Upload
lynhu
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN
TERORISME DALAM MENANGGULANGI
RADIKALISME DI INDONESIA
(Studi Atas Program Deradikalisasi Pendekatan Wawasan Kebangsaan)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Layla Rizky
NIM: 1111112000072
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
ABSTRAK
Nama : Layla Rizky
Judul : Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam
Menanggulangi Radikalisme di Indonesia Studi Atas Program
Deradikalisasi Pendekatan Wawasan Kebangsaan.
Skripsi ini membahas tentang Peran Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme khususnya dalam program deradikalisasi dengan dilihat dari perspektif
atau pendekatan wawasan kebangsaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana program deradikalisasi yang diperankan oleh BNPT
khususnya dilihat dari perspektif atau pendekatan wawasan kebangsaan dalam
menanggulangi radikalisme di Indonesia, dan juga untuk mengetahui faktor-faktor
apa saja yang menjadi pendukung serta penghambat jalannya program
deradikalisasi khususnya pada pendekatan wawasan kebangsaan.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus melalui analisa deskriptif dari
peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam program deradikalisasi
pendekatan wawasan kebangsaan. Teknik pengumpulan data yang digunkaan
adalah wawancara dan di dominasi dengan hasil beberapa kegiatan diskusi atau
temu wicara langsung dengan para praktisi wilayah dan dengan studi pustaka
sebagai data sekundernya.
Landasan teori dalam skripsi ini menggunakan teori ideologi, teori
lembaga negara, teori peran, dan penulis menggunakan analisis SWOT. Teori ini
digunakan untuk melihat bagaimana ideologi khsuusnya Pancasila dapat
membentengi atau melawan paham-paham dari luar salah satunya ialah paham
radikalisme. Teori lembaga negara digunakan untuk melihat bagaimana BNPT
dapat memerankan tugas dan fungsinya selaku lembaga negara di Indonesia ini
dalam perannya menanggulangi radikalisme di Indonesia. Kemudian, teori peran
juga difungsikan untuk melihat bagaimana BNPT dan gerakan paham radikal
melakukan perannya di lingkungan masyarakat. Terakhir analisis SWOT
digunakan untuk mendeskripsikan faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung
serta penghambat kerjanya program deradikaisasi khususnya dari pendekatan
wawasan kebangsaan.
Berdasarkan hasil penelitian kualitatif melalui teori tersebut, menunjukan
bahwa diperlukan upaya memperkokoh nilai-nilai luhur Pancasila dengan
perjuangan bangsa Indonesia dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila yang telah membuktikan
membawa rasa aman dan sekaligus mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena hal tersebut perlu pengkajian keabsahan ideologi Pancasila
melalui semangat Pembukaan UUD 1945 dengan memantabkan semangat
kebangsaan dan jiwa nasionalisme ke Indonesiaan di seluruh komponen bangsa
dalam menangkal ideologi radikal melalui wawasan kebangsaan dengan
ketahanan nasional bidang ideologi sehingga rakyat Indonesia bukan saja
memahami akan tetapi menerimanya secara efektif. Sehingga kewibawaan
ii
Pancasila meningkat di dukung oleh fakta dan kenyataan yang pada akhirnya daya
tarik ideologi radikalisme secara otomatis akan menurun dalam arti tidak
mempunyai kewibawaan. Maka jadilah ideologi Pancasila suatu muara permata
budaya bangsa dalam wawasan kebangsaan yang harus terus menerus di
sosialisasikan dan membumi dalam tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sedangkan dalam peran BNPT sendiri, perlu adanya
upaya standarisasi prosedural program penanggulangan terorisme termasuk
penyelenggaraan program deradikalsaisi dalam wawasan kebangsaan yang
dijadikan pedoman pelaksanaan tugas BNPT serta institusi lain dalam
penanggulangan terorisme secara nasional dan melakukan pantauan secara terus
menerus dan mengevaluasi kinerja penanggulangan terorisme, termasuk yang
diselenggarakan oleh institusi terkait bersama masyarakat secara periodik
mengenai permasalahan yang timbul.
Kata Kunci: Pendekatan Wawasan Kebangsaan, Pancasila, Program
Deradikalisasi, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
atas segala rahmat dan karunianya-Nya, sehingga skripsi ini dapat dirampungkan
penulisannya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi
pada Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayullah Jakarta.
Penulis yakin hanyalah atas berkat rahmat dan inayah Allah SWT jualah
sehingga berbagai pihak berkenan memberikan bantuan, bimbingan, dan arahan
kepada Penulis sejak proses pengajuan proposal, Penulisan di lapangan, hingga
rampungnya Penulisan skripsi ini.
Meskipun Penulis merasa bahwa skripsi ini telah dituliskan secara
maksimal dan komperhensif, akan tetapi Penulis sadar bahwa masih banyak
kekurangan didalam penulisan skripsi ini. Untuk itu Penulis merasa bahwa setiap
masukan, apakah itu saran maupun kritik yang dilayangkan untuk penulisan
skripsi ini adalah sangat penting. Dan sebagai salah satu karya ilmiah, semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat yang tentunya positif bagi setiap pihak yang
membacanya ataupun yang terkait di dalam penulisan skripsi.
Oleh karena itu, terasa tidak berlebihan jika pada kesempatan ini Penulis
menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
2. Ibu Dr. Dzuriyatun Toyibah , Bapak Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si., dan Dr.
Agus Nugraha, M.Si. selaku jajaran Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Iding Rosyidin dan Ibu Suryani, M.Si. sebagai Ketua dan
Sekretaris Prodi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dra. Gefarina Djohan, M.A. sebagai pembimbing skripsi penulis, yang
dengan sabar dan penuh ikhlas memberikan arahan dan motivasi kepada
penulis termasuk juga kesediaan beliau untuk mau menjadi pembimbing, dan
yang selalu direpotkan dalam waktu sibuknya untuk penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi.
5. Para dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: Prof. Dr. Idzam Fautanu, Dr. Sya’ban Muhammad, Dr. Achmad
Ubaedillah, M.Si., Dr. Saiful Mujani, Ali Munhanif, Ph.D., Idris Thaha,
M.Si., Burhanuddin Muhtadi, M.A., Al-Fajri, M.A., dan Ana Shabana Azmi,
M.Si. Masih banyak dosen serta karyawan akademik FISIP: Pak Jajang dan
Pak Amali, dan juga lainnya yang penulis belum cantumkan disini.
Terimakasih banyak atas ilmu dan motivasi yang telah diberikan kepada
penulis selama ini.
6. Dr. Ahmad Bakir Ihsan, M.Si. Sebagai Dosen Penguji Sidang I
7. Adi Prayitno, MSi. Sebagai Dosen Penguji Sidang II
8. Kepada semua pihak yang telah membantu menjadi para informan baik
formal maupun informal dalam penulisan skripsi ini, Letnan Kolonel
v
Sujatmiko selaku Deputi bidang Pencegahan dan Deradikalisasi BNPT,
Mayor Invanteri Lucky Subiandono selaku Danramil Jatinegara, Kompol
Supadi selaku Polsek Jatinegara, Nasrudin Abu Bakar SH, Msi. Selaku
Camat Jatinegara, Ignatius Sumantri selaku Kepala Seksi Pemerintahan
Kecamatan Jatinegara, Sri Sundari S.Sos, Msi selaku Lurah Cipinang Besar
Utara, Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Cipinang Besar Utara,
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Cipinang Besar Utara, Forum
Rembug RW Cipinang Besar Utara, seluruh Ketua RT di Cipinang Besar
Utara, dan Tokoh Mayarakat wilayah Cipinang Besar Utara.
9. Ayah Sugondo dan Ibu Iis Sugondo, selaku orang tua penulis yang sangat
penulis cintai. Terimakasih atas doa, perjuangan dan pengorbanan ayah dan
mama untuk putri tercintanya demi mendapatkan gelar Sarjana. Skripsi dan
gelar ini dipersembahkan untuk kalian dan mungkin ini hanya kebanggaan
kecil yang bisa penulis berikan. Doakan terus anakmu ini agar dapat
memberikan kebahagian-kebahagian lainnya yang lebih besar. Rabbighfirlii
walii waalidayya warhamhumaa kamaa robbayanii shagiraa, amin...
10. Abangnda tercintaku, Edy Prayitno yang sudah memberikan semangat dan
motivasi sekaligus menjadi pendorong selama ini dalam menyelesaikan
skripsi. Banyak masa sulit yang terlewatkan bersama, serta terimakasih atas
bantuan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
11. Bapak Sutanto SH, MH, selaku Pegawai Tinggi Sekretariat Negara yang sudah
memberikan banyak informasi terkait dalam penulisan skripsi ini, dan
sekaligus sudah menjadi paman (om) tercinta bagi penulis.
vi
12. Ayunda tercintaku, Elintar Pangastuti SH. MH, selaku Praktisi Hukum dan
Mantan Sekretaris Eksternal DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) Tingkat I DKI Jakarta, dan terimakasih sudah menjadi kakak terbaik
selama ini, termakasih juga atas dukungan moril dan materilnya selama ini.
13. Ayunda tercintaku, R. Yati Suryani yang selalu memberikan semangat dan
dukungan baik dalam bentuk moril dan materil. Terimakasih sudah menjadi
kakak sekaligus sahabat terbaik dalam keadaan senang maupun susah.
14. Bapak Sebastian Winarto (General Manager PT. Golden Crown), terimakasih
atas dukungan materil yang selama ini penulis nikmati serta masukan dan
saran-sarannya.
15. Terimakasih kepada Bapak Muhammad Hadi Santoso, MM selaku Direktur
Utama Bank BRI atas support dan pembelajaran terkait urusan perbankan dan
ilmu kenegaraan.
16. Terimakasih kepada Keluarga Besar Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH)
khususnya DPP DKI Jakarta, teruntuk Ketuan Umum DPN RKIH Bapak Kris
Budiardjo, dan Ketua I Bapak Purn. Marshkal TNI-AU Yuwono Kolbioen,
atas dukungan moril dan pembelajarannya selama ini untuk penulis.
17. Terimakasih kepada Bapak Ir. Daryatmo anggota Komisi VII DPR RI,
terimakasih atas hubungan baik melalui ikatan emosional selama ini sehingga
memberikan masukan dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
18. Terimakasih kepada Bapak Bripka Miftah, SH. Buru Sergap Polsek Metro
Jatinegara atas pembelajaran tentang penegakan hukum (KUHP) bagi penulis.
vii
19. Terimakasih kepada Bapak Nasrudin Abu Bakar SH. Msi (Camat Jatinegara),
Bapak Ignatius Sumantri (Kasipem Kecamatan Jatinegara), Ibu Sri Sundari,
S. Sos, Msi (Lurah Cipinang Besar Utara), Bapak Syafi’i, S.Ip (Kasipem
Kelurahan Cipinang Besar Utara), atas dukungan dan motivasi serta ilmu
yang diberikan baik dalam penyelesaian skripsi ini juga dalam bidang
pemerintahan khususnya dalam penanganan masalah pembebasan lahan serta
pembelajaran mengenai masalah-masalah surat kepemilikan atas tanah.
20. Terimakasih kepada keluarga besar Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK)
Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara atas dukungan kepada penulis
dan terimakasih karena banyak diberikan ilmu khususnya bidang
kemasyarakatan dan kewilayahan, teruntuk Bapak Drs. Budha Gautama, MM
(Ketua LMK CBU), Bapak Suhud (LMK 08), Bapak Nasir (LMK 06) dan
Bapak Nasrun (Buyung/ LMK 014).
21. Terimakasih kepada keluarga besar Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pengadaan Tanah Ruas Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atas dukungan
dan ilmunya dan mau menjadi keluarga baru bagi panulis khsuusnya teruntuk
Ibu Asih Nirbiyanti. ST (Pimpinan PPK Becakayu), dan Bapak Wildan
Nahara (Pengendalian Operasi Lapangan PPK Becakayu).
22. Terimakasih untuk rekan-rekan Bantuan Teknis (BANTEK) PPK Pengadaan
Tanah Ruas Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, sudah menjadi partner in
crime dalam menjalani tugas dilapangan dan di kantor. Dan menjadi teman
baik suka maupun duka. Teruntuk Pak Achmad As’adi terimakasih atas
dukungan selama ini secara moril.
viii
23. Terimakasih untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotamadya Jakarta
Timur, khususnya Pak Ismed, Pak Sutarno, Alm. Pak Gandhi, Pak Agus
Sulistyo, Pak Rio, Pak Buntoro, Pak Heru, dan Pak Edy Prayitno, terimakasih
atas pembelajaran permasalahan-permasalahan pertanahan proyek nasional
dan permasalahan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
24. Terimakasih kepada Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) dan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (DCKTRP),
khsusunya kepada Bapak Faisal (Kepala Dinas Perumahan P2T), dan Bapak
Iman Prasojo selaku Ketua Tim Pemetaan Trase Tol Becakayu.
25. Terimakasih kepada PT. KKDM (Kresna Kususma Dyandra Marga) selaku
Kontraktor Utama pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu
khususnya kepada Bapak Purn. Kolonel Zipur AD Sonny Agus, MM.
Bapak Hadi (Deputi PT. KKDM), Bapak Yudha (Manager PT. KKDM) atas
dukungan moril bagi penulis.
26. Terimakasih kepada PT. Waskita Karya selaku Kontraktor Pelaksana
pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu, khususnya
kepada Bapak Tarseno selaku Tim Lapangan, terimakasih atas dukungan
moril dan pembelajarannya bagi penulis.
27. Sahabat terbaik sehimpun secita, tempat berbagi keluh dan kesah dan
pelajaran berharga selama berorganisasi khususnya di HMI, Aulia Akbar,
Atina Riantini Mahsar, M. Yusuf Haikal, Roni Yuliansyah,
Rowdotusya’adah, Indra Surya Ramadhan, Rudi Saputra, Zahra, Mindarti
ix
Utami, Hilda Putri. Terimakasih sudah menjadi tempat berbagi cerita keluh-
kesah, sedih, canda, tawa bahagia bersama.
28. Teman sekaligus keluarga selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
semua teman Prodi Ilmu Politik 2011, Febi Ade Aryani, Dian Kharisma
Sinaga, Happy Kurnia Astiadi (Monik), Fadlyansyah Taher, Riska Zakiah,
Wiky Yasinta Dewi, Nitta Yuni Mardi Anti, Anissa Hidayati, Ahmad
Haeruddin, Koento Pinandito, Fadly Noor. M. Azizi, Azhim Pontoh, Ahmad
Sidiq Wibowo, Ken Anggara Caesar yang sudah menjadi teman terbaik
selama menjadi mahasiswa di UIN. Terimakasih sudah menjadi tempat
berbagi canda dan tawa bersama.
29. HMI Komisariat FISIP Cabang Ciputat yang sudah menjadi rumah kedua
bagi penulis untuk menimba ilmu pengetahuan dan mengasah kemampuan
dalam berorganisasi. Teruntuk yunda Yeni Aryati Safitri, kanda Moch, Ilham
Afdhol, Kanda Fanani Rosyidi, Yunda Citra Dea Gemala, Kanda Ali Wafa,
Kanda Ikhsan Fajri, Kanda Sopian Hadi Permana, Kanda Miftachul Choir Al-
Ayubi, Kanda Erwin Putra Simbolon, Kanda Galih, Kanda Indra Giri, Yunda
Adis Puji Astuti, Irfan Zharfandy, Gerry Novandika Age, Bayu Nanda
Permana, Afdhal Fitrah, Afina Fitriani, Rahmat Saputra, dan Fajar Fachrian,
terimakasih sudah menjadi abang, kakak, teman, dan adik yang sudah mengisi
hari-hari penulis. Kalian mampu mengajarkan penulis untuk menyelam lebih
dalam untuk mencari dan melihat keindahan permata yang berada di dalam
lautan.
x
30. Teman-teman Latihan Intermediate Training (LK-II), dan Keluarga Besar
HMI Cabang Bekasi, Nanda, Adit, Megea, Tuffa, Makmun Imran, Karman,
Kanda Rudi, Kanda Ii Ruswandi, Kanda Adyp Glank, dan Kanda Kuswandi
karena telah memberikan banyak makna serta pelajaran dalam menjalani
kehidupan khususnya berorganisasi.
31. Keluarga Besar Kelompok KKN #CatraBaswara, Bapak Eva Nugraha selaku
Dosen Pembimbing KKN, Ketua Kelompok KKN Dimas a.k.a Papoy, serta
jajaran anggota kelompoknya Febi Ade Aryani, Happy Kurnia Astiadi, Dian
Kharisma Sinaga, Yudha Arif, Robby, Ilham Saputra, Tedian, Ludfhi Rizkika
(Aji), Ubaedillah, dan Balqi. Terimakasih sudah memberikan banyak
pelajaran kehidupan selama satu bulan di Desa Warnasari, Sukabumi, Jawa
Barat.
32. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas
semangat dan dukungan yang diberikan baik berupa doa, moril maupun
materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa menerima
kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya atas perbuatan
mereka. Terakhir penulis membuka ruang kritik yang seluas-luasnya demi
perbaikan sehingga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah
keilmuan pembaca.
Jakarta, 03 Juli 2018
Layla Rizky
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah 1
B. Pertanyaan Masalah 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10
1. Tujuan Penelitian 10
2. Manfaat Penelitian 10
D. Tinjauan Pustaka 11
E. Metode Penelitian 14
1. Pendekatan Penelitian 15
2. Teknik Pengumpulan Data 15
3. Teknik Analisis Data 16
F. Sistematika Penulisan 17
BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP
A. Teori Ideologi 19
B. Teori Lembaga Negara 21
C. Konsep Radikalisme 23
1. Pengertian Radikalisme 23
2. Kriteria Islam Radikal 25
3. Faktor Penyebab Islam Radikal 26
D. Konsep Wawasan Kebangsaan 28
E. Analisis SWOT 36
xii
BAB III PROFIL BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
(BNPT) DAN PROGRAM DERADIKALISASI
A. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 38
1. Latar Belakang Terbentuknya BNPT 38
2. Wewenang BNPT. 42
3. Visi dan Misi BNPT 43
4. Tugas Pokok BNPT 44
5. Fungsi BNPT 44
6. Kebijakan BNPT 45
7. Kebijakan Pencegahan BNPT 47
8. Strategi BNPT 49
9. Pola Aksi Terorisme di Indonesia 52
B. Program Deradikalisasi 55
1. Prinsip-prinsip Deradikalisasi 58
2. Instrumen Deradikalisasi. 60
3. Tahapan Program Deradikalisasi 63
BAB IV PERAN WAWASAN KEBANGSAAN , SERTA PENDUKUNG DAN
PENGHAMBAT PROGRAM DERADIKALISASI DI INDONESIA
A. Penerapan Ideologi Dalam Wawasan Kebangsaan 67
1. Pentingnya Ideologi Pancasila 71
2. Peran Pancasila Dalam Program Deradikalisasi Pendekatan
Wawasan Kebangsaan 75
B. Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme di Indonesia 79
1. Kewaspadaan Dalam Rangka Cegah Tangkal Radikalisme 81
C. Pendukung dan Penghambat Program Deradikalisasi 82
1. Aspek-Aspek Keberhasilan Atau Tidaknya Program
Deradikalisasi 82
2. Peluang Dalam Menghadapi Ancaman Teroris 84
3. Kendala Dalam Menghadapi Ancaman Teroris 86
xiii
4. Tantangan Program Deradikalisasi 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 90
B. Saran 94
1. Saran Umum 94
2. Saran Khusus 98
3. Saran Akademik 100
DAFTAR PUSTAKA 102
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1. Peristiwa Pengeboman Di Indonesia 53
Tabel IV.A.1. Situs Internet Untuk Penyebaran Paham Radikalisme 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Radikalisme merupakan paham yang memiliki keinginan untuk perubahan
secara gradual dan proses yang cepat, dengan menggunakan kekerasan, anarkis
bahkan juga tidak segan menggunakan atas nama agama. Gerakan ini dibalut
sedemikian rupa dengan menggunakan bahasa dan juga pakaian/jubah keagamaan
untuk mencapai pada tujuan yang di inginkan. Padahal, tindakan tersebut
sebenarnya sangat bertentangan dengan misi dari agama itu sendiri.1
Salah satu contoh, fenomena radikalisme dalam Islam diyakini sebagai
suatu produk atau ciptaan dari abad ke-20, terutama kasusnya di Timur Tengah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terkikisnya ikatan agama dan moral yang
selama ini dibangun dan di pegang teguh, yaitu adanya krisis identitas, yang
kemudian berujung kepada reaksi dan resistensi terhadap dunia Barat. Dimana
Barat mulai menebarkan faham kolonialisme dan imperialisme ke dunia Islam.
Selain itu juga, dunia Islam terpecah karena mulai berkembangnya negara bangsa
dan proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah baru yang berhaluan
Barat, dan hal ini pulalah yang memperparah keadaan.2
Terkikisnya agama dan moral berimplikasi pada munculnya gerakan
radikal dalam dunia Islam yang menyuarakan agar seluruh aspek kehidupan
1 Irfan Idris, Membumikan Deradikalisasi: Soft Approach Model Pembinaan Terorisme Dari
Hulu Ke Hilir Secara Berkesinambungan (Jakarta: Daulat Press, 2016), h. 10. 2 R. Hrair Dikmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism ini Arab World (New York:
Syracuse University Press, 1985), h. 25-36.
2
disandarkan pada ajaran Islam yang murni. Hal ini diyakini sebagai jalan keluar
untuk menghadapi kedaulatan hidup. Tidak hanya sebatas itu saja, gerakan ini
juga mulai melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekuler dan
menyimpang dari ajaran agama murni.3
Gerakan radikalisme dalam Islam bukan hanya terjadi di negara Timur
Tengah saja, tetapi radikalisme juga tumbuh subur di Indonesia. Perkembangan
gerakan radikalisme Islam ini bukan hanya disebabkan oleh sosio-historis saja,
tetapi juga disebabkan oleh situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh
pendukungnya dianggap sangat menyudutkan umat Islam. Menurut Agus Surya
Bakti:
“Penyebab munculnya radikalisme dikarenakan keterbelakangan pendidikan,
perubahan politik, kemiskinan, dan rendahnya peradaban budaya dan sosial
seseorang yang nantinya juga dapat memicu terjadinya radikalisme yang
berujung pada kegiatan terorisme, dan mengakibatkan kerugian terhadap
negara maupun warga negara”.4
Gerakan radikal dalam Islam terbagi menjadi dua makna, yaitu sebagai
wacana dan aksi. Radikal yang dimaknai dalam wacana adalah adanya pemikiran
radikal untuk mendirikan negara Islam, kekhilafahan Islam, yaitu tanpa
menggunakan kekerasan secara terbuka. Sedangkan yang dimaknai sebagai aksi
yaitu dengan melakukan suatu perubahan yang mendasar dengan menggunakan
cara kekerasan yang mengatasnamakan suatu agama. Hal ini dilakukan guna
tercapainya tujuan mendirikan kekhilafahan Islam di Indonesia dan menentang
3 Anzar Abdullah, “Gerakan Radikalisme Dalam Islam: Perspektif Historis,” ADDIN 10
(Februari 2016): h. 2-3. 4 Kutipan langsung Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis
Kearifan Lokal Melawan Radikalisasi dan Terorisme (Jakarta: Daulat Press, 2016), h. 47.
3
hukum pemerintah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan yang kian maraknya
peristiwa-peristiwa pengeboman di beberapa wilayah di Indonesia.5
Peristiwa gerakan radikalisme dalam Islam sudah ada sejak masa pra-
kemerdekaan. Sejarah mencatat, pada Orde Lama gerakan radikal berbasis agama
menurut As‟ad Ali seperti yang dikutip oleh A.S Hikam: “…gerakan radikalisme
dalam Islam dipelopori oleh Daarul Islam/Tentara Islam (DI/TII) yang dipimpin
langsung oleh Kartosuwiryo”6. Pada awal Orde Baru hubungan Islam dengan
pemerintah terjalin secara harmonis. Hal ini disebabkan karena Islam dan
pemerintah memiliki musuh bersama yaitu komunisme. Dan kemesraan inipun
tidak berangsur lama.7
Romantisme jalinan pemerintah dengan kelompok Islam menjadi
renggang sekitar tahun 1985. Kerenggangan ini terjadi disebabkan oleh beberapa
kebijakan politik pemerintah yang dianggap bertentangan dengan Islam. Salah
satu kebijakannya adalah penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dan diakuinya
aliran kepercayaan dalam GBHN. Kebijakan ini mendapatkan protes keras dari
kelompok Islam moderat maupun radikal. Tetapi, semakin keras protes yang
diutarakan maka semakin keras pula sikap rezim Orde Baru. Pasca pengesahan
kebijakan tersebut, pemerintah langsung melakukan kontrol yang ketat terhadap
gerakan-gerakan Islam di Indonesia.8
5 Bilveer Singh dan A.M. Mulkham, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia Jejak Sang
Pengantin Bom Bunuh Diri (Yogyakarta: Bangkit Publisher, 2012), h. 42. 6 Muhammad A.S Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Menanggulangi Radikalisme:
Deradikalisasi (Jakarta: Kompas Media Nusantara: 2016), h. IX-X. 7 Mark R.Woodward, ed, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 304. 8 Mark R.Woodward, ed, Jalan Baru Islam, h. 305.
4
Gerakan radikal dalam Islam ini kemudian memiliki ruang gerak bebas
setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Gerakan ini awal mulanya bergerilya dan
sekarang sudah berani menampakan wajahnya ke pada publik. Kemunculan
gerakan radikal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi beberapa kalangan.
Hal ini bukan semata-mata disebabkan oleh perbedaan ideologis, tetapi juga
disebabkan oleh cara kelompok radikal memperjuangkan aspirasinya yang
menggunakan kekerasan. Kekerasan tersebut bukan hanya arti fisik tetapi juga
kekerasan arti wacana, yakni kekerasan dalam bentuk pemikiran.9
Penyebaran paham radikalisme dilakukan secara massif dengan militansi
yang tinggi. Pola penyebarannya dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan
cara konvensional hingga modern. Hal ini yang kemudian memudahkan kita
dalam mengakses secara online (media internet), buku-buku, maupun majalah
yang terkait dengan radikalisme. Hal inilah yang memudahkan kelompok radikal
melakukan rekrutmen yang kemudian menjadikan radikalisme tercipta sebagai
mentalitas kultural.
Penyebaran paham radikalisme yang semakin massif, kemudian
mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran dalam menanggulangi paham
radikal tersebut khususnya kegiatan terorisme. Dalam penanggulangannya
dilakukan dengan dua langkah, yaitu dengan pendekatan halus (soft approach),
dan pendekatan kasar (hard approach). Soft approach adalah bentuk kegiatan
pencegahan, sedangkan hard approach adalah kegiatan penindakan. Hard
approach digunakan pada Orde Lama dan Orde Baru, penanggulangan ini
9 Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara, h. 57.
5
memiliki kelebihan yaitu mempu mendeteksi jaringan maupun kegiatan dari
kelompok teroris melalui kegiatan intelijen. Namun semakin berkembangnya
zaman, pendekatan ini menjadi kurang efektif. Sehingga penggunaan soft
approach perlu digunakan karena ini dianggap cukup efektif dalam
mempersuasikan teroris untuk meninggalkan aktivitas terornya dan dapat
bekerjasama dengan aparat hukum untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan
radikal.10
Dalam penanganannya pemerintah membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 16 Juli 2010, berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 46 Tahun 2010 yang kemudian diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2012. Melalui Peraturan Presiden ini pemerintah
memberikan kewenangan pada BNPT untuk menyusun dan mengeluarkan
kebijakan, strategi sekaligus menjadi koordinator dalam bidang pencegahan,
perlindungan, penindakan, kerjasama intenasional, dan deradikalisasi.11
Deradikalisasi menurut Irfan Idris: “adalah suatu proses transformasi pola
pikir, tindakan, maupun perilaku seseorang dari yang bersifat radikal anarkis
menjadi radikal yang komprehensif, moderat, holistic, serta kritis akomodatif.
Program deradikalisasi merupakan suatu strategi yang dijalankan bagi para
mantan teroris, mantan narapidana teroris, keluarga, jaringan dan pihak pihak
yang terindikasi radikal teroris”.12
10
Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara, h. 37-38. 11
A.S Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia, h. 138. 12
Irfan Idris, Membumikan Deradikalisas, h. 11.
6
Agar berjalannya program deradikalisasi ini, maka tujuan umum
deradikalisasi adalah untuk membuat para pelaku terror atau kelompok yang
melakukan kekerasan meninggalkan dan melepaskan diri dari aksi dan kegiatan
terorisme. Secara khusus, pertama, pelaku terror mau meninggalkan aksi
terorisme dan kekerasan. Kedua, mendukung pemikiran yang moderat dan toleran.
Ketiga, mendukung program nasional dalam membangun kehidupan bangsa dan
bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Demi mewujudkan tujuan tersebut, maka BNPT mendesain deradikalisasi
dengan 6 kegiatan, yakni: rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan
wawasan kebangsaan, pembinaan keagamaan moderat, dan kewirausahaan.
Pertama, Kegiatan Rehabilitasi memiliki dua makna. Yaitu pembinaan
kemandirian dan pembinaan kepribadian. Pembinaan kemandirian yaitu dengan
melakukan pelatihan dan pembinaan kepada para mantan narapidana agar
memiliki keterampilan serta keahlian yang dapat berguna ketika telah bebas dari
lembaga pemasyarakatan. Pembinaan kepribadian dijalankan dengan cara
melakukan dialog. Dialog ini diharapkan mampu menata ulang pola pikir atau
mindset narapidana agar memiliki pemahaman yang komprehensif serta lebih
terbuka. Proses rehabilitasi tidak hanya dijalankan oleh BNPT, tetapi juga perlu
kerjasama dengan kepolisian, lembaga pemasyarakatan, kementrian agama,
kementrian koordinator kesejahteraan rakyat (Menkokesra), organisasi masyarakat
(ormas), dan lain sebagainya.13
13
Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara, h. 156.
7
Kedua, Kegiatan Reedukasi dilakukan dengan memberikan pengajaran
untuk meluruskan pemahaman atas doktrin-doktrin yang menyimpang. Doktrin
yang dimaksud adalah ajaran tentang kekerasan. Dalam pendekatan ini narapidana
diharapkan mampu menyadari tindakan kekerasan yang dilakukan seperti bom
bunuh diri bukanlah bagian dari Jihad, melainkan identik dengan aksi terorisme
radikal.14
Ketiga, Kegiatan Resosialisasi dimaksudkan agar pasca narapidana bebas
dari lembaga pemasyarakatan dapat membaur di tengah masyarakat.
Keempat. Kegiatan Pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan ini
dilakukan untuk memoderasi paham kekerasan dengan memberikan pemahaman
nasionalisme kenegaraan dan kebangsaan Indonesia.15
Kelima, kegiatan pembinaan keagamaan, pembinaan ini adalah rangkaian
bimbingan keagamaan yang diberikan kepada para narapidana untuk memahami
agama yang inklusif, damai serta toleran. Pembinaan keagamaan ini mengarah
pada moderasi ideologi dengan melakukan transformasi atau perubahan orientasi
ideologi radikal menuju kepada ideologi inklusif, damai, dan toleran. Moderasi
ideologi ini dilakukan dengan berdialog secara langsung dengan pendekatan
persuasif. Moderasi ini juga dilakukan dengan kontra ideologi dan kontra narasi.16
Keenam, kegiatan kewirausahaan, dilakukan dengan memberikan
pelatihan secara modal usaha agar narapidana nantinya dapat mandiri secara
14
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan
Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014)., h. 203. 15
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme, h. 204. 16
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme, h. 205.
8
ekonomi. Kewirausahaan dalam pelaksanaan deradikalisasi dapat menjadi mitra
bagi narapidana, mantan narapidana, beserta keluarganya untuk terjun di tengah
masyarakat sekaligus dapat berkontribusi dalam memajukan ekonomi kreatif.17
Dari pemikiran makna deradikalisasi terlihat bahwa deradikalisasi bertitik
tolak dari konsep radiakalisme yang menyimpang, sehingga dengan deradikalisasi
mereka yang berpandangan dan melakukan tindakan radikal dapat diubah serta
diluruskan untuk menjadi tidak radikal.
Dalam konteks deradikalisasi terhadap mereka yang terlibat aksi terorisme
(pelaku terror) di dalamnya terckup kegiatan penegkan hukum, reedukasi,
rehabilitasi, dan resosialisasi yang mengacu pad prinsip subremasi hukum, HAM,
kesetaraan, serta pembinaan dan pemberdayaan melalui instrument pendekatan
agama, psikologis, politik, sosial budaya, ekonomi, hukum, dan tekhnologi.
Artinya, deradikalisasi memerlukan pendekatan wawasan kebangsaan
dalam artian pendekatan yang simpatik, tepat sasaran dan dapat diterima
masyarakat untuk mencegah agar ideologi radikal tidak semakin jauh
memengaruhi masyarakat Indonesia dan mengancam keutuhan serta kedaulatan
NKRI. Dalam konteks inilah, dimensi pencegahan paham radikalisme melalui
pendekatan wawasan kebangsaan memainkan peranan penting dalam upaya
mencegah berkembangnya paham radikalisme di tengah masyarakat, dan tidak
terulangnya kembali aksi terorisme.
17
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme, h. 207.
9
Desain deradikalisasi yang dijalankan BNPT bagi penulis sangat menarik
untuk dikaji khususnya dalam pendekatan wawasan kebangsaan dengan melihat
efektifitas dari kegiatan ini khususnya dalam tindakan pencegahan dan
promosinya, hal ini menjadi menarik, disebabkan kurangnya pembelajaran tentang
falsafah negara Pancasila, dan lemahnya keteladanan tokoh masyarakat kepada
calon penerus perjuangan dalam membangun dan memajukan bangsa dalam
berbagai sektor kehidupan. Akibatnya, semakin hari semakin tumbuh subur
gerakan penolakan empat konsensus dasar berbangsa yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah diuraikan sebelumnya,
maka penulis merumuskan:
1. Bagaimana program deradikalisasi yang dijalankan perannya oleh
BNPT khususnya dilihat dari pendekatan wawasan kebangsaan dalam
menanggulangi radikalisme di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung serta penghambat
program deradikalisasi khususnya pada pendekatan wawasan
kebangsaan?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah:
a. Mendeskripsikan bagaimana program deradikalisasi yang
diperankan oleh BNPT khususnya dilihat dari pendekatan wawasan
kebangsaan dalam menanggulangi radikalisme di Indonesia.
b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung serta
penghambat jalannya program deradikalisai khsusunya pada
pendekatan wawasan kebangsaan.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini mampu memberikan khazanah ilmu
pengetahuan khususnya dalam ilmu politik mengenai lembaga
negara dan radikalisme; peran program deradikalisasi BNPTdalam
menanggulangi radikalisme di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Akademisi
Dengan menambah wawasan pengetahuan yang kelak dapat
direalisasikan dalam dunia nyata sebagai bentuk
penanggulangan doktrin destrruktif yaitu radikalisme yang
berkembang di Indonesia, dan sebagai salah satu bentuk
antisispasi demi terwujudnya keamanan dan ketertiban
nasional.
11
2) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan mampu memberikan kontribusi minimal
pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat tentang
bahaya gerakan radikalisme yang kian tumbuh subur
ditengah kehidupan masyarakat, serta dapat menjadi
pelajaran sebagai bentuk antisipasi, dalam membantu
memerangi dan mencegah gerakan radikalisme di
lingkungan.
3) Bagi Pemerintah
Dapat memberikan masukan serta gagasan yang
khsususnya ditujukan kepada BNPT dalam melaksanakan
tugas nasional demi terwujudnya kedamaian dan ketertiban
nasional dalam menanggulangi bahaya gerakan radikalisme
di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Pertama, penelitian Agasti Prior dengan judul Peran Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Dalam Pendekatan dan Pencegahan Tindak Pidana
Terorisme; Studi Atas Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010.18
Penelitian ini memfokuskan kajian pada peran BNPT dalam penindakan dan
pencegahan terorisme melalui pendekatan perundang-undangan. Temuan
penelitian ini adalah bahwa kewenangan penindakan kasus terorisme yang
18
Agasti Prior, “Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam Penindakan dan
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme: Studi Atas Analisis Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun
2010,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
12
dimiliki oleh BNPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 46
Tahun 2010 yang belum dijalankan maksimal. Hal ini terbukti dalam kasus
Siyono yang masih ditemukan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara kewenangan BNPT dalam pencegahan terorisme dilakukan melalui
sistem online-offline dan program deradikalisasi. Yang membedakan diantara
kedua penelitian ini adalah penelitian sebelumnya lebih fokus kepada tindakan
represif dengan pendekatan keamanan dengan perundang-undangan, sedangkan
penelitian ini lebih fokus pada program deradikalisasi dengan tindakan preventif
dan promotif, dimana program preventif adalah bentuk pencegahan terhadap
gerakan radikalisme di Indonesia dalam bentuk visualisasi gambar dan promotif
dengan cara diskusi, stadium general, public lecture atau loka karya yang
dilakukan secara terus-menerus, yang pada gilirannya paham radikalisme dapat
terkikis dengan habis. Hingga warga negara memahami bahwa paham tersebut
merupakan paham yang tidak benar dalam arti bertentangan dengan wawasan
kebangsaan dan ideologi Pancasila.
Kedua, penelitian Jely Agri Famela yang berjudul Pro dan Kontra
Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT).19
Penelitian ini menjelaskan bahwa program deradikalisasi
yang dilakukan oleh BNPT berbeda dengan konsep deradikalisasi pada umumnya.
Berdasarkan konsep, deradikalisasi ditujukan kepada orang-orang yang sudah
radikal sebagai target, tetapi program deradikalisasi BNPT memiliki dua target,
19
Jely Agri Famela, “Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, 2013).
13
yaitu napi terorisme dan masyarakat umum. Pelaksanaan program deradikalisasi
ini kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra. Pendapat pro muncul di
kalangan BNPT yang optimis melakukan program deradikalisasi, sementara yang
kontra adalah menyatakan bahwa program deradikalisasi adalah program yang
bias bagi kelompok radikal. Penggunaan bahasa deradikalisasi sendiri menjadi hal
sensitive bagi kelompok radikal. Selain itu, sosialisasi BNPT terhadap program
deradikalisasi sendiri sangat minim. Perbedaan dari penelitian tersebut adalah
melalui pendekatan program deradikalisasi khususnya pembinaan wawasan
kebangsaan melalui pemahaman empat konsensus falsafah negara yaitu Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Ketiga, penelitian Fakhri Usmita dengan judul Disengagement: Strategi
Penanggulangan Terorisme di Indonesia.20
Penelitian ini menjelaskan pendekatan
disengagement merupakan jawaban atas kebutuhan yang di temui dalam
pendekatan deradikalisasi ketika berhadapan dengan teroris berbasis ideologi
agama. Hal ini dilihat dengan menurunkan tingkat wilayah perhatian penguatan,
jadi tidak hanya terpusat pada ideologi saja, melainkan juga pada tataran perilaku
(behavior). Faktor-faktor penarik seseorang dengan disengage dengan
kelompoknya antara lain adalah umat Islam di Indonesia yang pada dasarnya
mereka merupakan kalangan moderat yang cinta damai dan toleran, sedang faktor
pendorong seseorang disengage adalah adanya peluang untuk berbeda pendapat
antara sesama anggota kelompok. Walaupun sebagian besar kelompok teroris
Indonesia pernah mengikuti pelatihan secara militer, namun mereka masih
20
Fakhri Usmita, “Disengagement: Strategi Penaggulangan Terorisme di Indonesia,” (Tesis
S2 Program Pasca Sarjana Megister Kriminologi, Universitas Indonesia, 2012).
14
memiliki ruang untuk melakukan diskusi ataupun argumentasi dengan sesama
mereka. Dan hal ini merupakan peluang terbesar untuk terjadinya cara pandang
dari anggota tersebut. Dan faktor pendorong lainnya adalah kinerja kepolisian
terutama pada Densus 88 patut diberikan apresiasi positif karena mereka mampu
mengungkap sebagian besar peristiwa yang terjadi dengan waktu yang relatif
singkat dan lebih memilih pendekatan humanis dalam menangani mereka yang
tertangkap. Ada juga beberapa faktor penghambat bagi keberhasil
penanggulangan terorisme di Indonesia tidak hanya berlaku pada pendekatan
disengagement, terutama pada tingkat kemakmuran yang belum rata, masih
adanya diskriminasi, maupun penegakan hukum yang belum yang sebagaimana
mestinya. Hal inilah yang kemudian menjadikan bahan untuk mereka
mengembangkan faham mereka, atau kembali kedalam kelompoknya dan
melakukan aktifitas teror. Perbedaan penelitian ini adalah fokus pada pembinaan
wawasan kebangsaan, yaitu empat konsesnsus falsafah negara yaitu Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Dimana kemajemukan yang ada di
Indonesia khususnya mayoritas Islam yang cinta damai dan toleran.
E. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hal yang penting
karena menggunakan tiga variable penting dalam penelitian skripsi ini. Pertama,
menggunakan penelitian kualitatif, pengumpulan data, dan analisis peneliti yang
dijabarkan sebegai berikut.
15
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan kualitatif menurut penelitian Denzin dan Lincoln yang
dikutip Lexy J. Moleong, menggunakan latar belakang alamiah dengan
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan
berbagai pendekatan yang ada.21
Penelitian kualitatif pada pemikiran induktif. Pemikiran induktif dapat
diibaratkan segitiga nalar yang bermula dari titik atas segitiga yang lancip menuju
dua titik kaki segitiga yang luas. Cara berpikir induktif pada fakta yang khusus,
peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudia dari fakta yang khusus atau peristiwa
yang kongkrit dapat ditarik generalisasi yang bersifat umum.22
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah wawancara, studi
dokumentasi, dan studi literature. Untuk pengumpulan data peneliti uraikan
sebagai berikut:
a. Wawancara
Pengumpulan data melalui wawancara peneliti menggunakan tehnik
wawancara dengan pertanyaan secara lisan untuk memperoleh informasi objek
yang diteliti. Pengambilan sample menggunakan tehnik “Purpossive Sampling”,
yaitu menentukan sample secara sengaja dengan anggapan responden adalah
orang yang kompeten diwawancarai, selanjutnya melakukan wawancara dengan
21
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007)., h. 5. 22
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1997)., h. 42.
16
Instansi terkait, khususnya Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi,
dan berbagai kalangan praktisi seperti Danramil, Kapolsek, Camat, Lurah, serta
Bhabinsa dan Bhimaspol. Informan tersebut memiliki posisi penting dan strategis
yang diwawancarai guna memperoleh data yang sangat akurat.
b. Dokumentasi dan Studi Literatur
Tehnik pengumpulan data melalui studi dokumentasi yang tidak langsung
ditujukan kepada subjek penelitian, adalah dokumen resmi dan dokumen tidak
resmi. Dokumen memiliki dua bentuk yaitu dokumen pribadi dan dokumen
resmi23
. Dokumen pribadi adalah catatan harian, surat pribadi, dan auto biografi.
Sedangkan dokumen resmi terbagi menjadi dua kategori yaitu dokumen internal
dan dokumen eksternal. Dokumen internal diantaranya memo, pengumuman,
instruksi, aturan suatu lembaga, sistem yang diberlakukan, dan notulensi rapat.
Studi literature digunakan untuk melengkapi studi dokumentasi. Studi
literature dan dokumentasi dengan mengumpulkan data yang berasal dari
literature berupa buku, majalah, surat kabar, jurnal, berita elektronik, dan
dokumen resmi internal BNPT.
3. Teknik Analisis Data
Secara harfiah analisis diartikan uraian, yang dimaksud dalam hal ini satu
bahasan cara mengolah data, dengan memberikan interpretasi terhadap data yang
terkumpul dan tersusun. Dalam tehnik analisis ini yang digunakan peneliti adalah
deskriptif analisis yakni pembahasan yang bertujuan membuat gambaran terhadap
23
Irawan Suhartono, Metode Penelitian Sosial: Satu Tehnik Penulisan Bidang Kesejahteraan
Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008)., h. 70.
17
data yang telah terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan interpretasi
terhadap data tersebut.
Penggunaan tehnik deskriptif analisis peneliti agar dapat gambaran yang
sistematis, faktual, dan komprehensif mengenai peran program deradikalisasi
BNPT khususnya pembinaan wawasan kebangsaan yang merupakan salah satu
pola pendekatan dalam menanggulangi radikalisme di Indonesia.
Dalam skripsi ini penyusun berdasar pada pedoman umum guna
mendapatkan hasil yang optimal yang dapat disejajarkan sebuah karya ilmiah
yang dibuat peneliti sebelumnya. Dalam permasalahan ini, peneliti menggunakan
Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan Skripsi ini untuk memudahkan peneliti serta
memberikan kemudahan pembaca dalam naskah skripsi ini, maka peneliti
menguraikan secara singkat dan sistematika pembahsan dalam susunan penulisan
skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I. Peneliti menarasikan rancangan penelitian skripsi yang
dilaksanakan, sebagai panduan awal dalam penelitian skripsi ini. Pada bab ini
menguraikan tentang munculnya paham radikalisme di Indonesia, serta
program deradikalisasi dalam pendekatan wawasan kebangsaan dalam
menanggulangi paham radikalisme dan aksi terorisme di Indonesia.
18
Bab II. Peneliti memfokuskan tulisan dalam kerangka teoritis yang
digunakan pada penelitian ini. Kerangka teoritis adalah analisa peneliti untuk
memahami dan sekaligus mengeksplanasi temuan penelitian skripsi.
Bab III. Peneliti akan memfokuskan tulisan pada profil BNPT dan
pemaparan tentang program deradikalisasi BNPT, dimulai dari latar belakang
lembaga sampai dengan menjabarkan program deradikalisasi khususnya pada
pembinaan wawasan kebangsaan dan sekaligus bagaimana
dioperasionalisasikan.
Bab IV. Peneliti memfokuskan penulisan pada analisis data dengan
mengkorelasikan teori dengan fakta yang ditemukan di lapangan, yaitu peran
BNPT dalam menanggulangi radikalisme di Indonesia, dan kemudian melihat
bagaimana peran program deradikalisasi BNPT dalam menanggulangi
radikalisme di Indonesia.
Bab V. Membahas kesimpulan dan saran disertai dengan lampiran-
lampiran yang dibutuhkan dalam kesimpulan penulisan karya ilmiah ini.
19
BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Penjelasan kerangka teori pada bab ini yang dijadikan analisis dalam
fenomena politik yang dibahas pada skripsi ini, yaitu teori ideologi, lembaga
negara, dan teori peran.
A. Teori Ideologi
“Ideologi diartikan sebagai ajaran, doktrin, teori, atau ilmu yang diyakini
kebenarannya, yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya
dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inti ideologi ialah rangkaian norma
(nilai) atau nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan
dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan
hidup mereka. Melalui nilai dasar tersebut mereka mengetahui bagaimana cara
yang paling baik, baik secara moral dan normatif dianggap yang benar dan adil
dalam sikap dan perilaku untuk memelihara, mempertahankan dan membangun
kehidupan duniawi bersama dengan berbagai dimensinya”.24
Menurut Terry Eagleton, ada enam cara memahami ideologi secara
operasionalnya, ini diperlukan guna mengetahui pengertian atau pemahaman
tentang ideologi yang sangat bervariasi:25
1. Ideologi dalam Arti Budaya
Dalam pemahaman ideologi dalam arti budaya merupakan praktik
pemaknaan dan simbolisasi dari masyarakat dalam rangka menjalani
24
Oetoyo dan Alfian ed., Pancasila sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Jakarta: BP-7 Pusat, 1993)., h. 6 25
Menurut Eagleton dalam Muhamad A.S Hikam, Peran Masyarakat Sipil Indonesia dalam
Menanggulangi Radikalisme: Deradikalisasi (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016)., h. 42-44.
20
kehidupan sebagai warga negara. Pemahaman ini menunjukan ideologi
memiliki lingkup yang luas tidak hanya terkait aktifitas politik belaka.
2. Ideologi dalam Arti Pandangan Dunia
Adalah ide atau kepercayaan benar atau tidak yang pasti adalah
menyimbolkan diri pada kondisi dan pengalaman kehidupan kelompok
masyarakat atau kelas yang penting dan berpengaruh.
3. Ideologi dalam Arti Legitimasi
Adalah alat untuk memberikan pengabsahan dan promosi bagi
kepentingan kelompok sosial tertentu ketika berhadapan dengan pihak
lawan-lawannya. Dalam hal ini, ideologi adalah wahana bagi ajang
promosi berbagai kekuatan politik dan sosial ketika mereka saling
berkonflik dan memperebutkan kontrol kekuasaan.
4. Ideologi dalam Arti Alat Legitimasi Bagi Kelompok Dominan
Adalah alat untuk menyatukan suatu formasi sosial tertentu sesuai dengan
kepentingan kelompok dominan. Dalam hal ini ideologi bukan sebatas alat
yang dipaksakan dari elite secara top-down tetapi juga menggunakan
strategi hegemoni, yaitu adanya pengakuan dan kerja sama dari kelompok
atas atau kelas bawah.
5. Ideologi dalam Arti Legitimasi Distorsi
Adalah alat untuk memberikan keabsahan bagi kelas atau kelompok elit
tetapi dengan cara distorsi dan manipulasi. Dalam hal ini ideologi menjadi
21
suatu alat untuk melakukan pengabsahan bagi kepentingan elit guna
memanipulasi, membohongi, dan distorsi secara sistematis. Dalam
pengertian ini yang dikatakan sebagai ideologi sejatinya adalah
kepentingan pribadi elit, dan bukan mencerminkan kepentingan bersama.
Ideologi ini digunakan untuk menetralisasi dan menutupi kepentingan
yang sangat spesifik.
6. Ideologi sebagai Keyakinan Semu
Adalah suatu keyakinan yang dianggap mewakili kepentingan kelompok
dominan, tetapi sejatinya hanya merupakan reifikasi dari struktur
masyarakat secara keseluruhan. Dalam pemahaman ini, ideologi
merupakan bentuk kepercayaan semu hasil dari kondisi struktural
masyarakat, kendati tidak sepenuhnya menjadi kepentingan elit.
Dari keenam pengertian ideologi diatas disimpulkan ideologi memberikan
keyakinan kuat untuk suatu kelompok atau untuk individu sendiri.
B. Teori Lembaga Negara
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Keputusan Presiden yang kedudukannya
tergantung dari derajat pengaturannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara atau lembaga pemerintahan dibentuk dan diatur berdasarkan
Undang-Undang Dasar yang merupakan organ konstitusi, sedangkan yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan organ Undang-Undang,
22
sementara Keputusan Presiden lebih rendah tingkatannya dan derajat perlakuan
hukumnya.26
Lembaga negara yang merupakan lembaga pemerintahan adalah satu
kesatuan proses yang saling berhubungan dalam penyelenggaraan fungsi negara.
Walaupun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap
negara pasti berbeda. Secara konsep harus bekerja dalam bentuk satu kesatuan
guna merealisasikan secara praktis baik fungsi negara dan ideologis dalam
mewujudkan tujuan negara jangaka panjang.27
Dalam negara yang demokrasi berdasarkan hukum hubungan infrastruktur
politik selaku pemilik kedaulatan dengan suprastruktur politik sebagai pemegang
kedaulatan rakyat menurut hukum terdapat hubungan yang saling menentukan.
Oleh karenanya kedua komponen struktur ketatanegaraan ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar, terutama suprastruktur politik ditentukan satu sistem
dimana kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi negara dibagi dan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara. Secara tugas umum lembaga negara
atau lembaga pemerintahan menjaga stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM,
dan budaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, tentram, dan
harmonis dan sekaligus penghubung antara negara dengan rakyatnya. Dan juga
menjadi sumber inspirator dan aspirator rakyat. Memberantas semua tindakan
26
Mengutip dari Hans Kelsen dalam Trubus Rahardiansah, Sistem Pemerintahan Indonesia:
Teori dan Praktek dalam Perspektif Politik dan Hukum (Jakarta: Universitas Trisakti, 2011)., h.
312. 27
Jimly Assidiqqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam sejarah; Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara (Jakarta: UI Press, 1996)., h. 103.
23
kejahatan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme dan juga menjalankan dan
membantu roda pemerintahan negara.28
C. Konsep Radikalisme
1. Pengertian Radikalisme
Radikalisme berasal dari bahasa latin radix yang berarti “akar”.
Radikalisme merupakan faham yang menghendaki adanya perubahan dan
perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Dalam perspektif ilmu sosial,
radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan
perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara
total, dan menggantikannya dengan sesuatu yang baru, dengan yang sangat
berbeda.29
Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang
berlangsung. Respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau
bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa ide, asumsi,
lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
keadaan yang ditolak.
Sederhananya, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh
empat hal yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu: pertama, sikap tidak toleran
dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap
fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain adalah
28
Trubus Rahardiansah, Sistem Pemerintahan Indonesia., h. 314. 29
Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”, Tadris (Vol.
2, No. 1, 2007), h. 3.
24
salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang
kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan
kekerasan dalam mencapai tujuannya.30
Dampak yang paling nyata dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya
politisasi di dalam agama, dimana agama sangat sensitive sifatnya, sehingga
paling mudah untuk membakar fanatisme yang kemudian terjadi berbagai
tindakan yang sangat keras, baik dalam kehidupan sosial antar individu maupun
kelompok, sehingga terbentuklah dengan yang dinamakan kelompok Islam
radikal.31
Menurut Roy A. Rappaport, secara sosiologis-antropologis, tendensi orang
untuk kembali kepada agama akan selalu meningkat mengingat orang tersebut
dalam kondisi krisis. Pada sisi lain, pendekatan skriptural, hal ini sangat mudah
untuk diikuti terutama bagi mereka yang tengah mengalami new convert atau born
again religious ataupun mereka yang unfortunate people (tidak beruntung atau
miskin).32
30
Mengutip dari Agil Asshofie, Radikalisme Gerakan Islam dalam Emna Laisa, ”Islam dan
Radikalisme”, Islamuna (Vol. 1, No. 1, 2014), h. 3. 31
Emna Laisa, ”Islam dan Radikalisme”, Islamuna (Vol. 1, No. 1, 2014), h. 3-4. 32
Mengutip Roy A. Rappaport, dalam Azyumardi Azra dalam dalam Edi Susanto,
“Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”, Tadris (Vol. 2, No. 1, 2007), h.
10-13. Pada masa kehadiran gerakan Salafiyah banyak menimbulkan pertentangan salah satunya
adalah Indonesia. Gerakan salafi ini banyak berbenturan dengan kelompok Ilsam Tradisionalis.
Demikian pula pada awal pra dan awal kemerdekaan Indonesia. Benih radikalisme keberagamaan
yang berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah serta sebagian yang lain
berkembang pada organisasi sosial dan politik, juga menimbulkan pertentangan pada tataran
pemerintahan. Pada masa Orde baru pun demikian, namun penangan dan kontrol pemerintah
terhadap gerakan radikalisme keberagamaan berlangsung secara ketat, dengan berbagai
pendekatan, baik yang bersifat kooptatif seperti pendekatan militeristis, terror mental maupun
pendekatan yang bersifat koperatif seperti pendekatan dialogis, pendekatan kesejahteraan, dan
pendekatan demokratisasi.
25
Kelompok Islam radikal memahami Islam sebagai agama yang sempurna
dan lengkap, serta memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Islam
bukanlah agama yang dalam pengertian Barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang
sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Pemahaman inilah
yang kemudian membentuk pandangan hidup yang senantiasa merindukan
pemberlakuan aspek-aspek keislaman di setiap sendi kehidupan, tidak hanya
sebatas pada aspek ritual ibadah semata. Hal ini pun berdampak pula pada
pembentukan identitas yang eksklusif sebagai kriteria khusus golongan ini.
2. Kriteria Islam Radikal
Kriteria Islam radikal, antara lain: pertama, mempunyai keyakinan
ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan
tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Kedua, dalam kegiatannya
mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup
kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang di nilai bertentangan
dengan keyakinan mereka. Ketiga, secara sosio-kultural dan sosio-religius,
kelompok radikal memiliki ikatan yang kuat dan menampilkan ciri-ciri
penampilan diri dan ritual yang khas. Keempat, kelompok Islam radikal seringkali
bergerak secara gerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-
terangan.33
33
Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 2006), h. 243.
26
3. Faktor Penyebab Islam Radikal
Adapun faktor penyebab terjadinya Islam radikal, adalah sebagai berikut:
Pertama, faktor agama, yaitu sebagai bentuk purifikasi ajaran Islam dan
pengaplikasian Khilafah Islamiyah dimuka bumi. Hal ini dilihat dari terdorongnya
semangat Islamisasi secara global yang tercetus sebagai solusi utama untuk
memperbaiki berbagai permasalahan yang oleh golongan radikal dipandang
sebagai akibat semakin menjauhnya manusia dari agama.
Kedua, fakor sosial-politik, disini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak
diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap
kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang
merugikan komunitas muslim menyebabkan terjadinya gerakan radikalisme yang
ditopang oleh sentiment dan emosi keagamaan.34
Ketiga, faktor pendidikan, minimnya jenjang pendidikan, mengakibatkan
menimnya informasi pengetahuan yang didapat, ditambah dengan kurangnya
dasar keagamaan mengakibatkan seseorang mudah menerima informasi
keagamaan dari orang yang dianggap tinggi keilmuannya tanpa kemudian dapat
dicerna terlebih dahulu, hal ini yang kemudian akan menjadi boomerang jika
informasi tersebut di dapatkan dari orang yang salah.
Keempat, faktor kultural. Barat dianggap kalangan muslim telah dengan
sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim
sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat dengan
34
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 18.
27
sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya
bangsa Timur dan Islam, dan juga dianggap bahaya terbesar keberlangsungan
moralitas Islam.
Kelima, faktor ideologis anti westernisasi. Westernisasi merupakan suatu
pemikiran yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari‟at Islam
sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari‟at Islam.
Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat ini tidak dapat disalahkan dengan
alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh ole kaum
radikalisme menunjukan ketidak mampuan mereka dalam memposisikan diri
sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
Islam radikal terbagi menjadi dua makna, yaitu sebagai wacana dan juga
aksi. Radikal dalam artian wacana adalah dengan adanyan pemikiran untuk
mendirikan negara Islam, kekhalifahan Islam tanpa menggunakan kekerasan
terbuka.sedangkan dalam artian aksi, radikal diartikan melakukan perubahan
dengan aksi-aksi kekerasan atas nama agama.35
Merujuk pada makna terakhir,
kelompok gerakan Islam radikal memilih jalan kekerasan sebagai cara
mewujudkan tujuannya dalam mendirikan kekhalifahan Islam di Indonesia.
Kemudina muncul pemahaman posisi pemerintah Indonesia sebagai suatu bentuk
thogut. Bagi kelompok Islam radikal terutama pada faksi Jihadis, pemerintah
thogut merupakan sasaran yang harus diperangi melalui terror atau irhab dengan
menggentarkan siapa saja yang mereka anggap adalah musuh.
35
Ismail Hasani dan Bonar T.N, Dari Radikalisme Menuju Terorisme, (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2012), h. 11.
28
Dalam konstelasi politik Indoneisa, masalah radikalisme Islam tampak
pada lahirnya berbagai gerakan atau organisasi yang terbagi menjadi 3 bentuk,
pertama, ada yang sekadar memperjuangkan implemntasi syariat Islam tanpa
keharusan mendirikan negara Islam. Orientasi radikalisme Islam ini lebih pada
penerapan syariah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara, hanya saja
mereka cenderung menggunakan cara atau pendekatan kekerasan. Kedua,
memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), kelompok ini diwakili
oleh DI/TII diprakarsai oleh Kartosoewiryo yang sekaligus berperan sebagai
imam NII.36
Ketiga, kelompok yang ingin mewujudkan khilafah Islam yang
memperjuangkan berdirinya khilafah universal dan syariat Islam sebagai
dasarnya.37
D. Konsep Wawasan Kebangsaan
Program deradikalisasi wawasan kebangsaan merupakan strategi
bangsa dalam mengikis dan menurunkan tingkat radikalisme pihak dan/atau
kelompok yang mengalami kegalauan dalam berbangsa dan bernegara karena
pemahaman agama yang dangkal, terbatas, dan kaku. Jika dibiarkan
radikalisme dapat menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia, serta menjadi
36
Nur Khalik Ridwan, Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia, (T.tp:
Erlangga, 2008), h. 8-12. NII atau juga disebut DI, memiliki inti ajaran yang berporos pada tiga
hal, yaitu iman, hijrah, dan jihad. Tiga doktrin inilah yang kemudian dalam versi golongan NII
meniru fase pembinaan Nabi Muhammad saw, di Mekkah membina iman yang benar, kemudian
hijrah ke Madinah, membangun jihad fi sabilillah. Kelompok ini dianggap berbahaya karena
mengancam stabilitas keamanan negara. Sehingga pada September 1962, Kartosoewiryo
dieksekusi disuatu pulau di teluk Jakarta. Pasca kekalahan tersebut pengikut NII yang berjumlah
ribuan mendapatkan amnesti dari pemerintah setelah berikrar setia pada NKRI, sedangkan
sebagian yang lain masih tetap bersikukuh dengan keyakinan NII walau dengan jumlah yang
relatif kecil. Hingga saat ini gerakan tersebut masih tetap eksis melakukan perjuangan, namun
dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. 37
Ibid., h. 18.
29
bahaya laten bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.38
Wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam
rangka mengelola kehidupan berbangsa dan bernegarayang dilandasi oleh jati
diri bangsa (nation character) dan kesadaran terhadap sistm nasional (national
system) yang bersumber dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka
Tunggal Ika, guna memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan
negara demi mencapai masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera.
Oleh karenanya, sangat diperlukan kesadaran dari segenap bangsa
untuk patuh dan tunduk pada Pancasila yang telah berdiri sekian lama sebagai
landasan negara. Sikap tunduk kepada Pancasila tidak dapat dianalogikan
dengan tunduk dan patuh kepada ajaran agama yang diyakininya. Sebab
Pancasila hanyalah produk manusia, sifatnya terbatas hanya di wilayah
Indonesia saja, sementara agama merupakan produk Tuhan yang bersifat
universal. Namun demikian, tidak berarti bahwa Pancasila boleh dihapus
begitu saja, karena dibawah sayapnya negara kita berusaha menterjemahkan
perintah dan kasih sayang tuhan. Hal ini terbukti dengan tidak adanya satupun
sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan agama.39
Indonesia telah menerima Pancasila sebagai dasar negara yang
dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan melalui proses dan musyawarah
yang panjang. Pancasila menjadi kontrak sosial untuk hidup di negeri ini dan
38
Irfan Idris, Mrembumikan Deradikalisasi: Soft Approach Model Pembinaan Terorisme
Dari Hulu ke Hilir Secara Berkisanambungan (Jakarta: Daulat Press, 2016), h. 202. 39
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 214.
30
karena itu dipahami sebagai paham kebangsaan.40
Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa merupakan bentuk kesadaran akan realitas
keberagaman Indonesia. Islam di Indonesia bukanlah satu-satunya agama yang
ada. Dengan demikian, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada
semua agama yang diakui. Itu berarti negara harus menjamin pola pergaulan
yang serasi dan berimbang antar sesama umat.41
Penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, pada urutan pertama
menunjukan bahwa landasan moral Pancasila sama dengan moral agama,
karena keduanya memiliki nilai moral yang bersifat universal. Namun
demikian Pancasila bukanlah agama, tetapi Pancasila tidak bertentangan
dengan agama sepanjang moral Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
landasannya.42
Dalam sejarah panjang Indonesia, Pancasila merupakan nilai-nilai
dasar kebangsaan yang disepakati sebagai pengikat dan sekaligus perekat bagi
persatuan dan kesatuan Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki pandangan
hidup, filsafat hidup, dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, yaitu Pancasila yang dibentuk berdasarkan suatu
asas kultural yang dimiliki dan melekat pada diri bangsa Indonesia sendiri.43
Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila merupakan karya besar bangsa Indonesia yang diangkat dari
40
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 237. 41
Mengutip dari Abdurrahman Wahid dalam Yusuf Zainal Abidin dan Beni Ahmad saebani,
Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014), h. 227-228. 42
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 237. 43
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 238.
31
nilai-nilai kultural yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri melalui proses
refleksi filosofis para pendiri negara.44
Pancasila adalah karya agung bangsa. Sebuah mahakarya yang telah
menjalani proses alur pikir panjang, tidak dipaksakan untuk mengikuti pada
ideologi-ideologi lainya seperti sosialisme, dan kapitalisme. Pancasila
merupakan dasar, falsafah, dan pedoman negara Indonesia yang berisi lima
sila universal yang memayungi masyarakat Indonesia. Jika dicermati, kelima
sila ini berisikan wawasan kemajemukan yang khas Indonesia, baik dari
perspektif keagamaan, kemanusiaan, kenegaraan, dan kebangsaan. Pancasila
menjadi barometer dan rujukan bagi hubungan lintas kultural masyarakat
Indonesia. Sebab, Pancasila merupakan bentukan para pendiri republik ini dari
hasil perenungan mendalam dari berbagai kultur yang ada di Indonesia.45
Unsur-unsur Pancasila sesungghunya berasal dari bangsa Indonesia
sendiri. Walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar negara republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal
tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pnacasila bahkan telah
melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia
memberikan bukti yang dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan,
bahasa, kesenian, kepercayaan, agama, dan kebudayaan pada umumnya.46
44
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 238. 45
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 239-240. 46
Sunoto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi
Filsafat Pancasila, 1983), h. 1
32
Disini terlihat bahwa nilai-nilai luhur dari agama dan budaya yang
terintegrasi dalam ideologi negara telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi
yang kokoh. Kokohnya ideologi Pancasila telah terbukti dengan daya
tahannya yang tinggi terhadap segala gangguan dan ancaman dari waktu ke
waktu, sehingga sampai saat ini tetap eksis sebagai falsafah dan landasan serta
sumber dari segala sumber hukum bagi negara bangsa Indonesia.47
Hakikat nilai-nilai Pancasila sesungghunya telah hidup dan diamalkan
oleh bangsa Indonesia sejak negara ini belum berbentuk. Dan menjadikan
Pancasila sebagai falsafah negara, ideologi negara, landasan negara, dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, berarti Pancasila merupakan sumber nilai
bagi segala penyelenggraan negara baik yang bersifat kejasmanian maupun
kerohanian. Hal ini berarti bahwa dalam segala aspek penyelenggaraan atau
kehidupan bernegara yang materiil maupun spiritual harus sesuai dengan nilai-
nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila secara bulat dan utuh.48
Jelaslah bahwa Pancasila merupakan wujud pengamalan agama dalam
konteks bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mengamalkan nilai-nilai
universal agama dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat secara ke-Indonesiaan berarti telah mengamalkan Pancasila.
Dengan demikian, untuk mengamalkan Pancasila secara utuh dan konsekuen,
47
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 241. 48
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 241.
33
mustahil tanpa memandangnya berasal dari nilai luhur agama yang dianut
bangsa Indonesia.49
Pancasila memang bukanlah satu agama dan tidak merupakan
sinkertisasi ajaran agama-agama. Pancasila bukan pula pemikiran sekulerisme
yang bertentangan dengan budaya religious Indonesia. Pancasila adalah anak
kandung dari budaya Indonesia yang sudah sejak dahulu kala telah
menjadikan agama sebagai etosnya. Karenanya, tidak ada jalan untuk
melepaskan Pancasila menjadi sekuler, sebab hal itu berarti memisahkan
manusia Indonesia dari jati diri religiusnya. Sebaliknya pula, tidak ada jalan
untuk menjadikan agama tertentu sebagai tafsir Pancasila, apalagi sebagai
pengganti Pnacaasila, karena hal itu merupakan pengingkaran terhadap
keragaman agama, etnis, dan budaya yang sudah menjadi jati diri ke-
Indonesiaan kita.50
Untuk itu, mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Pancasila yang
universal sebagai sarana pembentukan masyarakat religious yang menghargai
kemajemukan tetap harus diiringi dengan penguatan pada keyakinan agama
yang dianut oleh masing-masing komunitas, terutama pada dasar-dasar agama
yang absolut dan ajaran agama tetantang kemanusiaan yang memberikan
inspirasi bagi teologi kerukunan.51
Dengan demikian, Pancasila sebgai falsafah negara, jelas sangat
dibutuhkan untuk menjadi integrating force (kekuatan pemersatu) dalam fakta
49
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 241-242. 50
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 242. 51
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 242.
34
pluralitas kultural yang ada. Jika semuanya berjalan dengan baik, maka akan
tercipta suatu masyarakat yang agamis yang tinggal di negara Pancasila. Kini,
Pancasila telah dikembalikan kepada rakyat Indonesia. Inilah momen bagi
rakyat untuk mengambil kembali milikinya dan kemudian menempatkan
Pancasila untuk mmebangunkan kembali bangsa Indonesia dari masa krisis.52
Pancasila adalah landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang
multi-etnik, multi agama, ribuan pulau, dan kaya sumber daya alam. Ia
merupakan titik pertemuan yang lahir dari suatu kesadaran bersama. Dan
kesadaran ini muncul dari kesediaan berkorban demi kepentingan yang besar
membentuk negara besar. Kita percaya dengan segenap hati bahwa satu-
satunya yang harus dilakukan sekarang ini untuk mewujudkan mimpi-mimpi
dengan mewujudkan kedamaian bagi masyarakat Indonesia. Untuk itulah, kita
membutuhkan jenis gerakan yang langgeng dan penuh manfaat dalam segala
hal, bukan yang bersifat sementara, singkat, dan kurang menjanjikan.53
Seluruh unsur tersebut adalah nilai-nilai luhur yang mekat pada bangsa
Indonesia yang pada akhirnya disarikan dalam Pancasila. Peningkatan
kesadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur budaya bangsa adalah sarana
untuk membangkitkan semangat nasionalisme, yang dapat dilakukan dengan
senantiasa memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan bernegara dalam
kehidupan bermasyarakat. Kehendak bangsa untuk bersatu dalam wadah
negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Merupakan syarat utama dalam
52
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 242-243. 53
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 243.
35
mewujudkan nasionalisme. Dengan demikian, tidak pada tempatnya untuk
mempersoalkan perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan golongan. Kehendak
untuk bersatu sebagai suatu bangsa memiliki konsekuensi siap mengorbankan
kepentingan pribadi demi menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan
kesatuan. Tanpa adanya pengorbanan, mustahil persatuan dan kesatuan dapat
terwujud. Malah sebaliknya akan dapat menimbulkan perpecahan.54
Inilah yang telah dibuktikan bangsa Indonesia dalam merebut dan
memperahankan kemerdekaan. Disamping itu, perlu dikembangkan semangat
kebanggaan dan kebangsaan dalam tiap individu rakyat Indonesia. Kebanggan
yang harus dikembangkan adalah kebanggan yang dapat dirasakan oleh
seluruh bangsa, sehingga kehendak untuk bersatu masih tetap berakar di dalam
hati sanubari. Disisi lain, semangat kebangsaan dalam suatu bangsa yang
terbangun sejak zaman kemerdekaan masih tetap relevan dengan dunia masa
kini.55
Bagi Indonesia, rumusan paham kebangsaan telah tercantum dengan
jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu membangun
sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur, membina persahabatan dalam pergaulan antar bangsa, menciptakan
perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan, serta menolak penjajahan dan
54
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 180-181. 55
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 181.
36
segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.56
E. Analisis SWOT
Menurut Keller, analisis SWOT (strengts, weakness, opportunity,
threat) adalah evaluasi keseluruhan dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman.
a. Strengts (kekuatan)
Merupakan kekuatan yang dimiliki dalam program deradikalisasi
pendekatan wawasan kebangsaan khususnya Pancasila sebagai ideologi
yang sudah teruji dalam sejarah kebangsaan dalam menghadapi segala
gangguan, tantangan, rintangan, terhadap segala bentuk ideologi lain
khususnya dalam paham radikalisme dan kekerasan terorisme sejak
berdirinya dari zaman Orde Lama, Orde Baru, dan hingga saat sekarang ini
di era reformasi.
b. Weakness (kelemahan)
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam program deradikalisasi
melalui pendekatan wawasan kebangsaan dimana masih kurangnya
dukungan politik dari pemerintah dan partai politik. Serta masih
kurangnya dukungan dari masyarakat Indonesia dalam mensosialisasikan
serta mengimplementasikan nilai-nilai nasionalisme dan bahaya paham
radikalisme dan aksi terorisme di lingkungan masyarakat.
56
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 181-182.
37
c. Opportunity (peluang)
Merupakan peluang dalam program deradikalisasi pendekatan wawasan
kebangsaan dimana melalui sumber daya alam yang sangat melimpah dan
sumber daya manusia yang cukup apabila dikelola secara baik akan
mendapatkan hasil dimana tingkat kesejahteraan cukup tinggi di dalam
masyarakat dengan tingkat keamanan yang kondusif secara otomatis
peluang tumbuh suburnya paham radikal akan terkikis habis sampai
keakar-akarnya.
d. Threat (ancaman)
Merupakan suatu ancaman dan kendala program deradikalisasi pendekatan
wawasan kebangsaan dikarenakan luasnya Indonesia yang terdiri dari
beberapa ribu pulau yang akan dapat memberikan dampak penyusupan
paham radikalisme.
Oleh karenanya, analisis SWOT dalam program deradikalisasi pendekatan
wawasan kebangsaan akan mampu menganalisis yang menjadi kekeuatan maupun
kelemahan serta peluang sekaligus ancaman berhasil tidaknya di dalam startegi
tepat guna dalam mengatasi segala ancaman dan mengurangi kelemahan sehingga
program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan dapat bertahan dan
mampu berkembang secara baik dengan hasil yang optimal.
38
BAB III
PROFIL BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME
(BNPT) DAN PROGRAM DERADIKALISASI
A. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
1. Latar Belakang Terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT)
Terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
melalui proses pemikiran dan analisa kebutuhan yang penuh kematangan.
Setelah terjadinya tragedi Bom Bali I di Legian, Bali. Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang (Perpu)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan
Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang
pemberlakuan bagi pelaku bom Bali 1pada 2 Oktober 2002. Peraturan ini
merupakan kebijakan strategis dalam pemberantasan tindak pidana terorisme
untuk memperkuat ketertiban masyarakat dan keselamatan masyarakat dengan
tetap menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia, tidak bersifat
diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antar golongan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undnag Nomor 1 Tahun 2002
39
tersebut kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun
2003.57
Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 tentang
pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Perpres ini
diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT
merupakan kebijakan nasional penanggulangan terorisme di Indonesia. Badan
ini merupakan pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
(DKPT) yang dibuat pada tahun 2002, berdasarkan keputusan Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Nomor: Kep-
26/Menko/Polkam/11/2002. Saat itu, DKPT bertugas membantu Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan dalam merumuskan kebijakan bagi
pemberantasan tindak pidana terorisme, yang meliputi aspek penangkalan,
pencegahan, penanggulangan, penghentian penyelesaian dan segala tindakan
hukum yang diperlukan.58
Pada tanggal 31 Agustus 2009 diadakan Rapat Kerja antara Komisi I
DPR dengan Menkopolkam yang membahas mengenai pemberantasan
terorisme. Kesimpulan dari rapat tersebut yaitu:59
57
Abdul Wahab, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2004), h. 22. 58
Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, Tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme. 59
Kesimpulan Rapat Kerja DPR, Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi I DPR RI Dengan
Menkopolhukam Mengenai Pemberantasan Terorisme, DPR RI, 2009.
40
1) Komisi I DPR RI mendukung upaya pemerintah dalam
menanggulangi dan memberantas terorisme berdasarkan grand
desain penanggulangan terorisme, dan Komisi I DPR RI
menegaskan bahwa terorisme adalah kejahatan kemanusiaan luar
biasa yang harus dijadikan musuh bersama. Oleh karena itu
dibutuhkan komitmen seluruh elemen dan potensi bangsa dalam
menghadapi dan memberantas terorisme.
2) Dalam upaya meningkatkan kapasitas dan keterpaduan
penanggulangan terorisme, Komisi I DPR RI meminta pemerintah
agar meningkatkan peran masyarakat secara optimal dalam gerakan
pemberantasan terorisme sesuai dengan ketentuan hukum, dan
mengajak masyarakat untuk turut mencegah berkembangnya ajaran
sesat yang mengembangkan radikalisme dan yang membenarkan
penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuannya, serta agar
masyarakat memberikan informasi dini atas gejala terorisme yang
terlihat di sekitarnya.
3) Untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan terorisme, Komisi I
DPR RI memandang perlu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Tindak Pidana Terorisme diperbaiki dengan antara lain
meningkatkan aspek prevention dan kapasitas, termasuk
kemungkinan pembentukan suatu badan yang berwenang secara
operasional melakukan tugas pemberantasan/penanggulangan
terorisme. Dalam hubungan ini, Komisi I DPR RI mendesak
41
pemerintah untuk menerbitkan regulasi sebagai elaborasi ketentuan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk mengatur ketentuan
lebih rinci tentang Rule of Engagement (aturan pelibatan) TNI,
terkait tugas Operasi Militer selain Perang TNI, termasuk aturan
pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme dan tugas perbantuan TNI
terhadap POLRI.
4) Komisi I DPR RI meminta pemerintah agar dalam upaya
pemberantasan terorisme termasuk upaya penggalangan dan
deradikalisasi agar fokus diarahkan kepada pengejaran pelaku, aktor
intelektual, dan jaringannya, serta mengajak masyarakat untuk tidak
terprovokasi dan terjebak dalam pandangan dan stigmasasi bahwa
terorisme terkait dengan satu agama yang dapat memperbesar sikap
saling mencurigai di tengah masyarakat, dan melemahkan gerakan
pemberantasan terorisme.
5) Dengan semakin meningkatnya ancaman terorisme khususnya
indikasi perilaku tindakan bom bunuh diri, Komisi I DPR RI
meminta aparat keamanan untuk melakukan kajian secara lengkap
dan menyeluruh mengenai latar belakang dan motivasi tindakan
terorisme bunuh diri, serta kajian terhadap berbagai payung hukum
yang tersedia untuk meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap
potensi ancaman terorisme termasuk tahapan perekrutan, serta
42
pengambilan langkah-langkah kebijakan efektif dalam rangka
penanggulangan terorisme.
6) Komisi I DPR RI meminta pemerintah untuk meningkatkan
pengawasan dan tindakan hukum terhadap aliran dana dari dalam
dan luar negeri yang diduga digunakan untuk tujuan mendukung dan
membiayai terorisme.
Berdasarkan hasil rapat tersebut, Komisi I DPR RI merekomendasikan
kepada pemerintah untuk membentuk lembaga baru guna memaksimalkan usaha
penanggulangan terorisme. Akhirnya, Presiden Republik Indonesia menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT)60
tepat pada 16 Juli 2010, dan mengangkat
Irjen Pol (Purn) Drs. Ansyaad Mbai, M.M. sebagai Kepala BNPT.61
2. Wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
BNPT memiliki wewenang untuk menyusun dan membuat kebijakan serta
strategi, dan menjadi koordinator dalam bidang pencegahan terorisme. BNPT juga
telah membentuk forum koordinasi pencegahan terorisme (FKPT) di daerah.
Pembentukan FKPT merupakam salah satu upaya BNPT mencegah terorisme di
seluruh wilayah Indonesia. Pembentukan FKPT bertujuan untuk menghimpun
60
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme 61
Artikel ini diakses pada tanggal 6 juni 2016, www.bnpt.go.id/profil.php
43
dukungan masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan terorisme
dengan berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal masing-masing daerah.62
3. Visi dan Misi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
BNPT secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden. Visi BNPT
adalah unutk mewujudkan penanggulangan terorisme dan radikalisme melalui
upaya sinergi institusi pemerintah dan masyarakat yang meliputi pencegahan,
perlindungan, deradikalisasi, dan penindakan, serta peningkatan kewaspadaan
nasional dan kerjasama internasional untuk menjamin terpeliharanya keamanan
nasional.63
Berdasarkan visi BNPT tersebut dapat dijabarkan juga misi BNPT sebagai
langkah-langkah BNPT dalam melakukan program untuk mencapai visi tersebut.
Ada lima point misi BNPT yang dijabarkan sebagai berikut:
a) Melakukan pencegahan terjadinya aksi terorisme, meningkatkan
kewaspadaan dan memberikan perlindungan terhadap ojek-objek vital
yang potensial menjadi target serangan terorisme.
b) Melakukan deradikalisasi dan melawan propaganda ideologi radikal.
c) Melakukan penindakan aksi terorisme melalui penggalangan intelijen, dan
penegakan hukum melalui koordinasi dan kerjasama institusi terkait,
masyarakat, dan seluruh komponen bangsa.
62
BNPT, Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah, (BNPT:
Sentul, 2003). 63
Agus Surya Bakti, Darurat Teorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan
Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 75.
44
d) Melaksanakan pembinaan kemampuan dan kesiapsiagaan nasional
terhadap ancaman aksi terorisme.
e) Melaksanakan kerjasama interasional dalam penanggulangan terorisme.64
4. Tugas Pokok Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Sebagai sebuah badan, BNPT memiliki tugas pokok yang harus dijalankan
dalam melaksanakan tugas negara. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Perpres nomor 46
Tahun 2010 BNPT memiliki tugas pokok sebagai berikut:65
a) Menyusun kebijakan, strategi dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme
b) Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam melaksanakan
kebijakan di bidang penanggulangan terorisme.
c) Membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur
instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
5. Fungsi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Disamping tugas pokok, BNPT memiliki fungsi sebagai berikut:
a) Penyusunan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme
b) Monitoring, analisa, dan evaluasi di bidang penanggulangan terorisme
64
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 76. 65
Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor:
PER.01/K.BNPT/10/2010, tentang Organisasi dan tata kerja Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme.
45
c) Koordinasi dalam pencegahan dan pelaksanaan kegiatan melawan
propaganda ideologi radikal
d) Pelaksanaan deradikalisasi
e) Perlindungan terhadap objek-objek yang potensial menjadi target serangan
terorisme
f) Pelaksanaan penindakan, pembinaan kemampuan, dan kesiapsiagaan
nasional.
g) Pelaksanaan kerjasama internasional di bidang penaggulangan terorisme.
h) Perncanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi
dan sumber daya serta kerjasama antara instansi.
i) Pengoperasian satuan tugas-satuan tugas pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di
bidang penanggulangan terorisme.66
6. Kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Dalam kebijakan pencegahan terorisme, ada enam prinsip-prinsip
umum dan kerangka kerja yang harus dikedepankan:
a) Supremasi hukum, yaitu penggunaan kerangka hukum selalu menjadi
basis pedoman dari aksi kontra teror. Independen mengandung pengertian
bahwa Indonesia akan selalu berusaha mencapai konsklusi dan melakukan
aksi dalam negeri tanpa harus bergantung pada pihak manapun. Semua
data intelijen, rekomendasi dan pandangan dari pihak luar akan tetap
diterima dengan baik sebagai masukan. Pemerintah Indonesia tidak akan
66
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010.
46
di dikte oleh kekuasaan asing manapun tetapi tetap mengandalkan
kemampuan sendiri dengan kerja yang professional dan didasari
penggunaan data yang akurat.
b) Indiskriminasi, berarti dalam upaya kontra teror pemerintah Indonesia
tidak akan menuduh dan hanya memfokuskan pada satu kelompok saja,
baik itu kelompok etnis, agama, maupun kepentingan. Semua warga
negara Indonesia akan diperlakukan sama dibawah undang-undang anti
terorisme. Jika ada satu organisasi teroris yang menjadi target operasi itu
semua didasari oleh tindakan mereka bukan karena identitas religi atau
etnis mereka. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia juga memahami
jika ada beberapa kelompok di Indonesia yang kerap menggunakan
perbedaan suku dan agama sebagai alasan untuk memicu kekerasan.
c) Independensi, yaitu sifat bebas dalam membuat kesimpulan dan
mengambil tindakan, rekomendasi ataupun harapan masyarakat
internasional diposisikan sebagai masukan dan pertimbangan. Artinya,
semua tindakan dan keputusan tidak didasarkan pada intervensi dari pihak
manapun, tetapi didasarkan pada temuan akurat dan professional melalui
proses dan mekanisme yang akuntabel demokrasi.
d) Kordinasi merefleksikan bahwa ancaman teror merupakan ancaman yang
melintasi batas yurisdiksi satu departemen bahkan negara. Upaya untuk
menanggulanginyapun harus melintasi batas yurisdiksi yang dimiliki tiap-
tiap departemen, oleh karena itu koordinasi menjadi sangat penting dalam
memerangi terorisme.
47
e) Demokrasi berarti pemerintah telah memahami bahwa pemberian otoritas
yang terlalu besar untuk memerangi terorisme juga membuka potensi
bahaya lain. Pemerintah Indonesia tidak akan mengabaikan prinsip-prinsip
demokrasi hanya demi mengejar otoritas absolut. Pemerintah indonsia
akan berusaha mencari keseimbangan antara otoritas pemerintah dan
prinsip-prinsip demokrasi. Kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah
dalam memerangi terorisme selalu terbuka melalui mekanisme parlemen
(DPR dan MPR), melalui media baik cetak maupun eletronik dan melalui
lembaga swadaya masyarakat.
f) Partisipasi yng merefleksikan bahwa perang melawan teror tidak akan
berhasil dimenangkan jika menjadi tugas semata pemerintah. Partisipasi
dari masyarakat, kerjasama antar komunitas, dan antara masyarakat
dengan pemerintah, merupakan hal yang sangat vital dalam perang
melawan terorisme.67
7. Kebijakan Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT)
a. Peran Intelijen
Mengaktifkan peran intelijen yang aktif, walaupun upaya ini
terkendala oleh masih kuatnya resistensi terhadap peranan intelijen akibat
trauma masa lalu oleh kelompok-kelompok tertentu. Sehingga apparat
67
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 78-81.
48
keamanan sekaan kecolongan dan menimbulkan kesan hanya bertindak reaktif
dan inisiatif lebih banyak ditanga teroris.68
b. Hukum
Membuka wacana dalam rangka membangun perangkat hukum yang
efektif, karena selama ini kebijakan pemerintah hanya fokus pada upaya
penegakan hukum, sementara pasal hukum yang digunakan untuk mengadili
sangat lemah dan dasar atau payung hukum yang digunakan sangat lemah.
Upaya penegakan hukum selama ini hanya mampu menjerat pada tataran
operator atau pelaku di lapangan, sementara master mind, profokator dan
spiritual leader belum terjangkau. Selain itu, regulasi yang ada belum mampu
mempersempit ruang gerak aktifitas terorisme seperti:
i. Pembuatan KTP dan dokumen perjalanan
ii. Belum ada pembatasan aktifitas napi teroris di dalam lembaga
pemasyarakatan
iii. Penggunaan telepon seluler dan internet
iv. Pengaturan dan pengawasan tentang bahan peledak
v. Penerbitan dan pengawasan terhadap kegiatan pelatihan militer
oleh kelompok masyarakat
vi. Pemberitaan tentang terorisme di media masa
68
Rhousdy Soeriaatmadja dan Brigjen Pol (Purn) Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT Dalam
Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan, (2009), h. 337-338.
49
vii. Pengawasan terhadap kegiatan yang bersifat menghasut, menyebar
kebencian, dan memprovokasi untuk melakukan tindakan
permusuhan dan aksi kekerasan
viii. Pengawasan lalu lintas orang dan barang di perbatasan serta pintu-
pintu masuk dan keluar.69
8. Strategi BNPT
Program pencegahan yang dilaksanakan oleh BNPT terdiri atas dua
strategi, Pertama, strategi deradikalisasi yang ditujukan terhadap kelompok
inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan penangkalan,
rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi.70
Kedua, strategi kontra radikalisasi
yang ditujukan terhadap kelompok pendukung, simpatisan, dan masyarakat
dengan melaksanakan kegiatan pencegahan yang meliputi kegiatan
pengawasan terhadap orang, senjata api, dan muhandak, kegiatan kontra
propaganda, kegiatan kewaspadaan serta kegiatan perlindungan terhadap
objek vital, transportasi, VVIP serta lingkungan dan fasilitas publik.71
Secara spesifik, strategi di bidang deradikalisasi diarahkan kepada
pencapaian dua tujuan utama: 1). Kelompok inti dan militant agar
meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya.
2). Kelompok inti, militant dan pendukung memoderasi paham-paham radikal
69
Rhousdy Soeriaatmadja dan Brigjen Pol (Purn) Ivan TH Sihombing, Kiprah DKPT., h.
337-338. 70
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 83. 71
Mengutip dari Renstra Deputi I BNPT 2010-2014 dalam Surya Bakti, Darurat Teorisme, h.
83.
50
mereka sejalan dengan semangat kelompok islam moderat dan cocok dengan
misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI. 72
a. Sasaran Strategi pencegahan terorisme di Indonesia
1) Kelompok Inti (hard core)
Mereka adalah para aktor intelektual atau otak dibalik gerakan dan
persebaran paham radikal teroris. Dari kelompok inilah terlahir para
pelaku yang militant, yang telah “tercuci otak” sehingga berani dan rela
melakukan teror bahkan bunuh diri untuk mengejar “surga” sesuai
keyakinan. Para intelektual ini ada yang bergerak secara organisatoris
yang tergabung dalam jaringan organisasi yang sepaham dan seideologi,
atau bergerak sendiri-sendiri atau dalam organisasi sendiri yang tidak
terkait dengan organisasi lain.
Kelompok ini merupakan ancaman utama karena menjadi produsen
dan sutradara bagi serangkaian pemboman di Indonesia, merekrut dan
mengindoktrinasi individu-individu sebagai eksekutor serangkaian aksi
teror. Golongan ini merupakan tokoh-tokoh kunci yang sangat
berpengaruh dan merupakan ancaman terbesar dari aksi-aksi terorisme.73
2) Kelompok Militan
Mereka adalah para eksekutor aksi terorisme naik yang ada digaris
depan maupun sebagai perangkat pelaksana. Kelompok telah dilatih dan
72
Mengutip dari Renstra Deputi I BNPT 2010-2014 dalam Surya Bakti, Darurat Teorisme, h.
84 73
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 84-85.
51
dipersiapkan untuk melakukan aksi bunuh diri dalam aksi teror, atau
disebut sebagai “pengantin”. Mereka sudah tidak takut lagi untuk mati
baik ketika meledakan bom, tertangkap dan dieksekusi mati, atau
tertangkap dan dipenjara.74
3) Kelompok Pendukung
Kelompok yang termasuk dalam kategori ini adalah individu atau
kelompok yang dengan sukarela menyediakan sarana pendukung bagi aksi
terorisme, termasuk tempat pelatihan, pendanaan, dan tempat
persembunyian anggota-anggota teroris. Pada dasarnya, mereka memiliki
paham yang sama dengan dua kelompok sebelumnya. Kelompok ini
menjadi berbahaya karena ikut menentukan berhasil tidaknya aksi
terorisme. Keberhasilan aksi teror juga ditentukan apakah sumber daya
berupa dana, materi pembuat bom, senjata, media rekrutmen, serta tempat
pelatihan.75
4) Kelompok Simpatisan
Kelompok simpatisan adalah kelompok-kelompok yang
mengusung gagasan radikal yang berpotensi mendukung gerakan
terorisme namun tidak terlibat aksi teroris. Ancaman dari kelompok ini
lebih merupakan ancaman tidak langsung, yaitu memberikan dukungan
ideologis seperti pentingnya negara Islam, Khilafah islam, jihad, dan
sejenisnya. Mereka biasanya memfasilitasi penyebaran paham radikal dan
74
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 85. 75
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 85-86.
52
seringkali bersikap eksklusif. Kelompok-kelompok pengajian dan dakwah
di kampus, kelompok kerohanian di sekolah-sekolah menjadi lahan subur
bagi kelompok untuk merekrut anggota dan menyebarkan paham eksklusif
radikal.76
Masyarakat yang rentan menjadi sasaran radikalisme merupakan
sasaran dalam pencegahan terorisme. Atas dasar itu, seluruh stakeholder
berkewajiban memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat agar
tidak terjangkiti radikalisme.77
9. Pola Aksi Terorisme di Indonesia
Pola aksi teror di Indonesia dari masa ke masa berubah-ubah dalam
melakukan aksinya, kelompok-kelompok teroris di Indonesia menggunakan
berbagai macam pola. Oleh karenanya, memerangi terorisme dan radikalisme
harus sampai tuntas dan sampai keakar-akarnya.78
Karena pandangan bahwa
akar terorisme dan radikalisme adalah ideologi dan doktrin dapat dibenarkan
oleh pengakuan para pelaku teror dan radikal itu sendiri. Dalam beberapa
aksinya mereka mengaku bahwa apa yang meraka lakukan adalah berjihad di
jalan Allah yang mereka pahami dari teks-teks Al-Qur‟an dan Sunnah yang
diinterpretasikan secara serampangan.79
76
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 86. 77
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 86. 78
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal
Melawan Radikalisasi da Terorisme (Daulat Press, 2016), h. 110 79
Terjadinya Bom Bali I didasari oleh pertimbangan Syariah dikalangan JI sendiri sempat
terjadi perbedaan (khilafiyah) soal sasaran. Dan ternyata Bom Bali I semua korban adalah warga
sipil. Karena bagi pemahaman syariah ala JI, yang bias diserang itu bila sasaran sipil berbaur
dengan militer. Karenannya bagi sebagian JI, yang menolak Bom Bali I, terjadinya Bom Bali I itu
53
“Bahkan saat ini, aksi teror sudah tidak ditujukan kepada
pemerintah atau negara. Masyarakat sipil pun turut menjadi sasaran aksi
terorisme. Saat ini terjadi peningkatan dalam modus operandi dan peta
terorisme di Indonesia. Sasaran serangan aksi terorisme sudah tidak
menyerang kepada kepentingan asing, tapi saat ini juga menyerang
kepentingan nasional (aparat dan warag sipil). Dalam melakukan aksi
terornya, mereka tidak memiliki rencana jelas, hierarki yang kuat antara
atasan dan bawahan, bahkan mereka juga tidak memiliki pengalaman
pendidikan militer dari jaringan internasional teroris” 80
Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa peristiwa pengeboman yang pernah
terjadi di Indonesia yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel III.9.1. Peristiwa Pengeboman di Indonesia
No. Tanggal
Peristiwa
Lokasi Korban
Tewas
Korban
Luka
1. 1 Agustus 2000 Kediaman Duta Besar Filiphina, Jakarta 2 orang 21 orang
2. 24 Desember
2000
Sejumlah gereja di Batam, Pekanbaru,
Jakarta, Sukabumi, Mojokerto, dan
Mataram
16 orang 96 orang
3. 1 Januari 2002 Gerai KFC Makassar - -
4. 12 Oktober 2002 Paddy‟s Club dan Sari Club di Kuta, Bali 202 orang 300 orang
5. 5 Desember 2002 Gerai McDonald, Makassar 2 orang 11 orang
6. 5 Agustus 2003 Hotel JW Marriot 11 orang 152 orang
7. 10 Januari 2004 Café di Palopo, Sulawesi Selatan 4 orang -
8. 9 September 2004 Kantor Kedutaan Besar Australia 9 orang 161 orang
9. 12 Desember
2004
Gereja Immanuel - -
10. 1 Oktober 2005 RAJA‟s Bar dan Restaurant, Bali 22 orang 102 orang
11. 31 Desember
2005
Pasar Tradisional di Palu, Sulawesi
Tengah
8 orang 45 orang
12. 17 Juli 2009 Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton,
Jakarta
9 orang -
diluar pemahaman syariat mereka. Dikutip dalam Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h.
111. 80
Muhammad A.S Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Membendung
Radikalisme (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2016), h. 150.
54
13. 15 April 2011 Masjid Az-Dzikra Polresta Cirebon 1 orang 25 orang
14. 25 September
2011
GBIS Solo 1 orang 25 orang
15. 14 Januari 2016 Sarinah, Jakarta 5 orang 2 orang
16. 5 Juli 2016 Mapolresta, Solo 1 orang 1 orang
17. 24 Mei 2017 Bom Panci, Kampung Melayu, Jakarta 4 orang 11 orang
18. 13 Mei 2018 Tiga gereja di Surabaya dan Sidoarjo 17 orang -
19. 14 Mei 2018 Mapolresta Surabaya 4 orang 5 orang
Sumber: Dihimpun dari beberapa sumber.
Peristiwa-peristiwa tersebut hanya sebagian kecil dari sejumlah peritiwa
yang ada. Dimana salah satu penyebabnya adalah kurangnya pembelajaran
tentang falsafah negara Pancasila dalam wawasan kebangsaan, dan lemahnya
keteladanan yang dicontohkan oleh segenap tokoh masyarakat kepada calon
penerus perjuangan dalam membangun dan memajukan bangsa dalam sektor
kehidupan. Akibatnya, semakin hari semakin tumbuh subur gerakan penolakan
terhadap empat konsensus dasar berbangsa. Solusinya adalah meningkatkan
strategi pendekatan melalui pembelajaran empat konsensus dasar bangsa bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan memperlihatkan keteladanan kepada seluruh
dan segenap bangsa Indonesia dalam wawasan kebangsaan Republik Indonesia.81
Strategi ini perlu terus dilanjutkan dan dikembangkan sesuai dengan
kondisi dan tantangan kehidupan berbangsa yang setiap saat mengalami
perubahan, agar tidak kaku pada teks kesejarahan semata, tetapi dapat
mengakomodir persoalan kebangsaan yang beraneka ragam.82
81
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 180. 82
Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara., h. 181.
55
Disatu sisi, lembaga non-pemerintah pada saat ini mengalami
pertumbuhan pesat, bahkan hingga ke pelosok bumi Indonesia. Disisi lain,
tumbuh dan berkambangnya paham radikal harus diwaspadai, dalam
membentengi pengaruh radikalisme dan terorisme.83
Lembaga non-pemerintah khususnya di bidang pendidikan, organisasi
masyarakat yang jelas menolak Pancasila sebagai dasar ideologinya,
memperjuangkan ilusi penggantian sistem ideologi Pancasila dan menolak NKRI,
melahirkan paham radikal dan siap siaga melaksanakan aksi terror terhadap
negara. Mereka melancarkan startegi yang sangat halus, tidak anarkhis, tidak
brutal, tetapi juga tidak akomodatif dalam menggulingkan pemerintahan dan
memecah belah persatuan masyarakat.84
B. Program Deradikalisasi
Pada awalnya, Pertama, munculnya istilah deradikalisasi karena tumbuh
suburnya paham radikal yang mengatasnamakan agama yang kemudian menjadi
teroris, yang menghancurkan hidup dan kehidupan, memorak-porandakan tatanan
dan tuntunan beragama, serta bermasyarakat dan bernegara. Kedua, upaya
mengajak masyarakat yang radikal agar kembali ke jalan yang benar berdasarkan
aturan agama, moral, dan etika yang senafas dengan esensi ajaran semua agama
yang sangat menghargai keragaman dan perbedaan.85
Bukan melalui cara yang
sangat dibenci agama pada satu sisi, dan mengatasnamakan agama pada sisi yang
lainnya. Esensi lain program deradikalisasi agar kembali menjadi warga negara
83
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 236. 84
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 244. 85
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 173.
56
Indonesia yang benar berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dalam wilayah NKRI
dibawah prinsip bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan yang
dirangkum dalam istilah Bhineka Tunggal Ika.86
Deradikalisasi dipahami sebagai sebuah cara merubah ideologi kelompok
teroris secara drastis. Perubahan drastis ini berwujud bukan hanya individu
diharapkan terbebas dari tindakan kekerasan, namun juga melepaskan diri dari
kelompok radikal yang menaunginya selama ini. Sederhananya, deradikalisasi
ditujukan untuk mengubah seseorang yang semula radikal menjadi tidak lagi
radikal, termasuk diantaranya adalah menjauhkan mereka dari kelompok radikal
tempat mereka bernaung.87
Program deradikalisasi harus dapat melepaskan ideologi-ideologi dalam
diri teroris, atau menghentikan penyebaran ideologi itu. Sehingga dalam
pelaksanaan deradikalisasi perlu dilakukan bersamaan dengan de-ideologi. De-
ideologi ini kunci utama dalam penyadaran serta proses reorientasi ideologi teroris
untuk kembali ke ajaran yang sebenarnya.88
Program deradikalisasi sendiri memiliki multi tujuan bagi penanggulangan
masalah terorisme secara keseluruhan, yaitu:
a. Melakukan counter terrorism
b. Mencegah proses radikalisme
86
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 174. 87
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 174. 88
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 175.
57
c. Mencegah provokasi, penyebaran kebencian, permusuhan antar umat
beragama
d. Mencegah masyarakat dari indoktrinasi
e. Meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham teror
(terorisme)
f. Memperkaya khasanah atas perbandingan paham89
Desain deradikalisasi telah dirancang memiliki empat komponen, yaitu
reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Reedukasi adalah
penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham
radikal sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Bagi
para terpidana kasus terorisme, reedukasi dilakukan dengan memberikan
pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan
kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh
diri bukanlah jihad yang di identikan dengan aksi terorisme.90
Rehabilitasi memiliki dua makna, yaitu pembinaan kemandirian dan
pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian adalah melatih dan membina
para mantan napi mempersiapkan keterampilan dan keahlian, gunanya adalah agar
setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka sudah memiliki
keahlian dan dapat membuka lapangan pekerjaan.
Pembinaan kepribadian adalah melakukan pendekatan dengan berdialog
kepada para napi teroris agar mindset mereka dapat diluruskan serta memiliki
89
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 181. 90
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 182.
58
pemahaman yang koprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan
mereka. Kemudian, untuk memudahkan narapidana teroris kembali dan berbaur
ke tengah masyarakat, perlu melakukan upaya membimbing mereka dalam
bersosialisasi dan menyatu kembali dengan masyarakat. Ini yang disebut dengan
resosialisasi dan reintegrasi. Masyarkat kadang juga masih sulit menerima
kembali para mantan teroris di tengah-tengah mereka.91
Kalau orang dapat berpindah agama, maka teroris tentunya juga dapat
dirubah radikalisme. Ini yang menguatkan keyakinan upaya deradikalisasi.
Pastinya, upaya deradikalisasi dan pencegahan akan terus dilakukan secara lebih
efektif dan komprhensif. Ini menjadi program raksasa bangsa kita kedepan.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat mendatang semakin terhindar dari
paham radikal dan ancaman terorisme.92
Deradikalsiasi tidak dilakukan secara membabi buta. Bila terorisme
melakukan aksi brutalnya dengan kalap dan tanpa dilandasi oleh
perikemanusiaan, tidak lantas dilawan dengan tindakan yang tidak ber
perikemanusiaan. Dalam mewujudkan program deradikalsiasi selalu
berpijak prinsip-prinsip hukum dan kemanusiaan. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
91
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 182. 92
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 183.
1. Prinsip-Prinsip Deradikalisasi
59
a. Prinsip Supremasi Hukum
Seluruh program deradikalisasi diimplementasikan dengan menjunjung
tinggi hukum yang berlaku di Indoneia. Prinsip kepastian dan
supremasi hukum merupakan upaya untuk menegakkan dan
menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi
seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya interfensi oleh dan dari pihak
manapun termasuk oleh penyelenggara negara93
b. Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM)
Semua program deradikalisasi menghormati dan menggunakan
perspektf HAM, mengingat HAM bersifat universal. UUD 1945
menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemenuhan dan perlindungan HAM warga negaranya.94
c. Prinsip Kesetaraan
Semua program deradikalisasi dilakukan dengan kesadaran bahwa
semua pihak berada diposisi yang sama, dan saling menghormati satu
sama lain. Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.95
d. Prinsip Pembinaan dan Pemberdayaan
Semua program dan kegiatan deradikalisasi mengacu pada tujuan
pembinaan dan pemberdayaan napi teroris, mantan napi, keluarga, dan
masyarakat. Pembinaan dan pemberdayaan bertujuan memulihkan napi
93
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 183. 94
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 184. 95
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 184.
60
teroris, mantan napi, keluarga, dan jaringannya agar mampu
bersosialisasi kembali di masyarakat sebagai individu yang utuh dalam
aspek mental, emosional, dan sosial, sehingga dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.96
2. Instrumen Deradikalisasi
Program deradikalisasi dilakukan selalu berpijak pada metode pendekatan,
sehingga terukur dan sistematis. Deradikalisasi dapat dilakukan dengan sejumlah
pendekatan, baik agama, sosial, pendidikan, politik, hukum, ekonomi, tekhnologi,
dan lainnya. Sejumlah pendekatan tersebut saling terkait, berkelanjutan, dan
sistematis sehingga dapat membentuk suatu kesatuan dalam upaya
deradikalisasi.97
a. Pendekatan Agama
Pendekatan agama dalam konteks deradikalisasi menekankan bahwa
setiap agama mengajarkan umatnya untuk berperilaku penuh kasih dan sayang
terhadap sesamanya. Pesan mendasar dari setiap agama yang ada di muka
bumi adalah hidup secara damai dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
Tidak ada satupun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak
anarkis dan menyebarkan teror. Pendekatan agama harus mendorong untuk
memahami dan meyakini bahwa agama manapun sejalan dengan nilai dasar
kemanusiaan dan menanamkan nilai kebaikan untuk diri, orang lain,
lingkungan, dan masa depan bagi setiap penganutnya. Pendekatan ini terbilang
96
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 185. 97
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 185.
61
strategis dalam deradikalisasi karena agama diposisikan sebagai pandangan
hidup (way of life) oleh setiap penganutnya.98
b. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis dilakukan dalam rangka mengefektifkan
implementasi program deradikalisasi. Deradikalisasi merupakan sebuah
langkah untuk mengubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras
menjadi lunak, toleran, damai, dan moderat.
Pendekatan psikologis digunakan agar mampu menyentuh dan
memahami bagian yang terdalam dari setiap orang ataupun kelompok.
Pendektan ini mampu membaca dan menganalisis perilaku agresif atau
kekerasan individu atau kelompok yang disebabkan faktor internal diri (seperti
kepribadian, sikap, kecondongan diri, ideologi, dan sebagainya) dan faktor
eksternal (seperti pola asuh, tekanan kelompok, stimulasi, provokasi, dan
sebagainya) sehingga dapat mencari solusi penanganan yang cepat dan tepat
dalam berbagai metode.99
c. Pendekatan Sosial Budaya
Deradikalisasi dapat diimplementasikan secara efektif diantaranya
dengan pendekatan sosial budaya berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal yang
merupakan gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandanga lokal yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakat mampu mengendalikan aksi dan tindakan kekerasan
98
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 185. 99
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 186.
62
dan teror. Kearifan lokal dapat menjadi pemandu perilaku yang menentukan
peradaban, seperti kebijakan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa,
penghormatan, dan penghargaan terhadap orang lain.100
d. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi dalam deradikalisasi adalah salah satu
pendekatan yang efektif dalam rangka melakukan pemberdayaan mantan napi
terorisme dan keluarga. Pemberdayaan ekonomi menciptakan kemandirian
dan kesejahteraan mantan napi teroris dan keluarga.
Beberapa fakta menunjukan bahwa faktor kemiskinan mnejadi salah
satu faktor tumbuh dan berkembangnya radikalisme dan terorisme. Dengan
pendekatan ekonomi, pemerintah dapat mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang bertujuan dapat mengurangi potensi konflik dan aksi radikal
terorisme di masyarakat.101
e. Pendekatan Hukum
Pendektan hukum digunakan dalam program deradikalisasi guna
memberikan jaminan dan payung hukum. Pendekatan hukum dalam upaya
deradikalisasi dapat meliputi pembuatan perangkat hukum yang mampu
mempersempit peluang penyebaran paham dan aksi radikal terorisme.
Perangkat hukum deradikalisasi diharapkan lebih bersifat pemberdayaan
100
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 186. 101
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 187.
63
daripada represif. Dengan demikian, dimensi identifikasi, rehabilitasi,
reedukasi, dan resosialisasi dapat terakomodasi secara proporsional.102
f. Pendekatan Politik
Pendektan politik untuk deradikalisasi dimaksudkan sebagai
perwujudan deradikalsasi sebagai agenda yang memperoleh legitimasi politik
yang kuat. Pendekatan politik juga berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang
komprehensif terhadap pengembangan program deradikalisasi, baik pada
tataran kewenangan maupun implementasinya.103
g. Pendekatan Teknologi
Kemajuan teknologi dan komunikasi menjadi wahana yang dapat
dimanfaatkan untuk instrument deradikalisasi. Media cetak, elektronik,
maupun jejaring sosial mudah dijumpai ditengah masyarakat. Teknologi akan
memudahkan dilakukannya kontra ideologi, kontra narasi, dan penyebaran
informasi positif dan konstruktif secara cepat kepada masyarakat luas.
Pendektan harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi dan
menyaingi intensitas penggunaan teknologi oleh kelompok radikal.104
3. Tahapan Program Deradikalisasi
Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu
program yang utuh, integrative, dan berkesinambungan. Program
deradikalisasi di Indonesia yang dilaksanakan secara bertahap bertujuan agar
102
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 187. 103
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 188. 104
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 188.
64
setiap tahapan dapat diketahui dan diperoleh tingkat keberhasilannya. Selain
itu, tahapan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan program
deradikalisasi di Indonesia.105
Program deradikalisasi yang telah berjalan saat ini memang perlu
secara kontinyu dilakukan. Saat ini BNPT telah membangun sebuah fasilitas
Pusat Deradikalisasi untuk melakukan program deradikalisasi di Sentul,
Bogor, Jawa Barat. Fasilitas ini sudah berdiri dan dapat menampung lebih dari
250 orang tahanan yang akan dilakukan program deradikalisasi. Dengan
adanya fasilitas ini, diharapkan dapat mengurangi eksklusifitas napi kasus
terorisme.106
Dalam menjalankan program deradikalisasi, dibutuhkan tahapan-
tahapan untuk mencapai keberhasilan program, yaitu sebagai berikut:
a. Dibalik Jeruji
Pemerintah Indonesia melalui kepolisian republik Indonesia membuat
inisiatif merangkul narapidana teroris dalam suatu program pendampingan
personal. Dengan mengajak nara pidana teroris terlibat pengajian dan
diskusi, memberikan support pada keluarga dan anak-anak mereka,
mengadakan ceramah keagamaan, dan pada beberapa kasus memberikan
bantuan ekonomi terbatas untuk memulai usaha kecil-kecilan.107
105
"Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 189. 106
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 197. 107
Taufik Andrie, “Deradikalisasi atau Disengagement Kajian dan Praktek dari Perspektif
Civil Society”, [PDF] diunduh pada 06 November 2016 dari
http://www.academia.edu/3533333/Deradikalisasi_atau_Disengagement
65
b. Rehabilitasi
Pada dasarnya, program rehabilitasi merupakan upaya sistematis
melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada
orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran serta melakukan
upaya-upaya pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada
napi teroris dan keluarganya. Dengan tujuan menyadarkan napi teroris dan
keluarga pendukungnya tentang kekeliruan paham radikal dan tindakan
teror yang telah dilakukannya.108
c. Re-edukasi
Reedukasi merupakan kelanjutan dari program rehabilitasi. Reedukasi
dimaksudkan sebagai upaya memberikan pemahaman ulang terhadap napi
teroris, mantan napi teroris, dan keluarganya tentang ajaran agama yang
damai.109
d. Resosialisasi
Program resosialisasi sebagai keseluruhan upaya mengembalikan napi
teroris atau mantan napi teroris dan keluarganya agar dapat hidup dan
berinteraksi dengan masyarakat secara baik. Secara khusus, resosialisasi
adalah upaya pembinaan kepribadian dan kemandirian yang integrative
untuk mengembalikan mereka sebagai warga masyarakat yang baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.110
108
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 200. 109
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 203. 110
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 204.
66
e. Kehidupan di luar Lapas
Program deradikalisasi di luar lapas yang berarti deradikalisasi terhadap
mantan terorisme harus dilakukan dengan komprehensif, sehingga para
mantan terorisme tidak merasa terkucilkan oleh masyarakat, karena situasi
seperti ini dapat mendorong mereka untuk kembali menjadi teroris. Oleh
keran itu, perlu dilakukan pendekatan dan pembinaan-pembinaan khusus
kepada masyarakat, agar masyarakat mampu menerima para mantan
pelaku terorisme untuk kembali hidup berdampingan secara damai di
masyarakat.111
Teknis pelaksanaan deradikalisasi di luar lapas
Pelaksanaannya selalu diawali dengan identifikasi. Tahap
identifikasi merupakan upaya mengetahui dan menentukan identitas
individu, kelompok, keluarga yang terindikasi radikal dan mantan napi
teroris terkait pemahaman dan sikap mereka yang mengarah pada
tindakan radikal teroris.112
Dengan identifikasi ini akan dapat diperoleh data valid dan
akurat tentang tingkat pemahaman dan sikap radikal kelompok sasaran.
Hasil identifikasi yang sesuai dengan harapan merupakan indikator
keberhasilan.
111
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 210. 112
Surya Bakti, Darurat Teorisme., h. 214.
67
BAB IV
PERAN WAWASAN KEBANGSAAN,
PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PROGRAM DERADIKALISASI DI
INDONESIA
A. Penerapan Ideologi Dalam Wawasan Kebangsaan
Menurut Juergensmeyer “Maraknya gerakan terorisme berakar pada
ketidak percayaan terhadap ideologi nasionalis sekuler (a loss of faith in
secular nationalism) karena kegagalan ideologi sekuler dan pengaruh adanya
globalisasi”.113
Dalam kasus ini maka agama merupakan alternatif bagi
munculnya ideologi tentang keteraturan (ideologi of order).
Gerakan yang menggunakan ideologi islam radikal adalah kelompok
yang menolak proses modernisasi dan sekulerisme. Mereka juga menolak
budaya Barat yang mampu merusak tatanan Islam Nusantara. Bahkan menurut
interpretasi mereka ideologi negara yaitu Pancasila pun dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam. Kelompok ini menolak pengaruh, paham, dan peradaban
Barat serta menganggap ini semua sebagai era memusuhi Islam. Dan menurut
mereka, negara-negara yang menggunakan sistem politik dan pemerintahan
sekuler harus diberantas dan harus diganti dengan syariat Islam.114
Salah satu contoh kasus, yaitu modus operandi taktik penyebaran
ajaran ISIS di Indonesia adalah dengan melakukan seminar-seminar yang
bertemakan anti-ISIS, tapi nyatanya seminar tersebut malah kerap melakukan
aksi-aksi brainwashing untuk menjaring anggota pendukung ISIS. Salah satu
kegiatan seminar yaitu dengan judul “Membongkar Khilafah Al-Baghdadi”
113
Mengutip dari Mark Juergensmeyer dalam Hikam, Deradikalisasi., h. 63. 114
Hikam, Deradikalisasi., h. 64.
68
pada 7 Desember 2014 di Kendal, Jawa Tengah, yang pada kenyataannya
adalah salah satu dari bentuk kampanye.
Masalah terorisme di Indonesia mengatakan bahwa lembaga
pemerintah sangat sulit melawan rating popularitas beberapa website
pendukung penyebaran radikalisme, termasuk juga gerakan ISIS, di media
internet. Contohnya adalah website damailahindonesiaku.com merupakan
bentukan dari BNPT yang hanya menduduki urutan 14.877 di dunia,
dibandingkan dengan “VoA-Islam” yang berada di urutan 10.379.317. selain
itu website Arrahmah.com yang memiliki follower sebanyak 36.200 dan telah
di tweet sebanyak 23,4 ribu kali di media sosial Twitter. Selain itu penyebaran
paham radikal ISIS juga didukung oleh majalah-majalah local seperti Al-
Mustaqbah, Dabiq, dan Waislama yang bebas diperjual belikan secara bebas.
Hal inilah yang membuat mudahnya paham ISIS berkembang di wilayah
NKRI dengan menggunakan fasilitas media sosial yang sangat ampuh untuk
menggalang dukungan.
Kelompok pendukung ISIS di Indonesia cukup efektif dalam
menggunakan media sosial sebagai wahana propaganda. Santoso, pimpinan
kelompok Mujahidin Indonesia Timur diketahui menyampaikan dukungan
terhadap pimpinan ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi melalui media sosial
Youtube. ISIS memanfaatkan sosial media karena mengetahui penduduk
Indonesia merupakan salah satu dari 10 konsumen terbesar pengguna sosial
media di dunia. Hal inilah yang kemudian menyebabkan ISIS mampu
“mengalahkam” rating dari sosial media yang dioperasikan oleh BNPT.
69
Lebih lanjut, pemerintahan Joko Widodo berinisiatif menempatkan
intelijen untuk mengantisipasi dan sekaligus meredam propaganda ISIS,
pemerintah RI bertindak pro aktif dengan memantau situs-situs website radikal
di Indonesia. BNPT bekerjasama dengan Kemkominfo untuk pemblokiran
situs internet radikal yang diduga digunakan wahana penyebaran radikalisme
termasuk ISIS. Tindakan pemblokiran berdasarkan Surat No.
149/K.BNPT/3/2015 tentang Situs/Website Radikal yang dikirimkan kedalam
sistem filtering Kemkominfo sehingga pada April 2015 Kemkominfo
memblokir 3 situs internet.
Situs-situs internet yang terduga digunakan sebagai wahana
penyebaran paham Radikal adalah:
Tabel IV.A.1 Situs Internet Untuk Penyebaran Paham Radikal
arrahmah.com thoriquna.com daulahislam.com VoA-Islam.com dakwatuna.com eramuslim.com ghur4ba.blogspot.com an-najah.net salam-online.com kafillahmujahid.com muslimdaily.net lasdipo.com aqlislamccentre.com dakwahmedia.com gemaislam.com hidayatullah.com muqawamah.com azzammedia.com panjimas.com shoutussalam.com Indonesiasupportislamicstate.blogspot.com
Penolakan banyak pihak terhadap Pancasila dan menjadikan ideologi
lain sebagai pelarian terjadi hanya karena menyaksikan praktek-praktek
beberapa oknum pemerintah yang melanggar aturan bernegara dengan
menyalahgunakan wewenang yang berakibat pada kerugian negara.
Sebenarnya bukan pada Pancasila yang salah, akan tetapi oknum sajalah yang
melanggar aturan dan berperilaku tidak sesuai dengan amanat yang terdapat
dalam Pancasila. Disinilah perlunya upaya sistematis untuk menanamkan
70
nilai-nilai luhur Pancasila agar tidak salah paham terhadap eksistensi falsafah
bernegara yaitu Pancasila.115
Sedangkan Pancasilais sejati merujuk kepada seluruh komponen
bangsa mulai dari pemimpin bangsa hingga kepada senggenap masyarakat
Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan yang harus tunduk dan patuh pada rumusan sila-sila dalam
Pancasila. Sosok Pancasilais sejati adalah pribadi yang berketuhanan,
Indonesia bukan negara atheis, juga bukan negara yang tidak percaya kepada
Tuhan. Indonesia bukan negara agama, tetapi Indonesia adalah negara hukum
yang mengakui 6 agama secara konstitusional. Sejak awal kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menguat wacana untuk mengganti
negara bangsa menjadi negara agama. Sebagaimana gerakan perjuangan
negara Islam Indonesia (NII) yang bersikeras menjadikan Islam sebagai asas
dalam bernegara.116
Pancasila diakui negara sebagai falsafah hidup, cita-cita moral, dan
ideologi bagi kehidupan berbangsa. Pancasila diyakini mampu menyaring
berbagai pengaruh ideologi yang masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi
logis dari sebuah masyarakat dan bangsa yang mejemuk (Bhineka). Bangsa
115
Wacana yang berkembang dalam Temu Wicara “Peran Masyarakat dalam Mewujudkan
Lingkungan Bebas Dari Pengaruh Paham Radikalisme dan Kekerasan di Lingkungan Kelurahan
Cipinang Besar Utara”. Pembicara Komandan Rayon Militer (Danramil) Jatinegara Mayor
Invanteri Lucky Subiandono. Pada tanggal 27 Januari 2018.
116
Kesimpulan dari Temu Wicara “Memperingati Hari Kelahiran Pancasila dengan teman
Pancasila Dari Kita, Oleh Kita dan Untuk Kita. Pembicara Komandan Distrik Militer (Dandim)
Jakarta Timur, Komandan Rayon Militer (Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky
Subiandono, Pengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) SMA Negeri 100 Jakarta, serta Lurah
Cipinang Besar Utara Ibu Sri Sundari S.Sos, MSi. Pada tanggal 01 Juni 2018”..
71
Indonesia tidak menafikan kehadiran budaya luar maupun ideologi luar, tapi
melalui Pancasila negara dapat memilah pengaruh mana yang dapat diterima
atau tidak. Negara juga mampu menyesuaikan pengaruh luar tersebut dengan
konteks budaya Indonesia ataupun menolak karena tidak sesuai dengan
falsafah, cita-cita moral, dan ideologi nasional.117
1. Pentingnya Ideologi Pancasila
Penanggulangan radikalisme dalam aksi terorisme melalui pendekatan
wawasan kebangsaan, memerlukan landasan idiil yang komprehensif.
Pancasila diyakini sebagai salah satu pendekatan wawasan kebangsaan yang
selaras dengan perwujudan program deradikalisasi. Selain itu, Pancasila turut
berfungsi sebagai fasafah hidup berbangsa serta ideologi nasional, yang
konsep dan visinya dapat dijabarkan kedalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Terdapat lima sila yang secara komprehensif menjabarkan arti
kehidupan bernegara yang dapat dijadikan landasan melawan ancaman
ideologi radikal.118
1) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung makna
toleransi hubungan antar umat beragama, Pancasila menolak pemaksaan
kehendak baik pribadi maupun kelompok antara satu sama lain berdasarkan
penafsiran agama yang dianggap paling benar. Ideologi radikal bertentangan
117
Hasil wawancara langsung dengan Ketua LMK Cipinang Besar Utara, Mantan Pegawai
Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 118
Hikam, Deradikalisasi., h. 45.
72
dengan Pancasila karena memaksakan kehendak dengan menolak memberikan
ruang penafsiran yang berbeda. Pernyataan kebenaran yang seperti itu
merusak tatanan masyarakat, bangsa, dan negara.119
2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengandung makna
pengakuan terhadap hak asasi manusia, hak sipil politik, ekonomi, dan sosial
budaya. Dengan demikian, pemaksaan kehendak kelompok radikal
bertentangan dengan Pancasila karena melanggar HAM yang menjadi
landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.120
3) Persatuan Indonesia
Sila ketiga, Persatuan Indonesia mengandung makna bahwa Indonesia
adalah negara yang dibentuk berdasarkan kebangsaan, bukan dasar agama,
suku, atau ras tertentu. Kelompok radikal ingin mengganti asas kebangsaan
dengan asas yang lain, berarti ingin mengubah dasar NKRI dari negara
kebangsaan menjadi negara Islam. Hal ini bertentangan dengan landasan
ideologi Pancasila.121
119
Hikam, Deradikalisasi., h. 45. 120
Hikam, Deradikalisasi., h. 45-46. 121
Hikam, Deradikalisasi., h. 46.
73
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijakanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan mengandung makna kemasyarakatan dan
kenegaraan di Indonesia harus berlandaskan prinsip demokrasi. Kedaulatan
berada di tangan rakyat, bertentangan dengan sistem totaliter yang ingin
didirikan oleh kelompok fundamentalis radikal. Ideologi agama radikal
menolak kedaulatan rakyat hanya mengakui kedaulatan Tuhan.122
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
mengandung makna kesejahteraan menjadi hak warga negara Republik
Indonesia. Pemerintah penyelenggara negara berkewajiban menciptakan
kesejahteraan warga negaranya. Berarti sistem totaliter bertentangan dengan
Pancasila karena tidak mengakui hak warga negara memperoleh kesejahteraan
sebagai hak dasar mereka.123
Tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Ideologi-ideologi radikal, acaman yang membahayakan
kehidupan bermasyarakat Indonesia, serta menggangu disintegrasi bangsa. Negara
wajib melindungi rakyatnya dari penafsiran-penafsiran ilmu keagamaan yang
salah. Negara memiliki hak menumpas segala bentuk ideologi radikal yang
merusak tatanan kehidupan rakyat Indonesia.
122
Hikam, Deradikalisasi., h. 46. 123
Hikam, Deradikalisasi., h. 46-47.
74
“Pancasila merupakan landasan dalam sistem berpikir dan tata nilai yang
disepakakti bersama guna menjaga tetap utuh dan tegaknya negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, Pancasila dapat didudukan pada empat pilar utama. Pilar pertama,
bahwa secara ideologis Pancasila harus dipahami secara terpadu dengan
keseluruhan kandungan nilai yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Pilar kedua, secara konstitusional Pancasila harus dijabarkan kedalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta peraturan perundang-undangan lainnya,
baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, dan di tindak lanjuti dalam
kebijakan dan strategi nasional. Pilar ketiga, secara politik Pancasila harus
dilaksanakan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia dengan sistem
pemerintahan demokrasi presidensial. Pilar keempat, secara kultural Pancasila
dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi dan kepentingan dari masyarakat
Indonesia yang amat majemuk dari segi ras, etnik, agama, suku, warna kulit dan
golongan, sesuai dengan yang terdapat dalam lambang negara “Bhineka Tunggal
Ika”.”124
Mencermati berbagai hal sebagaimana diuraikan diatas, tersirat jelas
bahwa Pancasila merupakan salah satu pilar mutlak yang harus ada selama bangsa
ini ada. Namun demikian, eksistensi Pancasila selalu diperhadapkan pada berbagai
perkembangan, baik nasional, regional, maupun internasional. Secara nasional,
bangsa ini terbentuk dari beragam etnik, suku, bangsa, maupun agama, yang
kesemuanya memiliki filosofi, maksud dan tujuan yang berbeda dan memiliki
karakteristik yang serba “multi”.125
Secara regional dan global, Pancasila diperhadapkan pada perkembangan
globalisasi yang dinamis dengan berbagai dampak, baik dampak yang membawa
124
Kutipan langsung dari Jurnal Kajian Lemhanas RI, “ Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila
di Seluruh Komponen Bangsa Untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa Nasionalisme
Ke-Indonesiaan dalam Rangka Menangkal Ideologi Radikalisme Global”. [PDF] Edisi 14,
Desember 2012., h. 99-100. 125
Jurnal Kajian Lemhanas RI, “ Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila” [PDF] Edisi 14,
Desember 2012, h. 100.
75
keuntungan bagi negara, maupun dampak rentannya pengaruh tersebut dari
kemungkinan adanya “penunggang bebas dan kepentingan tertentu”.126
Pada ranah global, Pancasila juga diperhadapkan pada tumbuhnya ideologi
radikal, yang terus berkembang dan mengarah pada „penetrasi dan pemaksaan‟
yang sering dilakukan melalui cara kekerasan dengan melibatkan state actor
maupun non-state actor.127
Indonesia dalam menuju peradaban yang lebih bermartabat diperhadapkan
pada berbagai pengaruh ideologi-ideologi lain, termasuk ideologi radikalisme
yang mengganggu pencapaian dari berbagai kebijakan yang ditetapkan. Padahal
sesungguhnya Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah terbukti dan
teruji mampu mempersatukan pluralisme dari berbagai suku, ras, etnis, maupun
agama yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, naskah skripsi ini
menjawab “mengapa ideologi Pancasila tidak lagi menjadi „roh‟ dan menjadi
dasar oleh berbagai komponen bangsa dalam berfikir, bersikap dan bertindak
menuju Indonesia yang memiliki peradaban yang lebih bermartabat dalam tataran
masyarakat”.
2. Peran Pancasila dalam Program Deradikalisasi Pendekatan Wawasan
Kebangsaan
Dalam tataran operasional, ideologi Pancasila dalam wawasan kebangsaan
berjalan sebagai alat legitimasi agar dapat melegitimasi keberadaan negara
126
Jurnal Kajian Lemhanas RI, “ Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila” [PDF] Edisi 14,
Desember 2012, h. 100. 127
Jurnal Kajian Lemhanas RI, “ Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila” [PDF] Edisi 14,
Desember 2012, h. 101.
76
Indonesia. Sebagaimana hal ini diperkuat dengan pernyataan eks narapidana
teroris, Yudi Zulfachri mengungkap kendala dari program deradikalisasi Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai maraknya aksi terorisme di
Indonesia karena program deradikalisasi tidak menyentuh pada ideologi objeknya.
Seperti yang dikatakan Yudi, “Saya salah satu objek deradikalisasi. Teori
deradikalisasi ini untuk memodernisasi paham radikal, tetapi pada praktinya lebih
banyak dengan bantuan wira usaha dan lain-lain. Ideologi tidak pernah disentuh”.
Berdasarkan hal ini peran Pancasila dalam program deradikalsisasi pendekatan
wawasan kebangsaan tidak berdampak dalam cara pandang deradikalisasi.128
Pada dasarnya ideologi Pancasila berdasarkan fakta dan data sebagai dasar
negara masih terdapat kelemahan dimana belum adanya pemahaman tentang
kandungan nilai-nilai keluhuran Pancasila dengan kebijakan dan strategi nasional.
Sehingga banyak pemimpin maupun dikalangan rakyat belum terwujud kondisi
kehidupan di masyarakat, berbangsa, dan benegara yang sesuai di cita-citakan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana masih terdapat adanya
kesenjangan idealisme yang terkandung pada Pembukaan Undng-Undang Dasar
1945 dengan realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ideologi radikal yang mempunyai motif keagamaan mampu menarik
dengan daya tarik untuk merekrut dikalangan masyarakat guna mengorbankan
nyawanya melalui konsep “jihad” dalam agama Islam, dalam melancarkan
128
Renald Ghiffari, “Ini Kelemahan Program Deradikalisasi BNPT Menurut Eks Napi
Terorisme”, Liputan 6, 19 Mei 2018 [berita on-line]; tersedia di
https://www.liputan6.com/news/read/3531373/ini-kelemahan-program-deradikalisasi-bnpt-
menurut-eks-napi-terorisme; Internet, diakses pada 02 Juni 2018.
77
kegiatan aksi-aksi terornya baik kepada sasaran asing maupun masyarakat
Indonesia sendiri.
Pengamanan ancaman ideologi tandingan bangsa Indonesia bukannya
belum waspada adanya ideologi radikal dengan dibubarkannya BP-7 dan P4
dimasa Orde Baru sehingga terkesan malah memberikan perlindungan terhadap
ideologi radikal yang mana pada dasarnya Islam mengajarkan perdamaian dan
toleransi, bunuh diri dan membunuh orang lain yang tidak berdosa adalah dosa
besar sebagaimana menurut ajaran agama Islam sesuai fatwa Majelis Ulama
Indonesia dimana pokok ajaran Islam membenarkan tindak kekerasan terhadap
musuh nyata Islam di dalam keadaan perang atau di wilayah perang sebagai
“jihad”. Penganut ideologi radikal dalam bentuk jihad mengaitkannya pada sentral
dimana keberpihakan Amerika Serikat kepada Israel dipandang sebagai agresor
dan ideologi radikal menimbulkan dendam luar biasa terhadap reaksi kebijakan
politik negara pada kelompok yang termarjinalisasikan yang dipandang tidak adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa cenderung masyarakat bangsa
Indonesia dengan berbagai kepentingan sangat memengaruhi dan menghambat
integrasi dan pembangunan nasional dimana salah satu dampak negatifnya
terjadinya berbagai macam konflik akibat kebebasan yang tiada batas
(kebablasan). Dan hal ini sangat melemahkan seluruh kekuatan bangsa dalam
pemeliharaan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
sehingga perundangan dan peraturan baik di pemerintah maupun pemerintahan
daerah seharusnya tidak boleh keluar dari koridor Pancasila dan UUD 1945.
78
Namun demikian, sampai sejauh ini masih banyak perundangan yang tidak
mengedepankan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD
1945.
Bagi bangsa Indonesia yang membangun bangsa dan negara dengan
kekuatan dan kepribadian sendiri, berbagai perubahan harus dapat direspon dan
disikapi secara bijak dengan mengedepankan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Pancasila, sehingga berbagai perubahan yang terjadi tidak
berkecendurangan mengarah pada kebarat-baratan.
Merujuk dari berbagai hal sebagaimana diuraikan diatas, semakin jelas
bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan
penting dalam menjaga kepribadian bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, program deradikalisasi untuk mengatasi permasalahan
radikalisme di Indonesia sangat diperlukan sekali pendekatan lunak (soft
approach) dengan muatan wawasan kebangsaan, dengan menggunakan ideologi
Pancasila dan kesejarahan bangsa Indonesia sebagai kontra ideologi dan kontra
narasi paham radikal. Pancasila dalam hal ini menjadi alat legitimasi negara
terhadap subjek pelaku radikalisme. Untuk hal ini, faktor penarik dari aspek
wawasan kebangsaan untuk merubah perilaku agar tidak fokus pada perilaku
radikalisme. Secara sederhana sekali, program deradikalisasi melalui wawasan
kebangsaan sangatlah penting untuk merubah perilaku dan pola pikir radikal guna
memiliki jiwa Pancasilais sejati.
79
B. Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme di Indonesia
“… Konsep awal pencegahan sangat luas sekali. Konsep pencegahan
yang perlu dilakukan adalah pencegahan sistem online maupun offline, offline
yaitu dengan cara dialog-dialog, dengan data yang lengkap berikut perubahan
yang terjadi dan sebagainya. Dari offline ini dapat melihat mind set seseorang
dengan dibantu dengan penelitian melalui kuisioner, pre-test, dan post-test
dengan data yang lengkap, selain itu secara online juga workshop via dunia
maya, dengan menggandeng penggiat dunia maya yang diberikan gambaran
kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar, dengan harapan secara lugas
dan tegas mereka melawan paham kekerasan di dunia maya dengan gencarnya
paham radikal dunia maya melalui meme dan sebagainya, terutama untuk
kalangan generasi muda atau generasi milenial”.129
Dalam melakukan pencegahannya merupakan tugas bersama, tugas semua
insan yang mencintai kehidupan. Mungkin sekarang ini belum banyak yang turut
berpartisipasi dalam kegiatan pencegahan. Akan tetapi nanti, penghargaan yang
tinggi pada kehidupan bangsa, akan memotivasi setiap orang untuk mengambil
bagian. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan menghidupkan kembali
solidaritas masyarakat dalam menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing.
Cara ini dapat diperluas menjadi gerakan masyarakat untuk waspada bersama
kemungkinan munculnya potensi gerakan radikal dalam bentuk teror disekitar
kita.130
Strategi dan pola pelibatan unsur-unsur masyarakat dapat dilakukan
dengan sosialisasi kebijakan pemerintah tentang penanggulangan radikalisme di
Indonesia dengan aksi-aksi terorismenya, dan pentingnya peran masyarakat dalam
pencegahannya. Peran pemerintah melalui BNPT sendiri telah menganalisa dan
129
Hasil wawancara langsung dengan Deputi bidang Pencegahan, Penindakan, dan
Deradikalisasi BNPT. 130
Dalam kesempatan diskusi bersama Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, Pembicara
Lurah Cipinang Besar Utara Ibu Sri Sundari S.Sos, MSi. Di kantor kelurahan Cipinang Besar
Utara pada Februari 2018.
80
kemudian menjelaskan sejumlah langkah yang perlu dilakukan peran serta
masyarakat sebagai berikut:
1. Membangun komunikasi diantara masyarakat sampai dengan masyarakat
lingkungan terdekat. Untuk mengetahui peta kondisi masyarakat secara
ekonomi, sosial, agama, politik, kemanan, dan sebagainya.
2. Pemberdayaan seoptimal mungkin organisasi kepemudaan diberbagai
lapisan strategis dengan beragam corak dan warna, yang dapat
dimanfaatkan pembinaan pemuda kontra radikalisme seperti KNPI, BEM,
HMI, GMNI, PMII, dan IMM.
3. Pemberdayaan organisasi sosial seperti majelis ta‟lim, karang taruna,
pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK), Lembaga Musyawarah
Kelurahan (LMK), RT/RW, dan lain sebagainya.
4. Melakukan maping terhadap individu atau kelompok masyarakat yang
berpotensi menjadi pelaku teroris, seperti orang yang mengontrak rumah
atau kost di lingkungan masing-masing, orang-orang tertentu yang
mencurigakan di lingkungan tempat tinggal kita khususnya tamu, dan
pendataan asing yang menginap tanpa terlebih dahulu melapor.
Secara garis besarnya, peran masyarakat dalam pencegahan terorisme ini
sekurang-kurangnya dibagi menjadi tiga komponen. Pertama, keluarga yang
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga, dan
beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga menjadi salah satu kelompok atau
kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit
81
masyarakat terkecil yang biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan
atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam satu rumah.
Kedua, lingkungan dalam hal ini dimaksud sebagai struktur
kemasyarakatan yang terdiri dari berbagai unit, dari yang terkecil hingga dalam
skala organisasi masyarakat. Disini, dibatasi lingkungan yang mencakup RT dan
RW. Ketiga, tokoh masyarakat. Secara definitif, tokoh masyarakat merupakan
orang-orang yang memiliki pengaruh pada masyarakat, baik yang bersifat formal
dan informal.
1. Kewaspadaan dalam Rangka Cegah Tangkal Radikalisme
Secara umum, kewaspadaan ada dua hal. Pertama, adanya sistem deteksi
dini kewaspadaan sebagai upaya yang efektif guna mencegah aksi terorisme.
Kedua, menciptakan jaringan kerjasama pencegahan terorisme meliputi unsur
pemerintah dan masyarakat.
Prinsip kewaspadaan dalam pencegahan terorisme ada 4 hal. Pertama,
kehati-hatian, artinya bahwa perlu kehati-hatian dalam mengidentifikasi potensi
terorisme, kedua, kecermatan, yang artinya benar-benar tepat dalam
mengidentifikasi kelompok yang terindikasi teroris, ketiga, pelaksanaan tugas
kewaspadaan sesuai kewenangannya, misalnya masyarakat tidak boleh
menangkap, melakukan kekerasan, dan menembaki terduga kasus teroris karena
hal itu adalah tugas Densus 88. Keempat, penghormatan terhadap Hak Asasi
Manusia pelaku teroris. Walaupun terjadi penangkapan terhadap terduga pelaku
teroris, perlu diawali dengan peringatan, penangkapan sebelum dilakukan
82
penembakan jika terjadi penolakan. Selain itu, masyarakat perlu memberikan
asumsi praduga tak bersalah, pendampingan kuasa hukum, dan hak-hak lainnya
sebagai tahanan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.131
Kewaspadaan dan pengawasan akan sangat membantu pencegahan aksi
terorisme di tingkat yang paling bawah. Kewaspadaan dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Merumuskan sistem deteksi dini diseluruh wilayah Indonesia sebagai
upaya untuk meningkatkan kewaspadaan yang efektif guna mencegah aksi
terorisme.
b. Menciptakan jaringan pencegahan terorisme yang meliputi unsur
pemerintah dan masyarakat
c. Mewujudkan sinergitas komponen masyarakat dan pemerintah agar
memiliki kewaspadaan yang tinggi dalam pencegahan terorisme
d. Mensinergikan seluruh kekuatan intelijen yang terkait dengan pencegahan
terorisme agar bersama-sama dapat memberi kontribusi bagi pencegahan
terorisme dan radikalisme yang tepat.
C. Pendukung dan Penghambat Program Deradikalisasi
1. Aspek-aspek Keberhasilan atau Tidaknya Program
Keberhasilan dan sukses tidaknya program deradikalisasi khususnya
dalam pendekatan wawasan kebangsaan tidak lepas dari pada aspek politik,
131
Temu Wicara “Memperingati Hari Kelahiran Pancasila dengan teman Pancasila Dari Kita,
Oleh Kita dan Untuk Kita. Pembicara Komandan Distrik Militer (Dandim) Jakarta Timur,
Komandan Rayon Militer (Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky Subiandono, Pengajar
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) SMA Negeri 100 Jakarta, serta Lurah Cipinang Besar Utara
Ibu Sri Sundari S.Sos, MSi. Pada tanggal 01 Juni 2018”.
83
regulasi, pengembangan program dan koordinasinya karena dukungan-hambatan
program deradikalisasi di Indonesia khususnya pendekatan wawasan kebangsaan
dimana dukungan politik kuat-tidaknya seluruh komponen bangsa dalam
penanggulangan terorisme. Oleh karena sangat pentingnya diperlukan dukungan
anggaran yang cukup dan sekaligus partisipasi aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan di
seleruh tanah air Indonesia.
Begitupun dukungan aspek regulasi dalam bentuk Undang-Undang guna
memperkuat penanggulangan terorisme khususnya pada Undang-Undang
Keamanan Nasional dan dalam aspek pelaksanaan program deradikalisasi dalam
pendekatan wawasan kebangsaan perlu diupayakan sosialisasi dan kerjasama
pemerintah dengan organisasi masyarakat. Perlunya dibentuk kekuatan
pembendung ideologi radikal dengan ideologi Pancasila melalui aktualisasi nilai-
nilai Luhur Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Cegah tangkal dan deteksi dini dapat meminimalisasi dan sekaligus
memberantas ideologi radikal serta gerakan aksi terorisme. Oleh karenanya perlu
adaya sinergi antara masyarakat dengan pemerintah, khususnya dalam
keberhasilan pengembangan program deradikalisasi pendekatan wawasan
kebangsaan secara terus menerus dan terinternalisasi di dalam masyarakat
Indonesia.
Begitupun aspek koordinasi yang efektif dalam suksesnya sosialisasi
program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan di lingkungan ormas,
84
baik yang dilakukan bersama pemerintah maupun organisasi-organisasi yang ada
di seluruh Indonesia, melalui integrasi program deradikalisasi pendekatan
wawasan kebangsaan yang dilaksanakan pemerintah dan organisasi masyarakat
sehingga efektifitas program meningkat dari waktu ke waktu. Perlu adanya
penurunan pengaruh ideologi radikal dan aksi-aksi terror akibat dari efektifitas
program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan yang terkoordinasi dan
terintegrasi secara efektif. Dan kemampuan BNPT dalam melakukan koordinasi
yang efektif dalam penyelenggaraan program deradikalisasi pendekatan wawasan
kebangsaan melalui dibentuknya peta jalan program deradikalisasi sebagai
rujukan bagi penyelenggaraan kegiatan deradikalisasi pendekatan wawasan
kebangsaan di seluruh Indonesia.
2. Peluang dalam Menghadapi Ancaman Teroris
Dalam menghadapi ancaman teroris, pemerintah perlu melihat berbagai
peluang karena sebelumnya telah membuat berbagai kebijakan nasional dan
internasional yang manfaatnya dirasakan sekarang ini. Berbagai peluang yang
dapat digunakan untuk menghadapi teroris antara lain:
a. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Ideologi nasional Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
terbukti menjadi pemersatu dan sekaligus pengikat serta jati diri yang
paling tangguh dalam perjalanan sejarah, tidak tergoyahkan oleh
upaya-upaya delegitimasi maupun penggantian ideologi, khususnya
pada pembukaan UUD NKRI 1945, yang merupakan modal dasar dan
85
paling berharga yang dimiliki oleh masyarakat, bangsa, dan negara
Republik Indonesia.
b. Negara yang Berdemokrasi
Indonesia sebagai negara demokrasi dan pemimpin negara-negara non
blok, negara-negara selatan, ASEAN, dan dunia Islam oleh masyarakat
internasional. Hal ini merupakan kekuatan penting bagi upaya bangsa
dan penyelenggara negara mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945
pada alinea ke empat;
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
dan Kerakyatan Ynag Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan Sosila bagi seluruh rakyat Indonesia”.
c. Posisi Geografis dan Sumber Kekayaan Alam
Posisi geografis Indonesia yang terletak pada persilangan dua benua
yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah serta sumber daya
manusia yang besar memberi peluang peningkatan kesejahteraan
rakyat dan bangsa.
d. Pengalaman Sejarah Bangsa Indonesia
Pengalaman sejarah bangsa Indonesia mengatasi segala macam upaya
untuk mengubah dasar negara dari ideologi dan kelompok anti NKRI
86
adalah modal dasar yang sangat berharga. Hal ini akan sangat
bermanfaat bagi penanggulangan terorisme.
e. Penduduk Mayoritas Muslim
Penduduk mayoritas Indonesia umat Islam yang merupakan kelompok
masyarakat Islam moderat yang dapat dipaaki sebagai contoh. Cara
pandang hidup beragama Islam yang baik dan santun tidak
bertentangan dengan demokrasi dan HAM adalah modal besar bagi
rakyat Indonesia yang majemuk.
3. Kendala dalam Mengahadapi Ancaman Teroris
Dalam mengatasi krisis yang terjadi khsusnya pada kasus gerakan radikal
pada aksi terorisme, terjadi adanya beberapa kendala yang dihadapi, yaitu:
a. Keseimbangan sistem politik yang masih belum stabil dengan belum
terjadinya konsolidasi demokrasi yang merupakan kendala bagi
pemerintah untuk dapat menjalankan platform percepatan
pembangunan dan pemulihan ekonomi serta kesejahteraan rakyat.
b. Belum tersosialisasinya kembali landasan negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 kepada rakyat merupakan kendala bagi
ketahanan ideologi menghadapi ancaman terorisme, serta upaya pihak
asing untuk memperlemah NKRI.
c. Kemadirian ekonomi nasional belum pulih dan masih tingginya
ketergantungan kepada pasar global menjadikan kendala bagi
pemerintah saat ini. Pemerintah masih berkewajiban menjaga
87
kedaulatan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat yang
berada di lapis bawah. Hal ini menjadi rentannya pertahanan mereka
dari pengaruh ideologi radikal yang menggunakan isu ketidak adilan
ekonomi dan penindasan HAM untuk menanamkan pengaruhnya.
d. Lemahnya sistem pertahanan keamanan negara dalam peningkatan
alutsista TNI dan POLRI. Apalagi apabila dibandingkan dengan
tanggung jawab yang besar mengawal NKRI yang sangat luas dan
mejemuk, menjadi kendala bagi upaya pencegahan masuknya
kelompok-kelompok asing yang merugikan keamanan dan kepentingan
nasional, termasuk terorisme.
4. Tantangan Program Deradikalisasi
Tantangan, Pertama adalah tantangan regulatif, seharusnya diatur dalam
sebuah aturan Undang-Undang. Dengan demikian, ruang gerak BNPT dapat setara
dengan Badan Nasional lain yang telah memiliki aturan tersendiri yang berbentuk
Undang-Undang.
Kedua, adalah perlunya reorganisasi kelembagaan. Dalam menghadapi
radikalisme dan terorisme yang menjadi musuh kemanusiaan dan bahaya laten
yang dapat membahayakan bagi integritas berbangsa dan bernegara, BNPT
seyogyanya memiliki struktur kelembagaan yang kuat dan menyeluruh hingga
kedaerah dalam menanggulangi bahaya radikalisme yang menggadaikan nama
agama, menghancurkan jati diri bangsa Indonesia yang sangat menghargai
martabat kemanusiaan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.
88
Sementara, tantangan eksternal pertama, yang dihadapi adalah seluruh
lapisan bangsa sepakat bahwa bahaya yang ditimbulkan radikalisme
mengahncurkan tatanan kehidupan. Dengan demikian, konsekuensinya seluruh
masyarakat tanpa terkecuali harus terlibat dalam menanggulangi bahaya laten
tersebut, sesuai dengan kapsitas dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing
pihak.
Tantangan eksternal kedua, adalah minimnya pemahaman masyarakat
terhadap penanggulangan terorisme. Tidak sedikit yang masih beranggapan bahwa
radikalisme dan terorisme adalah musuh TNI dan POLRI. Oleh karenanya
sebagian besar masyarakat seolah berlepas tangan dan bersiakp skeptis menyikapi
bahaya yang ditimbulkan gerakan radikal dan aksi terorisme yang mejual nama
agama, serta berupaya memadamkan cahaya universalisme agama dengan
menanamkan kebencian terhadap pihak lain.
Tantangan eksternal ketiga, adalah agenda besar masyarakat dimana belum
memiliki pemahaman yang tepat dengan beberapa istilah yang digunakan antara
lain, anti radikalisasi, deradikalisasi, disengagement. Istilah-istilah tersebut harus
dipahami agar tidak menimbulkan pemahaman yang keliru. Misalnya, anti
radikalisasi dimaksudkan sebagai upaya membentengi, mewaspadai dan
menangkal bahaya laten radikalisme bagi segenap lapisan masyarakat terutama
generasi muda.
Upaya-upaya mengeliminasi tantangan internal dan tantangan eksternal
tersebut, perlu adanya komunikasi dan koordinasi antar semua unsur dalam
89
masyarakat mulai jajaran pemerintah hingga seluruh lapisan masyarakat harus
aktif dan produktif sebagai wujud nyata dalam mempertahankan keutuhan NKRI.
Begitupun harus disertai aksi nyata dalam melawan bahaya laten radikalisme.
Upaya penanggulangan terorisme harus dilakukan secara terarah, terukur,
terprogram, dan terkoordinasi secara lintas secktoral. Hal ini penting mengingat
sifat terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan adalah
memoderasi paham kekerasan dengan memberikan pemahaman nasionalisme
kenegaraan, dan kebangsaan Indonesia. Dan selanjutnya untuk ikut
menyemarakan wacana penanggulangan radikalisme dengan berbagai kegiatan
dalam rangka pencegahan aksi terorisme di Indonesia. Seperti diketahui,
Indonesia memiliki keragaman etnik, dan suku bangsa dan beragam pemikiran
dan kesenjangan ekonomi, dengan mayoritas masyarakatnya pada tingkat
perekonomian menengah kebawah sangat mudah dan rentan dimasuki ideologi
radikal.
Di Indonesia sudah dilakukan berbagai upaya untuk memberantas
terorisme melalui model pendekatan dan sekaligus strategi yang dilakukan.
Pendekatan yang populer dan menjadi arus utama penanggulan radikalisme adalah
deradikalisasi.
Pendekatan deradikalisasi dipandang sebagai obat mujarap dalam
penanggulangan radikalisme di Indonesia, sehingga bermunculan organisasi di
masyarakat untuk melakukan penggalangan untuk menolak aksi terorisme.
Begitupula, kesadaran pada tingkat keluarga yang kemudian melakukan mawas
diri keluarganya agar jangan sampai terjerat oleh paham-paham yang radikal.
Walaupun pro dan kontra terhadap deradikalisasi masih terus bermunculan. Yang
91
lebih tragis dengan menuding deradikalisasi sebagai “rekayasa” untuk melakukan
de-Islamisasi terhadap umat Islam di Indonesia.
Tudingan tidak dijadikan penghalang tetapi menjadi tantangan tersendiri
untuk merumuskan, melaksanakan deradikalisasi lebih baik. Dengan harapan akan
lahir temuan-temuan yang bermanfaat untuk mencapai kesempurnaan.
Deradikalisasi adalah kebutuhan tanggap dan darurat guna
membentangkan kesadaran menggali nilai-nilai luhur perjuangan bangsa.
Kedewasaan bangsa akan tercipta membentuk karakter masing-masing untuk
dapat berperan membangun bangsanya yang berujung pada kebangkitan “sadar”
untuk saling menghargai dan menghormati dengan menjaga perdamaian dan
menghilangkan kekerasan.
Pancasila merupakan sumber hukum di Indonesia, perundangan dan
peaturan pemerintah maupun daerah tidak boleh keluar dari koridor Pancasila dan
UUD 1945. Perilaku dan janji-janji para petinggi negeri mendorong kesenjangan
sosial dan ketidak adilan sosial berimplikasi terbentuknya sikap fundamentalis
tertutup, sehingga mendorong munculnya radikalisme dalam masyarakat. Sebab
akar masalah terjadinya radikalisme adalah perbedaan kepentingan dan tujuan.
Pada akhirnya memunculkan kerentanan permasalahan sosialitas, fundamentalitas,
maupun radikalitas.
BNPT merupakan pusat deradikalisasi yang akan dipergunakan untuk
melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan pelatihan ketrampilan bagi warga
binaan di lembaga pemasyarakatan. Dalam pusat deradikalisasi BNPT dalam
92
memaksimalkan koordinasi dan kerjasama aktif antara pihak yang kompeten
dalam penanganan warga binaan di lembaga pemasyarakatan terorisme.
BNPT merupakan pelaksana program deradikalisasi secara khusus untuk
membuka dan mengubah cara pandang cakrawala berpikir dari fanatisme sempit
menjadi elegant dengan berwawasan kebangsaan yang luas yang dapat menerima
dengan baik segala perbedaan-perbedaan yang ada.
Deradikalisasi didasari pemahaman bahwasannya salah satu akar atau
sebab terorisme adalah paham radikalisme yang diwujudkan dalam tindakan
radikal dengan pemaksaan kehendak. Perlunya penyiapan kesiapsiagaan nasional
melalui wawasan kebangsaan untuk melindungi ketentraman nasional, dengan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dengan memberikan pemahaman
nasionalisme kenegaraan dan kebangsaa Indonesia untuk tidak terkena paham
ideologi radikal dan terorisme.
Terorisme merupakan kejahatan secara umum terbagi menjadi tiga bentuk
yaitu, Pertama, terorisme revolusioner, dengan menggunakan kekerasan secara
sistematis guna mewujudkan radikal dalam tatanan kehidupan politik. Kedua,
terorisme sub-revolusioner, penggunaan kekerasan teroristik guna merubah
kebijakan public tanpa mengubah tatanan kehidupan politik. Ketiga, terorisme
represif, penggunaan kekerasan teroristik guna menekan, membelenggu individu,
kelompok dalam bentuk perilaku yang tidak berkenan oleh negara.
Program deradikalisasi pendekatan wawasan kebangsaan adalah cara
pandang bangsa Indonesia baik diri dan lingkungan dalam mencapai tujuan
93
bersama yaitu tujuan nasional. Wawasan kebangsaan mengacu pada kondisi
sosial, budaya, sejarah, perkembangan lingkungan yang merupakan kesimpulan
pengalaman masa lalu serta lingkungannya yang memiliki relevansi masa datang
yang mendapat acuan dalam pelaksanaan interaksi komponen bangsa dalam hidup
bersama yang bermanfaat.
Prinsip wawasan kebangsaan adalah kesetian, kesepakatan, ikrar bersama
memegang teguh nilai-nilai luhur kebangsaan. Yang berisi setia kawan, rasa
senasib sepenanggungan, harmonis dalam mengisi kemerdekaan. Oleh karenanya
perubahan dan penolakan dasar negara Pancasila harus ditolak secara mentah-
mentah dengan melihat makna wawasan kebangsaan sebagai cermin kehidupan
bangsa Indonesia.
Makna wawasan kebangsaan adalah merupakan konsep Pemikiran Inklusif
yang dapat menerima pembaruan kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka
ragam. Oleh sebab itu, wawasan kebangsaan secara jelas mendukung
Pembangunan Nasional.
Pokok-pokok wawasan kebangsaan dalam mencapai pembangunan
nasional sesuai TAP MPR bahwa wujud kepulauan nusantara merupakan kesatuan
sosial budaya. Yang maksudnya masyarakat Indonesia adalah satu, kehidupan
bangsa Indonesia merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya kemajuan
masyarakat yang sama, merata, seimbang adanya keselarasan kehidupan yang
sesuai kemajuan bangsa.
94
Mengacu pada cara pandang wawasan kebangsaan seperti diatas,
kehidupan sosial diamanatkan menjunjung tinggi keseimbangan yang satu dengan
yang lain. Oleh hal itu, segala bentuk kekerasan, paksaan maupun ancaman suatu
paham yang radikal bertentangan dengan wawasan kebangsaan. Munculnya kasus
radikalisme dan kekerasan terorisme jelas sangat bertolak belakang dari konsep
wawasan kebangsaan. Tindakan kekerasan oleh karena perbedaan pemikiran
menciderai kehidupan bangsa Indonesia. Kekerasan melalui aksi anarkis dan
radikalisme merupakan paham yang tidak dapat diterima dan tidak dapat tinggal
dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, sudah seharusnya kewaspadaan
akan paham radikalisme dan terorisme tidak sesuai cerminan wawasan
kebangsaan karena berpotensi kepada gangguan dan sekaligus keamanan nasional.
B. Saran
1. Saran Umum
Perlu sangat diupayakan dalam memperkokoh nilai-nilai luhur Pancasila
dengan membuktikan kenyataan pelaksaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara berdasarkan Pancasila telah membuktikan membawa rasa aman dan
sekaligus mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan kedaulatan rakyat yang terdapat pada Pembukaan UUD 1945
Pasal 1 UUD 1945, upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan, rakyat
diberi kebebasan unutk menilai sekaligus mengkritisi pelaksanaan kinerja
penyelenggara negara dalam pelaksanaan empat tugas pokok menurut Pembukaan
UUD 1945.
95
Sangat diperlukan pengkajian keabsahan ideologi Pancasila berdasarkan
pada semangat yang terkandung pada Pembukaan UUD 1945. Perlu memantapkan
semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme ke-Indonesiaan diseluruh komponen
bangsa dalam rangka menangkal ideologi radikal.
Perlu upaya efektif untuk menangkal ideologi radikalisme dengan
memperkuat wawasan kebangsaan melalui ketahanan nasional dalam bidang
ideologi. Melalui peningkatan relevansi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga rakyat bukan saja memahami
akan tetapi menerimanya secara efektif. Sehingga bukan saja kewibawaan
Pancasila semakin meningkat didukung oleh kenyataan, tapi daya tarik ideologi
radikalisme secara otomatis semakin menurun.
Dengan upaya pencagahan yang efektif dapat mencegah timbulnya minat
terhadap ideologi radikalisme dengan meniadakan kondisi yang memungkinkan
tumbuh kembangnya ideologi tersebut, antara lain menegakan keadilan,
kebenaran, menghargai harkat martabat manusia, mencegah terjadinya
diskriminasi dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia
serta perlunya pengambilan langkah tindakan prefentif dan represif yang tepat
sekaligus cepat terhadap indikasi adanya aksi radikalisme didalam masyarakat.
Perlu dibangunnya kembali kesadaran pemimpin dan pemikir bangsa guna
menjadi “jembatan” yang mempunyai kemampuan berbagai kepentingan bangsa
berdasarkan tindakan dan kebijakan yang selaras dan sesuai dengan nilai-nilai
luhur dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
96
Perlu dipercepat pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan
dimasyarakat guna menangkal ideologi radikalisme.
Sangat perlu diadakannya pengkajian, penelitian guna menyempurnakan
terhadap berbagai perundang-undangan agar semangat, “roh”, dan materi
muatannya sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila adalah suatu muara
permata budaya bangsa dalam wawasan kebangsaan yang harus disosialisasikan
dan membumi dalam tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Mengaktualisasikan dan sekaligus dan memprofesionalkan nilai-nilai luhur
Pancasila guna memperkokoh Pancasila melalui wawasan kebangsaan dalam
penegakan supremasi hukum secara konsisten kepada para pelaku radikalisme
yang merusak dan melanggar hukum, dengan mengedepankan keadilan hukum
dan keadilan masyarakat tanpa diskriminatif.
Pengembangan pemahaman secara terus menurus wawasan kebangsaan
dalam pluralism kebudayaan bagi bangsa Indonesia suatu kondisi garansi,
kelompok etnik, suku, pemeluk agama, didorong guna pengembangan sistem
budaya dalam bersama memperkaya kehidupan masyarakat majemuk yang
dimulai sejak dini sejak dari bangku sekolah dasar.
Perlunya menindak lanjuti berbagai kerjasama dalam penanggulan
terorisme baik secara internasional maupun regional dalam program deradikalisasi
akan semakin kuat dengan adanya instrument hukum internasional yang menjadi
landasannya.
97
Segera pula diwujudkan kerjasama dalam bidang keamanan dengan negara
lain yang memiliki visi yang sama dalam menghadapi bahaya keamanan secara
komprehensif.
Perlu tindak lanjut pendidikan moral Pancasila dan UUD 1945 dari level
bawah sampai perguruan tinggi secara mandiri untuk mendukung program
deradikalisasi khususnya pada wawasan kebangsaan.
Tindak tegas yang menolak Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan
kehidupan bernegara. Pembiaran mengakibatkan keraguan dari publik dalam
penanggulangan bahaya terorisme. Oleh karenanya perlu dan terus mengajak
seluruh organisasi baik keagamaan maupun sosial yang memiliki komitmen
terhadap penguatan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI). Untuk melakukan sosialisasi ideologi
dan aksi anti kekerasan yang menggunakan agama.
Perlu dukungan kuat baik partai politik, LSM maupun para cendekiawan
menjadi pelopor penguatan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara
melalui kinerja yang baik dimasyarakat maupun lembaga-lembaga dimana mereka
berkiprah, karena sangat penting dalam memberikan dukungan politik serta
komitmen ideologi Pancasila menjadi bagian bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Perlu dukungan, peran serta fungsi media masa dalam konsolidasi
demokrasi di Indonesia dengan penyebaran informasi melalui pemberitaan yang
objektif, fair, dan berorientasi kebenaran dan pengabdian kepada nusa dan bangsa.
98
Media masa tidak terjebak sensasionalisme pemberitaan dan mampu mengekang
diri tidak memberitakan informasi yang menciptakan gangguan publik, walaupun
di lindungi prinsip kebebasan pers. Kesadaran akan pentingnya keserasian
kemaanan nasional dalam kepentingan publik menjadi landasan penting bagi
media yang bebas dan tanggung jawab keberadaan dan keberlangsungan bangsa
dan NKRI.
Otonomi daerah menjadi pusat unggulan di seluruh wilayah NKRI. Hingga
sekarang otonomi daerah masih menjadi masalah bernegara dengan belum
berfungsi optimal sebagai sarana peningkatan keamanan dan kesejahteraan bangsa
dan negara. Upaya penanggulangan radikalisme dalam wawasan kebangsaan
melalui peningkatan ketahanan nasional semakin efektif apabila daerah-daerah
memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi dan keamanan yang terjamin.
Diperlukan peningkatan pengawasan pada kasus terorisme, terutama
dalam pengawasan material dan buku-buku yang berisi ajaran radikal. Oleh
karenanya perlu penggalangan ormas Islam moderat dengan memberikan dialog
maupun ceramah terkait wawasan kebangsaan dalam maslah sosial dan budaya
yang selaras dengan dasar negara Indonesia yaitu Pancasila sehingga penyebran
ajaran-ajaran terorisme dapat ditekan tumbuh kembangnya.
2. Saran Khusus
Saran ini ditujukan secara khusus Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) upaya meningkatkan kinerja dalam menanggulangi
radikalisme di Indonesia, yiatu:
99
a. Perlu adanya upaya BNPT standarisasi procedural program
penanggulangan terorisme, termasuk penyelenggaraan program
deradikalisasi dalam wawasan kebangsaan yang dijadikan pedoman
pelaksanaan tugas BNPT serta institusi lain dalam penanggulangan
terorisme secara nasional.
b. BNPT perlu melakukan pantauan secara terus menerus dan sekaligus
mengevaluasi kinerja penanggulangan terorisme, termasuk yang
diselenggarakan institusi terkait.
c. BNPT perlu menyelenggarakan program deradikalisasi dan instansi
yang terkait sekaligus melakukan evaluasi bersama masyarakat secara
periodik mengenai permasalahan yang timbul.
d. BNPT harus memiliki sasaran strategis dalam program pencegahan
terorisme di Indonesia baik kelompok inti, kelompok militant,
pendukung, simpatisan, dan yang menolak program deradikalisasi.
e. BNPT harus mengorganisir sumber-sumber daya yang dimiliki guna
mensinergikan dan mengoptimalkan kinerja program deradikalisasi
dalam berbagai bentuk melalui para tokoh agama, tokoh masyarakat,
tokoh daerah, tokoh adat, maupun tingkat RT dan RW. Sinergi tersebut
untuk mengoptimalisasi kinerja program dalam mencari kemungkinan
untuk dikembangkan di lingkungan dan keperluan di dalam
masyarakat, khsususnya juga sebagai ajang sosialisasi program
deradikalisasi dan juga menghidupkan kembali ideologi Pancasila di
tengah kehidupan bermasyarakat.
100
f. BNPT perlu membuat sistem database dalam menunjang sistem
nasional yang dapat digunakan penyelenggaraan program
deradikalisasi yang dapat diakses seluruh wilayah hukum republik
Indonesia.
g. Perlu adanya kerjasama BNPT dengan ormas-ormas keagamaan, dan
pusat-pusat krisis dalam memfasilitasi penyelenggaraan program
deradikalisasi di setiap wilayah setingkat kabupaten atau kota.
h. Perlunya kerjasama pemerintah pusat dan daerah untuk peran serta
aktif memberikan informasi kepada aparat penegak hukum dengan
pengembangan deradikalisasi yang telah dilakukan.
i. BNPT perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota,
kecamatan, kelurahan, RW, dan RT unutk mengikuti perkembangan
sosialisasi deradikalisasi.
j. Perlu adanya sistem pemobilisasian masyarakat melalui program
deradikalisasi wawasan kebangsaan sampai di tingkat paling bawah
guna sebagai sarana penegakan hukum dan sekaligus sosialisais
program deradikalisasi.
3. Saran Akademik
Sangat diperlukan Pendidikan Moral Pancasila dan UUD 1945 diseluruh
jenjang pendidikan dari level terendah hingga perguruan tinggi baik formal
maupun informal serta non-formal termasuk lembaga-lembaga pendidikan agama
seperti pondok pesantren dan lain sebagainya.
101
Tindak tegas penolakan anti Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan
kehidupan berbangsa, bernegara karena pembiaran mengakibatkan keraguan
warga masyarakat publik akan konsistensi pemerintah dalam menanggulangi
bahaya terorisme.
Perlu disosialisasikan secara terus menerus komitmen penguatan empat
pilar kehidupan berbangsa, dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, Bhineka
Tunggal Ika, dan NKRI) di sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan juga pondok
pesantren guna menghadapi bahaya laten ideologi radikal dan kekerasan
terorisme.
Sangat diperlukan para kelompok cendekiawan khususnya cendekiawan
muslim menjadi pelopor dalam penguatan empat pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam menghadapi tantangan dan penanggulangan bahaya terorisme.
Sudah saatnya dimulai gerakan revolusi kesadaran dengan menanamkan
nilai-nilai juang luhur 1945 melalui ideology Pancasila yang merupakan
karatekter bansga Indonesia yang akan melahirkan kepribadian yang beretika,
saling menghargai, hormat-menghormati, toleran, berintegritas tinggi dengan
kualitas moral yang luhur.
Beragama dalam konteks kebangsaan melahirkan kesalehan manusia yang
nasionalis. Mencintai negaranya merupakan bagian dari keimanan manusia
terhadap Tuhannya.
102
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Skripsi
Abidin, Yusuf Zainal dan Saebani, Beni Ahmad. Pengantar Sistem Sosial Budaya
di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2014.
Assidiqqie, Jimly. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam sejarah;
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI Press, 1996.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bakti, Agus Surya. Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan,
dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press, 2014.
Bakti, Agus Surya. Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan
Lokal Melawan Radikalisasi dan Terorisme. Jakarta: Daulat Press, 2016.
Dikmejian, R. Hrair. Islam in Revolution: Fundamentalism ini Arab World (New
York: Syracuse University Press, 1985.
Famela, Jely Agri. “Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2013.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1997.
Hasani, Ismail dan T.N, Bonar. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta:
Pustaka Masyarakat Setara, 2012.
Hikam, Muhammad A.S. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Membendung
Radikalisme. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2016).
Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi.
Jakarta: Gema Insani Pers, 2006.
Idris, Irfan. Membumikan Deradikalisasi: Soft Approach Model Pembinaan
Terorisme Dari Hulu Ke Hilir Secara Berkesinambungan. Jakarta: Daulat
Press, 2016.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
103
Oetoyo dan Alfian ed. Pancasila sebagai Ideologi: Dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat,
1993.
Prior, Agasti. “Peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Dalam
Penindakan dan Pencegahan Tindak Pidana Terorisme: Studi Atas Analisis
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010,” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Rahardiansah, Trubus. Sistem Pemerintahan Indonesia: Teori dan Praktek dalam
Perspektif Politik dan Hukum. Jakarta: Universitas Trisakti, 2011.
Ridwan, Nur Khalik. Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di
Indonesia. T.tp: Erlangga, 2008.
Singh, Bilveer dan Mulkham, A.M. Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia
Jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri. Yogyakarta: Bangkit Publisher,
2012.
Soeriatmadja, Rhousdy dan Brigjen Pol (Purn) Sihombing, Ivan TH. Kiprah
DKPT Dalam Situasi Kontroversi Dan Keterbatasan. 2009.
Suhartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Satu Tehnik Penulisan Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2008.
Sunoto. Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Yayasan
Lembaga Studi Filsafat Pancasila, 1983.
Usmita, Fakhri “Disengagement: Strategi Penaggulangan Terorisme di
Indonesia”. Tesis S2 Program Pasca Sarjana Megister Kriminologi,
Universitas Indonesia, 2012.
Wahab, Abdul. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum.
Bandung: PT. Refika Aditama, 2004.
Woodward, Mark R, ed. Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir
Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
104
Dokumen dan Jurnal
Abdullah, Anzar. “Gerakan Radikalisme Dalam Islam: Perspektif Historis”.
ADDIN 10 (Februari 2016).
BNPT. Modul Perkembangan Terorisme dan Pencegahan Terorisme di Daerah.
BNPT: Sentul, 2003.
Jurnal Kajian Lemhanas RI. “Memperkokoh Nilai-Nilai Pancasila di Seluruh
Komponen Bangsa Untuk Memantapkan Semangat Kebangsaan dan Jiwa
Nasionalisme Ke-Indonesiaan dalam Rangka Menangkal Ideologi
Radikalisme Global”. [PDF] Edisi 14, Desember 2012.
Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, Tentang Pembentukan Desk Koordinasi
Pemberantasan Terorisme.
Kesimpulan Rapat Kerja DPR, Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi I DPR RI
Dengan Menkopolhukam Mengenai Pemberantasan Terorisme, DPR RI,
2009.
Laisa, Emna ”Islam dan Radikalisme”, Islamuna Vol. 1, No. 1. 2014.
Pasal 2 Ayat 1 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Nomor: PER.01/K.BNPT/10/2010, tentang Organisasi dan tata kerja Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010.
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan
Terorisme
Susanto, Edi. “Kemungkinan Munculnya Faham Islam Radikal di Pesantren”.
Tadris Vol. 2, No. 1. 2007
Dokumen Elektronik
“Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme”. Artikel ini diakses pada
tanggal 6 juni 2016, www.bnpt.go.id/profil.php
Andrie, Taufik. “Deradikalisasi atau Disengagement Kajian dan Praktek dari
Perspektif Civil Society”, [PDF] diunduh pada 06 November 2016 dari
http://www.academia.edu/3533333/Deradikalisasi_atau_Disengagement
Ghiffari, Renald. “Ini Kelemahan Program Deradikalisasi BNPT Menurut Eks
Napi Terorisme”, Liputan 6, 19 Mei 2018 [berita on-line]; tersedia di
105
https://www.liputan6.com/news/read/3531373/ini-kelemahan-program-
deradikalisasi-bnpt-menurut-eks-napi-terorisme; Internet, diakses pada 02
Juni 2018.
Wawancara dan Kesimpulan Diskusi
Diskusi bersama Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat dalam Menanggapi Aksi-
Aksi Teror yang terjadi di Indonesia Khususnya pada Kejadian Teror Bom
Gereja Surabaya, Pembicara Lurah Cipinang Besar Utara Ibu Sri Sundari
S.Sos, MSi. Di kantor kelurahan Cipinang Besar Utara. Pada 16 Mei 2018.
Hasil wawancara langsung dengan Deputi bidang Pencegahan, Penindakan, dan
Deradikalisasi BNPT Letnan Kolonel Sujatmiko.
Hasil wawancara langsung dengan Ketua LMK Cipinang Besar Utara, Mantan
Pegawai Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tanggal 28
Mei 2018.
Kesimpulan dari Temu Wicara “Memperingati Hari Kelahiran Pancasila dengan
teman Pancasila Dari Kita, Oleh Kita dan Untuk Kita. Pembicara Komandan
Distrik Militer (Dandim) Jakarta Timur, Komandan Rayon Militer
(Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky Subiandono, Pengajar
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) SMA Negeri 100 Jakarta, serta Lurah
Cipinang Besar Utara Ibu Sri Sundari S.Sos, MSi. Pada tanggal 01 Juni
2018”.
Wacana yang berkembang dalam Temu Wicara “Peran Masyarakat dalam
Mewujudkan Lingkungan Bebas Dari Pengaruh Paham Radikalisme dan
Kekerasan di Lingkungan Kelurahan Cipinang Besar Utara”. Pembicara
Komandan Rayon Militer (Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky
Subiandono. Pada tanggal 27 Januari 2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gambar 1. 1 Kegiatan Temu Wicara “Peran Masyarakat Dalam Mewujudkan Lingkungan Bebas Dari
Pengarus Paham Radikalisme dan Kekerasan di Lingkungan Kelurahan Cipinang Besar Utara”, Pembicara:
Komandan Rayon Militer (Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky Subiandono, Kepala Polisi Sektor
Jatinegara Kompol Supadi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Kalyanamitra (LSM), Johana, pada tanggal
27 Januari 2018”.
Gambar 1.2 Kegiatan “Memperingati Hari Kelahiran Pancasila dengan teman Pancasila Dari Kita, Oleh
Kita dan Untuk Kita. Pembicara Komandan Distrik Militer (Dandim) Jakarta Timur, Komandan Rayon
Militer (Danramil) Jatinegara Mayor Invanteri Lucky Subiandono, Pengajar Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) SMA Negeri 100 Jakarta, serta Lurah Cipinang Besar Utara Ibu Sri Sundari S.Sos, MSi. Dalam
rangka penandatanganan Kesepakatan Individu terhadap Kesaktian Pancasila dan NKRI di media
Spanduk. Pada tanggal 01 Juni 2018”.