Upload
edy-santosa
View
1.257
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM DAPAT MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL
Citation preview
PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM DAPAT MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL
1. Pendahuluan
Di era reformasi yang telah dan sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia
ini bertujuan untuk dapat mencapai suatu kehidupan berbangsa, bernegara dan
masyarakat sipil (Civilan Society) yang demokratis, dimana setiap masyarakat
dituntut untuk berproduksi dan berguna atau setidak-tidaknya dapat menghidupi
dirinya sendiri serta dapat saling menghidupi satu sama lain dalam kehidupan
bermasyarakat. Selain itu kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi
dan informasi yang begitu pesat telah mendorong terjadinya perkembangan
dunia yang semakin mengglobal dan transparan, sehingga seolah-olah negara
menjadi tanpa batas (Borderless World) bagaikan desa dalam kota dunia (Global
Village) yang dihuni manusia berbagai bangsa, termasuk Indonesia.
Indonesia yang dicita-citakan oleh the founding fathers adalah sebagai
suatu Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat
(3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum1. Dengan
demikian, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu
kesatuan sistem sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum.
Namun, bagaimana Blue Print (cetak biru) dan desain makro penjabaran ide
negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif,
yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral.
Penekanan pada optimalisasi mengandung makna atau fenomena ganda,
disatu sisi mengandung makna bahwa dalam penegakan hukum selama ini
sudah ditempuh pendekatan keilmuan, namun masih perlu ditingkatkan; dan
disisi lain mengandung kecenderungan fenomena bahwa dalam penegakan
hukum selama ini, budaya atau orientasi pendekatan keilmuan telah melemah,
luntur, terabaikan dan tergeser kerena lebih mengoptimalkan pendekatan
orientasi lain atau pendekatan parsial.
1 Pasal 1 ayat (3) merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode
mendekati atau memahami sesuatu berdasar logika berpikir/kontruksi pikir,
konsep/dasar pemikiran (wawasan/pandangan) tertentu. Karena sudut pandang/
orientasi berpikir tentang hukum bisa bermacam-macam, maka ada sebutan
pendekatan yuridis/normatis/dogmatis (legalistik), pendekatan empirik/sosiologis,
pendekatan historis, pendekatan komparatif, pendekatan filosofik, pendekatan
kebijakan (policy oriented approach), pendekatan nilai, pendekatan yang
berorientasi pada wawasan nasional, pendekatan global, pendekatan parsial,
pendekatan sistematik/integral dan sebagainya.
Adanya kecenderungan orientasi pendekatan keilmuan yang melemah,
luntur, dan terabaikan tampak dari berbagai fenomena dalam masyarakat,
diantaranya yaitu 2:
a) Adanya realita yang sering diresahkan masyarakat umum, bahwa
”budaya amplop”, ”budaya materi” atau ”budaya permainan kotor/tercela”
(istilah umum mafia peradilan) dalam praktek penegakan hukum;
b) Seringnya mendatangkan ”saksi ahli” dari kalangan ahli hukum
(walaupun ada hakim dan jaksa yang menolak kehadiran saksi ahli
berdasarkan alasan/asas, hakim dianggap tau hukum). Fenomena ini
memberi kesan menurunnya kualitas keilmuan (hukum) dikalangan
penegak hukum, karena yang ditanya tentang masalah hukum yang
seyogyanya sudah diketahui oleh aparat penegak hukum (yang notabene
seorang ”ahli hukum” juga). Setidak-tidaknya, fenomena ini menandakan
adanya budaya/pendekatan pragmatis/jalan pintas/menerabas, dalam
memahami hukum, yaitu hanya mau cepat dapat ”sari/extract”-nya saja
(dari saksi ahli/pakar hukum), tanpa mau susah-susah menggali/
mendalami sendiri;
c) Dalam praktek sering terlihat adanya gejala/kecenderungan berpikir
hukum yang parsial dan hanya melihat UU/ketentuan pidana dengan
”kaca mata kuda”. Memisahkan antara norma UU dengan asas-asas,
2 Prof. Barda Nawawi Arief, (2009), Optimalisasi kinerja aparat hukum dalam penegakan hukum, http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/1859663-optimalisasi-kinerja-aparat-hukum-dalam/
1
tujuan pemidanaan dan ide/nilai dasar yang ada dan diakui dalam
ilmu/teori hukum tidak tertulis, antara kepastian hukum/melawan hukum
formal dengan kepastian hukum/melawan hukum materiil”; antara hukum
(UU) dan ilmu hukum; antara ilmu hukum dengan ilmu ketuhanan (moral,
agama) banyak yang tahu ”tuntutan UU” tetapi sangat tidak tahu akan
makna keadilan berdasarkan (tuntutan) Ketuhanan YME. Memisahkan
tiga masalah pokok Hukum Pidana (tindak pidana, kesalahan, pidana)
dengan keseluruhan sistem pemidanaan, memisahkan penegakan hukum
(UU) pidana dengan rambu-rambu (sistem) penegakan hukum nasional;
atau memisahkan antara sistem hukum pidana dengan sistem hukum
nasional.
Dalam kaitan inilah, perlunya peran kepemimpinan nasional dalam
optimalisasi penegakan hukum untuk menciptakan kepastian hukum yang
sejalan dengan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat
memperkokoh ketahanan nasional. Ketahanan Nasional (Tannas) Indonesia
adalah kondisi dinamis bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek
kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan
gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin
identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan
mencapai tujuan nasionalnya3.
Maksud dan tujuan dari penulisan naskah ini adalah untuk memberikan
gambaran mengenai pentingnya peran kepemimpinan nasional dalam
mengoptimalkan penegakan hukum, sehingga dengan peran dari kepemimpinan
nasional dalam optimalisasi penegakan hukum diharapkan akan dapat
mewujudkan upaya bangsa Indonesia dalam memperkokoh ketahanan
nasional.
Ruang lingkup penulisan ini dibatasi pada pembahasan mengenai peran
kepemimpinan nasional dalam penegakan hukum, ditinjau dari perspektif
3 Modul Ketahanan Nasional, Elearning PPRA XLV, Lemhannas RI Tahun 2010.
2
keilmuan, yang difokuskan pada pembahasan mengenai implementasi
penegakan hukum saat ini, kendala-kendala yang dihadapi, pengaruh
lingkungan strategis dan bagaimana peran kepemimpinan nasional dalam
mengoptimalkan penegakan hukum sehingga dapat memperkokoh ketahanan
nasional.
2. Pembahasan
Dalam lingkup nasional, kepemimpinan nasional adalah kelompok
pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra
(Asta Gatra) pada bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur dan
sub struktur, formal dan informal yang memilki kemampuan dan kewenangan
untuk mengarahkan/ mengerahkan kehidupan nasional (bangsa dan negara)
dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna
mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang4. Dengan
demikian kepemimpinan nasional menempati posisi yang sangat strategis dalam
kehidupan suatu bangsa, sebab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara senantiasa dihadapkan kepada berbagai persoalan yang
terkadang sangat krusial, sehingga dibutuhkan kemampuan yang dapat
menentukan kebijakan untuk mencapai tujuannya. Dalam hal ini, fungsi
kepemimpinan disamping sebagai sumber inspirasi dan gagasan, juga sebagai
penggerak sebuah komponen masyarakat untuk bersatu dalam melaksanakan
pembangunan nasional dan memecahkan persoalan bangsa.
Persoalan bangsa yang sedang mengemuka saat ini salah satunya
adalah dalam bidang hukum, dimana hukum sebagai suatu kesatuan sistem
sampai saat ini belum berhasil untuk ditegakkan secara optimal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum adalah kumpulan peraturan hidup dalam suatu masyarakat yang
teratur, bersifat memaksa, mengikat dan dapat dipaksakan. Peraturan hukum
berjalan dengan baik bila benar-benar mencerminkan rasa keadilan dan
4 Modul Elearning, BS Kepemimpinan Nasional, PPRA XLV Lemhannas RI, 2010
3
kehendak sebagian besar masyarakat, dari pendapat tersebut yang mungkin
sudah mengalami perubahan dan penyesuaian berdasarkan dinamika dalam
kehidupan di Indonesia waktu ini, perlu ditekankan bahwa peraturan hukum
hanya bisa berjalan baik, kalau masyarakat mematuhinya, dan penegak hukum
menjalankankan tugas dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Hukum akan menjadi masalah jika penegak hukum sendiri melanggar
atau mengabaikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku atas pertimbangan-
pertimbangan subyektif, dan / atau menjadikan peraturan-peraturan itu peluang
untuk menambah penghasilan pribadi. Jikalau pemerintah menginginkan
masyarakat untuk patuh kepada hukum, maka kewibawaan dan kredibilitas
penegak hukum pertama-tama harus dipulihkan, lembaga-lembaga negara
harus menjalankan tugas dan kewajiban mereka dengan baik sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku dan memperbaiki atau merevisi berbagai
peraturan perundangan-undangan yang tidak mencerminkan rasa ketidakadilan
dalam masyarakat..
Didalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat tiga elemen
yaitu: a) Elemen kelembagaan (elemen institusional); b) Elemen kaedah aturan
(elemen instrumental); dan c) Elemen perilaku para subjek hukum yang
menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen
subjektif dan kultural).
Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup (1) kegiatan pembuatan
hukum (law making), (2) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law
administrating), dan (3) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law
adjudicating), yang biasanya lazim disebut sebagai kegiatan penegakan hukum
dalam arti sempit (law enforcement). Selain itu, ada pula kegiatan lain yang
sering dilupakan orang, yaitu: (4) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law
socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan
dengan (5) pengelolaan informasi hukum (law information management) sebagai
kegiatan penunjang. Kelima kegiatan tersebut dibagi ke dalam tiga wilayah fung-
4
si kekuasaan negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif
dan administratif, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial5.
Organ legislatif adalah lembaga parlemen, organ eksekutif adalah
birokrasi pemerintahan, sedangkan organ judikatif adalah birokrasi aparatur
penegakan hukum yang mencakup kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan hirarkinya masing-masing mulai
dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat
pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang
bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian
sistem hukum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum
Indonesia berdasarkan UUD 1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan
keseluruhan aspek, elemen, hirarki dan komponen tersebut tidak bekerja secara
seimbang dan sinergis, maka hukum sebagai satu kesatuan sistem juga tidak
dapat diharapkan tegak sebagaimana mestinya6. Sebagai contoh, karena
bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law), bangsa
Indonesia cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan
pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang
sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bahkan,
bangsa Indonesia dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir
yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan
bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang
dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat
membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula
oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan dihadapan hukum
(equality before the law).
Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu asas terpenting dalam
hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga
5 Montesquieu, The Spirit of the laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.6 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell & Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
5
menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-
undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke
Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUH
Dagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial,
asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang
memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum
kolonial. Napoleon Bonaparte, orang Perancis yang terkenal sebagai pemimpin
militer dan penguasa Perancis pasca Revolusi (1789), adalah orang yang
berkontribusi “mengabadikan” asas persamaan dihadapan hukum sampai detik
ini. Tridharma semangat Revolusi Perancis (liberte, egalite dan fraternite)
diagregasi oleh pakar hukum di masa Bonaparte pada tahun (1804-1807) ke
dalam kodifikasi hukum yang kemudian dikenal dengan nama Code Napoleon.
Landasan penting dari kodifikasi ini adalah tidak adanya hak-hak istimewa
berdasarkan kelahiran dan asal usul seseorang, semua orang sama derajat
dihadapan hukum.
Di masa lalu, penegakan hukum berdiri di atas prinsip: “hukum harus
ditegakkan, sekalipun dunia runtuh” (fiat iustitia et pereat mundus). Penegakan
hukum yang demikian terbukti telah membelenggu masyarakat dan hukum
menjadi semakin kejam di tangan para penegak hukum. Purnama (2009), dalam
“Penegakan Hukum Demi Kesejahteraan Umum”, menyebutkan peran penegak
hukum yang sekedar menjadi corong dari undang-undang, dalam kondisi
tertentu telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat, bahkan penegakan
hukum tersebut menjadi kurang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Pernyataan tersebut, tidaklah berbeda jauh dari kondisi saat ini, dinama
aparat penegak hukum berperan sebagai perpanjangan tangan dari undang-
undang, misalnya, beberapa waktu yang lalu masyarakat dikagetkan dengan
beberapa kasus yang secara tidak langsung menceritakan tentang hubungan
antara Masyarakat awam, Kekuasaan dan Penegakan Hukum. Masyarakat
awam menilai hukum hanya akan berlaku perkasa ketika berhadapan dengan
masyarakat awam, dan Hukum akan tampak loyo ketika berhadapan dengan
6
Uang dan Kekuasaan7. Selain itu, penerapan hukum di Indonesia juga masih
tebang pilih, hal ini dapat dilihat ketika masyarakat awam yang tidak mengetahui
hukum dan tidak mampu menyewa pengacara, maka hukum dapat diterapkan
sewenang-wenang tergantung dari yang berwenang memutuskan hukuman,
contoh kasus Prita yang diduga kasus tersebut adanya penambahan hukuman
yang berat kepada Prita terkait dengan kasus penipuan dan kebebasan
mengemukakan pendapat di muka umum8.
Masih terkait dengan penegakan hukum, pelajaran utama dari 12 tahun
terakhir sejak reformasi bergulir di Indonesia adalah bahwa reformasi sektor
hukum sangat memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas, baik pada tingkat
pemerintahan maupun pada tingkat institusional. Pemerintah perlu memberikan
sinyal yang jelas bahwa terdapat komitmen untuk menciptakan institusi
penegakkan hukum yang dapat dipercaya oleh masyarakat Indonesia, dan juga
oleh siapa saja yang berniat untuk melakukan kegiatan perdagangan dengan
atau di Indonesia. Selain itu, reformasi hukum yang esensinya adalah reformasi
peradilan akan tetap menjadi wacana yang utopis dan akan kandas di pinggir
jalan apabila, para intelektual hukum termasuk mahasiswa tidak segera
mengambil posisi etis-politis, dan intelektual yang tegas yaitu berpihak kepada
kebenaran dan keadilan bagi masyarakat. Terkait dengan hal ini, Muqoddas
(2007) menyatakan, “penyebab utama tertinggalnya Indonesia, karena dua
sebab, yaitu a) lemahnya kepemimpinan dalam sisi moral dan sisi
intelektualitas; dan b) penegakan hukum yang membuat mafia korupsi / hukum
terus menerus menguat dan didukung jaringan mafia peradilan yang melibatkan
aktor politik”. Selain berbagai tantangan tersebut, tantangan lain yang dihadapi
dalam penegakan hukum adalah bagaimanan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat, hal ini terkait dengan masih lemahnya aparat penegak hukum
dalam mengatasi permasalahan: (i) penanganan korupsi, (ii) penyalahgunaan
wewenang di berbagai institusi, dan (iii) kompetensi aparat penegak hukum.
7 Erwin Arianto, (2009), “Opini Publik Kekuatan baru untuk Itervensi Hukum”, Jakarta8 Media Indonesia,Pelajaran dari Kasus Prita Mulyasari, 8 June, 2009
7
Selain tantangan internal yang dihadapi dalam penegakan hukum,
perkembangan lingkungan global yang demikian pesat mengharuskan bangsa
Indonesia perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian di berbagai bidang
kehidupan, salah satunya dalam kehidupan bidang hukum. Dihadapkan pada
era yang penuh turbulensi perubahan dan globalisasi, maka kemampuan
kepemimpinan nasional dalam menjawab isu-isu global sangatlah diperlukan
dan menjadi sangat penting serta memiliki peran strategis. Oleh karena itu,
peran kepemimpinan nasional agar mampu mengoptimalkan penegakan hukum
setidak-tidaknya harus memenuhi standar-standar sebagai global leadership
dan change leadership sebagai berikut:
a. Memiliki konsep yang dilandasi oleh keyakinan, bahwa di dalam
lingkungan kehidupan sosial yang kompleks dan bersifat global, tidak ada
model khusus (single model) yang cocok terhadap situasi yang sangat
luas yang dihadapi seorang pemimpin apapun juga, dengan demikian
seorang pemimpin harus berpikir secara global yang yaitu mengandung
pesan agar pemimpin selalu berusaha untuk memahami keanekaragaman
sistem ekonomi, budaya, hukum, dan politik, sebagai bagian dari
warganegara dunia dengan visi dan nilai-nilai yang "open ended". A home
centric view will not be tolerated, global leaders need to have a global
level when making decisions (think globally act locally). Hal ini
merupakan cerminan dari global leadership. Dalam kaitan ini, Muladi &
Adi Sujatno (2008:43), menambahkan peran kepemimpinan tersebut
harus didukung dengan 4 (empat) kecerdasan yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, yaitu: Fisi (FQ), Mental (IQ), Emosi (EQ), dan
Spiritual (SQ).
b. Dapat melakukan sinergi positif, selalu menjaga optimisme,
pantang menyerah dalam mengejar tujuan, disertai rasa percaya diri.
Dalam "Culture of Change" seorang pemimpin akan selalu mengalami
atau menikmati ketegangan yang merupakan kesatuan dalam beratnya
memecahkan masalah, dan disitulah sebenarnya keberhasilan terbesar
diraih, hal ini merupakan cerminan dari change leadership.
8
Dalam strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional
untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun
hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan
sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, kepemimpinan nasional dalam
penegakan hukum pada saat menyusun dan merumuskan mengenai apa yang
dimaksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam
UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 penting untuk memahami hukum secara komprehensif
terlebih dahulu. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat
sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam
kerangka Negara Hukum.
Indonesia dengan yang demikian luas wilayah dan besar jumlah
penduduknya, serta masih banyak rakyat miskin dan terbelakang dalam kondisi
kesejahteraan dan pendidikannya, sudah tentu beranekaragam dalam
memahami tentang hukum, dan sebagian besar masyarakat cenderung rendah
pemahamannya terhadap hukum, sehingga tidaklah adil untuk memaksakan
berlaku sesuatu norma hukum kepada mereka yang sama sekali tidak mengerti,
tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya tentang norma aturan yang
diberlakukan kepadanya. Jika dalam norma aturan itu terjadi proses
kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam menjadi kriminal
tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara
kegiatan pembuatan hukum (law making) dan penegakan hukum (law enforcing),
yang perlu untuk mendapat perhatian adalah pemasyarakatan hukum (law
socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting selama ini.
Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari hak
dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan
efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, moral dan intelektualitas kepemimpinan dalam
penegakan hukum menjadi sangat penting untuk dikedepankan. Dengan
kepemimpinan yang memiliki moral yang tinggi, diharapkan akan mampu
9
mendorong terwujudnya penegakan supremasi hukum dan kepastian hukum
yang sejalan dengan rasa keadilan, sedangkan dengan kemampuan
intelektualitas, diharapkan akan dapat memahami hukum secara komprehensif
sebagai suatu sistem yang terintegrasi sehingga dapat memberikan kontribusi
yang maksimal dalam mewujudkan cita-cita membangun Indonesia sebagai
negara hukum, sehingga pada akhirnya akan mampu memberikan kontribusi
terhadap upaya memperkokoh ketahanan nasional.
3. Penutup
a. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai peran kepemimpinan nasional dalam
optimalisasi penegakan hukum, sehingga dapat memperkokoh ketahanan
nasional, disimpulkan beberapa hal berikut:
1) Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental
(civil law), yang cenderung berlebihan pada kegiatan pembuatan
hukum tetapi kurang memberikan perhatian pada penegakan hukum,
bahkan beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan,
maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum, sehingga
ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan
orang tersebut dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula
oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan dihadapan
hukum.
2) Keteringgalan bangsa Indonesia dalam berbagai bidang
pembangunan disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan dalam sisi
moral dan sisi intelektualitas serta penegakan hukum yang justeru
membuat mafia hukum terus menerus menguat dan didukung
jaringan mafia peradilan yang melibatkan aktor politik. Hal ini
semakin nyata ketika memperhatikan kinerja aparat penegak hukum
dalam mengatasi permasalahan penanganan korupsi,
penyalahgunaan wewenang di berbagai institusi, dan kompetensi
10
aparat penegak hukum yang belum optimal serta pengaruh
perkembangan lingkungan global dibidang hukum.
3) Selama ini, dalam penegakan hukum masih banyak pihak yang
hanya mementingkan aspek kepastian hukum, namunapakah hukum
itu dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat masih kurang
diperhatikan, sehingga muncul kasus-kasus, seperti Minah yang
hanya mencuri tiga buah kakao masuk peradilan dan terancam
pidana, dan banyak kasus lain yang seharusnya cukup diselesaikan
secara musyawarah justru harus melali proses peradilan. Berkaitan
dengan kepastian hukum, hal ini dapat dilaksanakan dengan baik
dalam kondisi masyarakat yang stabil, namun saat ini masyarakat
tengah mengalami berbagai krisis identitas, kepercayaan, dan
toleransi. Oleh sebab itu, hukum harus dibuat dengan baik agar
dapat diimplementasikan dengan baik, dan hukum harus memenuhi
rasa keadilan dan membahagiakan seluruh masyarakat, selain
mengandung kepastian hukum.
4) Dengan mengacu pada pembahasan beberapa penjelasan diatas,
kepemimpinan nasional memiliki peran strategis dan menjadi kunci
utama keberhasilan negara dalam praktik implementasi kebijakan
(dalam hal ini dibidang penegakan hukum). Oleh karena itu,
pemimpin nasional harus memiliki kualitas yang tidak hanya
didasarkan pada kualitas fisik dan intelektual semata, melainkan
juga kualitas rohani. Adanya keseimbangan kualitas antara ketiga
aspek tersebut, sangat membantu seorang pemimpin dalam
mengoptimalkan perannya dalam suatu organisasi.
b. Saran
Untuk mendukung keberhasilan peran kepemimpinan nasional
dalam mengoptimalkan penegakan hukum, sehingga dapat memperkokoh
ketahanan nasional, disarankan beberapa hal berikut:
11
1) Persamaan dihadapan hukum adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern, oleh karena itu untuk
mengimplementasikannya perlu didukung dengan upaya
meningkatkan sosialisasi dibidang hukum kepada seluruh
masyarakat.
2) Untuk mengoptimalkan penegakan hukum, bangsa Indonesia
khususnya kepemimpinan nasional perlu menyusun blue-print, suatu
desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia
yang hendak dibangun dan tegakkan di masa depan. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat homogen
seperti Indonesia, bahwa informasi hukum yang tersedia dalam
masyarakat harus bersifat simetris.
3) Keinginan pemerintah yang kuat untuk melakukan reformasi
diberbagai aspek merupakan momentum untuk mengoptimalkan
penegakan hukum, hukum harus ditegakkan demi kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, Kepemimpinan Nasional bila perlu
mengambil langkah-langkah di luar kebiasaan (extraordinary)
semata-mata demi menegakkan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat.
Penulis : MHS Pasca Sarjana UGM 2009 Bidang Studi Ketahanan Nasional
12
Daftar Pustaka
Bernardine R. Wirjana, M.S.W & Prof. Dr. Susilo Supardo, M.Hum. (2002), Kepemimpinan, (Dasar-dasar dan Pengembangannya) ANDI, Yogyakarta.
Bob Widyahartono, (2007), Telaah - Kepemimpinan Politik Ekonomi Efektif, Jakarta 05 Maret 2007
D’Souzan. DR, (2007), Proaktive Visionary Leadership, PT Trisewu Nagawarsa, Jakarta.
Frances Hesselbern, Marshall Gold Smith, Richard Beckhard (ed), (1997), The Leader Of The Future, Pemirnpin Masa Depan, alih bahasa: Drs. Bob Widyahartono, FT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) LIPI, Jakarta, 20 November 2007
Konvensi Nasional II IKAL Tahun 2004, Yogyakarta
Mawardi & Nur Hidayati, (2002), IAD ISD IBD, CV. Pustaka Setia, h. 104, Bandung.
Modul E-learning BS. Kepemimpinan Nasional PPRA XLV Tahun 2010 Lemhannas RI
Muladi & Adi Sujatno,( 2009 : 43), Teori, Nilai, Sifat, Peran, dan Prinsip-Prinsip Kepemimpinan,dalam Traktat Etis Kepemimpinan Nasional, Jakarta.
Muqoddas M. Busyro, (2007), “Forum Lokakarya Nasional Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)”, Jakarta 5 Juni 2007.
Parikesit Arli Aditya, (2008) “Kepemimpinan Indonesia Masa Depan”, Jakarta 7 Agustus 2008.
Poespowardojo Soerjanto, Frans M. Parera, (1994), "Pendidikan Wawasan Kebangsaan Tantangan dan Dinamika Perjuangan kaum Cendekiawan Indonesia", PT Grasindo, Jakarta.
Purnama Basuki Tjahaja, Ir., MM (2009), Penegakan Hukum Demi Kesejahteraan Umum, Jakarta
Soekanto, Soerjono (1983), Bantuan Hukum suatu Tinjauan Yuridis, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sujatno Adi,(2006), Moral dan Etika Kepemimpinan, Jakarta.
Suryohadiprojo Sayidiman, (2003), Kepemimpinan Dalam Demokrasi di Indonesia, Jakarta.
Berbagai sumber lainnya.
13