188
TESIS KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN NI NYOMAN MARIADI NIM 0990561030 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 i

Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tesis Ni Nyoman Mariadi (Ilmu Hukum, Udayana, 2011)

Citation preview

Page 1: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

1

TESIS

KEWENANGAN PEMERINTAH

DALAM MENETAPKAN

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN

LUAS TANAH PERTANIAN

NI NYOMAN MARIADI

NIM 0990561030

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

i

Page 2: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

2

KEWENANGAN PEMERINTAH

DALAM MENETAPKAN

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN

LUAS TANAH PERTANIAN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister,

Program Studi Ilmu Hukum, Porogram Pascasarjana Udayana

NI NYOMAN MARIADI

NIM: 0990561030

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

ii

Page 3: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

3

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL, 28 Oktober 20011

Pembimbing I,

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum.

NIP. 19591231 198602 1 007

Pembimbing II ,

Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH.

NIP. 19590923 198601 1 001

Mengetahui

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.MH

NIP. 195604191983031003

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)

NIP. 19590215198510200

iii

Page 4: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

4

Tesis Ini Telah Diuji Pada

Tanggal, 28 Oktober 2011

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, Nomor: 0035/H14.4/HK/2011

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.Mhum

Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH.

Anggota : 1. Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, SH.Mhum

2. Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH.MH.

3. I Gede Yusa, SH.MH.

iv

Page 5: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

5

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (Ida

Sanghyang Widhi Wasa), karena berkat karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini, yang berjudul “Kewenangan Pemerintah Dalam

Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian“, dan besar harapan

penulis semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum

khususnya hukum pemerintahan, yang tentunya atas dukungan, petunjuk dan

bimbingan dari semua pihak.

Mengingat Tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, yang

disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis, maka penulis

sangat berharap kepada para pembimbing agar sudi kiranya memberikan

bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran, sampai tesis ini dapat

diterima dan bermanfaat bagi semua pihak Pada kesempatan ini, perkenankan

penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM), selaku Rektor Universitas

Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti

studi pada Program Stuti Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

2. Ibu Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan dan dukungan yang

diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

v

Page 6: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

6

3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., SU., selaku Ketua Program

Studi Maguster Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas kesempatan dan

bimbingan yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi pada

Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum., selaku dosen Pembimbing I

atas petunjuk, dukungan, dan bimbingannya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku dosen Pembimbing II atas

arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

tesis ini.

6. Panitia Penguji Tesis, Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum.,

selaku Ketua, Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH., selaku Sekretaris,

Bapak Prof. Dr. Yohanes Usfunan, SH., M..Hum., selaku Anggota, Bapak

Gede Marhaendra Wija Atmaja, SH., MH., selaku Anggota, dan Bapak I

Gede Yusa, SH., MH., selaku Anggota, yang telah meluangkan waktunya

untuk menguji dan memberi masukan-masukan dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana yang telah membagi ilmunya kepada penulis selama mengikuti

studi.

8. Bapak/Ibu Staf Administrasi pada Program Magister Studi Ilmu Hukum

Universitas Udayana, yang dengan dedikasi dan integritasnya yang tinggi

melayani penulis selama menempuh pendidikan.

vi

Page 7: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

7

9. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian

penulisan tesis ini.

10. Ayahanda I Made Toya, Ibunda Ni Luh Kerni, Mertua, dan saudara-

saudara tercinta, atas dukungan moral serta kasih sayangnya, dan atas

doanya yang sangat besar.

11. Suami tercinta I Gede Surata, SH, Mkn, dan anak-anak tercinta (Ni Putu

Aryanti Kamadeni, S.T., Kadek Vera Aryani, S. Ked., Komang Cristin

Maryani, SH, I Gede Arya Wira Yuda, dan I Gede Arya Wira Sena) atas

dukungan, bantuan, pengertian dan kasih sayangnya yang sangat

membantu dalam penulisan tesis ini.

12. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu,

baik perorangan maupun kelembagaan, yang telah membantu dalam

penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu penulis sangat mengharapkan kriitik dan saran yang bersifat membangun dari

para pembaca yang budiman demi penyempurnaan tesis ini, dan semoga dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Denpasar, 28 September 2011

Penulis

Ni Nyoman Mariadi

vii

Page 8: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

8

RINGKASAN

Penelitian tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub-

sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan permasalahan yang

diteliti tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan

pemilikan luas tanah pertanian.

Bab I, sebagai bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang

permasalahan dan alasan melakukan penelitian yang berjudul “Kewenangan

Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah

Pertanian”, yaitu adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang

menguasai dan memiliki tanah pertanian melampaui batas maksimum.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU 56 Prp Tahun 1960, untuk daerah

yang digolongkan “daerah cukup padat” tidak diperbolehkan menguasai dan

memiliki luas tanah pertanian melebihi batas maksimum 9 Ha untuk tanah kering

dan 7 Ha untuk tanah basah, ini berarti boleh menguasai dan memikiki tanah

pertanian seminim-minimnya. Namun disisi lain, pada Pasal 8 tidak

diperbolehkan memiliki tanah pertanian dibawah batas minimum 2 Ha.

Bab II, menguraikan mengenai tinjauan umum terhadap kewenangan

pemerintah di bidang pertanahan.

Bab III, merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yakni apa

dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan/atau batas

minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Dalam pembahasannya

menguraikan tentang penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, bagaimana

mekanisme pemberian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dan dasar

hukum kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum-minimum

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

Bab IV, merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yakni apa

konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang

melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum. Dalam

pembahasannya menguraikan tentang pengaturan, tujuan, larangan tentang batas

maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian,

dan bagaimana konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian yang melampaui batas maksimum dan batas minimum.

Bab V, adalah bagian penutup yang merupakan simpulan dan saran dari

pembahasan permasalahan dalam tesis ini. Dari pembahasan permasalahan

pertama diperoleh simpulan bahwa dasar kewenangan pemerintah dalam

menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian adalah UU 56 Prp Tahun 1960 dan PP 224 Tahun 1960 yang merupakan

perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dalam hal ini pemerintah memandang

bahwa urusan pertanahan merupakan hukum nasional sehingga tidak dapat

viii

Page 9: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

9

dilimpahkan kepada pemerintah daerah otonomi berdasarkan Pasal 13 dan 14 UU

No. 32 Th. 2004. Konsekwensi yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas

maksimum dan/atau batas minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana, dan

tanah kelebihan dari batas maksimum akan diambil oleh negara menjadi tanah

obyek landreform tanpa mendapat ganti kerugian. Demikian juga terhadap

peralihan hak melalui pemecahan tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya

menjadi kurang dari 2 Ha (dibawah batas minimum) maka dinyatakan batal demi

hukum dan tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut ganti rugi, kecuali

dalam rangka pelaksanaan penatagunaan tanah.

ix

Page 10: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

10

ABSTRAK

Tesis ini berjudul Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Penguasaan

dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian. Permasalahan yang dibahas dari penelitian

tesis ini adalah apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas

maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian?,

dan apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian

yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas minimum?

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif

(penelitian doktrinal) dengan menggunakan bahan penelitian yang terdiri dari

bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum

sekunder berupa literatur terkait dengan permasalahan yang dibahas, dan bahan

hukum tersier berupa kamus bahasa. Meskipun penelitian ini bersifat normatif

namun tetap membutuhkan data-data di lapangan (empiris). Penelitian ini

menggunakan studi kepustakaan, dengan metode pendekatan perundang-

undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan historis. Selanjutnya bahan

hukum yang dihimpun dianalisis secara deskriptif, interpretasi, evaluatif,

sistematisasi, dan argumentatif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini maka dapat

ditemukan jawaban permasalahan yang diangkat yakni pertama dasar kewenangan

pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian adalah UU Nomor 5 Tahun 1960, UU 56 Prp Tahun

1960 dan PP 224 Tahun 1960 sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

dengan tujuan pemerataan yang adil atas sumber penghidupan. Konsekwensi

yuridis jika melanggar larangan pemilikan batas maksimum dan/atau batas

minimum tersebut akan dikenakan sanksi pidana dan tanah kelebihan dari batas

maksimum akan diambil oleh negara tanpa mendapat ganti kerugian, kecuali

dengan izin Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka penatagunaan tanah.

Kata Kunci: Kewenangan, Pemilikan, Tanah Pertanian.

x

Page 11: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

11

ABSTRACT

This thesis entitled the Authority of Government in Determining the

Concession and Ownership of Agriculture Land. The problem discussed in this

thesis is on what basis the government’s authority in setting a maximum limit or

minimum control and ownership of agricultural land, and what juridical

consequences emerges on the acquisition and ownership of agricultural land that

exceeds the maximum limit or below the minimum limit.

This study applied normative law research method or doctrinal study

using research material that consist of primary legal material in the form of

legislation, secondary legal materials in the form of literature related to the

subject matter, and legal materials in the form of tertiary language dictionary.

Although the research is normative, it still needs the empirical data. This study is

used a literature study, the method of approach to legislation, conceptual

approaches, and historical approach. Further, the legal materials collected were

analyzed in descriptive, interpretative, evaluative, systematic, and argumentative

ways.

Based on the result of the research conducted in this study, the answer of

the problem raised can be found; first the basic authority of the government in

setting maximum and minimum control and ownership of agricultural land is Law

No. 5 of 1960, Act 56 Substitute Government Regulation Year 1960 and

Government Regulation Number 224 of 1960 as manifestation of Article 33

paragraph (3) of the 1945 Constitution with the goal of equitable distribution of

livelihood. Juridical consequence, if it violates the ban on the ownership limit

and/or minimum limits will be subject to criminal sanctions and the excess of the

maximum limit of land will be taken by the state without getting compensation,

except in the context of stewardship land by the permission from the Head of Land

Affairs Office.

Keywords: Authority, Ownership, Agricultural Land

xi

Page 12: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

12

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR ........................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................. v

UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... vi

RINGKASAN .................................................................................................... viii

ABSTRAK ......................................................................................................... x

ABSRTACT ....................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang masalah .................................................................. 1

1.2. Rumusan masalah ........................................................................... 11

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 11

a. Tujuan Umum ............................................................................ 12

b. Tujuan Khusus .......................................................................... 12

1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 12

a. Manfaat Teoritis ......................................................................... 12

b. Manfaat Praktis .......................................................................... 12

1.5. Landasan Teoritis ............................................................................ 13

xii

Page 13: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

13

1.5.1. Konsep Negara Hukum ......................................................... 13

1.5.2. Teori Kewenangan ............................................................... 22

1.5.3. Teori Keadilan ............................................................... 28

1.5.4. Konsep Hukum Tanah Nasional ..................................... 33

1.5.5. Asas Hukum Tanah Nasional .......................................... 35

1.6. Metode Penelitian .................................................................. 38

1. 6.1. Jenis Penelitian ................................................................ 38

1. 6.2. Jenis ................................................................................. 40

1. 6.3. Sumber Bahan Hukum ..................................................... 42

1. 6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................. 43

1. 6.5. Teknik Analisa Bahan ..................................................... 44

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN

PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN ................................. 47

2.1. Kewenangan Urusan Pemerintah di Bidang Pertanahan .............. 47

2.2. Sumber Wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN) ............... 61

BAB III DASAR HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH

DALAM MENETAPKAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN

LUAS TANAH PERTANIAN ......................................................... 75

3.1. Pengertian Tentang Penguasaan dan Pemilikan

Hak Atas Tanah ........................................................................ 75

3.2. Mekanisme Pemberian Kewenangan Pemerintah

Di Bidang Pertanahan ................................................................ 82

xiii

Page 14: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

14

3.3. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan

Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan

Pemilikan Luas Tanah Pertanian ................................................ 100

BAB IV KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP PENGUASAAN

DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN

YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM DAN

DIBAWAH MINIMUM ............................................................... 121

4.1. Pengaturan Tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum

Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ................................ 121

4.2. Tujuan Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum

Penguasaan dan Pemilikan Tanah Pertanian ...................................... 127

4.3. Larangan Menguasai Tanah Pertanian Melampaui

Batas Maksimum dan/atau Batas Minimum ......................................... 133

4.4. Konsekwensi Yuridis Terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan Batas Minimum ............... 144

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 162

5.1. Simpulan .................................................................................................. 162

5.2. Saran ........................................................................................................ 163

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 165

LAMPIRAN

xiv

Page 15: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

15

DAFTAR LAMPIRAN

1. UU No. 5 Prp Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

2. PP. No. 224 Th. 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan

Pemberian Ganti Kerugian.

3. Kepres. No. 34 Th. 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan.

4. Perpres. No. 10 Th. 2004 tentang Badan Pertanahan Nasional.

5. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah:

pertanian.

6. Surat Pernyataan Pemecahan Tanah Pertanian, rencana penggunaan tanah

perumahan.

7. Surat Pernyataan Tidak Menjadi Pemegang Hak Atas Tanah Melebihi

Ketentuan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan

Pemilikan Tanah Pertanian.

xv

Page 16: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat

terpisahkan dengan kehidupan manusia. Karena bagi manusia, tanah merupakan

tempat untuk hidup dan sumber kehidupan. Tanah sebagai tempat berusaha

merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, dalam

melakukan aktivitas apapun manusia tidak bisa lepas dari tanah.

Dalam negara agraris seperti ini sebagian besar penduduknya mempunyai

penghidupan atau bermatapencaharian dalam lapangan pertanian, sehingga tanah

sangat berarti bagi sumber penghidupan manusia, baik sebagai tempat tinggal

maupun untuk pertanian, dan sebagai tempat peristirahatan terakhir. Tanah

merupakan hajat hidup orang banyak, merupakan sumber daya alam, dan

kekayaan alam yang tiada bandingannya, sehingga wajib dipelihara untuk

mencegah terjadinya kerusakan tanah agar lebih berdaya guna dan berhasil guna

bagi kesejahteraan masyarakat.

Kemajuan pesat yang telah dicapai Bangsa Indonesia dalam bidang industri,

jasa dan properti tidak sebanding dengan perkembangan dalam sektor pertanian.

Salah satu penyebabnya adalah karena tanah pertanian (lahan pertanian) yang

menjadi tempat gantungan hidup dan sumber penghidupan petani sebagian besar

dikonversi menjadi lahan industri dan lahan perumahan yang praktis

membutuhkan ketersediaan tanah yang tidak sedikit. Disamping itu masih banyak

1

Page 17: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

2

terdapatnya kepemilikan tanah yang tidak proporsional karena sebagian besar

tanah-tanah pertanian dimiliki oleh penguasa absentee yang berdomisili di kota-

kota atau di tempat lain jauh dari tanah miliknya dengan cara mengupayakan

multi identitas, tidak saja pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan tetapi juga

adanya pemilikan di luar kabupaten, sehingga banyak pemilik tanah yang tidak

mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian miliknya.

Keadaan-keadaan seperti itu tidak hanya berdampak pada pemilikan tanah

pertanian yang berlebih-lebihan sehingga mempersempit luas areal tanah

pertanian rakyat petani, tetapi yang lebih serius lagi, yaitu antara lain dapat

mendorong naiknya intensitas perpencaran tanah, mengkutubnya peralihan tanah,

dan pemecahan tanah menjadi bagian yang kecil-kecil yang tidak teratur

ukurannya atau luasnya, jelas keadaan ini tidak dapat mendukung dan tidak

melengkapi usaha-usaha kearah yang lebih baik. Hal ini akan semakin mematikan

fungsi sosial dari pada tanah, yang dapat menimbulkan konflik-konflik yuridis

pertanahan dan bahkan bisa melebar pada aspek ekonomi politik. Keadaan yang

mematikan fungsi sosial tanah, telah tercermin jauh sebelum dan setelah

kemerdekaan.

Pada jaman penjajahan Belanda, penguasaan tanah sangat tidak

mencerminkan keadilan dan pemerataan. Hal ini terbukti pada jaman itu dikenal

adanya tanah-tanah partikelir atau tanah pertuanan (hak-hak pertuanan). Tuan-

tuan tanah ini memiliki tanah yang sifatnya monopoli, dan tuan-tuan tanah

mempunyai hak yang demikian besar serta banyak yang menyalahgunakan

haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat,

Page 18: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

3

karena tidak adanya pembagian yang merata atas sumber penghidupan. Sikap

tuan-tuan tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya yang sangat

merugikan masyarakat menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk,

sehingga sudah barang tentu bertentangan dengan asas keadilan sosial yang

dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.1

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,

mempunyai dua arti penting bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yaitu

pertama; Bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan Hukum Agraria

kolonial, dan kedua; Bangsa Indonesia sekaligus menyusun Hukum Agraria

Nasional.2 Pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum

agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni

dengan harapan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Pembaharuan di bidang

keagrariaan adalah sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”. Jelas bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang

merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.

Pada tanggal 24 september 1960 merupakan hari yang sangat bersejarah dan

sangat penting dalam kehidupan hukum di Indonesia, karena pada tanggal tersebut

telah ditetapkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

1 Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi kedua, Sinar

Grafika, Jakarta, h. 102

2 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan kelima,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.

Page 19: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

4

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960 Nomor 104), yang

lebih dikenal dengan nama “Undang-Undang Pokok Agraria” (selanjutnya

disingkat UUPA), undang-undang ini bertujuan merubah nasib warga negara

Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah. Salah

satu yang cukup penting dengan diundangkannya UUPA antara lain ialah yang

berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam reformasi pertanahan

(dicanangkannya program landreform), yaitu meliputi perombakan mengenai

pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan

dengan pengusahaan tanah.

Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan

haknya atas sumber penghidupan yakni hak atas tanah dan pembagian hasil yang

adil dan merata, serta dapat mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tapi

kenyataannya, dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak

ketimpangan-ketimpangan atau kurang proporsionalnya penguasaan dan

pemilikan tanah yang ada dalam masyarakat. Keadaan ini perlu diambil

langkah-langkah persiapan mengantipasi keadaan tersebut dengan sebaik-baiknya,

dalam hal ini perlu penerapan aturan secara optimal dalam mengatur pemilikan

dan penguasaan tanah, agar benar-benar dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa

Indonesia.

Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa: “Bumi, air, dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara…”,

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, pernyataan ini dapat berarti negara

berwenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

Page 20: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

5

persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. Wewenang

pada hak menguasai dari negara berarti untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

Selanjutnya Pasal 7 UUPA, yang menyatakan: “Untuk tidak merugikan

kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas

tidak diperkenankan”. Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 ini dan untuk

mencapai tujuan masyarakat yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, maka

diimplementasikan dalam Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang luas

maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak oleh

satu keluarga atau badan hukum.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut diatas,

pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian pada

tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1960.

Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas maksimum

dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan dimiliki sesuai

dengan keadaan daerah, luas daerah, dan jumlah penduduk daerah yang

bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah yang kemudian ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 (LN. 1960 No. 174),

penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN.) Nomor 5117

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun

1960 (selanjutnya disingkat UU 56 Prp Th. 1960), undang-undang ini dikenal

Page 21: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

6

merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang ini

mengatur tiga masalah yang pokok yaitu sebagai berikut:3

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan

pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Dalam daftar penggolongan daerah sesuai dengan Keputusan Mentri Agraria

No. Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian.

(T.L.N. NO. 2143), menetapkan penggolongan daerah dari yang tidak padat

sampai pada daerah yang padat (kurang padat, cukup padat, dan sangat padat).

Dan untuk Daerah Tingkat I Bali digolongkan sebagai Daerah yang “cukup

padat”. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) angka 2 huruf b UU 56 Prp

Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan bahwa

penguasaan dan pemilikan tanah pertanian pada daerah yang cukup padat

ditetapkan, yaitu: setiap orang dapat memiliki hak atas tanah dengan luas

maksimum untuk tanah kering adalah 9 Ha dan/atau tanah sawah maksimum 7,5

Ha, sedangkan dalam Pasal 8 menyatakan bahwa “Pemerintah mengadakan usaha-

usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2

(dua) hektar”.

Ketentuan-ketentuan yang ada dalam kedua pasal tersebut nampak adanya

konflik norma dalam pengaturannya, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 1

3Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, 1995,

Djambata, Jakarta, h. 355

Page 22: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

7

ayat (2) menentukan batas maksimum, ini berarti luas tanah yang seminim-

minimnya boleh dimiliki (artinya batas maksimum yang dimaksud itu telah

ditentukan seluas 9 Ha untuk tanah kering dan atau 7,5 Ha untuk tanah sawah).

Menurut kajian peneliti, ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dapat diartikan bahwa

penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dibawah batas maksimum

diperbolehkan, namun jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 8 dapat

diartikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah dibawah maksimum tidak

diperbolehkan. Ini berarti ada kontradiksi antara kedua pasal tersebut, yaitu di satu

pasal menentukan diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah pertanian

dibawah batas maksimum, sedangkan di pasal lain menentukan tidak

diperbolehkan menguasai dan memiliki tanah dibawah batas maksimum.

Ditetapkannya peraturan tentang pembatasan maksimum penguasaan dan

pemilikan tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 17 UUPA, dapat disebut

dengan “larangan latifundia” yang berarti adanya larangan terhadap pemilikan

dan penguasaan tanah yang sangat luas sehingga ada batas maksimum seseorang

boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan

tanah).4 Ceiling adalah batas maksimum dan minimum pemilikan tanah pertanian

yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada

Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tidak bertanah atau petani gurem.

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan

Luas Tanah Pertanian, pada intinya adalah memuat tentang batas maksimum

dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

4 A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar

Maju, Bandung, h. 72

Page 23: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

8

Mengenai batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas

tanah pertanian merupakan ranah “bidang pertanahan” Menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa salah

satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan

pemerintah daerah kabupaten/kota adalah bidang pertanahan, namun

kenyataannya yang menyangkut bidang hukum tanah dan kebijakan di bidang

pertanahan masih tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui instansi

vertikal di daerah, jelas dalam hal ini bertentangan dengan undang-undang

otonomi daerah.

Oleh karena adanya konflik norma tersebut di atas dan adanya

dissinkronisasi antara dasar hukum yang dipergunakan untuk mengatur

kewenangan pemerintah (pemerintah dan pemerintah daerah) dalam bidang

pertanahan maka peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai

“Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas

Tanah Pertanian”

Penelitian tentang Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan

dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian ini secara umum adalah membahas

mengenai bidang agraria atau bidang pertanahan. Dalam penelitian ini, peneliti

telah memperbandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga

membahas tentang pertanahan. Adapun penelitian tesis yang mirip dengan

penelitian ini antara lain :

1. Penelitian tesis dari Zulkarnain, Program Studi Ilmu Hukum, Bidang

Hukum Administrasi Negara, Program Pasca Sarjana Universitas

Page 24: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

9

Sumatera Utara, judul tesis Pelaksanaan Redistribusi Obyek

Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.

24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat. Penelitian tesis ini mengkaji bidang

pertanahan yang menyoroti tentang pemerataan ekonomi yang berkeadilan

dimana tanah merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut

kehidupan manusia. Penelitian ini menganalisis ketidakselarasan dalam

masyarakat tentang penguasaan ekonomi yang miskin dengan penguasaan

ekonomi nasional.5

2. Penelitian tesis dari Herry Iswanto, judul tesis “Penetapan Luas Minimum

Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani di Kabupaten Daerah Tingkat

II Magelang”. Dalam penelitian ini meninjau tentang bagaimana usaha-

usaha yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tingkat II

Magelang dalam menunjang tercapainya pelaksanaan penetapan batas

minimum pemilikan tanah pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal

8 Undang-Undang Nomor 56 Pro Tahun 1960, dan meninjau bagaimana

hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.6

3. Penelitian tesis dari Ariska Dewi, Program Pasca Sarjana Magister

kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2008, dengan

judul: Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah

“Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas. Penelitian ini mengkaji

5 Zulkarnain, 2006, Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform Berdasarkan Keputusan

Menteri Agraria Nomor SK. 24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat,

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/.5098

6 Herry Iswanto, Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para Petani

di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang, http//i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?datald=2030

Page 25: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

10

tentang Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan tanah

secara tidak merata dan tidak berkeadilan di Kabupaten Banyumas. 7

4. Penelitian tesis dari Nurhayati, SH., Progrtam Paasca Sarjana, Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, tahun

2006, dengan judul tesis “Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek

Landreform di Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang”. Penelitian

tesis ini mengkaji tentang redistribusi tanah yang menjadi obyek

landreform. Dalam penelitian ini menganalisis permasalahan tentang

bagamanakah pelaksanaan redistribusi tanah di Kecamatan Semarang

Barat dan bagaimanakah kondisinya dewasa ini?, adakah hambatan-

hambatan yang terjadi, dan bagaimana penyelesaiaanya.8

5. Penelitian tesis dari Ira Sumaya, Program Pasca Sarjana, Program Studi

Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007-2008, dengan judul

tesis “Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan

Ekonomi Masyarakat”. Penelitian ini menganalisis permasalahan tentang:

- Bagamana kebijakan hukum landreform dalam upaya meningkatkan

ekonomi masyarakat, dan bagaimana pelaksanaan redistribusi tanah

obyek landreform di kota Medan dalam meningkatkan ekonomi

masyarakat, serta apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya.9

7Ariska Dewi, Peran Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah

“Absentee/Guntai”di Kabupaten Banyumas, http//eprints.undip.ac.id/16527/1

8 Nurhayati, Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kecamatan Semarang Barat

Kota Semarang, http//eprints.undip.ac.id/15762/1

9 Ira Sumaya, Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Ekonomi

Masyarakat, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5144

Page 26: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

11

Walaupun ke-5 penelitian tersebut di atas merupakan ranah penelitian dalam

bidang pertanahan, namun kajiannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan

ini yang berjudul “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan

Pemilikan Luas Tanah Pertanian”, karena dalam penelitian ini, baik mengenai

latar belakang, rumusan masalah yang dikaji, maupun pembahasannya tidak

sama dengan ke 5 penelitian tersebut di atas. Hal ini membuktikan bahwa tulisan

dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitian-

penelitian terdahulu.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dapat

diidentifikasi pokok permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai

berikut:

1. Apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas

maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan Luas tanah

pertanian?

2. Apa konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian yang melampaui batas maksimum dan/atau dibawah batas

minimum?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dapat penulis bedakan menjadi dua, yaitu tujuan

penelitian yang bersifat umum dan tujuan penelitian yang bersifat khusus, sebagai

berikut:

1. Tujuan Umum

Page 27: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

12

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,

khususnya Hukum Pemerintahan dan hukum pertanahan, yaitu mengenai

kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan khususnya tentang

penetapan luas tanah pertanian.

2. Tujuan Khusus

2.1.Untuk mengetahui dan menganalisis hubungannya dengan

permasalahan pertama dalam rumusan masalah, yaitu mengenai dasar

kewenangan pemerintah dalam menentukan batas maksimum dan

batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

2.2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsekwensi yuridis

terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui

batas maksimum dan /atau dibawah batas minimum.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat

baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum pada

umumnya dan bidang Hukum Pemerintahan pada khususnya. Dan Hasil

penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan

terkait dengan kedua permasalahan yang akan diteliti.

2. Manfaat Praktis

Page 28: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

13

2.1. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam

bidang hukum, khususnya bidang hukum pemerintahan dan dalam

bidang hukum pertanahan, serta dapat dipakai sebagai acuan dalam

menentukan hak dan kewajiban, serta akibat hukum terhadap

penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas

maksimum dan/atau dibawah batas minimum.

2.2. Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai

bahan evaluasi dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat

lebih memperjelas apa yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan

mengenai penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan dan

pemilikan luas tanah pertanian.

2.3. Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga

untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemerintahan

dan bidang hukum pertanahan.

1.5. Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsep-konsep, maupun

pandangan- pandangan para pakar yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran

penelitian. Pandangan-pandangan teoritis dimaksud dijastifikasi dengan peraturan

perundang-undangan dan instrumen-instrumen hukum pertanahan.

1.5.1. Konsep Negara Hukum

Untuk memahami masalah penerapan prinsip-prinsip pembaruan agraria

dalam sistem hukum tanah nasional, maka diperlukan pemahaman tentang konsep

negara hukum, karena konsep negara hukum menjungjung tinggi adanya sistem

Page 29: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

14

hukum yang menjamin kepastian hukum. Berdasarkan teori sistem hukum yang

dikemukakan oleh Lawrence M Friedman “a legal system in actual is a complex

in wich structure, substance and culture interact”10

, terdiri dari 3 komponen,

yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum ( legal structure), dan

budaya hukum (legal culture). Konsep negara hukum juga menjungjung tinggi

perlindungan hak-hak rakyat, termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria,

dengan tujuan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui

penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan

oleh Friedrich Julius Stahl, bahwa yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri

dari suatu Negara Hukum adalah sebagai berikut:

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;

2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan

4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.11

A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai berikut:12

1. Supremasi absolut atau predominasi dari aturan-aturan hukum untuk

menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan

bebas yang begitu luas dari pemerintah;

10

Lawrence M Friedman, 1975, The Legal Sistem, A Social Science Perspective, Rusell

Sage Foundation, New York, h. 4

11

Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium

UI Jakarta, h. 24

12

Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah

studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan

Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, h. 75

Page 30: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

15

2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua

golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh

ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum,

baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati

hukum yang sama.

3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum

konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak

individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya

prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen

sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-

pejabatnya.

Menurut C.F. Strong merumuskan bahwa arti konstitusi dapat disederhanakan

rumusannya yaitu “a frame of political society, organised through and by law,

that is to say on in which law has establish permanent institutions with recognised

functions and definited rights”13

, sebagai kerangka negara yang diorganisir

dengan dan melalui undang-undang.

Dalam perumusan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara Kesatuan Indonesia adalah

sebuah negara yang dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan

atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti

bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan

13

C.F.Strong, 1996, Modern Political Constitution, The Englis Language Book Society

and Sidgwick & Jackson Limited, London, h. 83

Page 31: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

16

atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang

Tubuh UUD NRI 1945. Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan

dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare

dinyatakan , “first of all it is used to describe the whole system of government of a

country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill

recognized as law but which are not less effective in regulating the government

than the rules of law strictly so called”14

yang artinya pertama, dalam arti luas

bahwa sistem pemerintahan dari suatu negara adalah merupakan himpunan

peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan

tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan

yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu

dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain.

Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua

istilah dalam bahasa asing, yaitu:15

a. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum

yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa

Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo

Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep

rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa

indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah

14

K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press, h. 1 15

I Dewa Gede Atmadja, 2010,Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia

Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157

Page 32: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

17

diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan

selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi

politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja

diganti dengan the rule of law.16

Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja

mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi

dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki

konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”.

Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum

Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas

demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang

yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah

“Negara Hukum Pancasila”.17

Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara

Hukum Pancasila adalah sebagai berikut:

a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan nasional;

b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara;

c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

d. keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Muhammad Tahir Azhari mengemukakan bahwa ciri-ciri Konsep Negara

Hukum Pancasila adalah merupakan hubungan yang sangat erat antara agama dan

16

Philipus M. Hadjon, Op. Cit., h. 66-67

17

I Dewa Gede Atmadja,Op. Cit., h. 162

Page 33: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

18

negara bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa–kebebasan beragama–ateisme

tidak dibenarkan dan komonisme dilarang, asas kekeluargaan dan kerukunan

diutamakan.18

Unsur-unsur utama Negara Hukum Pancasila, meliputi: Pancasila,

sistem konstitusi, persamaan, dan peradilan bebas.19

Pernyataan tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, ini berarti

membawa konsekwensi apapun yang dilakukan oleh pemerintah (Negara) harus

berdasarkan hukum, yang dalam hal ini adalah aturan-aturan yang dibentuk dan

diberlakukan. Sejalan dengan pendapat Hugo Grotius (de Groot) pakar hukum

alam, bahwa jika negara akan membentuk hukum maka isi hukum itu haruslah

ditujukan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan negara.20

Dalam konteks

negara Indonesia, maka tujuan hukum harus berorientasi pada tujuan negara.

Mengenai landasan filosofi dari negara Hukum Indonesia adalah Pancasila.21

Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara

Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum

dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di

wilayah Negara Republik Indonesia. Negara Hukum menentukan alat-alat

perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan

18

Ibid, h. 163

19

Muhammad Tahir Azhari, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-

prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan

Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, h. 102

20

Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT

Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 11

21

Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila,

CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, h. 2

Page 34: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

19

yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan

untuk mengadakan peraturan-peraturan itu.22

Disamping itu, suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum

maka perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam

Undang Undang Dasar beserta peraturan pelaksananya, dan yang terpenting dalam

praktek sudah dilaksanakan atau belum.23

Mencermati bunyi Alenia ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan

bahwa:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajikan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,

maka (untuk mencapai tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan

kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Republik Indinesia yang

terbentuk dalam suatu sususan Negara Republik yang berkedaulatan

rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila”.

Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya

konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila,

hukum nasional, dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu

kesatuan yang utuh. Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional.

Hukum nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada

artinya hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa

22

Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum,

Seruling Masa PT, Jakarta, h. 159

23

Joeniarto,1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta,

h. 8

Page 35: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

20

Indonesia dalam mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan

ridha Illahi.24

Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut

Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:25

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga

negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus

selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka.

Konsep negara kesejahteraan menurut Bagir Manan adalah negara atau

pemerintah yang tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban

masyarakat tetapi juga sebagai pemikul utama tanggung jawab dalam

mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.26

Sejalan dengan pendapat tersebut, maka unsur-unsur

24

Sudjito bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam Kongres

Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM,

Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009.

25

Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, h. 11

26

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui

Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 16

Page 36: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

21

minimal yang harus dimiliki oleh negara hukum berdasarkan pandangan Bagir

Manan, adalah sebagai berikut:27

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;

b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya;

c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);

d. Adanya pembagian kekuasaan.

Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara Hukum yang diuraikan diatas,

maka dalam hubungannya dengan penelitian ini terdapat dua unsur yang bertalian

erat dengan masalah penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

sumber daya agraria yang dapat mensejahterakan masyarakat sejalan dengan

tujuan negara Indonesia, yaitu:

a. Unsur semua tindakan stakeholders, terutama pemerintah, harus

berdasarkan hukum (unsur kepastian hukum).

Setiap tindakan penyelenggaraan negara serta warga negara harus

dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka

konsekwensinya hukum harus dijadikan pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dengan kata lain setiap

orang warga negara Indonesia harus patuh dan tunduk pada norma

hukum yang berlaku.

b. Unsur adanya pengakuan terhadap jaminan atas pelaksanaan hak-hak

dasar (asasi) manusia dan masyarakat termasuk ke dalamnya

masyarakat hukum adat, untuk memperoleh akses yang adil atas

sumber daya agraria, terutama yang ada disekitar wilayahnya.

Terkait dengan hal tersebut diatas, mengingat struktur penghidupan penduduk

yang bertumpu pada sektor pertanian, dan dapat dikatakan bahwa tanah-tanah

pertanian merupakan “soko guru” perekonomian rakyat dan negara, maka

27

Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, h. 15

Page 37: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

22

merupakan suatu kewajiban bagi setiap penyelenggara Negara untuk menegakkan

keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum.28

Penambahan rumusan mengenai pengakuan penghormatan dan perlindungan

Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) ke dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan semata-mata karena

kehendak untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang

makin menganggap penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu

merupakan salah satu syarat dari negara hukum. Dengan demikian HAM secara

konstitutif telah diakui sejak berdirinya negara.

1.5.2. Teori Kewenangan

Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan

menganalisis tentang kewenangan pemerintah dalam menetapkan luas batas

maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, dalam hal

ini untuk menganalisis “apa dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan

batas maksimum dan/atau batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian?. Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering

disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid” ( yang berarti wewenang atau

berkuasa).

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata

Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat

menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan

tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam

28

H. Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung, h. 248

Page 38: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

23

peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi

Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara

dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang

diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan

perbuatan hukum.29

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai

dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara

hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan

harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-

undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu

kemampuan untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan

sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau

kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan

orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.30

Lebih lanjut

Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu

pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation

of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan

(manager) kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung

29

SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154.

30

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170

Page 39: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

24

jawab untuk melakukan tugas tertentu.31

Proses delegation of authority

dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menentukan tugas bawahan tersebut

2. Penyerahan wewenang itu sendiri

3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.

I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai

berikut :

“Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang

otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara

konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan

merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”.32

Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR,

karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif

penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis

dilakukan oleh :

1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik

2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi

3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal

31

Ibid, h. 172

32

I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi

Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam

Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996, h. 2

Page 40: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

25

Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah

sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan.

Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.33

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam

kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :

“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang

berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari

Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan

terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu

bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan

wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan

untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.34

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,

delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah

yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang

telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu

wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN

lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi

wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang

baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang

satu kepada yang lain.35

33 Ibid

34

Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta

h. 29

35

Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , h. 90

Page 41: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

26

Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang

mengemukakan atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh

pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang

sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.

Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan

kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang

adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum. 36

Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat), oleh H.D.

van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai berikut :

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een

weigever aan een bestuursorgaan;

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan

aan een ander;

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander. 37

Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan

pandangan yang berbeda, sebagai berikut :

“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi

dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada

(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada

organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).

Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau

pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan

36 Ibid, h. 68

37

H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht,

Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, h. 56

Page 42: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

27

wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah

hubungan internal”.38

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:

“Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas

kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,

yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya

digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan

yang berasal dari “pelimpahan”.39

Kewenangan pemerintah yang dilakukan dalam hal menetapkan penguasaan

dan pemlikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan yang diperoleh secara

atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh,

dasar hukum, dan konformitas hukum.40

Komponen pengaruh ialah bahwa

penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek

hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar

hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard

wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard khusus

(untuk jenis wewenang tertentu).

Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini,

standard wewenang yang dimaksud adalah kewenangan pemerintah di bidang

38

Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75

39

Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 7

40

Philipus M. Hadjon, , Penataan Hukum Administrasi,Tahun 1997/1998, Tentang

Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, h. 2

Page 43: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

28

pertanahan, khususnya dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah

pertanian.

1.5.3. Teori Keadilan

Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi

kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam

menetapkan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas

tanah pertanian. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi

masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang

dikehendaki oleh UUD 1945.

Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna

memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk

kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang

rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk

Indonesia.41

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan

sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah

membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia

adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan

hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam

kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti.

Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang

41 Soerjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Cv Rajawali, h. 169

Page 44: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

29

semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak

adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang

tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal

yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.42

Keadilan adalah

merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari

peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak

dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu

keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang

wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya,

Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva

(keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutativ).

Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori

kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan

kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada

dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya

teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus

diimplementasikan.43

Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu

bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita

keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur

yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu

42

Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, 2006 , Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 156

43

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju

Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 43

Page 45: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

30

bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai

pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai

dengan sudut pandangnya masing-masing.

Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua

kelompok yaitu:44

1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak

undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau

proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:

a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of

goods and honours to each according to his place in the community,

adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan

hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan

hak atau jatahnya secara proporsiobal.

b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan

mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam

menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana.

Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai

dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana

yang dilakukannya.

44 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., h. 167

Page 46: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

31

Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria sebagaimana diatur

dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi

landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu

seyogyanya bersifat holistik, komprehensip, dan mampu menampung hal-hal

pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria, salah satu yang menjadi prinsip-

prinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria S.W. Sumardjono

adalah :

“Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria

(keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar generasi, serta

pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria

yang menjadi ruang hidupnya)”.45

Berdasarkan uraian teori keadilan diatas, Nampaknya keadilan ditinjau dari

hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah kehendak

Pemerintah dalam menetapkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian adalah untuk memberikan keadilan yang

merata serta manfaat bagi masyarakat. Keduanya saling melengkapi agar

mendapatkan pemahaman yang utuh kemudian dapat diwujudkan dalam tindakan

nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan tentang penguasaan dan

pemilikan luas tanah pertanian.

Dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan , penggunaan dan

pemanfaatan sumber daya agraria; keadilan dalam memberikan ganti kerugian

45

Maria S.W. Sumardjono, 2001, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria,

Andi Offset, Yogyakarta, h. 4

Page 47: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

32

dapat diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan pengakuan dan penghormatan

kepada seseorang atau sekelompok orang yang haknya dikurangi, dengan

memberikan imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya sebelum hal

tersebut dikurangi atau diambil sehingga yang bersangkutan tidak mengalami

degradasi kesejahteraan. Dalam hal ini, keadilan harus dipahami dalam makna

yang substansial (substatial justice).46

Lebih lanjut dikatakan bahwa, keadilan itu

sendiri bersifat universal dan merupakan proses yang dinamis serta senantiasa

bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu

sendiri. Namun dalam kenyataannya, menurut Maria S.W. Sumardjono

menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan

kebutuhannya bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi dimana lebih

banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan

kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya kurang,

maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian

terhadap hal ini yang berupa perlakuan khusus dapat dilakukan asalkan dapat

dipertanggungjawabkan. Hal demikian biasa disebut sebagai corrective justice

atau positive discrimination.

Dalam pemahaman substansial, gagasan dasar keadilan terdiri atas tiga hal,

sebagai berikut:47

1. Bahwa orang harus diperlakukan sama dalam hal atau kasus yang sama.

2. Bahwa hal yang baik harus memperoleh penghargaan.

46

Maria S.W. Sumardjono, 2001, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya Alam”,

dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia, Jakarta, h. 157

47

Maria S.W. Sumardjono, Op., Cit., h. 221

Page 48: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

33

3. Bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memperoleh dan

mempertahankan hak-hak dasarnya.

Ketiga gagasan dasar keadilan tersebut di atas mutlak diacu dalam hal

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya

agraria, karena hak atas sumber-sumber agraria adalah merupakan hak bagi setiap

orang.

1.5.4. Konsep Hukum Tanah Nasional

Penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian di Indonesia

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian, diselenggarakan berdasarkan konsepsi revolusi

Indonesia yang bertujuan untuk mencapai masyarakat sosialis Pancasila agar

dapat merubah nasib warga negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan

pemilikan hak atas tanah yaitu pembagian yang merata atas sumber penghidupan.

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang

tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pikiran hukum adat, sehingga

sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat.

Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, yang antara lain merumuskan

bahwa falsafah/konsepsi hukum tanah nasional adalah komunalistik-religius, yang

memungkinkan penguasa tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang

bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.48

Yang dimaksudkan

dengan sifat “komunalistik” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 1

UUPA merumuskan bahwa semua tanah dalam Wilayah Negara Indonesia adalah

48

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan kesembilan (edisi revisi),

Djambatan, Jakarta, h. 229.

Page 49: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

34

tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia, yang penguasaannya ditugaskan

kepada Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya mengenai watak “religius” tampak pada Pasal 1 Butir 2 UUPA, yang

menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

yang terkandung di dalamnya dalam Wilayah Negara Republik Indonesia adalah

merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat (dengan dasar

individualisme dan liberalisme) dan Konsepsi Tanah Feodal, maka konsepsi

Hukum Tanah Nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan

budaya bangsa Indonesia, karna berdasarkan alam pikiran masyarakat adat bangsa

Indonesia.

Dari rumusan falsafah/konsepsi Hukum Tanah Nasional tersebut diatas, maka

dapat dicermati beberapa hal sebagai berikut :49

a. Falsafah/konsepsi hukum tanah nasional merupakan suatu pikiran yang

mendasar dan terdalam yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum

yang akan melandasi pembentukan asas, lembaga, dan sistem

pengaturan hukum tanah nasional;

b. Tanah yang menjadi wilayah negara Republik Indonesia merupakan

tanah bersama dan menjadi kekayaan bersama Bangsa Indonesia,

sehingga kewenangan terhadap wilayah bangsa itu disebut sebagai Hak

Bangsa Indonesia;

c. Tanah bersama itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha

Esa kepada Bangsa Indonesia, sehingga hubungan Bangsa Indonesia

dengan Wilayah Indonesia bersifat abadi;

d. Hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa,

sebagai wilayah Indonesia semacam hubungan hak ulayat, sehingga di

49

Oloan Sitorus & H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar

dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, h. 65

Page 50: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

35

dalamnya dikenal adanya hak penguasaan individual dalam bentuk

hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi;

e. Oleh karena hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi itu berasal dari

hak bangsa sebagai hak bersama, maka di dalam setiap hak-hak atas

tanah yang bersifat pribadi terkandung unsur-unsur kebersamaan,

sehingga setiap hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

1.5.5. Asas Hukum Tanah Nasional

Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan

atau urutan), yakni ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih

rendah, Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak

menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan dan

konflik di dalamnya. Oleh karena itu, sangat diperlukan asas-asas yang mengatur

mengenai kedudukan dari masing-masing peraturan perundang-undangan

tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, merumuskan bahwa

dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas

Pembentukan Perundang-undangan yang baik yang meliputi : kejelasan tujuan,

kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi

muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan

rumusan, dan keterbukaan.

Dalam UUPA dimuat 8 asas bidang hukum pertanahan di Indonesia (asas-

asas Hukum Tanah Nasional). Asas-asas ini karena sebagai dasar dengan

sendirinya harus menjiwai pelaksaanaan dari UUPA dan segenap peraturan

pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut :

Page 51: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

36

a. Asas nasionalitas subyek hak atas tanah; asas yang berasal dari asas

hukum adat mengenai tanah yang selalu mendahulukan kebutuhan dan

kepentingan anggota masyarakat hukum adat. Hanya anggota masyarakat

hukum adat yang dapat mengambil manfaat secara penuh atas wilayahnya,

sedangkan “orang asing” hanya dapat mempunyai hak yang bersifat

sementara. Tanah Bangsa Indonesia sebagai keseluruhan adalah kekayaan

nasional dan menjadi hak Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata

menjadi hak dari para pemiliknya.

b. Asas fungsi sosial hak atas tanah; asas ini ditemukan pada Pasal 6 UUPA

yang menyatakan “semua hak atas tanah berfungsi sosial”, sehingga

menurut pandangan secara rasionalitas adalah semua hak-hak atas tanah

baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa

sebagai kepunyaan bersama dari Bangsa Indonesia.

c. Asas pemerataan dan keadilan; asas ini ditemukan dalam pasal-pasal

tentang Landreform, seperti Pasal 7, 10, 11, dan 17 UUPA. Sama dengan

orientasi hidup masyarakat adat yang mengedepankan “kesejahteraan

dalam kebersamaan, dan demikian sebaliknya mengedepankan

kebersamaan dalam kesejahteraan.”

d. Asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup; asas ini

terdapat dalam Pasal 14 dan 15 UUPA, yang pada intinya menginginkan

agar tercipta penggunaan tanah yang bijaksana dan berkesinambungan.

e. Asas kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah; asas

ini di konkritkan pada Pasal 12 dan 13 UUPA, yang pada intinya

Page 52: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

37

mencegah usaha-usaha penggunaan dan pemanfaatan tanah secara

monopoli.

f. Asas pemisahan horisontal dalam hubungannya dengan bangunan dan

tanah di atasnya; asas ini diadopsi dari hukum adat, yaitu bahwa

penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan

benda-benda yang terdaapat di atasnya.

g. Asas hubungan yang berkarakter publik antara negara dengan tanah, pada

intinya jika pemerintah ingin secara langsung menggunakan tanah itu

maka dapat diberikan hak pakai atau hak pengelolaan

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dalam bahasa inggris disebut dengan research, pada

hakekatnya merupakan sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research)

orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar

(truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan

atau untuk memecahkan masalah.50

Sebagaimana dinyatakan dalam buku Legal

Research, yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is

the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain

or analyze that law”51

, bahwa penelitian hukum itu merupakan komponen penting

dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang

50 M., Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RaJaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 1

51

Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West

Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, h.1

Page 53: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

38

mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material

tersebut.Soerjono Soekanto mengemukakan, dalam ilmu hukum terdapat dua jenis

penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum

sosiologis atau empiris.52

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dapat

dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif, karena penelitian ini

beranjak dari adanya konflik dalam norma yaitu antara Pasal 1 ayat (2) dengan

Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

pertanian.

Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal

atau disebut juga sebagai penelitian perpustakaan. Disebut penelitian hukum

doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan disebut sebagai

penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak

dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.53

Penelitian hukum normatif merupakan sebuah upaya untuk mencari dan

menemukan asas-asas hukum, aturan-aturan hukum positif yang dapat diterapkan

untuk menjawab atau menyelesaikan permasalahan atau isu hukum tertentu.

Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian teoritik (theoretical research).

Theoretical research sebagaimana dinyatakan oleh Terry Hutchinson “Research

52 Soerjono Soekanto1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI

Press) , Jakarta, h. 51

53

Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 31

Page 54: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

39

which fosters a more complete understanding of the conceptual bases of legal

principles and of the combined effects of a range of rules and procedures that

touch on a particular area of activity54

, bahwa penelitian teoritik adalah penelitian

yang menyajikan suatu pemahaman yang lebih mendalam terhadap dasar

konseptual dari sebuah prinsip hukum dan mengkombinasikan hasil antara

peraturan dan prosedur yang berlaku pada suatu area aktifitas.

Penelitian ini berangkat dari adanya konflik norma dengan berlandaskan

pada doktrin positivisme, dimana hukum dikonsepkan pada kaidah-kaidah hukum

positif yang berlaku sekarang di Indonesia, dan terbit sebagai suatu produk dari

suatu sumber kekuasaan yang memiliki legitimasi.

Penelitian hukum normatif dalam tulisan ini, maksudnya adalah menganalisa

permasalahan hukum yang berpedoman pada landasan hukum yaitu peraturan

bidang pertanahan, serta pandangan dari pakar hukum yang terkait dengan

permasalahan.

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini bermaksud meneliti

bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah tentang dasar

kewenangan pemerintah dalam menentukan penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian yang melampaui batas maksimum dan di bawah batas minimum yang

bersifat teoritis. Dengan kata lain, penelitian ini beranjak dari kontradikksi

norma yang dijumpai dalam norma hukum. Oleh karena itu, dalam membahas

pokok permasalahan dalam tulisan ini akan didasarkan pada hasil penelitian

54

Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook CO, Sydney,

Australia, h. 9

Page 55: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

40

kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, sekunder, maupun bahan

hukum tersier.

1.6.2. Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yakni pendekatan

undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan Perbandingan (comparative

approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).55

Untuk

membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan pendekatan yang berdasar pada :

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) yaitu dilakukan

dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang

bersangkut paut dengan permasaahan hukum tanah, yakni dilakukan

untuk meneliti peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224

Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti

Kerugian, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selanjutnya

pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mendapatkan

ketentuan-ketentuan hukum yang melandasi kewenangan Pemerintah

dalam menetapkan luas tanah pertanian, dan tanggung jawab Warga

Negara Indonesia sebagai pemegang hak atas tanah.

55

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 93-95.

Page 56: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

41

b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach) yaitu pendekatan untuk

menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan kewenangan

pemerintah dalam menentukan batas maksimum penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian, bagaimana hak dan kewajiban masyarakat

yang menguasai dan memiliki tanah pertanian yang melampaui batas

maksimum dan di bawah batas minimum pada daerah cukup padat.

Pendekatan konseptual ini dilakukan untuk menemukan pengertian

hukum/konsep hukum tentang penguasaan tanah, pemilikan tanah, beserta

tanggung jawabnya. Mengingat dalam UUPA menganut asas tanah

berfungsi sosial, asas manfaat, dan asas keadilan, dengan demikian

penguasaan dan pemilikan luas tanah yang melampaui batas merupakan

konsep hukum yang mempunyai makna menyimpang dari asas-asas yang

ada dalam UUPA.

c. Pendekatan Historis (Historical Approach) yaitu pendekatan untuk

pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini

sangat membantu untuk memahami filosofi dari aturan-aturan hukum

agraria, khususnya dalam memahami perubahan dan perkembangan

peraturan-peraturan tentang Pertanahan dan pelaksanaan dari aturan-aturan

tersebut. Maraknya persoalan-persoalan tentang tanah dewasa ini, banyak

pihak yang mempersoalkan kembali relevansi UUPA. Walau begitu, upaya

meninjau kembali relevansi UUPA selayaknya melihat kembali perjalanan

politik agraria sejak masa kolonial hingga sekarang. Tanpa pemahaman

sejarah, proses yang akan ditempuh dan hasil yang akan dicapai sekedar

Page 57: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

42

akan dibelenggu oleh aliran pikir yang bertanding saat ini saja, dan tak

mampu mengenali apa sesungguhnya mandat yang diberikan rakyat

kepada pemerintah, sebagaimana yang dimaksudkan pada awal mula

pendirian Negara Republik Indonesia.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari

hasil penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap peraturan

perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan terkait dengan pokok

permasalahan, yang pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis

bahan hukum, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier ( sebagai penunjang data primer dan data sekunder).

Sebagai bahan hukum primer dari penelitian ini berasal dari penelitian

terhadap peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 56

Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian, yaitu yang melandasi

dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, dan peraturan-

peraturan lainnya yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

Mengenai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain diperoleh dari

bahan-bahan bacaan (buku) dibidang hukum keperdataan, bidang hukum Agraria,

dan bidang hukum yang berhubungan dengan pertanahan. Bahan-bahan hukum

tersier diperoleh dari ensiklopedi tentang peralihan dan perolehan hak atas tanah,

kamus hukum, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat

Page 58: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

43

mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Sumber Bahan Hukum

Tehnik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum adalah dengan

cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan menurut

kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-undangan. Terhadap

bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan menggunakan telaahan

kepustakaan (studi document).

Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni

dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang

diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan

tesis ini lebih menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research)

serta bahan-bahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan

pembahasan permasalahan.

Bahan-bahan hukum yang dipakai sebagai sumber penelitian kepustakaan

meliputi :

1. Bahan Hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif yang

berarti bahwa data-data yang mempunyai otoritas, berupa: UUD NRI

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan

Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian

Page 59: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

44

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan peraturan perundang-

undangan lainnya.

2. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap data-data primer yaitu :

a. Buku-buku literatur hukum (text book)

b. Karya Ilmiah hukum (makalah atau tesis), atau pandangan praktisi

hukum, jurnal hukum.

c. Penjelasan UU terkait penelitian dan Peraturan Pelaksananya

d. Internet dengan menyebut nama situsnya

3. Bahan hukum Tersier yaitu yang memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan primer dan sekunder yang berupa Kamus Umum, Kamus

Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris

1.6.5. Tehnik Analisa Bahan Hukum

Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sistematis

dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.56

Analisis bahan hukum adalah

bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang telah terkumpul

untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian. Dasar dari

penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan bahan-bahan hukum dalam

penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang bersifat teoritis dalam bentuk

asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, serta kaidah-kaidah hukum.

56 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta,

Rajawali, h. 137.

Page 60: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

45

Bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan berkenaan dengan

“kewenangan Pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian”, serta mengenai “konsekwensi hukum terhadap penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian yang melampaui batas maksimum dan atau dibawah

minimum, dalam hal ini terlebih dahulu dilakukan analisis yakni “deskripsi,

interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi dengan menguraikan

(mengabstrasikan) apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-

proposisi hukum dan non hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Teknik

interpretasi atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk

selanjutnya disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok permasalahan tesis ini.

Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, baik yang tertera dalam bahan

hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

Teknik sistematisasi adalah berupaya untuk mencari kaitan rumusan suatu

konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun yang tidak sederajat. Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut

kemudian dilakukan analisis menurut isinya (content analysis), serta diberikan

argumentasi untuk mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis

ini.57

Sehingga analisa yang dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan

angka-angka untuk memberikan jawaban berkenaan dengan pokok permasalahan

57

Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta, h. 85

Page 61: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

46

melainkan berupa fakta-fakta. Proses analisis dilakukan secara terus menerus

hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid sesuai dengan substansi

permasalahan yang diteliti.

Page 62: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

47

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KEWENANGAN

PEMERINTAH DI BIDANG PERTANAHAN

2.1. Kewenangan Urusan Pemerintah di Bidang Pertanahan

Demokrasi merupakan salah satu persoalan yang sangat penting dalam

kehidupan suatu negara. Di setiap negara menghendaki adanya jaminan

pelaksanaan demokrasi di segala bidang. Lembaga Internasional seperti

Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations Organisation) menekankan

perlunya demokrasi dalam pergaulan internasional, karena itu perlu dilaksanakan

oleh semua negara di dunia. Kehidupan demokrasi di setiap negara sangat

dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa di negara bersangkutan.

Demokrasi di Indonesia ditandai dengan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya

di berbagai daerah. Daerah menginginkan agar Pemerintah Pusat menyerahkan

sebesar-besarnya urusan yang selama ini ditangani oleh Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai daerah otonomi

atau otonomi daerah. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autos”

yang artinya sendiri dan “nomos” yang artinya peraturan. Sehingga otonomi

berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang

pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.58

Otonomi daerah merupakan suatu wewenang untuk menyelenggarakan

pemerintahan sendiiri (local self government) yang memiliki dua unsur utama,

58

Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai

dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta, h. 81

47

Page 63: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

48

yaitu mengatur (rules making, regeling) dan mengurus (rules application,

bestuur). Pada tingkat makro (negara) ke dua wewenang itu lazim disebut sebagai

wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang untuk

melaksanakan kebijakan (policy executing). Sehingga dengan pembentukan

daerah otonomi berarti telah terkandung penyerahan wewenang untuk mengatur

dan mengurus oleh local government.59

Dengan demikian otonomi daerah adalah

hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti

dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara R.I

Nomor 4437), diatur pemberian otonomi luas kepada daerah, khususnya daerah

Kabupaten dan Kota. Undang-undang ini mengatur bahwa otonomi daerah itu

dibentuk guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang menginginkan agar

diberikan peran dan partisipasi yang lebih luas dalam mengatur daerahnya.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal menggunakan asas-asas

sebagai berikut :

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan

demikian penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak hanya dilakukan

59

Hoessein, Benyamin, Evaluasi Undang Undang Pemerintah Daerah, Harian Suara

Karya, Jakarta, edisi 14 Februari 2002, h. IV.

Page 64: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

49

oleh Pemerintah Pusat, melainkan juga oleh satuan pemerintahan yang

lebih rendah, baik secara teritorial maupun fungsional.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan /atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu.

3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau

desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu. Pada tugas pembantuan dilaksanakan

disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya

manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya serta

mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya.

Sejumlah istilah tersebut di atas menjadi istilah yang amat poluler pada awal

tahun 2000. Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih

memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran

kekuasaan pemerintahan. Istilah tersebut juga telah memperoleh materi

muatannya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945), khususnya pasal yang

mengatur tentang pemerintahan daerah. Pada Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa

pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan. Dengan demikian, maka dekonsentrasi tidak diatur dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, karena sebagai bagian penyelenggaraan

Page 65: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

50

Pemerintahan Pusat melekat kewenangan Pemerintah Pusat. Gubernur sebagai

Kepala Daerah Provinsi yang menjadi Wakil Pemerintahan Pusat di daerah

menerima sebagian pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat dalam

melaksanakan pemerintahan berdasarkan dekonsentrasi. Dalam ayat (5),

disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

pemerintah pusat. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dimaksud

adalah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi, dan

agama.

Kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, menurut pendapat

Jimly Asshiddiqie, menyatakan pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 18 ayat

(2), (5), dan ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 berhak atau berwenang untuk :60

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan;

2. Memikiki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum;

3. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat;

4. Menetapkan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam konteks pertanahan, ketentuan tersebut setidaknya menimbulkan

ketidak jelasan apabila dikaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945

60

Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 413.

Page 66: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

51

yang merupakan sandaran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

Dalam undang-undang ini tidak disebutkan tentang kemungkinan penyerahan

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada Pemerintah

Daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, yang berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan

urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari Pemerintah

Pusat kepada Pemerintah Daerah, yang oleh Jimly Asshiddiqie.61

dinyatakan

memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya

sendiri. Salah satu urusan yang diharapkan agar diserahkan kepada daerah adalah

urusan di bidang pertanahan. Urusan di bidang pertanahan merupakan salah satu

urusan yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik Pemerintah

Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah.

Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1k) UU

No. 32 Tahun 2004 terlihat bahwa urusan pelayanan pertanahan menjadi salah

satu urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi, yang meliputi :

a. perencaanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

61

Ibid, h. 423

Page 67: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

52

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial;

g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. Pelaksanaan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk

lintas kabupaten/kota;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten /kota;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Selanjutnya mengenai urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1k), yaitu meliputi

16 urusan pemerintah wajib, yaitu :

a. perencaanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

Page 68: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

53

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah sosial;

h. Pelaksanaan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal,

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1.k) dan Pasal 14 ayat (1.k)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka urusan pelayanan pertanahan

menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota untuk diselenggarakan dalam kaitannya dengan otonomi daerah.

Atau dengan perkataan lain “pelayanan pertanahan” menjadi urusan pemerintahan

yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian sudah semestinya Pemerintah Pusat

terutama instansi yang mengurusi pertanahan secara bertahap menyerahkan

Page 69: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

54

urusan pelayanan bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Namun pemerintah belum menuntaskan regulasi penyerahan

kewenangan di bidang pertanahan, Pemerintah Pusat masih menunda penyerahan

kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah berdasarkan ketentuan-

ketentuan dalam:

1. Keputusan Presiden (Kepres) No. 10 Tahun 2001, yang antara lain

menyatakan bahwa kewenangan di bidang pertanahan akan diatur

kemudian dalam Peraturan Pemerintah.

2. Pasal 1 (6) Kepres No. 62 Tahun 2001, ditegaskan bahwa sebagian tugas

pemerintahan yang dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) di

daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat sampai ditetapkannya

seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan selambat-

lambatnya dua tahun.

3. Kepres No. 34 Tahun 2003, menyatakan bahwa pelaksanaan kewenangan

Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pertanahan ditangguhkan. Dalam

Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa penerbitan regulasi di bidang

pertanahan bagi daerah akan dilaksanakan oleh BPN paling lambat tanggal

1 Agustus 2004.

Ketiga ketentuan-ketentuan Keputusan Presiden tersebut, merupakan policy

of non-enforcement (kebijakan untuk tidak menerapkan hukum) otonomi daerah

di bidang pertanahan.62

Namun ketentuan-ketentuan tersebut seharusnya ditaati

62

Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang

Pertanahan, Edisi 1, cetakan ke-1, Laks Bang Justitia, Surabaya, h. 17

Page 70: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

55

oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di seluruh wilayah

Republik Indonesia, karena yang membuat peraturan-peraturan itu adalah kepala

pemerintahan negara tertinggi berdasarkan konstitusi.63

Dengan demikian,

berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka kewenangan untuk mengurusi

bidang pertanahan masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dengan Badan

Pertanahan Nasional (BPN) sebagai unit pelaksana di Pusat dan Kantor Wilayah

Pertanahan di tingkat Provinsi serta Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota.

Hak menguasai oleh negara yang pada intinya dirumuskan dalam Pasal 2

UUPA memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi

penguasaan tanah yang sejak semula menurut sifatnya selalu dianggap sebagai

tugas pemerintah pusat.64

Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang

Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian

kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah

kabupaten/kota. Pada ayat (2) pasal ini menetapkan kewenangan yang dimaksud

antara lain adalah :

a. Pemberian izin lokasi;

b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan;

63

Suhendro, 2001, Status Hukum Produk Dinas Pertanahan, Suara Merdeka, Semarang,

h. VI 64

Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Op., Cit., h. 57

Page 71: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

56

e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

g. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong;

h. Pemberian izin membuka tanah;

i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Untuk kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut yang

bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah

provinsi yang bersangkutan. Dan dalam rangka pelaksanaan kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyusun

norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan kualitas produk

dan kualifikasi sumber daya alam yang diperlukan.

Berdasarkan pada kerangka kebijakan pertanahan nasional yang disusun oleh

tim teknis program pengembangan kebijakan dan managemen pertanahan,

disebutkan bahwa kebijakan pertanahan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai

berikut :65

1. Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar

pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu,

pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus

dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, obyek

65

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan, Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan

Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004), h. V.

Page 72: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

57

spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang

terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

2. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk

menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “ …..bumi, air,

ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

Negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”. Oleh

karena itu, merupakan tugas dari Negara untuk melindungi hak-hak rakyat

atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, yang

salah satunya adalah tanah.

3. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program

pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang

difokuskan kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi

nasional dan pelestarian lingkungan.

4. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh

kegiatan pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung dengan pertanahan.

5. Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok

masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam

pengelolaan pertanahan.

6. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR

Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber

Daya Alam, khususnya Pasal 5 ayat (5).

Page 73: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

58

Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut, arah kebijakan

pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut :66

1. Reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan,

dengan rencana tindak: mengembangkan dan menetapkan undang-undang

pokok yang memayungi keseluruhan peraturan perundangan sektoral

laiinya; sinkronisasi seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan

pertanahan; revisi atas seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan

yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33

ayat (3) UUD 1945; mengintegrasikan pelaksanaan serta menegakkan

berbagai ketentuan perundang-undangan pertanahan bagi semua pihak.

2. Pengembangan kelembagaan pertanahan dengan rencana tindak :

menentukan kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat

pemerintahan; menentukan struktur kelembagaan pertanahan sesuai

dengan kewenangan tersebut di atas; memperkuat kelembagaan

pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta meningkatkan

kemampuan sumber daya manusia pelaksana pengelola pertanahan dalam

upaya mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana

dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah.

3. Peningkatan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya, dengan

rencana tindak : mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif

dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan

66

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan, Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan

Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004), h. vi

Page 74: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

59

perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah; mengembangkan

sistem informasi berbasis tanah yang terpadu dan konfrehensip untuk

mendukung proses percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpajakan

tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas semua jenis hak atas tanah;

penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka meningkatkan

kwalitas pelayanan kepada masyarakat.

4. Pengembangan penatagunaan tanah dengan rencana tindak:

mengembangkan mekanisme perencanaan tataguna tanah yang

konfrehensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya

dengan menerapkan prinsip goodgovernance (trasparansi, partisipasi, dan

akuntabel) mulai dari tingkatan nasional, regional, dan lokal;

melaksanakan rencana tata guna tanah secara transparan berdasarkan

kebutuhan masyarakat, pemerintah maupun swasta; membangun

mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah yang

mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan

mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna

pengelolaan tata guna tanah.

5. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah dengan rencana tindak:

menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah

untuk setiap level pemerintahan dan atau institusi; menentukan dan

mengembangkan pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi,

perubahan data menyangkut updating dan edit, serta penyajian

informasinya; mengembangkan pola koordinasi teknis untuk pertukaran

Page 75: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

60

dan pemanfaatan data dari berbagai institusi yang mengumpulkan,

menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi berbasis tanah dalam

rangka efisiensi dan efektifitas pelayanan informasi bagi semua pihak;

mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh

teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komonikasi serta sumber

daya manusia yang andal.

6. Penyelesaian sengketa tanah dengan rencana tindak: menyelesaikan

sengketa tanah secara konprehensif; membentuk mekanisme dan

kelembagaan dalam penyelesaian sengketa pertanahan sebagai upaya

mengeliminasi berbagai gejolak sosial akibat sengketa, serta

memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasus-kasus struktural yang

memiliki dampak sosial ekonomi dan politik yang sangat besar dengan

cara yang berkeadilan.

7. Pengembangan sistem perpajakan tanah dengan rencana tindak:

mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen

dalam distribusi aset tanah yang berkeadila; menetapkan mekanisme

distribusi pendapatan yang bersumber dari pajak tanah sebagai upaya dan

penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya mendorong

pemanfaatan tanah secara maksimal dan disinsentif bagi penguasaan tanah

secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal.

8. Perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dengan rencana tindak :

mengakui dan melindungi semua jenis hak atas tanah yang saat ini sudah

dimiliki, baik oleh masyarakat individu, kelompok masyarakat (tanah

Page 76: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

61

ulayat), badan hujum tertentu, serta instansi pemerintah tertentu sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memberikan

jaminan kepastian hukum pola hubungan kelembagaan dalam penguasaan

tanah.

9. Peningkatan akses atas tanah dengan rencana tindak; membuka akses yang

adil kepada seluruh mnasyarakat, khususnya kelompok masyarakat

miskin, untuk dapat menguasai dan atau memiliki tanah sebagai sumber

penghidupannya, melalui kegiatan landreform; mengaitkan kegiatan

landreform dengan berbagsai kegiatan pembangunan lainnya sebagai

upaya mengatasi masalah kemiskinan, baik di pedesaan maupun di

perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat miskin penerima

tanah obyek landreform dan masyarakat secara luas melalui program-

program departemen atau instansi pemerintah terkait.

2.2. Sumber Wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan seharusnya

mempunyai legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,

karena hal ini sesuai dengan substansi dari asas legalitas adalah wewenang.

Pemerintah mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu, secara umum

kewenangan-kewenangan pemerintah itu ada dua jenis, yaitu :

- kewenangan terikat dan;

- kewenangan bebas.

Kewenangan terikat adalah kewenangan yang diberikan kepada organ

pemerintah untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh pembuat peraturan

Page 77: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

62

perundang-undangan tanpa kemungkinan untuk mengambil keputusan lain dari

yang telah ditentukan oleh pembuat perundang-undangan. Sedangkan

kewenangan bebas adalah kewenangan organ pemerintah untuk mengambil

keputusan tertentu berdasarkan inisiatif atau penilaiannya sendiri dan

menginterpretasikan norma yang samar.

Pemerintah dalam menggunakan wewenang publik wajib mengikuti aturan

hukum administrasi negara agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.67

Keputusan-keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yaitu:

1. Asas Yuridiktas (rechtmatiheid), yang artinya keputusan

pemerintahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum

(onrechtmatige overheidsdaad ).

2. Asas legalitas (wetmatigheid), yang artinya keputusan harus diambil

berdasarkan suatu ketentuan undang-undang.

3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen) yang artinya pejabat

penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan

tidak ada peraturannya. Oleh karena itu diberi kebebasan untuk

mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak

melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas tersebut. Ada dua macam

diskresi, yaitu “diskresi bebas” apabila undang-undang hanya

menentukan batas-batasnya, dan “diskresi terikat” jika undang-undang

menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh

pejabat administrasi dianggap yang paling dekat.

67

Prajudi Atmo Sudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,

h. 84.

Page 78: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

63

Dari sisi hukum, organ pemerintah bertindak dalam batas tertentu dengan

melihat kewenangan yang mendasarinya. Dalam hal suatu organ pemerintah

melakukan tindakan berdasarkan kewenangan terikat, mesti dilihat dan

diperhatikan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, baik

menyangkut kewenangan, materi atau substansi, prosedur, wujud tindakannya,

dan sebagainya. Sebaliknya, dalam hal pemerintah mendasarkan pada

kewenangan diskresi yang dapat digunakan sebagai koridor tindakan tersebut

bukan lagi peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan hukum tidak

tertulis, misalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kewenangan mesti

dibatasi dari segi kewilayahan, segi substansi, dan sekaligus dari segi waktu

penggunaannya. Demikian pula prosedur dalam bertindak dan substansi yang

diputuskan semuanya harus mengikuti ketentuan yang berlaku.

Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya untuk

mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Pemerintah dalam mengupayakan suatu

penetapan yang ditujukan kepada individu, dalam hal ini kewenangan pemerintah

harus dilaksanakan berdasarkan pada hukum yang jelas sehingga dapat

dipertanggungjawabkan. Salah satu penetapan yang dikeluarkan pemerintah

adalah “penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian”. Pemerintah

memandang perlu untuk menetapkan batas maksimum dan batas minimum

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian, karena pengaturan tentang

pembatasan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian ini ditetapkan

oleh negara (pemerintah) adalah dalam rangka pemerataan, pendayagunaan tanah,

serta menghindari tindakan-tindakan yang bersifat monopoli yang merugikan

Page 79: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

64

masyarakat dan kepentingan umum. Sedangkan pembatasan minimum pemilikan

tanah pertanian adalah bertujuan untuk mencegah dilakukan pemecahan tanah

untuk meningkatkan taraf hidup petani. Penetapan pengaturan penguasaan dan

pemilikan luas tanah pertanian perlu lebih diarahkan kepada semakin terjaminnya

tertib hukum pertanahan, sehingga dapat mewujudkan adanya kepastian hukum

di bidang pertanahan.

Menurut F.P.C.L. Tonnaer, “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband

opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en aldus

rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overrheid en te

scheppen”.68

(Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai

kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dengan demikian, dapat

diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara). Dalam

negara hukum, kewenangan pemerintahan itu berasal dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku, dan ini berarti sumber wewenang bagi pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan tersebut dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitui:

a. Atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan .

68

68

F.P.C.L. Tonnaer, 1986, Legaal Besturen, Het Legaliteistbeginsel, toetssteen of

struikelblok, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen Opgedragen aan R. Crince Le

Roy, Kluwer-Deventer, h. 265.

Page 80: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

65

b. Delegasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Suatu delegesai

selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.

c. Mandat, bahwa terjadinya suatu mandat adalah ketika organ

pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain

atas namanya.69

Setiap kebijakan atau tindak pemerintahan harus bersumber atau bertumpu

atas kewenangan yang sah, demikian juga mengenai kewenangan dalam bidang

pertanahan.

Atribusi, terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan kepada organ pemerintahan.

Dalam arti lain, atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan oleh

Undang-Undang Dasar. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan

(besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil.

Atribusi dapat dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh

wewenang pemerintahan; kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ

pemerintah adalah kewenangan asli karena kewenangan itu diperoleh langsung

dari peraturan perundang-undangan. Atribusi berarti timbulnya kewenangan baru

yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang

bersangkutan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

69

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit., h. 129

Page 81: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

66

dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hukum positif

yang berlaku mengklaim bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh negara, karenanya pada tingkat tertinggi negara

memiliki kewenangan atau berhak untuk mengatur peruntukan dan

pemanfaatannya; dengan landasan konstitusional yang merupakan “kewenangan

atribusi” yang langsung dari Pasal 33 ayat (3), Negara memberikan wewenang

kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengatur peruntukan dan penggunaan

tanah.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, ketentuan dalam Pasal 2, bahwa : hak menguasai

dari negara adalah memberikan wewenang kepada penyelenggara pemerintahan

untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan kekayaan alam lainnya serta menentukan dan

mengatur akan hubungan-hubungan khusus antara orang-orang dengan sumber

alam sekaligus menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan-

perbuatan hukum antara orang-orang terhadap sumber-sumber alam. Dalam

Pasal 6 menentukan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, maka semua pihak

yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan tanahnya

dengan memelihara, menambah kesuburannya dan mencegah terjadinya

kerusakan tanah sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat

bagi kesejahteraan masyarakat.

Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 26 Tahun 1988

pada tanggal 19 Juli 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional jo Peraturan

Page 82: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

67

Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 10 Tahun 2006 tanggal 11

April 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dapat diartikan bahwa Presiden

sebagai Kepala Pemerintahan membentuk Lembaga Badan Pertanahan Nasional

yang menetapkan bahwa urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang Badan

Pertanahan Nasional untuk menangani bidang pertanahan, sehingga hal ini dapat

dikatakan sebagai pemberian kewenangan delegasi. Karena berupa kewenangan

delegasi, maka semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan

yang dikeluarkan adalah tanggung jawab delegataris; dengan demikian tanggung

jawab dan tanggung gugat berada pada sipenerima delegasian, dalam hal ini

adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Lembaga Badan Pertanahan Nasional yang pertama kali dibentuk berdasarkan

Kepres Nomor 26 Tahun 1988, pembentukan ini merupakan peningkatan dari

Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Badan Pertanahan

Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada

dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sejak dibentuknya

lembaga ini maka seluruh pegawai, keuangan, serta perlengkapan Direktorat

Jenderal Departemen Dalam Negeri yang berkaitan dengan pertanahan dialihkan

kepada Badan Pertanahan Nasional; dengan kata lain seluruh organisasi di

lingkungan Kantor Direktorat Jenderal Agraria, Direktorat Agraria Provinsi dan

Kantor Agraria Kabupaten/Kota melaksanakan tugas dan fungsi Badan

Pertanahan Nasional.

Sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsi eksekutif, wewenang Presiden

membentuk lembaga pemerintah non departemen melekat dalam kedudukan dan

Page 83: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

68

kekuasaan Presiden sebagai pemegang dan penyelenggara pemerintahan

sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Untuk kelancaran dalam

pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, Presiden berwenang membentuk satuan

pelaksana pemerintahan di luar departemen yang dibentuk melalui Keputusan

Presiden. Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintah non

departemen adalah badan pemerintah pusat yang menjalankan wewenang, tugas

dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan di bidang

pertanahan. Badan pemerintah ini berada dibawah dan bertanggung jawab

langsung kepada presiden dengan kedudukan yang lebih rendah dari departemen.

Pengaturan mengenai lembaga pemerintah non departemen seperti Badan

Pertanahan Nasional tidak mengatur secara tegas mengenai wewenang, yang

diatur adalah mengenai tugas dan fungsi. Dalam rumusan tugas dan fungsi inilah

secara tersirat termuat wewenang Badan Pertanahan Nasional untuk

mengeluarkan berbagai pengaturan, baik berupa peraturan-peraturan dan

keputusan-keputusan yang umumnya bersifat mengatur berdasarkan wewenang

delegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan

demikian materi muatan peraturan atau keputusan dari Badan Pertanahan

Nasional adalah menyangkut hal-hal penguasaan dan penggunaan tanah,

kepemilikan tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah.70

Materi muatan peraturan atau keputusan yang bersifat pengaturan yang

dikeluarkan menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan fungsi dan tanggung

jawab dari Badan pertanahan nasional yang telah memperoleh delegasi

70

Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan , Teori dan Praktik, Cet. Pertama,

Bayumedia Publishing, Malang, h. 45

Page 84: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

69

berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut masih tergolong sebagai

peraturan perundang-undangan.71

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 10

Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam Pasal 28 menetapkan:

(1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di

daerah dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil

BPN) Provinsi di Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di

Kabupaten/Kota.

(2) Organisasi dan tata kerja Kanor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut

oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendapat persetujuan

dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur

negara.

Selanjutnya Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006

tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan

Kantor Pertanahan. Dalam Pasal 2 ditetapkan bahwa Kantor wilayah Badan

Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi

Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang bersangkutan. Dalam Pasal 3

ditetapkan bahwa dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mempunyai fungsi

sebagaimana berikut :

71

Ibid, h. 46

Page 85: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

70

a. Penyusun rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelaksnaan

tugas pertanahan;

b. Pengkoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan

pemetaan; hak tanah dan pendaftaran tanah; pengaturan dan penataan

pertanahan; pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat;

serta pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;

c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertanahan di lingkungan

provinsi;

d. Pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;

e. Pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional

(SIMTANAS) di Provinsi;

f. Pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;

g. Pengkoordinasian pengembangan sumber daya manusia pertanahan;

h. Pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana, dan

prasarana, perundang-undangan, serta pelayanan pertanahan.

Dari uraian diatas, jelas terdapat pelimpahan wewenang bidang pertanahan

dari Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan

Pertanahan Nasional di tingkat provinsi, dan pelimpahan wewenang bidang

pertanahan kepada Kantor Pertanahan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi

Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota. Mengingat pelimpahan

wewenang tersebut prosedur pelimpahannya dalam hubungan rutin antara atasan

dan bawahan, sehingga dalam hal ini disebut mandat. Oleh karena berupa mandat,

Page 86: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

71

maka semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang

dikeluarka mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat, dengan kata lain

sebagai tanggung jawab Kepala Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan

pelimpahan kewenangan tersebut di atas, dan untuk menindaklanjuti Peraturan

Presiden di atas adalah dengan mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sub

Bagian dan Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Uraian

Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Pertanahan. Dengan demikian,

berdasarkan Pasal 2 tersebut di atas maka terlihat bahwa Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional tidak melaksanakan pelaksanaan teknis di bidang pertanahan

secara langsung tetapi lebih kepada pemantauan, monitoring ataupun pengawasan

terhadap Kantor Pertanahan kecuali dalam batas wewenang yang dimilikinya

sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain mempunyai

wewenang terbatas.72

Bidang pertanahan di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Kantor

Pertanahan dengan struktur organisasi yang terdiri atas 5 (lima) Unit Kerja Tata

Usaha dan unit kerja teknis yang terdiri dari : Unit Kerja Survey, Pengukuran, dan

Pemetaan Tanah; Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; Pengaturan dan Penataan

Pertanahan; Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan; Sengketa, Konflik dan

Perkara. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional dan Uraian Tugas Urusan dan Sub Seksi pada Kantor

72

Ibid., h. 49

Page 87: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

72

Pertanahan, yang mengatur mengenai penetapan penguasaan dan pemilikan luas

tanah pertanian pada Kantor Pertanahan adala Seksi Pengaturan dan

Penataan Pertanahan.

Sub Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada Kantor pertanahan

mempunyai tugas menyiapkan bahan dan melakukan penatagunaan tanah,

landreform, konsolidasi tanah, penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau

kecil, perbatasan dan wilayah tertentu lainnya. Seksi Pengaturan dan Penataan

Pertanahan mempunyai fungsi :73

- Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah dan

penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan

wilayah tertentu lainnya, penetapan kriteria kesesuaian penggunaan dan

pemanfaatan tanah serta penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka

perwujudan fungsi kawasan/zoning, penyesuaian penggunaan dan

pemanfaatan tanah, penerbitan izin, perubahan penggunaan tanah,

penataan tanah bersama untuk peremajaan kota, daerah bencana dan

daerah bekas konflik serta pemukiman kembali;

- Penyusunan rencana persediaan, peruntukan, penggunaan dan

pemeliharaan tanah, neraca penatagunaan tanah kabupaten/kota dan

kawasan lainnya;

- Pemeliharaan basis data penatagunaan tanah kabupaten/kota dan

kawasan;

73

Ibid., h. 58

Page 88: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

73

- Pemantauan dan evaluasi pemeliharaan tanah, perubahan penggunaan dan

pemanfaatan tanah pada tiap fungsi kawasan/zoning dan redistribusi

tanah, pelaksanaan konsolidasi tanah, pemberian tanah obyek landreform

dan pemanfaatan tanah bersama serta penertiban administrasi landreform;

- Pengusulan penetapan/penegasan tanah menjadi obyek landreform;

- Pengambilalihan/atau penerimaan penyerahan tanah-tanah yang terkena

ketentuan landreform;

- Penguasaan tanah-tanah obyek landreform;

- Pemberian izin peralihan hak atas tanah pertanian dan izin redistribusi

tanah dengan luasan tertentu;

- Penyiapan usulan penetapan surat keputusan redistribusi tanah obyek

landreform dan obyek konsolidasi tanah;

- Penyiapan usulan ganti kerugian tanah obyek landreform dan penegasan

obyek konsolidasi tanah;

- Penyediaan tanah untuk pembangunan;

- Pengelolaan sumbangan tanah untuk pembangunan,;

- Pengumpulan, pengelolaan, penyajian dan dokumentasi data landreform.

Dengan demikian struktur Organisasi Kantor Pertanahan saat ini dibentuk

berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 jo

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

2006. Selanjutnya untuk lebih rinci, maka ditetapkan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2008 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan

Page 89: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

74

Seksi pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasionmal dan Uraian Tugas

Urusan dan Sub Seksi pada Kantor Pertanahan.

Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban di

bidang pertanahan yang dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun

2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, dalam salah satu pertimbangan

terbitnya Peraturan Presiden tersebut adalah bahwa tanah merupakan perekat

Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara

nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa fenomena desentralisasi bidang

pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi

kenyataan karena pemerintah berkeinginan untuk tetap mempertahankan

eksistensi atau keberadaan Badan pertanahan Nasional dan instansi vertikal di

daerah sebagai badan yang secara nasional berfungsi untuk menjaga keberlanjutan

sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan.

Dilain pihak, pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah

Daerah berdasarkan model medebewind atau tugas pembantuan memperoleh

pengaturannya dimana kedudukan Badan Pertanahan Nasional yang

melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertahanan secara nasional, regional,

dan sektoral, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden

(Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Page 90: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

75

BAB III

DASAR HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH

DALAM MENETAPKAN

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN LUAS TANAH PERTANIAN

3.1. Pengertian Tentang Penguasaan dan Pemilikan Hak-hak Atas Tanah

Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut

hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Disamping itu tanah

juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi multi-sektoral, multi-

disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui masalah

tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik

ekonomi, sosial, politik, dan bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai

religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang

disebut permukaan bumi. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal

4 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 2 yang menentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut dengan tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

serta badan-badan hukum. Dengan demikian yang dimaksud dengan hak atas

tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk

mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya, misalnya

untuk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.

75

Page 91: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

76

Obyek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan

atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi

pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. “Sesuatu”

disini adalah yang boleh, wajib, dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang

merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam Hukum Tanah Negara yang bersangkutan.74

Kita juga mengetahui, bahwa

penguasaan hak-hak atas tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika

belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan atas

tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkret (subjective recht), jika

sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang

haknya. 75

Pengertian tentang “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti

fisik, dan juga dalam arti yuridis. Pengertian penguasaan yuridis dilandasi hak

yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada

pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.76

Pengertian

penguasaan dan menguasai tersebut dipakai dalam arti perdata Dalam UUD 1945

dan UUPA pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam arti publik,

seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian yuridis yang beraspek

perdata, terdiri atas hak tanah seperti : hak milik (Pasal 20), hak guna usaha dan

74

Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut

Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 195

75

Budi harsono,2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet. Kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta, h. 253

76

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju

Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 66

Page 92: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

77

hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan (Pasal 23, 33, 39, dan 51).

Sedangkan hak menguasai negara yang sifatnya hukum publik merupakan hak

menguasai negara yang meliputi semua tanah tanpa ada terkecualinya.

UUPA membedakan hak penguasaan tanah menjadi 2 kelompok, yaitu hak

atas tanah dan hak jaminan atas tanah. Hak atas tanah yang menentukan sistem

land tenure dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu :77

1. Semua hak yang diperoleh langsung dari negara (disebut dengan hak

primer)

2. Semua yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada

perjanjian bersama (disebut hak sekunder).

Kedua hak tersebut di atas pada umumnya mempunyai persamaan, dimana

pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya

sendiri atau untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perjanjian

dimana satu pihak memberikan hak sekunder pada pihak lain.78

Hak atas tanah yang diperoleh dari negara (hak primer), terdiri dari : hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan.

Sedangkan hak yang sekunder terdiri dari hak sewa, hak usaha bagi hasil, hak

gadai, dan hak menumpang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA

menentukan bahwa hak usaha bagi hasil, hak sewa, dan hak gadai tanah pertanian

akan dihapuskan. Hal ini merupakan pelaksanaan azas-azas yang terkandung pada

Pasal 10 UUPA, yang menyatakan bahwa “tanah pertanian harus diolah oleh

77

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Bagian I, Jambatan, Jakarta, h. 7

78

Ibid

Page 93: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

78

pemiliknya sendiri”.79

Tetapi sampai saat ini azas ini belum sepenuhnya

terlaksana.

Dalam UUPA, seperti yang dirumuskan pada Pasal 20, pengertian Hak

milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

atas tanah, dan mempunyai fungsi sosial.80

Dengan demikian, terkuat dan

terpenuh tidak berarti hak milik adalah hak yang mutlak dan tidak dapat

diganggu gugat seperti hak eigendom yang asli. Namun pengertian tersebut

menunjukkan bila dibandingkan dengan hak lain, hak milik adalah hak yang

paling kuat dan paling penuh. Hak milik dapat beralih dan dialihkan pada pihak

lain.

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan

leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan

sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum

yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak

mengganggu hak-hak orang lain. Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi

kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas

ketentuan undang-undang dan pembayaran ganti rugi (Pasal 570 KUHPerdata).

Dengan demikian, maka pengertian terkuat seperti yang dirumuskan dalam

KUHPerdata terdapat perbedaan dengan yang dirumuskan dalam UUPA , oleh

karena dalam UUPA menyatakan bahwa “segala hak mempunyai fungsi sosial”,

79

Ibid, h. 15

80

Achmad Chuleemi, 1995, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas

Tanah dan Pemindahannya, FH. Undip, Semarang, h. 59

Page 94: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

79

ini berarti berbeda dengan pengertian hak eigendom yang dirumuskan dalam

KUHPerdata.

Adapun sifat-sifat dari hak milik adalah :

a. Merupakan hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak yang lainnya

b. Bersifat turun-temurun (dapat diwariskan oleh si empunya tanah), dan

secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali

apabila terjadi perpindahan hak.

c. Dapat menjadi induk atas hak-hak atas tanah lain, artinya bahwa hak milik

tersebut dapat dibebani oleh Hak Guna Bangunan, Hak Sewa, Hak Gadai.

d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

e. Dapat dijual atau ditukar dengan benda lain atau dihibahkan dan diberikan

secara wasiat.

f. Dapat diwakafkan

g. Yang boleh memiliki hak milik atas tanah sesuai dengan Pasal 21 Undang-

Undang Pokok Agraria adalah :

1) Hanya warga Negara lndonesia dapat mempunyai hak milik

2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak

milik dan syarat-syaratnya

3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh

hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta

karena perkawinan, demikian pada warga negara Indonesia yang

mempunyai hak milik setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya, wajib melaporkan hak itu dalam jangka waktu

Page 95: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

80

satu tahun sejak diperoleh hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak

tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara dan

ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebani tetap

berlangsung.

4) Selama seseorang yang memiliki kewarganegaraan lain selain sebagai

warga negara Indonesia, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan

hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (13) pasal ini.

Dengan demikian, pada prinsipnya hanya Warga Negara Indonesia tunggal

yang boleh mempunyai tanah dengan Hak Milik (Pasal 21 ayat (1) jo ayat (4)

Undang- Undang Pokok Agraria). Hal ini sebagaimana diatur dalam penjelasan

umum UUPA dalam angka Romawi II angka 5, bahwa pemilikan tanah dipakai

asas kebangsaan, yang ditegaskan bahwa sesuai dengan asas kebangsaan maka

hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah

(Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA), ini berarti hak milik atas tanah kepada orang

asing dilarang (Pasal 26 ayat (2) UUPA). Orang-orang asing hanya dapat

mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas.

Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai

hak milik atas tanah ( Pasal 21 ayat (2) UUPA), akan tetapi mengingat akan

keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan paham keagamaan,

sosial, dan hubungan perekonomian maka diadakanlah suatu escape clause yang

memungkinkan badan-badan hukum tertentu dapat mempunyai hak milik. Escape

clause merupakan dispensasi yang diberikan oleh Pemerintah dengan menunjuk

Page 96: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

81

badan-badan hukum tertentu yang dapat mempunyai hak miliki sepanjang

tanahnya diperlukan untuk bidang-bidang sosial dan keagamaan (Pasal 49).

Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud

menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang

dipunyai dengan hak milik, termasuk dalam hal ini khususnya tentang

kepemilikan hak atas tanah pertanian.

Menurut Boedi Harsono hapusnya hak milik dikarenakan oleh hal-hal berikut:

a. Pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA

b. Penyerahan suka rela oleh pemiliknya

c. Ditelantarkan

d. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2)

Dari uraian di atas mengenai pengertian “penguasaan”, disamping dipakai

dalam arti fisik dan dalam arti yuridis, juga beraspek privat dan beraspek

publik.81

Dalam hal ini, umumnya terhadap penguasaan secara yuridis adalah

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah

yang dihaki, namun disisi lain ada penguasaan secara yuridis yang tidak

memberi kewenangan untuk menguasai tanah bersangkutan secara fisik, misalnya

kreditor (bank), pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan

yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan) akan tetapi secara fisik

penguasaannya tetap berada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis

dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat. Sedangkan penguasaan yuridis

81

Urip Santoso, 2009, Op. Cit., h. 73

Page 97: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

82

yang beraspek publik adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.

Pengertian penguasaan tanah secara yuridis formal sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah berbunyi sebagai

berikut :

“seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu

keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian baik

miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama

kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum yang

ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini.”

Dalam penjelasan yang sama lebih diuraikan lagi, bahwa seandainya orang

yang mempunyai tanah dengan hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya

disewakan atau dibagihasilkan kepada orang lain maka termasuk dalam pengertian

menguasai tanah (penguasaan tanah). Dengan demikian, pengertian menguasai

itu berarti menguasai baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu pula

yang menyewa tanah termasuk pula dalam pengertian menguasai tanah tersebut.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan menguasai

tanah pertanian menurut peraturan perundangan yaitu selain dengan hak milik,

dapat juga dilakukan dengan hak gadai, hak sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil,

dan sebagainya. Dan yang dilarang oleh peraturan perundangan bukan hanya

pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaan tanah dalam

bentuk-bentuk yang lain.

3.2. Mekanisme Pemberian Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan

Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria (UUPA) sebagai undang-undang pokok tidak saja secara

Page 98: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

83

tegas dinyatakan dalam judul undang-undangnya, tetapi juga diperlihatkan dalam

pasal demi pasal pengaturannya. Kendati undang-undang secara formal

merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh aparat yang berwenang untuk itu,

namun mengingat sifatnya sebagai suatu peraturan dasar, dalam undang-undang

tersebut hanyalah dimuat mengenai asas-asasnya dan garis-garis besarnya saja.

Sebagai undang-undang pokok, pelaksanaannya lebih lanjut tentunya diatur

dalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, dan peraturan

perundang-undangan lainnya, karena itu menjadikan bahwa UUPA merupakan

dasar bagi peraturan pelaksana yang terkait di dalamnya.

Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang dituangkan dalam Pasal 2 UUPA didasarkan

pada konsepsi bahwa semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya ditugaskan kepada negara untuk

digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut

digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) bahwa “hak menguasai dari Negara ini

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan

dengan kepentingan-kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan

Peraturan Pemerintah”. Ini berarti pelaksanaan yang dilimpahkan pada

Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum

tanah nasional.

Page 99: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

84

Atas dasar kewenangan itu, maka wewenang ke dalam, negara dapat

melakukan :82

1. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,

dan sosial (Pasal 14 ayat (1) UUPA), sedangkan pemerintah daerah juga

harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat

(Pasal 14 ayat (2) UUPA).

2. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang dapat

diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun bersama-

sama)/badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi

perorangan/badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik

privat atas tanah.

3. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan

tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh

dimiliki/dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap

WNI mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak

atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri

maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA).

4. Menentukan bahwa setiap orang/badan hukum yang mempunyai suatu hak

atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri, dengan beberapa perkecualian

82

Iman Soetikno, 1994, Proses terjadinya UUPA;Peran Serta Seksi Agraria Universitas

Gajah Mada, University Press, Yogyakarta, Cet. ke tujuh, h. 51

Page 100: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

85

(Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada tanah

absentee.

5. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa semua

hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan

kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan 15

UUPA).

6. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak

guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut

dalam Pasal 16 UUPA.

7. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA)

dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47, 48 UUPA)

8. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air,

dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA).

9. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia

untuk menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).

Dalam hal wewenang ke luar, negara dapat melakukan :83

1. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan

ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang

Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini

berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapapun.

83

Ibid, h. 52

Page 101: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

86

2. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai

hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat

mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah

Indonesia (Pasal 21 UUPA).

Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 2 UUPA memberikan kewenangan

untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan tanah yang menurut

sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (sebagaimana diatur

dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945). Jelas bahwa pelimpahan

wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah

merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut

keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan nasional.

Berdasarkan pada landasan konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka

pada tingkat tertinggi “Negara” memiliki kewenangan atribusi untuk mengatur

peruntukan dan pemanfaatan atau penggunaan tanah. Negara memberi

kewenangan dalam bidang pertanahan kepada penyelenggara pemerintahan untuk

mengundangkan UU No. 5 Th. 1960 (UUPA), dan kewenangan Negara tersebut

diwujudkan dalam Pasal 2. Selanjutnya dalam Pasal 7 dan 17 menetapkan tentang

batas maksimum dan minimum tanah yang boleh dimiliki, yang kemudian

diimplementasikan ke dalam UU No. 56 Th. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertania.

Page 102: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

87

Berdasarkan kewenangan konstitudi tersebut, Presiden selaku kepala

Pemerintahan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 26 Th. 1988 tentang BPN

jo Peraturan Presiden No. 10 Th. 2006 tentang BPN. Walaupun tidak diatur secara

tegas mengenai wewenang, namun dari ketentuan peraturan tersebut tentang tugas

dan fungsi BPN dapat diartikan bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan

membentuk Lembaga BPN yang menetapkan bahwa untuk menangani bidang

pertanahan menjadi wewenang BPN. Dengan demikian, BPN sebagai Badan

Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan dalam melaksanakan atau

menjalankan tugas dan fungsi serta tanggung jawab bidang pertanahan, termasuk

dalam hal penetapan batas maksimum dan batas minimum penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian. Berdasarkan kewenangan ini, Kepala BPN

mengeluarkan Peraturan No.4 Th. 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor

Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan, dan selanjutnya dikeluarkan Peraturan

kepala BPN No. 5 Th. 2008 tentang Uraian Tugas Sub Bagian dan Seksi pada

Kanwil BPN dan pada Kantor Pertanahan. Yang mengatur mengenai penetapan

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian pada Kantor Pertanahan adalah

Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan.

Wewenang dalam bidang agraria atau bidang pertanahan dapat merupakan

sumber keuangan bagi daerah bersangkutan. Tugas pembantuan pada dasarnya

merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakat atas penugasan

atau kuasa dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah diatasnya untuk

melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Pengaturan dan

penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan

Page 103: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

88

perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan

ketentuan hukumnya pada kenyataannya dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri.

Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan

tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah

pusat yang ada di daerah ataupun kepada pemerintah daerah tetapi dalam rangka

tugas pembantuan (medebewind), bukan otonomi daerah atau bukan

desentralisasi. Hal ini menimbulkan persoalan tentang kewenangan pemerintah

untuk mengurus bidang pertanahan.

Persoalan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan menjadi

mengemuka sejak bergulirnya era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang

No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun

2004. Karena disatu sisi, otonomi daerah memberikan kewenangan pada daerah

untuk mengurus urusan rumah tangganya sesuai dengan kekhasan daerahnya,

namun di sisi lain pemerintah merasa perlu untuk menetapkan sejumlah aturan

main sehingga pelaksanaannya tidak menimbulkan gejolak separatisme dan

ketidaksesuaian diantara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan demikian,

walaupun daerah diberi kewenangan penuh, tetap ada suatu mekanisme yang

memungkinkan masing-masing daerah untuk melaksanakan sesuai dengan bentuk

dan isi kewenangannya yang memiliki standarisasi secara nasional.

Dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2

Tahun 2003 Tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan

Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, yang merupakan tindak lanjut

dari Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Page 104: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

89

Pertanahan, secara rinci diatur tentang 9 kewenangan bidang pertanahan yang

dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu :

a. Pemberian izin lokasi

b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan

d. Penyelesaian masalah ganti rugi kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan

e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absente

f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat

g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong

h. Pemberian izin membuka tanah

i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Dari 9 sub bidang pertanahan di atas, dalam hal ini yang akan dibahas adalah

sub bidang tentang “Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti

kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee” mengingat bahwa

penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah tersebut merupakan tindak lanjut

dari adanya ketentuan penetapan batas maksimum dan/atau batas minimum

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian. Apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum,

maka tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah (disebut tanah redis atau

tanah obyek landreform), untuk kemudian tanah-tanah tersebut akan dibagi-

Page 105: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

90

bagikan kepada rakyat yang membutuhkan, dan kepada bekas pemiliknya

diberikan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 224 Tahun 1961

tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pasal 5

menyatakan, bahwa soal-soal tersebut dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu

akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (3) UUPA.84

Adapun standar mekanisme ketatalaksanaan bidang pertanahan tentang

“Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian dari tanah-

tanah kelebihan maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian dan tanah

absentee”, adalah sebagai berikut :

1. Persiapan, yaitu membentuk Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) dengan

susunan keanggotaan yeng terdiri dari :85

- Bupati/Walikota sebagai ketua merangkap anggota;

- Kepala Kantor Pertanahan sebagai wakil ketua merangkap anggota;

- Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota sebagai anggota;

- Seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Resort

Kabupaten/Kota sebagai anggota;

- Seorang pejabat yang bertanggung jawab di bidang pertanian

kabupaten/Kota sebagai anggota;

- Seorang pejabat yang bertanggung jawab di bidang koperasi

Kabupaten/Kota sebagai anggota;

- Seorang wakil cabang HKTI Kabupaten/Kota sebagai anggota;

84

Sumarsono, 1973, Himpunan Peraturan Agraria, Dirjen Agraria, Jakarta, h. 213

85

Arie Sukanti Hutagalung, Op., Cit., h. 133

Page 106: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

91

- Pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dari instansi/dinas yang terkait dengan

urusan pertanahan sebagai angota (disesuaikan dengan kebutuhan serta

situasi dan kondisi Kabupaten /Kota masing-masing);

- Camat, Kepala Desa/Lurah yang dalam wilayahnya terdapat tanah-tanah

yang akan ditetapkan sebagai obyek landreform;

2. Tugas:

- Memberikan saran dan pertimbangan kepada Bupati/Walikota mengenai

segala hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan Landreform di

wilayahnya

- Membentuk Sekretariat Panitia Pertimbangan Landreform (PPL) dan

mengangkat kepala seksi pengaturan penguasaan tanah dari kantor

pertanahan Kabupaten/Kota sebagai sekretaris.

3. Pelaksanaan, antara lain:

a. Menyiapkan bahan sidang yang merupakan hasil inventarisasi tanah-tanah

yang terkiena ketentuan kelebihan maksimum dan absentee serta hal-hal

lain yang berkaitan oleh sekretariat PPL

b. Melaksanakan sidang yang dipimpin oleh ketua atau wakil ketua

- Sidang memutuskan: tanah-tanah yang terkena ketentuan kelebihan

maksimum dan absentee, bekas pemilik tanah, besarnya ganti kerugian,

calon penerima pembagian tanah.

- Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat.

- Hasil sidang dituangkan dalam berita acara sidang, yang berisi saran dan

pertimbangan.

Page 107: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

92

- Sidang diadakan minimal tiga kali dalam setahun.

c. Menerima penyerahan tanah PPL menerima penyerahan tanah kelebihan

batas maksimum dan tanah absentee dari pemilik tanah, selanjutnya tanah

tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara, dan memberikan Surat

Tanda Penyerahan Penerimaan Hak dan Pemberian Ganti Kerugian

(STP 3), STP 3 berisi antara lain:

- Kode/tanda STP 3

- Nama bekas pemilik

- Umur,

- Pekerjaan

- Tempat tinggal bekas pemilik

- Daftar susunan anggota keluarga

- Luas dan letak tanah yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan

absentee

- Nama-nama penggarap calon penerima redistribusi

- Nama yang menyerahkan

- Nama yang menerima

d. Menetapkan subyek dan obyek redistribusi, yaitu:

- Penyiapan konsep SK Penetapan dengan kelengkapan sebagai berikut:

Berita Acara Sidang PPL; STP 3; Riwayat tanah; surat keterangan

pendaftarsn tanah,; surat keterangan tanah; daftar nama penggarap; dan

hasil perhitungan besarnya ganti kerugian.

Page 108: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

93

- Menetapkan tanah kelebihan maksimum dan absentee sebagai obyek

landreform antara lain: nama-nama bekas pemilik tanah; tanah obyek

landreform; bentuk ganti kerugian kepada bekas pemilik dalam bentuk

uang (dapat dari pemerintah atau secara llangsung dari penerima

redistribussi); dan nama-nama calon penerima pembagian tanah.

e. Menyampaikan Berita Acara PPL dan SK Penetapan TOL kepada Badan

Pertanahan Nasional (BPN) untuk proses penerbitan SK Hak Atas Tanah

(HAT) Redistribusi.

f. Menyampaikan usulan kepada pemerintah cq BPN mengenai besarnya

ganti kerugian terhadap bekas pemilik tanah kelebihan maksimum dan

absentee, apabila ganti kerugian dalam bentuk uang dimaksud dari

pemerintah, dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

1. Usul penetapan ganti kerugian yang dilampiri :

- daftar nama bekas pemilik yang diusulkan ganti kerugiannya;

- SK Hak Atas Tanah Redistribusi;

- Perhitungan besarnya ganti kerugian;

- STP 3;

- Surat keputusan penetapan hasil bersih rata-rata per Ha;

- Harga umum tanah setempat berdasarkan NJOP (Nilai Jual

Obyek Pajak);

- Harga gabah per kwintal; surat keterangan tempat tinggal bekas

pemilik/ahli waris/kuasanya;

- Foto cophy KTP.

Page 109: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

94

2. Besarnya ganti kerugian per Ha di hitung atas dasar hasil bersih rata-

rata per Ha, maksimum Rp 3.500.000.00,- per hektar.

g. Menyampaikan usulan kepada pemerintah cq BPN untuk diterbitkan izin

pembayaran ganti kerugian secara langsung kepada bekas pemilik tanah

kelebihan maksimum dan absentee, dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Usul penerbitan izin dimaksud dilampiri :

- Daftar nama bekas pemilik yang diusulkan ganti kerugiannya;

- SK Hak Atas Tanah redistribusi;

- Perhitungan besarnya ganti kerugian;

- STP 3;

- Surat Keputusan Penetapan hasil bersih rata-rata penetapan per

Ha;

- Harga umum tanah setempat berdasarkan NJOP;

- Harga gabah per kwintal

- Surat keterangan tempat tingga bekas pemilik/ahli

waris/kuasanya;

- Foto cophy KTP.

2. Besarnya ganti kerugian per Ha dihitung atas dasar hasil bersih rata

per Ha, maksimum Rp 3.500.000.00,- per hektar.

3. Pelaporan, yaitu :

Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan kegiatan penetapan redistribusi

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee serta ganti ruginya kepada

Page 110: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

95

Pemerintah cq Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kepala Kantor

Wilayah Badan Pertanahan nasional Provinsi setempat.

Ketentuan mengenai desentralisasi atau pelimpahan wewenang di bidang

pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintah

Daerah, yang menyatakan bahwa yang dilimpahkan kepada Daerah bukanlah

urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya terkait dengan pelayanan pertanahan.

Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat regulasi di bidang pertanahan tetap

dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara Pemerintah Daerah hanya sebatas

menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk hukum dibidang pertanahan

yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.86

Menurut Arie Sukanti Hutagalung, bahwa wewenang yang dipunyai oleh

Pemerintah Daerah di bidang pertanahan hanya sebatas yang bersifat lokalitas,

dan tidak bersifat nasional.87

Karena pemberian otonomi kepada daerah

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut adalah

berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian

kebebasan untuk mengatur dan mengurus bidang pertanahan akan tetap

dilaksanakan dalam rangka kebijakan dasar dan pokok-pokok ketentuan hukum

pertanahan yang berlaku secara nasional sebagaimana yang dinyatakan dari kata-

kata “sesuai peraturan perundang-undangan”.

Dengan demikian, jelas bahwa otonomi di bidang pertanahan tidak dapat

diartikan sebagai penyerahan pengaturan dan pengurusan segala segi masalah

pertanahan sepenuhnya beralih menjadi wewenang Pemerintah Daerah

86

Suriansyah Murhaini, Op. Cit. h. 73

87

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op. Cit. h. 58

Page 111: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

96

Kabupaten/Kota masing-masing, akan tetapi masih ada kewenangan-kewenangan

pengaturan mengenai hal-hal yang bersifat pokok dan umum, serta pembinaan

yang sepenuhnya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka Pemerintah perlu mengatur secara jelas mengenai kewenangan apa

yang dipunyai oleh Pemerintah Pusat dan kewenangan-kewenangan mana yang

akan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah.88

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang merupakan penjabaran

pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, dalam PP ini disebutkan bahwa urusan pemerintahan

terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewernangan

Pemerintah Pusat, dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan

dan/atau susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

urusan Pemerintah Pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedang urusan pemerintah yang

dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua

urusan pemerintahan diluar 6 urusan pemerintahan tersebut.

Dalam PP 38 Th. 2007, juga ditentukan bahwa urusan bidang pertanahan

secara nasional masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi pembuatan

produk hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian hak-hak atas tanah,

pendaftaran tanah, reformasi atau perombakan pertanahan (landreform), yang

88

Suriansyah Murhaini, Op. Cit., h. 65

Page 112: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

97

kesemuanya tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan

pemerintah maupun keputusan atau peraturan presiden, dan peraturan-peraturan

pelaksana lainnya. Sementara itu, kewenangan Pemerintah Daerah di bidang

pertanahan hanya cukup pada aspek pelayanan masyarakat dan pelaksanaan

kebijakan nasional yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun

keputusan kepala daerah.

Menurut keterangan Komang Sumertajaya selaku Kepala Bagian

Pemerintahan Setda Kabupaten Buleleng dari hasil wawancara yang dilakukan

secara terstruktur pada tanggal 8 Juli 2011, menyatakan bahwa walaupun dalam

Keppres Nomor 34 Tahun 2003 menentukan adanya penyerahan sebagian

kewenangan (9 kewenangan) Pemerintah di bidang pertanahan kepada Pemerintah

kabupaten/Kota, namun dalam prakteknya dapat dikatakan hampir seluruh

kebijakan teknis dalam bidang pertanahan masih dilaksanakan oleh Pemerintah

Pusat melalui instansi vertikal di daerah (Kanwil BPN dan Kantor Pertanahan).

Dan dalam perkembangan terakhir dikatakan bahwa dengan terbitnya Peraturan

Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2011 maka sesungguhnya kewenangan Pemerintah

Daerah dalam bidang pertanahan hanya sebatas pada pemberian izin lokasi, yang

kemudian pelaksanaan petunjuk teknis (juknis) tidak melibatkan Kabupaten/Kota,

sehingga dinilai bahwa petunjuk teknis tersebut tidak mencerminkan PP 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota, dimana dalam peraturan ini semestinya memberikan

kewenangan kepada Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan fakta semakin

Page 113: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

98

berkurangnya kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang

pertanahan.

Jika dikaitkan dengan masalah peningkatan kesejahteraan daerah otonomi

dari bidang pertanahan, khususnya dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah

(PAD), ini berarti kontribusi bidang pertanahan terhadap PAD belum begitu

signifikan, ini disebabkan dalam kenyataannya masih begitu kecil kewenangan

Pemerintah Daerah dalam penanganan urusan pertanahan, dan hal ini dinilai

kurang mencerminkan apa yang tertuang dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, karena

hampir seluruh proses (baik proses penanganan, penerbitan dokumen-dokumen

hukum bidang pertanahan) masih dilaksanakan oleh instansi vertikal yang

menangani bidang pertanahan (Kantor Pertanahan).

Selanjutnya Sumertajaya menyatakan bahwa, Bidang “pelayanan pertanahan”

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, tidak dapat dilepaskan dari fungsi

hakiki aparatur pemerintah, yaitu sebagai pelayan masyarakat, dan selama ini

pelayanan pada masyarakat tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah

sebatas pemberian rekomendasi terhadap permohonan tanah negara yang juga

dalam hal penentuannya (dikabulkan atau tidak) masih ditentukan oleh instansi

vertikal (BPN). Satu-satunya kewenangan nyata yang dimiliki Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam bidang pertanahan adalah pemberian “izin lokasi”

meskipun dalam hal ini juga harus tetap berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota, agar setiap permasalahan pertanahan yang ditangani tetap berada

dalam naungan payung hukum yang berlaku.

Page 114: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

99

Komang Sumertajaya juga menyatakan, bahwa sampai saat ini belum

ditengarai adanya kesalahan prinsip dalam penanganan masalah pertanahan

terlepas dari kontradiksi kewenangan antara bidang “pelayanan pertanahan”

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, dan “bidang pertanahan”

sebagaimana diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Hal ini berkaitan dengan belum ditetapkannya Norma Standar

prosedur dan Kriteria (NSPK) di bidang pertanahan sebagai pedoman dalam

pelaksanaan kewenangan bidang pertanahan sejak ditetapkannya PP Nomor 38

Tahun 2007 tersebut. Padahal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diamanatkan

dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 kewajiban Pemerintah adalah membuat NSPK

selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sejak ditetapkannya PP tersebut dan sudah

harus disampaikan kepada Pemerintah Daerah. Terakhir berdasarkan Surat Edaran

Kepala BPN Nomor 2473-170 pada tanggal 2 Agustus 2007 yang intinya hanya

menyatakan akan segera menyiapkan penetapan NSPK pelaksanaan 9 (sembilan)

kewenangan urusan pertanahan sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 38 tahun

2007. Dengan demikian, kewenangan dalam bidang pertanahan merupakan

kewenangan konkuren, yaitu kewenangan yang dibagi bersama antar tingkatan

pemerintah. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Daerah hanya melaksanakan

sebagian kewenangan di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 2

Keppres Nomor 34 Tahun 2003. Untuk permasalahan tentang penguasaan dan

pemilikan hak atas tanah (termasuk tentang penetapan penguasaan dan pemilikan

luas tanah pertanian), perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah, dan

Page 115: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

100

pendaftaran tanah, dalam pelaksanaannya, disini kewenangan yang dimiliki

oleh Pemerintah Daerah hanyalah sebatas memberikan rekomendasi terhadap

permohonan (jika diperlukan) dan inipun dalam penentuannya tetap menjadi

kewenangan pemerintah dengan instansi vertikal yang ada di daerah.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kewenangan dalam menetapkan

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan kewenangan

Pemerintah Pusat dalam hal ini Badan pertanahan Nasional (BPN) melalui

instansi vertikal yang ada di daerah yakni Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional (Kanwil. BPN) dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

3.3. Dasar Hukum Kewenangan Pemerintah Dalam Menetapkan Batas

Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan dan Pemilikan Luas

Tanah pertanian.

Kewenangan dalam mengurus bidang pertanahan menurut Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya,bahwa

kewenangan bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya

dilakukan oleh Pemerintah. Ketentuan dalam UUPA tentang kewenangan

mengurus bidang pertanahan tersebut berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945, yang menentukan bahwa semua tanah adalah merupakan hak

ulayat Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

penguasaannya ditugaskan kepada Negara dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat.

Analisis ketentuan Pasal 33 ayat (3) dilihat secara terminologi (tata bahasa)

maupun secara substansi diambil dari makna yang berbunyi “bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

Page 116: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

101

dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata “bumi” memiliki arti

planet tempat hidup, dunia atau jagad atau permukaan dunia, tanah.89

Yang

dimaksud “bumi” oleh Pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 adalah tanah

berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ditinjau dari segi makna,

baik yang tersirat maupun yang tersurat, istilah “bumi, air, dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya…” berorientasi ekonomi, karena menjadikan

sumber daya alam sebagai kekayaan alam yang bernilai ekonomis walaupun

penggunaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Dengan demikian, penjelasan ketentuan pasal ini

merefleksikan dasar demokrasi ekonomi negara, yang artinya kemakmuran bagi

semua orang menjadi prioritas, dan hal inilah yang menjadi tujuan negara.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa negara mempunyai

kewenangan untuk menguasai tanah di wilayahnya atau mempunyai kewenangan

dan tanggung jawab untuk mengatur. Makna “dikuasai negara” merupakan dasar

bagi konsep hak penguasaan negara. Pengertian “hak menguasai negara”

sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi ini tidak dijelaskan secara rinci , baik

dalam penjelasan umum maupun dalam penjelasan pasal demi pasal, karena itu

memungkinkan bahwa pengertian hak menguasai negara tersebut ditafsirkan atas

berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan yang

menafsirkan.

89

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. H. 136

Page 117: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

102

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “menguasai” berarti kedudukan

berkuasa atas sesuatu atau memegang kekuasaan atas sesuatu.90

Berasal dari kata

“kuasa” yang berarti wenang (untuk melakukan perbuatan-perbuatan)91

Dengan

mengacu pada ketentuan konstitusi di atas, ini berarti hak menguasai negara

adalah meliputi semua tanah tanpa terkecuali. Dengan demikian rumusan

sebagaimana tertera dalam Pasal 33 ayat (3) dapat berarti bahwa negara

memegang kekuasaan atas sumber-sumber daya agraria. Hak menguasai negara,

ini tidak berarti memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan

menggunakannya seperti hak atas tanah karena sifatnya hanya semata-mata

sebagai kewenangan publik, yaitu bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan

seluruh rakyat.

Negara diberikan kewenangan untuk mnengatur tanah dan unsur-unsur sumber

daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini Negara

berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan penggunaan tanah,

serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah wilayah Republik Indonesia dengan

tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kewenangan tersebut dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan

penguasa.92

Kaitannya dengan Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh

90

Pusat Pembinaan dan Pengemvbangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta.

91

Michael R. Purba, 2009, Kamus Hukum Internasional&Indonesia, Widyatamma,

Jakarta, h. 242 92

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 270-278

Page 118: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

103

rakyat mempunyai kewenangan penuh dalam segala hal termasuk dalam bidang

pertanahan. Di bidang pertanahan, kewenangan tersebut antara lain juga meliputi

penentuan batas maksimum dan batas minimum tentang penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian yang dicerminkan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan.

Menurut Noto Nagoro, menetapkan adanya 3 (tiga) macam bentuk hubungan

langsung antara negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai

berikut:93

1. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi

sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan,

badan yang publiekrechttelijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai

kedudukan yang sama dengan perorangan.

2. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan sehingga

hubungan antara negara dengan bumi dan lain sebagainya itu “ sama “

dengan hak perorangan atas tanah.

3. Hubungan antara negara “langsung” dengan bumi dan sebagainya tidak

sebagai subyek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara

yang memiliki, tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari

seluruh rakyat sehingga dalam konsep ini negara tidak lepas dari rakyat,

negara hanya menjadi pendiri dan pendukung kesatuan-kesatuan rakyat.

Mengacu pada pendapat Notonegoro di atas , maka bentuk hubungan antara

negara dan bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak

93

Notonagoro, dalam Sumardjono , Puspita Serangkai: Aneka Masalah Hukum Agraria,

Cet. Pertama, Andi Offset, Yogyakarta, h. 12

Page 119: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

104

menguasai negara adalah bentuk hubungan yang pada poin ke 3. Hubungan

tersebut menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA adalah merupakan hubungan yang abadi.

Dalam artian bahwa selama bangsa Indonesia masih ada, dan selama bumi, air,

dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan terputus oleh

kekuasaan apapun.

Istilah “menguasasi” berbeda dengan istilah “ dimiliki” sebagaimana

dipahami dalam konsep “domein” negara sebelum berlakunya UUPA. Pembedaan

makna “dikuasasi” dengan “dimilki” dinilai tepat oleh Boedi Harsono dalam

upaya menarik landasan hukum bagi kewenangan negara dalam melaksanakan

tugas kenegaraannya pada hak kepemilikan negara atas tanah, bukanlah

merupakan konsep hukum tata negara yang modern, melainkan merupakan

konsep hukum tata negara feodal.

Makna dikuasai negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan

pengawasan terhadap hak-hak perorangan, akan tetapi negara mempunyai

kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya

kesejahteraan rakyat.

Menurut Mohammad Hatta, bahwa dikuasai negara tidak berarti negara

sendiri penjadi penguasa, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan

bahwa kekuasaan Negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan

ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh

orang yang bermodal.94

94

Moh. Hatta, 1977, Penjabaran Pasal 33 UUD 1945, Mutiara, Jakarta, h. 28

Page 120: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

105

Berdasarkan uraian di atas, kata “dikuasai negara” ini di dalam hukum publik

mempunyai makna kewenangan Pemerintah Pusat (berstuursbevoegdheid).

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (5) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut

akan diatur dalam undang-undang. Makna yuridis dari pengertian “diatur undang-

undang” dapat diartikan kewenangan mengelola dan mengatur tanah dalam .

bidang hukum publik dalam hukum administrasi pemerintahan merupakan

kewenangan Pemerintah Pusat. Philipus M Hadjon menjelaskan “Kekuasaan

hukum terkait dengan wewenang dalam bidang hukum publik terutama dalam

hukum administrasi pemerintahan. Kekuasaan hukum menunjuk kepada

wewenang Pemerintah Pusat dan diatur dalam norma pemerintahan”.95

Norma pemerintahan memiliki dasar pengaturan secara konstitusional tentang

kekuasaan pemerintahan pada Pemerintah Pusat. Arti “dikuasai negara” adalah

menunjuk kepada tindakan hukum publik, dalam hal ini tindakan pemerintah.

Tindakan pemerintah bertumpu atas kewenangan yang sudah dan memiliki dasar

hukum sesuai dengan sistem pemerintahan, atau dengan kata lain kewenangan

yang sah harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan

dari K.C. Wheare “First of all it is used to describe the whole system of

government of a country, the collection of rules are partly legal, in the sense that

courts of law ill recognized and apply them, and partly non legal or extra-legal,

taking the form of usages, understandings, customs, or convention which are not

less effective in regulating the government than the rules of law strictly so

95

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal, Yuridika Nomor 5, September-

Desember 1997, h. 1

Page 121: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

106

called”96

yang artinya: Pertama, dalam arti luas yaitu sitem pemerintahan dari

suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur

pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Ke dua, pengertian dalam

arti sempit yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan

suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait

satu sama lain.

Makna “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” merupakan kewajiban negara

untuk mengelola sumber daya alam sebagai konsekwensi logis dan etis atas

penguasaan yang diberikan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, ketentuan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ini sangat berkaitan dengan

kesejahteraan sosial, sehingga tujuan dari penguasaan oleh negara atas sumber

daya alam adalah tercapainya keadilan sosial dan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (3) bahwa konsep “dikuasai negara”

artinya negara yang mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah

guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau dengan kata lain pada tingkatan

tertinggi negara yang berhak dalam mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.97

Termasuk dalam hal ini kewenangan untuk mengatur penetapan batas maksimum

dan minimum luas tanah pertanian.

Penegasan tentang kewenangan yang diuraikan di atas adalah merupakan

wewenang yang diatribusikan dalam Undang-Undang Dasar sebagai perwujudan

dari jiwa Pancasila, sehingga negara berhak untuk menuntut kepatuhan.

96

K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London oxpord university Press, h. 1

97

Yudhi Setiawan (1), 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht)

Dalam Konsolidasi Tanah, PT Radjagrafindo Persada, Jakarta, h. 43

Page 122: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

107

Kewenangan inilah yang melahirkan otoritas negara atas tanah secara hukum

publik. Dengan demikian, berdasarkan kewenangan atribusi yang bersumber

pada landasan konstitusional ini, negara memberi kewenangan dalam bidang

pertanahan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengundangkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (disingkat

UUPA). Undang-undang ini antara lain bertujuan untuk merubah nasib warga

negara Indonesia sehubungan dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah

Selanjutnya Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud

dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pernyataan “hak menguasai” ini berarti

negara memiliki wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung di

dalamnya.“Wewenang”ini berarti digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Hak menguasai dari Negara tersebut, dalam pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum

adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah

Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu

sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh wilayah

Page 123: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

108

Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (beraspek perdata) dan

bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Dengan

demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur, yaitu sebagai berikut:98

a. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak

kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat

Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia ( Pasal 1 ayat (1)

UUPA ).

b. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan

memimpin penguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama

tersebut.

Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan

kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum

publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu

penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan

pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara

Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.99

Aspek publik ini tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur

tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas kewenangan ini dilaksanakan

oleh negara berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh

negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yakni bumi dan air

98

Arie Sukanti Hutagalung, Op. Cit. H. 17

99

bid

Page 124: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

109

dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok

kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan hak menguasai Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2

UUPA tersebut maka memberi wewenang kepada penyelenggara Pemerintahan

untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menetapkan berbagai segi peruntukan,

penataan, penguasaan tanah dan penggunaan tanah, yang antara lain adalah

kewenangan dalam menetapkan batas maksimum dan batas minimum

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian.

Pasal 2 ayat (2) UUPA juga menyebutkan bahwa wewenang mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan tanah di daerah yang

bersangkutan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUPA yang

meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah non pertanian sesuai dengan

keadaan daerah masing-masing. Ini berarti, negara sebagai personifikasi dari

seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan –

peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution) peraturan-

peraturan itu, menggunakan (use), menyediakan (reservation) dan memelihara

(maintenance) atas bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak menguasai negara atas bumi, air, dan

kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang

pertanahan ada pada negara. Ini berarti kewenangan dalam menetapkan batas

maksimum dan batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian juga

Page 125: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

110

ada pada negara, dimana di bidang eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh

Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan kepada menteri.100

Ketentuan dalam ayat (4) Pasal 2 UUPA adalah bersangkutan dengan asas

otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal

agraria menurut sifatnya pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat (Pasal

33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945). Dengan demikian maka pelimpahan

wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah

merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut

keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan nasional.101

Ini berarti wewenang pemerintahan di bidang pertanahan

dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Disini kedudukan

Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan negara yang

tidak bersifat asli karena diberikan (dilimpahi) wewenang untuk itu oleh

Pemerintah Pusat. Pelimpahan wewenang ini sepenuhnya terserah kepada

Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar kewenangan di

bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat hukum

adat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diuraikan di atas, antara

ketentuan yang mengatur kewenangan di bidang pertanahan dalam UUPA dan UU

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah nampak adanya dissinkronisasi,

sehingga dapat menjadikan pelaksanaan desentralisasi atau pelimpahan wewenang

100

Edy Ruchiyat, Op. Cit., h. 11

101

Penjelasan, Kitab Undang-Undang Agraria Dan Pertanahan, 2009, Fokusmedia,

Bandung, h. 17

Page 126: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

111

di bidang pertanahan tidak berjalan baik. Berdasarkan UU NO. 32 Tahun 2004,

seharusnya prinsip otonomi daerah dilaksanakan seluas-luasnya dengan

memberikan kewenangan kepada daerah otonomi untuk mengurus dan mengatur

semua urusan pemerintahan di luar bidang yang menjadi urusan pemerintah, yang

salah satunya adalah bidang pertanahan. Namun disisi lain, undang-undang ini

menentukan bahwa penyerahan urusan pemerintahan di bidang pertanahan kepada

Pemerintah Daerah hanyalah pada aspek “pelayanan pertanahan” saja, bukan pada

aspek pembuatan kebijakan atau regulasi bidang pertanahan yang masih menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat.

Pasal 10 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan

(politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal

nasional), Pemerintah dapat:

1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan

2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku

wakil Pemerintah

3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau

pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4)

UUPA apabila dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004

maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak menguasai negara atas

tanah dapat dilakukan melalui tugas medebewind (dalam rangka tugas

pembantuan). Jelas bahwa kewenangan di bidang pertanahan, khususnya dalam

Page 127: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

112

penetapan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian adalah merupakan

kewenangan Pemerintah Pusat, walaupun ada sebagian kewenangan yang

didelegasikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupatern/Kota.

Pertimbangan-pertimbangan mengenai kewenangan pengurusan di bidang

pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat,

didasarkan pada beberapa hal, sebagai berikut:102

1. Seluruh Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat

Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1)

UUPA).

Ketentuan ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan

agraria. Sebagaimana dalam penjelasan umum angka II, konsep

kenasionalan menghendaki bumi, air, dan ruang angkasa dalam wilayah

Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh

bangsa Indonesia selayaknya menjadi hak bangsa Indonesia pula.

Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, semata-mata

menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja,

melainkan disana juga melekat hak bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa

Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA).

Ketentuan ini mengandung makna bahwa sumber daya agraria merupakan

kekayaan nasional. Adapun pengelolaannya harus memerhatikan

102

Arie Sukanti Hutagalung, Op. Cit., h. 60-61

Page 128: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

113

kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan tersebut. Dari konsep

ini kiranya dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber daya alam

dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan pembangunan

maupun perlakuan terhadap WNI. Sumber daya alam harus dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

3. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa

bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA)

Ketentuan ini merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disadari bahwa bangsa Indonesia

mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan

tanah merupakan komponen yang penting bagi penyelenggaraan hidup

dan kehidupannya. Dalam konsep ini tanah dalam arti kewilayahan

diletakkan sebagai dan merupakan salah satu unsur pembentuk negara

(NKRI). Oleh karena itu, hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam

wilayah Republik Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Selama

bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, selama itu pula NKRI

akan berdiri dengan kokoh.

Meskipun UUPA merupakan peraturan dasar atau sebagai peraturan induk

(payung undang-undang atau umbrella act) di bidang pertanahan, namun masih

dirasa belum lengkap untuk mengatur berbagai konflik di bidang pertanahan.

Terdapat beberapa kelemahan-kelemahan dalam UUPA, antara lain:103

103

Herman Haeruman, 2000, Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Sistem Agraria,

Membentuk Sistem pertanahan Positif yang lebih Efektif untuk kesejahteraan Masyarakat,

Opening Remarks International Converence on Land Policy Reform, Bappenas R.I, Jakarta, 26

Juli 2000, h. 1

Page 129: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

114

1. Sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan, sehingga

secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat

2. Sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang

3. Fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang

kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya

secara adil dan transparan.

Keberadaan UUPA sebagai undang-undang pokok atau merupakan peraturan

dasar, ini berarti bahwa UUPA adalah induk dari semua peraturan perundang-

undangan tentang pertanahan, yang salah satunya adalah peraturan perundang-

undangan tentang penetapan luas tanah pertanian, yakni UU Nomor 56 Prp

Tahun 1960. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan-

ketentuan Pasal 2, Pasal 7, dan Pasal 17 UUPA yang pengaturannya sebagai

berikut:

1. Pasal 2 UUPA ayat (1) menyatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang

dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai

oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Pasal 7 UUPA menyatakan untuk tidak merugikan kepentingan umum

maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak

diperkenankan. Pernyataan ini jika dihubungkan dalam masalah

landreform dikenal dengan istilah groot grondbezitter atau latifundia.104

104

A.P. Parlindungan, 1983, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung, h. 8

Page 130: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

115

3. Pasal 17 UUPA, menyatakan :

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai

tijuan yang dimaksud daalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum

dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak

tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini

dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang

singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum

termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan

ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang

membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan

Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang

akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara

berangsur-angsur.

Ketentuan dalam Pasal 17 ini merupakan pelaksanaan daripada yang

ditentukan dalam Pasal 7. Penetapan batas luas maksimum akan

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan dikeluarkannya UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 oleh Pemerintah,

yang antara lain menentukan batas maksimum dan/atau batas minimum luas tanah

pertanian yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh seseorang, Pemerintah akan

mengambil tanah yang melebihi batas penguasaan maksimum (tanah obyek

landreform atau tanah redis) dengan membayar ganti kerugian kepada pemegang

haknya untuk kemudian dibagikan (diredistribusikan) kepada para petani

penggarap yang tidak bertanah (subyek redistribusi). Redistribusi tanah pada

dasarnya merupakan pengambilalihan sebagian atau seluruh tanah dari kelebihan

maksimum dan tanah absente dan pembagian kembali kepada petani yang tidak

memiliki tanah atau kepada petani yang hanya memilki tanah yang sempit.

Page 131: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

116

Selanjutnya untuk melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana

diamanatkan oleh Pasal 17 ayat (3) UUPA jo UU Nomor 56 Prp Tahun 1960

tersebut, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961

tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini

kemudian telah diubah dan ditambah dengan PP Nomor 41 Tahun 1964 tentang

Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dalam

rangka untuk memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan oleh

Pemerintah.

Dari uraian tersebut, sangat jelas bahwa menurut UUPA (UU No. 5 Th. 1960)

bahwa dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian

merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Pemerintah memandang bahwa dalam

menetapkan penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian merupakan urusan

bidang pertanahan dan termasuk dalam masalah hukum tanah nasional, sehingga

tidak dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan

Kabupaten/Kota). Kendati telah diserahkan kepada daerah otonomi berdasarkan

Pasal 13 dan 14 UU No. 32 Th. 2004, namun karena menyangkut bidang hukum

tanah dan kebijakan di bidang pertanahan yang bersifat nasional maka masih tetap

diurus oleh pemerintah, tidak dilimpahkan kepada daerah otonomi. Bidang

pertanahan yang selama ini ditangani Pemerintah Daerah hanya menyangkut

pengaturan dan pengurusan tanah-tanah (aset) yang dimiliki atau dikuasai oleh

Pemerintah Daerah.

Dengan demikian, ini berarti dengan berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004

sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 1999, maka secara otomatis ketentuan

Page 132: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

117

dalam Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Kebijakan Keppres No. 34 Tahun 2003 ini menurut Sarjita menunjukkan bahwa

Pemerintah Pusat tidak tulus dan tidak rela dalam menerapkan desentralisasi di

bidang pertanahan, karena secara hirarkhis jelas bertentangan dengan undang-

undang otonomi daerah yang mengamanatkan bahwa urusan bidang pertanahan

merupakan kewenangan pemerintah daerah, ditegaskan bahwa undang-undang

yang kedudukannya lebih tinggi tidak dapat dianulir oleh Keppres yang

kedudukannya lebih rendah (lex superiori derogate legi inferiori). Jadi apabila

Pemerintah menghendaki pembatasan jenis kewenangan bidang pertanahan yang

akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah maka seharusnya dilakukan

perubahan terhadap undang-undang bukan dengan menerbitkan Keppres.105

Sehubungan dengan itu, dalam penguatan kelembagaan Badan Pertanahan

Nasional (BPN) sejak berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, kemudian dibentuk Peraturan Presiden Republik

Indonesia (Perpres RI) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional. Salah satu pertimbangan terbitnya Perpres ini, bahwa tanah merupakan

perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola

secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Pasal 2 Perpres Nomor 10 Tahun 2006 menentukan bahwa BPN mempunyai

tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,

105

Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah,

Tugujogja Pustaka, Yogyakarta, h. 11

Page 133: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

118

regional, dan sektoral. Dalam hal ini tugas dan fungsi BPN tidak hanya berfungsi

administratif tetapi juga mempunyai fungsi untuk merumuskan kebijaksanaan

yang berkaitan dengan pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan

perundang-undangan lainnya.106

Ini berarti, bahwa kenyataan menunjukkan

fenomena desentralisasi bidang pertanahan melalui model otonomi kepada daerah

otonom tidak menjadi kenyataan karena pemerintah tetap mempertahankan

eksistensi BPN sebagai badan yang secara nasional bertugas menjaga

keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang

pertanahan, termasuk kewenangan dalam penetapan subyek dan obyek

redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah

absente .

Dengan diterbitkannya UU No. 38 Th. 2007 yang menyatakan urusan

pemerintahan dibagi bersama antar tingkatan dan/atau sususunan pemerintahan

provinsi dan kabupaten/kota (31 bidang yang salah satunya bidang ”pertanahan”) ,

diharapkan permasalahan krusial tentang kewenangan antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten Kota) sebagai akibat diundangkan

UU No. 32 Th. 2004 dan Perpres No. 10 Th. 2006 tentang BPN terkait dengan

sengketa kewenangan bidang pertanahan dapat diatasi. Kewenangan tersebut

meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan pemilikan tanah, dan

perbuatan-perbuatan hukum bidang tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan

ketentuan hukumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Kalaupun ada pelimpahan

kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka

106

Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Bayumedia Publishing,

Malang, h. 13

Page 134: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

119

dekonsentrasi kepada pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah dalam rangka

medebewind, bukan otonomi daerah. Namun dalam hal inipun masih terjadi

kontradiksi, karena dalam UU No. 32 Th. 2004 menyebut “pelayanan pertanahan”

dan dalam PP No. 38 Th. 2007 menyebut bidang”pertanahan”

Dengan demikan, jika mengacu berdasarkan konstitusi Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 1960 jelas bahwa kebijakan di bidang

pertanahan khususnya dalam hal ini mengenai “pemenetapan batas maksimum

dan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian” adalah

menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang kepada

Pemerintah Daerah dapat dilakukan hanya berdasarkan prinsip tugas pembantuan

(medebewind), bukan melalui desentralisasi sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bidang

pertanahan yang dapat diurusi oleh Pemerintah Daerah hanya menyangkut

masalah teknis operasional pertanahan dan pelaksanaan kebijakan, sementara

mengenai pembuatan kebijakan hukum di bidang pertanahan secara nasional tetap

menjadi wewenang pemerintah.

Penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak hanya untuk

mengatur, tetapi juga untuk menetapkan. Kewenangan Pemerintah dalam

mengupayakan suatu penetapan yang ditujukan pada individu harus dilaksanakan

secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga bermanfaat bagi seluruh

masyarakat. Salah satu penetapan yang dikeluarkan Pemerintah adalah

“Penetapan Luas Tanah Pertanian” yakni UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 (L.N.

1960 No. 174: Penjdj. T. L. N. No. 2117). Sebagai peraturan pelaksana dari

Page 135: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

120

undang-undang ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP Nomor 224 Th. 1961)

tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Jelas ini

berarti bahwa dalam hal penetapan batas maksimum dan batas minimum

penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian masih tetap diurus oleh

Pemerintah, tidak dilimpahkan kepada Daerah Otonomi. Pemerintah hingga saat

ini belum menghendaki bidang pertanahan diurus oleh Pemerintah Daerah

(Provinsi dan Kabupaten/Kota). Hal itu terbukti dari adanya peraturan perundang-

undangan yang menganulir wewenang Pemerintah Daerah dalam mengurus

bidang pertanahan dan adanya kebijakan Pemerintah untuk tetap mempertahankan

keberadaan BPN dan instansi vertikal di daerah , yaitu Kanwil BPN Provinsi dan

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur berdasarkan Kepres

Nomor 26 Tahun 1988 tentang BPN jo Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang

BPN.

Presiden sebagai Kepala Pemerintahan membentuk Lembaga BPN yang

menetapkan bahwa urusan di bidang pertanahan menjadi wewenang BPN,

sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai pemberian kewenangan delegasi.

Berdasarkan kewenangan delegasi tersebut, Kepala BPN mengeluarkan Peraturan

Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Kantor Wilayah

BPN (Provinsi) dan Kantor Pertanahan Nasional (Kabupaten/Kota).

Page 136: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

121

BAB IV

KONSEKWENSI YURIDIS TERHADAP

PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH PERTANIAN

YANG MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM

DAN DIBAWAH BATAS MINIMUM

4.1. Pengaturan Tentang Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum

Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian

Dalam rangka meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria

nasional, maka asas domein sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch

Besluit, Stb. 1870 No. 118, yang sebelum berlakunya UUPA menjadi dasar

hukum agraria kolonial harus ditinggalkan dan telah dicabut. Sebagai gantinya,

ditetapkan asas menguasai negara yang bersumber pada Pancasila dan konstitusi.

Pancasila, dalam sila ke limanya menyebutkan: Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia. Sila ke lima ini mengharapkan bangsa Indonesia

mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana

kekeluargaan serta kegotongroyongan. Untuk mewujudkjan isi dari sila ke lima

tersebut, diperlukan langkah-langkah dan penafsiran di bidang pertanahan karena

kewenangan itu tidak diberikan secara tegas oleh UUD Tahun 1945. Penafsiran

diawali dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan : “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jelas , bahwa arti

penting tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan

121

Page 137: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

122

bumi diperintahkan kepada negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat. Sehingga sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya,

bahwa Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan

politik dan hukum agraria nasional di Indonesia.

UUPA yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

tersebut yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7,

dan Pasal 17 adalah merupakan dasar pengaturan tentang penetapan batas

maksimum dan batas minimum penguasaan tanah pertanian

Ketentuan-ketentuan dalam UUPA tersebut diatas adalah merupakan

ketentuan pokok yang mengatur secara garis besarnya saja, dan untuk

melaksanakannya diperlukan peraturan pelaksanaannya baik dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan mentri, maupun peraturan

pelaksana lainnya dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan yang dibentuk ini

tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UUPA. Adapun

peraturan-peraturan itu, antara lain sebagai berikut:

1. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ketetapan ini merupakan pedoman atau tuntunan dalam melakukan

pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan

sumber hukum formil, namun ketentuan dalam Tap MPR ini dapat

dijadikan sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan

mengenai perombakan hukum pertanahan di Indonesia. Dalam

pembaharuan agraria ini mencakup suatu proses yang berkesinambungan

Page 138: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

123

dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan , penggunaan, dan

pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka

tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan

kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.107

Ketetapan MPR ini secara tegas menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia (DPR RI) bersama Presiden untuk segera mengatur

lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam serta mencabut, mengubah, dan/atau mengganti semua undang-

undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan

ini. Selain itu, Pasal 7 ketetapan ini menugaskan kepada Presiden untuk

segera melaksanakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang tahunan MPR.108

2. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian.

Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan

Pasal 17 UUPA. Berdasrkan pada penjelasan umum undang-undang

tersebut, dinyatakan bahwa perlunya penetapan luas tanah pertanian

tersebut didasarkan pada kenyataan:

a. Keadaan masyarakat tani Indonesia saat ini ialah bahwa kurang lebih

60 % petani adalah petani tidak bertanah, sebagian dari mereka adalah

buruh tani dan sebagian lagi mengerjakan tanah orang lain sebagai

penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi hasil.

107

Suriansyah Murhaini, Op. Cit., h. 73 108

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Op. Cit., Jakarta, h. 81

Page 139: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

124

Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya menguasai tanah

(sawah dan/atau tanah kering) sebagian besar masing-masing

tanahnya kurang dari 1 hektar, yang terang tidak mencukupi untuk

hidup layak. Disamping petani-petani yang tidak mempunyai tanah

pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian menguasai tanah yang

luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar. Perlu

diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak

milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa.

Para pemilik yang menguasai tanah luas tersebut tidak dapat

mengerjakan tanahnya sendiri, ada yang dibagihasilkan kepada petani-

petani tidak bertanah, dan bahkan tidak jarang tanah-tanah yang luas

itu tidak diusahakan (dibiarkan terlantar), sehingga hal ini terang

bertentangan dengan usaha produktifitas pertanian.

b. Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebihan,

sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai tanah atau tidak

cukup tanahnya , hal ini terang bertentangan dengan asas sosialisme

yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia yang menghedaki pembagian

yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani. Agar ada

pembagian yang adil atas hasil tanah, maka dipandang perlu

ditetapkan batas maksimum penguasaan dan pemilikan luas tanah

pertanian. Disamping itu, UUPA juga memandang perlu diadakan

penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, dengan tujuan

dapat tercapainya taraf penghidupan yang lebih layak. Sehingga

Page 140: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

125

penetapan batas minimum ini juga bertujuan untuk mencegah

dilakukan pemecahan tanah lebih lanjut.

3. Keputusan Mentri Agraria Nomor Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan

Luas Maksimum Tanah Pertanian (T.L.N. Nomor 2143)

Ditetapkannya batas maksimum pada undang-undang ini didasarkan pada

klasifikasi jenis wilayah dan jenis tanah yang dikuasai. Penetapan luas

maksimum ini sengaja menggunakan patokan daerah tingkat II dengan

memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan mempertimbangkan

faktor-faktor tersedianya tanah yang masih dapat dibagi, juga kepadatan

penduduk, jenis-jenis tanaman dan kesuburan tanahnya.

4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Pasal 1 PP No. 224 Tahun 1961 ini antara lain mengatur tentang tanah-

tanah yang menjadi obyek landreform yang antara lain meliputi tanah-

tanah yang melebihi ketetapan batas maksimum sebagaimana diatur dalam

UU No. 56 Prp Tahun 1960, tanah-tanah guntai yang diambil oleh

Pemerintah, tanah-tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang telah

kembali pada negara, dan tanah-tanah lainnya yang dikuasai langsung oleh

negara. Tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang dimaksud,

antara lain: tanah-tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan hak guna

usaha yang telah berakhir jangka waktunya dan yang telah dihentikan atau

dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali

penguasaannya oleh jawatan yang bersangkutan kepada negara, dan lain

Page 141: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

126

sebagainya. Untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut akan dibagi-bagikan

kepada petani yang tidak bertanah. Selain itu, peraturan ini mengatur

mengenai lembaga-lembaga pendukung landreform seperti koperasi

pertanian, dimana keberadaan koperasi ini ditujukan untuk mengatur

tentang penguasaan tanahnya, membantu penggarapannya, mengusahakan

kredit, dan memberikan pembinaan dalam mengelola tanah pertanian.

Dengan demikian, dari ketentuan-ketentuan tersebut pengaturan lembaga-

lembaga pendukung (institusional supporting) landreform membuktikan

bahwa program landreform di Indonesia bukan hanya redistribusi tanah

semata-mata kepada petani, melainkan juga mengatur tentang tindak lanjut

dari pembagian tanah tersebut. Sehingga tujuannya tidak hanya untuk

pemerataan, tetapi yang paling penting adalah peningkatan kesejahteraan

para petani.

5. Peraturan pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan

Tambahan PP No. 224 Tahun 1961, beserta penjelasannya.

6. Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1974

tentang Pedoman Tindak Lanjut pelaksanaan landreform.

Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan ini menyebutkan bahwa penguasaan

tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh

pemerintah, wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu

6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada

Bupati/Walikota cq Kepala sub Direktorat Agraria (yang sekarang pada

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota). Selanjutnya kepada pemilik yang

Page 142: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

127

menguasai tanah melebihi batas maksimum, selambat-lambatnya dalam

waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri

penguasaan tanah kelebihannya tersebut.

7. Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi

dan Tata Kerja penyelenggaraan Landreform.

Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Garis

Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang menyatakan antara lain bahwa

perlu diadakan “penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan

pemilikan tanah” maka pelaksanaan landreform perlu ditingkatkan,

memandang perlu pengaturan kembali tentang organisasi dan tata kerja

penyelenggaraannya.

4.2. Tujuan Penetapan Batas Maksimum dan Batas Minimum Penguasaan

dan Pemilikan Tanah Pertanian

Tujuan ditetapkannya luas maksimum penguasaan tanah pertanian

dimaksudkan agar supaya dapat dihindari adanya segala bentuk atau praktik usaha

tani yang mengandung unsur-unsur pemerasan, sekaligus juga bertujuan untuk

meningkatkan produksi bahan pangan rakyat. Berhubung pada kenyataannya

bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah rakyat petani, di mana mata

pencaharian utamanya adalah berasal dari usaha pertanian.109

Oleh karena itu

tanah pertanian yang nyata-nyata dikuasailah yang paling menentukan tingkat

pendapatan yang diperolehnya dari usaha tani. Dengan begitu semakin luas usaha

tani yang mampu dikuasai, maka semakin tinggi total pendapatan yang akan

109

Ali Sofwan Husein, Op., Cit., h. 102

Page 143: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

128

diperolehnya. Karena begitu pentingnya, maka tanah pertanian oleh kebanyakan

petani sangat diharapkan mampu dijadikan sandaran hidup rakyat petani

seandainya mereka sanggup menguasainya cukup luas. Dengan hanya

memilikinya saja, maka minimal kebutuhan pokoknya akan jaminan pangan untuk

subsitensi dapat terpenuhi, sisanya untuk di jual guna memenuhi kebutuhannya

yang lain.

Sayangnya dalam kenyataannya luas tanah pertanian telah semakin sempit

sedangkan jumlah pertambahaan penduduk semakin tinggi. Melihat kenyataan

terbatasnya lahan pertanian, maka beragam upaya terus dilakukan termasuk

menciptakan tehnologi yang “menghemat lahan”, mengupayakan pemberian tanah

yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-besaran di luar Jawa

dan menyelenggarakan program transmigrasi dari daerah-daerah yang padat.

Tetapi nampaknya sebagian besar rakyat petani tetap tidak berdaya

menghadapi meningkatnya akan kebutuhan dan terbatasnya lahan yang semakin

sempit. Tragisnya adalah banyaknya penguasa tanah luas yang dalam praktik

pengusahaan tanahnya seringkali menggunakan cara-cara yang tidak

mencerminkan rasa keadilan.

Berhubung dengan itu disamping usaha-usaha membuka tanah secara besar-

besaran dengan menyelenggarakan transmigrasi, maka dalam rangka membangun

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan agar tidak

merugikan kepentingan umum, dengan asas sosialisme Indonesia, memandang

perlu adanya pembatasan maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh

satu keluarga baik itu dengan hak milik maupun dengan hak-hak yang lain, yaitu

Page 144: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

129

mengupayakan pengaturan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah

Pertanian. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak

akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan memberikan ganti

kerugian. Dan tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat

petani yang membutuhkannya atau kepada petani-petani yang tidak bertanah.

Dengan demikian pemilikan tanah pertanian diharapkan akan lebih merata dan

adil. Selain memenuhi syarat keadilan, maka tindakan-tindakan tersebut akan

dapat berakibat pula bertambahnya produksi bahan makanan.

Pengaturan batas maksimum penguasaan tanah itu tidak hanya ditujukan

terhadap hak atas tanah yang berupa hak milik, tetapi juga terhadap hak atas tanah

yang kedudukan yuridisnya lebih rendah, seperti hak sewa dan hak gadai tanah

pertanian dan sebagainya. Karena sebagaimana diatur dalam Penjelasan Hukum

Angka (1), Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, justru tanah-tanah yang

dikuasai dengan hak sewa dan hak gadai tanah pertanian inilah yang merupakan

jumlah terbesar yang mampu dikuasai secara melampaui batas maksimum

dibandingkan dengan penguasaan tanah pertanian melalui hak milik.

Seringkali petani yang dengan terpaksa menggadaikan tanahnya, salah

satunya karena terdesak oleh kebutuhan, baik itu untuk kebutuhan konsumsi

ataupun untuk produksi bagi keluarganya. Dan selama hutang itu belum dibayar

lunas, maka tanah yang digadaikan itu akan tetap berada dalam kepenguasaan

pemilik uang (pemegang gadai), demikian juga beserta seluruh hasil yang

diperoleh atau dihasilkan dari tanah tersebut. Dan yang paling menyedihkan

adalah manakala si petani penggadai demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

Page 145: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

130

mereka harus dengan terpaksa bekerja di atas tanah miliknya sendiri, ada yang

sebagai petani penggarap atau petani bagi hasil, atau tenaga buruh upahan, dimana

dalam hal ini pendapatan yang diperolehnya masih sangat jauh dari cukup atau

jauh dari keadilan dan sangat tidak layak apabila dibandingkan dengan resiko

produksi dan modal serta tenaga yang harus dikeluarkan para petani bersangkutan.

Namun hal itu terpaksa dilakukan dan harus terjadi karena sudah tidak

mempunyai lahan garapan yang cukup mampu digunakan sebagai sandaran hidup

keluarganya, sementara itu alternatif kerja lain di sektor non-pertanian sangat

terbatas dan sulit mendapatkannya.

Berhubung dari sifat-sifat dalam praktiknya yang dianggap mengandung

unsur-unsur pemerasan dan penghisapan, maka hak sewa, hak gadai dan hak-hak

lainnya yang bersifat sementara itu akan diupayakan untuk dihapuskan dengan

segera. Hal ini bertujuan agar segera tercapai pembagian hasil yang layak dan

adil, serta sekaligus memacu petani secara psikologis untuk terus berupaya

meningkatkan produksi pangan nasional.110

Selain penetapan luas maksimum, dipandang perlu juga untuk diadakannya

penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, dengan tujuan supaya tiap

keluarga petani dapat memiliki tanah yang mencukupi luasnya untuk dapat

mencapai taraf penghidupan yang layak . Berhubung dengan berbagai faktor yang

memungkinkan dicapainya batas minimum itu, maka perlu diselenggarakan

tahap-demi tahap. Dalam hal ini yang terpenting adalah untuk pencegahan

dilakukannya pemecahan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kecil.

110

Ibid. h. 103

Page 146: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

131

Oleh karena itulah dirasa penting dan sangat mendesak untuk segera

mengatur penetapan luas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh

setiap keluarga atau orang-orang yang belum berkeluarga tetapi sudah mandiri,

dan demikian juga mengenai batas minimum pemilikan tanah pertanian, serta hal-

hal lain yang sejalan dengan usaha-usaha pemerintah tersebut seperti larangan

memiliki tanah secara absentee, larangan pemecahan tanah lebih lanjut, dan

sebagainya.

Ditetapkannya batas maksimum penguasaan dan pemilikan luas tanah

pertanian juga dimaksudkan agar dapat dihindari adanya bentuk atau praktik

usaha tani yang mengandung unsur-unsur monopoli dan unsur-unsur pemerasan,

dan sekaligus juga bertujuan agar tercapainya pembagian yang merata atas tanah

sebagi sumber penghidupan. Sedangkan ditetapkannya batas minimum

penguasaan dan pemilikan tanah pertanian itu adalah bertujuan untuk

memberikan jaminan kepada petani agar kehidupan mereka dapat terpenuhi secara

layak. Dan kriteria yang dianggap mampu untuk bertahan hidup secara layak

adalah seandainya mereka itu dapat memiliki hak milik tanah pertanian seluas 2

(dua) hektar. Hal ini dengan pertimbangan bahwa tanah seluas itu hanya dikelola

dengan menggunakan teknologi sederhana dan melalui sektor pertanian

tradisional yang dimanfaatkan sebagai sandaran hidupnya. Jadi tujuan penetapan

batas minimum pemilikan tanah pertanian tersebut diharapkan agar pencapaian

pelaksanaannya dilakukan dengan cara berangsur-angsur atau bertahap dengan

mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penetapan batas

minimum pemilikan tanah pertanian ini bukan berarti bahwa orang atau keluarga

Page 147: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

132

yang hanya memiliki atau mengusahakan tanah yang kurang dari batas yang

ditetapkan yakni kurang dari 2 ha akan dipaksa untuk melepas hak atas tanahnya.

Penetapan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian

tersebut, sengaja memakai patokan dasar “satu keluarga”, meskipun yang berhak

atas tanahnya mungkin hanya orang perorangan dalam keluarga itu. Yang penting

dari jumlah total seluruh tanah yang dikuasai oleh satu keluarga itulah yang akan

menentukan batas maksimumnya. Tidak peduli yang menguasai tanah tersebut

laki-laki atau perempuan , anak, suami atau istri, karena dalam pengaturan

penetapan batas maksimum itu diharapkan agar hukum pertanahan Indonesia

menganut asas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dan juga

berasaskan “nasionalitas” yaitu yang hanya membedakan golongan penduduk

berdasarkan status kewarganegaraannya, yakni pembedaan antara warga negara

asing dan warga negara Indonesia, terutama ketika mereka berhubungan dengan

hak-hak atas tanah.

Pada akhirnya pembuatan kebijakan itu tergantung kepada pembuatnya.

Untuk merancang kebijakan yang adil, diperlukan kebijakan yang memiliki suatu

pemahaman yang benar terhadap konsep keadilan. Dengan demikian, hal

terpenting dari kebijakan pertanahan, khususnya dalam penetapan penguasaan dan

pemilikan tanah pertanian, kebijakan itu mampu untuk memenuhi keadilan bagi

seluruh masyarakat dalam upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai

kebutuhan yang esensial.111

111

Suriansyah Murhaini, Op. Cit, h. 140

Page 148: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

133

4.3. Larangan Menguasai Tanah Pertanian Melampaui Batas Maksimum

dan/atau Dibawah Minimum

Dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan Garis Garis Besar Haluan

Negara, yang antara lain menyatakan perlunya diadakan penataan kembali

penggunaan atau pendayagunaan tanah, penguasaan tanah, dan pemilikan tanah

maka pengelolaan tanah perlu dibatasi untuk mencegah kemungkinan monopoli

penguasaan tanah atau mencegah penguasaan dan pemilikan tanah yang

melampaui batas . Ditegaskan pula bahwa pemanfaatan tanah harus sungguh-

sungguh membantu usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka

mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan dengan itu perlu dilanjutkan dan makin

ditingkatkan penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah

termasuk pengalihan hak atas tanah.

Disamping itu , Instruksi Mentri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 21

Tahun 1973 tentang Larangan Penguasaan Tanah yang Melampaui Batas, juga

merupakan langkah nyata pemerintah untuk membatasi penguasaan tanah.

Instruksi Mendagri ini diteruskan setelah melihat adanya gejala-gejala yang ada

pada daerah-daerah tertentu tentang usaha-usaha pemilikan tanah yang melampaui

kebutuhan usaha yang sesungguhnya, baik dilakukan oleh perseorangan maupun

oleh badan hukum, yang jelas hal ini bertentangan dengan Garis-Garis Besar

Haluan Negara. Usaha semacam ini akan menjurus pada tindakan-tindakan

penguasaan tanah yang bersifat monopoli yang dapat merugikan masyarakat.112

112

Soedharyo Soimin, op. cit. h. 100

Page 149: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

134

Instruksi tersebut pada intinmya melarang/tidak memberi izin dan atau

persetujuan baik kepada perorangan maupun badan-badan hukum untuk memiliki

atau menguasai bidang-bidang tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha

sesungguhnya, seperti misalnya terhadap usaha-usaha atau tindakan-tindakan

perorangan yang bersifat spekulatif, usaha badan hukum untuk membangun

sesuatu industri, dan lain sebagainya. Instruksi itu juga memerintahkan kepada

aparat Pemerintahan Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya serta

Kecamatan sampai pada Desa yang berhubungan dengan masalah

perizinan/persetujuan atas pemilikan dan/atau penguasaan tanah dalam bentuk

apapun juga, untuk lebih mengintensifkan pengawasan terhadap kemungkinan

adanya pemilikan dan atau penguasaan tanah yang melampaui batas tersebut.

Dalam hal penguasaan tanah yang melampaui batas ini, harus diingat

kembali makna dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan

Tanah-Tanah Partikelir. Karena alasan-alasan untuk menghapuskan tanah-tanah

partikelir dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan bahwa tanah

partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang sangat

istimewa. Lembaga tanah partikelir yang memberikan hak-hak istimewa kepada

pemiliknya (tuan-tuan tanah) tidak mencerminkan sifat-sifat dan asas-asas

keadilan sosialis yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara Indonesia.

Lagi pula tanah-tanah partikelir itu sering menimbulkan kesulitan dan

kesengsaraan, hal itu disebabkan karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah

terhadap masyarakat lemah. 113

113

I bid.

Page 150: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

135

Dengan demikian, sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1958, maka semua

tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus, dengan dihapuskannya tanah partikelir

ini maka berakhirlah hak-hak pertuanan. Dan pada saat yang bersamaan

diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai dengan

dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam Agrarische Wet. Bangsa Indonesia sepakat untuk

melakukan pembaharuan di bidang keagrariaan yaitu dengan ditetapkannya

Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA) sebagai perwujudan dari

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan salah satu aspek penting diundangkannya

UUPA adalah dengan dicanangkannya program landreform di Indonesia.

Landreform di Indonesia merupakan perombakan struktur pertanahan baik

mengenai pemilikan ataupun penguasaan tanah serta dalam kerangka

memperbaiki hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan

tanah. Landreform diharapkan dapat memperkuat dan memperluas pemilikan

tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum petani.

Secara umum landreform mempunyai tujuan memperbaiki situasi dimana

banyak sekali petani dibawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah, hal ini

disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat

orang-orang yang menguasai tanah yang sangat luas, sementara pada sisi yang

lain banyak orang (petani) menguasai tanah yang sangat sempit bahkan

kebanyakan yang tidak memiliki tanah sama sekali (tunakisma), yang

kehidupannya sangat tergantung kepada pemilik-pemilik tanah karena hidupnya

sebagai penyakap atau penggarap.

Page 151: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

136

Di Indonesia, tujuan landreform dapat dipahami dengan menelusuri latar

belakang terbentuknya UUPA. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) salah satu

lembaga yang ikut mengusulkan tentang perombakan hak atas tanah dan

penggunaan tanah menyatakan bahwa tujuan dari landreform di Indonesia

adalah:114

1. Untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur khususnya

meningkatkan taraf hidup para petani.

2. Untuk memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi seluruh rakyat

Indonesia terutama kaum petani.

Selanjutnya Sadjarwo pada saat itu dalam kedudukannya sebagai Mentri

Agraria pada pidatonya yang mengantarkan Rencana Undang-Undang Pokok

Agraria dihadapan sidang Pleno DPR/GR tanggal 12 September 1960, antara lain

menyatakan bahwa: “perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan

penyusunan hukum agraria nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan

bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa

penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari

kekangan-kekangan feodalisme (sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan

yang ditandai oleh kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah) atas tanah dan

pemerasan kaum modal asing. Itulah sebabnya maka landreform di Indonesia

tidak dapat dipisahkan dengan revolusi nasional Indonesia. Oleh karenanya

landreform di Indonesia mempunyai tujuan sebagai berikut:115

114

Boedi Harsono, Op. Cit, h. 154.

115

Boedi Harsosno, Op. Cit. h. 351

Page 152: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

137

1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan

rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil

yang adil, dengan merombak sruktur pertanahan sama sekali secara

revolusioner (adalah perubahan secara menyeluruh dan mendasar) guna

merealisir keadilan sosial;

2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi

tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan;

3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap

warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang

berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan privaatbezit, yaitu

hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan dan turun

temurun, tetapi berfungsi sosial;

4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan

penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas dengan

menyelenggarakan batas masksimum dan batas minimum untuk tiap

keluarga. Sebagai kepala keluarga (dalam hubungannya dengan tanah)

dapat seorang laki-laki atau seorang perempuan. Dengan demikian

mengikis pula sistem liberalisme (adalah aliran ekonomi yang

menghendaki kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga, dalam hal

ini pemerintah tidak boleh turut campur) dan kapitalisme (adalah

sistem dan paham ekonomi atau perekonomian, yang modalnya atau

penanaman modalnya, atau kegiatan industrinya bersumber pada modal

pribadi atau modal-modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di

Page 153: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

138

pasar bebas) atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap

golongan yang ekonomis lemah;

5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong

terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam

bentuk koperasi dan gotong royong lainnya, untuk mencapai

kesejahteraan yang merata dan adil, dan dibarengi dengan sistem

perkriditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani.

A.P. Parlindungan menyatakan bahwa tujuan landreform Indonesia haruslah

disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karna UUPA adalah induk dari landreform.

Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga merupakan tujuan

landreform, yaitu:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang

merupakan alat untuk membawakan kemakmuaran, kebahagiaan dan

keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka

masyarakat yang adil dan makmur;

2. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum

3. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum mengenai

hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut diatas, serta mengingat situasi dan

kondisi agraria di Indonesia, maka program dari landreform adalah meliputi: 116

1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas;

116

Eddy Ruchiyat, 1983, Landreform, dan Jual Gadai Tanah, C.V. Armico, h. 20

Page 154: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

139

2. Larangan pemilikan tanah secara absentee atau secara guntai;

3. Redesitribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum serta

tanah-tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja,

tanah-tanah eks partikelir dan tanah-tanah negara lainnya;

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian

yang digadaikan;

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah-tanah pertanian;

6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan

pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau

kecil.

Dari uraian diatas, dapat diartikan bahwa pelaksanaan landrefortm adalah

untuk melakukan penertiban dan pengaturan serta penataan penguasaan tanah

pertanian yang melebihi batas maksimum dan pemilikan tanah secara absentee

(Tanah absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh orang perorangan dan

keluarga di mana letak tanah pertanian itu di luar wilayah Kecamatan tempat

kedudukan (domisili) pemilik tanah. Pemilikan tanah secara absentee ini tidak

diijinkan. Apabila telah terjadi peralihan hak yang mengakibatkan pemilikan

tanah secara absentee, maka dalam waktu 6 (enam) bulan tanah tersebut harus

dialihkan kembali kepada orang yang berdomisili di Kecamatan letak tanah.

Dalam hal ini terdapat pengecualian, yaitu: apabila Kecamatan letak tanah

tersebut berbatasan langsung dengan Kecamatan domisili pemilik tanah,

Page 155: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

140

pensiunan pegawai negeri, tanah-tanah bekas swapraja, bekas tanah partikelir,

tanah-tanah bekas perkebunan, dan tanah-tanah negara yang digarap rakyat.

Diatas telah diuraikan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai larangan

penguasaan tanah melebihi batas maksimum diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17

UUPA. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 7 yang dilarang itu bukan hanya

pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga tentang penguasaan tanah

yang dilakukan dengan hak gadai, sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain

sebagainya. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu diadakan penetapan batas

maksimum tanah yang boleh dikuasai seseorang atau keluarganya sebagaimana

diatur dalam Pasal 17. Dengan demikian yang dilarang itu bukan hanya dalam

hal pemilikan, tapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk lainnya, karena

hal ini sesuai dengan keadaan di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 tersebut

diatas, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1

Januari 1960. Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas

maksimum dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan

dimilki. Luas tanah pertanian yang boleh dimiliki di masing-masing daerah

berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan keadaan daerah, luas daerah, dan

jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah

yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960

(LN. 1960 No. 174), penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara

Page 156: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

141

(TLN.) Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang

Nomor 56 Prp. Tahun 1960 (selanjutnya disingkat UU Nomor 56 Prp Th. 1960),

undang-undang ini yang kemudian dikenal merupakan induk pelaksanaan

landreform di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur tiga masalah yang pokok

yaitu sebagai berikut:117

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan

pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut dikeluarkan

Peraturan Pemerintah (Perpem) Nomor 224 Tahun 1961 (LN 1961-280) tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian118

. Selanjutnya

ditetapkan lagi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan

dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

Penetapan batas maksimum tanah yang boleh dikuasai dan dimilki seseorang

atau satu keluarga dalam pasal ini bermaksud untuk mengakhiri dan mencegah

tertumpuknya tanah di tangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja.

Pasal ini menegaskan dilarangnya apa yang disebut “groot grondbezit” yang dapat

117

Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia, 1995,

Djambata, Jakarta, h. 355

118

A.P. Parlindungan, 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA,

Mandar Maju, Bandung, h. 23

Page 157: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

142

merugikan kepentingan umum,119

yang salah satunya adalah menghilangkan

kesempatan bagi petani untuk memiliki tanah sendiri demi untuk meningkatkan

kesejahteraan dan taraf hidup keluarga.

Pasal 17 ayat (1 dan 2) UUPA yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan

asas Pasal 7 menyatakan, bahwa di dalam waktu yang singkat perlu diatur luas

maksimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau

badan hukum. Selanjutnya di tetapkan dalam ayat (3), bahwa tanah-tanah yang

merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut akan diambil oleh pemerintah

dengan ganti kerugian, yang untuk selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat

yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan demikia, pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam

produksi pertanian diharapkan akan dapat lebih merata dan adil, dan pembagian

hasilnya juga akan lebih merata. Menurut Roscoe Pound, keadilan dilihat pada

hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Hasil-hasil itu

hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan

pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Keadilan merupakan unsur yang mutlak

keberadaannya dalam suatu tatanan hukum, sedangkan dalam kaitannya dengan

tatanan masyarakat, keadilan diartikan sebagai hubungan yang ideal

antarmanusia.120

Pemerintah mengambil tanah kelebihan maksimum dengan

memberikan ganti kerugian, yang kemudian tanah kelebihan tersebut dibagi-

bagikan kepada masyarakat petani yang membutuhkan. Selain memenuhi syarat

119

Notonagoro, 1974, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, C.V.

Pantjuran Tudjuh, Jakarta, h. 164 120

Roscoe Pound, 1965, Tugas Hukum (The Task of Law), diterjemahkan oleh

Muhammad Radjab, Jakarta:Bhratara, cet. Pertama, h. 9

Page 158: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

143

keadilan, tindakan pemerintah itu diharapkan dapat merupakan pula pendorong

kearah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja

bagi para petani penggarap tanah bersangkutan, yang telah menjadi tanah

miliknya.121

Selain penetapan batas maksimum, dalam undang-undang tersebut

ditentukan juga tentang penetapan luas minimum dengan tujuan supaya tiap

keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf

penghidupan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Luas

minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun tanah kering, dan batas

2 hektar itu merupakan tujuan yang akan diusahakan tercapainya secara bertahap,

sehubungan dengan itu maka ditetapkan larangan pemecahan pemilikan tanah

pertanian menjadi bagian-bagian yang kecil.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa Undang-Undang 56 Prp Tahun 1960

ini hanya mengatur mengenai tanah-tanah pertanian saja, sedangkan penetapan

maksimum luas dan jumlah tanah lainnya (seperti: tanah perumahan, tanah

bangunan dan lainnya) diatur tersendiri dalam suatu peraturan pemerintah.

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan

Luas Tanah Pertanian, melalui Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria Nomor Sekra 9/1/2 kepada semua

Gubernur Kepala Daerah, kepada semua Bupati/Walikota Kepala Daerah, dan

kepada Pejabat-pejabat Agraria, antara lain menginstruksikan:122

121

Ibid, h. 26

122

Anggota IKAPI, 2009, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan, Fokusmedia,

Bandung, h. 678-679

Page 159: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

144

1. Agar menyelenggarakan penerangan secara teratur di daerah masing-

masing, hingga isi dan maksud tujuan UUPA dan UU Nomor 56 Prp

Tahun 1960 dipahami oleh rakyat umum.

2. Supaya diadakan pendaftaran tentang adanya pemilikan tanah pertanian

lebih dari maksimum, sesuai ketentuan Pasal 3 UU No. 56 Prp Tahun

1960.

3. Pendaftaran hendaknya diadakan juga mengenai tanah-tanah pertanian

yang atas dasar sesuatu hak atau perjanjian dikuasai orang lain dari pada

pemiliknya (misalnya perjanjian gadai, sewa , bagi hasil, atau yang

lainnya.

4. Kepada pemilik atau yang menguasai tanah pertanian perlu diberi

penerangan khusus dan diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan

mengenai bagian-bagian tanahnya yang dikehendaki supaya tetap ada

padanya dan mana yang akan dilepaskan. Tanah yang diinginkan tersebut

sedapat-dapatnya merupakan satu komplek guna memungkinkan

penguasaan tanah pertanian secara efisien

4.4. Konsekwensi Yuridis Terhadap Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Pertanian Melampaui Batas Maksimum dan Batas Minimum

Pengertian penguasaan tanah secara yuridis-formal sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (UU No. 56 Prp Tahun 1960)

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yaitu berbunyi sebagai berikut:

“Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu

keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian

baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri

Page 160: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

145

bersama kepunyaan orang lain yang jumlah luasnya tidak melebihi batas

maksimum yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.”

UU No. 56 Prp Tahun 1960 tidak memberikan perumusan yang tegas

mengenai pengertian “keluarga”. Yang dimaksudkan dengan “keluarga” dalam

undang-undang ini dapat diartikan sekelompok orang-orang yang merupakan

kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur-unsur pertalian darah atau

hubungan perkawinan.

Dalam UU No. 56 Prp Tahun 1960 ini juga tidak diberikan penjelasan

tentang apakah yang dimaksud dengan “tanah pertanian, sawah, dan tanah

kering”. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak

orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah

luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang

menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah, dan berapa yang

merupakan tanah pertanian”.

Selanjutnya yang dimaksud dengan “hak milik” adalah hak turun-temurun

atas tanah yang terkuat dan terpenuh, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 20

UUPA. Belum tentu hak milik itu tercatat dalam buku administrasi desa (marga,

negeri, atau kampung) dan dapat dibuktikan dengan surat-surat. Yang menentukan

apakah sebidang tanah itu tanah milik adalah kenyataan , bahwa hak itu sudah

berlaku turun-temurun, serta adanya tanda-tanda penguasaan tanah dan hak itu

dihormati oleh orang-orang lain di lingkungannya.

Dalam penjelasan pasal yang sama lebih diuraikan lagi, bahwa seandainya

orang yang mempunyai tanah hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya

disewakan atau dibagihasilkan kepada orang lain termasuk dalam pengertian

Page 161: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

146

orang yang menguasai tanah tersebut. Jadi pengertian “menguasai” itu harus

diartikan, baik menguasai secara langsung atau menguasai secara tidak langsung.

Begitu pula yang menyewa tanah termasuk dalam pengertian menguasai tanah

tersebut. Hanya kadar dari penguasaan itulah yang berbeda antara si pemilik

tanah dengan petani bagi hasil atau si penyewa.123

Penetapan luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga

petani ditetapkan untuk tiap-tiap kabupaten/kota dengan memperhatikan keadaan

daerah masing-masing dan faktor-faktor seperti:

- ketersediaan tanah-tanah yang masih dapat dibagi;

- kepadatan penduduk;

- jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan

tanah kering, diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak);

- besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya (the best farmsize) menurut

kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa buruh tani;

- serta kemajuan teknologi pertanian.124

Untuk itu diadakan daftar penggolongan daerah yang ditetapkan melalui

Keputusan Mentri Agraria Nomor Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas

Maksimum Tanah Pertanian, (T.L.T. Nomor 2143).

Dalam daftar Penggolongan Daerah ini diadakan perbedaan antara daerah

yang tidak padat dengan daerah yang padat, untuk daerah yang padat dibedakan

lagi menjadi: sangat padat, cukup padat, dan kurang padat), yang disertai dengan

123

Ali Sofwan Husein, Op., Cit., h. 32

124

Pendastaren Tarigan, 2008, Arah Negara Hukum Demokrasi Memperkuat Posisi

Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendal, Pustaka Bangsa Press, Medan, h. 307

Page 162: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

147

jenis tanahnya yaitu antara tanah sawah dan tanah kering. Lebih jelasnya dapat

dilihat dalam tabel sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut:

- Tabel 1 adalah kriteria kepadatan penduduk dan penggolongan daerah,

sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk.

978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian

Tabel 1:Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah

Kepadatan penduduk tiap Penggolongan Daerah

Kilometer persegi

>50 Tidak padat

51- 250 Kurang padat

251- 400 Cukup padat

<401 Sangat padat

Pasal 1 ayat (2) UU No. 56 Prp Tahun 1960 yang menentukan bahwa

seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu

keluarga, bersama-sama haknya diperbolehkan menguasai tanah pertanian , baik

miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama

orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi maksimum yang disebut dalam

tabel ke 2 berikut ini:

Tabel 2: Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum

Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian

No Di daerah-daerah : Jenis Tanah

Page 163: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

148

Sawah Tanah Kering

(ha) (ha)

1. Tidak Padat 15 20

2. Padat:

a. Kurang Padat 10 12

b. Cukup Padat 7,5 9

c. Sangat Padat 5 6

Dalam hal yang demikian, dalam Pasal 1 ayat ( 2) tersebut menetapkan

bahwa untuk menghitung luas maksimum dimakud, luas sawah dijumlahkan

dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan tanah sawah

ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat dan 20 % di daerah-daerah yang

padat, dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak

boleh lebih dari 20 hektar.125

Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui atau

tidak bukanlah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri melainkan keseluruhan

tanah pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah kepunyaan

orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual tahunan), dan

sebagainya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-

hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang diperoleh dari pemerintah

(misalnya tanah hak pakai, tanah bengkok/jabatan) serta tanah-tanah yang

dikuasai oleh badan hukum tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum

tersebut.126

125

Dirman, dalam Eddy Ruchiyat, Op., Cit., h. 29

126

Chidir Ali, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bina Cipta,

Bandung. h. 9

Page 164: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

149

Penetapan luas maksimum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17

UUPA, menunjuk pada semua tanah, sedangkan dalam penetapan UU Nomor 56

Prp Tahun 1960 adalah khusus mengatur tentang tanah-tanah pertanian. Akan

tetapi dalam undang-undang ini tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksudkan

dengan “tanah pertanian, sawah, dan tanah kering”. Berhubung dengan itu maka

dalam Instruksi Bersama Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan

Mentri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 diberikan penjelasan

sebagai berikut:127

“yang dimaksud dengan tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan,

tambak atau perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar

bekas ladang, dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang

berhak. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi

hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan”.

Dari penjelasan diatas, jelas apa yang dimaksud dengan menguasai tanah

pertanian menurut peraturan perundangan, yaitu sangat luas dari apa yang kita

pergunakan. Sementara Buoedi Harsono mempertegas lagi pengertian penguasaan

tanah, yaitu selain dengan hak milik dapat juga dilakukan dengan hak gadai , hak

sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil, dan sebagainya. Yang dilarang oleh Pasal 7

UUPA itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga

penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk yang lain.128

Umumnya untuk menentukan apakah sebidang tanah termasuk golongan

tanah sawah atau tanah kering dan sebagainya, cirinya dapat dilihat dari

127

Ibid, h. 28

128

Boedi Harsono, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan

Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 243

Page 165: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

150

kenyataaan penggunaannya, misalnya tambak untuk perikanan, sesuai dengan

praktek Jawatan Pajak Hasil Bumi dimasukkan ke dalam golongan tanah kering.

Untuk menetapkan luas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah

pertanian , sengaja memakai patokan dasar “ 1 keluarga” meskipun yang berhak

atas tanahnya mungkin hanya orang perorangan dalam keluarga itu. Yang penting

dari jumlah total seluruh tanah yang dikuasai oleh 1 keluarga itulah yang akan

menentukan batas maksimumnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17

UUPA, karena dalam UU 56 Prp Tahun 1960 tidak memberi perumusan atau

tidak ditegaskan mengenai pengertian “keluarga”. Jadi berapa jumlah luas tanah

yang dikuasai oleh anggota-anggota suatu keluarga, maka jumlah itulah yang

menentukan maksimum luas tanah bagi keluarga itu.

Perkataan “orang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 itu

menunjuk pada mereka yang belum atau tidak berkeluarga. Sedangkan “orang-

orang” menunjuk pada mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga.

Sedangkan yang termasuk “anggota satu keluarga” ialah mereka yang masih

menjadi tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu, sekalipun tidak semuanya

tinggal serumah. Siapa-siapa yang menjadi anggota keluarga harus diingat pada

kenyataan dalam penghidupannya, sebaliknya orang yang bertempat tinggal se

rumah belum tentu merupakan anggota keluarga, yaitu kalau ia tidak menjadi

tanggungan keluarga itu.129

Sedangkan pengertian “keluarga” sesuai dengan

penjelasan Pasal 17 UUPA, adalah suami, istri, dan anak-anaknya yang belum

kawin dan menjadi tanggungan dan yang jumlahnya sekitar 7 orang, baik laki-laki

129

Ibid, h. 30

Page 166: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

151

maupun perempuan. Menurut Pasal 2, maka jumlah 7 orang itu adalah jumlah

rata-rata keluarga di Indonesia.

Untuk menghindari keraguan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 1 UU No.

56 Prp Tahun 1960, di dalam Instruksi Bersama Mentri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah dengan Mentri Agraria dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

“keluarga” adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan

penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah atau perkawinan.

Sedangkan untuk satu keluarga yang beristri lebih dari satu, dalam peraturan

tersebut tidak dijelaskan.

Pasal 3 menyebutkan, orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-

anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi

luas maksimum, wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah

Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan (sekarang Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota) di dalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini,

kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang lagi.

Dengan demikian, apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas

maksimum, maka tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan

memberi ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah. Sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pembayaran Ganti Kerugian dan Harga Tanah Kelebihan Maksimum dan Guntai

(Absentee) Obyek Redistribusi Landreform, ditetapkan pembayaran ganti

kerugian kepada bekas pemilik tanah kelebihan maksimum adalah dilaksanakan

sebagai berikut:

Page 167: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

152

a. Pemerintah memberikan dalam bentuk uang tunai sebesar nilai dari hasil

perhitungan besarnya ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP

No. 224 Tahun 196, yakni yang besarnya ditetapkan oleh Panitia

Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

b. Pembayaran secara langsung dari petani penerima redistribusi kepada

bekas pemilik tanah sesuai dengan ketentuan tersebut dalam huruf a.

Dengan memperhatikan pendapat Panitia Perimbangan Landreform

Kabupaten/Kotamadya oleh Bupati/Walikotamadya kepada Daerah Tingkat II

dengan Surat Keputusan menetapkan hasil bersih rata-rata setiap hektar setiap

tahun tanah obyek redistribusi landreform di wilayahnya.

Para pemilik lama dilarang menguasai ataupun memindahkan tanah kelebihan

kepada pihak lain dari maksimum yang diperbolehkan. Hanya negara yang berhak

menguasai dan memindahkan tanah kelebihan tersebut kepada orang lain. Pemilik

asal tidak berhak untuk menentukan kepada siapa tanah itu harus diberikan.

Pemilik tanah lebih hanya dapat memilih dari tanah yang dimilikinya mana yang

diinginkan untuk tetap dikuasainya dan mana yang akan diserahkan kepada

negara. Tanah kelebihan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para petani,

terutama yang tidak mempunyai lahan pertanian dan atau yang mempunyai lahan

pertanian yang sempit. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah

dan Pemberian Ganti Kerugian (L.N. 1961 Nomor 280), Peraturan Pemerintah

tersebut kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Pemertintah Nomor 41

Tahun 1964. Peraturan Pemerintah itu memuat ketentuan-ketentuan tentang tanah-

Page 168: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

153

tanah yang akan dibagi-bagikan, yang lazim disebut dengan di-redistribusikan,

terbatas pada tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum yang diambil

oleh pemerintah, tetapi juga tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karna

pemiliknya “absentee”, tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja serta tanah-

tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut

oleh Mentri Agraria, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah

bekas tanah partikelir.

Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya

menguasai tanah-tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi batas maksimum,

maka secara teknis-yuridis wajib melaporkan kepada Kantor Pertanahan atas

kelebihan tanah yang dimilikinya. Kewajiban lapor itu disertai sanksi, berupa

kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp

10.000,- apabila kelebihan tersebut tidak dilaporkan. Selain sanksi pidana,

ditentukan pula bahwa jika terjadi tindak pidana yang berupa pelanggaran Pasal 3

UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut maka tanah yang selebihnya dari batas

maksimum jatuh pada negara tanpa ganti rugi berupa apapun, yaitu jika tanah

bersangkutan semuanya milik terhukum dan/atau anggota-anggota keluarganya.

Selain itu pemilik tanah diberi kesempatan untuk mengungkapkan

keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan diserahkan kepada

negara. Dibuatnya ketentuan-ketentuan semacam ini agar mereka yang melanggar

ketentuan maksimum tidak berusaha mengalihkan tanahnya dengan cara

menyelundupi atau mengambil titik-titik lemah dari ketentuan hukum yang

berlaku. Jika ketentuan-ketentuan tersebut tetap saja dilanggar, maka sebagai

Page 169: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

154

sanksinya pemindahan yang telah dilakukan itu menjadi batal demi hukum,

sehingga tidak memerlukan lagi keputusan hakim (pengadilan). Sedangkan tanah

yang bersangkutan jatuh kepada negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian.

Demikian juga mengenai ketentuan gadai tanah pertanian tradisional, maka

sanksinyapun sama seperti uraian diatas.

Selanjutnya dengan Peraturan Mentri Dalam Negeri (P.M.D.N.) Nomor 15

Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform

menyebutkan antara lain, bahwa kewajiban melapor kelebihan maksimum

tersebut dirubah menjadi 6 bulan terhitung sejak berlakunya P.M.D.N. ini. Dan

selambat-lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak berlakunya peraturan itu

pemiliknya harus sudah mengakhiri kepenguasaan tanah kelebihan maksimum

tersebut dengan cara: 130

1. Memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut

kepada pihak yang memenuhi syarat;

2. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukan dan

penggunaannya.

Kewajiban untuk segera melaporkan diri bagi mereka yang menguasai tanah

melebihi batas maksimum adalah bertujuan untuk mencegah jangan sampai orang

menghindarkan diri dari akibat ketentuan yang berlaku dengan berupaya

menyelubungi status penguasaannya. Bersamaan dengan itu diwajibkan pula bagi

pejabat yang berwenang untuk secara aktif mengumpulkan keterangan dan atau

menginventarisasikan masalah-masalah yang muncul dan berhubungan dengan

tugas-tugasnya. Oleh karena mereka diwajibkan lapor, maka mereka juga

130

Chadidjah Dlimunthe, 2008, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas

Tanah, Yayasan Penceraahan Mandailing, Medan, h. 76

Page 170: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

155

dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah

tersebut, dan kalaupun diperbolehkan memindahkan karena terkena pengecualian,

maka harus dengan izin Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota yang

bersangkutan.

Dalam praktiknya UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian masih diterapkan, namun penerapan UU No. 56 Prp Tahun 1960

tersebut hanya terbatas pada “Surat Pernyataan” dari pihak yang bersangkutan

yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak menjadi pemegang hak atas

tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah, hal ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 99 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga dengan

Surat Pernyataan tersebut belum tentu menjamin adanya kepastian hukum

apakah pihak penerima peralihan hak telah memiliki dan menguasai hak atas

tanah melampaui batas maksimum atau tidak, meskipun dalam Pasal 99 tersebut

disertai dengan sanksi hukum terhadap kebenaran surat pernyataan yang

bersangkutan.

Peralihan karna pewarisan tanpa wasiat tidak termasuk dalam pengertian

“memindahkan hak milik”, karna pengertian “memindahkan” memerlukan

perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik yang bersangkutan.

Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada penegasan tanah mana yang

akan diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap dikuasai oleh yang

bersangkutan. Sementara itu perlu diadakan peraturan izin pemindahan hak untuk

mencegah jangan sampai yang dipindahkan bagian-bagian tanah yang sebenarnya

akan diambil oleh pemerintah.

Page 171: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

156

Dari uraian diatas, maka jelaslah bahwa tujuan ditetapkannya luas

maksimum penguasaan tanah pertanian adalah dimaksudkan agar tidak lagi

adanya bentuk atau praktik usaha tani yang mengandung unsur-unsur pemerasan,

sekaligus bertujuan juga untuk meningkatkan produksi bahan pangan rakyat.

Berhubung dari kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia

bermatapencaharian utamanya adalah berasal dari usaha pertanian.

Di sisi lain, sebagai mana diatur dalam Pasal 8 UU No. 56 Prp Tahun 1960

yang menyatakan “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap

petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar”, jelas ini berarti

Pemerintah berharap agar petani sekeluarga dapat memiliki tanah pertanian baik

berupa tanh sawah atau tanah kering minimal 2 ha sebagai pemilik bukan

sebagai penggarap atau sebagai penyewa. Yang dimaksud dengan “petani”

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerinmtah Nomor 224 Tahun

1961 adalah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah

sendiri, yang matapencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk

pertanian. Sedangkan yang dimaksud dengan “penggarap” adalah petani, yang

secara sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian

yang bukan miliknya, dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko

produksinya.

Maksud dari penetapan luas minimum tanah pertanian ini ialah untuk

meningkatkan kesejahteraan dan menambah gairah bekerja para petani kecil,

yang semula tidak memiliki tanah sendiri lalu mendapatkan pembagian tanah

untuk dimiliki sendiri dengan suatu hak .

Page 172: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

157

Perintah pengaturan batas penguasaan tanah minimun ini telah dinyatakan

pula dalam Pasal 17 ayat (4) UUPA yang berbunyi ", yang akan mengatur luas

minimum tanah yang boleh dikuasai dengan suatu hak oleh satu keluarga atau

badan hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UUPA . Adanya Penetapan

batas minimum ini juga ditujukan agar setiap keluarga petani dapat mempunyai

tanah yang luasnya cukup layak untuk digunakan sebagai sandaran hidup

keluarganya. Adanya pembatasan penguasaan tanah minimum ini bertujuan untuk

mencegah dilakukannya pemecahan (fragmentasi) lebih lanjut, yang dapat

menghambat usaha-usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani.

Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 dan Penjelasannya angka (8)

menetapkan: “Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya peraturan

ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, di dalam waktu

satu tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang

selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada pihak lain.”

Ketentuan ini dapat diartikan bahwa terhadap tanah yang luasnya 2 hektar atau

kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian. Jika terpaksa dialihkan, maka

haruslah semuanya kepada satu orang. Apabila lebih dari seorang, maka si

penerima itu masing-masing harus sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2

hektar, atau dengan adanya peralihan tersebut masing-masing penerima akan

memiliki tanah sedikitnya 2 hektar.

Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pemilikan tanah yang lebih dari 2

hektar, pemiliknya dilarang mengalihkannya jika akan menimbulkan pemilikan

tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Lain halnya jika si penerima itu sudah

Page 173: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

158

memiliki tanah pertanian sedikitnya 2 hektar, sementara sisanya yang dialihkan

luasnya tidak kurang dari 2 hektar. Misalnya, tanah pertanian yang dimiliki 3 ha

boleh dijual 1 ha kepada orang lain yang sudah memiliki 1 ha pula, jadi sisa tanah

pertanian yang dijual masih 2 ha (tidak melampaui batas minimum). Larangan

pengalihan ini dikecualikan terhadap pembagian tanah warisan. Karena baik

mengenai pembagian warisan atau luasnya akan diatur tersendiri dengan

Peraturan Pemerintah.

Jika mereka yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak melaksanakan

kewajiban sesuai ketentuan-ketentuan larangan pemilikan batas minimum, maka

tindakan itu adalah pelanggaran. Terhadap pelanggaran ini maka dapat dikenakan

sanksi pidana berupa hukuman dan denda, yang selanjutnya dinyatakan bahwa

pemindahan hak itu adalah batal karena hukum, sedangkan tanah bersangkutan

jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun.

Dengan demikian, terhadap tanah-tanah pertanian yang jatuh pada Negara yang

disebabkan karna melanggar larangan pemilikan batas minimum tanah pertanian

juga termasuk merupakan tanah obyek landreform dan menjadi tanah negara.

Pengertian “Tanah negara” menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, bahwa tanah negara adalah

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yaitu tanah yang tidak dipunyai

dengan sesuatu hak atas tanah. Tanah-tanah ini untuk kemudian dibagi-bagikan

kepada para petani penggarap yang tidak mempunyai tanah, dan disebut dengan

redistribusi tanah pertanian . Redistribusi tanah merupakan salah satu

Page 174: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

159

kebijaksanaan Landreform. Obyek redistribusi tanah (obyek landreform) antara

lain adalah tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah-tanah bekas tanah partikelir,

dan di beberapa tempat tanah Negara bebas yang telah digarap penduduk serta

tidak diperlukan oleh Pemerintah untuk maksud atau tujuan tertentu.

Menurut keterangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng dari hasil

wawancara yang dilakukan secara tersruktur pada tanggal 15 Juli 2011, bahwa

Pemerintah setempat dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng, telah

mengadakan pengawasan agar masyarakat tidak melanggar ketentuan dalam Pasal

9 ayat (1) UU Nomor 56 Prp Tahun 1960, yaitu tentang ketentuan tidak

melakukan pemecahan tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi

kurang dari 2 hektar (dibawah batas minimum)

Namun ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 56 Prp Tahun 1960 nampak

adanya kontradiksi apabila dikaitkan dengan peraturan pelaksanaannya

sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah (PP)

No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti

Kerugian , dimana dalam Pasal 10 pasal ini menyebutkan antara lain: penggarap

yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 ha atau lebih, tidak mendapat bagian,

demikian juga terhadap penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas

kurang dari 1 hektar mendapat bagian seluas tanah yang dikerjakan tetapi jumlah

tanah milik dan tanah yang dibagikan kepadanya itu tidak boleh melebihi dari 1

hektar.

Dalam pelaksanaannya, sebagaimana berdasarkan Surat Keputusan Kepala

Kantor Pertanahan kabupaten Buleleng No. SK: A.55-22.04/BPN/BLL/2010

Page 175: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

160

tentang Pemberian Hak Milik Dalam Rangka Redistribusi Tanah Obyek

Landreform, bahwa terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang

berasal dari tanah kelebihan maksimum yang telah ditegaskan menjadi obyek

redistribusi, yang dibagikan kepada penerima redis jumlahnya tidak mencapai 2

hektar.

Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan penetapan batas maksimum dan/atau

minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian masih sulit untuk diterapkan

secara tegas mengingat sifat tanah adalah tetap sedangkan perkembangan jumlah

populasi manusia bertambah terus. Demikian pula dalam praktiknya sangat sulit

apabila peralihan hak atas tanah dilakukan secara di bawah tangan. Sebab apabila

dilakukan secara legal pasti akan ditolak baik oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta

Tanah), maupun oleh aparat Kantor Pertanahan setempat. Untuk itu, terhadap

peralihan hak atas tanah pertanian harus diperhatikan oleh baik penjual, pembeli,

dan pejabat pembuat aktanya mengenai ketentuan-ketentuan landreform, antara

lain ketentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan tanah pertanian

serta larangan pemilikan tanah absentee, dan lainnya yang terdapat dalam

program landreform.

Pemerintah (Kantor Pertanahan) akan menolak permohonan pendaftaran

pemecahan hak milik atas tanah pertanian yang mengakibatkan luasnya menjadi

dari 2 ha (dibawah batas minimum), karena pemecahan tersebut adalah

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 56 Prp Tahun

1960, terkecuali mendapat izin dari Kepala Kantor Pertanahan setempat dalam

rangka pendayagunaan tanah, berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Page 176: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

161

Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pertimbangan Teknis Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi

dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah. Terhadap tanah yang akan dialihkan

melalui pemecahan harus menyertakan “Surat Pernyataan” yang menyatakan

masih memiliki tanah lain selain tanah yang rencana dialihkan.

Disamping itu juga harus memenuhi persyaratan “Standar Prosedur Operasi

Pengaturan dan Pelayanan Pemecahan sertifikat” yang antara lain persyaratannya

adalah:

1. Mengajukan permohonan yang disertai alasan pemecahan

2. Identitas diri permohonan dan atau kuasanya (foto copy KTP)

3. Sertifikat Hak Atas Tanah Asli

4. Site Plan

5. Izin perubahan penggunaan tanah dari Tim Pertimbangan Teknis Seksi

Pengaturan dan Penataan Pertanahan yang ditetapkan dengan Keputusan

Kepala Kantor Pertanahan, apabila terjadi perubahan penggunaan tanah

(patuah jika tetap menjadi tanah pertanian dan/atau aspek jika berubah

menjadi tanah perumahan )

Page 177: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

162

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab

sebelumnya, baik mengenai kajian pustaka maupun pembahasannya, dapatlah

ditarik kesimpulan yang mendasar pada kedua pokok permasalahan, sebagai

berikut:

1. Dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan

batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian adalah

berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224

Tahun 1961 tentang Pelaksanan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti

Kerugian, yang merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945.

2. Konsekwensi yuridis terhadap penguasaan dan pemilikan tanah pertanian

yang melampaui batas maksimum dan/atau di bawah batas minimum

menimbulkan sanksi pidana berupa pelanggaran yang berakibat hukuman

kurungan atau denda. Selain sanksi pidana, maka tanah kelebihan dari

batas maksimum dan/atau tanah di bawah batas minimum akan jatuh

pada negara (menjadi tanah obyek landreform) tanpa mendapat ganti rugi

berupa apapun. Demikian juga terhadap peralihan hak atas tanah

pertanian melalui pemecahan yang mengakibatkan luasnya menjadi

162

Page 178: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

163

kurang dari 2 hektar maka dinyatakan bahwa pemindahan hak itu adalah

batal demi hukum, dan tanah jatuh pada negara tanpa hak untuk menuntut

ganti rugi. Kecuali dalam rangka pelaksanaan penatagunaan tanah maka

pemecahan perubahan penggunaan tanah harus memenuhi persyaratan

“Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pemecahan

Sertifikat”, dengan izin Kepala Kantor Pertanahan melalui permohonan

pemecahan perubahan penggunaan tanah ( jika tetap menjadi tanah

pertanian dengan “Patuah” dan jika merubah menjadi tanah perumahan

dengan aspek).

5.2.Saran

Dalam penulisan penelitian tesis ini, dapat disampaikan saran-saran

berkenaan dengan hasil pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji dalam

penelitian ini, sebagai berikut:

1. Kepada Pemerintah, hendaknya mengkaji ulang perihal kewenangan di bidang

pertanahan, apakah tetap ditentukan sebagai kewenangan Pemerintah

berdasarkan UUPA sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, atau

dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah atas dasar otonomi daerah ( UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Karena itu perlu diadakan

sinkronisasi norma antara UUPA dengan UU Pemerintahan Daerah dan

Peraturan Pelaksananya, agar tercapainya tujuan penetapan batas maksimum

dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, untuk memenuhi

pemerataan dan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam upaya perolehan dan

Page 179: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

164

pemanfaatan tanah yang kebutuhan yang sangat esensial sebagai sumber

penghidupan.

2. Kepada Pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional, hendaknya dalam

pelaksanaan dan pengawasan tentang ketentuan batas maksimum dan/atau

batas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian lebih ditingkatkan,

dan bagi masyarakat hendaknya lebih memahami dan mentaati kaedah yang

terkandung dalam setiap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan khususnya

dalam hal ini aturan tentang penetapan luas tanah pertanian, sehingga dapat

memenuhi keadilan dalam upaya perolehan pemerataan dan pemanfaatan

sumber daya alam (tanah) sebagai kebutuhan yang sangat esensial. Dan

kepada lembaga legislatif dan lembaga eksekutif) hendaknya proaktif untuk

meninjau kembali eksistensi Undang-Undang N0; 56 Prp Tahun 1960, jo

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 agar sesuai dengan perkembangan

dan kebutuhan masyarakat, karena tanah merupakan kebutuhan yang sangat

penting dan sifatnya tetap sedangkan angka pertumbuhan populasi manusia

bertambah, sehingga dapat sejalan dengan hakikat aturan-aturan hukum itu

sendiri yakni membawa masyarakat yang adil dan makmur.

Page 180: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

165

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Atmaja I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi

Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang.

Azhari, Muhammad Tahir, 2003, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-

prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada

Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta.

Ali Chidir, 1979, Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bina Cipta,

Bandung.

Anggota IKAPI, 2009, Kitab Undang-Undang Agraria dan Pertanahan,

Fokusmedia, Bandung.

Asshidiqie, Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Adji, Oemar Seno, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum,

Simposium UI Jakarta.

Atmo, Prajudi Sudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Chuleermi, Achmad,1995, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak

Atas Tanah dan pemindahannya, FH. Undip, Semarang.

Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Dirdjosiswojo Soedjono, Pengantar Hukum Indonesia, , PT RjaGrafindo Persada,

Jakarta, 2008.

Darmodihardjo, Darji, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Dlimunthe Chadidjah, 2008, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak

Atas Tanah, Yayasan Penceraahan Mandailing, Medan.

Page 181: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

166

Friedmand M Lawrence, 1975, The Legal System A. Social Sentence Perspektive,

Russel Sage Foundation 1 New York.

Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2008, Kewenangan Pemerintah

di Bidang Pertanahan, PT Raja Grafindo Persada,Jakarta

Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah

studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadila dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi,

Peradaban, 2007.

_______,Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar

dalam Ilmu Hukum pada FakultasHukum Universitas Airlangga,

Surabaya.

_______,Penataan Hukum Administrasi. Tahun 1997/1998. Tentang Wewenang,.

Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1988.

_______,Philipus M. Hadjon, H. Muladi, HAK ASASI MANUSIA: Hakekat,

Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakay,

PT Rafika Aditama, Bandung, 2005.

Harsono, Boedi, 1995, Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia,

Djambata, Jakarta.

_______, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Cetakan

kesembilan (edisi revisi), Djambatan, Jakarta.

_______, 1997, Hukum Agraria Indonesia, Jilid I, Bagian I, Jambatan, Jakarta.

_______, 1968, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan

Pelaksaanaannya, Djambatan, Jakarta.

Indroharto,. Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara. Pustaka Harapan, Jakarta, 1993.

Ibrahim,R. Status Hukum Internasional Dan Perjanjian Internasional Dalam

Hukum Nasional : Permasalahan Teoritik dan Praktek, Makalah

Disajikan Dalam Lokakarya Evaluas iUU. No. 24 Tahun 2000Tentang

Perjanjian Internasional, Diskusi Terbatas: Posisi Perjanjian

Internasional Di Dalam Sistem Hukum Tata Negara, Kerjasama

Departemen Luar Negeri Republik Indonesiadan Universitas Airlangga,

Surabaya, 18 Oktober 2008.

Page 182: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

167

Joeniarto, 1968, Negara Hukum,. Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,

Yogyakarta.

Martosoewignjo, Sri Sumantri , Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,

Alumni, Bandung, 1992.

Cohen L. Morris, 2000, Legal Research In A Nutshell, West Group, ST. Paul,

Minn., Printed in the United States of America

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat

Melalui Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta.

_______, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Marbun,SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaaya Administrasi di

Indonesia. Liberty, Yogyakarta, 1997.

Muladi H., 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Rafika Aditama, Bandung.

Marzuki, Peter, Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Maria, S.W., SumardjonO, 2001, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya

Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam

Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Murhaini, Suriansyah , 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang

Pertanahan, Edisi 1, cetakan ke-1, Laks Bang Justitia, Surabaya.

Manan , Bagir, 2008, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,

Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2008.

Manan, Bagir, dan Kuntana Magnar, 1996, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat

Melalui Pemilu, Gaya Media Pratama, Jakarta.

______, Bagir Manan, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,

Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Nurlinda, Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria, Perspektih Hukum, PT

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Notonagoro, 1974, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, C.V.

Pantjuran Tudjuh, Jakarta.

Page 183: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

168

Notonagoro, dalam Sumardjono , Puspita Serangkai: Aneka Masalah Hukum

Agraria, Cet. Pertama, Andi Offset, Yogyakarta

Oemar Seno Adji, Prasaran dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI:

Jakarta, 1966.

Parlindungan, A.P., 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA, Mandar

Maju, Bandung.

_________, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,

Bandung.

_________, 1983, Aneka Hukum Agraria, Alumni, Bandung.

Perangin Efendi, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari sudut

Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta.

Prajudi Atm, Sudirdjo. 1981. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

Parlindungan, A.P. , 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA.

Mandar Maju, Bandung.

Poerwadarminta,WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1987.

Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum

Pancasila. CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta, 1983.

Radjagukguk, Erman, 1979. Pemahaman Rakyat Tentang Hak Atas Tanah

dimuat dalam Majalah Prisma No. 9.

Ruchiyat, Eddy, 1983, Landreform, dan Jual Gadai Tanah, C.V. Armico.

Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta

Soekanto Soerjono, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Cv Rajawali: Jakarta.

-----------, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali, Jakarta.

-----------, 1986, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, Universitas Indonesia (UI

Press).

Page 184: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

169

Strong C.F., 1996, Modern Political Constitutions, the English Language Book

Society and Sidgwick & Jackson Limitid, London.

Soedjono Dirdjosiswojo, 2008, Pengantar Hukum Indonesia. PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta,

Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum.

Seruling Masa PT, Jakarta.

Sutjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sihidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Syamsudin, M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum. PT RaJa Grafindo

Persada, Jakarta.

Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian. CV. Rajawali, Jakarta.

Sofwan, Ali Husein, 1995, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta.

Salam, Dharma Setyawan, 2003, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan

Nilai dan Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta

Soetikno, Iman, 1994, Proses terjadinya UUPA;Peran Serta Seksi Agraria

Universitas Gajah Mada, University Press, Yogyakarta, Cet. ke tujuh.

Setiawan, Yudhi, 2010, Hukum Pertanahan , Teori dan Praktik, Cet. Pertama,

Bayumedia Publishing, Malang.

Sumardjono, S.W. Maria, 2001, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum

Agraria, Andi Offset, Yogyakarta

Sitorus, Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di

Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasinya, Mitra Kebijakan Tanah

Indonesia, Yogyakarta.

Soimin, Soedharyo , 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi kedua,

Sinar Grafika, Jakarta.

Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Simposium Universitas Indonesia Jakarta, 1966, Indonesia Negara Hukum,

Seruling Masa PT, Jakarta.

Page 185: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

170

Soekanto, Soerjono , 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Cv

Rajawali.

Suryabrata, Sumandi , 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta.

Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju

Penertiban, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Syamsudin M., 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT RaJaGrafindo

Persada, Jakarta.

Suhendro, 2001, Status Hukum Produk Dinas Pertanahan, Suara Merdeka,

Semarang.

Sumarsono, 1973, Himpunan Peraturan Agraria, Dirjen Agraria, Jakarta.

Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi

Daerah, Tugujogja Pustaka, Yogyakarta,

Tonnaer/ F.P.C.L., 1986, Legaal Besturen, Het Legaliteistbeginsel, toetssteen of

struikelblok, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen

Opgedragen aan R. Crince Le Roy, Kluwer-Deventer.

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta, 1989.

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Managemen Pertanahan,

2004, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (Jakarta: Direktorat

Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan

Pemetaan BPN, 2004).

Tarigan, Pendastaren, 2008, Arah Negara Hukum Demokrasi Memperkuat Posisi

Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendal, Pustaka

Bangsa Press, Medan.

Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tana. Kencana Prenada media

Group, Jakarta, 2005.

Van Wijk/HDWillem Konijnenbelt. Hoofdstukken van Administratief Recht.

Culemborg, Uitgeverij Lemma BV., 1988.

Waluyo Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika,

Jakarta.

Wheare K.C., 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press.

Page 186: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

171

Wahjono, Padmo, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum

Pancasila, CV. Rajawali, cet. Ke-1, Jakarta,

2. Makalah:

Atmadja, I Dewa Gede. Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum:

Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen. Pidato

Pengenalan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 10 April 1996.

Atmoredjo Sudjito bin , Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam

Kongres Pancasila kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan

Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31, dan 1 Juni 2009.

Benyamin, Hoessein, Evaluasi Undang Undang Pemerintah Daerah, Harian

Suara Karya, Jakarta, edisi 14 Februari 2002.

Haeruman, Herman, 2000, Suatu Pemikiran Dalam Reformasi Sistem Agraria,

Membentuk Sistem pertanahan Positif yang lebih Efektif untuk

kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks International Converence

on Land Policy Reform, Bappenas R.I, Jakarta, 26 Juli 2000.

Hadjon M., Philipus , 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,

sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh

Pengadila dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan

Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta

________, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam

Ilmu Hukum pada FakultasHukum Universitas Airlangga, Surabaya,

________, 1997/1998, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang,

Fakultas Hukum Unair, Surabaya.

3. Kamus Hukum:

Poerwadarminta,WJS, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta.

Simorangkir, J.C.T., 2007, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Michael R. Purba, 2009, Kamus Hukum, Widyatamma, Jakarta.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Page 187: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

172

Henry Campbell Black, M, A., 1919, Black’s Law Dictionary, With

Pronunciations, West Publishing Co, the United States of America.

4. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok

Agraria ( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan

Lembaran Negara Nomor 2043 ).

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional Di Bidang Pertanahan ( Lembaran Negara RI Tahun 2003

Nomor 60 ).

UU NO. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.

Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar

Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang

Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten /Kota.

Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam dan Relevansinya Terhadap Kebijakan Pertanahan

Nasional.

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

5. Internet:

Zulkarnain, Pelaksanaan Redistribusi Obyek Landreform berdasarkan Keputusan

Menteri Agraria No. SK. 24/HGU/65 di Kabupaten Langkat,

http//revository.usu.ac.id/handle/123456789/5098.

Page 188: Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertenahan

173

Herry Iswanto, Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian Bagi Para

Petani di Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang, http//i-

lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?

Ariska Dewi, 2008, Peran Kantor Pertanahan dalam Mengatasi Kepemilikan

Tanah Absentee/Guntai di Kabupaten Banyumas,

http//eprints.undip.ac.id/16527/1

Nurhayati, Pelaksanaan Redistribusi Tanah Obyek Landreform di Kec. Semarang

Barat Kota Semarang, http//eprints.undip.ac.id/15762/1

Ira Sumaya, 2007/2008, AnalisisHukum Landreform Sebagai Upaya

Meningkatkan Ekonomi Masyarakat,

http//revository.usu.ac.id/handle/123456789/5144.