Upload
ernesto-che-gujizuyeah
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
1/17
1
PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DI
YOGYAKARTA
Oleh Tiwuk Kusuma Hastuti
Staf Pengajar Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
Abstrak: Land and its ownership pattern is a crucial factor for most people
who live in village. Both can affect the life development of villager whether it is in
social, economic or politic aspect as well. That is the reason why landowner want to
keep their land foor good, if it is possible. It prevails even when the landowner faces
the difficult finen situation.
Key word: landowner, land tenure, socio changes.
A. Penguasaan Tanah Sebelum Reorganisasi Agraria
Penguasaan tanah dalam arti milik, bermula jauh sebelum kedatangan agama
Hindu. Dalam agama Hindu dan dalam hukum Islam tidak pernah seorang penguasa
tanah dipandang sebagai pemilik (SeloSumardjan, 1986). Yang ada dan lebih
menonjol dalam zaman kerajaan adalah imbalan yang bukan merupakan hak kepada
mereka yang patuh dan tekun dalam membayar pajak yang diharuskan
(SeloSumardjan, 1986). Atau sistem penguasaannya disebut apanage yaitu hak
gaduh bagi penggarap yang diwajibkan menyerahkan hasil tanah garapan kepada
pemiliknya, yaitu raja atau keluarganya (Roll, 1983: 49).
Sistem penguasaan tanah feodal di atas diubah oleh pemerintah Hindia
Belanda dari sistem feodal-raja atau sistem feodal pangeran menjadi sistem feodal-
desa (1807). Akibatnya hubungan penguasaan tanah berubah dari hubungan antara
penggarap dengan pemegang apanage menjadi hubungan dengan pemerintahan
desanya. Desa bertindak sebagai pengelola penyerahan hasil pertanian dari rakyat
kepada pemerintah kolonial (Burger, 1977: 19, 22). Secara bertahap sistem
penguasaan tanah feudal itu diubah menjadi land rente stelsel (1812) di mana setiap
penggarap tanah harus menyerahkan hasil tertentu sebagai pajak, kepada pemerintah
kolonial. Dalam sistem tanam paksa (1830-1870) di samping petani menyerahkan
sebagian hasil panennya, juga ada kewajiban untuk menanam jenis tanaman yang
ditentukan oleh pemerintah. Tanam paksa ini dihapus dengan adanya Undang-Undang
Agraria (1870) dan sistem kolonial modern ini dipertegas dengan adanya pajak hasil
bumi (1918).
Proses perkembangan penguasaan tanah tersebut tidak atau belum
menciptakan hak milik sepenuhnya bagi setiap petani pemilik tanah. Peraturan
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
2/17
2
penyerahan hasil dan pembagian hasil tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan dan
sampai pada sasarannya secara utuh, karena adanya tengkulak atau perantara.
Perantara ini menarik keuntungan bagi diri sendiri dari antara petani penggarap
dengan raja atau pangeran sebagai pemegang apanage, antara petani pemilik atau
penggarap tanah dengan desa sebagai wakil pemerintah kolonial, dan bahkan antara
desa dengan pemerintah sendiri (Ihalauw, 1993: 214-216).
Penguasa tanah perorangan di pedesaan disebut petani karena berkaitan
dengan tanah pertanian. Konsep petani (Roll, 1983: 62-63) mengandung pengertian:
pemilikan tanah pertanian, pemilikan tanah tempat tinggal dan pekarangan, dan
pengertian pengerjaan tanah, yaitu hubungan antara penggarap dan pemilik tanah.
Hubungan para petani dalam penguasaan tanah semakin kompleks akibat dari
keterbatasan tanah di antara mereka; semakin panjang atau semakin beragam
hubungan antara pemilik dengan penggarap, maka semakin terdesak posisi penggarap
(Ihalauw, 1993: 218). Proses penguasaan tanah meliputi pemilikan, penggarapan, dan
pembagian hasilnya. Proses ini makin berkembang, dan oleh karena semakin
terbatasnya tanah pertanian, maka pemilik bukan selalu penggarap tanahnya. Dapat
terjadi pula bahwa di samping menggarap tanah sendiri seseorang juga menjadi
penggarap tanah orang lain, baik melalui sewa maupun sakap. Sistem ini terjadi
karena rujukan nilai yang disepakati bersama dan dilaksanakan bersama, selalu
berulang dan selanjutnya menjadi kebiasaan (Ihalauw, 1993: 218-219).
Petani Jawa yang memiliki sebidang tanah yang agak luas biasanya
menyerahkan beberapa bagian dari tanah itu kepada beberapa petani lain yang
biasanya tidak memiliki tanah, untuk digarap berdasarkan berbagai cara. Misalnya
dengan sewa tanah, yang biasanya berlangsung lebih dari sekali panen, karena dengan
demikian harga sewa tanah itu lebih menguntungkan daripada apabila tanah itu
disewakan untuk hanya sekali panen saja. Namun harga sewa itu juga tergantung
pada beberapa faktor lain, misalnya kualitas dan keadaan tanah, apakah pemiliknya
sangat membutuhkan uang, dan hubungan antara pemilik dan penyewa, seperti yang
lazim dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam soal sewa tanah ini lazimnya
pemilik tanah membayar pajak atas tanahnya, dan apabila tanah itu disewakan untuk
jangka waktu lebih dari sepuluh kali panen, maka biasanya penandatanganan kontrak
juga disaksikan oleh pegawai pamong desa (tentu dengan imbalan juga)
(Koentjaraningrat,1984: 170). Di Yogyakarta ada tiga cara bagi hasil yang umum
dilakukan, yaitu maro, mertelu dan merpat (Scheltema, 1985). Maro, yang
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
3/17
3
mengharuskan si penggarap membeli sendiri bibit, pupuk, dan membayar buruh tani,
serta menyerahkan separoh dari hasil panen kepada si pemilik tanah. Pajak atas tanah
ini dibayar oleh pemiliknya. Mertelu adalah cara bagi hasil dengan syarat-syarat yang
sama dengan maro tetapi dalam hal ini penggarap tanah hanya menerima sepertiga
bagian dari hasilnya. Dalam sistem merpat penggarap hanya memperoleh seperempat
bagian dari hasil, tetapi ia hanya membayar buruh tani saja. Sistem merpat dengan
sendirinya timbul bila kebutuhan akan tanah sewa naik, dan sistem ini sekarang
memang sudah lazim di kebanyakan desa di Jawa. Sistem maro masih terdapat juga,
walaupun terbatas antara ayah dengan anak saja, terutama bila tanah itu merupakan
tanah warisan yang sangat kecil sehingga sukar dibagi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil lagi.
Suatu cara penyewaan tanah dengan uang kunci yang disebut srama
(Adatrechtbundel xiv, 1917: 126) adalah cara yang paling merugikan si penggarap.
Walaupun sebenarnya sistem ini dilarang menurut hukum agraria, cara ini masih
banyak dilakukan karena kebutuhan akan tanah garapan sangat tinggi. Untuk
mendapatkan hak menggarap sebidang tanah untuk suatu jangka waktu tertentu,
seorang petani harus membayar sesuatu jumlah tertentu sebelumnya.
Kecuali cara-cara penggunaan tanah tersebut di atas, masih ada sistem gadai.
Dalam sistem ini seorang pemilik tanahlah yang berada dalam posisi yang lebih lemah
(karena butuh uang), daripada petani yang tidak mempunyai tanah atau yang
sebenarnya tidak butuh tanah tetapi kebetulan mempunyai uang. Seorang pemilik
tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikerjakan sesuai harga yang
telah disepakati, yang dibayar di muka. Si penggarap dapat mengerjakan tanah itu
selama pemilik tanah belum membayar kembali uang yang dipinjamnya, dan panen
yang dihasilkan merupakan bunga dari uang yang telah dipinjamkan
(Koentjaraningrat, 1984: 171). Seorang pemilik tanah yang menginginkan uang lebih
banyak lagi biasanya juga menyanggupi untuk bekerja sebagai buruh tani pada tanah
yang digadaikannya itu.
Kebutuhan akan uang pada petani sering tidak bertepatan dengan hasil tanah
pertaniannya, baik secara waktu maupun jumlah yang dibutuhkan. Untuk
mendapatkan uang tersebut sering petani menempuh jalan hutang dengan jaminan
tanah ( sende atau gadai ), atau dengan cara menjual hasil sebelum dipanen (ijon),
menjual tanah dengan jual lepas, jual tahunan, jual oyodan atau jual ungsuman
(musiman). Alasan petani mengadaikan tanah dalah adanya kemungkinan untuk
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
4/17
4
menebus tanah, dan masih ada pengharapan untuk anak cucu (Soekasno, 1936: 407).
Kebutuhan akan uang ini menimbulkan hubungan baru dengan pihak lain, di mana
yang pertama dalam keadaan yang sangat mendesak, dalam posisi yang lemah. Oleh
karena statusnya adalah hutang maka apabila dikembalikan dengan uang harus
ditambah dengan bunga. Akan tetapi apabila dijual oyodan harganya menjadi rendah
sekali. Makin lama tenggang waktu hutangnya, makin besar bunganya (discount) atau
semakin rendah harga oyodannya (Ihalauw, 1993: 220).
Lembaga sewa tanah menambah perbendaharaan sistem penguasaan tanah,
baik sewa yang dilakukan oleh pemilik tanah maupun oleh petani yang tidak bertanah
yang masih belum terlalu miskin. Bagi penyewa tanah ini adalah sebagai tambahan
tanah garapannya sedang bagi yang menyewakan tindakan tersebut dilakukan karena
terpaksa telah terlibat hutang atau terdesak oleh kebutuhan yang mendadak.
B. Penguasaan Tanah Setelah Reorganisasi Agraria
Kasultanan Yogyakarta terletak di pedalaman dan kehidupan ekonomi
masyarakatnya bersumber dari hasil agraris. Tanah merupakan sarana legitimasi raja
dalam kekuasaannya, di samping sebagai penunjang kebutuhan ekonominya.
Kedudukan Sultan sebagai raja di Kasultanan Yogyakarta, menempatkannya sebagai
pemilik tunggal atas tanah kerajaan. Hal ini sesuai dengan konsep tradisional Jawa,
bahwa raja merupakan pusat segala kehidupan di dunia. Soemarsaid Moertono
menyimpulkan bahwa raja mempunyai dua hak atas tanah. Pertama, berupa hak
politik atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan
batas-batas kekuasaannya, Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai
dengan adat (Soemarsaid Moertono, 1985: 134). Selanjutnya tanah tersebut sebagian
dibagi-bagikan kepada sentono dalem dan abdi dalem, berupa tanah lungguh sebagai
gaji dalam membantu menjalankan pemerintahan kerajaan. Kedudukan sebagai raja
juga memperoleh tanah untuk mencukupi rumah tangga istana yang disebut siti
pangrembe. Rakyat hanya sebagai penggarap tanpa memiliki hak atas tanah
(Roll,1983).
Lahan persawahan yang subur di daerah Vorstenlanden kebanyakan berupa
tanah apanage atau tanah lungguh para bangsawan dan pegawai kerajaan, yang
pengelolaannya diserahkan kepada patuh dengan hak anggadhuh (pinjam sementara).
Pihak perkebunan dan juga pemerintah kolonial merasa kesulitan dengan sistem
pemilikan tanah semacam ini, karena terpecah-pecahnya letak tanah lungguh atau
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
5/17
5
apanage yang dimiliki oleh bangsawan dan pejabat kerajaan. Oleh karena itu untuk
menyatukan tanah-tanah tersebut, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan
tentang reorganisasi agraria di daerah Vorstenlanden.
Reorganisasi atau reformasi administrasi dan agraria dilakukan oleh
pemerintah Hindia di daerah Vorstenlanden pada dekade 1910 dan awal 1920-an
(Shiraishi, 1997: 24). Reorganisasi diperkenalkan oleh Belanda pada tahun 1912 dan
selesai pada 1924. Ada empat tindakan yang diambil untuk membuat perubahan
tersebut: (1) penghapusan sistem lungguh, (2) pembentukan desa sebagai unit
adminstrasi, (3) pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada petani, dan
(4) perbaikan aturan sewa tanah. Penghapusan tanah lungguh dilakukan pada tahun
1917 untuk Kasultanan dan 1918 untuk Kasunanan. Pada waktu penghapusan tanah
lungguh di Vorstenlanden Para pemegang lungguh sebagai gantinya mendapat gaji
dan upah dalam bentuk tunai, sedangkan perkebunan dan petani harus membayar
pajak dan sewa tanah kepada bendahara kerajaan. Bersamaan dengan hilangnyan
tanah lungguh maka lenyap pula para bekel. Bekel dihapus dan diberikan bumi
pituwas atau tanah pensiun.
Reorganisasi tanah dimaksudkan agar terjadi perubahan kedudukan tanah dari
penggarap ke pemilik individual (Suhartono, 1985: 81). Dengan demikian kedudukan
terhadap tanah makin kuat, karena pemilik diberi kebebasan untuk berbuat apa saja,
dijual, dikontrakkan, dan lain-lain. Dengan demikian pengertian reorganisasi tanah
tidak hanya terbatas pada perubahan status pemilikan tanah saja, tetapi meliputi pula
pengurangan kerja rodi, penghapusan sistem lungguh, dan penciptaan pemerintahan
desa.
Diadakannya reorganisasi tanah di Yogyakarta yang terjadi juga di Surakarta
(daerah Vorstenlanden) sebenarnya ide dari pemerintah kolonial, yang bertujuan
pertama-tama adalah merupakan salah satu jalan untuk melaksanakan penetrasi
budaya barat sampai ke desa yang telah direncanakan sejak setelah Perang
Diponegoro berakhir pada tahun 1830. Reorganisasi tanah ini dimaksudkan agar
pemerintah kolonial dapat berhubungan langsung sampai ke desa-desa seperti di
daerah Gubernemen.
Dengan dimulainya reorganisasi pada tahun 1912, khususnya untuk tanah-
tanah apanage di daerah Vorstenlanden, maka secara struktural terjadilah perubahan
kedudukan tanah. Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggadhuh (pinjam
sementara) telah dihapuskan dan hak tanah kemudian diberikan kepada petani dengan
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
6/17
6
hak andarbe (hak milik) secara individual. Para petani yang menerima tanah sanggan
atau tanah pekulen adalah tiyang jaler ingkang diwasa lan kiyat (orang laki-laki
dewasa dan kuat bekerja) (Suhartono, 1991:100). Berubahnya kedudukan tanah
berarti petani memiliki kebebasan terhadap tanahnya. Usaha memberikan hak milik
tanah secara individual kepada petani, sebenarnya hanyalah merupakan suatu cara
perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial agar lebih mudah mendapatkan
tanah-tanah petani dengan persewaan bebas seperti di daerah-daerah yang diperintah
langsung oleh pemerintah kolonial. Dengan reorganisasi, status tanah menjadi lebih
dinamis akhirnya terjadi proses komersialisasi tanah, di mana tanah dapat
diperjualbelikan, digadaikan, disewakan oleh pemiliknya. Terjadinya perubahan
kedudukan tanah dari kedudukan statis ke dinamis menyebabkan terjadinya
komersialisasi dan ekstraksi tanah demi kemajuan komoditi ekspor (Suhartono, 1991 :
97).
Meskipun reorganisasi agraria adalah menciptakan pemilikan tanah secara
individual, karena setiap orang atau warga desa berhak atas tanah garapan, namun
lama-kelamaan terjadi lagi pemusatan atau konsentrasi pemilikan tanah. Para elite
desa yang mempunyai kekayaan dan wewenang, lambat laun berhasil membeli atau
menyewa jangka panjang tanah-tanah petani pemilik sawah garapan. Di samping itu
ekstraksi perkebunan atas tanah sawah dan tenaga kerja, juga ikut berpengaruh
terhadap proses konsentrasi tanah, baik melalui kontrak-kontrak secara individual
maupun kelompok.
Dalam peraturan reorganisasi memang para petani yang mendapatkan hak
pemilikan sawah (tanah) dilarang menjual atau memindahkan haknya kepada orang
lain, kecuali dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat dihindarkannya, misalnya pindah
tempat tinggal. Peraturan ini meliputi masalah adol lempung, nggadhuake, marokake,
dan ngijokak e lebih dari satu musim tanam (Suhartono,1991: 101). Hanya saja dalam
peraturan ini tidak disebutkan sangsi yang tegas terhadap pelanggaran, kecuali secara
samar disebut akan dicabut hak pemilikan tanahnya. Lemahnya sangsi yang
dikenakan pada para pelanggar ini menjadikan para petani banyak yang melakukan
pelanggaran. Para petani pemegang sawah garapan, oleh karena sesuatu hal terpaksa
rela melepaskan sawah garapannya kepada orang lain melalui ikatan pegadaian
( gadeake), sewa-menyewa jangka panjang, maupun jual beli. Akibatnya banyak
petani yang akhirnya rela kehilangan sawah garapannya dan hanya menjadi buruh di
desanya sendiri.
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
7/17
7
Proses konsentrasi pemilikan tanah dan hilangnya tanah-tanah garapan
kelompok petani miskin sebenarnya merupakan suatu kegagalan dari program
reorganisasi agraria, yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan petani kecil. Pada kenyataannya para petani kecil kehidupannya tidak
lebih baik, malahan dapat dikatakan semakin memburuk. Kondisi semacam ini lebih
diperburuk lagi dengan kebijakan ekstraksi lahan dan tenaga kerja oleh perusahaan-
perusahaan perkebunan gula yang menggunakan lebih dari 40 % lahan yang ada, dan
menyerap begitu banyak tenaga kerja produktif pedesaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses reorganisasi agraria tetap saja
menguntungkan para elite desa. Mereka ini banyak yang melakukan kerja sama
dengan pihak perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik gula untuk mendapatkan
komisi berupa uang tunai dari para pengusaha pabrik gula dan perkebunan tebu,
menjadikan para elite desa banyak yang mengorbankan kepentingan petani dan
masyarakat demi memenuhi ambisi kepentingan pribadi dan pengusaha gula. Semua
ini menunjukkan betapa besar kekuasaan perkebunan gula terhadap para petani di
pedesaan. Banyaknya petani yang kehilangan lahan garapan akhirnya menjadi
tergantung kepada pabrik-pabrik gula untuk bekerja sebagai buruh, baik buruh tanam,
perawatan, tebang, dan pengangkutan tebu, dengan mendapat upah yang kecil.
Perusahaan perkebunan tebu akhirnya tidak lebih hanya menjadi sebuah kekuatan
pendorong ke arah pemelaratan petani. Dengan kata lain, perusahaan perkebunan tebu
ikut mempunyai andil besar dalam menciptakan tuna kisma di daerah pedesaan
(Elson, 1984: 221). Sebaliknya proses reorganisasi agraria memudahkan proses
komersialisasi tanah dan tenaga kerja guna mendukung dan meningkatkan produksi
agro industri. Dengan adanya liberasi tenaga kerja ini menjadikan petani bebas
bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mendapatkan upah. Hal ini
merupakan peralihan dari ikatan kerja tradisional yang tidak memisahkan antara tanah
dan tenaga kerja karena merupakan suatu kesatuan, menjadi ikatan kerja yang rasional
dengan memisahkan antara tanah dan tenaga kerja. Petani yang tidak memiliki tanah,
bebas untuk memilih majikan – majikan barunya, yang dirasa mampu membayar upah
yang lebih menguntungkan. Lepasnya tenaga kerja dari ikatan tradisional yang
berdasarkan sistem feudal, di satu pihak memungkinkan dimasukkannya mereka ini
ke dalam pasaran tenaga kerja. Namun di pihak lain proses ini belum bisa disebut
sebagai sesuatu yang dapat meringankan beban hidup petani, karena mereka tidak
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
8/17
8
mempunyai kekuatan untuk menawar pekerjaan yang diberikan, sehingga nilai tukar
yang didapat sangat rendah (Suhartono,1991: 108).
Semua ini menunjukkan bahwa keberhasilan perusahaan gula di
Vorstenlanden, tidak lain disebabkan oleh adanya intensifikasi sistem ikatan kerja
lama, baik terhadap pemilik sawah yang disewa maupun pengerahan tenaga kerja.
Intensifikasi sistem ini dimaksudkan agar perusahaan perkebunan tebu mendapatkan
keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menekan sewa tanah dan upah kerja
serendah-rendahnya. Perusahaan perkebunan sejauh mungkin mempertahankan sistem
yang telah berlaku di pedesaan, yaitu menginginkan perlakuan yang sama seperti para
pemilik lungguh (bangsawan dan priyayi) dari para petani. Para pemilik perkebunan
ini tidak segan-segan mendekati para penguasa dan elite pedesaan untuk mendapatkan
tenaga kerja murah melalui sistem kerja bakti dan gotong-royong, sebagaimana tenaga
kerja murah melalui sistem kerja wajib bagi penguasa tradisional.
Melihat kenyataan di atas menunjukkan bahwa terjadinya ekstraksi,
konsentrasi, dan individualisasi tanah, serta komersialisasi tenaga kerja akibat
masuknya ekonomi perkebunan, semakin mempercepat terjadinya perubahan sosial
ekonomi masyarakat pedesaan. Terjadinya perubahan sosial ekonomi ini, di satu
pihak memang ada yang diuntungkan, namun di pihak lain banyak warga pedesaan
yang dirugikan. Lebih-lebih dengan semakin luasnya penggunaan ekonomi uang
(monetisasi), masyarakat pedesaan yang sebelumnya basis ekonominya subsistensi
telah masuk dalam sistem ekonomi uang. Masyarakat pedesaan yang merasa
dirugikan dengan masuknya sistem ekonomi uang ini, kemudian mencoba melakukan
perlawanan, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Merebaknya protes-protes
sosial di pedesaan yang kadang disertai dengan kekerasan merupakan gejala endemic
yang terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Di lain pihak perlawanan yang
bersifat non fisik, diwujudkan dengan memunculkan atau menghidupkan kembali
kepercayaan terhadap kekayaan haram, seperti munculnya cerita tentang tuyul, buto
ijo, babi ngepet, nyai blorong, pesugihan kera, pesugihan macan, dan sebagainya
(Isnaini Wijaya dan Supariadi, 2003: 16).
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
9/17
9
C. Sistem Pemilikan Tanah
Salah satu ciri terpenting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapatnya
berbagai macam bentuk pemilikan tanah terutama yang didasarkan atas konsep-
konsep tradisional (Gunawan Wiradi, 1984: 293). Menurut Koentjaraningrat, ada
empat sistem pemilikan tanah di Jawa, yaitu sistem milik umum atau komunal dengan
pemakaian beralih (norowito), sistem milik dengan pemakaian bergilir (norowito
gilir), sistem komunal dengan pemakaian tetap (bengkok ), dan sistem individu/ yasan.
Adapun hak-hak atas tanah meliputi hak persekutuan atas tanah dan hak
perseorangan atas tanah. Hak persekutuan atau hak pertuanan ini oleh Van
Vollenhoven dinamakan beschikkingsrecht (Vollenhoven, 1918). Di Yogyakarta, hak
pertuanan atau hak ulayat dinamakan “tanah desa” atau “tanah kas desa” (Hadi
Suprapto, 1977: 4). Tanah kas desa merupakan tanah yang dimiliki oleh seluruh
anggota masyarakat desa, dan penggunaannya diatur oleh kepala desa, yaitu bekel
atau lurah desa. Hak-hak perseorangan atas tanah berarti hak atas tanah yang dapat
dimiliki oleh para anggota persekutuan masyarakat desa. Hak milik perseorangan ini
adalah hak milik pribadi, artinya para pemilik dapat menjual, memberikan,
menggadaikan, menukarkan, dan sebagainya. Hak milik perseorangan ini ada
bermacam-macam, antara lain:
1.
Hak milik. Pemilik tanah dapat menjual, menggadaikan, menukarkan, dan
sebagainya.
2.
Hak pungut hasil, yaitu hak untuk mengusahakan atau menanami tanah yang
bukan miliknya sendiri dengan persetujuan kepala desa.
3. Hak didahulukan, yaitu hak yang dimiliki oleh warga untuk lebih dahulu
mengerjakan tanah tetangganya, meskipun orang dari luar desa menghendaki
untuk mengerjakan tanah.
4.
Hak keuntungan jabatan, yaitu hak untuk menarik keuntungan dari sesuatu
bidang tanah desa selama ia memegang jabatan maupun berhenti dengan
hormat. Akan tetapi mereka tidak boleh menjual maupun menggadaikan tanah
jabatan itu kepada orang lain.
5. Hak blengket, yaitu seseorang untuk lebih dahulu membeli tanah di
sebelahnya, daripada orang lain apabila terjadi transaksi jual beli. Hak ini
dapat terjadi bila letak tanahnya bergandengan (belendingen perceel ) dengan
tanah yang akan dijual.
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
10/17
10
Hukum tanah di daerah Kesultanan dan Susuhunan, menentukan bahwa hak
milik atas tanah seluruh luas tanah adalah mutlak di tangan penguasa (Roll, 1983: 49).
Hukum tanah yang berlaku sejak jaman kolonial di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta adalah raja, yang dianggap sebagai perantara antara Allah dan rakyat
adalah pemilik satu-satunya dari seluruh areal tanah yang terletak dalam teritorium
kekuasaan mereka (Roll, 1983: 50). Selama tanah milik untuk pertanian tidak
digunakan untuk keperluan raja-raja sendiri, tanah ini diijinkan untuk digunakan
sebagai gaduhan (apanage) oleh anggota keluarga raja atau kepada pegawai negara
yang berdarah ningrat, agar mereka mengurus dan memungut pajaknya.
Pola pemilikan tanah di Jawa dibentuk sebelum lahan menjadi terbatas
(Kuntowijoyo, 194: 8). Meskipun sudah ada Undang-undang Agraria 1870 yang
mendorong pemilikan tanah secara perseorangan, tetapi sampai tahun 1930-an masih
banyak tanah yang dimiliki secara komunal oleh desa. Untuk pribumi, hak atas tanah
terbagi atas tiga macam, yaitu: (1) pemilikan tanah perorangan yang dapat diwariskan,
(2). Pemilikan komunal dengan bagian tetap, dan (3). Pemilikan komunal dengan
bergiliran secara periodik. Pada pola yang pertama, tanah dapat diperjualbelikan. Pola
yang kedua tidak memperkenankan orang menjual atau menggadaikan, sebab
pemilikannya hanyalah hak pakai. Pola yang ketiga menunjukkan rendahnya hak atas
tanah, sebab desa mempunyai kekuasan kontrol atas distribusi tanah dan
membagikannya secara periodik kepada petani yang memerlukan.
Dalam hal pemilikan tanah, desa-desa tradisional Jawa bukanlah masyarakat
egalitarian. Akses pada tanah banyak ditentukan oleh hak-hak historis. Para pendatang
pertama telah membagikan tanah untuk keperluan keluarga mereka seluruhnya,
sehingga kesempatan pendatang baru mendapatkan tanah juga langka. Dalam banyak
contoh adanya tanah komunal itulah satu-satunya lembaga yang memungkinkan orang
baru mendapat tanah dari desa. Perundangan individualisasi tanah menyempitkan
lahan komunal dan sekaligus menyiapkan monetisasi tanah pedesaan. Karena itu di
pedesaan kemudian dikenal pelapisan penduduk berdasarkan ukuran pemilikan tanah.
Kelas sosial itu ada tiga macam, yaitu: (1). golongan penduduk inti (wong baku,
gogol . Pribumi) yang nenek moyang mereka menjadi pendiri desa sehingga mereka
mempunyai tanah pertanian, rumah, dan pekarangan, dan menjadi anggota masyarakat
desa dengan hak dan kewajiban penuh, (2) para indung yang mempunyai sebidang
tanah pertanian atau rumah pekarangan, tetapi tidak kedua-duanya, sehingga mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas pula, dan (3) mereka yang nusup tlosor ,
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
11/17
11
atau bujang yang tidak mempunyai bagian baik tanah maupun rumah pekarangan.
Golongan ketiga ini bekerja sebagai penyakap, buruh tani, dan pekerjaan serabutan
lain di desa (Kuntowijoyo, 1994: 10; Soemarsaid Moertono, 1985: 144).
Meskipun demikian di desa tradisional bukan tidak ada mobilitas. Perkawinan
dapat terjadi antara pendatang dengan penduduk setempat, atau antara golongan sosial
satu dengan lainnya. Adanya kaum pedagang di desa sering menjadikan sistem
stratifikasi berdasar pemilikan tanah menjadi goyah, yaitu jika pedagang, yang semula
dari kelas tidak bertanah atau tidak mempunyai rumah pekarangan mampu
mengumpulkan kekayaan dan sanggup pindah kelas sosial. Jual beli tanah pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak atau orang
lain yang berupa dari penjual kepada pembeli. Namun, dalam gadai tanah tidak
terjadi pengalihan hak atas tanah. Perjanjian jual beli tanah, sewa-menyewa, gadai
tanah pada umumnya harus dilaksanakan pada tanah yang dimiliki berdasarkan status
hak milik.
Setiap pemilik tanah, baik pria maupun wanita, juga memiliki berbagai hak
yang tertera dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda
dalam tahun 1906. Hak-hak yang terpenting adalah: hak untuk memilih calon bagi
pemilihan kepala desa atau pegawai pamong desa; hak untuk mengajukan petisi
kepada kepala distrik; hak untuk mengganti kepala desa yang sudah tidak dipercaya
lagi oleh penduduk desa; dan hak untuk berpartisipasi dalam rapat-rapat penting yang
diadakan oleh pamong desa, di mana dibicarakan berbagai hal yang bersangkutan
dengan komunitas desa. Misalnya rapat selapanan, harus dikunjungi oleh para kuli.
Kadang-kadang kepala desa juga rapat dengan dewan kuli, membicarakan pembagian
kembali tanah pekulen, apabila ada seorang kuli berhenti dari jabatannya, atau apabila
seorang kuli meninggal tanpa meninggalkan seorang ahli waris. Sebaliknya
kedudukan sebagai kuli juga membawa kewajiban-kewajiban tertentu, seperti (1)
kerigan, atau menyediakan tenaga buruh untuk kepentingan masyarakat desa, untuk
kepentingan pegawai pamong desa, dan untuk dipekerjakan sebagai buruh pekerjaan
umum untuk pemerintah; (2 ) tuguran, atau jaga malam di desa; (3) palagara, atau
kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi dan uang pada waktu-waktu tertentu kepada
kepala desa dan para pegawai pamong desa, sesuai dengan adat-istiadat setempat
(Koentjaraningrat, 1984: 199-200). Meskipun beban yang sangat berat itu, kedudukan
sebagai kuli masih tetap mempunyai peminat yang cukup besar dalam masyarakat
desa di Jawa, karena jabatan itu menaikkan gengsi seseorang.
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
12/17
12
D. Struktur Sosial Masyarakat
Di dalam daerah atau kerajaan agraris, baik kedudukan maupun peranannya
sangat ditentukan oleh luas sempitnya pemilikan tanah. Pemilik tanah sebagai
penanggung beban kepada pemerintah kolonial mempunyai tugas berat yaitu
membayar pajak natura, innatura, dan uang (Suhartono, 1995:35). Stratifikasi sosial di
kalangan petani didasarkan atas penguasaannya terhadap tanah (Onghokham, 1977:
15). Golongan yang menguasai tanah disebut sikep, mereka yang menanggung beban-
beban atas tanah. Di bawah golongan sikep terdapat kelas petani yang terendah
golongan manumpang atau bujang yang tidak dibebani apa-apa oleh negara.
Menurut tradisi Jawa, pada dasarnya raja dianggap pemilik tanah yang
tertinggi. Bahkan di sini ditegaskan bahwa sejak dahulu di kerajaan Jawa, kekuasaanraja sedemikian besarnya sehingga dapat mempengaruhi rakyat di atas hak miliknya
yang menentukan hidup mati. Dengan demikiaan tanah dianggap milik raja
(“kagungan Dalem Nata”) sedang rakyat hanya menggaduh saja (Gatut Munrniatmo,
1989: 14). Sebagai pemilik, raja menyerahkan tanahnya kepada “kawulanya” yaitu
rakyat kebanyakan untuk digarap. Suatu prinsip yang menyertai penyerahan tanah
milik kepada orang lain untuk digarap, yang sudah sangat tua dan yang berlaku di
manapun di dunia ini ialah azas bagi hasil ½ - ½, ½ hasil untuk pemilik dan ½ untuk
penggarap tanah.
Bermula dari kerangka pikir seperti itulah maka di Jawa dan DIY, tata susunan
masyarakatnya pun mengenal lapisan-lapisan (strata) yang didasarkan atas hak dan
kewajiban serta pemilikan tanah. Di dalam masyarakat agraris, tanah memang
merupakan dasar stratifikasi sosial, sehingga kebutuhan akan tanah sangat diperlukan
demi status sosialnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa orang yang menguasai
tanah adalah mempunyai status sosial yang tinggi, jika dibandingkan dengan orang
yang tidak mempunyai tanah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asal mula terjadinya stratifikasi
sosial dalam masyarakat adalah karena adanya sesuatu yang dihargai atau yang
dianggap berharga di dalam masyarakat. Sesuatu yang berharga tersebut di dalam
masyarakat luas dapat saja berupa uang, benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesholehan dalam agama, atau “darah” sebagai
keturunan bangsawan (Soerjono Soekanto, 1981: 216). Stratifikasi sosial ada sejak
manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam masyarakat. Tentu saja ukuran
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
13/17
13
sesuatu barang yang dihargai berbeda antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lainnya.
Adanya stratifikasi sosial mengakibatkan munculnya kedudukan dalam
masyarakat. Jika hanya mempunyai sedikit sesuatu yang dihargai berarti mempunyai
kedudukan yang rendah dan jika mempunyai banyak sesuatu yang dihargai berarti
mempunyai kedudukan yang tinggi
Penduduk Yogyakarta, seperti penduduk tradisional lainnya dapat dibedakan
menjadi dua lapisan. Kelompok pertama disebut kaum priyayi yang terdiri dari
bangsawan dan elite birokrat, sedangkan lapisan yang kedua adalah wong cilik dan
tinggal di daerah-daerah pinggiran serta jumlahnya besar. Lapisan kedua ini terdiri
dari petani, tukang pengrajin, dan sebagianya (Sartono Kartodirdjo, 1969). Priyayi
dan wong cilik terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu masalah gaya hidup.
Golongan priyayi mempunyai gaya hidup yang serba gemerlap dan penuh dengan
nilai simbolik. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jarak dan kewibawaan terhadap
golongan yang dibawahinya (Darto Harnoko, 2004: 16).
Faktor pemilikan tanah merupakan dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial
bagi masyarakat agraris, hal ini juga berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Meskipun
data mengenai pemilikan tanah untuk masing-masing penduduk tidak tersedia tetapi
dilihat dari letak pemukiman dan mata pencaharian, mayoritas penduduk Yogyakarta
adalah petani. Selain itu penduduknya ada yang menjadi pedagang, pengrajin,, buruh
pabrik, nelayan, dan sebagian kecil ada yang bekerja sebagai buruh di kota.
Perubahan ekonomi, politik, dan demografi yang terjadi sejak abad XIX
mempengaruhi hubungan kekuasaaan dan kekayaan di daerah pedesaan. Pada akhir
abad XIX, penduduk Jawa mengalami peningkatan yang pesat dan keadaan ini diikuti
oleh proses fragmentasi pemilikan tanah yang mempengaruhi struktur sosial yang ada.
Selain itu, ekonomi pasar mulai masuk dan lambat laun terjadi kecenderungan petani
yang mempunyai lahan kecil untuk melepaskan hak milik atau hak penguasaan
tanahnya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya beban yang
ditanggung oleh penduduk berupa pajak dan layanan sosial, sehingga tidak jarang
penduduk terlibat dengan lintah darat masalah hutang piutang. Apabila mereka tidak
dapat membayar, maka harus menyerahkan tanahnya dan menjadi buruh tani pada
petani kaya.
Seorang petani menggarap tanah dan penghidupan utama diperoleh dari situ.
Bagaimana lekatnya seorang petani kepada tanah dapat dilihat dari istilah-istilah yang
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
14/17
14
ia kaitkan kepada cara-caranya menguasai tanah. Ia menamai tanah itu tanah pusaka
(heirloom land) dan tanah yasa ( self developed land ). Oleh karena itu perbedaan kelas
antara kaum petani didasarkan atas cara ia menguasai tanah. Petani penguasa tanah
disebut “sikep” (mereka yang memikul atau menanggung beban tanah), petani
“sikep” mempunyai “numpang” (tangunggan) juga disebut “bujang” (belum menikah)
yang merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Dalam hal makan dan
tempat tinggal seorang petani “numpang” tergantung sepenuhnya kepada “sikep”
kepada siapa ia mempersembahkan seluruh pekerjaannya. Petani “numpang” tidak
mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerjabakti terhadap negara
melainkan terhadap “sikep”nya, yang mungkin kadang-kadang menggunakan mereka
untuk melakukan kerjabakti kepada negara. Oleh karena semua kewajiban terhadap
negara seperti pajak atau kerja bakti dibebankan kepada kaum petani penguasa tanah.
Di samping “sikep” yang elite diantara kaum petani dan “numpang” ada golongan
petani menengah. Petani “numpang” yang menikah dan telah cukup lama melayani
“sikep”nya diberi pembagian dari tanah desa atau persekutuan (tanah “lanyah”)
(Darto Harnoko, 2004: 9-10). Jika bagi kaum tani “sikep” itu berarti penguasa tanah,
bagi kaum elite mereka itu terutama berarti orang-orang yang bertanggung jawab
untuk sumbangan dan kerja bakti. Hubungan antara keduanya menurut istilah Jawa
digambarkan sebagai hubungan antara “kawula-gusti” (hamba dan tuan) yang
pemunculannya dalam bentuk kesatuan dicita-citakan. Menurut istilah modern
“kawula-gusti” itu diterjemahkan dengan pelindung anak buah ( patron client).
Di antara penduduk tani sendiri masih terdapat stratifikasi sosial di desanya.
Di sini kepala desa dan para pembantunya mempunyai prestise sosial yang tertinggi.
Di luar kelompok pamong desa, stratifikasi sosial didasarkan atas dasar pemilikan
tanah, yang menempati kedudukan sosial pertama dan tertinggi adalah “kuli
kenceng”, kelas ini juga mencakup mereka yang hanya memiliki tanah kering yang
mudah ditanami, akan tetapi status mereka berada sedikit dibawah para pemilik tanah
sawah. Tingkat sosial berikutnya adalah “kuli karang kopek ” yang tidak memiliki
sawah tetapi hanya pekarangan. Berikutnya adalah “kuli indung ” atau “kuli gandok ”
yang sama sekali tidak memiliki tanah, akan tetapi memiliki rumah pada tanah orang
lain. Kelas keempat dan terakhir adalah “indung tlosor ”, yang tidak memiliki tanah
maupun rumah, menumpang pada keluarga-keluarga lain dan bekerja untuk mereka
sebagi imbalannya (Selo Sumardjan, 1986: 41).
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
15/17
15
Kesimpulan
Reorganisasi tanah di Kasultanan Yogyakarta mengakibatkan terjadinya
perubahan status tanah. Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak hanggadhuh telah
dihapuskan dan hak atas tanah itu diberikan kepada petani dengan hak handarbe
(milik) individual. Sebelum tahun 1918 kedudukan kaum tani dalam hubungannya
dengan pemerintahan dan masyarakat, kaum tani hanya memiliki kewajiban dan tidak
mempunyai hak. Pada tahun antara 1918 sampai 1951 kaum tani mempunyai hak dan
kewajiban. Perubahan hukum tanah membawa dampak perubahan penting dalam
organisasi sosial penduduk pedesaan.
Di dalam masyarakat pedesaan, tanah mempunyai arti yang penting. Bagi
petani tanah bukan saja penting dari segi ekonomis, tetapi lebih dari itu adalah bahwa
tanah dapat pula dipakai sebagai kriteria terhadap posisi sosial pemiliknya. Stratifikasi
sosial di dalam masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan pemilikan tanah. Di
dalam menentukan status sosial, tanah merupakan kriteria untuk menentukan tinggi
rendahnya status seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Burger, D.H. 1977. Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Desa. Jakarta:
Bhratara.
Darto Harnoko.“Pergolakan Sosial di Surabaya pada Awal Abad XX: Studi Kasus
Tanah Partikelir”, dalam Patra-Widya Seri Penerbitan Penelitian Sejarah
dan Budaya Vol. 5, No. 3, September 2004.
Elson, R.E. 1984. Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry. Impact and
Change in an East Java Residency 1830-1940. Singapore: Oxford UP.
Gunawan Wiradi. 1984. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”. dalam
Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.). Dua Abad
Penguasaan Tanah pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari
Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.
Gatut Murniatmo, dkk. 1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah
Secara Tradisional di daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
Hadi Suprapto. 1977. Ikhtisar Perkembangan Hukum Tanah Daerah IstimewaYogyakarta. Yogyakarta: Aryakencana.
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
16/17
16
Ihalauw, John, et al . 1993. “Penguasaan Tanah Serta Implikasinya Terhadap
Keketatan Budaya” dalam Mubyarto (ed.). Peluang Kerja dan Berusaha
di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE.
Isnaini Wijaya W. dan Supariadi. 2003. “Mitos Pesugihan dan MunculnyaKetegangan Sosial Pada Masyarakat Jawa di Pedesaan Boyolali Jawa
Tengah”, Laporan Penelitian, Surakarta: FSSR UNS.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1994. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.
Onghokham, “Penelitian Sumber Gerakan Mesianis”, dalam Prisma 1, Januari 1977
(Jakarta: LP3ES), hlm. 15.
Roll, Werner, 1983. Struktur Pemilikan Tanah di Indonesia. Studi Kasus DaerahSurakarta, Jateng. Terj. Jane Tjan. Jakarta: Rajawali.
Rouffaer, G.P., 1931. Adatrecht-bundels Jilid XXXIV . „s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff.
Sartono Kartodirdjo. 1969. “Stratifikasi Sosial dari Masyarakat Tradisional dan
Kolonial”, dalam Lembaran Sejarah, No. 4. Yogyakarta: Fakultas Sastra
dan Kebudayaan UGM, Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah.
Schwencke, G. 1932. Het Vorstenlandsche Grondhuurreglement in de practijk en het
Grondenrecht in Jogjakarta. Djokja: H. Buning.
Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Terj. Marwan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Selo Sumardjan. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak. Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-1926.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Soekasno. “Het Particuliere crediet in den Klapper - en Coprahandel in Bantam”.
dalam VCW , 1936.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau: Studi Tentang Masa mataram II, Abad XVI Sampai XIX .
Jakarta: YOI.
Soepomo, R. 1927. De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest
Soerakarta. s‟Gravenhage: L. Gerretsen.
Soerjono Soekanto. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar . Jakarta: UI Press.
8/18/2019 Penguasaan Tanah Dan Struktur Sos. Psk09
17/17
17
Suhartono,1991. Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan surakarta 1830-
1920.Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.
------------.1995. Bandit-bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942.
Yogyakarta: Aditya Media.
Vollenhoven, C.van. 1918. Het Adatrecht van Nederlandsh-Indie. Leiden: E.J. Brill.