Upload
truongphuc
View
231
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI DI
KAMPUNG CIPTAGELAR CISOLOK SUKABUMI
MUHAMMAD MAHDI
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ABSTRAK
MUHAMMAD MAHDI. Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung
Ciptagelar Cisolok Sukabumi di bawah bimbingan FREDIAN TONNY
NASDIAN
Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir
di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat
mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi
angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang
didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan
nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi
penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna
mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka
perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana
tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei.
Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada
dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu
berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses
modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait
agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki
suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.
Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan
ABSTRACT
MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN
Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all
over the Country to compete to make the modernization which is believed to be
pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty,
modernization as a model of development that supported and impelled by the
Government sometimes have to collide with the values of the custom which has
been embraced by the local people. Because it becomes important to know the
role of custom in the modernization in order to expedite and control the process.
To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards
modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An
method that is used to answer this question is the qualitative method with a
descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative
method with a surveying approach.The value of customary proven able to
berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature
of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization
but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all
sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a
society in a course of development.
Keywords: Modernization, Community, Indegenous Value, Development
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Peranan Nilai
Adat dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Muhammad Mahdi
NIM I34100082
ABSTRAK
MUHAMMAD MAHDI. Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di Kampung
Ciptagelar Cisolok Sukabumi di bawah bimbingan FREDIAN TONNY
NASDIAN
Modernisasi merupakan ciri dari perkembangan global pada saat ini, hampir
di seluruh Negara berlomba untuk melakukan modernisasi yang diyakini dapat
mendorong pembangunan sehingga terciptanya kesejahteraan dan mengurangi
angka kemiskinan. Modernisasi sebagai suatu model pembangunan yang
didukung dan didorong oleh pemerintah terkadang harus berbenturan dengan
nilai-nilai adat yang telah dianut oleh masyarakat lokal. Karena itu menjadi
penting untuk mengetahui peran nilai adat di dalam modernisasi guna
mempercepat dan mengontrol prosesnya. Untuk mengetahui peran tersebut maka
perlu diketahui bagaimana sikap masyarakat terhadap modernisasi dan bagaimana
tingkat keterdedahan media di Kampung Ciptagelar. Metode yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif yang didukung dengan metode kuantitaif dengan pendekatan survei.
Nilai adat terbukti mampu berakulturasi dengan proses modernisasi yang ada
dikarenakan sifat dinamisme yang dimilikinya sehingga tidak hanya mampu
berjalan beriringan dengan modernisasi, akan tetapi menjaga dan menuntun proses
modernisasi yang ada. Oleh karena itu diharapkan kepada seluruh pihak terkait
agar dapat memperhitungkan dan memanfaatkan nilai-nilai lokal yang dimiliki
suatu masyarakat di dalam suatu program pembangunan.
Kata kunci: Modernisasi, Masyarakat, Nilai Adat, Pembangunan
ABSTRACT
MUHAMMAD MAHDI. The Role of Indegenious Value in Modernization at
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi by FREDIAN TONNY NASDIAN
Modernization is the hallmark of global development at the moment, almost all
over the Country to compete to make the modernization which is believed to be
pushing the construction so that the creation of prosperity and reduce poverty,
modernization as a model of development that supported and impelled by the
Government sometimes have to collide with the values of the custom which has
been embraced by the local people. Because it becomes important to know the
role of custom in the modernization in order to expedite and control the process.
To find out the role, then I need to know how the attitude of society towards
modernization and how the level of media exposure in Kampung Ciptagelar. An
method that is used to answer this question is the qualitative method with a
descriptive approach in nature which is to be supported with an quantitative
method with a surveying approach.The value of customary proven able to
berakulturasi with the process of modernization of existing because of the nature
of dinamisme file so as not only capable of running in tandem with modernization
but keeping and guide the process of modernization.Hence it is expected to all
sides related to be able to reckon and take advantage of local values in have a
society in a course of development.
Keywords: Modernization, Community, Indegenous Value, Development
PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI DI
KAMPUNG CIPTAGELAR CISOLOK SUKABUMI
MUHAMMAD MAHDI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
Judul Skripsi : Peranan Nilai Adat dalam Modernisasi di
Kampung Ciptagelar Cisolok Sukabumi
Nama : Muhammad Mahdi
NIM : I34100082
Disetujui oleh
Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Pembimbing
Diketahui
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal pengesahan: _______________________
vi
PRAKATA
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT
atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, shalawat dan salam kepada
Rasul dan keluarganya yang disucikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan bantuan moril dan material
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Fredian Tonny selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis
menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Abdullah
Assegaf dan Ibu Maemunah Al-Haddad, yang selalu melimpahkan kasih sayang,
doa, serta motivasi kepada penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada
Abah Ugi selaku ketua dari keluarga Kampung Adat Ciptagelar dan juga kepada
masyarakat Ciptagelar yang telah menerima dengan baik serta memberikan
banyak bantuan berharga hingga selesainya skripsi ini. Tidak lupa terima kasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47, teman-teman
bimbingan, dan teman-teman lainnya yang selalu bersama saling memberi
semangat dan masukan untuk penulis dalam seluruh proses perkuliahan dan
penulisan skripsi ini.
Bogor, September 2014
Muhammad Mahdi
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Kerangka Pemikiran 11
Hipotesis Penelitian 12
Definisi Konseptual 12
Definisi Operasional 13
PENDEKATAN LAPANGAN 15
Metode Penelitian 15
Lokasi dan Waktu Penelitian 15
Teknik Sampling 15
Teknik Pengumpulan Data 16
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16
PROFIL DESA CIPTAGELAR 19
PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI 27
MODERNISASI DALAM MASYARAKAT ADAT 35
HUBUNGAN SIKAP DENGAN KETERDEDAHAN MEDIA 41
PENUTUP 45
Simpulan 45
Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 47
LAMPIRAN 49
RIWAYAT HIDUP 66
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Panduan pengumpulan data 16
Tabel 2 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap
Modernisasi Tahun 2014 41
Tabel 3 Jumlah dan presentase responden menurut tingkat keterdedahan
media Tahun 2004 41
Tabel 4 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap
modernisasi dan tingkat keterdedahan media di Desa Ciptagelar
tahun 2014 43
Tabel 5 Hasil uji statistik rank Spearman antara sikap terhadap modernisasi
dengan tingkat keterdedahan media 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi 12
Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar 22
Gambar 3 Struktur Organisasi Desa Ciptagelar 25
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Desa Ciptagelar 49
Lampiran 2 Kerangka sampling 50
Lampiran 3 Kuesioner penelitian 52
Lampiran 4 Panduan wawancara mendalam 55
Lampiran 5 Reduksi data: nilai adat dalam modernisasi 57
Lampiran 6.Reduksi data: modernisasi dalam nilai adat 61
Lampiran 7. Dokumentasi 65
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kampung Gede Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang
masih bertahan dengan nilai-nilai lokalnya yang mempunyai ciri khas dalam
lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat
pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut
masyarakat kasepuhan1
. Meskipun desa tersebut termasuk desa adat yang
memiliki kesan tertinggal dan terpencil, Akan tetapi tetap tidak terhindarkan dari
arus modernisasi yang terus berkembang di negeri ini. Namun yang menarik
justru arus modernisasi dibawa oleh ketua adat stempat, yang mana ia
menginisiasikan sebuah tv lokal guna menciptakan kohesifitas dan melestarikan
nilai mereka.
Banyak ahli yang telah menjelaskan dan memaparkan hasil penelitiannya
sekaitan dengan proses dan dampak modernisasi. Beragam pandangan berusaha
menjelaskan bahwa modernisasi yang diyakini mampu membawa perubahan
kesejahteraan, justru akan berdampak pada rusaknya ketahanan nilai-niali lokal.
Hal itu disebabkan modernisasi sendiri membawa nilai yang cendrung
menghapuskan dan menggantikan nilai-nilai yang sebelumnya telah ada dan
berjalan di tengah masyarakat. banyak perspektif dalam melihat persoalan tersebut
salah satunya seperti yang diungkapkan Dove dalam bukunya peran kebudayaan
dalam modernisasi. Dove menjelaskan bahwa nilai lokal yang sebelumnya telah
ada seharusnya dapat menjadi suatu modal dalam memanfaatkan modernisasi
yang ada. Nilai lokal merupakan nilai yang dianut dan diyakini oleh masyarakat
lokal, sehingga apabila nilai lokal dapat diintegrasikan dengan modernisasi yang
ada dapat menciptakan sebuah akulturasi yang saling menguntungkan.
Kehidupan masyarakat sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial.
Perubahan sosial di sini tidak hanya perubahan pada masyarakat yang
bersangkutan melainkan juga orang luar. Maksudnya perubahan ini dapat
dirasakan langsung karena adanya faktor tertentu yang masuk ke dalam
kehidupannya atau pun secara tidak langsung melihat kebiasaan orang lain. Kedua
hal ini sama-sama mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial ada yang terjadi
dalam waktu singkat maupun waktu lama. Biasanya, perubahan yang terjadi
dalam waktu singkat bersifat sementara dan dapat dengan mudah kembali ke sifat
semula. Perubahan dalam waktu lama, kemungkinan akan sulit untuk kembali ke
semula.
Dilihat dari kehidupan sehari-hari, perubahan sosial ini memiliki
kekurangan dan kelebihannya tergantung aspek yang berubahnya. Kelebihannya
yaitu dapat merubah yang kurang baik menjadi baik jika memang aspek yang
berubah mengacu pada hal yang baik misalnya menjadi masyarakat yang lebih
saling menghargai satu sama lain, meningkatnya kerjasama antar sesama ataupun
1 Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa
Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini,
muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun
menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang
berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot).
2
dapat memajukan daerahnya. Sebaliknya, kekurangan dari perubahan sosial ini
yaitu dapat merubah yang baik menjadi kurang baik jika mengacu pada hal buruk
misalnya menjadi masyarakat yang individualis, kurang bersosialisasi dengan
yang lain karena sibuk atau terlalu ketergantungan dengan alat teknologi.
Pada abad 21 para teoritis sosial mulai disibukkan dengan persoalan
apakah masyarakat abad 21 telah mengalami perubahan-perubahan dramatis atau
tidak. Apabila dikatakan telah mengalami perubahan, maka perubahan seperti
apakah yang dilalui masyarakat abad 21 ini. Salah satu hal yang sangat mendasar
dan mudah untuk dicermati adalah ketika terjadinya perubahan yang dialami
masyarakat abad 21 akibat berkembang pesatnya teknologi dan komunikasi yang
melahirkan masyarakat modern. Lahirnya masyarakat modern ini sesungguhnya
merupakan objek perhatian pokok dalam sosiologi, sehingga berbagai teori mulai
dari klasik sampai kontemporer berupaya untuk menjelaskan perubahan pada pola
masyarakat ini.
Dalam teori sosiologi klasik masyarakat modern dijelaskan melalui
analisis komparasi dengan masyarakat pra modern, atau sering disebut dengan
masyarakat tradisionil. Marx melihat masyarakat modern dari perspektif ekonomi
kapitalisnya, Weber melihat adanya perubahan rasionaliasi menjadi rasionalisasi
formal, dan Durkheim melihat adanya peningkatan solidaritas organik dan
menurunnya kesadaran kolektif. Namun selain dari pandangan masing-masing
mengenai masyarakat modern tersebut, ketiga ahli ini ternyata mengkhawatirkan
adanya arah dan sisi negatif oleh masyarakat modern. Marx melihat pada alienasi
dan eksploitasi yang dialami kalangan buruh, Weber mengkhawatirkan penjara
besi rasionalitas (iron cage rasionality), sementara Durkheim mengkhwatirkan
anomi yang dialami masyarakat karena begitu cepatnya perubahan yang tidak
selalu bisa diikuti oleh semua orang. Tetapi sedikit berbeda dengan ketiga
sosiolog klasik yang mengkhawatirkan sisi masyarakat modern, George Simmel
melalui bukunya Philosophy of Money, ia menolak kekhawatiran atas pengaruh
lahirnya masyarakat modern. Justru Ia berpendapat, bahwa lahirnya masyarakat
modern dapat melahirkan keuntungan secara materi menurut Ritzer (2003).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 tentang pedoman
pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat
Menimbang : a. Bahwa adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat
merupakan salah satu modal social yang dapat dimanfaatkan dalam rangka
pelaksanaan pembangunan sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan
pengembangan sesuai dengan karakteristik dari masyarakat adat; b. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan peraturan menteri dalam negeri tentang pedoman pelestarian dan
pengembangan adat istiadat dan nilai budaya masyarakat.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 pasal 1
ayat 3 bahwa pelestarian adalah upaya untuk menjaga dan memelihara adat
istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama nilai-nilai
etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat, dan lembaga adat agar keberadaannya tetap terjaga dan
berlanjut dan ayat 4 bahwa pengembangan adalah upaya yang terencana, terpadu,
dan terarah agar adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat dapat berkembng
mengikuti perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung.
3
Dari regulasi di atas dapat terlihat pentingnya nilai dan norma adat
masyarakat guna menjaga stabilitas dan juga menjaga berjalannya pembangunan
yang ada, oleh karena itu nilai, yang memiliki kekuatan terbesar di dalam aspek
pengendalian sosial disamping materi dan koersif seharusnya dapat menjaga
masyarakat dari perubahan-perubahan yang ada. Menurut Witrianto (2007)
modernisasi yang melanda kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia juga
melanda kehidupan masyarakat pedesaan Minangkabau. Modernisasi telah
menyebabkan terjadinya perubahan besar pada masyarakat, terutama yang
bermatapencaharian sebagai petani. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup
bidang sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan. Dalam bidang sosial, dengan
adanya modernisasi, telah menyebabkan munculnya lapisan-lapisan sosial baru
dalam masyarakat. Dalam bidang budaya, setelah adanya modernisasi, muncul
budaya baru dalam masyarakat, yaitu budaya komersialisasi.
Seperti yang diungkakan oleh Dove (1985) bahwa seharusnya modernisasi
dan nilai-nilai lokal harus mampu berakulturasi guna saling menunjang satu sama
lain. Oleh karena itu menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut bagaimana
peranan nilai adat dalam modernisasi di Desa Ciptagelar Kecamatan
Cisolok, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat?
Rumusan masalah
Drs. Suparto dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa nilai-nilai
sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat, diantaranya nilai-nilai dapat
menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir
dan bersikap. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi
manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi
seseorang untuk bersikap sesuai dengan peranannya. Melihat fungsi nilai di atas
seharusnya nilai dapat digunakan dan dimanfaatkan guna mengatur perilaku
masyarakat dalam membangun komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan.
Adat istiadat merupakan alat yang digunakan untuk menjaga masyarakat dari
suatu perubahan yang mana hal tersebut dapat dilihat melalui sikap masyarakat
adat tersebut. Oleh sebab itu perlu dianalisis bagaimana sikap masyarakat
adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi?
Dove dalam Kistiawan (2011) membagi dampak modernisasi menjadi
empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek
ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi
Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang
terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah
mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi merupakan
sebuah perubahan sosial yang dapat membawa dan mengarahkan masyarakat
menuju suatu titik sosial yang baru, sehingga dalam pengembangan dan
pembangunan desa tidak terlepas dari efek modernisasi tersebut, tentu saja
modernisasi yang ada akan bersentuhan dengan nilai-nilai adat yang ada di tengah
masyarakat dikarenakan modernisasi membawa nilai-nilai baru yang akan
menyebabkan perubahan. Oleh sebab itu perlu dianalisis sejauh mana tingkat
keterdedahan modernisasi yang ada di tengah masyarakat adat Desa
Ciptagelar?
4
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis peran nilai adat yang
dianut oleh masyarakat dalam modernisasi. Tujuan tersebut dijawab melalui
tujuan-tujuan khusus, yaitu :
1. Menganalisis sikap masyarakat adat Desa Ciptagelar terhadap modernisasi.
2. Menganalisis tingkat keterdedahan modernisasi yang ada pada masyarakat
adat Desa Ciptagelar.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pihak yang
berminat maupun yang terkait dengan nilai adat dan modernisasi, khususnya
kepada :
1. Peneliti untuk memaknai secara ilmiah fenomena nilai adat dan
Modernisasi yang terlihat. Sedangkan untuk Civitas Akademika dapat
memperkaya perkembagan pengetahuan mengenai nilai adat dan
modernisasi.
2. Masyarakat, dapat memperoleh pengetahuan serta gambaran tentang
fenomena nilai adat dan modernisasi.
3. Pemerintah, diharapkan dapat menentukan arah kebijakan dan pertauran
mengenai nilai khususnya nilai adat sehingga mampu menciptkan
perubahan sosial yang terarah bagi masyarakat.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Modernisasi
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah
yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan
dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju dalam rangka untuk
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai suatu bentuk perubahan sosial,
modernisasi biasanya merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan
terencana.
Modernisasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau
pembaharuan. Pembaharuan mencakup bidang-bidang yang sangat banyak.
Bidang mana yang akan diutamakan oleh suatu masyarakat tergantung dari
kebijaksanaan penguasa yang memimpin masyarakat tersebut Soekanto (1987).
Modernisasi yang terstruktur dan terencana diharapkan dapat menciptakan
kesejahteraan di tengah masyarakat, oleh sebab itu pemerintah mengatur rencana
dan langkah guna menerapkan modernisasi di tengah masyarakat. Asumsi
modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan
beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa
Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh
Sajogyo (1982) dan Dove (1985). Kedua hasil penelitian mengupas dampak
modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya
menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas
lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang
berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai
budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
Dove (1985) membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu
ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai
kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa
Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku
Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak
lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah
kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk
di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi
sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya
dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh
pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Scott (2000) menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian
mempunyai dampak terhadap perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya
berpengaruh terhadap pola-pola institusional masyarakat. Kondisi ini akan
memperluas struktur kemiskinan. Tujuan dari pembangunan pertanian itu sendiri
pada dasarnya adalah untuk memperkecil struktur kemiskinan.
Koentjaraningrat (1985) menyatakan kebijakan pembangunan pertanian
dengan pola top down dengan orientasi produksi melalui penggunaan teknologi
6
modern yang sangat teknis mekanistis, telah menimbulkan masalah-masalah dan
perubahan-perubahan, baik pemerintah daerah yang mengimplementasikan
kebijaksanaan pusat maupun masyarakat petani sebagai obyek dari pembangunan.
Masalah masalah umum yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan
pembangunan pertanian antara lain: 1) Menumbuhkan ketergantungan pemerintah
daerah dalam perencanaan pembangunan sehingga sering tidak sesuai dengan
kondisi wilayah dan sosial budaya masyarakat, 2) Menimbulkan ego sub sektoral
dalam pelaksanaan progam-program pembangunan pertanian, karena lemahnya
kordinasi dan integrasi antara sub sektor, 3) Merosotnya nilai-nilai tradisional dan
norma-norma kekeluargaan yang saling membutuhkan dan ketergantungan yang
hidup di pedesaan, 4) Melahirkan ketergantungan petani terhadap pemerintah
dalam pembangunan, sebagai akibat pendekatan pelaksanaan program melalui
bantuan subsidi.
Menurut Nugroho (1999) seperti dikutip oleh Arkanudin (2012) dalam
proses pembangunan yang menjalani distorsi instrumen ruang publik telah
diintervensi oleh kekuatan politis negara, sehingga opini publik yang muncul
adalah bukan opini masyarakat tetapi justru opini elit politik. Akibat dari
dominasi ruang publik oleh negara adalah adanya kecenderungan keputusan
teknis bukan didasarkan atas diskusi dan opini publik tetapi didasarkan pada
keputusan elit politik yang dipaksakan ke dalam masyarakat luas. Mengikuti
persyaratan secara normatif, sebenarnya dalam pembangunan diskusi publik
merupakan landasan untuk mengejar target-target yang telah disepakati, bukan
sebaliknya dianggap tidak efisien demi mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Menurut Pranadji (2000) mentalitas yang diuraikan oleh Kontjaraningrat
(1985) tidak dapat begitu saja diterima sebagai sesuatu yang berlaku universal,
melainkan sangat tergantung kepada setiap individu, kelompok komunitas dalam
memahami diri terhadap orientasi masa depannya, serta tergantung pada kondisi
wilayah dan sosial budaya setempat. Pranadji mempunyai pandangan bahwa
desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya pranata sosial setempat
untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan pertanian. Selain itu,
desentralisasi akan lebih membuka peluang berperannya perantara keteraturan,
kerjasama sosial dan kontrol sosial yang lebih baik terhadap proses transformasi
pertanian secara berkelanjutan di wilayah setempat. Pemerintah tetap sebagai
kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari
tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah
harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan tertentu.
Dalam beragam teori modernisasi di atas, hampir seluruh teori
memandang bahwa tradisi dan nilai adat merupakan aspek yang akan tergerus
oleh arus modernisasi dikarenakan, tradisi dianggap sebagai penghalang
pembangunan, namun tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan,
seperti yang digambarkann teori Modernisasi Baru bahwa masyarakat tradisional
Indonesia pada dasarnya memiliki ciri yang dinamis, mengolah “resistensi”
serbuan budaya Barat sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal
yang mempengaruhinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Dove (1985)
menyatakan bahwa budaya tradisional merupakan sesuatu yang dinamis dan
selalu mengalami perubahan, mampu melakukan penyesuaian dengan baik
terhadap kondisi lokal.
7
Modernisasi dalam Konsepsi Ogburn
Secara sederhana, Ogburn melihat modernisasi sebagai salah satu arah dari
perubahan sosial masyarakat. Perubahan sosial yang dikonsepsikan oleh Ogburn
mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materil maupun yang tidak
bersifat materil (inmaterial) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur
unsur kebudayaan yang materil terhadap unsur-unsur inmateril. Ogburn
cenderung melihat fenomena perubahan sosial dari sudut pandang teori struktural
fungsional. Ada beberapa asumsi tentang perubahan sosial yang dikonsepsikan
oleh William Ogburn:
1. Penyebab dari perubahan sosial adalah adanya ketidakpuasan masyarakat
karena kondisi sosial yang berlaku pada masa tersebut mempengaruhi
pribadi individu yang terlibat.
2. Meskipun dalam perubahan sosial beberapa unsur-unsur sosial mengalami
perubahan dan dalam unsur-unsur tersebut mempunyai kesinambungan,
namun beberapa unsur lainnya masih dalam keadaan tetap atau dapat
dikatakan statis –dalam hal ini, kemudian Ogburn menyebutnya sebagai
cultural lag–.
3. Setiap perubahan sosial tidak selalu berpengaruh pada semua unsur-unsur
sosial, sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah.
4. Ogburn melihat bahwa perubahan teknologi akan berjalan lebih cepat
dibanding dengan perubahan pada substansi budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai dan norma yang menjadi alat untuk mengatur
kehidupan manusia.
Untuk itulah, dalam hal ini modernisasi dapat dipandang dari empat dimensi,
yaitu; substansi budaya; pemikiran; kepercayaan; nilai dan norma pada
masyarakat itu sendiri. Untuk mengukur dan mengidentifikasi modernisasi dalam
masyarakat, Ogburn kemudian memberikan beberapa variabel yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat modernisasi suatu masyarakat dalam bentuk
syarat terjadinya modernisasi yang berupa:
1. Cara berfikir yang ilmiah (scientific thinking) yang melembaga dalam
masyarakat.
2. Sistem administrasi yang baik, yang benar-benar mewujudkan pelaksanaan
birokrasi yang tertib dan teratur.
3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur serta terpusat pada
suatu badan atau lembaga tertentu.
4. Penciptaan iklim yang sesuai (favourable) dengan kehendak masyarakat
terhadap modernisasi dengan cara alat-alat komunikasi massa.
5. Tingkat organisasi yang tinggi.
6. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (social
planning).
8
Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam Narwoko & Suyanto (2004) nilai adalah
gagasan mengenai apakah suatu pengalaman berarti atau tidak berarti. Nilai pada
hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar. Nilai adalah suatu
bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah artinya secara
moral dapat diterima kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan
dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan.
Suparto seperti dikutip dalam Moriaga (2006) mengemukakan bahwa
nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Nilai-nilai dapat
menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir
dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu
terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat
memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya.
Melihat fungsi nilai diatas seharusnya nilai dapat digunakan dan
dimanfaatkan guna mengatur perilaku masyarakat dalam membangun
komunitasnya agar terciptanya kesejahteraan. Nilai adat yang merupakan
kekayaan bagi bangsa Indonesia seharusnya mampu dimanfaatkan dengan baik
oleh pihak pemerintah dalam menata dan mengatur pembangunan yang ada.
Moriaga (2006) tentang pengaturan hukum adat sebagaimana disinggung
dalam Pasal 5 UUPA, dalam penjelasan pasal tersebut yang kemudian merujuk
pada penjelasan umum poin III butir (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
istilah “hukum adat” di sini adalah “hukum adat yang telah disempurnakan dan
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara moderen dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia” yakni sekedar bermakna sebagai hukum yang mewujudkan kesadaran
masyarakat Indonesia yang berbeda dari hukum perdata barat (yang sudah tidak
dipakai lagi). Istilah hukum adat menurut Soehardi (2004) seperti dikutip oleh
Kurniawan (2008) ini bukanlah hukum yang berlaku dalam lingkungan-
lingkungan masyarakat adat sebagaimana menjadi makna hukum adat secara
tradisional, tetapi merupakan “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat
kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional.
Konsekuensi dari adanya konsep pengakuan sebagaimana demikian,
sebagai turunan langsung dari konsep Negara Hukum, adalah bahwa jika ternyata
terdapat eksistensi masyarakat adat berikut hak-hak dan kepentingannya yang
bertentangan dengan kepentingan negara (kepentingan nasional), ataupun jika ada
aturan hukum adat yang bertentangan dengan aturan hukum positif negara dalam
perundang-undangan, maka keberadaan masyarakat adat beserta kepentingan-
kepentingan dan hak-hak tradisioanalnya yang diatur dalam hukum adat tersebut
bisa diabaikan. Hal inilah yang kemudian seringkali berujung pada konflik sosial
yang pada umumnya melibatkan masyarakat adat di satu sisi dan negara beserta
perusahaan di sisi yang lain yang berkepentingan hendak melakukan investasi dan
“pembangunan” pada area di lokasi di mana masyarakat adat tersebut tinggal,
hidup, dan mendasarkan kehidupannya, yang mana konflik ini berakar pada
kontradiksi kepentingan di antara para pihak yang masing-masing mendasarkan
diri pada tatanan normatif sistem hukum yang sama sekali berbeda satu sama lain,
yakni antara hukum adat (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak
9
masyarakat adat) dan hukum positif (yang digunakan sebagai dasar berpikir dan
bertindak negara dan perusahaan yang terlibat).
Aspek yang seharusnya diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin
memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kenyataan
tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama
dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya
dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan
mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam
dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari
masyarakat-masyarakat adat dengan alam. Kelompok lain termasuk pemerintah
orde baru, mereka dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan
“kemajuan” khususnya dari segi ekonomi.
Nilai Adat Dalam Konsepsi Koentjaraningrat
Koentjaraningrat (1985) membedah nilai adat yang dia sebut dengan
unsur-unsur kebudayaan yang universal karena unsur-unsur tersebut pasti bisa di
dapatkan di seluruh dunia dalam beragam kondisi, baik di pedesaan yang kecil
dan terpencil maupun di masyarakat perkotaan yang komplex. Menurutnya unsur
tersebut merupakan isi dari seluruh kebudayaan yang ada di dunia ini. Adapun
unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Susunan tersebut dibuat secara berurutan yang menggambarkan tingkat
kesukaran berubah, atau hal yang mudah tergantikan oleh budaya lain. Namun hal
tersebut bersifat umum sehingga terkadang pada kasus-kasus tertentu urutannya
dapat berubah. Kemudian Koentjaraningrat mengklasifikasikan hal tersebut
kedalam tiga bentuk yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu bentuk kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dsb. Sifatnya abstrak, tak dapat dilihat
ataupun diraba. Lokasinya berada dalam kepala –kepala atau alam pikiran.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas yang kompleks dari pola
kelakuan suatu masyarakat, atau sering diisebut juga dengan istilah sistem
sosial, hal tersebut berisi rangkaian aturan yang memiliki pola-pola
tertentu.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, hal tersebut
disebut juga dengan kebudayaan fisik yang berupa bentuk fisik yang
merupakan hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. oleh karena itu wujud ini adalah bentuk yang paling konkrit
dapat dilihat dan diraba.
10
Sikap
Sarnoff dalam Sarwono (2000) mengidentifikasi sikap sebagai kesediaan
untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif
(unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu. Krech dan Crutchfield (1963)
berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses
motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.
La Pierre (Azwar 2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan definisi
sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk
bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu
artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,
peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat
dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek
situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan
kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau
situasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi sosial,
individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah:
1. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,
penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
berbekas.
2. Kebudayaan. B.F. Skinner (Azwar 2005) menekankan pengaruh
lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian
seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten
yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang
dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku
tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
3. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap
konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
11
4. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti
televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila
cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam memsikapkan dan menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan
dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan lebih tahan lama. Contohnya bentuk sikap yang
didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.
Kerangka Pemikiran
Modernisasi merupakan suatu arus perubahan yang dapat mempengaruhi
dan merubah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat adat, sehingga banyak ahli
yang memandang bahwa modernisasi merupakan momok bagi keutuhan nilai
suatu bangsa, akan tetapi terdapat suatu perspektif yang memandang bahwa nilai
yang berisikan tuntunan hidup bagi penganutnya seharusnya dapat berakulturasi
dengan modernisasi sehingga mampu mengantarkan masyarakat tersebut kepada
kesejahteraan yang merupakan sasaran bagi modernisasi, dan tidak hanya itu
akulturasi dari dua hal tersebut juga seharusnya mampu memilah dan membuang
dampak-dampak negatif dari suatu proses modernisasi. Modernisasi di dalam
proses penetrasinya tentu membawa nilai-nilai tersendiri yang mana nilai tersebut
menurut Ogburn (1964) seperti dikutip oleh Arkanudin (2012) nilai-nilai tersebut
tentu akan bersinggungan dengan nilai masyarakat adat yang mana nilai adat
tersebut menurut Koentjaraningrat (1974) dapat diamati melalui konsep wujud
kebudayaan yang dia paparkan. Dari akulturasi yang tercipta maka hal tersebut
akan menciptakan suatu pandangan baru masyarakat adat terhadap modernisasi
yang berlangsung di tengah mereka, yang hal tersebut tercermin melalui sikap
mereka terhadap modernisasi itu sendiri. Ketika akulturasi yang baik tercipta
maka akan mendorong masyarakatnya untuk memiliki pandangan positif terhadap
modernisasi, sehingga keterdedahan modernisasi dapat berlangsung dengan baik
dan lancar karena disertai dorongan dan kontrol dari nilai adat.
12
Gambar 1 Kerangka pemikiran peranan nilai adat dalam modernisasi
Keterangan:
Saling mempengaruhi :
Mempengaruhi :
Penelitian secara deskriptif :
Hipotesis Pengarah
Nilai adat berperan positif di dalam akulturasinya dengan nilai modernisasi
sehingga mampu mendorong dan mengontrol proses modernisasi.
Hipotesis Uji
Semakin positif sikap masyarakat terhadap modernisasi maka semakin tinggi
tingkat keterdedahan media di masyarakat tersebut.
Definisi Konseptual
1. Tingkat Keilmiahan Berpikir. Tingkat keilmiahan berpikir dapat diukur
dengan menggunakan indikator apakah keluarga menggunakan cara-cara
yang terlembaga dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tingkat Pemanfaatan Relasi Birokrasi. Tingkat pemanfaatan relasi
birokrasi dapat dilihat dari seberapa sering keluarga berinteraksi dan
menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga birokrasi/pemerintahan
seperti bank, pegadaian, rumah sakit, dan lain-lain.
3. Tingkat Administrasi Keluarga. Tingkat administrasi keluarga dapat
diukur dari pengelolaan surat-surat berharga, manajemen keuangan, serta
pembagian warisan.
13
4. Tingkat Iklim Modernisasi Keluarga. Iklim modernisasi keluarga dapat
diukur dari penggunaan tekonologi yang tepat untuk mendukung
efektifitas kegiatan sehari-hari.
5. Tingkat Organisasi Keluarga. Tingkat organisasi keluarga dapat diukur
dengan apakah dalam keluarga terdapat pembagian tugas pokok dan fungsi
yang jelas dan terlaksana secara nyata.
6. Tingkat Perencanaan Sosial Keluarga Tingkat perencanaan sosial keluarga
dapat dikur dengan melihat seberapa besar usaha-usaha yang dilakukan
dan dipersiapkan oleh keluarga untuk menunjang kehidupan keluarganya
di masa depan, misalnya dengan pendidikan, investasi, deposito, dan
usaha-usaha lainnya.
Definisi Operasional
Sikap Masyarakat
Nilai (value) adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia,
sikap adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang
atau mengartikan sesuatu mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang
dianggap buruk, nilai merupakan inti (core) yang terkandung di dalam sikap, oleh
sebab itu maka sikap merupakan manifestasi kongkrit dari suatu nilai yang abstrak
sehingga dapat diamati dan dapat diukur. Untuk dapat melihat apakah suatu nilai
mampu berakulturasi dengan modernisasi maka nilai tersebut dapat diukur dengan
mengukur sikap masyarakat terhadap modernisasi yang ada di tengah mereka,
pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert yang mana
setiap jawaban atas pertanyaan memiliki rentang nilai yang berbeda.sangat
setuju(5) setuju: (4), ragu-ragu: (3), tidak setuju: (2), sangat tidak setuju (1). Hasil
penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori ( skala ordinal):
a.Sikap positif, total skor 110-150
b.Sikap netral, total skor 70-109
c.Sikap negatif, total skor 30-69
Tingkat Keterdedahan Media
Tingkat keterdedahan media (media exposure) adalah frekuensi responden
dalam menerima informasi melalui berbagai media, baik media cetak maupun
elektronik (6 jenis media : televisi, radio, koran, majalah/tabloid, brosur/selebaran
dan internet). Pengukuran tingkat keterdedahan media informasi ini menggunakan
skor yaitu sangat sering (5), sering (4), jarang (3), Pernah (2) tidak pernah (1).
penjumlahan skor jawaban dibagi menjadi kategori (skala ordinal) :
a. Terpaan media massa tinggi, total skor 38-50
b. Terpaan media massa sedang, total skor 24-37
c. Terpaan media massa rendah, total skor 10-23
14
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian kuantitatif yang akan dilakukan merupakan penelitian survei. Metode
kuantitatif dilakukan melalui pengisian kuesioner. Pendekatan kuantitatif ini
diharapkan dapat menjawab bagaimana peranan nilai adat dalam modernisasi.
Pendekatan kualitatif bersifat descriptive research dengan menggunakan teknik
wawancara mendalam terhadap informan.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini mengambil lokasi di Kampung Ciptagelar yang berada di
wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa
Kampung Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas
dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh
masyarakat pendukungnya. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan
sejak bulan April 2014.
Teknik Sampling
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari responden dan
informan. Unit analisis yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan rumah
tangga yang diwakili oleh individu yang ada di dalam keluarga tersebut.
Pemilihan tersebut dibuat dikarenakan individu yang diambil merupakan
perwakilan dari rumah tangga sehingga dapat diketahui gambaran dan kondisi di
dalam rumah tangganya. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan
dirinya.
Berdasarkan data, jumlah KK di Desa Ciptagelar adalah 112 KK.
Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin
sebagai berikut:
Keterangan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
e : Nilai kritis (batas ketelitian)
Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 persen sehingga
diperoleh responden sebanyak 31 KK dari jumlah populasi sampling 112 KK.
Sebagai cadangan apabila terjadi hal-hal yang diluar perkiraan terhadap responden
(seperti sakit, tidak bersedia di wawancara, dan lain lain) peneliti menambah
jumlah responden cadangan sebanyak 5 KK. Penentuan responden dipilih dengan
menggunakan metode simple random sampling. Penetapan responden dalam
n = N
1+ Ne2
16
wawancara kualitatif akan menggunakan metode snowball yaitu berdasarkan
informasi yang didapatkan di lokasi penelitian.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ialah data kuantitatif dan kualitatif.
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Data primer merupakan data mentah yang diperoleh secara langsung dari
pihak atau subyek yang berhubungan dengan penelitian, baik melalui
wawancara maupun kuesioner. Data ini kemudian diolah dan dianalisis
sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Data sekunder merupakan data hasil penelitian sebelumnya atau data yang
telah dikumpulkan oleh suatu lembaga kemudian dipublikasikan demi
kepentingan orang banyak.
Terdapat tiga teknik pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis:
1. Teknik observasi yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung ke
lokasi penelitian (Desa Ciptagelar).
2. Teknik wawancara yaitu dengan cara melakukan tanya jawab dan
memberikan kuesioner kepada para responden.
3. Teknik kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku
ataupun bahan bacaan lainnya yang berguna untuk tujuan penelitian.
Tabel 1. Panduan pengumpulan data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis,
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan
aplikasi Microsoft Excel 2010 dan IBM SPSS Statistics 22. Ada beberapa tahap
dalam pengolahan data kuantitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan teknik tabulasi silang dan tabel frekuensi kemudian uji korelasi
Rank Spearmen. Hal ini dilakukan untuk menguji hipotesa dan keabsahan guna
memastikan tidak ada informasi yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam tabulasi silang, akan menjelaskan hubungan antara sikap masyarakat
Variabel
Metode
Kuesioner Pengamatan Data
Sekunder
Wawancara
Mendalam
Sumber
Data
Nilai Adat
✓ ✓
Modernisasi
✓ ✓
Sikap Terhadap
Modernisasi
✓ ✓
Tingkat
Keterdedahan
Media
✓ ✓
17
dengan keterdedahan modernisasi. Sedangkan data kualitatif akan diolah melalui
tiga tahap analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.
18
PROFIL DESA CIPTAGELAR
Geografis
Kampung Adat Ciptagelar merupakan salah satu kawasan yang dihuni
oleh kelompok masyarakat adat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (TNGH) Salak. Secara administratif wilayah kerja Taman
Nasional Gunung Halimun Salak meliputi tiga wilayah administratif
pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak.
Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari
kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan
merupakan bagian dari kabupaten Lebak) dan 101 desa yang berbatasan langsung
dengan wilayah TNGHS.
Sebelah utara : Kabupaten Lebak Propinsi Banten
Sebelah selatan : Desa Cicadas
Sebelah timur : Kecamatan Kabandungan
Sebelah barat : Desan Cicadas
Salah satu kampung yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun, yaitu di Kampung Ciptagelar, yang secara geografis terletak pada 106º
27'-106º 33' BT dan 6º 52' - 6º 44' LS. Kampung Ciptagelar terletak pada
ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang berbukit,
dimana terdapat hutan dan makam pada topografi teratas sedangkan pada
topografi paling bawah terdapat sawah dan sungai. Kampung Ciptagelar dapat
dicapai dengan menggunakan tiga jalur. Jalur pertama melalui wilayah Citepus
Pelabuhan Ratu, kemudian jalur kedua melalui Gunung Bongkok Cisolok
Sukabumi dan yang terakhir melalui jalur Lebak Banten. Jalur yang paling dekat
untuk ditempuh adalah melalui jalur Citepus Pelabuhan Ratu, namun hanya mobil
penggerak 4 roda saja yang dapat melaluinya, atau dengan menggunakan ojek di
wilayah tersebut. Apabila melalui jalur Citepus maka kita akan melewati
Kampung Ciptarasa, yaitu kampung yang digunakan sebelum masyarakat pindah
ke Kampung Ciptagelar, dimana terdapat hutan dan makam pada topografi teratas
sedangkan pada topografi paling bawah terdapat sawah dan sungai. Jalur yang
mudah dilalui oleh mobil biasa namun jaraknya lebih jauh adalah melalui jalur
Gunung Bongkok yang sepanjang perjalanan melalui bukit-bukit gunung dan
pemandangan hutan dan sawah yang indah. Didalamnya terdapat 568 dusun yang
tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Kampung Ciptagelar berjarak sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah
Cisolok dan sekitar 200 km dari Jakarta. Jumlah kepala keluarga yang terdapat di
kawasan kampung Ciptagelar sendiri sebagai pusat pemerintahan kasepuhan saat
ini adalah 112 KK.
Potensi alam yang terdapat di Kampung Ciptagelar terdiri atas: leuweung
(hutan alam), kintir (hutan tanaman), huma (ladang), jami (bekas huma yang
ditinggalkan kurang dari setahun; umumnya berupa jukut (rumput), reuma (bekas
huma yang ditinggalkan lebih dari setahun; umumnya berupa semak belukar),
sawah darat (tadah hujan), talun, kebun cengkeh, kebun semusim (umbi-sayur-
buah), tegalan (legal awi atau legal jukut), sampalan (tempat penggembalaan
20
kerbau), leuweung sirah cai (hutan lindung khusus mata air), balong (kolam ikan)
dan lembur (pemukiman). Menurut masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, hutan
adalah kehidupan mereka yang harus terus dijaga dan dilestarikan Kondisi
geografis yang berupa pengunungan harus dijaga dan dilestarikan demi
keselamatan anak cucu. Oleh karena itu, leluhur mewariskan sistem tata kelola
hutan kepada pemimpin di Kampung Ciptagelar.
Sejarah Desa Ciptagelar
Sejak tahun 1963 masyarakat Kampung Ciptagelar ini telah menghuni
kawasan Gunung Halimun Salak. Desa Ciptagelar dalam berdirinya tidak terlepas
dari mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana
mestinya. Penduduk di Kampung Ciptagelar dapat disebut sebagai penduduk yang
masih hidup dengan menerapkan sistem nomaden (berpindah-pindah) yang
dimana mereka akan berpindah atas perintah dari pemimpinnya. Dalam bahasa
Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan
bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung
Ciptagelar menyebut diri mereka sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan,
serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer
Pangawinan, berasal dari kata pancer yang berarti asal-usul atau sumber.
Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya “membawa
tombak saat upacara perkawinan”.
Berdirinya Kampung Ciptagelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan
tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk
Kampung Ciptagelar merupakan penduduk pindahan dari Kampung Ciptarasa.
Perpindahan ini didahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh
Abah Anom. Maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris
kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut.
Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya dibawa pindah. Lokasi
baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru
dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan
kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi
Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai pucuk
pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya
yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah.
Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena
“perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh
Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak,
mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga
Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
Bukti sejarah Sejauh ini bukti sejarah, menurut Djuanda, memang masih banyak pihak
yang meragukan keberadaan warga Kampung Ciptagelar tersebut memiliki
hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Tapi, jika melihat
situs yang berada di sekitar kampung Pangguyangan diduga kuat berkaitan
peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon
hanjuang (pajajaran).
21
Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, jika dilihat dari ilmu
arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu
jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu
dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda
merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikut Kerajaan Pajajaran.
Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar pasukan
dari Kerajaan Banten dan mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia)
lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu
Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang.
Tanpa berpikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan
pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing, demi menyelamatkan diri.
Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka
akhirnya berpencar. Sebagian diantaranya cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug
(Bogor), dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas
(Sukabumi), sedangkan, Prabu Siliwangi ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Potensi Alam
1. Leuweng Titipan (sekitar 60 %), merupakan hutan yang harus dijaga dan
dilindungi. Wilayah hutan ini tidak boleh dimasuki dan tidak boleh
dimanfaatkan apapun sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya tanpa ijin
terlebih dahulu dari pemimpin adat (Abah). Leuweng Titipan harus terus
dijaga dan dilindungi demi keberlanjutan hidup warga Kasepuhan. Selain
digunakan untuk melindungi mata air yang digunakan untuk pertanian,
daerah hutan ini biasanya juga di sakralkan.
2. Leuweng Tutupan (sekitar 20 %), merupakan hutan yang berfungsi sebagai
sistem penyangga dan juga untuk melindungi perkampungan. Warga hanya
boleh mengambil hasil hutan non-kayu di daerah ini.
3. Leuweng Bukaan atau Garapan (sekitar 20 %), merupakan hutan yang
dibuka dan digunakan untuk pertanian (sawah ataupun ladang),
Agroforestry (paduan tanaman pertanian dan kehutanan), perumahan, jalan,
masjid, dan berbagai kebutuhan ekonomi lainnya untuk menunjang
kehidupan masyarakat.
Huma atau ladang lebih dikenal dengan sebutan reuma oleh masyarakat adat
Kampung Ciptagelar. Dalam pengelolaan secara adat, reuma dibagi menjadi tiga,
yaitu :
1. Huma ngora merupakan lahan bekas garapan masyarakat yang kemudian
ditinggalkan selama kurang lebih dua hingga tiga tahun kemudian lahan
tersebut dapat dibuka kembali untuk dijadikan lahan garapan.
2. Huma kolot adalah lahan yang merupakan bekas garapan masyarakat yang
kemudian ditinggalkan masyarakat lebih dari tiga tahun.
3. Huma sampalan yaitu lahan yang merupakan bekas garapan kemudian
oleh masyarakat dimanfaatkan untuk mengembalakan kerbau.
Kebun merupakan lahan bekas ladang yang ada di sekitar pemukiman dan
ditanami berbagai jenis tanaman sayuran, obat-obatan dan buah-buahan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil dari perkebunan bisa dijual untuk
22
keperluan sehari-hari. Namun masyarakat dilarang untuk menjual padi. Bagi
masyarakat di Desa Ciptagelar, siapa yang menjual padi maka sama saja dengan
menjual kehidupannya. Dalam setahun masyarakat hanya akan menanam padi
sekali. Oleh karena itu, biasanya masyarakat di sana akan menanam komoditas
lain yang bisa dijual guna menambah pendapatan. Luas hutan yang menjadi
potensi alam dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Potensi alam Desa Ciptagelar
Penduduk Desa Ciptagelar
Berdasarkan data yang di dapat dari pemerintahan setempat, pada Tahun
2014 di Desa Ciptagelar terdapat 112 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 493
orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 252 orang dan jumlah
penduduk perempuan sebanyak 241 orang.
Bahasa
Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Desa Ciptagelar banyak
menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi antar individu. Bahasa
Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum naskah-
naskah sunda kuno atau prasasti Kerajaan-kerajaan sunda diciptakan, yang mana
di dalam masyarakat adat komunikasi menggunakan lisan melalui bahasa sangat
dihargai dan dijunjung tinggi oleh nilai adatnya, mereka menamainya dengan
hukum kabendon, yang mana hukum tersebut lebih menghargai apabila hukum-
hukum yang ada ditengah masyarakat diwariskan kesetiap generasi melalui lisan
dan kekuatan hafalan, bukan dengan tulisan karena sifat dari tulisan membuat
orang mudah untuk tidak menghafal dan mengingat sesuatu dikarenakan hukum
itu tertulis sehingga hukum adat yang berlaku tidak berada di dalam pikiran
masyarakat melainkan berada di secarik kertas, sehingga hal tersebut
memungkinkan orang untuk melakukan kesalahan dikarenakan dia tidak tau atau
tidak hafal dengan hukum yang berlaku. Peran bahasa merupakan peran sentral
dalam adat mereka, mereka melakukan ritual serta meneruskan ritual dari generasi
ke generasi dengan menggunakan bahasa.
23
Dalam budaya masyarakat Ciptagelar, bahasa merupakan salah satu cara
dalam memberikan penghormatan kepada seseorang yang dianggap lebih tua
barik secara adat maupun usia, bahasa sunda memiliki tingkatan-tingkatan tertentu
yang penggunaannya tergantung sejauh mana subjek pengguna bahasa
menghargai dan menghormati lawan bicaranya, semakin dia menghormati maka
pilihan kata yang digunakan dalam perbincangan tersebut semakin halus. Dalam
melakukan beragam ritual yang mengharuskan komunikasi antar individu seperti
meminta izin untuk menanam padi, izin kedatangan, izin kepergian dan lain lain,
harus menggunakan bahasa sunda halus dan buhun yang biasanya digunakan dan
dimengerti oleh para baris kolot. Apabila ada seseorang yang ingin melakukan
suatu ritual yang mengharuskan mereka menggunakan bahasa sunda buhun
namun mereka tidak bisa menggunakan bahasa tersebut maka mereka dapat
diwakilkan oleh para baris kolot yang dapat menggunakan bahasa tersebut.
Mata pencaharian
Secara umum masyarakat di Ciptagelar bermatapencaharian sebagai petani.
Demi keberlangsungan hidup, masyarakat diharuskan menanam padi sekali dalam
setahun. Uniknya, bagi masyarakat Ciptagelar, padi merupakan sesuatu yang
sakral yang tidak boleh diperjualbelikan. Masyarakat percaya, barang siapa yang
berani memperjual belikan padi, beras ataupun sejenis olahannya yang berasal
dari padi niscaya akan mendapatkan kabendon (kemalangan) dari leluhurnya.
Oleh karena itu, pada umumnya masyarakat yang bekerja sebagai petani akan
menanam tanaman lain seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan juga beternak
untuk diperjualbelikan demi keberlangsungan hidup mereka. Masyarakat di
Ciptagelar juga banyak yang mulai bekerja di luar desa, seperti bekerja sebagai
penambang emas, sedangkan urusan perswahan akan diserahkan kepada istri atau
keluarganya. Namun, biasanya pada saat musim panen mereka yang bekerja di
luar desa akan pulang untuk melaksanakan upacara ritual adat.
Bagi masyarkat Ciptagelar, bertani bukan hanya dipandang sebagai
pekerjaan namun merupakan sebagai identitas mereka. Leluhur mereka telah
mewariskan ilmu dan sistem pertanian, oleh karena itu incu putu atau pengikut
harus terus menjaga dan melestarikan apa yang telah diwariskan oleh leluhur.
Selain bertani, masyarakat di Ciptagelar juga memiliki pekerjaan lain guna
memenuhi kebutuhan mereka seperti berniaga, membuka layanan jasa seperti
bengkel dan servis elektronik. Berkembangnya teknologi di Ciptagelar telah
mendorong motivasi mereka untuk menjadi sosok mandiri yang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Teknologi seperti televisi, radio, internet dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh masyarakat sebagai sumber pengetahuan bagi mereka.
Masyarakat juga saat ini banyak yang melakukan kegiatan bisnis jual beli online
dengan memanfaatkan layanan internet dan teknologi ponsel blackberry. Selain
itu ada juga masyarakat yang beternak kambing dan memelihara ikan yang
nantinya hasil dari ternak tersebut akan dijual ke pasar yang terdapat di pelabuhan.
Fasilitas
Fasilitas yang terdapat di Kampung Ciptagelar sudah cukup lengkap. Saat
ini hampir seluruh wilayah sudah terjangkau listrik. Listrik dihasilkan dari turbin
yang dikelola secara kolektif bersama masyarakat. Iuran dikenakan sesuai dengan
pemakaian daya dan kemampuan warga. Meskipun belum seluruh wilayah
24
terjangkau, namun Abah berniat untuk terus memperbanyak turbin, sehingga
kedepannya listrik akan menjangkau seluruh wilayah.
Internet juga menjadi fasilitas yang saat ini ramai dinikmati warga di
Kampung Ciptagelar. Upaya yang dilakukan Abah adalah bekerjasama dengan
beberapa pihak untuk membuat kabel jaringan dan memasang router wifi yang
dapat diakses oleh warga. Fasilitas ini sangat diminati oleh warga.
Dalam bidang pendidikan, disana sudah memiliki bangunan sekolah
sendiri. Bangunan sekolah berada di tengah pemukiman warga sehingga tidak
sulit untuk mengakses ke sekolahan bagi warga. Bangunan sekolah dipergunakan
untuk SD dan SMP, sedangkan bagi SMA harus berjalan sekitar 8 Km ke arah
Lebak. Tempat beribadah di Kampung Ciptagelar juga terdapat cukup banyak.
Dalam bidang Agama, di sana sudah terdapat masjid dan juga langgar
(mushola). Mayoritas masyarakat di sana memeluk agama islam, sedangkan bagi
masyarakat yang memeluk agama selain islam harus berjalan ke arah pelabuhan
ketika ingin beribadah.
Dalam bidang kesehatan, di sana juga sudah terdapat puskesmas yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan. Tenaga medis juga telah
disiapkan. Namun tak dipungkiri, tenaga medis yang terdapat disana masih sedikit
sehingga masih perlu ditambah. Belakangan ini juga abah menyediakan mobil
ambulance yang diperuntukkan bagi warga.
Secara umum, fasilitas yang disediakan bagi masyarakat sudah tersedia
dengan lengkap. Hal ini tidak terlepas dari peranan abah selaku pemimpin adat
untuk terus melakukan upaya-upaya baru demi menciptakan fasilitas yang dapat
dinikmati dan diurus secara kolektif bersama masyarakat.
Struktur Kelembagaan Desa Ciptagelar Dari tingkat organisasi keluarga masyarakat ciptagelar memiliki
pembagian tugas pokok yang jelas, pembagian tugas pokok tersebut diturunkan
secara genetis sehingga setiap keluarga memiliki fungsi yang berbeda satu sama
lain dan dapat saling menopang. Tujuan dari pembagian tugas secara genetis ini
bertujuan agar spesialisasi dari tiap pemegang tugas tetap terjaga baik dari segi
kualitas maupun rahasia-rahasia dari sisi magis di nkalangan mereka. Oleh karena
itu terdapat pembagian tugas yang jelas di dalam keluarga masyarakat ciptagelar
sehingga fungsi-fungsi masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik guna
mencapai kesejahteraan. Garis koordinasi dalam organisasi kemasyarakatan pun
jelas mulai dari kolot lembur yang ada di setiap desa sebagai perpanjangan tangan
kasepuhan di setiap desa, kemudian untuk di pusat pemerintahannya abah dibantu
oleh rorokan dan baris kolot.
Yang terdiri dari beberapa orang yang dianggap sebagai sesepuh
masyarakat Ciptagelar. Pada Gambar di atas dapat dilihat bahwa di kampung
Ciptagelar terdapat struktur kelembagaan. Abah Ugi selaku pemimpin adat
dibantu oleh para baris kolot. Para baris kolot dibentuk dan dibagi sesuai dengan
tugasnya masing-masing. Setiap baris kolot bertanggung jawab terhadap bidang
yang telah dipegangnya masing-masing. Baris kolot tersebut ditentukan
berdasarkan garis keturunan.
Baris kolot juga bertugas sebagai penasehat Abah dalam menentukan
kebijakan dan membuat keputusan. Selain Kampung Ciptagelar, terdapat 568
25
dusun lain yang berafiliasi secara adat pada Kampung Ciptagelar. Di dalam setiap
dusun terdapat perwakilan adat yang disebut dengan kolot lembur. Selain kolot
lembur tiap dusun memiliki pejabat-pejabat dusun yang memiliki tugas tertentu,
diantaranya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran
(memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru doa, juru pantun,
dukun jiwa, dukun tani dan juru sawer. Untuk lebih jelasnya dapat melihat
struktur organisasi yang ada pada Gambar 3.
Baris kolot juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap
permasalahan yang di hadapi oleh Desa. Jika terdapat permasalahan terkait Desa,
maka Abah akan melaksanakan rapat bersama baris kolot. Seluruh saran yang
bersifat konstruktif akan ditampung dan pada tahap akhir Abah selaku pemimpin
yang akan membuat keputusan. Baris kolot umumnya hanya bekerja sebagai
petani dikarenakan memiliki jabatan. Hampir tidak ditemui baris kolot yang
bekerja di luar desa. Selain itu, jika ada tamu yang datang berkunjung ke Desa
Ciptagelar, maka baris kolot yang akan pertama kali menuntun tamu tersebut.
Tamu akan dijelaskan mengenai aturan-aturan adat secara umum oleh baris kolot
sehingga tamu mengetahui aturan secara adat sebelum tamu bertemu dengan abah
Ugi.
Gambar 3 Struktur Organisasi
26
PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI
Nilai adat merupakan hukum yang berlaku di Kampung Ciptagelar yang
bersifat tidak tertulis. Hukum yang biasa disebut hukum adat tersebut telah
diterapkan oleh leluhur di Kampung Ciptagelar yang kemudian diturunkan dari
generasi ke generasi secara lisan. Masyarakat adat di Kampung Ciptagelar sangat
mematuhi hukum dan aturan adat yang berlaku. Mereka percaya bahwa hukum
dan aturan adat yang ada bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan
memfasilitasi keberlangsungan hidup masyarakat Kampung Ciptagelar sendiri.
Sikap kepatuhan dan kesetiaan masyarakat Kampung Ciptagelar terhadap hukum
dan aturan adat muncul dari keyakinan mereka terhadap adanya pamali, yaitu
merupakan istilah adat untuk bentuk hukuman atau ganjaran yang merupakan
sanksi yang akan didapat oleh anggota masyarakat adat jika melanggar hukum
dan peraturan adat, sanksi tersebut dapat berupa sanksi sosial maupun sanksi fisik
yang diberikan oleh pemimpin adat atau masyarakat adat.
Masyarakat Kampung Ciptagelar tidak mendapatkan paksaan atau
desakan dari Ketua Adatnya dalam menjalankan aturan-aturan adat. Jika mereka
melanggar aturan-aturan tersebut, mereka tidak akan mendapatkan teguran
ataupun hukuman melainkan akan mendapatkan walatan atau kualat, yaitu suatu
hukuman yang tidak bisa dilihat secara fisik, namun dapat dirasakan langsung
oleh si pelanggar hukum tersebut, bisa berupa sakit atau bahkan kematian.
Kepercayaan tersebut membuat masyarakat adat sangat percaya terhadap pamali
dan kualat. Mereka terus menjaga dan melestarikan hukum adat yang telah
diberlakukan sejak dahulu kala. Hukum adat yang berlaku di Kampung Ciptagelar
memiliki nilai kearifan yang tinggi terutama yang berkaitan dengan pelestarian
lingkungan. Bagi masyarakat adat Kampung Ciptagelar alam merupakan warisan
dari leluhur dan harus terus dijaga untuk kehidupan masyarakat. Nilai kearifan
lingkungan dalam hukum adat di Ciptagelar terwujud dalam peraturan-peraturan
adat mengenai pengelolaan dan penggunaan lahan di wilayah adat Kampung
Ciptagelar. Masyarakat Kampung Ciptagelar sangat menjaga hutan dan
lingkungan tempat mereka tinggal mereka meyakini bahwa jika hutan, sumber
mata air, dan lahan pertanian yang ada di lingkungan mereka dijaga maka
keberlangsungan dan kesejahteraan hidup mereka juga akan terjaga pula. Ada
berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Ciptagelar dalam
rangka menjaga kelestarian hutan. Beberapa diantaranya yaitu membentuk
Pamswakarsa yang bertugas melakukan patroli hutan dan menjaga hutan dari
kegiatan penebangan liar, Pamswakarsa beranggotakan masyarakat adat dari
Kampung Ciptagelar yang bekerja secara sukarela.
Sikap Masyarakat Adat Terhadap Modernisasi
Ideal
Nilai adat merupakan satu-kesatuan gagasan yang berwujud ideel, sifatnya
abstrak, tak dapat diraba atau difoto, lokasinya berada di dalam kepala-kepala atau
dengan kata lain lisan sehingga nilai adat tersebut hidup di dalam pikiran mereka.
Hal tersebut yang dikatakan oleh Koentjaraningrat sebagai Wujud ideal dari
kebudayaan dan Masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul menyebutnya sebagai
28
Kabendon. Nilai tersebut sarat akan pengetahuan-pengetahuan lokal yang menjadi
pedoman tata kelakuan mereka, yang bersifat mengatur, mengendalikan, dan
memberi arah kepada perbuatan individu yang memegang nilai tersebut.
Melihat definisi tersebut maka nilai adat merupakan hal yang mengatur
pola pikir hingga pola berprilaku seseorang, penganut nilai adat tersebut adalah
masyarakat adat yang mayoritas berada di beragam daerah terpencil dan tertinggal.
Oleh karena itu di Indonesia, sebagaimana di banyak negara sedang berkembang
lainnya, pembangunan diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki dan
dibutuhkan, apa saja yang dilihat tertinggal ataupun terbelakang dan tidak
mengalami perubahan dengan sendirinya dianggap sebagai penghalang
pembangunan bahkan nilai adat yang tak berwujud pun dianggap sebagai
penghalang, dikarenakan nilai tersebut mendorong seseorang untuk berkehidupan
yang tidak sesuai dengan pembangunan sosio-ekonomi, oleh karena itu banyak
program pembangunan yang bertujuan menghilangkan nilai adat agar tidak
mengganggu jalannya pembangunan.
Pandangan dan sikap seperti itu terhadap nilai adat masyarakat Kampung
Ciptagelar sangat keliru karena kebudayaan ideal atau kabendon merupakan tata
kelakuan yang telah terbukti mengantarkan masyarakat adat ciptagelar menuju
kesejahteraan semenjak ratusan tahun dahulu dan masih bertahan hingga saat ini.
Oleh karena itu apabila dikatakan nilai adat menghambat pembangunan sosio-
ekonomi, lantas bagaimana dengan kabendon yang telah terbukti berhasil
membangun sosio-ekonomi mereka selama ratusan tahun. Hal itu menunjukan
bahwa nilai adat mereka justru memiliki bukti empiris yang kuat dalam
menunjang proses sosial, ekonomi, dan ekologi masyarakat secara mendasar.
Lebih dari penelitian yang saya lakukan menunjukan bahwa kebudayaan
tradisional bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, dan disitulah
peranan nyata nilai adat yang seharusnya hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh
para perencana pembangunan untuk mendorong proses modernisasi bagi mereka.
Oleh karena itu apabila perencanaan pembangunan di dasari dengan evaluasi
empiris yang mampu melibatkan seluruh pihak terkait, Maka dapat terlahir
akulturasi yang baik antara pembangunan yang membawa modernisasi dengan
nilai adat masyarakat.
Pada masyarakat adat Ciptagelar terlihat peranan nilai adat tidak hanya
berperan dalam membangun ketahanan pangan dan kesejahteraan hidup, namun
terlihat peranan nilai adat tersebut di dalam membawa kemajuan pembangunan
khususnya teknologi yang terjadi di Kampung tersebut, nilai adat menjadi motor
penggerak bagi jalannya masyarakat menuju kepada kemajuan pembangunan,
sehingga masyarakat dengan diketuai oleh pemimpin adat bersama-sama bahu
membahu untuk belajar dan memanfaatkan teknologi guna membawa
kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal dengan
perkembangan zaman sesuai dengan ajaran Kabendon mereka yang melarang dan
mendorong mereka agar tidak tertinggal dengan perkembangan zaman yang ada.
Nilai adat tersebut yang mendorong masyarakat untuk bersama terbuka
terhadap perkembangan zaman dari berbagai bidang, meski sistem pengetahuan
yang berasal dari nilai adat mereka bertolak belakang dan tidak dapat diterima
oleh sistem pengetahuan ilmiah namun mereka tidak menolak dan bahkan
berakulturasi dengan berbagai pengetahuan tersebut. Sebagai contoh di sektor
kesehatan apabila seseorang itu sakit maka mereka tetap berobat ke puskesmas
29
dengan penanganan ilmu medis, namun apabila masih belum sembuh maka
mereka akan mencari penyebab sakit mereka secara kaidah tradisional kepada
“dukun” setempat sekaitan hal magis apa yang meyebabkan dan memicu penyakit
tersebut dan setelah diketahui penyebabnya biasanya sang dukun memberikan
ritual-ritual yang perlu dilakukan untuk menghapuskan penyakit dari sisi magis
baru kemudian setelah menyelesaikan ritual maka mereka pun kembali lagi ke
puskesmas untuk kembali di tangani secara medis, karena menurut mereka ketika
faktor magis dari suatu penyakit belum dihilangkan maka faktor medis tidak akan
dapat berpengaruh terhadap kesembuhan mereka. Jadi masyarakat cipta gelar
tidak menganggap kedua cara pengobatan baik medis maupun tradisional sebagai
sistem pengobatan yang saling menafikan, melainkan setiap sistem pengobatan
memiliki ranahnya masing-masing sehingga bila dikaitkan dengan cara berpikir
mereka maka sistem pengetahuan mereka dan pengetahuan ilmiah umum
merupakan dua hal yang tidak saling menghilangkan satu sama lain.
Hal tersebut menunjukan kemampuan nilai adat dalam berakulturasi secara
terbuka dengan kemajuan zaman, sehingga nilai adat selalu menjadi bagian dan
tetap tidak terpisahkan dengan beragam kemajuan yang ada, tidak hanya pada
sektor kesehatan namun terjadi secara bersamaan di berbagai sektor mulai dari
teknologi, energi, informasi, birokrasi, administrasi dan beragam sektor lainnya.
Hal itu menunjukan sifat dinamisme dan keterbukaan dari nilai adat dalam
membawa dan mengawal perubahan masyarakat menuju kesejahteraan yang lebih
baik.
Aktivitas
Setelah mengamati ketujuh unsur di dalam kebudayaan masyarakat
Ciptagelar maka saya melihat nilai adat sebagai perangkat nilai yang dimiliki
masyarakat dalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak
dipengaruhi oleh lingkungan dimana mereka tinggal, adat tersebut terbangun dari
akumulasi hasil interaksi manusia dan alam, yang dimana di dalam setiap
interaksi tersebut membuahkan sebuah pemgalaman, yang pengalaman tersebut
menjadi sitem pengetahuan yang mereka miliki dan merupakan hasil warisan
turun temurun. Pengetahuan mereka berakar dari alam sehingga aturan mereka
lebih mengatur keseimbangan kehidupan antara alam dengan manusia. Akumulasi
pengetahuan tersebut yang sarat akan nilai keharmonisan hidup dengan alam
terimplementasikan di dalam norma kehidupan mereka yang memperlihatkan
bahwa sistem pengetahuan mereka merupakan dasar dari keyakinan mereka dalam
melakukan ritual keagamaan sehingga antara pengetahuan dan keyakinan mereka
yang berasal dari alam merupakan satu kesatuan. Contoh pengetahuan yang juga
merupakan keyakinan masyarakat dapat dilihat dari sistem pertanian yang
menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul
pemerintah, karena akar dari nilai adat mereka berasal dari pertanian sehingga
sebisa mungkin keaslian dari akar adat mereka terus menerus dijaga sehingga
teknologi yang digunakan di dalam proses pertanian baik dari segi makro maupun
mikro tidak ada yang berubah dari zaman leluhur mereka, hal tersebut terus dijaga
dan dibiarkan “tertinggal” dari perkembangan zaman yang ada dikarenakan akar
kebudayaan mereka berasal dari pertanian sehingga sebisa mungkin mereka akan
berusaha menjaga kelestarian budaya tersebut. Hal inilah yang disebut oleh
Ogburn sebagai cultural lag.
30
Namun di balik penolkan terhadap teknologi pertanian tersebut terbukti
mampu membawa keuntungan tersendiri dari segi ekologi. Dikarenakan dalam
pertanian tradisional penanaman padi hanya dilaksanakan satu tahun sekali maka
sawah mereka memiliki waktu untuk mengembalikan kesuburan tanah sehingga
proses panen yang ada tidak pernah gagal karena waktu “istirahat” yang telah
diberikan kepada lahan garapan bertujuan mengembalikkan kembali kesuburan
tanah tanpa menggunakan zat-zat kimia, sehingga hasil panen mereka selalu
berhasil dan kualitas beras mereka merupakan kualitas beras organik. Hal inilah
yang menjadi peranan nilai adat dalam akulturasinya dengan modernisasi, nilai
adat yang mengutamakan keseimbangan dengan alam menolak eksploitasi alam
demi kepentingan materi. Meskipun mereka sebenarnya bisa melakukan panen
lebih dari satu kali dalam setahun.
Penolakan terhadap teknologi dari bidang pertanian tersebut bukanlah
suatu penghambat dari modernisasi terbukti dari segi pangan mereka mengalami
kelimpahan dan tidak pernah kekurangan bahkan untuk para tamu sekalipun.
Penolakan tersebut menunjukan peranan nilai dalam melakukan kontrol terhadap
proses modernisasi yang masuk. Melihat dari kelimpahan pangan yang ada, dan
sensitifitas nilai adat terhadap pertanian maka peran modernisasi dalam pertanian
sangat tidak strategis dan justru mampu melemahkan kekuatan nilai adat yang
akarnya adalah pertanian dalam menggerakan masyarakat. Oleh karena itu nilai
adat berperan dalam menolak beragam dampak negatif dan terbuka dengan hal
positif yang ditawarkan oleh modernisasi.
Keterbukaan tersebut terlihat pada aktivitas masyarakat dalam membangun
stasiun televisi CIGA TV. Stasiun tv ini di buat untuk menayangkan realita guna
menyaingi dongeng ataupun hal-hal fiktif yang disajikan oleh beragam media
lainnya oleh karena itu acara yang ditayangkan di ciga tv adalah realita kehidupan
sehari-hari masyarakat Ciptagelar, tujuan dari ciga tv ini untuk memberikan
gambaran pada masyarakat bahwa dari beragam dongeng mimpi dan hal-hal fiktif
yang ada tidak membawa manfaat secara real bagi mereka, ciga tv ada untuk
memberikan gambaran real tentang keadaan mereka dan bahkan gambaran
masing-masing individu yang ada di Ciptagelar, sehingga mereka tidak terbuai
dan terlena dengan mimpi-mimpi yang ada, selain itu fungsi ciga tv untuk
masyarakat adat adalah agar warisan budaya mereka bisa tersampaikan dari
generasi ke generasi, dengan adanya ciga tv generasi penerus akan melihat,
mengenal dan mengingat budaya mereka sehingga mereka bukti fisik dan bukti
kebudayaan yang terekam dapat terus menerus diwariskan.
Oleh karena itu nilai adat dalam peranannya yang menciptakan
keterbukaan terhadap proses modernisai, mampu mendorong masyarakat
ciptagelar untuk melakukan beragam adopsi teknologi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan mereka. Beragam adopsi teknologi yang ada di tengah masyarakat
disebabkan dorongan nilai adat mereka yang mengharuskan mempelajari
perkembangan zaman untuk mensejahterakan mereka. Oleh karena itu dengan
dipimpin oleh ketua adat mereka, masyarakat Ciptagelar perlahan-lahan
mempelajari dan memanfaatkan beragam fasilitas yang ditawarkan di zaman
modern ini. Ketua adat mereka sebagai bagian dari perangkat nilain adat mereka
mampu mengarahkan dan membawa beragam teknologi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan warganya. Mulai dari pembangunan jalan, pemanfaatan kendaraan
bermotor, pemanfaatan energi listrik, pemanfaatan teknologi informasi dan
31
bahkan pemanfaatan birokrasi kenegaraan, berikut adalah kutipan dari warga
setempat sekaitan pemanfaatan birokrasi yang ada.
“ Dulu nama koperasi kita Komet (koperasi masyarakat desa ci cemet), ya
karena sekarang kita semakin maju, ya namanya juga maju dong M nya
ditambahin satu jadi Kommet (Koperasi masyarakat menuju era teknologi)”
(KAP - 26 Tahun) (Lampiran catatan harian tema modernisasi bagian sistem
administrasi)
Nilai lokal mereka telah memberikan rangkain tugas dan sistem kehidupan
guna menjaga keutuhan tradisi dan kesejahteraan mereka. Kearifan lokal yang
mereka miliki mampu menyaingi sistem-sistem formal lainnya serta tingkat
efektifitas dan efisiensi dari sistem kemasyarakatan yang mereka miliki dapat
dikatakan sangat baik, melihat bahwa setiap orang mampu menjalankan dan
memenuhi kewajibannya atas dasar kesadaran dan kepatuhan mereka terhadap
nilai adat yang mereka anut, dimana nilai merupakan tahap tertinggi dari faktor
yang mendorong seseorang untuk taat terhadap aturan yang ada di dalam
organisasi. Oleh karena itu nilai adat yang ada di ciptagelar mampu menggerakan
dan mengarahkan masyarakatnya dikarenakan di dasari oleh sebuah nilai yang
mana nilai tersebut yang menjadi roda pendorong bagi berjalannya aktivitas di
dalam organisasi tersebut dan bukan berasal dari ketakutan akan hukuman
ataupun harapan akan imbalan.
Benda
Meskipun masyarakat Ciptagelar masih memegang dan menjaga nilai adat
namun mereka tidak tertinggal oleh perkembangan zaman khususnya teknologi.
Mereka mengadopsi beragam peralatan modern guna membantu aktivitas mereka
agar mencapai kesejahteraan. Alat penerangan yang ada di sana sudah
menggunakan listrik yang di inisiasi oleh pada masa kepemimpinan Abah Anom
dan dilanjutkan oleh Abah Ugi, teknologi tersebut dibuat dengan bekerja sama
dengan sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil
seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun
listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur.
Dengan adanya listrik maka tidak menuntup kemungkinan masuknya
berbagai teknologi dan alat komunikasi, mulai dari handphone, televisi,
kendaraan bermotor, gadget, internet, dan lain lain. Namun mereka mengerti dan
mengetahui bahwa dengan masuknya beragam teknologi tersebut akan membawa
beragam perubahan baik maupun buruk, oleh karena itu mereka memanfaatkan
beragam teknologi tersebut tidak hanya atas manfaatnya untuk kepentingan
pribadi akan tetapi juga untuk menanamkan dan mengenalkan nilai adat dan
kebudayaan mereka sehingga hal tersebut menjadi pagar pembatas yang bertujuan
agar masyarakat tidak lupa dan selalu ingat terhadap nilai adat mereka, sebagai
contoh adanya kamera digunakan untuk proses dokumentasi kegiatan dan
aktivitas keseharian mereka agar dapat dilihat dan diwariskan ke generasi
penerusnya sehingga mereka mengenal adat dan budaya mereka, kemudian
televisi di manfaatkan sebagai media penyiaraan nilai dan adat mereka sebagai
penyeimbang masuknya budaya dan nilai-nilai dari luar dikarenakan mereka sadar
32
bahwa masuknya beragam teknologi membawa seperangkat dampak negatif yang
dapat merusak adat mereka.
Di dalam catatan harian yang terlampir pada bagian sistem dan teknologi
peralatan dapat terlihat bagaimana disamping beragam adopsi teknologi yang
terjadi di masyarakat adat tersebut, nilai adat mampu berjalan beriringan dan tetap
menjadi bagian di dalam penggunaan alat kehidupan sehari-hari bagi seluruh
masyarakat Kampung adat tersebut. Nilai adat mampu berakulturasi dengan
beragam teknologi yang ada sehingga tidak hanya keberadaan nilai adat saja yang
terjaga namun pengguna teknologi yang ada pun terjaga dari beragam dampak
negatif yang dibawanya dikarenakan keberadaan nilai adat.
Melihat kemajuan dari peralatan teknologi yang ada di Kampung tersebut
namun tetap berimbang dengan nilai adat yang ada di tengah mereka, tentu tidak
terlepas dari peran abah ugi sebagai ketua adat yang mengerti dan menguasai
teknologi sehingga sebagai pemimpin ia mampu memanfaatkan kemampuannya
tersebut untuk membantu masyarakat. Melihat manfaat teknologi yang
diperkenalkan oleh abah maka warga mulai percaya dan mengadopsi beragam
teknologi tersebut. Selain melihat manfaatnya secara nyata sikap positif tersebut
juga lahir dikarenakan hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai adat mereka yaitu
mengikuti arahan orang yang dituakan yaitu abah Ugi, karena mereka yakin apa
yang dilakukan oleh abah pasti sesuai dengan aturan nenek moyang mereka.
Menurut abah ugi perkembangan teknologi merupakan salah satu hal yang
diperintahkan untuk dipelajari di dalam nilai adat mereka agar masyarakat tidak
tertinggal, dan hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dan menjadi salah satu
alasan mengapa masyarakat ciptagelar terbuka terhadap teknologi.
Kemudian dari teknologi informasi mereka mengadopsi jaringan telepon
genggam sehingga memudahkan proses komunikasi diantara mereka, kemudian
mereka mengadopsi televisi guna membuka dan mengembangkan wawasan
mereka tentang dunia luar serta sebagai sarana hiburan bagi mereka.
Salah satu contoh yang menarik untuk menggambarkan keterkaitan antara
modernisasi dan nilai adat dari sisi benda adalah aturan rumah mereka. Rumah
yang berada di wilayah utama kampung ciptagelar harus terbuat dari kayu dan
daun salak, tidak boleh ada penggunaan bahan lain dalam pembuatan rumah.
Untuk di luar wilayah utama kampung Ciptagelar masyarakat diperbolehkan
menggunakan bahan lain layaknya rumah-rumah modern saat ini, akan tetapi
dapur tempat mereka memasak harus tetap tebuat dari kayu dan daun salak tanpa
pengecualian. Rumah-rumah besar yang bergaya modern serta bertingkat yang
ada disana pasti memiliki sebuah kesamaan, yaitu memiliki sebuah bagian yang
hanya terbuat dari kayu dan daun salak untuk dijadikan dapur.
Ikhtisar
Masyarakat adat merupakan suatu komunitas yang secara umum
dipandang sebagai suatu komunitas yang terbelakang, dikarenakan gaya hidup
mereka yang dianggap aneh dan terbelakang oleh masyarakat umum diluar
komunitas tersebut. Keanehan dan keterbelakangan mereka merupakan akibat dari
ketaatan mereka terhadap nilai adat yang diyakininya, nilai adat yang telah turun-
temurun diwariskan dari generasi ke genarasi dianggap sebagai momok dari
kemajuan dan pembangunan. Pandangan tersebut tidak hanya berasal dari
33
masyarakat umum, akan tetapi para teknokrat pembangunan secara umum dalam
membuat dan melaksanakan program pembangunan pun menggunakan sudut
pandang tersebut, sehingga nilai adat tidak diperhitungkan dan bahkan cenderung
bersebrangan dengan nilai-nilai adat yang ada.
Namun pada kenyataannya nilai adat merupakan suatu perangkat nilai
yang terbukti mampu mengarahkan dan menjaga masyarakat adat dari ratusan
tahun yang lalu hingga saat ini. Oleh karena itu dalam proses mengarahkan sikap
masyarakat kepada suatu tujuan masyarakat ciptagelar merupakan contoh yang
baik bagi pola pengorganisasian yang seharusnya diadopsi dan dicontoh oleh para
perencana pembangunan, karena dengan menggunakan pola pengorganisasian
yang berbasiskan nilai, maka masyarakat akan menyadari peran serta tanggung
jawabnya di dalam suatu organisasi guna mencapai suatu tujuan, sehingga setiap
individu termotivasi dan terdorong untuk memenuhi tugas-tugas mereka karena
hal itu berhubungan dengan hal terdalam di dalam diri mereka yaitu nilai yang
terwujud ke dalam sikap mereka terhadap organisasi tersebut dan bukan dari
faktor paksaan ataupun harapan akan imbalan yang mereka dapat dari organisasi
kemasyarakatan tersebut.
Nilai adat seharusnya menjadi aset yang perlu dipelihara dan dimanfaatkan
dalam memngarahkan masyarakat kepada tujuan pembangunan pemerintah
sehingga muncul partisipasi aktif dan dukungan yang berasal dari masyarakat
dalam menjalankan beragam program yang telah dan akan dilaksanakan oleh
pihak terkait.
34
MODERNISASI DALAM MASYARAKAT ADAT
Masyarakat di Kampung Ciptagelar memiliki perspektif sendiri dalam
memandang modernisasi yang kian marak muncul dalam kehidupan. Bagi
masyarakat di Kampung Ciptagelar, modernisasi merupakan hal yang tidak bisa di
hindari. Perkembangan dan kemajuan zaman mengharuskan mereka untuk dapat
beradaptasi dengan hal-hal yang sifatnya modern. Namun bagi mereka beradaptasi
dengan hal baru bukan berarti harus melunturkan tradisi yang lama. Hal yang baru
hanyalah sebatas ilmu yang menjadi pengetahuan bagi mereka. Mereka tetap
berpegang terhadap nilai-nilai tradisional yang telah menjadi warisan turun
temurun dari leluhur. Meskipun orang akan memandangnya sebagai masyarakat
yang kuno dan terbelakang, namun bagi mereka itu bukanlah penghalang untuk
tetap menjalankan nilai tradisi yang telah menjadi warisan.
Di Kampung Ciptagelar nilai tradisi dan modern berjalan pada koridornya
masing-masing. Nilai modern tidak akan menghancurkan nilai tradisi, begitu pun
sebaliknya. Pada tahun 2008, Abah Ugi sebagai pemimpin yang memiliki
keahlian di bidang elektronik, telah menciptakan banyak perubahan bagi
masyarakat dengan membangun stastiun televisi dan radio komunitas. Berbekal
keahlian Abah menaruh satu pemancar kecil di desa tersebut. Alhasil saat ini
masyarakat dapat merasakan manfaat upaya dari Abah tersebut. Masyarakat
menjadi lebih mudah dalam mengakses berbagai informasi, baik informasi seputar
desa, informasi nasional maupun internasional. Ini merupakan satu bukti bahwa
mereka tetap menerima dan menerapkan nilai-nilai modern. Modernisasi bukanlah
sesuatu hal yang asing bagi masyarakat di Kampung Ciptagelar. Modernisasi
bukanlah alasan untuk menghilangkan nilai-nilai adat yang telah menjadi warisan
dari leluhur. Modernisasi hanyalah sebagai alat pembelajaran untuk mengenal
sesuatu yang baru. Dengan modernisasi masyarakat dapat mengambil hal yang
positif dan membuang hal yang negatif.
Ekonomi Masyarakat Adat
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan kearah
yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan yang terjadi mencakup beragam bidang yang sangat banyak, sehingga
untuk menentukan bidang mana yang diutamakan tergantung dari kebijakan
penguasa masyarakat tersebut. Penguasa dari sisi masyarakat Ciptagelar terbagi
atas dua kekuasaan kenegaraan dan kekuasaan adat, sehingga terdapat perbedaan
kebijakan-kebijakan diantara dua kekuasaan tersebut.
Beragam teknologi telah diadopsi guna meningkatkan kesejahteraan
mereka, mulai dari penerangan yang menggunakan listrik yang mana masyarakat
sangat terbantu secara ekonomis dari hadirnya listrik di desa mereka, mereka
dapat menghemat pengeluaran mereka karena tidak perlu lagi membeli minyak
tanah yang cenderung mahal untuk membeli 10 liter minyak tanah pada waktu
dulu masih lima ratus rupiah per-liter tutur beliau namun kini ketika harga minyak
tanah menjadi dua belas ribu lima ratus rupiah per-liter maka pengeluaran yang
sangat besar bagi mereka, namun dengan adanya listrik mereka hanya perlu
36
mengeluarkan tidak lebih dari lima ribu hingga sepuluh ribu rupiah per-bulan
untuk penerangan.yang mana penggunaannya mencapai 10 liter per bulan yang
apa bila diuangkan lebih dari seratus ribu rupiah per bulan, namun kini dengan
masuknya listrik masyarakat hanya dipungut bayaran kurang dari sepuluh ribu
rupiah per bulan sehingga dengan masuknya teknologi tersebut maka masyarakat
sangat terbantu dan oleh karena itu abah ugi terdorong untuk memenuhi keinginan
dan kebutuhan listrik bagi masyarakatnya.
Kemudian pembangunan jalan yang merupakan inisiasi masyarakat yang
berguna untuk membuka akses ke dunia luar sehingga memudahkan masuknya
beragam kebutuhan dasar yang mereka perlukan yang berasal dari dunia luar,
seperti garam, pakaian, obat-obatan dan lain lain, dengan harga yang tidak terlalu
mahal dikarenakan mudahnya akses. Kemudian mereka juga mengadopsi
kendaraan bermotor guna mengefektifitaskan dan mengefisiensikan waktu yang
mereka miliki dalam bekerja.
Dari sisi pemanfaatan administrasi, masyarakat adat Ciptagelar masih
belum efektif dikarenakan pembangunan yang dilaksanakan secara swadaya tanpa
bantuan dari luar sehingga sarana dan prasarana yang ada masih terbatas.
Masyarakat secara perlahan mulai melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada
baik dari segi ekonomi maupun manusianya. Dari segi ekonomi guna
mendapatkan beragam fasilitas maka masyarakat ciptagelar melalui inisiasi Abah
Ugi membangun beragam komunikasi dengan pihak luar dan terkait guna
membantu persoalan-persoalan kebutuhan administrasi tersebut, mulai dari
pengadaan puskesmas, pendatangan beragam dokter secara berkala, dan kini abah
sedang mengusahakan ambulance untuk masyarakat Ciptagelar.
Administrasi yang kurang baik yang ada di Ciptagelar disebabkan inisiasi
dari pihak pemerintah yang memiliki beragam fasilitas dalam pembangunan
administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak tepat sasaran, banyak
pembangunannya yang tidak dikomunikasikan dengan pihak lokal sehingga di
dalam prosesnya banyak yang bertentangan dengan aturan adat.
Ideologi Masyarakat Adat
Modernisasi yang kini menjadi salah satu ciri masyarakat adat ciptagelar
berasal dari keraifan lokal mereka yang mendorong pembangunan swadaya
masyarakat. Meski nilai adat yang memiliki sistem pengetahuan sendiri yang
cenderung bertolak belakang dengan sistem pengetahuan ilmiah namun tetap
memberikan ruang untuk berakulturasi dengan cara berpikir ilmiah yang
merupakan salah satu ciri dari modernisasi, sehingga hasil dari proses akulturasi
tersebut adalah berkembangnya dan diterimanya cara berpikir ilmiah namun tetap
berjalan beriringan dengan pengetahuan lokal.
Banyak modernisasi yang berjalan bersamaan dengan nilai lokal seperti
yang saya tuliskan pada bagian penciptaan iklim yang sesuai di dalam catatan
harian yang terlampir, dapat dilihat bagaimana nilai adat mendorong masuknya
listrik di Kampung Ciptagelar demi kesejahteraan masyarakatnya. Masuknya
energi listrik yang membantu sektor ekonomi menunjukan bahwa nilai adat
mendorong penciptaan iklim yang sesuai dengan kehendak masyarakat, namun di
sisi lain dengan masuknya listrik masuk pula beragam alat elektronik lain seperti
37
televisi yang merupakan salah satu kehendak masyarakat sebagai sarana hiburan
mereka.
Masuknya televisi tentu membawa dampak tersendiri bagi kehidupan
sosial di masyarakat tersebut, oleh karena itu nilai adat kembali berperan di dalam
proses akulturasinya dan memanfaatkan teknologi yang sama yaitu televisi guna
mencegah pergeseran nilai adat yang tidak diinginkan. Dalam catatan harian
tersebut dapat dilihat bahwa motif dari dibangunnya stasiun televisi CIGA TV
merupakan usaha untuk menjaga dan melestarikan nilai adat mereka agar tidak
kalah dengan nilai lainnya serta dapat terus dilestarikan serta diperkenalkan,
sehingga modernisasi dapat dimanfaatkan secara baik oleh nilai adat baik untuk
memanfaatkan hal-hal positif dari modernisasi, maupun dimanfaatkan untuk
mencegah beragam dampak negatif yang dibawa olehnya.
Sementara menurut Sugiharto (1996), konsekwensi buruk yang
ditimbulkan oleh modernisme bagi kehidupan manusia dan alam diantaranya:
1. Pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi
subyek dan obyek, spritual-material, manusia dunia, telah
mengakatkan obyektivitas alam secara berlebihan dan pengurasan
semena-mena. Hal ini menyebabkan krisis ekologi.
2. Pandangan modern yang bersifat obyektivitas dan positivitas akhirnya
cenderung menjadikan manusia seolah obyek juga, dan masyarakatpun
direkayasa bagaikan mesin. Akibat dari hal ini adalah bahwa
masyarakat cenderung menjadi tidak manusia.
3. Dalam modernisme ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi
standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini nilai moral dan relegius
kehilangan wibawanya.
4. Dalam materialisme, bila kenyataan terdasar tak lagi ditemukan dalam
religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan
terdasar.
Pandangan modern tersebut yang membawa dampak dan efek negatif
ditengah masyarakat, banyak hal-hal negatif yang ditawarkan namun hal yang
mendasar dan yang penting adalah masuknya pemikiran-pemikiran tersebut
sehingga mampu merubah perilaku seseorang hingga tidak lagi berpikir dan
berprilaku yang sesuai seperti dikatakan oleh adat mereka. Di Ciptagelar sudah
ada masyarakat yang terseret oleh arus pemikiran materialistis sehingga bukan
lagi adat yang diunggulkan dan diutamakan melainkan keuntungan materil
masing-masing individu dan hal itu berbahaya bagi kesatuan, kerukunan dan
kelestarian masyarakat adat.
Sebagai contoh terkadang individu yang terlibat dan bertugas di baris
tatabeuhan (pemain musik) di dalam ritual adat merasa enggan dan malas untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya ketika tidak ada orang yang menonton mereka,
sehingga orientasi mereka bergeser yang seharusnya nilai adat merupakan aturan
wajib yang akan mengantarkan seseorang menuju kesejahteraan sehingga tidak
ada korelasi dengan orang yang akan menonton mereka, namun kini mereka
melihatnya apa yang sedang mereka jalani tidak memberikan keuntungan baik
secara materi maupun moril, sudut pandang tersebut termotivasi dari kepentingan
pribadi yang merupakan salah satu cirri masyarakat modern yaitu individualistik,
38
sehingga proses plaksanaan ritual dan kesenian tersebut tidak lagi dipandang
sebagai suatu tugas sosial mereka sebagai bagian dari suatu masyarakat yang
meyakini suatu nilai adat yang sama, sehingga penggunaan sudut pandang
individualistik tersebut yang perlahan-lahan meruntuhkan kekuatan benteng
kepercayaan masyarakat terhadap nilai adat sehingga mereka mudah bergeser
kepada beragam nilai baru yang ada.
Kemudian contoh lainnya muncul dikarenakan ketertarikan dunia luar
terhadap tradisi mereka, sehingga mampu mendatangkan banyak pengunjung dari
dunia luar dan membawa dampak tersendiri bagi nilai yang mengatur kehidupan
sosial mereka. Banyaknya pendatang tentu membawa keuntungan tersendiri mulai
dari kesempatan untuk mengenalkan kebudayaan mereka maupun dari segi materi,
keuntungan materi itulah yang memicu beberapa konflik laten di tengah
masyarakat, banyak muncul kecemburuan ataupun ketidaksukaan dikarenakan
motif-motif material. Hal itu terlihat ketika mereka mengungkapkan dampak
masuknya “pariwisata”, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden
berikut:
“ Kami bukan tempat pariwisata tapi wajar banyak orang datang ke desa
kami, karena tempat kami memang indah”(YYN 28 – Tahun) (Lampiran reduksi
data tema modernisasi di dalam nilai adat halaman 4 paragraf 3)
Namun ada orang-orang yang memanfaatkan hal tersebut dengan cara-cara
yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, menurut
mereka nilai adat sudah mengatur keseluruhan hal dari yang terkecil bahkan tidak
dapat dilihat mata, hingga persoalan-persoalan besar dari skala nasional hingga
internasional oleh karena itu tinggal diikuti aturannya sehingga mereka tidak
keluar dari batas keseimbangan yang telah ditetapkan oleh nilai adat mereka.
Ekologi Masyarakat Adat
Namun abah mengungkapkan bahwa abah seyogyanya sebagai seorang
pemimpin secara adat harus bisa mencontohkan bagaimana berprilaku sebagai
yang dipimpin secara kenegaraan, sehingga abah sebisa mungkin selalu menuruti
beragam program dan mendukung program pemerintah yang masuk di wilayah
adatnya.Namun selama berlangsungnya proses tersebut abah merasa posisinya
secara adat tidak diperhitungkan sehingga jarang sekali adanya diskusi guna
mencari masukan dari pemimpin lokal.
Belum lagi hal tersebut seolah didukung oleh Konstitusi Indonesia (UUD
1945) di pasal 18B ayat 2 yang secara tegas mengakui eksistensi masyarakat adat
beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, sebagai konsekuensi konsep negara
hukum, pengakuan dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat dilakukan
dalam konstruksi hukum positif negara, sedangkan eksistensi masyarakat adat
beserta hak-haknya adalah suatu hal yang hidup dalam konstruksi hukum adat
yang sama sekali berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif dengan hukum
negara. Maka pertanyaannya, bagaimanakah mungkin pengakuan dan
perlindungan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dilakukan
melalui hukum negara berdasarkan kerangka konsep negara hukum?
39
Namun, dengan adanya konsep Negara hukum yang dalam
implementasinya di Indonesia ditegaskan di UUD 1945 pasal 1 ayat 3, maka
keberadaan hukum adat (dan model hukum lainnya di luar hukum positif negara)
dikonstruksikan di bawah doktrin yang disebut sebagai paham sentralisme hukum.
Konsekuensi dari adanya paham ini adalah bahwa hukum adat secara yuridis-
normatif hanya diakui keberadaannya melalui dan jika tidak bertentangan dengan
hukum negara. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai konsep pengakuan
terbatas dan menjadi persoalan bagi masyarakat Ciptagelar khususnya dalam hal
penggunaan lahan.
Dari sentralisasi wewenang sosial, masyarakat adat ciptagelar memberikan
hak dan otoritas sepenuhnya kepada abah ugi sebagai ketua adat, beragam hal
sekaitan wewenang sosial berada di bawah wewenang Abah Ugi sehingga proses
sosial yang ada sangat tersentralisasi kepada beliau, mulai dari aturan sosial
hingga perangkat sosial semua di bawah wewenang Abah Ugi beragam fasilitas
dan norma yang ada tidak terlepas dari pengaruh abah ugi dan inisiasi abah ugi di
dalamnya. Sebagai contoh dalam kasus sosial antara masyarakat adat dan
pengelola taman nasional gunung halimun, beliau menuturkan ketika terdapat
aturan dari taman nasional maka masyarakat adat belum tentu mematuhi aturan
tersebut, namun ketika abah ugi yang mengangkat suara sekaitan aturan tersebut
maka masyarakat akan langsung mematuhinya baik itu sesuai dengan aturan
pemerintah atupun tidak. Kemudian pembangunan jalan sebagai salah satu contoh
lainnya, pada masa kepemimpinan abah anom pemerintah melarang masyarakat
untuk membangun jalan guna mempermudah akses, pemerintah tidak memberikan
bantuan dan dorongan malah justru memberikan kecaman, namun abah anom
tidak menanggapinya secara keras melainkan membangun diskusi dengan pihak
pemerintah yang mana hasil keputusannya adalah masyarakat diizinkan
membangun jalan namun hanya dalam waktu satu minggu saja namun berhasil
diselesaikan dalam waktu tiga hari oleh mereka dan kini justru dimanfaatkan oleh
pemerintah daerah dan diperbagus karena melihat keberhasilan tersebut.
Seperti yang telah saya tuliskan di dalam reduksi data pada bagian dampak
negatif dari modernisasi, pertentangan dalam hukum Negara dan hukum adat
sering kali menjadi persoalan. Hal tersebut bukan dikarenakan perbedaan tujuan
dalam menjaga hutan namun perbedaan dalam tata cara menjaga hutan dan
lingkungan. Semestinya perbedaan tata-cara tersebut jangan dijadikan sebagai
sebuah masalah melainkan sebuah solusi bersama, sehingga para perencana
pembangunan seharusnya memanfaatkan hukum dan tata-cara lokal dalam
menjaga dan melindungi hutan secara bersama-sama dan bukannya sepihak.
Ikhtisar
Modernisasi merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindarkan oleh
negara manapun di dunia ini, modernisasi yang menuntut perubahan demi
tercapainya kemajuan telah merubah beragam gaya hidup yang ada di dalam
masyarakat sehingga menjadi suatu fenomena sosial di dalam kehidupan
masyarakat. Modernisasi yang membawa beragam perubahan demi kemajuan
tentu akan bersinggungan dengan hal-hal yang dianggap bertolak belakang
dengan kemajuan, salah satunya adalah nilai adat yang mendorong seseorang
untuk hidup secara “primitif” dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman yang ada.
40
Perbedaan nilai yang ada tersebut mendorong peniadaan nilai yang lainnya
sehingga sifatnya saling meniadakan, dan secara umum dikarenakan proses
modernisasi merupakan suatu keharusan yang harus ditempuh untuk mampu
bersaing dengan dunia, maka modernisasi yang berlangsung seakan-akan
mencoba untuk menghapuskan beragam nilai yang bersebrangan dengan nilai
modernisasi. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada proses modernisasi di
tengah masyarakat adat Ciptagelar.
Telah diketahui bahwa telah terjadi suatu proses modernisasi yang baik
dan menarik di tengah masyarakat adat Ciptagelar. Hal tersebut tidak terlepas dari
peran nilai adat yang menuntun tatacara berkehidupan dan berprilaku yang sangat
dibutuhkan sehingga tercipta batasan yang berfungsi sebagai pagar dan pelindung
dari dampak negatif dari proses modernisasi suatu masyarakat, yang nilai-nilai
tersebut tertuang salah satunya dalam siloka (pribahasa sunda) yang artinya zaman
harus dituntut dan dikejar, ambilah manfaat darinya dan buang hal yang buruk
darinya, jangan lah sampai kita dituntut oleh zaman, sehingga ketika seseorang
menghargai tradisi dan budayanya maka ia akan menjaga tradisi tersebut, yang
mana tujuan dari tradisi itu adalah melindungi dan menjaga tata hidup mereka
agar tetap sejahtera dan berkelanjutan.
HUBUNGAN SIKAP DENGAN KETERDEDAHAN MEDIA
Terbukti dari hasil penelitian mengenai sikap masyarakat adat terhadap
modernisasi yang mewakili pembangunan, maka dapat terlihat peran nilai adat
mampu mendorong mereka untuk bersikap positif terhadap modernisasi, bahkan
pada masyarakat Ciptagelar tidak ada seorang pun yang memiliki sikap negatif
terhadap modernisasi. Hal itu dikarenakan nilai adat merupakan inti terdalam dari
sikap sehingga sikap yang ditunjukan oleh seseorang merupakan faktor nilai yang
hidup dikepalanya sehingga mendorongnya untuk bersikap. Oleh karena itu
masyarakat Ciptagelar yang memiliki tata kelakuan tersendiri yang berasal dari
nilai adat mereka yang disebut kabendon yang terbukti telah mendorong sikap
positif masyarakat tersebut terhadap modernisasi yang masuk. Sehingga nilai adat
memiliki peranan penting dalam membangun sikap masyarakat terhadap proses
modernisasi, sehingga nilai adat memiliki pengaruh langsung yang sangat positif
terhadap diterimanya modernisasi sebagai sarana yang menunjang kehidupan
warga. Untuk dapat melihat nilai adat yang abstrak, kita dapat mengamati
pengaruh dari nilai tersebut yang terwujud di dalam sikap masyarakat adat yang
dapat diamati, untuk mengetahui sikap masyarakat adat terhadap modernisasi
dapat melihat Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap Modernisasi
Tahun 2014
Sikap Terhadap Modernisasi Ε %
Negatif 0 0
Netral 10 32.26
Positif 21 67.74
Total 31 100
Untuk membuktikan bahwa nilai adat yang merupakan inti terdalam dari
suatu sikap benar-benar mampu mendorong proses modernisasi tidak hanya dari
segi pemikiran namun realita maka kita perlu melihat dan membandingkan sikap
mereka melalui dan membandingkannya dengan modernisasi yang masuk
keterdedahan media yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah dan presentase responden menurut tingkat keterdedahan media
Tahun 2014
Keterdedahan media Ε %
Rendah 3 9.68
Sedang 18 58.06
Tinggi 10 32.26
Total 31 100
Dari data keterdedahan media yang didapat hanya 9.68% dari populasi
sampel yang mengalami keterdedahan media yang rendah. Hal itu
42
menggambarkan bahwa proses modernisasi yang berjalan di tengah masyarakat
sudah sangat baik, karena hanya sebagian kecil masyarakat Ciptagelar yang
rendah keterdedahan medianya. Kemudian mayoritas masyarakat memiliki
keterdedahan media yang sedang, menurut pengamatan saya hal itu menunjukkan,
meski proses modernisasi yang ada telah berjalan dengan baik namun hasil yang
di perolehnya belum maksimal, mayoritas masyarakat masih berada pada tahap
sedang bukannya tinggi sedangkan mayoritas warga sudah bersikap postif
terhadap modernisasi. Hal itu dikarenakan fasilitas yang tersedia masih terbatas
sehingga proses modernisasi yang ada berjalan secara “seadanya”. Mereka
berusaha memenuhi beragam kebutuhan modernisasi tersebut dengan cara
swadaya tanpa ada campur tangan pemerintah sehingga proses modernisasi yang
berjalan belum maksimal.
Ada beberapa tahap yang dilakukan untuk melihat hubungan antara sikap
terhadap modernisasi dengan keterdedahan media. Pada variabel pertama yaitu,
sikap terhadap modernisasi tahap pertama yang dilakukan adalah menjumlahkan
skor seluruh pertanyaan pada variabel tersebut. Pertanyaan seluruhnya berjumlah
30 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 5. Dengan demikian,
jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapatkan skor terendah 30 dan
skor tertinggi sebesar 150. Tahap selanjutnya dengan mengategorikan ke dalam 3
kategori yaitu Sikap negatif (skor 30-69), Sikap netral (Skor 70-109), Sikap
positif (Skor 110-150). Kategori netral yang dibuat memiliki arti bahwa
responden merasa modernisasi bagi mereka tidak baik seutuhnya namun juga
tidak buruk. Tahap terakhir pada variabel ini adalah memasukkan responden ke
dalam tiga kategori yang telah dibuat sesuai dengan jawaban mereka.
Pada variabel kedua yaitu keterdedahan media dilakukan penjumlahan
skor seluruh pertanyaan pada variabel tersebut. Pertanyaan seluruhnya berjumlah
10 pertanyaan dengan minimal skor 1 dan maksimal skor 5. Dengan demikian,
jika seluruh pertanyaan dijumlahkan maka akan didapatkan skor terendah 10 dan
skor tertinggi sebesar 50. Tahap selanjutnya dengan mengategorikan ke dalam 3
kategori yaitu terpaan media massa rendah, (Skor 10-23), terpaan media massa
sedang (Skor 24-37), Terpaan media massa tinggi (Skor 38-50). Kategori sedang
yang dibuat memiliki arti bahwa responden merasa keterdedahan media yang ada
di dalam kegiatan sehari-hari mereka biasa saja, tidak tinggi namun juga tidak
rendah. Tahap terakhir pada variabel ini adalah memasukkan responden ke dalam
tiga kategori yang telah dibuat sesuai dengan jawaban mereka. Setelah responden
masing-masing dimasukkan ke dalam kategori di kedua variabel tersebut, tahap
terakhir ialah tahap penghitungan hubungan antara kedua variabel tersebut. Tahap
penghitungan hubungan dilakukan dengan aplikasi IBM SPSS Statistics 21
dengan uji statistik Rank Spearman. Untuk melihat hubungan antara sikap
masyarakat adat terhadap modernisasi dengan tingkat keterdedahan media, dapat
melihat Tabel 4.
43
Tabel 4 Jumlah dan presentase responden menurut sikap terhadap modernisasi
dan tingkat keterdedahan media di Desa Ciptagelar tahun 2014
Sikap
terhadap
modernisasi
Keterdedahan media Total
Rendah Sedang Tinggi
N % n % n % n %
Negatif 0 0 0 0 0 0 0 0
Netral 3 30 7 70 0 0 10 100
Positif 0 0 11 52.38 10 47.62 21 100
Total 3 9.68 18 58.06 10 32.26 31 100
Tetapi sebelumnya untuk melihat korelasi kedua variabel, terlebih dahulu
data tersebut dimasukkan ke dalam tabel tabulasi silang. Tabel tabulasi silang
dapat dilihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa pada variabel sikap terhadap
modernisasi, mayoritas responden cenderung memiliki sikap positif, namun yang
menarik adalah tidak adanya responden yang tergolong dalam kategori sikap
negatif. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat pada sub bab nilai adat
dalam modernisasi. Selanjutnya dalam variabel keterdedahan media mayoritas
responden sebanyak 21 orang atau sebesar 67.74 persen menyatakan Peranan nilai
adat pada kategori baik dengan persentase responden pada tingkat keterdedahan
tinggi 47.62 persen dan tingkat keterdedahan sedang 52.38 persen. Selanjutnya
Sepuluh orang responden atau sebanyak 32.26 persen memiliki sikap netral
terhadap modernisasi dengan persentase responden pada tingkat keterdedahan
media sedang 70 persen dan tingkat keterdedahan rendah 30 persen. Umumnya,
responden yang memiliki sikap positif terhadap modernisasi, akan berada pada
kategori tinggi dan sedang dalam hal tingkat keterdedahan media pada tabulasi
silang. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Peranan nilai adat dengan
tingkat modernisasi termasuk kuat, hal itu diperkuat oleh hasil uji statisti yang
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji statistik rank Spearman antara sikap terhadap modernisasi
dengan tingkat keterdedahan media
Correlations
sikap keterdedahan
media
Sikap
Correlation
Coefficient
1.000 .811**
Sig. (2-tailed) . .000
N 31 31
keterendahan_media
Correlation
Coefficient
.811**
1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 31 31
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil yang didapatkan dari uji korelasi pada tabel tabulasi silang sejalan
44
dengan hasil yang didapatkan dari uji statistik Rank Spearman. Hasil uji dengan
menggunakan aplikasi IBM SPSS Statistics 22 menunjukkan bahwa nilai korelasi
yang didapatkan ialah sebesar 0.811. Nilai tersebut menyatakan bahwa terdapat
korelasi atau hubungan kuat. Nilai hitung tersebut berada diantara nilai >0.75 –
0.99, seperti yang dijelaskan oleh Sarwono (2009) bahwa jika hasil uji berada di
antara nilai tersebut maka terdapat korelasi yang sangat kuat.Selanjutnya
mengenai signifikasi dalam pengukuran kedua variabel tersebut dapat dinyatakan
bahwa kedua variabel tersebut signifikan. Hal tersebut dijelaskan taraf nyata yang
didapatkan ialah sebesar 0.000 yang ternyata lebih kecil dibandingkan dengan
penggunaan taraf nyata atau sebesar 5 persen atau 0.05. Berdasarkan penjelasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa antara variabel Peranan nilai adat dengan tingkat
modernisasi terdapat hubungan yang kuat dan signifikan. Kekuatan dan
signifikansi yang didapatkan dari hasil uji statistik tersebut merupakan bukti dari
hasil penelitian kualitatif yang dilakukan. Menurut hasil penelitian kualitatif
diketahui bahwa nilai adat memiliki peranan yang sangat kuat dalam proses
diterimanya modernisasi di dalam masyarakat. Nilai adat yang ada mendorong
seseorang untuk bersikap positif dan terbuka terhadap proses modernisasi, nilai
adat mereka menuntut seseorang untuk mengenal kemajuan dan perkembangan
zamannya. Mereka menyadari peran dan fungsi nilai adat mereka dalam menjaga
masuknya dampak negatif dari arus modernisasi, seperti dalam kasus stasiun
televisi CIGA TV, yang keberadaannya merupakan bentuk usaha dan upaya
masyarakat dalam proses akulturasi dalam memanfaatkan modernisasi sekaligus
menjaga kelestarian nilai adat mereka. Sehingga seluruh perangkat adat dan
masyarakat membuka dirinya terhadap beragam kemajuan dan perkembangan
zaman yang ada, namun tidak terlepas dari peran kontrol nilai adat itu sendiri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis untuk penelitian dengan
metode kuantitatif diterima.
PENUTUP
Simpulan
Nilai adat yang merupakan objek dari perubahan modernisasi ternyata
mampu berakulturasi secara positif dikarenakan nilai adat merupakan sesuatu
yang dinamis dan selalu mengalami perubahan serta mampu melakukan
penyesuaian dengan baik terhadap kondisi lokal maupun global. Nilai adat yang
menjadi dasar di dalam kehidupan masyarakat Ciptagelar terbukti mampu menjadi
fasilitator dan katalisator bagi proses modernisasi yang masuk dan berkembang di
tengah masyarakat. Disamping keterbukaannya terhadap modernisasi, nilai adat
juga memiliki sisi penolakan terhadap modernisasi yang berfungsi sebagai kontrol
dari proses modernisasi yang ada. Penolakan tersebut merupakan salah satu peran
penting nilai adat didalam prosesnya mengantarkan masyarakat menuju kepada
kesejahteraan, sehingga masyarakat mampu terhindar dari beragam dampak
negatif yang dibawa oleh modernisasi.
Nilai adat yang ada di tengah masyarakat terbukti mampu membawa
masyarakat terhadap keterbukaan terhadap modernisasi, hal itu terlihat dari sikap
yang merupakan perwujudan dari nilai yang diyakini masyarakat. Nilai yang
diyakini tersebut membentuk pola perilaku mereka yang terbuka terhadap
beragam proses modernisasi, sehingga proses modernisasi yang berkembang dan
menyatu dengan kehidupan adat mereka menjadi ciri khas tersendiri bagi
masyarakat adat Kampung Ciptagelar.
Meski keterbukaan masyarakat adat terhadap modernisasi yang terwujud
di dalam sikap mereka sangat tinggi, namun proses modernisasi yang berjalan di
Kampung Ciptagelar masih belum maksimal dan terkesan ”seadanya”. Keadaan
tersebut disebabkan proses modernisasi yang ada berasal dari swadaya masyarakat
tanpa bantuan yang memadai dikarenakan minimnya perhatian pihak terkait
khususnya pemerintah, dalam mendorong, memfasilitasi dan membantu proses
modernisasi yang ada.
Saran Beberapa saran yang diajukan penulis berdasarkan hasil penelitian ini
yaitu pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan Masyarakat Adat tidak
hanya dari satu sisi yaitu pandangan teknisi dan ahli-ahli perencanaan
pembangunan, namun menggunakan sudut pandang masyarakat tersebut yang
merupakan masyarakat asli Indonesia yang juga seharusnya diperjuangkan hak-
hak nya.
Pemerintah juga harus dapat melihat potensi dari nilai adat sebagai modal
sosial yang mampu menciptakan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat yang bersifat lokalitas sebagai modal bagi
perencanaan pembangunan bangsa. Bukan sebaliknya melihat nilai adat sebagai
faktor penghambat bagi pembangunan.
Pemerintah harus mempertimbangkan dan melindungi aspek-aspek lokal
dengan sebaik-baiknya bersama pihak-pihak terkait seperti masyarakat adat
dalam mengeluarkan kebijakan, yang merupakan modal sosial yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pembangunan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Arkanudin H. 2012. Modernisasi dan postmodernisasi : Sebuah Perdebatan
Menuju Masyarakat Komunikatif dan Relevansinya bagi
Pemahamanpembangunan. [Internet]. [Dikutip 13 November 2013]. Dapat
diunduh dari: http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/modernisasi-dan-
postmodernisasi-sebuah.html
Azwar S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta [ID] : Pustaka Belaja
Azwar S. 2005. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta [ID]:
Pustaka Pelajar.
Dove M R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi.
Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia.
Francis F. 2005. Guncangan Besar. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2011. Buku
Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. [Internet]. [Dikutip 1 Desember
2013]. Dapat diunduh dari:[email protected]
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta [ID]:
Gramedia.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta [ID]: Aksara Baru.
Krech D, Crutchfield RS. 1963. Individual In Society. Tokyo [JP]: McGraw-Hill.
Kurniawan A J. 2008. Pengakuan dan Perlindungan Eksistensi Masyarakat Adat
dalam Kerangka Negara Hukum Indonesia: Sebuah Konsepsi Utopi.
[Internet]. [Dikutip 13 November 2013]. Dapat diunduh dari:
http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/07/pengakuan-dan-
perlindungan-eksistensi-masyarakat-adat-dalam-kerangka-negara hukum-
indonesia.pdf.
Kristiawan R. 2011. Perspektif teori modernisasi dan teori dependensi Kajian
Artikel R. Kristiawan "Mediasi : Fakta Pascahegemoni.[Internet]. [Dikutip
13 November 2013]. Dapat diunduh dari: http: /file.upi.edu/
irektori/FIP/JUR. PEND._LUAR_SEKOLAH/197108171998021-SARDIN
tiga teori perubahan sosial_ modernisasi ketergantungan,__a.pdf .
Moriaga S. 2006. Jurnal Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalahserta
Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. [Internet]. [Dikutip 12
November 2013]. Dapat diunduh dari: http://huma.or.id/wp-
48
content/uploads/2006/08/Hak2-MA-Masalah-Kelestarian
Lingkungan_Sandra.pdf
Margaretha S.K. 2006. Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme
Global: Fenomena Budaya Dalam Realitas Sosial.[Internet]. [Dikutip 1
Desember 2013]. Dapat diunduh dari: http://repository.
ui.ac.id/contents/koleksi/2/4540fb7822a695f9debee4568fde90ea27de4018.p
df
Narwoko D, Suyanto J. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.
Jakarta [ID]: Kencana Media Group.
Ogburn, W F. 1964. Social Change With Respect to Culture and Original Nature.
New York [US]: Viking.
Pranadji T. 2000. Beberapa Aspek untuk Antisipasi Pembangunan Pertanian Abad
21. Makalah disampaikan pada Pelatihan ;Pemahaman Aspek Sosial dan
Budaya Masyarakat dalam Perencanaan dan Penerapan Teknologi.
[Internet]. [ Dikutip 4 Desember 2013 ]. Dapat diunduh dari:
http://repository.unpad.ac.id/makalah/collection/2/44334565kkj4322354345
b342556b.pdf
Ritzer G. 2003. Contemporary Sociologal Theory and Its Classical Roots: The
Basics. New York [US]: McGraw-Hill.
Sajogyo. 1982. Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta [ID]: CV
Rajawali.
Sarwono S. 2000. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta [ID]: Rajawali Pers.
Scott J. 2000. Social Network Analysis: A Handbook. London [UK]: Sage
Publication.
Singarimbun M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Singarimbun M dan Effendi
S, editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Soekanto S. 1987. Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta[ID]: Rajawali Press.
Soetarno, R. 1994. Psikologi Sosial. Yogyakarta [ID] : Kanisius.
Sugiharto B. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta [ID]:
Kanisius.
[UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
49
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sketsa Desa Ciptagelar
50
Lampiran 2 Kerangka Sampling
Nama Alamat
Jarna Cicemet
Abas Cicemet
Jamal Cicemet
Septian Cicemet
Jujun Cicemet
Solihin Cicemet
Saepuloh Cicemet
Deni Cicemet
Nurcholish Cicemet
Mulyana Cicemet
Toto Cicemet
Ishak Cicadas
Iman Cicadas
Indra Cicadas
Nuryadi Cicadas
Nurcahya Cicadas
Aas Cicadas
Dasep Rusman Cicemet
Asep Hidayat Cicemet
Ilham Cicemet
Katna Cicemet
Ubun Cicemet
Danu Cicemet
Oding Cicemet
Aang Cicemet
Epi Cicemet
Dimong Cicemet
Edah Cicemet
Ojon Cicemet
Supriyadi Cicemet
Emul Cicemet
Nama Alamat
Asep Cicemet
Pian Cicemet
Supian Cicemet
Aripin Cicemet
Setiawan Cicemet
Agung Cicemet
Zulhen Cicemet
Ahmad Cicemet
Zaenal Cicemet
Duloh Cicemet
Septian Cicemet
Arta Cicemet
Sukarna Cicadas
Supandi Cicadas
Aca Cicadas
Upat Cicadas
Idris Cicadas
Jajat Cicadas
Yayat Cicemet
Tobari Cicemet
Nurdin Cicemet
Mulyadi Cicemet
Nurdiansyah Cicemet
Cecep Saepuloh Cicadas
Ahmad Sobirin Cicadas
Wasid Cicadas
Kusnadi Cicadas
Syaiful Cicadas
Sujana Cicadas
Sukardi Cicadas
Anjar Cicadas
51
Nama Alamat
Arsan Cicadas
Surban Cicadas
Bakri Cicadas
Koyod Cicadas
Dayut Cicadas
Handi Ciptarasa
Davit Ciptarasa
Yoyon Ciptarasa
Jomong Ciptarasa
Banghulu Ciptarasa
Kholil Ciptarasa
Herman Ciptarasa
Maman Ciptarasa
Jujun Cicemet
Rajat Cicemet
Yayat Junaidi Cicemet
Amin Solihin Cicemet
Soleh Saepudin Cicemet
Andi Eppendi Cicemet
Alatas Cicemet
Nama Alamat
Sumardi Cicadas
Acih Cicadas
Surahman Ciptarasa
Oding Ciptarasa
Abas Cicemet
Rojana Cicadas
Amad Cicadas
Sahe Cicadas
Didin Cicadas
Gungun Cicadas
Pejet Cicadas
Sutarna Cicadas
Yusuf Cicadas
Maulana Cicadas
Abun Cicadas
Adang Cicadas
Yayan Cicadas
Yoyo Cicadas
Agus Supandi Cicadas
Muhaimin Ciptarasa
Mustopa Ciptarasa
Maman Ciptarasa
Rohmat Ciptarasa
Husen Ciptarasa
Aep Ciptarasa
Ntis Ciptarasa
Ruhendar Sodong Ciptarasa
Odir Cicemet
Sarna Cicemet
Ade Pian Cicemet
52
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian
KUISIONER
Peranan Nilai Adat Dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar Kecamatan
Cisolok Sukabumi
Peneliti bernama Muhammad Mahdi, merupakan mahasiswi Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat
kelulusan studi. Peneliti berharap Bapak/Ibu dan Saudara/i menjawab kuesioner
ini dengan lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiannya dan
semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima
kasih atas bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu dan Saudara/i untuk menjawab
kuesioner ini.
KUESIONER
Peranan Nilai Adat Dalam Modernisasi di Kampung Ciptagelar
Kecamatan
Cisolok
OLEH: MUHAMMAD MAHDI
1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama lengkap :
Jenis kelamin : ( ) L / ( ) P
Umur : Tahun.
Alamat :
No. Telp/HP :
Pendidikan terakhir
Status perkawinan
:
:
( ) Tidak Sekolah
( ) SD (Tamat/Tidak Tamat)
( ) SMP (Tamat/Tidak Tamat)
( ) SMA (Tamat/Tidak Tamat)
( ) Universitas (Tamat/Tidak Tamat)
( ) Lainnya.........
( ) Belum menikah
( ) Menikah
( ) Cerai Hidup
( ) Cerai Mati
Pekerjaan : ( ) Petani
( ) Buruh Tani
( ) Pegawai Swasta (Buruh)
( ) Wiraswasta/usahawan
( ) Pelajar
( ) Lainnya:………………….
Status kependudukan : ( ) Asli ………….
( ) Pendatang, dari
53
Sikap Terhadap Modernisasi
No Pertanyaan SS S R TS STS
1 Modernisasi baik untuk saya
2 Modernisasi mendorong kesejahteraan
3 Modernisasi baik untuk masyarakat
4 Modernisasi diperlukan agar masyarakat tidak tertinggal
5 Modernisasi telah merubah desa menjadi lebih baik
6 Modernisasi merusak adat lokal
7 Modernisasi baik bagi anak-anak
8 Modernisasi merupakan kebutuhan
9 Modernisasi sesuai dengan adat saya
10 Modernisasi bisa berjalan bersama adat
11 Saya ingin menjadi lebih modern
12 Saya ingin modernisasi masuk di desa ini
13 Saya ingin modernisasi tetap ada di desa ini
14 Saya ingin meningkatkan kesejahteraan dengan
modernisasi
15 Saya ingin modernisasi berdampingan dengan kehidupan
masyarakat
16 Apabila modernisasi masuk kembali maka saya akan
menerimanya
17 Apabila modernisasi sesuai adat maka saya akan
mengikutinya
18 Saya akan mendukung masuknya modernisasi di
kampung ini
19 Apabila modernisasi ditolak maka saya akan
mendukungnya
20 Saya akan mengikuti apa yang dikatakan abah sekalipun
harus meninggalkan modernisasi
21 Saya tidak senang dengan modernisasi
22 Modernisasi menarik bagi saya
23 Saya senang ketika televisi masuk ke desa
24 Saya senang ketika berpikir secara ilmiah
25 Saya tertarik dengan organisasi masyarakat yang ada
26 Saya suka ketika ada yang mendata
27 Saya senang mengikuti wejangan dari abah
28 Saya senang ketika berusaha bersama dalam mencapai
tujuan
29 Saya senang ketika dilibatkan dalam kegiatan
30 Saya senang ketika mendapat informasi baru dari luar
kampung
54
Keterdedahan Media
No Pertanyaan Sangat
sering
Sering Jarang Pernah Tidak
pernah
1 seberapa sering anda
menonton televisi?
2 Seberapa sering anda
mendengar radio?
3 Seberapa sering anda
membaca Koran?
4 Seberapa sering anda
membaca majalah?
5 Seberapa sering anda
membaca brosur?
6 Seberapa sering anda
menggunakan jaringan
internet?
7 Seberapa sering anda
menggunakan media
sosial?
8 Seberapa sering anda
menggunakan telepon
genggam?
9 Seberapa sering anda
menggunakan fasilitas
sms?
10 Seberapa sering anda
membaca pamflet?
55
Lampiran 4 Panduan Wawancara Mendalam
PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM
PERANAN NILAI ADAT DALAM MODERNISASI DI KAMPUNG
CIPTAGELAR KECAMATAN CISOLOK SUKABUMI
Tujuan : Mengamati dan mencari tahu nilai modernisasi dan adat yang ada di
tengah masyarakat serta mengamati proses akulturasi kedua nilai
tersebut
Informan : Masyarakat dan perangkat adat serta perangkat Desa Ciptagelar
Hari/ Tanggal Wawancara :
Lokasi Wawancara :
Nama dan Umur Informan :
Jabatan :
Pertanyaan Penelitian
1. Apakah keluarga menggunakan cara-cara yang terlembaga dalam
kehidupan sehari-hari?
2. Seberapa sering keluarga berinteraksi dan menjalin hubungan dengan
lembaga-lembaga birokrasi/pemerintahan seperti bank, pegadaian, rumah
sakit, dan lain-lain?
3. Bagaimana pengelolaan surat-surat berharga, manajemen keuangan, serta
pembagian warisan?
4. Penggunaan tekonologi apa yang tepat untuk mendukung efektifitas
kegiatan sehari-hari?
5. Apakah dalam keluarga terdapat pembagian tugas pokok dan fungsi yang
jelas dan terlaksana secara nyata?
6. Seberapa besar usaha-usaha yang dilakukan dan dipersiapkan oleh
keluarga untuk menunjang kehidupan keluarganya di masa depan,
misalnya dengan pendidikan, investasi, deposito, dan usaha-usaha lainnya?
7. Mencari tahu sistem mata pencaharian yang ada di tengah masyarakat?
8. Mencari tahu sistem pengetahuan yang berlaku di tengah masyarakat?
9. Mencari tahu sistem religi yang berlaku di tengah masyarakat?
10. Mencari tahu upacara keagamaan serta kesenian yang ada di tengah
masyarakat?
56
11. Mencari tahu sistem teknologi dan peralatan yang ada di tengah
masyarakat?
12. Mencari tahu sistem dan organisasi kemasyarakatan yang ada di tengah
masyarakat?
13. Mencari tahu seajarah dan bahasa yang ada di tengah masyarakat?
57
Lampiran 5 Nilai Adat Didalam Modernisasi
Didalam tulisan ini saya memaparkan dua sudut pandang yang saling
bersebrangan dari bukti-bukti empiris yang ada. Saya akan memaparkan
bagaimana nilai adat didalam proses modernisasi dianggap sebagai penghabat dari
jalannya proses tersebut oleh pihak terkait, dan disisi lain saya akan memaparkan
bahwa justru ketika nilai adat berperan didalam modernisasi maka akan mampu
membawa dan mendorong proses jalannya modernisasi tersebut. Dari sisi
modernisasi didalam nilai adat saya juga akan memaparkan dengan dua sudut
pandang yang bersebrangan, yaitu bagaimana modernisasi yang ada didalam nilai
adat mampu membangun dan membawa kelestarian bagi nilai adat dan sebaliknya
modernisasi didalam nilai adat justru menyebabkan lunturnya nilai adat yang ada.
Kampung Adat Ciptagelar merupakan salah satu kawasan yang dihuni oleh
kelompok masyarakat adat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (TNGH) Salak. Secara administratif wilayah kerja Taman
Nasional Gunung Halimun Salak meliputi tiga wilayah administratif
pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak.
Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari
kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan
merupakan bagian dari kabupaten Lebak) dan 101 desa yang berbatasan langsung
dengan wilayah TNGHS.
Salah satu kampung yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun, yaitu Kampung Ciptagelar terletak pada ketinggian 1.050 meter di atas
permukaan laut dengan topografi yang berbukit. Kampung Ciptagelar Berjarak
sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok. Sekitar 200 km dari
Jakarta. Kampung Ciptagelar dapat dicapai dengan menggunakan tiga jalur. Jalur
pertama melalui wilayah Citepus Pelabuhan Ratu, kemudian jalur kedua melalui
Gunung Bongkok Cisolok Sukabumi dan yang terakhir melalui jalur Lebak
Banten.
Jalur yang paling dekat untuk di tempuh adalah melalui jalur Citepus
Pelabuhan Ratu, namun hanya mobil penggerak 4 roda saja yang dapat melaluinya,
atau dengan menggunakan ojek di wilayah tersebut. Apabila melalui jalur Citepus
maka kita akan melewati Kampung Ciptarasa, yaitu kampung yang digunakan
sebelum masyarakat pindah ke Kampung Ciptagelar, dimana terdapat hutan dan
makam pada topografi teratas sedangkan pada topografi paling bawah terdapat
sawah dan sungai. Jalur yang mudah dilalui oleh mobil biasa namun jaraknya
lebih jauh adalah melalui jalur Gunung Bongkok, di jalur tersebut sepanjang
perjalanannya akan melalui bukit-bukit gunung dan pemandangan hutan dan
sawah yang indah.
Kasepuhan Adat Banten Kidul yang membawahi 568 dusun yang tersebar di
tiga kabupaten, yakni Kabupaten Lebak, Bogor dan Sukabumi, yang mana
Kasepuhan tersebut terpusat di Kampung Ciptagelar. Jumlah kepala keluarga yang
terdapat di kawasan Kampung Ciptagelar sendiri sebagai pusat pemerintahan
kasepuhan saat ini adalah 100 Kepala Keluarga. Potensi alam yang terdapat di
Kampung Ciptagelar terdiri atas: leuweung (hutan alam), kintir (hutan tanaman),
huma (ladang), jami (bekas huma yang ditinggalkan kurang dari setahun;
umumnya berupa jukut (rumput), reuma (bekas huma yang ditinggalkan lebih dari
setahun; umumnya berupa semak belukar), sawah darat (tadah hujan), talun,
58
kebun cengkeh, kebun semusim (umbi-sayur-buah), tegalan (legal awi atau legal
jukut), sampalan (tempat penggembalaan kerbau), leuweung sirah cai (hutan
lindung khusus mata air), balong (kolam ikan) dan lembur (pemukiman). Menurut
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, hutan adalah kehidupan mereka yang harus
terus di jaga dan di lestarikan Kondisi geografis yang berupa pengunungan harus
dijaga dan dilestarikan demi keselamatan anak cucu. Oleh karena itu, leluhur
mewariskan sistem tata kelola hutan kepada pemimpin di kasepuhan Ciptagelar.
Kasepuhan Adat Ciptagelar merupakan suatu kawasan yang hingga saat ini
masih dipimipin oleh pemimpin adat atau dalam bahasa sunda biasa disebut
sesepuh (orang yang di tua-kan) dalam menjalankan fungsi pemimpin di
Kasepuhan ketua adat di bantu oleh baris kolot (barisan orang tua) di bawah
mereka terdapat pembagian-pembagian tanggung jawab kerja yang dinamakan
rorokan guna mengurus beragam persoalan teknis baik dari sisi sosial maupun
keagamaan.
Kepala adat desa ciptagelar, memliki peranan dan pengaruh sangat penting
dalam masyarakatnya. Di Desa Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial
yang modern seperti di daerah perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka
secara sukarela membatu, dan terlihat pola-pola organisasi lokal yang mereka
miliki, satu sama lain tau apa yang mereka harus kerjakan sesuai dengan kapasitas
dan tugas yang telah diatur di dalam norma adat mereka.
Sistem organisasi kemasyarakatan yang dikelola secara adat di kampung
ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini dikerenakan nilai adat telah terbukti
secara nyata dari ratusan tahun yang lalu mampu mengelola masyarakat secara
baik di berbagai bidang mulai dari ekonomi, sosial, dan bahkan ekologi. Abah
dikenal memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga
berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot
girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi
merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Ugi.
Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka
biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal,
masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk.
Meskipun masyarakat Ciptagelar masih memegang dan menjaga nilai adat
namun mereka tidak tertinggal oleh perkembangan zaman khususnya teknologi.
Mereka mengadopsi beragam peralatan modern guna membantu aktivitas mereka
agar mencapai kesejahteraan. Alat penerangan yang ada disana sudah
menggunakan listrik yang di inisiasi oleh pada masa kepemimpinan Abah Anom
dan dilanjutkan oleh Abah Ugi, teknologi tersebut dibuat dengan bekerja sama
dengan sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil
seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun
listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur.
Dengan adanya listrik maka tidak menuntup kemungkinan masuknya
berbagai teknologi dan alat komunikasi, mulai dari handphone, televisi,
kendaraan bermotor, gadget, internet, DLL. Namun mereka mengerti dan
mengetahui bahwa dengan masuknya beragam teknologi tersebut akan membawa
beragam perubahan baik maupun buruk, oleh karena itu mereka memanfaatkan
beragam teknologi tersebut tidak hanya atas manfaatnya untuk kepentingan
pribadi akan tetapi juga untuk menanamkan dan mengenalkan nilai adat dan
kebudayaan mereka sehingga hal tersebut menjadi pagar pembatas yang bertujuan
59
agar masyarakat tidak lupa dan selalu ingat terhadap nilai adat mereka, sebagai
contoh adanya kamera digunakan untuk proses dokumentasi kegiatan dan
aktivitas keseharian mereka agar dapat dilihat dan diwariskan ke generasi
penerusnya sehingga mereka mengenal adat dan budaya mereka, kemudian
televisi di manfaatkan sebagai media penyiaraan nilai dan adat mereka sebagai
penyeimbang masuknya budaya dan nilai-nilai dari luar dikarenakan mereka sadar
bahwa masuknya beragam teknologi membawa seperangkat dampak negatif yang
dapat merusak adat mereka.
Melihat kemajuan dari peralatan teknologi yang ada di kasepuhan tersebut
tentu tidak terlepas dari peran abah ugi sebagai ketua adat yang mengerti dan
menguasai teknologi sehingga sebagai pemimpin ia mampu memanfaatkan
kemampuannya tersebut untuk membantu masyarakat. Melihat manfaat teknologi
yang diperkenalkan oleh abah maka warga mulai percaya dan mengadopsi
beragam teknologi tersebut. Selain melihat manfaatnya secara nyata sikap positif
tersebut juga lahir dikarenakan hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai adat mereka
yaitu mengikuti arahan orang yang dituakan yaitu abah Ugi, karena mereka yakin
apa yang dilakukan oleh abah pasti sesuai dengan aturan nenek moyang mereka.
Menurut abah ugi perkembangan teknologi merupakan salah satu hal yang
diperintahkan untuk dipelajari di dalam nilai adat mereka agar masyarakat tidak
tertinggal, dan hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dan menjadi salah satu
alasan mengapa masyarakat ciptagelar terbuka terhadap teknologi.
Beragam teknologi telah diadopsi guna memudahkan aktivitas mereka,
mulai dari penerangan yang menggunakan listrik yang mana masyarakat sangat
terbantu secara ekonomis dari hadirnya listrik di desa mereka, mereka dapat
menghemat pengeluaran mereka karena tidak perlu lagi membeli minyak tanah
yang cenderung mahal untuk membeli 10 liter minyak tanah pada waktu dulu
masih 500 rupiah per-liter tutur beliau namun kini ketika harga minyak tanah
menjadi 12500 rupiah per-liter maka pengeluaran yang sangat besar bagi mereka,
namun dengan adanya listrik mereka hanya perlu mengeluarkan tidak lebih dari
5000-10000 rupiah per-bulan untuk penerangan.yang mana penggunaannya
mencapai 10 liter per bulan yang apa bila diuangkan lebih dari seratus ribu rupiah
per bulan, namun kini dengan masuknya listrik masyarakat hanya dipungut
bayaran kurang dari sepuluh ribu rupiah per bulan sehingga dengan masuknya
teknologi tersebut maka masyarakat sangat terbantu dan oleh karena itu abah ugi
terdorong untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan listrik bagi masyarakatnya.
Kemudian dari teknologi informasi mereka mengadopsi jaringan telepon
genggam sehingga memudahkan proses komunikasi diantara mereka, kemudian
mereka mengadopsi televisi guna membuka dan mengembangkan wawasan
mereka tentang dunia luar serta sebagai sarana hiburan bagi mereka, tidak hanya
itu mereka tidak hanya mengadopsi tetapi juga menciptakan kreasi dari teknologi
yang mereka adopsi mereka mengetahui peran dan fungsi televisi dalam
memberikan wawasan dan hiburan, sehingga guna melestarikan wawasan dan
hiburan adat yang mereka miliki, maka mereka membuat saluran televisi sendiri
pada tahun 2008 guna menjaga kelestarian dan sebagai usaha mengimbangi arus
modernisasi yang masuk, mereka membirikan nama CIGA TV bagi stasiun tv
lokal yang mereka miliki, stasiun tv ini di dirikan dan dikembangkan atas inisiasi
abah ugi dan dipercayakan kepada kang yoyo, kang yoyo merupakan seniman
yang telah berkelana ke berbagai daerah dan pada akhirnya ia memutuskan untuk
60
tinggal dan menetap di ciptagelar, ia diberi kepercayaan untuk mengelola stasiun
tv tersebut. Hingga saat ini program stasiun televisi tersebut membuat kagum
beragam kalangan baik nasional maupun internasional hingga mampu membawa
masyarakat Ciptagelar untuk mempresentasikan karyanya tersebut di kancah
Internasional.
Menurut pemaparannya stasiun tv ini di buat untuk menayangkan realita
guna menyaingi dongeng ataupun hal-hal fiktif yang disajikan oleh beragam
media lainnya oleh karena itu acara yang ditayangkan di ciga tv adalah realita
kehidupan sehari-hari masyarakat ciptagelar, tujuan dari ciga tv ini untuk
memberikan gambaran pada masyarakat bahwa dari beragam dongeng mimpi dan
hal-hal fiktif yang ada tidak membawa manfaat secara real bagi mereka, ciga tv
ada untuk memberikan gambaran real tentang keadaan mereka dan bahkan
gambaran masing-masing individu yang ada di ciptagelar, sehingga mereka tidak
terbuai dan terlena dengan mimpi-mimpi yang ada, selain itu fungsi ciga tv untuk
masyarakat adat adalah agar warisan budaya mereka bisa tersampaikan dari
generasi ke generasi, dengan adanya ciga tv generasi penerus akan melihat,
mengenal dan mengingat budaya mereka sehingga mereka bukti fisik dan bukti
kebudayaan yang terekam dapat terus menerus diwariskan.
Kemudian untuk pihak eksternal mereka bertujuan untuk memperkenalkan
kebudayaan mereka ke khalayak umum agar kebudayaan mereka dapat dikenal
oleh seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia. Selain televisi mereka juga
telah terlebih dahulu memiliki radio komunitas Ciptagelar yang tujuan dan
perannya beriringan dan bahkan sama dengan ciga TV, namun sayang ketika saya
berada disana radio tersebut sedang fakum tidak ada kegiatan. Selain itu
dikarenakan pada saat ini internet sedang berkembang dan bahkan mulai menjadi
kebutuhan masyarakat maka abah ugi pun menginisiasi masuknya jaringan
internet di desa ciptagelar, mereka menggunakan wi-fi sebagai jalur koneksi agar
dapat dimanfaatkan secara bersama, namun jaringan internet ini dapat diakses
hanya di wilaayah imah gede atau pusat dari desa ciptagelar.
Namun diantara beragam manfaatnya tentu teknologi yang masuk pun
membawa dampak dan efek negatif ditengah masyarakat, banyak hal-hal negative
yang ditawarkan namun hal yang mendasar dan yang penting menurut beliau
adalah masuknya pemikiran-pemikiran luar yang mampu merubah perilaku
seseorang hingga tidak lagi berpikir dan berprilaku yang sesuai seperti dikatakan
oleh adat mereka. Menurut beliau sudah banyak masyarakat yang terseret oleh
arus pemikiran materialistis sehingga bukan lagi adat yang diunggulkan dan
diutamakan melainkan keuntungan materil masing-masing individu dan hal itu
berbahaya bagi kesatuan, kerukunan dan kelestarian masyarakat adat. Oleh karena
itu peran adat yang menuntun tatacara berkehidupan dan berprilaku sangat
dibutuhkan sehingga tercipta batasan yang berfungsi sebagai pagar dan pelindung
dari dampak negatif, yang nilai-nilai tersebut tertuang salah satunya dalam siloka
(pribahasa sunda) yang artinya zaman harus dituntut dan dikejar, ambilah manfaat
darinya dan buang hal yang buruk darinya, jangan lah sampai kita dituntut oleh
zaman. Sehingga ketika seseorang menghargai tradisi dan budayanya maka ia
akan menjaga tradisi tersebut, yang mana tujuan dari tradisi itu adalah melindungi
dan menjaga tatahidup mereka agar tetap sejahtera dan berkelanjutan.
61
Lampiran 7 Modernisasi Didalam Nilai Adat
Dari beragam kemajuan teknologi yang ada di Kampung ciptagelar ada
beberapa hal yang tetap statis dan tidak berubah mengikuti perkembangan yang
ada. Seperti yang telah diungkapkan di bagian nilai adat bab sistem alat bahwa
teknologi yang digunakan di dalam proses pertanian baik dari segi makro maupun
mikro tidak ada yang berubah dari zaman leluhur mereka, hal tersebut terus dijaga
dan dibiarkan “tertinggal” dari perkembangan zaman yang ada dikarenakan akar
kebudayaan mereka berasal dari pertanian sehingga sebisa mungkin mereka akan
berusaha menjaga kelestarian budaya tersebut. Hal inilah yang disebut oleh
ogburn sebagai cultural lag.
Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan kearah
yang lebih maju atau meningkat di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat.
Perubahan yang terjadi mencakup beragam bidang yang sangat banyak, sehingga
untuk menentukan bidang mana yang diutamakan tergantung dari kebijakan
penguasa masyarakat tersebut. Namun selama berlangsungnya beragam proses
tersebut abah merasa posisinya secara adat tidak diperhitungkan sehingga jarang
sekali adanya diskusi guna mencari masukan dari pemimpin lokal. Oleh karena itu
sebagai pemimpin adat abah tetap menjalankan fungsinya dalam membangun
masyarakat meskipun tidak terintegrasi dengan pihak pemerintah, hingga mulai
terlihatlah perbedaan dampak antara program yang diinisiasikan oleh abah dan
yang diinisiasi oleh pemerintah. Masyarakat merasakan dampak dari beragam
program yang diinisiasi oleh abah membawa kesejahteraan dan kemudahan yang
nyata untuk masyarakat, namun berkebalikan dengan program pemerintah yang
terkadang bertentangan dengan kebutuhan masyarakat dan bahkan berujung
dengan penangkapan.
Hal yang disayangkan adalah tidak adanya akulturasi antara pihak
pemerintah dengan pihak adat, terbukti beragam inisasi dan program dari abah
telah membawa prestasi ciptagelar ke ranah nasional dan bahkan internasional.
Hal tersebut dicapai tanpa adanya bantuan dari pihak pemerintah, apabila pihak
pemerintah memberikan bantuan tentu tidak diragukan ciptagelar akan membawa
nama harum Indonesia di dunia internasional akan tetapi proses modernisasi yang
masuk secara unik dengan caranya tersendiri di desa ciptagelar menyebabkan
ketertarikan dunia luar terhadap Kampung adat tersebut yang merupakan hasil
swadaya masyarakat. Namun prestasi tersebut kini secara sepihak di deklarasikan
sebagai cagar budaya Negara, seakan-akan program dari pihak pemerintahlah
yang telah membawa dan menjaga kelestarian adat masyarakat ciptagelar.
Penguasa dari sisi masyarakat ciptagelar terbagi atas dua kekuasaan
kenegaraan dan kekuasaan adat, sehingga terdapat perbedaan kebijakan-kebijakan
diantara dua kekuasaan tersebut. Namun abah mengungkapkan bahwa abah
seyogyanya sebagai seorang pemimpin secara adat harus bisa mencontohkan
bagaimana berprilaku sebagai yang dipimpin secara kenegaraan, sehingga abah
sebisa mungkin selalu menuruti beragam program dan mendukung program
pemerintah yang masuk di wilayah adatnya.
Hutan alam merupakan hutan milik negara yang kepemilikannya tidak
diakui oleh masyarakat adat. Secara fisik hutan alam ini merupakan hutan yang
masih utuh dan sama sekali tidak digarap oleh masyarakat adat. Sedangkan Hutan
ulayat merupakan hutan yang menurut sejarah adat merupkan milik masyarakat
62
adat. Hutan ulayat ini dalam sistem pengelolaannya terbagi menjadi leuweung
kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Yang dimaksud dengan
leuweung kolot/awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat
diganggu untuk kepentingan apapun. Masyarakat adat percaya, bahwa leuweung
ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti
akan tertimpa kemalangan (kabendon), sehingga leuweung kolot/awisan ini tidak
dapat dialihfungsikan menjadi leuweung titipan atau pun leuweung sampalan.
Leuweung titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur
kepada para incu putu untuk menjaga dan melestarikannya. Menurut kepercayaan
masyarakat, apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizing sesepuh
girang maka akan mendapat kabendon dari karuhun.
Menurut nilai adat masyarakat Kampung Ciptagelar, hutan adalah
kehidupan mereka yang harus terus di jaga dan di lestarikan kondisi geografis
yang berupa pengunungan harus dijaga dan dilestarikan demi keselamatan anak
cucu. Oleh karena itu menurut nilai adat mereka, leluhur telah mewariskan sistem
tata kelola hutan kepada pemimpin di Kampung Ciptagelar. Sehingga dari segi
ekologis nilai adat beperan sangat penting dalam mengatur pola hidup masyarakat
agar hidup secara seimbang dengan alam. Namun pada dataran kenyataan justru
pihak luar khususnya pihak taman nasional memiliki perspektif yang berbeda.
Mereka melihat masyarakat Kampung Ciptagelar merupakan masyarakat yang
hidup di tengah kawasan taman nasional yang seharusnya menjadi hutan lindung,
sehingga di dalam kesehariannya mereka menggunakan potensi hutan yang
dilindungi, seperti pepohonan untuk tempat tinggal, kemudian konsumsi kayu
bakar yang berkesinambungan dan terus bertambahnya pembalakan liar
dikarenakan penggunaan kayu bakar serta pembangunan rumah ataupun leuit
yang terus meningkat dikarenakan pertambahan jumlah penduduk. Salah satu
alasan tersebut yang mendorong beragam konflik baik laten maupun mencuat
yang terjadi diantara kedua belah pihak. Dari alasan-alasan tersebut nampaknya
sangat masuk akal dan tidak bisa dinafikan, masyarakat kasepuhan adat pasti
menggunakan dan memanfaatkan alam di sekitarnya sehingga, keberadaan
masyarakat di kawasan hutan sudah pasti akan merusak alam. Namun sudut
pandang tersebut melupakan sisi lain bahwa masyarakat pun memiliki aturan-
aturan lokal guna menjaga hutan dikarenakan kesadaran akan ketergantungan
hidup mereka terhadap alam yang tertuang di dalam nilai mereka dan tergambar
dari sikap keseharian mereka, beragam aturan lokal memuat hal tersebut mulai
dari reboisasi, sistem warisan dengan penanaman pohon dan beragam aturan lokal
lainnya. Dari sudut pandang ini menggambarkan bahwa keberadaan masyarakat di
kawasan hutan sudah pasti akan menjaga kelestarian dan keseimbangan dengan
alam sesuai dengan nilai adat mereka yang mengajarkan kesadaran akan peran
dan fungsi alam serta aturan berkelakuan yang menjunjung tinggi keseimbangan
dengan alam.
Oleh karena itu masyarakat ciptagelar yang memiliki tata kelakuan
tersendiri yang berasal dari nilai adat mereka yang disebut kabendon yang terbukti
telah mendorong sikap positif masyarakat tersebut terhadap modernisasi yang
masuk. Sehingga nilai adat memiliki peranan penting dalam membangun sikap
masyarakat terhadap proses modernisasi, sehingga nilai adat memiliki pengaruh
langsung yang sangat positif terhadap diterimanya modernisasi sebagai sarana
yang menunjung kehidupan warga.
63
jawaban atas pertanyaan bagaimana warga di desa Ciptagelar berusaha
hidup mandiri, adalah dengan sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada
pihak lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam
“keluarga”, namun kehidupan kolektif itulah yang sudah semakin hilang di
sekeliling kita, sehingga keberadaan pola hidup seperti itu menjadi hal yang
menarik bagi orang yang terbiasa hidup di “dunia luar”. Meskipun mereka hidup
dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali setahun, di
keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul tidak pernah terdengar ada kabar tentang
kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah tidak
pernah kosong sepanjang tahun. Rumah gede sebagai pusat interaksi dan hidup
masyarakat pun memiliki peranan dalam menciptakan kesejahteraan mereka. Bagi
masyarakat yang tidak mampu, mereka dapat memanfaatkan pajak hasil panen
warga yang ada dengan cara meminjamnya. Apabila masyarakat merasa tidak
mampu untuk meminjam maka mereka dapat berlindung di imah gede guna
memenuhi kebutuhan mereka secara Cuma-Cuma, hal tersebutlah yang menjaga
kesejahteraan masyarakat hingga tidak ada lagi kekurangan pangan.
Namun lagi-lagi cara hidup mereka terkadang dipandang sinis hanya dari
satu sudut pandang yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan pembangunan
ataupun di anggap sebagai persoalan yang menghambat proses pembangunan
karena masyarakat dianggap saling bergantung dan tidak dapat menjadi individu
yang mandiri, gaya hidup mereka yang mengikuti leluhur dianggap terbelakang
dan menghambat kemajuan yang seharusnya dapat diraih.
Dari beragam kegiatan kesenian dan ritual yang mereka jalankan merupakan
implementasi dari aturan lokal yang berasal dari nilai adat mereka, namun
terkadang terdapat kendala dari masuknya nilai baru yang membawa muatan
berbeda dari muatan nilai adat, sehingga membuka kemungkinan terjadinya
pergeseran terhadap nilai adat yang mereka yakini baik disadari maupun tidak
disadari. Sehingga menyebabkan orang-orang yang seharusnya terlibat di dalam
suatu kesenian dan ritual terkadang ada yang mengalami pergeseran nilai, hal itu
terwujud dalam sikap mereka khususnya materialisme, yang mana hal tersebut
melemahkan keyakinan mereka terhadap nilai dari tanggung jawab sosial mereka
di dalam suatu ritual ataupun kesenian. Sebagai contoh terkadang individu yang
terlibat dan bertugas di baris tatabeuhan (pemain musik) di dalam ritual adat
merasa enggan dan malas untuk menjalankan fungsi dan tugasnya ketika tidak ada
orang yang menonton mereka, sehingga orientasi mereka bergeser yang
seharusnya nilai adat merupakan aturan wajib yang akan mengantarkan seseorang
menuju kesejahteraan sehingga tidak ada korelasi dengan orang yang akan
menonton mereka, namun kini mereka melihatnya apa yang sedang mereka jalani
tidak memberikan keuntungan baik secara materi maupun moril, sudut pandang
tersebut termotivasi dari kepentingan pribadi yang merupakan salah satu cirri
masyarakat modern yaitu individualistik, sehingga proses plaksanaan ritual dan
kesenian tersebut tidak lagi dipandang sebagai suatu tugas sosial mereka sebagai
bagian dari suatu masyarakat yang meyakini suatu nilai adat yang sama, sehingga
penggunaan sudut pandang individualistik tersebut yang perlahan-lahan
meruntuhkan kekuatan benteng kepercayaan masyarakat terhadap nilai adat
sehingga mereka mudah bergeser kepada beragam nilai baru yang ada.
Kemudian contoh lainnya muncul dikarenakan ketertarikan dunia luar
terhadap tradisi mereka, sehingga mampu mendatangkan banyak pengunjung dari
64
dunia luar dan membawa dampak tersendiri bagi nilai yang mengatur kehidupan
sosial mereka. Banyaknya pendatang tentu membawa keuntungan tersendiri mulai
dari kesempatan untuk mengenalkan kebudayaan mereka maupun dari segi materi,
keuntungan materi itulah yang memicu beberapa konflik laten di tengah
masyarakat, banyak muncul kecemburuan ataupun ketidaksukaan dikarenakan
motif-motif material. Hal itu terlihat ketika mereka mengungkapkan dampak
masuknya “pariwisata”.
“ Kami bukan tempat pariwisata tapi wajar banyak orang datang ke desa
kami, karena tempat kami memang indah”(YYN 28 Tahun)
Namun ada orang-orang yang memanfaatkan hal tersebut dengan cara-cara
yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, menurut
mereka nilai adat sudah mengatur keseluruhan hal dari yang terkecil bahkan tidak
dapat dilihat mata, hingga persoalan-persoalan besar dari skala nasional hingga
internasional oleh karena itu tinggal di ikuti aturannya sehingga mereka tidak
keluar dari batas keseimbangan yang telah ditetapkan oleh nilai adat mereka.
Sehingga modernisasi juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap nilai adat
yang ada di tengah masyarakat. Pengaruh yang masuk berangkat dari kepentingan
dan kebutuhan pribadi, dikarenakan modernisasi menawarkan beragam
kemudahan guna mencapai kesejahteraan namun perlahan-lahan menarik
masyarakat menuju perubahan dan pergeseran dari nilai adat mereka. Sehingga
menjadi tantangan tersendiri bagi nilai adat dalam berakulturasi dengan
modernisasi yang ada karena disamping membawa beragam manfaat namun
membawa arus perubahan.
65
Lampiran 9 Dokumentasi
RIWAYAT HIDUP
Muhammad Mahdi dilahirkan di Surakarta pada tanggal 26 Desember
1992, dari pasangan Abdullah Assegaf dan Maemunah Al-Haddad. Pendidikan
formal yang pernah dijalani adalah SMA Negeri 5 Bogor, 2007-2010. Pada tahun
2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) Di Departemen Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selain aktif dalam perkuliahan penulis juga aktif sebagai staf Divisi Community
Development HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) masa kepengurusan 2012 – 2014.