Upload
doankiet
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN
KOTA SURAKARTA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Andi Muttaqin
NIM : E.0004082
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN
KOTA SURAKARTA
Disusun oleh : ANDI MUTTAQIN
NIM : E.0004082
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
LEGO KARJOKO, S.H., M.H. NIP. 131 792 948
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN,
KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA
Disusun oleh :
ANDI MUTTAQIN NIM : E.0004082
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada : Hari : Kamis Tanggal : 17 April 2008
TIM PENGUJI
1. Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. : …………………………………… Ketua 2. Wasis Sugandha, S.H., M.H. : ……………………………………
Sekretaris 3. Lego Karjoko, S.H., M.H. : …………………………………… Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
iv
MOTTO
“Kesulitan akan terasa mudah dengan senyuman orang yang percaya diri.”
“Pahamilah sebuah kejujuran, dan gunakanlah kejujuran dalam setiap
langkah hidup-Mu, karena sesungguhnya kejujuran merupakan sesuatu hal yang akan membawa hati dan pikiran-Mu merasa tenang”
“Optimislah, walau engkau berada di pusaran angin”
“Di setiap relung kahidupan ada kegelapan, tiada pilihan kecuali menyalakan
lentera dalam jiwamu”
“Jadilah seperti seekor angsa, terlihat tenang dipermukaan, namun sebenarnya kakinya bergerak bak kesetanan mendayung di bawah
permukaan”
“Sayangilah yang kau dapat walau tak seindah yang kau inginkan”
“Sesungguhnya kita tidak dapat menyenangkan orang dengan harta tetapi senangkanlah mereka dengan senyuman dan budi bahasa”
“Jangan merasa kecewa bila orang tidak menyayangi kita, tetapi hendaklah
kita takut jika tidak mempunyai harga diri”
“Lebih baik hidup dalam keterasingan, daripada harus hidup dalam kebohongan dan topeng kemunafikan”
“Lupakan jasa baikmu terhadap orang lain, tapi jangan kamu lupakan jasa
baik orang lain terhadap dirimu”
“Tindakan paling berani yang bisa kamu lakukan saat kamu sedang merasa ketakutan adalah berpura-pura berani dan bertindak sewajarnya”
“Kalau ada yang ingin kamu gapai dalam hidup ini, kamu harus mengejarnya.
Tak ada seorang pun yang bisa menghentikanmu kecuali dirimu sendiri”
v
PERSEMBAHAN
Hasil penulisan ini penulis persembahkan kepada : Dzat yang Maha Besar, AAllllaahh SSWWTT, tempat kumempercayakan segalanya Subhaanallaah Wal Hamdulillaah Wa Laa Ilaa Ha Illallaah Wallahu
Akbar
Pemimpin dunia akhiratku, RRaassuulluullllaahh SSAAWW, yang telah menunjukkan jalan terang yang sebenarnya
Asyhadu An Laa Ilaaha Illaallaah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullaah
Ayahanda Suwarno dan Ibunda Supartini yang selalu mencurahkan kasih
sayang dan cintanya serta mendidik penulis untuk selalu tetap di jalan yang benar
Adikku tersayang, Sari Rachmawati, yang selalu menjadi orang terdekat
penulis baik senang, bahagia, sedih maupun duka
Untuk temen-temen semua, yang telah berbagi kebahagiaan dengan penulis, mengajarkan makna hidup kepada penulis, membagi tawa-canda
serta senyum kepada penulis
Semua sahabatku, kalian merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya, yang selalu ihklas berbagi suka dan duka, thanks for all
Segenap CCiivviittaass AAkkaaddeemmiikkaa FFHH UUNNSS Tercinta
Viva Justisia
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, dzat yang
maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kesempatan kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan penulisan hukum ini, dengan judul ”Penyelesaian
Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta”.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan hukum ini,
alhamdulilah dapat terrselesaikan berkat dukungan dan kerjasama dari banyak pihak.
Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih penulis
lewat rangkaian kata-kata ini kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Zeni Luthfiyah, S.Ag., M.Ag., selaku pembimbing akademik penulis selama
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing penulis yang penuh
kesabaran membimbing penulis sehingga terwujudnya penulisan hukum ini.
4. Bapak Ir. Suyono, S.H., selaku Kepala Kantor di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta, yang memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
5. Bapak Radiyanto, S.H., selaku Sub Seksi Sengketa dan Konflik Pertanahan di
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yang dengan penuh kesabaran mengarahkan
dan membantu penulis selama melakukan penelitian di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
6. Bapak Ari Machkota, S.H., M.Hum., Bapak Kuntadi, S.H., Bapak Moko, S.H.,
dan Ibu Ir. Sri Kursini Maruti, selaku Pegawai di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta yang membantu penulis selama melakukan penelitian di Kantor
Pertanahan Kota Surakarta.
7. Ayahanda Suwarno, Ibunda Supartini, serta adikku Sari Rachmawati, terima
kasih atas dukungan moril maupun materiil, baik cinta maupun kasih sayang
vii
kepada penulis, yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan hukum ini.
8. Teman-teman di Fakultas Hukum, yang selalu memberikan beraneka warna
kehidupan pada penulis.
9. Seluruh dosen dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang selalu mempermudahkan penulis dalam menimba ilmu baik di
kelas maupun di luar kelas di Fakultas Hukum.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu menyelesaikan penulisan hukum ini.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan hukum ini, isi substansi masih jauh dari
sempurna. Hal ini karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan saran yang menunjang kesempurnaan penulisan hukum
ini. Doa penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, agar
penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
bagi pihak yang membutuhkan, dengan rendah hati penulis ucapkan terima kasih.
Surakarta, April 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
ABSTRAK ........................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 4
E. Metode Penelitian ........................................................................... 4
F. Sistematika Penulisan Hukum ........................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 11
A. Kerangka Teori ............................................................................... 11
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pertanahan ....................... 11
a. Pengertian Sengketa ........................................................... 11
b. Sengketa Pertanahan .......................................................... 13
c. Penyelesaian Sengketa Pertanahan .................................... 14
2. Tinjauan Umum Tentang Mediasi ............................................ 18
a. Pengertian Mediasi ............................................................ 18
b. Keunggulan dan Tujuan Mediasi ....................................... 19
c. Tipe-tipe dan Fungsi Mediator .......................................... 20
d. Tahap-tahap Mediasi ......................................................... 22
ix
3. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-Undangan
Mengenai Pemberian Hak Milik dan Pendaftarannya ............. 24
a. Peraturan Perundang-undangan Mengenai
Pemberian Hak Milik ......................................................... 24
b. Peraturan Perundang-undangan Mengenai
Pelaksanaan Pendaftaran Tanah ........................................ 32
4. Tinjauan Umum Tentang Kantor Pertanahan ........................... 37
a. Pengertian Kantor Pertanahan ........................................... 37
b. Fungsi Kantor Pertanahan dan Sebelas Agenda
Pertanahan Nasional .......................................................... 37
c. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota ................................................................. 40
B. Kerangka Pemikiran........................................................................ 48
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................... 50
A. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh
Kantor Pertanahan Kota Surakarta ................................................. 51
B. Hasil Penyelesaian Sengketa Pertanahan Oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta Sebagai Dasar Pemberian Hak
Milik Kepada Okupusan Tanah di Kragilan, Kadipiro .................. 70
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 81
A. Simpulan ...................................................................................... 81
B. Saran ............................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ................. 47
Gambar 2. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 48
Gambar 3. Alur Pemikiran .................................................................................. 50
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran II Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Lampiran III Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor :
570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat Penanganan
Sengketa Pertanahan Kantor
Lampiran IV Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun
1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah
Lampiran V Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 500 / 01 /
2006 tentang Penetapan Lokas Dan Penunjukan Peserta Kegiatan
Tata Laksana Pertanahan (P3HT) Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Tahun Anggaran 2006 (contoh)
Lampiran VI Berita Acara Mediasi (contoh)
Lampiran VII Surat Pemberian Kuasa (contoh)
Lampiran VIII Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah (contoh)
Lampiran IX Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah “A” Nomor : 502/520.1/01-
54/Pan “A”/XII/2006 (contoh)
Lampiran X Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 01-
54-520.1-33-72-2006 tentang Pemberian Hak Milik Kepada Tri
Warsito Purwatno Dan Kawan-Kawan 54 (Lima Puluh Empat)
Orang Atas 54 (Lima Puluh Empat) Bidang Tanah Seluruhnya
Seluas 3093 m2 Terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta (contoh)
Lampiran XI Contoh Surat Keterangan Tanah
Lampiran XII Contoh Surat Pernyataan Penguasaan / Penggarapan Tanah
Lampiran XIII Contoh Surat Permohonan Tanah Negara
Lampiran XIV Daftar 15 orang pemegang Hak Atas Tanah
Lampiran XV Daftar 54 orang pemohon Hak Milik atas tanah
xii
ABSTRAK
Andi Muttaqin, 2008. PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA SURAKARTA, Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Data penelitian ini menggunakan bahan hukum. Bahan hukum dikumpulkan dengan dengan teknik studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah silogisme deduksi dengan metode interpretasi bahasa (gramatikal) dan Interpretasi sistematis, dengan aturan-aturan hukum mengenai pertanahan dipandang sebagai premis mayor, dan premis minornya berupa fakta yuridis, yaitu penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro sebagai dasar dalam menarik kesimpulan.
Dari hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dalam menyelesaikan sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro yakni Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan Jo. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan dan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Hasil daripada penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro setelah ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah.
Implikasi penelitian yaitu berupa rekomendasi bahwa Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan peraturan mengenai kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan, dan juga segera menerbitkan peraturan mengenai mekanisme pemberian hak terkait dengan kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan.
Kata kunci : penyelesaian, sengketa tanah.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan
manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas
tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah.
Sejarah perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah
tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena
manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain
karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya (G. Kartasapoetra
dkk, 1990 : 1).
Berkaitan dengan kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam
yang langka yang bersifat tetap serta digunakan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidup manusia akan perumahan, pertanian, perkebunan maupun
kegiatan industri yang mengharuskan tersedianya tanah, sebagai negara
berkembang, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, juga
mengalami masalah pertanahan yang biasanya menimbulkan konflik antara
pemegang hak dengan orang lain. Konflik tersebut biasanya mengenai ganti rugi
tanah yang akan digunakan untuk pembangunan, sengketa kepemilikan tanah dan
masih banyak masalah-masalah yang kompleks.
Selama ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani masalah
pertanahan masih bersifat pasif / menunggu keinginan para pihak yang
bersengketa, sehingga terkesan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi permasalahan pertanahan yang semakin
kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya konflik pertanahan dalam
masyarakat, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk ke depannya dituntut
lebih proaktif dalam penyelesaian konflik pertanahan sesuai dengan Sebelas
Agenda BPN RI khususnya Agenda ke-5 “Menangani dan menyelesaikan
perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara
xiv
sistematis” serta TAP MPR RI No : IX / MPR / 2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4 : “d. Mensejahterakan
rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia”
dan Pasal 5 : “d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber
daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum
dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini”,
dengan harapan “kata-kata konflik pertanahan tidak akan terdengar lagi”,
sehingga masyarakat merasa lebih tenang terhadap kepemilikan hak atas
tanahnya (http://bpn-solo.com/files/buku_PPAN_ISI.pdf).
Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa / konflik pertanahan
yang ada, Badan Pertanahan Nasional pun juga dituntut untuk tetap
mengedepankan keadilan, sehingga diharapkan dalam mengambil suatu
keputusan, tidak merugikan para pihak, bahkan mampu mewujudkan suatu
penyelesaian secara damai diantara para pihak yang bersengketa, mengingat
selama ini sengketa pertanahan cenderung diselesaikan melalui lembaga
peradilan yang lebih bersifat win-lose solution.
Di Kota Surakarta, dari berbagai titik konflik pertanahan yang telah
teridentifikasi oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, salah satunya terletak di
Kampung Kragilan, Kadipiro. Di wilayah tersebut, konflik terjadi antara 15 orang
pemegang sertifikat hak atas tanah dengan 54 orang okupusan terhadap lahan
seluas + 3093 m2 yang terletak di Kampung Kragilan Rt 8, Rw 24, Kelurahan
Kadipiro, yang merupakan hak milik dari 15 orang pemegang sertifikat hak atas
tanah.
Untuk melaksanakan Sebelas Agenda BPN RI, khususnya Agenda ke-5
serta amanat dari TAP MPR RI No : IX / MPR / 2001 tentang Pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut dengan tetap
mengedepankan keadilan, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal ini
adalah Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagaimana Tugas Pokok dan
Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, salah satunya
ditempuh melalui jalur mediasi penyelesaian konflik beserta administrasinya.
xv
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul : PENYELESAIAN SENGKETA
PERTANAHAN DI KRAGILAN, KADIPIRO OLEH KANTOR
PERTANAHAN KOTA SURAKARTA.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan
mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta ?
2. Apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah
di Kragilan, Kadipiro ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui apakah penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan,
Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
b. Untuk mengetahui apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh
Kantor Pertanahan Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian hak
milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum,
khususnya hukum agraria, terutama mengenai penyelesaian sengketa
pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
b. Sebagai strategi pemberdayaan mahasiswa melalui pengayaan wawasan
dan peningkatan kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas lulusan
xvi
yang memiliki daya saing dan berkemampuan untuk tumbuh menjadi
wirausaha mandiri.
c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan
dalam ilmu hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya, terutama mengenai
penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.
b. Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pokok
bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara ilmiah.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai
suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi
dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat
ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai
suatu maksud (Winarno Surakhmat, 1998 : 131).
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan adalah
jenis penelitian normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang
mengkaji hukum sebagai norma. Dengan kata lain penelitian yang dilakukan
xvii
dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder lainnya yang berkaitan
dengan obyek penelitian.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu : suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus
dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu (Soerjono Soekanto,
2006 : 10). Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, maka ilmu hukum
mempelajari mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud,
2005 : 22).
Disini peneliti menguraikan bagaimana seharusnya proses
penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, beserta tindak lanjutnya.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi (Peter Mahmud, 2005 : 97). Karena yang
diteliti adalah berbagai peraturan yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian, dalam hal ini adalah berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu data atau fakta yang digunakan oleh seseorang secara tidak
langsung dan diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, laporan,
makalah, dokumen, doktrin, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber
tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu tentang
proses penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, beserta tindak lanjut dari hasil penyelesaian
sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
xviii
5. Sumber Data
Sumber data adalah tempat diketemukannya data. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah sumber data
sekunder, yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa
peraturan perundangan, dokumen, buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan
literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder
yang digunakan dalam penelitian hukum ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penulisan hukum ini adalah norma atau
kaidah dasar dalam hukum di Indonesia dan beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut : Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan
Sengketa Pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor
xix
Pertanahan, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12
Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer sehingga dapat membantu memahami dan
menganalisis bahan hukum primer, yaitu buku-buku, literatur-literatur,
berkas-berkas atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tertier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus
hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bahan-bahan dari internet
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat
penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu teknik
pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-
undangan, dokumen-dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada
hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini, data
diklarifikasikan kepada pejabat yang terkait, yaitu Kepala Sub Seksi Sengketa
dan Konflik Pertanahan, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
serta Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
7. Teknik Analisis Data
Untuk memperoleh jawaban terhadap penelitian hukum ini digunakan
silogisme deduksi dengan metode :
a. Interpretasi bahasa (gramatikal), yaitu memberikan arti kepada suatu
istilah atau perkataan sesuai dengan bahasa sehari-hari. Jadi, untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang, maka ketentuan undang-
xx
undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut
bahasa umum sehari-hari (Sudikno Mertokusumo, 2004 : 57).
b. Interpretasi sistematis, yaitu menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau
undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum (Sudikno
Mertokusumo, 2004 : 59). Jadi undang-undang merupakan suatu kesatuan
dan tidak satupun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan
yang berdiri sendiri (Peter Mahmud, 2005 : 112).
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 51 Tahun
1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau
Kuasanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan
APS, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan
Sengketa Pertanahan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan, Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas
Panitia Pemeriksaan Tanah sebagai premis mayor. Adapun yang menjadi
premis minor adalah :
xxi
a. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta.
b. Hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta sebagai dasar pemberian hak milik kepada Okupusan tanah di
Kragilan, Kadipiro.
Melalui proses silogisme akan diperoleh simpulan (conclusio) berupa hukum
positif in conreto yang dicari mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di
Kragilan, Kadipiro, oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
F. Sistematika
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan
aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu
sistematika dalam penyusunan penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan
hukum terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil
penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran ditambah dengan daftar
pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Dalam bab I, diuraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang
meliputi latar belakang penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro
oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, kemudian mengenai perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang dipergunakan
dalam melakukan penelitian.
Dalam bab II, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-
literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi : tinjauan umum tentang
sengketa pertanahan, tinjauan umum tentang mediasi, tinjauan umum tentang
peraturan perundang-undangan mengenai pemberian hak milik dan
pendaftarannya, serta tinjauan umum tentang Kantor Pertanahan. Hal tersebut
ditujukan agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang penulis
teliti.
xxii
Dalam bab III, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan.
Dalam pembahasan dapat dianalisa bahwa penyelesaian sengketa pertanahan di
Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota
Surakarta. Dalam hal ini, berlandaskan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dan juga berlandaskan Pasal 6 ayat
(2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor
570/724/2005. Dari hasil penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik
kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro dengan ditindak lanjuti terlebih
dahulu dalam bentuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah, selanjutnya
dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam bab IV, diuraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun
kesimpulannya, yaitu bahwa penyelesaian sengketa sengketa pertanahan di
Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota
Surakarta, dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan
Kota Surakarta dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan
tanah di Kragilan, Kadipiro.
xxiii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
G. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pertanahan
a. Pengertian Sengketa
“Sengketa dalam pengertiannya yang luas adalah hal yang lumrah
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau
lebih berinteraksi pada suatu peristiwa / situasi dan mereka memiliki
persepsi, kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa /
situasi tersebut” (Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 :
27).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian “sengketa”
adalah :
1) Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat; pertengkaran;
perbantahan.
2) Pertikaian; perselisihan.
3) Perkara (dalam pengadilan)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 : 1037)
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup yang dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Tetapi apabila reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa (Suyud Margono, 2004 : 34).
Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu adanya
pihak-pihak yang bersengketa dan secara potensial, dua pihak yang
mempunyai pendirian / pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi
xxiv
sengketa. Dengan demikian secara garis besar dapat ditarik kesimpulan,
bahwa sengketa atau konflik merupakan pertentangan atau
ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan
hubungan atau kerjasama yang disebabkan karena tidak adanya titik temu
antara para pihak tentang suatu hal.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang sedang mengalami
proses transisi dari masyarakat agraris (pedesaan) menuju masyarakat
industri (perkotaan) seperti sekarang ini, seringkali sengketa disebabkan
oleh adanya perbenturan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai
baru (modern). Nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh generasi
dulu mulai luntur, sedangkan nilai-nilai baru belum sepenuhnya terbentuk
dan diterima. Sengketa yang terjadi pada masyarakat transisi, biasanya
meliputi :
1) Sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan dan tanah);
2) Sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur keuangan,
perbankan modern, peraturan perundangan, etika, pemenuhan
kontrak, dan sebagainya;
3) Sengketa lingkungan yang rumit dengan masalah pembuktian ilmiah
dan hubungan administrasi pusat-daerah; dan
4) Sengketa tenaga kerja yang diwarnai dengan masalah hak asasi
manusia, reputasi negara, dan perhatian masyarakat internasional.
(Suyud Margono, 2004 : 85)
Adapun pemicu terjadinya sengketa, misalnya :
1) Kesalahpahaman
2) Perbedaan penafsiran
3) Ketidakjelasan pengaturan
4) Ketidakpuasan
5) Ketersinggungan
6) Kecurigaan
7) Tindakan yang tidak patut, curang, tidak jujur
xxv
8) Kesewenang-wenangan atau ketidakadilan
9) Keadaan yang tidak terduga
(Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 28)
b. Sengketa Pertanahan
Pengertian sengketa pertanahan termuat secara jelas dalam Pasal 1
ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa
Pertanahan, yang berbunyi : “sengketa pertanahan adalah perbedaan
pendapat mengenai :
1) keabsahan suatu hak;
2) pemberian hak atas tanah;
3) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan
tanda bukti haknya,
antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional”.
Dalam rumusan pengertian sengketa atau konflik selalu terdapat
unsur para pihak sebagai pelaku atau subyek yang terlibat di dalamnya.
Begitu juga dalam pengertian sengketa pertanahan yang termuat dalam
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999, di mana sengketa pertanahan
terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-
pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan
Pertanahan Nasional mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas
tanah, dan pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan
penerbitan tanda bukti haknya. Para pihak yang berkepentingan di sini
dapat dikatakan sebagai subyek perselisihan.
Dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999, dijelaskan bahwa
pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa
xxvi
mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu atau pihak
lain yang kepentingannya terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.
Jadi, pada hakikatnya kasus pertanahan merupakan benturan
kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa
dengan siapa, sebagai contoh antara perorangan dengan perorangan,
perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan
lain sebagainya (http://fiaji.blogspot.com/2007/09/penyelesaian-sengketa-
pertanahan-fia-s.html).
c. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Penyelesaian sengketa pertanahan dapat ditempuh melalui dua
jalur, yaitu penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan dan
penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan.
1) Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan
merupakan bentuk penyelesaian dalam ruang lingkup hukum perdata,
dimana pada intinya berisi tentang perbuatan melanggar hukum, dan
ganti rugi.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi diatur dalam Pasal 1365,
yang berbunyi bahwa, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian sebagai
konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum, maka
ketentuan dalam Pasal 1365 ini terkait erat dengan Pasal 1243 yang
menyatakan bahwa, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena
terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si
berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
xxvii
dilampaukannya”. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembuktian,
perlu dikemukakan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,
“Barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia
mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
peristiwa itu, sebaliknya barangsiapa mengajukan peristiwa-peristiwa
guna pertahanan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu”.
Dari pengertian ketiga pasal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa seorang penggugat baru akan memperoleh ganti kerugian
apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak
tergugat. Kesalahan disini merupakan unsur yang menentukan
pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya
kesalahan, tidak ada kewajiban memberi ganti kerugian.
Adapun karateristik daripada penyelesaian sengketa
pertanahan melalui pengadilan, yaitu :
a) Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara)
b) Para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi
dan pengajuan alat bukti
c) Pihak ketiga netralnya (hakim) tidak ditentukan para pihak dan
keahliannya bersifat umum
d) Prosesnya bersifat terbuka / transparan
e) Hasil akhir berupa putusan yang didukung pertimbangan /
pandangan hakim
(Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 29)
2) Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Luar Pengadilan
Indonesia merupakan salah satu negara yang sering terjadi
sengketa pertanahan, yang penyelesaiannya banyak dilakukan melalui
lembaga pengadilan. Namun dengan lamanya proses pengadilan, serta
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan mendorong masyarakat untuk
xxviii
mencari jalan lain yang lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan ini pada
dasarnya dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
yang dipilih untuk dijadikan forum penyelesaian, dan besarnya ganti
rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu dengan tujuan untuk
menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif dari
adanya sengketa pertanahan tersebut.
Pelaksanaan mengenai alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
Undang-undang tersebut, alternatif penyelesaian sengketa diartikan
sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli (Pasal 1 ayat (10) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Adapun karateristik daripada Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS), yaitu :
a) Privat, sukarela dan konsensual (didasarkan atas kesepakatan para
pihak)
b) Kooperatif; tidak agresif/bermusuhan dan tegang
c) Fleksibel dan tidak formal/kaku
d) Kreatif
e) Melibatkan partisipasi aktif para pihak dan sumber daya yang
mereka miliki
f) Bertujuan untuk mempertahankan hubungan baik
(Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 36)
Dengan adanya undang-undang ini, maka telah memberikan
kepastian hukum bagi berlakunya lembaga penyelesaian alternatif
xxix
sengketa di luar pengadilan, termasuk di dalamnya adalah mediasi.
Hanya sayangnya dalam undang-undang ini tidak mengatur secara
rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa
kecuali mengenai arbitrase. Undang-undang ini sebenarnya lebih
cocok disebut UU Arbitrase, karena hanya mengatur tentang
keberadaan lembaga arbitrase dan mekanisme proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, sedangkan lembaga lain hanya diatur
dalam satu pasal, yaitu Pasal 6.
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999,
disebutkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan
langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dalam
hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat tersebut
diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam
waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seseorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil
mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan
kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk
menunjuk seorang mediator. Setelah penunjukan mediator oleh
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai, dan dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara
tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan dan
xxx
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak penandatanganan. Apabila usaha perdamaian diantara para
pihak tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan
tertulis secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui
lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
2. Tinjauan Umum Tentang Mediasi
a. Pengertian Mediasi
Mediasi dapat diartikan, bahwa para pihak yang bersengketa
mengizinkan pihak ketiga untuk terlibat ke dalam sengketa dan membantu
para pihak untuk mencapai penyelesaian. Hal ini tidak berarti bahwa para
pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya
apa yang dikemukakan pihak ketiga (Indonesian Institute for Conflict
Transformation, 2006 : 60).
Selain itu, mediasi juga dapat diartikan sebagai suatu penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh
mediator (Pasal 1 ayat (6) PerMA 2/2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (mediator) dalam
penyelesaian suatu perselisihan melalui penasihat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2001 : 726).
Dari beberapa pengertian mediasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa para pihak
dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral dan
tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi
menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog para pihak dengan
suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya
mufakat. Penyelesaian sengketa melalui mediasi ini tidak terdapat unsur
paksaan antara para pihak dan mediator, karena para pihak secara
xxxi
sukarela meminta kepada mediator untuk membantu menyelesaikan
konflik yang sedang mereka hadapi.
Mediasi sebagai suatu alat penyelesaian sengketa, dewasa ini lebih
dipandang sebagai suatu alternatif penting bagi ajudikasi penyelesaian
sengketa. Pada tahun-tahun belakangan ini pengadilan, masyarakat,
maupun industri telah berpaling kepada mediasi sebagai metode yang
lebih disukai dalam penyelesaian bentuk-bentuk sengketa tertentu. Biaya
yang mahal, lamanya waktu, serta tidak efisiensinya penyelesaian melalui
pengadilan juga telah mendorong para pihak untuk menggunakan
mediasi, terutama dalam sengketa yang bersifat polisentrik, yaitu
sengketa yang melibatkan banyak pihak persoalan, seperti sengketa tanah
maupun yang lainnya, para pihak lebih memilih jalan mediasi daripada
penyelesaian melalui pengadilan.
b. Keunggulan dan Tujuan Mediasi
Adapun beberapa keunggulan dari penyelesaian sengketa melalui
mediasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang
lain;
2) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima
dan adanya rasa memiliki putusan mediasi;
3) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk
menegoisasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari;
4) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang
merupakan dasar dari suatu sengketa;
5) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak
yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan
dendam (Munir Fuady, 2003 : 50).
Apabila dibandingkan dengan penyelesaian melaui pengadilan
atau litigasi yang bersifat formal, memaksa, memandang ke belakang,
serta bertujuan menentukan pihak mana yang menang dan kalah (win-
xxxii
lose) berdasarkan alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak atau
jaksa (dalam pidana), mediasi merupakan bentuk penyelesaian yang lebih
bersifat informal, sukarela, memandang ke depan, bekerjasama atas dasar
kepentingan guna menyelesaikan sengketa yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak (win-win solution). Dengan demikian, tujuan yang
akan dicapai dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan sifatnya
tegas dan kesimpulan pihak ketiga, yaitu hakim atau arbiter, berkenaan
dengan masalah di waktu lalu akan menentukan hasilnya. Sedangkan
tujuan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah untuk menghasilkan
suatu rencana atau kesepakatan kedepan yang dapat diterima dan
dijalankan oleh para pihak yang bersengketa. Selain itu, mediasi juga
mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima
konsekuensi dari keputusan yang mereka buat dengan mengurangi
kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik, karena para
pihak yang bersengketa telah dibantu untuk mencapai konsensus melalui
mediasi.
c. Tipe-tipe dan Fungsi Mediator
Dalam menyelesaikan konflik atau persengketaaan, para pihak
dapat memilih atau menunjuk mediator yang disepakati. Ada beberapa
macam tipe mediator yang dapat kita temui, seperti :
1) Mediator Hubungan Sosial
Sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah
berlangsung sebagai upaya untuk mempertahankan keserasian atau
hubungan baik dalam sebuah komunitas, karena si mediator maupun
para pihak sama-sama menjadi bagian di dalamnya.
2) Mediator Autoritatif
Mediator autoritatif adalah mereka yang berusaha membantu
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-
perbedaan diantara mereka, tetapi si mediator sesungguhnya memiliki
posisi yang kuat dan berpengaruh, sehingga mereka memiliki potensi
xxxiii
atau kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses
mediasi. Namun, seorang mediator autoritatif selama ia menjalankan
peran sebagai mediator tidak menggunakan kewenangan atau
pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau
pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus
bukanlah ditentukan oleh dirinya sebagai pihak yang berpengaruh
atau berwenang, tetapi harus dihasilkan oleh upaya-upaya pihak-pihak
yang bersengketa sendiri.
3) Mediator Mandiri
Mediator yang menjaga jarak antara para pihak maupun
dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator tipe
ini lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah
mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediator-
mediator profesional.
(Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006 : 65 – 66)
Menurut Fuller, ada tujuh fungsi mediator, yakni :
a) Sebagai katalisator (catalyst)
Mendorong lahirnya suasana konstruktif dan kondusif bagi
perundingan, mempersempit terjadinya polarisasi
b) Sebagai pendidik (educator)
Membuat para pihak mampu menangkap alasan atau nalar guna
menangkap atau menolak usulan / permintaan satu sama lain
c) Sebagai penerjemah (translator)
Menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak dalam bahasa
dan ungkapan yang enak didengar tanpa mengurangi maksud yang
ingin dicapai
d) Sebagai nara sumber (resource person)
Mampu mendayagunakan atau melipatgandakan sumber-sumber
informasi yang tersedia
xxxiv
e) Sebagai penyandang berita jelek (bearer of bad news)
Siap menerima resiko sebagai korban dari situasi perundingan
yang berpotensi berlangsung secara emosional
f) Sebagai agen realitas (agen of reality)
Memberi pengertian bagi para pihak jika permintaan atau usulan
yang disampaikan mungkin tidak masuk akal dan tidak realistis
g) Sebagai kambing hitam (scapegoat)
Siap sebagai pihak yang menjadi tumpuan kesalahan para
perunding
(Suyud Margono, 2004 : 60)
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang mediator dapat
melakukan dua macam peran, yaitu peran pasif dan peran aktif. Kedua
peran tersebut dapat dilakukan oleh mediator tergantung pada kondisi
pada saat itu, apakah dia harus berlaku aktif atau pasif. Seorang mediator
harus berperan pasif ketika para pihak yang bersengketa memiliki
kepedulian yang tinggi dan lebih aktif untuk menyelesaikan sengketa
yang mereka hadapi sehingga mediator hanya berperan sebagai penengah
dan mengarahkan penyelesaian sengketa serta mengatur perundingan-
perundingan, memimpin rapat dan sebagainya. Sedangkan seorang
mediator harus bersikap aktif dalam penyelesaian sengketa ketika para
pihak yang sedang berselisih bersikap pasif atau menunggu dan sulit
berkomunikasi. Dalam kondisi yang demikian mediator harus cepat
tanggap dan mengambil inisiatif melakukan berbagai tindakan.
d. Tahap-tahap Mediasi
Menurut Gary Goodpaster, pelaksanaan mediasi terdiri dari empat
tahap. Keempat tahap itu adalah sebagai berikut :
1) Tahap pembentukan forum
dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
a) Rapat bersama dan moderator membuka sidang mediasi
xxxv
b) Mediator menjelaskan tentang peran dan wewenang
c) Mediator berusaha membangun kepercayaan para pihak dalam
proses negosiasi
d) Mediator menjelaskan aturan dasar dari mediasi, aturan
kerahasiaan (confidentially) dan ketentuan rapat-rapat
e) Mediator menjawab pertanyaan-pertanyaan para pihak
f) Bila para pihak sepakat melanjutkan perundingan, mediator
meminta komitmen para pihak untuk mengikuti aturan yang
disepakati
2) Tahap informasi
a) Rapat Bersama
(1) Mediator memberi kesempatan kepada masing-masing pihak
untuk berbicara
(2) Masing-masing pihak menyampaikan fakta dan posisi menurut
versi masing-masing
(3) Mediator bertindak sebagai pendengar yang aktif, dan dapat
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
(4) Mediator menerapkan aturan kepantasan dan mengontrol
interaksi para pihak
b) Kaukus
(1) Mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara
terpisah (caucus) untuk mengembangkan informasi lebih
lanjut dan mengetahui keinginan, kepentingan dan
kemungkinan penyelesaian masing-masing pihak.
(2) Mediator membuat rumusan ulang berdasarkan informasi yang
dikembangkan pada pertemuan (rapat bersama) dan kaukus,
mediator mengutarakan inti persengketaan (kasus posisi)
3) Tahap pemecahan masalah
Mediator secara bersama-sama maupun secara terpisah berupaya :
xxxvi
a) Mengidentifikasi isu-isu
b) Memberi pengarahan kepada para pihak tentang tawar-menawar
untuk pemecahan masalah
c) Mengubah pendirian para pihak dari posisi (positional based)
menjadi kepentingan (interest based)
d) Membantu para pihak menaksir, menilai, dan memprioritaskan
kepentingan-kepentingan
e) Memperluas atau mempersempit sengketa jika perlu
f) Membuat agenda negosiasi
g) Memberikan penyelesaian alternatif
4) Tahap pengambilan keputusan
a) Mediator bekerja dengan para pihak untuk:
(1) Membantu mereka mengevaluasi pilihan
(2) Menetapkan trade off dan menawarkan paket penyelesaian
(3) Memperkecil perbedaan-perbedaan
(4) Menemukan basis yang adil bagi alokasi bersama
b) Mediator jika perlu dapat melakukan
(1) Menekan para pihak
(2) Menemukan rumusan untuk menghindarkan rasa malu (face
saving)
(3) Membantu para pihak menghadapi para pemberi kuasa
(Munir Fuady, 2003 : 48)
3. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Perundang-undangan Mengenai
Pemberian Hak Milik dan Pendaftarannya
a. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pemberian Hak Milik
Ketentuan yang berkaitan dengan pemberian hak milik diatur di
dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
xxxvii
1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria
Ketentuan-ketentuan konversi yang mengatur mengenai
konversi hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) menjadi Hak Milik menurut konsepsi UUPA
adalah ketentuan Pasal I, Pasal II dan Pasal VII. Dari ketentuan
konversi tersebut, pada prinsipnya hak-hak atas tanah yang
memberikan kewenangan yang paling kuat kepada pemiliknya, yang
sejalan dengan konsepsi Hak Milik atas tanah menurut UUPA, seperti
misalnya :
a) Eigendom atas tanah;
b) hak agrarisch eigendom;
c) hak milik yayasan;
d) hak andarbeni;
e) hak atas druwe;
f) hak atas druwe desa;
g) hak jesini;
h) hak grant Sultan;
i) landerijenbezitrecht;
j) altijddurende erfpacht;
k) hak usaha atas bekas tanah partikelir;
l) hak gogolan;
m) pekulen; dan
n) sanggan
selama dan sepanjang pemegang haknya pada saat ketentuan konversi
ini berlaku adalah Warga Negara Indonesia tunggal, akan
dikonversikan menjadi Hak Milik menurut konsepsi UUPA. Jika
pemegang haknya Warga Negara Asing, maka hak-hak tersebut akan
dikonversikan menjadi hak-hak yang sesuai dengan peruntukannya
dan yang dimungkinkan untuk dikuasai oleh pemiliknya sesuai
xxxviii
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1), yang kemudian
dijelaskan lebih lanjut dalam ayat (3) dan ayat (4) UUPA.
2) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah
untuk Rumah Tinggal
Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas
Tanah untuk Rumah Tinggal ini, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan perseorangan Warga
Negara Indonesia yang luasnya 600 m2 atau kurang, atas permohonan
yang bersangkutan, dihapus dan diberikan kembali kepada bekas
pemegang haknya dengan Hak Milik. Dengan demikian, berarti Tanah
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal
kepunyaan perseorangan Warga Negara Indonesia yang luasnya 600
m2 atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih
dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan yang
bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang haknya.
Dalam rumusan Pasal 1 huruf a, dan Pasal 2 ayat (3), dapat
diketahui bahwa pemberian status Hak Milik didahului dengan
penghapusan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dalam Buku Tanah
dan Sertipikat serta daftar umum lainnya atas bidang tanah yang akan
diberikan status Hak Milik tersebut. Selanjutnya atas pemberian status
Hak Milik tersebut dibuatkan Buku Tanahnya dan menerbitkan
Sertipikat Hak Milik dengan didasarkan pada data fisik yang
tercantum dalam pendaftaran Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
yang dihapuskan hak atas tanahnya tersebut (Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, 2004 : 47).
Mengenai perubahan Hak Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai atas tanah untuk rumah tinggal di atas Hak Pengelolaan atas
nama Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I,
Pemerintah Daerah Tingkat II atau BUMN/BUMD, dapat
xxxix
ditingkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 /
1998 apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh pemegang Hak
Pengelolaan yang bersangkutan dengan disertai pernyataan bahwa
tanah tersebut terletak di kawasan yang menurut perencanaan tanah
Hak Pengelolaan itu memang diperuntukkan bagi pemukiman. Bila
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut adalah atas tanah Hak
Pengelolaan PERUM PERUMNAS, maka persetujuan itu wajib
diberikan oleh PERUM PERUMNAS sepanjang mengenai tanah
yang dipergunakan untuk rumah tinggal, mengingat bidang tugas
pemegang Hak Pengelolaan ini adalah memang mengembangkan
perumahan dan pemukiman (Boedi Harsono, 2002 : 326).
3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 5 / 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan
menjadi Hak Milik
Dari penjelasan yang diberikan sehubungan dengan Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 /
1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal
di atas, dapat diketahui bahwa pemberian status Hak Milik selalu
didahului dengan penghapusan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
dalam Buku Tanah dan Sertipikat serta daftar umum lainnya atas
bidang tanah yang akan diberikan status Hak Milik tersebut. Ini
berarti, dalam Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang akan diubah
statusnya menjadi Hak Milik telah dibebani dengan Hak Tanggungan,
maka dengan hapusnya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang
dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut, maka hapus pulalah Hak
Tanggungan yang dibebankan di atas bidang tanah dengan status Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai itu.
Agar kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap terjamin hak
(kebendaannya) tersebut, maka perlu diletakkan kembali Hak
xl
Tanggungan baru di atas bidang tanah yang sama, tetapi dengan status
Hak Milik. Untuk lebih menjelaskan akan status hapusnya Hak
Tanggungan yang dibebankan di atas bidang tanah dengan status Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dihapus tersebut, dan
selanjutnya kewajiban untuk meletakkan kembali Hak Tanggungan di
atas bidang tanah yang sama dengan status Hak Milik tersebut, maka
dibuatlah ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 / 1998 tentang
Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk
Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik
(Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004 : 47 – 48).
Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 5 / 1998 ini, memberikan kepastian
kepada kreditor, bahwa kreditnya akan dijamin dengan Hak
Tanggungan Baru atas Hak Milik yang akan diperoleh pemberi Hak
Tanggungan, yaitu dengan memberikan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan kepada kreditor, sebelum Hak Milik yang
diperolehnya dimohonkan pendaftaran. Pemberian kuasa tersebut sah
menurut hukum, karena sudah ada kepastian bahwa pemberi kuasa itu
akan memperoleh Hak Milik yang akan dibebani Hak Tanggungan
yang bersangkutan. SKMHT tersebut kemudian dapat digunakan oleh
kreditor, selaku kuasa pemegang Hak Milik, melakukan pembebanan
Hak Tanggungan baru atas Hak Milik tersebut. Dengan sendirinya,
untuk keperluan Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan-nya,
diberikan juga kuasa kreditor untuk menerima sertipikat Hak Milik
tersebut setelah selesai didaftar.
Dari pihak PPAT, yang bertugas membuat SKMHT dan
APHT-nya, juga diharapan pemahaman mengenai arti kebijakan
Pemerintah dalam pemberian Hak Milik tersebut dan bantuan dalam
penetapan biaya pembuatannya. Dalam pasal 4 ditetapkan bahwa bagi
tanah untuk RSS/RS biaya tersebut tidak lebih dari Rp 50.000,- dan
xli
bagi tanah untuk rumah tinggal yang lain Rp 10.000,-. Sedangkan
untuk pencatatan hapusnya Hak Tanggungan yang semula membebani
hak yang hapus dan pendaftaran Hak Tanggungan yang baru, tidak
dipungut biaya (Boedi Harsono, 2003 : 528 – 529).
4) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 / 1998 tentang
Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana
(RSS) dan Rumah Sederhana (RS)
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 / 1998 tentang
Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana
(RSS) dan Rumah Sederhana (RS) ini adalah ketentuan khusus yang
berhubungan dengan pemberian Hak Milik atas tanah, yang termasuk
dalam kriteria Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS).
Dalam rumusan ketentuan Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4
dan Pasal 5 Keputusan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1997 Jis. No 15 / 1997 dan No. 1 /
1998 tersebut, dijelaskan bahwa terhadap bidang tanah yang :
a) harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih daripada
Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), dan
b) di atasnya telah dibangun rumah dalam rangka pembangunan
massal atau kompleks perumahan.
maka, dalam memberikan status Hak Milik atas bidang tanah tersebut,
proses penyelesaian perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai
menjadi Hak Milik akan mengikuti ketentuan yang diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 6 / 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah
untuk Rumah Tinggal (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004 :
52 – 57).
xlii
5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 9 / 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 / 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan ini merupakan
ketentuan umum yang berlaku bagi perolehan Hak Milik.
Dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 9 / 1999 ini, dinyatakan bahwa Hak
Milik dapat diberikan kepada :
a) Warga Negara Indonesia
b) Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
(1) Bank Pemerintah;
(2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dijelaskan
bahwa permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara
tertulis dan permohonan tersebut harus memuat :
a) keterangan mengenai pemohon;
b) keterangan mengenai tanahnya, yang meliputi data yuridis dan
data fisik;
c) dan lain-lain :
(1) keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-
tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah
yang dimohon;
(2) keterangan lain yang diangap perlu.
Permohonan hak atas tanah ini dilakukan terhadap :
a) Tanah Negara bebas : belum pernah melekat sesuatu hak
xliii
b) Tanah Negara asalnya masih melekat sesuatu hak dan jangka
waktunya belum berakhir, tetapi dimintakan perpanjangannya
c) Tanah Negara asalnya pernah melekat sesuatu hak dan jangka
waktunya telah berakhir untuk dimintakan pembaharuannya, di
sini termasuk tanah-tanah bekas hak Barat maupun tanah-tanah
yang telah terdaftar menurut UUPA.
Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus
menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan
data fisik yang dimiliki. Data yuridis adalah bukti-bukti atau dokumen
penguasaan tanah, sedangkan data teknis adalah Surat Ukur dan
SKPT atas tanah dimaksud.
Permohonan hak yang diterima oleh Kantor Pertanahan
diproses antara lain dengan penelitian ke lapangan oleh Panitia
Pemeriksa Tanah (Panitia “A”), kemudian apabila telah memenuhi
syarat maka sesuai kewenangannya dan diterbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak atas Tanah.
Pemohon mendaftarkan haknya untuk memperoleh sertipikat
hak atas tanah setelah membayar uang pemasukan ke Kas Negara dan
atau BPHTB jika dinyatakan dalam surat keputusan tersebut.
Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran SK pemberian hak
untuk memperoleh sertipikat tanda bukti hak adalah :
a) surat permohonan pendaftaran
b) surat pengantar SK Pemberian Hak
c) SK Pemberian Hak untuk keperluan pendaftaran
d) Bukti pelunasan uang pemasukan atau BPHTB apabila
dipersyaratkan
e) identitas pemohon
(http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id15.html)
xliv
b. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah
Adapun ketentuan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah
terdapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
Dalam Pasal 19 UUPA dinyatakan bahwa untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan lain yang mengatur tentang pendaftaran tanah
adalah Pasal 23 ayat (1) UUPA yang menentukan bahwa hak milik,
demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang
dimaksudkan dalam Pasal 19. Pasal 32 ayat (1) UUPA menyatakan
bahwa hak guna usaha termasuk syarat pemberiannya, demikian juga
setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA. Sedangkan
Pasal 38 ayat (1) UUPA menentukan bahwa hak guna bangunan,
termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan
dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan yang
dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
3) Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 yang dimaksud dengan Pendaftaran Tanah adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan dan
xlv
teratur yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk
peta dan daftar, mengenai bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-
hak tertentu yang membebaninya.
Sedangkan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah
suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah
secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau
data tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan,
penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka
memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk
penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya (Boedi Harsono, 2003 : 72).
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, apabila dirinci maka
unsur pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
1) Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjukkan kepada kegiatan
dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang saling berhubungan
dan akhirnya menyediakan data yang diperlukan untuk jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan.
2) Kata-kata “terus menerus” menunjukkan kepada pelaksana kegiatan
yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah
terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga selalu
sesuai dengan keadaan yang terakhir.
3) Kata-kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus
berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena
hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya
kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-
negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.
xlvi
4) Data tanah
Dalam hal data tanah terdapat dua jenis yaitu :
a) Data fisik, yaitu data-data mengenai letak tanah, luas tanah, serta
batas-batas tanahnya, bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
b) Data yuridis, yaitu mengenai nama hak atas tanah, siapa
pemegang hak tersebut serta peralihan dan pembebannya jika ada.
5) Kata-kata “wilayah” adalah wilayah kesatuan administrasi
pendaftaran meliputi seluruh negara.
6) Kata-kata “tanah-tanah tertentu” menunjukkan kepada objek
pendaftaran tanah. Ada kemungkinan, bahwa yang didaftar hanya
sebagian tanah yang dipunyai dengan hak yang ditunjuk.
Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah tersebut mereka
yang mempunyai tanah dengan mudah akan dapat membuktikan haknya
atas tanah yang dikuasai dan dipunyai dan mereka yang memerlukan
keterangan akan dengan mudah memperolehnya, karena keterangan-
keterangan yang tersimpan di kantor penyelenggaraan pendaftaran tanah,
terbuka bagi umum. Dari arti umum boleh mengetahuinya (Boedi
Harsono, 2003 : 71).
Dengan adanya pendaftaran tanah ini barulah dapat dijamin
tentang hak-hak seseorang di atas tanah. Pihak ketiga secara mudah dapat
melihat hak-hak apa atau beban apa yang terletak di atas bidang tanah.
Hal ini berarti terpenuhi syarat-syarat tentang pengumuman
(openbaarhied), yang merupakan salah satu syarat melekat kepada hak-
hak yang bersifat kebendaan (Sudargo Gautama, 1993 : 47).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi :
1) Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (initial registration)
Adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap
objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau
xlvii
Peraturan Pemerintah ini. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali meliputi :
a) Pengumpulan dan pengelolaan data fisik.
b) Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan
haknya.
c) Penerbitan sertipikat.
d) Penyajian data fisik dan data yuridis.
e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan dengan dua
cara yaitu sebagai berikut :
a) Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan dalam
wilayah suatu desa atas keseluruhan dan biasanya yang aktif
melakukan kegiatan pendaftaran adalah pemerintah.
b) Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa
atau kelurahan secara individual atau massal dan biasanya yang
aktif melakukan kegiatan pendaftaran tanah adalah individu-
individu atau masyarakat.
(Boedi Harsono, 2003 : 75 – 76 ).
Sedangkan menurut pendapat Boedi Harsono, kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi tiga bidang kegiatan
yaitu :
a) Bidang fisik atau “teknik kadastral”
Kegiatan di bidang fisik mengenai tanahnya, untuk memperoleh
data mengenai letaknya, batas-batasnya, luasnya, bangunan-
bangunan dan atau tanaman-tanaman penting yang ada di atasnya.
Setelah dipastikan letak tanah yang akan dikumpulkan data fisik
xlviii
kegiatannya dimulai dengan penetapan batas-batasnya serta
pemberian tanda-tanda batas di tiap sudutnya. Selanjutnya diikuti
dengan pengukuran dan pembuatan peta data fisiknya. Penetapan
batas-batas tanah dilakukan atas penunjukan pemegang hak yang
bersangkutan, yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah yang
berbatasan. Peta pendaftaran melukiskan semua tanah yang ada di
wilayah pendaftaran yang sudah diukur. Untuk tiap bidang tanah
yang haknya didaftarkannya dibuat apa yang dinamakan surat
ukur.
b) Bidang Yuridis
Kegiatan bidang yuridis bertujuan untuk memperoleh data
mengenai haknya, siapa pemegang haknya, dan ada atau tidak
adanya hak pihak lain yang membebaninya. Pengumpulan data
tersebut menggunakan alat pembuktian berupa dokumen dan lain-
lainnya.
c) Penerbitan tanda bukti hak
Bentuk kegiatan pendaftaran dan hasilnya, termasuk apa yang
merupakan surat tanda bukti hak, tergantung pada sistem
pendaftaran yang digunakan. Dokumen tanda bukti hak ini di
Indonesia bisa diterjemahkan sebagai sertipikat hak milik. (Boedi
Harsono, 2003 : 74 – 75)
2) Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Maintenance)
Adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data
fisik dan data yuridis dalam peta pendafatran tanah, daftar nama, surat
ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah
meliputi :
a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.
b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
xlix
Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh kepala kantor
pertanahan yang dibantu oleh PPAT atau pejabat lain yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Yang dimaksud kegiatan
tertentu yang pelaksanaannya ditugaskan kepada pejabat lain, adalah
kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi
wilayah kerja kepala kantor pertanahan, misalnya pengukuran titik
dasar teknik, pemetaan fotogrametri, dan sebagainya.
Satuan wilayah tata usaha pendaftaran tanah adalah desa atau
kelurahan, dengan pengecualian bagi hak guna usaha, hak
pengelolaan, hak tanggungan, dan tanah negara. Satuan wilayahnya
adalah kabupaten atau kota, karena pada umumnya areal hak guna
usaha, hak pengelolaan dan tanah negara serta objek hak tanggungan
dapat meliputi beberapa desa atau kelurahan.
4. Tinjauan Umum Tentang Kantor Pertanahan
a. Pengertian Kantor Pertanahan
Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor
Pertanahan, Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan
Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kanwil
BPN.
b. Fungsi Kantor Pertanahan dan Sebelas Agenda Pertanahan Nasional
1) Fungsi Kantor Pertanahan
Dalam menyelenggarakan tugas, berdasarkan Pasal 31
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan, Kantor
Pertanahan mempunyai fungsi :
l
a) penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka
pelaksanaan tugas pertanahan;
b) pelayanan, perijinan, dan rekomendasi di bidang pertanahan;
c) pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan dasar, pengukuran,
dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan
survei potensi tanah;
d) pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah,
dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil,
perbatasan, dan wilayah tertentu;
Dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan ketentuan
huruf d ini, Kantor Pertanahan berupaya untuk merumuskan
kebijakan teknis pemetaan dasar, menyiapkan norma, standar,
pedoman, dan mekanisme baik dalam peruntukan, penggunaan,
dan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah,
penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan dan penataan
pertanahan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan
wilayah-wilayah tertentu.
e) pengusulan dan pelaksanaan penetapan hak tanah, pendaftaran hak
tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah aset
pemerintah;
Kaitannya dengan pemberian sertipikat sebagai bentuk
penguatan hak atas tanah, maka Kantor Pertanahan sesuai dengan
fungsinya pada huruf e ini, merumuskan kebijakan teknis,
pedoman, dan mekanisme dalam mengusulkan dan melaksanakan
penetapan hak, pendaftaran hak tanah, pemeliharaan data
pertanahan dan administrasi tanah aset milik pemerintah.
f) pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara,
tanah terlantar dan tanah kritis, peningkatan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat;
li
Kantor Pertanahan dalam hal ini berupaya untuk
merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis, perencanaan dan
program penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pengendalian
tanah serta pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan
pendayagunaan tanah kritis untuk berbagai kegiatan pembangunan
melalui penyiapan dan pembinaan kemitraan, redistribusi tanah,
serta kepentingan lainnya sekaligus pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat di bidang pertanahan.
g) penanganan konflik, sengketa, dan perkara pertanahan;
Dalam rangka mengantisipasi permasalahan pertanahan
yang semakin kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya
sengketa / konflik pertanahan dalam masyarakat, Kantor
Pertanahan berupaya untuk merumuskan kebijakan teknis di
bidang pengkajian dan penanganan sengketa, konflik dan perkara
pertanahan baik secara hukum dan non hukum.
h) pengkoordinasian pemangku kepentingan pengguna tanah;
i) pengelolaan Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional
(SIMTANAS);
j) pemberian penerangan dan informasi pertanahan kepada
masyarakat, pemerintah dan swasta;
k) pengkoordinasian penelitian dan pengembangan;
l) pengkoordinasian pengembangan sumber daya manusia
pertanahan;
m) pelaksanaan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, sarana
dan prasarana, perundang-undangan serta pelayanan pertanahan.
2) Sebelas Agenda Pertanahan Nasional
Untuk mencapai sasaran strategis yang diterapkan, maka
mengacu pada fungsi Kantor Pertanahan, ditetapkan Sebelas Agenda
Kebijakan di bidang pertanahan sebagai berikut :
lii
a) Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan
Nasional.
b) Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta
sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia.
c) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land
tenureship).
d) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban
bencana alam dan daerah-daerah konflik.
e) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan
konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis.
f) Membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional
(SIMTANAS), dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di
seluruh Indonesia.
g) Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat.
h) Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala
besar.
i) Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-
undangan Pertanahan yang telah ditetapkan.
j) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional.
k) Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan
Pertanahan.
c. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
Kantor Pertanahan dikepalai seorang Kepala Kantor yang bertugas
dan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan di Kantor Pertanahan
tersebut.
Dalam menjalankan tugasnya, Kepala Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dibantu oleh bagian-bagian yang meliputi :
liii
1) Bagian Tata Usaha
Bagian ini bertugas untuk melakukan memberikan pelayanan
administratif kepada semua satuan organisasi Kantor Pertanahan, serta
menyiapkan bahan evaluasi kegiatan, penyusunan program, dan
peraturan perundang-undangan.
Fungsi dari Bagian Tata Usaha :
a) pengelolaan data dan informasi;
b) penyusunan rencana, program dan anggaran serta laporan
akuntabilitas kinerja pemerintah;
c) pelaksanaan urusan kepegawaian;
d) pelaksanaan urusan keuangan dan anggaran;
e) pelaksanaan urusan tata usaha, rumah tangga, sarana dan
prasarana;
f) penyiapan bahan evaluasi kegiatan dan penyusunan program;
g) koordinasi pelayanan pertanahan.
Subbagian Tata Usaha terdiri dari :
a) Urusan Perencanaan dan Keuangan;
b) Urusan Umum dan Kepegawaian.
2) Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan
Bagian ini bertugas untuk melakukan survei, pengukuran dan
pemetaan bidang tanah, ruang dan perairan; perapatan kerangka dasar,
pengukuran batas kawasan/wilayah, pemetaan tematik dan survei
potensi tanah, penyiapan pembinaan surveyor berlisensi dan pejabat
penilai tanah.
Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan mempunyai fungsi :
a) pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan bidang tanah, ruang
dan perairan; perapatan kerangka dasar, pengukuran batas
kawasan/wilayah, pemetaan tematik dan survei potensi tanah,
pembinaan surveyor berlisensi;
liv
b) perapatan kerangka dasar orde 4 dan pengukuran batas
kawasan/wilayah;
c) pengukuran, perpetaan, pembukuan bidang tanah, ruang dan
perairan;
d) survei, pemetaan, pemeliharaan dan pengembangan pemetaan
tematik dan potensi tanah;
e) pelaksanaan kerjasama teknis surveyor berlisensi dan pejabat
penilai tanah;
f) pemeliharaan peralatan teknis.
Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan terdiri dari :
a) Subseksi Pengukuran dan Pemetaan;
b) Subseksi Tematik dan Potensi Tanah.
3) Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah
Bagian ini bertugas menyiapkan bahan dan melakukan
penetapan hak dalam rangka pemberian, perpanjangan dan pembaruan
hak tanah, pengadaan tanah, perijinan, pendataan dan penertiban
bekas tanah hak; pendaftaran, peralihan, pembebanan hak atas tanah
serta pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah mempunyai fungsi :
a) pelaksanaan pengaturan dan penetapan di bidang hak tanah;
b) penyiapan rekomendasi pelepasan, penaksiran harga dan tukar-
menukar, saran dan pertimbangan serta melakukan kegiatan
perijinan, saran dan pertimbangan usulan penetapan hak
pengelolaan tanah;
c) penyiapan telaahan dan pelaksanaan pemberian rekomendasi
perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan dan atau
pendaftaran hak;
d) pengadministrasian atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara, daerah bekerjasama dengan pemerintah, termasuk tanah
badan hukum pemerintah;
lv
e) pendataan dan penertiban tanah bekas tanah hak;
f) pelaksanaan pendaftaran hak dan komputerisasi pelayanan
pertanahan;
g) pelaksanaan penegasan dan pengakuan hak;
h) pelaksanaan peralihan, pembebanan hak atas tanah dan pembinaan
PPAT.
Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah terdiri dari :
a) Subseksi Penetapan Hak Tanah;
b) Subseksi Pengaturan Tanah Pemerintah;
c) Subseksi Pendaftaran Hak;
d) Subseksi Peralihan, Pembebanan Hak dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
4) Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan
Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan
penatagunaan tanah, landreform konsolidasi tanah, penataan
pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan dan wilayah
tertentu lainnya.
Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan mempunyai fungsi :
a) pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah
dan penataan pertanahan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil,
perbatasan dan wilayah tertentu lainnya, penetapan kriteria
kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah serta penguasaan
dan pemilikan tanah dalam rangka perwujudan fungsi
kawasan/zoning, penyesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah,
penerbitan ijin perubahan penggunaan tanah, penataan tanah
bersama untuk peremajaan kota, daerah bencana dan daerah bekas
konflik serta permukiman kembali;
b) penyusunan rencana persediaan, peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan tanah, neraca penatagunaan tanah kabupaten/kota
dan kawasan lainnya;
lvi
c) pemeliharaan basis data penatagunaan tanah kabupaten/kota dan
kawasan;
d) pemantuan dan evaluasi pemeliharaan tanah, perubahan
penggunaan dan pemanfaatan tanah pada setiap fungsi
kawasan/zoning dan redistribusi tanah, pelaksanaan konsolidasi
tanah, pemberian tanah obyek landreform dan pemanfaatan tanah
bersama serta penertiban administrasi landreform;
e) pengusulan penetapan/penegasan tanah menjadi obyek
landreform;
f) pengambilalihan dan/atau penerimaan penyerahan tanah-tanah
yang terkena ketentuan landreform;
g) penguasaan tanah-tanah obyek landreform;
h) pemberian ijin peralihan hak atas tanah pertanian dan ijin
redistribusi tanah dengan luasan tertentu;
i) penyiapan usulan penetapan surat keputusan redistribusi tanah dan
pengeluaran tanah dari obyek landreform;
j) penyiapan usulan ganti kerugian tanah obyek landreform dan
penegasan obyek konsolidasi tanah;
k) penyediaan tanah untuk pembangunan;
l) pengumpulan, pengolahan, penyajiaan dan dokumentasi data
landreform.
m) pengelolaan sumbangan tanah untuk pembangunan.
Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan terdiri dari :
a) Subseksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu;
b) Subseksi Landreform dan Konsolidasi Tanah
5) Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan
Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan
kegiatan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara, tanah
terlantar dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat.
lvii
Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan mempunyai fungsi :
a) pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah negara,
tanah terlantar dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat;
b) pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi pemenuhan hak dan
kewajiban pemegang hak atas tanah, pemantauan dan evaluasi
penerapan kebijakan dan program pertanahan dan program
sektoral, pengelolaan tanah negara, tanah terlantar dan tanah
kritis;
c) pengkoordinasian dalam rangka penyiapan rekomendasi,
pembinaan, peringatan, harmonisasi dan pensinergian kebijakan
dan program pertanahan dan sektoral dalam pengelolaan tanah
negara, penanganan tanah terlantar dan tanah kritis;
d) penyiapan saran tindak dan langkah-langkah penanganan serta
usulan rekomendasi, pembinaan, peringatan, harmonisasi dan
pensinergian kebijakan dan program pertanahan dan sektoral
dalam pengelolaan tanah negara serta penanganan tanah terlantar
dan tanah kritis;
e) inventarisasi potensi masyarakat marjinal, asistensi dan
pembentukan kelompok masyarakat, fasilitasi dan peningkatan
akses ke sumber produktif;
f) peningkatan partisipasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
dan mitra kerja teknis pertanahan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat;
g) pemanfaatan tanah negara, tanah terlantar dan tanah kritis untuk
pembangunan;
h) pengelolaan basis data hak atas tanah, tanah negara, tanah
terlantar, dan tanah kritis serta pemberdayaan masyarakat;
i) penyiapan usulan keputusan pembatalan dan penghentian
hubungan hukum atas tanah terlantar.
lviii
Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan terdiri dari :
a) Subseksi Pengendalian Pertanahan;
b) Subseksi Pemberdayaan Masyarakat.
6) Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara
Bagian ini bertugas untuk menyiapkan bahan dan melakukan
kegiatan penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan.
Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara mempunyai fungsi :
a) pelaksanaan penanganan sengketa, konflik dan perkara
pertanahan;
b) pengkajian masalah, sengketa dan konflik pertanahan;
c) penyiapan bahan dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan
secara hukum dan non hukum, penanganan dan penyelesaian
perkara, pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik
pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya, usulan
dan rekomendasi pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan
serta usulan rekomendasi pembatalan dan penghentian hubungan
hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah;
d) pengkoordinasian penanganan sengketa, konflik dan perkara
pertanahan;
e) pelaporan penanganan dan penyelesaian konflik, sengketa dan
perkara pertanahan.
Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara terdiri dari :
a) Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan;
b) Subseksi Perkara Pertanahan.
Adapun Struktur organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
adalah sebagai berikut :
lix
Gambar 1. Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
lx
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran ini, penulis ingin memberikan gambaran guna
menjawab perumusan masalah yang telah disebutkan pada awal penulisan hukum
ini. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro yang dilakukan oleh
Kantor Pertanahan Kota Surakarta beserta tindak lanjutnya diinterpretasikan
1. Penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta
2. Tindak lanjut hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta
Peraturan PerUU-an : 1. UUPA 2. UU No. 51 Tahun 1960 3. UU No. 30 Tahun 1999 4. PP No. 24 Tahun 1997 5. Keppres No. 34 Tahun 2003 6. Perpres No. 10 Tahun 2006 7. PMNA No. 3 Tahun 1997 8. PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1999 9. PMNA/KBPN No. 9 Tahun 1999 10. PKBPN No. 3 Tahun 2006 11. PKBPN No. 4 Tahun 2006 12. KKBPN No. 12 Tahun 1992
1. Pelepasan hak atas tanah 2. Pemberian hak milik
KESIMPULAN
INTERPRETASI
PENERAPAN HUKUM
lxi
terhadap Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 51
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau
Kuasanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS,
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan,
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang
Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah). Dari Peraturan Perundang-
undangan itu lalu diterapkan ke dalam hasil penyelesaian sengketa (pelepasan
hak atas tanah dan pemberian hak milik), kemudian dibuat kesimpulan mengenai
penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan
Kota Surakarta.
lxii
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro terjadi antara pemegang
sertipikat hak atas tanah dengan masyarakat pendatang (urban) terhadap lahan seluas
+ 3093 m2 yang terletak di Kampung Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro.
Sengketa itu bermula pada tahun 1997 ketika 54 masyarakat pendatang (urban)
menempati tanah kosong yang tidak terurus dan tidak dimanfaatkan kurang lebih
selama 15 tahun dengan mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan tempat
tinggal, sedangkan di atas tanah tersebut telah diterbitkan sertipikat hak milik kepada
15 orang pemegang hak atas tanah.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hasil penelitian
dan pembahasan ini, penulis sajikan alur pemikirannya sebagai berikut :
`
SENGKETA
- inventarisasi dan identifikas / pengumpulan data - pengolahan data - analisa data - laporan - gelar perkara à petunjuk penyelesaian
MEDIASI SELESAI
§ pelepasan hak atas tanah (dibuatkan akta / surat pelepasan hak atas tanah) § permohonan hak atas
tanah
§ pertemuan mediasi - pertemuan terpisah
(kaukus) - pertemuan bersama § kesepakatan para
pihak
PENDAFTARAN SK PEMBERIAN HAK MILIK
PROSES PEMBERIAN HAK MILIK
SURAT KEPUTUSAN PEMBERIAN HAK MILIK
SERTIPIKAT
PANITIA “A”
Gambar 3 : Alur Pemikiran
lxiii
A. Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Kragilan, Kadipiro Oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta.
Teridentifikasinya permasalahan pertanahan di Kampung Kragilan,
Kadipiro ini bermula dari adanya inventarisasi dan identifikasi / pengumpulan
data yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dalam rangka
pembuatan peta penyebaran konflik yang terdapat di Kota Surakarta.
Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan tersebut, diketemukan 19 titik
lokasi konflik pertanahan, salah satunya terletak di Kampung Kragilan,
Kelurahan Kadipiro. Dari hasil inventarisasi itu, Kantor Pertanahan Kota
Surakarta melalui Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan melakukan
pengumpulan data di wilayah sengketa, yaitu di Kampung Kragilan, Kadipiro.
Adapun hasil identifikasi / pengumpulan data yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, adalah sebagai berikut :
1. Tanah yang menjadi sengketa seluas + 3093 m2, terletak di Kampung
Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro;
2. Bahwa di atas tanah tersebut telah didirikan bangunan tempat tinggal oleh 54
masyarakat pendatang (urban) atau okupusan sejak tahun 1997;
3. Bahwa di atas tanah tersebut sebenarnya telah diterbitkan sertipikat hak milik
kepada 15 orang pemegang hak atas tanah, yaitu :
a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono
seluas 208 m2.
b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin
seluas 203 m2.
c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan
suami Ny. Setiya Hati seluas 200 m2.
d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto
Susanto seluas 200 m2.
e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sri Daryanti seluas 208 m2.
lxiv
f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri
Rusmini isteri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2.
g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena
Hartatiningsih seluas 199 m2.
h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno
seluas 199 m2.
i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Ngadimin seluas 196 m2.
j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Widjiyanto seluas 196 m2.
k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny.
Kustiyah seluas 196 m2.
l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sumartini seluas 196 m2.
m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti
seluas 196 m2.
n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
4. Bahwa pemegang Hak Atas Tanah menganggap 54 masyarakat pendatang
(urban) atau okupusan tersebut menyerobot tanah mereka;
5. Tanah yang menjadi obyek sengketa terbagi atas 16 kapling, dimana tiap-tiap
kapling luasnya + 140 m2;
6. Kondisi pemukiman kumuh, kebanyakan rumah-rumah terbuat dari bambu,
kayu, seng (belum permanen).
7. Kondisi masyarakat (54 orang okupusan) miskin, pekerjaan tidak tetap,
pendidikan kebanyakan lulusan SD, SLTP, dan SLTA.
lxv
Dari hasil inventarisasi dan identifikasi / pengumpulan data itu, kemudian
dilakukan pengolahan data oleh Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan
Kantor Pertanahan Kota Surakarta, sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa konflik yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro sudah terjadi
sejak tahun 1997 antara 15 orang pemegang sertipikat dengan 54 orang
okupusan terhadap lahan seluas + 3093 m2;
2. Pemukiman kumuh, okupusan miskin, tingkat pendidikan rendah;
3. Pekerjaan tidak tetap, kategori ekonomi lemah;
4. Masyarakatnya memungkinkan untuk diberdayakan.
Hasil pengolahan data tersebut, selanjutnya dilakukan analisa dengan
tujuan untuk dapat memetakan serta mengklasifikasi bentuk-bentuk konflik yang
sedang dihadapi sehingga dapat merancang metode pendekatan yang efektif
untuk mengatasinya. Adapun hasil daripada analisa yang dilakukan, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sengketa yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro antara 15 orang
Pemegang Sertipikat dengan 54 orang okupusan dapat digolongkan dalam
Tipologi Sengketa Penguasaan dan Kepemilikan, dalam socio crime dapat
digolongkan ke dalam sengketa sebagai tindakan, artinya sengketa tersebut
terjadi karena merupakan ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari
persepsi ke dalam suatu tindakan, untuk mendapatkan suatu kebutuhan
(kebutuhan dasar, kepentingan dan kebutuhan akan identitas) yang memasuki
wilayah kebutuhan orang lain. Dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk
mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan tempat tinggal di atas tanah
yang sudah diterbitkan 15 sertipikat hak atas tanah.
2. Bahwa untuk meminimalkan akibat yang ditimbulkan oleh sengketa
pertanahan yang terjadi masyarakat antara 15 orang pemegang sertipikat hak
atas tanah dengan 54 orang okupusan, maka harus segera dilakukan
penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi.
lxvi
3. Bahwa untuk itu perlu diadakan gelar perkara untuk mempertemukan kedua
belah pihak, agar dapat dicari petunjuk penyelesaian yang tepat untuk
mengakhiri sengketa yang terjadi di Kragilan, Kadipiro.
Hasil analisa ini, kemudian dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kota Surakarta untuk segera ditindak lanjuti. Berdasar Surat Keputusan Kantor
Pertanahan Kota Surakarta tanggal 6 Juni 2006 Nomor : 500/01/2006, bidang
tanah tersebut telah ditetapkan sebagai lokasi dan peserta kegiatan Tata Laksana
Pertanahan (P3HT) tahun anggaran 2006.
Disamping itu, tindakan 54 orang okupusan tersebut merupakan bentuk
tindak pidana yaitu pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya
sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960, dalam
Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a, bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang
berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman pidana. Namun demikian, dalam menyikapi konflik-konflik dan
sengketa pertanahan yang timbul, harus melihat dari beberapa sudut pandang
dengan tetap mengedepankan keadilan dan tidak merugikan kedua belah pihak,
jadi tidaklah hanya dipandang dari sisi perbuatan okupusan saja, tetapi juga dari
segi pemanfaatan dan penggunaan tanahnya oleh pemilik, apabila dari segi
pemanfaatannya tanah tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal bahkan
terkesan ditelantarkan oleh pemiliknya kurang lebih selama 15 tahun.
Oleh karena itu, sebagai wujud keinginan dan kepedulian Pemerintah
untuk menangani konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi
langsung terhadap “korban” di bidang pertanahan, Badan Pertanahan Nasional
dalam mengemban amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan
Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional yang menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara
nasional, regional dan sektoral, membentuk Deputi V Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Pasal 343 Peraturan Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia), yang selanjutnya di tingkat Propinsi yaitu pada
lxvii
Kantor Wilayah BPN dibentuk Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan, sedangkan di tingkat Kabupaten / Kota, yaitu pada setiap
Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dibentuk Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Pasal 4 dan Pasal 32
Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan), dan
sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya, dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan antara 54 orang okupusan dengan 15 orang pemegang hak atas tanah
tersebut, dengan tetap mengedepankan keadilan, langkah yang ditempuh salah
satunya adalah dengan melaksanakan mediasi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini
penulis akan memaparkan proses penyelesaian sengketa di Kampung Kragilan,
Kadipiro yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta melalui
mediasi.
Pada hari Selasa, tanggal 17 Oktober 2006, diadakan gelar perkara untuk
mempertemukan kedua belah pihak yaitu pihak okupusan dan pemegang
sertipikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan Surakarta sekaligus mencari
solusi penyelesaian bersama untuk menyelesaikan sengketa pertanahan yang
terjadi di Kragilan, Kadipiro. Untuk mempertemukan kedua belah pihak, dalam
melakukan pendekatan terhadap pihak okupusan dilakukan oleh Suroso (Lurah
Gandean), sedangkan pendekatan terhadap pihak pemegang sertipikat Hak Atas
Tanah dilakukan oleh Darsono (Pengacara).
Dalam gelar perkara ini, Kantor Pertanahan Kota Surakarta mendorong
para pihak untuk tidak bertahan pada pola pikir yang posisional, tetapi harus
bersikap terbuka dan mencari alternative penyelesaian pemecahan masalah
bersama. Di sini Kantor Pertanahan Kota Surakarta memberikan alternative
penyelesaian guna menyelesaikan sengketa diantara kedua belah pihak tersebut,
yaitu dengan melalui jalur mediasi untuk mencapai suatu kesepakatan /
perdamaian bersama.
Dari gelar perkara yang dilakukan di salah satu rumah warga, tepatnya di
rumah Paijo (Ketua Rt 08, Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro,
Kecamatan Banjarsari Surakarta) yang dihadiri oleh Naniek Suprijatni Urip
lxviii
Redjeki (Lurah Kadipiro) dan Muh. Yani (PEMDA), Tri Warsito Purwatno, dan
kawan-kawan (54 orang) okupusan, dan pihak pemegang sertipikat Hak Atas
Tanah (15 orang) yang diwakili oleh Suroso (Lurah Gandean) dan Suwardi, para
pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka secara
musyawarah (perdamaian) melalui jalur mediasi dengan menunjuk Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sebagai perantara perdamaian / pihak penengahnya
(mediator).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, bahwa kesepakatan / perjanjian yang dibuat secara sah antara kedua
belah pihak ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Jadi, para pihak harus mematuhi apa yang menjadi kesepakatan mereka bersama.
Penyelesaian sengketa secara musyawarah dengan jalur mediasi yang
disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu Tri Warsito Purwatno, dan kawan-
kawan (54 orang), serta 15 orang pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut
telah sesuai dengan prinsip-prinsip mediasi, mengingat tujuan utama mediasi
adalah untuk menyelesaikan masalah, bukan sekedar menerapkan norma maupun
menciptakan ketertiban saja namun dalam pelaksanaannya juga harus didasarkan
prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
1. Sukarela
Prinsip ini sangat penting karena para pihak mempunyai kehendak yang
bebas untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek sengketa. Hal ini
dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terdapat keberatan-keberatan atas
kesepakatan yang telah diambil dalam rangka penyelesaian sengketa tersebut.
2. Independen dan tidak memihak
Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus bebas dari pengaruh pihak
manapun, baik dari masing-masing pihak, mediator maupun pihak ketiga.
Untuk itu mediator harus independen dan netral.
3. Hubungan personal antara pihak
Penyelesaian sengketa selalu akan difokuskan pada substansi persoalan,
untuk mencari penyelesaian yang lebih baik daripada sekedar rumusan
lxix
kesepakatan yang baik. Hubungan antar para pihak diupayakan tetap terjaga
meskipun persengketaannya telah selesai. Inilah yang menjadi alasan
mengapa penyelesaian sengketa melalui mediasi bukan saja berupaya
mencari solusi terbaik, tetapi juga solusi tersebut tidak mempengaruhi
hubungan personal.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi dimana Kantor Pertanahan
Kota Surakarta sebagai mediatornya ini perlu dilandasi dengan kewenangan-
kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini
penting sebagai landasan Kantor Pertanahan Kota Surakarta untuk menjadi
mediator di dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro.
Urusan pertanahan dikuasai oleh aspek hukum publik dan hukum privat, maka
tidak semua sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi,
hanya sengketa pertanahan yang dalam kewenangan sepenuhnya dari pemegang
hak saja yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi. Oleh karena itu,
kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan
pembatasan-pembatasan, hal ini dimaksudkan agar putusan mediasi tersebut tidak
melanggar hukum serta dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Adapun
pembatasan-pembatasan dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan,
Kadipiro ini, yaitu segala hal yang merupakan bentuk kesepakatan dari kedua
belah pihak, misalnya mengenai bentuk penyelesaian, penunjukan pihak
mediator, masalah tempat dan waktu pertemuan, dan sebagainya.
Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan
Sengketa Pertanahan, dinyatakan bahwa penanganan penyelesaian masalah /
sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
ditugaskan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah dengan dibantu oleh
pejabat/petugas terkait dari Kantor Pertanahan.
Guna lebih menegaskan ketentuan yang dimaksud Pasal 6 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, maka Kantor
Pertanahan Kota Surakarta mengeluarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
lxx
Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat
Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dengan
susunan keanggotaan yang terdiri dari pejabat di Kantor Pertanahan Kota
Surakarta sebagai berikut :
1. Ketua merangkap anggota : Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah
2. Sekretaris merangkap anggota : Kepala Sub Seksi Penyelesaian Masalah
Pertanahan
3. Anggota : a. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
b. Kepala Seksi Pengukuran dan
Pendaftaran Tanah
c. Kepala Seksi Penatagunaan Tanah
d. Kepala Seksi Pengaturan
Penguasaan Tanah
e. Kepala Sub Seksi Rencana dan
Bimbingan Penatagunaan Tanah
f. Kepala Sub Seksi Penataan,
Penguasaan dan Pemilikan Tanah
g. Kepala Sub Seksi Pengukuran,
Pemetaan dan Konversi
Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota
Surakarta ini mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Menerima pengaduan masalah/sengketa pertanahan dari masyarakat.
2. Melakukan koordinasi dengan seksi yang lain terhadap penanganan sengketa
Pertanahan.
3. Melaksanakan Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
4. Melakukan pengadministrasian secara periodik dan dilaporkan secara
berjenjang kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah.
lxxi
Sebagai perantara perdamaian / pihak penengah (mediator), Kantor
Pertanahan Kota Surakarta kemudian meminta kepada kedua belah pihak untuk
menyerahkan dokumen-dokumen, surat-surat yang diperlukan untuk
membuktikan penguasaan tanah di Kampung Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan
Kadipiro. Oleh pihak pemegang sertipikat hak atas tanah, menyerahkan sertipikat
hak milik atas tanah di Kampung Kragilan Rt 8, Rw 24, Kelurahan Kadipiro,
diantaranya :
1. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono
seluas 208 m2.
2. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin
seluas 203 m2.
3. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan
suami Ny. Setiya Hati seluas 200 m2.
4. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto Susanto
seluas 200 m2.
5. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang Sri
Daryanti seluas 208 m2.
6. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri
Rusmini isteri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2.
7. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena
Hartatiningsih seluas 199 m2.
8. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno
seluas 199 m2.
9. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ngadimin
seluas 196 m2.
10. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Widjiyanto
seluas 196 m2.
11. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Kustiyah
seluas 196 m2.
lxxii
12. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sumartini seluas 196 m2.
13. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti
seluas 196 m2.
14. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
15. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
Sedangkan dari pihak okupusan menyerahkan surat keterangan tanah dari
Kepala Kalurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/06 yang
menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan tanah Negara yang belum ada alas
hak di atasnya dan surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah dimana
tanah tersebut sampai saat ini dikuasai oleh 54 orang okupusan yang
dipergunakan untuk rumah tempat tinggal.
Musyawarah penyelesaian sengketa di Kampung Kragilan, Kadipiro
antara pihak okupusan dan pihak pemegang sertipikat hak atas tanah
dilaksanakan sebanyak 9 kali pertemuan mediasi. Dalam hal ini, Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediator terjun langsung ke wilayah sengketa
untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing dibantu oleh Camat dan
Lurah setempat. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memaparkan jalannya
pertemuan mediasi sebagai berikut :
1. Pertemuan Pertama
Pertemuan pertama yang diselenggarakan pada tanggal 19 Oktober 2006 di
rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24 Kampung Kragilan, Kelurahan
Kadipiro), yang dihadiri oleh Naniek Suprijatni Urip Redjeki (Lurah
Kadipiro), Hasta Gunawan (Camat Banjarsari), Tri Warsito Purwatno, dan
kawan-kawan (54 orang) okupusan, pihak pemegang sertipikat Hak Atas
Tanah yang diwakili oleh Suroso, Suwardi, dan Sholeh, serta Kantor
Pertanahan Kota Surakarta yang diwakili oleh Ari Machkota, Kepala Seksi
Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah sebagai pihak mediator, itu diawali
lxxiii
dengan pembahasan mengenai klausula-klausula yang akan dijadikan sebagai
materi dalam mencapai sebuah kesepakatan. Klausula-klausula tersebut
diantaranya :
a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta selaku pihak mediator akan
membantu para pihak dalam menganalisa pendekatan-pendekatan sebagai
sarana dalam mengatasi permasalahan yang terjadi, yaitu dengan menjalin
hubungan dengan masing-masing pihak yang bersengketa.
b. Pihak mediator akan mengadakan pertemuan bersama untuk merumuskan
masalah dan mencari penyelesaian bersama guna mengakhiri sengketa.
2. Pertemuan Kedua
Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2006, dimulai
pukul 15.00 WIB bertempat di Kelurahan Kadipiro dengan agenda pertemuan
antara mediator dengan 15 orang pemegang sertipikat hak atas tanah.
Pertemuan ini diawali pembukaan oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta sebagai mediator, kemudian dilanjutkan :
a. Penjelasan mengenai peran mediator dalam menyelesaian permasalahan
yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
b. Memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat
berlangsung berdasarkan pendekatan kompetitif, kompromistis,
akomodatif atau kolabortif.
c. Penjelasan oleh pihak mediator mengenai kekuatan dan kelemahan
masing-masing pendekatan.
Dari pertemuan dengan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah
tersebut, kesimpulannya adalah :
a. Bahwa pihak pemegang sertipikat menganggap pihak okupusan (54
orang) itu telah melakukan penyerobotan tanah dengan mendirikan
bangunan untuk tempat tinggal di atasnya tanpa seijin mereka.
b. Bahwa pihak pemegang sertipikat hak atas tanah (15 orang) selaku
pemilik atau pemegang hak atas sebidang tanah Hak Milik No. 8590, No.
lxxiv
9554, No. 8916, No. 8634, No. 8591, No. 8540, No. 8972, No. 8755, No.
8561, No. 8589, No. 8754, No. 8860, No. 8588, No. 8861, No. 8971
bersedia melepaskan hak atas tanah mereka asalkan mendapatkan ganti
kerugian dari pihak okupusan.
3. Pertemuan Ketiga
Seperti halnya pada pertemuan kedua, pertemuan ketiga yang
dilakukan di rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24 Kampung Kragilan,
Kelurahan Kadipiro) pada tanggal 24 Oktober 2006 dengan agenda
pertemuan antara mediator dengan pihak Tri Warsito Purwatno, dan kawan-
kawan (54 orang) okupusan ini juga diawali dengan pembukaan oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sebagai mediator, kemudian dilanjutkan dengan :
a. Penjelasan mengenai peran mediator dalam menyelesaian permasalahan
yang terjadi di Kampung Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
b. Memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat
berlangsung berdasarkan pendekatan kompetitif, kompromistis,
akomodatif atau kolabortif.
c. Penjelasan oleh pihak mediator mengenai kekuatan dan kelemahan
masing-masing pendekatan.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pertemuan dengan Tri
Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang) okupusan tersebut, yaitu :
a. Bahwa mereka telah menempati tanah di Kragilan, Kadipiro sejak
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia serta maraknya aksi demonstrasi
sekitar tahun 1997. Karena terdesak akan kebutuhan hidup yang semakin
kompleks, mereka mendirikan bangunan-bangunan untuk dijadikan
tempat tinggal di daerah Kragilan Rt 08, Rw 24, Kelurahan Kadipiro.
b. Pada mulanya mereka tidak tahu kalau di atas tanah tersebut sudah
diterbitkan 15 sertipikat Hak Milik, mereka baru tahu setelah adanya
inventarisasi dan pengumpulan data oleh Kantor Pertanahan Kota
lxxv
Surakarta yang menyebutkan bahwa di atas tanah tersebut sudah di
diterbitkan 15 sertipikat hak atas tanah.
c. Bahwa pihak okupusan (54 orang) tidak mau kalau mereka dianggap
melakukan penyerobotan tanah karena mereka memiliki surat keterangan
tanah yang menyatakan tanah tersebut merupakan tanah Negara dan surat
pernyataan (penguasaan atau penggarapan) tanah dari Kepala Kalurahan
Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/2006 dimana tanah
tersebut sampai saat ini mereka kuasai untuk rumah tempat tinggal.
d. Bahwa dengan berdasar surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan)
tanah tanggal 3 Oktober 2006 dan surat keterangan tanah dari Kepala
Kalurahan Kadipiro itu, mereka telah mengajukan Surat Permohonan Hak
Milik Atas Tanah pada tanggal 3 Oktober 2006 kepada Kantor Pertanahan
Kota Surakarta.
Tujuan diadakannya pertemuan terpisah baik dengan 54 orang
okupusan maupun dengan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah
oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini adalah :
a. Menjalin hubungan dengan para pihak.
b. Membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa.
c. Memberikan wawasan kepada para pihak tentang prosedur atau tata cara
mediasi.
d. Menjelaskan peran mediator
e. Menyediakan ruang bagi para pihak untuk dapat merefleksikan persoalan
secara individual dan privat mengenai :
1) apa yang terjadi
2) apa yang dirasakan
3) bagaimana hal ini bisa diselesaikan
4) apakah proses mediasi dan pendekatan win-win solution bisa
membantu
lxxvi
4. Pertemuan Keempat
Pertemuan keempat dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2006, dimulai
pukul 15.00 WIB bertempat Kelurahan Kadipiro dengan agenda penyampaian
hasil pertemuan dengan pihak okupusan kepada pihak pemegang sertipikat
hak atas tanah.
Pada pertemuan keempat ini, pada intinya adalah merumuskan
kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh pihak okupusan
kepada pihak pemegang hak atas tanah oleh mediator.
Adapun kesimpulan dari pertemuan ini, yaitu :
a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator,
memberikan saran kepada pemegang sertipikat hak atas tanah agar di
dalam menentukan besarnya ganti kerugian untuk pelepasan hak atas
tanah, mereka mempertimbangkan terlebih dahulu dengan melihat kondisi
daripada pihak okupusan.
b. Bahwa pihak pemegang sertipikat hak atas tanah meminta pembayaran
ganti rugi sebesar Rp 50.000/m2, di mana pada waktu itu harga pasar
sebesar Rp 150.000,-/m2, mengingat keadaan okupusan yang miskin.
5. Pertemuan Kelima
Pertemuan kelima dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2006, dimulai
pukul 15.00 WIB bertempat di rumah Hadi Wardoyo (Ketua Rw 24
Kampung Kragilan, Kelurahan Kadipiro) dengan agenda penyampaian hasil
pertemuan dengan pihak pemegang sertipikat hak atas tanah kepada pihak
okupusan.
Seperti halnya pada pertemuan keempat, pertemuan kelima ini pada
intinya juga merumuskan kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan
oleh pihak pemegang sertipikat hak atas tanah kepada pihak okupusan oleh
mediator.
Dari pertemuan ini, kesimpulannya adalah :
a. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator,
memberikan saran kepada Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54
lxxvii
orang) agar mereka bersedia memberikan ganti kerugian kepada
pemegang hak atas tanah sebesar Rp 50.000/m2 seperti yang ditawarkan
atau jika tidak mampu membayar ganti rugi tersebut sebaiknya pindah
dari lahan itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya
konflik yang berkepanjangan mengingat dokumen-dokumen yang mereka
(54 orang okupusan) serahkan tidak mempunyai kepastian dan kekuatan
hukum yang kuat.
b. Bahwa pihak okupusan (54 orang) terpecah menjadi 2 kelompok, di mana
33 orang sepakat untuk memberikan ganti rugi kepada pihak pemegang
sertipikat hak atas tanah, sedangkan 21 orang yang menamakan
kelompoknya “Kubu 21” dibawah YAPI (Yayasan Pengabdian Hukum
Indonesia) yang dipimpin oleh Yusuf, menolak untuk memberikan ganti
kerugian dengan alasan :
1) Bahwa berdasarkan surat keterangan tanah dari Kepala Kelurahan
Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d 54/06, tanah tersebut
merupakan tanah Negara yang belum ada alas hak di atasnya.
2) Bahwa berdasarkan surat pernyataan (penguasaan atau penggarapan)
tanah tanggal 3 Oktober 2006 dari Kepala Kelurahan Kadipiro,
sampai saat ini tanah tersebut masih mereka kuasai untuk
dipergunakan sebagai rumah tempat tinggal
3) Bahwa untuk memperoleh hak milik atas tanah tersebut, tidak perlu
membayar ganti rugi karena berdasarkan surat keterangan tanah dari
Kepala Kelurahan Kadipiro tanggal 3 Oktober 2006 No. 590/01 s/d
54/06, tanah tersebut merupakan tanah Negara, jadi hanya melalui
permohonan hak atas tanah saja kepada Kantor Pertanahan Kota
Surakarta.
6. Pertemuan Keenam, Ketujuh dan Kedelapan
Agenda dalam pertemuan keenam, ketujuh dan kedelapan yang
dilakukan di Kecamatan Banjarsari ini adalah mempertemukan para pihak
yang bersengketa, yaitu antara 54 orang okupusan dan 15 orang pemegang
lxxviii
sertipikat Hak Atas Tanah yang diwakili oleh Suroso, Suwardi, dan Sholeh.
Berikut pemaparan mengenai pertemuan keenam, ketujuh dan kedelapan :
Pertemuan Keenam dilakukan pada tanggal 14 November 2006,
dimulai pukul 15.00 WIB dengan merumuskan permasalahan yang dihadapi,
yaitu adanya perpecahan dari pihak okupusan, dimana 33 orang sepakat untuk
melakukan pembayaran ganti rugi, sedangkan 21 orang (kubu 21) menolak
untuk memberikan ganti rugi. Setelah sekitar satu jam pertemuan
berlangsung, terjadi perdebatan yang sengit sampai-sampai salah satu peserta
dari kubu 21 keluar dari pertemuan. Akhirnya pada pukul 17.30 WIB pihak
kubu 21 bersedia membayar ganti rugi dimana besarnya ganti kerugian akan
dibahas pada pertemuan selanjutnya.
Pertemuan Ketujuh dilakukan pada pada tanggal 21 November 2006,
dimulai pukul 15.00 WIB. Dalam pertemuan kali ini Kantor Pertanahan
sebagai pihak mediator melakukan pendekatan kepada para pihak, antara lain
dengan tujuan untuk menetapkan kesepakatan harga, sehingga masing-
masing pihak tidak merasa dirugikan. Adapun kesimpulan dari pertemuan
ketujuh ini, yaitu :
a. Bahwa kubu 21 bersedia membayar ganti rugi asalkan besarnya ganti rugi
Rp 20.000/m2.
b. Pihak pemegang hak atas tanah juga bersedia memberikan ganti rugi
sebagai tali asih sebesar Rp 20.000/m2 kepada pihak okupusan agar
mereka menyerahkan tanahnya / mengosongkan tanah itu.
c. Penawaran dari mediator dengan ganti rugi sebesar antara Rp 20.000/m2
s/d Rp 50.000/m2 disesuaikan dengan luas tanah yang dikehendaki oleh
pihak okupusan.
d. Tiga puluh tiga (33) orang setuju dalam kesepatan yang diambil mengenai
ganti rugi antara pihak pemegang hak atas tanah dengan kubu 21.
Pertemuan Kedelapan dilakukan pada pada tanggal 28 November
2006, dimulai pukul 15.00 WIB. Pada pertemuan ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa pihak pemegang hak atas tanah bersedia melepaskan hak
lxxix
atas tanahnya dengan ganti rugi sebesar antara Rp 20.000/m2 s/d Rp
50.000/m2 seperti yang ditawarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta
sebelumnya, disesuaikan dengan luas tanah yang dikehendaki oleh pihak
okupusan.
7. Pertemuan Kesembilan
Dari beberapa pertemuan mediasi yang dilakukan antara 54 orang
okupusan dan 15 orang pemegang sertipikat Hak Atas Tanah, akhirnya pada
tanggal 4 Desember 2006 bertempat di Kantor Pertanahan Kota Surakarta
dihasilkan sebuah kesepakatan diantara kedua belah pihak yang dituangkan
dalam Berita Acara Kesepakatan, yaitu :
a. Bahwa 15 orang selaku pemilik atau pemegang hak atas sebidang tanah
Hak Milik No. 8590, No. 9554, No. 8916, No. 8634, No. 8591, No. 8540,
No. 8972, No. 8755, No. 8561, No. 8589, No. 8754, No. 8860, No. 8588,
No. 8861, No. 8971 dengan luas keseluruhan + 2989 m2 yang
kesemuanya terletak di Kragilan Rt 08 Rw 024 Kalurahan Kadipiro,
Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta melalui kuasanya, Suwardi,
menyatakan melepaskan Hak Atas Tanahnya, dengan ganti rugi uang
sejumlah Rp 59.620.000 (lima puluh sembilan juta enam ratus dua puluh
ribu rupiah), masing-masing KK mendapatkan uang ganti rugi antara Rp
20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2, sehingga tanahnya tersebut menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara dan sertipikat tidak berlaku lagi
sebagai tanda bukti yang sah.
b. Sebagai pihak yang melepaskan Hak Atas Tanah, mereka menjamin
bahwa :
1) Atas tanah tersebut tidak terkena sitaan dan tersangkut dalam suatu
perkara
2) Tanah tersebut tidak dibebani dengan Hak Tanggungan / tidak
dijadikan jaminan hutang dengan cara apapun
3) Tanah tersebut belum pernah dilepaskan / diserahkan kepada pihak
lain dengan cara apapun
lxxx
4) Tidak ada pihak lain yang turut mempunyai Hak Atas Tanah tersebut
5) Bahwa dengan kesepakatan ini, pemegang hak akan melepaskan hak
atas tanahnya, dan kemudian akan dimohonkan haknya oleh Tri
Warsito Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai penyelesaian sengketa pertanahan
di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta di atas, dapat
penulis analisa bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai
fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Dalam hal ini, sebagai salah satu
wujud kepedulian dalam menangani konflik dan sengketa pertanahan yang
mempunyai implikasi langsung terhadap “korban” di bidang pertanahan, dalam
mengemban amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Pasal 2
dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, di tingkat Kabupaten / Kota, Kantor Pertanahan
Kota Surakarta, melalui Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sebagaimana Tugas
Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara 54 orang
okupusan dengan 15 orang pemegang hak atas tanah tersebut, langkah yang
ditempuh salah satunya adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan
konflik pertanahan melalui bentuk mediasi (Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala
BPN No 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan). Kemudian dasar penyelesaian
sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta ini
diperkuat lagi dengan pernyataan Kepala BPN-RI, Joyo Winoto, dalam pidato
sambutannya pada peringatan Hari Agraria Nasional dan peringatan UUPA ke-47
tanggal 24 September 2007, serta dalam pelantikan Deputi Bidang Pengendalian
Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat pada tanggal 29 Oktober 2007, yang
menyatakan bahwa jajaran BPN-RI harus mampu melakukan koordinasi secara
baik dan bermakna dengan seluruh jajaran Pemerintah Daerah dalam hal
pengawasan dan pengendalian atas 9 urusan pertanahan yang sekarang dikelola
daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
lxxxi
Pertanahan, di mana salah satunya yaitu mengenai penyelesaian sengketa tanah
garapan (Pasal 2 ayat (2) huruf e) dan saling mengisi dalam rangka mendukung
dan mempercepat proses pembangunan.
Kaitannya dengan unit kerja yang bertugas melakukan penanganan
penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya, juga telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Penanganan Sengketa Pertanahan di mana dinyatakan bahwa penanganan
penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya ditugaskan kepada Kepala Seksi Hak Atas Tanah dengan
dibantu oleh pejabat/petugas terkait dari Kantor Pertanahan. Dan untuk lebih
menegaskan ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tersebut, maka
Kantor Pertanahan Kota mengeluarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan
Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang Pembentukan Sekretariat
Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Surakarta, dengan
susunan keanggotaan yang terdiri dari : Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah (ketua
merangkap anggota), Kepala Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan
(sekretaris merangkap anggota), Kepala Sub Bagian Tata Usaha (anggota),
Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (anggota), Kepala Seksi
Penatagunaan Tanah (anggota), Kepala Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah
(anggota), Kepala Sub Seksi Rencana dan Bimbingan Penatagunaan Tanah
(anggota), Kepala Sub Seksi Penataan, Penguasaan dan Pemilikan Tanah
(anggota), dan Kepala Sub Seksi Pengukuran, Pemetaan dan Konversi (anggota).
Kantor Pertanahan Kota Surakarta sebagai pihak mediator dalam
menyelesaikan sengketa antara 15 orang pemegang sertipikat dengan 54 orang
okupusan ini merupakan salah satu contoh dari tipe mediator autoritatif. Mediator
tipe ini biasanya mediator yang bekerja di instansi pemerintah. Dalam hal ini,
mediator adalah seseorang atau tim yang bekerja di instansi pemerintah. Ciri
mediator ini antara lain, kalau menjalankan tugasnya mereka berwenang
lxxxii
membuat keputusan, tetapi mereka sendiri tidak ingin menggunakan kewenangan
itu, bersama-sama dengan para pihak mencoba mencari penyelesaian yang adil
dan menyeluruh dalam batas-batas kewenangan yang dimiliki, sedikit banyak
menggunakan pengaruh atau wibawa kewenangan untuk mempengaruhi para
pihak dan mempunyai sumber daya untuk membantu pemantauan dan
implementasi kesepakatan. Pada dasarnya mereka berusaha membantu pihak-
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara
mereka, tetapi si mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat dan
berpengaruh, sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk
mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Namun, seorang mediator
autoritatif selama ia menjalankan peran sebagai mediator tidak menggunakan
kewenangan atau pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau
pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah
ditentukan oleh dirinya sebagai pihak yang berpengaruh atau berwenang, tetapi
harus dihasilkan oleh upaya-upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri.
B. Hasil Penyelesaian Sengketa Pertanahan Oleh Kantor Pertanahan Kota
Surakarta Sebagai Dasar Pemberian Hak Milik Kepada Okupusan Tanah di
Kragilan, Kadipiro
Berdasarkan hasil kesepakatan mediasi, di mana 15 orang pemegang
sertipikat Hak Atas Tanah dengan Hak Milik No. 8590, No. 9554, No. 8916, No.
8634, No. 8591, No. 8540, No. 8972, No. 8755, No. 8561, No. 8589, No. 8754,
No. 8860, No. 8588, No. 8861, No. 8971 bersedia melepaskan Hak Atas Tanah
mereka dengan menerima ganti rugi sebesar Rp 59.620.000 (lima puluh sembilan
juta enam ratus dua puluh ribu rupiah), masing-masing KK mendapatkan uang
ganti rugi antara Rp 20.000/m2 s/d Rp 50.000/m2, sehingga tanah yang
sebelumnya mereka miliki tersebut statusnya menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, maka untuk dapat melaksanakan / merealisasikan
pemberian hak milik atas tanah tersebut kepada Tri Warsito Purwatno, dan
kawan-kawan (54 orang) berdasarkan surat permohonan hak milik yang mereka
ajukan, hasil dari kesepakatan mediasi tersebut harus diwujudkan dalam bentuk
lxxxiii
akta kesepakatan terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta, yaitu
dalam bentuk Akta / Surat Pelepasan Hak Atas Tanah. Untuk itu, sebagai tindak
lanjutnya, pada tanggal 5 Desember 2006 dibuatlah Surat Pelepasan Hak Atas
Tanah oleh pihak okupusan melalui kuasanya (Suwardi) di hadapan Kepala
Kantor Surakarta dengan diketahui oleh Camat Banjarsari.
Setelah Surat Pelepasan Hak Atas Tanah itu dibuat, dengan
mempertimbangkan permohonan hak milik yang diajukan oleh pihak okupusan
(54 orang), kemudian surat pelepasan tersebut diajukan ke Kantor Pertanahan
untuk didaftarkan permohonan haknya. Selanjutnya, terhadap berkas-berkas
permohonan yang telah diajukan, dilakukan pemeriksaan dan penelitian oleh
Panitia Pemeriksaan Tanah “A” meliputi data fisik maupun data yuridis baik di
lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian
hak milik. Pemeriksaan dan penelitian oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A”
dilaksanakan untuk memperoleh kebenaran formal atas data yuridis dalam rangka
pemberian Hak Milik. Mengenai kebenaran materiil dari warkah / berkas yang
diajukan dalam rangka permohonan sepenuhnya merupakan tanggung jawab
pemohon.
Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah,
susunan Panitia Pemeriksaan Tanah “A” terdiri dari :
1. Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Seksi Hak-Hak Atas Tanah yang
senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, sebagai Ketua
merangkap anggota;
2. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau Staf Seksi Pengukuran
dan Pendaftaran yang senior dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,
sebagai Wakil Ketua merangkap anggota;
3. Kepala Seksi atau Staf Seksi Pengaturan Penguasaan Tanah, Kepala Seksi
atau Staf Seksi Penatagunaan Tanah dari Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya dan Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan atau
aparat desa/kelurahan yang ditunjuk untuk mewakili, sebagai anggota;
lxxxiv
4. Kepala Sub Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah atau Staf Sub Seksi
Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya,
sebagai Sekretaris merangkap anggota;
Adapun susunan Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dalam memeriksa dan
meneliti data fisik maupun data yuridis terhadap permohonan yang diajukan oleh
pihak okupusan, adalah sebagai berikut :
1. Ari Machkota : Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, selaku
ketua merangkap anggota.
2. Yudhi Riyarso : Kepala Seksi Survei, Pengukuran,
dan Pemetaan Kantor Pertanahan
Kota Surakarta, selaku wakil ketua
merangkap anggota.
3. Kuntadi : Kepala Sub Seksi Penetapan Hak
Tanah Kantor Pertanahan Kota
Surakarta selaku sekretaris
merangkap anggota.
4. Sunarko : Kepala Seksi Pengaturan dan
Penataan Pertanahan Kantor
Pertanahan Kota Surakarta selaku
anggota.
5. Naniek Suprijatni Urip Redjeki : Kepala Kalurahan Kadipiro selaku
anggota.
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah
ini, Panitia Pemeriksaan Tanah “A” mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Mengadakan penelitian terhadap kelengkapan berkas permohonan pemberian
Hak Milik, Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah
Negara dan permohonan pengakuan hak atas tanah;
lxxxv
2. Mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon
mengenai status, riwayat, keadaan tanah, luas, batas tanahnya dan hubungan
hukum antara tanah yang dimohon dengan pemohon serta kepentingan-
kepentingan lainnya;
3. Mengumpulkan data, keterangan/penjelasan dari para pemegang hak atas
tanah yang berbatasan;
4. Menentukan sesuai tidaknya penggunaan tanah tersebut dengan rencana
pembangunan daerah;
5. Memberikan pendapat dan pertimbangan atas permohonan tersebut yang
dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah.
Dari hasil pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data
yuridis baik yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” tanggal 11
Desember 2006 guna mempertimbangkan pemberian hak atas tanah atas
permohonan hak milik yang diajukan oleh Tri Warsito Purwatno, dan kawan-
kawan 54 (lima puluh empat) orang pada tanggal 3 Oktober 2006 terhadap
bidang tanah dengan luas seluruhya + 3093 m2 (tiga ribu sembilan puluh tiga
meter persegi) yang terletak di Kampung Kragilan, Kalurahan Kadipiro,
Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, maka Panitia Pemeriksaan Tanah “A”
memberikan kesimpulan, antara lain :
1. Bahwa status tanah di Kampung Kragilan, Kalurahan Kadipiro, Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta merupakan tanah negara;
2. Bahwa terhadap permohonan ini pada saat Panitia “A” melaksanakan
peninjauan dilapangan, tidak diterima keberatan-keberatan dari pihak lain.
3. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan obyek landreform;
4. Bahwa tanah tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan rumah
tempat tinggal;
5. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai/digarap oleh pemohon;
6. Bahwa terhadap permohonan yang diajukan tersebut dapat diluluskan dengan
Hak Milik, dengan pertimbangan :
a. Status tanah tersebut adalah tanah negara.
lxxxvi
b. Bahwa tanah yang dimohon di atasnya terdapat bangunan tempat tinggal.
c. Bahwa tanah yang dimohon bukan merupakan objek landreform.
d. Bahwa tanah yang dimohon sampai saat ini dikuasai / digarap oleh
pemohon,
e. Bahwa terhadap permohonan tersebut dapat diluluskan dengan hak milik
dengan alasan :
1) syarat-syarat teknis administratif pemberian Hak Milik kepada
pemohon telah dipenuhi.
2) Pemohon memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dimaksud
dalam UUPA jo. PMDN/KBPN Nomor 9 Tahun 1999.
Dengan diluluskannya permohonan Hak Milik oleh Tri Warsito
Purwatno, dan kawan-kawan (54 orang), maka pada tanggal 21 Desember 2006,
Kantor Pertanahan Kota Surakarta mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surakarta No. 01-54-520.1-33-72-2006 tentang Pemberian Hak
Milik Kepada Tri Warsito Purwatno Dan Kawan-Kawan 54 (Lima Puluh Empat)
Orang Atas 54 (Lima Puluh Empat) Bidang Tanah Seluruhnya Seluas 3093 m2
Terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Dalam
Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta No. 01-54-520.1-33-
72-2006 itu dinyatakan :
1. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menerima pelepasan :
a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono
seluas 208 m2.
b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin
seluas 203 m2.
c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan
suami Ny. Setia Hati seluas 200 m2.
d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto
Susanto seluas 200 m2.
e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sri Daryanti seluas 208 m2.
lxxxvii
f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri
Rusmini istri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2.
g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena
Hartatiningsih seluas 199 m2.
h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno
seluas 199 m2.
i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Ngadimin seluas 196 m2.
j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Widjiyanto seluas 196 m2.
k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny.
Kustiyah seluas 196 m2.
l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sumartini seluas 196 m2.
m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti
seluas 196 m2.
n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
2. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta menghapus buku tanah dan daftar
umum lainnya :
a. Hak Milik Nomor 8590/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Supono
seluas 208 m2.
b. Hak Milik Nomor 9054/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Djasmin
seluas 203 m2.
c. Hak Milik Nomor 8916/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Gunawan
suami Ny. Setia Hati seluas 200 m2.
d. Hak Milik Nomor 8634/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Anto
Susanto seluas 200 m2.
lxxxviii
e. Hak Milik Nomor 8591/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sri Daryanti seluas 208 m2.
f. Hak Milik Nomor 8540/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny. Sri
Rusmini istri Sriyadi Haryanto seluas 200 m2.
g. Hak Milik Nomor 8972/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Helena
Hartatiningsih seluas 199 m2.
h. Hak Milik Nomor 8705/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sudarno
seluas 199 m2.
i. Hak Milik Nomor 8561/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Ngadimin seluas 196 m2.
j. Hak Milik Nomor 8589/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama
Widjiyanto seluas 196 m2.
k. Hak Milik Nomor 8704/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Ny.
Kustiyah seluas 196 m2.
l. Hak Milik Nomor 8860/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Endang
Sumartini seluas 196 m2.
m. Hak Milik Nomor 8588/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Sugiyarti
seluas 196 m2.
n. Hak Milik Nomor 8861/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
o. Hak Milik Nomor 8973/Kalurahan Kadipiro terdaftar atas nama Suparno
seluas 196 m2.
yang terletak di Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta
dan menarik sertipikat dari peredaran.
3. Bahwa Kantor Pertanahan Kota Surakarta memberikan Hak Milik kepada Tri
Warsito Purwatno, dan kawan-kawan 54 (lima puluh empat) orang, untuk
digunakan sebagai rumah tempat tinggal dengan ketentuan serta syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak
Milik ini, maupun tindakan penguasaan atas tanah yang bersangkutan
lxxxix
menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak, sesuai ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
b. Bidang tanah tersebut harus diberi tanda batas sesuai dengan ketentuan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta harus dipelihara
keberadaannya.
c. Penerima Hak Milik diwajibkan membayar lunas uang pemasukan kepada
negara melalui bendaharawan khusus / penerimaan Kantor Pertanahan
Kota Surakarta sebesar seperti yang tercantum dalam lampiran.
d. Tanah tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukkannya dan sifat serta tujuan dari hak yang diberikan.
e. Mendaftarkan hak atas tanahnya kepada Kantor Pertanahan Kota
Surakarta dengan menyerahkan surat bukti pembayaran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan bangunan dan surat setoran pajak.
f. Bila ternyata terdapat kekurangan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan bangunan, maka hal tersebut merupakan kewajiban penerima
hak untuk melunasinya.
Dengan didaftarkannya tanah hak milik tersebut, maka sebagai bentuk
penguatan hak oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta dibuatkan sertipikat Hak
Atas Tanah. Dan pada tanggal 9 Maret 2007, sertipikat Hak Atas Tanah tersebut
diserahkan secara langsung oleh Joko Widodo (Walikota Kota Surakarta) kepada
Tri Warsito Purwatno, dan kawan-kawan 54 (lima puluh empat) di Kragilan Rt
08 Rw 024 Kalurahan Kadipiro Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.
Berdasarkan keterangan-keterangan / uraian-uraian tersebut di atas, dapat
penulis analisa bahwa dari hasil penyelesaian sengketa tersebut, perlu ditindak
lanjuti terlebih dahulu dengan pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah di
hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Surat Pelepasan Hak Atas
Tanah, menunjukkan bahwa di atas tanah tersebut pernah diterbitkan suatu hak,
sehingga dengan surat pelepasan hak dimaksud, maka hak atas tanahnya hapus
dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
xc
Surat pelepasan tersebut menjadi kelengkapan berkas permohonan yang
merupakan syarat permohonan hak atas Tanah Negara sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999, antara lain keterangan mengenai tanahnya yang
meliputi data yuridis dan data fisik, yaitu surat-surat bukti pelepasan hak dan atau
akta pelepasan hak. Selanjutnya, oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilakukan
pemeriksaan dan penelitian terhadap berkas-berkas permohonan baik data fisik
maupun data yuridis untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik
Atas Tanah. Setelah diterbitkan Surat Keputusan, kemudian didaftarkan guna
memperoleh Sertipikat Hak Atas Tanah sebagai bentuk penguatan hak atas tanah
agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya.
Dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
dinyatakan bahwa “sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.
Dengan adanya pendaftaran tanah yang dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum (rechts cadaster) dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
atas tanah atau hak-hak lain yang telah terdaftar, untuk memberi informasi
kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan
mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, dan untuk terselenggaranya tertib
administrasi pertanahan (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah) sehingga pemegang hak yang bersangkutan dapat
dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang sempurna
dengan pemberian sertipikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak kepadanya.
Kendati pun demikian, pendaftaran tanah di dalam hukum tanah nasional
kita adalah menganut sistem pendaftaran hak (titles registrations) dengan sistem
publikasi yang bersifat negatif dengan mengandung unsur-unsur positif, hal ini
dibuktikan dengan ciri adanya akta tanah sebagai dasar pendaftaran dan sertifikat
sebagai tanda bukti hak yang merupakan salinan atas buku tanah yang merupakan
xci
buku induk di dalamnya memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah
bersangkutan, bukan sistem pendaftaran akta (deeds registrations). Sebagai
konsekuensi terhadap sistem yang dianut UUPA ini maka jaminan kekuatan
hukum atas sertifikat sesuatu hak atas tanah yang diterbitkan adalah mempunyai
kekuatan hukum yang kuat karena merupakan alat pembuktian yang kuat
sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya.
Di dalam sistem publikasi negatif ini, Negara tidak menjamin kebenaran
data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk
menggunakan sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari
pernyataan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak
yang diterbitkan berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Selain itu dari ketentuan-
ketentuan mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan
penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipikat tampak jelas
usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar,
karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Sehubungan
dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan,
pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada
lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak
yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai
pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai tanda buktinya, yang
menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem
publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan
gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan
tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquistieve verjaring atau adverse
possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat
menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat yang dapat digunakan untuk
mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu
lembaga rechtsverwerking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan
orang lain yang memperolehnya dengan itikat baik, maka hilanglah haknya untuk
xcii
menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan
hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40
UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka
apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru,
melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum
adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah
Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan
ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah.
xciii
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan yang penulis
kaji, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan
mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Dalam mengemban
amanah untuk mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal
3 huruf n Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 di tingkat
Kabupaten / Kota, Kantor Pertanahan Kota Surakarta, melalui Seksi
Sengketa, Konflik dan Perkara sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya
dalam menyelesaikan sengketa pertanahan antara 54 orang okupusan dengan
15 orang pemegang hak atas tanah, langkah yang ditempuh salah satunya
adalah pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan
melalui bentuk mediasi (Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun
2006). Dasar penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta ini kemudian diperkuat lagi dengan pernyataan
Kepala BPN-RI, yang menyatakan bahwa jajaran BPN-RI harus mampu
melakukan koordinasi secara baik dan bermakna dengan seluruh jajaran
Pemerintah Daerah dalam hal pengawasan dan pengendalian atas 9 urusan
pertanahan yang sekarang dikelola daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 2
ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 dan
saling mengisi dalam rangka mendukung dan mempercepat proses
pembangunan. Kaitannya dengan unit kerja yang bertugas melakukan
penanganan penyelesaian masalah / sengketa pertanahan di tingkat Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, juga sesuai dengan peraturan perundang-
undangan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999
xciv
tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan dan Keputusan Kepala
Kantor Pertanahan Kota Surakarta Nomor 570/724/2005 tentang
pembentukan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan Kantor
Pertanahan Kota Surakarta.
2. Bahwa hasil penyelesaian sengketa pertanahan di Kragilan, Kadipiro oleh
Kantor Pertanahan Kota Surakarta melalui jalur mediasi ini dapat dijadikan
dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di Kragilan, Kadipiro
setelah hasil mediasi tersebut ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat
Pelepasan Hak Atas Tanah di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota
Surakarta terlebih dahulu. Kemudian dengan adanya pemohonan hak milik
dari pihak okupusan, maka Surat Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut diajukan
ke Kantor Pertanahan untuk didaftarkan permohonan haknya, dan selanjutnya
oleh Panitia Pemeriksaan Tanah “A” dilakukan pemeriksaan dan penelitian
terhadap berkas-berkas permohonan baik data fisik maupun data yuridis
untuk diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik Atas Tanah. Setelah
diterbitkan, kemudian didaftarkan haknya guna memperoleh Sertipikat
sebagai bentuk penguatan hak atas tanah.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa saran-saran
yang ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.
Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan
peraturan mengenai kewenangan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian
sengketa tanah garapan.
2. Pemerintah Daerah atau Badan Pertanahan Nasional segera menerbitkan
peraturan mengenai mekanisme pemberian hak terkait dengan kewenangan
Kantor Pertanahan dalam penyelesaian sengketa tanah garapan.
xcv
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Boedi Harsono. 2002. Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan.
_____________. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan.
G. Kartasapoetra, dkk. 1991. Hukum Tanah, Jaminan Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Indonesian Institute for Conflict Transformation. 2006. Pelatihan Mediator. Jakarta : IICT.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana.
Munir Fuady. 2003. Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).
Subekti dan Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Sudargo Gautama. 1993. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung : Citra Aditya.
Sudikno Mertokusumo. 2004. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Yogyakarta : Liberty.
Suyud Margono. 2004. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Tim KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Winarno Surakhmat. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik. Bandung : Tarsito.
Dari Internet
Fia S Aji. Penyelesaian Sengketa Pertanahan.
<http://fiaji.blogspot.com/2007/09/penyelesaian-sengketa-pertanahan-fia-s.html> (23 Februari 2008 pukul 18.30 WIB).
xcvi
http://bpn-solo.com/files/buku_PPAN_ISI.pdf (16 Februari 2008 pukul 20.00 WIB).
http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id15.html (13 Maret 2008 pukul 19.30 WIB).
Dari Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasi dan APS.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik.
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 jis. Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS).
Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
xcvii
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah.