Upload
alitamarta
View
638
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pelaksanaan tugas untuk mengatur dan melayani masyarakat,
aparat pemerintah dapat mengeluarkan suat keputusan tata usaha negara. Suatu
keputusan tata usaha negara untuk mendapatkan kedudukan yang kokoh dalam
hukum harus memenuhi syarat- syarat keabsahan keputusan tata usaha negara.
apabila suatu keputusan tata usaha negara tidak memenuhi syarat- syarat yang
terkait dengan keabsahan suatu keputusan tata usaha negara maka kedudukan
hukum keputusan tata usaha negara tersebut tidak kokoh atau dengan kata lain
dapat mengalami kebatalan.
Pada praktik pelaksanaan fungsi mengatur dan fungsi pelayanan kepada
masyarakat, dimungkinkan suatu keputusan tata usaha negara tidak memenuhi
syarat- syarat keabsahan yang diwajibkan. Dengan tidak memenuhi syarat-
syarat keabsahan yang diwajibkan maka keabsahan keputusan tata usaha negara
tersebut mejadi dipertanyakan. Dalam suatu negara hukum, perbuatan para
subjek hukum termasuk didalamnya aparat pemerintah wajib berada dalam
koridor- koridor hukum yang berlaku. Dalam kaitannya dengan keputusan tata
1
usaha negara sebagai produk peraturan yang dihasilkan oleh aparat pemerintah
maka keputusan tata usaha negara tersebut harus legal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pdaa paragraf- paragraf diatas
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah pelaksanaan asas Fonctionnaire de Fait (suatu keputusan tata
usaha negara yang tidak sah dapat tetap berlaku) dalam pemerintahan di
Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Keputusan Tata Usaha Negara
1. Definisi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata1.
2. Unsur- Unsur:
Berdasarkan rumusan definisi di atas maka dapat diuraikan unsur- unsur
suatu keputusan tata usaha negara adalah sebagai berikut:
a. Berbentuk tertulis;
b. Dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara;
1 Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3
c. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
d. Bersifat konkret, individual dan final;
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
B. Penggolongan Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan tata usaha negara dapat digolongkan/ dikategorikan sebagai berikut:
1. Dari segi bentuk:
a. Tertulis (schrift lijke beschikking).
b. Lisan (mondelinge beschikking).
2. Dari segi sifat:
a. Konstitutif.
b. Deklaratoir.
3. Dari segi kekuatan hukum:
a. Sekali berlaku untuk seterusnya/ fotografis (einmalig). Misalnya
ijazah, akta kelahiran.
4
b. Berlaku terbatas dalam waktu terentu/ temporis. Misalnya Kartu
tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM).
C. Keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
Menurut Prof. Muchsan, S.H2, suatu keputusan tata usaha negara dapat
dikategorikan sah apabila telah memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
1. Syarat materiil:
Syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan substansi atau isi
dari keputuan tata usaha negara. Syarat materiil terdiri dari:
a. Keputusan tata usaha negara dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Contoh:
Peraturan perundang- undangan berbentuk Keputusan Presiden
merupakan produk hukum yang dibuat oleh Presiden. Dalam hal
Presiden berhalangan maka Wakil Presiden tidak diperbolehkan
untuk membuat suatu produk hukum “Keputusan Wakil
Presiden”.
2 Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
5
b. Dalam proses pembuatannya, keputusan tata usaha negara tidak
mengalami kekurangan yuridis. Contoh:
Kekurangan yuridis terjadi jika terdapat paling tidak salah satu
dari hal- hal berikut:
Adanya paksaan (dwang).
Adanya kekhilafan (dwaling).
Adanya penipuan (bedrog).
c. Tujuan dari keputusan tata usaha negara harus sama dengan
tujuan peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar
pembuatan keputusan tata usaha negara tersebut. Contoh:
Ada peraturan menteri perhubungan yang menghidupkan kembali
jembatan timbang dengan salah satu tujuan keamanan dan
ketertiban lalu lintas. Petugas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya (DLLAJR) dapat membuat suatu keputusan yang
isinya memerintahkan kendaraan yang kelebihan muatan untuk
menurunkan kelebihan muatan untuk dititipkan di jembatan
timbang.
2. Syarat formil:
6
Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan bentuk dari keputusan
tata usaha negara. Syarat formil terdiri dari:
a. Bentuk keputusan tata usaha negara harus sama dengan bentuk
yang disyaratkan oleh peraturan perundang- undangan yang
menjadi dasar pembuatan keputusan tata usaha negara tersebut.
Contoh:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976
tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil, keputusan ijin cuti singkat
karena sakit cukup dengan ijin lisan dari atasan. Sedangkan untuk
ijin cuti panjang karena sakit harus dengan keputusan tertulis dari
atasan.
b. Proses pembuatan keputusan tata usaha negara harus sejalan
dengan proses yang disyaratkan oleh peraturan perudang-
undangan yang menjadi dasar pembuatan keputusan tata usaha
negara tersebut. Contoh:
Pemberian ijin tertulis untuk cuti panjang sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan huruf a diatas harus dengan surat keterangan
tertulis:
Dari dokter spesialis;
Dokter spesialis tersebut merupakan dokter pemerintah;
7
Pemeriksaan dilakukan oleh majelis dokter, bukan hanya
oleh seorang dokter saja.
c. Semua persyaratan khusus yang disyaratkan oleh peraturan
perundang- undangan yang menjadi dasar pembuatan keputusan
tata usaha negara tersebut harus dipenuhi dalam keputusan tata
usaha negara tersebut. Contoh:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 Tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), untuk jabatan
apoteker disyaratkan tidak buta warna.
D. Cacat Kehendak dalam Keputusan Tata Usaha Negara
Cacat kehendak dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu adanya paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog)3.
1. Persamaan antara paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan
(bedrog):
Merupakan suatu perbedaan antara kehendak dengan kenyataan
perbuatan.
2. Perbedaan antara paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan
(bedrog):
3 Pasal 1321 Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang- Undang Hukum Perdata)
8
a. Paksaan (dwang):
Adanya unsur eksternal yang patut diduga tidak dapat dihindari
oleh pembuat keputusan tata usaha negara. Pemahaman tentang
dwang (tekanan, paksaan) bukan dimaksudkan dengan paksaan
yang bersifat absolut dimana seseorang dipaksa sehingga tidak
bisa berbuat apa-apa. Tetapi yang dimaksud adalah paksaan
kekerasan jasmani atau ancaman yang menimbulkan ketakutan
sehingga paksaan yang demikian membuat seseorang melakukan
perjanjian4.
b. Kekhilafan (dwaling):
Kekhilafan (dwaling) dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
Sungguh- sungguh khilaf (eigenlijke dwaling):
Dalam hal terjadi eigenlijke dwaling maka semua
keputusan tata usaha negara yang dibuat dibatalkan.
Tidak sungguh- sungguh khilaf (ont eigenlijke dwaling):
Dalam hal terjadi ont eigenlijke dwaling maka sebagian
keputusan tata usaha negara tetap sah dan sebagian
lainnya dibatalkan.
4 Yudhi Setiawan, Disertasi Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) dalam Konsolidasi Tanah, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2008.
9
c. Penipuan (bedrog):
Adanya rentetan tipu muslihat yang dilakukan dengan sengaja
sehingga pembuat keputusan tata usaha negara menghasilkan
sesuai dengan keinginan/ kehendak penipu.
E. Asas Fonctionnaire de Fait
Suatu keputusan tata usaha negara yang tidak sah tetap berlaku jika memenuhi
syarat- syarat sebagai berikut:
1. Ketidak absahan nya kabur:
Ketidak absahan nya begitu samar sehingga tidak semua orang
menyadari bahwa sebenarnya keputusan tata usaha negara tersebut tidak
sah.
2. Keputusan tata usaha negara tersebut mendatangkan kemanfaatan bagi
kepentingan umum:
Dapat dikategorikan menjadi kepentigan umum jika memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Berbentuk proyek pembangunan (tidak harus pembangunan fisik)
yang dilaksanakan oleh pemerintah;
b. Hasilnya digunakan oleh pemerintah;
10
c. Penggunaannya bersifat nirlaba.
Seorang pakar hukum bernama Utrecht memberikan gambaran mengenai asas
Fonctionnaire de Fait sebagai berikut; dalam keadaaan istimewa (darurat)
pejabat yang tidak legal atau pejabat yang pengangkatannya mengandung
kekurangan masih juga dianggap pejabat legal atau pejabat yang
pengangkatannya tidak mengandung kekurangan apabila masyarakat umum
menerimanya sebagai suatu pejabat legal atau suatu pejabat yang
pengangkatannya tidak mengandung kekurangan. Perbuatan yang dilakukan
pejabat it dianggap sah. tetapi, apabila bagi umum terang bahwa pejabat tersebt
bukan pejabat legaldan juga umum tidak mau menerimanya, maka perbuatan-
perbuatan yang dilakukan pejabat itu batal sama sekali5.
Di Indonesia, contoh paling aktual dalam penggunaan asas Fonctionnaire
de Fait adalah dalam hal tidakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
mengangkat Pejabat Pelaksana Tugas Jaksa Agung (Plt) Darmono untuk
melaksanakan tugas Jaksa Agung. Tindakan Presiden tersebut dituangkan dalam
Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) 104 P/ 2010 tanggal 24
September 2010. Sampai saat ini teks Keppres tersebut tidak diumumkan di
media apa pun sehingga tidak jelas benar rincian isinya. Hal tersebut
menimbulkan keraguan akademik mengenai kewenangan Darmono tetapi sejauh
ini masyarakat secara umum tidak terlalu mempersoalkan mengenai hal tersebut.
5 Utecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm.124.
11
BAB III
PENUTUP
12
Kesimpulan
Bahwa asas Fonctionnaire de Fait digunakan dalam praktik tata pemerintahan di
Indonesia salah satunya dalam hal pengangkatan Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa
Agung Darmono untuk melaksanakan tugas Jaksa Agung.
13