Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    1/17

      1

    PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DI

    YOGYAKARTA

    Oleh Tiwuk Kusuma Hastuti

    Staf Pengajar Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS

     Abstrak: Land and its ownership pattern is a crucial factor for most people

    who live in village. Both can affect the life development of villager whether it is in

     social, economic or politic aspect as well. That is the reason why landowner want to

    keep their land foor good, if it is possible. It prevails even when the landowner faces

    the difficult finen situation.

     Key word: landowner, land tenure, socio changes.

    A.  Penguasaan Tanah Sebelum Reorganisasi Agraria

    Penguasaan tanah dalam arti milik, bermula jauh sebelum kedatangan agama

    Hindu. Dalam agama Hindu dan dalam hukum Islam tidak pernah seorang penguasa

    tanah dipandang sebagai pemilik (SeloSumardjan, 1986). Yang ada dan lebih

    menonjol dalam zaman kerajaan adalah imbalan yang bukan merupakan hak kepada

    mereka yang patuh dan tekun dalam membayar pajak yang diharuskan

    (SeloSumardjan, 1986). Atau sistem penguasaannya disebut apanage  yaitu hak

     gaduh  bagi penggarap yang diwajibkan menyerahkan hasil tanah garapan kepada

     pemiliknya, yaitu raja atau keluarganya (Roll, 1983: 49).

    Sistem penguasaan tanah feodal di atas diubah oleh pemerintah Hindia

    Belanda dari sistem feodal-raja atau sistem feodal pangeran menjadi sistem feodal-

    desa (1807). Akibatnya hubungan penguasaan tanah berubah dari hubungan antara

     penggarap dengan pemegang apanage  menjadi hubungan dengan pemerintahan

    desanya. Desa bertindak sebagai pengelola penyerahan hasil pertanian dari rakyat

    kepada pemerintah kolonial (Burger, 1977: 19, 22). Secara bertahap sistem

     penguasaan tanah feudal itu diubah menjadi land rente stelsel  (1812) di mana setiap

     penggarap tanah harus menyerahkan hasil tertentu sebagai pajak, kepada pemerintah

    kolonial. Dalam sistem tanam paksa (1830-1870) di samping petani menyerahkan

    sebagian hasil panennya, juga ada kewajiban untuk menanam jenis tanaman yang

    ditentukan oleh pemerintah. Tanam paksa ini dihapus dengan adanya Undang-Undang

    Agraria (1870) dan sistem kolonial modern ini dipertegas dengan adanya pajak hasil

     bumi (1918).

    Proses perkembangan penguasaan tanah tersebut tidak atau belum

    menciptakan hak milik sepenuhnya bagi setiap petani pemilik tanah. Peraturan

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    2/17

      2

     penyerahan hasil dan pembagian hasil tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan dan

    sampai pada sasarannya secara utuh, karena adanya tengkulak atau perantara.

    Perantara ini menarik keuntungan bagi diri sendiri dari antara petani penggarap

    dengan raja atau pangeran sebagai pemegang apanage, antara petani pemilik atau

     penggarap tanah dengan desa sebagai wakil pemerintah kolonial, dan bahkan antara

    desa dengan pemerintah sendiri (Ihalauw, 1993: 214-216).

    Penguasa tanah perorangan di pedesaan disebut petani karena berkaitan

    dengan tanah pertanian. Konsep petani (Roll, 1983: 62-63) mengandung pengertian:

     pemilikan tanah pertanian, pemilikan tanah tempat tinggal dan pekarangan, dan

     pengertian pengerjaan tanah, yaitu hubungan antara penggarap dan pemilik tanah.

    Hubungan para petani dalam penguasaan tanah semakin kompleks akibat dari

    keterbatasan tanah di antara mereka; semakin panjang atau semakin beragam

    hubungan antara pemilik dengan penggarap, maka semakin terdesak posisi penggarap

    (Ihalauw, 1993: 218). Proses penguasaan tanah meliputi pemilikan, penggarapan, dan

     pembagian hasilnya. Proses ini makin berkembang, dan oleh karena semakin

    terbatasnya tanah pertanian, maka pemilik bukan selalu penggarap tanahnya. Dapat

    terjadi pula bahwa di samping menggarap tanah sendiri seseorang juga menjadi

     penggarap tanah orang lain, baik melalui sewa maupun sakap. Sistem ini terjadi

    karena rujukan nilai yang disepakati bersama dan dilaksanakan bersama, selalu

     berulang dan selanjutnya menjadi kebiasaan (Ihalauw, 1993: 218-219).

    Petani Jawa yang memiliki sebidang tanah yang agak luas biasanya

    menyerahkan beberapa bagian dari tanah itu kepada beberapa petani lain yang

     biasanya tidak memiliki tanah, untuk digarap berdasarkan berbagai cara. Misalnya

    dengan sewa tanah, yang biasanya berlangsung lebih dari sekali panen, karena dengan

    demikian harga sewa tanah itu lebih menguntungkan daripada apabila tanah itu

    disewakan untuk hanya sekali panen saja. Namun harga sewa itu juga tergantung

     pada beberapa faktor lain, misalnya kualitas dan keadaan tanah, apakah pemiliknya

    sangat membutuhkan uang, dan hubungan antara pemilik dan penyewa, seperti yang

    lazim dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam soal sewa tanah ini lazimnya

     pemilik tanah membayar pajak atas tanahnya, dan apabila tanah itu disewakan untuk

     jangka waktu lebih dari sepuluh kali panen, maka biasanya penandatanganan kontrak

     juga disaksikan oleh pegawai pamong desa (tentu dengan imbalan juga)

    (Koentjaraningrat,1984: 170). Di Yogyakarta ada tiga cara bagi hasil yang umum

    dilakukan, yaitu maro, mertelu dan  merpat   (Scheltema, 1985).  Maro, yang

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    3/17

      3

    mengharuskan si penggarap membeli sendiri bibit, pupuk, dan membayar buruh tani,

    serta menyerahkan separoh dari hasil panen kepada si pemilik tanah. Pajak atas tanah

    ini dibayar oleh pemiliknya. Mertelu adalah cara bagi hasil dengan syarat-syarat yang

    sama dengan maro tetapi dalam hal ini penggarap tanah hanya menerima sepertiga

     bagian dari hasilnya. Dalam sistem merpat penggarap hanya memperoleh seperempat

     bagian dari hasil, tetapi ia hanya membayar buruh tani saja. Sistem merpat  dengan

    sendirinya timbul bila kebutuhan akan tanah sewa naik, dan sistem ini sekarang

    memang sudah lazim di kebanyakan desa di Jawa. Sistem maro masih terdapat juga,

    walaupun terbatas antara ayah dengan anak saja, terutama bila tanah itu merupakan

    tanah warisan yang sangat kecil sehingga sukar dibagi menjadi bagian-bagian yang

    lebih kecil lagi.

    Suatu cara penyewaan tanah dengan uang kunci yang disebut srama 

    (Adatrechtbundel xiv, 1917: 126) adalah cara yang paling merugikan si penggarap.

    Walaupun sebenarnya sistem ini dilarang menurut hukum agraria, cara ini masih

     banyak dilakukan karena kebutuhan akan tanah garapan sangat tinggi. Untuk

    mendapatkan hak menggarap sebidang tanah untuk suatu jangka waktu tertentu,

    seorang petani harus membayar sesuatu jumlah tertentu sebelumnya.

    Kecuali cara-cara penggunaan tanah tersebut di atas, masih ada sistem gadai.

    Dalam sistem ini seorang pemilik tanahlah yang berada dalam posisi yang lebih lemah

    (karena butuh uang), daripada petani yang tidak mempunyai tanah atau yang

    sebenarnya tidak butuh tanah tetapi kebetulan mempunyai uang. Seorang pemilik

    tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikerjakan sesuai harga yang

    telah disepakati, yang dibayar di muka. Si penggarap dapat mengerjakan tanah itu

    selama pemilik tanah belum membayar kembali uang yang dipinjamnya, dan panen

    yang dihasilkan merupakan bunga dari uang yang telah dipinjamkan

    (Koentjaraningrat, 1984: 171). Seorang pemilik tanah yang menginginkan uang lebih

     banyak lagi biasanya juga menyanggupi untuk bekerja sebagai buruh tani pada tanah

    yang digadaikannya itu.

    Kebutuhan akan uang pada petani sering tidak bertepatan dengan hasil tanah

     pertaniannya, baik secara waktu maupun jumlah yang dibutuhkan. Untuk

    mendapatkan uang tersebut sering petani menempuh jalan hutang dengan jaminan

    tanah ( sende atau gadai ), atau dengan cara menjual hasil sebelum dipanen (ijon), 

    menjual tanah dengan jual lepas, jual tahunan, jual oyodan  atau jual ungsuman

    (musiman). Alasan petani mengadaikan tanah dalah adanya kemungkinan untuk

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    4/17

      4

    menebus tanah, dan masih ada pengharapan untuk anak cucu (Soekasno, 1936: 407).

    Kebutuhan akan uang ini menimbulkan hubungan baru dengan pihak lain, di mana

    yang pertama dalam keadaan yang sangat mendesak, dalam posisi yang lemah. Oleh

    karena statusnya adalah hutang maka apabila dikembalikan dengan uang harus

    ditambah dengan bunga. Akan tetapi apabila dijual oyodan harganya menjadi rendah

    sekali. Makin lama tenggang waktu hutangnya, makin besar bunganya (discount) atau

    semakin rendah harga oyodannya (Ihalauw, 1993: 220).

    Lembaga sewa tanah menambah perbendaharaan sistem penguasaan tanah,

     baik sewa yang dilakukan oleh pemilik tanah maupun oleh petani yang tidak bertanah

    yang masih belum terlalu miskin. Bagi penyewa tanah ini adalah sebagai tambahan

    tanah garapannya sedang bagi yang menyewakan tindakan tersebut dilakukan karena

    terpaksa telah terlibat hutang atau terdesak oleh kebutuhan yang mendadak.

    B. Penguasaan Tanah Setelah Reorganisasi Agraria

    Kasultanan Yogyakarta terletak di pedalaman dan kehidupan ekonomi

    masyarakatnya bersumber dari hasil agraris. Tanah merupakan sarana legitimasi raja

    dalam kekuasaannya, di samping sebagai penunjang kebutuhan ekonominya.

    Kedudukan Sultan sebagai raja di Kasultanan Yogyakarta, menempatkannya sebagai

     pemilik tunggal atas tanah kerajaan. Hal ini sesuai dengan konsep tradisional Jawa,

     bahwa raja merupakan pusat segala kehidupan di dunia. Soemarsaid Moertono

    menyimpulkan bahwa raja mempunyai dua hak atas tanah. Pertama, berupa hak

     politik atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan

     batas-batas kekuasaannya, Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai

    dengan adat (Soemarsaid Moertono, 1985: 134). Selanjutnya tanah tersebut sebagian

    dibagi-bagikan kepada sentono dalem dan abdi dalem, berupa tanah lungguh sebagai

    gaji dalam membantu menjalankan pemerintahan kerajaan. Kedudukan sebagai raja

     juga memperoleh tanah untuk mencukupi rumah tangga istana yang disebut  siti

     pangrembe. Rakyat hanya sebagai penggarap tanpa memiliki hak atas tanah

    (Roll,1983).

    Lahan persawahan yang subur di daerah Vorstenlanden kebanyakan berupa

    tanah apanage  atau tanah lungguh para bangsawan dan pegawai kerajaan, yang

     pengelolaannya diserahkan kepada patuh dengan hak anggadhuh (pinjam sementara).

    Pihak perkebunan dan juga pemerintah kolonial merasa kesulitan dengan sistem

     pemilikan tanah semacam ini, karena terpecah-pecahnya letak tanah lungguh  atau

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    5/17

      5

    apanage yang dimiliki oleh bangsawan dan pejabat kerajaan. Oleh karena itu untuk

    menyatukan tanah-tanah tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan

    tentang reorganisasi agraria di daerah Vorstenlanden.

    Reorganisasi atau reformasi administrasi dan agraria dilakukan oleh

     pemerintah Hindia di daerah Vorstenlanden pada dekade 1910 dan awal 1920-an

    (Shiraishi, 1997: 24). Reorganisasi diperkenalkan oleh Belanda pada tahun 1912 dan

    selesai pada 1924. Ada empat tindakan yang diambil untuk membuat perubahan

    tersebut: (1) penghapusan sistem lungguh, (2) pembentukan desa sebagai unit

    adminstrasi, (3) pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani, dan

    (4) perbaikan aturan sewa tanah. Penghapusan tanah lungguh dilakukan pada tahun

    1917 untuk Kasultanan dan 1918 untuk Kasunanan. Pada waktu penghapusan tanah

    lungguh di Vorstenlanden Para pemegang lungguh sebagai gantinya mendapat gaji

    dan upah dalam bentuk tunai, sedangkan perkebunan dan petani harus membayar

     pajak dan sewa tanah kepada bendahara kerajaan. Bersamaan dengan hilangnyan

    tanah lungguh maka lenyap pula para bekel. Bekel dihapus dan diberikan bumi

     pituwas atau tanah pensiun.

    Reorganisasi tanah dimaksudkan agar terjadi perubahan kedudukan tanah dari

     penggarap ke pemilik individual (Suhartono, 1985: 81). Dengan demikian kedudukan

    terhadap tanah makin kuat, karena pemilik diberi kebebasan untuk berbuat apa saja,

    dijual, dikontrakkan, dan lain-lain. Dengan demikian pengertian reorganisasi tanah

    tidak hanya terbatas pada perubahan status pemilikan tanah saja, tetapi meliputi pula

     pengurangan kerja rodi, penghapusan sistem lungguh, dan penciptaan pemerintahan

    desa.

    Diadakannya reorganisasi tanah di Yogyakarta yang terjadi juga di Surakarta

    (daerah Vorstenlanden) sebenarnya ide dari pemerintah kolonial, yang bertujuan

     pertama-tama adalah merupakan salah satu jalan untuk melaksanakan penetrasi

     budaya barat sampai ke desa yang telah direncanakan sejak setelah Perang

    Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Reorganisasi tanah ini dimaksudkan agar

     pemerintah kolonial dapat berhubungan langsung sampai ke desa-desa seperti di

    daerah Gubernemen.

    Dengan dimulainya reorganisasi pada tahun 1912, khususnya untuk tanah-

    tanah apanage di daerah Vorstenlanden, maka secara struktural terjadilah perubahan

    kedudukan tanah. Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggadhuh  (pinjam

    sementara) telah dihapuskan dan hak tanah kemudian diberikan kepada petani dengan

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    6/17

      6

    hak andarbe (hak milik) secara individual. Para petani yang menerima tanah sanggan

    atau tanah pekulen adalah tiyang jaler ingkang diwasa lan kiyat   (orang laki-laki

    dewasa dan kuat bekerja) (Suhartono, 1991:100). Berubahnya kedudukan tanah

     berarti petani memiliki kebebasan terhadap tanahnya. Usaha memberikan hak milik

    tanah secara individual kepada petani, sebenarnya hanyalah merupakan suatu cara

     perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial agar lebih mudah mendapatkan

    tanah-tanah petani dengan persewaan bebas seperti di daerah-daerah yang diperintah

    langsung oleh pemerintah kolonial. Dengan reorganisasi, status tanah menjadi lebih

    dinamis akhirnya terjadi proses komersialisasi tanah, di mana tanah dapat

    diperjualbelikan, digadaikan, disewakan oleh pemiliknya. Terjadinya perubahan

    kedudukan tanah dari kedudukan statis ke dinamis menyebabkan terjadinya

    komersialisasi dan ekstraksi tanah demi kemajuan komoditi ekspor (Suhartono, 1991 :

    97).

    Meskipun reorganisasi agraria adalah menciptakan pemilikan tanah secara

    individual, karena setiap orang atau warga desa berhak atas tanah garapan, namun

    lama-kelamaan terjadi lagi pemusatan atau konsentrasi pemilikan tanah. Para elite

    desa yang mempunyai kekayaan dan wewenang, lambat laun berhasil membeli atau

    menyewa jangka panjang tanah-tanah petani pemilik sawah garapan. Di samping itu

    ekstraksi perkebunan atas tanah sawah dan tenaga kerja, juga ikut berpengaruh

    terhadap proses konsentrasi tanah, baik melalui kontrak-kontrak secara individual

    maupun kelompok.

    Dalam peraturan reorganisasi memang para petani yang mendapatkan hak

     pemilikan sawah (tanah) dilarang menjual atau memindahkan haknya kepada orang

    lain, kecuali dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat dihindarkannya, misalnya pindah

    tempat tinggal. Peraturan ini meliputi masalah adol lempung, nggadhuake, marokake,

    dan ngijokak e lebih dari satu musim tanam (Suhartono,1991: 101). Hanya saja dalam

     peraturan ini tidak disebutkan sangsi yang tegas terhadap pelanggaran, kecuali secara

    samar disebut akan dicabut hak pemilikan tanahnya. Lemahnya sangsi yang

    dikenakan pada para pelanggar ini menjadikan para petani banyak yang melakukan

     pelanggaran. Para petani pemegang sawah garapan, oleh karena sesuatu hal terpaksa

    rela melepaskan sawah garapannya kepada orang lain melalui ikatan pegadaian

    ( gadeake),  sewa-menyewa jangka panjang, maupun jual beli. Akibatnya banyak

     petani yang akhirnya rela kehilangan sawah garapannya dan hanya menjadi buruh di

    desanya sendiri.

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    7/17

      7

    Proses konsentrasi pemilikan tanah dan hilangnya tanah-tanah garapan

    kelompok petani miskin sebenarnya merupakan suatu kegagalan dari program

    reorganisasi agraria, yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan

    kesejahteraan petani kecil. Pada kenyataannya para petani kecil kehidupannya tidak

    lebih baik, malahan dapat dikatakan semakin memburuk. Kondisi semacam ini lebih

    diperburuk lagi dengan kebijakan ekstraksi lahan dan tenaga kerja oleh perusahaan-

     perusahaan perkebunan gula yang menggunakan lebih dari 40 % lahan yang ada, dan

    menyerap begitu banyak tenaga kerja produktif pedesaan.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses reorganisasi agraria tetap saja

    menguntungkan para elite desa. Mereka ini banyak yang melakukan kerja sama

    dengan pihak perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik gula untuk mendapatkan

    komisi berupa uang tunai dari para pengusaha pabrik gula dan perkebunan tebu,

    menjadikan para elite desa banyak yang mengorbankan kepentingan petani dan

    masyarakat demi memenuhi ambisi kepentingan pribadi dan pengusaha gula. Semua

    ini menunjukkan betapa besar kekuasaan perkebunan gula terhadap para petani di

     pedesaan. Banyaknya petani yang kehilangan lahan garapan akhirnya menjadi

    tergantung kepada pabrik-pabrik gula untuk bekerja sebagai buruh, baik buruh tanam,

     perawatan, tebang, dan pengangkutan tebu, dengan mendapat upah yang kecil.

    Perusahaan perkebunan tebu akhirnya tidak lebih hanya menjadi sebuah kekuatan

     pendorong ke arah pemelaratan petani. Dengan kata lain, perusahaan perkebunan tebu

    ikut mempunyai andil besar dalam menciptakan tuna kisma di daerah pedesaan

    (Elson, 1984: 221). Sebaliknya proses reorganisasi agraria memudahkan proses

    komersialisasi tanah dan tenaga kerja guna mendukung dan meningkatkan produksi

    agro industri. Dengan adanya liberasi tenaga kerja ini menjadikan petani bebas

     bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mendapatkan upah. Hal ini

    merupakan peralihan dari ikatan kerja tradisional yang tidak memisahkan antara tanah

    dan tenaga kerja karena merupakan suatu kesatuan, menjadi ikatan kerja yang rasional

    dengan memisahkan antara tanah dan tenaga kerja. Petani yang tidak memiliki tanah,

     bebas untuk memilih majikan – majikan barunya, yang dirasa mampu membayar upah

    yang lebih menguntungkan. Lepasnya tenaga kerja dari ikatan tradisional yang

     berdasarkan sistem feudal, di satu pihak memungkinkan dimasukkannya mereka ini

    ke dalam pasaran tenaga kerja. Namun di pihak lain proses ini belum bisa disebut

    sebagai sesuatu yang dapat meringankan beban hidup petani, karena mereka tidak

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    8/17

      8

    mempunyai kekuatan untuk menawar pekerjaan yang diberikan, sehingga nilai tukar

    yang didapat sangat rendah (Suhartono,1991: 108).

    Semua ini menunjukkan bahwa keberhasilan perusahaan gula di

    Vorstenlanden, tidak lain disebabkan oleh adanya intensifikasi sistem ikatan kerja

    lama, baik terhadap pemilik sawah yang disewa maupun pengerahan tenaga kerja.

    Intensifikasi sistem ini dimaksudkan agar perusahaan perkebunan tebu mendapatkan

    keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menekan sewa tanah dan upah kerja

    serendah-rendahnya. Perusahaan perkebunan sejauh mungkin mempertahankan sistem

    yang telah berlaku di pedesaan, yaitu menginginkan perlakuan yang sama seperti para

     pemilik lungguh (bangsawan dan priyayi) dari para petani. Para pemilik perkebunan

    ini tidak segan-segan mendekati para penguasa dan elite pedesaan untuk mendapatkan

    tenaga kerja murah melalui sistem kerja bakti dan gotong-royong, sebagaimana tenaga

    kerja murah melalui sistem kerja wajib bagi penguasa tradisional.

    Melihat kenyataan di atas menunjukkan bahwa terjadinya ekstraksi,

    konsentrasi, dan individualisasi tanah, serta komersialisasi tenaga kerja akibat

    masuknya ekonomi perkebunan, semakin mempercepat terjadinya perubahan sosial

    ekonomi masyarakat pedesaan. Terjadinya perubahan sosial ekonomi ini, di satu

     pihak memang ada yang diuntungkan, namun di pihak lain banyak warga pedesaan

    yang dirugikan. Lebih-lebih dengan semakin luasnya penggunaan ekonomi uang

    (monetisasi), masyarakat pedesaan yang sebelumnya basis ekonominya subsistensi

    telah masuk dalam sistem ekonomi uang. Masyarakat pedesaan yang merasa

    dirugikan dengan masuknya sistem ekonomi uang ini, kemudian mencoba melakukan

     perlawanan, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Merebaknya protes-protes

    sosial di pedesaan yang kadang disertai dengan kekerasan merupakan gejala endemic

    yang terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Di lain pihak perlawanan yang

     bersifat non fisik, diwujudkan dengan memunculkan atau menghidupkan kembali

    kepercayaan terhadap kekayaan haram, seperti munculnya cerita tentang tuyul, buto

    ijo, babi ngepet, nyai blorong, pesugihan kera, pesugihan macan, dan sebagainya

    (Isnaini Wijaya dan Supariadi, 2003: 16).

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    9/17

      9

    C. Sistem Pemilikan Tanah

    Salah satu ciri terpenting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapatnya

     berbagai macam bentuk pemilikan tanah terutama yang didasarkan atas konsep-

    konsep tradisional (Gunawan Wiradi, 1984: 293). Menurut Koentjaraningrat, ada

    empat sistem pemilikan tanah di Jawa, yaitu sistem milik umum atau komunal dengan

     pemakaian beralih (norowito),  sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowito

     gilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok ), dan sistem individu/ yasan.

    Adapun hak-hak atas tanah meliputi hak persekutuan atas tanah dan hak

     perseorangan atas tanah. Hak persekutuan atau hak pertuanan ini oleh Van

    Vollenhoven dinamakan beschikkingsrecht  (Vollenhoven, 1918). Di Yogyakarta, hak

     pertuanan atau hak ulayat dinamakan “tanah desa” atau “tanah kas desa” (Hadi

    Suprapto, 1977: 4). Tanah kas desa merupakan tanah yang dimiliki oleh seluruh

    anggota masyarakat desa, dan penggunaannya diatur oleh kepala desa, yaitu bekel

    atau lurah desa. Hak-hak perseorangan atas tanah berarti hak atas tanah yang dapat

    dimiliki oleh para anggota persekutuan masyarakat desa. Hak milik perseorangan ini

    adalah hak milik pribadi, artinya para pemilik dapat menjual, memberikan,

    menggadaikan, menukarkan, dan sebagainya. Hak milik perseorangan ini ada

     bermacam-macam, antara lain:

    1. 

    Hak milik. Pemilik tanah dapat menjual, menggadaikan, menukarkan, dan

    sebagainya.

    2. 

    Hak pungut hasil, yaitu hak untuk mengusahakan atau menanami tanah yang

     bukan miliknya sendiri dengan persetujuan kepala desa.

    3.  Hak didahulukan, yaitu hak yang dimiliki oleh warga untuk lebih dahulu

    mengerjakan tanah tetangganya, meskipun orang dari luar desa menghendaki

    untuk mengerjakan tanah.

    4. 

    Hak keuntungan jabatan, yaitu hak untuk menarik keuntungan dari sesuatu

     bidang tanah desa selama ia memegang jabatan maupun berhenti dengan

    hormat. Akan tetapi mereka tidak boleh menjual maupun menggadaikan tanah

     jabatan itu kepada orang lain.

    5.  Hak blengket, yaitu seseorang untuk lebih dahulu membeli tanah di

    sebelahnya, daripada orang lain apabila terjadi transaksi jual beli. Hak ini

    dapat terjadi bila letak tanahnya bergandengan (belendingen perceel ) dengan

    tanah yang akan dijual.

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    10/17

      10

    Hukum tanah di daerah Kesultanan dan Susuhunan, menentukan bahwa hak

    milik atas tanah seluruh luas tanah adalah mutlak di tangan penguasa (Roll, 1983: 49).

    Hukum tanah yang berlaku sejak jaman kolonial di Kerajaan Surakarta dan

    Yogyakarta adalah raja, yang dianggap sebagai perantara antara Allah dan rakyat

    adalah pemilik satu-satunya dari seluruh areal tanah yang terletak dalam teritorium

    kekuasaan mereka (Roll, 1983: 50). Selama tanah milik untuk pertanian tidak

    digunakan untuk keperluan raja-raja sendiri, tanah ini diijinkan untuk digunakan

    sebagai  gaduhan (apanage) oleh anggota keluarga raja atau kepada pegawai negara

    yang berdarah ningrat, agar mereka mengurus dan memungut pajaknya.

    Pola pemilikan tanah di Jawa dibentuk sebelum lahan menjadi terbatas

    (Kuntowijoyo, 194: 8). Meskipun sudah ada Undang-undang Agraria 1870 yang

    mendorong pemilikan tanah secara perseorangan, tetapi sampai tahun 1930-an masih

     banyak tanah yang dimiliki secara komunal oleh desa. Untuk pribumi, hak atas tanah

    terbagi atas tiga macam, yaitu: (1) pemilikan tanah perorangan yang dapat diwariskan,

    (2). Pemilikan komunal dengan bagian tetap, dan (3). Pemilikan komunal dengan

     bergiliran secara periodik. Pada pola yang pertama, tanah dapat diperjualbelikan. Pola

    yang kedua tidak memperkenankan orang menjual atau menggadaikan, sebab

     pemilikannya hanyalah hak pakai. Pola yang ketiga menunjukkan rendahnya hak atas

    tanah, sebab desa mempunyai kekuasan kontrol atas distribusi tanah dan

    membagikannya secara periodik kepada petani yang memerlukan.

    Dalam hal pemilikan tanah, desa-desa tradisional Jawa bukanlah masyarakat

    egalitarian. Akses pada tanah banyak ditentukan oleh hak-hak historis. Para pendatang

     pertama telah membagikan tanah untuk keperluan keluarga mereka seluruhnya,

    sehingga kesempatan pendatang baru mendapatkan tanah juga langka. Dalam banyak

    contoh adanya tanah komunal itulah satu-satunya lembaga yang memungkinkan orang

     baru mendapat tanah dari desa. Perundangan individualisasi tanah menyempitkan

    lahan komunal dan sekaligus menyiapkan monetisasi tanah pedesaan. Karena itu di

     pedesaan kemudian dikenal pelapisan penduduk berdasarkan ukuran pemilikan tanah.

    Kelas sosial itu ada tiga macam, yaitu: (1). golongan penduduk inti (wong baku,

     gogol . Pribumi) yang nenek moyang mereka menjadi pendiri desa sehingga mereka

    mempunyai tanah pertanian, rumah, dan pekarangan, dan menjadi anggota masyarakat

    desa dengan hak dan kewajiban penuh, (2) para indung   yang mempunyai sebidang

    tanah pertanian atau rumah pekarangan, tetapi tidak kedua-duanya, sehingga mereka

    mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas pula, dan (3) mereka yang nusup tlosor ,

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    11/17

      11

    atau bujang   yang tidak mempunyai bagian baik tanah maupun rumah pekarangan.

    Golongan ketiga ini bekerja sebagai penyakap, buruh tani, dan pekerjaan serabutan

    lain di desa (Kuntowijoyo, 1994: 10; Soemarsaid Moertono, 1985: 144).

    Meskipun demikian di desa tradisional bukan tidak ada mobilitas. Perkawinan

    dapat terjadi antara pendatang dengan penduduk setempat, atau antara golongan sosial

    satu dengan lainnya. Adanya kaum pedagang di desa sering menjadikan sistem

    stratifikasi berdasar pemilikan tanah menjadi goyah, yaitu jika pedagang, yang semula

    dari kelas tidak bertanah atau tidak mempunyai rumah pekarangan mampu

    mengumpulkan kekayaan dan sanggup pindah kelas sosial. Jual beli tanah pada

    hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak atau orang

    lain yang berupa dari penjual kepada pembeli. Namun, dalam gadai tanah tidak

    terjadi pengalihan hak atas tanah. Perjanjian jual beli tanah, sewa-menyewa, gadai

    tanah pada umumnya harus dilaksanakan pada tanah yang dimiliki berdasarkan status

    hak milik.

    Setiap pemilik tanah, baik pria maupun wanita, juga memiliki berbagai hak

    yang tertera dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda

    dalam tahun 1906. Hak-hak yang terpenting adalah: hak untuk memilih calon bagi

     pemilihan kepala desa atau pegawai pamong desa; hak untuk mengajukan petisi

    kepada kepala distrik; hak untuk mengganti kepala desa yang sudah tidak dipercaya

    lagi oleh penduduk desa; dan hak untuk berpartisipasi dalam rapat-rapat penting yang

    diadakan oleh pamong desa, di mana dibicarakan berbagai hal yang bersangkutan

    dengan komunitas desa. Misalnya rapat selapanan, harus dikunjungi oleh para kuli.

    Kadang-kadang kepala desa juga rapat dengan dewan kuli, membicarakan pembagian

    kembali tanah pekulen, apabila ada seorang kuli berhenti dari jabatannya, atau apabila

    seorang kuli meninggal tanpa meninggalkan seorang ahli waris. Sebaliknya

    kedudukan sebagai kuli juga membawa kewajiban-kewajiban tertentu, seperti (1)

    kerigan, atau menyediakan tenaga buruh untuk kepentingan masyarakat desa, untuk

    kepentingan pegawai pamong desa, dan untuk dipekerjakan sebagai buruh pekerjaan

    umum untuk pemerintah; (2 ) tuguran, atau jaga malam di desa; (3)  palagara, atau

    kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi dan uang pada waktu-waktu tertentu kepada

    kepala desa dan para pegawai pamong desa, sesuai dengan adat-istiadat setempat

    (Koentjaraningrat, 1984: 199-200). Meskipun beban yang sangat berat itu, kedudukan

    sebagai kuli masih tetap mempunyai peminat yang cukup besar dalam masyarakat

    desa di Jawa, karena jabatan itu menaikkan gengsi seseorang.

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    12/17

      12

    D. Struktur Sosial Masyarakat

    Di dalam daerah atau kerajaan agraris, baik kedudukan maupun peranannya

    sangat ditentukan oleh luas sempitnya pemilikan tanah. Pemilik tanah sebagai

     penanggung beban kepada pemerintah kolonial mempunyai tugas berat yaitu

    membayar pajak natura, innatura, dan uang (Suhartono, 1995:35). Stratifikasi sosial di

    kalangan petani didasarkan atas penguasaannya terhadap tanah (Onghokham, 1977:

    15). Golongan yang menguasai tanah disebut sikep, mereka yang menanggung beban-

     beban atas tanah. Di bawah golongan sikep terdapat kelas petani yang terendah

    golongan manumpang  atau bujang  yang tidak dibebani apa-apa oleh negara.

    Menurut tradisi Jawa, pada dasarnya raja dianggap pemilik tanah yang

    tertinggi. Bahkan di sini ditegaskan bahwa sejak dahulu di kerajaan Jawa, kekuasaanraja sedemikian besarnya sehingga dapat mempengaruhi rakyat di atas hak miliknya

    yang menentukan hidup mati. Dengan demikiaan tanah dianggap milik raja

    (“kagungan Dalem Nata”) sedang rakyat hanya menggaduh saja (Gatut Munrniatmo,

    1989: 14). Sebagai pemilik, raja menyerahkan tanahnya kepada “kawulanya” yaitu

    rakyat kebanyakan untuk digarap. Suatu prinsip yang menyertai penyerahan tanah

    milik kepada orang lain untuk digarap, yang sudah sangat tua dan yang berlaku di

    manapun di dunia ini ialah azas bagi hasil ½ - ½, ½ hasil untuk pemilik dan ½ untuk

     penggarap tanah.

    Bermula dari kerangka pikir seperti itulah maka di Jawa dan DIY, tata susunan

    masyarakatnya pun mengenal lapisan-lapisan (strata) yang didasarkan atas hak dan

    kewajiban serta pemilikan tanah. Di dalam masyarakat agraris, tanah memang

    merupakan dasar stratifikasi sosial, sehingga kebutuhan akan tanah sangat diperlukan

    demi status sosialnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa orang yang menguasai

    tanah adalah mempunyai status sosial yang tinggi, jika dibandingkan dengan orang

    yang tidak mempunyai tanah.

    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asal mula terjadinya stratifikasi

    sosial dalam masyarakat adalah karena adanya sesuatu yang dihargai atau yang

    dianggap berharga di dalam masyarakat. Sesuatu yang berharga tersebut di dalam

    masyarakat luas dapat saja berupa uang, benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah,

    kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesholehan dalam agama, atau “darah” sebagai

    keturunan bangsawan (Soerjono Soekanto, 1981: 216). Stratifikasi sosial ada sejak

    manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam masyarakat. Tentu saja ukuran

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    13/17

      13

    sesuatu barang yang dihargai berbeda antara masyarakat yang satu dengan

    masyarakat yang lainnya.

    Adanya stratifikasi sosial mengakibatkan munculnya kedudukan dalam

    masyarakat. Jika hanya mempunyai sedikit sesuatu yang dihargai berarti mempunyai

    kedudukan yang rendah dan jika mempunyai banyak sesuatu yang dihargai berarti

    mempunyai kedudukan yang tinggi

    Penduduk Yogyakarta, seperti penduduk tradisional lainnya dapat dibedakan

    menjadi dua lapisan. Kelompok pertama disebut kaum  priyayi  yang terdiri dari

     bangsawan dan elite birokrat, sedangkan lapisan yang kedua adalah wong cilik  dan

    tinggal di daerah-daerah pinggiran serta jumlahnya besar. Lapisan kedua ini terdiri

    dari petani, tukang pengrajin, dan sebagianya (Sartono Kartodirdjo, 1969).  Priyayi 

    dan wong cilik   terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu masalah gaya hidup.

    Golongan  priyayi  mempunyai gaya hidup yang serba gemerlap dan penuh dengan

    nilai simbolik. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jarak dan kewibawaan terhadap

    golongan yang dibawahinya (Darto Harnoko, 2004: 16).

    Faktor pemilikan tanah merupakan dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial

     bagi masyarakat agraris, hal ini juga berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Meskipun

    data mengenai pemilikan tanah untuk masing-masing penduduk tidak tersedia tetapi

    dilihat dari letak pemukiman dan mata pencaharian, mayoritas penduduk Yogyakarta

    adalah petani. Selain itu penduduknya ada yang menjadi pedagang, pengrajin,, buruh

     pabrik, nelayan, dan sebagian kecil ada yang bekerja sebagai buruh di kota.

    Perubahan ekonomi, politik, dan demografi yang terjadi sejak abad XIX

    mempengaruhi hubungan kekuasaaan dan kekayaan di daerah pedesaan. Pada akhir

    abad XIX, penduduk Jawa mengalami peningkatan yang pesat dan keadaan ini diikuti

    oleh proses fragmentasi pemilikan tanah yang mempengaruhi struktur sosial yang ada.

    Selain itu, ekonomi pasar mulai masuk dan lambat laun terjadi kecenderungan petani

    yang mempunyai lahan kecil untuk melepaskan hak milik atau hak penguasaan

    tanahnya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya beban yang

    ditanggung oleh penduduk berupa pajak dan layanan sosial, sehingga tidak jarang

     penduduk terlibat dengan lintah darat masalah hutang piutang. Apabila mereka tidak

    dapat membayar, maka harus menyerahkan tanahnya dan menjadi buruh tani pada

     petani kaya. 

    Seorang petani menggarap tanah dan penghidupan utama diperoleh dari situ.

    Bagaimana lekatnya seorang petani kepada tanah dapat dilihat dari istilah-istilah yang

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    14/17

      14

    ia kaitkan kepada cara-caranya menguasai tanah. Ia menamai tanah itu tanah pusaka

    (heirloom land) dan tanah yasa ( self developed land ). Oleh karena itu perbedaan kelas

    antara kaum petani didasarkan atas cara ia menguasai tanah. Petani penguasa tanah

    disebut “sikep” (mereka yang memikul atau menanggung beban tanah), petani

    “sikep” mempunyai “numpang” (tangunggan) juga disebut “bujang” (belum menikah)

    yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Dalam hal makan dan

    tempat tinggal seorang petani “numpang” tergantung sepenuhnya kepada “sikep”

    kepada siapa ia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Petani “numpang” tidak

    mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerjabakti terhadap negara

    melainkan terhadap “sikep”nya, yang mungkin kadang-kadang menggunakan mereka

    untuk melakukan kerjabakti kepada negara. Oleh karena semua kewajiban terhadap

    negara seperti pajak atau kerja bakti dibebankan kepada kaum petani penguasa tanah.

    Di samping “sikep” yang elite diantara kaum petani dan “numpang” ada golongan

     petani menengah. Petani “numpang” yang menikah dan telah cukup lama melayani

    “sikep”nya diberi pembagian dari tanah desa atau persekutuan (tanah “lanyah”)

    (Darto Harnoko, 2004: 9-10). Jika bagi kaum tani “sikep” itu berarti penguasa tanah,

     bagi kaum elite mereka itu terutama berarti orang-orang yang bertanggung jawab

    untuk sumbangan dan kerja bakti. Hubungan antara keduanya menurut istilah Jawa

    digambarkan sebagai hubungan antara “kawula-gusti” (hamba dan tuan) yang

     pemunculannya dalam bentuk kesatuan dicita-citakan. Menurut istilah modern

    “kawula-gusti” itu diterjemahkan dengan pelindung anak buah ( patron client).

    Di antara penduduk tani sendiri masih terdapat stratifikasi sosial di desanya.

    Di sini kepala desa dan para pembantunya mempunyai prestise sosial yang tertinggi.

    Di luar kelompok pamong desa, stratifikasi sosial didasarkan atas dasar pemilikan

    tanah, yang menempati kedudukan sosial pertama dan tertinggi adalah “kuli

    kenceng”, kelas ini juga mencakup mereka yang hanya memiliki tanah kering yang

    mudah ditanami, akan tetapi status mereka berada sedikit dibawah para pemilik tanah

    sawah. Tingkat sosial berikutnya adalah “kuli karang kopek ” yang tidak memiliki

    sawah tetapi hanya pekarangan. Berikutnya adalah “kuli indung ” atau “kuli gandok ”

    yang sama sekali tidak memiliki tanah, akan tetapi memiliki rumah pada tanah orang

    lain. Kelas keempat dan terakhir adalah “indung tlosor ”, yang tidak memiliki tanah

    maupun rumah, menumpang pada keluarga-keluarga lain dan bekerja untuk mereka

    sebagi imbalannya (Selo Sumardjan, 1986: 41).

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    15/17

      15

    Kesimpulan

    Reorganisasi tanah di Kasultanan Yogyakarta mengakibatkan terjadinya

     perubahan status tanah. Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak hanggadhuh telah

    dihapuskan dan hak atas tanah itu diberikan kepada petani dengan hak handarbe 

    (milik) individual. Sebelum tahun 1918 kedudukan kaum tani dalam hubungannya

    dengan pemerintahan dan masyarakat, kaum tani hanya memiliki kewajiban dan tidak

    mempunyai hak. Pada tahun antara 1918 sampai 1951 kaum tani mempunyai hak dan

    kewajiban. Perubahan hukum tanah membawa dampak perubahan penting dalam

    organisasi sosial penduduk pedesaan.

    Di dalam masyarakat pedesaan, tanah mempunyai arti yang penting. Bagi

     petani tanah bukan saja penting dari segi ekonomis, tetapi lebih dari itu adalah bahwa

    tanah dapat pula dipakai sebagai kriteria terhadap posisi sosial pemiliknya. Stratifikasi

    sosial di dalam masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan pemilikan tanah. Di

    dalam menentukan status sosial, tanah merupakan kriteria untuk menentukan tinggi

    rendahnya status seseorang.

    DAFTAR PUSTAKA

    Burger, D.H. 1977. Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Desa. Jakarta:

    Bhratara.

    Darto Harnoko.“Pergolakan Sosial di Surabaya pada Awal Abad XX: Studi Kasus

    Tanah Partikelir”, dalam Patra-Widya Seri Penerbitan Penelitian Sejarah

    dan Budaya Vol. 5, No. 3, September 2004.

    Elson, R.E. 1984.  Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Impact and

    Change in an East Java Residency 1830-1940. Singapore: Oxford UP.

    Gunawan Wiradi. 1984. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”. dalam

    Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.).  Dua Abad

     Penguasaan Tanah pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari

     Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.

    Gatut Murniatmo, dkk. 1989.  Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah

    Secara Tradisional di daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:

    Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan

    Pembinaan Nilai-nilai Budaya.

    Hadi Suprapto. 1977.  Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah IstimewaYogyakarta. Yogyakarta: Aryakencana.

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    16/17

      16

    Ihalauw, John, et al . 1993. “Penguasaan Tanah Serta Implikasinya Terhadap

    Keketatan Budaya” dalam Mubyarto (ed.).  Peluang Kerja dan Berusaha

    di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE.

    Isnaini Wijaya W. dan Supariadi. 2003. “Mitos Pesugihan dan MunculnyaKetegangan Sosial Pada Masyarakat Jawa di Pedesaan Boyolali Jawa

    Tengah”, Laporan Penelitian, Surakarta: FSSR UNS.

    Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

    Kuntowijoyo. 1994. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.

    Onghokham, “Penelitian Sumber Gerakan Mesianis”, dalam  Prisma 1, Januari 1977

    (Jakarta: LP3ES), hlm. 15.

    Roll, Werner, 1983. Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia. Studi Kasus DaerahSurakarta, Jateng. Terj. Jane Tjan. Jakarta: Rajawali.

    Rouffaer, G.P., 1931.  Adatrecht-bundels Jilid XXXIV . „s-Gravenhage: Martinus

     Nijhoff.

    Sartono Kartodirdjo. 1969. “Stratifikasi Sosial dari Masyarakat Tradisional dan

    Kolonial”, dalam Lembaran Sejarah, No. 4. Yogyakarta: Fakultas Sastra

    dan Kebudayaan UGM, Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah.

    Schwencke, G. 1932. Het Vorstenlandsche Grondhuurreglement in de practijk en het

    Grondenrecht in Jogjakarta. Djokja: H. Buning.

    Scheltema, A.M.P.A. 1985.  Bagi Hasil di Hindia Belanda. Terj. Marwan. Jakarta:

    Yayasan Obor Indonesia.

    Selo Sumardjan. 1986.  Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada

    University Press.

    Shiraishi, Takashi. 1997.  Zaman Bergerak. Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-1926.

    Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

    Soekasno. “Het Particuliere crediet in den Klapper - en Coprahandel in Bantam”.

    dalam VCW , 1936.

    Soemarsaid Moertono. 1985.  Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa

     Lampau: Studi Tentang Masa mataram II, Abad XVI Sampai XIX .

    Jakarta: YOI.

    Soepomo, R. 1927.  De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest

    Soerakarta. s‟Gravenhage: L. Gerretsen. 

    Soerjono Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta: UI Press.

  • 8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09

    17/17

    17

    Suhartono,1991. Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan surakarta 1830-

    1920.Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.

    ------------.1995.  Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942.

    Yogyakarta: Aditya Media. 

    Vollenhoven, C.van. 1918. Het Adatrecht van Nederlandsh-Indie. Leiden: E.J. Brill.