Upload
vanquynh
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
119
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Penelitian dengan judul “Fenomenologi Aktor Gerakan Petani Lokal
dalam Kasus Sengketa Lahan Eks Perkebunan PT. Gondang Tapen Barumas di
Blitar Selatan” ini bersumber dari hasil wawancara mendalam dan observasi
kepada para aktor gerakan petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani
Gondang Tapen (PPGT). Wawancara mendalam dan observasi dalam penelitian
ini untuk selajutnya disebut sebagai data primer. Sementara data sekunder
diperoleh melalui kegiatan dokumentasi berupa foto dan arsip atau dokumen. Foto
diperoleh secara langsung kepada para informan, sementara beberapa arsip
diperoleh dari Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT), Pemerintah Desa
Ringinrejo serta dari LSM Sitas Desa sebagai pihak yang mengadvokasi para
petani.
Subjek dalam penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi ini
diperoleh melalui teknik purposive sampling atau sampel bertujuan. Teknik ini
tepat digunakan dalam penelitian ini karena fokus penelitiannya adalah para aktor
gerakan petani itu sendiri. Teknik ini digunakan untuk menentukan siapa yang
pantas untuk dijadikan sebagai sumber data berdasarkan kriteria-kriteria tertentu
sesuai dengan fokus penelitian. Adapun criteria subjek terpilih dalam penelitian
ini adalah Ketua Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT) dan para aktor
pejuang lainnya yang termasuk dalam garda depan. Alasannya adalah bahwa
merekalah yang secara intensif mengetahui dan terlibat secara langsung gerakan
perjuangan sehingga sangat patut untuk digali dunia intersubjektifnya. Sehingga,
120
tidak akan menjadi menarik jika yang dijadikan subjek adalah aktor dengan
intensitas dan peran yang sedikit dalam gerakan perjuangan.
Fenomenologi merupakan teori sekaligus metodologi dalam penelitian ini.
Fenomenologi sebagai metodologi digunakan dalam mengarahkan jalannya
penelitian ini. Sementara fenomenologi sebagai teori digunakan sebagai pisau
analisis dalam hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Dunia intersubjektif,
pengalaman-pengalaman hidup, stock of knowledge, makna dan motif dari para
aktor gerakan perjuangan akan dianalisis secara komprehensif menggunakan teori
Fenomenologi yang diperkenalkan oleh Alfred Schutz.
A. Gambaran Umum Subjek
Subjek terpilih dalam penelitian Fenomenologi Aktor Gerakan Petani
Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan Eks Perkebunan Gondang Tapen di antaranya
adalah:
1. Talminto
2. Katiman
3. Tumiran
4. Sutarman
5. Kanib
6. Wahyudi
Bapak Talminto merupakan ketua dari Paguyuban Petani Gondang Tapen
(PPGT). Sementara Bapak Katiman, Tumiran, Sutarman, Bedjo, dan Wahyudi
merupakan petani yang tergabung dalam PPGT yang berada dalam garda depan
dan membantu kepemimpinan Pak Talminto. Keenam Subjek tersebut akan
dipaparkan berdasarkan umur, jenis kelamin dan status, pendidikan dan agama,
121
pengalaman kerja, luas tanah, tahun mulai ikut berjuang dan tahun mulai
menggarap di lahan eks Perkebunan Gondang Tapen. Berikut ini identitas subjek
berdasarkan umur dan status.
Tabel 4.1 Identitas Subjek Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Status
No. Nama Lengkap
Nama Panggilan
Jenis Kelamin Umur Status L P
1. Talminto Talto √ 48 Menikah 2 kali, anak 2 2. Katiman Katiman √ 60 Menikah, memiliki 5 anak 3. Tumiran Tumiran √ 59 Menikah, memiliki 4 anak 4. Sutarman Sutar √ 45 Menikah, memiliki 2 anak 5. Kanib Kanib √ 52 Menikah, memiliki 2 anak 6. Wahyudi Yudi √ 67 Menikah, memiliki 4 anak
Sumber: Hasil Wawancara
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa subjek dalam penelitian
Fenomenologi Aktor Gerakan Petani Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan Eks
Perkebunan PT. Gondang Tapen Barumas di Blitar Selatan mempunyai
keragaman dalam hal umur dan jumlah anak. Sementara dalam hal jenis kelamin
kesemuanya adalah laki-laki. Variasi umur subjek berada dalam rentang 45
sampai dengan 67. Di mana Pak Sutarman merupakan aktor paling muda
sementara Pak Wahyudi merupakan aktor paling tua. Dapat disimpulkan bahwa
subjek memiliki perbedaan tingkat umur antara yang satu dengan yang lain. Dari
segi status, keenam subjek telah menikah. Yang membedakan adalah jumlah anak
dari masing-masing subjek. Subjek dengan jumlah anak 2 menjadi dominan.
Sementara subjek dengan jumlah anak 5 hanya satu dan merupakan subjek dengan
jumlah anak terbanyak.
122
Usia menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman aktor mengalami
perbedaan. Baik pengetahuan tentang kehidupan secara umum, tentang lahan
garapan maupun pengetahuan tentang gerakan perjuangan. Usia dalam gerakan
perjuangan ini juga menunjukkan bahwa adanya diferensiasi peran. Talminto
sebagai aktor yang relatif muda memiliki kemampuan dan kesempatan yang lebih
untuk melakukan gerakan perjaungan dibandingkan dengan aktor yang lain.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam gerakan perjuangan ini usia dapat
membatasi aktor untuk melakukan gerakan perjuangan. Hal ini dapat ditemui saat
pembahasan tentang biografi aktor, terutama pembahasan pada Wahyudi. Di mana
ia telah tidak lagi menggarap lahan garapan sementara ia masih aktif menjadi
anggota paguyuban. Akan tetapi keluarganya menyarankan agar ia beristirahat
saja di rumah karena terkait umur dan kondisi fisiknya.
Terkait status dan jumlah anak para aktor sejatinya juga menunjukkan
kondisi sosiologis aktor sebagai petani maupun sebagai aktor gerakan. Hal ini
dapat ditemukan dalam pembahasan biografi aktor dan relasi sosial aktor, di mana
ada keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan bertani, akan tetapi tidak pada
gerakan perjuangan lahan garapan. Sisi sosilogis keluarga juga nampak ketika
amggota keluarga memberikan argumennya tentang dukungan kepada aktor.
Sehingga pemaparan terkait identitas subjek berdasarkan usia dan status di atas
tidak hanya berkaitan dengan identitas yang bersifat administratif, akan tetapi juga
bersifat sosiologis.
123
Tabel 4.2 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Agama
No. Nama Tingkat Pendidikan Agama
1. Talminto SMP Islam 2. Katiman SMP Islam 3. Tumiran SD Islam 4. Sutarman SD Islam 5. Kanib SMA Islam 6. Wahyudi SD Islam
Sumber: Hasil Wawancara
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan
subjek dalam penelitian Fenomenologi Aktor Gerakan Petani Lokal dalam Kasus
Sengketa Lahan Eks Perkebunan PT. Gondang Tapen Barumas di Blitar Selatan
menujukkan variasi. Mulai dari rentang SD sampai dengan SMA. Pendidikan
SMA hanya disandang oleh Bapak Kanib. Sementara pendidikan SD merupakan
yang terbanyak disandang. Dalam hal agama, keenam subjek merupakan pemeluk
agama Islam.
Tingkat pendidikan subjek dalam analisis sosiologis tidak sekadar
menujukkan subjek terkait pendidikan terakhirnya. Akan tetapi lebih kepada
hubungan pendidikan terakhir terhadap stok pengetahuan yang akhirnya
menunjukkan struktur pengetahuan di antara aktor. Di mana Talminto, Katiman
dan terutama Kanib memiliki tingkat pengetahuan dan pemahaman yang lebih
dibandingkan dengan yang lain. Hal tersebut akan diketahui dalam pembahasan-
pembahasan dalam penelitian ini.
Selain itu, agama juga menjadikan aspek penting dalam hidup aktor. Telah
diketahui dalam tabel di atas bahwa semua aktor beragama Islam. Akan tetapi
dalam kenyataannya, Islam dalam penduduk Desa Ringinrejo sangat bersifat
124
abangan. Di mana secara legal para aktor beragama Islam, akan tetapi dari
keenam aktor tersebut, hanya Tumiran dan Kaniblah yang dapat dikatakan sebagai
muslin yang taat. Tumiran dan Kanib melakukan sholat dan kegiatan keislaman
yang lain. Akan tetapi keempat yang lain tidak melakukan kewajiban tersebut.
Akan tetapi semua aktor selalu ikut dalam acara rutin keagamaan seperti yasinan
rutin. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa meskipun mereka semua beragama
Islam, akan tetapi menunjukkan diferensiasi dalam praktik kehidupannya.
Tabel 4.3 Identitas Subjek berdasarkan Pengalaman Kerja
No. Nama Pengalaman Kerja Tahun Kerja Tempat
1. Talminto 1. Buruh Listrik 1986 – 1988 Malang 2. Buruh Listrik 1988 – 1990 Blitar 3. Pencari Kayu 1990 Kalimantan 4. Pemborong Bangunan 1990 – 1991 Kalimantan 5. Pemborong Bangunan 1993 – 1994 Surabaya 6. Kondektur Bus 1995 Solo 7. Pemborong Bangunan 1995 – 1996 Jakarta 8. Tukang Selep 1996 Donomulyo,
Malang 9. Dagang Kambing 1997 – 2004 Blitar 10. Dagang Sapi 2004 – 2011 Blitar 11. Petani Lahan Garapan
2011 – Sekarang
Desa Ringinrejo, Blitar
2. Katiman 1. Petani Kebun 1970 – 1997 Desa Ringinrejo 2. Petani Lahan Garapan 1997 –
Sekarang Desa Ringinrejo, Blitar
3. Tumiran 1. Tukang Bangunan 1971 – 1978 Wates, Blitar 2. Tukang Bangunan 1978 – 2005 Wates, Blitar 3. Petani Lahan Garapan 2005 –
Sekarang Wates, Blitar
4. Sutarman 1. Buruh Bangunan 1987 – 1990 Surabaya 2. Buruh Pabrik Paku 1990 – 1993 Sidoarjo 3. Tukang Becak 1993 – 1998 Dinoyo, Malang 4. Petani Lahan Garapan 1998 –
Sekarang Desa Ringinrejo, Blitar
5. Kanib 1. Karyawan Perkebunan Gondang Tapen
1987 – 1996 Desa Ringinrejo, Blitar
2. Karyawan Kebun 1996 – 1997 Banyuwangi 3. Petani Lahan Garapan 1997 – Desa Ringinrejo,
125
Sekarang Blitar 6. Wahyudi 1. Buruh Bangunan 1973 – 1987 Surabaya
2. Buruh Bangunan 1987 – 1991 Jakarta 3. Buruh Bangunan 1991 – 1998 Kalimantan 4. Petani Lahan Garapan 1998 – 2011 Desa Ringinrejo,
Blitar 5. Vakum ke Lahan, Bantu Jualan Istri
2011 – Sekarang
Desa Ringinrejo, Blitar
Sumber: Hasil Wawancara
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa subjek dalam penelitian
Fenomenologi Aktor Gerakan Petani Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan eks
Perkebunan PT. Gondang Tapen Barumas di Blitar Selatan memiliki latar
belakang dan pengalaman kerja yang beragam. Rata-rata mereka pernah merantau.
Dari keenam subjek, hanya Katimanlah yang tidak pernah merantau. Sejak kecil
Katiman telah menjadi petani. Pengalaman kerja paling banyak adalah di
bangunan, baik sebagai pemborong, tukang maupun buruh. Pengalaman kerja
paling banyak adalah Talminto, yaitu sebanyak sebelas kali kerja. Disusul oleh
Wahyudi sebanyak lima kali kerja. Kemudian Sutarman sebanyak empat kali
kerja. Kanib dan Tumiran mempunyai pengalaman kerja sebanyak tiga kali.
Sementara Katiman hanya mempunyai pengalaman kerja dua kali. Dapat
disimpulkan bahwa pengalaman kerja di antara para subjek sangat beragam, ada
yang banyak dan ada pula yang sedikit. Ada yang pernah merantau ada pula yang
tidak pernah merantau.
Aspek terpenting dalam pembahasan fenomenologi adalah pengalaman-
pengalaman hidup sehari-hari aktor. Pengalaman-pengalaman dalam tabel di atas
merupakan pengalaman dalam pemaparan yang sangat administratif. Secara
sosiologis, pengalaman-pengalaman tersebut sangat menentukan aspek masa
126
depan aktor. Hal ini bisa diketahui dari stok pengetahuan, peran dalam paguyuban
saat ini dan kehendak serta kesadaran aktor dalam melakukan gerakan perjuangan
lahan garapan. Sehingga sejatinya aktor bisa didefinisakan kembali (redefinisi)
berdasarkan stok pengetahuan, peran dan pengalamannya sehingga memunculkan
struktur baru yang sangat berbeda bentuknya dengan struktur organisasi.
Tabel 4.5 Indentitas Subjek Berdasarkan Luas Garapan
dan Tahun Berjuang
No. Nama Tahun Menggarap
Tahun Berjuang
Luas Garapan
1. Talminto 2011 – Sekarang 2010 – Sekarang 30 are 2. Katiman 1997 – Sekarang 1997 – Sekarang 50 are 3. Tumiran 2005 – Sekarang 2013 – Sekarang 50 are 4. Sutarman 1998 – Sekarang 2013 – Sekarang 50 are 5. Kanib 1997 – Sekarang 1997 – Sekarang 50 are 6. Wahyudi 1998 –2011 1998 – Sekarang 50 are
Sumber: Hasil Wawancara
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tahun menggarap, tahun
berjuang dan luas garapan subjek dalam penelitian Fenomenologi Aktor Gerakan
Petani Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan Eks Perkebunan PT. Gondang Tapen
Barumas di Blitar Selatan menunjukkan perbedaan. Di mana Katiman dan Kanib
merupakan subjek yang tahun mulai penggarapannya paling awal yaitu tahun
1997. Sementara Talminto yang notabene ketua paguyuban justru yang terakhir
yaitu tahun 2011. Sementara pada sisi tahun berjuang, terlihat bahwa Katiman dan
Kanib juga merupakan subjek yang tahun mulai perjuangannya paling awal yaitu
1997. Hal ini dapat diakatakan bahwa Katiman dan Kanib merupakan tokoh lama.
Sementara Tumiran dan Sutarman tergolong dalam tokoh baru di mana terlihat
dalam tabel jika mereka mulai berjuang tahun 2013. Dalam hal luas garapan,
127
dapat diketahui bahwa selain Talminto, semua subjek mempunyai luas garapan
sebesar 50 are. Sementara Talminto yang notabene ketua paguyuban justru hanya
mempunyai 30 are luas garapan. Hal ini disebabkan karena Talminto merupakan
petani baru yang mulai menggarap pada tahun 2011. Sementara sebelumnya ia
lebih dikenal sebagai pedagang sapi.
Data dalam tabel di atas sejatinya jelas menunjukkan bahwa pengalaman
sebagai petani dapat diketahui dari lama para aktor menggarap lahan tersebut.
Sehingga stok pengatahuan para aktor baik terkait pertanian maupun kasus
sengketa juga mengindikasikan berbeda. Petani yang menggarap sejak lama,
seperti Katiman, Sutaraman, Kanib dan Wahyudi tentunya memiliki pengetahuan
tanam yang telah mahir dibandingkan dengan Talminto dan Tumiran. Hal ini
menunjukkan bahwa kempuan untuk menguasahi lahan dalam hal ini adalah
bercocok tanam juga menunjukkna struktur pengetahuan dan pengalaman.
B. Biografi Sosial Subjek
Biografi merupakan kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang.
Sebuah biografi lebih kompleks dari pada sekadar daftar tanggal lahir dan data
riwayat hidup lainnya. Lebih dari itu biografi akan menceritakan perjalan hidup
seseorang secara komprehensif. Biografi subjek dalam penelitian Fenomenologi
Aktor Gerakan Petani Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan Eks Perkebunan PT.
Gondang Tapen Barumas di Blitar Selatan akan menceritakan perjalanan hidup
subjek mulai dari awal hingga saat ini. Biografi subjek juga akan menguak
pengalaman-pengalaman hidup subjek yang sangat mempengaruhi keadaan subjek
saat ini. Oleh karenanya biografi subjek dalam penelitian ini untuk selanjutnya
disebut sebagai biografi sosial subjek. Karena menampilkan latar belakang,
128
perjalanan hidup, pengalaman-pengalaman hidup hingga kehidupan sosial yang
dijalaninya saat ini. Kehidupan sosial yang dijalaninya saat ini khususnya
berkaitan dengan kehidupan subjek sebagai petani sekaligus sebagai aktor gerakan
perjuangan tanah garapan. Berikut biografi sosial subjek dalam penelitian
Fenomenologi Aktor Gerakan Petani Lokal dalam Kasus Sengketa Lahan Eks
Perkebunan PT. Gondang Tapen Barumas di Blitar Selatan.
1. Biografi Sosial Talminto (Talto)
Gambar 4.1 Talminto
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Talminto biasa dipanggil Talto lahir di Blitar, 27 Desember 1969. Saat ini
usianya 47 tahun. Ia adalah Ketua Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT).
Rumahnya berada di Dusun Ringinannyar, sekitar 1,5 km dari perkebunan
Gondang Tapen. Untuk menuju rumahnya cukup sulit. Jalannya masih berbatu
dan belum diaspal. Rumahnya tepat berada di sebelah pertigaan. Pertigaan
tersebut lokasinya di tengah-tengah lembah. Perlu dikatahui bahwa topografi di
Desa Ringinrejo adalah berbukit. Talminto sendiri merupakan anak ke 7 dari 10
129
bersaudara. Bapaknya bernama Sugiatno dan ibunya bernama Misriati. Saudara
Talminto yang pertama adalah seorang perempuan, saat ini telah berkeluarga dan
bertempat tinggal di timur Balai Desa Ringinrejo. Saudara yang kedua juga
seorang perempuan telah berkeluarga, saat ini rumahnya dekat masjid utara Balai
Desa Ringinrejo. Saudara ketiga juga seorang perempuan sudah berkeluarga, saat
ini bersama suaminya betempat tinggal di Kalimantan. Saudara keempatnya
seorang perempuan telah berkeluarga di Solo, Jawa Tengah. Saudara kelima
seorang perempuan telah menikah dan saat ini bekerja sebagai TKI di Brunai
Darussalam. Saudara keenam seorang laki-laki telah bekeluarga dan saat ini
bertempat tinggal di dekat saudara kedua, rumahnya berdampingan. Talminto
sendiri merupakan anak ke 7. Saudara kedelapan seorang perempuan telah
berkeluarga saat ini bertempat tinggal di Turen, Malang. Saudara kesembilan
seorang laki-laki belum berkeluarga saat ini satu rumah dengan Talminto, dan
memiliki usaha bengkel motor. Sementara saudara kesepuluh adalah seorang
perempuan yang sejak lulus SMA telah bekerja di Sukun, Malang.
Gambar 4.2 Rumah Talminto
Sumber: Dokumentasi Peneliti
130
Pendidikan terakahir Talminto adalah SMP, lulus pada tahun 1986.
Sementara lulus dari SD pada tahun 1982. Setelah lulus SMP Talminto pergi
merantau ke Malang. Kepergian Talminto untuk merantau ke Malang merupakan
hal yang tidak disengaja. Ada cerita menarik ketika Talminto memutuskan untuk
merantau ke Malang. Suatu hari tepat ketika kelulusan SMP, pada waktu itu
Talminto akan mengambil ijasah di sekolah. Sesampai di sekolah ternyata ada
syarat sejumlah uang untuk menebus ijasah, tepatnya senilai Rp 1.750. Sayangnya
Talminto tidak mempunyai uang untuk menebus. Dikarenakan jika tidak ditebus
ijasah akan ditangguhkan, maka dengan rasa sedikit emosi Talminto langsung
pulang ke rumah. Anehnya, tujuan Talminto pulang adalah hanya untuk
berpamitan kepada orang tuanya jika ia hendak merantau. Atas ijin bapaknya, ia
langsung berangkat menuju Malang dengan mengedarai sepeda onthel.
Sesampainya di Malang Talminto tidur di rumah kakaknya yang keenam.
Di sana ia bekerja sebagai buruh proyek pemasangan listrik suatu gedung serba
guna dan gedung sekolah di daerah terminal Arjosari. Kakaknyalah yang
mengajak ia untuk bekerja di proyek tersebut. Kerjasanya setiap hari adalah
sebagai buruh kasar. Memasang dan menarik kabel, mengangkut kabel dari truk
ke lokasi gedung dan sebagainya. Pekerjaan sebagai buruh di proyek pemasangan
listrik itu berlangsung selama 1,5 tahun. Setelah proyek selesai kemudianj ia
pindah tempat kerja. Tepatnya di CV. Pandawa di Singosari. CV tersebut juga
bergerak di bidang kelistrikan. Ia juga sebagai buruh kasar layaknya di tempat
kerja yang lama. Seperti menarik, memotong dan memasang kabel. Bedanya jika
yang dahulu hanya ikut satu pengerjaan proyek, di tempat kerja yang sekarang
menggunakan sistem gaji bulanan. Pengerjaan pemasangan listrik dilakukannya
131
hampir di seluruh Kota dan Kabupaten Malang, sepeeti Ngantang, Bululawang,
Selorejo, Lawang, Turen dan Dampit. Gajinya pada waktu itu sebesar Rp 95.000
per bulan. Gaji yang cukup banyak pada tahun 1987.
Di saat kerja libur, Talminto sempat pulang ke rumah untuk menengok
orang tuanya. Pada saat pulang tersebut bapaknya menyuruh Talminto untuk
melanjutkan ke SMA. Mengingat nilai ijasah SMP Talminto sangat bagus.
Seandainya ia melanjutkan sekolah, nilainya pasti masuk di SMA Negeri se
Kabupaten Blitar. Sempat pada saat ia pulang tersebut, teman sewaktu SMP
Talminto datang ke rumah dengan maksud untuk membujuk Talminto agar mau
mendaftar sekolah. Akan tetapi ia memilih untuk mencari uang. Ia berpikir, bahwa
teman-teman kerjanya di CV. Pandawa banyak yang lulusan SMA, akan tetapi di
tes untuk masuk kerja banyak yang gagal. Sementara ia yang hanya lulusan SMP
saja mampu bekerja layaknya lulusan SMA lainnya. Karena bagi dia pada waktu
itu, kemampuan dan keterampilan untuk bekerja tidak didapatkan di bangku
sekolah. Akan tetapi belajar langsung di tempat kerja. Pemikiran tersebut
nampaknya disesalinya belakangan ini, terlebih saat ia menjadi Ketua Paguyuban
Gondang Tapen (PPGT). Salah seorang pengacara dari Elsam menyebutkan jika
seandainya Pak Talminto sekolah yang tinggi, pasti ia bisa menjadi pengacara.
Di CV. Pandawa ia bekerja selama 1 tahun. Tahun 1988 ia pulang ke
Blitar dan langsung bergabung di CV. Wlingi Raya. CV. Wlingi Raya merupakan
CV. yang juga bergerak di bidang listrik. Untuk ketiga kalinya ia bekerja sebagai
buruh di proyek pemasangan listrik. Posisinya juga sama yaitu sebagai buruh
kasar. Lingkup kerjanya se Kabupaten Blitar, seperti Wlingi, Gandusari, Srengat,
Ponggok dan lainnya. Kerja di CV. Wlingi Raya sempat ia tekuni selama hampir
132
2 tahun. Setelah itu tepatnya pada tahun 1990 ia memutuskan untuk pergi ke
Kalimantan. Di Kalimantan ia ikut kakak perempuannya yang ketiga. Kakak
perempuannya tersebut telah 20 tahun di Kalimantan dan tidak pernah pulang ke
Jawa.
Di Kalimantan ia ikut kerja kakak iparnya sebagai pengangkut kayu di
hutan. Akan tetapi tidak lama menekuni pekerjaan itu, ia terserang penyakit
malaria. Kondisinya sangat lemah. Oleh karenanya pekerjaan mencari kayu di
hutan ditinggalkannya. Karena selain alasan terserang malaria, mencari kayu di
hutan dirasakannya kurang menghasilkan uang. Tenaga yang telah ia korbankan
tidak sesuai dengan uang yang dihasilkannya. Akhirnya setelah pulih dari sakit ia
pindah kerja di sektor bangunan. Pada waktu itu daerah Kalimantan tepatnya di
Kota Pangkalanbun sedang dilakukan pelebaran kota. Pada saat itu pekerjaan yang
paling banyak dibutuhkan adalah tukang bangunan untuk membangun sekolah.
Akhirnya ia memutuskan untuk masuk proyek. Di saat sebelum masuk kerja, ia
ditawari oleh seorang mandor yang berasal dari Nganjuk. Ia ditawari dua pilihan,
menjadi kuli atau tukang. Kemudian Talminto menjawab bahwa ia bisa menjadi
tukang ataupun kuli. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi tukang.
Saat menjadi tukang di Kalimantan ia mengerjakan satu unit sekolah dasar.
Akan tetapi belum sempat sekolah berdiri, tepatnya saat pembangunan pondasi ia
diangkat menjadi mador atau pemborong. Pembagunan sekolah dilakukan selama
hampir satu tahun. Pada tahap akhir, tepatnya saat pemberian plamir untuk
sebelumnya dicat, ia dijemput kakaknya yang keenam dari Jawa. Ia disuruh
pulang oleh bapaknya dikarenakan kondisi bapaknya di Jawa sedang sakit.
Bermodalkan uang Rp. 300.000 akhirnya ia pulang ke Jawa menggunakan kapal
133
laut yang sewaktu itu harga tiketnya sebesar Rp 25.000. Akhirnya pekerjaannya
yang belum selesai tersebut diserahkan kepada rekan kerjanya.
Sesampainya di rumah bapak dari Talminto tidak lama kemudian sembuh
dari sakitnya. Di rumah Talminto tidak mempunyai pekerjaan yang tetap.
Terkadang ke ladang maupun ke lahan mencari rumput untuk ternaknya. Setelah
sebulan berlalu, kemudian Talminto dan keluarganya merenovasi rumah. Rumah
yang dahulu dindingnya terbuat dari bambu mulai diganti dengan batu bata.
Tiangnya yang dahulunya berupa kayu yang sudah rapuh diganti dengan cor
semen. Dalam proses pembangunan rumah tersebut mengalami banyak kendala,
khususnya terkait keuangan. Misalnya semen dan batu bata yang uangnya masih
pinjam, tidak kuat membayar tukang dan lain sebagainya. Akhirnya untuk
mengirit pengeluaran, renovasi rumah Talminto dikerjakan secara mandiri oleh
keluarga Talminto. Mulai dari sang bapak, kakak laki-lakinya, Talminto sendiri
dan adik laki-lakinya. Rumah tersebut akhirnya selesai direnovasi selama satu
tahun.
Pasca rumah direnovasi, Talminto kembali merantau. Kali ini ia pergi ke
Surabaya, tepatnya pada tahun 1993. Di Surabaya ia bekerja lagi di bangunan. Ia
menjadi pemborong di berbagai proyek pembangunan perumahan. Awalnya di
daerah Sepanjang. Teman-temannya berasal dari berbagai daerah, seperti
Bojonegoro, Pasuruan dan Sidoarjo. Setelah kurang lebih setengah tahun kerja di
daerah Sepanjang kemudian ia pindah lagi di daerah Sedati. Tepatnya di sekitar
Bandara Juanda. Di Sedati, ia juga bekerja sebagai pemborong proyek perumahan.
Sembilan unit rumah yang ia kerjakan lengkap beserta listriknya. Setelah proyek
perumahan di Sedati selesai, kemudian ia berpindah lagi di daerah Gedangan. Di
134
gedangan ia tidak lagi bekerja sebagai pemborong proyek perumahan, tetapi
sebagai pekerja dalam pembuatan jembatan. Total selama di Surabaya ia habiskan
waktu kerja selama kurang lebih satu tahun. Pada akhir tahun 1994, ia kemudian
pulang ke Blitar.
Pasca kepulangannya, kemudian ia menikah. Tepatnya pada tanggal 2
Januari 1995. Istrinya dari keluarga berada di Donomulyo, Kabupaten Malang.
Dari pernikahannya ia dikaruniai seorang anak perempuan. Saat ini berumur 18
tahun sedang menempuh pendidikan tingkat SLTA di Panggungrejo, Blitar. Pasca
pernikahannya, bersama istrinya ia kembali merantau. Kali ini ia memilih Solo
(Surakarta) sebagai tempat tujuannya. Mertuanya memberikan uang saku untuk
merantau sebesar Rp 100.000, yang terdiri dari uang seribuan berjumlah 100
lembar. Di sana ia tinggal menumpang di rumah kakak perempuannya yang
keempat. Setelah itu ia bekerja sebagai kondekur bus. Ia masih ingat kala itu nama
busnya adalah Daya Palapa jurusan Solo – Wonogiri. Setelah sekitar enam bulan
bekerja sebagai kondektur bus, akhirnya ia keluar. Ia merasakan jika tenaga yang
dikeluarkan tidak sebanding dengan uang yang dihasilkan. Akhirnya, ia merantau
ke Jakarta, sementara istrinya ditinggal di rumah kakaknya di Solo.
Di Jakarta ia kembali lagi bekerja di bangunan. Ia tinggal di rumah Paito,
teman dari kakak Talminto. Awalnya ia bekerja sebagai kuli bangunan, karena
tidak boleh langsung menjadi pemborong. Saat menjadi kuli gajinya sangat kecil,
karena digaji per hari. Kala itu gajinya hanya sebesar Rp 3.500 per hari. Tak lama
kemudian ia langsung menjadi pemborong. Menjadi pemborong lebih
menjanjikan bagi hidunya. Bagi Talminto, meskipun kerja di bangunan terlihat
kasar, akan tetapi jika bisa dikerjakan secara borongan, hasilnya akan
135
menjanjikan. Sistem borongan pada saat di Jakarta tergolong unik. Bayaran untuk
pemborong dihitung per meter. Misalnya, memasanga batu-bata akan dihitung per
meter yang telah dikerjakan. Begitu juga dengan pengerjaan-pengerjaan lainya
seperti memasang keramik dan mengecor. Pekerjaanya sebagai pemborong di
Jakarta diakhirinya setelah masa kerja satu tahun. Tepat tahun 1996 ia kemudian
pulang kampung ke Blitar.
Pasca kepulangannya, bapak mertua Talminto sakit. Secara intensif
akhirnya membuat Talminto dan istrinya tinggal di rumah mertuanya di
Donomulyo. Di sana ia bekerja serabutan sebagai buruh. Mulai dari tukang giling
daging, giling (selep) kelapa sampai dengan sopir truk. Tempat kerjanya di rumah
lurah Donomulyo. Kebetulan rumah mertua Talminto bersebelahan dengan rumah
Lurah Donomulyo, yang memiliki beragam usaha. Setelah bapak mertuanya
sembuh, istri Talminto pergi merantau sebagai TKI di Hongkong. Sementara
Talminto tetap bekerja di rumah Lurah Donomulyo. Kepergian istri Talminto ke
luar negeri selama 13 bulan, dengan total kiriman uang ke Talminto sebesar Rp.
10.204.000. Dari total kiriman istrinya tersebut kemudian ia gunakan untuk
keperluan rumah tangga. Di ataranya 1 juta rupiah digunakan untuk membeli
sepetak tanah di sebelah rumah mertua Talminto. Kebetulan, pada waktu itu
tetangga dari mertua Talminto sedang menjual tanah. Tanah tersebut letaknya
tepat di sebelah rumah mertuanya. Selain itu, uang kiriman tersebut juga diberikan
kepada mertua Talminto sebesar 2 juta rupiah. Dan sisanya dibuat untuk
membangun rumah di tanah yang telah dibeli Talminto dari tetangga mertuanya.
Setelah rumah Talminto berdiri kokoh, tiba-tiba hal yang tidak diharapkan
terjadi. Mertua Talminto berusaha untuk memisahkan Talminto dengan istrinya.
136
Hal itu diketahuinya pada saat istrinya mengirim surat kepada ayahnya. Kebetulan
pada saat itu Talmintolah yang menerima. Surat yang telah diterima tersebut
kebudian dibaca dan isinya sangat mengejutkan. Pada intinya, isi dari surat
tersebut merupakan balasan dari surat yang dikirim mertua Talminto kepada
istrinya yang sedang bekerja di Hongkong. Balasan surat tersebut berisikan bahwa
istri Talminto tidak mau meninggalkan Talminto. Padahal orang tua dari istri
Talminto menginginkan mereka bercerai. Menurut pandangan Talminto hal
tersebut dikarenakan mertua Talminto menganggap jika dirinya hanya
memanfaatkan istrinya. Talminto dianggap tidak bisa menafkahi istrinya.
Sehingga istrinya rela bekerja hingga ke luar negeri. Atas tudingan tersebut
akhirnya Talminto berkirim surat kepada istrinya.
Isi surat Talminto berkaitan dengan masa depan pernikahannya. Talminto
menyuruh pulang istrinya ke Indonesia jika istrinya masih mau melanjutkan
pernikahan. Selang satu minggu setelah surat sampai kepada istri Talminto,
akhirnya istri Talminto pulang, tepatnya hari Rabu pukul 10.00 WIB di tahun
1996. Kepulangan istri Talminto tidak di rumah Donomulyo. Melainkan di rumah
orang tua Talminto di Wates. Pasca kepulangan istrinya, kehidupan Talminto
dihabiskan di rumah Wates. Ia mulai bekerja kembali. Kerjanya serabutan, seperti
kuli bangunan, buruh aspal jalan dan lain sebagainya. Tidak genap enam bulan ia
bersama istri tinggal di rumah Wates, akhirnya istri Talminto kembali merantau
ke luar negeri menjadi TKI. Kali ini istri Talminto pergi ke Taiwan. Kepergian
istri Talminto tersebut mungkin sampai sekarang tidak kembali. Pasca
kepergiannya yang kedua, sampai sekarang tidak pernah mengabari Talminto, dan
137
juga tidak pernah mengirim uang untuk kebutuhan anaknya. Hingga pada
akhirnya Talminto menyimpulkan jika istrinya tidak akan pernah kembali.
Tiada kabar dari istri bukan berarti kehidupan Talminto berakhir. Ia tetap
melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Pada tahun 1997, ia mulai untuk
mencoba berdagang kambing. Ia berdagang mulai dari Pasar Wates, Pasar
Bantengan hingga ke Pasar Dimoro di Blitar. Profesi sebagai pedagang kambing
tersebut ditekuninya hingga tahun 2004. Hingga suatu saat seorang temannya
bernama Supri menasehatinya. Supri menasehati Talminto jika ia sudah tidak
pantas lagi berjualan kambing, karena penghasilannya sedikit. Menurut Supri
sudah saatnya jika Talminto berjualan sapi. Atas saran dan nasehat Supri akhirnya
mulai tahun 2004 Talminto berjualan sapi. Dimulainya dari dangangan yang
sedikit hingga menjadi pedagang besar. Ia pasarkan sapi-sapinya di Pasar Hewan
Dimoro di Kota Blitar. Hasil dari penjualan sapi sangat menopang kehidupannya.
Keuntungan berdagang sapi apabila dirata-rata per bulan bisa mencapai 25 juta.
Karirnya sebagai pedagang sapi berlangsung cukup lama. Hal tersebut menjadikan
Talminto sebagai orang yang sukses. Ia mulai membeli mobil pick up untuk
berjualan sapi. Kesuksesannya juga menjadikan ia berpikir untuk menikah lagi.
Pada tahun 2007 Talminto menikah lagi dengan seorang perempuan Jawa
bernama Komariah. Rumahnya tidak jauh dari Pasar Wates. Pernikahannya
dengan istri kedua tersebut sampai sekarang belum dikaruniai putra. Pada saat
menikah, status istri Talminto adalah janda dengan satu anak laki-laki. Sehingga
saat ini Talminto mempunyai 2 anak. Seorang gadis berusia 18 tahun dari
pernikannya yang pertama, dan seorang anak laki-laki berusia 11 tahun yang
merupakan anak dari istri kedua Talminto. Mereka hidup bersama di rumah dekat
138
perkebunan Gondang Tapen, bersama adik laki-laki Talminto yang kesembilan,
yang saat ini memiliki usaha bengkel motor di depan rumah.
Pada tahun 2011 Talminto memutuskan untuk tidak lagi berdagang sapi.
Hal tersebut dikarenakan harga sapi yang sangat anjlok pada waktu itu. Anjloknya
harga sapi tersebut disebabkan kebijakan kuota sapi impor diperbanyak oleh
pemerintah. Kerugian Talminto pada waktu itu hampir mencapai 50%. Ia membeli
beberapa sapi untuk dijual kembali dengan total biaya Rp 120.000.000. Akan
tetapi uang yang diterima kembali oleh Talminto hanya sebesar Rp 68.000.000.
Kerugian besar ini membuat Talminto untuk tidak lagi berjualan sapi. Saat ini ia
hanya mempunyai tiga ekor sapi yang dipelihara di belakang rumahnya. Ketiga
sapi tersebut tidak untuk diperjualbelikan seperti dahulu, melainkan hanya sebagai
binatang peliharaan.
Gambar 4.3 Sapi Peliharaan Talminto di Belakang Rumah
Sumber: Dokumentasi Peneliti
139
a. Talminto sebagai Petani
Pasca Talminto tidak lagi berdagang sapi, kemudian ia mulai tertarik untuk
menjadi petani, tepatnya pada tahun 2011. Awalnya ia tidak mempunyai lahan
garapan di eks perkebunan Gondang Tapen. Kemdian ia diberikan lahan seluas 30
are oleh saudara perempuannya yang kedua dari total lahan 50 are. Sehingga
saudaranya masih mempunyai sisa lahan 20 are. Sisa lahan 20 are itu pun
Talminto yang mengerjakannya. Sementara hasilnya dapat dibagi dua. Hal
tersebut dikarenakan saudara perempuannya telah memiliki usaha lain berupa toko
sembako yang besar. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Talminto
berikut ini.
“Awalei aku ra nduwe garapan mas. Trus akhire aku dikei mbakyu ku seng nomer loro ki 30 are, mbakyu ku nduwe total setengah hektar, 50 are. Yo iku dikekne aku mergo aku wes ora dodolan sapi kuwi. Tapi yo ora mergo iku ae, mbakyu ku ki saiki mergane nduwe usaha dewe, toko gedhe, dadi lahan ki ora patek digarap. Sisane sek 20 are ki yo kon nggarap aku. Neng asile dibagi”. (“Awalnya itu saya tidak punya garapan mas. Kemudian akhirnua diberi sama mbak saya yang nomor tiga seluas 30 are. Mbak saya sendiri punya total lahan 50 are. Lahan tersebut diberikan kepada saya karena saya sudah tidak berdagang sapi lagi. Tetapi tidak hanya itu juga alasannya. Mbakku sekarang sudah punya usaha sendiri, toko besar, sehingga lahan tidak begitu dikerjakan. Sisanya yang masih 20 are itupun juga saya yang kerjakan. Tapi hasilnya dibagi”). (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Lahan seluas 30 hektar tersebut ditanami beberapa macam tanaman buah
dan sayur tergantung musimnya. Saat ini kebun Talminto sedang ditanami buah
melon. Umurmanya masih 1,5 bulan. Hal itulah yang membuat ia setiap hari pergi
ke lahan garapan. Mengingat usia melon yang masih 1,5 bulan membutuhkan
perawatan yang intensif layaknya seorang bayi, khususnya dalam hal menyirami.
Melon yang masih berusia 1,5 bulan membutuhkan dua kali penyiraman, pagi dan
sore hari.
140
“Lak taneman ki musiman mas. Tergantung dadi nandure karo musime. Lalek saiki usume melon karo semongko, karo lombok. Saiki tanemanku melon mas, sek umur 1,5 ulan. Lak sek umur sakmono ki jan koyo bayi ngrawate. Disirami saben esuk ambek sore”. (“Kalo tanaman itu tergantung musimnya mas. Jadi nanemnya terhgantung dengan musimnya. Kalo sekarang ini musimnya melon dan semangka, dan cabe. Sekarang tanaman saya melon, umurnya masih 1,5 bulan. Kalo masih umur sigitu itu merawatnya kayak bayi. Disirami setiap pagi dan sore”). (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016). Penghasilan yang didapatkan dari lahan garapan cukup untuk hidup,
walaupun bisa dibilang tidak pasti. Kalau dirata-rata per tahunnya bisa mencapai
Rp 25.000.000. Sehingga kurang lebih pendapatannya per bulan sebesar Rp.
2.000.000. Penghasilan 2 juta dari lahan dianggap cukup bagi Talminto karena
selain penghasilan tersebut, Talminto masih mempunyai penghasilan tambahan. Ia
juga menanam cabe di lahan depan rumahnya yang relative luas, sekitar 1,8 are
yang ditanaminya cabe. Pengahasilan dari menanam cabe tersebut jika dirata-rata
per bulannya bisa mencapai Rp. 2.000.000. mengingat harga cabe yang mahal.
“Lalek penghasilan ki ora mesti mas, tapi lak dingge urip yo cukup ngono ae. Lek dirata-rata per tahun iku aku entuk selawe (25) juta. Iku lak dirata-rata per wulane yo sekitar rong (2) juta. La sakjane iku lak rong (2) juta iku ora cukup dingge urip. Tapi aku selain lahan nek tagil iku aku yo nduwe lahan maneh neng ngarepan kui mas. Nek kulon dalan kui tinggalane bapakku enek 1,8 are ki tak tanduri lombok. Yo cukuplah lah lek ditambahi kui, lomboki kuwi kiro-kiro saben sasine rong (2) juta, marai lombok ki kan larang to mas”. (“Kalo penghasilan itu tidak tentu mas, tapi kalo dibuat hidup ya cukup saja. Kalo dirata-rata per tahun itu saya dapat 25 juta. Itu kalo dirata-rata per bulannya bisa 2 juta. Sebenarnya 2 juta itu tidak cukup untuk hidup mas. Tapi selain lahan di bekas perkebunan saya juga punya lahan lagi di depan sini mas, di barat jalan sini. Itu peninggalan dari bapak saya, luasnya sekitar 1,8 are, itu saya tanami cabe. Ya cukuplah kalo ditambahi dari panen cabe. Kalo cabe itu rata-rata perbulan dapet 2 juta. Karena kan cabe itu mahal kan mas”). (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Aktivitas keseharian Talminto ke lahan garapan dimulai sejak pukul enam.
Sesampainya di lahan, ia mulai bergegas untuk menyiapkan segala peralatannya.
141
Saat ini yang ia butuhkan hanya penyiram tanaman. Mulai pukul tujuh pagi ia
meyirami tanaman melonnya. Kemudian beristirahat sejenak sekitar pukul
sembilan untuk sarapan, yang dibawakan oleh istrinya dalam rantang. Pukul
sembilan sampai dengan sekitar pukul dua belas siang ia bekerja kembali.
Sementara sekitar pukul dua belas sampai dengan pukul satu siang ia istirahat.
Istirahat siang ia gunakan untuk makan dan diteruskan dengan tidur siang di
gubugnya. Walaupun beragama Islam ia jarang menuanikan sholat. Hal ini
dikarenakan lingkungan desanya yang juga tergolong dalam umat Islam yang
kurang taat. Setelah istirahat siang, ia kemudian bekerja lagi hingga sekitar pukul
empat sore, dan setelah itu langsung pulang ke rumah. Aktivitas keseharian
Talminto tersebut tidak ditemani sang istri. Istri Talminto jarang sekali ikut ke
lahan garapan. Karena istrinya telah diberikan tugas untuk merawat cabe di lahan
depan rumahnya. Sehingga istrinya tidak berkewajiban untuk ikut ke lahan
garapan. Selain itu juga, lahan Talminto relatif kecil. Jika tidak musim panen bisa
dikerjakannya sendiri. Namun apabila musim panen, Talminto menyewa orang
untuk dijadikan sebagai buruh tani. Pemaparan di atas sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Talminto.
“Bendino ki aku bidal jam enem (6) mas nenng tegal. Barngono siap-siap, nyiapne alat, lak saiki mek alat dingge nyiram melon. Engko sekitar jam pitu (7) mulai nyiram, yo sakentuke. Engko jam songo (9) leren sarapan sek. Dadi bendino ki bojoku gowokne panganan dingge sarapan karo mangan awan nek rantang. Mari sarapan kerjo eneh nganti kiro-kiro jam rolas (12). Mari ngono leren maneh, mangan awan trus turu dilut, turu awan. Mari ngono kerjo maneh nganti sore, kiro-kiro yo jam papatan, mari langsung muleh. Lak bojoku ora tau melu mas. Jarang banget, mergane opo, bojoku wes nduwe penggawean dewe. Bojoku tak kon ngurusi Lombok nek omah, nek lahan kulon dalan kuwi, wes ora usah melu aku, cuku gawakno sego”. (“setiap hari saya berangkat jam enam (6) ke lahan. Setelah sampai saya langsung siap-siap, nyiakan alat, kalo sekarang alatnya Cuma penyiram melon. Nanti sekitar pukul tujuh (7) mulai meyiram, semampunya. Nanti jam Sembilan (9) istirahat utnuk
142
sarapan. Jadi tiap hari itu istri saya bawakan makanan untuk sarapan dan makan siang di rantang. Setelah sarapan kerja lagi sampai kira-kira pukul dua belas (12). Habis itu istirahat lagi, makan siang trus tidur siang bentar. Setelah itu kerja lagi sampai sore, kira-kira pukul empat (4) sore, trus langsung pulang. Kalo istriku itu tidak pernah ikut mas, karena apa, istriku sudah punya pekerjaan sendiri. Istriku aku suruh ngurusi tanaman cabe di depan rumah, di lahan barat jalan itu. Udah tidak usah ikut aku ke lahan cukup bawakan nasi”.) (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Gambar 4.4 Tanaman Cabe di Seberang Jalan Rumah Talminto. Lahan
inilah yang diurus oleh isteri Talminto setiap hari.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Bagi Talminto lahan garapan bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi
juga untuk mencari rumput. Makanan dari semua bianatang ternak Talminto
dicarikan di lahan tersebut.
“Dadi tegil kui ora mek dingge golek panguripan tok mas, yo dingge panguripane sapi-sapiku. Lawong aku lak ngaret yo nek tegil kui”). Jadi lahan garapan itu tidak hanya untuk kehidupan orang mas, tetapi juga untuk kehidupan hewan ternak saya. Saya lo kalo cari rumput juga di lahan garapan situ”). (Wawancara tanggal 28 Oktober 2017). Begitulah kehidupan Talminto sebagai petani. Sebagai petani, ia tidak
mempunyai hal-hal atau aktivitas khusus yang dilakukannya. Apa yang
dilakukannya seperti layaknya petani pada umumnya. Berikut gambar lahan
garapan Talminto di Eks Perkebunan Gondang Tapen.
143
Gambar 4.5 Lahan Garapan Talminto
Sumber: Dokumentasi Peneliti
b. Talminto sebagai Aktor Gerakan
Talminto sebagai aktor gerakan perjuangan tentunya memiliki cerita
sendiri di antara aktor yang lain. Talminto sebagai petani yang kemudian menjadi
aktor gerakan mengalami reidentitas tentang dirinya sebagai ketua paguyuban.
Reidentitas tersebut kemudian menjadikan ia mempunyai kehendak atau
voluntaristik terkait paguyuban dan gerakan perjuangan. Kehendak tersebut
akhirnya sangat menentukan arah gerakan dan mempengaruhi kehendak-kehendak
petani atau anggota yang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa pribadi Talminto
sangat mendeterministik kepada struktur peguyuban, baik struktur yang bersifat
administratif, maupun yang bersifat pengetahuan (struktur pengetahuan di antara
petani).
Sejarah awal Talminto bergabung untuk memperjuangkan tanah
sebenarnya terjadi secara tidak disengaja. Pada awalnya Talminto sama sekali
tidak tertarik dengan kasus perkebunan Gondang Tapen. Bagi dirinya, masalah
pertanahan seperti yang terjadi saat ini tidak cocok untuknya. Ia tidak pernah
144
mendapatkan pengalaman dalam hal pertanahan. Justru berawal dari masalah lain
yang akhirnya menyebabkan Talminto secara tidak sengaja ikut dalam gerakan
memperjuangkan tanah garapan. Awal mulanya dari masalah yang terjadi di
Jolosutro. Sekitar tahun 2010, pasir besi di Pantai Jolosutro ditambang oleh
sebuah perusahaan. Ia merasa dalam perjalanan proses pertambangan tersebut
merugikan pemerintah desa. Ia menilai jika pasir besi yang ditambang tersebut
bernilai hingga milyaran rupiah apabila telah diekspor. Akan tetapi pajak yang
dikenakan desa kepada perusahaan hanya Rp 4.000 per rit atau 7 ton. Padahal,
perusahaan yang melakukan penambangan termasuk perusahaan besar. Di dekat
wilayah tambang di Pantai Jolosutro alat-alat berat lengkap dengan gilingan
pemilah pasir besi. Sehingga pasir besi yang diangkut telah siap ekspor.
Atas dasar rasa ketidakadilan tersebut Talminto meminta kepada
perusahaan agar pajak yang diberikan kepada desa ditambah menjadi Rp. 10.000
per ton. Akan tetapi perusahaan tetap tidak mau untuk menaikkan pajaknya
kepada desa. Karena perusahaan besikukuh tidak mau, akhirnya Talminto
meminta dukungan kepada masyatakat Jolosutro untuk melakukan demonstrasi
kepada perusahaan tambang tersebut. Awalnya ia mencari para tokoh masyarakat
di daerah Jolosutro untuk mendukaung aksinya. Akan tetapi para tokoh tersebut
tidak ada. Para tokoh tersebut sedang berkumpul di rumah Pak Partu. Berikut
pemaparan dari Talminto.
“Aku maune gak tertarik blas mas, kasus Gondang Tapen iki gak tertarik belas. Masalah lemah-lemah ngeniki gak cocok lah. Berawal dari anu mas sebenare iku. Aku iki butuh dukungan dari tokoh-tokoh, kan Jolosutro iku kan ditambang kan mas pasire iku, la waktu kui iki, aku ki merasa piye yo, merasa gak cocok mergane pasir besi iki nilaine milyatan neng seng nek deso iku kok mek 4000 per satu rit (7 ton). Dadi iku perusahaan gede, wes enek gilingane, dadi metune wes bersih siap ekspor. Aku iki pengen ben deso iki yo sugi, aku ngomong nek bose njaluk 10.000 nek deso. La kui
145
trus usul nek pimpinane tambang kono, njaluk diundakne. La iku trus akhire arep tak demo kui. Dadi asline sebelum masalah tanah iku aku urusanku masalah penambangan iku. Trus aku ki neng nggene Mbah Partu, tokoh Jolosutro. Maune ki aku nemoni tokoh-tokoh liayne sek to, tokoh-tokoh ki tak goleki gak enek jare rapat nang nggene Mbah Partu. Trus aku ki nyusul nek nggene Mbah Partu. (“Aku awalnya tidak tertarik sama sekali mas kasus Gondang Tapen ini gak tertarik sama sekali. Masalah tanah-tanah seperti ini gak cocok lah. Berawal dari itu mas sebenarnya. Aku ini butuh dukungan dari tokoh-tokoh, kan Jolosutro itu kan ditambang kan mas pasirnya, nah waktu itu aku merasa gimana ya, merasa gak cocok karena pasir besi itu kan nilainya milyatan, tapi yang ke desa itu kok hanya 4000 per 7 ton. Jadi itu perusahaan besar, sudah ada giligannya, dan keluarnya sudah bersih siap ekspor. Aku ini kepingin desa ini ya kaya, aku ngomong ke bisnya mintak 10.000 untuk ke desa. Trus usul ke pimpinan perusahaan tambang, minta dinaikkan. Trus akhirnya akan aku demo itu. Jadi aslinya sebelum masalah tanah itu, urusanku masalah penambangan itu. Trus aku ke rumah Mbah Partu, tokoh Jolosutro. Awalnya aku menemui tokoh-tokoh yang lain dulu, tokoh-tokoh aku cari tidak ada katanya sedang rapat di rumah Mbah Partu. Trus aku ke rumah Mbah Partu”). (Wawancara tanggal 2 November 2016). Di rumah Pak Partu para tokoh tersebut sedang membicarakan masalah
tanah. Talminto diam tidak berucap sama sekali karena memang tidak mengetahui
permasalahannya. Bagi dia saat itu permasalahan tanah tidak cocok untuknya, dan
apa yang dibicarakan dalam rapat tersebut sama sekali tidak dipahami oleh
Talminto. Pada saat rapat tersebut kebetulan sekali ada LSM dari Blitar yang
datang. Talminto sendiri tidak mengetahui dari mana LSM tersebut dan apa nama
LSMnya. Yang dia ingat hanya nama orang yang datang sebagai perwakilan dari
LSM tersebut. Namanya adalah Pak Banjar seorang pengacara. Inti dari
kedatangan LSM tersebut adalah untuk memberikan bantuan hukum dalam
penyelesaian kasus sengketa tanah Gondang Tapen. Akan tetapi, Talminto
merasakan jika permintaan dari LSM tersebut tidak masuk akal. Para petani
dikenai Rp 2.500.000 untuk biaya notaris. Sementara untuk biaya operasionalnya
mencapai Rp 25.000.000, dengan batas waktu kerja yang tidak ditentukan oleh
146
LSM. Talminto semakin curiga kepada LSM jika permintaan tersebut hanya
politik LSM untuk mencari uang. Dengan niat untuk menyelamatkan uang senilai
Rp. 27.500.0000, akhirnya Talminto angkat bicara.
Talminto memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada Pak Banjar terkait
rincian dana yang akan digunakan. Akan tetapi Pak Banjar tidak mampu
menjawabnya. Akhirnya, Talminto mempengaruhi masyarakat untuk tidak mau
mengelurkan uang senilai Rp 27.500.000. Niat Talminto hanya satu, untuk
menyelamatkan uang yang sangat banyak tersebut yang belum tentu kegunaannya.
Karena jasa Talminto dalam menyelamatkan uang tersebut, akhirnya para petani
yang lain tertarik kepada Talminto. Para petani mengharapakan Talminto untuk
masuk kepanitiaan perjuangan tanah. Akan tetapi pada saat itu ia belum begitu
tertarik untuk bergabung. Dengan sedikit paksaan dari para petani akhirnya
Talminto dijadikan wakil ketua mendampingi Pak Partu sebagai ketuanya. Justru
masalah yang awalnya menjadi perhatian Talminto, yaitu masalah pertambangan
tidak jadi ia lanjutkan. Berikut pemaparan Talminto.
“Nek kono, nek omahe Mbak Partu ngomongne blokane tanah. Aku ki yo ora komentar blas wong aku gak cocok, marai gak nyambung. La pas kui ki pas ketekanan LSM nek nggene Mbah Partu. Jenenge Pak Banjar, tapi aku dewe yo ora ngerti. Nek kono ki sire njikuk duit teko Mbah Partu, aku dijaluki pertimbangan, tak rasak-rasakne kata-katane kok gak masuk akal kabeh. Kan biaya notarise 2,5 juta, trus biayane ngge operasionale iku 25 juta. Trus seng aku gak cocok iki kan katane batas waktune nyambut gawe kuwi gak enek, sampek kapan iku nggak enek. Akhire aku berusaha mbujuk wong-wong ben ora gelem mbayar. Maslahe wedine ora jelas duite arep dingge opo, gek sampek kapan iso marekne masalahe. Akhire dengan menyelamatkan uang 27,5 juta kui, aku mulai tertarik nek masalah iki. Lah, dengan aku nyelamatkan 27,5 kui barwi wong-wong merasa tertarik karo omonganku iku. Trus aku ki moro2 dikonkon dadi panitia iku jane aku wegah, domongi awale gak cocok aku. Trus aku didadekne wakil ketua. Dadi awale kasus penambangane, iku sekitar tahun 2010an. Akhire senga nmasalah tambang malah ora sido aku candak”. (“Di sana, di
147
rumah Mbah Partu membicarakan masalah tanah. Aku tidak komentar apa-apa awalnya. Soalnya aku gak cocok, gak nyambung. Trus pada saat itu kebetulan kedatangan LSM. Namanya Pak Banjar, tapi aku sendiri juga tidak tahu siapa itu. Di sana itu niatnya ambil uang dari Mbah Partu, aku dimintai pertimbangan. Aku rasakan kata-katanya kok tidak masuk akal semua. Kan biaya notaries sebesar 2,5 juta, trus biaya operasional itu 25 juta. Trus yang membuat aku tidak cocok itu katanya yang tidak ada batas waktunya, sampai kapan tidak ada. Akhirnya aku berusaha untuk membujuk orang-orang supaya tidak membayar. Masalahnya takutnya tidak jelas uangnya digunakan untuk apa, dan sampek kapan bisa diselesaikan masalahnya. Akhirnya dengan menyelamatkan uang 27,5 juta tersebut, aku mulai tertarik denegan masalah ini. Dengan menyelamatkan uang 27,5 juta tersebut orang-orang kemudian merasa tertarik dengan saranku. Trus aku itu tiba-tiba dijadikan panitia, aku ndak mau, karena awalnya aku merasa gak cocok. Trus aku dijadikan wakil ketua. Jadi awalnya kasus penambangan itu tahun 2010an. Akhirnya masalah pertambagan jutru tidak jadi aku kerjakan”). (Wawancara tanggal 2 November 2016). Di tahun 2010 Talminto telah bergabung menjadi wakil paguyuban. Pada
saat Talminto bergabung, paguyuban tersebut belum diberi nama. Kala itu masih
disebut panitia pemohon tanah. Karena memang tujuannya adalah untuk
redistribusi tanah ke Badan Pertanahan (BPN) Pusat. Setelah kurang lebih tiga
tahun bergabung akhirnya kepemimpinan Mbak Partu berakhir. Berakhirnya
kepemimpinan Mbah Partu bukan tanpa sebab. Beberapa hari sebelum SK.
Kemenhut No. 367 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan tahun 2013 terbit, Mbah
Partu menerima tanah dari Badan Pertanahan Nasiona (BPN) seluas 72,4 hektar.
Penerimaan tersebut atas permohonan Mbah Partu kepada BPN. Tapi sayangnya
Mbah Partu tidak terbuka dengan masyarakat petani. Tanpa diketahui Pak
Talminto dan seluruh petani, Mbah Partu tiba-tiba hanya mengajak beberapa
petani untuk menerima tanah seluas 74,2 Ha. Artinya tidak ada kesepakatan di
antara anggota panitia pemohon terkait luas tanah yang akan dilepas dari BPN.
148
Akhirma masyarakat menolak atas penerimaan tanah tersebut. Dikarenakan jika
dibagi ke seluruh petani jelas tidak akan cukup. Menurut perhitungan Pak
Talminto, luas tanah 74,2 Ha jika dibagi ke seluruh penggarap, maka rata-rata per
penggarap hanya memperoleh 6 are. Luasan tanah tersebut sangat tidak layak
untuk hidup. Atas penelolakan masyarakat terkait penerimaan tanah tersebut,
maka kepanitiaan yang diketuai Mbah Partu dibubarkan. Eksistensi dan
kepercayaan masyarakat petani kepada Mbah Partu kemudian hilang.
“Karna Mbah Partu tidak terbuka kepada masyarakat, Mbah Partu tiba-tiba hanya mengajak beberapa masyarakat untuk menerima 72,4 hektar. Artinya, kalo diitung-itung per penggarap itu dapat 6 are. Akhirnya masyarakat nggak mau lagi, menolak lagi. Setelah itu, Mbah Partu eksistensinya telah hilang. Karna apa, mengajak menerima itu, masyarakat nggak menerima, akhirnya panitia Mbah Partu mau dibubarkan” (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016).
Seminggu pasca kejadian tersebut, tiba-tiba muncul SK. Kemenhut No,
367 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di eks Perkebunan Gondang Tapen
melalui Pemerintah Desa Ringinrejo. Sontak hal tersebut membuat masyarakat
resah. Hal tersebut membuat Talminto yang awalnya menjadi wakil paguyuban
menunjukkan aksinya. Dalam SK tersebut dituliskan, jika dalam kurun waktu 3
bulan tidak ada gugatan dari masyarakat, maka SK yang awalnya penunjukkan,
menjadi penetapan. Hal itulah yang membuat Talminto mengumpulkan
masyarakat petani Desa Ringinrejo untuk melakukan gugatan. Untuk melakukan
tindakan tersebut, maka Talminto mengajak panitia yang telah ada, untuk
dibentuk suatu paguyuban khusus perjuangan.
Langkah awal Talminto untuk membentuk paguyuban adalah dengan
mengumpulkan semua tokoh penggarap, baik dari Dusun Krajan, Ringinsari,
Ringinanyar dan Jolosutro. Dalam perkumpulan tersebut Talminto berbicara
149
tentang pembentukan paguyuban untuk perjuangan tanah. Sebenarnya,
pendapatnya lebih kepada memperbaiki panitia yang telah ada. Ia berpendapat,
dari pada membentuk panitia baru, lebih baik panitia yang sudah ada
dikonsolidasi dan diperbaiki. Pertemuan tersebut akhirnya menyepakati
terbentuknya paguyuban perjuangan tanah bernama Paguyuban Petani Gondang
Tapen (PPGT). Di mana Pak Talminto sebagai ketua paguyuban dan Mbah Partu
yang dulunya sebagai ketua digeser menjadi penasehat serta Pak Marsiman
Kepala Dusun Ringinanyar menjadi pembina.
“Setelah itu, semua tokoh saya kumpulkan, ya pokoknya semua tokoh penggarap, semua tokoh-tokoh penggarap itu, dari Krajan, dari Ringinsari, dari Ringinanyar, Jolosutro, saya kumpulkan, trus saya ngajak ngomong, dari pada membentuk panitia, lebih baik panitia yang sudah ada ini dikonsolidasi, diperbaiki, gitu. La, kemudian ada kesepakatan, mbah Partu yang dulunya ketua, digeser menjadi dewan penasehat, panitia ini namanya Paguyuban Petani Gondang Tapen. Trus Mbah Partu sebagai penasehat, trus pak Marsiman Kasun Gondang Tapen itu menjadi pembina. La saya, yang dulu menjadi wakil ketua sekarang menjadi ketua”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Setelah terbentuk kepanitiaan PPGT, Talminto mengawali
kepemimpinannya dengan melakukan mendataan ulang terkait data penggarap.
Data yang ada dalam kepanitiaan Mbah Partu sekitar 1.500 petani penggarap.
Padahal untuk Desa Ringinrejo sendiri jumlah petaninya hanya sekitar 800
penggarap. Sementara PPGT dibentuk khusus untuk petadi di Desa Ringinrejo.
Akhirnya pendataan ulang tersebut mencatat bahwa petani penggarap Desa
Ringinrejo sebanyak 826. Data tersebut kemudian dimusyawarah dan
disosialisasikan kepada petani penggarap. Tujuannya untuk memastikan bahwa
data tersebut harus clear. Artinya, data yang ada harus sama jumlahnya dengan
150
fakta di lapangan. Daftar penggarap tersebut harus mengikuti jalannya perjuangan
PPGT.
“Setelah menjadi kepanitiaan yang baru ini, PPGT, saya diangkat menjadi ketua, saya awali dengan pendataan ulang, data penggarapnya. La, dulunya itu kan penggarap itu kan, kalo secara keseluruhan, itu kan penggarapnya itu kan sekitar 1500 lah. Tapi Mbah Partu waktu itu 1500 an itu seluruh penggarap. Cuman, pasti atau grambyangan saya juga nggak ngerti. Wong petani desa sini itu Cuma sekitar 800an. Cuman untuk mengawali kinerja saya, modal utama kan data dulu, khusus masyarakat Ringinrejo itu, saya data ulang penggarapnya 826, itu mewakili masyarakat Ringinrejo. Kalo luar Ringinrejo memang saya nggak ndata. Kemudian hasil data saya itu, saya musyawarahkan, ini data clear, istilahnya data clear itu sesuai dengan fakta di lapangan. Setelah saya dapat data yang akurat ini, trus saya sosialisasikan, daftar penggarap yang sudah terdaftar ini istilahnya harus mengikuti paguyuban”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Langkah Talminto yang kedua sebagai ketua paguyuban dengan
memberikan himbauan kepada anggotanya yang tak lain para petani untuk tidak
memperjualbelikan atau memindahtangankan lahan garapan. Hal tersebut
dikarenakan paguyuban yang telah dibentuk untuk memperjuangkan tanah para
anggotanya. Seandainya petani pemggarap terdaftar alam paguyuban, akan tetapi
tanahnya dijual maka statusnya adalah sebagai daftar penggarap yang tidak
memiliki lahan garapan. Ini yang tidak dikekendaki Talminto. Kemudian jika hal
tersebut terjadi, maka apa yang diperjuangkan paguyuban akan sia-sia.
“Lahan garapan jangan sampai diperjualbelikan atau dipindahtangankan, karena apa, yang saya perjuangkan itu garapane sampean, kalo sampean terdaftar jadi penggarap, tapi garapane dijual, artinya sampean terdaftar sebagi daftar penggarap tapi ndak punya lahan garapan, trus yang saya perjuangkan siapa, kalo enggak punya garapan, memang saya gitukan”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016).
151
Gambar 4.5 Talminto saat Memimpin Pertemuan
Sumber: Dokumen Sitas Desa
Penetuan arah gerakan yang dipimpin oleh Talminto dengan jalan
musyawarah. Semua anggota paguyuban harus ikut musyawarah, terkhusus
kepada anggota pengurus. Karena jika semua anggota paguyuban, yang artinya
seluruh petani penggarap di Desa Ringinrejo, hanya beberapa kali saja diadakan
dalam forum yang besar. Dalam rapat-rapat pengurus, semua yang akan dilakukan
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Talminto mendefinisikan dirinya sebagai ketua
yang tidak otoriter. Justru Talminto marah jika dalam pertemuan tidak ada yang
bertanya atau memberikan pendapatnya. Karena bagi dia, perkumpulan yang
diadakan tujuannya adalah musyawarah. Bukan anggota yang datang hanya untuk
mendengarkan Talminto berbicara. Sehingga pola pikir dan inisiatif para anggota
digali oleh Talminto. Setelah penggalian pendapat dari masing-masing anggota
barulah hasil rapat dapat diputuskan dengan baik.
“Musyawarah, iya musyawarah, semua anggota paguyuban musyawarah, nanti kalo ada kesulitan kita pecahkan bareng-bareng. Ya istilahe enggak otoriter lah. Justru saya marah waktu pertemuan kalo ndak ada yang mengeluarkan pendapat. Nah justru itu saya malah marah, karena saya ajak kumpul itu niatnya saya ajak musyawarah, bukan saya suruh mendengarkan apa yang saya katakan. Jadi pola berpikirnya, inisiatifnya saya gali semua. Nah setelah kita gali masing-masing pendapat baru, kita
152
putuskan bersama, mana yang terbaik”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Gerakan yang dipimpin Talminto diawali dengan menggali informasi
kepada kepanitiaan lain di Perkebunan Kulonbambang di Kecamatan Doko.
Kepanitiaan di Kolunbambang telah berhasil merebut tanah dari kekuasaan
Perhutani. Talminto akhirnya pergi ke Doko untuk menanyakan langkah-langkah
yang harus ditempuh. Dari Kulonbambang, ia mendapatkan informasi bahwa
keberhasilan yang didapat petani Kulonbambang melalui negosiasi ke BPN Blitar.
Akhirnya atas saran dari kepanitiaan Kulonbamnag, Talminto dan sekitar 30
petani Gondang Tapen berdemo ke BPN Blitar, menuntut penyelesaian kasus
yang dialami petani Gondang Tapen. Dalam demo tersebut, Talminto dipanggil ke
dalam kantor BPN. Jawaban dari BPN sangat singkat. Bahwa, BPN selaku
pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. BPN selaku pemerintah juga telah melepas
beberapa hektar tanah di kepanitaan sebelumnya. BPN hanya pelaksana teknis.
Masalah ini merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pusat. Kemudian
demo dilanjutkan ke Kantor Bupati dan DPRD Blitar. Kedua instansi tersebut juga
memberikan jawaban melalui Talminto, jika permasalahan ini pemerintah daerah
tidak mempunyai wewenang sama sekali. Sementara dari DPRD, nampaknya
setelah memberi jawaban tersebut tidak ada pihak yang kiranya bersedia
membantu dalam penyelesaian kasus ini. Berikut pernyataan dari Talminto.
“Ya diawali kita dengan menggali informasi dengan kepanitiaan yang lain di Kulonbambang itu kan udah berhasil, kita tanya-tanya ke sana, trus kita diruruh ke BPN. Tapi aku gak mau kalo sendiri awalnya, aku kerahkan masa untuk ke BPN, kita demo di depan BPN Blitar, la BPN jawabannya kalo pemerintah sudah melepas sekian hektar itu, BPN Blitar ndak punya lagi wewenang, itu wewenang pusat. Trus demo saya lanjutkan ke Kantor Bupati,jawabannya sama, ke DPRD, jawabnnya sama. Bakan DPRD itu
153
yang harusnya bantu kami kaena wakil rakyat malah gak ada yang peduli”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Jawaban-jawaban dari demo tersebut kemudian membuat Talminto dan
anggotanya kecewa. Dari situ kemudian Sitas Desa dan Elsam datang membantu.
Sitas Desa merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tingkat lokal yang
sering mendampingi kasus-kasus agrarian. Sementara Elsam adalah lembaga
bantuan hokum yang adab di Jakarta. Sitas Desa dan Elsam merupakan partner
dalam penyelesaian kasus-kasus hukum agraria. Atas saran Sitas Desa dan Elsam,
maka Talminto dan PPGT. Memutuskan untuk mencari keadilan di Jakarta.
Talminto membawa kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Beberapa kali sidang ia selalu mengikuti. Total sidang adalah sebanyak 6 kali
beserta sidang putusan. Enam kali sidang tersebut dilakukan selama 1,5 bulan.
Satu sidang dengan sidang berikutnya hanya berselang satu minggu. Sidangb
dilaksanakan setiap hari Kamis. Ketika di Jakarta, ia menginap di Kantor Elsam.
“Setelah itu ada Sitas Desa sama Elsam mas, ke sini, bantu saya, ya bantu petani. Trus disaranin untuk nggugat ke Jakarta, ke PTUN. Yowes akhirnya kasus ini saya gugat ke Jakarta, soale kalo nggak ndang-ndang digugat, selang 3 bulan penunjukkan iku status uwes berubah dadi penetapan. Di PTUN itu sidang totale 6 kali sak sidang putusan, sidange saben dino Kemis, seminggu sekali, pas di Jakarta, iku aku yo nek Elsam”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Sidang di PTUN tersebut memutuskan jika gugatan petani ditolak. Petani
tidak mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menggugat, dikarenakan
petani tidak mempunyai hak secara hukum atas tanah Gondang Tapen. Setelah
ditolak dalam 6 kali sidang, kemudian Talminto menginginkan banding. Hasil
banding pun juga menolak gugatan petani. Penolakan atas gugatan tersebut
kemudian oleh Talminto diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk Kasasi.
154
Pengajuan ke MA tersebut juga atas dasar saran dari Sitas Desa dan Elsam. Akan
tetapi putusan dari MA tetap menguatkan dari sidang di PTUN, bahwa gugatan
petani ditolak. Dari situ Talminto hampir putus asa.
“Saya bawa itu, kasus ini ke PTUN, ya karena dikasih tahu Elsam sama Sitas itu. Di PTUN akhirnya hasilnya ditolak, trus saya nggak terima, saya banding, ditolak lagi, akhirnya saya bawa ke MA untuk Kasasi. Putusan MA akhirnya menguatkan putusan PTUN, wes aku hampir aja putusa asa‟‟. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016). Awalnya Talminto hampir saja putus asa. Akan tetapi karena begitu kuat
keinginan petani untuk terus berjuang, maka perjuangan terus dilanjutkan. Pasca
penolakan gugatan petani oleh MA, maka Talminto memulai strategi lain. Bagi
dia, jika jalur hukum tidak bisa ditempuh, maka harus dengan jalur lain. Kala itu
jalur demonstrasilah yang ia gunakan. Pada bulan Mei 2015, Talminto dan sekitar
60 petati Gondang Tapen melakukan demo ke Jakarta. Sasarannya ke Kantor
Kedutaan Swiss dan Kantor Pusat PT. Holcim Indonesia. Bersama ke enam puluh
(60) petani lainnya, ia menyewa bus besar. Perjalanan membutuhkan waktu
sekitar 17 jam. Sesampainya di Jakarta, Talminto dan petani lainnya tidur di
Kantor Elsam. Keesokan harinya demo dilakukan di depan Kantor Keduataan
Swiss. Talminto memimpin demo tersebut. Akhirnya demo tersebut membuahkan
hasil. Talminto dipanggil ke dalam kantor. Pimpinan kedutaan memberikan jalan
kepada Talminto agar menyelesaikan kasus persengketaan tanah langsung ke
Swiss, ke National Contact Point (NCP). Permasalahan akan dapat diselesaikan
jika pengaduan ke NCP dilakukan. Hal tersebut karena Holcim merupakan
perusahaan multinasional asal Swiss, dan segala gugatan perusahaan dapat
dilakukan di negara asalnya.
155
Setelah ke Kedutaan Swiss selanjutnya aksi dilakukan di depan Kantor
Pusat PT. Holcim Indonesia. Di sana Talmonto dan petani tidak mendapatkan
respon. Hal tersebut karena pada saat demo tersebut bertepatan dengan
diadakannya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Sehingga pimpinan
Holcim Indonesia tidak bisa menemui petani karena menghadiri acara KAA di
Bandung. Dengan demikian demonstrasi di Kantor Pusat PT. Holcim Indonesia
tidak berbuah apa-apa. Selesainya demo tersebut akhirnya Talminto dan para
petani lainnya langsung kembali ke Blitar pada hari itu juga.
“Jadi demo itu 60 orang mas yang ke Jakarta, naik bis, 17 jam mas di dalem bi situ. Aku sama petani yang lainya, dari Sitas ada, dari Elsam juga ada, cuma ndampingi. Yang bicara ya tetap aku. Di Jakata itu aku tidur di Elsam sama temen-temen itu. Trus besoknya baru aksi ke Kedutaan Swiss dulu. Yo aku mass seng nek ngarep, bengok-bengok ngono kae. Di sana aku dipanggil mas, di dalam. Di beri masukan, diberi rekom, suruh langsung ke Swiss, ke NCP. NCP itu katanya yang berwenag untuk nyelesaikan, ke negara asal Holcim itu. Kalo di Kantor Holcim kami ndak dapet apa-apa mas. Itu kan pas bertepatan sama KAA di Bandung, nah pimpinane kui menghadiri KAA di Bandung, trus karena tau kalo nggak direspon kita langsung pulang ke Blitar”. (Wawancara tanggal 21 Oktober 2016).
Gambar 4.6 Talminto Memimpin Demo di Kantor Kedutaan Swiss, Jakarta
Sumber: Dokumen Sitas Desa
156
Saran dari Kedutaan Swiss untuk pergi ke Swiss akhirnya
dipertimbangkan Talminto bersama Elsam dan Sitas Desa. Atas pertimbamgan
tersebut Talminto memutuskan untuk mengadukan persoalan sengketa tanah ini ke
NCP Swiss. Biaya untuk pergi ke Swiss sejumlah Rp. 52.000.000. Biaya tersebut
diperoleh dari iuran anggota pengurus paguyuban. Sementara biaya untuk Mas
Farhan dari Sitas Desa, dan Mas Andi dari Elsam dibiayai oleh lembaganya
masing-masing. Di Swiss Talminto menceritakan semua tentang persengketaan
yang terjadi. Ia berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Pihak NCP telah
menyiapkan penerjemah. Dari 100% pembicaraan, 60% dikuasai oleh Talminto.
Percakapan dan perdebatan panjang tersebut menghasilkan suatu solusi. Jika
selama ini perjanjian tukar guling antara Holcim dan Perhutani menggunakan
perhitungan satu banding dua (1:2), maka akan lebih baik jika diganti satu
banding satu (1:1). Satu banding dua artinya Holcim memakai tanah di Tuban,
maka Holcim wajib mengganti tanah di Tuban dengan luasan dua kali lipat.
Dengan 1:1 maka tidak ada pihak yang dirugikan. Holcim tidak akan mengurangi
lahan di Tuban. Perhutani juga tidak rugi, karena Tanah yang di Tuban tidak bisa
ditanami tanaman hutan, sementara di Wates bisa. Sementara masyarakat sendiri
juga tidak dirugikan, karena mendapatkan kompensasi tanah garapan. Keputusan
tersebut akhirnya mendapat rekomendasi dari NCP untuk diselesaikan ke
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, tepatnya pada Dirjen Planologi.
Antara petani, Holcim dan Perhutani harus bisa duduk bersama.
“Ke Swiss itu pakek dana iuran, 52 juta, ditanggung kita, pengurus, tanpa anggota lo ya. Di sana itu hampir 60% yang nguasai bicara saya. Saya kan cuma ngomong opo eneke, fakta yang terjadi. Memang kalo bahasa hukum saya ndak tahu. Trus akhirnya hasil musyawarah di Swiss itu, 1:1. Faktanya kalo 1:1 semuanya untung, Holcim nggak mengurangi lahan yang di Tuban, Perhutani juga enggak rugi, karna dari tanah di Tuban yang
157
nggak bisa ditanami hutan, di sini bisa ditanami hutan. Nah masyarakat sendiri sebagai pembuka lahan juga enggak rugi, karena mendapat kompensasi tanah garapan. Akhirnya dari Swiss itu merekomendasikan agar saya sama Elsam sama Sitas, itu sama2 ke planologi, nah untuk memohon 1:1, harus duduk secara segitiga, aku, holcim sama perhutani‟. (Wawancara tanggal 3 Desember 2016).
Gambar 4.7 Talminto saat di Swiss
Sumber: Dokumen Talminto
Pasca pulang dari Swiss, Talminto langsung mengurus perkara untuk
diajukan ke Dirjen Planologi. Dengan bantuan dari Elsam dan Sitas Desa, segala
surat menyurat dan persyaratan administratif lainnya telah diurus. Akan tetapi
hingga saat ini, inisiatif Dirjen Planonologi untuk meyelesaikan kasus ini belum
ada. Talminto dan petani masih menunggu panggilan dari Dirjen Planologi.
Talminto mempunyai berpikir, jika belum dipanggilnya Talminto terkait kasus ini
dikarenakan Holcim tidak mau. Karena Holcim akan terpojokkan jika harus
bertemu secara segitiga di Jakarta. Ia akan membuat ketentuan ulang, jika harus
memakai perbandingan 1;1. Jika memang sampai dengan Lebaran tahun 2017
tidak dipanggil, maka Talminto akan menanyakan secara langsung ke Planologi
kembali.
158
“Ya jadi sudah melayangkan surat ke Planologi, lewat Elsam. Cuman keliatannya holcim enggak kalo harus ke planologi, saya yakin terpojok. La posisi kementrian sendiri juga repot, mau ke mbela siapa. Sekarang pokok nunggu dulu, kalo memang tidak ada panggilan, ya kita tanyakan”. (Wawancara tanggal 3 Desember 2016). Saat ini yang ia harapkan hanyalah sesegera mungkin Dirjen Planologi
memanggilnya guna menyelesaikan kasus ini. Harapan ini bahkan tidak lagi
harapan individu Talminto sendiri, tetapi juga harapan seluruh petani agar kasus
ini segera diselesaikan sehingga mereka bisa hidup dengan dan menggarap lahan
tersebut dengan tenang. Talminto sebagai aktor perjuang saat ini tentunya
mempunyai stok pengetahuan yang sangat banyak berkat aksinya di berbagai
lembaga. Aksi tersebut sebagai pengelamannya sebagai aktor perjuanga dan
terakumulasi menjasi stok pengetahuannya. Stok pengetahuan ini sangat penting
bagi dirinya sebagai aktor karena sangat berkaitan dengan arah perjuangan
berikutnya.
159
2. Biografi Sosial Katiman
Gambar 4.8 Katiman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Katiman lahir pada tahun 1957. Saat ini usianya 60 tahun. Ia merupakan
anggota pengurus PPGT dalam garda depan. Ia merupakan orang asli Desa
Ringinrejo. Alamatnya saat ini di Dusun Ringinsari. Sekitar 1 km dari lahan
perkebunan Gondang Tapen. Rumahnya berdampingan dengan kedua anaknya.
Orang tuanya adalah petani. Ia anak ke empat dari delapan bersaudara. Dari
delapan sudaranya tersebut, kesemuanya tinggal menetap di Desa Ringinrejo.
Saudara pertama seorang perempuan, suaminya bekerja sebagai petani di lahan
perkebunan. Saudara kedua sampai dengan keenam seorang laki-laki.
Kesemuanya juga bekerja sebagai petani di lahan perkebunan. Sementara saudara
ketujuh dan kedelapan, telah menikah dan para suaminya juga menggarap di lahan
perkebunan.
Pendidikan terakhirnya adalah SMP. Ia lulus SMP pada tahun 1973, di
SMP Negeri Binangun. Sementara ia bersekolah SD di dekat rumahnya. Dulu
namanya adalah Sekolah Rakyat (SR) Ringinrejo. Saat ini telah berubah nama
160
menjadi SDN Ringinrejo 1. Sejak lulus SMP ia sudah menjadi petani. Ia
membantu ayahnya menggarap lahan di belakang rumahnya. Rumah ayahnya
terletak di sebelah timur dari pada rumah Katiman yang sekarang. Sekitar tahun
1973an, belakang rumah Katiman merupakan kebun yang juga bagian dari
perkebunan Gondang Tapen. Akan tetapi, telah bersertifikat atas nama ayah
Katiman. Luas lahan milik ayah Katiman seluas 33 are. Lahan tersebut digunakan
untuk mencukupi kebutuhan keluarga besar Katiman ketika itu.
Sejak remaja Katiman memang berprofesi sebagai petani. Hingga suatu
saat ia mendapatkan jodoh seorang yang juga dari anak petani. Ia menikah pada
tahun 1979 dengan seorang perempuan bernama Wiji. Atas pernikahannya
tersebut Katiman dikaruniai enam orang anak. Akan tetapi anak yang terakhir
meninggal dunia ketika baru saja dilahirkan. Anak pertama bernama Sukiyat, lahir
pada tahun 1980. Anak ke dua bernama Sunardi. Anak ketiga bernama Imam,
keempat bernama Winarto, dan yang terkahir bernama Dewi. Anaknya yang
bernama Sukiyat dan Sunardi rumahnya berdampingan dengan Katiman. Sukiyat
juga merupakan bagian dari petani pejuang tanah garapan. Sukiyat masuk
kepanitiaan PPGT sebagai anggota pengurus. Anaknya yang bernama Sunardi
juga sebagai petani, akan tetapi tidak memiliki peran yang begitu penting dalam
aksi perjuangan. Sunardi hanya bertindak sebagai partisipan. Sementara anaknya
yang bernama Imam, Winarto dan Dewi telah berkeluarga namun tidak tinggal di
Desa Ringinrejo.
Anaknya yang bernama Imam telah menikah pada tahun 2005. Ia menikah
dengan perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah. Saat ini Imam dan keluarga
kecilnya tinggal di Boyolali. Imam sendiri bekerja di sebuah distributor
161
perlengkapan rumah tangga. Anaknya yang bernama Winarto menikah dengan
perempuan asal Sutojayan. Bersama istrinya, ia merantau ke Surabaya. Winarto
bekerja di Maspion. Sementara Dewi, menikah pada tahun 2010 dengans seorang
laki-laki tetangga desa. Saat ini ia dan keluarganya tinggal di Malang. Selain
sebagai ayah dari kelima anaknya, saat ini Katiman juga sebagai kakek. Total
cucu Katiman saat ini berjumlah 7 orang. Dua dari Sukiyat, dua dari Sunardi, dan
dari Imam, Winarto dan Dewi masing-masing satu.
Dua tahun setelah pernikahannya, Katiman kemudian membuat rumah
sendiri. Letaknya tidak begitu jauh dari rumah ayahnya, ke arah barat. Jaraknya
hanya berkisar setengah km. Tanah yang diguanakan untuk membangun rumah
tersebut merupakan pemberian dari ayahnya. Pembangunan rumah hingga jadi
membutuhkan waktu kira-kira satu tahun. Tepat di tahun 1983 rumah sederhana
Katiman berdiri. Hingga saat ini rumah tersebut masih asli, belum pernah
direnovasi. Tidak ada alasan apapun untuk tidak merenovasi rumah tersebut bagi
Katiman. Menurutnya, kekayaan tidak harus diwujudkan melalui rumah yang
bagus dan mewah. Baginya, tabungan yang banyak dan cukup untuk membayar
ansuran haji di setiap bulan merupakan kekayaan terbesar.
Selain profesinya sebagai petani, ketika rumahnya baru saja jadi di tahun
1983, Katiman juga mempunyai beberapa binatang ternak. Di antaranya sapi dan
kambing. Sehingga kegiatannya selain bercocok tanam juga mencari rumput.
Meskipun ia telah bertempat tinggal di rumah yang baru, ia tetap bercocok tanam
di lahan milik ayahnya. Sebagai petani muda, ia menanam berbagai jenis tanaman
kala itu. Seperti buah, satur dan padi sebagai makanan pokok. Kehidupannya
sebagai petani telah mencukupi kebutuhan rumah tangga dan segala kebutuhan
162
anaknya. Meskipun, semua anaknya tidak ada yang mengenyam pendidikan
hingga sarjana.
Katiman tidak pernah merantau. Sejak lulus SMP sampai sekarang
berprofesi sebagai petani. Hanya bedanya, jika dulu ia menggarap di tanah milik
ayahnya, sejak tahun 1997 ia membeli tanah sendiri di lahan eks perkebunan
Gondang Tapen yang dibelinya dari Mantri Perhutani. Mantri Perhutani
merupakan sebutan bagi pihak yang menjuali tanah garapan ke petani kala tahun
1997-1998. Ia membeli tanah dari Mantri Perhutani seharga Rp. 250.000 untuk
luas tanah 50 are. Setelah tanah dibeli, Katiman langsung menanaminya dengan
berbagai jenis tanaman yang cocok di lahan Gondang Tapen, seperti buah dan
sayur. Aktivitasnya sebagai petani ditekuninya sampai dengan sekarang ini.
Gambar 4.9 Rumah Katiman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
163
a. Katiman sebagai Petani
Pasca perkebunan terlihat terlantar, Katiman mulai tertarik untuk
membuka lahan. Kala itu dia belum berani jika tidak ada teman lain yang
membuka. Pada tahun 1997, Mantri Perhutani menjuali tanah kepada para petani.
Katiman kala itu juga termasuk yang membeli lahan. Ia membeli lahan dari
Mantri Perhutani seluas 50 are dengan harga Rp. 250.000. Tanah yang ia beli
terletak di sebelah sungai. Ia memang sengaja memilih dekat sungai karena
tanahnya subur mengandung air. Selain itu juga mudah untuk mengambil air
untuk menyirami tanaman. Tanamannya saat ini adalah melon. Usianya baru
sekitar 15 hari. Sehingga perawatannya sangat intensif. Katiman menjelaskan
bahwa rata-rata tanaman yang ada di lahan Gondang Tapen adalah Holtikultura.
Tetapi ia juga memilki tanaman padi untuk dikonsumsi sendiri. Tanaman padinya
tidak untuk dijual, sehingga jumlahnya hanya sedikit dan terletak di pinggir
tanaman utamanya, yaitu melon.
“Saya mulai menggarap itu tahun 1997, saya beli dari Mantri Perhutani itu seharga 250 ribu, itu setengah hektar, 50 are. Saat itu harganya ya murah-murah segitu. La tanah saya itu letaknya di dekat sungai besar, memang saya sengaja soalnya tanahnya bagus, banyak airnya. Kalo ngambil air juga mudah. Kalo sekarang ini yang saya tanam itu melon, usianya masih 15 hari. Kalo sini itu kebanyakan memang sayur sama buah kok mas, soalnya tanahnya cocoknya hanya untuk holtikultura, tapi juga ada padi mas, untuk nyukupi sendiri”. (Wawancara Tanggal 2 November 2016).
164
Gambar 4.10 Kebun Katiman, Ditanami Melon masih Berusia 15 Hari
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Aktivitas Katiman sebagai petani layaknya petani pada umumnya. Pagi
hari ia harus berangkat, sekitar pukul 06.00 bersama isterinya. Selain bersama
isteri, ia juga bersama Sukiyat anak pertamanya. Karena kebun Sukiyat
berdampingan dengan Kebun Katiman. Istri Sukiyat juga selalu ikut. Sehingga
apabila di siang hari, rumah Katiman dan Sukiyat selalu sepi, tidak ada orang.
Sesampai di kebun ia makan terlebih dahulu. Ia makan di gubuknya. Kondisinya
hampir seperti dapur rumahnya. Gubuk tersebut selain tempat untuk beristirahat,
juga untuk tempat beberapa peralatan pertanian. Ia makan bersama isterinya,
sukiyat, dan isteri Sukiyat. Setelah makan pagi (sarapan), ia mulai beraktivitas.
Saat ini kegiatan rutinnya adalah member pupuk dan menyirami melon. Selama
beraktivitas di kebun, ia beberapa kali istirahat. Di antaranya sekitar pukul 09.30
dan 12.00. Sementara ia mengakhiri kegiatannya pada pukul 16.00.
“Kalo ke tegil itu setiap hari mas, seng mesti itu jam 6 saya berangkat sama isteri, sama anak, Sukiyat ini. Soalnya Sukiyat kebunnya jejer sama saya. Ya seperti biasa, sebelum nyirami makan dulu, sarapan, di gubuk. Jadi di gubuk itu isinya macem-macem mas. Ya ada alat masak, ya ada alat untuk tani, wes koyok pawon omah lah. Setelah sarapan nyirami,
165
memberi pupuk, seng pasti kalo umur melon masih 15 hari kayak gini setiap hari nyirami mas. Iya mas, jadi dari jam 6 itu nanti pulang jam 4 sore, tapi nggak mesti kadang juga sampek setengah 5. Dari jam 6 itu nggak ngedur lo mas, jadi jam setengah 10 sama bedug itu istirahat”. (Wawancara tanggal 2 November 2016).
4.11 Gubuk Katiman, Tempat Katiman Beristirahat saat Lelah Berkebun
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Katiman sangat diuntungkan ketika musim hujan datang. Ketika musim
hujan, ia sangat dimudahkan dengan ketersediaan air. Hal itu karena kebun
Katiman langsung berbatasan dengan sungai yang cukup besar. Namun apabila
musim panas. Ia harus bekerja keras mencari air. Ia rela mencari air di air terjun
Njumeg yang jarak dari kebunnya sekitar 1 km dengan berjalan kaki. Hal tersebut
dilakukan tidak hanya satu kali. Akan tetapi berkali-kali dalam satu hari.
Mengingat media yang digunakan hanya memakai timba. Sehingga harus pulang
pergi membawa timba. Posisi Air Terjun Njumeg berada di atas, sehingga para
pencari air harus berjalan naik. Air terjun Njumeg sendiri merupakan air terjun
kecil, panjangnya hanya sekitar 4 meter. Air terjun tersebut satu-satunya sumber
air yang dapat digunakan oleh petani ketika musim kemarau terjadi. Airnya tidak
166
boleh diambil menggunakan diesel atau pemompa. Hal itu dikarenakan agar
semua petani mendapat bagian secara adil. Tidak boleh hanya dimanfaatkan oleh
beberapa petani saja. Sehingga para petani hanya menggunakan timba dalam
memanfaatkan airnya. Walapun begitu, masyarakat petani Gondang Tidak
pantang menyerah dan tidak takut untuk sengsara.
“Kalo pas musim hujan itu enak mas, ambil air di sungai sebelah kebun itu. Tapi kalo pas musi panas, musim kemarau wes, jan koyok berjuang tenanan kae lo. Waktu kemarau ndak ada air mas, itu sampek belain cari air dari air terjun Njumeg sana untuk nyirami tanaman mas kalo kemarau ndak ada air. Sampek jaraknya itu lebih sekilo mas, diambili untuk nyirami tanaman, itu pakek timbo, gak boleh pakek selang, biar adil, nggak boleh didisel utowo pekek sanyo gak boleh. Wong air terjunnya juga kecil kok, tingginya cuma 4 meteran. Jadi ya itu mas, bolak-balik mas, dan itu pun posisi naik mas. Jadi dari air terjun ke lokasi tanaman itu naik mas, naik. Jadi kalo mas ke sini musim kemarau gitu, mas tahu cara ambil air, meskipun soro kelihatane, tapi masyarakat sini ndak wedi soro”. (Wawancara tanggal 2 November 2016).
4.12 Suasana Setelah Makan Siang,
(Tampak Punggung) Sukiyat, Anak Pertama Katiman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Hasil pertanian dari Katiman kemudian dijual kepada tengkulak. Ia tidak
perlu susah untuk menjualnya sendiri ke tempat yang jauh. Karena para tengkulak
167
telah siap untuk menampung hasil pertanian para petani. Ketika panen tiba, para
tengkulak membeli hasil pertanian dengan menjemput ke lahan para petani.
Penghasilan Katiman sebagai petani cukup lumayan. Rata-rata penghasilannya per
gahun sekitar Rp. 50.000.000. sehingga jika dibagi 12 maka peghasilannya per
bulan bisa mencapai Rp 4.100.000. Itulah sebabnya ia sejak tahun 2008 telah
mendaftarkan diri bersama istri untuk naik haji.
“Ya, memang kita ini merasakan mas di masyarakat sini itu kan tanamannya kan holtikultura mas. Ya jadi melon, cabe itu mas. Memang kalo dirata-rata setiap tahun itu sekitar 50 juta mas. Tinggal bagi saja 12. 50.000.00/12: sekitar 4.100.000 mas. Tapi ya masyarakat sini ya memang mau kerja keras mas. Kalo saya itu Alhamdulillah sudah bisa nabung untuk haji mas. Sini itu sudah ada tengkulaknya kok mas. Jadi tengkulak itu langsung ke kebun kalo ada panenan. Jadi saya nggak usah repot menjual jauh-jauh ke kota”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Aktivitasnya sebagai petani juga diwadahi dalam satu paguyuban. Nama
paguyuban tersebut adalah Paguyuban Petani Holtikutura Blitar. Paguyuban
tersebut merupakan paguyuban tingkat kabupaten. Anggotanya adalah seluruh
petani holtikultura se Kabupaten Blitar. Kegiatan rutinnya adalah menyuluhan
pertanian dari Dinas Pertanian Kabupaten Blitar. Paguyuban tersebut dibagi lagi
ke dalam regional berdasarkan lahan pertaniannya. Katiman merupakan bagian
dari regional Binangun. Kegiatan rutinnya adalah mengadakan arisan setiap bulan
di setiap malam Rabu. Di setiap arisan ia menyetorkan uang sebanyak Rp 50.000,
dengan total “bethokan” sejumlah Rp 4.000.000. Kebetulan, ketua Paguyuban
Petani Holtikultura regional Binangun diketuai oleh anaknya sendiri, Sukiyat.
“Saya juga ikut Paguyuban Petani Holtikultura Blitar. Anggotanya ya petani sak Mblitar. Kebetulan kalo daerah sini dipegang oleh anak saya ini. Namanya regional, tapu bukan wates, regionalnya ikut binangun. Kalo kegitana di sini itu arisan 50 ribuan itu, setiap malam rabu, minggu pertama. Dadi mbetok‟e 4 juta. Tapi kalo kegiatan se kabupaten itu kadang ada penyuluhan dari pemeringah”. (Wawancara tanggal 3 November 2016).
168
4.13 Katiman saat di Kebunnya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
b. Katiman sebagai Aktor Gerakan
Katiman sebagai aktor pejuang merupakan proses di mana ia membedakan
ruang antara ia menjadi petani yang kemudian menjadi aktor pejuang. Proses
tersebut sejatinya merupakan proses untuk membedakan stok pengetahuannya
untuk bertindak. Di mana yang awalnya stok pengetahuannya sebagai petani
digunakan untuk bertindak sebagai aktor gerakan. Ketika ia menjadi aktor
pejuang, maka stok pengetahuannya sebagai aktor pejuang kemudian
dipergunakannya dalam melakukan aksi perjuangan tanah garapan.
Keterlibatan Katiman dalam gerakan perjuangan tanah dimulai sejak
kepanitiaan awal. Ia sudah ikut berjuang ketika panitia redistribusi tanah baru saja
dibentuk yang diketuai oleh Pak Samin Sunarto. Kemudian ia juga tetap ikut
berjuang ketika kepanitiaan diganti oleh Mbah Partu hingga saat ini Pak Talto
(Talminto). Dari beberapa kenapitiaan tersebut ia sebagai anggota. Akan tetapi ia
memiliki peran yang berbeda dalam beberapa kepanitiaan. Jika dalam kepanitiaan
Pak Samin dan Mbah Partu ia cenderung diam, ketika kepanitiaan Pak Talto ia
169
mempunyai kontribusi yang lebih. Hal itu dikarenakan jika pada kepanitiaan Pak
Samin dan Mbah Partu, ia mendefinisikan diri sebagai kelompok yang masih
muda dan awam. Muda dalam artian secara umur ia termasuk yang masih muda
kala itu, dibandingkan dengan anggota kepanitiaan yang lain. Sementara awam
berarti ia tidak mempunyai pengetahuan yang luas terkait urusan tanah.
“Ya jadi kalo saya mulai pak Samin Sunarto saya sudah mulai ikut. Trus Mbah Partu. Trus Pak Talto niki, saya juga sebagai anggota. Tapi bedanya dulu saya diam mas, sekarang lebih aktif. Karna apa, dulu itu kan saya termasuk yang masih muda to mas, la yang lain itu sudah sepuh-sepuh, jadi ya saya manut kalo dulu. Trus saya juga orang bodoh mas, nggak begitu tau sama tanah-tanah usrusannya”. (Wawancara tanggal 2 November 2016). Belajar dari beberapa kepanitiaan yang telah lalu, ia kemudian tergerak
hatinya untuk berkontribusi lebih. Karena selain telah memiliki banyak
pengalaman dan pengetahuan, harapan untuk segera melegalkan tanah sangat
tinggi. Ia sangat membutuhkan tanah tersebut karena satu-satunya sumber
penghasilan. Demi harapan tersebut, ia bersama Talminto tergerak hatinya
menjadi tokoh yang ada dalam garda depan. Meskiun secara sadar geraka langkah
dan pemikirannya tidak sebaik Pak Talminto, tetapi ia selalu berusaha untuk
menyumbang bebetapa pemikiran terkait arah gerakan. Salah satu sumbangan
pemikirannya adalah dengan menggerakkan masa (petani) penggarap ke
Pemerintah Kabupaten Blitar di tahun 2013. Hal itu dikarenakan ia emosi dan
hampir putus asa dalam perjuangan ini. Hampir 20 tahun ia berjuang demi tanah
garapan, akan tetapi perjuangannya belum membuahkan hasil. Sementara
sumbangan pemikiran yang lain adalah dengan memberikan masukan arah
gerakan ketika rapat diadakan. Selain itu, dalam paguyuban juga sering dibahas
masalah dana. Mengingat untuk membiayai kegiatan paguyuban, hanya
170
ditanggung oleh 20 orang. Dua puluh orang tersebut adalah dari anggota pengurus
PPGT semuanya.
“Kalo sekarang gimana ya mas, ya saya memang butuh tanah itu, saya sudah tau gimana isinya kepanitiaan itu, trus saya ikut Pak Talto ini. Ya meskipun toh saya ini ndak sepinter Pak Talto, tapi paling enggak saya ikut berjuang, saya itu pernah gerakkan petani demo ke Blitar, trus kalo pertemuan-pertemuan gitu meskupun sedikit juga ikut ngomong, mbayar dana paguyuban juga, sama pengurus yang lain”. (Wawancara tanggal 2 Novemner 2016).
Pengalaman-pengalaman Katiman selama berjuang di antaranya adalah
pernah berdemo ke Pemerintah Kabupaten Blitar pada tahun 2013, mengikuti
setiap sidang di PTUN Jakarta dan berdemo di Kantor Kedutaan Swiss serta ke
Kantor Pusat PT. Holcim Indonesia di Jakarta. Selama sidang dilakukan, ia pulang
pergi dari Blitar ke Jakarta menggunakan kereta api dengan biaya sendiri. Sidang
dilaksanakan setiap hari Kamis pukul 10.00. Ia berangkat dari Blitar
menggunakan kereta api Mataremaja dari Stasiun Blitar setiap hari Selasa pukul
16.00. Perjalanan membutuhkan waktu 16 jam. Sehingga ia sampai Jakarta hari
Rabu. Ia turun di Stasiun Pasar Senen. Kemudian ia naik angkot menuju Kantor
Elsam. Di kantor Elsam itulah ia menginap. Ia tidak pernah menginap di hotel.
Elsam telah berbaik hati bagi Katiman dan teman-teman seperjuangannya. Makan,
minum tidur telah disediakan bagi Elsam. Transportasi dari Elsam ke PTUN juga
telah disediakan oleh Elsam. Bagi Katiman, Elsam membantu dengan sepenuh
hati. Di PTUN, ia hanya sebagai hadirin. Setelah sidang selesai kemudian ia
langsung pulang ke Blitar dengan kereta yang sama pukul 16.00. Rutinitas itulah
yang dilakukannya selama hampir 2 bulan.
“Kalo ditanya pengalaman selama berjuang itu, ya saya pernah ikut demo ke Blitar, ke Jakarta, demo sama sidang-sidang itu di PTUN. Dulu itu mas yang namanya sidang, jamanya sidang itu saya hampir nggak di rumah, bolak-balik Blitar Jakarta, wes sampek duit entek. Mataremaja itu sampek
171
tukang tikete apal. La gimana lo, sidang setiap hari Kamis, Selasa saya harus sudah berangkat naik kereta itu dari Blitar, nanti turun di Pasar Senen, nginep di Elsam, wes rutinitas saya pas itu. Walaupun saya cuma jadi penonton yang datang, tapi namanya berjuang mas”. (Wawancara tanggal 2 November 2016). Pengalaman Katiman ketika berdemo ke Kantor Kedutaan Swiss dan
Kantor Pusat Holcim juga tidak bisa dilupakan. Bersama 60 petani Gondang
Tapen, ia sangat antusias. Ia berangkay bersama petani lainnya menggunakan bus.
Walaupun dalam demo ia hanya sebagai partisipan, akan tetapi hal tersebut
merupakan perjuangan besar baginya. Ketika teman-temannya mulaui kehilangan
semangat, ia yang menyemangati.
“Ya saya hanya ikut di belakang Pak Talto sama petani yang lain. Enam puluh orang mas satu bis. Ya walaupun capek, lapar ya tetap semangat. Saya yang nyemangati temen-temen kalo mulai nglokro. Ya namanya perjuangan mas, ini perjuangan terbesar saya mas, bisa demo di Jakarta”. (Wawancara tanggal 2 November 2016).
Gambar 4.14 Katiman saat Berdemo di Jakarta
Sumber: Dokumen Sitas Desa
Katiman sebagai petani pejuang juga berkontribusi dalam memberikan
tempat untuk berkumpul di antara para anggota pengurus. Rumahnya dijadikan
sebagai tempat untuk melakukan maneuver-manuver gerakan. Hampir setiap kali
172
perkumpulan diadakan, selalu bertempat di rumah Katiman. Hal itu dengan
asumsi bahwa rumah Katiman letaknya di tengah-tengah di antara para anggota
pengurus. Kecuali jika pertemuan besar yang harus melibatkan seluruh petani
seperti saat akan melakukan demonstrasi di Jakarta. Jika pertemuan besar
diadakan, maka tempat yang dipilih adalah Balai Dusun Ringinsari.
“Rumah saya itu selalu dijadikan tempat kumpul paguyuban. Kalo Cuma anggota pengurus aja, sekitar 20 saja ya cukup pasti di rumah saya, tapi kalo pas pertemuan besar, kayak pas mau demo ke Jakarta itu ndak di rumah saya, tapi dib alai Dusun Ringinsari situ”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Saat ini perjuangan Katiman belum selesai. Walaupun ia tidak ikut Pak
Talminto ke Swiss, ia tetap memberikan dukungan. Dukungan tersebut berupa
dana yang dihimpun dan dari anggota pengurus. Dana yang dibutuhkan sebanyak
Rp 52.000.000, dibagi 20 orang. Akan tetapi per orang tidak sama jumlahnya.
Talminto menginstruksikan jika jumlah yang dibayarkan per orang harus sesuai
kemampuannya. Hal itu akan lebih adil jika dibandingkan dengan pukul rata.
Sehingga ketika perjuangan berhasil, dana yang telah dikorbankan akan
dikembalikan berdasarkan jumlah dana yang diterima dari setiap anggota
pengurus.
“Dana paguyuban itu ndak semua petani ditarik mas, jadi yang ditariki itu cuma anggota pengurus saja. Yang sadar-sadar saja, takutnya kalo semua nanti pada keberatan, ndan ngerti fungsinya malah nggrundel. Ini Pak Talto baru ke Swiss ini paguyuban butuh dana 52 juta cuma dibagi 20 orang. Dua puluh orang itu semuanya ndak sama sesuai kemampuan, biar adil, malah adil begitu. Katanya, nanti kalo sudah berhasil bisa diambil sesuai yang kita keluarkan”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sebagai aktor gerakan ia
mempunyai peran yang sangat penting. Kontribusinya telah banyak, selain ikut
173
berjuang dalam bentuk demonstrasi dan politik, ia juga berjuang melalui
dukungan materi dalam hal ini adalah dana iuran untuk paguyuban. Hal ini
menunjukkan bahwa stok pengetahuan Katiman tentang gerakan perjuangan
sangat banyak. Sehingga ia mempunyai kesadaran dan kehendak untuk melakukan
gerakan perjuangan dengan berbagai upaya yang telah dilakukannya.
3. Biografi Sosial Tumiran
Gambar 4.15 Tumiran
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tumiran berusia 59 tahun. Ia merupakan tokoh perjuangan dalam garda
depan. Rumahnya sangat dekat dengan perkebunan Gondang Tapen. Ia
merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara. Ia bukan asli warga Ringinrejo. Ia
berasal dari Desa Wonorejo, masih satu Kecamatan Wates. Pendidikan
terakhirnya adalah SD, lulus pada tahun 1970. Sejak lulus SD ia telah belajar
untuk bekerja. Awalnya ia hanya ikut-ikut pamannya yang bernama Sudjiat untuk
menjadi tukang. Pamannya seorang tukang bangunan. Tumiran awalnya ikut
sebagai buruh dari pamannya. Pamannya, Sudjiat mempunyai 4 buruh dalam
174
pekerjaannya. Salah satunya adalah Tumiran. Pekerjaannya sebagai buruh
bangunan ditekuninya hingga bisa menghasilkan uang sendiri. Sebagi buruh
bangunan di Desa, ia mengerjakan banyak rumah di sekitar Kecamatan Wates.
Ketekunannya menjadi buruh bangunan akhirnya mengantarkan dirinya
menjadi tukang bangunan. Pada tahun 1978 ia memutuskan untuk memisahkan
diri dari pamannya. Ia ingin mencoba untuk menjadi tukang bangunan sendiri.
Sebagai tukang bangunan, ia awalnya hanya mempunyai 2 buruh. Setahun
kemudian setelah ia mendapatkan banyak permintaan, buruhnya bertambah
menjadi 5 orang. Ia bekerja dengan sistem harian, bukan borongan. Sehingga
konsumen Tumiran menghitung upah Tumiran secara harian. Sekitar tahun
1979an, upah per harinya sebesar Rp. 5.500. Sementara para buruhnya diberi upah
Rp. 3.750.
Suatu saat di tahun 1979 Tumiran sedang mendapatkan permintaan untuk
membuat rumah di Desa Ringinrejo. Tepatnya di rumah Bapak Marsito. Di sana
Tumiran membuat rumah berbentuk leter L. Ia menyelesaikan pembuatan rumah
Pak Marsito tersebut selama 6 bulan. Ada kejadian menarik saat Tumiran bekerja
di Pak Marsito. Kala itu status Tumiran masih bujangan. Sementara Pak Marsito
mempunyai anak perempuan masih remaja baru saja lulus SMP bernama Koirun.
Nampaknya selama bekerja membuat rumah Pak Marsito, Tumiran dan Koirun
sering bertegur sapa. Tegur sapa tersebut kemudian menumbuhkan perasaan suka
di antara keduanya. Akhirnya pasca rumah Pak Marsito jadi, Tumiran melamar
dan menikahi Koirun di tahun 1980.
Pasca menikah, Tumiran diberi tanah oleh Pak Marsito di Ringinrejo.
Tanah tersebut akhirnya digunakan untuk membuat rumah yang saat ini ia
175
tinggali. Pernikahan Tumiran dengan Koirun dianugerahi 4 orang anak. Anak
pertama seorang perempuan telah menikah saat ini tinggal bersama suaminya di
Blitar Kota. Anak keduanya perempuan telah menikah akan tetepi hanya berumur
dua tahun kemudian bercerai. Beberapa hari lagi, anak kedua Tumiran akan
menikah lagi degan seorang laki-laki asal Kalipare, Malang. Anak ketiga Tumiran
seorang laki-laki satu-satunya baru saja lulus SMK. Saat ini anak laki-lakinya lah
yang bersedia membantu Tumiran di lahan. Sementara anak terakhir Tumiran
seorang perempuan masih bersekolah SMA di Sutojayan.
Profesi Tumiran sebagai tukang bangunan ditekuninya hingga tahun 2005.
Sehingga, ketika kebanyakan warga Ringinrejo membuka lahan eks perkebunan
Gondang Tapen, Tumiran belum membuka. Kala itu ia lebih memilih
pekerjaannya sebagai tukang bangunana yang sangat banyak permintaannya.
Hingga suatu saat di tahun 2005, ia memutuskan untuk meninggalkan profesinya
sebagai tukang bangunan dan mulai membuka lahan di eks perkebunan Gondang
Tapen. Sehingga ia tidak ikut dan merasakan perjuangan-perjuangan awal petani
Gondang Tapen.
Alasan utama ia meninggalkan profesinya kala itu karena secara fisik ia
telah tidak sekuat yang dulu. Umurnya juga semakin menua. Lagi pula permintaan
untuk membuat rumah tidak sebanyak sewaktu ia muda. Banyak tukang-tukang
bangunan baru yang menawarkan bentuk-bentuk rumah yang lebih modern.
Sehingga posisinya mulai tergeser. Selain itu ia juga tertarik untuk menjadi petani
karena melihat para tetangganya mulai hidup makmur berkat lahan eks
perkebunan tersebut.
176
Gambar 4.16 Rumah Tumiran
Sumber: Dokumentasi Peneliti
a. Tumiran sebagai Petani
Tumiran membuka lahan di eks perkebunan Gondang Tapen pada tahun
2005. Ia membuka lahan tersebut semenjak tidak lagi menekuni profesi
sebelumnya sebagai tukang bangunan. Ia membeli tanah dari seorang petani asal
Donomulyo, Malang. Sehingga pantaslah jika letak lahan Tumiran berada di
bagian agak timur. Lahan eks Perkebunan Gondang Tapen sangat luas. Di mana
mayoritas petani yang berasal dari Desa Ringinrejo berada di bagian barat.
Sementara di bagian timur digarap oleh petani dari desa lain. Walapun agak di
timur, akan tetapi letak kebun Tumiran masih dalam kawasan para petani dari
Desa Ringinrejo. Tumiran membeli tanah tersebut dengan harga Rp 25.000.000
seluas 50 are. Uang sebanyak itu ia dapatkan sebagian pinjam ke bank dan dari
tabungan pribadinya yang ia kumpulkan selama ia menjadi tukang bangunan.
“Waktu itu kan saya beli tanah itu harganya kan sudah 25 juta dari petani Donomulyo, itu luasnya 50 are, setengah hektar lah. Dia kebetulan jual tanah, trus saya beli, letaknya timur dari pada orang-Ringinrejo yang lain. Soalnya kan kalo agak timur memang banyak bukan asli warga Ringinrejo. Tapi ya masih satu kawasan sama petani-petani sini. Trus ya
177
uang segitu saya carikan pinjaman dulu ke Bank, sisanya pakai uang pribadi saya, saya kumpulkan dari tukang itu. Nah itu kan tahun 2005 itu. Saya sudah nggak kuat di bangunan, mulai sedikit yang manggil, itu lo mas, banyak tukang-tukang baru, kan kalo baru itu kan muda, yang muda-muda itu kan tahu gaya-gaya rumah semakin modern, yang model minimalis, trus saya itu bisanya ya masih biasa-biasa itu”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Tanamannya saat ini adalah cabe. Baru saja ia memanen melon. Ia juga
mempunyai sedikit tanaman padi. Aktivitas keseharianya saat ini tidak begitu
padat. Hal tersebut dikarenakan saat ini tanamannya tinggal cabe. Sehingga ia
tidak memiliki jadwal rutin seperti ketika menanam melon. Walaupun begitu,
anak dan isterinya selalu ikut ke lahan. Di lahannya juga terdapat gubuk seperti
petani yang lain. Sementara aktivitas Tumiran jika tanaman melon belum dipanen
cenderung padat. Jam 8 pagi ia harus sudah di lahan untuk menyirami melon.
Sementara cabe yang sekarang ia tanam cenderung mudah untuk merawatnya,
sehingga ia lebih santai. Semua anggota keluarganya yang tinggal bersamanya
diajak ke lahan dan ikut bekerja, seperti menyirami tanaman dan memetik buah.
Sementara bagian yang menyemprot hama tetap Tumiran.
“Sekarang ini cabe mas, baru saja seminggu yang lalu itu saya panen melon. Sekarang tinggal cabe, sudah gak terlalu repot. Kalo pas melon itu harus tiap hari jam 8 pagi itu sudah nyirami. Kalo cabe ini juga, tapi masih agak santai lah. Istri anak, ya ikut semua, nyirami, metik itu, kalo nyemprot tetep saya”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016). Hasil tanaman melon yang baru saja dipanen tidak begitu memuaskan. Ia
mengatakan panen kali ini “apes”. Hal tersebut dikarenakan curah hujan yang
sangat banyak, sehingga melon tidak bisa manis dan besar. Buah melon tidak baik
mendapatkan sinar matahari yang berlebih, tetapi juga tidak baik jika terlalu
banyak mengandung air. Jadi harus seimbang. Biasannya pendapatan kotor
178
Tumiran untuk sekali panen bisa mencapai Rp 55.000.000. Akan tetapi untuk
panen kali ini hanya mendapatkan Rp 43.000.000. Pendapatan tersebut belum
dipotong biaya-biaya produksi, seperti bibit, pupuk dan buruh tani sebanyak 16
orang. Sehingga jika telah dikurangi biaya-biaya produksi tersebut, panen melon
Tumiran kali ini hanya sebesar Rp 38.000.000.
“Apes mas panenan iki. Kan hujan terus ini mas, jadi melon itu kalo panas jelek, kalo terlalu banyak hujan juga jelek. Jadi ini nggak manis, nggak bisa besar. Harus seimbang itu mas. Nah biasannya itu saya dapat 55 juta, itu kotor, nah ini 43 juta itu masih kotor, belum dipotong pupuk, bibit sama buruh tani. Pokok kali ini cuma sekitar 38 juta bersihnya”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016).
Sebagai petani sayur dan buah, ia juga tergabung dalam Paguyuban Petani
Holtikultura Blitar. Kegiatannya sama dengan Pak Katiman, seperti penyuluhan
dan arisan rutin. Kegiatan arisan tesebut dilakukan di rumah Pak Sukiyat, anak
Pak Katiman. Pak Sukiyat merupakan ketua paguyuban tersebut untuk regional
Binangun.
“Selain PPGT untuk perjuangan itu, saya juga gabung di Paguyuban Petani Holtikulrura se Kabupaten Blitar. Itu kalo kabupaten itu sering ngadain penyuluhan, bibit-bibit unggul gitu mas sama Dinas Pertanian. Kalo cuma Binangun sini itu yang pasti yo arisan, yang sering itu di rumahnya mas Sukiyat”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016). Sebagai petani, ia juga selalu mengikuti perkembagan musim tanam. Jika
musim hujan, maka ia harus menanam tanaman yang banyak menyerap air, seperti
buah dan sayur. Mulai dari melon, semangka, tomat dan lainnya. Sementara jika
musim kemarau ia harus menanam tanaman yang cenderung tidak banyak
menyerap air, seperti jagung.
“Kalo nanam itu kan tergantung musim to mas, kalo musimnya melon, ya melon, kalo musim semangka ya semangka, itu kalo musim hujan, kalo tomat ya tomat, kalo musim kemarau apalagi kemarau panjang ya mekso
179
mas nanam jagung, jadi di sini juga bisa kalo jagung”. (Wawancara tanggal 25 Desember 2016).
Gambar 4.16 Lahan Garapan Tumiran
Sumber: Dokumentasi Peneliti
b. Tumiran sebagai Aktor Pejuang
Tumiran sebagai aktor pejuang tentunya sangat berbeda dengan saat ia
menjadi petani. Karena hal tersebut berkaitan dengan stok pengetahuannya yang
digunakannya. Selain itu menjadi petani dan aktor pejuang memiliki ruang peran
dan status yang berbeda. Tumiran mulai ikut kepanitiaan ketika dipimpin oleh
Mbah Partu. Ia belum ikut kepanitiaan Pak Samin karena kala itu ia masih
menjadi tukang bangunan. Ketika ikut dalam kepanitiaan Mbah Partu, ia menjadi
anggota biasa. Sementara ketika ikut dalam kepanitiaan Pak Talto, ia menjadi
anggota pengurus. Dalam kepanitiaan Pak Talto tidak ada kegiatan rutin yang
dilakukan. Akan tetapi kalau ada perkembangan terkait penyelesaian kasus, maka
oleh Pak Talto segera dikumpulkan seluruh anggota pengurus termasuk Tumiran.
Meskipun anggota jarang berkumpul secara resmi, akan tetapi hampir setiap hari
180
anggota pengurus bertemu, baik di lahan maupun berkunjung dan ngopi di rumah
salah satu pengurus.
“Kalo saya itu kan awal nggak ikut karena masih nukang dulu mas. Saya ikut kepanitiaan itu pas sudah Mbah Partu. Sebelum Mbah Partu itu Pak Samin. Pas Mbah Partu saya cuma jadi anggota biasa. Kalo pas Pak Talto saya jadi anggota pengurus. Jane nggak ada kegiatan rutin paguyuban itu ndak ada, tapi kalo pas ada perkembangan itu baru Pak Talto ngumpulkan. Tapi meski nggak pernah kumpul paguyuban itu, orang-orange tiap hari juga kumpul, la rumahe deket-deket, kalo gak di lahan ya di rumah tiap malam itu kumpul sama ngopi”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016). Pengalaman Tumiran sebagai aktor di antaranya pernah ikut demo ke
Blitar, di antaranya di BPN, Kantor Bupati dan Kantor DPRD Kabupaten Blitar.
Demo tersebut dilakukan pasca SK Kemenhut tentang Penunjukkan Kawasan
Hutan lahan eks perkebunan Gondang Tapen terbit. Dalam demo tersebut ia hanya
sebagai partisipan, sementara yang bisa berkomunikasi dengan para pimpinan
tetap Pak Talminto. Selanjutnya ia juga mengikuti seluruh persidangan di PTUN
Jakarta, serta berdemo di depan Kantor Kedutaan Swiss dan Kantor Pusat Holcim
Indonesia. Dalam demo ke Jakarta ia juga hanya sebagai partisipan. Ketika
mengikuti persidangan, ia menjadi saksi kronologi tanah. Ia tidak menyangka
walaupun ia tidak terlibat sejak awal mula perjuangan, ia dijadikan saksi
kronologi tanah bersama Pak Talminto dan Pak Kanib. Ia memang tidak ikut
paguyuban dari awal, tetapi karena hidup kesehariannya bersama para petani yang
dari awal mula berjuang, maka ia mengetahui secara betul seluk-beluk tanah eks
perkebunan Gondang Tapen.
“Saya itu pernah ke Blitar, demo pertama kali itu pas habis SK terbit, itu ke BPN, ke Bupati, ke DPRD, tapi yang bisa masuk cuma Pak Talto, saya di luar. Trus saya jadi saksi kronologi tanah di PTUN itu, saya sama Pak Talto trus sama Pak Kanib. Trus saya juga ikut itu demo satu bisa ke Kedutaan Swiss sama Holciom itu. Ya awalnya itu saya nggak menyangka dijadikan saksi tanah itu, saya kan enggak dari awal soalnya ikut gerakan
181
ini, tapi mungkin saya tahu semuanya, meskipun saya dulu tukang tapi kan tiap hari juga sama temen-temena tani ini hidupnya”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016).
Tumiran juga ikut membiayai paguyuban. Paguyuban baru saja
membutuhkan dana sejumlah Rp 52.000.000 yang digunakan untuk biaya Pak
Talminto ke Swiss. Dana sebesar itu ditanggung 20 orang, yang terdiri dari
anggota pengurus PPGT secara keseluruhan. Pembayarannya dibagi secara
proporsional, sesuai dengan kemapuan anggota pengurus. Tumiran sendiri
mendapat tanggungan membayar sejumlah Rp 6.500.000. Sumber dana juga tidak
sama sekali menarik kepada petani sebagai anggota. Hal tersebut dilakukan karena
mengambil pelajaran pada kepanitiaan yang lalu. Di mana pada kepanitiaan yang
telah lalu semua petani dimintai dana. Hal itu justru menimbulkan banyak fitnah
di antara para petani. Kejelasan dana menjadi tidak ada, dan pengembalian dana
juga tidak pernah dilakukan.
“Trus saya juga ikut mbayar ya mas, kan kalo paguyuban itu dananya Cuma dari anggota pengurus to mas, nggak dari semua petani. Takutnya kalo semua petani ditarik itu banyak suara-suara, banyak fitnah kayak kepanitiaan dulu. Narik-narik-narik, hasile gak ada, jadi rugi sendiri. Kalo sekarang ini khusus anggota pengurus saja, soale kan wes satu pemikiran. Ini baru mbayar, paguyuban itu butuh dana 52 juta untuk biaya Pak Talto ke Swiss itu mas, jadi kita orang 20 itu yang nanggung, tapi dari 20 itu nggak sama mas, per orang, soale ada yang mampu, ada yang kurang, takut gak adil malah kalo disamakan bayarnya, kalo saya nanggung 6,5 juta mas”. (Wawancara tanggal 25 Oktober 2016). Keikutsertaan Tumiran merupakan bagian dari kehendaknya sebagai aktor
pejuang. Ia berkehendak berdasarkan stok pengetahuannya sebagai aktor gerakan.
Ia melakukan perjuangan ini karena mempunyai tingkat pengetahuan lebih terkait
gerakan perjuangan, dibandingkan dengan petani lain yang tidak seintensif
Tumiran. Hal ini menunjukkan bahwa kehendak aktor dipengaruhi oleh stok
182
pengetahuan. Sementara stok pengetahuan di antara petani menunjukkan struktur,
di mana ada petani yang mempunyai stok pengetahuan lebih seperti Tumiran, dan
ada yang mempunyai stok pengetahuan tidak sebanyak Tumiran.
4. Biografi Sosial Sutarman
Gambar 4.17 Sutarman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sutarman kerap dipanggil Sutar lahir pada tahun 1972. Saat ini usianya
menginjak 45 tahun. Sutar merupakan aktor perjuangan tanah dalam garda depan
yang usianya paling muda. Ia asli warga Desa Ringinrejo. Kedua orang tuanya
yang juga asli warga Ringinrejo telah meninggal dunia. Saudaranya berjumlah 4
orang. Ia anak ke tiga. Saudara pertamanya seorang perempuan telah menikah dan
menetap di Sidoarjo. Saudara keduanya laki-laki, saat ini juga sebagai petani di
lahan eks Perkebunan Gondang Tapen. Sementara saudara terakhirnya seorang
perempuan telah menikah dan suami dari saudara ketiganya juga sebagai petani di
eks perkebunan Gondang Tapen. Rumah asli orang tuanya tidak jauh dari
183
rumahnya sekarang. Berhubung orang tuanya telah meninggal semua, baik ayah
maupun ibunya, saat ini rumah orang tuanya ditinggali oleh adik bungsunya
bersama suami dan anak-anak dari adik bungsunya tersebut. Sementara rumah
Sutarman saat ini berada di barat rumah yang sekarang adik bungsunya tinggali.
Pendidikan Sutarman adalah Sekolah Dasar (SD) lulus pada tahun 1985.
Setelah lulus SD banyak sekali jalan yang ditempuhnya demi bisa mendapatkan
uang. Dua tahun pasca ia lulus SD ia diajak pamannya, Julianto pergi merantau ke
Surabaya. Di Surabaya ia bekerja sebagai kuli bangunan. Kala itu Surabaya belum
seperti saat ini. Pembangunan perkantoran di Surabaya kala itu sedang gencar-
gencarnya dilakukan. Masih banyak lahan kosong dan pemukiman warga yang
belum sepadat sekarang. Jalanan juga belum terlalu macet. Ia ikut dalam banyak
sekali proyek pembangunan gedung perkantoran. Kala itu gajinya hanya sekitar
Rp. 3.800 per hari. Ia mengakhiri pekerjaannya sebagai kuli bangunan pada tahun
1994. Pada saat ia mengakhiri pekerjaannya sebagai kuli bangunan tersebut,
gajinya per hari telah mencapai Rp. 4.200.
Pasca bekerja menjadi kuli bangunan, kemudian ia berpindah kerja ke
Pabrik Paku di Waru Sidoarjo pada tahun 1990. Di Pabrik paku dia bekerja di
bagian pemilahan paku saat proses produksi. Apabila ada paku yang kurang
berkualitas, kemudian disisihkan dan dicetak ulang. Pekerjaanya sebagai buruh
pabrik tersebut ditekuninya hampir selama 3 tahun. Kala itu gajinya sebesar Rp
90.000 per bulan. Gaji tersebut dirasakan kurang cukup untuk membiayai
hidupnya. Sehingga pada tahun 1993 ia memutuskan untuk keluar dari pabrik dan
berganti profesi sebagai tukang becak. Ia menjadi tukang becak di Malang.
184
Tepatnya di daerah Dinoyo. Ia menyewa becak dari seorang juragan kain di
Malang, dengan harga sewa Rp 150 per hari.
Pendapatan Sutarman mengayuh becak cukup lumayan. Lebih besar dari
pada menjadi buruh pabrik paku. Ia bisa mendapatkan pengasilan Rp. 4000 per
hari. Ada beberapa faktor menurut Sutarman mengapa menjadi tukang becak kala
itu sangat menjanjikan hasilnya. Yang pertama, pada sekitar tahun 1990an banyak
sekali orang yang naik becak. Jarang sekali orang naik sepeda motor seperti
sekarang ini. Yang kedua, tempat ia mencari penumpang selalu di daerah yang
ramai. Kala itu di depan Pasar Dinoyo Malang. Sehingga banyak sekali orang
yang menggunakan jasa becak. Kedua faktor itulah yang membuat
penghasilannya sebagai tukang becak cukup untuk hidup. Ia mengakhiri sebagai
tukang becak pada tahun 1998. Ia pulang ke Blitar karena saat itu adalah
jamannya krisis moneter. Banyak toko-toko di Pasar Dinoyo yang tutup. Hal itu
menyebabkan banyak orang yang tidak ke pasar dan tidak naik becak.
Penghasilannya turun dan akhirnya ia pulang kampung.
Pasca ia pulang kemudian ia menikah. Ia menikahi seorang perempuan
tetangga desanya, bernama Yunarti. Dari pernikahan tersebut ia dikaruniahi 2
orang anak. Anak pertamanya perempuan bernama Sela saat ini kelas 1 SMP. Sela
bersekolah di SMP Negeri 1 Wates. Sekitar 3 km dari rumahnya. Setiap hari Sela
naik sepeda ke sekolah bersama teman-teman sebayanya. Sementara anak
keduanya bernama Ivan, saat ini kelas 4 SD. Ivan bersekolah di SDN Ringinsari 2
tepat di depan rumahnya. Letak SDN Ringinsari 2 memang berada di depan
rumah Sutarman. Sehingga Sutarman tidak dibingungkan untuk mengatarkan Ivan
ke sekolah. Ivan cukup dengan jalan kaki untuk pergi ke sekolah.
185
Setelah beberapa bulan Sutarman menikah kemudian ia membuka lahan di
eks perkebunan Gondang Tapen. Ia membuka lahan karena melihat para temanya
juga melakukan hal yang sama. Sehingga awalnya ia hanya ikut temannya. Dia
membeli lahan tersebut kepada Mantri Perhutani. Kala itu harganya Rp. 450.000
seluas 50 are. Setelah ia mendapatkan tanah tersebut, ia memutuskan untuk
menekuni perkejaan barunya sebagai petani penggarap di eks perkebunan
Gondang Tapen Barumas sejak tahun 1998. Setelah beberapa tahun ia menekuni
pekerjaannya sebagai petani, ia menjadi petani yang sukses. Pendapatannya per
bulan sangat lumayan untuk hidup dan menghidupi keluarganya. Sekitar tahun
2005 ia berhasil membuat rumah yang kokoh dan cukup bagus di tanah pemberian
orang tuanya di Dusun Ringinsari. Bersama istri dan kedua anaknya, ia tinggal di
rumah tersebut hingga saat ini.
Gambar 4.18 Rumah Sutarman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
186
a. Sutarman sebagai Petani
Sutarman sebagai petani hidup bercukupan. Tanamannya saat ini cabe dan
melon. Luas tanahnya 50 are sangat cukup untuk menghidupi anak dan istrinya.
Setiap kali panen melon ia mendapatkan pengahasilan kotor kurang lebih Rp
50.000.000. Apabila telah dipotong dengan biaya produksi kira-kira ia akan
menerima Rp 35.000.000. Sehingga apabila di rata-rata per bulan penghasilannya
dari menanam melon sebesar Rp 2.900.000. Pengahasilan tersebut masih dari
melon saja, belum ditambahi dengan hasil cabe.
Penghasilan ia dari menanam cabe sekitar Rp 35.000.000. Lebih sedikit
dari pada hasil menanam melon. Hal ini karena jumlah tanaman cabenya lebih
sedikit dari pada melonnya. Hanya sekitar 25% dari luas tanah. Padahal harga
cabe lebih mahal dari pada melon. Hal ini disebabkan karena kecenderunagn
harga cabe yang tidak stabil sebhingga ia lebih menanam melon lebih banyak.
Dari pengasilan Rp. 35.000.000 tersebut kemudian dipotong biaya produksi
sehingga pendapatan bersihnya sekitar Rp 25.000.000. Jika di rata-rata per bukan
maka pengasilan Sutarman dari menanam cabe sebesar Rp 2.000.000. Sehingga
rata-rata penghasilan Sutaraman dari bertani melon dan cabe per bulan adalah
adalah Rp 4.900.000. Penghasilan yang sangat lumayan bahkan bisa dibilang
lebih dari cukup bagi ukuran seorang petani.
“Kalo penghasilan bersih itu bisa 35 juta kalo melon, kalo cabe bisa 25 juta, itu per tahun mas. Sekarang melon sama cabe mas, tapi banyakan melonnya, soale harga cebe itu kan nggak stabil mas, cabenya sekitar 25% nan lah, masih banyak melonnya”. (Wawancara tanggal 21 November 2016).
Sutarman setiap hari pergi ke lahan. Ia menyebutnya dengan sebutan tegil.
Tegil merupakan bahasa halus dalam Bahasa Jawa dari tegal atau tegalan. Tidak
187
hanya Sutarman, hampir seluruh petani Gondang Tapen juga menyebut tegil.
Kesharian atau aktivitas Sutarman sebagai petani ia mulai dengan berangkat ke
lahan pukul 6 pagi dan pulang pukul 4 sore. Seperti kebanyakan petani lainnya,
aktivitasnya seperti menyiram tanaman, memberi pupuk, meyemprot obat hama
dan lain-lain. Saat panen dan saat mulai tanam adalah masa-masa sibuk Sutarman.
Tenaga dan pikiran dikuras. Sehingga ia merasa sangat capek ketika masa-masa
tersebut.
“Ke tegil itu pagi mas, jam 6 sampek jam 4 sore. Ya kegiatannya macem-macem, ya mupuk, nyemprot, macem-macem lah, kadang juga nyabuti suket, itu hama”. (Wawancara tanggal 21 November 2016).
Hasil pertanian Sutarman langsung dijual. Sudah ada tengkulak yang siap
membeli hasil panennya. Hasil panen berupa buah seperti melon, semangka
pembelinya bisa dari Malang, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Sementara sayur
seperti cabe, kubis, mentimun pembelinya dari Blitar. Buah-buahan dari lahan
Gondang Tapen sangat bagus kualitasnya. Sehingga tidak heran jika pembelinya
berasal dari luar kota. Harga dan rasanya berbeda dengan buah yang tidak
dihasilkan dari tanah Gondang Tapen. Misalnya jika buah hasil panen tanah utara
(Tanah Blitar Utara) seharga Rp 5000, buah asal Gondang Tapen bisa seharga Rp
6000. Rasanya pun lebih manis. Hal ini disebabkan tanah Gondang Tapen yang
berada di dararan tinggi akan tetapi hawanya tidak terlalu dingin seperti di Kota
Batu. Sehingga cocok untuk menanam beberapa jenis buah-buahan.
“Lak buah, melon semongko niku wonten seng saking Malang, Suroboyo, nggeh Jakarta, Jogjo ngoten seng tumbas. Lak lombok mawon saking Mblitar. Buah lak saking mriki niku kualitase sae mas. Malakno pembeline nggeh saking tebih-tebih. Rego kaleh rasane niku kacek mas. Pomo teng elor niku rego 5000, mriki saget 6000, rasane legi mas lak mriki. Dadi tanahe kan dataran tinggi, tapi nggeh mboten kados mbatu. Lak mbatu kan anyep buah niku. (“Kalo buah, melon samangka itu ada dari Malang,
188
Surabaya, Jakarta, Jogja gitu mas yang beli. Kalo cabe cuma Blitar. Buah kalo dari sini itu kualitasnya bagus mas. Makannya pembelinya jauh dari mana-mana. Harga dan rasanya juga beda mas. Misalkan di utara itu harga 5000, sini bisa 6000, rasanya manis kalo sini. Jadi kan tanahnya dataran tinggi, tapi ya nggak seperti Batu. Kalo Batu kan gak ada rasanya buahnya”). (Wawancara tanggal 21 November 2016).
Gambar 4.19 Lahan Garapan Sutarman
Sumber: Dokumentasi Peneliti
b. Sutarman sebagai Aktor Pejuang
Sutarman sebagai aktor pejuang termasuk aktor yang masih baru. Ia juga
termasuk aktor yang masih muda. Hal itu membuat langkahnya sebagai aktor
pejuang masih sangat antusias. Sehingga walaupun ia masih baru sebagai aktor
pejuang, ia mempunyai pengalaman dan stok pengetahuan yang cukup banyak.
Sutarman merupakan anggota baru dalam perjuangan petani Gondang Tapen.
Walaupun ia mulai menggarap tanah pada tahun 1998, akan tetapi ia mulai ikut
kepanitiaan pada tahun 2013 ketika dipimpin oleh Pak Talminto. Ia tidak ikut
dalam kepanitiaan sebelumnya karena dulu ia hanya berfokus pada kegiatan
tanamnya. Selain itu ia merasa masih sangat muda kala itu, sementara kepanitiaan
189
diisi oleh para tokoh-tokoh yang dituakan. Awal masuk kepanitiaan Pak Talminto
Sutarman langsung berada di garda depan. Dalam struktur keorganisasian PPGT,
statusnya sebagai anggota pengurus. Ia mempunyai tekad jika kepanitiaan Pak
Talminto akan berhasil asalkan diisi oleh generasi-generasi yang lebih muda.
“Ya saya kan baru to mas, dulu pas kepanitiaan dulu itu nggak ikut, ya kan itu orang-orang tua dulu, saya pikir saya masih muda dulu, jadi ya yang dipikir itu cuma garapan mas. Nah, trus saya pikir masalah makin runyam itu tahun 2013, trus saya ikut pas diketuai Pak Talto ini”. (Wawancara tanggal 21 November 2016). Sutarman sebagai anggota pengurus mengikuti jalannya perjuangan. Ia
mulai berjuang ikut Pak Talminto ke Panitia Redistribusi tanah di Kulonbambang.
Walaupun hanya ikut dan mendampingi, akan tetapi menurutnya hal itu bagian
dari perjuangan. Di Kulonbambang ia mendampingi Pak Talminto untuk
menanyakan tentang keberhasilan Panitia Kulonbambang mendapatkan tanah.
Ternyata informasi diperoleh bahwa keberhasilan petani Kulonbambang melalui
pengajuan ke BPN Kabupaten Blitar. Menurut Sutarman, hal itu justru telah
dilakukan oleh petani Gondang Tapen sejak awal mula sengketa. Oleh karenanya,
BPN patut di demo.
Pengalaman Sutarman selanjutnya adalah dengan mengikuti demo ke
Blitar. Demo di Blitar dilakukan di depan Kantor BPN, Kantor Bupati dan DPRD
Kabupaten Blitar. Ia bersama teman-teman petani yang lain naik truk ke Blitar.
Perannya hanya sebagai partisipan. Segala loby dan negosiasi tetap dilakukan oleh
Pak Talminto. Hasil demo tersebut berupa penolakan secara harus oleh
Pemerintah Kabupaten terkait penyelesaian kasus Gondang Tapen. Pemerintah
daerah baik BPN dan Bupati Blitar, serta DPRD tidak mempunyai kewenagan
sedikit pun dalam meyelesaikan kasus tanah tersebut. Mereka memberikan
190
pengarahan kepada petani agar penyelesaian kasus tersebut langsung dibawa ke
pusat.
Perjuangan juga diikuti oleh Sutarman ke Jakarta. Baik saat gugatan
melalui persidangan di PTUN, maupun demo di depan Kantor Kedutaan Swiss
dan Kantor Pusat Holcim Indonesia. Ia sering pulang pergi dari Blitar ke Jakarta
dan sebaliknya demi mengikuti persidangan. Di persidangan ia sebagai hadirin
yang datang dan menyaksikan persidangan. Sementara ketika di depan Kantor
kedutaan Swiss dan Kantor Pusat Holcim Indonesia, ia termasuk petani yang
berada dalam barisan depan ketika demo berlangsung. Karena demo tetap
dipimpin oleh Pak Talminto. Seluruh petani memang telah menyerahkan jalannya
demo ke Pak Talminto. Para petani telah menyadari, hanya Pak Talminto lah yang
mampu berbicara di depan umum. Karena bagi Sutarman, bisa diajak untuk
berjuang ke Jakarta saja sudah senang dan sangat berarti.
“Kalo perjuagan saya, sudah nyampek ke mana-mana mas, mulai dulu itu cari tahu ke Kulonbambang mas, di sana kan berhasil permohonan tanahnya, itu apa namanya redis ya, itu saya diajak Pak Talto, trus ke BPN, demo-demo apa itu saya juga ikut, ke Blitar ke Jakarta, sidang-sidang itu juga. Pas demo tapi ya saya nggak di depan, yang di depan Pak Talto” (wawancara tanggal 21 November 2016). Sutarman juga salah satu dari 20 petani yang selalu berkumpul dan
bediskusi tentang arah dan jalannya gerakan. Pertemuan untuk rapat biasannya
diadakan di rumah Pak Katiman. Akan tetapi walaupun rapat tidak diadakan,
Sutarman hampir setiap hari berkumpul dengan panguyuban, walau hanya sekadar
ngopi dan ngobrol ringan. Sutarman juga bagian dari 20 anggota paguyuban yang
berkewahjiban untuk membiayai gerakan. Kebutuhan-kebutuhan paguyuban
seperti biaya surat menyurat, biaya untuk demo, akomodasi persidangan hingga
191
biaya Pak Talto ke Swiss merupakan tanggungjawabnya bersama anggota
pengurus PPGT yang lain.
“Selain itu mas, saya juga yang ikut iuran, itu sampean dikasih tau Pak Talto kan, kalo dana itu ditanggung 20 orang pengurus, termasuk biaya Pak Talto ke Swiss itu termasuk saya”. (Wawancara tanggal 21 November 2016). Keterlibatan Sukiyat dalam gerakan perjuangan tersebut merupakan
kehendak dan kesadarannya sebagai petani Gondang Tapen yang mempunyai stok
pengetahuan lebih terkait gerakan dan lahan garapan. Ia memutuskan untuk ikut
gerakan perjuangan karena mengetahui secara pasti akibat yang ditimbukan jika
gerakan perjuangan tidak dilakukan. Lahan garapan yang awalnya ditunjuk
sebagai kawasan hutan setidaknya saat ini masih bisa digarap karena gugatan dan
perjaungan yang selama ini dilakukan. Tanpa adanya perlawanan, belum tentu
lahan tersebut saat ini masih bisa digarap warga.
192
5. Biografi Sosial Kanib
Gambar 4.20 Kanib
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kanib lahir di Tulungagung pada tahun 1965. Saat ini usianya 52 tahun. Ia
temasuk petani pejuang dalam garda depan. Rumahnya paling mudah dicari dari
pada Subjekyang lainnya, yaitu di dekat Kantor Desa Ringinrejo, Ia bukan asli
warga Ringinrejo. Kanib merupakan warga pendatang sejak ia menikah. Kanib
adalah orang asli Gondang Tulungagung. Semua saudara kandungnya saat ini
tinggal di Tulungagung. Ia merupakan anak bungsu dari 6 bersaudara. Kedua
orang tuanya telah meninggal. Rumah orang tuanya saat ini dihuni oleh saudara
keduanya. Ia dan semua saudara kandungnya saat ini telah menjalani hidup
selama setengah abad. Bahkan, saudara pertama Kanib telah meninggal dunia.
Pendidikan terakhir Kanib adalah SMA. Satu-satunya petani dalam garda
depan yang memiliki pendidikan paling tinggi. Masa sekolahnya dari SD sampai
dengan SMA ditempuh di Tulungagung. Ia lulus dari SD Negeri Gondang 3 pada
tahun 1980. Kemudian ia melanjutkan ke SMP Negeri 2 Gondang dan lulus pada
tahun 1983. Pasca lulus SMP ketika banyak temanya yang tidak meneruskan ke
193
SMA, orang tua Kanib besikukuh agar ia melanjutkan ke SMA. Ia kemudian
melanjutkan di SMA Boyolangu Tulungagung dan lulus pada tahun 1986. Pasca
lulus SMA kemudian ia ikut berjualan kelapa bersama ayahnya di Pasar
Ngemplak Tulungagung. Ayah Kanib adalah seorang pedagang hasil bumi, seperti
kelapa, buah pisang, papaya dan nanas.
Setahun ia ikut ayahnya berjualan di pasar. Setelah itu ayahnya
menjodohkan Kanib dnegan seorang perempuan yang merupakan anak dari teman
ayahnya. Perempuan tersebut bernama Sarsih, anak seorang karyawan perkebunan
Gondang Tapen di Wates, Blitar. Karena dinilai cocok, kemudian Kanib menikahi
Sarsih pada tahun 1987. Kala itu usia Kanib 22 tahun. Usia yang cukup matang
bagi laki-laki yang akan menikah pada jaman tersebut. Pasca menikah, Kanib ikut
isterinya tinggal dan menetap di Desa Ringinrejo, Blitar. Ia tinggal di rumah orang
tua isterinya.
Pasca Kanib tinggal bersama mertuanya, tidak lama kemudian ia bekerja
sebagai karyawan perkebunan. Pekerjaan tersebut diperoleh melalui ayah
mertuanya. Ayah mertuanya lah yang memberikan jalan kepada Kanib untuk
bekerja di perkebunan Gondang Tapen. Mengingat ayah mertuanya juga bekerja
di perkebuban tersebut, Pekerjaan Kanib setiap hari adalah menyadap tanaman
karet untuk diambil getahnya. Ia memperoleh gaji dari pekerbuanan sebesar Rp
750 per hari. Ia bekerja sebagai karyawan perkebunan Gondang Tapen sampai
dengan tahun 1996 tepat di saat HGU perkebunan habis.
Penikahan Kanib dengan Sarsih dikaruniai 2 orang anak perempuan. Yang
pertama bernama Aldila lahir pada tahun 1990. Sementara anak ke dua bernama
Meinita lahir pada tahun 1995. Kedua anak perempuan Kanib menempuh
194
pendidikan hingga tingkat sarjana. Anak pertamanya merupakan Sarjana
Pendidikan dari Universitas Negeri Malang. Sementara anak keduanya saat ini
masih semester 5 di Universitas Kanjuruhan Malang. Anak pertamanya saat ini
baru saja menikah. Usia pernikahannya masih 3 bulan. Suami dari anak pertama
Kanib berasal dari Jombang. Saat ini anak perempuan pertamanya beserta suami
tinggal bersama Kanib di Desa Ringinrejo.
Pasca HGU perkebunan Gondang Tapen telah habis, kemudian Kanib
diajak oleh pemilik perkebunan untuk bekerja di perkebunan lain yang
kepemilikannya sama. Lokasinya di Banyuangi dan tanamannya juga karet.
Sementara pemilik perkebunan yang mengajak Kanib ke Banyuwangi bernama
Alex, seorang keturunan Cina. Di Banyuwangi, pekerjaan yang Kanib kerjakan
kurang lebih sama, yaitu menyadap karet untuk diambil getahnya. Ia bekerja di
Banyuwangi hanya bertahan 1 tahun. Ia tidak tega meninggalkan isteri dan
anaknya di Blitar. Akhirnya pada tahun 1997 ia pulang ke Blitar.
Kepulangan Kanib ke Blitar nampaknya sangat tepat. Pasca perkebunan
tidak lagi digarap, bekas perkebunan yang dulu ia garap mulai dibuka oleh warga
sekitar. Banyak warga yang mulai menggarap di lahan tersebut dengan membeli
tanah dari Mantri Perhutani. Hal itu lah akhirnya membuat Kanib ikut-ikut
membeli lahan garapan di tanah bekas perkebunan Gondang Tapen. ia membeli
tanah dari Mantri Perhutani seharga Rp. 300.000 dengan luas 50 are lebih sedikit.
Tanah tersebut kemudian ia tanami dengan berbagai jenis tanaman holtikultura.
Hasilnya sangat menguntungkan bagi Kanib. Buktinya dengan menggarap tanah
di eks. Perkebunan Gondang Tapen ia bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga
195
ke perguruan tinggi. Hal ini merupakan fenomena yang sangat jarang di kalangan
masyarakat Desa Ringinrejo.
Selain bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga ke perguruan tinggi,
penghasilan Kanib sebagai petani lahan garapan juga membuat ia mampu
membangun rumah yang kokoh dan bagus. Rumahnya ia bangun sekitar tahun
2003. Letaknya saat ini sangat dekat atau bersebelahan dengan Kantor Desa
Ringinrejo. Sementara dari rumah mertuanya, hanya berjarak 1 km. Tanah yang
digunakan oleh Kanib untuk membangun rumah merupakan tanah milik ayah
mertuanya. Kanib juga mampu membeli mobil. Sebagai petani yang sukses, ia
berhasil mengumpulkan uang hasil panennya untuk membeli mobil.
Gambar 4.21 Rumah Kanib
Sumber: Dokumentasi Peneliti
a. Kanib sebagai Petani
Kanib mulai menggarap di eks. Perkebunan Gondang Tapen sejak
kepulangannya dari Banyuwangi. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa ia
membeli tanah garapan dari seorang Mantri Perhutani. Ia membeli dengan harga
196
Rp 300.000 seluas 50 are lebih sedikit. Pasca dibelinya ia menanaminya dengan
berbagai jenis tanaman holtikultura. Ia sering menanam semangka, melon, cabe,
mentimun, gambas, kubis, jagung, dan sempat beberapa kali menanam padi. Akan
tetapi padi yang dihasilkan dari tanah Gondang Tapen kurang bagus. Saat ini
kondisi lahannya kosong. Ia baru saja panen buah melon dan semangka.
Pendapatan bersih dari panen kali ini sekitar Rp. 40.000.000.
“Saya dulu karyawan kebun, trus kan kebun dijual saya ikut kebun yang di Banyuwangi, pemiliknya sama. Di sana nggak lama trus saya pulang, mulai nggarap tanah itu. Awalnya itu saya beli itu 50 are dari Pak Mantri itu harganya 300 ribu, sampek sekarang ini saya tanami holtikultura, ada padi juga”. (Wawancara tanggal 23 November 2016).
Lahan garapan Kanib saat ini sedang dalam persiapan tanam kembali.
Sehingga keadaannya kosong tidak ada tanamannya. Hanya tersisa sedikit padi
yang letaknya diujung lahannya. Rencananya ia akan menanam jagung dan
kacang. Modalnya diambil dari penghasilan panen sebelumnya. Lahan Kanib
layaknya lahan-lahan petani yang lain memang sangat cocok untuk ditanami
holtikultura. Akan tetapi menurutnya agar tanah tidak jenuh, ia harus mengganti
jenis tanaman di setiap kali tanam. Padahal ia menyadari bahwa menanam jagung
untungnya lebih sedikit dari pada menanam buah seperti melon atau bahkan cabe.
Sehingga apa boleh buat ia harus menanam jagung dalam masa tanam kali ini,
demi menjaga kualitas tanah di lahan garapannya.
“Ya memang ada padi mas, cuma sedikit. petani sini itu gitu mas, padinya cuma dimakan sendiri, nggak dijual. Ini saya baru aja panen ini, melon, ya kalo 40 juta adalah. Ya trus ini kosong sekarang, tinggal padi yang saya ceritakan tadi. Kosong, trus ini rencananya mau jagung mas, biar gak jenuh lah lahannya itu”. (Wawancara tanggal 23 November 2016).
197
Gambar 4.22 Kanib saat di Gubuk, di Lahan Garapannya
Sumber: Dokumen Sitas Desa
Keseharian Kanib sebagai petani ia mulai pukul setengah tujuh pagi
hingga pukul empat sore. Tempat istirahantnya di gubuk seperti dalam gambar di
atas. Ia pergi ke lahan bersama isterinya. Anak-anaknya karena sejak lulus SMA
jarang tinggal di rumah maka tidak terbiasa ikut ke lahan. Akan tetapi karena anak
perempuan yang pertama saat ini tinggal bersama Kanib, maka sesekali anak
perempun pertamanya bersama suami ikut ke lahan. Di lahan banyak aktivitas
yang ia kerjakan, layaknya petani yang lain. Jika tanaman telah tumbuh besar
aktivitasnya seperti meyirami, memberi pupuk, menyemprot hama dan lain-lain.
Ketika musim panen kegiatannya memetik buah dengan mempekerjakan buruh
tani. Hasilnya kemudian ia jual ke tengkulak. Dalam artian tengkulak lah yang
siap menjemput hasil panen ke lahan. Kanib hanya mempersiapkan hasil panen
yang telah siap diangkut.
Musim tanam seperti saat ini kegiatannya cenderung santai. Ia hanya
membersihkan dan mempersiapkan lahan yang akan ditanami. Setiap jenis
tanaman memiliki perbedaan desain tanah yang akan digunakan. Jika tanaman
jagung, hanya berupa tanah datar dan gembur. Sementara tanaman melon dan
198
semangka memerlukan tanah yang dibuat gunung-gunung kecil memancang yang
arahnya sama. Pengalaman Kanib sebagai petani yang hampir 20 tahun
memudahkan ia dalam menyesuaikan dan menghadapi segala macam tantangan
terkait kegiatan tanamnya. Tak terkecuali seperti saat ini di mana cuaca tidak
menentu. Ia harus berpikir mengenai jenis tanaman yang cocok untuk cuaca saat
ini. Ia tidak mungkin menanam melon kembali karena selain tanahnya akan
mengalami kejenuhan, tanaman melon tidak tahan dengan hawa yang berubah
secara drastis. Saat ini yang sering terjadi adalah, ketika pagi dan siang hari panas
matahari sangat menyengat, akan tetapi tiba-tiba di sore hari hujan turun dengan
lebatnya hingga tengah malam. Kondisi inilah yang membuatnya untuk berpikir
cerdas dalam bercocok tanam. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Kanib
berikut.
“Sekarang itu musim nggak nentu mas, jadi ya harus pinter-pinternya kita, istilahe menyiasati untuk nenam itu, kalo panas gimana, kalo tiba-tiba hujan gimana, gitu mas”. (Wawancara tanggal 23 November 2016). Pengalaman Kanib menjadi petani itulah telah menjadikan ia saat ini
sebagai petani yang tergolong sukses. Ia bisa menyekolahkan kedua anakanya
hingga ke perguruan tinggi. Oleh karenya, stok pengetahuannya tentang lahan
garapan membuatnya sangat tahu bagaimana harus memperlakukan lahan, dan
bagaimana aksi yang harus ia lakukan jika lahan diklaim oleh pihak lain.
199
Gambar 4.22 Lahan Garapan Kanib dalam Tahap Persiapan Tanam
Sumber: Dokumentasi Peneliti
b. Kanib sebagai Aktor Pejuang
Kanib sebagai aktor gerakan perjuangan tentunya memiliki pengalaman
dan stok pengetahuan yang cukup untuk melakukan gerakan perjuangan.
Pengalamannya menjadi karyawan perkebunan dan keterlibatannya dalam
kepanitiaan permohonan lahan garapan sejak awal membuat ia memiliki banyak
stok pengetahuan yang digunakannya dalam melakukan aksinya sebagai aktor
pejuang. Kanib merupakan petani pejuang sejak lama. Ia telah ikut dalam gerakan
perjuangan sejak kepanitiaan Pak Samin. Ia ikut panitia permohonan tanah sejak
kepanitiaan dipimpin oleh Pak Samin pada tahun 1997 akhir. Ia adalah salah satu
pejuang yang membuat surat permohonan tanah ke tingkat II Blitar dan ke tingkat
pusat. Yang dituju adalah BPN, baik di Blitar maupun yang ada di pusat.
Pertama kali ia mengirim surat ke BPN Blitar, ia mendapat penjelasan
yang merupakan jawaban atas permohonan tanah. BPN Blitar memberikan
penjelasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik PT Semen Dwima Agung
(SDA), anak perusahaan PT Holcim Indonesia. Tanah tersebut diserahkan kepada
200
PT. SDA dari PT Gondang Tapen Barumas melalui transaksi jual beli pada tahun
1996. Kemudian jawaban kedua berupa penjelasan bahwa BPN Blitar akan
mengkaji dan mengevaluasi bukti transaksi jual beli karena ada
pengajuan/permohonan tanah dari pihak petani.
“Saya itu malah yang buat surat permohonan ke Pemnda sama BPN Blitar itu salah satunya ya saya ini, jadi kalo bisa dibilang saya ini ya tokoh lama sejak Pak Samin mas”. (Wawancara tanggal 23 November 2016). Setahun setelah permohonan tersebut kemudian BPN Blitar memberikan
tanah sekitar 40,9 hektar. Akan tetapi luas tersebut ditolak oleh seluruh petani
karena mereka merasa kurang. Kepanitiaan selajutnya dipimpim oleh Pak Singgih
pada tahun 2003. Kanib juga merupakan orang penting dalam kepanitiaan
tersebut. Ia termasuk dalam garda depan petani pejuang. Dua tahun kemudian
tepatnya tahun 2005, karena kepemimpinan Pak Singgih kurang mendapat
kepercayaan para petani, maka kepemimpinan digantikan oleh Pak Gimun. Akan
tetapi lagi-lagi masyarakat kurang mempercayai Pak Gimun. Pak Gimun yang
merupakan tokoh dituakan di Ringinrejo dan Jolosutro justru menerima bantuan
pembangunan masjid dari PT. Holcim Indonesia. Ia menandatangi pemberian
dana dari Holcim. Apa yang dilakukan oleh Pak Gimun menjadikan masyarakat
curiga jika Pak Gimun pro terhadap Holcim. Karema masyarakat mulai tidak
percaya, setahun kemudian Pak Gimun digantikan oleh Pak Partu hingga tahun
2013.
Kepanitiaan Pak Partu merupakan kepanitiaan yang cukup lama. Kanib
sebagai petani pejuang sejak awal juga memiliki peran penting dalam kepanitiaan
Pak Partu. Walau ia tidak pernah menjadi ketua atau jabatan strukturan dalam
kepanitiaan, ia memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam kepanitiaan. Tak jarang
201
ia diminta sebagai penasehat ketika rapat berlangsung. Selain itu berbagai upaya
yang dilakukan oleh pemimpin kala itu juga diikutinya. Seperti memohon kembali
ke BPN Blitar dan permohonan bantuan di DPRD Jawa Timur terkait kejelasan
status tanah Gondang Tapen. Tidak hanya tenaga dan pikiran, uang pun juga ia
korbankan demi perjuangan tanah tersebut. Bahkan ia sempat mengungkapkan,
jika seandainya ia tidak ikut dalam gerakan perjuangan tanah tersebut, ia telah
kaya raya karena tidak ditariki uang untuk kepanitiaan.
Panitia Pak Partu dibubarkan ketika Pak Partu tidak lagi mendapat
kepercayaan. Tanpa berbicara dengan para petani termasuk Kanib, tiba-tiba Pak
Partu menerima tanah dari BPN seluas 74 hektar. Sontak tanah tersebut ditolak
oleh para petani karena dinilai sangat sedikit. akhirnya kepanitiaan Pak Partu
dibubarkan. Kepanitiaan selanjutnya dipimpin oleh Pak Talto. Kepanitiaan Pak
Talto dibentuk pasca SK Kemenhut tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di eks
Perkebunan Gondang Tapen Terbit. Kanib yang sejak awal memang bersemangat
dalam menyelesaikan kasus ini juga ikut lagi dalam kepanitiaan. Bahkan karena
para petani melihat pengalamannya telah lama, ia dimasukkan ke dalam anggota
pengurus. Selain secara struktural posisi Kanib sebagai anggota pengurus, secara
formasi gerakan ia termasuk petani pejuang dalam garda depan bersama Pak
Talminto, Katiman, Tumiran, Sutarman dan Wahyudi.
“Jadi kan kepanitiaan itu bertutut-turut ya, iyu mulai dari Pak Samin tahun 1996, Pak Singgih tahun 2003, Pak Gimun tahun 2005, Pak Partu itu paling lama, tahun 2006 sampel 2013, trus muncul terakhir Pak Talto, pas SK Kemenhut itu terbit. Kalo yang kenapitiaan awal-awal itu kan gara-gara dibubarkan-dibubarkan itu kan gara-gara masyarakat banyak yang nggak percaya to mas. Ya mulai Pak Samin itu kan nerima tanah Cuma 40,9 hektar nggak bilang-bilang, ujug-ujug kok diterimo masyarakat belum tentu setuju, ya akhirnya apa, nggak setuju trus ditolak. Yang lain juga gitu malah Pak Gimun itu kesane malah pro sama Holcim, trus siapa, Pak Partu itu juga sama kasusnya sama Pak Samin, nerima dari BPN 74
202
hektar, tapi nggak musyawarah dulu, yowes mesti lah ditolak sama warga. Masalahe apa mas, 74 hektar itu lo mas, kalo dibagi semua petani apa cukup. Sekarang yang dibutuhkan, yang diharapkan petani itu 40 are per petani. Ya semoga saja ini Pak Talminto ini berhasil”. (Wawancara tanggal 23 November 2016).
Pengalaman perjuangannya dalam kepanitiaan Pak Talminto sangat
banyak. Mulai dari mulai dari demo sampai dengan persidangan. Baik demo yang
dilakukan di Blitar maupun yang dilakukan di Jakarta. Persidangan juga ia ikuti.
Bersama petani yang lain ia pulang pergi Blitar-Jakarta seminggu sekali selama
hampir dua bulan naik kereta. Dalam PPGT, ia juga mempunyai pengaruh yang
cukup kuat. Seringkali keputusan Talminto belum dianggap sah jika belum
dibahas dan dievaluasi oleh Kanib. Hal ini karena Kanib memang paham sekali
bahwa arah gerakan yang dilakukan harus dipikirkan matang-matang.
Menurutnya, kegagalan demi kegagalan yanga ada dalam kepanitiaan sebelumnya
harus dihindari. Kini saatnya PPGT belajar dari kegagalan yang telah terjadi.
Mulai dari gaya kepemimpinan, cara berhubungan dengan pihak yang membantu
sampai dengan cara mengumpulkan dana. Menurut Kanib, PPGT harus berhasil
karena dipimpin dan diisi oleh anggota-anggota yang masih muda dan semangat
tidak gampang terprovokasi oleh pihak lain khususnya dari LSM. Berikut
penuturan Kanib.
“Yang jelas PPGT ini ndak boleh seperti yang lalu. Perjuangan ini harus berhasil. Kalo yang lalu diisi golongan tua maklum ya kalo ndak bisa berjalan sendiri, trus akhirnya ikut jalannya LSM, alah malah uang habis. Kalo sekarang, orangnya masih muda-muda ini, istilehe muda ki ketuane seng muda iki ya harus berhasil, jalannya pun kan beda sama yang dulu, kalo sekarang lebih terarah lah, sasarannta itu siapa itu tepat, la kalo dulu kan pokok ngertine nek BPN yowes”. (Wawancara tanggal 23 Nobember 2016).
203
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa harapan Kanib terhadap PPGT ini
sangat tinggi, yaitu suatu keberhasilan. Hal ini dikarenakan pengalaman terdahulu
Kanib selama ikut dalam kepanitiaan awal tidak mendapatkan hasil yang berarti.
Sehingga berkat pengalaman tersebut ia memiliki pikiran bahwa kepanitiaan yang
saat ini harus berhasil. Sehingga sampai saat ini ia masih ikut dan semangat dalam
gerakan perjuangan lahan garapan tersebut.
6. Biografi Sosial Wahyudi
Gambar 4.23 Wahyudi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Wahyudi lahir di Surabaya pada tahun 1950. Umurnya saat ini menginjak
ke 67 tahun. Ia merupakan petani pejuang dalam garda depan. Ia sekaligus sebagai
petani pejuang garda depan yang paling tua usianya. Ia bukan asli orang
Ringinrejo. Ia asli orang Surabaya. Wahyudi terlahir dari keluarga sederhana di
pinggiran Sungai Jagir Wonokromo. Ia merupakan anak ke 2 dari tujuh saudara.
Kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Sementara saudara-saudaranya telah
204
berkeluarga dan tinggal tersebar di beberapa kota, seperti Sidoarjo, Gresik, Solo
dan Surabaya.
Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Dasar (SD). Kala itu namanya
masih Sekolah Rakyat (SR) di daerah Ngagel, Surabaya. Pasca lulus SD
kemudian ia menganggur. Ia menjelaskan bahwa kehidupannya sempat tidak jelas
semasa kecil dan remajanya. Hingga suatu saat ia diajak oleh seorang temannya
untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Segala macam pekerjaan yang
berhubungan dengan bangunan ia kerjakan. Mulai dari membangun perumahan,
pertokoan, mall, sekolah, hingga kampus. Pekerjaan tersebut ditekuninya antara
tahun 1973 sampai dengan 1987.
Wahyudi kemudian memutuskan untuk merantau ke Jakarta pasca tidak
lagi kerja bangunan di Surabaya. Akan tetapi di Jakarta ia bekerja lagi sebagai
buruh bangunan. Mungkin memang kemampuannya di bidang tersebut. Bedanya,
kerja bangunan di Jakarta sistemnya sudah borongan, karena ikut perusahaan
kontraktor. Ia lebih memilih bekerja di proyek-proyek besar. Seringkali ia bekerja
membangun pusat-pusat perbelanjaan seperti Matahari, Ramayana dan Ufo.
Gajinya kerja di bangunan sebesar Rp. 12.000 per hari. Pada tahun 1991 Wahyudi
ikut proyek lagi untuk membangun mall di Kalimantan. Baik di Jakarta maupun
di Kalimantan ia ikut kontraktor yang sama. Sehingga bisa dismpulkan bahwa di
mana kontraktor tersebut ada proyek, Wahyudi selalu ikut. Ia mengakhiri kerja
sebagai buruh bangunan di Kalimantan pada tahun 1998, di kala keadaan ekonomi
negara sedang krisis. Gajinya kala itu sudah Rp 15.000 per hari. Gaji yang cukup
lumayan untuk menghidupi anak dan istrinya.
205
Wahyudi sendiri menikah pada tahun 1975. Kala ia menikah, ia masih
bekerja bangunan di Surabaya. Ia menikah dengan seorang perempuan asal Blitar
bernama Supini. Wahyudi dan Supini dipertemukan saat Supini merantau ke
Surabaya. Tempat kerja Supini dengan Wahyudi berdekatan yang akhirnya
membuat mereka saling tertarik dan akhirnya menikah. Pasca menikah, Wahyudi
tetap bekerja di Surabaya sementara Supini pulang dan berjualan sembako di
Blitar. Hampir satu bulan sekali Wahyudi menengok isterinya yang tinggal di
Blitar. Sementara saat kerja di Jakarta maupun di Kalimanta, Wahyudi pulang ke
Blitar sekitar enam bulan sekali untuk menengok isteri dan anaknya.
Pernikahan Wahyudi dengan isterinya dikaruniai 4 orang anak. Dua
seorang laki-laki dan dua lagi perempuan. Anak pertama Wahyudi seorang
perempuan saat ini telah menikah dan menetap di Wlingi, Blitar. Anak keduanya
juga perempuan telah menikah tinggal di sebelah rumah Wahyudi. Anak
ketinganya telah menikah saat ini tinggal bersama Wahyudi. Sementara anak
terakhirnya seorang laki-laki telah menikah merantau bersama isterinya di
Surabaya. Keempat anaknya telah menikah, akan tetapi yang tinggal bersama
Wahyudi saat ini adalah anaknya yang ketiga bersama menantu dan dua cucunya.
Anaknya yang ketigalah yang saat ini menggantikan Wahyudi untuk pergi ke
lahan. Karena wahyudi merasa sudah tidak kuat lagi jika harus menggarap lahan
sendiri.
Wahyudi sendiri pulang dari Kalimantan pada tahun 1998 dan langsung
ikut menggarap di lahan eks Perkebunan Gondang Tapen. Setelah ia menggarap
sekian lama, pada tahun 2011 ia memutuskan untuk tidak lagi menggarap di lahan
dan digantikan anak ketiganya. Akan tetapi meskipun ia tidak lagi pergi ke lahan,
206
perjuangan sebagai petani pejuang tetap ia lakukan bersama PPGT. Bagaimana
pun, ia masih membutuhkan tanah tersebut walau saat ini tanahnya telah digarap
oleh anaknya. Hasil dari panennya tetap milik bersama, baik Wahyudi maupun
anaknya yang ketiga. Saat ini kegiatannya membantu isteri berjualan sembako di
tokonya. Tokonya berada di depan rumah. Setiap hari kegiatan ringan itulah yang
ia lakukan. Ia merasa umurnya sudah tidak muda lagi. Biarlah lahan digarap oleh
genarasi-genrasi yang lebih muda.
Gambar 4.24 Rumah Wahyudi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
a. Wahyudi sebagai Petani
Wahyudi mulai menggarap di lahan eks Perkebunan Gondang Tapen pada
tahun 1998. Kala itu ia baru saja pulang dari Kalimantan. Kepulangannya karena
saat itu kondisi ekonomi negara sedang tidak baik sehingga perusaan kontraktor
yang ia ikuti terkena imbasnya. Dari pada menganggur di Kalimantan ia
memutuskan untuk pulang ke Jawa. Pasca kepulangannya ia kemudian ikut-ikut
para tetangganya untuk menggarap lahan di eks Perkebunan Gondang Tapen.
207
Wahyudi tidak langsung membeli tanah dari Mantri Perhutani. Ia justru
membuka lahan sendiri di bagian paling barat yang tidak melalui proses jual beli.
Langsung saja ia membuka lahan kemudian ia tanami beberapa jenis buah dan
sayur. Luas lahannya sekitar setengah hektar (50 are). Ia berpikir lahan yang ia
buka letaknya di ujung paling barat, sehingga tidak banyak orang yang
menginginkannya. Sehingga ia buka begitu saja lahan tersebut tanpa ia
membelinya dari pihak lain. Hal semacam ini wajar dan banyak dilakukan juga
oleh petani kala itu, karena memang tidak ada aturan yang jelas tentang
pembukaan lahan tersebut. Secara masal para petani menggarap lahan tersebut
tanpa suruhan dan larangan dari pihak mana pun.
“Saya itu pulang dari Kalimantan trus nggrapa di situ, itu tahun 1998. Tapi saya itu nggak beli, kalo yang lain beli, ada yang nggak juga, kalo saya nggak beli, saya langsung mbukak saja di barat, letaknya memang paling barat sana, itu luasnya 50 are an. Itu dulu sepakat sama teman saya, kalo yang lain 50 ya 50 kang, waktu itu gitu, jadi saya nggak beli”. (Wawancara tanggal 19 November 2016).
Kegiatan Wahyudi sebagai petani ia tekuni dalam kurun waktu tahun 13
tahun, yaitu sejak tahun 1998 sampai dengan 2011. Pada tahun 2011 ia
memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai petani karena ia merasa
bahwa umurnya sudah tidak muda lagi dan fisiknya sudah tidak sekuat dulu lagi.
Jika dulu ia selalu mengajak isteri dan anak ketiganya ke lahan, maka anak
ketiganya lah yang saat ini meneruskan untuk menggarap lahan Wahyudi. Anak
ketiga Wahyudi bernama Supriyadi. Ia lah yang saat ini menggarap lahan
Wahyudi. Sementara hasilnya dibagi dengan Wahyudi. Karena bagaimana pun,
status tanah tanah tersebut masih milik Wahyudi, sementara Supriyadi hanya
mengelolanya.
208
Sekitar dua bulan yang lalu kebun Wahyudi baru saja memanen melon.
Penghasilan bersihnya mencapai Rp 35.000.000. Dari hasil tersebut Wahyudi
mendapatkan bagian 25%, atau sekitar Rp 8.750.000. Jumlah bagian tersebut bisa
dibilang sedikit karena Wahyudi mempunyai penghasilan lain yang didapatkannya
dari membantu isterinya berjualan sembako di rumah. Sementara bagian
Supriyadi lebih banyak karena harus menghidupi isteri dan kedua anaknya yang
masih kecil. Saat ini lahan Wahyudi yang dikelola oleh Supriyadi ditanami
jagung, usianya masih satu bulan. Selain itu, ia juga menanam padi di pinggir
lahannya di sebelah barat. Padi merupakan tanaman yang hampir semua petani
Desa Ringinrejo menanamnya. Akan tetapi padi di lahan eks. Perkebunan tersebut
sifatnya bukan tanaman untuk dijual kembali. Melainkan untuk dikonsumsi
sendiri. Sehingga padi bagi petani Desa Ringinrejo merupakan tanaman yang
selalu ditanam akan tetapi bukan merupakan tanaman utama yang diperjual
belikan.
“Sekaramg saya nggak nggarap sendiri lahan saya, sudah sepuh lah saya bantu istri jualan saja di rumah. Sekarang digarap sama anak saya yang nomer tiga ini. Jadi ya hasilnya dibagi. Ini baru aja kok panen, itu saya diberi 25% nya lah, yang sisannya dibuat anak saya, kan juga punya anak istri, yan nggak papa lah, saya sudah ada toko”. (Wawancara tanggal 19 November 2016).
209
Gambar 4.25 Lahan Wahyudi yang Sekarang Digarap Supriyadi,
Anak Ketiganya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Lahan Wahyudi telah diamanatkan kepada Supriyadi untuk dikelola.
Sementara kegiatan Wahyudi saat ini bergadang membantu isterinya di rumah.
Toko Wahyudi dibangun pada tahun 2010, setahun sebelum ia memutuskan untuk
berhenti menggarap lahan. Bersama isterinya ia berjualan berbagai macam
kebutuhan pokok. Seminggu sekali ia harus mengantarkan isterinya untuk belanja
barang dagangan ke Pasar Wates. Sementara hampir setiap hari ia sendiri membeli
bensin untuk persediaan para petani. Patani di eks Perkebunan Gondang Tapen
sebagian besar mengendarai sepeda motor untuk menjangkau lahannya. Hal ini
dikarenakan lahan perkebunan tersebut sangat luas. Sehingga bensin merupakan
kebutuhan utama para petani. Wahyudi melihat peluang tersebut, sehingga
persediaan bensin Wahyudi di tokonya harus selalu banyak.
Toko Wahyudi dibuka 24 jam. Hal ini karena ia berpikir jika jarang sekali
toko di sekitar rumahnya. Sehingga apabila tetangganya membutuhkan sesuatu di
tengah malam, ia siap sedia untuk melayani. Hal itu menyebabkan Wahyudi tidak
210
pernah tidur di kamar bersama isterinya. Setiap malam ia tidur di ruang tamu
dengan televisi yang selalu menyala. Pintu ruang tamunya juga tidak pernah ia
tutup. Sehingga apabila ada pembeli setiap saat, dengan mudahnya para pembeli
bisa membangunkannya walau di tengah malam. Pelayanan Wahyudi yang
semacam itu lah yang menyebabkan tokonya selalu ramai oleh pembeli.
“Ya saya lebih di rumah sekarang, bantu istri. Ya tiap hari belanja ini, ngenter istri, tapi yang pasti itu beli bensin ini lo, soalnya apa, petani sini itu semua kalo ke lahan pakek motor, soalnya lahannya jauh. Ya bensin harus sedia saya”. (Wawancara tanggal 19 November 2016).
Aktivitas Wahyudi yang saat ini lebih disibukkan di rumah merupakan
pilihan hidupnya. Karena ia menganggap bahwa dirinya telah sepuh dan tidak
kuat lagi jika harus menggarap lahan. Akan tetapi meskipun ia tidak lagi
menggarap lahan tersebut, dedikasinya untuk paguyuban tetap dilakukan. Ia masih
aktif dalam gerakan perjuangan. Hal tersebut dikarenakan lahan tersebut masih
dianggap sangat berharga bagi Wahyudi dan keluarganya.
b. Wahyudi sebagai Aktor Pejuang
Wahyudi sebagai aktor pejuang berada dalam ruang yang berbeda ketika ia
menjadi petani maupun menjadi penjual sembako di rumah. Stok pengetahuannya
sebagai petani maupun sebagai penjual sembako terpaksa ditanggalkannya dan
diganti dengan stok pengetahuannya tentang sengketa lahan dan gerakan
perjuangan untuk kemudian digunakan dalam aksi gerakan perjuangan. Wahyudi
termasuk ke dalam aktor perjuangan tanah yang berada dalam garda depan. Secara
struktural, ia masuk sebagai anggota pengurus PPGT yang mempunyai jabatan
sebagai bendahara 1. Sebagai bendahara paguyuban, perannya begitu penting
terkait arah gerakan. Segala keputusan gerakan perjuangan tidak akan
211
dilaksanakan tanpa ada peran Wahyudi. Sebagai bendahara paguyuban, ia lah
yang mengurusi segala keuangan untuk perjuangan tanah garapan. Bendahara
paguyuban harus selalu ikut dalam rapat. Di setiap rapat, pembahasan mengenai
dana selalu diletakkan di akhir. Hal itu dimaksudkan agar arah gerakan
perjuangan dan kebutuhan dana harus selalu seimbang. PPGT selalu
mempersiapkan dengan matang masalah keuangannya. Karena bagi Wahyudi
khususnya, masalah uang adalah masalah nyawa. Nyawa bisa hilang hanya karena
uang. Nyawa juga bisa hilang hanya karena masalah tanah. Oleh karenanya
keuangan PPGT selalu dirundingkan secara matang.
Kesepakatan PPGT adalah tidak menarik uang dari seluruh petani.
Kebutuhannya untuk memperjuangkan tanah hanya berasal dari para anggota
pengurus paguyuban sebanyak 20 orang. Hal ini dilakukan karena belajar dari
kepanitiaan sebelumnya. Di mana dalam kepanitiaan sebelumnya seluruh petani
diwajibkan untuk membayar, akan tetapi tidak ada hasil yang signifikan. Hal
itulah yang menimbulkan banyak fitnah di kalangan petani kal itu sehingga
beberapa kali kepanitiaan dibubarkan. Kepanitiaan Talminto berbeda. Kebutuhan
gerakan perjuangan benar-benar ditulis secara rinci, kemudian secara terbuka
diberitahukan kepada anggota pengurus. Sehingga tidak ada kesan yang tertutup
dalam masalah keuangan. Wahyudi lah yang bertugas untuk menulis semua
kebutuhan gerakan perjuangan, memberitahukan kepada anggota pengurus, dan
menghimpun dana dari seluruh anggota pengurus yang hanya berjumlah 20 orang
tersebut.
“Saya sebagai bendahara 1. Ya kalo ada keperluan apa gitu saya ngikuti. Kalo ada keperluan dana, ya saya bendahara yang ngurusi, jadi dana itu kan dari paguyuban sendiri, tidak iuran semua petani. Jadi kita ndak pernah narik ke petani, semua kesadaran dari paguyuban sendiri. Jadi
212
bukan iuran mas, jadi gini lo, yang ada dalam paguyuban itu nanti kumpul-kumpul, trus dibicarakan, kita ini butuh dana, ini bagaimana, jadi cuma paguyuban saja yang ngurusi, nggak sampai ke lain-lain. Masalahnya kita ndak mau seperti yang sudah-sudah, dulu kan nariknya ke masyarakat, jadi masyarakat merasa terbebani. Jadi masyarakatnya itu trauma. Dikira nanti minta ke masyarakat. Jadi gini, dari paguyuban ini ada berapa orang, misalnya ada 20 orang, yang ditanggung ini 20 orang. Jadi di paguyuban itu ndak harus ditekan harus ngeluarkan sekian itu endak. (Wawancara tanggal 19 November 2016).
Selain statusnya sebagai bendahara 1 dalam PPGT dengan segala perannya
yang telah dijelaskan di atas, sebagai aktor pejuang Wahyudi juga memiliki
berbagai pengalaman salama perjuangan berlangsung. Wahyudi mengungkapkan
bahwa ia telah ikut perjuangan tanah sejak kepanitiaan Pak Samin, Pak Partu
hingga saat ini Pak Talminto. Sewaktu kepanitiaan Pak Samin dan Pak Partu,
statusnya hanya sebagai anggota biasa. Barulah saat kepanitiaan Pak Talminto ia
dijadikan bendahara paguyuban. Ia juga tidak mengeti alasan para petani
menjadikannya sebagai bendahara paguyuban, sementara ia sendiri tidak lagi
menggarap lahan secara aktif. Tetapi atas amanah yang diberikan oleh para petani,
ia jalankan tugas tersebut bahkan ia termasuk dalam kategori pejuang garda
depan.
Wahyudi sebagai pejuang garda depan saat kepanitiaan Pak Talminto telah
mengikuti perjuangan di mana-mana. Mulai demo di Blitar sampai ke Jakarta. Ia
juga secara aktif mengikuti persidangan di PTUN tanpa absen. Ia pulang pergi
Blitar-Jakarta sebanyak 6 kali dalam 2 bulan untuk mengikuti persidangan di
PTUN. Ia juga hadir dalam setiap putusan peradilan, baik masih tahap gugatan
dan banding di PTUN, maupun dalam tahap Kasasi di MA. Perjuangannya tanpa
putus asa walaupun hasil persidangan meyatakan bahwa gugatan petani ditolak
bahkan hingga tingkat MA. Buktinya, ia tetap ikut dalam demo besar di depan
213
Kantor Kedutaan Swiss dan di depan Kantor PT. Holcim Indonesia pada bulan
Mei 2015.
“Kalo ditanya perjuangan ya sudah ke mana-mana mas, demo-demo itu, di Blitar di Jakarta, waktu itu, pas persidangan itu apa, ya udah banyak sekali mas yang saya dan temen-temen lakukan itu. Sampek persidangan itu kan ditolak, sampek MA itu, saya ya ikut pas putusan, semua pas putusan saya hadir kok. Tapi saya ya nggak putus asa itu meski ditolak, saya masih ikut demo besar itu sama petani bawa bis”. (Wawancara tanggal 19 November 2016). Kesolidan Wahyudi mengikuti gerakan perjuangan tersebut dikarenakan ia
sangat mengetahui dan paham jika lahan tersebut sangat penting bagi dirinya,
keluarganya bahkan semua petani Gondang Tapen. oleh sebab itu ia walaupun
saat ini tidak menggarap secara langsung lahan garapan akan tetapi tetap ikit
dalam gerakan perjuangan. Ada nilai yang sama antara Wahyudi dengan aktor
yang lain bahwa gerakan perjuangan tanah tersebut merupakan suatu keharusan.
Nilai itu tidak tampak akan tetapi telah menjadi kehendak bersama. Nilai akan
kewajiban untuk berjuang itulah kemudian menjadi common sense bagi setiap
aktor gerakan lahan garapan.
7. Biografi Sosial Subjek dalam Perspektif Fenomenologi Alfred Schutz
Biografi sosial subjek mulai dari Talminto, Katiman, Tumiran, Sutarman,
Kanib dan Wahyudi, baik dari latar belakang hidup subjek, subjek menjadi petani
dan subjek menjadi aktor gerakan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari
subjek. Alfred Schutz menamai hal tersebut sebagai dunia intersubjektif atau life
world (kehidupan sehari-hari). Dalam kehidupan sehari-hari subjek tersebut maka
diketahui kehidupan bathiniyah subjek yang direfleksikan dalam perilaku sehari-
hari. Dalam konteks subjek di atas, maka perilaku keseharian dan pengalaman
214
subjek misalkan subjek menjadi petani maupun subjek menjadi aktor gerakan
merupakan pilihan-pilihan tindakan berdasarkan isi hati (bathiniyah) subjek.
Schutz mengemukakan bahwa ketertarikan manusia dalam sehari-hari
merupakan sesuatu yang bersifat sangat praktis dan tidak bersifat teoritis. Sikap
alami mereka diatur oleh motif-motif pragmatis yakni mereka berupaya
mengontrol, menguasai atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-
proyek dan tujuan mereka. Schutz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis
tersebut dengan istilah dunia kerja realitas puncak. Dalam konteks realitas subjek
di atas, maka pilihan subjek untuk menjadi petani dan untuk menjadi aktor
pejuang merupakan motif pragmatis untuk memiliki sumber ekonomi. Di mana
para subjek menerapkan proyek-proyek dan tujuan mereka. Dalam artian, subjek
melakukan segala cara agra tujuan ekonomi subjek terpenuhi.
Meminjam pandangan Ritzer, bahwa common sense sama dengan dunia
intersubjektif yang diperkenalkan oleh Alfred Schutz. Artinya, orang
menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan
oleh struktur kultural ciptaan leluhur mereka. Dalam konteks kehidupan subjek di
atas, maka pilihan-pilihan tindakan subjek merupakan realitas sosial yang mereka
ciptakan sendiri dan dan realitas tersebut merupakan paksaan kehidupan sosial
mereka yang telah ada oleh struktur yang telah ada. Artinya, pilihan mereka untuk
menjadi petani dan menjadi aktor gerakan merupakan realitas yang mereka
ciptakan. Akan tetapi, realitas yang mereka ciptakan tersebut juga bagian dari
keadaan sosial yang memaksa para subjek untuk melakukan hal tersebut.
215
C. Motif-motif Aktor dalam Menentukan Tindakan
Motif merujuk pada seseorang melakukan sesuatu. Motif adalah dorongan
yang menggerakkan seseorang bertingkah laku dikarenakan adanya kebutuhan-
kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh manusia. Motif juga dapat dikatakan sebagai
daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-
aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sudirman, 2007: 73). Dalam
fenomenologi Alfred Scutz, motif dibedakan menjadi dua, yaitu motif in order to
dan motif because.
Motif (in order to) merupakan alasan seseorang melakukan sesuatu untuk
mendapatkan apa yang diharapkan di masa yang akan datang. Sementara motif
(because) merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan
tindakan dan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar. Motif dalam
penelitian ini akan memaparkan dorongan aktor dalam bertingkah laku, khususnya
terkait aktor menjadi petani dan aktor melakukan gerakan perjuangan tanah.
Motif-motif aktor tersebut nantinya secara alamiah dapat digolongkan ke dalam
dua jenis motif, baik motif because maupun motif in order to.
1. Motif Aktor Menjadi Petani
Motif para aktor membuka lahan di eks Perkebunan Gondang Tapen
cenderung sama. Walaupun ada sedikit perbedaan antara satu aktor dengan aktor
yang lainnya, akan tetapi secara umum dapat dikatakan seragam, yaitu karena
faktor ekonomi. Faktor lain yang membuat aktor menjadi petani yaitu karena
faktor sosial dan geografis.
216
a. Motif karena Ekonomi
Motif karena ekonomi salah satunya dialami oleh Talminto. Dorongan
Talminto sebagai ketua PPGT untuk membuka lahan dikarenakan ia tidak lagi
berdagang sapi, karena kala itu harga sapi yang sangat murah. Sehingga ia
membutuhkan penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Ia kemudian
memutuskan untuk membuka lahan dan menjadi petani di eks Perkebunan
Gondang Tapen. Awalnya Talminto mencari lahan yang masih kosong atau
membeli jika ada petani yang menjual. Akan tetapi setelah ia mencari-cari tidak
ada lagi lahan yang kosong maupun petani yang akan menjual lahan. Untungnya,
kala itu kakak perempuannya yang nomor dua bersedia memberikan lahan seluas
30 are dari total luas lahan 50 are. Sehingga saudaranya masih mempunyai sisa
lahan 20 are. Sisa lahan 20 are itu pun Talminto yang mengerjakannya. Sementara
hasilnya dapat dibagi dua. Hal tersebut dikarenakan saudara perempuannya telah
memiliki usaha lain berupa toko sembako yang besar. Berikut penuturan
Talminto.
“Awalei aku ra nduwe garapan mas. Mergo aku sek dodol sapi sek jaya-jayane. La trus tahun 2010-2011 ki rego sapi amblek, aku trus leren, aku nek omah. Nek omah mergo ra nduwe penggawean, aku golek garapan. Mergo nyapo, arep mangan, duwek kondi lak ora kerjo. Trus aku golek lahan seng kosong ora enek. Arep tuku yo ora enek seng ngedol. Ndidalah ki trus akhire aku dikei mbakyu ku seng nomer loro ki 30 are, mbakyu ku nduwe total setengah hektar, 50 are. Yo iku dikekne aku mergo aku wes ora dodolan sapi kuwi. Tapi yo ora mergo iku ae, mbakyu ku ki saiki mergane nduwe usaha dewe, toko gedhe, dadi lahan ki ora patek digarap. Sisane sek 20 are ki yo kon nggarap aku. Neng asile dibagi”. (“Awalnya itu saya tidak punya garapan mas. Karena sebelumnya saya jualan sapi masih jaya. Kemudian tahun 2010-2011 karena harga sapi jatuh, saya berhenti, saya di rumah. Di rumah karena tidak ada pekerjaan, saya cari garapan. Karena apa, mau makan, tapi uang dari mana kalo tidak kerja. Kemudian saya cari lahan yang masih kosong tidak ada. Mau beli juga tidak ada yang jual. Kebetulan, kemudian akhirnya diberi sama mbak saya yang nomor tiga seluas 30 are. Mbak saya sendiri punya total lahan 50 are. Lahan tersebut diberikan kepada saya karena saya sudah tidak berdagang
217
sapi lagi. Tetapi tidak hanya itu juga alasannya. Mbakku sekarang sudah punya usaha sendiri, toko besar, sehingga lahan tidak begitu dikerjakan. Sisanya yang masih 20 are itupun juga saya yang kerjakan. Tapi hasilnya dibagi”). (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Berdasarkan cerita Talminto tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
motif atau dorongan ia untuk membuka lahan disebabkan karena faktor ekonomi.
Sebagai pedagang sapi ia tidak bisa lagi berjualan karena harga sapi yang sangat
murah (amblek). Karena ia tidak lagi berdagang sapi maka ia tidak mempunyai
penghasilan lagi. Ia kemudian memutuskan untuk menjadi petani untuk
menghidupi keluarganya.
Pernyataan Talminto tersebut juga menunjukkan bahwa keadaan atau
desakan ekonomi membuat ia kemudian menggarap lahan eks Perkebunan
Gondang Tapen. Kehendaknya untuk membuka lahan sangat dipengaruhi oleh
faktor ekonomi. Hal inilah yang menjadikan ia kemudian berada dalam ruang
deterministik ekonomi. Ruang deterministik ekonomi tersebut kemudian
menjadikan Talminto mempunyai tindakan atau kehendak untuk menggarap lahan
eks Perkebunan Gondang Tapen. Kehendak tersebut merupakan representasi
Talminto sebagai petani yang voluntaristik (memiliki kehendak). Kehendak
Talminto dalam menggarap lahan eks Perkebunan Gondang Tapen tentunya
didasarkan atas stok pengetahuannya tentang kehidupan petani dan lahan garapan.
Stok pengetahuan Talminto tentang kehidupan petani dan lahan garapan kemudian
dijadikannya sebagai norma atau petunjuk dalam melakukan aktivitasnya sebagai
petani lahan garapan.
Sementara itu aktor lain, Sutarman, memulai aktivitasnya sebagai petani di
eks Perkebunan Gondang Tapen pasca ia menikah pada tahun 1998. Motif
218
utamanya juga jelas karena faktor ekonomi. Pasca ia pulang dari merantau dan
menikah, ia berkewajiban untuk menafkahi isterinya. Oleh karenanya ia sangat
membutuhkan ladang penghasilan baru. Ia tidak mungkin merantau lagi
dikarenakan ia berkeinginan membuat rumah dan menetap di Desa Ringinrejo.
Keadaan sosial kala itu juga mempengaruhinya untuk segera membuka lahan.
Pengaruh tersebut berupa ajakan para petani untuk ramai-ramai menggarap tanah
yang kala itu dijual dengan harga yang sangat murah oleh Mantri Perhutani. Hal
ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Sutarman.
“Kan saya baru aja menikah itu mas, ya kebutuhan ekonomi jelas pas itu mendesak. Soalnya kayak ndak mungkin merantau lagi. Saya kan udah punya niatan memang untuk menetap di sini. Nah kebetulan waktu itu lahan itu dibuka warga, la saya ikut. saya ikut-ikut beli ke Mantri Perhutani”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016). Pernyataan Sutarman menunjukkan bahwa keputusannya untuk membuka
lahan dikarenakan faktor ekonomi. Ia mempunyai stok pengetahuan tentang
kehidupan petani dan pengetahuan tentang adanya lahan yang terlihat menganggur
di kala itu. Ruang ekonomi yang mendesak dirinya untuk membuka lahan dan
stok pengetahuannya tentang lahan menuntun dirinya untuk menjadi petani di eks
Perkebunan Gondang Tapen.
Hal yang sama juga dialami oleh Tumiran. Motif Tumiran menjadi petani
dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Ia membuka lahan garapan sejak ia tidak
lagi bekerja sebagai tukang bangunan pada tahun 2005. Ia meninggalkan
profesinya sebagai tukang kayu karena secara fisik telah tidak sekuat yang dulu.
Selain itu permintaan untuk membuat rumah tidak sebanyak sewaktu ia muda.
Sehingga penghasilannya menurun dan tidak mencukupi kebutuhan rumah
tangganya.
219
Selain itu, banyak tukang bangunan baru yang menawarkan bentuk-bentuk
rumah yang lebih modern. Sehingga posisi Tumiran kala itu mulai tergeser.
Alasan itulah yang akhirnya membuat Tumiran memutuskan untuk berganti
profesi sebagai petani.
“Nah itu kan tahun 2005 itu. Saya sudah nggak kuat di bangunan sudah fisiknya itu nggak kuat, mulai sedikit yang manggil, trus itu lo mas, banyak tukang-tukang baru, kan kalo baru itu kan muda, yang muda-muda itu kan tahu gaya-gaya rumah semakin modern, yang model minimalis, trus saya itu bisanya ya masih biasa-biasa itu. Nah itu saya mulai berkurang penghasilan saya, untuk nyukupi rumah tangga nggak cukup. Trus saya itu lihat orang-orang sini kok berhasil makmur nggarap tanah di situ, trus ya saya ikut nggarap di situ”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Penuturan Tumiran tersebut semakin menguatkan jika motif ia menjadi
petani memang dikarenakan masalah ekonomi untuk menghidupi istri dan anak-
anaknya (rumah tangga). Pernyataan Tumiran juga menunjukkan bahwa
kehendaknya untuk membuka lahan karena ia terkurung dalam keadaan ekonomi.
Keadaan ekonomi tersebut menuntunnya untuk membuka lahan garapan di eks
Perkebunan Gondang Tapen.
Motif ekonomi juga dialami oleh Wahyudi ketika ia membuka lahan.
Seperti halnya kebanyakan aktor yang lain, faktor ekonomi merupakan faktor
yang melatarbelakangi Wahyudi untuk menjadi petani. Faktor ekonomi
disebabkan karena Wahyudi kala itu baru saja pulang merantau dari Kalimantan.
Kepulangan Wahyudi dikarenakan saat itu kondisi ekonomi negara sedang tidak
baik (krisis 1998) sehingga perusaan kontraktor yang ia ikuti mengalami
kebangkrutan. Pasca kepulangannya ia memutuskan untuk membuka lahan karena
ia tidak memiliki pekerjaan. Berikut penuturan Wahyudi.
220
“Saya kan nggak beli mas, memang ada yang beli teman-teman itu, kalo saya enggak, karena nggak ada aturannya juga pas itu. Jadi saya pulang dari Kalimantan itu dari pada nganggur nggak ngasilkan uang, saya ikut-ikut warga, sungkan karo ibuke mas, lek nek ngomah nganggur, kebutuhan nyelot akeh kan, yowes mbukak lahan. Opo maneh lahane yo mek nek kidul kono”. (“Sungkan sama ibuk (isteri) mas, kalo di rumah ngganggur, kebutuhan juga semakin banyak kan, ya sudah buka lahan”). (Wawancara tanggal 15 Desember 2016). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa motif Wahyudi
menjadi petani dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Ia membutuhkan
penghasilan dengan cara membuka lahan karena baru saja ia pulang merantau dari
Kalimantan. Di saat ia memutuskan untuk menjadi petani tersebut, sebenarnya ia
berada dalam kondisi yang sangat mempengaruhi dirinya. Kondisi ekonomi
membuat ia memutuskan untuk menjadi petani. Ekonomi merupakan kondisi
determinan kepada Wahyudi. Sehingga dengan adanya tekanan-tekanan tersebut,
ia secara spontan tanpa berpikir lagi memutuskan untuk membuka lahan. Sifat
spontanitas inilah bagian dari stok pengetahuannya sebagai warga Desa
Ringinrejo, yang mana di desanya kala itu ada sumber kehidupan yang siap untuk
digarap.
Kanib sebagai mantan karyawan PT. Gondang Tapen Barumas nampaknya
juga mempunyai motif ekonomi dalam menggarap lahan di eks Perkebunan
Gondang Tapen. Setelah ia tidak lagi bekerja sebagai karyawan perkebunan, ia
tidak memiliki lagi pekerjaan yang dapat menopang biaya hidupnya. Ia juga tidak
mempunyai lahan garapan lain jika harus menjadi petani selain lahan di eks
Perkebunan Gondang Tapen.
Selain karena motif ekonomi, alasannya untuk menggarap lahan tersebut
juga dikarenakan keninginannya untuk menyekolahkan anaknya hingga tingkat
221
perguruan tinggi. Sudah menjadi niat Kanib untuk menyekolahkan anak-anaknya
hingga perguruan tinggi ketika awal ia membuka lahan. Karena selama ini kuliah
merupakan suatu langkah yang masih diaggap berlebihan bagi sebagian besar
masyarakat Ringinrejo. Sementara ia ingin merubah nasib keluarga besarnya
dengan cara menyekolahkan anaknya hingga tingkat perguruan tinggi. Ia Ia tidak
mau jika anaknya hanya menjadi petani seperti dirinya. Berikut penuturan Kanib.
“Ya kalo kebutuhan ekonomi itu jelas mas, soalnya saya pasca HGU kebun habis itu ya nggak punya kerjaan lagi. Lahan selain itu juga nggak punya. Ya dari kebun itu mas saya bisa sekolahkan anak itu sampek kuliah. Masyarakat sini gak ada mas yang kuliah. Jadi ya dengan menanam di kebun sini itu tujuan saya untuk menyekolahkan anak hingga tinggi terwujud. Memang saya niati gitu sama ibuk awalnya dulu, Alhamdulillah Allah mengabulkan, ya untuk apa sih mas, ya untuk ngrubah nasih juga mas”. (Wawancara tanggal 7 Desember 2016). Berdasarkan pernyataan Kanib tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
motif ia menggarap lahan dan menjadi petani adalah yang pertama karena faktor
ekonomi dan yang kedua karena faktor ingin menyekolahkan anaknya hingga
tingkat perguruan tinggi. Jika berdasar pada hasil wawancara tersebut, maka
faktor untuk menguliahkan anak juga termasuk dalam faktor ekonomi. Karena ia
berharap jika kedua anaknya kuliah, maka akan merubah nasib, baik nasib
anaknya maupun Kanib dan isterinya. Dengan demikian maka kehendak Kanib
untuk menggarap lahan di eks perkebunan Gondang Tapen, jika merujuk pada
konsep motif menurut Alfred Schutz mempunyai unsur motif in order to. Yaitu
motif berupa harapan di masa yang akan datang. Menguliahkan anak merupakan
harapan Kanib ketika ia memutuskan untuk membuka lahan. akan tetapi, faktor
ekonomi yang juga melatarbelakanginya untuk menggarap lahan tetap memiliki
unsur motif because.
222
b. Motif Kondisi Sosial dan Geografis
Aktor lain mempunyai motif yang berbeda. Motif Katiman menjadi petani
lebih disebabkan karena faktor sosial dan geografis. Latar belakang Katiman yang
tidak pernah merantau ke luar kota, akhirnya membuat ia tidak mempunyai
pilihan dalam memilih pekerjaan. Kemampuan atau skill Katiman sejak lulus
SMP memang dilatih sebagai seorang petani. Sehingga ketika lahan eks
Perkebunan Gondang Tapen di selatan rumahnya dibuka oleh masyarakat sekitar,
ia akhirnya ikut membeli lahan tersebut. Ia membeli ke Mantri Perhutani seluas 50
are pada tahun 1997 seharga Rp. 250.000. Berikut penuturan Katiman.
“Iya karna saya ndak ada pilihan mas, dari kecil sudah nggarap di kebun bapak saya. Nah kebetulan di selatan situ kok ada lahan nganggur bekas perkebunan, trus dijual, ya saya beli, ikut masyarakat sini karna juga membeli. Saya mulai menggarap itu tahun 1997, saya beli dari Mantri Perhutani itu seharga 250 ribu, itu setengah hektar, 50 are. Saat itu harganya ya murah-murah segitu”. (Wawancara Tanggal 2 November 2016). Maksud dari faktor sosial dan geografis di sini adalah, secara sosial
Katiman memang tidak mempunyai pengalaman merantau. Sejak lulus SMP ia
telah diajarkan menjadi petani dengan menggarap lahan ayahnya. Selain itu,
secara sosial masyakatat sekitar mengetahui jika perkebunan tersebut menjadi
hutan dan dijuali oleh Mantri Perhutani. Oleh karenanya masyarakat kala itu
langsung membuka lahan tersebut. Hal tersebut mempengaruhi Katiman yang
kemudian ia juga membuka lahan dengan membeli ke Mantri Perhutani.
Sementara faktor geografis yang dimaksud adalah bahwa lahan tersebut letaknya
di Desa Ringinrejo di mana Katiman tinggal. Posisinya pun dekat dengan rumah
Katiman yaitu di sebelah selatan rumahnya. Sehingga hal tersebut merupakan
223
kesempatan yang baik untuk membuka lahan di mana status lahan tersebut
menurutnya sebagai lahan “nganggur”.
Motif Katiman yang telah dipaparkan tersebut sebenarnya sangat
dipengaruhui oleh intersubjektifnya dia. Kehidupan sehari-harinya yang tidak bisa
dilepaskan dari menggarap lahan sejak lulus SMP menjadikan ia sangat terganting
dengan lahan. Lahan merupakan faktor determinan bagi kehidupan sosial
Katiman. Apalagi ia tidak pernah merantau atau pun bekerja selain menjadi
petani. Oleh karenanya, stok pengetahuan Katiman tentang kehidupan petani dan
lahan garapan sangat melekat. Sehingga, faktor sosial (intersubjektif) Katiman
sebagai petani (pengalaman sebagai petani) membawanya secara sistematis
membuka lahan di eks Perkebunan Gondang Tapen.
Berdasarkan pembahasan mengenai motif aktor menjadi petani, maka
dapat disimpulkan bahwa motif dari beberapa aktor pejuang tanah garapan
cenderung sama, yaitu karena fakor ekonomi. Sementara Katiman lebih
disebabkan karena faktir sosial dan keadaan geografis. Serta Kanib yang memiliki
harapan atau tujuan untuk meyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi
sebagai salah satu motifnya untuk menjadi petani di lahan eks Perkebunan
Gondang Tapen. Akan tetapi, motif Kanib untuk menyekolahkan anaknya tersebut
masih dalam garis besar motif ekonomi. Hal ini dikarenakan bahwa harapan
Kanib menguliahkan anaknya adalah, adanya perubahan nasib pada dirinya
maupun anak-anaknya.
Beberapa motif aktor untuk menjadi petani yang telah dipaparkan tersebut
dapat digolongkan ke dalam dua jenis motif menurut Alfred Schutz. Yaitu motif
because yang merupakan faktor yang menyebabkan atau yang melatarbelakangi
224
aktor melakukan tindakan, dan motif in order to yang merupakan harapan di
masa depan aktor dari tindakan yang dilakukan. Dengan demikian, faktor
kebutuhan ekonomi yang melatarbelakangi aktor untuk menjadi petani merupakan
jenis motif dalam kataegori because. Karena faktor ekonomilah yang meyebabkan
semua aktor memutuskan untuk menjadi petani dengan membuka lahan eks
Perkebunan Gondang Tapen. Selain faktor ekonomi, motif because juga nampak
dari segi faktor sosial dan kondisi geografis.
Secara sosial, pasca HGU perkebunan telah habis masyarakat sangat
antusias untuk membuka lahan. Seacara masif mereka mulai menggarap lahan
bekas perkebuanan tersebut. Hal tersebut mempengaruhi para aktor untuk ikut
membuka lahan. Sementara dari segi faktor geografis, bawasannya tanah tersebut
letaknya di Desa Ringinrejo, tempat di mana para aktor tinggal. Hal ini
merupakan kesempatan emas bagi para aktor untuk menggarap tanah tersebut.
Apalagi saat itu dari pihak Perhutani Blitar, khususnya yang dilakukan oleh
Mantri Perhutani justru menjuali tanah bekas perkebunan tersebut kepada
masyarakat Desa Ringinrejo. Keadaan sosial dan geografis inilah yang
menyebabkan para aktor memutuskan untuk menjadi petani. Faktor penyebab
inilah yang dalam fenomenologi Alfred Schutz dapat digolongkan ke dalam motif
because.
Sementara itu, ada motif berbeda yang menjadi alasan Kanib membuka
lahan eks Perkebunan Gondang Tapen. Selain karena faktor ekonomi, Kanib
mempunyai alasan tersendiri mengapa ia membuka lahan tersebut. Kanib
membuka lahan tersebuka selain karena kebutuhan ekonomi juga karena ingin
menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Keinginan tersebut terwujud.
225
Kedua anaknya bisa kuliah. Dalam fenomenologi Alfred Schutz, maka keinginan
Kanib untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dengan membuka
lahan dapat digolongkan ke dalam motif in or der. Di mana motif tersebut
merupakan alasan yang menjadi harapan Kanib di kala memutuskan untuk
membuka lahan untuk tujuan di masa yang akan datang, dalam hal ini adalah bisa
menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Tabel 4.5 Motif Aktor menjadi Petani
No Nama Motif Aktor menjadi Petani 1. Talminto Ekonomi (setelah tidak berdagang sapi) 2. Katiman Sosial Geografis 3. Tumiran Ekonomi (setelah tidak menjadi tukang) 4. Sutarman Ekonomi (setelah pulang dari merantau) 5. Kanib Ekonomi (ingin menguliahkan anak) 6. Wahyudi Ekonomi (setelah pulang dari Kalimantan)
Sumber: Data Diolah
2. Motif Aktor Melakukan Gerakan Perjuangan Lahan Garapan
Motif aktor melakukan gerakan perjuangan lahan garapan secara umum
dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan kondisi sosial. Berikut akan dibahas
tentang motif-motif aktor melakukan gerakan perjuangan lahan garapan di eks
Perkebunan Gondang Tapen.
a. Motif Ekonomi
Motif ekonomi merupakan motif dominan yang mendorong aktor untuk
bergabung dalam gerakan perjuangan. Motif karena ekonomi salah satunya
dialami oleh Katiman. Katiman yang ikut perjuangan sejak awal kepanitiaan
memiliki motif ekonomi. Ia ikut melakukan gerakan perjuangan tanah karena
memang ia sangat butuh tanah itu sebagai mata pencaharian dan sumber
226
kehidupan utamanya. Oleh karena itu menurut penuturannya walau sampai kapan
pun dan ke mana pun ia tetap memperjuangkan tanah tersebut. Walau sejujurnya
ia mengatakan jika ia telah jenuh dan capek karena sudah perpuluh tahun berjuang
akan tetapi belum mendapatkan hasilnya.
“Kalo saya gimana ya mas, ya saya memang butuh tanah itu mas, sumber kehidupan saya soalnya mas. Cuma itu yang ngasilkan uang mas. Makannya mas, meskipun to saya ini istilahnya sudah jenuh, jujur mas saya jenuh, capek, tapi kalo demi tanah ini sampai kapan pun sampai ke mana pun ya saya ikut meperjuangkannya”. (Wawancara tanggal 2 Novemner 2016). Pernyataan Katiman di atas sangat menunjukkan bahwa keadaan ekonomi
Katiman yang sangat bergantung dengan lahan garapan tersebut membuatnya rela
masuk dalam gerakan perjuangan lahan garapan. Walaupun rasa capek dan jenuh
ia rasakan. Kerelaan Katiman untuk masuk dan bergabung dalam gerakan
perjuangan lahan garapan tersebut merupakan kondisi deterministik Katiman yang
memaksanya untuk berjuang. Dunia intersibjektifnya yang sangat erat dengan
lahan garapan serta mempunyai makna ekonomis yang mendalam tentang lahan
tersebut membuat ia memiliki stok pengetahuan dan mempengaruhinya untuk
melakukan gerakan perjuangan lahan garapan.
Motif yang sama (ekonomi), juga nampak dalam diri aktor-aktor lain,
seperti Tumiran, Sutarman, Kanib dan Wahyudi. Keempat aktor tersebut juga
mengatakan hal serupa. Bahwa alasan untuk ikut gerakan perjuangan dikarenakan
mereka sangat membutuhkan tanah tersebut sebagai sumber ekonomi. Kebutuhan
ekonomi merupakan hal yang utama yang menjadi persoalan para aktor dan petani
Gondang Tapen pada umumnya. Keadaan ekonomi dalam dunia intersubjektif
aktor sangat erat hubungannya dengan lahan garapan. Berikut pernyataan Tumiran
227
di mana ekonomi sebagai motifnya dalam melakukan gerakan perjuangan lahan
garapan.
“Seumpama ndak ada lahan itu ya rumah saya tetep cuilik (kecil) mas, saya pikir semua sama lah mas, kita itu sangat butuh tanah itu”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui, bahwa unsur atau motif
ekonomi tampak dalam diri Tumiran. Tanpa adanya lahan garapan tersebut, maka
ia tidak akan bisa membangun rumah yang besar. Latar belakang Tumiran sebagai
tukang bangunan tidak akan mampu membuat rumah yang besar karena
penghasilannya yang sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman keseharian
di masa lalu Tumiran membuat dirinya belajar dan menetukan pilihan pekerjaan
untuk hidup yang lebih baik guna merubah keadaan ekonomi keluarga. Artinya
pengalaman di masa lalu Tumiran merupakan bagian dari stok pengetahuannya
yang menuntun ia untuk melakukan tindakan-tindakan berdasarkan pengetahuan
yang ia miliki.
Aktor lain, Sutarman, juga mengatakan hal yang serupa. Bahkan ia
menegaskan jika tanah tersebut tidak bisa digantikan dengan apa pun. Jika Holcim
ingin mengganti dengan program CSR, maka secara langsung ia akan
menolaknya.
“Iya tanah itu penting banget mas bagi saya, ya nggak saya saja, ya bagi petani sini. Kalo nggak ada tanah itu saya lo makan apa. Makanya mas, pas Holcim mau ngganti tanah dengan apa itu, CSR, itu langsung mas saya menolak, saya pikir semua juga menolak. Soalnya apa mas, yang kita butuhkan itu lahan garapan, bukan yang lain, wes itu tok”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016). Penolakan Sutarman akan program CSR tersebut merupakan bagian dari
pengalaman hidupnya selama menjadi petani yang selalu mendapatkan tekanan
228
dari PT. Holcim Indonesia. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian
terakumulasi dalam pikirannya dan menjadi stok pengetahuan Sutarman akan
sengketa lahan. Sehingga dari stok pengetahuan tersebut, ia berani memutuskan
untuk menolak program CSR yang sebenarnya hanya untuk mengobati luka para
petani. Mengobati luka yang dimaksud adalah bahwa keinginan satu-satunya
petani adalah lahan garapan. Akan tetapi karena Holcim tidak bersedia
memberikan, maka ada program CSR sebagai pengganti lahan. penolakan
program tersebut merupakan bagian dari kekecewaan Sutarman yang akhirnya ia
tetep menuntut lahan dan bergabung dalam gerakan perjuangan lahan garapan.
Sementara itu, Wahyudi, meskipun saat ini ia tidak menggarap lahan
secara langsung, ia mengatakan jika alasan ia masuk ke dalam gerakan perjuangan
dikarenakan faktor kebutuhan ekonomi. Dulu saat awal ia bergabung dalam
kepanitiaan awal tujuannya adalah untuk memperjuangkan tanah yang ia garap.
Karena tanah itulah satu-satunya sumber penghasilan baginya. Saat ini meskipun
tanahnya digarap oleh anaknya dan ia lebih sibuk untuk membantu isterinya
berjualan, ia tetap bergabung dalam paguyuban gerakan perjuangan.
Menuruntnya, walau bagaimana pun tanah tersebut sangat berharga sebagai harta
yang mahal harganya.
“Iya karna kebutuhan to mas, meskipun to saat ini digarap sama anak saya, tapi kan ya kalo namanya tanag itu sangat berharga mas, harta mas itu”. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016). Sementara itu, menurut Kanib selain karena faktor ekonomi,
keikutsertaannya dalam gerakan perjuangan juga disebabkan karena rasa
kebersamaan. Baginya, berjuang dengan satu rasa yang sama merupakan suatu
keharusan. Perjuangannya tidak akan terasa berat jika dilakukan bersama-sama.
229
Menurutnya hal itu sangat penting untuk menjaga kekompakan di antara para
petani, bahkan hingga nanti jika perjuanggannya telah berhasil. Berikut
pernyataan Kanib.
“Ya butuh mas, saya ikut karena saya ikut mempunyai tanah itu. Ya dari tanah itu mas saya bisa makan, bisa menyekolahkan anak sampek sarjana. Kalo nggak ada tanah itu mas, paling rumah saya masih gedek. Yang penting itu kompak. Saya ikut juga karena menjaga kekompakan, untuk kebersamaan. Satu rasa perjuangan ya harus sama-sama. Karena itu penting mas untuk nanti, bahkan ndak sekarang, tapi juga untuk nanti jika telah berhasil, kebersamaan akan lebih beda mas, berjuang sama-sama, berhasil sama-sama, jadi nggak terpecah belah”. (Wawancara tanggal 7 Desember 2016). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa motif ekonomi
merupakan motif dominan aktor dalam melakukan gerakan perjuangan lahan
garapan. Hal tersebut dikarenakan lahan garapan adalah sumber kehidupan para
aktor dan petani Gondang Tapen. Dalam intersubjektif aktor, lahan garapan
tersebut sangat erat hubungannya dengan aktor khususnya dalam aktivitasnya
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi aktor. Sehingga, lahan garapan tersebut
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi motif utama aktor dalam
gerakan perjuangan lahan garapan.
b. Motif Kondisi Sosial
Motif sosial dalam melakukan gerakan perjuangan lahan salah satunya
terdapat dalam diri Talminto. Dorongan Talminto untuk melakukan gerakan
perjuangan tanah sebenarnya tidak sengaja. Para petani mengharapakan Talminto
untuk masuk kepanitiaan perjuangan tanah. Hal itu dikarenakan Talminto telah
berjasa dalam menyelamatkan uang sejumlah Rp 27.500.000, yang diminta oleh
LSM asal Blitar ketika kepanitiaan Pak Partu. Rencanaya, uang tersebut akan
230
digunakan biaya permohonan tanah melalui LSM asal Blitar tersebut. Karena
Talminto merasa ada yang janggal, maka uang tersebut tidak jadi dikeluarkan oleh
petani dan sejak itulah kepanitiaan berjalan sendiri tanpa campur tangan LSM.
Sejak itulah kemudian para petani mengharapkan Talminto masuk ke
dalam kepanitiaan dan ia diamanahi untuk menjadi wakil Pak Partu. Akan tetapi,
selain karena faktor permintaan dari para petani, alasan bergabungnya Talminto
ke dalam gerakan perjuangan juga dikarenakan ia merasa kasian jika para petani
selalu ditungganngi dan diombang-ambingkan oleh LSM yang tidak
bertanggungjawab. Berikut penuturan Talminto.
“Yo mergane aku nyelametne duit kui teko LSM 27,5 juta, wong-wong ki maleh itungane maleh percoyo ambek aku. La terus aku dikonkon mlebu panitia, awale aku wegah, tapi mergo aku yo mesakne wong-wong ki diombang-ambingne ambek LSM, aku mesakne, yo wes aku mlebu langsung didadekne wakil”. (“Ya karena saya sudah menyelamatkan uang dari LSM 27,5 juta, orang-orang kemudian percaya sama saya. Terus saya disuruh masuk kepanitiaan, awalnya saya tidak mau, tapi karena saya merasa kasihan sama orang-orang terus diombang-ambingkan oleh LSM, saya kasihan, ya sudah saya masuk langsung dijadikan wakil”). (Wawancara tanggal 2 November 2016).
Berdasarkan penuturan Talminto di atas maka dapat disimpulkan bahwa
motif Talminto untuk ikut berjuang dalam gerakan adalah karena faktor kondisi
sosial. Yang dimaksud kondisi sosial adalah, masuknya Talminto ke dalam
gerakan perjuangan dikarenakan para petani mengharapkan dirinya untuk masuk
ke kepanitiaan. Hal itu karena ia telah berjasa dalam menyelamatkan uang petani
dari tanagn LSM. Faktor sosial yang muncul adalah ketika ia mengungkapkan
rasa kasihan kepada para petani yang selama ini diombang-ambingkan oleh LSM.
Kondisi sosial yang memperngaruhi Talminto tersebut merupakan ruang di
mana ia sangat ditentukan oleh kehendak para tokoh permohonan tanah dalam
231
kepanitiaan awal (Kepanitiaan Pak Partu). Ruang tersebut merupakan ruang
deterministik yang sangat mempengaruhi tindakan atau kehendak Talminto
selanjutnya. Karena ruang dterministik tersebut mendesak Talminto untuk
bergabung dalam gerakan perjuangan, maka dengan stok pengetahuan Talminto
tentang kehidupan petani dan sengketa lahan, maka ia kemudian masuk dan
bergabung dalam kepanitiaan Pak Partu. Ia kemudian menjadi bagian dari struktur
organisasi panitia permohonan tanah, sekaligus juga menjadi bagian dari struktur
pengetahuan para aktor gerakan dalam kepanitiaan Pak Partu.
Terkait dengan keputusan Talminto bergabung dalam kepanitiaan karena
ia merasa kasihan dengan para tokoh yang diombang-ambingkan oleh LSM, maka
sebenarnya hal tersebut menunjukkan bahwa stok pengetahuan Talminto tentang
keadaan sosial petani setempat sangat mempengaruhi kehendaknya. Stok
pengetahuan yang didapatkan dari proses interaksi (intersubjektif) dalam
kehidupan sehari-hari Talminto tersebut mendeterministik sikapnya untuk
bergabung dalam kepanitiaan Pak Partu kala itu. Setelah bergabung dalam
kepanitiaan, stok pengetahuan Talminto kemudian mengalami peleburan dengan
stok pengetahuan para tokoh pejuang melalui proses relasi sosial yang kemudian
membuatnya berada dalam satu struktur pengetahuan yang sama.
Tabel 4.6 Motif Aktor Melakukan Gerakan Perjuangan
No Nama Motif Aktor Melakukan Gerakan Perjuangan 1. Talminto Sosial (Permintaan para petani) 2. Katiman Ekonomi 3. Tumiran Ekonomi 4. Sutarman Ekonomi 5. Kanib Ekonomi 6. Wahyudi Ekonomi
Sumber: Data Diolah
232
3. Motif Aktor dalam Perspektif Fenomenologi Alfred Schutz
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif para aktor (selain
Talminto) untuk melakukan gerakan perjuangan adalah karena faktor ekonomi.
Sementara Talminto, lebih dikarenakan faktor sosial karena adanya permintaan
dari para petani agar ia masuk ke dalam kepanitiaan. Selain itu, faktor kasihan
melihat para petani diombang-ambingkan oleh LSM juga merupakan motif
Talminto bergabung dalam gerakan perjuangan. Sehingga apabila dihubungkan
dengan Fenomenologi Alfred Schutz, faktor-fator di atas dapat digolongkan ke
dalam motif because. Hal tersebut dikarenakan para aktor bertindak bedasarkan
faktor yang melatarbelakanginya, bukan merupakan harapan atau keinginan aktor
di masa depan.
Motif in order to juga nampak dalam dorongan aktor untuk melakukan
gerakan perjuangan. Kanib menjelaskan jika alasannya ikut dalam gerakan
perjuangan selain karena motif ekonimi juga karena motif kebersamaan dan
kekompakan. Menurutnya, hal itu sangat penting untuk selalu menjaga
kekompakan di antara para petani agar tidak terpecah belah walau perjuangan
telah berhasil nanti. Hal ini termasuk dalam motif in order to. Karena merupakan
alasan yang orientasinya berupa harapan, bukan merupakan faktor yang
menyebabkan atau yang melatarbelakangi Kanib untuk melakukan gerakan
perjuangan.
D. Makna-makna Bagi Aktor
Makna berkaitan dengan bagaimana aktor menentukan aspek yang penting
dari kehidupan sosialnya. Pembahasan di bawah ini akan mengulas makna-makna
yang dikonstruksi oleh para aktor gerakan perjuangan tanah di eks Perkebunan
233
Gondang Tapen. Di antaranya makna hidup sebagai petani, makna lahan garapan,
maka gerakan perjuangan serta makna Paguyuban Gondang Tapen (PPGT).
1. Makna Hidup sebagai Petani
Makna hidup sebagai petani merupakan aspek yang sangat berarti bagi
aktor. Aktor gerakan perjuangan sebagai petani pasti mempunyai pemaknaan
tersendiri tentang kehidupannya sebagai petani. Di antara makna yang
dikonstruksi antor tentang hidup sebagai petani yaitu, hidup apa adanya dan
belajar dari alam, bisa hidup apa adanya, meningkatkan ekonomi dan hidup
tenteram, serta hidup tidak tenang karena tanah masih dalam sengketa.
a. Hidup Apa Adanya
Hidup apa adanya dan belajar dari alam dikonstruksi oleh Talminto.
Makna hidup sebagai petani bagi Talminto adalah hidup apa adanya. Ia bisa
belajar dari kemurahan alam yang selalu memberinya segalanya. Menurutnya,
hidup apa adanya bukan berarti hidup miskin. Tetapi hidup apa adanya adalah
hidup yang diajarkan oleh alam untuk saling memberi. Berikut pernyataan
Talminto.
“Maknanya apa ya, mungkin ini mas, bagi saya sebagai petani itu kita bisa hidup apa adanya, bukan berarti miskin lo ya. Alam itu kan memberi kita ya, ya kita juga harus berterima kasih. Kita belajar dari situ, dari kemurahan alam”. (Wawancara tanggal 19 Oktober 2016). Berdasarkan pernyataan Talminto tersebut menunjukkan bahwa
pengalaman hidup Talminto sebagai petani yang masih relatif belum lama,
menjadikan dirinya untuk mengonstruksi hidup petani sebagai hidup yang apa
adanya dan bisa belajar dari alam. Hal ini juga berkaitan dengan pengalamannya
sebagai pedagang sapi sebelumnya, di mana berjualan tidak membuatnya bisa
234
belajar dari alam. Sementara aktivitasnya sebagai petani, lebih mengajarkan ia
untuk belajar dari alam. Makna yang dikonstruksi oleh Talminto tersebut tidak
terlepas dari stok pengetahuannya tentang kehidupan petani di eks Perkebunan
Gondang Tapen.
b. Hidup di Tanah Sendiri
Bagi Katiman, hidup sebagai petani ia bisa mengolah tanah sendiri. Ia bisa
kerja sendiri di tanah sendiri tanpa menunggu gaji dari pihak lain. Gajinya
langsung diberikan oleh Tuhan. Baginya, sebagai petani ia tidak akan tertekan
oleh pihak mana pun, berbeda jika harus bekerja ikut orang.
“Ya petani itu bisa kerja sendiri mas, nggak kayak kerja ikut orang. Nggak nunggu gaji, yang nggaji ya Gusti Allah. Jadi ya lebih bebas, nggak ada rasa tertekan itu”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Katiman kemudian menambahkan, jika hidup petani adalah hidup yang
diajarkan oleh orang tuanya. Sejak kecil ia telah menjadi petani. Sehingga ia
menyimpulkan sendiri bahwa kehidupannya sebagai petani memang telah
ditakdirkan oleh Tuhan. Menurutnya, ia tidak mempunyai keahlian sama sekali
selain bertani. Pengalamannya dari kecil hanya sebagai petani, sehingga tidak ada
pilihan lagi baginya untuk tidak menjadi petani.
“Takdir juga mungkin mas, soalnya apa, dari kecil itu saya nggak pernah lo kerja di mana itu nggak pernah, jadi kan ya bisanya cuma tandur (menanam)”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Pernyataan Katiman tersebut menunjukkan bahwa pengalaman hidup
sebagai petani sejak lulus SMP membuat dirinya sangat erat hubungannya dengan
dunia pertanian. Intersubjektif Katiman yang sangat erat dengan petani dan lahan
membuat dirinya sangat bangga ketika mempunyai lahan dan bisa menggarap din
235
tanahnya sendiri. Oleh karenanya, lahan merupakan aspek penting bagi Katiman
karena berhubungan langsung dengan pengalaman dan dunia sehari-hari Katiman
sebagai petani.
c. Meningkatkan Ekonomi
Makna lahan untuk meningkatkan ekonomi dan bisa hidup tenteram salah
satunya dikonstruksi oleh Sutarman. Bagi Sutarman, hidup menjadi petani selain
karena dapat meningkatkan ekonomi keluarga, akan tetapi lebih merasakan hidup
yang tenteram. Menurutnya, semua masyarakat Desa Ringinrejo yang hidupnya
menggantungkan tanah eks perkebunan tersebut dan menjadi petani adalah bisa
hidup secara guyub rukun. Latar belakang yang sama yaitu menjadi petani itulah
justru yang membuat di antara warga Desa Ringinrejo tidak ada yang saling iri,
apalagi saling menyombongkan diri. Jikalau ada petani yang lain kesusahan
saling membantu. Kalau hasil panen kurang memuaskan maka untuk bisa
menanam kembali selalu ada petani yang membantu untuk memberi pinjaman
uang. Baginya, sama-sama hidup sebagai petani semakin mengeratkan tali
persaudaraan. Hal ini dirasakannya berbeda ketika ia merantau di kota di mana
kehidupannya dipenuhi dengan unsur saingan. Berikut penuturan Sutarman.
“Kalo saya lebih ini mas, kan semua warga sini itu kan jadi petani to mas. Jadi ya ngerti lah semua ini sama. Kok istilahe enek seng sombong luwih duwur ngono iku nggak enek mas. Soale opo, seng digoleki yo podo, podo-podo nandur. (Kok istilahnya ada yang sombong, lebih tinggi gitu nggak ada mas. Soalnya apa, yang dicari ya sama, sama-sama menanam). Jadi justru para petani ini hidup bareng-bareng, susah susah bareng, seneng seneng bareng, lek enek seng kesusahan yo dibantu. Lek enek seng panenane elek, arep nandur maneh enek ae yokan seng ngutangi. Kan podo mas. Iku mas seng membuat tali persaudaraan iku apik. Bedo koyok nek kutho uripe saingan”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016).
236
Pernyataan Sutarman tersebut menunjukkan bahwa hidup sebagai petani
dan menggarap lahan yang ia garap selama ini mempunyai nilai ekonomi yang
sangat tinggi. Intersibjektif Sutarman yang sangat erat dengan lahan membuat
dirinya menganggap bahwa hidup sebagai petani sangat berarti bagi
kehidupannya. Aktivitas pertanian guna menopang segala kebutuhan ekonomi
keluarganya membuat Sutarman langsung melontarkan kata ekonomi tanpa
berpikir panjang. Artinya, makna ekonomi merupakan makna yang paling
dominan dalam stok pengetahuan Sutaraman terkait hidup sebagai petani.
Sementara itu bagi Kanib, hidup sebagai petani adalah anugerah besar
baginya. Ia bisa menyekolahkan kedua anaknya juga karena hidup sebagai petani
di eks Perkbunan Gondang Tapen. Tanpa menjadi petani di lahan tersebut,
pastinya kehidupannya tidak sebaik saat ini. Hal itu diungkapkannya dengan
membangdingkan di saat ia masih menjadi karyawan perkebunan yang hidupnya
serba pas-pasan.
“Anugerah besar lah mas, kalo saya masih menjadi karyawan kebun saja paling nggak bisa mas sampek seperti ini. Nggak bisa nguliahin anak saya”. (Wawancara tanggal 7 Desember 2016). Hal senada juga dimaknai oleh Tumiran. Bagi Tumiran menjadi petani
adalah berkah yang luar biasa, hidupnya lebih terjamin. Pekerjaannya yang dulu
sebagai tukang bangunan tentu tidak akan merubah ekonomi Tumiran saat ini.
Semenjak ia menggarap tanah tersebut dan menjadi petani, kehidupannya secara
ekonomi berubah menjadi lebih baik.
“Alhamdulillah mas, berkah luar bisa ini mas. Ya semenjak bertani ini mas ekonomi membaik. Beda mas sama pas jadi tukang dulu. Kalo nggak jadi petani paling omahe paling cuilik mas (mungkin rumah saya kecil).” (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
237
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan
kehidupan yang tenteram merupakan makna dominan dari kehidupan sebagai
petani tentunya di eks Perkebunan Gondang Tapen. Makna ini merupakan makna
yang dikonstruksi secara spontan tetapi mempunyai makan yang dalam. Spontan
yang dimaksud adalah bahwa aktor melontarkan ekonomi sebagai makna yang ia
konstruksi tanpa berpikir panjang. Artinya, ekonomi merupakan makna dominan
yang ada dalam stok pengetahuan para aktor. Sehingga dapat dikatakan bahwa
makna ekonomi dan kehidupan yang tenteram/layak merupakan makan objektif
bagi aktor terkait kehidupannya sebagai petani.
d. Hidup Tidak Tenang (was-was)
Selain makna hidup sebagai petani yang dikonstruksi secara positif,
ternyata makna hidup sebagai petani yang dikonstruksikan sebagai hidup yang
tidak tenang ternyata muncul dan dikonstruksi oleh salah satu aktor. Hal yang
mengejutkan tersebut muncul dari pendapat Wahyudi. Menurutnya menjadi petani
di eks Perkebunan Gondang Tapen adalah pekerjaan yang membuatnya hidup
tidak tenang, hatinya was-was. Status tanah yang masih sengketa itulah yang
membuat dirinya berpikir semacam itu. Lagi pula, saat ini ia juga telah vakum
untuk pergi ke lahan. Sehingga kekhawatiran dirinya atas tanah tersebut sedikit
berkurang, walaupun sebagian hasilnya masih diterimanya atas pembagian dari
anaknya.
“Lak menjadi petani itu was-was terus mas, nggak tenang. La gimana statusnya saja nggak jelas. Walaupun saya perjuangkan lo. Tapi saat ini ya saya lebig tenang, saya dagang, tapi ya saya masih dapat bagian itu sama anak saya”. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016).
238
Pernyataan Wahyudi tersebut menunjukkan bahwa pengalaman
menyedihkan selama menjadi petani Gondang Tapen mendomisasi pikirannya.
Sehingga, aspek-aspek positif tentang hidup sebagai petani tidak menjadi aspek
yang penting dalam ingatannya. Artinya, pengalaman menyedihkan tersebut telah
menjadi stok pengetahuannya selama ia menjadi petani di eks Perkebunan
Gondang Tapen. Ketika ia dihubungkan dengan kegiatannya menjadi petani, maka
makna hidup tidak tenang tersebut selalu muncul. Hal ini juga dipengaruhi karena
saat ini ia lebih disibukkan dengan berjualan. Artinya, kegiatan ia menjadi
pedagang lebih dirasa nyaman dari pada menjadi petani di tanah sengketa.
Sehingga keadaannya yang sekarang lebih nyaman membuat dirinya menganggap
bahwa kegiatan pertaniannya dahulu sangat tidak menenagkan jiwa dan
pikirannya.
Berdasarkan uraian tentang makna hidup sebagai petani, maka dapat
disimpulkan bahwa maka hidup sebagai petani di lahan eks Perkebunan Gondang
Tapen memiliki makna yang berbeda-beda di setiap aktor. Di antaranya makna
hidup apa adanya dan belajar dari alam, bisa hidup di tanah sendiri, meningkatkan
ekonomi dan hidup tenteram, serta hidup tak tenag (was-was). Sehingga sangat
jelas bahwa hidup sebagai petani memiliki makna yang berbeda di setiap aktor.
Alfred Schutz menyebutnya sebagai makna subjektif. Di mana setiap aktor
menentukan aspek yang penting dari setiap peristiwa sesuai dengan apa yang
mereka alami. Sehingga penafsiran menjadi petani di setiap aktor berbeda. Akan
tetapi yang menjadi perhatian adalah, ada makna dominan di antara pemaknaan
petani tentang kehidupannya sebagai petani, yaitu makna ekonomi.
239
Beberapa aktor memaknai bahwa hidup sebagai petani memiliki makna
ekonomi dan hidup yang tenteram/anugerah yang besar. Maka dengan adanya
makna dominan tersebut, makna ekonomi dan hidup tenteram serta anugerah
besar dapat diklasifikasikan ke dalam makan objektif menurut Alfred Schutz.
Yaitu makna yang dikonstruksi oleh aktor dengan pemaknaan yang relatif sama.
Artinya aktor memaknai sama tentang hidup sebagai petani. Makna ekonomi
tersebut muncul tanpa aktor berpikir panjang. Artinya, beberapa aktor mempunyai
pemikiran dan pemaknaan yang sama terkait dirinya hidup sebagai petani tersebut
telah menjadi stok pengetahuan mereka dan menjadi bagian dari common sense
kehidupan masyarakat petani di eks. Perkebunan Gondang Tapen.
Tabel 4.7 Makna Hidup sebagai Petani
No. Nama Makna Hidup sebagai Petani 1. Talminto Hidup apa adanya 2. Katiman Hidup di tanah sendiri 3. Tumiran Berkah yang luar biasa 4. Sutarman Meningkatkan ekonomi 5. Kanib Anugerah besar 6. Wahyudi Hidup tidak tenang
Sumber: Data Diolah
2. Sumber Ekonomi sebagai Makna Lahan Garapan
Lahan garapan sangat berharga bagi para aktor. Karena sangat
berharganya lahan garapan tersebut, maka segala upaya diperjuangkan oleh para
aktor. Oleh karena itu, secara umum para aktor memaknai lahan garapan tersebut
sebagai sumber kehidupan. Artinya, lahan garapan tersebut bagi aktor memiliki
makna ekonomi, sebagai sumber kehidupan. Berikut pembahasan terkait
pemaknaan lahan garapan bagi para aktor.
240
Makna lahan garapan bagi Talminto adalah sumber kehidupan. Dari lahan
eks. Perkebunan tersebutlah maka ia dapat menghidupi anak dan isterianya.
Dengan lahan tersebut, maka kehidupannya terselamatkan karena ia telah
bangkrut dalam berdagang sapi.
“Ya sumber kehidupan saya itu mas. Ya itu tadi mas, saya bangkrut dari dagang sapi itu untungnya mbak saya bisa memberikan tanah itu. Ya dari situ sekarang bisa menghidupi anak istri itu”. (Wawancara tanggal 20 Oktober 2016).
Begitu juga Katiman dan Sutarman, mereka memaknai lahan garapan
tersebut sebagai aspek penting dalam hidupnya. Satu-satunya penghasilan
Katiman dan Sutarman adalah dari lahan garapan di eks Perkebunan Gondang
Tapen tersebut. Sehingga jika lahan tersebut harus digunakan untuk hutan, maka
ia akan kehilangan seluruh penghasilannya. Berikut pernyataan Katiman.
“Ya penting sekali tanah itu mas. Itu satu-satunya penghasilan saya itu ya dari situ. Kalo sampek hilang ya gimana saya nanti mas”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh Sutarman. Ia menambahkan
bahwa tanpa tanah tersebut kemungkinan sekali bahwa rumah-rumah yang ada di
Desa Ringinrejo tidak ada yang bagus. Selain itu, juga kemungkinan banyak
sekali anak-anak warga Desa Ringinrejo yang hanya lulus SD, jika tidak ada lahan
garapan tersebut.
“Penting sekali mas. Istilahe yang menghidupi keluarga saya selama ini ya dari tanag situ mas. Coba kalau nggak ada tanah itu mas, alah paling omah-omah sini juga nggak ada yang bagus mas, sekolah yo mung SD”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016). Sementara itu, Tumiran memaknai jika lahan garapan tersebut telah
merubah nasibnya. Sewaktu ia masih bekerja sebagai tukang bangunan, hidupnya
241
tidak pernah berkecukupan. Akan tetapi setelah membuka lahan tersebut
kehidupannya telah berubah drastis. Ia bisa membuat rumah tembok.
“Merubah nasib saya. Dulu nggak pernah mas kecukupan hidup saya. Jadi tukang dulu malah gak bisa buat rumah bagus, ya setelah buka lahan itu saya bisa buat rumah tembok ini”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016). Kanib menyebutkan bahwa lahan garapan tersebut sangat bermanfaat
baginya. Dari lahan tersebutlah ia bisa membuat rumah yang bagus, membeli
mobil bahkan bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Hal ini jauh
berbeda ketika ia masih menjadi karyawan perkebunan.
“Sangat bermanfaat mas, ya dari tanah itu saya ini bisa buat rumah yang bagus ini, beli mobil, sampek nguliahkan anak saya itu ya dari situ mas. Ya beda lah mas kalo pas saya jadi karyawan kebun dulu. Makanya saya itu kalo memperjuangkan ya bener-bener”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016).
Sementara itu Wahyudi lebih memaknai lahan garapan tersebut sebagai
harta yang sangat berharga. Walaupun saat ini lahannya digarapa oleh anaknya,
maka suatu saat jika terjadi apa-apa, lahan tersebut masih ada sebagai harta
cadangan. Ia juga berpikir ekonomi, bahwa tanah tersebut harganya semakin
semakin lama semakin mahal. Tidak ada harga tanah yang semakin tahun
harganya semakin murah.
“Itu tanah sangat berharga lo mas. Saya meskipun sudah nggak nggarap ya, digarap anak saya kan, itu kan kalo ada apa-apa masih punya harta cadangan itu. Itu harganya nggak pernah turun mas, setiap tahun pasti naik”. (wawancara tanggal 15 Desember 2016). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemaknaan
aktor tentang lahan garapan menununjukkan makna yang sama, yaitu makna
ekonomi. Para aktor memaknai lahan garapan tersebut sebagai sumber ekonomi
mereka. Pemaknaan yang sama tentang lahan garapan ini oleh Alfred Schuzt
242
disebut sebagai makna objektif. Di mana makna ekonomi telah menjadi kerangka
pemaknaan yang sama di antara para aktor dan telah menjadi suatu pemahaman
bersama terkait lahan garapan. Hal ini menujukkan bahwa kehidupan sehari-hari
aktor (intersubjektif) yang sangat erat hubungannya dengan lahan garapan
memiliki persamaan pemaknaan. Persamaan pemaknaan tersebut muncul dalam
hal ini adalah sumber ekonomi di antara para aktor, karena apa yang aktor
dapatkan dari lahan garapan tersebut sama, yaitu suatu penghasilan yang
melinpah. Sehingga dari perolehan yang sama itulah pemaknaan tentang lahan
garapan di antara para aktor sama. Dengan demikian apa yang telah dijelaskan
dalam kalimat-kalimat sebelumnya memang benar adanya, bahwa sumber
ekonomi merupakan makna objektif bagi aktor tentang lahan garapan di eks
Perkebunan Gondang Tapen.
Tabel 4.8 Makna Lahan Garapan bagi Para Aktor
No. Nama Makna Lahan Garapan bagi Para Aktor 1. Talminto Sumber ekonomi 2. Katiman Sumber ekonomi dan kehidupan 3. Tumiran Sumber ekonomi 4. Sutarman Sumber ekonomi 5. Kanib Sumber ekonomi 6. Wahyudi Sumber ekonomi
Sumber: Data Diolah
3. Makna Gerakan Perjuangan
Gerakan perjuangan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan para
aktor. Demi lahan garapannya mereka rela mengikuti gerakan perjuangan tersebut.
Pengalaman-pengalaman aktor dalam gerakan perjuangan akhirnya melahirkan
kontruksi tersendiri bagi aktor tentang gerakan perjuangan itu sendiri. Mereka
243
mamaknai gerakan perjuangan yang ia lakukan dengan berbagai ungkapan.
Berikut ini akan dibahas mengenai maka gerakan perjuangan bagi aktor gerakan
petani lokal dalam kasus sengketa lahan eks Perkebunan Gondang Tapen.
a. Tantangan
Salah satu aktor yang memaknai gerakan perjuangan sebagai tantangan
dan semangat adalah Talminto. Makna gerakan perjuangan ini bagi Talminto
adalah penuh tantangan dan semangat. Salah satu contoh tantangan yang
membuatnya semangat adalah ketika ia mengajukan perkara tersebut ke
Mahkamah Agung untuk Kasasi. Ketika itu Holcim menawari uang sejulah Rp.
250.000.000 untuk mencabut Kasasi tersebut. Ia menyebutnya bahwa tawaran
tersebut sebagai tantangan bagi dirinya yang membuatnya semakin semangat. Ia
bisa saja menerima diam-diam uang tersebut dan mencabut Kasasinya di MA.
Akan tetapi karena kepeduliannya kepada petani sangat tinggi, tawaran tersebut
justru diberitahu kepada petani agar seluruh pateni mengetahuinya. Dengan tegas
ia menolak tawaran Holcim tersebut.
“Kalo maknanya itu apa ya, ya kadang ada tantangannya itu, yang menjadi kadang-kadang saya bersemangat itu apa, ada tantangannya, justru kalo ada tantangan-tantangan itu membuat saya semakin semangat. Salah satu contohnya gini, waktu kita ngajukan kasasi, ke Mahkamah Agung. Itu saya sama perusahaan ditawari uang 250 juta, untuk menjabut kasasi. Kalo uang 250 juta bagi saya sangat banyak. Itu kalo saya memilkirkan kebutuhan saya. Karna saya melihat ini tantangan saya, saya semakin semangat, uang itu saya terima diem-diem bisa kalo mau, dan enggak ada yang tahu. Tapi saya juga terbuka sama temen-temen. Gini, temen-temen, saya baru pertemuan sama Holcim, ini gimana, untuk mencabut kasasi ditawari uang 250 juta, diterima atau tidak? Itu bahasa-bahasa saya ke temen-temen karna saya terbuka sama siapa saja itu. La itu, Holcim aja mau nyogok 250 untuk mencabut kasasi, berarti ada tantangannya. Ya langsung saya tolak”. (Wawancara tanggal 20 Oktober 2016).
244
Pernyataan Talminto tersebut menunjukkan bahwa memang pengalaman
dan tindakannya sebagai aktor pejuang dalam garda depan menentukan makna
penting gerakan perjuanagan. Ia memaknai gerakan perjuangan sebagai tantangan
dan semangat, karena ia memang tidak memiliki kepentingan apa pun terkait
lahan selain sebagai lahan garapan. Telah diketahui juga bahwa motif dirinya ikut
gerakan dikarenakan kondisi sosial, bahwa ia disuruh oleh tokoh lama kepanitiaan
berkat kntribusinya menyelamatkan uang dari tangan LSM. Sehingga yang ia
maknai atas perjuangan ini adalah sebatas tantangan dan semangat.
b. Demi Anak Cucu
Berbeda dengan Talminto, Katiman memaknai perjuangan ini untuk
memikirkan masa depan anak cucu. Sehingga menurutnya, jika sampai tanah
tersebut tidak bisa dimiliki oleh para petanu, sangat fatal akibatnya. Masalahnya
adalah menyangkut masa depan anak cucu para petani.
“Maknanya? Ya kalo saya gini mas, kalo berjuang itu kan cuma memikirkan masa depan anak cucu. Jadi kalo menurut saya kalo sampek tanah itu ndak bisa dimiliki petani ya sangat fatal bagi kita mas. Masalahnya kan masa depan anak cucu mas”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Berbeda dengan Talminto, pernyataan Katiman tersebut jelas
menunjukkan bahwa pengalaman dan latar belakang hidup Katiman sebagai
petani menentukan bahwa aspek penting gerakan perjuangan adalah sebagai
momentum untuk memikirkan anak cucunya kelak. Hal ini tidak terlepas oleh stok
pengetahuannya bahwa lahan garapan merupakan harta yang telah mengantarkan
ia hidup berkecukupan saat ini. Sehingga untuk meneruskan kecukupan hidup
untuk anak cucunya ia rela untuk berjuang melalui gerakan.
245
c. Pengorbanan
Pengorbanan merupakan makna gerakan perjuangan yang dimaknai oleh
Tumiran. Tumiran memaknai gerakan perjuangan ini sebagai pengorbanan dalam
hidupnya. Bukan hanya pikiran, akan tetapi juga pengorbanan tenaga dan uang.
Berikut penuturan Tumiran.
“Perjuangan mas, mboten tenogo tok. Perngorbanan mas, penuh pengorbanan, yo pikiran, yo tenogo, yo duit”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016). Pernyataan Tumiran tersebut menunjukkan bahwa pengorbanan yang ia
maknai memang berasal dari keadaan nyata dan apa adanya yang dialami oleh
Tumiran selama gerakan perjuangan ini berlangsung. Kenyataan hidup tersebut
kemudian menjadi stok pengetahuannya, sehingga ketika ditanya tentang makna
perjuangan, ia langsung melontarkan bahwa gerakan perjuangan yang ia lakukan
adalah suatu pengorbanan, baik berkorban pikiran, tenaga maupun uang atau
materi.
d. Membela Lahan
Sutarman dan Kanib memiliki pemikiran yang sama. Bagi mereka gerakan
perjuangan tersebut untuk membela lahan yang mereka garap. Dari lahan itulah
mereka bisa makan dan hidup sampai saat ini. Dengan nada yang sangat rendah
Sutarman mengatakan hal tersebut.
“Demi lahan itu mas semuanya itu. Kalo misalnya ada pekerjaan pengganti, adal penghasilan yang lebih baik, saya mungkin gak ngotot, demi membela lahan garapan itu”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016).
246
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kanib, bahwa ia memaknai lahan
garapan tersebut sebagai upaya membela lahan garapan.
“Membela mas, membela lahan garapan mas. Hanya tanah itu mas yang kita harapkan”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016). Sementara itu, Wahyudi bingung menjawab makna dari pada gerakan
perjuangan ini. Ia hanya bisa menyampaikan, tanpa adanya gerakan perjuanga ini,
maka lahan garapan petani mungkin saat ini sudah hilang. Tanpa adanya gerakan
perjuangan hingga saat ini, maka para petani semua tidak akan bisa makan hingga
sampai saat ini.
“Iya apa ya, pokok gini mas, tanpa adanya perjuangan ini ya sudah hilanh aja tanah garapan itu, tanpa adanya perjuangan ini ya kita semua nggak bisa makan gitu aja. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016). Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pemaknaan aktor
tentang gerakan perjuangan berbeda-beda. Di antaranya makna penuh tantangan,
memikirkan anak cucu, makna pengorbanan, dan membela lahan garapan. Artinya
jika dihubungkan dengan pendapat Alfred Schutz, maka pemaknaan yang
berbeda tersebut dapat dikategorikan sebagai makna subjektif. Walaupun
beberapa aktor memiliki pemaknaan yang sama, yaitu membela lahan garapan,
akan tetapi hal tersebut tidak bisa disimpulkan sebagai makna yang objektif
karena belum menjadi suatu pemahaman yang sama di setiap aktor. Ada aktor
yang memahami gerakan perjuangan tersebut sebagai tantangan, memikirkan anak
cucu dan pengorbanan.
247
Tabel 4.9 Makna Gerakan Perjuangan Setiap Aktor
No. Nama Makna Gerakan Perjuangan 1. Talminto Tantangan 2. Katiman Demi anak cucu 3. Tumiran Pengorbanan 4. Sutarman Membela lahan 5. Kanib Membela lahan 6. Wahyudi Membela lahan
Sumber: Data Diolah
4. Makna Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT)
Paguyuban merupakan forum sentral dalam menentukan arah gerakan.
Tidak hanya itu, segala sesuatu terkait gerakan perjuangan pastilah melibatkan
paguyuban. Hal inilah yang akhirnya para aktor juga memaknai Paguyuban Petani
Gondang Tapen (PPGT).
a. Kerjasama
Makna paguyuban bagi Talminto adalah tempat untuk bekerjasama dan
kekompakan. Ia sering mengatakan kepada anggota pengurus paguyuban bahwa
kunci keberhasilan adalah kerjasama dan kekompakan. Jika sampai tidak kompak
lalu diketahui oleh pemerintah dan Holcim, justru hal tersebut peluang mereka
untuk masuk. Berikut penuturan Talminto.
“Ya tempat kerjasama, ya kalo pikiran saya itu, sering saya katakan ke temen-temen, kunci keberhasilan itu cuma di kekompakan. Kalo kita enggak kompak kemudian tercium dari pemerintah atau Holcim, justru itu peluang mereka, karena apa, yang diharapkan dari mereka itu di lapangan nggak kompak. Kalo enggak kompak mereka dapat celah. Kalo selama kita kompak, mereka sulit untuk masuk”. (Wawancara tanggal 19 Oktober 2016).
248
b. Musyawarah
Sementara itu Katiman memaknai paguyuban sebagai tempat untuk
bermusyawarah. Langkah-langkah gerakan selanjutnya, masalah dana dan lain
sebagainya dibahas bersama dengan jalan musyawarah melalui paguyuban.
“Ya langkah kita itu selanjutnya bagaimana gitu, kadang masalah dana, sama masalah-masalah yang lainnya itu dimusyarahkan dalam paguyuban, jadi ya untuk musyawarah”. (Wawancara tanggal 3 November 2016).
c. Mencurahkan Keluhan
Berbeda dengan Katiman, Tumiran justru memaknai paguyuban sebagai
tempat untuk saling mencurahkan keluhan selama gerakan perjuangan
berlangsung. Ia kadang merasa lega setelah segala keluhannya bisa tersalurkan
kepada teman-teman dalam paguyuban. Hal tersebut karena semua teman-
temannya dalam paguyuban memiliki perasaan dan penderitaan yang sama.
Sehingga teman satu sama lainnya saling mendukung dan menghibur.
“Ya kadang itu buat ini, tempat istilahe anak sekarang itu curhat mas, keluhan, uneg-uneg perjuangan iku tersalurkan di paguyuban mas. Kan sama kan mas rasa penderitaan itu sama, jadi kadang ki kalo sudah crito ki mak plooong ngono, soale seng dirasakne podo mas”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
d. Menentukan Arah Gerakan
Sementara itu Sutarman dan Kanib sebatas memaknai peguyuban sebagai
tempat berkumpul di antara para anggota pengurus paguyuban, serta untuk
menentukan arah gerakan. Tidak ada makna yang sangat bebarti bagi Sutarman
dan Kanib untuk paguyuban. Berikut penuturan Sutarman.
“Ya apa ya mas, untuk kumpul sama temen-temen petani gitu aja. (wawancara tanggal 5 Desember 2016).
249
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kanib. Ia menyatakan bahwa
paguyuban merupakan tempat berkumpul untuk menentukan arah gerakan.
“Ya untuk kumpul, untuk menentukan arah gerakan lah istilahnya itu ya di paguyuban itu”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016).
e. Pusat Komunikasi
Makna paguyuban bagi Sutarman dan Kanib di atas sangat kontras dengan
makna paguyuban bagi Wahyudi. Bagi Wahyudi, paguyuban merupakan aspek
yang sangat penting. Semua informasi, solusi, tujuan, gerakan, dana, dan lain
sebagainya hanya dapat dibicarakan di paguyuban. Inti atau pusat dari komunikasi
antar petani penggarap ada di Paguyuban Petani Gondang Tapen. Berikut yang
disampaikan oleh Wahyudi.
“Ya sangat penting mas, semua infromasi, solusi, dana, gerakan, tujuan, semuanya lah, kan ya adanya paguyuban ini to mas bisa berjalan. Tempat komunikasi itu ya di paguyuban mas pusatnya”. (Wawancara tanggal 17 Desember 2016). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemaknaan
aktor terhadap Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT) menunjukkan
berbedaan. Di antaranya makna sebagai tempat untuk bekerja sama dan
kekompakan, tempat bermusyawarah, tempat berkumpul dan menentukan arah
gerakan, tempat mencurahkan keluhan serta pusat komunikasi. Dari pemaknaan-
pemaknaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemaknaa aktor tentang
paguyuban bisa dikatakan berbeda. Sehingga jelas jika menurut Alfred Schutz
makna paguyuban bagi aktor termasuk dalam makna subjektif. Di mana aktor
memiliki pemaknaan tersendiri terhadap paguyuban tersebut.
250
Tabel 4.10 Makna Paguyuban Petani Gondang Tapen (PPGT) Setiap Aktor
No. Nama Makna PPGT 1. Talminto Kerjasama 2. Katiman Musyawarah 3. Tumiran Mencurahkan keluhan 4. Sutarman Berkumpul 5. Kanib Menentukan arah gerakan 6. Wahyudi Pusat komunikasi
Sumber: Data Diolah
E. Perasaan Aktor Hidup dalam Kondisi Konflik
Hidup dalam kondisi konflik tentunya berbeda dengan hidup pada
umumnya. Perasaan-perasaan tidak tenang dan merasa tidak diuntungkan bagi
sebagian besar aktor seringkali ditemui. Berikut akan dijelaskan bagaimana
sebenarnya perasaan para aktor pejuang hidup dalam kondisi konflik. Perasaan
Talminto hidup dalam kondisi konflik untuk saat ini tidak begitu cemas. Hal itu
dikarenakan ia dan para petani telah menguasai lahan secara fisik. Ia hanya sedikit
mempunyai perasaan was-was karena saat ini menunggu kepastian, bahwa
ketegasan pemerintah untuk memberikan luas tanah kepada petani belum ada.
Berikut penuturan Talminto.
“Ya kalo sekarang itu perasaan saya dan penggarap ya, untuk sekarang ini tidak begitu cemas, karna apa, sudah menguasai secara fisik, cuman sedikit punya perasaan was-was itu menunggu kepastian, ketegasan pemerintah tanah ini diberikan berapa”. (Wawancara tanggal 6 Februari 2017). Sementara itu Katiman menceritakan bahwa perasaannya hidup dalam
kondisi konflik seperti saat ini sebenarnya sudah jenuh. Sudah lama berjuang akan
tetapi belum ada hasilnya. Tetapi ia tidak memiliki pilihan lain selain
memperjuangkan. Masalahnya tanah itu merupakan satu-satunya mata
251
pencaharian masyarakat. Kalau sampai tanah tidak bisa dimiliki oleh para petani
jelas petani akan resah. Satu-satunya sumber kehidupan adalah tanah tersebut.
Masyarakat Desa Ringinrejo setipa hari hanya memikirkan tanah tersebut. Malam
tidur, pagi bangun, yang diingat-ingat hanya tanah tersebut.
“Iya, gimana yo mas. Kalo ingat masalah ini tu saya sebenarnya sudah jenuh mas. Sudah lama kayak gini tapi hasilnya mana? Nggak ada yang berarti. Tapi ya gimana lagi, masalahnya tanah itu kan satu-satunya mata pencaharian masyarakat sini mas. Kalo tanah itu sampai ndak bisa diredis ya masyarakat sini sangat resah mas. Ya satu-satunya sumber kehidupan ya tanah itu mas. Jadi mas, masyarakat sini itu mas, malam tidur, pagi bangun, yang diingat-ingan ya cuma lahan situ mas, garapannya, ndak ada lainnya”. (Wawancara tanggal 6 Februari 2017). Berbeda dengan Katiman, Tumiran justru tidak memiliki perasaan yang
cemas. Banginya kondisi konflik dan perjuangan merupakan tanggungjawabnya
sebagai petani yang telah menggarap lahan garapan tersebut.
“Ya itu kan sudah tanggungjawab kami mas, jadi ya perasaannya ya biasa saja, kalo cemas ya enggak”. (Wawancara tanggal 6 Februari 2017). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wahyudi. Perasaannya hidup dalam
kondisi konflik ini biasa saja. Karena semua ini telah menjadi tanggung jawabnya.
Karena siapa lagi yang mau berjuang seperti ini. Jika perjuangan ini ditawarkan
kepada seluruh petani, Wahyudi tidak menjamin akan bisa hingga tahap sekarang
ini. Hal itu dikarenakan banyak petani yang pola pikirnya masih belum maju
(SDM rendah).
“Kalo aku biasa saja mas, karena apa, ini sudah jadi tanggung jawab, jadi sudah ikut ngurusi ke mana-mana. kenapa kok tanggung jawab, siapa lagi yang mau kayak gini, kalo saya tawarkan ke semua petani penggarap saya nggak njamin mas bisa sampek tahap ini, karena apa, belum sampek ke situ mikirnya petani itu, ya bisa dibilang SDMnya masih kurang”. (Wawancara tanggal 12 Februari 2017).
252
Sementara Sutarman, ia merasakan hidup yang tidak tenang selama
konflik ini terjadi. Baginya, selama ini ia mendapatkan banyak penghasilan akan
tetapi tidak merasakan ketenteraman dalam hidup. Berikut penuturan Sutaraman.
“Ya enggak tenang mas, nggak teteram lah istilahe. Meskipun to penghasilan itu banyak ya dari tanah itu, tapi selama status tanahnya masih gini ya tetep nggak tenang”. (Wawancara tanggal 10 Fabruari 2017). Jawaban Kanib tentang perasaannya hidup dalam kondisi konflik sangat
mengharukan. Menurutnya, hidup dalam kondisi konflik ini memang jalan hidup
yang harus lalui. Hingga keluarganya sendiri pun menjadi korban dukungan moril
dan meteril. Ia dan keluarnya sampai tidak pernah menghitung biaya yang telah
dikeluarkannya demi gerakan perjuangan. ia hanya berikir, “jika tidak ada
perjuangan seperti ini, Kanib telah memiliki mobil yang bagus”.
“Ya gimana mas, ya menurut saya ya ini memang jalan hidup saya harus hidup dalam perjuangan ini mas. Sampek keluarga ini jadi korban mas. Dukungan moril dan materiil. Dulu sampek nggak pernah ngitung mas niku enteke duit niku. Mek ngene biyen niku, pomo gak enek ngeneiki paling aku wes nduwe mobil apik”. (Wawancara tanggal 10 Februari 2017). Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa perasaan hidup
aktor dalam kondisi konflik menurut Alfred Schutz merupakan bagian dari dunia
intersubjektif aktor. Pengalaman aktor hidup dalam kondisi konflik merupakan
bagian kehidupan sehari-hari aktor yang kemudian menjadi realitas sosial.
Realitas sosial tersebut terus mengalami sosialisasi kepada seluruh petani yang
akhirnya menjadi sebuah common sense. Artinya perasaan hidup dalam kondisi
konflik merupakan pengetahuan yang akhirnya harus diterima aktor, di mana
aktor akan menyikapinya kondisi tersebut dengan beberapa bentuk seperti yang
telah dijelaskan di atas, tanpa mempertanyakan lagi.
253
Tabel 4.11 Perasaan Hidup dalam Kondisi Konflik
No. Nama Perasaan Hidup dalam Kondisi Konflik 1. Talminto Tidak begitu cemas, secara fisik sudah menguasai lahan. 2. Katiman Sudah jenuh. 3. Tumiran Biasa saja, sudah menjadi tanggung jawab. 4. Sutarman Hidup tidak tenteram, meskipun pengahasilan banyak. 5. Kanib Haru. 6. Wahyudi Sudah menjadi tanggung jawab untuk berjuang.
Sumber: Data Diolah
F. Relasi Sosial Aktor
Relasi sosial aktor pejuang lahan garapan di eks Perkebunan Gondang
Tapen merupakan relasi dalam kehidupan sehari-hari aktor di mana mereka saling
berinteraksi. Relasi aktor pejuang tersebut terlihat dalam relasi aktor dengan
keluarganya, relasi antar aktor, relasi aktor dengan petani yang lain, relasi aktor
dengan pemerintah desa dan relasi aktor dengan pihak yang membantu gerakan
perjuangan.
1. Relasi Aktor dengan Keluarganya
Relasi aktor dengan keluarganya sebenarnya telah terlihat dalam biografi
sosial subjek. Bahwa relasi yang terjalin antara aktor dan keluarnganya
merupakan relasi yang intim dan sangat erat hubungan interkasinya. Baik dengan
isteri, anak-anaknya, serta dengan saudara yang tinggal satu rumah dengannya.
Hubungan aktor dengan isterinya merupakan hubungan yang sangat intim. Setiap
hari para isteri aktor menemani aktor dalam bercocok tanam, kecuali siteri
Talminto dan Wahtudi. Isteri Talminto telah diberikan tugas untuk merawat
tanaman cabe di depan rumahnya. Sementara interi Wahyudi berjualan sembako
254
di rumahnya, di mana Wahyudi selalu membantunya saat ini pasca ia tidak lagi
menggarap lahan.
Para isteri aktor yang lain selalu mengikuti aktor dalam bercocok tanam di
lahan garapan. Mereka mulai dari pagi hari pukul 06.00 sampai dengan sekitar
pukul 16.30 membatu aktor di lahan. Pekerjaannya tidak begitu berat, hanya
seperti menyiram tanaman dan membersihkan tanaman pengganggu. Para isteri
aktor tentunya tidak sampai mencangkul lahan. Untuk selebihnya, isteri aktor
bertugas untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk kebutuhan energi aktor
ketika bekerja di lahan.
Relasi sosial aktor dengan isterinya ketika di rumah juga sangat intim,
seperti bergaul, menonton televisi bersama dengan semua anggota keluarga dan
mengurusi rumah tangga seperti pada umumnya. Akan tetapi, isteri aktor tidak
pernah ikut ketika aktor melakukan gerakan perjuangan. Baik ketika musyawarah
bersama aktor yang lain, maupun aksi demonstrasi dan persidangan di PTUN.
Hampir tidak ada tokoh dari kaum perempuan yang ikut dalam aksi para
suaminya. Hal tersebut dikarenakan bahwa tidak ada satu pun pejuang dari kaum
perempuan yang berani ikut dalam gerakan perjuangan. Selain itu, juga akrena
sejak kepanitiaan awal kaum perempuan tidak pernah dilibatkan. Sehingga jika
sekarang ini kaum perempuan masuk gerakan perjuangan, dianggap tidak pantas.
Pernyataan ini disampaikan oleh Talminto.
“Nggak ada mas, ya nggak berani kalo ibu-ibu itu. Lawong yang laki-laki saja yang berani ya cuma wong-wong iki, apalagi ibu-ibu, apa ya mas, soale dari awal kepanitiaan itu sudah dari bapak-bapak, dari ibu-ibu itu nggak pernah dilibatkan, jadi istilahe pomo saiki ibu-ibu masuk ki koyo wes gak pantes, seng awal-awale yo ora enek marai”. (“Kalau sekarang ibu-ibu masuk seperti sudah tidak pantas, soalnya dari awal juga tidak ada”). (Wawancara tanggal 6 Februari 2017).
255
Sementara itu relasi aktor dengan para anaknya juga mencerminkan relasi
yang intim. Beberapa aktor seperti Katiman dan Tumiran selalu mengajak
anaknya ke lahan. Sementara yang lain seperti Kanib, karena anaknya dari remaja
telah pergi untuk sekolah, maka tidak diajak ke lahan. Interaksi para aktor dengan
anaknya di rumah beragam bentuknya, seperti bergaul seperti biasa,
berkomunikasi, baik memperbincangkan masalah tanah sampai dengan bersenda
gurau. Bagi aktor yang anaknya telah dewasa seperti Katiman dan Wahyudi,
perbincangan masalah tanah sangat sering dilakukan. Apalagi anak mereka juga
menggarap di lahan perkebunan tersebut.
Relasi sosial aktor dengan para anaknya tidak sampai pada masalah
gerakan perjuangan. Anak aktor yang masih kecil sampai dengan remaja bahkan
tidak dilibatkan dalam gerakan perjuangan. Hanya anak Katiman dan Wahyudi lah
yang ikut gerakan perjungan. Hal ini karena anak Katiman, Sukiyat dan anak
Wahyudi, Supriyadi juga merupakan petani dan menggarap lahan tersebut.
Sementara untuk anak aktor yang bukan merupakan petani dan masih terbilang
masih remaja tidak terlibat dalam gerakan perjuangan.
Relasi sosial aktor dengan keluarganya menurut Alfred Schutz merupakan
bagian dari dunia intersubjektif aktor. Di mana relasi yang terjalin sangat intim.
Sehingga dapat dikatakan bahwa relasi yang terjalin adalah relasi sosial akrab.
Kehidupan bathiniyah aktor saling berinteraksi dengan anggota keluarga yang
lain, yang termanifestasi dalam tindakan sosial yang intim. Akan tetapi akan
berbeda jika relasi dalam keluarga aktor telah dihubungkan dengan masalah
sengketa tanah. Relasi sosial aktor dengan keluarganya dalam masalah tanah
justru tidak begitu nampak. Karena sebagian besar anggota keluarga aktor, seperti
256
isteri dan anak aktor yang masih remaja, tidak mengikuti gerakan perjuangan.
Realitas sosial ini menunjukkan bahwa relasi sosial aktor dengan keluarganya
dalam masalah sengketa lahan bersifat tidak akrab.
2. Relasi antar Aktor
Relasi sosial di antara aktor merupakan relasi yang terjalin sangat erat.
Setiap hari aktor dalam garda depan, maupun aktor yang tergabung dalam anggota
pengurus PPGT selalu bertemu. Hampir setiap malam, mereka selalu berkumpul
di rumah salah satu aktor untuk sekadar berbincang dengan menyeduh kopi panas.
Dengan sangat mudah mereka berkumpul tanpa ada yang memberi tahu atau
mengundang. Misalkan suatu malam ada Katiman ke rumah Tumiran, maka
dengan sangat mudah tiba-tiba Talminto muncul, kemudian disusul oleh
Sutarman. Hal itu telah menjadi kebiasaan.
Kegiatan para aktor untuk saling bertemu tatap muka tersebut telah
menjadi budaya di antara para aktor. Kehidupan desa yang masih bersifat
paguyuban sangat terlihat di mana interaksi aktor sangat intensif. Hal ini terbukti
sebanyak 2 kali ketika peneliti sedang melakukan observasi. Yang pertama
perbincangan hangat di suatu malam terjadi di rumah Sukiyat, anak dari Katiman.
Di sana ada Sutarman dan Bedjo, anggota pengurus PPGT. Berbincangannya saat
itu hanya seputar masalah tanaman. Sementara yang kedua terjadi di rumah
Sutarman, lagi-lagi di sana juga ada Bedjo yang hanya sebatas ngopi bersama dan
ngobrol ringan.
257
Gambar 4.25 Sutarman dan Anggota Pengurus PPGT yang lain, Sukiyat dan
Bedjo sedang Membincangkan Masalah Tanaman di Rumah Sukiyat
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 4.26 Sutarman dan para Anggota Pengurus PPGT yang Lain
(Bedjo, Pitoyo, Pairin) sedang Berbincang dan Ngopi Bersama
di Rumah Sukiyat
Sumber: Dokumentasi Peneliti
258
Bentuk interaksi berbeda ketika berhubungan dengan masalah gerakan
perjuangan. Jika sudah berhubungan dengan masalah gerakan perjuangan, maka
pusat informasi berda pada Pak Talminto. Talminto merupakan sosok pemimpin
yang mengetahui segara informasi dari para jaringannya, yaitu Sitas Desa dan
Elsam. Sitas Desa dan Elsam memberi tahu segala bentuk informasi terkait
perjuangan. Misalnya masalah hasil persidangan di PTUN, tanggal yang tepat
untuk berdemo, atau masalah instruksi untuk memusyawarahkan rencana gerakan
kepada seluruh anggota pengurus paguyuban. Informasi tersebut kemudian
diterima oleh Talminto. Oleh Talminto informasi tersebut kemudian diteruskan
kepada para aktor yang lain. Dari para aktor, informasi kemudian disebarluaskan
kepada seluruh petani, baik yang tergabung dalam anggota pengurus PPGT,
maupun yang hanya sebagai anggota.
Gambar 4.27 Alur Informasi Gerakan Perjuangan dalam PPGT
Sumber: Data Diolah
Desebarluaskan Kepada
Seluruh Petani
Diteruskan Kepada
Katiman Tumiran Suraman Kanib Wahyudi Anggota Pengurus
PPGT
Diterima Oleh
Talminto
Informasi
Elsam Sitas Desa
259
Relasi yang terjalin antar aktor menutut Alfred Schutzt merupakan bagian
dari life world atau dunia intersubjektif aktor. Aktor saling berinteraksi dalam hal
memperjuangkan tanah, maupun dalam hal yang lain misalnya masalah lahan atau
tanaman. Relasi yang terjalin antar aktor merupakan relasi yang bersifat akrab.
Mereka memiliki persamaan rasa, yaitu rasa ingin segera mendapatkan legitimasi
atas tanah. Relasi sosial akrab di antara aktor pejuang tanah tersebut akhirnya
menciptakan sebuah realitas sosial dalam masyarakat petani di Desa Ringinrejo,
Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar.
3. Relasi Aktor dengan Petani yang Lain
Relasi aktor dengan para petani yang lain merupakan relasi yang tidak
terlalu intim. Hubungannya hanya sebatas pertemanan antar petani dan hubungan
pertetanggaan di satu desa. Bentuk hubungannya bermacam-macam, seperti tetap
saling menolong jika ada petani yang sedang kesusahan, saling membantu jika
petani ada yang panen, acara pernikahan dan berinteraksi dalam kegiatan sehari-
hari seperti dalam acara tahlilan, yasinan rutin dan sholat berjamaah di mushola.
Saling membantu dalam kegiatan panen petani merupakan hal yang telah
membudaya di antara petani Desa Ringinrejo. Hal ini sesuai dengan penuturan
Kanib.
“Ya petani di sini itu gotong royongnya baik mas. Yang pasti itu ya pas kalo ada yang panen, itu saling bantu, rame-rame bantu panennya teman itu wes pasti” (Wawancara tanggal 10 Februari 2017).
Relasi sosial aktor dengan para petani saat berhubungan dengan masalah
gerakan perjungan terjadi ketika ada perkembangan informasi. Ketika ada
informasi dari atas, maksudnya informasi baik dari Elsam maupun Sitas Desa,
260
maka informasi tersebut seperti yang telah dijelaskan dalam gambar di subbab
sebelumnya, akan diterima oleh Talminto. Oleh Talminto informasi tersebut akan
diteruskan kepada para aktor, baik aktor dalam garda depan mapun anggota
pengurus PPGT. Oleh aktor garda depan dan anggota pengurus PPGT kemudian
informasi disebarluaskan kepada para petani di Desa Ringinrejo. Selain itu, relasi
sosial antara aktor dengan para petani yang lain juga terjadi ketika rapat besar
dilaksanakan. Seperti ketika akan melakukan demonstrasi ke Blitar maupun ke
Jakarta.
Relasi aktor dengan petani yang lain juga merupakan bagian dari
kehidupan sehari-hari aktor (intersubjektif). Meskipun relasi sosial yang terbentuk
tidak begitu intim, akan tetapi relasi sosial tersebut mempunyai nilai-nilai sosial,
yang termanifestasi dalam kegiatan seperti gotong royong, saling membantu
apabila ada petani yang panen, dan lain sebagainya. Relasi antara aktor dengan
petani yang lain juga mempunyai nilai religius. Hal tersebut termanifestasi dalam
kegitan tahlilan, yasinan rutin, mapun sholat jamaah di mushola.
4. Relasi Aktor dengan Pihak yang Membantu
Selama ini pihak luar yang membantu Paguyuban Petani Gondang Tapen
(PPGT) adalah dari Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) dan LSM Sitas
Desa Blitar. Kedua lembaga tersebut telah banyak membantu para petani PPGT.
Relasi keduanya merupakan relasi yang terjalin antara pihak yang mengerti
hukum dan kliennya. Pihak yang mengerti hukum merupakan representasi dari
Elsam dan Sitas Desa, sementara petani PPGT merupakan kliennya. Elsam dan
Sitas Desa telah banyak membantu para petani. Elsam banyak membantu dalam
261
hal bantuan hukum, sementara Sitas Desa banyak membantu dalam hal arah
gerakan perjunangan.
Hubungan Elsam dan Sitas Desa juga sering dalam hal informasi. Di mana
Elsam dan Sitas Desa merupakan pihak yang memberi informasi terkait
perkembangan dan hasil perjuangan. Sementara petani, yang diwakili oleh
Talminto merupakan pihak yang menerima informasi untuk selanjutnya
disampaikan kepada seluruh petani di Desa Ringinrejo. Hubungan dalam bentuk
penyampaian informasi dari Elsam dan Sitas Desa ke pihak petani inilah yang
kemudian sampai saat ini terjalin.
Relasi antara aktor dengan pihak yang membantu menurut Alfred Schutz
merupakan bentuk dari dunia intersubjektif aktor, terkhusus Talminto. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa relasi sosial Talminto dengan pihak yang membantu
sanga akrab. Sementara relasi sosial aktor yang lain dengan pihak-pihak yang
membantu hanya sebatas klien dari pada pihak yang membantu tersebut. Sehingga
dalam realitas sosialnya, pihak-pihak yang membantu tersebut memang hanya
cenderung akrab kepada Talminto, dibandingkan dengan aktor yang lain. Hal ini
disebabkan karena hanya Talminto lah yang memiliki kemampuan komunikasi
dan berpikir analisis yang baik, dibandingkan dengan aktor yang lain. Sehingga,
segala komunikasi dari pihak yang membantu selalu tertuju pertama kepada
Talminto.
5. Relasi Aktor dengan Pemerintah Desa
Relasi aktor dengan pemerintah desa selama ini tidak berjalan dengan
baik. Pemerintah desa terkesan lepas tangan dan tidak mau tahu terkait
permasalahan sengketa yang terjadi. Sehingga hubungan antara aktor dan
262
pemerintah desa tidak terjalin dengan baik. Hubungan pemerintah desa dengan
aktor sebatas hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Jika permasalahan yang
bukan terkait sengketa lahan, maka pemerintah desa tetap melayani dengan baik.
Akan tetapi jika menyangkut permasalahan sengketa, maka pemerintah desa
cenderung lepas tangan.
Berdasarkan penuturan oleh beberapa aktor pejuang, maka dapat
disimpulkan bahwa ketidakhadiran Pemerintah Desa Ringinrejo dalam kasus ini
disebabkan oleh:
a) Pemerintah desa takut jika ikut dalam perjuangan maka pihak pertama
yang mendapat tekanan adalah mereka.
b) Adanya saran BPD saat Kepala Desa yang baru Bapak Bintoro, baru saja
dilantik supaya tidak ikut campur dalam masalah sengketa perkebunan
Gondang Tapen.
c) Faktor kurang cakapnya Kepala Desa Ringinrejo karena memang masih
muda, belum banyak pengalaman dan tidak pernah menempuh pendidikan
tinggi.
Penjelasan lengkap mengenai bagaimana persepsi setiap aktor tentang
Pemerintah Desa Ringinrejo dalam penanganan kasus sengketa lahan eks.
Perkebunan Gondang Tapen akan dibahas dalam subbab berikutnya. Yang jelas,
relasi yang terjalin antara aktor dengan pemerintah desa merupakan bagian dari
dunia intersubjektif aktor. Di mana relasi tersebut hanya bersifat administratif.
Permasalahan yang menyangkut administratif warga desa akan dilayani dengan
baik oleh pemerintah desa. Akan tetapi tidak untuk masalah sengketa lahan
perkebunan Gondang Tapen.
263
G. Persepsi-persepsi Aktor
Persepsi muncul ketika seseorang mengetahui sesuatu hal. Pembahasan
berikut ini akan mengulas tentang persepsi-persepsi yang muncul di antara pikiran
aktor khususnya tentang pihak yang patut disalahkan, persepsi tentang pihak yang
membantu, serta persepsi tentang Pemerintah Desa Ringinrejo terkait
keterlibatannya serta kontribusinya dalam kasus sengketa lahan eks Perkebunan
Gondang Tapen.
1. Persepsi tentang Pihak yang Disalahkan
Pengetahuan Talminto terkait permasalahan sengketa lahan ini tentunya
akan menjadikan dirinya membuat kesimpulan, siapa sebenarnya pihak yang patut
disalahkan. Menurut penuturan Talminto jika mempertanyakan siapa pihak yang
patut disalahkan, jawabannya adalah sistem. Karena ketika Semen Dwima Agung
beli lahan ke PT. Gondang Tapen Barumas, prosesnya kurang terbuka atau
transparan. Diaktakan kesalahan system karena pemerintah pada saat itu tidak
mempunyai ketegasan. Semua pihak meminta agar pemerintah bertindak tegas.
Walaupun petani minta redistribusi tanah, jika pemerintah bisa tegas sejak awal
maka permasalahan telah selesai sejak awal. Talminto merasakan jika sampai
sekarang pemerintah sama sekali tidak mempunyai ketegasan. Berikut penuturan
Talminto.
“Kalo bicara yang disalahkan, itu sistem, karna waktu Semen Dwima Agung beli HGU ke Gondang Tapen Barumas, itu prosesnya kurang terbuka, kurang transparan. Kenapa saya katakan sistem, pemerintah itu tidak punya ketegasan. Dari semua pihak itu cuman berharap ketegasan pemerintah, mau diapakan. Walaupun to, sudah semuanya diredis. Kalo pemerintah bisa mutuskan gitu sudah selesai, atau, dah ini dijadikan kawasan hutan. Kalo memang pemerintah tegas, ya, memang banyak kendala-kendala atau benturan di lapangan itu pasti ada, cuman kegasan
264
itu kan penting. Sampai sekarang itu saya rasakan tidak ada sama sekali ketagasan dari pemerintah”. (Wawancara tanggal 19 Oktober 2016). Pernyataan di atas kemudian dijabarkan kembali, apa maksud dari sistem
yang salah. Sistem yang salah artinya bahwa tidak ada pihak yang dibenarkan
dalam kasus sengkata ini. Sengketa ini tidak akan terjadi jika di awal pemebelian
dilakukan secara terbuka. Semua ini adalah dampak dari kurang keterbukaan dan
sosialisasi di awal. Jika menanyakan siapa pihak yang bersalah, maka jawabannya
adalah semua pihak “salah”. Walaupun Talminto berpihak kepada petani
penggarap, akan tetapi petani sendiri juga tidak bisa dibenarkan. Hal itu
dikarenakan petani menggarap tanpa landasan hukum yang kuat. Sementara
Perhutani sebanrnya pihak yang benar dan tidak bersalah, kemudian menjadi salah
karena ketika menerima lahan dari Semen Dwima Agung tidak menyosialisasikan
kepada petani, justru oknum-oknumnya menjuali tanah garapan kepada petani.
Saat ini, masyarakat yang awalnya salah menjadi benar, karena secera de facto
telah menguasai tanah tersebut. Sementara Holcim sendiri, yamg awalnya benar
menjadi salah. Karena melalui Semen Dwima Agung sudah membeli tanah
kepada PT. Gondang Tapen Barumas, kemudian telah diserahkan kepada
Perhutani untuk lahan pengganti di Tuban. Akan tetapi karena kurang sosialisasi
dan prosesnya sangat tertutup akhirnya menjadi salah. Antisipasi untuk
permasalahan selanjutnya jika Holcim tidak melakukan sosialisasi juga tidak
dipikirkan. Akhirnya semuanya menjadi salah.
“Itulah dampak dari kurang keterbukaan dan sosialisasi di awal. Kalo lihat siapa yang salah semuanya salah. Walaupun saya berpihak ke penggarap lo ya. Penggarap sendiri juga tidak bisa dibenarkan, Karena menggarap tanpa landasan hukum yang kuat. Perhutani sendiri sebenarnya benar, jadi salah, karna apa dari awal setelah menerima dari Semen Dwima Agung justru kok oknum-oknumnya kok njuali garapan, berarti kan salah
265
awalnya. La sekarang ini masyarakat awalnya salah jadi benar karena faktanya wes di sini. Nah Holcim sendiri, awalnya benar jadi salah, karna apa, beli, sudah dibayar ke Gondang Tapen Barumas, lah trus diserahkan ke Perhutani untuk mengganti tanah di Tuban, awalnya benar jadi salah karna kurang sosialisasi. Antisipasi juga gak ada, oh nanti kalo sampek digarap masyarakat dampaknya gimana. Jadi semuanya jadi salah”. (Wawacara tanggal 19 Oktober 2016). Sementara itu Katiman dengan gamblangnya menyalahkan pihak Holcim
dalam kasus sengketa ini. Menurutnya, HGU perusahaan jika telah habis harus
kembali ke negara. Menurutnya, tanah negara tidak bisa dikelola oleh swasta dan
ditukargulingkan. Harusnya, tanah tersebut kembali ke negara dan menjadi milik
petani. Ia juga menyalahkan kepada Perhutani, jika memang ujungnya konflik
besar seperti ini, harusnya tidak ada pihak-pihak yang menjuali tanah di tahuin
1997. Di mana Katiman juga termasuk petani yang membeli tanah dari para
oknum Perhutani yang tidak bertanggungjawab, yang oleh masyarakat setempat
kala itu disebut sebagai Mantri Perhutani. Dengan membeli tanah kepada
Perhutani, maka menurutnya secara sah ia telah memiliki tanah tersebut.
“Gimana ya mas, masalahnya gini mas, kalo dipikir tanah itu kan tanah negara, kok bisanya mas tanah, tanah negara bisa dikelola dengan swasta untuk ditukar gulingkan itu mas. Kalo tanah negara itu kan mestinya kan ndak bisa to mas. Masalahnya itu kan tanah HGU to mas. Menurut saya Holcim salah mas. Masalahnya gini mas, HGU sudah habis mas, padahal kalo habis kan kembali ke negara. Trus kenapa juga, kalo memang sekarang itu sudah miliknya Perhutani, malah dulu Mantri Perhutani malah njuali tanah ke petani. Kan juga salah kalo gitu”. (Wawancara tanggal 3 November 2016). Menurut Tumiran semua pihak mempunyai kesalahan dalam kasus ini.
Kesalahan petani adalah menggarap lahan tersebut akan tetpai tidak mempunyai
hak secara hukum. Sementara kesalahan Perhutani dan Holcim adalah tidak
pernah menyosialisasikan jika tanah tersebut sudah dibeli oleh Holcim dan
266
diberikan oleh kepada Perhutani. Selauin itu jika memang telah dimiliki oleh
Perhutani, Perhutani tidak pernah melarang petani untuk menggarap tanah bekas
perkebunan tersebut justru oknum-oknumnya yang tidak bertanggungjawab
menjuali tanah ke para petani.
“Pihak yang salah, kalo pihak yang salah ya semuanya salah mas kalo menurut saya. Soalnya apa, sebenarnya kan kalo secara hukum petani itu memang tidak berhak ya, saya akui begitu. Tapi ya gimana, kalo memang nggak berhak kenapa dulu Holcim sama Perhutani nggak melarang, kok justru oknumnya Perhutani, yang sama masyuarakat itu disebut Mantri itu kok malang njuali ke masyarakat. Walaupun to saya ini nggak mbukak dari awal, tapi kalo lihat critanya gitu ya saya bisa berpendapat”. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Menurut Sutarman, pihak yang patut disalahkan dalam kasus ini adalah
tetap Holcim. Karena menurutnya, tanah bekas perkebunan tersebut harusnya
kembali menjadi milik negara, tidak boleh dibeli. Ia bisa berpendapat demikian
karena ia pernah lihat di televisi, jika tanah HGU habis harus kembali ke negara.
Sehingga jika HGU perkebunan habis, maka berhak dimiliki oleh petani. Hal ini
dikarenakan petani juga bagian dari negara. Ia masih meyakini bahwa tanah
tersebut adalah tanah milik negara. Berikut penuturan Sutarman.
“Holcim mas. Kan tanah ini milik negara to mas. Ya namanya tanah negara itu kan kalo HGU nya habis, sewanya habis ya kan kembali ke negara. Nggak boleh dibeli. Kan kalo saya liat di tipi-tipi kan gitu. La kita ini siapa, kita ini kan juga orangnya negara. Ya kan tetep Holcim to mas yang salah”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2017). Sementara itu, Kanib mengatakan berdasarkan fakta yang terjadi.
Bawasannya secara faktual terdapat surat dari kecamatan yang menerangkan
bahwa proses tukar guling dari PT. Holcim Indoensia kepada Perhutani adalah
cacat hukum. Hal itu dikarenakan bahwa syarat tukar guling adalah bersifat clean
and clear. Secara clean telah dilaksanakan oleh PT Dwima Agung atau Holcim
267
Indonesia secara administratif. Akan tetapi secara clear masih bermasalah. Clear
artinya tanah yang digunakan tukar guling tidak sedang digunakan maupun
diklaim oleh pihak lain. Sedangkan secara faktual di lapangan masyarakat
menggarap tanah tersebut. Atau secara de facto masyarakat menggarapa tanah
tersebut. Berikut penututan Kanib.
“Jadi gini, saya bicara berdasarkan fakta ya. Jadi faktanya itu ada surat dari kecamatan, entah itu dari mana, yang menyebutkan bahwa tukar guling ini cacat hukum. Karena salah satu syarat tukar guling kan harus clear and clean. Cleannya sudah, saya memahami kalo Dwima atau Holcim itu sudah melakukan semua proses administratif. Tapi secara faktual di lapangan, clearnya belum disentuh, kondisi di lapangan masyarakat itu menggarap lahan tersebut. Jadi secara de facto masyarakat menggarap tanah itu. Saya sendiri belum tahu ya selebihnya surat itu apa, tapi yang jelas intinya begitu mas”. (Wawancara tanggal 7 Desember 2016). Pengetahuan Wahyudi tentang pihak yang seharusnya disalahkan dalam
kasus sengketa tanah ini juga kepada Holcim. Akan tetapi alasannya berbeda
dengan aktor yang lain. Ia menyebutkan bahwa kesalahan Holcim adalah ketika
menyosialisasikan kepada masyarakat yang tidak tepat sasaran terkait informasi
bahwa tanah tersebut telah diberikan dari Holcim kepada Perhutani. Berdasarkan
pengetahuannya. Holcim justru memberikan sosialisasi kepada masyarakat Desa
Sukorejo, yang notabene merupakan masyarakat yang tidak terdampak dari kasus
sengketa.
“Ora lo mas, lak pancene Holcim ki nglarang, nyapo kok ora nglarang langsung nek wong Ringinrejo, kok seng dijak omong biyen malah wong Sukorejo, kan aneh. Umpomoho, lak seng dijak omong wong deso kene ora bakal ngeneiki, ndak bakal seperti ini kasusnya”. (Tidak lo mas, kalo memang Holcim melarang, kenapa kok tidak melarang langsung ke oranf Ringinrejo, kok yang diajak bicara saat itu justru orang Sukorejo, kan aneh. Seumpama, kalo yang diajak bicara orang desa sini tidak bakal seperti ini kasusnya”). (Wawancara tanggal 15 Desember 2016).
268
Tabel 4.12 Persepsi tentang Pihak yang Disalahkan
No. Nama Persepsi tentang Pihak yang Disalahkan 1. Talminto Sistem yang salah, dan semua pihak mempunyai
kesalahan 2. Katiman Holcim yang salah 3. Tumiran Semua pihak salah 4. Sutarman Holcim yang salah 5. Kanib Proses tukar guling ada kesalahan 6. Wahyudi Holcim yang salah
Sumber: Data Diolah
2. Persepsi tentang Pihak yang Membantu
Telah diketahui bahwa ada pihak luar yang membantu dalam gerakan
perjuangan petani Gondang Tapen. Di antaranya adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Sitas Desa dari Blitar dan Lembaga Bantuan Bukum (LBH)
Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) dari Jakarta. Berikut ini akan
dipaparkan mengenai persepsi para aktor terhadap pihak-pihak yang membantu
meraka dalam gerakan perjuangan.
Menurut Talminto, selama ini Sitas Desa dan Elsam telah membantu
banyak. Elsam telah membantu dalam gerakan perjuangan seperti pengarahan,
pemberian akses ke Kementerian Kehutanan dan Perusahaan, bantuan hukum dan
menjembatani hingga petani memberanikan diri ke PTUN, mendampingi demo
dan ke Swiss. Elsam juga telah membantu banyak ketika persidangan di PTUN
berlangsung. Elsam meyediakan tempat tinggal dan makan secara cuma-cuma
kepada para petani.
Sementara Sitas Desa telah membatu banyak dalam hal pengarahan pada
arah perjuangan, mengenalkan Talminto kepada Elsam, mengkomunikasikan hasil
perjuangan ke Talminto, mendampingi petani demo serta mendampingi Talminto
269
ke Swiss. Tanpa bantuan dari Elsam dan Sitas Desa maka langkah Talminto
dipastikan tidak akan seperti saat ini. Elsam lebih mendampingi secara hukum,
sementara Sitas Desa lebih mendampingi secara teknis. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikatakan Talminto.
“Iya, mungkin saya diberi pengarahan, trus kalo saya ke planologi, aksesnya ke kementerian kehutanan, itu memberi akses lah, juga membantu akses ke perusahaannya itu. Elsam, itu kan juga yang menjembatani sampai gugatan ke PTUN, gugatan ke NCP, itu kan dijembatani sama Elsam, Ya mungkin tanpa Elsam, Sitas Desa kita juga nggak ngerti aksesnya ke mana-mana juga nggak ngerti. Jadi nambah pengtahuan dan pengalaman. Mungkin tanpa Elsam, tanpa Sitas, mungkin saya enggak bisa seperti sekarang, ke Kedutaan Swiss, ke Swiss, itu kan nggak mungkin jalo tanpa bantuan Elsam dan Sitas. Semua bersama mereka, didampingi sama Elsam, didampingi oleh Sitas, cuman kalo Elsam, itu mendampingi secara hukumnya, kalo Sitas, pendampingan secara teknisnya. Elsam sama Sitas itu juga ndampingi pas demo itu. Jadi Elsam itu mas, pas sidang itu kita tidurnya di Elsam, gratis, dikasih makan, sekitar 20 orang itu dibeber karpet tidur bareng-bareng”. (Wawancara tanggal 20 Oktober 2016). Katiman mengatakan bahwa Elsam selama ini telah membantu banyak
kepada para petani. Dari Elsam ada pengacara yang selalu mendampingi arah
gerakan petani, yaitu Mas Andi. Biaya akomodasi sidang juga ditanggung oleh
Elsam. Ketika sidang di PTUN, Elsam lah yang meberinya tempat untuk tidur
sekaligus makan secara gratis. Jika petani akan mengahdiri sidang, para petani
diantar ke PTUN dari Kantor Elsam menggunakan mobil Elsam. Jikalau tidak
muat, maka sebagian petani ada yang naik taksi. Taksi itu pun juga Elsam yang
membayar. Sehingga menurut Katiman sangat besar sekali kontribusi Elsam bagi
para petani. Baginya bantuan Elsam untuk petani “tidak main-main”. Berikut
penuturan Katiman.
“Kalo pihak luar ya Elsam itu yang mbantu selama ini. Dari Elsam itu kan pengacara, Mas Andi. Kita sangat terbantu mas. Sidang itu kan yang mbiayai juga Elsam. Dulu kan itu minggu sekali mas sidangnya. Kita tidur
270
ya ke Elsam itu. Trus ke pengadilan itu, mobilnya, kalo muat mobil kantor ya cukup membawa mobil kantor. Kalo enggak muat yang membayar taksi itu juga kantor mas pas persidangan itu. Sampai makan pun kesemuanya itu kan dari Elsam itu mas. Sangat besar sekali mas bantuan Elsam. Nak main-main bantuan Elsam niku. Ndak ada namanya di hotel, ya itu Elsam hotelnya”. (Wawancara tanggal 4 November 2016). Hal serupa juga disampaikan oleh Tumiran, jika bantuan Elsam dan Sitas
desa sangat banyak. Menurutnya tanpa bantuan pihak-pihak tersebut petani tidak
akan bisa melakukan gerakan hingga sampai saat ini. Ia bahkan sangat berterima
kasih kepada Elsam yang telah menampung dirinya saat masa persidangan tanpa
harus membayar biaya apa pun. Tidur dan makan telah disediakan untuk para
petani dari Elsam.
“Ya yang jelas Elsam itu mas, sama Sitas kalo dari Blitar. Bantuannya banyak sekali mas. Ya berterima kasih sekali mas sama Elsam, tidur, makan gratis mas. Ya mungkin kalo nggak ada mereka ya kita ini bingung, nggak mungkin lah sampai tahap sekarang ini‟. (Wawancara tanggal 29 Oktober 2016). Sutarman juga mengungkapkan jika dirinya sangat merasa dibantu oleh
Elsam. Baginya, kekurangan dana dari petani bisa ditutupi oleh Elsam dengan
membantu sepenuh hati ketika ke Jakarta. Ia juga mengistilahkan berkat bantuan
Elsam, petani pergi ker Jakarta layaknya hanya membawa badan saja.
“Elsam mas, dibantu sekali kita, ya membantu sepenuh hatu mas pas ke Jakarta itu. Istilahe petani mek nggowo awak thok”. (Wawancara tanggal 6 Desember 2016).
Sementara itu Kanib tidak banyak menceritakan pihak yang membantu
dalam gerakan perjuangan tanah. Ia hanya mengungkapkan jika suatu saat
perjuangan tersebut berhasil, semua pihak yang telah membantu tidak akan pernah
ia lupakan dan ia sangat berterima kasih.
271
“Yang jelas pihak-pihak yang telah membantu kami ini banyak mas. Ya banyak lah mas, tidak bisa dijelaskan satu-satu. Saya hanya gini aja, berterima kasih sekali jika perjuangan ini nantinya berhasil. Tidak akan saya lupakan lah”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016). Wahyudi menjelaskan bahwa Sitas Desa dan Elsam sangat membantu
petani selama. Saat Wahyudi ke Jakarta mengikuti persidangan, Elsam telah
menyiapkan segalanya. Mulai dari tempat, akomodasi, sampai dengan makanan.
Jika para petani ketahuan membeli makanan sendiri, justru Elsam akan memarahi
para petani. Petani tidak boleh membeli makanan sendiri. Bagi Wahyudi, Kantor
Elsam sudah seperti rumahnya sendiri. Sementara kalau Sitas Desa perannya
adalah memberi jalan mulai di tingkat kabupaten. Bahkan Sitas Desa lah yang
menghubungkan permasalah petani Gondang Tapen ke Elsam. Berikut penuturan
Wahyudi terkait peran Elsam dan Sitas Desa.
“Kalo pihak luar yang jelas Sitas sama Elsam itu sangat membantu mas. Kita di Jakarta ya mas, Elsam itu sudah menyiapkan segalanya mas, menyediakan tempat, akomodasi, makanan, kita kalo pagi trus belum makan, trus beli sendiri kalo ketahuan atasannya, kita dimarahin mas, nggak boleh beli makan sendiri, harus makan ke Elsam. Jadi di Elsam itu kayak rumah sendiri mas. Trus kalo Sitas ya itu tadi, memberikan jalan, kan yang ngenalkan masalah ini ke elsam kan juga, sitas itu. Dulu pas awal di Blitar juga Sitas”. (Wawancara tanggal 16 Desember 2016).
Tabel 4.13 Persepsi tentang Pihak yang Membantu
No. Nama Persepsi tentang Pihak yang Membantu 1. Talminto Elsam dan Sitas Desa membantu banyak, Elsam
lebih kepada bantuan hukum dan semua mekanisme di Jakarta. Sementara Sitas Desa memberi arahan gerakan, mendampingi gerakan dan perantara komunikasi.
2. Katiman Elsam membantu banyak, berupa pengacara, biaya akomodasi sidang, tempat untuk menginap, makan dan minum selama masa sidang.
3. Tumiran Elsam membantu banyak, sangat berterima kasih kepada Elsam yang telah menampung selama di
272
Jakarta. 4. Sutarman Elsam membantu sepenuh hati, ke Jakarta hanya
membawa badan saja. 5. Kanib Semua pihak yang membantu tidak akan pernah
dilupakan. 6. Wahyudi Sitas Desa dan Elsam sangat membantu. Elsam
telah menyiapkan segalanya. Sementara Sitas Desa telah menghubungkan Talminto ke Elsam.
Sumber: Data Diolah
3. Persepsi tentang Pemerintah Desa
Menurut Talminto, Pemerintah Desa Ringinrejo cenderung vakum dalam
permasalahan sengketa lahan eks. Perkebunan Gondang Tapen ini. Ia sangat yakin
jika pemerintah desa ikut campur, pemerintah desa akan mendapat tekanan dari
atasan, baik dari PT Holcim mapun dari Perhutani. Akan tetapi, menurut Talminto
seharusnya pemerintah desa juga harus ikut berjuang, mengerti kemauan
masyarakat. Apalagi ada Badan Perwakilan Desa (BPD) yang merupakan DPR
desa harusnya bisa mendengarkan aspirasi masyarakat dan dapat berdiskusi
dengan masyarakat pertani. Hasil diskusi tersebut bisa disampaikan kepada kepala
desa. Akan tetapi hal tersebut tidak dilakukan sama sekali. Talminto justru
meyakini jika nanti suatu saat perjuangan petani mendapatkan titik terang,
pemerintah desa akan ikut “nimbrung”. Hal tersebut diyakininya karena ia merasa
bahwa Kepala Desa Ringinrejo saat ini licik, tidak berpengalaman tetapi suka
sekali dengan uang. Dengan nada emosi ia menceritakan hal tersebut kepada
peneliti.
“Kalo pemerintah desa vakum, karena saya yakin, keyakinan saya, kalo pemerintah desa itu dapat tekanan. Itu keliatannya pasti. Karna apa, ya pihak pertama pasti mereka kan yang dapat tekanan. Sebagai penerima beban kan pemerintah daerah. Mestinya sih mereka juga ikut berjuang, mestinya itu kemauan masyarakat itu pemerintah desa mestinya ngerti, dan diharapkan bisa membantu, mestinya. Apalagi kan sebagai BPD itu kan
273
DPR desa, wakil masyarakat desa, itu kemauan masyarakat apa itu dimusyawarahkan dengan kepala desa mestinya. Tapi saya punya keyakinan. Begitu nanti ada titik terang, pasti nimbrung. Karna nanti pasti, bagian saya mana, itu pasti”. (Wawancara tanggal 19 Oktober). Katiman juga menyatakan bahwa pemerintah desa selama ini tidak mau
untuk ikut campur dalam permasalahan sengketa tersebut. Akan tetapi kalau
masalah surat menyurat tetap bersedia melayani. Menurutnya, kepala desa selama
ini masih ragu. Justru menurutnya pemerintah desa setuju jika tanah eks
Perkebunan Gondang Tapen dijadikan kawasan hutan. Menurutnya sangat mudah
bagi Holcim untuk memberikan uang berapa pun ke pihak desa karena Holcim
adalah perusahaan besar.
“Ya ndak ikut campur mas, nggak tau saya. Ya kalo surat menyurat tetep diberi dari desa mas. Karena gini mas, kelihatannya bapak kepala desa itu gimana ya, kayaknya masih ragu gitu lo. Selain itu mas, dari pemerintah desa itu setuju kalo tanah selatan itu dijadikan hutan mas. Karena gimana ya mas, kayak Holcim itu kan wong sugih mas, kalo ngasih ke desa itu yang jelas kan sangat mudah to mas. Jadi kalo dirasakan seperti itu”. (Wawancara tanggal 20 Oktober 2016).
Menurut Tumiran Kepala Desa Ringinrejo selama ini tidak mau untuk ikut
campur lebih dalam permasalahan sengketa tersebut. Kalau hanya masalah tanda
tangan masih bersedia melayani. Menurutnya, hal tersebut wajar karena
permasalahan tersebut telah menjadi wewenang pusat. Sehingga pemerintah desa
tidak mempunyai kewajiban untuk ikut menyelesaikan permasalahan tersebut.
Apalagi ketika kepala desa baru saja dilantik, oleh ketua BPD sudah deberikan
wejangan bahwa kepala desa tidak perlu ikut campur dalam masalah tersebut. Hal
itu dikarenakan ketua BPD sendiri bukan dari kalangan petani sehingga tidak
merasakan hal yang dirasakan oleh sebagaian besar masyarakat Desa Ringinrejo.
274
“Lak pemerintah desa nggeh gelem lak tanda tangan, lak cawe-cawe nemen nggeh mboten. Tapi nggeh pancene niki kan wewenange langsung pusat to mas, dados nggeh langsung pusat. Opo maneh lurahe wes dipeseni. Wong lurahe winginane niku kan nembe dados tok to, niku BPD niku matur lek luarahe pun ikut campur masalah tanah nikiok. Masalahe BPDne senes petani. Dados mboten saget ngrasakne kepinginane petani”, (“Kalo pemerintah desa mau kalo hanya tanda tangan, kalo ikut campur lebih yya tidak. Tapi ya memang ini kan wewenang langsung pusat, jadi ya langsung pusat. Apalagi lurahnya sudah diberi pesan. Kan lurahnhya kemaren itu baru saja jadi, itu BPD itu bilang kalo lurah tidak usah ikut campur masalah tanah. Masalahnya BPD bukan petani. Jadi tidak bisa merasakan keinginan petani”. (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Sementara itu menurut Sutarman Kepala Desa Ringinrejo saat ini, yaitu
Bapak Bintoro terkesan diam dan acuh dengan permasalahan ini. Tidak ada saran
apa pun dari desa justru dibiarkan begitu saja. Karena petani sangat butuh tanah
tersebut maka petani berjuang sendiri tanpa dukungan pemerintah desa. Justru
petani khawatir jika permasalahan tersebut diserahkan desa tidak akan
ditindaklanjuti. Hal tersebut justru akan menyebabkan lahan garapan petani
hilang.
“Kadose kok mboten mendukung to mas, mendel mawon. Duko kok mboten enten saran-saran nopo niku kok mboten wonten, dijarne mawon. Sakrehne petani butuh banget akhire yo mlampah piambak. Lak sanuke mengke lak disrahne deso trus deso ora nyapo-nyapo kan iso ae kelangan garapan”. (“Sepertinya kok tidak mendukung to mas, diam saja. Tidak tahu kok tidak ada saran-saran apa itu kok tidak ada, dibiarkan saja. Karena petani sangat butuh akhirnya ya berjalan sendiri. La ditakutkan nanti kalo diserahkan ke desa trus desa tidak ngapa-ngapain kan bisa saja kehilangan garapan”). (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Pendapat Kanib terhadap pemerintah desa saat ini adalah sangat
disayangkan. Menurutnya pemerintah desa minimal harus mengetahui
permasalahan tersebut. Hal tersebut sangat penting karena jika ada hasil yang
didapat selalu melalui pemerintah desa. Pemerintah desa saat ini memang sangat
berbeda dengan yang sebelumnya. Kalau pemerintah desa yang sebelumnya, jika
275
sewaktu-waktu masyarakat membutuhkan selalu dilayani. Sehingga kepala desa
yang sebelumnya mengetahui permasalahan yang dialami petani. Mulai dari awal
permasalahan, permasalahan sampai dengan solusi juga diberikan.
Kepala desa yang saat ini tidak melalukan hal tersebut. Menurut Kanib,
kepala desa sekarang masih “bayek” (masih muda), pengalaman juga tidak ada.
Selain itu kepala desa yang sekarang tidak pernah sekolah hingga perguruan
tinggi, hanya tingkat SMA. Berikut penuturan Kanib.
“Itu yang saya sayangkan. Minimal desa tahulah. Soalnya apa, apa-apa semua itu kalo ada hasil pasti lewat situ juga. Kalo pemerintah desa yang dulu mau mas. Sewaktu-waktu kalo kita butuh mau mas yang dulu. Jadi pak kades yang dulu itu tau mas, mulai dari masalah sampai solusinya seperti apa itu tahu mas kalo yang dulu. Ya gimana ya mas, kepala desa yang sekarang ini bisa dibilang masih “bayek”, sek enom pengalaman yo ora enek, gek ora tau sekolah duwur, kuliah ae ora mas”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016). Pendapat Kanib di atas serupa dengan pendapat Wahyudi bahwa kepala
desa saat ini kurang pengalaman. Wahyudi mengatakan bahwa faktor kuran
pengalaman tersebut yang membuat ia tidak berani menyelesaikan masalah,
khususnya sengketa lahan eks Perkebunan Gondang Tapen.
“Ya namanya nggak punya pengalaman sebelumnya tapi nekat jadi kepala desa. Bintoro itu kan masih kecil mas, jadi ndak punya pengalaman, ngadepi masalah nggak berani. Ya nggak berani, ya nggak iso”. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016).
Tabel 4.14 Persepsi tentang Pemerintah Desa
No. Nama Persepsi tentang Pemerintah Desa
1. Talminto Pemerintah desa vakum, takut mendapat tekanan. 2. Katiman Pemerintah desa tidak mau ikut campur, kalau
masalah surat menyurat tetap melayani. 3. Tumiran Pemerintah desa tidak mau ikut campur, kalau
masalah tanda tangan bersedia melayani. 4. Sutarman Kepala desa terkesan acuh, diam, dan tidak
memberi saran serta membiarkan.
276
5. Kanib Sangat menyayangkan sikap pemerintah desa, minimal pemerintah desa mengetahui permasalahan. Kepala desa masih belum berpengalaman.
6. Wahyudi Pemerintah desa kurang berpengalaman.
Sumber: Data Diolah
4. Persepsi Aktor dalam Perspektif Fenomenologi Alfred Schutz
Persepsi-persepsi aktor, baik persepsi tentang pihak yang disalahkan,
persepsi tentang pihak yang membantu serta persepsi tentang pemerintah desa
dalam kasus sengketa lahan di eks Perkebunan Gondang Tapen merupakan salah
satu bentuk dari stock of knowledge para aktor. Para aktor bisa memberikan
pendapat tentang pihak yang disalahkan dalam kasus sengeketa ini karena mereka
mempunya stok pengetahuan dari pengalaman hidupnya, dengan siapa ia
berinteraksi dan dalam kondisi seperti apa pengetahuan tersebut dibentuk.
Menurut Alfred Schutz, aktor-aktor menggunakan stok pengetahuan ini
ketika mereka berhubungan dengan orang-orang lain di sekitarnya. Artinya,
pemahaman mereka tentang pihak yang disalahkan, pihak yang membantu serta
tentang pemerintah desa merupakan hasil dari penggunaan stok pengetahuan
mereka ketika berhubungan dengan para petani yang lain. Sehingga tidak heran
jika ditemukan berbedaan pendapat di antara aktor terkait pihak yang disalahkan.
Katiman, Sutarma dan Wahyudi mempersepsikan jika pihak yang salah
dalam kasus ini adalah Holcim. Hal ini dikarenakan mereka bertiga merupakan
aktor lama dari kepanitiaan awal, di mana para petani dalam kepanitiaan awal
memiliki keterbatasan pengetahuan. Sehingga yang mereka tahu satu-satunya
yang salah dalam kasus ini adalah Holcim, sementara status tanah milik negara
merupakan hak petani untuk menggarap. Tradisi pengetahuan inilah yang
277
disosialisasikan kepada Katiman, Sutarman dan Wahyudi, sehingga sampai saat
ini ia tetap mempersepsikan bahwa pihak yang salah hanya Holcim. Hal ini jelas
berbeda dengan persepsi Talminto, Kanib dan Tumiran. Pengetahuannya dibentuk
karena Talminto, Kanib dan Tumiran sering berhubungan dengan pihak-pihak
lain, termasuk pihak yang membantu. Sehingga pengetahuan tentang sengketa
lahan lebih kompleks.
Stok pengetahuan ini dipelajari dan diperoleh oleh aktor melalui proses
sosialisasi di dalam dunia sosial dan budaya tempat aktor hidup. Pengetahuan
tentang pihak-pihak yang disalahkan, pihak yang membantu serta tentang kepala
desa merupakan suatu hal yang mereka peroleh melalui proses sosialisasi. Dalam
kasus sengketa ini, maka proses sosialisasi yang dimaksud antara lain adalah, (1)
para petani memberikan pengetahuannya kepada petani yang lain (tak terkecuali
aktor) terkait sengketa lahan, sehingga pengetahuan petani dan aktor tentang pihak
yang disalahkan menjadi pengetahuan bersama. (2) Pengetahuan aktor tentang
pihak yang membantu merupakan hasil interaksi langsung dengan pihak yang
membantu, misalkan dalam proses penentuan arah gerakan, demonstrasi, maupun
persidangan. (3) Pengetahuan aktor tentang pemerintah desa merupakan hasil
hasil dari pengalaman hidup sehari-hari aktor, di mana pemerintah desa sama
sekali tidak mau ikut campur dalam masalah sengketa lahan tersebut.
Stok pengetahuan tersebut akhirnya tercipta dan tentunya melalui proses
tipifikasi. Yaitu pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk
memudahkan pengertian dan tindakan. Artinya pemahaman-pemahaman aktor
tentang pihak yang disalahkan, pihak yang membantu, serta pemerintah desa
membentuk pandangan, tingkah laku serta pemaknaan aktor. Tipifikasi-tipifikasi
278
yang dikonstruksi dari pengalaman langsung inilah yang dalam dunia keseharian
dapat membentuk realitas sosial.
H. Pengalaman Menyedihkan Aktor
Para aktor selalu mempunyai cerita-cerita pengalaman selama gerakan
perjuangan. Tak terkecuali adalah pengalaman menyedihkan. Pembahasan berikut
ini akan menceritakan pengalaman menyedihkan seperti apa yang dialami oleh
para aktor gerakan perjuangan tanah. Pembahasan dimulai dari Talminto sebagai
ketua PPGT yang mempunyai banyak pengalaman gerakan perjuanagn.
Selama perjuangan berlangsung, ada pengalaman yang paling
menyakitkan bagi Talminto. Kala itu pasca persidangan ke empat. Karena
bertepatan dengan Hari Raya Imlek, maka tiket seluruh perjalan kereta api telah
habis. Demi keinginan untuk pulang dari Jakarta ke Blitar, maka Talminto dan
beberapa petani lainnya tidur semalaman di Stasiun Senen demi menunggu
keesokan harinya. Pengalaman menyedihkan tersebut yang sampai saat ini selalu
diingatnya.
“Kalo ditanya tentang pengalaman yang menyakitkan itu pas mau pulang ke Blitar, tiket kereta habis semua karena pas hari Imlek. Trus aku sama temen-temen yang ahdir sidang itu tidur stasiun, nunggu sampek besok. Itu pas sidang ke empat”. (Wawancara tanggal 19 Oktober 2016).
Sementara itu, Katiman mempunyai jawaban tersendiri ketika ditanya
tentang pengalaman menyedihkan. Sejujurnya Katiman sudah jenuh dan capek
dalam berjuang. Ia sangat merasakan jika perjuangannya selama ini sangat
panjang. Akan tetapi belum mebuahkan hasil yang cukup berarti. Yang paling
dirasakan menyedihkan baginya adalah ketika ia tidak bisa menahan capek dan
lapar dalam perjalanan di kereta api. Sementara uang yang ia bawa sangat minim.
279
Ia pernah hanya membawa uang Rp. 20.000 dari Blitar ke Jakarta sampai dengan
pulang dari Jakarta ke Blitar. Alhasil, ia hanya bertahan dengan membeli sebotol
gelas air mineral yang dibelinya di kereta api. Hal itu karena tidak ada lagi uang
untuk dipegangnya. Semua uangnya hampir habis ketika itu, karena harus pulang
pergi Blitar-Jakarta selama hampir 2 bulan. Tapi bagaimana pun rasa capek
tersebut diperjuangkannya demi anak cucunya.
“Gimana ya mas, saya ini jujur kalo dibilang capek itu capek mas, sudah jenuh sebenarnya. Soalnya apa mas, hampir 20 tahun mas belum ada hasil. Yang membuat saya nelongso itu waktu sidang-sidang itu mas, pernah lo sangkek gak ada uang, saya itu ke Jakarta hanya bawa uang 20 ribu. Uange habis wes beli tiket-tiket kereta itu, pernah saya itu nggak makan di kerata itu cuma beli aqua, tapi yowes demi anak cucu mas kayak gini”. (Wawancara tanggal 3 November 2016).
Selanjutnya Tumiran juga mempunyai pengalaman menyedihkan selama
melakukan gerakan perjuangan. Pengalaman menyedihakan bagi Tumiran ketika
ia sedang menjadi saksi di persidangan PTUN Jakarta. Kala itu ia ditanya oleh
pengacara dari pihak Holcim Indonesia. Akan tetapi nada pertannyaanya sangat
tinggi. Setelah Tumiran menjawab, justru pihak pengacara Holcim semakin
membentak-bentak Tumiran. Saat itu pertanyaannya adalah, “Kamu tahu
Holcim?” Kemudian Tumiran menjawab, “Kalo Holcim tidak tahu, tapi kalo
nyemen pakek semen Holcim pernah”. Entah di mana letak salahnya, yang jelas
jawaban Tumiran tersebut membuat pihak Holcim melalui pengacaranya
membentak-bentak Tumiran. Suasana itu yang selalu diingatnya hingga sekarang
dan membuat ia sangat merasa iba.
“Kulo saksi kronologi tanah, ngoten kulo digetaki kaleh pengacarane Holcim. Nuesu kan pengacare niku, (“Saya saksi kronologi tanah, saya dibentaki sama pengacaranya Halcim. Marah kan pengacaranya itu”), Awalnya Tanya, “Kamu tahu Holcim?” saya jawab “Kalo Holcim tidak tahu, tapi kalo nyemen pakek semen Holcim pernah”, trus ngamuk, nggak
280
tahu batinku apa yang salah jawaban saya, langsung bentak-bentak. (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Selain itu Tumiran juga mempunyai pengalaman meyedihkan lainnya. Hal
ini berkaitan dengan kekompakan anggota pengurus paguyuban. Saat itu adalah
rapat persiapan ke Jakarta yang pertama kali. Kondisinya memang hujan. Anggota
paguyuban telah menyiapkan tempat di Balai Dusun Ringinsari. Semua anggota
PPGT diundang, tidak terkecuali. Akan tetapi banyak para petani anggota yang
tidak datang. Tumiran menganggapnya mereka kurang sadar. Ibarat hanya 3 jam
saja untuk mendengarkan, tetapi tidak banyak yang datang. Kebanyakan dari para
petani itu adalah njagakne (mengandalkan) dari anggota pengurus. Mereka diam,
tetapi juga tetap mengharapkan tanah. Itulah yang membuat Tumiran secara
pribadi merasa sangat kecewa. Ternyata di level internal masyarakat saja tidak
kompak. Namun akhirnya pada pertemuan kedua banyak petani yang datang.
Kedatangan petani itu pun juga penuh perjuangan. Memerlukan tenaga untuk
memanggili rumah per rumah agar petani mau datang secara keseluruhan. Berikut
pemaparan Tumiran, ia bercerita dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ngoten mawon masyarakat niku namung dijak ngumpul ngoten kathah sing mboten sadar kok mas, namung 3 jam paribasan, mek ngrungokne, lak ora gelem ngomong yo ngrungokne, alah neng yo piye. Seng pada umume niku kan podo njagakne, seng jelas namung niku. Hallah meneng ae engko prayo diwenehi. Iku terutama pas rapat gede mas, arep nek Jakarta kae, sing pertama kali. Neng seng ping pindo ketelu panitia ki ngerti lak kabeh petani ki jak-jakane angel, yo seng rapat kapindo ketelu ki panitia, pengurus ki maleh nyueluki saben omah kui”. (“Gitu saja masyarakat itu hanya diajak ngumpul gitu saja banyak yang tidak sadar kok mas, hanya 3 jam istilahnya, hanya mendengarkan, lah tapi ya gimana. Yang pada umunya itu kan hanya “njagakne”, yang jelas hanya itu. Hallah, diam saja nanti ya diberi. Itu terutama ketika rapat besar mas, mau ke Jakarta itu, yang pertama kali. Tetapi yang kedua ketiga itu panitia itu mengerti kalau semua petani itu sulit untuk diajak, trus rapat kedua ketiga itu panitia, pengurus itu jadi manggili setiap rumah”). (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
281
Pengalaman menyedihkan Sutarman selama perjuangan adalah ketika
pergi berdemo ke Jakarta. Ia sangat merasa sedih karena setelah jauh-jauh ke
Jakarta tidak bisa bertemu dengan pimpinan PT. Holcim Indonesia. Padahal,
menurutnya pihak Holcim harus bertanggungjawab atas persoalan ini. Akan tetapi
Holcim justru terkesan lepas tangan. Menurunya Holcim tidak menghargai para
petani yang jauh-jauh dari Blitar akan tetapi tidak mendapatkan jawaban.
“Ya kalo ditanya sedih itu sebenarnya ya nggak begitu sedih mas, soalnya temannya banyak. Tapi kalo ditanya yang paling sedih itu mungkin ini mas, kita kan jauh-jauh dari Blitar ya mas ke Jakarta, tapi ndilalah nyampek sana seng diparani ora muncul, malah kesane ki lepas tangan. Lah ngono iku lak kesane ora ngajeni blas to mas, adoh-adoh ko Blitar ora enek jawaban”. (Wawancara tanggal 5 Desember 2016). Sementara itu, Kanib menceritakan bahwa pengalaman menyedihkan yang
ia rasakan justru ketika kepanitiaan masih dipimpin oleh Pak Partu. Hal ini
disebabkan karena kepanitiaan Pak Partu tidak ada sosok aktor yang memiliki
kepintaran dan kecerdasan seperti Pak Talminto. Sehingga arah perjuangannya
selalu ditungganggi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seperti
pengacara dan LSM yang hanya memanfaatkan uang para petani. Sehingga para
petani termasuk dirinya merasa dipermainkan. Hal ini berdasarkan penuturan
Kanib berikut ini.
“Kalo sekarang itu nggak terasa mas perjuangannya walaupun toh udah ke mana-mana. Soalnya orang-orang yang di depan ini sama-sama ngerti, ketuanya juga pinter, cerdas, ngerti arahe gimana. Lak dulu mas, ora enek wong seng pinter jadi cuma dipermainkan sama pengacara, sama LSM itu mas, kalo keinget-inget itu mas yang bikin nelongso itu”. (Wawancara tanggal 7 Desember 2016).
Sementara itu Wahyudi justru merasa tidak mempunyai pengalaman yang
menyedihkan. Ia merasakan bahwa semua yang ia lakukan adalah biasa saja. Hal
282
tersebut karena semuanya talah menjadi tanggung jawabnya sebagai pengurus
paguyuban. Sehingga baginya, sedih dan senang sudah tidak ada bedanya karena
merupakan suatu tanggungjawab.
“Kalo aku biasa aja mas, karena apa, ini sudah tanggung jawab, tanggung jawab saya, apalagi saya kan jadi bendahara PPGT itu, ya wes gak ada bedanya lah sedih senang itu kalo berjuang”. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016). Pengalaman-pengalaman meyedihkan aktor yang telah dibahas di atas
merupakan bagian dari pengalaman kehidupan sehari-hari aktor. Sehingga oleh
Alfred Schutz disebut sebagai dunia intersubjektif. Pengalaman menyedihkan
aktor ini juga sangat merepresentasikan pendapat Alfres Schutz bahwa
kecemasan merupakan suatu elemen asasi yang berasal dari pengalaman sosial di
dalam dunia kerja yakni kehidupan sehari-hari. Maka dapat disimpulkan jika
pengelaman menyedihkan aktor merupakan elemen asasi yang diperoleh dari
kehidupan aktor sebagai aktor pejuang lahan garapan.
Tabel 4.15 Pengalaman Menyedihkan Aktor No. Nama Pengalaman Menyedihkan Aktor
1. Talminto Kehabisan tiket dan tidur di stasiun Pasar Senen 2. Katiman Lapar dan capek saat perjalanan. 3. Tumiran Dibentak-bentak saat persidangan. 4. Sutarman Jauh-jauh ke Jakarta tidak bisa bertemu Holcim. 5. Kanib Dipermainkan LSM 6. Wahyudi -
Sumber: Data Diolah
I. Variasi Dukungan Keluarga Aktor
Dukungan keluarga aktor terkait keterlibatan aktor dalam gerakan
perjuangan tanah dapat dikatakan bervariasi. Secara umum variasi tersebut
283
menunjukkan bahwa ada keluarga aktor yang mendukung, bersifat netral serta
tidak mendukung. Selain itu variasi dukungan juga menujukkan perbedaan
persepsi antara aktor dan keluarga aktor. Ada aktor yang mempersepsikan bahwa
keluarganya mendukung, akan tetapi setelah dikonfirmasi kepada keluarganya
ternyata tidak mendukung. Ada pula aktor yang mempersepsikan bahwa
keluarganya biasa saja, akan tetapi setelah dikonfirmasi kepada keluarganya
ternyata mendukung. Pembahasan di bawah ini akan menjelaskan dukungan
keluarga para aktor, khususnya isteri aktor terkait keterlibatan aktor dalam
gerakan perjuangan tanah.
Dukungan keluarga Talminto terkait keterlibatannya dalam gerakan
perjuangan tanah tidak begitu antusias. Apalagi isteri Talminto. Yang diharapkan
isterinya adalah terpenuhinya kebutuhan rumah tangga. Asalkan terpenuhi
kebutuhan rumah tangga, maka isteri Talminto sudah senang. Bagi Talminto,
sikap isterinya yang diam saja, artinya tidak mendukung maupun tidak menolak,
merupakan suatu dukungan bagi Talminto. Isteri Talminto tidak mengganggu atau
tidak melarang ia dalam gerakan perjuangan merupakan dukungan terbesar bagi
Talminto. Tetapi yang ia menjadi sedih adalah ketika keluarganya sedang sibuk
atau repot misalnya ada acara, dan tiba-tiba ada panggilan untuk Taminto ke
Jakarta, maka di saat kondisi seperti itu terkadang isterinya marah dan nggrundel.
“Kalo keluarga justru dukungannya nggak begitu, kalo keluarga itu, apalagi istri, kan Cuma kebutuhan rumah tangga yang diharapakan. La selama berjuang, uang dari mana. Jadi dukungan itu nggak ada, istilahe nggak begitu ngganggu lah, itu sudah merupakan dukungan bagi saya. Nggak ngganggu nggak melaramg itu aja sudah dukungan bagi saya. Kalo di rumah lagi ada kesibukan, lagi repot, ada panggilan ke Jakarta, ya kadang-kadang ya nggrundel”. (Wawancara tanggal 19 Oktober 2016).
284
Penjelasan Talminto di atas merupakan pengetahuannya ketika ia berelasi
dengan isterinya. Atau dalam bahasa Schutz disebut sebagai intersubjektif.
Intersubjektif antara Talminto dan isterinya melahirkan persepsi Talminto bahwa
isterinya bersikap biasa saja terkait keterlibatannya dalam gerakan perjuangan
lahan garapan. Hal ini disebabkan karena isteri Talminto secara lisan tidak pernah
memberikan dukungannya kepada Talminto. Ia juga bersifat biasa saja ketika
Talminto ikut dalam gerakan perjuangan lahan garapan. Akan tetapi setelah
dikonfirmasi langsung kepada isteri Talminto, maka terjadi perbedaan persepsi.
Menurut isteri Talminto sendiri, Komariah, ia sangat mendukung suaminya dalam
gerakan perjuangan lahan. Baginya, tanpa ada Talminto, petani Desa Ringinrejo
tidak ada yang berani dan berkompeten dalam gerakan perjuangan. Oleh
karenanya, ia sangat mendukung suaminya dalam gerakan perjuangan tersebut.
“Ya sangat mendukung mas. Kalo nggak ada Pak Talto ini kan siapa lagi yang berani mas, orang-orang sini itu orang utun mas, ngertine yo mek tani. Lak kon memperjuangkan sendiri gitu istilahe yo gak mampu mas, yo gak berani. Ya makane saya sangat mendukung”. (Wawancara tanggal 28 Maret 2017). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan persepsi antara
Talminto dan Komariah terkait dukungan dalam gerakan perjuangan. Di mana
Talminto merasa jika isterinya cenderung biasa saja dengan dirinya ketika ia
berjuang dalam gerakan. Akan tetapi setelah dikonfirmasi kepada Komariah
sendiri, Komariah menyatakan bahwa ia mendukung Talminto dalam gerakan
perjuangan tersebut. Hal ini menujukkan bahwa ada perbedaan pemahaman sikap
antara Talmito dan Komariah. Talminto menganggap bahwa isterinya biasa saja
karena isterinya tidak pernah secara langsung berkata mendukung kepada
Talminto. Sikap yang ditunjukkan Komariah kepada Talminto juga biasa saja.
285
Akan tetapi apa yang ada dalam pikiran Komarian ternyata berbeda. Ia justru
sangat mendukung perjuangan tersebut. Inilah yang dalam fenomenologi disebut
sebagai „fenomen‟, atau penampakan. Di mana apa yang terlihat belum tentu sama
dengan apa yang ada dalam pikiran seseorang.
Gambar 4.28 Komariah, Isteri Talminto dan Silvi, Anak Tetangganya
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sementara itu, keluarga Katiman sangat mendukung ia dalam gerakan
perjuangan tanah ini. Hal ini karena istri dan sebagian anak Katiman juga
menggarap lahan tersebut, sehingga keluarga sangat mengerti jika yang
diperjuangkan adalah mereka juga. Ketika ia berjuang dalam sidang PTUN, di
mana Katiman harus pulang pergi Blitar-Jakarta salama hampir 2 bulan, sama
sekali tidak ada suara yang aneh-aneh dari pihak keluarga. Semua keluarga
besarnya mendukung langkah Katiman. Hal ini karena keluarganya sangat sadar
dan mengetahui jika tanah yang diperjuangkan Katiman juga untuk menghidupi
keluarganya. Satu-satunya penghasilan Katiman beserta kedua anaknya yang
menjadi petani adalah dari lahan eks perkebunan Gondang Tapen.
“Sangat mendukung mas selama ini, lawong dari anak istri semua nggarap di situ mas, jadi istilahe tahu dan sangat mengerti apa yang diperjuangkan itu ya demi mereka juga. Yo nopo maleh lek keluarga kulo niki kan lak
286
kulo tinggal teng Jakarta, teng PTUN, kan mboten enten suoro seng aneh, niku mboten wonten. Mendukung sedoyo. Masalahe yo ileng-ileng iku mau lo mas, seng iso nguripi iku yo tanah niku mas”. (Ya apalagi kalo keluarga saya itu kan kalo saya tinggal pergi ke Jakarta, ke PTUN, itu tidak ada suara yang aneh, itu tidak ada. Mendukung semuanya. Masalahnya ya ingat-ingat itu lo mas, yang bisa hidupi itu ya tanah itu). (Wawancara tanggal 3 November 2016).
Pernyataan di atas juga didukung oleh isteri Katiman, Wiji. Wiji
menyatakan bahwa ia sangat mendukung Katiman dalam gerakan perjuangan
tersebut. Karena tanpa tanah diperjuangkan, maka sumber mata pencaharian
mereka akan terancam. Ia bahkan mengatakan bahwa dukungannya tidak hanya
sekadar dukungan moril, akan tetapi juga dukungan dalam bentuk moril. Ia rela
jatah belanjanya dikurangi demi untuk mendukung suaminya dalam mengikuti
persidangan. Kondisi ini terjadi karena Wiji dan Katiman memiliki pengetahuan,
perasaan dan pengalaman yang sama ketika mereka menjadi petani. Katiman dan
Wiji selalu bersama dalam menggarap lahan tersebut. Hal tersebut menujukkan
bahwa intersubjektif di antara mereka berdua melahirkan struktur pengetahuan
yang sama terhadap lahan garapan. Sehingga baik Katiman dan Wiji kompak
menyatakan bahwa keluarga selama ini sangat mendukung Katiman dalam
gerakan perjuangan demi lahan garapan yang selama ini menjadi sumber
kehidupannya.
“Ya sangat mendukung mas. Tanah itu kan mata pencaharian mas, jadi kalo gak diperjuangkan gimana. Saya enggak papa mas. Wong saya saja ikhlas mas, berapapun biayanya itu. Sempat kan dulu itu, pas sidang-sidang itu, uang belanja saya habis untuk ke Jakarta itu, ya makan apa yang ada, tapi ya nggak papa”. (Wawancara tanggal 28 Maret 2017).
Gambar 4.28 Wiji, Isteri Katiman. Sedang menjemur padi di pelataran rumah tetangganya, karena Katiman sendiri tidak memiliki pelataran.
287
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sementara itu, menurut Tumiran keluarganya sangat mendukung
perjuangan Tumiran dalam gerakan perjuangan ini. Hal tersebut dikarenakan
keluarganya sangat memahami bahwa apa yang diperjuangkan demi mereka juga.
Akan tetapi meskipun mendukung, tidak ada anggota keluarga yang ikut dalam
gerakan perjuangan tersebut.
“Nggeh ndukung, nggeh itungane niku kan demi anak bojo, dados nggeh ndukung. Tapi nggeh mboten enten seng tumut pas sidang nomo demo, nopo kumpul-kumpul”. (“Ya ndukung, kan semua itu juga untuk anak isteri, jadi ya ndukung. Tapi ya nggak ada yang ikut pas sidang, demo dan kumpul-kumpul”). (Wawancara tanggal 26 Oktober 2016).
Jawaban isteri Tumiran dalam kaitannya dukungan keluarga terhadap
gerakan perjuangan yang dilakukan oleh Tumiran nampaknya sedikit berbeda.
Bagi isteri Tumiran, ia tidak pernah menyuruh Tumiran dalam melakukan gerakan
tersebut. Akan tetapi, ia juga tidak melarangnya. Ia menyerahkan sepenuhnya
keputusan di tangan Tumiran. Karena sebagai isteri, ia hanya bisa bilang “enggeh”
dan “mboten”. Apapun keputusan Tumiran, Koirun hanya mengikuti saja.
“Lak kuloi yo mboten pernah nglarang mas, ngongkon opo maneh, marai kan opo jare bapak ki kulo manut mawon. Saksire pokok tujuane apik. Isone mek muni enggeh karo mboten”. (“Kalo saya tu nggak pernah nglarang mas, menyuruh apalagi, karena apa kata bapak saya hanya ikut
288
saja. Terserah bapak pokonya tujuannya baik. Bisanya saya cuma bilang iya dan tidak”. (Wawancara tanggal 27 Maret 2016).
Gambar 4.29 Koirun, Isteri Tumiran
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Berdasarkan pernyataan Tumiran dan Koirun tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan persepsi antara Tumiran dan Koirun. Tumiran
mempersepsikan bahwa keluarganya sangat mendukung ia dalam gerakan
perjuangan lahan garapan. Akan tetapi Koirun sebagai isteri cenderung
menyerahkan keputusan di tangan Tumiran. Hal ini menunjukkan bahwa relasi
antara Tumiran dan Koirun sebagai suami isteri berjalan tidak simetris. Di mana
Koirun sebagai isteri selalu menuruti apa kata suami dan cenderung bersifat pasif
dalam hal pengambilan keputusan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tumiran
sebagai aktor gerakan maupun sebagai kepala keluarga sangat mendeterministik
kehendak keluarganya.
Sementara itu menurut Sutarman, respon keluarganya biasa saja ketika
dirinya bergabung dalam gerakan perjuangan. Isteri dan kedua anaknya tidak
pernah melarang dan juga tidak memberi dukungan yang berarti. Menurut
Sutaraman, mungkin isterinya telah paham, bahwa bergabung dalam gerakan
289
memang harus dilakukan oleh Sutarman. Isterinya hanya berpesan kepada dirinya,
bahwa ia harus hati-hati dalam bertindak. Karena tanah merupakan persoalan yang
sangat berbahaya bagi masyarakat Jawa. Taruhannya adalah nyawa. Berikut
penuturan Sutarman.
“Ya kalo anak isteri itu biasa aja. Istilahe kalo nglarang saya pikir ya nggak pernah, kalo ndukung kok saya nggak merasa didukung. Ya mungkin dia paham lah, kalo ini memang harus saya lakukan. Jadi itu isteri saya itu hanya pesen, pesennya gini, “pokoke ati-ati, masalah lemah iku masalah seng ora gampang, ati-ati, taruhane nyowo”. (Wawancara tanggal 28 Oktober 2016).
Apa yang dikatakan Sutaraman tersebut memang benar adanya. Layaknya
isteri Tumiran, isteri Sutarman juga mengatakan hal yang sama. Ia tidak pernah
melarang maupun menyuruh Sutarman untuk bergabung dalam gerakan
perjuangan. Akan tetapi, jika memang Sutarman telah bergabung, maka isterinya
hanya bisa mendoakan dan sesekali menasehatinya agar lebih hati-hati dalam
berjuang. Karena ia sering melihat di televisi jika aktivis-aktivis perjuangan itu
rawan akan ancaman penjara. Berikut nasehat isteri Sutaraman kepada Sutarman.
“Ya pokok tetep hati-hati, ini kan masalah berat mas, masalah tanah itu kan nyawa taruhannya. Pokok teteplah hati-hati, soalnya kan sering itu mas, saya lihat di tv itu, di apa, di Mata Najwa itu kan penjuang tanah ada yang sampek dipenjara, ada yang diancam dibunuh, nah itu yang saya khawatir itu”. (Wawancara tanggal 27 Maret 2017).
Bersadarkan pernyataan Sutarman dan isterinya tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Sutarman dan isterinya memiliki persepsi yang sama terkiat
keterlibatan Sutarman dalam gerakan perjuangan lahan garapan. Hal ini
menunjukkan bahwa struktur pengetahuan antara Sutarman dan Yunarti sama.
Pengetahuan tersebut lahir dari intersubjektif antara Sutarman dan Yunarti. Di
mana Sutarman merasakan bahwa keluarganya bersikap biasa saja ketika ia
290
mengikuti gerakan perjuangan. Selain itu, faktor eksternal juga mempengaruhi
Yunarti ketika ia menentukan sikap terkait dukungan terhadap suaminya. Faktor
eksternal tersebut adalah pengaruh acara televisi yang Yunarti tonton, yaitu acara
Mata Najwa yang menampilkan aktor pejuang tanah garapan rawan akan ancaman
dan penjara. Stok pengetahuan yang Yunarti peroleh melalui acara tersebut
akhirnya melahirkan sikap biasa saja pada diri Yunarti terkait dukungannya
terhadap suaminya. Yunarti justru menasehati Sutarman agar ia lebih berhati-hati
ketika berjuang, karena contoh di televisi telah jelas adanya.
Gambar 4.30 Yunarti, Isteri Sutarman dan Ivan Anak Kedua Sutaraman.
Ditemui peneliti setelah pulang dari lahan garapan.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sementara itu keluarga Kanib sangat mendukung dirinya dalam gerakan
perjuangan tanah. Bahkan ia menegaskan dengan kata “sangat-sangat”
mendukung atas keikutsertaannya dalam gerakan perjuangan tersebut. Hal itu
dikarenakan bahwa isterinya juga merasakan hal yang sama. Setiap hari isterinya
ikut Kanib ke lahan, sehingga menurut Kanib isterinya sangat memahami bahwa
bergabung ke dalam gerakan perjuangan tanah tersebut sangat penting. Tentunya
isteri dan kedua anaknya juga sangat memahami bahwa perjuangan tersebut juga
291
demi kebutuhan keluarganya. Tanpa tanah tersebut tidaklah mungkin Kanib bisa
menghidupi keluarganya, bahkan bisa menyekolahkan kedua anaknya hingga ke
perguruan tinggi.
“Sangat mendukung. Kan ibuk itu tiap hari ikut ke tegal to mas, jadi ya pahamlah gimana rasanya kalo tanah sampek hilang. Anak-anak juga pahamlah perjuangan itu demi siapa juga, bisa kuliah. Jadi ya sangat mendukung. Saya pikir kalo saya bilang sangat itu, ya sangat-sangat”. (wawancara tanggal 10 Desember 2016). Apa yang dikatakan Kanib tersebut sangat dibenarkan oleh sang isteri.
Isteri Kanib bahkan menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh suaminya sangat
didukungnya. Hal itu karena suaminya berjuang juga demi isteri dan anak-
anaknya. akan tetapi ia sebagai isteri tidak berani ikut dalam gerakan tersebut.
Menurutnya, kaum perempuan tidak layak ikut gerakan semacam itu. Itu adalah
urusan bapak-bapak. Sebagai isterinya, tugasnya hanya mendukung para suami.
“Sangat mendukung mas. Soalnya apa, itu kan juga untuk saya, untuk anak-anak juga. Tapi saya ndak berani mas ikut gitu, biar bapak-bapak saja. Ya kalo saya, kalo isteri itu Cuma ndukung saja dari belakang, udah cukup”. (Wawancara tanggal 29 Maret 2017).
Pernyataan Kanib dan isterinya tersebut menunjukkan adanya struktur
pengetahuan yang sama. Hal ini dikarenakan intersubjektif Kanib dan Sarsih
terkait lahan garapan tidak dapat dipisahkan. Mereka berdua setiap hari pergi ke
lahan, hidup dari lahan, dan sangat mengetahui fungsi lahan yang mereka garap.
Bahkan mereka berdua telah merencanakan di awal pembukaan lahan dahulu jika
hasil dari lahan pertaniannya tersebut digunakan untuk menyekolahkan kedua
anaknya hingga sarjana. Komintmen itulah yang membuat antara Kanib dan
Sarsih pemikiran dan persepsi yang sama terkait dikungan dalam gerakan
perjuangan.
292
Gambar 4.31 Sarsih, Isteri Kanib. Sedang akan menjemur padi.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sementara menurut Wahyudi, kaluarganya juga mendukung keikutsertaan
dirinya dalam gerakan perjuangan tanah. Menurutnya, tanpa dukungan dari
keluarga maka akan sulit sekali jika harus mengeluarkan dana untuk peguyuban.
Untuk mengeluarkan dana guna kebutuhan paguyuban diperlukan diskusi terlebih
dahulu dengan anggota keluarganya, khususnya isteri Wahyudi. Selama ini isteri
Wahyudi selalu setuju jika ia harus mengeluarkan dana demi gerakan perjuangan
tanah. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wahyudi berikut ini.
“Ya ndukung mas, semua ndukung. Kalo enggak ndukung dananya gimana kita ini mau ngluarin dana kalo nggak bicara dulu sama keluarga, sama isteri. Ya selama ini isteri ya ndukung aja, meskipun to itu berupa dana”. (Wawancara tanggal 15 Desember 2016).
Pernyataan berbeda justru dilontarkan oleh isteri Wahyudi. Memang ia
dulunya mendukung keikutsertaan Wahyudi dalam gerakan, akan tetapi karena ia
menilai bahwa Wahyudi sekarang sudah tua, lebih baik Wahyudi di rumah saja
membantu dirinya. Urusan tanah itu biar saja diurus oleh yang masih muda. Saat
ini isterinya sering menghimbau Wahyudi agar menguragi aktivitasnya dalam
paguyuban.
293
“Kalo sekarang suruh di rumah saja mas, bantu saya. La gimana ya mas, udah bertahun-tahun lo nggak ada hasilnya. Gek Bapak ki udah sepuh sekarang. Wes aku pikir gak usah ikut seng nemen-nemen lah, biar diurusi yang muda-muda itu”. (Wawancara tanggal 29 Maret 2017).
Gambar 3.32 Supini, Isteri Wahyudi. Ditemui peneliti saat berada
di rumah tetangganya.
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Berdasarkan pernyataan Wahyudi dan Supini, maka dapat diketahui bahwa
apa yang dipersepsikan oleh Wahyudi terkait dukungan keluarganya sekarang
telah berubah. Pada awalnya, isteri Wahyudi, Sarsih mendukung ia dalam gerakan
perjuangan. akan tetapi karena Wahyudi saat ini telah berusia 70 tahun dan
fisiknya tidak sekuat dulu lagi, maka Supini tidak lagi mendukungnya. Supini
melarang ia ikut gerakan perjuangan dan menasehati agar ia membantu berjualan
Supini saja di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pengetahuan Wahyudi
dan Supini telah berbeda. Wahyudi memiliki persepsi jika keluarganya mendukug
ia dalam gerakan perjuangan. Akan tetapi isterinya sekarang melarangnya. Hal ini
dipengaruhi oleh intersubjektif Wahyudi dan Supini sekarang lebih kepada
kegiatan berjualan sembako. Meskipun Wahyudi saat ini berjualan, akan tetapi
antusiasnya masih tinggi, karena ia juga masih mempunyai lahan garapan. Akan
294
tetapi berbeda dengan Supini. Ia telah memutuskan untuk berjualan sembako.
Sehingga harapan Supini terhadap Wahyudi bukan lagi persioalan tanah, akan
tetapi bantuan dalam berjualan sembako.
Berdasarkan uraian di atas terkait dukungan keluarga aktor terhadap
keterlibatan aktor dalam gerakan perjuangan lahan garapan, maka dapat
disimpulkan bahwa dukungan keluarga terhadap keterlibatan aktor dalam gerakan
perjuangan terlihat bervariasi. Di mana ada aktor yang mengungkapkan bahwa
keluarganya sangat mendukung, akan tetepi setelah ditanyakan kepada keluarga
aktor, dalam hal ini adalah isteri aktor, maka jawabannya justru sebaliknya. Hal
ini seperti yang terjadi dalam keluarga Wahyudi. Variasi selanjutnya tampak di
mana aktor mengungkapkan jika keluarga terlihat biasa saja, akan tetepi
keluarganya sangat mendukung aksi aktor. Hal ini terlihat dalam keluarga
Talminto.
Sementara itu keluarga Kanib mengungkapkan kekompakannya. Kanib
menyampaikan jika keluarganya sangat mendukung aksinya dalam gerakan
perjuangan tersebut. Begitu juga isterinya, isteri Kanib sangat mendukung
keterlibatan Kanib dalam gerakan perjuangan lahan garapannya. Hal tersebut juga
terjadi dalam keluarga Katiman. Di mana Katiman dan isterinya kompak terkait
dukungan dalam gerakan perjuangan. Variasi lain muncul dalam keluarga
Tumiran dan Sutarman. Di mana Tumiran dan Sutarman mengungkapkan
keluarganya sangat mendukung keterlibatannya dalam gerakan tersebut. Akan
tertapi, isteri Tumiran dan Sutaraman hanya menanggapi biasa saja. Isteri
Tumiran dan Sutarman tidak melarang ataupun menyuruh. Sehingga bisa
disimpulkan lebih menyerahkan keputusan kepada suaminya.
295
Realitas dukungan keluarga aktor juga merupakan realitas kehidupan
sehari-hari yang dialami oleh aktor, sehingga hal ini menurut Alfred Schuzt
disebut sebagi life-world (intersubjektif). Para isteri aktor mengungkapkan
dukungannya terhadap suaminya berdasarkan pengetahuan dan realitas yang
mereka rasakan setiap hari. Hal tersebut misalnya seperti yang diungkapkan oleh
isteri Sutarman. Isteri Sutaraman tidak menyuruh maupun melarang Sutarman
melakukan gerakan tersebut. Ia hanya menasehati Sutarman agar lebih hati-hati
dalam melakukan gerakan perjuangan lahan garapan. Hal tersebut dikarenakan ia
mengetahui dari televisi bahwa aktor perjuangan tanah rawan akan dipenjara.
Dukungan keluarga aktor sangat dipengaruhi oleh realitas kehidupan
sehari-hari misalnya juga tampak dalam keluarga Kanib. Isteri Kanib sangat
mendukung Kanib karena memang lahan garapan tersebut satu-satunya sumber
kehidupannya. Tanpa adanya lahan tersebut, maka ia dan keluarganya tidak akan
bisa melanjutkan kehidupannya. Hal tersebut sangat bisa dirasakan oleh isteri
Kanib karena ia setiap hari ikut Kanib ke lahan. Sehingga ia merasa ikut memiliki
lahan tersebut. Atas dasar itulah ia sangat mendukung Kanib dalam gerakan
perjuangan lahan tersebut. Berikut ini akan ditampilkan variasi dukungan dari
keluarga (isteri) aktor terkait keterlibatan aktor dalam gerakan perjuangan lahan
garapan.
296
Tabel 4.16 Variasi Dukungan Keluarga (Isteri) Aktor
No. Nama Sikap Dukungan
Mendukung Tidak Mendukung Netral
1. Komariah (Isteri Talminto) √
2. Wiji (Isteri Katiman) √
3. Koirun (Isteri Tumiran) √
4. Yunarti (Isteri Sutarman) √
5. Sarsih (Isteri Kanib) √
6. Supini (Isteri Wahyudi) √
Sumber: Data Diolah
J. Harapan-harapan Aktor
Kasus sengketa lahan di eks Perkebunan Gondang Tapena sampai dengan
saat ini belum menemui titik temu. Usaha yang terakhir kali dilakukan oleh aktor
adalah dengan mengajukan surat permohonan kepada Dirjen Planologi,
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar permasalahan ini segera
diselesaikan dengan cara duduk bersama, baik dari pihak petani, PT. Holcim
Indonesia dan Perhutani. Hal tersebut merupakan hasil rekomendasi dari NCP
Swiss setelah jalur hukum gagal ditempuh oleh para aktor. Oleh karenya, saat ini
salah satu harapan aktor adalah menunggu panggilan dari Dirjen Planologi. Selain
itu, beberapa aktor juga memiliki harapan-harapan tersendiri terkait kasus
sengketa lahan eks Perkebunan Gondang Tapen yang saat ini belum menemui titik
temu. Berikut harapan-harapan para aktor terkait sengketa lahan eks Perkebunan
Gondang Tapen yang saat ini belum selesai.
297
1. Menunggu Mediasi dari Dirjen Planologi
Harapan aktor saat ini adalah menunggu panggilan dari Dirjena Planologi,
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menyelesaikan masalah
sengketa lahan eks Perkebunan Gondang Tapen. Panggilan tersebut guna
melakukan mediasi ketiga belah pihak untuk duduk bersama menyelesaikan kasus
yang saat ini belum selesai. Hal ini diungkapkan oleh Talminto bahwa saat ini ia
sangat berharap bahwa Dirjen Planologi yang telah ia surati melalui Elsam harus
segera memanggil ketiga belah pihak. Menurutnya, kasus ini tidak bisa
diselesaikan melalui jalur hukum. Karena jalur hukum selalu membincangkan
siapa yang benar dan salah, siapa yang berhak dan tidak. Sementara, secara
kronologis, tidak ada yang benar dalam kasus ini. Meskipun secara hukum
Holcim dibenarkan memiliki lahan tersebut, akan tetapi proses hukum tidak bisa
menjawab atas kesalahan Holcim di masa lalu di mana Holcim tidak pernah
menyosialisasikan tanah tersebut bahkan tidak melarang petani untuk menggarap.
Hal yang sama juga tidak dilakukan oleh Perhutani. Walaupun tanah
tersebut telah diserahkan oleh Holcim, Perhutani tidak pernah mensosialisasikan
bahwa tanah tersebut telah menjadi miliknya. Bahkan Mantri Perhutani menjuali
tanah kepada para petani. Oleh karena begitu rumit permasalahan ini, menurut
Talminto jalur hukum memang tidak cocok untuk menyelesasikan masalah ini.
Yang ia harapkan saat ini adalah bisa duduk bersama dan masalah yang terlanjur
terjadi saat ini bagaimana solusi penyelesaiannya dapat dirundingkan secara
musyawarah. Hal itulah yang belum dilakukan oleh Dirjen Planologi sebagai
pihak yang memiliki wewenang untuk melalukan musyawarah tersebut. Berikut
pernyataan Talminto.
298
“Sekarang kalo jalur hukum saja sudah nggak bisa. Jadi ya jalur lain. Itu sudah saya lakukan, dengan menyurati Planologi. Itu saran dari Swiss. Sekarang semua kan tahu, kalo masalahnya sangat runyam, tidak ada yang benarkan sebenarnya. Jadi ya menurut saya, apa yang telah terjadi ini kita rembugan sama-sama. Enake piye. Tapi sampek saat ini, Planologi juga belum ada jawaban, itu harapan saya satu-satunya sekarang ini mas, kita hanya bisa nunggu, ya sabar harus memang”. (Wawancara tanggal 22 Oktober 2016). Talminto menambahkan jika misalkan petani ingin menginginkan seluruh
lahan tersebut dimiliki petani, maka jelas tidak mungkin. Perhutani ataupun
Holcim juga berhak memakainya. Hal itu sangat disadari oleh Talminto. Akan
tetapi yang ia harapakan hanya luasan lahan yang akan diberikan kepada petani.
Sejauh ini yang diharapkan petani untuk dijadikan lahan garapan seluas 40 are per
penggarap. Luas 40 are tersebut dinilai akan mampu mencukupi kehidupan petani.
Luas tersebut apabila ditotal per penggarap maka lahan eks Pekebunan Gondang
Tapen masih tersisa banyak. Sisa itulah yang menurut petani biar saja apabila
dikelola negara.
“Kalo semua saya rasa memang nggak mungkin. Saya juga menyadari, Holcim memang punya hak untuk Perhutani. Tapi yang saya harapakan itu cuma, berapa luas lahan yang akan diberikan kepada petani, wes itu lo sebenarnya. Kan selama ini kita maunya 40 are per penggarap. Kalo 40 are cukup untuk hidup. Nah sisanya kalo negara mau pakek ya silahkan, kita juga paham negara juga butuh tanah itu ”. (Wawancara tanggal 22 Oktober 2016). Pernyataan Talminto di atas menunjukkan bahwa kondisi ia sekarang
berada dalam keadaan penuh harapan. Baginya hanya proses inilah yang ia
harapkan dapat menyelesaikan kasus sengketa lahan eks Perkebuanan Gondang
Tapen. Karena segala proses hukum dan demonstrasi yang telah dilakukan tidak
membuahkan hasil. Pengalamannya berjuang melalui berbagai jalan hingga ke
Swiss tentunya telah membuatnya sangat cerdas dalam berkehendak, sehingga
299
jalan satu-satunya yang ia tempuh saat ini, yaitu melalui mediasi di Dirjen
Planologi adalah berkat perjalan dan pengalamannya selama berjuang. Artinya,
harapkan panggilan dari Dirjen Planologi tersebut merupakan harapan yang benar-
benar ia kehendaki berdasarkan pengalaman gerakan sebelumnya yang
menuntunnya hingga pada tahap saat ini. Dengan kata lain, stok pengetahuan
Talminto sebagai aktor gerakan telah menuntun dirinya untuk berjuang hingga
tahap menunggu mediasi sekarang ini.
Harapan yang sama juga diungkapkan oleh Tumiran. Ia mengungkapkan
bahwa dirinya hanya bisa menunggu keputusan dari Dirjen Planologi. Ia
mengharapkan agar Dirjen Planologi benar-benar bersedia untuk memfasilitasi
untuk duduk bersama, antara Perhutani, PT. Holcim Indonesia dan Petani
Gondang Tapen.
“Ya saya hanya bisa nunggu mas ini, nunggu kabar. Saya cuma berharap Dirjen Planologi ini benar-benar mau ngundang untuk duduk bersama ini‟. (Wawancara tanggal 29 Oktober 2016). Pernyataan Tumiran tersebut menunjukkan bahwa pengetahuannya tentang
gerakan perjuangan saat ini sama dengan Talminto. Ia berharap jika Dirjen
Planologi segera memanggil para pihak yang berkonflik. Pengetahuan yang sama
dengan Talminto ini tidak terlepas dari intensitas interaksi (intersubjektif) antara
Talminto dan Tumiran. Interaksi tersebut saling terjadi sharing yang akhirnya
antara Talminto dan Tumiran memiliki struktur pengetahuan yang sama, sehingga
harapan untuk kasus sengketa saat ini adalah sama, yaitu menunggu panggilan
mediasi dari Dirjen Planologi, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh Sutarman. Ia juga
mengungkapkan hal yang sama, bahwa ia hanya bisa menunggu kabar dari Dirjen
300
Planologi. Karena hal tersebut merupakan jalan satu-satunya yang masih
mempunyai harapan untuk berhasil.
“Ya nunggu ini mas dari Planologi. Cuma itu satu-satunya sekarang ini harapannya”. (Wawancara tanggal 6 Desember 2016). Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa harapan Sutarman sama
dengan harapan Talminto dan Tumiran. Harapan ini lahir karena mereka
mempunyai pengetahuan yang sama terkait lahan garapan. Seperti yang telah
dibahas dalam paragraf sebelumnya, bahwa pengetahuan yang sama tersebut lahir
dari intersubjektif antara Sutarman, Talminto dan Tumiran yang ternaungi dalam
paguyuban. Di antara mereka saling terjadi sharing dan pada akhirnya membentuk
struktur pengetahuan di antara aktor. Pengetahuan tersebut yaitu tentang tahapan
gerakan perjuangan hingga saat ini yaitu tahap akan dilaksanakan mediasi,
sehingga mereka berharap akan adanya mediasi yang difasilitasi oleh Dirjen
Planologi, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
2. Kasus Segera Diselesaikan Secara Legal Sementara itu Katiman mengharapkan agar kasus ini segera selesai,
sehingga ia bisa menggarap tanahnya dengan tenang. Selesai yang dimaksud
adalah secara legal tanah tersebut segera menjadi hak miliki petani. Bahkan ia
mengungkapkan jika ada pihak yang mau membantu dari siapa pun dan dari mana
pun, Katiman sangat membutuhkan bantuan tersebut.
“Harapannya agar cepet selesai mas masalah ini, biar saya sama para petani ini tenang. Makanya mas, kami sebenarnya yo ingin mendapat bantuan dari manapun mas, kalo mas tahu, kita ini ibaratnya kalo sudah berjalan tapi tidak bisa menembus tolong kalo ada instansi mana yang bisa membantu, ya kami ingin bantuan yang kira-kira bisa membantu kesulitan kami mas”. (Wawancara tanggal 3 November 2016).
301
Harapan Katiman agar kasus sengketa lahan perkebunan tersebut cepat
selesai karena ia memang ingin segera menggarap lahan dengan tenang dan
dengan status tanah yang jelas. Harapan Katiman tersebut dipengaruhi oleh latar
belakang hidup Katiman yang sejak kecil telah menjadi petani. Sehingga
kebutuhan akan lahan garapan sangat penting. Ia bahkan tidak menunjuk pihak
mana yang harus bertindak untuk menyelesaikan kasus ini, karena ia lebih
berpikir lahan garapan, bukan bagaimana mekanisme penyelesaian seperti yang
diharapkan oleh Talminto, Sutarma dan Tumiran. Meskipun Katiman juga saling
berinterkasi dengan Talminto, Sutarman dan Tumiran dalam paguyuban, akan
tetapi stok pengetahuannya sebagai petani lebih mendeterministik dalam
menentukan harapan yang ia sampaikan. Hal ini bisa terjadi karena pengalaman
dan dunia sehari-hari Katiman sebagai petani sudah melekat dan menjadi
identitasnya.
3. Legowo dengan Kebijakan Pemerintah
Sementaara itu Kanib dengan bahasa normatifnya mengungkapkan bahwa
masayaralat harus legowo dengan segala kebijakan pemerintah. Perjuangan ini
menurutnya telah bagus. Tanpa perjuangan hingga saat ini mungkin tanah tersebut
sudah menjadi kawasan hutan. Sama halnya dengan Talminto, ia sering
mengatakan kepada para petani yang lain bawasannya kalau petani minta tanah
keseluruhan tidak akan pernah bisa. Kalau sebagian ada kemungkinan bisa.
Menurutnya hal tersebut tidak masalah. Karena ia mengerti dan sadar bahawa
tidak hanya petani saja yang mempunyai kepentingan dengan tanah itu. Negara
juga mempunyai kepantingan. Sehingga ia persilakan. Akan tetapi yang menjadi
harapannya adalah, kepastian berapa luasan yang akan diberikan kepada petani.
302
Jika dirasa kurang oleh petani, jelas petani akan menolaknya. Berikut penuturan
Kanib.
“Kalo menurut saya, segala kebijakan pemerintah, masyarakat itu harus legowo. Perjuangan ini sudah bagus. Tanpa perjuangan, tanpa gugatan paling yo sudah hilang tanah itu jadi hutan sekarang. Dan yang sering saya sampaikan ke teman-teman, yang pasti kalo keseluruhan pasti tidak akan pernah bisa. Kalo sebagian mungkin bisa. Kami ndak papa. Karena gini mas, nggak hanya petani saja yang punya kepentingan tanah itu, negara juga, ya kami persilahkan. Tapi, ya kami juga diberi, kami hanya minta segera diputuskan berapa yang akan diberikan kepada kita?”. (Wawancara tanggal 10 Desember 2016). Pernyataan Kanib tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki harapan agar
masyarakat tetap legowo dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan yang dimaksud
adalah bahwa segala keputusan pemerintah, apa pun keputusan tersebut
masyarakat harus legowo. Harapan Kanib yang demikian tersebut merupakan
pengaruh dari masa lalu atau pengalamannya dalam gerakan perjuangan tanah. Ia
telah mengalami berbagai permasalahan yang ada ketika mengikuti kepanitiaan
awal, di mana para ketua panitia sering diganti akibat kurang mendapatkan
kepercayaan masyarakat. Berangkat dari pengalaman itulah, kemudian stok
pengetahuannya menuntun dirinya untuk memiliki harapan agar masyarakat
legowo dengan segala keputusan pemerintah. Tidak seperti dalam kepanitiaan
awal di mana masyarakat sering membangkang, baik keputusan pemerintah
mauoun keputusan ketua panitia. Mengingat pengalaman itulah, kemudian ia
sekarang belajar untuk menerima secara legowo semua kebijakan dari pemerintah.
Tidak hanya berhenti pada dirinya, ia berharap agar masyarakat juga legowo
menerima segala kebijakan pemerintah.
303
4. Memperoleh Lahan Garapan Seluas 40 Are Per Penggarap
Harapan untuk memperoleh lahan garapan seluas 40 are per penggarapa
dilontarkan oleh Wahyudi. Ia mengatakan jika dirinya dan para petani lainnya
hanya mengharapkan tanah garapan seluas 40 are. Tanah seluas 40 are tersebut
dinilainya akan cukup menghidupi para petani, walaupun jika untuk menghidupi
keluarga akan sangat pas-pasan. Akan tetapi baginya, 40 are yang ia dan para
petani lainnya perjuangkan tersebut sudah melalui musayawarah PPGT. Luas 40
are yang ia perjuangan akan lebih baik, dari pada tidak sama sekali. Lagipula,
apabila para petani Gondang Tapen keseluruhan sejumlah 800 KK mengharapkan
per penggarap 40 are, maka lahan eks Perkebunan tersebut masih sisa separuhnya.
Sisa separuh itulah masyarakat menyadari bahwa negara juga masih
membutuhkan tanah tersebut. Akan tetapi, negara juga harus ingat, bahwa petani
juga harus diberi bagian atas tanah tersebut.
Petani hanya membutuhkan tanah, bukan yang lain. Bahkan menurut
Wahyudi, ia akan menolak dengan tegas apabila tanah yang ia perjuangan diganti
dengan yang lain, misalnya program CSR. Baginya, yang dibutuhkan para petani
adalah tanah, bukan CSR. Pernah di suatu saat ketika suruhan Holcim datang ke
rumah Pak Talminto menawarkan program CSR sebagai pengganti tanah.
Tawaran tersebut oleh masyarakat langsung ditolak. Dengan nada yang semakin
tinggi ia menceritakan hal ini kepada peneliti.
“Masyarakat nggak mau mas, hanya tanah itu. Pernah ditawari CSR sama suruhan Holcim itu datang ke rumah Talto, juga masyarakat nggak mau. Nggak usah CSR-CSRan, yang penting itu lahannya berapa yang diberikan ke kami. Kan untuk sementara ini yang diperjuangkan masyarakat itu kan 40 are per penggarap. Petani itu enak kok mas, nggak mintak semuanya. 40 are itu lo juga sebenarnya kalo untuk hidup bisa, tapi pas-pasan. Itu juga sudah dimusyawarahkan dalam paguyuban. Toh 40 are itu kalo di total sama petani sini 800, masih sisa tanah itu separo. Kan tanah itu
304
sekitar 800 hektar. Kalo per petani saja minta 40 are kalikan 800 petani kan Cuma sekitar 400 hektar, nggak ada malah, itu lo mas yang kita harapkan itu kok angel ra umum”. (Wawancara tanggal 17 Desember 2016). Pernyataan Wahyudi tersebut menunjukkan bahwa ia dan petani yang lain
memang telah bersepakat, jika lahan garapan yang menjadi permintaan para yaitu
seluas 40 are per penggarap. Harapan tersebut bukan merupakan jawaban spontan
ketika Wahyudi ditanya tentang harapan ke depan. Akan tetapi memang harapan
memperoleh tanah seluas 40 are tersebut telah menjadi kesepakatan dalam
paguyuban. Artinya, ia menggunakan stok pengetahuannya tentang permintaan
petani yang telah menjadi kesepakatan bersama sebagai harapan ke depan tentang
kasus sengketa lahan eks Perkbunan Gondang Tapen.
Tabel 4.17 Harapan-harapan Aktor
No Nama Harapan-harapan Aktor 1. Talminto Menunggu panggilan dari Dirjen Planologi. 2. Katiman Kasus segera diselesaiakan, agar status tanah secara
legal menjadi jelas. 3. Tumiran Menunggu panggilan dari Dirjen Planologi. 4. Sutarman Menunggu panggilan dari Dirjen Planologi. 5. Kanib Mengharapakan agar petani legowo dengan segala
keputusan pemerintah. 6. Wahyudi Mengharap garapan seluas 40 are per penggarap.
Sumber: Data Diolah
Berdasarkan uraian tentang harapan-harapan aktor terkait kasus sengketa
lahan eks Perkebunan Gondang Tapen yang saat ini belum selesai, maka dapat
disimpulkan bahwa harapan aktor bervariasi. Di antaranya aktor ingin segera
dipanggil oleh Dirjen Planologi terkait penyelesaian bersama antara Kementerian
Kehutanan, Petani dan PT. Holcim Indonesia. Penyelesaian tersebut merupakan
305
jalur yang saat ini telah diupayakan oleh petani dengan memberikan surat kepada
Dirjen Planologi atas saran dari NCP Swiss. Akan tetapi hingga saat ini panggilan
tersebut belum dilakukan oleh Dirjen Planologi.
Harapan aktor yang lain adalah ingin segera kasus ini selesai dan bisa
mengerjakan lahan dengan tenang. Selain itu aktor juga berharap jika apa pun
keputusan pemerintah, masyarakat harus legowo menerimnya. Serta, aktor
berharap jika lahan yang diberikan kepada petani seluas 40 are per penggarap.
Luasan tersebut merupakan hasil rundingan dalam Paguyuban Petani Gondang
Tapen (PPGT).