6
Pentingnya Ruang Terbuka Hijau di Ibukota Cara pandang melihat permasalahan kota Jakarta sangat menentukan perencanaan peruntukan penggunaan lahan yang akan berimplikasi pada sektor lain, terutama pada sektor lingkungan. Jakarta sedang melakukan bunuh diri ekologi, demikian kata para ahli lingkungan. Kualitas lingkungan di ibukota Republik Indonesia ini begitu buruk. Bahkan menurut data dari Kementerian Lingkunan Hidup, DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut menempati urutan terendah dalam Indeks Kualitas Lingkunan Hidup (IKLH). Pada tahun 2012, polutan karbon dioksida yang dihasilkan dari seluruh aktivitas di Kota Jakarta mencapai 686.864 ton per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar atau sekitar 80% sumber pencemaran udara berasal dari sektor transportasi dan industri. Sisanya sebesar 20% berasal dari industri serta limbah domestik. Selain kualitas udara, ternyata kualitas air juga sangat bermasalah. Di musim kemarau, Jakarta kekeringan. Permukaan tanah turun 2-8 sentimeter per tahun. Intrusi air laut sudah menjangkau kawasan Monas. Bahkan saat banjir besar Februari lalu, sekitar 60 persen wilayah kota kebanjiran. Polusi berefek negatif terhadap kesehatan, minimal akan terserang penyakit anemia dan infeksi saluran pernafasan atas (ispa). Efek negatif bagi anak-anak adalah mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Pada masa pertumbuhan fisik akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan pendengaran. Sedangkan bagi orang dewasa, dampak polusi dapat mempengaruhi sistem 1

Pentingnya RTH Di Ibukota

Embed Size (px)

DESCRIPTION

this document describes about the importance of green space in urban area

Citation preview

Page 1: Pentingnya RTH Di Ibukota

Pentingnya Ruang Terbuka Hijau di Ibukota

Cara pandang melihat permasalahan kota Jakarta sangat menentukan perencanaan peruntukan penggunaan lahan yang akan berimplikasi pada sektor lain, terutama pada sektor lingkungan.

Jakarta sedang melakukan bunuh diri ekologi, demikian kata para ahli lingkungan. Kualitas lingkungan di ibukota Republik Indonesia ini begitu buruk. Bahkan menurut data dari Kementerian Lingkunan Hidup, DKI Jakarta selama dua tahun berturut-turut menempati urutan terendah dalam Indeks Kualitas Lingkunan Hidup (IKLH).

Pada tahun 2012, polutan karbon dioksida yang dihasilkan dari seluruh aktivitas di Kota Jakarta mencapai 686.864 ton per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar atau sekitar 80% sumber pencemaran udara berasal dari sektor transportasi dan industri. Sisanya sebesar 20% berasal dari industri serta limbah domestik. Selain kualitas udara, ternyata kualitas air juga sangat bermasalah. Di musim kemarau, Jakarta kekeringan. Permukaan tanah turun 2-8 sentimeter per tahun. Intrusi air laut sudah menjangkau kawasan Monas. Bahkan saat banjir besar Februari lalu, sekitar 60 persen wilayah kota kebanjiran.

Polusi berefek negatif terhadap kesehatan, minimal akan terserang penyakit anemia dan infeksi saluran pernafasan atas (ispa). Efek negatif bagi anak-anak adalah mengalami gangguan kemampuan berpikir, daya tangkap lambat, dan tingkat IQ rendah. Pada masa pertumbuhan fisik akan berdampak pada gangguan pertumbuhan dan pendengaran. Sedangkan bagi orang dewasa, dampak polusi dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau kesuburan, mengganggu fungsi jantung, ginjal, paru-paru dan menyebabkan penyakit stroke, serta kanker. Diperkirakan, pada 1998 warga Jakarta harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,8 triliun untuk mengobati penyakit yang disebabkan polusi udara. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi Rp 4,3 triliun pada tahun 2015 nanti apabila tidak segera dilakukan tindakan pencegahan.

Penyebab terbesar dari kemerosotan kualitas lingkungan di DKI Jakarta adalah berkurangnya daerah resapan air, menyusutnya areal terbuka hijau (RTH), kerusakan area terbuka biru (sungai, situ, saluran air, dan perairan pantai) eksploitasi air bawah tanah yang berlebihan, abrasi pantai akibat berkurangnya hutan mangrove di pantai utara, sistem drainase kota yang buruk, serta pengelolaan sampah dan limbah yang belum baik dan benar.

1

Page 2: Pentingnya RTH Di Ibukota

Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena Jakarta pernah punya rencana tata kota yang sangat pro-lingkungan, yaitu Rentjana Induk Djakarta 1965-1985, yang sekaligus masterplan pertama kota ini. Dalam masterplan tersebut semua masalah krusial Ibukota sudah disebut. Pada urutan pertama adalah banjir; kemacetan lalu lintas; perumahan dan fasilitas kota lainnya; kebersihan; dan masalah tanah. Dalam masterplan itu juga sudah disebutkan buruknya tata perairan kota, mulai dari kali yang dangkal dan sistem drainase buruk.

Untuk melindungi alam Jakarta yang rawan banjir itulah, direncanakan konsep sabuk hijau atau yang disebut greenbelt. Berupa ruang terbuka hijau seluas 37,2 persen dari luas Jakarta merupakan konsep yang sangat ideal. Dalam masterplan tersebut digambarkan ruang hijau di Jakarta akan mengontrol pengendalian pembangunan kota, selain menjadi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota, yang bisa berbentuk pohon, situ atau danau, taman kota, hutan kota, dan jalur hijau, yang mengelilingi Jakarta seperti bentuk tapal kuda.Artinya, masalah lingkungan akan bisa terkendali.

Kawasan Gelora Bung Karno dan Monas adalah bagian dari sabuk hijau.Greenbelt juga berfungsi melindungi jalan utama, Gatot Subroto, Ahmad Yani, hingga Cawang sampai Grogol,

Sayangnya, rencana awal yang sangat pro-lingkungan ini tidak diteruskan dalam masterplan berikutnya. Terbukti dalam Rencana Tata Ruang 1985-2005, target ruang terbuka hijau turun menjadi 25,85 persen. Bahkan dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah 2000-2010 target ruang terbuka hijau tinggal 13,94 persen. Kini ruang terbuka hijau yang benar-benar ada mungkin tak sampai 10 persen dari total luas Jakarta.

Memang, pertambahan penduduk kota dan pembangunan sering disebut sebagai alasan berkurangnya RTH. Menurut masterplan 1965-1985, penduduk Jakarta hanya ditargetkan sekitar enam juta jiwa, sedangkan pada 2010 sudah dua kali lipat dan akan terus meningkat selama 10 tahun kedepan. Sehingga perencanaan wilayah Jakarta saat ini banyak berorientasi mengenai peningkatan fasilitas kebutuhan dimasa yang akan datang berdasarkan konsep tren perkembangan penduduk tersebut. Dampaknya adalah kebutuhan ruang semakin meningkat, dan lahan hijau yang menjadi resapan air juga semakin berkurang.Namun pertambahan penduduk dan laju pembangunan sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan penurunan drastis ruang terbuka hijau.

Peta berikut menunjukkan bahwa zona berwarna ungu merupakan area perdagangan atau diperuntukkan untuk kegiatan komersil, pemerintahan dan sedangkan zona kuning merupakan peruntukan lahan untuk

2

Page 3: Pentingnya RTH Di Ibukota

pemukiman dan zona hijau merupakan peruntukan untuk kawasan terbuka hijau budidaya.

Peta Rencana Pemanfaatan Pola Ruang Jakarta 2010-2030 menggambarkan bahwa pusat kegiatan perdagangan, pemerintahan dan jasa berada di pusat kota dan dikelilingi oleh pemukiman. Pusat kegiatan yang memicu tingginya bangkitan lalu lintas berpusat ditengah kota, maka tidak heran pusat kota Jakarta semakin terkepung oleh arus pergerakan lalu lintas menuju pusat kota. Dampaknya sudah bisa dibayangkan bahwa kemacetan lalu lintas tentu semakin menjadi, jika demikian, sebenarnya “apa yang telah direncanakan untuk Jakarta hingga tahun 2030”?. Jika penggunaan lahan untuk 2030 saja menunjukkan porsi ruang terbuka hijau yang sangat kurang, bagaimana dengan Jakarta 2050? Apakah rencana untuk pengadaan ruang terbuka hijau masih ada?.

Mengembalikan fungsi kota Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang ramah terhadap masyarakat dan lingkungannya harus menjadi dasar perencanaan kota Jakarta kedepannya. Pertanyaannya apakah perencanaan fasilitas berdasarkan proyeksi jumlah penduduk hingga 10 tahun masih relevan digunakan untuk menentukan pemanfaatan lahan di Jakarta?

3

Page 4: Pentingnya RTH Di Ibukota

Perencanaan sekali lagi bukan perkara menyediakan kebutuhan berdasarkan proyeksi jumlah penduduk yang terus bertambah, melainkan perencanaan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mengelola pertumbuhan penduduk melalui strategi pemanfaatan ruang eksisting secara maksimal

Beberapa hal yang dapat dijadikan strategi antara lain :

Distribusikan pusat-pusat pembangunan dan keramaian secara merata pada wilayah-wilayah pinggiran dengan pembangunan vertikal dan multi fungsi sehingga penduduk kota tidak perlu melakukan perjalanan masal pada satu titik pusat kegiatan karena setiap wilayah menyediakan fungsi dan pelayanan yang sama.

Tidak memberikan izin bagi pembangunan baru di pusat kota Pemerintah harus menjadi penguasa dalam menentukan sebuah

daerah untuk dikembangkan menjadi apa, sesuai dengan perencanaan tata kota dan bukan swasta yang menentukan fungsi suatu bangunan. Sehingga pemerintah bisa meminta swasta membangun ruang terbuka hijau bila dia hendak membangun di suatu tempat.

Menjadikan kampung sebagai beranda/teras kota atau “cagar budaya” atau tujuan wisata budaya sehingga kelak tidak ada lagi kampung kumuh dengan menggiatkan kembali program perbaikan kampung atau revitalisasi kampung tua, menjaga kelestarian alamnya, dan mengembangkan potensi kegiatan perekonomiannya.

Melakukan pembelian lahan (land banking) untuk ruang terbuka hijau dan konsisten dengan perencanaan ruang terbuka hijau.

Akses transportasi masal yang nyaman melingkari kota Jakarta Pembenahan kali dan saluran drainase serta membuat situ atau

embung sebagai tangkapan air Penerapan car free day yang lebih menyeluruh dan

berkesinambungan waktunya (tidak terbatas pada hari minggu) namun khusus untuk hari kerja yang boleh melintas hanyalah kendaraan busway

Penerapan uji emisi kendaraan bermotor untuk setiap perpanjangan STNK (minimal setiap 5 tahun sekali)

Bandar Lampung, November 2013Ir. Tuti Sutiarsih, MT

4