Upload
samsul-huda
View
1.855
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhir – akhir ini banyak berita – berita di media elektronik maupun media
cetak yang mengabarkan tentang hal – hal yang sangat memilukan mengenai nasib
buruh yang ada di Indonesia, lebih – lebih nasib buruh migran yang ada di luar
negeri. Meskipun masalah kesejahteraan rakyat sudah dicanangkan sejak
berdirinya Indonesia tahun 1945 lewat UUD 1945 tetapi sampai detik ini masih
sangat banyak rakyat Indonesia yang jauh dari kata hidup layak apalagi sampai
memegang kata sejahtera. Hal tersebut merupakan pekerjaan rumah yang sangat
besar bagi pemerintah Indonesia.
Kekerasan – kekerasan yang terjadi kepada buruh pada prinsipnya terjadi
karena pengetahuan buruh yang kurang terhadap hal – hal yang harus dilakukan
sebelum memasuki dunia kerja, sehingga apabila terjadi hal – hal yang berkaitan
dengan kekerasan atau pelanggaran – pelanggaran hak – hak mereka, tiada kata
lain, kecuali pasrah kepada majikan ataupun para pimpinan dalam hal ini
pengusaha kalau dalam perusahaan.
Disamping itu tidak sepenuhnya kita menyalahkan buruh atas
ketidakpahaman mereka tentang langkah – langkah yang diambil agar hak – hak
mereka terlindungi secara aman, karena bagaimanapun dalam negara yang
berdaulat pemerintah juga harus memperhatikan dan melindungi nasib warga
negaranya yang hidup di garis bawah.
1
Nasib yang dialami oleh buruh migran tersebut sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan nasib para buruh yang bekerja di dalam negeri, baik buruh yang
bekerja di perusahaan swasta maupun BUMN, banyak hak – hak mereka yang
terampas karena ketidak berdayaan mereka dalam mempertahankannya, serta
kurangnya pengawasan dari pemerintah dalam pelaksanaan mekanisme
pembuatan aturan – aturan dalam hubungan kerja.
Melihat kenyataan tersebut diatas, maka kami mencoba menguraikan dua
hal yang mendasar untuk melindungi nasib buruh dalam hubungan kerja yaitu
mengenai masalah peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Dimana
hal tersebut menjadi sangat penting disaat nasib para buruh tertindas oleh sifat –
sifat matrialistis para pengusaha. Disamping itu dimaksudkan juga agar hal
tersebut juga menjadi pelajaran bagi para buruh agar bisa mempertahankan hak –
hak yang seharusnya mereka dapatkan demi mensejahterakan kehidupan
keluarganya.
B. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas maka dalam makalah ini
kami akan memaparkan mengenai cara – cara pembuatan dan pendaftaran serta
perpanjangan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERATURAN PERUSAHAAN
A.1. PENGERTIAN PERATURAN PERUSAHAAN
Peraturan perusahaan adalah merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerja,
karena pada prinsipnya perjanjian kerja hanya memuat mengenai syarat – syarat
kerja yang sederhana misalnya mengenai upahnya, pekerjaannya, dan pembagian
lain – lain (Emolumenten). Jadi dengan keadaan tersebut maka secara otomatis
peraturan perusahaan memuat hal – hal yang lebih lengkap mengenai syarat –
syarat kerja.
Istilah peraturan perusahaan ini ada yang menyebutnya dengan peraturan
kerja perusahaan, peraturan majikan, reglemenent perusahaan, peraturan
karyawan, maupun peraturan kepegawaian. Sedangkan pengertian peraturan
perusahaan menurut Undang – Undang No.13 tahun 2003 adalah peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat – syarat kerja dan tata -
tertib perusahaan, yang mana setiap perusahaan yang memperkerjakan buruh atau
karyawan minimal 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan.
Jadi berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa peraturan
perusahaan berisi hak – hak dari buruh dan berhubungan erat dengan perjanjian
kerja, oleh karena itu peraturan perusahaan merupakan pasangan dari perjanjian
kerja, bahkan ada yang menyebutnya sebagai pelengkap dari perjanjian kerja.
3
Peraturan perusahaan ini dibuat oleh pengusaha dimana buruh tidak ikut campur
dalam pembuatannya, sehingga ada yang berpendapat bahwa peraturan
perusahaan adalah peraturan yang berdiri sendiri.
A.2. SEJARAH LEGALITAS PERATURAN PERUSAHAAN
Semula peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 1601 j sampai dengan
pasal 1601 m Buku III KUH Perdata. Berdasarkan pasal tersebut Peraturan
Perusahaan hanya memuat syarat – syarat kerja tidak termasuk tata – tertib
perusahaan. Peraturan perusahaan tidak diwajibkan kepada perusahaan. Buruh
terikat dengan peraturan perusahaan ini jika dalam pembuatan perjanjian kerja
menyetujui secara tertulis mengenai peraturan perusahaan. Adapun agar peraturan
perusahaan yang dibuat pengusaha dapat mengikat buruh, harus dipenuhi
ketentuan sebagai berikut :
1. Jika buruh secara tertulis telah menyetujui peraturan perusahaan tersebut;
2. Satu eksemplar peraturan perusahaan diberikan secara cuma – cuma
kepada buruh;
3. Satu eksemplar peraturan perusahaan diserahkan kepada Kementerian
Perburuhan yan tersedia untuk dibaca oleh umum;
4. Satu eksemplar peraturan perusahaan ditempelkan di perusahaan yang
mudah dibaca oleh buruh.
Kemudian ada Peratuan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
Nomor: PER-02/1976 tanggal 11 Juli 1976 tentang peraturan perusahaan. Yang
dimaksud dengan Peraturan Perusahaan dalam Peraturan Menteri ini adalah satu
4
peraturan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan –
ketentuan tentang syarat – syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang
bersangkutan. Selain ketentuan tentang syarat – syarat kerja, peraturan perusahaan
dapat juga memuat ketentuan – ketentuan mengenai tata tertib perusahaan.
Dengan demikian peraturan perusahaan ini tidak hanya memuat syarat – syarat
kerja saja, namun juga memuat ketentuan tentang tata tertib. Berdasarkan
Peraturan menteri ini Peraturan Perusahaan wajib dibuat oleh perusahaan yang
mempekerjakan 50 (lima puluh) orang buruh atau lebih.
Kemudian Peraturan Menteri tahun 1976 dicabut dan diganti dengan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor:
PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan
Perjanjian Perburuhan. Menurut peraturan menteri ini Peraturan Perusahaan ialah
Peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat ketentuan – ketentuan tentang
syarat – syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
Peraturan Perusahaan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-02/MEN/1978 diwajibkan kepada
Perusahaan yang memiliki buruh/ karyawan minimal 25 (dua puluh lima) orang
atau lebih, tetapi kemudian setelah disahkannya Undang – Undang No.13 tahun
2003 Peraturan Perusahaan diwajibkan kepada perusahaan yang memiliki
karyawan/buruh minimal 10 orang. Dengan adanya Undang – Undang tersebut
maka Peraturan Menteri tersebut diatas secara otomatis tidak berlaku kembali.
5
A.3. CARA PEMBUATAN PERATURAN PERUSAHAAN.
Sebelum pembuatan Peraturan Perusahaan perlu diketahui bahwa
peraturan perusahaan berdasarkan Undang – Undang No.13 tahun 2003 Peraturan
Perusahaan harus memuat sekurang – kurangnya :
1. Hak dan kewajiban Pengusaha;
2. Hak dan kewajiban pekerja/buruh;
3. Syarat kerja;
4. Tata tertib perusahaan ;
5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang – undangan.
Sedangkan untuk jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan adalah 2 (dua)
tahun dan wajib diperbarui setelah masa berlakunya habis. Peratuan perusahaan
mulai berlaku setelah disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan.
Disamping itu perlu diketahui bahwa dalam satu Perusahaan hanya dapat
dibuat 1 (satu) Peraturan Perusahaan yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh
yang ada diperusahaan yang bersangkutan. Sedangkan jika suatu perusahaan
memiliki cabang perusahaan, maka peraturan perusahaan di perusahaan induk
berlaku di semua cabang perusahaan dan dapat pula dibuat peraturan perusahaan
turunan yang berlaku di masing – masing cabang perusahaan, dimana peraturan
perusahaan induk memuat ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang
6
perusahaan, sedangkan Peraturan Perusahaan turunan memuat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan
masing – masing.
Dalam hal ini peraturan perusahaan induk telah berlaku di perusahaan tetapi
dikehendaki adanya peraturan perusahaan turunan di cabang perusahaan, maka
selama Peraturan Perusahaan turunan belum disahkan tetap berlaku Peraturan
Perusahaan Induk. Jika beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan
masing – masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri – sendiri, maka
masing – masing perusahaan memuat Peraturan Perusahaan sendiri – sendiri.
Peraturan Perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab Pengusaha.
Pengusaha harus menyampaikan naskah rencana Peraturan Perusahaan kepada
wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh untuk mendapatkan saran dan
pertimbangan.
Mengenai wakil pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh adalah
sebagai berikut:
1. Wakil pekerja/buruh dipilih oleh pekerja/buruh secara demokratis
mewakili dari setiap unit kerja yang ada di perusahaan;
2. Dalam hal ini di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh,
maka wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh;
3. Dalam hal di perusahaan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh,
tetapi keanggotaannya tidak mewakili mayoritas pekerja/buruh di
perusahaan, maka wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat
7
pekerja/serikat buruh ada wakil pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/buruh.
Adapun saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh terhadap naskah rancangan Peraturan Perusahaan harus
sudah diterima pengusaha dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan oleh wakil pekerja/buruh.
Apabila dalam jangka waktu tersebut wakil pekerja/buruh tidak memberikan saran
atau pertimbangan, pengusaha dapat meminta pengesahan Peraturan Perusahaan
dengan melampirkan bukti bahwa telah meminta saran dan pertimbangan kepada
wakil pekerja/buruh.
Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa wakil pekerja/buruh atau serikat
pekerja/ serikat buruh dapat tidak memberikan saran dan pertimbangan terhadap
Peraturan Perusahaan yang disampaikan oleh pengusaha.
A.4. PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN
Agar dapat berlaku di perusahaan, Peraturan Perusahaan harus disahkan
oleh pegawai yang berwenang. Prosedur pengesahan tersebut adalah sebagai
berikut :
Pengusaha harus mengajukan permohonan pengesahan
Peraturan Perusahaan kepada :
Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenaga
kerjaan Kabupaten/Kota untuk perusahaan yang terdapat hanya
dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota.
8
Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenaga
Kerjaan di provinsi untuk perusahaan yang terdapat pada lebih
dari 1 (satu) Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi
1. Permohonan pengesahan harus dilengkapi:
a) Permohonan tertulis yang harus memuat :
1. Nama dan alamat perusahaan;
2. Nama pimpinan perusahaan;
3. Wilayah operasi perusahaan;
4. Status perusahaan;
5. Jenis bidang usaha;
6. Jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
7. Status hubungan kerja;
8. Upah tertinggi dan terendah;
9. Nama dan alamat serikat pekerja/buruh (kalau ada);
10. Nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh (kalau ada);
11. Masa berlakunya peraturan perusahaan;
12. Pengesahaan peraturan perusahaan untuk yang ke berapa.
b) Naskah peraturan perusahaan dibuat rangkap 3 (tiga) yang telah
ditandatangani oleh pengusaha.
c) Bukti telah dimintakan saran dan pertimbangan dari serikat
pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh apabila di
perusahaan tidak ada serikat pekerja/buruh.
9
3. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan
harus meneliti kelengkapan dokumeen dan meneliti materi peraturan
perusahaan yang diajukan tidak boleh lebih rendah dari peraturan
perundangan yang berlaku. Kepala instansi yang bertanggung jawab
di bidang Ketenagakerjaan mengesahkan peraturan perusahaan
dengan menerbitkan surat keputusan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan pengesahan.
4. Dalam hal pengajuan permohonan pengesahan, apabila peraturan
perusahaan tidak memenuhi kelengkapan dan/atau terdapat materi
peraturan perusahaan yang bertentangan dengan peraturan
perundangn, maka dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kerja sejak diterimanya permohonan pengesahan, maka permohonan
pengesahan dikembalikan secara tertulis untuk dilengkapi atau
diperbaiki. Pengusaha wajib menyampaikan peraturan perusahaan
yang telah dilengkapi atau diperbaiki dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari sejak peraturan perusahaan dikembalikan.
Apabila hal diatas tidak ditaati, maka perusahaan dinyatakan tidak
mengajukan permohonan pengesahan peraturan perusahaan. Dengan
demikian dianggap perusahaan tidak memiliki peraturan perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha setelah Peraturan Perusahaan disahkan oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan adalah
memberitahukan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau
perubahan kepada buruh/pekerja, dengan cara memberikan salinan peraturan
10
perusahaan dan menempelkannya di ditempat – tempat yang mudah dibaca oleh
buruh/pekerja atau memberikan penjelasan secara langsung.
B. PERJANJIAN KERJA BERSAMA/KESEPAKATAN KERJA BERSAMA
B.1. PENGERTIAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Untuk menguraikan Perjanjian Kerja Bersama harus diketahui terlebih
dahulu bahwa Perjanjian Kerja Bersama sebelumnya juga sering disebut
Kesepakatan Kerja Bersama, dimana Kesepakatan Kerja Bersama merupakan
pergantian nama dari Perjanjian Perburuhan, hal ini dapat dilihat dari pasal 1
huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-01/men/1985 yang menyatakan
bahwa Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) adalah Perjanjian Perburuhan
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 21 tahun 1954.
Ketentuan Perjanjian Kerja Bersama lebih sesuai dengan keadaan sekarang, sebab
sudah mengatur lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada 1 (satu)
perusahaan, sedangkan Perjanjian Perburuhan belum mengatur lebih dari 1 (satu)
Serikat Pekerja/Serikat Buruh pada 1 (satu) perusahaan.
Menurut Pasal 1 angka 21 Undang – Undang No.13 tahun 2003 jo. Pasal 1
ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor:KEP-48/MEN/IV/2004, Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau
11
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat – syarat kerja, hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
Dengan demikian, berdasarkan definisi tersebut perjanjian kerja bersama:
a) Dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha;
b) Berisi syarat – syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Jadi, dalam membuat perjanjian kerja bersama di pihak pekerja/buruh selalu
ada kolektivitas. Maksud semula mengadakan perjanjian kerja bersama secara
kolektivitas adalah untuk memengaruhi syarat – syarat kerja dengan alat serikat
pekerja/serikat buruh. Dengan demikian, adanya perjanjian kerja bersama
berkaitan dengan pergerakan serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam kenyataannya pekerja/buruh selalu berada di pihak yang lemah,
sedangkan pengusaha memiliki wewenang memerintah, akibatnya segalanya
pengusaha adalah penentu. Jadi apabila buruh ingin meningkatkan taraf hidupnya
harus disalurkan melalui serikat pekerja/serikat buruh, agar memiliki kekuatan
hukum yang jelas.
Sedangkan bagi pengusaha dalam pembuatan perjanjian kerja bersama
tidak harus kolektivitas tetapi bisa dilakukan perorangan, tetapi tidak menutup
kemungkinan juga dilakukan secara kolektivitas atau beberapa pengusaha.
Mengenai syarat – syarat kerja adalah hak dan kewajiban yang belum diatur
dalam perundang – undangan, sedangkan hak dan kewajiban adalah hak dan
kewajiban yang sudah diatur dalam perundangan yang berlaku.
12
B.2. SYARAT MATERIL DAN FORMIL PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Mengenai syarat materil dari perjanjian kerja bersama adalah tidak jauh
berbeda dengan perjanjian kerja maupun peraturan perusahaan yaitu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Maksudnya,
kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari
peraturan perundang – undangan.
Jadi apabila terdapat poin – poin tertentu dalam perjanjian kerja bersama
yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka secara
otomatis hal – hal yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku
adalah ketentuan dalam peraturan perundang – undangan. Dengan demikian, tidak
seluruh isi perjanjian kerja bersama batal demi hukum, namun yang bertentangan
dengan peraturan perundang – undangan saja yang batal demi hukum.
Sedangkan syarat formil perjanjian kerja bersama yaitu harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan Bahasa Indonesia, dan apabila
perjanjian kerja bersama tidak menggunakan Bahasa Indonesia, maka harus
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah (sworn
translator). Apabila perjanjian kerja bersama dibuat dalam Bahasa Indonesia dan
diterjemahkan ke dalam bahasa lain, kemudian terjadi perbedaan penafsiran maka
yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa
Indonesia.
Selanjutnya perjanjian kerja bersama sekurang – kurangnya memuat :
a) Nama, tempat kedudukan, serta alamat pekerja/serikat buruh,
13
b) Nama, tempat kedudukan, serta alamat pengusaha,
c) Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
d) Hak dan kewajiban pengusaha.
e) Hak dan kewajiban serikat pekerja/ serikat buruh serta pekerja/buruh.
f) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama, dan
g) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Apabila perjanjian kerja bersama ditandatangani oleh wakilnya, maka harus
ada surat kuasa khusus yang dilampirkan pada perjanjian kerja bersama.
B.3. PIHAK – PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Menurut Pasal 1 Angka 21 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: KEP-48/MEN/IV/2004, pihak yang terkait dalam perjanjian
kerja bersama adalah
a) Serikat pekerja/ serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang Ketenagakerjaan.
Yaitu : Organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungai hak dan kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
14
Adapun yang dapat membuat perjanjian kerja bersama adalah serikat
pekerja/serikat buruh di perusahaan, yaitu serikat pekerja/serikat buruh yang
didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa
perusahaan. Disamping itu, agar serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan
dapat membuat perjanjian kerja bersama, ia harus tercatat di instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
b) Pengusaha
Adapun yang dimaksud pengusaha adalah :
a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewaakili perusahaan a dan b tersebut di atas, yang
berkedudukan di luar wilayah indonesia.
Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan pengusaha bentuknya
orang perseorangan, sedangkan beberapa pengusaha bentuknya adalah
persekutuan, selanjutnya perkumpulan pengusaha bentuknya adalah badan
hukum.
B.4. DASAR HUKUM SERTA FUNGSI DARI PERJANJIAN KERJA
BERSAMA
Dasar hukum perjanjian kerja bersama adalah :
1. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
15
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP-
48/MEN/IV/2004 tanggal 8 April 2004 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
3. Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Sedangkan fungsi dari Perjanjian Kerja Bersama adalah
1. Memudahkan pekerja/buruh untuk membuat Perjanjian Kerja.
2. Sebagai Jalan Keluar atau way – out apabila perundang – undangan
Ketenagakerjaan belum mengatur hal – hal yang baru atau menunjukkan
kelemahan – kelemahan di bidang tertentu.
3. Sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja/buruh
demi kelangsungan usaha bagi perusahaan.
4. Merupakan partisipasi pekerja/buruh dalam penentuan atau pembuatan
kebijaksanaan pengusaha dalam bidang ketenagakerjaan.
B.5. TATA CARA PEMBUATAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Sebelum membuat Perjanjian Kerja Bersama perlu diketahui bahwa
Perjanjian Kerja Bersama berlaku dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 1(satu) tahun dengan kesepakatan tertulis
antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. Sedangkan untuk
perjanjian kerja bersama berikutnya, perundingannya dapat dimulai paling cepat 3
(tiga) bulan sebelumnya.
16
Mengenai jumlah perjanjian kerja bersama hampir sama dengan peraturan
perusahaan yaitu, di satu perusahaan hanya dibuat 1 (satu) perjanjian kerja
bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di persahaan yang bersangkutan.
Apabila perusahaan mempunyai cabang, dibuat perjanjian kerja bersama induk
yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat perjanjian kerja
bersama turunan yang berlaku di masing – masing cabang persahaan.
Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dimulai dengan
menyepakati tata – tertib perundingan yang sekurang – kurangnya memuat :
1. Tujuan membuat tata tertib;
2. Susunan tim perunding;
3. Materi perundingan;
4. Tempat perundingan;
5. Tata cara perundingan;
6. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
7. Sahnya perundingan;
8. Biaya perundingan
Apabila perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama belum selesai
dengan waktu yang telah disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak
dapat menjadwal kembali perundingan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
perundingan gagal.
Kalau dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama yang sesuai
dengan ketentuan tersebut diatas tidak selesai, para pihak harus membuat
17
pernyataan secara tertulis bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada
waktunya yang memuat:
1. Materi perjanjian kerja bersama yang belum dicapai kesepakatan;
2. Pendirian para pihak;
3. Risalah perundingan;
4. Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.
Apabila perundingan masih tidak menemui kata sepakat, maka salah satu
pihak atau kedua pihak dapat melaporkan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Di kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama
hanya mencakup satu kabupaten/kota;
2. Di provinsi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih
dari 1 (satu) Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
3. Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama
meliputi lebih dari satu provinsi.
Penyelesaian oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dilakukan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan
industrial yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004. Apabila
penyelesaian pada instansi tersebut masih menemui jalan buntu maka atas
kesepakatan kedua belah pihak mediator melaporkan kepada Menteri yang
memuat:
18
1. Materi perjanjian kerja bersama yang belum dicapai kesepakatan;
2. Pendirian para pihak;
3. Kesimpulan perundingan;
4. Pertimbangan dan saran penyelesaian.
Apabila masih belum menemukan titik temu, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan ke:
1. Pengadilan Hubungan Industrial di daerah hukum tempat pekerja/buruh
bekerja, atau
2. Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya mencakup
domisili perusahaan apabila daerah hukum tempat pekerja/buruh
melebihi 1(satu) daerah hukum Pengadilan Hubungan Industrial.
B.6. PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA
Setelah perjanjian kerja bersama mencapai kata sepakat, kemudian dibuat
rangkap 3(tiga) dengan materai cukup dan ditandatangani oleh kedua belah pihak
serta dilengkapi keterangn yang memuat:
a. Nama dan alamat perusahaan;
b. Nama pimpinan perusahaan;
c. Wilayah operasi perusahaan
d. Status permodalan perusahaan;
e. Jenis atau bidang usaha;
f. Jumlah pekerja/buruh menurut jenis kelamin;
g. Status hubungan kerja;
19
h. Upah tertinggi dan terendah;
i. Nama dan alamat serikat pekerja/serikat buruh;
j. Nomor pencatatan serikat pekerja/serikat buruh;
k. Jumlah anggota serikat buruh/serikat buruh;
l. Masa berlakunya perjanjian kerja bersama;
m. Pendaftaran perjanjian kerja bersama yang ke berapa (dalam hal
perpanjangan atau pembaruan)
Kemudian, oleh pengusaha diajukan pendaftaran kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Adapun tujuan pendaftaran perjanjian kerja bersama adalah:
1. Sebagai alat monitoring dan evaluasi syarat – syarat kerja yang
dilaksanakan di perusahaan;
2. Sebagai rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan
perjanjian kerja bersama.
Setelah perjanjian kerja bersama didaftarkan maka pengusaha dan serikat
buruh/serikat pekerja mempunyai kewajiban :
1. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib melaksanakan
ketentuan – ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
2. Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi
perjanjian kerja bersama atau perubahan perjanjian kerja bersama kepada
seluruh pekerja/buruh.
20
3. Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja
bersama kepada setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
B.7. HUBUNGAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA DENGAN PERJANJIAN
KERJA DAN PERATURAN PERUSAHAAN.
1. Hubungan Perjanjian Kerja Bersama dengan Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
Apabila perjanjian kerja bertentangan dengan perjanjian kerja bersama,
ketentuan dalam perjanjian kerja batal demi hukum, dan yang berlaku
adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama. Di sini, ketentuan yang
batal demi hukum, hanya ketentuan yang bertentangan saja, bukan seluruh
perjanjian kerja.
Apabila dalam perjanjian kerja tidak memuat ketentuan yang dimuat
dalam perjanjian kerja bersama, maka yang berlaku adalah ketentuan yang
berlaku dalam perjanjian kerja bersama.
2. Hubungan Peraturan Perusahaan dengan Perjanjian Kerja Bersama.
Perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama, pengusaha tidak
wajib membuat peraturan perusahaan.
Apabila perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama tidak mencapai
kesepakatan, peraturan perusahaan tetap berlaku sampai batas jangka
waktu berlakunya.
21
B.8. KAITAN PERJANJIAN KERJA BERSAMA DENGAN SERIKAT
PEKERJA/SERIKAT BURUH DAN PERUSAHAAN.
1. Kaitan Perjanjian Kerja Bersama dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
a. Pengusaha harus melayani permintaan secara tertulis untuk merundingkan
perjanjian kerja bersama dari serikat pekerja/serikat buruh, apabila:
1) Serikat pekerja/serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang – Undang
Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh dan Peraturan
Pelaksanaannya.
2) Memenuhi persyaratan dalam pasal 119 dan pasal 120 Undang – undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
b. Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan
perusahaan, selama di perusahaan masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
c. Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan
perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan
yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
d. Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, perjanjian kerja
bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
bersama.
2. Kaitan perjanjian Kerja Bersama dengan Perusahaan.
a. Apabila terjadi pengalihan kepemilikan perusahaan, perjanjian kerja bersama
tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
22
b. Apabila terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing – masing
perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja
bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih
menguntungkan pekerja/buruh.
c. Apabila terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum
mempunyai perjanjian kerja bersama, maka perjanjian kerja bersama tersebut
berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja bersama.
23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan mengenai peraturan perusahaan dan perjanjian kerja
bersama tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan 2 (dua) hal
tersebut diatas sangat penting demi menjaga kesejahteraan serta hak – hak buruh
tetap terbayarkan sebagaimana mestinya.
Sedangkan diantara keduanya yang mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi adalah perjanjian kerja bersama, hal terlihat jelas bahwa perusahaan yang
sudah mempunyai perjanjian kerja bersama tidak wajib membuat peraturan
perusahaan. Sedangkan perjanjian kerja bersama tetap diwajibkan terhadap
perusahaan yang sudah mempunyai peraturan perusahaan. Hal tersebut terjadi
karena dalam perjanjian kerja bersama, serikat buruh memiliki hak untuk
melakukan tawar menawar mengenai hak – hak mereka dengan selalu
mengindahkan kewajiban – kewajibannya.
B. SARAN
Maka agar pelaksanaan peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama
hal – hal yang seharusnya dilakukan adalah:
a. Pemerintah harus tegas dan memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama
b. Serikat buruh harus cerdas dalam menyikapi kejadian yang ada di sekitar,
sehingga mereka mampu untuk melindungi hak – haknya tanpa mengabaikan
kewajibannya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Manulang, Sendjun H, 1995, Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Cet II
(Jakarta: Penerbit Rineka Cipta)
Undang – Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Edisi Lengkap( Jakarta:
Fokusmedia)
25