20
Pengaruh Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Terhadap Industri Ekspor Furniture Kayu Abstract Indonesia has a large forested areas, will benefit for the country. However, illegal logging has been the main problem which is also the world spotlight. As consumer products in Europe that only legal wood is traded. Indonesia as the country's manufacturers often export wood products to the EU to create and develop policies SVLK (Timber Legality Verification System) which follows the rules in Europe that FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade). With SVLK all wood products exported must be licensed V-Legal which shows that there has been use legal timber. This rule is executed in partnership with European Union governments. Therefore, the purpose of this research is to know how the implementation of SVLK in companies engaged in the export of furniture, especially in the region of Solo Raya. This study uses three companies that have implemented SVLK, namely PT Wisanka, CV A Class Furniture and UD Furniture Rivalve. This research is qualitative descriptive. Methods of data collection are done using library research and field research with interviews to obtain primary and secondary data, observation, and literature. This research will use multitrack diplomacy concept, the concept of standardization and paragidma mercantilism to analyze the phenomenon. Keywords: SVLK, FLEGT Action plan, Furniture countries, EU governments implement policies that regulate the circulation of timber Indonesia di Solo Raya, Jawa Tengah

Pengaruh Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ......Pengaruh Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Terhadap Industri Ekspor Furniture Kayu Abstract Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Pengaruh Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

    (SVLK) Terhadap Industri Ekspor Furniture Kayu

    Abstract

    Indonesia has a large forested areas, will benefit for the country. However, illegal

    logging has been the main problem which is also the world spotlight. As consumer

    products in Europe that only legal wood is traded. Indonesia as the country's

    manufacturers often export wood products to the EU to create and develop policies

    SVLK (Timber Legality Verification System) which follows the rules in Europe that

    FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade).

    With SVLK all wood products exported must be licensed V-Legal which shows that

    there has been use legal timber. This rule is executed in partnership with European

    Union governments. Therefore, the purpose of this research is to know how the

    implementation of SVLK in companies engaged in the export of furniture, especially

    in the region of Solo Raya. This study uses three companies that have implemented

    SVLK, namely PT Wisanka, CV A Class Furniture and UD Furniture Rivalve.

    This research is qualitative descriptive. Methods of data collection are done using

    library research and field research with interviews to obtain primary and secondary

    data, observation, and literature. This research will use multitrack diplomacy

    concept, the concept of standardization and paragidma mercantilism to analyze the

    phenomenon.

    Keywords: SVLK, FLEGT Action plan, Furniture

    countries, EU governments implement policies that regulate the circulation of timber

    Indonesia di Solo Raya, Jawa Tengah

    mailto:[email protected] textEca Elsa Karlinda [1]

    Prof. Dr. H. Andrik Purwasito, DEA[2]

    win7Typewritten text[1] . Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS. Sebagai penulis Pertama

    win7Typewritten text[2]Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Sebagai penulis Kedua

  • A. Pendahuluan

    Indonesia merupakan negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati

    pada urutan kedua setelah Brazil, Indonesia sebagai negara megabiodiversitas

    keanekaragaman hayati dunia. 10% hutan hujan dunia terletak di wilayah Indonesia.1

    Sumber daya alam yang melimpah dan terletak di garis ekuator maka Indonesia

    memiliki hutan hujan tropis yang subur dengan cakupan wilayah yang luas. Tidak

    heran jika salah satu potensi terbesarnya selain di sektor migas adalah di sektor

    perhutanan. Industri kayu menjadi angin segar yang telah cukup lama ada sebagai

    alternatif perdagangan internasional, seperti yang telah tertera pada gambar 1,

    berikut:

    Tabel 1.1 : Sumbangan Sektor Kehutanan Terhadap Perolehan Devisa Indonesia,

    1995-2004 (US$ Juta) 2

    Dari gambar 1, dapat diketahui bahwa Indonesia telah sejak lama

    mengandalkan hasil hutan sebagai penghasil devisa negara. Hasil hutan yang di

    ekspor cukup beragam, mulai dari jenis kayu mentah, kayu setengah jadi, hingga

    dalam bentuk barang jadi berupa furnitur kayu. Adanya daya saing yang tercipta antar

    indusrti kayu baik itu di tingkat nasional maupun internasional dengan negara

    tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Persaingan industri mebel

    khususnya di Asia terbilang cukup ketat, sebagai negara yang berpotensi, Indonesia

    bisa unggul di Asia Tenggara dengan bahan baku yang melimpah, tenaga terampil

  • yang memadai, dan desain produk yang tidak kalah dibandingkan mebel dari negara-

    negara lain justru kalah saing dengan Malaysia dan Vietnam. Nilai ekspor kedua

    negara tetangga ini lebih besar di bandingkan Indonesia.

    Berdasarkan data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), produksi panel

    kayu Indonesia yang pernah mencapai sekitar 7 juta meter kubik pada periode 1999-

    2000 juga merosot menjadi 3,5 juta meter kubik tahun 2005. Padahal, Malaysia

    diperkirakan masih memproduksi panel kayu hingga 4 juta meter kubik. 120 pabrik

    kayu lapis di Indonesia, pabrik yang sampai saat ini tercatat masih berproduksi dan

    mengekspor hasil produksinya tinggal 52 pabrik. Tetapi, pabrik ini rata-rata

    berproduksi dengan kapasitas terpakai kurang dari 50% kapasitas normal.3 Dalam

    persaingan internasional yang semakin tajam, Indonesia perlu memiliki strategi yang

    lebih jitu untuk menanggulanginya. Pasalnya, dalam gambar 2 dapat kita lihat bahwa

    Indonesia masih kalah saing dengan beberapa negara, yaitu:

    Gambar 1.1 : Nilai Ekspor Mebel Indonesia dan Negara-negara Pesaing di Asia, 2005 (US$ miliar) 4

    Pada tahun 2015 ekspor mebel Indonesia tercatat USD1,902 miliar atau setara

    Rp24,859 triliun (mengacu kurs Rp13.070 per USD). Angka ini meningkat 1,3 persen

    dibandingkan 2014.5 Sayangnya kenaikan tersebut masih relatif kecil jika

    dibandingkan dengan negara lain, khususnya Malaysia dan Vietnam. Vietnam berada

    di posisi ketujuh dunia dengan nilai ekspor mebel 5,3 miliar dolar AS. Padahal, 10

    tahun lalu nilainya hanya 20 juta dolar AS. Sementara, Malaysia kini berada di urutan

    ke sebelas dengan nilai ekspor 2,3 miliar dolar AS.6 Ini terjadi karena berbagai faktor,

    http://economy.okezone.com/topic/4874/industri-mebel

  • salah satunya adalah regulasi dari pemerintah yang dirasa masih sulit, sedangkan di

    Vietnam, pemerintah memberikan kemudahan dalam regulasi ekspor mebel sehingga

    pengusaha dengan mudah melakukan ekspor. Sebagai salah satu negara dengan

    industri kayu terbesar, Indonesia memiliki target ekspor yang besar di beberapa

    negara di dunia, salah satu yang terbesar adalah di kawasan eropa. Seperti pada data

    yang ada pada gambar 3 berikut:

    Gambar 1.2 : 10 Negara Tujuan Utama Ekspor Mebel Indonesia 2005 (%)7

    Dari gambar 3.1, kita dapat melihat bahwa sejak tahun 2005, Eropa dan AS

    merupakan mangsa pasar yang besar bagi Indonesia dan jumlah tersebut akan terus

    bertambah setiap tahunnya. Di Indonesia, terkenal dengan ukiran-ukiran kayu seperti

    dari Jepara. Industri mebel berbahan kayu sangat berkembang pesat di wilayah pulau

    Jawa. Beberapa yang terkenal berasal dari Jepara, Semarang, Solo, dan Surabaya.

    Persaingan yang semakin besar ini jelas terjadi karena adanya peningkatan

    permintaan dari konsumen, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini menyebabkan

    beberapa masalah, salah satunya adalah kerusakan hutan yang menyebabkan

    pemenasan global karena banyak penebangan liar.

    Isu lingkungan hidup telah menjadi angenda global memasuki abad 21, baik

    dikalangan pemimpin politik, pejabat pemerintah, ilmuan, industrialis, LSM maupun

    warga negara. Ini menunjukkan bahwa persoalan lingkungan hidup, seperti energi

    dan pemanasan global sebelumnya hanya dianggap sebatas pada wilayah low politics

  • kemudian mulai berkaitan dengan berbagai isu-isu sentral politik dunia. Isu

    lingkungan kini menjadi isu global yang dianggap sangat penting dalam agenda

    politik internasional, yakni terkait isu keamanan dan ekonomi.

    Menurut Homer Dixon, penyebab krisis lingkungan mencakup 6 sumber,

    yaitu perubahan iklim yang disebabkan oleh efek rumah kaca, penipisan ozon,

    degradasi dan hilangnya tanah pertanian yang subur, penggundulan hutan,

    pengurangan dan polusi suplai air bersih dan penipisan daerah penangkapan ikan.8

    Para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (Potsdam-Institut

    fur Klimafolgenforschung/PIK) di Jerman mangatakan bahwa musim dingin ekstrem

    yang terjadi berturut-turut di benua Eropa dalam 10 tahun terakhir adalah akibat

    mencairnya lapisan es dikawasan Artik, dekat Kutub Utara, akibat pemenasan

    global.9 Dengan kesadaran berbagai pihak akan isu lingkungan hidup terutama

    pemanasan global, maka berbagai negara berusaha melakukan aksinya untuk

    mengurangi dampak dari kerusakan lingkungan.

    Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah pemanasan global. Di

    tingkat negara, sudah ada beberapa bidang yang menjadi fokus utama penyelesaian,

    yaitu bidang pertanian, bidang peternakan, bidang energi, bidang manajemen sumber

    air, bidang kehutanan, dan gaya hidup masyarakat. Masyarakat semakin sadar akan

    pentingnya lingkungan hidup, mulai menciptakan dan menggunakan barang-barang

    yang ramah lingkungan. Permintaan masyarakat akan barang ramah lingkungan

    akhirnya membuat pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung. Uni Eropa

    mengeluarkan kebijakan, yaitu Forest Law Enforcement, Governance and Trade

    (FLEGT) untuk mengurangi ilegal logging, namun siklus perdagangan khususnya

    berupa kayu tetap berjalan. Aksi nyatanya adalah perjanjian bilateral antara Uni

    Eropa dengan negara-negara penghasil kayu, yaitu FLEGT Voluntary Partnership

    Agreement (VPA). Indonesia dan UE telah melakukan perjanjian perdagangan terkait

    penjualan kayu dan mebel. Sehingga kayu dari Indonesia harus sudah bersertifikasi.

    Oleh karena itu di Indonesia saat ini ada kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

    (SVLK).

  • Di Indonesia, SVLK sudah ada sejak tahun 2009, namun mulai

    diimplementasikan secara menyeluruh pada produk kayu baik itu kayu mentah,

    setengah jadi, maupun jadi seperti furniture scara pada tahun 2013, tepatnya setelah

    indonesia menandatangani perjanjian FLEGT-VPA dengan Uni Eropa. Namun

    sayangnya tujuan yang baik bagi perdagangan Indonesia ini masih harus melalui

    tantangan yang cukup berat. Pasalnya, walaupun sudah hampir seluruh industri

    furniture Indonesia memiliki dokumen V-Legal, tetap saja ada ketidak sinkronan

    antar pemerintah. Dibawah kementrian kehutanan sebagai pembuat kebijakan telah

    mewajibkan seluruh hasil produk kayu termasuk furniture untuk menggunakan SVLK

    sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-

    BPPHH/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilain Kinerja Pengelolaan Hutan

    Produksi dan Verifikasi Legalitas Kayu.10

    Namun sayangnya, muncul ketentuan yang

    berlainan, yakni ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 89

    tahun 2015. Berdasarkan ketentuan yang terbit pada akhir tahun 2015 itu, terdapat 15

    golongan produk kayu dalam kelompok furniture dan kerajinan dibebaskan dari

    kewajiban penggunaan V-legal. Sehingga dalam pengimplementasiannya masih

    terjadi kebingungan di pelaku industri kayu ekspor apakah harus segera

    menggunakan SVLK atau tidak.

    Pemerintah sebagai pengendali negara dan pembuat keputusan seharusnya

    juga memperhatiakan kendala-kendala yang bisa terjadi. Dengan adanya permendag

    89, seperti menjadi umpan balik terhadap tuntutan kebijakan awal yang sebelumnya

    yang telah dihasilkan. Sehingga pemerintah perlu meninaju ulang kebijakan yang ada

    terkait SVLK ini agar dalam pengimplementasiannya menjadi lebih baik. Sehingga

    SVLK sempat dicabut, namun saat ini justru diwajibkan apabila ingin melakukan

    ekspor.

    Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana para pelaku industri bisnis furniture

    dalam menjalankan ekspornya dengan menggunakan SVLK di Indonesia. Seberapa

    besar pengaruh yang ditimbulkan dari adanya SVLK ini terhadap hubungan

    kerjasama perdagangan kayu antara Indonesia dan Uni Eropa.

  • B. ISI

    a. Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan

    Pada tahun 2003, European Commission (EC) membuat Forest Law

    Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan yang merupakan

    adopsi dari konferensi tentang Forest Law Enforcement and Governance (FLEG)

    atau Penegakan Hukum dan Tata Kelola (FLEG) bersama dengan negara-negara

    G8, Bank Dunia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID UK), dan

    Departemen Luar Negeri AS tentang Penegakan Hukum untuk Asia Timur.11

    Perbedaan utama dari proses FLEG dengan FLEGT Action Plan adalah

    penambahan masalah perdagangan yang memberikan fokus baru. Elemen pertama

    FLEGT Action Plan adalah membangun Kesepakatan Kemitraan Sukarela atau

    Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan negara-negara pengekspor

    produk kayu. VPA mencakup proses kerjasama bilateral untuk menetapkan

    undang-undang dan penegakannya. Elemen kedua dari FLEGT Action Plan adalah

    Peraturan Kayu Uni Eropa (EUTR).

    Gambar 1.1 : Instrumen dan fokus utama FLEGT Action Plan12

    FLEGT Action Plan mendorong reformasi kebijakan, transparansi, dan

    berbagi informasi. Singkatnya, FLEGT Action Plan fokus pada 7 bidang, yaitu:13

    Forest Law Enforcement

    Governance and Trade (FLEGT) Action

    Plan (2003)

    Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

    Perdagangan Sektor Kehutanan

    Voluntary Partnership Agreement

    (VPA)

    1. Perjanjian perdagangan bilateral antara Uni Eropa dengan negara-negara produsen kayu

    2. Tidak mengikat secara hukum, hanya berupa kemitraan sukarela

    3. Ketika sudah diratifikasi, maka menjadi peraturan yangmengikat

    Europan Union Timber

    Regulation (EUTR)

    1. Fokus importir di negara- negara anggota Uni Eropa

    2. Aturan legislatif yang mengikat

  • 1. Dukungan untuk produk kayu negara pengekspor, termasuk tindakan untuk

    mempromosikan solusi yang adil untuk masalah pembalakan liar.

    2. Kegiatan untuk mempromosikan perdagangan kayu legal, termasuk tindakan

    untuk mengembangkan dan melaksanakan Perjanjian Kemitraan Sukarela

    antara Uni Eropa dan negara-negara kayu ekspor.

    3. Promosi kebijakan pengadaan publik, termasuk tindakan yang memandu

    kontrak pemerintah tentang cara untuk berurusan dengan legalitas ketika

    menentukan kayu dalam prosedur pengadaan.

    4. Dukungan untuk inisiatif sektor swasta, termasuk tindakan untuk mendorong

    inisiatif sektor swasta untuk praktek yang baik di sektor kehutanan, termasuk

    penggunaan kode etik sukarela bagi perusahaan swasta untuk sumber kayu

    legal.

    5. Perlindungan untuk pembiayaan dan investasi, termasuk tindakan untuk

    mendorong bank dan lembaga keuangan investasi di sektor kehutanan untuk

    mengembangkan prosedur perawatan karena saat pemberian kredit.

    6. Penggunaan instrumen legislatif yang ada atau adopsi undang-undang baru

    untuk mendukung Rencana, termasuk Peraturan Kayu Uni Eropa.

    7. Mengatasi masalah konflik kayu.

    1. FLEGT Voluntary Partnership Agreement (VPA)

    VPA adalah perjanjian perdagangan bilateral antara Uni Eropa dan

    negara-negara penghasil produk kayu yang melakukan ekspor ke wilayah Uni

    Eropa. Di bawah VPA, satu negara diharapkan untuk mengembangkan sistem

    untuk memverifikasi bahwa ekspor produk kayu yang legal. Legalitas ini perlu

    diverifikasi melalui sistem jaminan legalitas (LAS). VPA ini bersifat sukarela

    bagi negara-negara pengekspor produk kayu. Namun, sekali VPA telah

    diratifikasi, maka secara hukum mengikat kedua belah pihak.14

    VPA berisi tentang prinsip-prinsip dasar perjanjian yang mencakup

    mengenai berjalannya perjanjian, seperti bagaimana dasar hukum yang akan

    diberlakukan untuk mengawasi berjalannya perjanjian dengan baik dan teknis

  • dari sistem verifikasi yang akan diterapkan di negara tersebut. Pelaksanaan

    VPA dikoordinasikan melalui Komite Pelaksana Bersama. Meskipun tujuan

    keseluruhan dari VPA telah jelas, namun bagaimana penerapannya mungkin

    agak berbeda dari negara yang satu dengan negara lainnya. Kesepakatan dalam

    definisi legalitas dan sistem yang nantinya akan dikembangkan atau digunakan

    di suatu negara adalah hasil dari setiap proses nasional negara mitra tersebut.

    2. European Union Timber Regulation (EUTR)

    EUTR atau aturan kayu Uni Eropa mrupakan langkah penting yang

    diambil untuk mendukung dan meningkatkan efektivitas FLEGT Action Plan.

    Peraturan ini ada sejak 2010 dan mulai berlaku penuh pada Maret 2013.

    Persyaratan EUTR diarahkan pada sisi permintaan atau impor. EUTR

    mewajibkan produk kayu importir (operator) untuk mengambil langkah-

    langkah yang memadai untuk meminimalkan risiko mengimpor produk kayu

    ilegal ke Uni Eropa. Adanya sistem Due Diligence memberikan beberapa

    kewajiban kepada para operator atau pihak pertama pengimpor kayu dan

    Internal Trader atau pihak kedua dan seterusnya yang memperdagangkan kayu

    di pasar UE harus bertanggung jawab atas produk yang mereka perdagangkan

    di dalam Uni Eropa dan wajib menggunakan sistem due diligence yang

    didasarkan pada dokumentasi yang memadai dan penilaian risiko untuk menilai

    asal hukum dari produk kayu yang diimpor.15

    b. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia

    Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan jawaban dari

    pemerintah atas penebangan liar yang kerap terjadi di Indonesia, kebijakan ini

    menyangkut legalitas kayu yang akan di ekspor oleh Indonesia, khusunya ke

    negara-negara di Eropa. Pemerintah bekerjasama dengan pihak Uni Eropa yang

    telah terlebih dahulu mencanangkan penolakannya terhadap penebangan hutan

    secara liar demi kelangsungan ekosistem hidup dan mengurangi dampak dari

    pemenasan global.

  • FLEGT VPA diadopsi oleh Indonesia pada 2005, dan pelaksanaannya

    pada 2009, yang memungkinkan adanya kontrol untuk setiap kayu yang masuk

    ke Uni Eropa dari negara-negara yang telah melakukan perjanjian atau bisa

    dikatakan mitra FLEGT. Mereka menandatangani Kesepakatan Kemitraan

    Sukarela atau Voluntary Partnership Agreements (VPA) dengan Uni Eropa.

    Setelah setuju, VPA mencakup komitmen dan tindakan dari kedua belah pihak

    untuk menghentikan perdagangan kayu ilegal, terutama dengan skema lisensi

    untuk memferivikasi legalitas kayu yang diekspor ke Uni Eropa. Perjanjian ini

    juga mempromosikan penegakan hukum yang lebih baik untuk kelangsungan

    hutan dan mempromosikan pendekatan inklusif yang melibatkan masyarakat

    sipil dan sektor swasta.16

    Indonesia setuju mengikuti Voluntary Partnership

    Agreemen (VPA) dengan tujuan menaikan pamor Indonesia di mata dunia

    sebagai negara yang cinta lingkungan, produksi kayunya terjamin ramah

    lingkungan sehingga khualitas kayu juga lebih terjamin. Secara langsung

    berimbas pada peningkatkan ekspor furniture kayu Indonesia.

    15 November 2016, Forest Law Enforcement, Governance, and Trade –

    License atau FLEGT License telah berlaku. Dengan lisensi ini, Indonesia

    menjadi negara pertama dan baru satu-satunya di dunia yang memperoleh

    Lisensi FLEGT dari Uni Eropa. Hal itu merupakan pengakuan internasional

    terhadap legalitas kayu Indonesia yang telah menerapkan sistem verivikasi

    legalitas kayu (SVLK). Dengan penerapan FLEGT License ini, produk kayu

    dan turunannya dari Indonesia yang masuk ke UE akan memperoleh perlakuan

    green lane yang berarti tidak perlu lagi melalui proses due-diligence (uji

    tuntas). FLEGT License merupakan hasil dari perjanjian FLEGT Voluntary

    Partnership Agreement (FLEGT VPA) yang ditandatangani pada tanggal 30

    September 2013 dan berlaku sejak 1 Mei 2014. Indonesia meratifikasi FLEGT

    VPA melalui Peraturan Presiden RI No. 21 Tahun 2014 dan Parlemen Uni

    Eropa pada bulan Maret 2014. Pencapaian kesepakatan diperoleh melalui

    proses perundingan yang panjang.17

  • Dalam proses penerapannya jelas akan ada beberapa perbedaan,

    mengingat SVLK merupakan aturan yang dibuat untuk mengikuti standardisasi

    produk oleh Eropa namun aturannya telah disesuaikan dengan sistem undang-

    undang yang berlakudi Indonesia. Sedangkan, FLEGT bisa dibilang suatu

    kebijakan yang lebih besar pengaruhnya, tidak hanya bagi negara-negara

    anggota Uni Eropa sendiri, melainkan terhadap beberapa negara lain yang

    terkait didalamnya. Sesuai pada penjelasan sebelumnya mengenai FLEGT

    Action Plan yang terbagi menjadi 2 kebijakan lagi yaitu FLEGT VPA dan

    EUTR. Terlebih lagi Uni Eropa merupakan mangsa pasar bagi banyak negara

    dengan penghasil produk kayu sehingga dapat dikatakan bahwa Uni Eropa

    merupakan konsumen terbesar, sedangkan Indonesia atau negara lain yang

    tergabung dalam VPA merupakan para pelaku atau produsen yang melakukan

    ekspor produk kayu ke wilayah Uni Eropa.

    Sebagai negara konsumen terbesar, secara tidak langsung UE jelas tidak

    ingin disalahkan apabila banyak produk kayu baik itu furniture atau lainnya

    yang banyak masuk ke wilayah UE, karena mungkin saja kayu yang masuk

    merupakan kayu illegal. Selain menjalin hubungan bilateral dengan negara

    produsen kayu, Eropa juga mulai menerapkan aturan kayu khusus bagi seluruh

    importir di Eropa, dimana aturan tersebut kita kenal dengan EUTR.

    SVLK merupakan bentuk kerjasama antara pemerintah Indonesia

    dengan pemerintah Uni Eropa dalam sektor kayu yang mengatur tata kelola dan

    juga perdagangan kayu yang legal. Hal ini sebenarnya juga merupakan wujud

    dari multitrack diplomacy yang diupayakan pemerintah Indonesia melalui

    kegiatan bisnis berupa perdagangan produk furniture kayu karena dapat

    memperlihatkan bahwa khualitas produk Indonesia tidak kalah dengan negara

    lain. Maka kedepannya pemerintah mengharapkan langkah ini akan

    memberikan keuntungan lebih, baik dari segi produksi dan penjualan barang

    serta salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menciptakan nation

    branding.

  • Wilayah Eropa memang menjadi salah satu mangsa pasar yang besar

    bagi Indonesia karena mereka memang menyukai produk furniture berbahan

    kayu dimana mereka tidak memiliki sumber daya yang bisa mencukupi seluruh

    kebutuhan penduduknya akan furniture kayu. Sehingga sebenarnya Indonesia

    memiliki kesempatan yang besar jika bisa memanfaatkannya dengan baik.

    Pemerintah memiliki peranan yang besar dalam hal ini karena kekayaan

    Indonesia khususnya mengenai hutan telah diatur oleh pemerintah untuk

    dikelola sesuai dengan kepentingan negara, pemerintahlah yang mengontrol

    penebangan kayu, kita mengetahui bahwa area hutan tertentu tidak dapat

    ditebang seperti di area hutan lindung atau taman nasional. Sektor kehutanan

    dengan hasil hutannya memang memiliki peranan yang penting dalam

    pembangunan ekonomi di Indonesia karena menjadi salah satu penghasil devisa

    terbesar bagi Indonesia.

    Pada kenyataannya SVLK saat ini telah wajib bagi seluruh industri yang

    melakukan ekspor produk kayu baik itu furniture atau lainnya, baik itu ke

    wilayah Eropa maupun ke negara lainnya. Sehingga pada bulan November lalu,

    pemerintah Uni Eropa resmi memberikan FLEG Lisence nya untuk Indonesia

    sehingga produk Indonesia lebih mudah masuk ke pasar Eropa tanpa

    diberlakukannya due-diligence. Hal ini membuktikan bahwa SVLK yang

    diterapkan di Indonesia memang sudah sesuai dengan FLEGT. Namun karena

    lisensi ini masih sangat awal maka belum bisa dipastikan apakah berdampak

    signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ataukah berdampak besar bagi

    para pelaku Industri yang terlibat secara langsung didalamnya.

    c. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Terhadap Industri

    1. PT Wirasindo Santakarya (Wisanka)

    PT Wirasindo Santakarya (Wisanka) yang berlokasi di Jalan Solo

    Daleman no.41, Baki, Sukoharjo. Berdiri sejak 1993, perusahaan berskala besar

    di Solo Raya. Ibu Dewi di bagian dokumen ekspor mengungkapkan bahwa

  • perusahaan bisa melakukan ekspor barang rata-rata mencapai 3 kontainer dalam

    1 minggu, dalam 1 bulan mencapai rata-rata 15 kontainer atau lebih dengan

    harga rata-rata perkontainer mencapai US$ 10.000. Jumlah pekerja sekitar 500

    orang. Wisanka tidak memproduksi barang dari bahan mentah sampai dengan

    bahan jadi, Wisanka hanya menerima bahan setengah jadi.

    Sejak 2015 awal atau jalan 2 tahun hinggga saat ini telah memiliki

    sertifikasi SVLK, dengan waktu 3 bulan untuk persiapan dokumen-dokumen

    untuk pengajuan menggunkan SVLK. Tidak memiliki staff khusus untuk

    membuat kelengkapan dokumen SVLK setiap kali ekspor karena tugas ini

    sudah bisa ditangani oleh kepala unit yang juga sebagai koordinator untuk

    kelengkapan dokumen SVLK. Sejauh ini tidak ada masalah mengenai hal itu,

    perusahaan justru memperoleh keuntungan tersendiri. Dengan menggunakan

    SVLK perusahaan mendapatkan keuntungan yakni perusahaan-perusahaan luar

    negeri mengakui produk Indonesia dengan kayu yang legal dan khualitas yang

    baik, sehingga buyer lebih mengakui khualitas dari furniture yang di ekspor.

    Ekspornya ke Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Asia, namun dari pihak

    buyer sendiri tidak meminta SVLK kerena ini memang aturan dalam negeri dari

    pemerintah Indonesia.

    Sebelum menggunakan SVLK perusahaan ini melakukan prosedur

    ekspor secara umum sesuai dengan aturan yang ada pada saat itu. Setelah

    menggunakan SVLK, secara operasional memang ada sedikit ada perbedaan,

    terutama dalam pengurusan dokumen karena ada dokumen SVLK khusus untuk

    memperoleh izin ekspor. Adanya sertfikasi ini memang membuat perusahaan

    harus membuat beberapa dokumen lebih untuk setiap kali ekspornya, hal ini

    memang cukup rumit namun tidak ada masalah yang berarti mengingat ini

    memang aturan yang dibuat dari pemerintah dan memang perusahaan sudah

    mapan dengan struktur organisasi yang kuat dan memadai.

  • 2. CV A Class Furniture

    Berlokasi di Jalan Parang Parung II no.1, Sondakan, Laweyan,

    Surakarta. Industri berskala menengah yang telah berdiri sejak tahun 2001 dan

    eksporny telah mendunia yakni ke Eropa, USA, Canada, Australia, Jepang.

    jumlah pekerja kurang lebih sebanyak 200 orang. Dalam 1 bulan bisa

    melakukan ekspor sebanyak 2-4 kali pengiriman per kontainer. Bapak Rahman

    Haryanto selaku direktur utama dari industri A Class Furniture mengungkapkan

    bahwa sampai saat ini SVLK sendiri tidak begitu berarti bagi pelaku industri,

    pasalnya buyer atau pembeli dari luar negeri sampai sekarang tidak ada yang

    meminta SVLK baik itu dari Eropa maupun Amerika bahkan Pemerintah

    negara lain seperti Spanyol, Belanda, Itali belum meminta. Namun pemerintah

    Indonesia mewajibkan penggunaan SVLK apabila melakukan ekspor, sehingga

    pada bulan november 2016 A Class Furniture resmi menggunakan SVLK.

    Sebelum Menggunakan SVLK, untuk tahapan dalam proses eskpor

    perusahaan ini melakukan hal yang sama sesuai dengan prosedur normal dalam

    ekspor. Setelah menggunakan SVLK maka dalam proses ekspor, perusahaan

    harus melakukan pengajuan V-Legal sebelum terbit Pemberitahuan Ekspor

    Barang (PEB) nya. Dan untuk mempersiapkan dokumen tambahan untuk

    pengajuan V-legal tersebut memerlukan waktu paling cepat 1 hari kerja dan

    paling lama 2 hari kerja. Maka kita memerlukan staff khusus untuk mengurus

    dokumen-dokumen tersebut dengan biaya atau gajinya sebesar Rp.

    200.000/dokumen untuk setiap kali akan melakukan eskpor.18

    Biaya sebesar ini

    dirasa cukup memberatkan bagi perusahaan. Mengingat sebenarnya SVLK ini

    tidak berpengaruh terhadap harga jual, sehingga tidak ada kenaikan harga.

    Sampai saat ini tidak belum ada dampak positif yang dirasakan setelah

    menggunakan SVLK selain dari bisa melakukan ekspor.

  • 3. UD Rivalve Furniture

    Perusahaan Rivalva Furniture terletak di Dukuh Jamur Rt 01/08,

    Trangsan, Gatak, Sukoharjo. Merupakan industri berskala kecil. Perusahaan ini

    berdiri pada tahun 2015, sehingga baru berusia 1 tahun ini dengan jumlah

    pekerja sekitar 20 orang dan telah melakukan ekspor hingga ke Ausrtia, New

    Zaeland, dan Australia. Secara administrasi belum ada susunan staff khusus

    untuk perusahaan ini, semua urusan administrasi masih dikerjakan langsung

    oleh pemilik perusahaan, yakni Bapak Aris Nugroho.

    Bapak Aris mengungkapkan SVLK ini masih dibilang sulit untuk

    dilakukan terutama bagi industri kecil karena dokumennya yang rumit dan

    biayanya yang cukum mahal. Dalam melakukan proses ekspor, perusahaan ini

    melakukan prosedur yang sama dan secara umum dilakukan oleh para eksportir

    lainnya. Mengingat ekspornya yang masih minim sebenarnya perusahaan ini

    tidak menginginkan menggunakan SVLK namun jika tidak menggunakan

    SVLK maka perusahaan ini tidak akan bisa ekspor. Akhirnya perusahaan ini

    menggunakan SVLK karena mendapat bantuan dana yang disalurkan melalui

    HIMKI Solo Raya, sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya

    sedikitpun untuk pengajuan awal sertifikasi SVLK ini.

    Setelah menggunakan SVLK sebenarnya perusahaan merasa lebih

    terbebani, mulai dari persiapan dokumen-dokumen yang menjadi sangat banyak

    dan harus dilakukan secara teliti untuk setiap kali ekspor, management

    perusahaan yang harus dilakukan secara lebih mendetail karena nantinya akan

    ada audit yang dilakukan dari lemabaga pemberi lisensi V-Legal. Perusahaan

    ini juga masih belum sanggup untuk mempekerjakan karyawan khusus yang

    akan mengurus dokumen-dokumen V-Legal, dokumen tambahan tersebut

    dilakukan sendiri oleh pemilik perusahaan, hal ini sebenarnya berdampak pada

    proses ekspor yang bisa menghambat atau memperlambat proses ekspor karena

    harus menunggu semua dokumen-dokumen lengkap.

  • Sampai saat ini tidak belum ada dampak positif yang dirasakan setelah

    menggunakan SVLK selain dari bisa melakukan ekspor. Pihak buyer pun belum

    ada yang meminta lisensi semacam ini, Jika bisa memilih maka perusahaan ini

    memilih untuk tidak menggunakan SVLK. Dari segi harga juga sebenarnya

    sama-sekali tidak berpengaruh, tidak ada kenaikan harga barang karena buyer

    juga menghendaki harga barang yang relatif murah. Dengan dokumennya yang

    rumit justru bisa menghambat perusahaan yang juga berdampak pada

    penurunan jumlah ekspor. Sehingga tidak ada keuntungan yang diperoleh.

    C. PENUTUP

    Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh penulis mengenai

    implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia, khusunya

    wilayah Solo Raya yang mengambil 3 sample perusahaan dengan latar belakang yang

    berbeda. Tiga perusahaan tersebut berskala besar, kecil dan menengah. Hal ini dipilih

    agar bisa memaksimalkan penelitian yang dilakukan. Sesuai dengan analisis dan

    penjelasan pada bab sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa:

    1. Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK) merupakan suatu kebijakan yang

    diterapkan oleh pemerintah dengan perpedoman pada FLEGT Action Plan,

    khususnya FLEGT VPA yang sudah disepakati bersama antara Indonesia

    dan Uni Eropa. Kebijakan ini diterapkan karena beberapa alasan, yaitu:

    a. Keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam mengurangi pembalakan

    liar yang terjadi di Indonesia sebagai perwujudan dari dukungan

    Indoneia terhadap kelestarian lingkungan.

    b. Memperbaiki citra Indonesia di mata dunia yang pernah dianggap

    sebagai salah satu negara dengan tingkat pembalakan liar yang cukup

    tinggi.

    c. Membuka peluang kerjasama antara Indonesia-Uni Eropa dalam hal

    perdagangan internasional khususnya mengenai perdagangan kayu

  • dengan berbagai jenis. hal ini sesuai dengan kekayaan alam Indonesia

    yang juga menjadi milik negara dan dikelola oleh pemerintah.

    d. Mendorong pelaku industri di Indonesia agar mampu bersaing dengan

    produk dari negara lain dan meningkatkan ekspor kayu Indonesia

    terutama mengenai furniture karenatelah memiliki penambahan nilai

    sehingga harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu

    mentah atau kayu setengah jadi.

    2. Sebagai negara penghasil produk kayu, Indonesia memang memerlukan

    aturan tersendiri untuk mengatur management kayu agar tidak ada lagi

    pembalakan liar. Namun proses pembentukan kebijakan ini perlu

    diperhatikan, banyaknya pihak yang terkait tidak menjamin bahwa

    implementasinya akan berjalan sempurna karena akan semakin banyak

    pihak-pihak yang memiliki kepetingan didalamnya.

    3. Setelah milikili V-legal, perusahaan tetap harus mengurus dokumen

    tambahan untuk setiap kali ekspor dan mempersiapakannya untuk audit.

    4. Dalam SVLK tidak hanya sebagai syarat ekspor produk kayu, tetapi juga

    terdapat tata kelola kayu yang harus dipatuhi oleh semua pelaku industri

    furniture dan aturan tambahan ini membuat proses ekspor menjadi sedikit

    rumit dan sebenarnya tidak menjamin kenaikan harga, seperti:

    a. Pada perusahaan besar dengan sistem yang sudah lebih tersturktur,

    SVLK ini tidak menjadi masalah. Tidak ada dampak signifikan yang

    terjadi di perusahaan baik itu dalam hal dokumen, harga jual barang

    maupun tingkat penjualan barang.

    b. Pada perusahaan menengah, SVLK cukup memberatkan karena perlu

    menambah karyawan yang khusus mengangani dokumen SVLK di

    setiap kali ekspornya dan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk

    karyawan dan dokumen tidak sesuai dengan harga penjualan barang

    karena harga barang memang tidak mengalami kenaikan.

  • c. Pada perusahaan kecil, SVLK sangat memberatkan bahkan bisa menjadi

    penghambat untuk melakukan ekspor. Pembuatan dokumen yang rumit

    harus dilakukan sendiri oleh pemilik perusahaan karena perusahaan

    berskala kecil belum memiliki staff di bidang manajemen dan

    administrasi. Serta biaya tambahan yang cukup mahal. Sehingga banyak

    permasalahan yang terjadi, seperti keuntungan yang tidak sesuai dengan

    biaya tambahan yang diperlukan untuk pengurusan dokumen SVLK.

    5. Secara keseluruhan sebenarnya para pelaku industri ini mendukung

    adanya SVLK untuk mengurangi pembalakan liar. Namun dalam

    implementasinya sebenarnya perlu dikaji ulang, tidak perlu semua

    elemen wajib menggunakan SVLK, sehingga diterapkan di industri hulu

    atau hilir saja. Dan persyaratannya perlu lebih disederhanakan agar

    pengusaha kecil dapat lebih mudah menjalankannya.

  • 1 Danang Cahyadi, Hutan Indonesia: Kekayaan & Kompleksitas Masalah, Diakses pada 5 Mei

    2016, http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-

    mas/blog/48605/ 2 Tulus Tambunan, Perkembangan dan Daya Saing Meubel Kayu Indonesia, Diakses pada 4 Mei,

    2016http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdf

    3 Ibid

    4 Ibid

    5 Dhera Arizona Pratiwi, 2015, Ekspor Mebel Indonesia Capai Rp24,8 Triliun, Diakses pada 6 Mei 2016,

    http://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliun

    6 Kemenperin, Industri Mebel Indonesia Kalah Saing dengan Malaysia, Diakses pada 6 Mei 2016,

    http://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysia

    7 Tulus Tambunan, Op.cit, hal.10

    8 Budi Winarno, Dinamika isu-isu Global Kontemporer, Caps, Yogyakarta, 2007, Hal. 141

    9 Ibid, hal.153

    10 Dephut, Apa dan Bagaimana SVLK, Diakses pada 5 Mei 2016,

    http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3 11

    Multistakeholder Forestry Programme: Indonesia-EU, Op.cit. hal 11 12

    European Forest Institute, Op.cit. hal 6 13

    Ibid 14

    Ibid 15

    European Forest Institute, Op.cit. hal 7 16

    European Commission, “FLEGT-Voluntary Partnership Agreements (VPAs)”,Diakses pada 1 Oktober 2016, http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.

    17 Kementrian Luar Negeri, “Indonesia dan Uni Eropa Terbitkan FLEGT Lisence”, Diakses pada 17

    November 2016, http://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx.

    18 Wawancara dengan Bp.Rahman Haryanto

    http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htmhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspxhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx

  • Daftar Pustaka

    Danang Cahyadi, Hutan Indonesia: Kekayaan & Kompleksitas Masalah, Diakses

    pada 5 Mei 2016,

    http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-

    kompleksitas-mas/blog/48605/

    Tulus Tambunan, Perkembangan dan Daya Saing Meubel Kayu Indonesia, Diakses

    pada 4 Mei,

    2016http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY

    %20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdf

    Dhera Arizona Pratiwi, 2015, Ekspor Mebel Indonesia Capai Rp24,8 Triliun, Diakses

    pada 6 Mei 2016, http://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-

    ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliun

    Kemenperin, Industri Mebel Indonesia Kalah Saing dengan Malaysia, Diakses pada

    6 Mei 2016, http://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-

    Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysia

    Budi Winarno, Dinamika isu-isu Global Kontemporer, Caps, Yogyakarta, 2007, Hal.

    141

    Dephut, Apa dan Bagaimana SVLK, Diakses pada 5 Mei 2016,

    http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3

    European Commission, “FLEGT-Voluntary Partnership Agreements

    (VPAs)”,Diakses pada 1 Oktober 2016,

    http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.

    Kementrian Luar Negeri, “Indonesia dan Uni Eropa Terbitkan FLEGT Lisence”,

    Diakses pada 17 November 2016,

    http://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-

    FLEGT-License.aspx.

    Wawancara dengan Bp.Rahman Haryanto selaku Direktur utama dari A Class

    Furniture

    http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-indonesia-kekayaan-dan-kompleksitas-mas/blog/48605/http://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://www.online.fe.trisakti.ac.id/pusatstudi_industri/PUSAT%20STUDY%20TULUS%20TAMBUNAN/Pusat%20Studi/Working%20Paper/WP5.pdfhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://economy.okezone.com/read/2016/03/11/470/1333606/2015-ekspor-mebel-indonesia-capai-rp24-8-triliunhttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://www.kemenperin.go.id/artikel/9643/Industri-Mebel-Indonesia-Kalah-Bersaing-dengan-Malaysiahttp://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htmhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspxhttp://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Indonesia-dan-Uni-Eropa-Terbitkan-FLEGT-License.aspx