Upload
dangphuc
View
256
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Judul : Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa
Proses Pacaran (ta’aruf)
Nama/Npm : Debby Faura Donna /10503039
Pembimbing : Felix Lengkong, Ph. D
ABSTRAK Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa
dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama
Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan.Namun, ada juga pernikahan yang
dilakukan tanpa melalui pacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh
orang tua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa didahului dengan
pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar
belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang yang memutuskan
sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur
tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf.
Dalam hal ini penelitian yang dilakukan. untuk memberikan informasi dan agar
kita memperoleh gambaran mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada
pasangan yang menikah tanpa proses pacaran. Penyesuaian perkawinan adalah
perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat
memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk
menyelesaikan masalah yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.
Perkawinan tanpa prosess pacara (ta’aruf) adalah hubungan timbal-balik untuk
saling mengenal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, cara-cara yang digunakan
untuk saling mengenal dalam ta’aruf, berbeda dengan proses pacaran pada umumnya,
dan tidak ada cara yang baku dalam pelaksanaannya. Pasangan dapat saling bertemu
untuk berkenalan dengan didampingi orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan berkenalan melalui media
telekomunikasi, seperti telepon ataupun sms. Setelah pasangan merasakan ada
kecocokan, perkenalan ini mungkin dilanjutkan dengan saling bertemu muka, tentunya
dengan didampingi oleh orang lain.
Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian studi kasus. Menurut Creswell, Denzin & Lincoln (dalam Heru
Basuki, 2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan
mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan
penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Penelitian ini meneliti tentang penyesuaian
perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf) yang usia
pernikahan dibawah 5 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek dan
pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan
keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu
rumit. Hal tersebut dapat dilihat dari alasan subjek mengenai keputusannya untuk
menikah dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep
pasangan ideal antara satu sama lain, yaitu keimanan, pengajian, serta proses menikah
yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan yang selalu
mengdepankan ajaran agama dalam kehidupan individu suami istri maupun dalam
kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang
mereka dapat, suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam
kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang diterapkan subjek bersama pasangannya
sehingga kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan baik, karena dengan
diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih saling menerima, menghargai satu sama
lain.
Kata kunci: Penyesuaian Perkawinan, Perkawinan Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf)
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang
memiliki keinginan untuk menjalin
hubungan dengan orang lain. Manusiapun
diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan.
Guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
hanya dapat dipenuhi dengan memiliki
pasangan. Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan,
pacaran, hidup bersama (cohabitation), dan
hubungan perkawinan melalui institusi
pernikahan. Walaupun hidup bersama dapat
menjadi alternatif untuk menggantikan
pernikahan, tetapi sebagian besar manusia
tetap memilih untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah
institusi yang legal (Atwater & Duffy,
1999). Pada usia dewasa muda, tugas tugas
perkembangan yang harus diselesaikan
adalah intimacy versus isolation (Erikson
dalam Papalia, 2001). Pada tahap ini,
dewasa muda siap untuk menjalin suatu
hubungan intim seperti persahabatan dan
hubungan kerja serta hubungan cinta seksual (Hall & Lindzey, 1985). Mereka siap untuk
mengembangkan kemampuan yang
diperlukan untuk memenuhi komitmen dengan orang lain, walaupun harus disertai
dengan kompromi dan pengorbanan.
Komitment yang dimaksud adalah
komitment pribadi dalam hubungan intim,
yang salah satunya berupa pernikahan. Jika
dewasa muda tidak dapat mengembangkan
hubungan intim dengan orang lain, maka yang terjadi adalah isolasi. Hal yang
menghambat pengembangan hubungan
intim dengan orang lain adalah ketidakmampuan untuk memikul tanggung
jawab (Hall & Lindzey,1985).
Atwater dan Duffy (1999) menyatakan
bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung
pada apa yang terjadi saat pasangan
memasuki kehidupan perkawinan yaitu
seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Hal yang paling penting
dalam meraih kebahagiaan menurut Atwater
dan Duffy (1999) yaitu fleksibilitas dan
keinginan untuk berubah dari setiap
pasangan atau biasanya disebut dengan
istilah dengan penyesuaian perkawinan
(marital adjustment). Penyesuaian perkawinan adalah keterampilan sosial yang
diperlukan bagi pasangan yang meraih
kebahagiaan atau kepuasan perkawinan
(Spanier dalam Miranda, 1995). Hurlock
(1980) menyatakan bahwa pada dasarnya
keberhasilan sebuah perkawinan adalah
keberhasilan suami-istri dalam mewujudkan penyesuaian perkawinan.
Peneyesuaian perkawinan didefinisikan
oleh Burgess dan Locke (1983) sebagai
kesesuaian antara suami-istri terhadap
keadaan yang dapat menjadi permasalahan
yang berat/ krusial, adanya ketertarikan dan
melakukan aktivitas bersama, sering
mengungkapkan kasih sayang (affection)
dan hubungan yang saling mempercayai
(mutual confidence), sedikit mengeluh dan
sedikit menyatakan merasa sendiri, sedikit
merasa sangat tidak senang, tidak mudah
marah dan lain-lain (Burgess & Locke
dalam Miller, 1983).
Biasanya pacaran merupakan proses
awal menuju perkawinan atau dengan kata
lain pacaran merupakan sarana dalam
memilih pasangan yang cocok untuk
dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, 1996). Pada proses memilih pasangan untuk
dijadikan pasangan hidup tidaklah bersifat
acak (Random), akan tetapi ada prinsip yang
sistematis. Duvall dan Miller (1985)
menyatakan bahwa ada dua konsep utama
dalam memahami pemilihan dalam
pembentukan hubungan dan perkawinan
yaitu exogamy dan endogamy. Dalam norma
exogamous seseorang diharuskan (require or
exerpressure) mengawini pasangan di luar golongannya dan dalam norma endogamus
seseorang diharuskan mengawini pasangan
di dalam golongannya. Selanjutnya, Duvall
dan Miller (1985) juga menyatakan bahwa
endogamy agama merupakan faktor yang
penting dalam memilih pasangan dan
mayoritas orang melangsungkan perkawinan
masih disebabkan karena adanya latar
belakang agama yang sama. Hal ini
disebabkan karena banyak agama menentang adanya perkawinan berbeda
agama sebab perkawinan berbeda agama
dapat melemahkan komitmen pemelukanya
terhadap kepercayaannya (Benokraitis, 1996).
Dalam proses menuju perkawinan,
pacaran merupakan cara yang biasa
dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang
beragama Islam dalam mengenal dan
memilih calon pasangan. Ada juga
pernikahan yang dilakukan tanpa melalui
pacaran dan biasanya kesepakatan untuk
menikah diatur oleh orang tua atau orang
lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa di
dahului dengan pacaran ini biasanya
dilakukan karena alasan latar belakang
budaya ataupun latar belakang agama.
Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan
yang yang memutuskan sendiri untuk
menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa
ada paksaan atau campur tangan dari pihak
lain. Salah satunya adalah dengan cara
ta’aruf.
Pasangan yang melakukan proses perkenalan biasanya tergabung dalam suatu
kelompok pengajian tertentu. Di Indonesia
biasanya kelompok keagamaan yang
melakukan proses perkenalan ini yaitu
kelompok pengajian tarbiyah (Azis dalam
Qodari,1997). Kelompok pengajian tarbiyah
merupakan kelompok pengajian yang
berorientasi pada pemurnian ajaran agama
islam, terutama dari segala ideologi
alternative yang menawarkan system kehidupan yang utuh.
Pada pasangan yang menikah tanpa
melalui proses pacaran maka banyak hal
yang bagi kedua individu tersebut menjadi
suatu hal yang sulit karena pasangan
tersebut banyak belum mengetahui dan
mengerti tentang satu sama lainnya,
sehingga banyak hal yang harus
disesuaiakan maka dari itu penyesuaian
perkawinan ini sangat menentukan
perjalanan rumah tangga yang mereka
bangun untuk selanjutnya. Di sini pasangan
yang diteliti adalah pasangan yang baru
menjalani kehidupan perkawinannya karena
masa ini merupakan masa yang sangat
menentukan dalam membangun landasan
perkawinan pasangan tersebut untuk
kehidupan perkawinan selanjutnya (Landis
& Landis, 1970).
2.Pertanyaan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang di atas,
peneliti ingin mengetahui: Bagaimana
gambaran/karakteristik pada penyesuaian
perkawinan pada pasangan yang menikah
tanpa proses pacaran (ta’aruf)?, Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
penyesuaian perkawinan pada pasangan
yang menikah tanpa proses pacaran
(ta’aruf)?
3.Tujuan Penelitian
Tujuan ini secara umum untuk memberikan informasi dan agar kita
memperoleh gambaran/karakteristik
mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah
tanpa proses pacaran, dan factor-faktor yang
menyebabkannya.
4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu psikologi perkawinan,
khususnya psikologi perkembangan dan psikologi social. Serta dapat menjadi
masukan yang berguna bagi penelitian yang
lebih lanjut mengenai penyesuaian
perkawinan pada pasangan yang menikah
tanpa proses pacaran.
2. Manfaat Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaaran yang jelas
tentang penyesuaian perkawinan pada
pasangan yang menikah tanpa proses pacaran dan faktor-faktor yang
mempengaruhi peneyesuaian perkawinan
tersebut, sehingga dapat bermanfaat bagi
orang-orang yang melakukan ta’aruf
mengenai penyesuaian perkawinan melalui
proses ta’aruf. dilakukan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan
1. Pengertian
Di Indonesia, agar hubungan pria dan
wanita diakui secara hukum maka
perkawinan diatur dalam suatu undang-
undang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974
pasal 1 tentang perkawinan menyatakan
bahwa perkawinan adalah:
“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga)yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” (UU RI
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang
Perkawinan).
Menurut UU RI di atas defisi
perkawinan tidak hanya bersatunya pria dan
wanita secara lahir namun juga secara batin.
Perkawinan di Indonesia juga mempunyai
nilai yang luhur karena dilandasi nilai
ketuhanan pada proses pembentukannya.
2. Fungsi Perkawinan
Menurut Duvall dan Miller (1985)
dinyatakan bahwa ada beberapa fungsi perkawinan:
a. Menghasilkan Kasih Sayang
Menimbulkan kasih sayang antara suani-
istri, orang tua dan anak, antara satu
generasi dengan generasi selanjutnya.
Kasih sayang merupakan hasil dari
kehidupan berkeluarga. Pria dan wanita
dalam masyarakat barat baiasanya
melakukan perkawinan karena perasaan kasih sayang dan anak merupakan
ekspresi perasaan kasih sayang diantara
pasangan.
b. Memberikan Keamanan Secara Personal
dan Penerimaan
Keamanan dan Penerimaan yang mereka
perlukan untuk hidup dapat terpenuhi
dalam keluarga. Di dalam keluarga,
individu dapat melakukan kesalahan-
kesalahan dan belajar dari kesalahan
yang mereka lakukan dalam lingkungan
yang aman dan terlindungi. Benokraitis (1996) menyatakan bahwa keluarga
merupakan kelompok yang di dalamnya
ada perasaan saling mencintai,
memahami, memberikan rasa aman,
menerima, dan kebersamaan melalui
hubungan yang intim, jangka panjang,
face-to-face interaction (relasi tatap
muka).
c. Memberikan Kepuasan dan Tujuan
Rasa kepuasan dan berharga yang ada
pada manusia dapat diperoleh dalam
keluarga. Di dalam sebuah keluarg, orang
dewasa dan anak-anak menikmati
kehidupan satu sama laindalam
pertemuan dan perayaan-perayaan
keluarga, acara keluarga, jalan-jalan
keluarga dan aktifitas lain dimana anggota keluarga menemukan kepuasan.
Di dalam sebuah keluarga, orang tua juga
merasa bahwa mereka hidup untuk
pasangan dan untuk anak-anak menjadi
tanggung jawabnya.
d. Adanya Kepastian Kebersamaan
Hanya dalam keluarga kepastian akan
kesinambungan kebersamaan
(companionship) didapati. Teman-teman,
para tetangga, kolega dan yang lainnya
mungkin akan menjadi dekat hanya beberapa tahun saja. Adanya
kebersamaan yang berdasarkan rasa
simpati mendorong anggota keluarga
menceritakan yang terjadi pada hari itu
dan untuk saling berbagi tentang
kehidupan yang mereka jalani.
e. Sarana Sosialisasi Kehidupan Sosial
Dalam setiap masyarakat individu belajar
apa yang diharapkan dari mereka dan dimana mereka berada dalam hirarki
sosial melalui keluarganya. Pada saat
lahir anak secara otomatis memperoleh status keluarga secara genetis, fisik,
etnik, kebangsaan, agama, kebudayaan,
ekonomi, politik dan pendidikan yang
diwariskan dari keluarga dan sanak
keluarganya. Keluarga merupakan role
model bagi generasi selanjutnya dalam
kehidupan social seseorang (Berns, 1997; Benokraitis, 1996).
f. Memberikan Kontrol dan Pelajaran
tentang Kebenaran
Dalam keluarga individu pertama kali
belajar peraturan-peraturan, hukum
kewajiban dan tanggungjawab yang
merupakan karakteristik dari masyarakat
dimana mereka berada. Individu belajar
melalui instruksi, modeling,
reinforcement dan punishtment dari
anggota keluarganya (Berns, 1997). Anggota keluarga dapat mengkritisi,
membenarkan dan menyuruh,
memberikan pujian atau menyalahkan,
memberikan reward atau punishment,
mengajak atau mengancam satu sama
lain yang tidak mungkin dilakukan
dimanapun.
3. Motivasi Melakukan Perkawinan
Turner dan Helms (1995)
menyatakan bahwa ada beberapa
motivasi orang untuk memasuki
kehidupan perkawinan, yaitu:
a. Cinta
Cinta dan komitmen diantara pasangan
sering kali menjadi alasan utama dilakukannya perkawinan. Pasangan
ingin selalu saling berbagi dalam hidup
dan membina hubungan yang dekat
(intimate relationship) dalam lembaga
perkawinan. Cinta merupakan hal yang
paling utama pasangan melakukan
perkawinan dan hanya sedikit pasangan yang melakukan perkawinan tidak
didasari adanya perasaan cinta (Simpson,
Campbell, Berscheld, dalam Feldman,
1989).
b. Kebersamaan
Perkawinan merupakan lembaga diman
pasangan dapat menghabiskan waktunya
hidup bersama secara permanen.
Kebersamaan tersebut dapat
menimbulkan kesejahteraan (well being)
emosional dan psikologis diantara
pasangan, yang akan berdampak
tumbuhnya rasa aman dan
nyaman.kebersamaan tersebut juga dapat
memberikan rasa aman dan kesempatan
untuk saling berbagi diantara pasangan.
Sejalan dengan pernyataan tersebut,
Campbell menyatakan bahwa perkawinan
memberikan sumbangan penting yang unik bagi persaan well being pada
kebanyakan pria dan wanita (Campbell
dalam Duvall dan Miller, 1985).
Walaupun perkawinan tidak benar-benar
menjanjikan akan adanya kebersamaan,
namun kebersamaan tetap menjadi
harapan terbesar keuntungan dari
perkawinan (Knox, 1988).
c. Konformitas
Bagi beberapa pasangan, perkawinan
merupakan hal yang memang harus
dilakukan atau perkembangan dari suatu
hubungan antara pria dan wanita.
Perkawinan tampaknya merupakan
proses pemilihan. Motif social yang juga
turut terpengaruh yaitu tekanan dari
keluarga, teman-teman dan lain-laibn yang juga berpengaruh.
d. Legitimasi Hubungan Seks
Setiap masyarakat mempunyai norma-
norma yang berkenaan dengan siapa
seseorang dapat melakukan hubungan
social dan dalam keadaan (circumstance)
seperti apa (Benokraitis, 1996) status
perkawinan memberikan legitimasi
hubungan seksual. Status perkawinan
membuat pasangan suami-istri dapat
melakukan hubungan seksual secara sah dan dilindungi secara hukum.
e. Legitimasi anak
Anak yang lahir dalam sebuah keluarga
mempunyai status identitas. Turner dan
Helms (1995) menyatakan bahwa
pasangan yang melakukan perkawianan
dengan alas an untuk memiliki dan
mengasuh anak (Turner & Helms, 1995;
Feldman, 1989; Knox, 1988).
f. Perasaan siap
Pasangan memutuskan untuk melakukan perkawinan karena mereka merasa telah
siap. Perasaan siap ini merupakan hasil
proses sosialisasi di lingkungan keluarga,
pacaran, sekolah dan lingkungan kerja
(Blood, 1969). Pasangan telah melakukan
beberapa hal yang mereka ingin capai
sebelum perkawinan, seperti
menyelesaikan pendidikan dan memiliki
karir (Turner & Helms 1995).
g. Mendapatkan keuntungan
Hal ini bukanlah alasan yang kuat mengapa seseorang melakukan
perkawinan. Akan tetapi, bagi pasangan
yang memperhatikan kesejahteraan
ekonomi, alasan ini mungkin menjadi
alasn utama pasangan melakukan
perkawinan. Misalnya, orang tua yang
merasa keberatan anaknya memilih
pasangan hidup yang tidak mempunyai latar belakang ekonomi yang sederajat
atau keuangan yang tidak menjanjikan
(Feldman, 1989).
4.Mengenal Calon Pasangan
1. Pacaran
a. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1999), pacaran didefenisikan
sebagai, “Hubungan dengan teman lawan
jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
bathin, biasanya menjadi tunangan atau
kekasih” (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1999). Menurut
kamus bahasa Indonesia kontemporer
(Salim & Salim, 1991), pacaran didefenisikan sebagai: “Hubungan dengan
lawan jenis yang tetap dan mempunyai
hubungan cinta kasih”.
b. Tahapan Pacaran
Duval dan Miller (1985) menyatakan bahwa pacaran (dating) terbagi kedalam
beberapa tahap, yaitu:
a. Casual dating
Pada tahap ini biasanya individu
melakukan dating dengan beberapa
individu pada saat yang sama (kadang-
kadang lebih dari satu dalam satu
malam).
b. Regular dating
Pada tahap ini individu lebih sering melakukan dating hanya pada satu orang
saja, dating dengan orang lain mulai
bertkurang atau sama sekali berhenti.
c. Steady dating
Pada tahap ini hubungan dating sudah lebih serius dan ditandai dengan adanya
komitmen diantara pasangan, yaitu
ditandai denagn adanya pemberian suatu
symbol komitmen tersebut. Misalnya
dengan memberikan cincin atau kalung.
Apapun yang diberikan sebenarnya yaitu
hanya untuk menandakan atau memberitahukan (signify) orang lain
bahwa pasangan datingnya sudah ada
yang punya dan hubungan tersebut
serius.
d. Engagment
Pada tahap ini pasangan memberitahukan
kepada orang banyak bahwa mereka
menikah dan secara tradisional biasanya
ditandai dengan cincin berlian atau
penggantinya sebagai pasangan tunangan
dan pasangan yang akan dinikahi pada
masa yang akan dating.
c. Fungsi Pacaran
Knox (1988) menyatakan bahwa
fungsi pacaran (dating) yaitu:
a. Mengetahui Diri Sosial (confirmation of
social self )
Pada saat pacaran kita secara kontiniyu
berusaha untuk mengetahui bagaimana pasangan melihat kita. Misalnya, apakah
dia menyukai saya? Akankah dia
bersama saya selamanya? ketika
seseorang member umpan balikyang
positif melalui perkataan atau bahasa
tubuh, maka kita akan mersa lebih baik
terhadap diri kita sendiri dan cenderung
melihat diri kita secara positif. Pacaran
memungkinkan adanya suatu keadaan
(context) untuk mengetahui konsep diri kita dari menerima pengaruh orang lain.
b. Reaksi
Pacaran, jalan-jalan atau aktivitas
bersama adalah kegiatan yang
menyenangkan. Pada saat pacaran kita
melakukan aktivitas sesuai dengan
keinginan kita karena kita
menyenanginya. Gordon (dalam
Benokraitis, 1996) menyatakan meskipun penelitian sekarang menunjukkan tujuan
pacaran lebih seriusdan berorientasi
untuk melangsungkan perkawinan namun masih tetap menyenangkan.
c. Persahabatan /Intimasi/Seks
Motivasi utama pacaran yaitu adanya
pertemanan/persahabatan, intimasi dan
seks (Knox, 1988). Pacaran sangat
penting untuk mengembangkan dan
memelihara pertemanan jangka panjang
daripada hanya untuk rekreasi (McCabe
dalam Benokraitis, 1996)
d. Sosialisasi
Pada saat pacaran, individu belajar ubtuk
saling menyesuaikan dan melakukan
adaptasi tingkah lakunya terhadap orang
lain. Melalui pacaran seseorang belajar
peran gender yang diharapkan, struktur keluarga yang berbeda dengan
keluarganya dan belajar sikap,
kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda
dengan dirinya (Benokraitis,1996).
e. Pemilihan Pasangan
Pacaran biasanya merupakan tahap dalam
memilih pasangan hidup
(Benokraitis,1996; knox,1988). Duvall
dan Miller (1985) menyatakan bahwa fungsi pacaran yaitu menemukan dan
mengetahui seseorang yang berlainan
jenis kelamin yang mereka suka, dimana dengannya mereka merasa senang dan
yang akan mereka nikahi atau dijadikan
suami atau istri.
2. Perkawinan Tanpa Pacaran (ta’aruf)
a. Pengertian Ta’aruf (perkenalan) merupakan
bagian dari Ukhuwah Islamiyah, dimana
Islam sangat menganjurkan ummatnya
saling berta’aruf satu sama lain, suku
tertentu dengan suku lain, bangsa tertentu
dengan bangsa lain, maupun individu
tertentu dengan individu lain. Adalah sebuah
kewajaran jika dalam rangkaian menuju
perkawinan. Ta’aruf termasuk di dalamnya.
Karena itu, dalam perkembangannya, ta’aruf
saat ini juga dikenal sebagai salah satu
sarana dalam pencarian pasangan hidup.
Aktivitas yang dilakukan pada saat
proses perkenalan biasanya yaitu bertukar
biodata, kemudian melakukan diskusi dan Tanya jawab dalam forum pertemuan. Pada
saat forum pertemuan ini dimungkinkan
masing-masing calon untuk mengetahui calon pasangannya yang akan dijadikan
sebagai suami-istri dalam batas-batas
syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini
disertai guru mengaji atau orang yang
diminta sebagai mediator oleh salah satu
pasangan. Peran mediator adalah sebagai
perantara yang memfalitasi pertemuan atau untuk mencairkan suasana karena banyak
pasangan yang melakukan proses perkenalan
ini, sebelumnya belum saling mengenal.
Adapun hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melaksanakan proses
ta’aruf (Abdullah, 2003) ini adalah:
1. Persiapan ta’aruf
Seseorang yang hendak menikah harus
mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya tersebut secara
jelas dan utuh. Hal-hal yang perlu
diketahiu dari masing-masing calon
pendamping antara lain: kepribadian,
pandangan hidup, pola pikir berikut cara
penyelesaian suatu masalah.
2. Adab atau tata cara selama melakaukan
ta’aruf
Meski ta’aruf merupakan salah satu cara untuk menemukan dua jenis insan dalam
perkawinan, namun jika dilakukan
dengan asal-asalan, gegabah, tidak
cermat lagi tidak teliti, sangat terburu-
buru, dan mengabaikan segi-segi
kebaikan lainnya, maka bukan tidak
mungkin jika hanya keburukan semata
yang menjadi hasil akhirnya (Abdullah,
2003).
Selembar pas photo maupun secarik
kertas beriisi data-data diri tentu saja
sangat sulit menggambarkan secara utuh
perihal siapa orang tersebut. Untuk
mengetahui informasi perihal siapa sesungguhnya orang yang hendak
dijadikan pasangan hidupnya itu, ia
hendaknya berusaha menjemput bola dan tidak bersikap pasif. Mengutus perantara
atau mediator serta mendapatkan
informasi darinya memang perlu, namun
bersikap aktif dalam mencari dan
mendapatkan informasi sebanyak-
banyaknya perihal calon pendamping
tersebut yang dilakukannya sendiri, juga sangat diperlukan. Berbagai sumber
dapat digunakan untuk jalur bersikap
aktif ini. Sahabat-sahabatnya, tetangga
terdekat, hingga kerabat dekat sang calon
dapat dijadikan rujukan untuk
mengetahui siapa sesungguhnya calon
tersebut. Selama pencarian informasi sikap yang diharapkan juga adalah
pncarian dengan cara yang sopan, arif,
dan bijaksana, serta mengedepankan
unsure kebaikan tanpamenyinggung atau melukai sang calon yang tengah
diselidiki tersebut.
3. Mediator atau perantara proses ta’aruf.
Idealnya perantara atau mediator ta’aruf
tersebut adalah orang yang paling dekat
keberadaannya dengan sang calon
tersebut. Perantara sebaiknya adalah
seseorang yang dapat mengungkapkan
siapa sesungguhnya jati diri sang calon (Abdullah, 2003).
Orang yang patut serta pantas
dipilih untuk menjadi mediator biasanya
adalah orang yang intens berinteraksi dengan salah satu pihak. Peluang ini
banyak dimiliki oleh orang yang hidup
serumah dengan salah satu pihak, baik itu orang tua, kakak, adik, atau saudara, serta
kerabat lainnya. Selain itu, satu pihak
dapat mengajukan sendiri atau
mempertimbangkan calon perantara yang
diajukan orangtuanya sepanjang sesuai
dengan syarat-syarat penting selaku
perantara.
4. Persiapan mental
Agar proses ta’aruf berlangsung dengan benar masing-masing pihak yang terlibat
agar mempunyai keberanian, baik itu
keberanian untuk mengungkapkan secara
jujur, atau benar dalam bertanya maupun
juga dalam menjawab. Lebih jauh lagi
adalah keberanian untuk menerima hasil
akhir proses ta’aruf .
Persiapan yang penting diadakan adalah
persiapan rohani, dimana orang yang
hendak melaksanakan tahap ini
hendaklah mempersiapkan batin atau
jiwa agar berada dalam kondisi yang
stabil (Abdullah, 2003). Kondisi jiwa
yang stabil ini tidak lain sumbernya hanyalah dari Allah SWT, dengan jalan
mendekatkan diri , khusuk dalam
beribadah, memperbanyak tilawah al
Qur’an, serta memohon petunjuk
kepadaNya. Adapun segala hasil akhir
dari tahap ini, hendaklah diserahkan
segalanya kepada Allah SWT dan diyakini sepenuh hati, bahwa segala
keputusan yang diberikan Allah SWT
adalah takdir yang terbaik bagi
seseorang.
5. Jika ta’aruf gagal
Tidak ada suatu jaminan atas kepastian,
bahwa setelah melaksanakan proses
ta’aruf ini maka keduanya secra
otomatis akan segera menuju jenjang
perkawinan. Memang setelah adanya
kecocokan antara keduanya, maka
keduanya dapat melanjutkan hubungan
tersebut menjadi ikatan yang lebih kukuh menuju pelaminan. Akan tetapi, jika
ternyata masing-masing atau salah satu
pihak merasa tidak cocok setelah
mengetahui ‘kualitas’ pihak lainnya,
maka pihak yang bersangkutan dapat
memutusakan apakah ia akan terus maju
atau tidak (Abdullah, 2003).
b. Kelompok Pengajian yang Melakukan
Proses Perkenalan
Setiap kelompok pengajian tarbiyah
dipimpin oleh seorang guru mengaji yang
disebut dengan murobbi (untuk guru
mengaji laki-laki) dan murobbiyah
(untuk guru mengaji perempuan). Untuk
menjadi murobbi/yah, kedalaman pengetahuan agama seseorang memang
dianjurkan tetapi tidak selalu menjadi
syarat. Hal yang paling penting untuk
menjadi seorang murobbi/yah yaitu
konsistensinya dalam memegang
pandangan-pandangan keagamanaan
yang telah diajarkan oleh murobbi/yah
yang menjadi pembimbing kelompok
pengajian tarbiyah. Selain konsistensi,
sejumlah sikap lain yang penting dimiliki
seorang calon, seperti keikhlasan dalam
melaksanakan tugas, berpenampilan
sopan dan rapi (baju dan celana dari
bahan polos dan mengurangi warna-
warni untuk laki-laki, sedangkan untuk
wanita menggunakan jilbab dan pakaian
terusan). Otoritas seorang murobbi/yah
terhadap kelompok yang dipimpinnya
sangat besar, bahkan seorang
murobbi/yah sangat dipercaya untuk
mencarikan jodoh atau pekerjaan yang
cocok bagi anggotanya (Azis dalam
Qodari, 1997). orang tuanya. Tetapi
subjek berusaha untuk mengatasi rasa hampa yang dirasakan olehnya dengan
mencurahkan isi hatinya, bercerita
dengan teman atau pun keluarga, karena
dengan cara seperti itu subjek merasa
bahwa bebannya berkurang dan dirinya
merasa tidak sendiri lagi.
B. Penyesuaian Perkawianan
1. Pengertian
Berdasarkan defenisi yang dinyatakan
oleh Laswell & Laswell (dalam
Zainab,2002) penyesuaian perkawinan
merupakan penyesuaian satu sama lain diantara dua individu terhadap kebutuhan-
kebutuhan, keinginan-keinginan dan
harapan-harapan (Laswell & Laswell dalam Zainab,2002). Atau dengan kata lain, setiap
pasangan harus fleksibel dan mempunyai
keinginan untuk berubah (Atwater dan
Duffy,1999) agar dapat mencapai derajat
kenyamanan yang baik dalam hubungan
tersebut.
2. Dimensi-dimensi penyesuaian
perkawinan
a. Dyadic consensus atau kesepakatan
hubungan adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam
berbagai masalah dalam perkawinan
seperti keuangan, rekreasi, keagamaan.
Perkawinan mempertemukan dua orang
dengan cirri-ciri pribadi, nilai-nilai yang
dianut, dan berbagai karakteristik pribadi
yang berbeda. Kedua individu yang berbeda ini akan menghadapi konflik-
konflik dalam berbagai aspek kehidupan
perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka (Duvall &
Miller, 1985). Dalam hubungan
perkawinan, pasangan akan menemukan
berbagai permasalahan-permasalahan
yang harus diputuskan, seperti mengatur
anggaran belanja dan bagaimana
membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka
mempunyai perbedaan perspektif
terhadap berbagai hal (Arnold & Parker
dalam Benokraitis, 1996).
b. Dyadic cohesion atau kedekatan
hubungan adalah kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa
banyak pasangan melakukan berbagai
kegiatan secara berasama-sama dan
menikmati kebersamaan yang ada.
Banyaknya waktu yang dihabiskan
bersama akan mempengaruhi kepuasaan
individu terhadap perkawinan (Miller dalam Hurlock, 1980). Selanjutnya
Anderson menyatakan bahwa pasangan
yang merespon peristiwa-peristiwa krisis
dengan baik mempunyai derajat
kedekatan (cohesion), ikatan emosi
dengan kemampuan untuk beradaptasi
yang tinggi (Anderson dalam Knox,1988). Selanjutnya, Jhonson
(dalam knox, 1988) menyatakan bahwa
sumber kedekatan yaitu berbagi pengalaman-pengalaman di antara
pasangan yang berlangsung selama
bertahun-tahun, baik itu pengalaman
kegagalan atau pengalaman kesuksesan.
c. Dyadic satisfaction atau kepuasaan
hubungan adalah derajat kepuasan dalam
hubungan. Atwater (1983) dan
Benokraitis (1996) menyatakan bahwa
peran (suami-istri) yang dijalankan
sangat berperan dalam kepuasan
hubungan perkawinan. Blumstein (dalam
Benokraitis, 1996) menyatakan bahwa
pasangan yang baru melakukan
perkawinan melakukan proses identity bargaining dimana pasangan saling
menyesuaikan diri kembali harapan ideal
pasangan pada kenyataan (realities)
kehidupan perkawinan mereka. Dalam
proses identity bargaining, pasangan
melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap peran baru mereka sebagai
suami-istri. Selain itu, ada tiga hal yang
dapat menggambarkan kepuasan dalam
suatu hubungan perkawinan yaitu (1)
Setiap pasangan harus mempunyai sikap
yang positif satu dengan yang lainnya.
(2) Pasangan memahami bahwa
kehidupan perkawinan memerlukan
komitmen dalam jangka panjang dan
waktu perkawinan merupakan lembaga
yang suci dimana pasangan bersungguh-
sungguh melakukan perjanjian “till death
us do part”, sehingga konflik dapat
dihindari. (3) Adanya dukungan emosional dari pasangan dalam
hubungan perkawinan tersebut.
d. Affectional expression atau ekperesi
afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks
maupun masalah yang ada menenai
hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang
lainmengetahui siapa mereka, apa yang
mereka rasakan atau apa yang mereka
fikirkan. Mereka mungkin takut jika
orang lain benar-benar mengetahui
mereka, mereka mungkin ditolak sebagai teman dan orang-orang yang dicintainya.
Oleh karena itu mereka berhati-hati
terhadap dirinya dan hubungannya
dengan membatasi fikiran dan perasaan-
perasaan yang dikemukakannya (Knox,
1988). Selanjutnya menurut Knox (1988)
rasa percaya terhadap orang lain
merupakan keadaan dimana orang
mempunyai kemauan untuk terbuka satu
sama lain. Mereka harus merasa bahwa apapun perasaan-perasaan atau informasi
yang mereka bagi/kemukakan (share)
tidak akan dikritik dan merasa tetap aman
berada pada orang yang mereka percayai.
3. Kondisi-Kondisi yang Berpengaruh
terhadap Kesulitan dalam Penyesuaian
Perkawinan a. Persiapan yang terbatas untuk
perkawinan
Persiapan yang terbatas dari suami-istri
dalam keterampilan rumah tangga,
mengasuh anak, serta manajemen uang
membuat pasangan kesulitan dalam
penyesuaian perkawinannya.
b. Peran dalam perkawinan
Kecendrungan terhadap perubahan peran
dalam perkawinan bagi pria dan wanita,
kemudian konsep yang berbeda tentang
peran yang dianut kelas sosial dan
kelompok religious yang berbeda,
membuat penyesuaian perkawinan lebih
sulit dari pada masa lalu ketika peran-
peran sudah ditentukan.
c. Kawin muda
Perkawinan dan kedudukan sebagai
orang tua sebelum pasangan muda yang menyelesaikan pendidikan dan belum
mandiri secara ekonomi membuat
merekan tidak mempunyai kesempatan
untuk mempunyai pengalaman yang
dipunyai kesempatan untuk mempunyai
pengalaman yang dipunyai teman-teman
mereka.
d. Konsep yang tidak realistis tentang
perkawinan
Orang dewasa yang bekerja disekolah
dan perguruan tinggi, dengan sedikit atau
tanpa pengalaman kerja, cenderung
mempunyai konsep yang tidak realistis
tentang makna perkawinan berkenaan
dengan pekerjaan, deprivasi,
pembelanjaan uang, atau perubahan
dalam pola hidup.
e. Perkawinan campur
Penyesuaian terhgadap kedudukan
sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya,
jauh lebih sulit dalam perkawinan antar
agama daripada bila keduanya berasal
dari latar belakang budaya (agama) yang
sama.
f. Masa pacaran yang singkat
Priode atau masa pacaran yang lebih
singkat berdampak pada setidaknya
waktu bagi pasangan untuk memcahkan banyak masalah tentang penyesuaian
sebelum mereka melangsungkan
perkawinan. Grover (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan ada pengaruh yang
sangat tinggi antara lamanya waktu
pacaran dengan kepuasan perkawinan
yang merupakan indicator dari
penyesuaian perkawinan yang baik.
g. Konsep perkawinan yang romantis
Banyak orang dewasa yang mempunyai
konsep perkawinan yang romantis yang
berkembang pada masa remaja. Pada saat pacaran masing-masing pasangan
merasakan adanya suatu keadaan yang
romantic dan mereka menganggap bahwa
keadaan itu akan selalu ada ketika
mereka telah melangsungkan
perkawinan. Namun, banyk pasangan
menemukan bahwa perkawinan yang
romantis dan bulan madu tidak akan
abadi selamanya (Turner & Hems, 1995).
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Penyesuaian terhadap Perkawinan
a. Konsep pasangan yang ideal.
Dalam memilih pasangan, baik pria
maupun wanita sampai tingkat tertentu
dipengaruhi oleh konsep pasangan ideal
yang dibentuk selama masa dewasa.
Semakin telatih seseorang seseorang
menyesuaikan diri terhadap realitas maka akan semakin sulit penyesuaian
dilakukan terhadap pasangan. Misalnya
ketika seseorang dapat melakukan
penyesuaian diri diri yang dituntut dalam
dunia kerja maka orang tersebut akan
menuntut orang lain/rekan kerjanya juga
berbuat hal yang sama, sedangkan belum
tentu orang lain dapat menyesuaikan diri
dalam dunia kerja seperti dirinya.
b. Pemenuhan kebutuhan
Pada penyesuaian yang baik, individu
harus saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya. Sehingga,
apabila orang dewasa perlu pengenalan,
pertimbangan prestasi dan status social
agar bahagia, pasangan harus saling
membantu untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
c. Kesamaan latar belakang
Semakin sama latar belakang suami dan
istri, semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda
pandangan hidup, maka semakin sulit
penyesuaian diri dilakukan.
d. Minat dan kepentingan bersama
Kepentingan yang sama tentang suatu
hal, yang dapat dilakukan pasangan
cenderung membawa penyesuaian yang
baik dari kepentingan bersama yang sulit
dilakukan dan dibagi bersama.
e. Kesamaan nilai
Pasangan yang menyesuaikan diri dengan
baik mempunyai nilai yang kurang lebih
sama daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk. Biasanya latar belakang
yang sama menghasilakan nilai yang
sama pula.
f. Konsep peran
Setiap pasangan mempunyai konsep yang
pasti mengenai bagaiman seharusnya
peran seorang suami dan istri, atau setiap
orang mengharapkan pasangannya
memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi, akan
mengakibatkan konflik dan penyesuaian
yang buruk.
g. Perubahan dalam pola hidup
Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola
kehidupan, mengubah persahabatan dan
kegiatan-kegiatan social, serta mengubah
persyaratan pekerjaan,terutama bagi
seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian
ini sering kali diikuti oleh konflik
emosional.
C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif
Dalam penelitian ini menggunakan
format studi kasus tipe pendekatan penelitian yang penelaahannya kepada satu
kasus yang dilakukan secara intensif,
mendalam, mendetail dan komprehensif.
Dalam penelitian studi kasus ini lebih
menekankan mengkaji variabel yang cukup
banyak pada jumlah yang kecil, tujuan dari
penelitian studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail
tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas dari kasus (Nazir, 1999).
2. Subjek penelitian
Karakteristik subjek dalam penelitian ini
adalah remaja putra, yang rentang usianya
antara 11-24 tahun yang kedua orang tuanya
telah meninggal. Sementara itu subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari
satu orang subjek dengan 1 orang significant
others.
3. Tahap-tahap Persiapan a. Tahap Persiapan Penelitian, dalam
membuat pedoman wawancara yang akan dibuat sesuai dengan tujuan penelitian
dan berdasarkan teori yang relevan
dengan permasalahan pedoman
wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya dapat
berkembang dalam wawancara dengan
topik penelitian.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian, peneliti
terjun langsung ke lapangan untuk
melakukan observasi dan wawancara
secara terpisah. Setelah itu, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan
wawancara dan hasil observasi ke dalam
bentuk verbatim tertulis, kemudian
peneliti melakukan analisis data dan
interpretasi data sesuai dengan langkah-
langkah yang dijabarkan pada bagian
teknik analisis data. Terakhir peneliti membuat diskusi dan kesimpulan dari
seluruh hasil penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitan ini tipe pengumpulan
data yang akan dipergunakan adalah metode
wawancara dan metode observasi.
Wawancara dengan pedoman umum, yaitu
proses wawancara dimana peneliti
dilengkapi dengan pedoman mengenai aspek-aspek yang dibahas dan pertanyaan-
pertanyaan dijabarkan tergantung pada
konteks saat wawancara berlangsung. Sedangkan dalam jenis observasi yang
dilakukan adalah observasi sistemik, dimana
pada jenis observasi ini peneliti melakukan
wawancara (Poerwandari, 1998) adapun
sistemik pencatatan yang dilakukan meliputi
materi, cara-cara mencatat hasil observasi
dan wawancara, hubungan observer dan observee dilingkungan tempat wawancara
dilakukan dan lain sebagainya.
5. Alat Bantu Penelitian
Menurut Poerwandari (2001), penulis
sangat berperan dalam seluruh penelitian
mulai dari memilih topik, mendekati topik,
mengumpulkan data, analisis, interpretasi
dan menyimpulkan data, dalam pengambilan
data dalam metode wawancara dan observasi diperlukan alat bantu, untuk
mempermudah peneliti untuk
mengumpulkan data yaitu: pedoman
wawancara, pedoman observasi, alat
perekam.
6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu
penelitian dengan metode kualitatif, ada
beberapa teknik yang digunakan dan salah
satu teknik tersebut adalah triangulasi.
Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan
keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Triangulasi dapat
dibedakan menjadi emapat macam yaitu
triangulasi data, pengamat, teori, dan
metodologis.
7. Teknik Anlisis Data Data yang diperoleh akan di analisa
dengan menggunakan teknik analisa data
kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah mengorganisasikan data, mengelompokkan
data, analisis kasus, dan menguji asumsi.
D. Hasil Dan Analisis
1. Persiapan Penelitian Pertama kali yang dilakukan oleh
peneliti sebelum proses pengambilan data dilakukan, peneliti terlebih dahulu datang
menemui subjek di rumahnya untuk
menjelaskan kedatangan dan tujuan peneliti. Setelah maksud dan tujuan telah di ketahui
oleh calon subjek maka peneliti menjelaskan
lebih rinci mengenai penelitian yang
dilakukan peneliti agar subjek lebih
mengerti dan merasa nyaman dengan
peneliti sehingga penelitian dapat berjalan
dengan baik. Sebelum proses pengambilan data, peneliti mempersiapkan pedoman
wawancara, pedoman observasi, dan
memepersiapkan alat-alat penelitian berupa tape recorder, kertas dan alat tulis. Hal ini
dilakukan agar proses pengumpulan data
dapat berjalan dengan baik dan lancar.
2. Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan observasi dalam penelitian ini
dilakukan pada tanggal 8 Maret 2009,pada hari minggu dikediaman rumah subjek.
Sedangkan kegiatan observasi dengan
significant others, yaitu sepupu subjek pada
tanggal 23 Maret 2009, pada hari senin.
Kegiatan wawancara dalam penelitian
ini dilakuakan pada tanggal 8 Maret 2009 dikediaman rumah subjek. Sedangkan
wawancara pada significant others juga
dilakukan pada tanggal 23 Maret 2009
dirumah significant other.
3. Hasil Observasi dan Wawancara
a. Gambaran Umum Subjek Karakteristik subjek dalam penelitian ini
adalah pasangan suami-istri yang menikah
tanpa proses pacaran atau ta’aruf yang mana
masa perkawinan dalam rentang waktu 1
sampai 5 tahun perkawinan. Suami dengan
inisial F, lahir pada tahun 1976 11 juni, 33
tahun yang lalu, anak ke dua dari lima bersaudara, pendidikan terakhir STM,
pekerjaan sebagai karyawan Design Grafic
di salah satu percetakan di daerah Depok, menikah pada tanggal 24 agustus 2006, suku
Minangkabau (padang). Istri dengan inisial
D, lahir pada tahun 1979 20 agustus, anak ke
lima dari tujuh bersaudara, pendidikan
terakhir Sarjana, subjek bekerja sebagai guru
bimbingan di salah satu tempat les di Depok,
menikah pada tanggal 20 agustus 2006, suku Jawa.
b. Pembahasan 1. Perkawinan tanpa proses pacaran
(ta’aruf). Dalam penelitian ini peneliti meneliti
mengenai penyesuaian perkawinan pada
pasangan suami-istri yang menikah tanpa
pacaran (ta’aruf) yang usia penikahan
kurang dari 5 tahun. Ta’aruf secara khusus diartikan, yaitu ta’aruf antara laki-laki dan
perempuan yang hendak mengikat hubungan
mereka dengan perjanjian kokoh (mitsaqon
gholizo), di bawah naungan lembaga
perkawinan. Amran mengakui istilah proses
perkenalan (ta’aruf) dalam konteks
pendekatan antara laki-laki dan perempuan
yang akan menikah (sebelum proses
melamar), Aktivitas yang dilakukan pada
saat proses perkenalan biasanya yaitu bertukar biodata, kemudian melakukan
diskusi dan Tanya jawab pada saat
pertemuan. Pada saat forum pertemuan ini
dimungkinkan masing-masing calon untuk
mengetahui calon pasangannya yang akan
dijadikan sebagai suami-istri dalam batas-
batas syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini disertai guru mengaji atau
orang yang diminta sebagai mediator oleh
salah satu pasangan.
Pada penelitian ini pengalaman ta’aruf
dapat dilihat pada kasus yang dialami oleh
subjek I (suami) dan subjek II (istri), yang
usia perkawinannya 2 setengah tahun, berasal dari keluarga islam yang taat baik
istri maupun suami, terutama keluarga istri
karena proses ta’aruf adalah bukan hal baru
bagi keluarga mereka. Kedua subjek
memiliki latar belakang sosial dari kelas
menengah, dan memiliki latar belakang
budaya yang berbeda, subjek I (suami) suku Minangkabau (Padang), dan subjek II (istri)
suku Jawa.
Proses perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dilakukan oleh subjek adalah
sebuah proses pernikahan yang dipilih oleh
keduanya, karena menurut keduanya sesuai
dengan ajaran agama, dalam proses ini
memakan waktu sekitar 5 bulan, dimana
biasanya proses ta’aruf selalu melibatkan
guru dari pengajian mereka secara keseluruhan, namun pada perakteknya
mereka tidak menggunakan guru sampai
akhir pemutusan untuk menikah, dikarenakan ada hamabatan informasi
diantara kedua guru mereka. Dalam proses
mereka tidak pernah bertemu secara
langsung, namuan menggunakan media,
seperti surat dan handphone. Subjek selalu
memanfaatkan waktu untuk lebih mengenal
satu sama lain sehingga pembicaraan yang dilakukan juga serius. Hal yang membuat
subjek I dan II menjadi yakin karena adanya
kesamaan fisi dan misi, serta pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. .
2. Faktor yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan. Dari hasil wawancara dengan subjek I
dan subjek II serta significant other, maka
penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf)
memiliki hasil analisis bahwa penyesuaian
yang mereka jalani berjalan dengan baik.
Hal ini didapat dari awal pernikahan subjek
dan pasangan, dimana alasan mereka
menikah adalah karena adanya kecocokan,
kesepahaman, minat dan kepentingan bersama. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa faktor pendorong yang
melandasi pernikahan subjek adalah adanya
kesamaan mendasar antara subjek dan
pasangannya. Sesuai dengan pendapat
Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa
kepentingan yang sama tentang suatu hal, yang dapat dilakukan pasangan cenderung
membawa penyesuaian yang baik dari
kepentingan bersama yang sulit dilakukan
dan berbagi bersama.
Sesuai dengan makna dari penyesuaian
perkawinan yakni proses adaptasi antara
suami dan istri dalam aspek-aspek kehidupan perkawinan sehingga akan
tercapainya hubungan yang bahagia dan
harmonis. Maka setelah memasuki kehidupan pernikahan, subjek dan pasangan
saling menyesuaikan diri satu sama lain
meskipun menemui hambatan dengan
adanya perbedaan latar belakang budaya dan
pendidikan antara mereka tetapi dapat
dilalui dengan baik karena adanya
kesepakatan dan komunikasi antara subjek dan pasangannya. Seperti yang diungkapkan
oleh Duvall dan miller (1985) bahwa dalam
hubungan perkawinan, pasangan akan memnemukan berbagai permasalahan
permasalahan, yang harus diputuskan
melalui kesepakatan untuk mendapatkan
kesepahaman anatara pasangan.
Dari dimensi-dimensi dalam
penyesuaian perkawinan dapat ditarik
kesimpulan bahwa kesepakatan antar pasangan (Dyadic consesus) merupakan
dimensi yang paling dominan dan penting
dalam pernikahan subjek dan pasangan. Kemudian juga kedekatan dalam hubungan
secara fisik dan emosi (Dyadic cohesion)
terlihat dalam hubungan subjek dan
pasangannya. Sesuai dengan Spanier (dalam
Miranda, 1995) yang mengatakan bahwa
kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan
dari seberapa banyak dan seberapa sering pasangan melakukan berbagai kegiatan
secara bersama-sama dan menimati
kebersamaan yang ada yang mana hal ini
akan mempengaruhi kepuasan individu
terhadap perkawinannya.
Dalam suatu perkawinan khususnya
perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dibahas dalam penelitian ini, banyak sekali
penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh
karena itu suksesnya suatu penyesuaian
perkawinan pada suami istri dapat terwujud
apabila terdapat titik temu antara pasangan,
yaitu keimanan, pengajian, serta proses
menikah yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan
yang selalu mengdepankan ajaran agama
dalam kehidupan individu suami istri
maupun dalam kehidupan perkawinan
mereka, untuk saling menerima dan
mensyukuri atas apa yang mereka dapat,
suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam kehidupan perkawinan.
Hal lain yang mendukung penyesuaian
perkawinan subjek dan pasangan sehingga berjalan dengan baik karena subjek dan
pasangan dapat mnerima perubahan-
perubahan yang anda tanpa menimbulkan
konflik, hal ini dikarenakan adanya konsep
yang realitas mengenai perkawinan, hal ini
adalah kondisi yang berpengaruh dalam
penyesuaian perkawinan menurut Hurlock (1980). Yang mana subjek dan pasangan
telah memiliki kesiapan dan tujuan yang
sama dalam membangun sebuah pernikahan. Keberhasilan penyesuaian perkawinan
antara subjek dan pasangan juga terlihat dari
adanya kebahagiaan antara suami dan istri,
hubungan yang baik antara orang tua dan
keluarga suami maupun pasangan, dan rasa
kebersamaan antara subjek dan pasangan,
serta adanya penyesuaian dalam hubungan yang telah dibina suami atau istri sebelum
pernikahan dengan baik, hal ini termasuk
kedalam kriteria-kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan dalam kehidupan
rumah tangga. Dimana jika penyesuaian
perkawinan dapat berhasil, maka keluarga
dapat menikamati waktu yang digunakan
untuk berkumpul bersama, kebersamaan
tersebut akan menimbulkan kesejahteraan
(well being) emosionel dan psikologis diantara pasangan yang akan berdampak
tumbuhnya rasa aman dan nyaman (Duvall
& Miller, 1985).
Adanya konsep pasangan ideal yang
terpenuhi oleh suami dan istri, minat dan
kepentingan bersama mengenai tujuan
pernikahan, subjek dan pasangan menyesuaikan diri dengan memiliki nilai,
pandangan hidup yang sama mengenai baik
dan buruknya suatu hal dalam ajaran agama
dalam penelitian ini agama Islam, memiliki
konsep peran yang pasti mengenai subjek
dan pasangan, serta subjek dan pasangan
telah saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya, yang mana kesemua hal ini
adalah faktor yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan mennurut Hurlock
(1980).
Dari keseluruhan aspek yang diteliti
dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
perkawinan yang subjek I dan II jalani dapat berlangsung dengan baik dan positif, karena
mereka menginterpretasikan tiap-tiap
dimensi penyesuaian perkawinan, kondisi-kondisi yang berpengaruh, serta kriteria dan
faktor yang mempengaruhi penyesuaian
perkawinan berdasarkan pada kenyataan diri
sendiri dan pasangan, sebagian besar dan
hampir seluruhnya terdapat dalam diri
subjek I dan II. Bila subjek dan pasangan
menemukan masalah mereka dapat dan
mampu menyelesaikannya dengan jalan
saling menerima dan memahami dengan
berdiskudi untuk mencari jalan keluar
yang terbaik bagi subjek dan pasangan,
sesuai dengan kesepakatan bersama yang
telah mereka setujui pada awal
pernikahan.
E) Penutup A. Kesimpulan
1. Gambaran pada penyesuaian
perkawinan pada pasangan yang
menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf)
Subjek dan pasangan melaksanakan
pernikahan tanpa proses pacaran (ta’aruf)
dapat dilihat dari proses yang mereka jalani
dan persiapan dalam pernikahan mereka,
lamanya proses perkenalan hanya 5 bulan,
namun subjek dapat memutuskan menikah,
dan berdasarkan analisa terhadap berbagai
aspek mengenai penyesuaian perkawinan
maka dapat disimpulkan subjek dan
pasangan memiliki penyesuaian yang cukup
baik. Hal ini dapat dilihat dari alasan subjek
mengenai keputusannya untuk menikah
dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep
pasangan ideal antara satu sama lain.
Menurut definisi pernikahan tanpa proses
pacaran (ta’aruf) adalah komunikasi timbal
balik untuk saling mengenal yang berkaitan
dengan masalah perkawinan. Sejalan dengan
hal tersebut, proses perkenalan berbeda dengan pacaran. Pada proses perkenalan
diperlukan adanya mediator yang menjadi
perantara. mediator hendaknya orang yang
sholeh yang bisa dipertanggung jawabkan
agama dan kejujurannya. Mediator biasanya
guru mengaji salah satu calon pasangan atau
teman dekat calon yang tergabung dalam kelompok pengajian yang sama. Apabila
ditinjau dari segi ta’arufnya maka banyak
sekali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh karena itu suksesnya suatu
penyesuaian perkawinan bagi pasangan
suami istri dapat terwujud apabila terdapat
titik temu antara pasangan. , yaitu keimanan,
pengajian, serta proses menikah yang
mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap
subjek dan pasangan yang selalu mengdepankan ajaran agama dalam
kehidupan individu suami istri maupun
dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa
yang mereka dapat, suami istri juga telah
mengetahui tugas dan kewajibannya dalam
kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang
diterapkan subjek bersama pasangannya
sehingga kehidupan pernikahan mereka
berjalan dengan baik, karena dengan diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih
saling menerima, menghargai satu sama
lain.
Subjek melakukan proses ta’aruf
tersebut selama 5 bulan, dimana biasanya
proses ta’aruf selalu melibatkan guru dari
pengajian secara keseluruhan, namun pada
perakteknya subjek tidak menggunakan guru
sampai akhir pemutusan untuk menikah,
dikarenakan ada hamabatan informasi
diantara kedua guru mereka, tetapi mereka
memiliki perantara yaitu sahabat dari ibu
subjek masing-masing, selama ta’aruf itu
berlangsung subjek telah mengikuti segala
aturan yang berlaku, dan persiapan-
persiapan, kedua subjek menjadi yakin akan
keputusan keduanya karena adanya kesamaan fisi dan misi, serta pandangan
hidup yang sesuai dengan ajaran agama
sebagaimana yang telah diatur dakan al-
Qur’an dan hadist.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan
penyesuaian perkawinan pada
pasangan yang menikah tanpa proses
pacaran (ta’aruf).
Berdasarkan analisa terhadap berbagai Aspek mengenai penyesuaian perkawinan
maka dapat disimpulkan subjek dan
pasangan memiliki penyesuaian yang cukup
baik. Hal ini dapat dilihat dari penelitian
yang telah dilakukan dan berdasarkan pada
dimensi-dimensi penyesuaian perkawinan
maka kesepakatan antar pasangan (Dyadic
consesus) merupakan dimensi yang paling
dominan dan penting dalam pernikahan
subjek dan pasangan. Kemudian juga
kedekatan dalam hubungan secara fisik dan
emosi (Dyadic cohesion) terlihat dalam
hubungan subjek dan pasangannya,
kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan
dari seberapa banyak dan seberapa sering
pasangan melakukan berbagai kegiatan
secara bersama-sama dan menimati kebersamaan yang ada yang mana hal ini
akan mempengaruhi kepuasan individu
terhadap perkawinannya.
Bila dilihat dari kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kesulitan dalam
penyesuaian perkawinan maka yang
dominan adalah perkawinan campur dan masa pacaran yang singkat, namun kedua
hal ini bisa dilewati karena pada hal lain
suami dan istri dapat menerima konsep
realitis tentang perkawinan, dan suami istri
memiliki tujuan dan pandangan yang sama
tentang hidup dan pernikahan mereka.
Dari kriteria keberhasilan penyesuaian
perkawinan maka suami dan istri telah telah
memenuhi kriteria tersebut dimana hal yang
dominan adalah suami dan istri merasa
bahagia satu sama lain yang berasal dari
kepuasan yang diperoleh dari peran yang
mereka jalani bersama. Dimana terdapat
hubungan yang baik antara anak dan orang tua baik suami maupun istri, yang
mencerminkan keberhasilan penyesuian
perkawinan, serta adanya rasa kebersamaan antara suami dan istri dimana masing-
masing dapat menikamti waktu yang
digunakan bersama, dan kebersamaan
tersebut akan menimbulkan kesejahteraan
emosional dan psikologis diantara pasangan
yang menumbuhkan adanya rasa aman dan
nyaman berada disisi pasangan.
Bila dilihat dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penyesuaian perkawinan
maka konsep pasangan ideal memang telah
ditemukan suami maupun istri didalam diri
pasangan masing-masing. Serta adanya
minat dan kepentingan bersama yang
membuat pasangan dapat memutuskan untuk
bersama dalam kehidupan pernikahan
bahwa, sehingga masalah-masalah yang
terjadi dapat diselesaikan dan di perbaiki
dikarenakan adanya kesamaan nilai dan
pandangan mengenai kehidupan yang
berlandaskan agama dan keimanan antara
suami maupun istri yang telah sefaham. Serta konsep peran yang jelas yang telah
dijalankan keduanya. .
B. Saran 1. Kepada subjek (suami-istri)
Dari hasil penelitian, bahwa subjek dan
pasangan sebaiknya terus mencoba dan
memahami kebiasaan-kebiasaan dan hal
yang disukai maupun tidak disukai oleh masing-masing individu, agar jauh lebih
baik kehidupan berumah tangganya.
2. Kepada istri subjek Dari hasil penelitian yang dilakukan
sebaiknya istri subjek belajar untuk
lebih ekspresif dan lebih terbuka kepada
pasangan, karena hal ini akan lebih
membantu untuk perjalanan kehidupan
pernikahan subjek dan pasangan.
3. Kepada peneliti selanjutnya Diharapkan pada penelitian selanjutnya,
peneliti bisa mengambil kriteria subjek
dengan latar belakang yang lebih beragam lagi seperti, subjek yang
menikah dengan usia yang berbeda jauh,
agar dapat membandingkan apa saja
masalah-masalah yang dihadapi dan
bagaimana mengatasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adhiem, M. F. (2000). Saatnya untuk
menikah. Jakarta: Gema Insane
Press.
Al-Mukaffi, A. (2003). Pacaran dalam
kacamata Islam. Jakarta: Penerbit Media
Dakwah
Atwater, E. (1993). Psychology of
adjustment (2th ed). New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Atwater, E., & Duffy, K. G. (1999).
Psychology for living adjustment, growth, and behavior today (6th ed).
New Jersey:Prentice Hall, Inc.
Baron, R.A., & Byrne, D. (2000). Social
psycology (9th ed). Massacchussetts:
Allyn and Bacon.
Benokraitis, N. V. (1996). Marriage and
family (2th ed): Changes, choise and
constraints. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Berns, R. M. (1997). Child, family, school,
community. socialization and
Support. (4th
ed). Florida: Hacourt
Brace Collage Publisher..
Bersiap Menjadi Pengantin. (2002). Majalah
wanita ummi: Identitas wanita
Islam. Edisi Spesial 5/XIV/2002. Jakarta: PT. Kimus Bina Tadzika.
Blood, R. O. (1969). Marriage (2nd
ed). New York: The Free Press.
Brehm, S.S. Intimate relationships (2nd ed).
New York :McGraw-Hill Inc.
Departeman Urusan Agama Islam. (1971).
Al-Qur’an dan terjemahannya (4th
ed). Medinah: Mujamma’al malik
Fadh li thiba’at al Mush-haf asy
Syarif.
Duvall, E.M. ; Miller, B.C. (1985).
Marriage and family development (6th ed). New York: Harper & Row,
Publishers
Feldman, R. S. (1989).Adjustment: applying
psychology in a complex world.
Singapore.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi
perkembangan: suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan (edisi
kelima) (Terjemahan). Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Knox, D. (1998). Choices in relationships
(2nd
ed): An introduction to
marriage and the family. St. Paul:
West Publishing company. Miranda, S. (1995). Kelekatan (attachment)
dengan penyesuaian perkawinan:
studi penjajakan mengenai
pengaruh kelekatan terhadap
penyesuaian perkawinan suami-istri
pada masa perkawinan dua tahun
pertama. Skripsi sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Moleong, L. J. (2002) Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Narbuko, C. & Achmadi, A. (2003) Metode
penelitian. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Nugroho, W. C. (2000). Gaya komunikasi
pada laki-laki dan perempuan
berstatus pacaran saat mengalami
konflik interpersonal dengan
pasangannya. Skripsi Sarjana
Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Papalia, D. E., S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. (9th
ed). USA: Mc Graw-Hilll
Companies, Inc.
Phelan, G. K.(1979). Family relationships.
Minnesota: Burgess Publishing Company.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian
psikologi. Jakarta: Lembaga
Pengembangan Sarana Penguruan
dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Universitas Indonesia.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk perilaku manusia.
Depok: LPSP3 Faultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Qadari, M. (1997). Sifat keterbukaan-
ketertutupan sistem kepercayaan
peserta gerakan tarbiyah
dikalangan mahasiswa Universitas
Indonesia. Skripsi Sarjana, Depok:
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Robert, G. L. (1968). Personal growth and
adjustment (7th ed). New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Salim, P. & Salaim, Y. (1991). Kamus
bahasa Indonesia kontemporer.
Jakarta: Modern English Press.
Takariawan, C. (2002). Di jalan dakwah aku
menikah. Jogjakarta: Tiga Lentera
Utama Jogjakarta.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. (1999). Kamus besar bahasa Indonesia (4 th). Jakarta: Departement Pendidikan
Dan Kebudayaan-Balai Puataka.
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995).
Lifespan development (5th ed). Fort
Worth: Harcourt Brace Collage Publisher.
Undang-Undang Perkawinan Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1974.
Zainab, R. K. (2002). Penyesuaian
perkawinan antar bangsa : studi
kasus pada 5 orang wanita
Indonesia yang menikah dengan
pria asing. Skripsi Sarjana. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.