28
1 Peningkatan Kapasitas dan Reformasi Politik di Indonesia (Eko Subhan) I do not know what your destiny will be, but one thing I know: the only ones among you who will be truly happy are those who will have sought and found how to serve. (Albert Schweitzer)

Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

1

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Peningkatan Kapasitas dan Reformasi Politik di Indonesia 

(Eko Subhan) I do not know what your destiny will be, but one thing I know: the only ones among you who will be truly happy are those who will have sought and found how to serve. (Albert Schweitzer)

 

Page 2: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

2

Reformasi  Pemerintahan  dan  Isu Peningkatan  Kapasitas  Pemerintah Daerah 

 

Pada  akhir  tahun  2001  saat  konsep  devolusi diterapkan  di  Indonesia  secara  legal  dan aktual,  tercatat  bahwa  jumlah  Kabupaten  di Indonesia  adalah  sebanyak  268  Pemerintah Daerah Kabupaten dan 80 Pemerintah Daerah Kota  di  30  Propinsi  di  Indonesia,  dengan demikian  terdapat  348  pemerintahan kabupaten/kota.  Tahun  2003  telah dimekarkan  sebanyak  47  kabupaten  dan  3 kota, sehingga Tahun 2004 jumlah Kabupaten di  Indonesia  telah  berjumlah  348  sedangkan jumlah  Kota  adalah  87,  adapun  jumlah Propinsi menjadi 32. Hingga akhir Tahun 2007, jumlah  pemerintahan  kabupaten/kota  di Indonesia  menjadi  462  yang  tersebar  di  33 provinsi, 370 diantaranya adalah pemerintah kabupaten (92 lainnya adalah kota). 

Desentralisasi pada dasarnya sudah dikenal di Indonesia sejak awal berdirinya Indonesia dan mulai  dilakukannya  pengaturan pemerintahan  di  daerah.  Namun desentralisasi  di  Indonesia  yang  banyak dimunculkan  pada  berbagai  media  sebagai sebuah  ‘DESENTRALISASI’  adalah  ketika  DPR mensyahkan  Undang‐undang  Nomor  22 Tahun  1999  tentang  Pemerintahan  Daerah dan  Undang‐undang  Nomor  25  Tahun  1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan  Daerah.  Kedua  UU  tersebut merupakan sebuah  ‘stepping  stone’  perubahan  pasca Reformasi Sistem Pemerintahan di  Indonesia pada  tahun  1998.  Kedua  UU  tersebut  juga menjadi  titik penjuru perubahan perundang‐undangan  sektoral  di  Indonesia,  sehingga menyebakan perubahan  yang maha besar di lingkungan  pemerintahan  di  Indonesia. Banyak  pengamat  pemerintahan  Indonesia 

menyebutkan  sebagai  ‘BIG  BANG AUTONOMY’.  

Bagaimana  tidak  disebut  ‘BIG  BANG’ sementara  itu  dilakukan  pelimpahan  sekitar dua juta pegawai negeri sipil pusat ke daerah, tanpa  memperhatikan  kebutuhan  daerah, tanpa  memperhatikan  kualitas  tenaga  kerja yang  bersangkutan,  dan  tanpa memperhatikan  dengan  seksama  implikasi lanjutan  atas  managemen  di  tingkat  yang sangat local. 

 

 

Peningkatan Kapasitas dalam Dunia Desentralisasi di Indonesia1 

 

Dalam rangka pengembangan kapasitas untuk mendukung  Desentralisasi,  Pemerintah Indonesia  telah  mencanangkan  “Kerangka Nasional  Pengembangan  dan  Peningkatan Kapasitas  dalam  rangka  mendukung Desentralisasi”  sebagai  kerangka  acuan dalam  penyusunan  kebijakan  Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengembangan dan peningkatan  kapasitas  untuk  mendukung pelaksanaan otonomi daerah. 

Momentum  reformasi  sosial  politik  yang berlangsung  cepat  beberapa  tahun belakangan  ini  memberi  arah  baru  bagi pemerintah  dan  masyarakat  untuk  mulai menerapkan  kebijakan  desentralisasi  secara efektif  di  Indonesia.  Berdasarkan  pandangan historis,  politis,  konstitusional,  struktural maupun  teknis  operasional,  kebijakan desentralisasi  yang  melahirkan  otonomi 

1 Sebagian besar tulisan ini diambil dari Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka mendukung Desentralisasi yang diterbitkan oleh Bappenas dan Departemen Dalam Negeri 

Page 3: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

3

daerah,  dalam  penyelenggaraan pemerintahan  di  Indonesia,  merupakan pilihan  yang  tepat,  atas  dasar  pertimbangan kondisi  geografis  yang  luas  dan  menyebar serta potensi dan karakteristik yang berbeda antar  wilayah.  Kebijakan  desentralisasi dimaksudkan  sebagai  instrumen  pencapaian tujuan bernegara dalam kesatuan bangsa yang demokratis.  Sehubungan  dengan  itu  paling tidak ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu: “tujuan politik dan administrasi”. Tujuan politik akan memposisikan  Pemerintah  Dearah  sebagai medium  pendidikan  politik  bagi  masyarakat pada  tingkat  lokal  dan  secara  agregat  akan berkontribusi  pada  pendidikan  politik  secara nasional  untuk  mempercepat  terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan  memposisikan  Pemerintah  Daerah sebagai unit pemerintah di tingkat  lokal yang berfungsi  untuk  menyediakan  pelayanan masyarakat  secara  efektif,  efisien  dan ekonomis. 

Secara  konstitusional  operasionalisasi kebijakan  desentralisasi  dituangkan  dalam produk  perundang‐undangan,  yaitu  UU  No. 32/2004  tentang  Pemerintahan  Daerah  dan UU  No.  33/2004  tentang  Perimbangan Keuangan  antara  Pemerintah  Pusat  dan Daerah.  Kedua  UU  tersebut mengisyaratkan akan  tanggungjawab  substansial  untuk menyediakan  pelayanan  umum  (public services)  oleh  Pemerintah  Daerah.  DPRD sebagai salah satu pelaku utama dari aktivitas Pemerintahan  Daerah  berhak  dan berkewajiban  untuk  mengawasi  eksekutif (Kepala  Daerah  beserta  Perangkat  Daerah), memilih,  mengangkat  dan  meminta pertanggungjawaban  Kepala  Daerah,  serta menentukan  kebijakan‐kebijakan  publik  di tingkat Daerah.  

Berdasarkan  pengkajian  kebutuhan  di sejumlah daerah dan dengan merujuk kepada 

kerangka  strategis  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas,  maka  prioritas program  Pemerintah  akan  difokuskan  pada pemberian  dukungan  terhadap  kemampuan yang  berkesinambungan  dari  Pemerintah Daerah  termasuk  termasuk  peningkatan kapasitas  penyedia  jasa  (service  provider), sehingga  kapasitas  mereka  semakin meningkat  dalam  hal  penyelenggaraan pelayanan  dasar  yang  dibutuhkan masyarakat;  pemeliharaan  prasarana‐prasarana pokok masyarakat, pengembangan pembangunan  ekonomi,  dan  program pengentasan  kemiskinan.  Prioritas  penting lain  adalah  dukungan  bagi  pengembangan sistem  kelembagaan  yang  memadai  serta pengembangan  kapasitas  inti  sumberdaya manusia  agar  lebih  berkemampuan  untuk menjawab  kebutuhan  pelaksanaan  dan manajemen  dari  sistem  pemerintah  daerah yang berorientasi pada kinerja.  

Pemerintah  Daerah  memiliki  keleluasaan untuk menentukan  struktur  organisasi  serta mengelola  sumber  daya manusia  (SDM)‐nya sendiri.  Sistem  pengalihan  (transfer) anggaran  antar‐pemerintah  disusun  lebih transparan,  dan  pemberian  Dana  Alokasi Umum  (DAU)  dalam  bentuk  “block  grant” telah  memungkinkan  daerah  menentukan alokasi  anggaran  belanjanya  sendiri berdasarkan  kebutuhan  dan  prioritasnya. Sementara  pemerintah  pusat  memiliki kewenangan  di  dalam  pembuatan  kebijakan yang  dituangkan  dalam  bentuk  norma, standard  serta  melaksanakan  kegiatan fasilitasi,  supervisi,  monitoring  dan  evaluasi pelaksanaan  otonomi  daerah.  Desentralisasi peran dan tanggung jawab yang nyata kepada Pemerintah  Daerah,  diharapkan  dapat memperbaiki  kualitas  pelayanan  yang membuat  sektor  publik  lebih  tanggap terhadap kebutuhan‐kebutuhan dan prioritas‐prioritas masyarakat di daerahnya, dan untuk 

Page 4: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

4

meningkatkan  partisipasi  masyarakat  dalam pembuatan  kebijakan  dan  proses pengawasannya. 

Pemerintah  menyadari  akan  kompleksitas dan  luasnya  lingkup  kegiatan  untuk mengopersikan  kebijakan  desentralisasi. Disadari  pula  bahwa  pelaksanaan  kebijakan tersebut memerlukan  suatu  komitmen  yang tinggi dan upaya  jangka panjang dari seluruh pelaku  atau  pihak‐pihak  yang  terkait. Tersedianya kerangka kebijakan atau pelbagai peraturan  yang  telah  disusun  saat  ini,  baru merupakan  langkah  awal.  Sedangkan  untuk melanjutkan pelaksanaan desentralisasi  yang membuahkan Otonomi Daerah  agar berjalan lancar  dan  sesuai  dengan  harapan,  maka diperlukan  proses  belajar  (learning process)  tidak  hanya  oleh  aparatur  daerah, anggota  legislatif daerah  (DPRD), masyarakat dan  organisasi‐organisasi  kemasyarakatan  di Daerah,  tetapi  juga  diperlukan  upaya penyesuaian  atau  perubahan  sistem  dan mekanisme kerja Pemerintah Pusat. 

Kerangka  hubungan  kerja  antar  masing‐masing  departemen  sektoral  dan  lembaga non‐departemen di Pusat yang terkait dengan penyelenggaraan  otonomi  daerah  masih perlu  dibenahi.  Untuk  maksud  ini,  maka masih  diperlukan  reformasi  dibidang kelembagaan  pada  semua  tingkatan Pemerintahan,  peningkatan  ketrampilan  dan kualifikasi‐kualifikasi  baru  dari  aparatur Pemerintah,  serta  cara‐cara  berkomunikasi yang  baru  antara  sektor  publik  dan  warga masyarakat.  Pada  akhirnya,  kegiatan monitoring  dan  evaluasi  (monev)  yang  baik dan  benar  terhadap  operasionalisasasi pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas dalam  rangka desentralisasi  amat diperlukan untuk  mengidentifikasi  keberhasilan‐keberhasilan dan permasalahan  yang  timbul, dan bila perlu sedini mungkin dapat dilakukan koreksi  dan  penyesuaian  terhadap  sistem, 

prosedur  dan  mekanismemekanisme  kerja yang ada. 

Peningkatan  Kapasitas  untuk  Desentralisasi harus  mengedepankan  pengembangan Sistem,  Institusi,  dan  Individu  dari  setiap komponen  pendukung  Desentralisasi,  serta dilaksanakan  dengan  melibatkan  berbagai tingkat  administrasi  pemerintahan  yang berbeda:  Kabupaten/Kota,  Provinsi  dan Pemerintah  Pusat.  Kegiatan  ini  bersifat demand  driven  dengan  mengacu  pada kebijakan nasional,  khususnya UU RI Nomor 32  Tahun  2004  tentang  Pemerintah  Daerah dan  UU  RI  Nomor  33  Tahun  2004  tentang Perimbangan  Keuangan  antara  Pemerintah Pusat  dan  Pemerintah  Daerah,  maupun Kerangka  Nasional  Pengembangan  dan Peningkatan Kapasitas. 

Semangat  desentralisasi  yang  diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya,  memerlukan  upaya  yang terkoordinasi untuk menjamin bahwa tujuan‐tujuan  dan  sasaran‐sasaran  kebijakan Otonomi Daerah  dapat  dicapai. Oleh  karena itu pengembangan dan peningkatan kapasitas untuk  mendukung  desentralisasi  mencakup ruang  lingkup  yang  lebih  luas  dibandingkan masa  lalu yang hanya memusatkan perhatian kepada beberapa sektor tertentu saja. 

Pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas yang  dimaksudkan  dalam  kerangka  program nasional  mengacu  kepada  kebutuhan  akan; penyesuaian  kebijakan‐kebijakan  dan peraturan‐peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi  prosedur‐prosedur  kerja  dan mekanisme‐mekanisme  koordinasi, peningkatkan  keterampilan  dan  kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan  sikap  atau  perilaku  sedemikian  rupa, sehingga  dapat  terpenuhinya  tuntutan  dan kebutuhan  otonomi  daerah,  sebagai  suatu cara pendekatan baru  kearah pemerintahan, pengadministrasian  dan  pengembangan 

Page 5: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

5

mekanisme‐mekanisme  partisipatif  yang tepat  guna  memenuhi  tuntutan  yang  lebih demokratis. 

Secara  spesifik,  fungsi‐fungsi  pendukung utama pemerintah daerah yang memerlukan peningkatan  kapasitas  dan  akan  mendapat dukungan  pendanaan  dari  Proyek  SCBD diarahkan  kepada  ’10  Fungsi  Pendukung Pemerintahan  Daerah  (didefinisikan  sebagai ‘fungsi  potongan  secara  menyeluruh  (cross‐cutting)’  yaitu:  1)  administrasi  umum;  2) manajemen  keuangan;  3)  pemeriksaan;  4) penyusunan  ketentuan  hukum;  5) pengembangan  organisasi;  6)  manajemen sumber  daya  manusia;  7)  informasi komunikasi;  8)  perencanaan  pembangunan; 9)  pelaksanaan  proyek,  pemantauan  dan evaluasi; dan 10) pengadaan barang dan jasa. 

Adapun  prinsip‐prinsip  Pengembangan  dan peningkatan kapasitas adalah : 

1. Bersifat multidimensi dan berorientasi jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. 

2. Mencakup multi stake‐holders; pemerintah pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan desa termasuk unsur swasta dan masyarakat 

3. Bersifat  “demand  driven  “,  dimana kebutuhan  pengembangan  dan peningkatan bukan bersifat “Top Down “, namun  berasal  dari  para  stakeholders yang  membutuhkan.  Untuk  maksud  itu perlu  ada  transparansi  dan  akuntabilitas dalam merumuskan kebutuhan tersebut. 

4. Mengacu  pada  kebijakan  Nasional; pengembangan dan peningkatan kapasitas mengacu  pada  GBHN  1999‐2004  yang mengamanatkan  tentang  perlunya pengembangan otonomi daerah yang  luas dan  nyata  dengan  memberdayakan masyarakat,  lembaga‐lembaga  ekonomi 

dan  politik,  badan‐badan  hukum  dan keagamaan,  lembaga‐lembaga  adat  serta organisasi  kemasyarakatan. Pengembangan dan peningkatan kapasitas juga mengacu  kepada  Propenas  (UU  No. 25 Tahun 2000). 

 

 

 

Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Tingkat Pemerintah Pusat dan Daerah 

 

Seperti  telah  disebutkan  di  bagian  lain, pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas di  Daerah  harus  berdasarkan  permintaan (demand‐driven) dan kebutuhan‐kebutuhan yang  spesifik  dari  stakeholder  Daerah. Sampai  saat  ini  belum  ada  survey  pada tingkat  nasional  tentang  kebutuhan‐kebutuhan  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  di  Daerah‐daerah yang dapat dipergunakan untuk menyusun prioritas‐prioritas  Daerah  bagi pengembangan dan peningkatan kapasitas. Namun  demikian,  berdasarkan  pengkajian kebutuhan  di  sejumlah  Daerah,  dan merujuk  kepada  kerangka  strategis pengembangan dan peningkatan kapasitas, maka  program  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  yang  diprioritaskan Pemerintah  akan  mencakup  beberapa  hal sebagai berikut: 

(a) Pemerintah  akan  membangun  dan memberikan  fasilitas  yang  diperlukan agar  kebutuhan  akan  pengembangan dan  peningkatan  kapasitas  berfungsi secara  memadai.  Hal  ini  mencakup pengembangan  dan  peningkatan kapasitas  dari  para  penyedia  layanan 

Page 6: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

6

(service  provider),  baik  dalam  aspek substansi  (mis.  memperbaiki  isi  dan relevansi  dari  jasa‐jasa  program pelatihan),  maupun  dalam  aspek mekanisme  penyampaian  hubungan penyedia  jasa dengan para stakeholder. Kebijakan  dan  mekanisme  pelatihan sektor  publik  harus  lebih disempurnakan. Dengan  demikian  para penyedia pelayanan diharapkan mampu mengkaji kebutuhan‐kebutuhan Daerah, serta  dapat  mengembangkan pelayanan‐pelayanan  pengembangan dan peningkatan kapasitas yang sesuai. Sementara  Daerah  harus  dengan mudah memperoleh dan memiliki akses informasi  tentang  para  penyedia layanan  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas,  dan  jenis pelayanan yang ditawarkan. 

(b) Bagi  lembaga‐lembaga pelatihan  sektor publik,  desentralisasi  yang  antara  lain berdampak  terhadap  pengalihan kewenangan, kelembagaan pengelolaan personil  dan  keuangan  daerah merupakan  suatu  perubahan lingkungan yang besar. Oleh karena  itu salah  satu  prioritas  bagi  pemerintah adalah  mengkaji  dan  menyesuaikan kebijakan‐kebijakan  pelatihan  sektor publik  dan  mengkaji  tatanan kelembagaan  bagi  pelaksanaan pelatihan  PNS,  dan  memodifikasi program‐program  pelatihan  yang  ada didasarkan  kepada  sistem pemerintahan  daerah  sesuai  dengan peraturan yang berlaku. 

(c) Dalam  suatu  program  pengembangan dan  peningkatan  kapasitas  yang berdasarkan  permintaan  (demand‐driven),  Daerah  diharapkan  dapat membayar  jasa  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  yang 

diterimanya.  Sehubungan  dengan  itu perlu  dicarikan  sumber  dana  yang memungkinkan dan disesuaikan dengan kemampuan  keuangan  Daerah masing‐masing. 

(d) Penyelesaian  kerangka  Peraturan  bagi desentralisasi  dan  penguatan mekanisme  koordinasi  antar‐departemen  dan  antar  tingkatan Pemerintahan,  akan  menjadi  prioritas Pemerintah. Hal  ini meliputi pengkajian dan  penyesuaian  peraturan‐peraturan sektoral  agar  sejalan  dengan desentralisasi,  perbaikan  rumusan, informasi  dan  sosialisasi  peraturan‐peraturan  baru.  Oleh  karena  itu penguatan  Sekretariat  DPOD  dan  atau suatu  tim  kerjasama  /  Tim  Koordinasi antar‐lembaga  yang  menangani pembinaan dan atau fasilitasi kebijakan Otonomi  Daerah  menjadi  mendesak dan sangat diperlukan. 

Program‐program  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  daerah  yang  spesifik harus  dirumuskan  berdasarkan  pengkajian‐pengkajian  kebutuhan  Daerah  setempat, berdasarkan  informasi  dan  fakta‐fakta  yang tersedia. Oleh karena  itu pengembangan dan peningkatan  kapasitas  untuk  mendukung desentralisasi  harus  memusatkan  perhatian kepada bidangbidang utama berikut ini: 

(a) Diseminasi  dan  penjelasan  kerangka peraturan  untuk  mendukung  dan mengakselerasi  pelaksanaan desentralisasi.  Hal  ini  utamanya berkaitan  dengan  pemahaman  tugas‐tugas  dan  kewenangan  baru  daerah serta  perubahan  hubungan  dengan Pemerintah Pusat,  agar memungkinkan semua  pelaku  (stakeholder)  di  daerah berpartisipasi  dalam  suatu  sistem pemerintahan  daerah  yang  demokratis dan terdesentralisasi. 

Page 7: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

7

(b) Hubungan  antara  lembaga/instansi dengan  masyarakat.  Hal  ini  berarti menempatkan  peran‐peran  dan kewenangan‐kewenangan  didalam proses  pembuatan  keputusan, mengembangkan dan menerapkan kode etik,  menetapkan  pola‐pola  interaksi yang  baru  dan  partisipatif  antara legislatif  dan  eksekutif,  serta  antara legislatif, eksekutif dan masyarakat. 

(c) Pengelolaan  keuangan  Daerah.  Bidang ini  utamanya  membangun  suatu pemahaman  tentang  sistem  baru pengalihan  fiskal  (dana  perimbangan), memahami  dan  menerapkan  sistem baru  pengelolaan  keuangan  daerah, termasuk  transparansi dan akuntabilitas dari  APBD,  membentuk  suatu  proses yang  terbuka  bagi  partisipasi stakeholder  dalam  proses  perumusan kebijakan,  penyusunan  anggaran  dan monitoring/evaluasi  pelaksanaan anggaran. 

(d) Pengelolaan  Aparatur.  Bidang  ini khususnya  membangun  suatu  sistem pengelolaan  SDM  dengan  konsep‐konsep  pengelolaan/manajemen personalia  yang  baik  dan  jelas, menyesuaikan situasi personalia dengan ketersediaan  sumber  daya  serta menserasikan  tatanan  kelembagaan dengan  tugas‐tugas  dan  kewenangan yang  akan  dilaksanakan  oleh  Daerah sesuai ketentuan yang berlaku. 

(e) Hubungan  atau  komunikasi  dan kerjasama  antar  Daerah.  Bidang  ini utamanya  mengembangkan  pola interaksi  dengan  daerah‐daerah  lain yang  memungkinkan  pengalihan  dan atau  tukar  menukar  “praktek‐praktek yang  baik”,  inovasi‐inovasi  dan pendekatan‐pendekatan  baru  antar daerah. 

(f) Ekonomi  Daerah.  Bidang  ini  utamanya berkaitan  dengan  pengembangan  pola dan  mekanisme  baru  untuk meningkatkan  pembangunan  ekonomi daerah,  perluasan  kesempatan  kerja, serta  pengentasan  kemiskinan  baik  di daerah  perkotaan  maupun  didaerah perdesaan. 

Hal  tersebut  di  atas  hanya  merupakan indikasi  umum,  seperti  program pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas yang  lebih  kongkrit  bagi  masingmasing Daerah  harus  didasarkan  kepada pengkajian  kebutuhan  di  masingmasing Daerah. 

 

 

Prinsip‐prinsip  Utama  Strategi Pengembangan  dan  Peningkatan Kapasitas 

 

a). Skala Prioritas. 

Pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas merupakan  kegiatan  multidimensi  yang memerlukan  orientasi  jangka  menengah. Disamping kegiatan prioritas jangka pendek, perlu  diimbangi  dengan  kegiatan  jangka menengah  dan  jangka  panjang  yang direncanakan  secara  terpadu. Oleh  karena kebutuhan  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  sangat  besar  bila dibandingkan  dengan  sumber  daya keuangan dan manusia yang tersedia, maka penyusunan  prioritas  dan  pentahapan kegiatan  pengembangan  dan  peningkatan kapasitas  adalah  penting.  Prioritas  awal adalah  mengklarifikasi  kebijakan  dan kerangka peraturan  yang berkaitan dengan desentralisasi,  sehingga  kapasitas  yang tersedia pada semua  tingkatan Pemerintah 

Page 8: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

8

dan masyarakat bisa bergerak kearah yang diinginkan.  Prioritas  selanjutnya  adalah memecahkan isu‐isu yang saling terkait dan antar‐sektor  (seperti melaksanakan  sistem keuangan  daerah  yang  baru)  sebelum berhubungan dengan  isu‐isu masing‐masing sektor dan masing‐masing bidang. 

b). Mencakup semua stakeholder. 

Pemberdayaan  kapasitas  dalam  kaitannya dengan  Otonomi  Daerah  harus mengalamatkan  kepada  tingkat‐tingkat pemerintahan  yang  berbeda; Kabupaten/Kota,  Propinsi  dan  Pemerintah Pusat.  Kegiatan  ini  juga  harus  ditujukan kepada  banyak  pelaku  atau  pihak‐pihak yang  terkait  lainnya  (stakeholders),  tidak hanya  sektor  publik  (instansi  Pemerintah Pusat  dan  Daerah)  tetapi  juga  Legislatif Daerah,  partai  politik,  lembaga‐lembaga pendukung,  kelompok‐kelompok masyarakat  setempat  serta  organisasi‐organisasi kemasyarakatan non pemerintah dalam  arti  luas.  Pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  memerlukan reformasi  kelembagaan  pada  berbagai tingkat  pemerintahan,  modifikasi  dari sistem  dan  mekanisme‐mekanisme  kerja instansi  sektor  publik  dan  penyesuaian gaya dan  instrumen manajemen  yang ada. Untuk  itu  diperlukan  upaya  yang substansial  dalam  pengembangan pengetahuan  dan  keterampilan,  pelatihan dan pendidikan politik. 

c). Pola‐pola interaksi yang baik. Pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas juga  merupakan  perubahan  pola‐pola interaksi di antara  instansi pemerintah dan antara  instansi  pemerintah  dengan masyarakat.  Dalam  konteks  otonomi daerah,  pengembangan  dan  peningkatan kapasitas  harus  mendukung  terjadinya proses  pengembangan  kelembagaan  yang 

demokratis  melalui  pelibatan  masyarakat dalam  proses  pembangunan  sejak  tahap awal  perencanaan,  serta  menjamin terjadinya  proses  kontrol  yang  berimbang (checks  and  balances).  Transparansi, akuntabilitas  dan  demokrasi  merupakan hal  yang  perlu  dimulai  melalui  proses partisipasi  masyarakat.  Adanya  budaya penyediaan  dan  pelayanan  yang  baik  bagi kepuasan  masyarakat  dari  setiap  proses administrasi  pada  instansi  Pemerintah Daerah merupakan salah satu sasaran yang harus  tercapai  dalam  program pengembangan dan peningkatan kapasitas. 

d). Berdasarkan kebutuhan dan kemampuan Daerah. 

Pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas (khususnya  pelatihan  dan  bantuan  teknis kepada  Pemerintah  Daerah)  haruslah berdasarkan  permintaan  (demand‐driven) bukan  program  yang  telah  ditentukan sepihak  oleh  Pemerintah  Pusat  (supply‐driven).  Prakarsa‐prakarsa  pengembangan dan  peningkatan  kapasitas  untuk  Daerah harus  mempertimbangkan  kondisi  dan kebutuhan  spesifik  Daerah,  dan  sejauh mungkin  dihindari  upaya  penggunaan pendekatan  yang  standar  dan  seragam. Promosi  tukar  menukar  inovasi, pengalaman  pengalaman  yang  diperoleh, dan  keberhasilan  pendekatan  antar Pemerintah  Daerah  (horizontal networking)  adalah  elemen  kunci  dalam strategi  pengembangan  dan  peningkatan kapasitas.  Pengalaman,  hasil‐hasil, pendekatan  dan  instrumen didokumentasikan secara proporsional dan di  koordinir  oleh  Departemen  Dalam Negeri  sehingga  tersedia  dengan  mudah bagi  Daerah  lain  untuk  mempercepat proses  desiminasi  dari  praktek  yang  baik dan teruji. 

Page 9: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

9

e). Kerjasama dengan lembaga penyedia layanan (service providers). 

Pemberdayaan  kapasitas  merupakan kebutuhan  yang  sangat  besar.  Hal  ini berdasarkan  pertimbangan  banyaknya perubahan‐perubahan  kebijakan  serta banyaknya  Daerah  yang  harus  mengerti dan  melaksanakan  kebijakan‐kebijakan baru.  Untuk  menjamin  dimulainya kegiatan‐kegiatan  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  yang  paling  cepat, maka  instrumen  dan  kelembagaan pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas yang  ada  harus  disesuaikan  dan dimodifikasi untuk mendukung pendekatan atau  prinsip  baru  yang  digariskan  oleh ketentuan  yang  berlaku  tanpa  harus menciptakan  instrumen‐istrumen  dan kelembagaan  baru  dari  awal. Pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas tidak  perlu  membentuk  suatu  baru, sepanjang  yang  ada  masih  dapat disesuaikan  dengan  kerangka  kondisi  yang baru.  Sejalan  dengan  sasaran pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas dalam  konteks  otonomi  daerah  yang  luas, maka penyedia layanan pengembangan dan peningkatan  kapasitas  yang  potensial, misalnya  organisasi‐organisasi  sektor publik  seperti  Badan‐badan  Diklat Departemen,  Asosiasi  Pemerintah  Daerah, Asosiasi  Profesional,  Universitas,  Lembaga Pengkajian,  Penelitian  dan  Pelatihan Swasta,  Konsultan  Manajemen,  Partai Politik,  dan  Lembaga‐lembaga kemasyarakatan  lainnya,  harus  dapat memainkan  perannya  dalam  kerangka kerjasama  yang  saling memperkuat  untuk pengembangan dan peningkatan kapasitas. 

 

 

Ruang Lingkup Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas 

Sementara  ini  teridentifikasi  8  (delapan) agenda  yang  menjadi  runang  lingkup pengembangan  dan  peningkatan  kapasitas untuk  mendukung  desentralisasi  dan percepatan Otonomi Daerah yaitu : 

(1) Kerangka Peraturan Umum untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi 

(2) Pengembangan Organisasi Pemerintah Daerah dan Desa 

(3) Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur di Tingkat Daerah 

(4) Pengelolaan Keuangan Daerah 

(5) Peningkatan Kapasitas DPRD, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Organisasi Kemasyarakatan 

(6) Pengembangan Sistem Perencanaan 

(7) Pembangunan Ekonomi Daerah 

(8) Pengelolaan Masa Transisi. 

Adapun program kegiatan yang tercakup dalam masing‐masing agenda tersebut adalah sebagai berikut : 

1. Kerangka  Peraturan  Umum  Untuk Mendukung  Pelaksanaan Desentralisasi. Kegiatan  ini  pada  dasarnya  adalah menyusun  dan  melengkapi  kerangka peraturan  (regulasi)  agar  tercipta landasan  hukum  yang  kuat  dalam mempercepat  pelaksanaan  otonomi secara menyeluruh. Kerangka peraturan disusun  mencakup  peraturan perundang‐undangan yang tidak berlaku lagi  sehubungan  dengan diberlakukannya  UU  32/2004  dan  UU 33/2004 dan Peraturan Pelaksanaannya. Prioritas  diberikan  pada  penyusunan peraturan  perundangan  yang  benar‐

Page 10: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

10

benar  urgen  dan  potensial menciptakan konsistensi dan kepastian hukum. 

2. Pengembangan Organisasi Pemerintah Daerah dan Desa 

Rumpun kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkuat  kelembagaan  Pemerintah Daerah agar  tercipta  kelembagaan  yang optimal,  networking,  tata  kerja  dan prosedur yang jelas. 

3. Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur di Tingkat Daerah Rumpun kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan SDM aparatur agar Daerah mampu mengelola SDM‐nya secara efektif dan efisien. 

4. Pengelolaan Keuangan Daerah 

Rumpun  pengembangan  dan peningkatan  ini  dimaksudkan  untuk meningkatkan  kemampuan  Pemerintah Daerah  dalam  mengelola  dananya dengan  penggunaan  sistem  anggaran dan  sistem  akuntansi  yang  efektif, transparan dan akuntabel sesuai dengan prinsip‐prinsip  Pemerintahan  Daerah yang baik. 

5. Peningkatan Kapasitas DPRD, Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Organisasi Kemasyarakatan. 

Rumpun  kegiatan  ini  dimaksudkan  agar DPRD  dapat  menjalankan  peran  dan fungsinya  secara  efektif  sehingga tercipta  cheks  and  balances  antara eksekutif  dan  legislatif.  Rumpun pengembangan dan peningkatan ini juga dimaksudkan  untuk  meningkatkan akuntabilitas  DPRD  kepada  masyarakat dan menciptakan  akses masyarakat  dan LSM  dalam  menyalurkan  aspirasinya kepada DPRD.  Termasuk  dalam  rumpun kegiatan  ini  adalah  kebutuhan‐

kebutuhan  pengembangan  dan peningkatan  kapasitas  masyarakat  dan LSM  untuk memahami  dan  ikut  terlibat dalam proses pemerintahan di Daerah. 

6. Pengembangan Sistem Perencanaan 

Rumpun  kegiatan  ini  pada  dasarnya dimaksudkan  untuk  menciptakan kerangka  aturan  terhadap  sistem perencanaan  yang  jelas  dan  konsisten, serta  untuk  meningkatkan  kemampuan Daerah  dalam  menggunakan  sistem perencanaan  tersebut  secara demokratis,  partisipatif,  transparan  dan akuntabel. 

7. Pembangunan Ekonomi Daerah 

Kegiatan  ini  ditujukan  untuk mengembangkan  kapasitas  Daerah untuk  merencanakan  penggunaan potensi  ekonomi  setempat  bersama pelaku‐pelaku  terkait  (stakeholder) dengan  lebih mengedepankan  ekonomi kerakyatan. 

8. Pengelolaan Masa Transisi. 

Kegiatan  ini  dimaksudkan  untuk meningkatkan  kapasitas  Instansi  Peme‐rintah  Pusat  dan  Tim  koordinasi  yang sudah  dibentuk  untuk  mengkoordinir dengan  baik  pelaksanaan  kebijakan Otonomi  Daerah,  dan  mengembangkan kapasitas  Asosiasi  Pemerintah  Daerah dan  DPRD  yang  baru  dibentuk,  serta peningkatan  kemampuan  Daerah  untuk mengelola  konflik  dalam penyelenggaraan otonomi daerah. 

 

 

 

 

Page 11: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

11

Peningkatan Kapasitas – antara Inisiatif dan Bantuan  

Berbagai  inisiatif  peningkatan  pelayanan kepada  masyarkat  pada  dasarnya  telah dikembangkan oleh berbagai daerah  sebagai sebuah  inisiatif  lokal  dan  sebagai  sebuah terobosan 2 .  Secara  umum  terobosan‐terobosan dalam pemberian pelayanan pada masyarakat  ini  pada  dasarnya  merupakan upaya  peningkatan  kapasitas  pemerintah daerah  dalam  menghadapi  dunia  yang terdesentralisasi di Indonesia. 

 

Efisiensi  Penyelenggaraan  Pemerintahan  di Kabupaten  Jembara  dilakukan  dengan berbagai  keterbatasan  dana,  perlu  upaya untuk  tetap  meningkatkan  pelayanan  pada masyarakat  dengan  menekankan  pada efisiensi  dana,  orang  dan  alat.  Langkah‐langkah  yang  dilakukan    adalah Pengorganisasian,  melalui  rasionalisasi struktur pemerintahan. Pemanfaatan Sumber Daya  Manusia  (SDM)  sesuai  dengan Kompetensi.  Merelokasi  seluruh  Dinas, Kantor dan Bagian, dalam  satu  komplek dan bahkan  dalam  satu  atap.  Pemanfaatan  aset‐aset  Pemerintah  Daerah  secara  maksimal. Pola  pemeliharaan  sarana  dan  prasarana Pemerintah maupun  Publik melalui  kegiatan Rutin  bukan  Proyek.  Pola  pemeliharaan sarana  gedung  kantor  pola  berkelanjutan melalui  (Engenering Sistem). Pola pengadaan mobil  dinas  dengan  sistem  rent‐car. Perencanaan  Anggaran  berbasis  kinerja Penggunaan  Anggaran  Rutin  dan  Anggaran Pembangunan  menggunakan  harga  satuan dinamis,  standar  proyek,  standar  kegiatan dan  pengelolaan  barang.  Pola  pengadaan barang  dengan  pergudangan  (purchasing system).  Pendayagunaan  anggaran  dana 

2 Dokumen‐dokumen Best Practices daerah yang diangkat dari www.bkksi.or.id dan www.apeksi.or.id 

melalui pola deposito. Manajemen Anggaran Pengeluaran  uang  melalui  sistem  kasir induk/kas daerah mengacu . 

 

Pelayanan  Bidang  Kependudukan  di  Kota Balikpapan dilakukan dengan mengembangan pelayanan  bidang  kependudukan  yang merupakan  pelayanan  dasar  bagi  setiap warga  masyarakat  yang  wajib  dilaksanakan oleh  Pemerintah.  Dalam  praktek,  pelayanan kependudukan  lebih  berkonotasi  pada pemberian  identitas (Pelayanan KTP/KK) atau hal‐hal yang bersifat personal dari pada aspek yang  lebih  luas  seperti  untuk  kepentingan perencanaan  dan  penataan  pembangunan dan  bahan  pengambilan  keputusan.  Untuk menselaraskan dua hal tersebut diatas, perlu penataan  yang  bersifat  menyeluruh  (dalam suatu  kerangka  yang  utuh)  yang  disebut dengan  Manajamen  Kependudukan. Manajemen  kependudukan  Kota  Balikpapan sendiri  digagas  sejak  tahun  2001,  dan disempurnakan  dalam  bentuk  Perda  pada tahun  2002  setelah  dilakukan  sosialisasi  dan diseminasi kepada masyarakat. 

 

Perijinan  Satu  Pintu  di  Kabupaten  Sragen ditujukan  untuk  pemberian  pelayanan  pada masyarakat  melalui  pengembangkan  sistem pelayanan  prima  melalui  sistem  pelayanan satu  pintu  dengan menjunjung  tinggi  faktor transparansi,  penyederhanaan  birokrasi,  dan penyederhanaan regulasi. 

 

Inovasi  Pendidikan  dan  Kesehatan  (dan Program  Jamsosda)  di  Kabupaten  Jembrana sebagai  sebuah  kabupaten  yang  kecil  dan miskin dengan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang  kecil  pula,  tantangan  ini  bukan  berarti hambatan.  Bagaimana membangun  birokrasi yang  berwawasan  entrepreneur? 

Page 12: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

12

Dikembangkan  inovasi  di  bidang  oragnisasi pemerintahan,  peningkatan  pelayanan pendidikan,  peningkatan  pelayanan kesehatan,  dan  pengembangan  sistem pelayanan terpadu 

 

Program  Gianyar  Sejahtera  di  Kabupaten Gianyar  dilakukan  untuk  mengatasi  tingkat kemiskinan  yang  tinggi,  Bupati mengembangkan  sebuah  unit  kerja koordinasi  antara  Kantor  DepSos,  Kantor Pertanahan,  Bag.  Ekonomi,  Kantor  Depag, Kantor Indag, Kantor Koperasi, BPD dan Bank Werhi Sedana, yang  tujuan utamanya adalah untuk  mengkoordinasikan  program‐program pengentasan  kemiskinan  dari  Pusat  yang didesentralisasikan  ke  Kabupaten,  maupun program‐program pengentasan kemiskinan di tingkat lokal. 

 

Irigasi Partisipatif di Kabupaten Deli  Serdang dikembangkan  atas  dua  sungai  besar  di Deli Serdang  yaitu  Sungai  Ular  dan  Sungai  Kuala Namu yang mempunyai masalah utama pada tingginya  tingkat  sedimentasi  yang  telah menyebabkan  pendangkalan  dan penyempitan sungai serta tertutupnya  intake ke  saluran  irigasi.  Kurangnya  dana  untuk pengelolaan  saluran  irigasi  telah menyebabkan  saluran  irigasi  ke  persawahan penduduk  semakin  terganggu,  terutama karena tidak tercukupinya kebutuhan air bagi +  5.920  ha  areal  persawahan  pada  musim kemarau.    Perlunya  dilakukan  terobosan pemecahan  masalah  dengan  strategi pembiayaan  yang  minimal  namun memberikan efek eksteralitas yang luas. 

 

Di Kabupaten Musi Banyuasin dari SD Sampai SMA Negeri Maupun Swasta Serba Gratis dan Tetap  Bermutu  sebagai  sebuah  potret 

keinginan kuat Pemkab MUBA meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di masa depan, ditampilkan lewat sekolah gratis di negeri dan swasta.   

 

Program  Padat  Karya  Pangan  (PKP)  di Kabupaten  Purbalingga  dikembangkan  atas dasar  permasalahan  yang  dihadapi  oleh Pemerintah  Kabupaten  Purbalingga  sebelum dilaksanakannya Program Padat Karya Pangan ini adalah rendahnya harga gabah di kalangan petani  dan  menumpuknya  pasokan  (over supply)  beras  produksi  lokal  di  lumbung Pemda.  

 

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat di  Kabupaten  Purbalingga    melalui  filosofi pembangunan  bidang  kesehatan  pada hakekatnya  diarahkan  untuk  meningkatkan derajat  kesehatan  masyarakat  agar  kualitas sumber  daya manusia  sebagai modal  utama pembangunan semakin kuat. 

 

Badan  Keswadayaan  Masyarakat  Sebagai Implementasi  Program  P2KP  di  Kabupaten Kendal  dilakukan  melalui  pelaksanaan pembangunan  di  Kabupaten  Kendal  tidak terlepas dari pembangunan  regional Propinsi Jawa  Tengah  dan  pembangunan  nasional. Keterkaitan tersebut memang perlu dilakukan dalam  rangka  meningkatkan  taraf  hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat yang makin adil dan merata serta meletakkan landasan  yang  semakin mantap  untuk  tahap pembangunan berikutnya. 

 

Pelayanan Satu Pintu di Kabupaten Jembrana  dikembangkan mengingat  kondisi pemberian pelayanan  pada  masyarakat  dan  kalangan investor  di  Kabupaten  Jembrana  sebelum 

Page 13: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

13

tahun 2003 dirasakan cukup memprihatinkan. Sistem  pelayanan  yang  diberikan membutuhkan  waktu  yang  relatif  lama  dan tidak  luput  dari  praktek  pungutan  liar, sehingga  menimbulkan  kesan  terjadinya diskriminasi pelayanan.  

 

Pelayanan Satu Pintu Plus di Kabupaten Solok  pada  dasarnya  adalah  pengelolaan pemerintahan daerah yang berdayaguna dan berhasilguna  ditentukan  oleh  sejauh  mana Pemerintah  Daerah  tersebut  mampu memberikan  pelayanan  yang  terbaik  dan optimal kepada seluruh lapisan masyarakat. 

 

Peningkatan  Mutu  Pendidikan  Melalui Pembagian  DOS  Yang  Adil  di  Kota  Batu dikembangkan  untuk  menunjang  dan memperkuat  citra  Kota  Batu  sebagai  Kota Wisata,  Pemerintah  Kota  Batu  memberikan perhatian  penuh  pada  pendidikan  yang merupakan  program  pemerintah  dalam mencerdaskan  bangsa  yang  dikenal  dengan program  wajib  belajar  9  tahun.  Dalam upayanya  tersebut,  Pemerintah  Kota  Batu telah banyak melakukan studi banding untuk mencari  program  pendidikan  yang  lebih inovatif.  Untuk  mewujudkan  hal  tersebut, Pemerintah Kota Batu berusaha lebih intensif dalam  menyukseskan  wajib  belajar pendidikan dasar 9  tahun dan meningkatkan kualitas  pendidikan  melalui  Manajemen Berbasis  Sekolah  (MBS)  dan  Pembelajaran 

Aktif,  Kreatif,  Efektif,  dan  Menyenangkan (PAKEM).  

 

Warung  Semawis  Kota  Semarang dilatarbelakangi  oleh  pertimbangan  salah satu  suku  bangsa  yang  turut mewarnai  dan meninggalkan jejak dalam sejarah dan budaya khas  Semarang  dalah  orang‐orang  Tionghoa. Semarang  juga  merupakan  lokasi  masuknya orang‐orang  Tionghoa  ke  Jawa  Tengah. Menurut  sejarah,  kedatangan  mereka bermula  dari  pemberontakan  orang‐orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Dalam peristiwa  itu,  banyak  orang  Tionghoa  yang melarikan  diri meninggalkan  Batavia melalui darat  sepanjang  utara  ke  arah  timur. Sesampai di Semarang, mereka menghimpun orang‐orang  Tionghoa.  Perlawanan  terhadap penguasa  Belanda  ini  terus  berlanjut  hingga tahun 1743,  tetapi akhirnya Belanda berhasil menumpas  pemberontakan  itu.  Kemudian, penguasa  Belanda  memaksa  orang‐orang Tionghoa  pindah  dari  daerah  Simongan  dan masuk  ke  Semarang  agar  dapat dikonsentrasikan  di  daerah  sekitar  Kali Semarang sehingga mudah diawasi. Di sekitar Kali  Semarang  inilah  awal  munculnya permukiman  penduduk  Tionghoa  yang kemudian  dikenal  masyarakat  Semarang sebagai daerah pecinan.  

 

Pusat  Penanganan  Pengaduan  Pelayanan Publik (P5) Kota Semarang dikembngkan atas dasar pertimbangan bahwa di Kota Semarang dan  juga  kota‐kota  lainnya  di  Indonesia, pelaksanaan  otonomi  daerah  pada  tahun 1999  telah  menimbulkan  konsekuensi pelimpahan  wewenang  kepada  pemerintah daerah  dalam  mengelola  potensi  sumber daya,  administrasi  pemerintahan  dan pelayanan  publik.  Berkaitan  dengan pelayanan  publik,  pelimpahan  wewenang 

Page 14: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

14

juga  harus  diimbangi  dengan  mekanisme kontrol  dan  pengawasan  yang  Baik. Mekanisme kontrol terutama dapat dilakukan oleh  masyarakat.  Untuk  mendukung mekanisme  kontrol  dan  pengawasan dibutuhkan  lembaga  pendukung  yang  dapat menampung  dan  Menindaklanjuti  aspirasi, informasi  dan  pengaduan  dari  masyarakat mengenai  pelayanan  publik  yang  tengah berjalan.  Untuk  itu,  guna  optimalisasi pelayanan publik, Pemerintah Kota Semarang berupaya  untuk  melakukan  inovasi  melalui pembentukan  Pusat  Penanganan  Pengaduan Pelayanan Publik (P5).  

 

Model  Pembangunan  Partisipatif  Kota Ternate  dilatarbelakangi  oleh  pertimbangan bahwa  sejak  dulu  kala  bangsa  Indonesia dikenal sebagai bangsa yang suka bergotong‐royong.  Nilai‐nilai  luhur  tersebut  telah  lama terinternalisasi  dalam  sendi‐sendi  kehidupan sejak  jaman  nenek  moyang.  Sayangnya, budaya  yang  telah  mengakar  ini  tidak dipelihara dan dihidupkan kembali. Lebih dari tiga  dekade  bangsa  ini  dikelola  secara  top down.  Segala  sesuatunya  datang  dari  atas. Kebutuhan  masyarakat  yang  sangat mendesak  akan  sarana  jembatan  darat  dan rumah  ibadah  di  Kelurahan  Moti  Kota  dan Jembatan  laut  di  Kelurahan  Tadenas kecamatan Moti  untuk menunjang mobilitas sosial,  ekonomi  dan  pendidikan  untuk meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat setempat.  Tersedianya  material  lokal  cukup banyak  dan  dapat  diperoleh  dengan mudah dan  tanpa  biaya  seperti:  batu,  pasir,  kerikil, dan  papan. Adanya  kemauan  yang  kuat  dari masyarakat  setempat  untuk  membangun sarana  dimaksud,  karena  telah  menjadi kebutuhan yang sangat penting.  

 

Budidaya Aloe Vera di Lahan Gambut di Kota Pontianak  berkembang  dengan dilatarbelakangi  oleh  pertimbangan  bahwa tanaman  Lidah  Buaya  yang  memiliki  nama latin  Aloe  vera  merupakan  salah  satu komoditas  unggulan  nasional  untuk dikembangkan  secara  komersial.  Menurut data  BPPT,  tanaman  Lidah  Buaya  yang dikembangkan  di  Kota  Pontianak  adalah produk  terbaik  di  dunia.  Kalimantan  Barat khususnya kota Pontianak merupakan daerah penghasil  utama  Lidah  Buaya  yang  ditanam dilahan  gambut.  Dengan  agroklimat  dan tanah  gambut  yang  sangat  cocok  bagi pertumbuhan  Lidah  Buaya  menjadikan daerah  Kalimantan  Barat  Pontianak mempunyai  potensi  untuk  dikembangkan sebagai “Sentra Lidah Buaya“ di Indonesia.  

 

Pelaksanaan e‐Procurement di Kota Surabaya dikembangkan  dengan  pertimbangan  bahwa era  reformasi menuntut adanya  transparansi atau  keterbukaan  dalam  sistem pemerintahan agar upaya mewujudkan Good Governance  dapat  tercapai.  Tuntutan masyarakat  tersebut  terhadap  pelayanan publik  yang  lebih  baik  oleh  pemerintah daerah membuat  Pemerintah  Kota  Surabaya melakukan  business  reengineering  pada pelaksanaan  barang/jasa  yang  merupakan salah  satu  kunci dari  efektifitas dan  efisiensi dalam  pengelolaan  APBD.  Kemajuan teknologi  di  semua  sektor  menuntut pemanfaatan teknologi yang berbasis internet.  

 

Pelebaran  Jalan  Untuk Masa  Depan  di  Kota Metro  yang  memiliki  posisi  yang  cukup strategis  sebagai  pusat  perdagangan, pendidikan, transportasi dan berbagai fasilitas kota  lainnya.  Kota  Metro  dibentuk  sebagai Daerah Otonom berdasarkan Undang‐Undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan 

Page 15: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

15

Kabupaten Dati II Way Kanan, Kabupaten Dati II  Lampung  Timur  dan  Kotamadya  Dati  II Metro yang diresmikan pada tanggal 27 April 1999  di  Jakarta.  Dengan  pesatnya pertumbuhan  penduduk  di  Kota Metro  dan memiliki  posisi  yang  sangat  strategis  maka, Kota  Metro  membutuhkan  pembangunan sarana dan prasarana.  

 

Pembangunan  Kembali  Kawasan  Benteng Kuto  Besak  di  Kota  Palembang dilatarbelakangi  oleh  pertimbangan  bahwa beberapa  kota  di  Indonesia memiliki  sebuah kawasan  bersejarah  yang  memiliki  nilai historis  tinggi salah satunya, kota Palembang dengan  berbagai  peninggalan  kuno  warisan bangsa  Eropa.  Kawasan  Benteng  Kuto  Besak sebenarnya  merupakan  aset  berharga  bagi Kota Palembang. Namun Kawasan bersejarah (Benteng  Kuto  Besak)  belum  dikelola  secara maksimal,  padahal  Kawasan  tersebut mempunyai  potensi  wisata  yang  bisa mendatangkan  pemasukan  bagi  Kota Palembang.  

 

Iwak Tempalo, Predator Jentik Nyamuk Aides Aegypti, di Palembang sebagai kota tepian air. Iwak  Tempalo  atau  dalam  bahasa  Indonesia disebut sebagai ikan cupang adalah ikan yang mudah  ditemui.  Iwak  Tempalo  berkembang biak  dengan  cara  bertelur.  Belakangan diketahui  bahwa  Iwak  Tempalo  bermanfaat memberantas  jentik  nyamuk  demam berdarah.  

 

Pelayanan  Satu  Atap  Kota  Kendari dikembangan mengingat banyaknya tuntutan dan  aspirasi  masyarakat  yang  menghendaki adanya  manajemen  yang  baik  sejak bergulirnya  reformasi, membuat  Pemerintah Kota  Kendari  bertekad  untuk  meningkatkan kinerja  aparaturnya,  sehingga  mampu memberikan  pelayanan  yang  baik  kepada masyarakat.  

 

Program Pembangunan Kota Kendari Berbasis Pendekatan  Perencanaan  Partisipatif  yang pada  mulanya  perencanaan  pembangunan Kota Kendari selalu diinisiasi dari pemerintah kota tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga  realisasi  pembangunan  yang  sudah dicanangkan  oleh  pemerintah  kota  tidak sesuai  dengan  kebutuhan  masyarakat. Akibatnya  banyak  sarana  dan  fasilitas  untuk kepentingan  umum  yang  sudah  dibangun tidak  dapat  digunakan  secara  maksimal. Selama  ini  Pemerintah Daerah  Kendari  lebih mengutamakan  pembangunan  yang  hanya dilakukan untuk tujuan meredam isu‐isu yang berkembang di masyarakat.  

 

Sekber  Kartamantul,  Inovasi  Manajemen Pemerintahan  Daerah  Kota  Yogyakarta dikembangkan  dengan  pertimbangan  bahwa era desentralisasi memberi kewenangan yang lebih  luas kepada masing‐masing pemerintah 

Page 16: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

16

daerah  (kota/kabupaten)  untuk menjalankan fungsi  penyelenggaraan  pelayanan  publik. Sayangnya,  perkembangan  terakhir menunjukkan  indikasi  munculnya pemerintahan  yang  cenderung  berorientasi pada wilayah sendiri daripada berorientasi ke wilayah  yang  lebih  luas.  Setiap kota/kabupaten  mengembangkan pembangunan  masing‐masing  secara  tidak terintegrasi  dengan  kota/kabupaten  di sekitarnya.  

 

Pengelolaan Lampu Penerangan  Jalan Umum (PJU) di Kota Yogyakarta dilaksanakan dengan mempertimbangkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta  melakukan  penataan  dan pengelolaan Lampu Penerangan Jalan Umum. Hal  itu dimaksudkan agar seluruh Yogyakarta sebagai wisata di malam hari  tampak  terang benderang.  Selain  itu  yang  dilakukan pemerintah  merupakan  bentuk  pelayanan dan  perhatian  Pemerintah  Kota  terhadap warganya agar penerangan disetiap ruas jalan di  kota  tersebut  terpenuhi.  Sehingga  kota yang terang dimalam hari dapat memberikan keindahan  dan  kenyamanan  tersendiri sebagai daya tarik kota pariwisata.  

 

Penerapan  Anggaran  Berbasis  Kinerja  Kota Samarinda  dikembangkan  mengingat  Kota Samarinda adalah  salah  satu kota yang  telah menerapkan  anggaran  berbasis  kinerja  sejak tahun  2003.  Setelah  melakukan  uji  coba selama  satu  tahun,  pada  tahun  2004 Pemerintah  Kota  Samarinda  menerapkan anggaran  kinerja  di  setiap  unit  pengguna anggaran  (menyeluruh).  Selama  tahun anggaran  (2003),  terjadi  penghematan sebesar  Rp  13  miliar  yang  berasal  dari pencegahan anggaran yang overlapping. Pada tahun  sebelumnya,  tahun  2002,  terjadi penghematan Rp 600 juta.  

 

Transparansi Pengendalian Bangunan Melalui Sistem  Komputerisasi  di  Kota  Denpasar dikembangkan  mengingat  Kota  Denpasar memanfaatkan  teknologi  informasi  secara optimal  untuk  meningkatkan  partisipasi masyarakat,  transparansi,  dan  demokratisasi dalam pengendalian bangunan.  

 

Block  Grant  Pembangunan  Kecamatan  Kota Blitar  dikembangkan  mengingat  Pemerintah Kota  Blitar  ingin  meningkatkan  partisipasi masyarakat  dalam  membangun  kotanya, yaitu  dengan  cara  mengikutsertakan masyarakat  mulai  dari  proses  perencanaan hingga pelaksanaan. melalui program  ini pula pemerintah  berharap  dapat  meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap sarana dan prasarana umum yang ada. Diluar semua itu  yang  perlu menjadi  catatan  penting  juga adalah  pemerintah  Kota  Blitar  telah  berhasil menyusun  program  yang  baik  ini  bagi warganya walau mereka bukanlah  kota  yang memiliki  PAD  (15  milyar/2002)  dan  DAU (96,91  milyar/2002)  yang  besar  (DAU terendah kedua di Jawa Tengah).  

 

Program Terpadu Pembinaan UKM Kota Blitar dilatarbelakangi  bahwa  pada  tahun  2002 Pemda Blitar melaksanakan program terpadu pembinaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) antara  Dinas  Koperasi  dan  Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah  (Dinkop dan PPKM)  dan  Dinas  Perindustrian  dan Perdagangan  (Disperindag)  guna  mengatasi masalah  sulitnya  akses  pengusaha  kecil  dan menengah  terhadap  penambahan  modal, manajemen  usaha  dan  pemasaran.  Tujuan umum dari program terpadu pembinaan UKM tersebut  adalah  membangun  industri  kecil dan  menengah  yang  kuat  dan  tangguh 

Page 17: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

17

sebagai  roda  penggerak  perekonomian  Kota Blitar.  

 

Dana Abadi Kota Tarakan dikembangkan sejak penerapan otonomi daerah (2001), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  (APDB) Kota Tarakan meningkat enam kali lebih besar dari masa  praotonomi  (yaitu  Rp  256 miliar  pada tahun 2001 dari sebelumnya hanya Rp 40‐an miliar  pada  tahun  2000).  Tetapi,  pada  saat yang  sama  Pemerintah  Kota  Tarakan  tidak memiliki  dana  cadangan  yang  akan  sangat diperlukan  bila  terjadi  krisis,  bencana  alam, dan  lain‐lain.  Kekhawatiran  ini dilatarbelakangi  juga oleh krisis ekonomi dan moneter  berkepanjangan  yang  melanda Indonesia sejak tahun 1998.  

  

Garda  Emas  Model  Program  Pengentasan Kemiskinan  Kota  Bogor  dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi tingginya laju pertumbuhan  penduduk miskin,  pemerintah Kota  Bogor  pada  20  Juni  1999 meluncurkan Program  Gerakan  Pemberdayaan  Ekonomi Masyarakat  (Garda  Emas)  sebagai  upaya pemberdayaan  dan  peningkatan  kualitas hidup  masyarakat  secara  holistik,  terpadu, dan  melibatkan  seluruh  stakeholder  kota. Program  ini  melibatkan  9  dinas  pemda, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga keuangan mikro  (LKM)  lokal dan  stakeholder lokal  yang  terkait.  Pada  20  Juni  1999 Pemerintah  Kota  Bogor  meluncurkan program Garda Emas yang merupakan upaya pemberdayaan  dan  peningkatkan  kualitas hidup masyarakat.  

 

TDL  Lokal  di  Kota  Tarakan  dikembangkan mengingat  Pemerintah  Kota  Tarakan  yakin bahwa pada suatu waktu tertentu pasti akan terjadi  krisis  energi  listrik.  Oleh  karena  itu, 

Pemerintah  Kota  Tarakan  harus  segera mengantisipasinya  dengan  gagasan  inovatif dalam peningkatan pasokan listrik.  

 

Kesawan  Square  Kota Medan  dikembangkan melalui mekanisme dan pertimbangan bahwa Kawasan  Kesawan  yang  rawan  pada malam hari,  kini  menjadi  tujuan  wisata,  sejak berdirinya  Pusat  Jajanan  Malam  "Kesawan Square".  Inisiatif  ini bermula dari Pemerintah Kota  Medan  bekerja  sama  dengan  mitra swasta untuk mengembangkan kawasan cikal bakal  Kota  Medan  yang  kaya  dengan bangunan  tua  ini  sebagai  pusat  jajanan  dan tempat promosi pariwisata (heritage).  

 

 

Komunitas  Donor  di  Indonesia  untuk Peningkatan Kapasitas 

Perhatian  berbagai  lembaga  dari  komunitas donor  di  Indonesia  pada  membantu Pemerintah  Indonesia  dalam  meningkatkan kapasitas  daerahnya  adalah  cukup mengagetkan.  Center  for  Local  Government Innovation  (CLGI)  dan  Urban  and  Regional Development  Institute  (URDI) 3  pernah melakukan  proses  mapping  upaya peningkatap  kapasitas Pemerintah Daerah di Tahun  2003  dengan  hasil  utama  adalah sebagai  berikut  bahwa  terdapat  23  lembaga donor  asing  yang  terlibat  dan  memberikan bantuan dalam bidang‐bidang; 

 

 

 

 

  3 CLGI‐URDI,Initiatives for Strengthening Local Government Capacity, 2004 

Page 18: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

18

a. Peran dan Fungsi DPRD 

1%  f. Pengembangan organisasi pemerintah daerah 

18% 

b. Pelayanan Publik di tingkat Provinsi 

25% 

g. ManagemenSDM 

2%

c. Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota 

10% 

h. Kerjasama Antar Daerah 

2%

d. Keuangan Publik Daerah 

2%  i. Lain‐lain  16% 

e. Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kebijakan Employment Promotion 

24% 

Duapuluhtiga  lembaga donor yang bekerja di 9  sektor peningkatan kapasitas bekerja di 30 provinsi  dan  di  tingkat  Pusat,  bekerja  untuk sebanyak 381 proyek dari tahun 2000 hingga 2003.  Saat  ini  tidak  kurang  dari  57  program dan/atau proyek berjalan di  Indonesia dari 8 lembaga  donor  yang  berkaitan  erat  dengan upaya peningkatan kapasitas di Indonesia. 

Perhatian  negara‐negara  donor,  baik  secara bilateral  maupun  multirateral,  terhadap pembangunan  di  Indonesia  dan  khusunya peningkatan  kapasitas  pemerintahan  daerah di  Indonesia  saat  ini  dapat  diidentifikasi diberikan  dalam  dua  bentuk  bantuan,  yaitu dalam bentuk pinjaman luar negeri dan dalam bentuk  hibah.  Untuk  mengatur  bantuan‐bantuan  negara‐negara  donor  tersebut, Pemerintah  telah  mengeluarkan  Peraturan Pemerintah  Nomor  2  Tahun  2006  tentang Tata  Cara  Pengadaan  Pinjaman  dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri. 

Bappenas  memiliki  Blue  Book:  Project  and Technical Assistance 2006‐2009 yang merinci berbagai proyek dari berbagai lembaga donor di  Indonesia.  Tercatat  ada  29  proyek  dari berbagai komunitas donor, baik yang bersifat multirateral  maupun  bilateral,  dalam dokumen  tersebut yang memiliki keterkaitan dengan  upaya  peningkatan  kapasitas pemerintahan  daerah.  Daftar  proyek  yang dikeluarkan  Bappenas  melalui  Blue  Book tersebut  nampaknya  tidak  mencatat  secara menyeluruh  proyek‐proyek  bantuan  asing pada  Indonesia  berkaitan  dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah.  

Pada  dasarnya  keberhasilan  desentralisasi  di Indonesia  terletak  pada  keinginan  dari pemerintah  Indonesia  dan  setiap stakeholdernya,  peran  lembaga‐lembaga donor  (donor  community)  hanya  dapat mengantarkan,  mambantu  atau  menjadi katalisator  dalam  pembentukan  konsep  dan pelaksanaan  desentralisasi  yang  terbaik sesuai  dengan  konsep  dan  kondisi  di Indonesia.  Berbagai  kelompok  donor  yang memiliki  konsern  terhadap  pelaksanaan desentralisasi  di  Indonesia  dan  bergabung dalam  donor  Working  Group  on Decentralization  difasilitasi  oleh  DRSP  yang dibiayai  oleh USAID,  pada  Tahun  2006  telah mengeluarkan  sebuah  dokumen  yang berjudul Decentralization  2006,  Stock  Taking on  Indonesia’s  Recent  Decentralization Reforms 4  yang  mengeluarkan  serangkaian temuan dalam berbagai sub‐fokus dari bidang desentralisasi  dan memberikan  rekomendasi bagi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. 

Urusan  peningkatan  kapasitas  dalam  rangka desentralisasi  di  Indoensia  bagi  komunitas donor  sebenarnya  telah  dilakukan  sejak  4 DRSP‐USAID, Decentralization 2006, Stock Taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms, Main Report, Prepared by USAID Democratic Reform Support Program (DRSP) for the Donor Working Group on Decentralization Funding provided by Decentralization Support Facility (DSF) ‐ USAID ‐ AusAID, August 2006 

Page 19: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

19

sebelum  otonomi  daerah  diundangkan, namun  focus  terhadap masalah  ini  semakin lebih  besar  lagi  sejak  Pemerintah  Indonesia mengundangkan UU  22  Tahun  1999  tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang  Perimbangan  Keuangan  Pusat  dan Daerah, karena ini disetujui oleh semua pihak, merupakan  batu  pijakan  (corner  stone)  dari pembangunan  desentralisasi  di  Indonesia. Secara  sederhana,  komunitas  donor  hanya menawarkan  bantuan  bagi  pemerintah Indonesia  dengan  membawa  berbagai praktek‐praktek  yang  baik  dari  berbagai konteks  internasional  yang  relefan  dengan konteks Indonesia. 

Konsentrasi  lembaga‐lembaga  komunitas donor  dalam  lapangan  desentralisasi  di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 lebih menekankan pada pengembangan kebijakan, kemudian  pada  tahap  lanjutannya konsentrasi  mulai  merambah  pada  sektor keuangan.  Perubahan  ini  terjadi  dengan sendirinya,  teutama  berkaitan  dengan pengembangan  pemerintahan  yang  efektif dan  efisien  serta  upaya  membangun keterbukaan dalam sistem penganggaran dan partisipasi public.  

For  a  time  (2003‐  mid  20055)  MoHA  became reluctant  to  draw  on  donor  support  for  policy making, though MoF and Bappenas continued to invite assistance on selected reform efforts. The closed  nature  of  the  drafting  process  for  Law 32/2004  on  Regional  Government  and  Law 33/2004  on  Fiscal  Balance  reflected  the government’s mood at that time. More recently, donors  support  to MoHA  has  been  increasing, and  this  agency  is  showing  a  more  open approach  to  non‐government  organizations. Bappenas  and  MoF  continue  to  have  steady levels of support. 

The  focus of national policy  support  in  the  last two  years  has  shifted  somewhat  from political/administrative  to  financial management  issues.  This  includes a new  stress 

5 Ibid, 43‐44  

on  improving  national  level  processes  and structures  (e.g.  PRSP,  mid‐term  national planning,  budget  processes,  special  service agencies),  with  the  expectations  that  similar changes  would  be  made  to  regional  levels  or that the more efficient national  level actors will have  a  variety  of  knock  on  effects  on  regional development/governance.  A  renewed  effort  to involve  donors  in  the  preparation  of  follow‐up regulations  to  Law  32/2004  is  also  afoot  in MoHA.  An  effort  is  being  made  to  find convergence  of  the  various  legislative  streams (e.g.  Law  25/2004  and  Law  33/2004)  as  these government regulations are being produced. 

Perhatian berbagai  lembaga Donor  terhadap peningkatan  kapasitas  pemerintah  daerah  di Indonesia  benar‐benar  telah  membantu semua pemerintah daerah penerima bantuan untuk  bersedia  dan  berkomitmen  untuk melakukan perubahan. 

By  consolidating  democratic  reforms,  USAID builds  effective  and  accountable  governance, enhances  Indonesian  capacity  to  mitigate conflict  and  promotes  pluralism  and  diversity. USAID  initiatives  enhance  the  capacities  of  57 local  governments,  together  with  civil  society and  the  media,  in  the  areas  of  integrated planning  and  budgeting,  local  government management,  citizen‐focused  service  delivery, resource  management  and  mobilization  and participatory  governance.  USAID  supports peace‐building  in  conflict‐affected  areas, promotes  judicial  reform,  supports  electoral processes, encourages community dialogue and religious  tolerance,  strengthens  the  capacity  of the  national  parliament,  advances  national democratic  reforms, supports sustainable peace in Aceh and helps Indonesia reduce trafficking of women and children6. 

Perhatian  dari  pemerintah  Australia  untuk pengembangan  kapasitas  Pemerintah  (dan Pemerintah  Daerah)  di  Indonesia  juga  telah diberikan  dalam  berbagai  bidang,  dengan focus  utama  adalah  pada  pengentasan kemiskinan,  peningkatan  pelayanan,  dan kontra terorisme. 

6 http://www.usaid.gov/locations/asia/countries/indonesia/ 

Page 20: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

20

Good  governance  is  a  fundamental  building block  for  development.  Strengthening governance  will  help  Indonesia  achieve  the growth  it  needs  to  address  unemployment, reduce poverty and promote national prosperity, and  such  activities  are  a  priority  for  AusAID. Australia is working with economic planning and financial  institutions  to  support  the  Indonesian Government's  objectives  of  fiscal  sustainability, a stronger financial sector and economic growth by  providing  technical  assistance,  building capacity  and  developing  government‐to‐government partnerships. Programs focus on tax administration,  debt  management,  financial sector  regulation  and  supervision,  and international trade policy. 

In  the  legal  reform  sector, Australia  is assisting Indonesian  Government  agencies,  legal  and judicial  institutions and  legal and human rights‐focused  organisations  in  four  key  areas:  anti‐corruption,  access  to  justice,  trans‐national crime  and  human  rights.  Australia  is  also supporting  the  Indonesian Government's  public sector  reform  agenda,  as  well  as  the  work  of Indonesian civil society organisations to promote community  development  and  contribute  to  a vibrant civil society in Indonesia7. 

 

UNDP  lebih memfokuskan  pada  bantuannya kepada  Indonesia  dalam  kerangka  pencaian MDG.  Bantuannya  untuk  pengingkatan kapasitas  pemerintahan  ditekankan  pada masalah PILKADA dan penguatan DPR/DPRD, pada  reformasi  pemerintahan  daerah,  dan perbaikan sistem hukum. 

The  United  Nations  Development  Programme (UNDP)  works  to  support  democratic development and  the promotion and protection of  the  rule  of  law  in  Indonesia.  Democratic governance  provides  the  necessary  enabling environment  to  reduce  inequalities,  alleviate poverty  and  achieve  the  Millennium Development Goals (MDGs). The UNDP works to promote democratic governance  in  Indonesia  in three  thematic  areas:  (1)  promoting  the ‘deepening of democracy’ through electoral and parliamentary  support,  (2)  supporting 

7 http://www.indo.ausaid.gov.au/sectors/governance.html 

decentralization  and  local  governance  reform, and  (3)  promote  rights‐based  legal  and  justice sector reform8. 

Dalam  kaitannya  dengan  peningkatan kapasitas pemerintahan, perhatian dari DFID lebih  ditekankan  perbaikan  sistem pemerintahan  yang  mengarah  pada pemerintahan  yang  transparan,  akuntabel, dan  mencerminkan  terbagunnya  partisipasi masyarakat  dalam  setiap  proses pemerintahan 

The  UK  is  providing  £4.7  million  to  the Partnership to Support Governance Reform. This will  support  improved  government  systems, which  are  transparent,  accountable  and  reflect wider  civil  society  participation  in  governance processes. We  are  also  providing  £2 million  to the Crisis Prevention and Recovery Unit  (CPRU), through  a  United  Nations  Development Programme  (UNDP)  trust  fund.  The  CPRU  aims to assist Government and civil society  to design crisis  sensitive  policies,  mechanisms  and programmes  to  reduce  the  vulnerability  of communities in key areas9. 

Fokus  bantuan  ADB  untuk  Indonesia  dalam kerangka  pemerintahan  dan  demokratisiasi adalah  pada  Tata  Kelola  dan  Upaya Pemberantasan  Korupsi 10 .  Semua  operasi ADB  akan  mencakup  aktivitas  memperkuat tata kelola pemerintah pusat maupun daerah dengan  meningkatkan  pengembangan kelembagaan  dan  memperkuat  kapasitas untuk  memperbaiki  manajemen  sektor pemerintah.  Pinjaman  non‐negara  (non‐sovereign)  untuk  BUMN  digunakan  untuk menangani  isu  tata  kelola  korporasi. Pinjaman‐pinjaman  program  ADBakan  terus memasukkan  komponen  tata  kelola  secara siginifkan.  Dukungan  ADB  juga  difokuskan pada  peningkatan  upaya  pemberantasan korupsi  dan  peningkatan  akuntabilitas  untuk memperbaiki  akuntabilitas  fiskal  dan 

8 http://www.undp.or.id/programme/governance/ 9 http://www.dfid.gov.uk/countries/asia/indonesia.asp 10 ADB, Strategi dan Program ADB untuk Indonesia, 2006‐2009

Page 21: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

21

administrasi  pemerintah  daerah  dan  tata kelola yang lebih baik. 

Kerjasama  teknis pemerintah  Jerman melalui GTZ  yang  sudah  banyak  memberikan dukungan  pada  upaya  pembangunan demokrasi  dan  desentralisasi  di  Indonesia mebih  dari  10  tahun  memiliki  konsentrali khusus  dalam  peningkatan  kapasitas pemerintahan  pada  bidang‐bidang  sebagai berikut11: 

(1) konsolidasi landasan hukum desentralisasi dan  sistem  administrasi  local,  serta kegiatan‐kegiatan sektoral lainnya; 

(2) penguatan  kinerja  lembaga‐lembaga pemegang kekuasaan lokal;  

(3) peningkatan  kapasitas  perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten; 

(4) managemen  keuangan,  perencanaan penganggaran,  dan  pengelolaan anggaran; 

(5) standar  pelayanan  dan  penyediaan pelayanan pada sektor‐sektor tertentu; 

(6) managemen personalia yang profesional; (7) pengembangan  organisasi  berbasis 

penugasan; (8) kerjasama  antar  komunitas  dan 

pengembangan asosiasi‐asosiasi tertentu; (9) pengembangan  partisipasi  dan  kontrol 

administrasi  oleh masyarakat  dan  DPRD; dan 

(10) pengembangan  proses  supervisi  bagi pemerintah lokal. 

CIDA  memiliki  beberapa  wilayah  yang menjadi  konsentrasi  mereka,  yaitu  wilayah Sulawesi  dan  wilayah  Aceh  dan  Sumatera Utara.  Di  Sulawesi  penekanan  dalam  hal peningkatan  kapasitas  pemerintahan ditekankan  pada  aspek  pelayanan  publik. Sedangkan  di  Aceh  dan  Sumatera  Utara penekanannya  lebih  pada  hal  yang  sama, yaitu  pelayanan  publik  dengan  lebih 

11 http://www.gtz.de/en/weltweit/asien‐pazifik/1485.htm 

menggerakan  organisasi‐organisasi masyarakat  untuk  lebih  berpartisipasi  dalam pembangunan  dan  pelaksanaan pemerintahan. 

The  principal  emphasis  will  be  support  for decentralization.  Initiatives  will  be  undertaken with government institutions at the national and local levels and will focus on fiscal management, consultative  processes,  and  the  provision  of social services. 

CIDA  will  be  working  with  national  and  local partners  in  a  program  similar  to  the  one  in Sulawesi.  In  Aceh,  where  up  to  80  percent  of local government personnel have lost their lives, the emphasis will be on replacing, retraining and strengthening the capacity of national and  local partners  to  deliver  pro‐poor  public  services. Support  will  also  be  provided  to  CSOs  that contribute to and support the implementation of decentralization,  building  capacity  for  greater public  participation  and  influence  in  decision‐making at  the  local  level. This enhanced ability to dialogue with governments will be especially important  in  the  reconstruction  period.  In addition, CIDA will work at the community  level to support peacebuilding initiatives12. 

Sida  (Swedish  International  Development Agency) 13  menyediakan  bantuan‐bantuan yang menngarah pada  reformasi perpajakan. Namun  kebanyakan  bantuan  Sida  diarahkan pada  penyediaan  tenaga‐tenaga  ahli  dan dana yang disalurkan melalui UNDP melalaui Partnership  for  Governance  Reform  in Indonesia pada lebih dari 200 proyek. 

Sida provides support for reforms at central and local  level  within  public  authorities  and  other institutions  within  the  programme  Partnership for  Governance.  This  comprises  two  elements: an  advisory  expert  group  and  a  fund which  is administered  by  UNDP.  To  date  the  fund  has supported  more  than  200  projects.  Since  the mid‐1990s Sida has contributed  to  the  research carried  out  by  the  Centre  for  Democracy  and 

12 http://www.acdi‐cida.gc.ca/CIDAWEB/acdicida.nsf/En/JUD‐4563512‐GS3 13 http://www.sida.se/sida/jsp/sida.jsp?d=584&a=34623&language=en_US

Page 22: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

22

Human  Rights  Studies  (Demos)  to  promote  the work of the democracy movement.  

Only  a  fraction  of  Indonesia's  population  pays tax. Several providers of development assistance are  taking part  in  the  tax  reform being  carried out  by  the  government, with  the  International Monetary  Fund  (IMF)  coordinating  the  efforts. Sida's  contribution  comprises  support  for  a collaboration between the Swedish National Tax Board and its Indonesian counterpart. 

 

Salah  satu  proyek  peningkata  kapasitas Pemerintah  Daerah  di  Indonesia  adalah sebuah proyek yang didanai melalui pinjaman Asian  Development  Bank  yang  dinamai Sustainable  Capasity  Building  for Decentralization Project (SCB‐DP) 

 

 

Proyek  SCB‐DP  (Sustainable  Capacity Building  for  Decentralization  Project) ADB Loan 1964‐ INO14 

 

Peningkatan  Kapasitas  untuk  Desentralisasi mengedepankan  pengembangan  Sistem, Institusi,  dan  Individu  dari  setiap  komponen pendukung Desentralisasi, serta dilaksanakan dengan  melibatkan  berbagai  tingkat administrasi  pemerintahan  yang  berbeda: Kabupaten/Kota,  Provinsi  dan  Pemerintah Pusat.  Kegiatan  ini  bersifat  demand  driven dengan  mengacu  pada  kebijakan  nasional, khususnya  UU  RI  Nomor  32  Tahun  2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU RI Nomor 33  Tahun  2004  tentang  Perimbangan Keuangan  antara  Pemerintah  Pusat  dan Pemerintah  Daerah,  maupun  Kerangka Nasional  Pengembangan  dan  Peningkatan Kapasitas. 

14 Juklak Proyek SCB‐DP 

Peningkatan  Kapasitas  Berkelanjutan  bagi Desentralisasi  (‘Sustainable Capacity Building for  Decentralization’),  selanjutnya  disebut sebagai  Proyek  SCBD,  adalah  suatu  program lintas‐sektoral  di  bidang  peningkatan kapasitas  kelembagaan  pemerintah  daerah. Proyek  tersebut  dirancang  untuk memenuhi beberapa prinsip utama sebagai berikut:  

‐  Mendukung pemerintah daerah untuk menyusun  Rencana  Tindak  Peningkatan Kapasitas  (Capacity  Building  Action  Plans, selanjutnya  disebut  sebagai  CB‐AP)  yang efektif. 

‐  Mendukung  pelaksanaan  rencana‐rencana sejenis melalui akses kepada pilihan‐pilihan pendanaan dan dukungan teknis yang sesuai. 

‐  Mendukung  pengembangan  suatu pasar yang kompetitif bagi para penyedia jasa dalam  memenuhi  kebutuhan  akan peningkatan  kapasitas  di  tingkat  pemerintah daerah.  

‐  Melaksanakan  Kerangka  Nasional Peningkatan  Kapasitas  serta  menyebar‐luaskan  kebijakan  pendukung  dan  strategi‐strategi sub‐sektor. 

Secara  spesifik,  fungsi‐fungsi  pendukung utama pemerintah daerah yang memerlukan peningkatan  kapasitas  dan  akan  mendapat dukungan  pendanaan  dari  Proyek  SCBD diarahkan  kepada  ’10  Fungsi  Pendukung Pemerintahan  Daerah  (didefinisikan  sebagai ‘fungsi  potongan  secara  menyeluruh  (cross‐cutting)’ yaitu:  

1. administrasi umum;  2. manajemen keuangan;  3. pemeriksaan;  4. penyusunan ketentuan hukum;  5. pengembangan organisasi;  6. manajemen sumber daya manusia;  7. informasi komunikasi;  

Page 23: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

23

8. perencanaan pembangunan;  9. pelaksanaan  proyek,  pemantauan  dan 

evaluasi; dan  10. pengadaan barang dan jasa. 

Pada intinya, proyek ini membantu sekitar 37 pemerintah  daerah  kota/kabupaten  dan  10 pemerintah provinsi di 10  (sepuluh) Provinsi. Bantuan  tersebut melalui  suatu  Penyusunan dan Pelaksanaan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas  (CB‐AP)  untuk  masing‐masing kota/kabupaten terkait.  

Investasi dalam proyek  SCBD diarahkan oleh kebutuhan  atau  didasarkan  pada  kebutuhan operasional  dari  pemerintah  daerah  untuk memenuhi  misinya  sebagai  lembaga pelayanan masyarakat. Namun dengan  tetap berpegang pada pedoman yang berlaku, baik yang  berasal  dari  Pemerintah  Republik Indonesia  maupun  dari  Bank  Pembangunan Asia  (ADB).  Pengembangan  atau  perbaikan kapasitas  kelembagaan  yang  dicapai  harus dicerminkan  pada  kinerja  kelembagaan  yang meningkat,  yakni  hasil  atau  manfaat  yang lebih baik.  

Rancangan  proyek  mencerminkan  suatu proses  pengembangan  rencana  tindak peningkatan  kapasitas  yang  inovatif,  yang secara  khusus  dirancang  untuk  memenuhi berbagai kebutuhan pemerintah daerah yang masing‐masing  berbeda‐beda.  Rencana Tindak  Peningkatan  Kapasitas  (CB‐AP)  akan dipadukan  dalam  proses  perencanaan  dan penganggaran  yang  resmi  pada  pemerintah daerah  dan  dimasukkan  dalam  rencana pembangunan  jangka  menengah  daerah (RPJMD), dengan mengikutsertakan berbagai stakeholder  dan  Media  Massa  pada  tahap akhirnya.    

CB‐AP  memuat  contoh  ‘pengalaman‐pengalaman/praktek‐praktek  terbaik’  terkini tentang  peningkatan  kapasitas  kelembagaan termasuk  didalamnya  tentang  kesetaraan 

gender.  Oleh  karena  itu,  CB‐AP  tidak membatasi  hanya  pada  pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) atau ‘pelatihan’ saja.  CB‐AP juga menampilkan suatu program terpadu mulai  dari  dukungan  bagi  kerangka strategis,  lembaga  yang  berkemampuan, manajemen  yang  lebih  baik,  serta  piranti keras dan piranti lunaknya.  

Proyek  SCB‐DP  memberikan  perhatian terhadap  rentang  yang  luas  dari  kegiatan‐kegiatan  dan  investasi  terpadu  dalam peningkatan  kapasitas.  Sistem  koordinasi yang  efisien  untuk  mempertahankan  fokus program  tetap  diperlukan.  Telah  dibentuk suatu  Panitia  Pengarah,  Kantor  Manajemen Proyek  Tingkat  Pusat  atau  “Central  Project Management  Office”  (CPMO)  dan  akan dibentuk  Kantor  Koordinasi  Proyek  Tingkat Provinsi atau “Provincial Project Coordination Offices” (PPCO).  

Suatu  Badan  Pengkajian  dan  Penilaian Peningkatan  Kapasitas  Tingkat  Nasional (BP3K‐N)  dibentuk  untuk  menyediakan penilaian  yang  transparan  dan  obyektif terhadap usulan‐usulan investasi peningkatan kapasitas.  Badan  pengkajian  tersebut didukung  oleh  konsultan  SCB‐DP  untuk memberikan tinjauan dan pemantauan secara independen.  Badan  Pengkajian  Tingkat Provinsi  (BP3K‐P)  juga  dibentuk  untuk mendukung  pelaksanaan  CB‐AP  di  daerah‐daerah.  

Proyek membangun dan menampilkan sistem berbasis  jaringan  (web)  untuk  mendukung penyebarluasan  dukungan  informasi  serta fungsi‐fungsi  komunikasi.  Setiap  lembaga yang  terkait,  khususnya  Depdagri,  LAN, Pemerintah  Provinsi  dan  Pemerintah Kota/Kabupaten, menerima paket pendukung ICT  (teknologi  informasi  dan  komunikasi) untuk  memudahkan:  a)  komunikasi;  b) manajemen  program;  c)  manajemen database; serta d) akreditasi dan sertifikasi. 

Page 24: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

24

Walaupun  hingga  tulisan  ini  dibuat  Proyek SCB‐DP  masih  belum  selesai,  namun Pemerintah  RI  telah  melakukan  penilaian akan  manfaat  yang  telah  disumbangkan Proyek  ini.  Melalui  penerbitan  Peraturan Pemerintah  Nomor  38  Tahun  2007  tentang Pembagian  Urusan  Pemerintahan  Antara Pemerintah,  Pemerintahan  Daerah  Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota15, telah  diterbitkan  sebuah  aturan  bahwa Pemerintah  Provinsi.  Kabupaten  dan  Kota, harus  menetapkan  Rencana  Tindak Peningkatan  Kapasitas  dan  melaksanakan Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas.  

Bila mengacu  pada  konteks  Proyek  SCB‐DP, Rencana  Tindak  Peningkatan  Kapasitas  yang termuat  dalam  Peraturan  Pemerintah tersebut  dapat  disamakan  dengan  Capacity Building Action Plan atau CB‐AP. Karena pada dasarnya  di  negara  Indonesia,  sebelum proyek  SCB‐DP  diperkenalkan,  konsepsi Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas belum pernah diperkenalkan.  

Umumnya dan atau sebelumnya, kebanyakan Pemerintah  Daerah  di  Indonesia merencanakan  program‐program  atau kegiatan‐kegiatan  peningkatan  kapasitasnya dalam bentuk yang sangat parsial. Umumnya kegiatan‐kegiatan  tersebut  diletakkan  pada dan  berdasarkan  kebutuhan  Satuan  Kerja Perangkat Daerah masing‐masing. 

Umumnya  perencanaan  dalam pengembangan  pendidikan  dan  pelatihan bagi  aparat  Pemerintah  Daerah dikembangkan  berdasarkan  ketersediaan kurikulum  yang  tersedia  dan  sudah diperkenalkan  oleh  lembaga‐lembaga pendidikan  pelatihan  di  pusat.  Rencana Tindak  Peningkatkan  Kapasitas  akan memperkenalkan  Pemerintah  Daerah  pada 

15 Dapat dilihat lampiran T. tentang Otda 

pendidikan pelatihan berdasarkan kebutuhan masing‐masing Pemerintah Daerah itu sendiri.  

Pemerintah Daerah dapat saja menggunakan materi  pendidikan  pelatihan  yang  sudah tersedia  atau  sudah  diperkenalkan  pusat, namun dalam konteks  ini Pemerintah Daerah dapat  pula  mengembangkan  materi pendidikan  pelatihan  sesuai  dengan  konteks dan  karakteristik  local  serta  berdasarkan tuntutan dan kebutuhannya sendiri. 

Rencana  Tindak  Peningkatan  Kapasitas  yang diperkenalkan  oleh  SCB‐DP  melihat  bahwa elemen pendidikan pelatihaan tidaklah dapat memberikan  kontribusi  yang  signifikan  bila tidak  didukung  oleh  perbaikan  sistem manajemen  sumber  daya  manusia  pegawai negeri  sipil.  Berbagai  kasus  menunjukkan pendidikan  dan  pelatihan  tanpa  didukung sistem  manajemen  SDM  yang  baik  hanya akan  menghasilkan  SDM  berkualitas  namun tidak  dapat  membangun  sistem pemerintahan yang ada. 

 

 

Page 25: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

25

Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas versi Proyek SCB‐DP16  

 

Rencana  Tindak  Peningkatan  Kapasitas  bagi Pemerintah  Daerah  atau  dalam  Proyek  SCB‐DP  lebih  dikenal  sebagai  Capacity  Building Action  Plan  (CB‐AP)  merupakan  sebuah tahapan awal begi setiap Pemerintah Daerah bila  mereka  ingin  mendapatkan  bantuan hibah  dana  dan  asistensi  teknis  dari Pemerintah untuk pelaksanaannya. 

Secara  garis besar, penyusunan CB‐AP dapat dibagi  ke  dalam  dua  kegiatan  besar,  yaitu penyusunan  Draft  CB‐AP,  dan  proses persetujuannya;  mulai  dari  PIU;  Kepala Daerah;  DPRD;  CPMO;  BP3K‐N/BP3K‐P; sampai  dengan  ADB.  Lampiran  1 memperlihatkan  diagram  alur  kegiatan  dan pihak‐pihak  yang  terkait  dalam  penyusunan CB‐AP tersebut. 

a.  Penyusunan Draft CB‐AP 

Secara  sederhana,  dapat  dikatakan  bahwa penyusunan  CB‐AP  ini  adalah  rangkaian proses  penyusunan  daftar  program  dan kegiatan yang hasil akhirnya akan dimasukkan ke dalam satu kerangka acuan (TOR) proyek.  

Terdapat  5  tahap  dalam  proses  ini:  Tahap Pertama adalah Pengkajian Kelembagaan dan Penilaian Kebutuhan Pelatihan; Tahap Kedua adalah  Penyusunan  Strategi  dan  proses formulasi  Program  CB‐AP  berdasakan  kajian yang  dilakukan  pada  tahap  pertama.  Tahap Ketiga, Menetapkan Prioritas Program; Tahap Keempat,  Proses  Persetujuan;  dan  Tahap Kelima  adalah  Persetujuan  Akhir  dan Legalisasi. Seluruh tahapan ini akan memakan waktu sekitar 13 minggu (sekitar 3 bulan). 

b.   Tahap dan Proses CB‐AP  

16 Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Teknis Proyek Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi – ADB Loan 1964‐INO 

Tahap  dan  Proses  CB‐AP  diringkaskan  dalam langkah‐langkah sebagai berikut:  

Tahap‐1. Pengkajian 

Tahap awal penyusunan CB‐AP adalah dengan melakukan pengkajian kinerja Pemda dengan menggunakan  metoda  analisa  SWOT,  yang dilanjutkan  dengan  mengkaji  kinerja kelembagaan (FISA) dan kebutuhan pelatihan (TNA)  untuk memberikan masukan  terhadap kebutuhan  dan  permasalahan  yang  saat  kini dihadapi. 

Tahap‐2.  Penyusunan  Strategi  dan  Formulasi program   

Berdasarkan  kondisi‐kondisi  yang  tergambar dari hasil kajian kelembagaan dan kebutuhan pelatihan  di  atas, maka  dapat  disusun  suatu strategi  besar  (grand  strategy)  untuk peningkatan kapasitas daerah.  

Strategi  yang  telah  tersusun  kemudian dijabarkan  lebih  lanjut  ke  dalam  suatu rancangan  program  dan  kegiatan pengembangan  kapasitas  yang  menyeluruh. Program dan  kegiatan  tersebut harus  secara jelas  terkait  dengan  usaha  pengembangan kapasitas  pemerintah  daerah  yang  dibatasi menjadi 5 kategori/komponen utama, yaitu: 

‐  Kerangka Peningkatan Kapasitas 

‐  Perkuatan Kelembagaan 

‐  Manajemen sumber daya manusia 

‐  Pengembangan sumber daya manusia 

‐  Penganggaran dan Pembiayaan 

Penyusunan  CB‐AP  mensyaratkan  adanya Rencana  Tindak  berperspektif  Gender  ‐ “Gender  Action  Plan”  (GAP)  dalam  tiap komponen  CB‐AP  –Rencana  Tindak  Gender tersebut  disusun  berdasarkan  hasil  analisis gender yang mengidentifikasikan kesenjangan antara apa yang dicapai perempuan dan  laki‐laki  dan  memasukkan  upaya–upaya 

Page 26: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

26

pemecahan  permasalahannya  dalam  bentuk rencana  tindak di masing‐masing komponen. Analisis gender ini dilakukan pada tahap awal bersamaan  dengan  Pengkajian  Kelembagaan dan Penilaian Kebutuhan Pelatihan. 

Penyusunan program  ini harus melalui  suatu proses  konsultasi  publik  yang  melibatkan unsur‐unsur  masyarakat,  LSM,  DPRD  dan sebagainya, dan memperhatikan keterwakilan yang  imbang antara perempuan dan  laki‐laki. Mekanisme  pelaksanaan  proses  tersebut diserahkan  sepenuhnya  kepada  daerah masing‐masing.  Hasil  akhir  dari  tahapan  ini adalah  suatu  daftar  panjang  program  dan kegiatan beserta penganggarannya.  

 

Tahap‐3. Penetapan prioritas program  

Formulasi  prioritas  program  pada  dasarnya dilakukan  untuk  menyaring  daftar  panjang program  dan  kegiatan  untuk  dapat disesuaikan dan didanai oleh proyek SCB‐DP. Penyusunan  prioritas  program  dan  kegiatan ini  dilakukan  melalui  konsultasi  internal Pemda.  Proyek  SCB‐DP  menyediakan  suatu perangkat  lunak  yang  memfasilitasi  proses penyusunan prioritas kegiatan.  

Seperti halnya rencana program dan kegiatan keseluruhan  (daftar  panjang),  hasil  akhir proses  penyusunan  prioritas  ini  juga dilengkapi  dengan  anggaran,  serta  skala waktu dan tahapan pelaksanaan. 

Dari  hasil  penyusunan  di  atas  (prioritisasi daftar  panjang  program)  prosedur selanjutnya  yaitu  pengajuan  kepada  Kepala 

Daerah  dan  DPRD  untuk  dimintakan persetujuan  prinsipnya,  sebelum  kemudian dokumen  CB‐AP  tersebut  diusulkan  kepada CPMO untuk proses persetujuan selanjutnya.  

Tahap‐4. Proses Persetujuan  

Terdapat 2 tingkatan proses persetujuan yang harus  dilalui  untuk  dapat  dimasukannya  CB‐AP  sebagai  bagian  dari  RPJMD,  yang  akan memakan  waktu  sekitar  25  minggu. Persetujuan  pertama  adalah  dari  pihak Pelaksana Proyek di Daera dan Kepala Daerah terhadap draft CB‐AP dan prioritisasi program yang disusun oleh Tim Penyusun. Persetujuan ini  akan  ditindaklanjuti  dengan  penyerahan bahan‐bahan tersebut oleh KDH kepada DPRD untuk  mendapatkan  persetujuan  prinsip. Draft  CB‐AP  yang  telah  disetujui  secara prinsip  lalu diserahkan kepada  lembaga yang disebut  CPMO  yang  berada  di  bawah Direktorat Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja  Daerah  Direktorat  Jenderal  Otonomi Daerah  Departemen  Dalam  Negeri  untuk dilakukan  evaluasi  dan  dipaparkan  kepada BP3K‐N, BP3K‐P dan ADB untuk mendapatkan komentar  dan/atau  persetujuan  pendanaan. CB‐AP  yang  telah  dikomentari  dan/atau disetujui  kemudian  diserahkan  kembali kepada  Kepala  Daerah  melalui  SKPD  yang ditunjuk sebagai pelaksana proyek. 

 

Tahap‐5. Persetujuan Akhir dan Legalisasi. 

Persetujuan kedua Proses  legalisasi di DPRD: adalah  berupa  Persetujuan  hasil  kajian  dan evaluasi  CPMO  dan  BP3KN,  yang  diajukan 

Page 27: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

27

kembali  oleh  Kepala  Daerah  kepada  DPRD untuk proses  revisi perda dalam memasukan CB‐AP ke dalam bagian dari RPJMD termasuk pengesahan  anggaran  selama  3  tahun (anggaran pendamping dan penunjang). 

Sebuah CB‐AP akan berisikan: 

Dokumen CB‐AP 

Bab  Pendahuluan  berisikan  latar  belakang wilayah,  dasar  pemikiran  dibutuhkannya upaya  Peningkatan  Kapasitas  Pemerintah Daerah,  maksud  dan  tujuan  dari  upaya peningkatan  kapasitas  yang  berkalnjutan untuk desentralisasi, pendekatan‐pendekatan dalam  pelaksanaan  peningkatan  kapasitas bagi Pemerintah Daerah. 

Bab  selanjutnya  mengemukakan  tentang masalah‐masalah yang dihadapi dalam upaya Peningkatan  Kapasitas  Pemda,  seperti  data dasar,  dan  masalah‐masalah  aktual  yang dihadapi Pemda saat ini. 

Karena  CB‐AP  haruslah  merupakan  bagian integral  dari  RPJMD,  maka  bab  selanjutnya harus mengemukakan  tentang  Visi  dan Misi Daerah,  tujuan  serta  sasaran  peningkatan kapasitas  Pemda,  strategi  peningkatan kapasitas  Pemda,  hubungan  logis  antara tujuan  serta  sasaran  Peningkatan  Kapasitas Pemda  dengan  tujuan  serta  sasaran  dalam Rencana  Tindak  Peningkatan  Kapasitas  (CB‐AP),  hubungan  logis  antara  strategi peningkatan kapasitas Pemda dengan strategi dalam Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas (CB‐AP) 

Bab  selanjutnya  berisikan  Rencana  Tindak Peningkatan  Kapasitas    dan  aspek pembiayaan atas lima komponen peningkatan kapasitas, yaitu: (a) Komponen  kerangka  peningkatan 

kapasitas (b) Komponen perkuatan kelembagaan 

(c) Komponen  manajemen  sumber  daya manusia 

(d) Komponen  pengembangan  sumber  daya manusia, dan  

(e) Komponen  penganggaran  dan pembiayaan 

Bagian  terakhir  memaparkan  tentang Rencana  Tindak  Gender  atau  The  Gender Action  Plan  (GAP17).  Dlam  konteks  Proyek SCB‐DP, GAP merupakan elemen integral dari proses  penyusunan  CB‐AP.  GAP  itu  sendiri merupakan  elemen  yang  sangat  spesial  dan unik,  karena  GAP  merupakan  sebuah prasyarat bagi pembiayaan atas pelaksanaan CB‐AP. 

Tujuan  utama  dari  GAP  adalah  untuk memastikan  tentang:  i)  integrasi  tentang issue  gender  dalam  strategi  peningkatan kapasitas  pemerintah  daerah  dan  program‐program  lainnya  yang  terkait;  dan  ii) membangun  akses  kesempatan  yang seimbang  terhadap  posisi manajemen  kunci bagi  seluruh  personel  berkualifikasi  dan berpengalaman,  tanpa  mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin, ras, maupun agama. Secara  umum  proses  pemformulasian  GAP akan mengikuti pola dari penyiapan dokumen CB‐AP. 

Penyusunan GAP membutuhkan bantuan dari Tim Penyusun CB‐AP untuk membentuk Sub‐Team Gender yang nantinya ditugaskan untuk menyusun  dokumen  Rencana  Aksi  Gender. Semua elemen dalam GAP akan berlaku bagi setiap program atas setiap komponen SCB‐DP. 

Sebenarnya  secara umum  strategi dalam SB‐AP harus: 

1.  mempromosikan  kesempatan  yang  sama dan menyertakan  

17Core Team SCB‐DP, WORKING PAPER NO.3 GENDERACTION PLAN (GAP) ‐ Introduction and Guidelines, February 2004 

Page 28: Peningkatan Kapasitas Dan Reformasi Politik Di Indonesia

28

Overall  CB‐AP  strategies  should:  i)  promote equal  opportunities  and  include  specific reference  to  the  types  of  capacity  building interventions  necessary  for  efficient  local resources management  and  service  delivery, respecting  ‘equal  opportunity’  for  all personnel  regardless  of  gender,  race  and disability; and  ii) secure sustainable  resource allocations  for  activities  and  measures  to mainstream gender equity in CB‐APs. 

GAP sub‐strategies: These are required for all elements  of  the  CB‐AP,  inter  alia: reorganization,  rationalization,  system development,  training,  recruitment  and retrenchment,  and  management  measures and  incentives.  In  addition,  gender mainstreaming objectives must be articulated in sectoral and administrative guidelines at all levels.