Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISERTASI
PERAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
MENGGUNAKAN HEAD COIL DALAM
MENEGAKKAN DIAGNOSA DISLOKASI DISKUS
SENDI TEMPOROMANDIBULAR
SHOFIYAH LATIEF
P0200312006
PROGRAM S3 ILMU KEDOKTERAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
DAFTAR TIM PENGUJI
Promotor : Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, SpRad (K)
Ko Promotor : Dr. drg. Bahruddin Thalib, SpPros (K)
Dr. dr. Mirna Muis, SpRad
Anggota : Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, SpRad (K)
Prof. Dr. dr. Triyono KSP, SpRad (K)
Prof. drg. Dharma Utama, PhD, SpPros (K)
Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS
drg. Muhammad Ruslin, SpBM (K), MKes
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis
hingga tahap akhir penyelesaian disertasi ini. Shalawat dan salam
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta
para pengikutnya.
Ide penelitian ini muncul didasarkan pada kondisi dimana makin
meningkatnya penderita dengan keluhan gangguan internal sendi
temporomandibular dan pengklasifikasian kelainan ini merupakan salah
satu area yang masih sering diperdebatkan. Masih terdapat keterbatasan
dalam penelitian ini, namun diharapkan karya ini dapat bermanfaat dalam
menambah informasi ilmiah mengenai gangguan internal sendi
temporomandibular.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan disertasi ini
namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak pada akhirnya
disertasi ini dapat diselesaikan. Oleh karenanya, pada kesempatan ini
dengan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :
Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, SpRad (K) selaku Promotor yang telah
banyak memberikan bimbingan, kritik dan saran sejak masa persiapan
hingga penyelesaian akhir dari disertasi ini.
Dr. drg. Bahruddin Thalib, SpPros dan Dr. dr. Mirna Muis, SpRad selaku
Co Promotor yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik dan saran
sejak persiapan hingga penulisan akhir dari disertasi ini.
Dewan Penguji : Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, SpRad (K), Prof. Dr. dr.
Triyono KSP, SpRad (K), Prof. drg. Dharma Utama, PhD, SpPros (K), Dr.
dr. Burhanuddin Bahar, MS, drg. Muhammad Ruslin, SpBM, MKes, PhD
yang telah meluangkan waktu serta memberikan bimbingan, kritik dan
saran demi penyempurnaan disertasi ini.
Ucapan terima kasih serta rasa hormat kepada : Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin (UNHAS), Prof. Dr.
dr. Andi Asadul Islam, SpBS selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNHAS,
Prof. dr. Mochammad Hatta, PhD, SpMK (K) selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Ilmu Kedokteran UNHAS dan Prof. Dr. dr. Suryani As’ad,
MSc, SpGK (K) selaku Ketua Program Studi Pascasarjana yang telah
berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Doktor Ilmu Kedokteran.
Ucapan terima kasih serta rasa hormat kepada Prof. dr. H. Syarifuddin
Wahid, PhD, SpPA (K), SpF selaku Dekan Fakultas Kedokteran UMI, Dr.
dr. Nasrudin AM, SpOG, MARS selaku Wakil Dekan I FK UMI, dr. Suliati
P. Amir, SpM, M.Med-Ed selaku Wakil Dekan II FK UMI, dr. Shulhana
Mokhtar, M.Med-Ed dan Drs. M. Said, S.Ag selaku Wakil Dekan IV FK
UMI serta teman – teman sejawat Dosen FK UMI yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan rasa sayang kepada teman
sejawat dan rekan pegawai pada Clinical Education Unit (CEU) FKUMI
yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat selama proses
pendidikan penulis berlangsung.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Direktur beserta seluruh
staf managemen Rumah Sakit Awal Bros dan Rumah Sakit Siloam
Makassar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan rasa sayang kepada teman
sejawat Dokter Spesialis Radiologi serta staf radiografer Rumah Sakit
Awal Bros dan Rumah Sakit Siloam Makassar. Khususnya kepada rekan
Ashar, Amd.Rad, Abdul Azis, Amd.Rad, Eunike Serfina Fajarini, AMR,
S.Si dan Purwanto, Amd.Rad, S.Si yang telah banyak membantu,
memberikan saran dan kritik sejak masa persiapan hingga penulisan akhir
dari disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga kepada drg.
Muhammad Ikbal, SpPros, dr. Andy Visi Kartika, SpPA, M.Kes, Dr. dr.
Nurahmi, SpPK, M.Kes dan Dr. Andi Nilawati, SKM, M.Kes yang banyak
memberikan bantuan, dukungan dan semangat mulai dari awal masa
persiapan hingga penulisan akhir dari disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga kepada adik –
adik Khansa Luthfiyyah, Akhmad Fadhiel Noor dan Rheza Rivaldi Salam
yang banyak memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian
disertasi ini.
Dan pada akhirnya ucapan terimakasih serta rasa sayang dan
penghargaan yang setinggi – tingginya kepada ayahanda tercinta (Alm)
dr. H. Abdul Latief Data, SpRad, ibunda tercinta Dra. Hj. Sylvia Ibrahim,
suami tercinta dr. Andi Indra Gunawan, SpAn – KMN, anak – anakku yang
tersayang Andi Athifah Zhafirah Gunawan dan Andi Athillah Syahputra
Gunawan serta Adinda dr. Miftahul Akhyar Latief, Phd, SpM dan dr. Nur
Putri Irmayasari Akhyar yang telah banyak memberikan doa, dukungan,
perhatian dan pengertian selama masa pendidikan berlangsung.
Bantuan, bimbingan, dorongan, kebaikan dan doa orang – orang di sekitar
saya sangat memberikan kekuatan dan semangat dalam proses
penyelesaian pendidikan ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan
Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, November 2017
Shofiyah Latief
ABSTRAK
PERAN MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) MENGGUNAKAN
HEAD COIL DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSA DISLOKASI DISKUS SENDI TEMPOROMANDIBULAR
(Latief S, Murtala B, Thalib B, Muis M)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemeriksaan MRI
menggunakan head coil terhadap kekuatan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular dan mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan klinis menurut
RDC dengan mempergunakan MRI sebagai Gold Standard.
Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan desain cross sectional. Uji diagnostik untuk menilai validitas MRI. Analisis prediktor dilakukan dengan uji multivariate regresi logistik.
Uji diagnostik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan MRI 95% dengan spesifisitas 72.7%. Nilai duga positif 76% sementara nilai duga negatif 94% dengan akurasi sebesar 83.9 %.
Pada karakteristik sampel tampak bahwa frekuensi terbanyak untuk kelompok umur adalah 20 - 40 tahun baik pada kelompok asimptomatik (40.5%) maupun kelompok simptomatik (38.1%). Perempuan ditemukan lebih banyak dibandingkan laki – laki baik pada kelompok asimptomatik (40.5%) maupun simptomatik (35.7 %). Keluhan bunyi dan nyeri ditemukan sebesar 21.4%). Pasien dengan lama keluhan lebih dari satu tahun lebih banyak (38.1%) dibandingkan dengan yang kurang dari satu tahun (14.3%). Konfigurasi perubahan bentuk diskus artikularis untuk posisi diskus yang normal paling banyak ditemukan dari bentuk convex menjadi biplanar yaitu 10 (11.9%) dan pada dislokasi diskus ke anterior dengan reduksi paling banyak ditemukan perubahan dari bentuk folded ke biplanar yaitu 8 (9.5%).
Hasil analisis bivariat pada penelitian ini bahwa terdapat perbedaan antara hasil pemeriksaan MRI dan RDC dalam menegakkan diagnosa dislokasi diskus sendi temporomandibular. Gejala klinik berhubungan signifikan dengan kejadian dislokasi diskus sendi temporomandibular pada pemeriksaan MRI maupun RDC. Semua variabel pada pemeriksaan panoramik berhubungan signifikan dengan kejadian dislokasi diskus sendi temporomandibular untuk pemeriksaan MRI. Sementara untuk pemeriksaan RDC hanya variabel impaksi yang berhubungan signifikan dengan kejadian dislokasi diskus. Posisi kondilus asimetris pada pemeriksaan panoramik dan lama keluhan lebih dari 1 tahun pada pemeriksaan fisik adalah prediktor yang kuat bagi terjadinya dislokasi diskus.
Sebagai kesimpulan bahwa MRI memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendeteksi dislokasi diskus sendi temporomandibular jika dibandingkan dengan RDC.
Kata kunci : Dislokasi diskus sendi temporomandibular, sensitivitas dan spesifisitas, Magnetic Resonance Imaging (MRI), The Research Diagnostic Criteria (RDC).
ABSTRACT
The role of Magnetic Resonance Imaging (MRI) using a head coil in the diagnosis of disc displacement of
temporomandibular joint. (Latief S, Murtala B, Thalib B, Muis M)
This study is intended to determine the role of MRI using head coil
on diagnosis strength of temporomandibular joint disc displacement and to seek parallel examination with RDC by using MRI as the Gold Standard.
The type of research is observational analytic with cross sectional design. Diagnostic test to assess MRI validity. Predictive analysis was performed by multivariate logistic regression test. The diagnostic test results of this study showed a sensitivity of MRI examination about 95% with a specificity of 72.7%. Nominal value in 83,9%.
The sample characteristics showed that the frequency for the age group of 20-40 years old both in asymptomatic group (40,5%) and symptomatic group (38,1%). Women were found more than men in both asymptomatic (40.5%) and symptomatic (35.7%) groups. Complaints of noise and obesity found in 21.4%. Patients with longer complaints over one year found more (38.1%) compared with less than one year (14.3%). Biplanar shape change is 8 (9.5%). (9.9%) and in the disc displacement to anterior with reduction are heavily found in its folded form to biplanar is 8 (8.5%).
The results of bivariate analysis in this study : there is a difference between the results of MRI and RDC examination in establishing the diagnosis of displacement of temporomandibular joint disc. Clinical symptoms were significantly associated with temporomandibular joint disc displacement events on MRI and RDC examinations. All variables on panoramic examination were significantly associated with temporomandibular joint disc displacement events for MRI examination. As for the RDC examination only the impaction variables are significantly related to disc displacement events. The position of the asymmetric condyle on the panoramic examination and the duration of complaints over 1 year on physical examination is a strong predictor of the disc displacement.
MRI has some better ability in terms of displacement of temporomandibular joint discs when compared to RDC. Keywords: Disc displacement of temporomandibular joint, sensitivity and specificity, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Research Diagnostic Criteria (RDC)
DAFTAR ISI
ABSTRAK INDONESIA........................................................................... i
ABSTRACT ENGLISH.............................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. 16
DAFTAR TABEL ....................................................................................... 19
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1 A. Latar Belakang............................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................6
1. Tujuan Umum........................................................................6
2. Tujuan Khusus ......................................................................6
D. Manfaat Penelitian .....................................................................7
1. Manfaat Pengembangan Ilmu................................................7
2. Manfaat Aplikasi.....................................................................7
3. Manfaat bagi masyarakat.......................................................7
4. Manfaat bagi peneliti..............................................................7
5. Manfaat bagi professional......................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................8 2.1 Anatomi dan Fisiologi TMJ ........................................................8
2.1.1 Diskus Artikular ..................................................................9
2.1.2 Permukaan artikular
..........................................................12
2.1.3 Otot-otot mastikasi ............................................................14
2.2 Biomekanik sendi temporomandibular normal ........................14
2.2.1 Siklus translasi .................................................................16
2.2.2 Peranan oklusi..................................................................18
2.2.3 Adaptasi sendi tempero mandibular.................................20
2.2.4 Biomekanik disk displacement anterior dengan reduksi...21
2.2.5 Biomekanik disk displacement anterior tanpa reduksi ….22
2.3 Temperomandibular disorder ................................................25 2.3.1 Etiologi......................................................................28
2.3.2 Pemeriksaan klinis TMJ ...........................................29
2.4 Perkembangan indeks............................................................32
2.5 The Research Diagnostic Criteria (RDC) ...............................33
2.6 Pencitraan Diagnostik.............................................................35
2.6.1 Radiografi Konvensional.............................................41
2.6.1.1 Radiografik Panoramik…………………………41 2.6.2 Ultrasonography (USG)..............................................48
2.6.3 Computed Tomography (CT) Scan ............................52
2.6.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI)...........................56
2.6.4.1 Gambaran pencitraan MRI TMJ Normal..........59
2.6.4.2 Gangguan internal TMJ....................................62
2.6.4.3 Arthritis Sendi temporomandibular ..................74
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS.........................76
A. Kerangka Teori.........................................................................76
B. Kerangka Konsep.....................................................................79
C. Hipotesis Penelitian .................................................................80
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.....................................................81 4.1 Ruang Lingkup Penelitian.....................................................81
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................81
4.3 Jenis dan Rancangan Penelitian...........................................81
4.4 Populasi dan Sampel.............................................................81
4.5. Cara Sampling......................................................................83 4.6 Definisi operasional……………………………………………..83 4.7 Cara Kerja…………………………………………………….....85 4.8 Etika Penelitian………………………………………………….86
4.9 Alur Penelitian.......................................................................87
BAB V HASIL PENELITIAN…………………………………………………88
5.1 Protokol Pemeriksaan MRI……………………………...……..89 5.2 Karakteristik Sampel..................................................... …....92
5.3 Karakteristik Diskus Artikularis………………….……………..93 5.3.1 Bentuk Diskus Artikularis………………………………….93
5.3.2 Ukuran Diskus Arikularis…………………………………..94
5.3.3 Intensitas Diskus Artikularis………………………………,94
5.4 Distribusi Konfigurasi Perubahan Bentuk Diskus Artikularis pada Posisi Mulut Tertutup dan Terbuka……………………….....95 5.5 Frekuensi DD Berdasarkan Umur & Gejala Klinis…………....96
5.6 Frekuensi DD Berdasarkan Jenis Kelamin & Gejala Klinis….97
5.6.1 Analisis Bivariat Gejala Klinis dengan Kejadian Dislokasi
5.7 Analisis Gejala Klinis dan Pemeriksaan Panoramik dengan
Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan MRI….....98
5.7.1 Analisis Gejala Klinis dengan Kejadian Dislokasi Diskus
Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan MRI……………....98
5.7.2 Analisis Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian
Dislokasi Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan MRI……..…99
5.8 Analisis Gejala Klinis dan Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan RDC…………………………………………….……..99
5.8.1 Analisis Gejala Klinis dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan RDC…………....100 5.8.2 Analisis Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan RDC……..….101
5.9 Analisis Pola Mengunyah Dominan dengan Kejadian Dislokasi Diskus Berdasarkan Pemeriksaan MRI………………………..…102 5.10 Analisis Gejala Klinis dan Lama Keluhan dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI…………………..…102
5.10.1 Analisi Gejala Klinis dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI………………..………103 5.10.2 Analisis Lama Keluhan dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI………………………..103
5.11 Analisis Multivariat……………………..……………………..104 5.12 Nilai DIagnostik Pemeriksaan Klinis Menurut RDC dengan Menggunakan MRI sebagai Gold Standard……………...………105
BAB VI PEMBAHASAN..........................................................................106 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………..128
DAFTAR PUSTAKA……………………………………..……………….....130
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Dislokasi Diskus
Tabel 5.1 Protokol Pemeriksaan MRI
Tabel 5.2 Karakteristik Sampel
Tabel 5.3 Karakteristik Diskus Artikularis
Tabel 5.3.1 Bentuk Diskus Artikularis
Tabel 5.3.2 Ukuran Diskus Artikularis
Tabel 5.3.3 Intensitas Diskus Artikularis
Tabel 5.4 Distribusi Konfigurasi Perubahan Bentuk Diskus Artikularis pada Posisi Mulut Tertutup dan Terbuka
Tabel 5.5 Frekuensi Dislokasi Diskus (DD) Berdasarkan Umur dan Gejala Klinis
Tabel 5.6 Frekuensi Dislokasi Diskus (DD) Berdasarkan Jenis Kelamin dan Gejala Klinis
Tabel 5.7 Analisis Gejala Klinis dan Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.7.1 Analisis Gejala Klinis dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.7.2 Analisis Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.8 Analisis Gejala Klinis dan Pemeriksaan Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan RDC
Tabel 5.8.1 Analisis Gejala Klinis dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan RDC
Tabel 5.8.2 Analisis Pemeriksaann Panoramik dengan Kejadian Dislokasi Diskus Artikularis Berdasarkan Pemeriksaan RDC
Tabel 5.9 Analisis Pola Mengunyah Dominan dengan Kejadian Dislokasi Diskus Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.10 Analisis Gejala Klinis dan Lama Keluhan dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.10.1 Analisi Gejala Klinis dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.10.2 Analisis Lama Keluhan dengan Kejadian Efusi Sendi Berdasarkan Pemeriksaan MRI
Tabel 5.11 Analisis Multivariat
Tabel 5,12 Nilai DIagnostik Pemeriksaan Klinis Menurut RDC dengan Menggunakan MRI sebagai Gold Standard
DAFTAR SINGKATAN
TMJ : Temporomandibular Joint
TMD : Temporomandibular Disorders
AAOP : American Academy of Orofacial Pain
ADD : Anterior Disc Displacement
ADDWR : Anterior Disc Displacement with Reduction
ADDWoR : Anterior Disc Displacement without Reduction
DD : Disc Displacement
MRI : Magnetic Resonance Imaging
ID : Internal Derangement
LPM : Lateral Pterygoid Muscle
PGP : Processus Post Glenoid
AE : Articular Eminence
RDC : The Research Diagnostic Criteria
MPD : Myofascial pain and dysfunction
CT : Computed Tomography
USG : Ultrasonography
PD : Proton Density
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Potongan sagital sendi temporomandibular
2. Gambar 2 Klasifikasi konfigurasi diskus
3. Gambar 3 Biomekanik sendi temporomandibular normal
4. Gambar 4 Gambaran Videofluoroskopi dan Artrografi Hubungan
Diskus- Kondilus Normal
5. Gambar 5 Translasi normal dari kondilus mandibular dan posisi diskus
pada buka dan tutup mulut 6. Gambar 6 Biomekanik Dislokasi Diskus Anterior Disertai Reduksi
7. Gambar 7 Biomekanik Dislokasi Diskus Anterior Tanpa Reduksi
8. Gambar 8 Palpasi otot temporalis
9. Gambar 9 Palpasi otot masseter
10.Gambar 10 Radiografi Panoramik 11.Gambar 11 USG sendi temporomandibular 12.Gambar 12 USG sendi temporomandibular pada posisi mulut tertutup dan terbuka 13.Gambar 13 Gambaran MRI anatomi normal sendi temporomandibular 14.Gambar14 MRI spin-echo proton-density-weighted potongan sagittal oblique 15.Gambar 15 Posisi diskus normal 16.Gambar 16 Posisi diskus normal (A), Dislokasi diskus parsial (B), dan Dislokasi diskus komplit (C) 17.Gambar 17 Anterior displacement yang disertai reduksi 18.Gambar 18 Dislokasi diskus anterior tanpa disertai reduksi 19.Gambar 19 MRI potongan sagittal oblique spin-echo PD (posisi mulut tertutup) tampak dislokasi diskus anterior parsial
20.Gambar 20 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density- Weighted (posisi mulut terbuka)
21.Gambar 21 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density- weighted (posisi mulut tertutup) memperlihatkan
(bentuk mendatar) dislokasi diskus anterior parsial
22.Gambar 22 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density weighted (posisi mulut terbuka). Berhubungan dengan efusi sendi derajat 1 23.Gambar 23 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density weighted (posisi mulut tertutup) menunjukkan (penebalan) dislokasi diskus anterior komplit
24.Gambar 24 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density weighted (posisi mulut terbuka) menunjukkan bahwa
diskus tetap berada pada posisi normal ketika kondilus bergerak
25.Gambar 25 MRI potongan Sagittal oblique spin-echo proton-density weighted (posisi mulut tertutup) menunjukkan dislokasi diskus anterior komplit 26.Gambar 26 MRI potongan sagittal oblique spin-echo proton-density weighted (posisi mulut terbuka) menunjukkan bahwa diskus tetap berpindah dari posisi normalnya disertai erosi kortikal kondilus 27.Gambar 27 MRI perpindahan diskus ke posterior 28.Gambar 28 MRI Stuck disk 29.Gambar 29 Gambaran MRI sagittal muskulus pterigeus lateral 30.Gambar 30 Juvenile idiopathic arthritis. 31.Gambar 31 Pemeriksaan MRI sendi temporomandibular pada pasien dengan keluhan bunyi dan nyeri; (A) dislokasi diskus kiri kearah anterior pada posisi mulut tertutup, (B) reduksi pada posisi mulut terbuka 32.Gambar 32 Pemeriksaan MRI sendi temporomandibular pada pasien dengan keluhan nyeri, (A) dislokasi diskus kearrah anterior dengan reduksi (B) kir dislokasi diskus kearah anterior dengan reduksi 33.Gambar 33 Pemeriksaan MRI sendi temporomandibular pada pasien dengan keluhan bunyi dan nyer (A dan C) dislokasi diskus bilateral ke ara anterior yang disertai efusi sendi (B dan D) mengalami reduksi pada posisi terbuka 34.Gambar 34 Pemeriksaan MRI sendi temporomandibular pada pasien tanpa keluhan (A) dislokasi diskus kanan kearah anterior pada posisi mulut tertutup (B) mengalami reduksi pada posisi mulut terbuka 35.Gambar 35 Pemeriksaan MRI sendi temporomandibular pada pasien tanpa keluhan, (A dan C) dislokasi diskus bilateral kearah anterior pada posisi mulut tertutup (B dan D) mengalami reduksi pada posisi mulut terbuka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Temporomandibular joint disorders (TMD) atau gangguan internal
sendi temporomandibular adalah istilah yang dipergunakan untuk
sekumpulan gejala atau tanda yang melibatkan gangguan pada system
muskuloskeletal, sendi temporomandibular ataupun keduanya. Selain
gangguan internal yang mengacu pada suatu perubahan jalur gerak sendi
temporomandibular normal yang sebagian besar melibatkan fungsi diskus
artikular, dapat pula disebabkan oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan yaitu keadaan lokal yang terdiri dari hubungan kontak oklusi,
aktifitas dan respon dalam otot juga struktur sendi. Kelainan sendi ini
dapat bersumber pada komponen sendi atau diluar sendi, seperti gigi
termasuk jaringan periodontal, otot-otot mastikasi dan masalah
psikologis. (Bag 2014)
Keluhan yang ditimbulkan dapat berupa nyeri saat buka - tutup
mulut, nyeri tekan pada otot mastikasi hingga keterbatasan gerakan sendi
temporomandibular. Hal ini akan mempengaruhi fungsional seseorang
yang berhubungan dengan fungsi mengunyah, bicara maupun menelan.
Gejala ini ditemukan sekitar 12% - 68% pada populasi dan insidensi
paling banyak pada wanita muda dengan rasio 4:1 dibandingkan laki -
laki. Prevalensi menurut umur meningkat pada usia dibawah 40 tahun dan
menurun pada usia diatasnya. (Aiken, Bouloux, and Hudgins 2012)
Gejala klinik yang bervariasi menyebabkan penegakan diagnosa
yang tepat sering kali susah dilakukan. Tanda atau gejala seperti nyeri,
nyeri tekan pada otot mastikasi atau sendi temporomandibular dan suara
selama pergerakan kondilus mandibula (popping, suara klik atau krepitus
pada rahang) serta keterbatasan pergerakan mandibula ditemukan
sekitar 12% - 68% pada populasi. Gejala paling sering berupa suara klik
pada sendi temporomandibular dengan prevalensi 8 - 50%. Gangguan
temporomandibular adalah penyebab paling umum dari nyeri kepala dan
wajah setelah sakit gigi. (Samara 2013; kraus 2017)
The Research Diagnostic Criteria (RDC) diterima secara luas
sebagai alat klasifikasi diagnostik dan validitasnya sudah teruji beberapa
kali sehingga sekarang dianggap sebagai standar baku oleh komunitas
peneliti, namun tetap memiliki nilai subyektivitas pada penilaian tersebut.
Sehingga diperlukan modalitas lain yang dapat menilai struktur sendi
temporomandibular dengan jelas. Untuk menegakkan diagnosa gangguan
sendi temporomandibular perlu dilakukan evaluasi pada pasien yang
meliputi anamnesa riwayat penyakit, pemeriksaan klinis sendi
temporomandibula, pemeriksaan klinis otot-otot pengunyahan,
pemeriksaan intraoral, analisa oklusi dan pemeriksaan radiologi. (Ahmad
et al. 2009)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan alat non invasif dan
non radiasi yang mempergunakan medan magnet serta radiofrekuensi
untuk menghasilkan gambar. MRI memiliki kemampuan pencitraan yang
baik bagi soft tissue serta untuk evaluasi sendi. MRI memungkinkan
analisis trimatra dari sendi temporomandibular, memberikan penilaian
yang paling lengkap hubungan condylus mandibula, diskus artikular, fossa
mandibula dan eminensia artikular. Adanya berbagai teknik MRI
memungkinkan kita menganalisis posisi diskus baik koronal maupun
sagital berupa penilaian dinamika translasi condylar dan gerakan diskus
selama gerakan membuka dan menutup mulut. Dapat dengan baik menilai
diskus artikularis mulai dari perubahan bentuk dan intensitas sinyal atau
perpindahan diskus dengan tingkat akurasi yang tinggi (95 %), menilai
caput condylus, penebalan muskulus pterygoideus lateral (LPM),
pecahnya lapisan retrodiscal ataupun efusi sendi. (Alonso et al. 2014;
Turp 2016)
Dislokasi diskus (DD) adalah salah satu bentuk utama gangguan
internal sendi temporomandibular. Dislokasi diskus ke anterior dengan
reduksi dan dislokasi diskus ke anterior tanpa reduksi adalah dua bentuk
yang paling umum terjadi. (Larheim 2001; Tognini 2004)
Pengklasifikasian kelainan gangguan internal sendi
temporomandibular merupakan salah satu area yang sering
diperdebatkan. Satu dekade terakhir pengklasifikasian dibedakan atas
subkelompok myogenik dan subkelompok arthrogenik namun
pengelompokan ini tidak selalu jelas terpisah karena dapat terjadi
tumpang tindih antara subkelompok tersebut. American Academy of
Orofacial Pain (AAOP) untuk pertama kalinya membuat definisi diagnostik
secara jelas pada tahun 1990 yang direvisi pada tahun 1993 dan 1996.
Klasifikasi dibagi kedalam tiga kelompok yaitu kelompok dengan
kelainan sendi temporomandibular yang diagnosanya ditegakkan jika
ditemukan adanya kelainan struktur sendi temporomandibular (penyakit
degeneratif atau gangguan internal diskus), kelompok karena kelainan
otot mastikasi dan kelompok dengan kelainan perkembangan serta
kongenital. (Carlsson, 1999; Emshoff et al., 2003; Samara et al., 2012).
Pada tahap awal gangguan internal, diskus tetap mempertahankan
bentuk normalnya. Seiring dengan waktu, bagaimanapun, perpindahan
sendi akan mengalami deformitas berupa penebalan posterior band dan
penurunan ukuran anterior band serta daerah tipis di bagian tengahnya,
yang menyebabkan terbentuknya diskus bikonveks atau bulat. Gambaran
morfologi yang tidak teratur dan bulat maupun datar secara umum
dianggap menggambarkan adanya penyakit. (Tognini 2004; Westesson
2011)
Beberapa penelitian yang menilai tentang gangguan internal sendi
temporomandibular dan MRI telah dilakukan antara lain oleh Emshoff et
al, 2003;. Rao, 1995 menganggap bahwa MRI adalah modalitas
pencitraan pilihan pada gangguan temporomandibular karena alat ini
mampu memberikan informasi terperinci mengenai diskus, ruang sendi,
dan struktur jaringan lunak yang berdekatan. Tomas et al, 2014
menjelaskan pecahnya lapisan retrodiscal superior pada 2 pasien dengan
dislokasi diskus ke anterior tanpa reduksi dan menduga bahwa hal ini
mungkin akan menyebabkan terjadinya ketidakstabilan diskus yang
signifikan. Roh, et al., setelah melakukan penelitian pada 254 pasien, juga
melaporkan bahwa kejadian efusi hampir dua kali lebih banyak ketika
ditemukan dislokasi diskus ke anterior dengan reduksi jika dibandingkan
dengan diskus normal dan lebih dari empat kali jika disertai dislokasi
diskus ke anterior tanpa reduksi. De Leeuw et al, melakukan penelitian (55
pasien) dan mendapatkan 75% dengan gejala gangguan internal sendi
temporomandibular yang kronik ditemukan adanya dislokasi diskus ke
anterior tanpa reduksi (Emshoff, Tomas, Roh, De Leeuw, Bag et al.,
2014).
Semakin meningkatnya jumlah penderita dengan keluhan
gangguan internal sendi temporomandibular serta masih kurangnya
penelitian yang terfokus pada dislokasi diskus khususnya pada bidang
radiologi di Indonesia, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perbedaan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular berdasarkan pemeriksaan MRI dan RDC?
2. Apakah gejala klinis berhubungan dengan diagnosa dislokasi diskus
sendi temporomandibular berdasarkan pada pemeriksaan MRI dan
RDC?
3. Apakah hasil pemeriksaan panoramik berhubungan dengan diagnosa
dislokasi diskus sendi temporomandibular berdasarkan pada
pemeriksaan MRI dan RDC?
4. Apakah ada variabel predictor pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
panoramik untuk menegakkan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular pada pemeriksaan MRI?
5. Bagaimana kemampuan MRI mendeteksi dislokasi diskus sendi
temporomandibular jika dibandingkan dengan RDC?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui peran pemeriksaan MRI menggunakan head coil
terhadap kekuatan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular.
2. Tujuan Khusus
1. Analisis perbedaan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular berdasarkan pemeriksaan MRI dan RDC.
2. Analisis hubungan antara gejala klinik dengan pemeriksaan MRI
dan RDC dalam menegakkan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular.
3. Analisis hubungan antara hasil pemeriksaan panoramik dengan
pemeriksaan MRI dan RDC dalam menegakkan diagnosa dislokasi
diskus sendi temporomandibular.
4. Analisis variabel predictor pemeriksaan panoramik dan
pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosa dislokasi diskus
sendi temporomandibular pada pemeriksaan MRI
5. Analisis sensitivitas dan spesifisitas MRI dibandingkan dengan
RDC dalam menegakkan diagnosa dislokasi diskus sendi
temporomandibular.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Pengembangan Ilmu
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada
pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran terutama di bidang
diagnostik radiologi dan kedokteran gigi.
2. Manfaat Aplikasi
Membantu penegakan diagnosa dan deteksi dini gangguan internal
sendi temporomandibular khususnya untuk menentukan adanya
dislokasi diskus.
3. Bagi masyarakat menjadi sumber informasi dan meningkatkan
kesadaran mengenai gangguan internal sendi temporomandibular
serta faktor - faktor penyebabnya.
4. Bagi peneliti dapat menyempurnakan pemeriksaan MRI sehingga
dapat menjadi standar nasional skrining gangguan internal sendi
temporomandibular.
5. Bagi profesional kesehatan lain, memudahkan proses skrining awal
pasien gangguan internal sendi temporomandibular
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi Temporomandibular
Sendi temporomandibular merupakan sendi diarthrodial yang
terakhir tampak pada massa pertumbuhan janin dalam rahim dan namun
tidak pada daerah kraniofasial sampai usia kehamilan mencapai minggu
ke-8. Maksila, mandibula, otot-otot pengunyahan dan diskus bikonkaf
penyusun sendi temporomandibular, berkembang dari arcus branchial
pertama ketika usia kehamilan mencapai minggu ke-14. Saat lahir, sendi
temporomandibular kurang berkembang jika dibandingkan dengan sendi
diarthrodial lainnya sehingga rentan mengalami gangguan baik saat
perinatal maupun postnatal. Meskipun demikian, sendi ini akan terus
berkembang pada anak usia dini sebagai rahang yang akan digunakan
untuk gerakan mengisap dan akhirnya mengunyah. (Bag 2014)
Sebagai sendi diarthroidal sinovial yang kompleks, sendi
temporomandibular mampu melakukan gerakan translasi (sliding) dan
rotasi. (Omami 2013) Ia mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
terhadap kebutuhan fungsional melalui proses remodeling progresif yang
mempertahankan bentuk dan fungsi, namun adanya beban yang
melampaui kemampuan untuk melakukan perbaikan akan mengakibatkan
kerusakan pada jaringannya. (Alomar 2007; Aiken, Bouloux, and Hudgins
2012; Bag 2014; Omami 2013)
2.1.1 Diskus Artikular
Diskus artikular merupakan jaringan fibrokartilago yang mengandung
sedikit pembuluh darah dan saraf, berbentuk bulat oval, (Aiken, Bouloux,
and Hudgins 2012; Bag 2014) dan terletak diantara kondilus dan fossa
glenoidea (Gambar 1), berfungsi sebagai bantalan artikulasi antara
kondilus dan artikular eminens. (Aiken, Bouloux, and hudgins 2012; Sava
A. 2007; Vilanova et al. 2007).
Gambar 1. Potongan Sagital Sendi Temporomandibular
Sumber: (Bag. Gaddikeri et al. 2014)
Diskus artikularis terbagi atas tiga bagian, yaitu diskus pars anterior,
pars intermediate, dan pars media. (Aiken, Bouloux, and hudgins 2012;
Sava A. 2007; Vilanova et al. 2007) Struktur diskus pars anterior dan
posterior lebih tebal jika dibandingkan dengan diskus pada zona
intermediet (pars media). (Aiken, Bouloux, and hudgins 2012; Sava A.
2007; Vilanova et al. 2007; Arayasntiparb, Tsuchimochi, and
Mitrirattanakul 2012) Oleh karena itu, morfologinya akan tampak bikonkaf
pada potongan sagital (Arayasantiparb, Tsuchimochi, and Mitrirattanakul
2012). Bentuk inilh yang akan mengakomodasi bentuk kondilus dan fossa
yang dibatasinya. (Aiken, Bouloux, and hudgins 2012; Sava A. 2007;
Vilanova et al. 2007)
Diskus pars anterior memiliki ketebalan sekitar 2 mm dan menyatu
dengan kapsula sendi. Sementara diskus pars posterior memiliki
ketebalan sekitar 3 mm yang berlanjut menjadi zona bilaminar (regio
retrodiscal dan lamina posterior). Zona ini terdiri dari lapisan fibroelastik
superior (lamina temporal) yang melekat pada processus postglenoidus
(PGP) dan lapisan fibrous inferior (juga lamina inferior) yang melekat pada
leher condylus posterior. Adanya lapisan superior akan mencegah diskus
tergelincir saat mulut terbuka lebar, dan lapisan inferior berfungsi untuk
mencegah rotasi diskus dari condylus secara berlebihan. (Aiken, Bouloux,
and hudgins 2012; Sava A. 2007; Vilanova et al. 2007, Arayasantiparb,
Tsuchimochi, and Mitrirattanakul 2012; Omami 2013) Kedua lamina
tersebut dipisahkan oleh serat elastis longgar yang mengandung
pembuluh darah dan saraf, melekat pada kapsula sendi posterior, dan
menambah retraksi diskus ketika mulut tertutup. Pita pada daerah medio-
lateral memiliki ukuran yang lebih panjang jika dibandingkan dengan pita
di daerah antero-posterior. (Arayasantiparb, Tsuchimochi, and
Mitrirattanakul 2012; Omami 2013) Pita anterior menempel ke kapsula
sendi anterior, caput condylaris, dan Articular eminence (AE). Pada
beberapa keadaan, pasien memiliki lamina antero-medial tambahan di
bagian tengah otot pterygoideus lateral superior-nya. Tidak seperti halnya
pita anterior dan posterior, diskus tidak melekat pada kapsula sendi
medial dan lateral, sebaliknya, diskus akan melekat erat pada kondilus
mandibula bagian medial dan lateral, sehingga gerakan diskus dan
kondilus memungkinkan terjadi secara simultan. (Omami 2013)
Gambar 2. Klasifikasi Konfigurasi Diskus
Sumber: (Arayasantiparb, Tsuchimochi, and Mitrirattanakul, 2012
Seperti yang tampak pada gambar 2, terdapat 4 tipe bentuk diskus
yaitu bikonkaf, biplanar, konveks dan terlipat. Bentuk bikonkaf merupakan
bentuk diskus normal dimana bagian anterior dan posteriornya lebih tebal
dibandingkan intermediate. Bentuk biplanar didefinisikan sebagai bentuk
diskus dengan ketebalan yang sama diseluruh bagian anterior, tengah
dan posterior. Apabila bentuk diskus memilki permukaan yang cembung di
bagian atas dan bawahnya atau dengan pita anterior atau posterior yang
lebih tebal dan bagian anteroposterior lebih panjang, maka, diskus
tersebut memiliki bentuk konfeks. Diskus dengan yang memiliki bagian
yang terlipat dikelompokan ke dalam diskus dengan bentuk terlipat.
(Arayasantiparb, Tsuchimochi, and Mitrirattanakul 2012)
2.1.2 Permukaan artikular
Permukaan artikular sendi temporomandibular dibagi menjadi
beberapa bagian. Bagian superior dibentuk oleh fossa glenoidalis (fossa
mandibula) dan artikular eminens tulang temporal, sementara bagian
inferiornya dibentuk oleh kondilus mandibula yang terletak pada fossa
mandibula tulang temporalis dan dipisahkan oleh diskus artikularis. Apa
yang membuat sendi ini menjadi unik adalah permukaan artikularnya yang
ditutupi oleh fibrokartilago, bukan ditutupi oleh tulang rawan hialin seperti
yang biasa kita temukan pada permukaan sendi lainnya. Selain itu, diskus
yang membatasi antara kondilus mandibula dan fossa mandibula tersebut
tidak mengalami ossifikasi sehingga memungkinkan sendi dapat bergerak
ke beberapa bidang.(Omami 2013)
Komponen mandibula sendi temporomandibular terdiri dari prosesus
kondilar yang berbentuk ovoid, ukuran 15-20 mm pada potongan
melintang dan 8-10 mm pada potongan antero-posterior dan kondilus
mandibula yang sangat bervariasi antara pasien dengan kelompok usia
berbeda. (Bag 2014)
Komponen cranial sendi temporomandibular terletak di bawah
bagian skuamosa tulang temporal anterior ke piringan timpani. Fossa
dibentuk seluruhnya oleh bagian skuamosa tulang temporal. Bagian
Posterior fossa artikular meninggi membentuk posterior artikular ridge.
Pada sebagian besar individu, posterior artikular ridge menjadi lebih tebal
di daerah lateral dan membentuk proyeksi berbentuk kerucut yang dikenal
sebagai processus postglenoidea (PGP). Tampak pula adanya fissura
tympanosquamosal yang terletak di bagian posterior dan lateral fossa
glenoideus, antara bagian skuamosa dan timpani tulang petrosa,
memisahkan permukaan artikular membentuk permukaan nonarticular
fossa glenoideus. Sepanjang sisi medial fossa glenoideus terdapat fisura
petrotympanic anterior dan fisura petrosquamous posterior. Fossa
glenoideus bagian anterior tampak dibatasi oleh articular eminence (AE).
(Omami 2013)
AE ini merupakan tulang berbentuk batang yang melintang dari
anterior ke fossa glenoideus dan dari medial ke margin posterior
processuss zygomaticus. Anterior slope AE dikenal sebagai preglenoid
plane (PEP), naik perlahan dari permukaan infratemporal tulang
skuamosa. Kondilus mandibula dan diskus artikularis berjalan ke anterior
untuk memposisikan AE ke PEP selama mulut membuka lebar. Anterior
slope ini memfasilitasi gerakan mundur kondilus dan diskus dari posisi
anterior kembali ke posisi netral dengan mulus. Tuberkel artikular adalah
tonjolan tulang kecil di daerah lateral AE, tempat dimana ligamen kolateral
lateral melekat. Sementara itu, batas lateral fossa glenoid tampak sedikit
meninggi, bergabung dengan tuberkulum anterior dan PGP (Bag,
Gaddikeri et al. 2014).
2.1.3 Otot-otot mastikasi
Permukaan artikulasi sendi synovial memerlukan kontinyuitas
hubungan setiap saat untuk menjaga stabilitas. Hal ini dicapai dengan
kerja otot. (Ozkan, Altug et al,. 2012) Adapun otot-otot utama pada sistem
mastikasi meliputi otot masseter, temporalis, pterygoid medial dan lateral,
ditambah suprahyoid dan infrahyoid sebagai otot tambahan. (Bag,
Gaddikeri et al. 2014) Selain itu stabilitas sendi pada posisi istirahat dapat
dicapai dengan tonus otot elevator yang bekerja sesuai dengan gravitasi.
(Ozkan, Altug et al,. 2012)
2.2 Biomekanik Sendi Temporomandibular Normal
Gambar 3. Biomekanik Sendi Temporomandibular Normal
Sumber: (Ashley Aiken, Gary Bouloux et al., 2012)
Dua jenis pergerakan pada sendi temporomandibular dapat
dipisahkan menjadi: (1) gerakan menggelincir atau rotasi antara diskus
dan kondilus di kompartemen bawah dan (2) gerakan meluncur atau
translasi antara permukaan superior diskus dan eminensia artikular di
kompartemen atas (Gambar 3). Kombinasi kedua gerakan tersebut
merupakan karakteristik pergerakan mandibula, karena mandibula tidak
akan mampu untuk membuka penuh hanya dengan gerakan menggelincir
saja. Stabilitas selama pergerakan ini dibantu oleh rotasi diskus anterior
dan posterior yang menjaga zona intermediate diskus tetap terletak
diantara kondilus dan eminens. Lamina retrodiskal superior akan merotasi
diskus ke arah posterior dan otot pterygoideus lateral menggerakkan
diskus ke arah anterior (Gambar 4). (Ashley Aiken, Gary Bouloux et al.
2012)
Gambar 4. Gambaran Videofluoroskopi dan Artrografi Hubungan Diskus-
Kondilus Normal. (0) Lamina retrodiskal tebal terletak lebih ke superior kondilus
pada proses penutupan rahang. (1- 3) Kondilus bergerak secara progresif dari
fossa glenoideus ke puncak artikular eminens atau menggelincir ke bawah.
Sumber: (Ashley Aiken, Gary Bouloux et al. 2012)
2.2.1 Siklus translasi
Posisi diskus artikular pada kondilus mungkin merupakan faktor
yang terpenting untuk menjaga stabilitas sendi. Hal ini tergantung pada
self-centering contour diskus dan pergerakan antero-posterior diskus.
Faktor penting lainnya adalah tekanan interartikular antar kondilus dan
eminensia. Tekanan interartikular yang tercipta ketika otot skeletal
berkontraksi disebut sebagai tekanan aktif, dan tekanan yang ditimbulkan
sebagai hasil kerja tonus otot sesuai gravitasi dan dipengaruhi oleh
tekanan emosional, kelelahan, sakit dan umur disebut juga sebagai
tekanan pasif. Ketika bergerak, tekanan intra-artikular meningkat, ruang
antara kondilus dan eminens menjadi sempit, dan bagian tipis diskus
berotasi ke antara kondilus dan eminensia. Keadaan sebaliknya terjadi
pada posisi istirahat; tekanan interartikular menurun, ruang diskus lebih
luas, dan bagian tebal diskus berotasi mengisi ruang kondilus dan
eminensia. (Ozkan, Altug et al., 2012)
Siklus translasi dimulai dari posisi istirahat yang terdiri atas fase
gerakan ke depan, yaitu pada saat kompleks diskus-kondilus bergerak ke
bawah dan ke depan sepanjang eminens. Fase gerakan kembali, yaitu
pada saat kompleks diskus-kondilus bergerak ke atas serta kembali pada
posisi istirahat. Zona intermediate diskus dijaga tetap berada diantara
kondilus dan eminens pada posisi istirahat dengan Lamina retrodiskal
posterior yang berelaksasi. Tetapi apabila kompleks diskus-kondilus
bergerak ke depan ke arah eminensia, lamina retrodiskal superior menjadi
aktif dan menarik diskus kembali ke posisi posterior kondilus. Siklus ini
mencegah agar diskus tidak bergeser ke anterior selama proses
pembukaan mulut maksimal. Selama fase pergerakan ke depan, lamina
pterygoideus posterior tidak aktif. namun Lamina pterygoideus superior
akan berkontraksi sehingga dapat merotasi diskus ke anterior kondilus.
Lamina pterygoideus superior juga menggunakan insersinya pada leher
kondilus untuk mengontrol pergerakan kompleks diskus-kondilus pada
fase pergerakan kembali (Peters 1995).
Disisi lain, otot temporalis dan pterygoideus lateral inferior bekerja
saling mempengaruhi selama siklus translasi untuk menjaga kompleks
diskus-kondilus dan eminensia tetap berhubungan. Ligamen temporo-
mandibula yang tidak aktif akan memberikan dukungan stabilitas sendi
dan secara pasif membatasi pergeseran diskus ke inferior dan posterior
(Ozkan, Altug et al. 2012).
Gambar 5. Translasi Normal Kondilus Mandibula dan Diskus pada Proses
Buka-Tutup Mulut.
Sumber: (Ashley Aiken, Gary Bouloux et al. 2012)
Pada posisi buka mulut, kondilus bergerak ke anterior dari eminentia
artikularis. Demikian pula pada posisi mulut terbuka, diskus akan bergerak
ke anterior menempati posisi diantara eminence anterior dan kondilus
mandibular (gambar 5). (Ashley Aiken, Gary Bouloux et al. 2012)
2.2.2 Peranan oklusi
Oklusi tidak mempengaruhi fungsi sendi secara langsung karena
pergerakan mandibula tidak melibatkan kontak gigi-geligi, namun dapat
berfungsi sebagai alat untuk menjaga stabilitas pada posisi tonjolan
maksimum. Oklusi juga tidak terlalu berperan saat mandibula dalam
keadaan istirahat, karena gigi-geligi tidak dalam posisi kontak, sementara
kondilus akan distabilkan oleh tonus otot. Namun, hubungan antara
mandibula dan maksila menjadi penting ketika gigi dalam keadaan oklusi,
seperti selama clenching. (Ozkan et al. 2012)
Okeson telah mendefinisikan bahwa posisi optimum
muskuloskeletal yang stabil adalah saat kondilus terletak paling supero-
anterior pada fossa artikular, bersandar pada cekungan artikular eminens.
Posisi ini juga merupakan posisi terbaik untuk mencegah kerusakan
struktur sendi ketika terdapat kekuatan besar yang membebani sendi.
Posisi ini sering disebut sebagai relasi sentris. (Ozkan et al. 2012)
Dikemukakan bahwa, oklusi sentris sebaiknya dihubungkan dengan relasi
sentris dan semua disharmoni diantara posisi ini merupakan faktor
penunjang gangguan sendi temporomandibular. Konsep ini menunjukkan
penggunaan keseimbangan oklusi untuk harmonisasi dua posisi sebagai
metode terapi sendi temporo mandibula yang lebih luas. Metode tersebut
juga dipakai sebagai profilaksis untuk menjaga gejala dan tanda-tanda
gangguan sendi temporomandibular. (Ozkan et al. 2012) Namun,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa oklusi dan relasi oklusi hanya
berperan sekitar 15% dari populasi, meskipun kenyataannya 85% dari
populasi ketidakharmonisan dari kedua komponen tersebut terjadi pada
individu yang memiliki sistim pengunyahan yang sehat. Wilkinson
menyatakan bahwa stabilitas dan kualitas kontak oklusal dalam oklusi
sentris mungkin lebih penting daripada posisi oklusi dan relasi sentris.
Otot-otot pengunyahan mempunyai mekanisme kompensasi yang dapat
beradaptasi terhadap faktor oklusal, yang di dalamnya termasuk
gangguan sisi kerja dan non kerja serta relasi gigitan silang. (Ozkan et al.
2012)
2.2.3 Adaptasi sendi temporomandibular
Sendi temporomandibular, seperti sendi yang lainnya, dapat
beradaptasi secara fungsional serta mempunyai kapasitas remodeling.
Pada kartilago artikular yang menutupi kondilus dan eminensia
mempunyai kapasitas adaptasi yang lebih besar namun kapasitas
remodel bermacam-macam, tergantung pada beban yang diterima oleh
sendi, ada tidaknya penyakit sistemik, dan umur. Apabila kekuatan yang
menekan melebihi kemampuan, maka tidak mungkin terjadi remodeling
melainkan akan menimbulkan deformitas. Perubahan ini sering terjadi
pada aspek lateral sendi, yang merupakan lokasi load-bearing. Semua
kerusakan struktur sendi yang terjadi dapat mengganggu fungsi normal
dan menyebabkan disfungsi sendi temporomandibular. Dikatakan normal
apabila tidak ada nyeri atau disfungsi yang signifikan, meskipun seluruh
pergerakan sendi temporomandibular idealnya harus bebas dari friksi,
bunyi, dan nyeri, sedangkan apabila ada nyeri dan disfungsi, berarti telah
terjadi gangguan. (Okesone 2013)
2.2.4 Biomekanik dislokasi diskus (DD) anterior dengan reduksi
Pada kasus dislokasi diskus anterior yang disertai reduksi, diskus
akan bergeser ke anterior oleh otot dan lamina retrodiskal superior
meregang. Apabila terjadi dalam jangka waktu lama, elastisitas lamina
dapat menurun atau bahkan sampai hilang. Semakin lama diskus tertarik
ke anterior dan medial, ligamen diskal lateral dan lamina retrodiskal
inferior juga akan memanjang. Perubahan bentuk diskus yang lebih besar
akan menyebabkan perubahan tarikan otot pterygoideus lateral superior
dan posisi kondilus, sehingga diskus akan tertarik ke ruang diskus dan
menyebabkan terjadinya kolaps sendi dan tekanan interartikular di ruang
diskus, sehingga diskus terjebak pada posisi ke depan. Selanjutnya, pada
saat translasi, kondilus terhambat oleh posisi diskus anterior dan medial.
Keadaan ini sering disebut dengan keterbatasan penutupan. Penderita
akan sering mengalami bunyi sendi ketika kondilus selip pada diskus saat
translasi normal. Karakteristik penderita dengan dislokasi diskus anterior
yang disertai reduksi adalah apabila terjadi keadaan keterbatasan
pembukaan maka penderita dapat mereduksinya sendiri tanpa bantuan.
(Okesone 2013)
Gambar 6. Biomekanik Dislokasi Diskus Anterior disertai reduksi
Sumber: (Aiken and Bouloux, 2012)
Seperti yang tampak pada gambar 6, (0) Kondilus dengan diskus
yang tidak aktif pada dislokasi diskus disertai reduksi saat rahang
menutup. (1-3) kondilus menangkap diskus pada siklus translasi, yang
secara klinis dapat dibuktikan dengan adanya bunyi clicking atau popping.
(Aiken and Bouloux 2012)
2.2.5 Biomekanik dislokasi diskus anterior tanpa reduksi
Pada keadaan ini, pasien akan mengaami hal yang sama seperti
pada kelainan yang dislokasi diskus anterior disertai reduksi. Terjadinya
nyeri, tergantung dari tingkat keparahan, lamanya keterbatasan, dan
integritas sendi temporo-mandibula. Apabila berlangsung terus-menerus
dan kronis, maka ligamen menjadi rusak dan kehilangan inervasinya.
Penderita pada keadaan ini akan mengalami keterbatasan pembukaan
maksimal karena posisi diskus yang tidak mampu mengikuti kondilus yang
bertranslasi penuh, biasanya pembukaan interinsisial hanya 25-30 mm
dan hanya terjadi pada satu sendi temporomandibular, sedangkan sendi
yang lainnya normal. Defleksi mandibula terjadi bila penderita membuka
terlalu lebar. Deskripsi osteokinematik gerakan mandibula tampak berupa
protrusi, retrusi, lateral retrusi excursion, depresi, maupun elevasi. Semua
gerakan mandibula inilah yang digunakan selama proses
mastikasi.(Okesone 2013).
Gambar 7. Biomekanik Dislokasi Diskus Anterior tanpa reduksi
Sumber: (Aiken and Bouloux, 2012)
Pada gambar 7, (0) Diskus non reduksi yang sudah berubah
bentuk terletak di anterior kondilus. (1-3) Posisi dan/atau bentuk
diskus bergabung untuk mencegah terjadinya reduksi dan translasi.
(Aiken and Bouloux 2012)
Protrusi & Retrusi
Selama protrusi dan retrusi, kompleks kondilus mandibula serta
diskus akan bertranslasi tanpa rotasi bermakna. Protrusi ini merupakan
gerakan yang paling penting saat mulut membuka maksimal sedangkan
gerakan retrusi mandibula terjadi sebaliknya. Gerakan retrusi berperan
untuk mencegah mulut terbuka dan protrusi berlebihan. (Aiken, Bouloux,
and Hudgins 2012; Sava A 2007; Gaddikeri 2014)
Lateral Excursion
Pergerakan kearah lateral melibatkan perpindahan dari satu sisi ke
sisi lain kondilus dan diskus dalam fossa. Terjadinya rotasi multiplanar
merupakan tipe dari pergerakan lateral. Pada orang dewasa nilai
normalnya berkisar 11 mm. Gerakan ini sering berkombinasi dengan
gerakan translasi dan rotasi sendi. (Rammelsberg, Pospiech et al. 1997,
Ashley Aiken, Gary Bouloux et al. 2012, Sava and Scutariu 2012, Bag,
Gaddikeri et al. 2014)
Depresi & Elevasi
Pembukaan dan penutupan mulut terjadi dengan depresi maupun
elevasi mandibula. Saat terjadi depresi mandibula menyebabkan mulut
terbuka. Seorang dewasa dapat membuka mulut dengan rata-rata ukuran
40 mm yang merupakan jarak antara incisivus atas dan bawah. Pada saat
terjadi proses mastikasi, diperlukan pembukaan mulut sekitar 18 mm atau
sekitar 36% dari buka mulut maksimum (Bag, Gaddikeri et al. 2014).
2.3. Temporomandibular Disorder (TMD)
Menurut American Academy of Orofacial Pain (AAOP),
Temporomandibular Disorder (TMD) didefinisikan sebagai sekumpulan
gejala dan tanda yang mencakup sejumlah masalah klinis yang
melibatkan otot-otot mastikasi dan atau sendi temporomandibular serta
struktur penunjangnya. Sendi temporomandibular kiri dan kanan berfungsi
bersama-sama pada saat yang sama, karena itu secara fungsional, sendi
ini harus dapat dilihat sebagai suatu kesatuan. Gerakan yang
dilakukannya berbeda dari sendi lain, yaitu kombinasi gerakan rotasi dan
translasi pada kondilus kiri dan kanan. Kelainan fungsi sendi
temporomandibular disebabkan oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu: keadaan lokal yang terdiri dari hubungan kontak
oklusi, aktifitas dan respon otot juga struktur sendi. Kelainan sendi ini
dapat bersumber pada komponen sendi atau diluar sendi, seperti gigi
termasuk jaringan periodontal, otot-otot mastikasi, dan masalah
psikologis. (Ahmad et al. 2009; Alonso et al. 2014)
Pada tahun 1992 The Research Diagnostic Criteria (RDC) yang
dikembangkan oleh Dworkin dan LeResche mengeluarkan kriteria
pendekatan Dual-Axis, Axis I berupa kondisi fisik dan Axis II adalah
masalah psikososial. Pendekatan RDC-TMD berupa alur diagnostik untuk
semua kelainan yang menyebabkan nyeri pada wajah. Axis I dibagi
menjadi beberapa kelompok, kelompok I dengan subkelompok Ia yaitu
miofasial pain, Ib miofasial pain dengan keterbatasan buka mulut.
Kelompok II dengan sub kelompok IIa internal dearangement dengan
reduksi, IIa dengan sub kelompok internal dearangement tanpa reduksi
disertai keterbatasan buka mulut, dan sub kelompok IIc internal
dearangement tanpa reduksi tanpa keterbatasan buka mulut. Kelompok III
dengan sub kelompok IIIa arthralgia, IIIb osteoarthritis, dan IIIc
osteoarthrosis. (Ahmad et al. 2009; Okesone 2013)
Gangguan sendi temporomandibular myofasial pada beberapa
penulis dikenal juga dengan istilah Myofascial pain and dysfunction
(MPD). Beberapa teori berkembang yang menganalisa penyebab
terjadinya gangguan sendi temporomandibular miofasial antara lain
penyakit psikofisiologis yang mengenai otot-otot pengunyah, ditandai oleh
nyeri tumpul yang menyebar, kelemahan otot, dan keterbatasan fungsi
atau keterbatasan gerakan mandibula. Teori lain menyebutkan sumber
penyebab masalah ini terletak pada otot pengunyah dalam keadaan
spasme. Penyebab tersering spasme tersebut adalah hiperaktivitas yang
disebabkan dari sentral atau berhubungan dengan bruksisme kronis.
Penyebab lainnya adalah overekstensi otot (membuka yang berlebihan)
dan overkontraksi otot (menutup yang berlebihan). (Ahmad et al. 2009;
okesone 2013)
Pada penelitian yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Loma Linda ditemukan sebanyak 58% mahasiswa menderita
disfungsi dan nyeri otot dengan sumber gejala khususnya disekitar otot
wajah dan pengunyahan yang meliputi rasa nyeri dan kelelahan, serta
unilateral pada 70-80% kasus. Pasien tidak hanya mengeluh sakit otot
tetapi juga kekakuan rahang, terasa berat, dan kesulitan membuka mulut,
disertai keluhan lain seperti otalgia (82% dari pasien), dan tinnitus (33%
dari pasien). (Ahmad et al. 2009; okesone 2013)
Dari anamnesis didapatkan nyeri yang akan berulang terutama saat
mengunyah atau bicara berlebihan. Nyeri otot biasanya bersifat unilateral.
Berbeda dengan nyeri pada penyakit sendi yang terlokasir, nyeri pada
kelainan ini bersumber dari otot sehingga lebih menyebar, dan pasien
umumnya tidak dapat mengidentifikasi secara spesifik lokasi nyeri. Hal ini
dapat digunakan sebagai suatu kriteria diagnostik penting untuk
membedakan antara kelainan otot dan sendi. Keterbatasan sendi
temporomandibular yang ringan sampai berat dan keterbatasan
pergerakan mandibula adalah salah satu gejala utama gangguan sendi
temporomandibular miofasial. Pembukaan mulut terbatas, tetapi
pembukaan interinsisal jarang kurang dari 15 mm. Terdapat kapasitas
untuk menambah kemampuan membuka mulut dengan regangan pasif
oleh tekanan jari, juga sering disertai gerakan rahang yang terbatas, ragu-
ragu, dan terpatah-patah. (Ahmad et al. 2009; Devaraj and Pradeep 2014)
Klicking (suara ketuk) dapat ditemukan pada beberapa pasien
gangguan sendi temporomandibular miofasial yang sering dikaitkan
dengan spasme otot pterigoid lateral. Meskipun suara kliking intermiten
menyertai spasme otot pterigoid lateralis pada beberapa pasien,
perubahan friksional yang dimulai oleh kebiasaan kronis adalah faktor
penyebab yang lebih umum. Oleh karena itu, ketika bunyi kliking dan
popping awalnya tidak selalu gejala, tetapi dapat terlambat ditemukan
pada beberapa pasien. Secara keseluruhan, hal yang paling penting
adalah tidak ditemukannya perubahan sendi temporomandibular secara
klinis, radiografis dan biokimia. (Ahmad et al. 2009; Okesone 2013)
Tahun 1997, pada penelitian epidemologis yang dilakukan oleh
Zambito didapatkan gejala berupa nyeri tumpul yang mengganggu dan
menyebar, yang tidak terlokalisasi dengan baik. Terdapat keterbatasan
gerak sendi yang sedang sampai berat, nyeri otot yang biasanya unilateral
dan mengenai otot pengunyah dan leher, ada suara kliking serta tidak
ditemukannya nyeri sendi pada palpasi lateral atau intrameatal, ataupun
perubahan radiografik pada sendi temporomandibular. (Ahmad et al.
2009; Okesone 2013)
2.3.1 Etiologi
Etiologi terjadinya dislokasi diskus adalah multi-faktorial dan
masih banyak diperdebatkan dalam literatur (Emshoff, Brandlmaier et al.
2003, Samara, Hadidy et al. 2012). Akan tetapi, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dislokasi diskus (Kattzberg, Dolwick et al. 1980,
Tallents, Macher et al. 2002, Samara, Hadidy et al. 2012) dan gangguan
otot yang mempengaruhi sistem pengunyah merupakan penyebab paling
umum ditemukan (Carlsson 1999, Emshoff, Brandlmaier et al. 2003,
Samara, Hadidy et al. 2012).
Okeson mengindentifikasi lima faktor yang berhubungan dengan
gangguan sendi temporomandibular, yakni trauma, stres emosional, deep
pain input, aktifitas parafungsional, dan faktor oklusal. Meskipun pada
beberapa studi mengemukakan bahwa kondisi oklusal ini tidak selalu
dapat menyebabkan gangguan pada sendi temporomandibular. Faktor
trauma yang terjadi pada struktur wajah dapat menyebabkan kelainan
fungsional sistem mastikasi dan lebih mempengaruhi terjadinya kelainan
intracapsular daripada kelainan muscular. Trauma yang terjadi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu macrotrauma (gaya tiba-tiba yang dapat
menyebabkan alterasi struktural, seperti benturan langsung ke muka) dan
microtrauma (gaya kecil yang terjadi berulang pada suatu struktur dalam
periode waktu yang lama). Peningkatan stress emosional dapat juga
mempengaruhi fungsi mastikasi. Sumber deep pain input akan
mempengaruhi fungsi otot, contohnya sakit gigi yang sampai
menyebabkan keterbatasan membuka mulut. Untuk aktifitas
parafungsional, seperti bruxism atau clenching akan menyebabkan otot
dan sendi menerima beban yang lebih besar. (Okeson 2013).
2.3.2. Pemeriksaan Klinis Sendi Temporomandibular
Kompleksitas sistem sendi temporomandibular mengharuskan
klinisi untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh, meliputi: saraf-saraf
kranial, mata, telinga, servikal, otot, sendi temporomandibular, dan gigi-
geligi. Palpasi otot merupakan salah satu metode untuk memeriksa nyeri
otot. Otot- otot yang rutin dilakukan pemeriksaan adalah otot temporalis,
masseter, strenokleidomastoideus, dan trapezius. Selain itu perlu
dilakukan evaluasi pada otot pterigoideus medialis dan lateralis dengan
melakukan manipulasi fungsional. Otot temporalis harus diperiksa terlebih
dahulu dengan melakukan penekanan pada otot di sepanjang bagian
anterior, tengah dan posterior oleh jari (gambar 8). (Aiken and Bouloux
2012)
Gambar 8 Palpasi Otot Temporalis
Otot masseter dibagi menjadi dua bagian yakni bagian dalam dan
superfisial. Bagian dalam dipalpasi secara ekstraoral di bawah arcus
zigomatikus dan kurang lebih 10 mm di depan kaput kondilaris. Bagian
anterior superfisial dipalpasi dari origo ke insersio, dari satu sisi ke sisi
lainnya. (Aiken and Bouloux 2012)
Gambar 9. Palpasi Otot Masseter
Otot pterigoid lateral dipalpasi secara intraoral pada posterior
tuberkel, dengan tekanan ke arah atas dan medial (gambar 9). Sumber:
(Ashley Aiken, Gary Bouloux et al. 2012)
Pada pemeriksaan klinis dan evaluasi gangguan sendi
temporomandibular, pengukuran dan pencatatan gerakan mandibula
harus dilengkapi dengan seberapa jauh pasien dapat membuka mulut,
demikian pula dengan gerakan lateral dan protrusif. Menurut Okeson,
ukuran bukaan mulut yang dapat dilakukan oleh seseorang adalah 53-58
mm, sedangkan Dawson menyatakan ukuran normal buka mulut
seseorang berkisar 40-50 mm. Tanda dan gejala yang menyertai, rasa
nyeri, dan disfungsi sendi temporomandibular adalah hal yang harus
diperiksa pada saat melakukan pemeriksaan. Sakit dan nyeri dapat
ditentukan dengan palpasi pada saat sendi temporomandibular dalam
keadaan statis dan dinamis. (Iturriaga, 2012)
2.4. Perkembangan Indeks
Perkembangan indeks gangguan sendi temporomandibular dimulai
dari klasifikasi yang diperkenalkan oleh Laskin pada tahun 1969. Laskin
memperkenalkan indeks yang dikenal sebagai Myofascial Pain
Dysfunction Syndrome (MPD). Indeks ini dibagi menjadi dua kelompok,
yakni: kelompok pertama terdiri dari nyeri pre-aurikular unilateral, nyeri
otot saat palpasi, bunyi sendi (clicking), dan keterbatasan membuka
mulut. Kelompok kedua mencakup tidak ada rasa nyeri pada sendi saat
palpasi melalui meatus auditori eksternal, tidak ada gejala klinis,
radiografis ataupu temuan biomekanik yang membuktikan adanya
penyakit sendi yang bersifat organik. (Hasan and Abdelrahman 2014)
Beberapa indeks telah dikemukakan sebelumnya, namun
semuanya terlalu kompleks untuk digunakan di Indonesia. Oleh karena itu,
pada tahun 2006 , Himawan LS dkk, memperkenalkan suatu indeks yang
cukup mudah dan sederhana untuk membantu klinisi dalam mendeteksi
gangguan sendi temporomandibular, dengan istilah Indeks Diagnostic
Temporomandibular Disorder (ID-TMD). Tujuannya adalah untuk
memperoleh suatu acuan yang mudah, sederhana, dan akurat dalam
mendeteksi secara dini adanya gangguan sendi temporomandibular oleh
dokter gigi dan tenaga medis professional lain. (Himawan, Kusdhany, and
Ariani 2007)
Uji validitas dan realibilitas ID-TMD memiliki hasil yang
memuaskan. Pengujiannya dilakukan dengan cara membagi kuesioner
menjadi tiga kelompok berdasarkan gejala yang umum dialami oleh
penderita (11 pertanyaan), faktor predisposisi (12 pertanyaan), dan faktor
yang berhubungan dengan kebiasaan (21 pertanyaan). Uji realibilitas yang
dilakukan dengan menggunakan Alpha Cronbach Coefficient
menunjukkan bahwa ID-TMD valid dan dapat dipercaya untuk digunakan
sebagai alat diagnostik guna mengetahui gejala awal gangguan sendi
temporomandibular. Dengan menggunakan kuesioner ID-TMD ditemukan
tanda dan gejala TMD yang paling sering, yaitu: nyeri otot, telinga
berdengung tanpa sebab, dan kebiasaan mempertemukan gigi-geligi
rahang atas dan bawah. (Himawan, Kusdhany, and Ariani 2007; Park,
Kim, and Koh 2014)
Selanjutnya, pada tahun 2008 telah dilakukan penelitian untuk
mencari titik potong ID-TMD dengan menggunakan baku emas Helkimo
pada mahasiswa kedokteran gigi FKG UI. Hasilnya didapatkan nilai titik
potong 3 sebagai batas antara penderita TMD dan Non-TMD dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas 89,58% dan 33,33%. (Himawan, Kusdhany,
and Ariani 2007; Park, Kim, and Koh 2014)
2.5 The Research Diagnostic Criteria (RDC)
Selama tiga dekade terakhir, telah banyak dilakukan penelitian
mengenai cara mendiagnosis gangguan sendi temporomandibular.
Semenjak diperkenalkannya The Research Diagnostic Criteria (RDC)
pada tahun 1992, RDC telah diterima secara luas sebagai alat klasifikasi
diagnostik yang dan validitasnya sudah teruji beberapa kali. Sehingga,
sekarang ini, RDC dianggap sebagai standar baku oleh komunitas
peneliti. Pendekatan sistematik RDC berpotensi membantu dokter gigi
dalam menghadapi masalah, terutama dalam menegakkan diagnosis dan
menentukan penatalaksanaannya. Tetapi, tampaknya penggunaan RDC
masih kurang disosialisasikan dan masih jarang digunakan dalam klinik
umum, sehingga, meskipun alat diagnostik ini sudah ada, masih banyak
dokter gigi umum yang bingung. (Ahmad et al. 2009)
RDC/TMD memiliki kriteria standar dengan dua aksis. Jadi, selain
dilakukan diagnosis fisik (aksis 1), pasien juga akan menerima diagnosis
psikososial (aksis 2). Aksis I merupakan penilaian klinis untuk
mengevaluasi parameter anamnesis dan klinik, sementara aksis II untuk
mendiagnosa keadaan psikososial pasien. Aksis I mencakup diagnosis
fisik dari tiga gangguan utama, yaitu: gangguan otot (grup 1), dislokasi
diskus (grup 2), dan gangguan sendi lainnya, seperti artralgia, osteoartritis
dan osteoartrosis (grup 3). Untuk diagnosis psikososial (aksis II), klinisi
akan melakukan evaluasi terhadap ketidakmampuan rahang, nyeri kronis,
dan depresi yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang sudah
divalidasi. Gangguan otot didiagnosis melalui anamnesis yaitu adanya
rasa nyeri pada otot mengunyah dan penilaian klinis nyeri otot saat
palpasi pada dua puluh otot di daerah fasial (sepuluh setiap sisi).
Dikatakan seseorang mengalami dislokasi diskus apabila diskus terletak
lebih ke anterior dari kondilus mandibula. Kelompok ini kemudian dibagi
lagi menjadi tiga kelompok yang diidentifikasikan sebagai dislokasi diskus
dengan reduksi, dislokasi diskus tanpa reduksi dengan atau tanpa
keterbatasan dalam membuka mulut, dan kelompok diagnosis ketiga,
artralgia; osteoartritis; dan osteoartrosis; yang ditegakkan berdasarkan
palpasi sendi, apakah timbul rasa nyeri pada saat palpasi, terjadi krepitasi,
atau kombinasi keduanya. (Ahmad et al. 2009)
2.6 PENCITRAAN DIAGNOSTIK
Radiografi sendi temporomandibular memberikan informasi tentang
karakteristik morfologi komponen tulang sendi dan gabungan fungsional
tertentu antara kondilus, tuberkulum dan fossa sendi, namun tidak efisien
untuk mengevaluasi jaringan lunak. Beberapa faktor anatomis dan teknis
dapat menghalangi pencitraan radiografi sendi temporomandibular. Saat
memilih teknik pemeriksaan radiografi sendi temporomandibular yang
dibutuhkan, kita perlu mempertimbangkan identifikasi detail struktur
tulang, dugaan kelainan klinis spesifik, jumlah informasi gejala klinis yang
diperlukan untuk mendiagnosis, biaya pemeriksaan, dan dosis radiasi
yang diperlukan. Adapun teknik radiografi yang paling sering digunakan
dalam penanganan rutin TMD adalah radiografi panoramik, planigrafi, dan
radiografi transkranial. (Ferreira et al. 2016; Perumal, Bouckaert, and
Singh 2011)
Indikasi pemeriksaan pencitraan dalam mendiagnosis gangguan
sendi temporomandibular
Indikasi pemeriksaan pencitraan yang benar harus didasarkan
pada kebutuhan pasien sesuai keluhan, tanda, dan gejala klinis yang
diidentifikasi saat anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pasien TMD,
pemeriksaan fisik palpasi, pengukuran gerakan, uji fungsional, dan
evaluasi suara sendi, adalah instrumen validitas diagnostik yang baik bila
dilakukan oleh profesional terlatih dan berpengalaman. Namun, adanya
tumpang tindih gejala pada otot dan sendi dapat mengganggu akurasi
diagnostik, dimana kedua kondisi tersebut sama-sama menunjukkan
kerusakan fungsional. Dalam kasus ini, dan dalam kasus dengan gejala
non-spesifik (misalnya: peradangan, neoplasia, dan trauma), pemeriksaan
pencitraan komplementer sangat penting untuk mengklarifikasi diagnostik
dan perencanaan terapi yang tepat. (Ferreira et al. 2016)
Terdapat beberapa faktor yang perlu dievaluasi sebelum memilihan
tes pencitraan yang akan diusulkan. Faktor-faktor tersebut meliputi:
kebutuhan untuk menentukan adanya penyakit dan prognosis, kualitas
dan kuantitas informasi klinis yang ada; ketidakpastian dalam diagnosis
banding; menentukan stadium perkembangan penyakit; kebutuhan untuk
dokumentasi legal; persiapan pra-operasi; evaluasi evolusi pengobatan;
dan keamanan dan ketepatan pemeriksaan yang diusulkan. (Ferreira et al.
2016; Niraj 2016; Pupo 2016) Masing-masing tes pencitraan memiliki
indikasi khusus untuk membantu dalam menegakkan diagnosis gangguan
sendi temporomandibular. (Ferreira et al. 2016)
Pemeriksaan pencitraan yang paling sederhana sampai yang
paling kompleks memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas berbeda-
beda sehingga akan memberikan kekuatan diagnostik yang berbeda pula.
(Ferreira et al. 2016) Untuk membuat keputusan dalam memilih
pemeriksaan radiografi yang diusulkan juga harus mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap diagnosis dan terapi. (Ferreira et al. 2016; Pupo
2016) Penggunaan teknik radiografi sederhana memiliki biaya dan dosis
radiasi yang lebih rendah, dapat diindikasikan untuk membantu penilaian
awal pada pasien dengan gejala yang kurang kompleks dan membantu
menyingkirkan kondisi inflamasi sebagai diagnosis banding dental-
maxillofacial TMD. Jika indikasi klinis adalah terapi konservatif yang dapat
mengendalikan gejala dalam jangka pendek, permintaan pencitraan dapat
dipertimbangkan. Apalagi ketika terapi konservatif gagal dan diindikasikan
terapi invasif, dipilihlah tes diagnostik yang sangat sensitif, seperti
Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). (Ferreira et al. 2016; Pupo 2016)
Rencana pengobatan yang rumit juga memerlukan imaging yang
lengkap dan akurat. Misalnya pada keadaan yang dicurigai ada fraktur,
CT, selain menetapkan diagnosis juga akan menggambarkan lokasi dan
ukuran dengan tepat, sehingga memungkinkan dilakukan pemilihan terapi
bedah yang tepat. Penalaran yang sama juga digunakan untuk penilaian
kondisi neoplastik. Sebuah studi yang membandingkan keakuratan tes
pencitraan untuk deteksi tumor tulang menunjukkan bahwa tes diagnostik
kedokteran nuklir memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih besar
dibandingkan CT, MRI, dan penilaian radiografi. (Ferreira et al. 2016;
Pupo 2016)
Khusus untuk kondisi non-bedah, seseorang harus
mempertimbangkan risiko cedera dan keamanan teknik diagnostik.
Misalnya pada kasus yang disertai perforasi diskus, teknik pemeriksaan
arthrografi dapat dilakukan. Arthrography merupakan pemeriksaan intra-
artikular. Dengan menggunakan pemeriksaan ini, klinisi dapat
memvisualisasi perubahan diskus. Sayangnya metode ini dianggap invasif
dan berpotensi menimbulkan bahaya, sehingga ia digantikan oleh
pemeriksaan MRI yang relatif lebih aman namun memiliki efektifitas sama.
Kondisi inflamasi, posisi diskus sendi, dan struktur jaringan lunak lainnya
tetap dapat diidentifikasi dan dievaluasi menggunakan. (Ferreira et al.
2016; Niraj 2016; Pupo 2016)
Penelitian terbaru merekomendasikan ultrasound (US) sebagai
teknik diagnostik yang aman dan tidak invasif dengan akurasi yang cukup
besar dalam menentukan posisi diskus, terutama pada pasien-pasien
dengan kontraindikasi terhadap MRI atau diusulkan untuk intervensi real-
time, seperti arthrosintesis dan visco-supplementasi. Penggunaan US juga
dapat ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis banding nyeri pada TMD
dan kelenjar liur mayor, serta pra- dan pasca evaluasi terapi infiltrasi.
Identifikasi yang tepat dan akses yang benar adalah faktor yang
berkontribusi terhadap keberhasilan teknik ini. (Ferreira et al. 2016; Niraj
2016; Pupo 2016)
Secara umum, MRI dan CT adalah metode yang memiliki akurasi
lebih tinggi bila dibandingkan dengan radiologi konvensional, karena
metode ini dapat memberikan resolusi anatomi yang lebih tinggi. CT
dianggap sebagai standar emas untuk menilai morfologi struktur tulang
dan merupakan metode pilihan untuk kasus-kasus kelainan tulang
degeneratif, trauma pada wajah, terutama CBCT karena memiliki dosis
radiasi lebih rendah disertai reduksi artefak. (Ferreira et al. 2016; Niraj
2016; Pupo 2016) Sedangkan MRI labih umum digunakan untuk
pemeriksaan jaringan lunak. Pada penelitian tentang perubahan sendi
temporomandibular, dua metode ini sering saling melengkapi satu sama
lainnya, dan sebagai alat penting untuk menegakkan diagnosis gangguan
otot maupun sendi. Meskipun mampu mendiagnosis semua perubahan
tulang pada area sendi temporomandibular, MRI dianggap terbatas jika
dibandingkan dengan akurasi CT yang tinggi untuk jaringan keras.
(Ferreira et al. 2016; Scheper-hughes and Lock 2013)
Namun demikian, seperti halnya pada radiografi konvensional, CT
harus hati-hati dipilih karena penyerapan radiasinya yang lebih tinggi,
walaupun CBCT memiliki waktu paparan radiasi lebih pendek bila
dibandingkan dengan CT heliks. Meskipun menimbulkan beberapa risiko,
tes yang menggunakan dosis radiasi lebih tinggi kadang-kadang
diperlukan pada penentuan stadium penyakit dan sangat penting untuk
menentukan rencana pengobatan. Pemeriksaan kedokteran nuklir,
misalnya, diindikasikan untuk menilai perubahan metabolik pertumbuhan
dan penilaian metastasis. Namun, mereka masih memerlukan konfirmasi
jenis pertumbuhan melalui tes spesifik, seperti analisis histopatologi atau
imunohistokimia. Risiko jangka panjang dan kerusakan jaringan akibat
paparan juga harus dipertimbangkan. (Ferreira et al. 2016; Niraj 2016;
Pupo 2016)
Penggunaan uji low-technical-complexity mungkin memiliki akurasi
diagnostik yang tinggi, seperti pada kasus dengan catatan radiografi yang
menunjukan hiperekskursi kondilus pada pasien dengan gejala klinis
terminal joint clicking. Karakteristik ini mengarahkan ke diagnosis
hipermobilitas sendi, yang diverifikasi menggunakan imaging transkranial
atau planigrafi sederhana. Pada contoh ini, gambar yang diperoleh
memiliki sensitivitas tinggi, sementara data klinis spesifik, sehingga
menyingkirkan kemungkinan diagnostik lainnya. Perubahan morfologi
processuss styloideus, koronoideus, dan condylus dapat dievaluasi
dengan akurasi diagnostik yang tinggi melalui pemeriksaan radiografi
berbiaya rendah dan mudah dilakukan, seperti planigrafi dan sinar X
panoramik, meskipun CT adalah standar emas untuk menilai perubahan
ini. (Ferreira et al. 2016; Scheper-hughes and Lock 2013)
2.6.1 Radiografi Konvensional
2.6.1.1 Radiografi Panoramik
Berbagai modalitas dapat digunakan untuk pencitraan sendi
temporomandibular, termasuk modalitas pencitraan non-invasif seperti
radiografi konvensional, Ultrasonography (USG), Computed Tomography
(CT) dan MRI sampai ke pencitraan yang lebih invasif seperti
arthrography. Setiap modalitas pencitraan tersebut memiliki kegunaannya
masing-masing (Bag, Gaddikeri et al. 2014). Radiografi konvensional,
dalam hal ini yang paling sering digunakan adalah Radiografi Panoramic,
memiliki keterbatasan dalam mengevaluasi sendi temporomandibular.
Modalitas pencitraan ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi
elemen tulang, tidak memberikan informasi yang berguna mengenai
elemen non-tulang seperti kartilago ataupun jaringan lunak disekitarnya.
Pemeriksaan ini juga tidak memberikan informasi yang berguna mengenai
efusi sendi, yang umumnya terkait dengan rasa sakit dan dislokasi diskus.
Kekurangan lainnya adalah adanya masalah superimposisi struktur yang
berdekatan. Banyak pendekatan yang berbeda seperti submento-vertex,
transmaxillary, dan transkranial yang digunakan untuk mengurangi adanya
superimposisi (Bag, Gaddikeri et al. 2014).
Gambar 10. Radiografi Panoramik Sumber Perschbacher S 2012
Radiografi panoramik ini juga merupakan salah satu teknik dalam
radiografi kedokteran gigi yang digunakan untuk menghasilkan sebuah
gambaran tomografi struktur wajah yang mencakup seluruh lengkung
rahang serta struktur anatomis maksila dan mandibula. Gambar yang
dihasilkan diperoleh dari gerakan resiprokal antara sumber sinar-x dan
reseptor pada sumbu atau bidang tertentu. (Perschbacher S 2012)
Radiografi panoramik memiliki berbagai keuntungan karena dapat
menghasilkan gambaran radiografi yang mencakup tulang wajah dan gigi-
geligi dengan radiasi yang rendah. Selain itu prosedur pengambilan
gambar mudah dilakukan sehingga memungkinkan dilakukan pada pasien
yang sulit membuka mulut. Pencitraan yang didapatkan mudah dimengerti
oleh pasien, sehingga dapat digunakan sebagai media untuk
mengedukasi pasien dan presentasi kasus. Radiografi panoramik
umumnya digunakan sebagai evaluasi awal yang dapat memberikan
gambaran umum atau membantu dalam menentukan perlunya proyeksi