2
PERALIHAN MASA PRASEJARAH KE MASA BANTEN MEMASUKI PERADABAN HINDU-BUDHA Indikasi masuknya peradaban Hindu-Budha ke Daerah Banten terjadi pada abad kelima, yang mengakhiri zaman prasejarah ke zaman sejarah Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan dengan temuan sebuah prasasti tertulis di daerah Munjul, Kabupaten Pandeglang yang terindikasi berasal dari kerajaan Taruma, Jawa Barat. Prasasti lainnya yang berkaitan ialah ditemukannya dua potong prasasti kecil di situs Banten Girang. Menurut para ahli arkeologi menyatakan bahwa berdasarkan gaya huruf prasasti yang ditemukan di situs Banten Girang diperkirakan berasal dari abad kesepuluh Masehi. Bukti lainnya peradaban Hindu-Budha telah masuk ke daerah Banten dari daerah Kabupaten Serang, yaitu situs Papatan di Cikande, situs ini merupakan situs kelanjutan dari zaman prasejarah ke zaman masuknya Hindu-Budha. Di Karangantu, pernah ditemukan batu Nandi. Arca Nandi dari Karangantu kini disimpan di Museum Banten Lama dan dianggap dari abad ke-13 Masehi. Melihat bukti arkeologis yang telah ditemukan, dapat dipastikan penduduk Banten telah menjalin hubungan dengan bangsa asing, khususnya India dan China. Ada keterkaitan hubungan ekonomi dengan terjalinnya Banten dengan bangsa lain, hal ini ditunjukan ditemukannya di Banten Girang keramik-keramik yang berasal dari Dinasti Tang dan Sung awal. Bukan hanya itu saja, ternyata masuknya bangsa lain ke wilayah Banten adanya unsur pengadopsian religi asing yang dibawa ke penduduk lokal. Secara tidak disadari religi yang dibawa ternyata memiliki kesamaan “nafas” dengan religi masyarakat lokal sebelumnya, sehingga praktik penyebarannya tidak menimbulkan konflik sosial yang besar. Pada tahun 1514, Tome Pires menyebutkan dalam catatannya yang dikenal, Suma Oriental, ia menyebutkan bahwa adanya kerajaan Sunda di Jawa Barat, yang memiliki enam kota pelabuhan, yaitu : Bautan (Banten), Pomdang (Pontang), Chegujde (nama itu menurut Shigegero merujuk pada satu tempat pada muara sungai di Cisadane), Tamgara (Tangerang), Calapa (Kelapa atau Sunda Kelapa, yang sekarang adalah Jakarta), dan Chemano (Cimanuk). Menurut Pires, salah satu kota pelabuhan adalah Bautan (Banten). Di kota dagang ini, kapal berlabuh. Di kota ini, dapat disaksikan para pedangan asing, seperti dari Maladewa. Di Banten juga banyak diperdagangkan lada. Dimana lada merupakan mata dagang yang paling dicari oleh para pedagang dari Cina. Padahal lada merupakan tumbuhan yang bukan berasal dari Banten. Menurut G.P. Rouffaer, tanaman lada merupakan tanaman asli dari pantai bagian barat Dekan Tengah, India. Hal tersebut menunjukan selain hubungan dagang dengan Cina, Banten pun menjalin hubungan dengan India. Ini terbukti dengan fakta bahwa pada abad keenam Masehi sudah berdiri satu kerajaan penting di Jawa Barat, Taruma, yang beragama Hindu dan dapat dipastikan salah satu pelabuhannya di Banten, yang merupakan pintu masuk pendatang asing. Gunung Pulosari merupakan gunung dimana para arkeolog menemukan bukti-bukti artefak yang menunjukan pembenaran bahwa Gunung Pulosari dipahami sebagai konsep peninggalan kepercayaan Hindu. Di situs ini, banyak ditemukan keramik dan potongan arca dari abad ke-10 Masehi. Informasi ini menambah keyakinan bahwa pada abad ke-10 sampai dengan abad ke-15 Masehi, masyarakat Banten, mulai dari Banten Girang (Serang), Pandeglang (Gunung Karang, Gunung Pulosari, Gunung Haseupan),

Peralihan Masa Pra Sejarah Ke Masa Banten Memasuki Peradaban Hindu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah masa peralihan kota banten

Citation preview

PERALIHAN MASA PRASEJARAH KE MASA BANTEN MEMASUKI PERADABAN HINDU-BUDHA

Indikasi masuknya peradaban Hindu-Budha ke Daerah Banten terjadi pada abad kelima, yang

mengakhiri zaman prasejarah ke zaman sejarah Hindu-Budha. Hal ini dibuktikan dengan temuan sebuah

prasasti tertulis di daerah Munjul, Kabupaten Pandeglang yang terindikasi berasal dari kerajaan Taruma,

Jawa Barat. Prasasti lainnya yang berkaitan ialah ditemukannya dua potong prasasti kecil di situs Banten

Girang. Menurut para ahli arkeologi menyatakan bahwa berdasarkan gaya huruf prasasti yang

ditemukan di situs Banten Girang diperkirakan berasal dari abad kesepuluh Masehi. Bukti lainnya

peradaban Hindu-Budha telah masuk ke daerah Banten dari daerah Kabupaten Serang, yaitu situs

Papatan di Cikande, situs ini merupakan situs kelanjutan dari zaman prasejarah ke zaman masuknya

Hindu-Budha. Di Karangantu, pernah ditemukan batu Nandi. Arca Nandi dari Karangantu kini disimpan

di Museum Banten Lama dan dianggap dari abad ke-13 Masehi. Melihat bukti arkeologis yang telah

ditemukan, dapat dipastikan penduduk Banten telah menjalin hubungan dengan bangsa asing,

khususnya India dan China. Ada keterkaitan hubungan ekonomi dengan terjalinnya Banten dengan

bangsa lain, hal ini ditunjukan ditemukannya di Banten Girang keramik-keramik yang berasal dari

Dinasti Tang dan Sung awal. Bukan hanya itu saja, ternyata masuknya bangsa lain ke wilayah Banten

adanya unsur pengadopsian religi asing yang dibawa ke penduduk lokal. Secara tidak disadari religi yang

dibawa ternyata memiliki kesamaan “nafas” dengan religi masyarakat lokal sebelumnya, sehingga

praktik penyebarannya tidak menimbulkan konflik sosial yang besar.

Pada tahun 1514, Tome Pires menyebutkan dalam catatannya yang dikenal, Suma Oriental, ia

menyebutkan bahwa adanya kerajaan Sunda di Jawa Barat, yang memiliki enam kota pelabuhan, yaitu :

Bautan (Banten), Pomdang (Pontang), Chegujde (nama itu menurut Shigegero merujuk pada satu

tempat pada muara sungai di Cisadane), Tamgara (Tangerang), Calapa (Kelapa atau Sunda Kelapa, yang

sekarang adalah Jakarta), dan Chemano (Cimanuk). Menurut Pires, salah satu kota pelabuhan adalah

Bautan (Banten). Di kota dagang ini, kapal berlabuh. Di kota ini, dapat disaksikan para pedangan asing,

seperti dari Maladewa. Di Banten juga banyak diperdagangkan lada. Dimana lada merupakan mata

dagang yang paling dicari oleh para pedagang dari Cina. Padahal lada merupakan tumbuhan yang

bukan berasal dari Banten. Menurut G.P. Rouffaer, tanaman lada merupakan tanaman asli dari pantai

bagian barat Dekan Tengah, India. Hal tersebut menunjukan selain hubungan dagang dengan Cina,

Banten pun menjalin hubungan dengan India. Ini terbukti dengan fakta bahwa pada abad keenam

Masehi sudah berdiri satu kerajaan penting di Jawa Barat, Taruma, yang beragama Hindu dan dapat

dipastikan salah satu pelabuhannya di Banten, yang merupakan pintu masuk pendatang asing.

Gunung Pulosari merupakan gunung dimana para arkeolog menemukan bukti-bukti artefak yang

menunjukan pembenaran bahwa Gunung Pulosari dipahami sebagai konsep peninggalan kepercayaan

Hindu. Di situs ini, banyak ditemukan keramik dan potongan arca dari abad ke-10 Masehi. Informasi ini

menambah keyakinan bahwa pada abad ke-10 sampai dengan abad ke-15 Masehi, masyarakat Banten,

mulai dari Banten Girang (Serang), Pandeglang (Gunung Karang, Gunung Pulosari, Gunung Haseupan),

sampai ke Labuan saat itu telah terpengaruh kuat oleh religi Hindu-Budha. Berdirinya kerajaan Hindu-

Budha di Banten Girang menunjukan kekuatan Hindu di masyarakat Banten makin diterima dan institusi

kenegaraan yang mengatur tatanan masyarakat ini menjadi keniscayaan. Hal ini menjadi babak baru

bagi sejarah Banten mulai mengatur dirinya sendiri.

Ada pakar mengatakan bahwa pendiri kerajaan Banten Girang bukanlah orang Banten, melainkan orang

Jawa Tengah, yang hidup pada masa Mpu Sendok pindah ke Jawa Timur. Sayangnya pendapat itu tidak

berdasarkan bukti arkeologi ataupun bukti lainnya. Dalam hal ini, masyarakat Banten lainnya masih

menyakini bahwa pendiri Kerajaan Banten Girang merupakan orang asli Banten sendiri.

Sumber :

1. Mansur, Khatib. 2001. Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi, Catatan Kesaksian

Wartawan. Antara Pustaka Utama : Jakarta.

2. Guillot, Claude. 2008. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. KPG (Kepustakaan Populer

Gramedia) : Jakarta.