Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kawasan konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan
Ekosistemnya adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah
sebagai kawasan suaka alam yaitu cagar alam dan suaka
margasatwa, kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman
wisata alam dan taman hutan raya, dan taman buru.
Berdasarkan Permenhut P.13/Menhut-II/2005 tanggal 6 Mei
2005, Direktorat Jenderal PHKA mengembang tugas untuk
melakukan pengelolaan kawasan konservasi seluas 27.190.993
hektar. Direktorat Jenderal PHKA memberikan tugas pengelolaan
kepada unit-unit pelaksana teknis untuk melakukan pengelolaan
kawasan konservasi guna menjamin kelestarian keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya di wilayah kerjanya masing-masing.
Secara absolut, Unit Pelaksana Teknis dalam melakukan
pengelolaan kawasan konservasi akan menjaga dan melestarikan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Secara ilmiah, menjaga
dan melestarikan keanekaragamann hayati dan ekosistemnya
dilakukan dengan menciptakan kondisi sedemikan rupa sehingga key
features kawasan dapat berproses secara alami serta dapat
dimonitor dinamikanya, termasuk dengan melakukan tindakan
konservasi yang dilakukan.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi muncul berbagai
permasalahan seperti dihapusnya eselon V setingkat kepala resort,
belum lengkapnya sistem kerja di tingkat resort dan tidak tersedianya
anggaran kegiatan di resort mendorong ketidakjelasan pelaksanaan
kegiatan minimal yang harus dilaksanakan di tingkat resot/lapangan.
Hal ini lebih lanjut mengakibatkan meningkatnya ketidakhadiran staf
di lapangan. Ketika lapangan ditinggalkan, maka kawasan seolah-
olah menjadi tidak bertuan dan cenderung mengarah ke dalam
situasi yang disebut sebagai “open acces” .
Pada situasi seperti inilah maka intensitas berbagai bentuk
gangguan terhadap kawasan semakin meningkat. Gangguan
tersebut terwujud dalam berbagai kegiatan illegal antara lain
perambahan, penyerobotan, konflik batas, illegal logging, perburuan
satwa dan pendudukan kawasan oleh berbagai pihak yang tidak
bertanggungjawab. Gangguan ini akan semakin meningkat sebagai
akibat rendahnya kehadiran staf di lapangan.
Hal inilah yang mendasari perlunya pengelolaan kawasan
konservasi berbasis resort sehingga kehadiran staf di lapangan
meningkat dan kegiatan-kegiatan minimal yang harus dilaksanakan di
tingkat lapangan terlaksana dengan baik dan fungsi pencegahan
terhadap meluasnya gangguan hutan tercapai.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dari tulisan ini adalah sebagai bahan informasi yang
terstruktur terhadap sistem pengelolaan kawasan konservasi
berbasis resort yang berorientasi terhadap efektifitas pengelolaan
melalui pemberdayaan Resort sebagai unit pengelolaan terkecil.
Tulisan ini bertujuan untuk mewujudkan suatu kerangka
program kegiatan pengelolaan kawasan konservasi berbasis Resort
sebagai titik awal dari tercapainya visi, misi, tujuan dan sasaran
pengelolaan kawasan konservasi secara optimal.
C. Ruang Lingkup
Peningkatan kelembagaan Resort pengelolaan melalui
peningkatan peranan petugas lapangan dalam melakukan berbagai
kegiatan pengelolaan berdasarkan 3 (tiga) pilar konservasi yaitu :
Perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pengelolaan Kawasan Konservasi
Penetapan suatu kawasan konservasi merupakan salah satu
strategi konservasi dengan tujuan untuk melindungi keanekaragaman
jenis dan ekosistemnya dari kepunahan. Dalam IUCN (1994),
kawasan konservasi didefinisikan sebagai wilayah daratan dan atau
laut yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam serta
sumberdaya budaya, dikelola melalui cara-cara legal atau cara-cara
efektif lainnya.
Dalam paradigm lama, kawasan konservasi dianggap
sebagai sebuah kawasan yang cenderung eksklusif dengan
penekanan pada perlindungan sistem penyangga kehidupan serta
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, sehingga salah satu tujuan
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya belum tersentuh. Pemikiran ini menyebabkan rencana
pengelolaan tersebut tidak mengakomodasi berbagai kepentingan
yang terkait dengan keberadaan kawasan tersebut. Akibatnya adalah
masyarakat di sekitar kawasan merasa tidak dilibatkan dalam
pengelolaan kawasan konservasi.
Kemudian muncul paradigm baru yang menyatakan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi adalah rencana dengan prinsip
pengelolaan yang terintegrasi dan mengakomodir berbagai
kepentingan yang terkait, khususnya menyangkut kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan (IUCN, 2003).
Konsep pelestarian modern adalah pemeliharaan dan
pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana. Penetapan dan
pengelolaan kawasan yang dilindungi adalah salah satu cara
terpenting untuk mendapatkan jaminan agar sumberdaya alam dapat
dilestarikan, sehingga sumberdaya tersebut dapat lebih memenuhi
kebutuhan umat manusia sekarang dan di masa akan datang.
Kawasan yang dilindungi apabila dirancang dan dikelola secara tepat
dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat.
Pelestarian memegang peranan penting dalam pembangunan sosial
ekonomi di lingkungan pedesaan dan turut mengembangkan
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat penghuni
pedesaan tersebut (MacKinnon et al. 1993).
Pembangunan kawasan konservasi di Indonesia masih
dihadapkan pada berbagai gangguan dan ancaman yang
menyebabkan kerusakan dan kawasan konservasi belum dapat
berfungsi secara optimal. Berbagai bentuk gangguan dan ancaman
terhadap kawasan konservasi adalah: pencurian dan penebangan
liar, perambahan, peredaran dan perdagangan flora dan fauna
secara illegal, perburuan liar, penangkapan melebihi quota, dan
penyelundupan flora dan fauna langka dan dilindungi.
Keberhasilan pengelolaan kawasan banyak bergantung
pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada
kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya. Di tempat
dimana kawasan yang dilindungi dipandang sebagai penghalang,
masyarakat setempat dapat mengagalkan pelestariannya, tetapi bila
dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat
sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi
kawasan tersebut dari pengembangan yang membahayakan
(MacKinnon et al. 1993)
Di dalam IUCN (2000) dalam Asrianny (2006) dikatakan
bahwa untuk mendukung konsep pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan kawasan konservasi, IUCN/WCPA dan WWF telah
merekomendasikan:
• Kawasan konservasi akan bertahan hanya dengan melihat nilai,
dalam pengertian yang lebih luas, untuk kepentingan bangsa secara
keseluruhan dan kepada masyarakat lokal pada khususnya.
• Keberadaan masyarakat adat dan lokal dalam kawasan konservasi
harus didukung penuh dengan bentuk partisipasi dalam bentuk co-
management
• pengelolaan sumberdaya dan cara ini tidak akan mengikis sasaran
hasil pengelolaan kawasan konservasi
• Pengetahuan, inovasi dan praktek yang diterapkan oleh masyarakat
lokal harus menjadi sebuah kontribusi bagi pengelolaan kawasan
konservasi
• Pemerintah dan pengelola kawasan konservasi harus bisa
bekerjasama dan penguasaan lahan masyakarat lokal dan
penggunaan sumberdaya serta sistem kontrol merupakan sebuah
pendekatan konservasi keanekaragaman hayati
Hal mendasar yang harus difahami oleh para pengelola
kawasan konservasi adalah :
1. Pengelola harus memahami dan mengetahui “isi” kawasan,
kondisi kawasan, dinamika perubahan “isi” dan kawasan serta
mendapatkan jawaban mengapa terjadi perubahan-perubahan,
termasuk pola-pola interaksi lingkungan eksternal-dinamika
perubahan penduduk, perkembangan social, ekonomi, budaya,
infrastruktur, kebijakan-kebijakan local, kelembagaan masyarakat,
dan lain sebagainya. Untuk mengetahui dann memahami hal-hal
tersebut di atas, tidak lain jawabannya adalah bahwa pengelola
harus terjun ke lapangan. Pengelolaan kawasan konservasi tidak
dapat dilakukan dengan menggunakan remote control.
2. Untuk dapat memahami dinamika interaksi kawasan dan daerah
penyangga di sekitarnya, pengelola harus memiliki sikap mental
seorang leader yang memiliki prinsip-prinsip kerja dengan
dukungan keilmuan multidisiplin dan mentalitas kerja berjaringan
dan kolaborasi. Scientific-based decision making merupakan
prasyarat mutlak bagi pengelola kawasan konservasi dalam
memilih opsi-opsi pengelolaan. Tidak ada ruang pengambilan
keputuan berdasarkan “feeling” atau “by accident”. Ini hal yang
sangat memalukan bagi pengelola kawasan dan melanggar kode
etik pengelola kawasan konservasi (catatan: kode etik ini belum
ada, dan masih menjadi pemikiran penulis). Silakan bertanya
pada diri sendiri, bagaimana pengambilan keputusan-keputusan
selama ini kita lakukan? Bagaimana usulan kegiatan tahun yang
akan dating kita susun? Dan lain sebagainya. Scientific judgment
tidak selalu berasal dari pakar dan perguruan tinggi, tetapi juga
harus dilandasi dengan sikap mental ilmiah, didasarkan pada
fakta-fakta lapangan, dengan analisis yang secara ilmiah relatif
dapat dipertanggungjawabkan. Tidak berarti pula pengelola hanya
mengontrakkan berbagai pekerjaan pada konsultan (siapapun
mereka). Seluruh staf kunci harus terlibat dalam proses kreatif
dan proses kajian ilmiah tersebut, sehingga merasakan proses
pembelajaran bersama. Sesekali meminta bantuan pakar untuk
memberikan masukan apakah suatu metodologi atau teknik
pengambilan data yang digunakan secara ilmiah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kepala Balai TN/KSDA harus figure
yang memiliki sikap mental selalu ingin tahu, selalu ingin
menambah ilmu, selalu gelisah bila suatu masalah belum dapat
dipecahkan, termasuk pertanyaan : “kok saya belum tahu persis
ya apa tujuan awal penetapan suatu kawasan? Apa isi
sebenarnya di dalamnya, apakah ada hal-hal yang bermanfaat
bagi keilmuan dan kemanusiaan? Siapa tahu ekstrak kimiawinya
mengandung unsur-unsur sebagai materi pengobatan penyakit
modern yang belum ada obatnya. Mohon maaf, pertanyaan-
pertanyaan seperti itu sekarang ada di kepala para peneliti asing.
Seorang peniliti orangutan di Stasiun Riset Ketambe-TN Gunung
Leuser, mengatakan setelah hampir 40 tahun seri penelitian
orangutan di Ketambe, itu hanya 30% dari kemungkinan-
kemungkinan ditemukannya fenomena ilmiah orangutan bagi
kemanusiaan! Sementara Kepala Balainya hampir tidak pernah
mengunjungi stasiun riset tertua dan terpenting di dunia itu. Tim
Peneliti yang melibatkan Conservation International berkantor di
Washington DC bekerjasama dengan LIPI menemukan banyak
spesies baru di CA Foja-Mamberamo, dan diduga masih akan
ditemukan spesies-spesies baru di belantara Papua tersebut
(penulis bertanya-tanya, apakah staf Balai Besar KSDA Papua
juga terlibat dalam penelitian tsb?). Celakanya, Pusat juga tidak
emngetahui bahwa Kepala Balainya tidak pernah mengunjungi
lapangan. Kondisi ini sangat membahayakan untuk hanya kita
biarkan.
3. Perubahan struktural dan “revolusi” pengelolaan kawasan
konservasi harus segera dilakukan, agar pengelola tidak sekedar
menjadi administrator ijin bagi peneliti asing, atau sekedar
menjadi “penjaga kawasan” (kerjaan ini pun juga tidak dilakukan,
kecuali patroli), tetapi menjadi garda depan penelitian “isi”
kawasan konservasi, menjaga dan memanfaatkan kawasan,
untuk kepentingan-kepentingan jangka panjang sesuai tujuan
yang telah ditetapkan.
B. Resort Sebagai Unit Pengelolaan Terkecil
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai upaya konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada kawasan
konservasi mengacu pada 3 pilar konservasi yaitu :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Kegiatan tersebut akan efektif dalam pencapaian tujuan
pengelolaan apabila dikelola pada suatu unit manajemen terkecil.
Dalam pengelolaan hutan, selama ini kita mengenal adanya resort,
dimana resort ini adalah satuan unit manajemen terkecil dalam
pengelolaan hutan. Sebagai unit terkecil, resort yang langsung
berhadapan dan berinteraksi dengan masyarakat dan permasalahan-
permasalahan di lapangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa resort
merupakan kunci penentu keberhasilan kinerja pengelolaan kawasan
konservasi.
Pembagian kawasan konservasi kedalam unit-unit
pengelolaan terkecil perlu dilakukan berdasarkan potensi dan
permasalahan, ketersediaan sumberdaya manusia, sarana dan
prasarana, aksesibilitas, serta prioritas pengembangan. Pembagian
wilayah kerja pengelolaan perlu diikuti dengan penataan
kelembagaan secara menyeluruh mulai dari tingkat Balai sampai
dengan tingkat Resort.
Selanjutnya di dalam unit pengelolaan terkecil tersebut perlu
dilakukan pembagian ke dalam blok-blok kawasan yang nantinya
merupakan sasaran dari tindakan pengelolaan. Dengan tujuan
pengelolaan yang demikian kompleks, maka solusi manajemen yang
perlu diimplementasikan adalah pengelolaan kawasan konservasi
berbasis resort.
C. Kondisi Pengelolaan Saat Ini
Pengelolaan kawasan konservasi saat ini dinilai belum efektif
dan optimal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator pengelolaan,
antara lain keutuhan kawasan, tingkat gangguan kawasan ( illegal
logging, illegal mining, perburuan satwa dan flora langka, tumpang
tindih kepentingan dengan sektor lain), ketersediaan sarana dan
prasarana, sumber daya manusia dan penataan kawasan.
Berdasarkan data dari UPT, total kerusakan hutan di kawasan
konservasi sampai dengan 15 Juni 2009 seluas 460.407 hektar, yang
terdiri dari taman nasional 315.424 hektar (1,9 % dari luas taman
nasional) dan non taman nasional seluas 144.983 hektar (11,7 % dari
luas kawasan non taman nasional) (Wiratno, 2010).
Tingginya tingkat kerusakan kawasan konservasi non taman
nasional tersebut diatas antara lain disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :
a. Ukuran kawasan konservasi non taman nasional (cagar alam dan
suaka margasatwa) relatif kecil dan terpencar. Rata-rata luas
cagar alam adalah 18.000 hektar, dengan variasi luas cagar alam
terkecil 0,03 hektar (Beringin Sakti di Sumatera Barat) dan cagar
alam terluas 300.000 hektar (Enarotali di Papua). Sedangkan
rata-rata luas suaka margasatwa adalah 70.000 hektar, dengan
variasi luas suaka margasatwa terkecil 25,02 hektar (Muara
Angke) dan cagar alam terluas 2.018.000 hektar (Membramo-Foja
di Papua.
b. Lokasi kawasan konservasi suaka alam yang tersebar dan
terpencil, sehingga upaya pengamanan kawasan memerlukan
biaya yang lebih besar dan kesiapan sumberdaya manusia yang
lebih handal, termasuk bagaimana membangun strategi
melibatkan masyarakat sekitar untuk ikut serta mengamankan
kawasan.
c. Perubahan tata guna lahan untuk kepentingan pembangunan di
sekitar kawasan suaka alam berdampak langsung pada
terbukanya akses kedalam kawasan tersebut, sehingga dapat
meningkatkan tekanan dan kerusakan pada kawasan.
d. Unit Pelaksana Teknis (UPT) KSDA, disamping mengelola
kawasan (in-situ) juga mendapat mandat untuk memberikan
pelayanan umum konservasi di luar habitatnya (ex-situ) yaitu
membina, mengawasi dan melakukan penegakan hukum
terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar di tingkat provinsi.
e. Masih rendahnya dukungan mitra untuk membantu UPT KSDA.
Sebagian mitra lebih mendukung pengelolaan kawasan taman
nasional. Sementara itu, dukungan pemerintah daerah dirasakan
juga kurang memadai, misalnya dalam hal pengembangan daerah
penyangga atau sinergi program pembangunan daerah dengan
kegiatan pengelolaan suaka alam.
Persoalan-persoalan kawasan yang dihadapi oleh pengelola
kawasan yang mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan hutan
seperti tersebut di atas pada umumnya telah berlangsung dalam
waktu yang cukup lama. Kompleksitas persoalan ini telah
menyangkut kepentingan sektor lain (pertambangan, pembangunan
jalan, waduk, jaringan transmisi listrik, energi listrik, tower
telekomunikasi, areal (pencadangan) transmigrasi, pemukiman
masyarakat), illegal logging, illegal fishing, perambahan, pendudukan
kawasan, jual beli lahan, sertifikasi lahan kawasan, tumpang tindih
atau konflik batas kawasan, tumpang tindih wilayah kabupaten baru
dengan kawasan, dan sebagainya.
Demikian pula besaran persoalannya sudah sampai pada
pendudukan kawasan oleh ribuan kepala keluarga, pembentukan
desa-desa baru defenitif di dalam kawasan, penerbitan sertifikat
tanah, hak guna usaha dalam waktu yang relatif lama. Persoalan
baru seiring dengan otonomi daerah adalah munculnya puluhan
kabupaten pemekaran dan bahkan provinsi baru yang sebagian atau
seluruh wilayahnya berada di dalam kawasan konservasi.
Penyelesaian persoalan tersebut tidak dapat hanya
dilakukan melalui proses penegakan hukum tanpa didukung oleh
perubahan kebijakan pengelolaan dan dukungan kebijakan di tingkat
nasional. Persoalan kawasan konservasi telah menjadi persoalan
strategi nasional, yang sudah waktunya diselesaikan secara terpadu,
sinergis dan dengan dukungan kebijakan nasional yang konsisten.
D. Kondisi yang Diinginkan
Mensikapi perkembangan pembangunan di berbagai bidang
selama 30 tahun terakhir yang telah berdampak pada perubahan-
perubahan besar pada pola penggunaan lahan, antara lain untuk
perkebunan skala besar terutama sawit, pembangunan jaringan
jalan, pertambangan, pertumbuhan kota-kota baru, lahirnya banyak
kabupaten dan provinsi baru, maka harus disusun strategi
pengelolaan kawasan konservasi yang berbasiskan pada kawasan,
pada teritorial. Strategi tersebut antara lain :
1. Konsep pemangkuan dan pengelolaan kawasan konservasi ini
harus diterjemahkan ke dalam bahasa teknis dan didukung
dengan kajian ilmiah yang memadai, dalam rangka mencapai
tujuan pengelolaan yang lebih fokus, efektif, sesuai skala prioritas,
dan bermanfaat.
2. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi harus
dilakukan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi
GIS/Remote Sensing, yang didukung oleh Team Reaksi Cepat,
dan Team Kerja di Tingkat Resort, untuk melakukan crosscheck,
pemetaan persoalan dan pemetaan potensi kawasan,
mengembangkan tipologi persoalan dan tipologi potensi, dan opsi
solusi persoalan dan pengembangan potensi di tingkat lapangan.
3. Membangun sistem kerja kolaboratif dan perencanaan bottom-up
berbasis resort dalam mendukung tujuan pengelolaan, yang
ditetapkan dalam Visi dan Misi pengelolaan kawasan konservasi.
4. Membangun berbagai inisiatif kolaborasi multipihak di berbagai
level dalam rangka meningkatkan komunikasi dan pembelajaran
dan ”platform” atau Agenda Bersama terhadap peneyesaian
masalah dan pengembangan potensi.
5. Membangun kapasitas dan kapabilitas ”leadership” di seluruh
tingkatan jabatan struktural maupun fungsional, melalui proses
pembelajaran multipihak.
6. Membangun dukungan kebijakan di tingkat nasional dari jajaran
Departemen Kehutanan (lintas Eselon I), Departemen terkait
lainnya, maupun mitra kerja Ditjen PHKA dan mitra kerja
Departemen Kehutanan.
E. Strategi
Mensikapi kondisi saat ini dan kondisi yang diinginkan,
minimal dalam periode 5 tahun ke depan (2009-20014), Strategi
Kementerian Kehutanan sebagai berikut :
1. Tingkat Nasional
a. Pada tatasan nasional, kawasan-kawasan konservasi telah
dimasukkan ke dalam Tata Ruang Nasional. Peta Dasar
Tematik Kehutanan (peta penunjukan yang diperbaharui) yang
segera dideklarasi oleh Menteri Kehutanan, akan dijadikan
dasar atau acuan bagi sektor lain untuk menetapkan Tata
Ruang Pulau.
b. Penataan kawasan konservasi telah diamanatkan di dalam
(revisi) PP 68. Proses penataan ini ditujukan untuk menata
kawasan konservasi menjadi unit-unit pengelolaan sampai
dengan tingkat lapangan atau unir pengelolaan terkecil di
tingkat resort.
c. Kementerian Kehutanan mendorong dan memfasilitasi
diterbitkannya INPRES Penanggulangan Perambahan di
Kawasan Konservasi. Instruksi Presiden ini akan melibatkan
lintas departemen/lembaga untuk penyelesaian perambahan
di Kawasan Konservasi. INPRES ini akan dijadikan dasar bagi
Pemprov dan atau Pemkab dalam menyiapkan Tim Terpadu
Penanggulangan Perambahan di Kawasan Konservasi.
2. Tingkat Kementerian Kehutanan
Penataan kawasan konservasi perlu didukung dengan data dan
informasi spasial dan non spasial yang akurat dan up to date.
Data dan informasi ini bukan hanya di masing-masing kawasan
konservasi tetapi juga kondisi penggunaan lahan dan penutupan
lahan kawasan penyngga di sekitarnya.
Direktorat Konservsi Kawasan, khususnya Subdit Pemolaan dan
Pengembangan dan Subdit PIKA akan menjadi Lead Agency
dalam mengembangkan Lab. GIS/Remote Sensing untuk
membangun Sistem Monitoring dan Evaluasi Kawasan
Konservasi. Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Subdit PIKA
akan bekerja intensif dan terpadu dengan Bagian Program
Anggaran, dan Bagian Evaluasi-Sekditjen PHKA, dan Dir.PPH.
Tim yang bekerja pada Lab GIS/RS Ditjen PHKA akan membantu
dan fasilitasi UPT untuk melakukan penataan kawasan, termasuk
dalam rangka membangun Sistem Pemantauan Perambahan
Kawasan Konservasi dan membangun Database Kawasan.
3. Tingkat UPT
UPT membangun Lab GIS/RS untuk mendukung penataan
kawasan berbasis resort. Lab GIS/RS ini akan menghasilkan
data/informasi dasar yang akan dijadikan bahan bagi ”Team
Reaksi Cepat” dan ”Team Kerja Resort”, untuk melakukan cek
lapangan, verifikasi, pengumpulan data dan informasi tambahan,
pemetaan sejarah persoalan-persoalan kawasan.
Beberapa UPT, yaitu TN.Gunung Halimun Salak, TN Gunung
Gede Pangrango, TN Alas Purwo, TN Kerinci Seblat, dan TN
Gunung Leuser telah mengembangkan berbagai inisiatif
pengelolaan, sampai dengan tingkat Resort. Artinya, pengelolaan
dilakukan di lapangan dengan resort sebagai Unit Manajemen
terkecil suatu kawasan konservasi.
Dengan dukungan dari pusat, apabila diperlukan, UPT
mendorong dan atau memfasilitasi dibentuknya Tim Koordinasi
Penyelesaian Perambahan di Kawasan Konservasi, baik di tingkat
kabupaten atau provinsi.
BAB IIIRUMUSAN DAN ANALISA MASALAH
A. Rumusan Masalah
Secara ilimiah, menjaga dan melestarikan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya pada kawasan konservasi dilakukan
dengan menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga key features
kawasan dapat berproses secara alami, dapat dimonitor dinamikanya
dan melakukantindakan konservasi yang diperlukan. Mencermati
kondisi pengelolaan kawasan konservasi saat ini, muncul berbagai
permasalahan yang mendasari pentingnya pengelolaan kawasan
konservasi berbasis resort. Beberapa rumusan masalah tersebut
adalah :
1. Perkembangan kompleksitas permasalahan yang sangat
berpengaruh terhadap pengelolaan kawasan konservasi.
2. Belum adanya Assesment Biodiversity and ecosytem secara
sistematis yang menghasilkan gambaran penting suatu jenis
spesies dan ekosistemnya (key features biodiversity) yang
menjadi tolok ukur terhadap sistem pengelolaan kawasan
konservasi.
3. Pengelolaan kawasan konservasi belum dilakukan secara
proporsional pada 3 pilar konservasi. Kegiatan perlindungan dan
pemanfaatan lebih dominan sehingga aspek pengawetan relatif
belum banyak disentuh.
B. Analisa Masalah
Sebagai upaya mencermati perkembangan kompleksitas
permasalahan di kawasan konservasi yang sangat berpengaruh
terhadap kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,
maka langkah awal dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah
dengan memberdayakan resort sebagai unit pengelolaan terkecil,
sehingga tidak cukup hanya di tingkat Seksi Pengelolaan. SDM di
tingkat Resort akan bekerja pada dua fokus secara paralel dan
sinergis. Ke dalam kawasan, melakukan pengamanan, patroli,
inventarisasi, monitoring, pengendalian pemantauan dan evaluasi.
Ke luar kawasan, harus mampu membangun komunikasi dan
kemitraan dengan berbagai komponen di desa-desa yang berbatasan
dengan kawasan konservasi.
1. Pentingnya Assesment Biodiversity dan ekosistem
Kegiatan assesment biodiversity dan ekosistem merupakan
kegiatan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu yang akan
menyimpulkan berbagai interaksi antara faktor-faktor biotis dan
abiotis serta keberadaannya saat ini di tengah-tengah kehidupan
sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat sekitar yang
berpotensi sebagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati
dan ekosistemnya. Mindset ini harus dipahami oleh pengelola di
tingkat resort dan seksi pengelolaan dan pada tingkat analisis
dilakukan di balai sebagai induk pengelolaan kawasan
konservasi.
Assesment biodiversity dan ekosistem akan menghasilkan
gambaran penting suatu jenis spesies dan ekosistemnya (Key
Features Biodiversity dan Ekosistemnya) yang menjadi tolok ukur
pengelolaan kawasan konservasi. Key Features Biodiversity
merupakan gambaran dari keanekaragaman hayati dari suatu
kawasan konservasi yang diperoleh melalui assesmen interaksi
manusia (terutama yang bersifat ancaman) terhadap kawasan
hutan. Dengan demikian, dalam melakukan assesmen sosial
ekonomi dan kultural masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
hutan, perlu dilakukan analisa yang cukup mendalam.
Oleh karena itu, selain pemahaman dalam proses assesmen
biodiversity dan ekosistemnya, diperlukan pula pemahaman yang
sama terhadap Key Features Biodiversity pada setiap level
pengelolaan sehingga interpretasi terhadap gambaran penting
suatu jenis spesies dan ekosistemnya sesuai antara output dan
outcame. Level Resort sebagai ujung tombak pengelolaan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
asessmen biodiversity dan ekosistemnya serta penentuan Key
Features Biodiversity untuk menghasilkan output yang diinginkan
oleh Balai Pengelolaan sebagai penentu kebijakan.
2. Tahapan Pengelolaan Berbasis Resort
Beberapa tahapan dalam implementasi pengelolaan
berbasis resort adalah sebagai berikut :
1). Penataan Wilayah Kerja Resort
Sebagai langkah awal untuk terwujudnya optimalisasi
pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort adalah
penataan wilayah kerja resort. Penataan wilayah kerja resort
meliputi peningkatan kelembagaan resort melalui peningkatan
peranan petugas lapangan dalam melakukan berbagai
kegiatan pengelolaan baik pada bidang perlindungan dan
pengamanan hutan, monitoring dan pengendalian
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta kegiatan lain
yang bersifat pendekatan kepada masyarakat.
Penataan wilayah kerja resort dituangkan dalam peta
kerja resort dalam bentuk :
a. Peta tematik pembagian wilayah kerja
(Bidang/Wilayah/Seksi/ Resort), yang menunjukkan lokasi
kantor Bidang/Wilayah/Seksi/ Resort).
b. Peta tutupan lahan kawasan hutan.
c. Peta tipologi daerah penyangga
d. Peta indikatif Zonasi Kawasan.
e. Peta batas kawasan, batas administratif
Kabupaten/Propinsi
f. Peta jaringan jalan
g. Peta DAS, Sub DAS, Sungai
h. Peta potensi kawasan-ekowisata, air, hasil hutan non kayu.
2). Penataan Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manuasia (SDM) merupakan modal pokok
bagi satu unit pengelola dalam menjalankan berbagai kegiatan
pengelolaan terutama kegiatan Assesment biodiversity and
ecosistym serta penentuan Key features biodiversity sebagai
pedoman awal bagi keberlanjutan pengelolaan disamping
upaya perlindungan dan pengamanan hutan.
Penataan SDM pada setiap Resort diupayakan terdiri dari
beberapa personil yang meliputi Polisi Kehutanan sebagai
tenaga pengamanan hutan, Pengendali Ekosistem Hutan
sebagai penghimpun data potensi sumberdaya alam yang ada
di wilayah Resort dan Penyuluh Kehutanan sebagai tenaga
penyuluhan. Pada masing-masing Resort dibentuk Struktur
organisasi Resort yang terdiri dari Kepala Resort dan Anggota
Resort, dengan uraian tugas sebagai berikut :
a. Kepala Resort, dengan uraian tugas :
1. Menyusun rencana kerja tahunan pengelolaan resort
2. Sebagai koordinator dalam pelaksanaan kegiatan
resort.
3. Mengatur jadwal kegiatan sesuai rencana kerja resort.
4. Bertanggung jawab kepada atasan langsung dalam
operasional kegiatan resort.
5. Melakukan koordinasi sesuai dengan kewenangannya
(internal-eksternal)/pihak terkait dengan diketahui oleh
atasan langsung.
6. Mengkoordinir kegiatan fungsional di tingkat resort.
7. Bertanggung jawab terhadap keberadaan dan
pemeliharaan sarana prasarana resort.
b. Anggota Resort (Pengumpul data konservasi dan
perlindungan) :
1. Membantu kepala resort dalam penyusunan rencana
kerja resort (bersama seluruh anggota).
2. Bertanggungjawab terhadap kegiatan pengumpulan
data serta membantu Kepala Resort dalam
penyusunan laporan kegiatan secara periodik.
3. Bertanggungjawab kepada Kepala Resort dalam
pelaksanaan tugas.
4. Memberikan masukan teknis kepada Kepala Resort.
Struktur ini didukung oleh :
a. Tata hubungan kerja internal
b. Sistem kerja di setiap Seksi Wilayah ke Resort.
c. Pola hubungan kerja internal-eksternal (kemitraan,
kolaborasi, kerjasama, kontrak kerja
d. Perencanaan berbasis resort, yang disebut sebagai
perencanaan bottom-up, berbasis kondisi dan ragam
sumberdaya, profil/tipologi resort dan aspirasi lokal atau
setempat.
e. Sistem monitoring dan evaluasi internal dan multipihak.
3). Perencanaan Kegiatan
Pengelolaan berbasis Resort bukan hanya sekedar
meningkatkan kapasitas pengelolaan pada level Resort yang
didukung dengan sarana dan prasarana serta kepercayaan
terhadap pengelolaan anggaran operasional Resort, akan
tetapi pengelolaan berbasis Resort merupakan suatu alur
mekanisme pengelolaan yang saling berkesinambungan baik
secara hirarkis maupun secara teknis terhadap berbagai
kegiatan yang memberikan keluaran hasil sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam suatu perencanaan Balai.
Perencanaan kegiatan dilaksanakan melalui beberapa
diskusi dan penyusunan rencana kegiatan serta inventarisasi
kebutuhan penunjang kegiatan Resort. Kegiatan yang
merupakan operasional Resort nantinya diharapkan
memadukan antara kegiatan pengamanan hutan, inventarisasi
potensi, monitoring dan kegiatan yang berhubungan dengan
pendekatan kemasyarakatan yang dilakukan di masing-
masing Resort.
Perencanaan kegiatan minimal operasional Resort
harus mencakup Tiga Pilar Konservasi yaitu Perlindungan
sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman
hayati dan ekosistemnya, dan Pemanfaatan secara lestari.
Kegiatan minimal operasional Resort ini merupakan tugas
minimal yang harus dikerjakan oleh Resort yang diselaraskan
dengan tupoksi jabatan fungsional personil Resort yaitu
Polhut, PEH dan Penyuluh.
BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan
mengenai pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort adalah :
1. Langkah awal dalam pengelolaan kawasan konservasi berbasis
Resort adalah memberdayakan Resort sebagai unit pengelolaan
terkecil.
2. Level Resort berperan penting dalam pelaksanaan Assesment
Biodiversity dan ekosistemnya serta penentuan Key Features
Biodiversity untuk memunculkan suatu output yang diinginkan
Balai Pengelola Kawasan Konservasi sebagai penentu kebijakan.
3. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi berbasis Resort
diselaraskan dengan 3 (tiga) pilar konservasi, yaitu : Perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
hayati dan pemanfaatan secara lestari.
D. SaranUntuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi
berbasis resort dibutuhkan komitmen dari setiap UPT dalam
merencanakan sistem pengelolaan kawasan konservasi berbasis
resort. Komitmen ini harus didukung dalam implementasi perumusan
sistem kerja pengelolaan dan penganggaran yang berpihak ke
Resort dan mendukung kerja Resort (patroli, penjagaan, pemantauan
habitat, anjangsana ke desa-desa/kampung terdekat dan
sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2010. Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort, Pengalaman 4 Tahun Implementasi di TN. Alas Purwo. Bahan Presentasi Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar. Balai Taman Nasional Alas Purwo.
_______, 2010a. Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort Sebagai Salah Satu Opsi Dalam Efesiensi dan Efektifitas Pengelolaan yang Berkelanjutan. Bahan Presentasi Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004, Kumpulan Peraturan Perundangan Terkait Dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Buku I), Jakarta, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA wiyh the assistance of WCMC. UK : IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge.
IUCN. 2003. Guidelines for Management Planning of Protected Areas. UK: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, World Commision on Protected Areas, and Cadriff University.
MacKinnon J, Mackinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Primarck RB. Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wiratno, Ir., M.Sc., 2010. Arah Pengelolaan Kawasan Konservasi Ke Depan. Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di
Makassar. Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
_______________, 2010a Penataan Kawasan Konservasi Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar. Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
RUMUSAN HASIL LOKAKARYA
Pokok-pokok rumusan yang disepakati dalam Lokakarya Pengelolaan
Kawasan Konservasi Berbasis Resort Tahun 2010 di Balai Diklat
Kehutanan Makassar dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bagi UPT yang telah memiliki resort-resort agar memberdayakan
resort dengan merencanakan sistem pengelolaan berbasis resort.
2. Perlu Komitmen yang jelas dalam implementasi perumusan sistem
kerja pengelolaan berbasis resort dan penganggaran yang berpihak
ke Resort.
3. Pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort tersebut akan
terlaksana apabila didukung oleh leadership di tingkat Seksi Wilayah
dan Balai sebagai pengambil Keputusan.
4. Konsep pengelolaan berbasis resort sebaiknya diterapkan diterapkan
pada semua wilayah pengelolaan kawasan hutan, tidak terbatas
hanya pada kawasan konservasi saja.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................... i
KATA PENGANTAR KEPALA BALAI ...................................... Ii
DAFTAR ISI ............................................................................. iii
I. PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................... 1
B. Maksud dan Tujuan....................................................... 3
C. Ruang Lingkup............................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 4
A. Konsep Pengelolaan Kawasan Konservasi................... 4
B. Resort Sebagai Unit Pengelolaan Terkecil................... 9
C. Kondisi Pengelolaan Saat Ini................... ..................... 11
D. Kondisi Yang Diinginkan................................................ 13
E. Strategi .......................................................................... 15
III. RUMUSAN DAN ANALISA MASALAH................................ 18
A. Rumusan Masalah.......................................................... 18
B. Analisa Masalah............................................................. 19
1. Pentingnya Assesment Biodiversity dan Ekosistem. 19
2. Tahapan Pengelolaan Berbasis Resort ................... 20
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 25
A. Kesimpulan .................................................................. 25
B. Saran ........................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 26
RUMUSAN HASIL LOKAKARYA ............................................ 27