Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRASI ASAM SITRAT DAN
SUKROSA PADA SELAI KULIT PISANG CANDI (Musa paradisiaca)
TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA, DAN ORGANOLEPTIK
SKRIPSI
Oleh :
MARISA ANGGARA
NIM 135100101111061
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
iii
iv
RIWAYAT HIDUP
Marisa Anggara dilahirkan di Tuban, 16 Mei 1995
dari ayah yang bernama Mariyadi dan ibu bernama
Ninik Sri Suhartatik sebagai putri ketiga dari tiga
bersaudara. Penulis menjalani studi pendidikan sekolah
dasar di SDN Kebonsari 1 Tuban. Penulis kemudian
melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Tuban. Tiga tahun
kemudian tepatnya tahun 2010, penulis melanjutkan
studi ke jenjang sekolah menengah atas yaitu SMA Negeri 1 Tuban.
Pada tahun 2013 penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya. Penulis diterima di Universitas Brawijaya melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013. Pada masa
pendidikannya, penulis aktif baik di organisasi maupun kepanitiaan. Penulis aktif
di Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Fakultas Teknologi Pertanian Departemen
Flotus sebagai Ketua Divisi Public Strategy and Public Relation periode 2014 –
2015 dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian (Himalogista) sebagai
Staff Divisi Peduli Pangan periode 2014 – 2015, serta Ketua Divisi Peduli
Pangan periode 2015 – 2016. Penulis juga aktif terlibat dalam berbagai
kepanitiaan diantaranya anggota Divisi Sponsorship dan Marketing Flotus Fest
2014, Divisi Transkoper Dies Natalis ke-17 Fakultas Teknologi Pertanian 2015,
Divisi Liaison Officer ESP Great Present 4 2015, Ketua Divisi Konsumsi
Sosialisasi Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan 2015, Ketua Divisi Transkoper,
Logistik, dan Konsumsi Himalogista Mengabdi 2015, Steering Committee
Himalogista Anniversary 2016; Himalogista Mengabdi 2016; dan Himalogista
Great Event 2016. Pada tahun 2017 penulis telah berhasil menyelesaikan
pendidikannya dan mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakulas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Malang.
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Marisa Anggara
NIM : 135100101111061
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pengaruh Penambahan Konsentrasi Asam Sitrat dan
Sukrosa Pada Selai Kulit Pisang Candi (Musa
paradisiaca) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan
Organoleptik
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul diatas merupakan karya asli penulis serta Kiki Fibrianto,
STP, M.Phil., Ph.D selaku dosen pembimbing. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan ini tidak benar, saya bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, Juli 2017
Pembuat Pernyataan,
Marisa Anggara
NIM. 135100101111061
vi
MARISA ANGGARA. 135100101111061. Pengaruh Penambahan Konsentrasi
Asam Sitrat dan Sukrosa Pada Selai Kulit Pisang Candi (Musa paradisiaca)
Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia, dan Organoleptik. Skripsi. Pembimbing
: Kiki Fibrianto, STP, M.Phil., Ph.D
RINGKASAN
Selai adalah salah satu makanan pelengkap yang memiliki tekstur kental yang
diolah dari bubur buah. Buah mengandung pektin akan dikombinasikan dengan sukrosa
dan asam agar terbentuk gel. Pada bagian kulit juga mengandung pektin yang tinggi,
salah satunya kulit pisang candi. Para pedagang mengolah kulit sebagai sampah organik
dan pakan ternak, jika dimanfaatkan dapat dijadikan produk pangan selai. Penelitian
mengenai penambahan konsentrasi asam sitrat dan sukrosa sudah pernah dilakukan
pada selai nangka namun belum pernah diterapkan pada selai kulit pisang sehingga
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan asam sitrat dan
sukrosa terhadap karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik.
Pada penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK)
yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor I adalah asam sitrat (0,2% dan
0,4%). Faktor II adalah konsentrasi sukrosa (50%, 60%, 70%), masing -masing dilakukan
3 kali ulangan sehingga didapatkan 18 satuan percobaan. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan sidik ragam ANOVA (Analysis of Varian) dengan menggunakan GLM
(General Linear Model) jika berpengaruh nyata (p-value <0,05) maka dilakukan Uji Lanjut
Bonfferoni pada uji fisik dan kimia, sedangkan pada uji organoleptik menggunakan Uji
Lanjut Tukey. Penentuan perlakuan terbaik dipilih dengan metode Zeleny.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat dan sukrosa
terdapat pengaruh nyata terhadap kadar air, total padatan terlarut, uji warna meliputi
kecerahan, kemerahan, dan kekuningan, serta panjang oles. Sedangkan yang tidak
berpengaruh nyata adalah nilai pH. Pada karakteristik organoleptik yang berpengaruh
nyata pada atribut rasa manis, asam, sensasi sepat (astringency), warna, kekokohan
(firmness), daya oles, dan panjang oles. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata
terhadap karakteristik organoleptik adalah atribut rasa pahit dan sensasi berpasir
(graininess). Perlakuan terbaik diperoleh pada selai kulit pisang candi dengan kombinasi
perlakuan penambahan asam sitrat 0,2% dan sukrosa 70% yang memiliki karakteristik
kadar air 48,80%, nilai pH 4,97, nilai total padatan terlarut 45,10 0Brix, uji warna meliputi
kecerahan 35,09; kemerahan 1,61; kekuningan 9,41, dan panjang oles dilakukan oleh
peneliti sebesar 9,3 cm, sedangkan uji organoleptik pada atribut rasa manis 8,82745;
rasa asam 2,36667; sensasi sepat (astringency) 3,44118; warna 8,90588; kekokohan
(firmness) 5,45686; daya oles 10,5078; dan panjang oles 8,43137.
Kata kunci : Asam Sitrat, Kulit Pisang, Selai, Sukrosa
vii
Marisa Anggara. 135100101111061. The Effect of Addition of Citric Acid and Sucrose Concentration on “Candi” Banana Peel (Musa paradisiaca) Jam on Physico, Chemical Characteristics, and Organoleptic. Final Project Report Undergraduated. Supervisor: Kiki Fibrianto, S.TP, M.Phil., Ph.D
SUMMARY
Jam is one of complementary foods that have the texture of viscous who
prepared from puree fruit. The fruit contains pectin will be combined with sucrose
and acid that the gel is formed. On the part of peel also contains the pectin,
include banana peels. The trader cultivate the peel as organic waste and animal
feed, if we can use the banana “Candi” peel as jam. Research on the addition of
citric acid and sucrose concentration of jackfruit jam has been done, but have
never applied to the banana peel jam, so need to do research to find out the
effect of addition of citric acid and sucrose concentration on physico, chemical
characteristics, and organoleptic.
In this research was doing with a Random Design Methods Group (RAK)
who arranged in factorial with two factors. Factor I is the citric acid (0,2% and
0,4%). Factor II is the concentration of sucrose (50%, 60%, and 70%), each done
three times repeats so 18 units of the experiment. The data obtained are then
analyzed with ANOVA GLM, if the real effect (p-value <0,05) then conducted
Further trials of Bonferroni on physico and chemical, while on the organoleptic
using Tukey. The best treatment using method Zeleny.
The results showed that the addition of citric acid and sucrose contained
real effect towards water content, total dissolved solids, test colors include
brightness, reddish, yellowish, and length of spread. While that isn’t a real effect
is pH values. On the characteristic of organoleptic attributes that effect is the
taste of sweet, sour, astringency, color, firmness, spreadibility, length of spread.
While on the organoleptic isn’t real effect is the taste of bitter and graininess. The
best treatment obtained at “Candi” banana peels jam with combination 0,2% of
citric acid and 70% of sucrose that has the characterictics of water content
48,80%, pH values 4,97, total dissolved solids 45,10 0Brix, test colors include
brigthness 35,09; reddish 1,61; yellowish 9,41; and the length of spread is 9,3
cm. While the organoleptic attributes on the taste of sweet 8,82745; sour
2,36667; astringency 3,44118; color 8,90588; firmness 5,45686; spreadibility
10,5078; and the length of spread 8,43137.
Keywords : Banana Peel, Citric Acid, Jam, Sucrose
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Pengaruh
Penambahan Konsentrasi Asam Sitrat dan Sukrosa Pada Selai Kulit Pisang
Candi (Musa paradisiaca) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Organoleptik”
dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan
pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian (THP) Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang. Penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Mama, Papa, Mbak Nikke, Mbak Citra, Mas Wahyu, dan keponakan saya
Kara yang selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta, motivasi, dukungan
moril dan materiil yang tidak akan pernah putus. Terimakasih keluargaku
2. Ibu Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.
3. Bapak Kiki Fibrianto, STP, M.Phil., Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah membimbing dan memberikan pengarahan selama penelitian dan
penulisan tugas akhir.
4. Ibu Dr. Ir. Tri Dewanti W., M.Kes dan Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP, MP.,
M.Sc selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kemudahan saat
ujian dan segala revisinya.
5. Kedua sahabat saya Oni Ade Mahendra dan Ismi Safitri Nuraini yang selalu
merelakan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah, memberikan doa,
motivasi, dan kalimat indahnya walaupun terpisah kota.
6. Fatimah Muhammad, Dita Puspa Arinta, Hasna Nadhiroh, Amalia Rindy Sofia,
Annisa Ayu Pratiwi, Iqbal Rachmat Fauzi, dan Bagas Aryo Sasongko yang
selalu mengajariku untuk bersabar, ikhlas, dan merasa berharga karena waktu
yang mereka luangkan tidak dapat ditukar dengan apapun, terimakasih
Kepimping-ku
7. Alishia Putri Maitsaa, Kintan Kamilia, Khairunnisa Nurdiani, Erlienda
Novitasari, Afifah Nur Maulidya Gavi, Dita Puspa Arinta, dan Basuki Rahmat
yang selalu menjadi teman berpikir, teman berdiskusi, teman melepas
kerinduan akan masa indah 2016, terimakasih Jaka Tarub & 6 Bidadari-ku
8. Sonia Yurista, Fikriyatul Hanifa, Elina Januarni, Natalia Sari, Erik Syafril,
Muhammad Fakhri, dan Jerry Ivander yang selalu bersedia menemani dan
ix
berjuang bersama dalam segala proses dan kegelisahan dalam kehidupan
semester akhir yang memiliki liku-likunya masing-masing
9. Teman-teman dan Adik-adik tersayang di Peduli Pangan 2016 dan
Himalogista 2016 yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan
mengajariku tentang amanah itu mendekatkan kita dengan Allah dan harus
banyak belajar, bersabar, dan ikhlas. Terimakasih 2016-ku
10. Taman Surga dan Lingkaran Cinta yang selalu memberikan ilmu baru, teman
baru, doa, dan persaudaraan dalam ukhuwah yang mengharap ridho Allah
11. Teman Sensoris 2013, Prof Simon Squad, dan rekan mahasiswa angkatan
2013, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penelitian dan penyusunan tugas akhir baik secara
langsung maupun melalui doa. Semoga kebaikan kalian akan dibalas dengan
kebaikan juga
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini dan
melaksanakan perbaikan di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam ilmu dan teknologi pangan.
Malang, Juli 2017
Penyusun,
Marisa Anggara
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. v RINGKASAN .................................................................................................. vi SUMMARY ..................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah .......................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 3 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 3
1.5 Hipotesis ......................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1 Pisang (Musa paradisiaca L.) .......................................................... 4 2.2 Pisang Candi (Musa paradisiaca) ................................................... 5 2.3 Kulit Pisang ..................................................................................... 6 2.4 Selai................................................................................................ 8 2.5 Pektin ............................................................................................. 10 2.6 Sukrosa .......................................................................................... 12 2.7 Asam Sitrat ..................................................................................... 12 2.8 Air ................................................................................................... 12 2.9 Proses Pembuatan Selai ................................................................ 13
2.10 Evaluasi Sensori ............................................................................. 15 2.11 Metode Spektrum ........................................................................... 16 2.12 Faktor yang Mempengaruhi Respon Panelis .................................. 16 2.13 Palate Cleanser .............................................................................. 17
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 18
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 18 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 18
3.2.1 Alat ........................................................................................ 18 3.2.2 Bahan .................................................................................... 18
3.3 Rancangan Penelitian ..................................................................... 18 3.4 Pelaksanaan Penelitian .................................................................. 19
3.4.1 Penelitian Pendahuluan ......................................................... 19 3.4.2 Penelitian Utama .................................................................... 20 3.4.3 Prosedur Analisis Sensori ................................................... 20
3.4.3.1 Wawancara ................................................................ 20 3.4.3.2 Uji Pengenalan Rasa Dasar ........................................ 21 3.4.3.3 Uji Ambang Mutlak (Threshold) ................................... 21 3.4.3.4 Uji Segitiga .................................................................. 22
3.4.4 Pelatihan Panelis ................................................................... 22
xi
3.5 Pengamatan dan Analisis................................................................ 23 3.6 Analisis Data .................................................................................... 23 3.7 Diagram Alir ..................................................................................... 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 25
4.1 Karakteristik Bahan Baku ................................................................ 25 4.2 Hasil Uji Kimia Selai Kulit Pisang Candi...... .................................... 25
4.2.1 Kadar Air ................................................................................ 25 4.2.2 Nilai pH .................................................................................. 27 4.2.3 Total Padatan Terlarut ........................................................... 29
4.3 Hasil Uji Fisik Selai Kulit Pisang Candi ........................................... 31 4.3.1 Warna .................................................................................... 31 4.3.2 Panjang Oles ......................................................................... 36
4.4 Seleksi Panelis ............................................................................... 38 4.4.1 Perekrutan Panelis ................................................................. 38
4.5 Tahapan Uji Seleksi Panelis ........................................................... 39 4.5.1 Uji Pengenalan Rasa Dasar ................................................... 40 4.5.2 Uji Segitiga ............................................................................. 41 4.5.3 Uji Ambang Mutlak (Threshold) ............................................. 42 4.6 Pelatihan Panelis Referensi Atribut .................................................. 47 4.7 Hasil Uji Sensori Metode Analisis Spektrum Pada Selai Kulit Pisang 56 4.7.1 Rasa Manis ............................................................................ 57 4.7.2 Rasa Asam ............................................................................ 58 4.7.3 Rasa Pahit ............................................................................. 59 4.7.4 Sensasi Sepat (Astringency) ................................................. 60 4.7.5 Warna .................................................................................... 61 4.7.6 Sensasi Berpasir (Graininess) ............................................... 62 4.7.7 Kekokohan (Firmness) .......................................................... 63 4.7.8 Daya Oles .............................................................................. 64 4.7.9 Panjang Oles ......................................................................... 65 4.7.10 Hubungan antara Porositas Roti Tawar dengan Panjang Oles ....................................................................................................... 66 4.7.11 Penerimaan dan Kesukaan Panelis Pada Selai Kulit Pisang 68 4.8 Hasil Principal Component Analysis (PCA) ..................................... 71 4.9 Hubungan Antara Parameter Kimia dan Fisik dengan Parameter Organoleptik ..................................................................................... 72 4.10 Produk Selai Kulit Pisang Candi Perlakuan Terbaik ....................... 75
4.11 Perbandingan Hasil Selai Kulit Pisang Candi Terbaik dengan Selai Komersial ........................................................................................ 76
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 78
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 78 5.2 Saran...... ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 79 LAMPIRAN ..................................................................................................... 88
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 g ...................................... 6 Tabel 2.2 Komposisi Pektin Pada Berbagai Jenis Kulit Pisang Matang .......... 7 Tabel 2.3 Kriteria Mutu Selai Buah ................................................................. 9 Tabel 2.4 Syarat Mutu Selai Buah .................................................................. 9 Tabel 3.1 Rancangan Penelitian Selai Kulit Pisang ........................................ 19 Tabel 3.2 Jenis Konsentrasi Tastant (g/L) ...................................................... 22 Tabel 4.1 Data Hasil Analisis Bahan Baku Kulit Pisang Candi dengan Literatur
....................................................................................................... 25 Tabel 4.2 Rerata Kadar Air Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan .......... 26 Tabel 4.3 Rerata Total Padatan Terlarut Selai Kulit Pisang Berdasarkan
Perlakuan ......................................................................................... 30 Tabel 4.4 Rerata Nilai Kecerahan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan 32 Tabel 4.5 Rerata Nilai Kemerahan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan 34 Tabel 4.6 Rerata Nilai Kekuningan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan35 Tabel 4.7 Rerata Panjang Oles Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan ... 37 Tabel 4.8 Tabel Best Estimate Threshold Panelis ......................................... 43 Tabel 4.9 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Manis ........................................... 48 Tabel 4.10 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Asam ......................................... 49 Tabel 4.11 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Pahit .......................................... 50 Tabel 4.12 Hasil Pelatihan Referensi Sensasi Sepat (Astringency) ............... 51 Tabel 4.13 Hasil Pelatihan Referensi Warna ................................................. 52 Tabel 4.14 Hasil Pelatihan Referensi Kekokohan (Firmness) ........................ 53 Tabel 4.15 Hasil Pelatihan Referensi Sensasi Berpasir (Graininess) ............. 54 Tabel 4.16 Hasil Pelatihan Referensi Daya Oles ........................................... 54 Tabel 4.17 Hasil Pelatihan Referensi Panjang Oles ...................................... 55 Tabel 4.18 Hasil ANOVA General Linier Model pada Uji Sensori Selai Kulit
Pisang ............................................................................................. 57 Tabel 4.19 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Rasa Manis ................................... 57 Tabel 4.20 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Rasa Asam .................................... 58 Tabel 4.21 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Sensasi Sepat (Astringency) ......... 60 Tabel 4.22 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Warna ............................................ 61 Tabel 4.23 Hasil Uji Lanjut Kekokohan (Firmness) ........................................ 63 Tabel 4.24 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Daya Oles ...................................... 64 Tabel 4.25 Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Panjang Oles ................................. 65 Tabel 4.26 Pemilihan Parameter Perlakuan Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Berdasarkan Faktor Kepentingan dan Pengharapan Nilai Terbaik ... 75 Tabel 4.27 Data Hasil Analisis Metode Multiple Attribute ................................ 75 Tabel 4.28 Data Hasil Analisis Uji T Antara Selai Kulit Pisang Candi Terbaik
dengan Selai Komersial .................................................................... 76
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pisang Candi ............................................................................. 5 Gambar 2.2 Struktur Pektin........................................................................... 10 Gambar 3.1 Proses Pembuatan Selai Kulit Pisang Candi .............................. 24 Gambar 4.1 Grafik Rerata Kadar Air Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula .......................... 26 Gambar 4.2 Grafik Rerata Nilai pH Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula .......................... 28 Gambar 4.3 Grafik Rerata Total Padatan Terlarut Selai Kulit Pisang Terhadap
Pengaruh Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula ......... 29 Gambar 4.4 Grafik Rerata Nilai Kecerahan Selai Kulit Pisang Terhadap
Pengaruh Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula ......... 32 Gambar 4.5 Grafik Rerata Nilai Kemerahan Selai Kulit Pisang Terhadap
Pengaruh Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula ......... 33 Gambar 4.6 Grafik Rerata Nilai Kekuningan Selai Kulit Pisang Terhadap
Pengaruh Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula ......... 35 Gambar 4.7 Grafik Rerata Panjang Oles Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula .......................... 37 Gambar 4.8 Grafik Data Hasil Kuisioner Tingkat Kepentingan Parameter ..... 39 Gambar 4.9 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Uji Pengenalan Rasa
Dasar ........................................................................................... 40 Gambar 4.10 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Uji Segitiga ............. 41 Gambar 4.11 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Gula ... 44 Gambar 4.12 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Asam
Sitrat ............................................................................................ 45 Gambar 4.13 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Kafein . 46 Gambar 4.14 Grafik Hasil Porositas Roti Tawar Panelis .................................. 67 Gambar 4.15 Grafik Scatterplot Hubungan Porositas Roti Tawar dan Panjang
Oles ............................................................................................. 68 Gambar 4.16 Grafik Penerimaan Panelis Terhadap Selai Kulit Pisang Candi .. 69 Gambar 4.17 Grafik Kesukaan Panelis Terhadap Selai Kulit Pisang Candi ..... 69 Gambar 4.18 Grafik PCA Loading Plot Pada Atribut Sensoris ........................ 71 Gambar 4.19 Grafik Scatter Plot Hubungan Nilai pH dan Rasa Asam ............. 73 Gambar 4.20 Grafik Scatter Plot Hubungan Kadar Air dan Kekokohan ........... 74 Gambar 4.21 Grafik Scatter Plot Panjang Oles Uji Fisik dan Panjang Oles
Organoleptik ................................................................................. 74
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis Fisik, Kimia, dan Organoleptik ....................... 88 Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Uji Fisik dan Kimia........................... 94 Lampiran 3. Data Diri Panelis ........................................................................ 99 Lampiran 4. Kuisioner Wawancara dan Persetujuan......................................100 Lampiran 5. Hasil One Proportion Uji Pengenalan Rasa Dasar.....................103 Lampiran 6. Hasil One Proportion Uji Segitiga...............................................103 Lampiran 7. Hasil One Proportion Uji Ambang Mutlak...................................103 Lampiran 8. Hasil Pearson Correlation dan Paired T test Pelatihan Panelis..104 Lampiran 9. Hasil ANOVA GLM Penilaian Selai Kulit Pisang........................113 Lampiran 10. Hasil Pearson Correlation antara Porositas Roti Tawar dan
Panjang Oles..............................................................................117 Lampiran 11. Prosedur Pemilihan Perlakuan Terbaik......................................118 Lampiran 12. Hasil Korelasi Antara Uji Fisik dan Kimia dengan Uji
Organoleptik...............................................................................119 Lampiran 13. Hasil Uji T Antara Uji Fisik dan Kimia dengan Uji
Organoleptik...............................................................................119 Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian..............................................................120
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selai merupakan produk pangan yang memiliki tekstur semi padat atau
kental. Selai terbuat dari satu jenis buah atau beberapa buah yang
dikombinasikan dengan gula dan bahan tambahan pangan yang diizinkan seperti
pektin komersial, asam sitrat, serta penambahan air atau tanpa air. Beberapa
senyawa yang dapat mempengaruhi pembentukan gel pada selai antara lain
senyawa pektin yang dapat berasal dari buah itu sendiri atau pektin yang
ditambahkan dari luar, sukrosa, dan asam. Kekerasan gel tergantung pada
konsentrasi pektin, sukrosa, dan asam pada bubur buah (Hasbullah, 2001).
Bahan baku yang biasa digunakan untuk pembuatan selai adalah nanas, apel,
dan jenis buah lainnya yang mengandung pektin. Penggunaan selai yang cukup
luas pada beberapa produk makanan menjadikan permintaan pasar terhadap
konsumsi selai juga terus meningkat. Selain daging buah yang digunakan
sebagai bahan baku pembuatan selai, kulit buah juga digunakan sebagai bahan
baku pembuatan selai, karena pada kulit buah mengandung pektin. Penelitian
tentang kulit buah sebagai bahan baku selai telah dilakukan oleh Hardita (2015)
menggunakan kulit buah naga dan daging buah naga merah, Dewi (2014)
menggunakan kulit pisang ambon sebagai campuran pembuatan selai kacang
hijau, Matondang (2014) menggunakan kulit pisang barangan sebagai campuran
pembuatan selai cokelat.
Produksi buah pisang di Indonesia sangatlah melimpah, buah ini dapat
dikonsumsi secara langsung atau diolah menjadi berbagai jenis olahan seperti
pisang goreng, sale, keripik, selai pisang, dan sebagainya. Pisang merupakan
salah satu jenis komoditas hortikultura yang memiliki potensi dan nilai ekonomi
yang tinggi baik untuk impor maupun ekspor. Total produksi pisang di Indonesia
pada tahun 2015 adalah 7.299.275 ton, di Jawa Timur menyumbang 1.628.437
ton, di Kabupaten Malang menyumbang 690.135,7 ton, sedangkan di Kota
Malang pada tahun 2014 menyumbang 213,3 ton (Badan Pusat Statistik, 2017).
Pisang candi (Musa paradisiaca) merupakan jenis pisang yang sering
digunakan sebagai bahan baku olahan pisang di Malang. Pemanfaatan pisang
candi di Malang sendiri digunakan oleh pedagang pisang goreng yang banyak
beredar hampir di setiap kawasan yang ramai dengan rumah penduduk dan
digunakan sebagai produk keripik pisang pada Usaha Kecil Menengah (UKM) di
2
daerah kota maupun kabupaten. Kebanyakan masyarakat yang memanfaatkan
pisang, belum mengetahui cara memanfaatkan limbah kulit pisang tersebut,
padahal 1/3 dari buah pisang merupakan kulit pisang yang berpotensi
meningkatkan nilai jual produk. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan
ekstraksi pektin kulit pisang telah dilakukan oleh Kaban, dkk (2012) pektin yang
didapat dari kulit pisang raja sebanyak 4,43%; menurut Ahda dan Berry (2008)
dihasilkan pektin dari kulit pisang kepok sebanyak 11,93%. Kulit pisang kaya
akan nilai gizi dan tergolong tinggi kandungan pektinnya sehingga dapat diolah
atau dikembangkan menjadi produk bernilai ekonomis, salah satunya dijadikan
produk selai. Pemilihan kulit pisang candi untuk dijadikan selai karena memiliki
kulit bagian dalam yang tebal sehingga terdapat pektin yang cukup tinggi dan
memiliki aroma pisang yang kuat.
Menurut Fatonah (2002), untuk memperoleh selai dengan mutu yang
baik, bahan yang perlu diperhatikan dalam pembentukan gel pada selai adalah
pektin, asam, dan sukrosa. Selai yang baik harus mudah dioleskan, kenyal
seperti agar-agar tetapi tidak terlalu keras, serta memiliki rasa dan aroma buah
asli. Tujuan penambahan asam pada selai adalah untuk menurunkan pH bubur
buah karena struktur gel hanya terbentuk pada pH rendah dan menghindari
terjadinya pengkristalan sukrosa (Fatonah, 2002). Pentingnya penambahan
sukrosa juga berfungsi untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan aroma yang
baik, juga sebagai bahan pengawet bagi berbagai macam produk pangan
(Fatonah, 2002).
Berdasarkan penelitian Bariroh (2007) penambahan asam sitrat dan gula
pada selai nangka masih diperlukan kombinasi konsentrasi yang berbeda dan
pengujian secara organoleptik belum menggunakan atribut penilaian yang
bervariasi. Sedangkan pada penelitian Matondang (2014), kulit pisang belum
digunakan secara keseluruhan namun ditambahkan bubuk cokelat. Padahal kulit
pisang terdiri dari 1/3 dari buah pisang dan memiliki jumlah pektin yang tergolong
tinggi, serta berpotensi dapat dimanfaatkan keseluruhan kulitnya sebagai bahan
baku pembuatan selai. Sehingga untuk mengembangkan inovasi dan
mendapatkan mutu selai dari kulit pisang candi yang baik, maka perlu dilakukan
penelitian dengan perubahan konsentrasi asam sitrat dan sukrosa pada selai
kulit pisang candi dengan judul “Pengaruh Penambahan Konsentrasi Asam Sitrat
dan Sukrosa pada Selai Kulit Pisang Candi (Musa paradisiaca) Terhadap
3
Karakteristik Fisik, Kimia, dan Organoleptik. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi alternatif masyarakat dalam mengelola limbah kulit pisang.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh penambahan asam sitrat dan sukrosa dengan
konsentrasi yang berbeda dapat mempengaruhi karakteristik fisik,
kimia, dan organoleptik pada selai kulit pisang candi?
2. Manakah kombinasi perlakuan untuk konsentrasi asam sitrat dan
sukrosa yang mampu memberikan pengaruh terhadap karakteristik
fisik, kimia, dan organoleptik selai kulit pisang yang terbaik?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh penambahan asam sitrat dan sukrosa terhadap
karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik pada selai kulit pisang candi
2. Mengetahui kombinasi perlakuan terbaik untuk konsentrasi asam sitrat
dan sukrosa pada selai kulit pisang candi
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan alternatif bagi masyarakat dalam pemanfaatan limbah
kulit pisang sebagai diversifikasi pangan
2. Memberikan informasi kepada pembaca tentang formulasi konsentrasi
sukrosa dan asam sitrat untuk menghasilkan selai yang memiliki
karakteristik fisik, kimia dan organoleptik yang baik
3. Meningkatkan nilai ekonomis dari limbah kulit pisang agar dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat secara mandiri
1.5. Hipotesis
Penambahan sukrosa dan asam sitrat dengan konsentrasi yang berbeda
diduga dapat mempengaruhi tekstur dan rasa pada selai kulit pisang candi.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang (Musa paradisiaca L.)
Pisang (Musa paradisiaca L.) merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara
termasuk banyak terdapat di Indonesia. Tumbuhan pisang banyak disukai oleh
hampir seluruh kalangan masyarakat, baik dikonsumsi secara langsung maupun
diolah. Tumbuhan pisang ini dapat dimanfaatkan mulai dari bunga, buah, daun,
batang sampai bonggol dapat digunakan sebagai sayur. Pisang merupakan
tumbuhan hortikultura yang memiliki potensi cukup besar untuk dijadikan inovasi
produk dan jumlah produksi berlangsung tanpa mengenal musim (Dewati, 2008).
Pisang merupakan salah satu jenis komoditas hortikultura yang memiliki
potensi dan nilai ekonomi yang tinggi baik untuk impor maupun ekspor. Total
produksi pisang di Indonesia pada tahun 2015 adalah 7.299.275 ton, di Jawa
Timur menyumbang 1.628.437 ton, di Kabupaten Malang menyumbang
690.135,7 ton, sedangkan di Kota Malang pada tahun 2014 menyumbang 213,3
ton (Badan Pusat Statistik, 2017).
Menurut jenisnya, tumbuhan pisang yang lebih dikenal oleh masyarakat
dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu Musa acuminata, Musa
balbisiana, dan hasil persilangan alami maupun buatan antara Musa acuminata
dengan Musa balbisiana. Musa acuminata mudah dikenali dengan tidak ada biji
dalam buahnya, contoh yang tergolong dalam kelompok pisang adalah pisang
Ambon, Barangan, dan Mas. Musa balbisiana juga cukup popular dikalangan
masyarakat karena dalam buahnya mengandung biji yang banyak, contoh yang
tergolong dalam kelompok pisang ini adalah pisang Kluthuk Awu dan Kluthuk
Wulung. Sedangkan hasil persilangan alami maupun buatan antara Musa
acuminata dengan Musa balbisiana ini bisa disebut Musa paradisiaca yang
biasanya dimanfaatkan sebagai pisang yang dikonsumsi segar dan olahan, jenis
pisang olahan yang secara internasional dikelompokkan dalam plantain adalah
yang memiliki bentuk buah ramping, tidak beraturan, dan rasanya agak renyah.
Pisang yang termasuk dalam kelompok ini adalah pisang Tanduk atau Candi
(Sutanto dan Edison, 2001).
5
2.2 Pisang Candi (Musa paradisiaca)
Gambar 2.1 Pisang Candi (Anonim, 2017)
Pisang Candi (Musa paradisiaca) merupakan salah satu buah tropis yang
banyak tumbuh di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pisang candi ini
banyak dijumpai pada daerah jawa, jika pada daerah Sukabumi, Jawa Barat
pisang ini biasa disebut pisang Tanduk dan pada daerah Colo, Jawa Tengah
biasa disebut pisang Byar. Menurut Rukmana (1999), karakteristik morfologi
kelompok pisang Tanduk atau Candi memiliki tinggi pohon 3 m dengan lingkar
batang 63-69 cm, berwarna cokelat muda dengan bagian atas berwarna merah
jambu, daging buah putih atau kekuning-kuningan, rasa tidak manis sampai agak
masam. Kelompok pisang tanduk terdiri dari pisang Agung, Byar, Galek,
Karayunan, Candi, Kapas, dan Nangka. Menurut Murtiningsih dan Pekerti (1988),
pisang candi berukuran besar dan bentuknya menyerupai tanduk. Buah yang
matang memiliki warna kulit buah cokelat kemerahan berbintik-bintik cokelat dan
warna daging buahnya kuning kemerahan. Berat setiap tandan berkisar antara 7-
10 kg yang terdiri atas 3 sisir dan setiap sisirnya berisi paling banyak 10 buah.
Ukuran buah pisang candi termasuk besar, yaitu panjangnya 25,3-30,9 cm,
lingkar buah 13,6-15,2 cm dengan berat buah sebesar 247,4-346,3 gram, daging
buah berkisar 113-119 gram.Persentase daging buah sekitar 73% karena bagian
kulitnya yang cukup tebal. Pisang candi sangat cocok diolah menjadi keripik,
buah dalam sirup, aneka olahan tradisional (pisang goreng, rebus), dan tepung.
Kandungan total gula pada pisang yang sudah tua namun berwarna hijau
adalah 0,1% dan pati sebesar 19,5 – 21,5%. Pada proses pematangan buah
terjadi kenaikan total gula karena sebagian besar pati akan diubah menjadi gula.
Pisang termasuk buah klimaterik, maka setelah dipetik akan mengalami
kemasakan lebih lanjut dan rusak jika ditunda penggunaannya (Wachida, 2013).
6
2.3 Kulit Pisang
Kulit pisang banyak ditemui pada pedagang olahan pisang dan industri-
industri pengolahan buah pisang. Menurut Susanti (2006) pada umumnya kulit
pisang belum dimanfaatkan secara maksimal, biasanya hanya digunakan untuk
pakan ternak dan hanya dibuang sebagai limbah organik saja. Jumlah kulit
pisang yang cukup banyak kira-kira 1/3 dari buah pisang yang belum dikupas
dan memiliki nilai jual yang menguntungkan jika dimanfaatkan sebagai bahan
baku makanan. Dari potensi yang ada perlu dimanfaatkan dan dikembangkan
lagi menjadi produk inovasi dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat seperti selai.
Tabel 2.1 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 g Bahan
No Komponen Kadar
1 Air (g) 68,9a
2 Protein (g) 0,32 a
3 Lemak (g) 2,11 a
4 Karbohidrat (g) 18,50 a
5 Vitamin
Vitamin C (mg) 17,50 a
6
Vitamin B (mg) 0,12 a
Ca (mg) 7,5 a
Fe (mg) 1,60 a
P (mg) 117 a
7 Total Pektin 16,21%b
8 Total Gula 46,95%b
Sumber : a Munadjim, 1984 dan
b Erawati, 2009
Komponen kulit pisang terbesar adalah air dan karbohidrat. Karbohidrat
dalam limbah kulit pisang biasanya dimanfaatkan sebagai nutrisi pakan ternak.
Komposisi zat gizi diatas dapat digunakan sebagai sumber energi dan antibodi
bagi tubuh manusia. Selain itu kulit pisang memiliki senyawa alami berupa pektin.
Pektin merupakan senyawa hidrokoloid karbohidrat yang terdapat pada
jaringan tanaman muda dan buah (Tajoda, 2013). Pektin pada kulit pisang
terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman, terdapat di dalam dinding sel
primer, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa (Hanum, dkk,
2012). Kandungan pektin dalam tanaman sangat bervariasi baik berdasarkan
jenis tanamannya maupun bagian dari jaringannya, kandungan pektin pada kulit
pisang adalah 3,53 – 5,35%, sedangkan pada daging buah pisang sekitar 0,93%.
7
Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat didalam buah sangat
bervariasi dan tergantung pada derajat kematangan buah (Erawati, 2009).
Adapun persentase komposisi pektin dari berbagai jenis kulit pisang dapat dilihat
pada Tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Komposisi Pektin Pada Berbagai Jenis Kulit Pisang Matang
Jenis Bahan Kandungan Pektin
(%)
Kulit Pisang Raja 9,22
Kulit Pisang Tanduk 13,3
Kulit Pisang Uli 11,2
Kulit Pisang Kepok 22,4
Sumber : Tuhuloula (2013)
Menurut Hanum (2012) kulit pisang kepok yang banyak mengandung
pektin terdapat pada buah yang sudah matang, jika pada pisang dengan warna
kulit yang hijau pektin yang terbentuk masih belum sempurna. Kulit pisang selain
memiliki serat yang lebih banyak dibandingkan daging buahnya, juga
mengandung pektin empat kali lebih banyak dibanding daging buah pisang.
Selain itu kulit pisang bila dilihat dengan mikroskop, maka akan terlihat diselimuti
oleh dinding sel yang kokoh. Kulit pisang yang diamati dengan menggungakan
scanning electron microscope (SEM) dengan perbesaran 2000x akan memiliki
kenampakan permukaan yang rapi dan teratur karena dilindungi oleh dinding sel
yang berbentuk seperti sarangmadu (Ibrahim, et al., 2014).
Menurut Akili (2014) kulit buah pisang yang berwarna hijau memiliki
rendemen pektin cukup tinggi, pada waktu mencapai tingkat kematangan kuning
rendemen pektin menurun jumlahnya karena proses degradasi pektin oleh
enzim. Menurut Winarno (2002) bahwa proses degradasi pektin terdapat banyak
enzim yang dapat aktif, yaitu PE (pectin methyl esterase) yang aktif dalam
pemecahan metil dari metil ester, PG (poly galacturonase) yang membantu
memecahkan ikatan 1,4 dan PTE (pectin trans eliminase) yaitu enzim yang
bekerja pada ikatan 1,4 sama dengan PG tapi PTE bekerja pada hasil
hidrolisisnya. Hal ini juga didukung oleh penelitian Loesecke (1950) yang
menemukan jumlah pektin di dalam kulit pisang hijau, kuning dan coklat berturut-
turut 1.28%, 1.02% dan 0.81%.
8
2.3 Selai
Selai merupakan produk pangan yang memiliki tekstur semi padat atau
kental. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations
(2016) selai merupakan produk pangan yang memiliki gel padat yang terbuat dari
bahan dasar bubur buah dari satu jenis buah maupun campuran beberapa buah
dengan komposisi tidak kurang dari 40%. Jika menggunakan beberapa jenis
buah maka komposisinya tidak kurang dari 50% dari jumlah buah yang
digunakan. Pada selai juga digunakan sukrosa atau yang biasa disebut gula, jika
menggunakan jenis buah iklim tropis maka 70% gula merupakan komposisi yang
tepat. Menurut SNI (2008), selai didefinisikan sebagai produk pangan semi
basah yang dapat dioleskan yang terbuat dari olahan buah-buahan, gula, dengan
atau tanpa penambahan bahan lain seperti pektin komersial, dan bahan
tambahan makanan yang diizinkan.
Menurut Codex STAN 296 (2009), selai adalah produk yang memiliki
konsistensi gel yang baik yang terbuat dari buah utuh, potongan buah,
konsentrat pulp atau puree buah dari satu jenis atau lebih buah, yang dicampur
dengan pemanis, dengan tambahan air maupun tanpa air. Konsistensi gel atau
semi padat pada selai diperoleh dari senyawa pektin yang berawal dari buah itu
sendiri atau pektin yang ditambahkan dari luar (pektin komersil), sukrosa, dan
asam. Interaksi ini terjadi pada suhu tinggi dan bersifat menetap setelah suhu
diturunkan. Kekerasan gel tergantung pada konsentrasi sukrosa, pektin, dan
asam dalam bubur buah (Hasbullah, 2001).
Proses pembuatan selai yaitu dengan pemasakan antara bubur buah
dengan gula hingga menjadi kental. Jumlah penambahan gula yang tepat pada
pembuatan selai tergantung dari beberapa faktor, antara lain tingkat keasaman
buah yang digunakan, kandungan gula dalam buah, dan tingkat kematangan
buah yang digunakan. Buah yang ideal untuk pembuatan gel harus mengandung
pektin dan asam yang cukup untuk menghasilkan selai yang baik (Desrosier,
1988). Menurut Fachruddin (1997) dalam Yulistiani, dkk (2014) kondisi optimum
dalam pembentukan gel pada selai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kadar gula yang tinggi ± 40%, total padatan terlarut antara 65-73%, pH 3,1-3,5,
dan konsentrasi pektin 0,75-1,5%.
Selai merupakan produk pangan yang cukup dikenali masyarakat dan
sudah banyak diproduksi dalam skala perusahaan. Adapun untuk produk pangan
hendaknya para produsen berusaha untuk memenuhi kriteria mutu yang telah
9
ditetapkan oleh pemerintah. Standar mutu selai di Indonesia terdiri dari dua yaitu
SII (Standar Industri Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan SNI (Standar
Nasional Indonesia) dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.3 Kriteria Mutu Selai Buah
Syarat Mutu Standar
Kadar air maksimum 35%
Kadar gula minimum 55%
Kadar pektin maksimum 0,7%
Padatan tak terlarut 0,5%
Serat buah Positif
Kadar bahan pengawet 50 mg/kg
Asam asetat Negatif
Logam berbahaya (Hg, Pb, As) Negatif
Rasa Normal
Bau Normal
Sumber : SII, No. 173 Tahun 1978
Tabel 2.4 Syarat Mutu Selai Buah
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Aroma - Normal
1.2 Warna - Normal
1.3 Rasa - Normal
2 Serat buah - Positif
3 Padatan terlarut % fraksi massa Min. 65
4 Cemaran logam
4.1 Timah (Sn)* mg/kg Maks. 250,0*
5 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
6 Cemaran mikroba
6.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 1 x 103
6.2 Bakteri coliform APM/g <3
6.3 Staphylococcus aureus Koloni/g Maks. 2 x 101
6.4 Clostridium sp. Koloni/g <10
6.5 Kapang/Khamir Koloni/g Maks. 5 x 101
*) Dikemas dalam kaleng. Sumber : SNI 3476 : 2008
10
2.4 Pektin
Pektin merupakan bahan alami yang terdapat dalam buah-buahan, yang
membentuk koloid dalam air dan berasal dari perubahan protopektin selama
proses pemasakan buah. Dalam kondisi tertentu, pektin dapat membentuk gel.
Pektin memiliki sifat koloid yang reversible, larut dalam air terutama air panas,
diendapkan, dipisahkan dan dilarutkan kembali tanpa kehilangan kapasitas
pembentukan gel pada bahan. Pektin dapat diendapkan menggunakan alcohol
dan dapat digunakan dalam pembuatan pektin komersial (Desrosier, 1988),
Gambar 2.2 Struktur pektin (Winarno, 2001)
Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman,
khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa pektin juga
berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan dinding sel yang
lain (Winarno, 2001). Pektin dalam jumlah banyak dapat diperoleh dari buah-
buahan yang telah matang dan belum ada tanda-tanda kebusukan. Terdapat
beberapa bentuk senyawa pektin, antara lain (Susanto dan Saneto, 1994):
a. Protopektin, merupakan senyawa pektin yang tidak larut air, dapat
dihidrolisis menjadi pektin dan asam pektinat
b. Asam pektinat, merupakan senyawa pektin asam poligalakturonat yang
bersifat koloid dan mengandung metil ester
c. Pektin, merupakan senyawa pektin asam poligalakturonat yang
mengandung 3-16% metil ester, dapat larut dalam air, dan mampu
membentuk gel dengan gula dan asam dalam kondisi yang cocok
d. Asam pektat, merupakan senyawa pektin yang tidak mengandung metil
ester dan terdapat pada buah yang terlalu matang dan busuk
Menurut Handajani (1994), pektin berdasarkan kandungan metoksil atau
derajat esterifikasinya dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a. Pektin metoksil tinggi dengan kandungan metoksilnya lebih dari 7%
b. Pektin metoksil rendah dengan kandungan metoksil 3-7%
11
Menurut Tarigan, dkk (2012) pektin pada kulit pisang termasuk pektin
metoksil rendah. Kadar metoksil dalam kulit pisang raja adalah 3,53-4,34%.
Kandungan pektin pada kulit pisang berkisar antara 0,9% dari berat kering,
sedangkan pada buah terdapat sekitar 22,4% dari berat. Pektin dengan kadar
metoksil tinggi digunakan untuk pembuatan selai dan jeli dari buah-buahan,
kembang gula berkualitas tinggi, pengental untuk minuman, dan sirup buah-
buahan berkalori rendah, dan digunakan dalam emulsi rasa dan saus salad.
Sedangkan pektin dengan kadar metoksil rendah biasanya digunakan dalam
pembuatan selai dan jeli berkalori rendah, saus salad, pudding, gel buah-buahan
dalam es krim, juga sebagai pelapis dalam banyak produk pangan (Meilina,
2003). Pektin dalam bentuk larutan koloid akan terbentuk pasta yang kemudian
ditambahkan gula dan asam akan membentuk gel dan prinsip pembentukan gel
ini gunakan sebagai dasar pembuatan selai dan jeli (Winarno, 2001).
Terbentuknya gel selama proses pengolahan buah sangat tergantung
pada kandungan pektin dalam bubur buah. Selain itu keasaman dan gula yang
ditambahkan juga menentukan mutu gel yang terbentuk. Beberapa jenis buah
mengandung pektin yang tinggi, sehingga tidak perlu menambahkan pektin
komersil ke dalam bubur buah pada proses pembentukan gel. Namun banyak
buah yang mengandung pektin rendah dan apabila diolah menjadi selai
diperlukan penambahan pektin ke dalam bubur buah (Pusat Studi Ketahanan
Pangan, 2012).
Dalam pembuatan selai, pektin berfungsi menghasilkan struktur dan
berbagai kekentalan dengan pembentukan jaringan ikatan air dengan sari buah
atau bubur buah. Sebelum terbentuknya gel, senyawa pektin tunggal akan
dikelilingi oleh molekul-molekul air. Apabila lingkungan dari molekul tersebut
merupakan larutan asam, maka pektin akan kehilangan daya ikat airnya dan
dapat berikatan membentuk gel pektin yang baik (Pusat Studi Ketahanan
Pangan, 2012). Menurut May (1990), pembentukan gel dapat terjadi dengan
cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan
garam. Dalam industri makanan dan minuman, pektin dapat digunakan sebagai
bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental dan
stabilizer pada minuman sari buah. Selain itu pektin juga berperan sebagai
bahan pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005).
12
2.5 Sukrosa
Sukrosa atau biasa dikenal dengan gula digunakan sebagai pemanis.
Penambahan sukrosa secara umum digunakan untuk memberikan rasa manis,
mengawetkan, meningkatkan konsentrasi, dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dengan aktivitas air dari bahan olahan. Namun dalam
pembuatan selai, sukrosa berfungsi dapat meningkatkan kemampuan pektin
membentuk gel (Harrison dan Andress, 2013). Untuk menarik molekul air yang
mengelilingi senyawa pektin, gula ditambahkan memiliki peran yang signifikan
dalam tahapan ini. Semakin tinggi kadar sukrosa yang ditambahkan maka
semakin berkurang air yang ditahan oleh struktur pektin. Namun jika terlalu
banyak akan terbentuk kristal padat pada permukaan (Pusat Studi Ketahanan
Pangan, 2012).
2.6 Asam Sitrat
Asam dibutuhkan untuk membantu pembentukan gel dan penambahan
rasa, selain itu juga digunakan sebagai bahan pengawet, mengurangi rasa
manis, memperbaiki sifat koloidal makanan yang mengandung pektin,
memperbaiki tekstur dari jeli, membantu ekstraksi pektin dan pigmen dari buah-
buah. Jumlah asam pada buah itu sendiri bervariasi tergantung pada jenis-jenis
buah dan tingkat kematangannya. Ketika kandungan asam dalam buah itu sedikit
maka tanpa penambahan pektin komersial (Harrison dan Andress, 2013).
Semakin tinggi keasaman akan membentuk struktur gel yang padat namun
keadaan ini dapat pula merusak jaringan struktur karena adanya hidrolisis dari
pektin, tetapi jika keasaman rendah maka pembentukan gelnya akan lemah.
Dalam pembuatan selai, asam yang biasa digunakan adalah asam sitrat.
Asam sitrat digunakan sebagai pemberi derajat keasaman yang cukup baik
karena memiliki efek ganda terhadap pencegahan fenolase, menurunkan pH,
juga sebagai chelating agent unsur Cu dalam enzim. Asam sitrat juga memiliki
kelarutan yang tinggi dalam air dan mudah diperoleh dalam bentuk granular
(Brock, 2007).
2.7 Air
Air merupakan salah satu komponen penting dalam bahan dan produk
pangan karena dapat berpengaruh terhadap tekstur, penampakan, dan cita rasa.
Fungsi air dalam bahan makanan adalah pembawa komponen bahan makanan
hidrofilik, sebagai media reaksi kimia dan enzimatis, dapat dilarutkan dan
13
dipisahkan, menentukan mutu produk seperti bentuk, kenampakan, kesegaran,
cita rasa, hingga penerimaan konsumen terhadap produk makanan tersebut,
serta daya simpan (Koswara, 2009).
Peran air dalam pembuatan selai adalah membantu kinerja gula, asam,
dan pektin dalam buah untuk pembentukan gel. Pada kinerja gula, semakin tinggi
kadar gula yang ditambahkan maka semakin berkurang air yang ditahan oleh
struktur gel karena sifat gula yang dapat mengikat air. Penambahan gula yang
berlebihan dapat mempengaruhi keseimbangan pektin dan air yang ada, namun
jika dalam jumlah yang seimbang dengan pektin, asam, dan air makan struktur
gel yang terbentuk mampu menahan cairan (Desrosier, 1988 dalam Fatonah,
2002). Pada kinerja asam, dengan adanya ion H+ dari asam akan terbentuk
ikatan hidrogen yang dapat merubah bentuk rantai polimer pektin yang semula
lurus menjadi bentuk tiga dimensi yang mampu menangkap air, namun jika
konsentrasi ion H+ terlalu banyak dapat mengganggu kesetimbangan pektin dan
air (Matz 1962 dalam Fatonah 2002). Pada kinerja pektin, semakin tinggi
konsentrasi pektin maka semakin besar air yang diikat oleh pektin. Gel yang
dibentuk pektin merupakan sistem spons yang diisi air. Rantai molekul pektin
membentuk jaringan tiga dimensi dimana gula, air, dan padatan terlarut lainnya
diikat (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
2.8 Proses Pembuatan Selai
Proses pembuatan selai buah menurut (Hartati, 2010), secara garis besar
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Persiapan bahan dan peralatan
Buah dikupas terlebih dahulu kulitnya dengan pisau. Setelah dikupas, buah
segera dicuci dengan air bersih yang mengalir. Selanjutnya, buah dipotong-
potong menjadi bagian yang kecil. Buah yang sudah dipotong-potong dapat
langsung dihancurkan dengan blender atau parutan. Untuk buah tertentu, pada
saat diblender ditambahkan air secukupnya. Penghancuran dilakukan sampai
terbentuk bubur buah atau slurry.
2. Pemasakan
Bubur buah dipanaskan sesaat, kemudian ditambahkan gula dan pektin (jika
dibutuhkan) serta diaduk secara merata. Pemanasan diteruskan dan
ditambahkan asam sitrat, sambil terus diaduk hingga mendidih. Pemasakan
bertujuan untuk membuat campuran gula, pektin, asam sitrat dan bubur buah
menjadi homogen dan mencegah menjadi pekat. Selain itu, untuk mengekstraksi
14
pektin guna memperoleh sari buah yang optimum serta menghasilkan cita rasa
yang enak dan untuk memperoleh struktur gel.
Pada proses pembuatan selai buah diperlukan kontrol yang baik.
Pemasakan yang berlebihan akan menyebabkan selai buah menjadi keras dan
kental, sedangkan jika pemanasan kurang akan menghasilkan selai buah yang
encer. Pembuatan selai buah biasanya dilakukan pada suhu 103oC-105oC. Akan
tetapi suhu ini dapat bervariasi disesuaikan dengan jenis buahnya atau
perbandingan gula dan bahan lain.
Selama pemasakan harus dilakukan pengadukan agar campuran bahan
selai buah, yaitu buah, pektin, gula, dan asam sitrat menjadi homogen.
Pengadukan juga bertujuan untuk memperoleh struktur gel. Pengadukan tidak
boleh tertalu cepat karena dapat menimbulkan gelembung-gelembung yang
dapat merusak tekstur dan penampakan akhir. Pemasakan harus dilakukan
dalam waktu yang singkat untuk mencegah hilangnya aroma, warna dan
terjadinya hidrolisis pektin. Pemasakan bisa diakhiri bila total padatan terlarut
telah mencapai 65%-68% yang dapat diukur dengan refraktrometer. Apabila
tidak ada refraktrometer, titik akhir pemasakan dapat diketahui dengan spoon
test, yaitu dengan cara mencelupkan sendok ke dalam selai buah, kemudian
diangkat. Apabila selai buah meleleh tidak lama dan terpisah menjadi dua
bagian, berarti selai buah telah terbentuk dan pemanasan dihentikan.
3. Pengemasan
Setelah proses pemasakan selesai, selai buah dimasukkan ke dalam wadah
jar yang terbuat dari gelas dan tertutup rapat. Umur simpan dapat sampai jangka
waktu yang relatif lama apabila dikemas dengan baik. Pengisian selai ke dalam
botol dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Pengisian panas
Botol yang digunakan untuk wadah selai harus steril. Proses sterilisasi
wadah dilakukan dengan merebus jar atau memanaskannya dalam uap air
(mengukus) sampai suhu 100oC selama 30 menit. Tutup jar yang akan
digunakan juga harus disterilkan terlebih dahulu. Sterilisasi jar sebaiknya
dilakukan sesaat sebelum proses pengisian. Dengan cara demikian, jar tidak
tercemar kembali oleh udara dari luar sebelum proses pengisian. Pengisian selai
ke dalam jar dilakukan pada saat selai bersuhu 88°C-93°C. Selanjutnya, jar
ditutup rapat dan dibiarkan dingin. Pengisian dengan cara ini memerlukan proses
pasteurisasi karena dalam keadaan panas tidak akan terjadi pencemaran oleh
15
mikroba. Apabila jumlah selai yang dibuat sedikit, sebaiknya pengisian dilakukan
dengan cara ini. Apabila pembuatan selai dalam jumlah banyak (skala industri),
pengisian ke dalam jar sebaiknya menggunakan peralatan yang lebih modern.
b. Pengisian dengan proses pasteurisasi
Wadah yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu, tetapi tidak
perlu disterilkan. Selai buah yang diisikan juga tidak harus dalam keadaan
panas. Selanjutnya, dilakukan proses pasteurisasi dengan cara mengukus jar
yang sudah berisi selai sampai suhu 82°C selama 30 menit. Suhu tersebut sudah
cukup untuk mencegah pertumbuhan kapang dan mikroba lainnya.
c. Penyimpanan
Penyimpanan selai buah dapat dilakukan pada suhu kamar 25°C-28°C dan
suhu pendingin pada 20oC-22oC. Umur simpan selai berkisar antara 9-12
minggu.
2.9 Evaluasi Sensori
Menurut Mason dan Nottingham (2002), evaluasi sensori atau nama lain
dari uji organoleptik adalah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk
menimbulkan, menghitung, menganalisis, dan mengartikan reaksi dari
karakteristik makanan dan bahan yang dapat dirasakan menggunakan indera
manusia meliputi penglihat, pembau, perasa, pendengaran dan peraba sebagai
pengukur dari tekstur, penampakan, aroma, dan flavor pada produk pangan.
Setiap indera yang ada pada manusia memiliki kemampuan member tanggapan
yang dapat dianalisis atau dibedakan berdasarkan jenis tanggapan bergantung
pada rangsangan yang diterima oleh alat indera tersebut dan kemampuan
memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan mendeteksi, mengenali, membedakan, dan kemampuan
menyatakan menerima atau tidak menerima (Nurlatifah, 2015).
Uji ini berperan penting dalam pengembangan produk dengan
meminimalkan resiko pengambilan keputusan karena panelis akan
mengidentifikasi sifat-sifat sensori yang dapat membantu mendeskripsikan
produk. Evaluasi sensori merupakan salah satu metode untuk mengontrol
kualitas dan secara luas digunakan di industri. Akan tetapi tingkat pengaplikasian
tergantung dari kondisi, seperti bird dan wine dirasakan untuk mewakili produk
dari tahapan produksi suatu industri.
16
2.10 Metode Spektrum
Metode spektrum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
dengan skala terukur. Menurut Nurlatifah (2015), metode ini akan memudahkan
panelis untuk memberikan nilai tiap atribut yang diujikan, karena digunakan skala
garis dalam penilaiannya. Skala terendah dimulai dari 0 dan diakhiri dengan 15
skala tertinggi. Dalam metode ini memberikan banyak informasi dibandingkan
dengan pengujian hedonic yang hanya memberikan informasi secara subyektif
dan informasi yang berhubungan dengan tingkat penerimaan panelis terhadap
atribut yang diujikan saja. Panelis pada metode spektrum ini akan dipilih dan
dilatih untuk mengevaluasi hanya satu produk atau berbagai produk. Produk
dapat dideskripsikan dari segi penampakan, aroma, rasa, tekstur, atau
karakteristrik suara, atau panelis yang dilatih untuk mengevaluasi semua atribut
(Meilgaard, et.al, 2007).
Pada umumnya terdapat 3 jenis uji sensori, yaitu uji pembeda
(discriminative test), uji deskripsi (descriptive test), dan uji afektif (affective test).
Analisis metode spektrum termasuk dalam uji sensoris jenis uji deskripsi
(Sugawara et al., 2009). Analisis uji deskripsi adalah analisis yang paling mampu
menerima dengan baik dan berguna memperoleh informasi secara rinci untuk
atribut sensori yang dirasakan pada sampel (Seo et al., 2007 dalam Ferdiansyah,
2016). Analisis ini umumnya menggunakan panelis terlatih sebanyak 6-12 orang
untuk menganalisis dan identifikasi ukuran atribut sensori tertentu (Drake, 2007).
Dengan melibatkan panelis terlatih, maka hasil data yang diperoleh akan
berbeda dengan suatu uji yang melibatkan panelis non terlatih (Yamagata dan
Sugawara, 2014).
2.11 Faktor yang Mempengaruhi Respon Panelis
Menurut Mason dan Nottingham (2002), respon dari panelis yang
diberikan merupakan penilaian individu secara alami sehingga respon yang
diberikan akan berbeda-beda, namun tergantung dari metode dan kondisi panelis
saat memberikan penilaian, baik secara kondisi fisik maupun sikap. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi respon panelis, antara lain:
1. Sampel
Sampel merupakan faktor penting dalam mendapatkan respon dari panelis,
misalnya ukuran sampel yang cukup tetapi tidak berlebihan, suhu penyajian yang
sesuai dengan produk makanan, membuat seragam untuk semua sampel,
17
tempat penyajian, alat untuk makan, preparasi sampel dan penyajian. Sampel
juga harus disediakan secara random agar menghindari bias.
2. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi respon dari panelis adalah waktu
pengujian (misalnya saat hari kerja yaitu Senin hingga Jumat, 1 jam sebelum
atau 1-2 jam sesudah mengonsumsi meals), merokok atau konsumsi zat lainnya
seperti permen karet, mints, dan rempah-rempah akan mempengaruhi respon
dari sensitivitas rasa, kesehatan secara fisik, tingkat kesukaan atau tidak, jenis
palate cleanser, wewangian atau bau rempah
3. Faktor psikologis
Karena sensori merupakan sistem subjektif, maka faktor psikologis dalam
diri panelis juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi hasil dan
memungkinkan data error. Faktor psikologis meliputi tidak stress saat bekerja,
menstimulasi perkembangan perusahaan, profit yang tinggi, upah yang lebih,
memastikan fasilitas yang diberikan memadai, metode dan desain yang
digunakan efektif, dan memberikan penghargaan kepada panelis.
2.12 Palate Cleanser
Menurut Mason dan Nottingham (2002), palate cleanser merupakan
sampel yang digunakan untuk panelis membersihkan langit-langit mulut, dengan
cara sebelum merasakan produk yang ingin dianalasis untuk menghilangkan
rasa dari makanan yang masih tertinggal, antara sampel untuk mengurangi
adaptasi dari rasa sebelumnya. Palate cleanser yang biasa digunakan adalah air
hangat, biskuit, roti, apel. Palate cleanser dapat digunakan sebagai pilihan tetapi
harus dilakukan konstan, jika memungkinkan waktu antara sampel harus juga
dijaga secara konstan. Menurut Johnson dan Vickers (2004), palate cleanser
juga dapat meningkatkan akurasi dalam penilaian sensori yang dapat
meminimalkan residu yang tertinggal yang dapat mengganggu evaluasi dari
atribut sensori produk, juga dapat membangun kembali lingkungan mulut menjadi
netral. Bahan yang digunakan sebagai palate cleanser adalah air, crackers,
mentimun, sorbet, wortel, coklat, yoghurt, susu, air hangat, permen karet, dan
sukrosa. Pada penelitian ini palate cleanser yang digunakan adalah air mineral.
Menurut Warnock dan Delwiche (2006) untuk makanan manis yang berbentuk
larutan juga menggunakan air mineral dengan tiga kali berkumur selama 15
detik. Sedangkan menurut Kilcast dan Clegg (2002) palate cleanser yang cocok
digunakan untuk makanan yang manis adalah crackers dan air mineral.
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Pembuatan selai kulit pisang candi dan analisis dilakukan di Laboratorium
Rekayasa dan Pengolahan Pangan, Laboratorium Biokimia dan Analisis Pangan,
dan Laboratorium Sensori Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
Malang. Penelitian berlangsung mulai bulan Januari 2017 - Mei 2017.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam proses pembuatan selai kulit pisang candi
yaitu timbangan, baskom, blender, panci, pengaduk dan kompor, gelas kaca,
termometer. Alat yang dibutuhkan untuk analisis yaitu desikator, oven listrik merk
Memmert, colour reader merk Konica Minolta, pH meter merk Trans, tensile
strength instrument merk Imada, timbangan analitik merk Denver Instrument M-
310, hand refractometer merk Tago dan juga beberapa glassware seperti micro
pipet, beaker glass, cawan, spatula, kompor listrik merk Rinnai, dan gelas plastik
kecil. Untuk uji sensori dibutuhkan gelas plastik kecil, sendok plastik kecil, dan
pisau plastik.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kulit pisang
candi kecuali bagian ujung dan pangkal dengan ciri-ciri berwarna kuning dan
sedikit bercak cokelat dengan umur panen yang matang serta memiliki kulit tebal,
asam sitrat komersial “toko Makmur”, sukrosa “Gulaku”, air. Bahan yang
digunakan untuk analisis yaitu aquades. Untuk uji sensori menggunakan bahan
seperti selai strawberry komersil dengan dua merk yang berbeda, selai kacang
komersil, kafein bubuk, dan roti tawar.
3.3 Rancangan Penelitian
Pada penelitian kali ini menggunakan metode penelitian Rancangan Acak
Kelompok (RAK) yang melibatkan dua faktor dengan 3 kali ulangan untuk
rancangan produk. Variabel penelitian melibatkan 2 faktor perlakuan yakni
penambahan konsentrasi asam sitrat dan sukrosa. Terdapat level variasi pada
faktor perlakuan penambahan asam sitrat (0,2%; 0,4%) dan penambahan
sukrosa (50%; 60%; 70%). Berdasarkan kedua faktor diatas, maka diperoleh 6
kombinasi perlakuan yang ditunjukkan pada Tabel 3.1
19
Tabel 3.1 Rancangan Penilitian Selai Kulit Pisang
Asam Sitrat (A) Konsentrasi Penambahan Sukrosa (S)
G1 (50%) G2 (60%) G3 (70%)
A1 (0,2%) A1G1 A1G2 A1G3
A2 (0,4%) A2G1 A2G2 A2G3
Untuk metode penelitian dalam analisis sensori yang dilakukan adalah Uji
Pengenalan Rasa Dasar, Uji Ambang Mutlak (Threshold) dengan metode 3-AFC,
Uji Segitiga sebagai tahap seleksi panelis dan untuk pelatihan panelis serta
penilaian produk pada atribut rasa (manis, asam, pahit, dan sensasi sepat
setelah menelan), tekstur (kekokohan dan sensasi berpasir), dan warna pada
selai kulit pisang candi menggunakan metode Spektrum. Alasan menggunakan
analisis sensori metode spektrum adalah karena selai kulit pisang ini tergolong
pengembangan produk baru, sehingga diperlukan panelis terlatih agar
mendapatkan hasil yang lebih spesifik dalam penilaian produk, serta pemilihan
atribut penilaian dan referensi atribut yang disesuaikan dengan literatur dapat
diatur oleh panel leader itu sendiri. Selain itu, metode Spektrum ini dapat
mengevaluasi penilaian dari aspek kualitatif dan kuantitatif yang akan
mendeskripsikan secara akurat dan detail pada beberapa karakteristik atau
parameter dari kenampakan, rasa, dan tekstur. Sehingga cocok dengan
penelitian ini yang akan menilai atribut rasa dan tekstur pada selai kulit pisang
candi.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mencoba tahapan yang tepat,
berat kulit pisang yang digunakan, mencoba level perlakuan dari faktor yang
digunakan yang akan diaplikasikan pada penelitian utama. Untuk asam sitrat
menggunakan konsentrasi 0,2%; 0,4%. Setelah dilakukan uji coba pada 5 orang,
hasil menunjukkan jika cita rasa serta kenampakan tekstur bisa diterima yaitu
0,2% dan 0,4%, sehingga penelitian utama menggunakan konsentrasi tersebut.
Untuk konsentrasi sukrosa menggunakan 50%, 60%, dan 70%, hasil
menunjukkan jika tekstur dan rasa juga diterima, sehingga penelitian utama
menggunakan konsentrasi tersebut.
20
3.4.2 Penelitian Utama
Proses pembuatan Selai Kulit Pisang Candi melalui tahapan sebagai
berikut:
1. Pertama kulit pisang dicuci hingga bersih dengan air mengalir
2. Kulit pisang dilakukan blanching uap selama 10 menit dengan suhu 800C
3. Kulit pisang didinginkan selama 10 menit
4. Kulit pisang dipotong dan ditimbang sebanyak 300 gram, kemudian
ditambahkan air : berat kulit pisang sebesar 1:1, lalu dihancurkan dengan
blender selama 5 menit dengan dan terbentuk bubur kulit pisang
5. Bubur kulit pisang dicampur penambahan konsentrasi sukrosa masing-
masing perlakuan (50%, 60%, dan 70%) dan penambahan konsentrasi asam
sitrat masing-masing perlakuan (0,2% dan 0,4%), kemudian dipanaskan
hingga suhu 900C selama 15 menit
6. Selai kulit pisang yang telah jadi kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca
dengan hot filling dan ditutup
3.4.3 Prosedur Analisis Sensori
Untuk seleksi panelis, panelis yang akan dilakukan perekrutan dari
semua kalangan dengan syarat panelis lolos dari tahapan seleksi yang telah
dilakukan. Menurut Australian Standard 2542.1.3-1995 bahwa calon panelis
diutamakan staf laboratorium, pegawai kantor atau orang sekitar perusahaan.
Namun pada penelitian ini panelis yang digunakan adalah mahasiswa/i Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, mahasiswa/i yang tertarik terhadap uji
sensori, menetap di kota Malang untuk beberapa bulan ke depan, memiliki jadwal
kegiatan yang tidak terlalu padat, dan diharapkan panelis ini akan terbiasa
dengan atribut suatu produk pangan. Sehingga waktu, tenaga, dan biaya lebih
efisien dalam penelitian ini. Dalam seleksi panelis terdapat beberapa tahap,
sebagai berikut:
3.4.3.1 Wawancara
Pada tahap ini, calon panelis terlatih akan diseleksi melalui
pengisian kuisioner, kemudian masuk ke tahap wawancara. Hasil
wawancara harus menunjukkan kebersediaan menjadi panelis untuk
mengikuti tahapan uji awal hingga akhir penelitian dengan mengisi form
kebersediaan, bersedia mengonsumsi selai, memiliki pengetahuan
mengenai selai, memiliki kesehatan yang baik (tidak sedang mengonsumsi
21
obat-obatan, tidak merokok, tidak minum minuman keras), memiliki
kemampuan komunikasi yang baik (mampu mendeskripsikan dengan detail
atribut sensori suatu produk), serta mampu menerima pendapat, kritik atau
saran dari panelis lain.
3.4.3.2 Uji Pengenalan Rasa Dasar
Uji pengenalan rasa dasar (Basic Recognation Taste Test) adalah
uji untuk mengetahui batasan dasar sensori dari indera seorang panelis
dengan menggunakan lima larutan rasa dasar, yaitu manis, asin, asam,
pahit, umami, dan blanko (air mineral) sebagai pembanding dari kelima
sampel. Pada uji ini digunakan sampel dengan konsentrasi sampel berupa
larutan manis yang berasal dari gula pasir komersial 1% (b/v%), rasa asin
dari larutan garam (NaCl) komersial 0,2% (b/v%), rasa asam dari larutan
asam sitrat murni (p.a) 0,03% (b/v%), rasa pahit dari larutan kafein murni
0,03% (b/v%), rasa umami dari larutan monosodium glutamate (MSG)
komersial 0,06% (b/v%), dan air mineral sebagai rasa plain. Nilai angka 2
diberikan untuk jawaban dan deskripsi benar, nilai angka 1 untuk jawaban
benar namun deskripsi salah, dan nilai angka 0 untuk jawaban dan deskripsi
salah (Ilhamadi, 2016).
3.4.3.3 Uji Ambang Mutlak (Threshold)
Uji threshold atau uji ambang mutlak ini dilakukan setelah tahap
pertama calon panelis sudah diikuti, dimana uji ini bertujuan untuk
mengetahui kepekaan sensoris panelis. Uji sensoris yang dilakukan adalah
uji pengenalan terhadap lima rasa dasar dengan menggunakan metode 3-
AFC. Metode 3-AFC (Alternative Forced Choice) ini, panelis diminta
menentukan mana diantara 3 sampel pada masing-masing Sampel rasa
manis berasal dari larutan gula pasir komersial, sampel rasa asam berasal
dari larutan asam sitrat murni, sampel rasa pahit berasal dari larutan kafein
murni. Pada uji ini, konsentrasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
22
Tabel 3.2 Jenis Konsentrasi Tastant (g/L)
Set sampel Konsentrasi Tastant (g/L)
Asam sitrat Gula Kafein
1 0,10 5 0,15
2 0,20 10 0,30
3 0,40 20 0,60
4 0,80 40 1,20
5 1,60 80 2,40
Sumber: Mojet et.al., 2001
3.4.3.4 Uji Segitiga
Uji segitiga ini bertujuan untuk menetapkan ada atau tidaknya
suatu perbedaan sifat sensori atau organoleptik antara dua sampel. Pada uji
ini, panelis harus mengidentifikasi satu sampel berbeda diantara tiga sampel.
Pada uji ini tidak diperlukan adanya pembanding antara sifat sampel satu
dengan sampel lainnya melainkan diperlukan pernyataan apakah produk
tersebut berbeda atau tidak. Pengujian ini lebih sering digunakan karena
lebih peka daripada uji berpasangan (Ratnaningsih, 2010). Penilaian yang
diberikan untuk uji ini adalah 0 dan 1. Angka 0 untuk respon jawaban yang
diberikan panelis salah dan angka 1 untuk respon jawaban yang diberikan
panelis benar. Setelah mengikuti tahapan ini dan dinilai mampu menjalani
tahapan dengan baik, maka dilanjutkan pada tahap pelatihan untuk
mendapatkan panelis terlatih.
3.4.4 Pelatihan Panelis
Pada tahapan pelatihan, panelis yang lolos akan diberikan penjelasan
mengenai atribut apa saja yang akan digunakan pada penelitian ini. Atribut selai
kulit pisang candi yang digunakan dalam penelitian ini yang ditentukan oleh
peneliti dan mencari referensi yang dibutuhkan untuk menilai selai meliputi rasa
manis, rasa asam, rasa pahit, sensasi sepat setelah menelan, tekstur kekokohan
(firmness), tekstur berpasir (graininess), warna, daya oles, dan panjang oles.
Pelatihan panelis akan dilakukan secara berkala menggunakan referensi atribut
yang mewakili hingga tercapai konsistensi panelis. Referensi atribut yang
digunakan dalam analisis selai dapat dilihat pada Lampiran 1. Pelatihan pertama
dilakukan dengan mengenalkan seluruh atribut yang digunakan dengan
intensitas yang beragam sebagai dasar untuk pelatihan selanjutnya. Pengenalan
23
atribut digunakan untuk menyamakan persepsi terhadap intensitas atribut yang
dimiliki oleh masing-masing panelis sehingga rentang penilaian yang diberikan
oleh panelis tidak terpaut jauh. Penilaian panelis terhadap atribut menggunakan
skala terstruktur. Skala terstruktur ini berupa garis skala mulai dari 0 yang berarti
respon paling rendah dan 15 yang berarti respon paling tinggi Hootman (1992).
3.5 Pengamatan dan Analisis
Pengamatan dilakukan berupa analisis bahan baku dan analisis setelah
pembuatan produk selai dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengamatan tersebut
berupa Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1990, Analisis pH dengan pH
Meter (Apriantono, 1989), Analisis Warna metode L* a* b* Hunter (Yuwono dan
Susanto, 1998), Analisis Tekstur dengan Tensile Strength (Midayanto, 2014),
Analisis Daya Oles, Analisis Total Padatan Terlarut (Apriantono dkk, 1989), dan
Analisis Sensori Metode Spektrum.
3.6 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan metode Rancangan
Acak Kelompok (RAK), untuk data hasil analisis fisik dan kimia dilakukan uji
Normalitas dengan Minitab 17 terlebih dahulu kemudian data terdistribusi normal
(ditandai dengan p-value >0,05), sehingga dianalisis dengan sidik ragam ANOVA
(Analysis of Varian) dengan menggunakan GLM (General Linear Model) dan Uji
Lanjut Bonferroni dengan Minitab 16. Sedangkan untuk data hasil analisis
sensori juga terlebih dahulu dilakukan uji Normalitas menggunakan Minitab 17
kemudian menunjukkan data terdistribusi tidak normal (ditandai dengan p-value
<0,05), sehingga dilakukan Friedman test, namun dengan adanya teori oleh
Dielman (1961) dalam Ghozali (2005) tentang “Central Limit Theorem” yang
menyatakan bahwa untuk sampel yang besar terutama lebih dari 30, distribusi
sampel dianggap mendekati distribusi normal yang berarti walaupun dari
pengujian asumsi klasik berupa pengujian normalitas menunjukkan bahwa ada
berdistribusi tidak normal namun karena penelitian menggunakan sampel lebih
dari 30, maka data dianggap berdistribusi normal, sehingga dianalisis dengan
sidik ragam ANOVA (Analysis of Varian) dengan menggunakan GLM (General
Liniear Model) dan Uji Lanjut Tukey dengan Minitab 17, untuk melihat interaksi
pada pengujian sensori menggunakan PCA (Principal Commponents Analysis),
untuk melihat konsistensi panelis saat pelatihan menggunakan Paired t-test dan
Pearson Correlation, dan untuk menentukan perlakuan terbaik dipilih dengan
metode Multiple Attribute (Zeleny, 1982).
24
3. 7 Diagram Alir
Gambar 3.1 Proses Pembuatan Selai Kulit Pisang Candi
Kulit Pisang Candi
↓
Dicuci
↓
Dilakukan blanching uap selama 10 menit suhu 800C
↓
Dipotong dan ditimbang 300 gram
↓
Diblender selama 5 menit
↓
Bubur Kulit Pisang Candi
↓
Dicampur hingga homogen
↓
Dimasak pada suhu 90oC
selama 15 menit
↓
Dimasukkan ke gelas kaca (hot filling)
↓
Ditutup
↓
Dibiarkan hingga dingin
↓
Selai Kulit Pisang Candi
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Selai Kulit Pisang
(Modifikasi Matondang, 2014)
Analisis Bahan Baku:
- Analisis Tekstur
dengan tensile
strength
- Analisis Kadar Air
- Sukrosa 50%,
60%, 70% (b/v)
- Asam Sitrat 0,2;
0,4% (b/v)
Analisis Fisikokimia:
- Analisis Kadar Air
- Analisis pH
- Analisis Warna
- Analisis Daya Oles
- Analisis Total
Padatan Terlarut
Analisis Sensori:
- Rasa (Manis, Asam,
Pahit, Sensasi sepat
setelah menelan)
- Tekstur (firmness
atau kekokohan dan
graininess atau
berpasir)
- Warna
- Daya Oles
- Panjang Oles
Air : Bahan = 1:1
25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada penelitian selai adalah kulit pisang
candi (Musa paradisiaca) yang kemudian dilakukan analisis kadar air dan tekstur
pada nilai kekerasan dengan tensile strength. Data hasil analisis bahan baku kulit
pisang dapat dilihat pada Tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1 Data Hasil Analisis Bahan Baku Kulit Pisang Candi dengan Literatur
Keterangan : *Setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan hasil analisis penelitian
**Sumber : Munadjim (1984)
Pada Tabel 4.1 menunjukkan hasil analisis bahan baku yang
dibandingkan dengan literatur kulit pisang. Hasil analisis kadar air kulit pisang
hasil penilitian lebih tinggi daripada literatur yaitu 85,31%. Pada umumnya bahan
baku yang digunakan dalam pembuatan selai mengandung kadar air berkisar
55,33 – 68,5% (Fatonah, 2002). Sedangkan hasil dari kekerasan kulit pisang
yang diukur menggunakan tensile strength dan didapatkan nilai sebesar 11,33
N/cm2. Semakin besar nilai kekerasan, maka semakin keras tekstur kulit pisang.
Menurut Nurhayati, dkk (2014) tingginya kadar air disebabkan karena tekstur
kekerasan pada kulit pisang. Kadar air pada bahan baku pangan memiliki
kecepatan kehilangan air yang tidak sama karena tipe kulitnya, jika semakin
besar luas permukaan per satuan volume maka semakin tinggi kecepatan
kehilangan air dan tergantung dari kekerasan kulitnya (Novri, 2014). Pada
penelitian ini tidak menguji kadar pektin dan total gula pada kulit pisang candi,
namun menurut Hussein et al (2015), kandungan pektin dari kulit pisang sebesar
10-21% dan total gula pada kulit pisang sebesar 2,14 ± 0,01%.
4.2 Hasil Uji Kimia Selai Kulit Pisang Candi
4.2.1 Kadar Air
Air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan
pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa.
Kadar air pada produk pangan juga menentukan umur simpan, semakin tinggi
kadar air maka semakin singkat umur simpannya (Winarno, 2002). Kadar air
Komposisi Analisis* Literatur**
Air (%) 85,31 ± 0,56 68,90
Nilai Kekerasan (N/cm2) 11,33 ± 1,35 -
26
selai kulit pisang berkisar antara 40,67 – 53,55%. Grafik hasil rerata kadar air
dengan perlakuan penambahan asam sitrat dan gula dapat dilihat pada Gambar
4.1 dibawah ini.
Gambar 4.1 Grafik Rerata Kadar Air Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh Konsentrasi
Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
kadar air. Namun, interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) terhadap kadar air. Karena pada penambahan konsentrasi asam
sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Bonferroni
menggunakan Minitab 17 yang dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Rerata Kadar Air Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Kadar Air (%) Grouping
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 53,55 ± 0,99 a
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 50,77 ± 1,01 b
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 48,80 ± 0,89 b
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 44,61 ± 0,44 c
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 43,70 ± 0,81 c
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 40,67 ± 0,80 d
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kadar air berbeda nyata (α = 0,05)
akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata kadar air
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
asam0,4 +
gula 70
asam0,4 +
gula 60
asam0,4 +
gula 50
asam0,2 +
gula 70
asam0,2 +
gula 60
asam0,2 +
gula 50
Kad
ar A
ir (
%)
Perlakuan (%)
Grafik Kadar Air
Kadar Air (%)
27
selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,2% dan gula
50% sebesar 53,55%. Sedangkan rerata kadar air terendah diperoleh dari
perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% sebesar 40,67%. Hal ini menunjukkan
semakin tinggi penambahan konsentrasi asam sitrat dan gula maka semakin
rendah nilai kadar air. Hal ini juga didukung oleh Desrosier (1988) dalam Bariroh
(2007), pengaruh konsentrasi penambahan gula terhadap kadar air bahwa
semakin tinggi gula yang ditambahkan maka kadar airnya semakin rendah,
karena semakin luas permukaan gula dalam bahan pangan maka air mudah
diuapkan selama pemanasan. Penambahan gula akan mempengaruhi
keseimbangan pektin dengan air, pektin ini terdapat alami dalam buah-buahan
yang asam. Semakin tinggi gula yang ditambahkan maka semakin berkurang air
yang ditahan oleh struktur selai dalam suasana asam, koloid akan menjadi stabil
dan membentuk struktur berupa serabut-serabut halus yang mampu
memperangkap air sebagai pelarutnya. Sedangkan pengaruh konsentrasi
penambahan asam sitrat terhadap kadar air bahwa semakin tinggi konsentrasi
asam sitrat maka semakin rendah kadar airnya. Hal ini disebabkan karena asam
sitrat akan melepaskan ion hidrogen (H+), semakin tinggi konsentrasi asam sitrat
semakin banyak juga ion hidrogen yang dibebaskan sehingga jumlah air yang
diperangkap oleh struktur pada selai menjadi semakin sedikit (Bariroh, 2007).
Berdasarkan data SII (1978), syarat mutu kadar air pada selai maksimum
35%, sedangkan dari hasil uji selai komersial (selai strawberry merk A)
didapatkan kadar air sebesar 33,19% sehingga dinyatakan memenuhi
persyaratan mutu. Pada selai kulit pisang yang memiliki kadar air berkisar antara
40,67 – 53,55% jika dibandingkan dengan data SII dan selai komersial belum
memenuhi persyaratan mutu. Hal ini diduga karena masih adanya kandungan air
dalam bahan yang belum teruapkan saat analisis dan kandungan kadar air pada
kulit pisang juga tergolong tinggi. Namun, kadar air selai kulit pisang pada
masing-masing perlakuan masih termasuk dalam kisaran aman kadar air produk
selai. Hal ini didukung oleh Potter dan Hotchkiss (1995) yang menyatakan bahwa
selai tergolong pada produk pangan semi basah, umumnya memiliki kadar air 20
– 50%, biasanya lebih rendah daripada kadar air pada bahan baku alaminya.
4.2.2 Nilai pH
Pengukuran nilai pH merupakan salah satu parameter yang digunakan
untuk melihat daya awet suatu produk pangan, terutama pada produk yang
diolah dengan penambahan asam. Nilai pH selai kulit pisang berkisar antara 4,57
28
– 4,97. Grafik rerata nilai pH dengan perlakuan penambahan asam sitrat dan
gula dapat dilihat pada Gambar 4.2 dibawah ini
Gambar 4.2 Grafik Rerata Nilai pH Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh Konsentrasi
Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05)
terhadap nilai pH. Serta, interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan
pengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai pH.
Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa semakin tinggi
penambahan konsentrasi asam sitrat, maka semakin rendah nilai pH. Hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan keasaman akibat penambahan asam
sitrat, asam sitrat merupakan senyawa asidulan yang bersifat asam yang mampu
menurunkan pH, selain itu juga semakin tinggi asam sitrat memiliki potensi asam
sitrat untuk melepaskan ion hidrogen (H+) yang dapat menimbulkan suasana
asam pada produk pangan (Gaman dan Sherrington, 1992 dalam Bariroh, 2007).
Sedangkan semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan, maka semakin
tinggi nilai pH. Hal ini disebabkan karena hidrolisis sukrosa yang menghasilkan
glukosa dan fruktosa, kedua senyawa ini memiliki gugus hidroksil bebas (OH
bebas) yang dapat memberikan efek basa pada suatu produk (Winarno, 2002).
Menurut Bariroh (2007), bahwa nilai pH yang menggunakan penambahan
asam sitrat biasanya berkisar antara 2,8 – 3,2, pada nilai pH tersebut dapat
mempengaruhi rasa, pembentukan gel yang optimum, dan daya tahan optimum
selai. Sedangkan dari hasil uji selai komersial (selai strawberry merk A)
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Asamsitrat 0,2+ Gula 50
Asamsitrat 0,4+ Gula 60
Asamsitrat 0,2+ Gula 70
Asamsitrat 0,4+ Gula 50
Asamsitrat 0,4+ Gula 60
Asamsitrat 0,4+ Gula 70
Nila
i pH
Perlakuan (%)
Nilai pH
Nilai pH
29
didapatkan nilai pH sebesar 3,05 sehingga dinyatakan optimum. Pada selai kulit
pisang yang memiliki pH berkisar antara 4,57 – 4,97 jika dibandingkan dengan
literatur dan selai komersial belum memenuhi kondisi optimum pada selai.
Menurut FAO, kulit pisang yang digunakan merupakan pektin metoksil rendah,
sehingga untuk pembentukan gel dibutuhkan pH berkisar 2,5 – 6,5. Hal ini
diduga karena kulit pisang memiliki nilai pH 5 (Salisbury, 2005) sehingga kondisi
optimum pembentukan selai agak sulit dicapai, kecuali dengan penambahan
konsentrasi asam sitrat yang lebih tinggi. Namun dengan adanya penambahan
gula dapat membantu pembentukan gel dan mempertahankan daya tahan selai,
sehingga penggunaan konsentrasi asam sitrat 0,2% dan 0,4% masih dapat
digunakan untuk pembuatan selai kulit pisang.
4.2.3 Total Padatan Terlarut
Total padatan terlarut adalah suatu ukuran kandungan kombinasi dari
semua zat-zat anorganik dan organik yang terdapat didalam bahan pangan
(Fahrizal dan Fhadil, 2014). Menurut Desrosier (1988), kandungan total padatan
terlarut suatu bahan meliputi gula reduksi, gula non reduksi, asam organik,
pektin, dan protein. Total padatan terlarut selai kulit pisang berkisar antara 38,50
– 57,57 0Brix. Brix merupakan jumlah zat padatan yang larut (dalam gram) setiap
100 gram larutan. Grafik rerata total padatan terlarut dengan perlakuan
penambahan asam sitrat dan gula dapat dilihat pada Gambar 4.3 dibawah ini
Gambar 4.3 Grafik Rerata Total Padatan Terlarut Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
Asamsitrat0,2 +
Gula 50
Asamsitrat0,2 +
Gula 60
Asamsitrat0,2 +
Gula 70
Asamsitrat0,4 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,4 +
Gula 70
Tota
l Pad
atan
Te
rlar
ut
(˚Brix)
Perlakuan (%)
Total Padatan Terlarut
Total Padatan Terlarut (˚Brix)
30
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
total padatan terlarut. Namun, interaksi antara kedua perlakuan tidak
memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap total padatan terlarut. Karena
pada penambahan konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh
nyata, maka dilakukan uji lanjut Bonferroni menggunakan Minitab 17 yang dapat
dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Rerata Total Padatan Terlarut Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Total Padatan Terlarut (0Brix) Grouping
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 56,90 ± 2,77 a
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 55,07 ± 7,07 a
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 49,60 ± 3,97 b
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 45,10 ± 11,16 c
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 43,13 ± 7,93 c
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 37,83 ± 5,50 d
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa total padatan terlarut berbeda nyata
(α=0,05) akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata total
padatan terlarut selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat
0,4% dan gula 70% sebesar 56,90 0Brix. Sedangkan rerata total padatan terlarut
terendah diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,2% dan gula 50% sebesar 37,83
0Brix. Hal ini menunjukkan semakin tinggi penambahan konsentrasi asam sitrat
dan gula maka semakin tinggi total padatan terlarut. Menurut Yulistiani, dkk
(2014), semakin tinggi penambahan gula semakin tinggi total padatan terlarut,
hal ini disebabkan karena sukrosa merupakan komponen penyusun dari total
padatan terlarut. Menurut Winarno (2002), glukosan dan fruktosa memiliki
kelarutan yang sangat besar, sehingga semakin tinggi konsentrasi asam sitrat
dan gula maka glukosan dan fruktosa (gula reduksi) yang terbentuk semakin
tinggi juga, sehingga jumlah gula yang terlarut semakin banyak dan nilai total
padatan terlarut yang ada dalam selai semakin meningkat. Menurut Desrosier
(1988), kandungan total padatan terlarut suatu bahan meliputi gula reduksi
(misalnya glukosa dan fruktosa), gula non reduksi (misalnya sukrosa), asam
organik (misalnya asam sitrat, asam asetat), pektin, dan protein. Sehingga
semakin tingginya penambahan asam sitrat juga akan meningkatkan nilai total
31
padatan terlarut. Suasana larutan yang semakin asam juga akan memudahkan
proses hidrolisis, sehingga nilai total padatan terlarut juga semakin meningkat
(Harnowo, 2015).
Berdasarkan data SNI (2008), syarat mutu total padatan terlarut pada
selai minimum 65%. Hasil uji selai komersial (selai strawberry merk A)
didapatkan total padatan terlarut sebesar 46,50 0Brix, sedangkan pada selai kulit
pisang yang memiliki kadar air berkisar antara 37,83 – 56,90 0Brix jika
dibandingkan dengan data SNI, maka selai kulit pisang dan selai komersial
belum memenuhi persyaratan mutu. Pada penelitian ini juga menunjukkan
adanya penurunan kadar total padatan terlarut seiring dengan pengurangan
konsentrasi gula, hal ini disebabkan karena rendahnya pelarut yang tersedia dan
menyebabkan rendahnya zat terlarut (Prissilia, dkk, 2014).
4.3 Hasil Uji Fisik Selai Kulit Pisang Candi
4.3.1 Warna
Menurut Budiman (2000) pada koordinat kecerahan (L*) merupakan
koordinat yang menunjukkan intensitas cahaya suatu objek yang diukur dari
skala 0 hingga 100, dimana 0 menyatakan bahwa warna hitam dan 100
menyatakan bahwa warna putih. Pada koordinat kemerahan (a*) merupakan
koordinat yang menunjukkan posisi warna objek pada skala warna hijau (untuk
nilai negatif) dan skala warna merah murni (untuk nilai positif). Pada koordinat b*
merupakan koordinat yang menunjukkan posisi warna objek pada skala warna
biru murni (untuk nilai negatif) dan skala warna kuning murni (untuk nilai positif).
Berikut penjelasan tiap parameter :
a. Nilai Kecerahan (Lightness)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data rerata kecerahan (L*) selai
kulit pisang sebesar 33,10 – 40,64 yang berarti cenderung semakin gelap karena
nilai mendekati angka 0. Grafik hasil pengukuran kecerahan (L*) selai kulit pisang
dengan perlakuan penambahan asam sitrat dan gula dapat dilihat pada Gambar
4.4 dibawah ini
32
Gambar 4.4 Grafik Rerata Nilai Kecerahan Selai Kulit Pisang Terhadap
Pengaruh Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
nilai kecerahan. Serta, interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh
nyata (α=0,05) terhadap nilai kecerahan. Karena pada penambahan konsentrasi
asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut
Bonferroni menggunakan Minitab 17 yang dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Rerata Nilai Kecerahan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Nilai Kecerahan Grouping
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 40,64 ± 0,82 a
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 40,04 ± 0,42 a
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 37,41 ± 0,93 b
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 35,78 ± 0,93 b c
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 35,09 ± 0,48 c
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 33,10 ± 0,44 d
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai kecerahan berbeda nyata
(α=0,05) akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata nilai
kecerahan selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,2%
dan gula 50% sebesar 40,64. Sedangkan rerata nilai kecerahan terendah
0,005,00
10,0015,0020,0025,0030,0035,0040,0045,00
Asamsitrat0,2 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,2 +
Gula 70
Asamsitrat0,4 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,4 +
Gula 70
Nila
i Ke
cera
han
Perlakuan (%)
Nilai Kecerahan
Nilai Kecerahan
33
diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% sebesar 33,10. Hal ini
menunjukkan semakin tinggi penambahan konsentrasi gula dan semakin rendah
penambahan konsentrasi asam sitrat maka semakin rendah tingkat kecerahan
(semakin gelap). Hal ini diduga karena reaksi pencoklatan enzimatis dari kulit
pisang dan reaksi non enzimatis dari pembuatan selai kulit pisang. Pada reaksi
pencoklatan enzimatis yang menyebabkan perubahan warna menjadi lebih gelap
dapat diduga dari kulit pisang yang mengandung senyawa polifenol yang
mengandung enzim polifenoloksidase. Menurut Winarno (2002), adanya enzim
polifenolase pada buah-buahan dan sayuran yang bertemu dengan oksigen akan
menyebabkan pencoklatan. Penambahan gula dan asam sitrat dapat
mempengaruhi perubahan warna dapat disebabkan karena terjadinya reaksi
pencoklatan non enzimatis dari gula yang ditambahkan yaitu reaksi karamelisasi,
karena adanya gula yang dilakukan pemanasan diatas titik leburnya sendiri,
sehingga warna akan berubah menjadi cokelat atau lebih gelap (Winarno, 2002).
b. Warna Kemerahan (Redness)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data rerata kemerahan (a*) selai
kulit pisang sebesar 1,48 – 2,49 yang berarti cenderung berwarna hijau karena
mendekati angka -100. Grafik hasil pengukuran kemerahan (a*) selai kulit pisang
dengan perlakuan penambahan asam sitrat dan gula dapat dilihat pada Gambar
4.5 dibawah ini
Gambar 4.5 Grafik Rerata Nilai Kemerahan Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
Asamsitrat0,2 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,2 +
Gula 70
Asamsitrat0,4 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,4 +
Gula 70
Nila
i Ke
me
rah
an
Perlakuan (%)
Nilai Kemerahan
Nilai Kemerahan
34
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
warna kemerahan. Namun, tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan
(α=0,05) terhadap warna kemerahan. Karena pada penambahan konsentrasi
asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut
Bonferroni menggunakan Minitab 17 yang dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Rerata Nilai Kemerahan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Nilai Kemerahan Grouping
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 2,487 ± 0,43 a
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 2,480 ± 0,09 a
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 2,410 ± 0,09 a b
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 2,070 ± 0,12 a b c
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 1,610 ± 0,21 b c
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 1,480 ± 0,37 c
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai kemerahan berbeda nyata
(α=0,05) akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata nilai
kemerahan selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4%
dan gula 50% sebesar 2,487. Sedangkan rerata nilai kecerahan terendah
diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% sebesar 1,480. Nilai
kemerahan menunjukkan gradasi warna dari hijau hingga merah dengan kisaran
-100 hingga +100, dimana nilai negatif menyatakan kecenderungan warna hijau
dan nilai positif menyatakan kecenderungan warna merah. Sehingga hasil
analisis nilai kemerahan yang menyatakan mendekati nilai negatif, produk selai
kulit pisang cenderung berwarna hijau. Hal ini diduga karena adanya proses
pemanasan menyebabkan terjadinya reaksi karamelisasi yaitu reaksi
pencoklatan yang terjadi akibat adanya pemanasan gula sehingga dapat
meningkatkan tingkat kemerahan pada selai. Selain itu juga karena kulit pisang
mengandung enzim polifenolase yang dapat mengakibatkan berwarna
kecoklatan karena reaksi pencoklatan enzimatis.
c. Warna Kekuningan (Yellowness)
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data rerata kekuningan (b*) selai
kulit pisang sebesar 8,84 – 15,17 yang berarti cenderung berwarna biru karena
35
mendekati angka -100. Grafik hasil pengukuran kekuningan (a*) selai kulit pisang
dengan perlakuan penambahan asam sitrat dan gula dapat dilihat pada Gambar
4.6 dibawah ini
Gambar 4.6 Grafik Rerata Nilai Kekuningan Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
warna kekuningan. Namun, tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan
(α=0,05) terhadap warna kekuningan. Karena pada penambahan konsentrasi
asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut
Bonferroni menggunakan Minitab 17 yang dapat dilihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Rerata Nilai Kekuningan Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Nilai Kekuningan Grouping
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 15,167 ± 0,62 a
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 12,990 ± 0,74 b
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 10,480 ± 0,57 c
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 10,190 ± 0,42 c
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 9,410 ± 0,37 c
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 8,843 ± 0,77 c
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai kekuningan berbeda nyata
(α=0,05) akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata nilai
0,002,004,006,008,00
10,0012,0014,0016,0018,00
Asamsitrat0,2 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,2 +
Gula 70
Asamsitrat0,4 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,4 +
Gula 70
Nila
i Ke
kun
inga
n
Perlakuan (%)
Nilai Kekuningan
Nilai Kekuningan
36
kemerahan selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4%
dan gula 50% sebesar 15,167. Sedangkan rerata nilai kecerahan terendah
diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% sebesar 8,843. Nilai
kekuningan menunjukkan gradasi warna dari biru sampai kuning dengan kisaran
-100 hingga +100, dimana nilai negatif menyatakan kecenderungan warna biru
dan nilai positif menyatakan kecenderungan warna kuning. Sehingga hasil
analisis nilai kekuningan yang menyatakan mendekati nilai negatif, produk selai
kulit pisang cenderung berwarna biru. Hal ini diduga karena adanya proses
pemanasan menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis karena
adanya gula dan asam yang dapat menghasilkan warna cokelat yang cenderung
memiliki warna kuning (Siswanto, dkk, 2015). Selain itu juga karena diduga kulit
pisang yang mengandung senyawa polifenol yang dapat berperan dalam reaksi
pencoklatan enzimatis.
4.3.2 Panjang Oles
Panjang oles merupakan salah satu parameter pada uji fisik yang
bertujuan untuk mengukur konsistensi dan tekstur selai pada saat dioleskan
pada roti dan mengetahui seberapa panjang dari daya oles selai. Selai yang
berkualitas baik adalah selai dengan konsistensi dan tekstur yang tinggi (Fahrizal
dan Fadhil, 2014). Bila panjang oles selai rendah maka terlalu keras atau terlalu
kental, begitu juga sebaliknya jika selai terlalu encer, akan membuat selai sulit
dioles, jika selai sulit dioleskan dapat menurunkan penerimaan konsumen
terhadap selai tersebut (Fatonah, 2002). Pengaruh penambahan asam sitrat dan
gula dapat dilihat pada Gambar 4.7 dibawah ini.
37
Gambar 4.7 Grafik Rerata Panjang Oles Selai Kulit Pisang Terhadap Pengaruh
Konsentrasi Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi asam sitrat dan gula memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap
panjang oles. Namun, tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan (α=0,05)
terhadap panjang oles. Karena pada penambahan konsentrasi asam sitrat dan
gula memberikan pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Bonferroni
menggunakan Minitab 17 yang dapat dilihat pada Tabel 4.7 dibawah ini.
Tabel 4.7 Rerata Panjang Oles Selai Kulit Pisang Berdasarkan Perlakuan
Perlakuan (%) Panjang Oles (cm) Grouping
Asam sitrat 0,2 + Gula 50 9,833 ± 0,76 a
Asam sitrat 0,2 + Gula 60 9,733 ± 0,37 a
Asam sitrat 0,2 + Gula 70 9,300 ± 3,19 a b
Asam sitrat 0,4 + Gula 50 8,917 ± 0,14 b c
Asam sitrat 0,4 + Gula 60 8,667 ± 0,43 b c
Asam sitrat 0,4 + Gula 70 8,500 ± 1,39 c
Keterangan : Setiap data merupakan rerata dari 3 kali ulangan ± standar deviasi. Angka
yang bernotasi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.7 menunjukkan bahwa panjang oles berbeda nyata
(α=0,05) akibat adanya perlakuan penambahan asam sitrat dan gula. Rerata
panjang oles selai kulit pisang tertinggi diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,2%
dan gula 50% sebesar 9,833 cm. Sedangkan rerata panjang oles terendah
diperoleh dari perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% sebesar 8,5 cm.
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
Asamsitrat0,2 +
Gula 50
Asamsitrat0,2 +
Gula 60
Asamsitrat0,2 +
Gula 70
Asamsitrat0,4 +
Gula 50
Asamsitrat0,4 +
Gula 60
Asamsitrat0,4 +
Gula 70
Pan
jan
g O
les
(cm
)
Perlakuan (%)
Panjang Oles
Panjang Oles (cm)
38
Menurut Winarno (2002), penambahan gula pada selai mempengaruhi
kekentalan gel yang terbentuk, karena gula akan menurunkan kekentalan,
sehingga semakin banyak gula yang ditambahkan maka selai akan semakin
encer dan sulit dioles begitu juga sebaliknya, jika gula yang ditambahkan terlalu
sedikit maka selai menjadi terlalu kental dan sulit dioleskan. Semakin banyak
penambahan asam sitrat maka selai semakin kental dan selai semakin asam
karena memiliki nilai pH yang rendah. Pengaruh pH pada pembentukan gel
adalah semakin rendah pH maka gel yang terbentuk akan semakin keras dan
jumlah pektin yang dibutuhkan juga semakin sedikit (Winarno, 2002).
4.4 Seleksi Panelis
4.4.1 Perekrutan Panelis
Perekrutan panelis dilakukan pada mahasiswa Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya. Dari hasil perekrutan panelis diperoleh 30
orang yang bersedia menjalani dan mengikuti seleksi panelis hingga pengujian
produk. Dari 30 orang panelis, terdapat 4 orang laki-laki dan 26 orang
perempuan dengan rentang usia adalah 18-22 tahun.
Tahapan seleksi calon panelis dimulai dengan mengisi kuisioner yang
berisikan latar belakang panelis, frekuensi konsumsi selai, dan parameter
penilaian selai menurut tingkat kepentingan, hal ini bertujuan untuk mengetahui
segala informasi yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian analisis sensori
metode spektrum kali ini. Hasil rekapitulasi data yang diperoleh dari 30 orang
panelis yang bersedia menjadi calon panelis memiliki suku yang berbeda-beda,
meliputi 1 orang suku Dayak, 2 orang suku Batak, 1 orang suku Melayu, 3 orang
Sunda, 1 orang Aceh, 1 orang Cina, 1 orang Ambon, 1 orang arab, dan sisanya
adalah berasal dari suku Jawa. Latar belakang pendidikan pada 2 orang calon
panelis yang bersedia yaitu Diploma (D3) dan sisanya memiliki pendidikan
terakhir SMA/Sederajat, serta keduanya sedang menempuh jenjang pendidikan
S1 sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Brawijaya. Pada tahap pengisian kuisioner ini dapat dilihat pada Lampiran 3
Pada pengisian kuisioner terdapat empat parameter berdasarkan tingkat
kepentingan yang ada pada selai diantaranya adalah tekstur, rasa, warna, dan
daya oles. Berikut adalah grafik data hasil rekapitulasi kuisioner dari 30 orang
calon panelis terlatih:
39
Gambar 4.8 Grafik Data Hasil Kuisioner Tingkat Kepentingan Parameter Selai
dari 30 Orang Panelis
Tahap terakhir dalam perekrutan panelis adalah wawancara dan
persetujuan untuk mengikuti semua tahapan penelitian. Pada tahap ini dilakukan
tatap muka secara langsung terkait kesediaan diri menjadi panelis terlatih dan
mengikuti semua tahapan yang harus dilakukan dari awal hingga akhir. Selain
itu, panelis juga diberikan pertanyaan terkait kebiasaan panelis seperti merokok,
konsumsi alkohol atau obat-obat tertentu, alergi terhadap bahan pangan tertentu,
dan pengetahuan tentang produk selai, serta intensitas konsumsi panelis pada
masing-masing panelis. Kemudian panelis diberikan pengarahan tentang
tahapan-tahapan seleksi panelis apa saja yang akan dilakukan oleh calon
panelis terlatih, kesepakatan jadwal antara peneliti dan panelis, serta dilakukan
kesepakatan dengan menandatangani persetujuan kesediaan diri menjadi
seorang panelis terlatih untuk penelitian ini. Pada kuisioner tahap wawancara
dan persetujuan dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.5 Tahapan Uji Seleksi Panelis
Pada uji seleksi sensori panelis pada penelitian ini menggunakan jenis uji
deskripsi, yaitu analisis sensori metode spektrum. Pada analisis ini
membutuhkan panelis terlatih, umumnya sebanyak 6-12 orang untuk
menganalisis dan identifikasi ukuran atribut sensori tertentu (Drake, 2007).
Sehingga dilakukan seleksi panelis yang bertujuan untuk mendapatkan panelis
terlatih yang mampu mendeteksi jumlah atribut dan dapat memberikan skala
penilaiannya, membedakan intensitas pada masing-masing atribut, dapat
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Tidak Penting Biasa Penting SangatPenting
Jum
lah
Pan
elis
(o
ran
g)
Tingkat Kepentingan
Tingkat Kepentingan Parameter Selai
Tekstur
Rasa
Warna
Daya Oles
40
mengingat serta menggunakan referensi atribut yang diperlukan melalui
pelatihan panelis. Tahapan seleksi panelis terdiri dari uji pengenalan rasa dasar,
uji segitiga, dan uji ambang mutlak. Pada tahapan seleksi panelis tersebut dapat
diketahui panelis mana yang layak dan mampu untuk mengikuti tahapan
selanjutnya yaitu pelatihan panelis sesuai referensi atribut dan penilaian produk.
4.5.1 Uji Pengenalan Rasa Dasar
Tahapan awal uji seleksi calon panelis terlatih menggunakan metode
sensori spektrum adalah uji pengenalan rasa dasar. Dalam pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah indera seorang panelis mampu
mengidentifikasi lima rasa dasar yaitu manis, asin, asam, pahit, dan umami.
Pada uji ini terdapat lima larutan rasa dasar dengan masing-masing konsentrasi
yang akan diberikan kepada calon panelis untuk diidentifikasi rasa apa yang
terdapat dalam sampel.
Calon panelis akan dinyatakan lulus uji seleksi panelis jika minimal 80%
dapat menjawab dengan benar dari total pertanyaan (pada penelitian ini, minimal
menjawab 4 pertanyaan dengan benar dari 5 pertanyaan yang disediakan).
Setelah direkapitulasi, dari 30 orang calon panelis yang mengikuti seleksi tahap
ini yang dinyatakan lolos ada 23 orang panelis. Hasil uji pengenalan rasa dasar
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 4.9 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Uji Pengenalan Rasa Dasar
dari 30 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan gambar diatas, hasil uji pengenalan rasa dasar dapat dilihat
secara populatif calon panelis mampu mengenali kelima rasa dasar. Hal ini juga
0
5
10
15
20
25
30
35
manis1%
asin0,2%
asam0,03%
pahit0,03%
umami0,06%
Jum
lah
Pan
elis
Rasa Dasar
Jumlah Panelis ResponBenar
41
didukung dengan hasil analisis one-proportion test pada selang kepercayaan
95% (p-value <0,05) (Lampiran 5) menunjukkan berpengaruh nyata terhadap uji
pengenalan rasa dasar. Menurut Mason dan Nottingham (2002), rasa dasar
merupakan salah satu rasa yang bersifat spesifik yang dapat diidentifikasi melalui
respon psikologis yang didapatkan. Secara umum, mekanisme rasa dapat
dideteksi oleh indera pengecap terjadi ketika komponen rasa berupa senyawa
kimia diikat oleh reseptor sel pada tunas pengecap yang terdapat di permukaan
lidah, kemudian akan mengirim sinyal ke otak melalui saraf kranial (cranial nerve)
lalu oleh otak akan diubah menjadi impuls saraf elektrik menjadi sensasi yang
diterjemahkan oleh manusia sebagai sebuah rasa (National Health and Nutrition
Examination Survey, 2013).
4.5.2 Uji Segitiga
Pada hari yang bersamaan, calon panelis yang juga berjumlah 30 orang,
selain melakukan uji pengenalan rasa dasar juga dilakukan uji segitiga. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui kemampuan calon panelis yang dapat
mendeskripsikan ada tidaknya perbedaan dari dua macam sampel yang berbeda
diantara tiga sampel yang disediakan. Sampel yang digunakan adalah selai
strawberry dengan dua merek yang berbeda. Selai ini dipilih karena penelitian ini
mengangkat produk selai dan pada selai ini memiliki tekstur yang mirip seperti
selai yang akan diujikan pada tahapan penilaian produk. Hasil uji segitiga dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 4.10 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar dan Salah Pada Uji Segitiga
dari 30 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan gambar diatas, hasil uji segitiga terhadap tiga kode sampel
seperti pada gambar diatas menunjukkan bahwa panelis mampu mengidentifikasi
0
5
10
15
20
25
30
Benar Salah
Jum
lah
Pan
elis
Respon Panelis
Benar
Salah
42
sampel yang berbeda dari ketiga sampel, yang terdiri dari 24 orang panelis
menjawab benar dan 6 orang panelis menjawab salah dalam uji segitiga ini. Hal
ini juga didukung dengan hasil analisis one-proportion test pada selang
kepercayaan 95% (p-value <0,05) (Lampiran 6) menunjukkan berpengaruh
nyata terhadap uji segitiga. Adapun 6 orang panelis yang menjawab salah dalam
uji segitiga ini diduga disebabkan karena kurang maksimalnya panelis dalam
menggunakan palate cleanser sehingga masih terdapat sisa sampel
sebelumnya. Panelis tidak mampu membedakan satu sampel dari ketiga sampel
yang disajikan, juga bisa disebabkan karena kejenuhan panelis dalam
merasakan sampel. Menurut Mason dan Nottingham (2012) menyatakan palate
cleanser dan tingkat kejenuhan karena tingkat stress pada jadwal kegiatan yang
dilakukan oleh panelis dalam keseharian merupakan faktor yang mempengaruhi
respon panelis terhadap penilaian.
4.5.3 Uji Ambang Mutlak (Threshold)
Tahapan uji ambang mutlak ini sudah didapatkan panelis terlatih
sebanyak 23 orang panelis yang didapatkan dari tahap uji pengenalan rasa
dasar dan uji segitiga. Pada seleksi ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat
sensitivitas rasa dasar dari panelis terlatih yang sudah dinyatakan lolos untuk
mendukung data pada masing-masing panelis. Pada tahap ini menggunakan tiga
rasa dasar, yaitu manis, asam, dan pahit dengan beberapa konsentrasi tastant
yang berbeda (Mojet et. al., 2001). Rasa asin dan umami tidak dilakukan pada uji
ambang mutlak ini karena tidak ditemukan senyawa dari kedua rasa tersebut
pada kulit pisang. Berdasarkan Munadjim (1984), kulit pisang tidak memiliki
kandungan natrium, sehingga tidak digunakan rasa dasar seperti asin dan
umami, karena pada kedua rasa tersebut mengandung natrium. Sehingga hanya
dilakukan pengujian terhadap tiga rasa dasar.
Pada tahap uji ambang mutlak ini menggunakan metode 3-AFC
(Alternative Forced Choice). Pada metode 3-AFC ini panelis diminta menentukan
mana diantara dari 3 sampel pada masing-masing rasa yang memiliki intensitas
paling tinggi atau paling rendah (which of the 3 is the most). Pada penelitian kali
panelis melakukan pengujian dari konsentrasi tastant terendah hingga
konsentrasi tastant tertinggi, hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kejenuhan
pada panelis (Lawless dan Hildegarde, 2010). Hasil respon benar pada uji
ambang mutlak dan hasil analisis one-proportion test uji ambang mutlak dapat
dilihat pada Lampiran 7.
43
Pengujian ambang mutlak pada masing-masing panelis dilihat dari nilai
ambang deteksi pada masing-masing rasa dasar dengan menggunakan
pendekatan metode Best Estimate Threshold (BET). BET masing-masing panelis
dapat dilihat pada Tabel 4.8 dibawah ini.
Tabel 4.8 Tabel Best Estimate Threshold Panelis
Panelis ID BET Manis BET Asam BET Pahit
1 5,00 0,14 0,15
2 5,00 0,10 0,15
3 5,00 0,28 0,15
4 5,00 0,14 0,15
5 5,00 0,14 0,15
6 5,00 0,28 0,15
7 5,00 0,14 0,15
8 5,00 0,10 0,15
9 5,00 0,28 0,15
10 5,00 0,14 0,15
11 5,00 0,10 0,15
12 5,00 0,28 0,15
13 5,00 0,10 0,15
14 5,00 0,28 0,15
15 5,00 0,28 0,15
16 5,00 0,10 0,15
17 7,07 0,14 0,15
18 5,00 0,14 0,15
19 5,00 0,14 0,15
20 5,00 0,14 0,15
21 5,00 0,10 0,15
22 5,00 0,14 0,15
23 5,00 0,28 0,15
BET Grup 5,09 0,17 0,15
Keterangan: BET dalam satuan g/L
Seluruh panelis memiliki BET grup manis 5,09 yang berarti seluruh
panelis cenderung dapat mendeteksi adanya rasa manis pada minimal
konsentrasi 5,09% (b/v), dapat mendeteksi rasa asam pada minimal konsentrasi
0,17% (b/v), dan dapat mendeteksi rasa pahit pada minimal konsentrasi 0,15%
(b/v). Pada rasa manis ditemukan panelis yang memiliki BET lebih tinggi
44
dibanding panelis lain, yaitu panelis ID 17 dengan nilai BET rasa manis 7,07
yang berarti dapat mendeteksi adanya rasa manis minimal pada konsentrasi
7,07% (b/v). BET tiap individu dapat dipengaruhi oleh faktor internal seperti
genetik dan faktor eksternal seperti kebiasaan mengonsumsi makan dan minum,
serta kebiasaan merokok. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kepekaan
indera perasa di lidah terhadap rasa tertentu.
1. Rasa Manis
Rasa manis yang dapat terdeteksi oleh panelis, secara umum dihasilkan
oleh gula dan senyawa hidroksi lainnya seperti alkohol, glikol. Selain itu dapat
berasal dari pemanis seperti siklamat, sakarin, dan aspartam (Choi, 2010). Rasa
manis biasa didefinisikan sebagai suatu rasa yang dapat menghasilkan sensasi
menyenangkan (Yolanda, 2015). Data hasil uji ambang mutlak pada rasa manis
disajikan dalam Gambar 4.11 dibawah ini.
Gambar 4.11 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Gula
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan gambar diatas, hasil uji ambang mutlak pada rasa manis
menyatakan bahwa panelis mampu mengenali lima konsentrasi tastant yang
berbeda tersebut. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis one-proportion test
pada selang kepercayaan 95% (p-value <0,05) menyatakan berpengaruh nyata
terhadap rasa manis. Kebanyakan yang dapat memberikan rangsangan terhadap
suatu rasa memiliki senyawa non volatil, molekul hidrofilik yang larut dalam
saliva, seperti glukosa yang dibutuhkan untuk sumber energi. Secara umum,
0
5
10
15
20
25
30
5 10 20 40 80
Jum
lah
Pan
elis
Konsentrasi Gula (g/L)
Rasa Manis
Persentase Respon Benar
45
rangsangan dengan konsentrasi paling tinggi semakin dapat dirasakan oleh
panelis (Purves, Augustine, et.al., 2001).
2. Rasa Asam
Rasa asam secara alami dapat ditemukan pada buah dan vinegar (Choi,
2010). Rasa asam sebenarnya hanya berasal dari ion hidrogen (H+), zat-zat
yang dapat berionisasi dan melepaskan ion hidrogen dapat menghasilkan rasa
asam (Mason dan Nottingham, 2002). Data hasil uji ambang mutlak pada rasa
asam disajikan dalam Gambar 4.12 dibawah ini.
Gambar 4.12 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Asam Sitrat
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan gambar diatas, hasil uji ambang mutlak pada rasa asam
menyatakan bahwa pada beberapa konsentrasi tastant larutan asam, panelis
kurang mampu mengenalinya. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis one-
proportion test pada selang kepercayaan 95% (p-value <0,05) menyatakan
bahwa dari kelima konsentrasi asam sitrat pada konsentrasi 0,10 g/L dan 0,20
g/L merupakan konsentrasi yang tidak berpengaruh nyata terhadap rasa asam
atau konsentrasi tidak dapat dikenali oleh panelis. Hal ini disebabkan karena
pengaruh konsentrasi asam yang terlalu rendah yang dapat menyebabkan
sensitifitas pada indera manusia semakin menurun dan juga dipengaruhi oleh
sensitifitas indera manusia pada suatu respon larutan yang berbeda-beda.
Sedangkan pada konsentrasi asam sitrat 0,40 g/L; 0,80 g/L; dan 1,60 g/L
menyatakan berpengaruh nyata terhadap rasa asam. Hal ini diduga karena
0
5
10
15
20
25
0,1 0,2 0,4 0,8 1,6
Jum
lah
Pan
elis
Konsentrasi Asam Sitrat (g/L)
Rasa Asam
Persentase Respon Benar
46
kebanyakan dari panelis pada penelitian ini memiliki jenis kelamin perempuan.
Menurut Weiffenbach et al., (1982) dan Cowart (1989) menyatakan bahwa
perempuan kurang sensitif terhadap rasa asam, sehingga konsentrasi yang
rendah dari rasa asam kurang dikenali oleh beberapa panelis.
3. Rasa Pahit
Rasa pahit ini dihasilkan oleh senyawa alkaloid seperti kafein, pada
umumnya dapat dideteksi oleh panelis pada konsentrasi yang sangat rendah
(Choi, 2010). Sehingga pada uji pengenalan rasa dasar untuk konsentrasi
terendah (0,15 g/L), semua panelis dapat mendeteksi rasa pahit yang ada pada
sampel. Data hasil uji ambang mutlak pada rasa pahit disajikan dalam Gambar
4.13 dibawah ini.
Gambar 4.13 Grafik Jumlah Panelis Respon Benar Pada Konsentrasi Kafein
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan gambar diatas, hasil uji ambang mutlak pada rasa pahit
menyatakan bahwa keseluruhan panelis mampu mengenali lima konsentrasi
tastant yang berbeda tersebut. Hal ini juga didukung dengan hasil analisis one-
proportion test pada selang kepercayaan 95% (p-value <0,05) menyatakan
berpengaruh nyata terhadap rasa pahit. Kemampuan alat indera memberikan
kesan atau tanggapan yang dapat dibedakan berdasarkan jenis kesan, intensitas
kesan, luas daerah kesan, lama kesan, dan kesan kesukaan. Intensitas kesan
untuk rasa pahit pada lidah meninggalkan setelah dirasakan oleh lidah yang
0
5
10
15
20
25
0,15 0,3 0,6 1,2 2,4
Jum
lah
Pan
elis
a
Konsentrasi Kafein (g/L)
Rasa Pahit
Persentase Respon Benar
47
sangat kuat yang menyebabkan panelis langsung dapat mengenali kesan pahit
pada sampel (Shallenberger, 1997).
Respon yang didapat setelah melalui tiga tahapan seleksi panelis
kemudian dijumlahkan dan dilakukan pemilihan panelis dengan total benar
minimal 70% dari keseluruhan. Pemilihan panelis tidak hanya didasarkan pada
penilaian dari semua tahapan uji yang telah dijalankan oleh panelis tetapi juga
berdasarkan komitmen yang diwujudkan dalam kedisiplinan dalam mengikuti
keseluruhan tahapan seleksi yang diberikan. Sehingga didapatkan panelis
sebanyak 23 orang panelis yang lolos dan akan melanjutkan ke tahap pelatihan.
4.6 Pelatihan Panelis Referensi Atribut
Pada tahap ini terjadi perubahan jumlah panelis yang dikarenakan
mengalami diskualifikasi sebanyak 3 orang dengan alasan jadwal kesibukan
panelis yang semakin meningkat dan tidak dapat menemukan jadwal susulan
yang tepat. Pada tahapan sebelumnya, panelis yang dinyatakan lolos ada 23
orang, setelah adanya diskualifikasi menjadi 20 orang panelis yang dapat
mengikuti tahapan pelatihan panelis. Menurut Mason dan Nottingham (2002), hal
ini diperbolehkan dalam pengujian sensori, karena uji sensori adalah uji yang
menggunakan tahapan secara sopan, maka dengan adanya diskualifikasi
terhadap panelis diperbolehkan untuk tidak mengikuti tahapan selanjutnya.
Dari jumlah panelis yang tersisa masih sesui dengan syarat ketentuan
dalam pelaksanaan pelatihan panelis, dimana menurut Hootman (1992), untuk
seleksi final panelis analisis metode spektrum adalah sebanyak 15 orang panelis,
tetapi pada tahap pelatihan ini masih tersisa 20 orang sehingga sudah memenuhi
syarat jumlah panelis dan dapat dilanjutkan pada tahap pelatihan.
Sebelum memasuki tahap pelatihan ini, panelis yang lolos diberikan
materi awal mengenai tahap pelatihan, yaitu pengenalan dan deskripsi referensi
atribut, menunjukkan contoh kuisioner yang akan digunakan selama pelatihan
dan penilaian produk, serta cara penilaian pada skala terstuktur. Pada
pertemuan ini dilakukan pada satu hari dengan jadwal yang berbeda-beda tiap
panelis tergantung dari kesibukan panelis, hal ini bertujuan agar mempermudah
jalannya saat memasuki tahap pelatihan, disini juga dilakukan diskusi tanya
jawab antara panelis dan panel leader yang berkaitan dengan pelatihan dan
penilaian produk, misal referensi atribut yang belum diketahui oleh panelis.
Selain itu juga memberikan suatu persepsi yang sama antar panelis terhadap
penilaian atribut sensori suatu sampel sesuai dengan referensi atribut yang
48
sudah dipilih oleh panel leader berdasarkan kebutuhan. Referensi atribut dapat
dilihat pada Lampiran 1. Pada analisis metode spektrum ini panelis diminta
untuk memberikan intensitas penilaian dengan menggunakan metode skala
terstruktur dengan garis 15 cm, panelis dapat memberikan penilaian
menggunakan angka 0-15 dengan diberikan garis sesuai pada skala untuk
masing-masing atribut, dari 0 = paling rendah hingga 15 = paling tinggi. Skala
penilaian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Selanjutnya memasuki tahap pelatihan yang dalam penelitian ini
dilakukan sebanyak 5 kali pertemuan, dimana masing-masing pertemuan
dilakukan 1 kali ulangan. Hal ini bertujuan agar panelis benar-benar memahami
atribut yang telah ditentukan dan mendapatkan nilai konsisten panelis. Untuk
mendapatkan 5 kali pertemuan pelatihan pada penelitian ini didapatkan dari data
hasil penilaian atribut sampel ulangan pada pelatihan yang ditabulasi dan diuji
secara statistik dengan uji Pearson correlation dan Paired t-test dengan Minitab
17. Hasil nilai p-value dari paired t-test dan pearson correlation dibandingkan
dengan tabel pearson correlation coefficient (PCC) pada tabel nilai titik kritis
dengan jumlah panelis 20 orang (df= n-2) dinyatakan konsisten apabila nilai p-
value >0,444 dengan selang kepercayaan 95% pada tabel proportion two- tails
dapat dilihat pada Lampiran 8. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing
atribut berdasarkan hasil pelatihan.
1. Rasa Manis
Rasa manis dapat dihasilkan dari berbagai golongan senyawa baik dari
kelompok gula, asam-amino-peptida-protein, amida siklis, turunan benzena
bahkan kloroform (Wijaya, 2009). Pada pelatihan atribut rasa manis diberikan
satu referensi yaitu larutan sukrosa 10%. Berikut adalah tabel hasil pelatihan
atribut rasa manis yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.9
Tabel 4.9 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Manis
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,564* 0,026
2-3 0,915* 0,465*
3-4 0,791* 0,940*
4-5 0,861* 1,000*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
49
Berdasarkan tabel diatas pada atribut rasa manis, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 memiliki arti bahwa secara individu masing-masing panelis sudah
dinyatakan konsisten dalam memberikan intensitas penilaian atribut. Berbeda
dengan nilai p-value paired t-test saat pelatihan ke 1 dan 2 menunjukkan <0,05
yang berarti bahwa secara grup ada beberapa panelis memberikan intensitas
yang berbeda jauh sehingga belum dinyatakan konsisten, namun setelah
dilakukan pelatihan hingga ke-5, panelis sudah dinyatakan konsisten karena p-
value sudah mencapai >0,05 dan cenderung mengalami peningkatan terhadap
penilaian intensitas atribut.
2. Rasa Asam
Pada rasa asam, sensasi asam yang dideteksi oleh panelis dipengaruhi
oleh konsentrasi ion H+ dalam larutan. Rasa asam terutama terdapat dalam
garam-garam tak terdisosiasi seperti asam malat, asam tartarat, asam sitrat.
Pada pelatihan atribut rasa asam diberikan satu referensi yaitu larutan asam
sitrat 0,15%. Menurut Wijaya (2009) rasa asam tidak hanya terdeteksi secara
murni menjadi asam, tetapi juga rasa khas pada setiap asamnya seperti asam
sitrat memberikan rasa sepat (astringent). Berikut adalah tabel hasil pelatihan
atribut rasa asam yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.10
Tabel 4.10 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Asam
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut rasa asam, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 saat pelatihan ke 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara individu ada
beberapa panelis yang belum konsisten dalam memberikan intensitas penilaian
atribut, namun setelah dilakukan pelatihan hingga ke-5 dapat dinyatakan
memberikan respon yang konsisten. Berbeda dengan p-value paired t-test pada
seluruh pelatihan memiliki nilai >0,05 berarti bahwa secara grup seluruh panelis
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,249 0,422*
2-3 0,896* 0,098*
3-4 0,756* 1,000*
4-5 0,920* 0,674*
50
dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam memberikan
intensitas atribut dan cenderung mengalami peningkatan terhadap penilaian
intensitas atribut.
3. Rasa Pahit
Rasa pahit disebabkan oleh senyawa alkaloid seperti kafein, kuinon,
senyawa fenol seperti naringin, garam-garam Mg, NH4, dan Ca (Zuhra, 2006).
Pada pelatihan atribut rasa pahit diberikan satu referensi yaitu larutan kafein
0,05%. Kafein merupakan golongan methylxanthine seperti theophylline dan
theobromine. Kafein pada suhu ruang berupa bubuk tidak berwarna dan tidak
berbau, serta memiliki rasa pahit (Spiller, 1998). Berikut adalah tabel hasil
pelatihan atribut rasa pahit yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.11
Tabel 4.11 Hasil Pelatihan Referensi Rasa Pahit
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut rasa pahit, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 dan p-value paired t-test >0,05 pada seluruh pelatihan menunjukkan
bahwa secara individu dan grup seluruh panelis dinyatakan sudah memberikan
respon yang konsisten dalam memberikan intensitas atribut dan cenderung
mengalami peningkatan terhadap penilaian intensitas atribut.
4. Sensasi sepat (Astringency)
Astringency atau sensasi sepat merupakan sensasi yang ditimbulkan
karena senyawa fenolik (seperti tanin), garam kation logam (garam aluminium),
agen dehidrasi (etanol), dan asam-asam organik (malat) (Laaksonen, 2011).
Pada pelatihan atribut sensasi sepat (astringency) diberikan satu referensi yaitu
larutan dari 8 gram kopi dalam 250 ml air distilasi. Berikut adalah tabel hasil
pelatihan atribut sensasi sepat (astringency) yang akan ditunjukkan pada Tabel
4.12
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,378* 0,120*
2-3 0,886* 0,273*
3-4 0,879* 0,294*
4-5 0,925* 1,000*
51
Tabel 4.12 Hasil Pelatihan Referensi Sensasi sepat (Astringency)
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,627* 0,342*
2-3 0,637* 0,221*
3-4 0,772* 0,540*
4-5 0,901* 0,564*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut sensasi sepat (astringency), dapat
dilihat dari nilai PCC >0,444 dan p-value paired t-test >0,05 pada seluruh
pelatihan menunjukkan bahwa secara individu dan grup seluruh panelis
dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam memberikan
intensitas atribut dan cenderung mengalami peningkatan terhadap penilaian
intensitas atribut. Menurut Rahayu (2007) rasa sepat yang timbul itu berasal dari
senyawa tanin yang terkandung dalam kopi yang larut dalam air, selain itu yang
senyawa asam juga menentukan cita rasa kopi dengan jumlah yang relatif kecil
yaitu asam malat.
5. Warna
Warna merupakan uji fisik yang dilakukan oleh panelis dengan dibantu
oleh indera penglihatan. Pada pelatihan atribut warna diberikan dua referensi
yaitu sampel untuk referensi rendah adalah peanut butter, sedangkan referensi
tinggi adalah topping rasa moka. Berikut adalah tabel hasil pelatihan atribut
warna yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.13
52
Tabel 4.13 Hasil Pelatihan Referensi Warna
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
Referensi Rendah
1-2 0,771* 0,892*
2-3 0,790* 0,106*
3-4 0,839* 0,453*
4-5 0,894* 0,100*
Referensi Tinggi
1-2 0,870* 0,909*
2-3 0,622* 0,164*
3-4 0,348 0,592*
4-5 0,789* 0,922*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut warna referensi rendah, dapat
dilihat dari nilai PCC >0,444 dan p-value paired t-test >0,05 pada seluruh
pelatihan menunjukkan bahwa secara individu dan grup seluruh panelis
dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam memberikan
intensitas atribut dan cenderung mengalami peningkatan terhadap penilaian
intensitas atribut. Sedangkan pada referensi tinggi, dapat dilihat dari nilai PCC
<0,444 saat pelatihan ke 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara individu ada
beberapa panelis yang belum konsisten dalam memberikan intensitas penilaian
atribut, namun setelah dilakukan pelatihan hingga ke-5 dapat dinyatakan
memberikan respon yang konsisten karena sudah memenuhi >0,444.
6. Kekokohan (Firmness)
Kekokohan atau firmness merupakan salah satu atribut tekstur yang akan
menunjukkan konsistensi pada selai. Pada pelatihan atribut kekokohan diberikan
satu referensi yaitu peanut butter. Berikut adalah tabel hasil pelatihan atribut
kekokohan yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.14
53
Tabel 4.14 Hasil Pelatihan Referensi Kekokohan
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,306 0,553*
2-3 0,512* 0,614*
3-4 0,732* 0,638*
4-5 0,370 0,849*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut kekokohan, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 saat pelatihan ke 1, 2, 4, dan 5 menunjukkan bahwa secara individu
ada beberapa panelis yang belum konsisten dalam memberikan intensitas
penilaian atribut, hal ini disebabkan karena penilaian antar individu memiliki
perbedaan yang jauh pada penilaian atribut ini. Berbeda dengan p-value paired t-
test pada seluruh pelatihan memiliki nilai >0,05 berarti bahwa secara grup
seluruh panelis dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam
memberikan intensitas atribut dan cenderung mengalami peningkatan terhadap
penilaian intensitas atribut. Pada pelatihan kekokohan, walaupun secara individu
belum dinyatakan konsisten saat pelatihan ke 4 hingga ke 5, namun secara grup
sudah dinyatakan konsisten, sehingga diperbolehkan untuk dilanjutkan pada
tahap penilaian. Untuk meningkatkan konsistensi pada masing-masing panelis
saat melakukan penilaian atribut kekokohan, dilakukan pemberitahuan lagi untuk
cara menilai atribut kekokohan, dengan memberi deskripsi dan cara penilaian
atribut tersebut, serta dilakukan penyamaan jumlah sampel yang diberikan pada
masing-masing panelis.
7. Sensasi Berpasir (Graininess)
Sensasi berpasir atau graininess ini tergolong dalam penilaian atribut
tekstur. Pada atribut ini menilai sejauh mana adanya partikel atau serat yang
dapat dirasakan dalam mulut. Pada pelatihan atribut sensasi berpasir diberikan
dua referensi yaitu sampel untuk referensi rendah adalah topping rasa moka,
sedangkan referensi tinggi adalah peanut butter. Berikut adalah tabel hasil
pelatihan atribut sensasi berpasir yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.15
54
Tabel 4.15 Hasil Pelatihan Referensi Sensasi Berpasir
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
Referensi Rendah
1-2 0,740* 0,891*
2-3 0,817* 0,421*
3-4 0,757* 0,317*
4-5 0,904* 0,123*
Referensi Tinggi
1-2 0,466* 0,101*
2-3 0,799* 0,197*
3-4 0,679* 0,052*
4-5 0,590* 0,453*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut sensasi berpasir untuk referensi
rendah dan tinggi, dapat dilihat dari nilai PCC >0,444 dan p-value paired t-test
>0,05 pada seluruh pelatihan menunjukkan bahwa secara individu dan grup
seluruh panelis dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam
memberikan intensitas atribut dan cenderung mengalami peningkatan terhadap
penilaian intensitas atribut, selain pada nilai p-value paired t-test cenderung
mengalami penurunan terhadap penilaian intensitas atribut.
8. Daya Oles
Daya oles merupakan uji fisik yang dilakukan panelis dengan
mengidentifikasi seberapa mudah selai tersebut dioleskan, pada pelatihan ini
dilakukan pengolesan selai pada roti tawar. Pada pelatihan atribut daya oles
diberikan satu referensi yaitu peanut butter sebanyak 5 gram. Berikut adalah
tabel hasil pelatihan atribut daya oles yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.16
Tabel 4.16 Hasil Pelatihan Referensi Daya Oles
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,667* 0,854*
2-3 0,549* 0,558*
3-4 0,449* 0,640*
4-5 0,509* 0,509*
55
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut daya oles, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 dan p-value paired t-test >0,05 pada seluruh pelatihan menunjukkan
bahwa secara individu dan grup seluruh panelis dinyatakan sudah memberikan
respon yang konsisten dalam memberikan intensitas atribut dan cenderung
mengalami penurunan terhadap penilaian intensitas atribut.
9. Panjang Oles
Panjang oles ini merupakan uji fisik yang dapat mempengaruhi penilaian
terhadap tekstur selai. Hasil panjang oles ini perlakuannya sama seperti daya
oles, namun pada panjang oles dilakukan pengukuran seberapa panjang olesan
selai pada roti dalam bentuk satuan centimeter (cm) yang diukur dengan
penggaris oleh panelis. Pada pelatihan atribut panjang oles diberikan satu
referensi yaitu peanut butter sebanyak 5 gram. Berikut adalah tabel hasil
pelatihan atribut panjang oles yang akan ditunjukkan pada Tabel 4.17
Tabel 4.17 Hasil Pelatihan Referensi Panjang Oles
Pelatihan
ke- PCC, r
2
P-value Paired
T-Test
1-2 0,697* 0,113*
2-3 0,842* 0,966*
3-4 -0,179 0,490*
4-5 0,096 0,205*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan PCC >0,444 dan p-value >0,05
dari 23 Orang Panelis (α=0,05)
Berdasarkan tabel diatas pada atribut panjang oles, dapat dilihat dari nilai
PCC >0,444 saat pelatihan ke 3 hingga 5 menunjukkan bahwa secara individu
ada beberapa panelis yang dinyatakan belum konsisten dalam memberikan
intensitas penilaian atribut karena nilai PCC <0,444, hal ini disebabkan karena
penilaian antar individu memiliki perbedaan yang jauh pada penilaian atribut ini
dan pada masing-masing individu memiliki cara oles sampel yang berbeda-beda
sehingga untuk mencapai konsisten membutuhkan pelatihan lagi, sehingga pada
saat bersamaan dengan penilaian produk, seluruh panelis akan dilatih lagi agar
semua panelis memiliki cara oles yang sama dan mendapatkan hasil yang tidak
jauh berbeda antar panelis. Berbeda dengan p-value paired t-test pada seluruh
56
pelatihan memiliki nilai >0,05 berarti bahwa secara grup seluruh panelis
dinyatakan sudah memberikan respon yang konsisten dalam memberikan
intensitas atribut dan cenderung mengalami penurunan terhadap penilaian
intensitas atribut. Pada pelatihan panjang oles, walaupun secara individu belum
dinyatakan konsisten saat pelatihan ke 3 hingga ke 5, namun secara grup sudah
dinyatakan konsisten, sehingga diperbolehkan untuk dilanjutkan pada tahap
penilaian. Untuk meningkatkan konsistensi pada masing-masing panelis saat
melakukan penilaian atribut panjang oles, dilakukan penyamaan jumlah sampel
dan sampel diletakkan pada alat yang akan digunakan untuk mengoles, pada
penelitian ini menggunakan pisau, sehingga panelis saat diberikan sampel bisa
langsung mengoles sampel, dan diberikan arahan yang sama dari peneliti,
sehingga diharapkan memiliki persepsi yang sama terhadap cara mengoles selai
tersebut.
4.7 Hasil Uji Sensori Metode Analisis Spektrum Pada Selai Kulit Pisang
Setelah dilakukan 5 kali pelatihan dan dinyatakan konsisten dalam
menilai suatu atribut maka panelis dapat memasuki tahap terakhir yaitu menilai
atribut pada selai kulit pisang yang terdiri dari rasa manis, asam, pahit, sensasi
sepat (astringency), warna, sensasi berpasir (graininess), kekokohan (firmness),
daya oles, dan panjang oles. Pada saat penilaian produk, panelis dihadapkan
dengan 6 kode sampel untuk 6 perlakuan dalam satu sajian penilaian, yaitu
perlakuan asam sitrat 0,2%+gula 50%, asam sitrat 0,2%+gula 60%, asam sitrat
0,2%+gula 70%, asam sitrat 0,4%+gula 50%, asam sitrat 0,4%+gula 60%, asam
sitrat 0,4%+gula 70%.
Pada saat tahap penilaian produk, terjadi perubahan jumlah panelis yaitu
menjadi 17 orang panelis untuk penilaian produk, hal ini dikarenakan panelis
pulang kampung dan kembali ke Malang dalam jangka waktu yang lama
sehingga tidak dapat mengikuti hingga tahap akhir. Hasil data panelis yang ada
kemudian dianalisis dengan ANOVA General Linier Model menyatakan bahwa
dari 9 atribut yang diujikan terdapat 7 atribut yang dinyatakan berpengaruh
terhadap penambahan gula dan asam sitrat dan terdapat 2 atribut yang
dinyatakan tidak berpengaruh terhadap penambahan gula dan asam sitrat. Hasil
ANOVA dari uji sensori pada selai kulit pisang dapat dilihat pada Lampiran 9.
Dalam penilaian uji sensori kulit pisang didapatkan dari hasil skoring
menggunakan skala terstruktur sesuai dengan metode Spektrum.
57
Tabel 4.18 Hasil ANOVA General Linier Model pada Uji Sensori Selai Kulit Pisang
No. Atribut P-value
1. Rasa Manis 0,000*
2. Rasa Asam 0,000*
3. Rasa Pahit 0,354
4. Sensasi sepat (Astringency) 0,000*
5. Warna 0,000*
6. Kekokohan (Firmness) 0,000*
7. Sensasi Berpasir (Graininess) 0,150
8. Daya Oles 0,000*
9. Panjang Oles 0,000*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan p-value <0,05 yang berarti berbeda nyata
dan diperlukan uji lanjut Tukey dari 17 Orang Panelis (α=0,05)
4.7.1 Rasa Manis
Rasa manis dihasilkan oleh zat organik dan anorganik. Zat organik
penghasil rasa manis diantaranya gula, glikol, alkohol, aldehida, keton, amida,
ester, asam amino, asam sulfonat, asam halogen. Sedangkan zat anorganik
antara lain garam anorganik dari timah hitam dan berilium (Guyton, 2001). Hasil
uji lanjut tukey untuk atribut rasa manis dari selai kulit pisang dapat dilihat pada
Tabel 4.19
Tabel 4.19 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Rasa Manis
Perlakuan N Rasa Manis Grouping
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 8,82745 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 8,60000 a b
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 8,21765 a b c
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 7,91961 b c d
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 7,71569 c d
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 7,40196 d*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai rasa manis pada tabel diatas dapat diartikan jika angka
semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 70% dengan nilai 8,82745 maka memiliki
nilai manis paling tinggi dari panelis, sedangkan pada kombinasi asam sitrat
58
0,4% dan gula 50% memiliki nilai manis paling rendah dari panelis. Berdasarkan
p-value pada rasa manis yaitu 0,000 (p-value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut
Tukey, didapatkan dua perlakuan yang menunjukkan berpengaruh nyata pada
rasa manis, yaitu asam 0,2% dan gula 70% lebih tinggi daripada kombinasi asam
sitrat 0,4% dan gula 50%. Menurut Bolenz et al (2006) bahwa pada tingkat rasa
manis yang paling tinggi, untuk panelis terlatih pun akan susah membedakan
antara berbagai konsentrasi gula. Rasa manis ini dipengaruhi oleh zat organik
seperti gula dan anorganik, hal ini sama dengan definisi total padatan terlarut
yang merupakan kombinasi dari semua zat-zat organik dan anorganik dalam
bahan pangan (Fahrizal dan Fhadil, 2014). Jika dibandingkan dengan hasil uji
total padatan terlarut, memiliki hasil yang berbeda, pada uji total padatan terlarut
yang berpengaruh nyata dan tertinggi didapatkan pada kombinasi perlakuan
asam sitrat 0,4% dan gula 70%, sedangkan pada rasa manis didapatkan pada
kombinasi perlakuan asam sitrat 0,2% dan gula 70%. Panelis cenderung lebih
bisa merasakan konsentrasi manis tinggi, hal ini dikarenakan rangsangan
dengan konsentrasi paling tinggi pada gula semakin dapat dirasakan oleh panelis
(Purves, et.al., 2001). Hal ini juga didukung oleh pendapat Green et al., (2010)
yang menyatakan bahwa rasa manis yang berasal dari konsentrasi gula yang
tinggi mampu menekan rasa lainnya, hal ini karena rasa manis identik dengan
karbohidrat yang menjadi sumber energi utama untuk tubuh sehingga secara
tidak langsung tubuh mengutamakan karbohidrat untuk diterima dalam tubuh.
4.7.2 Rasa Asam
Rasa asam ini dinyatakan sebagai adanya deteksi proton-proton di dalam
rongga mulut. Keadaan ini biasanya sering terjadi pada saat rongga mulut
berisikan sisa-sisa makanan (Anjarsari, 2010).
Tabel 4.20 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Rasa Asam
Perlakuan N Rasa Asam Grouping
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 5,40196 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 4,78431 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 4,49020 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 3,65098 b c
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 2,73922 c d
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 2,36667 d*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
59
Berdasarkan nilai rasa asam pada tabel diatas dapat diartikan jika angka
semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 50% dengan nilai 5,40196 maka memiliki
nilai asam paling tinggi dari panelis, sedangkan pada kombinasi asam sitrat 0,2%
dan gula 70% memiliki nilai asam paling rendah dari panelis. Berdasarkan p-
value pada rasa asam yaitu 0,000 (p-value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut
Tukey, sehingga didapatkan tiga perlakuan yang menunjukkan berpengaruh
nyata pada rasa manis, yaitu asam sitrat 0,4% dan gula 50% lebih tinggi
daripada kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% serta asam sitrat 0,2% dan
gula 70%. Mekanisme rasa asam ini muncul karena dihasilkan oleh ion hidrogen
(H+) pada larutan. Semakin tinggi kandungan asam sitrat maka semakin rendah
nilai pH pada suatu produk pangan. Hal ini berbeda dengan hasil uji kimia, yaitu
nilai pH. Pada penambahan konsentrasi asam sitrat dan gula tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai pH karena konsentrasi penambahan asam sitrat
yang cukup dekat yaitu 0,2% dan 0,4%, tetapi walaupun tidak berpengaruh
nyata, pada konsentrasi asam sitrat 0,4% dan gula 50% merupakan kondisi
optimum pada selai kulit pisang dan masih dinyatakan aman untuk dikonsumsi.
Sedangkan pada uji sensori, panelis cenderung dapat merasakan asam dengan
konsentrasi tinggi, hal ini diduga karena hampir seluruh panelis terlatih memiliki
jenis kelamin perempuan. Hal ini didukung oleh penelitian Simamora (2012) yang
menyatakan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap stimulus rasa asam yang
diberikan, karena perempuan memiliki papila lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Papila adalah reseptor sel yang berperan mendeteksi rasa-rasa dasar. Persepsi
panelis juga sesuai dengan pernyataan Bariroh (2007) yang menyatakan
semakin tinggi konsentrasi asam sitrat dapat menimbulkan suasana asam pada
produk pangan.
4.7.3 Rasa Pahit
Berdasarkan p-value pada rasa pahit yaitu 0,354 (p-value >0.05) yang
menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat dan gula pada selai kulit pisang
tidak berpengaruh nyata terhadap rasa pahit. Hal ini menunjukkan untuk semua
sampel, rasa pahit tidak dirasakan oleh semua panelis. Menurut Setianingsih,
dkk (2010) beberapa faktor yang mempengaruhi panelis terhadap penilaian rasa
antara lain adaptasi, kelelahan panelis karena jadwal yang cukup padat, dan
60
kebiasaan merokok atau meminum obat-obatan, hal lain juga menurut Mc Bride
dan Mac Fie (1990) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi munculnya
rasa adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi komponen rasa
yang lain. Hal ini diduga karena pada penelitian selai kulit pisang ini terdapat
interaksi antara tingkat konsentrasi gula dan asam sitrat, sedangkan rasa pahit
itu muncul dikarenakan adanya senyawa alkaloid seperti kafein, kuinon, senyawa
fenol. Hal ini didukung oleh Zuhra (2006) yang menyatakan bahwa komponen
rasa lain berinteraksi dengan komponen rasa primer yang dapat mengakibatkan
peningkatan atau penurunan intensitas rasa. Efek interaksi ini berbeda pada
tingkat konsentrasi dan threshold dari masing-masing panelis.
4.7.4 Sensasi Sepat (Astringency)
Sensasi sepat atau astringency merupakan atribut sensori yang penting
jika pada sampel mengandung asam organik dan anorganik. Sensasi sepat ini
deskripsikan memberikan efek kering, kasar, dan sensasi mengerut di lidah.
Atribut ini juga muncul karena efek senyawa kimia, namun sensasi sepat juga
melibatkan reaksi mekanik setelah terjadinya reaksi kimia (Szczesniak, 2002).
Tabel 4.21 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut SensasiSepat (Astringency)
Perlakuan N Sensasi Sepat Grouping
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 4,64118 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 4,41176 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 4,10392 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 3,93333 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 3,44118 b c
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 2,82745 c*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai sensasi sepat pada tabel diatas dapat diartikan jika
angka semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% dengan nilai 4,64118 maka memiliki
nilai sensasi sepat paling tinggi dari panelis, sedangkan pada kombinasi asam
sitrat 0,2% dan gula 60% memiliki nilai sensasi sepat paling rendah dari panelis.
Berdasarkan p-value pada atribut sensasi sepat (astringency) adalah 0,000 (p-
value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut Tukey, sehingga didapatkan tiga
61
perlakuan yang menunjukkan berpengaruh nyata pada atribut sensasi sepat
(astringency), yaitu asam sitrat 0,4% dan gula 70% lebih tinggi daripada asam
sitrat 0,4% dan gula 60% dan asam sitrat 0,2% dan gula 60%. Sensasi sepat
(astringency) merupakan sensasi kompleks yang timbul dengan ciri-ciri sensasi
menyusut, memberikan sensasi kerutan dari epitel sebagai efek dari senyawa
seperti tanin (Sowalsky dan Noble, 1998). Hal ini didukung oleh Supriyanti, dkk
(2015) yang menyatakan bahwa kulit pisang positif mengandung senyawa tanin,
sehingga pada selai kulit pisang juga terdapat kandungan tanin. Menurut Lucak
(2008) air efektif sebagai palate cleanser untuk makanan yang bersifat astringent
dan makanan dingin, sehingga hal ini juga sesuai dengan persepsi panelis yang
juga dapat membedakan antar sampel. Sensasi sepat ini sangat bergantung
pada nilai pH, dengan persepsi jika menurunnya pH (asam sitrat dengan
konsentrasi tinggi) maka intensitas sensasi sepat akan semakin meningkat
(Sowalsky dan Noble, 1998). Hal ini sudah sesuai dengan persepsi panelis yang
menyatakan konsentrasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% serta asam sitrat 0,4%
dan gula 60% memberikan pengaruh nyata pada sensasi sepat (astringency).
4.7.5 Warna
Atribut warna ini dapat dideteksi oleh indera penglihatan seorang panelis.
Penilaian atribut warna dapat dilihat dari intensitas atau kekuatan warna dari
tingkat kecerahan warna hingga kegelapan (Gibson, et.al., 1997).
Tabel 4.22 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Warna
Perlakuan N Warna Grouping
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 8,93725 a*
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 8,90588 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 8,88039 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 7,29216 b*
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 7,03725 b*
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 6,86667 b*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai warna pada tabel diatas dapat diartikan jika angka
semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% dengan nilai 8,93725 maka memiliki
62
nilai warna paling tinggi dari panelis yaitu semakin gelap warna selai, sedangkan
pada kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 50% memiliki nilai warna paling
rendah dari panelis. Berdasarkan p-value pada atribut warna adalah 0,000 (p-
value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut Tukey, sehingga didapatkan semua
perlakuan yang menunjukkan berpengaruh nyata pada atribut warna. Namun
diantara 6 perlakuan yang diujikan, yang paling tinggi adalah kombinasi asam
sitrat 0,4% dan gula 70%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
gula maka semakin tinggi (semakin gelap) juga intensitas warna yang dinilai oleh
panelis. Hal ini juga didukung oleh Winarno (2002) yang menyatakan jika
penambahan gula dapat mempengaruhi perubahan warna karena berpotensi
terjadi reaksi pencoklatan berupa reaksi non enzimatik yang terjadi diantara
gugus amino dan gula pereduksi yang dipanaskan yang dapat menyebabkan
warna produk menjadi lebih gelap. Jika dibandingkan dengan uji fisik yang
dilakukan terjadi perbedaan kombinasi, pada uji fisik untuk nilai kecerahan
didapatkan warna yang lebih gelap pada kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula
50%, sedangkan pada uji sensori oleh panelis, warna yang lebih gelap ada pada
kombinasi asam sitrat 40% dan gula 70%, hal ini dikarenakan menurut Chan dan
Phang (2009), warna merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan walaupun
penambahan gula dilakukan berulang kali pada pembuatan suatu produk
pangan.
4.7.6 Sensasi Berpasir (Graininess)
Atribut sensasi berpasir (graininess) tergolong dalam lingkup atribut
tekstur yang memberikan sensasi bertekstur pasir pada lidah. Sensasi berpasir
ini tergolong dalam karakteristik geometri yang berhubungan dengan ukuran dan
bentuk partikel (Sczczeniak, 2002). Sedangkan menurut Sekuler (2004), sensasi
berpasir atau graininess merupakan sensasi yang menimbulkan sejauh mana
sampel mengandung serat atau jumlah butiran atau jumlah partikel yang kecil
yang dapat dirasakan di mulut. Menurut Engelen (2005) ukuran partikel sangat
mempengaruhi persepsi panelis terhadap penilaian tekstur. Berdasarkan p-value
pada sensasi berpasir (graininess) yaitu 0,150 (p-value >0.05) yang
menunjukkan bahwa sensasi berpasir tidak berpengaruh nyata terhadap
penambahan asam sitrat dan gula pada selai kulit pisang. Menurut Shimada, et
al., (1998) biasanya tekstur graininess didapatkan dari bahan pangan yang
memiliki komponen lemak yang akan terkristalisasi untuk mendapatkan tekstur
yang diinginkan seperti mentega, margarin, dan cokelat, sehingga panelis tidak
63
merasakan sensasi berpasir (graininess) pada selai kulit pisang. Hal ini diduga
karena selai kulit pisang memiliki hancuran bubur buah yang sangat halus
sehingga panelis tidak merasakan adanya partikel kecil yang dapat
mempengaruhi munculnya atribut sensasi berpasir (graininess).
4.7.7 Kekokohan (Firmness)
Dalam pembuatan selai dengan kadar gula rendah, maka konsistensi
selai dapat diterima oleh konsumen. Kekokohan atau firmness tergolong dalam
atribut tekstur, yaitu kekuatan penekanan sampel pertama yang masuk ke dalam
mulut yang menunjukkan suatu produk pangan memiliki kenampakan cair, semi-
solid, maupun solid (Levaj et al., 2010).
Tabel 4.23 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Kekokohan
Perlakuan N Kekokohan Grouping
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 6,30000 a*
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 6,22745 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 6,13922 a b
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 5,79608 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 5,45686 b c
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 5,01961 b c
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai kekokohan pada tabel diatas dapat diartikan jika angka
semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% dengan nilai 6,30000 maka memiliki
nilai kekokohan paling tinggi dari panelis, sedangkan pada kombinasi asam sitrat
0,2% dan gula 60% memiliki nilai warna paling rendah dari panelis. Berdasarkan
p-value pada atribut kekokohan (firmness) adalah 0,000 (p-value <0.05)
sehingga dilakukan uji lanjut Tukey, sehingga didapatkan dua perlakuan yang
menunjukkan berpengaruh nyata pada atribut kekokohan, yaitu asam sitrat 0,4%
dan gula 70% lebih tinggi daripada kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 50%.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi gula yang tinggi dapat mengubah
pembentukan gel, semakin tinggi konsentrasi gula maka semakin solid atau
semakin kokoh gel yang terbentuk pada suatu bahan pangan (Kohyama, 2016).
64
4.7.8 Daya Oles
Parameter kekentalan merupakan salah satu faktor yang dapat
berpengaruh terhadap mutu selai yaitu pada atribut tekstur. Atribut tekstur ini
dapat berpengaruh terhadap daya oles selai. Daya oles merupakan uji fisik yang
dilakukan oleh panelis yang berarti kemudahan penyebaran sampel pada roti
(Chu and Resurreccion, 2005).
Tabel 4.24 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Daya Oles
Perlakuan N Daya Oles Grouping
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 11,1078 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 10,8902 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 10,8725 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 10,5078 b c
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 10,4843 b c
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 10,2431 c*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai daya oles pada tabel diatas dapat diartikan jika angka
semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 60% dengan nilai 11,1078 maka memiliki
nilai daya oles paling tinggi dari panelis yaitu semakin mudah selai untuk dioles,
sedangkan pada kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% memiliki nilai daya
oles paling rendah dari panelis. Berdasarkan p-value pada atribut daya oles
adalah 0,000 (p-value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut Tukey, sehingga
didapatkan dua perlakuan yang menunjukkan berpengaruh nyata pada atribut
daya oles, yaitu asam sitrat 0,2% dan gula 60% lebih tinggi daripada asam sitrat
0,4% dan gula 70%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan asam sitrat dan
gula dapat memberikan pengaruh dalam kemudahan daya oles pada seli kulit
pisang. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan jika semakin rendah
konsentrasi gula dan asam sitrat yang ditambahkan maka semakin mudah daya
oles dari selai, karena gula dapat menurunkan kekentalan dan asam sitrat juga
dapat berperan membentuk gel (Winarno, 2002). Pada hasil sensori,
penambahan asam sitrat dan gula dengan konsentrasi yang tinggi juga
menunjukkan kemudahan daya oles. Hal ini diduga disebabkan karena
kandungan air yang diserap oleh gel, dimana asam sitrat turut berperan dalam
65
pembentukan gel. Hal ini juga dikaitkan dengan uji kimia yaitu kadar air, pada
selai dengan kombinasi perlakuan asam sitrat 0,4% dan gula 70% memiliki kadar
air yang paling rendah yaitu 40,67%. Menurut Fatonah (2002) semakin banyak
asam yang ditambahkan akan menyebabkan semakin banyak pula air yang
berikatan dengan gel dan selai semakin kental dan kadar air pada selai juga
semakin rendah, namun oleh panelis masih bisa dilakukan penilaian terhadap
kemudahan daya oles.
4.7.9 Panjang Oles
Panjang oles ini merupakan atribut yang tergolong dalam penilaian
tekstur yang juga berkaitan dengan daya oles, namun pada panjang oles ini
merupakan kuantifikasi dari seberapa panjang hasil olesan dari selai.
Tabel 4.25 Tabel Hasil Uji Lanjut Tukey Atribut Panjang Oles
Perlakuan N Panjang Oles Grouping
Asam sitrat 0,2% + Gula 60% 51 8,98235 a*
Asam sitrat 0,4% + Gula 50% 51 8,94510 a *
Asam sitrat 0,2% + Gula 50% 51 8,52745 a b
Asam sitrat 0,2% + Gula 70% 51 8,43137 a b
Asam sitrat 0,4% + Gula 60% 51 8,04314 b*
Asam sitrat 0,4% + Gula 70% 51 7,87451 b*
Keterangan : Tanda bintang (*) menunjukkan berpengaruh nyata dari 17 Orang
Panelis (α=0,05)
Berdasarkan nilai panjang oles pada tabel diatas dapat diartikan jika
angka semakin mendekati nilai 15 maka atribut yang muncul semakin kuat dan
mendekati nilai 0 maka atribut yang muncul semakin lemah, sehingga pada
kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 60% dengan nilai 8,98235 maka memiliki
nilai panjang oles paling tinggi dari panelis yaitu semakin panjang ukuran olesan
selai, sedangkan pada kombinasi asam sitrat 0,4% dan gula 70% memiliki nilai
panjang oles paling rendah dari panelis. Berdasarkan p-value pada atribut
panjang oles adalah 0,000 (p-value <0.05) sehingga dilakukan uji lanjut Tukey,
sehingga didapatkan empat perlakuan yang menunjukkan berpengaruh nyata
pada atribut panjang oles. Namun diantara 4 perlakuan yang berpengaruh nyata,
yang paling tinggi adalah kombinasi asam sitrat 0,2% dan gula 60%. Hal ini
menunjukkan bahwa yang memiliki panjang oles yang paling tinggi didapatkan
66
pada asam sitrat 0,2% dan gula 60%, sama seperti daya oles yang menurut
panelis paling mudah ada pada konsentrasi tersebut.
4.7.10 Hubungan antara Porositas Roti Tawar dengan Panjang Oles
Pengukuran porositas roti tawar menggunakan hasil scan pori roti tawar
yang diberikan pada panelis untuk setiap kode sampel menggunakan software
image J dengan mencari diameter pori pada roti tawar tersebut. Untuk mengukur
panjang oles, pada penyajian sampel, selai kulit pisang ditimbang sebanyak 5
gram, lalu dioleskan pada roti tawar yang telah disediakan per kode sampel
menggunakan pisau plastik, kemudian panelis mengoleskan selai pada roti dan
mengukur panjang oles dengan penggaris (dengan satuan cm) sehingga
didapatkan hasil.
Setelah mendapatkan hasil porositas roti tawar dapat dilihat pada
Gambar 4.14 dan panjang oles selai kulit pisang, data yang didapatkan diuji
dengan pearson correlation yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang lemah arah positif
(menunjukkan arah hubungan yang sama) antara porositas roti tawar dan
panjang oles selai dengan nilai pearson correlation sebesar 0,118 dan tidak ada
hubungan signifikan antara porositas roti tawar dan panjang oles karena p-value
sebesar 0,093 (p-value<0,05) dengan selang kepercayaan 95%. Hal ini
ditunjukkan oleh Gambar 4.15
67
Keterangan:
Kode 121 : kombinasi asam sitrat 0,2% dan sukrosa 50% Kode 141 : kombinasi asam sitrat 0,4% dan sukrosa 50%
Kode 122 : kombinasi asam sitrat 0,2% dan sukrosa 60% Kode 142 : kombinasi asam sitrat 0,4% dan sukrosa 60%
Kode 123 : kombinasi asam sitrat 0,2% dan sukrosa 70% Kode 143 : kombinasi asam sitrat 0,4% dan sukrosa 70%
ID Panelis : Kode nama panelis Porositas Roti Tawar (%) : Hasil porositas roti tawar menggunakan image J
Gambar 4.14 Grafik Hasil Porositas Roti Tawar Panelis antara ID Panelis dan Kode Sampel dari 17 Orang Panelis (α=0,05)
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
NAM HP NSS AES ANA FM BR DAP ASN PD HS KNS PS FAA AA MK EJ
Po
rosi
tas
Ro
ti T
awar
(%
)
ID Panelis
Hasil Porositas Roti Tawar
Kode 121
Kode 121
Kode 122
Kode 122
Kode 123
Kode 123
Kode 141
Kode 141
Kode 142
Kode 142
Kode 143
68
Gambar 4.15 Grafik Scatterplot Hubungan Porositas Roti Tawar dan Panjang Oles
Pada penelitian kali ini, antara porositas roti tawar dan panjang oles
memiliki korelasi yang lemah, disebabkan oleh panelis yang memiliki gaya yang
berbeda-beda dalam cara mengoles sehingga menyebabkan olesan pada roti
juga tidak seragam. Menurut Hootman (1992), referensi atribut yang dimiliki oleh
selai hanya ada daya oles, sehingga saat melatih untuk atribut panjang oles tidak
terdapat cara dan referensi atribut yang pasti, karena setiap panelis memiliki
caranya masing-masing untuk mengoles selai, namun panel leader juga sudah
mengusahakan untuk melatih dan membuat sama antar panelis melalui
penimbangan sampel dan cara penyajian sampel untuk atribut panjang oles.
Sedangkan untuk porositas roti tawar juga tidak bisa terkontrol karena sampel
yang digunakan juga tidak memproduksi sendiri. Namun dengan adanya pori-pori
dalam roti tawar menunjukkan tekstur menjadi lebih lunak, sehingga
memudahkan panelis dalam mengoles selai (Nur’aini, 2011).
4.7.11 Penerimaan dan Kesukaan Panelis pada Selai Kulit Pisang
Pada penilaian atribut untuk penerimaan dan kesukaan panelis dilakukan
dalam empat parameter, yaitu rasa, tekstur, warna, dan keseluruhan. Kemudian
pada setiap kode, ulangan, dan setiap atribut dilakukan analisis data
menggunakan One Proportion Test. Sehingga didapatkan hasil penerimaan
panelis untuk setiap kode dan setiap atribut dari 17 orang panelis dapat dilihat
pada Gambar 4.16 dan kesukaan panelis untuk setiap kode dan setiap atribut
dari 17 orang panelis dapat dilihat pada Gambar 4.17
0,40,30,20,10,0
15,0
12,5
10,0
7,5
5,0
Porositas Roti Tawar (%)
Pan
jan
g O
les
(cm
)
Scatterplot of Porositas Roti Tawar vs Panjang Oles
69
Gambar 4.16 Grafik Penerimaan Panelis Terhadap Selai Kulit Pisang Candi
dari 17 Orang Panelis (α=0,05)
Gambar 4.17 Grafik Kesukaan Panelis Terhadap Selai Kulit Pisang Candi
dari 17 Orang Panelis (α=0,05)
Dari kedua grafik diatas, menyatakan keterangan pada kode 121
merupakan perlakuan asam sitrat 0,2% + gula 50%, kode 122 merupakan
perlakuan asam sitrat 0,2% + gula 60%, kode 123 merupakan perlakuan asam
sitrat 0,2% + gula 70%, kode 141 merupakan perlakuan asam sitrat 0,4% + gula
50%, kode 142 merupakan perlakuan asam sitrat 0,4% + gula 60%, dan kode
143 merupakan perlakuan asam sitrat 0,4% + gula 70%. Untuk keterangan
02468
1012141618
Jum
lah
Pan
elis
Atribut Penilaian
Penerimaan Panelis
121
122
123
141
142
143
02468
1012141618
Jum
lah
Pan
elis
Atribut Penilaian
Kesukaan Panelis
121
122
123
141
142
143
70
rasa1, rasa2, rasa3 merupakan hasil 3 kali ulangan pengisian kuisioner pada
penerimaan dan kesukaan untuk selai kulit pisang candi.
Berdasarkan hasil dari One Proportion test pada penerimaan panelis,
untuk penilaian atribut rasa yang menunjukkan berpengaruh nyata (p-value
<0,05) terdapat pada kode sampel 121, 122, 142, dan 143, untuk penilaian
atribut tekstur yang menunjukkan berpengaruh nyata (p-value <0,05) terdapat
pada kode sampel 122, 123, 141, 142, dan 143, untuk penilaian atribut warna
yang menunjukkan tidak berpengaruh nyata (p-value <0,05) terhadap semua
kode sampel yang berarti semua panelis tidak menerima atribut warna untuk
semua perlakuan selai kulit pisang, untuk penilaian keseluruhan yang
menunjukkan berpengaruh nyata (p-value <0,05) terdapat pada semua kode
sampel yang berarti semua panelis menerima secara keseluruhan untuk semua
perlakuan selai kulit pisang.
Berdasarkan hasil dari One Proportion test pada kesukaan panelis, untuk
penilaian atribut rasa yang menunjukkan berpengaruh nyata (p-value <0,05)
terdapat pada kode sampel 122, 123, 142, dan 143, untuk penilaian atribut
tekstur yang menunjukkan berpengaruh nyata (p-value <0,05) terdapat pada
semua kode sampel yang berarti semua panelis menyukai atribut tekstur untuk
semua perlakuan selai kulit pisang, untuk penilaian atribut warna yang
menunjukkan tidak berpengaruh nyata (p-value <0,05) terhadap semua kode
sampel yang berarti semua panelis tidak menyukai atribut warna untuk semua
perlakuan selai kulit pisang, untuk penilaian keseluruhan yang menunjukkan
berpengaruh nyata (p-value <0,05) terdapat pada semua kode sampel kecuali
kode 121 yang berarti pada perlakuan asam sitrat 0,2% + gula 50% tidak disukai
oleh seluruh panelis.
Menurut Mason dan Nottingham (2002), faktor yang dapat mempengaruhi
respon panelis yang diberikan, salah satunya adalah faktor fisiologis. Pada faktor
fisiologis ini mampu dipengaruhi oleh tingkat kesukaan terhadap sampel,
sehingga pemberian nilai juga didasarkan pada persepsi masing-masing panelis
dalam menyukai dan menerima sesuatu. Dari ketiga faktor antara lain tekstur,
rasa, dan warna pada pengujian penerimaan dan kesukaan yang tidak
memberikan pengaruh nyata adalah warna. Hal ini diduga karena warna yang
dihasilkan oleh selai kulit pisang adalah berwarna gelap, sedangkan menurut
Fatonah (2002), panelis lebih menyukai warna selai yang berwarna cerah.
71
4.8 Hasil Principal Components Analysis (PCA)
Principal Components Analysis (PCA) adalah teknik analisis multivarian
yang dapat digunakan untuk menyederhanakan hubungan antar-variabel
maupun antar-sampel. Analisis ini biasanya digunakan untuk mengetahui
variabel atau sampel yang saling berhubungan sehingga didapatkan besarnya
nilai total principal component (PC). Nilai PC mewakili besar pengaruh antar-
variabel yang ada, semakin besar nilai PC menyatakan pengaruh antarvariabel
semakin besar. Variabel yang dinyatakan berpengaruh saat nilai total PC antara
70, 80, atau 85% (Lawless et al, 2010). Analisis PCA yang digunakan pada
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya hubungan antar-respon
panelis terhadap penilaian atribut yang diujikan secara sensoris. Besarnya nilai
total PC dapat menentukan besarnya hubungan yang dipengaruhi oleh respon
panelis. Grafik loading plot pada PCA dapat dilihat pada Gambar 4.18
Gambar 4.18 Grafik PCA Loading Plot Pada Atribut Sensoris
Berdasarkan data hasil analisis PCA menunjukkan bahwa pada PC1
(sumbu x) sebesar 23,4%, sedangkan PC2 (sumbu y) sebesar 15,2%. Secara
keseluruhan nilai PC sebesar 38,6% yang diperoleh dari jumlah persentase PC1
dan PC2, dimana sisanya adalah faktor eksternal. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat pengaruh untuk setiap atribut. Pada grafik loading plot
diatas dibagi menjadi 4 kuadaran yang dibatasi dari angka 0. Pada PC1, kuadran
0,50,40,30,20,10,0-0,1-0,2-0,3
0,75
0,50
0,25
0,00
-0,25
-0,50
PC1 23,4%
PC
2 1
5,2
%
Warna
Panjang Oles
Daya Oles
Graininess
Firmness
Sepat
Pahit
Asam
Manis
Loading Plot of Manis; ...; Warna
1
2
4
3
72
pertama dipengaruhi oleh atribut sepat, pahit, graininess dan atribut asam, pada
atribut sepat dan pahit yang menunjukkan hubungan berbanding lurus yang
berarti semakin tinggi nilai atribut sepat yang muncul maka semakin tinggi pula
nilai atribut pahit yang muncul, sedangkan pada atribut graininess dan asam
yang menunjukkan hubungan berhimpitan yang berarti memiliki hubungan
korelasi yang kuat antara atribut graininess dan asam. Pada kuadran kedua
dipengaruhi oleh atribut rasa manis, warna, firmness, dan daya oles yang
menunjukkan hubungan berbanding lurus, jika rasa manis semakin tinggi maka
warna juga akan semakin tinggi atau semakin gelap. Hal ini juga didukung oleh
uji fisik, yaitu semakin tinggi konsentrasi gula maka warna yang terbentuk
semakin gelap. Pada kuadran ketiga tidak dipengaruhi oleh atribut. Pada PC2,
kuadran keempat dipengaruhi oleh panjang oles, yang memiliki hubungan
berbanding terbalik dengan atribut manis, jika panjang oles semakin tinggi maka
atribut manis semakin rendah. Hal ini juga didukung oleh uji fisik, yaitu semakin
rendah konsentrasi gula yang ditambahkan maka semakin panjang olesan selai
yang terbentuk.
4.9 Hubungan Antara Parameter Kimia dan Fisik dengan Parameter
Organoleptik
Pada pengujian selai kulit pisang candi perlu dilakukan korelasi antara uji
kimia dan fisik dengan uji organoleptik, untuk mengetahui apakah hasil dari uji
organoleptik yang dilakukan oleh panelis terlatih memiliki korelasi dengan hasil
uji secara fisik dan kimia. Pada pengujian ini dilakukan korelasi antara nilai pH
dan rasa asam, kadar air dan atribut kekokohan, serta panjang oles pada uji fisik
dan panjang oles pada uji organoleptik. Data dari masing-masing uji dilakukan
korelasi menggunakan pearson correlation dengan Minitab 17 yang dapat dilihat
pada Lampiran 12.
Menurut Tanudjaja (2006), untuk pembacaan hasil korelasi dari pearson
correlation, jika nilai pearson correlation diatas 0,5 menunjukkan korelasi yang
cukup kuat, sedangkan dibawah 0,5 menunjukkan korelasi yang lemah. Selain
besar korelasi, tanda korelasi juga berpengaruh pada penafsiran hasil. Untuk
tanda negatif menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, sedangkan
tanda positif menunjukkan adanya arah hubungan yang sama. Untuk pembacaan
p-value dari pearson correlation, jika kurang dari sama dengan 0,05
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan, sedangkan lebih dari
73
0,05 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel x
dan y.
Berdasarkan hasil korelasi antara nilai pH dengan rasa asam dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi cukup lemah dengan arah negatif
(menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan) antara nilai pH dan rasa
asam dengan nilai pearson correlation sebesar -0,912 dan terdapat hubungan
yang signifikan antara nilai pH dan rasa asam karena p-value sebesar 0,031 (p-
value<0,05) dengan selang kepercayaan 95%. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar
4.19
Gambar 4.19 Grafik Scatterplot Hubungan Nilai pH dan Rasa Asam
Berdasarkan hasil korelasi antara kadar air dengan atribut kekokohan
dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi cukup lemah arah negatif
(menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan) antara kadar air dan
kekokohan dengan nilai pearson correlation sebesar -0,976 dan terdapat
hubungan yang signifikan antara nilai pH dan rasa asam karena p-value sebesar
0,005 (p-value<0,05) dengan selang kepercayaan 95%. Hal ini ditunjukkan oleh
Gambar 4.20
5,55,04,54,03,53,02,52,0
5,0
4,9
4,8
4,7
4,6
rasa asam
nil
ai
pH
Scatterplot of nilai pH vs rasa asam
74
Gambar 4.20 Grafik Scatterplot Hubungan Kadar Air dan Kekokohan
Berdasarkan hasil korelasi antara panjang oles pada uji fisik dengan
atribut panjang oles pada uji organoleptik dapat disimpulkan bahwa terdapat
korelasi cukup kuat arah positif (menunjukkan adanya arah hubungan yang
sama) antara panjang oles pada uji fisik dan panjang oles pada uji organoleptik
dengan nilai pearson correlation sebesar 0,759 dan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara panjang oles pada uji fisik dan panjang oles pada uji
organoleptik karena p-value sebesar 0,135 (p-value>0,05) dengan selang
kepercayaan 95%. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 4.21
Gambar 4.21 Grafik Scatterplot Panjang Oles Uji Fisik dan Panjang Oles Uji
Organoleptik
6,46,26,05,85,65,45,25,0
52
50
48
46
44
42
40
kekokohan
kad
ar
air
Scatterplot of kadar air vs kekokohan
9,08,88,68,48,28,0
9,75
9,50
9,25
9,00
8,75
8,50
panjang oles organoleptik
pan
jan
g o
les
fisi
k
Scatterplot of panjang oles fisik vs panjang oles organoleptik
75
4.10 Produk Selai Kulit Pisang Candi Perlakuan Terbaik
Produk selai kulit pisang candi perlakuan terbaik dipilih berdasarkan
karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik dengan menggunakan metode Multiple
Atribute (Zeleny, 1982). Metode ini dilakukan dengan prosedur pembobotan
sesuai nilai ideal pada masing-masing parameter, lalu dihitung jumlah kerapatan
semua parameter (L1, L2, dan L maksimum). Parameter yang digunakan pada
pemilihan perlakuan terbaik yaitu kadar air, pH, total padatan terlarut, penilaian
organoleptik meliputi rasa manis, asam, pahit, sensasi sepat (astringency),
warna, kekokohan (firmness), sensasi berpasir (graininess), daya oles, dan
panjang oles. Pemilihan parameter berdasarkan faktor kepentingan dan nilai
pengharapan yang terbaik dapat dilihat pada Tabel 4.26
Tabel 4.26 Pemilihan Parameter Perlakuan Penambahan Asam Sitrat dan Gula
Berdasarkan Faktor Kepentingan dan Pengharapan dari Nilai Terbaik
Parameter Nilai Pengharapan
Kadar air Nilai Tertinggi
Nilai pH Nilai Tertinggi
Nilai total padatan terlarut Nilai Tertinggi
Rasa manis Nilai Tertinggi
Rasa asam Nilai Tertinggi
Rasa pahit Nilai Tertinggi
Sensasi sepat (astingency) Nilai Tertinggi
Warna Nilai Tertinggi
Kekokohan (firmness) Nilai Tertinggi
Sensasi berpasir (graininess) Nilai Tertinggi
Daya oles Nilai Tertinggi
Panjang oles Nilai Tertinggi
Dari nilai pengharapan ini didapatkan nilai perlakuan terbaik yang dapat
dilihat pada Tabel 4.27
Tabel 4.27 Data hasil analisis metode multiple attribute
Parameter A1G1 A1G2 A1G3 A2G1 A2G2 A2G3
L1 -0,091 -0,151 -0,477 -0,096 -0,017 -0,009
L2 0,0031 0,0071 0,1202 0,0044 0,0008 0,0014
Lmaks 0,0938 0,0938 0,0938 0,0938 0,0938 0,0938
Total 0,01 -0,05 -0,26 0,00 0,08 0,09
76
Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik dengan menggunakan metode
multiple attribute (Zeleny, 1982). Penetapan perlakuan terbaik ini berdasarkan
hasil penjumlahan L1, L2, Lmaks kemudian dipilih nilai total terendah.
Berdasarkan perhitungan menunjukkan bahwa selai kulit pisang candi dengan
perlakuan terbaik terdapat pada kombinasi asam sitrat 0,2% dengan gula 70%.
Selai kulit pisang candi dengan penambahan asam sitrat 0,2% dan gula 70%
memiliki kadar air 48,80%, nilai pH 4,97, nilai total padatan terlarut 45,100Brix, uji
warna meliputi kecerahan 35,09; kemerahan 1,61; kekuningan 9,41, panjang
oles yang dilakukan oleh peneliti sebesar 9,3 cm, sedangkan uji organoleptik
pada atribut manis 8,82745; rasa asam 2,36667; sensasi sepat (astringency)
3,44118; warna 8,90588; kekokohan (firmness) 5,45686; daya oles 10,5078; dan
panjang oles 8,43137. Hasil analisis metode multiple attribute dapat dilihat pada
Lampiran 11.
4.11 Perbandingan Hasil Selai Kulit Pisang Candi Terbaik dengan Selai
Komersial
Hasil selai kulit pisang candi terbaik dilakukan perbandingan hasil dengan
selai komersial melalui uji T menggunakan minitab 17 dapat dilihat pada
Lampiran 13. Berikut adalah hasil uji t antara selai kulit pisang candi terbaik dan
selai komersial
Tabel 4.28 Data Hasil Analisis Uji T Antara Selai Kulit Pisang Candi Terbaik dengan
Selai Komersial
Parameter P-value
Kadar air 0,000
Nilai pH 0,007
Total Padatan Terlarut 0,005
Rerata nilai kadar air selai kulit pisang candi sebesar 48,80%, sementara
pada selai komersial memiliki nilai kadar air lebih rendah sebesar 33,20%.
Berdasarkan hasil uji t (α=0,05) diantara selai kulit pisang candi terbaik dan selai
komersial menghasilkan p-value sebesar 0,000 (p-value <0,05) sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat perbedaan kadar air yang signifikan antara selai kulit
pisang candi dan selai komersial. Sampel selai kulit pisang candi memiliki kadar
air lebih tinggi dibandingkan selai komersial. Hal ini diduga karena adanya
kandungan air dalam selai kulit pisang candi belum teruapkan saat analisis,
77
kadar air dari bahan baku kulit pisang candi juga tergolong tinggi (sebesar
85,31%), sehingga kadar air dari selai kulit pisang candi cenderung lebih tinggi
dibandingkan selai komersial. Adapun menurut Potter dan Hotchkiss (1995)
bahwa selai tergolong pada produk pangan semi basah yang umumnya memiliki
kadar air sebesar 20-50% yang biasanya lebih rendah daripada kadar air pada
bahan baku alaminya.
Rerata nilai pH selai kulit pisang candi sebesar 4,97, sementara pada
selai komersial lebih rendah sebesar 3,05. Berdasarkan hasil uji t (α=0,05)
diantara selai kulit pisang candi terbaik dan selai komersial menghasilkan p-value
sebesar 0,007 (p-value <0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan nilai pH yang signifikan antara selai kulit pisang candi dan selai
komersial. Sampel selai kulit pisang candi memiliki nilai pH lebih tinggi
dibandingkan selai komersial. Hal ini diduga karena bahan baku kulit pisang
candi memiliki nilai pH sebesar 5 (Salisbury, 2005) sehingga kondisi optimum
pembentukan selai agak sulit dicapai, kecuali dengan penambahan konsentrasi
asam sitrat yang lebih tinggi. Menurut FAO, untuk pembentukan gel selai
dibutuhkan pH berkisar 2,5 – 6,5. Penambahan asam sitrat dengan jumlah
tertentu juga dipengaruhi oleh jenis buah dan jumlah konsentrasi gula (Rosyida
dan Sulandari, 2014).
Rerata nilai total padatan terlarut selai kulit pisang candi sebesar
45,100Brix, sementara pada selai komersial lebih rendah sebesar 46,500Brix.
Berdasarkan hasil uji t (α=0,05) diantara selai kulit pisang candi terbaik dan selai
komersial menghasilkan p-value sebesar 0,005 (p-value <0,05) sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat perbedaan nilai total padatan terlarut yang signifikan
antara selai kulit pisang candi dan selai komersial. Sampel selai kulit pisang
candi memiliki nilai total padatan terlarut lebih rendah dibandingkan selai
komersial. Berdasarkan SNI (2008), syarat mutu total padatan terlarut pada selai
minimum 65%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut dari selai
kulit pisang candi dan selai komersial belum memenuhi syarat mutu pada SNI.
Hal ini diduga karena adanya kandungan pektin dan penambahan sukrosa pada
selai kulit pisang candi. Pektin dan sukrosa merupakan komponen penyusun dari
total padatan terlarut (Farizal dan Fadil, 2014). Hal ini juga didukung oleh
Winarno (2002) bahwa total padatan terlarut pada suatu bahan makanan sangat
dipengaruhi oleh pektin yang terlarut.
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Penambahan konsentrasi yang berbeda dari asam sitrat dan sukrosa
memberikan pengaruh nyata terhadap karakteristik kimia, antara lain
terhadap kadar air, total padatan terlarut. Sedangkan terhadap karakteristik
fisik, antara lain warna dan panjang oles. Pada karakteristik organoleptik
yang tidak berpengaruh nyata yaitu pada atribut rasa pahit dan sensasi
berpasir (graininess), sedangkan atribut rasa manis, asam, sensasi sepat
(astringency), warna, kekokohan (firmness), daya oles, dan panjang oles
memberikan pengaruh nyata terhadap penambahan konsentrasi yang
berbeda dari asam sitrat dan sukrosa pada selai kulit pisang candi.
2. Pemilihan perlakuan terbaik yang menggunakan metode Zeleny didapatkan
pada kombinasi penambahan asam sitrat dengan konsentrasi 0,2% dan
sukrosa dengan konsentrasi 70%.
5.2 Saran
1. Pada pengujian organoleptik pada parameter penerimaan dan kesukaan
panelis terhadap selai kulit pisang candi kurang menyukai dan menerima dari
warna selai kulit pisang candi, sehingga perlu dilakukan penambahan warna
dari bahan alami atau bahan tambahan pangan yang diijinkan untuk
menambah penilaian kesukaan dan penerimaan konsumen.
2. Perlu diuji daya simpan secara berkala untuk mengetahui umur simpan dari
selai kulit pisang candi tersebut.
3. Perlu adanya uji kadar total gula pada selai kulit pisang candi dan kadar
pektin pada kulit pisang candi.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ahda, Y dan Berry, S.H. 2008. Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin
dengan Metode Ekstraksi Fakultas Teknik Univeritas Diponegoro.
Semarang
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis, 15th Edition. Edited by Helrich.
Washington DC
Apriantono, A, dkk. 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Australian Standard®. 1995. AS 2542.1.3-1995. Sensory Analysis of Foods.
Method 1.3 : General Guide to Methodology-Selection of Assesors. SAI
Global
Badan Pusat Statistik. 2017. Produksi Buah-Buahan di Indonesia. http://bps.go.id
diakses tanggal 3 Januari 2017 pukul 10.50 WIB
Bariroh, Umi. 2007. Karakterisasi Jam Nangka Pada Berbagai Variasi Jumlah
Penambahan Gula dan Asam Sitrat Pada Pemasakan. Skripsi. Universitas
Jember. Jember
Bolenz, et al. 2006. The Broader Usage of Sugars and Fillers in Milk Chocolate
Made Possible By The New EC Cocoa Directive. International Journal of
Food Science and Technology 41: 45-55
Brock, T.D. Madigan, M.T. 2007. Biology of Microorganisms Sixth Edition.
Prentice Hall International. New York
80
Cecilia G. Riveros. 2009. Chemical Composition and Sensory Analysis of
Peanut Pastes Elaborated with High Oleic and Regular Peanuts From
Argentina. Grasas Y Aceites, 60(4) ISSN: 0017-3495. Argentina
Chan dan Phang. 2009. Sensory Descriptive Analysis and Consumer
Acceptability of Original “Kaya” and “Kaya” Partially Substituted with
Inulin. International Food Research Journal 16: 483-492. Malaysia
Choi, S.E. 2010. Sensory Evaluation Chapter 3. Jones & Barlett Learning. LCC
Chu, C.A. and Resurreccion. 2005. Sensory Profiling and Characterization of
Chocolate Peanut Spread Using Response Surface Methodology.
Journal of Sensory Studies 20: 243-274
Codex STAN. 2009. CODEX STAN 296-2009 Standard For Jams, Jellies and
Marmalades
Cowart. 1989. Relationship Between Taste and Smell Across The Adult Life
Span. Journal of Sensory Studies 561: 39-55. New York
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan : Edisi Ketiga.
Diterjemahkan dari Food Preservation Technology oleh M. Muljohardjo.
Indonesia Press. Jakarta
Dewati. 2008. Limbah Kulit Pisang Kepok sebagai Bahan Baku Pembuatan
Etanol. UPN Press. Surabaya
Dewi, Rina P. 2014. Pemanfaatan Kulit Pisang Ambon (Musa paradisiaca)
sebagai Pektin pada Selai Kacang Hijau (Phaseolus radiatus). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Dielman, T.E. 1991. Applied Regression Analysis for Bussiness and
Economics. PWs KENT Publishing Company. Boston
81
Drake, M. 2007. Sensory Analysis of Dairy Foods. Journal of Dairy Science.
Engelen, L., Wijk, R.A.d, et al. 2005. Relating Particles and Texture Perception.
Physiology & Behavior 86: 111-117
Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisan (Kajian Jenis
Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam). Skripsi. THP UB. Malang
Estiasih dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta
Fahrizal dan Fhadil. 2014. Kajian Fisiko Kimia dan Daya Terima Organoleptik
Selali Nenas yang Menggunakan Pektin dari Limbah Kulit Kakao.
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
Fatonah, W. 2002. Optimasi Produksi Selai dengan Bahan Baku Ubi Jalar
Cilembu. IPB. Bogor
Ferdiansyah, R. 2016. Profil Tekstur dan Sensori Metode Spektrum Terhadap
Bakso Nabati dengan Penambahan Karageenan. Skripsi. Universitas
Brawijaya. Malang
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. BP
Undip. Semarang
Gibson, L.L, L.E Jeremiah, and K.L. Burwash. 1997. Descriptive Sensory
Analysis: The Profiling Approach. Technical Bulletin 1997-2E, Public
Works and Government Services. Canada
Green et al. 2010. Taste Mixture Interactions : Suppression, Additivity, and The
Predominance of Sweetness. Physiol. Behav 101: 731-737
Guyton, Arthur C. Dan John E. 2001. Fisiologi Kedokteran, Edisi Keduabelas.
Terjemahan oleh Ermita I, Ibrahim Ilyas. 2014. Elsevier Pte Ltd. Singapore
82
Harrison dan Andress. 2013. Preserving Food: Jams and Jellies. The University
Of Georgia Ft. Valley State University. US
Handajani, S. 1994. Pasca Panen Hasil Pertanian. Sebelas Maret University Press.
Surakarta
Hardita. 2015. Pengaruh Rasio Daging dan Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus) Terhadap Karakteristik Selai. Skripsi. Universitas Udayana.
Bali
Hartati, M.E. 2010. Pengaruh Penggunaan Madu pada Pembuatan Selai Pepaya.
J.Berita Libang Industri 45(3): 29-37
Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat –
Pektin Jeruk. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra
Barat. Jakarta
Herbstreith dan Fox. 2005. Jams, Jellies and Marmalades. Corporate Group.
Germany
Hootman, Robert C. 1992. Manual Descriptive Analysis Testing For Sensory
Evaluation. ASTM Publication Code Number (PCN) 28-013092-36.
Philadelphia
Ibrahim, Salma I.M., Torsten C. Schmidt, Samy M. Abd El-azeem. 2014. Banana
Peel as Alternative Bio-sorbent Material for Removal of 2-Chlorophenol
from Water. University of DuisburgEssen, Essen, Germany and Fayoum
University, Fayoum, Egypt.
Ilhamadi, F. 2016. Pendugaan Umur Simpan Bumbu Rujak Cingur Instan
Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dengan
83
Pendekatan Arrhenius dan Metode Sensori Spektrum. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang
Kaban, I.M dkk. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa
paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU, Article in press. Universitas Sumatra
Utara. Medan
Kohyama, K., Fumiyo Hayakawa, et al. 2016. Sucrose Release from Agar Gels
and Sensory Perceived Sweetness. National Food Research Institute.
Japan
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Roti. http://eBookPangan.com Diakses
pada tanggal 4 Januari 2017 pukul 10.30 WIB
Laaksonen, O. 2011. Astringent Food Compounds and Their Interactions with
Taste Properties. Department of Biochemistry and Food Chemistry.
University of Turku. Finland
Lawless dan Hildegrade. 2010. Sensory Evaluation of Food 2nd Edition. Springer
Science & Bussiness Media. New York
Levaj et al. 2010. Gel Strength and Sensory Attributes of Fig (Ficus carica)
Jams and Preserves as Influenced by Ripeness. Journal of Food Science
Vol 75, Nr.2
Lucak, C.L. 2008. Determination Of Various Palate Cleanser Effacacies For
Representative Food Types. Thesis. Science and Technology Ohio State
University.
Mason, R dan Nottingham. 2002. Food 3007 and Food 7012 : Sensory Evaluation
Manual. Centre for Food Technology, DPI, Bristane
Matondang, Deannisa, dkk. 2014. Study Pembuatan Selai Cokelat Kulit Pisang
Barangan. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, Vol 2 No.2. Medan
84
May, Colin D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production and Application.
Carbohydrate Polymers 79-99. UK
Mc Bride dan Mac Fie. 1990. Psychological Basis of Sensory Evaluation. Elsivier
Science Publisher Ltd. New York
Meilgaard, M.C., et.al. 2007. Sensory Evaluation Techniques, Forth Edition. CRC
Press. USA.
Meilina, H. 2003. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica). Tesis.
IPB. Bogor
Mojet, Jos, Elly Christ, et.al. 2001. Taste Perception with Age : Generic or
Spesific Iosses in Threshold Sensitivity to The Five Basic Tastes?
Chem. Senses 26: 845-860, 2001
Munadjim. 1984. Teknologi Pengolahan Pisang. PT Gramedia. Jakarta
Murtiningsih dan Pekerti. 1988. Pengaruh Umur Petik Terhadap Mutu Buah
Pisang Tanduk. Bull. Penel 3(1): 33-37
National Health and Nutrition Examination Survey. 2013. Taste and Smell
Examination Component Manual. Create Space Independent Publishing
Platform
Nur’aini. 2011. Aplikasi Millet (Pennisetum Spp) Merah dan Millet Kuning
Sebagai Subtitusi Terigu dalam Pembuatan Roti Tawar : Evaluasi Sifat
Sensoris dan Fisikokimia. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Nurhayati, dkk. 2014. Karakteristik Fisikokimia Tepung Kulit Pisang Jenis
Banana. Jurnal Agroteknologi Vol. 8 No.1 51-54. Jember
Nurlatifah, Annisa. 2015. Pendugaan Umur Simpan Sweet Chilli Sauce
Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dengan
85
Pendekatan Arrhenius dan Metode Sensori Spektrum. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang
Prissilia, dkk. 2014. Kualitas Selai Mangga Kweni (Mangifera odorata Griff)
Rendah Kalori dengan Variasi Rebaudiosida A. Skripsi. Univeritas Atma
Jaya. Yogyakarta
Purves, Augustine, et al. 2001. Neuroscience 2nd Edition. Sinauer Associates.
Sunderland
Pusat Studi Ketahanan Pangan. 2012. Pembuatan Jam. Universitas Udayana. Bali
Rukmana. 1999. Usaha Tani Pisang. Kanisius. Yogyakarta
Sekuler, Robert. 2004. Texture and Mouthfeel : Making Rheology Real. Weeks
Publishing Company Northbrook, IL 60062
Setianingsih, dkk. 2010. Analisis Sensori Pangan Untuk Industri Pangan dan
Agro. IPB Press. Bogor
Shallenberger, R.S. 1997. Taste Recognition Chemistry. Pure & appl Chem Vol 69
No 4: 659-666
Shimada, et al. 1998. Effect of Physical Properties of Food Particles on The
Degree of Graininess Perceived in The Mouth. University Ochanomizu.
Japan
Standar Nasional Indonesia. 2008. Selai Buah. Badan Standardisasi Nasional SNI
03746: 2008. Jakarta
Sugawara, et.al. 2009. Use of Human Senses as Sensors. Sensors 9:3184-3204.
http://dx.doi.org diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 10.54 WIB
86
Susanti, Lina. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap
Kualitas Nata. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang
Susanto, T dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu,
Surabaya
Sutanto dan Edison. 2001. Pedoman Karakterisasi, Evaluasi Kultivar Pisang.
Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok
Sowalsky dan Noble. 1998.Comparison of The Effects of Concentration, pH, and
Anion Species on Astringency and Sourness of Organic Acids. Chem
Senses 23: 343-349 University of California. USA
Szczesniak, A.S. 2002. Texture is a Sensory Property. Elsevier. Food Quality and
Preference 13 : 215 – 225
Tohuloaula, A. 2013. Karakterisasi Pektin dengan Memanfaatkan Limbah Kulit
Pisang Menggunakan Metode Ekstrasi. Jusrusanas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat. Banjarmasin
Tajoda, N.H., Kaurian K.C and Bredenkamp M.B. 2013. Reduction of Cholesterol
and Triglyserides in Volunteers Using Lemon and Apple. Department of
Science Asia-Pasific International University. Thailand
Tarigan, dkk. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja (Musa
sapientum). Jurnal Teknik Kimia Vol.1 No.2. Universitas Sumatera Utara.
Medan
Wachida, N. 2013. Pectin Extraction from Sweet Orange Peel (Citrus sinensi
osbeck) (Study of Maturity Level and Precipitate Agent). Jurusan THP
UB. Malang
Weiffenbach et.al,. 1982. Taste Thresholds : Quality Spesific Variation With
Human Aging. Journal Gerontol 37: 372-377
87
Winarno, F.G. 2001.Kimia Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Yamagata dan Sugawara. 2014. Sensory Evaluation Spectrum Method as a
Descriptive Sensory Analysis. Psychology 5:1591-1610. http://dx.doi.org
diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 05.30 WIB
Yolanda, Stevany. 2015. Uji Ambang Mutlak Lima Rasa Dasar Pada Sampel
Penduduk Jawa Bagian Barat, Tengah, dan Timur dengan Metode 3-
AFC (Alternative Forced Choice). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang
Yulistiani, dkk. 2014. Peran Pektin dan Sukrosa Pada Selai Ubi Jalar Ungu. UPN.
Surabaya
Zeleny. 1982. Multiple Criteria Decision Making. Mc Graw Hill Book Company.
New York
Zuhra, C.F. 2006. Flavor (Cita Rasa). Karya Ilmiah. Universitas Sumatera
Departemen Kimia. Medan
88
LAMPIRAN
1. Prosedur Analisis Fisik, Kimia, dan Organoleptik
1.1 Referensi Atribut Selai Kulit Pisang Candi
Atributa Deskripsi Referensi Intensitasb
Rasa Manisc Citarasa yang
ditimbulkan oleh sukrosa
Larutan sukrosa 10% 10
Rasa Asamc Citarasa yang
ditimbulkan oleh asam
sitrat
Larutan asam sitrat
0,15%
10
Rasa Pahitc Citarasa yang
ditimbulkan oleh kafein
Larutan kafein 0,05% 10
Sensasi Sepat
(Astringency)c
Sensasi kering pada
permukaan lidah
8 g kopi dalam 250 ml
air distilasi
6
Kekokohan
(Firmness)
Gaya yang dibutuhkan
untuk memadatkan
sampel antara lidah dan
langit-langit
¼ sendok makan
peanut butterd
11
Sensasi Berpasir
(Graininess)d
Tingkat sampel
mengandung serat yang
disebabkan permukaan
partikel yang kecil
Rendah : topping moka
Tinggi : peanut butter
Warnae Intensitas atau kekuatan
warna dari cerah hingga
gelap
Cerah : peanut butter
Gelap : topping moka
Daya Olesf Kemudahan penyebaran
sampel pada roti
Menggunakan pisau
untuk oles sampel
sebanyak 5 gram pada
1 lembar roti (2x3 inch),
peanut butter
a atribut dpilih berdasarkan kebutuhan penelitian
89
b intensitas berdasarkan 15 cm skala terstruktur
c Referensi dari Cecilia G. et.al. (2009)
d Referensi dari Sekuler (2004)
d Referensi dari Meilgaard, et.al. (2007)
e Referensi dari Gibson, et.al. (1997)
f Referensi dari Chu dan Resurreccion (2005)
1.2 Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1990)
Sampel sebesar 1 gram ditimbang ke dalam cawan yang telah diketahui
beratnya
Sampel dikeringkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 5 jam
Sampel didinginan dalam desikator, kemudian ditimbang
Sampel dipanaskan kembali dalam oven selama 3 menit, didinginkan dalam
desikator dan ditimbang kembai. Perlakuan yang sama dilakukan kembali
hingga tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari
0,2 mg)
Pengurangan berat merupakan hasil kandungan air yang terdapat dalam
bahan. Penghitungan kadar air berdasarkan berat kering menggunakan
rumus:
1.3 Analisis pH dengan pH Meter (Apriantono dkk, 1989)
Sampel yang telah dihomogenkan diambil kurang lebih 30 ml dan
ditempatkan pada gelas piala 50 ml
pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan pH 7, lalu
dibersihkan dengan aquades
dilakukan pengukuran sampel
setiap kali akan mengukur pH sampel yang lain, sebelumnya probe
dibersihkan dengan aquades terlebih dahulu
1.4 Analisis Warna Metode L*a*b* Hunter (Yuwono dan Susanto, 1998)
Menentukan skala warna berdasarkan standar warna yang telah dilakukan
dengan alat ukur colorimeter dengan tahapan sebagai berikut:
90
Menyiapkan sampel dalam plastic bening.
Menghidupkan color reader
Menentukan target pembacaan L*, a*,b*
L: parameter kecerahan (lightness)
a: koordinat kromositas
b: koordinat kromositas
Mengukur warnanya
1.5 Analisis Tekstur dengan Tensile Strength (Midayanto, 2014)
Alat tensile strength dinyalakan dan tunggu 5 menit.
Bahan yang diukur diletakkan tepat di bawah jarum alat. Beban dilepaskan
lalu skala penunjuk dibaca setelah alat berhenti
Nilai yang tercantum pada monitor merupakan nilai “gel strength” (kekerasan)
yang dinyatakan dalam satuan Newton ( N )
1.6 Analisis Daya Oles (Yuwono dan Tri, 1998)
Siapkan 2 lembar kaca dengan ketebalan 2 mm, panjang 20 cm, lebar 5cm
direkatkan pada bidang oles (kaca) sehingga jarak antar dua lembar kaca
tersebut 2 cm.
Sampel sebanyak 3 gram diratakan sepanjang 2 cm pada ujung pisau oles
Atur kedua lembar kaca tersebut dengan selotip papan
Ambil sampel dengan pisau oles
Oleskan sampel dengan pisau oles
Oleskan sampel pada papan oles hingga jarak terjauh dapat tercapai
Jarak terjauh adalah jarak yang dapat dicapai sampel tanpa terputusnya
olesan (daya oles = jarak terjauh)
1.7 Analisa Total Padatan Terlarut (Apriantono dkk, 1989)
Ambil bahan yang akan diukur dengan pipet tetes dan diletakkan diatas
prisma refraktometer
Baca skala yang tertera pada refraktometer
91
Tanggal Uji :
Nama :
Kode Sampel :
Produk : Selai Kulit Pisang
1. Rasa Manis
2. Rasa Asam
3. Rasa Pahit
4. Sensasi Sepat (Astringency)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tidak
Manis
Sangat
Manis
Tidak
Asam
Sangat
Asam
Tidak
Pahit
Sangat
Pahit
Sangat
Sepat
Tidak
Sepat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
92
5. Warna
6. Sensasi Berpasir (graininess)
7. Kekokohan (firmness)
8. Daya Oles
9. Daya Oles = ................. cm
Sangat
Mudah
dioles
Sangat
Cerah
Sangat
Gelap
Tidak
Berpasir
Sangat
Berpasir
Sangat
Lembek
Sangat
Kokoh
Sangat
Sulit
dioles
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
93
UJI PENERIMAAN KESELURUHAN
Tanggal Uji :
Nama :
Kode sampel :
Produk : Selai Kulit Pisang
1. Berdasarkan masing-masing faktor dibawah ini, Apakah anda dapat menerima
kode sampel produk ini ?
Rasa : [ ] Ya [ ] Tidak
Tekstur : [ ] Ya [ ] Tidak
Warna : [ ] Ya [ ] Tidak
2. Secara keseluruhan, apakah anda dapat menerima produk dengan kode sampel
ini?
[ ] Ya [ ] Tidak
Kritik dan saran :
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
…………................................................................................................................................
............................................................................................................................................
UJI KESUKAAN KESELURUHAN
Tanggal Uji :
Nama :
Kode sampel :
Produk : Selai Kulit Pisang
1. Berdasarkan masing-masing faktor dibawah ini, Apakah anda dapat menyukai
kode sampel produk ini ?
Rasa : [ ] Ya [ ] Tidak
Tekstur : [ ] Ya [ ] Tidak
Warna : [ ] Ya [ ] Tidak
2. Secara keseluruhan, apakah anda dapat menyukai produk dengan kode sampel
ini?
[ ] Ya [ ] Tidak
Kritik dan saran :
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
…………................................................................................................................................
............................................................................................................................................
94
2. Hasil Analisis Sidik Ragam Uji Fisik dan Kimia
KADAR AIR Analysis of Variance for KADAR AIR, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 291,098 291,098 291,098 507,60 0,000
faktor2 2 56,980 56,980 28,490 49,68 0,000
ulangan 2 2,805 2,805 1,403 2,45 0,137
faktor1*faktor2 2 2,634 2,634 1,317 2,30 0,151
Error 10 5,735 5,735 0,573
Total 17 359,253
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A1 G1 3 53,55 A
A1 G2 3 50,77 B
A1 G3 3 48,80 B
A2 G1 3 44,61 C
A2 G2 3 43,70 C
A2 G3 3 40,67 D
Means that do not share a letter are significantly different.
NILAI pH Analysis of Variance for pH, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 0,06125 0,06125 0,06125 4,05 0,072
faktor2 2 0,20028 0,20028 0,10014 6,61 0,015
ulangan 2 0,04194 0,04194 0,02097 1,39 0,294
faktor1*faktor2 2 0,00750 0,00750 0,00375 0,25 0,785
Error 10 0,15139 0,15139 0,01514
Total 17 0,46236
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A1 G3 3 4,950 A
A1 G2 3 4,883 A
A2 G3 3 4,833 A
A2 G2 3 4,817 A
A1 G1 3 4,733 A
A2 G1 3 4,567 A
95
Means that do not share a letter are significantly different.
TOTAL PADATAN TERLARUT Analysis of Variance for TPT, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 630,12 630,12 630,12 1262,21 0,000
faktor2 2 171,27 171,27 85,64 171,54 0,000
ulangan 2 1,49 1,49 0,74 1,49 0,271
faktor1*faktor2 2 0,02 0,02 0,01 0,02 0,977
Error 10 4,99 4,99 0,50
Total 17 807,90
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A2 G3 3 56,90 A
A2 G2 3 55,07 A
A2 G1 3 49,60 B
A1 G3 3 45,10 C
A1 G2 3 43,13 C
A1 G1 3 37,83 D
Means that do not share a letter are significantly different.
96
WARNA – KECERAHAN Analysis of Variance for KECERAHAN, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 0,458 0,458 0,458 1,31 0,279
faktor2 2 118,808 118,808 59,404 169,80 0,000
ulangan 2 2,522 2,522 1,261 3,60 0,066
faktor1*faktor2 2 10,024 10,024 5,012 14,33 0,001
Error 10 3,498 3,498 0,350
Total 17 135,310
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A1 G1 3 40,64 A
A2 G1 3 40,04 A
A2 G2 3 37,41 B
A1 G2 3 35,78 B C
A1 G3 3 35,09 C
A2 G3 3 33,10 D
Means that do not share a letter are significantly different.
WARNA-KEKUNINGAN Analysis of Variance for KEKUNINGAN, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 0,871 0,871 0,871 2,91 0,119
faktor2 2 79,983 79,983 39,992 133,46 0,000
ulangan 2 1,352 1,352 0,676 2,26 0,155
faktor1*faktor2 2 6,843 6,843 3,422 11,42 0,003
Error 10 2,997 2,997 0,300
Total 17 92,046
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A2 G1 3 15,167 A
A1 G1 3 12,990 B
A1 G2 3 10,480 C
A2 G2 3 10,190 C
A1 G3 3 9,410 C
A2 G3 3 8,843 C
Means that do not share a letter are significantly different.
97
WARNA – KEMERAHAN Analysis of Variance for KEMERAHAN, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 0,02347 0,02347 0,02347 0,33 0,577
faktor2 2 2,84541 2,84541 1,42271 20,17 0,000
ulangan 2 0,09568 0,09568 0,04784 0,68 0,529
faktor1*faktor2 2 0,17534 0,17534 0,08767 1,24 0,329
Error 10 0,70519 0,70519 0,07052
Total 17 3,84509
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A2 G1 3 2,487 A
A1 G1 3 2,480 A
A2 G2 3 2,410 A B
A1 G2 3 2,070 A B C
A1 G3 3 1,610 B C
A2 G3 3 1,480 C
Means that do not share a letter are significantly different.
98
PANJANG OLES Analysis of Variance for PANJANG, using Adjusted SS for Tests
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
faktor1 1 3,87347 3,87347 3,87347 93,71 0,000
faktor2 2 0,69250 0,69250 0,34625 8,38 0,007
ulangan 2 0,25333 0,25333 0,12667 3,06 0,092
faktor1*faktor2 2 0,05361 0,05361 0,02681 0,65 0,543
Error 10 0,41333 0,41333 0,04133
Total 17 5,28625
Grouping Information Using Bonferroni Method and 95,0% Confidence
faktor1 faktor2 N Mean Grouping
A1 G1 3 9,833 A
A1 G2 3 9,733 A
A1 G3 3 9,300 A B
A2 G1 3 8,917 B C
A2 G2 3 8,667 B C
A2 G3 3 8,500 C
Means that do not share a letter are significantly different.
99
3. Data Diri Panelis
Panelis ID
Jenis Kelamin Suku Pendidikan terakhir Usia Pekerjaan
Suka selai
Selai sering dikonsumsi Frekuensi (Seminggu)
KNS P Dayak SMA / Sederajat 19 Mahasiswa/i Ya Kacang Jarang
PS P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Tidak Cokelat Sangat Jarang
HS P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
RFA P Jawa SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
BR L Jawa SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Kacang Sangat Jarang
TH P Batak SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
MT P Jawa SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Buah Sering
NSS P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
AP L Batak SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
KK P Melayu SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Kacang Jarang
MC L Jawa SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Buah Sangat Jarang
RJ P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Cukup
AES P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
HP P Jawa SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Cokelat Jarang
AA P Ambon, Flores SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Jarang
DC P Jawa SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Tidak Cokelat Sangat Jarang
ARS P Jawa SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
NAM P Sunda SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Kacang Sangat Jarang
EJ P Sunda, Betawi SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Cukup
ANA P Jawa SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Buah Jarang
AW P Jawa SMA / Sederajat 20 Mahasiswa/i Ya Cokelat Jarang
MK P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
DAP P Jawa SMA / Sederajat 19 Mahasiswa/i Ya Buah Jarang
FAA P Jawa SMA / Sederajat 18 Mahasiswa/i Ya Buah Jarang
AP P Jawa Diploma 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
PD P Sunda Diploma 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Jarang
FM P Arab Jawa SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Jarang
NTP P Aceh SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
ASN P Jawa SMA / Sederajat 21 Mahasiswa/i Ya Buah Cukup
KP L Cina SMA / Sederajat 22 Mahasiswa/i Ya Cokelat Sangat Jarang
100
4. Kuisioner Wawancara dan Persetujuan
Nama :
Pertanyaan Keterangan Assesment
Identitas diri
Intensitas konsumsi selai
- Panelis diharapkan
menjelaskan kepada panel
leader mengenai seberapa
seringnya konsumsi selai
perminggu
- Berapa kali sehari konsumsi
selai panelis
Pengetahuan selai
- Panelis diharapkan dapat
menjelaskan hal yang
mendasar pengetahuan
tentang selai. For ex:
pengertian selai dan jenis
selai
Riwayat kesehatan - Adanya alergi atau tidak,
riwayat penyakit
RAHASIA
101
Lembar Persetujuan sebagai Panelis dalam Penelitian Sensori
Judul Penelitian : Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Sukrosa dan Asam
Sitrat pada Selai Kulit Pisang Candi (Musa paradisiaca)
Terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Organoleptik dengan
Metode Spektrum
Peneliti :
Ketua : Kiki Fibrianto, S.TP., M. Phil., Ph.D
Anggota : Marisa Anggara
Kontak : 085536857664 – [email protected]
Saya adalah salah satu mahasiswa/i Universitas Brawijaya dengan
kisaran usia 18-25 tahun. Apabila saya memiliki gangguan kesehatan berupa
alergi terhadap bahan pangan tertentu atau yang diujikan, maka saya akan
menginformasikannya sebelum penelitian berlangsung.
Saya telah mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
penelitian dan telah mendapatkan informasi yang jelas. Oleh karena itu, saya
akan mengikuti segala peraturan dan instruksi yang diberikan tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun.
Saya bersedia untuk berpartisipasi menjadi panelis dalam penelitian yang
dilakukan. Sebagai panelis, saya akan mengikuti penelitian yang berlangsung
dari awal hingga akhir penelitian sesuai dengan kesepakatan dengan panel
leader. Selama penelitian berlangsung, saya akan memberikan informasi yang
diperlukan dengan penuh kejujuran.
Saya mengerti apabila semua informasi pada penelitian ini sangat penting
dan rahasia, sehingga saya bersedia ikut serta dalam menjaga keamanannya.
Saya telah membaca dengan baik lembar Persetujuan sebagai Panelis
dan telah memahami mengenai keterlibatan sebagai panelis sensori.
Tanggal :
Tanggal :
Nama Peneliti
Nama Panelis
Marisa Anggara
…………………
102
KUISIONER PENELITIAN ATRIBUT SENSORI SELAI KULIT PISANG
Hari, Tanggal : ...................................................
Nama Lengkap : ...................................................
Jenis Kelamin : Laki-laki Wanita
No. Telp. : ...................................................
INSTRUKSI : Pilihlah jawaban pada setiap pertanyaan dengan memberikan tanda centang (√) pada jawaban yang Anda pilih atau tuliskan jawaban anda pada bagian yang disediakan.
1. Anda termasuk ke dalam suku :
Jawa Batak
Sunda Dayak
Betawi Lainnya
2. Pendidikan terakhir anda adalah
SMP atau sederajat
SMA atau sederajat
Sarjana
Pasca Sarjana
Diploma
Lainnya
3. Berapakah usia Anda saat ini?
16 - 18 tahun
19 - 21 tahun
22 - 24 tahun
> 24 tahun
4. Pekerjaan utama Anda saat ini :
Mahasiswa/i
Pegawai Negeri
Pegawai Swasta
Tidak bekerja
Lainnya, .................
5. Apakah Anda suka mengonsumsi
selai? Ya Tidak
6. Dari jenis selai dibawah ini, manakah
yang paling sering anda konsumsi?
Selai buah seperti strawberry,
blueberry, nanas
Selai kacang
Selai cokelat
Selai bunga seperti mawar
7. Seberapa sering Anda mengonsumsi
selai?
Sangat jarang (kurang dari satu
kali seminggu)
Jarang (kurang dari tiga kali
seminggu)
Cukup (tiga kali seminggu)
Sering (empat sampai tujuh kali
seminggu)
Sangat sering (lebih dari tujuh
kali seminggu)
8. Jika Anda sering dan sangat sering
mengonsumsi selai, berapa frekuensi
konsumsi selai dalam sehari?
2 kali 5 kali
3 kali > 5 kali
4 kali
9. Berikan penilaian Anda terhadap
beberapa parameter selai
berdasarkan tingkat kepentingan:
1 = Sangat Tidak Penting (STP)
2 = Tidak Penting (TP)
3 = Biasa (B)
4 = Penting (P)
5 = Sangat Penting (SP)
Parameter STP TP B P SP
Tekstur 1 2 3 4 5
Rasa 1 2 3 4 5
Warna 1 2 3 4 5
Daya Oles 1 2 3 4 5
RAHASIA
103
5. Hasil One Proportion Uji Pengenalan Rasa Dasar
Manis 1% Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 28 30 0,933333
(0,779265; 0,991822) 0,000
Umami 0,06% Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 23 30 0,766667
(0,577163; 0,900662) 0,005
Pahit 0,03% Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 30 30 1,000000
0,904966 0,000
Asam 0,03% Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 25 30 0,833333
(0,652788; 0,943578) 0,000
Asin 0,2% Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 28 30 0,933333
(0,779265; 0,991822) 0,000
6. Hasil One Proportion Uji Segitiga
Test of p = 0,33 vs p ≠ 0,33
Exact
Sample X N Sample p 95% CI P-Value
1 24 30 0,800000 (0,614333; 0,922864) 0,000
7. Hasil One Proportion Uji Ambang Mutlak
Asam 0,10 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 11 23 0,478261
(0,268196; 0,694122) 1,000
Asam 0,20 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 16 23 0,695652
(0,470808; 0,867897) 0,093
Asam 0,40 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Asam 0,80 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Asam 1,60 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 19 23 0,826087
(0,612188; 0,950492) 0,003
Manis 5 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
104
Sample X N Sample p
95% CI P-Value
1 21 23 0,913043
(0,719621; 0,989290) 0,000
Manis 10 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Manis 20 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Manis 40 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Manis 80 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Pahit 0,15 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Pahit 0,30 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Pahit 0,60 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Pahit 1,20 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
Pahit 2,40 Test of p = 0,5 vs p ≠ 0,5
Exact
Sample X N Sample p
95% Lower Bound P-Value
1 23 23 1,000000
0,877877 0,000
8. Hasil Pearson Correlation dan Paired T test Pelatihan Panelis
MANIS Paired T for M1 - M2
N Mean StDev SE
Mean
M1 20 11,305 2,278
0,509
M2 20 10,075 2,555
0,571
Difference 20 1,230 2,270
0,508
95% CI for mean difference:
(0,168; 2,292)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 2,42 P-Value =
0,026
Paired T for M2 - M3
N Mean StDev SE
Mean
M2 20 10,075 2,555
0,571
105
M3 20 9,865 3,063
0,685
Difference 20 0,210 1,259
0,281
95% CI for mean difference: (-
0,379; 0,799)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,75 P-Value =
0,465
Paired T for M3 - M4
N Mean StDev SE
Mean
M3 20 9,865 3,063
0,685
M4 20 9,900 3,255
0,728
Difference 20 -0,035 2,048
0,458
95% CI for mean difference: (-
0,994; 0,924)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,08 P-Value =
0,940
Paired T for M4 - M5
N Mean StDev SE
Mean
M4 20 9,900 3,255
0,728
M5 20 9,900 2,912
0,651
Difference 20 -0,000 1,662
0,372
95% CI for mean difference: (-
0,778; 0,778)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,00 P-Value =
1,000
ASAM Paired T for A1 - A2
N Mean StDev SE
Mean
A1 20 10,980 2,538
0,568
A2 20 10,345 3,063
0,685
Difference 20 0,635 3,457
0,773
95% CI for mean difference: (-
0,983; 2,253)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,82 P-Value =
0,422
Paired T for A2 - A3
N Mean StDev SE
Mean
A2 20 10,345 3,063
0,685
A3 20 9,810 2,933
0,656
Difference 20 0,535 1,375
0,307
95% CI for mean difference: (-
0,108; 1,178)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,74 P-Value =
0,098
Paired T for A3 - A4
N Mean StDev SE
Mean
A3 20 9,810 2,933
0,656
A4 20 9,810 2,981
0,667
Difference 20 -0,000 2,067
0,462
95% CI for mean difference: (-
0,967; 0,967)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,00 P-Value =
1,000
Paired T for A4 - A5
N Mean StDev SE
Mean
A4 20 9,810 2,981
0,667
A5 20 9,680 3,433
0,768
Difference 20 0,130 1,360
0,304
95% CI for mean difference: (-
0,506; 0,766)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,43 P-Value =
0,674
PAHIT Paired T for P1 - P2
N Mean StDev SE
Mean
P1 20 14,170 1,345
0,301
P2 20 13,310 2,519
0,563
106
Difference 20 0,860 2,366
0,529
95% CI for mean difference: (-
0,247; 1,967)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,63 P-Value =
0,120
Paired T for P2 - P3
N Mean StDev SE
Mean
P2 20 13,310 2,519
0,563
P3 20 13,605 2,204
0,493
Difference 20 -0,295 1,168
0,261
95% CI for mean difference: (-
0,842; 0,252)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,13 P-Value =
0,273
Paired T for P3 - P4
N Mean StDev SE
Mean
P3 20 13,605 2,204
0,493
P4 20 13,290 2,713
0,607
Difference 20 0,315 1,304
0,292
95% CI for mean difference: (-
0,295; 0,925)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,08 P-Value =
0,294
Paired T for P4 - P5
N Mean StDev SE
Mean
P4 20 13,290 2,713
0,607
P5 20 13,290 2,378
0,532
Difference 20 0,000 1,041
0,233
95% CI for mean difference: (-
0,487; 0,487)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,00 P-Value =
1,000
SEPAT Paired T for S1 - S2
N Mean StDev SE
Mean
S1 20 11,125 2,919
0,653
S2 20 10,605 2,549
0,570
Difference 20 0,520 2,385
0,533
95% CI for mean difference: (-
0,596; 1,636)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,98 P-Value =
0,342
Paired T for S2 - S3
N Mean StDev SE
Mean
S2 20 10,605 2,549
0,570
S3 20 11,200 2,376
0,531
Difference 20 -0,595 2,105
0,471
95% CI for mean difference: (-
1,580; 0,390)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,26 P-Value =
0,221
Paired T for S3 - S4
N Mean StDev SE
Mean
S3 20 11,200 2,376
0,531
S4 20 10,950 2,796
0,625
Difference 20 0,250 1,790
0,400
95% CI for mean difference: (-
0,588; 1,088)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,62 P-Value =
0,540
Paired T for S4 - S5
N Mean StDev SE
Mean
S4 20 10,950 2,796
0,625
S5 20 10,775 3,073
0,687
107
Difference 20 0,175 1,334
0,298
95% CI for mean difference: (-
0,449; 0,799)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,59 P-Value =
0,564
WARNA -RENDAH Paired T for WR1 - WR2
N Mean StDev SE
Mean
WR1 20 3,870 2,465
0,551
WR2 20 3,920 2,290
0,512
Difference 20 -0,050 1,619
0,362
95% CI for mean difference: (-
0,808; 0,708)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,14 P-Value =
0,892
Paired T for WR2 - WR3
N Mean StDev SE
Mean
WR2 20 3,920 2,290
0,512
WR3 20 3,360 2,267
0,507
Difference 20 0,560 1,475
0,330
95% CI for mean difference: (-
0,130; 1,250)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,70 P-Value =
0,106
Paired T for WR3 - WR4
N Mean StDev SE
Mean
WR3 20 3,360 2,267
0,507
WR4 20 3,145 2,131
0,476
Difference 20 0,215 1,255
0,281
95% CI for mean difference: (-
0,373; 0,803)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,77 P-Value =
0,453
Paired T for WR4 - WR5
N Mean StDev SE
Mean
WR4 20 3,145 2,131
0,476
WR5 20 3,515 1,951
0,436
Difference 20 -0,370 0,957
0,214
95% CI for mean difference: (-
0,818; 0,078)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,73 P-Value =
0,100
WARNA - TINGGI Paired T for WT1 - WT2
N Mean StDev
SE Mean
WT1 20 14,325 0,776
0,173
WT2 20 14,315 0,726
0,162
Difference 20 0,0100 0,3865
0,0864
95% CI for mean difference: (-
0,1709; 0,1909)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,12 P-Value =
0,909
Paired T for WT2 - WT3
N Mean StDev SE
Mean
WT2 20 14,315 0,726
0,162
WT3 20 14,020 1,163
0,260
Difference 20 0,295 0,910
0,204
95% CI for mean difference: (-
0,131; 0,721)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,45 P-Value =
0,164
Paired T for WT3 - WT4
N Mean StDev SE
Mean
WT3 20 14,020 1,163
0,260
WT4 20 13,835 1,459
0,326
Difference 20 0,185 1,516
0,339
108
95% CI for mean difference: (-
0,525; 0,895)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,55 P-Value =
0,592
Paired T for WT4 - WT5
N Mean StDev SE
Mean
WT4 20 13,835 1,459
0,326
WT5 20 13,815 1,101
0,246
Difference 20 0,020 0,897
0,201
95% CI for mean difference: (-
0,400; 0,440)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,10 P-Value =
0,922
GRAININESS RENDAH Paired T for GR1 - GR2
N Mean StDev SE
Mean
GR1 20 0,770 0,976
0,218
GR2 20 0,795 1,185
0,265
Difference 20 -0,025 0,803
0,180
95% CI for mean difference: (-
0,401; 0,351)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,14 P-Value =
0,891
Paired T for GR2 - GR3
N Mean StDev SE
Mean
GR2 20 0,795 1,185
0,265
GR3 20 0,950 1,462
0,327
Difference 20 -0,155 0,843
0,188
95% CI for mean difference: (-
0,549; 0,239)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,82 P-Value =
0,421
Paired T for GR3 - GR4
N Mean StDev SE
Mean
GR3 20 0,950 1,462
0,327
GR4 20 1,175 1,321
0,295
Difference 20 -0,225 0,979
0,219
95% CI for mean difference: (-
0,683; 0,233)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,03 P-Value =
0,317
Paired T for GR4 - GR5
N Mean StDev SE
Mean
GR4 20 1,175 1,321
0,295
GR5 20 0,970 1,141
0,255
Difference 20 0,205 0,568
0,127
95% CI for mean difference: (-
0,061; 0,471)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,61 P-Value =
0,123
GRAININESS TINGGI Paired T for GT1 - GT2
N Mean StDev SE
Mean
GT1 20 10,425 3,713
0,830
GT2 20 11,715 2,383
0,533
Difference 20 -1,290 3,350
0,749
95% CI for mean difference: (-
2,858; 0,278)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,72 P-Value =
0,101
Paired T for GT2 - GT3
N Mean StDev SE
Mean
GT2 20 11,715 2,383
0,533
GT3 20 11,265 2,366
0,529
Difference 20 0,450 1,504
0,336
109
95% CI for mean difference: (-
0,254; 1,154)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,34 P-Value =
0,197
Paired T for GT3 - GT4
N Mean StDev SE
Mean
GT3 20 11,265 2,366
0,529
GT4 20 12,195 2,618
0,585
Difference 20 -0,930 2,011
0,450
95% CI for mean difference: (-
1,871; 0,011)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -2,07 P-Value =
0,052
Paired T for GT4 - GT5
N Mean StDev SE
Mean
GT4 20 12,195 2,618
0,585
GT5 20 11,790 2,600
0,581
Difference 20 0,405 2,364
0,529
95% CI for mean difference: (-
0,701; 1,511)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,77 P-Value =
0,453
FIRMNESS Paired T for F1 - F2
N Mean StDev SE
Mean
F1 20 10,395 3,643
0,814
F2 20 11,110 2,160
0,483
Difference 20 -0,715 3,039
0,680
95% CI for mean difference: (-
2,137; 0,707)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,05 P-Value =
0,306
Paired T for F2 - F3
N Mean StDev SE
Mean
F2 20 11,110 2,160
0,483
F3 20 10,775 2,856
0,639
Difference 20 0,335 2,290
0,512
95% CI for mean difference: (-
0,737; 1,407)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,65 P-Value =
0,521
Paired T for F3 - F4
N Mean StDev SE
Mean
F3 20 10,775 2,856
0,639
F4 20 10,585 2,898
0,648
Difference 20 0,190 2,448
0,547
95% CI for mean difference: (-
0,955; 1,335)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,35 P-Value =
0,732
Paired T for F4 - F5
N Mean StDev SE
Mean
F4 20 10,585 2,898
0,648
F5 20 10,905 2,740
0,613
Difference 20 -0,320 1,558
0,348
95% CI for mean difference: (-
1,049; 0,409)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,92 P-Value =
0,370
DAYA OLES Paired T for O1 - O2
N Mean StDev SE
Mean
O1 20 10,310 3,384
0,757
O2 20 10,420 3,055
0,683
Difference 20 -0,110 2,644
0,591
110
95% CI for mean difference: (-
1,347; 1,127)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,19 P-Value =
0,854
Paired T for O2 - O3
N Mean StDev SE
Mean
O2 20 10,420 3,055
0,683
O3 20 10,055 2,657
0,594
Difference 20 0,365 2,734
0,611
95% CI for mean difference: (-
0,914; 1,644)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,60 P-Value =
0,558
Paired T for O3 - O4
N Mean StDev SE
Mean
O3 20 10,055 2,657
0,594
O4 20 10,375 3,047
0,681
Difference 20 -0,320 3,013
0,674
95% CI for mean difference: (-
1,730; 1,090)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -0,47 P-Value =
0,640
Paired T for O4 - O5
N Mean StDev SE
Mean
O4 20 10,375 3,047
0,681
O5 20 9,930 2,908
0,650
Difference 20 0,445 2,954
0,661
95% CI for mean difference: (-
0,937; 1,827)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,67 P-Value =
0,509
PANJANG OLES Paired T for Ocm1 - Ocm2
N Mean StDev SE
Mean
Ocm1 20 8,440 2,890
0,646
Ocm2 20 7,620 1,251
0,280
Difference 20 0,820 2,209
0,494
95% CI for mean difference: (-
0,214; 1,854)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 1,66 P-Value =
0,113
Paired T for Ocm2 - Ocm3
N Mean StDev SE
Mean
Ocm2 20 7,620 1,251
0,280
Ocm3 20 7,605 2,453
0,548
Difference 20 0,015 1,554
0,347
95% CI for mean difference: (-
0,712; 0,742)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,04 P-Value =
0,966
Paired T for Ocm3 - Ocm4
N Mean StDev SE
Mean
Ocm3 20 7,605 2,453
0,548
Ocm4 20 7,175 0,848
0,190
Difference 20 0,430 2,735
0,611
95% CI for mean difference: (-
0,850; 1,710)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = 0,70 P-Value =
0,490
Paired T for Ocm4 - Ocm5
N Mean StDev SE
Mean
Ocm4 20 7,175 0,848
0,190
Ocm5 20 7,495 0,771
0,172
Difference 20 -0,320 1,090
0,244
111
95% CI for mean difference: (-
0,830; 0,190)
T-Test of mean difference = 0 (vs
≠ 0): T-Value = -1,31 P-Value =
0,205
PEARSON CORRELATION Proportion Two Tails 0,05 = 0,444 dengan df= 20-2= 18
Correlation: M1; M2 Pearson correlation of M1 and M2
= 0,564
P-Value = 0,010
Correlation: M2; M3 Pearson correlation of M2 and M3
= 0,915
P-Value = 0,000
Correlation: M3; M4 Pearson correlation of M3 and M4
= 0,791
P-Value = 0,000
Correlation: M4; M5 Pearson correlation of M4 and M5
= 0,861
P-Value = 0,000
Correlation: A1; A2 Pearson correlation of A1 and A2
= 0,249
P-Value = 0,289
Correlation: A2; A3 Pearson correlation of A2 and A3
= 0,896
P-Value = 0,000
Correlation: A3; A4 Pearson correlation of A3 and A4
= 0,756
P-Value = 0,000
Correlation: A4; A5 Pearson correlation of A4 and A5
= 0,920
P-Value = 0,000
Correlation: P1; P2 Pearson correlation of P1 and P2
= 0,378
P-Value = 0,101
Correlation: P2; P3 Pearson correlation of P2 and P3
= 0,886
P-Value = 0,000
Correlation: P3; P4 Pearson correlation of P3 and P4
= 0,879
P-Value = 0,000
Correlation: P4; P5 Pearson correlation of P4 and P5
= 0,925
P-Value = 0,000
Correlation: S1; S2 Pearson correlation of S1 and S2
= 0,627
P-Value = 0,003
Correlation: S2; S3 Pearson correlation of S2 and S3
= 0,637
P-Value = 0,003
Correlation: S3; S4 Pearson correlation of S3 and S4
= 0,772
P-Value = 0,000
Correlation: S4; S5 Pearson correlation of S4 and S5
= 0,901
P-Value = 0,000
Correlation: WR1; WR2 Pearson correlation of WR1 and
WR2 = 0,771
P-Value = 0,000
Correlation: WR2; WR3 Pearson correlation of WR2 and
WR3 = 0,790
P-Value = 0,000
Correlation: WR3; WR4 Pearson correlation of WR3 and
WR4 = 0,839
P-Value = 0,000
Correlation: WR4; WR5 Pearson correlation of WR4 and
WR5 = 0,894
P-Value = 0,000
Correlation: WT1; WT2 Pearson correlation of WT1 and
WT2 = 0,870
P-Value = 0,000
Correlation: WT2; WT3 Pearson correlation of WT2 and
WT3 = 0,622
P-Value = 0,003
112
Correlation: WT3; WT4 Pearson correlation of WT3 and
WT4 = 0,348
P-Value = 0,132
Correlation: WT4; WT5 Pearson correlation of WT4 and
WT5 = 0,789
P-Value = 0,000
Correlation: GR1; GR2 Pearson correlation of GR1 and
GR2 = 0,740
P-Value = 0,000
Correlation: GR2; GR3 Pearson correlation of GR2 and
GR3 = 0,817
P-Value = 0,000
Correlation: GR3; GR4 Pearson correlation of GR3 and
GR4 = 0,757
P-Value = 0,000
Correlation: GR4; GR5 Pearson correlation of GR4 and
GR5 = 0,904
P-Value = 0,000
Correlation: GT1; GT2 Pearson correlation of GT1 and
GT2 = 0,466
P-Value = 0,038
Correlation: GT2; GT3 Pearson correlation of GT2 and
GT3 = 0,799
P-Value = 0,000
Correlation: GT3; GT4 Pearson correlation of GT3 and
GT4 = 0,679
P-Value = 0,001
Correlation: GT4; GT5 Pearson correlation of GT4 and
GT5 = 0,590
P-Value = 0,006
Correlation: F1; F2 Pearson correlation of F1 and F2
= 0,553
P-Value = 0,011
Correlation: F2; F3 Pearson correlation of F2 and F3
= 0,614
P-Value = 0,004
Correlation: F3; F4 Pearson correlation of F3 and F4
= 0,638
P-Value = 0,002
Correlation: F4; F5 Pearson correlation of F4 and F5
= 0,849
P-Value = 0,000
Correlation: O1; O2 Pearson correlation of O1 and O2
= 0,667
P-Value = 0,001
Correlation: O2; O3 Pearson correlation of O2 and O3
= 0,549
P-Value = 0,012
Correlation: O3; O4 Pearson correlation of O3 and O4
= 0,449
P-Value = 0,047
Correlation: O4; O5 Pearson correlation of O4 and O5
= 0,509
P-Value = 0,022
Correlation: Ocm1; Ocm2 Pearson correlation of Ocm1 and
Ocm2 = 0,697
P-Value = 0,001
Correlation: Ocm2; Ocm3 Pearson correlation of Ocm2 and
Ocm3 = 0,842
P-Value = 0,000
Correlation: Ocm3; Ocm4 Pearson correlation of Ocm3 and
Ocm4 = -0,179
P-Value = 0,450
Correlation: Ocm4; Ocm5 Pearson correlation of Ocm4 and
Ocm5 = 0,096
P-Value = 0,688
113
9.Hasil ANOVA GLM Penilaian Selai Kulit Pisang
General Linear Model: Manis versus ID Panelis; Kode Sampel; Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1507,27 94,204 54,67 0,000
Kode Sampel 5 74,43 14,886 8,64 0,000
Ulangan 2 3,17 1,586 0,92 0,400
Error 282 485,91 1,723
Total 305 2070,78
S= 1,31267 R-sq= 76,53% R-sq(adj)= 74,62% R-sq(pred)=
72,37%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
123 51 8,82745 A
143 51 8,60000 A B
142 51 8,21765 A B C
122 51 7,91961 B C D
121 51 7,71569 C D
141 51 7,40196 D
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Asam versus ID Panelis; Kode Sampel; Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1185,92 74,120 23,24 0,000
Kode Sampel 5 364,48 72,895 22,86 0,000
Ulangan 2 3,72 1,859 0,58 0,559
Error 282 899,34 3,189
Total 305 2453,46
S= 1,78582 R-sq= 63,34% R-sq(adj)= 60,35% R-sq(pred)=
56,84%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
141 51 5,40196 A
143 51 4,78431 A
114
142 51 4,49020 A B
121 51 3,65098 B C
122 51 2,73922 C D
123 51 2,36667 D
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Pahit versus ID Panelis; Kode Sampel; Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 215,401 13,4626 41,11 0,000
Kode Sampel 5 1,821 0,3642 1,11 0,354
Ulangan 2 1,723 0,8616 2,63 0,074
Error 282 92,357 0,3275
Total 305 311,302
S= 0,572283 R-sq= 70,33% R-sq(adj)= 67,91% R-sq(pred)= 65,07%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
121 51 0,839216 A
142 51 0,788235 A
141 51 0,784314 A
123 51 0,780392 A
143 51 0,678431 A
122 51 0,611765 A
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Sepat versus ID Panelis; Kode Sampel; Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1660,61 103,788 53,80 0,000
Kode Sampel 5 112,94 22,588 11,71 0,000
Ulangan 2 6,32 3,160 1,64 0,196
Error 282 544,01 1,929
Total 305 2323,88
S= 1,38892 R-sq= 76,59% R-sq(adj)= 74,68% R-sq(pred)= 72,44%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
115
Sampel N Mean Grouping
143 51 4,64118 A
142 51 4,41176 A
141 51 4,10392 A B
121 51 3,93333 A B
123 51 3,44118 B C
122 51 2,82745 C
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Warna versus ID Panelis; Kode Sampel; Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1454,50 90,9063 54,03 0,000
Kode Sampel 5 264,46 52,8916 31,44 0,000
Ulangan 2 0,13 0,0634 0,04 0,963
Error 282 474,45 1,6824
Total 305 2193,54
S= 1,29709 R-sq= 78,37% R-sq(adj)= 76,61% R-sq(pred)= 74,53%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
143 51 8,93725 A
123 51 8,90588 A
142 51 8,88039 A
141 51 7,29216 B
122 51 7,03725 B
121 51 6,86667 B
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Graininess versus ID Panelis; Kode Sampel;
Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1150,45 71,903 48,40 0,000
Kode Sampel 5 12,17 2,434 1,64 0,150
Ulangan 2 3,10 1,548 1,04 0,354
Error 282 418,93 1,486
Total 305 1584,65
S= 1,21884 R-sq= 73,56% R-sq(adj)= 71,41% R-sq(pred)= 68,87%
116
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
143 51 6,93333 A
122 51 6,58431 A
123 51 6,56667 A
121 51 6,55686 A
141 51 6,43333 A
142 51 6,27255 A
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Firmness versus ID Panelis; Kode Sampel;
Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 2037,32 127,333 84,35 0,000
Kode Sampel 5 64,84 12,967 8,59 0,000
Ulangan 2 0,62 0,312 0,21 0,814
Error 282 425,72 1,510
Total 305 2528,51
S= 1,22868 R-sq= 83,16% R-sq(adj)= 81,79% R-sq(pred)= 80,18%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
General Linear Model: Daya Oles versus ID Panelis; Kode Sampel;
Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 2436,31 152,270 151,52 0,000
Kode Sampel 5 26,67 5,334 5,31 0,000
Ulangan 2 3,67 1,836 1,83 0,163
Error 282 283,39 1,005
Total 305 2750,04
S= 1,00246 R-sq= 89,70% R-sq(adj)= 88,85% R-sq(pred) = 87,87%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
122 51 11,1078 A
117
141 51 10,8902 A B
121 51 10,8725 A B
123 51 10,5078 B C
142 51 10,4843 B C
143 51 10,2431 C
Means that do not share a letter are significantly different.
General Linear Model: Panjang Oles versus ID Panelis; Kode Sampel;
Ulangan
Factor Type Levels Values
ID Panelis Fixed 17 1; 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13;
14; 15; 16; 17
Kode Sampel Fixed 6 121; 122; 123; 141; 142; 143
Ulangan Fixed 3 1; 2; 3
Analysis of Variance
Source DF Adj SS Adj MS F-Value P-Value
ID Panelis 16 1167,85 72,990 49,50 0,000
Kode Sampel 5 52,52 10,504 7,12 0,000
Ulangan 2 6,02 3,010 2,04 0,132
Error 282 415,79 1,474
Total 305 1642,17
S= 1,21426 R-sq= 74,68% R-sq(adj)= 72,62% R-sq(pred)= 70,19%
Fits and Diagnostics for Unusual Observations
Grouping Information Using the Tukey Method and 95% Confidence
Kode
Sampel N Mean Grouping
121 51 8,98235 A
122 51 8,94510 A
123 51 8,52745 A B
141 51 8,43137 A B
142 51 8,04314 B
143 51 7,87451 B
Means that do not share a letter are significantly different.
10. Hasil Pearson Correlation antara Porositas Roti Tawar dan Panjang Oles
Correlation: porositas; Panjang Oles Pearson correlation of porositas and Panjang Oles = 0,118
P-Value = 0,093
118
11. Prosedur Pemilihan Perlakuan Terbaik (Zeleny, 1982)
Uji pembobotan dilakukan untuk menentukan perlakuan terbaik. Uji
pembobotan ini menggunakan teknik multiple attribute dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Ditentukan nilai ideal pada masing-masing parameter
Nilai ideal adalah nilai yang sesuai dengan pengharapan yaitu maksimal
atau minimal dari suatu parameter. Untuk parameter dengan rerata
semakin tinggi semakin baik, maka nilai terendah sebagai nilai terburuk
dan nilai tertinggi sebagai nilai terbaik. Sebaliknya untuk parameter
dengan nilai terendah semakin baik, maka nilai tertinggi sebagai nilai
terburuk dan nilai terendah sebagai nilai terbaik.
2. Dihitung derajat kerapatan (d*i)
Derajat kerapatan dihitung berdasarkan nilai ideal untuk masing-masing
parameter. Bila nilai ideal (d*i) minimal, maka :
Bila nilai ideal (d*i) maksimal, maka :
3. Dihitung jarak kerapatan (Lp)
Dengan asumsi semua parameter penting, jarak kerapatan dihitung
berdasarkan jumlah parameter.
λ = 1/jumlah parameter
L1 = (λ k) ∑
L2 = (λ k) ∑ [ ( )]½
L∞ = maks [ ( )]
4. Perlakuan terbaik dipilih dari perlakuan yang mempunyai nilai L1, L2, dan
L∞ terendah
*Coret yang tidak perlu
119
12. Hasil Korelasi Antara Uji Fisik dan Kimia dengan Uji
Organoleptik
Correlation: nilai pH; rasa asam Pearson correlation of nilai pH and rasa asam = -0,912
P-Value = 0,031
Correlation: kadar air; kekokohan Pearson correlation of kadar air and kekokohan = -0,976
P-Value = 0,005
Correlation: panjang oles fisik; panjang oles panelis Pearson correlation of panjang olesku and panjang oles panelis = 0,759
P-Value = 0,136
13. Hasil Uji T Antara Uji Fisik dan Kimia dengan Uji
Organoleptik
Paired T-Test and CI: kadar air terbaik; kadar air komersial Paired T for kadar air terbaik - kadar air komersial
N Mean StDev SE Mean
kadar air terbaik 3 48,803 0,885 0,511
kadar air komersial 3 33,200 0,450 0,260
Difference 3 15,603 0,441 0,255
95% CI for mean difference: (14,508; 16,699)
T-Test of mean difference = 0 (vs ≠ 0): T-Value = 61,27 P-Value =
0,000
Paired T-Test and CI: pH terbaik; pH komersial Paired T for pH terbaik - pH komersial
N Mean StDev SE Mean
pH terbaik 3 4,9500 0,1323 0,0764
pH komersial 3 3,0500 0,1500 0,0866
Difference 3 1,900 0,278 0,161
95% CI for mean difference: (1,208; 2,592)
T-Test of mean difference = 0 (vs ≠ 0): T-Value = 11,82 P-Value =
0,007
Paired T-Test and CI: TPT terbaik; TPT komersial Paired T for TPT terbaik - TPT komersial
N Mean StDev SE Mean
TPT terbaik 3 45,100 0,173 0,100
TPT komersial 3 46,500 0,000 0,000
Difference 3 -1,400 0,173 0,100
95% CI for mean difference: (-1,830; -0,970)
T-Test of mean difference = 0 (vs ≠ 0): T-Value = -14,00 P-Value =
0,005
120
14. Dokumentasi Penelitian
79
DAFTAR PUSTAKA Ahda, Y dan Berry, S.H. 2008. Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin
dengan Metode Ekstraksi Fakultas Teknik Univeritas Diponegoro.
Semarang
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis, 15th Edition. Edited by Helrich.
Washington DC
Apriantono, A, dkk. 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Australian Standard®. 1995. AS 2542.1.3-1995. Sensory Analysis of Foods. Method 1.3 : General Guide to Methodology-Selection of Assesors. SAI
Global
Badan Pusat Statistik. 2017. Produksi Buah-Buahan di Indonesia. http://bps.go.id
diakses tanggal 3 Januari 2017 pukul 10.50 WIB
Bariroh, Umi. 2007. Karakterisasi Jam Nangka Pada Berbagai Variasi Jumlah Penambahan Gula dan Asam Sitrat Pada Pemasakan. Skripsi. Universitas
Jember. Jember
Bolenz, et al. 2006. The Broader Usage of Sugars and Fillers in Milk Chocolate Made Possible By The New EC Cocoa Directive. International Journal of
Food Science and Technology 41: 45-55
Brock, T.D. Madigan, M.T. 2007. Biology of Microorganisms Sixth Edition.
Prentice Hall International. New York
80
Cecilia G. Riveros. 2009. Chemical Composition and Sensory Analysis of Peanut Pastes Elaborated with High Oleic and Regular Peanuts From Argentina. Grasas Y Aceites, 60(4) ISSN: 0017-3495. Argentina
Chan dan Phang. 2009. Sensory Descriptive Analysis and Consumer
Inulin. International Food Research Journal 16: 483-492. Malaysia
Choi, S.E. 2010. Sensory Evaluation Chapter 3. Jones & Barlett Learning. LCC
Chu, C.A. and Resurreccion. 2005. Sensory Profiling and Characterization of Chocolate Peanut Spread Using Response Surface Methodology.
Journal of Sensory Studies 20: 243-274
Codex STAN. 2009. CODEX STAN 296-2009 Standard For Jams, Jellies and Marmalades
Cowart. 1989. Relationship Between Taste and Smell Across The Adult Life
Span. Journal of Sensory Studies 561: 39-55. New York
Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan : Edisi Ketiga.
Diterjemahkan dari Food Preservation Technology oleh M. Muljohardjo.
Indonesia Press. Jakarta
Dewati. 2008. Limbah Kulit Pisang Kepok sebagai Bahan Baku Pembuatan Etanol. UPN Press. Surabaya
Dewi, Rina P. 2014. Pemanfaatan Kulit Pisang Ambon (Musa paradisiaca) sebagai Pektin pada Selai Kacang Hijau (Phaseolus radiatus). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Dielman, T.E. 1991. Applied Regression Analysis for Bussiness and Economics. PWs KENT Publishing Company. Boston
81
Drake, M. 2007. Sensory Analysis of Dairy Foods. Journal of Dairy Science.
Engelen, L., Wijk, R.A.d, et al. 2005. Relating Particles and Texture Perception.
Physiology & Behavior 86: 111-117
Erawati, F. 2009. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Pisan (Kajian Jenis Pelarut Asam dan Rasio Bahan : Pelarut Asam). Skripsi. THP UB. Malang
Estiasih dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta
Fahrizal dan Fhadil. 2014. Kajian Fisiko Kimia dan Daya Terima Organoleptik Selali Nenas yang Menggunakan Pektin dari Limbah Kulit Kakao.
Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
Fatonah, W. 2002. Optimasi Produksi Selai dengan Bahan Baku Ubi Jalar Cilembu. IPB. Bogor
Ferdiansyah, R. 2016. Profil Tekstur dan Sensori Metode Spektrum Terhadap Bakso Nabati dengan Penambahan Karageenan. Skripsi. Universitas
Brawijaya. Malang
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. BP
Undip. Semarang
Gibson, L.L, L.E Jeremiah, and K.L. Burwash. 1997. Descriptive Sensory Analysis: The Profiling Approach. Technical Bulletin 1997-2E, Public
Works and Government Services. Canada
Green et al. 2010. Taste Mixture Interactions : Suppression, Additivity, and The Predominance of Sweetness. Physiol. Behav 101: 731-737
Guyton, Arthur C. Dan John E. 2001. Fisiologi Kedokteran, Edisi Keduabelas.
Terjemahan oleh Ermita I, Ibrahim Ilyas. 2014. Elsevier Pte Ltd. Singapore
82
Harrison dan Andress. 2013. Preserving Food: Jams and Jellies. The University
Of Georgia Ft. Valley State University. US
Handajani, S. 1994. Pasca Panen Hasil Pertanian. Sebelas Maret University Press.
Surakarta
Hardita. 2015. Pengaruh Rasio Daging dan Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Terhadap Karakteristik Selai. Skripsi. Universitas Udayana.
Bali
Hartati, M.E. 2010. Pengaruh Penggunaan Madu pada Pembuatan Selai Pepaya.
J.Berita Libang Industri 45(3): 29-37
Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat Pektin Jeruk. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra
Barat. Jakarta
Herbstreith dan Fox. 2005. Jams, Jellies and Marmalades. Corporate Group.
Germany
Hootman, Robert C. 1992. Manual Descriptive Analysis Testing For Sensory Evaluation. ASTM Publication Code Number (PCN) 28-013092-36.
Philadelphia
Ibrahim, Salma I.M., Torsten C. Schmidt, Samy M. Abd El-azeem. 2014. Banana Peel as Alternative Bio-sorbent Material for Removal of 2-Chlorophenol from Water. University of DuisburgEssen, Essen, Germany and Fayoum
University, Fayoum, Egypt.
Ilhamadi, F. 2016. Pendugaan Umur Simpan Bumbu Rujak Cingur Instan Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dengan
83
Pendekatan Arrhenius dan Metode Sensori Spektrum. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang
Kaban, I.M dkk. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU, Article in press. Universitas Sumatra
Utara. Medan
Kohyama, K., Fumiyo Hayakawa, et al. 2016. Sucrose Release from Agar Gels and Sensory Perceived Sweetness. National Food Research Institute.
Japan
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Roti. http://eBookPangan.com Diakses
pada tanggal 4 Januari 2017 pukul 10.30 WIB
Laaksonen, O. 2011. Astringent Food Compounds and Their Interactions with Taste Properties. Department of Biochemistry and Food Chemistry.
University of Turku. Finland
Lawless dan Hildegrade. 2010. Sensory Evaluation of Food 2nd Edition. Springer
Science & Bussiness Media. New York
Levaj et al. 2010. Gel Strength and Sensory Attributes of Fig (Ficus carica) Jams and Preserves as Influenced by Ripeness. Journal of Food Science
Vol 75, Nr.2
Lucak, C.L. 2008. Determination Of Various Palate Cleanser Effacacies For Representative Food Types. Thesis. Science and Technology Ohio State
University.
Mason, R dan Nottingham. 2002. Food 3007 and Food 7012 : Sensory Evaluation Manual. Centre for Food Technology, DPI, Bristane
Matondang, Deannisa, dkk. 2014. Study Pembuatan Selai Cokelat Kulit Pisang Barangan. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, Vol 2 No.2. Medan
84
May, Colin D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production and Application.
Carbohydrate Polymers 79-99. UK
Mc Bride dan Mac Fie. 1990. Psychological Basis of Sensory Evaluation. Elsivier
Science Publisher Ltd. New York
Meilgaard, M.C., et.al. 2007. Sensory Evaluation Techniques, Forth Edition. CRC
Press. USA.
Meilina, H. 2003. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica). Tesis.
IPB. Bogor
Mojet, Jos, Elly Christ, et.al. 2001. Taste Perception with Age : Generic or Spesific Iosses in Threshold Sensitivity to The Five Basic Tastes? Chem. Senses 26: 845-860, 2001
Munadjim. 1984. Teknologi Pengolahan Pisang. PT Gramedia. Jakarta
Murtiningsih dan Pekerti. 1988. Pengaruh Umur Petik Terhadap Mutu Buah Pisang Tanduk. Bull. Penel 3(1): 33-37
National Health and Nutrition Examination Survey. 2013. Taste and Smell Examination Component Manual. Create Space Independent Publishing
Platform
Aplikasi Millet (Pennisetum Spp) Merah dan Millet Kuning Sebagai Subtitusi Terigu dalam Pembuatan Roti Tawar : Evaluasi Sifat Sensoris dan Fisikokimia. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Nurhayati, dkk. 2014. Karakteristik Fisikokimia Tepung Kulit Pisang Jenis Banana. Jurnal Agroteknologi Vol. 8 No.1 51-54. Jember
Nurlatifah, Annisa. 2015. Pendugaan Umur Simpan Sweet Chilli Sauce Menggunakan Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) dengan
85
Pendekatan Arrhenius dan Metode Sensori Spektrum. Skripsi.
Universitas Brawijaya. Malang
Prissilia, dkk. 2014. Kualitas Selai Mangga Kweni (Mangifera odorata Griff) Rendah Kalori dengan Variasi Rebaudiosida A. Skripsi. Univeritas Atma
Jaya. Yogyakarta
Purves, Augustine, et al. 2001. Neuroscience 2nd Edition. Sinauer Associates.
Sunderland
Pusat Studi Ketahanan Pangan. 2012. Pembuatan Jam. Universitas Udayana. Bali
Rukmana. 1999. Usaha Tani Pisang. Kanisius. Yogyakarta
Sekuler, Robert. 2004. Texture and Mouthfeel : Making Rheology Real. Weeks
Publishing Company Northbrook, IL 60062
Setianingsih, dkk. 2010. Analisis Sensori Pangan Untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor
Shallenberger, R.S. 1997. Taste Recognition Chemistry. Pure & appl Chem Vol 69
No 4: 659-666
Shimada, et al. 1998. Effect of Physical Properties of Food Particles on The Degree of Graininess Perceived in The Mouth. University Ochanomizu.
Japan
Standar Nasional Indonesia. 2008. Selai Buah. Badan Standardisasi Nasional SNI
03746: 2008. Jakarta
Sugawara, et.al. 2009. Use of Human Senses as Sensors. Sensors 9:3184-3204.
http://dx.doi.org diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 10.54 WIB
86
Susanti, Lina. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap Kualitas Nata. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang
Susanto, T dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu,
Surabaya
Sutanto dan Edison. 2001. Pedoman Karakterisasi, Evaluasi Kultivar Pisang.
Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok
Sowalsky dan Noble. 1998.Comparison of The Effects of Concentration, pH, and Anion Species on Astringency and Sourness of Organic Acids. Chem
Senses 23: 343-349 University of California. USA
Szczesniak, A.S. 2002. Texture is a Sensory Property. Elsevier. Food Quality and
Preference 13 : 215 225
Tohuloaula, A. 2013. Karakterisasi Pektin dengan Memanfaatkan Limbah Kulit Pisang Menggunakan Metode Ekstrasi. Jusrusanas Teknik Universitas
Lambung Mangkurat. Banjarmasin
Tajoda, N.H., Kaurian K.C and Bredenkamp M.B. 2013. Reduction of Cholesterol and Triglyserides in Volunteers Using Lemon and Apple. Department of
Science Asia-Pasific International University. Thailand
Tarigan, dkk. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia Vol.1 No.2. Universitas Sumatera Utara.
Medan
Wachida, N. 2013. Pectin Extraction from Sweet Orange Peel (Citrus sinensi osbeck) (Study of Maturity Level and Precipitate Agent). Jurusan THP
UB. Malang
Weiffenbach et.al,. 1982. Taste Thresholds : Quality Spesific Variation With Human Aging. Journal Gerontol 37: 372-377
87
Winarno, F.G. 2001.Kimia Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Yamagata dan Sugawara. 2014. Sensory Evaluation Spectrum Method as a Descriptive Sensory Analysis. Psychology 5:1591-1610. http://dx.doi.org
diakses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 05.30 WIB
Yolanda, Stevany. 2015. Uji Ambang Mutlak Lima Rasa Dasar Pada Sampel Penduduk Jawa Bagian Barat, Tengah, dan Timur dengan Metode 3-AFC (Alternative Forced Choice). Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang
Yulistiani, dkk. 2014. Peran Pektin dan Sukrosa Pada Selai Ubi Jalar Ungu. UPN.
Surabaya
Zeleny. 1982. Multiple Criteria Decision Making. Mc Graw Hill Book Company.
New York
Zuhra, C.F. 2006. Flavor (Cita Rasa). Karya Ilmiah. Universitas Sumatera
Departemen Kimia. Medan