Upload
truongcong
View
229
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
2
PENGANTAR
Masa kanak-kanak awal (early childhood) merupakan periode
perkembangan yang terjadi mulai akhir masa bayi hingga sekitar usia 5 tahun atau
6 tahun, kadang periode ini disebut usia prasekolah. Selama waktu tersebut, anak
kecil belajar menjadi mandiri dan merawat diri sendiri, mereka mengembangkan
ketrampilan kesiapan sekolah (mengikuti perintah, mengenali huruf) dan mereka
menghabiskan berjam-jam untuk bermain dengan teman sebaya (Santrock, 2007).
Pada usia 3 tahun, anak-anak lebih suka menghabiskan waktu dengan teman
bermain yang berjenis kelamin sama dibandingkan teman berjenis kelamin
berbeda, dan preferensi ini meningkat pada awal masa kanak-kanak. Selama tahun
ini, frekuensi interaksi sebaya, baik yang positif maupun negatif meningkat cukup
tajam (Hartup & Rubin, 1986). Banyak anak-anak prasekolah menghabiskan
waktu yang cukup lama dalam interaksi sebaya hanya dengan mengobrol dengan
teman, bermain tentang “menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan,
berdebat, dan membangun persetujuan (Rubin, Bukowski & Parker, 2006).
Santrock (2007) mengatakan bahwa teman sebaya adalah orang dengan
umur dan tingkat kedewasaan yang sama. Sebaya memegang peranan yang unik
dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya adalah
memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga.
Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan mereka dari grup sebaya,
dan hubungan sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosioemosional
yang normal, tentu saja hubungan sebaya bisa negatif maupun positif (Bukowski
3
& Adams, 2005 ; Kupersmidth & DeRosier, 2004 dalam Santrock, 2007).
Penolakan dan pengabaian oleh sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian
dan dimusuhi. Lebih jauh lagi, penolakan dan pengabaian oleh sebaya berdampak
pada kesehatan mental indidu dan masalah kriminal (Bukowski&Adams, 2005;
Dogde, Coie, & Lynam, 2006; Masten, 2005 dalam Santrock, 2007).
Selman (dalam Shaffer, 2009) mengatakan bahwa interaksi sosial terutama
kontak dengan orangtua, saudara kandung, guru dan teman sebaya menjadi
kontributor yang penting pada perkembangan sosial-kognitif. Hal ini dikarenakan,
untuk mengetahui orang lain, seseorang harus mampu untuk menerima perspektif
mereka dan mengerti pikiran, perasaan motif dan intensi mereka. Interaksi secara
sosial akan meningkatkan perkembangan kemampuan pengambilan peran dan
secara langsung menjadi jalan dengan menyediakan pengalaman bagi anak untuk
belajar apa yang disukai oleh orang lain.
Namun pada kenyataannya beberapa anak mengalami kesulitan untuk
menjalin interaksi sosial dengan lingkungan di luar keluarga. Mereka terdiam
membisu dan tidak mampu berkata-kata dengan teman sebaya atau guru mereka di
sekolah, namun mereka mampu berkata-kata di rumah. Kebisuan mereka biasanya
terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah namun juga di lingkungan sosial
lainnya. Anak dengan karakteristik seperti ini disebut juga dengan Selective
Mutism yang selanjutnya disingkat dengan SM (Ponzurick, 2012).
Selective Mutism (SM) atau bisu selektif adalah istilah untuk seorang anak
yang terus-menerus gagal berbicara di situasi sosial spesifik ketika ia diharapkan
untuk berbicara (misalnya di dalam kelas), tetapi konsisten berbicara di situasi
4
sosial lain (misalnya di rumah dengan ibunya) (APA, 2005). Ruang kelas
seringkali menjadi tempat anak kehilangan bicaranya, dan hal tersebut menjadi
sangat perlu diperhatikan dan menjadi hal yang paling bermasalah pada akademik
dan ekspetasi sosial di sekolah (Shriver, Segool, dan Gortmaker, 2011).
Terdapat beberapa kriteria SM dalam APA (2005), yaitu :
1. Kegagalan berbicara pada situasi sosial yang spesifik (misalnya, sekolah
dengan teman bermain) diharapkan berbicara, walaupun ia dapat berbicara
pada situasi lain.
2. Gangguan ini mempengaruhi pendidikan, prestasi pekerjaan dan komunikasi
sosial.
3. Gangguan ini paling tidak muncul sekurang-kurangnya 1 bulan dan tidak
terbatas pada sebulan pertama masuk sekolah.
4. Kegagalan untuk berbicara bukan karena kurangnya pengalaman atau kurang
nyaman dengan bahasa yang digunakan dalam situasi sosial tersebut.
5. Gangguan ini bukan disebabkan Communication Disorder (Stuttering), dan
tidak muncul besama dengan Pervasive Developmental Disorder,
Developmental Disorder, Schizophrenia or Psychoutic Disorder lainnya.
Prevalensi SM di dunia dalam setting kesehatan mental dilaporkan rendah,
dengan prevalensi kurang dari 1% (American Psychiatric Association, 2005),
namun prevalensi dalam setting sekolah terlihat lebih tinggi, karena ruang kelas
adalah tempat dimana gangguan kecemasan ini paling mudah diamati (Shriver,
Segool, dan Gortmaker, 2011). Sementara itu, Cunningham, McHolm, dan Boyle
(2006) melaporkan dalam penelitiannya bahwa SM terjadi pada 0,7-2% pada
siswa taman kanak-kanak dengan laporan angka kejadiannya lebih banyak pada
5
siswa perempuan daripada laki-laki. Scwartz dan Shipon-Blum (2005)
mengatakan bahwa SM terjadi pada 0,3 sampai 0,7 pada setiap 1000 anak yang
bersekolah. Permasalahannya adalah para pakar kesehatan anak seringkali
membuat kesalahan dengan mengatakan SM sebagai sebuah rasa malu atau
keterlambatan perkembangan. Pendekatan perkembangan terlambat yang salah
ini, yaitu “lihat dan dengar” menyebabkan kerusakan yang mendalam pada anak
SM. Perbandingan kasus SM antara anak perempuan dengan laki-laki yaitu 3:1,
dimana onset terjadi pada usia 4-6 tahun. Ketika anak memasuki sekolah,
biasanya diantara usia 6 dan 8, guru mengidentifikasi sebagai anak yang pendiam
dan tidak curiga terhadap kebisuan anak (Sharkey & McNicholas, 2008). Rasio
perbandigan kasus SM antara laki-laki dengan perempuan berbeda-beda pada
beberapa penelitian, Kumpulainen (dalam Vechhio, 2008) menemukan bahwa
perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1. Hayden dan Wlkins
(dalamVechio, 2008) menemukan bahwa perbandingan rasio perempuan dan laki-
laki 2:1. Sebagai tambahan, Anderson dan Thomsen (1998) menganalisa 37 kasus
SM, 20 diantaranya adalah laki-laki. Vechio (2008) mengatakan perbandingan
rasio ini menunjukkan bahwa anak laki-laki juga mempunyai resiko yang tinggi
mengalami SM, hal ini dikarenakan bahwa kondisi mental antara anak laki-laki
dan perempuan tidak bisa diprediksi dan sama-sama mempunyai kemungkinan
mengalami kecemasan.
Utnick (2008) mengelompokkan SM menjadi empat kategori, yaitu (a) mild:
anak dapat berkomunikasi dengan keluarga dan kelompok teman tertentu, anak
menggunakan bahasa yang tidak lancar dan lebih nyaman menggunakan gesture
6
atau bahasa tubuh; (b) moderate: anak berkomunikasi dengan suara bukan dengan
kata-kata; (c) moderate severe: anak menggunakan komunikasi non verbal
(seperti bahasa tubuh dan isyarat); serta (d) severe: anak dapat melakukan non
verbal namun ia tidak menggunakannya sebagai komunikasi. Beberapa penelitian
menemukan bahwa kasus SM yang paling sering ditemui adalah anak-anak dalam
kategori moderate severe (Vechio, 2008).
Hasil praktikum Wijayanti (2012) menemukan anak yang mengalami SM
yang berada dalam kategori moderate severe di sebuah Taman Kanak-Kanak
belum mendapatkan penanganan selama 1 tahun 2 bulan bersekolah di T K
tersebut. Pihak sekolah maupun guru belum mengetahui mengenai permasalahan
yang menyebabkan anak diam di sekolah, hal ini membuat guru dan kepala
sekolah bingung cara mengatasinya. Akibat dari perilaku diamnya, subjek
menjadi sering diejek dan dicemooh oleh teman-teman sekelasnya. Belum
terdapatnya penanganan dari pihak sekolah mengenai kasus SM juga ditemukan
oleh mahasiswa Magister Psikologi Profesi yang sedang melakukan Praktek Kerja
Profesi (Syahputri, 2013; Dalimunthe, 2013 & Priambada, 2013). Dari 8 kasus
kasus Anak Usia Dini yang ditangani oleh Mahasiswa Magister Profesi
Pendidikan angkatan 8, terdapat 3 kasus SM berada dalam kategori moderate
severe dan dari 3 kasus tersebut belum ada penanganan apapun dari pihak
sekolah.
Kasus indikasi SM juga dijumpai di beberapa TK dan PAUD di Kabupaten
Klaten. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus IGTK (Ikatan Guru
Taman Kanak-kanak) Kabupaten Klaten, kasus-kasus Anak Usia Dini semakin
7
bertambah, salah satunya adalah kebisuan di sekolah namun ketika di rumah anak
mampu untuk berbicara. Dalam 2 tahun terakhir, kasus indikasi SM meningkat
dari 25 siswa menjadi 43 siswa, namun sekolah belum melakukan penanganan
apapun untuk membuat anak mampu berbicara di sekolah. Hal ini dikarenakan
keterbatasan pengetahuan akan model intervensi yang sesuai bagi anak yang
terindikasi SM (IGTK, 2013).
Selective Mutism biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun, namun sering belum
dapat dideteksi sampai anak memasuki sekolah. Hal tersebut terjadi karena
sebagian besar anak SM berbicara dengan orangtua di rumah tanpa ada masalah,
namun ketika berada dalam situasi yang asing atau bertemu dengan orang yang
tidak familiar, masalah ini akan muncul. Kondisi demikianlah yang membuat
penanganan anak SM sering terlambat sehingga masalah akan menjadi lebih besar
(Vecchio & Kearney, 2005). Keterlambatan penanganan mungkin terjadi sampai 4
tahun setelah diagnosis ditetapkan dan para ahli kesehatan anak tidak familiar
dengan kelalain ini serta cara penanganannya (Schwartz, Freedy, & Sheridan,
2006). Jika tidak segera ditangani, perilaku diam dan tidak mau berbicara yang
ditunjukkan anak SM dapat berdampak pada perkembangan kognitif dan
kemampuan sosialnya (Bergman, Piancentini, & McCracken, 2002; Nowakowski,
2009 ; Cunningham, McHolm, Boyle, & Patel, 2004).
Manassis (2007) melaporkan penelitiannya terhadap 44 anak Taman
Kanak-kanak yang terdiagnosa SM, menemukan bahwa 44 anak yang mengalami
SM mencetak skor yang lebih rendah pada pengukuran nonverbal kognitif. Hal ini
dikarenakan kurangnya interaksi dengan teman maupun guru membuat
8
perkembangan kognitifnya tidak maksimal. Ballenger dalam Santrock (2007)
mengatakan bahwa pendidikan taman kanak-kanak meliputi pendidikan anak
secara menyeluruh, dengan penekanan pada variasi individual, proses belajar dan
pentingnya permainan dalam perkembangan. Bermain sangat penting dalam
perkembangan kognitif anak. Mencoba, menjelajahi, menemukan, menguji-coba,
mensturkturisasi, berbicara dan mendengar akan membantu perkembangan
kognitifnya (Ballenger dalam Santrock, 2007). Namun, dengan perilaku diam dan
tidak mau berinteraksi, bermain anak SM denga teman di sekolah akan
mengurangi kesempatanya untuk mengembangkan kemampuan kognitif
(Manassis, 2007).
Permasalahan yang dialami pada anak SM ini tidak hanya dalam
perkembangan kognitif, namun juga kemampuan sosial, seperti yang dilaporkan
Cunningham et all (2004) bahwa anak-anak dengan SM, mempunyai kekurangan
dalam hal kemampuan sosial yang cukup signifikan. Orangtua dan guru
melaporkan bahwa anak-anak ini kurang asertif, kurang terlibat dalam
persahabatan dan mengalami kejahatan yang lebih banyak dari teman sebayanya.
Sebuah studi follow up dari 33 orang dewasa yang mengalami SM semasa
kecil, Steinhausen et al (dalam Cunningham, McHolm dan Boyle, 2006) membagi
subjek dalam 2 kelompok bagian, yaitu mutism yang terbatas pada sekolah dan
orang asing, dan satunya adalah mutism yang gagal berbicara pada setting yang
lebih luas yaitu sekolah, orang asing dan teman sebaya. Hasil menunjukkan
bahwa kelompok yang mengalami mutism pada area yang lebih luas yaitu sekolah,
orang asing dan teman sebaya menunjukkan simptom-simptom fobia sosial yang
9
lebih besar daripada kelompok dengan mutism pada setting sekolah dan orang
asing.
Beberapa penelitian mengungkapkan penyebab dari anak yang mengalami
SM. Omdal dan Gallowwa (2007) mengatakan bahwa tekanan untuk berbicara
menyebabkan kecemasan pada anak-anak SM. Faktor pemicu SM adalah tuntutan
untuk berbicara di situasi-situasi sosial yang tidak familiar sehingga menimbulkan
kecemasan. Faktor psikologisnya adalah kecemasan. Mereka terlalu cemas untuk
berbicara di setting-setting tertentu. Yeganeh et all (2003) melaporkan bahwa
anak-anak SM mengalami kecemasan secara sosial.
Beberapa penelitian membuktikkan bahwa SM merupakan suatu bentuk
kecemasan. Cunningham, McHolm, Boyle dan Patel (2004) melaporkan bahwa
orangtua dan guru sama-sama setuju bahwa anak SM lebih cemas daripada
kelompok kontrol. Sebuah review literature (diantara 1980 dan 1996) yang
berfokus pada intervensi SM, dari semua penelitan kecuali dua penelitian
melaporkan SM merupakan suatu bentuk kecemasan (Cleave, 2009).
Teori perilaku memandang bahwa SM sebagai penguatan negatif dari
pembelajaran perilaku yang diperkuat secara negatif. Anak menolak untuk
berbicara bukan untuk menarik perhatian guru namun sebagai bentuk kenyamanan
mereka akan harapan perilaku kelas (Krysanski, 2003). Pendekatan perilaku
dalam memandang SM tidak terlepas dari sosok B.F. Skinner yang
mengemukakan tentang prinsip operant conditiong. Schunk (2012) mengatakan
bahwa teori belajar operant conditioning yang diformulasikan oleh B.F. Skinner
didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan (stimulus, situasi, dan kejadian)
10
memberikan petunjuk-petunjuk untuk direspon. Adanya reinforcement akan
memperkuat respon dan meningkatkan kemungkinan respon tersebut muncul lagi
ketika stimulus dihadirkan di lain waktu. Proses dasar dalam konsep operant
conditioning ini dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
Sebuah situmulus yang diskrimatif (A discriminative stimulus atau SD)
membuat sebuah respon muncul (R), yang diikuti dengan sitmulus yang dikuatkan
(reinforcing simulus atau reinforcement (SR)). Stimulus yang dikuatkan adalah
stimulus apapun (peristiwa, konsekuensi) sehingga meningkatkan kemungkinan
respon tersebut akan muncul lagi pada masa yang akan datang ketika
discriminative stimulus hadir. Dalam istilah yang familiar, kita bisa
menamakannya dengan model (Schunk, 2012) :
A (antecendet) B (behaviour) C (consequence)
Konsep behavioral mengenai SM juga diutarakan oleh Bergman (2013)
yang mengatakan bahwa SM merupakan pola pembiasaan dari kecemasan yang
terpelihara. Respon dari meningkatnya kecemasan adalah menghindari berbicara
sehingga dapat menurunkan kecemasan. Penghindaran secara negatif dikuatkan
seiring berjalannya waktu ketika hal tersebut sukses menurunkan kecemasan yang
dipicu oleh harapan untuk berbicara. Penguatan yang diterima oleh anak membuat
anak SM berpikir bahwa perilaku diam mereka sukses menurunkan tekanan dan
kecemasannya. Pola pembiasaan ini berlangsung terus-menerus sehingga anak
SD R S
R
11
tetap diam membisu dan tidak mau berkomunikasi pada beberapa situasi yang
diharapkan untuk berbicara. Kegagalannya untuk berbicara merupakan suatu
bentuk manifestasi dari kecemasan yang terpelihara.
Lebih lanjut lagi, Bergman (2013) memberi contoh, misalnya seorang
anak dengan SM mungkin menjadi cemas ketika guru mereka menanyakan
pertanyaan. Kecemasan anak meningkat ketika guru dan teman-teman menunggu
jawaban darinya. Kecemasan ini akan menyebabkan anak SM menghindari
pertanyaan, dengan diam membisu dan penghindaran mereka secara sukses
menurunkan kecemasan. Pengurangan kecemasan ini dikuatkan dengan
penghindaran, yang kemudian menguatkan pola simptom yang ada. Bergman
(2013) menggambarkan pola pembiasaan yang terjadi pada anak SM, yaitu
sebagai berikut :
Gb 1. Pola pembiasaan yang terjadi pada anak Selective Mutism (Bergman, 2013)
Bergman (2013) mengungkapkan bahwa SM merupakan pola pembiasaan
perilaku yang terpelihara, maka dari itu model intervensi berfokus pada harapan
Anxiety
Avoidance Relief
Reinforcement
Expectation of
Speech
12
untuk berbicara pada situasi-situasi tertentu dimana merupakan tantangan untuk
meningkatnya kecemasan. Lebih lanjut lagi, Bergman menjelaskan proses terapi
SM dengan behavioral exposure therapy, dimana secara gradual memberi
kesempatan anak SM pada situasi yang diharapkan untuk berbicara. Kemudian,
kapasitas anak untuk berbicara difasilitasi ketika pola respon penghindaran yang
selama ini mereka lakukan tidak didukung. Kesuksesan program berdasarkan
prinsip permulaan dengan sebuah tugas yang mudah dan tidak mengancam yang
dapat ditoleransi anak. Ketika anak secara sukses melengkapi pembukaan awal
yang mudah ini dengan berbicara, ia mampu untuk memecahkan lingkaran dari
negative reinforcement, dan perilaku yang diharapkan (berbicara) dapat dikuatkan
secara positif. Hal ini dapat diproses secara gradual dengan meningkatkan
kesulitan untuk berbicara pada situasi dimana anak diharapkan untuk berbicara.
Shipon-Blum (2003) juga mengatakan bahwa penanganan anak SM
hendaknya bertujuan untuk mengurangi kecemasan serta meningkatkan
kepercayaan diri untuk berada di situasi sosial. Memaksa anak untuk berbicara
tidak akan efektif karena kemampuan untuk berbicara akan muncul seiring dengan
rendahnya tingkat kecemasan dan tingginya rasa percaya diri. Gallagher et al.
(2006) menyatakan 4 bahwa tujuan dari penanganan anak SM yaitu untuk: (a)
mengurangi kecemasan sosial; (b) meningkatkan jumlah orang, jumlah seting, dan
jumlah situasi dimana anak mampu berbicara dengan responsif dan spontan; (c)
mengembangkan kemampuan anak untuk mengatur kecemasan berbicara sehingga
anak mampu mengatasi dampaknya; (d) memfungsikan kemampuan berbicara
secara penuh. Menurut Shipon-Blum (2003), penanganan anak SM hendaknya
13
bertujuan untuk mengurangi kecemasan, meningkatkan harga diri serta
meningkatkan kepercayaan diri saat berada di situasi sosial.
Moldan (2005) membuktikkan efektivitas pendekatan perilaku dengan
menggunakan teknik contigency management dan stimulus fading untuk
menangani anak SM berusia 6 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Hasilnya
pada sesi pertemuan keempat, anak tersebut mampu menyuarakan kata pada
orang-orang baru di kantor ibunya. Sundel & Sundel (2005) mengatakan bahwa
teknik stimulus fading merupakan sebuah prosedur untuk mentrasfer stimulus
kontrol dari sebuah perilaku dari sebuah penyamaran stimulus ke antecedent
berikutnya. Individu dilanjutkan dengan diberikan penguatan ketika merespon
kehadiran dari penyamaran stimulus tersebut yang secara gradual disamarkan atau
diubah. Melalui teknik stimulus fading ini, situasi-situasi anak mau berbicara
diperluas secara bertahap, termasuk di dalamnya menambah jumlah orang yang
ada dalam situasi tersebut. Seiring dengan pengubahan stimulus, individidu
tersebut berlanjut unuk menunjukkan respon yang sesuai. Teknik contigency
management melibatkan penerimaan reinforcement positif bagi klien untuk
verbalisasi dan peniadaan penerimaan reinforcement positif untuk bahasa
nonverbal, misalnya menunjuk. Hasilnya adalah anak jadi berkomunikasi secara
verbal dengan lebih banyak orang dan lebih banyak situasi. Intervensi ini diawali
di situasi-situasi dimana anak dapat berkomunikasi verbal dengan baik.
Efektivitas terapi perilaku dengan menggunakan contigency management juga
dibuktikkan oleh Vecchio (2008) yang berhasil meningkatkan respon komunikasi
pada anak 5 anak SM usia 4-9 tahun.
14
Efektifitas pendekatan stimulus fading dan contigency management dalam
menangani anak SM ini dikemukakan oleh Martin dan Pear (2003) yang
mengatakan bahwa sebuah cara terbaik untuk menghubungkan antara anteseden –
respon – konsekuensi adalah contigency of reinforcement atau disebut juga
contingency management. Skiner (dalam Martin&Pear, 2003) mengatakan bahwa
sebuah formulasi interaksi antara individu dan lingkungannya harus selalu terdiri
dari 3 hal, yaitu (1) kejadian dimana respon terjadi, (2) respon itu sendiri, (3)
konsekuensi atau penguatannya, dan hubungan ketiganya adalah contingency of
reinforcement. Schunk (2012) mengatakan bahwa jadwal pemberian
reinforcement sendiri terdapat dua macam yaitu (1) an intermittent schedule, yaitu
melibatkan penguatan beberapa namun tidak pada semua respon. An intermittent
schedule sendiri terdapat dua macam yaitu (a): an interval schedule, yang
memberikan hadiah pada respon yang diinginkan pertama terjadi setelah beberapa
periode waktu; dan (b): a variabel-interval schedule, dimana waktu bervariasi dari
satu kejadian ke kejadian yang lain di sekitar rata-rata. Teknik pemberian
reinforcement yang kedua ialah a ratio schedule, yang bergantung pada jumlah
dari respon yang diinginkan atau rate of responding. A Ratio schedule terdiri dri 2
jadwal, yaitu (a) a fixed-ratio (FR) schedule, dimana setiap sejumlah n-respon
yang diinginkan muncul, maka akan diberi hadiah, dimana n adalah konstan; (b) A
Variable ratio (VR) schedule, dimana sejumlah n-respon yang diinginkan muncul
maka akan diberi hadiah, namun harga bervariasi dalam jumlah n. Schunk (2012)
mengatakan bahwa secara umum, ratio schedule menghasilkan respon yang lebih
15
tinggi daripada interval schedule, selain itu waktu perlakuan yang dibutuhkan
juga lebih sedikit pada ratio schedule dibandingkan dengan interval schedule.
Efektifitas metode behavioral juga dilakukan oleh Beare (2008) untuk
meningkatan perilaku verbal siswa SM, dan hasil menunjukkan bahwa stimulus
fading dan positive reinforcement dapat meningkatkan perilaku verbal siswa.
Lebih lanjut lagi Beare mengatakan bahwa stimulus fading merupakan treatment
perilaku yang utama bagi anak-anak SM. Stimulus yang meminta anak untuk
berbicara anak disamarkan, dan ketika anak mulai berbicara, ia akan mendapatkan
reward atau reinforcement. Lipton dalam Barnet, Bell dan Carey (2002)
membuktikkan efektivitas intervensi terapi perilaku untuk anak SM. Intervensi
dilakukan dengan mengkombinasikan teknik stimulus fading dan positive
reinforcement pada siswa SM di Taman Kanak-Kanak. Intervensi dilakukan
dalam 10 sesi dengan durasi 1-2 jam yang ditujukan untuk menghadirkan bicara
pada anak, yaitu melalui permainan terstruktur yang melibatkan interaksi verbal,
mengerjakan buku latihan menggunakan instruksi verbal dan melengkapi gambar
secara verbal. 10 sesi dilakukan selama 4 minggu dengan selang waktu tiap sesi
adalah 2-4 hari, dan ketika klien dapat mengatakan secara verbal, maka ia
mendapatkan hadiah. Hasil dari follow-up 6 bulan kemudian adalah anak tersebut
mampu berkomunikasi secara verbal dengan teman-temannya baik di sekolah dan
di rumah. Intervensi serupa juga dilakukan oleh Conrad, Delk dan Williams dalam
Hadley (1994) yang melakukan terapi perilaku pada anak SM usia 6 tahun.
Conrad et all dalam Hadley (1994) melakukan 10 sesi terapi dengan teknik
stimulus fading dan positive reinforcement dengan selang waktu tiap sesinya
16
adalah 3-4 hari. Tahapan dalam intervensi tersebut ditingkatkan secara bertahap
mulai dari rumah subjek, rumah teman subjek, tempat-tempat umum dan sekolah.
Teman dan guru juga ditambahkan secara gradual ketika tahap sebelumnya subjek
mampu berkomunikasi secara verbal, dan ia akan mendapatkan hadiah untuk
komunikasi verbal yang dilakukannya. Satu tahun follow-up setelah intervensi
tersebut dilakukan, subjek tetap merespon secara verbal kepada guru ketika
berbicara secara langsung. Efektivitas penelitian terapi perilaku juga sudah
dibuktikan di Indonesia. Hartono (2010) menggunakan 10 sesi terapi dengan
metode bermain bagi anak SM yang dikemas dalam pelatihan „Sahabat Anak‟.
Setiap sesi dilakukan dengan selang 3-5 hari, dan hasilnya mampu meningkatkan
komunikasi verbal di sekolah sebesar 24,53%.
Penelitian mengenai anak SM pun berkembang mengenai respon
komunikasi yang dilakukannya, apakah respon yang diberikan sebatas pada
menjawab pertanyaan (komunikasi prompting) atau secara inisiatif melakukan
komunikasi (inisiasi). Shriver, Segool dan Gorthmaker (2011) menemukan
terdapat peningkatan komunikasi verbal prompting yang signifikan setelah
dilakukan intervensi menggunakan teknik stimulus fading dan contigency
management. Peningkatan juga terjadi pada komunikasi verbal inisiasi, namun
tidak sebesar komunikasi verbal prompting, hal ini dikarenakan memulai
pembicaraan adalah sesuatu hal yang sulit bagi anak SM, dan hal tersebut
memerlukan proses yang panjang (Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011).
Teori yang diacu dalam penelitian ini menilai bahwa perilaku diam anak
SM merupakan bentuk dari pola pembiasaan kecemasan yang terpelihara
17
(Bergman, 2013). Kecemasan yang dimiliki oleh anak SM akan berkurang dengan
menghadirkan kondisi yang membuatnya cemas ke dalam kondisi yang lebih
menyenangkan yaitu bermain, sesuai dengan karakter anak usia dini yang
menyukai kegiatan bermain (Santrock, 2007). Kondisi yang membuat cemas
dihadirkan secara perlahan-lahan ke dalam kondisi bermain tersebut, tujuannya
untuk mengurangi kecemasan subjek. Seiring dengan menurunnya tingkat
kecemasan yang dimilikinya, ia akan mulai berpartisipasi dan berkomunikasi, dan
saat itulah ia akan mendapatkan hadiah. Pola pembiasaan ini akan berlangsung
secara terus menerus untuk mengurangi kecemasannya, menambah kepercayaan
dirinya dan meningkatkan komunikasi (Bergman, 2013; Shipon-Blum, 2003; dan
Gallagher et al, 2006).
Gb. 2 : Proses pembiasaan komunikasi pada anak SM
Pendekatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah teori belajar
operant conditioning, yang didasarkan pada asumsi lingkungan (stimulus, situasi
dan kejadian) yang menjadi petunjuk dari respon atau perilaku. Hadiah diberikan
Tidak cemas, merasa nyaman
Mau berpartisipasi dan
bermain bersama
Mau berkomunikasi
Reinforcement
Berada pada situasi yang
menyenangkan
18
untuk memperkuat respon dan meningkatkan perilaku yang diharapkan ketika
stimulus tersebut hadir. Model dasar dari operant conditioning ini terdiri dari 3
hal yaitu stimulus yang membedakan (antecedent), respon (behavior) dan
stimulus penguat (konsekuensi) (Schunk, 2012).
Penelitian ini menggunakan pendekatan operant conditioning yaitu
kombinasi stimulus fading dan contingency management yang telah terbukti
efektif meningkatkan komunikasi pada anak SM (Moldan, 2005; Beare 2008;
Vecchio, 2008; Lipton dalam Barnet, Bell & Karen, 2002 ; Conrad et all dalam
Hardley, 1994; Hartono, 2010; dan Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011).
Kedua teknik ini disusun dalam suatu pelatihan yang dalam penelitian ini berjudul
“Kita Semua Sahabat”. Modul dari pelatihan “Kita Semua Sahabat” merupakan
modifikasi dari penelitian Lipton dalam Barnett, Bell & Karen (2002) ; Conrad et
all dalam Hadley (1994) dan Hartono (2010). Pelatihan ini terdiri dari 10 sesi,
dengan setiap sesi berselang 3-4 hari dan melibatkan 7 orang teman kelas subjek
serta guru kelas subjek. Intervensi dilakukan secara bertahap dengan dimulai pada
lingkungan yang paling membuat anak nyaman, yaitu lingkungan rumah. Situasi
dan orang diperluas dan diperbanyak seiring dengan meningkatkan kenyamanan
yang dimiliki oleh subjek. Penguat positif juga diberikan ketika muncul
verbalisasi yang dilakukan oleh subjek. Hal yang diobservasi dibagi menjadi dua
kondisi stimulus, yaitu stimulus dengan kesempatan (prompting) dan stimulus
tanpa kesempatan (inisiasi). Melalui penyamaran stimulus yang dihadirkan secara
bertahap seiring dengan rasa nyaman yang dimiliki subjek, ia dapat berpartisipasi
dan berkomunikasi dalam permainan. Hadiah pun akan diberikan sebagai penguat
19
ketika subjek berkomunikasi secara verbal. Hal ini dilakukan untuk menambah
kepercayaan diri subjek. Pola ini akan berlangsung secara terus-menerus sehingga
membentuk kebiasaan subjek untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan guru
(Vechio, 2008).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah Pelatihan Kita
Semua Sahabat dapat meningkatkan komunikasi verbal pada anak SM. Hipotesis
dari penelitian ini adalah (1) terdapat peningkatan komunikasi verbal pada anak
SM setelah mendapatkan pelatihan, (2) peningkatan komunikasi verbal prompt
lebih banyak dibandingkan peningkatan komunikasi inisiasi setelah mendapatkan
pelatihan.
Gb 3 : Alur berpikir dalam penelitian
METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian singel case experimental design
dengan rancangan A-B-A. Single case experiment design dibutuhkan untuk
mengidentifikasi intervensi yang efektif untuk SM, hal ini dikarenakan melibatkan
Komunikasi yang
kurang pada anak SM
(1)Meningkatnya komunikasi
verbal. (2) Peningkatan Komunikasi
verbal prompting lebih banyak
dibandingkan komunikasi verbal
inisasi.
Memunculkan respon komunikasi
(Pelatihan Kita Semua Sahabat)
20
multiple baseline atau pengukuran yang berkali-kali (Vechhio, 2008). Fase A
merupakan fase baseline yang berisi sejumlah seri observasi dari perilaku yang
menjadi target dalam situasi alami (sebelum mendapat intervensi) (Barlow &
Hersen, 1984). Tujuan utama dari pengukuran baseline adalah untuk mendapatkan
standar sehingga efek peningkatan yang terjadi sebagai akibat dari intervensi (fase
B) yang dilakukan dalam eksperimen dapat dievaluasi. Fase B adalah fase dimana
intervensi atau perlakuan diberikan, dengan memperhatikan perubahan variabel
tergantung (Barlow&Hersen, 1984). Pengukuran dilanjutkan kembali setelah
treatment (Fase A). Alasan penggunaan desain tunggal ini adalah cukup mudah
dilakukan, fleksibel dan dapat fokus dalam membantu satu (sedikit) partisipan.
Yin (1994) menyebutkan bahwa salah satu alasan rasional untuk menggunakan
desain subjek tunggal adalah jika kasus yang diteliti merupakan kasus yang
ekstrim atau unik. Situasi ini biasanya terjadi pada kasus-kasus psikologi yang
sangat jarang ditemui sehingga desain subjek tunggal dapat membantu dalam
mendokumentasikan dan menganalisis kasus tersebut.
VARIABEL PENELITIAN
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pelatihan “Kita Semua
Sahabat”. Modul pelatihan ini memodifikasi dari penelitian-penelitian SM
sebelumnya, yaitu Lipton (dalam Barnett dkk, 2002) yang berhasil meningkatkan
verbalisasi pada anak SM dengan 10 sesi terapi selama 1 bulan, Conrad (dalam
Hardley, 1994) selama 1 bulan dengan 10 sesi terapi dan di Indonesia sendiri
efektifitas terapi perilaku juga dibuktikkan oleh Hartono (2010) melalui 10 sesi
21
terapi selama 1 bulan. Pelatihan “Kita Semua Sahabat” berisi 10 sesi selama 1
bulan yang disusun dengan pendekatan terapi perilaku, yaitu stimulus fading dan
contigengency management.
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah komunikasi verbal dan
komunikasi non verbal yang diobservasi dalam dua kondisi stimulus, yaitu
komunikasi yang dilakukan ketika terdapat prompts, dan komunikasi yang
dilakukan ketika tidak terdapat prompts (komunikasi inisiasi).
SUBJEK
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 1 (satu) yang mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
a. Anak yang berusia 5 tahun, duduk di Taman Kanak-kanak
b. Berjenis kelamin laki-laki
c. Memenuhi diagnostik selective mutism seperti yang disebutkan dalam
DSM IV-TR (American Psychiatric Association, 2005).
d. Berada dalam kategori SM Moderate Severe, yaitu anak SM yang
menggunakan komunikasi non verbal di situasi lingkungan tertentu
(seperti bahasa tubuh dan isyarat), namun menggunakan bahasa verbal
yang lancar di lingkungan rumah (Utnick, 2008).
ASESMEN
Asesmen meliputi evaluasi komprehensif untuk mengesampingkan penjelasan
lain mengenai gangguan penggunaan bahasa dan untuk mengakses gangguan-
22
gangguan lain yang menyertai (Krysanski, 2003). Lebih lanjut lagi, Krysanski
(2003) mengatakan bahwa asesmen utama pada anak yang mengalami SM ini
adalah menggunakan metode observasi dan wawancara yang disusun dengan
panduan berdasarkan DSM IV-TR. Keterpenuhan diagnosa SM merupakan hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti. Observasi dilakukan oleh 2
orang (interater observer) untuk mengetahui reliabilitas data (observer
reliability), sedangkan wawancara dilakukan oleh 1 orang (Kazdin, 1982).
Penegakan diagnosis dilakukan oleh Psikolog Anak. Adapun asesmen yang
dilakukan yaitu:
1. Wawancara.
a. Orangtua
Wawancara pada orangtua sangat diperlukan untuk asesmen pada anak
SM. Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan dari orangtua
mengenai sejarah gejala yang dialami anak (Krysanski, 2003). Roberts
(2003) mengatakan wawancara dengan orangtua dalam rangka asesmen
SM hendaknya meliputi tujuh aspek :
i. Gejala, untuk mengidentifikasi tipe serangan (tersembunyi atau
mendadak), penanganan sebelumnya dan efektivitasnya, dan dimana
atau dengan siapa anak mau berbicara.
ii. Sosial, untuk melihat kemampuan memulai dan menjaga pertemanan,
tingkat dan bentuk partisipasi dalam aktivitas sosial, seberapa rasa
malu/hambatan dalam seting familiar dan asing, individu yang diajak
23
bicara anak, dan kemampuan anak untuk mengkomunikasikan
kebutuhannya.
iii. Psikiatrik, untuk memperoleh asesmen detail mengenai gejala
psikiatrik, sejarah keluarga mengenai masalah psikiatrik dan sifat
pemalu yang mendalam, dan temperamen selama periode
perkembangan.
iv. Medis, untuk memperoleh sejarah medis, termasuk penyakit dan
opname, sejarah prenatal dan perinatal, dan sejarah medis keluarga.
v. Audiologi, untuk menentukan frekuensi media otitis dan macam
gangguan pendengaran.
vi. Akademik dan kognitif, untuk mengetahui prestasi akademik anak,
termasuk peringkat kelas dan laporan guru.
vii. Bicara dan bahasa, untuk menentukan kompleksitas pembicaraan anak
di rumah; komunikasi nonverbal; sejarah keterlambatan berbicara dan
berbahasa; deskripsi dari produksi pembicaraan anak, penggunaan
bahasa, dan komprehensi; dan pengaruh lingkungan dalam
pembelajaran bahasa, seperti bilingual.
b. Guru
Wawancara dengan guru dilakukan berdasarkan kriteria diagnotik SM
berdasarkan DSM IV-TR. Selain itu, wawancara kepada guru juga
dilakukan untuk melihat kemampuan akademik anak, termasuk peringkat
kelas, laporan guru, dan tes kognisi yang terstandarisasi seperti CPM
untuk mengetahui kemampuan kognitif anak.
24
2. Observasi.
Selain wawancara, juga dilakukan observasi untuk mengetahui gejala-gejala
yang dialami anak. Target observasi adalah kemampuan interaksi sosial anak,
seperti syarat verbal dan nonverbal. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah,
apakah anak tersebut mampu untuk mengkomunikasikan kebutuhannya,
apakah ia mempunyai teman, apakah ia mampu untuk berpartisipasi dalam
aktivitas sosial, dan seberapa besar rasa malu yang ditunjukkan anak dalam
situasi familiar dibandingkan dengan seting tidak familiar. Anak juga perlu
dites dengan menggunakan audiotape untuk melihat kefasihan, pola, ritme,
nada, dan kompleksitas bahasa (Krysanski, 2003).
Subjek Fa, merupakan seorang siswa kelas TK B,usia 5 tahun. Subjek
dapat dikatakan sepenuhnya membisu di lingkungan sekolah, namun dapat
berbicara dengan sangat lancar di rumah (lamp A.3, hal 2, baris ke 5 & 8). Ia
tidak mau bicara di lingkungan sekolah, tempat-tempat ramai dan baru seperti
toko baju, rumah teman ayah atau ibunya serta ketika berada di rumah
saudara yang belum terlalu dikenalnya (lamp. A.3, hal 2, baris ke 21) dan
lebih banyak menggunakan bahasa non verbal keika berada di tempat-tempat
tersebut (lamp. A.3, hal, 2, baris ke 30).
Guru melaporkan bahwa memang tidak mau berbicara dengan teman kelas
atau guru di sekolah. Sejak pertama kali masuk sekolah, yaitu di TK Kelas A
subjek tidak mau berbicara (Lamp. A.1, hal 1, bariske 12; lamp A.2, hal 1,
baris ke 11). Sampai sekarang ia berada di kelas B, subjek hanya senyum-
senyum saja ketika melihat ada sesuatu yang lucu atau menggunakan bahasa
25
tubuh, seperti menggelengkan kepala atau menggangguk-angguk untuk
menjawab pertanyaan dari ibu guru atau temannya (lam A1.1, hal 1, baris ke
8). Lama subjek tidak mau berbicara di lingkungan sekolahnya adalah 1 tahun
1 bulan. Jika membutuhkan sesuatu, subjek juga tidak mau
mengkomunikasikan dengan ibu gurunya ia hanya diam saja menunggu
sampai ibu guru keliling mengecek satu per satu apakah semua siswa sudah
bisa mengerjakan tugasnya (lamp. A.1, hal 2, baris ke 10).
Subjek jarang terlihat bermain bersama teman-teman di lingkungan
sekolahnya, ia hanya melihat teman-temannya bermain sambil berdiri di
pojok dekat pintu ruang kelas (lamp. A.1, hal 1, baris ke 3). Subjek juga
kadang menjadi bahan ejekan teman, disorakin oleh teman-temannya karena
malu dan tidak mau maju ke depan (lamp. A.1, hal 3, baris ke 1). Namun
subjek mempunyai kemampuan akademis lebih baik dibanding rata-rata
teman sekelasnya (lamp. A.1, hal 3, baris ke 16). Daya tangkap yang dimiliki
subjek juga cukup bagus, ia cepat paham jika diterangin oleh ibu guru (lamp.
A.2, hal 3, baris ke 24).
Ibu subjek berasal dari Bogor, sedangkan ayahnya dari Klaten. Subjek
lahir dan besar di Klaten, oleh karena itu dalam kesehariannya ia
menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa (lamp.
A.3, hal 4, baris ke 30). Subjek dapat memahami kedua bahasa tersebut
dengan baik, ia menyampaikan pikiran, pendapat dan keinginannya kepada
keluarga dan tetangga yang sudah dikenalnya dengan Bahasa Jawa dan
26
berkomunikasi dengan ibunya menggunakan Bahasa Indonesia (lamp A.3,
hal 5, baris ke 2, 6, 11, 15).
Riwayat perkembangan subjek cukup baik mulai dari lahir sampai saat ini,
ia belum pernah menderita suatu penyakit serius (lamp A.3, hal ke 4, baris ke
13). Subjek dapat berjalan pada usia 1 tahun dan mulai berbicara pada usia
1,5 tahun (lamp A.3, hal 4, baris ke 15).
ALAT/ MATERI
Alat yang digunakan dalam proses penelitian adalah:
1. Lembar observasi
Lembar observasi ini digunakan sebagai alat ukur yang berisi target
perilaku yang akan diamati oleh observer selama pengambilan data
berlangsung. Penyusunan lembar observasi perilaku mengacu pada lembar
observasi Shriver, Segool dan Gortmaker (2011). Target perilaku yaitu
kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal yang dinyatakan dalam skor
frekuensi (Shriver, Segool dan Gorthmaker, 2011). Skor frekuensi artinya
rerata jumlah komunikasi verbal dan nonverbal yang diamati oleh dua
orang pengamat dan yang muncul tiap observasi yang berdurasi 60 menit.
2. Modul Pelatihan
Modul pelatihan sebagai panduan bagi pelatih untuk melaksanakan
intervensi. Penyusunan modul ini memodifikasi dari Hartono (2010) yang
digunakan untuk anak perempuan usia 5 tahun, dimana beberapa hal yang
dimodifikasi adalah jenis permainan yang berbeda, jumlah teman yang
27
ditambah, lokasi tempat pelatihan yang berbeda dan pelibatan setting
sekolah saat Kegiatan Belajar Mengajar.
3. Buku “Aku Berhasil”
Buku ini digunakan untuk menempelkan stiker setiap kali subjek
mendapatkan sticker, yaitu ketika ia menunjukkan komunikasi verbal saat
fase intervensi. Ketika subjek berhasil mengumpulkan 15 sticker, maka ia
akan mendapatkan hadiah mobil-mobilan atau motor-motoran
kesayangannya.
4. Alat Tulis.
Alat tulis digunakan untuk mencatat keseluruhan kegiatan yang dilakukan
selama pengambilan data, yaitu buku, bolpoin, dan pensil.
PENGUKURAN
Alat ukur dalam penelitian ini adalah observasi yang terangkum dalam
lembar observasi perilaku. Alat ukur ini digunakan untuk mengukur perubahan
variabel tergantung, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal yang dibagi menjadi
dua kondisi stimulus, yaitu komunikasi ketika terdapat prompts, dan komunikasi
ketika tidak ada prompts.
Komunikasi verbal dan non verbal dinyatakan dalam skor frekuensi. Skor
frekuensi artinya rerata jumlah komunikasi verbal dan non verbal yang diamati
oleh dua pengamat dan yang muncul dalam tiap observasi. Para pengamat
memberikan tanda garis miring (l) pada lembar observasi perilaku bila perilaku
yang dimaksud muncul. Selain itu, para pengamat menuliskan perilaku subjek
28
secara anecdotal record untuk mendapatkan gambaran lebih jelas perilaku subjek
selama masa observasi. Penyusunan lembar observasi perilaku mengacu pada
lembar observasi Shriver, Segool dan Gortmaker (2011) yang selanjutnya
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Variabel Indikator Contoh Perilaku
Perilaku Komunikasi
Non verbal
(NV)
Cara komunikasi yang menggunakan
bahasa tubuh untuk menyampaikan
pendapat, perasaan dan keinginannya
tanpa mengeluarkan suara.
Menunjuk dengan jari,
mengangkat bahu,
menarik baju untuk
memanggil seseorang,
menggelengkan kepala,
megganggukan kepala
Verbal (V) Cara komunikasi yang dilakukan
dengan menggunakan suara (volume
berapapun) untuk menyampaikan
pendapat, perasaan dan keinginannya.
Memanggil nama
seseorang dengan
bersuara, menjawab
pertanyaan dengan
mengeluarkan suara dan
mengajukan pertanyaan
dengan mengeluarkan
suara.
Kondisi Stimulus
Kesempatan
(Terdapat
prompt)
Komunikasi yang dilakukan oleh
guru atau teman sebaya dengan target
siswa (atau kelompok dimana siswa
termasuk salah satu tagetnya), dengan
mendorong siswa yang menjadi target
untuk melakukan komunikasi baik
komunikasi secara verbal maupun
secara non verbal.
- Permintaan guru agar
sekelompok anak
menyanyi bersama di
depan.
- Memberikan
pertanyaan kepada
siswa yang menjadi
target
Inisiasi
(tidak ada
prompts)
Siswa yang menjadi target melakukan
komunikasi, baik secara verbal
maupun verbal dengan guru atau
teman sebaya tanpa adanya dorongan
dari guru atau teman sebaya
- Bertanya tanpa disuruh
- Memanggil teman
secara spontan
Tabel 1: Definisi Operasional Kode Observasi (Shriver, Segool dan Gortmaker, 2011).
29
Pengamatan dilakukan selama 22 kali, yaitu fase baseline sebanyak 6x, fase
intervensi sebanyak 10x dan fase followup sebanyak 6x. Kazdin (1982)
mengatakan bahwa pada single case experimental design, jumlah baseline
berkontribusi terhadap kekuatan dari hasil eksperimen, dimana jumlah minimum
dari baseline adalah 2. Baseline yang banyak (misalnya 5 kali pengukuran
baseline) dan jika salah satu dari kelima pengukuran tersebut tidak berbeda, maka
pengaruh intervensi akan sangat jelas (Kazdin, 1982). Lebih lanjut lagi, Kazdin
(1982) juga mengatakan bahwa pengaruh dari pelatihan yang diberikan juga
diukur menggunakan multiple baseline design secara acak selama pelatihan
diberikan. Shriver, Segool dan Gortmaker (2011) mengatakan bahwa durasi
observasi secara khusus tergantung pada aktivitas target (misal 20 sampai 60
menit) dan multiple baseline sangat penting untuk kasus SM, maka dari itu
observasi dilakukan minimum 2 kali.
Validitas alat ukur penelitian dan modul penelitian ini diperoleh melalui
uji validitas isi (content validity) yaitu validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional atau dengan professional judgement
(Azwar, 2007). Pengertian validitas isi tidak saja menunjukkan bahwa tes tersebut
harus komprehensif isinya, akan tetapi harus pula memuat hanya isi yang relevan
dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Validitas isi tidak melibatkan
perhitungan statistik apapun, melainkan hanya analisis rasional. Uji reliabilitas
pengukuran pada penelitian ini menggunakan perhitungan SPSS for Windows.
30
PELATIH (PELAKSANA INTERVENSI)
Pelaksana intervensi dalam penelitian ini adalah seorang psikolog tumbuh
kembang anak dengan pengalaman menangani permasalahan anak. Guru, orang
tua dan teman sebaya dapat dilibatkan dalam menangani anak dengan gangguan
kecemasan, (Masia-Warner, C. Klein, R.G., Dent, H.C., Fisher, P.H., Alvir, J.,
Alabano, A.M., & Guardino, M., 2005). Dalam penelitian ini, pertama-tama yang
dilibatkan adalah orang tua atau saudara kandung, setelah klien mulai merasa
nyaman maka akan ditambah teman sekelas klien, kemudian dihadirkan guru
kelas agar klien mulai terbiasa untuk berinteraksi dan berbicara dengan guru
kelas. Setelah klien mulai nyaman, proses terapi dilanjutkan ke kelas besar agar
klien terbiasa untuk berinteraksi dan berbicara di kelas. Sebelum proses observasi
dilakukan, peneliti memberikan penjelasan dan metode alat ukur yang digunakan.
Adapun kriteria seorang pelatih adalah :
1. Memahami perkembangan anak
2. Terampil dalam membina hubungan yang baik dengan anak
3. Mampu berbicara dan mengerti bahasa anak
4. Mempunyai sifat sabar dan tidak mudah putus asa
5. Diutamakan telah mengenal baik subjek dan begitu juga sebaliknya,
bahkan lebih baik kalau disukai subjek
Adapun tugas seorang pelatih adalah:
1. Memandu seluruh proses pelatihan
2. Memperhatikan perilaku subjek selama proses pelatihan dan memberikan
tanggapan yang sesuai terhadap reaksi yang muncul
31
3. Mencatat kejadian-kejadian penting yang muncul selama proses pelatihan
dan mencatat hasil pelatihan sesuai dengan panduan yang diberikan.
PESERTA PELATIHAN
Subjek penelitian adalah seorang anak yang didiagnosa menderita SM
berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan. Selama proses pelatihan, subjek
didampingi guru atau beberapa teman sebaya atau teman sekelas. Tugas teman
sebaya adalah mendampingi subjek selama proses pelatihan dan mendorong
subjek untuk memunculkan perilaku yang diharapkan, yaitu komunikasi verbal.
Moldan (2005) mengatakan kehadiran teman sebaya secara gradual sangat penting
dalam intervensi anak SM, hal ini dikarenakan dapat meningkatkan keperayaan
diri yang dimiliki oleh anak SM. Kriteria teman sebaya yaitu:
1. Tidak menderita SM atau tidak termasuk anak pemalu
2. Supel, aktif dan mempunyai ketrampilan sosial yang baik
3. Mengenai baik subjek, begitu juga sebaliknya. Bahkan lebih baik kalau
disukai subjek
4. Bersedia terlibat penuh selama pelatihan berlangsung.
INTERVENSI
Pelatihan “Kita Semua Sahabat” merupakan pelatihan yang menggunakan
teknik behavioral berupa stimulus fading dan contigency management. Efektivitas
teknik stimulus fading dan contigency management ini telah dibuktikan dalam
beberapa penelitian dan hasilnya mampu meningkatkan verbalisasi pada anak SM
32
(Moldan, 2005; Beare 2008; Vecchio, 2008; Conrad dkk dalam Hardley, 1994
Lipton dalam Barnett dkk, 2002 dan Hartono, 2010).
Teknik stimulus fading pada intervensi ini diawali di situasi-situasi dimana
anak dapat berkomunikasi verbal dengan baik, misalnya jika anak merasa nyaman
di dalam rumah, namun belum pernah berbicara di sekolah, sebuah rencana
mungkin melibatkan teman sekelas untuk datang ke rumah untuk bermain dengan
anak. Sekali anak tersebut dapat berbicara nyaman dengan teman sekelasnya,
mereka dapat pergi ke taman atau situasi bermain lain yang memungkinkan untuk
bermain bersama, atau dapat juga di halaman sekolah ketika siswa lain atau guru
tidak berada dalam area. Kehadiran teman sebaya secara gradual sangat peting
bagi anak SM untuk membantu meningkatkan kepercayaan dirinya. Secara
berangsur-angsur, sesi ini dapat dilakukan ketika akan mulai sekolah atau ketika
jam sekolah sudah pulang. Jika anak sudah nyaman untuk berbicara dengan teman
specialnya, teman lain dapat ditambahkan dalam kelompok ini. Guru dan personel
sekolah lainnya juga ditambahkan secara berangsur-angsur dalam kelompok ini.
Proses ini secara berangsur-angsur disamarkan dengan penambahan jumlah orang
setelah anak mulai nyaman berbicara dengan anak-anak dalam kelompok tersebut.
Orangtua juga dapat dilibatkan untuk membangun kepercayaan anak, namun
dapat dihilangkan secara perlahan ketika anak sudah merasa nyaman dengan
kelompoknya (Moldan, 2005).
Teknik contingency management pada penelitian ini terlihat dari
pemberian hadiah berupa coklat koin atau snack pada setiap verbalisasi yang
dilakukan klien selama pelatihan. Peneliti menggunakan rate of responding a
33
fixed-ratio, dimana subjek akan mendapatkan hadiah setiap ia mau berkomunikasi
secara verbal sebanyak 15 kali selama masa intervensi. Teknik ini dipilih, karena
model ini dianggap paling banyak menghasilkan respon yang diinginkan dan
membutuhkan waktu yang sedikit (Schunk, 2012). Subjek juga akan diberikan
penjelasan mengenai pola pemberian hadiah, bahwa ia akan mendapatkan hadiah
jika ia mau berkomunikasi secara verbal di sekolah sebanyak 15 kali.
Modul pelatihan dalam penelitian ini memodifikasi dari penelitian-
penelitian SM sebelumnya, yaitu Lipton (dalam Barnett dkk, 2002), Conrad
(dalam Hardley, 1994) dan Hartono (2010) yang berhasil meningkatkan
verbalisasi anak SM melalui 10 sesi terapi selama 4 minggu. Dari penelitian
Hartono (2010), peneliti mengadakan modifikasi/ perubahan dalam beberapa hal,
yaitu subjek penelitian adalah anak usia dini berumur 5 tahun dengan jenis
kelamin laki-laki dan berada dalam kategori SM moderate severe, lokasi
penelitian yang lebih bervariasi dengan melibatkan setting kelas alami, teman
sekolah yang dilibatkan lebih banyak, jenis permainan yang berbeda, melibatkan
KBM alami pada 2 sesi akhir dan pengukuran yang berbeda. Peneliti kemudian
memberi nama Pelatihan ini dengan judul “Kita Semua Sahabat”.
Pelatihan “Kita Semua Sahabat” terbagi dalam 3 fase: baseline pertama/
awal dilakukan selama 6 kali pengamatan, pelatihan diadakan selama 10 kali
pertemuan, dan dilanjutkan dengan baseline kedua/ akhir selama 6 kali
pengamatan. Pelatihan dilaksanakan di rumah subjek, rumah teman, tempat wisata
dan sekolah subjek. Waktu pelatihan diasakan pada sore hari setelah jam sekolah
berakhir.