Upload
trinhthien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH PERMAINAN ICE BREAKER TERHADAP SELF DISCLOSURE PADA
REMAJA PONDOK PESANTREN DAARUL RAHMAN JAKARTA SELATAN
Disusun oleh :
Kisma Fawzea
0071020110
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H/2008 M
ABSTRAKSI
(A) Fakultas Psikologi (B) September 2008 (C) Kisma Fawzea (D) 70 halaman+ lampiran (E) Pengaruh Permainan Ice Breaker Terhadap Self Disclosure Pada
Remaja Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan (F) Permainan merupakan salah satu aspek penting dalam pelatihan
sumber daya manusia atau yang biasa disebut dengan training. Ia menjadi sarana pembelajaran perilaku selain dari mendengarkan ceramah dan mengamati perilaku. Salah satu fungsi permainan dalam pelatihan sumber daya manusia adalah sebagai pemecah kebekuan antar individu dalam pelatihan atau disebut dengan ice breaker. Permainan ice breaker ini bertujuan untuk mengurangi jurang komunikasi antar individu serta menciptakan suasana hubungan yang hangat dan ramah. Agar tercipta suasana tersebut, maka individu harus terlebih dulu ada keterbukaan diri atau self disclosure kepada orang lain dengan bersedia dikenal, saling berbagi pemikiran, perasaan, pendapat dan sikap.
Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen randomize One Way ANOVAR. Penelitian ini dialkukan di Ponpok Pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan dengan sampel sebanyak 20 orang dari populasi 94 orang. Metode pengambilan sampel adalah random sampling. Dari 20 orang tersebut, dibagi menjadi 2 kelompok. Yang pertama kelompok eksperimen dan yang kedua kelompok kontrol dengan masing-masing sebanyak 10 orang. Kelompok eksperimen diberi perlakuan pelatihan yang bertemakan “Menjadi Manusia Pembelajar” dengan diselingi sebuah permainan ice breaker bernama “Whose Is It?” dan kelompok kontrol diberi pelatihan yang sama namun tidak diselingi permainan ice breaker. Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang menggunakan hasil signifikansi penghitungan statistik dengan program SPSS .12. berhasil memperoleh angka 0.000 (p ≤ 0.05) .Hasil ini lebih kecil dari taraf signifikansi 0.05. Namun, karena kedua kelompok yang dibandingkan sama-sama berhasil memperoleh angka
signifikansi lebih rendah dari 0.05. berarti dapat diambil kesimpulan bahwa H1 yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh permainan ice breaker terhadap self disclosure diterima.
(G) Daftar Bacaan 18 (1978-2007)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillaah wasyukrulillaah atas nikmat, rahmat, barokah dan cinta
sehingga meski penyelesaian skripsi ini menemui begitu banyak
kendala namun Dia dengan Maha PemurahNya meminjamkan sedikit
kekuatan dan kesabaran agar penulis dapat melalui berbagai macam
cobaan dan ujian.
Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa Alihi wa Shahbihi wa
Sallam, yang tanpa tauladannya takkan ada makna dakwah dan jihad fi
sabilillah.
Skripsi ini meneliti tentang pengaruh permainan ice breaker terhadap
self disclosure. Penulis berharap agar penelitian ini berguna bagi
masyarakat secara umum, bagi para mahasiswa, serta praktisi training
dan fasilitator.
Hanya sebuah doa sederhana, Jazaakumullah Khairal Jazaa’ yang
dapat penulis ucapkan kepada kedua pembimbing penelitian, Bapak
Bambang Suryadi,Ph.D dan Bapak Drs.Asep Haerul Gani,Psi atas
kesabarannya, perhatiannya, bimbingannya, nasehatnya yang tulus.
Juga kepada mereka yang telah membantu, mendukung, mendorong
dan memotivasi saya selama penulisan skripsi ini:
• Ibu Dra.Hj.Netty Hartati,M.Si. beserta seluruh jajaran Dekanat,
staf pengajar yang telah memberi kami inspirasi untuk berkarya
serta staf administrasi Fakultas Psikologi atas segala bantuan
dan bimbingan yang diberikan.
• Bapak Drs.Ahmad Baidun,M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik
• Mama tercinta, untuk cinta, keikhlasan, pengorbanan dan
doanya…dan Papa tersayang(Allah yarhamh) li kullil
hubb,aghlaa amaani wa ahlaa dzikrayaat…
• Suami tercinta, Kak Iqbal, untuk segalanya.
• Nayyira Fawwaza Muhammad, buah hati anugerah terindah
dari Allah SWT yang selalu mewarnai hari.
• Adikku Emadeus dan Walied Ghali yang selalu ada untuk
membantu.
• Ayah Ibu tercinta di Medan, Bang Endi&Kak Devi, adik-adikku
Ayu & Weny, Kharisma, keponakan tersayang Harik&Nada
untuk senyum indahnya dan semua keluarga besar di Jakarta
yang turut mendoakan.
• Sahabat dan saudara seperjuangan tercinta , Ulfah dan
sepupuku Imam. Delviristanti dan Abang serta Dini Mayasari
yang selalu mendoakan.
• Kawan-kawan seperjuangan yang telah membantu pelaksanaan
penelitian, Ahmad Subekti Mubarak, Jamali, Ki Agus, Lola,
Dendy, Ade dan Rena Latifa.
• Al-Mukarrom Ustadz Drs.A.Qosim Susilo,M.Ag, Ustadz Sidup
dan Ustadzah Rahmah tercinta yang dengan tangan terbuka
membantu penulis dalam pelaksanan penelitian. Tidak lupa juga
untuk teman-teman santri dan santriwan Pondok Pesantren
Daarul Rahman Jakarta Selatan.
• Kawan-kawan dan keluarga di Malaysia yang turut mendoakan.
• Seluruh kawan, saudara, rekan, kerabat dan pihak yang tidak
dapat dicantumkan satu persatu. Semoga Allah memberikan
balasan yang jauh lebih besar atas segala bantuannya.
Dan terakhir untuk diri saya sendiri. This roller coaster journey in life is
only a beginning, there’s a lot more waiting for you ahead, but
remember that happiness is not a destination, it’s a method of life.
Jakarta, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DEDIKASI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB 1 PENDAHULUAN 1-13
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 9
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah 10
1.3.1 Pembatasan Masalah 10
1.3.2 Perumusan Masalah 11
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 11
1.4.1 Tujuan Penelitian 11
1.4.2 Manfaat Penelitian 12
1.5 Sistematika Penulisan 12
BAB 2 LANDASAN TEORI 14-47
2.1. Permainan Ice Breaker 14
2.1.1 Definisi 14
2.1.2 Fungsi Permainan Ice Breaker 16
2.1.3 Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker
terhadap Self Disclosure 21
2.1.4 Training dalam Perspektif Islam 22
2.1.5 Permainan Ice Breaker dalam Perspektif Islam 28
2.2 Self Disclosure 30
2.2.1 Definisi 30
2.2.2 Pengaruh Self Disclosure 32
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Disclosure37
2.2.4 Penelitian mengenai Self Disclosure 42
2.2.5 Self Disclosure dalam Perspektif Islam 43
2.3 Kerangka Berpikir 46
2.4 Hipotesa 47
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 48-59
3.1 Jenis Penelitian 48
3.1.1 Pendekatan Penelitian 48
3.1.2 Metode Penelitian 49
3.2 Variabel-variabel penelitian 51
3.2.1 Variabel bebas (Independent Variable) 51
3.2.2 Variabel Terikat (Dependent Variable) 51
3.2.3 Kontrol 52
` 3.3 Pengambilan Sampel 53
3.3.1 Populasi dan Sampel 53
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data 54
3.4.1 Instrumen Penelitian 54
3.5 Teknik Analisa Data 55
3.6 Prosedur Penelitian 55
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 60-63
4.1 Gambaran umum subyek penelitian 60
4.2 Hasil utama penelitian 63
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 64-68
5.1 Kesimpulan 64
5.2 Diskusi 64
5.3 Saran 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
2.1 Gambar Kerangka Berfikir Penelitian 46
DAFTAR TABEL
2.1 Tabel Johari Window 34
3.1 Rancangan Eksperimen Randomized One Way Anovar Design50
3.2 Prosedur Penelitian 56
4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan latar belakang 61
4.2 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok eksperimen 62
4.3 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok Kontrol 62
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah ada peningkatan dalam
penggunaan program-program pelatihan sumber daya manusia dengan
simulasi dan permainan sebagai intervensi dalam perlakuan (treatment)
secara klinis maupun sosial seperti pendekatan terhadap permasalahan
perilaku pada remaja atau sebagai salah satu metode dalam
pengembangan motivasi dan membangun kerjasama kelompok (Glass
& Benshoff, 2002).
Pelatihan sumber daya manusia ini atau yang biasa disebut dengan
training ini dirancang dan disusun sesuai tujuan pelaksanaannya. Selain
daripada intervensi dalam menangani permasalahan-permasalahan
perilaku individu, pelatihan-pelatihan ini juga dapat diaplikasikan untuk
tujuan yang berbeda. Diantaranya peningkatan spiritual inidvidu,
peningkatan skill, perbaikan peran dalam masyarakat, penambahan
produktivitas dalam pekerjaan dan lain sebagainya (Bid.Diklat DPP
PKS, 2007)
Menurut Kirby (1992) prinsip yang mendasari dilaksanakannya
pelatihan-pelatihan yang melibatkan permainan-permainan adalah
bahwa peserta dapat belajar lebih baik dengan melakukan(doing)
daripada (hanya) dengan membaca, mendengarkan atau mengamati.
Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi,
kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak
pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ,
Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah
melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.
Permainan ice breaker ini bisa jadi hanya sebuah permainan sederhana
seperti bermain menjadi patung, permainan refleks atau lain
sebagainya. Namun permainan-permainan ice breaker ini tidak bisa
dianggap sepele, karena ia juga sebagai salah satu aspek penting
dalam pelatihan (Wilderdom,2007).
Menurut website Wlderdom (2007), sebuah website untuk komunitas
pecinta pelatihan-pelatihan sumber daya manusia yang juga sebuah
lembaga pelatihan di Amerika Serikat, permainan ice breaker mampu
memuaskan kebutuhan peserta pelatihan agar dapat terjalin hubungan
sosial yang baik dengan peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan,
menciptakan suasana kelompok yang positif, menghilangkan sekat-
sekat komunikasi diantara peserta, memberi semangat dan memotivasi
peserta, membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain, serta
mampu membuat para peserta relaks dan tidak lagi tegang selama
pelatihan berlangsung.
Selama ini permainan ice breaker dilaksanakan dalam agenda
pelatihan-pelatihan atau semacamnya karena dianggap sebagai sebuah
kegiatan yang menyenangkan dan sebuah sarana untuk relaksasi.
Karena permainan ice breaker dirancang sederhana dan tidak butuh
persiapan yang rumit, maka pelaksanaannya ditengah kegiatan acara
yang melelahkan dan membosankan dianggap sebagai suatu sarana
bersenang-senang dan bermain-main antar sesama peserta.
Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi
peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang
dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan
belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan
prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi
pembelajaran yang diperkenalkan oleh David Kolb sebagaimana yang
dikutip oleh Kelly (1997) ini memakai prinsip pengalaman sebagai
sebuah proses dalam penghayatan, untuk kemudian diujicobakan
kembali pembelajaran tersebut dengan mengalami pengalaman
tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi
pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.
Teorinya yang disebut dengan Experiential Learning Theory (ELT) itulah
yang kini banyak dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pelatihan
yang menggunakan media permainan atau simulasi sebagai sarana
pembelajaran (Kirby,1992).Dalam model pembelajaran dalam ELT ini,
Kolb sebagaimana yang dikuti oleh Kirby (1992) menjelaskan bahwa
agar sebuah perilaku atau hal baru dapat dipelajari dan diterapkan
dengan cara yang efektif, maka dalam proses pembelajarannya harus
dibuat berkesan secara emosional.
Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses
pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat
secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya
dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal,
melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian
mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami
(Johnson&Johnson,1994).
Experiential Learning yang asal katanya adalah experience
(pengalaman) menekankan adanya unsur pengalaman atau mengalami
sebuah situasi untuk bisa belajar mengatasi masalah dalam situasi
tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses
yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah
dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku
tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).
Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan yang menggunakan dasar
prinsip ELT, setiap latihan dan permainan yang digunakan, walaupun
sederhana, namun telah direncanakan dengan baik agar dapat menjadi
sarana yang tepat untuk belajar. Permainan-permainan dan simulasi
yang digunakan dapat digunakan untuk fungsi yang berbeda.
Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan
menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur
pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar,
juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah
pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).
Yang dimaksud dengan pemecah kebekuan disini adalah fungsi
permainan sebagai sarana agar para peserta dalam pelatihan atau
orang-orang yang terlibat didalamnya tidak lagi menjaga jarak dan
dibatasi oleh ”tembok” yang menghalangi proses komunikasi dan
sosialisasi (Wilderdom, 2007).
Dalam sebuah situasi seperti pelatihan, pola interaksi antar pesertanya
sangat penting (Scannell,1995). Karena selama proses pelatihan
tersebut, pengalaman dan pelajaran bukan hanya diperoleh dari pelatih
atau fasilitator dalam pelatihan tersebut, akan tetapi seluruh proses
pelatihan dari hal terkecil seperti pembentukan kelompok, kerjasama,
kedisiplinan dan pola komunikasi antar peserta juga menjadi
pembelajaran tersendiri (Wilderdom,2007).
Dalam beberapa pelatihan, sesuai dengan tujuan pelaksanaannya,
beberapa materi seperti pengembangan kemampuan komunikasi, atau
team building, penting adanya interaksi antar peserta yang dinamis. Hal
itu dapat terjadi, jika antar peserta adanya keterbukaan dan
pengungkapan perasaan, pemikiran dan ide-ide (Scannell, 1995).
Memang, untuk mengungkapkan atau tidak mengungkapkan adalah
sebuah dilema yang dialami oleh sebagian besar individu. Apalagi jika
hal yang ingin diungkapkan adalah sesuatu yang bersifat pribadi.
Ungkapan seseorang mengenai pemikirannya, perasaannya,
pengalaman terdahulunya atau sikapnya dapat mempengaruhi
kehidupan sosialisasinya. Bahkan dapat pula mempengaruhi hubungan
interpersonalnya dengan pasangannya (Tong,1998).
Ungkapan verbal seseorang mengenai pemikirannya, sikapnya,
perasaannya atau hal-hal pribadi mengenai dirinya tersebut dinamakan
dengan self disclosure (Higgins,1982). Self artinya diri dan disclosure
berarti tidak tertutup. Disebut self disclosure karena menunjukkan
adanya keterbukaan informasi mengenai diri pribadi kepada orang lain.
Self disclosure hanya salah satu cara dalam meningkatkan sensifitas
mengenai keadaan orang lain (Higgins,1982). Seperti halnya human
relations skill yang lain, self disclosure adalah alat penting dalam
berhubungan dengan orang lain. Ia digunakan untuk mencoba
mengenal orang lain dan membina hubungan secara interpersonal.
Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Wei,Russel dan
Zakalik (2005), kemampuan seseorang untuk mengungkapkan
perasaannya atau pemikirannya kepada orang lain akan mengurangi
perasaan teralienasi atau kesepian pada diri orang tersebut.
Sependapat dengan penjelasan diatas, Leung (dalam Lurding,2005)
juga menyatakan bahwa self disclosure merupakan esensi penting
dalam membina sebuah hubungan akrab dengan individu lain. Mereka
yang memiliki masalah dalam membuka dirinya atau informasi dirinya
kepada orang lain akan menemui masalah dan menjadi orang yang
kemudian kesepian karena tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan
akrab dengan mereka.
Self disclosure mampu mempengaruhi individu dengan berbagai
macam cara. Orang-orang yang memiliki masalah dalam membuka
informasi mengenai dirinya kepada orang lain bisa menemui berbagai
macam kesulitan dalam membina hubungan yang akrab dengan orang
lain. Karena ada fenomena dua arah dalam self disclosure, ini berarti
self disclosure tergantung pada disclosure individu dan juga disclosure
pasangan bicaranya (dalam Lurding, 2005).
Sesuai dengan definisi sederhananya, self disclosure adalah sebuah
bentuk komunikasi verbal yang berkaitan dengan diri orang tersebut
baik emosional, pemikiran dan sikap (Harper&Harper, 2006).Ia banyak
digunakan dalam proses therapeutic seperti dalam konseling
(Hansen,1978), dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang
dianggap sebagai aspek komunikasi yang paling dasar dalam ruang
kelas (Harper&Harper,2006), dalam sistem komunikasi (Matthews,1986)
dan juga dalam dunia medis dan keperawatan (Ashmore&Banks,2001).
Tak hanya itu, self disclosure juga merupakan sebuah indikator
kepuasan dalam hubungan romantis. Dan hal tersebut berkait erat
dengan perkembangan hubungan romantis pasangan tersebut (dalam
Lurding,2005).
Bahkan dalam beberapa penelitian, self disclosure adalah sesuatu yang
sangat vital dalam hubungannya dengan intimacy (keakraban). Semakin
dia melakukan proses self disclose yang mendalam mengenai dirinya
kepada pasangannya, semakin dalam pula hubungan itu
(Lurding,2005).
Dari berbagai macam jenis bakat hubungan manusia(human relations
skill), self disclosure merupakan salah satu yang dianggap penting.
Perilaku self disclosure mempengaruhi berbagai macam aspek dalam
hubungan interpersonal dan juga dipengaruhi oleh berbagai macam hal
(Higgins,1982). Karena self disclosure merupakan sebuah
perilaku(behavior), maka perilaku self disclosing dapat dipelajari
(Hansen, 1976). Melalui proses pembelajaran (learning) maka
kemampuan self disclosure dapat dimiliki (Johnson&Johnson, 1994).
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam atar beakang masalah, maka pertanyaan-
pertanyaan dalam peneltiian ini adalah:
1. Apakah permainan ice breaker ”Whose Is It” dapat mempengaruhi
self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta
Selatan?
2. Apakah ada perbedaan tingkat self discosure berdasarkan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan?
3. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan suku?
4. Apakah ada perbedaan tingkat self disclosure berdasarkan usia?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
Yang dimaksud dengan permainan ice breaker disini adalah sebuah
aktifitas dalam pelatihan yang terstruktur dengan tujuan proses
pengenalan antar peserta dan membina komunikasi yang positif dalam
kelompok. Ia merupakan permainan sederhana yang melibatkan 2
orang, atau lebih yang bertujuan untuk membuat suasana sebuah forum
tertentu, dalam hal ini adalah pelatihan, menjadi lebih akrab dan tidak
terlalu kaku.
Adapun permainan ice breaker yang digunakan dalam penelitian ini
adalah permainan ”Whose is It Game” dimana masing-masing peserta
menulis jawaban dari 5 pertanyaan yang sebelumnya dikemukakan oleh
si pelatih, kemudian dikumpulkan, dibagikan secara acak kepada
pesertanya kembali dengan memastikan tidak ada yang mendapatkan
kertas yang telah ditulisnya sendiri, kemudian mencari siapa yang
memiliki kertas tersebut. Setiap peserta diharuskan ”menginterogasi”
sesama peserta tanpa menanyakan pertanyaan ”ini milik kamu ya?”
atau ”kertas ini kamu yang tulis ya?” atau sejenisnya.
Self disclosure yang dimaksud disini adalah keterbukaan individu untuk
mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan secara
sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang belum
dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide pribadinya
dengan orang lain.
1.3.2 Perumusan Masalah
Maka dari uraian latar belakang penelitian di atas, timbul pertanyaan
untuk merumuskan masalah penelitian, yaitu ”apakah ada pengaruh
permainan ice breaker terhadap self disclosure pada remaja
pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan?”
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh permainan ice
breaker terhadap self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul
Rahman Jakarta Selatan.
1.4.2. Manfaat penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Manfaat Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi intelektual bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi industri
dan organisasi, psikologi pendidikan dan psikologi sosial.
B. Manfaat Praktis
Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya dan
organisasi-organisasi, perusahaan-perusahaan, instansi pendidikan,
serta lembaga-lembaga pelatihan dan pengembangan diri, untuk
menguji coba efektifitas permainan ice breaker terhadap komunikasi
dan sosialisasi peserta pelatihannya.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memperjelas dan menggambarkan secara singkat dari skripsi ini,
maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab 1 : Pendahuluan
Berisi pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan, dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab 2 : Landasan Teori
Berisi kajian teori yang membahas mengenai definisi permainan
ice breaker, fungsi permainan ice breaker, dugaan pengaruh
permainan ice breaker terhadap self disclosure, definisi self
disclosure, pengaruh self disclosure, faktor-faktor yang
mempengaruhi self disclosure serta penelitian mengenai self
disclosure.
Bab 3 : Metodologi Penelitian
Bab ini akan membahas metodologi penelitian yang terdiri dari
jenis penelitian, pendekatan penelitian, subjek penelitian, metode
penelitian, variabel-variabel penelitian, kontrol variabel,
pengambilan sampel, populasi dan sampel, teknik pengambilan
sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, serta
prosedur penelitian.
Bab 4 : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi mengenai gambaran umum penelitian dan serta
hasil utama penelitian.
Bab 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan , diskusi dan
saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Permainan Ice Breaker
2.1.1 Definisi
Istilah “permainan” memiliki beberapa pengertian berbeda. Meski tidak
dapat dengan mudah didefinisikan, pada dasarnya permainan adalah
sebuah aktifitas spontan yang tidak memiliki tujuan yang tertentu dan
dimotivasi oleh keinginan untuk bersenang-senang (Schaefer&Reud,
1986).
Tidak ada definisi jelas mengenai permainan ice breaker, namun
menurut Kirby (1992) permainan yang digunakan dalam training sendiri
berarti a structured training activity with a content or process learning
objective other than the completion of the activity itself. Jika memang
permainan ice breaker yang digunakan dalam training bertujuan untuk
menciptakan suasana komunikasi yang positif antar peserta maka
definisinya berarti sebuah aktifitas dalam pelatihan yang terstruktur
dengan tujuan proses pengenalan antar peserta dan membina
komunikasi yang positif dalam kelompok.
Menurut Kirk dan Kirk (1995) istilah permainan mengarah pada sebuah
aktifitas yang membutuhkan pelaksanaan sebuah tugas, memainkan
sebuah peran, mengikuti aturan-aturan didalamnya dan berusaha untuk
mencapai sebuah tujuan. Bagi sebagian orang, memainkan permainan,
apapun itu, sangat menyenangkan dan memberinya semangat.
Tantangan yang mereka hadapi selama permainan berlangsung
membuat jantung mereka berdetak kencang, darah berdesir cepat, dan
adrenalin terpompa.
Bermain sebuah permainan adalah sebuah aktifitas yang membutuhkan
setidaknya dua elemen penting dalam permainan, yaitu bertujuan untuk
bersenang-senang dan melibatkan pengalaman fantasi. Namun,
permainan apapun itu memiliki aturan-aturan didalamnya, peraturan tiu
akan memperjelas peran yang akan mereka mainkan, batasan-batasan
dan harapan-harapan perilaku, serta bagaimana alur permainan
tersebut. Elemen penting lain dari sebuah permainan adalah adanya
interaksi interpersonal diantara pemainnya (Schaefer&Reud,1986).
Permainan biasanya melibatkan dua atau lebih orang untuk bermain.
Dan dalam sebagian besar permainan, pola interaksi pemain dalam
permainan antara satu dengan yang lain adalah saling ketergantungan.
Oleh karena itu, bermain dapat dikatakan sebagai salah satu aktifitas
sosial karena dapat terlaksana dengan kehadiran setidaknya dua orang
(Schaefer&Reud, 1986).
Istilah permainan ice breaker timbul karena nuansa yang diberikan
selama melaksanakan permainan ini adalah memecah kebekuan dan
kekakuan antar peserta. Sehingga permainan apapun bisa disebut
sebagai pemainan ice breaker selagi ia memberikan kemeriahan dan
menghangatkan suasana dalam memainkannya (Wilderdom,2007).
2.1.2. Fungsi Permainan Ice Breaker
Berdasarkan pendapat Kirby (1992) yang menyatakan bahwa
permainan berarti sebuah aktivitas dalam pelatihan yang terstruktur
dengan tujuan pembelajaran isi permainan dan proses permainan,
maka fungsi permainan ice breaker adalah bertujuan untuk menciptakan
suasana komunikasi yang positif antar peserta dan menghilangkan
“tembok penghalang” komunikasi.
Menurut Kirby (1992) prinsip yang mendasari dilaksanakannya
pelatihan-pelatihan yang melibatkan permainan-permainan adalah
bahwa peserta dapat belajar lebih baik dengan melakukan(doing)
daripada (hanya) dengan membaca, mendengarkan atau mengamati.
Selain materi pelatihan yang disampaikan, seperti materi motivasi,
kemampuan berkomunikasi, kecakapan berpresentasi, dalam banyak
pelatihan sumber daya manusia yang seringkali dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga pelatihan di Indonesia seperti lembaga Trustco, ESQ,
Manajemen Qolbu, atau lembaga-lembaga training lainnya ,adalah
melakukan sebuah permainan ”ice breaker” atau ”pemecah kebekuan”.
Permainan ice breaker mampu memuaskan kebutuhan peserta
pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan peserta
lain atau dengan fasilitator pelatihan, menciptakan suasana kelompok
yang positif, menghilangkan sekat-sekat komunikasi diantara peserta,
memberi semangat dan memotivasi peserta, membantu peserta untuk
saling mengenal satu sama lain, serta mampu membuat para peserta
relaks dan tidak lagi tegang selama pelatihan berlangsung(Wilderdom,
2007).
Selama ini permainan ice breaker dilaksanakan karena dianggap
sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan dan sebuah sarana
untuk relaksasi. Karena permainan ice breaker dirancang sederhana
dan tidak butuh persiapan yang rumit, maka pelaksanaannya ditengah
kegiatan acara yang melelahkan dan membosankan dianggap sebagai
suatu sarana bersenang-senang dan bermain-main antar sesama
peserta.
Namun, meskipun sederhana dan menjadi sarana untuk relaksasi
peserta, permainan ice breaker dan permainan-permainan lainnya yang
dilaksanakan untuk kepentingan pelatihan bukanlah sebuah permainan
belaka. Permainan-permainan tersebut disusun dan dirancang dengan
prinsip Experiential Learning Theory (ELT). Sebuah strategi
pembelajaran yang diperkenalkan oleh David Kolb sebagaimana yang
dikutip oleh Kelly (1997) ini memakai prinsip pengalaman sebagai
sebuah proses dalam penghayatan, untuk kemudian diujicobakan
kembali pembelajaran tersebut dengan mengalami pengalaman
tersebut kembali. Permainan ice breaker adalah salah satu strategi
pembelajaran yang menggunakan prinsip ini.
Teorinya yang disebut dengan Experiential Learning Theory (ELT) itulah
yang kini banyak dijadikan sebagai dasar dalam pelaksanaan pelatihan
yang menggunakan media permainan atau simulasi sebagai sarana
pembelajaran (Kirby,1992).Dalam model pembelajaran dalam ELT ini,
Kolb sebagaimana yang dikuti oleh Kirby (1992) menjelaskan bahwa
agar sebuah perilaku atau hal baru dapat dipelajari dan diterapkan
dengan cara yang efektif, maka dalam proses pembelajarannya harus
dibuat berkesan secara emosional.
Berbagai macam latihan dan permainan yang dilakukan selama proses
pembelajaran dalam pelatihan yang memakai prinsip ELT adalah dibuat
secara struktur dan ditentukan agar individu yang menjalankannya
dapat bereksperimen dengan perilaku, mencoba berbagai macam hal,
melihatnya apakah berhasil, membangun skill untuk kemudian
mengembangkan teori tindakan berdasarkan apa yang telah dialami
(Johnson&Johnson,1994).
Experiential Learning yang asal katanya adalah experience
(pengalaman) menekankan adanya unsur pengalaman atau mengalami
sebuah situasi untuk bisa belajar mengatasi masalah dalam situasi
tersebut. Tidak cukup hanya sampai disitu, karena kemudian proses
yang harus dilewati adalah mengambil kesimpulan dari apa yang sudah
dipahami, membangun pola pikir dan kemudian mencoba perilaku
tersebut kembali (Johnson&Johnson, 1994).
Oleh karena itu, dalam pelatihan-pelatihan yang menggunakan dasar
prinsip ELT, setiap latihan dan permainan yang digunakan, walaupun
sederhana, namun telah direncanakan dengan baik agar dapat menjadi
sarana yang tepat untuk belajar. Permainan-permainan dan simulasi
yang digunakan dapat digunakan untuk fungsi yang berbeda.
Sesuai dengan skill yang ingin dipelajari, maka pemilihan permainan
menjadi sangat penting, tidak dilupakan juga perencanaan dan prosedur
pelaksaannya. Dari berbagai fungsi permainan, selain untuk belajar,
juga ada yang disebut dengan ice breaker, atau dalam istilah
pelatihannya disebut sebagai pemecah kebekuan (Wilderdom,2007).
Yang dimaksud dengan pemecah kebekuan disini adalah fungsi
permainan sebagai sarana agar para peserta dalam pelatihan atau
orang-orang yang terlibat didalamnya tidak lagi menjaga jarak dan
dibatasi oleh ”tembok” yang menghalangi proses komunikasi dan
sosialisasi (Wilderdom, 2007).
Sesuai dengan namanya, fungsi sebuah permainan ice breaker atau
”pemecah kebekuan” dianggap mampu memuaskan kebutuhan
peserta pelatihan agar dapat terjalin hubungan sosial yang baik dengan
peserta lain atau dengan fasilitator pelatihan (Glass&Benshoff, 2002).
Sedangkan menurut website wilderdom.com (2007) diantara fungsi
permainan ice breaker adalah:
1. menciptakan suasana kelompok yang positif
2. membantu individu menjadi lebih relaks
3. meruntuhkan penghalang sosial
4. memompa energi dan memotivasi
5. membantu orang untuk berfikir lebih luas (think outside the box)
6. membantu peserta untuk saling mengenal satu sama lain
Dalam pelaksanaan permainan ice breaker harus menyenangkan,
relaks serta terbuka. Selama permainan berlangsung, setiap peserta
diharuskan membebaskan ekspresi dirinya agar tidak ada lagi kekakuan
dan benteng diri daripada berkomunikasi dengan orang lain.
Ada begitu banyak jenis permainan ice breaker yang dapat dicari
melalui artikel maupun lembar aktifitas yang banyak tersedia di website-
website yang membahas group facilitation. Diantara website tersebut
adalah www.funnatic.com, www.wilderdom.com, www.albany.edu,
www.firststeptraining.com, www.funAttic.com,
www.residentAssistant.com dan banyak website lain.
2.1.3. Dugaan Pengaruh Permainan Ice Breaker terhadap Self
Disclosure
Cox (dalam Tong, 1998) berpendapat bahwa ada tiga dimensi dalam
self disclosure: time, depth dan mutuality. Maka dimensi terakhir yaitu
mutuality (hubungan timbal balik)adalah komposisi yang sangat
berperan karena ”keterbukaan seseorang akan menghasilkan
keterbukaan pasangannya”. Dalam permainan ice breaker, upaya
keterbukaan seseorang ”dipaksakan” selama permainan berlangsung,
karena terkait dengan
peraturan dan tata cara permainan, maka seseorang harus berupaya
membuka diri kepada peserta lain.
Dalam penelitian ini, sebuah upaya untuk membuka diri dilakukan
selama proses permainan ice breaker yaitu dengan mencoba
menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ”binatang kesukaanmu
kelinci ya?” atau memulai menyapa terlebih dahulu kepada sesama
peserta agar terjadi ”openness” yang menghasilkan ”openness” oleh
yang lainnya.Tanpa dibatasi waktu dan tempatnya maka diduga proses
disclose sesama peserta akan semakin kecil dan lambat. Permainan ice
breaker ini merupakan penyempitan waktu, agar proses self disclosure
dapat teramati.
2.1.4 Training dalam Perspektif Islam
Diantara para trainer kepemimpinan muslimin, istilah training atau
pelatihan digunakan untuk menyebut sebuah kumpulan kegiatan yang
mendidik, memperkaya wawasan, memotivasi dan meningkatkan
potensi mereka secara spiritual, serta mengembangkan bakat-bakat
kepemimpinan dalam diri peserta pelatihan sebagai pengemban
dakwah dimuka bumi (Altalib, 1991).
Dalam program-program pelatihan yang Islami, terdapat penekanan
dalam hal komitmen keislaman peserta, pemahaman ajaran Islam,
kesadaran, kepedulian serta membangun dan memupuk kesadaran
tersebut.metode dalam program-program semacam itu didasari oleh
tujuan yang akan dicapai, perilaku yang ingin diperoleh serta hubungan
manusia dengan Penciptanya yaitu Allah.
Program-program pelatihan yang memiliki tujuan-tujuan seperti yang
telah disebut diatas adalah berdasarkan prinsip bahwa seorang muslim
bukanlah yang memerangi syaitan serta hamba-hambanya dengan
pedangnya untuk kemudian dapat segera masuk jannah dengan
pedangnya itu, melainkan seorang muslim adalah yang secara aktif
berperan dan berinteraksi dalam masyakat serta berkontribusi
memberikan perubahan yang positif dan bermanfaat bagi ummah
(Altalib, 1991). Allah berfirman:
أن ���� �� $#� } 40{وأن� ���� ��ف ی�ى } 39{���� ن إ��� }41{ی+*ا, ا�+*(ء ا&و%
“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna.” (53:39-41)
Rasulullah SAW bersabda:
إر2.�ا 0� %/ ا&رض ی1.2�# 0� %/ ا���. ء
“ Sayangilah apa yang ada diatas bumi, niscaya Yang diLangit akan
Menyayangimu.”(Hadis riwayat Tirmidzi)
Dari hadis ini dapat disimpulkan, bahwa tugas seorang muslim bukan
hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan berpikir
sebagai satu bagian dari jama’ah Muslimin yang saling tolong
menolong, menyayangi, saling peduli dan menjadi individu yang
bermanfaat bagi kesejahteraan ummah secara duniawi maupun
ukhrawi. Namun seorang muslim tidak dapat melaksanakan tugasnya
dengan optimal untuk berkontribusi kepada masyarakat jika pribadinya
sendiri tidak dilatih dan dibekali untuk tujuan tersebut. Maka penting
adanya pelatihan-pelatihan pengembangan diri sebagai salah satu
sarana pencapaiannya (Altalib, 1991).
Dalam konsep pelatihan yang islami, terdapat empat dasar utama
pelaksanaan pelatihan. Yang pertama adalah penciptaan manusia
sebagai Khalifah di bumi Allah. Allah berfirman:
��ا أ+7�5�% 6 وإذ 8 ل ر1AB.<� CDE: إ�@/ ج <6 %/ ا&رض =>�;: 88 ل إ�@/ C� س@IJ�ك وI.LE M@N�� 0L�ء وO�@Iا� C;�وی 5�% I�;0� ی
�ن .<�7 � }30{أ<># �
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahu apa yang tidak kamu ketahui”.(2:30)
Manusia berperan sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak
melakukan kekerasan dan pertumpahan darah yang akan merusak dan
merugikan segala yang ada dibumi dan isinya. Peran manusia
diharapkan menjadi makhluk yang konstruktif dan memberikan kebaikan
diatas bumi. Untuk menjadi seorang, manusia harus menyadari arti
perannya dengan baik dan senantiasa berperilaku sesuai dengan yang
telah digariskan Allah (Altalib, 1991).
Dasar yang kedua adalah ilmu pengetahuan. Setelah Allah menciptakan
Adam As. Hal pertama yang Allah lakukan terhadap Adam adalah
mengajarnya ilmu. Allah berfirman dalam surat AlBaqoroh:
��/ O.�PEء QNل أ� J% :1AB.�ا <> #5R�> �#$ و<>�# ءادم ا&�.Oء آ>�5 د0�8 V #WXء إن آYZ31{ه { XW.�<> OX� #<> � C� إ�� �LN� ا�� 8 #�1L�>�# ا�أ�\ ا� C32{إ��{
“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman:”Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab: “Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(2:31-32)
Ilmu pengetahuan merupakan alat penting dalam segala hal. Terutama
untuk melaksanakan tugas manusia sebagai khalifah untuk membangun
kekuatan melawan yang bathil dan mensejahterakan bumi dan seisinya.
Tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan dapat berperan dengan
baik dan malah akan bertindak destruktif.
Yang ketiga adalah adanya ujian. Adanya unsur ujian dalam pelatihan
adalah penting untuk melihat keberhasilan pelatihan setelah diberikan
materi dan pengajaran. Allahpun memberikan ujian kepada Adam dan
Hawa setelah mereka diajarkan berbagai macam hal oleh Allah. Allah
berikan ujian dengan melarang Adam dan hawa untuk memakan buah
khuldi. Namun ketikan Adam dan Hawa tidak berhasil melalui ujian
tersebut dengan memakannya, maka Allah berikan sebuah konsekuensi
dengan perintahnya untuk turun ke bumi. Ujian untuk tidak memakan
buah khuldi adalah salah satu cara untuk melihat sekuat manakah
Adam dan Hawa berpegang teguh kepada perintah Allah (Altalib, 1991).
B.> 0�21# أDآ# أی�<N�� ة �L�ت وا� ا�. }2 {..…ا��bي =>
“ Yang (Allah) menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu,
siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.”(67:2)
��ا ء�Jا أن ی� س أن یW�آ�Xا� c�2ن أ�XW;وه# �ی �X�2{ا{
“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji
lagi?”(29:2)
�ا<N��ی0 وE �d1# وا�X� 0یIه ��># ا�.+�W2 #1���<NX�رآ# و N=أ }31{
“ Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami
mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu,
dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”.(47:31)
Adapun yang keempat adalah adanya teladan daripada perilaku dan
akhlak para Nabi dan Rasul. Dalam pelatihan, perilaku dan akhlak para
Nabi dan rasul harus senantiasa dijadikan teladan dalam segala hal.
Baik itu dalam visi dan misi dakwah maupun dalam keseharian. Kita
sebagai muslim adalah penerus dakwah para Nabi dan Rasul untuk
menebar rahmah kepada seluruh penjuru alam semesta dengan
mensyiarkan Islam dan berbuat kebaikan diatas muka bumi. Peran
manusia sebagai khalifah sebenar dapat kita contoh dari bagaimana
cara para Nabi dan Rasul melaksanakannya (Altalib, 1991). `
2.1.5 Permainan Ice Breaker dalam Perspektif Islam
Metode pelaksanaan program pelatihan Islami dapat berupa apa saja,
hanya saja 4 dasar utama yang telah disebut diatas selalu dipegang
teguh. Tidak ada keterangan jelas dari referensi mengenai permainan
ice breaker, namun permainan atau apapun kegiatan yang didalamnya
terdapat objektif yang jelas dan tujuan yang baik yaitu demi peningkatan
dan pengembangan potensi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik
adalah salah satu sarana penting. Permainan ice breaker hanyalah
merupakan satu bentuk representasi dari kejadian sebenar dalam dunia
nyata (Altalib, 1991).
Allah telah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125:
:X�L�ا :e>� 1L�.: وا�.E C@E6� رN� ��W/ ه/ ادع إ�E #5�د وج
ه� أ<># أ0�2 إن� رC�E ه� أ<># N� 0> �6R 0.E�>� و
�.IW5ی0E}125{
“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.”(16:125)
Ayat ini menjelaskan bahwa menyeru manusia kepada kebaikan dapat
melalui berbagai macam cara, dengan syarat agar dilakukan dengan
cara yang hikmah dan baik, tidak memudharatkan dan dengan strategi
yang jitu. Berbagai macam cara pembelajaran dapat dilakukan saat ini
diantaranya melalui permainan yang terbukti mampu secara efektif
menjadi sarana pembelajaran perilaku baru. Maka dapat dikatakan
bahwa permainan ice breaker merupakan salah satu cara pembelajaran
yang baik dan dengan tujuan yang baik pula.
2.2 Self Disclosure
2.2.1. Definisi
Yang dimaksud dengan self disclosure adalah berbagi informasi yang
intim atau perasaan-perasaan dengan orang lain (Hogg&Vaughn,
2002). Atau menurut Breckler, Olson dan Wiggins (2001) yaitu proses
keterbukaan informasi antar satu sama lain yang secara meningkat
menjadi lebih pribadi dan intim tentang diri mereka.
Laurenceu, Pietromonaco & Brrett (1998) mendefinisikan self disclosure
sebagai the verbal communication of personally relevant information,
thoughts and feelings to another. Sedangkan Ashmore & Banks (2001)
menjelaskan sebagai berikut : a process by which we let ourselves be
known by others. Self disclosure bukan hanya diartikan sebagai
kesediaan mengungkapkan pemikiran, perasaan intim atau sikap
kepada orang lain, tetapi juga sikap sederhana seperti membiarkan
orang lain mengetahui hal-hal sederhana mengenai diri kita juga
dianggap sebagai self disclosure.
Ada dua jenis self disclosure yang diungkapkan oleh Laurenceu,
Pietromonaco & Brrett (1998), yaitu factual self disclosure dan
emotional self disclosure. Dalam factual self disclosure, seseorang
mengungkapkan fakta-fakta dan informasi pribadinya seperti
mengatakan”saya pernah berpacaran tiga kali selama hidup saya”.
Sedangkan dalam emotional self disclosure, seseorang
mengungkapkan perasaan, pendapat dan sikap pribadinya seperti
mengatakan “putus cinta saya yang lalu begitu menyakitkan bagi saya
sehingga saya tidak yakin dapat menjalin hubungan dengan seseorang
lagi”.
Sedangkan menurut Haymes seperti yang dijelaskan oleh Jourard
(dalam Tong, 1998) menyatakan bahwa definisi operasional dan
behavioral self disclosure dapat dibagi menjadi empat kategori respons:
1. Ekspresi emosi dan proses emosi
2. Ekspresi kebutuhan
3. Ekspresi impian, pencapaian, cita-cita dan harapan
4. Ekspresi mawas diri
Menurut Johnson (dalam Tong,1998), self disclosure juga dapat
didefiniskan sebagai sebuah pengungkapan reaksi terhadap suatu
situasi yang sedang terjadi dan memberikan informasi mengenai yang
telah lalu yang berkaitan dengan bagaimana pengungkapan reaksi pada
saat ini. Definisi ini dapat digambarkan dengan sebuah contoh
sederhana ”saya senang sekali mengikuti pelatihan seperti ini karena
ketika sekolah SMU dulu sulit sekali menemukan kegiatan seperti ini,
gratis lagi!”.
Demi kepentingan penelitian, berdasarkan berbagai definisi diatas,
maka penulis menyimpulkan bahwa self disclosure adalah keterbukaan
individu untuk mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan
secara sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang
belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide
pribadinya dengan orang lain.
2.2.2 Pengaruh self disclosure
Menurut Archer (dalam Tong,1998)self disclosure memiliki berbagai
macam fungsi dan manfaat dalam sebuah hubungan. Salah satunya
adalah memperoleh validasi social (social validation) yang berarti
mendapatkan timbal balik dan respons dari orang lain mengenai
pemikiran, perasaan atau sekedar bantuan dalam memecahkan
masalah dalam hidup kita. Dan sudah dipastikan bahwa self disclosure
dapat membantu dalam interaksi sosial dalam masyarakat.
Seperti yang diungkapkan oleh Ashmore & Banks (2001) self disclosure
adalah determinan yang paling penting dalam hubungan jangka panjang
yang intim. Bahkan self disclosure juga merupakan aspek penting
dalam dunia kesehatan mental, keberhasilan sebuah hubungan
therapeutic pada proses terapi dan konseling ditentukan oleh proses
self disclosure terapisnya.
Bahkan menurut Jaffe (dalam Tong,1998) self disclosure adalah salah
satu proses self renewal atau pembaharuan diri. Menurutnya, jika
setelah seseorang mengalami sebuah peristiwa traumatis dalam
hidupnya, maka ia perlu secara bertahap membuka diri dengan apa
yang terjadi agar dapat memperoleh kembali pengakuan terhadap diri
sendiri.
Orang-orang yang berkeinginan untuk terbuka mengenai hal-hal pribadi
dirinya umumnya disukai orang lain daripada mereka yang tidak , oleh
karena itu, mereka lebih bisa diterima dengan baik oleh lingkungan.
Bahkan menurut Sidney Jourard (dalam Higgins,1982) dengan self
disclosure, seseorang dapat meningkatkan hubungan sosial
kemasyarakatannya dan mengurangi stres.
Hubungan antara self disclosure dengan kesediaan untuk dikenal oleh
orang lain dapat dipahami dengan menjelaskan Johari Window. Johari
Window merupakan penggambaran daripada self-data individu. Dan
Johari Window ini dapat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan
self disclosure. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat dinamika 4
quadrant(dalam Tong,1998) :
Tabel 2.1. The Johari Window (dari Luft dalam Tong, 1998)
Known to Self Not Known to Self
1
Open Area
2
Blind Area
3 4
Known to Others
Not Known to Others
Hidden Area Unknown Area
Keterangan:
Quadrant 1 : Quadrant yang terbuka (Open), seringkali disebut sebagai
“the public self”, terdiri dari perilaku, perasaan dan
motivasi yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain.
Quadrant 2 : Quadrant buta (Blind), yang berarti perilaku, perasaan dan
motivasi yang diketahui oleh orang lain tapi tidak diri
sendiri.
Quadrant 3 : Quadrant yang tersembunyi (Hidden), yang berarti
perilaku, perasaan dan motivasi yang diketahui oleh diri
sendiri tapi tidak oleh orang lain.
Quadrant 4 : Quadrant yang tidak diketahui (Unknown), yang berarti
perilaku, perasaan dan motivasi yang tidak diketahui oleh
diri sendiri maupun orang lain.
Dalam prinsip Johari Window ini, ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan, Luft (dalam Tong,1998) menjelaskan ada 11 prinsip dalam
perubahan quadran-quadran ini:
1. adanya perubahan dalam salah satu quadrant berarti
berpengaruh terhadap qudrant lain.
2. butuh tenaga untuk menyembunyikan, menyangkal, atau menjadi
buta daripada perilaku yang terkait dalam interaksi.
3. ancaman cenderung mengurangi kewaspadaan, kepercayaan
antar sesama meningkatkan kewaspadaan.
4. kesadaran yang dipaksakan adalah sesuatu yang tidak disukai
dan biasanya tidak efektif.
5. jika ada proses pembelajaran secara interpersonal, berarti ada
perubahan yang sedang terjadi dalam quadrant 1dan ada satu
atau lebih quadrant yang mengecil.
6. bekerja dengan orang lain difasilitasi oleh area yang cukup luas
untuk bebas bergerak, berarti lebih banyak sumber daya dan
bakat seseorang yang dilibatkan yang bisa diperbantukan dalam
sebuah tugas.
7. semakin kecil wilayah quadrant 1 semakin kurangnya adanya
komunikasi.
8. ada sebuah rasa ingin tahu yang universal dalam area yang tidak
diketahui (Unknown), tapi ini bisa segera tertangani dengan
social training dan diverse fears.
9. kepekaan artinya menghargai aspek-aspek perilaku yang tidak
tampak dalam quadrant 2, 3 dan 4 dan menghormati keinginan
orang lain agar tetap seperti itu.
10. mempelajari tentang proses kelompok dapat membantu
meningkatkan kewaspadaan (memperbesar quadrant 1) bagi
kelompok sebagai satu keutuhan juga sebagai anggota dari
kelompok tersebut.
11. sistem nilai dalam sebuah kelompok dan keanggotaannya dapat
diketahui dengan cara mengkonfrontasi bagian quadrant yang
tidak diketahui.
Menurut Luft (dalam Tong,1998) ada hasil yang positif dari perluasan
quadrant pertama (Open). Dengan membuka diri terhadap orang lain,
maka pemahaman terhadap diri sendiri dan kesadaran diri meningkat.
Luft meyakini bahwa meningkatnya pengetahuan seseorang tentang
dirinya sendiri akan menghasilkan pecaya diri dan penerimaan diri yang
lebih besar.
Tiap individu memiliki pilihan untuk mengendalikan quadrant-quadrant
ini pada dirinya. Jika seseorang tidak ingin dikenali oleh orang lain dan
cenderung menutup dirinya dariapada dunia, maka ia akan bereaksi
terhadap orang lain dengan kemarahan, perasaan terancam dan rasa
bersalah yang mana dia ciptakan sendiri tembok-tembok yang
menghalangi dirinya. Ini juga berarti ia melakukan represi, proyeksi,
penyangkalan dan mekanisme pertahanan diri yang lain (Tong, 1998).
2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi self disclosure
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tong (1998), ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi self disclosure. Diantara faktor
tersebut adalah jenis kelamin, kebudayaan dan kematangan.
Menurut Sidney Jourard (dalam Tong,1998), ekspektasi dan harapan-
harapan dalam peran laki-laki menuntut mereka untuk selalu tampil
gagah, objektif, gigih, tidak sentimental, dan secara emosional tidak
ekspresif. Hal-hal seperti ini dapat menjadi faktor penghambat self
disclosure. Sebaliknya dengan wanita yang terkait dengan perannya
sebagai ibu, diharapkan sebagai sosok yang pengasih dan senantiasa
merawat, ekspektasi ini dianggap sebagai pendorong wanita menjadi
lebih tinggi dalam self disclosure.
Pada umumnya laki-laki lebih meyakini bahwa melakukan pencapaian
merupakan sebuah tujuan hidup dan mengendalikan emosi sebagai
sebuah strategi untuk mencapai tujuannya. Sedangkan perempuan,
lebih meyakini bahwa kedekatan sosial-emosional adalah sebuah tujuan
penting dan mengekspresikan emosi adalah salah satu caranya
(Tong,1998).
Kedua jenis kelamin menggunakan komunikasi sebagai pencapaian
tujuan. Hanya saja, seringkali terjadi kesalahpahaman antara kedua
jenis kelamin dalam berkomunikasi antar mereka sehingga sering terjadi
adanya konflik dan itu menghambat self disclosure.
Sebagai salah satu hasil pembelajaran sosial, laki-laki umumnya dipuji
karena bersikap penuh kepastian, mandiri, rasional dan tidak
kehilangan kendali pada situasi krisis. Hal-hal inilah yang kemudian
menjadikannya mengambil peran sebagai pemimpin dalam situasi
interpersonal.
Sedangkan bagi perempuan, mereka lebih dipuji jika bersikap penuh
perasaan, simpatik, pengertian dan sensitif terhadap kebutuhan orang
lain. Hal-hal ini yang kemudian menjadikan mereka sosok yang penuh
perasaan dan ekspresif dalam hubungan interpersonalnya.
Adapun faktor kebudayaan juga menjadi salah satu aspek yang
mempengaruhi self disclosure. Namun, sebelum lebih lanjut membahas
mengenai kebudayaan, penting bagi kita untyuk melihat bahwa
hubungan self disclosure dengan masyarakat dan kehidupan berbudaya
sangat rumit. Menurut Egan (dalam Tong,1998) ada dua kekuatan yang
menghambat adanya self disclosure dalam masyarakat:
1. adanya larangan dalam budaya untuk self disclosure
2. sebuah kebiasaan dalam masyarakat yang menyatakan bahwa
kebohongan adalah sebuah cara untuk bisa tetap hidup.
Dalam kebudayaan Asia misalnya, ada yang memandang bahwa self
disclosure adalah sebuah kelemahan dalam masyarakat. Jika self
disclosure tidak dipandang sebagai sebuah kelemahan, sebagian
masyarakat memandangnya sebagai sikap exhibitionism, tanda adanya
illness (penyakit) daripada sebagai bentuk komunikasi. Hal ini berakibat
pada saat-saat yang ekstrim ketika mereka tidak membicarakan
permasalahan pribadi mereka pada keluarga sendiri dan teman-
temannya, mereka lebih memilih untuk menyimpannya sebagai rahasia
dan mencoba mencari pemecahannya sendiri.
Menurut Yum (dalam Tong, 1998) budaya Timur terutama mereka yang
menganut faham Confucianism, Budhism, dan Taoism lebih
menekankan pada bentuk komunikasi tidak langsung yaitu tergantung
pada sensifitas dan kemampuan pendengar untuk memahami makna
dibalik kata-kata, kontras dengan kebudayaan Barat yang lebih banyak
menggunakan bahasa yang langsung dan lebih terbuka dalam
mengungkapkan sikap.
Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Barlund (dalam
Tong, 1998) untuk membandingkan tingkat self disclosure orang Jepang
dengan orang Amerika menjelaskan bahwa ada perbedaan tingkat self
disclosure diantara keduanya. Orang Jepang memiliki tingkat
disclosure yang lebih rendah dibandingkan orang Amerika. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa orang Jepang cenderung terbuka
lebih tinggi kepada sesama jenis kelaminnya. Sedangkan orang
Amerika terbuka terhadap sesama jenis kelamin maupun lawan jenis.
Tong (1998) juga meneliti mengenai perbedaan kebudayaan Kaukasia
dengan Cina, menurut hasil penelitiannya, tingkat self disclosure
bangsa Kaukasia lebih tinggi dibandingkan bangsa Cina. Ini merupakan
pengaruh budaya keduanya yang berbeda dari segi teknik
komunikasinya.
Bangsa Kaukasia lebih lugas dan langsung dalam menyatakan
pendapatnya, berbeda dengan bangsa Timur yang cenderung
menggunakan kata-kata ironi dan sindiran yang tidak langsung
mengarah pada pendapat yang ingin dia ungkapkan. Menurut Tong
(1998) ini juga terpengaruh oleh ajaran Confucianism, Budhism dan
Taoism yang menekankan kebijaksanaan dalam berkata-kata dengan
lebih banyak diam namun lebih banyak berbuat.
Namun sayangnya meski sudah begitu banyak penelitian mengenai
perbedaan budaya dalam kaitannya dengan self disclosure, belum ada
penelitian mengenai faktor budaya dalam self disclosure di Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan kebiasaan
yang begitu beragam. Seperti perbedaan self disclosure dan pola
komunikasi antara budaya Jawa Barat dan Kalimantan misalnya, atau
budaya Jakarta dengan budaya Sumatra dan lain sebagainya. Untuk itu
penelitian mengenai hal tersebut pun belum bisa dicantumkan disini dan
tidak ada referensi mengenai hal itu yang bisa dijadikan rujukan dalam
penelitian ini.
Selain jenis kelamin dan kebudayaan, faktor lain yang berpengaruh
terhadap self disclosure adalah kematangan. Ini dijelaskan oleh Snoek
dan Rothblum (dalam Tong,1998) yang mengatakan semakin matang
seseorang dalam kedewasaannya maka semakin self disclose ia
kepada orang lain. Ini tampak pada perbandingan antara self disclosure
mahasiswa perguruan tinggi dengan tingkat self disclosure siswa
sekolah menengah atas.
Penelitian juga telah dilakukan kepada pria dan wanita lanjut usia,
ditemukan perbandingan bahwa wanita lanjut usia lebih self disclose
daripada pria lanjut usia, sedangkan pria lanjut usia lebih self disclose
daripada pria paruh baya.
Namun, menariknya, semakin tua seseorang, seperti yang diteliti oleh
Henkin (dalam Tong,1998) contohnya pria dan wanita lanjut usia yang
berumur 70 sampai 80 tahun keatas, tingkat self disclosurenya lebih
rendah daripada mereka yang berusia 60 sampai 70 tahun kebawah.
2.2.4. Penelitian mengenai self disclosure
Adalah sebuah kesalahpahaman jika self disclosure dianggap sebagai
fenomena individual. Karena pada hakikatnya ia memerlukan proses
komunikasi yang memberi dan menerima (Holtgraves dalam Tong,
1998). Untuk itu ada keterlibatan pasangan self disclosure seseorang
yang berperan. Ini disebut dengan reciever responsiveness
(Reis&Shaver dalam Laurenceu, Pietromonaco & Brrett, 1998). Bahkan
menurut Culbert (dalam Tong, 1998) keterlibatan reciever dalam
hubungannya dengan proses self disclosure seseorang akan
berdampak pada self disclosure pada dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat Cox (dalam Tong, 1998) yang memaparkan
adanya mutuality sebagai salah satu dimensi penting dalam self
disclosure maka ini mendukung pendapat pentingnya pasangan dalam
hubungan tersebut agar mencapai tingkat self disclosure. Dimensi
mutuality adalah salah satu aspek yang sangat dipandang penting juga
oleh Carl Rogers dalam proses psikoterapi dan konseling. Ia
berpendapat bahwa keterbukaan individu mengenai dirinya akan
mengakibatkan keterbukaan juga-openness begets openness.
Menurut Jourard (dalam Tong, 1998) fenomena ini dinamakan sebagai
reciprocal nature of disclosure. Jika seseorang mulai ada self disclosure
pada dirinya maka itu akan berpengaruh pada self disclosure
pasangannya. Karena menurut Jourard, seorang pasangan akan secara
alamiah menyamai tingkat self disclosure pasangannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Jourard, Landsman dan Tognoli (dalam
Lurding, 2005) menunjukkan bahwa perilaku disclose seseorang,
mendorong recievernya untuk menyamakan tingkat disclosenya. Jadi
ketika seseorang mengungkapkan sebuah pernyataan seperti ”saya
akan sangat berminat mengikuti pelatihan semacam ini jika ada
kesempatan di waktu yang lain” maka respon dari recievernya dapat
berupa ”saya setuju, saya juga tidak ingin melewatkan kesempatan
untuk mengikuti kegiatan semacam ini lain kali”.
2.2.5. Self Disclosure dalam Perspektif Islam
Allah telah mengajarkan manusia untuk berkomunikasi. Peran kita
sebagai manusia dimuka secara sederhana adalah untuk
berkomunikasi dengan jelas dan jernih dengan makhluk lain. Ada begitu
banyak rintangan dalam komunikasi manusia dalam kesehariannya,
seperti perceraian suami istri, pemecatan pegawai atau masalah dalam
sekolah. Komunikasi melibatkan manusia. Dan manusia adalah
makhluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan orang lain
disekelilingnya. Manusia tidak dapat bergantung pada dirinya sendiri
dan dia membutuhkan manusia lain untuk melaksanakan perannya
sebagai khalifah (Altalib, 1991). Allah berfirman:
� ن } 2{<>�# اJ��ءان } 1{ا���2.0 �hا � ن } 3{=>N�ا �4{<>�.{
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (55:1-4)
Untuk bisa berkomunikasi dan membuka diri (self disclose) adalah
membiarkan orang lain mengenal diri kita dan secara timbal balik saling
memahami. Setelah terjadi hal tersebut, maka akan ada rasa saling
hormat menghormati dan saling menghargai. Akan tetapi proses ini
melibatkan pertukaran ide, pemikiran dan perasaan kepada orang lain
dengan cara yang jujur.
Suatu ketika Nabi Muhammad duduk bersama sahabat-sahabatnya
ketika seorang laki-laki berlalu didepan mereka. Salah satu sahabat
berkata:”Dia adalah orang yang sangat baik. Saya mencintainya.”
Kemudian rasul menjawab:”Apakah kamu pernah mengungkapkan
kepadanya?” sahabat tersebut berkata:”Tidak.” Kemudian rasulpun
berkata:”Pergilah kepadanya dan katakan kepadanya bahwa kau
mencintainya.”
Ini menunjukkan bahwa mengungkapkan perasaan kita kepada orang
lain adalah penting agar terjadi hubungan yang baik dan silaturrahim
yang erat. Rasul mencoba menunjukkan kepada kita bahwasanya kita
tidak hanya berbicara lantang ketika mengkritisi perbuatan yang tidak
baik atau kebathilan, tapi melihat kebaikan dan berbuat kebaikan juga
harus diberikan pujian (Altalib, 1991).
Rasul mengajarkan kita untuk mengungkapkan sikap penghargaan kita
terhadap sesuatu. Secara hubungan kita dengan Allah, setiap muslim
harus mengungkapkan syukur secara verbal maupun nonverbal kepada
Allah atas segala nikmat dan rahmat. Tapi itu juga berlaku bagi
hubungan kita dengan sesama manusia. Allah berfirman:
IیIi� /Eاb> 0 آ;7�# إن�Q�1# و��I7�1# &زیk 0Q� #1DEذ�ن رP7 7{وإذ{
“ Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu mema’lumkan: “Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan
jika kamu mengingkari (ni’matKu) maka azabku sangat pedih.”(14:7)
2.3 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, peneliti tertarik melihat fenomena perilaku self
disclosure remaja pondok pesantren Daarul Rahman setelah diberikan
permainan ice breaker dan fenomena perilaku self disclosure remaja
yang tidak diberikan permainan ice breaker. Self disclosure yang
merupakan aspek dengan faktor kematangan, budaya dan jenis kelamin
yang mempengaruhinya diberi batasan operasional berupa keterbukaan
individu untuk mau mengenal orang lain dan dikenal orang lain dengan
secara sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang lain yang
belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-ide
pribadinya dengan orang lain.Manipulasi dalam variabel bebas
(permainan ice breaker) ditentukan hingga dapat menyentuh aspek
mutuality dalam dimensi yang dikemukakan oleh Cox (dalam Tong,
1998).
2.1 Gambar Kerangka Berfikir Penelitian
Permainan ice breaker self disclosure
2.3. Hipotesa
Ho : Permainan Ice Breaker tidak berpengaruh terhadap Self
Disclosure
H1 : Permainan Ice Breaker berpengaruh terhadap Self Disclosure
“Whose Is It” Game
Mutuality
- keterbukaan untuk mau mengenal orang lain
- mau dikenal orang lain - mau menyapa orang lain - berbagi pemikiran,
perasaan, dan ide pribadinya dengan orang lain
With pre-test & post-test measurement
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
Eksperimen. Alasan paling sederhananya adalah untuk menguji sebuah
teori. Menurut Sidman (dalam Robinson, 1981) ada beberapa alasan
mengapa penelitian dilakukan dengan pendekatan eksperimen, yaitu:
1. Evaluating a theory.
2. Satisfaction curiosity.
3. Demonstration of a new method or technique.
4. Demonstrations of behavioral phenomenon.
5. Investigation of conditions influencing behavioral phenomena.
Selain untuk menguji kembali teori dalam sebuah situasi yang berbeda,
rasa ingin tahu peneliti juga dapat terpuaskan, karena peneliti dapat
melihat, mengendalikan, merancang dan mengkontrol penelitian dari
variabel-variabel ekstra serta melihat sendiri temuan-temuan dalam
penelitian. Alasan lainnya adalah mendemostrasikan sebuah metode
baru atau teknik baru dalam hal yang akan diteliti, dalam penelitian ini
mendemonstrasikan teknik baru dalam upaya peningkatan self
disclosure melalui teknik permainan ice breaker.
Eksperimen juga dilaksanakan untuk melihat adanya fenomena perilaku
baru. Dalam penelitian ini fenomena perilaku ini diamati sejak awal
penelitian hingga setelah pemberian permainan ice breaker yang
merupakan variabel bebas (Independent Variable) penelitian ini yang
dimanipulasi.
Setelah memperoleh fenomena perilaku yang baru, langkah berikutnya
adalah mengintegrasikan temuan-temuan penelitian dan datanya
kedalam teori. Kondisi penelitian yang telah dirancang dan dikontrol
selanjutnya dianggaps sebagai yang memepngaruhi fenomena perilaku
tersebut (Robinson, 1981).
3.1.2 Metode Penelitian
Adapun metode penelitiannya yaitu controlled laboratory experiment,
karena dalam penelitian ini dilakukan manipulasi langsung dan
sistematis terhadap variabel bebas(Independent Variable) yaitu
permainan ice breaker untuk kemudian dilihat pengaruhnya terhadap
self disclosure. Manipulasi dilakukan dalam sebuah ruangan yang
terkontrol dengan diobservasi dan diukur setiap fenomena perilakunya.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian controlled laboratory
experiment ini adalah Randomized One Way ANOVAR Design. Desain
eksperimen ini digunakan untuk membandingkan dua kelompok atau
lebih yang berpengaruh terhadap variabel terikat (Dependent Variable).
Tabel 3.1. Rancangan Eksperimen Randomized One Way ANOVAR
Design (Robinson, 1981)
Perlakuan
(treatment) Pengukuran
R X1 O
R X2 O
Keterangan:
R : Random kelompok
O : Pengukuran dengan memberikan skala sikap self
disclosure setelah mengikuti pelatihan “Menjadi
Pembelajar” yang diselingi oleh permainan ice breaker
X1 : Perlakuan untuk kelompok eksperimen yaitu pelatihan
”Menjadi Pembelajar” dengan diberikan permainan ice
breaker
X2 : Perlakuan untuk kelompok kontrol yaitu pelatihan
”Menjadi Pembelajar” yang tidak diberikan permainan ice
breaker
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Variabel Bebas (IV) Permainan Ice Breaker
Definisi Operasional : Permainan ice breaker adalah permainan
sederhana yang melibatkan lebih dari 2 orang, yang bertujuan untuk
membuat suasana sebuah forum tertentu, dalam hal ini adalah
pelatihan, menjadi lebih akrab dan tidak terlalu kaku.
Permainan yang digunakan dalam eksperimen ini adalah ”Whose Is It
Game” yaitu masing-masing peserta membuat daftar jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh si pelatih, kemudian
dikumpulkan, dibagikan secara acak kepada pesertanya kembali
dengan memastikan tidak ada yang mendapatkan kertas yang telah
ditulisnya sendiri, kemudian mencari siapa yang memiliki kertas tersebut
tanpa menanyakan pertanyaan ”ini milik kamu ya?” atau ”kertas ini
kamu yang tulis ya?” atau sejenisnya.
3.2.2. Variabel Terikat(DV) Self Disclosure
Definisi Operasional : Self disclosure yang dimaksud disini adalah
keterbukaan individu untuk mau mengenal orang lain dan dikenal orang
lain dengan secara sukarela menanyakan atau sekedar menyapa orang
lain yang belum dikenalnya atau berbagi pemikiran, perasaan dan ide-
ide pribadinya dengan orang lain.
Dalam eksperimen ini ditunjukkan dengan menyapa atau bersalaman
dengan orang lain, mengungkapkan sikapnya mengenai pelatihan
dalam eksperimen yang diikutinya, yang diukur dengan skala self
disclosure yang telah dimodifikasi.
3.2.3. Kontrol Variabel
Kontrol penelitian dilakukan untuk mengendalikan variabel yang
berpotensi untuk mempengaruhi variabel terikat (DV) selain dari
variabel bebas (IV) penelitian. Hal ini berguna untuk menjaga hubungan
pengaruh yang akurat antara variebl bebas dan variabel terikat
(Robinson, 1981). Dalam penelitian ini variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian, antara lain:
1. keberagaman usia
2. keberagaman latar belakang budaya
3. jenis kelamin
Dari variabel-variabel tersebut diatas yang diperkirakan dapat
mempengaruhi hasil penelitian, maka diambil tindakan kontrol, antara
lain:
1. keberagaman usia dikontrol dengan melakukan randomisasi
2. keberagaman latar belakang budaya dikontrol dengan randomisasi
3. jenis kelamin dikontrol dengan melakukan match pair.
3.3 Pengambilan Sampel
3.3.1 Populasi dan Sampel
Populasi yang diambil adalah siswa-siswi sekolah menengah atas
pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan dari kelas 1 SMA
hingga 3 SMA sebanyak 94 orang. Dalam struktur pendidikan pondok
pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan, tingkatan studi dimulai
dengan kelas satu tsanawiyah yang disebut dengan kelas 1(satu)
hingga yang paling tinggi adalah kelas tiga aliyah yang disebut dengan
kelas 6(enam). Jadi, urutan kelas dalam pesantren Daarul Rahman
adalah kelas 1,2,3,4,5 dan 6. Dalam penelitian ini, siswa-siswa yang
terlibat adalah mereka yang berada di kelas 4,5 dan 6. Namun, untuk
memudahkan penelitian, kita menyebutnya dengan tingkatan 1 SMA, 2
SMA dan 3 SMA. Kami melibatkan siswa siswi pesantren dengan
alasan bahwa di pondok pesantren belum pernah menerima pelatihan
dan permainan-permainan, sehingga dengan harapan tidak ada
manipulasi perilaku oleh mereka.
Dari sekian banyaknya populasi, diambillah 20 orang. Dengan
pembagian 10 orang untuk kelompok eksperimen dan 10 orang untuk
kelompok kontrol.Subjek yang menjadi responden adalah mereka yang
belum pernah mengikuti pelatihan mengenai “Menjadi Manusia
Pembelajar” dan belum pernah mendapatkan permainan ice breaker
“Whose Is It?”. Kelompok eksperimen adalah mereka yang akan
diberikan pelatihan mengenai “Menjadi Manusia Pembelajar” dengan
diselingi permainan ice breaker, sedangkan kelompok kontrol adalah
mereka yang diberi pelatihan tanpa diselingi dengan permainan ice
breaker.
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan metode
random selection. Peneliti melakukan pengambilan sampel dengan
mengundi nomor urut siswa dari tiap-tiap kelas. Kelas 1 SMA yang
berjumlah sebanyak 29 orang, kelas 2 SMA yang berjumlah 33 orang
dna kelas 3 SMA yang berjumlah 32 orang. Dari tiap kelas, diambil 7
dan 6 orang. Setelah itu diundi lagi dari tiap-tiap kelas siswa perempuan
10 orang dan siswa laki-laki 10 orang. Peneliti kemudian membagi
kelompok menjadi dua yaitu kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. alat tulis
2. whiteboard dan spidol
3. lembar observasi
4. lembar instruksi permainan ice breaker ”Whose Is It”
5. laptop
6. kertas jawaban untuk permainan ice breaker
7. modul pelatihan ”Menjadi Manusia Pembelajar”
Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah skala self disclosure berisi 32 item yang dimodifikasi sesuai
dengan situasi penelitian yang berlatarkan sebuah pelatihan. Skala self
disclosure ini berpandukan pada Miller’s Self Disclosure Scale
(Tong,1998) dan Emotional Self Disclosure Scale (Snell,1997).
3.5 Teknik Analisa Data
Skala sikap self disclosure yang telah terisi kemudian diolah dengan
teknik pengolahan data yang menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA) melalui perhitungan statistik t-test atau tehnik uji T
(Robinson,1981) dengan taraf signifikansi α = 0.05 dengan SPSS.12.
3.6 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2007 di Pondok
Pesantren Daarul Rahman Kebayoran Baru Jakarta Selatan dari pukul
03.30 sore hingga pukul 05.30 sore dan bertempat di 2 ruangan yang
bersebelahan dengan desain dan letak duduk yang sama persis.
Beberapa tahap penelitian dalam pelaksanaan eksperimen ini adalah:
1. Pra Eksperimen
Dalam tahap ini peneliti menentukan variabel yang akan diteliti,
mencari tempat pelaksanaan penelitian, dan menentukan materi
pelatihan yang akan diberikan. Pada tahap ini pula peneliti
memastikan apakah mereka sudah pernah mendapat materi
pelatihan ”Menjadi Pembelajar” dan permainan ice breaker ”Whose
Is It?” atau tidak.
2. Eksperimen
Tahap Kegiatan Ke1 Ke2
1 Eksperimenter membangun rapport dengan
subjek penelitian. Sebelum eksperimen dimulai,
PL (project leader) memastikan bahwa semua
perlengkapan pelatihan dan kuesioner tersedia.
Semua observer sudah bersedia di ruang
penelitian
� �
2 Subjek diminta mengisi lembar inform consent
dan disusul dengan mengisi lembar kuesioner
pre-test self disclosure untuk kemudian
dikumpulkan kembali kepada observer yang juga
bertugas mengawasi ketertiban penelitian
� �
3 Subjek mengikuti pelatihan “Menjadi Manusia � �
Pembelajar” yang difasilitasi oleh experimenter.
Peneliti dan observer sudah siap dengan lembar
observasi.
4 Subjek berhenti sejenak dari materi pelatihannya
dan mengikuti permainan ice breaker ” Whose Is
It?” Yang dipandu oleh experimenter sendiri
�
5 Subjek melanjutkan lagi pelatihan ”Menjadi
Manusia Pembelajar”.
� �
6 Subjek diminta untuk mengisi kuesioner post test � �
7 Penutup � �
2. Pasca Eksperimen
a. Mengolah data yang telah diperoleh dari kedua kelompok
penelitian.
b. Mengambil kesimpulan hasil penelitian hingga diketahui hipotesa
yang telah dibuat diterima atau ditolak.
Demi kelancaran penelitian ini, peneliti membagi perincian tugas
kepada tiap-tiap petugas dalam penenlitian ini adalah sebagai berikut:
1. Project Leader adalah peneliti sendiri
a. Menghubungi pihak kepala sekolah dan guru Pondok Pesantren
Daarul Rahman Jakarta Selatan untuk meminta kesediaan
mengadakan penelitian, meminjam ruang kelas dan
mengumpulkan data nomor urut tiap-tiap kelas untuk dijadikan
subjek penelitian.
b. Menyiapkan instrumen penelitian dan tata letak ruang
eksperimen
c. Membuka dan menutup penelitian
d. Mengolah data hasil penelitian dan menyimpulkan.
2. Experimenter yaitu 2 orang trainer profesional, yang pertama
ditugaskan untuk kelompok eksperimen, yang kedua untuk
kelompok kontrol.
a. Memberikan pelatihan ”Menjadi Manusia Pembelajar”
b. Memberikan permainan ice breaker ”Whose Is It?” Sebagai
variabel bebas (Independent Variable) dalam penelitian ini
c. Memberikan instruksi kepada subjek selama proses penelitian
berlangsung.
3. Observer yaitu 6 orang yang dibagi dua untuk kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol.
a. Mengamati perilaku subjek dan mencatatnya dalam lembar
observasi
b. Membantu eksperimenter dalam memberikan instruksi kepada
subjek
c. Mencatat dan mengawasi jalannya proses penelitian agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
d. Mendistribusikan skala serta perlengkapan yang diperlukan untuk
subjek dan mengumpulkannya kembali setelah selesai.
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Subyek Penelitian
Jumlah sampel dalam eksperimen ini adalah sebanyak 20 orang yang
kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri
dari 10 orang, 5 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Kelompok
pertama ditentukan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kedua
sebagai kelompok kontrol(lihat Tabel.4.1).
Sesuai dengan usaha kontrol terhadap penelitian ini, maka dalam
menentukan pembagian jenis kelamin dari tiap-tiap kelompok, dilakukan
match pair agar ada pembagian yang sama dalam jumlah masing-
masing jenis kelamin di tiap-tiap kelompok. Dari hasil randomisasi
sampling yang dilakukan, ternyata penyebaran usia diantara dua
kelompok tidak sama. Begitu juga dengan penyebaran berdasarkan
suku, yang mana siswa yang memeiliki latar belakang suku Betawi
dalam kelompok kontrol mendominasi, sedangkan kelompok
eksperimen didominasi oleh siswa berlatar belakang suku Jawa.
Pada penyebaran kelas, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
secara kebetulan memiliki kesamaan dalam jumlah. Meski begitu,
perbedaan jenis kelamin juga terdapat didalamnya.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan latar belakang.
Latar Belakang K.Eksp K.Kont Total
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
5
5
5
5
Usia
15
16
17
18
19
20
2
2
3
1
1
1
-
2
6
-
1
1
Suku
Betawi
Jawa
Sunda
3
6
1
6
2
2
Kelas
1 SMA
2 SMA
3 SMA
2
3
5
1
3
6
20
Tabel 4.2 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok eksperimen
Kelompok Jumlah Subjek Mean SD
Eksperimen
Pre-test
Post-test
10
108.2000
121.4000
7.71434
17.50048
Dari perolehan hasil hitungan stasitik menggunakan SPSS 12.0, setelah
dilakukan penghitungan dengan uji T, hasil yang diperoeh adalah
bahwa kelompok eksperimen memiliki taraf signifikansi lebih kecil dari
0.05. sedangkan pada nilai mean, dari hasi uji pre-test yang
dilaksanakan sebelum permainan ice breaker dilaksanakan, skornya
adalah 108.2000. pada skor hasil post-test yang dilakukan setelah
permainan ice breaker dilaksanakan, diperoleh nilai mean yang
meningkat, yaitu 121.4000.
Tabel 4.3 Perolehan nilai Mean dan SD kelompok kontrol
Kelompok Jumlah Subjek Mean SD
Kontrol
Pre-test
Post-test
10
117.5000
111.7000
15.79909
9.78718
Sedangkan dari hasil hitungan stasitik pada kelompok kontrol, hasil
yang diperoleh tidak jauh berbeda. Dengan taraf signifikansi yang lebih
kecil dari 0.05, skor mean pada pre-test menunjukkan hasil 117.5000
dan pada post-test memperoleh hasi skor mean yang berkurang, yaitu
111.7000. ini berarti ada penurunan nilai antara skor mean pre-test
dengan post-test.Dari dua kelompok didapati keduanya memiliki taraf
signifikansi .000(<0.005) berarti keduanya signifikan.
4.2. Hasil Utama Penelitian
Dalam penelitian ini, hasil penelitian yang menggunakan hasil
signifikansi penghitungan statistik dengan program SPSS .12. berhasil
memperoleh angka 0.000 (p ≤ 0.05) .Hasil ini lebih kecil dari taraf
signifikansi 0.05. Namun, karena kedua kelompok yang dibandingkan
sama-sama berhasil memperoleh angka signifikansi lebih rendah dari
0.05. berarti dapat diambil kesimpulan bahwa H1 yang menyatakan
bahwa tidak ada pengaruh permainan ice breaker terhadap self
disclosure diterima.
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Hasil penelitian mengenai pengaruh permainan ice breaker terhadap
self disclosure pada remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta
Selatan yang telah didapat selanjutnya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
5.1. Kesimpulan
Permainan ice breaker tidak berpengaruh terhadap self disclosure pada
remaja pondok pesantren Daarul Rahman Jakarta Selatan.
5.2. Diskusi
Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapati bahwa kedua
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperoleh nilai
signifikansi yang sama. Pada kelompok eksperimen, ada kenaikan
jumlah skor mean pada post-testnya, hanya selisih 13.2 angka,
sedangkan kelompok kontrol malah mengalami penurunan nilai skor
mean dari skor 117.5000 menjadi 111.5000 pada post testnya. Karena
kedua kelompok memiliki taraf signifikansi di bawah 0.05, berarti
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh permainan ice breaker
terhadap sef discosure.
Namun dari observasi yang dilakukan terhadap kelompok eksperimen,
memang ada perbedaan perilaku antara sebelum permainan diberikan
dengan perilaku setelah diberikannya permainan ice breaker. Karena
dalam permainan ice breaker ”Whose Is It?” itu memerlukan komunikasi
dan tanya jawab antar peserta dalam waktu yang singkat,yaitu kurang
lebih 25 menit, maka mau tidak mau semua peserta harus menyapa
dan bertanya dengan peserta lain. Mereka yang semula hanya duduk
diam dan mendengarkan materi pelatihan, menjadi lebih aktif dan
merespon tanggapan kawannya yang lain jika ada kesempatan untuk
mengemukakan pendapat.
Ini sesuai dengan prinsip self discosure yang dikemukakan oeh Cox
(dalam Tong, 1998), dimensi terakhir yaitu mutuality (hubungan timbal
balik) adalah komposisi yang sangat berperan karena ”keterbukaan
seseorang akan menghasilkan keterbukaan pasangannya”. Dalam
permainan ice breaker, upaya keterbukaan seseorang ”dipaksakan”
selama permainan berlangsung, karena terkait dengan
peraturan dan tata cara permainan, maka seseorang harus berupaya
membuka diri kepada peserta lain.
Dalam penelitian ini, sebuah upaya untuk membuka diri dilakukan
selama proses permainan ice breaker yaitu dengan mencoba
menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ”binatang kesukaanmu
kelinci ya?” atau memulai menyapa terlebih dahulu kepada sesama
peserta. Dalam observasi, sebagian peserta berani terlebih dahulu
menyapa peserta lain dan dengan ramah menanyakan isi jawaban
daam permainan tersebut, dan sebagian yang lain lebih banyak
ditunggu untuk ditanya dan disapa terlebih dahulu.Ini menunjukkan
mulai adanya self disclosure seperti kesediaan mengungkapkan
pemikiran, perasaan dan juga sikap sederhana seperti membiarkan
orang lain mengetahui hal-hal sederhana mengenai dirinya (Ashmore&
Banks, 2001).
Sedangkan dalam kelompok kontrol, tidak ada perilaku yang berubah
selama pelatihan berlangsung dari awal sampai akhir. Karena pelatihan
”Menjadi Manusia Pembelajar” pada kelompok kontrol tidak diselingi
dengan permainan ice breaker, maka para peserta tidak berkesempatan
untuk saing menyapa dan berkenalan satu sama lain.
Dalam dimensi yang dikemukakan oleh Cox(dalam Lurding, 2005)
,waktu merupakan salah satu hal yang terpenting, karena seiring
dengan berjalannya waktu maka intensitas komunikasi antar individu
dapat bertambah banyak, namun jika dengan pembatasan waktu seperti
dalam suasana permainan ice breaker ini, dimana individu hanya punya
waktu 25 menit untuk berinteraksi, maka sulit melihat adanya
peningkatan self discosure antar peserta selain daripada yang terkait
dengan situasi pelatihan.
Dalam dimensi mutuality(Cox,1989;Lurding,2005) beberapa perilaku
peserta menunjukkan adanya respon terhadap peserta lain dengan
respon yang baik, misalnya dengan antusias menjawab pertanyaan
lawan bicaranya atau menunjukkan ketertarikannya terhadap lawan
bicaranya dengan bahasa tubuh yang mendekat.
Dalam penelitian ini juga tampak fenomena ”keterbukaan seseorang
akan menghasilkan keterbukaan pasangan disclosenya”. Dalam
permainan ice breaking, upaya keterbukaan seseorang ”dipaksakan”
selama permainan berlangsung, karena terkait dengan peraturan dan
tata cara permainan, maka seseorang harus berupaya membuka diri
kepada peserta lain. Jika ditanya oleh peserta lain, tentu dia harus
menjawab, dan begitu juga sebaliknya.
Kami tidak meneliti adanya pengaruh budaya, jenis kelamin maupun
usia, seperti yang dikemukakan oleh Alice Tong(1998) pada
penelitiannya yang mengambil subjek siswa menegah atas dan
mahasiswa perguruan tinggi di Lower Mainland, British Columbia. Pada
penelitian ini, latar belakang budaya subjek berasal dari Jawa, Betawi,
dan Sunda hanya sebagai data demografi saja.
5.3. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya
adalah :
1. Mencoba jenis permainan yang menggunakan media
lain seperti games komputer atau permainan digital
interaktif seperti video game, nintendo atau PS2 yang
membutuhkan kehadiran 2 pemain atau lebih dalam
satu ruang dan waktu.
2. Mencoba eksperimen dengan jenis permainan Ice
Breaker yang lain seperti permainan ”suit action”, ”wave
of motion”, ”catch my tail” ,”human knot”, dan lain
sebagainya yang bisa diperoleh di situs-situs training.
3. Mengkaji mengenai perbedaan self disclosure
berdasarkan latar belakang budaya di Indonesia.
Seperti perbedaan self disclosure budaya Jawa, budaya
Batak, budaya Betawi dan lain sebagainya.
4. Meneliti perbedaan self disclosure berdasarkan latar
belakang jenis kelamin.
5. Meneliti perbedaan self disclosure berdasarkan latar
belakang usia dan kematangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Altalib, Hisham(1991). Training Guide for Islamic Workers. USA: The
International Institute of Islamic Thoughts.
Bidang Diklat DPP PKS(2007) Training Handbook: Menjadi Fasilitator dan Trainer PKS yang Sukses. Jakarta: Diklat DPP PKS.
Hansen, J.C.(1978).Counselling Process and Procedures. New York:Macmillan Publishing Co.Inc.
Higgins, James M.(1982). Human Relations: Concepts and Skills. USA :
Random House Inc.
Johnson, David W.& Johnson, Frank P.(1994). Joining Together:Group Theory and Group Skills. USA : Allyn and Bacon.
Kirby,Andy(1992). Games for Trainers.England:Gower Publishing
Company Ltd. Kirk, J.J&Kirk,L.D.(1995)Training Games for Career Development.New
York:McGraw-Hill,Inc.
Robinson,P.W.(1981). Fundamentals of Experimental Psychology.New Jersey:Prentice-Hall, Inc.
Scannell, E.E.(1995). Games That Drive Change.New York: McGraw-
Hill,Inc.
Schaefer, C.E. & Reud, S.E. (1986). Game Play: Therapeutic Use Childhood Games. John Wiley& Sons, Canada.
Publikasi
Brooks-Harris, J.E.(1997) Promoting Experiential Learning in Group Counselling. Program presented at ACPA / NASPA Joint Convention March 21, 1997, Chicago, Illinois
Jurnal
Ashmore, Russell & Banks, David (2001) Patterns of self-disclosure among mental health nursing students. Nurse Education Today, 21,
48–57. Glass, J. Scott & Benshoff, James, M. (2002). Facilitating Group
Cohesion Among Adolescents Through Challenge Course Experiences. The Journal of Experential Education,Fall.
Harper, Vernon B., Jr. & Harper, Erika J.(2006). Understanding Student Self-Disclosure Typology through Blogging. The Qualitative Report, 11 (2) 251-261.
Laurenceau, Jean-Philippe, Barrett, F.L. &. Pietromonaco, Paula R.(1998)Intimacy as an Interpersonal Process" The Importance of Self-Disclosure,Partner Disclosure, and Perceived Partner Responsiveness in Interpersonal Exchanges. Journal of Personality and Social Psychology ,74(5), 1238-1251.
Wei, M., Russell, D.W & Zakalik, R.A.(2005) Adult Attachment, Social Self-Efficacy, Self-Disclosure, Loneliness, and Subsequent Depression for Freshman College Students: A Longitudinal Study. Journal of Counseling Psychology,52(4), 602–614.
Internet
Kelly,Curtis (1997) David Kolb:The Theory of Experiential Learning and ESL, dari http://iteslj.org/Articles/Kelly-Experiential/
Smith, M. K. (2001) 'David A. Kolb on Experiential Learning', the Encyclopedia of Informal Education, dari http://www.infed.org/b-explrn.htm.
Wilderdom(2007) Icebreakers, Warmups,Energizers and Deinhibitizers,dari http://wilderdom.com
Snell,W.E.(1997) Emotional Self Disclosure Scale, dari http://www4.semo.edu/snell/scales/ESDS.htm
Thesis
Matthews, Donna L.(1986) The Effects of Interpersonal Control on Self Disclosure and Communication Apprehension.Thesis.Faculty of theUniversity of Delaware.
Lurding, Lindsay(2005). The Effect of Self Disclosure on Romantic Relationship Satisfaction. Thesis.University of Kentucky.
Tong, Alice S.H. (1998). Patterns of Self Disclosure Among Caucasian and Chinese Students. United States of America :Trinity Western University .
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sedang melakukan penelitian eksperimen mengenai pengaruh
permainan terhadap tingkat Self Disclosure.
Oleh karena itu, saya memohon kesediaan Anda untuk turut serta
membantu penelitian ini, dengan mengemukakan pendapat yang
sejujur-jujurnya mengenai pernyataan yang terdapat pada lembar yang
telah disediakan berikut ini. Segala jawaban yang Anda berikan akan
dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian.
Atas kerjasama dan bantuannya saya ucapkan Jazaakumullah Khairan
Katsiraa.
Wassalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh
Ciputat, 23 Oktober 2007
Kisma Fawzea
Lembar data pribadi dan pernyataan kesediaan
Harap mengisi data pribadi di bawah ini sebelum mengisi
kuesioner:
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin :
4. Suku :
5. Kelas :
Bismillahirrahmaanirrahiim
Saya ……………………… bersedia menjadi responden penelitian
yang dilaksanakan oleh saudari Kisma Fawzea, mahasiswi Fakultas
Psikologi Universitas Islam NegEri Syarif Hidayatullah Jakarta. Data
yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan
untuk kepentingan penelitian.
Senopati, 23 Oktober 2007
Tertanda
(………………………)
Lembar Skala Self Disclosure yang Dimodifikasi
Petunjuk Pengisian
Di bawah ini akan diberikan pernyataan-pernyataan, dan kami harap Anda menjawabnya dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom yang menurut Anda sesuai dengan pilihan Anda. STS : Sangat Tidak Setuju TS : Tidak Setuju R : Ragu-ragu S : Setuju SS : Sangat Setuju Kami himbau agar penilaian dilakukan secara jujur dan jangan sampai ada yang terlewat atau kosong. Seluruh jawaban yang Anda berikan akan dijaga kerahasiaannya.
No. Pernyataan STS TS R S SS
1
2
3
4
5
6
7
8
No.
Saya bersedia membantu teman lain dalam permainan
Saya tidak suka bekerjasama dengan peserta lain
selama pelatihan berlangsung
Saya bersedia berkenalan lebih dahulu dengan orang
lain
Saya tidak tertawa atau bercanda dengan peserta lain
Saya bersedia diajak berbicara dengan peserta lain
Saya tidak mau mengungkapkan perasaan saya tentang
pelatihan ini kepada peserta lain
Saya senang mengikuti pelatihan
Saya tidak suka bekerjasama dengan peneliti dan
pelaksana pelatihan
Pernyataan
STS
TS
R
S
SS
9 Bekerjasama dengan peserta lain dalam permainan
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Membantu peserta lain selama pelatihan berlangsung
akan saya lakukan jika perlu
Saya bersedia duduk dekat dengan peserta lain yang
belum saya kenal
Saya tidak berkenalan lebih dahulu dengan orang lain
Saya mau bertukar alamat dan nomor telfon dengan
peserta lain
Saya bersedia meminjamkan barang yang saya miliki
kepada peserta lain
Saya tidak suka diajak orang lain
Saya bersedia memberikan alamat dan no tlp saya
kepada peserta lain
Saya selalu membantu peserta lain dalam permainan
Absen atau keluar masuk ruangan selama pelatihan
berlangsung saya lakukan
Saya merasa dapat akrab dengan lebih dari 3 nama
peserta lain
Saya tidak suka duduk dekat dengan peserta lain yang
belum saya kenal
Saya selalu mengikuti instruksi pelatih selama
permainan berlangsung
Ikut serta dalam pelatihan adalah sesuatu yang saya
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
hindari
Saya tidak senang mengikuti pelatihan
Saya Tidak melanggar tata tertib selama pelatihan dan
eksperimen berlangsung
Saya tidak mau meminjamkan barang saya kepada
peserta lain
Saya bersedia mengungkapkan perasaan pada peserta
lain tentang pelatihan(BT,capek,asik dll)
Saya bisa leluasa bercanda dan tertawa dengan peserta
lain tanpa merasa canggung
Saya tidak mengenal nama peserta lain
Membantu peserta lain dalam pelatihan tidak saya
lakukan
Saya selalu bekerjasama dengan peneliti dan pelaksana
penelitan.
Saya tidak absen atau keluar masuk ruangan selama
pelatihan berlangsung
Saya melanggar tata tertib dan peraturan pelatihan yang
sudah ditetapkan.
Lembar Instruksi Eksperimen Permainan Ice Breaking
Baik rekan-rekan sekalian, sekarang kita akan memainkan sebuah
permainan. Saya minta rekan-rekan duduk dengan membentuk formasi
lingkaran besar. Kita hari ini akan memainkan sebuah permainan
”Whose Is It Game”. Saya akan bagikan kertas kecil ini kepada kalian,
dan saya minta kalian menulis jawaban dari pertanyaan yang saya
ajukan. Tapi ingat, jangan menulis nama atau inisial atau apapun selain
dari jawaban.
Oke, pertanyaan pertama.....
1. berapa nomor sepatu Anda?tulis saja,tidak usah disebutkan dan
jangan sampai orang lain tahu.
2. Buah Favorit Anda?
3. Binatang Kesukaan Anda?
4. Jumlah saudara kandung Anda?
5. Warna Kesukaan Anda?
Setelah semua jawaban anda tulis, saya himbau jangan anda lipat,cukup kumpulkan kepada saya. Sekarang saya minta kalian berdiri dan membentuk formasi lingkaran lebih besar lagi.
(kertas-kertas dimasukkan ke dalam wadah agar bisa diambil oleh peserta secara random)
saya minta kalian mencari pemilik dari kertas yang anda pegang itu tapi anda tidak boleh bertanya secara langsung ”apakah ini kertas Anda?”.tanya per jawaban yang ada di dalam kertas tersebut. Anda diberikan waktu 1 menit untuk menemukan pemilik kertas tersebut .
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean
Pre-Eksp 10 108.2000 7.71434 2.43949
Post-Eksp 10 121.4000 17.50048 5.53414
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper
Pre-Eksp 44.354 9 .000 108.2000 102.6815 113.7185
Post-Eksp 21.937 9 .000 121.4000 108.8809 133.9191
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error
Mean
Pre-cont 10 117.5000 15.79909 4.99611
Post-cont 10 111.7000 9.78718 3.09498
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean
Difference Lower Upper
Pre-cont 23.518 9 .000 117.5000 106.1980 128.8020
Post-cont 36.091 9 .000 111.7000 104.6987 118.7013