Upload
bayu-kurniawan
View
273
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Tahun 1994 merupakan sejarah hitam bagi Rwanda. Pembantaian besar-
besaran dilakukan oleh suku mayoritas Hutu terhadap suku minoritas Tutsi dan Hutu
moderat. Secara umum pembantaian etnis tersebut disebabkan oleh keinginan etnis Hutu
radikal untuk menguasai pemerintahan di Rwanda yang sebelum kemerdekaan banyak
dikuasai etnis minoritas Tutsi sehingga terjadi ketimpangan sosial pada masa sebelum
kemerdekaan. Pada masa penjajahan, Belgia mengklasifikasikan masyarakat Rwanda
menjadi tiga etnis ( Etnis Tutsi, etnis Hutu, dan etnis Tya ) dengan cara melakukan
observasi fisik dan memberikan kartu identitas etnis dimana etnis Tutsi merupakan etnis
yang mendapatkan posisi istimewa dalam aspek vital dibanding etnis lain. Pada tahun
1962 Rwanda mendeklarasikan kemerdekaan. Sejak awal kemerdekaan sampai tahun
1994, Rwanda diwarnai dengan pemberontakan dan perang antar etnis Tutsi dan Hutu
yang saling menginginkan kekuasaan dalam pemerintahan. Pada tahun 1993, Presiden
Habyarimana dari etnis Hutu menyetujui Piagam Arusha yang berisi perjanjian
perdamaian dan pembagian kekuasaan dalam pemerintahan antara etnis Hutu dan Tutsi.
Puncak pembersihan etnis terjadi pada tahun 1994 dalam kurun waktu
seratus hari yang dipicu oleh penembakkan terhadap Presiden Habyarimana. Peristiwa
tersebut memicu etnis Hutu dalam membunuh etnis Tutsi dan pihak manapun yang
mendukung Piagam Arusha.
1
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi yang memiliki misi
dalam menjaga perdamaian dunia mengirimkan United Nations Assistance Mission for
Rwanda ( UNAMIR ) yang bertugas untuk membantu implementasi perjanjian Piagam
Arusha sebelum genosida terjadi.
I.2 Rumusan masalah
Sebuah penelitian membutuhkan suatu perumusan masalah guna
memfokuskan penelitian yang akan dilakukan dan hal apa saja yang nantinya akan
dijelaskan. Penelitian ini memiliki rumusan masalah “Bagaimana bentuk kebijakan
yang diambil Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush di dalam
menghadapi konflik Korea dimana Amerika Serikat membantu Korea Selatan? Dan
juga Mengapa Amerika Serikat mengambil kebijakan tersebut?”
I.3 Peringkat Analisis
I.3.1 Unit Analisis
Unit analisis di dalam penelitian ini adalah mengenai kebijakan Amerika
Serikat yang mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung
Korea pada masa pemerintahan George W. Bush (2001 – 2008).
I.3.2 Unit Eksplanasi
Unit eksplanasi dari penelitian ini adalah mengenai penyebab daripada
dikeluarkannya kebijakan Amerika Serikat di dalam mendukung Korea Selatan
terhadap adanya konflik Korea pada masa pemerintahan George W. Bush. Faktor ini
terdiri dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Dari sisi internal, adanya
kepentingan Amerika Serikat untuk tetap melanggengkan hegemoninya, baik di
dalam bidang ekonomi, politik, maupun bidang yang lain. Sementara dari sisi
2
eksternal, adanya sisi kompleksitas hubungan antar negara yang terjadi di kawasan
Asia Timur membuat kebijakan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan militer
tanpa adanya tindakan agresif terhadap konflik di Semenanjung Korea yang dipicu
oleh pengembangan nuklir Korea Utara.
I.3.3 Level of Analysis
Level of Analysis digunakan untuk menentukan dimana analisis perlu
dilakukan terhadap suatu penelitian. Dari segi unit ekplanasi, Level of Analysis
yang digunakan adalah pada tingkat negara, yaitu kebijakan yang dikeluarkan
Amerika Serikat merupakan hasil dari perumusan dari sisi domestic negara Amerika
Serikat sendiri.
Sementara dari unit eksplanasi yang kedua, lebih melihat perlunya tingkat
analisis di level sistem regional. Kondisi perpolitikan di Asia Timur yang memiliki
kompleksitas tersendiri layak untuk dianalisis karena sangat berpengaruh terhadap
kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat di dalam adanya konflik di
Semenanjung Korea.
Tingkat analisa di atas sangat sesuai terutama bila merujuk pada objek
penelitian dan juga merujuk kepada tulisan David Singer yang menekankan tingkat
analisa negara dan sistem internasional sebagai yang paling efektif untuk
mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena internasional1.
I.4 Hipotesis
Dari penelitian yang akan dilakukan, diawali dari hipotesis bahwa
Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush mengeluarkan kebijakan
1 J. David Singer, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961
3
mendukung Korea Selatan di dalam adanya konflik di Semenanjung Korea adalah
untuk membendung perluasan ideology komunis maupun sosialisme yang dapat
berakibat pada stabilitas hegemoni Amerika Serikat di sector ekonomi dan politik.
I.5 Teori
I.5.a Teori Stabilitas Hegemoni
Teori stabilitas hegemoni merupakan sebuah teori yang sebenarnya
ditujukan untuk mendeskripsikan politik internasional dan dikaitkan dengan
ekonomi. Keterbukaan dan dan stabilitas perekonomian dunia tergantung dari
adanya suatu kekuatan hegemon (G&I, 111). Dalam hal ini, terdapat dua varian
daripada Teori Stabilitas Hegemoni. Yang pertama adalah keinginan hegemon
dibutuhkan untuk mendukung sistem moneter internasional (Kindleberger, 1973).
Yang kedua merujuk kepada tulisan Krasner (1976) yang menyatakan bahwa
hegemoni akan membawa kepada keterbukaan eknonomi. Kemudian Robert Gilpin
membawa teori stabilitas hegemoni ini ke ranah analisis terhadap perpolitikan
internasional. Inti daripada Teori Stabilitas Hegemoni adalah keinginan suatu
negara untuk menstabilkan hegemoni yang sudah negara tersebut capai.
Mengapa Teori Stabilitas Hegemoni diambil untuk menganalisis
penelitian ini? Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara kekuatan ekonomi
dengan power daripada suatu negara. Di dalam era globalisasi ini, kekuatan
ekonomi menjadi prioritas utama daripada negara – negara di dunia. Besarnya
kekuatan ekonomi akan berimbas secara langsung terhadap power yang dimiliki
dimana power yang dimiliki akan semakin besar pula. Teori Stabilitas Hegemoni ini
juga akan menjelaskan bagaimana suatu negara memperkuat hegemoninya (liberal)
mengingat adanya pandangan dari konsep Balance of Power yang dtakutkan terjadi
4
apabila pengaruh sosialisme meluas ke negara – negara lain apabila Korea Selatan
ditaklukkan oleh Korea Utara.
Hubungan antara sisi ekonomi dan sisi politik sangatlah erat. Bisa dibilang,
ekonomi merupakan salah satu faktor dari tujuan politik. Kekuatan di sisi ekonomi
juga akan memberikan kekuatan di dalam sektor politik. Hal ini terutama terjadi di
era globalisasi sekarang ini, dimana sektor ekonomi merupakan tujuan utama yang
ingin dicapai setiap negara.
I.6 Konseptualisasi
Amerika Serikat saat ini dipandang sebagai negara hegemon semenjak
awal abad XXI. Hal ini dikarenakan, berakhirnya Perang Dingin telah membuat
persaingan antara negara dengan big power tereduksi dengan hancurnya Uni Sovyet
dengan sosialisme terhadap persaingannya dengan Amerika Serikat dengan sistem
liberalis.
Untuk menjadi sebuah negara yang hegemon, diperlukan setidaknya 3
atribut. Yang pertama adalah kapabilitas untuk menekan adanya peraturan di dalam
sebuah sistem, yang kedua adalah adanya keinginan untuk menjadi hegemon, yang
ketiga adalah adanya komitmen terhadap sebuah sistem yang dilihat dari adanya
hubungan yang saling menguntungkan bagi sebagian besar negara yang ada di
dalam sistem tersebut.
Amerika Serikat telah memenuhi unsur – unsur diatas sehingga layak
untuk disebut sebagai suatu negara yang hegemon. Hegemoni Amerika Serikat
tampak jelas terlihat di dalam perpolitikan dan perekonomian internasional.
Amerika Serikat berkuasa di dalam sistem internasional yang ada dengan paham
liberalis dan kapitalis.
5
Adanya hegemoni ini semakin tampak ketika terjadi crash yang terjadi
dengan sistem internasional yang telah dibuat oleh negara hegemon, yaitu Amerika
Serikat. Ketika Korea Utara mengembangkan nuklirnya dan telah menyalahi aturan
sistem internasional yang ada, maka Amerika Sereikat sebagai negara hegemon
akan melakukan tindakan untuk menekan Korea Utara. Tindakan inilah yang
menjadi variable di dalam penelitian ini. Tindakan ini adalah berupa kebijakan
militer yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, yaitu dengan melakukan ancaman
psikis dengan merencanakan penyerangan terhadap
Variabel kedua adalah adanya suatu kekuatan untuk menekan Korea
Utara melalui organisasi internasional. Dalam hal ini, penekanan dilakukan oleh
IAEA, yang sejatinya merupakan lembaga pengawasan terhadap pengembangan
nuklir di dunia. PBB juga melakukan penekanan terhadap keberadaan nuklir Korea
Utara. Kedua institusi internasional di atas merupakan institusi yang memang bisa
dibilang sangat dipengaruhi oleh Amerika Serikat sebagai negara hegemon.
6
BAB II
Pembahasan
II.1 Sejarah Terjadinya Perang Korea (1950 - 1953) dan Konflik Korea
Konflik Korea bermula dari berakhirnya Perang Dunia II. Jepang, yang saat
itu menyerah kepada Sekutu, harus merelakan tanah jajahannya untuk merdeka,
termasuk kekuasaannya di Semenanjung Korea. Amerika Serikat dan Uni Soviet
yang saat itu menjadi kekuatan besar pun bersepakat untuk membagi wilayah Korea
menjadi dua bagian, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan.
Hubungan baik antara Amerika Serikat sendiri dengan Uni Soviet memang
cukup baik pada saat itu. Hal ini dikarenakan pada saat itu, dua negara tersebut
memiliki musuh bersama, yaitu Nazi. Namun, seiring ancaman Nazi yang sudah
tidak ada, hubungan antar kedua negara menjadi panas. Hal ini ditandai dengan
tidak tercapainya komisi bersama antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di dalam
penentuan pemerintahan di Korea pada Maret 19462.
Ketidaksepakatan ini berlanjut hingga tahun 1947. Hingga akhirnya siding
Majelis Umum PBB menghasilkan resolusi bagi keduanya untuk melakukan
pemilihan di bawah pengawasan PBB. Namun, Uni Soviet menolak kekuasaan PBB
masuk ke Korea Utara, hingga akhirnya Korea Selatan melakukannya sendiri. Korea
Selatan pun resmi merdeka dan diproklamasikan pada 15 Agustus 1948 dengan
Presiden Syngman Rhee. Pada bulan berikutnya, giliran Korea Utara yang
memproklamasikan kemerdekaannya di bawah pimpinan Kim Il Sung.
2 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
7
Semenjak merdeka, keduanya saling beradu popularitas dan saling
mencanangkan gerakan unifikasi daripada kedua negara. Hal inilah yang
menjadikan dasar dari konflik di Semenanjung Korea.
Pemicu memanasnya semenanjung Korea adalah ketika Korea Utara
memutuskan untuk membentuk aliansi dengan China dan Uni Soviet. Amerika pun
tidak tinggal diam melihat hal ini. Hingga akhirnya meletuslah perang Korea,
dimana aktor utama dari perang ini adalah Stalin, Mao, dan Truman, sementara
Rhee dan Il Jung hanyalah pemain tambahan.
Perang Korea ini berlangsung selama tiga tahun. Perang ini tidak
menghasilkan apa – apa, tidak ada pemenang maupun pihak yang kalah. Di Amerika
Serikat sendiri, perang Korea sendiri dianggap sebagai Forgotten War (Perang Yang
Terlupakan)3. Perang yang merenggut jutaan jiwa dari berbagai pihak yang ikut
terlibat di dalamnya. Meskipun pada akhirnya perang ini berakhir ketika Korea
Utara dan PBB menyelanggarakan pertemuan guna penandatanganan kesepakatan
gencatan senjata pada 27 Juli 1953. Dalam hal ini, Korea Selatan sebenarnya tetap
tidak ingin kedua negara tepisah dan tetap bersikukuh untuk melakukan reunifikasi.
Hal ini ditunjukkannya di dalam keengganan mereka untuk berunding di dalam
kesepakatan gencatan senjata.
Perang memang telah berakhir, namun dari situlah konflik berkelanjutan
dimulai. Konflik yang terjadi secara pasang surut. Hingga kemudian berlanjut ke
akhir abad XX. Konflik ini pun mengalami transformasi dari masa ke masa, sesuai
dengan perubahan zaman yang terjadi. Kebijakan yang diterapkan Amerika Serikat
pun berbeda – beda sesuai dengan kondisi dari perkembangan konflik di
Semenanjung Korea.
3 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
8
II.2 Hegemoni Amerika Serikat
Hegemon merupakan sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan
bagaimana sebuah negara memiliki pengaruh yang sangat besar di dalam dunia
inernasional, baik secara hubungan antar negara maupun di dalam institusi
internasional.
Definisi hegemon sendiri di dalam teori stabilitas hegemoni memiliki
beberapa versi yang berbeda. Yang pertama disampaikan oleh John Agnew,
dimana mengemukakan bahwa hegemoni adalah sesuatu yang positif, suatu
pemimpin dari kelompok negara – negara yang mana bekerja sama dan dan
mengorbankan dirinya untuk kepentingan bersama (Agnew 2005: 22). Definisi ini
bisa dibilang merupakan pendekatan librealis.
Definisi yang kedua adalah sebuah hegemoni dianggap sebagai sesuatu
yang negative, sebuah power eklspoitasi penindasan yang mana hanya bekerja
sama dengan yang lain hanya demi keuntungan (Agnew 2005: 22). Hal ini bisa
dipandang sebagai pendekatan neorealist, yang mana menekankan adanya
kerjasama antar negara hanya untuk kepentingannya.
Definisi yang ketiga adalah hegemoni merupakan sebuah penggunaan
power untuk mengajak ataupun memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu
yang diinginkan. Meskipun tidak sepenuhnya komplet, namun itu mengikat
masyarakat, objek, dan institusi dengan adanya norma – norma yang dijalankan
(Agnew 2005: 1-2).
Definisi ketiga merujuk kepada pendapat Robert Keohane yang
menyatakan bahwa Teori Stabilitas Hegemoni haruslah memiliki tiga syarat.
Pertama, adanya struktur hegemoni yang didominasi oleh satu negara, kedua
adalah memiliki rezim internasional yang bisa mengeluarkan berbagai jenis
9
peraturan yang harus dipatuhi, dan yang ketiga struktur hegemoni yang kuat
biasanya sebanding dengan kuatnya rezim ekonomi internasional (Keohane 1980:
132).
Dalam hal ini, definisi hegemon yang digunakan adalah kombinasi dari
keempatnya, dimana hegemoni merupakan sebuah kekuatan untuk mempengaruhi
pihak lain untuk melakukan yang diinginkan melalui norma – norma yang ada di
institusi internasional dan juga memiliki pengaruh terhadap keberadaan institusi
internasional yang ada.
Ada sedikit perdebatan mengenai bagaimana bentuk dari hegemoni
tersebut. Namun, John Agnew memberikan pendapat bahwa kekuatan hegemon
adalah murni merupakan soft power (Agnew 2005: 22). Sementara Susan Strange
berpendapat lain bahwa hegemon merupakan sebuah structural power yang dapat
didefinisikan dengan “kekuatan untuk memilih dan membentuk struktur politik
ekonomi global dalam kaitannya dengan negara lain, dengan institusi politik
mereka, perusahaan – perusaahan mereka (Strange 1987: 565).
Di dalam adanya hegemoni, suatu negara harus memiliki 3 atribut, yang
pertama adalah kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem,
adanya keinginan untuk menjadi hegemon, dan sebuah komitmen kepada sistem
yang mana harus memberikan keuntungan bagi sebagian besar anggotanya.
Kapabilitas untuk menekan peraturan di dalam sebuah sistem sendiri
memiliki syarat tersendiri, dimana harus memiliki perekonomian yang kuat,
mendominasi sektor teknologi ataupun ekonomi, dan juga power politik yang di-
back up oleh kekuatan militer4.
4 Vincent Ferraro, The Theory of Hegemonic Stability, diakses dari <http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/feros-pg.htm> pada 9 April 201
10
Bila merujuk kepada syarat – syarat di atas, maka Amerika Serikat sudah
dianggap sebagai sebuah negara yang hegemon. Amerika Serikat memiliki
kapabilitas di dalam segala aspek yang dibutuhkan di dalam terciptanya suatu
hegemoni. Hal ini bisa dilihat dari kekuatan ekonomi dan teknologi, kekuatan
militer yang memadai, serta pengaruhnya di dalam sistem internasional yang ada,
mulai dari PBB hingga institusi Bretton Woods.
Keinginan Amerika Serikat sendiri untuk menjadi hegemon mulai terlihat
pada saat berakhirnya Perang Dunia II, dimana Amerika Serikat bersedia
membantu pemulihan ekonomi negara – negara di Eropa yang hancur akibat
adanya perang dengan adanya Marshall Plan melalui adanya sistem Bretton
Woods. Dari adanya Bretton Woods, Amerika Serikat telah berani menjamin
keberlangsungan dari perekonomian internasional dan juga melalui mata nila tukar
yang didasarkan pada dolar5.
Hegemoni daripada Amerika Serikat sendiri mendapat tentangan dari Uni
Soviet dan hal ini terefleksikan pada terjadinya Perang Dingin. Bisa dibilang, ini
adalah fase daripada tantangan terhadap hegemoni yang dipraktekkan oleh
Amerika Serikat. Fase ini memiliki arti penting karena perkembangan hegemoni
daripada Amerika Serikat yang mandek akibat adanya pengaruh dari komunisme
dan sosialisme yang membendung pengaruh liberalisme dan kapitalisme.
Runtuhnya Uni Soviet telah membawa angin segar bagi Amerika Serikat.
Hancurnya Uni Soviet turut pula menghancurkan ideologi sosialisme dan
komunisme di dunia. Memudarnya pengaruh sosialisme membuat ideologi
liberalisme dan sistem kapitalisme berkembang luas. Amerika Serikat pun semakin
gencar menanamkan pengaruh liberalisme dan kapitalisme melalui organisasi -
5 Paul R. Krugman & Maurice Obstfeld, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007
11
organisasi internasional yang ada. Hal ini cukup terlihat dari gencarnya Amerika
Serikat mengkampanyekan free trade dan demokrasi.
Hegemoni Amerika Serikat ini sendiri didukung oleh adanya Trilateral
Commission yang dicanangkan oleh Amerika Serikat, dimana diharapkan negara
Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat mampu menguasai sistem
internasional6. Namun, dalam perkembangannya, Eropa Barat lebih berfokus
kepada Uni Eropa dan mencoba untuk mencapai tujuannya sendiri, sementara
Jepang, semenjak berakhirnya abad XX, perkembangan ekonominya cenderung
statis dan berkembang secara perlahan. Tak pelak, hal ini membuat Amerika
Serikat berdiri sendiri untuk mempertahankan hegemoninya di dunia internasional.
Hegemoni ini sendiri pada awal abad XXI kembali mendapat tentangan
dari China. China, semenjak akhir abad XX, mengalami pertumbuhan ekonomi
yang cukup pesat. Hal ini membuat Amerika Serikat merasa terancam dengan
perkembangan dari China. Segala upaya dilakukan Amerika Serikat untuk
membendung perkembangan China, salah satunya adalah desakan terhadap China
agar mengimplementasikan penetapan nilai tukar terhadap dolar dengan sistem
floating exchange rate.
Ancaman kedua datang dari adanya perkembangan nuklir di Korea Utara.
Korea Utara terbukti mengembangkan nuklir pada tahun 1994, namun Amerika
Serikat berhasil meradam perkembangan ini dengan melakukan negosiasi terhadap
Korea Utara sehingga perkembangannya tidak dilanjutkan. Namun, pada tahun
2003, IAEA kembali menemukan fakta bahwa Korea Utara mengembangkan
nuklirnya dan lebih maju daripada temuan yang pertama. Hal ini berawal dari
6 Stephen Gill, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991
12
konfrontasi yang dilakukan Asisten Kelly yang menkonfrontasi pihak Korea Utara
dengan bukti mengenai program uranium mereka pada Oktober 2002.
Korea Utara pun mundur dari kesepakatan NPT (Non Proliferation Treaty),
yaitu perjanjian terhadap aturan pengembangan nuklir. Dengan mundurnya Korea
Utara dari NPT pada tahun 2003, maka Korea Utara bisa dengan leluasa
mengembangkan nuklirnya di segala bidang, termasuk sebagai senjata7. Hal ini
menjadi ancaman serius tatkala Korea Utara telah menguji cobakan rudal
nuklirnya pada tahun 2006.
Perkembangan nuklir Korea Utara sendiri mendapat perhatian serius dari
Amerika Serikat. Adanya perkembangan tersebut dianggap mengancam mengingat
Korea Utara memiliki ideologi sosialisme dan dikhawatirkan dapat mengancam
stabilitas kawasan, terutama di kawasan Asia timur, dimana Amerika Serikat tidak
memiliki basis yang kuat disana. Secara tidak langsung, hal ini ikut mengancam
Korea Selatan yang sejatinya merupakan salah satu aliansi Amerika Serikat dan
juga mengancam Jepang yang merupakan aliansi utama Amerika Serikat di
kawasan Asia.
Hegemoni Amerika Serikat terancam, karena Asia merupakan salah satu
kawasan yang dianggap menjadi bagian penting dalam perkembangan hegemoni
Amerika Serikat nantinya. Adanya perkembangan nuklir Korea Utara, yang
dianggap memiliki hubungan khusus dengan Pakistan8, tentu dapat
membangkitkan semangat anti Amerika. Seperti yang diketahui, negara sosialis
dan anti Amerika Serikat masih banyak bertebaran di Asia, misalnya Vietnam,
7 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003, hal 71 - 73
8 Wm. Robert Johnston, North Korea First Nuclear Test, diakses dari < http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html> pada 9 April 2011
13
Laos, Kamboja, China, Pakistan, dan lain – lain. Posisi Amerika Serikat jelas
terancam jika negara – negara tersebut bergerak lebih berani lagi.
Dari hal di atas, tentunya tidak mengherankan apabila Amerika Serikat
perlu mengambil kebijakan khusus terhadap pengembangan nuklir Korea Utara,
utamanya menyangkut dengan konflik di Semenajung Korea. Apabila kebijakan
yang diterapkan kurang tepat, maka reputasi Amerika Serikat akan kembali
dipertanyakan di dunia internasional.
II.2 Keterlibatan Amerika Serikat di Konflik Korea
Amerika Serikat sendiri telah berkecimpung di kawasan Asia Timur
semenjak pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939. Hal ini mengingat Jepang
merupakan salah satu musuh utama dari Amerika Serikat yang telah mengebom
pangkalan militer Pearl Harbour di Kepulauan Hawaii pada tahun 1941. Bisa
dibilang, semenjak itulah Perang Dunia ini melibatkan dua negara tersebut.
Amerika Serikat pun melakukan pemetaan dan juga penelitian terhadap
Asia Timr, terutama Negara Jepang. Hal ini digunakan untuk membalas serangan
yang dilakukan oleh Jepang tadi. Hingga akhirnya pada bulan Agustus tahun 1945,
Amerika Serikat melancarkan serangan balasan dengan meluncurkan bom atom ke
dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Peristiwa itu pun menjadi
pertanda berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa tersebut juga membuat Amerika
Serikat untuk meneliti kawasan Asia Timur secara lebih lanjut.
Amerika Serikat bisa dianggap sebagai salah satu aktor utama di dalam
dinamika konflik Korea. Dalam hal ini, Amerika Serikat sejak awal mendukung
pembentukan negara Korea Selatan.
Di dalam Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-an, Amerika Serikat
pun sekuat tenaga membantu Korea Selatan di dalam menghadapi Korea Utara. Hal
14
ini tidak lepas dari keberadaan Korea Selatan yang cukup penting di dalam
menanamkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.
Amerika Serikat memiliki kepentingan yang cukup esensial di koflik
Korea, yaitu untuk membendung meluasnya ideology komunisme yang berkembang
di Korea Utara. Hal ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai pejuang demokrasi di
seluruh dunia.
Seperti yang telah diketahui, Amerika Serikat memiliki Jepang yang
menjadi aliansi utama di kawasan Asia setelah berakhirnya Perang Dunia. Bila
Korea Selatan sampai jatuh ke tangan pihak komunis, yaitu Uni Soviet dan China,
maka keberadaan Jepang akan semakin terdesak. Pengaruh Amerika Serikat pun
terancam bila posisi Jepang ikut terancam. Tidak mengherankan jika Amerika
Serikat sangat sensitive terhadap permasalahan di kawasan Asia Timur, utamanya
yang menyangkut Jepang dan konflik Korea.
Amerika Serikat menilai kawasan Asia Timur sebagai kawasan yang cukup
rumit. Hal ini tidak lepas dari tidak adanya sosok leader di kawasan tersebut. Ada
kecenderungan masing – masing negara di kawasan Asia Timur berusaha untuk
menjadi leader dengan cara masing - masing. Tidak ada institusi yang menaungi
kawasan ersebut. Adanya persaingan seperti itulah yang membuat negara – negara
di kawasan Asia Timur mengembangkan pengaruhnya ke Asia Tenggara, yang
sejatinya diisi oleh negara – negara yang belum cukup mapan.
II.3 Kompleksitas Hubungan Antar Negara di Kawasan Asia Timur
Kawasan Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang cukup unik. Hal
ini dikarenakan kawasan berisikan negara – negara dengan potensi power yang
cukup besar, namun tidak ada satupun yang dianggap memiliki hegemoni atau
15
pengaruh yang sangat besar9. Kawasan ini juga dianggap unik karena merupakan
kawasan yang tidak memiliki insitusi di dalam kaitannya dengan kerja sama
regional, seperti yang ada pada kawasan Asia Tenggara ataupun Eropa. Penetrasi
pengaruh daripada masing – masing negara di kawasan Asia Timur pun cenderung
lebih menuju ke Asia Tenggara. Banyak kesepakatan yang menyatakan bahwa
ASEAN bekerja sama dengan 3 negara di kawasan Asia Timur, yaitu China, Jepang,
dan Korea Selatan.
Dengan tidak adanya kekuatan besar yang mendominasi kawasan ini, maka
pertarungan pun terjadi di dalam perebutan pengaruh ke dalamnya, baik dilakukan
oleh negara – negara di dalamnya, ataupun oleh negara lain di luar kawasan
tersebut. Prospek ini juga semakin cerah mengingat penetrasi mereka terhadap
kawasan Asia Timur sangatlah kuat, sehingga apabila mampui menjadi hegemon di
kawasan Asia Timur, maka secara tidak langsung juga akan memiliki pengaruh
yang sangat besar di Asia Tenggara.
Persaingan perebutan pengaruh ini jelas terlihat tatkala dimulainya Perang
Korea pada tahun 1950 dan berakhir pada tahun 1953. Tidak cukup disitu, pada
masa Perang Dingin pun, Amerika Serikat dan Uni Soviet berusaha untuk
menancapkan dominasinya di kawasan Asia Timur dengan menggandeng aliansinya
masing – masing. Uni Soviet dengan China dan Korea Utara, sementara Amerika
Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan. Masing - masing berusaha
mempertahankan aliansinya guna membendung pengaruh dari yang lain.
Berakhirnya Perang Dingin sebenarnya membuat Amerika Serikat berjaya
di kawasan ini. Hal ini mengingat negara pendukung utama dari China dan Korea
Utara telah hilang. Namun, berakhirnya Perang Dingin justru menimbulkan masalah
9 Yeo Lay Hwee, Realism and Reactive Regionalism: Where Is East Asian Regionalism Heading? <http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS05052230008.pdf>, diakses pada 12 Maret 2011
16
baru. China, yang saat itu perekonomiannya mulai menanjak, menjadi ancama baru
bagi Amerika Serikat.
Keberadaan nuklir daripada Korea Utara menambah kompleksitas
hubungan antar negara di kawasan Asia Timur. Korea Utara, yang secara politik dan
ekonomi didukung oleh China, mulai menebar ancaman, terutama kepada Korea
Selatan, yang sejatinya merupakan musuh lama. Keinginan untuk melakukan
reunifikasi pun kembali didengungkan oleh Korea Utara. Meskipun sebenarnya hal
ini mungkin dianggap sebagai sesuatu ancaman saja.
Kompleksitas hubungan antar negara inilah yang membuat Amerika
Serikat tidak bisa melakukan tindakan represif terhadap pengembangan nuklir
Korea Utara. Seperti yang diketahui, Amerika Serikat melakukan invasi terhadap
Irak dengan dugaan adanya penembangan senjata pemusnah massal. Namun
Amerika Serikat tidak bisa begitu saja melakukan tindakan invasi, karena akibatnya
bisa fatal terhadap keberadaan aliansi Amerika Serikat di Asia Timur.
Jika Amerika Serikat mengumumkan perang terbuka terhadap Korea Utara,
maka bisa dipastikan bahwa posisi Jepang dan Korea Selatan akan menjadi
terancam. Korea Selatan menjadi target pertama dan akan menjadi mudah bagi
Korea Utara untuk menginvasi Korea Selatan mengingat kekuatan militer Korea
Selatan yang tentunya tidak memadai bila dibandingkan dengan kapabilitas militer
Korea Utara.
II.3 Kebijakan Amerika Serikat terhadap Konflik Korea pada Masa Pemerintahan
George W. Bush
Keterlibatan Amerika Serikat di dalam kawasan Asia Timur menjadikan
Amerika Serikat memiliki kebijakan tersendiri yang dirumuskan guna melaksanakan
kepentingan nasionalnya. Tidak mengherankan tiap Presiden Amerika Serikat
17
menerapkan kebijakan yang berbeda – beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dialami.
Pada saat berkecamuk Perang Korea pada tahun 1950, yang menjabat
pucuk kepala pemerintahan Amerika Serikat adalah Presiden Harry S. Truman.
Fokus utama daripada pemerintahan Truman adalah perhatian terhadap Eropa. Hal
ini tidak lepas dari berakhirnya Perang Dunia II yang membuat perekonomian
negara – negara di dunia hancur, terutama Eropa. Bahkan pasukan Amerika Serikat
yang setelah menginspeksi Jepang dipanggil pulang secara bertahap.
Ketika NATO terbentuk pada tahun 1949, perhatian tetap tidak berubah
dari Eropa. Bahkan setelah Uni Soviet melakukan uji coba bom atom pertamanya.
Padahal,kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang sangat rawan dari pengaruh
Uni Soviet karena kedekatan geografisnya. Kawasan ini juga rawan karena belum
ada satupun otoritas ataupun Great Power yang menjadi penyokongnya.
Setelah pembentukan dari negara Korea Utara dan Selatan, perhatian
Amerika Serikat mulai teralihkan ke negara ini. Hal ini terutama dikarenakan Korea
Utara yang mendapat dukungan penuh dari Uni Soviet di dalam pembentukan
negaranya, terutama di dalam persenjataan militer10. Setelah Korea Utara melakukan
tindakan represif di Seoul, Amerika Serikat pun berubah haluan dan berusaha
membantu Korea Selatan yang berarti telah mengobarkan adanya perang. Meskipun
akhirnya perang tidak menghasilkan apa – apa, dan Amerika Serikat pun bersedia
melakukan gencatan senjata. Praktis setelah berakhirnya Perang Korea, Amerika
Serikat tidak memiliki kebijakan khusus terkait dengan Semenanjung Korea.
Situasi di Korea kembali memanas pada tahun 1994, yaitu pada saat
ditemukannya pengembangan reactor nuklir yang dilakukan Korea Utara. Temuan
10 Donald M. Goldstein dan Harry J. Maihafer, op.cit
18
ini didapat IAEA setelah melakukan inspeksi. Korea Utara pun dianggap tidak
melakukan tindakan yang kooperatif dengan menghalang – halangi inspeksi dari
IAEA11. Amerika Serikat yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton sempat merasa
kecolongan. Hingga akhirnya mengeluarkan kebijakan diplomasi dengan
menawarkan penggantian nuklir dengan energy lainnya. Hal ini memang direspon
baik oleh Korea Utara, namun niat di balik hal tersebut memang masih menjadi
rahasia. Korea Utara pun menandatangani “Agreed Framework” dengan Amerika
Serikat dimana Korea Utara mau menutup segala kegiatan pengayaan uranium, hal
ini membuat Amerika Serikat pun akhirnya melunak terhadap Korea Utara.
Berkaca dari “kesalahan” dan kegagalan kebijakan yang diterapkan
presiden – presiden sebelumnya terhadap konflik Korea, Presiden George W. Bush
cukup berhati – hati di dalam mengambil kebijakan terhadap konflik Korea. Ada
kecenderungan bahwa Amerika Serikat berusaha menekan Korea Utara secara
mental dan fisik, tetapi bukan melalui perang.
Kebijakan yang dilakukan pada Amerika Serikat pada era Presiden George
W. Bush bersifat diplomatis dan cenderung bermain aman. Hal ini terlihat dari
beberapa kebijakannya, diantaranya penambahan jumlah pasukan dan peralatan
militer di kawasan Asia Timur. Semenjak tahun 1990-an, dimana pada saat itu
pertama kalinya Korea Utara ditemukan mengembangkan nuklir, Amerika Serikat
bisa dianggap menaruh hampir setengah dari jumlah pasukannya di kawasan Asia
Timur. Pada awal 2003, Amerika Serikat menambah jumlah pesawat tempurnya,
menambah seribu pasukan di Guam, menambah jumlah camp yang menjadi tempat
berkumpulnya tentara Amerika Serikat12.
11 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 7012 Michael O’Hanlon dan Mike Mochizuki, op. cit, hal. 70
19
Kebijakan yang lain yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah menekan
Korea Utara melalui IAEA maupun PBB. Amerika Serikat pun terlihat sangat aktif
di dalam melakukan negosiasi terhadap Korea maupun mendengarkan pertimbangan
– pertimbangan dari pemimpin di Asia Timur.
Kebijakan Amerika Serikat lain yang diterapkan terhadap adanya konflik di
Semenanjung Korea adalah diplomasi. Hal ini dilakukan mengingat upaya
deterrence yang dilakukan oleh Amerika Serikat dirasa tidak berhasil dilakukan di
dalam meredam pengembangan nuklir daripada Korea Utara.
Upaya diplomasi dalam hal ini dimulai dari adanya pembentukan Six Party
Talks. Negara yang ikut di dalam pembicaraan ini antara lain Amerika Serikat,
Korea Utara, Korea Selatan, China, Jepang, dan Rusia. Negara – negara ini
dilibatkan mengingat kepentingan dan letak geografis mereka terhadap pengaruh
dari pengembangan nuklir Korea Utara.
Pembicaraan ini berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Pada
putaran pertama dilangsungkan pada Agustus 2003. Putaran kedua sendiri
dilangsungkan pada Juni 2004, dimana dua putaran ini dilakukan di Beijing.
Pada dua putaran pertama, terjadi kesepakatan kecil. Amerika Serikat
dalam hal ini menekankan pada perlunya komitmen Korea Utara untuk
memusnahkan segala hal yang berhubungan pengembangan nuklir. Amerika Serikat
juga menolak ajakan untuk melakukan kerja sama bilateral dengan Korea Utara, hal
yang selama ini sebenarnya sangat diinginkan oleh Korea Utara.
Pada putaran ketiga, Amerika Serikat jauh lebih melunak terhadap Korea
Utara pada Juni 2004. Hal ini didorong oleh desakan dari pihak Korea Selatan dan
Jepang, dimana akhirnya Amerika Serikat memberikan detil daripada proposal
untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara.
20
Proposal tersebut berisikan perintah deklarasi kepada Korea Utara untuk
menghilangkan segala bentuk kapabilitas pengayaan plutonium dan uranium, baik
materialnya maupun peralatannya dengan jangka waktu 3 bulan. Kesepakatan ini
sendiri nantinya ditukar dengan proposal untuk memberikan bantuan bagi Korea
Utara terutama dengan minyak bahan bakar, dan juga mengupayakan pihak – pihak
lain untuk menjamin keamanan daripada Korea Utara sendiri. Hal ini juga termasuk
diskusi mengenai pencabutan sanksi yang selama ini diberlakukan Amerika Serikat
terhadap Korea Utara.
Korea Utara sendiri secara formal tidak begitu merespon terhadap tawaran
ini. Mungkin Korea Utara syarat yang diajukan kurang menguntungkan bagi negara
tersebut. Sementara Amerika Serikat tetap bersikukuh bahwa hal ini perlu disepakati
sebagai titik awal terhadap negosiasi selanjutnya13.
Ketidaksepakatan ini kemudian berlanjut hingga pertemuan – pertemuan
selanjutnya. Amerika Serikat masih tetap bersikukuh bahwa penyelesaian konflik di
Semenanjung Korea haruslah melibatkan banyak pihak. Sementara Korea Utara
tetap berpegang teguh bahwa mereka hanya butuh berbicara dengan Amerika
Serikat secara face-to-face.
Konflik Korea ini berlanjut tatkala Korea Utara mengujicobakan senjata
nuklirnya pada 9 Oktober 2006. Uji coba ini dilakukan di bawah tanah. China,
sebagai negara terdekat letak geografisnya pun mendapat peringatan dari Korea
Utara bahwa mereka akan melakukan ujicoba nuklir di bawah tanah 5 hari
sebelumnya. Korea Utara pun secara resmi menytakan bahwa mereka telah
melakukan ujicoba nuklirnya.
13 Proliferation Brief, Vol. 8 No. 7, diakses dari < http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight=US+Policy+to+North+Korea> diakses pada 9 April 2011
21
Uji coba senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara ini merupakan
yang tes senjata nuklir yang pertama oleh suatu negara semenjak adanya test bawah
tanah lain yang dilakukan oleh India dan Pakistan pada Mei 1998. Test ini
menandakan bahwa Korea Utara tidak sedikitpun mundur dari ancaman Amerika
Serikat.
Keberadaan test nuklir Korea Utara ini semakin membuat Presiden George
W. Bush meradang. Hingga akhirnya pada pidatonya tahun 200814, Bush
mengultimatum kepada Korea Utara untuk segera mengakhiri program nuklirnya.
Bahkan Amerika Serikat siap untuk melakukan perdagangan jika Korea Utara
memang benar – benar berkomitmen untuk melenyapkan program pengayaan
uraniumnya. Namun, Amerika Serikat juga mengancam apabila dalam 45 hari
Korea Utara tak kunjung merespon tawaran ini, maka Korea Utara akan mendapat
sanksi yang lebih berat dari yang pernah mereka terima dari Amerika Serikat sendiri
maupun dari PBB. Bahkan dalam jangka waktu 45 hari tersebut, Amerika Serikat
akan menganggap Korea Utara sebagai salah negara negara pensponsor terror di
dunia.
14 Remarks of U.S. President George W. Bush on North Korea's Nuclear Declaration, 2008, < http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm> diakses pada 9 April 2011
22
Daftar Pustaka
Gill Stephen, American Hegemony and The Trilateral Commission, New York, Cambridge University Press, 1991
Goldstein J. Donald & Maihafer J. Harry, The Korean War : The Story and Photograph, Virginia, Brassey’s, 2000
Mowle S. Thomas & Sacko H. David, The Unipolar World : An Unbalanced Future, New York, Palgrave Macmillan, 2007
O’Hanlon M. & Mochizuki M, Crisis on The Korean Peninsula : How To Deal With A Nuclear North Korea, New York, McGraw Hill, 2003
Singer J. David, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, Vol. 14, No 1, 1961
Krugman R. Paul & Obstfeld Maurice, International Economics : Theory and Policy, New York, Pearson Addison Weasley, 2007
http://news.bbc.co.uk/2/hi/7475631.stm
http://revistas.ucm.es/cps/16962206/articulos/UNIS05052230008.pdf
http://www.carnegieendowment.org/publications/?fa=view&id=17250&zoom_highlight=US+Policy+to+North+Korea
http://www.johnstonsarchive.net/nuclear/dprk-ntest.html
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/feros-pg.htm
23