21

PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian
Page 2: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU PRESIDEN:

Tim Penyusun:Aisah Putri Budiatri

Firman NoorLili Romli

Policy Paper

KECENDERUNGAN KANDIDASI DAN KOALISI DALAM PEMILU PRESIDEN 2019

Pusat Penelitian Politik (P2Politik)Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI)Jakarta, 2018

Page 3: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Diterbitkan oleh:Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI)Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

Desain pra cetak: Prayogoiv + 16 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, Desember 2018

ISBN: 978-602-5991-09-7

Policy Paper

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU PRESIDEN:Kecenderungan Kandidasi dan Koalisi dalam Pemilu Presiden 2019

Tim Penyusun:Aisah Putri Budiatri, Firman Noor, Lili Romli

Page 4: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

A. Pendahuluan ........................................................................ 1 B. Evaluasi Kondisi Saat ini ................................................. 3

C. Analisis dan Solusi ............................................................. 6 D. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 8

DAFTAR ISI

Page 5: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian
Page 6: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

1

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU PRESIDEN

A. Pendahuluan

Pascareformasi bergulir pada tahun 1999, sistem pemilihan umum (pemilu) mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan

dengan era Orde Baru. Sebagai salah satu bentuk “purifikasi” dari sistem presidensial, amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan perubahan sistem pemilu presiden (pilpres) dari tidak langsung menjadi langsung. Dalam Pasal 6A UUD 1945 hasil amandemen mengatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden (wapres) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hal ini berbeda dengan sistem pemilu sebelumnya yang menjadikan wakil rakyat di Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) sebagai penentu siapa presiden dan wakil presiden yang akan memimpin negeri ini. Pilpres langsung mulai dijalankan pada tahun 2004, dan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali hingga hari ini. Tahun 2019 mendatang, pelaksanaan pemilihan presiden langsung akan dijalankan yang ke-empat kalinya.

Reformasi terkait dengan pelaksanaan sistem pilpres tak hanya itu saja (tidak langsung menjadi langsung) tetapi berlanjut dengan mekanisme penyelenggaraannya yang pada mulanya dijalankan berbeda waktu dengan pemilihan legislatif (pileg) menjadi bersamaan, atau dikenal dengan pemilu serentak. Pada Pilpres 2004, 2009 dan 2014, pemilihan presiden/wakil presiden dilaksanakan setelah pemilihan legislatif diselenggarakan dan diketahui hasilnya, sementara sejak Pilpres 2019 nanti, pilpres akan dilakukan di hari yang sama dengan pileg. Skema pemilu serentak ini diterapkan setelah dimenangkannya Judicial Review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 yang dimohonkan oleh Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2014. MK menerapkan pelaksanaan pemilu serentak setelah menilai adanya inkonsistensi UU Pemilu, terutama Pasal 12, 14 dan 112 yang menetapkan pilpres pascapileg, dengan UUD 1945 Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 2 yang menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diumumkan sebelum pemilu, dan pemilu didefinisikan sebagai pileg dan pilres yang dijalankan bersamaan.

Page 7: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

2

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sdie

n

Kombinasi antara sistem pemilihan presiden langsung dan skema pemilu serentak diasumsikan dapat membawa perubahan baik bagi desain pemilu dan kehidupan berpolitik secara lebih luas. Pemilihan langsung, yang menempatkan rakyat sebagai penentu keterpilihan capres dan cawapres dalam pemilu, dapat menjadi solusi atas proses pemilihan presiden dan wakil presiden yang cenderung elitis, tertutup dan transaksional dalam lingkaran internal partai politik (parpol). Sementara itu, dilaksanakannya pilpres sebagai bagian dalam skema pemilu serentak dapat menjadikan pemilu tak hanya lebih sederhana dan murah, tetapi juga dinilai dapat menciptakan koalisi yang tak pragmatis dan berbasis ideologi atau kesamaan cita-cita politik. Hal ini berlangsung dengan asumsi, koalisi dibangun berdasar pada keinginan mengusung kandidat terbaik, bukan tergantung pada peta kekuatan politik hasil pileg seperti pada pilpres sebelumnya.

Namun demikian, pada praktiknya, dampak positif atas pelaksanaan mekanisme pilpres secara langsung dan pilpres dalam kerangka pemilu serentak tak terwujud. Berkaca pada Pilpres langsung yang telah dijalankan sejak 2004, kandidat yang maju masih berkutat pada politisi-politisi elit, khususnya elit partai yang berkuasa. Beberapa tokoh elit yang merupakan calon presiden pada Pilpres langsung di antaranya adalah Megawati Soekarnoputri (elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/PDIP), Prabowo Subianto (elit Partai Gerakan Indonesia Raya/Gerindra), Wiranto (elit Partai Hati Nurani Rakyat/Hanura), Amien Rais (elit Partai Amanat Nasional), dan Susilo Bambang Yudhoyono (elit Partai Demokrat). Masih terjebaknya pilihan kandidat dalam pusaran elit ini ditengarai oleh tidak adanya aturan yang secara khusus menyoal mekanisme rekrutmen dan seleksi capres/cawapres di dalam UU Pemilu, dan proses itu diserahkan sepenuhnya kepada partai.

Harapan bahwa pemilu serentak dapat menciptakan koalisi pengusung kandidat pilpres menjadi lebih ideologis dan berbasis kesamaan tujuan juga tak tercapai. Hal ini dilatarbelakangi oleh penerapan ambang batas presiden atau presidential threshold yang problematis di dalam desain pemilu serentak. Penerapan ambang batas presiden yang berbasis pada hasil pileg sebelumnya kembali menjebak partai-partai politik dalam pusaran koalisi transaksional dalam mengusung kandidat presiden. Selain itu, ambang batas presiden ini juga mengandung persoalan lain seperti membatasi pencalonan bahkan berpotensi melahirkan calon tunggal dalam pemilu.

Page 8: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

3

Persoalan kandidasi yang elitis dan koalisi yang pragmatis nampak masih menjadi masalah pelik yang menghantui pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengancam kehidupan berpolitik yang sehat dan demokratis di Indonesia. Untuk mencegah hal ini terjadi, maka amandemen atas Undang-Undang Pemilu harus dilakukan. Revisi UU Pemilu direkomendasikan utamanya dilakukan pada tiga hal. Pertama, pasal yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden di dalam UU Pemilu (UU No. 7 Tahun 2017, Pasal 222) dihapuskan. Kedua, diatur pada sebuah pasal di dalam UU Pemilu agar proses rekrutmen dan seleksi calon presiden dan wapres oleh internal partai dan/atau gabungan partai wajib melalui mekanisme pemilihan pendahuluan dengan yang berprinsip pokok di antaranya inklusif, demokratis dan terbuka. Prinsip terkait inklusivitas, demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/gabungan partai lah yang kemudian menentukan teknis mekanisme tersebut. Ketiga, termaktub pada UU Pemilu, sebuah pasal yang menyatakan bahwa pembentukan koalisi harus berbasis kesamaan platform politik dan bersifat permanen. Kesepakatan koalisi ini juga diharuskan agar bersifat publik dan mengikat secara hukum.

B. Evaluasi Terhadap Kondisi Saat Ini

Pasal 6A UUD 1945 menjadi aturan kunci pada konstitusi yang mendasari sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Pasal ini menjadi landasan sistem pilpres dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sekaligus serentak bersamaan dengan pemilihan legislatif. Pilpres langsung yang telah terselenggara sejak 2004 didasari oleh Pasal 6A ayat 1 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Sementara, pemilihan serentak sesuai dengan Pasal 6A ayat 2 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Frasa pemilihan umum pada pasal tersebut merujuk pada Pasal 22E ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Berbeda dengan pemilihan langsung yang didasarkan pada perubahan UU teknis tentang pemilu pada tahun 2003 dan telah berlangsung pada beberapa pemilihan presiden, maka skema

Page 9: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

4

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sdie

n

pemilu serentak muncul akibat putusan Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 oleh MK pada 2014 dan baru akan dibelakukan pada Pemilu 2019. Meskipun berbeda sejarah pembentukannya, namun kedua aspek sistem pemilihan ini dinilai dapat membawa pengaruh yang baik terhadap desain pemilu pada khususnya dan kehidupan berpolitik pada umumnya. Secara sederhana, pemilihan langsung dapat menghindarkan dari kandidasi elitis, sementara pemilihan secara serentak mampu mencegah terbentuknya koalisi pragmatis.

Pemilihan presiden secara langsung diasumsikan dapat menghindarkan proses pemilihan presiden dan wakil presiden menjadi elitis karena ditentukan oleh segelintir elit atau pimpinan parpol saja. Hal ini dapat dihindari karena pilpres langsung meminimalisir peran partai dari menentukan keterpilihan calon pada pilpres tak langsung yang berlaku sebelumnya, menjadi hanya pengusung calon saja pada pilpres langsung. Sementara itu, rakyat, terutama pemilih pemilu, menjadi aktor penentu keterpilihan presiden dan wakil presiden di dalam pilpres langsung. Tidak hanya itu, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung juga dapat memaksa para partai untuk memikirkan kandidat terbaik yang berpotensi dipilih rakyat, dan tidak sekedar memilih kandidat sesuai kepentingan internal partainya saja.

Di sisi lain, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di dalam skema pemilu serentak dinilai mampu menghindarkan terbentuknya koalisi berbasis kepentingan pragmatis yang transaksional. Pada pemilu sebelumnya, pilpres sangat ditentukan oleh hasil pileg yang telah berlangsung beberapa bulan sebelumnya karena ada ketentuan ambang batas presiden yang menjadi angka minimal bagi partai atau gabungan partai untuk dapat mengusung kandidat. Dalam skema itu, partai berkoalisi secara transaksional agar memenuhi ketentuan minimum ambang batas dengan pertukaran jabatan/posisi di dalam pemerintahan setelah kandidat terpilih (sering disebut sebagai office seeking). Koalisi ini tidak didasarkan pada kesamaan platform atau cita-cita partai, apalagi ideologi. Akibatnya, koalisi bersifat pragmatis, rapuh dan jangka pendek. Pascapemilu, partai yang berkoalisi dapat berpindah haluan dan bahkan, dapat membuat kebijakan yang bertentangan dengan barisan koalisinya. Situasi ini tentu bertentangan dengan upaya untuk secara kelembagaan memperkuat sistem presidensial di Indonesia.

Dengan diberlakukannya pemilu serentak, perilaku pembentukan koalisi partai pengusung calon yang transaksional dapat dihindari. Hal ini karena pada pelaksanaan yang bersamaan

Page 10: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

5

antara pileg dan pilpres, maka hasil pileg bukan lagi menjadi dasar pengajuan capres dan cawapres oleh partai. Apalagi, dalam upaya menjadikan desain pemilu serentak yang memperkuat sistem presidensial, maka pemilu diharapkan dapat menghasilkan efek “ekor jas” (coattail effect), dimana ada linearitas pilihan eksekutif dan legislatif. Dengan logika efek “ekor jas” ini, maka partai akan mencari kandidat presiden terbaik yang memiliki daya pilih besar pada publik, sehingga nantinya akan berefek juga pada meningkatnya suara partai dalam pemilihan legislatif. Atas dasar itu, maka diasumsikan bahwa pemilu serentak akan mendorong partai atau gabungan partai mencari calon terbaik dalam pilpres sesuai kesamaan platform, dan mengurangi potensi terbentuknya koalisi yang hanya berbasis pada kepentingan pragmatis dan transaksional antarpartai untuk memenuhi ambang batas berbasis hasil pileg.

Namun, pada praktiknya, situasi ideal yang diharapkan dapat dihasilkan dari pemilihan presiden langsung dan skema pemilu serentak nampaknya masih tidak terpenuhi. Hal ini dikarenakan aturan teknis yang kemudian dibuat oleh para pembuat kebijakan tidak memperkuat sistem itu dan tidak menjadikannya sesuai dengan tujuan ideal tersebut. Sistem pemilihan langsung yang tidak diikuti oleh aturan ajeg tentang mekanisme rekrutmen dan seleksi kandidat presiden dan wakil presiden menjadi latar belakang mengapa pada akhirnya kandidasi dalam pilpres masih elitis. Sementara, penentuan ambang batas presiden yang dipaksakan berdasarkan pada hasil pileg sebelumnya di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga mengakhiri peluang lahirnya koalisi tak pragmatis sebagai hasil penerapan pemilu serentak.

Di dalam aturan teknis pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik dan/atau gabungan parpol diberikan wewenang penuh untuk menentukan kandidat presiden dan wakil presiden. Tidak ada aturan yang secara khusus menjadi payung bagaimana seharusnya partai melakukan proses rekrutmen dan seleksi calon, dan mekanisme itu diserahkan kepada internal partai. Pada akhirnya, penentuan capres dan cawapres oleh partai kembali menjadi forum antarelit partai yang terbatas dan tertutup. Pertimbangan dalam menentukan kandidat pun tidak terbuka dan cenderung pragmatis, bukan ditentukan secara murni pada kapasitas dan komitmen kandidat. Akibatnya, kandidat presiden dan wakil presiden pada pelaksanaan Pilpres 2004, 2009 dan 2014 didominasi oleh kalangan politisi elit dan pimpinan partai. Pada Pilpres 2004 beberapa nama kandidat yang muncul adalah: Wiranto (elit Partai Golkar saat itu), Megawati Soekarnoputri (pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan/

Page 11: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

6

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sdie

n

PDIP), Amien Rais (pimpinan Partai Amanat Nasional/PAN saat itu), Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (pimpinan Partai Demokrat) dan Hamzah Haz (pimpinan Partai Persatuan Pembangunan/PPP saat itu); pada Pilpres 2009, di antaranya: Megawati, Prabowo Subijanto (pimpinan Partai Gerindra), SBY, Jusuf Kalla/JK (pimpinan Partai Golkar saat itu) dan Wiranto; dan pada Pilpres 2014, termasuk: Prabowo, Hatta Rajasa (pimpinan PAN saat itu), dan JK. Kandidat pilpres yang masih berkutat dengan nama-nama elit ini tentu memiliki konsekuensi lain, yakni terbatasnya peluang kandidat non-elit yang berkapasitas untuk masuk dalam pencalonan.

Problem terkait pemilihan presiden selanjutnya adalah diterapkannya ambang batas presiden dalam skema pemilu serentak. Sesungguhnya, aturan ambang batas presiden bukan lah hal baru dalam mekanisme pilpres. Sejak Pilpres 2004 hingga Pilpres 2014, ambang batas telah diberlakukan mulai dari 3% dari kursi di DPR atau 5% perolehan suara sah nasional dalam pileg hingga paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pileg. Pada beberapa pilpres lalu sebelum menggunakan skema pemilu serentak, ambang batas presiden memang harus dan lazim diterapkan untuk menjamin agar pemerintahan terpilih nantinya didukung oleh parlemen. Dengan kata lain, ambang batas ini dibutuhkan untuk memperkuat presidensialisme.

C. Analisis dan Solusi

Pada skema pemilu serentak, ambang batas presiden sudah tidak lagi diperlukan dan jika digunakan dapat merusak sistem pemilihan, bahkan melemahkan sistem presidensial. Penerapan Presidential Threshold (PT) berdasar hasil pileg periode sebelumnya oleh UU Pemilu yang kemudian dipertegas penggunaannya oleh putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 untuk Pemilu Serentak 2019 tidak lah logis bagi upaya memperkuat sistem presidensial. Hal ini karena ambang batas presiden justru menjadikan pilpres kembali terjebak pada pola-pola transaksional seperti pada pilpres sebelumnya yang sesungguhnya dapat dihindari. Dengan diharuskannya partai pengusung kandidat pilpres memiliki minimal 20% jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional, maka partai dan gabungan partai kembali pragmatis dalam mengajukan calon. Demi memenuhi persyaratan minimal PT, maka partai berkoalisi. Partai dengan kursi parlemen yang lebih besar mampu mengajukan calon, sementara yang lebih kecil memberikan dukungan dengan pertukaran mahar

Page 12: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

7

politik atau posisi di kabinet saat kandidat menang. Koalisi tidak dibangun atas dasar kesamaan platform melainkan kepentingan pragmatis dan transaksional untuk kepentingan partai, terutama elitnya.

Ambang batas yang dikombinasikan juga dengan kewajiban bagi partai politik untuk mengajukan calon atau bergabung dengan koalisi pengusung calon, menjadikan koalisi semakin tidak ideologis dan pragmatis. Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 235, disebutkan bahwa “dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.” Pasal ini semakin mendorong partai menjadi pragmatis karena alasan bergabung dengan koalisi hanya sekedar untuk memenuhi aturan UU dan agar tidak mendapatkan sanksi, bukan karena kesamaan cita-cita politik. Koalisi dalam kondisi ini dibangun dengan pondasi rapuh hingga potensi pecahnya pun sangat besar.

Berangkat pada peta koalisi sebelumnya, tidak jarang koalisi berubah di tengah jalan pascapemilu dan saat periode pemerintahan sedang berjalan. Bahkan, saat proses pemilu masih berlangsung pun keretakan koalisi pun bisa saja muncul. Misalnya, menjelang Pemilu Serentak 2019, Partai Demokrat yang bergabung dengan koalisi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, atau disebut sebagai Koalisi Indonesia Adil Makmur, menunjukan perselisihan dengan koalisinya sendiri. Koalisi yang pragmatis memiliki risiko mudah terbelah dan tidak bersifat permanen. Hal ini kemudian menimbulkan masalah yang semakin pelik apabila pasangan capres-cawapres terpilih namun tidak mendapatkan dukungan penuh dari koalisinya sendiri. Pemerintahan kemudian menjadi tergantung dengan DPR dan menghasilkan politik saling sandera antara presiden dan parlemen. Kondisi ini tentu saja melemahkan sistem presidensial.

Tidak hanya mendorong terbentuknya koalisi pragmatis, ambang batas presiden ini juga berdampak buruk pada pilihan kandidat dalam pilpres. Presidential threshold akan membatasi munculnya pilihan calon presiden dan wakil presiden, bahkan bukan tidak mungkin muncul calon tunggal. Hal ini karena ambang batas memberikan peluang terbatas pada partai atau gabungan partai yang memiliki suara cukup besar di parlemen (20% kursi DPR) untuk mengusung kandidat. Padahal, karakter ambang batas yang mengacu pada hasil pileg sebelumnya pun problematis karena pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang

Page 13: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

8

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sdie

n

sedang berlangsung, bukan pada partai peserta pemilu sebelumnya atau anggota DPR sebelumnya. Karenanya, penerapan ambang batas ini dapat dinyatakan irrasional dan bertentangan dengan konstitusi, khususnya UUD 1945 Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 1 dan 2.1

Lebih jauh dari itu, karena terbatasnya pilihan capres-cawapres yang diakibatkan oleh ambang batas, maka berarti juga bahwa presidential threshold telah melanggar hak politik, termasuk hak dipilih dan memilih, rakyat yang dilindungi oleh konstitusi. Hal ini terjadi akibat hak rakyat, khususnya pemilih pemilu, untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif kandidat presiden dan wakil presiden menjadi dibatasi dan terbatas. Pembatasan calon alternatif ini tentu saja bermakna pembatasan saluran politik rakyat dan pada derajat tertentu dapat berakibat pada meningkatnya angka abstain atau golongan putih (golput) dalam pemilu. Selain itu, peluang rakyat untuk terpilih menjadi kandidat pun dibatasi karena tidak semua partai politik peserta pemilu memiliki hak mencalonkan pasangan capres-cawapres akibat terbentur persyaratan ambang batas presiden.

Berdasar pada analisis ini, kebijakan pemilihan presiden langsung dalam kerangka pemilu serentak masih problematis. Kandidasi elitis dan koalisi pragmatis yang sedianya dapat dihindari dengan sistem pemilu langsung dan pemilu serentak nyatanya kerap terjadi. Hal ini berakar pada absennya aturan mengenai mekanisme pemilihan pendahuluan yang menjamin pelaksanaan rekrutmen dan seleksi kandidat berlangsung secara demokratis, tidak elitis, inklusif dan terbuka. Diaturnya ambang batas presiden dalam UU Pemilu baru (UU 7/2017) juga menjadi akar persoalan lain yang menimbulkan masalah pada desain pemilihan presiden dan wakil presiden.

D. Rekomendasi Kebijakan

Merujuk pada risiko dan problem pada pelaksanaan sistem pilpres di Indonesia sejak 2004 hingga saat ini, maka langkah-langkah perbaikan sistem pemilihan presiden menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Ada tiga hal yang dapat menjadi solusi atas permasalahan sistem pilpres, di antaranya:

1 Bunyi UUD 1945 Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 2 telah dijelaskan sebelumnya. Sementara, bunyi UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 adalah: Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Page 14: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

9

1. Meniadakan ambang batas pencalonan presiden karena tidak relevan.

2. Melembagakan mekanisme pemilihan pendahuluan bagi bakal calon presiden dan wakil presiden yang berprinsip pokok di antaranya: inklusif, demokratis dan terbuka. Inklusif dalam artian melibatkan kader dan pengurus partai dalam memilih bakal calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung partai, serta tidak terbatas pada elit partai di tingkat kepengurusan pusat saja.

3. Melembagakan koalisi berbasis kesamaan platform politik dan bersifat permanen hingga periode lima tahun pemerintahan berakhir. Kesepakatan koalisi tersebut harus bersifat publik dan mengikat secara hukum.

Secara konkret, ketiga solusi diwujudkan melalui revisi UU

Pemilu yang saat ini berlaku, UU UU No. 7 Tahun 2017. Revisi UU ini perlu dilakukan agar praktik pemilihan presiden langsung dapat dihindarkan dari persoalan akut mengenai kandidasi elitis dan koalisi pragmatis. Langkah revisi UU Pemilu ini meliputi:

1. Pasal 222, UU No. 7 Tahun 2017 yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” ditiadakan.

2. Pasal 223, UU No. 7 Tahun 2017 ayat 1 yang berbunyi “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan” direvisi menjadi beberapa ayat yang berbunyi:

(i) “Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden ditentukan melalui mekanisme pemilihan pendahuluan yang dilaksanakan secara inklusif, demokratis dan terbuka.”

(ii) “Proses penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya wajib melibatkan seluruh kader dan pengurus partai pada berbagai tingkatan kepengurusan”

Page 15: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

10

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sdie

n

(iii) “Teknis penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya wajib ditentukan secara internal oleh partai atau gabungan partai”

3. Pasal 224, UU No. 7 Tahun 2017 tentang kesepakatan antar-Partai Politik dan antara partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon ditambahkan beberapa ayat yang berbunyi:“Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya harus didasarkan pada kesamaan platform dan bersifat permanen yang berlaku selama periode lima tahun pemerintahan berjalan” dan “Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya bersifat publik dan mengikat secara hukum.”

Page 16: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Pre

sid

en

11

DAFTAR PUSTAKA

Laporan penelitian Tim Sistem Pemilu, Kepartaian dan Parlemen, Pusat Penelitian Politik LIPI pada tahun 2018 berjudul “Partai Politik dan Pemilu Serentak 2019: Studi Kandidasi dan Koalisi.” Naskah belum diterbitkan.

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

“Desain pemilihan umum nasional serentak dalam perspektif hukum dan poliitik | 123dok document,” diakses 12 Oktober 2018, //document/dzx11vvy-desain-pemilihan-umum-nasional-serentak-dalam-perspektif-hukum-dan-poliitik.html.

UU NoMOR Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Page 17: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

12

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

SEJARAH ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN KEMANUSIAANLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (IPSK LIPI)

Berdasarkan Keputusan Presiden RI, No. 1 Tahun 1986, LIPI adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada

dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 178 Tahun 2000, LIPI ditetapkan sebagai salah satu dari sekian lembaga pemeritah no kementerian. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 43 Tahun 2011, menetapkan organisasi dan tata kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dalam menetapkan tata kerja LIPI, telah mempunyai landasan karena dapat merujuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengtahuan dan Teknologi. Kemudian mengalami reorganisasi LIPI pada tahun 1997 dan berakhir tahun 2001, menetapkan organisasi dan tata kerja lembaga.

Penetapan organisasi dan tata kerja yang dimaksud, tertuang pada Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001, tentang susunan organisasi sebagai berikut:

1. Kepala LIPI2. Wakil Kepala LIPI3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Inspektorat9. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

Berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001 pada pasal 237 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

Page 18: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

13

1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI)2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (PPK-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI)

Ditetapkan kembali organisasi dan tata kerja berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014, Pasal 5 tentang susunan organisasi sebagai berikut:

1. Kepala2. Wakil Kepala 3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Deputi Bidang Jasa Ilmiah9. Inspektorat10. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi11. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti

Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014 pada pasal 275 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI)

2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (P2K-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR-LIPI)

Dalam tugasnya IPSK-LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian.

Page 19: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

14

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

Deputi Bidang IPSK-LIPI, Periode 1965-Sekarang

1. Prof. Dr. K.P.H. Koentjaraningrat (1965-1978)2. Prof. Drs. Harsoyo (1978-1980)3. Dr. Mochtar Buchori (1980-1990)4. Dr. E.K.M. Masinambow (1990-1996)5. Drs. Arjuno Brojonegoro,MSc.(1996-2001)6. Prof. Dr.Dewi Fortuna Anwar, MA (1997-2010)7. Prof. Dr Ir. Aswatini (2010-2015)8. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A. (2016-Sekarang)

VISI DAN MISI

Visi Kedeputian Bidang IPSK merujuk kepada visi nasional dan juga visi LIPI. Visi pembangunan nasional sesuai dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 ialah menuju Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. RPJPN ini dibagi menjadi 4 tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu RPJMN I (2005-2009), RPJMN II (2010-2014), RPJMN III (2015-2019), RPJMN IV (2020-2024). Sementara itu, visi nasional dalam RPJMN III (2015-2019) berbunyi:

“memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Dalam upaya mencapai visi jangka panjang tersebut, dan sejalan dengan Visi Pembangunan 2015-2019, LIPI menetapkan Visi tahun 2015-2019, sebagai berikut:

Menjadi lembaga ilmu pengetahuan berkelas dunia dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perekonomian melalui pengelolaan SDA berkelanjutan dan mencerdaskan masyarakat.

Visi tersebut kemudian diadopsi ke dalam visi Kedeputian Bidang IPSK-LIPI sebagai berikut:

Page 20: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

15

Menjadi lembaga penelitian berkelas dunia dalam bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dan masyarakat global.

Untuk mencapai visi besar tersebut di atas, Kedeputian IPSK - LIPI menyusun tiga visi utama yaitu:

• Menghasilkantemuan-temuanpenelitianyangmenjadirujukanpengembangan ilmu sosial dan kemanusiaan.

• Menghasilkanpemikirandalambidangsosialdankemanusiaanyang berkontribusi dalam proses perumusan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat.

• MemperkuatperanIPSKsebagairujukandanjembatanaktivitasilmiah dalam bidang sosial dan kemanusiaan pada level nasional dan internasional.

TUPOKSI

Tugas pokok Kedeputian IPSK – LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Selanjutnya, fungsi Kedeputian IPSK – LIPI adalah sebagai berikut:

1. Perumusan kebijakan, pelaksanaan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

2. Pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

3. Pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan penelitian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Berdasarkan fungsi kedeputian bidang IPSK di atas maka setiap satuan kerja di lingkungan kedeputian bidang IPSK-LIPI mempunyai fungsi di bidangnya, sebagai berikut:

1. Mempersiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penelitian.2. Pelayanan jasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.3. Tata Usaha.

Page 21: PENYELENGGARAAN SISTEM...demokratis dan terbuka ini menjadi kunci untuk menjamin agar mekanisme rekrutmen dan seleksi tidak elitis, meskipun partai/ gabungan partai lah yang kemudian

16

Pro

fil S

ing

kat

P2Po

litik

LIP

I

PUSAT PENELITIAN POLITIK (P2 Politik) LIPI

Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI) adalah sebuah pusat penelitian di bawah Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK LIPI). P2 Politik memiliki tiga kelompok penelitian yang meliputi: kajian politik nasional, politik internasional, dan politik lokal.

P2 Politik secara aktif terlibat dalam kegiatan penelitian dan aktivitas ilmiah lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam menjalankan fungsinya, P2 Politik berkomitmen untuk senantiasa berkontribusi pada pembangunan politik nasional sebagaimana pengembangan pengetahuan tentang isu regional dan internasional.

Sebagai institusi pemerintah, kegiatan penelitian yang dilakukan oleh P2 Politik mencakup kajian ilmiah dan advokasi kebijakan serta juga mendorong pengembangan ilmu sosial terkait konsep dan teori baru dalam ilmu pengetahuan politik, politik perbandingan serta kajian politik kontemporer.

Alamat :Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta Selatan 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Email: [email protected] Twitter: @PolitikLIPI