Upload
others
View
14
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGARUH SUHU DAN LAMA PRA-GELATINISASI TERHADAP
KARAKTERISTIK TEPUNG BERAS KETAN MERAH PECAH KULIT
(Oryza sativa var. glutinosa) VARIETAS INPARI 25 OPAK JAYA
SKRIPSI
Oleh:
RATNA PALUPI NURFATIMAH
NIM 135100101111059
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
PENGARUH SUHU DAN LAMA PRA-GELATINISASI TERHADAP
KARAKTERISTIK TEPUNG BERAS KETAN MERAH PECAH KULIT
(Oryza sativa var. glutinosa) VARIETAS INPARI 25 OPAK JAYA
SKRIPSI
Oleh:
RATNA PALUPI NURFATIMAH
NIM 135100101111059
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Tugas Akhir : Pengaruh Suhu dan Lama Pra-gelatinisasi Terhadap
Karakteristik Tepung Beras Ketan Merah Pecah Kulit
(Oryza sativa var. glutinosa) Varietas Inpari 25 Opak
Jaya
Nama : Ratna Palupi Nurfatimah
NIM : 135100101111059
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Teti Estiasih, S.TP., MP NIP 19701226 200212 2 001
Tanggal Persetujuan: 22 Mei 2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pengaruh Suhu dan Lama Pra-gelatinisasi Terhadap
Karakteristik Tepung Beras Ketan Merah Pecah Kulit
(Oryza sativa var. glutinosa) Varietas Inpari 25 Opak
Jaya
Nama : Ratna Palupi Nurfatimah
NIM : 135100101111059
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Penguji I, Dosen Penguji II,
Dr. Ir. Aji Sutrisno, M.Sc. Dr. Widya Dwi R.P., STP. MP.
NIP 19680223 199303 1 002 NIP 19700504 199903 2 002
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Teti Estiasih, S.TP., MP NIP 19701226 200212 2 001
Ketua Jurusan,
Prof. Dr. Teti Estiasih, S.TP., MP NIP 19701226 200212 2 001
Tanggal Lulus : ..............
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bantul pada tangal 16 Maret
1995 dari ayah yang bernama Drs. Dewanto, M.Pd. dan
Nugrahani Astuti, S.Pd., M.Pd. sebagai putri tertua dari
dua bersaudara. Selama masa pendidikan TK sampai
dengan kelas 2 SMP penulis dan keluarga tinggal di
Menganti Gersik, selanjutnya semasa SMA hingga
sekarang penulis tinggal di Jambangan Surabaya.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Laboratorium
UNESA pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 32 Surabaya
dengan tahun kelulusan 2010. Selanjutnya pada tahun 2013 menyelesaikan studi
di SMA Negeri 16 Surabaya dengan tahun kelulusan 2013.
Pada tahun 2013 penulis mengambil program sarjana pada Universitas
Brawijaya melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dengan Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2016, penulis telah
menyelesaikan pendidikannya dengan judul skripsi “Pengaruh Pra-gelatinisasi
Terhadap Karakteristik Tepung Beras Ketan Merah (Oryza sativa glutinosa)
Varietas Inpari 25 Opak Jaya”.
Semasa menempuh pendidikannya, penulis aktif sebagai anggota ESP
departemen Public Relation tahun 2013-2015, selain itu penulis juga aktif terlibat
dalam berbagai kepanitiaan diantaranya anggota Divisi Transkoper OPJH 2014,
Divisi HPDD ESP Great Present 2014, dan Koordinator Divisi HPDD Study
Comparative 2014.
v
Alhamdulillah.......Ya Allah
Dengan mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kebahagiaan kepadaku di dunia ini dengan memberikan orang-orang yang terbaik
di sekitarku dan untuk hidupku
Semoga ridho-Nya selalu mengiringi setiap langkah hidupku sehinggga
kesuksesan dan kebahagiaan menjadi akhir dari semua perjuangan yang mesti
kutempuh
Ku persembahkan karya kecil ini kepada Bapak, Ibu, Adik, serta Sahabat yang
mengiringi langkahku dan senantiasa memberi motivasi, semangat serta do’a dan
kasih sayangnya
Sungguh kasih sayang kalian sangat berarti dalam hidupku
Tiada hadiah yang terindah selain kasih sayang kalian
Semoga ilmu yang saya miliki dapat bermanfaat di dunia hingga di akhirat
.
Amin Ya Rabbal alamin
vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ratna Palupi Nurfatimah
NIM : 135100101111059
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Tugas Akhir : Pengaruh Suhu dan Lama Pra-gelatinisasi Terhadap
Karakteristik Tepung Beras Ketan Merah Pecah Kulit
(Oryza sativa var. glutinosa) Varietas Inpari 25 Opak
Jaya
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia dituntut sesuai hukum yang
berlaku.
Malang, Juni 2017 Pembuatan Pernyataan, Ratna Palupi Nurfatimah NIM. 135100101111059
vii
Ratna Palupi Nurfatimah. 135100101111059. Pengaruh Suhu dan Lama Pra-gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung Beras Ketan Merah Pecah Kulit
(Oryza sativa var. glutinosa) Varietas Inpari 25 Opak Jaya. Skripsi.
Pembimbing : Dr. Teti Estiasih, S.TP, MP.
RINGKASAN
Beras ketan termasuk dalam famili Graminae yang sebagian besar terdiri dari zat pati (sekitar 80-85%) yang terdapat dalam endosperma yang tersusun oleh granula-granula pati yang berukuran 3-10 milimikron. Telah dikenal secara luas dua jenis ketan yaitu ketan putih dan ketan hitam di Indonesia. Pada tahun 2012, Departemen Pertanian memperkenalkan komoditas baru yaitu beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya (pecah kulit dan sosoh) dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, namun hingga saat ini belum banyak yang meneliti lebih dalam mengenai beras ketan merah tersebut. Selama ini tepung beras ketan merah juga masih terbatas penggunaannya, karena secara umum dibatasi oleh sifat fisik dan kimianya. Tepung pra-gelatinisasi adalah beras ketan merah yang mengalami proses gelatinisasi dengan perebusan (parboiling) dan selanjutnya dikeringkan kemudian dihaluskan/ditepungkan, sehingga memperbaiki kualitas, sifat reologi dan pasta tepung.
Tujuan penelitian adalah mempelajari pembuatan dan karakteristik tepung beras merah pra-gelatinisasi dan pengaruh suhu pra-gelatinisasi 500C, 600C, 700C dan waktu 5 menit, 7,5 menit dan 10 menit terhadap karakteristik tepung beras merah. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah RAL (Rancangan acak lengkap) dengan 3 kali ulangan. Metode ini digunakan karena pada penelitian ini menggunakan sampel yang homogen dan terdapat pembanding yaitu suhu dan waktu. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL dengan faktor suhu dan waktu pra-gelatinisasi yang berbeda. Sehingga memiliki 9 jenis sampel perlakuan dan sampel kontrol dengan tiga kali ulangan, sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), jika terjadi interaksi antara kedua perlakuan dilakukan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan taraf 5% dan jika terdapat perbedaaan nyata pada interaksi kedua perlakuan maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pra-gelatinisasi berpengaruh nyata terhadap daya serap air, swelling power, konsistensi gel, kadar air, kadar amilosa, kadar totl fenol, kadar pati dan konsentrasi antosianin. Grafik yang didapatkan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pra-gelatinisasi dapat menurunkan kadar pati, amilosa dan antosianin serta dapat meningkatkan kecerahan (L*) dan konsistensi gel. Namun pengaruh suhu dan waktu pada tingkat warna kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) berbeda, semakin tinggi suhu pra-gelatinisasi yang digunakan dapat meningkatkan (a*) dan (b*), semakin lama waktu yang digunakan dapat menurunkan (a*) dan (b*). Perlakuan terbaik tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi adalah perlakuan dengan menggunakan suhu 600C dan waktu pra-gelatinisasi 10 menit yang memiliki karakteristik sebagai berikut: daya serap air 2,44 g/g, swelling prower 2,39 g/g, konsistensi gel 11,43 cm, kadar air 7,38 %, kadar amilosa 4,59%, total fenol 624,86 mg GAE/100g, kadar pati 70,11 % dan konsentrasi antosianin 3,20 mg/100g. Kata kunci: Beras ketan merah, Pra-gelatinisasi, Senyawa Bioaktif, Amilografi
viii
Ratna Palupi Nurfatimah. 135100101111059. The Effect of Temperature and Duration of Pre-Gelatinization on Characteristics of Unpolished Brown Glutinous Rice Flour (Oryza Sativa var. Glutinous) Inpari 25 Opak Jaya Variety. Final Project. Supervisor: Dr. Teti Estiasih, S.TP, MP.
SUMMARY
Glutinous rice is included in the Graminae family consisting mostly of starch (about 80-85%) contained in endosperms composed by starch granules measuring from 3 to 10 millimicrons. Has been widely known two types of sticky rice that is white and black sticky rice in Indonesia. In 2012, the Ministry of Agriculture introduced a new commodity that is red glutinous rice varieties Inpari 25 Opak Jaya (broken skin and sosoh) from Pacitan, East Java, but until now not much to investigate more about the red sticky rice. So far, red glutinous rice flour is still limited in its use, because it is generally limited by physical and chemical properties. Pre-gelatinized flour is red glutinous rice undergoes gelatinization process by parboiling and then dried and then mashed / floured, thus improving the quality, rheological properties and flour paste.
The objectives of this study were to study the preparation and characteristic of pre-gelatinized brown rice flour and the influence of pre-gelatinization temperature of 500C, 600C, 700C and time 5 minutes, 7.5 minutes and 10 minutes on the characteristics of red rice flour. The research method used in this research is RAL (Rancangan Acak Lengkap) with 3 replications. This method is used because in this study using a homogeneous sample and there is a comparison of temperature and time. The experimental design used was RAL with different temperature and time factors of pre-gelatinization. So that has 9 types of treatment samples and control samples with three replications, so that obtained 30 units of experiments. The data obtained are then analyzed by Analysis of Variance (ANOVA), if there is interaction between the two treatments, the BNT test (Beda Nyata Terkecil) with 5% level and if there is a real difference in the interaction of the two treatments then the further test DMRT (Duncan Multiple Range Test ) With a real level of 5%.
The results showed that pre-gelatinization treatment had significant effect on water absorption, swelling power, gel consistency, moisture content, amylose content, total phenol content, starch content and anthocyanin concentration. The higher temperature and the longer the pre-gelatinization time decreased the starch, amylose and anthocyanin levels and can increase the brightness (L*) and gel consistency. However, the effect of temperature and time on the color levels redness (a*) and yellowish (b*) is different, the higher the pre-gelatinized temperature used may increase (a*) and (b*), the longer time used can decrease (a*) And (b*) The best treatment of pre-gelatinized red glutinous rice flour was treated using 600C and 10 min pre-gelatinization time which has the following characteristics: water absorption 2.44 g/g, swelling prower 2.39 g/g, consistency of gel 11,43 cm, water content 7,38%, amylose content 4,59%, total phenol 624,86 mg GAE/100g, starch content 70,11% and anthocyanin concentration 3,20 mg/100g.
Keywords: Red glutinous rice, Pre-gelatinization, Bioactive Compounds, Amylografi
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya
kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Pra-gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung Beras Ketan
Merah (Oryza sativa glutinosa) Varietas Inpari 25 Opak Jaya”. Laporan
skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi pada
program Strata 1 di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi
Pangan, Universitas Brawijaya, Malang.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Teti Estiasih, STP, MP. Selaku dosen pembimbing utama sekaligus Ketua
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian yang telah memberikan bimbingan, arahan,
ilmu, dan pengetahuan kepada penulis.
2. Ibu Jhauharotul Muchlisyiyah, S.TP. MP. yang telah memberikan bimbingan,
arahan, ilmu, dan pengetahuan kepada penulis.
3. Orang tua, saudara-saudara kami, atas doa, bimbingan, serta kasih sayang
yang selalu tercurah selama ini.
4. Keluarga besar Universitas Brawijaya (UB), khususnya teman serta sahabat
seperjuangan di Fakultas Teknologi Pertanian atas semua dukungan,
semangat, serta kerjasamanya.
5. Seluruh civitas akademika Jurusan Teknologi Hasil Pertanian yang telah
memberikan dukungan moril kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan.
Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya
sehingga akhirnya laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi bidang
pendidikan dan penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.
Amiin.
Malang, 22 Mei 2017
Ratna Palupi Nurfatimah
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... iv HALAMAN PERUNTUKKAN ......................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................. vi RINGKASAN .................................................................................................. vii SUMMARY ..................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah .......................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 3 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 3 1.5 Hipotesis ......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4 2.1 Beras Ketan .................................................................................... 4 2.2 Beras Ketan Merah ......................................................................... 5 2.3 Struktur Anatomi Dan Karakteristik Fisik Beras Ketan ..................... 6 2.4 Pati Beras Ketan Merah .................................................................. 8 2.5 Modifikasi Fisik Pati ........................................................................ 9 2.6 Pra-Gelatinisasi .............................................................................. 10 2.7 Sifat Fungsional Tepung ................................................................. 11 2.8 Sifat Amilografi Tepung ................................................................... 12 2.9 Viskositas ....................................................................................... 13
2.10 Senyawa Bioaktif Beras Ketan Merah ............................................. 14 2.11 Sem (Scanning Electron Microscope) ............................................. 16
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 18 3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan .................................................... 18 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 18 3.3 Metode Penelitian ........................................................................... 18 3.4 Tahapan Penelitian ......................................................................... 19 3.5 Analisis Data ................................................................................... 20 3.6 Diagram Alir Penelitian ................................................................... 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23 4.1 Analisa Bahan Baku ....................................................................... 23 4.2 Karakteristik Kimia Pada Tepung Beras Ketan Merah Varietas
Inpari 25 Opak Jaya Yang Telah Di Pra-Gelatinisasi....................... 24 4.3 Kandungan Senyawa Bioaktif Pada Tepung Beras Ketan Merah
Varietas Inpari 25 Opak Jaya Yang Telah Di Pra-Gelatinisasi ......... 33 4.4 Karakteristik Fisik Pada Tepung Beras Ketan Merah Varietas Inpari
25 Opak Jaya Yang Telah Di Pra-Gelatinisasi ................................ 39 4.5 Sifat Fungsional Pada Tepung Beras Ketan Merah Varietas Inpari
25 Opak Jaya Yang Telah Di Pra-Gelatinisasi ................................ 44
xi
4.6 Sifat Amilografi Pada Tepung Beras Ketan Merah Varietas Inpari 25 Opak Jaya Yang Telah Di Pra-Gelatinisasi ................................ 55
4.7 Analisa Scanning Electrone Microscope Pada Tepung Beras Ketan Merah Varietas Inpari 25 Opak Jaya yang Telah Di Pra-gelatinisasi 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 61 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 61 5.2 Saran ............................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 62 LAMPIRAN ..................................................................................................... 70
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Beras Ketan Merah ..................................................... 6 Tabel 2.2 Sifat Fungsional Beras Ketan Merah, Ketan Hitam Dan Ketan Putih ...... 12 Tabel 4.1 Hasil Analisa Tepung Beras Ketan Merah .............................................. 23 Tabel 4.2 Sifat Kimia Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ....................... 24 Tabel 4.3 Rerata Kadar Pati Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi ..................................... 26 Tabel 4.4 Rerata Kadar Pati Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi ................................... 26 Tabel 4.5 Rerata Kadar Amilosa Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi .............................. 28 Tabel 4.6 Rerata Kadar Amilosa Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi ............................ 29 Tabel 4.7 Rerata Kadar Air Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi ................................ 31 Tabel 4.8 Senyawa Bioaktif Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............. 33 Tabel 4.9 Rerata Total Fenol Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi ............................. 34 Tabel 4.10 Rerata Konsentrasi Antosianin Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi ............... 36 Tabel 4.11 Rerata Konsentrasi Antosianin Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi ............. 37 Tabel 4.12 Sifat Fisik Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ....................... 38 Tabel 4.13 Sifat Fungsional Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............. 43 Tabel 4.14 Rerata Daya Serap Air Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi ..................... 45 Tabel 4.15 Rerata Swelling Power Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi ..................... 50 Tabel 4.16 Rerata Konsistensi Gel Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi ........................... 52 Tabel 4.17 Hasil Analisa Rva (Rapid Visco Analyzer) ............................................ 54
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Beras Ketan Merah ......................................................................... 5 Gambar 2.2 Struktur Fisik Gabah Beras Ketan ................................................... 6 Gambar 2.3 Senyawa Fenol ............................................................................... 15 Gambar 2.4 Diagram Skematik Fungsi Dasar Dan Cara Kerja SEM ................... 17 Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Beras Ketan ............................... 21 Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Tepung Beras Ketan (Pra-Gelatinisasi) ... 22 Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Kadar Pati Tepung
Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............................................... 25 Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Kadar Amilosa Tepung
Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............................................... 28 Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Kadar Air Tepung
Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............................................... 30 Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Total Fenol Tepung
Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ............................................... 33 Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Konsentrasi Antosianin
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi .................................. 35 Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Tingkat Kecerahan (L*)
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi .................................. 39 Gambar 4.7 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Tingkat Kemerahan
(A*) Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ........................... 40 Gambar 4.8 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Tingkat Kekuningan
(B*) Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ........................... 41 Gambar 4.9 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Daya Serap Air
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi ................................. 44 Gambar 4.10 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Daya Serap Minyak
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi .................................. 47 Gambar 4.11 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Swelling Power
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi .................................. 49 Gambar 4.12 Grafik Pengaruh Suhu Dan Waktu Terhadap Konsistensi Gel
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi .................................. 52 Gambar 4.13 Grafik Analisa RVA Pra-Gelatinisasi Suhu 600C 10 Menit
(Perlakuan Terbaik ........................................................................ 55 Gambar 4.14 Grafik Analisa RVA Tanpa Pra-Gelatinisasi (Kontrol) .................... 55 Gambar 4.15 Scanning Electrone Microscope Granula Pati Dari Pati Kontrol (A)
Dan Pati Pra-Gelatinisasi (B) ........................................................ 58
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisis ....................................................................... 69 Lampiran 2. Daya Serap Air ........................................................................... 77 Lampiran 3. Daya Serap Minyak .................................................................... 78 Lampiran 4. Swelling Power .......................................................................... 79 Lampiran 5. Konsistensi Gel .......................................................................... 80 Lampiran 6. Kadar Air .................................................................................... 71 Lampiran 7. Kadar Amilosa ........................................................................... 82 Lampiran 8. Kadar Total Fenol ...................................................................... 83 Lampiran 9. Kadar Pati .................................................................................. 84 Lampiran 10. Warna (L*) ................................................................................. 85 Lampiran 11. Warna (a*) ................................................................................. 86 Lampiran 12. Warna (b*) ................................................................................. 87 Lampiran 13. Konsentrasi Antosianin .............................................................. 88 Lampiran 14. Hasil Analisis Rapid Visco Analizer (RVA) Perlakuan Terbaik ... 89 Lampiran 15. Hasil Analisis Rapid Visco Analizer (RVA) Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Perlakuan (Kontrol) .................................................................... 90 Lampiran 16. Hasil Uji Scanning Electrone Microscope (SEM) Tepung Beras Ketan Merah dengan Perlakuan Terbaik .......................................................... 91 Lampiran 17. Hasil Uji Scanning Electrone Microscope (SEM) Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Perlakuan (kontrol) .......................................................... 92 Lampiran 18. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 93
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas padi
yang termasuk dalam famili Graminae. Butir beras sebagian besar terdiri dari zat
pati (sekitar 80-85%) yang terdapat dalam endosperma yang tersusun oleh
granula-granula pati yang berukuran 3-10 milimikron. Beras ketan merupakan
salah satu jenis beras yang telah dimodifikasi genetiknya sehingga memiliki
kadar amilosa yang sangat rendah yaitu 1-2% (Olsen, 2002). Beras ketan juga
mengandung vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral dan air. Komposisi
kimiawi beras ketan terdiri dari karbohidrat 79,4 %; protein 6,7 %; Ca 0,012 %;
Fe 0,008 %; P 0,148 %; Vit B 0,0002 % dan kadar air 12 % (Haryadi, 2013).
Beras ketan yang dikenal di Indonesia ada dua jenis yaitu beras ketan putih dan
beras ketan hitam.
Namun pada saat ini telah ditemukan varietas baru yakni beras ketan
merah yang didapatkan dari daerah Pakis, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Beras ketan merah memiliki karakteristik seperti seperti beras merah yang
mengandung antosianin yang berarti tinggi antioksidan dan dipercaya baik bagi
kesehatan tubuh (Utami, 2011). Senyawa antosianin memiliki manfaat antara lain
untuk menghambat sel tumor, senyawa anti inflamasi dan mampu mencegah
diabetes (Harborne, 2007). Ketan merah biasa dipasarkan dalam bentuk ketan
pecah kulit atau ketan sosoh sebagian (BBPTPadi, 2015). Selama ini beras
ketan merah hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan makanan
olahan. Pada daerah Pacitan juga telah dimanfaatkan untuk pembuatan wajik
ketan merah. (Pertiwi, 2016). Beras ketan merah dengan varietas inpari 25 Opak
Jaya dipublikasikan oleh Departemen Pertanian pada tahun 2012. Varietas ini
memiliki potensi hasil 9,4 ton/Ha gabah kering giling (GKG) dengan rata-rata
hasil 7,0 ton/Ha GKG serta memiliki kadar amilosa 5,7% namun belum dikenal
oleh masyarakat secara luas (BBPTPadi, 2015).
Pertiwi (2016) menjelaskan bahwa beras ketan merah memiliki
karakteristik fisikokimia dan sifat fungsional yang memiliki kemiripan dengan
beras ketan putih, namun beras ketan merah memiliki senyawa bioaktif yang
lebih mirip dengan beras ketan hitam. Selama ini tepung beras ketan merah juga
masih terbatas penggunaannya termasuk didalam industri pangan, karena
secara umum dibatasi oleh sifat fisik dan kimianya (Adzahan, 2002). Kandungan
pati pada beras ketan merah tanpa modifikasi fisik akan memiliki kekurangan
yang berhubungan dengan sifat-sifat dasar pati alami yang kurang
menguntungkan seperti mudah mengalami sineresis, tidak tahan pada
pemanasan suhu tinggi, tidak tahan proses mekanis dan kelarutan pati yang
terbatas di dalam air (Waliszewski et al., 2002). Pada penelitian Palupi (2007)
perlakuan pra-gelatinisasi mampu menurunkan suhu dan waktu awal gelatinisasi,
suhu dan waktu gelatinisasi (saat granula pecah), viskositas dingin, dan
viskositas balik. Oleh karena itu peneliti bermaksud meneliti tepung beras ketan
merah dengan atau tanpa perlakuan pra-gelatinisasi agar menjadi lebih optimal
pemanfaatannya di masyarakat. Pada umumnya tepung beras ketan banyak
dimanfaatkan sebagai pangan olahan tradisional seperti wajik, kueku, getas,
lupis, klepon, bubur candil dan masih banyak lagi (Agustina, 2009). Tepung
beras ketan dapat dibuat dengan cara menghancurkan bulir beras ketan dan
menyeragamkan ukurannya dengan ayakan 80 mesh (Pertiwi, 2016).
Pati pra-gelatinisasi adalah pati yang mengalami proses gelatinisasi dan
selanjutnya dikeringkan (Palupi, 2007). Pati ini akan mengalami perubahan sifat
fisik dan sifat pati alami. Menurut Padmaja (1996), modifikasi tepung secara pra-
gelatinisasi dengan perebusan (parboiling) dapat memperbaiki karakteristik dari
pasta tepung. Pati yang telah mengalami proses pra-gelatinisasi bersifat instan,
dimana dapat larut dalam dalam air dingin (cold water soluble), tetap stabil
setelah mengalami proses thawing (Waliszewski et al., 2002). Sehingga tepung
yang mengandung pati pra-gelatiisasi ini cocok untuk produk pangan instan
seperti mie instan, bubur instan dan beras instan (Lukman, 2013). Selain itu, pati
pra-gelatinisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak
dipra-gelatinisasi (Annison, 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi pra-
gelatinisasi adalah temperatur (Palupi, 2007). Jika pati tidak dipanaskan pada
temperatur yang sesuai maka derajat pengembangan granula pati tidak tepat
dan tidak memberikan sifat yang diinginkan. Suhu gelatinisasi tepung ketan
adalah 67,470C (Imaningsih, 2012). Menurut Lukman (2013) pra-gelatinisasi pati
pada beras ketan kampar dapat dilakukan dengan menggunakan pengaturan
temperatur yaitu 50oC, 60oC dan 70oC dengan waktu pemanasan selama 5
menit, 7,5 menit dan 10 menit. Penelitian ini akan membahas sifat fungsional,
sifat kimia serta senyawa bioaktif yang terdapat pada tepung beras ketan merah
yang telah di pra-gelatinisasi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang perlu dipecahkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana sifat fungsional pada tepung beras ketan merah varietas Inpari
25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi?
2. Bagaimana karakteristik kimia pada tepung beras ketan merah varietas
Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi?
3. Bagaimana karakteristik kandungan senyawa bioaktif pada tepung beras
ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sifat fungsional yang terdapat pada pada tepung beras ketan
merah varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi.
2. Mengetahui karakteristik kimia yang terdapat pada tepung beras ketan
merah varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi.
3. Mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada tepung beras
ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah:
1. Memberikan informasi sifat fungsional, karaktersistik kimia serta kandungan
senyawa bioaktif yang terdapat pada komoditas beras ketan merah (Red
Glutinous) varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah diolah dengan proses
pra-gelatinisasi.
2. Dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bagi masyarakat untuk
dilaksanakan penelitian selanjutnya mengenai potensi komoditas ketan
merah lainnya serta dengan perlakuan lainnya.
1.5 Hipotesis
1. Diduga terdapat perbedaan karakteristik kimia, senyawa bioaktif serta sifat
fungsional tepung beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya
dikarenakan perbedaan temperatur dan waktu pra-gelatinisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras Ketan
Beras ketan (Oryza sativa L var. glutinosa) banyak terdapat di Indonesia
dengan jumlah produksi sekitar 42.000 ton pertahun. Beras ketan merupakan
salah satu varietas padi yang termasuk dalam famili Graminae. Butir beras ketan
sebagian besar terdiri dari zat pati yang berkisar antara 80-85% yang terdapat
dalam endosperma yang tersusun oleh granula-granula pati yang berukuran 3-10
milimikron (Kadan 1997 dalam Lukman, 2013) Beras ketan juga mengandung
vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral dan air. Berdasarkan komposisi
kimiawinya, diketahui bahwa karbohidrat penyusun utama beras ketan adalah
pati. Pati beras ketan hanya memiliki kadar amilosa di bawah 1%. Patinya
didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak akan sangat lengket.
Menurut Herbarium Medanense (2011) dalam sistematika tumbuhan,
beras ketan diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Oryza
Spesis : Oryza sativa L.
Varietas : Oryza sativa glutinosa
Kerusakan beras ketan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal kerusakan beras ketan adalah dapat disebabkan oleh
penyosohan yang kurang bersih. Penyosohan yang kurang bersih menyisakan
betakul yang masih menempel pada beras. Betakul yang kaya lemak akan
mengalami senyawa asam lemak yang menyebabkan beras berbau apek.
Sedangkan faktor eksternal dapat dipengaruhi oleh kadar air, suhu da n lama
waktu penyimpanan. Dalam kondisi normal, penyimpanan biji-bijian dengan
kadar air dibawah 14% dan suhu dibawah 20˚C memberikan perlindungan yang
cukup terhadap perubahan-perubahan kimia, biokimia dan mikrobiologi (Suyono
dan Dandi, 1991).
2.2 Beras Ketan Merah
Beras ketan merah merupakan beras ketan langka yang saat ini hanya
dibudidayakan di Indonesia. Publikasi pertama dilakukan pada tahun 2012
dengan berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 2437/Kpts/SR.120/7/2012
dengan varietas INPARI (Inbrida Padi Sawah Irigasi) 25 Opak Jaya. Menurut
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2012), beras ketan merah ini memiliki
umur tanaman ±115 hari dengan bentuk tanaman tegak dan daun bendera tegak.
Gabah yang dimiliki berbentuk ramping dan berwarna kuning dengan tingkat
kerontokan sedang, serta memiliki kadar amilosa 5,7%. Potensi hasil yang
diperkirakan dapat mencapai 9,4 ton/ha GKG, namun rata-rata hasil yang
diperoleh selama ini adalah 7 ton per hektar GKG.
Gambar 2.1 Beras Ketan Merah (Data primer).
Beras ketan merah ini sedikit rentan terhadap Wereng Batang Cokelat
biotipe 2 dan 3, namun memiliki ketahanan terhadap Wereng Batang Cokelat
biotipe 1. Selain itu, beras ketan merah ini juga tahan terhadap Hawar Daun
Bakteri patotipe III dan sedikit tahan terhadap Hawar Daun Bakteri patotipe IV
dan VIII. Beras ketan merah ini cocok untuk ditanam pada ketinggian 0-600
meter diatas permukaan laut yaitu di sawah yang berlokasi di dataran rendah
sampai sedang (BBPTPadi, 2012). Komposisi kimiawi beras ketan merah dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Beras Ketan Merah
Sumber: (Pertiwi, 2016).
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa kadar pati tertinggi terdapat
pada ketan sosoh, kemudian pecah kulit dan bekatul. Beras ketan merah
memiliki kadar amilosa yang rendah berkisar antara 1.38-3.86% sehingga
penyusun pati terbesarnya merupakan amilopektin.
2.3 Struktur Anatomi dan Karakteristik Fisik Beras Ketan
Beras ketan juga memiliki struktur anatomi yang tidak berbeda jauh
dengan struktur anatomi padi karena masih termasuk dalam varietas yang sama.
Hasil dari tanaman padi di sawah disebut gabah (Purbasari, 2016). Berat gabah
yang dihasilkan rata-rata 12-44 mg dengan kadar air 0% (Makarim, 2009). Gabah
tersusun dari 2-3% lembaga, 4-5% kulit ari, 12-14% bekatul, 15-30% kulit luar
(sekam) dan 65-67% endosperm (Luh, 1980). Struktur fisik padi beras ketan
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur Fisik Gabah Beras Ketan (Kuswardani, 2013).
No Sifat Kimia
Sampel
Ketan Merah Pecah Kulit
Ketan Merah Sosoh
Bekatul Ketan Merah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
Kadar Abu (%) Kadar Air (%) Kadar Lemak (%) Kadar Serat Kasar (%) Kadar Protein (%) Kadar Pati (%) Kadar Gula Bebas (%) Kadar Amilosa (%) Kadar Total Fenol (mg GAE/100 g) Kadar Antosianin (mg/100 g)
0,68 14,00 4,42 4,19 9,16 64,72 0,27 2,94
612,72
6,57
0,53 11,83 2,10 2,93 8,28 79,68 0,21 3,86 34,14
0,00
12,41 9,14 7,75 14,32 12,85 22,30 0,34 1,38
628,54
13,89
Menurut Liem (2012) struktur fisik gabah beras ketan adalah sebagai
berikut:
a. Sekam
Sering disebut merang (bahasa jawa) merupakan bagian terluar dari gabah.
Secara anatomi disebut dengan palea (bagian yang ditutupi) dan lemma
(bagian yang menutupi). Sekam membentuk jaringan keras sebagai perisai
pelindung bagi butir beras terhadap pengaruh luar. Sekam merupakan 15-
30% bagian gabah. Fungsi sekam antara lain melindungi kariopsis dari
kerusakan, serangan serangga dan serangan kapang.
b. Bekatul (Bran)
Merupakan produk samping dari penggilingan padi yang seringkali ikut
terbuang dalam proses pemisahan sekam (kulit padi) atau dijadikan sebagai
makanan ternak. Kandungan nutrisi pada bekatul diantaranya adalah
senyawa bioaktif fenolik dan antioksidan yang berasal dari pigmen warna
aleuron, serat pangan, serta berbagai vitamin dan mineral. Kandungan
mineral penting seperti kalsium, magnesium, mangan, zat besi, kalium dan
seng. Sementara kandungan vitamin diantaranya adalah vitamin B15,
vitamin E, vitamin B, dan vitamin B6.
c. Kulit Ari
Kulit ari bersifat kedap terhadap oksigen, CO2 dan uap air, sehingga dapat
melindungi butir beras dari kerusakan oksidasi dan enzimatis
d. Endosperma (Pecah kulit)
Terdiri atas kulit ari (lapisan aleuron) dan merupakan tempat sebagian besar
pati dan protein beras berada. Endosperma selanjutnya mengalami
penyosohan dan menghasilkan beras ketan sosoh, dedak dan bekatul.
Penyosohan dilakukan untuk menghasilkan bulir ketan yang putih dan
bersih, tapi semakin miskin kandungan zat gizinya.
e. Embrio
Merupakan bakal calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh lagi,
kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan).
Karakteristik fisik beras ketan putih, merah maupun hitam mempunyai
bentuk dan ukuran yang mirip namun berbeda pada warna kulit arinya. Beras
ketan hitam memiliki lapisan kulit ari berwarna hitam, beras ketan merah memiliki
lapisan kulit ari berwarna merah, sedangkan beras ketan putih tidak memiliki kulit
ari dan berwarna putih (Utami, 2011). Karena kadar amilosanya yang sangat
rendah, maka warna endosperm dari beras ketan yang telah dimasak adalah
transparan serta tekstur nasinya lebih lengket. Selain itu, kandungan amilopektin
beras ketan yang mencapai 98% bersifat tidak mengembang dalam air dingin
(Nailufar, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thomas (2013),
perbandingan panjang dan lebar dari beras ketan adalah sebesar 3:10 sehingga
beras ketan termasuk dalam kategori lonjong. Selain panjang dan lebar, Thomas
(2013) juga mengukur berat per 1000 biji dan densitas kamba dari beras ketan.
Berat per 1000 biji dari beras ketan adalah 19,43 gram, sedangkan densitas
kamba dari beras ketan adalah 0,83 g/mL. Terdapat empat tipe ukuran beras
dalam standardisasi mutu, yaitu sangat panjang (>7 mm), panjang (6-7 mm),
sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (<5 mm) (Koswara, 2011).
2.4 Pati Beras Ketan Merah
Pati merupakan karbohidrat dari polimer glukosa yang terdiri dari amilosa
dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4)
unit glukosa. Amilopektin merupakan polimer α-(1,4) unit glukosa dengan rantai
samping α-(1,6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-(1,6) unit
glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4−5% (Jacobs dan Delcour,
1998). Pati juga merupakan sumber utama penghasil energi dari pangan yang
dikonsumsi oleh manusia. Pati di dunia berasal dari tanaman sereal, legume,
umbi-umbian, serta beberapa dari tanaman palm seperti sagu (Bastian, 2011).
Kadar pati merupakan kriteria yang sangat penting bagi karakteristik ketan
merah, oleh karena itu Pertiwi (2016) meneliti tentang komposisi kimia beras
ketan merah yang didalamnya juga terdapat kadar pati yaitu 64,72% dan kadar
amilosa sebesar 2,94%. Berdasarkan data tersebut, maka dapat diketahui bahwa
beras ketan merah pecah kulit dan beras ketan merah sosoh varietas Inpari 25
Opak Jaya mempunyai nilai kadar pati yang lebih mirip dengan beras ketan putih
yaitu sebesar 79,11%.
Pati beras ketan merah masih kurang dalam pemanfaatannya
dibandingkan dengan pati jagung dan gandum, namun pati ketan ini memiliki
beberapa kelebihan seperti memiliki granula yang kecil, stabil pada suhu rendah,
dan memiliki aroma dan rasa tawar sehingga tidak banyak mempengaruhi aroma
dan rasa produk yang dihasilkan (Purbasari, 2016). Menurut Setiono et al.
(1988), kandungan amilosa berhubungan erat dengan pembentukan gel dari pati
beras selama pemasakan. Kenaikan kadar amilosa beras akan meningkatkan
kemampuan granula pati untuk menyerap air, sehingga beras tersebut
mempunyai kemampuan untuk mengembang menjadi lebih besar. Dengan kata
lain semakin tinggi kandungan amilosa beras tersebut, menghasilkan nasi lebih
pera. Tafzi (2012) menyatakan bahwa kadar amilosa beras berkorelasi negatif
dengan sifat kepulenan, kelengketan, dan kelunakan.
2.5 Modifikasi Fisik Pati
Modifikasi fisik pati adalah proses yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau
merubah beberapa sifat lainnya (Glicksman, 1969). Perlakuan ini dapat
mencangkup panas, asam, basa, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya
yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta
struktur molekul. Modifikasi fisik pati diantaranya adalah HMT (Heat Moisture
Treatment) dan Pra-gelatinisasi. Metode modifikasi pati yang dipilih untuk dapat
menghasilkan kriteria pati yang dapat diaplikasikan ke produk mi adalah metode
HMT. Teknik modifikasi pati HMT dilakukan dengan cara perlakuan pemanasan
pati pada suhu tinggi (80-1200C) dalam kondisi kadar yang yang dikontrol (35%
atau lebih rendah) (Collado et al., 2001). Modifikasi pati dengan HMT
menyebabkan perubahan struktur kristal pati, dimana kristal pati menjadi lebih
resisten terhadap proses gelatinisasi. Collado et al (2001) juga menyatakan
bahwa metode modifikasi HMT dapat menurunkan nilai viskositas maksimum,
mengurangi viskositas breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi serta
menghasilkan pati dengan nilai swelling power dan solubility yang terbatas.
Masing-masing metode modifikasi tersebut dapat menghasilkan karakteristik pati
termodifikasi yang berbea-beda dan ditujukan untuk proses pengolahan tertentu
sesuai dengan kebutuhan proses dan penyimpanan produk (Singh, 2007). Pati
yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat
disesuaikan untuk keperluan tertentu. Sifat yang diinginkan adalah pati yang
memiliki viskositas stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap
sharing mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi
asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusumah, 1994).
2.6 Pra-gelatinisasi
Sifat gelatinisasi pati dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sumber pati,
ukuran granula pati, asam, gula, lemak, protein enzim, suhu pemasakan, dan
pengadukan. Komponen-komponen non pati juga akan mempengaruhi suhu
gelatinisasi. Semakin banyak komponen-komponen non pati maka waktu yang
diperlukan untuk mencapai suhu gelatinisasi semakin lama. Menurut Andarwulan
(2011) kandungan protein suatu bahan pangan mempengaruhi daya penyerapan
air oleh bahan karena protein memiliki gugus yang bersifat hidrofilik dan
bermuatan sehingga dapat mengikat air. Semakin banyak air yang diikat oleh
tepung maka semakin baik tekstur bahan pangan yang dihasilkan. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi pati pada tepung beras ketan
merah dengan cara pra-gelatinisasi. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen
yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya
gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi
pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang, amilosa akan keluar
dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin, rusak, dan terperangkap
dalam matriks amilosa membentuk gel (Imaningsih, 2012). Karena sudah
mengalami gelatinisasi, maka pati pra-gelatinisasi tidak lagi memiliki
penampakan granula pati. Pati pra-gelatinisasi bersifat instan, dimana dapat larut
dalam dalam air dingin (cold water soluble). Di samping itu, pati pra-gelatinisasi
memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak dipra-gelatinisasi.
Proses pra-gelatinisasi dapat meningkatkan daya ikat air bahan atau
menurunkan air bebas bahan, sehingga menurunkan jumlah air yang menguap
yang terdeteksi sebagai rendahnya kadar air bahan. Tepung yang mengalami
proses gelatinisasi dengan perebusan (parboiling) dan selanjutnya dikeringkan,
sehingga memperbaiki kualitas, sifat reologi dan pasta tepung disebut dengan
tepung Pra-gelatinisasi. Parboiling merupakan salah satu tahap pemanasan awal
pati sebelum perlakuan pengolahan lebih lanjut. Hasil penelitian Marsono dan
Topping (1999) menunjukkan, kandungan RS (Resistant Starch) beras dapat
ditingkatkan melalui proses parboiling. Resistant Starch juga dapat ditingkatkan
melalui proses pendinginan maupun pembekuan. Menurut Houston (1972) dalam
Putro (2007) dalam bahwa suhu gelatinisasi pada beras ketan juga berkorelasi
dengan sifat konsistensi gelnya. Konsistensi gel merupakan ukuran kecepatan
relatif dari retrogradasi pada gel. Ketan memiliki kandungan amilopektin lebih
banyak dibandingkan amilosannya. Kandungan amilosa ketan berkisar antara 1-
2%. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket, tidak
mengembang dalam pemasakan, dan juga tetap lunak setelah dingin.
2.7 Sifat Fungsional Tepung
Tepung ketan merupakan bahan pokok untuk pembuatan kue Indonesia yang
banyak digunakan sama seperti tepung beras. Tepung ketan saat ini sangat
mudah didapatkan karena banyak yang dijual dipasaran dalam bentuk tepung
yang halus dan kering (Nailufar, 2012). Untuk dapat lebih lanjut memanfaatkan
tepung, penting untuk mengetahui sifat fungsional tepung. Sifat fungsional
adalah sifat fisikokimia di luar sifat gizi yang memungkinkan suatu bahan
menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan yang didasarkan pada
sifat komponennya bila berinteraksi dengan komponen-komponen lain dalam
sistem pangan yang kompleks. Sifat-sifat fungsional sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik faktor fisika atau faktor kimia dan juga berperan penting
dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajian yang memengaruhi
karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, dan penerimaannya oleh
konsumen (seperti penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa). Sifat fungsional
tepung yang mengandung pati dapat berkaitan dengan daya serap air, minyak,
kelarutan, tekstur, dan kerekatan (Alam, 2008).
Amilosa yang terdapat di dalam tepung khususnya tepung beras ketan
merah dapat mempengaruhi tingkat pengembangan dan penyerapan air.
Semakin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk menyerap air dan
mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai kemampuan
membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada amilopektin. Amilosa
termasuk senyawa yang bersifat polar, oleh karena itu semakin tinggi kadar
amilosa pati kelarutannya dalam air juga meningkat (Alam, 2008). Mutu akhir
hasil pengolahan pangan sangat dipengaruhi oleh sifat fungsional tepung yang
digunakan. Untuk hasil olahan yang berbeda membutuhkan sifat fungsional yang
berbeda pula (Kartika, 2010). Oleh karena itu, Pertiwi (2016) melakukan
penelitian untuk mengetahui lebih lanjut sifat fungsional tepung beras ketan
merah yang dibuktikan dengan Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sifat Fungsional Beras Ketan Merah, Ketan Hitam, dan Ketan Putih
No Sifat Fungsional
Sampel
Ketan Merah
Pecah Kulit
Ketan Hitam Pecah Kulit
Ketan Merah Sosoh
Ketan Putih Sosoh
1 Daya Serap Air (g/g) 1,62 1,29 1,45 1,31
2 Daya Serap Minyak (g/g)
1,23 1,18 1,25 1,06
3 Indeks Kelarutan (%) 18,01 36,98 21,81 25,61
4 Sediment Volume Fraction (%)
3,88 5,52 13,60 15,07
5 Konsistensi Gel (cm) 11,77 14,83 14,60 13,83
6 Swelling Power (g/g) 8,61 5,73 10,87 8,31
Sumber: (Pertiwi, 2016).
Berdasarkan Tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sifat fungsional
beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya untuk daya serap air, indeks
kelarutan, konsistensi gel, dan swelling power memiliki nilai yang lebih mirip
dengan ketan putih sosoh varietas Ciasem. Sedangkan daya serap minyak dan
sediment volume fraction memiliki nilai yang lebih mirip dengan ketan hitam
pecah kulit varietas Setail. Nilai daya serap air ketan merah sebesar 1,45-1,62
g/g. Daya serap minyak sebesar 1,23-1,25 g/g. Indeks kelarutan sebesar 18,01-
21,81%. Sediment volume fraction sebesar 3,88-13,60%. Konsistensi gel
sebesar 11,77-14,60 cm. Swelling power sebesar 8,61-10,87 g/g.
2.8 Sifat Amilografi Tepung
Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas pati dengan
konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Sifat gelatinisasi
dan karakteristik pasta pati dari tepung beras ketan merah dapat ditentukan
dengan menggunakan alat RVA (Rapid Visco Analyzer) atau Brabender
Viscograph (Singh, 2003). Uji amilografi ini digunakan untuk mengetahui suhu
gelatinisasi suspensi tepung beras. Parameter analisis amilografi terdiri dari tiga
hal. Pertama adalah suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai
naik. Kemudian suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai
maksimum viskositas dapat dicapai. Ketiga, yaitu viskositas maksimum pada
puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (Argasasmita, 2008).
Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat mulai terjadi kenaikan viskositas
suspensi pati bila dipanaskan. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati
mulai menyerap air atau dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas.
Apabila suhu terus meningkat, akan terjadi peningkatan gelatinisasi maksimum.
Peristiwa gelatinisasi terjadi karena adanya pemutusan ikatan hidrogen sehingga
air masuk ke dalam granula pati dan mengakibatkan pengembangan granula
(Takahashi, 2016).
2.9 Viskositas
Viskositas merupakan pernyataan tekanan dari suatu cairan untuk
mengalir. Semakin kental suatu cairan maka besar pula kekuatan yang
diperlukan supaya cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu.
Pengentalan cairan terjadi akibat absorbsi dan pengembangan koloid. Menurut
de Man (1989), Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik
dalam air, anorganik sederhana dan suspensi serta emulsi encer. Antar molekul
dalam larutan tersebut terjadi interaksi hidrodinamik. Viskositas dari suatu fluida
dihubungkan dengan tahanan terhadap gaya yang menggeserkan fluida pada
lapisan yang satu dengan yang lain.
Viskometer adalah alat untuk mengukur kekentalan suatu fluida. Peran
alat viskometer pada proses produksi dalam dunia industri sangatlah penting,
dengan alat viskometer dapat ditentukan viskositas fluida (Ridwan, 2008).
Menurut Martin (1993) ada dua jenis viskometer, yaitu viskosimeter satu titik dan
viskosimeter banyak titik. Viskosimeter satu titik bekerja pada titik kecepatan
geser, sehingga hanya dihasilkan satu titik pada rheogram. Ekstrapolasi
(perkiraan nilai suatu variabel) dari titik tersebut ke titik nol akan menghasilkan
garis lurus. Alat ini hanya dapat digunakan untuk menentukan viskositas cairan
Newton. Contoh yang termasuk dalam jenis viskosimeter ini adalah viskosimeter
kapiler, bola jatuh, penetrometer, plastometer, dll. Sedangkan viskosimeter
banyak titik dapat dilakukan pengukuran pada beberapa harga kecepatan geser
sehingga diperoleh rheogram yang sempurna. Viskosimeter jenis ini dapat juga
digunakan untuk menentukan viskositas dan rheologi cairan Newton maupun non
Newton (Ridwan, 2008).
2.10 Senyawa Bioaktif Beras Ketan Merah
Menurut Hardiningtyas (2009) senyawa bioaktif adalah senyawa kimia
aktif yang dihasilkan oleh organisme melalui jalur biosintetik metabolit sekunder.
Hingga saat ini telah banyak ditemukan senyawa bioaktif, yang dapat
dikelompokkan berdasarkan struktur kimia dan fungsinya. Menurut
Chandrasekara (2011) senyawa fenolik yang merupakan kelompok flavonoid,
banyak dijumpai hampir pada semua tanaman dan yang telah dipelajari secara
ekstensif adalah yang terkandung dalam serealia, polong-polongan, kacang-
kacangan, sayuran, buah-buahan, teh, dan sebagainya. Senyawa bioaktif yang
juga banyak terdapat pada beras berpigmen yaitu senyawa fenolik dapat berupa
antosianin yang berperan sebagai antioksidan (Sompong, 2011).
2.10.1 Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik atau polifenol merupakan suatu senyawa yang terjadi dari
polimerisasi fenol yang begitu kompleks dan umumnya mempunyai rantai
panjang. Pembentukkan polifenol dalam tanaman dimulai dengan proses
fotosintesis melalui terbentuknya karbohidrat yang melalui jalur asam shikimat
menjadi fenilalanin dan tirosin. Salah satu jalur dari bentuk fenilalanin dan tirosin
akan membentuk golongan fenilpropanoid (Scalbert, 2002). Fenol bersifat asam,
karena sifat gugus –OH yang mudah melepaskan diri. Karakteristik lainnya
adalah kemampuan membentuk senyawa kelat dengan logam, mudah
teroksidasi dan membentuk polimer yang menimbulkan warna gelap. Timbulnya
warna gelap pada bagian tumbuhan yang terpotong atau mati disebabkan oleh
reaksi ini, hal ini sekaligus menghambat pertumbuhan tanaman (Pratt dan
Hudson, 1990, dalam Ningsih, 2007). Senyawa fenolik yang ada dalam beras
antara lain asam galat, asam prokatekuat, asam p-hidroksi bensoat, guaiakol, p-
kresol, o-kresol, dan 3,5-silenol (Vichapong, 2010).
Menurut penelitian Pertiwi (2016), total fenol pada beras ketan merah pecah
kulit adalah 612,72 ± 32,21 mg GAE/100g. Tingginya kandungan total fenol pada
beras ketan beras ketan merah, umumnnya disebabkan karena adanya
komponen warna alami pada beras yang terdistribusi secara merata pada
struktur metabolit sekundernya (Martinez- Valverde et al., 2000). Senyawa ini
memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik seperti
pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Senyawa Fenol (Hardiningtyas, 2009)
2.10.2 Antosianin
Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat berwarna merah, ungu,
atau biru, biasanya terdapat pada banyak jenis bunga, buah dan sayuran.
Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai
antioksidan (Natalia, 2005). Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai
antioksidan primer. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincin
aromatik benzene C6H6 yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang
membentuk cincin (Sompong, 2011). Antosianin larut dalam pelarut polar seperti
metanol, aseton, atau kloroform, air, yang diasamkan dengan asam klorida atau
asam format. Antosianin stabil suhu 50°C, mempunyai berat molekul 207,08
gram/mol dan rumus molekul C15H110. Antosianin dilihat dari penampakan
berwarna merah, merah senduduk, biru dan ungu, mempunyai panjang
gelombang maksimum 490 - 550 nm (Sutharut, 2012).
Menurut penelitian Pertiwi (2016), ketan merah pecah kulit memiliki total
antosianin sebesar 6,57 ± 0,82 mg/100g. Namun total antosianin pada beras
ketan hitam lebih tinggi yaitu sebesar 28,08 ± 2,52 mg/100g. Tingginya total
antosianin pada beras hitam atau beras ketan hitam ini kemungkinan dapat
disebabkan karena warna kulit arinya sangat pekat, seperti dikatakan oleh
Suliartini (2011) yaitu semakin tinggi kadar antosianin, maka warna ungu pada
bulir beras akan semakin pekat hingga menjadi warna kehitaman.
2.10.3 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk
menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi molekul senyawa lain.
Mekanismenya dengan menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal
bebas, sehingga radikal bebas dapat diredam (Chakraborty, 2009). Berdasarkan
sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik
(antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami
(antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Diantara beberapa contoh antioksidan
sintetik yang diizinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang
penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi
Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidroksi Quinon
(TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang
telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial (Belitz, 1984, dalam
Ningsih, 2007). Menurut Chakraborty (2009) antioksidan menjadi agen pereduksi
seperti tiol dan polifenol yang diketahui dapat menghambat perkembangan
penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung, stroke, penyakit Alzheimer,
rheumatoid arthritis dan katarak.
2.11 SEM (Scanning Electron Microscope)
Scanning Electron Microscope merupakan mikroskop elektron yang
banyak digunakan dalam ilmu pengetahuan material. SEM banyak digunakan
karena memiliki kombinasi yang unik, mulai dari persiapan spesimen yang simpel
kapabilitas tampilan yang bagus serta fleksibel. SEM digunakan pada sampel
yang tebal dan memungkinkan untuk analisis permukaan. Pancaran berkas yang
jatuh pada sampel akan dipantulkan dan difraksikan. Adanya elektron yang
terdifraksi dapat diamati dalam bentuk pola-pola difraksi. Pola-pola difraksi yang
tampak sangat bergantung pada bentuk dan ukuran sel satuan dari sampel. SEM
juga dapat digunakan untuk menyimpulkan data-data kristalografi, sehingga hal
ini dapat dikembangkan untuk menentukan elemen atau senyawa (Frost, 2009).
SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang memproduksi berkas
elektron pada tegangan dipercepat sebesar 2 – 30 kV. Berkas elektron tersebut
dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan image
berukuran ≤10 nm pada sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi
atau ke dalam tabung layar (Anggraeni, 2008).
Gambar 2.4 Diagram Skematik Fungsi Dasar dan Cara Kerja SEM
(Anggraeni, 2008).
SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan
pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali
sampai 500.000 kali. Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning
raster mendeflesikan berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil
scan ini tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan
tampak pada area yang di-scan. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar
katoda timbul karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu
berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan
sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lain membebaskan energi
rendah secondary electron (SE) (Fraden, 2003). Emisi radiasi elektromagnetik
dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya
panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah daerah panjang
gelombang cahaya tampak (cathodoluminescence) dan sinar-X. Elektron-
elektron BSE dan SE yang direfleksikan dan dipancarkan sampel dikumpulkan
oleh sebuah scintillator yang memancarkan sebuah pulsa cahaya pada elektron
yang datang. Cahaya yang dipancarkan kemudian diubah menjadi sinyal listrik
dan diperbesar oleh photomultiplier. Setelah melalui proses pembesaran sinyal
tersebut dikirim ke bagian grid tabung sinar katoda. Scintillator biasanya memiliki
potensial positif sebesar 5 – 10 kV untuk mempercepat energi rendah yang
dipancarkan elektron agar cukup untuk mengemisikan cahaya tampak ketika
menumbuk scintillator. Scintillator harus dilindungi agar tidak terkena defleksi
berkas elektron utama yang memiliki potensial tinggi. Pelindung metal yang
mengandung metal gauze terbuka yang menghadap sampel memungkinkan
hampir seluruh elektron melalui permukaan scintillator (Fraden, 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian karakteristik fisikokimia beras ketan merah pra-gelatinisasi
berlangsung pada bulan Juli 2016 sampai Februari 2017. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Pengolahan Pangan serta
Laboratorium Biokimia dan Analisis Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah sentrifuge (EBA
20 Hettich), tube sentrifuge, vortex, timbangan analitik, gelas beker, gelas ukur,
labu ukur 100 ml, pipet, blender, kabinet dryer, ayakan 80 mesh, kompor dan
termometer di Laboratorium Kimia dan Biokimia dan Laboratorium Teknologi
Pengolahan Pangan Universitas Brawijaya Malang. Rapid Visco Amilograph
(RVA) Tecmaster Perten Instrument di Laboratorium Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan IPB. SEM (Scanning Electrone Microscope) di Laboratorium
Mineral dan Material Maju Universitas Negeri Malang.
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain beras ketan merah
varietas Inpari 25 Opak Jaya dari Kabupaten Pacitan yang diambil pada bulan
Juli 2016, larutan KOH 0,2 N, aquades, KOH 1,7%, minyak kanola, air deionisasi,
etanol 95%, natrium hidroksida (NaOH) 1 N, asam asetat 1 N, H2SO4 pekat,
akuades, indikator PP, NaOH, larutan H3BO3, HCl 0,1 N yang telah
distandarisasi, petroleum eter, H2SO4 0,325N, NaOH 1,25N, Na-karbonat alkalis
2%, reagen folin-ciocalteau, buffer kalium klorida (0,03 mol/L, pH 1,0), buffer
natrium asetat (0,4 mol/L, pH 4,5), etanol 80%, etanol 10%, petroleum eter,
aquades, HCl 25%, NaOH 45%, reagen Nelson, reagen arsenomolibdat, CaCO2,
Pb-asetat, Na-oksalat, dan pereaksi anthrone.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor, yaitu suhu dan waktu pemanasan.
Faktor suhu memiliki 3 level, yaitu 500C, 600C dan 700C, sedangkan faktor waktu
memiliki 3 level, yaitu 5 menit, 7,5 menit dan 10 menit dan dilakukan 3 (tiga) kali
ulangan. Pada penelitian ini, penulis melakukan tiga kali ulangan pada setiap
pengamatan atau analisa.
3.4 Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama yaitu pesiapan sampel
dan tahap kedua yaitu pengamatan.
3.4.1 Persiapan Sampel
Persiapan sampel yang dilakukan adalah mengolah beras ketan merah
menjadi tepung beras ketan merah untuk memperluas permukaan. Proses
penepungan ini dilakukan dengan dua cara, cara yang pertama dengan proses
pra-gelatinisasi terlebih dahulu dan yang kedua tanpa proses pra-gelatinisasi.
Pada pembuatan tepung beras ketan merah yang menggunakan proses pra-
gelatinisasi pertama-tama dilakukan perendaman dengan air panas (parboiling)
terlebih dahulu dengan menggunakan suhu yang berbeda yaitu 50oC, 60oC dan
70oC dengan perbandingan waktu 5 menit, 7,5 menit dan 10 menit (Lukman,
2013). Suhu selalu dikontrol menggunakan termometer. Rasio air yang
digunakan adalah 400 ml dengan bahan beras ketan merah 100 gram. Kemudian
dilakukan pembuangan air dari proses pra-gelatinisasi (decanting) dan dilakukan
pengeringan dengan kabinet bersuhu 60oC selama 6 jam (Diza, 2014), kemudian
dilakukan penepungan pada beras ketan merah sebesar 80 mesh (Palupi, 2007).
Proses penepungan dilakukan dengan cara menghaluskan masing-
masing bulir endosperm dengan menggunakan blender. Pada setiap sekali
proses penghalusan dibutuhkan 100 gram sampel. Selanjutnya bulir halus
tersebut diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh yang merupakan ukuran standar
untuk tepung beras (Akhbar, 2015 dalam Pertiwi, 2016). Setelah proses
pengayakan, sampel yang tidak lolos ayakan dihaluskan lagi dan diayak lagi
hingga 3-4 kali dan dihasilkan tepung sebanyak 80-90% dari total sampel awal.
3.4.2 Pengamatan
Setelah semua sampel siap, kemudian dilakukan pengamatan yang
meliputi analisis sifat fungsional, senyawa bioaktif, sifat kimia, sifat fisik dan sifat
amilografi dari beras ketan merah dengan perlakuan pra-gelatinisasi yang
berbeda-beda. Analisa terhadap parameter-parameter tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode berikut:
1. Analisis sifat kimia
a. Kadar Pati (AOAC, 2005).
b. Kadar amilosa (AOAC, 2005).
c. Kadar air (AOAC, 2005).
2. Analisis Sifat Fisik
a. Warna (Yuwono dan Susanto, 1998)
3. Analisis Sifat Fungsional
a. Daya serap air (Ali, 2014)
b. Daya serap minyak (Ahmed, 2015)
c. Swelling power (Honestin, 2007)
d. Konsistensi gel (Paelongan, 2013)
4. Analisis senyawa bioaktif
a. Kadar total fenol (Suradi, 1998 dalam Oktaviana, 2010)
b. Konsentrasi antosianin (Yodmanee, 2011)
5. Analisis Amilografi
a. Rapid Visco Analyzer (RVA) (Frost dkk., 2009), penelitian dan pengamatan
dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
6. Analisis Instrumental
a. Scanning Microscope Electron (SEM) (Srichuwong 2006)
3.5 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisa dengan metode Analysis of Variant
(ANOVA) untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau pengaruh pada tiap
perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dan
Duncan Multiple Range Test (DMRT) apabila terdapat interaksi yang berbeda
nyata antar perlakuan.
3.6 Diagram Alir Penelitian
3.6.1 Proses Pembuatan Tepung Beras Ketan Merah (Kontrol)
Sortasi dan pencucian
Pengeringan (600C, 5 jam)
Pengecilan ukuran dengan blender
Penghalusan dengan ayakan 80 mesh
(diulang 3-4 kali)
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Beras Ketan
(Akhbar, 2015 dan Pertiwi, 2016)
Tepung Beras Ketan Merah
Analisis Kimia: kadar
air, pati, dan amilosa.
Analisis senyawa
bioaktif: total fenol
dan antosianin.
Analisis Fisik: Warna
(L,a dan b)
Analisis Instrumental:
SEM (Scanning
Elecrone Microscope)
Analisis Sifat
Fungsional: daya serap
air, daya serap minyak,
indeks kelarutan,
swelling power,
konsistensi gel .
Analisis Amilografi: RVA
(Rapid Visco Analizer)
Beras Ketan Merah Pecah Kulit
3.6.2 Proses Pembuatan Tepung Beras Ketan Merah (pra-gelatinisasi)
Pemanasan beras dalam air
Suhu (50, 60, 700C) dan Waktu (5, 7,5, 10 menit)
Rasio beras : air (100 g : 400 ml)
Pembuangan air (decanting)
Pengeringan dengan kabinet
(600C, 5 jam)
Pengecilan ukuran dengan blender
Penghalusan dengan ayakan 80 mesh
(diulang 3-4 kali)
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Tepung Beras Ketan Merah (pra-gelatinisasi)
(Lukman, 2013 dan Pertiwi, 2016).
Beras Ketan Merah Pecah Kulit
Tepung Beras Ketan Merah
Analisis Kimia: kadar
air, pati, dan amilosa.
Analisis senyawa
bioaktif: total fenol
dan antosianin.
Analisis Fisik: Warna
(L,a dan b)
Analisis Instrumental:
SEM (Scanning
Elecrone Microscope)
Analisis Sifat
Fungsional: daya serap
air, daya serap minyak,
indeks kelarutan,
swelling power,
konsistensi gel .
Analisis Amilografi: RVA
(Rapid Visco Analizer)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Bahan Baku
Beras ketan merah (bahan baku) merupakan beras ketan langka yang
pertama kali di publikasikan pada tahun 2012 dengan berdasarkan SK Menteri
Pertanian nomor 2437/Kpts/SR.120/7/2012 dengan varietas INPARI (Inbrida
Padi Sawah Irigasi) 25 Opak Jaya. Menurut Haryadi (2013) beras ketan juga
mengandung vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral dan air. Komposisi
kimiawi Beras Ketan terdiri dari Karbohidrat 79,4 %; Protein 6,7 %; Lemak 0,7 %;
Ca 0,012 %; Fe 0,008 %; P 0,148 %; Vit B 0,0002 % dan Kadar Air 12 %. Selain
itu beras ketan merah memiliki karakteristik seperti seperti beras merah yang
mengandung antosianin yang berarti tinggi antioksidan yang dipercaya baik bagi
kesehatan tubuh (Utami, 2011). Karakteristik fisik, kimia, sifat fungsional serta
senyawa bioaktif beras ketan merah, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil Analisa Tepung Beras Ketan Merah
Parameter Hasil Analisa Literatur
Daya Serap Air (g/g) 2,27 ± 0,08 1,62 ± 0,04a
Daya Serap Minyak (g/g) 2,15 ± 0,11 2,23 ± 0,02a
Swelling Power (g/g) 2,49 ± 0,08 8,61 ± 0,70a
Konsistensi Gel (Cm) 10,5 ± 0,50 11,77 ± 1,00a
Kadar Air (%) 11,75 ± 0,80 13,98 ± 0,04a
Kadar Amilosa (%) 5,69 ± 0,49 2,94 ± 0,26a
Kadar Pati (%) 70,43 ± 6,80 64,72 ± 4,33a
Senyawa Fenol (mg GAE/100g)
594,18 ± 20,64 612,72 ± 32,21a
Antosianin (mg/100g)
10,18 ± 0,67 6,57 ± 0,82a
Warna L = 73,3 A = 6,3 B = 9,3
L = 75,85b
Keterangan: a = tepung beras ketan merah varietas 25 Opak Jaya (Pertiwi, 2016).
b = tepung beras merah varietas Mandel Handayani (Indriyani, 2013).
1. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 2. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Analisa bahan baku bertujuan untuk mengetahui keadaan awal bahan baku
sebelum dilakukan proses pra-gelatinisasi. Berdasarkan literatur yang didapatkan
dari berbagai sumber, perbedaan hasil analisa tidak terlalu besar. Adanya
perbedaan hasil analisa dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan, faktor
lingkungan, waktu panen, kondisi fisiologis tanaman, jenis tanah yang berbeda
serta lama penyimpanan. Selama proses penyimpanan biasanya beras ketan
masih mengalami reaksi biokimia. Tempat penyimpanan yang lembab bisa
menyebabkan beras ketan terkontaminasi oleh jamur. Maka dari itu pada
umumnya penyimpanan beras ketan dilakukan pada tempat yang luas dan
kering. Menurut Hermanianto dkk (1997), kualitas beras dapat berubah selama
penyimpanan. Perubahan kualitas beras dapat dilihat dari perubahan fisik dan
perubahan kimiawi.
Kadar air dapat mengalami perubahan dengan bertambahnya umur panen.
Penurunan kadar air dapat disebabkan karena semakin lama umur panen maka
granula pati dan komponen-komponen non pati meningkat sehingga
menyebabkan kadar air turun. Jumlah kandungan air dalam bahan organik akan
mempengaruhi daya tahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba
(Yusuf, 2016).
4.2 Karakteristik kimia pada tepung beras ketan merah varietas Inpari 25
Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Sifat kimia tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi yang meliputi kadar
pati, kadar amilosa dan kadar air disajikan dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Sifat Kimia Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Waktu Suhu (0C) Kadar Pati (%) Kadar Amilosa (%) Kadar Air (%)
5 menit
50 77,84 ± 3,03 5,75 ± 0,41 6,74 ± 0,22
60 76,34 ± 1,08 4,98 ± 0,44 7,45 ± 0,44
70 73,46 ± 3,99 4,60 ± 0,04 7,16 ± 0,25
7,5 menit
50 76,23 ± 2,95 5,66 ± 0,47 6,96 ± 0,42
60 70,55 ± 2,32 4,95 ± 0,36 6,61 ± 0,18
70 65,21 ± 3,45 3,86 ± 0,08 6,16 ± 0,20
10 menit
50 74,02 ± 3,56 5,41 ± 0,03 7,41 ± 0,20
60 70,12 ± 5,18 4,60 ± 0,86 7,39 ± 0,16
70 62,79 ± 2,08 3,29 ± 0,44 7,36 ± 0,51 Keterangan: 1. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 2. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.2.1 Kadar Pati
Pati merupakan bentuk homopolimer dari glukosa dengan ikatan α-
glikosidik. Menurut Muchtadi et al. (2006), pati terdiri atas dua polimer yang
berbeda, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki struktur rantai lurus
dari polimer glukosa dengan ikatan α-1,4 glikosidik sedangkan amilopektin
memiliki rantai bercabang di mana molekul-molekul glukosa bergabung melalui
ikatan α-1,6 glikosidik. Karbohidrat golongan polisakarida ini terdapat pada
tanaman dalam bentuk granula. Selain sebagai komponen nutrisi, pati dalam
suatu bahan pangan juga menjadi penentu karakteristik dan mutu tepung
(Syamsir dkk., 2012). Menurut hasil penelitian Wulan, dkk (2007) kadar pati pada
pati modifikasi berkisar antara 68,18 - 86,67%. Kadar pati yang diperoleh pada
pra-gelatinisasi tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu
dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kadar Pati
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Kadar Pati Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 70,43 %
Hasil penelitian pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan pengaruh suhu dan waktu cenderung menurunkan kadar pati
pada sampel tepung beras ketan merah. Hal tersebut dibuktikan oleh grafik
diatas, perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 500C memiliki kadar pati yang
masih tinggi, namun semakin lama waktu pemanasannya tingkat kadar pati
semakin menurun. Kadar pati terendah ditunjukkan pada suhu 700C dengan
waktu pra-gelatinisasi 10 menit. Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan
bahwa perlakuan suhu pra-gelatinisasi, waktu pra-gelatinisasi memberikan
77.84 76.23 74.02 76.34
70.55 70.12 73.46
65.21 62.79
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
5 7.5 10
Kad
ar P
ati (
%)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
pengaruh nyata terhadap kadar pati beras ketan merah (α = 0,05). Sedangkan
interaksi antara lama pra-gelatinisasi dan suhu pra-gelatinisasi tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap kadar pati. Hasil uji lanjut BNT perlakuan suhu pre-
gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi terhadap kadar pati tepung beras ketan
merah ditunjukkan pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.
Tabel 4.3 Rerata Kadar Pati Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi
Suhu Pre-gelatinisai (0C) Rerata kadar pati (%) BNT (5%)
50 76,03 ± 1,92 b
5,60
60 72,34 ± 3,47 ab
70 67,16 ± 5,59 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata kadar pati tertinggi diperoleh pada
perlakuan lama pre-gelatinisasi dengan suhu 500C sebesar 76,03% sedangkan
rerata kadar pati terendah diperoleh pada perlakuan suhu pre-gelatinisasi 700C
sebesar 67,16 (%). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pre-
gelatinisasi yang digunakan maka akan semakin rendah nilai kadar pati yang
dihasilkan.
Tabel 4.4 Rerata Kadar Pati Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi
Waktu Pre-gelatinisai (menit) Rerata kadar pati (cm) BNT (5%)
5 75,88 ± 2,22 b
5,60
7,5 70,66 ± 5,50 ab
10 68,98 ± 5,69 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata kadar pati tertinggi diperoleh pada
perlakuan lama pre-gelatinisasi 5 menit sebesar 75,88 (%) sedangkan rerata
kadar pati terendah diperoleh pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 10 menit
68,98 (%). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama pre-gelatinisasi yang
dilakukan maka akan semakin rendah nilai kadar pati yang dihasilkan.
Penurunan kadar pati tersebut diduga karena saat proses pemanasan
berlangsung, terjadi hidrolisis pati yang disebabkan oleh suhu tinggi sehingga
mengakibatkan kandungan total pati menurun. Menurut Myllarinen (2002) suhu
yang makin meningkat akan memperbesar kecepatan reaksi, tetapi jika suhu
terlalu tinggi, hasil banyak yang rusak, sehingga hasil berkurang dan mutunya
menurun. Hasil samping hidrolisis pati yang mempunyai gugus aldosa terukur
sebagai gula pereduksi. Oleh karena itu kadar total pati berkorelasi negatif
dengan kadar gula pereduksi (Wulan et al., 2007).
Selain itu penurunan kadar pati juga diduga karena kandungan pati ketika
proses pemanasan mengalami gelatinisasi akibat perlakuan suhu yang tinggi.
Pati yang tercampur dengan air akan membentuk cairan kental (sol). Pati yang
terikat pada air tersebut akan ikut menguap saat pengeringan, sehingga apabila
banyak kadar air yang lepas maka kadar pati akan banyak yang lepas bersama
dengan uap air (Myllarinen, 2002). Semakin lama perendaman, maka kadar pati
pada tepung beras ketan merah juga semakin menurun. Hal ini diduga karena
semakin lama perendaman, maka permeabilitas membran sel bahan semakin
terganggu maka pati dalam bentuk amilosa akan keluar bersama air dari dalam
sel. Penurunan kadar pati karena perendaman disebabkan karena pengecilan
ukuran pada bahan yang mengakibatkan jaringan sel rusak sehingga pati akan
keluar dari jaringan sel (Pusparani, 2012).
Perbedaan kadar pati juga dapat terjadi karena proses pengolahan.
Menurut Abera dan Rakshit (2003) proses penggilingan kering pada pembuatan
tepung tapioka dapat menghilangkan kadar pati sebesar 13-20%. Selain itu,
kadar pati juga dapat berkurang karena partikel-partikel pati yang berukuran kecil
ikut terbuang bersama partikel serat halus selama proses pencucian pati tepung
beras ketan merah. Pada proses penyaringan basah, kehilangan jumlah pati juga
dapat terjadi karena adanya partikel-partikel pati yang lebih besar yang tidak
lolos saringan, sehingga jumlah pati yang terukur menjadi lebih sedikit.
4.2.2 Kadar Amilosa
Amilosa merupakan salah satu komponen terbesar penyusun pati selain
amilopektin. Amilosa memiliki monomer D-glukosa yang membentuk rantai lurus
dengan ikatan glikosida pada posisi α pada atom C1 dan C4. Baik dan Lee
(2003) dalam Aini (2016) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka
produk memiliki tekstur yang semakin padat. Kadar amilosa yang diperoleh pada
pra-gelatinisasi tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu
dapat dilihat pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kadar Amilosa Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Kadar Amilosa Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 5,69%
Hasil penelitian pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan pengaruh suhu dan waktu cenderung menurunkan kadar
amilosa pada sampel tepung beras ketan merah. Penurunan kadar amilosa
tersebut dapat dibaca dari grafik diatas. Perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu
500C memiliki kadar amilosa yang masih tinggi, namun semakin lama waktu
pemanasannya tingkat kadar amilosa semakin menurun. Kadar amilosa terendah
ditunjukkan pada suhu 700C dengan waktu pra-gelatinisasi 10 menit.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pra-
gelatinisasi, waktu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap kadar
amilosa tepung beras ketan merah (α = 0,05). Interaksi antara lama pra-
gelatinisasi dan suhu pra-gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
kadar amilosa. Hasil uji lanjut BNT perlakuan suhu pre-gelatinisasi dan waktu
pra-gelatinisasi terhadap kadar amilosa tepung beras ketan merah ditunjukkan
pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.
Tabel 4.5 Rerata Kadar Amilosa Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi
Suhu Pre-gelatinisai (0C) Rerata kadar amilosa (%) BNT (5%)
50 5,60 ± 0,18 c
0,73
60 4,84 ± 0,21 b
70 3,92 ± 0,65 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
5.75 5.66 5.41
4.98 4.95 4.60
4.60 3.86 3.29
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
5 7.5 10
Kad
ar A
milo
sa (
%)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa rerata kadar amilosa tertinggi diperoleh
pada perlakuan lama pre-gelatinisasi dengan suhu 500C sebesar 5.60 (%)
sedangkan rerata kadar amilosa terendah diperoleh pada perlakuan suhu pre-
gelatinisasi 700C sebesar 3.92 (%). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
suhu pre-gelatinisasi yang digunakan maka akan semakin rendah nilai kadar
amilosa yang dihasilkan.
Tabel 4.6 Rerata Kadar Amilosa Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi
Waktu Pre-gelatinisai (menit) Rerata kadar amilosa (%) BNT (5%)
5 5,11 ± 0.58 b
0,73
7,5 4,82 ± 0,90 ab
10 4,43 ± 1.06 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa rerata kadar amilosa tertinggi diperoleh
pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 5 menit sebesar 5,11 (%) sedangkan rerata
kadar amilosa terendah diperoleh pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 10 menit
4.43 (%). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama pre-gelatinisasi yang
dilakukan maka akan semakin rendah nilai kadar amilosa yang dihasilkan.
Penurunan kadar amilosa tersebut diduga karena adanya proses
gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous
yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati ini
menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati
bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan
granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul
pati yang terlarut air dengan mudah keluar masuk ke dalam sistem larutan.
Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air
tersebut sehingga terjadi leaching amilosa (Chen et al, 2003). Palupi (2007) juga
menyatakan bahwa perlakuan perebusan sedikit menurunkan kadar amilosa
karena ketika pati dipanaskan dalam air dapat menyebabkan ikatan hidrogen pati
menjadi melemah. Ikatan yang lemah akan memudahkan air masuk ke dalam
granula dan memungkinkan amilosa larut dalam air.
4.2.3 Kadar Air
Kadar air menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan berat bahan
yang dapat dinyatakan dalam persen. Kadar air merupakan komponen penting
dalam menentukan kualitas dan daya simpan dari pangan terutama pada produk
tepung. Produk dengan kadar air yang rendah relatif lebih stabil dalam
penyimpanan jangka panjang (Purwoko, 2009). Semakin tinggi kadar air dapat
memicu pertumbuhan mikroorganisme dan bau langu (bau tidak sedap),
sehingga umur simpan produk tepung menjadi lebih pendek. Mikroorganisme
membutuhkan air untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Penentuan
kadar air ini sangat penting agar bahan pangan mendapat penanganan yang
tepat dalam proses pengolahan maupun pendistribusian (Hani, 2012). Kadar air
yang diperoleh pada pra-gelatinisasi tepung ketan merah dengan berbagai
perbedaan suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kadar Air Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Kadar Air Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 11,75%
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.3 menjelaskan bahwa
kadar air dari tepung beras ketan merah cenderung fluktuatif atau naik turun
pada setiap menitnya, kecuali pada perlakuan pra-gelatinisasi suhu 500C yang
kadar airnya juga semakin tinggi dengan semakin lama waktu pemanasan yang
digunakan. Kadar air tertinggi dimiliki oleh sampel pra-gelatinisasi dengan suhu
500C dengan waktu pemanasan 10 menit. Kadar air perlakuan pra-gelatinisasi
dengan suhu 600C yang tertinggi dengan pra-gelatinisasi selama 5 menit, dan
kadar air terendah dengan perlakuan pra-gelatinisasi selama 7,5 menit. Dari
semua sampel yang telah diuji, kadar air terendah dimiliki oleh perlakuan pra-
6.74
6.96 7.41
7.45 6.61
7.39 7.16
6.16 7.36
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
5 7.5 10
Kad
ar A
ir (
%)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
gelatinisasi dengan suhu 700C selama 7.5 menit. Berdasarkan analisis
keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pra-gelatinisasi, interaksi antara
lama pra-gelatinisasi dan suhu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh nyata
terhadap kadar air tepung beras ketan merah (α = 0,05). Waktu pra-gelatinisasi
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air. Hasil uji lanjut kadar air
tepung beras ketan merah pada berbagai perlakuan suhu dan waktu pra-
gelatinisasi menggunakan uji DMRT (Duncan's Multiple Range Test) disajikan
pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Rerata Kadar Air Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi
Suhu (℃) Waktu (Menit) Kadar Air (%)
50
5 6,74 ± 0,22 b
7,5 6,96 ± 0,42 bc
10 7,40 ± 0,20 c
60 5 7,45 ± 0,44
c
7,5 6,61 ± 0,18 ab
10 7,48 ± 0,15 c
70
5 7,16 ± 0,25 bc
7,5 6,16 ± 0,19 a
10 7,46 ± 0,50 c
Keterangan: 1. Setiap data merupakan rata-rata dari 3 (tiga) kali ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (α = 0,05).
Berdsarkan uji DMRT dari Tabel 4.7 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 500C selama 7,5 menit, suhu 600C selama 7,5 menit,
suhu 700C selama 5 menit tidak memiliki pengaruh interaksi yang berbeda nyata.
Sedangkan perlakuan pra-gelatinisasi dengan variasi suhu dan waktu lainnya
memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Kadar air tertinggi dimiliki oleh perlakuan
pra-gelatinisasi 500C selama 10 menit yaitu 7,41%. Kadar air terendah dimiliki
oleh perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 700C selama 7,5 menit yaitu 6,16%.
Kadar air dari seluruh perlakuan cenderung menunjukkan bahwa semakin tinggi
suhu pra-gelatinisasi maka kadar air didalam tepung beras ketan merah juga
semakin menurun, hal tersebut terjadi pada perlakuan pre gelatinisasi dengan
suhu 7,5 menit dan 10 menit. Namun, hasil kadar air dari tepung beras ketan
merah tersebut juga berfluktuatif, hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
hal seperti lamanya perendaman dengan air panas yang diduga dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan sel pada bahan dan mempengaruhi
permeabilitas sel bahan. Hal ini memungkinkan air dapat keluar dari dalam sel
akibat tekstur bahan menjadi lunak dan berpori. Keadaan ini menyebabkan
penguapan air selama proses pengeringan menjadi semakin mudah. Semakin
lama perendaman maka permeabilitas membran sel bahan semakin terganggu
sehingga air yang keluar semakin banyak sehingga dihasilkan kadar air yang
lebih rendah (Ayu, 2014). Namun, Indrastuti (2012) melaporkan bahwa adanya
lendir (sol) dapat mengikat air sehingga dapat menghambat pembengkakan
granula pati. Diduga semakin lama perendaman dengan air panas akan
menyebabkan larutnya lendir (sol) pada air perendaman sehingga air banyak
yang berikatan dengan lendir (sol) pada bahan. Hal ini menyebabkan
pembengkakan granula terhambat sehingga penguapan air saat pengeringan
sedikit sehingga kadar air yang diperoleh cukup tinggi.
Ayu (2014) juga menyatakan bahwa semakin lama pemanasan akan
mengakibatkan sifat permeabel dinding sel meningkat sehingga memudahkan
penguapan air keluar dari bahan saat pengeringan. Pada saat proses
pemanasan terjadi pemekaran dan pengembangan struktur granula pati.
Pengembangan struktur bahan akan menyebabkan pembentukan rongga pada
bahan tersebut akan semakin luas dan mudah menyerap air tetapi mudah untuk
melepas air ketika proses pengeringan sehingga kadar air rendah. Namun,
adanya gel yang melapisi pada permukaan beras ketan merah bahan saat
parboiling diduga dapat menyebabkan penguapan air pada proses pengeringan
menjadi terhambat sehingga diperoleh kadar air yang lebih tinggi pada tepung.
Pada saat pemanasan ikatan hidrogen antara pati dengan protein akan melemah
sehingga air dapat menyusup diantara keduanya. Namun ketika pendinginan,
terjadi penguatan kembali ikatan hitrogen sehingga molekul air terikat kuat
dan sulit dibebaskan dengan cara penguapan atau pengeringan (Febrianty
dkk., 2015).
4.3 Kandungan senyawa bioaktif pada tepung beras ketan merah varietas
Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Kandungan senyawa bioaktif tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi
yang meliputi warna (kecerahan, kemerahan dan kekuningan) disajikan dalam
Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Senyawa Bioaktif Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Waktu Suhu Total Fenol
(mg GAE/100g) Antosianin (mg/100g)
5 menit
50 353,34 ± 33,49 6,71 ± 1,10
60 371,60 ± 24,91 4,95 ± 0,32
70 534,72 ± 8,76 4,15 ± 1,17
7,5 menit
50 412,93 ± 8,77 5,59 ± 0,08
60 465,82 ± 15,22 4,48 ± 0,75
70 596,37 ± 23,17 4,20 ± 0,75
10 menit
50 479,33 ± 20,02 3,48 ± 0,46
60 624,86 ± 22,74 3,20 ± 0,55
70 395,32 ± 37,82 2,64 ± 0,60
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.3.1 Total Fenol
Fenol (C6H6OH) merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus
hidroksil yang terikat pada cincin benzene (Hoffman et al., 1997). Senyawa fenol
merupakan senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat
langsung pada gugus gula. Analisa total fenolik pada sampel beras ketan merah
dilakukan pada ekstrak fenol bebas, fenol bebas terikat dan fenol terikat dengan
metode Folin-ciocalteau. Kadar total fenol yang diperoleh pada pra-gelatinisasi
tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu dapat dilihat
pada Gambar 4.4
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Total Fenol Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Total Fenol Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 594,18 (mg GAE/100g)
353.3 412.9
479.3
371.6
465.8
624.9
534.7 596.4
395.3
0.0
100.0
200.0
300.0
400.0
500.0
600.0
700.0
800.0
900.0
5 7.5 10
Kad
ar F
en
ol (
mg
GA
E/1
00
gr)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (0C):
Hasil penelitian pada Gambar 4.4 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan pengaruh suhu dan waktu cenderung meningkatkan total
fenol pada sampel tepung beras ketan merah. Namun terjadi penurunan pada
total fenol pada perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 70oC dan lama
perlakuan 10 menit. Padahal total fenol tertinggi juga dimiliki oleh perlakuan
dengan suhu tersebut dengan lama pemanasan 7,5 menit. Sedangkan total fenol
terendah terdapat pada suhu 500C dengan lama pra-gelatinisasi 5 menit. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama pra-gelatinisasi, waktu pra-
gelatinisasi, dan interaksi antara lama pra-gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi
memberikan pengaruh nyata terhadap kadar total fenol (α = 0,05). Hasil uji lanjut
total fenol tepung beras ketan merah pada berbagai perlakuan suhu dan waktu
pra-gelatinisasi menggunakan uji DMRT (Duncan's Multiple Range Test)
disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.9 Rerata Total Fenol Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi
Suhu (℃) Waktu (Menit) Total Fenol (mg GAE/100g)
50
5 353,33 ± 33,49 a
7,5 412,93 ± 8,73 b
10 479,33 ± 20,01 c
60 5 371,60 ± 24,87
ab
7,5 456,83 ± 15,19 c
10 624,87 ± 22,75 e
70
5 534,73 ± 8,75 d
7,5 596,37 ± 23,17 e
10 395,30 ± 37,84 ab
Keterangan: 1. Setiap data merupakan rata-rata dari 3 (tiga) kali ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (α = 0,05).
Berdasarkan uji DMRT dari Tabel 4.9 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 500C selama 5 menit dan suhu 700C selama 10 menit
tidak memiliki pengaruh interaksi yang berbeda nyata. Sedangkan perlakuan pra-
gelatinisasi dengan variasi suhu dan waktu lainnya memiliki pengaruh yang
berbeda nyata. Kadar total fenol tertinggi dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi
600C selama 10 menit yaitu 624,9 mg GAE/100g. Kadar total fenol terendah
dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 500C selama 5 menit yaitu
353,3 mg GAE/100g. Suhu pemanasan yang tinggi berpengaruh nyata karena
akan menyebabkan kelarutan senyawa fenolik dalam pelarut semakin besar. Hal
ini juga bisa disebabkan kadar fenol didalam bahan terganggu karena tingginya
suhu pengeringan (Susanti, 2008). Dengan semakin tingginya suhu, maka akan
semakin memudahkan keluarnya fenol dari sel beras sebagian besar komponen
daun adalah karbohidrat termasuk serat selulosa dan protein. Semua komponen
ini tidak terlarut. Hanya komponen dengan berat molekul kecil yang terdifusi
dalam air panas yaitu polifenol (Miryanti, 2011). Pemanasan pada saat
pengeringan juga berfungsi untuk inaktivasi enzim polifenol oksidase (Tuminah,
2004). Semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan juga akan
menyebabkan semakin tingginya inaktivasi enzim polifenol oksidase sehingga
aktivitas enzim akan semakin rendah, dan kerusakan fenol akan semakin kecil.
Akan tetapi kandungan fenol juga akan terganggu oleh semakin meningkatnya
suhu sehingga jumlah total fenol terdeteksi akan mencapai puncak maksimum
kemudian konstan dan cenderung menurun.
4.3.2 Konsentrasi Antosianin
Antosianin adalah senyawa fenolik yang bertindak sebagai antioksidan,
dibutuhkan untuk tanaman itu sendiri dan nutrisi penting bagi kesehatan
manusia. Pigmen antosianin menyebabkan warna merah atau biru, dan bahkan
berwarna hitam ketika antosianin kandungan tinggi. Kandungan antosianin pada
setiap gram padi beras merah masih sangat beragam dan berkisar antara 0,34 –
93,5 µg (Damanhuri, 2005). Kadar antosianin yang diperoleh pada pra-
gelatinisasi tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu
dapat dilihat pada Gambar 4.5
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Konsentrasi Antosianin
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Konsentrasi Antosianin Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 6.58
(mg/100g)
6.71 5.59
3.48
4.95 4.48
3.20
4.15 4.20
2.64
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
5 7.5 10
Ko
nse
ntr
asi a
nto
sian
in (
mg/
10
0g)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
Hasil penelitian pada Gambar 4.5 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan pengaruh suhu dan waktu cenderung menurunkan
konsentrasi antosianin pada sampel tepung beras ketan merah. Penurunan
konsentrasi antosianin tersebut dapat dibaca melalui grafik diatas. Perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 50oC memiliki konsentrasi antosianin yang masih tinggi,
namun semakin lama waktu pemanasannya tingkat konsentrasi antosianin juga
semakin menurun. Rerata konsentrasi antosianin pada tepung beras ketan
merah pra-gelatinisasi adalah 2,64 mg/100g – 6,71 mg/100g. Konsentrasi
antosianin tertinggi dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 500C dan
lama pemanasan 5 menit, sedangkan kadar antosianin terendah dimiliki oleh
sampel dengan perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu pemanasan 700C selama
10 menit. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama
pra-gelatinisasi, waktu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap
konsentrasi antosianin (α = 0,05). Sedangkan interaksi antara lama pra-
gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil
uji lanjut BNT perlakuan suhu pre-gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi
terhadap kadar pati tepung beras ketan merah ditunjukkan pada Tabel 4.10 dan
Tabel 4.11.
Tabel 4.10 Rerata Konsentrasi Antosianin Akibat Suhu Pre-Gelatinisasi
Suhu Pre-gelatinisai (0C)
Rerata konsentrasi antosianin (mg GAE/100g)
BNT (5%)
50 5,26 ± 1,63 b
1,23 60 4,21 ± 0,90 ab
70 3,66 ± 0,88 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa rerata konsentrasi antosianin tertinggi
diperoleh pada perlakuan pre-gelatinisasi dengan suhu 500C sebesar 5,26
100mg/g, sedangkan rerata konsentrasi antosianin terendah diperoleh pada
perlakuan suhu pre-gelatinisasi 700C sebesar 3,66 100mg/g. Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pre-gelatinisasi yang digunakan maka
akan semakin rendah nilai konsentrasi antosianin yang dihasilkan.
Tabel 4.11 Rerata Konsentrasi Antosianin Akibat Waktu Pre-Gelatinisasi
Waktu Pre-gelatinisai (menit) Rerata konsentrasi antosianin
(100mg/g) BNT (5%)
5 5,27 ± 1,30 b
1,23 7,5 4,76 ± 0,73 b
10 3,11 ± 0,42 a
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa rerata konsentrasi antosianin tertinggi
diperoleh pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 5 menit sebesar 5,27 100mg/g,
sedangkan rerata konsentrasi antosianin terendah diperoleh pada perlakuan
lama pre-gelatinisasi 10 menit 3,11 100mg/g. Hasil ini menunjukkan bahwa
semakin lama pre-gelatinisasi yang dilakukan maka akan semakin rendah nilai
konsentrasi antosianin yang dihasilkan.
Menurut Basuki (2005) suhu mempengaruhi kestabilan antosianin. Suhu
yang panas dapat menyebabkan kerusakan struktur antosianin, oleh karena itu
proses pengolahan pangan harus dilakukan pada suhu 50 - 600C yang
merupakan suhu yang stabil dalam proses pemanasan. Sedangkan suhu yang
digunakan untuk proses pra-gelatinisasi ini 50-800C, sehingga memungkinkan
terjadinya ketidakstabilan antosianin dan berpengaruh terhadap kadar
antosianin. Markakis (1982) mengemukakan bahwa penurunan stabilitas warna
akibat peningkatan suhu ini disebabkan oleh dekomposisi antosianin dari bentuk
aglikon menjadi kalkon yang tidak berwarna dan akhirnya membentuk alfa
diketon yang berwarna coklat.
Selain dipengaruhi oleh suhu pemanasan, kadar antosianin juga
dipengaruhi oleh lama pengeringan sampel sebelum ditepungkan. Menurut Afzal
(1999) teknik pengeringan yang dilakukan dengan cepat dapat mempertahankan
kandungan nutrisi dari bahan yang dikeringkan. Peneliti sebelumnya menemukan
bahwa stabilitas panas dari antosianin Ubi Jalar Ungu (Jie, 2013) dan antosianin
beras hitam (Hou, 2013) adalah mengikuti model kinetika reaksi orde satu.
Semakin tinggi suhu pemanggangan, semakin kecil waktu paruh, berarti
antosianin semakin mudah rusak. Peningkatan waktu dan suhu pemanasan
dapat mengganggu proses kopigmentasi sehingga mengakibatkan degradasi
kompleks antosianin-kopigmen menghasilkan senyawa seperti kalkon dan
turunannya yang tidak berwarna (Satyatama, 2008). Lebih lanjut Dangles dan
Brouillard (1993) menyatakan bahwa interaksi antara antosianin dan kopigmen
bersifat eksotermal dan peningkatan temperatur menyebabkan degradasi
kompleks kopigmentasi memberikan komponen tidak berwarna, sehingga
menyebabkan kehilangan warna pada kompleks antosianin kopigmen.
4.4 Karakteristik fisik pada tepung beras ketan merah varietas Inpari 25
Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Sifat fisik tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi yang meliputi warna
(kecerahan, kemerahan dan kekuningan) disajikan dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.12 Sifat Fisik Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Waktu Suhu Warna
Kecerahan (L*) Kemerahan (a*) Kekuningan (b*)
5 menit
50 72,50 ± 1,48 6,00 ± 1,08 9,62 ± 0,34
60 72,77 ± 1,15 5,92 ± 0,85 9,42 ± 0,16
70 72,58 ± 0,61 5,59 ± 0,50 9,60 ± 0,03
7,5 menit
50 73,36 ± 1,12 5,27 ± 0,48 9,37 ± 0,41
60 72,87 ± 0,92 5,72 ± 0,91 9,26 ± 0,07
70 73,30 ± 0,45 5,47 ± 0,40 9,34 ± 0,30
10 menit
50 73,76 ± 0,47 5,11 ± 0,41 8,87 ± 0,34
60 73,92 ± 0,23 5,54 ± 0,51 9,02 ± 0,24
70 73,02 ± 1,82 5,37 ± 0,61 8,99 ± 0,65
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.4.1 Intensitas Warna
Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan menggunakan colour
reader hingga diperoleh nilai L*, a* dan b*. Warna L* menyatakan tingkat gelap-
terang dengan kisaran nilai 0-100. Nilai 0 menyatakan sangat gelap atau hitam
sedangkan nilai 100 menyatakan sangat terang atau putih. Warna a*
menyatakan tingkat hijau-merah dengan kisaran -100 sampai +100. Nilai negatif
menyatakan kecenderungan warna hijau, sedangkan nilai positif menyatakan
kecenderungan warna merah. Warna b* menyatakan tingkat biru-kuning dengan
kisaran -100 hingga +100. Nilai negatif menyatakan kecenderungan warna biru
sedangkan nilai positif menyatakan kecenderungan warna kuning. Lawless dan
Heyman (1998) menyatakan bahwa warna suatu bahan ditentukan oleh tiga
dimensi sebagai satu kesatuan warna yaitu warna itu sendiri, kecerahan dan
kejelasan warna. Warna dari sampel beras ketan merah adalah merah
(mengandung filtrat antosianin) sehingga digunakan pengukuran warna L*, a*
dan b* secara bersama-sama.
4.4.1.1 Tingkat Kecerahan (L*)
Rerata tingkat kecerahan sampel tepung beras ketan merah berkisar
antara 72,4 - 73,9. Pengaruh terhadap perlakuan pra-gelatinisasi dengan
menggunakan pembanding suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Tingkat Kecerahan (L*) Pada
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Tingkat Kecerahan Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 73,3
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.6 menunjukkan bahwa
tingkat kecerahan terendah diperoleh tepung beras ketan merah perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 50oC dan waktu pemanasan 5 menit, sedangkan nilai
kecerahan tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 70oC dan lama pemanasan
10 menit. Gambar diatas juga menunjukkan bahwa rerata nilai kecerahan tepung
ketan merah dengan suhu pra-gelatinisasi 500C, 600C dan 700C mengalami
peningkatan pada lama pemanasan 7,5 menit dan 10 menit. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa perlakuan lama pra-gelatinisasi, waktu pra-gelatinisasi, dan
interaksi antara lama pra-gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kecerahan (α = 0,05). Hal ini diduga
karena pada saat parboiling banyak warna yang ikut terbawa air pemanasan
sehingga warna dalam tepung beras ketan merah juga semakin memudar. Lama
71.7 72.8
73.3 72.4 73.0 74.1 73.1
73.2 74.3
60.0
62.0
64.0
66.0
68.0
70.0
72.0
74.0
76.0
78.0
80.0
5 7.5 10
Tin
gkat
Ke
cera
han
(L*
)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
waktu perendaman dapat mempengaruhi difusi air ke dalam bahan (Winarno,
2002), sehingga semakin lama waktu perendaman difusi akan semakin optimal
dan proses inaktivasi enzim fenolase oleh panas akan semakin optimal. Selain
itu terdapat proses penyeragaman granula tepung menjadi 80 mesh, sehingga
warna tepung beras ketan merah pada keseluruhan perlakuan cenderung
memiliki warna yang tidak berbeda signifikan.
Perlakuan pra-gelatinisasi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
pemanasan yang digunakan, maka tingkat kecerahannya juga semakin
meningkat. Begitu pula dengan apabila semakin lama waktu pemanasan yang
digunakan, maka semakin tinggi pula tingkat kecerahannya. Hal tersebut
dikarenakan beras ketan merah mengandung pigmen antosianin (Suardi 2005).
Semakin banyak pigmen antosianin yang terkandung pada produk, maka warna
yang dihasilkan akan semakin gelap dan nilai L pada pengukuran tingkat
kecerahan warna pada produk akan semakin menurun. Namun, karena adanya
pengaruh pemanasan dengan suhu dan waktu yang telah ditentukan dalam air,
maka pigmen antosianin pada beras ketan merah akan ikut larut terbuang
(Harborne, 2007).
4.4.1.2 Tingkat Kemerahan (a*)
Rerata tingkat kecerahan sampel tepung beras ketan merah adalah
berkisar antara 5,1 - 6,7. Pengaruh terhadap perlakuan pra-gelatinisasi dengan
menggunakan pembanding suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Tingkat Kemerahan (A*) Pada Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Tingkat Kemerahan (A*) Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 6,26
5.2 5.5
6.7
5.1 5.2
6.2 5.3
5.3 5.4
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
5 7.5 10
Tin
gkat
Ke
me
rah
an (
a*)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.7 menunjukkan bahwa
tingkat kemerahan terendah diperoleh tepung beras ketan merah perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 60oC dan waktu pemanasan 5 menit, sedangkan nilai
kemerahan tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 50oC dan lama pemanasan
10 menit. Gambar diatas juga menunjukkan bahwa rerata nilai kemerahan
tepung ketan merah dengan suhu pra-gelatinisasi 500C dan 600C mengalami
peningkatan pada lama pemanasan 7,5 menit dan 10 menit. Sedangkan pada
suhu 700C hanya mengalami peningkatan yang tidak signifikan pada lama
pemanasan 10 menit. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama
pra-gelatinisasi, waktu pra-gelatinisasi, dan interaksi antara lama pra-gelatinisasi
dan waktu pra-gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai
kemerahan (α = 0,05).
Perlakuan pra-gelatinisasi diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
yang digunakan, maka tingkat kemerahannya semakin rendah. Nilai a* dari
perlakuan lama pemanasan yang paling tinggi ini menunjukkan kecenderungan
warna merah pada produk semakin kuat. Sebaliknya, penurunan tingkat
kemerahan mengindikasikan bahwa terjadi reaksi larutnya antosianin ke dalam
air perebusan.
4.4.1.2 Tingkat Kekuningan (b*)
Rerata tingkat kekuningan sampel tepung beras ketan merah adalah
berkisar antara 8,8 - 9,7. Pengaruh terhadap perlakuan pra-gelatinisasi dengan
menggunakan pembanding suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Tingkat Kemerahan (B*) Pada
Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi Tingkat Kemerahan (B*) Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 9,26
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.8 menunjukkan bahwa
tingkat kekuningan terendah diperoleh tepung beras ketan merah perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 70oC dan waktu pemanasan 5 menit, sedangkan nilai
kekuningan tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 50oC dan lama pemanasan
7.5 menit. Gambar diatas juga menunjukkan bahwa rerata nilai kekuningan
tepung ketan merah dengan suhu pra-gelatinisasi 500C, 600C dan 700C
mengalami peningkatan pada lama pemanasan 7,5 menit. Kemudian pada
perlakuan dengan waktu 10 menit hasilnya fluktuatif, perlakuan dengan suhu
500C mengalami penurunan tingkat kekuningan yaitu dari 9,7 ke 9,5. Sedangkan
pada suhu 600C tingkat kecerahannya tetap 9,5. Pada suhu 700C mengalami
kenaikan tingkat kecerahan yaitu dari 9,0 ke 9,1. Berdasarkan analisis
keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu, waktu serta interaksi antara
lama pra-gelatinisasi dan suhu pra-gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap tingkat kekuningan.
Semakin lama proses pemanasan yang dilakukan diduga dapat
menyebabkan denaturasi protein dan meningkatan intensitas warna coklat
sehingga nilai kekuningan lebih tinggi. Nilai kekuningan dari tepung yang
direndam lebih tinggi dibandingkan tepung yang tidak direndam diduga dapat
disebabkan karena lendir (sol) yang dapat menyebabkan keruh pada air
rendaman (Ali, 2016). Proses blanching (perendaman dengan air panas) dapat
mencegah terjadinya pencoklatan enzimatis tetapi disisi lain blanching juga dapat
menyebabkan browning non enzimatis (Sun et. al., 2012). Nilai kekuningan
tepung beras ketan merah berbanding lurus dengan nilai kecerahan akibat
9.4 9.7 9.6 9.0 9.5 9.5 8.8 9.0 9.1
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
5 7.5 10
Tin
gkat
Ke
kun
inga
n (
b*)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
pengaruh blanching. Kekuningan suatu bahan pangan dapat disebabkan oleh
bahan baku pembuatan masing-masing tepung.
4.5 Sifat fungsional pada tepung beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak
Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Sifat fungsional tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi yang meliputi
daya serap air, daya serap minyak, swelling power serta konsistensi gel disajikan
dalam Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Sifat Fungsional Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Waktu Suhu Daya Serap
Air (g/g) Daya Serap Minyak (g/g)
Swelling Power (g/g)
Konsistensi Gel (Cm)
5 menit
50 2,34 ± 0,09 1,95 ± 0,06 2,50 ± 0,06 9,7 ± 0,25
60 2,47 ± 0,05 2,00 ± 0,08 2,49 ± 0,12 11,4 ± 0,53
70 2,56 ± 0,08 2,11 ± 0,12 2,64 ± 0,05 9,7 ± 0,42
7,5 menit
50 2,33 ± 0,24 2,07 ± 0,06 2,08 ± 0,03 10,4 ± 0,36
60 2,38 ± 0,13 2,14 ± 0,07 2,54 ± 0,13 10,6 ± 0,35
70 2,59 ± 0,94 2,06 ± 0,02 2,83 ± 0,09 11,9 ± 0,79
10 menit
50 2,35 ± 0,003 2,05 ± 0,08 2,43 ± 0,08 11,3 ± 0,76
60 2,44 ± 0,08 2,02 ± 0,03 2,39 ± 0,05 11,4 ± 0,50
70 2,01 ± 0,11 2,04 ± 0,13 2,75 ± 0,02 12,0 ± 0,55
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
4.5.1 Daya Serap Air
Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan besarnya
kemampuan pakan menarik air di sekelilingnya (kelembaban udara) untuk
berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori antara partikel bahan
(Trisyulianti dkk, 2001). Daya serap air sangat penting peranannya dalam
pengolahan makanan karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan
memudahkan penanganannya. Di samping itu, sifat menahan air akan
memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti.
Daya serap air yang diperoleh pada pra-gelatinisasi tepung ketan merah
dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Pra-Gelatinisasi Terhadap Daya Serap Air Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Daya Serap Air Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 2,27 (G/G)
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.9 menunjukkan bahwa
daya serap air dari tepung beras ketan merah cenderung fluktuatif atau naik
turun pada setiap menitnya. Daya serap air terendah diperoleh tepung beras
ketan merah perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 70oC dan waktu
pemanasan 10 menit. Namun, waktu pemanasan 5 dan 7,5 menit untuk suhu
tersebut memiliki daya serap air yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya.
Pra-gelatinisasi dengan lama pemanasan 10 menit sangat mengalami penurunan
daya serap air yang diduga disebabkan oleh perubahan granula pati tepung
beras ketan merah. Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap
daya serap air tepung beras ketan merah sedangkan waktu pra-gelatinisasi dan
interaksi antara suhu pra-gelatinisasi dan waktu pra-gelatinisasi tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap daya serap air. Hasil uji lanjut daya serap
air tepung beras ketan merah pada berbagai perlakuan suhu dan waktu pra-
gelatinisasi menggunakan uji DMRT (Duncan's Multiple Range Test) disajikan
pada Tabel 4.14.
2.34 2.34 2.36
2.48 2.38 2.45 2.57
2.59
2.01
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
5 7.5 10
Day
a Se
rap
Air
(g/
g)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (0C):
Tabel 4.14 Rerata Daya Serap Air Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi
Suhu (℃) Waktu (Menit)
Daya Serap Air (g/g) DMRT 5%
50
5 2,34 ± 0,90 b 0,15
7,5 2,33 ± 0,51 b 0,15
10 2,35 ± 0,08 b 0,16
60
5 2,47 ± 0,24 bc
0,16 7,5 2,38 ± 0,13
b 0,16
10 2,44 ± 0,09 bc
0,17
70
5 2,56 ± 0,01 c 0,17
7,5 2,59 ± 0,05 c 0,17
10 2,01 ± 0,06 a 0,15
Keterangan: 1. Setiap data merupakan rata-rata dari 3 (tiga) kali ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (α = 0,05).
Berdsarkan uji DMRT dari Tabel 4.14 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 600C selama 5 menit dan 10 menit tidak memiliki
pengaruh yang berbeda nyata. Sedangkan perlakuan pra-gelatinisasi dengan
variasi suhu dan waktu lainnya memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Daya
serap air tertinggi dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi 700C selama 7,5 menit
yaitu 2,59 (g/g). Daya serap air terendah dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi
dengan suhu 700C selama 10 menit.
Daya serap air dari hasil penelitian cenderung meningkat seiring
meningkatnya suhu dan waktu pra-gelatinisasi, hal ini diduga disebabkan oleh
pra-gelatinisasi dengan suhu tinggi yang menyebabkan gelatinisasi meningkat,
kemudian menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen antar molekul pati yang
menyebabkan meningkatnya jumlah gugus hidroksil bebas. Semakin banyak
jumlah gugus hidroksil dari molekul pati maka kemampuan menyerap air semakin
tinggi. Menurut Kartika (2010) apabila pemanasan melebihi suhu maksimal akan
merusak granula pati secara permanen. Adanya perlakuan pemanasan yang
terlalu lama juga dapat menyebabkan makromolekul yang awalnya relatif kompak
menjadi agak berporus karena terurai menjadi molekul sederhana berbobot
massa kecil sehingga agak renggang dan lebih mudah menyerap air.
Puspitaningtyas (2004) dalam Susanti (2015) juga menyebutkan bahwa tepung
yang diberi perlakuan blanching akan memiliki porositas tepung yang lebih besar
sehingga dapat memudahkan tepung dalam menyerap air.
Penurunan nilai daya serap air setelah mengalami pra-gelatinisasi selama
10 menit dengan suhu 700C diduga disebabkan oleh proses pengeringan.
Penelitian yang dilakukan oleh Lidiasari dkk (2006) menjelaskan bahwa
pengeringan pada suhu 800C memiliki daya serap air yang lebih rendah
dibanding pengeringan pada suhu 700C terhadap tepung tapai. Hal ini
disebabkan bahan yang dikeringkan pada suhu tinggi mengalami titik jenuh
terhadap penyerapan air. Sehingga kemampuan bahan untuk dapat menyerap
berkurang, karena bahan berada dalam titik jenuh penyerapan air. Selain itu
penurunan daya serap air juga dapat disebabkan oleh denaturasi protein dan
sineresis yang terjadi akibat pemanasan pada suhu 50-80⁰C merupakan suatu
perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener
molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen (Winarno,
1992 dalam Triyono, 2010). Denaturasi akan menyebabkan perubahan
konformasi molekul protein di mana lapisan molekul bagian dalam yang bersifat
hidrofobik akan keluar sedangkan bagian hidrofilik akan terlipat ke dalam yang
berimplikasi pada turunnya daya serap air pada tepung beras ketan merah.
Secara tidak langsung daya serap air juga dipengaruhi oleh tingkat
tergelatinisasinya pati pada tepung beras ketan merah. Karena apabila pati
belum mengalami gelatinisasi sempurna, pati akan mengalami sineresis.
Sineresis merupakan perpisahan antara gel pati dan air (Kusnandar, 2010).
Terjadinya sineresis disebabkan amilosa mengalami retrogradasi yaitu molekul-
molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain (Winarno, 2004). Adanya
ikatan yang kuat antar amilosa selama retrogradasi menyebabkan semakin
banyak air yang terpisah dari gel pati ketika gel pati diletakkan pada suhu ruang.
Keluarnya air dalam jumlah besar selama proses retrogradasi menyebabkan
sineresis yang tinggi (Abo et al., 2010). Selain itu pemanasan akan
menyebabkan pembengkakan granula pati yang akan menyebabkan
kemampuan pati menyerap air semakin tinggi.
Daya serap air dari suatu bahan pangan mencerminkan kualitas dari bahan
pangan tersebut terutama bahan pangan yang mudah menyerap air seperti
aneka tepung-tepungan. Semakin rendah kemampuan bahan untuk menyerap
air dari lingkungannya, maka kualitas bahan pangan tersebut akan semakin baik
bila diabandingkan dengan bahan yang memiliki kemampuan daya serap air
yang tinggi. Daya serap air yang tinggi akan menyebabkan bahan mudah
mengalami kerusakan baik secara fisik, kimia maupun secara mikrobiologis.
Winarno (2008), menjelaskan bahwa bahan yang memiliki kandungan air yang
tinggi mudah mengalami kerusakan fisik dan kimia terlebih kerusakan secara
mikrobiologis.
4.5.2 Daya Serap Minyak
Daya serap minyak yang diperoleh pada pra-gelatinisasi tepung ketan
merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar
4.10.
Gambar 4.10 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Daya Serap Minyak Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Daya Serap Minyak Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 2.15 (G/G)
Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.10 menunjukkan bahwa
pada perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu 500C dan 600C dengan waktu
pemanasan 5 menit ke 7,5 cenderung mengalami peningkatan daya serap
minyak. Namun perlakuan dengan suhu 700C mengalami penurunan daya serap
minyak. Begitu pula perlakuan suhu 500C dan 600C dengan waktu pemanasan
10 menit juga mengalami penurunan daya serap minyak. Daya serap minyak
tertinggi didapatkan pada suhu 600C dengan waktu 10 menit. Berdasarkan
analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pra-gelatinisasi, waktu
pra-gelatinisasi dan interaksi antara suhu pra-gelatinisasi dan waktu pra-
gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap daya serap minyak
1.96 2.07
2.06
2.00
2.15
2.02
2.11 2.07 2.04
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
5 7.5 10
Day
a Se
rap
Min
yak
(g/g
)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
tepung beras ketan merah (α = 0,05). Hal ini diduga terjadi karena kadar amilosa
didalam tepung beras ketan merah sangatlah rendah. Menurut Alsuhendra
(2009) daya serap minyak juga dipengaruhi oleh kadar amilosa karena amilosa
memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan minyak (lipid) dalam bentuk
amilosa-lipid. Sehingga semakin tinggi kandungan amilosa, maka daya serap
minyak juga akan lebih tinggi.
Daya serap minyak terjadi ketika fraksi non polar pada suatu molekul
menjebak fraksi lemak atau minyak yang ditambahkan. Adanya kemampuan
menyerap minyak pada tepung menunjukkan tepung mempunyai bagian yang
bersifat lipofilik. Daya serap minyak dipengaruhi oleh adanya protein pada
permukaan granula pati. Protein ini akan membentuk kompleks dengan pati,
dimana kompleks pati-protein ini dapat memberikan tempat bagi terikatnya
minyak. Mekanisme penyerapan minyak adalah ketika minyak atau lemak
berikatan dengan rantai samping non-polar dari protein (Falade, 2014). Daya
serap minyak berkaitan dengan daya serap air dan struktur protein, karena
terdapat komponen minor dari gluten (lipid dan polisakarida).
Daya serap minyak mengindikasikan kapasitas pengemulsi, yang
merupakan kualitas yang sangat diinginkan dalam produk seperti mayonnaise.
Daya serap minyak terjadi ketika fraksi nonpolar pada suatu molekul berinteraksi
dengan fraksi lemak pada suatu bahan makanan. Adanya kemampuan
menyerap minyak pada tepung menunjukkan tepung mempunyai bagian yang
bersifat lipofilik pada komponen penyusunnya (Falade et al., 2014). Daya serap
minyak dipengaruhi oleh adanya protein pada permukaan granula pati. Protein ini
akan membentuk kompleks dengan pati, dimana kompleks pati protein ini dapat
memberikan tempat bagi terikatnya minyak.
4.5.3 Swelling Power
Swelling power merupakan sifat yang mencirikan kekuatan tepung untuk
mengembang. Besarnya swelling power untuk setiap bahan tepung berbeda
karena swelling power sangat menentukan sifat dan kegunaan tepung. Swelling
power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang
dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau
volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati
mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati
tersebut (Suriani, 2008). Swelling Power yang diperoleh pada pra-gelatinisasi
tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan suhu dan waktu dapat dilihat
pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Swelling Power Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Daya Serap Minyak Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 2.15 (G/G)
Hasil penelitian pada Gambar 4.11 menunjukkan bahwa pada perlakuan
pra-gelatinisasi dengan suhu 600C dan 700C cenderung mengalami peningkatan
swelling power seiring meningkatnya waktu yang digunakan pra-gelatinisasi dari
5 menit ke 7.5 menit. Swelling power pada sampel pra-gelatinisasi dengan suhu
500C cenderung fluktuatif atau naik turun pada setiap menitnya. Nilai swelling
power tertinggi didapatkan pada suhu 700C dengan waktu pemanasan 7,5 menit.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan waktu pra-
gelatinisasi memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) dan menunjukkan adanya
interaksi antara suhu dan waktu terhadap swelling power tepung beras ketan
merah, sedangkan suhu pra-gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai swelling power. Hasil uji lanjut swelling power tepung beras ketan
merah pada berbagai perlakuan suhu dan waktu pra-gelatinisasi menggunakan
uji DMRT (Duncan's Multiple Range Test) disajikan pada Tabel 4.15.
2.51 2.08
2.44 2.49
2.54
2.39
2.64
2.84 2.75
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
5 7.5 10
Swe
llin
g P
ow
er
(g/g
)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
Tabel 4.15 Rerata Swelling Power Pada Perlakuan Pra-Gelatinisasi
Suhu (℃) Waktu (Menit) Swelling Power (g/g)
50
5 2,50 ± 0,06 bc
7,5 2,08 ± 0,03 a
10 2,44 ± 0,08 b
60 5 2,49 ± 0,12
bc
7,5 2,54 ± 0,13 bc
10 2,39 ± 0,06 b
70
5 2,64 ± 0,06 cd
7,5 2,83 ± 0,09 e
10 2,75 ± 0,02 de
Keterangan: 1. Setiap data merupakan rata-rata dari 3 (tiga) kali ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi
3. Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (α = 0,05).
Berdsarkan uji DMRT dari Tabel 4.15 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan suhu 500C selama 5 menit, suhu 600C selama 5 menit dan
7,5 menit, suhu 700C selama 5 menit dan 10 menit tidak memiliki pengaruh yang
berbeda nyata. Sedangkan perlakuan pra-gelatinisasi dengan variasi suhu dan
waktu lainnya memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Swelling power tertinggi
dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi 700C selama 7,5 menit yaitu 2,85 (g/g).
Swelling power terendah dimiliki oleh perlakuan pra-gelatinisasi dengan suhu
500C selama 7,5 menit yaitu 2,08 (g/g). Tabel 4.13 menunjukkan bahwa nilai
swelling power bervariasi dan fluktuatif, hal tersebut diduga diakibatkan oleh jenis
galur atau varietas tepung beras ketan merah yang berbeda, tepung dari jenis
yang berbeda akan menghasilkan karakteristik tepung yang berbeda pula. Hal ini
disebabkan oleh lemak, protein dan amilosa yang terkandung pada masing-
masing tepung. Kadar lemak yang tinggi dapat menurunkan swelling power
karena sifatnya yang hidrofobik menghambat pengikatan air oleh granula
sehingga mengurangi daya kembang (Hakiim dan Sistihapsari, 2011). Namun,
semakin meningkatnya kandungan protein pada tepung beras ketan merah akan
meningkatkan nilai swelling power. Kusnandar (2011) menyatakan bahwa protein
dapat mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen yang kuat, kemampuan ini
disebabkan protein bersifat hidrofilik. Kemampuan protein untuk mengikat
komponen-komponen bahan pangan, seperti air dan lemak, sangat penting
dalam formulasi makanan. Peningkatan nilai swelling power tepung beras ketan
merah menunjukkan sifat fungsional yang semakin baik. Menurut Murillo (2008),
semakin besar sweling power berarti semakin banyak air yang diserap selama
pemasakan, maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Semakin
banyak air yang diserap, semakin baik kualitas tekstur bahan pangan yang
dihasilkan.
Swelling power terjadi jika pati pada keadaan berlebihan air dan suhu
suspensi pati meningkat di atas rentang tertentu. Hal ini akan menyebabkan
ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin
terganggu dan melemah sehingga akan mengganggu kekompakan granula pati.
Molekul air akan terikat dengan gugus hidroksil pada amilosa dan amilopektin
yang menyebabkan granula pati semakin membesar dan nilai swelling power
meningkat (Indrastuti, 2012). Namun penurunan tingkat swelling power pada
suhu 600C dan 700C diduga disebabkan oleh semakin banyaknya lendir (sol)
yang dihasilkan akibat lama dan tingginya suhu pemanasan. Aprianita (2010)
menyatakan bahwa lendir (sol) memiliki gugus hidroksil dalam jumlah yang tinggi
sehingga dapat mengikat air dalam jumlah yang besar. Lendir (sol) yang
dimaksut adalah lapisan gel agak lengket yang keluar pada permukaan beras
merah saat diblansing atau pra-gelatinisasi. Lendir (sol) akan mengikat air yang
tersedia sehingga mengurangi ketersediaan air untuk pati. Hal ini akan
mengurangi air yang diikat dengan hidrogen pada daerah amorf dari granula pati
sehingga semakin banyak lendir (sol) akan membatasi swelling power.
4.5.4 Konsistensi Gel
Konsistensi gel merupakan indeks yang baik untuk menentukan tekstur
produk (dalam hal ini berupa bubur atau adonan). Selain itu, konsistensi gel
merupakan pelengkap dari uji kadar amilosa. Beras yang memiliki kandungan
amilosa yang sama mungkin berbeda dalam kelembutan setelah dimasak
menjadi nasi. Hal ini dapat dibedakan dengan melakukan pengujian konsistensi
gel (Cagampang, 1973) dalam (Masniawati, 2013). Konsistensi gel yang
diperoleh pada pra-gelatinisasi tepung ketan merah dengan berbagai perbedaan
suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.12
Gambar 4.12 Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Konsistensi Gel Tepung Beras Ketan Merah Pra-Gelatinisasi
Konsistensi Gel Tepung Beras Ketan Merah Tanpa Pra-Gelatinisasi 10.5 (Cm)
Hasil penelitian pada Gambar 4.12 menunjukkan bahwa perlakuan pra-
gelatinisasi dengan pengaruh suhu dan waktu cenderung meningkatkan
konsistensi gel pada sampel tepung beras ketan merah. Konsistensi gel tertinggi
didapatkan pada suhu pra-gelatinisasi 700C dengan waktu pemanasan 10 menit.
Dari peningkatan konsistensi gel tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi suhu dan waktu yang digunakan untuk pra-gelatinisasi maka semakin
tinggi konsistensi gel yang dihasilkan. Berdasarkan analisis keragaman
menunjukkan bahwa perlakuan waktu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh
nyata terhadap konsistensi gel tepung beras ketan merah (α = 0,05). Sedangkan
suhu pra-gelatinisasi serta interaksi antara lama pra-gelatinisasi dan suhu pra-
gelatinisasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsistensi gel. Hasil uji
lanjut BNT perlakuan waktu pre-gelatinisasi tepung beras ketan merah terhadap
konsistensi gel ditunjukkan pada Tabel 4.16
Tabel 4.16 Rerata Konsistensi Gel Akibat Waktu Pra-Gelatinisasi
Waktu Pre-gelatinisai (menit) Rerata konsistensi gel (cm) BNT (5%)
5 9,87 ± 0,20 a
0,88
7,5 10,98 ± 0,80 b
10 11,60 ± 0,37 b
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
9.7 10.4
11.3 10.1 10.6
11.4
9.8
11.9 12.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
10.0
11.0
12.0
13.0
14.0
15.0
5 7.5 10
Ko
nsi
ste
nsi
Ge
l (cm
)
Waktu (menit)
50
60
70
Temperatur (oC):
Tabel 4.16 menunjukkan bahwa rerata konsistensi gel tertinggi diperoleh
pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 10 menit sebesar 11,60 (cm) sedangkan
rerata konsistensi gel terendah diperoleh pada perlakuan lama pre-gelatinisasi 5
menit sebesar 9,87 (cm). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama pre-
gelatinisasi yang dilakukan maka akan semakin besar nilai konsistensi gel yang
dihasilkan. Hal tersebut diduga karena kemampuan pengembangan volume dan
kelarutan pati merupakan hasil dari interaksi antara molekul air dan rantai pati di
dalam amorpus dan daerah kristal. Pada dasarnya kelarutan pati dipengaruhi
oleh kandungan amilosa sedangkan kemampuan pengembangan volume
dipengaruhi oleh amilopektin (Sasaki, 2001).
Lu et al. (2009) menyimpulkan granula pati dan ketersediaan air
merupakan faktor yang menentukan pengembangan volume, namun amilosa
sendiri hanya memiliki sedikit efek terhadap pengembangan volume. Hasil
penelitian ini didukung oleh Tester dan Morrison (1990) dalam Indrasari (2002)
mengemukakan bahwa pengembangan volume diduga dipengaruhi oleh
amilopektin, karena kristal di dalam molekul amilopektin menentukan permulaan
dari proses pengembangan dan gelatinisasi. Rantai panjang dari amilopektin
dengan derajat polimerisasi ≥ 35 berkontribusi terhadap proses pengembangan
volume. Sedangkan amilosa bertindak sebagai pengencer. Pembentukan gel
terjadi oleh interaksi antarmolekul yang melibatkan molekul amilosa dan
amilopektin selama pati menjadi dingin dan terjadi peningkatan viskositas (Tang
et al, 1991 dalam Masniawati, 2013). Konsistensi gel yang diukur dari viskositas
pasta dingin dari pati adalah indikator yang baik dalam menentukan tekstur ketan
yang dihasilkan. Pada gel yang mengandung amilosa sekitar 25% akan
menghasilkan gel yang keras karena molekul pati membentuk jaringan,
sebaliknya pada gel dengan amilosa yang rendah bertekstur lembut dan tidak
memiliki jaringan (Copeland, 2009). Menurut Masniawati (2013) semakin tinggi
kadar amilosa pada suatu varietas beras, maka semakin tinggi pula nilai
konsistensi gelnya.
4.6 Sifat Amilografi pada tepung beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak
Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Sifat amilografi tepung ini dapat dianalisis menggunakan RVA (Rapid Visco
Analyzer) atau Visco-Brabender. Analisis amilografi ini digunakan untuk
mengetahui suhu gelatinisasi pada suspensi tepung beras dengan tiga
parameter. Parameter pertama adalah suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada
saat awal kurva naik. Kedua adalah suhu puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada
saat nilai maksimum viskositas dapat dicapai. Ketiga yaitu viskositas maksimum
pada puncak gelatinisasi yang dinyatakan dengan Brabender Unit (Argasasmita,
2008). Sifat amilografi dari tepung beras ketan merah varietas Inpari 25 Opak
Jaya RVA yang telah diuji menggunakan alat Tecmaster Perten Instrument
disajikan dalam Tabel 4.17, Gambar 4.13 dan Gambar 4.14:
Tabel 4.17 Hasil Analisa RVA (Rapid Visco Analyzer)
Test HPV CPV Breakdown Final Visc
Setback Peak Visc
Pasting Temp
PG (60
0C,
10mnt)
3082 ± 187,96
1859 ± 40,63
1223 ± 148,67
3232 ± 87,83
151 ± 107,51
6,8889 ± 0,03
74 ± 0,55
Kontrol 1867 ± 214,35
1325 ± 63,09
542 ± 167,9 2281 ± 140,66
414 ± 73,70
6,8222 0,10
72 ± 0,57
Keterangan:
1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dibelakang ± adalah standart deviasi 3. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% (α = 0,05) 4. HPV = High Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 95
oC dalam cP)
5. CPV = Cold Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 50oC setelah 5 menit)
6. PT = Pasting Temperature (Suhu awal gelatinisasi dalam oC)
7. PV = Peak Viscosity (Viskositas puncak dalam cP) 8. SB = Setback (Perubahan viskositas selama pendinginan atau CPV-HPV dalam cP) 9. BD = Breakdown (Perubahan viskositas selama pemanasan atau HPV-PV dalam cP)
Gambar 4.13 Grafik Analisa RVA Tanpa Pra-gelatinisasi (Kontrol)
Gambar 4.14 Grafik Analisa RVA Pra-gelatinisasi Suhu 600C 10 Menit
(Perlakuan Terbaik)
Keterangan:
1. HPV = High Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 95oC dalam cP)
2. CPV = Cold Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 50oC setelah 5 menit)
3. PT = Pasting Temperature (Suhu awal gelatinisasi dalam oC)
4. PV = Peak Viscosity (Viskositas puncak dalam cP) 5. SB = Setback (Perubahan viskositas selama pendinginan atau CPV-HPV dalam cP) 6. BD = Breakdown (Perubahan viskositas selama pemanasan atau HPV-PV dalam
cP)
4.6.1 Suhu Awal Gelatinisasi
Menurut Febriyanti (1990), yang dimaksud dengan suhu awal gelatinisasi
adalah suhu pada saat viskositas pertama kali naik karena terjadinya
pembengkakan granula pati yang irreversible atau tidak dapat kembali ke bentuk
semula. Rerata suhu awal gelatinisasi tepung beras ketan merah yang dihasilkan
berkisar antara 71,95-740C. Data suhu awal gelatinisasi pada tabel diatas
menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan awal dan pengeringan berpengaruh
nyata terhadap suhu awal gelatinisasi. Suhu awal gelatinisasi perlakuan terbaik
adalah 73,60C, sedangkan suhu awal gelatinisasi sampel kontrol adalah 72,30C.
Vis
kosi
tas
(Cp
) V
isko
sita
s (C
p)
Waktu (menit)
Waktu (menit)
SB
V10,5
SB
V6,8
V20,5
PV
SB1
V7
V20,8
V10,5
SB1
SB PV
BD
Namun, penelitian yang telah dilakukan oleh Honestin (2007) menunjukkan
bahwa tepung ubi jalar tanpa perlakuan pemasakan awal yang dikeringkan
dengan sinar matahari atau oven memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung dengan perlakuan pemasakan awal.
Granula pati pada tepung yang dibuat tanpa pemasakan awal mewakili sifat
granula pati mentah dimana amilosa mengadakan ikatan silang dengan
amilopektin (Funami, 2004). Konfigurasi molekul pati seperti ini lebih sulit dirusak
karena terdapat banyak ikatan-ikatan dalam granula sehingga dibutuhkan energi
yang lebih besar yang ditunjukkan dengan suhu awal gelatinisasi yang tinggi.
Tepung telah mengalami pregelatinisasi karena adanya pemanasan pada
perlakuan pra-gelatinisasi ataupun ditambah dengan perlakuan pengeringan
menggunakan kabinet. Granula pati dapat menyerap air dan membengkak, tetapi
tidak dapat kembali seperti semula (retrogradasi). Air yang terserap dalam
molekul menyebabkan granula mengembang. Pada proses gelatinisasi terjadi
pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen berperan
mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil bebas
akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan
demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati semakin
tinggi kemampuannya menyerap air. Oleh karena itu, absorbsi air sangat
berpengaruh terhadap viskositas (Hariyadi, 2006).
4.6.2 Viskositas Puncak
Viskositas puncak (peak viscosity) menggambarkan daya pengentalan yang
tinggi pula. Nilai viskositas puncak digunakan untuk mengetahui kemungkinan
penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih kecil untuk mencapai viskositas
tertentu sehingga biaya produksi bisa ditekan. Tepung dengan karakter
viskositas yang tinggi dapat digunakan sebagai pengental pada sup atau sebagai
bahan dasar pembuatan puding karena memiliki daya thickening yang tinggi
(Honestin, 2007).
Viskositas puncak Tabel 4.17 menunjukkan bahwa waktu dan suhu pra-
gelatinisasi tepung beras ketan merah memberikan pengaruh yang tidak nyata
terhadap viskositas puncak pati modifikasi. Viskositas puncak perlakuan terbaik
dan adalah 6,8 cP. Pati yang dimodifikasi secara fisik (pra-gelatinisasi suhu 600C
dan tanpa pra-gelatinisasi) masih memiliki viskositas puncak. Hal ini
menunjukkan bahwa granula pati belum rusak secara sempurna sehingga masih
membutuhkan waktu untuk tergelatinisasi kembali. Semakin tinggi suhu yang
diberikan, maka viskositas puncak pati akan semakin rendah. Viskositas pati
yang dipanaskan pada suhu 600C lebih tinggi daripada pati tanpa pra-
gelatinisasi. Menurut Syamsir, et al. (2011), nilai viskositas puncak
merefleksikan kemampuan granula untuk mengikat air dan mempertahankan
pembengkakan selama pemanasan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pati yang
dimodifikasi secara fisik memiliki peluang untuk menghasilkan pati resisten
dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi
secara kimia. Viskositas puncak yang tinggi menunjukkan bahwa adanya amilosa
yang masih bisa berikatan dengan molekul pati yang lain sehingga terbentuk
struktur heliks ganda melalui ikatan hidrogen (retrogradasi) dan membentuk pati
dengan struktur yang lebih kuat (pati resisten) (Kusnandar, 2011).
4.6.3 Viskositas breakdown
Viskositas jatuh atau Breakdown viscosity menyatakan ketahanan suspensi
pati terhadap pemanasan dan pengadukan. Viskositas jatuh bernilai positif jika
terjadi penurunan viskositas setelah mencapai viskositas maksimum, dan bernilai
negatif jika terjadi peningkatan viskositas. Semakin positif nilai viskositas jatuh,
maka pati akan bersifat kurang stabil karena mengalami perubahan drastis
menjadi lebih encer ketika proses pemanasan dan pengadukan. Dengan
demikian, maka tepung atau pati yang memiliki nilai viskositas jatuh yang tinggi
tidak cocok digunakan pada pengolahan produk yang melalui proses
pemanasan dan pengadukan seperti pie filling dan sup (Honestin, 2007).
Viskositas breakdown Tabel 4.17 menunjukkan waktu dan suhu pra-
gelatinisasi tepung beras ketan merah memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap viskositas breakdown pati. Rata-rata Visc Breakdown dari perlakuan
terbaik adalah 1.222 cP, sedangkan suhu awal gelatinisasi sampel kontrol adalah
542 cP. Menurut Kusnandar (2011), nilai viskositas breakdown diperoleh dari
pengukuran dengan Brabender Viscograph pada tahap holding yaitu suhu
pemanasan dipertahankan pada suhu 95oC selama 20-30 menit untuk
mengetahui tingkat kestabilan pasta pati pada saat proses pemanasan.
4.7 Analisa Scanning Electrone Microscope pada tepung beras ketan merah
varietas Inpari 25 Opak Jaya yang telah di pra-gelatinisasi
Untuk melihat perbedaan bentuk dan ukuran granula pati termodifikasi
digunakan SEM (Scanning Electrone Microscope). Hasil SEM pati alami dan pati
termodifikasi ditunjukan oleh gambar berikut :
Gambar 4.15 Scanning Electrone Microscope granula pati dari Pati Kontrol (A) dan Pati Pra-gelatinisasi (B)
Hasil SEM (Scanning Electrone Microscope) yang telah dilakukan dengan
perbesaran 1000x, pada energi akselerasi berkas elektron primer dari sumber
kawat wolfram (High Voltage) sebesar 20 kV. Namun dengan jarak kerja (Work
Distance) yang berbeda antara sampel A (11.0 mm) dan sampel B (11.1 mm),
WD ini disetting untuk mendapatkan spektrum EDX dalam kondisi terbaiknya.
EDX digunakan untuk mengetahui struktur mikro serta komposisi kimia sampel.
Dalam hal ini WD atau Work Distance akan menentukan penangkapan ukuran
sampel secara otomatis.
Gambar 4.15 menunjukan tepung beras ketan merah pra-gelatinisasi
memiliki ukuran granula tepung yang lebih besar daripada tepung kontrol (tanpa
pra-gelatinisasi). Permukaan tepung yang belum tergelatinisasi juga lebih halus
daripada tepung yang telah tergelatinisasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
adanya komponen lain selain pati yang menempel pada saat penaburan sampel
pada saat pengujian RVA misalnya debu maupun tepung yang ukurannya masih
kurang merata. Selain itu besar kecilnya ukuran sampel yang terlihat dapat
dipengaruhi pada saat proses pengayakan tepung beras ketan merah yang
kurang teliti. Menurut penelitian Srichuwong dkk, (2005) tepung yang belum
A B
mengalami proses modifikasi fisik mempunyai permukaan yang lebih halus dan
utuh daripada tepung yang telah termodifikasi. Diperkuat pula dengan penelitian
Rohaya (2013) yang menunjukkan bahwa perlakuan panas menyebabkan
granula pati membengkak kemudian menyerap lebih banyak air, sehingga
menurunkan air yang tersedia bebas dalam ligkungan dan mengembangkan
viskositas lebih nyata daripada tepung beras yang tidak dipanaskan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh beberapa
kesimpulan antara lain:
1. Perlakuan perbedaan suhu pra-gelatinisasi memberikan pengaruh yang
nyata (α = 0,05) terhadap parameter kadar pati, kadar amilosa, kadar air,
total fenol, konsentrasi antosianin dan daya serap air.
2. Perlakuan perbedaan lama pra-gelatinisasi memberikan pengaruh yang
nyata (α = 0,05) terhadap parameter kadar pati, kadar amilosa, total fenol,
konsentrasi antosianin, swelling power dan konsistensi gel.
3. Lama pra-gelatinisasi dan suhu pra-gelatinisasi memberikan interaksi yang
nyata (α = 0,05) terhadap parameter kadar air, total fenol dan swelling power.
4. Hasil analisa RVA perlakuan awal pemanasan berpengaruh nyata terhadap
suhu awal gelatinisasi dan viskositas breakdown pati, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap viskositas puncak.
5. Hasil analisa SEM menunjukan pati pra-gelatinisasi memiliki ukuran granula
pati yang lebih besar daripada pati kontrol (tanpa pra-gelatinisasi).
5.1 Saran 1. Dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis termal untuk mengukur
energi yang diserap oleh sampel sebagai fungsi waktu atau suhu dengan
menggunakan Differential Scaning Calorimetry (DSC).
2. Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis pengaplikasian produk
berbahan baku tepung beras ketan merah perlakuan lama pra-gelatinisasi
dan suhu pra-gelatinisasi.
3. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai optimasi lama pra-gelatinisasi dan
suhu pra-gelatinisasi tepung beras ketan merah terhadap beberapa
parameter penting pada tepung seperti rendemen, warna, dan kadar serat
pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abo-El-Fetoh, S.M., Hanan, M.A.A. dan Nabih, N.M.N. 2010. Physicochemical properties of starch extracted from different sources and their application in pudding and white sauce. World Journal of Dairy and Food Sciences 5(2): 173-182.
Adzahan, N. M. 2002. Modification on wheat, sago and tapioca starches by
irradiation and its effect on the physical propertiesvof fish cracker (keropok). Food Technology. Selangor, University of Putra Malaysia. Master of Science:222
Afzal, T.M., Abe, T. dan Hikida, Y. (1999). Energy and quality aspects during
combined FIR-convection drying of barley. Journal of food Engineering. 42; 177-182.
Agustina F. Pambayun R., dan Febry F., 2009. Higiene Dan Sanitasi Pada
Pedagang Makanan Jajanan Tradisional Di Lingkungan Sekolah Dasar Di Kelurahan Demang Lebar Daun Palembang. Jurnal Publikasi Ilmiah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya.
Alsuhendra dan Ridawati. 2009. Pengaruh Modifikasi secara Pregelatinisasi,
Asam, dan Enzimatis terhadap Sifat Fungsional Tepung Umbi Gembili (Dioscorea esculenta). Skripsi. Jakarta. Universitas Negeri Jakarta.
Andarwulan, N., Feri, K. dan Dian. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Jakarta Anggraeni, N. 2008. Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) dalam
Pemantauan Proses Oksidasi Magnetite Menjadi Hematite. Seminar Nasional - VII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS. Bandung.
AOAC (Association of Official Analitical Chemist). 2005. Official methods of analysis. 18th edition. Gaithersburg (US): AOAC International.
Aprianita. 2010. Assessment of Underutilized Starchy Roots and Tubers for
Their Applications in the Food Industry. Thesis. Victoria University. Victoria
Argasasmita, T.U. 2008. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik
Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Alam, N. dan Nurhaeni. 2008. Komposisi Kimia dan Sifat Fungsional Pati
Jagung Berbagai Varietas yang Diekstrak dengan Pelarut Natrium Bikarbonat. Jurnal Agroland 15 (2) : 89-94, Juni 2008.
Ali, A, Touseef A.W, Idrees A.W, and Farooq A.M. 2014. Comparative Study of
the Phsyco-chemical Properties of Rice and Corn Starches Grown in Indian Temperate Climate. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. University of Kashmir, Hazratbal, Srinagar 190 006, India.
Annison, G and Topping D. L. 2000. Nutritional Role of Resistant Starch ;
Chemical Structure vs Physiology Fuction. J. Nutr.14. p: 297-320. Ayu, D. C. 2014. Pengaruh Suhu Blansing dan Lama Perendaman terhadap
Sifat Fisik Kimia Tepung Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium). Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.2 No.2, p.110-120
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2015. Padi Ketan: Rendah Kadar
Amilosa, Tinggi Kadar Amilopektin. http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index. php/berita/info-teknologi/content/183-padi-ketan-rendah-kadar-amilosa-tinggi-kadar-amilopektin. Diakses pada tanggal 13 Juli 2016.
Basuki, N., Harijono, Kuswanto, Damanhuri. 2005. Studi Pewarisan Antosianin
pada Ubi Jalar. Agravita27 (1): 63 – 68. ISSN: 0126 – 0537 Bastian, F. 2011. Buku Ajar Teknologi Pati dan Gula. Universitas
Hasanuddin. Makasar. 152 Hlm. Chakraborty, R. S. Zaman, N. Mukhopadhyay, K. Banerjee, and A. Mitra, 2009.
Seasonal variation of Zn, Cu and Pb in the estuarine stretch of West Bengal. Indian J. of Marine Sciences, 38(1):104-109.
Chandrasekara, A., dan Shahidi, F. 2011. Bioactivities and Antiradical
Properties of Milled Grains and Hulls. Journal of Agricultural and Food Chemistry 59, 9563-9571
Chen, Y.-H., J.R. Miller, J.A. Francis, G.L. Russell, and F. Aires, 2003: Observed
and modeled relationships among Arctic climate variables. J. Geophys. Res., 108, no. D24, 4799,
Copeland, L., Jaroslav B., Hayfa S., dan Mary C. T., 2009. Form and
Functionality of Starch. Food Hydrocolloids. Collado LS, LB Mabesa, CG Oates and Corke H. 2001. Bihon-types Noodles
from Heat Moisture Treated Sweetpotato Starch. J Food Sci. 66(4): 604-609
Dangles, O., dan R. Brouillard. 1993. Anthocyanin Intramolecular Copigment
Effect. Journal of Phytochemistry. 34: 119-124. Damanhuri. 2005. Pewarisan antosianin dan tanggap klon tanaman ubijalar
(Ipomea batatas (L.) Lamb) terhadap lingkungan tumbuh. (Disertasi) Program Studi Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. 106 h.
de Man, J.M. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Penerjemah : Padmawinata
K,. ITB Press, Bandung Diza, Y. H., Tri, W,. dan Silfia. 2014. Penentuan Waktu dan Suhu Pengeringan
Optimal terhadap Sifat Fisik Bahan Pengisi Bubur Kampium Instan
Menggunakan Pengeringan Vakum. Jurnal. Balai Riset dan Standarisasi Industri Padang.
Falade, K.O., Mande S, Olamide S.F., Adebola O.O., and Kora K.O. 2014.
Functional and Physico-chemical Properties of Flours and Starches of African Rice Cultivars. Journal of Food Hydrocolloids 39 (2014 41-50.
Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Beberapa
Varietas Tepung Singkong. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Fraden, Jacob. 2003, Handbook of Modern Sensors Physics, Designs, and
Application. 3th Edition. San Diego, California. Frost, K., Kaminski, D., Kirwan, G., Lascaris, E. dan Shanks, R. (2009).
Crystallinity and structure of starch using wide angle X-ray scattering. Carbohydrate Polymers 78: 543-548.
Funami T, Kataoka Y, Omoto T, Goto Y, Asai I, Nishinari K (2004) Effects of
Non-Ionic Polysaccharides on the Gelatinization and Retrogradation Behavior of Wheat Starch. Food Hydrocolloids 19: 1-13.
Giusti, M. M., Rodriguez-Saona, L. E., Griffin, D., & Wrolstad, R. E. (1999).
Electrospray and tandem mass spectroscopy as tools for anthocyanin characterization. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 47, 4657–4664.
Glicksman M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. New York:
Academic Press. p 214- 224. Hakiim, A. dan F. Sistihapsari. 2011. Modifikasi FisikKimia Tepung Sorgum
berdasarkan Karakteristik Sifat Fisikokimia sebagai Substituen Tepung Gandum. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Semarang.
Harborne, J. B. 2007. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Bandung: ITB Hariyadi, P, F. Kusnandar, dan N. Wulandari. 2006. Prinsip dan Proses
Pengalengan Pangan. Sub-topik 3.2. Prinsip dan Tahapan Proses Pasteurisasi. IPB. BOGOR.
Haryadi. 2013. Analisa Kadar Alkohol Hasil Fermentasi Ketan Dengan
Metode Kromatografi Gas Dan Uji Aktifitas Saccharomyces Cereviceae Secara Mikroskopis (Analysis of Alcohol Content Fermented Glutinous by Method Chromatography Gas and Test Activity Saccharomyces Cereviceae in a Microscopic Manner). Undergraduate thesis, Undip.
Hardiningtyas, S.D. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak
Sarcophyton sp yang difragmentasi dan tidak difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hermanianto, Joko., Zakiah Wulandari dan Erni Ernawati. 1997. Proses
Ekstruksi untuk pengolahan Hasil Smping Penggilingan Padi (menir dan Bekatul). Prosiding Seminar Teknologi Pangan: Jakarta
Hoffman, M.R., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W. 1997.
Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis. J. Chem. Rev., 69 96.
Hou, Z., Qin, P., Zhang, Y., Cui, S dan Ren, G. (2013). Identification of
anthocyanins isolated from black rica (Oryza sativa L.) and their degradation kinetics. Food Resreach International 50: 691-697.
Imaningsih, N. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
Tepungan Untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penelitian Gizi Makanan 2012, 35(1): 13-22
Indriyani, Fajar., Nurhidajah., Suyanto, A. 2013. Karakteristik Fisik, Kimia Dan
Sifat Organoleptik Tepung Beras Merah Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 08.
Indrasari, S. D. dan Mardiah Z., 2012. Korelasi Amilosa Terhadap Konsistensi
Gel, Nisbah Penyerapan Air (NPA), dan Nisbah Pengembangan Volume (NPV) pada Beras Varietas Lokal. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Indrastuti, E. 2012. Karakteristik Tepung Uwi Ungu (Dioscorea alata L.) yang
Direndam dan Dikeringkan sebagai Bahan Edible Paper. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13 No.3:169-176
Indrawuri, Isnaini. 2010. Peranan Tepung Jagung Termodifikasi Terhadap
Mutu Dan Penerimaan Konsumen Mi Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular
starch with retention of the granular structure: Review. J. Agric. Food Chem. 46(8): 2895−2905.
Jie, L., Xiao-ding, L., Yun, Z., Zheng-dong, Z., Zhi-ya, O., Meng, L., Shao-hua, Z.,
Shuo, L., Meng, W. dan Lu, O. (2013). Identification and thermal stability of purple-fleshed sweet potato anthocyanins in aqueous solutions with various pH values and fruit juices. Food Chemistry 135: 1429-1434
Kartika, Y. D. 2010. Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Biji
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kalsum, N., Hidayat, B., dan Surfiana. 2008. Kajian Optimasi Proses
Pengolahan Produk Beras Instan Ubi Jalar (Ipomoea Batata L.) Varietas Shiroyutaka. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian Volume 13, No. 2.
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Beras (Teori dan Praktek). eBookPangan.com.
Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Cetakan Pertama. PT.
Dian Rakyat. Jakarta. Liem., Razali, Zaini Yetti. 2012. Bekatul Makanan yang Menyehatkan.
Agromedia Pustaka. Jakarta Lidiasari E, Syahfutri MI, dan Syaiful F. 2006. Pengaruh Perbedaan Suhu
Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap Mutu Fisik dan Kimia yang Dihasilkan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia, 8(2) : 141-146.
Luh, Bor S. 2013. Rice: Volume I Production. Springer Science & Business
Media. New York Lukman, A., Anggraini, D., Rahmawati, N., dan Suhaeni. 2013. Pembuatan Dan
Uji Sifat Fisikokimia Pati Beras Ketan Kampar Yang Dipragelatinisasi. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 1(2): 67-71
Lu Zhan-Hui,Tomoko Sasaki,Yong-Yu Li, T.Yoshihashi, Li-Te Li, Kaoru
Kohyama. 2009. Effect of Amylose Content and Rice Type on Dynamic Viscoelasticity of A Composite Rice Starch Gel. Food Hydrocolloids 23:1712–1719.
Makarim A.K. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukabumi. Subang. Marsono, Y. dan D.L. Topping. 1999. Effects of particle size of rice on
resistant starch and SCFA of the digesta in caecostomised pigs. Indonesia Food Nut Prog. 6(2): 44− 50.
Martin, Alferd., Swarbick, James & cammarata, Arthur. 1993. Farmasi Fisik
Dasar-Dasar dalam Ilmu Farmasetik. UI Press: Jakarta. Martinez, V.I., M.J. Periago and G. Ros. 2000. Nutritional importance of
phenolic compounds in the diet. Arch Latinoam. Nutr. 50(1):5-18. Miryanti. A, Sapei, L., Budiono, K. dan Indra, S. 2011. Ekstraksi antioksidan
dari kulit buah Manggis (Garciniamangostana L.). Universitas Katolik
Parahyangan. Bandung
Nailufar, A.A., Basito, dan Choirul A. 2012. Kajian Karakteristik Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa) pada Beberapa Jenis Pengemas selama Penyimpanan. Jurnal Teknosains Pangan vol. 1 No 1 Oktober 2012. Surakarta. Universitas Sebelas Maret.
Natalia, D. 2005. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis Pelarut Organik
Terhadap Total Antosianin dari Ekstrak Pigmen Alami Buah Arben (Rubusidaeus (Linn.). Skripsi. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Ningsih, W. 2007. Evaluasi Senyawa Fenolik (Asam Ferulat dan Asam p-Kumarat) pada Biji, Kecambah, dan Tempe Kacang Tunggak (Vigna unguiculata). Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Markakis, P. 1982. Anthocyanins as Food Additives. Di dalam Markakis, P.
(Ed). Anthocyanin as Food Colors. Academic Press. New York. 293 pp Masniawati, A., Paelongan, N., Eva J., dan Andi I.L. 2013. Karakterisasi Sifat
Fisikokimia Beras Merah pada Beberapa Sentra Produksi Beras di Sulawesi Selatan. Repository Universitas Hassanudin.
Muchtadi, TR dan Sugiyono. 2006. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Murillo, F. J. 2008. Enfoque, situacion y desafios de la investigacion sobre
eficacia escolar en America Latica Latina y el Caribe. En UNESCO, Eficacia escolar y factores asociados en Americana Latina y el Caribe. Santiago de Chile: UNESCO.
Myllarinen P, Mattila-Sandholm, Crittenden R, Mogensen G, Fonden R, Saarela
M, 2002. Technological challenges for future probiotic food. Int Diary J 12, 173-182.
Olsen, Kenneth M., and Michael D. Purugganan. 2002. Molecular evidence on
the origin and evolution of glutinous rice. Genetics 162.2 : 941-950. Padmaja, G., C. Balagopalan., S.N. Moorthy., and V., P., Potty. 1996. Yuca Rava
and Yuca Porridge : The Funtional Properties and Quality of Two Novel Cassava Poducts. Cassava Flour and Starch: Progress in Research and Development p: 323-330.
Palupi, H.T., A. Zainul, dan A. M. Nugroho. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi
Terhadap Karakteristik Tepung Singkong. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan.
Perez, L. A. B., Marbel, C. R. S., Rhebeca, R. M., Javier,S.F., dan Antonio, J.A.
2002. Functional and chemical properties of modified starch from banana (Musa Paradisiaca). Agrociencia. 36:169-180.
Pertiwi, A.S.R. 2016. Karakteristik Fisikokimia Bulir, Tepung, Dan Bekatul
Beras Ketan Merah Varietas Inpari 25 Opak Jaya Dengan Pembanding Bulir Dan Tepung Beras Ketan Hitam Varietas Setail Serta Beras Ketan Putih Varietas Ciasem. Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya.
Purbasari, S.W. 2016. Identifikasi Kandungan Senyawa Bioaktif dan Aktifitas
Antioksidan Beras Ketan Merah (Oryza sativa var. glutinosa). Skripsi. Malang. Universitas Brawijaya.
Purwoko T. 2009. Fisiologi Mikroba. Jakarta : Bumi Aksara. Puspasari, F. M.2012 Pemanfaatan Tepung Kimpul (Xanthosoma
sagittifolium) Terfermentasi sebagai Bahan Baku pembuatan Beras
Tiruan (Kajian Proporsi Tepung Kimpul Terfermentasi : Tepung Mocaf). Skripsi THP FTP UB. Malang.
Putro, A.L. dan Prasetyoko, D. 2007. Abu Sekam Padi Sebagai Sumber Silika
pada Sintesis Zeolit ZSM-5 Tanpa Menggunakan Templat Organik. Akta Kimia Indonesia, Vol.3 no.1oktober 2007:33-36.
Ridwan., Wiseno, E., dan Suwargo, P. 2008. Pembuatan dan Pengujian
Viskometer Tabung. http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/industrial-technology/2008/Artikel_20402787.pdf. Diakses pada tanggal 20 Juli 2016.
Rohaya M.S., M.Y. Maskat., A.G. Ma’aruf. 2013. Rheological Properties of
Different Degree of Pregelatinized Rice Flour Batter. Sains Malaysiana 42(12)(2013): 1707–1714
Sasaki, T., & Matsuki, J. (2001). Effect of Wheat Starch Structure on Swelling
Power. Cereal Chemistry. 75: 525–529. Satyatama, D.I. 2008. Pengaruh Kopigmentasi terhadap Stabilitas Warna
Antosianin Buah Duwet (Syzygium cumini). (Tesis). Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm.
Scalbert, A dan G. Williamson. 2002 Dietary Intake and Bioaviability of
Polyphenols. Journal of Nutrition 130:2073S-2085S Singh, J., L. Kaur an O.J. Mc Carthy, 2007. Factors Influencing the
physicochemical, Morphological, Thermal, and Rheological Properties of Some Chemically Modified Starches for Food Applications- A Rev. Food Hydrocolloids. 21: 1-22
Sompong R, Siebenhamdl-Ehn S, Linsberger-Martin G. and Berghofer E. 2011.
Physicochemical and antioxidative properties of red and black rice varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry. 124(2011):132–140.
Suardi D. 2005. Potensi Beras Merah untuk Peningkatan Mutu Pangan. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Sumberdaya Genetik Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 24: 3.
Susanti, K. 2015. Kajian Sifat Fisik Tepung Kecambah Kacang Hijau Hasil
Pengeringan Fluidized Bed Dryer. Universitas Jember. Jember Susanti, D. Y., 2008, Efek suhu pengeringan terhadap kandungan fenolik
dan kandungan katekin ekstrak daun kering gambir. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Yogyakarta.
Sutharut, J. and Sudarat J. 2012. Total Anthocyanin Content and Antioxidant
Activity of Germinated Colored Rice. Journal of International Food Research 19(1): 215-221.
Suyono dan Dandi, S., 1991. Hama Pasca Panen dan Pengendaliannya. Padi
Buku 3, Bogor.
Syamsir, E., P. Hariyadi, D. Fardiat, N. Andarwulan, dan F. Kusnandar. 2011. Karakterisasi tapioka dari lima varietas ubi kayu (manihot utilisima crantz) asal lampung. Jurnal agroteknologi. 5(1): 93105.
Syamsir, E. 2012. Pengaruh Proses Heat Moisture Treatment (HMT) terhadap
Karakteristik Fisikokimia Pati. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol.XXIII No.1
Takahashi, J. A., Chartone S. E., dan Nascimento. 2005. Synergic Interaction
Between Pomegranate Extract and Antibiotics Against Staphylococcus aureus. Can. J. Microbiol, 51, 541–547
Thomas, R., Wan N., and Rajeev B. 2013. Phsycochemical Properties,
Proximate Composition, and Cooking Qualities of Locally Grown and Imported Rice Varieties Marketed in Penang, Malaysia. International Food Research Journal 20(3): 1345-1351 (2013). Penang. University Sains Malaysia.
Trisyulianti, E., J. Jacjha Dan Jayusmar. 2001. Pengaruh Suhu Dan Tekanan
Pengempaan Terhadap Sifat Fisik Wafer Ransum Dari Limbah Pertanian Sumber Serat Dan Leguminose Untuk Ternak Ruminansia. Media Peternakan 24(3): 76 – 81.
Tuminah, S., 2004, Teh (Camelia Sinensis O.K var Assamica Mast) sebagai
Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran 144: 52-54 Utami, R. 2011. Formulasi Sediaan Lipstik Menggunakan Ekstrak Beras
Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa) sebagai Pewarna. Skripsi. Medan. Universitas Sumatera Utara.
J. Vichapong, M. Sookserm, P. Swatsitang, V. Srijesdauk, Prasan, S.
Srijaranai. 2010. High Performance Liquid Chromatographic Analysis of Phenolic Compounds and their Antioxidant Activities in Rice Varieties. LWT - Food Science and Technology, 43, 1325-1330.
Waliszewski, K, N, Aparicio, M, A, Bello, L, A, Monroy, J, A. 2003. Changes of
banana starch by chemical and physical modification. Carbohydrate Polymers. 52(3):237-242
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press, Bogor. Wirakartakusumah, A. 1994. Keamanan Pangan. Widya Karya Nasional Pangan
dan Gizi V. LIPI- PERSAGI. Jakarta. Yusuf, L.O.M. 2016. Karakter Morfologi dan Kandungan Kimia Beragam
Umbi Dioscorea alata L. Di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara. Skripsi. Universitas Haluoleo. Kendari