27
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah A. Kewenangan Peradilan Agama Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama. Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islammengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989. Penghapusan kata “perdata” disini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi pengadilan agama.1[1] Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.2[2]Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th. 1989.3[3] 1[1]Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), 343. 2[2]Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 25-27. 3[3]Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 87.

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di indonesia

Citation preview

  • Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

    A. Kewenangan Peradilan Agama

    Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

    kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang- orang yang beragama Islam.

    Secara yuridis formal, yurisdiksi Peradlian Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun

    1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat,

    hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No.3

    Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.

    Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan

    bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari

    keadilan yang beragama Islammengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam

    undang-undang ini. Kata perkara tertentu merupakan hasil perubahan terhadap kata

    perkara perdata tertentu sebagaimana disebutkan dalam UU No.7 Tahun 1989.

    Penghapusan kata perdata disini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang

    menjadi kompetensi pengadilan agama.1[1]

    Kewenangan atau kekuasaan Peradilan Agama menyangkut dua hal, yaitu kekuasaan

    relatif dan absolut. Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis

    dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan

    sama tingkatan lainnya.2[2]Dengan kata lain, kekuasaan relatif adalah kekuasaan dan

    wewenang yang bdiberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau

    wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam

    lingkungan Peradilan Agama. Misalnya anatar Pengadilan Agama Bandung dengan

    Pengadilan Agama Bogor. Sedangkan kekuasaan absolut adalah kekuasaan yang

    berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan

    pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

    perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang

    beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 7 Th.

    1989.3[3]

    1[1]Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana,

    2008), 343.

    2[2]Roihan A Rosyd, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 25-27.

    3[3]Abdullah Tri Whyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 87.

  • B. Pengertian Ekonomi Syariah dan Macam-macamnya

    Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam,4[4] yaitu ekonomi

    berdasarkan prinsip-prinsip Syariah.Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah

    perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi

    bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah,

    reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,

    sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga

    keuangan syariah dan bisnis syariah.5[5]

    Ekonomi Syariah berbeda dari ekonomi konvensional yang berkembang di dunia

    dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular terlepas dari agama.6[6]

    Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah

    dalam UU No.50 Th.2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Th. 1989 tentang Peradilan

    Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan

    menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam

    bidang ekonomi syariah yang meliputi:

    1. Bank syariah

    2. Lembaga keuangan mikro syariah

    3. Asuransi syariah

    4. Reasuransi syariah

    5. Reksadana syariah

    6. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah

    7. Sekuritas syariah

    8. Pembiayaan syariah

    9. Pegadaian syariah

    10. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan

    11. Bisnis syariah

    4[4]http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariah-dan-perbankan-syariah/, 22-05-

    2012, 21:10.

    5[5]http://amirsyampa.blogspot.com/2012/01/makalah-peran-peradilan-agama-dalam.html, 01-06-2012, 12:27.

    6[6]http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/203/192, 26-05-2012, 22:59.

  • Sehubungan dengan jenis dan macamnya mengenai ekonomi syariah yang disebut

    dalam Penjelasan Pasal 49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) di atas, hanya menyebutkan 11 jenis.

    Sebaiknya, harus dilihat terlebih dahulu mengenai rumusan awalnya yang menyebutkan,

    bahwa ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut

    prinsip syariah, kata antara lain yang menunjukkan bahwa 11 jenis yang disebutkan bukan

    dalam arti limitatif,tetapi hanya sebagai contoh. Di samping itu, mungkin saja ada bentuk-

    bentuk lain dari ekonomi syariah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika

    merumuskan pengertian ekonomi syariah.

    Subjek hukum pelaku ekonomi syariah menurut penjelasan pasal tersebut di atas antara

    lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah

    termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka

    rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama

    sesuai ketentuan pasal ini.

    Berdasarkan penjelasan Pasal 49 UU. No.3 Th. 2006 tersebut, maka seluruh nasabah

    lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dan atau bank-bank konvensional yang

    membuka sektor usaha syariah maka dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi

    syariah, baik dalam hal pelaksanaan akadnya maupun dalam hal penyelesaian

    perselisihannya.7[7]

    C. Terjadinya Sengketa Ekonomi Syariah

    Secara rinci, dapat dikemukakan mengenai bentuk-bentuk sengketa bank syariah yang

    disebabkan karena adanya pengingkaran atau pelanggaran terhadap perikatan (akad) yang

    telah dibuat, yaitu disebabkan karena:

    1. Kelalaian Bank untuk mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad wadiah

    2. Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan dalam

    akad mudlorobah

    3. Nasabah melakukan kegiatan usaha minuman keras dan usaha-usaha lain yang diharamkan

    menurut syariat Islam yang bersumber dari dana pinjaman bank syariah, akad qirah dan

    lain-lain

    4. Pengadilan agama berwenang menghukum kepada pihak nasabah atau pihak bank yang

    melakukan wanprestasi yang menyebabkan kerugian riil (real lose).

    7[7]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia (Bogor: Ghalia

    Indonesia, 2010), 18-19.

  • Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:

    a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan

    syariah dengan nasabahnya,

    b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan

    syariah,

    c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana

    akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah

    berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

    Sengketa ekonomi syariah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan

    Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di

    bidang ekonomi syariah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak

    murni sebagai perkara kepailitan).8[8]

    D. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

    1. Perdamaian(Sulhu)

    Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan, ialah

    melalui cara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu

    dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Quran) dan

    RosulNya (Al-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan.

    Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai

    mufakat di antara para pihak yang berselisih. Dengan musyawarah yang mengedepankan

    prinsip-prinsip syariat, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat

    diselesaikan.

    2. Arbitrase Syariah (Tahkim)

    Untuk menyelesaikan perkara/ perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain

    dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan

    pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak

    yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai.

    8[8]Ibid, 41-43.

  • Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut

    arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan

    pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

    3. Lembaga Peradilan Syariah (Qadha)

    Dengan disahkannya UU No. 3 Th. 2006 tentang perubahan UU No. 7 Th. 1989 tentang

    Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan

    Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga

    Peradilan Agama antara lain di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

    shadaqah, dan ekonomi syariah (pasal49). Dengan adanya kewenangan ini maka perkara

    yang timbul terkait dengan penyelesaian sengketa syariah selain dapat diselesaikan melalui

    cara damai (sulhu) dan arbitrase syariah (tahkim), juga dapat diselesaikan melalui lembaga

    peradilan (qadha).9[9]

    E. Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

    Contoh sengketa Bank Syariah misalnya adalah antara Pertamina dengan bank syariah.

    Pertamina mengajukan pembiayaan dalam akad murabahah (jual beli) kepada dua bank

    syariah untuk membiayai pengadaan 100 unit kendaraan. Kedua bank Syariah tersebut

    sepakat menyalurkan pembiayaan untuk 50 unit kendaraan. Suatu kali, pertamina terlambat

    membayar, namun secara sepihak salah satu bank syariah tiba-tiba menaikkan harga jual

    barang, sedangkan menurut fatwa DSN No.4/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Murabahah, pihak

    bank Syariah tersebut tidak boleh menaikkan harga barang selama masa pembiayaan sesuai

    kesepakatan. Sengketa ini tidak kunjung selesai karena pihak bank Syariah tidak bersedia

    membawa kasus ini ke Basyarnas, sedangkan sengketa bank Syariah baru bisa dibawa ke

    Basyarnas kalau kedua belah pihak menyetujui. Pihak bank Syariah memilih untuk

    diselesaikan melalui peradilan umum karena bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp

    250.000.000,00. Sementara, kuasa hukum Pertamina melaporkan kasus ini ke BI, bank

    Syariah yang bersangkutan, DSN-MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS), namun

    hasilnya tetap nihil, yang tepat dalam kasus ini adalah harus diselesaikan melalui lembaga

    peradilan agama.10[10]

    9[9]Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2011), 243-264.

    10[10]Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, 42.

  • KESIMPULAN

    Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara

    perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan

    diberlakukannya UU No.3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.

    Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

    dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro

    syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat

    berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian

    syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.

    Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:

    a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan

    syariah dengan nasabahnya,

    b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan

    syariah,

    c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana

    akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah

    berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

    Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah:

    1. Perdamaian(Sulhu)

    2. Arbitrase Syariah (Tahkim)

    3. Lembaga Peradilan Syariah (Qadha)

    Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai

    dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam undang-

    undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank

    islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan

    dengan istilah bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut

    yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan,

  • belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank islam di

    Indonesia.

    Upaya terus menerus yang dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum

    beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21

    Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya

    undang0undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia

    sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara

    optimal, konkrit dan seutuhnya.

    Seperti diketahui, prinsip syariah[1] yang menjadi landasan bank syariah bukan hanya

    sebatas landasan ideologis saja, melinkan juga sebagai landasan operasionalnya. Berkaitan

    dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya kegiatan

    usahanya atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah tetapi juga meliputi

    hbungan hukum yang tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika

    terjadi sengketa antara para pihak bank syariah dengan nasabahnya.

    Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah

    antara bank dengan nasabah. Kemungkinan kemungkinan sengketa biasanya berupa

    complain karena ketidaksesuain antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan

    aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft

    akad, serta complain terhadap lambatnya proses kerja.

    Adanya permasalahan permasalahan tadi sebenarnya bisa diatasi melalui penyelesaian

    internal bank itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang biasanya ditempuh oleh para pihak

    ketika terjadi sengketa adalah sebagai berikut :

    a. Mengembalikan kepada butir-butir akad yang telah ada sebelumnya, yang mana dalam

    sebuah akad biasanya memuat klausula penyelesaian sengketa yang terdiri atas pilihan

    hukum dan pilihan forum/lembaga penyelesaian sengketa.

  • b. Para pihak yakni bank dan nasabah kembali duduk bersama untuk mendudukan persoalan

    dengan focus terhadap masalah yang dipersengkatan.

    c. Mengedapankan musyawarah dan kekeluargaan

    d. Pengadilan hendaknya dijadikan solusi terakhir jika memang diperlukan

    Dalam kontrak yang dibuat antara pihak bank dengan nasabah terkait dengan

    penyelesaian sengketa ini, hal pertama yang disebut adalah keinginan bersama untuk

    melakukan musyawarah untuk mufakat apabila dikemudian hari terjadi sengketa dalam

    pelaksanaan perjanjian atau kontrakyang telah disepakati bersama. Baru kemudian jika jalan

    musyawarah mengalami kegagalan ada jalur lain yang diperjanjikan baik itu melalui lembaga

    mediasi, lembaga arbitrase, atau menunjuk lembaga pengadilan.

    Pada prisipnya mengenai cara untuk menyelesaikan sengketa diserahkan sepenuhnya

    kepada para pihak atau dengan kata lain menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana

    yang telah dituangkan dalam ketentuan pasal 1338 Jo. Pasal 1320 KUHPerdata.

    Dengan demikian para pihak hendaknya secara tegas mencantumkan dalam perjanjian

    yang dibuatnya mengenai penyelesaiansengketa ini. Akan lebih baik jika dalam hal

    penyelesaian sengketa ini secara berurutan ditentukan paling tidak empat alternative yaitu

    secara musyawarah mufakat dan apabila telah mengalami kegagalan maka dapat ditempuh

    melalui upaya mediasi perbankan, arbitrase atau melalui lembaga peradilan.

    Dalam konteks perbankan syariah, khususnya di Indonesia mengenai alternative penyelesaian

    sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak telah mengalami perkembangan yang

    signifikan baik dari segi peraturan hukum maupun kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan

    diundangkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan undang-undang

    Nomor 7 tahun 1999 tentang peradilan Agama. Poin inti dari amandemen undang undang

    peradilan agama ini adalah terletak pada penambahan kewenangan pengadilan agama berupa

  • kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang

    ekonomi syariah.

    Islam sebagai sebuah agama yang lebih mencintai perdamaian dan menjadi pedoman

    bagi peluknya-pemeluknya, dalam hal sengketa muamalah yang timbul menegaskan akan

    lebih utama jika diselesaikan melalui cara-cara damai (tasaluh). Untuk itu para pihak yang

    ada sebaiknya lebih mengedepankan menempuh upya musyawarah untuk mufakat ketika

    menghadapi sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan

    persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara

    para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk

    mufakat tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur

    negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang

    dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.

    The last resort dari suatu penyelesaian sengketa adalah melalui lembaga peradilan.

    Selama ini muncul pertanyaan apakah pengadilan negeri atau pengadilan agama berkompeten

    dalam penyelesaian sengketa di bidang muamalah islam. Dalam undang undang nomor 8

    tahun 2004 tentang pengadilan umum hanya disebutkan bahwa pengadilan negeri

    berwenangmenyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata ditingkat pertama, sedangkan

    Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan Agama secara limitatif hanya

    berwenang memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama

    antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah

    yang dilakukan berdasarkan hukum islam, serta wakaf dan shadaqoh[2].

    Dengan demikian kedua lingkungan peradilan tersebut tidak secara tegas memiliki

    kewenangan dalam memutus sengketa dibidang ekonomi syariah. Keraguan yang muncul

    tersebut akhirnya berakhir setelah diundangkannya undang-undang nomor 3 tahun 2006

    tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Salah

  • satu poin penting yang ada dalam amandemen undang undang dimaksud berupa perluasan

    kewenangan pengadilan agama.

    Peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan

    kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama islam,

    yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sekarang berdasarkan

    Pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi

    syariah. Berdasarkan penjelsasan pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang

    dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan

    menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah,

    d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f.

    sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pension lembaga

    keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.

    Penerapan prinsip syariah dalam dalam penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit

    ketika harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan

    ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk

    dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini

    persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai

    masalah ekonomi syariah[3], tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan

    sayariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

    kepadanya[4].

    Dengan masuknya sengketa bidang perbankan syariah dalam kewenangan absolute

    lingkungan peradilan agama didasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas

    UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21

    Tahun 2008 tentang perbankan syariah.

  • Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah

    tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan terjadinya titik singgung atau persentuhan

    kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam

    penegakan hukum. Oleh karena itu maka, penulis mengangkat tulisan dengan judul

    PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI

    PENGADILAN AGAMA.

    Dalam tulisan ini yang menjadi rumusan permasalahan adalah mengenai hukum acara

    dan prosedur penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama dan

    prosedur formal penyelesaian sengketa tersebut di pengadilan agama.

    A. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)

    Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,

    hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk

    mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara

    tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara

    tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume

    tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan.

    Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya

    perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu

    antara lain yaitu :

    1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula

    arbitrase

    Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian

    yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai

    pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan

  • kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan

    sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.

    Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara

    perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting

    untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan perkara

    tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan

    perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang

    mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan

    mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute

    lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan

    agama tidak berwenang.

    Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat

    klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa

    (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara

    melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan[5], berarti perjanjian tersebut jelas

    mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.

    Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa

    perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah

    menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan

    agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut[6].

    2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak

    Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan

    merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan

    upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil,

  • hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad

    yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.

    Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam

    KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat

    maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production

    sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan

    lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh,

    hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat[7].

    Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan

    dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran,

    As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal

    ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan

    ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan

    hukum islam.

    B. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah

    Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam

    menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada

    umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh

    bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam

    menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena

    perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam

    menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika

    terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan

    dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.

  • Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan

    bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan

    KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di

    lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk

    menegakkan dan melindungi hukum materil islam.

    Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak

    banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-

    bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan

    bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar

    perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan

    persoalan baru.

    Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam

    hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa

    No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda

    Pembayaran[8], namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih

    kontroversial.

    Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa

    denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap

    mengandung unsur riba yang secara qatI dilarang syara,, sementara hal mendasar yang

    membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu

    sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu

    terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah[9].

    Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut

    berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan

  • prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan

    khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya

    Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah

    1. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata

    Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah

    pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai

    maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal

    18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan

    ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan

    diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.

    Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan

    dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di

    lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka

    hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan

    ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses

    pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan

    perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di

    pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu

    disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak

    tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.

    Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan

    acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing

    mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan

    dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap

  • berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses

    pemeriksaan perkara di persidangan.

    Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan

    kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam

    perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam

    memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan

    mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut

    untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

    2. Sumber-sumber HUkum Materiil dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah

    Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah

    dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang

    ditemukan dalam perkara tersebut[10]. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara

    umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi,

    kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan[11]. Adapun bagi lingkungan

    peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam

    mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai

    sumber utama, antara lain adalah :

    a. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.

    Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber

    hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari

    kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para

  • pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349

    KUHPerdata.

    b. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah

    Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam

    mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :

    1. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

    2. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank

    Indonesia

    3. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

    4. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

    5. PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan

    kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah

    6. PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan

    Prinsip Syariah

    7. SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito

    8. SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro

    9. Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan

    kegiatan usaha Perbankan Syariah.

    c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah

    Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara

    perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak

    tiga syarat yaitu :

    1. Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang

    lama (longa et invetarata consuetindo)

    2. Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan

  • 3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar[12]

    Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat

    dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.

    d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah

    Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan

    syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui

    fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik

    yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada

    dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih

    lebih terhadap pihak lain[13]. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di

    pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya

    mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.

    e. Yurisprudensi

    Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara

    perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat

    pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh

    Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum

    tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.

    f. Doktrin

    Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-

    perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang

    terdapat dalam kitab kitab fikih.

    a. Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)

  • Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya,

    hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk

    mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara

    tersebut.

    Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut

    dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang

    perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan

    dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara

    perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain

    yaitu :

    1. Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula

    arbitrase

    Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa

    perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar

    jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di

    luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut

    sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.

    Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau

    perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat

    penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan

    perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum

    mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa

    perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya

    dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang

  • absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya,

    pengadilan agama tidak berwenang.

    Perkara yang mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat

    klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa

    (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara

    melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas

    mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.

    Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan

    sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh

    adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa

    pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

    2. Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak

    Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan

    merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan

    upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil,

    hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad

    yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.

    Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur

    dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian

    nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak

    production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise,

    kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang

    timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.11[2]

  • Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus

    relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam

    Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam

    hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan

    dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-

    ketentuan hukum islam.

    b. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah

    Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam

    menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada

    umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh

    bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam

    menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena

    perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam

    menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah.

    Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas

    tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.

    Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan

    bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan

    KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di

    lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk

    menegakkan dan melindungi hukum materil islam.

    Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak

    banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-

    bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan

  • bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar

    perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan

    persoalan baru.

    Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam

    hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa

    No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda

    Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih

    kontroversial.

    Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa

    denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap

    mengandung unsur riba yang secara qatI dilarang syara,, sementara hal mendasar yang

    membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu

    sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu

    terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah.12[3]

    Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut

    berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan

    prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan

    khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

    c. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah

    1. Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata

    Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak

    ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka

    sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat

  • (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan

    hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan

    diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.

    Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan

    sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan

    peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim

    melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan

    hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan

    perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut

    akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang

    secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan

    proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian

    replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.

    Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan

    acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing

    mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan

    dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap

    berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses

    pemeriksaan perkara di persidangan.

    Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan

    kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam

    perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam

    memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan

    mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut

    untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

  • 2. Sumber-Sumber Hukum Materiil Dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah

    Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan

    menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang

    ditemukan dalam perkara tersebut.13[4] Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara

    umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi,

    kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.14[5]

    Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk

    dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan

    AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :

    a. Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.

    Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber

    hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari

    kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para

    pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349

    KUHPerdata.

    b. Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah

    Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum

    dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :

    UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

    UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank

    Indonesia

    UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

  • UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

    PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan

    kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah

    PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan

    Prinsip Syariah

    SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito

    SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro

    Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan

    kegiatan usaha Perbankan Syariah.

    c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah

    Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili

    perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai

    paling tidak tiga syarat yaitu :

    1. Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang

    lama (longa et invetarata consuetindo)

    2. Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan

    3. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.15[6]

    Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat

    dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.

    d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah

    Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara

    perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti

    diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat

  • kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa.

    Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri

    lebih lebih terhadap pihak lain.16[7] Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di

    pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya

    mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.

    e. Yurisprudensi

    Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara

    perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat

    pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh

    Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum

    tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.

    f. Doktrin

    Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili

    perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam

    yang terdapat dalam kitab kitab fikih.

  • BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah,

    khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam,

    maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu,

    penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa

    dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50 Tahun

    2009 tentang perubahan UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang

    menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan

    menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.

    Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih

    mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa.

    Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat tetap

    terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta dapat lebih hemat

    dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para

    pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta

    litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam

    menyelesaikan sengketa.

    B. Saran

    Penulis sadar bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan

    mungkin kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap kepada pembaca agar bersedia

    memberi masukan dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah

    berikutnya