Upload
taki-taki
View
679
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGANTAR KAJIAN HUMAN SECURITY
Oleh : Erwin Ruhiyat
1. Pendahuluan
Dengan berakhirnya Perang Dingin, konsep keamanan/security semakin
menjadi perhatian para sarjana dan praktisi. Dalam formulasi klasik, keamanan
adalah mengenai bagaimana negara menggunakan kekuatan/power untuk
mengelola ancaman/threaths terhadap integritas teritorial, otonomi, dan
ketertiban politik dalam negeri mereka, terutama dari negara-negara lain.
Formulasi keamanan klasik ini telah banyak menuai kritik. Bagi sebagian orang,
formulasi klasik terlalu unilateralis dalam penekanannya pada kekuatan di dunia
dimana ada senjata pemusnah massal dan saling ketergantungan yang merajut
bangsa bersama-sama. Sebuah gagasan unilateralis mengenai keamanan harus
memberi jalan, dalam hal ini cooperative security.
Bagi yang lain, formulasi klasik keliru dalam membatasi lingkup keamanan
pada ancaman militer dari negara-negara lain. Dalam pandangan ini, negara-
negara bersaingan mungkin menyebarkan beragam jenis ancaman terhadap
integritas teritorial dan politik dalam negeri saingan. Ancaman Ini termasuk
ancaman lingkungan, ekonomi, dan budaya. Sebagai tambahan, ancaman
terhadap integritas teritorial dan tatanan politik harus diperhitungkan bukan
hanya dari negara lain, tetapi juga dari berbagai aktor non-negara dan bahkan
bencana alam. Ini merupakan gagasan keamanan yang diperluas, perluasan
instrumen dan sumber ancaman ini dapat disebut sebagai comprehensive
security.
Kritik lainnya dan lebih mendasar dari keamanan bahkan melangkah lebih
jauh, menyarankan bahwa keamanan tidak dapat dibatasi pada
kesejahteraan/well-being negara. Dari perspektif ini, tersirat dalam perumusan
keamanan klasik adalah perlindungan/protection dan kesejahteraan negara,
2
sedangkan apa yang seharusnya menjadi pusat perhatian adalah perlindungan
dan kesejahteraan dari warga negara secara individu/human being. Suatu
konsep keamanan yang berpusat pada kesucian individu disebut sebagai Human
Security. Tulisan ini menelusuri asal-usul pemikiran human security dan
menguraikan dua kerangka kerja penting mengenai subjek human security - oleh
UNDP dan Pemerintah Kanada juga human security pasca 9/11.
2. Konsep Human Security
Apakah human security itu? Konsep human security didasarkan pada
premis dimana individual human being merupakan satu-satunya fokus
mengagumkan untuk diskursus mengenai keamanan. Klaim dari referents
lainnya (grup, komunitas, negara, kawasan, dan dunia) diturunkan dari
kedaulatan/sovereignity manusia secara individu dan hak individu terhadap
martabat/dignity dalam kehidupannya. Dalam tataran etika, keamanan
(human security) mengklaim referents lain, termasuk negara, menarik nilai
apapun yang mereka (negara) miliki dari klaim yang mereka tujukan kebutuhan
dan aspirasi dari individu yang membuatnya.
Silsilah konsep/ide ini dapat dihubungkan dengan tumbuhnya
ketidakpuasan terhadap gagasan-gagasan pembangunan dan keamanan yang
berlaku di tahun 1960-an, 1970-an, dan 1980-an. Ahli-ahli Ekonomi tanpa
diragukan lagi menuntun dengan kritik mereka mengenai model dominan
pembangunan ekonomi pada awal tahun 1960-an. Pada pertengahan 1970-an,
dalam International Relations, rumah bagi studi keamanan/security studies,
World Order Models Project (WOMP) meluncurkan upaya ambisius untuk
menggagas dan membangun tatanan dunia yang lebih stabil dan adil, dan
sebagai bagian dari usaha ini perhatian diarahkan terhadap masalah
kesejahteraan individu/individual well-being dan keselamatan/safety. Mungkin
pelopor yang paling penting mengenai gagasan human security, berupa laporan
3
dari serangkaian komisi independen multinasional terdiri dari tokoh pemimpin,
intelektual, dan akademisi.
Dimulai pada 1970-an, kelompok ‘Club of Rome’ menghasilkan
serangkaian volume tulisan mengenai ‘problematika dunia/world problematique’
yang didasarkan pada gagasan bahwa ‘ada suatu masalah kompleks yang
mengganggu umat dari segala bangsa yaitu kemiskinan; degradasi lingkungan;
hilangnya kepercayaan pada institusi; penyebaran penduduk di wilayah
perkotaan yang tidak terkendali; tidak adanya jaminan pekerjaan; alienasi
pemuda; penolakan nilai-nilai tradisional; dan inflasi dan gangguan moneter dan
ekonomi lainnya’. Laporan tersebut mencatat bahwa ‘Setiap orang di dunia
menghadapi serangkaian tekanan dan masalah yang memerlukan perhatian dan
penindakan. Masalah-masalah ini mempengaruhi mereka di berbagai tingkatan.
Dia mungkin menghabiskan banyak waktu berusaha untuk menemukan
makanan untuk esok; dia mungkin khawatir tentang kekuasaan pribadi atau
kekuatan bangsa di mana dia tinggal. Dia mungkin khawatir tentang perang
dunia; atau perang berikutnya terjadi minggu depan dengan klan saingan di
lingkungannya’. keprihatinan Ini dan lainnya harus dipahami dalam konteks tren
global dan kekuatan yang melanggar individu, khususnya ‘industrialisasi yang
cepat, pertumbuhan penduduk yang cepat, malnutrisi yang meluas, penipisan
sumber daya tak terbarukan, dan memburuknya kualitas lingkungan’. Hubungan
antara variabel planetari makro tersebut menyarankan bahwa ada batas-batas
pertumbuhan ekonomi global dan karena itu masa depan yang sulit mungkin
menghadang masyarakat dunia. Namun, ‘keadaan kesetimbangan global/global
equlibrium bisa dirancang sehingga kebutuhan dasar dari setiap orang dapat
terpuaskan, dan masing-masing orang memiliki kesempatan yang sama untuk
menyadari potensi individu manusianya/individual human potential’. Singkatnya,
Kelompok tersebut mengusulkan bahwa ada sebuah sistem global yang
kompleks mempengaruhi peluang kehidupan individu dan ada cara-cara
4
alternatif konseptualisasi pembangunan global dan, pada akhirnya, keamanan
global untuk mempertahankan dan meningkatkan peluang hidup tersebut.
Pada tahun 1980-an, dua komisi independen lain memberikan kontribusi
terhadap perubahan pemikiran tentang pembangunan dan keamanan. Yang
pertama adalah Independent Commission on International Development Issues
diketuai oleh Willy Brandt pada tahun 1980, mengeluarkan laporan ‘North-South
report’. Dalam pengantar untuk laporan tersebut, Brandt menulis: ‘Laporan kami
adalah didasarkan pada apa yang tampaknya menjadi kepentingan bersama yang
sederhana: umat manusia ingin bertahan hidup, dan bahkan bisa menambahkan
memiliki kewajiban moral untuk bertahan hidup. Hal ini tidak hanya
menimbulkan pertanyaan tradisional mengenai perdamaian dan perang, tetapi
juga mengenai bagaimana mengatasi kelaparan di dunia, kesengsaraan masal
dan kesenjangan antara kondisi kehidupan kaya dan miskin’. Dalam perdebatan
untuk perlunya keterlibatan Utara-Selatan untuk pembangunan, laporan
tersebut mencatat bahwa inti permasalahan adalah ‘kemauan untuk mengatasi
ketegangan berbahaya dan menghasilkan keputusan signifikan dan berguna
untuk negara dan kawasan - namun, yang pertama dan paling penting adalah
bagi manusia - di semua belahan dunia ini’. Komisi kedua pada tahun 1980-an,
adalah Independent Commission on Disarmament and Security Issues yang
diketuai oleh Olof Palme, menulis laporan yang terkenal yaitu ‘Common Security’
yang juga menarik perhatian pada cara-cara berfikir alternatif tentang
perdamaian dan keamanan/peace and security. Laporan tersebut juga mencatat
bahwa ‘common security mengharuskan orang hidup bermartabat dan damai,
bahwa mereka memiliki cukup makanan dan mampu mendapatkan pekerjaan
dan hidup di dunia tanpa kemiskinan dan kemelaratan’. Dengan berakhirnya
Perang Dingin, panggilan untuk pemikiran baru dalam masalah keamanan
tumbuh dengan cepat.
5
Pada tahun 1991, Stockholm Initiative on Global Security and Governance
mengeluarkan seruan ‘Common Responsibility in The 1990s’ yang disebut
sebagai ‘tantangan terhadap keamanan selain persaingan politik dan
persenjataan’ dan bagi ‘konsep yang lebih luas dari keamanan, yang juga
membahas ancaman yang berasal dari kegagalan dalam pembangunan,
degradasi lingkungan, pertumbuhan dan pergerakan penduduk yang berlebihan,
dan kurangnya kemajuan menuju demokrasi’. Empat tahun kemudian, The
Commission on Global Governance mengeluarkan laporan ‘Our Global
Neigborhood’, menggemakan wacana keamanan dari Stockholm Initiative yaitu
‘konsep keamanan global harus diperluas dari fokus tradisional keamanan
negara/state security untuk menyertakan keamanan masyarakat/security of
people dan keamanan planet/security of the planet’.
Jika laporan komisi-komisi tersebut adalah prekursor untuk pemikiran
mengenai human security, maka di awal tahun 1990-an perspektif human
security secara eksplisit diartikulasikan dengan beberapa rigor. Kontribusi
pertama adalah dari Mahbub ul Haq dan United Nations Development Program
(UNDP). Haq, adalah seorang ahli ekonomi pembangunan yang dihormati dan
merupakan konsultan UNDP, beliau adalah tokoh sentral dalam peluncuran
Human Development Index (HDI). Upaya pembangunan manusia/human
development secara eksplisit menempatkan di pusat perumusannya, gagasan
bahwa perkembangan pemikiran dan kebijakan harus mengambil fokus
kesejahteraan individu, bukan hanya ekonomi makro. Intervensi penting kedua
mengenai human security adalah dari pemerintah Kanada dan berbagai
akademisi Kanada yang memimpin middle powers initiative.
Untuk memahami kedua ‘pendekatan’ ini dan untuk memperjelas
perbedaan antara human security dan konsepsi tradisional mengenai keamanan
nasional/national security, maka perlu merujuk beberapa istilah umum sebagai
referensi dalam tulisan ini kita akan merujuk kepada analis politik David Baldwin.
Baldwin mengambil sebagai titik awal yaitu diskusi mengenai kemanan dari
6
Arnold Wolfers yaitu ‘tidak adanya ancaman terhadap nilai-nilai yang
diperoleh/the absence of threats to acquired values’ dan memodifikasinya untuk
dibaca sebagai ‘probabilitas rendah dari kerusakan pada nilai-nilai yang
diperoleh/a low probability of damage to acquired values’. Baldwin, berpendapat
bahwa untuk mengevaluasi perdebatan mengenai konsepsi keamanan/security,
sangat penting untuk mendefinisikan istilah lebih tepat. Hal ini memerlukan,
setidaknya, dua hal : kesepakatan mengenai arti mendasar dari
keamanan/security; dan spesifikasi yang lebih besar dari istilah, dengan mengacu
pada serangkaian pertanyaan: keamanan untuk siapa/security for whom,
keamanan untuk nilai-nilai apa/security for which values, berapa banyak
keamanan/how much security, keamanan dari ancaman apa/security from
what threats, dan keamanan dengan cara apa/security by what means?.
Dengan menanyakan keempat pertanyaan ini kita akan mulai pencarian untuk
kejelasan konseptual dari human security.
2.1. Mahbub ul Haq dan Human Security
Ide mengenai human security umumnya berpikir untuk kembali ke
Laporan UNDP tahun 1994. Terkait dengan ide dari awal adalah ahli ekonomi dan
konsultan UNDP, Mahbub ul Haq yang sebelumnya memainkan peran kunci
dalam pembangunan Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index
(HDI) dan merupakan tokoh yang bergerak di belakang pembentukan Human
Governance Index (HGI). Pendekatan Haq diuraikan dalam makalahnya, ‘New
Imperatives of Human Security’ (1994).
Haq menjawab pertanyaan ‘keamanan untuk siapa/security for whom?’
dengan cukup sederhana. Human security bukan tentang negara dan bangsa,
tetapi tentang individu dan orang-orang. Dengan demikian, ia berpendapat
bahwa dunia ‘memasuki era baru human security’ di mana ‘seluruh konsep
keamanan/security akan berubah - dan berubah secara dramatis’. Dalam
konsepsi baru ini, keamanan/security akan disamakan dengan ‘keamanan
7
individu/security of individuals, bukan hanya keamanan negara mereka’ atau,
dengan kata lain, ‘human security, bukan hanya keamanan wilayah/teritorial’.
Lebih normatif, dia menulis, ‘Kita perlu untuk menghargai konsep baru human
security yang tercermin dalam kehidupan rakyat kita, bukan di senjata negara
kita’.
Dalam Penciptaan konsep baru ini, nilai-nilai/values apa yang berusaha
untuk dilindungi? Haq tidak secara eksplisit tentang masalah ini, tapi jelas
keamanan individu/individual safety dan kesejahteraan/well-being dalam arti
luas merupakan nilai utama. Sedangkan konsepsi tradisional mengenai
keamanan menekankan integritas teritorial dan kemerdekaan nasional sebagai
nilai-nilai utama yang perlu dilindungi, human security menempatkan di atas
semuanya keselamatan dan kesejahteraan dari ‘semua orang dimanapun-di
rumah mereka, dalam pekerjaan mereka, di jalan-jalan umum, dalam komunitas
mereka, di lingkungan mereka’.
Apa saja ancaman utama terhadap nilai-nilai ini? Haq menulis esai singkat
yang mengilustrasi sederet ancaman: obat, penyakit, terorisme, dan kemiskinan.
Kemudian dijelaskan juga dalam esai tersebut diskusi tentang apa yang harus
dilakukan untuk memajukan human security, jelas bahwa, setidaknya secara
tersirat, bahwa ada ancaman yang jauh lebih mendasar yaitu, tatanan dunia yang
tidak adil dimana beberapa negara dan elit mendominasi, merugikan
kemanusiaan secara luas. Tatanan dunia ini diwujudkan dalam konsepsi yang
berlaku dan praktek pembangunan, ketergantungan pada persenjataan untuk
keamanan, kesenjangan antara Utara dan Selatan secara global, dan
meningkatnya marjinalisasi institusi global (misalnya PBB dan Bretton Woods
arrangements).
Lalu apa yang harus dilakukan? Bagaimana human security dicapai? Ini
adalah sebagian besar dari kontribusi Haq, dan itu adalah sebuah program yang
radikal. Pada dasarnya, human security akan dicapai melalui ‘pembangunan,
bukan melalui senjata’. Secara khusus, lima langkah yang agak radikal
8
diperlukan untuk memberi nyawa kepada konsepsi baru mengenai keamanan:
konsepsi pembangunan manusia/human development dengan penekanan pada
pemerataan, keberlanjutan, dan partisipasi akar rumput, dividen perdamaian
untuk menanggung agenda yang lebih luas dari human security; kemitraan baru
antara Utara dan Selatan berdasarkan ‘keadilan, bukan amal’ yang menekankan
pada ‘akses yang adil terhadap peluang pasar global’ dan restrukturisasi
ekonomi; sebuah kerangka baru pemerintahan global dibangun di atas reformasi
lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB; dan akhirnya, peran
yang terus meningkat bagi ‘global civil society’.
Haq menguraikan daftar panjang yang benar-benar merupakan far
reaching proposals untuk human security secara global. Ini termasuk:
Secara Pembangunan : keberlanjutan; kesetaraan peluang (distribusi yang
lebih baik dari aset produktif, termasuk tanah dan kredit, akses terbuka
untuk peluang pasar; penciptaan lapangan kerja, jaring pengaman sosial),
dan keadilan global melalui ‘restrukturisasi besar’ dari pendapatan dunia,
konsumsi, dan pola gaya hidup.
Secara militer: mengurangi pembelanjaan senjata, menutup semua
pangkalan militer; mengkonversi bantuan militer menjadi bantuan
ekonomi, menghentikan transfer senjata, menghilangkan subsidi ekspor
senjata, pelatihan ulang pekerja di industri pertahanan.
Restrukturisasi utara-Selatan : pemerataan akses ke pasar global untuk
negara-negara miskin yang dibangun berdasarkan penghapusan
hambatan-hambatan perdagangan (terutama dalam industri tekstil dan
pertanian); kompensasi finansial dari negara-negara kaya dengan imbalan
kontrol imigrasi dan pemanfaatan secara berlebihan sumber daya
lingkungan global, dan mekanisme pembayaran global untuk berbagai
layanan yang diberikan/service rendered (misalnya jasa lingkungan,
pengendalian narkotika dan penyakit), untuk ‘kerusakan’ dalam kasus-
kasus cedera ekonomi/economic injury, dan perilaku ekonomi yang buruk
9
(Misalnya mendorong brain drain, membatasi migrasi tenaga kerja
rendah keterampilan, pembatasan ekspor).
Secara kelembagaan: resusitasi dan restrukturisasi IMF, Bank Dunia, dan
PBB untuk lebih fokus pada pembangunan manusia, penyesuaian
ekonomi/economic adjustments yang menargetkan orang kaya daripada
orang miskin, pola pemerintahan baru di mana-mana yang
memberdayakan kaum miskin; lembaga baru seperti bank sentral dunia,
suatu sistem perpajakan global, organisasi perdagangan dunia, dana
investasi internasional, treasury dunia/world treasury, dan di atas semua,
Dewan Keamanan Ekonomi di PBB yang representatif dan veto-less akan
menjadi ‘forum pengambilan keputusan tertinggi’ untuk menangani
‘semua masalah yang dihadapi umat manusia’ termasuk keamanan
pangan/food security dan keamanan lingkungan/environment security,
kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan, migrasi dan
perdagangan narkoba.
Evolusi dari masyarakat sipil global/global civil society: semua hal di atas
akan membutuhkan partisipasi akar rumput dan perubahan dari
pemerintahan otoriter ke demokrasi.
2.2. UNDP dan Human Security
Diterbitkan pada tahun yang sama seperti monografi Haq adalah Laporan
Pembangunan Manusia/Human Development Report UNDP tahun 1994 yang
menyertakan bagian tentang human security, yaitu ‘Redefining Security: The
Human Dimension’ (selanjutnya disebut ‘Laporan’), dimaksudkan untuk
menawarkan alternatif menyeluruh terhadap keamanan tradisional/traditional
security dan suplemen yang diperlukan untuk pembangunan manusia.
Bagaimana cara laporan tersebut menjawab empat pertanyaan-pertanyaan
sentral mengenai keamanan? Laporan ini menjawab pertanyaan tentang
‘keamanan untuk siapa/security for whom’ dengan mengacu kepada pengertian
10
keamanan tradisional. keamanan tradisional prihatin dengan ‘Keamanan wilayah
dari agresi eksternal, atau sebagai perlindungan kepentingan nasional di
kebijakan luar negeri, atau sebagai keamanan global dari ancaman bencana
nuklir. Konsepsi keamanan tradisional lebih terkait dengan bangsa-negara
daripada orang’. Apa yang terabaikan oleh konsepsi ini adalah ‘keprihatinan dari
orang-orang biasa yang mencari keamanan dalam kehidupan sehari-hari
mereka’. Human security, di sisi lain ‘berpusat pada orang/individu’. Dengan
demikian, Laporan tersebut menegaskan, seperti yang dilakukan Haq, bahwa
objek referen human security adalah individu atau orang. Untuk mendukung
konsepsi human security, Laporan tersebut mengutip dokumen pendirian PBB
dan deliniasi asli keamanan sebagai ‘kebebasan dari rasa takut/freedom from
fear" seperti juga "kebebasan mendapatkan keinginan/freedom from want’
dan ‘kesetaraan antara teritori wilayah dan orang-orang’ bahwa pembedaan
itu tersirat. Sayangnya, selama Perang Dingin, pemikiran mengenai keamanan
telah terlalu diarahkan terhadap perlindungan wilayah, setelah Perang Dingin,
Laporan mengusulkan, sekarang saatnya untuk memperbaiki keseimbangan dan
menyertakan perlindungan orang/individu.
Laporan tersebut membagi nilai-nilai keamanan dalam dua bagian.
Pertama-tama, membuat sejumlah pernyataan yang agak umum tentang nilai-
nilai yang menekankan keselamatan, kesejahteraan, dan martabat individu
manusia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mengingat Haq, Laporan tersebut
mencatat bahwa konsepsi keamanan tradisional, berfokus pada integritas
wilayah, kemajuan kepentingan nasional, dan pencegahan nuklir, jelas
mengabaikan bahaya yang lebih nyata yang dihadapi di setiap kesempatan oleh
pria dan wanita biasa: ‘bagi banyak orang perlindungan keamanan dilambangkan
sebagai perlindungan dari ancaman pengangguran, penyakit, kelaparan,
kejahatan, konflik sosial, represi politik, dan bahaya lingkungan’. Human security
adalah ‘anak yang tidak mati, penyakit yang tidak menyebar, pekerjaan yang
tidak dipecat, ketegangan etnis yang tidak meledak menjadi kekerasan, seorang
11
pembangkang yang tidak dibungkam. Human security tidak perhatian dengan
senjata – perhatiannya adalah kehidupan manusia dan harga diri, berapa besar
akses yang mereka dapat terhadap pasar dan kesempatan sosial-dan apakah
mereka hidup dalam konflik atau dalam damai’. Human security juga meliputi
pilihan pribadi dan jaminan tentang masa depan dan efikasi personal dan
peluang. Dengan demikian, dalam menarik perhatian pada perbedaan antara
human security dan human development, Laporan ini berpendapat bahwa
human development adalah ‘Konsep yang lebih luas’ dan mengacu pada ‘proses
memperluas berbagai pilihan masyarakat’ sementara human security
menyiratkan bahwa ‘orang-orang dapat melaksanakan berbagai pilihan tersebut
dengan aman dan bebas – dan bahwa mereka dapat relatif yakin bahwa peluang
yang mereka miliki hari ini tidak akan hilang esok’. Seiring dengan pilihan dan
kepastian tentang masa depan, orang harus lebih giat dan cukup berdaya untuk
‘mampu mengurus diri sendiri: semua orang harus memiliki kesempatan untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang paling penting/mendasar dan untuk
mendapatkan perikehidupan mereka sendiri/own living’.
Di luar generalisasi ini, Laporan tersebut mendaftar tujuh ‘komponen’
atau tujuh nilai-nilai spesifik dari human security : keamanan ekonomi/economic
security, keamanan pangan/food security, keamanan kesehatan/health
security, keamanan lingkungan/environmental security, keamanan
pribadi/personal security, keamanan komunitas/community security, dan
politik keamanan/political security. Keamanan ekonomi mengacu pada
kenikmatan individu atas pendapatan dasar/basic income, baik melalui pekerjaan
yang menguntungkan atau dari jaring pengaman sosial. Keamanan pangan
mengacu pada akses individu terhadap makanan melalui aset, pekerjaan, atau
penghasilan yang dimilikinya. Keamanan Kesehatan mengacu pada kebebasan
individu dari berbagai penyakit dan melemahkan penyakit dan akses nya kepada
perawatan kesehatan. Keamanan lingkungan mengacu pada integritas tanah,
udara, dan air, yang membuat manusia betah untuk tinggal/habitable. Keamanan
12
pribadi mengacu pada kebebasan individu dari kejahatan dan kekerasan,
khususnya perempuan dan anak-anak. Keamanan komunitas mengacu pada
martabat budaya dan perdamaian antar-komunitas di mana individu hidup dan
tumbuh. Akhirnya, keamanan politik mengacu pada perlindungan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia.
Apa saja ancaman terhadap nilai-nilai human security? Laporan ini
membedakannya menjadi dua set ancaman. Pertama, ancaman yang lebih
terlokalisasi. Ini adalah ancaman yang khusus untuk masyarakat atau daerah
yang berbeda di dunia dan tampaknya berbeda-beda berdasarkan tingkat
perkembangan ekonomi dan lokasi geografis. Kedua, ancaman bersifat global
karena ‘ancaman dalam negara dengan cepat meluas diluar batas-batas
nasional’.
Menurut Laporan tersebut, ancaman yang lebih lokal dapat dipahami
dalam kaitannya dengan tujuh nilai dari keamanan manusia. Berikut adalah
ringkasannya:
Ancaman terhadap keamanan ekonomi: kurangnya lapangan kerja
produktif dan menguntungkan, kerja apa adanya, tidak adanya jaring
pengaman sosial yang dibiayai publik.
Ancaman terhadap ketahanan pangan: kurangnya hak makanan/food
entitlements termasuk kurang akses yang cukup terhadap aset,
pekerjaan, dan pendapatan yang terjamin.
Ancaman terhadap keamanan kesehatan: penyakit infeksi dan parasit,
penyakit pada sistem peredaran darah dan kanker, kurangnya air bersih,
polusi udara, kurangnya akses ke fasilitas perawatan kesehatan.
Ancaman terhadap keamanan lingkungan: penurunan ketersediaan air,
polusi air, menurunnya lahan garapan, deforestasi, desertifikasi, polusi
udara, bencana alam.
13
Ancaman terhadap keamanan pribadi: kejahatan dengan kekerasan,
perdagangan narkoba, kekerasan dan penyalahgunaan anak-anak dan
perempuan.
Ancaman terhadap keamanan masyarakat: perceraian, runtuhnya bahasa
dan budaya tradisional, diskriminasi etnis dan perselisihan, genosida dan
pembersihan etnis.
Ancaman terhadap keamanan politik: represi pemerintah, pelanggaran
hak asasi manusia secara sistematis, militerisasi.
Selain ancaman yang lebih lokal yang tercantum di atas, Laporan tersebut
mengutip sejumlah ancaman yang lebih global atau transnasional yang
menyebar atau efeknya melampaui batas-batas nasional. Ini dikelompokkan
menjadi enam area:
Pertumbuhan penduduk yang meningkatkan tekanan pada sumber daya
tak terbarukan dan terkait erat dengan kemiskinan global, degradasi
lingkungan, dan migrasi internasional.
Disparitas dalam pendapatan global menyebabkan konsumsi berlebihan
dan kelebihan produksi di negara-negara industri dan kemiskinan dan
degradasi lingkungan di negara-negara berkembang.
Peningkatan migrasi internasional sebagai fungsi dari pertumbuhan
penduduk, kemiskinan, dan kebijakan-kebijakan negara-negara industri
telah memberikan kontribusi terhadap aliran migran internasional seperti
juga peningkatan pengungsi dan pengungsi internal/IDPs.
Berbagai bentuk kerusakan lingkungan (yang antara lain menyebabkan
hujan asam, kanker kulit, dan pemanasan global) serta berkurangnya
keanekaragaman hayati, dan penghancuran lahan basah, terumbu
karang, dan hutan temperate serta hutan hujan tropis.
Perdagangan obat, yang telah berkembang menjadi industri multinasional
global.
14
Terorisme internasional yang telah menyebar dari Amerika Latin pada
tahun 1960 menjadi fenomena global.
Mengingat banyaknya nilai-nilai yang harus dilindungi dan ancaman yang
harus diperangi, apa sebenarnya yang perlu dilakukan? Bagaimana seharusnya
masyarakat dunia merespon? ancaman keamanan tradisional dapat ditangani
oleh senjata nuklir dan konvensional, aliansi dan keseimbangaan
kekuatan/balance of power, serta kekuatan besar dan intervensi PBB. Agenda
keamanan baru menuntut sarana-sarana yang lebih luas dan kerjasama lebih
besar antara berbagai aktor - dan tentu ada tempat kecil untuk penggunaan
kekuatan. Antara lain, Laporan tersebut merekomendasikan dukungan dari
konsep human security itu sendiri, perubahan kebijakan nasional dan
internasional berfokus pada kebutuhan dasar, ketenagakerjaan produktif dan
menguntungkan dan hak asasi manusia, diplomasi preventif dan ‘pencegahan’
pembangunan, dan reformasi lembaga-lembaga global.
2.3. Pendekatan Kanada dan Negara-Negara Kekuatan Tengah/Middle
Power Terhadap Human Security
Pendekatan kekuatan tengah terhadap human security yang dipimpin
Kanada tumpang tindih dengan pendekatan UNDP tetapi selama bertahun-tahun
telah membedakan dirinya dari pendekatan UNDP. Menguraikan dasar-dasar
Pendekatan Ottawa atas dasar empat pertanyaan mengenai human security
mengungkapkan bahwa dua pendekatan ini cukup berbeda dalam beberapa hal.
Kanada telah membuat dua pernyataan utama mengenai Posisi mereka (1997,
1999) dan bersama dengan Norwegia menyelenggarakan konferensi kekuatan
menengah di Lysoen, Norwegia (1999) yang sebagian besar hasilnya menegaskan
sudut pandang/viewpoint mereka terhadap human security.
Bagi Kanada, seperti UNDP, human security menyiratkan keamanan untuk
individu. Pandangan keamanan yang berpusat pada individu/people-centered,
Menteri Luar Negeri Kanada, Lloyd Axworthy berpendapat pada makalahnya
15
tahun 1997, ‘termasuk keamanan terhadap privasi ekonomi, kualitas yang dapat
diterima dari hidup, dan jaminan hak asasi manusia’. Dua tahun kemudian, pada
tahun 1999, ia mencatat bahwa ‘keamanan individu - yaitu, human security -
telah menjadi ukuran baru keamanan global’. Paper yang terakhir itu kemudian
mengakui bahwa ‘Keamanan antar negara tetap menjadi kondisi yang diperlukan
untuk keamanan rakyat’ tetapi berargumen bahwa sejak Perang Dingin semakin
jelas bahwa ‘keamanan nasional tidak cukup untuk menjamin keamanan rakyat’.
Dibalik ‘keamanan untuk siapa/security for whom’ adalah masalah ‘keamanan
atas nilai-nilai apa/security of what values’. Sebagaimana dicatat di atas, nilai-
nilai human security termasuk ‘kualitas yang dapat diterima dari hidup’, dan
‘jaminan dasar hak asasi manusia’. Minimal, itu berarti ‘kebutuhan dasar,
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, hak asasi manusia dan kebebasan
dasar, aturan hukum, tata pemerintahan yang baik, pembangunan berkelanjutan
dan keadilan sosial’. Deklarasi Lysoen berpendapat bahwa nilai-nilai
fundamental dari human security adalah kebebasan dari rasa takut/freedom
from fear, bebas mendapat yang diinginkan/freedom from want, dan
kesempatan yang sama/equal opportunities. Nilai inti dari konsep human security
adalah kebebasan dari ‘ancaman luas terhadap hak-hak rakyat, keselamatan
mereka atau kehidupan mereka’, adalah bahwa, apa yang deklarasi tersebut
nyatakan sebagai kebebasan dari rasa takut/freedom from fear.
Apa saja ancaman terhadap nilai-nilai kunci tersebut? Paper Kanada
kurang lengkap dan kurang sistematis dari laporan UNDP, tapi tetap menyajikan
daftar ancaman yang cukup mengesankan. Paper tahun 1997 mengutip antara
lain : kesenjangan pendapatan antara negara kaya dan miskin, konflik internal
dan kegagalan negara, kejahatan transnasional, proliferasi senjata pemusnah
massal, pertentangan agama serta etnis, degradasi lingkungan, pertumbuhan
penduduk, konflik etnis dan migrasi, represi negara, meluasnya penggunaan
ranjau darat anti-personil, pelecehan anak, keterbelakangan ekonomi, dan
proteksionis perdagangan sistem internasional yang tidak stabil. Makalah tahun
16
1999 mengacu pada bahaya yang ditimbulkan oleh konflik sipil, kekejaman skala
besar, dan genosida. Globalisasi adalah faktor lain, yang telah membawa
‘kekerasan kejahatan, perdagangan narkoba, terorisme, penyakit dan kerusakan
lingkungan’ dan perang internal diperjuangkan oleh ‘pasukan iregular’ dari etnis
dan kelompok-kelompok keagamaan yang dilengkapi dengan persenjataan.
Penurunan kontrol negara dan, berhubungan dengan pertumbuhan
warlordisme/penguasa militer, bandit, kejahatan terorganisir, perdagangan
narkoba, dan pasukan keamanan swasta, semua ini telah meningkatkan
kekerasan terhadap individual. Selain itu, ‘Memperluas kisaran berbagai
ancaman transnasional’ membuat orang lebih rentan: globalisasi ekonomi dan
komunikasi serta transportasi yang lebih baik meningkatkan polusi, vektor
penyakit, dan ketidakstabilan ekonomi dunia.
Dengan cara apa agenda keamanan kompleks ini dimajukan? Pada tahun
1997, Kanada menyarankan bahwa membangun perdamaian, menjaga
perdamaian, perlucutan senjata (terutama penghapusan ranjau darat anti-
personil), menjaga hak-hak anak, dan pembangunan ekonomi melalui
‘perdagangan berbasis aturan/rule based trade’ adalah bidang utama dari
upaya human security untuk Ottawa. Untuk menggerakkan agenda ini, Kanada
harus makin mengandalkan ‘soft power’ - seni menyebarkan informasi
sedemikian rupa sehingga hasil yang diinginkan dicapai melalui persuasi bukan
paksaan. Kanada dan berbagai kekuatan menengah lainnya cocok untuk
membuat jaringan, membangun koalisi, dan membawa lainnya untuk memahami
pentingnya human security. Pemerintah, LSM, akademisi, bisnis dan warga
negara biasa semuanya merupakaan calon mitra endeavor ini.
Paper Kanada tahun 1999 menguatkan pendekatan tahun 1997 dengan
mendaftar enam prinsip yang lebih luas yang mungkin memandu tindakan.
Menggabungkannya menjadi tiga prinsip utama, yaitu :
Pertama, masyarakat internasional harus mempertimbangkan
pemaksaan/coersion termasuk penggunaan sanksi dan kekuatan jika
17
perlu. Kedua, kebijakan keamanan nasional itu sendiri harus diubah,
untuk memberikan pertimbangan bagi mempromosikan tujuan human
security. Integral dengan agenda kebijakan keamanan yang baru harus
mempromoskani norma / lembaga dan penggunaan strategi
pembangunan - norma / lembaga (misalnya HAM, hukum kemanusiaan
dan pengungsi) akan menetapkan standar perilaku, dan strategi
pembangunan mungkin akan membawa kondisi dimana akan lebih
mudah bagi aktor negara-negara dan non-negara untuk mengamati
norma-norma tersebut. Norma di bidang apa tepatnya? Deklarasi Lysoen,
yang dibantu pihak Kanada dalam rancangannya, mendaftar sepuluh area
di mana norma-norma tersebut diperlukan: ranjau darat anti personil,
senjata, anak-anak dalam konflik bersenjata, proses pengadilan pidana
internasional, eksploitasi anak, keselamatan personil kemanusiaan,
pencegahan konflik, kejahatan transnasional terorganisir, dan sumber
daya untuk pembangunan.
Penting juga untuk dilakukan adalah perbaikan-perbaikan dalam
kapasitas pemerintahan, baik di dalam negara dan internasional, yaitu
demokratisasi dan struktur PBB yang lebih efektif.
Prinsip ketiga, tindakan efektif atas nama human security adalah
membangun koalisi negara-negara, organisasi internasional, dan LSM
yang akan mempromosikan pembangunan dan membantu menegakkan
norma-norma yang telah disepakati.
2.4. Human Security : Definisi ‘Sempit’ dan ‘Luas’
Pendekatan pertama(sempit) memandang human security secara negatif,
dalam konteks tidak adanya ancaman/the absence of threaths terhadap physical
security atau keamanan individu. Definisi sempit ini telah diadopsi oleh
Pemerintah Kanada dan dibakukan dalam publikasi ‘Human Security Report’ oleh
Human Security Centre yang berlokasi di Liu Institute for Global Issues, University
18
of British Columbia yang mendefinisikan human security sebagai perlindungan
individu dari ancaman ‘kekerasan’. Pendekatan Kanada telah diinstituionalkan
melalui pembentukan Human Security Network (HSN), sebuah grup yang terdiri
dari negara-negara barat dibawah dipimpinan Kanada yang bertemu secara
informal pada tingkat menteri untuk membahas isu-isu mengenai human
security. Terlepas dari menyediakan kejelasan metodologi, ‘definisi sempit’ dari
human security memiliki keuntungan dengan mengakar kepada tradisi liberal
barat yang berbasis teori politik. Individu dipandang sebagai ‘unencumbered’,
terabstraksi dari social and cultural mores masyarakat dan dipenuhi dengan
kesetaraan politik formal/formal political equality. Seluruh individu dianggap
memiliki hak yang inaleniable dan mendasar terhadap ‘hidup, kebebasan, dan
kepemilikan’ dengan kebajikan/virtue ‘common humanity’ mereka. Hak-hak ini
termaktub dalam Piagam PBB dan khususnya Deklarasi Hak asasi Manusia PBB.
Pendekatan berbasis-hak ini betujuan untuk memperkuat kerangka kerja legal
normatif juga mendalami komitmen regional dan nasional terhadap legislasi hak
asasi manusia. Institusi internasional penuh dengan tanggungjawab membangun
dan mengkoordinasikan norma-norma hak asasi manusia regional dan nasional
dengan pandangan untuk menunjukkan kecenderungannya.
Sementara para penulis human Security Report memilih untuk
menempatkan human security dalam konsepsi tradisional Hak Asasi Manusia
(HAM) dengan fokus pada ‘ancaman kekerasan terhadap individu’, laporan
akhir dari Commision on Human Security (CHS) yang diketuai oleh Amartya Sen
dan Sadako Ogata, memberikan pendekatan lebih luas, yang menyertakan
‘freedom from want’, ‘freedom from fear’, dan ‘freedom to take action on
one’s own behalf’. Laporan ini dipresentasikan kepada Dewan Keamanan PBB
dan dibiayai oleh Pemerintah Jepang, berusaha untuk menjembatani debat
mengenai human security dengan perhatian yang lebih luas pada ‘human
development’ seperti yang diadvokasikan oleh UNDP. Sementara fokus dari
human development adalah untuk menghilangkan pembatasan dan belenggu
19
yang mencegah menikmati kehidupan/human life, sedangkan human security
memperhatikan ‘downside risk’, insecurities yang mengancam keberlangsungan,
keamanan, dan martabat manusia.
Inti dari pendekatan CHS adalah definisi ‘positif’ dari human security
sebagai petunjuk dari ‘vital core’ kehidupan manusia : seperangkat ‘hak-hak
dasar dan kebebasan yang dinikmati orang’ dan dianggap ‘penting’ bagi
kesejahteraannya. Tujuan dari human security adalah untuk melindungi inti
vital dari seluruh nyawa/kehidupan manusia dengan cara-cara yang
mendorong kebebasan manusia dan pemenuhan kebutuhan manusia.
Sementara masih berakar dalam diskursus mengenai kemerdekaan/liberty dan
hak-hak individu universal/universal individual rights, pendekatan CHS bertujuan
untuk melampaui hak-hak sipil dan politis dan perhatian sempit terhadap
konflik kekerasan. Melindungi ‘inti vital’ dari kehidupan manusia membutuhkan
aksi melawan kehilangan/kerugian akibat kemiskinan, penyakit dan kemalangan
lainnya, dan pengaruh dari degradasi lingkungan. Tetapi, perlindungan saja
dianggap tidak cukup untuk melawan human insecurity : human security juga
bertujuan untuk memberdayakan mereka untuk bertindak on their behalf.
Terlepas dari definisi CHS yang menarik banyak kritik untuk kebingungan
konseptualnya, definisi tersebut menggarisbawahi dan memperkuat pendekatan
yang dilakukan oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan dalam Deklarasi Milenium-
nya. Bagi Annan, human security dalam lingkupnya yang luas, merangkul lebih
dari sekedar’ tidak adanya konflik kekerasan’. Human security juga melingkupi
Hak Asasi Manusia, good governance, akses terhadap pendidikan, dan perawatan
kesehatan, dan memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan dan
pilihan untuk memenuhi potensinya (Pidato Kofi Annan di Harvard University,
2006). Lima tahun kemudian, Sekjen PBB Kofi Annan meneguhkan kembali
komitmen PBB terhadap visi luas dari keamanan yang menyertakan tidak
hanya ‘perang dan konflik’ tetapi juga ‘kemiskinan, penyakit menular yang
mematikan, dan degradasi lingkungan. ‘kebebasan yang lebih luas’, bagi Annan
20
tidak hanya mengimplikasikan bahwa individu harus memiliki hak untuk
berbicara, beribadah, berserikat/berkumpul dan memiliki hak ‘diperintah atas
kesadaran mereka/to be governed by their own consent’ juga bahwa individu
harus ‘free from want’ – sehingga ‘hukuman mati’ akibat kemiskinan dan
penyakit menular dihilangkan dari kehidupannya – dan ‘free from fear’ –
sehingga hidup dan kehidupan mereka tidak dihancurkan oleh kekerasan dan
perang.
3. Perbedaan Pendekatan Human Security dengan Pendekatan Traditional
Security, Human Development dan Human Rights
Human security melengkapi state security, memperkuat human
development dan mendorong human rights (CHS 2003). Tetapi pertanyaan yang
muncul adalah sejauh mana perbedaan substantif yang ada antar pendekatan-
pendekatan tersebut, berikut adalah beberapa diantaranya :
Dimana state security berkonsentrasi pada ancaman-ancaman yang
ditujukan kepada negara, terutama dari serangan militer, human security
menarik perhatian kepada ancaman yang lebih luas yang dihadapi oleh
individu dan masyarakat. Human security fokus kepada akar
permasalahan dari ketidakamanan dan peningkatan solusi yang berpusat
kepada manusia/people-centered yang didorong secara lokal,
komprehensif dan berkelanjutan/sustainable. Oleh karenannya, human
security melibatkan beragam aktor, sebagai contoh: masyarakat lokal,
organisasi internasional, civil society dan tentunya negara. Human
security tidak dimaksudkan untuk mengganti state security, bahkan
hubungannya adalah saling melengkapi (tanpa human security, state
security tidak dapat dicapai dan sebaliknya).
Bagi tujuan human development yaitu ‘petumbuhan dengan kesetaraan’,
human security menambahkan dimensi penting dari ‘downturn with
security’. Human security mengenali hasil dari downturns yaitu: konflik,
21
krisis ekonomi dan keuangan, kesehatan yang buruk, dan bencana alam,
sudden insecurities, dan deprivasi. Hal-hal tersebut tidak hanya
memundurkan hasil-hasil pembangunan tetapi juga menciptakan kondisi
dimana rasa dukacita bisa menuju kepada ketegangan yang meningkat.
Oleh karena itu, sebagai tambahan penekanan terhadap human well-
being, human security didorong oleh nilai-nilai yang terkait dengan
keamanan, stabilitas, dan keberlanjutan/sustainability dari hasil-hasil
pembangunan.
Terakhir, seringkali pelanggaran human rights merupakan hasil dari
konflik, pengungsian, dan penderitaan manusia skala besar. Melihat
permasalahan ini, human security menggarisbawahi kesemestaan dan
keutamaan dari seperangkat hak-hak dan kebebasan yang mendasar bagi
kehidupan manusia. Human security tidak membuat pembedaan antara
berbagai jenis human rights – sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
olehkarenanya menyasari kerentanan dan ancaman secara multidimensi
dan komprehensif. Human security memperkenalkan kerangka kerja
praktis untuk identifikasi hak-hak spesifik yang dipertaruhkan dalam
situasi ketidakamanan tertentu dan untuk mempertimbangkan
pengaturan-pengaturan institusional dan pemerintahan diperlukan untuk
melaksanakan dan mempertahankannya.
4. Human Security Pasca 9/11
Batasan dari paradigma keamanan nasional yang telah mendominasi teori
dan praktik hubungan internasional selama abad 20 telah menjadi sangat jelas
dalam lima tahun pasca kejadian 11 September 2001. Respon koalisi yang
dipimpin oleh Amerika Serikat terhadap serangan 9/11 telah menjadi suatu
usaha secara fisik menghilangkan ancaman teroris di Afghanistan dan Irak,
dengan menghilangkan rezim yang dituduh memberi perlindungan dan pelatihan
terhadap teroris. Kejadian ini dapat dianggap konsisten dengan pendekatan
22
konvensional terhadap studi keamanan, didirikan atas asumsi realis, yang
memberikan hak khusus bagi negara sebagai aktor dalam hubungan
internasional.
Cara pandang realis yang mengkristalisasi selama era perang dingin lebih
memilih perlindungan negara daripada warganya, sebagai fungsi keamanan.
Sebagaimana ungkapan dari kritikus utamanya, Sadako Ogata : ‘secara
tradisional, ancaman terhadap keamanan dianggap berasal dari sumber
eksternal. Isu keamanan olehkarenanya dikaji dalam konteks keamanan negara,
sebagai contoh : perlindungan negara, batas wilayahnya, warga, institusi dan
nilai-nilai dari serangan pihak luar’ (Ogata dalam Commission on Human
Security). Secara umum, pendekatan konvensional terhadap studi keamanan
tetap mengakar dalam tiga asumsi realis berikut. Pertama, negara dianggap
sebagai aktor kunci dalam hubungan internasional dan sebagai perwakilan resmi
dari collective will dari bangsa. Negara mendefinisikan dan melindungi
‘kepentingan nasional’ sebagai ‘tujuan kolektif inti jangka panjang dari negara’.
Kedua, tanggungjawab utama dari para pemimpin negara untuk menjamin
keberlangsungan negara dalam sistem internasional yang anarkis. Anarki
didefinisikan oleh Wendt sebagai ‘the absense of authority’ merupakan ‘ordering
principle’ dari sistem internasional, memaksa negara-negara untuk
bertanggungjawab terhadap keamanannya dengan membuat kerjasama
diantaranya menjadi sulit. Konflik, sebagai akibatnya dianggap tidak terhindarkan
dan endemik bagi hubungan internasional, dengan aksi militer dianggap sebagai
instrumen legal dari kebijakan negara. Ketiga, ‘defence of the realm’ kadangkala
mementingkan membatasi kemerdekaan rakyat sipil, terutama grup-grup dan
individu dianggap mengancam ‘kepentingan nasional’. Ancaman terhadap
‘kepentingan nasional’ dianggap sebagai ancaman terhadap batas negara,
institusi, subyek dan nilai dari ‘luar’ bahkan apabila ancaman berasal dari dalam
negeri.
23
‘preemtive invasion’ pada tahun 2003 dan pendudukan Irak terbukti
menghabiskan biaya dan nyawa, tetapi tujuan utama dari pasukan koalisi untuk
mengungkap senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak tetap belum tercapai.
Estimasi National Intelligence tahun 2006 menyimpulkan bahwa perang Irak
telah meningkatkan ancaman teroris terhadap Amerika Serikat dan Sekutunya.
Lebih jauh, kegagalan koalisi pimpinan Amerika Serikat yang menghabiskan
banyak waktu dan sumberdaya bagi rekonstruksi negara yang didudukinya
dengan menghancurkan kekuatan militer negara tersebut membuat radikal Islam
menjadi lebih marah, menciptakan perlawanan yang lama dan berkepanjangan
di Irak yang menunjukkan tidak ada tanda-tanda akan berkurang, terlepas
penangkapan dan eksekusi Saddam Hussein, pembunuhan putra-putranya,
transfer kekuasaan kepada pemerintahan transisi Irak, gempuran benteng
perlawanan pemberontak di Fallujah, pemilihan umum, pembunuhan pemimpin
self-proclaimed Al Qaeda di Irak, Abu Musab al-Zarqawi.
Kegagalan ‘war on terror’ Amerika Serikat mencapai tujuan utamanya
menggambarkan ketidakmampuan paradigma keamanan negara untuk secara
efektif menghadapi ancaman dari non-state actors dalam dunia global.
Meskipun beraliran sangat konservatif bila bukan reaksioner, intrepretasi dari
Islam Suni, al-Qaeda bisa dipandang sebagai jaringan transnasional yang sangat
efektif, dengan beberapa titik kontrol. Tidak adanya struktur organisasi tunggal
yang formal bisa dianggap sebagai keuntungan, membuatnya lebih elusive dan
sulit diberantas secara tuntas. Tentunya, akhir-akhir ini para sarjana peneliti
menyatakan bahwa derajat kontrol dari kepemimpinan jaringan organisasi Islam
radikal semacam itu diragukan, dengan beberapa otoritas yang mengklaim
bahwa al-Qaeda bukan merupakan organisasi atau jaringan atau sebaliknya
tetapi hanya merupakan ‘nama dari merk yang siap untuk waralaba global’. Ini
menyatakan bahwa ancaman teroris yang dihadapi dunia barat, sampai taraf
tertentu, dianggap sebagai ‘buatan rumah’, membuatnya lebih sulit untuk
dikalahkan oleh aksi militer di seberang lautan.
24
Singkat kata, konsep tradisional kemanan nasional seperti yang
disederhanakan oleh Amerika Serikat dengan kebijakan ‘war on terror’ bisa
dianggap gagal untuk memberikan keamanan bagi masyarakat di dunia barat,
Irak dan dimanapun. Lebih jauh, dengan memprioritaskan perhatian dan
keamanan negara dan mengandalkan kekuatan militer, doktrin kemanan
nasional meninggalkan perhatian yang paling mendasar dan sah terhadap
kehidupan masyarakat. Seperti yang ditunjukkan oleh para penulis laporan
International Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS), doktrin
keamanan nasional juga menghabiskan banyak kekayaan negara dan
sumberdaya manusia untuk persenjataan dan angkatan bersenjata, sementara
negara gagal melindungi warganya dari ketidakamanan kronis seperti kelaparan,
penyakit, pemukiman tidak layak, kejahatan, pengangguran, konflik sosial, dan
bahaya lingkungan. Lebih jauh lagi, doktrin keamanan nasional ‘berfungsi untuk
membungkam oposisi dan telah memberikan pihak yang berkuasa banyak
kesempatan untuk mengekspoitasi “ancaman” untuk kepentingan domestik,
untuk mengklaim hak menangani sesuatu dengan kontrol dan batasan
demokratis yang kurang’.
4. Critical Insight
Kritik paling keras terhadap konsep human security secara umum adalah
bahwa human security itu buram, incoherent, arbitrary, dan sulit untuk
dipraktikkan. Banyak kritikus akan setuju dengan Roland Paris bahwa definisi
eksisting dari human security adalah ‘cenderung luarbiasa ekspansif dan
buram, merujuk segalanya dari physical security hingga psychological well-
being, yang memberikan para pembuat keputusan sedikit panduan dalam
memprioritaskan tujuan-tujuan yang saling berkompetisi dan bagi akademisi
sedikit arahan mengenai apa sebenarnya yang dipelajari’. Apakah kita harus
setuju dengan pandangan Paris yang menyatakan bahwa ambiguitas dari konsep
tersebut menyebabkan human security sebagai ‘useless tool’ bagi penelitian
25
akademis atau pembuatan keputusan? Bila tidak, pendekatan mana (‘sempit’
atau ‘luas’) yang paling cocok untuk melindungi human security di dunia pasca
9/11? Terlebih lagi, apakah prinsip-prinsip yang menyebabkan
ketidakamanan/insecurity pasca 9/11, terutama bagi mereka di bagian selatan
bumi ini?.
Banyak para ilmuwan yang mengkaji human security berkutat antara dua
kontradiksi sentral yang terletak pada inti dari ‘pendekatan human security’.
Pertama memperhatikan peran dari unit primer dalam tatanan international :
negara berdaulat secara teritorial. Dilain pihak, pendekatan human security
menandai kemajuan dalam studi keamanan secara khusus dan hubungan
internasional secara umum, karena human security membuat individu dan bukan
negara berdaulat sebagai obyek referent dari keamanan. Tetapi di lain pihak,
konsep human security melengkapi atau bahkan memperkuat doktrin keamanan
nasional. Tentunya, konsep human security seperti diadvokasi oleh PBB dibawah
pimpinan Kofi Annan dalam naungan rekomendasi dari laporan ICISS dan CHS
berusaha untuk memberdayakan (kembali) negara dengan menuntutnya
melaksanakan responsibility to protect (R2P) terhadap warganya dalam dunia
global. Menurut MacFarlane dan Khong, human security ‘bukan mengenai
transending atau marginalisasi negara’ tetapi ‘mengenai jaminan bahwa negara
melindungi rakyatnya’. Hal ini memunculkan keprihatinan, seperti yang
ditunjukkan oleh beberapa ahli, bahwa human security cukup malleable untuk
digunakan melegitimasi kontrol lebih besar dari negara terhadap masyarakat
dengan alasan perlindungan/protection. Dengan kata lain, konsep human
security menuju kepada ‘securitization’ yang lebih besar terhadap keseharian
masyarakat. Lebih jauh, dalam kasus-kasus dimana negara tidak cukup kuat
melindungi rakyatnya, konsep human security bisa digunakan untuk legitimasi
intervensi dan kehadiran personil militer di wilayah strategis penting di selatan
oleh negara-negara barat, memfasilitasi proyek-proyek neo-konsevatif dari
‘imperialisme demokratik’. Pendek kata, konsep human security merupakan
26
pedang bermata dua : cukup tajam untuk menembus perisai kedaulatan yang
negara berusaha lindungi dan menginsulasi negara dari tantangan subaltern
warga negaranya, tetapi tidak cukup tajam untuk digunakan negara-negara
untuk legitimasi kepentingan strategis mereka dan seringkali blantantly
material.
Kontradiksi sentral kedua memperhatikan pengaruh-pengaruh dari apa
yang disebut sebagai ‘globalisasi human security’. Globalisasi didefinisikan
sebagai ‘proses (atau serangkaian proses) yang membentuk suatu transformasi
dalam organisasi spasial dari hubungan sosial dan transaksi/pertukaran-dikaji
dalam konteks extensity, intensity, velocity, dan impact-menghasilkan aliran dan
jaringan kegiatan, interaksi, dan praktik-praktik kekuasaan secara
transkontinental atau interregional’. Dalam konteks ekonomi, globalisasi
merujuk kepada perluasan dan pendalaman arus internasional dari perdagangan,
keuangan, dan informasi dalam satu pasar global terintegrasi. Dilain pihak,
penciptaan ekonomi global pada garis kapitalis dilandaskan kepada
meningkatnya pergerakan barang dan jasa melintasi batas-batas negara telah
menyebabkan meningkatnya saling ketergantungan/interdependency, integrasi
dan emeshment antara ekonomi nasional menuju kepada periode sustained dari
pertumbuhan ekonomi bagi ekonomi global. Tetapi, keuntungan dari globalisasi
ekonomi belum terdistribusi secara merata, baik secara domestik maupun global.
Lebih jauh, terdapat bukti yang menyarankan bahwa
ketidaksetaraan/inequality dan ketidakamanan/insecurity pada skala global
meningkat seiring banyaknya orang di negara-negara berkembang, terutama di
Afrika sub-Sahara, telah mengalami penurunan pendapatan dan asupan kalori.
Ini menyebabkan meningkatnya perdebatan bahwa globalisasi neo-liberal atau
‘predatory’ globalization yang telah mengambil bentuk liberalisasi yang lebih
besar, privatisasi, dan disiplin fiskal, dialami oleh banyak orang di negara
berkembang secara coersive melalui Structural Adjustment Programmes (SAPs)
dari IMF/World Bank, memiliki efek detrimental pada kemampuan negara untuk
27
‘melindungi’ warga negaranya dari kemiskinan, kesehatan yang buruk, dan
kelaparan. Negara di wilayah selatan, oleh karenanya ditempatkan pada posisi
sulit. Disatu sisi, dituntut untuk melakukan ‘responsibility to protect’ terhadap
warga negaranya dari ‘want and fear’. Disisi lainnya, kemampuan untuk
melaksanakan tanggungjawab tersebut dilumpuhkan oleh efek dari globalisasi
ekonomi.
Sumber :
1. Human Security : Concept and Measurement
2. Human Security Now (CHS report 2003)
3. Human Security : After 9/11
4. Human security in East Asia
5. Journal of Human security Studies