Upload
bhathu-lha-she
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Kebijakan
Berdasarkan arah dan kebijaksanaan dari pembangunan wilayah pesisir dan
lautan yang ditegaskan dalam GBHN tahun 1993, maka kebijaksanaan
pembangunan kelautan diarahkan untuk mendukung antara lain : (1) penegakan
kedaulatan dan yurisdiksi nasional, (2) mendayagunakan potensi sumberdaya laut
dan dasar laut, (3) mengembangkan potensi berbagai industri kelautan nasional dan
penyebarannya di seluruh wilayah tanah air, (4) memenuhi kebutuhan data dan
informasi pesisir dan kelautan serta memadukan dan mengembangkannya dalam
suatu jaringan sistem informasi kelautan, (5) mengembangkan organisasi dan
kelembagaan kelautan sehingga terwujud sistem pengelolaan yang terpadu, serasi,
efektif dan efisien, dan (6) mempertahankan daya dukung serta kelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Kebijaksanaan Pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting
dan strategis untuk menjaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana secara tegas telah mengatur mengenai
kewenangan Daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang
terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah
laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.
Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen menghasilkan dan
memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat
8
dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah kebijakan (Dunn
didalam Nurlian Tomboelu, 1999).
Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan
keputusan dengan maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam
pengambilan keputusan dan langkah yang diambil . Kebijakan didasarkan pada
masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus
dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus
berubah.
Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada
pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi karena
masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini
seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil
kebijakan mengontrol dan memanipulasi proses-proses kebijakan, tetapi analisis
kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi mengenai
nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi dua hal
yaitu sebagai evaluasi tetapi sebagai anjuran kebijakan.
Quandun dalam Dunn, (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah
setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat
menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka.
Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak
langsung menunjukan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak
hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi
juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini
9
meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang
mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.
Ada 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu (1) pendekatan
empiris (2) pendekatan evaluasi dan (3) pendekatan normative.
1. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari
kebijakan publik. Pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah
sesuatu itu ada?
2. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan
harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Pertanyaan pokoknya adalah berapa
nilai sesuatu?
3. Pendekatan normative adalah pendekatan yang terutama berkaitan dengan
pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan.
Pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang harus dilakukan?
Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis
umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan,
yaitu : deskriptif, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam
hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum
tindakan diambil, sedangkan deskriptif dan evaluasi digunakan setelah tindakan
terjadi.
Dalam kaitannya dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan
pemerintah dan bangsa Indonesia telah membuat suatu kebijakan yang strategis
dan antisipatif. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan penetapan kebijaksanaan dan
strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan (Dahuri et al, 1996
didalam Ismail, 2000).
10
Menurut Nurlian MR (2000), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan
ruang kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
1. Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakup
kegiatan analisis sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu
wilayah atau negara mempunyai wewenang, analisis pendekatan teknologi
yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada,
identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya kelautan,
identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi internasional mengenai
pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan fungsional secara social
ekonomi antara pemanfaatan ruang laut dan udara.
2. Pengenalan dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisis
tujuan dan sasaran makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang
darat dan laut yang sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta
analisis scenario pembangunan laut dalam konstelasi pengembangan ruang
darat dan laut secara menyeluruh dan pemilihan alternatif yang ada.
3. Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan
kawasan konservasi di laut dan pantai.
Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir dan lautan secara optimal
dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
secara terpadu (Integrated Coastal dan Marine Zone Management). Pada dasarnya
arahan kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan meliputi empat aspek
utama yaitu (1) aspek teknis dan social (2) aspek social ekonomi dan budaya (3)
aspek social politik dan (4) aspek hokum dan kelembagaan termasuk pertahanan
dan keamanan (Anonim, 1998).
11
Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir sampai saat belum ada definisi yang baku, namun demikian
terdapat kesepakatan umum didunia wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka
wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar
garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (cross
shore) (Dahuri, et al, 1996)
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah wilayah
pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut
wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami
yang terjadi di daerah daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Soegiarto, 1976 di dalam Sinurat RM, 2000).
Batas wilayah pesisir dalam Rapat Nasional Marine Resources Evaluation
and Planning (MREP) pada bulan Agustus di Manado, telah disepakati bahwa
definisi wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara darat dan laut dimana ke
arah darat meliputi seluruh atau sebagian wilayah darata yang berbatasan langsung
dengan gari pantai, dan ke arah laut mencakup perairan laut sejauh 12 mil dari garis
pantai pada surut terendah.
Menurut Rais (1993) di dalam Sinurat RM, (2000) memberikan definisi bahwa
disebut wilayah pesisir adalah spasial ke arah darat dimana pengaruh laut masih
ada, terutama pengaruh pasang surut (batas ekosistem air payau) dan ke arah laut
12
dimana pengaruh darat masih dominan (batas sedimentasi sungai). Dari definisi
wilayah pesisir di atas memberikan suatu pengertian bahwa wilayah pesisir
merupakan wilayah yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang sangat
beragam didarat dan di laut serta saling berintegrasi antara habitat tersebut.
Menurur Sorensen dan McCreary (1990) di dalam Sinurat RM (2000),
terdapat beberapa alternatif pilihan yang dapat dijadikan acuan bagi negara-negara
di dunia dalam menentukan batasan wilayah pesisir yang tegak lurus garis pantai
(gambar 1). Pada suatu ekstrim, batas wilayah pesisir dapat meliputi suatu
kawasan yang luas mulai dari batas lautan terluar ZEE sampai daratan yang masih
dipengaruhi oleh iklim laut. Pada ekstrim lainnya, suatu wilayah pesisir hanya
meliputi suatu kawasan peralihan antara ekosistem daratan yang sangat sempit
yaitu dari garis rata-rata pasang tertinggi sampai 200 meter ke arah laut meliputi
garis pantai pada saat rata-rata pasang terendah.
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah
pesisir dapat ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning
zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan
keseharian (day to day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya
meliputi seluruh daerat daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan)
yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan
sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan
lebih luas dari wilayah pengaturan.
Sementara itu menurut Bengen (2002), definsi wilayah pesisir memberikan
suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan
ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta
saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,
13
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun
tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil.
Berdasarkan uraian diatas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah
kurang begitu penting menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara
kaku (rigid). Akan tetapi berarti, jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir
didasarkan atas factor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pengelolaan
ekosistem pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya yang ada didalamnya, serta
tujuan dari pengelolaan itu sendiri. Jika tujuan pengelolaan adalah untuk
mengendalikan atau menurunkan tingkat pencemaran perairan pesisir yang
dipengaruhi oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir kearah darat hendaknya
mencakup suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) (Bengen, 2002).
14
US Coastel Management Act
Program Wilayah Pesisir Negara Bagian Washington
Pengelolaan lautan Srilanka Pengl. Pesisir Srilanka
Pengelolaan lautan Brasil Pengelolaan pesisir Brasil Btas
Rata-rata Batas daratan daratan Jarak arbitrat surut dari Pemda yg di- Batas Lautan dari pasang terendah Rata-rata pengh
Dari Laut surut Pasang iklim laut Teritorial Tertinggi Batas daratn Tepi lautan dimana dampak Dari Paparan Benua Jarak arbitrat yg ditimbulkan Batas Batas antara Yurisdiksi dari garis masih berpengaruh Lautan antara Negara Bagian pasang surut thdp wil. pesisir Dari ZEE Dan Yurisdiksi Nasional
Paparan Benua
Gambar 1. Batas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan (Sorensen dan Mc
Creary, 1990)
Dalam wilayah day to day management, Pemerintah atau pihak pengelola
memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan
pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada diluar batas
wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggungjawab bersama
antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan
Inastansi/Lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas (Dahuri, et al, 1996
di dalam Sinurat RM, 2000).
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan sumberdaya adalah unsur lingkungan
hidup yang terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun
nonhayati, dan sumberdaya alam buatan.
15
Dalam konteks wilayah pesisir dan lautan, sumberdaya yang ada meliputi (a)
sumberdaya manusia, yaitu manusia yang terlibat dan mempunyai kepentingan
dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, (b) sumberdaya alam
hayati (sumberdaya dapat pulih/renewable resources) yaitu sumberdaya perikanan
(plankton, benthos, ikan, mollusca, crustacea, mamalia laut), rumput laut, padang
lamun, hutan mangrove, terumbu karang, (c) sumberdaya alam non-hayati
(sumberdaya alam tidak dapat pulih/nonrenewable resources) antara lain minyak
dan gas, timah, bijih besi, pasir, bauksit, mineral dan bahan tambang lainnya, (d)
sumberdaya alam buatan, antara lain pelabuhan, jalan, perpipaan, kapal, perahu,
bagan dan tambak.
Menurut Dahuri, (2003) peranan sumberdaya kelautan dapat dilihat dari
beberapa aspek yaitu (1) aspek ekonomi sumberdaya kelautan, (2) aspek ekologis
sumberdaya kelautan, (3) aspek pertahanan dan keamanan, dan (4) aspek
pendidikan dan penelitian. Ekonomi sumberdaya kelautan yang dimaksud adalah
kegiatan ekonomi yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan dan/atau kegiatan
ekonomi yang menggunakan sumberdaya pesisir dan lautan dan/atau kegiatan yang
menunjang pelaksanaan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan lautan. Dengan
demikian ruang lingkup kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan sangat
luas dan beragam, termasuk diantaranya adalah sektor perikanan tangkap dan
budidaya, industri pengolahan produk perikanan dan bioteknologi, pariwisata bahari
dan pantai, pertambangan dan energi, perhubungan laut, industri kapal, bangunan
laut dan pantai, pulau-pulau kecil, dan kegiatan-kegiatan pendayagunaan benda-
benda berharga (the sunken treasures).
Peran ekologis sumberdaya kelautan juga sangat besar pengaruhnya pada
hampir semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya. Karakteristik
16
oceanografis laut Indonesia yang khas merupakan indicator (penentu) muncul dan
lenyapnya El Nino dan La Nina yang mempengaruhi perubahan iklim global dan
berdampak pada kemarau panjang, banjir, kegagalan panen, kebakaran hutan, serta
naik turunnya produksi perikanan.
Dari aspek pertahanan keamanan peranan lautpun sangat penting terutama
dalam hubungannya dengan usaha menjaga kedaulatan negara. Disamping itu,
karena wilayah pesisir laut Indonesia terdapat pada lokasi yang secara politis dan
ekonomis strategis maka hal ini semakin memperkuat argumen pentingnya laut
ditinjau dari aspek pertahanan keamanan. Disisi lain pembangunan sumberdaya
kelautan dapat mendorong terciptanya kondisi pertahanan keamanan yang baik dan
dinamis secara domestik, regional dan internasional. Peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir, pemanfaatan dan pendayagunaan pulau-pulau kecil serta
pembangunan berbagai infrastruktur berbasis kelautan merupakan beberapa bagian
penting dari pembangunan kelautan yang dapat menunjang terciptanya kondisi
pertahanan keamanan negara secara baik dan dinamis.
Laut dan kehidupan yang ada didalamnya juga merupakan bahan penelitian
dan pendidikan yang tidak akan pernah habis-habisnya. Kegiatan penelitian dan
pendidikan dibidang kelautan memberikan manfaat yang besar dalam pemanfaatan
dan pendayagunaan sumberdaya kelautan bagi kehidupan manusia.
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama dengan pengelolaan lingkungan hidup seperti yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1993 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan
17
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup. Dengan demikian maka dalam konteks ini dapat diartikan bahwa
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan adalah upaya terpadu
(Integrated Coastal and Marine Resources Management) dalam penetapan,
pelestarian dan pengendalian, pemanfatan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir
dan lautan.
Menurut Dahuri et al (1996), pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau
lebih ekosistem sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara
terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara
berkelanjutan (sustainable). Dalam konteks ini, keterpaduan (integration)
mengandung tiga dimensi yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan
ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari
mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical
integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan karena wilayah
pesisir pada dasarnya terdiri dari system social dan system alam yang terjalin secara
kompleks dan dinamis.
18
Koordinasi dan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu
Koordinasi didefinisikan sebagai suatu usaha menyatukan kegiatan-kegiatan
dari satuan-satuan kerja (unit-unit) organisasi sehingga organisasi bergerak sebagai
kesatuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi untuk mencapai
tujuan (Handayaniningrat, 1994). Apabila dikaitkan dengan kelembagaan
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, maka kegiatan
koordinasi yang dilakukan berhubungan dengan keterkaitan fungsi dan wewenang
dari lembaga terkait guna tercapainya kesatuan tindakan, keserasian dan
keterpaduan dari sejak perumusan kebijaksanaan, penyusunan rencana,
pelaksanaan/implementasi, pengawasan dan pengendalian.
Menurut Siagian (1993) didalam Ismail (2000), koordinasi mempunyai tujuan
sebagai berikut :
1. Pencegahan konflik dan kontradiksi
2. Pencegahan persaingan yang tidak sehat
3. Pencegahan pemborosan
4. Pencegahan kekosongan ruang dan waktu
5. Pencegahan terjadinya perbedaan pendekatan dan pelaksanaan
Dengan demikian maka kegiatan akan dapat berjalan efektif dan efisien serta
mengena pada sasaran berdayaguna dan berhasilguna apabila dilaksanakan
koordinasi yang baik antar lembaga yang terkait
Selanjutnya menurut Soetarto (1993) didalam Ismail (2000) menyatakan
bahwa manfaat koordinasi adalah :
1. Menghindarkan perasaan lepas satu sama lain antara satuan organisasi atau
antar pejabat yang ada dalam organisasi/lembaga,
19
2. Menghindarkan perasaan atau suatu pendapat bahwa satuan organisasinya
atau pejabatnya merupakan yang paling penting,
3. Menghindarkan kemungkinan timbulnya pertentangan antar satuan organisasi
atau antar pejabat,
4. Menghindarkan timbulnya rebutan fasilitas,
5. Menghindarkan terjadinya kekembaran/duplikasi pengerjaan terhadap suatu
aktivitas oleh satuan-satuan atau kekembaran pengerjaan tugas oleh para
pejabat
6. Menghindarkan terjadinya kekosongan pengerjaan terhadap sutau aktivitas oleh
satuan-satuan atau kekosongan pengerjaan tugas oleh para pejabat
7. Menjamin adanya kesatuan langkah, sikap, tindakan dan kebijaksanaan antar
pejabat
Menurut Clark (1992) didalam Ismail (2000) mengemukakan, pentingnya
koordinasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan karena
wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik dan problema
yang unik dan kompleks. Kompleksitas diwilayah pesisir ini ditandai dengan
keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang
mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir.
Selanjutnya menurut Dahuri et al, (1996) berpendapat bahwa, pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yang terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih eksosistem sumberdaya
dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) “Integrated
Coastal Zone Management” (ICZM) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir
20
secara berkelanjutan (sustainable) yang merupakan kunci pemecahan
permasalahan dan konflik dilwilayah pesisir.
Kemudian Sorensen et al, (1990) didalam Ismail (2000), juga menyatakan
bahwa, antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada diwilayah pesisir dan
lautan dapat saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu
dampak positif dan negatif. Beberapa contoh kegiatan antar sektor yang saling
memberi dampak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh-Contoh Hubungan Positif dan Negatif antar Sektor Kegiatan
Sektor Penerima Dampak
Sektor Pemberi Dampak Negatif dan Positif
Sektor Dampak Pelabuhan Perhubungan Perikanan Pariwisata Lainnya Pariwisata Positif Fasilitas
penumpang Sarana penunjang menuju tempat wisata
Konversi daerah habitat penting untuk rekreasi
-
Negatif Pncemaran oleh kapal
Pelanggaran hak penduduk akibat pembebasan tanah untuk jalan
Pencemaran air dan udara akibat industri pemrosesan ikan
-
Perikanan Positif Fasilitas pelabuhan dan pemrosesan
Tersedianya jalan menuju tempat penangkapan ikan
-
Memberi peluang bagi kegiatan olah raga memancing (rekreasi)
Negatif Pncemaran oleh kapal dan pemrosesan ikan
Fragmentasi estuaria
-
Pncemaran akibat pemrosesan ikan
Kesehatan Masyarakat
Positif Tempat evakuasi sebelum terjadi badai atau banjir
Tersedianya jalan dan jembatan untuk evakuasi
Pngemb. perikanan dapat meningktkan kualitas kesehatan mansy.
Memperbaiki kualitas air bersih dan pnanganan limbah
Negatif Pembangunan pelabuhan di daerah berbahaya
Adanya peluang menjadi daerah rawan penyakit dan kecelakaan
Pencemaran air dan udara akibat pemrosesan ikan
Berpeluang menimbulkn penyakit berbahaya
Sumber : Sorensen and Mc Creary (1990)
21
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Meningkatnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di
wilayah pesisir dan lautan, akan mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan
konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tersebut. Konflik tersebut
didominasi oleh isu-isu dan hak kepemilikan suatu jenis sumberdaya di kawasan
tertentu.
Menurut Moore (1986) didalam Sinurat MR (2000), berpendapat bahwa
konflik dapat terjadi karena ada lima pemicu utama, yaitu (1) konflik hubungan
(relation conflict), (2) konflik data (data conflict), (3) konflik nilai (value conflict), (4)
konflik kepentingan (interest conflict), dan (5) konflik structural (structural conflict).
Konflik hubungan mengacu pada konsep bahwa konflik terjadi karena adanya
hubungan disharmonis yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti salah paham,
tidak adanya komunikasi,perilaku emosional dan stereotypes. Konflik data yaitu
suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bersangkutan tidak mempunyai data dan
informasi tentang perihal yang dipertentangkan yang dapat diterima pihak-pihak
yang bersengketa. Konflik nilai adalah suatu kondisi dimana pihak-pihak yang
berurusan mempunyai nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya
masing-masing dan tidak diakui kebenarannya oleh pihak yang lain. Konflik nilai ini
termasuk cara-cara penyelesaian permasalahan yang ditempuh, agama, dan
ideology. Konflik kepentingan adalah pertentangan mengenai substansi atau pokok
permasalahan yang diperkarakan, kepentingan prosedur dan psikologis. Konflik
structural adalah keadaan dimana secara structural atau suatu keadaan diluar
kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status
kekuatan, otoritas, klas, atau kondisi fisik yang berimbang.
22
Selanjutnya menurut Ginting (1998) didalam Sinurat MR (2000),
mengelompokan pola kepemilikan dan penguasaan wilayah pesisir dan lautan
menjadi empat kelompok yaitu :
1) Tanpa Pemilik (Open acces property), bermakna dimana sumberdaya tersebut
milik semua orang dan tanpa pemilik atau tidak jelas kepemilikannya. Dalam
hal ini tidak ada seorangpun yang berhak memanfaatkan sumberdaya yang
ada untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dan mempertahankan agar
tidak digunakan oleh orang lain. Sumberdaya tersebut biasanya terdapat di
perairan laut lepas (high seas) atau diluar batas laut territorial (12 mil laut dari
garis pangkal.
2) Milik Masyarakat atau Komunal (Common property), merupakan milik
sekelompok masyarakat tertentu yang telah melembaga, dengan ikatan norma-
norma atau hokum adat yang mengatur pemanfaatan sumberdaya dan dapat
melarang pihak lain untuk memanfaatkannya. Biasanya konsep kepemilikan
dan penguasaan sumberdaya tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan di darat dan dilaut. Pemegang hak biasanya mempunyai hak
ulayat atas tanah pertanian di pesisir dan hak akses untuk memanfaatkan
sumberdaya di pesisir.
3) Milik Pemerintah (Public/State property), merupakan pemilikan sumberdaya
yang berada dibawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pada pasl 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia dinyatakan bahwa seluruh sumberd kekayaan alam di perairan
Indonesia dibawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa Pemerintah memiliki dan bertanggungjawab
mengawasi pemanfaatan sumberdaya tersebut. Kelompok masyarakat,
23
lembaga atau individu dapat saja memanfaatkan sumberdaya tersebut atas
izin, persetujuan atau hak pengelolaan yang diberikan Pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan yang hak pemilikan dan penguasaannya menjadi milik pemerintah
antara lain Pangkalan Militer, Taman Nasional, Taman Wisata Laut atau
Kawasan Konservasi termasuk sumberdaya perairan terumbu karang dan
mangrove.
4) Milik Pribadi/Swasta (private property), adalah sumberdaya yang dimiliki oleh
perorangan atau sekelompok orang secara syah yang ditunjukan oleh bukti-
bukti kepemilikan yang jelas. Pemilik sumberdaya tersebut dijamin secara
hukum dan social untuk meguasai dan memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan sengketa lingkungan hidup atau konflik
pengelolaan lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup. Berikut pada Table 2 dibawah terlihat peran dari lembaga
koordinasi dan sektoral dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Tabel 2. Lembaga Koordinasi dan Lembaga Sektoral serta Perannya dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
A Lembaga Koordinasi Peran 1. Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup/BAPEDAL Mengkoordinasikan kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut; BAPEDAL mengatur proses studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
2. BAPPENAS Mengkoordinasikan segenap kegiatan perencanaan pembangunan nasional yang diimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)
3. Departemen Dalam Negeri/Ditjen Pembangunan Daerah (BANGDA)
Mengkoordinasikan segenap kegiatan perencanaan dari pembangunan daerah, termasuk pembangunan sektor kelautan di daerah
4. Kantor Menteri Negara Riset dan teknologi/BPPT
Mengkoordinasikan kegiatan riset dan pengembangan teknologi dalam bidang inventarisasi sumberdaya alam laut
24
teknologi/BPPT teknologi dalam bidang inventarisasi sumberdaya alam laut
5. Badan Koordinasi Survei dan Pemetanaan Nasional (BAKOSURTANAL)
Mengkoordinasikan pembuatan peta (termasuk garis pantai), menerima dan mengelola data spasial dari lembaga lainnya seperti DIHIDROS
6. Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi/Pusat Pengembangan dan Penelitian Oseanologi (P3O-LIPI)
Mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan penelitian kelautan, pusat informasi data ekosistem kelautan dan memberikan saran untuk lembaga lainnya
7. Panitia Koordinasi Wilayah Nasional dan Dasar Laut (PANKORWILNAS)
Menangani masalah-masalah perbatasan dengan negara tetangga
8. Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA)
Mengkoordinasikan penanganan masalah-masalah keamanan laut, seperti pembajakan kapal, penangkapan ikan secara illegal oleh nelayan asing, pencemaran laut, penyeludupan dan lain-lain
9. BAPPEDA Mengkoordinasikan seluruh perencanaan pembangunan regional dan sektoral serta swasta di daerah
10. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
Lembaga kemasyarakatan di tingkat desa yang menyatukan dan mengkoordinasikan seluruh aktivitas dalam masyarakat desa seperti kegiatan keagamaan, keamanan, pendidikan, lingkungan, social ekonomi, keluarga berencana, kesehatan dan kepemudaan
B Lembaga Sektoral Peran 11. Departemen Kelautan dan
Perikanan Mengelola, mengembangkan dan mengatur kegiatan perikanan di wilayah pesisir dan lautan (Perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan)
12. Departemen Kehutanan/Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA)
Mengelola kegiatan konservasi ekosistem pesisir dan lautan seperti penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam Laut, Suaka Margasatwa Laut dan lain-lain)
13. Departemen Perhubungan/Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Mengelola laut sebagai media transportasi, termasuk penanggulangan pencemaran laut
14. Departemen Pertambangan dan Energi/Direktorat Jenderal Minyak dan Gas
Mengelola berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi minyak dan gas bumi di wilayah pesisir maupun lepas pantai
15. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/Perguruan Tinggi (Universitas)
Mengembangkan sumberdaya manusia dibidang kelautan dan penelitian-penelitian kelautan
16. Departemen Pertahanan dan Keamanan/Dinas Hidrografi dan Oseanografi (DISHIDROS)
Pengamanan batas territorial laut, pengumpulan data hidro-oseanografi dan memproduksi peta-peta wilayah laut
17. Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Mengatur berbagai kegiatan pengembangan industri di wilayah pesisir dan laut termasuk dalam penanganan limbah industri
18. Departemen Pemukiman Prasarana Wilayah/Pekerjaan Umum
Mengelola segenap kegiatan dibidang rekayasa pantai seperti pembangunan infrastruktur, pencegahan erosi pantai dan lain-lain
19. Departemen Pariwisata Seni dan Budaya/Direktorat Jenderal Pariwisata
Mengelola dan mengembangkan kegiatan wisata pesisir dan laut (marine-ecotourism)
25
20. Departemen Koperasi Mengembangkan usaha perkoperasian di Indonesia, khususnya koperasi-koperasi perikanan di desa pantai
21 Departemen Kelautan dan Perikanan
Mengelola dan mengembangkan kegiatan perikanan di wilayah pesisir dan laut
Sumber : Sloan dan Sugandhy dalam Dahuri et al, (1996) diolah.
Sistem Hukum dan Kelembagaan Wilayah Pesisir dan Lautan
Sistem Hukum
Dalam mengatasi konflik perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan lautan, diperlukan pemahaman sistem hokum dan kelembagaan sehingga
dalam pengambilan keputusan secara sadar mengalokasikan sumberdaya tersebut
untuk perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dalam ruang dan waktu untuk
dimanfaatkan guna mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Pada
prinsipnya pengambilan keputusan utnuk mengaloksikan sumberdaya yang boleh
dan tidak boleh dimanfaatkan diwilayah pesisir dan lautan dilakukan oleh lembaga-
lembaga atau instansi pemerintah melalui prosedur administrasi dan menurut
undang-undang yang berlaku dengan memperhatikan IPTEK yang ada dan sedang
berkembang.
Menurut Purwaka (1995) didalam Sinurat MR (2000), hukum pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan meliputi semua peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dari
sudut hierarkinya peraturan perundang-undangan memiliki tingkat yang lebih tinggi
akan diitndaklanjuti dengan peraturan pelaksanaanya yang lebih rendah
tingkatannya, dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh bertentangan dengan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan semua benturan kepentingan
26
antara lembaga, masyarakat dan swasta, harus diselesaikan dengan mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkat yang lebih tinggi.
Sistem Kelembagaan
Kelembagaan dari sudut ekonomi, merupakan suatu sistem pengambil
keputusan yang dianut oleh masyarakat dan melahirkan aturan permainan yang
menyangkut alokasi sumberdaya serta cara pemanfaatannya guna meningkatkan
kesejahteraan (Anwar, 1989).
Menurut Dahuri, et al (1996), kelembagaan sebagai institusi terdiri dari tiga
aspek yaitu (1) aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, (2) fasilitas ruang,
peralatan dan bahan serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, dan (3)
dana operasional untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Sedangkan
pelembagaan nilai-nilai adalah memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh
lembaga tyersebut kepada masyarakat atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-
nilai yang dilembagakan dapat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan
daerah, tata ruang wilayah pesisir dan lautan, pedoman perencanaan, dan bentuk-
bentuk lainnya yang telah dihasilkan oleh lembaga tersebut.
Selanjutnya menurut Soekanto (1997) didalam Sinurat MR (2000)
kelembagaan dapat diartikan dalam dua makna yaitu lembaga sebagai institusi
(institution) dan pelembagaan (institutionalization). Lembaga dalam pengertian
institut merupakan organ-organ yang berisikan konsep dan struktur dalam
menjalankan fungsi masyarakat. Sedangkan pelembagaan dapat diartikan sebagai
suatu proses yang dilewati oleh sesuatu norma aturan itu untuk dikenal, diakui,
dihargai dan kemudian ditaati oleh masyarakat. Lembaga yang mengacu pada
organisasi abstrak maupun konkrit yang diakui dan diterima oleh masyarakat, namun
27
tidak mempunyai justifikasi hukum, contohnya lembaga-lembaga adat. Sedangkan
lembaga yang mengacu pada organisasi konkrit adalah lembaga yang diakui secara
formal dan mempunyai justifikasi hukum, contohnya lembaga-lembaga
pemerintahan.
Berdasarkan perannya, lembaga pemerintah dapat dibedakan atas dua
kategori yaitu lembaga koordinasi dan lembaga sektoral. Lembaga koordinasi
adalah lembaga-lembaga yang mempunyai peranan dalam mengkoordinasikan
segenap kegiatan pengelolaan pembangunan sesuai dengan fungsi manajemen
yang ada seperti perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta
pengawasan dan pengendalian. Sedangkan lembaga sektoral adalah lembaga-
lembaga yang mempunyai peranan pengelolaan, mengembangkan dan mengatur
secara teknis kegiatan-kegiatan pembangunan yang menjadi tanggungjawabnya.
Untuk memperkecil ataupun mencegah terjadinya benturan kepentingan
hubungan antar lembaga dalam melaksanakan kewenangan harus dilakukan dalam
rangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Menurut
Pakpahan (1986) ada tiga unsur yang menentukan factor kelembagaan yaitu batas
yurisdiksi, property right dan aturan representasi, sehingga strukryr kelembagaan
tidak dengan sendirinya dapat dikur dan diamati secara langsung. Misalnya suatu
kebijakan tersebut berhasil atau tidak tergantung kepada apakah kebijakan yang
dimaksud menghasilkan keragaan yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Batas Yurisdiksi
Menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu institusi dalam suatu
masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi yang berperan dalam mengatur alokasi
sumberdaya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau
28
batas otoritas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-
duanya.
Hak Kepemilikan (Property right)
Konsep hak kepemilikan adalah mengatur hubungan antar anggota
masyarakat adalam menyatakan kepentingannya terhadap sumberdaya yang
merupakan kekuatan akses dan control terhadap sumberdaya. Apabila
pengembangan wilayah pesisir dilakukan dengan konsep co-management, dimana
masyarakat setempat tersebut langsung ikut terlibat dalam kepentingan dan
perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan sekaligus diikutsertakan dalam
pembangunan, disamping untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat,
kelestarian sumberdaya dan lingkungan tetap terjaga dan lestari.
Aturan Representasi (Rule of Refresentation)
Aturan reperensentasi adalah mengatur permasalahan siapa yang berhak
berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa
yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah
representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses
ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh rupiah seperti halnya dalam aturan
representasi melalui pasar tapi partisipasi yang lebih banyak ditentukan oleh
keputusan politik organisasi.
Pada saat ini terdapat beberapa lembaga yang terlibat dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan yaitu lembaga departemenm non departemen dan
lembaga negara lainnya. Menurut Sloan dan Sugandhy didalam Dahuri et al
(1996), terdapat sepuluh lembaga koordinasi dan sebelas lembaga sektoral yang
terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia. Adapun lembaga-
lembaga seperti tertera pada Table 2, dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan
29
aktifitasnya di wilayah pesisir dan laut hanya sebatas kewenangannya masing-
masing. Kewenangan yang saat ini melekat pada masing-masing lembaga adalah
kewenangan yang didasarkan pada undang-undang atau peraturan sektoral masing-
masing lembaga tersebut. Dengan demikian kemungkinan terjadinya konflik of
interest antar lembaga tersebut dapat terjadi, mengingat masing-masing lembaga
merasa mempunyai landasan hokum yang kuat dalam pelaksanaan aktifitasnya.
Berbagai sektor yang berperan dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan adalah Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen
Pemukiman dan Prasarana Wilayah/Pekerjaan Umum, Pemerintah Daerah,
Departemen Pariwisata Seni dan Budaya dan Departemen Perhubungan.
Sedangkan beberapa lembaga non departemen yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah : Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut
(PANKORWILNAS), Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA), Panitia
Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam (PKA) dan Panitia Pengembangan Riset
dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim serta Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT).
Disamping lembaga-lembaga tersebut diatas, terdapat lembaga-lembaga
kelautan yang secara fungsional mencari dan mengumpulkan data baik yang
mendukung tugas pokoknya maupun melaksanakan fungsi publik yaitu Dihidros-TNI
AL, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O)-LIPI, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(BAKORSURTANAL), Badan Meteorologi dan Geofisika, Pertamina dan Pusat-
30
Pusat Penelitian yang ada di Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).
Pengertian-Pengertian
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone
Management) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang
melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan
(pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah
pesisir secara berkelanjutan (sustainable). Keterpaduan (integration) mengandung
empat aspek yaitu aspek sektoral, bidang ilmu, keterkaitan ekologi dan keterpaduan
stakeholders.(Dahuri et al, 1996).
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Secara terpadu adalah pengkajian
sistematis tentang sumberdaya pesisir dan lautan dan potensinya, alternatif-alternatif
pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial untuk memilih dan mengadopsi
cara-cara pemanfaatan pesisir yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sekaligus mengamankan sumberdaya tersebut untuk masa depan
(Clark, 1996).
Koordinasi adalah usaha menyatukan kegiatan-kegiatan dari satuan-satuan kerja
(unit-unit) organisasi sehingga organisasi bergerak sebagai kesatuan yang bulat
guna melaksanakan seluruh tugas organisasi untuk mencapai tujuan. Bila dikaitkan
dengan kelembagaan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
maka kegiatan koordinasi yang dilakukan berhubungan dengan keterkaitan fungsi
dan wewenang dari lembaga terkait guna tercapainya kesatuan tindakan, keserasian
dan keterpaduan dari sejak perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian (Handayaningrat, 1994).
31
Kebijakan adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan
kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan
harus secara terus menerus dipantau dan dievaluasi, direvisi dan ditambah agar
tetap memenuhi kebijakan yang terus berubah (Ditjen Bangda, 1997)
Maksud Kebijakan adalah untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam
pengambilan keputusan dan langkah yang diambil
Studi Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
pelbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat
politik dalam rangka memecahkan masalah publik (Dunn, 1998)
Menurut Quade dalam Dunn (1998), Pengertian “Analisis Kebijakan” (Policy
Analysis) adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam menguji pendapat
mereka.
Kawasan adalah suatu wilayah yang terdiri dari daratan dan lautan, biasanya suatu
unit ekologi yang akan dikelola untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan suatu
program. Suatu kawasan biasanya terdiri dari beberapa lokasi (Wirasantosa dan
Moosa dalam Tomboelu N. 1999).
Kawasan Konservasi atau kawasan perlindungan alam adalah kawasan dengan
ciri khas tertentu baik didarat maupun diperairan yang mempunyai fungsi
perlindungan, system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumberdaya hayatinya dan ekosistemnya
(Nirarita dalam Tomboelu N. 1999).
Kawasan konservasi laut (Matheus, 1996 dalam Tomboelu N. 1999) terdiri dari :
32
Kawasan Suaka Alam Laut yaitu kawasan yang terdapat di perairan laut dengan ciri
khas tertentu, mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistem, juga berfungsi sebagai
penyangga kehidupan. Berdasarkan fungsi suaka alam laut dibedakan menjadi
kawasan cagar alam laut dan kawasan suaka margasatwa laut.
Kawasan Pelestarian Alam Laut adalah kawasan yang terdapat diperairan laut
dengan ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan perlindungan
system penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa
dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini
dibedakan atas kawasan taman nasional laut dan kawasan taman wisata alam laut
Kawasan Taman Nasional Laut adalah kawasan laut yang relatif tidak terganggu
yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang
tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan manfaat yang
jelas bagi wilayah tersebut (Mac Kinnon et al. 1993 dalam Tomboelu N. 1999)
Kawasan Taman Laut adalah kawasan pelastarian alam laut yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi (Matheus, 1996 dalam Tomboelu N. 1999)
Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan
system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, pariwisata dan rekreasi (Keppres No. 32 tahun 1990).
Kawasan Taman Wisata Alam Laut adalah kawasan pelestarian alam laut yang
terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Kelembagaan adalah lembaga atau instansi pemerintah, baik lembaga departemen
maupun lembaga non departemen pada tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten
33
yang mempunyai fungsi dan wewenang secara hokum untuk terlibat langsung
dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan dikawasan Kepulauan
Seribu.
Keserasian Pemanfaatan Ruang adalah hubungan yang serasi, selaras dan saling
menguntungkan antara kegiatan sektor yang satu dengan lainnya dalam
menggunakan suatu ruang yang sama.
Konflik Pemanfaatan adalah hubungan yang saling bertentangan akibat adanya
perbedaan kepentingan dan pendapat antar lembaga tentang batas-batas
kewenangan pengelolaan suatu jenis sumberdaya alam atau suatu kawasan
tertentu. Konflik pengelolaan dapat berupa konflik pemanfaatan ruang dan konflik
kewenangan. Konflik pemanfaatan ruang adalah konflik yang ditimbulkan oleh
adanya perbedaan atau tumpang tindih kepentingan yang memberi pengaruh negatif
antara dua lebih kegiatan sektoral pada suatu ruang atau lahan yang sama untuk
memenuhi tujuan atau sasaran yang diinginkan. Sedangkan konflik kewenangan
adalah terjadi akibat perbedaan pendapat atau persepsi terhadap peraturan
perundang-undangan yang mengatur fungsi dan kewenangan dari dua atau lebih
lembaga pemerintah yang terlibat untuk memenuhi tujuan atau sasaran yang
diinginkan.
Biaya adalah kesediaan konsumen untuk mengalokasikan sebagian anggarannya
untuk mendapatkan utilitas yang disediakan oleh barang atau jasa yang dibelinya,
sehingga harga yang dibayarkan untuk barang dan jasa yang dibeli mencerminkan
posisi konsumen pada skala moneter. Dalam bidang social ada 2 pengertian : (1)
Harga yang dibayarkan oleh konsumen yang membeli suatu barang dan jasa
dinyatakan dengan besarnya utilitas yang dapat disediakan oleh barang tersebut
tidak sama dengan harga yang dibayar, (2) Adanya konsekwensi non-pasar yang
34
tidak dapat dikuantifikasikan (Soemarno, 1991 dalam Tomboelu N. 1999) sehingga
yang dimaksud dengan biaya dan manfaat dalam penelitian ini adalah :
Biaya (biaya social) yaitu setiap kerugian yang ditanggung oleh masyarakat disekitar
lokasi kegiatan proyek pembangunan akibat adanya proyek tersebut, padahal
proyek tersebut tidak membayar setiap kerugian tersebut.
Biaya social yang bersifat ekonomi adalah terganggunya kehidupan ekonomi
masyarakat, yang meliputi factor-faktor yang menghambat atau mengurangi aktivitas
ekonomi mereka.
Biaya social yang bersifat social adalah terganggunya kehidupan social masyarakat
yang meliputi factor-faktor yang merusak dan mengganggu kehidupan social mereka
(Antonius Purba, 1996 dalam Tomboelu N. 1999).
Manfaat (Manfaat Sosial) yaitu setiap keuntungan yang diperoleh masyarakat
disekitar lokasi kegiatan proyek pembangunan yang disebabkan oleh aktivitas
ekonomi pembangunan proyek tersebut, padahal masyarakat disekitar proyek tidak
memberikan pembayaran/konpensasi dari setiap keuntungan yang dirasakannya.
Manfaat Sosial yang bersifat ekonomi adalah perkembangan kehidupan ekonomi
masyarakat yang meliputi factor-faktor yang menambah atau mendukung aktivitas
ekonomi mereka.
Manfaat social yang bersifat social adalah perkembangan kehidupan social
masyarakat yang meliputi factor-faktor yang memperbaiki kehidupan social mereka
(Antonius Purba, 1996 dalam Tomboelu N. 1999).
Karakteristik Sumberdaya Pesisir
Sumberdaya pesisir (coastal zone) didifinisikan sebagai suatu wilayah
peralihan (interface) antara daratan dan lautan, daerah dimana segala macam
35
proses yang terjadi tergantung dari interaksi yang sangat intens dari proses
didaratan dan lautan (Sorensen et al, 1990). Secara ekologis, wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, dimana batas ke arah
daratan mencakup daerah-daerah yang tergenang air dan maupun tidak tergenang
air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti : pasang surut, percikan
gelombang, angin laut dan interusi garam, sedangkan batas ke laut adalah daerah-
daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di
daratan seperti : aliran air tawar (river run off and surface run off), sedimentasi,
pencemaran dan lainnya (Clark 1996, Dahuri et al, 1996).
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia
yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas
laut sekitar 3,1 juta km2 (0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,3 juta km2 perairan
Nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya serta berdasarkan UNCLOS (United
Nation Convenstion On Law of the Sea (1982), dan Indonesia diberi kewenangan
memanfaatkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut
eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati,
penelitian dan yurisdiksi mendirikan instlasi atau pulau buatan (Dahuri et al, 1996).
Sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan mempunyai karakteristik yang
relatif berbeda dan lebih kompleks dibandingkan dengan sumberdaya alam di
daratan. Sumberdaya alam pesisir dapat diklasifikasikan dari jenis yaitu :
1. Sumberdaya tidak pernah habis (renewable-perpectual resources) yaitu
sumberdaya yang selalu tersedia sepanjang kurun waktu kehidupan manusia
seperti lahan pantai, energi gelombang & angin, energi pasang surut dan
sebagainya.
36
2. Sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui (non-renewable or exhaustible
resources), yaitu sumberdaya minyak, gas alam, uranium, batubara, mineral
non energi seperti tembaga, aluminium dan lainnya. Sumberdaya ini berada
dalam jumlah yang tetap berupa deposit mineral (mineral deposits) diberbagai
lokasi di wilayah pesisir Indonesia, bisa habis karena eksploitasi serta tidak bisa
diganti oleh proses-proses alam secara cepat.
3. Sumberdaya alam yang secara potensial dapat diperbaharui (potentially
renewable resources) yaitu sumberdaya yang jika dimanfaatkan tidak
melampaui batas-batas daya dukung yaitu titik pemanfaatan lestari (sustainable
yield), akan mampu dan cepat dan alamiah memperbaharui diri melaui proses
peremajaan (recruitment), contohnya sumberdaya mangrove, terumbu karang,
padang lamun, perikanan serta diversitas flora & fauna (wildlife) yang ada di
wilayah pesisir dan lautan (Kusumastanto, 2001).
Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis
memiliki 4 fungsi/peran pokok bagi kehidupan umat manusia yaitu (1) sebagai
penyedia sumberdaya alam sebagaimana dinyatakan diatas, (2) penerima limbah,
(3) penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services), (4)
penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services) (Bengen, 2001).
Wilayah pesisir dan lautan yang bersifat terbuka untuk umum (common
property) menyediakan beranekaragam ruang yang segar, nyaman dan murah untuk
melakukan kegiatan (Kusumastanto, 2001) seperti :
1. Olah raga pantai, yang meliputi : bola volley pantai, selancar (surfing), motor
boating sport, parasailing & layang gantung by boat dan sebagainya.
2. Melakukan kegiatan budidaya laut (marine culture) seperti : budidaya rumput
laut (Eucheuma cottonii, E, spinosum dan Gracilaria lechinoides), kerang
37
(Cassostrea sp, Pinctada maxima & Tridacna gigas) sebagai penghasil mutiara,
karang-karang hias (artificial reef transplantasi), ikan kerapu bebek (Cromileptes
altivelis), kakap merah (Lutjanus johni), bandeng (Chanos chanos), udang
windu (Penaeus monodon & P, merguensis), kuda laut (Hippocampus spp) dan
sebagainya.
3. Menyediakan ruang dengan kualitas yang baik, segar dan murah untuk mandi &
berenang
4. Wilayah pesisir mempunyai nilai dalam menunjang kehidupan umat manusia
dalam kehidupan keagamaan (religius).
Karakteristik Pulau-Pulau Kecil
Secara umum pulau-pulau kecil atau Gugusan Pulau-pulau Kecil dapat
didefinisikan adalah kumpulan pulau-pulau yang secar fungsional saling bernteraksi
dari sisi ekologis, ekonomi, social dan budaya, baik secara individual maupun secara
sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya.
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar
karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti
terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (seaweeds) dan hutan
bakau (manrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi
keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda
laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas), dan teripang. Selain itu pulau-
pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan
sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Menurut Bengen (2002) karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil adalah
sebagai berikut :
38
1) Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island) sehingga bersifat insular
2) Memiliki sumberdaya iar tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air
tanah, dengan daerah tangkapan relatif kecil sehingga besar aliran air
permukaan dan sedimen masuk ke laut
3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran
4) Memiliki sejumlah jenis endemic yang bernilai ekonomis tinggi
5) Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari
daratan utamanya (benua atau pulau besar)
6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai
Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, tahun 2001 menyebutkan
ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan antara lain :
A. Kebijakan tentang Hak-hak para Pihak Atas Tanah dan Wilayah Perairan Pulau-
Pulau Kecil
1. Negara mengakui dan melindungi hak ulayat/hak adat/hak asal usul atas
penguasaan tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil oleh masyarakat
hukum adat disamping hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
2. Pemerintah berwenang untuk memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL)
kepada pihak yang akan melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang memberikan Hak Guna
39
Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP) diatas HPL sepanjang tidak melanggar
hak individu dan/atau hak hukum adat atas tanah.
3. Pemberian HPL dituangkan antara lain dalam bentuk perjanjian pengelolaan
dan bentuk perjanjian lainnya.
4. Pengaturan hak atas wilayah perairan disekitar pulau-pulau kecil diatur lebih
lanjut oleh Pemerintah, Pemertintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
B. Kebijakan tentang Pemanfaatan Ruang Pulau-Pulau Kecil
Kebijakan tentang Pemanfaatan ruang dan pulau-pulau kecil harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Latar geografis
Dalam pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil perlu diperhatikan latar
geografis pulau dan gugus pulau yang mempunyai kedudukan strategis
dalam pengembangan ekonomi wilayah dan konstelasi geopolitik. Oleh
karena itu, penataan ruang pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan
factor keterkaitan antar pulau dan gugus pulau.
2. Kerentanan wilayah terhadap bidang politik, ekonomi, social, budaya dan
ekologi
3. Keamanan Nasional
4. Ketersediaan sarana dan prasarana
5. Kawasan konservasi dan endemisme flora dan fauna termasuk didalamnya
yang terancam punah.
6. Karakter politik ekonomi, social, budaya, dan kelembagaan masyarakat local
7. Bentang alam (landscape)
40
Bentang alam pulau merupakan perwujudan keseimbangan alam yang
terjadi dan memiliki nilai-nilai keunikan alam. Oleh karena itu, perubahan
yang terjadi terhadap bentang alam pulau harus berada dalam batas
toleransi dan kapasitas asmilatif lingkungan pulau kecil.
8. Tata guna lahan dan pemintakan (zonasi) laut.
Pengaturan tata guna lahan dan laut harus mempertimbangkan konflik
pemanfaatan dan factor-faktor lain seperti keunikan, kepekaan, dan
transformasi sumberdaya alamnya. Keterpaduan penggunaan lahan dan
laut menjadi salah satu prinsip utama yang harus dipertimbangkan.
9. Keterkaitan kegiatan ekonomi, social, dan budaya antar pulau
Keterkaitan fungsional antar pulau dapat memberikan sinergi terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kegiatan sosial ekonomi dari wilayah
gugus pulaunya.
10. Skala ekonomi dalam pengembangan kegiatan
Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus sebanding dengan skala
ekonominya agar dapat diperoleh tingkat efisiensi yang optimal.
11. Pelibatan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang terdiri dari
Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam proses perencanaan
pemanfaatan ruang
C. Kebijakan tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dan Wilayah Perairan
Sekitarnya
1. Dalam melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah perairan
disektarnya harus mempertimbangkan :
a. Keseimbangan/stabilitas lingkungan;
41
b. Keterpaduan kegiatan antar wilayah darat dan laut sebagai satu
kesatuan ekosistem;
c. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya;
d. Protokol keamanan yang didasarkan pada penilaian harga sumberdaya
sesuai dengan prinsip ekonomi lingkungan;
2. Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota harus
menjamin bahwa pantai dan perairan pulau-pulau kecil merupakan akses
yang terbuka bagi masyarakat.
3. Pengelolaan ekosistem pulau-pulau kecil perlu dilakukan secara menyeluruh
berdasarkan satu kesatuan gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitan pulau
tersebut dengan ekosistem pulau besar
4. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berbasisi masyarakat harus
perhatikan adat, norma dan/atau social budaya serta kepentingan
masyarakat setempat.
5. Pengelolaan pulau-pulau kecil oleh pihak ketiga dengan tujuan observasi,
penelitian dan kompilasi dat/spesimen untuk keperluan pengembangan
iptek, wajib melibatkan lembag/instansi terkait setempat dan/atau pakar
dibidangnya. Data, informasi, hasil dari penelitian tersebut, dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI) menjadi milik pihak-pihak yang terlibat.
6. Pulau-pulau yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi menurut UU
No. 5 Tahun 1990, kawasan otorita, kawasan tertentu khususnya tempat
latihan militer dan pangkalan militer, tidak termasuk didalam pedoman
umum pengelolaan pulau-pulau kecil.
7. Gosong, atoll, dan pulau kecil yang menjadi titik pangkal (base point)
pengukuran wilayah perairan Indonesia hanya dapat dikembangkan sebagai
42
kawasan konservasi. Penggunaan terbatas pulau kecil tersebut hanya
diperuntukan apabila sebelumnya telah dimanfaatkan masyarakat sebagai
pemukiman.
8. Pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luasan kurang atau sama dengan
2.000 km2 hanya digunakan untuk kepentingan sebagai berikut :
θ Konservasi
θ Budidaya laut (marine culture)
θ Kepariwisataan
θ Usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari
θ Pertanian organic dan peternakan skala rumah tangga
θ Industri teknologi tinggi non-ekstraktif
θ Pendidikan dan penilitian
θ Industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak
ekosistem dan daya dukung lingkungan.
9. Pengecualian dari butir 8 tersebut diatas hanya untuk kegiatan yang telah
dilakukan masyarakat penghuni pulau-pulau kecil sebelum Pedoman Umum
ini dikeluarkan, sepanjang tidak mengakibatkan degradasi lingkungan dan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
10. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil yang menimbulkan
dampak penting lingkungan tidak diizinkan.
11. Kegiatan pengelolaan pulau kecil untuk usaha industri manufaktur dan
industri pengolahan hanya dapat dilakukan di pulau kecil dengan luas lebih
besar dari 2.000 km2, dengan persyaratan pengelolaan lingkungan yang
sangat ketat, dengan memperhatikan kemampuan system tata air setempat,
43
menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
12. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang diarahkan untuk kegiatan
kepariwisataan harus memperhatikan persyaratan pengelolaan lingkungan
yang ketat, sebagaimana tersebut dalam pasal 6 dan 21 Undang Undang
No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
13. Pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga harus
memberdayakan masyarakat local, baik dalam bentuk penyertaan saham
maupun kemitraan lainnya secara aktif dan memberikan keleluasaan
aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil tersebut.
14. Tiap kerjasama dengan pihak luar negeri dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil harus berdasarkan kepentingan Nasional.
15. Jangka waktu pengelolaan pulau-pulau kecil disesuaikan dengan tujuan
pengeloaan yang pelaksanaannya akan diatur dalam Keputusan tersendiri.
Budidaya Ikan Kerapu dalam Jaring Apung
Ikan kerapu dalam dunia internasional dikenal dengan nama grouper/trout.
Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang dipasarkan dalam keadaan hidup.
Umumnya ikan kerapu tersebar di daerah tropis dan sub tropis dijumpai dalam
berbagai jenis. Ada sekitar 46 species yang hidup diberbagai tipe habitat. Dari
jumlah tersebut ternyata berasal dari 7 genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon,
Cephalopholis, Cromileptes, Epinep helus, Plectropomus, dan Variola. Genus
Chromileptes, Plectropomus dan Epinephalus yang sekarang digolongkan ikan
44
komersil dan mulai dibudidayakan. Untuk lebih lengkapnya sistematikan ikan kerapu
adalah sebagai berikut :
Class : Teleostomi/Teleostei Sub-class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub-ordo : Percoide Familia : Serranidae Sub-familia : Epinephelinae Genus : Cromileptes Species : Cromileptes altivelis Genus : Plectropomus Species : Plectropomus maculates, P. leopardus Genus : Epinephelus Species : Epinephelus sullus, E. fuscoguttatus, E. malabarricus
Ragam kerapu budidaya antara lain jenis kerapu bebek/tikus (Cromileptes
altivelis), dikenal dengan nama polka-dot grouper/hump-backed rocked. Jenis ini
tergolong ikan yang mahal disbanding ikan kerapu lain. Selain untuk dikonsumsi,
ikan kerapu bebek yang muda dapat dijadikan ikan hias. Secara fisik tubuh ikan
kerapu bebek agak pipih dengan warna dasar abu-abu dan terdapat bintik-bintik
hitam. Pada ikan yang muda, bintik tersebut lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya.
Kepalanya kecil dengan moncong kelihatan meruncing. Ikan ini hidup diperairan
yang berkarang dan dapat ditangkap dengan bubu dan jarring. Daerah
penyebarannya meliputi Kepulauan seribu, Ke. Riau, Bangka, Lampung Selatan dan
kawasan perairan terumbu karang. Ukuran ikan konsumsi 0,5 – 2kg dengan harga
di pasaran domestik berkisar Rp. 25.000,- - Rp. 35.000,-/kg.
Jenis kerapu sunuk/sunu/lodi (Plectropomus spp) yang dikenal dengan coral
trout mempunyai bentuk yang agak memanjang dan agak gilik. Warnanya bisa
berubah tergantung kondisi terutama dalam keadaan stress akibat pergantian air,
sering berwarna merah dan kecoklatan sehingga sering disebut kerapu merah.
Jenis kerapu lumpur/balong/estuary grouper (Epinephelus spp) bentuknya
45
memanjang dan gilik dengan warna dasarnya abu-abu muda dengan bintik-bintik
yang bisa juga disebut kerapu hitam. Jenis kerapu macam/flower/carped cod
(Epinephelus fuscoguttatus) berbentuk seperti kerapu Lumpur, tetapi badannya
agak lebih tinggi dengan bintik-bintik pada tubuhnya gelap dan rapat. Sirip dada
berwrna kemerah-merahan.
Metode pemeliharaan yang paling produktif dan dapat dikatakan metode
intensif dengan teknik akuacultur adalah dengan metode jarring apung di perairan
pantai. Beberapa keuntungan yang dimiliki metode ini adalah tingginya tingkat
penebaran, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak memerlukan pengolahan
tanah, pemangsa mudah dikendalikan dan mudah panen bila dibandingkan dengan
metode pemeliharaan lainnya seperti kolam air tenang atau air deras.
Ada beberapa factor yang perlu diperhatikan dalam melakukan budidaya ikan
kerapu antara lain (1) factor risiko seperti gangguan alam, adanya predator,
pencemaran, dan konflik penggunaan, (2) factor kenyamanan, lokasi yang dekat
dengan jalan besar, pelelangan ikan dan pemasok sarana sangat memberi
kemudahan dalam operasional, demikian juga adanya sumbe listrik, telepon dan
sarana penghubung lainnya, dan (3) kondisi hidrografi diantaranya perairan harus
jernih, bebas dari pencemaran dan arus balik (turn welling), perairan harus
mempunyai sifat kimia dan fisika tertentu yakni suhu berkisar antara 27-32°C, kadar
garam sekitar 15 ppt, pertukaran air dan arus yang ideal 0,2-0,5 m/detik, kedalaman
perairan paling sedikit 1 m yaitu jarak antara karamba ke dasar perairan,
kandungan oksigen terlarut paling sedikit 4 ppm serta derajat keasaman (pH)
berkisar antara 7,6-8,7.
46
Konstruksi jaring apung terdiri dari rakit terapung, karamba, dan pelampung
yang terbuat dari Styrofoam atau drum. Rakit terapung terbuat dari bamboo/kayu.
Penggunaan kayu ini akan lebih lama dan biasanya digunakan untuk skala yang
lebih besar. Rakit ini terdiri dari beberapa unit dan dilengkapi dengan lantai dan
rumah jaga. Untuk membuat 1 unit rakit dari bamboo dengan 4 karamba berukuran
3x3x3 m, dibutuhkan 10 batang bamboo yang berdiameter 10-12 cm dan panjang 8
m. Pelampung sebanyak 9 buah dan 4 buah jangkar serta tali jangkar yang
berdiameter 3-5cm dengan panjang masing-masing 3-5 kali kedalaman perairan.
Benih ikan yang akan dibudidaya harus bermutu baik agar mencapai
produksi yang diinginkan. Keberadaan dan sumber benih harus diperhatikan
sebelum peleksanaan budidaya baik benih dari alam maupun dari hatchery.
Pembesaran ikan kerapu yang dimulai dari benih berukuran relatif kecil
memerlukan beberapa tahapan. Tahapan ini berguna untuk menghindari kematian.
Dalam tahapan ini, ikan diseleksi berdasarkan ukurannya karena ikan kerapu muda
umumnya bersifat kanibal. Setelah yakin ukuran ikan dalam tempat pemeliharaan
sudah seragam maka dapat dilakukan pembesaran dan perawatan.
Padat penebaran untuk masing-masing tahapan berbeda yang disesuaikan
dengan ukuran benih yang mau ditebar. Untuk penebaran awal benihnya berkuran
20-50 gr, benih yang ditebar sebanyak 50-60 ekor/m3. Sedangkan bila berukuran
100-200 gr, jumlah benih yang ditebar dikurangi menjadi 25-35 ekor/m3. Lama
masa pemeliharaan bila bobot awal 20 hr dibutuhkan waktu 7 bulan untuk mencapai
ukuran 500 gr yang sudah merupakan ukuran komersial, sedangkan bila bobot awal
seberat 100 gr akan membutuhkan waktu 5 bulan untuk mencapai ukuran pasar
dengan catatan jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan ikan itu
sendiri (konversi pakan).
47
Secara grafis factor-faktor yang mempengaruhi hasil budidaya dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan budidaya laut
Budidaya Rumput Laut
Menurut Mubarak, et al (1990), secara taksonomi rumput laut Eucheuma sp
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisio : Thallophyta Klass : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma Species : Eucheuma spinosum
Eucheuma cottonii
Ciri umum dari genus ini adalah memiliki thallus berbentuk silindris atau
gepeng dengan percabangan berselang dan tidak teratur, mulai dari yang sederhana
sampai pada yang rumit dan rimbun. Warna thallus beragam, mulai dari warna
merah, merah coklat, hijau-kunig dan sebagainya. Thallus dan cabang-cabangnya
kasar karena ditumbuhi oleh benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau
spines untuk melindungi gametnya. Perbedaan bentuk, struktur dan asal usul
HASIL
Lokasi yang tepat
Padat tebar optimal
Pengelolaan dan Perawatan Karamba Pencegahan dan
Penanggulangan penyakit
Jumlah pemberian pakan optimal
Mutu pakan
48
pembentukan organ reproduksi sangat penting dalam perbedaan species.
Substansi thallus menyerupai gel atau lunak seperti tulang rawan (cartilogenous)
(Aslan, 1995).
Habitat dan penyebaran Eucheuma sp pada umumnya terdapat di daerah
pasut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada
substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu
gamping atau cangkang moluska (Aslan 1995, Mubarak, et al. 1990).
Pada budidaya rumput laut tidak timbul akibat merugikan bagi lingkungan
sekitarnya (fishing environment). Sebagaimana lazimnya rumput laut, Eucheuma sp
mengambil makanannya dari medium disekitarnya. Melalui proses difusi rumput laut
menyerap nitrogen, phospor, dan zat hara lainnya yang sebagian besar berasal dari
daratan dan dengan fotosintesa diubah menjadi bahan organic yang berupa jaringan
tubuh/thallus (Ismail, et al. 1995).
Dalam kegiatan budidaya rumput laut, mempunyai beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian antara lain :
Persyaratan Lokasi
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut dipengaruhi oleh beberapa factor
lingkungan. Oleh karena itu pemilihan lokasi yang tepat dan cocok sebagai tempat
budidaya sangat diperlukan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membudidayakan rumput laut di perairan pantai (laut) adalah
Kondisi lingkungan fisik
θ Perairannya cukup tenang dan terlindung dari angin dan ombak yang kuat
θ Air jernih dan tidak mengandung Lumpur, dengan kecerahan air ± 1,5 m, dimana
sinar matahari sampai dasar perairan.
49
θ Lokasi perairan harus mempunyai gerakan air (arus) yang cukup untuk
pergantian air (kecepatan arus 20-40 meter/menit). Arus air berperan dalam
membawa unsur-unsur hara (makanan) yang sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan rumput laut. Selain itu arus juga dapat membersihkan rumput laut
dari kotoran yang menempel dan menyebabkan fluktuasi salinitas dan suhu
sekecil-kecilnya.
θ Ketika terjadi surut terendah, lokasi tersebut masih tergenang air dengan
kedalaman 10 – 30 cm. Perbedaan pasang surut sebaiknya antara 50-100 cm.
Hal ini untuk menjaga agar tanaman selalu terendam air, sehingga terhindar dari
kerusakan tanaman akibat sengatan matahari.
θ Substrat harus stabil, dasar perairan terdiri dari campuran karang mati dan
karang kasar.
θ Suhu antara 27 – 30 °C, tidak mengalami perubahan yang tajam. Untuk
keperluan budidaya, perubahan suhu tidak lebih dari 4°C setiap hari.
Kondisi lingkungan biologis
θ Ditempat tersebut secara alami sudah tumbuh rumput laut yang sejenis dengan
yang akan dibudidayakan, walaupun jumlahnya sangat sedikit.
θ Daerah tersebut bebas dari predator, seperti ikan herbivora, bulu babi
(Euchinotrix spp), landak laut (Diadema spp) dan penyu.
θ Terdapat hewan-hewan lunak lainnya seperti teripang, kerang-kerangan dan
lain-lain yang tumbuh dengan baik.
Kondisi lingkungan kimiawi
θ Dikawasan teluk, tidak terlalu jauh dari sumber air tawar, agar perubahan
salinitas terlalu besar.
50
θ Salinitas berkisar antara 28 – 34 promil, dengan salinitas optimum dalam 33
promil.
θ Perairan tersebut harus subur, kaya akan unsure-unsur hara sebagai makanan
rumput laut, ditandai dengan banyaknya hewan-hewan yang hidup merayap
didasar, misalnya teripang, kerang dan lain-lain.
θ Derajat keasaman air (pH) air antara 7,5 – 8,0.
θ Kondisi lingkungan harus bebas dari bahan pencemar, seperti logam berat,
minyak, sisa pestisida, dan bahan pencemar lainnya. Rumput laut akan
menyerap bahan pencemar tersebut dalam tubuhnya, walaupun bahan
pencemar ini tidak mengganggu pertumbuhannya, tetapi dapat mempengaruhi
mutu rumput laut yang dihasilkan karena dapat berbahaya bagi konsumen
(Tahir, et al. 1995).
Pembibitan
Kebutuhan bibit untuk satu petakan/rakit tergantung dari ukuran petakan/rakit
budidaya tersebut. Petakan/rakit standar dengan ukuran 2,5x5 meter persegi
diperlukan bibit sekitar 30 kg. Persyaratan bibit yang digunakan dalam budidaya
rumput laut sebagai berikut :
¬ Bibit yang digunakan sebaiknya merupakan mono species
¬ Dipilih bibit rumput laut yang masih muda, bersih, dan segar
¬ Pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit dilakukan dalam keadaan
lembab serta terhindar dari panas (terik matahari, mesin), minyak, air tawar dan
bahan kimia lain yang dapat merusak kondisi tanaman
¬ Bibit yang tidak segera ditanam disimpan didarat pada tempat yang teduh.
Biasanya bibit yang diangkut dalam jumlah terbatas, maka sebelum
dibudidayakan secara masal terlebih dahulu diperbanyak di tempat pembibitan,
51
dengan cara pembiakan vegetatif, yaitu memperbanyak tanaman melalui stek
atau potongan thallus. Potongan rumput laut antara 10 – 15 cm dengan berat ±
50 gram diikat pada tali rentang dengan menggunakan tali raffia. Jarak tiap
ikatan sekitar 25 cm.
Metode Budidaya
Dalam membudidayakan rumput laut Eucheuma sp digunakan beberapa metode,
dimana penerapannya tergantung pada kondisi perairan dan keadaan pasang surut.
Menurut Aslan (1995) beberapa metode budidaya yang diterapkan untuk Eucheuma
sp adalah sebagai berikut :
1. Metode Dasar (Bottom Methode)
Cara ini didasarkan pada sifat regenerasi dari rumput laut (vegetative reproduction).
Metode dasar terbagi atas dua cara yakni metode sebaran (broadcast methode) dan
metode budidaya dasar laut (bottom farm methode). Untuk metode sebaran caranya
adalah : tanaman induk dipotong-potong kemudian disebarkan di perairan yang
dipilih. Sedangkan untuk metode budidaya dasar laut caranya adalah : potongan-
potongan tadi diikat terlebih dahulu pada batu-batu kecil/karang atau kulit kerang
dengan menggunakan tali raffia, kemudian disusun rapi hingga berjalur-jalur.
2. Metode Lepas Dasar (Off-Bottom Methode)
Metode ini terbagi dua yakni metode tali tunggal lepas dasar dan metode jarring
lepas dasar. Perbedaan mendasar dari kedua metode ini hanya pada material yang
digunakan, pada metode tali tunggal lepas dasar digunakan tali nylon monofilament,
sedangkan pada metode jarring lepas dasar digunakan jarring dengan lebar mata
jarring 20 – 25 cm. Potongan-potongan ini disisipkan pada tambang atau jarring
52
yang dibentangkan di laut dengan bantuan tiang pancang atau patok. Jarak antara
sisipan ± 10 cm.
3. Metode Apung (Floating Methode)
Metode ini merupakan rekayasa dari metode lepas dasar. Pada metode ini tidak
digunakan kayu pancang, tapi diganti dengan pelampung yang umumnya terbuat
dari dari bamboo. Metode ini cocok digunakan pada perairan yang dalam,
berombank dan perbedaan pasang surutnya cukup besar. Metoed ini terbagi dua
yakni metode tali tunggal (floating-monoline methode) dan metode jarring apung
(floating-net methode).
Rakit dibuat dengan ukuran 2,5 x 5 m dari bamboo sebagai bingkai luar. Untuk
metode tali tunggal apung digunakan tali nylon multifilament berdiameter 5 mm,
jarak antar tali ± 25 cm. Sedangkan untuk metode jarring apung digunakan jarring
dengan ukuran mata jarring 20 x 25 cm. Rumput laut diikat pada tali nylon atau
pada tiap simpul mata jarring dengan menggunakan tali raffia dengan jarak tiap
ikatan sekitar 15 – 20 cm.
Pemeliharaan dan pemanenan
Seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara
dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinu. Kegiatan pengawasan
dilakukan seminggu sekali. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang
keras, angin serta kondisi musim (hujan/kemarau) perlu pengawasan 2 – 3 hari
sekali. Pemanenan rumput laut dapat dilakukan setelah 40-60 hari (Aslan, 1995).