Upload
rachmad-robby-nugraha
View
34
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di indonesia
Citation preview
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
A. Kewenangan Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam.
Secara yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun
1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3
Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan
bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islammengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini. Kata perkara tertentu merupakan hasil perubahan terhadap kata
perkara perdata tertentu sebagaimana disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989.
Penghapusan kata perdata disini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang
menjadi kompetensi pengadilan agama.1[1]
Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan
relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis
dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan
sama tingkatan lainnya.2[2]Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan
wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau
wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan
Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan
pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang
beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th.
1989.3[3]
1[1]Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2008), 343.
2[2]Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 25-27.
3[3]Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 87.
B. Pengertian Ekonomi Syariah dan Macam-macamnya
Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam,4[4] yaitu ekonomi
berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi
bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,
reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga
keuangan syariah dan bisnis syariah.5[5]
Ekonomi Syariah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia
dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.6[6]
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah
dalam UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989 tentang Peradilan
Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam
bidang ekonomi syariah yang meliputi:
1. Bank syariah
2. Lembaga keuangan mikro syariah
3. Asuransi syariah
4. Reasuransi syariah
5. Reksadana syariah
6. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah
7. Sekuritas syariah
8. Pembiayaan syariah
9. Pegadaian syariah
10. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
11. Bisnis syariah
4[4]http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariah-dan-perbankan-syariah/, 22-05-
2012, 21:10.
5[5]http://amirsyampa.blogspot.com/2012/01/makalah-peran-peradilan-agama-dalam.html, 01-06-2012, 12:27.
6[6]http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/203/192, 26-05-2012, 22:59.
Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syariah yang disebut
dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis.
Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan,
bahwa ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syariah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan
dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-
bentuk lain dari ekonomi syariah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika
merumuskan pengertian ekonomi syariah.
Subjek hukum pelaku ekonomi syariah menurut penjelasan pasal tersebut di atas antara
lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka
rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
sesuai ketentuan pasal ini.
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh nasabah
lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dan atau bank-bank konvensional yang
membuka sektor usaha syariah maka dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi
syariah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian
perselisihannya.7[7]
C. Terjadinya Sengketa Ekonomi Syariah
Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syariah yang
disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang
telah dibuat, yaitu disebabkan karena:
1. Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadiah
2. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam
akad mudlorobah
3. Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan
menurut syariat Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syariah, akad qirah dan
lain-lain
4. Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang
melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).
7[7]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), 18-19.
Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah dengan nasabahnya,
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah,
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana
akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sengketa ekonomi syariah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan
Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di
bidang ekonomi syariah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak
murni sebagai perkara kepailitan).8[8]
D. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
1. Perdamaian(Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah
melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu
dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Quran) dan
RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai
mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan
prinsip-prinsip syariat, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat
diselesaikan.
2. Arbitrase Syariah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain
dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan
pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak
yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.
8[8]Ibid, 41-43.
Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut
arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
3. Lembaga Peradilan Syariah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang
Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan
Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga
Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syariah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara
yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syariah selain dapat diselesaikan melalui
cara damai (sulhu) dan arbitrase syariah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga
peradilan (qadha).9[9]
E. Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Contoh sengketa Bank Syariah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syariah.
Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli) kepada dua bank
syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank Syariah tersebut
sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat
membayar, namun secara sepihak salah satu bank syariah tiba-tiba menaikkan harga jual
barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak
bank Syariah tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai
kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syariah tidak bersedia
membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syariah baru bisa dibawa ke
Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syariah memilih untuk
diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp
250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank
Syariah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), namun
hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga
peradilan agama.10[10]
9[9]Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2011), 243-264.
10[10]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, 42.
KESIMPULAN
Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan
diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.
Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian
syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah dengan nasabahnya,
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah,
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana
akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah
berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah:
1. Perdamaian(Sulhu)
2. Arbitrase Syariah (Tahkim)
3. Lembaga Peradilan Syariah (Qadha)
Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai
dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam undang-
undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank
islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan
dengan istilah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut
yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan,
belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank islam di
Indonesia.
Upaya terus menerus yang dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum
beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya
undang0undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia
sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara
optimal, konkrit dan seutuhnya.
Seperti diketahui, prinsip syariah[1] yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya
sebatas landasan ideologis saja, melinkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan
dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan
usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi
hbungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika
terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.
Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah
antara bank dengan nasabah. Kemungkinan kemungkinan sengketa biasanya berupa
complain karena ketidaksesuain antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan
aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft
akad, serta complain terhadap lambatnya proses kerja.
Adanya permasalahan permasalahan tadi sebenarnya bisa diatasi melalui penyelesaian
internal bank itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang biasanya ditempuh oleh para pihak
ketika terjadi sengketa adalah sebagai berikut :
a. Mengembalikan kepada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya, yang mana dalam
sebuah akad biasanya memuat klausula penyelesaian sengketa yang terdiri atas pilihan
hukum dan pilihan forum/lembaga penyelesaian sengketa.
b. Para pihak yakni bank dan nasabah kembali duduk bersama untuk mendudukan persoalan
dengan focus terhadap masalah yang dipersengkatan.
c. Mengedapankan musyawarah dan kekeluargaan
d. Pengadilan hendaknya dijadikan solusi terakhir jika memang diperlukan
Dalam kontrak yang dibuat antara pihak bank dengan nasabah terkait dengan
penyelesaian sengketa ini, hal pertama yang disebut adalah keinginan bersama untuk
melakukan musyawarah untuk mufakat apabila dikemudian hari terjadi sengketa dalam
pelaksanaan perjanjian atau kontrakyang telah disepakati bersama. Baru kemudian jika jalan
musyawarah mengalami kegagalan ada jalur lain yang diperjanjikan baik itu melalui lembaga
mediasi, lembaga arbitrase, atau menunjuk lembaga pengadilan.
Pada prisipnya mengenai cara untuk menyelesaikan sengketa diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak atau dengan kata lain menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana
yang telah dituangkan dalam ketentuan pasal 1338 Jo. Pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan demikian para pihak hendaknya secara tegas mencantumkan dalam perjanjian
yang dibuatnya mengenai penyelesaiansengketa ini. Akan lebih baik jika dalam hal
penyelesaian sengketa ini secara berurutan ditentukan paling tidak empat alternative yaitu
secara musyawarah mufakat dan apabila telah mengalami kegagalan maka dapat ditempuh
melalui upaya mediasi perbankan, arbitrase atau melalui lembaga peradilan.
Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai alternative penyelesaian
sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah mengalami perkembangan yang
signifikan baik dari segi peraturan hukum maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan
diundangkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang
Nomor 7 tahun 1999 tentang peradilan Agama. Poin inti dari amandemen undang undang
peradilan agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan agama berupa
kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang
ekonomi syariah.
Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan menjadi pedoman
bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang timbul menegaskan akan
lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai (tasaluh). Untuk itu para pihak yang
ada sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upya musyawarah untuk mufakat ketika
menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan
persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara
para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur
negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang
dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
The last resort dari suatu penyelesaian sengketa adalah melalui lembaga peradilan.
Selama ini muncul pertanyaan apakah pengadilan negeri atau pengadilan agama berkompeten
dalam penyelesaian sengketa di bidang muamalah islam. Dalam undang undang nomor 8
tahun 2004 tentang pengadilan umum hanya disebutkan bahwa pengadilan negeri
berwenangmenyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama, sedangkan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan Agama secara limitatif hanya
berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum islam, serta wakaf dan shadaqoh[2].
Dengan demikian kedua lingkungan peradilan tersebut tidak secara tegas memiliki
kewenangan dalam memutus sengketa dibidang ekonomi syariah. Keraguan yang muncul
tersebut akhirnya berakhir setelah diundangkannya undang-undang nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Salah
satu poin penting yang ada dalam amandemen undang undang dimaksud berupa perluasan
kewenangan pengadilan agama.
Peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama islam,
yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sekarang berdasarkan
Pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi
syariah. Berdasarkan penjelsasan pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah,
d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f.
sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pension lembaga
keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.
Penerapan prinsip syariah dalam dalam penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit
ketika harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan
ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk
dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini
persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai
masalah ekonomi syariah[3], tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan
sayariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya[4].
Dengan masuknya sengketa bidang perbankan syariah dalam kewenangan absolute
lingkungan peradilan agama didasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah
tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan terjadinya titik singgung atau persentuhan
kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam
penegakan hukum. Oleh karena itu maka, penulis mengangkat tulisan dengan judul
PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI
PENGADILAN AGAMA.
Dalam tulisan ini yang menjadi rumusan permasalahan adalah mengenai hukum acara
dan prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama dan
prosedur formal penyelesaian sengketa tersebut di pengadilan agama.
A. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,
hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk
mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara
tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara
tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume
tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya
perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu
antara lain yaitu :
1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai
pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan
kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan
sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara
perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting
untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan perkara
tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan
perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan
mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute
lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan
agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat
klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa
(disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara
melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan[5], berarti perjanjian tersebut jelas
mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah
menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan
agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut[6].
2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan
merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan
upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil,
hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad
yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam
KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat
maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production
sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan
lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh,
hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat[7].
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan
dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran,
As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan
hukum islam.
B. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada
umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam
menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena
perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam
menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika
terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan
dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan
bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan
KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di
lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk
menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak
banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-
bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan
bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar
perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan
persoalan baru.
Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam
hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa
No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran[8], namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih
kontroversial.
Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa
denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap
mengandung unsur riba yang secara qatI dilarang syara,, sementara hal mendasar yang
membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu
sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu
terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah[9].
Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut
berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan
prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya
Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
1. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah
pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal
18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan
diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka
hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan
ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses
pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan
perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu
disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak
tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan
acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing
mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan
dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap
berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan
kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam
perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan
mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut
untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.
2. Sumber-sumber HUkum Materiil dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah
dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang
ditemukan dalam perkara tersebut[10]. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara
umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi,
kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan[11]. Adapun bagi lingkungan
peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai
sumber utama, antara lain adalah :
a. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber
hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari
kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349
KUHPerdata.
b. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam
mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
1. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
3. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
4. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
5. PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
6. PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah
7. SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
8. SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
9. Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan usaha Perbankan Syariah.
c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara
perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak
tiga syarat yaitu :
1. Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang
lama (longa et invetarata consuetindo)
2. Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan
3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar[12]
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat
dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan
syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui
fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik
yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada
dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih
lebih terhadap pihak lain[13]. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di
pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya
mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
e. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara
perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat
pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum
tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
f. Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-
perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang
terdapat dalam kitab kitab fikih.
a. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,
hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk
mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara
tersebut.
Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut
dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang
perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara
perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain
yaitu :
1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar
jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di
luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut
sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau
perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat
penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan
perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum
mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya
dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang
absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya,
pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat
klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa
(disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara
melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas
mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan
sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh
adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa
pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan
merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan
upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil,
hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad
yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur
dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian
nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak
production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise,
kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang
timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.11[2]
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus
relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam
Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam
hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-
ketentuan hukum islam.
b. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam
menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada
umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam
menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena
perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam
menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah.
Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas
tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan
bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan
KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di
lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk
menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak
banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-
bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan
bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar
perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan
persoalan baru.
Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam
hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa
No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih
kontroversial.
Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa
denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap
mengandung unsur riba yang secara qatI dilarang syara,, sementara hal mendasar yang
membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu
sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu
terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah.12[3]
Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut
berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan
prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
c. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
1. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak
ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat
(2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan
hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan
diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan
peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim
melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan
perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut
akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang
secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan
proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian
replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan
acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing
mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan
dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap
berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan
kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam
perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan
mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut
untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.
2. Sumber-Sumber Hukum Materiil Dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan
menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang
ditemukan dalam perkara tersebut.13[4] Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara
umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi,
kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.14[5]
Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk
dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan
AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber
hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari
kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349
KUHPerdata.
b. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum
dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah
SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan usaha Perbankan Syariah.
c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili
perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai
paling tidak tiga syarat yaitu :
1. Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang
lama (longa et invetarata consuetindo)
2. Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan
3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.15[6]
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat
dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara
perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti
diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat
kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa.
Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri
lebih lebih terhadap pihak lain.16[7] Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di
pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya
mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
e. Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara
perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat
pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh
Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum
tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
f. Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili
perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam
yang terdapat dalam kitab kitab fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah,
khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam,
maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu,
penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa
dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50 Tahun
2009 tentang perubahan UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang
menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih
mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa.
Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap
terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat
dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para
pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta
litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam
menyelesaikan sengketa.
B. Saran
Penulis sadar bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
mungkin kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap kepada pembaca agar bersedia
memberi masukan dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
berikutnya