Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
Oleh:
NURMAULIDA HASANAH
135130101111048
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH IMPLANTASI SCAFFOLD XENOGRAFT
ASELULER, PRP (PLATELET RICH PLASMA) DAN
KOMBINASI KEDUANYA TERHADAP EKSPRESI
INTERLEUKIN-10 DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS
DI SUBKUTAN ABDOMEN TIKUS (Rattus norvegicus)
PADA UJI BIOKOMPATIBILITAS
RESPON IMUN AKUT
ii
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoler gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh:
NURMAULIDA HASANAH
135130101111048
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH IMPLANTASI SCAFFOLD XENOGRAFT
ASELULER, PRP (PLATELET RICH PLASMA) DAN
KOMBINASI KEDUANYA TERHADAP EKSPRESI
INTERLEUKIN-10 DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS
DI SUBKUTAN ABDOMEN TIKUS (Rattus norvegicus)
PADA UJI BIOKOMPATIBILITAS
RESPON IMUN AKUT
N AKUT
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Oleh :
NURMAULIDA HASANAH
135130101111048
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji
Pada tanggal 9 Agustus 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
drh. Fajar Shodiq Permata, M. Biotech
NIP. 19870501 201504 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES
NIP. 19600903 198802 2 001
PENGARUH IMPLANTASI SCAFFOLD XENOGRAFT
ASELULER, PRP (PLATELET RICH PLASMA) DAN
KOMBINASI KEDUANYA TERHADAP EKSPRESI
INTERLEUKIN-10 DAN JUMLAH SEL FIBROBLAS
DI SUBKUTAN ABDOMEN TIKUS (Rattus norvegicus)
PADA UJI BIOKOMPATIBILITAS
RESPON IMUN AKUT
N AKUT
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nurmaulida Hasanah
NIM : 135130101111048
Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan
Penulis Skripsi berjudul :
PENGARUH IMPLANTASI SCAFFOLD XENOGRAFT ASELULER, PRP
(PLATELET RICH PLASMA), DAN KOMBINASI KEDUANYA
TERHADAP EKSPRESI INTERLEUKIN-10 DAN JUMLAH
SEL FIBROBLAS DI SUBKUTAN ABDOMEN TIKUS
(Rattus norvegicus) PADA UJI BIOKOMPATIBILITAS
RESPON IMUN AKUT
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri di
bawah payung penelitian dan tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-
nama yang termasuk di isi dan tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil
jiplakan, maka saya bersedia menanggung segala risiko yang akan saya
terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 18 Agustus 2017
Yang menyatakan,
(Nurmaulida Hasanah)
NIM. 135130101111048
v
Pengaruh Implantasi Scaffold Xenograft Aseluler, PRP (Platelet Rich
Plasma), dan Kombinasi Keduanya terhadap Ekspresi Interleukin-10
dan Jumlah Sel Fibroblas di Subkutan Abdomen Tikus (Rattus
norvegicus) pada Uji Biokompatibilitas Respon Imun Akut
ABSTRAK
Implantasi scaffold xenograft aseluler yang biodegradable, platelet rich
plasma allogenic yang mengandung growth factor, dan kombinasi keduanya
memerlukan pegujian biokompatibilitas. Faktor pertumbuhan pada PRP seperti
PDGF dan VEGF akan meningkatkan angiogenesis sehingga sel radang akan
bermigrasi dari pembuluh darah ke jaringan subkutan. Hal tersebut dapat dilihat
dengan menurunnya jumlah ekspresi Interleukin-10 (IL-10) dan jumlah sel
fibroblas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh implantasi
scaffold, PRP, dan kombinasi keduanya terhadap ekspresi IL-10 dan jumlah sel
fibroblas pada uji biokompatibilitas respon imun akut. Penelitian ini
menggunakan metode implantasi graft pada subkutan abdomen tikus. Hewan
coba dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok implantasi scaffold,
kelompok implantasi PRP, dan kelompok kombinasi scaffold dan PRP.
Parameter yang diamati yaitu ekspresi IL-10 menggunakan metode pewarnaan
imunohistokimia (IHK) serta jumlah sel fibroblas dengan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin (HE) dan dianalisis secara statistik kuantitatif. Penelitian ini
menunjukkan secara signifikan (P<0.05) antar perlakuan dapat mempengaruhi
ekspresi IL-10 dan jumlah sel fibroblas, dengan rataan ekspresi IL-10 (%)
sebesar (66.96; 60.00; 43.77) dan jumlah sel fibroblas (sel/bidang pandang)
adalah sebesar (37.70; 17.78; 41.23). Uji biokompatibilitas terbaik pada
subkutan abdomen adalah implantasi scaffold dengan ekspresi IL-10 sebesar
66.96% dan jumlah sel fibroblas sebesar 37.70 sel/bidang pandang. Kesimpulan
dari penelitian ini yaitu implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan
kombinasi keduanya dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 dan jumlah sel
fibroblas di subkutan abdomen tikus (Rattus norvegicus) pada uji
biokompatibilitas respon imun akut. Hasil penelitian menunjukkan implantasi
scaffold memiliki efek yang paling baik bagi tubuh hewan coba.
Kata kunci : Scaffold, xenograft, deselularisasi, platelet rich plasma allogenic,
IL-10, dan sel fibroblas.
vi
Implantation Effect of Acellular Xenograft Scaffold, PRP (Platelete Rich
Plasma) and it’s combination toward Interleukin-10 Expression and
Fibroblast Cells Number in Abdominal Subcutaneous of Rat
(Rattus norvegicus) in Biocompatibility Test of Acute
Immune Response
ABSTRACT
Implantation of biodegradable acelullar scaffold, allogenic platelets rich
plasma and it’a combination that containing growth factor require
biocompatibility testing. Growth factors in PRP such as PDGF and VEGF will
increase angiogenesis that causes inflammatory cells will migrate from blood
vessels to subcutaneous tissues. This can be seen by decreasing Interleukin-10
(IL-10) expression and amount of fibroblast cells. This study aims to determine
the effect implantation of scaffold, PRP and both combination on the expression
of IL-10 and amount of fibroblast cells in the biocompatibility test of acute
immune response. This research used graft implantation method in subcutaneous
abdomen of rats. The animals were divided into 4 treatment groups: healthy rats,
scaffold implantation group, PRP implantation group, and combination scaffold
and PRP implantation group. Parameters observed were IL-10 expression using
immunohistochemical staining (IHC) and amount of fibroblast cells with
Hematoxylin-Eosin (HE) staining method and quantitatively analyzed. This
study showed significantly (P <0.05) between treatments can affect the
expression of IL-10 and the number of fibroblast cells, with an average
expression of IL-10 (%) of 66.96, 60.00, 43.77) and the number of fibroblast
cells (cell / field of view) are (37.70; 17.78; 41.23). The best biocompatibility
test in subcutaneous abdomen was scaffold implantation with IL-10 expression
of 66.96% and total cell count of 37.70 cells/field of view. The conclusions of
this study are implantation of acellular xenograft scaffold, PRP and both
combinations can affect the expression of IL-10 and the number of fibroblast
cells in rat abdominal subcutaneous (Rattus norvegicus) in the biocompatibility
test of acute immune response. The experiment showed scaffold implantation
result the best effect in animal model body.
Keywords : Scaffold, xenograft, decellularization, allogenic platelet rich plasma,
IL-10, and fibroblast cell.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, limpahan rahmat
dan ridho-Nya serta sosok panutan dan teladan Nabi Muhammad SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul penelitian “Pengaruh
Implantasi Scaffold Xenograft Aseluler, PRP (Platelet Rich Plasma) dan
kombinasi keduanya terhadap Ekspresi Interleukin-10 dan Jumlah Sel
Fibroblas di Subkutan Abdomen Tikus (Rattus norvegicus) pada Uji
Biokompatibilitas Respon Imun Akut”. Penelitian ini adalah penelitian
payung yang diketuai oleh drh. Fajar Shodiq Permata, M. Biotech.
Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh
pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan secara khusus penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DES selaku dosen pembimbing I dan Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya yang telah membimbing,
memberi banyak masukan, kesabaran, waktu, memberikan pelajaran selama
penelitian dan penulisan skripsi dan memberi dukungan demi kemajuan
FKH UB.
2. drh. Fajar Shodiq Permata., M. Biotech selaku pembimbing II atas segala
kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam membimbing, memberikan
masukan, arahan, fasilitas dan waktu bagi penulis dan kelompok dalam
melakukan penelitian dan penulisan mulai dari PKM sampai dengan skripsi.
3. drh. Herlina Pratiwi, M.Si., selaku dosen penguji I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk menilai dan memberi kritik, masukan serta arahan
pada penulis dalam penelitian maupun penulisan skripsi.
4. drh. Mira Fatmawati, M.Si selaku dosen penguji II yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk menilai dan memberi masukan dan arahan pada
penulis dalam penelitian maupun penulisan skripsi.
5. drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P., M. Biotech selaku pembimbing akademik
mulai dari semester satu hingga delapan yang telah memberikan bimbingan,
viii
semangat dan dukungan pada penulis selama melaksanakan kuliah di FKH
UB.
6. Keluarga penulis Ayahanda H. Sutego, Ibunda Hj. Dra. Wasriah serta adik-
adik kandung penulis Sabilla Putri dan Zaffa Latifah Aini untuk kasih
sayang, doa, semangat dan dukungan serta pengorbanan selama ini.
7. Rekan penelitian Resti Vanda Arantika, Kinanthi Az Zahra, dan Dewi
Lutfiana Sari atas super team, perjuangan, kerjasama, semangat dan
kebersamaan yang dilalui selama melakukan penelitian dan penulisan PKM
sampai dengan skripsi.
8. Mbak Ninik, Mas Farid, Mas Anton, Mas Bayu, dan staf Institut Biosains
lain yang telah bersedia membantu penulis selama melakukan penelitian di
Institute Biosains UB. Mas Hilman Nurmahdi yang memberikan bantuan di
Laboratorium Biokimia FMIPA UB serta Mbak Ami dan staf Laboratorium
Biomedik FK UB.
9. Teman-teman CAVITAS (Angkatan 2013 C) yang telah memberikan
persahabatan, semangat, inspirasi, keceriaan dan mimpi-mimpi luar biasa.
10. Kolega seperjuangan Six Sense (Angkatan 2013 FKH UB) yang telah
berjuang bersama sejak mahasiswa baru. Civitas akademik dan non
akademik FKH UB yang telah membantu proses perkuliahan penulis.
11. Kemenristek Dikti untuk pendanaan penelitian pada Program Kreatifitas
Mahasiswa (PKM) 2016.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan
demi penyempurnaan selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi inidapat
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menambah pengetahuan baik bagi
penulis maupun bagi pembaca, Aamiin.
Malang, Juni 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN ..................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
ABSTRAK .......................................................................................................v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ............................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................4
1.3 Batasan Masalah.................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian ...............................................................................5
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................7
2.1 Tissue Engineering .............................................................................7
2.2 Scaffold .............................................................................................8
2.2.1 Biokompatibilitas.....................................................................9
2.2.2 Porositas.................................................................................10
2.2.3 Biomekanis dan Biodegradabilitas ........................................10
2.3 Jaringan Xenograft ...........................................................................10
2.4 Teknik Deselularisasi .......................................................................11
2.5 Platelete Rich Plasma (PRP) ............................................................12
2.5.1 Fungsi Platelet .......................................................................13
2.5.2 Kandungan Growth Factor pada PRP ....................................14
2.6 Uji Biokompatibilitas .......................................................................16
2.7 Respon Imun Trhadap Jaringan Xenograft ......................................17
2.8 Sitokin Antiinflamasi Interleukin-10 ...............................................18
2.9 Sel Fibroblas ....................................................................................20
2.10 Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus) ..........................................21
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA PENELITIAN ..........23
3.1 Kerangka Konseptual .......................................................................23
3.2 Hipotesis Penelitian ..........................................................................27
x
BAB 4 METODE PENELITIAN .................................................................28
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................28
4.2 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................28
4.2.1 Alat Penelitian .........................................................................28
4.2.2 Bahan Penelitian......................................................................29
4.2.3 Bahan Kimia............................................................................30
4.3 Tahapan Penelitian ...........................................................................30
4.3.1 Penetapan Sampel Penelitian ..................................................30
4.3.2 Rancangan Penelitian ..............................................................31
4.3.3 Variabel Penelitian ..................................................................31
4.4 Prosedur Kerja ..................................................................................32
4.4.1 Persiapan Hewan Coba ...........................................................32
4.4.2 Preparasi dan Koleksi Sampel .................................................33
4.4.3 Perlakuan Deselularisasi .........................................................33
4.4.4 Pembuatan PRP .......................................................................34
4.4.5 Implantasi Bahan Implan pada Hewan Coba (In Vivo) ........35
4.4.6 Pemeliharaan Pasca Implantasi dan Nekropsi Tikus ..............36
4.4.7 Pembuatan Preparat Histopatologi Metode Parafin ................36
4.4.8 Immunohistokimia (IHK) IL-10 .............................................37
4.4.9 Metode Pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE) .........................38
4.5 Analisis Data ....................................................................................39
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................40
5.1 Ekspresi Interleukin-10 pada Jaringan Subkutan Abdomen Tikus
Rattus norvegicus .............................................................................42
5.2 Jumlah Sel Fibroblas pada Jaringan Subkutan Abdomen Tikus
Rattus norvegicus .............................................................................51
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................59
6.1 Kesimpulan ......................................................................................59
6.2 Saran .................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 60
LAMPIRAN .................................................................................................. 67
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Jenis-jenis faktor pertumbuhan pada PRP ............................................... 14
4.1 Rancangan Kelompok Penelitian ............................................................. 31
5.1 Rata-rata ekspresi IL-10 hasil pewarnaan imunohistokimia .................... 43
5.2 Persentase Homogenitas Protein Kolagen tipe I ...................................... 49
5.3 Rata-rata jumlah sel fibroblas hasil pewarnaan Hematoxylen-Eosin ....... 51
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Ilustrasi grafis prinsip-prinsip yang mendasari rekayasa jaringan
berbasis scaffold ......................................................................................... 7
2.2 Scaffold berpori yang akan dikemas dengan mobilisasi faktor
pertumbuhan ............................................................................................... 9
2.3 Struktur Kimia SDS dan EDTA ......................................................................... 12
2.4 Mekanisme kerja growth factor dari PRP dalam penyembuhan luka
dan regenerasi jaringan ................................................................................... 13
2.5 Gambar inflamasi dikontrol oleh modulasi fenotipe dari sitokin pro-
inflamasi dan anti-inflamasi dalam penyembuhan luka ............................. 18
2.6 Gambar mikroskopis morfologi sel fibroblas perbesaran 400x .............. 20
2.7 Tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar ......................................... 22
3.1 Kerangka konsep penelitian ..................................................................... 26
4.1 Gambar makroskopis dan mikroskopis scaffold xenograft aseluler ......... 29
4.2 Gambaran makroskopis PRP yang akan digunakan ................................ 34
4.3 Gambaran metode implantasi bahan implan ............................................ 35
5.1 Gambaran mikroskopis kulit kambing yang dideselularisasi (scaffold)
dan tanpa deselularisasi (perbesaran lensa objektif) ................................ 40
5.2 Gambaran makroskopik sampel gel PRP yang telah diaktivasi
menggunakan kalsium klorida (CaCl2) .................................................... 41
5.3 Gambar mikroskopis IHK kelompok 1 tikus implantasi scaffold
(perbesaran 400x) ..................................................................................... 44
5.4 Gambar mikroskopis IHK kelompok 2 tikus implantasi PRP
(perbesaran 400x) ..................................................................................... 46
5.5 Gambar mikroskopis IHK kelompok 3 tikus implantasi scaffold dan
PRP (perbesaran 400x) ............................................................................. 47
5.6 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 1 tikus implantasi
scaffold (perbesaran 400x) ...................................................................... 52
5.7 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 2 tikus implantasi PRP
(perbesaran 400x) ..................................................................................... 54
5.8 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 3 tikus implantasi
scaffold dan PRP (perbesaran 400x) ........................................................ 56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Diagram Allir Tahapan Penelitian ..................................................... 68
2 Preparasi Kulit Kambing .................................................................... 69
3 Pembuatan Phosphat Buffer Saline (PBS) 1 L ................................... 70
4 Pembuatan Larutan Pencucian sebanyak 1 L ..................................... 71
5 Pembuatan Larutan Deselularisasi sebanyak 500 mL ........................ 72
6 Pembuatan Scaffold ............................................................................ 73
7 Jadwal Penggantian Larutan Deselularisasi ....................................... 74
8 Penyiapan PRP ................................................................................... 75
9 Aktivasi PRP Menggunakan CaCl2 .................................................... 76
10 Cara Implantasi bahan-bahan implant di Subkutan (hypodermis)
Abdomen Tikus Rattus norvegicus .................................................... 77
11 Pewarnaan Imunohistokimia (IHK) .................................................. 78
12 Pembuatan Preparat HE ..................................................................... 79
13 Ekspresi IL-10 (IHK) (%) .................................................................. 80
14 Hasil uji ANOVA ekspresi IL-10 pada Subkutan (Hypodermis)
Kulit Tikus Rattus norvegicus ............................................................ 81
15 Jumlah Sel Fibroblas (Sel/bidang pandang) ....................................... 85
16 Hasil uji One-Way Anova terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada
Subkutan (Hypodermis) Kulit Tikus Rattus norvegicus .................... 86
17 Keterangan Layak Etik ....................................................................... 90
18 Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 91
xiv
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG
Simbol/singkatan
Keterangan
°C Derajat Celcius
Ang Angiopoietin
ANOVA Analysis of variance
APC Antigen Presenting Cell
Cc Cubic Centimeter
CD Cluster of Differentiation
Cm Centimeter
DAB Diamono Benzidine
dll Dan lain-lain
DNA Deoxyribonucleic Acid
DR, DP, DQ Lokus MHC Kelas II
ECM Extracellular Matrix
EDTA Ethylene Diamine Tetra Acetic
EGF Epidermal Growth Factor
FGF Fibroblast Growth Factor
GFS Growth Factor
GM-CSF
Granulocyte Monocyt Colony Stimulating
Factor
H2O2 Hidrogen peroksida
HLA Human Leucocyte Antigen
HRP Horse Radish Peroxidase
IFN Interferon
IGF Insulin Growth Factor
IHC Imunohistochemical
IHK Imunohistokimia
IL Interleukin
kDa Kilo Daltons
KEP Komisi Etik penelitian
Mg Milligram
MHC Mayor Histocompatibility Complex
MIPA Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
mL Milliliter
MMP Matriks Metalo Proteinase
mRNA Messenger-RNA
NaCl Natrium Klorida
NS Normal Saline
P Perlakuan
PBS Phospat Buffer Saline
PDGF Platelet Derived Growth Factor
Pen-Strep Penicillin dan Streptomycin
PRP Platelete Rich Plasma
xv
RAL Rancangan Acak Lengkap
RSIA Rumah Sakit Islam Aisyiyah
SDS Sodium Dodecyl Sulphat
TEC Tissue Engineered Construct
TGF Tumor Growth Factor
Th T helper
TNF Tumor Necrosis Factor
UB Universitas Brawijaya
VEGF Vascular Endothelial Growth Factor
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini penggunaan metode tissue engineering menjadi penting dan
menarik di bidang medis. Pada kasus transplantasi organ atau jaringan, muncul
berbagai masalah seperti terbatasnya kesediaan organ atau jaringan dan terjadinya
imunorejeksi. Tissue engineering sebagai alternatif bertujuan untuk meregenerasi
jaringan yang rusak dan menggantinya dengan mengembangkan substitusi
biologis yang memulihkan, memelihara atau meningkatkan fungsi jaringan. Sel,
scaffold dan growth stimulating signal merupakan komponen tissue engineering.
Scaffold biasanya dibuat dari biomaterial polimer guna memberikan dukungan
struktural untuk perlekatan sel dan perkembangan jaringan selanjutnya (Chan and
Leong, 2008).
Penggunaan biomaterial biologis saat ini mengalami perkembangan yang
pesat dalam beberapa perawatan bedah, seperti penggantian sendi, tulang pipih,
semen tulang, ligamen dan tendon buatan, implan gigi untuk fiksasi gigi, prostesis
pembuluh darah, katup jantung, jaringan buatan, lensa kontak dan dan bahan
implan seiring dengan kemajuan teknologi. Biomaterial merupakan bahan inert
yang ditanamkan ke dalam tubuh sebagai pengganti fungsi jaringan hidup atau
organ (Bhat, 2002). Hal ini disebabkan karena scaffold sintetik yang digunakan
sebelumnya terbatas dalam hal biokompatibilitas dan memicu respon inflamasi
yang kuat (Badylak and Gilbert, 2008).
1
2
Scaffold biologis biasanya diperoleh dari jaringan yang dideselularisasi
sehingga didapatkan jaringan yang tanpa sel (aseluler). Scaffold dapat berupa
jaringan yang diambil dari hewan lain (xenograft). Xenograft memiliki
keunggulan berupa ketersediaan bahan yang melimpah dan ukuran bahan besar.
Kulit asal babi merupakan scaffold padat terdiri dari bundel kolagen yang telah
komersial digunakan dalam kedokteran manusia. Berdasarkan hal tersebut, hewan
lain seperti kambing juga berpotensi dapat digunakan sebagai sumber jaringan
xenograft. Kulit hewan ternak (misalnya sapi, domba atau kambing) merupakan
produk limbah ternak yang jumlahnya banyak dan belum banyak difungsikan
sebagai scaffold. Menurut data Ditjennak (2016), populasi kambing di Indonesia
pada tahun 2015 memiliki populasi ternak tertinggi yaitu sekitar 19.012.794 ekor,
sehingga jumlah yang melimpah inilah akan membantu menyelesaikan jumlah
bahan biomaterial yang terbatas. Selain itu, berdasarkan Bank Protein Data
(Protein Data Base NCBI) tingkat homogenitas protein kolagen type I antara
kambing (Capra hircus) dibandingkan dengan hewan coba tikus (Rattus
norvegicus) sebesar 92%, sehingga berpotensi sebagai bahan biomaterial scaffold.
Namun harus dipertimbangkan juga faktor risiko yang mampu menimbulkan
kontaminasi, yaitu berupa adanya reaksi sistem imun akibat xenograft.
Reaksi imun terjadi karena adanya xenoantigen pada permukaan sel
xenograft. Molekul xenoantigen dapat berupa Major Histocompability Complex I
(MHC I) (Easter, 2008) dimana ketika ditransplantasikan ke jaringan resipien
yang tidak mirip maka akan menimbulkan respon imun dan dapat menyebabkan
kegagalan transplantasi. Mengatasi permasalah tersebut, perlu adanya metode
3
untuk menghilangkan xenoantigen tersebut. Salah satunya yaitu menggunakan
teknik deselularisasi. Teknik deselularisasi bertujuan untuk melarutkan sel tanpa
menghilangkan struktur dari extracellular matrix (ECM) (Cissell, 2014).
Selain scaffold, terdapat bahan lain yang dapat mendukung konstruksi
tissue engineering yaitu faktor pertumbuhan (growth factor). Platelet Rich Plasma
(PRP) adalah plasma yang kaya akan platelet atau trombosit dengan kandungan
berbagai macam growth factor (Marx, 2001). Munculnya dugaan kemampuan
scaffold sebagai konstrtuksi tissue engineering, PRP dapat digunakan sebagai
sumber growth factor, dan kombinasi scaffold dengan PRP dapat digunakan
sebagai biological scaffold sekaligus sebagai promoter regenerasi jaringan,
dimana scaffold akan memberikan ruang untuk growth factor baik autologue
maupun allogenic. Oleh sebab itu, penggunaan scaffold xenograft aseluler, PRP,
dan kombinasi scaffold dengan PRP sebagai bahan implantasi tissue engineering
perlu diujikan dan dilakukan pemeriksaan lanjut terkait respon jaringan subkutan
terhadap bahan implan. Indikator respon imun akut salah satunya adalah
Interleukin–10 (IL-10) dan jumlah sel fibroblas sebagai indikator regenerasi
jaringan. Akibat reaksi inflamasi ini tubuh akan memberikan reaksi imunologi
dengan memproduksi sitokin yang bekerja sebagai antiinflamasi melalui produksi
IL-10 oleh sel-sel makrofag, T helper 2 (Th2), sel B, monosit dan lain-lain (Islam,
2010). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait ekspresi IL-10 dan
jumlah sel fibroblas pada scaffold asal kulit kambing yang diberi perlakuan
dengan teknik deselularisasi, PRP allogenic dan kombinasi keduanya pada uji
biokompatibilitas akut yang belum pernah dilaporkan.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
yang didapat adalah:
1. Apakah implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan kombinasi
keduanya dapat mempengaruhi ekspresi IL-10 pada subkutan abdomen
tikus (Rattus norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut?
2. Apakah implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan kombinasi
keduanya dapat mempengaruhi jumlah sel fibroblas pada subkutan
abdomen tikus (Rattus norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun
akut?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini
dibatasi pada:
1. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) jantan galur
Wistar berumur tiga bulan dengan berat badan 150-200 gr yang berasal
dari breeding tikus Bapak Suwaji, Sudimoro Malang dan telah mendapat
sertifikasi layak etik dari Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya
dengan No: 498-KEP-UB (Lampiran 17).
2. Scaffold xenograft yang digunakan berasal dari kulit kambing yang telah
dideselularisasi menggunakan SDS 1% dan EDTA 0,1% (Permata dan
Susilowati, 2013).
3. Platelet Rich Plasma (PRP) yang digunakan yaitu PRP allogenic.
5
4. Tikus pada penelitian ini dilakukan implantasi bahan implan pada daerah
subkutan abdomen bagian ventral.
5. Pengamatan ekspresi IL-10 dengan menggunakan metode pewarnaan
imunohistokimia dan jumlah sel fibroblas menggunakan metode
pewarnaan hematoxylin-eosin di daerah implan yaitu subkutan
(hypodermis) abdomen bagian ventral yang diamati secara kuantitatif.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan
kombinasi keduanya terhadap ekspresi IL-10 pada subkutan abdomen
tikus (Rattus norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut.
2. Mengetahui pengaruh implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan
kombinasi keduanya terhadap jumlah sel fibroblas pada subkutan abdomen
tikus (Rattus norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut.
1.5 Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka manfaat dari
penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui pengaruh implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP
dan kombinasi keduanya terhadap ekspresi IL-10 dan jumlah sel fibroblast
pada subkutan abdomen tikus (Rattus norvegicus) pada uji
biokompatibilitas respon imun akut.
6
2. Sebagai bahan informasi penelitian selanjutnya mengenai pengaruh
implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan kombinasi keduanya
terhadap ekspresi IL-10 dan jumlah sel fibroblast pada subkutan abdomen
tikus (Rattus norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut.
3. Sebagai dasar lanjutan dan sumber pengetahuan pada pengembangan
penelitian xenograft selanjutnya.
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tissue Engineering
Tissue engineering atau rekayasa jaringan adalah gabungan multidisiplin
ilmu yang melibatkan bidang biologi, kedokteran dan teknik yang menciptakan
perbaruan dalam penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan dengan
memulihkan, mempertahankan, atau meningkatkan fungsi jaringan dan organ
(Kanani et al, 2012). Salah satu faktor yang penting dalam tissue engineering
adalah pembuatan biomaterial berupa perancah atau scaffold. Scaffold yang baik
memiliki bentuk tiga-dimensi, biokompatibel, mudah untuk terdegradasi
(biodegradable) serta memiliki kekuatan mekanik (Potorac et al., 2011).
Gambar 2.1 Ilustrasi grafis prinsip-prinsip yang mendasari rekayasa jaringan
berbasis scaffold (Dept of Biomedical Engineering NUS, 2017).
Tabata dan Matsui (2012) mengungkapkan tissue engineering dapat
membantu menggantikan fungsi biologis organ yang rusak dengan memanfaatkan
tiga faktor yaitu sel, faktor pertumbuhan, dan scaffold sebagai template untuk
7
8
pembentukan jaringan yang memungkinkan sel untuk bermigrasi, dan
menghasilkan jaringan. Tujuan dari konstruksi rekayasa jaringan atau Tissue
Engineered Construct (TEC) adalah untuk menumbuhkan suatu jaringan dan
menghasilkan tiruan biologis yang sesuai dengan fungsi normal.
2.2 Scaffold
Scaffold memiliki peran sebagai ruang untuk vaskularisai jaringan baru
dan secara aktif berpartisipasi dalam proses regenerasi melalui pelepasan growth
factor. Saat ini, scaffold merupakan komponen yang penting dalam tissue
engineering. Secara umum scaffold dalam bedah rekonstruksi dibedakan menjadi
dua, yaitu biologis (menggunakan bahan dasar atau preparat biologis yang sudah
diolah dan didesain) dan sintetis (menggunakan bahan sintetis, yang seringkali
bersifat tidak biodegradable dan respon imun terbatas) (Kalista, 2013).
Rekayasa jaringan berperinsip membangun sel-sel pada extracellular
matrix (ECM) buatan yang juga dikenal sebagai scaffold atau biomaterial yang
mendukung pertumbuhan sel, diferensiasi, dan migrasi matriks ekstraseluler
memiliki komponen berupa kolagen. Menurut Singh et al., (2015), ECM sekitar
fibroblas pada jaringan ikat sebagian besar terdiri dari fibril kolagen. Menurut
Wang et al., (2013), kolagen adalah unsur yang penting dan komponen utama dari
jaringan ikat. Selama bertahun-tahun, scaffold atau perancah kolagen berpori telah
banyak digunakan di teknik rekayasa jaringan untuk kulit, tulang rawan, tulang
dan saraf. Keuntungannya mencakup biokompatibilitas yang baik, toksisitas
rendah dan biodegradasi terkendali.
9
Menurut Farrach-Carson and Carson (2007), peranan ECM pada tissue
engineering adalah sebagai kerangka guna fasilitator regenerasi sebuah jaringan
dan pelepasan growth factor dalam pembentukan jaringan in vivo, atau digunakan
sebagai kerangka sebagai wadah dari sel autolog dalam pembentukan jaringan in
vitro.
Gambar 2.2 Scaffold berpori yang akan dikemas dengan mobilisasi faktor
pertumbuhan (Liu et al., 2012)
Keterangan: (A) Growth factor yang mengenali pori scaffold sebagai wadah
(B) Growth factor bergabung dengan scaffold
Syarat yang penting dalam penentuan substansi biomaterial sebagai
scaffold adalah biokompatibilitas, porositas, dan biodegradabilitas.
2.2.1. Biokompatibilitas
Scaffold harus dapat berintegrasi dengan baik dengan jaringan tanpa
menimbulkan respon imun (Sarkar et al, 2006). Biokompatibilitas dapat
dianggap sebagai kemampuan suatu material untuk berinteraksi dengan
sel-sel atau jaringan hidup atau sistem metabolisme yang tidak
10
menyebabkan toksisitas, injuri atau reaksi imun saat berfungsi pada
tempat tertentu (Ma’ruf, dkk., 2013).
2.2.2. Prorositas
Scaffold harus memiliki pori terbuka, struktur pori yang tinggi dengan
permukaan luas sehingga sel dapat tumbuh dan terdistribusi, dan memfasilitasi
neovaskularisasi untuk rekonstruksi di sekeliling jaringan. Selain itu, scaffold
seharusnya memiliki mikroporositas yang cukup untuk pertumbuhan darah
kapiler. Porositas dan interkonektivitas juga penting untuk difusi dari nutrisi
dan gas serta pembuangan residu hasil metabolik dari aktivitas sel yang
tumbuh dalam scaffold (Yudha, 2013).
2.2.3. Biomekanis dan Biodegradabilitas
Penelitian secara in vitro menunjukkan scaffold seharusnya memiliki
kekuatan mekanis yang cukup untuk menahan tekanan hidrostatis dan
mempertahankan pori yang diperlukan untuk pertumbuhan sel dan produksi
matriks. Selanjutnya degradasi scaffold harus selaras dengan pertumbuhan
jaringan baru, sehingga dengan berjalannya waktu, kerusakan akan diperbaiki
secara keseluruhan dan scaffold akan didegradasi dengan sempurna (Yudha,
2013).
2.3 Jaringan Xenograft
Xenotransplantasi adalah transplantasi sel hidup, jaringan, atau organ yang
berasal dari spesies lain. Sel-sel, jaringan dan organ tersebut yang disebut dengan
xenografts (Jacobsen and David, 2009). Bols et al., (2010) dalam Chikwendu dan
Okanya (2013) menyatakan bahwa, studi penelitian mengenai xenograft akan
11
terus dikembangkan guna membuka jalan agar potensial digunakan. Xenograft
mengandung antigen, terutama protein yang dikenali oleh sistem kekebalan tubuh
resipien sebagai benda asing (Cissell., et al, 2014). Bahan jaringan kemudian
diproses untuk menghilangkan sel-sel (deselularisasi), sehingga meninggalkan
matriks kolagen atau ECM saja. Produk turunan yang bersumber dari hewan yang
terdiri dari perancah jaringan (misalnya Unite® BioMatrix Collagen Synovis
Wound Dressing) (Harding et al., 2010).
2.4 Teknik Deselularisasi
Deselularisasi dianggap penting karena berpotensi untuk menghilangkan
respon imun yang merugikan ditimbulkan oleh epitop membran sel, DNA
alogenik atau xenogenik, dan berhubungan dengan kerusakan molekuler pada pola
molekul. Hal penting dalam proses deselularisasi adalah menghapus bahan sel,
dengan menjaga sebanyak mungkin ECM. Tujuan deselularisasi adalah
menghilangkan sel dan menyisakan ECM (Qiong et al., 2015).
Metode deselularisasi yaitu secara fisik maupun secara kimia. Secara fisik
dalam menghilangkan sel yaitu dengan menggunakan metode freezing-thawing
(pembekuan-pencairan). Metode ini mampu melisiskan sel dengan merusak
bagian membrane sel menggunakan kristal es. Metode ini tidak efektif digunakan
untuk menghilangkan sel secara menyeluruh, maka diperlukan proses
deselularisasi secara kimiawi (Gilbert et al., 2006). Proses deselularisasi secara
kimiawi menggunakan bahan kimia untuk menghilangkan sel dalam jaringan.
Bahan yang digunakan yaitu Sodium Dodecyl Sulphat (SDS) dan Ethylene
Diamine Tetra Acetic (EDTA). SDS terdiri atas bahan detergen ionic yang
12
mampu melisiskan sel dengan merusak struktur membran sel maupun membrane
nukleus dan berfungsi juga untuk mendenaturasi protein. Sedangkan EDTA
berfungsi untuk mengikat ion sehingga ikatan sel dengan ECM akan rusak (Crapo
et al., 2011).
Gambar 2.3 Struktur kimia dari SDS (Kumar et al., 2014) (a) dan EDTA
(Nagaraju et al., 2017) (b)
2.5 Platelete Rich Plasma
Saat ini telah banyak penggunaan PRP dalam aplikasi klinis seperti dalam
penyembuhan tulang pada bedah maxilofascial mulut, penyembuhan luka pasca
operasi, dan penyembuhan pada kasus cedera olahraga atau muskuloskeletal
(Pietrzark and Eppley, 2006). Platelete rich plasma memiliki 7 protein mendasar
yaitu Platelet Derived Growth Factors (PDGF), Transforming Growth Factor
(TGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Epidermal Growth Factor
(EGF), and adhesive proteins – fibrin, fibro-nectin, dan vitronectin (Jain and
Gulati, 2016). Interaksi kompleks antara faktor-faktor pertumbuhan, faktor
diferensiasi dengan faktor protein perekat (adhesive protein factor) seperti
fibronektin dan vitronectin berperan penting dalam proses penyembuhan,
mempromosikan proses regenerasi panjang kemotaksis, proliferasi sel, fagositosis
a b
13
Gambar 2.4 Mekanisme kerja growth factor dari PRP dalam penyembuhan luka
dan regenerasi jaringan (Jain and Gulati, 2016)
sisa-sisa jaringan, angiogenesis, pembentukan matriks ekstraseluler, produksi
osteoid dan sintesis kolagen (Yudha, 2013).
2.5.1. Fungsi Platelet
Platelet berfungsi dalam hemoestasis dan inisiasi proses penyembuhan
luka. Platelet menginduksi proses migrasi dan mengundang sel radang dari
sum-sum tulang (bone marrow derived cells) ke daerah angiogenesis, platelet
juga menginduksi diferensiasi sel progenitor endotial menjadi sel endotial
yang matang. Platelet merupakan elemen pertama yang tiba di daerah yang
luka dan berperan aktif pada fase inflamasi proses penyembuhan luka. Sitokin
dasar yang teridentifikasi dalam trombosit berperan penting dalam proliferasi
sel, kemotaksis, diferensiasi sel, regenerasi, dan angiogenesis (Yudha, 2013).
Platelet mengandung berbagai macam faktor pertumbuhan dengan
konsentrasi tinggi yang penting dalam proses regeneratif. Ketika trombosit
diaktifkan, faktor pertumbuhan dilepaskan dari butiran alpha yang
14
mengakibatkan peningkatan konsentrasi faktor pertumbuhan dilingkungan
luka (Toffler et al., 2009).
2.5.2. Kandungan Growth Factor pada PRP
Platelet mengandung berbagai macam faktor pertumbuhan dengan
konsentrasi tinggi yang penting dalam proses regeneratif. Penelitian Fr’echette
dkk dalam Yudha (2013) menunjukkan bahwa pelepasan PDGF, TGF-β, FGF,
dan VEGF secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah kalsium dan trombin
yang ditambahkan kedalam PRP.
Tabel 2.1 Jenis-jenis faktor pertumbuhan pada PRP
Faktor pertumbuhan Fungsi
Platelet Derived Growth
Factor (PDGF)
Stimulasi sel fibroblas, kemotaktik, stimulasi
TGF- β, produksi kolagen, peningkatan
sintesis proteoglikan
Transforming Growth Factor
Beta (TGF- β)
Modulasi proliferasi fibroblas, pembentukan
matriks ekstraselular, meningkatkan produksi
kolagen oleh fibroblas, faktor kemotaktik
neutrofil dan makrofag
Basic Fibroblast Growth
Factor (bFGF)
Produksi kolagen, stimulasi angiogenesis,
proliferasi mioblas
Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF)
Memicu angiogenesis
Epidermal Growth Factor
(EGF)
Memicu diferensiasi sel, angiogenesis, serta
proliferasi sel mesenkimal dan epidermal
Insulin-like Growth factor
(IGF)
Memicu proliferasi dan diferensiasi berbagai
jenis sel
(Satriyo dkk., 2011)
Hormon PDGF ditemukan pada tahun 1974 yang berfungsi sebagai
chemotactor untuk monosit, neutrofil, dan fibroblas, berperan dalam
pertumbuhan sel, selular migrasi, efek metabolic, dan modulasi reseptor sel
15
membran. Pertama kali PDGF diidentifikasi sebagai produk trombosit yang
merangsang proliferasi in vitro jenis sel jaringan ikat seperti fibroblas.
Hormon ini terdiri dari empat isoform (PDGF-A, B, C dan D) dan dua rantai
reseptor (PDGFR-alpha dan beta), memainkan peran penting dalam
penyembuhan luka, arterosklerosis, fibrosis, dan keganasan, berperan dalam
berbagai proses patofisiologis, mulai dari proliferasi sel dan migrasi ke
matriks ekstraselullar, produksi mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi,
mempengaruhi permeabilitas jaringan dan regulasi hemodinamik. Pelepasan
PDGF dapat memiliki efek pada monosit kemotaktik, neutrofil, fibroblas, sel
induk, dan osteoblas. Peptide ini merupakan mitogen ampuh untuk sel
mesenkimal termasuk fibroblas (Yudha, 2013).
Hormon VEGF mempromosikan angiogenesis dan dapat
mempromosikan penyembuhan luka kronis dan membantu dalam osifikasi
endokhondral. Faktor pertumbuhan lainnya seperti Epidermal Growth Factor
(EGF), TGF-alpha, IGF-1, angiopoietin-2 (Ang-2), dan interleukin- 1β yang
juga memainkan peran penting dalam penyembuhan luka.
Hormon IGF-1 berperan dalam menginduksi proliferasi, diferensiasi,
dan hipertrofi beberapa sel. Hormon IGF-1 memiliki dua fungsi penting
sebagai kemotaksis untuk sel endotel vaskuler ke dalam luka yang
mengakibatkan angiogenesis dan mempromosikan diferensiasi sel seperti
kondroblas, myoblas, osteoblas, dan sel hematopoietik (Yudha, 2013).
Hormon TGF-β adalah merupakan salah satu protein yang baru
ditemukan. Dua sumber utama protein ini adalah platelet dan makrofag.
16
Hormon TGF-β berfungsi sebagai kemotaktor dan activator monosit,
makrofag, dan fibroblas. Fibroblas yang teraktifasi meningkatkan
pembentukan ECM dan kolagen. Hormon TGF-β beta yang dilepaskan dari
butiran alpha adalah suatu mitogen untuk fibroblas, sel-sel otot polos, dan
osteoblast, juga mempromosikan angiogenesis matriks ekstraseluler dan
produksi matrik ekstraseluler (Yudha, 2013).
2.6 Uji Biokompatibilitas
Uji biokompatibilitas dilakukan untuk menguji sampel material yang akan
berkontak dengan jaringan lunak atau tulang dan untuk mengevaluasi kemampuan
suatu material dapat menimbulkan reaksi inflamasi ( Thorne et al, 2007). Respon
inflamasi biasanya terjadi karena biomaterial dikenali sebagai benda asing
sehingga resipien melakukan mekanisme pembersihan kontaminan untuk
meminimalisasi infeksi melalui fagositosis (Alhasyimi, dkk., 2015).
Dalam terminologi secara umum biokompatibilitas adalah keadaan atau
situasi dimana tidak terjadi interaksi yang berbahaya antara biomaterial dengan
sistim biologis dan sebaliknya (Hakim, 2012). Biokompatibilitas dapat dianggap
sebagai kemampuan suatu material untuk berinteraksi dengan sel-sel atau
jaringan hidup atau sistem metabolisme yang tidak menyebabkan toksisitas,
injuri atau reaksi imun saat berfungsi pada tempat tertentu (Ma’ruf, dkk.,
2013).
Tujuan dari uji biokompatibilitas adalah untuk mengetahui interaksi
antara material terhadap jaringan tubuh . Respon inflamasi ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah sel neutrofil terutama di bagian tepi dari jaringan yang
17
mengalami reaksi toksisitas. Reaksi atau respon imun akan terjadi apabila
terdapat penolakan terhadap bahan implan berupa reaksi hipersensitivitas
(Ma’ruf, dkk., 2013).
2.7 Respon Imun terhadap Jaringan Xenograft
Xenograft ditolak oleh sistem kekebalan tubuh penerima oleh empat
mekanisme penolakan yang berbeda (Hisashi et al., 2008). Hal ini disebut sebagai
hyperacute rejection, acute humoral xenograft rejection, acute cellular xenograft
rejection and chronic rejection. Jika graft ditolak dalam waktu 48 jam setelah
transplantasi penolakan tersebut adalah hiperakut. Jika graft ditolak hingga 7 hari
pasca transplantasi disebut penolakan akut. Penolakan kronis terjadi berbulan-
bulan setelah transplantasi. Penolakan xenograft sering didefinisikan sebagai
hilangnya fungsi organ (Sunesson, 2012).
Seperti halnya untuk respon imun lainnya, reaksi terhadap xenograft
melibatkan kedua reaksi imunitas yaitu imunitas humoral dan seluler. Reaksi
imunologi xenograft melibatkan kehadiran di kedua antibodi alami yaitu imunitas
humoral dan seluler mampu menyebabkan reaksi penolakan hiperakut organ yang
tervaskularisasi. Meskipun antibodi alami telah menimbulkan reaksi pertahanan
untuk xenograft, namun sekarang terdapat banyak metode untuk menghilangkan
antibodi atau mengendalikan efek penolakan, guna menghindari penolakan
hiperakut (Sachs, 1995).
Antigen permukaan sel yang sudah ada merangsang imunitas humoral
dalam pembentukan antibody. Semua graft harus cocok atau akan terjadi reaksi
hiperakut. Antigen MHC kelas 1 (misalnya HLA-A, HLA-B, HLA-C) terdapat
18
pada permukaan sel berinti dan merangsang aktivasi limfosit T CD8 positif
(sitotoksik) pada resipien. Mengoptimalkan kecocokan kelas 1 dapat mengurangi
risiko respon imun akut (Grace dan Neil, 2006). Antigen MHC kelas 2 (misalnya
DR, DP, DQ) ditemukan pada sel seperti makrofag, monosit, dan limfosit B dan
merangsang limfosit T CD4 positif (helper). Mengoptimalkan kecocokan kelas 2
mengurangi risiko rejeksi respon humoral (Grace dan Neil, 2006).
2.8 Sitokin Antiinflamasi Interleukin-10
Sitokin memiliki peran yang penting dalam interaksi dan komunikasi antar
sel (Zhang and An, 2007). Sitokin meregulasi system imun, inflamasi dan
hematopoiesis. Interleukin-10 (IL-10) adalah sitokin anti-inflamasi yang pertama
memanggil sintesis human cytokine faktor inhibitor, IL-10 bermain peran untuk
menghambat sintesis dari banyak sitokin termasuk proses inflamasi (Khan, 2008).
Gambar 2.5 Gambar inflamasi dikontrol oleh modulasi fenotipe dari sitokin pro-
inflamasi dan anti-inflamasi dalam penyembuhan luka (Browne and Pandit, 2015)
Sitokin IL-10 tersusun 36-kDa dimer dari dua ikatan panjang 160-
aminoacid- residue. Gen ini terletak di kromosom 1 pada manusia dan tetap terdiri
dari 5 exon. Sitokin IL-10 menghambat sintesis dari sejumlah sitokin yang terlibat
pada proses inflamasi termasuk IL-2, IL-3, GM-CSF, TNFα dan IFNγ.
19
Berdasarkan pada profil tekanan sitokin, hal ini juga berfungsi sebgai inhibitor
dari presentasi antigen. Menariknya, IL-10 dapat mempromosikan aktivitas sel
mast, sel B dan termasuk sel T. Sitokin IL-10 merupakan sitokin imunoregulator.
Sitokin anti inflamasi yang pertama disintesis oleh faktor penghambat. Sitokin IL-
10 disekresi oleh makrofag, sel Th2 dan sel mast (Khan, 2008). Tujuan utama dari
IL-10 adalah monocyte, dimana ia akan mengeblok aktivasi dan proliferasi, IL-10
juga menghambat fungsi sel dendritic dan aktivasi sel T, kemudian berefek pada
makrofag (Mu Wei et al, 2005).
Sitokin IL-10 adalah sitokin pleitropik yang diproduksi oleh makrofag,
fibroblas atau sel T dan beberapa sel non limfoid seperti keratinosit dan sel tumor.
Sitokin ini juga ikut menekan ekspresi MMP sel selain menghambat sintesis IL-1
dan TNF α melalui promosi dan degradasi mRNA. Sitokin IL-10 memiliki efek
anti inflamasi melalui jalur yang berbeda seperti supresi produksi sitokin monosit.
Makrofag merespon adanya mikroba melalui sekresi sitokin dan ekspresi
kostimulator mengaktivasi sel T dan immune mediated sel. Sitokin IL-10 bekerja
pada aktivasi makrofag, menghentikan respon ini yang mengembalikan sistem ke
dalam keadaan status istirahat. Pada manusia IL-10 diproduksi dan didown
regulated oleh sel Th1 dan Th2 (Abadi, 2008).
2.9 Sel Fibroblas
Sel fibroblas merupakan elemen utama pada proses perbaikan untuk
pembentukan protein structural yang berperan dalam pembentukan jaringan.
Menurut Werner et al (2007), fibroblas berasal dari sel-sel mesenkimal lokal,
20
pertumbuhannya disebabkan oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag dan
limfosit.
Pada keadaan normal, aktivitas pembelahan fibroblas sangat jarang
terlihat, namun ketika terjadi perlukaan sel ini terlihat lebih aktif dalam
memproduksi matriks ekstraseluler. Proliferasi fibroblas dalam proses
penyembuhan luka secara alami distimulasi oleh interleukin-1β, Platelet PDGF,
dan FGF (Sumbayak, 2016). Selain itu menuurt Kanzaki dkk (1998) dalam
Sumbayak (2016) mengungkapkan bahwa migrasi fibroblas pada area perlukaan
distimulasi oleh TGF-β, yaitu faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh jaringan
granulasi yang terbentuk selama proses inflamasi.
Gambar 2.6 Gambar mikroskopis morfologi sel fibroblast perbesaran 400x
Keterangan: (a) Fibroblas biasanya menunjukkan inti yang aktif dan besar
dan eosinophilic sitoplasma meruncing di kedua arah
sepanjang sumbu inti, morfologi biasanya disebut
"berbentuk gelendong." Inti (pada panah) terlihat jelas,
namun sitoplasma menyerupai bundel kolagen.
(b) Fibroblas yang aktif adalah sel besar, sedangkan fibroblas
tidak aktif atau fibrosit lebih kecil dengan kurang menonjol
(Mescher, 2010).
a b
21
Pada jaringan pengikat regular yang padat, fibroblas akan memiliki bentuk
fusiform atau spindle karena terletak diantara serabut kolagen regular. Pada
jaringan pengikat areolar, fibroblas akan berbentuk stellate karena bentuk serabut
kolagen yang tidak beraturan. Individual fibroblas akan berbentuk plleomorfik,
mungkin supaya mereka dapet bergerak di jaringan pengikat (Yudha, 2013).
2.10 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)
Penggunaan hewan coba dalam suatu penelitian sangat mendukung suatu
penelitian untuk pengobatan suatu penyakit atau untuk penemuan baru di bidang
medis. Hewan coba yang digunakan harus memiliki kriteria khusus dan mampu
memunculkan kondisi patogenesis dan patofisiologis dari suatu kondisi yang
sedang diteliti (Frode and Medeiros, 2008). Hewan coba yang digunakan untuk
diabetes mellitus dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) starin
Wistar dengan klasifikasi menurut David (2000) :
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodentia
Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus strain Wistar
22
Gambar 2.7 Tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar (David, 2000)
Penggunaan tikus putih (Rattus norvegicus) pada gambar 2.7 banyak
digunakan karena mudah diperoleh. Tikus putih memiliki sifat respon biologik
dan adaptasi yang mirip dengan manusia, mudah untuk dikendalikan, mudah
dipelihara, dan perawatannya yang mudah sehingga membantu dalam penelitian
(Widyastuti, 2000). Tikus putih mencapai umur dewasa ketika berumur 50-60 hari
baik jantan maupun betina, di mana seluruh organ sudah berfungsi secara normal
dan kondisi tubuh sudah stabil, berat badan ideal tikus dewasa unur 60 hari
berkisar 150-250 gram dan akan terus bertambah, pada umur 90 hari bisa
mencapai 275-350 gram (Ai, et al., 2005).
23
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Kelompok perlakuan implantasi scaffold (kelompok 1) dimana teknik
deselularisasi yang sebelumnya diterapkan pada jaringan kulit kambing
diharapkan mampu meningkatkan biokompatibilitas. Konstruksi scaffold yang
terbentuk diharapkan akan menjadi template sel dan faktor pertumbuhan
autologue resipien itu sendiri dan dapat berinteraksi dengan baik. ECM scaffold
yang terdiri dari bundle kolagen diimplantasikan pada bagian subkutan kulit akan
bersatu dengan jaringan sekitar daerah implantasi. Reaksi imunitas yang merespon
benda asing akan mengaktifkan makrofag. Disisi lain setelah respon inflamasi
terjadi dilanjutkan dengan penurunan sitokin proinflamasi, hal tersebut
menyebabkan terjadi penekanan limfosit T menyebabkan hiporesponsif limposit T
sehingga dapat menyebabkan penurunan sel T CD4+ yang dapat menurunkan
produksi Th1 dan Th2. Sel Th1 akan menurun sehingga produksi sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang muncul akibat adanya respon
inflamasi akan segera ditekan oleh sitokin antiinflamasi. Sehingga membuat
produksi IL-10 lebih mengalami peningkatan sehingga tidak terjadi immune
rejection dan akan meningkatkan kompatibilitas scaffold yang aman untuk
diimplankan. Degradasi scaffold akan terjadi secara perlahan dan bergabung atau
kompatibel terhadap jaringan sekitarnya dengan bantuan growth factor autologue.
Pemberian aplikasi PRP (kelompok 2) yang diimplantasikan ke jaringan
subkutan tikus Rattus norvegicus, dimana PRP banyak mengandung growth factor
23
24
diantaranya VEGF bertindak sebagai stimulator dan pemicu angiogenesis. Selain
itu, PDGF dan TGF dapat bertindak sebagai kemoatraktan untuk sel radang.
Meskipun terdiri dari berbagai macam faktor pertumbuhan, kita tidak dapat
mengetahui persentase masing-masing faktor partumbuhan. Hal tersebut
menyebabkan adanya growth factor yang mensuport angiogenesis lebih dominan
dan meningkatnya angiogenesis terjadi. Angiogenesis yang tinggi akan
menyebabkan meningkatnya migrasi sel radang pada saat proses inflamasi. Saat
itulah sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α akan meningkat dan
sitokin antiinflamasi seperti IL-10 akan menurun. Disaat yang sama kemoatraktan
akan memanggil sel-sel radang sehingga terjadi nonkompatibel pada bahan
implan.
Pada kelompok kombinasi scaffold dan PRP (kelompok 3), degradasi
scaffold akan terstimulasi akibat adanya PRP yang mengandung beberapa faktor
pertumbuhan sehingga akan menyebabkan degradasi berlebih. Faktor
pertumbuhan seperti PDGF dan VEGF akan meningkatkan angiogenesis sehingga
sel radang akan bermigrasi dari pembuluh darah ke jaringan subkutan. Hal
tersebut dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah ekspresi sitokin proinflamasi
seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Sel Th1 akan meningkat sehingga produksi sitokin
proinflamasi juga mengalami peningkatan. Sehingga membuat produksi IL-10
mengalami penurunan.
Selain itu, percepatan degradasi scaffold akan menurunkan kolagen dermis
scaffold dan tentunya akan menurunkan jumlah ekspresi sel fibroblast.
Menurunnya ekspresi IL-10 dan ekspresi sel fibroblas menyebabkan terjadi
25
penurunan respon biokompatibilitas atau implantasi scaffold xenograft aseluler
asal kulit kambing yang dikombinasikan dengan PRP. Kerangka konseptual
penelitian akan digambarkan pada (gambar 3.1), dimana terjadinya
nonbiokompatibel bahan implantasi.
26
Angiogenesis
IL-10
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
: Pengaruh implantasi scaffold : Variabel terikat
: Pengaruh kombinasi PRP dan scaffold : Variabel bebas
: Pengaruh implantasi PRP
Degradasi Scaffold
Oleh Sel Radang
Migrasi Sel
Radang
VEGF
Scaffold
(Extracelullar Matrix)
Implantasi di subkutan
tikus Rattus novergicus
PRP
(Platelete Rich Plasma)
Jumlah sel fibroblas
PDGF
Perlekatan Sel
Radang
Kolagen
Hipodermis
Kombinasi
Scaffold & PRP
27
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ada, maka hipotesis yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut ini :
1. Implantasi scaffold, PRP dan kombinasi keduanya dapat mempengaruhi
ekspresi Interleukin-10 (IL-10) pada subkutan abdomen tikus (Rattus
norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut.
2. Implantasi scaffold, PRP dan kombinasi keduanya dapat mempengaruhi jumlah
sel fibroblas pada subkutan abdomen tikus (Rattus norvegicus) pada uji
biokompatibilitas respon imun akut.
28
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan yaitu Institut Biosains Universitas Brawijaya,
Laboratorium Histologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Brawijaya, Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dan
Laboratorium Patologi Anatomi Kasima Medika RSIA Malang. Penelitian ini
dilakukan pada bulan April 2016 hingga bulan Juni 2017.
4.2 Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1 Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kandang mencit
berupa kotak berukuran 44 cm x 30 cm x 12 cm yang dipisahkan dengan kawat
strimin, masing – masing berisi 4 ekor mencit yang diberi pakan dan minum,
sentrifuge, gunting, pinset, micro tube 1,5 mL, gelas ukur, magnetic stirer,
vortex, refrigerator, lemari es, inkubator, scalpel blade, tisu, glove dan pH meter.
4.2.2 Bahan Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jenis Rattus
novergicus galur wistar jantan umur 3 bulan dengan berat badan 150-200 gr.
Segmentasi kulit kambing yang telah dideselularisasi dengan ukuran 1 cm x 1 cm
28
29
digunakan untuk bahan scaffold xenograft aseluler. PRP yang digunakan berasal
dari darah allogenic hewan coba (tikus Rattus norvegicus).
Gambar 4.1 Gambar hasil makroskopis dan mikroskopis
scaffold xenograft aseluler pasca deselularisasi
Keterangan: (a) Sampel kulit kambing pasca deselularisasi dengan
dimensi lebar 1 cm dan panjang 1 cm.
(b) Gambaran mikroskopik secara histologi jaringan
kulit kambing pasca deselularisasi (scaffold
xenograft aseluler) dengan perbesaran 40x lensa
objektif.
4.2.3 Bahan Kimia
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah penicillin, streptomycin,
akuades, NaCl Fisiologis, 0,1% SDS, 1% EDTA, PBS, PRP, formaldehyde 10%,
larutan etanol, xylol, parafin, gelatin coated slide, H2O2 0,3%, Bio Care kit
(terdiri atas blocking solution, antibodi sekunder polyvalent, HRP, substrat,
DAB), antibodi primer anti mouse IL-10, dan Hematoxylin-Eosin.
1x1 cm 40X
(a) (b)
30
4.3 Tahapan Penelitian
4.3.1 Penetapan Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus Rattus
norvegicus galur wistar jantan berumur 3 bulan dengan berat badan sekitar 150-
200 gr. Hewan coba diaklimatisasi selama tujuh hari untuk menyesuaikan dengan
kondisi di laboratorium. Hewan coba harus dalam kondisi sehat (berambut cerah,
aktivitas baik, tidak ada abnormalitas anatomis, dan nafsu makan baik) serta
mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Universitas Brawijaya,
serta belum pernah digunakan penelitian. Sampel berupa kulit kambing yang
berumur sekitar 1,5 tahun dan dipotong 1 cm x 1 cm.
Estimasi besar sampel dihitung berdasarkan rumus Federer
(Kusriningrum,2008) :
t (n-1) ≥ 15
3 (n-1) ≥ 15
3n-43 ≥ 15
n ≥ 18
n ≥ 18/3
n ≥ 6
Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk 3 macam kelompok
perlakuan diperlukan jumlah tikus minimal sebanyak 6 kali dalam setiap
kelompok, sehingga dibutuhkan 18 ekor tikus wistar sebagai hewan coba.
Keterangan :
t = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah ulangan yang diperlukan
31
4.3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental, yaitu kegiatan percobaan (experiment)
yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat dari
adanya perlakuan tertentu menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) post
test control design. Kelompok penelitian ditunjukkan dalam (Tabel 4.1) sebagai
berikut :
Tabel 4.1 Rancangan Kelompok Penelitian
Kelompok Keterangan
K1 (Implantasi Scaffold) Tikus diimplantasi scaffold pada subkutan
K2 (Implantasi PRP) Tikus diimplantasi PRP pada subkutan
K3 (Implantasi Scaffold & PRP) Tikus diimplantasi kombinasi scaffold dan PRP
4.3.3 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
a. Pemberian bahan implantasi scaffold xenograft aseluler
b. Pemberian bahan implantasi PRP
c. Pemberian bahan implantasi kombinasi scaffold dan PRP
2. Variabel terikat
a. Ekspresi IL-10 pada hipodermis dalam preparat histopatologi
kulit
b. Jumlah sel fibroblast hipodermis dalam preparat histopatologi
kulit
32
3. Variabel kontrol
a. Homogenitas tikus (jenis kelamin jantan, berat badan 150-200
gram, umur 3 bulan), kandang (panjang 44 cm, lebar 30 cm,
dan tinggi 12 cm didalamnya dibagi menjadi 4 bagian yang
isekat dengan kawat, sekam kayu) dan pakan (pellet diberikan
setiap dua hari sekali).
Adapun tahapan penelitian yang dilakukan antara lain :
1. Persiapan (Pembagian Kelompok dan aklimatisasi hewan coba)
2. Preparasi kulit kambing
3. Deselularisasi kulit kambing
4. Pembuatan PRP
5. Uji Biokompatibilitas secara in vivo (Implantasi Subkutan Tikus)
6. Nekropsi Tikus Paska Implantasi
7. Pembuatan Preparat Histopatologi
8. Pewarnaan Immunohistokimia (IHK) IL-10 dan Hematoxylen
Eosin
9. Analisa data
4.4 Prosedur Kerja
4.4.1 Persiapan Hewan Coba
Tikus yang digunakan untuk penelitian diadaptasi atau aklimatisasi
terhadap lingkungan selama 7 hari. Tikus ditempatkan pada bak plastik
berukuran 44 cm x30 cm x 12 cm yang dilengkapi penutup kawat, lantai kandang
33
yang mudah dibersihkan, berlokasi pada tempat yang bebas dari suara tidak
nyaman dan terjaga dari polutan. Hewan coba harus memiliki kondisi sehat
(berambut cerah, aktivitas baik, tidak ada abnormalitas anatomis, dan nafsu
makan baik), lulus proses sertifikasi layak etik penelitian oleh komisi etik
Universitas Brawijaya, dan belum pernah digunakan penelitian. Pemberian pakan
tikus berupa pelet yang sudah disediakan di Laboratorium Biosains, Universitas
Brawijaya.
4.4.2 Preparasi dan Koleksi Sampel
Segmen kulit bagian paha dari kambing jantan berumur sekitar 1,5 tahun
yag didapat dari rumah potong kambing milik bapak Cholik dengan alamat Jalan
Pesantren gang 2 Sanan Watugede Singosari- Malang. Kulit kambing
disegmentasi dengan dimensi sampel 1 cm x 1 cm dengan perlakuan proses
deselularisasi guna menjadi kulit acellular.
4.4.3 Perlakuan Deselularisasi
1. Kulit kambing segar diambil dan dibawa ke laboratorium dalam 0,1% Pen-
Strep dalam NS agar terhindar dari kontaminasi. Kulit kambing dipotong
menjadi segmen kulit. Total segmen yang dibutuhkan sebanyak 12, tetapi
dilebihkan untuk pembuatan preparat histopatologi guna pemeriksaan ECM
pasca deselularisasi. Segmen kulit diberi perlakuan teknik deselularisasi
berdasarkan metode Wang et al., (2010) dan Permata dan Susilowati, (2013),
menggunakan perendaman dalam larutan 1% Sodium Dodecyl Sulfate (SDS),
1% Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA), dan 0,1% Pen-Strep dalam
34
PBS pH 7,4 selama 22 hari. Larutan tersebut diganti setiap tiga hari sekali.
Sampel post deselularisasi dapat disimpan dan direndam dalam larutan PBS
pH 7,4 dan Pen-Strep 0,1% di pot sampel pada suhu -20oC.
4.4.4 Pembuatan PRP
Penyiapan PRP dilakukan menggunakan metode Buffy Coat.Langkah
pertama adalah pengambilan darah tikus dilakukan melalui vena retroorbita
menggunakan hematokrit dan intracardia meggunakan spuit 3 cc. Kemudian
darah ditampung ke dalam tube Natrium Citrate-containing dan dihomogenkan
dengan antikoagulan. Tabung lalu disentrifuge pada suhu 4°C dengan kecepatan
1000G selama 10 menit. Setelah itu pindahkan plasma dan buffy coat serta
sedikit lapisan teratas eritrosit ke tabung ependorf lain. Kemudian disentrifuge
kembali pada suhu 4°C dengan kecepatan 2100G selama 10 menit. Terakhir
pindahkan supernatan ke tabung lain dan simpan pada suhu 4°C. Supernatan
inilah bagian yang kaya akan platelet atau PRP.
Gambar 4.2 Gambaran platelet rich plasma allogenic yang akan digunakan
35
4.4.5 Implantasi Bahan Implan pada Hewan Coba (In Vivo)
Gambar 4.3 Gambaran metode implantasi bahan implan
Keterangan: (a) Implantasi scaffold xenograft aseluler pada subkutan abdomen
tikus (Kelompok 1)
(b) Implantasi Platelet Rich Plasma (PRP) pada subkutan abdomen
tikus (Kelompok 2)
(c) Implantasi kombinasi scaffold PRP pada subkutan abdomen
tikus (Kelompok 3)
Sebanyak 18 ekor tikus jantan umur 3 bulan terlebih dahulu ditimbang dan
dianestesi menggunakan ketamin-xylazine 100 mg/kg BB dengan xylazine 5
mg/kg BB (Plumb, 2008). Pada daerah abdomen diinsisi dari kulit hingga linea
alba. Sebelum ditutup terlebih dahulu dalam rongga abdomen disemprot dengan
larutan PBS Pen-Strep 0,1% agar organ terhidrasi dan mencegah infeksi.
Aplikasi variable pada kelompok 2, 3 dan 4. Pada linea alba dijahit menggunakan
benang chromic 3.0 dengan teknik simple interrupted. Sampel tiap kelompok
diimplatasikan ke subkutan tikus. Kemudian kulit ditutup dengan jahitan benang
a b
c
36
plain cat gut 3.0 dengan teknik simple interrupted dilanjutkan dengan bandage
menggunakan kasa dan plester. Treatment post operasi pada tikus adalah dengan
pemberian antibiotik amoxicillin 500 mg yang dilarutkan dalam 500 ml air secara
add libitum. Tikus dieuthanasia setelah 2 minggu dan jaringan kulit sekitar
implantasi dikoleksi lalu direndam dalam formaldehyde 10%.
4.4.6 Pemeliharaan Pasca Implantasi dan Nekropsi Tikus
Tikus paska implantasi dan perawatan selama 2 minggu kemudian
dieuthanasi dengan cara dislokasi leher. Jaringan kulit sekitar implantasi
dikoleksi dan dimasukkan dalam larutan formaldehyde 10%.
4.4.7 Pembuatan Preparat Histopatologi Metode Parafin
Pembuatan preparat histopatologi dengan metode parafin dilakukan
menurut Junquiera dan Carneiro (2007). Jaringan kulit difiksasi dengan PFA
10% selama 18-24 jam. Tujuan dilakukan fiksasi adalah untuk mempertahankan
susunan jaringan kulit agar tidak berubah oleh proses biokimia karena enzim atau
pembusukan oleh bakteri. Kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan etanol
bertingkat 70%, 80%, 90%, dan 95%. Proses dehidrasi bertujuan untuk
mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan yang telah difiksasi
sehingga jaringan dapat diisi dengan parafin atau zat lain yang digunakan untuk
blok preparat. Tahap selanjutnya adalah clearing.Jaringan dimasukan dalam
larutan alkohol xylol selama 1 jam berfungsi untuk mengeluarkan alkohol dari
jaringan dan menggantinya dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan
parafin. Tahap berikutnya adalah proses impegnasi yang dilakukan dalam parafin
37
cair dan embedding ke dalam blok. Pembenaman (impregnasi) adalah proses
yang berfungsi mengeluarkan cairan pembening (clearing agent) dari jaringan
kemudian diganti dengan parafin. Dalam tahap ini jaringan harus benar-benar
bebas dari clearing agent karena sisa cairan tersebut dapat mengkristal dan ketika
dipotong dengan mikrotom akan mengakibatkan jaringan menjadi mudah robek.
Selanjutnya proses blocking, yaitu pembuatan blok preparat agar dapat dipotong
dengan mikrotom.
Jaringan pada blok parafin dipotong dengan microtome setebal 5 mikron.
Hasil potongan lalu dipindahkan ke dalam air 38°-40°C menggunakan kuas yang
bertujuan untuk membuka lipatan dan meluruskan kerutan halus pada sampel
organ. Potongan yang sudah rata kemudian diambil dan diletakkan pada object
glass, kemudian dikeringan di atas hot plate yang bersuhu 38°-40°C.
Penyimpanan dilakukan di dalam inkubator dengan suhu 38° - 40°C dan siap
dilakukan pewarnaan Hematoxilin-Eosin (HE).
4.4.8 Pewarnaan Immunohistokimia (IHK) IL-10
Potongan jaringan kulit tiap kelompok kemudian diwarnai IHK (Star Trek
Universal Detection, Biocare, Canada). Slide diproses deparafinisasi, rehidrasi,
dicucidengan PBS lalu diinkubasi dengan H2O2 0,3% 5 menit lalu dicuci dengan
PBS. Selanjutnya dilakukan blocking background dengan casein (Sniper/protein
blocker) selama 15 menit suhu kamar, lalu diinkubasi dengan antibodi primer.
Slide pertama akan diinkubasi dengan antibodi primer IL-10. Potongan blok
jaringan jantung diwarnai IHC sebagai control positif. Waktu inkubasi antibodi
38
primer adalah semalaman pada suhu 40C. Slide kemudian dicuci dengan PBS,
lalu diinkubasi dengan antibody sekunder dengan Trekkie Universal Link
(Biocare) selama 20 menit pada suhu kamar. Slide dicuci lalu diinkubasi dengan
Trek-Avidin HRP (Biocare) selama 10 menit, lalu diinkubasi dengan Betazoid
DAB chromogen solution (Biocare) selama 3-5 menit hingga menunjukkan
warna cokelat yang berarti positif. Slide kemudian dicelupkan dalam
hematoxylin sebagai counterstaining, kemudian dilakukan proses rehidrasi,
clearing, dan mounting.
Hasil pewarnaan kemudian diamati di mikroskop dan dilihat ada tidaknya
reaksi positif. Slide kemudian diambil foto sebanyak 5 bidang pandang dengan
perbesaran obyektif 40x, dan dihitung jumlah sel yang masing-masing
mengekspresikan IL-10. Perhitungan ekspresi IL-10 dengan menggunakan
Imunorasio (Penkowa, et al.,2003).
4.4.8 Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin (HE)
Pewarnaan HE dilakukan dengan menggunakan zat pewarna Hematoxylin-
Eosin untuk memberi warna biru pada inti sel dan eosin merupakan
counterstaining Hematoxylin digunakan untuk mewarnai sitoplasma dan jaringan
penyambung.Eosinakan memberikan warna merah muda. Proses pewaraan
diawali dengan proses deparafinasi menggunakan xylol dilanjutkan dengan
proses rehidrasi dengan memasukkan preparat dalam alkohol bertingkat.
Konsentrasi alkohol yang digunakan 95%, 90%, 80%, 70% secara berurutan,
masing-masing selama 3 menit bertujuan untuk mengisi cairan ke dalam jaringan
39
agar zat pewarna dapat masuk ke dalam jaringan. Selajutnya dicuci dengan air
mengalir dan dilanjutkan denga merandam ke dalam aquades selam 5
menit.Sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoxylin selama 1 menit, kemudian
dicuci degan air megalir selama 10 menit dan aquades selama 5
menit.Selanjutnya dilakukan pewarnaan menggunakan Eosin selama 5 menit dan
dicuci dengan air mengalir selama 10 menit dan aquades selama 5 menit.
Kemudian dilakukan dehidrasi dengan alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% masing-
masing selama beberapa detik dan dilanjutkan dengan alkohol absolut I, II,, dan
III masing-masing 2 menit yang bertujuan untuk menghilangkan air di dalam
jaringan. Selanjutnya dilakukan proses clearing dengan xylol I, II, dan III selama
3 menit.Langkah terakhir adalah mounting menggunakan Entellan serta ditutup
menggunakan cover glas.
Hasil pewarnaan kemudian diamati di mikroskop. Slide kemudian diambil
foto sebanyak 5 bidang pandang dengan perbesaran obyektif 40x, dan dihitung
jumlah sel menggunakan aplikasi Image Raster guna memudahkan.
4.5 Analisis Data
Data kuantitafif berupa ekspresikan IL-10 dan jumlah sel fibroblast dianalisis
menggunakan statistik dengan metode one-way ANOVA dan diteruskan dengan uji
BNJ (Tukey Test) dengan nilai signifikan kedua parameter yang digunakan adalah
p<0,05 dengan membandingkan antar kelompok menggunakan perangkat lunak IBM
SPSS Statistics ver.22.
40
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran hasil mikroskopis scaffold xenograft aseluler asal kulit kambing
sebelum implantasi sangat diperlukan sebagai konfirmasi terhadap perubahan
jaringan kulit pasca deselularisasi. Gambar 5.1 menunjukkan perbandingan
gambaran mikroskopis kulit kambing yang telah dideselularisasi yaitu scaffold
xenograft aseluler dengan kulit kambing tanpa perlakuan deselularisasi.
Gambar 5.1 Gambaran mikroskopis kulit kambing yang dideselularisasi
(scaffold) dan tanpa deselularisasi (perbesaran 100x dan 400x)
Keterangan : (a) dan (b) Gambaran mikroskopik jaringan kulit kambing dengan
perlakuan deselularisasi (scaffold), tanda panah menunjukkan
ekstraselular matrik atau jaringan aseluler
(c) dan (d) Gambaran jaringan kulit kambing tanpa perlakuan
deselularisasi (kulit segar), tanda panah menunjukkan sel-sel
yang masih memiliki inti
(a) (b)
(c) (d)
100x 400x
100x 400x
41
Gambar (a) dan (b) ditandai dengan tidak adanya inti sel, hal ini
dikarenakan dalam teknik deselularisasi terdapat larutan SDS yang berfungsi
untuk menghancurkan sel-sel pada jaringan kulit. Hal ini dapat diperjelas dengan
penelitian Cissel (2014) yaitu teknik deselularisasi bertujuan melarutkan sel tanpa
menghilangkan struktur dari ECM. Gambar (c) dan (d) menunjukkan kulit tanpa
perlakuan deselularisasi yang ditandai dengan terlihatnya inti sel dengan terlihat
inti sel berwarna ungu. Perlakuan ini sesuai dengan pernyataan Crapo et al., 2011,
proses deselularisasi secara kimiawi menggunakan bahan kimia untuk
menghilangkan sel dalam jaringan. Bahan yang digunakan yaitu SDS dan EDTA.
SDS terdiri atas bahan detergen ionic yang mampu melisiskan sel dengan
merusak struktur membran sel maupun membrane nukleus dan berfungsi juga
untuk mendenaturasi protein. Sedangkan EDTA berfungsi untuk mengikat ion
sehingga ikatan sel dengan ECM akan rusak. Selain scaffold bahan implan
menggunakan PRP.
Sebelum penggunaan PRP sebagai bahan impalan, PRP diaktivasi terlebih
dahulu menggunakan Calcium Chloride (CaCl2) 2%. Gambaran makroskopik
PRP yang telah diaktivasi menggunakan CaCl2 (gambar 5.2).
Gambar 5.2 Gambaran makroskopik sampel gel PRP yang telah diaktivasi
menggunakan kalsium klorida (CaCl2)
42
Gambaran makroskopik PRP yang telah diaktivasi menggunakan CaCl2
adalah terbentuknya gel seperti yang ditunjukkan pada (gambar 5.2). Gel PRP
siap digunakan sebagai bahan impantasi independen atau kombinasi. Aktivasi
PRP sebelum pengaplikasian adalah parameter lain yang memerlukan
pembahasan lebih lanjut. Platelet rich plasma yang dapat diaktivasi oleh CaCl2
2% sesuai dengan penelitian Rodriguez dkk., 2014. Untuk mencapai efek yang
dinginkan, PRP dapat diaktivasi secara eksogen oleh thrombin, kalsium klorida
(CaCl2), atau trauma mekanis. Konsentrasi CaCl2 2% mampu digunakan sebagai
agen untuk degranulasi platelet dimana akan menginduksi growth factor dan
protrombin. Setelah aktivasi, jaringan tertramolekular platelet akan meningkatkan
growth factor (Dohan, 2009). Selain itu protrombin yang akan diubah menjadi
enzim trombin yang selanjutnya diubah menjadi fibrin-fibrinogen yang akan
menimbulkan terjadinya bentukan gel/clothing (Dohan, 2009).
5.1 Ekspresi Interleukin-10 pada Jaringan Subkutan Abdomen Tikus
Rattus norvegicus
Ekspresi IL-10 disekitar area implantasi dapat diintepretasikan dengan
pewarnaan IHK. Karakteristik pewarnaan IHK menggunakan bahan pewarna
berupa DAB (3,3’-diaminobenzidine) akan terlihat berwarna cokelat pada
preparat. Preparat yang terwarnai cokelat akan dihitung persentase (%) warna
menggunakan Imunoratio.
Hasil analisa uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
rataan ekspresi IL-10 antar perlakuan (Tabel. 5.1). Kelompok implantasi
scaffold memiliki nilai rata-rata yang relatif sama dengan kelompok perlakuan
43
implantasi PRP. Sedangkan, kelompok implantasi kombinasi scaffold dan PRP
memiliki nilai rata-rata paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan
implantasi lain. Hasil tersebut menunjukkan bahwa implantasi kombinasi
scaffold dan PRP mampu menurunkan ekspresi IL-10. Menurut Islam (2007),
penurunan ekspresi interleukin-10 (IL-10) atau disebut juga Cytokine
Shynthesis Inhibitory Factor (CSIF) berhubungan dengan respon inflamasi
terhadap bahan implan. Peran IL-10 adalah menghambat TNF-α, IL-1,
kemokin, dan IL-12 yang diproduksi makrofag; kedua, berfungsi paling banyak
menghambat berbagai fungsi makrofag teraktivasi melalui aktivitas sel T dan
merupakan umpan balik negatif. Pemberian PRP yang mengandung growth
factor seperti VEGF akan menstimulasi neovaskuler serta proses angiogenesis
(Gurtner, 2007) sehingga scaffold sebagai template akan menyimpan growth
factor lebih lama dan respon inflamasi akan terfasilitasi oleh adanya
angiogenesis yang berlebih pada scaffold. Semakin tinggi kondisi inflamasi
pada daerah impantasi maka sitokin antiinflamasi seperti ekspresi IL-10 tidak
mampu menghambat prolifersi sitokin pro inflamasi.
Tabel 5.1 Rata-rata ekspresi IL-10 hasil pewarnaan imunohistokimia
Kelompok Perlakuan
Ekspresi Interleukin-10
(IL-10)
Mean (%) ± SD
Kelompok 1 (K1) Implantasi scaffold 66.96 ± 0.07 b
Kelompok 2 (K2) Implantasi PRP 60.00 ± 0.07 b
Kelompok 3 (K3) Implantasi kombinasi
scaffold dan PRP 43.77 ± 0.03 a
Keterangan: Perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan implantasi
44
Kelompok implantasi scaffold menunjukkan ekspresi IL-10 yang
paling tinggi ditandai dengan tingginya ekspresi IL-10 disekitar area implantasi
(Gambar 5.3).
Gambar 5.3 Gambar mikroskopis IHK kelompok 1 tikus implantasi scaffold
(perbesaran 400x) Keterangan: Tanda panah menunjukkan sel yang terekspresi IL-10
Pewarnaan imunohistokimia area implantasi scaffold memperlihatkan
hasil jaringan yang terekspresi IL-10 berwarna cokelat sangat tinggi, hal ini
dikarenakan pada perlakuan deselularisasi akan menghilangkan dan melarutkan
xenoantigen asal kulit xenograft dan hanya menyisakan ECM saja. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Crapo et al., 2011, proses deselularisasi secara
kimiawi menggunakan bahan kimia untuk menghilangkan sel dalam jaringan.
Gambaran mikroksopis histopatologi dengan pewarnaan IHK jaringan
subkutan kulit pasca implantasi di subkutan tikus Rattus norvegicus yang
menunjukkan ekspresi IL-10 yang sangat tinggi (Gambar 5.3).
45
Gambar 5.3 merupakan gambaran IHK subkutan tikus Rattus
norvegicus pasca implantasi scaffold yang menunjukkan peradangan sangat
sedikit ditandai dengan paling tingginya ekspresi IL-10 disekitar area
implantasi ditandai dengan warna cokelat yang terbentuk paling banyak. Proses
deselularisasi yang dilakukan berhasil menghilangkan protein xenoantigen
sehingga dapat diterima oleh tubuh resipien.
Bahan yang digunakan untuk deselularisasi yaitu SDS dan EDTA. SDS
terdiri atas bahan detergen ionik yang mampu melisiskan sel dengan merusak
struktur membran sel maupun membrane nukleus dan berfungsi juga untuk
mendenaturasi protein. Sedangkan EDTA berfungsi untuk mengikat ion
sehingga ikatan sel dengan ECM akan rusak. Sehingga bahan implantasi tidak
akan menimbulkan respon imun yang negatif.
Kelompok implantasi PRP saja menunjukkan ekspresi IL-10 yang
cukup tinggi ditandai dengan tingginya ekspresi IL-10 disekitar area implantasi
(Tabel 5.1). Kelompok implantasi PRP memiliki nilai rata-rata yang relatif
sama dengan kelompok perlakuan implantasi scaffold. Pewarnaan
imunohistokimia area implantasi scaffold terlihat hasil jaringan yang
terekspresi IL-10 sama-sama menunjukkan warna cokelat yang cukup tinggi
(Gambar 5.4), hal ini menunjukkan hal yang positif yaitu tingginya sitokin
antiinflamasi (IL-10) dapat diartikan bahan implan menunjukkan respon imun
yang baik.
46
Gambar 5.4 Gambar mikroskopis IHK kelompok 2 tikus implantasi PRP
(perbesaran 400x) Keterangan: Tanda panah menunjukkan sel yang terekspresi IL-10
Sitokin dasar yang teridentifikasi dalam platelet berperan penting dalam
proliferasi sel, kemotaksis, diferensiasi sel, regenerasi, dan angiogenesis
(Yudha, 2013). Dibutuhkannya faktor pertumbuhan pada kondisi regenerasi
jaringan mencetuskan alternatif penggunaan PRP yang kaya akan kandungan
faktor pertumbuhannya, sebagai substitusi untuk merangsang proses regenerasi
jaringan. Berdasarkan penelitian Creeper dan Ivanovski (2012), PRP diusulkan
sebagai metode untuk memberikan faktor pertumbuhan guna untuk
meningkatkan regenerasi, unggul dalam hal mendorong migrasi sel-sel dan
tidak ada perbedaan yang berarti antara penggunaan PRP autologue atau
allogenic pada fungsi sel, keduanya aman digunakan.
Kelompok implantasi kombinasi scaffold dan PRP ditandai dengan
rendahnya ekspresi IL-10 disekitar area implantasi (Tabel 5.1). Pewarnaan
imunohistokimia area implantasi scaffold dan PRP menunjukkan hasil sel yang
47
terekspresi IL-10 yaitu berwarna cokelat rendah dan lebih sedikit dibandingkan
dengan kelompok perlakuan lain (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Gambar mikroskopis IHK kelompok 3 tikus implantasi scaffold
dan PRP (perbesaran 400x) Keterangan: Tanda panah menunjukkan sel yang terekspresi IL-10
Perlakuan implantasi kombinasi scaffold dan PRP menunjukkan
penurunan ekspresi IL-10 jika dibandingkan dengan antar kelompok perlakuan
implantasi. Penurunan ekspresi IL-10 pada kelompok 3 disebabkan karena
pada implantasi kombinasi scaffold dan PRP menunjukkan tingginya kondisi
inflamasi pada daerah implan. Tingginya respon inflamasi yang ditandai
dengan sedikitnya ekspresi sitokin antiinflamasi seperti IL-10 karena
disebabkan banyaknya sitokin pemicu peradangan pada kelompok implantasi
kombinasi scaffold dan PRP. Menurut Wahyuniati (2015), IL-10 bekerja untuk
menginhibisi dari kerja sel radang, dan hal ini akan menghambat sekresi
sitokin pro inflamasi TNF α, IL-1β, IL-6, IL-8 dan G-CSF. Interleukin-10 juga
48
menghambat presentasi antigen oleh sel radang (monosit/makrofag). IL-10
menghambat proliferasi dan juga sintesis sitokin sel T CD4+, termasuk
produksi IL-2 dan IFN-γ oleh Th 1 dan IL-4 dan IL-5 oleh Th2. Sejalan dengan
pendapat Cotran et al (1999), terjadinya proses regenerasi jaringan dan
diterimanya bahan implantasi tidak terlepas dari peran faktor pertumbuhan dan
sitokin, salah satunya yaitu Interleukin-10 (IL-10). Menurut Bardram (1995),
IL-10 adalah salah satu sitokin anti inflamasi yang berfungsi menghambat
produksi beberapa jenis sitokin lain (TNFα, IL-1, chemokine, dan IL-12) selain
itu juga menghambat fungsi makrofag dalam membantu aktivasi sel T. Hasil
akhir dari aktivasi IL-10 adalah hambatan reaksi imun non spesifik maupun
spesifik yang diperantarai oleh sel T.
Terjadinya proses regenerasi jaringan dan diterimanya bahan implantasi
tidak terlepas dari peran faktor pertumbuhan dan sitokin, salah satunya yaitu
Interleukin-10 (IL-10) (Cotran et al., 1999). Ekspresi IL-10 sebagai sitokin
antiinflamasi yang rendah mengakibatkan sitokin proinflamasi (IL-1β, IL-6,
dan TNF-α) meningkat dan tingginya reaksi inflamasi dalam tubuh resipien.
Penyebab rendahnya IL-10 dan meningkatnya sitokin proinflamasi dikarenakan
adanya VEGF yang memicu proses angiogenesis. Melalui proses angiogenesis,
stimulasi neovaskuler akan memanggil growth factor seperti VEGF untuk lebih
bayak dan migrasinya sel radang (Gurtner, 2007). Vaskularisasi yang
meningkat memungkinkan meningkatnya sel radang (makrofag dan sel-sel
radang lain) serta sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, dan TNF-α sehingga
49
ekspresi IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang seharusnya menghambat
sitokin proinflamasi akan menurun..
Respon inflamasi yang tinggi diakibatkan oleh adanya ketidakcocokan
bahan implantasi dengan resipien dan PRP turut yang memfasilitasi sel-sel
radang sehingga reaksi inflamasi akan meningkat. Menurut Salter (1995),
kolagen type 1 merupakan komponen penyusun kolagen utama kulit, tendon,
pembuluh darah, organ, dan tulang. Perbedaan susunan polipeptida pada
penyusun kolagen type I antara kulit kambing dengan jaringan subkutan kulit
tikus dapat menyebabkan terjadinya efek respon imun terhadap bahan implan.
Namun tidak sepenuhnya susunan polipeptida pada kolegen type I tersebut
berbeda, terdapat kesamaan yang dihitung berdasarkan tingkat homogenitas
protein (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Persentase Homogenitas Protein Kolagen tipe I
Tipe Hewan Accession number Similarity
Collagen, type I
[Rattus
norvegicus]
Rattus
norvegicus NP-445756.1
92 %
Collagen type I
[Capra hircus] Capra hircus XP-017920382.1
Tingkat homogenitas protein kolagen type I antara kambing (Capra
hircus) dibandingkan dengan tikus (Rattus norvegicus) dapat dilihat
menggunakan aplikasi Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) Bank
Protein Data (Protein Data Base NCBI) (Tabel 5.2). Kolagen Type I antara
kambing (Capra hircus) dibandingkan dengan tikus (Rattus norvegicus)
berdasarkan (Tabel 5.2) memiliki homogenitas protein penyusun sebanyak
50
92% dan perbedaan sebanyak 8%. Pada implantasi scaffold saja 8% perbedaan
protein penyusun kolagen dapat diatasi dengan respon inflamasi yang tidak
terlalu berlebih. Namun pada implantasi kombinasi scaffold dan PRP, PRP
akan memfasilitasi sel-sel radang sehingga inflamasi meningkat.Adanya
perbedaan protein penyusun kolagen dan stimulasi vaskularisasi akibat
tambahan PRP menimbulkan migrasi makrofag dan sel-sel radang lainnya yang
berasal dari pembuluh-pembuluh ke dalam jaringan subkutan.
Makrofag yang aktif akan menghasilkan sitokin proinflamasi dan
menurunnya sitokin antiinflamasi. Makrofag aktif akan menghancurkan
protein-protein ECM xenograft yang berbeda susunan proteinnya. Mekanisme
degradasi struktur ECM disebut dengan Biodegradable. Biodegradable
umumnya berlangsung lama atau kronis. Menurut Badylack (2008), jaringan
Graft secara natural akan melalui proses degradasi, ketika adanya
ketidakcocokkan protein penyandi jaringan implan dengan jaringan resipien.
Sekitar 60% jaringan graft akan didegradasi selama 4 minggu pasca implantasi.
Degradasi secara keseluruhan biasanya akan berlangsung selama 3 bulan
(kronis). Produk degradasi akan diserap oleh tubuh untuk dirubah menjadi
senyawa lainnya. Sisa degradasi yang tidak dipergunakan oleh tubuh akan
sekresikan melalui urin.
Akibat vaskularisasi yang berlebih, respon makrofag dan sel radang
lainnya untuk mendegradasi scaffold lebih cepat karena scaffold dianggap
benda yang asing dan harus segera dihilangkan dari tubuh resipien sehingga
kolagen pada subkutan tikus Rattus norvegicus menurun. Keadaan inilah yang
51
menjadikan pemberian perlakuan kombinasi scaffold xenograft aseluler dan
PRP menimbulkan reaksi inflamasi tinggi dan penolakan bahan implan
tersebut.
5.2 Jumlah Sel Fibroblas pada Jaringan Subkutan Abdomen Tikus
Rattus norvegicus
Penilaian terhadap jumlah sel fibroblas pada daerah implan subkutan
kulit tikus Rattus norvegicus bagian abdomen diamati dengan menggunakan
metode pewarnaan HE. Menurut Fawcett (2002), fibroblas dapat dilihat dengan
jelas pada pengecatan hematoxylen eosin. Kriteria sel fibroblas menurut
Falanga (2004), memiliki sitoplasma berbentuk elips dan memiliki satu inti
atau lebih dari satu inti berwarna ungu. Menurut Brown (2015), pewarnaan HE
digunakan untuk mewarnai jaringan. Prinsip dari pewarnaan HE yaitu inti yang
bersifat asam akan menarik zat/larutan yang bersifat basa sehingga akan
berwarna biru. Sitoplasma bersifat basa akan menarik zat/larutan yang bersifat
asam sehingga berwarna merah. Hasil penelitian berdasarkan uji ANOVA
(Tabel 5.3) menyatakan bahwa terdapat perbedaan rata-rata antar perlakuan.
Tabel 5.3 Rata-rata jumlah sel fibroblas hasil pewarnaan Hematoxylen-Eosin
Kelompok Perlakuan
Jumlah Sel Fibroblas
Rata-rata (sel/bidang
pandang) ± SD
Kelompok 1(K1) Implantasi scaffold 37.70 ± 0.64b
Kelompok 2(K2) Implantasi PRP 17.78 ± 1.02a
Kelompok 3(K3) Implantasi kombinasi
scaffold dan PRP 41.23 ± 0.73c
Keterangan: Perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan implantasi
52
Kelompok implantasi kombinasi scaffold dan PRP memiliki nilai rata-
rata paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan implantasi lain. Kelompok
implantasi scaffold memiliki nilai rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan
implantasi kombinasi scaffold dan PRP. Sedangkan implantasi PRP memiliki
rata-rata paling rendah dibandingkan kelompok perlakuan implantasi lain.
Adanya proliferasi fibroblas menandakan adanya degradasi scaffold. Scaffold
yang terdegradasi akan diganti oleh sel-sel fibroblas. Menurut Ratanavaraporn
et al., (2006), kecepatan degradasi scaffold yang ideal yaitu sama dengan
kecepatan pembentukan jaringan. Degradasi scaffold juga berperan sebagai
kontrol pelepasan faktor pertumbuhan selama proses penyembuhan
berlangsung.
Gambaran histopatologi jaringan subkutan kulit pasca implantasi
scaffold xenograft menggunakan metode pewarnaan HE (Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 1 tikus
implantasi scaffold (perbesaran 400x)
Keterangan: ( ) sel fibroblas, ( ) sel radang
53
Gambar (Gambar 5.6) merupakan gambaran histopatologi jaringan
subkutan kulit pasca implantasi scaffold di subkutan tikus Rattus norvegicus
yang menunjukkan jumlah sel fibroblas yang cukup tinggi pada kelompok
implantasi scaffold didukung oleh proses penyembuhan luka dimana fase
proliferasi berlangsung dan terjadi regenerasi jaringan dan degradasinya
scaffold biomaterial. Menurut Kiernan (2008), hal ini sejalan yaitu fibroblas
terakumulasi di daerah luka melalui angiogenesis yang merupakan sala satu
faktor regenerasi jaringan. Degradasi scaffold yang akan terjadi sejalan dengan
pembentukan jaringan. Menurut perubahan karakteristik scaffold, proses
degradasi scaffold melewati tiga tahapan yaitu tahap I, tahap II, dan tahap III.
Tahap I terbagi menjadi dua sub-tahap yaitu tahap I-1 dan I-2. Tahap I-1
ditandai dengan peningkatan sifat mekanis dan menurunnya dimensi porus
scaffold dengan berat perancah yang konstan, pada tahap I-2 semua bagian
kecuali berat molekut tidak terjadi perubahan yang signifikan. Tahap II
ditandai dengan meluasnya area molecular weight distribution dan penurunan
drastis mechanical properties dengan berat dan dimensi scaffold yang konstan.
Tahap III tergambar jelas dengan hilangnya berat molekul, penurunan dimensi
dan akhirnya terjadi kerusakan pada keseluruhan scaffold. Scaffold berpori
memiliki kecepatan degradasi yang lebih lambat dibandingkan dengan scaffold
berstruktur padat (Wu dan Ding, 2004).
Jumlah rataan proliferasi sel fibroblas pada kelompok 2 yang cukup
tinggi namun tidak terlalu tinggi bila dibandingkan dengan kelompok 3
dikarenakan bahan implan scaffold akan bekerjasama hanya dengan growth
54
factor yang digunakan sebagai agen pemicu proliferasi sel fibroblas berasal
dari individu itu sendiri (autologue), berbeda dengan kelompok 3 dimana
scaffold sebagai template growth factor yang dikombinasikan dengan PRP
sebagai sumber growth factor.
Kelompok implantasi PRP menunjukkan rataan jumlah sel fibroblas
yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan implantasi lain
(Tabel 5.1). Hasil penelitian menunjukkan jumlah sel fibroblas pada
kelompok implantasi PRP adalah yang sangat rendah. Berikut merupakan
gambaran histopatologi jaringan subkutan kulit pasca implantasi PRP di
jaringan subkutan abdomen tikus Rattus norvegicus (Gambar 5.7). Terlihat
bahwa jumlah sel fibroblas paling sedikit bila dibandingkan dengan kelompok
implantasi lain.
Gambar 5.7 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 1 tikus
implantasi PRP (perbesaran 400x)
Keterangan: ( ) sel fibroblas, ( ) sel radang
55
Gambar 5.7 merupakan gambar mikroskopis (histopatologi)
subkutan tikus Rattus norvegicus yang diimplantasikan PRP. Gambar 5.7
menunjukkan jumlah sel fibroblas yang paling rendah, hal tersebut
dikarenakan seluruh faktor pertumbuhan (growth factor) termasuk FGF akan
dilepas secara cepat setelah aktivasi menggunakan CaCl2 sehingga tidak
meninggalkan sisa. Menurut pendapat Rodriguez et al., (2014) hal ini sejalan,
faktor pertumbuhan yang mengalami pelepasan cepat ini akan hilang sebelum
menstimulasi sel. Pelepasan masal faktor pertumbuhan, yaitu 70% pelepasan
dalam 10 menit dan hampir 100% pelepasan faktor pertumbuhan dalam 1 jam.
Jaringan subkutan abdomen tikus Rattus norvegicus terlihat sedikitnya
proliferasi sel fibroblas dan adanya sel-sel lemak yang menunjukkan ciri khas
daerah subkutan. Growth factor dibutuhkan guna menstimulasi proliferasi sel
fibroblas. Bila dibandingkan dengan kelompok 4 atau implantasi kombinasi
scaffold dan PRP, terdapat tempat (template) untuk menyimpan platelet rich
plasma sehingga growth factor dapat dilepas secara perlahan seiring dengan
degradasi scaffold.
Kelompok implantasi kombinasi scaffold dan PRP menunjukkan nilai
rataan jumlah sel fibroblas yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok
perlakuan implantasi lainnya (Tabel 5.1). Gambaran histopatologi jaringan
subkutan kulit pasca implantasi kombinasi scaffold dan PRP di jaringan
subkutan abdomen tikus Rattus norvegicus yang menunjukkan jumlah sel
fibroblas dapat diidentifikasi dengan metode pewarnaan HE. Hasil penelitian
menunjukkan jumlah sel fibroblas yang paling tinggi (Gambar 5.8).
56
Gambar 5.8 Gambar histopatologi pewarnaan HE kelompok 1 tikus
implantasi kombinasi scaffold dan PRP (perbesaran 400x)
Jumlah sel fibroblas pada kelompok implantasi scaffold dan PRP
(Gambar 5.8) menunjukkan jumlah yang paling tinggi diantara kelompok
perlakuan lainnya. Tabel 5.3 menunjukkan hasil pemberian implantasi
kombinasi scaffold dan PRP dapat meningkatkan jumlah sel fibroblas pada
daerah implan di jaringan subkutan tikus pasca implantasi. Pada setiap
perlakuan menunjukkan adanya perbedaan jumlah sel fibroblas.
Jumlah sel fibroblas tinggi dikarenakan PRP yang mengandung
growth factor salah satunya FGF yang akan menstimulasi proliferasi sel
fibroblas. Kalsium klorida (CaCl2) yang digunakan sebagai bahan aktivasi
dapat mengaktivasi dan membentuk bekuan PRP dengan membentuk trombin
autogenus dari protrombin yang meyebabkan terjadinya pembentukan matriks
fibrin longgar yang akan melepaskan faktor pertumbuhan lebih dari 7 hari
(Rodriguez dkk., 2014). Aplikasi PRP yang telah diaktifkan dengan CaCl2 dan
Keterangan: ( ) sel fibroblas, ( ) sel radang, ( ) pembuluh darah
57
dikombinasikan dengan scaffold akan menyimpan produk PRP dan akan
melepaskan faktor pertumbuhan secara perlahan akibat peran scaffold sebagai
template growth factor salah satunya FGF. Growth factor pada PRP akan
memberikan pengaruh lebih lama akibat adanya scaffold sebagai tempat
penyimpanan PRP. Menurut Bai et al (2013) dan Ueda et al (2007), scaffold
tidak hanya berperan sebagai framework, namun juga untuk mengisi ruang
dan mengontrol pelepasan growth factor, sehingga proses proliferasi sel
fibroblas akan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya. Menurut
Hamilton et al., (2013), kalsium klorida memiliki efek yang signifikan dalam
penginduksian platelet tetapi tidak dijelaskan secara pasti growth factor apa
yang mengalami induksi terbaik.
Berdasarkan pembahasan ekspresi IL-10 dan jumlah sel fibroblas pada
masing-masing kelompok perlakuan implantasi, hasil penelitian kelompok 3
menunjukkan rendahnya ekspresi IL-10 pada pemeriksaan imunohistokimia dan
tingginya proliferasi sel fibroblas pada pemeriksaan histopatologi pewarnaan HE,
hal itu disebabkan inflamasi yang tinggi karena degradasi scaffold terjadi lebih
cepat akibat tingginya migrasi sel radang dan makrofag yang berasal dari
vaskularisasi baru yang terstimulasi oleh growth factor VEGF dalam PRP.
Menurut Darwin (2016), seharusnya proses aktivitas sintesis dan degradasi
kolagen dengan PRP berada dalam keseimbangan seiring kesembuhan jaringan.
Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Degradasi scaffold
kelompok 3 terjadi lebih cepat, sehingga degradasi scaffold pada kondisi
kelompok 3 akan digantikan oleh sel-sel fibroblas dan penyusun jaringan ikat.
58
Kelompok 1 atau implantasi scaffold saja memiliki kelebihan antara lain
waktu degradasi scaffold yang tidak terlalu cepat, sedikit menimbulkan reaksi
inflamasi ditandai dengan tingginya sitokin antiinflamasi (IL-10) dan jumlah sel
fibroblas yang cukup tinggi. Kelompok 2 memiliki kelebihan respon inflamasi
yang rendah ditandai dengan cukup tingginya sitokin antiinflamasi (IL-10),
namun memiliki jumlah sel fibroblas yang rendah akibat waktu pelepasan growth
factor yang terlalu cepat. Kelompok 3 memiliki kekurangan respon inflamasi
yang tinggi ditandai dengan rendahnya sitokin antiinflamasi (IL-10), serta scaffold
cepat terdegradasi tidak sejalan dengan waktu regenerasi jaringan. Selain itu biaya
tambahan akibat perlakuan tambahan PRP dapat menjadi pertimbangan yang
berarti. Bahan implantasi akan menginduksi berbagai respon imun yang dilakukan
percobaan pada hewan model. Data yang diperoleh menunjukkan implan scaffold
saja memiliki efek yang baik bagi tubuh.
59
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulankan
bahwa:
1. Implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan kombinasi keduanya dapat
mempengaruhi ekspresi IL-10 di subkutan abdomen tikus (Rattus
norvegicus) pada uji biokompatibilitas respon imun akut.
2. Implantasi scaffold xenograft aseluler, PRP dan kombinasi keduanya dapat
mempengaruhi jumlah sel fibroblas pada subkutan abdomen tikus (Rattus
norvegicus) dalam uji biokompatibilitas respon imun akut.
3. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan implantasi scaffold
memiliki efek yang paling baik bagi tubuh.
6.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait respon imun kronis pada
bahan implantasi berupa scaffold xenograft acellular dan platelet rich plasma
guna melihat apakah sitokin antiinflamasi IL-10 mampu mempertahankan bahan
implan dalam jangka waktu yang lama.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, S. 2008. Hubungan Antara Rasio Kadar TNF-α dan IL-10 Cairan Sendi
dengan Derajat Osteoartritis. [Thesis]. Ilmu Bagian dalam : Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makasar.
Ai, J., N. Wang., M. Yang., Z.M. Du., Y.C. Zhang and B.F. Yang. 2005.
Development of Wistar Rat Model of Insulin Resistance. World Journal
Gastroenterology. 11(24): 3675-3679.
Alhasyimi, A.A., S. Sunarintyas., dan M.H.N.E. Soesatyo. 2015. Pengaruh
Implantasi Subkutan Logam Kobalt Kromium sebagai Bahan Alternatif
Mini Screw Orthodontics terhadap Reaksi Jaringan Kelinci Albino.
Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 1(1): 94-101.
Badylak, Stephen F., Gilbert, Thomas W. 2008. Immune Response to Biologic
Scaffold Materials. Seminars of Immunology. 20: 109-116.
Bai, Y, Yin G, Huang Z. 2013. Localized Delivery of Growth Factors for
Angiogenesis and Bone Formation in Tissue Engineering. Int
Immunopharmacol. 16(2): 214-223.
Bardram L, Funch-Jensen P, Kehlet H. 1995. Recovery After Laparoscopic
Colonic Surgery with Epidural Analgesia and Early Oral Nutrition and
Mobilization. Lancet Journal. 345: 763-764.
Bhat, S.V. 2002. Biomaterials. Kluwer Academic Publishers Ltd. Boston.
Brown, R.A. 2013. Extreme Tissue Engineering: Concepts and Strategies for
Tissue Fabrication. John Wiley & Sons Ltd. United Kingdom.
Browne, S dan A. Pandit. 2015. Biomaterial-mediated modification of the local
inflammatory environment. Front Bioeng Biotechnol. 3(67): 1-14.
Chan, B. P and Leong, K. W. 2008. Scaffolding in Tissue Engineering: General
Approaches and Tissue-Spesific Consideration. European Spine Journal.
17(4): 467-479.
Chikwendu, E.V and O.C. Laureta. 2013. Organ Transplantation And Its
Physiological Implications – A Review. Animal Research International.
10(3): 1752 – 1778.
Cissell, D.D., J.C Hu., L.G. Griffiths., and K.A. Athanasiou. 2014. Antigen
Removal for the Production of Biomechanically Functional, Xenogenic
Tissue Graft. Journal Biomech National Institute of Health. 47(9): 1987-
1996.
61
Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Pathology basic of disease. 6th ed.
Philadelphia WB Saunders C0. 21-201.
Crapo, P. M., T. W. Gilbert, and S.G. Badylak. 2011. An Overview of Tissue and
Whole Organ Decellularization Processes. Biomaterials National
Institute of Health. 32(12): 3233-3243.
Creeper, F and Ivanovski. 2012. Effect of Autologues and Allogenic Platelet Rich
Plasma on Human Ginggival Fibroblast Function. Oral Des.18(5): 494-
500.
Darwin, C. O. 2016. Gambaran Sel Darah Putih pada Respon Inflamasi Pasca
Pemasangan Implan yang Dilapisi Platelet Rich Plasma dan Tanpa
Dilapisi Platelet Rich Plasma. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hasanuddin. Makasar.
David, M.M. 2000. Laboratory Animal Medicine and Science series II. Health
Sci. Coni. Edu. USA. Washington University.
Departemen of Biomedical Engineering NUS. 2017. Biomaterials or Regenerative
Medicine.http://www.bioeng.nus.edu.sg/research/Keyresearch/keysrh1.h
tml. [1 April 2017].
Ditjennak, 2016. Populasi Kambing Menurut Provinsi.
http://www.pertanian.go.id/NAK-2016fix/Pop_Kambing_Prop_2016.pdf
[4 Januari 2017].
Dohan. 2009. Classification of Platelet Concentrates: From Pure Platelet Rich
Plasma (P-PRP) to Leucocyte and Platelet Rich Fibrin (L-PRF). Trends
in Biotechnology. 158-167.
Easter, D and G. Jacobsen. 2008. Allograft vs. Xenograft: Practical Considerations
for Biologic Scaffolds. University of California. San Diego.
Falanga, V. 2004. The Cronic Wound: Impaired Healing and Solutions in the
Context Of Wound Bed Preparation. Blood cells, Molecules, and
Diseases Journals. 32(1): 88-94.
Farach-Carson, M.C. and D.D Carson. 2007. Perlecan—a multifunctional
extracellular proteoglycan scaffold. J of Glycobiology. 17(9): 897–905.
Fawcett, D. W. 2002. Buku Ajar Histology Edisi 12. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC. Jakarta.
Frode, T.S and Y.S. Medeiros. 2008. Animal Models to Test Drugs with Potential
Antidiabetic Activity. Journal of Ethnopharmacology. 115: 173-183.
62
Gilbert, T.W., T.L. Sellaro and S.F. Badylak. 2006. Desellularization of Tissue
and Organs. Biomaterials. 27: 3675-3683.
Grace, P. A and Neil R. B. 2006. Surgery At A Glance. Edisi Ketiga. Penerbit
Erlangga.
Gurtner, G. C. 2007. Wound Healing Normal and Abnormal. In: Thorne CH,
Beasly, R. W., Aston, S. J., Gurtner, G. C., Spear, S. L. Grabb and
Smith’s plastic Surgery. 6th ed. Philadelphia: Lippincont William and
Wilkins. p:15-22.
Hakim, F. 2012. Biomaterial Mampu Luruh Alami Fe-Mn-C Diproduksi Melalui
Metalurgi Serbuk Ferromangan Canai Dingin dan Re-Sinter. [Skripsi].
Universitas Indonesia. Depok.
Hamilton, B., J. L. Tol., W. Knez, and H. Chalabi. 2013. Exercise and The
Platelet Activator Calcium Chloride Both Influence The Growth Factor
Content of PRP: Overlooked Biochemical Factors that Could Influence
PRP Treatment. Br Journal Sport Med. P:1-5.
Harding, K., R. Kirsner., D. Lee., G. Mulder., and T. Serena. 2010. International
Consensus: Acellular matrices for The Treatment of Wounds. An Expert
Working Group Review. Wounds International. London.
Hisashi, Y., K. Yamada., K. Kuwaki., Y. L. Tseng., F. J. M. F. Dor., S. L.
Houser., S. C. Robson., H. J. Schuurman., D. K. C. Cooper., D. H.
Sachs., R. B. Colvin., dan A. Shimizu. 2008. Rejection of Cardiac
Xenografts Transplanted from Alpha1,3-Galactosyltransferase Gene-
Knockout (GalT-KO) Pigs to Baboons. American Journal of
Transplantation: Official Journal of the American Society of
Transplantation and the American Society of Transplant Surgeons.
8(12): 2516-2526.
Islam, A. A. 2007. Rasio TNF-α/IL-10 Serum Awal Sebagai Prediktor Luaran
pada Operasi Epidural Hematom. Maj Kedokteran Indonesia. 57(12).
101
Jacobsen, G and D. Easter. 2009. Allograft vs Xesograft-Pratical Consideration
for Biologic Scaffold. School of Medicine. University of California. San
Diego.
Jain , N.K., dan M. Gulati. 2016. Platelet-Rich Plasma: A Healing Virtuoso. Blood
Research. 5(1): 3-5.
Junqueira, Luiz C. U., J. Carneiro. 2007. Basic Histology: Text and Atlas.
McGraw-Hill.
63
Kalista, D. 2013. Pengaruh Penambahan Bovive Collagen pada Kekuatan
Biomekanis Dini dari Tendon Achilles Kelinci yang Dilakukan Tindakan
Repair Tendon. [Karya Akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis].
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang.
Kanani, A., S.H. Bahrami., A.S. Kochaksaraie., H.A. Tafti., S. Rabbani., A.
Kororian., E. Erfani. 2012. Effect Of Tissue-Engineered Chitosan-
Poly(Vinyl Alcohol) Nanofibrous Scaffolds on Healing of Burn Wounds
of Rat Skin. The Institution of Engineeringand Technology. 6(4): 129–
135.
Khan, M. 2008. Role of Cytokines Immunopharmacology. Springer Science and
Business Media.
Kiernan, J. A. 2008. Histological and Histochemical Methods: Theory And
Practice. 4th edition. Bloxham Scion. UK.
Kumar, K.R., S. Xiavour, S. Latha, V. Kumar, and Sukumaran. 2014. Anti-
Human IgG-Horseradish Peroxidase Conjugate Preparation and its Use
in ELISA and Western Blotting Experiments. Journal of
Chromatography Separate Technique. 5(1): 1-20.
Liu ,Yuchun., J.K.Y. Chan, and S.H. Teoh . 2012. Review of vascularised bone
tissue-engineering strategies with a focus on co-culture system. Journal
of Tissue Engineering and Regenerative Medicine.
Ma’ruf, M.T., I. Siswomihardjo., M.H.N.E. Soesatyo., A.E. Tontowi. 2013. Uji
Biokompatibilitas Komposit Polivinil Alkohol-Hidroksiapatit Dengan
Penguat Catgut Sebagai Bahan Penyambung Patah Tulang. Jurnal
Tekno Sains. 3(1):51-65.
Marx, R. E. 2001. Platelet-Rich Plasma (PRP) : What is PRP and what is not
PRP ?. Journal of Implant Dentistry. 10: 225-228.
Mescher, A.L. 2010. Junqueira's Basic Histology Twelfth Edition. The McGraw-
Hill Companies, Inc. United States of America.
Mu, W., X. Ouyang., A. Agarwal., L. Zhang., D.A. Long., P.E. Cruz., C.A.
Roncal., O.Y. Glushakova., V.A. Chiodo., M.A. Atkinson‖., W.W.
Hauswirth., T.R. Flotte., B.R. Iturbe and R.J. Johnson. 2005. IL-10
Suppresses Chemokines, Inflammation and Fibrosis in A Model of
Chronic Renal Disease. Journal of the American Society of Nephrology
16: 3651–3660.
Nagaraju, C., U.K. Ray, and S. Vidavalur. 2017. Cost Effective Quantification of
Trace Level EDTA (Ethylene Di-amine Tetra Acetic Acid) by Titrimetry
64
in Active Pharmaceutical Ingredients. Der Chemica Sinica. 8(1):175-
183.
Penkowa, M., Keller, C., Keller, P., Jauffred, S., and Pedersen, B. K. 2003.
Immunohistochemical Detection of Interleukin 6 in Human Skeletal
Muscle Fibers Following Exercise. Journal Faseb. 17: 2166-2168.
Permata, F. S dan R. Susilowati. 2013. Karakterisasi Makroskopik, Mikrostruktur,
dan Kekuatan Mekanis Saraf Tepi Domba dan Babi Kondisi Segar dan
Pasca Deselularisai. Doctoral dissertation. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Pietrzark, W.S and B.L. Eppley. 2006. Platelet Rich Plasma: Biology and New
Technology. Journal of Craniofacial Surgery Warsaw. 16(6):1043-
1054.
Plumb DC. 2008. Plump’s Veterinary Drug Handbook 6th Edition. Iowa:
Blackwell Publishing
Potorac, S., M. Popa., M. Zagnat., L. Verestiuc. 2011. Porous Hydrogels Based on
Itaconic Anhydride Modified Collagen/HEMA for Skin Tissue
Engineering. Proceedings of the 3rd International Conference on E-
Health and Bioengineering - EHB 2011. 24th-26th November 2011 in
Iasim Romania.
Qiong, W., J. Bao., Y. Zhou., Y. Wang., Z. Du., Y. Shi., L. Li., and H. Bu. 2015.
Optimizing Perfusion-Decellularization Methods of Porcine Livers for
Clinical-Scale Whole-Organ Bioengineering. BioMed Research
International. 2015: 1-9.
Ratanavaraporn, J., S. Damrongsakkul, N. Sanchavanakit, T. Banaprasert, and S.
Kanokpanont. 2006. Comparison of gelatin and collagen scaffolds for
fibroblast cell culture. Journal of Metals, Materials and Minerals. 16(1):
31-36.
Rodriguez, I. A, E. A. Growney Kalaf, G. L. Bowlin, and S. A. Sell. 2014.
Platelet-Rich Plasma in Bone Regeneration: Engineering the Delivery
for Improved Clinical Efficacy. BioMed Research International. 1-15.
Sachs, David H. 1995. The Immunologic Response to Xenografts. ILAR Journal
Harvard Medical School. Boston.3(1): 16-21
Sarkar, M.R., P. Augat., S.J. Shefelbine., S. Schorlemmer., M.H. Lang., L.
Claesb., L. Kinzla., and A. Ignatius. 2006. Bone Formation in A Long
Bone Defect Model Using A Platelet-Rich Plasma-Loaded Collagen
Scaffold. Journal of Biomaterials. 27: 1817-1823.
65
Satriyo, A., E.K. Djukardi, F. Zubier. 2011. Peran Plasma Kaya Trombosit
(Platelet Rich Plasma) di Bidang Dermatologi. MDVI. 38(1): 22-28.
Sheeran, P and G. M. Hall. 1997. Cytokines in Anesthesia. British Journal of
Anesthesia. 78:201-219.
Singh, Deepti ., D. Singh, and S. Soo Han. 2016. 3D Printing of Scaffold for Cells
Delivery: Advances in Skin Tissue Engineering. Polymers. 8(19): 1-17.
Sumbayak, E.M. 2016. Fibroblas: Struktur dan Peranannya dalam
Penyembuhan Luka. Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Sunesson, Kristina Westberg. 2012. A Survey of Xenograft Rejection Mechanisms.
Veterinary and animal science university, Swedish University of
Agricultural Sciences. Swedish.
Tabata, Y., dan Matsui, M., 2012. Enchaned angiogenesis by multiple release
of platelet-rich plasma contents and basicfibroblast growh factor from
gelarin hydrogels. Acta Biomaterial Inc. Published by Elsevier.
Thorne., C.H. M., G.C. Guntner., K. Chung., A. Gosain. B. Mehrara. P. Rubin.
S.L. Spear. 2007. Grabb and Smith's Plastic Surgery. 6th Edition.
Philadelphia.
Toffler, M., N. Toscano, D. Holtzclaw., M.D. Corso, and D.D. Ehrenfest. 2009.
Introducing Choukroun’s Platelet Rich Fibrin (PRF) to the
Reconstructive Surgery Milieu. The Journal of Implant & Advanced
Clinical Dentistry. 1(6): 21-31.
Ueda, M., Sumi Y, Mizuno H. 2000. Tissue Engineering: Application for
Maxillofascial Surgery. Mater Sci Eng. P: 7-14.
Wahyuniati, N dan R. Maulana. 2015. Peran Interleukin-10 Pada Infeksi Malaria.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 15 (2): 95-102
Wang, H.M., Y.T. Chou., Z.H. Wen., Z.R. Wang., C.H. Chen., M.L. Ho. 2013.
Novel Biodegradable Porous Scaffold Applied to Skin Regeneration.
Plos One Fragrance and Cosmetic Science. 8(6): 1-11.
Werner, S., T. Krieg., and H. Smola. 2007. Keratinocyte-Fibroblast Interactions in
Wound Healing. Journal of Investigative Dermatology. 127:998–1008.
Widyastuti, S.K. 2000. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) sebagai
Model Diabetes Melitus: Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah,
Serum Oksida Nitrik (No) dan Tingkah Laku Klinis. [Thesis]. Program
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
66
Wu, L. and J. Ding. 2004. In Vitro Degradation of Three-Dimensional Porous
Poly (D,L-lactide-co-glycolide) Scaffold for Tissue Engineering.
Biomaterials. 25: 5821–5830.
Yudha, G.C.P. 2013. Pengaruh Kombinasi Bovine Kolagen Tipe 1 dan Plasma
Rich Platelet (PRP) terhadap Penyembuhan Fraktur Femur Tikus
(Rattus novergicus Strain Wistar) dalam Kondisi Hiperglikemi (Studi
Eksperimental Laboratoris). [Karya Akhir Spesialis Ortopedi dan
Traumatologi]. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya. Malang.
Zhang J., and J. An. 2007. Cytokines, Inflammation and Pain. International
Anesthesiol Clinic. 45(2): 27-37.