16
Pengertian Ikhlas Kamis, 10 Februari 2011 15:21:32 WIB Kategori : Bahasan : Hadits (1) PENGERTIAN IKHLAS Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ْ نَ عْ يِ بَ َ ةَ رْ يَ رُ هَ الَ ق: َ الَ قُ لْ وُ سَ رِ لهل : َ ّ نِ % َ لهل َ لاُ رُ ( ظْ * نَ ي يَ لِ % ْ مُ كِ رَ وُ صَ وْ مُ كِ ل َ وْ مَ َ وْ نِ كَ لُ رُ ( ظْ * نَ ي يَ لِ % ْ مُ كِ بْ وُ لُ قَ وْ مُ كِ ل اَ مْ عَ Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk. Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”. Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”. Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”. Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”. Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]

Pengertian Ikhlas

  • Upload
    parito

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ISLAM

Citation preview

Page 1: Pengertian Ikhlas

Pengertian IkhlasKamis, 10 Februari 2011 15:21:32 WIBKategori : Bahasan : Hadits (1) PENGERTIAN IKHLAS

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 

)ي# ع%ن# ب% ة% أ #ر% ي و#ل. ق%ال% : ق%ال% ه.ر% س. )ن: : الله) ر% % الله% إ #ظ.ر. ال %ن )ل%ى ي .م# إ .م# و% ص.و%ر)ك )ك م#و%ال

% %ك)ن# و% أ #ظ.ر. ل %ن )ل%ى ي .م# إ )ك .و#ب و% ق.ل.م# )ك %ع#م%ال  أ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. 

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”. 

Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”. 

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1] 

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Page 2: Pengertian Ikhlas

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.

SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLASMewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.

Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2] 

Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a: 

%ا .و#ب) م.ق%لhب% ي hت# ، الق.ل %ب )ي# ث #ب )ك% ع%ل%ى ق%ل #ن د)ي

Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu. 

Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].

Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]

Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]

Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]

Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. [6]

Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.” [7]

Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa,

Page 3: Pengertian Ikhlas

karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.

Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

%د%ا %ه.م و%ب %م# الله) مhن% ل .وا م%ال .ون %ك .ون% ي ب %س) ت %ح# %د%ا ي %ه.م# و%ب %ات. ل hئ ي .وا س% ب %س% )ه)م و%ح%اق% م%اك .وا ب %ان )ه) م:اك %ه#ز)ء.ون% ب ت %س# ي  

Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar : 47-48]

.م# ه%ل# ق.ل# .ك hئ %ب .ن ر)ين% ن %خ#س% #أل )ا � ب %ع#م%اال :ذ)ين% أ %ه.م# ض%ل: ال ع#ي %اة) ف)ي س% ي #ح% %ا ال #ي .ون% و%ه.م# الد�ن ب %ح#س% :ه.م# ي ن% .ون% أ ن .ح#س) #ع�ا ي ص.ن  

Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]

Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.

Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.

Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]

Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan lainnya.

Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].

Page 4: Pengertian Ikhlas

Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.

Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.

Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.

HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAINSyaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.

Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman:

%ا %ن %غ#ن%ى أ %اء) أ ك ر% ك) ع%ن) الش� ر# hع%م)ل% م%ن# ، الش � ك% ع%م%ال ر% %ش# #ه) أ #ر)ي# م%ع)ي ف)ي .ه. غ%ي #ت ك %ر% %ه. و% ت ك ر# ش)

Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].

Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

%ان% م%ن .ر)يد. ك %اة% ي ي #ح% %ا ال #ي %ه%ا الد�ن %ت .و%فh و%ز)ين #ه)م# ن %ي )ل %ه.م# إ %ع#م%ال #خ%س.ون% ف)يه%ا و%ه.م# ف)يه%ا أ .ب %ي )ك% ال %ئ و#ل. :ذ)ين% أ #س% ال %ي %ه.م# ل ف)ي ل

ة) %خ)ر% #أل : ا )ال :ار% إ )ط% الن ب %ع.وا و%ح% %اط)ل£ ف)يه%ا م%اص%ن .وا و%ب %ان .ون% م:اك %ع#م%ل ي  

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16].

Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.

Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :

•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.

Page 5: Pengertian Ikhlas

•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.

Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10] 

#س% %ي .م# ل #ك %ي %اح£ ع%ل ن %ن ج. %غ.وا أ #ت %ب � ت .م# مhن ف%ض#ال hك ب ر:  

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].

Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :

#ه.م ك% م:ن و%م)ن #م)ز. %ل )ن# الص:د%ق%ات) ف)ي ي .ع#ط.وا ف%إ #ه%ا أ ض.وا م)ن )ن ر% :م# و%إ .ع#ط%و#ا ل #ه%آ ي )ذ%ا م)ن %س#خ%ط.ون% ه.م# إ ي  

Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].

Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”

Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

%ت# م%ن# %ان .ه. ك ت %ا ه)ج#ر% #ي )د.ن .ه%ا ل #ب .ص)ي و) ، ي% %ة± أ أ #ك)ح.ه%ا ام#ر% %ن .ه. ي ت %ىم%ا ف%ه)ج#ر% )ل ر% إ #ه) ه%اج% %ي )ل إ

Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.

Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.

Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.

Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”

Page 6: Pengertian Ikhlas

Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.

Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya.

Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12]. 

IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMALDi dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.

Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya: 

%ان% ف%م%ن# و%اح)د£ ج.وا ك %ر# )ق%آء% ي hه) ل ب %ع#م%ل# ر% #ي � ف%ل ا ع%م%ال )ح� ر)ك. ص%ال .ش# %ي %اد%ة) و%ال )ع)ب hه) ب ب %ح%د�ا ر% أ  

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ”.

Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

)ن: % الله% إ %ل. ال %ق#ب : الع%م%ل) م)ن% ي )ال %ان% م%ا إ %ه. ك � ل )صا ال .غ)ي% و% خ% #ت )ه) اب ه.ه. ب و%ج#Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8]. 

Page 7: Pengertian Ikhlas

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]_______Footnote[1]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17), Cet. Darul Fikr; Madarijus Salikin (II/95-96), Cet. Darul Hadits Kairo; Al Ikhlas, oleh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hlm. 16-17, Cet. III, Darul Nafa-is, Tahun 1415 H; Al Ikhlas Wasy Syirkul Asghar, oleh Abdul Lathif, Cet. I, Darul Wathan, Th. 1412 H.[2]. Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (I/17); Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (I/70).[3]. Jami’ul Ulum Wal Hikam (I/70).[4]. Ibid. (I/71).[5]. Madarijus Salikin (II/95).[6]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.[7]. Madarijus Salikin (II/96).[8]. Tazkiyatun Nufus, hlm. 15-17.[9]. Lihat hadits yang semakna dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib (I/153-155); At Tarhib Min Ta’allumil Ilmi Lighairi Wajhillah Ta’ala, hadits no. 105-110; dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.[10]. Ada beberapa amal lain yang mirip dengan contoh di atas, seperti:• Menunaikan ibadah haji dan umrah, disamping bertujuan ibadah, juga untuk bertamasya (tour).• Mendirikan shalat malam, tujuannya supaya lulus ujian, usahanya berhasil dan lainnya.• Berpuasa, agar tidak boros dan tidak disibukkan dengan urusan makan.• Menjenguk orang sakit, agar ia dijenguk pula bila ia sakit.• Mendatangi walimah nikah, agar yang mengundang datang bila diundang.• I’tikaf di masjid, supaya ringan biaya kontrak (sewa) tempat, atau untuk melepas kepenatan mengurus keluarga.Apapun yang mendorongnya, semua pekerjaan yang tujuannya taqarrub, akan menjadi berkurang nilainya dan bisa jadi terhapus. Wallahu a’lam. (Pen).[11]. Sunan Abu Dawud, Kitabul Jihad, Bab Fi Man Yaghzu Yaltamisud Dunya, no. 2516. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2196.[12]. Majmu’ Fatawaa wa Rasa-il, I/98-100, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Tartib Fahd bin Nashir bin Ibrahim As Sulaiman, Cet. II Darul Wathan Lin Nasyr, Th. 1413 H.[13]. Lihat At Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu, Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. III, Darus Salafiyyah, Th. 1405 H.[14]. Tafsir Ibnu Katsir (III/120-121), Cet. Maktabah Darus Salam

Tiga Ciri Orang IkhlasMochamad Bugi 3 Mei 2008 Tazkiyatun Nufus Ada 107 komentar 232.327 Hits

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Page 8: Pengertian Ikhlas

Ilustrasi

dakwatuna.com – Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah,

kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan,

berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan

segera.

Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati

yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,

tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah

bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka

seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-

Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,”

Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”

Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal

segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini:

ikhlas.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak

ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,

Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak

disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup

bagimu amal yang sedikit.”

Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah

engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan

ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”

Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi,

“Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik

amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).

Page 9: Pengertian Ikhlas

Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima.

Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan

benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”

Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.

Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau

berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka

itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”

Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan

seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.”

Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah

mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah

mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka

orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan

menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.

Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa

menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.

Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-

kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan.

Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah

keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan

tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak

nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.

Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,

perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa

melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan

demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah:

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter

seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas

mengisi hidupnya.

Buruknya Riya

Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan

mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat

atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya

orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka

berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di

hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”

Page 10: Pengertian Ikhlas

Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu

syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika

membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah,

apakah kamu mendapatkan balasannya?'” (HR Ahmad).

Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah

melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak,

semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw.,

“Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia,

maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:

1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau

bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang

yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang.

Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”

Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan

melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat

kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.

Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang

munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya.

Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada

Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta

dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan

meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir,

dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari

mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang

di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya

seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama

dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika

sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)

Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.

Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri

atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah

Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.

3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan

terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika

terlaksana oleh tangannya.

Page 11: Pengertian Ikhlas

Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka

senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan

mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam,

bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Redaktur: Saiful Bahri

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/05/03/582/tiga-ciri-orang-ikhlas/#ixzz3dAZMSG00 Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Pengertian Ikhlas

Page 12: Pengertian Ikhlas

Ikhlas menurut bahasa adalah tulus hati, membersihkan hati dan memurnikan niat. Sedangkan menurut istilah berarti mengerjakan amal ibadah dengan niat hanya kepada Allah untuk memperoleh ridha-Nya. Pengertian lain adalah mentauhidkan dan mengkhususkan Allah sebagai tujuan dalam berbuat taat kepada aturan-Nya. Melalui pemahaman tersebut, tersimpul bahwa ikhlas merupakan syarat mutlak diterimanya amal. Perhatikannlah Q.S Al Bayyinah 98 : 5 berikut :

!$tBur (#ÿrâ �ÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$#tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ

Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Setiap perbuatan manusia dimulai dari gerak hati atau niatnya, karena yang ahrus diluruskan pertama kali agar tercapai derajat mukhlisin adalah titik awal dari gerak atau niat manusia.

Melalui niat yang baik, menjadi awal perbuatan baik. Begitu pula niat yang ikhlas, akan mengantarkan ke perbuatan yang ikhlas pula. Bila tingkatan yang terkahir ini mampu dicapai manusia, maka akan muncul adalah kebersihan hati dan ketulusan jiwa, sehingga tidak ada satu pekerjaan pun yang dirasakan sebagai beban.

)ي# ع%ن# ب% ة% أ #ر% ي و#ل. ق%ال% : ق%ال% ه.ر% س. )ن: : الله) ر% % الله% إ #ظ.ر. ال %ن )ل%ى ي .م# إ .م# و% ص.و%ر)ك )ك م#و%ال

% %ك)ن# و% أ #ظ.ر. ل %ن )ل%ى ي .م# إ )ك .و#ب ق.ل

.م# و% )ك %ع#م%ال أ  

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya.

Page 13: Pengertian Ikhlas

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.