11
Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif PENGEMBANGAN WISATA BELANJA KE ARAH AKTIVITAS LEISURE KREATIF Rosita Dosen Program Studi Manajemen Resort dan Leisure Abstrak Wisata belanja merupakan salah satu aktivitas leisure yang dapat menjadi bagian dari kegiatan wisata atau justru menjadi fokus kegiatan wisata itu sendiri. Wisatawan datang ke tempat wisata, membelanjakan uangnya, mendapatkan barang yang diinginkan, dan kembali pulang. Seiring waktu dan perubahan tren, pilihan akan berbagai destinasi wisata belanja pun semakin beragam. Ke arah mana sebaiknya pengembangan wisata belanja dilakukan? Wisata belanja modern sebenarnya dapat dikembangkan menjadi sebuah aktivitas leisure yang positif, yang tidak hanya mengacu pada pemuasan wisatawan dengan penyediaan sarana dan prasarana tapi juga pada pengembangan aktivitas leisure yang dapat menunjang peningkatan kualitas hidup wisatawan dengan memasukkan unsur kreatif di dalamnya. Keywords : Wista Belanja, Leisure, Kreativ Definisi leisure Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana leisure didefinisikan. Sebelum masuk pada perbedaan pendapat itu, sangat penting untuk memisahkan leisure dari kata yang hampir dekat maknanya yaitu rekreasi. Sederhananya, rekreasi dapat dipahami hanya sebagai aktivitas atau pengalaman saja, sedangkan leisure dapat dipahami sebagai hasil (output) dari aktivitas atau pengalaman itu. Di sinilah kekuatan dan potensi leisure dapat dilihat. Masuk pada perbedaan pendapat bagaimana leisure didefinisikan, meskipun memiliki definisi yang berbeda-beda namun sebenarnya satu sama lain saling berkaitan. Secara umum leisure didefinisikan dalam tiga cara yaitu: leisure dalam pemahaman waktu, aktivitas, dan state of mind (Mannell & Kleiber, 1997;Russel, 2004 dalam Hegarty, 2008). 1) Leisure dalam pemahaman waktu. Leisure dalam pemahaman ini adalah waktu yang lepas dari berbagai kewajiban, pekerjaan baik diupah maupun tidak, dan tugas- tugas lain yang diperlukan untuk hidup seperti makan, tidur, dan lain- lain. Seperti misalnya waktu seusai kerja bagi para buruh, akhir minggu bagi pegawai kantor, siang hari untuk pekerja shift malam, atau waktu istirahat bagi para pelajar.

Pengembangan Wisata Belanja Ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pengembangan Wisata Belanja Ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

Citation preview

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    PENGEMBANGAN WISATA BELANJA KE ARAH AKTIVITAS LEISURE KREATIF

    Rosita

    Dosen Program Studi Manajemen Resort dan Leisure

    Abstrak Wisata belanja merupakan salah satu aktivitas leisure yang dapat menjadi bagian dari kegiatan wisata atau justru menjadi fokus kegiatan wisata itu sendiri. Wisatawan datang ke tempat wisata, membelanjakan uangnya, mendapatkan barang yang diinginkan, dan kembali pulang. Seiring waktu dan perubahan tren, pilihan akan berbagai destinasi wisata belanja pun semakin beragam. Ke arah mana sebaiknya pengembangan wisata belanja dilakukan? Wisata belanja modern sebenarnya dapat dikembangkan menjadi sebuah aktivitas leisure yang positif, yang tidak hanya mengacu pada pemuasan wisatawan dengan penyediaan sarana dan prasarana tapi juga pada pengembangan aktivitas leisure yang dapat menunjang peningkatan kualitas hidup wisatawan dengan memasukkan unsur kreatif di dalamnya. Keywords : Wista Belanja, Leisure, Kreativ Definisi leisure

    Terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana leisure didefinisikan. Sebelum masuk pada perbedaan pendapat itu, sangat penting untuk memisahkan leisure dari kata yang hampir dekat maknanya yaitu rekreasi. Sederhananya, rekreasi dapat dipahami hanya sebagai aktivitas atau pengalaman saja, sedangkan leisure dapat dipahami sebagai hasil (output) dari aktivitas atau pengalaman itu. Di sinilah kekuatan dan potensi leisure dapat dilihat.

    Masuk pada perbedaan pendapat bagaimana leisure didefinisikan, meskipun memiliki definisi yang berbeda-beda namun sebenarnya satu sama lain saling berkaitan.

    Secara umum leisure didefinisikan dalam tiga cara yaitu: leisure dalam pemahaman waktu, aktivitas, dan state of mind (Mannell & Kleiber, 1997;Russel, 2004 dalam Hegarty, 2008).

    1) Leisure dalam pemahaman

    waktu. Leisure dalam pemahaman ini

    adalah waktu yang lepas dari berbagai kewajiban, pekerjaan baik diupah maupun tidak, dan tugas-tugas lain yang diperlukan untuk hidup seperti makan, tidur, dan lain-lain. Seperti misalnya waktu seusai kerja bagi para buruh, akhir minggu bagi pegawai kantor, siang hari untuk pekerja shift malam, atau waktu istirahat bagi para pelajar.

  • Jadi leisure dalam pemahaman ini dapat diukur dalam hitungan menit, jam, hari, minggu, bahkan tahun dalam kasus para pensiunan. Waktu leisure adalah waktu sisa (residual) atau waktu luang. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa leisure adalah penggunaan waktu luang yang konstruktif, sedangkan kebanyakan pendapat memandangnya sebagai waktu luang biasa di luar kerja. 2) Leisure dalam pemahaman

    aktivitas Leisure juga dapat dipandang

    sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang dalam waktu luangnya. Aktivitas tersebut tidak berorientasi kerja atau yang tidak melibatkan pekerjaan-pekerjaan keseharian seperti membersihkan rumah, istirahat, tidur dan semacamnya. Relaksasi, membaca untuk kesenangan, meditasi, menonton film, dan bermain ski dapat dikategorikan sebagai aktivitas-aktivitas leisure. Sebagai aktivitas, leisure sering dikenal dengan sebutan rekreasi. Definisi dalam pemahaman ini tidak terlalu memberikan perhatian pada bagaimana perasaan seseorang ketika melakukan aktivitas-aktivitas itu. Hal ini menunjukkkan bahwa bebrapa aktivitas tertentu bisa dikatakan sebagai leisure karena aktivitas tersebut dilakukan pada waktu di luar kerja dan tidak terkait dengan tugas-tugas keseharian. Tapi,

    seperti banyak diperdebatkan, sangat sulit menentukan atau membuat daftar aktivitas yang semua orang setuju bahwasannya aktivitas tersebut adalah leisure. Bagi sebagian orang beberapa aktivitas dapat disebut sebagai aktivitas leisure, tapi ternyata tidak demikian untuk sebagian yang lain. Karena itu dengan definisi ini garis batas antara aktivitas kerja dan leisure menjadi tidak jelas. 3) Leisure dalam pemahaman state

    of mind Tidak seperti definisi leisure

    dalam pemahaman waktu dan aktivitas, definisi ini lebih subjektif dalam hal bagaimana seseorang menganggap atau memiliki persepsi tentang aktivitas yang dilakukannya. Jadi seseorang dapat mendefinisikan apa itu leisure bagi dirinya sendiri. Definisi dalam pemahaman ini menyajikan definisi internal yang bukan merupakan definisi dari pihak luar seperti dari para pakar atau peneliti. Memang seseorang bisa saja merasa aktivitas di waktu luangnya adalah leisure sedangkan seseorang yang lain menyatakan tidak untuk aktivitas yang sama. Meskipun definisi dalam pemahaman ini sangat subjektif dan sulit untuk dipaparkan, namun dapat dipergunakan dalam mempelajari fenomena leisure itu sendiri, misalnya melalui kaca mata psikologi sosial (Mannell and Kleiber, 1997 dalam Hegarty). Menurut John Neulinger (1974)

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    kunci untuk mengidentifikasi leisure adalah kebebasan, motivasi intrinsik dan pemerolehan dari pengalaman leisure itu sendiri.

    Kebebasan mengacu pada adanya kemampuan seseorang untuk memilih aktivitas atau pengalaman yang diinginkannya, serta lepas dari kewajiban lain. Seperti layaknya memiliki kebebasan untuk bertindak tanpa adanya kontrol dari pihak lain. Kebebasan juga berarti ketiadaan akan restriksi (larangan) untuk mengambil peran. Syarat kedua dari pemahaman ini adalah adanya motivasi intrinsik. Hal ini berarti bahwa seseorang itu terdorong untuk melakukan sesuatu dari dalam dirinya. Seseorang tersebut tidak terpengaruh oleh faktor eksternal seperti orang lain atau adanya imbalan. Pemerolehan juga dianggap penting dalam pemahaman leisure ini. Hal ini sebenarnya sulit untuk dipaparkan, namun Neulinger memberikan contoh tentang sebuah permainan di mana anak-anak diminta untuk menemukan bungkusan hadiah di tempat tersembunyi. Salah seorang anak mungkin memandang bungkusan hadiah sebagai capaian atau pemerolehan, kemudian ia memutuskan untuk berhenti bermain. Di sisi lain, salah seorang anak yang lain mungkin memandang permainan sebagai pemerolehan, bukan bungkusan hadiahnya. Dia mungkin akan menyembunyikan bungkusan hadiah yang

    ditemukannya untuk terus bisa bermain.

    Jadi memang, apa yang menjadi pengalaman leisure bagi seseorang mungkin bukan merupakan pengalaman leisure bagi orang lain. Untuk definisi leisure dalam pemahaman ini, Godbey, ilmuwan bidang Pendidikan Leisure mendefinisikan leisure sebagai berikut:

    Living in relative freedom from the external compulsive forces of ones culture and physical environment so as to be able to act from internally compelling love in ways which are personally pleasing, intuitively worthwhile, and provide a basis for faith. Bagian awal dari definisi di atas

    Godbey menyatakan living in relative freedom. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menyatakan terdapat dua kebebasan, yaitu kebebasan untuk dan kebebasan dari. Kebebasan dari mengacu pada kebebasan dari ketidakleluasaan secara fisik seperti tugas, kerja, atau aktivitas harian seperti merawat diri, dan juga ketidaklaluasaan secara budaya seperti stigma dan stereotype. Kebebasan untuk mengacu pada kebebasan individu untuk memilih apa yang mau dilakukannya. Karena itu, leisure merupakan pengalaman dua lipatan yang tidak hanya membutuhkan kebebasan dari ketidak-leluasaan, tapi juga bagi

  • masing-masing individu memiliki kebebasan untuk memilih. Memilih dari internal dirinya. Seperti seorang atlet yang berlatih setiap hari karena dorongan kecintaan terhadap olahraga yang digelutinya. Pengalaman akan sebuah leisure adalah juga tentang menemukan apa yang kita cintai. Saat seseorang menemukan dirinya mencintai sesuatu, maka seseorang itu akan dapat memilih apa yang akan dilakukannya yang secara pribadi menyenangkan dan bernilai.

    Bagi tiap individu, menemukan apa yang menurut pribadinya leisure akan membutuhkan beberapa kali usaha percobaan (trial and error), khususnya bagi individu-individu di usia remaja. Hal tersebut menjadi aspek leisure yang paling sulit diukur, sebab akan ada beberapa individu yang dapat mengidentifikasi mana yang menurutnya leisure, sedangkan sebagiannya tidak. Bahkan individu-individu yang menyadari bahwa sesuatu itu leisure bagi dirinya mungkin juga memilih untuk tidak melakukannya. Karena itu leisure merupakan sebuah proses yang melibatkan eksplorasi dan pemahaman tentang siapa kita sebagai individu. Leisure Kreatif

    Sederhananya leisure kreatif merupakan penambahan sifat pada apa yang dinamakan leisure. Jika sebelumnya definisi leisure telah dipaparkan, maka kretif yang

    merupakan sifatnya pun perlu diberikan penjelasan.

    ..."creative" refers to novel products of value, as in "The airplane was a creative invention." "Creative" also refers to the person who produces the work, as in Picasso was creative." "Creativity," then refers both to the capacity to produce such works, as in "How can we foster our employees' creativity?" and to the activity of generating such products, as in "Creativity requires hard work." (Robert W. Weisberg, 1993)

    Jika kreatif mengacu pada produk dan orang yang menghasilkan produk itu, maka kretifitas mengacu pada kapasitas untuk menghasilkan produk dan aktivitas untuk menghasilkan produk tersebut. Robert E. Franken (2007) dalam Human Motivation mendefinisikan kreatifitas sebagai tendensi untuk menghasilkan atau mengenali ide-ide, alternatif-alternatif, maupun berbagai kemungkinan yang akan bermanfaat dalam penyelesaian masalah, komunikasi dengan orang lain, serta menghibur diri atau pun orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwasannya seseorang termotivasi untuk menjadi kreatif karena tiga hal yaitu: 1. kebutuhan akan sesuatu yang

    baru, bervariasi, dan komplek 2. kebutuhan untuk

    mengkomunikasikan ide-ide

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    3. kebutuhan untuk menyelesaikan permasalahan

    Menurut Plucker,Beghetto, dan Dow (dalam The Corsini Encyclopedia of Psychology: 2010), Kreatifitas adalah:

    The interaction among aptitude, process, and environment by which an individual or group produces a perceptible product that is both novel and useful as defined within a social context.

    Meninjau beberapa definisi

    kretifitas di atas, aspek kebaharuan dan kegunaan tampaknya menjadi acuan yang umum disebutkan untuk pendefinisian kreatifitas yang tentunya terukur melalui sebuah produk yang tampak. Kebaharuan yang tidak sekedar baru, tapi harus memiliki nilai atau sesuai dengan situasi kebutuhan saat itu. Untuk disebut kreatif seseorang harus mampu melihat sesuatu dari sudut pandang yang baru atau berbeda. Mampu memikirkan kemungkinan atau alternatif yang baru, karena ukuran kreatifitas tidak hanya pada jumlah kemungkinan atau alternatif yang dapat dikeluarkan seseorang tapi juga pada keunikan alternatif dan kemungkinan itu. Kemampuan menghasilkan alternatif-alternatif atau melihat sesuatu secara unik tidak terjadi begitu saja, tapi terjadi karena adanya kualitas berpikir yang bebas dan fleksibel, toleran pada ambiguitas maupun pada sesuatu

    yang tidak dapat diprediksi, dan perasaan senang pada hal-hal yang belum diketahui.

    Dari paparan mengenai leisure dan kretifitas di atas, tampak adanya benang merah penghubung antara keduanya yaitu kebebasan. Kebebasan merupakan unsur penting dan syarat utama dari keduanya. Kebebasan yang membangun kehidupan tiap individu yang tentunya akan memberikan efek positif pada kehidupan masyarakat juga. Lantas, dapatkah keduanya digabungkan untuk sama-sama memberikan efek positif itu pada kehidupan? Ya, seharusnya demikian. Kita dapat memasukkan ke dalam aktivitas leisure kita ingredient penting seperti kreatifitas. Sudah semestinya para professional di bidang leisure memikirkan untuk menghasilkan dan memanaj program-program aktivitas leisure yang menawarkan pengalaman kreatif pada masyarakat. Karena aktivitas leisure dalam perencanaan dan manajemennya seharusnya lebih menempatkan perhatiannya pertama kali pada manusianya, bukan pada sumber daya, bangunan atau fasilitasnya, tapi pada keberadaan hak manusia, serta keunikan masing-masing individu (Torkildsen:2002) Wisata Belanja

    Belanja dapat menjadi bagian dari kegiatan wisata atau justru menjadi fokus kegiatan wisata itu sendiri. Aktivitas di suatu tempat

  • wisata menjadi pertimbangan pertama sebelum wisatawan memutuskan destinasi yang akan dikunjunginya. Belanja dapat menjadi motivasi wisatawan dalam memilih destinasi yang akan dikunjunginya. Bahkan dapat menjadi motivasi utama untuk sebuah kegiatan wisata. Biasanya para wisatawan memang menyempatkan diri untuk belanja selama dalam perjalanan wisatanya.

    Salah satu tujuan para wisatawan memilih aktivitas wisata belanja ini antara lain untuk mendapatkan experience budaya lokal baik melalui produk lokalnya berupa kerajinan khas dan interaksi langsung dengan pengrajin atau masyarakatnya. Hubungan antara pola belanja dengan aktivitas wisatawan singkatnya dapat digambarkan sebagai berikut:

    Wisata budaya Produk kerajinan dan kesenian lokal Wisata alam & Heritage Produk kerajinan dan kesenian lokal Wisata kota Suvenir untuk dipajang yang biasanya berlogo Aktivitas outdoor Suvenir yang terhubung dengan kegiatan outdoor

    bersangkutan Wisata belanja telah menjadi

    tren saat ini. Toko-toko dan komplek pertokoan yang memang didisain untuk wisata belanja makin meningkatkan fasilitas dan pelayanannya seperti menambahkan tempat kuliner agar wisatawan dapat memanjangkan waktu wisatanya. Program-program MICE juga memasukkan wisata belanja ke dalam jadwal tripnya. Tidak hanya itu, para penyedia sarana akomodasi dan travel pun mulai menawarkan fasilitas-fasilitas wisata belanjanya. Bandara dan pelabuhan saat ini tidak hanya menjadi lokasi transportasi tapi juga telah dikembangkan menjadi tempat wisata belanja bagi pengguna layanannya.

    Pengembangan layanan dan fasilitas ke arah wisata belanja

    sedianya memang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, namun ternyata tren wisata belanja ini telah tumbuh menjadi sebuah bentuk perjalanan wisata yang penting dan berperan pula dalam pemasaran dan promosi destinasi wisata. Jika dulu wisatawan datang ke Cirebon untuk mengunjungi keraton, tapi kini wisatawan datang untuk belanja batik Trusminya. Jika dulu wisatawan datang ke Bandung untuk melihat Gunung Tangkuban Perahu dan keindahan alamnya, tapi kini wisatawan datang untuk berbelanja busana di factory outletnya. Cirebon dan Bandung kini seakan berubah citra menjadi kota wisata belanja.

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    Wisata Belanja sebagai Aktivitas Leisure Kreatif

    Wisatawan datang ke tempat wisata, membelanjakan uangnya, mendapatkan barang yang diinginkan, dan kembali pulang. Seiring waktu dan perubahan tren, pilihan akan berbagai destinasi wisata belanja pun semakin beragam. Meskipun harga barang menjadi kunci daya tarik sebuah destinasi wisata belanja, namun kualitas dan daya tarik dari dilibatkannya juga lingkungan sekitar dapat menjadi penentu. Ketika seorang wisatawan datang ke Cirebon dengan lama tinggal yang cukup, tempat yang tidak hanya menjual produk-produk batik tapi juga menyediakan fasilitas bagi para pengunjungnya untuk mengetahui secara sederhana mengenai pembuatan batik dan dapat pula ikut serta dalam proses pembuatannya dapat menjadi pilihan yang diprioritaskan. Karena kebutuhan leisure manusia abad modern ini tidak hanya pada penggunaan waktu luang dan juga uang tapi dari kualitas pengalaman yang didapatkan. Dari kepuasan itu nanti akan ada kunjungan berulang dan perekomendasian.

    Wisata belanja modern selayaknya dikembangkan menjadi sebuah aktivitas leisure yang positif, yang tidak hanya mengacu pada pemuasan wisatawan dengan penyediaan sarana dan prasarana tapi juga pada pengembangan aktivitas

    leisure yang dapat menunjang peningkatan kualitas hidup wisatawan. Seperti disebutkan dalam The Charter for Leisure pada bulan Juli 2000 lalu bahwa, provisions for leisure for the quality of life are as important as those for health and education (Rojek 2005) leisure yang diperuntukkan meningkatkan kualitas hidup adalah sama pentingnya dengan kesehatan dan pendidikan.

    Dari hasil pengamatan penulis secara langsung, negara maju seperti di Jepang, tempat-tempat wisata belanja telah diarahkan pengembangannya untuk aktivitas leisure kreatif. Tempat wisata belanja tidak lagi menjadi sekedar toko tempat transaksi jual beli namun menjadi tempat edukasi sekaligus menjadi aktivitas wisatawannya menuangkan ide-ide kreatif. Akan ada tiga tempat yang akan penulis paparkan di sini yaitu, Iwatsuki, Warabi, dan Chichibu, ketiganya berada di perfektur Saitama.

    Iwatsuki adalah daerah tempat pengrajin boneka orang Jepang (Hina Ningyou). Boneka ini adalah boneka tradisional Jepang yang pada tradisinya diberikan kakek atau nenek kepada cucu perempuannya pada perayaan festifal anak perempuan di bulan Maret. Boneka orang ini terbuat dari kayu dengan bentuk ditel dalam berbagai macam ukuran. Kualitasnya harus sangat baik karena digunakan selama

  • bertahun-tahun bahkan puluhan tahun karena adanya kebiasaan diwariskan. Iwatsuki merupakan daerah pengrajin boneka orang Jepang yang sudah terkenal kualitasnya. Para pembeli langsung datang ke kota ini untuk mencari dan membeli boneka yang diinginkan. Toko-toko boneka berbaris di kiri dan kanan jalan mulai keluar gerbang stasiun kereta Iwatsuki. Sebagian berupa toko besar berlantai dua dengan koleksi boneka-boneka yang lebih beragam dan sebagian lagi masih berupa pertokoan kecil yang menyatu dengan rumah tinggal. Meskipun masih banyak toko-toko yang hanya menjual boneka saja, tetapi beberapa pertokoan sudah membuka lebar panggung belakang tokonya tempat para pengrajin membuat boneka. Pemilik toko telah siap memberikan informasi mengenai boneka dan proses pembuatannya kepada pengunjung yang datang. Tidak hanya itu meja kerja beserta bahan dan alat untuk membuat boneka pun tersedia untuk para pengunjung yang ingin mencoba membuat dan membeli boneka hasil karyanya sendiri. Pengunjung bebas memilih corak dan warna kain yang akan dikenakan pada boneka buatannya. Di sini pengunjung tidak sekedar datang, melihat, memilih dan membeli boneka, tapi mendapatkan informasi sejarah, proses pembuatan, dan nilai kearifan lokal yang dimiliki warga

    setempat juga pengalaman kreatif membuat bonekanya sendiri.

    Warabi, kota yang terkenal dengan kue mochinya yang khas. Mochi bening tanpa isi yang dimakan dengan bubuk kacang manis, dikenal dengan sebutan warabi mochi. Di sisi lain kota kecil Warabi terdapat komplek pertokoan oleh-oleh makanan khas Jepang yaitu opak atau dalam bahasa Jepangnya disebut Senbei. Berbeda dengan opak Indonesia yang rata-rata berukuran lebar, senbei ini berukuran lebih kecil. Berbagai macam rasa tradisional tersedia, dari yang manis, gurih, dan asin. Senbei tradisional yang masih asli adalah senbei yang dibumbui shoyu atau kecap asin. Senbei biasanya dijual dalam kemasan kotak atau plastic dengan isi yang rasanya sejenis atau beragam. Ada pula yang dijual satuan. Untuk yang dijual satuan ini toko menyediakan ruang kecil khusus yang di dalamnya terdapat alat pemanggang senbei untuk pengunjungnya mencoba memanggang senbeinya sendiri. Pengunjung bisa memberikan rasa pada senbei yang sesuai dengan seleranya. Sebelumnya pemilik toko tentu akan menjelaskan nama alat-alat yang digunakan dan fungsinya, setelah itu teknik memanggangnya. Dalam hal ini pengunjung tidak hanya dapat menikmati senbei yang dibelinya tapi juga pengetahuan tentang satu langkah proses pembuatannya dan juga pengalaman

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    kreatif membuat senbei yang akan dinikmatinya.

    Chichibu, tempat ini adalah kawasan wisata yang memanjakan pengunjungnya dengan berbagai festival tradisional hampir setiap musim. Selain itu daerah ini juga terkenal sebagai tempat pembuatan kertas tradisional Jepang yang disebut washi. Toko-toko souvenir di Chichibu dipenuhi dengan kerajinan-kerajinan tangan yang terbuat dari kertas Jepang ini, dari mulai bentuk yang orisinil kertas, gantungan kunci, boneka kertas Jepang, dan lain-lain. Salah satu toko terbesar dan terkenal di Chichibu adalah Washi no Sato yang berarti kampung halaman washi. Bangunan toko bukan merupakan bangunan utama meskipun cukup besar dan luas. Selain toko souvenir yang menjual variasi kerajinan tangan dari kertas, Washi no Sato memiliki bagunan utama bergaya arsitektur Jepang tradisional yang dijadikan museum, dan bangunan lain tempat pengunjung dapat menyaksikan secara langsung proses pembuatan kertas tradisional Jepang dan dapat pula ikut serta untuk mencoba membuatnya. Pada saat pengunjung ramai, membuat kertas tradisional Jepang dilakukan secara bergiliran, pengunjung yang harus menunggu tersebut dapat menghabiskan waktunya di toko melihat-lihat dan juga membeli berbagai kerajinan unik dari kertas atau pun bersantai menikmati keindahan arsitektur

    bangunan Jepang tempo dulu. Meskipun toko souvenir menyediakan berbagai macam kerajinan tangan yang cantik dan menarik, pengalaman dan hasil dari membuat kertas tradisional Jepang sendiri lebih memiliki arti dan nilai tersendiri bagi pengunjung.

    Di Indonesia, destinasi-destinasi wisata belanja sebenarnya memiliki peluang ini, yang bukan sekedar merupakan peluang bisnis untuk meraup sejumlah keuntungan tapi peluang untuk turut berpartisipasi meningkatkan kualitas hidup pengunjungnya baik itu masyarakat Indonesia sendiri, maupun masyarakat manca negara.

    Batik kini menjadi tren fashion bukan hanya pada masyarakat menengah saja, tapi juga pada kalangan selebritis dan juga pejabat. Motif, corak, dan warna batik pun mulai beragam. Harga dan kualitas pun bervariasi. Rasa bangga mengenakan batik pun semakin kental ketika batik ditetapkan sebagai produk budaya Indonesia oleh UNESCO. Namun sebenarnya kebanggaan mengenakan batik belum dibarengi kebanggaan pada nilai yang ada pada batik itu sendiri. Nilai warisan budaya yang terbentuk melalui serangkaian proses panjang pembuatannya. Kebanggaan pada nilai tersebut sebenarnya dapat dipadu dengan kebanggaan pada sebuah pengalaman ikut serta dan berkreasi dalam pembuatannya.

  • Lokasi belanja batik di Trusmi Cirebon misalnya. Dulu rumah-rumah pengusaha batik sekaligus juga dijadikan tempat penjualan. Kini toko-toko batik berdiri berjajar hampir di sepanjang jalan Trusmi. Bahkan Departemen store yang khusus menjual batik dan kerajinan tangan tradisional telah dibangun. Wisatawan yang datang ke kota Cirebon bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih-milih dan belanja batik di pertokoan ini. Memilih sendiri batik yang sesuai selera mungkin menjadi aktivitas leisure tersendiri, tapi waktu berjam-jam yang dihabiskan para wisatawan untuk berbelanja batik seharusnya dapat dimanfaatkan lebih dari sekedar belanja. Pelayan toko seharusnya juga menjadi pemandu yang dapat memberikan interpretasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan batik, baik itu pola, warna, cara pembuatannya dan lain-lain kepada wisatawan atau pembeli yang datang. Dari pelayan yang sekaligus menjadi pemandu itu wisatawan mendapatkan pengalaman belanja lebih. Wisatawan tidak hanya tahu batik yang dibelinya adalah batik khas Cirebon, tapi bisa mengetahui nama pola batik yang dibelinya, jenis kainnya, makna-makna warna dan gambarnya, filosofi pembuatannya dan pengetahuan lain yang dapat meningkatkan rasa dan karsanya serta kecintaan berasas pengetahuan terhadap batik itu sendiri. Tentulah

    dari sana wisatawan akan lebih senang dan tertarik untuk mengetahui secara langsung proses pembuatan batik, bahkan dapat menjadi pengalaman tak terlupakan jika mendapat kesempatan untuk ikut serta mencoba proses pembuatan itu.

    Cibaduyut dan Cihampelas, dua lokasi wisata belanja di kota Bandung yang terkenal sejak dulu. Cibaduyut terkenal dengan sepatu dan produk-produk dari kulitnya, Cihampelas terkenal dengan deretan pertokoan jeans-nya. Namun sepertinya imej itu sudah mulai luntur. Orang tidak lagi berlari ke arah Cibaduyut untuk membeli sepatu. Sepatu bisa dibeli di mal-mal besar di kota bandung bahkan dengan harga yang relatif murah dan berkualitas bagus. Cihampelas masih relatif ramai pengunjung, namun relatif sepi dari toko-toko yang khas menjual jeans. Toko-toko tersebut seperti berubah wujud jadi toko-toko baju biasa yang menjual produk fashion terbaru. Kekhasan dari sebuah lokasi belanja bisa pudar seiring waktu dengan berkembangnya lokasi belanja di tempat lain yang menjual produk serupa. Imej hanya akan menjadi sebuah sejarah dalam waktu relatif singkat jika pengembangan sebuah lokasi wisata belanja hanya ke arah bisnis untuk meraup keuntungan materi semata. Di sinilah perluanya pengembangan yang berbasis peningkatan kualitas hidup manusia,

  • Rosita : Pengembangan Wisata Belanja ke Arah Aktivitas Leisure Kreatif

    pengembangan wisata belanja yang bukan sekedar menawarkan aktivitas leisure tapi juga aktivitas kreatif bagi wisatawannya. Memberikan pengetahuan lebih tentang produk yang dijual dan juga menyediakan sarana untuk pengunjung dapat mempelajari produk yang dibelinya bahkan dapat turut serta dalam proses pembuatan ataupun berkreasi dengan produk yang dibelinya akan menjadi lebih dari sekedar pergerakan perekonomian tapi juga peningkatan kualitas hidup individu dan sosial. Bisa jadi wisatawan yang tidak hendak membeli sepatu atau pun jeans datang ke Cibaduyut dan Cihampelas untuk mencari pengetahuan tentang produk atau bahkan ingin bekreasi dengan produk yang akan dibelinya. Lokasi wisata belanja tidak hanya menjadi lokasi transaksi jual beli saja nantinya, namun dapat menjadi lokasi pertukaran dan berbaurnya beragam kreativitas individu. Era di mana individu sudah mulai memilih aktivitas leisure yang berkualitas bagi dirinya, sudah saatnya pengembangan wisata pun ke arah peningkatan kualitas hidup, bukan lagi sekedar mengarah pada

    peningkatan pendapatan dan jumlah wisatawan. Daftar Pustaka Franken Robert E. (2007), Human

    Motivation, Thomson/Wadsworth

    Godbey Geoffrey (2003), Leisure in Your Life, Venture Publishing

    Hegarty Charles Boyd (2008), The Meaning of Creative Leisure for Adults, Disertasi, Neulinger John (1974), The Psychology of Leisure, C C Thomas

    Physical Education and Recreation, Indiana University

    Rojek Chris (2005), Leisure Theory Principles and Practices, Palgrave Macmillan

    Torkildsen George (1999), Leisure and Recreation Management, E & F SPON, London and New York

    Weiner Irving B. (2010), The Corsini Encyclopedia of Psychology, Volume 1, John Wiley & Sons

    Weisberg Robert W. (1993), Creativity: beyond the myth of genius, W H Freeman & Company

    Dosen Program Studi Manajemen Resort dan Leisure