84
peran perawat dalam mensukseskan muna sehat Secercah Asa « r4mzk3sr4w4n's blog RUU Praktik Keperawatan Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat. 2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki

Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

peran perawat dalam mensukseskan muna sehatSecercah Asa « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan

Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok

Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

Page 2: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang

Page 3: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :

“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Dan pasal 2 berbunyi :

“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)

Page 4: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar

. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.

Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU

Page 5: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.

UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980

Page 6: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.

Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992

Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.

Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :

Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya

Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan

1.

Fungsi Keperawatan

Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

Page 7: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

2.

Tugas Keperawatan

1.

Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan

2.

Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat

Wewenang

2.

Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan

2.

Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan

3.

Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat

4.

Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat

5.

Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan

TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWATUpaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.

Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an

Page 8: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.

Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.

LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.

Page 9: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.

I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang KesehatanI.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

I.2. Pasal 1 Ayat 4Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)

II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).

ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

perorangan/berkelompok (garis bawah saya).5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik

II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan,

Page 10: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

praktek perorangan/atau berkelompok.2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya).3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).

Pasal 9 Ayat 1SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

Pasal 10SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat

(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.

Pasal 13Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.

Pasal 15Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).

Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

Pasal 21(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).

Page 11: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).

Pasal 31(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.

Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan-Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar

Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia

2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15 Komentar »

RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan

Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok

Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan

Page 12: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat

Page 13: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :

“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Page 14: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Dan pasal 2 berbunyi :

“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)

. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar

. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit

Page 15: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.

Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Page 16: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.

UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.

Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992

Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.

Page 17: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :

Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya

Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan

1.

Fungsi Keperawatan

Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

2.

Tugas Keperawatan

1.

Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan

2.

Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat

Wewenang

2.

Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan

2.

Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan

3.

Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat

4.

Page 18: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat

5.

Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan

TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWATUpaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.

Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.

Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection

Page 19: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.

LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.

Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.

I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang KesehatanI.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

I.2. Pasal 1 Ayat 4Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)

II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).

Page 20: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).

ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

perorangan/berkelompok (garis bawah saya).5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik

II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok.2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya).3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).

Pasal 9 Ayat 1SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

Pasal 10SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat

(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.

Pasal 13Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.

Page 21: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Pasal 15Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).

Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

Pasal 21(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).

Pasal 31(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.

Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan-Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar

Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia

RUU Praktik Keperawatan « r4mzk3sr4w4n's blog

RUU Praktik Keperawatan

Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan veteran yang merupakan bagian constituent dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,

Page 22: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan complement klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan particular dan berkelompok

Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.

2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari indication medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian constituent dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Page 23: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan dignified profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan joke tidak sedikit. Tapi

Page 24: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada module Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait standing DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan joke masuk dalam bulletin DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :

“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Dan pasal 2 berbunyi :

“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)

. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang grave dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar

Page 25: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.

Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

Page 26: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.

UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

Page 27: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 Nov 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.

Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992

Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.

Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :

Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya

Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan

1.

Fungsi Keperawatan

Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

2.

Tugas Keperawatan

1.

Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan

2.

Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat

Page 28: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Wewenang

2.

Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan

2.

Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan

3.

Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat

4.

Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat

5.

Menetapkan penyelenggaraan module pendidikan keperawatan

TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWATUpaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan indication praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai underling sistem tenaga kesehatan lainnya.

Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu indication anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.

Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam indication Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/

Page 29: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

personality dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang pale penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah pale ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara systematic approach.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan indication ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one collection one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan authorised dalam mengenalkan indication pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.

LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.

Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.

I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang KesehatanI.1. BAB we Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

Page 30: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

I.2. Pasal 1 Ayat 4Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)

II.1. BAB we Ketentuan Umum Pasal 1 :Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).

ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara pale lama 5 (lima) tahun atau pidana denda pale banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

perorangan/berkelompok (garis bawah saya).5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik

II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok.2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya).3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).

Pasal 9 Ayat 1SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

Page 31: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Pasal 10SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat

(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.

Pasal 13Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.

Pasal 15Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).

Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

Pasal 21(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).

Pasal 31(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.

Page 32: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan-Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar

Diposkan oleh Cermin Politik Perawat Indonesia

2009/09/02 Categories: keperawatan, Secercah Asa Tags: RUU Praktik Keperawatan 15 Komentar »

Wohlersaputra's Blog

Studi kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Polewali

OLEH ; SUHADI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Kaho (1991), berhasil tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam hal pelaksanaan Otonomi Daeran tergantung pada manusia pelaksananya. Oleh sebab itu dalam proses rekrutmen tenaga kesehatan, terutama pada jabatan yang bersifat teknis perlu dipertimbangkan kemampuan-kemampuan profesionalisme disamping pertimbangan kepribadian dan integritas kepemimpinan yang dimiliki.

Aparat kesehatan merupakan unsur masukan (input) dari sistem pembangunan kesehatan sebagai modal dasar dari pembangunan kesehatan itu sendiri, karena kunci keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga kesehatan yang mempunyai kompetisi dan profesional yang tinggi. Kemampuan aparatur pemerintah dalam hal ini aparat kesehatan merupakan faktor yang menentukan apakah suatu daerah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga, khususnya bidang kesehatan dengan baik atau tidak (Kaho, 1991). Langkah seperti ini diperlukan karena didalam suasana titik berat otonomi yang diletakkan pada daerah kabupaten/kota, maka setiap apratur, harus terus dipacu secara maksimal mendukung setiap segi dari penyelengaraan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Untuk mendukung konsep pembinaan aparatur itu diperlukan tenaga-tenaga yang mempunyai potensi kreatif sehingga dapat secara sistematis mengikuti berbagai jenjang pendidikan dan latihan yang dibutuhkan oleh bidang tugasnya pada suatu ketika.

Sesuai konsep desentralisasi di daerah Kabupaten, dengan kewenangan yang bertambah seharusnya diikuti peningkatan tenaga yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dimana peningkatan SDM ini dapat ditempuh dengan pelatihan, pendidikan, bantuan konsultan dan tenaga profesional, selain itu juga diikuti pula dengan pola pengembangan karir yang tertib dan teratur (Buwono, 1999).

Page 33: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Salah satu kendala yang melekat pada daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan kesehatan yang telah di sentralisasikan adalah faktor kemampuan daerah, meliputi kemampuan dan kesiapan daerah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dari penelitian yang dilakukan oleh FISIP UGM bekerjasama dengan badan Litbang Depdagri bahwa kemampuan aparatur dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya khususnya urusan kesehatan hanya 46, 12 %. Penelitian yang terakhir yang dilakukan Depdagri didapatkan bahwa berdasarkan kriteria pokok kemampuan daerah diatas hanya 21,25 % dari 292 daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, kekurangan aparatur daerah dalam kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah satu penyebab ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan sempurna.

Hasil penelitian Hermawaty tahun 2000 menunjukan tingkat pendidikan 58,3 % dengan kategori kurang dan 41,7 % kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan tenaga yang ada di kabupaten/kota masih rendah, maka perlu diadakan penelitian mengenai tingkat kemampuan para tenaga kesehatan sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan untuk mengadakan evaluasi dan perbaikan dalam penanganan tenaga kesehatan. Kemapuan tenaga kesehatan merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan Otonomi daerah dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan secara makro adalah rasio jumlah penduduk, pendidikan grave pegawai, golongan/kepangkatan, pendidikan dan latihan strukrural dan fungsional yang diikuti serta masa kerja.

Sedangkan Ali Sadikin (2003) dalam penelitiannya tentang analisis kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Kabupaten Bulungan Jawa Timur dinyatakan tidak mampu, berdasarkan rasio jumlah tenaga kesehatan terhadp jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan dan kepangkatan, pendidikan dan latihan, dan masa kerja

Oleh sebab itu, berdasarkan uraian tersebut diatas, maka peneliti ingin melakukan studi tentang kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi di bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran kemampaun tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan grave tenaga kesehatan, golongan kepangkatan, Diklat Struktural dan Tewhnis/Fungsional, dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan kepangkatan, dan Diklat Struktural dan Tehnis/Fungsional, dan masakerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kabupaten Polewali.

1. Tujuan khusus

Page 34: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali .

2. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi pendidikan grave tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

3. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi golongan kepangkatan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

4. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Pendidikan dan Latihan Struktural dan Fungsional tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

5. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali

D. Manfaat Penelitian.

1. Bahan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali dalam rangka pembinaan dan pengembangan otonomi bidang kesehatan.

2. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali khususnya dalam perencanaan, rekrutmen, dan penempatan tenaga kesehatan di dinas Kesehatan Kabupaten Polewali

3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dengan obyek yang relevan.4. Bagi peneliti sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan cakrawala berpikir

dalam penelitian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah

1. Kondisi Umum Aparatur Pemerintah Daerah

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menghindar dari pengaruh perubahan global. Tuntunan terhadap perwujudan hak asasi manusia, demokratisasi, supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, antara lain merupakan nilai-nilai kehidupan tellurian yang harus diwujudkan (Yudoyono, 2001).

Demikian halnya di dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pola-pola penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik. Peranan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial, ekonomi, politik agar berjalan dengan tertib, terkendali, demokratis dan efektif.

Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan ditetapkan, di antaranya adalah pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, serta PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonomi.

Page 35: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Demikian pula serangkaian kebijaksanaan strategis sedang terus diupayakan dalam melakukan dalam melakukan penataan di bidang kelembagaan pemerintah baik pusat maupun daerah serta penataan sumber daya manusia aparatur. Semua upaya tersebut diharapkan sudah dapat dilaksanakan pada tahun 2001 (Yudoyono, 2001).

Menurut Yudoyono(2001), jumlah aparatur pemerintah daerah sampai selesainya proses perampingan pemerintah pusat dan pengalihan standing kepegawaian, diperkirakan berjumah 3,8 juta (jumlah PNS yang dialihkan menjadi PNS daerah sekitar 2 juta lebih ). Ratio pegawai PNS pusat dan daerah dengan penduduk Indonesia berjumlah 205 juta adalah sekitar 2 %. Dibanding dengan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang dan Amerika Serikat jumlah PNS di Indonesia relatif kecil. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah tingkat produktifitas dari kinerja yang ditampilkan dalam hal ini Indonesia tampaknya masih jauh tertinggal. Bukan saja secara kuantitas, masih memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui oleh sebagian aparat pemerintah sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu termasuk peringkat atas sebagai negara pale korup di dunia.

Kondisi aparatur pemerintah beberapa pemerintah yang lalu pernah diamati oleh suatu lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak dijumpai PNS yang hanya membaca koran, ada yang categorical catur, tidak berada ditempat kerja dan sebagainya. Hal ini menunjukkan keterabaikan aspek efisiensi dan sudah tentu juga tidak efektif. Aktifitas yang menunjukan nuansa kesibukan kerja tanak diunit-unit kerja yang ada proyeknya. Sehingga tidaklah salah jika ada sementara pengamat yang menyatakan bahwa PNS lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya.

Dari sisi tingkat pendidikan formal, dari sekitar 3,8 juta PNS diseluruh pemerintah daerah, sekitar 40-50% adalah lulusan SLTA. Hal ini joke karena dalam beberapa tahun diakhir dasawarsa 90-an PNS yang melanjutkan studi ke srtata satu (S1) dan Strata Dua (S2) meningkat cukup banyak. Dari sisi pendidikan non grave atau yang dikenal diklat aparatur, jumlah PNS yang berkesempatan mengikuti module pemerintah masih sangat terbatas karena frekuensi pelatihan yang juga terbatas. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh badan pendidikan dan pelatihan Departemen Dalam Negeri ditahun 1992/1993 menunjukan information adanya PNS dalam jumlah yang cukup besar belum pernah mengikuti pelatihan selama karirnya kemudian ditemukan pula yang baru sekali mengikuti peltihan selama 20 tahun masa bakti dan sebagainya.. Frekuensi meningkat cukup pesat disekitar 5 tahun terakhir abad ke -20 itu joke dalam jenis Diklat Srturktural yang dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan pengangkatan dalam jabatan yang lebih tinggi (Yudoyono, 2001).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum sepadannya kualitas aparatur Pemerintah daerah. Penyebab ini adalah datangnya bukan dari lingkungan internalnya, melainkan sebagian besar justru dari pemerintah pusat.

1. Sistem sentralisasi kewenangan yang berlaku selama lebih kurang 32 tahun, menjadikan berkembangnya sikap ketergantungan yang demikian besar dari pemerintah daerah. Mereka lebih cenderung menunggu petunjuk dari pusat, kucuran dana dari pusat, program-program dari pusat, dan sebagainya yang menjadikan tipisnya kader kreaktifitas, inovasi, inisiasi atau prakarsa. Mereka seolah tidak berani atau bahkan tidak mau dan mampu melakukan aktifitas jika yang dilakukan tidak berdasarkan petunjuk dari pemerintah pusat. Dalam konstruksi seperti ini, aparatur

Page 36: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

pemerintah pusat seolah menjadi dewa sakti yang mampu menghidupi aparatur daerah. Lantas terjadilah praktek-praktek kotor dengan memanfaatkan ketergantungan dalam manajemen pemerintahan.

2. Penyeragaman sebagai indication kebijakan pemerintah yang menyangkut pengelolaan seluruh unsur aparatur pemerintah daerah (Kelembagaan, kepegawaiaan, dan tata laksana), lambat laun mendorong terjadinya ketidaksesuaian terhadap realita permasalahan di daerah.

Kondisi aparatur yang selama bertahun-tahun telah terbiasa bekerja dalam nuansa ketergantungan dengan indication kebijakan yang serba sentralistik dan uniformistik, dapat dimaklumi menjadi terkejut-kejut ketika tiba-tiba diberikan kewenangan yang besar untuk mengelola dan membangun daerahnya yang mengharuskan adanya inisiatif dari bawah.

Menurut Widjaja (1998), pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah tidak akan menimbulkan resiko desintegrasi nasional atau kecenderungan ke arah otokrasi, mengingat semangat kebangsaan dan kesadaran berdemokrasi pancasila rakyat telah teruji, tidak perlu diragukan lagi.

Penyerahan urusan pemerintahan ini, bukan hanya penyerahan tugas dan tanggung jawab saja, tetapi juga mencakup tanggung jawab personel, aparat, peralatan dan penganggaran yang mendukungnya. Urusan dan tugas-tugas yang secara langsung melekat pada hakikat negara kesatuan dan kedaulatan negara tetapi juga dikelola oleh pemerintah pusat. Penyerahan yang dimaksud pada hakikatnya adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan penyerahan kedaulatan. Pada dasarnya otonomi daerah, pembangunan daerah akan lebih terarah dengan situasi dan kondisi setempat, yaitu ekonomi, sosial dan kultur budayanya, sehingga diharapkan lebih memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah.

Pengaturan kebijakan penyerahan urusan dan pelaksanaan di daerah Tingkat II sebagai titik berat otonomi daerah harus memperhatikan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan didaerah yaitu ;

1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkukuh negara kesatuan, dan mempertinggi tingkat kesejahtraan rakyat.

2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

3. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekosentrasi dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan tugas pembantuan.

4. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan, disamping aspek pendemokrasian.

5. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah

Menurut Kaho (1991), Untuk dapat terlaksananya tugas otonomi daerah ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian ;

Page 37: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1. Manusia pelaksanannya.

Manusia pelaksannya harus baik adalah faktor esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pentingnya faktor ini, karena manusia merupakan subyek dalam setiap aktifitas pemerintahan. Manusialah yang menjadi pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, agar mekanisme pemerintahan tersebut berjalan dengan sebaik-baiknya, yakni sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek pelakunya harus pula baik. Atau dengan perkataan lain, mekanisme sistem pemerintahan, baik pusat maupun daerah, hanya dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang dikehendaki, apabila manusia sebagi subyek yang menggerakannnya baik pula. Tanpa manusia pelaksana yang baik, maka mekanisme pemerintahan joke tidak dapat berjalan dengan baik. Pengertian baik disini meliputi :

1. Mentalitasnya/moralnya baik dalam arti jujur, mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaannya, dapat bersikap sebagi abdi masyarakat dan sebagainya.

2. Memiliki kecakapan/kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.3. Keuangan yang baik

Istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan dan peraturan yang berlaku.

Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintahan, karena hampir tak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolaannya semakin berdayaguan pemakaian uang tersebut.

1. Peralatan yang cukup dan baik

Peralatan adalah setiap benda atau alat yang dapat dipergunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah daerah. Peralatan yang baik (praktis, efisien, dan efektif) dalam hal ini jelas diperlukan bagi terciptanya suatu pemerintah daerah yang baik seperti alat-alat kantor, alat-alat komunikasi dan transportasi, dan sebagainya. Apalagi dalam organisasi pemerintahan yang serba kompleks di abad teknologi complicated sekarang ini, alat-alat yang serba praktis dan efisien sangat dibutuhkan sekali. Namun di lain pihak, peralatan yang baik tersebut tergantung pula pada kondisi keuangan yang dimiliki serta kecakapan manusia atau aparat yang menggunakannya.

1. Organisasi dan manajemen yang baik

Organisasi yang dimaksud adalah organisasi dalam arti struktur yaitu susunan yang terdiri dari satuan-sauan organisasi beserta segenap pejabat, kekuasaan, tugasnya dan hubungannya satu sama lain, dalam rangka mencapai sesuatu tujuan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan manajemen adalah proses manusia yang mengggerakan tindakan dalam usaha kerja sama, sehingga yang telah ditentukan benar-benar tercapai.

Kaho (1991) menyatakan bahwa, suatu Daerah disebut daerah otonom apabila memiliki atribut sebagai berikut :

Page 38: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1. Mempunyai urusan tertentu yang disebut urusan rumah tangga daerah, urusan rumah tangga daerah ini merupakan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah.

2. Urusan rumah tangga itu diatur dan diselenggarakan atas inisiatif/prakarsa dan kebijakan daerah itu sendiri.

3. Untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah tersebut, maka daerah memerlukan aparatur sendiri yang terpisah dari aparatur pemerintah pusat, yang mampu untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga daerahnya.

4. Mempunyai sumber keuangan sendiri yang dapat menghasilkan pendapatan yang cukup bagi daerah, agar dapat membiayai segala kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya.

Dari keempat atribut diatas, kemampuan aparatur pemerintah daerah merupakan satu faktor yang menentukan apakah suatu daerah dapat/mampu menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan baik atau tidak. Bagaimanapun juga berhasil tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam hal ini pelaksanaan otonomi daerah akan sangat tergantung pada manusia sebagai pelaksananya atau aparatur pemerintah daerah itu sendiri.

Ada beberapa alasan mengapa pemerintah perlu melaksanakan desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah. Mengenai alasan- alasan ini, Josep Riwu Kaho (1991) menyatakan sebagai berikut :

1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2. Dalam bidang politik, menyelenggarakan desentralisasi dianggap sebaga tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.

3. Dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan upaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpuhkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latarbelakang sejarahnya.

5. dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan.

Substansi sasaran critical yang ngin dicapai melalui perunahan sistem pemerintah daerah adalah :

1. Pembangunan sistem, iklim dan kehidupan politik yang demokratis.

1. Penciptaan pemerintahan daerah yan ersih dan berwibawa sera bernuansa desentralisasi.

3. Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperanserta secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah

4. Penegakan supremasi hukum.

3. Arti Otonomi Daerah Dan Jenis Desentralisasi

Page 39: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Menurut ketentuan pasal 1 poin h Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan inspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan.

Sedangkan daerah otonom menurut ketentuan pasal 1 poin 1 No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam menyelenggarakan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, harus berdasarkan pada prinsip atau penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu:

1. Digunakan asas desentraisasi, dekosentrasi, dan tugas pembantuan.1. Penyelengaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di

daerah kabupaten dan di daerah kota.2. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah propinsi, daerah

kabupaten, daerah kota dan desa.

Menurut Anne Mills (2003), Desentralisasi dapat diartikan pemindahan kewenangan dalam urusan kemasyarakatan dari pejabat-pejabat politik ke badan-badan yang relatif otonom, pembinaan fungsi administrasi ke hirarki yang lebih bawah, atau pemindahan tanggung jawab ke badan-badan legislatif subnasional.

Jenis desentralisasi yang umum dijumpai dalam praktek terdiri dari:

1. Dekosentrasi, yaitu istilah yang dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administratif ke kantor-kantor daerah dari pemerintah pusat. Contoh di sektor kesehatan yaitu adanya kantor wilayah departemen kesehatan ditingkat propinsi atau kabupaten.

2. Defolusi, yaitu merupakan kebijaksanaan untuk membentuk atau memperkuat tingkat subnasional sering disebut sebagai pemerintahan daerah atau badan otoritass daerah yang benar-benar independen dari tingkat nasional dalam beberapa fungsi yang jelas.

3. Delegasi, yaitu berkaitan dengan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi yang berada diluar. Struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.

4. Privatisasi, yaitu pemindahan tugas-tugas pengelolaan ke organisasi sukarelawan atau perusahaan-perusahaan privat yang mencari untung atau tidak mencari untung dengan berbagai jenis peraturan pemerintah yang mengikatnya.

4. Asas-Asas Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Page 40: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1. Asas Desentralisasi

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan asas yang utama di samping asas dekonsentrasi dan juga asas tugas pembantuan. Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengenai pembagian daerah disebutkan bahwa daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah kota. Daerah dengan asas kewenangan untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dibidang kesehatan, berdasarkan ketentuan Kepmenkes RI No.102/1995 tentang tindak lanjut PP No.8/1995, di 26 daerah kaupaten/ kota sebagai daerah percontohan dalam bidang kesehatan pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa, dengan dilaksanakan uji coba percontohan otonomi daerah maka kantor departemen kesehatan beserta section kerja dilingkungannya di 26 daerah kabupaten/kota dinyatakan dihapus. Tugas-tugas dekosentrasi dan fungsi pembinaan teknis yang selama ini dilaksanakan oleh kantor departemen kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diambil alih oleh kantor wilayah departemen setempat (Depkes RI, 1995).

Dalam pasal 6 ayat (1) Kepmenkes RI No. 1002/1995 merupakan tindak lanjut PP No. 8/1995 disebutkan juga bahwa, kantor wilayah departemen propinsi dapat melaksanakan pengalihan pegawai negri sipil pusat dengan ketentuan :

1. Semua pegawai gudang farmasi tetap menjadi pegawai gudang farmasi dengan kedudukan dan standing tidak berubah.

b. Semua pegawai negri sipil pusat yang akan ditempatkan pada dinas kesehatan pada daerah kabupaten/kota percontohan dialihkan jenis kepegawaiannya menjadi pegawai negri sipil pusat diperbantukan atau pegawai negri sipil daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan ketentuan:

1). Bagi pegawai negri sipil pusat berpangkat III/D kebawah akan ditempatkan di dinas atau di section atau pelaksanaan teknisnya, dialihkan menjadi pegawai daerah.

2). Bagi pegawai negri sipil pusat berpangkat III/A ke atas, akan ditempatkan di dinas atau di section atau pelaksanaan teknisnya, dialihkan menjadi pegawai negri sipil diperbantukan.

3). Bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan fungsional dapat dialihkan menjadi pegawai negri sipil dipekerjakan.

2. Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat didaerah (Depdagri UU. No. 4 /1997).

Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 22 tahun 1999, disebutkan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

Page 41: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Kecamatan yang menurut Undang-undang No.5 tahun 1992 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-undang No.22 tahun 1999 kedudukannya di ubah menjadi perangkat daerah kabupaten atau daerah kota.

3. Asas Tugas Pembantuan

Tugas Pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasannya dengan kewajiban untuk mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan (Depdagri UU No. 4 tahun 1997). Dalam penjelasan umum PP. No. 45/1992 dikatakan bahwa dengan pemberian tugas pembantuan, pemerintah daerah kabupaten/kota akan memperoleh kesempatan yang luas guna mendapatkan pengalaman yang berharga dalam menjalankan suatu tugas pemerintah dan atau daerah propinsi untuk menumbuhkan kepercayaan yang lebih besar terhadap pemerintah daerah kabupaten/kota. Dengan perluasan otonomi daerah kabupaten/kota dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Hal ini, diatas telah dipertegas lagi dalam PP. No. 8/1995 yang mengatakn bahwa pemberian tugas perbantuan oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah propinsi kepada pemerintah daerah kabupaten/kota harus dijadikan suatu mekanisme yang mendorong perluasaan otonomi daerah bagi daerah kabupaten/kota.

5. Kewenangan di Bidang Kesehatan dan Upaya Menciptakan Lahan Kerja bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai tindak lanjut diundangkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Peraturan Pemerintah ini menetapkan batas kewenangan yang dapat dilakukan Pemerintah dan Propinsi sebagai daerah otonom. Dengan telah ditetapkan peraturan pelaksanaan ini, maka mau tidak mau masing-masing Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departeman harus segera melakukan reposisi dan restrukturisasi akibat berkurangnya kewenangan kewenangan setelah sebagian besar diserahkan kepada daerah otonom, yang berarti juga berubah dan berkuramgnya fungsi-fungsi institusi.

Terkait dengan penataan kembali organisasi tersebut, dampak yang segera akan tampak dan dapat dirasakan langsung adalah masalah kepegawaian. Bagi departemen kesehatan dimasa mendatang, pegawai yang dibutuhkan di lingkungan kantor pusat lebih cenderung berkualifikasi kemampuan untuk meleksanakan fungsi-fungsi analisis dan perumusan kebijakan advokasi, pengaturan dan penyusunan standar serta kegiatan yang bersifat hulu lainya. PNS untuk daerah propinsi akan lebih berkualifikasi kemampuan untuk mendukung kegiatan-kegiatan dalam pembinaan teknis, kontrol kualitas, dan melaksanakan kegiatan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota.

Sedangkan PNS di Daerah Kabupaten/Kota di samping melakukan kegiatan-kegiatan operaosinal pelayanan langsung kepada masyarakat, juga cenderung berperan dan mengembang fungsi baru penyusunan perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu, pengembangan module kegiatan, monitoring dan evaluasi, serta penyusunan langkah-lamngkah tindak lanjut hasil evaluasi

Untuk lebih jelasnya rincian kewenangan di bidang kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tersebut adalah sebagai berikut :

Page 42: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1. Kewenangan Pemerintah di Bidang Kesehatan

1. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi.2. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan.3. Penetapan pedoman akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.4. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.5. Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengembangan dan pengawasan

tanaman obat.6. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan,

dan standar etika penelitian kesehatan.7. Pemberian ini dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan imndustri farmasi.8. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tertentu (zat aditif) untuk makanan dan

penetapan pedoman pengawasan peredaran makanan.9. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat10. Survailans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah,

penyakit menular dan kejadian luar biasa.11. Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat

esensial nasional.

2. Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom d Bidang Kesehatan

1. Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan.2. Pengelolaan dan pemberian izin sarana dan prasarana kesehatan khusus seperti rumah

sakit jiwa, rumah sakit kusta, dan rumah sakit kanker.3. Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi.4. Survailans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar

biasa.5. Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga kesehatan tertentu antar

Kabupaten/Kota serta penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan.

3. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi di Bidang kesehatan

1. Penetapan sistim kesehatan Propinsi2. Perencanaan pembangunan kesehatan wilayah propinsi.3. Perencanaan dan pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar sangat esensi.4. Pengawasan aspek/dampak perencanaan tata ruang dan pembangunan terhadap

kesehatan.5. Pembinaan dan pengawasan penetapan kebijakan, standar, pedoman, dan pengaturan

bidang kesehatan.6. Perizinan dan akreditasi upaya/sarana kesehatan serta sistem pembiayaan kesehatan

skala propinsi.7. Penyelenggaraan upaya/sarana kesehatan tertetu skala propinsi dan yang belum dapat

diselenggarakan oleh Kabupaten/Kota.8. Penyelenggaraan sistem kewaspadaan pangan dan gizi skala propinsi9. Penyelenggaraan sistem informasi kesehatan skala propinsi.10. Penyelenggaraan upaya kesehatan lingkungan termasuk kesehatan pelabuhan

domestik.11. Melaksanakan registrasi dan uji dalam sertifikasi twnaga kesehatan.12. Memfaslitasi pendayagunaan tenaga kesehatan.

Page 43: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

13. Kewenangan lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

4. Kewenangan Minimal di Bidang Kesehatan Yang Wajib dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota

1. Perencanaan pembangunan kesehatan wilayah Kabupaten/Kota.2. Pengaturan dan pengoorganisasian sistem kesehatan Kabupaten/Kota.3. Perizinan kerja/praktek tenaga kesehatan.4. Perizinan sarana kesehatan.5. Perizinan distribusi pelayanan obat skala Kabupaten/Kota (Apotik dan toko obat)6. Pendayagunaan tenaga kesehatan.7. Pengembangan sistem pembiayaan kesehatan melaui jaminan pemeliharaan kesehatan

masyarakat atau sistem lain.8. Penyelenggaraan upaya/sarana kesehatan Kabupaten/Kota.9. Penyelenggaraan upaya dan promosi kesehatan masyarakat10. Pencegahan dan pemberantasan penyakit dalam lingkup kabupaten/Kota.11. Survalans epidemiologi dan penanggulangan wabah/kejadian luar biasa skala

Kabupaten/kota.12. Penyelenggaraan upaya kesehatan lingkungan dan pemantauan dampak pembangunan

terhadap kesehatan lingkup Kabupaten/Kota.13. Perencanaan dan pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar esensial.14. Pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat

aditif, dan bahan berbahay lingkup Kabupaten/kota.15. Pengaturan tarif pelayanan kesehatan lingkup Kabupaten/Kota.16. Penyelenggaraan sistem kewaspadaan pangan dan gizi lingkup Kabupaten/Kota.17. Bimbingan dan pengendalian kegiatan pengobatan tradisional.18. Bimbingan dan pengendalian upaya/sarana kesehatan lingkup Kabupaten/Kota.19. Bimbingan dan pegendalian upaya kesehatan lingkungan lingkup Kabupaten/Kota.20. Pencatatan dan pelaporan obat pelayanan kesehatan dasar21. Penyelenggaraan sistem informasi kesehatan Kabupaten/kota.22. Pengembangan kerja sama limntas sektoral.23. Bimbingan teknis mutu dan keamanan industri rumah tangga, makanan.

Pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.

Berbicara mengenai tujuan pelaksanaan pemberian otonomi bidang kesehatan tidak terlepas dari tujuan pelaksanaan asas desentralisasi sebab asas desentralisasi merupakan asas utama dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah Kabupaten/Kota.

Keuntungan-keuntungan yang dapat dihasilkan dari desentralisasi bidang kesehatan adalah sebagai berikut ;

1. Merupakan suatu hal yang memungkinkan untuk mengorganisasikan suatu pelayanan kesehatan yang lebih rasional dan terpadu dengan area geografis dan administrasi seperti Kabupaten terutama untuk pelayanan kesehatan authority (Depdagri, PP No. 7 tahun 1997).

2. Desentralisasi kearah masyarakat lokal (Kabupaten/Kota) akan menghasilkan keterlibatan mereka yang lebih besar dalam pengelolaaan sektor kesehatan yang lebih tepat dalam hubungannya dengan kebutuhan dan masalah kesehatan setempat.

Page 44: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

3. Desentralisasi dapat menekan biaya dan mengurangi duplikasi pelayanan, terutam pelayanan kesehatan tingkat sekunder dan tersier, dengan cara menghubungkan tanggung jawab kependuduk wilayah kerjanya.

4. Tidak meratannya antar wilayah dan antar perkotaan dan pedesaan dalam hal standing kesehatan dan penyediaan pelayanan kesehatan dapat dikurangi melalui realokasi sumber daya pusat secara lebih selektif.

5. Pelaksanaan program-program kesehatan dapat diperbaiki dengan mengurangi kontrol pusat antar masalah-masalah administrasi.

6. Desentralisasi dapat meningkatkan kontribusi daerah dan kontrol, atas fasilitas kesehatan dan kinerja staff.

7. Koordinasi inter sektoral sektor kesehatan dan sektor lainya dapat ditingkatkan terutama dalam pemerintahan daerah dan dalam kegiatan pengembangan pedesaan.

8. Desentralisasi dapat mendorong untuk mengatasi berbagai masalah dan keterlambatan akibat berbagai hal seperti jarak yang jauh, komunikasi yang tidak cukup baik, serta hubungan darat yang jelek (Anne Mills, 2003).

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan desentralisasi adalah meningkatkan partisispasi masyarakat dan kemandiriaan daerah serta unuk menjamin kecermatan pejabat Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap masyarakat.

6. Bentuk Institusi Kesehatan di Masa Mendatang

Dengan ditetapkannya kebijakan penyerahan kewenangan (desentralisasi) di bidang kesehatan yang sedemikian besar kepada daerah, mengharuskan perlunya dilakukan penataan ulang terhadap institusi yang akan menangani kesehatn. Ada beberapa istitusi yang akan terlibat langsung dalam penanganan bidang kesehatan di daerah, yang terbagi dalam dua kelompok yaitu : Pemerintah daerah dan masyarakat.

Berdasarkan analisa terhadap kondisi riiil daerah kabupaten/Kota dan juga ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, beberapa kemungkinan mengenai bentuk institusi pemerintah bidang kesehatan dapat diperkirakan sebagai berikut :

1. Di tingkat pusat tetap terbentuk departemen dengan penyesuaian struktur sesuai tugas pokok dan fungsi yang baru, setelah diserahkannya sebagian kewenangan bidang kesehatan kedaerah otonom. Eksistensi departemen ini akan tetap besar walau tidak sebesar tahun-tahun lalu. Beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan antara lain :

1. Kondisi mayoritas penduduk Indonesia belum berada pada tingkat sadar sehat, berprilaku sehat dan keterbatasan dalam menangani masalah-masalah kesehatan yang dihadapi. Mereka masih sangat memerlukan pemberdayaan di bidang kesehatan.

2. Kondis aparatur pemerintah daerah belum memungkinkan menangani atau melayani masyarakat di bidang kesehatan secara baik. Dibutuhkan masa transisi untuk pengembangan sumber daya manusia tenaga kesehatan di daerah yang akan menangani bidang kesehatan.

3. Penanganan bidang kesehatan akan berpengaruh pada kredibilitas negara dimata dunia internasional. WHO telah menyetujui pencanangan Indonesia 2010, sehingga diperlukan persiapan secara sistematis.

4. Pemerintah akan sangat berhati-hati dalam menangani masalah kepegawaian, meningkatkan kondisi keterpurukan bangsa Indonesia yang saat ini yang

Page 45: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

pemulihannya memakan waktuy cukup lama. Angka pengangguran saat ini mencapai 38,8 juta jiwa.

2. Di daerah Propinsi tidak dikenal lagi adanya kantor Wilayah Departemen. Dengan demikian lembaga ini diintegrasikan ke dalam dinas daerah beserta unit-unit pelaksana tehnis (UPT) daerah seperti Balai Latihan Kesehatan, rumah sakit dan sebagainya.

3. Di daerah Kabupaten/Kota juga tidak dikenal lagi adanya perangkat dekosentrasi, sehingga keberadaan kantor Departemen beserta UPT-nya seperti puskesmas, Rumah Sakit Kabupaten/Kota, dan sebagainya, dintegrasikan kedalam Dinas otonomi daerah.

ulat yang dilaksanakan di hwa, ……………………. dimana untuk kegiatan ini akan dikoordinasikan dengan ………..

B. Tinjauan Umum Kemampuan Tenaga Kesehatan

Kemampuan tenaga kesehatan daerah merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah suatu daerah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga dibidang kesehatan dengan baik/tidak. Oleh sebab itu di dalam proses rekrutmen tenaga kesehatan terutama pada jabatan-jabatan yang memiliki sifat teknis perlu diperhatikan pertimbangan kemampuan yang dimiliki. Langkah kebijakan yang seperti ini diperlukan karena didalam suasana titik berat otonomi dapat diletakan pada daerah kabupaten/kota, setiap tenaga kesehatan harus dipacu secara maksimal mendukung setiap segi dari penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab masing-masing (Pamudji, 1985, 68).

Untuk mengukur kemampaun tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi kesehatan, variabel yang digunakan adalah rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumklah penduduk, pendidikan formal, golongan/kepangkatan, diklat struktural dan fungsional, dan masa kerja.

Tuntutan nasional dan tantangan tellurian dalam mewujudkan kepemerintahan bidang kesehatan yang baik diperlukan sumber daya manusia dengan kuantitas dan kualitas yang ukup. Dari segi kuantitas menurut Suradinata, rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah 1 : 200-400, artinya satu orang tenaga kesehatn melayani penduduk maksimal 200-400 orang (Sadikin, 2003).

Menurut Hersey dan Blanchard (Sumartono, 2003) pada umumnya terdapat tiga (3) bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu yang adalah 1 : 200-400, artinya satu orang tenaga kesehatn melayani penduduk maksimal 200-400 orang (Sadikin, 2003).

Menurut Hersey dan Blanchard (Sumartono, 2003) pada umumnya terdapat tiga (3) bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan sehingga mempunyai keunggulan kompetitif, yaitu :

1. Kemampaun tehnik (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, tehnik dan peralatan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman pendidikan dan pelatihan.

2. Kemampuan sosial (social/human skill), yaitu kemampuan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.

Page 46: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

3. Kemampuan konseptual (conceptual skill), yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian dengan gerak section kerja masing-masing kedalam bidang organisasi secara menyeluruh.

Roger (Sumartono, 2003) mengemukakan bahwa hasil karya seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah kemampuan yang meliputi pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Sedang menurut Hasibuan (2000) menyatakan bahwa syarat kualitas smallest orang yang bisa diterima untuk dapat menjalankan suatu pekerjaan atau jabatan dengan baik dan kompoten yaitu tingkat pendidikan, jenis kelamin, keadaan fisik, pengetahuan dan kecakapan, batas umur, standing perkawinan, niat, temperamen, dan pengalaman kerja.

1. Tinjauan Umum tentang Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Jumlah Penduduk

Salah satu isu desentralisasi menyangkut tenaga kesehatan adalah peningkatan jumlah kebutuhan tenaga kesehatan terutama yang mempunyai mempunyai keterampilan perencanaan dan manajemen untuk menduduki pos manajerial tingkat menegah, tetapi pada saat yang sama kekurangan tenaga kesehatan menjadi jalan utama satu-satunya (Anne Mills/Sumartono, 2003).

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus diupayakan agar jumlah dan mutu pegawai sesuai dengan beban kerja yang dipikulkan kepada setiap satuan kerja dalam hal ini organisasi kesehatan kab/kota. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu melaksanakan tugasnya berdaya guna dan berhasil guna serta berkelanjutan

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus diupayakan agar jumlah dan mutu pegawai sesuai dengan beban kerja yang dipikulkan kepada setiap satuan kerja dalam hal ini organisasi kesehatan kab/kota. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu melaksanakan tugasnya berdaya guna dan berhasil guna serta berkelanjutan.

2. Tinjauan Umum Tentang Pendidikan Tenaga Kesehatan

Agar tenaga kesehatan mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugasnya, tingkat pendidikan tenaga kesehatan sangat menentukan bagi terwujudnya tenaga kesehatan yang bermutu dan kemampuan dalam melaksanakan tugas yang diembannya maka tingkat pendidikan tenaga kesehatan dijadikan sebagai indikator kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan.

Pendidikan merupakan suatu indikator yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat mengerjakan suatu pekerjaaan dan dengan latar belakang spendidikan mampu menduduki suatu jabatan organisasi. Sedang tujuan pendidikan dibidang kesehatan yaitu untuk menjadikan tenaga kerja yang bermutu dalam jumlah yang mempu mengembang tugas untuk meningkatkan perubahan, pertumbuhan dan pembaharuan dalam bidang kesehatan.

Menurut Nasution, pendidikan adalah suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai standar yang ditetapkan, sedang menurut Niki Soemito pendidikan adalah suatu proses yang akan menghasilkan perubahan perilaku sasaran sesuai harapan instansi melalui pendidikan grave maupun spontaneous kepada anggotanya. (Hidayat, 2002).

Latar belakang pendidikan juga dijadikan ukuran dalam memberkan beban tugas kepada sesorang dalam suatu organisasi. Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok

Page 47: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Kepegawaian dinyatakan bahwa pengangkatan pegawai negeri sipil dalam pangkat awal ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan formal. Tingkat pendidikan yang makin tinggi akan berakibat pada peningkatan kemampuan pegawai dalam menunaikan kewajibannya yang dapat berupa penampilan kerja yang memuaskan, dedikasi dan loyalitas yang tinggi dan produktifitas sesuai tuntunan tugas dan harapan manajemen (Siagian, 1999).

3. Tinjauan Umum tentang Golongan dan Kepangkatan Tenaga Kesehatan

Pemberian pangkat atau golongan kepegawaian merupakan suatu penghargaan atas prestasi atau keaalian seseorang sehingga kualitas dan keampuan pegawai dapat ditunjukkan oleh golongan kepangkatan seorang pegawai negri sipil. Hal ini juga berpengaruh terhadap kemampuan tenaga kesehatan dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat golongan kepangkatan semakin tinggi pula tingkat produktifitas dalam ekerjaan. Dalam PP. No. 96 Tahun 2000 tentang wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai negri sipil, pada pasal 1 (6) dinyatakan bahwa pangkat adalah kedududkan yang menunjukan tingkat seseorang pegewai negri sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Kemudian pada pasal 1 (7) dinyatakan bahwa golongan ruang gaji pokok sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang gaji pegawai negri sipil.

4. Tinjauan Umum tentang Pendidikan dan Latihan Struktural dan Fungsional Tenaga Kesehatan

Salah satu isu desentralisasi menyangkut tenaga kesehatan adalah meningkatnya jumlah kebutuhan tenaga kesehatan terutama yang mempunyai keterampilan perencanaan dan manajemen untuk menduduki pos manajerial tingkat menengah, tetapi pada saat yang sama kekurangan tenaga kesehatan menjadi masalah yang serius sehingga alternatif pelatihan kemabli tenaga kesehatan menjadi jalan satu-satunya (Anne Millss/Sumartono, 2003).

Menurut simamora (1997), pelatihah adalah serangkaiana aktifitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seseorang. Lebih lanjut Hasibuan (2000) menyatakan bahwa pelatihan adalah bagian dari pendidikan menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu dan teori yang relatif singkat dan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori.

Diklata jabatan PNS adalah proses penyelengaraan belajar mengajar untuk meningkatkan kemampuan PNS, dengan tujuan :

a. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi.

b. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

c. Memantapkan sikap, dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat.

Page 48: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

d. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik.

Pendidikan dan pelatihan teknis adalah pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan untuk memberi keterampilan atau penguasaan pengetahuan bidang tehnis tertentu kepada pegawai sesuai dengan tugasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihah fungsional adalah pendidikan dan latihan yang dipersyaratkan bagi pegawai yang akan dan telah menduduki jabatan fungsional (Depdagri, 1994).

Diharapkan dari hasil pelaksanaan jenjang pendidikan tambahan ini akan tercipta tenaga kesehatan yang menguasai keterampilan dan pengetahuan tehnis dibidang kesehatan sehingga mereka mampu berperan aktif dalam pengembangan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.

5. Masa Kerja Tenaga Kesehatan

Masa kerja tenaga kesehatan sangat berkaitan dengan proses belajar yang merupakan ajang pengembangan diri melalui proses belajar dalam rentang waktu tertentu. Setiap tenaga kesehatan belajar untuk lebih efisien, efektif dalam melaksanakan tugas serta belajar untuk mengembangkan diri. Masa kerja tenaga kesehatan adalah waktu atau lamanya bekerja pada instansi kesehatan.

C. TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KESEHATAN

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Di Pasal 49 UU. No. 23 Tahun 1992 dinyatakan bahwa, Sumber daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, meliputi :

1. Tenaga kesehatan;2. Sarana kesehatan;3. Perbekalan kesehatan;4. Pembiayaan kesehatan;5. Pengelolaan kesehatan;6. Penelitian dan pengembangan kesehatan,

Pada Pasal 50 ayat (1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan, ayat (2) Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pada Pasal 51 ayat (1) Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan di-selenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat, ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyclenggaraan

Page 49: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Pasal 52 ayat (1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan, ayat (2) Ketentuan mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pada Pasal 53 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. (2)Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien, ayat (3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. (4)Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya pada Pasal 54 ayat (1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian information melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin, ayat (2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, ayat (3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Kondisi yang senyatanya dari lembaga pemerintah merupakan realitas yang memberi pelajaran berharga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa mendatang. Dasar acuan yang digunakan adalah pemerintahan yang cerdas dan profesional hanya dapat diwujudkan oleh aparat yang cerdas dan profesional. Dalam hal ini pengembangan SDM haruslah dilakukan melalui pendekatan secara utuh, tidak parsial.

Pengembangan SDM aparatur pemerintah Daerah, dari sisi aparatur pemerintah, perbaikan kualitas dimulai sejak rekrutmen dengan menggunakan suatu sistem yang benar-benar menjamin diperolehnya sumber daya yang mempunyai kualitas dasar uang baik, pembinaan melalui penugasan yang mendidik, pengembangan module pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga-tenag siap pakai, peningkatan kesejahtraan yang memadai, dan pembinaan jaminan hari tua secara nyata (Yudoyono, 2001).

Menurut Yudoyono(2001), untuk jangka pendek dan menengah, pengambilan kebijakan di tingkat pusat dan daerah harus berani melakukan langkah-langkah terobosan dalam menangani peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan antara lain adalah:

1. Menetapkan adanya batas usia pensiun PNS, yang didasarkan pada eseniring. Untuk eselon we dan II batas maksimal adalah 55 tahun. Pada usia tersebut diharuskan mengikuti fit and propet test. Bagi yang tidak lulus dinyatakan pensiun, sedangkan yang lulus dan memungkinkan masih bisa dikembangkan karirnya, diberi kesempatan sampai usia 60 tahun. Untuk eselon III batas usia maksimal 52 tahun, kecuali yang dinyatakan lulus dalam fit and propet exam diberi kesempatan pertama sampai batas usia 55 tahun. Untuk eselon IV dan V batas usia maksimal 50 tahun, kecuali yang dinyatakan lulus dalam fit and propet exam diberi kesempatan pertama sampai batas usia 52 tahun. Sedangkan staff dimnyatakan pensiun pada usia 50 tahun dengan masa kerja minimal 20 tahun.

Page 50: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

2. Bagi Aparatur yang masih muda dan masih relatif potensial serta dipandang dapat melekakukan aktifitas secara kreatif dan dinamis, diberikan kesempatan yang luas untujk mengikuti pelatihan-pelatihan teknis atau manajerial yang sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya. Pelatihan ini didesain berdasarkan kebutuhan situasional dan ciri daerah otonom masing-masin. Disamping itu, para aparatur pemerintah pada kelompok ini juga diberi kesempatan tugas belajar pada jenjang pendidikan grave yang lebih tinggi. Bagi mereka yang berijazah D3 diberi kesempatan mengikuti module S1, yang sudah S1 ke S2, dan yang sudah S2 ke S3 dengan seleksi yang ketat.

3. Diklat yang harus lebih ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya adalah jenis Diklat Teknik dan Diklat Fungsional dengan kurikulum yang didesain sesuai kebutuhan daerah.

4. Diklat Struktural ditiadakan, karena di samping menjadi sumber KKN juga tidak mendorong kearah persaingan secara sehat. Sebagai gantinya, pejabat yang baru memperoleh promosi, wajib segera mengikuti pelatihan teknis atau manajerial yang disesuaikan dengan kebutuhan bidang tugasnya.

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran yang diteliti.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah pemerintah telah mengeluarkan peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1995 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 kab/kota sebagai daerah percontohan. Penyerahan ini dilaksanakan berdasarkan atas kemampuan dan kondisi daerah.

Penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya PP No. 84 Tahun 2000 tentang pedoman organisasi perangkat daerah, menuntut terwujudnya kepemerintahan termasuk bidang kesehatan yang baik denga kualitas dan kuantitas sumber daya tenaga kesehatan yang cukup.

Berdasarkan tujuan penelitian dan batasan masalah maka variabel yang yang diteliti adalah penilaian terhadap kemampuan tenaga kesehatan berdasarkan kepada perhitungan jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk pada periode yang sama, pendidikan grave tenaga kesehatan dan golongan dan kepangkatan tenaga kesehatan.

1. Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk.

Bahwa dengan jumlah tenaga kesehatan yang semakin mendekati standar kebutuhan tenaga kesehatan minimal akan mampu melayani masyarakat sesuai dengan tugas atau beban kerja yang dipikulkan sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna.

2. Pendidikan formal

Sebagai salah satu jalur utama dalam peningkatan kualitas tenaga kesehatan merupakan Built In Demand untuk akselerasi pembangunan dan penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan tingkat pendidikan dijadikan ukuran dalam mengukur kemampuan tenaga kesehatan masyarakat dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi

Page 51: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

kemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan otonomi daerah khususnya bidang kesehatan.

3. Golongan Dan Kepangkatan

Dimasukannya golongan kepangkatan sebagai variabel penelitian karena merupakan suatu syarat bagi pegawai negri sipil untuk diangkat dalam jabatan struktural sesuai peraturan pemerintah nomor 100 tahun 2000 (Siagian, 1995). Hal lain dengan asumsi bahwa kemampuan tenaga kesehatan dimana semakin tinggi tingkat golongan semakin tinggi pula tingkat produktifitas.

4. Diklat Struktural dan Fungsional

Pelaksanaan jenjang pendidikan tambahan ini akan tercipta tenaga kesehatan yang menguasai keterampilan dan pengetahuan dibidang kesehatan sehingga mereka mampu berperan aktif dalam pembangunan seta memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa semakin banyak tenaga kesehatan yang telah mengikuti pendidikan struktural maupun fungsional maka semakin meningkat pula tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan otonomi dibidang kesehatan.

5. Masa kerja tenaga kesehatan

Lamanya bekerja pada instansi kesehatan dengan asumsikan bahwa semakin lama tenaga kesehatan tersebut bekerja maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh. Asumsi lain bahwa dengan masa kerja tenaga kesehatan yang telah lama (senior) maka semakin mampu dalam menyelenggarakan otonomi dalam bidang kesehatan.

B. Kerangka Konsep

C. Defenisi Operasional dan Kriteria Obyektif

1. Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk

Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah rasio atau perbandingan jumlah pegawai negri sipil tenaga kesehatan yang bekerja di instansi kesehatan dibandingkan dengan jumlah penduduk pada saat dilaksanakan penelitian. Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk yang ideal menurut Suranadinata (1992) adalah antara 1 : 200 sampai 1 : 400 penduduk atau 1 tenaga kesehatan berbanding 200 sampai 400 penduduk. Secara nasional rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah 1 : 265 penduduk (Depkes RI, 1998). Untuk mengetahui kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan dilihat dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk dengan interlude skoring (Depdagri, 1992) sebagai berikut :

1. Kriteria Cukup apabila rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah 1 tenaga kesehatan berbanding ≤ 400 jiwa dengan skor 6.

2. Kriteria kurang apabila tidak sesuai kriteria diatas, dengan skor 5.

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Page 52: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

Pengambilan skor 6 (Enam) pada kriteria cukup karena skor tertinggi cukup adalah 6, dalam hal ini dikatakan cukup (mampu), sedangkan Pengambilan skor 5 (Lima) pada kriteria kurang karena skor tertinggi kurang adalah 5 dalam hal ini dikatakan kurang mampu.

1. Pendidikan Formal

Yang dimaksud pendidikan grave tenaga kesehatan masyarakat dalam penelitian ini adalah pendidikan grave pegawai kesehatan yang dinyatakan atau dibuktikan dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), yang diukur adalah mulai dari SLTA keatas dari semua tenaga kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. Dengan skala interlude (Depdagri, 1992) sebaga berikut :

a. Kriteria Cukup apabila tenaga kesehatan yang berpendidikan SLTA keatas ≥ 60 % dengan skor 6.

1. Kriteria kurang apabila tidak sesuai kriteria diatas, dengan skor 5.

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

Pengambilan skor 6 (Enam) pada kriteria cukup karena skor tertinggi cukup adalah 6, dalam hal ini dikatakan cukup (mampu), sedangkan Pengambilan skor 5 (Lima) pada kriteria kurang karena skor tertinggi kurang adalah 5 dalam hal ini dikatakan kurang mampu.

3 Golongan dan Kepangkatan Tenaga Kesehatan

Yang dimaksud dengan golongan dan kepangkatan adalah kedudukan yang menunjukan seorang pegawai negeri sipil (PNS) dalam rangkaian susunan kepegawaian dan dinyatakan dalam golongan ruang I, II, III dan IV. Golongan kepangkatan yang diukur adalah dari golongan II a keatas dari jumlah keseluruhan tenaga kesehatan.

Dengan skala interlude (Depdagri, 1992) sebagai berikut :

a. Kriteria Cukup apabila tenaga kesehatan golongan II sampai IV ≥ 60 % dengan skor 6.

b. Kriteria kurang apabila tidak sesuai kriteria diatas, dengan skor 5.

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

Page 53: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Pengambilan skor 6 (Enam) pada kriteria cukup karena skor tertinggi cukup adalah 6, dalam hal ini dikatakan cukup (mampu), sedangkan Pengambilan skor 5 (Lima) pada kriteria kurang karena skor tertinggi kurang adalah 5 dalam hal ini dikatakan kurang mampu

4. Pendidikan dan Latihan (Diklat) Struktural dan Fungsional

Yang dimaksud dengan pendidikan dan latihan (Diklat) Struktural dan Fungsional dalam penelitian ini adalah pendidikan maupun pelatihan struktural dan fungsional yang diperoleh seseorang pegawai atau tenaga kesehatan setetlah diangkat menjadi PNS yang telah memiliki jabatan strutural seperti ADUM, ADUMLAH, SPAMA atau setingkatnya, SPAMEN atau setingkatnya dan SEPTI atau setingkatnya maupun pendidikan fungsional tenaga kesehatan yang bertugas dipelayanan kesehatan. Untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan dengan menghitung persentase tenaga kesehatan yang telah mengikuti Diklat Struktural dan Fungsional tenaga kesehatan dengan menggunakan interfal skoring ( Depdagri, 1992 ) adalah:

a. Kriteria Cukup apabila tenaga kesehatan yang mengikuti Diklat strukltural dan fungsional ≥ 10 %, dengan skor 6

b. Kriteria kurang apabila tenaga kesehatan yang mengikuti Diklat sturktural dan fungsional <10 %, dengan skor 5

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

Pengambilan skor 6 (Enam) pada kriteria cukup karena skor tertinggi cukup adalah 6, dalam hal ini dikatakan cukup (mampu), sedangkan Pengambilan skor 5 (Lima) pada kriteria kurang karena skor tertinggi kurang adalah 5 dalam hal ini dikatakan kurang mampu.

5. Masa kerja tenaga kesehatan

Masa kerja tenaga kesehatan adalah waktu setelah Pegawai Negeri Sipil ( Tenaga Kesehatan ) mulai bekerja pada instansi kesehatan sampai dengan saat penelitian ini dilaksanakan. Untuk mengetahui kemampuan tenaga kesehatan dengan menghitung persentase masa kerja dari 5 tahun tahun keatas sampai 25 tahun keatas dengan interfal skoring (Depdagri, 1992) adalah sebagai berikut:

a. Kriteria Cukup apabila tenaga kesehatan memilki masa kerja 5 tahun keatas ≥ 30 % dengan skor 6

b. Kriteria kurang apabila tenaga kesehatan yang memiliki masa kerja 5 tahun keatas < 30 % dengan skor 5.

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Page 54: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

6. Kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali adalah kenyataan yang tenaga kesehatan, yang pengukurannya menggunakan skala interlude Depdagri tahun 1992, dengan menjumlahkan skor final pada rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan grave tenaga kesehatan.

Dengan kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Cukup apabila skor final ≥ 25, 80 – 30, 00

b. Kriteria kurang apabila skor final < 25, 80 – 30, 00

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif, untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali, sebab belum pernah dilakukan penelitian tentang studi kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan kepangkatan, diklat struktural dan tehnis/fungsional dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh pegawai negri sipil tenaga kesehatan pada lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali yang berjumlah 78 orang (Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan tahun 2002).

Penentuan sampel dengan menggunakan rumus :

N

n =

Page 55: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

1 + N ( d2 )

n = Besarnya sampel

N = Besarnya populasi

D = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,05)

(Notoatmodjo, 2000).

Dengan Cara perhitungan menggunakan rumus diatas adalah :

78

n = = 65

1 + 78 (0,052 )

maka diperoleh jumlah sampel 65 orang.

D. Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data Primer diperoleh dengan menggunakan quisioner yang telah disediakan terhadap responden dalam hal ini pegawai negri sipil (PNS) dil Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

2. Data Sekunder

Data sekunder dari Instansi terkait.

E. Pengolahan Dan Penyajian Data

Pengolahan information dengan menggunakan komputer progran Exel dalam bentuk tabel distribusi frekwensi disertai dengan penjelasannya.

F. Analisi Data

Untuk menghitung persentase digunakan bentuk sebagai berikut :

Data dianalisa berdasarkan distribusi frekwensi :

F X 100 %

P =

N

P = Persentase

Page 56: Peran perawat dalam mensukseskan muna sehat

F = Frekwensi

N = Jumlah sampel

Acuan yang digunakan dalam menentukan kemampuan yang dimiliki tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan adalah mengacu pada metode yang digunakan oleh Depdagri, 1992.

Skala interlude Depdagri tahun 1992 adalah sebagai berikut :

Dalam pengukuran variabel ini, interlude skoring Depdagri telah disesuaikan dengan pengukuran penelitian, sehingga pengukuran variabel ini adalah sebagai berikut :

1. Setiap variabel penelitian diindeks untuk menentukan kekuatan variabel tersebut, dengan skor antara 1 (terendah) sampai dengan 6 (Tertinggi).

2. Hasil skoring dari ke lima variabel tersebut dijumlahkan untuk menentukan tingkat kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan.

3. Dari hasil tersebut akan ditentukan skor final tingkat kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan

QUISIONER

Judul : Studi kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

PERTANYAAN :

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azwar, “Depkes Terapkan Otonomi Daerah” Berita Ikatan Dokter Indonesia, 2000

Buwono X, Hamengku, Desentralisasi Pengelolaan Tenaga Kesehatan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991

Kaho, Yosep Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1991

Mills, Anne, Terjemahan Laksono Trisnanto, Desentralisasi Sistem Kesehatan Terhadap Dinas Kesehatan dan Puskesmas, J