Upload
vuonghanh
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Pengembangan Simulator FES-Induced Paraplegic Standing dengan
Kontrol PID
Kevin Nyoman Putra - 2207100066
Jurusan Teknik Elektro – FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS, Surabaya – 60111
Abstrak - Penderita Paraplegia, kelumpuhan pada tubuh
bagian bawah karena kerusakan tulang belakang (SCI, Spinal
Cord Injury), selalu membutuhkan alat bantu seperti kursi roda
untuk kemudahan melakukan aktivitas. Sehingga,
produktivitas kegiatan yang dilakukan sehari-hari tidak dapat
ditingkatkan. Dengan teknologi sekarang, memungkinkan
penderita Paraplegia untuk dapat melakukan aktivitas paling
dasar, berdiri, dengan alat bantu bernama FES (Functional
Electrical Stimulation). Melalui stimulus arus listrik
bertegangan rendah ke saraf otot, FES dapat mengembalikan
kemampuan motorik otot yang lumpuh. Sistem FES terdiri dari
sensor (elektroda invasive maupun non-invasive, atau implant),
kontrol feedback (kontrol PID atau Hybird yang menggunakan
metode Artificial Neural Network) untuk mengatur kadar
stimulus listrik, dan stimulator sebagai pembangkit pulsa
listrik. Karena output kontrol feedback FES yang akurat sulit
untuk dihasilkan, maka dari itu perlu studi simulasi untuk
mencarikan metode kontrol feedback yang optimal. Studi ini
berupa simulasi tubuh manusia yang melakukan paraplegic
standing, terdiri dari tiga fase, yaitu fase berdiri (standing
phase), fase berdiri-duduk (stand-sit phase) dan fase duduk-
berdiri (sit-stand phase). Dari ketiga fase simulasi dan input
parameter model tubuh, melalui proses sistem kontrol
didapatkan sebuah pembelajaran. Hasil studi ini dapat
diaplikasikan ke suatu alat FES, dengan mengetahui metode
kontrol secara efektif dalam semua kondisi yang mungkin, yang
telah dipelajari dalam studi ini. Simulasi fase berdiri-duduk
terdapat keterbatasan set point kontrol untuk menghasilkan
postur duduk, dengan set point panggul 60° dan lutut 75°.
Simulasi fase berdiri dan duduk-berdiri menunjukkan kontrol
dapat bekerja secara baik dengan osilasi eror feedback berkisar
1°, yang sudah teruji dengan posisi tubuh tampak diam.
Kata kunci : functional electrical stimulation (FES), paraplegic
standing, simulasi, standing.
1. PENDAHULUAN
FES (Functional Electrical Stimulation) pada umumnya
dipakai untuk alat rehabilitasi bagi penderita SCI (Spinal Cord
Injury). Dengan teknologi sekarang, FES dapat difungsikan untuk
melakukan aktivitas paling dasar, berdiri, menggunakan metode
kontrol PID. Untuk menghasilkan output kontrol FES yang akurat,
pada tugas akhir ini akan dilakukan studi pengembangan simulator
untuk mencarikan metode kontrol feedback yang optimal.
Tujuan dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan
simulasi paraplegic standing dan mengaplikasikannya ke FES
(Functional Electrical Stimulation) untuk mendapatkan kontrol
feedback yang optimal.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
bagaimana mementukan batasan minimal parameter-parameter
input yang dibutuhkan, memodelkan kontrol sebagai penghasil torsi
aktif dan mengontrol segmen tubuh bagian bawah sesuai dengan set
point yang diberikan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, batasan
masalah dalam penelitian ini adalah model tubuh bagian atas yang
dimasukkan kedalam simulasi hanya trunk, gaya dari luar tubuh
(ground reaction force), gerakan tangan (external disturbance) dan
muscle fatigue ditiadakan.
2. TEORI PENUNJANG
2.1 Unit Motor
Unit motor pada otot rangka terdiri dari sebuah motor neuron
dan semua serat otot yang terhubung dengan neuron. Ketika neuron
tereksitasi, serat-serat otot pada unit motor merespon sebagai satu
bagian. Serat-serat untuk setiap unit motor letaknya tidak
berdekatan melainkan berpencar bahkan ke otot yang terhubung
dengan serat dari unit motor lain. Maka dari itu, bila sebuah unit
motor terstimulus, sebagian besar otot tampak berkontraksi. Bila
ada unit motor lain ikut teraktivasi, otot tersebut akan berkontrasi
dengan gaya lebih besar. Istilah unit-unit motor yang memberikan
respon untuk menghasilkan stimulus yang besar disebut
recruitment. Semakin lama waktu kontraksi, semakin banyak
recruitment motor unit lainnya.
Gambar 1 Recruitment motor unit[1]
2.2 Unit Musculotendinous
Tendon dan jaringan ikat merupakan struktur viscoelastic
yang menentukan karakteristik mekanik otot saat berkontraksi dan
passive extension. Hill (1970) menunjukkan bahwa tendon
mewakili komponen elastic pegas (SEE) terhubung seri dengan
komponen contractile (aktin dan myosin, CE) dan terhubung paralel
dengan komponen elastic yang kedua.
Ketika komponen elastis paralel dan seri meregang saat otot
berkontraksi aktif maupun pasif, dihasilkannya ketegangan dan
energi tersimpan; saat otot berelaksasi, pentalan balik terjadi saat
energi yang tersimpan dilepaskan.
Total gaya yang dapat dihasilkan oleh otot, dipengaruhi oleh
kualitas mekanis, yaitu length-tension (panjang dan ketegangan),
load-velocity (beban dan kecepatan), dan force-time (gaya dan
waktu) relationships dan struktur otot rangka. Faktor lainnya yang
mempengaruhi hasil gaya adalah suhu otot dan fatigue otot.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Gambar 2 Musculotendinous unit tipe Hill[1]
Elastisitas dan distensibilitas dari komponen elastis sangat
berperan penting bagi otot dalam beberapa cara:
1. Otot cenderung siap untuk berkontraksi dan memastikan
ketegangan otot dihasilkan dan ditransmisikan tanpa
gangguan selama kontraksi terjadi.
2. Dapat dipastikan elemen kontraktil (CE) kembali ke posisi
istirahat ketika proses kontraksi berhenti.
3. Dapat mencegah proses regang pasif secara berlebihan
pada elemen kontraktil (CE) ketika elemen ini dalam
kondisi relaksasi, dengan kata lain mengurangi bahaya
terlukanya otot.
2.3 FES, Penerapan FES pada kaki
FES merupakan suatu rangkaian elektronika yang dapat
menghasilkan kontraksi otot yang stabil. Hal ini dikarenakan FES
menghasilkan suatu pulsa stabil, yang prinsip kerjanya mirip
dengan prinsip kerja syaraf. Rangkaian pulsa yang dilewatkan ke
jaringan otot menyebabkan kontraksi pada otot. Dengan
berkontraksinya otot maka tulang-tulang yang diikat oleh otot
tersebut dapat berubah posisinya sehingga tubuh kita dapat
bergerak. Untuk melewatkan rangkaian pulsa dari FES ke otot
diperlukan suatu elektroda yang ditempelkan di permukaan kulit.
Dengan adanya elektroda tersebut maka sinyal-sinyal elektrik dapat
dilewatkan ke otot dan menyebabkan otot berkontraksi.
Penerapan dari FES sendiri sangatlah luas, salah satunya
untuk melatih otot kaki pada penderita lemah otot atau stroke
sehingga si penderita dapat menjaga bahkan memperbaiki
kemampuan motoriknya. Perlu ditekankan disini bahwa untuk
menggerakkan otot motoriknya, seseorang tidak dapat hanya
menggunakan FES tanpa ada sistem yang mendukungnya. FES
tidak dapat bekerja sesuai dengan yang kita inginkan tanpa adanya
kontrol dari luar. Oleh karena itu diperlukan suatu metode kontrol
untuk mengatur kerja dari FES itu sendiri.
Gambar 3 Recruitment motor unit[2]
3. DISAIN SIMULASI
Perancangan model tubuh manusia terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu tahap perancangan skeletal dynamic, tahap
perancangan model otot dan tahap animasi. Software yang
digunakan untuk membuat simulasi adalah Borland Delphi 7.
Untuk tampilan model, menggunakan library yang terdapat di
Borland Delphi 7, yaitu Open GL.
Pada tahap perancangan skeletal dynamic, tubuh bagian atas
(kepala, tangan, badan) akan diwakilkan sebagai segmen trunk.
Model tubuh manusia dipresentasikan dalam bidang sagital dan
karena strategi pengkontrolan sisi kanan dan kiri tubuh sama, hanya
sisi bagian kanan tubuh yang akan dipakai untuk pembelajaran.
Seperti pada gambar 4, hasil output yang dibutuhkan adalah
percepatan sudut. Elastic torque dan damp torque adalah faktor joint
stiffness dari model tubuh manusia yang menghasilkan torsi pasif.
Model otot yang dibuat terdiri dari dua jenis otot, yaitu
berfungsi sebagai penghasil torsi flexion dan torsi extensión.
Karena pada simulasi hanya diwakilkan oleh satu otot, untuk
mengkompensasi menjadi kumpulan otot, maka nilai gaya
maksimum dari setiap jenis otot akan ditingkatkan. Hasil output
yang didapat, berupa torsi aktif, akan dimasukkan pada bagian torsi
pada persamaan Lagrange.
Faktor lainnya yang mempengaruhi kerja model adalah gaya
gravitasi. Sedangkan faktor yang tidak akan dimasukkan untuk
mengurangi kerumitan dalam pembuatan kontroler yaitu efek
muscle fatigue, dan gangguan yang dihasilkan dari gerakan tangan.
Gambar 4 Blok Diagram model skeletal dynamic dan penghasil torsi pasif.
3.1 Model Skeletal Dynamic
Model sederhana tubuh manusia digambarkan sesuai inverted
pendulum dengan rantai tiga sendi pada bidang sagital. Ankle, knee,
dan hip diwakilkan sebagai pivot joints. Trunk, thigh, dan shank
sebagai segmen kaku, penghubung antar joints. leher juga dapat
dipertimbangkan sebagai joint. Namun, tambahan joint leher akan
meningkatkan kerumitan dalam perhitungan, sehingga diabaikan
pada simulasi.
Keseluruhan gerakan dinamika tubuh pada bidang sagital dapat
diperoleh melalui metode Lagrangian. Untuk mengatur hubungan
antar segmen, sudut sendi θ dipakai, yang dapat dilihat pada gambar
5. Setiap nomor menentukan sendi (1:pergelangan kaki, 2:lutut,
3:panggul). dan menyatakan panjang segmen kaki bagian
bawah dan kaki bagian atas. , , dan menyatakan jarak dari
sendi distal ke center of mass dari segmen. dan mewakili
massa dan momen inersia dari setiap segmen.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Gambar 5 Tiga sendi model tubuh manusia bidang sagital [4]
(1)
Melalui rumus (1) diatas, dimana adalah energi kinetik
dan adalah energi potensial, didapatkan fungsi Lagrange.
Berikut persamaan Energi kinetik dan Energi potensial:
(2a)
(2b)
Dimana,
m = massa (kg)
v = kecepatan (m/s)
I = momen inersia (kg.m2) ω = kecepatan sudut (rad/s)
(3)
Persamaan (3) melalukan turunan terhadap fungsi Lagrange
untuk masing-masing segmen. Kemudian, setiap segmen
dikelompokkan menurut motion equation berikut:
(4)
Sehingga nilai masing-masing komponen didapatkan sebagai
berikut:
(5a)
(5b)
(5c)
(5d)
(5e)
(5f)
(5g)
(5h)
(5i)
(5j)
(5k)
(5l)
(5m)
(5n)
(5o)
(5p)
(5q)
(5r)
(5s)
(5t)
(5u)
Kecepatan dan posisi sudut didapatkan melalui metode runge-
kutta. Permasalahan awal untuk mendapatkan kecepatan sudut dari
percepatan sudut seperti berikut:
(6)
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Perubahan percepatan sudut (y’) dipengaruhi oleh fungsi
kecepatan y dan waktu t. Pada awal sistem, waktu adalah t0 dan
kecepeatan adalah y0. Metode RK (Runge-Kutta) untuk
menyelesaikan permasalahan (6) adalah sebagai berikut:
(7a)
(7b)
dimana yn + 1 sama dengan y(tn + 1), dan
(8a)
(8b)
(8c)
(8d)
Komponen terakhir pada persamaan (4), merupakan hasil
penjumlahan dari torsi pasif ditambah dengan torsi aktif. Torsi pasif
didapatkan dari persamaan berikut:
(9)
di persamaan (9) adalah faktor damping torque, yang
dipengaruhi oleh kecepatan sudut; dan sisa persamaan lainnya
adalah faktor elastic torque, dipengaruhi oleh posisi sudut.
Komponen selain kecepatan dan posisi sudut merupakan komponen
dari joint stiffness untuk setiap sendi.
3.2 Model Otot
Model otot pada gambar 6, berfungsi untuk menghasilkan
torsi aktif. Berikut komponen-komponen yang mempengaruhi hasil
output gaya adalah activation dynamics¸ Fmax, force-velocity
relationship, force-length relationship dan konversi dari gaya ke
torsi.
u atau u(t) adalah fungsi eksitasi terhadap satuan waktu yang
dihasilkan dari saraf motorik otot (neural excitation). Melalui
activation dynamics, dihasilkan fungsi sinyal aktivasi otot terhadap
waktu a(t). Berikut fungsi activation :
(10)
Gambar 6 Diagram blok model otot[1]
Fmax adalah gaya maksimum yang dapat dihasilkan sebuah
otot. Model otot menggunakan tendon, sehingga membutuhkan
jumlah lebih dari satu untuk dapat menggerakkan atau menahan
segmen tubuh. Maka dari itu, nilai Fmax akan dikalikan dengan
jumlah otot segmen tertentu pada tubuh manusia.
Force-length relationship berhubungan dengan posisi sudut
sendi, yang berfungsi menentukan panjang suatu otot dapat
berkontraksi. Berikut fungsi force-length relationship:
(11)
dimana, merupakan fungsi panjang otot terhadap posisi
sudut dan adalah panjang maksimum otot.
Force-velocity relationship memiliki hubungan terhadap
kecepatan sudut sendi, menentukan cepat lambatnya otot
berkontraksi. Fungsi force-velocity relationship adalah sebagai
berikut:
(12)
Dengan demikian, dihasilkannya gaya otot melalui
persamaan:
(13)
Menggunakan model Hill, otot memiliki elemen damping dan
elastic melalui fungsi:
(14)
(15)
dimana adalah konstanta damping dan adalah
konstanta elastic. Untuk mengubah gaya menjadi torsi otot,
digunakan fungsi:
(16)
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Pada (16), r adalah jarak vektor antara titik gaya yang
dihasilkan dengan titik terjadinya perbedaan sudut (sendi). Setiap
sendi memiliki dua jenis fungsi otot yang kerjanya berlawanan,
yaitu otot yang bekerja sebagai flexor, menghasilkan gerakan
flexion dan extensor, menghasilkan gerakan extension. Sehingga,
torsi aktif yang dimasukkan ke torsi total, dalam persamaan (4),
setidaknya membutuhkan 2 torsi aktif, yaitu torsi aktif flexor dan
extensor.
Berdasarkan model musculoskeletal (gambar 7), berikut tabel
pembagian nama-nama otot yang bekerja terhadap fungsinya:
Gambar 7 Model Musculoskeletal[7]
Tabel 1 Komposisi Otot Berdasarkan Fungsi Kerja Otot[7]
Sendi Flexor Extensor
Hip iliopsoas, biceps femoris long gluteus maximus, biceps
femoris long
Knee biceps femoris (short, long),
gastrocnemius vastus, rectus femoris
Ankle tibialis anterior soleous, gastrocnemius
Pada gambar 7 bagian B, otot terbagi menjadi dua jenis, yaitu
otot uniarticular (sering disebut monoarticular), berwarna merah
dan otot biarticular, berwarna oranye. Otot monoarticular adalah
otot yang menempel pada satu sendi, sedangkan biarticular
merupakan otot yang membentang pada dua sendi atau lebih.
Model otot pada simulasi hanya menggunakan monoarticular.
Otot monoarticular bekerja hanya pada sebuah sendi. Sedangkan,
otot biarticular bertugas menyalurkan energi dari satu sendi ke
sendi lainnya, yang membutuhkan pola aktivasi otot tersendiri.
Maka dari itu, fungsi otot biarticular dapat dikompensasi dengan
menambahkan nilai gaya maksimum otot. Parameter model untuk
torsi otot dapat dilihat di lampiran.
3.3 Disain Animasi
Fitur animasi pada program Borland Delphi 7 dapat dibuat
menggunakan library GLScene. GLScene adalah Open Graphic
Library (OpenGL) yang berbasis 3D untuk pemrograman bahasa
Delphi 7. Karena GLScene open source, file dapat di-download
melalui internet[8].
Gambar 8 Template library GLScene pada Delphi[8]
Komponen minimum yang dibutuhkan untuk menampilkan
gambar pada Delphi adalah:
- TGLScene component; Komponen master untuk menampung
semua komponen GLScene (Scene Editor)
- TGLSceneViewer; kanvas untuk menampilkan animasi
pada form
- TGLCamera; Komponen untuk menentukan sudut pandang
animasi yang terlihat pada TGLSceneViewer
- TGLLight; Komponen pencahayaan yang diberikan kepada
objek animasi
Berikut tampilan simulasi menggunakan OpenGL:
Gambar 9 Tampilan simulasi menggunakan OpenGL
4. PENGUJIAN ALAT
Pengujian kontroler yang didisain akan dilakukan secara
bertahap. Kemudian, setiap hasil uji tahapan dianalisa untuk
mendapatkan penyelesaian terhadap permasalahan diatas. Melalui
hasil uji coba dan analisa simulasi untuk FES-induced paraplegic
standing, diharapkan mendapat kontrol feedback yang optimal.
Untuk perancangan kontroler, dibuat menggunakan metode
kontrol PID. Input kontroler adalah eror posisi dan kecepatan sudut.
Eror setiap feedback didapat dari selisih antara nilai setting dan
output sistem. Langkah pembuatan dimulai dari kontroler sebagai
penghasil torsi aktif, menggantikan model otot. Berikutnya, dibuat
menjadi dua jenis kontroler, untuk mengontrol torsi flexor dan torsi
extensor. Terakhir, kontroler sebagai penghasil aktivasi otot dan
model otot dimasukkan ke persamaan untuk menghasilkan torsi
aktif.
4.1 Pengujian skeletal dynamic model
Melalui program referensi dari pembuat sebelumnya (Yosef,
2202100123), diuji persamaan lagrange (4) untuk menentukan
kestabilan sekeletal dynamic model, dengan menggunakan
komponen segmen thigh, shank, foot dan joint stiffness yang sudah
tersedia (model Ogihara, 2000).
Gambar 10 adalah program simulasi kaki (thigh, shank, foot)
bidang sagital, yang diposisikan sebagai pendulum, dimana titik
gantung terletak di hip (sendi panggul); untuk menguji kestabilan
model, sudut awal hip diberi nilai 22 derajat positif. Grafik simulasi
menggambarkan posisi sudut setiap sendi, merah = hip, hijau =
knee, dan kuning = ankle.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Gambar 10 Pengujian skeletal dynamic model
Dapat dilihat pada grafik (gambar 10), semua posisi sudut
menuju ke steady state sehingga skeletal dynamic model yang diberi
parameter Ogihara telah teruji stabil. Posisi stabil setiap sendi
berbeda, dikarenakan adanya komponen joint stiffness, yang
berfungsi menghasilkan torsi pasif pada model.
4.2 Pengujian kontroler sebagai penghasil torsi aktif
Tujuan pada pengujian ini adalah menentukan input kontrol
feedback yang dibutuhkan untuk mengendalikan model tubuh
manusia sesuai nilai set point. Setiap sendi membutuhkan masing-
masing satu kontroler. Jadi, untuk mengontrol kaki bagian bawah,
minimal terdapat tiga kontrol PID. Masing-masing set point untuk
hip, knee, ankle adalah sama, 0.1°.
Bila dilihat pada persamaan torsi pasif (9), terdapat dua
komponen, elastic dan damping dimana secara berurutan setiap
faktor dipengaruhi oleh posisi dan kecepatan sudut. Untuk
mengkompensasi setiap komponen yang berubah terhadap fungsi
waktu, input terhadap kontroler tidak hanya cukup eror dari posisi
sudut.
Pertama kali, gain diatur sebagai berikut:
KP[1] = 55.5
KP_v[1] = 55.5
KP[2] = 55.5
KP_v[2] = 55.5
KP[3] = 55.5
KP_v[3] = 55.5
(17)
Array 1, 2, 3 merupakan segmen untuk ankle, knee,hip. KP
adalah gain untuk posisi sudut dan KP_v gain untuk kecepatan
sudut.
Pada gambar 11, Grafik kiri atas (eror kontrol PID) dan kiri
bawah (posisi sudut) menunjukkan sistem divergensi, dimana garis
hitam, hijau, ungu secara berurutan adalah hip, knee, ankle. Torsi
hip semakin lama semakin membesar (grafik paling atas kanan) dan
kedua torsi lainnya (knee, ankle) bernilai sangat besar.
Kontroler belum stabil, menyebabkan sistem bersifat
divergensi,. Setelah mencoba beberapa kombinasi untuk mengatur
kestabilan sistem, gain kecepatan sudut dinaikkan. Hasilnya, osilasi
sudut lebih kecil dan sistem dapat menuju ke steady state. Untuk
gain posisi sudut, semakin besar maka waktu menuju ke steady state
semakin cepat.
Nilai gain diatur sebagai berikut:
KP[1] = 105.5 KP_v[1] = 255.5
KP[2] = 105.5
Gambar 11 Kontrol PID dengan input eror posisi sudut dan kecepatan
sudut
Gambar 12 Kontrol PID dengan penyesuaian gain posisi dan kecepetan
sudut
KP_v[2] = 255.5
KP[3] = 105.5
KP_v[3] = 255.5
(18)
Dua komponen torsi pasif sudah terkontrol dengan baik.
Posisi tubuh bagian bawah dapat tahan berdiri, dengan mengkontrol
torsi aktif yang ditentukan oleh input eror posisi dan kecepatan
sudut. Komposisi gain diatas merupakan nilai maksimum untuk
menghasilkan simulasi sistem yang optimal. Bila gain posisi sudut
dinaikkan untuk mempercepat kestabilan sistem, gain kecepatan
sudut juga harus diganti sesuai komposisi untuk meminimalkan
osilasi, tetapi sistem menjadi tidak stabil.
Untuk pengujian trajectory dari posisi berdiri menuju ke
posisi duduk, nilai set point hip dan knee diganti sebesar 80°.
Gambar 13 menunjukkan simulasi trajectory berjalan tanpa
gangguan. Dengan set point bernilai 80°, animasi sudah
mewakilkan posisi duduk dan merupakan batas maksimum untuk
mempercepat waktu steady state.
Bila set point dinaikkan diatas 80°, sudut hip dan knee saat
steady state terdapat offset kurang lebih 5°, yang butuh waktu
sangat lama untuk menuju set point. Periode transisi dari berdiri
menuju duduk sekitar 1000 milisekon.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Gambar 12 Simulasi trajectory dari posisi berdiri menuju duduk
Gambar 13 Simulasi trajectory dari posisi duduk menuju berdiri. Untuk
simulasi dari duduk menuju berdiri, set point hip dan knee diberi nilai 89°.
Perubahan posisi duduk ke berdiri dimulai dari iterasi ke – 3500 dan periode
transisi sekitar 800 milisekon
4.3 Pengujian kontroler sebagai penghasil torsi aktif
fleksor dan ekstensor
Tugas kontroler terbagi menjadi dua, untuk menggerakan
flexion, dimana gerakan mengangkat (posisi sudut lebih besar dari
keadaan sebelumnya) dan extension, gerakan menurun (posisi sudut
lebih kecil dari keadaan sebelumnya). Setelah dirancang, nilai gain
disesuaikan dengan keadaan sistem:
KP[1] := 285.5;
KP1[1] := 285.5
KP_v[1] := 255.5;
KP_v1[1] := 255.5;
KP[2] := 155.5;
KP1[2] := 155.5;
KP_v[2] := 255.5;
KP_v1[2] := 255.5;
KP[3] := 25.5;
KP1[3] := 5.5;
KP_v[3] := 255.5;
KP_v1[3] := 255.5;
(19)
KP1 dan KP_v1 adalah gain posisi dan kecepatan sudut untuk
torsi ekstensor; sedangkan KP dan KP_v untuk torsi fleksor. Sistem
yang didapat lebih ‘kasar’, karena rancangan kontroler lebih
kompleks, sehingga dibutuhkan penyesuaian komposisi gain untuk
torsi fleksor maupun torsi ekstensor sesuai dengan karakteristik dari
torsi pasif sistem.
4.4 Pengujian kontroler sebagai penghasil aktivasi
motorik otot
Gambar 14 Diagram blok kontroler sebagai penghasil aktivasi motorik otot
Pengujian berikut ini adalah langkah terakhir untuk
mendapatkan sinyal output yang disesuaikan dengan karakteristik
FES, pulsa listrik dengan amplitudo sama, periode dan durasi pulsa
yang berbeda terhadap waktu. Pada gambar 14, untuk setiap segmen
terdapat 4 kontrol PID, yang berfungsi untuk mengatur:
- Posisi sudut fleksor
- Kecepatan sudut fleksor
- Posisi sudut ekstensor
- Kecepatan sudut ekstensor
Keempat kontrol PID akan dijumlahkan untuk menghasilkan
keluaran sinyal aktivasi otot. Sehingga, total kontrol PID berjumlah
12 buah yang harus ditentukan komposisi gain-nya.
Pada pengujian sebelumnya, gain untuk kontrol Integral dan
Derivative ditentukan melalui trial & error. Karena semakin banyak
jumlah kontrol PID pada pengujian ini, guna mengurangi kerumitan
dan butuh waktu untuk penyesuaian gain satu per-satu, maka
digunakan metode tuning Ziegler-Nichols. Berikut tabel jenis
kontrol yang dipakai dengan gain yang ditentukan:
Tabel 2 Metode Ziegler-Nichols[9]
Jenis
Kontrol Kp Ki Kd
P Kc / 2 - -
PI Kc / 2.2 1.2KcdT / Pc -
PID 0.60Kc 2KcdT / Pc KpPc / (8dT)
Untuk men-tuning kontrol PID, dibawah merupakan langkah-
langkahnya:
1. Nilai Ki dan Kd diubah ke 0, sehingga sementara kontroler
berubah menjadi jenis kontrol P. Nilai Kp disesuaikan
dengan tabel 2.
2. Nilai Kc diubah sampai eror kontrol terdapat pola osilasi
dan sistem stabil (konvergen).
3. Nilai Pc diubah sesuai periode terjadinya osilasi satu kali.
4. Nilai Ki dan Kd diubah sesuai dengan tabel 2, menggunakan
jenis kontrol PID.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Bagian pertama kali yang perlu dikontrol pada kaki adalah
ankle. Posisi ankle pada kaki terletak di paling bawah, sehingga
berpengaruh terhadap posisi knee dan hip. Demikian sebaliknya,
posisi knee dan hip mempengaruhi kestabilan ankle. Maka dari itu,
bagian yang menentukan posisi knee dan hip dimatikan dahulu.
Bagian pertama kali yang perlu dikontrol pada kaki adalah
ankle. Posisi ankle pada kaki terletak di paling bawah, sehingga
berpengaruh terhadap posisi knee dan hip. Demikian sebaliknya,
posisi knee dan hip mempengaruhi kestabilan ankle. Maka dari itu,
bagian yang menentukan posisi knee dan hip dimatikan dahulu.
Set point masing-masing segmen diberi nilai 1.1°.
Menggunakan langkah pada tabel 2, didapatkan gain sebagai
berikut:
Kc[1] = 60.5
Kc1[1] = 150.5
Kc_v[1] = 65.5
Kc_v1[1] = 150.5
Pc[1] = 0.01
Pc1[1] = 0.008
Pc_v[1] = 0.011
Pc_v1[1 = 0.009
(20)
Kc adalah critical gain, yang menyebabkan sistem stabil.
Komposisi gain sistem berubah lagi karena dipengaruhi adanya
model otot pada simulasi. Pc, Pc1 adalah Periode critical gain untuk
posisi sudut fleksor dan ekstensor, sedangkan Pc_v, Pc_v1 adalah
periode critical gain untuk kecepatan sudut fleksor dan ekstensor.
Gambar 15 Simulasi tuning ankle dengan kontroler PID. ankle pada iterasi
sekitar 560 mencapai steady state. Sistem menjadi lebih stabil dimana osilasi
terminimalisir
Selanjutnya, melakukan tuning knee dan bagian yang
menentukan posisi hip serta ankle dimatikan. Hasil gain didapat:
Kc[2] = 30.5
Kc1[2] = 95.5
Kc_v[2] = 45.5
Kc_v1[2] = 65.5
Pc[2] = 0.007
Pc1[2] = 0.008
Pc_v[2] = 0.01
Pc_v1[2] = 0.008 (21)
Gambar 16 Simulasi tuning knee dengan kontroler PID. Tampak pada
grafik bagian kiri, eror masih berosilasi tetapi bernilai kecil, disebabkan
pengaruh dari posisi ankle
Langkah berikutnya men-tuning hip,didapatkan gain bernilai:
Kc[3] = 55.5
Kc1[3] = 60.5
Kc_v[3] = 60.5
Kc_v1[3] = 100.5
Pc[3] = 0.01
Pc1[3] = 0.011
Pc_v[3] = 0.011
Pc_v1[3] = 0.007
(22)
Gambar 17 Simulasi tuning ankle dengan kontroler PID. Sama
seperti knee, pada grafik bagian kiri, eror masih berosilasi, disebabkan
pengaruh dari posisi ankle dan knee
Untuk simulasi trajectory, kontroler butuh penyesuaian lebih
lanjut. Pada posisi berdiri, kerja otot tidak seberat saat keadaan
bergerak, yaitu perubahan ke posisi duduk dan kembali ke posisi
berdiri. Sehingga, gaya otot maksimum (Fmax, gambar 14) perlu
dikalikan sesuai jumlah otot yang teraktivasi dan perubahan gain
untuk mengendalikan perubahan gaya otot maksimum.
Berikut nilai gaya otot maksimum dalam posisi berdiri:
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) = 1100
fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) = 1100
fmax[2] (Vastus/knee flexor) = 7300
fmax2[2] (Biceps Femoris Short/knee extensor) = 1000*7
fmax[1] (Tibia/ankle flexor) = 1650
fmax2[1] (soleus/ankle extensor) = 2150
(30)
Untuk transisi posisi berdiri ke posisi duduk, nilai gaya otot
maksimum adalah sebagai berikut:
fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) =1100*6
fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) =1100*5
fmax[2] (Vastus/knee flexor) =7300*4
fmax2[2] (Biceps Femoris Short/knee extensor) =1000*30
fmax[1] (Tibia/ankle flexor) =1650*70
fmax2[1] (soleus/ankle extensor) =2150*20
(31)
dan perubahan gain yang terjadi adalah:
Kc[2] = 1.5
Kc_v1[2] = 150.5
Kc[3] = 15.5
Kc1[3] = 40.5
Kc_v[3] = 10.5
Kc_v1[3] = 150.5
(32)
Kc_v1[2] dinaikkan untuk memperlambat proses transisi dan
Kc[2] diturunkan untuk mempertahankan posisi knee sesuai nilai set
point. Begitu juga, Kc_v1[3] dinaikkan untuk memperlambat proses
transisi dan Kc[3], Kc1[3] Kc_v[3] disesuaikan untuk kestabilan
posisi ankle.
Nilai set point hip dan knee diubah menjadi 60° dan 75°, yang
merupakan batas maksimum dan sudah mewakilkan posisi duduk.
Bila set point dinaikkan, hip dan knee akan menghasilkan offset.
Posisi setiap sendi yang menghubungkan antar segmen sangat
berperan dalam kestabilan sistem. Hal tersebut adalah faktor yang
menyebabkan adanya batasan maksimum pada set point.
Pada gambar 18, terlihat sistem dapat mempertahankan posisi
duduk. Range osilasi posisi sudut untuk menahan posisi duduk pada
hip, knee, ankle berkisar kurang lebih 6°, 1°, 2°. Transisi dimulai
saat iterasi ke 380 dan periode transisi sebesar 500 milisekon.
Gambar 18 Simulasi trajectory berdiri menuju duduk
Untuk transisi posisi duduk ke posisi berdiri, nilai gaya otot
maksimum adalah sebagai berikut:
fmax[3] (Iliopsoas/hip flexor) =1100
fmax2[3] (Gluteus Maximus/hip extensor) =1100*4
fmax[2] (Vastus/knee flexor) =7300*3.5
fmax2[2](Biceps Femoris Short/knee extensor) =1000*23
fmax[1] (Tibia/ankle flexor) =1650*70
fmax2[1] (soleus/ankle extensor) =2150*40
(33)
Nilai fmax2[3] dan fmax2[1] berubah saat knee berada
pada posisi 40° Sesaat sebelum posisi berdiri, ketika hip
mencapai posisi 4°, nilai gaya otot maksimum dikembalikan
semula, yaitu saat posisi berdiri. Perubahan gain juga
dikembalikan saat posisi berdiri.
Pada gambar 19, transisi duduk menuju berdiri dimulai
saat iterasi ke 2004 dan periode transisi kurang lebih sebesar
900 milisekon. Periode transisi duduk menuju berdiri
membutuhkan durasi waktu lebih lama dibandingkan periode
transisi berdiri menuju duduk. Hal tersebut disebabkan
pemberian nilai set point knee dan hip tidak secara
bersamaan. Pada grafik eror kontrol atau posisi sudut
(gambar 19), hip mengalami perubahan drastis setelah knee
mencapai posisi 40°. Tujuan pemisahan pemberian set point
yaitu untuk menghasilkan kontrol feedback yang optimal.
Gambar 19 Simulasi trajectory duduk menuju berdiri
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan penulis dari hasil perencanaan,
pembuatan serta pengujian alat Tugas Akhir ini adalah sebagai
berikut :
1. Metode kontrol closed loop PID dapat diterapkan pada FES
untuk sistem aktivasi motorik otot.
2. Untuk mendapatkan output yang optimal, kontrol PID
membutuhkan dua input, yaitu posisi dan kecepatan sudut.
Proceeding Seminar Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro FTI-ITS
Kecepatan sudut mengatur osilasi output, dan posisi sudut
dikendalikan untuk menentukan jalur output.
3. Pengujian simulasi kontrol torsi aktif menghasilkan output
sempurna dibandingkan pengujian simulasi kontrol aktivasi
motorik otot, karena adanya penambahan model otot.
4. Model otot yang digunakan hanya monoarticular. Gaya yang
dihasilkan otot biarticular dapat terkompensasi dengan mengatur
nilai gaya maksimum otot.
5. Set point maksimum hip dan knee untuk transisi posisi berdiri
menuju duduk adalah 60° dan 75°, dimana set point sudah
mewakilkan posisi duduk.
DAFTAR PUSTAKA [1] Prasetyo, Eka Adi, “Disain Pengendali Adaptive Neuro Fuzzy
Inference System pada Sistem Restorasi Motorik dengan
Functional Electrical Stimulation”, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Bab 2, 2011.
[2] Arifin, Achmad, ”Handout Kuliah Pemrosesan Sinyal
Instrumentasi dan Biomedik”, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, 2011.
[3] Nordin, M. and Victor H. F., “Basic Biomechanics of the
Musculoskeletal - Third Edition”, Lippincott Williams &
Wilkins, Ch. 6, 2001..
[4] Jo, Sungho, “Application of a model of cerebellar function to
the maintenance of human upright posture”, Massachusetts
Institute of Technology, 2001.
[5] Ozkaya, Nihat and Margareta Nordin, “Fundamentals of
Biomechanics: Equilibrium, Motion, and Deformation –
Second Edition”, Springer, 1999.
[6] Press, W.H. et al, “Numerical Recipes: The Art of Scientific
Computing – Third Edition”, Cambridge University Press,
New York, Ch. 17, 2007.
[7] Aoi et al, “Evaluating functional roles of phase resetting in
generation of adaptive human bipedal walking with a
physiologically-based model of the spinal pattern generator”,
Kyoto Universtiy, Kyoto, 2008.
[8] Paul Van Dinther, “GLScene Training”
http://sourceforge.net/projects/glscene/>, September, 2010.
[9]
[10]
Co, Tomas, "Ziegler-Nichols Closed Loop Tuning", Michigan
Technological University, February, 2004.
Ogihara, N. and Nobutoshi Y., ”Generation of human bipedal
locomotion by a bio-mimetic neuro-musculo-skeletal model”,
Keio University, Juni, 2000.
BIODATA PENULIS
Kevin Nyoman Putra, lahir pada 20
Oktober 1989 di Surabaya. Pendidikannya
diawali di SDKMaria Fatima Jember sampai
kelas dua dan di SDK Notre Dame Jakarta,
kemudian melanjutkan di SLTP Angelus Custos
Surabaya, SMAK Frateran Surabaya dan lulus
tahun 2007.
Kemudian melanjutkan pendidikan di Teknik Elektro ITS
bidang studi Elektronika. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di
berbagai kepanitiaan di ITS dan aktif di dalam lab. Elektronika.
Selain itu penulis juga aktif dalam program kreatifitas mahasiswa
dan mendapatkan juara tiga Lomba Cipta Elektronik Nasional 2010.
a