dilibatkan. Demikian dengan

akal yang memiliki keterbatasan. Dinyatakan bahwa alat

epistemologi hati dapat mencapai hakikat kebenaran.

Menurut Mulyadhi Kartanegara, indra mampu menggali

informasi dari objek-objek empiris, namun tidak semua objek

terekam dengan sempurna. Oleh karena itu, manusia memerlukan

alat lain yaitu akal yang mampu melengkapi segala kekurangan

yang dimiliki panca indra melalui kemampuannya menangkap

esensi suatu benda melalui abstraksi atau menangkap bentuk-

bentuk abstrak yang tidak diperoleh melalui pengindraan. Akal

mampu menangkap substansi non fisik yang disebut ma’qulat

(intelligibles). Namun demikian, akal memiliki kekurangan yang

fundamental karena ada banyak hal besar yang di luar

jangkauannya, yaitu menembus sampai ke jantung realitas.

Realitas ini hanya dapat diketahui hati dengan mengetahui

355 Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi… , h. 19

Page 208: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

196

secara langsung dan akrab objek yang diteliti.356

Pada intinya,

pandangan tersebut menyatakan bahwa aktualisasi tertinggi dari

potensi mengetahui manusia adalah hati. Hati baru mengaktual

secara sempurna apabila indra dan akal sudah mengaktual secara

sempurna pula.

Persoalannya menjadi sangat substansial, yaitu

bagaimana proses integrasi dapat dilakukan pada sesuatu yang

sejak awal tidak diposisikan secara setara. Dengan demikian,

perlu adanya gagasan yang dapat menjabarkan pemikiran

filosofis tersebut menjadi prinsip-prinsip metodologis sehingga

pemikirannya tentang keterkaitan antar ilmu dapat merealisasi

sebagai model pemikiran yang merepresentasikan gagasan

integrasi ilmu yang banyak diadopsi oleh Perguruan Tinggi di

Indonesia.

C. Analisis Paradigma Sains Islam dan Sains Integratif dalam

Konteks Relasi Pluralisme Metodologi

Paradigma sains Islam dan sains integratif merupakan

wacana yang terkait dengan hubungan sains dan agama. Pola

hubungan ini telah menjadi konsern beberapa ilmuwan di bidang

ini, misalnya Ian Barbour yang membagi bentuk relasi agama dan

sains pada empat kategori, yaitu konflik, independen, dialog, dan

integrasi. Stenmark membuat lima kategori bentuk relasi, yaitu

pandangan independen yang memandang antara agama dan sains

tidak saling terkait, pandangan kontak yang melihat ada

keterkaitan antara agama dengan sains, pandangan penyatuan

yang menilai bahwa agama dan sains memiliki persoalan dan

tujuan yang sama, pandangan perluasan sains yang menyeluruh,

dan pandangan perluasan agama yang menyeluruh yang

356 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 105-112

Page 209: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

197

memandang agama sepenuhnya dapat menggantikan sains dalam

memberikan penjelasan tentang realitas serta fungsi lainnya.357

Dalam hal ini, paradigma sains Islam dan sains integratif

tampaknya cenderung termasuk ke dalam bentuk relasi integrasi.

Islamisasi dilatarbelakangi oleh model pengembangan

ilmu di Barat dengan pola sekularisasi. Sebuah model yang

dianggap sebagai implikasi dari pola hubungan gereja dengan

sains tidak sejalan. Secara ontologis, sekularisasi ilmu dipahami

sebagai proses pemisahan segala hal yang bersifat religius dari

ilmu. Alam serta realitas sosial disterilkan atau

didemitologisasikan dari sesuatu yang bersifat ruhani. Secara

metodologis sekularisasi ilmu mereduksi metodologi dengan

menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme. Pada

aspek aksiologi sekularisasi berpendirian bahwa ilmu bebas nilai

atau netral, dan bahwa nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh

penggunanya. Jika ilmu tidak bebas dari nilai, maka ilmu akan

kehilangan objektivitasnya. Islamisasi kemudian dilakukan untuk

mengembalikan ilmu ke sumber asasinya, yaitu Tuhan. 358

Keberadaan sains Islam memang menuai pro dan kontra.

Di satu pihak terdapat banyak argumen yang menolak

keberadaannya. Argumen mereka bertumpu pada pendirian

bahwa hanya ada satu sains dan sifatnya universal. Di pihak lain,

banyak pula argumen yang menyatakan ketidakcocokan

penerapan sains modern untuk umat Islam yang menunjukkan

bahwa sains modern pada dasarnya merupakan produk sejarah

peradaban yang dibangun oleh kultur masyarakat tertentu.

357 Dikutip dari Ach Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama &

Sains Analisis Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 35-

37 358 Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, h. 62-63

Page 210: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

198

Menurut Muzaffar Iqbal, pendirian argumen kedua inilah

yang mendasari pentingnya kelahiran tradisi ilmiah yang

berdasar pada Alquran dan Sunnah. Prinsip tersebut

mengelaborasi pada prinsip derivatif seperti pendirian bahwa

sains Islam memandang alam sebagai tanda yang menunjuk pada

yang menciptakannya dan bahwa sains pada hakikatnya hanya

merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah dengan cara

memanfaatkannya untuk kepentingan kemanusiaan. Hal ini

didasarkan pada pendirian mengenai adanya hubungan organik

dan dinamis antara penyelidikan ilmiah dan kebutuhan nyata dan

sejati umat manusia.359

Terlepas dari pro dan kontra di atas, islamisasi

sebenarnya masih relevan supaya menjadi pengawal bagi

pengembangan ilmu. Jika kemudian ternyata bahwa dari sekian

banyak ilmuwan muslim di dunia ini tidak mendedikasikan

kapasitas keilmuannya untuk menciptakan sains yang islami, lalu

menjadi argumen bahwa sains Islam hanya bernilai teoretis saja

atau hanya hidup dalam wacana tidak dalam kenyataan, hal

tersebut perlu dibuktikan kebenarannya, apakah sains Islam

benar-benar mungkin di dunia kontemporer.

Menurut Muzaffar Iqbal, sebuah jawaban positif untuk

pertanyaan ini tidak dapat ditemukan dalam buku atau artikel

lain tentang sains Islam, tetapi sebuah tradisi sains yang benar-

benar dapat dilihat dan hidup yang jelas-jelas berbeda dengan

sains dan teknologi yang islami. Dalam hal ini, sejarah

menunjukkan realitas sains yang dikembangkan ilmuwan muslim

pada masa klasik. Ilmu yang dikembangkan pada masa Islam:

kosmologi, kosmogini, kosmografi, geografi, geodesi, kaligrafi,

359 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science (Kuala Lumpur: Islamic Book

Trust, 2009), 228

Page 211: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

199

matematika, astronomi, fisika, geologi, dan minerologi, serta

cabang ilmu lainnya seperti zoologi, veterinary science, kimia,

dan berbagai ilmu kedokteran.360

Dengan mengacu pada fakta sejarah mengenai

keberadaan sains Islam, maka secara teori, realisasi sains Islam

dalam konteks era kontemporer adalah mungkin. Dengan kalimat

lain, gagasan sains Islam tidak semata wacana yang bersifat

teoretis tetapi memiliki relevansi praktisnya dalam sejarah.

Dalam pemikiran Muzaffar Iqbal, hambatan terbesar untuk

realisasi sains Islam sebenarnya adalah kemunculan komunitas

global ilmuwan muslim dan semestinya linier dengan keberadaan

sains Islam, adalah pemutusan para ilmuwan muslim dari tradisi

agama dan intelektual mereka sendiri. Karena mereka selalu

muncul dari lembaga pendidikan sekuler, pendidikan dan

pelatihan mereka mengasingkan mereka dari tradisi mereka

sendiri. Bukan karena tidak shalih, tetapi karena mereka tidak

mampu mengintegrasikan iman dan profesi mereka secara

holistik sehingga tradisi saintifik mereka tetap berakar kuat

dalam visi selain dari Islam. Di pihak lain, keberadaan madrasah

tidak menerima pelatihan ilmiah yang memadai untuk

mempraktikkan sains sebagai sebuah profesi.361

Demikian halnya dengan gagasan integrasi ilmu.

Sebagaimana gagasan sains Islam, gagasan sains integratif juga

dapat diterapkan. Dalam hal ini, gagasan sains integratif

tampaknya lebih marketable. Sebagai bukti, beberapa

Universitas Islam Negeri di Indonesia telah menerapkan

paradigma sains integratif sekalipun dengan model yang

bervariasi. Wacana integrasi Islam dan sains menemukan

360 Muzaffar Iqbal, Science and Islam, 29-58 361 Muzaffar Iqbal, The Making of Islamic Science, 230-231

Page 212: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

200

bentuknya pada peristiwa konversi beberapa Institut Agama

Islam Negeri menjadi Universitas Islam Negeri, seperti IAIN

Syarif Hidayatullah menjadi UIN Syarif Hidayatullah, STAIN

Sunan Ampel Malang menjadi UIN Malang, IAIN Sunan

Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga, IAIN Syarif Qasim

menjadi UIN Syarif Qasim, IAIN Alauddin menjadi UIN

Alauddin, dan IAIN Sunan Gunung Djati menjadi UIN Sunan

Gunung Djati.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ach. Maimun

Syamsuddin, terdapat perbedaan pada pola perumusan integrasi

masing-masing UIN. Sebagai contoh, UIN Syarif Hidayatullah

merumuskannya dengan istilah reintegrasi ilmu agama dan ilmu

umum pada level ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Di

samping itu, integrasi juga dilakukan di wilayah keislaman,

keilmuan, kemanusiaan, dan keindonesiaan. UIN Sunan Kalijaga

menggunakan pendekatan integratif-interkonektif dalam

pembidangan matakuliah. UIN Malang menerjemahkan integrasi

ilmu ke dalam rumusan ‚pohon ilmu‛, yang setiap bagian dari

pohon tersebut mencerminkan klasifikasi struktur ilmu secara

terintegrasi. UIN Syarif Kasim memahami integrasi ilmu melalui

pengembangan cabang-cabang ilmu dengan pendekatan religius

supaya nilai-nilai Islam menjadi rohnya.362

Demikian halnya

dengan UIN yang lain. Setiap UIN memiliki karakter khas dalam

merumuskan kebijakan mengenai pengembangan keilmuan yang

diselenggarakannya.

Menurutnya, upaya integrasi ilmu dengan model atau

pola yang bervariasi pada gilirannya merupakan tantangan untuk

mampu menunjukkan perbedaan dengan perguruan tinggi lain

yang tidak menggunakan label Islam. Jika perbedaan yang

362 Ach Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama & Sains…, 96-99.

Page 213: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

201

ditunjukkan tidak signifikan, maka label Islam akan kehilangan

makna substansialnya. Bahkan, jika UIN tidak menunjukkan

kelebihan yang dapat diapresiasi tidak menutup kemungkinan

label Islam akan terbawa pada penilaian negatif. Dalam hal ini,

UIN mendapat tantangan untuk menunjukkan perbedaan dengan

yang lain tanpa terjebak pada semangat yang naïf, semisal

berhenti pada labelisasi ilmu dengan pernyataan dalam Alquran

atau Hadis.363

Tampaknya UIN perlu merumuskan strategi

integrasi supaya selamat dari jebakan ekslusivisme serta sikap

naïf dengan strategi yang bijak.

Sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, gagasan

integrasi ilmu masih terkendala dengan problem metodologis.

Dengan ini, maka peran penting perguruan tinggi Islam adalah

bagaimana memaksimalkan perannya sebagai agen profesional

yang bergerak di bidang keilmuan dengan segala tuntutan dan

dinamikanya. Misalnya, untuk kasus UIN yang didesain menjadi

universitas riset, di samping dituntut untuk mampu

mengembangkan kompetensi metodologis dosen tapi juga harus

mampu menjembatani pengembangan ilmu modern dengan

tradisi keilmuan dalam Islam. Dalam hal ini UIN perlu

melakukan terobosan baru terkait dengan reklasifikasi dan

reintegrasi ilmu-ilmu yang sampai saat ini ada yang masih

terjebak oleh persoalan dikotomi dalam ilmu.

Secara akademis, sebagaimana yang dinyatakan Fathul

Mufid, ilmu keislaman dapat diklasifikasi menjadi tiga bidang

keilmuan; pertama, ilmu Islam normatif yang bersumber pada

teks Islam, kedua, ilmu Islam historis yang mengkaji fenomena

sosial, dan ketiga, ilmu Islam multidisipliner. Pembidangan ini

363 Ach Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama & Sains…, 100.

Page 214: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

202

didasarkan bahwa berbagai pendekatan dalam ilmu sosial,

humaniora, dan sains dapat digunakan untuk kajian keislaman.364

Apabila disimplifikasi, klasifikasi ilmu memiliki tiga pola.

Secara ontologis, pola penyusunannya didasarkan pada

kemuliaan materi kajiannya. Dengan pola ini, maka ilmu yang

membahas Tuhan atau agama menempati kelas tertinggi di

banding ilmu yang lainnya. Secara epistemologis, pola

penyusunannya dilihat secara metodologis sehingga ilmu yang

dibangun di atas metodologi yang diklaim lebih valid akan

menempati kelas teratas dibanding ilmu yang kurang memenuhi

kriteria metodologis tersebut. Secara aksiologis, pola

penyusunannya didasarkan pada nilai manfaat dari ilmu yang

dikajinya sehingga ilmu yang berbasis etis lebih diutamakan dari

ilmu yang tidak memiliki kriteria tersebut.

Ibn Khaldun mengklasifikasi ilmu pada ilmu naqliyat,

ilmu ‘aqliyat. Ilmu naqliyat meliputi ilmu-ilmu Alquran, Hadis,

tafsir, ilmu kalam, tasawuf, dan ta’bir mimpi. Ilmu naqliyat

terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama meliputi ilmu-ilmu

hikmah dan falsafah. Kelompok kedua adalah ilmu-ilmu

tradisional (naqli dan wadl’i). Ilmu naqliyat, secara keseluruhan

disandarkan pada nas, dan dalam ilmu al-naqliyat al-wadh’iyat

meliputi ilmu Tafsir, Ilmu Qira’ah, Ulum Hadis, Ushul Fiqh,

Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, dan Ilmu Bahasa yang mencakup Lughat,

364 Di samping itu, trilogi Islam yang terdiri dari iman, Islam dan ihsan, dapat

diterapkan pada dunia keilmuan. Dimensi iman dapat membidani kelahiran ilmu

ketuhanan dan ilmu hakikat semua yang ada, sehingga bisa melahirkan filsafat. Dimensi

Islam (shari‟ah) yang menetapkan prinsip ibadah dan mu‟amalah dapat membidani

kelahiran ilmu-ilmu sosial, kebudayaan, dan iptek yang terkait dengan manusia dan alam.

Sedangkan dimensi ihsan akan membidani kelahiran psikologi atau ilmu tasawuf.

Berdasarkan konteks ilmiahnya, trilogi Islam melahirkan prinsip integrasi antara filsafat

(iman), ilmu dan teknologi (Islam), dan tasawuf (ihsan) sehingga secara teori sebenarnya

dalam ilmu keislaman tidak dikenal adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Fathul

Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, h. 65-66

Page 215: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

203

Nahu, Bayan dan Adab. Ilmu ‘aqliyat, meliputi Filsafat

(Metafisika), Matematika, dan Fisika, dengan macam-macam

pembagiannya.365

Pada pemikiran al-Ghazali, ilmu disusun secara hierarkis

mulai dari ilmu religius dan ilmu intelektual. Ilmu religius terdiri

dari ilmu usul (Ilmu Tawhid, ilmu yang berkaitan dengan

kenabian, Eskatologi, dan sumber ilmu religius) dan ilmu furu’

(terdiri dari tiga kelompok, yaitu ilmu yang berkaitan dengan hak

Allah, dengan hak hamba, dan dengan hak jiwa). Ilmu rasional

terdiri dari Matematika (aritmatika, geometri, astronomi dan

astrologi, serta musik), logika, fisika (kedokteran, arkeologi,

mineralogi, dan kimia), dan metafisika (ontologi, teologi,

anggelologi, ilmu tentang dunia halus, dan kenabian).366

Al-Farabi memulai hierarki ilmunya dari linguistik (lafal

sederhana, lafal tersusun, kaidah pengaturan lafal sederhana,

kaidah yang mengatur lafal tersusun, penulisan yang benar,

qira’at, kaidah puisi), logika (kaidah tentang gagasan sederhana

mengenai pengetahuan, kaidah pembentukan proposisi sederhana

yang tersusun dari dua pengetahuan sederhana atau lebih, kaidah

silogisme, kaidah bukti demonstratif, kaidah seni dialektika dan

pencarian bukti-bukti dialektis, kaidah kesalahan berpikir, seni

retorika, seni puisi), Matematika (Aritmatika, Geometri, Optika,

Ilmu Perbintangan, Musik, ilmu tentang berat, teknik pembuatan

alat), Fisika (prinsip benda alami, prinsip unsur dan benda

sederhana, penciptaan dan penghancuran benda, reaksi benda-

benda, sifat-sifat benda senyawa, mineral, tumbuhan, binatang

dan manusia), metafisika (wujud-wujud esensial sebagai wujud,

prinsip demonstrasi dalam ilmu-ilmu teoretis tertentu, wujud-

365 Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, … 366 Al-Ghazali, Risalat al-Laduniyat dalam Majmu„at Rasa‟il(Beirut: Dar al-Fikr,

1996), 226.

Page 216: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

204

wujud metafisik), Ilmu Politik (kebahagiaan dan kebaikan

manusia, etika dan teori politik), Hukum (rukun iman, ritus-ritus,

praktik religius, dan perintah moral), dan Teologi Dialektis

(rukun iman, aturan-aturan agama).367

Itu antara lain klasifikasi

ilmu yang digagas filosof muslim. Demikian adalah refleksi

ilmuwan Islam tentang klasifikasi ilmu.

Dalam konferensi internasional II mengenai pendidikan

Islam di Islamabad pada Maret 1980, disepakati klasifikasi ilmu

pada ilmu-ilmu tentang yang kekal abadi (studi Alquran dan

penafsirannya, Hadith, Biografi Nabi dan sahabat dan tabi’in,

tauhid, ilmu hukum, bahasa Arab Alquran, ilmu tambahan seperti

metafisika, perbandingan agama, dan kebudayaan Islam), ilmu-

ilmu perolehan yang terbagi pada 5 klasifikasi ilmu. Pertama,

seni imajinatif, yaitu seni arsitektur dan seni-seni Islam lainnya

serta bahasa dan sastra. Kedua, ilmu-ilmu intelektual, yang

terdiri dari ilmu sosial teoretis, filsafat, pendidikan, ekonomi,

politik, sejarah, kebudayaan muslim, teori-teori Islam tentang

politik, ekonomi, sosial, ilmu bumi, sosiologi, linguistik,

psikologi, antropologi. Ketiga, ilmu-ilmu fisika teoretis yang

terdiri dari filsafat ilmu pengetahuan fisika, matematika,

statistika, kimia, ilmu biologi, astronomi, ilmu-ilmu tentang

angkasa luar. Keempat, ilmu-ilmu terapan, seperti rekayasa dan

teknologi (sipil dan mesin), ilmu kedokteran, ilmu pertanian, dan

kehutanan. Kelima, ilmu-ilmu praktis seperti perdagangan, ilmu

administrasi, administrasi bisnis, administrasi negara, ilmu-ilmu

perpustakaan, ekonomi rumah tangga, ilmu-ilmu komunikasi.368

Dasar klasifikasi ilmu dalam Islam menurut Mastuhu ada

tiga. Pertama, ilmu yang secara esensial terkandung dalam ajaran

367 Al-Farabi, Ihsha‟ al-„Ulum (Tahqiq: Dr. Usman Amin), (Kairo: Maktabah

Angels Al-Misriyyat, 1968), 53. Untuk selanjutnya lihat sampai hal. 132. 368 Fathul Mufid, “Integrasi Ilmu-Ilmu Islam”, …h. 12

Page 217: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

205

Islam. Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa

bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Kedua, tidak terdapat

istilah dikotomi antara ilmu dan agama dalam Islam. Keduanya

tidak dapat dipisahkan sekalipun peran dan posisinya dapat

dibedakan. Meskipun kebenaran ilmu bersifat empirik dan relatif,

namun bobot kebenaran ilmu, etika, estetikanya merupakan satu

kesatuan yang utuh. Ketiga, ilmu merupakan ciptaan manusia.

Namun pengembangan dan pengamalannya dilihat dari segi

materi dan pelaku. Dari segi materi mengindikasikan ilmu

bersifat netral dari segi penggunaannya. Dari segi pelaku,

pengembangan dan pengamalan ilmu harus disertai keikhlasan.369

Secara teori, Islam tidak mengenai istilah dikotomi.

Berbagai varian cabang dan bentuk ilmu, hakikatnya adalah satu,

sehingga pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum

merupakan sebuah kemustahilan. Hirarki dan klasifikasi ilmu

yang diteorikan para praktisi ilmuwan muslim pada akhirnya

bermuara pada sumber hakikinya, yaitu Tuhan. Namun pada

perkembangan selanjutnya muncul problem-problem dikotomis

sebagaimana yang digambarkan Mulyadhi Kartanegara dan Amin

Abdullah sebelumnya. Penafsiran dikotomis ilmu yang

diklasifikasi pada fardu ‘ain dan fardu kifayat berimplikasi pada

keharusan untuk mengutamakan mempelajari ilmu agama

terlebih dahulu membuat Islam tertinggal dari umat-umat yang

lainnya karena ilmu-ilmu di luar ilmu agama tidak dijadikan

prioritas studi.

Dengan demikian, tampaknya istilah yang tepat untuk

mengatasi problem ini bukan integrasi, tetapi reintegrasi.

Reintegrasi merupakan upaya untuk meletakkan ilmu pada posisi

369 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999),

219-30.

Page 218: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

206

hakikinya. Maka klasifikasi mesti dipahami sebagai upaya

memosisikan ilmu berdasarkan kelasnya yang sama sekali tidak

berpretensi pada hirarki yang rentan ditafsirkan secara

dikotomis. Klasifikasi ilmu dimaksudkan untuk mempermudah

pengkaji ilmu dalam memahami karakter ilmu yang akan menjadi

kekhususannya bukan karena klaim bahwa ilmu tersebut lebih

tinggi atau lebih mulia daripada ilmu yang lainnya.

Namun demikian, sebagaimana yang disampaikan

sebelumnya, problem yang belum dituntaskan dari gagasan

integrasi ini berkaitan dengan masalah metodologi, yaitu

menunjukkan bentuk kerjasama antar ilmu yang diintegrasikan,

yang secara individual memiliki basis ontologis, epistemologis,

serta aksiologis yang berbeda. Problem tersebut pada gilirannya

melahirkan problem-problem derivatif, yaitu bagaimana

metodologi integrasinya, bagaimana cara rasional untuk tetap

menghormati lintas batas antar ilmu sehingga satu sama lain

tidak saling mengalahkan, dan sebagainya. Menurut penulis, hal

ini memerlukan upaya integrasi dalam bentuk lain yang dapat

meliput problem-problem yang masih tersisa pada gagasan

islamisasi sains dan integrasi ilmu. Dalam hal ini, penulis

mencoba menyampaikan sebuah sintesis melalui gagasan

pluralisme metode ilmiah dari paradigma sains Islam sebagai

tesis, paradigma sains integratif sebagai antitesisnya.

Bagaimanapun, gagasan sains Islam tampaknya

menunjukkan bias-bias supremasi epistemologi Barat. Dalam hal

ini sains Islam merupakan gagasan reaktif yang kemunculannya

ditandai oleh kemajuan Barat dalam bidang sains. Karena

awalnya diproduksi Barat dengan setting konteks historis yang

berbeda, sains modern memang tidak dapat diterapkan

sepenuhnya pada masyarakat muslim sehingga keberadaan sains

Page 219: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

207

Islam memiliki urgensitas tersendiri. Namun demikian, gagasan

sains Islam jika dilihat dari perspektif epistemologi Islam yang

utuh, bagaimanapun gagasan sains Islam sebagai kontras sains

Barat tampak merupakan gagasan yang belum selesai.

Pengembangan sains Islam harusnya beroperasi pada level

epistemologis, yaitu memberikan penjelasan yang komprehensif

mengenai sturktur ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.

Melalui pengembangan islamisasi sains pada level

epistemologis, komprehensivitas epistemologi Islam semakin

memungkinkan untuk merealisasi ke dalam tradisi ilmiah Islam

yang utuh. Dengan ini, proses islamisasi tidak hanya merupakan

reaksi terhadap khazanah pemikiran Barat tetapi juga sebagai

pemikiran kreatif dari umat Islam dalam merespons modernitas.

Produk islamisasi kemudian tidak hanya melahirkan sains yang

terislamisasi tetapi juga merepresentasikan tradisi keilmuan

Islam yang sesungguhnya bahwa ilmu dalam Islam tidak hanya

bersumber dari kenyataan empiris tanpa bias parsialitas. Baik

ilmu yang merupakan rumpun keilmuan empiris, rasional,

maupun metafisis, semuanya memiliki basis universalitasnya

masing-masing. Dalam konteks pengembangan model islamisasi

ilmu yang dibingkai oleh epistemologi Islam, gagasan mengenai

pluralisme metodologi akan semakin mengukuhkan paradigma

sains dalam Islam bahwa semua rumpun ilmu dalam Islam adalah

sah dan legitimate.

Di pihak lain, gagasan pluralisme metodologi mendasari

paradigma sains integratif sebagai paradigma yang dinilai lebih

holistik dan universal. Menurut Humaidi, paradigma sains

integratif berangkat dari cara pandang bahwa agama dan sains

bukan merupakan dua realitas yang berbeda atau saling

berhadapan melainkan dua bidang yang saling berkaitan dan

Page 220: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

208

tidak terpisahkan sebab keduanya merupakan dua pancaran dan

manifestasi dari satu realitas tunggal, yaitu Tuhan.370

Dalam hal

ini, gagasan pluralisme metodologi menegaskan status setiap

metode sebagai pancaran dari realitas tunggal tersebut yang

berimplikasi pada penetapan prinsip tauhid sebagai tempat

kembali setiap metode sehingga semuanya memiliki basis

spiritual yang sama. Prinsip tauhid juga akan menghindarkan

kemungkinan singularisme atau superiorisme suatu metode atas

metode yang lain sebab semua memiliki kapasitas yang sama

sebagai cara untuk menemukan kebenaran.

Melalui gagasan pluralisme metodologi ini, sebagaimana

yang akan dijelaskan pada bab berikutnya, paradigma sains Islam

dan sains integratif akan terhubung secara rasional. Secara

praktis, memposisikan Islam sebagai dasar teologis sebagaimana

yang menjadi landasan berpikir dalam paradigma sains Islam dan

paradigma sains integratif perlu diterjemahkan ke dalam suatu

sistem metodologi yang relevan. Dalam hal ini, peran metodologi

menjadi sangat urgen supaya dapat menghindarkan diri dari

jebakan eksklusivisme serta pemikiran yang reaktif.

Sebagaimana yang menjadi substansi dari pluralisme

sendiri, hakikat pluralitas sesungguhnya adalah perbedaan serta

keunikan. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak diposisikan

secara hirarkis atau dikotomis tetapi didasarkan pada kelas yang

menunjukkan kekhususan kompetensinya masing-masing. Di

pihak lain, klasifikasi metode ini juga menghilangkan asumsi

relativisme dalam gagasan pluralisme metodologi sebagaimana

yang dipahami oleh para protagonis pemikiran posmodernisme.

Sekalipun dalam situasi tertentu, sangat mungkin terjadi salah

370 Humaidi, Paradigma Sains Integratif Alfarabi (Jakarta: Shadra Press, 2015),

59

Page 221: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

209

tafsir dalam memahami konsep pluralisme tanpa asumsi

relativisme. Lagi-lagi, metodologi akan mengawal ilmuwan

dalam rumpun keilmuan manapun, baik sains, filsafat, maupun

mistisisme, dari jebakan relativisme tersebut.

Page 222: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

210

Page 223: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 211 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB V

PLURALISME METODE ILMIAH

Pluralisme metode ilmiah merupakan inti pembahasan

dalam tulisan ini. Dengan kalimat lain, gagasan tersebut

merupakan temuan dalam penelitian ini terutama ketika

disandingkan dengan paradigma sains Islam dan sains integratif.

Posisinya di antara kedua pemikiran besar tersebut, bukan

merupakan teori yang meruntuhkannya tetapi memperkaya

keduanya dengan memberikan pemikiran alternatif yang bersifat

solutif terhadap problematika yang masih tersisa pada paradigma

sains Islam dan sains integratif.

Pada bagian ini akan dikemukakan tiga hal, yaitu

kerangka konseptual pluralisme metode ilmiah, interpretasi dan

implikasi pluralisme metode ilmiah dalam konteks universalitas

metode, serta signifikansi pluralisme metode ilmiah bagi

pengembangan tradisi keilmuan dalam Islam.

Page 224: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

212

A. Kerangka Konseptual Pluralisme Metode Ilmiah

1. Prinsip Dasar Pluralisme Metode Ilmiah

Pemetaan konsep pluralisme metode ilmiah didasarkan

pada empat prinsip, yaitu prinsip tauhid, prinsip keterhubungan

spiritual, prinsip independensi, dan prinsip ekualitas.

a. Setiap metode terpusat pada prinsip tauhid sehingga

setiap metode terhubung satu sama lain tanpa

menghilangkan kekhususannya.

Prinsip ini merupakan ciri khas gagasan pluralisme

metodologi. Setiap metode bertujuan untuk mencari kebenaran,

lebih khusus lagi kebenaran ilahiyah. Sebagaimana disebut

sebelumnya, sains Islam melihat realitas sebagai tanda kekuasaan

Allah. Maka pada hakikatnya, metode sains bertujuan untuk

menafsirkan serta menemukan jejak-jejak ilahiyah dalam realitas.

Jejak-jejak ini pada dasarnya menampakkan diri, misalnya

keberadaan realitas metafisika dengan ditemukannya teori atom

atau materi, ditemukannya keberadaan Tuhan dengan penemuan

teori big bang, dan sebagainya. Kecerdasan alam yang begitu

mengagumkan meniscayakan ada agen yang Maha Cerdas yang

mendesain unsur-unsur alam secara keseluruhan.

Demikian halnya dengan metode rasional. Ilmuwan dan

filosof muslim sudah membuktikan keterhubungan akal dengan

keberadaan Tuhan dalam proses pencarian kebenarannya. Dalam

filsafat Islam, akal terbagi pada akal praktis dan akal teoretis.

Akal teoretis pada semua tingkatannya, yaitu akal materi (al-‘aql

al-hayulani), akal bakat/kepemilikan (al-‘aql bi al-malakat), akal

aktual atau akal habitual (al-‘aql al-munfa’il), dan akal perolehan

(al-‘aql al-mustafad), berperan dalam memperoleh pengetahuan

yang benar. Secara bertingkat, kemampuan teoretis akal ini akan

Page 225: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

213

menyampaikan pemiliknya pada kebenaran hakiki, atau

kebenaran ilahiyah karena ada dalam kesiapan menerima bentuk-

bentuk murni yang dilimpahkan Akal Aktif (diidentifikasi

dengan malaikat Jibril) untuk menyampaikan pengetahuan dari

sumber asasinya, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, dalam perspektif

Filsafat Islam, berpikir benar adalah berpikir yang membuat jiwa

cenderung pada Tuhan (Pemilik Kebenaran).371

Pembuktian

rasional mengenai keterhubungan akal dengan Tuhan juga

tercermin dalam pemikiran Rene Descartes bahwa keberadaan

Tuhan merupakan keniscayaan rasional sebab wujud

sempurnanya melekat dalam akal secara alami.

Prinsip tauhid ini mengikat metode secara keseluruhan

dengan argumen bahwa semua metode pada hakikatnya

bertujuan untuk menemukan kebenaran yang tidak lain

merupakan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah

menampakkan diri pada objek yang dikaji dalam kapasitasnya

sebagai tanda yang secara hakiki senantiasa menunjuk pada yang

ditandakannya. Dengan demikian, prinsip tauhid merupakan

prinsip utama bagi gagasan pluralisme metodologi.

b. Setiap unsur epistemologi keilmuan yang dibangun

berdasarkan metode tertentu terhubung secara spiritual.

Sebagai implikasi dari prinsip tauhid di atas, setiap

metode terhubung secara spiritual dengan metode lainnya.

Dengan cara ini, hasil penelitian metode sains misalnya, akan

menjadi basis penemuan teori-teori rasional bahkan metafisis.

Semua metode mengawali kerja metodisnya di atas landasan

teoretisnya yang dibangun oleh metode lain dan pada gilirannya

371 Nani Widiawati, Pengantar Logika: Sebuah Penelusuran Jejak Akal

(Tasikmalaya: Pustaka Ellios, 2017), 22-23.

Page 226: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

214

menjadi basis bagi pengembangan teori yang dibangun oleh

metode lain. Hal ini dengan sendirinya meminimalisir klaim

bahwa satu metode diklaim lebih unggul dari metode lainnya.

Secara faktual, pendirian ontologis tasawuf yang bermuara pada

konsep la mawjud illa Allah pada hakikatnya merupakan teori

akhir yang dibangun dari kenyataan kullu mawjud siwa Allah,

bahwa alam merupakan cermin keindahan Tuhan yang diderivasi

Ibn ‘Arabi dari ayat Alquran wa lillah al-mashriq wa al-maghrib

fa aina ma tuwallu fa thamma wahj Allah pada hakikatnya

meniscayakan eksistensi fisik al-mashriq dan al-maghrib sebelum

sampai pada wajh Allah. Hal demikian karena dalam tingkat

eksistensi manapun, manusia akan melihat realitas dalam

kapasitas manusiawinya. Dari manapun manusia mengawali

pencariannya terhadap kebenaran, secara teori akan

menyampaikannya pada kebenaran ilahiyah.

Karena setiap metode terhubung secara spiritual, maka

ruang dialog antar metode jadi semakin memungkinkan. Hal ini

menjadikan gagasan pluralisme metodologi menemukan

momentumnya untuk merealisasi, yaitu ruang yang terbuka bagi

iklim saling menghargai terhadap perbedaan serta kompetensi

yang dimiliki oleh metode yang lain.

c. Setiap metode dalam struktur pluralisme metodologi

menunjukkan kesetaraan dilihat dari independensinya

sebagai metode.

Sebagai konsekuensi dari interpretasi kedua prinsip di

atas, sebagai metode yang bertujuan untuk mencari dan

menemukan kebenaran ilahiyah, setiap metode berada pada level

yang setara. Hubungan yang bersifat spiritual dalam bingkai

tauhid di atas, tidak berarti meleburkan lintas batas

Page 227: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

215

kekhususannya. Setiap metode adalah independen dilihat dari

karakter kerja metodisnya.

Independensi metode berimplikasi pada batas

kewenangan suatu metode untuk memferivikasi validitas

konstruk teoretisnya. Suatu metode tidak memiliki kompetensi

apapun untuk memferivikasi kebenaran suatu teori yang

dibangun oleh metode yang lain di luar wilayahnya. Suatu teori

mistisime hanya akan ditumbangkan oleh metode mistisisme,

tidak oleh metode yang lain. Suatu teori sains hanya akan gugur

oleh teori sains lagi tidak oleh teori di luar sains sebagai

implikasi dari kekhususan kerja metode sains.

Hal demikian sudah ditunjukkan oleh sejarah. Filsafat

tidak mati oleh kritik al-Ghazali atau penolakan Ibn Taymiyah.

Tasawuf tidak berhenti oleh intervensi fuqaha pada kasus al-

Hallaj. Sains tidak hancur karena serangan dari ortodoksi gereja

di abad pertengahan. Tetapi secara internal, perkembangan teori

keilmuan dalam sains, filsafat, dan mistisisme bertumbuh dan

berkembang secara natural. Perkembangan tersebut digerakkan

oleh anomali di tubuhnya yang kemudian mendoro ng kelahiran

teori-teorinya yang baru. Pertumbuhan teori berada pada posisi

mengukuhkan, menyempurnakan, atau merombak teori yang

dibangun sebelumnya.

d. Validitas ilmu tidak didasarkan pada objek telaahnya

tetapi merupakan implikasi rasional dari kerja metode

sehingga tidak berimplikasi pada pandangan keilmuan

yang bersifat hirarkis atau dikotomis.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa wilayah

kajian penelitian dibatasi pada model epistemologi yang secara

dominan didasarkan pada alat epistemologi yang ada pada

Page 228: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

216

manusia, yaitu indra, akal, dan hati. Dengan demikian, karakter

manusiawi menjadi warna dominan pada kerja metodisnya.

Dengan kalimat lain, praktisi ilmu pengguna suatu metode selalu

akan melihat, menelaah, mengkonstruksi teorinya dalam

kapasitasnya sebagai manusia.

Untuk menjadi teori, suatu kenyataan harus dijelaskan

oleh manusia. Manusia adalah subjek ilmu yang diwarnai oleh

subjektivitasnya ketika memberikan sebuah penjelasan teoretis

tertentu. Jika ilmuwannya muslim maka penjelasan ilmiahnya

akan diwarnai oleh kemuslimannya, demikian seterusnya.

Sakralitas objek penelitiannya memang akan menghubungkannya

pada yang sakral juga, tetapi dimensi manusiawinya akan tetap

meneguhkan produk manusiwainya ke dalam kedudukan yang

tidak mutlak.

Hal ini senada dengan pendirian Adelbert Snijders bahwa

kebenaran yang diperoleh melalui proses manusiawi tidak akan

mencapai tingkat mutlak, tetapi berada pada tingkat relatively-

absolute. Bersifat relatif karena manusia melihat realitas dalam

kapasitas manusiawinya tetapi tidak relatif mutlak sebab

sakralitas kenyataan yang menyatakan diri pada hakikatnya

merupakan kebenaran yang absolut. Hal ini berlaku pada sains,

filsafat, dan mistisisme sebagaimana diungkapkan sebelumnya.

Proses mengkonstruksi teori pada sains, filsafat, dan mistisisme

merupakan kerja metodis yang berada di wilayah manusiawi

yang dengan sendirinya merelatifkan produk metodisnya.

Dalam konteks ini, pernyataan-pernyataan mistis yang

didasarkan pada dhawq, validitasnya banyak dikritik. Kritik yang

mengemuka didasarkan pada asumsi bahwa mistisisme sarat

dengan kemungkinan salah dalam mengenali sifat pengalaman

seseorang. Menurut Oliver Leaman, bahasa misitisisme tampak

Page 229: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

217

sangat aneh. Di satu sisi terdapat klaim mengenai status objektif

dari pengetahuannya, namun di sisi lain status subjektifnya juga

dikukuhkan karena bagian terpenting dari proses

pembentukannya didasarkan pada perasaan. Contoh pengalaman

mistik sufi misalnya pandangannya tentang realitas yang

bercirikan kesatuan dengan Yang Satu.372

Namun demikian,

kritik tersebut tidak berarti bahwa pengalaman mistik tidak

memiliki landasan objektifnya sama sekali. Sebagaimana sistem

keilmuan lainnya, pengetahuan sufi memiliki nilai objektif serta

subjektifnya.

Dalam konstelasi pemikiran filsafat, kebenaran objektif

selaras dengan teori kebenaran korespondensi. Teori ini

menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila

materi ilmu dalam pernyataan tersebut sesuai dengan objek yang

dituju. Di samping itu ada pula jenis kebenaran lainnya seperti

teori konsistensi, teori pragmatis, teori semantik, teori

performatif, dan lain-lain. Teori konsistensi menyatakan bahwa

suatu pernyataan dianggap benar apabila konsisten dengan

pernyataan terdahulu yang dianggap benar. Teori pragmatis

menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar mempunyai

manfaat secara praktis dalam kehidupan manusia. Teori semantik

menyatakan bahwa kebenaran terdapat di dalam metabahasa

sebagai pernyataan tentang pernyataan. Teori performatif lebih

dititikberatkan pada persetujuan atau kebenaran adalah sebuah

kesepakatan.

Realitas variasi kebenaran ini menunjukkan bahwa pada

hakikatnya kebenaran dalam ilmu bersifat relatif. Relativitas

dalam ilmu berkaitan dengan konteks subjek penelaah dalam

372 Oliver leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Oxford: Polity

Press, 1999), 66.

Page 230: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

218

dialektikanya dengan dinamika situasi sosio-kultural yang

mengitarinya. Dengan prinsip relativitas dalam ilmu, tidak

berarti menafikan adanya kebenaran absolut sebagaimana yang

dipahami dalam sistem filsafat Barat. Islam mengakui adanya

kebenaran absolut. Makna yang diperoleh dari prinsip relativitas

ilmu antara lain bahwa proses pencarian kebenaran ilmiah pada

hakikatnya adalah suatu proses pencapaian kebenaran hakiki atau

kebenaran absolut serta menghindari klaim-klaim kebenaran

yang berpotensi memecah belah.

Kebenaran hakiki sebenarnya bersumber dari Tuhan.

Tuhanlah pemilik kebenaran dan bahwa hanya Tuhanlah yang

Maha Benar. Ragam kebenaran pada hakikatnya sedang

berproses menuju kebenaran-Nya. Hal demikian karena

keragaman merupakan sebuah keniscayaan sebagai konsekuensi

logis dari keragaman kecenderungan alat epistemologi yang

digunakan subjek, keragaman tingkat serta jenis aktualisasi alat

epistemologi subjek, serta keragaman konteks yang bersifat

dinamis. Keragaman tersebut dijustifikasi baik secara normatif

maupun secara rasional sehingga klaim-klaim kebenaran

sebenarnya tidak memiliki dasar, baik dasar normatif maupun

rasional. Dengan demikian, adalah penting bagi para pencari

kebenaran untuk tetap memosisikan diri sebagai pencari

kebenaran, bukan pemiliknya, sehingga selalu terus

mendialogkan dan mengevaluasi setiap kebenaran yang

ditemukannya untuk menuju level kebenaran yang lebih tinggi.

Struktur keilmuan yang mengacu pada konsep pluralisme

metode ilmiah dibedakan berdasarkan karakter metodenya.

Sebagai bagian dari metode ilmiah, maka refleksi ilmiahnya

adalah ilmu. Dengan dasar ini, maka ilmu tidak dibedakan

berdasarkan kemuliaan objek yang berimplikasi pada kemuliaan

Page 231: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

219

ilmunya, tidak dibedakan berdasarkan kewajiban mencarinya

sehingga ilmu diklasifikasi pada ilmu yang wajib, mubah, bahkan

haram, atau tidak dibedakan berdasar kemanfaatannya sehingga

ilmu dibedakan pada ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang tidak

bermanfaat. Sebagai bangunan pengetahuan yang disistematisir

oleh metode ilmiahnya, maka pengetahuan tersebut adalah ilmu

yang dengan sendirinya bersifat ilmiah, yaitu memiliki landasan

ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai basis keilmuan

yang sah. Apabila dipetakan, maka strukturnya adalah sebagai

berikut:

Gambar 2

Struktur Metodologi Ilmu Berbasis Pluralisme

.

Keilmuan empiris adalah representasi dari metode tajribi

yang mendasarkan diri pada kekuatan observasi atau eksperimen.

Keilmuan rasional adalah representasi dari metode burhani yang

ILMU

Keilmuan Empiris Keilmuan Rasional Keilmuan Intuitif

Metode

tajribTajribi Metode Burhani Metode ‘Irfani

Sains Filsafat Mistisisme

Page 232: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

220

memfokuskan diri pada kekuatan penalaran rasional sebagai

basis metodologisnya. Sementara keilmuan intuitif adalah hasil

dari metode ‘irfani yang mendasarkan diri pada kekuatan intuisi

yang menginspirasi hadirnya pengetahuan tersebut. Dilihat dari

perspektif ini, secara khusus setiap metode memiliki kekuatan

metodisnya masing-masing. Sekalipun demikian, setiap metode

memiliki basis ilmiah yang sekaligus menjadi dasar

universalitasnya tanpa menghilangkan identitasnya.

Keilmuan empiris memiliki basis parsialitas sekaligus

universalitasnya. Secara parsial, keilmuan ini memfokuskan diri

pada telaah objek yang bersifat empiris, bekerja berdasarkan

kekuatan observasi atau eksperimen yang merupakan aktualisasi

dari potensi pengindraan manusia. sebagaimana karakter khas

ilmu empiris, kebenaran ilmu ini bermuara pada data atau bukti

empiris. Kebenarannya dapat divalidasi sejauh teorinya dapat

dikorespondensikan dengan kenyataan empirisnya.

Secara universal, keilmuan empiris adalah ilmu

sebagaimana ilmu rasional dan mistisisme. Dengan demikian,

secara umum mistisisme memiliki karakter umum sebagai ilmu,

yaitu berbasis metode. Ilmu empiris didefinisikan sebagai ilmu

karena konseptualisasi teori-teorinya dibangun atau

disistematisir berdasarkan metode. Sebagai bagian dari ilmu,

keilmuan empiris tidak sama sekali berdiri sendiri tanpa

keterkaitan dengan metode-metode lainnya. Konsep teoretis atau

asumsi utama ilmu ini, tidak terlahir dari fakta empiris tetapi

hasil konseptualisasi akal yang merupakan alat epistemologi

utama dalam metode burhani. Di samping itu, keilmuan empiris

juga selalu terkait dengan pendirian intuitif, yang pada tahap

paling awal, ilmuwan tidak melihat objek empiris secara mandiri

tanpa keterkaitannya dengan entitas spiritual, bahwa terdapat

Page 233: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

221

relasi yang bersifat niscaya antara objek empiris dengan wujud-

wujud spiritual yang pada akhirnya terpusat pada Maha Wujud

yang menjadi prinsip utama dalam konsep pluralisme metode

ilmiah, yaitu prinsip tauhid. Karena terpusat pada nilai-nilai

tauhid, maka proses keilmuan dari berbagai fasenya tidak

memutus keterkaitannya dengan Tuhan, mulai aspek ontologis,

epistemologis, terlebih aspek asiologisnya.

Dengan ini, prinsip tauhid memunculkan dua daya, yaitu

daya ke dalam dan daya ke luar. Dari yang Esa melimpahkan

yang banyak dan beragam. Keragaman tersebut dapat dilihat dari

varian keilmuan yang berkembang sampai saat ini yang telah

melahirkan berbagai anak cabang ilmu beserta metodologinya

yang khas. Sebaliknya dari varian ilmu tersebut pada gilirannya

merujuk pada metodologi universal yang terpusat pada prinsip

tauhid.

2. Formulasi Pluralisme Metode Ilmiah

Dalam kerangka emanasionisme, wujud diklasifikasi

secara hirarkis berdasarkan kedekatannya dengan sumber wujud.

Struktur emanasi tersebut menyusun wujud secara hirarkis. Al-

Farabi misalnya, sebagai filosof muslim yang pertama yang

merumuskan sistem kosmologi alam berdasarkan emanasi,

menyusun hirarki wujud sebagai berikut. Tuhan berada di puncak

hirarki, lalu para malaikat, benda-benda langit, kemudian benda-

benda bumi.373

Pendirian ini antara lain yang memengaruhi

pandangan epistemologis terkait dengan hirarki ilmu dan hirarki

metode. Al-Ghazali merupakan tokoh yang sering disebut untuk

menunjukkan pandangan ini. Di banyak tempat, Mulyadhi

373 Dikutip dari Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi

Holistik (Bandung: Mizan, 2015), 62.

Page 234: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

222

Kartanegara banyak merujuk pandangan hirarkis tentang wujud,

yaitu mengutip pandangan al-Farabi atau Ibn Sina mengenai

hirarki wujud.

Terkait dengan hirarki wujud dalam kerangka

emanasionisme, objektivitas metode tidak dilihat dari ketinggian

status ontologisnya atau kedekatan emanasinya dengan Tuhan.

Sebagai wujud, wujud Tuhan adalah tertinggi dan mutlak. Tetapi

sebagai objek ilmu, maka Tuhan adalah bagian dari objek ilmu.

Pengetahuan tentang Tuhan pada gilirannya dipengaruhi oleh

proses metodologisnya yang merupakan bagian dari aktivitas

manusiawi. Apabila tidak proses alamiah metodisnya, maka teori

keilmuannya dapat saja menghasilkan kesimpulan yang tidak

objektif.

Sebagaimana disebut sebelumnya, metode-metode

ilmiah bersinergi dengan potensi mengetahui pada manusia, yaitu

indra, akal, dan hati. Dalam konteks tauhid, semua alat yang

tampak berbeda tersebut merujuk pada yang satu dan sama.

Tidak ada pemisah antara kerja indra, akal, dan hati. Semua

bekerja secara sinergis. Indra memerlukan akal dan hati, akal

memerlukan indra dan hati, dan hati memerlukan indra serta

akal. Alat epistemologi yang pada awalnya dipartisi, pembagian

itu bukan pemisahan total, tetapi untuk memberikan pemahaman

awal mengenai cara kerjanya. Pada akhirnya, semua potensi

manusia ibarat sebuah pohon dengan berbagai unsurnya.

Sinergitas ini pada dasarnya dibangun bersama paradigma sains

Islam yang merupakan teori yang ikut memberi bentuk bagi

gagasan pluralisme metode ilmiah yang diusung dalam penelitian

ini.

Pluralisme metode konsisten dengan pendirian yang

diderivasi dari prinsip tauhid, yaitu ilmu bersumber dari Allah.

Page 235: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

223

Allah menunjukkan tanda kekuasaan-Nya. Untuk memahami

tanda-tanda kekuasaan-Nya tersebut, Allah menganugerahi

potensi mengetahui. Jadi semuanya dipahami dalam konteks

prinsip tauhid.

Karena Allah merupakan sumber kebenaran, maka ilmu

atau kebenaran pada hakikatnya adalah milik Allah. Karena itu,

maka realisasi metode yang mendasarkan pada prinsip pluralisme

metodologi, pada dasarnya, bekerja tidak secara mandiri, tetapi

ditopang oleh kerja metode-metode lainnya. Tazkiyat al-nafs itu

digunakan untuk semua jenis ilmu sekalipun secara dominan

merupakan metode utama dari mistisisme. Metode sains adalah

observasi. Namun demikian, bukan berarti parameter rasional

dan intuitif tidak diperlukan pada ilmu ini. Demikian halnya

dengan filsafat, abstraksi itu memerlukan data empiris. Nilai

empiris dan rasional, juga diperlukan dalam mistisisme.

Teori-teori sains tidak dibentuk secara langsung dari

data empiris melalui observasi, tetapi hasil penalaran rasional.

Kesimpulan akal tersebut pada gilirannya dapat menggiring pada

kesadaran intuitif tertentu, misalnya hadirnya kesadaran

mengenai adanya Tuhan dari teori big bang, bahwa unsur

metafisika lebih dominan dari unsur fisik dari teori atom, atau

pada jejak-jejak ilahiyah lain yang ditampakkan Tuhan melalui

objek-objek empiris.

Teori-teori sains tidak direduksi dari fakta empiris tetapi

berdasarkan hasil abstraksi akal serta melibatkan konsep-konsep

yang dibentuk akal sebelumnya. Dikatakan bahwa melalui

metode eksperimen, sains bersifat terbuka terhadap verifikasi

publik. Siapapun dapat mengulangi eksperimen tersebut. Sifat

verifikatif ini diklaim sebagai dasar objektivitas dalam sains

sebab dengan ini akan ditemukan kebenaran objektif yang

Page 236: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

224

berlaku umum. Kesimpulan bahwa besi akan memuai apabila

dipanaskan bersifat universal. Siapapun dapat membuktikan

eksperimen tersebut dengan hasil yang sama, bahwa setiap besi

pasti memuai apabila dipanaskan. Namun kesimpulan tersebut

sebenarnya tidak dapat dikatakan sama sekali objektif sebab

eksperimennya tidak dilakukan pada semua jenis besi dalam

pengertian yang objektif, yaitu semua besi di semua tempat dan

semua waktu, tetapi mencukupkan pada sampel besi tertentu.

Kesimpulan bahwa semua besi akan memuai apabila dipanaskan

melibatkan unsur subjektif, yaitu pernyataan akal, yang

menyatakan bahwa keunikan benda ditentukan berdasarkan

jenisnya bukan individualitasnya.374

Dengan ini, maka

eksperimen untuk besi tidak perlu dilakukan pada semua besi.

Keterlibatan akal (struktur subjektif) yang membentuk

kesimpulan ilmiah sekaligus membuktikan bahwa sains sendiri

tidak benar-benar objektif.

Dalam pandangan yang hirarkis, metode ilmiah yang

satu bersifat melampaui yang lain, atau alat epistemologi yang

satu melampaui alat epistemologi yang lain. Dalam konteks

pluralisme metodologi, suatu metode tidak ditempatkan secara

hierarkis di atas atau di bawah metode lain. Semua metode

melihat realitas berdasarkan kompetensi khasnya. Metode

empiris bekerja di wilayah empiris atau terbatas pada dunia

jasmaniah. Metode refleksi membahas hal yang khas manusiawi.

Dimensi khas manusiawi tidak terbuka pada metode empiris.

Dengan kalimat lain, dimensi yang lain tidak termasuk pada

wilayah kompetensinya. Sebagaimana metode empiris bersifat

terbatas, demikian halnya dengan metode refleksi. Refleksi

374 Lihat Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius,

2009), 28-29.

Page 237: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

225

filosofis tidak akan memperoleh pengetahuan mengenai jumlah

atom dalam suatu molekul air.375

Observasi tidak berwenang

memberikan penilaian etis, membahas dasar metafisis (filsafat

alam), dan tidak berkompeten untuk membuktikan atau

menyangkal eksistensi Tuhan (filsafat ketuhanan dan

metafisika).376

Untuk membedakan wilayah fisik dan metafisik, dapat

dilihat dari bentuk pertanyaan yang diajukan. Setiap pertanyaan

menentukan jawaban. Pertanyaan fisika (scientifical question)

berbeda dengan pertanyaan metafisik (metaphysical question).

Pertanyaan yang berkenaan dengan dunia fisika akan

memunculkan jawaban yang terbatas pada dunia fisika. Tuhan

tidak muncul dengan pertanyaan fisika, tetapi dengan pertanyaan

metafisik. Sebaliknya, jawaban setiap pertanyaan mencerminkan

wilayah yang dituju sekalipun secara gramatikal sama. Makna

bahasa religius tidak sama dengan bahasa empiris-deskriptif.

Bahasa empiris mengungkapkan fakta empiris yang

kebenarannya dibuktikan melalui eksperimen. Sementara bahasa

religius menunjuk pada suatu kenyataan meta-empiris yang tidak

dapat dibenarkan secara empiris atau metode eksperimen.377

Kebenaran bersifat multidimensional. Observasi terbatas

pada dimensi empiris. Observasi tidak berkompeten untuk ilmu

ukur. Kebenaran ilmu ukur terletak pada logikanya, yaitu

hubungan logis sesuai dengan aksiomata. Kebenaran dan

verifikasi ilmu ukur berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu

alam, individualitas diabstraksikan sebab ilmu ini bertujuan

375 Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Kebenaran,

(Yogyakarta: Kanisius, 2004), 98-99. 376 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 265-

266. 377 Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat…, 147, 156-7.

Page 238: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

226

untuk menemukan hal yang umum bagi segala individu dalam

jenis yang sama melalui induksi. Ilmu ukur terbatas pada dimensi

kuantitas. Ilmu Fisika terbatas pada dimensi fisik. Filsafat alam

mengarah pada struktur metafisis alam jasmaniah. Setiap disiplin

ilmu membatasi diri pada wilayah tertentu. Wilayah ilmu alam

terbatas pada dimensi empiris, filsafat alam bersifat metafisis,

namun terbatas pada dasar metafisis kenyataan yang bersifat

jasmaniah.378

Semua alat epistemologi mendasari alat epistemologi

yang lain. Aktualisasi hati pada mistisisme, didasari oleh

aktualisasi indra dan akal. Tanpa keduanya, sangat mungkin

pencapaian ilmu oleh hati akan tersesat. Capaian hati tetap

memerlukan kontribusi indra dan akal. Sebagai contoh, konsep

ontologis mistisisme yang bermuara pada satu wujud tunggal, la

mawjud illa al-Lah, secara implisit dimediasi oleh wujud non

Allah. Untuk sampai pada kesimpulan intuitif bahwa wajah

metafisis Allah menampakkan diri ke manapun hati menghadap,

dimediasi oleh objek empiris yang berada di barat dan di timur.

Di samping itu, diketahui bahwa mistisisme memerlukan media

berupa objek empiris untuk mendeskripsikan konsep-konsep

metafisisnya yang bersifat metabahasa. Sebagai contoh, Ibn

‘Arabi menggunakan analogi dasar lautan dan buih lautan untuk

menjelaskan konsep lahut dan nasut Tuhan.

B. Interpretasi dan Implikasi Pluralisme Metode Ilmiah dalam

Konteks Universalitas Metode

Konsep ‚universal‛ yang disematkan pada istilah

metode, yang dalam konteks tulisan ini merujuk pada metode

sains, filsafat, dan mistisisme, dimaksudkan untuk menunjukkan

378 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 78

Page 239: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

227

serta memberi dasar rasional bahwa metode sains, filsafat, dan

mistisisme memiliki karakter universal. Hal ini tidak

dimaksudkan untuk membentuk sains baru sebagai tandingan

sains modern. Istilah universalitas digunakan untuk menunjukkan

basis ilmiah, antara lain keabsahannya sebagai sebuah disiplin

ilmu sekalipun -dengan asumsi, paradigma keilmuan, kerangka

teoretis, serta karakter keilmuannya- sebagian di antaranya tidak

termasuk ke dalam sistem klasifikasi sains Barat.

1. Interpretasi Universalitas Metode Ilmiah

Gagasan universalitas metode ilmiah berkaitan dengan

prinsip objektivitas. Menurut Osman Bakar, objektivitas

merupakan elemen penting dalam semangat ilmiah. Tanpa

objektivitas, pengetahuan sebagai upaya kolektif manusia

menjadi mustahil. Pengertian objektif berkaitan dengan dua

gagasan mendasar. Pertama, berkaitan dengan ide mengenai

perspektif yang tidak bias, berprasangka, dan berpihak. Kedua,

merujuk pada prinsip kolektif atau verifikasi umum.379

Bahwa

ilmu merupakan pengetahuan sistematis yang kebenarannya

dapat diakses oleh publik.

Pengertian objektif pada maknanya yang kedua, pada

gilirannya menggiring anggapan bahwa sains merupakan satu-

satunya pengetahuan objektif sebab kebenarannya dapat diakses

atau dibuktikan oleh banyak orang. Masih menurut Osman

Bakar, dalam epistemologi Islam, suatu pengetahuan tidak

dipandang lebih objektif dibanding pengetahuan yang lain hanya

karena kebenarannya dapat dibuktikan oleh orang yang

jumlahnya banyak. Ketidakparsialan, ketidakberpihakan, dan

379 Osman Bakar, Tawhid and Science Islamic Perspectives on Religion and

Science (Arah Publications, 2007), 8-9.

Page 240: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

228

keadilan dalam pengetahuan, merupakan karakter dasar manusia

yang dapat dihargai secara universal.380

Dengan ini, objektivitas

sebagai basis universalitas metode memerlukan landasan teori

sebagai pijakannya, yaitu konsep kunci mengenai universalitas

sendiri sehingga metode-metode yang termasuk ke dalam konsep

kunci tersebut dapat memperoleh klaim universal.

Mehdi Hairi Yazdi mendefinisikan universalitas

pengetahuan sebagai gagasan atau proposisi yang dapat

diterapkan pada banyak objek individual tanpa unsur kontradiksi.

Sementara partikularitas pengetahuan adalah gagasan atau

proposisi yang apabila diterapkan pada banyak objek individual

akan menyiratkan absurditas atau kontradiksi.381

Metode ilmiah

membantu meminimalisir pengaruh pengaruh pribadi, sosial,

atau tidak masuk akal pada hasil penelitian. Sebagai contoh,

sains dipandang sebagai cara mempelajari fenomena di dunia,

berdasarkan bukti yang dapat diuji dan diverifikasi, serta

menghasilkan kesimpulan yang dapat diuji dan difalsifikasi.

Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dapat

dikategorikan sebagai sains. Metode ilmiah dapat mencakup

beberapa atau semua langkah-langkah berikut, yaitu observasi,

mendefinisikan pertanyaan atau masalah riset (perencanaan,

pengujian data), membentuk hipotesis, praduga dari hipotesis

(penalaran deduktif), eksperimen (pengujian hipotesis),

evaluasi dan analisis, peer review dan evaluasi, serta

publikasi.382

380 Osman Bakar, Tawhid and Science......, 9. 381 Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy

Knowledge by Presence, trans. (New York: State University of New York Press, 1992), 98 382 Christine V. McLelland, The Nature of Science and the Scientific Method ,

The Geological Society of Amerika, 2-4, http://www.geosociety.org/educate/Nature

Science.pdf,

Page 241: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

229

Dari rangkaian langkah-langkah metodis tersebut,

universalitas metode sains terutama dibuktikan pada tahap

evaluasi. Pada tahap ini, semua bukti dan kesimpulan harus

dianalisa untuk memastikan tidak terdapat bias yang dapat

menyebabkan kesimpulan yang salah. Analisis matematis

kualitatif dan kuantitatif juga dapat diterapkan. Penjelasan

ilmiah harus dipublikasi, baik di media cetak atau

dipresentasikan pada pertemuan ilmiah. Evaluasi meliputi

meninjau prosedur eksperimental, memeriksa bukti-bukti,

mengidentifikasi alasan yang salah, menunjukkan pernyataan

yang melampaui bukti, dan menyarankan penjelasan alternatif

untuk pengamatan yang sama. Meskipun para ilmuwan

mungkin tidak setuju tentang penjelasan fenomena, sekitar

interpretasi data, atau tentang nilai teori saingan, mereka

setuju bahwa interogasi, menanggapi kritik, dan komunikasi

terbuka merupakan bagian integral dari proses ilmiah.

Universalitas kebenaran dalam filsafat, dilihat dari

penggunaan kaidah-kaidah logika yang validitasnya bersifat

pasti. Melalui metode demonstratif, kesimpulan yang berdasar

pada premis-premis yang tepat dan benar secara niscaya serta

menghindari jebakan-jebakan logis yang dapat menghasilkan

pengetahuan keliru. Menurut Mulyadhi Kartanegara, logika

mengajarkan secara ketat dan hati-hati mengenai metode berpikir

yang benar dan sistematis sehingga pemahaman terhadap objek-

objek ma’qulat tidak keliru. Metode demonstratif dapat

membimbing akal untuk menemukan kebenaran dari proposisi-

proposisi filosofis dan dapat menarik kesimpulan dengan baik

dan benar, serta legitimate menurut kaidah-kaidah logika.383

383 Muyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu…., 141

Page 242: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

230

Dimensi universal pada metode demonstratif, dapat

dilihat dari perbandingan prinsip-prinsip logika versi al-Ghazali

yang selaras dengan Aristoteles sebagai tokoh pertama yang

mensistematisir logika. Dalam al-Qistas al-mustaqim, al-Ghazali

mengemukakan lima neraca akal yang diinduksi dari al-Qur‘an.

Secara garis besar, neraca tersebut sebenarnya ada tiga, yaitu

neraca keseimbangan (mizan al-ta’adul), neraca kesetaraan

(mizan al-talazum), dan neraca kontradiksi (mizan al-ta’anud).

Neraca keseimbangan (mizan al-ta’adul) terbagi menjadi tiga,

yaitu neraca keseimbangan terbesar (mizan al-ta’adul al-akbar),

neraca keseimbangan menengah (mizan al-ta’adul al-awsat), dan

neraca keseimbangan terkecil (mizan al-ta’adul al-asghar)

sehingga seluruhnya berjumlah lima.384

Namun demikian, nama-

nama yang berbeda itu sebenarnya identik dengan logika

Aristoteles. Neraca keseimbangan identik dengan silogisme

kategoris, neraca kesetaraan identik dengan silogisme hipotetik,

dan neraca kontradiksi identik dengan silogisme disjungtif.

Identifikasi kedua rumusan logika ini, pada gilirannya dapat

menjadi dasar adanya universalitas pada metode demonstratif.

Universalitas untuk disiplin mistisisme, terutama

menurut pendukungnya, bahwa semua pengetahuan yang

bersumber dari hati, mushahadat, dan mukashafat, adalah lebih

dekat pada kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari

eksperimen dan argumentasi akal. Menurut Taqi Misbah Yazdi,

pengetahuan huduri terhindar dari kesalahan karena dalam

pengetahuan dengan kehadiran, keberadaan yang sebenarnya dari

objek yang diketahui terbeber secara langsung pada diri subjek

yang mengetahui. Pada pengetahuan perolehan, eksistensi objek

384 Al-Ghazali, al-Qist}as} al-Mustaqim dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-

Fikr, 1996), 184

Page 243: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

231

tidak secara langsung tersaksikan oleh subjek tetapi ditangkap

melalui perantara yang merepresentasikan objek. Karena

pengetahuan dengan kehadiran dicerap secara sederhana, tanpa

bentuk konsep, serta terbebas dari segala bentuk penafsiran dan

penjabaran, maka pengetahuan ini tidak mungkin keliru.

Sebaliknya, persepsi-persepsi perolehan tidak menjamin

kebenaran dan kesesuaian dengan realitas yang sesungguhnya.385

Pengertian benar dalam mistisisme bukan merupakan

sifat pengetahuan tetapi sifat kenyataan. Kebenaran sebagai sifat

transendental dari kenyataan berarti bahwa kebenaran bersifat

nyata, yaitu menyatakan diri dan terbuka untuk dikenal serta

terbuka untuk diketahui sebagaimana adanya. Keterbukaan yang

tanpa batas merupakan kondisi a priori manusiawi. Kenyataan

mempunyai ‚diri‛ terhadap pengetahuan. Kenyataan bersifat

‚menyatakan diri‛. Kebenaran jenis ini disebut kebenaran ontis

karena merupakan sifat kenyataan atau menyatakan diri.

Kenyataan disebut benar berarti kenyataan itu bersifat

intelligible, yakni terbuka dan masuk akal. Sekalipun bersifat

ontis, namun tidak berarti tidak terkait dengan kebenaran

sebagai sifat pengetahuan. Kebenaran sebagai sifat pengetahuan

dengan kebenaran sebagai sifat kenyataan memiliki keterkaitan

erat. Kebenaran sebagai sifat kenyataan disebut ontis apabila

terungkap menjadi ontologisme. On menjadi logos. Kenyataan

mempunyai ‚diri‛ terhadap subjek yang mengenalnya. Sikap

subjek, jenis pertanyaan dan metode pendekatannya menentukan

apakan kenyataan sempat menyatakan dirinya.386

385 Muh}ammad Taqi Mis}bah} Yazdi, Philosophical Instructions An

Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, trans. (New York: Global Publications,

1999), 102, 106. 386 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 250-252

Page 244: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

232

Secara ontologis, pengetahuan mistik memang

mendasarkan diri pada objek subjektif. Tetapi, karena

keberadaannya bersifat niscaya, maka pengetahuan mistik

memiliki nilai objektifnya. Subjektif secara ontologis, dengan

demikian, tidak berimplikasi pada keraguan mengenai

objektivitasnya, sebab justru dengan objek demikian membuat

pengetahuan mistik terbebas dari dualisme benar dan salah.

Keadaan objeknya yang bersifat subjektif juga tidak membuat

pengetahuan mistik tertolak dari karakter universal sebagaimana

yang disyaratkan modernis dan menempatkannya sebagai

pengetahuan partikular.

Universalitas pengetahuan mistik mendapat justifikasi

dari hasil penelitian filosof modern, antara lain William James.

William James, yang mendeskripsikan karakteristik pengalaman

keagamaan (mistisisme) sebagai reaksi manusia secara total

untuk menempuh jalan dengan khidmat, penuh kerendahan hati,

keikhlasan, menerima segala yang terjadi pada dirinya, baik suka

maupun derita, sebagai sarana penyucian jiwa. Dalam

mendefinisikan mistisisme, James menemukan empat karakter

mendasar, yaitu pengalaman batin yang tak terkatakan,

penerimaan pencerahan dengan kualitas noetik, bersifat

sementara, serta pasivitas pada subjek.387

Karakter inilah yang

menunjukkan adanya prinsip universalitas pada pengetahuan ini.

Berdasarkan hasil penelitian mereka terhadap kesadaran mistik

yang dialami para mistikus pada umumnya, ditemukan adanya

keseragaman dan keteraturan pengalaman mistik. Adanya

keseragaman dan keteraturan ini dengan sendirinya menolak

anggapan partikularitas sifat pengetahuan mistik. Ontologi

387 Dikutip dari Cholbhavat Borirakkucharoen, “The nature of Religious

Experience in the Philosophy of William James”, ABAC Journal 2 (2003), 38-39,

http://www.journal.au.edu/abac_journal/2003/may03/article04.pdf

Page 245: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

233

pengetahuan mistik memang bersifat subjektif tetapi tidak

partikular sebab terlahir dari objek yang secara ontologis bersifat

niscaya. Langkah-langkah ilmiah dalam pengetahuan mistik

dapat dilakukan oleh semua orang dan dapat diterapkan pada

banyak objek individual. Bahwa langkah-langkah tersebut hanya

ditempuh oleh sejumlah kecil pelakunya, adalah di luar prinsip

universalitas sehingga klaim partikular tidak dapat dilabelkan

pada pengetahuan mistik begitu saja.

Sebagai salah satu bentuk pengetahuan melalui

kehadiran, mistisisme merupakan salah satu bentuk kesadaran

noetic manusia, dalam pengertian suasana dan pengalaman

mistiknya, yang bersifat tegas dan sangat informatif. Mistisisme

ditandai oleh kesadaran yang teratur mengenai dunia realitas dan

menghadirkan kesadaran dunia dalam diri. Dengan karakter

tersebut, adalah tidak rasional apabila menyatakannya sebagai

subjektif dan halusinatif.388

Hal ini dikuatkan oleh Ali Raza

Tahir bahwa pendekatan mistisisme adalah universal, ada di

semua manusia, melampaui batas-batas warna kulit, keyakinan,

bangsa, dan ras. Pendekatan ini memiliki nama yang berbeda

dalam setiap agama. Dalam Islam, dikenal dengan mistisisme

Islam/muslim atau tasawuf.389

Menurut Cholbhavat Borirakkucharoen, mistisisme tidak

dapat dipandang sebagai fenomena keberagamaan yang marginal.

Laporan-laporan mengenai pencerahan mistik ditandai dalam

sejarah keagamaan dan keduniawian sekaligus. Bahwa para

mistikus yang menyampaikan pencerahan mereka, menegaskan

bahwa klaim mereka bersifat pasti. Atas dasar itu, ia mengajukan

simpulan bahwa dengan sifat pengalaman tersebut, mistisisme

388 Mehdi Hairi Yazdi, The Principles of Epistemology …, 113. 389 Ali Raza Tahir, “Muslim Mysticism A Critical Appreciation”,

Interdiciplinarry Journal of Contemporary Research In Business, 3.10 (Feb 2012)

Page 246: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

234

seharusnya dapat menjadi ilmu keagamaan induktif dan kritis.

Dengan begitu, mistisisme dapat diterima bahkan oleh orang-

orang yang tidak beragama, sebagaimana fakta diketahui adanya

kacamata oleh orang-orang yang terlahir buta. Tetapi,

sebagaimana kacamata yang tidak dapat dirasakan manfaatnya

oleh orang buta, ilmu agama juga hanya diberlakukan pada orang

yang beragama.390

Pendapat demikian, sekaligus menjawab sifat pragmatis

yang disyaratkan dalam sains. Secara praktis, ide-ide abstrak

agama bukan merupakan sebuah perenungan atau argumentasi.

Ide-ide tersebut ada untuk digunakan. Sebagaimana kaum

pragmatis melihat kegunaan alat-alat bagi manusia, agama juga

demikian. Faktanya bahwa agama memberikan efek praktis pada

tindakan konkret manusia. Pengalaman keberagamaan memiliki

nilai praktis dan dengan demikian, dapat dijustifikasi sebagai

‚benar‛.391

2. Implikasi Universalitas Metode Ilmiah

a. Setiap Metode Kompatibel pada Objek Formalnya.

Penghampiran setiap objek untuk menemukan

pengetahuan yang benar darinya adalah hanya mungkin dicapai

oleh metode yang relevan dengan karakter objeknya. Menurut

Adelbert Snijders, metode untuk memperoleh kebenaran tidak

sama untuk semua ilmu. Metode untuk ilmu alam tidak sama

dengan metode yang digunakan oleh filsafat atau metode dalam

metafisika. Setiap ilmu didahului oleh suatu epistemologi yang

390 Cholbhavat Borirakkucharoen, “The nature of Religious Experience in the

Philosophy of William James”, 42,44. 391 Cholbhavat Borirakkucharoen, “The nature of Religious Experience in the

Philosophy of William James”, 44.

Page 247: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

235

sesuai.392

Sebuah kenyataan hanya dapat dibedah berdasarkan

metode khasnya.

Menurut Musa Asy’arie, kebenaran dalam ilmu adalah

ketepatan penggunaan metode serta kesesuaian antara pemikiran

dengan hukum-hukum internal dari objek yang dikaji. Karena

objek pemikiran itu berbeda, maka hukum internal dari objek

pemikiran itu juga berbeda yang pada gilirannya berimplikasi

pada perbedaan kebenaran. Masing-masing ilmu memiliki

tingkat kebenarannya sendiri yang masing-masing kebenaran

tidak dapat saling meniadakan.393

Kebenaran ilmu fisika berbeda

dengan kebenaran ilmu matematika atau dengan ilmu metafisika.

Kebenaran ilmiah diperoleh melalui proses ilmiah. Proses

ilmiah merupakan cara atau metode untuk memperoleh

kebenaran yang ilmiah. Metode ilmiah, dalam kerangka The

Liang Gie, merupakan prosedur yang meliputi tindakan pikiran,

pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memeroleh atau

mengembangkan ilmu.394

Dalam kerangka tersebut, karena

paradigma yang digunakannya adalah saintifik, maka prosedur,

pola, langkah, serta teknisnya menggunakan pendekatan empiris.

Namun demikian, jika kriteria ini yang dimaksud, maka ini dapat

pula diberlakukan pada filsafat dan mistisisme.

Pemenuhan kriteria ini, dijelaskan oleh Ahmad Tafsir

dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi,

Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Cara memperoleh

pengetahuan sains dilakukan dengan langkah logico-hypothetico-

verifikatif, yaitu dengan mengajukan argumentasi logis,

mengajukan hipotesis berdasarkan logika tersebut, kemudian

392 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran,1. 393 Musa Asy‟arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta:

LESFI, 2002), 76. 394 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2000), 110.

Page 248: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

236

melakukan pengujian secara empiris. Cara memperoleh

pengetahuan filsafat adalah berpikir dengan mematuhi kaidah

logika. Adapun cara memeroleh pengetahuan mistik adalah

dengan menempuh latihan yang disebut riyadat untuk mendapat

pencerahan.395

Untuk wilayah yang bersifat empiris, diperlukan metode

yang dapat melakukan telaah serta uji empiris pula. Untuk

wilayah rasional, diperlukan metode yang dapat melakukan

analisis serta pengujian rasionalnya. Untuk wilayah yang terkait

dengan pengalaman eksistensial yang tidak dapat dijangkau oleh

pencerapan indra serta penalaran logis digunakan metode intuitif

atau metode ‘irfani. Observasi dan argumentasi logis tidak

berlaku untuk wilayah eksistensial ini. Penyucian jiwa dengan

melimpahnya pengetahuan hakiki ke dalam diri subjek tidak

dapat diobservasi atau dicari dasar rasionalnya. Uji empiris tidak

dapat dilakukan pada keilmuan rasional, demikian sebaliknya.

Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa suatu

metode hanya berkompeten untuk menelaah wilayah yang sesuai

dengan karakteristik metodisnya. Metode observasi hanya cocok

digunakan ketika melakukan kajian terhadap objek-objek empiris

yang merupakan objek khas dalam sains. Observasi berpusat

pada pengamatan, sementara objek pengamatan adalah benda-

benda fisik. Metode rasional hanya sesuai untuk mengukur

standar logis atau tidak logis yang disyaratkan logika. Logika

menentukan ukuran benar atau sebaliknya terhadap suatu

proposisi dari sudut kelogisannya. Metode intuitif hanya dapat

diterapkan pada wilayah metafisis. Metode intuitif berpusat pada

kerja hati sebagai media yang menampung limpahan inspirasi.

395 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 33, 85, 120.

Page 249: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

237

Kekhususan wilayah kerja metode ilmiah tertentu, pada

gilirannya berimplikasi pula pada batasan kewenangannya.

Karena suatu metode hanya berwenang menelaah objek

khususnya, maka verifikasi kebenarannya pun hanya dapat

dilakukan oleh metode tersebut. Logika baliknya, suatu metode

tidak dapat menelaah objek yang bukan merupakan objek

khususnya serta tidak dapat melakukan verifikasi terhadap

kebenaran yang dihasilkan metode yang lain. Sebab, jika ini

dilakukan maka semua ilmu di luar dirinya akan menjadi salah.

Kenyataan ini bukan merupakan kelemahan bagi metode tetapi

untuk semakin meneguhkan kompatibilitasnya pada objek

tertentu.

Kebenaran saintifik tidak dapat diverifikasi oleh metode

filsafat atau metode mistisisme. Demikian sebaliknya, metode

mistisisme tidak dapat diverifikasi oleh metode sains atau

filsafat. Ketegangan epistemologis yang diperlihatkan oleh

sejarah, seperti kasus eksekusi al-Hallaj, tragedi mihnah,

pengkafiran filosof, atau saintisme, dalam perspektif

metodologis adalah merupakan dampak adanya singularisme,

absolutisme, serta adanya dominasi satu metode atas metode

yang lainnya. Dalam perspektif pluralisme metodologi, semua

pernyataan ilmiah adalah benar berdasarkan paradigma

metodologisnya masing-masing. Dalam mistisisme, mukashafat,

fana, atau hulul adalah mungkin serta memperoleh justifikasi

validitasnya dalam metode ‘irfani. Dalam filsafat, pernyataan

bahwa alam qadim merupakan pernyataan rasional dan karena itu

menjadi benar sebab dijustifikasi oleh paradigma rasional

filsafat. Demikian pula dalam sains, metode eksperimen dan

observasi memberikan jaminan eksak, positif, objektif, dan

eksperimental dari teori yang dibentuknya.

Page 250: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

238

Suatu teori sains hanya akan dibangun, dikukuhkan, atau

diruntuhkan melalui metode sains. Demikian halnya dengan teori

ilmu pada keilmuan rasional dan mistisisme. Secara praktis, teori

ini telah ditunjukkan oleh sejarah. Filsafat tidak berhenti dengan

menyatakan keharamannya. Sains tidak hilang oleh dominasi

agama. Mistisisme tidak mati dengan kematian al-Hallaj.

b. Metode sebagai Landasan Objektivitas Ilmu

Setiap kerja ilmiah senantiasa mematuhi prinsip-prinsip

metodologisnya. Pemenuhan prinsip metodologis ini merupakan

jalan bagi tercapainya kebenaran ilmiah. Metode dalam kerja

ilmiah kemudian menjadi parameter apakah suatu pengetahuan

memiliki standar ilmiah atau tidak.

Dalam sains, saintis menemukan teori saintifiknya

melalui pengujian hipotesis dengan data empiris. Jika data yang

dianalisis mendukung atau relevan dengan hipotesis yang

diajukan sebelumnya, maka terbentuklah sebuah teori sains.

Hipotesis, sekalipun telah memenuhi standar rasional tidak dapat

diklaim sebagai teori sains. Hal demikian karena ada sementara

teori rasional yang tidak memiliki rujukan empirisnya dalam

kenyataan. Inilah yang menjadikan sains diklasifikasi pada ragam

pengetahuan empiris, sebab data empiris merupakan syarat

kebenaran dalam sains.

Pada filsafat, tuntutan kebenarannya berbeda. Sebagai

pengetahuan rasional, filsafat hanya menuntut nilai rasional dari

argumen yang membangun teorinya. Dengan demikian, filsafat

tidak memfokuskan diri pada kenyataan empiris sebab secara

formal bukan merupakan objek kajiannya. Filsafat bekerja di

wilayah konseptual melalui abstraksi fakta empiris. Berdasarkan

sifat kajiannya yang radikal, filsafat meradikalkan pula sifat

Page 251: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

239

kebenaran teori yang dibangunnya bahwa premis-premis

pembangun yang memiliki nilai rasional serta memenuhi

persyaratan formalnya sebagai premis, dengan sendirinya akan

melahirkan kesimpulan yang benar secara niscaya tanpa harus

dikonfirmasi dengan data empiris.

Tahapan-tahapan metodologis yang ditempuh dalam

mistisisme bermuara pada kejernihan alat epistemologinya, yaitu

hati. Entitas metafisik yang merupakan wilayah kerja hati, tidak

dapat dipahami oleh semua hati kecuali hati yang telah bersih.

Cara ini dapat ditempuh oleh orang yang telah memenuhi syarat,

yaitu hati yang bersih. Hati yang suci dapat menerima limpahan

pengetahuan secara langsung dari sumber hakikinya, yaitu

Tuhan. Tersingkapnya hijab atau tirai antara hati yang suci

dengan Tuhan merupakan hal yang dibutuhkan hati, yaitu

mencapai hakikat dan memperoleh kebenaran mutlak. Dalam

kajian mistisisme, terdapat serangkaian tahapan untuk

melakukan penyucian hati. Tahapan ini dikenal dengan maqamat.

Quraish Shihab menyatakan bahwa Allah telah berjanji akan

menganugerahkan cahaya-Nya bagi sesiapa yang Dia

kehendaki.396

Namun demikian, kehendak-Nya tersebut terkait

dengan iradat (kehendak) manusia. Bagi yang ingin mencapainya

ditempuh cara al-sir ila Allah (perjalanan menuju Tuhan). Titik

tolak pengalaman spriritual dimulai dari iradat manusia yang

memiliki kemauan serta mencukupkan tekadnya. Sebab, untuk

mencapai sesuatu tidak hanya cukup dengan keinginan semata

tanpa mencukupkan keinginan tersebut. Seseorang tidak dapat

menghadirkan keinginannya tanpa sarana.397

Dalam konteks ini,

396 Lihat al-Qur‟an surat Fus}ilat (41) ayat 17 397Iradat diartikan sebagai munculnya hasrat yang kuat untuk menelusuri jalan

yang dapat membimbing menuju kebenaran dan mendorong semangat untuk mencapai

tujuan hakiki. Iradat yang kuat itulah yang dapat menghasilkan aktivitas apabila disertai

Page 252: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

240

yang dimaksud dengan sarana adalah upaya real, relevan, dan

rasional untuk merealisasikan iradat.

Mengacu pada pendapat Quraish Shihab di atas, maka

mukashafah, ilmu huduri atau mistisisme memiliki langkah-

langkah metodologis yang praktis, tidak semata-mata karena

kehendak Tuhan. Dalam mencapai pengalaman spiritualnya,

kehendak manusia memiliki peran yang tidak kecil. Dengan

demikian, pengalaman spiritual merupakan pengalaman yang

dapat diusahakan sehingga klaim mukashafah tidak dipandang

semata-mata anugerah dari Tuhan atau hak prerogatif Tuhan

tetapi juga karena memadainya iradat manusia.398

Apabila iradat

manusia telah memadai, maka pelakunya akan lebur dalam

kehadiran Tuhan, pemilik mutlak ma’rifat.

Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa setiap

metode memiliki kekuatan untuk membangun pengetahuan

objektif. Metode empiris, metode rasional, dan metode intuitif

berperan dalam membangun ilmu empiris, ilmu rasional, dan

ilmu mistis yang semuanya bersifat objektif. Objektivitas

tersebut memiliki ukuran dan kriteria yang berbeda sesuai

dengan sifat khusus objek yang dikajinya. Objektif untuk untuk

sains adalah terbukti secara empiris. Objektif untuk filsafat

adalah rasional. Sementara untuk mistisisme, objektivitasnya

adalah pengalaman eksistensial yang bersifat langsung.

kemampuan. Kemampuan ini perlu diusahakan dan ditingkatkan secara kontinyu melalui

riyadat (latihan-latihan kejiwaan). Apabila iradat telah wujud dan kemampuan telah

sempurna tetapi hal yang diharapkan tidak terpenuhi, maka itu berarti bahwa sebenarnya

iradat-nya belum memadai. Quraish Shihab, Logika Agama Kedudukan Wahyu & Batas-

Batas Akal dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 159-161. 398 Lihat al-Qur‟an Surat al-Ankabut (29): 69 yang menyatakan bahwa siapa yang

melakukan mujahadat (istilah yang identik dengan iradat) Tuhan akan menunjuki jalan-

Nya; al-Qur‟an Surat al-T}aghabun (64): 11 yang menyatakan bahwa hidayat Tuhan

diperuntukkan bagi orang beriman; al-Qur‟an Surat al-An‟am (6): 125 yang menyatakan

bahwa iradat manusia berdampak pada kelapangan dada (Tuhan melapangkan dadanya).

Kelapangan dada ini merupakan gambaran hati yang dapat dilimpahi pengetahuan Tuhan.

Page 253: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

241

Menurut Adelbert Snijders, manusia bersifat

multidimensional dan pengetahuannya pun bersifat

multidimensional. Karena itu, maka scientifical insight,

philosophical insight, maupun metaphysical insight, semuanya

otentik. Filsafat dan metafisika merupakan bagian dari

pengetahuan manusia, sehingga kerja filosofis dan metafisis pada

dasarnya merupakan kegiatan manusiawi.399

c. Liniaritas Validitas Metode dengan Universalitas

Metode

Konsep ‚valid‛ merupakan batasan nilai yang dibentuk

manusia. Dengan ini, konsep tersebut tidak berdiri sendiri tetapi

terkait dengan subjek manusia. Jika demikian, maka justifikasi

valid bukan merupakan gambaran objektif dari objek yang

dihampiri, tetapi objek yang dinyatakan valid sejauh divalidasi.

Oleh karena itu, istilah ‚valid’ pada hakikatnya bersifat subjektif

sehingga putusan ‚valid‛ mesti dilihat dalam suatu konteks.

Konteks validitas antara lain struktur subjektif manusia

dan situasi yang melingkupi objek terutama ketika ia divalidasi.

Atas dasar ini, validitas menyejarah secara dinamis sehingga

klaim universal dan valid dalam suatu metode ilmiah juga berada

dalam konteksnya. Sejarah menyajikan gambaran ini berdasarkan

babakannya mulai zaman pra Yunani kuno, Yunani kuno, abad

pertengahan, renaissance, sampai modern. Metode ilmiah yang

divalidasi pada masa pra Yunani kuno bersifat mitosentris, pada

masa Yunani kuno bersifat logis, abad pertengahan bersifat

agamis, pada masa renaissance bersifat sekuler, dan pada masa

modern bersifat faktual. Putusan valid bervariasi dalam setiap

periode sejarah metode ilmiah. Pengetahuan dan metode untuk

399 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, x

Page 254: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

242

menuju kebenaran, demikian menurut Adelbert Snijders,

bermacam-macam menurut konteks kebudayaan.400

Dalam hal

ini, perspektif manusia terhadap kebenaran senantiasa

berkembang.

Realitas tersebut menunjukkan bahwa validitas memiliki

unsur relatif atau berrelasi dengan konteks, terutama dengan

manusia. Setiap manusia bersifat unik sehingga dalam kebenaran

terdapat unsur keunikan. Dalam kebenaran terdapat sifat yang

universal serta sifat yang relatif. Kedua sifat ini membuat

kebenaran bersifat paradoks. Bersifat paradoks bukan berarti

kontradiksi sebab dalam kontradiksi hanya mungkin tersedia satu

kebenaran dengan menolak salah satunya atau kedua klaim

kebenaran tersebut sama sekali tertolak sebagai kebenaran.

Dalam paradoks, memang terdapat dua kebenaran yang berbeda

tetapi menjadi benar dalam kesatuan keduanya.401

Universalitas metode terletak pada keyataan yang

menyatakan diri sebab ia merupakan dasar suatu kebenaran.

Membuat kenyataan menyatakan diri merupakan bukti implisit

bahwa metode pembangunnya bersifat valid. Berdasarkan

paparan di atas, universalitas metode berkaitan dengan perspektif

mengenai konsep valid yang diakui oleh komunitas ilmuwan di

bidangnya dan pada ruang sejarah tertentu.

C. Signifikasi Teori Pluralisme Metode Ilmiah

1. Redefinisi Validitas Metode Ilmiah

a. Cara Baru Memahami Konsep Objektif dalam Sains

Istilah ‘objektif’" dan ‘subjektif’ pada dasarnya

berhubungan dengan subjek yang mengamati dan objek yang

400Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 37 401Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 4

Page 255: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

243

diamati. Objek adalah sesuatu yang eksis, terlepas dari persepsi

subjek, atau mengada sebagaimana adanya, sekalipun tidak ada

subjek yang memahaminya. Objektivitas biasanya dikaitkan

dengan ide-ide seperti realitas, kebenaran, dan kehandalan.

Pengetahuan objektif berarti pengetahuan subjek mengenai objek

sebagaimana adanya objek tersebut. Untuk kepentingan

objektivitas, subjek harus mengambil jarak dengan objek supaya

kondisinya tidak mempengaruhi keberadaan objek. Ilmuwan

harus benar-benar ingin mengetahui yang sebenarnya sekalipun

mereka tidak dapat beroperasi tanpa prasangka, gagasan teoretis,

dan bahkan intuisi. Mereka membentuk dan membentuk kembali

pertanyaan, mereka memiliki kemauan tetapi akhirnya harus

"membiarkan alam memutuskan'' jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan mereka. Ilmuwan hanya mengusulkan, tetapi alamlah

yang menentukan.402

Dalam konteks ini, konsep objektif atau

benar dan salah hanya bermakna dalam referensinya dengan

realitas.403

Objektivitas merupakan tindakan menentukan

referensi pada realitas dalam menentukan kebenaran. Namun

demikian, konsep objektif hanya akan dipahami dalam

keterkaitannya dengan subjek. Permasalahannya, subjek

seringkali dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab

terhadap objektivitas ilmu.

Dialektika subjek-objek ini berimplikasi pada

kemustahilan untuk memperoleh ilmu yang benar-benar objektif.

Ilmu tidak dapat mencapai objektivitas murni sebab suatu teori

bahkan suatu percobaan ilmiah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi

402 Leslie Stevenson dan Flenry Byefly, The Many Faces of Science An

Introduction to Scientists, Values, and Society (Oxford: Westview Press, 2000), 5 403 Konsep yang referensial dengan realitas merupakan syarat kebenaran versi

teori korespondensi. Menurut teori ini, suatu proposisi dikatakan benar apabila sesuai

dengan fakta yang ditujunya. Lihat Andrew Newman, An Essay on the Metaphysics of

Predication (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 1.

Page 256: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

244

yang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran ilmuwan.404

Sebagai

manusia, ilmuwan hidup dalam konteks yang secara tidak

disengajan memengaruhi langkah ilmiahnya.

Secara filosofis, representasi wujud objektif oleh subjek

tidak mungkin dilakukan. Ketika akal membuat abstraksi suatu

realitas, realitas sesuatu itu sendiri tidak masuk ke dalam akal.

Yang ada dalam akal hanyalah gambaran dari sebuah wujud,

yaitu realitas yang diabstraksi. Dalam terminologi Filsafat Islam,

realitas objektif disebut wujud ‘aini, wujud khariji, waqi’ khariji,

waqi’ ‘aini, atau wujud ekternal sebagai sesuatu yang

mempunyai realitas atau kenyataan mandiri di luar pikiran atau

tidak bergantung pada keberadaan manusia.405

Realitas objektif

yang disebut Immanuel Kant dengan "ding an sich" (sesuatu

dalam dirinya sendiri) merupakan suatu objek sebagaimana

adanya dalam dirinya sendiri, independen dari fitur setiap

persepsi subjektif tentangnya. Pendirian ini berbeda dengan

Locke yang meyakini eksistensi pengetahuan objektif atau

primer. Kant menegaskan bahwa subjek tidak dapat mengetahui

apapun mengenai sifat sebenarnya dari ding an sich, selain bahwa

hal itu ada. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan sistematis

mengenai hal-hal seperti yang ditampilkan kepada subjek bukan

karena mereka dalam diri mereka sendiri.

Menurut Murtada Mutahhari, eksistensi gambaran

mental berkaitan dengan rentang pengetahuan dan objek

pengetahuannya. Hal ini berarti bahwa eksistensi mental

berkaitan dengan nilai pengetahuan manusia mengenai sesuatu,

404J. R. Ravetz, “Science And Values”, Ziauddin Sardar, ed., The Touch of Midas

Science Values and Environment in Islam and the West (Mapusa: Manchester University

Press, 1984), 46-47 405 Murtada Mut}ahh}ari, Tema-Tema Penting Filsafat Islam (Bandung: Yayasan

Mut}ah}h}ari, 1993), 60.

Page 257: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

245

bahwa nilai pengetahuan dan kesadaran manusia bergantung

sepenuhnya pada pengertian gagasan eksistensi mental.406

Gagasan ini menyatakan bahwa konsep universal mengenai objek

tidak lain merupakan esensi yang dibentuk oleh pikiran. Ketika

wujud eksternal tersebut dipersepsi oleh pikiran, maka

representasinya akan membentuk wujud lain yang disebut wujud

subjektif. Keberadaan wujud eksternal yang sudah dipersepsi

oleh pikiran menjadi subjektif karena sudah bereksistensi dalam

pikiran. Menurut perspektif Mulla Sadra, wujud subjektif tidak

masuk ke dalam pikiran tetapi melekat dalam pikiran. Dalam

konteks ini, pikiran tidak dipahami sebagai wadah tetapi

seperangkat sifat atau esensi yang dapat diterapkan terhadap

realitas eksternal dan mengklasifikasi sesuatu.407

Berdasarkan

esensinya, kemudian wujud objektif kursi dibedakan dengan

wujud objektif meja, demikian seterusnya. Yang melekat dalam

pikiran tersebut hanya merupakan ciri esensi dari wujud objektif,

bukan totalitas wujud.

Distingsi realitas ke dalam realitas objektif dan realitas

subjektif dalam konteks objektivitas pengetahuan mengenai

realitas eksternal bersifat esensialitas dan probabilitas.

Esensialitas yang dimaksud adalah esensialitas objek subjektif

dan probabilitas terkait dengan objek objektif. Keduanya

bergabung membentuk pengetahuan mengenai objek eksternal.

Esensialitas meniscayakan adanya objek subjektif dan

probabilitas menunjukkan bahwa korespondensi kedua objek

tersebut tidak bersifat mutlak tetapi menempati wilayah

406 Murtad}a Mut}ah}h}ari, Pengantar Pemikiran Shadra Filsafat Hikmah. terj.

(Bandung: Mizan, 2002), 86. 407 Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Terj. (Bandung: Pustaka, 2000), 288-289.

Page 258: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

246

mungkin benar.408

Prinsip probabilitas ini terkait dengan

pembuktian kebenaran sains modern yang bertujuan untuk

menemukan korespondensi antara wujud subjektif dengan wujud

objektif. Prinsip probalilitas pada gilirannya menolak klaim

objektif dalam sains. Lagi pula, substansi kebenaran tidak dapat

ditemukan melalui prinsip korenspondensi tetapi melalui prinsip

identitas.409

Keterlibatan unsur subjektif dengan sendirinya tidak

menunjukkan wujud yang objektif.

Berdasarkan sudut pandang ini, maka tidak ada

pengetahuan yang benar-benar objektif dalam pengertian yang

absolut. Pada sains, observasi diserap oleh teori sehingga tidak

memberikan akses langsung ke dunia. Banyak filosof yang

menyatakan bahwa apabila observasi telah diresapi teori, maka

tidak ada teori yang benar-benar objektif sebab tidak dapat

dikatakan bahwa persepsi dapat menangkap aspek-aspek dunia

secara akurat. Tiga klaim utama yang mempermasalahkan

kebenaran objektif teori-teori ilmiah adalah sebagai berikut:

pertama, semua pengalaman diresapi oleh teori. Kedua, teori

mengarahkan observasi, memberitahu pengamatan mana yang

signifikan, serta menunjukkan bagaimana teori-teori tersebut

menjadi signifikan. Ketiga, semua pernyataan yang diobservasi

adalah teoretis dan tidak diturunkan dari pengalaman.410

Di

samping itu, fakta empiris sebagai objek sains selalu berubah.

Perubahan fakta pada gilirannya menggiring perubahan teori.

408 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy….,

31 409 Prinsip identitas menyatakan bahwa P adalah benar jika P identik dengan

faktanya. Mengenai prinsip kebenaran identik, untuk selanjutnya lihat Julian Dodd, An

Identity Theory of Truth (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 111. 410Lihat George Couvalis, The Philosophy of Science: Science and Objectivity

(London: SAGE Publications, 1997), 11-13

Page 259: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

247

Dengan ini, objektivitas sains tidak bersifat mutlak tetapi

mengalami perubahan sesuai dengan perubahan pada fakta.

Klaim objektif yang merujuk pada objek empiris, adalah

klaim yang dituntut epistemologi positivisme. Namun proses

mengkonstruksi teori ilmiah, pada kasus modernisme pada

dasarnya bersifat paradoks. Metode ilmiah Barat cenderung pada

peran subjek daripada eksistensi objek. Rasionalisme yang

menjadi pilar utama sains, menekankan peran subjek yang

berpikir dalam membentuk pengetahuan mengenai objek.

Kekuatan akal dalam membentuk pengetahuan, pada Descartes

terletak pada innate ideas yang bersifat imanen dengan tingkat

kebenaran yang tidak dapat diragukan. Menurut Descartes,

mengetahui merupakan aktivitas dan mengandaikan adanya

subjek mengetahui. Mengetahui adalah diri subjektif yang

tahu.411

Melalui metode keraguannya, Descartes menemukan

prisip-prinsip bahwa: ‚Jika aku tidak berpikir, aku tidak punya

alasan untuk percaya bahwa aku ada, maka aku substansi yang

esensi keseluruhannya adalah berpikir, menjadi tubuh adalah

bukan bagian dari esensi aku. Hal yang sama berlaku untuk

setiap manusia lainnya. Karena berpikir merupakan dasar

keberadaan aku, maka semua yang dipersepsi oleh ‚aku yang

berpikir‛ adalah benar. Sebagai justifikasi kebenarannya,

Descartes menjadikan Tuhan sebagai penjaminnya.412

411Karl R Popper, Objective Knowledge An Evolutionary Approach (Oxford:

Oxford University Press, 1974), 73. 412 Suatu pengetahuan tidak mungkin berresiko salah apabila Allah sendiri yang

menjamin prinsip bahwa apa pun yang aku lihat dengan jelas dan benar. Hanya sifat jujur

dari Allah kepada siapa aku berutang keberadaan aku sebagai hal berpikir. Jadi

membangun keberadaan Tuhan adalah bagian penting dari sistem Descartes. Dia

menawarkan dua bukti bahwa Allah itu ada. Pertama, aku memiliki gagasan tentang

makhluk yang sempurna dalam diri saya, dan ide ini tidak dapat disebabkan saya dengan

sesuatu yang kurang dari makhluk yang sempurna itu sendiri. Kedua, untuk menjadi

sempurna makhluk harus mencakup dalam dirinya sendiri semua kesempurnaan, tetapi

Page 260: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

248

Anthony Kenny menunjukkan irasionalitas rasionalisme

Descartes dengan menganalisa konsep cogito. Menurutnya,

metode keraguan metodis Descartes tidak dapat menjadi bukti

seluruh keberadaan, termasuk keberadaan Tuhan dan bahkan

keberadaan Descartes sendiri. Cogito tidak dapat membuktikan

keberadaan Descartes sebagai manusia yang utuh tetapi hanya

membuktikan keberadaan pikirannya.413

Analisis ini

menunjukkan bahwa objektivitas yang diklaim epistemologi

Barat pada hakikatnya bermuara pada subjek, yaitu ketika

pikiran dijadikan ukuran untuk menentukan dan memvalidasi

seluruh eksistensi.

Menurut Adelbert Snijders, segala kebenaran

mengandung unsur relatif dan mutlak. Relativitas kebenaran

didasarkan pada sikap subjek atau einstellung. Unsur relatif ini

ada karena kebenaran berrelasi dengan subjek, bahwa setiap

manusia mempunyai keunikan, hidup dalam zaman dan

kebudayaan yang berlainan, serta melihat kenyataan dari segi

yang berlainan. Karena itulah setiap pengetahuan bersifat

manusiawi, historis, dan dipengaruhi oleh zaman. Pendekatan

historis dapat dinilai sebagai historis karena adanya berkat

cahaya transhistoris dan mutlak. Sifat mutlak hadir dalam segala

kebenaran.414

Pandangan subjek terhadap suatu realitas dapat

berlainan, tetapi kehadiran realitas tersebut dalam sejarah adalah

suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, kebenaran yang

tidak dapat dihapus oleh sejarah.

eksistensi adalah kesempurnaan, dan karena itu makhluk yang sempurna harus ada.

Anthony Kenny, The Rise of Modern Philosophy (New York: Oxford University Press

Inc., 2006), 36-37. 413Anthony Kenny, The Rise of Modern Philosophy , 121. 414 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 128-129.

Page 261: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

249

Dengan demikian, kebenaran sains, filsafat, dan

mistisisme, juga mengandung unsur relatif dan mutlak.

Relativitas kebenaran sains di samping relasinya dengan subjek

juga dilihat dari karakteristik perubahan objek yang menjadi ciri

khas dunia empirik. Teori sains merupakan pernyataan yang

berawal dari fakta empirik kemudian diverifikasi dengan fakta

empirik lagi. Karena fakta empirik selalu berubah, maka

perubahan fakta berimplikasi pada perubahan teori.

Perkembangan suatu teori ilmu menuju kesempurnaannya, atau

perkembangan ilmu sehingga melahirkan berbagai cabang dan

anak cabangnya, sebenarnya menjadi bukti adanya relativitas

dalam sains.

Peter Kosso mengakui ketidakmungkinan metode ilmiah

untuk mengungkap realitas secara objektif. Ilmu, sensitif

terhadap derajat ketidakpastian. Ilmu tidak berpretensi untuk

menghasilkan pengetahuan yang sempurna atau kepastian

mutlak. Hal ini terkait dengan ketersediaan bukti serta

kemampuan menalar yang terbatas sehingga memungkinkan

untuk tidak mengetahui aspek alam tertentu atau bahkan tidak

diketahui sama sekali.415

Namun sebagaimana yang dinyatakan Adelbert Snijders

di atas, sekalipun suatu teori sains mengalami perkembangan,

baik merupakan akumulasi dari teori sebelumnya atau merupakan

teori yang sama sekali baru dengan menggugurkan teori

sebelumnya, hal yang tidak dapat disangkal kebenarannya bahwa

semua orang yang terlibat dalam penelitian tersebut telah

meneliti kenyataan yang sama. Pada konteks itulah sains

memiliki kebenaran absolut dan universal. Absolusitas dan

415 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method (New York: Springer, 2011), 4

Page 262: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

250

universalitas sains tidak terletak pada teorinya, karena teori

mengalami perkembangan formulasi teoretisnya.

Sekalipun demikian, tuntutan objektivitas tetap

merupakan tuntutan esensial dalam setiap sistem epistemologi,

termasuk dalam epistemologi Islam. Menurut Osman Bakar,

pencarían objektivitas tidak hanya upaya ilmiah Barat. Dalam

Islam, pencarían objektivitas bukan hanya sah dan dianjurkan

berdasarkan tuntutan fitrah manusia tetapi juga memiliki

relevansi religius. Sebagai makhluk yang dicipta berdasarkan

citra ketuhanan, manusia berusaha menjadi objektif supaya dapat

menyerupai sifat-sifat Tuhan. Dalam konteks ini, menjadi

objektif berarti menyerupai Tuhan. Manusia mampu mencapai

objektivitas karena Tuhan telah menganugerahi kualitas-kualitas

tersebut dan karena kualitas tersebut juga memanifestasi dalam

diri manusia. Dimensi spiritual agama, memberi dorongan dan

jalan praktis supaya kualitas-kualitas ini dapat muncul dalam diri

manusia. Maka, antara objektivitas ilmiah dan kesadaran religius

memiliki hubungan yang signifikan.416

Objektivitas merupakan hal yang esensial dalam

epistemologi. Karena itu, klaim modernisme yang menetapkan

ilmu empiris sebagai satu-satunya pengetahuan objektif karena

terbuka untuk verifikasi publik, dalam hal sifat objeknya yang

empiris serta relevansi uji objektivitasnya, dapat dibenarkan.

Namun dalam epistemologi Islam, suatu ilmu tidak disebut

objektif semata-mata karena sudah memenuhi uji empiris.

Menurut Adelbert Snijders, air dapat memiliki pengertian yang

beragam. Bagi science, air adalah H2O, bagi filsafat ketuhanan

merupakan ciptaan Tuhan, dan sebagainya. Semua kebenaran dan

416Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains

Islam, terj. Yuliani Liputo (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 19-21.

Page 263: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

251

tafsiran tersebut dapat benar atau salah. Namun kebenaran yang

satu tidak lebih benar dari kebenaran lainnya karena masalah

benar atau salah merupakan masalah sesuai atau tidak sesuai

dengan kenyataan. Air adalah kenyataan yang mempunyai diri

dan diri air itu menjadi dasar untuk segala arti selama sesuai

dengan kenyataannya sebagai air. Karena kenyataan mempunyai

diri, maka subyek harus memberi pengertian yang sesuai dengan

kenyataannya. Kebenaran ontis ini pada gilirannya menjadi dasar

dan norma bagi kebenaran epistemologis. Keragaman kebenaran

dalam ilmu merupakan hal niscaya karena ilmu terlibat dalam

permainan bahasa. Bahasa laboratotium berbeda dengan bahasa

matematika atau metafisika. Pengetahuan yang terungkap dalam

bahasa yang bermacam-macam tersebut hanya benar kalau sesuai

dengan kenyataan. Karena itu, norma kebenaran bukan terletak

pada science tetapi pada kenyataan yang menyatakan diri.417

Dalam perspektif modernisme objektivitas ilmu hanya

dibatasi pada wilayah empiris eksperimental. Dalam Islam,

kebenaran empiris, rasional, dan metafisik pada dasarnya bersifat

objektif. Bagi setiap kebenaran ini terdapat bentuk verifikasi

atau pembuktiannya masing-masing.418

Bahwa objektivitas

dalam sains, filsafat, dan mistisisme tidak dapat memenuhi

kriteria objektif dalam pengertian yang absolut, maka di situlah

letak perbedaan antara ilmu yang dikonstruksi oleh manusia

dengan ilmu Tuhan.

Untuk memenuhi tuntutan objektif dalam ilmu dalam

konteks objektivitas dan masalahnya, diperlukan tolok ukur.

Menurut Adelbert Snijders, predikat benar merujuk pada

berbagai pengertian, namun intinya adalah ‚adanya

417 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 252-253 418 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai…, 21

Page 264: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

252

persesuaian‛.419

Maka secara epistemologis, suatu pengetahuan

dinilai benar apabila memiliki kesesuaian dengan kenyataan.

Sekalipun diungkapkan dengan proposisi yang berbeda, apabila

terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan materi yang

dituju oleh pernyataan tersebut, maka proposisi yang berbeda-

beda tersebut semuanya memiliki kebenaran.

Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut kebenaran

epistemologis atau gnoseologis yang dikontraskan dengan

kesalahan. Benar atau salah ini merupakan masalah inti dalam

epistemologi. Metode verifikasi setiap kebenaran berbeda-beda.

Pengetahuan empirik diverifikasi melalui eksperimen atau

metode induksi. Metode induksi bersifat empiris sesuai dengan

objek telaahnya. Verifikasi ini kemudian akan menghasilkan

kesimpulan yang berlaku umum.420

Jika dalam verifikasi

ditemukan hasil yang tidak sesuai, maka berimplikasi pada

perumusan teori baru yang menggugurkan teori sebelumnya.

Matematika diverifikasi dengan menggunakan metode deduksi.

Metafisika diverifikasi melalui pengalaman intuitif. Untuk

membuktikan adanya Tuhan tentu tidak dengan menggunakan

mikroskop. Menurut Adelbert Snijders, manusia bersifat

multidimensional dan pengetahuannya pun bersifat

419 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan 247. Peter Van Inwagen,

Metaphysics, (Boulder: Westview Press, 2009), 24 420 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 248. Selanjutnya lihat sampai h.

249. Sebagai contoh, eksperimen pada sejumlah besi yang memuai jika dipanaskan,

kemudian disimpulkan bahwa segala besi akan memuai jika dipanaskan. Verifikasi atas

hukum ini tidak berdasarkan pada observasi inderawi pada segala besi karena mutahil

melakukan verifikasi pada segala besi di segala zaman. Dasar kesimpulan peralihan

observasi pada sejumlah besi kepada segala besi adalah perspektif filsafat, yakni

hylomorfisme Aristoteles, bahwa individualitas tidak berperan dalam reaksi untuk

kenyataan infrahuman. Setiap individu besi bereaksi sesuai jenisnya, sehingga observasi

pada sejumlah besi dapat menghasilkan hukum untuk segala besi. Dengan dasar keunikan

pada benda fisik didasarkan pada jenisnya bukan pada individualitasnya, pada dasarnya

semakin menegaskan kepastian hukum kausalitas pada science sekaligus membantah

pendirian Hume dan al-Ghazali.

Page 265: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

253

multidimensional. Karena itu, maka scientifical insight,

philosophical insight, maupun metaphysical insight, semuanya

otentik. Filsafat dan metafisika merupakan bagian dari

pengetahuan manusia, sehingga kerja filosofis dan metafisis pada

dasarnya merupakan kegiatan manusiawi.421

Dengan demikian, sekalipun keberadaannya sangat

bergantung pada subjek, nilai objektivitas dalam ilmu tidak

sepenuhnya subjektif. Untuk memberikan nilai pada sesuatu,

subjek menghadirkan alat ukur. Pada ilmu, alat ukurnya adalah

observasi atau eksperimen, kaidah-kaidah logika, atau

pengalaman eksistensial seorang mistikus.

Di antara berbagai cara yang ditempuh manusia untuk

menemukan kebenaran adalah dengan menggunakan metode

ilmiah. Dalam paradigma positivistik metode ilmiah tersebut

merujuk pada metode sains (scientific method). Dalam tulisan

ini, metode ilmiah tidak hanya merujuk pada metode sains, tetapi

juga pada metode filsafat dan metode mistisisme. Hal ini

didasarkan bahwa pada epistemologi Islam, eksistensi bersifat

multidimensional, alat epistemologi bersifat plural, dan karena

itu, seluruh eksistensi menjadi mungkin untuk diketahui selama

ada kesesuaian antara objek (eksistensi) dan metode yang

dihasilkan dari alat epistemologinya.

Dalam konteks ini pula, kebenaran pada salah satu

maknanya merupakan hasil penelaahan objek yang menjadi

pengetahuan, digeneralisasi menjadi teori, teori diuji olek praktik

menjadi ilmu (apabila sudah tahan uji), kemudian menjadi

kepercayaan, dan selanjutnya menjadi keyakinan.422

Dalam

tradisi positivisme, objek ilmu yang dimaksud adalah objek

421 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, x 422 Darsono Prawironegoro, Filsafat Ilmu (Jakarta: Nusantara Consulting, 2010),

74-77.

Page 266: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

254

empiris, digeneralisasi menjadi teori sains, batu ujinya verifikasi

empiris, dan apabila sudah terbukti kebenarannya melalui

observasi empiris, maka pengetahuan tersebut secara

meyakinkan dipandang benar. Dalam tulisan ini, objek ilmu tidak

hanya merupakan objek yang dialami secara empiris, sebab

pengalaman manusia tidak hanya merupakan pengalaman empiris

yang dialami oleh panca indranya tapi juga dialami oleh akal dan

hatinya. Dengan demikian, generalisasi ilmiahnya bukan hanya

teori yang hanya dapat diuji melalui observasi tetapi dapat pula

diuji oleh penalaran logis atau pengalaman mistis dengan ukuran

kebenarannya masing-masing.

b. Justifikasi Klaim Objektif dalam Metode Ilmiah

Objektivitas merupakan justifikasi kebenaran suatu teori

ilmiah yang memiliki kesesuaian dengan objek atau realitas yang

ditujunya.423

Namun dalam konteks epistemologi Barat, realitas

yang dimaksud adalah realitas empirik. Pengujian empiris

kemudian diklaim sebagai upaya pembuktian tidak adanya unsur

subjektif dalam ilmu. Ilmu harus hanya memuat pernyataan dan

data yang memberikan penggambaran objektif dan

mencerminkan gejala-gejala yang ditelaahnya secara tepat.

Objektivitas ilmu, mensyaratkan kesesuaian dengan objeknya

tanpa dialihkan oleh kecenderungan subjektif penelaahnya.424

Suatu teori dinyatakan objektif apabila memberikan gambaran

yang benar tentang dunia empiris karena memiliki akses

langsung. Teori-teori yang dinyatakan para filosof serta

pernyataan-pernyataan agama tetap merupakan sebuah

pernyataan spekulatif sekalipun secara formal bersifat rasional.

423 Hugh G. Gauch, Jr., Scientific Method in Practice (Cambridge: University

Press, 2003), 31. 424 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2000), 127-128.

Page 267: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

255

Untuk memeroleh pengetahuan objektif, maka diharuskan untuk

mengikuti prosedur baku dalam metode sains.425

Kriteria empiris dalam paradigma sains, dengan

sendirinya menolak objek-objek yang berada di luar kategori

empiris, yaitu objek rasional dan metafisik. Kedua objek

tersebut, terlebih objek metafisik, dinilai lebih mengedepankan

nilai subjektif sebab validitasnya tidak dapat diverifikasi secara

empiris. Dalam pemikiran George Couvalis, banyak filosof yang

mengemukakan argumen rasional dengan mengatasnamakan

objektivitas tetapi penalaran mereka tidak lebih dari teka-teki

yang bersifat irasional. Kesimpulan logika tidak berpijak pada

kenyataan empiris sehingga tidak layak dijadikan sebagai sebuah

teori ilmiah sekalipun secara formal tampak sempurna. Penalaran

palsu yang mengatasnamakan objektivitas ini pada gilirannya

merusak objektivitas ilmiah sendiri.426

Padahal, selama suatu

pengetahuan dikonstruksikan oleh subjek, maka ibarat selembar

kertas dengan kedua sisinya, unsur subjektif dan objektif

merupakan dua komponen yang secara niscaya turut menjadi

bagian dalam bangunan pengetahuan tersebut. Dengan kalimat

lain, setiap ilmu memiliki nilai subjektif dan objektifnya,

termasuk sains.

Objektivitas sains, sebagaimana menurut Mehdi Ha’iri

Yazdi, hanya bersifat mungkin (probable).427

Atas dasar ini,

maka kebenaran sains tidak objektif dalam pengertian yang

absolut sekalipun kebenarannya didukung oleh fakta-fakta objek

sebab objek tidak menampilkan diri dalam keadaan objektifnya.

425 George Couvalis, The Philosophy of Science: Science and Objectivity

(London: SAGE Publications, 1997), 11 426George Couvalis, The Philosophy of Science ….., 10. 427 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy….,

33-35

Page 268: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

256

Kebenaran dalam sains tidak terlepas dari subjek manusia. Hal

demikian diakui pula oleh Peter Kosso bahwa metode saintifik

tidak mungkin mengungkap realitas secara objektif. Sains

sensitif terhadap derajat ketidakpastian. Sains tidak berpretensi

menghasilkan pengetahuan sempurna yang kepastiannya bersifat

mutlak. Hal ini terkait dengan ketersediaan bukti serta

kemampuan menalar yang terbatas sehingga memungkinkan

untuk tidak mengetahui aspek alam tertentu atau bahkan tidak

diketahui sama sekali.428

Namun untuk kepentingan tertentu,

misalnya kepentingan pragmatis, teori sains divalidasi dengan

objektif.

Dalam kerangka Kuhn, ilmuwan selalu bekerja di bawah

payung paradigma yang memuat asumsi ontologis, metodologis,

dan struktur nilai yang bersifat dinamis dan mendomisasi di

waktu tertentu karena keunggulannya. Paradigma tersebut

dijadikan kerangka konseptual oleh ilmuwan dalam mempersepsi

semesta sehingga observasi tidak bersifat netral tetapi

bergantung pada paradigma yang digunakan. Sebagai contoh,

paradigma ilmu dalam filsafat positivisme berpendirian bahwa

ilmu adalah pengetahuan objektif tentang dunia empiris.

Paradigma positivisme menjadi absah karena ada komunitas

akademis yang menjunjung dan mereproduksinya. Mengikuti

pandangan ini, objektivitas sains pada hakikatnya merupakan

justifikasi objektif bukan benar-benar objektif. Dalam pemikiran

Kuhn, objektivitas tidak lebih dari kesepakatan. Kesepakatan

itulah yang kemudian dijadikan standar justifikasi objektif.

Di samping itu, pembuktian filosofis mengenai

objektivitas dalam sains tersebut sebenarnya diakui juga oleh

sains modern. Kebenaran sains dibangun dan didasarkan pada

428 Peter Kosso, A Summary of Scientific Method, (New York: Springer, 2011), 4

Page 269: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

257

standar pragmatis. Standar inilah yang menunjukkan adanya

relativitas dalam kebenaran saintifik. Prinsip pragmatisme

menunjukkan keyakinan bahwa kebenaran divalidasi atau

dibenarkan apabila terbukti berguna berdasarkan kriteria suatu

komunitas atau masyarakat. Hasil validasi tersebut kemudian

menentukan apa yang dinilai benar. Penilaian tersebut pada

gilirannya merelatifkan apa yang diterima sebagai kebenaran,

karena apa yang dianggap berguna, sukses, atau produktif,

kemungkinan akan bervariasi dari waktu ke waktu.429

Melalui

prinsip ini, suatu kebenaran harus memiliki konsekuensi praktis

tertentu.430

Oleh karena itu, objektivitas sains pada hakikatnya

bersifat relatif dan sementara. Relativitas dan kesementaraan

tersebut menunjukkan bahwa bahwa kebenaran sains tidak

bersifat objektif secara absolut.

Sebagaimana sains, ilmu yang bersumber dari akal juga

memiliki keterbatasan. Keterbatasan kualitas pengetahuan yang

dibentuk akal, salah satunya berkaitan dengan kerja akal dalam

menginterpretasi realitas. Kerja akal adalah mengabstraksi

realitas konkret menjadi konsep. Dengan demikian,

keistimewaan akal adalah menemukan ciri esensi dari eksistensi

tertentu. Dengan kemampuan akal tersebut, memungkinkan

untuk melakukan abstraksi yang selanjutnya dapat diterapkan ke

dalam realitas objektif. Namun justru di situ pula letak

kelemahannya. Karena akal memahami objek melalui simbol,

akal tidak mampu menangkap pengetahuan hakiki tentang

sesuatu karena simbol hanya berputar-putar pada objek

429 Anthony C. Thiselton, A Concise Encyclopedia of the Philosophy of Religion

(Oxford: Oneworld Publications, 2002), 239 430 William James, William James Writings 1902 1910 The Varieties of Religious

Experience, Pragmatism, A Pluralistic Universe, The Meaning of Truth, Some Problems of

Philosophy, Essays (New York: Literary Classics of the United States, Inc., 1987), 857.

Page 270: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

258

empiris.431

Atas dasar ini, akal bekerja di atas fakta empiris

sehingga kerja akal adalah melanjutkan ilmu empiris yang sejak

awal sudah terbukti memiliki unsur subjektif di dalamnya.

Persoalan yang sama dihadapi pula oleh mistisisme.

Sebagai ilmu yang sering dituduh sebagai ilmu yang benar-benar

subjektif, persoalan utama mistisisme terlahir dari karakternya

yang tak terkatakan, sehingga memformulasikan secara

sistematis pengalaman yang tak terkatakan ke dalam bahasa

akademis dan ilmiah melahirkan persoalan lain. Dengan ini,

maka bahasa akademis adalah bahasa yang berbeda dengan

bahasa mistis murni. Melalui penggunaan bahasa akademis untuk

mengungkapkan pengalaman yang tak terkatakan

(metamistisisme), menjadikan mistisisme sebagai pengetahuan

korespondensi.432

Pada sisi inilah mistisisme dalam pengertian

‘irfan, sebagaimana pengetahuan representatif lain, tidak

terbebas dari kemungkinan benar atau salah serta melahirkan

kesalahan dalam menafsirkan terminologi mistisisme.

Sebagai tokoh yang meyakini superioritas disiplin

tasawuf sebagai bagian mistisisme, al-Ghazali sendiri sempat

mengakui adanya kasus-kasus dalam tasawuf yang bersifat

subjektif, seperti pada hulul atau ittihad. Hulul dan ittihad

sendiri merupakan kondisi objektif sehingga menutup

kemungkinan bahwa sufi yang mengklaim mengalami hulul atau

ittihad telah dengan sengaja berbohong dengan pernyataan

mereka. Menurutnya, sejak awal tariqat mulai terjadi peristiwa

mukashafahdan mushahadah. Pada kondisi ini, para sufi dapat

melihat malaikat, roh para nabi, mendengar suara mereka, serta

memperoleh pelajaran yang berguna dari mereka, sekalipun

431 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan…, 27 432 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy….,

159, 162.

Page 271: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

259

dalam keadaan terjaga. Kemudian mereka naik ke dalam tahapan

yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Jika seorang

sufi berusaha mengungkapkan pengalaman batinnya tersebut, ia

tidak dapat menghindari ungkapan yang akan menimbulkan salah

paham. Jika seorang sufi sudah mencapai kedekatan dengan

Tuhan, ada sufi yang menduga kedekatan ini sebagai hulul, ada

yang menduga sebagai ittihad, ada pula yang menduganya

sebagai wusul. Karena hanya merupakan dugaan, maka apa yang

mereka duga sebenarnya bukan merupakan kebenaran. Yang

benar adalah, para sufi mengalami keadaan fana tidak ada yang

mampu menyatakannya. Maka ucapan yang dapat dimengerti

adalah: ‚Ada sesuatu yang tidak mampu diungkapkan. Maka

berbaik sangka saja mengenai itu, tidak perlu dipertanyakan‛.433

Dengan demikian, tolok ukur kebenaran mistisisme

terletak pada kemampuan filosof dalam memahami bahasa mistik

sehingga ia mampu merepresentasikannya secara tepat. Namun

sebagai konsekuensi pengalaman yang tak terkatakan,

representasi terhadapnya sulit dilakukan. Seperti yang

dijelaskanr Mehdi Ha’iri Yazdi, sebagian besar sejarawan

kontemporer dan filosof mistisisme telah gagal memahami

bahasa mistisisme sehingga tidak dapat menghasilkan analisis

yang memuaskan serta terkadang tidak relevan dengan kebenaran

mistisisme.434

Namun demikian, tasawuf kemudian memberikan

ukuran-ukuran tertentu untuk menjustifikasi kebenarannya.

Paparan di atas menunjukkan bahwa objektivitas dalam

ilmu tidak merujuk pada makna objektif dalam pengertian yang

absolut. Suatu pengetahuan dikatakan objektif karena telah

433 Al-Ghazali, al-Munqidh min al-Dalal dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-

Fikr, 1996), 554-555 434 Mehdi Ha‟iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic

Philosophy….,172

Page 272: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

260

memenuhi persyaratan objektivitas tertentu. Ilmu punya ukuran

serta standar untuk menjawab tantangan objektivitasnya. Hal ini

tidak berarti kebenaran ilmu lebih dekat dengan subjektivisme

sebab didasarkan pada standar objektif tertentu, yaitu kesesuaian

suatu teori ilmiah dengan objektivitasnya. Apabila memiliki

standar objektivitasnya, maka ilmu mendapat justifikasi objektif.

Dengan demikian, kebenaran sains, filsafat, dan

mistisisme, juga mengandung unsur relatif dan mutlak.

Relativitas kebenaran sains di samping relasinya dengan subjek

juga dilihat dari karakteristik perubahan objek yang menjadi ciri

khas dunia empirik. Teori sains merupakan pernyataan yang

berawal dari fakta empirik kemudian diverifikasi dengan fakta

empirik lagi. Karena fakta empirik selalu berubah, maka

perubahan fakta berimplikasi pada perubahan teori.

Perkembangan suatu teori ilmu sehingga melahirkan berbagai

cabang dan anak cabangnya, menjadi bukti relativitas sains.

Pandangan inilah yang dapat dijadikan sebagai justifikasi

objektif dalam sains.

Atas dasar justifikasi sebagaimana tersebut di atas,

objektivitas yang menjadi tuntutan esensial dalam setiap sistem

epistemologi dapat dicapai. Hal ini, tentu saja bermanfaat dalam

memberikan penjelasan ilmiah mengenai suatu objek. Namun

dalam konteks objektivitas, justifikasi bukan objektivitas.

Justifikasi adalah sebuah pembenaran yang tidak identik dengan

kebenaran. Justifikasi adalah tindak pembenaran atas sesuatu

yang sebenarnya belum tentu benar.

Page 273: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

261

c. Konteks Objektivitas Metode Ilmiah

Dapat dikatakan bahwa suatu teori ilmu dikatakan

objektif apabila metode yang membangunnya relevan dengan

objek yang dikajinya. Namun sebagaimana yang telah

dideskripsikan sebelumnya, makna objektif tidak diberlakukan

secara ketat sebagaimana perspektif modernisme yang

mensyaratkan objektivitas dalam pengertian yang absolut. Dalam

posisinya sebagai objek, secara otomatis menjadikannya sebagai

ranah subjektif yang digambarkan subjek. Hal ini diakui oleh

Mulyadhi Kartanegara, bahwa hierarki wujud yang menjadi

objek telaah ilmu, tidak benar-benar dapat diketahui secara

objektif. Hal ini karena potensi indra, akal, dan hati tidak

memiliki kompetensi dan kemampuan yang bersifat mutlak.

Ketika berbicara mengenai objek-objek fisik, objektivitas

pengamatan indrawi tidak dapat dicapai dengan mudah. Indra

memiliki kelemahan-kelemahan mendasar dalam mencerap

objek-objek fisik.435

Persoalan objektivitas ini juga muncul ketika menelaah

objek-objek matematis dan metafisis. Sebagaimana objektivitas

dalam sains, objektivitas dalam filsafat dan mistisisme juga tidak

dapat dicapai secara meyakinkan apalagi bersifat absolut.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada ilmu yang benar-

benar objektif dalam pengertian yang hakiki. Hanya saja

subjektivitas sedapat mungkin dibatasi dan dikontrol oleh

standar tertentu. Setiap ilmu memiliki metodenya untuk

meminimalisir subjektivitas tersebut.

Semua metode, pada satu sisi, berada dalam posisi

mungkin salah. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran al-Ghazali

sendiri yang menyatakan bahwa pengungkapan verbal sebuah

435 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai….., 65-66.

Page 274: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

262

pengalaman eksistensial tidak akan menghindarkan pelakunya

dari kesalahan.436

Pendekatan singularis dalam melihat eksistensi

suatu metode, menafikan kompetensi metode lain sehingga

bersifat kontra produktif bagi perkembangan keilmuan Islam.

Ketika dikatakan bahwa mistisisme merupakan pengetahuan

hakiki, ada kesan seolah-olah pengetahuan yang lain

(pengetahuan indrawi dan pengetahuan rasional) bukan

pengetahuan hakiki. Padahal, pada saat yang sama kedua

pengetahuan di atas mengklaim bahwa pengetahuannya lebih real

atau lebih valid dari pengetahuan yang lain (pengetahuan

intuitif).

Metode verifikasi untuk setiap dimensi berbeda. Dengan

kalimat lain, setiap dimensi memiliki metode yang hanya khusus

untuk wilayahnya. Metode sains, berbeda dengan metode filsafat

maupun mistisisme. Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui

metode observasi. Dengan metode observasi dan hipotesis yang

diverifikasi dengan eksperimen tidak dapat membuktikan

kebebasan manusia. Metode ilmu ukur tidak dapat membuktikan

pernyataan bahwa alam ini merupakan ciptaan Tuhan. Hal

demikian karena metode observasi terbatas pada dunia empiris.

Metode observasi-eksperimental tidak berkompeten menelaah

wilayah meta-empiris, sebagaimana metode filsafat tidak

berkompeten untuk membuktikan kebenaran ilmu alam. Jalan

kebenaran setiap ilmu yang berbeda tersebut, ditentukan oleh

kekhususan ilmu yang bersangkutan. Kekhususan ilmu, sekaligus

menentukan batasan kompetensinya. Metode induksi untuk ilmu

alam menjadi dasar kompetensi ilmu alam sekaligus menjadi

pembatas kompetensinya. Permasalahan yang menjadi

436 Al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dalal”, 555

Page 275: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

263

kompetensi metafisika tidak dapat dibenarkan oleh metode

induksi, demikian sebaliknya.437

Predikat benar merujuk pada berbagai pengertian.

Namun intinya adalah ‚adanya persesuaian‛.438

Maka secara

epistemologis, suatu pengetahuan dinilai benar apabila memiliki

kesesuaian dengan kenyataan. Sekalipun diungkapkan dengan

proposisi yang berbeda, apabila terdapat kesesuaian antara suatu

pernyataan dengan materi yang dituju oleh pernyataan tersebut,

maka proposisi yang berbeda-beda tersebut semuanya memiliki

kebenaran. Dalam hal ini, Noah Lemos membedakan antara

proposisi yang sama dengan proposisi yang benar.439

Kebenaran

epistemologis tidak dilihat dari kesamaan proposisinya, tetapi

dari adanya persesuaian. Dengan kalimat lain, kesamaan

proposisi bukan jaminan kebenaran suatu pernyataan. Misalnya,

A mempunyai pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya,

B mempunyai bunga mawar yang tumbuh di depan rumahnya,

dan C mempunyai pohon jambu yang tumbuh di depan

rumahnya. Kemudian dikatakan dengan tiga proposisi yang

berbeda, yaitu: ‚di depan rumah saya ada pohon mangga‛, ‚di

depan rumah saya ada bunga mawar‛, dan ‚di depan rumah saya

ada pohon jambu‛. Sekalipun proposisinya berbeda, tetapi karena

semuanya memiliki persesuaian maka semuanya benar.

Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut kebenaran

epistemologis yang dikontraskan dengan kesalahan. Benar atau

salah ini merupakan masalah inti dalam epistemologi.440

Metode

verifikasi setiap kebenaran berbeda-beda. Pengetahuan empirik

437 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 9, 239 438 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 247. Peter Van Inwagen,

Metaphysics, 24 439 Noah Lemos, An Introduction to the Theory of Knowledge (New York:

Cambridge University Press, 2007), 10. 440 Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, 248.

Page 276: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

264

diverifikasi melalui eksperimen atau metode induksi. Metode

induksi bersifat empiris sesuai dengan objek telaahnya.

Verifikasi ini kemudian akan menghasilkan kesimpulan yang

berlaku umum. Matematika diverifikasi dengan menggunakan

metode deduksi. Metafisika diverifikasi melalui pengalaman

intuitif. Untuk membuktikan adanya Tuhan tentu tidak dengan

menggunakan mikroskop.

Menurut Adelbert Snijders, manusia kemudian menjadi

penentu benar dan salah atau baik dan buruk. Pertentangan

antara yang relatif dengan yang mutlak bukan merupakan

pertentangan yang bersifat kontradiktif tetapi pertentangan yang

bersifat paradoksal. Verifikasi suatu ilmu bertentangan dengan

verifikasi yang digunakan dalam ilmu yang lain. Sifat-sifat

paradoksal mengkondisikan manusia untuk setia pada kebenaran

yang dinamis, paradoksal, dan multidimensional. Pertentangan

tidak boleh dihapus dengan memilih yang satu dan menolak yang

lain. Dua kebenaran itu bertentangan namun hanya benar dalam

kesatuannya.441

2. Sebagai Bangunan Kerangka Konseptual Universalitas

Metode Ilmiah

Menurut Mohammad Muslih, kelahiran ilmu sangat

ditentukan oleh kerangka teori (theoretical framework) yang

wilayahnya lebih umum, sementara kerangka teori lahir dari

paradigma tertentu yang wilayahnya lebih umum pula, dan

paradigma sendiri terlahir dari asumsi yang mendasarinya.442

Asumsi dasar proses keilmuan merupakan asas awal dibangunnya

ilmu yang meniscayakan adanya wilayah kajian, metode

441 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 9-10. 442 Mohammad Muslih Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan

Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2005), 30.

Page 277: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

265

pengkajian, serta validitas hasil kajiannya. Menurut Mohammad

Muslih, asumsi dasar proses keilmuan manusia berkaitan dengan

tiga unsur ilmu yang terdiri dari subjek, objek, serta pertemuan

antara keduanya, termasuk pertanyaan mengenai hakikat serta

peran masing-masing unsur dalam proses ilmiah tersebut.

Paradigma, pada salah satu pengertiannya, merupakan citra

fundamental dari pokok masalah dalam ilmu. Paradigma

berfungsi memberi kerangka, arah, serta menguji konsistensi dari

proses keilmuan. Sebagai kerangka logis suatu teori, paradigma

lebih umum dan lebih abstrak dari kerangka teori, sebab bisa

melingkupi beberapa teori.443

Sementara itu, kerangka teori

hanya melingkupi teori tertentu. Hal ini sebagaimana dinyatakan

Sitwala Imenda bahwa kerangka teori merujuk pada teori yang

dipilih peneliti untuk membimbing penelitiannya. Dalam konteks

sains, kerangka teori merupakan aplikasi teori atau serangkaian

konsep yang tergambar dari satu atau teori yang sama untuk

menjelaskan suatu peristiwa, menerangkan suatu fenomena

khusus, atau masalah penelitian. Ini dapat merujuk, misalnya

pada teori evolusi, mekanika kuantum, dan sebagainya.444

Berikut adalah deskripsi mengenai asumsi dasar, paradigma,

kerangka teori serta sistem klasifikasi ilmu dalam epistemologi

Islam.

443Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu..., 49,76. 444 Sitwala Imenda, “Is There a Conceptual Difference between Theoretical and

Conceptual Framework?”, Journal Soe Sei 38 (2014), 189, http://www.krepublishers.com/

02-Journals/JSS/JSS-38-0-000-14-Web/JSS-38-2-000-14-Abst-PDF/JSS-38-2-185-14-

1396 Imenda-S-P/JSS-38-2-185-14-1396-Imenda-S-P-Tx%5B9%5D.pmd.pdf

Page 278: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

266

a. Asumsi dasar proses keilmuan sains, filsafat, dan

mistisisme.

Dalam epistemologi Islam, asumsi dasar proses keilmuan

dapat diklasifikasi pada aliran bayaniyyun, tajribiyyun,

burhaniyyun, dan ‘irfaniyyun. Aliran bayaniyyun memfokuskan

diri pada proses keilmuan yang mengkaji aturan-aturan

penafsiran serta persyaratan menghasilkan teks. Aliran

tajribiyyun dalam beberapa hal identik dengan proses keilmuan

yang dibangun oleh saintis, yaitu melakukan penelaahan

terhadap objek yang bersifat empiris dalam pengertian fisik.

Proses keilmuan pada aliran burhaniyyun bertolak dari cara

berfikir filsafat yang secara khusus terformulasi dalam kaidah-

kaidah logika. Sementara aliran‘irfaniyyun mendasarkan proses

keilmuannya pada pengalaman mistik (mystical experience).

1) Asumsi dasar proses keilmuan sains.

Sains merupakan bangunan ilmu yang membatasi

wilayah penelaahannya pada fakta empiris. Sains disebut juga

dengan ilmu empiris, positif, eksak, atau eksperimental. Disebut

ilmu empiris karena terbatas pada dunia empiris yang berupaya

untuk menemukan hubungan yang tetap di antara gejala-gejala

yang tampak (fenomena). Disebut ilmu positif (ponere:

menempatkan) karena objek empiris tersebut dapat ditempatkan

di hadapan subjek. Disebut ilmu eksak karena kenyataannya

bersifat empiris dan kuantitatif sehingga objek dapat diperiksa

dengan teliti (eksak), diselidiki, dihitung, diukur dengan angka

yang jelas. Sains disebut pula ilmu eksperimental sebab

verifikasinya harus didasarkan pada eksperimen. Karena itu,

metode sains merupakan gabungan observasi, hipotesis, dan

Page 279: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

267

eksperimen. Untuk menjadi teori, hipotesis dibenarkan terlebih

dahulu oleh eksperimen.445

Melalui metode observasi, hipotesis, dan eksperimen,

segala pertanyaan yang termasuk ke dalam wilayah jasmaniah,

jawabannya dapat diperoleh dari sains. Kompetensi ini hanya

terbatas pada wilayah empiris. Di luar wilayah empiris bukan

merupakan wilayah kompetensi sains. Sains tidak berkompeten

untuk menjawab seluruh pertanyaan dari keseluruhan dimensi

kenyataan, kecuali fakta empiris tersebut.446

Dengan sifatnya yang empiris, maka fakta ini dapat

diketahui melalui alat dan metode yang empiris pula. Namun

dalam sains Islam, fakta ini tidak dianggap memiliki eksistensi

yang mandiri, tetapi dilihat sebagai tanda yang menunjukkan

keberadaan pencipta-Nya. Di samping itu, sains dalam

epistemologi Islam didasarkan pada wahyu, kesadaran religius,

dan terpusat pada Tuhan. Pendirian ini juga menjadi warna

dalam kegiatan observasi dan eksperimen yang memiliki

keterkaitan dengan kesadaran religius dan spiritual.447

Kesadaran religius dan spiritual ini turut membentuk

semangat ilmuwan dalam melakukan tahapan-tahapan

metodologis setiap keilmuannya. Semangat eksperimental

muslim dibangun di atas keyakinan bahwa mereka berusaha

untuk mencari tahu salah satu aspek dari realitas ketuhanan.

Realitas yang menjadi objek kajian ilmu dibahasakan dalam

Alquran sebagai ayat atau tanda. Dalam teori linguistik, tanda

bukan merupakan realitas yang dituju karena ia hanya menunjuk.

Realitas yang sebenarnya adalah realitas yang ditunjukkan oleh

tanda tersebut. Dalam konteks inilah al-Ghazali menafsir

445 Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 11 446Adelbert Snijders, Manusia & Kebenaran, 12-13 447Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai...,72-73.

Page 280: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

268

Alquran menjadi sangat simbolis dalam karyanya Misykat al-

Anwar.448 Menurut Osman Bakar, dalam bahasa al-Qur‘an, pada

diri alam terkandung jejak-jejak Tuhan. Sebagaimana ayat-ayat

dalam al-Qur‘an, dunia makrokosmos dan mikrokosmos juga

merupakan ayat Tuhan, maka alam sama dengan wahyu Tuhan

atau sebanding dengan al-Qur‘an. Alam menyampaikan pesan

metafisik dan spiritual kepada manusia. Ayat adalah tanda, dan

hubungan tanda dengan petanda bersifat metafisik sebab ilmu

mengenai makna suatu tanda atau pertalian batin antara tanda

dengan petanda tidak dapat dianalisis oleh logika matematik

atau telaah empiris.449

Sejalan dengan keyakinan Islam tentang realitas,

eksperimen ilmiah ilmuwan muslim tidak hanya berkaitan

dengan aspek fisiknya saja, tetapi mereka juga menelaah struktur

psikis dan dimensi metafisiknya. Di samping itu, ilmuwan tidak

hanya sebatas mempelajari suatu realitas tetapi juga belajar dari

realitas tersebut untuk dapat diambil nilai dan pelajaran

moralnya. Karena itu, ilmu dalam perspektif Islam tidak terbatas

pada ilmu religius saja, tetapi mencakup semua ilmu yang

mengkaji berbagai realitas sebab segala realitas merupakan

manifestasi Tuhan. Dengan kalimat lain, fisika adalah ilmu Islam

sebab realitas fisik merupakan refleksi kreativitas Tuhan

sehingga eksistensinya tunduk (islam) pada hukum-hukum-Nya.

Alam menunjukkan bukti-bukti eksistensi Tuhan yang secara

kreatif diungkap melalui ilmu alam.

Temuan ilmiah tentang fakta-fakta fisiologi manusia

menunjukkan keagungan dan ketelitian Tuhan. Sistem

pencernaan merupakan pabrik kimiawi yang dapat menganalisis

448Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar dalam Majmu„at Rasa‟il (Beirut: Dar al-Fikr,

1996) 449 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai..., 78-79.

Page 281: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

269

berbagai makanan dengan berbagai cara, lalu mendistribusikan

unsur-unsur nutrisinya secara tepat dan adil pada milyaran sel

yang tersusun menjadi tubuh manusia. Nutrisi-nutrisi tersebut

lalu berubah menjadi tulang, rambut, gigi, kuku, dan lain-lain

sesuai dengan fungsinya masing-masing. Kerja sistem sel yang

demikian hebat, meniscayakan keberadaan pengaturnya.450

Contoh lain adalah mengenai instink yang menerangi

jalan hewan dapat mengantarkan penelaahnya terhadap

eksistensi Tuhan, seperti cara lebah membangun sarang yang

berbentuk segi enam, cara ikan membangun tanggul sungai, atau

cara semut membangun rumah. Belut hanya bertelur di dasar laut

yang kandungan garamnya hampir 35 persen dan jarak dari

permukaan laut tidak kurang dari 1.200 kaki karena telur-

telurnya tidak akan menetas kecuali disimpan di tempat yang

memenuhi dua kriteria tersebut. Semua tidak akan terjadi secara

kebetulan kecuali meniscayakan keberadaan Tuhan.451

Penelaahan berbasis observasi dan eksperimen

sebagaimana tergambar di atas, sudah tersebar luas di dunia

Islam, jauh sebelum Roger Bacon memperkenalkan metode

observasi. Tercatat nama-nama seperti al-Razi, Ibn Sina, al-

Biruni, Ibn al-Haytham, al-Zahrawi, Nasiruddin al-Tusi,

Qutbuddin al-Shirazi, dan Kamaluddin al-Farsi, sebagai ilmuwan

yang memiliki kekuatan dalam hal observasi serta kecenderungan

450 Muh}ammad Baqir al-S}adr, Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali

(Bandung: Mizan, 1998), 249-250. 451 Menurut Muhammad Baqir al-S}adr, instink-instink hewan tersebut bukan

semata-mata karena pengalaman yang ditransmisikan secara generatif, bukan karena

pengalaman yang dilakukan secara berulang-ulang, atau bukan merupakan unit-unit aksi

reflektif. Instink hewan tersebut dapat dijelaskan melalui dua penafsiran. Pertama,

perbuatan instinktif pada hewan adalah produk kesadaran yang disengaja. Kedua,

perbuatan instinktif tersebut merupakan ilham supernatural, bersifat ilahiyah, serta penuh

rahasia. Muhammad Baqir al-S}adr, Falsafatuna, 253-256.

Page 282: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

270

terhadap eksperimen dalam kajian mereka.452

Dari nama-nama

tersebut, al-Biruni merupakan tokoh yang sering disebut ketika

menyajikan contoh penggunaan eksperimen dalam sains Islam.

Menurut Husain Heriyanto, al-Biruni merupakan peletak dasar

metode ilmiah dalam pengertian modern yang memulai

penelahaan saintifik dari masalah penelitian, perumusan

hipotesis, dan pengujian hipotesis melalui eksperimen dan

observasi.453

Kecenderungan pada eksperimen, bukan berarti bahwa

eksperimen tersebut telah terlepas dari kesadaran religiusnya

sebab eksperimen sendiri diturunkan dari asas fundamentalnya

sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur‘an. Alquran

menunjukkan hukum Tuhan yang mengatur seluruh alam, bahwa

terdapat berbagai himpunan hukum yang tidak sama untuk

tatanan ciptaan yang berbeda, bahwa setiap makhluk memiliki

watak khasnya. Dalam hal ini, sains Islam bertujuan untuk

mengetahui watak sejati pada sesuatu sebagaimana yang

diberikan Tuhan terhadapnya, untuk menunjukkan kesatuan

hukum alam sebagai refleksi dari keesaan prinsip Ilahi, sebab

semua yang ada telah menyatakan ketundukannya pada Tuhan.454

Dapat dikatakan, bahwa hukum-hukum ini merupakan prinsip

yang mendasari universalitas dalam sains.

2) Asumsi dasar proses keilmuan filsafat

Dalam filsafat, logika menempati peran dominan sebagai

alat sekaligus metode untuk memformulasikan pengetahuan yang

dibangunnya. Menurut Osman Bakar, logika dalam Islam

452 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai..., 72. 453 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (Bandung:

Mizan, 2011), 161. 454 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai..., 160-161

Page 283: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

271

dipandang sebagai alat berpikir yang tidak dapat

dikesampingkan, sebagai bentuk kebijakan (hikmat), dan

pengetahuan yang diagungkan dalam al-Qur‘an. Logika

merupakan instrumen bermata dua yang dapat menyajikan

kebenaran maupun kesalahan sehingga kejelasan dan konsistensi

penggunaannya sangat diperhatikan. Pengembangan logika

dalam Islam, dikerangkai oleh kesadaran religius, yaitu

disandarkan pada Tuhan, yang akan membawa seseorang pada

Tuhan.455

Dalam epistemologi Islam, logika dikenal dengan

istilah al-burhan.

Identifikasi istilah logika dengan al-burhan, didasarkan

bahwa keberadaan logika dijelaskan dalam Alquran dengan

istilah al-mizan. Hal ini dikemukakan oleh al-Ghazali dalam

kitabnya yang berjudul al-qistas al-mustaqim. Dengan kehadiran

kitab ini, penolakan terhadap logika dalam Islam, sebenarnya

sudah harus dapat diminimalisasi.

Wilayah kajian dalam Logika berkaitan erat dengan kerja

akal, yaitu berpikir. Kerja ini dijustifikasi dalam al-Qur,an

dengan memberikan penghargaan terhadap kerja akal. Ayat yang

dirujuk oleh untuk menggambarkan anjuran berpikir logis untuk

memperoleh pengetahuan yang benar tertuang dalam Alquran

surat al-Baqarah: 242, Qaf: 6, Sad : 29 al-Ra’d: 3, al-An’am : 98,

al-Nahl : 17, al-Anbiya : 79, dan al-Maidah : 100. Cara

penggunaan berpikir benar terdapat dalam disiplin logika. Logika

membimbing akal supaya selaras dengan aturan-aturan berpikir

benar. Logika adalah cabang filsafat yang membicarakan kaidah-

kaidah berpikir untuk memperoleh pengetahuan yang benar.

Basis logika adalah akal. Dalam filsafat Islam, akal

terbagi pada akal praktis dan akal teoretis. Akal teoretis pada

455 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai..., 70.

Page 284: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

272

semua tingkatannya, berperan dalam memperoleh pengetahuan

yang benar. Akal potensial (al-‘aql al-hayulani) memiliki

kesiapan atau potensi untuk mempersepsi hal-hal rasional. Akal

bakat/kepemilikan (al-‘aql bi al-malakat) memiliki kemampuan

untuk berpikir tentang prinsip-prinsip penalaran yang bersifat

sederhana. Akal aktual atau akal habitual (al-‘aql al-munfa’il)

mampu berpikir tentang konsep-konsep rasional melalui refleksi

atau perenungan yang mendalam. Adapun akal Mustafad

menempati hirarki tertinggi dalam tingkatan akal karena sudah

terbebas dari materi serta eksistensinya dekat dengan Akal Aktif

dan berada dalam kesiapan menerima bentuk-bentuk murni yang

dilimpahkannya. Di pihak lain, akal praktis berfungsi

mengendalikan kerja anggota badan supaya selaras dengan

pengetahuan kebenarannya. Dengan kalimat lain, akal teoretis

berperan dalam penemuan jalan kebenaran atau jalan Tuhan,

sementara akal praktis berperan dalam membimbing pemilik

pengetahuan tersebut supaya konsisten memilih hidup di jalan

yang benar. Atas dasar itu, kedua jenis akal ini baru dikatakan

berfungsi dengan benar jika penemuan pengetahuan kebenaran

bukan sekedar aktivitas teoretis, yaitu berpikir benar, tetapi juga

bertindak benar. 456

3) Asumsi dasar proses keilmuan mistisisme.

Mistisisme adalah ilmu yang diperoleh melalui tahapan-

tahapan penyucian jiwa. Tujuan penyucian jiwa adalah memiliki

hati yang suci sebagai media pelimpahan pengetahuan secara

langsung dari Tuhan. Dasar rasional metode penyucian jiwa

dengan hadirnya pengetahuan adalah bahwa Tuhan sebagai

456 Lihat Nani Widiawati, Pengantar Logika Sebuah Penelusuran Jejak Akal

(Pustaka Ellios: Tasikmalaya, 2017), 22-24.

Page 285: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

273

sumber ilmu, merupakan Dzat yang suci. Dzat yang suci hanya

mungkin didekati oleh jiwa yang suci pula. Dengan ini,

pencapaian ilmu dalam tasawuf berbeda dengan pencapaian

dalam sains dan filsafat. Tasawuf tidak membangun keilmuannya

dengan penginderaan atau penalaran tetapi dengan menyediakan

wadahnya, yaitu hati yang suci. Dalam istilah umum, hati ini

sering diidentikkan dengan intuisi.

Intuisi merupakan kemampuan pemahaman secara

langsung, menangkap suatu pemahaman dengan segera, tanpa

proses penalaran. Secara sederhana, intuisi dapat disamaartikan

dengan inspirasi, yaitu hadirnya sebuah kesadaran dalam diri.

Sifat kehadiran pengetahuan tersebut pada gilirannya

menghilangkan distingsi subjek-objek, sebab keduanya lebur

dalam kesatuan. Dirk Schimm menegaskan makna kesatuan ini

dengan sebuah kesatuan yang terdiri dari dua hal yang berbeda

namun keduanya merupakan bagian dari sebuah kesatuan yang

sama.457

Dengan kalimat lain, leburnya batasan subjek-objek.

Namun demikian, istilah tajribiyyun, burhaniyyun, atau

‘irfaniyyun, secara teoretis, tidak berimplikasi pada penolakan

setiap asumsi keilmuan lain. Tajribiyyun yang proses ilmiahnya

bertumpu pada observasi yang bekerja pada objek empiris, tidak

melahirkan empirisme yang menolak proses ilmiah lain, yang

pada puncak perkembangannya, yaitu pada positivisme,

melahirkan ideologi saintisme. Dominannya penggunaan logika

pada asumsi keilmuan burhani, tidak membawa pada

rasionalisme, sebagaimana ‘irfani tidak mengarah pada intuisi

sebagaimana yang terjadi di Barat.

Prinsip kesatuan dan keseimbangan dalam Islam,

memungkinkan pengakuan terhadap semua jalan untuk menuju

457 Dirk Schlimm, “Against Against Intuisionism”, Syinthese 10 (2005),

Page 286: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

274

pengetahuan sehingga masing-masing disesuaikan dengan tempat

dan fungsinya yang sah dalam epistemologi Islam. Tidak ada

satu metode dalam epistemologi Islam yang mengesampingkan

metode lainnya sebab semua metode berupaya menerapkannya

sesuai dengan watak objek yang dipelajari dan cara-cara

memahami subjek tersebut. Semua metode diapresiasi dalam

Alquran, yaitu berasal dari pandangan Alquran tentang realitas

dan tentang kedudukan dalam realitas itu. Secara teori, metode-

metode yang berbeda bersifat selaras satu sama lain atau bukan

disiplin yang berselisih dan bersaing dalam mengklaim

kebenaran.458

Penalaran logis, observasi atau eksperimen,

maupun mujahadah, memiliki validitas dan dapat dijustifikasi

sebagai upaya ilmiah. Aktivitas ilmiah yang dibangun di atas

asumsi tajribi, burhani, dan ‘irfani tidak dapat dinafikan dengan

mengunggulkan salah satunya.

b. Paradigma keilmuan

Adapun paradigma keilmuan dalam konstelasi pemikiran

Islam antara lain, paradigma Islamisasi sains, integrasi ilmu, dan

saintifikasi Islam. Paradigma islamisasi sains dibedakan

berdasarkan wilayahnya pada islamisasi pada aspek ontologis,

aspek epistemologis, dan aspek aksiologis. Islamisasi ilmu pada

aspek ontologis, misalnya model islamisasi ilmu Ismail Raji al-

Faruqi yang menekankan pentingnya melakukan islamisasi pada

berbagai materi dan buku-buku daras di seluruh perguruan tinggi

Islam di bawah kerangka Islam.459

Dalam Desekularisasi

458 Osman Bakar, Tauhid & Sains, 73, 85, 89-90. 459 Lihat Ismail Raji Al-Faruqi, “Islamization of Knowledge: The General

Principles and the Work Plan”, in Encyclopaedic Survey of Islamic Culture, Mohamed

Taher, ed., New Delhi: Animal Publications PUT, LTD, (1997, 250-271),

http://book.google.co.id/books?id=

Q6q2bebAL6EC8dg=islamization+of+knoeledge+ismail+raji+al-

Page 287: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

275

Pemikiran: Landasan Islamisasi, A. M. Saefuddin

mengemukakan dasar-dasar pemikiran bagi upaya islamisasi

dalam domain ilmu, pendidikan, dan kebudayaan.460

Islamisasi

ilmu pada level aksiologis, misalnya tercermin dalam pemikiran

Armahedi Mahzar yang mengetengahkan ide mengenai

kebangkitan Islam melalui gagasan integralisme, yaitu wawasan

kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu yang terpusat

pada Allah, sebagai paradigma sains dan teknologi.461

Paradigma integrasi ilmu melihat ilmu lebih syarat

dengan nilai budaya. Cara pandang ini memberi tempat yang

lebih luas pada unsur budaya dalam menunjukkan unsur

kebenarannya. Cara ini lebih memungkinkan untuk menemukan

kebenaran-kebenaran universal. Perbedaan integrasi ilmu dengan

islamisasi ilmu antara lain dilihat dari hirarki ilmu yang

diinterpretasi. Hiraraki ilmu pada paradigma islamisasi ilmu

cenderung dikotomik, sementara pada paradigma integrasi ilmu,

hirarki tersebut tidak bersifat kaku.462

Adapun paradigma saintifikasi Islam dilatarbelakangi

oleh stagnasi dalam disiplin keilmuan Islam. Untuk mengatasi

hal tersebut, kemudian lahir ide untuk mengelaborasi nilai-nilai

normatif dalam Islam ke dalam konstruk teori ilmu sosial.

ruqi&source=q6snavlinkss (8 Mei 2011). Lihat juga Abdul Hamid Abu Sulaiman,

Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan (Virginia: International

Institute of Islamic Thought, 1995), 33-51. 460 A.M. Saefuddin et al., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi

(Bandung: Mizan, 1998). Penelitian lain yang identik dapat dilihat dalam Mohammad

Abdus Sami dan Muslim Sajjad, Planning Curricula for Natural Sciences: The Islamic

Perspektif (Islamabad: Institute of Policy Studies, 1983). 461 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma

Sains dan Teknologi (Bandung: Mizan, 2004). Tulisan lain adalah sebuah antologi yang

dieditori M.A.K. Lodhi. Lihat M.A.K.Lodhi, ed. Islamization of Attitudes and Practices in

Science and Technology (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1989). 462 Arif Budi Raharjo, Gerakan Keilmuan Islam Modern Di Indonesia Evaluasi

Keberhasilan Pembentukan Pandangan Dunia Islam pada Mahaiswa Psikologi di Empat

Perguruan Tinggi Islam (Yogyakarta: Bukulaela, 2011), 167, 175.

Page 288: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

276

Dengan konsep teori ilmu, diandaikan akan menempatkan

kembali suatu ilmu ke dalam konteks historis dan empirisnya

sehingga membuka peluang terjadinya koreksi, revisi,

rekonstruksi, atau perumusan ulang pada kerangka teoretisnya

sehingga ilmu mengalami perkembangan.

Paradigma sains Islam dibangun di atas prinsip-prinsip

epistemologi yang sesuai dengan ajaran Islam. Sains Islam tidak

membatasi wilayah telaahnya pada fakta empiris sebab Islam

mengakui wilayah non empiris serta menunjukkan keabsahan

status ontologisnya. Menurut Osman Bakar, sains Islam dipandu

oleh kesadaran religius mengenai eksistensi objek non fisik yang

keberadaannya tidak dapat diketahui melalui penggunaan

instrumen fisik tetapi mengharuskan adanya penggunaan fakultas

pengetahuan non fisik yang sesuai. Wilayah ditelaah yang

dipandang memperoleh eksistensinya dari Tuhan, pada gilirannya

membentuk semangat observasi dan eksperimen sebagai upaya

untuk mengetahui sebuah aspek dari realitas Tuhan.463

Istilah

sains di atas digunakan sebagai sinonim istilah ilmu, bukan

menunjuk pada jenis pengetahuan empiris (empirical science).

Paradigma keilmuan yang dapat memayungi konsep-

konsep teoretis dalam sains, filsafat, dan tasawuf, tampaknya

tidak di bawah naungan paradigma saintifikasi Islam. Hal ini

dikarenakan bahwa realitas dalam Islam tidak terbatas pada

realitas empiris saja yang kemudian dapat direduksikan ke dalam

kategori itu. Paradigma keilmuan untuk sains, filsafat, dan

tasawuf dalam konteks pluralism metode ilmiah lebih dekat pada

paradigma sains Islam dan sains integratif.

463 Osman Bakar, Tauhid & Sains Esai-Esai..., 75-76.

Page 289: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

277

c. Kerangka teori dalam sains, filsafat, dan tasawuf.

Setiap teori memiliki kerangka yang di dalamnya setiap

teori ilmiah dibangun. Kerangka ini bersifat urgen untuk

melegitimasi kualitas ilmiah suatu teori. Tradisi keilmuan dalam

Islam mengawali kegiatan ilmiahnya dalam kerangka teori

epistemologi Islam. Sebagai bagian dari epistemologi,

epistemologi Islam mengusung persoalan yang sama, yaitu

mempertanyakan wilayah kajian yang legitimate, metode ilmiah,

serta validitasnya, yang kemudian menjadi landasan ontologi,

epistemologi, dan aksiologi ilmu.

Sumber ilmu dalam epistemologi Islam adalah Alquran.

Melalui Alquranlah secara lebih detail diketahui, yang dalam

konteks tulisan ini yaitu realitas fisik, realitas pikiran, dan

entitas metafisik. Melalui objek ini, kemudian terejawantah ke

dalam ragam ilmu empiris, ilmu rasional, dan metafisika.

Terdapat beberapa pendapat lain mengenai tipologi ilmu

ini. Dalam pandangan M. Azram, disebut dua kategori keilmuan

yaitu ilmu yang diwahyukan dan ilmu yang diperoleh (acquired

knowledge).464

Juga ada pula pendapat lain mengenai sumber

ilmu yang otoritatif, yang didasarkan pada enam tingkatan

eksistensi, yaitu eksistensi indrawi yang bersifat eksternal,

eksistensi indrawi yang bersifat imaginer, eksistensi imaginasi

sebagai objek dan fenomena alam yang hadir dalam imajinasi,

eksistensi intelektual yang berupa konsep-konsep abstrak dalam

pikiran manusia, eksistensi analogi yang wujudnya tidak

termasuk pada kategori sebelumnya, dan eksistensi supra

rasional dan transenden.465

Namun pada dasarnya keenam sumber

464 M. Azram, “Epistemology – An Islamic Perspective”, IIUM Enginering

Journal, vol. 12. No 5, 2011, 181-182 465 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 1998), 150

Page 290: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

278

ilmu dapat disimplifikasi ke dalam tiga kategori realitas yang

dibahas dalam tulisan ini.

Semua sumber ilmu tersebut bernaung di bawah tauhid

sebagai prinsip dasarnya. Prinsip tersebut kemudian menyatukan

ilmu dengan ilmu yang lainnya, metode ilmiah yang

membangunnya, serta nilai-nilai yang melandasinya. Atas dasar

ini, epistemologi Islam tidak membuat definisi ilmu yang baru.

Ilmu tetap didefinisikan sebagai any organized knowledge.

Hanya saja, cakupan ilmu menjadi lebih luas sesuai wilayah atau

sumber ilmu yang diakui keabsahannya dalam epistemologi

Islam.

Karena wilayah kajiannya tidak tunggal, maka metode

ilmiah yang membangun teori keilmuannya juga tidak tunggal.

Berdasarkan wilayah kajian yang ditentukan dalam tulisan ini,

maka metode ilmiahnya terdiri dari metode tajribi, metode

burhani, dan metode ‘irfani. Struktur fundamental metode

burhani dan metode ‘irfani, dideskripsikan oleh Mohammad

Muslih sebagai berikut: Struktur fundamental epistemologi

burhani dibedakan dengan epistemologi lainnya. Pada metode

burhani, sumbernya adalah realitas yang kemudian menghasilkan

ilmu husuli, metodenya abstraksi serta bahthiyah, tahliliyah,

tarkibiyah, dan naqdiyah. Pendekatannya bersifat filosofis-

saintifik. Kerangka teorinya terdiri dari tasawur, tasdiq, dan al-

burhan, premis-premis logika, silogisme, dan lain-lain. Fungsi

dan peran akal bersifat heuristik-analitik-kritis, penemuan sebab

akibat, serta akal kawni. Tipe argumennya bersifat demonstratif.

Tolak ukur validitas keilmuannya korespondensi, koherensi, dan

pragmatik. Salah satu prinsip dasarnya adalah kepatuhannya

pada kausalitas. Kelompok ilmu-ilmu pendukung terdiri dari

Page 291: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

279

filsafat dan sains. Adapun dilihat dari hubungan subjek-objeknya

bersifat objektif, dan objektif rasionalisme.466

Sementara struktur fundamental dalam epistemologi

‘irfani adalah sebagai berikut. Sumber ilmunya adalah

pengalaman batin secara langsung. Metodenya dzawq dan latihan

(riyadat). Pendekatannya bersifat intuitif. Kerangka teori

dibangun di atas distingsi dhahir-batin, tanzil-ta’wil, atau haqiqi-

majazi. Pungsi dan peran akal bersifat partisipatif. Tipe

argumennya bersifat spiritual atau esoterik. Tolok ukur validitas

keilmuannya bersifat universal reciprocity, empati, atau simpati.

Prinsip-prinsip dasarnya ma’rifat, ittihad/fana, atau hulul.

Kelompok ilmu pendukungnya antara lain tasawuf. Adapun

hubungan subjek dan objeknya bersifat intersubjektif, kesatuan

wujud, atau kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang

diketahui.467

3. Sebagai Basis Justifikasi Ilmiah dan Prinsip Ekualitas dalam

Ilmu

Dalam konteks epistemologi, nilai ilmu bersifat teoretis.

Penilaian teoretis dalam ilmu, mengikuti tolok ukur benar atau

salah. Yang bernilai positif merupakan kebenaran, sementara

yang bernilai negatif merupakan kesalahan.468

Suatu pernyataan

dianggap benar apabila isi pernyataan tersebut sesuai dengan

objek yang ditujunya. Dalam klasifikasi teori kebenaran, teori

tersebut dikenal dengan teori korespondensi yang gagasan

awalnya bersumber dari Aristoteles. Karena besesuaian dengan

466 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu..., 194-195. 467 Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu..., 189-190. 468 Lihat Franz Magnis-Suseno, Fijar-Fizar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,

2005), 135.

Page 292: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

280

objeknya, maka materi suatu pengetahuan dianggap objektif,

atau benar.

Di sini dapat dilihat bahwa ‚objektif‛ atau ‚benar‛

merupakan sebuah nilai. ‚Merupakan nilai‛, berkonotasi dengan

‚baik‛, ‚benar‛, atau ‚indah‛.469

Salah satu konotasi tersebut,

yaitu nilai ‚benar‛, digunakan dalam ilmu untuk merujuk sisi

positif dari pernyataan-pernyataan ilmiahnya. Hal ini selaras

dengan yang dinyatakan K. Bertens bahwa nilai selalu

berkonotasi positif.470

Dengan ini, penilaian benar pada suatu

teori ilmu menunjukkan pengakuan keilmuannya. Sementara

penilaian salah pada suatu pernyataan yang disandarkan sebagai

ilmu, dengan sendirinya akan memarginalkan pernyataan

tersebut pada wilayah yang bukan ilmu.

Secara eksistensial, nilai tidak bersifat mandiri. Nilai ada

dalam keberhadapannya dengan subjek yang menilai. Tanpa

manusia, matahari tetap terbit di sebelah timur bumi. Tetapi

penilaian ‚indah‛ terhadap realitas matahari terbit tersebut

memerlukan subjek yang bernama manusia. Dengan demikian,

penentuan nilai sepenuhnya dilakukan oleh subjek.

Konsekuensinya, nilai tidak dapat bersifat sepenuhnya objektif

sebab penilaian subjek terhadap nilai suatu objek bergantung

pula pada relasi dengan dirinya. Di samping itu, nilai yang

diberikan subjek tidak selalu harus sama dengan penilaian yang

diberikan subjek lainnya, sebab setiap subjek berdiri dalam suatu

konteks.

Filsafat yang banyak terkait dengan ide-ide abstrak serta

tasawuf yang terkait dengan entitas-entitas yang murni

metafisik, sebagaimana sains, keduanya memiliki unsur subjektif

469 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat terj. Soegono Margono (Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 2004), 324. 470 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2007), 139.

Page 293: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

281

dan objektifnya masing-masing. Unsur subjektivitas sains,

filsafat, dan tasawuf terkait dengan subjek manusia sendiri yang

mengkonstruksikannya. Adapun unsur objektivitasnya dilihat

dari keniscayaan masing-masing objek yang menjadi wilayah

telaahnya sebagai objek yang ril dan objektif. Penelaahan

terhadap realitas-realitas tersebut menjadi mungkin sehingga

sains, filsafat, dan tasawuf berada pada level yang sama, yaitu

sebagai disiplin ilmu.

Dalam konteks pluralisme, suatu metode atau alat

epistemologi tidak dipandang melampaui yang lainnya, tetapi

bekerja dalam wilayahnya. Karena bekerja dalam wilayahnya,

suatu metode yang memiliki wilayah khas tidak dapat bekerja di

wilayah yang bukan merupakan kekhususannya. Metode tajribi

tidak dilampaui oleh metode burhani, dan metode burhani tidak

dilampaui oleh metode ‘irfani. Ketidakmungkinan metode

burhani untuk mengukur fakta empiris, ketidakmungkinan

metode observasi untuk menelaah entitas metafisik, atau

ketidakmungkinan metode ‘irfani untuk memilah subjek yang

mengetahui dengan objek yang diketahui, tidak menunjukkan

kelemahannya tetapi karena ketidakmungkinan untuk dapat

bekerja di luar wilayahnya, sebagaimana ketidakmungkinan

terbang pada seekor kambing bukan merupakan kelemahan bagi

kambing sebab kemampuan terbang bukan merupakan aktualisasi

potensialnya.

Dapat dikatakan bahwa refleksi metodologis yang

melahirkan ilmu semuanya berasal dari Tuhan, tanpa kecuali.

Semua ilmu berasal dari Tuhan, maka semua ilmu adalah baik

pada hakikatnya. Pada datarannya yang hakiki inilah, tidak ada

klasifikasi ilmu yang bermanfaat sementara yang lain tidak

bermanfaat, tidak ada klasifikasi ilmu yang halal sementara yang

Page 294: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

282

lainnya haram, demikian seterusnya. Demikian halnya tidak ada

klasifikasi ilmu yang bersumber dari Tuhan sementara ilmu yang

lain bersumber dari selain Tuhan. Tidak ada pembagian ilmu

yang berasal dari tradisi kenabian sementara ilmu selainnya

dikategorikan sebagai bid’ah, demikian seterusnya.

Namun jika dikontraskan dengan fakta yang terjadi

dalam kehidupan nyata, pembedaan, pembidangan, hirarki, dan

dikotomi tersebut terjadi. Namun fakta-fakta tersebut tidak

menggiring pada kesimpulan bahwa ilmu memang terdikotomi

atau berhirarki. Berdasarkan paradigma tauhid, dikotomi atau

hirarki bukan hal esensial bagi ilmu, tetapi terlahir sebagai akibat

dari pandangan keilmuan yang berorientasi pada parsialitas,

terutama pada aspek ontologisnya bukan pada aspek

metodologinya.

Hal terpenting dari paradigma pluralisme metodologi

adalah penempatan prinsip tauhid yang menjadi dasar utama

pluralisme. Hal tersebut menunjukkan bahwa Tuhan adalah

sumber justifikasi kebenaran bagi setiap metode. Pandangan

tersebut menyatakan bahwa yang terutama adalah Tuhan bukan

selain-Nya. Jika dikontraskan, maka adalah Tuhan sebagai

sumber kebenaran dan ilmu sebagai produk manusiawi. Ilmu

akan sampai pada kebenaran selama proses manusiawinya selaras

dengan karakter prosesnya. Bahwa semua potensi tercipta untuk

sampai pada kebenaran yang tidak lain adalah kebenaran

ilahiyah. Jika setiap metode difungsikan dengan benar

sebagaimana karakter alamiahnya, maka akan sampai pada

kebenaran. Hal ini dengan sendirinya menolak anggapan yang

bersifat hirarkis terhadap ilmu. Kemuliaan suatu ilmu bukan

karena status objek kajiannya dalam hirarki wujud, sebab sebagai

objek ilmu, objek apapun tetap berposisi sebagai objek. Yang

Page 295: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

283

mendekatkan manusia kepada Tuhan (Kebenaran) bukan karena

objek kajiannya tetapi karena metode yang bekerja dan sampai

pada kebenaran yang ditujunya. Yang mendekatkan diri pada

Kebenaran dan menjadikan mulia seorang pengkaji ilmu bukan

objek kajiannya tetapi karena kebenaran itu sendiri. Kebenaran

adalah masalah metodologis yang utama.

Prinsip yang ditemukan dari penjelasan di atas adalah

bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang dibangun di atas

metode yang sesuai dengan wilayah penelaahannya. Dengan ini,

maka sains, filsafat, dan mistisisme adalah merupakan ilmu

sebab memiliki basis metodisnya sendiri. Karena dibangun di

atas basis metodisnya, maka pengetahuan tersebut memiliki

justifikasi objektifnya secara meyakinkan. Pada sudut pandang

lain, hal demikian kemudian menjadi basis bagi prinsip ekualitas

dalam ilmu. Semua ilmu memiliki posisi yang setara sebagai

ilmu.

Spesifikasi dan pembidangan ilmu yang berimplikasi

pada pembidangan ilmu di abad modern, dalam konteks prinsip

tauhid mestinya diarahkan pada upaya resakralisasi ilmu secara

keseluruhan. Dengan memusatkan metodologi pada prinsip

tauhid, maka dualitas yang terjadi bukan di wilayah keilmuan

tetapi dualitas antara Tuhan dan kehambaan. Dengan ini, ilmu

yang secara metodologis ada di wilayah kehambaan memiliki

posisi yang setara, yaitu sebagai ilmu yang bermetode.

Page 296: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

284

Page 297: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

P l u r a l i s m e M e t o d o l o g i | 285 Diskursus Sains, Filsafat dan Tasawuf

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poin penting yang merupakan tujuan penelitian ini, yaitu

kerangka konseptual pluralisme metode ilmiah, interpretasi dan

implikasi pluralisme metode ilmiah dalam konteks universalitas

metode, dan signifikansi pluralisme metode ilmiah bagi

pengembangan tradisi keilmuan dalam Islam adalah sebagai

berikut.

1. Kerangka konseptual pluralisme metode ilmiah.

Konsep pluralisme metode ilmiah menunjuk pada prinsip

dan formulasinya. Pluralisme metode ilmiah didasarkan pada

empat prinsip. Pertama, setiap metode terpusat pada prinsip

tauhid sehingga satu sama lain terhubung tanpa menghilangkan

kekhususannya. Kedua, hubungan setiap unsur epistemologi

keilmuan bersifat spiritual. Ketiga, setiap metode menunjukkan

kesetaraan dilihat dari independensinya sebagai metode.

Keempat, validitas dalam ilmu merupakan implikasi rasional dari

Page 298: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

286

kerja metode sehingga tidak berimplikasi pada pandangan

keilmuan yang bersifat hirarkis atau dikotomis.

Formulasi pluralisme metode konsisten dengan pendirian

yang diderivasi dari prinsip tauhid, yaitu ilmu bersumber dari

Allah. Karena itu, realisasi pluralisme metode ilmiah

meniscayakan keterhubungan suatu metode dengan metode lain

berdasarkan sumber asasinya sehingga pada hakikatnya setiap

metode tidak bekerja secara mandiri tetapi ditopang oleh kerja

metode-metode lainnya.

2. Interpretasi dan implikasi pluralisme metode ilmiah dalam

konteks universalitas metode

Suatu metode dianggap universal apabila gagasan atau

proposisi dapat diterapkan pada banyak objek individual tanpa

mengandung kontradiksi. Gagasan universalitas metode ilmiah

berkaitan dengan prinsip objektivitas yang dibicarakan dalam

dua konteks pemaknaan, yaitu perspektif yang tidak subjektif

serta adanya prinsip verifikatif.

Universalitas metode ilmiah berimplikasi pada tiga hal.

Pertama, setiap metode kompatibel pada objek formalnya.

Kedua, metode menjadi landasan bagi prinsip objektivitas dalam

ilmu. Ketiga, validitas metode linier dengan universalitas

metode. Penghampiran setiap objek ilmu hanya mungkin dicapai

oleh metode yang relevan dengan karakter objek tersebut.

Kekhususan wilayah kerja suatu metode berimplikasi pada

batasan kewenangannya sehingga verifikasi kebenarannya pun

hanya dapat dilakukan oleh metode tersebut bukan oleh metode

selainnya.

Page 299: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

287

Setiap kerja ilmiah senantiasa mematuhi prinsip-prinsip

metodologisnya sebagai jalan bagi tercapainya kebenaran ilmiah.

Metode dalam kerja ilmiah kemudian menjadi parameter

identitas ilmiah suatu teori ilmu.

Konteks validitas berkaitan dengan struktur subjektif

manusia dan situasi yang melingkupi objek terutama ketika ia

divalidasi sehingga konsep valid berkembang secara dinamis dan

klaim universal serta valid dalam suatu metode dalam dinamika

konteksnya. Realitas tersebut menunjukkan bahwa validitas

berrelasi dengan konteks, terutama dengan manusia. Dengan

demikian, universalitas metode terletak pada keyataan

objektifnya sebagai dasar kebenaran. Universalitas metode

berkaitan dengan perspektif mengenai konsep valid yang diakui

komunitas ilmuwan di bidangnya dan pada ruang sejarah

tertentu.

3. Signifikansi pluralisme metode ilmiah bagi pengembangan

tradisi keilmuan dalam Islam

Terdapat tiga poin signifikan. Pertama, meredefinisi

konsep valid. Kedua, sebagai bangunan kerangka konseptual

universalitas metode ilmiah yang berkaitan dengan asumsi dasar,

paradigma keilmuan, serta kerangka teori dalam sains, filsafat,

dan mistisisme. Ketiga, sebagai basis justifikasi ilmiah dan

prinsip ekualitas dalam ilmu

a. Redefinisi validitas metode ilmiah

1) Cara Baru Memahami Konsep Objektif dalam Sains

Tolok ukur objektivitas teori ilmu adalah memiliki

kesesuaian dengan kenyataan, sekalipun diungkapkan

dengan proposisi yang berbeda. Kebenaran empiris,

rasional, dan metafisik pada dasarnya bersifat objektif.

Page 300: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

288

Bagi setiap kebenaran terdapat bentuk verifikasi atau

pembuktiannya masing-masing, baik dalam sains,

filsafat, maupun mistisisme.

2) Justifikasi Klaim Objektif dalam Metode Ilmiah

Objektivitas dalam ilmu memiliki standar

objektivitasnya sehingga diperoleh justifikasi objektif.

Justifikasi ini menunjukkan relasi ilmu dengan konteks

yang melingkupi subjek. Kebenaran sains, filsafat, dan

mistisisme, juga mengandung unsur objektif sekaligus

subjektif. Dilihat dari kesesuaian dengan wujud

objektivanya, maka ilmu adalah objektif. Namun apabila

dilihat dari nilai objektif sebagai klaim subjek, maka

ilmu adalah subjektif.

3) Konteks Objektivitas Metode Ilmiah

Metode verifikasi untuk setiap ilmu berbeda karena

memiliki metode yang hanya khusus untuk wilayahnya.

Metode observasi terbatas pada dunia empiris, sehingga

metode filsafat tidak berkompeten untuk membuktikan

kebenaran sains. Jalan kebenaran setiap ilmu yang

berbeda, ditentukan oleh kekhususan metodenya.

Kekhususan ilmu, sekaligus menentukan batasan

kompetensi metodenya.

b. Sebagai Bangunan Kerangka Konseptual Universalitas

Metode Ilmiah yang berkaitan dengan asumsi dasar,

paradigma keilmuan, serta kerangka teori dalam sains,

filsafat, dan mistisisme.

Page 301: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

289

1) Asumsi dasar proses keilmuan sains, filsafat, dan

mistisisme.

Asumsi dasar proses keilmuan dapat diklasifikasi pada

aliran tajribiyyun, burhaniyyun, dan ‘irfaniyyun. Aliran

tajribiyyun dalam beberapa hal identik dengan proses

keilmuan empiris. Proses keilmuan pada aliran

burhaniyyun bertolak dari cara berfikir filsafat yang

secara khusus terformulasi dalam kaidah-kaidah logika.

Sementara aliran‘irfaniyyun mendasarkan proses

keilmuannya pada pengalaman mistik (mystical

experience).

2) Paradigma keilmuan

Paradigma keilmuan dalam penelitian ini adalah

paradigma sains Islam dan sains integratif. Paradigma

sains Islam dibedakan berdasarkan wilayahnya pada

islamisasi pada aspek ontologis, aspek epistemologis,

dan aspek aksiologis. Adapun paradigma sains integratif

melihat ilmu dalam keterkaitan metodologisnya dengan

keilmuan yang lain. Paradigma keilmuan yang dapat

memayungi konsep-konsep teoretis dalam sains, filsafat,

dan tasawuf, dalam konteks pluralisme metode ilmiah

lebih dekat pada paradigma sains Islam dan sains

integratif.

3) Kerangka teori dalam sains, filsafat, dan tasawuf.

Kerangka teori dalam sains, filsafat, dan mistisisme

diawali dengan mempertanyakan wilayah kajian yang

legitimate, metode ilmiah, serta validitasnya. Dalam hal

ini, sumber ilmunya terdiri dari realitas fisik, realitas

pikiran, dan entitas metafisik, secara prinsip bernaung

Page 302: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

290

dalam kerangka tauhid dan kemudian menyatukan ilmu

dengan ilmu yang lainnya, metode yang membangunnya,

serta nilai-nilai yang melandasinya. Dari objek ini

terderivasi ragam ilmu empiris, ilmu rasional, dan

metafisika. Karena wilayah kajiannya tidak tunggal,

maka metode ilmiahnya juga tidak tunggal.

c. Sebagai Basis Justifikasi Ilmiah dan Prinsip Ekualitas

dalam Ilmu

Ilmu merupakan pengetahuan yang dibangun di atas

metode yang sesuai dengan wilayah penelaahannya. Dengan ini,

baik sains, filsafat, maupun mistisisme adalah ilmu sebab

memiliki basis metodisnya sendiri sehingga memiliki justifikasi

objektifnya.

Suatu metode atau alat epistemologi tidak dipandang

melampaui yang lainnya, tetapi bekerja dalam wilayahnya.

Ketidakmungkinan suatu metode untuk mengukur fakta di luar

wilayah khasnya tidak menunjukkan kelemahannya tetapi karena

ketidakmungkinan untuk dapat bekerja di luar wilayahnya.

Berdasarkan paradigma tauhid, semua ilmu berasal dari

Tuhan sehingga semuanya adalah sama pada hakikatnya.

Dikotomi atau hirarki bukan hal esensial bagi ilmu, tetapi

terlahir sebagai akibat dari pandangan keilmuan yang parsial,

terutama pada aspek ontologisnya bukan pada aspek

metodologinya. Ketinggian suatu ilmu bukan karena posisi objek

kajiannya dalam hirarki wujud tetapi karena metode yang bekerja

dan sampai pada kebenaran yang ditujunya. Dengan memusatkan

metodologi pada prinsip tauhid, maka dualitas yang terjadi

bukan di wilayah keilmuan tetapi dualitas antara Tuhan dan

kehambaan. Ilmu yang secara metodologis ada di wilayah

Page 303: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

291

kehambaan memiliki posisi yang setara, yaitu sebagai ilmu yang

bermetode.

B. Saran

Penelitian ini hanya mengungkap tiga metode yang

diberlakukan pada ragam keilmuan empiris, rasional, dan

metafisis, yang kemudian disimplifikasi pada sains, filsafat, dan

mistisisme. Atas dasar itu, penulis menyarankan kepada peneliti

lain yang berminat pada kajian ini untuk mengembangkannya

secara komprehensif pada metode ilmiah secara keseluruhan,

misalnya dengan menambahkan metode bayani. Penelitian juga

dapat mengembangkannya pada aspek yang lebih khusus lagi,

misalnya telaah pluralisme metodologi untuk suatu rumpun

keilmuan.

Pengembangan penelitian pada aspek metodologi yang

lebih khusus dapat mengambil pemikiran tokoh, seperti

pemikiran Murtada Mutahhari (1920-1979) yang

mengetengahkan empat metode, yaitu metode deduktif filsafat

paripatetik, metode iluminatif, metode ‘irfan (intuitif), dan

metode kalam deduktif. Alternatif lain adalah pengembangan

metodologi secara praktis pada jenis keilmuan tertentu, seperti

yang dilakukan Mujamil Qomar ketika menerapkan metode

rasional, metode intuitif, metode dialogis, metode komparatif,

dan metode kritik yang diterapkan dalam praktik pendidikan.

Secara praktis, prinsip kesetaraan metode yang

merupakan salah satu temuan dalam penelitian ini, dengan

sendirinya dapat menjadi solusi bagi problem integrasi ilmu yang

kemudian menjadi kontradiksi bagi gagasan integrasi sendiri

ketika suatu metode ilmu diposisikan secara hirarkis dari metode

ilmu yang lainnya. Integrasi baru akan merealisasi dengan baik

Page 304: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

292

jika semua komponennya duduk dalam posisi yang setara.

Integrasi demikian dapat ditemukan dalam paradigma pluralisme

metode ilmiah.

Page 305: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

293

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

‘Uwaidah, Kamil Muhammad, Ibnu Rushd Filosof Muslim Dari

Andalusia Kehidupan Karya, dan Pemikirannya, terj.

(Jakarta: Riona Cipta, 2001)

Abidin, Zainal, (2008) menulis disertasi Pemikiran Ismail Raji

Al-Faruqi (1921-1986) tentang Islamisasi Sains dan

Pengaruhnya terhadap Pengembangan Dasar-Dasar

Filosofi Pendidikan Islam.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism (Kuala

Lumpur: ISTAC, 1993).

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme

(Bandung: Pustaka, 1981).

Al-Fa>ra>bi>, Ihs}a>‘ al-‘Ulu>m tahqi>q: Usman Amin (Kairo:

Maktabah Angel al-Mis}riyyat, 1968)

Al-Faruqi, Isma’il Razi, Islamisasi Pengetahuan (terj), (Bandung:

Pustaka, 1995)

Al-Gh>aza>li>, al-Munqidh min al-D{ala>l dalam Majmu>‘at Rasa>’il

(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gh>aza>li>, Risa>lat al-Laduniyat dalam Majmu>‘at Rasa>’il(Beirut:

Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gha>za>li, ‚Mi’ra>j al-Sa>likin‛ dalam Majmu>‘at Rasa>’il (Beirut:

Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gha>za>li>, ‚Mishkat al-Anwa>r‛ dalam Majmu>‘at Rasa>’il

(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gha>za>li>, ‚Rawdah al-T}a>libi>n wa ‘Umdah al-Sa>liki>n‛, dalam

Majmu>‘at Rasa>’il (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996)

Page 306: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

294

Al-Gha>za>li>, al-Qist}a>s} al-Mustaqi>m dalam Majmu>‘at Rasa>’il

(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gha>za>li>, Fatihat al-‘Ulum (Mesir: Al-Mat}ba’ah al-Husainiyah

al-Mis}riyah, 1322 H)

Al-Gha>za>li>, Risa>lat al-Laduniyat dalam Majmu>‘at Rasa>’il

(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996)

Al-Gha>za>li>, Taha>fut al-Fala>sifah (Bayru>t: Da>r wa Maktabah al-

Hila>l)

Al-Ja>biri>, A>bid, Taqwi>n al-‘Aql al-‘Arabi> (Beirut: Al-Markaz al-

Thaqa>fi> al-‘Arabi>, 1991).

Al-Jurja>ni>, Ali Ibn Muhammad. Kita>b al-Ta’ri>fa>t (Libanon: Da>r

al-Rayya>n al-Tura>ts, 740)

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan

Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Amien, Miska Muhammad, Epistemologi Islam Pengantar

Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta: UI-Press, 1983).

Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta:

LKiS, 2008)

Armas, Adnin, ‚Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,‛ dalam

Majalah Islamia, No. 6 Thn. 2. Jakarta : Juli-September,

2005.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna terj. M. Nur Mufid

bin Ali (Bandung: Mizan, 1998).

Ash-Syarqowi, Hasan, Manhaj Ilmiah Islami, terj. (Jakarta:

Gema Insani Press, 1994).

Attar, Farid al-Din, Muslim Saints and Mystics, trans. A. J.

Arberry (Iowa: Omphaloskepsis, 2000)

Audi, Robert, Epistemology a Contemporary Introduction to the

Theory of Knowledge (Canada: Taylor & Francis e-

Library, 2005)

Page 307: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

295

Aune, Bruce, Metaphysics: the Elements (London: University of

Minnesota Press, 1985)

Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan

Islam (Jakarta: Logos, 1998).

Azram, M. (2018, 29 Oktober). ‚Epistemology – An Islamic

Perspective‛, IIUM Enginering Journal, vol. 12. No 5,

2011.

Bagir, Haidar. Epistemologi Tasawuf Sebuah Pengantar

(Bandung: Mizan, 2017).

Bakar, Osman, Tauhid & Sains Esai-Esai tentang Sejarah dan

Filsafat Sains Islam, terj. Yuliani Liputo (Bandung:

Pustaka Hidayah, 1994)

Bakker, Anton, dan Zubair, Achmad Charris, Metodologi

Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Barker, Andrew, Scientific Method in Harmonics (New York:

Cambridge, 2003)

Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

Bertens, K., Etika (Jakarta: Gramedia, 2007).

Bhattacharyya, Dipak Kumar, Research Methodology (New

Delhi: Excel Books, 2006)

Bird, Alexander, Thomas Kuhn (Chesham: Acumen Publishing

Limited, 2000).

BonJour, Laurence, Epistemology Classic Problems and

Contemporary Responses (Plymouth: Rowman &

Littlefield Publishers, Inc., 2010).

Chakravartty, Anjan, A Metaphysisics For Scientific Realism

Knowing the Unobservable (New York: Cambridge

University Press, 2007).

Page 308: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

296

Chittick, William C. Science of the Cosmos, Science of the Soul

The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern

World (Oxford: Oneworld Publications, 2007)

Chittick, William C. Sufism A Beginner’s Guide (Oxford:

Oneworld Book, 2008)

Clayton, Philip, dan Simpson, Zachary, ed., The Oxford

Handbook of Religion and Science, (New York: Oxford

University Press, 2006)

Couvalis, George, The Philosophy of Science: Science and

Objectivity (London: SAGE Publications, 1997)

Crark, Kelly James, Religoin and the Sciences of Origins

Historical and Contemporary Discussions (New York:

Palgrave Macmillan, 2014).

D'Adamo, Arthur, Science Without Bounds A Synthesis of

Science, Religion and Mysticism

(http://www.AdamFord.com , 2004).

Darda, Abu, (1997) tesis Akar Teologis Gagasan Islamisasi Ilmu-

Ilmu Sosial Ismail al-Faruqi pada sekolah Pascasarjana

IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta

Davidson, Herbert A., Alfarabi, Avicenna, & Averroes, on

Intelect Their Cosmologies, Theories of the Active

Intellect & Theories of Human Intellect (New York:

Oxford University Press, 1992)

Deming, David, Science and Technology in World History

Volume 2: Early Christianity, the Rise of Islam and the

Middle Ages (Jefferson, North Carolina, and London:

McFarland & Company, Inc., 2010).

Dodd, Julian, An Identity Theory of Truth (New York: Palgrave

Macmillan, 2008)

Page 309: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

297

Douglas, Heather, ‚Rejecting the Ideal of Value-Free Science‛,

Harold Kincaid, Dupré, John, & Wylie, Alison, (Ed.),

Value–Free Science? Ideal and Illusions. New York:

Oxford University Press, 2007)

Fakhri, Madjid, Sejarah Filsafat Islam terj. Mulyadhi

Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987).

Feyerabend, Paul, Against Method (London: New Left Books,

2002)

Fumerton, Richard, Epistemology (Malden: Backwell

Publishing, 2006)

Garrett, Brian, What Is This Thing Called Metaphysics? (New

York: Routledge, 2006)

Gauch, Jr., Hugh G., Scientific Method in Practice (Cambridge:

University Press, 2003)

Geoffroy, Éric, Introduction to Sufism: The Inner Path of Islam.

Trans. Roger Gaetani (Bloomington: World Wisdom, Inc.,

2010)

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty,

2000)

Gower, Barry, Scientific Method an Historical and Philosophical

Introduction (London and New York: Routledge, 2002).

Gupta, Anil, Empiricism and Experience (New York: Oxford

University Press, Inc., 2006).

Heriyanto, Husain, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam

(Bandung: Mizan, 2011)

Hoodbhoy, Pervez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas Antara

Sains Dan Ortodoksi Islam, (terj.), Mizan, Bandung, Cet.

1, 1996.

Page 310: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

298

Hua, Shiping, Scientism and Humanism Two Cultures In Post-

Mao China (19781989), (New York: State University of

New York, 1995)

Humaidi, Paradigma Sains Integratif Alfarabi (Jakarta: Shadra

Press, 2015)

Humphreys, Paul, Extending Ourselves: Computational Science,

Empiricism, and Scientific Method (New York: Oxford

University Press, 2004).

Inwagen, Peter Van, Metaphysics, (Boulder: Westview Press,

2009)

Iqbal, Muhammad, et.al., Sains dan Islam: Wacana, Dilema, dan

Harapan (Bandung: Nuansa, 2007).

Iqbal, Muzaffar, Science and Islam (Westport: Greenwood Press,

2007)

Iqbal, Muzaffar. The Making of Islamic Science (Kuala Lumpur:

Islamic Book Trust, 2009),

James, William, The Varieties of Religious Experience A Study

of Human Nature (New York: Literacy Classics of tha

United States, 1987)

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi

Holistik (Bandung: Mizan, 2015).

Kartanegara, Mulyadhi, Menembus Batas Waktu Panorama

Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005).

Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan Nalar Sebuah Respons

terhadap Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007)

Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar

Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003).

Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam

(Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).

Page 311: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

299

Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat terj. Soegono Margono

(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004).

Kenny, Anthony, The Rise of Modern Philosophy (New York:

Oxford University Press Inc., 2006).

Kenny, Joseph, Philosophy of the Muslim World (Washington:

The Council for Research in Values and Philosophy, 2003).

Kosso, Peter, A Summary of Scientific Method, (New York:

Springer, 2011)

Kothari, C. R., Research Methodology Methods and Techniques

(New Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers,

2004)

Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions

(Chicago and London: The University of Chicago Press,

1996).

Lacey, Hugh, Is Science Value Free? Values and Scientific

Understanding (New Yorak: Routledge, 1999)

Leaman, Oliver, A Brief Introduction to Islamic Philosophy

(Cambridge: Polity Press, 1999)

Lemos, Noah, An Introduction to the Theory of Knowledge

(New York: Cambridge University Press, 2007)

Locke, John, Essay Concerning Human Understanding

(Hazleton: The Pennsylvania State University, 1999).

Lodhi, M.A.K. ed. Islamization of Attitudes and Practices in

Science and Technology (Riyadh: International Islamic

Publishing House, 1989).

Lynch, Michael P. Truth in Context An Essay on Pluralism and

Objectivity (London: MITPress Paperback, 2001)

Macdonald, Cynthia, Varieties of Things Foundations of

Contemporary Metaphysics (Amherst: Blackwell

publishing, 2005).

Page 312: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

300

Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban (Jakarta:

Paramadina, 2001)

Mahzar, Armahedi, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan

Paradigma Sains dan Teknologi (Bandung: Mizan, 2004).

Mak, Don K, et.al., Solving Everyday Problems with the

Scientific Method Thinking Like a Scientist (London:

Word Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2009)

Malik, Jamal, and Hinnells, John, (ed.), Sufism in the West (New

York: Routledge, 2006)

Margison, Emery J. Hyslop-, dan Naseem, M. Ayaz, Scientism

and Education Empirical Research as Neo-Liberal

Ideology (New York: Springer, 2007).

Margison, Emery J. Hyslop-, dan Naseem, M. Ayaz, Scientism

and Education Empirical Research as Neo-Liberal

Ideology (New York: Springer, 2007).

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta:

Logos, 1999)

Mirandola, Pico Della, On The Dignity of Man. Trans. Charles

Glenn Wallis (Cambridge: Hackett Publishing Company,

Inc., 1998)

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2006).

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:

Rake Sarasin, 1994)

Munawaroh, Djunatul, dan Tanenji, Filsafat Pendidikan

Perspektif Islam dan Umum (Jakarta: UIN Jakarta Press,

3003)

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar

Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan

(Yogyakarta: Belukar, 2005)

Page 313: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

301

Mustansyir, Rizal, dan Munir, Misnal, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001)

Mut{ah{h{ari, Murtad{a, Mengenal Epistemologi Sebuah

Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan

Kokohnya Pemikiran Islam, terj. Muhammad Jawad

Bafaqih (Jakarta: Lentera, 2001)

Mut{ah{h{ari, Murtad{a, Understanding Islamic Sciences

Philosophy, Theology, Mysticism, Morality,

Jurisprudence, trans. R Campbell, Ali Quli al-Qarai, dan

Salman Tawhidi (London: ICAS, 2002), 25-26, 29.

Mut}ah{h}ari, Murtad{a, Tema-Tema Penting Filsafat Islam

(Bandung: Yayasan Mut}ah}h}ari, 1993)

Mut}ah}h}ari, Murtad}a, Pengantar Epistemologi Islam. Terj.

Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta: Shadra Press, 2010).

Mut}ah}h}ari, Murtad}a, Pengantar Pemikiran Shadra Filsafat

Hikmah. terj. (Bandung: Mizan, 2002)

Muthahhari, Murtadha, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim

Husein al-Habsyi, dkk. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003)

Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam

(Chicago: ABC International Group, Inc., 2001)

Nasr, Seyyed Hossein, The Need for a Sacred Science

(Richmond: Curzon Press, 1993)

Newman, Andrew, An Essay on the Metaphysics of Predication

(Cambridge: Cambridge University Press, 2004)

Nola, Robert, dan Sankey, Howard, Theories of Scientific

Method An Introduction (Stocksfi eld Hall: Acumen,

2007)

Osman Bakar, Tawhid and Science Islamic Perspectives on

Religion and Science (Arah Publications, 2007)

Page 314: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

302

Parvin, Phil, Karl Popper (New York: The Continuum

International Publishing Group Inc, 2010)

Popper, Karl R. Objective Knowledge An Evolutionary

Approach (Oxford: Oxford University Press, 1974).

Praja, Juhaya S., Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan

Penerapannya Di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002).

Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode

Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).

Raharjo, Arif Budi, Gerakan Keilmuan Islam Modern Di

Indonesia Evaluasi Keberhasilan Pembentukan Pandangan

Dunia Islam pada Mahaiswa Psikologi di Empat Perguruan

Tinggi Islam (Yogyakarta: Bukulaela, 2011)

Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra. Terj. (Bandung: Pustaka, 2000)

Rahardjo, M. Dawam. ‚Ensiklopedi al-Qur’ān: Ilmu‛, dalam

Ulumul Qur’ān, (Vol.1, No. 4, 1990)

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem

Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2015)

Ravetz, J. R., ‚Science And Values‛, Ziauddin Sardar, ed., The

Touch of Midas Science Values and Environment in Islam

and the West (Mapusa: Manchester University Press,

1984)

Richardson, W. Mark, and Slack, Gordy, Fight and Science

Scientists Search fot Truth (Canada: Routledge, 2001).

Ritzer, George, Sosiologi Pengetahuan Berparadigma Ganda

(Jakarta: Rajawali Press, 2004)

Roberts, John T., ‚Is Logical Empiricism Committed to the Ideal

of Value-Free Science?‛, dalam Harold Kincaid, John

Dupré, Alison Wylie. Ed., Value Free Science? Ideal and

Illusions (New York: Oxford University Press, Inc., 2007).

Page 315: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

303

Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature (New

Jersey: Princeton University Press, 1979)

Rushd, Ibn, Fas>l al-Maqa>l fi> ma> Bayna al-H{ikmat wa al-Shari>’at

min al-Ittis{a>l (Kairo: al-Maktabah al-Mahmu>diyah al-

Tija>riyah), 1968.

Russel, Bertrand, Mysticism and Logic (London: Umwin Book,

1963)

Saefuddin, A.M. et al., Desekularisasi Pemikiran: Landasan

Islamisasi (Bandung: Mizan, 1998).

Safi, Louay, The Foundation of Knowledge a Comparative Study

in Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor:

International Islamic University Malaysia Press, 1996).

Salam, Muhammad Abdus, Renaissance of Sciences in Islamic

Countries (Singapore: World Scientific Publishing, 1994).

Sami, Mohammad Abdus, dan Sajjad, Muslim, Planning

Curricula for Natural Sciences: The Islamic Perspektif

(Islamabad: Institute of Policy Studies, 1983).

Sardar, Ziauddin, and others, Routledge’s Encyclopedia of

Islamic Philosophy, rearranged into Islamic Version by

Mulyadhi Kartanegara (London and New York: Routledge,

1998)

Sardar, Ziauddin, Sains Teknologi dan Pembangunan di Dunia

Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1989)

Sayuthi, M. Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Teori &

Praktek (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002)

Shanker, Stuart G., ed., Philosophy of Science, Logic and

Mathematics in the Twentieth Century (New York:

Routledge,1996)

Shapiro, Stewart, Philosophy of Mathematics: Structure and

Ontology (New York: Oxford University Press, 1997)

Page 316: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

304

Shihab, Quraish, Logika Agama Kedudukan Wahyu & Batas-

Batas Akal dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

Snijders, Adelbert, Manusia & Kebenaran. (Yogyakarta:

Kanisius, 2006)

Snijders, Adelbert, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta:

Kanisius, 2009).

Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan

Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Sorell, Tom, Scientism Philosophy and the Infatuation with

Science (London and New York: Routledge: 1991)

Soseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta:

Kanisius, 1992)

Stevenson, Leslie, dan Byefly, Flenry, The Many Faces of

Science An Introduction to Scientists, Values, and Society

(Oxford: Westview Press, 2000).

Sulaiman, Abdul Hamid Abu, Islamization of Knowledge

General Principles and Work Plan (Virginia: International

Institute of Islamic Thought, 1995).

Sumarna, Cecep, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik-Rasional

Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik (Bandung: Benang

Merah Press, 2005)

Suprayogo, Imam, dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-

Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003).

Suriasumantri, Jujun S., (Penyunting), Ilmu Dalam Perspektif

Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,

(Jakarta: Yayasan Obor, 2006).

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990).

Suseno, Franz Magnis-, Fijar-Fizar Filsafat (Yogyakarta:

Kanisius, 2005)

Page 317: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

305

Syamsuddin, Ach. Maimun. Integrasi Multidimensi Agama &

Sains Analisis Sains Islam Al-Attas dan Mehdi Golshani

(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012)

Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi,

dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2007).

Taymiyyah, Ibnu, Al-Radd ‘ala> al-Mant}iqiyyi>n (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1993)

Thiselton, Anthony C. A Concise Encyclopedia of the

Philosophy of Religion (Oxford: Oneworld Publications,

2002).

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan

Islam Syed M. Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 1998).

Widiawati, Nani, Pengantar Logika Sebuah Penelusuran Jejak

Akal (Pustaka Ellios: Tasikmalaya, 2017)

Yazdi, Mehdi Hairi, The Principles of Epistemology in Islamic

Philosophy Knowledge by Presence (New York: State

University of New York Press, 1992)

Yazdi>, Muh}ammad Taqi> Mis}ba>h}, Philosophical Instructions an

Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, trans.

(Muh}ammad Legenhausen dan ‘Azi>m Sarvdali>r (New

York: Institute of Global Cultural Studies, 1999).

Jurnal diunduh dari internet:

Abdullah, Amin (2019, 18 Mei). ‚Islam dan Modernisasi

Pendidikan di Asia Tenggara: Dari Pola Pendekatan

Dikotomis-atomistik kearah integratif-interdisiplinary‛,

dalam https://aminabd.files.wordpress.com/2010/06/islam-

dan-modernisasi-pendidikan-di-asia-tenggara-ugm-10-11-

des-2004.pdf,

Page 318: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

306

Abdullah, Amin (2019, 20 Mei). ‚Mempertautkan Ulum Al-

Din, Al-Fikr Al-Islamiy Dan Dirasat Islamiyyah:

Sumbangan Keilmuan Islam untuk

Peradaban Global‛, dalam

https://aminabd.wordpress.com/2010/06/20/

mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-islamiy-dan-

dirasat-islamiyyah-sumbangan-keilmuan-islam-untuk-

peradaban-global/,

Abdullah, Amin (2019, 20 Mei). ‚Profil Kompetensi Akademik

Lulusan Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Agama

Islam Dalam Era Masyarakat Berubah‛, dalam

https://aminabd.files.wordpress.com/2010/06/makalah-24-

25-nop-20021.pdf,

Abdullah, Amin, (2019, 20 Mei). ‚Integrasi Epistemologi

Keilmuan Umum Dan Agama Dalam Sistem

Sekolah Dan Madrasah (Ke arah rumusan baru

Filsafat Pendidikan Islam yang integralistik)‛,

dalam

https://aminabd.wordpress.com/2010/04/30/integrasi-

epistemologi-keilmuan-umum-dan-agama-dalam-sistem-

sekolah-dan-madrasah/,

Abdullah, M. Amin, ‚At-Ta’wi>l al-‘ilmi: Ke Arah Perubahan

Paradigma Penafsiran Kitab Suci‛, Al-Jami’ah (2001).

Ahmad, Khurshid (2014, 5 May). ‚Western Philosophies of

Research and Fundamentals of Islamic Paradigm‛, Policy

Perspectives10 (2013),http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Western+

Philosophies+of+Research+and+Fundamentals+of+Islamic

+Paradigm

Page 319: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

307

Ahmadi, Ahmad (2014, 27 May). ‚The Fundamentality of

Existence or Quiddity: a Confusion between Epistemology

and Ontology‛, Topoi26 (2007), 213 – 219, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=The+Fund

amentality +of+Existence+or+Quiddity

Akman, Kubilay (2014, 27 May). ‚Sufism, spirituality and

sustainability: Rethinking Islamic mysticism through

contemporary sociology‛, Journal of US - China Public

Administration, no 4 (2009), http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Sufism%2

C+spirituality+and+sustainability%3A+Rethinking+Islam

ic+mysticism+through+contemporary+sociology

Al-At}t}a>s, Muh}ammad Naquib, The Concept of Education in

Islam, http://www.mef-ca.org/files/attas-text-final.pdf

Albertini, Tamara (2014, 15 Dec). ‚Crisis And Certainty Of

Knowledge In Al-Ghazali (1058-1111) And Descartes

(1596-1650), Philosophy East and West 55 (Jan 2005),

http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/216882645?pq-

origsite=summon,

Al-Faruqi, Ismail Raji (2011, 8 May) ‚Islamization of

Knowledge: The General Principles and the Work Plan‛, in

Encyclopaedic Survey of Islamic Culture, Mohamed

Taher, ed., New Delhi: Animal Publications PUT, LTD,

(1997, 250-271),

http://book.google.co.id/books?id=Q6q2bebAL6EC8dg=isl

amization+of +knoeledge+ismail+raji+al-

ruqi&source=q6snavlinkss

Al-Migdadi, Mahmoud Hamid (2014, 23 Jun). ‚Issues in

Islamization of Knowledge, Man and Education‛, Revue

Académique des Études Sociales et Humaines 7(2012),

Page 320: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

308

3,http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000

&key=Issues+in+Islamization+of+

Knowledge+Man+and+Education

Al-Sharaf, Adel (2014, 23 Jun) ‚Developing Scientific Thinking

Methods and Applications in Islamic Education‛,

Education 3 ( 2013), 272, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Developin

g+Scientific+Thinking+Methods+and+Applications+in+Is

lamic+Education

Aminrazavi, Mehdi (2015, 6 March). ‚How Ibn Sinian is

Suhrawardi's theory of knowledge?‛, Philosophy East and

West 53.2 (Apr 2003), http://e-

resources.pnri.go.id:2057/docview/ 216883274?pq-

origsite=summon,

Asmin, Yudian W. (2015, 2 Dec). ‚Makna Penting Hukum

Kausalitas Dalam Peradaban Islam (Studi Tentang

Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Rusyd)‛, Al-Jami’ah 57

(1994), 118, http://digilib.uin-

suka.ac.id/496/1/12.%20Yudian% 20W.%20Yasmin%20-

%20MAKNA%20PENTING%20HUKUM%20

KAUSALITAS%20DALAM%20PERADABAN%20ISLA

M%20%3B%20Studi%20tentang%20Pemikiran%20al%2

0Ghozali%20dan%20Ibn%20Rusyd.pdf

Azis, Ichwan Supandi, Karl Raimund Popper Dan Auguste

Comte (Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi

dan Metodologi) Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35,

Nomor 3, h 255 http://www.orientalscholar.com

Billay, Diane (2014, 13 Jun). ‚A Pragmatic View of Intuitive

Knowledge in Nursing Practice‛, Nursing Forum 3 (2007),

147 – 155, http://e-resources.pnri.

Page 321: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

309

go.id/library.php?id=10000&key=A+Pragmatic+View+of+

Intuitive+Knowledge+in+Nursing+Practice

Borirakkucharoen, Cholbhavat (2015, 9 August) ‚The nature of

Religious Experience in the Philosophy of William James‛,

ABAC Journal 2 (2003), 38-39,

http://www.journal.au.edu/abac_journal/2003/may03/articl

e04.pdf

Boschetti, Fabio (2014, 2 December) ‚Causality, Emergence,

Computation and Unreasonable Expectations‛, Synthese

185 (Mar 2012), 190, http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/ 1111803202?pq-

origsite=summon,

Bryman, Alan (2014, 10 Jun). ‚Of methods and Methodology‛,

Qualitative Research in Organizations and Management:

An International Journal 3 (2008), 159 – 168, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key

=Of+methods+and+Meth odology

Butterworth, Charles E. (2014, 23 Jun). ‚Islam as a Civilization‛,

Academic Questions 1 (2012), 101, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=

10000&key=Islam+as+a+Civilization

Chatterjee, Atanu (2015, 1 December), ‚Causality: Physics and

Philosophy‛, European Journal of Physics Education

(2013), http://e-

resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/340347733

1/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Chatterjee%2C+At

anu&cit%3Atitle=Causality%3A+Physics+and+Philosoph

y&cit%3Apub

Choudhury, Masudul Alam (2014, 27 May). ‚The Epistemologies

of Ghazzali, Kant and the Alternative Formalism in

Page 322: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

310

Unification of Knowledge Applied to the Concepts of

Markets and Sustainability‛, International Journal of

Social Economics 24 (1997), 918–940,http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id

=10000&key=The+Epistemologies+of+Ghazzali+Kant+an

d+the+Alternative+Formalism+in+Unification+of+Knowl

edge+Applied+to+the+Concepts+of+Markets+and+Sustai

nability

Diallo, Ibrahima (2014, 12 Jun). ‚Introduction: The interface

between Islamic and western pedagogies and

epistemologies: Features and divergences‛, International

Journal of Pedagogies & Learning 3 (2012), 17, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Introducti

on%2C+The+interface+between+Islamic+and+western+p

edagogies+and+epistemologies%2C+Features+and+diverg

ences

Glock, Hans-Johann (2014, 27 May). ‚Does Ontology Exist?‛,

Philosophy 300 (2002), 235–260, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Does+Ontology +Exist%3F

Hannam, James (2014, 12 Jun). ‚Modern Science's Christian

Sources‛, First Things 47 (2011), 47, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=

10000&key=Modern+Science's+Christian+ Sources

Hashim, Rosnani, ‚Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,

Perkembangan dan Arah Tujuan,‛ dalam Majalah Islamia,

No. 6 Thn. 2. Jakarta : Juli-September, 2005

Heck, Paul L. (2014, 5 Jun). ‚The Hierarchy of Knowledge in

Islamic Civilization‛, Jurnal of Arabica and Islamic

Scholars, no. 1, (Januari 2002), http://e-

Page 323: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

311

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=The+Hier

archy+of+Knowledge+in+Islamic+Civilization

Imenda, Sitwala (2015, 9 August). ‚Is There a Conceptual

Difference between Theoretical and Conceptual

Framework?‛, Journal Soe Sei 38 (2014), 189,

http://www.krepublishers.com/02-Journals/JSS/JSS-38-0-

000-14-Web/JSS-38-2-000-14-Abst-PDF/JSS-38-2-185-

14-1396-Imenda-S-P/JSS-38-2-185-14-1396-Imenda-S-P-

Tx%5B9%5D.pmd.pdf,

Inukai, Yumiko (2014, 3 Dec). ’’ Hume on Relations: Are They

Real?‛,Canadian Journal of Philosophy 40, (Jun

2010),http://e-resources.pnri.go.id:2061

/media/pq/classic/doc/2100143511/fmt/pi/rep/NONE?hl=&

cit%3Aauth=Inukai%2C+Yumiko&cit%3Atitle=Hume+o

n+Relations%3A+Are+They+Real%3,

Khan, Aftab Ahmad (2014, 29 Jun). The Universe, ‚Science &

God‛, Defence Journal 15 (2012), 38, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000

&key=Science+&26+ God

Khan, Aftab Ahmad, (2014, 12 Jun). ‚Islam & Philosophy‛,

Defence Journal 3 (2011), 42, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Islam

+%26+Philosophy

Kukkonen, Taneli (2014, 8 Dec). ‚Possible worlds in the tahafut

al-tahafut: Averroes on plenitude and possibility‛, Journal

of the History of Philosophy 38 (Peb 2000), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/210612502?pq-

origsite=summon,

Kukkonen, Taneli (2015, 15 Jan). ‚Possible Worlds in the

Tahafut al-Tahafut: Averroes on Plenitude and

Page 324: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

312

Possibility‛ Journal of the History of Philosophy, (Jul

2000), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/210612502?pq-

origsite=summon,

Ladyman, James (2014, 25 Jun). Science, ‚Metaphysics and

Method, Philosophical Studies 1 (2012)http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key

=Metaphysics+and +Method

Leaman, Oliver (2014, 23 Jun). ‚Islamic Philosophy and the

Attack on Logic‛, Topoi 1 (2000) http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Islamic+Philosophy+and+the+Attack+on+Logic

Lekka-Kowalik, Agnieszka (2014, 27 May). ‚Why Science can

not be Value Free: Understanding the Rationality and

Responsibility of Science‛, Science and Engineering

Ethics 1 (2010), 33 – 41,http://e-

resources.pnri.go.id/library.

php?id=10000&key=Why+Science+can+not+be+Value+F

ree%3A+Understanding+the+Rationality+and+Responsibi

lity+of+Science

Loughlin, Michael, et.al., (2015, 17 February). "Science, Practice

and Mythology: A Definition and Examination of the

Implications of Scientism in Medicine‛ Health Care

Analysis, ISSN 1065-3058, 06/2013, Volume 21, Issue 2,

pp.130 – 145, http://e-

resources.pnri.go.id:2075/media/pq/classic/doc/298363071

1

/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Loughlin%2C+Mich

ael%3BLewith%2C+George%3BFalkenberg%2C+Torkel

&cit%3Atitle=Science%2C+Practice+and+Mythology%3

Page 325: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

313

A+A+Definition+and+Examination+of+the+...&cit%3Ap

ub,

Mathews, Freya (2014, 13 Jun). ‚A Contemporary Metaphysical

Controversy‛, Sophia 2 (2010), 231–236,

http://eresources.pnri.go.id/library.php?id=

10000&key=A+

Contemporary+Metaphysical+Controversy

McLelland, Christine V. (2015, 4 December). The Nature of

Science and the Scientific Method, The Geological

Society of Amerika, 2-4,

http://www.geosociety.org/educate/NatureScience.pdf,

Merrill, Gary H. (2014, 27 May). ‚Ontology, Ontologies, and

Science‛, Topoi 1 (2011), 71–83, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Ontology%2+Ontologies%2+and+Science

Mingers, John (2014, 11 Jun) ‚Combining IS Research Methods:

Towards a Pluralist Methodology,‛ Information Systems

Research 12 (2001), 240 – 259,http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Combinin

g+IS

+Research+Methods:+Towards+a+Pluralist+Methodology

Mitcham, Carl, Ed. Encyclopedia of Science Vol. 4. Technology,

and Ethics (Detroit: Macmillan Reference USA, 2005)

Moad, Edward Omar (2014, 1 December). ‚Al-Ghazali On

Power, Causation, And 'Acquisition'‛, Philosophy East and

West 57, (Jan 2007, 1 – 13, http://e-resources.pnri.go.id

:2056/docview/216883950?pq-origsite=summon

Morewedge, Parviz (2014, 3 Dec), ‚Theology‛,The Oxford

Encyclopedia of the Islamic World,

Page 326: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

314

http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/

e0799?_hi=0&_pos=1#MysticalTheology,

Mufid, Fathul, ‚Integrasi Ilmu-Ilmu Islam‛, EQUILIBRIUM,

Volume 1, No.1, Juni 2013

Nasr, Seyyed Hossein (2014, 2 Dec) ‚Philosophy‛,Oxford

Islamic Studies,

http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e06

34?_hi=5&_pos=3#match,

Nelson, Raymon (2014, 11 Jun). ‚Mysticism and the Problems of

Mystical Literature‛, Rocky Mountain Modern Language

and Literature, no 1 (1976), http://www.jstor.org

Plé, Bernhard (2014, 11 Jun) ‚Auguste Comte On Positivism

And Happiness‛, Journal of Happiness Studies 4 (2000),

423 – 445, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Auguste+

Comte+On+Positivism+And+Happiness

Ramli, Yusri Mohamad (2015, 17 Feb). ‚Martyrdom of al-Hallaj

and Unity of the Existence: the Condemners and the

Commenders‛, International Journal of Islamic Thought,

June 2013, http://www.ukm.my/ijit/IJIT%20Vol%203

202013/10%20Yusri%20Mohd%20Ramli%20IJIT%20Vol

%203%202013.pdf,

Rayan, Sobhi (2014, 23 Jun). ‚Ibn Taymiyya's Criticism of the

Syllogism‛, Der Islam86 (2011), 93,

http://eresources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key

=Ibn+Taymiyya's+ Criticism+of+the+Syllogism

Rezvantalab, Mohammad Reza (2014, 9 January). Philosophy in

Islam and the West, Existenz, No 1 (2012),

http://www.bu.edu/paideia/existenz /volumes/Vol.7-

1Rezvantalab.pdf

Page 327: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

315

Riahi, Ali Tajmir, et.al., (2012, April). ‚Investigating The Role

Of Intellect In Islam‛, Interdisciplinary Journal Of

Contemporary Research In Business, http//ijcrb.webs.com

Richardson, Kara, (2014, 1 Dec). ‚Avicenna And The Principle

Of Sufficient Reason‛, The Review of Metaphysics 67

(2014), http://e-

resources.pnri.go.id:2056/docview/1542373777?pq-

origsite=summon,

Rizvi, Sajjad H (2015 2 March). ‚Mulla Sadra and Causation:

Rethinking a Problem in Later Islamic Philosophy‛,

Philosophy East And West 55.4 (oct 2005), E-

resources.pnri.go.id:2057/docview/216883163?pq-

origsite=summon,

Roth, Abraham Sesshu (2014, 3 December). ‚The Necessity of

"Necessity": Hume's Psychology of Sophisticated Causal

Inference‛, Canadian Journal of Philosophy41 (2011),

282,http://e-resources.pnri.go.id:2061/media/pq

/classic/doc/2432495351/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aa

uth=Roth%2C+Abraham+Sesshu&cit%3Atitle=The+Nece

ssity+of+%22Necessity%22%3A+Hume%27s+Psycholog

y+of+Sophisticated+Causal+Inference&cit%3Apub=,

Salam, Abdus, ‚Is There an Islamic Epistemology? Role of

HRD‛,

https://www.researchgate.net/publication/299410378_Is_T

here_an_Islamic_Epistemology_Role_of_HRD?enrichId=r

greg,

Salafudin, ‚Islamisasi Ilmu Pengetahuan‛, Forum Tarbiyah Vol

11 No 2, Desember 2013

Salleh, Kamarudin Haji (2015, 24 April). ‚An Examination on

the Nature of al-Ghazali Sufism‛, Isla>miyya>t 17, (1996),

Page 328: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

316

57, http://journalarticle.ukm.my/7643/1/4028-9284-1-

SM.pdf,

Schlimm, Dirk (2014, 15 December) ‛Against Against

Intuitionism‛ Synthese 147 (Oct 2005), http://e-

resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic/doc/958836401

/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Schlimm%2C+Dirk

&cit%3Atitle=Against+Against+Intuitionism&cit%3Apu

b=,

Science Teachers’ Interpretations of Islamic Culture Related to

Science Education versus the Islamic Epistemology and

Ontology of Science‛ (2014, 5 May) Cultural Studies of

Science Education 5, 127 – 140, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Science+

Teachers’+Interpretations+of+Islamic+Culture+Related+t

o+Science+Education+versus+the+Islamic+Epistemology

+and+Ontology+of+Science

Shopan, Mohammad, ‚Islamisasi Ilmu Pengetahuan‛, Logos,

Vol. 4 No. 1, Januari 2005.

Siregar, Parluhutan, ‚Integrasi Ilmu-Ilmu Keislaman dalam

Perspektif M. Amin Abdullah‛, MIQOT Vol. XXXVIII

No. 2 Juli-Desember 2014

Soleh, Ahmad Khudori, ‚Ide-Ide tentang Islamisasi Ilmu,‛ dalam

Majalah Inovasi, ed. 22 Tahun 2005, UIN Malang.

Sosa, Ernest, and Kim, Jaegwon, ed., (2014, 27 May).

Epistemology an Anthology (Oxford: Backwell Publishers

Ltd., 2000), ix. Definisi epistemologi dalam pemaknaan

ini, lihat pula Barry Stroud, ‚Epistemology, the History of

Epistemology, Historical Epistemology‛, Erkenntnis75

(2011), 495 – 503, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Epistemol

Page 329: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

317

ogy+the+

History+of+Epistemology+Historical+Epistemology

Tahir, Ali Raza (2014, 11 Jun). ‚Islam and Philosophy (Meaning

and Relationship)‛, Interdisciplinary Journal of

Contemporary Research In Business 9 (2013), 1287,

http://e-resources.pnri.go.id/library.php?id=10000

&key=Islam+and+Philosophy+

%28Meaning+and+Relationship%29

Tahir, Ali Raza (2015, February). ‚Muslim Mysticism A Critical

Appreciation‛, Interdiciplinarry Journal of Contemporary

Research In Business, 3.10 (Feb 2012).

Thoib, Ismail, dan Mukhlis (2013, Jun). ‚Dari Islamisasi Ilmu

Menuju Pengilmuan Islam: Melawan Hegemoni

Epistemologi Barat‛, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman,

Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013.

Tolman, David O. (2014, 1 July). ‚Search for an Epistemology:

Three Views of Science and Religion‛, Dialogue: A

Journal of Mormon Thought 1 (2003), 89, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Search+fo

r+an+

Epistemology%2C+Three+Views+of+Science+and+Religi

on

Topik R, Kontroversi Islamisasi Sains, dalam Majalah Inovasi

UIN Malang, ed. 22 Thn. 2005.

Trompf, G W (2014, 12 Jun). ‚The Classification of the Sciences

and the Quest for Interdisciplinarity: a Brief History of

Ideas from Ancient Philosophy to Contemporary

Environmental Science‛, Environmental Conservation 2

(2011), 113 – 126, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=

Page 330: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

318

The+Classification+of+the+Sciences+and+the+Quest+for

+Interdisciplinarity%3a+Brief+History+of+Ideas+from+A

ncient+Philosophy+to+Contemporary+Environmental+Sci

ence

Vacariu, Gabriel (2014, 3 Jully). ‚Mind, Brain, an

Epistemologically Different World‛, Synthese 3 (2005),

515 – 548, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=Mind%2C

+Brain%2C+an+Epistemologically+Different+World

Watson, Scott, B & James, Linda (2014, 26 May). ‚The

scientific method: Is it still useful?‛, Science Scope 3

(2004), 37, http://e-resources.pnri.go.id/library.

php?id=10000&key=The+scientific+method

%3A+Is+it+still+useful%3F

Yasrebi, Yahya (2014, 1 Dec) ‚A critique of causality in Islamic

philosophy‛, Topoi 26 (July 2007), http://e-

resources.pnri.go.id:2061/media/pq/classic

/doc/2144175741/fmt/pi/rep/NONE?hl=&cit%3Aauth=Ya

srebi%2C+Yahya&cit%3Atitle=A+critique+of+causality+

in+Islamic+philosophy&cit%3Apub=,

Zain, Imtiaz Ali (2015, 20 April). ‚Al-Ghazali And

Schopenhauer On Knowledge And Suffering‛, Philosophy

East and West 57.4 (Oct 2007): 409-419,http://e-

resources.pnri.go.id:2057/ docview/216884473?pq-

origsite=summon,

Zhenhua, YU (2014, 25 Jun). ‚The Expansion of Epistemology:

The Metaphysical vs. the Practical Approach‛, Dao 1

(2012), 83 – 100, http://e-

resources.pnri.go.id/library.php?id=10000&key=The+Expa

Page 331: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

319

nsion+of+Epistemology%3A+The+Metaphysical+vs.+the

+Practical+Approach

Page 332: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

320

GLOSARIUM

Absolutisme adalah pendirian yang menyatakan bahwa

penjelasan objektif yang tepat dan tidak berubah tentang

realitas hanya ada satu.

Abstraksi adalah proses penggambaran atau pencerapan gagasan

atas objek-objek yang ditangkap indera, baik eksternal

maupun internal, ke dalam dataran konsep.

Akal merupakan salah satu alat ilmu dalam diri manusia yang

berperan dalam menangkap objek-objek abstrak baik yang

bersifat imajinal maupun melalui abstraksi.

Aksiologi ilmu merupakan cabang filsafat ilmu yang

membicarakan tentang hakikat manfaat suatu ilmu, antara

lain mempertanyakan bagaimana dan untuk apa manusia

menggunakan ilmunya, kaitan penggunaannya dengan

kaidah-kaidah moral, cara menentukan objek kajian atau

proses metodisnya berdasarkan pilihan moral ilmuwan

yang mengkonstruksikannya.

Demonstrasi merupakan bentuk inferensi atau pembentukan

kesimpulan yang merupakan konsekuensi logis dari

premis-premis yang dibangun sebelumnya.

Dzawq atau pendekatan intuitif, merupakan bentuk pendekatan

presensial karena objek-objek pengetahuannya hadir dalam

diri seseorang sebagai pengalaman eksistensial.

Epistemologi merupakan cabang filsafat dan menjadi landasan

bagi ilmu yang membicarakan hakekat, sumber, struktur,

metode, validitas, unsur, dasar, dan segala hal yang terkait

dengan ilmu.

Page 333: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

321

Epistemologi Islam merupakan teori atau filsafat ilmu yang

dijiwai oleh nilai-nilai dan ajaran Islam, seperti dalam

pendiriannya tentang eksistensi pluralitas realitas ada, dan

didedikasikan sebagai sarana pengabdian kepada Allah

Swt.

Epistemologi positivisme merupakan teori atau filsafat ilmu

yang pandangan ontologisnya membatasi diri pada telaah

dimensi empiris dari suatu realitas.

Fana merupakan keadaan atau modus hilangnya kesadaran diri

tentang tubuh jasmaniahnya sehingga yang tinggal hanya

wujud rohaninya kemudian mengalami persatuan dengan

yang transenden.

Filsafat adalah ilmu yang mempelajari segala yang ada dan

mungkin ada secara mendasar, rasional, kritis, dan radikal

untuk menemukan substansi persoalan yang dikaji.

Hati merupakan salah satu alat ilmu yang berperan dalam

menangkap objek-objek metafisika melalui kontak

langsung dengan objek ilmunya.

Ilmu adalah pengetahuan sistematis mengenai realitas ada yang

dikonstruksi berdasarkan metode yang relevan dengan

objek yang menjadi wilayah penelaahannya.

Ilmu hud}uri atau pengetahuan presensial, adalah pengetahuan

tentang makna suatu objek yang telah dihadirkan atau

imanen dalam jiwa tanpa proses representasi.

Indera adalah salah satu alat ilmu yang dimiliki manusia yang

berfungsi menangkap objek-objek fisikal baik secara

eksternal maupun internal.

Intuisi merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan dengan

segera dan langsung tentang sesuatu, tanpa melalui

prosedur logis yang baku.

Page 334: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

322

Irfan merupakan ekspresi pengalaman mistik atau sufistik ke

dalam bentuk bahasa yang bersifat analogis dan simbolik.

Metode ilmiah merupakan usaha sadar untuk menyelidiki,

menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia pada

berbagai segi kenyataan atau realitas.

Metode burhani adalah salah satu jenis metode dalam

epistemologi Islam yang mendasarkan pada kekuatan akal

melalui penggunaan kaidah-kaidah logika sebagai cara

memeroleh ilmu yang didasarkan pada prinsip-prinsip

silogisme

Metode irfani adalah salah satu jenis metode dalam epistemologi

Islam yang mendasarkan diri pada kashf, yaitu

tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Metode

ini mendasarkan proses metodisnya pada olah ruhani

(riyad}ah) sebagai upaya penyucian hati yang merupakan

media pelimpahan pengetahuan secara langsung. Tahapan

metodisnya ada tiga, yaitu persiapan, penerimaan, dan

pengungkapan.

Metode tajribi adalah salah satu jenis metode dalam

epistemologi Islam yang mendasarkan pada kekuatan

observasi dan eksperimen yang berperan dalam menelaah

objek-objek yang bersifat fisikal.

Mistisisme adalah ilmu yang diperoleh melalui tahapan-tahapan

penyucian jiwa sebagai media pelimpahan pengetahuan

langsung dari Tuhan. Mistisisme merupakan pengetahuan

presensial yang ditandai dengan hadirnya objek dalam diri

subjek yang diidentifikasi sebagai kesadaran tanpa

kandungan analitis atau kesadaran langsung akan

kehadiran Tuhan sebagai Logos atau sang Intelegensia

Page 335: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

323

sehingga kehadiran-Nya diidentifikasi sebagai modus

kognitif.

Objek abstrak adalah wujud-wujud non-inderawi yang

merupakan substansi dari wujud inderawi, baik esensi

maupun bentuk-bentuknya

Objek fisik atau empiris adalah wujud indrawi yang dapat

dicerap oleh pengindraan, yaitu benda-benda yang berdiri

sendiri atau bentuk-bentuk lahir yang ditunjukkan oleh

benda-benda tersebut

Objek transitif adalah objek yang berada di luar akal manusia,

yang melalui proses representasi forma objek tersebut

kepada akal, menjadikan subjek mengetahui mengenai

objek tersebut.

Objek imanen adalah objek yang hadir dalam diri subjek tanpa

melalui proses representasi.

Ontologi adalah cabang filsafat yang menjadi landasan ilmu yang

mengkaji tentang hakikat keberadaan realitas ada.

Positivisme adalah sistem filsafat yang menyatakan bahwa

segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat

‚terukur‛ secara factual dan positif.

Realitas ada menunjuk pada eksistensi atau wujud sesuatu, baik

yang bersifat fisik, matematik, maupun metafisik.

Sains merupakan ilmu yang mempelajari berbagai aspek-aspek

tertentu dari alam secara terorganisir dan sistematik

melalui berbagai metode saintifik yang terbakukan.

Singularisme metode adalah pandangan yang menyatakan bahwa

satu metode tertentu secara ideal hanya memiliki satu

tafsiran yang benar tentang realitas.

Tauhid merupakan prinsip dasar ilmu, yaitu prinsip yang

mengakui satu kebenaran tunggal, yaitu Allah Swt.

Page 336: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

324

Wahdat al-wujud adalah faham yang berpendirian bahwa

keseluruhan ada dan apa saja yang mengada merupakan

satu kesatuan dan tidak mengada secara mandiri tetapi

sekedar pengungkapan dari Realitas tunggal. Pendirian ini

merupakan penegasan ketunggalan segala yang ada dan

mengada dan bukan bersifat panteistik.

Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan

kepada manusia melalui para nabi yang diutus-Nya di

setiap zaman

Wujud objektif atau realitas eksternal adalah keberadaan yang

bersifat eksternal dan tidak bergantung pada keberadaan

manusia sehingga tidak memerlukan pembuktian untuk

menunjukkan keadaanya sebagai sebuah realitas atau

kenyataan.

Wujud subjektif adalah wujud yang ada dalam pikiran sebagai

seperangkat sifat atau esensi yang dapat diterapkan pada

realitas eksternal dan mengklasifikasi sesuatu.

Page 337: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

325

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

No Arab Latin

No Arab Latin

ا 1Tidak

disimbolkan t ط 16

z ظ b 17 ب 2

‘ ع t 18 ت 3

gh غ th 19 ث 4

f ف j 20 ج 5

q ق h 21 ح 6

k ك kh 22 خ 7

l ل d 23 د 8

m م dh 24 ذ 9

n ن r 25 ر 10

w و z 26 ز 11

h هـ s 27 س 12

' ء sh 28 ش 13

y ي s 29 ص 14

d ض 15

2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang

a قرأ = qara'a a قال = qala

i كتب = kutiba i قيل = qila

u يذهب = yadhabu u يقول = yaqulu

Page 338: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

326

INDEKS A

Abdul Karim Soroush, 184,

185, 188, 350

Abid al-Jabiri, 22, 23, 25,

350

Absolutisme, 338, 350

Abstrak, 350

Abu Bakr Al-Siddiq, 350

Abu Hamza, 350

Abu Said Kharraz, 119, 350

Abu Sulaiman Darani, 119,

350

Ach. Maimun Syamsuddin,

181, 182, 218, 350

Achmad Charris Zubair, 19,

350

Adelbert Snijders, 21, 30,

46, 50, 51, 79, 127,

128, 234, 242, 243,

244, 249, 252, 253,

259, 260, 266, 267,

268, 269, 270, 271,

281, 282, 285, 350

Adiwarman, 180, 350

Agnieszka Lekka-Kowalik,

88, 89, 350

Ahmad Tafsir, 56, 253, 254,

350

Akal, 138, 143, 145, 172,

205, 213, 230, 231,

258, 289, 290, 322,

323, 338, 350

Aksiologi Ilmu, 206, 350

Al-Biruni, 350

Al-Bistami, 350

Al-Farabi, 113, 136, 221,

222, 239, 350

Al-Fhazali, 350

Al-Hakim al-Tirmidzi, 350

Al-Hallaj, 117, 350

Ali Raza Tahir, 68, 251, 350

Al-Kindi, 350

Al-Ma’mun, 350

Al-Razi, 350

Al-Syaibani, 350

Al-Zahrawi, 350

Amin Abdullah, 42, 43, 44,

46, 189, 190, 191,

194, 195, 196, 197,

198, 199, 208, 209,

210, 212, 213, 223,

334, 350, 353

Anton Bakker, 19, 350

Archimedes, 80, 350

Aristoteles, 57, 60, 61, 80,

104, 105, 111, 161,

248, 270, 297, 350

Asumsi dasar, 282, 284,

288, 290, 307, 350

Auguste Comte, 63, 66, 125,

127, 129, 149, 326,

332, 350

Page 339: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

327

B

Bassan Tibi, 184, 351

Bernard Ostle, 51, 351

Burhani, 351

Burhaniyyun, 351

C

Cecep Sumarna, 150, 162,

351

Cholbhavat

Borirakkucharoen,

250, 251, 252, 351

Christian Woff, 62, 351

Cynthia Macdonald, 75, 76,

351

D

David Hume, 63, 351

David Luwis, 53, 351

Demonstratif, 351

Dhu l-Nun Misri, 351

Djunatul Munawaroh, 154,

155, 351

Dzawq, 148, 338, 351

E

Edwin Smith, 57, 351

Eksperimen, 351

Emery J. Hyslop-Margison,

29, 125, 126, 351

Empirik, 150, 162, 322, 351

Epistimologi Ilmu, 351

Epistimologi Islam, 351

Epistimologi positivisme,

351

Equalitas, 351

F

Fana, 339, 351

Farid al-Din Attar, 118, 351

Fazlur Rahman, 184, 263,

351

Feng Qi, 64, 351

Feyerabend, 64, 151, 152,

315, 351

Flenry Byefly, 85, 86, 124,

261, 351

Francis Bacon, 59, 351

Franz Magnis Suseno, 126,

127, 351

G

Galileo Galilei, 58, 59, 352

George Couvalis, 62, 64, 78,

264, 273, 352

H

Haidar Bagir, 56, 65, 352

Hanna Djumhana, 180, 186,

187, 313, 352

Hasan Asy-Syarkawi, 352

Hasan Langgulung, 180, 352

Hati, 109, 148, 172, 214,

257, 258, 322, 339,

352

Heather Douglas, 87, 90,

352

Hendri Sain Simon, 352

Hippocrates, 105, 352

Howard Sankey, 67, 352

Page 340: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

328

Hugh Lacey, 86, 352

Hulul, 120, 276, 352

Husain Heriyanto, 288, 352

I

Ibn Al-Haitham, 352

Ibn Rushd, 24, 61, 101, 105,

112, 113, 114, 115,

352

Ibn Sina, 24, 54, 61, 62, 74,

80, 97, 103, 110, 113,

114, 136, 172, 240,

287, 352

Ibn Taymiyyah, 24, 42, 352

Ibnu Khaldun, 352

Ibnu Sab’in, 352

Ilmu huduri, 352

Ilmu ladunni, 352

Imam Suprayogo, 150, 352

Independensi, 189, 233, 352

Indera, 339, 352

Integrasi ilmu, 352

Intuisi, 81, 291, 339, 352

Irfani, 37, 352

Irfaniyyun, 352

Islamisasi ilmu, 39, 166,

175, 292, 352

Ismail Razi al-Faruqi, 352

Ittihad, 352

J

Jabir Bin Hayyan, 353

Johannes Kepler, 59, 353

John Locke, 63, 353

John T. Roberts, 86, 87, 88,

353

Juhaya S. Praja, 41, 42, 353

Jujun S. Suriasumantri, 28,

34, 55, 163, 353

K

Kamaluddin al-Farsi, 287,

353

Kamarudin, 139, 333, 353

Karl R. Popper, 151, 353

karya, 4

Kausalitas, 94, 98, 101, 326,

353

Ken Wilber, 20, 46, 353

Kerangka teori, 295, 297,

307, 353

Keterbubungan spiriual, 353

Kualitas neotic, 353

L

Lahut, 353

Leibniz, 62, 353

Leslie Stevenson, 85, 86,

124, 261, 353

Logika, 99, 103, 111, 123,

128, 131, 133, 231,

254, 255, 258, 289,

290, 322, 323, 353

Louay Safi, 41, 353

M

M. Ayaz Naseem, 29, 125,

126, 353

Page 341: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

329

M. Azram, 178, 179, 295,

353

M. Sayuthi, 149, 150, 353

Mahmoud Hamid Al-

Migdadi, 353

Mahmud Arif, 23, 353

Malik Badri, 180, 353

Matematik, 353

Mehdi Golshani, 89, 181,

215, 323, 353

Mehdi Ha’iri Yazdi, 47, 71,

82, 264, 273, 276,

277, 353

Metafisik, 353

Metode ilmiah, 50, 57, 59,

60, 68, 84, 148, 246,

253, 259, 265, 340,

353

Metodologi, 16, 19, 26, 42,

45, 149, 150, 214,

237, 313, 318, 320,

321, 322, 326, 353

Michael P. Lynch, 20, 354

Miska Muhammad Amien,

55, 354

Mistisme, 354

Mohammad Anwar, 180,

354

Mouhammad Muslih, 354

Muhammad Abduh, 101,

354

Muhammad Baqir Ash-

Shadr, 354

Muhsin Mahdi, 184, 186,

354

Mujamil Qomar, 42, 129,

309, 354

Mukashafat, 354

Mulla Sadra, 199, 202, 263,

333, 354

Mulyadhi Kartanegara, 18,

28, 40, 43, 44, 46, 52,

54, 55, 79, 80, 171,

172, 179, 192, 193,

199, 200, 201, 202,

206, 207, 210, 213,

214, 223, 239, 240,

247, 276, 279, 315,

321, 354

Murtada Mutahhari, 20, 21,

43, 262, 309, 354

Musa Asy’arie, 253, 354

Muzaffar Iqbal, 61, 173,

174, 216, 217, 354

N

Nasiruddin, 287, 354

Nasut, 354

Noah Lemos, 281, 354

Nurcholish Madjied, 354

O

Objek abstrak, 341, 354

Objek empiris, 354

Objek formal, 44, 354

Objek metafisis, 354

Objektif, 258, 260, 272,

305, 306, 354

Page 342: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

330

Objektivitas, 50, 256, 258,

261, 268, 272, 273,

279, 306, 354

Observasi, 243, 254, 354

Oliver Leaman, 18, 19, 74,

234, 354

Ontologi, 52, 56, 83, 131,

153, 200, 250, 253,

323, 341, 354

Osman Bakar, 177, 245,

246, 268, 269, 285,

286, 288, 289, 292,

294, 319, 354

P

Paradigma keilmuan, 198,

292, 294, 307, 354

Partikular, 354

Pengetahuan melalui

Kehadiran, 354

Pervez Hoodbhoy, 183, 184,

185, 355

Peter Kosso, 53, 54, 67, 84,

88, 267, 274, 355

Peter Van Inwagen, 72, 73,

74, 79, 270, 281, 355

Pico Della Mirandola, 58,

59, 355

Plato, 57, 60, 71, 79, 105,

355

Pluralisme, 16, 20, 33, 34,

160, 190, 214, 229,

230, 237, 239, 240,

244, 260, 303, 355

Pluralisme metode, 160

Proposisi, 76, 95, 99, 185,

355

Pythagoras, 108, 355

Q

Quine, 70, 75, 355

Quraish Shihab, 257, 258,

355

Qutbuddin al-Shirazi, 287,

355

R

Rayamulis, 355

Realitas ada, 341, 355

Rene Descartes, 62, 231,

355

Richard Rorty, 151, 152,

355

Richard W. Mensing, 51,

355

Riyadat, 355

Robert Nola, 67, 355

Roger Bacon, 59, 287, 355

Rosnani Hashim, 175, 180,

183, 185, 355

S

Sahl Tustari, 119, 355

Sains integratif, 355

Sains Islam, 16, 18, 31, 161,

169, 170, 179, 180,

181, 182, 214, 215,

268, 294, 313, 323,

355

Saintifikasi Islam, 355

Page 343: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

331

Saintisme, 72, 124, 127,

129, 355

Sean Esbjorn-Hargens, 20,

46, 355

Seyed Muhammad Naquib

Al-Attas, 356

Seyyed Hossein Nashr, 355

Shihab al-Din al-Sirazi, 355

Singularisme metode, 341,

355

Sitwala Imenda, 283, 355

Spinoza, 62, 125, 355

Suhrawardi, 42, 74, 136,

199, 326, 356

Syafi’i Antonio, 356

T

Tajribi, 356

Tajribiyyun, 291, 356

Tanenji, 154, 155, 318, 356

Taqi Misbah Yazdi, 25, 26,

47, 248, 356

Tauhid, 130, 134, 176, 177,

268, 269, 285, 286,

288, 289, 292, 294,

313, 341, 356

Thales, 124, 356

The Liang Gie, 253, 272,

356

Thomas Kuhn, 64, 152, 159,

161, 209, 313, 356

Tobroni, 150, 322, 356

Tom Sorell, 126, 128, 356

Tycho Brahe, 59, 356

U

Universal, 356

Universalitas Metode, 16,

244, 245, 252, 259,

282, 306, 356

Usep Fahrudin, 186, 356

V

Validalitas, 356

W

Wahdat al-wujud, 342, 356

Wahyu, 18, 36, 258, 322,

342, 356

Wan Mohd Nor Wan Daud,

167, 175, 180, 184,

185, 186, 295, 323,

356

William C. Chittick, 74,

120, 356

William Ockham, 59, 356

Wujud objektif, 342, 356

Wujud subjektif, 342, 356

Z

Zainal Abidin Baqir, 356

Ziauddin Sardar, 31, 39, 40,

169, 262, 320, 356

Page 344: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

332

Page 345: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

BIODATA PENULIS

Nani Widiawati adalah dosen filsafat Islam

yang merangkap sebagai dekan di fakultas

Dakwah Institut Agama Islam Cipasung

(IAIC) Tasikmalaya, kampus tempat tugasnya

sebagai dosen dpk Universitas Islam Negeri

Sunan Gunung Djati Bandung sejak 2005. Di

samping mengajar mata kuliah yang menjadi

bidang kekhususannya, ia juga mengajar

beberapa mata kuliah serumpun, seperti Filsafat Ilmu, Filsafat

Barat, Logika, dan Metodologi Penelitian. Studi S2-nya di

Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, dan

program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah.

Sebagai penulis, Nani telah menulis buku, menyunting

buku, memberi pengantar buku dan antologi puisi, menulis

artikel opini di koran, artikel ilmiah di jurnal, serta menulis karya

pengabdian pada masyarakat. Di antara artikel yang ditulisnya,

ada artikel yang telah dipresentasikan di tingkat nasional dan

internasional.

Nani juga seorang penikmat seni. Ia mencipta lagu dan

telah meluncurkan tiga mini album. Album ketiganya, khusus

berisi lagu anak islami, ia dedikasikan sebagai karya pengabdian

yang diseminasikan pada 22 desa di kabupaten Garut Jawa Barat.

Karyanya yang berbentuk puisi, di antaranya menjadi bagian dari

antologi puisi Pendosa Nasional untuk tingkat nasional, antologi

puisi guru Musafir Ilmu yang menghimpun penyair yang

berprofesi sebagai guru di tiga negara, dan antologi puisi Doa

Seribu Bulan untuk tingkat ASEAN. Nani pernah memperoleh

Page 346: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

penghargaan sebagai Penyair Nusantara yang diberikan oleh

Rumah Seni Asnur.

Page 347: PENGANTAR PENULISrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · berdialog dengan model pemikiran manapun, termasuk pluralisme, dan karena itu pula kajian tentang pluralisme

TENTANG EDITOR

Editor bernama Miswari lahir di

Paya Cut, Bireuen, Aceh, pada 12

September 1986. Pendidikan

Sarjana Jurusan Bahasa dan Seni

Universitas Abulyatama Aceh.

Magister Filsafat Islam ICAS-

Paramadina Jakarta, dan Program

Doktor Filsafat Islam di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Miswari konsisten dengan organisasi Pelajar Islam

Indonesia (PII) mulai dari Pengurus Daerah Bireuen, pengurus

Wilayah Aceh, dan Pengurus besar bermarkas di Menteng Raya

Jakarta Pusat.

Miswari telah menulis sekitar lima belas judul buku,

sekitar lima puluh jurnal ilmiah, belasan cerpen, dan puluhan

puisi. Penulis juga telah mengedit belasan buku yang beberapa di

antaranya diterbitkan oleh Penerbit Bandar Publishing Banda

Aceh.