123
PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1% PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI Oleh: Fany Gunawan NPM 131221160501 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG 2021

PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS

ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN

FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%

PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI

Oleh:

Fany Gunawan

NPM 131221160501

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG

2021

Page 2: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS

ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN

FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%

PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI

Oleh:

Fany Gunawan

NPM 131221160501

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG

2021

Page 3: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS

ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN

FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%

PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI

Oleh:

Fany Gunawan

NPM 131221160501

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian

Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1

Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

pada tanggal seperti tertera di bawah ini

Bandung, 31 Maret 2021

Dr. dr. Irawati Irfani, SpM(K), MKes. Dr. dr. Karmelita Satari, SpM(K)

Pembimbing I Pembimbing II

Page 4: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik dari

Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri

tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan oleh Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai

acuan dalam naskah dengan nama pengarang dan tercantum dalam daftar

pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka

saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang

telah diperoleh karena karya ini, serta sanki lainnya sesuai norma yang

berlaku di perguruan tinggi.

Bandung, Maret 2021

Yang membuat pernyataan,

Fany Gunawan, dr.

131221160501

Page 5: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

iv

ABSTRAK

Latar Belakang: Pemeriksaan refraksi sikloplegik pada anak merupakan hal

penting. Sikloplegia yang tidak adekuat memberikan hasil yang tidak akurat

sehingga tatalaksana menjadi kurang tepat. Belum ada agen sikloplegik tunggal

yang ideal sehingga digunakan regimen kombinasi. Kombinasi siklopentolat,

tropikamid, dan fenilefrin serta kombinasi siklopentolat dan fenilefrin merupakan

regimen yang paling banyak digunakan.

Tujuan: Untuk membandingkan efek sikloplegik dan midriasis antara pemberian

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%

pada anak dengan kelainan refraksi.

Metode: Penelitian ini merupakan single-blind randomized clinical trial dengan

desain paralel. Anak berusia 6 – 18 tahun dengan kelainan refraksi derajat ringan

hingga sedang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A memperoleh siklopentolat

1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) pada kedua mata, sedangkan

kelompok B memperoleh siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF). Kekuatan

refraksi dan diameter pupil diukur menggunakan autorefraktometer dan IOL

Master®700 saat sebelum pemberian obat, menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah

penetesan obat.

Hasil: Sebanyak 54 subjek (108 mata) terlibat dengan median usia 13 tahun (rerata

12,85±2,84 tahun). Kelainan refraksi terbanyak yaitu astigmatisme miopia

kompositus (50,9%) dan miopia simpleks (32,4%). Regimen SFT memberikan

perubahan kekuatan refraksi dan diameter pupil lebih besar dibanding SF, namun

perbedaannya tidak signifikan (p=0,271; p=0,088). Waktu puncak sikloplegik tidak

berbeda secara bermakna (p=1,000), yaitu tercapai dalam 45 menit setelah

penetesan. Regimen SFT secara signifikan memberikan waktu puncak midriasis

lebih cepat (p=0,031), yaitu dalam 30 menit, sedangkan regimen SF dalam 45

menit.

Kesimpulan: Kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa

tropikamid 1% keduanya memiliki efek sikloplegik yang sama, tetapi penambahan

tropikamid memberikan efek midriasis yang muncul lebih cepat.

Kata Kunci: sikloplegik, midriasis, siklopentolat, tropikamid, fenielfrin, refraksi

Page 6: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

v

ABSTRACT

Introduction: Cycloplegic refraction is an essential component of pediatric eye

examination. Inadequate cycloplegia gives inaccurate results lead to inappropriate

therapeutic approaches. There is no ideal single cycloplegic agent, so a

combination regimen is used. The combination of cyclopentolate, tropicamide, and

phenylephrine as well as the combination of cyclopentolate and phenylephrine is

most widely used.

Objective: To compare the effects of cycloplegic and mydriasis between the

combination of 1% cyclopentolate and 2.5% phenylephrine with and without 1%

tropicamide in children with refractive errors.

Methods: This study is a single-blind randomized clinical trial with parallel design.

Children aged 6-18 years with mild to moderate refractive errors were divided into

2 groups. Group A received 1% cyclopentolate, 1% tropicamide, and 2.5%

phenylephrine (SFT) in both eyes, meanwhile group B received 1% cyclopentolate

and 2.5% phenylephrine (SF). Refractive power and pupil diameter were measured

using an autorefractometer and IOL Master®700 before, 20, 30, 45, and 60 minutes

after drug instillation.

Results: A total of 54 subjects (108 eyes) were involved with a median age of 13

years (mean 12.85 ± 2.84 years). Most refractive disorders were compound myopic

astigmatism (50.9%) and simple myopia (32.4%). The SFT regimen yielded slightly

larger results in mean differences of refractive power and pupil diameter rather

than SF, but the difference was not significant (p=0.271; p=0.088). The cycloplegic

peak time did not differ significantly (p=1.000), and reached within 45 minutes

after instillation. SFT gave a significantly faster mydriasis peak time (p=0.031),

reached within 30 minutes, while SF within 45 minutes.

Conclusion: The combination of 1% cyclopentolate and 2.5% phenylephrine with

or without 1% tropicamide both have the same cycloplegic effect, meanwhile

addition of tropicamide provides a more rapid mydriasis effect.

Keywords: cycloplegic, mydriasis, cyclopentolate, tropicamide, pheynylephrine,

refraction

Page 7: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 (PPDS-1) Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit

Mata Cicendo, Bandung.

Penulis menyampaikan rasa hormat kepada Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E,

M.SIE selaku Rektor Universitas Padjadjaran; Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr.

SpOG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran sekaligus Ketua Program Studi (KPS)

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; serta Prof.

Dr.med. Tri Hanggono Achmad, dr. dan Dr. Med. Setiawan, dr., AIFM selaku

Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran periode 2015-2019

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program

Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Irayanti, dr., SpM(K), MMRS

selaku Direktur Utama PMN Rumah Sakit Mata Cicendo; Dr. Antonia Kartika, dr.,

SpM(K), M.Kes selaku Direktur Medik dan Keperawatan; dan bagian Pendidikan

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu,

mengasah kemampuan, serta menggunakan sarana dan prasarana di bidang Ilmu

Kesehatan Mata di PMN Rumah Sakit Mata Cicendo.

Page 8: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

vii

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Arief S.

Kartasasmita, dr., SpM(K), MKes, PhD selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan

Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Dr. Elsa Gustianty, dr.

SpM(K), MKes selaku Plt Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran; Dr. Budiman, dr., SpM(K), MKes selalu

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata terdahulu; Dr. Irawati Irfani, dr.,

SpM(K), M.Kes selaku Kepala Program Studi Ilmu Kesehatan Mata terdahulu; Dr.

Bambang Setiohadji, dr., SpM(K), MH.Kes; Dr. Feti Karfiati Memed, dr., SpM(K),

M.Kes; Susi Heryati, dr., SpM(K); Susanti Natalya Sirait, dr. SpM(K), MKes; Dr.

Antonia Kartika, dr., SpM(K), M.Kes, Ine Renata Musa, dr., SpM(K); Maula

Rifada, dr., SpM(K), M.Kes; Rova Virgana, dr., SpM(K); Angga Fajriansyah, dr.,

SpM(K); Sesy Caesarya, dr. SpM; Arief A. Mustaram, dr., SpM, Patriotika

Muslima, dr. SpM; Elfa Ali Idrus, dr., SpM, beserta seluruh jajaran staf pengajar

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk seluruh

ilmu dan dukungan yang telah diberikan, serta telah menjadi teladan bagi penulis

selama menempuh pendidikan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang luar biasa penulis sampaikan

kepada Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K), M.Kes selaku Pembimbing I dan Dr.

Karmelita Satari, dr., SpM(K), selaku Pembimbing II yang dengan sabar dan

berbaik hati membimbing, memberikan masukan serta arahan selama penelitian

berlangsung sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar hingga tahap akhir

penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.

Andika Prahasta Gandasubrata, dr., SpM(K), M.Kes, selaku Ketua Sidang; Dr.

Page 9: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

viii

Angga Kartiwa, dr., SpM(K), M.Kes, Primawita O. Amiruddin, dr., SpM(K),

M.Kes; Mayang Rini, dr., SpM(K), M.Sc, dan Maula Rifada, dr., SpM(K), M.Kes

yang telah banyak memberikan masukan dan gagasan sehingga pada akhirnya tesis

ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih tak lupa pula diucapkan

kepada Heri Hernowo B., Amd.RO, Orthoptist; Rifky, RO; Wulan Eka R, Amd.RO;

R. Hilman Nugraha, Amd.Kep; Ati Aryati, S.Kep, Ners; dan seluruh staf pegawai

Unit Pediatrik Oftalmologi dan Diagnostik PMN Rumah Sakit Mata Cicendo, serta

Ibu Nurvita Trianasari yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan

data penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu

Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan Bapak Ludfiansyah selaku staf sekretariat

Pendidikan dan pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan.

Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh karyawan PMN Rumah Sakit Mata

Cicendo atas segala bantuan dan kerjasama yang telah terjalin selama penulis

menempuh pendidikan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan residen Ilmu

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran atas

kebersamaannya selama menempuh pendidikan, terutama kepada angkatan Maret

2017: Tri Wahyu, dr.; Anisa Feby Arifani, dr.; Ivone Caroline, dr.; dan Wioma

Surya Darma, dr., yang telah menjadi keluarga dan teman seperjuangan di saat

susah dan senang.

Page 10: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

ix

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ratika, dr., SpM; Niluh Putu Ayu

Dewi W., dr., SpM; Degiana Syabdini Edwiza, dr., SpM; Maya Primagustya

Achmad, dr., SpM; Fatrin Patrycia Salim, dr., SpM; Mia Rachmawati Novitasari,

dr., SpM; Madona Debora, dr.; Azalia Latuasan, dr.; Nikho Melga Shalim, dr.;

David Agung Hutabarat, dr.; dan Marsita Lita, dr. atas kebersamaan, canda dan

tawa, serta semangat yang telah dibagi bersama penulis selama masa pendidikan.

Rasa hormat, syukur, dan kasih sayang tak terhingga ditujukan kepada keluarga

penulis: suami tercinta, Herman, dr., SpM; putra tersayang, Albert Pradipta

Chandra; ayahanda Chandra Gunawan, B.Sc; ibunda Tjatjan Suharti; kakak Liany

Gunawan, S.AB; dan Ferry Dermawan Sutanto, S.Kom; serta keponakan tercinta

Celine Mikhaela Liebe Sutanto, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan

serta semangat hingga saat ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada guru-guru terdahulu yang telah

menjadi teladan dan memberikan inspirasi kepada penulis untuk melanjutkan

pendidikan di PPDS-1 Ilmu Kesehatan Mata: Dr. Edia Asmara Soelendro, dr.,

SpM(K), M.Kes; Helen Anastasia Manoe, dr., SpM, M.Kes; dan Abraham

Adiwidjaja Sutjiono, dr., SpM.

Terakhir, sebelum menutup kata pengantar ini, terima kasih kepada sahabat

penulis: Florence Fedora, dr.; Melisa Felisia Intan, dr.; Yenny Saputra, dr.; Stefany

Yoanna, dr.; Amelia Hartono, dr.; dan Pamela Yapadi, dr.; Direktur RS Fatima,

Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, Margaretha Indah W., dr., MPH beserta

jajarannya; dan seluruh biarawati Kongregasi Suster Ordo Santo Augustinus (OSA)

atas doa, semangat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

Page 11: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

x

Akhir kata, semoga Tuhan yang Maha Esa melimpahkan seluruh berkat dan

karunia atas semua yang telah diberikan oleh seluruh pihak yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Bandung, Maret 2021

Penulis,

Fany Gunawan

Page 12: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xi

DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

ABSTRACT ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 7

1.4.1. Kegunaan Ilmiah ............................................................................. 7

1.4.2. Kegunaan Praktis ............................................................................ 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 9

2.1. Kajian Pustaka .......................................................................................... 9

2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Iris dan Badan Siliaris ................................ 9

2.1.1.1. Iris ...................................................................................... 9

2.1.1.2. Badan Siliaris ................................................................... 11

2.1.1.3. Sistem Saraf Otonom pada Iris dan Badan Siliaris.......... 13

2.1.1.4. Akomodasi ....................................................................... 16

2.1.2. Pemeriksaan Refraksi Sikloplegik pada Anak .............................. 19

2.1.3. Agen Sikloplegik (Antikolinergik) ............................................... 19

Page 13: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xii

2.1.3.1. Siklopentolat .................................................................... 21

2.1.3.2. Tropikamid ...................................................................... 23

2.1.4. Agen Simpatomimetik .................................................................. 24

2.1.4.1. Fenilefrin ......................................................................... 25

2.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 26

2.3. Premis dan Hipotesis............................................................................... 30

2.3.1. Premis ............................................................................................ 30

2.3.2. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 31

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN .......................................... 33

3.1. Subjek dan Sampel Penelitian................................................................ 33

3.1.1. Subjek Penelitian ........................................................................... 33

3.1.2. Sampel Penelitian .......................................................................... 33

3.1.2.1. Cara Pemilihan Sampel ................................................... 33

3.1.2.2. Kriteria Inklusi ................................................................. 33

3.1.2.3. Kriteria Eksklusi .............................................................. 34

3.1.2.4. Kriteria Drop Out ............................................................ 35

3.1.2.5. Penentuan Ukuran Sampel............................................... 35

3.2. Metode Penelitian .................................................................................... 37

3.2.1. Rancangan Penelitian .................................................................... 37

3.2.2. Identifikasi Variabel ...................................................................... 37

3.2.2.1. Variabel Bebas dan Tergantung ...................................... 37

3.2.2.2. Definisi Operasional ........................................................ 38

3.2.3. Randomisasi .................................................................................. 39

3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ................................... 40

3.2.4.1. Cara Kerja ........................................................................ 40

3.2.4.2. Alat Penelitian ................................................................. 42

3.2.4.3. Prosedur Pemeriksaan Autorefraktometri ....................... 43

3.2.4.4. Prosedur Pemeriksaan IOLMaster® 700 ......................... 43

3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 44

3.2.6. Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 44

Page 14: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xiii

3.3. Implikasi/Aspek Penelitian ..................................................................... 46

3.4. Alur Penelitian ......................................................................................... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 49

4.1. Hasil .......................................................................................................... 49

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................... 49

4.1.2. Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil Setelah Penetesan

Obat ............................................................................................... 52

4.1.3. Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter

Pupil ............................................................................................. 53

4.1.4. Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik dan Waktu Puncak

Midriasis ........................................................................................ 56

4.1.5. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis pada Usia 6 – 12

tahun dan 13 – 18 tahun ................................................................ 59

4.2. Uji Hipotesis ............................................................................................. 61

4.2.1. Hipotesis 1 ..................................................................................... 61

4.2.2. Hipotesis 2 ..................................................................................... 62

4.2.3. Hipotesis 3 ..................................................................................... 62

4.2.4. Hipotesis 4 ..................................................................................... 63

4.3. Pembahasan ............................................................................................. 64

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 72

5.1. Simpulan .................................................................................................. 72

5.2. Saran......................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 78

Page 15: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Efek sikloplegik dan midriasis dari agen sikloplegik (antikolinergik) .... 21

Tabel 3.1. Definisi operasional ............................................................................ 38

Tabel 4.1. Gambaran karakteristik subjek penelitian ........................................... 50

Tabel 4.2. Perbandingan karakteristik subjek penelitian antara kelompok SFT

dan SF.................................................................................................. 51

Tabel 4.3. Kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil setelah penetesan obat

antara kelompok SFT dan SF .............................................................. 53

Tabel 4.4. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran

diameter pupil antara kelompok SFT dan SF ...................................... 55

Tabel 4.5. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis

antara kelompok SFT dan SF .............................................................. 57

Tabel 4.6. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran

diameter pupil antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun

dan 13 – 18 tahun ................................................................................ 60

Tabel 4.7. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis

antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun .. 61

Page 16: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Iris ................................................................................................. ..9

Gambar 2.2. Skema kerja otot iris ..................................................................... 10

Gambar 2.3. Badan siliaris ................................................................................. 11

Gambar 2.4. Lapisan otot siliaris ....................................................................... 12

Gambar 2.5. Sistem saraf otonom pada iris dan badan siliaris .......................... 14

Gambar 2.6. Neurotransmiter dalam pengaturan sistem saraf otonom .............. 15

Gambar 2.7. Mekanisme akomodasi .................................................................. 16

Gambar 2.8. Mekanisme kerja agen sikloplegik sebagai antagonis muskarinik.... 20

Gambar 2.9. Mekanisme kerja norepinefrin dan agen agonis adrenergik

langsung ........................................................................................ 25

Gambar 2.10. Diagram kerangka pemikiran ....................................................... 29

Gambar 3.1. Alur penelitian ............................................................................... 48

Gambar 4.1. Diagram persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik antara

kelompok SFT dan SF ................................................................... 58

Gambar 4.2. Diagram persentase kumulatif waktu puncak midriasis antara

kelompok SFT dan SF ................................................................... 58

Page 17: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xvi

DAFTAR SINGKATAN

Δ : nilai selisih atau perbedaan

Ach : asetilkolin

AHC : astigmatisme hipermetropia kompositus

AHS : astigmatisme hipermetropia simpleks

AM : astigmatisme mikstus

AMC : astigmatisme miopia kompositus

AMS : astigmatisme miopia simpleks

Cyclo : siklopentolat

D : dioptri

Ep : epinefrin

HS : hipermetropia simpleks

mm : milimeter

MS : miopia simpleks

Ne : norepinefrin

NPA : near point of accommodation

OD : okulo dekstra

OS : okulo sinistra

Ph : fenilefrin

PMN : Pusat Mata Nasional

PO : Pediatrik Oftalmologi

RS : Rumah Sakit

Page 18: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

xvii

RSMC : Rumah Sakit Mata Cicendo

SB : simpangan baku

SE : spherical equivalent

SF : kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%

SFT : kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%

TF : kombinasi tropikamid 1% dan fenilefrin 2,5%

Trop : tropikamid

TS : kombinasi tropikamid 1% dan siklopentolat 1%

Page 19: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab gangguan

penglihatan dan kebutaan kedua di dunia. Sebanyak 2,2 miliar penduduk dunia

diperkirakan memiliki gangguan penglihatan atau kebutaan dengan 123,7 juta di

antaranya disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Sebanyak 19 juta

anak secara global memiliki gangguan penglihatan dengan 12 juta di antaranya

disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.1–3

Data kelainan refraksi anak berbasis populasi di Indonesia masih terbatas, tetapi

prevalensinya cukup tinggi. Studi yang dilakukan oleh Mahayana dkk. di

Yogyakarta dan Jawa Tengah menunjukkan prevalensi kelainan refraksi yang tidak

terkoreksi pada anak sekolah dasar di daerah urban dan suburban yaitu sebesar

10,1% dan 12,3%. Studi Halim dkk. menunjukkan prevalensi kelainan refraksi pada

anak usia 11 – 15 tahun di daerah suburban di Bandung sebesar 15,9% dengan kasus

yang tidak terkoreksi sebesar 12,1%. Studi lain dilakukan oleh Nikmah dkk. pada

kelompok umur yang sama di Bandung dan menunjukkan prevalensi kelainan

refraksi sebesar 18,39% dengan 56,3% di antaranya tidak terkoreksi. Kelainan

refraksi pada anak penting untuk ditangani karena dapat menyebabkan ambliopia,

gangguan penglihatan, dan kebutaan. Gangguan penglihatan dan kebutaan pada

anak memberikan dampak terhadap rendahnya performa akademis di sekolah,

gangguan perkembangan kecerdasan, dan hambatan kehidupan sosial anak yang

Page 20: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

2

selanjutnya dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan dalam pekerjaan pada

saat dewasa sehingga meningkatkan tingkat kemiskinan masyarakat.2–6

Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari

pemeriksaan refraksi pada anak, terutama pada anak usia kecil, hipermetropia

tinggi, atau disertai strabismus. Sikloplegia yang maksimal pada anak diperlukan

untuk mendapatkan pengukuran kelainan refraksi yang akurat karena tonus

akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa. Pemeriksaan refraksi

tanpa sikloplegik dapat memberikan kelebihan pengukuran pada miopia atau

kekurangan pengukuran pada hipermetropia.7–11

Agen sikloplegik menyebabkan berkurangnya akomodasi serta dilatasi pupil

(midriasis). Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang

cepat, waktu pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat,

dan tidak menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Belum ada agen

sikloplegik tunggal yang memenuhi semua kriteria tersebut. Atropin merupakan

standar baku emas untuk sikloplegik maksimal, namun efek buram yang panjang,

onset yang lambat, waktu pemulihan yang lama, dan efek samping yang cukup berat

membatasi penggunaan obat ini dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik. Dua agen

sikloplegik lainnya yang paling sering digunakan, yaitu siklopentolat dan

tropikamid.7,10,12–14

Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama untuk pemeriksaan

sikloplegik anak. Siklopentolat mampu memberikan efek sikloplegik yang hampir

setara dengan atropin, tetapi dengan onset yang lebih cepat, durasi lebih pendek,

dan efek samping sistemik lebih rendah. Namun, efikasi siklopentolat berkurang

Page 21: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

3

pada subjek dengan iris gelap karena adanya ikatan yang signifikan dengan melanin

iris. Dosis yang dibutuhkan menjadi lebih banyak atau konsentrasi menjadi lebih

tinggi agar tercapai efek sikloplegik yang adekuat.7,10,12–18

Tropikamid memiliki efek sikloplegik yang tidak sekuat siklopentolat sehingga

kurang adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak dengan hipermetropia bila

dipergunakan sebagai agen tunggal. Meskipun demikian, tropikamid memiliki

onset midriasis yang lebih cepat, sensasi perih yang lebih ringan, serta ikatan

substansinya yang lemah terhadap melanin iris. Studi yang dilakukan Chng

dkk.menunjukkan bahwa tropikamid 1% memiliki efek sikloplegik yang serupa

dengan siklopentolat 1% pada subjek dengan iris gelap dengan efek midriasis yang

lebih superior.10–12,16–19

Banyak klinisi telah beralih menggunakan regimen kombinasi untuk

memperoleh efek sikloplegik dan midriasis maksimal, tetapi hingga saat ini masih

belum ada konsensus tentang regimen obat yang optimal untuk anak. Agen

simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering ditambahkan untuk meningkatkan efek

midriasisnya. Dilatasi pupil yang adekuat diperlukan untuk memudahkan evaluasi

dan tatalaksana penyakit segmen posterior, penegakan diagnosis ambliopia, serta

penilaian refleks retinoskop. Dilatasi pupil juga seringkali digunakan sebagai

parameter dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik. Kebanyakan optometris atau

oftalmologis menunggu sampai pupil berdilatasi penuh atau tidak responsif

terhadap cahaya untuk melakukan pemeriksaan refraksi sikloplegik. Beberapa agen

sikloplegik memiliki onset midriasis yang tidak sebanding dengan onset

sikloplegiknya sehingga menggunakan ukuran pupil sebagai parameter memulai

Page 22: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

4

pemeriksaan sikloplegik merupakan hal yang kurang tepat. Kondisi tersebut dapat

mengakibatkan waktu tunggu yang lama jika efek sikloplegik maksimal telah

tercapai sebelum dilatasi pupil maksimal, atau kesalahan dalam pengukuran

refraksi bila efek sikloplegik belum adekuat saat pupil berdilatasi maksimal.7–

9,12,14,20

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan efek sikloplegik dan

midriasis dari agen sikloplegik beserta kombinasinya, tetapi hasil yang diperoleh

berbeda-beda. Studi Patel dkk. menunjukkan kombinasi tropikamid, siklopentolat,

dan fenilefrin serta kombinasi siklopentolat dan fenilerin merupakan regimen yang

paling sering digunakan di Amerika Serikat. Siklopentolat secara sinergis dapat

meningkatkan durasi sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid terutama

pada mata dengan iris gelap. Meskipun demikian, studi lain menyatakan

penambahan tropikamid dalam kombinasi siklopentolat dan fenilefrin

menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Tropikamid dianggap memiliki

mekanisme antikolinergik yang serupa dengan siklopentolat, yaitu bekerja pada

reseptor muskarinik yang sama, tetapi efikasinya lebih rendah sehingga apabila

tropikamid dihilangkan tidak akan mempengaruhi efek sikloplegik dan midriasis

yang dihasilkan.7,10,13–16,21,22

Penggunaan jenis obat mata yang banyak dengan konsentrasi yang tinggi dapat

meningkatkan risiko efek samping serta biaya operasional. Regimen agen

sikloplegik yang digunakan di Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional

Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk anak berusia di atas 1 tahun adalah

kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 10%. Penggunaan

Page 23: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

5

fenilefrin dengan konsentrasi lebih rendah, yaitu 2,5%, lebih direkomendasikan

bagi pasien anak-anak atau orang lanjut usia karena adanya efek samping sistemik,

seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah.7,15,23–25

Belum ada standar operasional di Unit Pediatrik Oftalmologi tentang komposisi

regimen, pola penetesan, serta konsentrasi obat yang dianggap cukup ideal untuk

anak. Regimen obat saat ini diberikan secara bergantian tiap 10 – 15 menit hingga

4 – 5 kali pemberian dengan pola penetesan yang belum seragam. Penetesan

pertama dan ketiga menggunakan siklopentolat, sedangkan penetesan kedua,

keempat, dan kelima menggunakan tropikamid saja, fenilefrin saja, atau keduanya.

Banyaknya jumlah penetesan obat dapat memberikan pengalaman yang traumatis

bagi pasien akibat rasa perih dan terbakar yang ditimbulkan. Pasien anak menjadi

tidak nyaman dan kurang kooperatif untuk pemeriksaan selanjutnya sehingga waktu

pelayanan menjadi lebih lama. Pemeriksaan refraksi sikloplegik juga dilakukan

setelah menunggu pupil berdilatasi maksimal dan tidak berespon terhadap cahaya.

Hal tersebut turut memperpanjang waktu pelayanan pasien karena tidak diketahui

onset maksimal dari efek sikloplegik dan midriasis regimen obat.7,15,21,23

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek sikloplegik (perubahan

kekuatan refraksi dan waktu puncak sikloplegik) serta efek midriasis (perubahan

ukuran diameter pupil dan waktu puncak midriasis) antara pemberian kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%, dengan dan tanpa tropikamid 1% pada anak

dengan kelainan refraksi.

Berdasarkan uraian di atas, tema sentral penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari pemeriksaan

refraksi pada anak karena tonus akomodasi yang lebih tinggi dibandingkan dewasa.

Page 24: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

6

Hingga saat ini belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal. Banyak klinisi beralih

menggunakan regimen kombinasi atau menambahkan agen simpatomimetik, seperti

fenilefrin, untuk memaksimalkan efeknya, tetapi belum ada konsensus regimen yang

optimal untuk anak. Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya telah

banyak dilakukan, tetapi memberikan hasil yang berbeda-beda. Siklopentolat secara

sinergis dapat meningkatkan efek sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid

terutama pada mata dengan iris gelap. Akan tetapi, studi lain menyebutkan

tropikamid bekerja pada reseptor muskarinik yang sama dengan siklopentolat dengan

efikasi yang lebih rendah sehingga tidak mempengaruhi efek apabila dihilangkan.

Sementara itu, penggunaan jenis obat mata yang banyak dapat meningkatkan risiko

efek samping dan biaya operasional serta rasa ketidaknyaman akibat rasa perih saat

penetesan. Dilatasi pupil diperlukan dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik untuk

evaluasi segmen posterior, diagnosis ambliopia, serta penilaian refleks retinoskop.

Dilatasi pupil juga sering dijadikan sebagai parameter untuk melakukan pemeriksaan

refraksi sikloplegik. Pemeriksaan refraksi baru dilakukan setelah pupil berdilatasi

penuh atau tidak berespon terhadap cahaya, padahal agen sikloplegik memiliki onset

midriasis yang tidak selalu sama dengan onset sikloplegiknya. Kondisi tersebut

mengakibatkan pemeriksaan refraksi sikloplegik menjadi tidak akurat dan kurang

efisien.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut.

1. Apakah terdapat perbedaan perubahan kekuatan refraksi antara pemberian

kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan

dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan

kelainan refraksi?

2. Apakah terdapat perbedaan perubahan ukuran diameter pupil antara pemberian

kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan

dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan

kelainan refraksi?

3. Apakah terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik antara pemberian

kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan

Page 25: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

7

dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan

kelainan refraksi?

4. Apakah terdapat perbedaan waktu puncak midriasis antara pemberian

kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan

dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan

kelainan refraksi?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membandingkan efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan waktu

puncak sikloplegik) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1% dan

fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa tropikamid 1% pada anak dengan kelainan

refraksi.

2. Membandingkan efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil dan waktu

puncak midriasis) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin

2,5% dengan atau tanpa tropikamid 1% pada anak dengan kelainan refraksi.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini dapat menambah bukti ilmiah mengenai efek sikloplegik dan

midriasis dari kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa

tropikamid 1% pada anak dengan kelainan refraksi.

Page 26: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

8

1.4.2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menghindari efek samping okular dan sistemik

akibat pemberian agen sikloplegik dengan jumlah dan konsentrasi yang berlebihan,

memperpendek waktu tunggu pemeriksaan, mengurangi biaya operasional yang

tidak diperlukan, serta mengurangi ketidaknyamanan pada pasien anak sehingga

dapat dijadikan rekomendasi dalam standar operasional pemberian regimen obat

sikloplegik untuk pemeriksaan refraksi pada anak.

Page 27: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Iris dan Badan Siliaris

2.1.1.1. Iris

Iris merupakan bagian paling anterior dari lapisan uvea dan berada di depan

lensa. Bagian tengah iris memiliki apertura yang disebut pupil dan berfungsi

sebagai diafragma dalam mengatur jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata,

mengontrol aberasi optik, kedalaman fokus, serta berperan dalam aliran humor

akuos. Iris membagi ruang antara kornea dan lensa menjadi kamera okuli anterior

dan posterior.26,27

Gambar 2.1. Iris Dikutip dari: Skalicky26

Iris terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan permukaan anterior, stroma dan

otot siliaris, serta lapisan epitel iris. Lapisan permukaan anterior merupakan

Page 28: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

10

kondensasi dari stroma iris yang mengandung fibroblas dan melanosit. Permukaan

anterior iris secara makroskopis tampak seperti beludru. Lapisan ini menentukan

warna dari iris seseorang, di mana pada iris terang, lapisan ini tipis dan mengandung

sedikit sel pigmen, sedangkan pada iris gelap, lapisan ini tebal dan banyak sel

berpigmen.26,27

Stroma iris merupakan komponen utama dari iris. Lapisan ini terdiri dari jaringan

longgar serabut kolagen dengan substansi dasar mukopolisakarida. Stroma iris

mengandung otot siliaris, pembuluh darah, saraf, sel berpigmen (melanosit dan

clump cell), dan sel tidak berpigmen (fibroblas, limfosit, makrofag, dan sel mast).27

Otot siliaris terletak pada stroma iris dan terdiri dari 2 jenis, yaitu otot sfingter

pupil dan otot dilator pupil. Kedua otot tersebut berfungsi untuk mengatur besar

diameter pupil. Otot sfingter pupil memiliki bentuk seperti cincin yang mengelilingi

tepi pupil dengan lebar 0,75 – 1 mm. Otot sfingter pupil diinervasi oleh sistem

parasimpatis dan kontraksinya menyebabkan konstriksi pupil (miosis). Otot dilator

pupil tersusun secara radial dan terletak memanjang dari akar iris hingga mendekati

sfingter pupil. Otot dilator pupil diatur oleh sistem simpatis dan kontraksinya

menyebabkan dilatasi pupil (midriasis).26,27

Gambar 2.2. Skema kerja otot iris Dikutip dari: Szczepanowska-Nowak dkk.28

Page 29: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

11

Epitel iris terletak pada permukaan posterior iris dan terdiri dari 2 lapis sel

berpigmen, yaitu epitel anterior dan posterior. Epitel yang terletak lebih anterior

berlanjut menjadi epitel badan siliar berpigmen, sedangkan epitel posterior

berlanjut menjadi epitel badan siliar tidak berpigmen.26,27

2.1.1.2. Badan Siliaris

Badan siliaris merupakan lapisan uvea yang berfungsi dalam proses akomodasi

dan produksi humor akuos. Badan siliaris memiliki struktur berbentuk cincin

dengan lebar 5,9 mm pada sisi nasal dan 6,7 mm pada sisi temporal. Badan siliaris

memiliki bentuk triangular pada potongan sagital. Basisnya mengarah ke sisi

anterior dengan salah satu ujungnya berada pada taji sklera. Bagian tengah basis

badan siliaris berlekatan langsung dengan akar iris. Apeks badan siliaris berada

pada ora serrata.26,27

Gambar 2.3. Badan siliaris

(A) Penampang koronal (dilihat dari sisi posterior)

(B) Penampang melintang Dikutip dari: Netter29

Page 30: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

12

Badan siliaris terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pars plikata dan pars plana. Pars

plikata berada di anterior dan mengandung 70 – 80 prosesus siliaris yang

memanjang ke kamera okuli posterior, sedangkan pars plana berada di sisi posterior

dan berakhir pada ora serrata. Serat zonula lensa berasal dari badan siliaris, berjalan

melengkung, dan selanjutnya melekat pada kapsul lensa mulai sekitar 1 mm

posterior dari ekuator hingga 1,5 mm anterior dari ekuator lensa.26,27

Gambar 2.4. Lapisan otot siliaris Dikutip dari: Skalicky26

Badan siliaris terdiri dari otot siliaris, stroma siliaris, dan epitel siliaris. Otot

siliaris berperan dalam proses akomodasi. Otot siliaris terdiri dari 3 kelompok otot

polos, yaitu otot longitudinal atau meridional (otot Brücke), radial, dan sirkular

(otot Müller). Otot longitudinal berada paling luar dan berjalan paralel dengan

sklera. Otot tersebut berbentuk huruf V dengan basis berorigo pada taji sklera dan

berinsersi pada sepertiga anterior koroiddengan terminasi berbentuk stelat (“muscle

Page 31: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

13

stars”). Otot radial berjalan oblik di antara otot longitudinal dan otot sikular. Otot

ini berorigo pada taji sklera, dan berinsersi pada jaringan penyokong sekitar

prosesus siliaris. Otot sirkular merupakan otot yang berada paling dalam dan

bekerja dengan mekanisme sfingter. Otot tersebut berjalan paralel dengan limbus

dan berada di dekat arkus arterial mayor iris. Otot siliaris diinervasi oleh sistem

saraf otonom. Aktivasi serabut saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot

siliaris sehingga terjadi akomodasi. Serabut simpatis juga berperan dalam

memodulasi amplitudo akomodasi dengan mengurangi tension otot siliaris.26,27

2.1.1.3. Sistem Saraf Otonom pada Iris dan Badan Siliaris

Otot iris dan otot siliaris diinervasi oleh sistem saraf otonom, yaitu sistem saraf

simpatis dan parasimpatis. Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus Edinger-

Westhpal di otak tengah (midbrain). Jaras aferen pupil pada mulanya berjalan

bersama dengan jaras visual hingga kemudian berpisah pada sepertiga bagian

posterior traktus optikus. Serabut saraf tersebut selanjutnya berjalan dalam

kolikulus superior dan bersinapsis di nukleus olivarius pretektal. Serabut saraf

selanjutnya berjalan mencapai nukleus Edinger Westhpal, baik direk ipsilateral

maupun indirek kontralateral via komisura posterior. Serabut saraf parasimpatis

preganglion yang berasal dari nukleus ini kemudian berjalan bersama saraf

okulomotor dan bersinapsis di ganglion siliaris. Serabut saraf parasimpatis

postganglion selanjutnya berjalan mencapai otot sfingter pupil dan otot siliaris

melalui saraf siliaris brevis. Aktivasi serabut saraf parasimpatis menyebabkan

pelepasan neurotransmiter asetilkolin pada neuromuscular junction yang bila

Page 32: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

14

berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot sehingga terjadi

akomodasi dan konstriksi pupil.26,27,30

Gambar 2.5. Sistem saraf otonom pada iris dan badan siliaris Dikutip dari: Netter31

Sistem saraf simpatis berada dalam kontrol hipotalamus. Serabut saraf simpatis

yang berasal dari hipotalamus berjalan turun dalam kolumna lateral medula spinalis

dan selanjutnya bersinapsis di pusat siliospinal Budge pada medula spinalis C8-T1.

Serabut saraf simpatis preganglion tersebut kemudian berjalan meninggalkan

medula spinalis dan bersinapsis di ganglion servikalis superior yang berlokasi pada

Page 33: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

15

pleksus periarterial di dekat bifurkasio arteri karotis. Serabut saraf simpatis

postganglion kemudian berjalan via saraf siliaris longus untuk mencapai otot dilator

pupil serta otot siliaris. Sebagian serabut saraf simpatis postganglion bercabang,

berjalan melalui ganglion siliaris tanpa bersinapsis, kemudian bersama dengan saraf

siliaris brevis menginervasi koroid dan pembuluh darah.26,27,30

Aktivasi sistem simpatis menyebabkan pelepasan neurotransmiter noradrenalin

pada neuromuscular junction sehingga bila berikatan dengan reseptor adrenergik di

otot dilator pupil akan menyebabkan kontraksi otot dan dilatasi pupil, sedangkan

sistem simpatis pada otot siliaris berperan dalam memodulasi amplitudo akomodasi

dengan mengurangi tension otot siliaris. Efek simpatis pada otot siliaris relatif kecil

dan bekerja terutama saat aktivitas dekat berkepanjangan.26,27,30

Faktor yang mempengaruhi kemampuan dilatasi pupil adalah usia, warna iris,

kelainan okular dan sistemik, kelainan neurologis, kejernihan media optik, keadaan

psikologis, serta tingkat pencahayaan. Ukuran dilatasi pupil maksimal yang cukup

adekuat untuk pemeriksaan oftalmoskopi yaitu sebesar 6 – 7 mm.25–27,32

Gambar 2.6. Neurotransmiter dalam pengaturan sistem saraf otonom Dikutip dari: Remington27

Page 34: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

16

2.1.1.4. Akomodasi

Akomodasi adalah kemampuan mata untuk meningkatkan kekuatan dioptri lensa

secara dinamis untuk mempertahankan bayangan tetap fokus di retina saat

perubahan dari penglihatan jauh ke dekat. Akomodasi disebabkan oleh kontraksi

otot siliaris dengan mekanisme kerja didasarkan pada teori Helmholtz. Kontraksi

otot longitudinal menyebabkan koroid terdorong ke depan, sementara kontraksi otot

sirkular menyebabkan badan siliaris berada lebih dekat ke lensa dan diameter cincin

badan siliaris mengecil. Hal tersebut menyebabkan relaksasi serat zonula lensa

sehingga tegangan kapsul lensa menjadi berkurang. Tegangan yang berkurang

disertai adanya elastisitas kapsul lensa memungkinkan bentuk lensa menjadi lebih

sferikal. Peningkatan radius kurvatura permukaan anterior dan posterior lensa

meningkatkan kekuatan dioptrinya. Apabila otot siliaris berelaksasi, serat zonula

lensa menjadi lebih tegang sehingga terbentuk gaya sentrifugal pada kapsul lensa

yang menyebabkan pendataran permukaan anterior dan posterior lensa.26,27,33

Gambar 2.7. Mekanisme akomodasi Dikutip dari: Ciuffreda33

Page 35: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

17

Akomodasi bekerja bersama dengan konstriksi pupil dan konvergensi untuk

penglihatan dekat. Otot sfingter iris berkontraksi sehingga membatasi cahaya yang

masuk dan mengurangi aberasi sferis. Gerakan konvergensi kedua mata menjaga

agar bayangan yang diterima kedua mata tetap sama dan fokus pada retina saat

penglihatan binokular dekat.26,27,33

Kemampuan akomodasi anak mencapai taraf dewasa saat usia 3 – 4 bulan.

Kemampuan akomodasi terdiri dari 4 komponen, yaitu refleks akomodasi,

akomodasi vergensi, akomodasi proksimal, dan tonus akomodasi. Refleks

akomodasi merupakan penyesuaian otomatis dan involunter dari status refraksi

terhadap input bayangan yang buram agar bayangan tersebut dapat dipertahankan

kembali fokus di retina. Refleks ini dapat mengkompensasi kondisi buram yang

ringan, tetapi kondisi buram yang lebih berat membutuhkan usaha akomodasi

volunter. Refleks akomodasi merupakan komponen akomodasi yang paling

penting, baik saat penglihatan monokular ataupun binokular. Akomodasi vergensi

terbentuk ketika terjadi pergerakan konvergensi kedua mata saat penglihatan

binokular agar bayangan dari kedua mata sama dan fokus pada retina, sedangkan

akomodasi proksimal muncul ketika seseorang menyadari terdapat objek yang

mendekati mata. Mata juga memiliki akomodasi residual saat dalam kondisi

istirahat dan tanpa stimulus yaitu sebesar 0,5 – 1,5 dioptri (D) pada dewasa muda.

Akomodasi tersebut disebut sebagai tonus akomodasi yang merefleksikan status

basal inervasi neural dari otak tengah.26,33,34

Kemampuan akomodasi dipengaruhi oleh usia dan status kelainan refraksi.

Amplitudo akomodasi paling tinggi ditemukan pada anak dan berkurang seiring usia

Page 36: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

18

hingga minimal pada usia sekitar 60 tahun. Pasien dengan miopia yang telah

dikoreksi memiliki amplitudo akomodasi yang tinggi, diikuti pasien emetropia, dan

paling rendah ditemukan pada pasien hipermetropia terkoreksi. Mata dengan miopia

juga memiliki accommodation lag yang lebih besar. Chen dkk. mengatakan anak

dengan miopia memiliki badan siliaris yang lebih tebal sehingga menyebabkan

inakurasi akomodasi. Aksial bola mata yang panjang juga menimbulkan penyebaran

tegangan saat badan siliar berkontraksi ke koroid sehingga munculnya efek

akomodasi terlambat. Selain itu, mata dengan hipermetropia memiliki near point of

accommodation (NPA) yang lebih rendah. Pasien dengan hipermetropia, terutama

usia muda, lebih sering menggunakan kemampuan akomodasinya secara terus-

menerus untuk penglihatan jauh dan dekat dibanding emetropia dan miopia.

Penggunaan akomodasi yang sering tersebut menyebabkan kemampuan akomodasi

menjadi lebih berkembang dan refleks akomodasi menjadi lebih kuat. Hal ini selaras

dengan latihan ortoptik untuk meningkatkan kemampuan akomodasi melalui

akomodasi berulang. Amplitudo akomodasi juga dipengaruhi oleh keadaan

ambliopia. Mata dengan ambliopia memiliki amplitudo akomodasi yang lebih rendah

dibanding mata nonambliopik.35–41

Akomodasi merupakan proses yang simetris dengan respon yang setara antara

kedua mata. Beberapa studi menyebutkan terdapat beberapa keadaan yang dapat

menyebabkan proses tersebut menjadi asimetris, seperti anisometropia yang tidak

terkoreksi, ambliopia unilateral, konvergensi yang asimetrik, dan sklerosis lensa

yang tidak sama antara kedua mata. Studi Toor dkk. menyebutkan hanya sebesar

19% dari anak dengan ambliopia anisometropik hipermetropia yang memiliki

Page 37: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

19

akomodasi yang simetris, sementara 81% sisanya memiliki akomodasi asimetris.

Berkurangnya kemampuan akomodasi pada mata dengan ambliopia anisometropik

tersebut disebabkan karena berkurangnya rangsang sensoris pada area retina sentral

akibat bayangan optik yang buram pada salah satu mata.42–45

2.1.2. Pemeriksaan Refraksi Sikloplegik pada Anak

Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari

pemeriksaan refraksi pada anak, terutama pada anak usia lebih kecil, hipermetropia

tinggi, atau disertai strabismus. Sikloplegia yang maksimal pada anak diperlukan

untuk mendapatkan pengukuran kelainan refraksi yang akurat karena tonus

akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa. Pemeriksaan refraksi

tanpa sikloplegik dapat memberikan kelebihan pengukuran pada miopia atau

kekurangan pengukuran pada hipermetropia.7–10,12,14

2.1.3. Agen Sikloplegik (Antikolinergik)

Agen sikloplegik bekerja dengan cara mencegah ikatan asetilkolin dengan

reseptor muskarinik pada sistem saraf parasimpatis otot siliaris. Reseptor

muskarinik memiliki 5 subtipe, yaitu M1 – M5. Sebesar 60 – 75% reseptor

muskarinik pada sfingter iris dan badan siliaris adalah subtipe M3, dan 5 – 10%

adalah subtipe M2 dan M4. Sebesar 7% reseptor pada prosesus siliaris dan sfingter

iris adalah subtipe M1. Reseptor subtipe M5 hanya terdapat pada sfingter iris, yaitu

sebesar 5%.17,18,27

Page 38: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

20

Blokade asetilkolin yang terjadi menyebabkan relaksasi otot siliaris dan

berkurangnya akomodasi. Hal tersebut juga menghambat sistem saraf parasimpatis

pada iris yang menyebabkan paralisis otot sfingter pupil sehingga terjadi dilatasi

pupil. Agen sikloplegik disebut juga sebagai antikolinergik, antimuskarinik, atau

antagonis kolinergik.7,17,18,27

Gambar 2.8. Mekanisme kerja agen sikloplegik sebagai antagonis muskarinik Dikutip dari: Remington27

Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang cepat, waktu

pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat, dan tidak

menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Agen sikloplegik topikal yang

tersedia, yaitu atropin sulfat, homatropin hidrobromid, skopolamin hidrobromid,

siklopentolat hidroklorid, dan tropikamid. Tabel 2.1. menunjukkan onset dan durasi

kerja efek sikloplegik dan midriasis dari kelima obat tersebut.7–12,17,20

Belum ada agen sikloplegik yang memenuhi keseluruhan kriteria agen

sikloplegik yang ideal. Atropin merupakan standar baku emas untuk sikloplegik

maksimal, namun efek buram yang panjang, onset yang lambat, waktu pemulihan

yang lama, dan efek samping yang cukup berat membatasi penggunaan obat ini.

Dua agen sikloplegik lainnya yang paling sering digunakan, yaitu siklopentolat dan

tropikamid.7,10,12,13

Page 39: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

21

Tabel 2.1 Efek sikloplegik dan midriasis dari agen sikloplegik (antikolinergik)

Obat

Konsentrasi

Sediaana

(%)

Midriasis Paralisis Akomodasi

Maksimal

(menit)

Pemulihanb

(hari)

Maksimal

(menit)

Pemulihanc

(hari)

Atropin sulfat 1 30 – 40 7 – 10 60 – 180 7 – 12

Homatropin

hidrobromid

1d 40 – 60 1 – 3 30 – 60 1 – 6

Skopolamid

hidrobromid

0,5 20 – 30 3 – 7 30 – 60 3 – 7

Siklopentolat

hidroklorid

0,5 – 1,0 20 – 45 1 20 – 45 0,25 – 1,00

Tropikamid 0,5 – 1,0 20 – 35 0,25 20 – 45 0,25 aSatu kali penetesan dari 1 tetes sediaan bUkuran diameter pupil berada dalam 1 mm dari ukuran diameter pupil awal. cAmplitudo akomodasi berada dalam 2 D dari amplitudo akomodasi awal; kemampuan untuk membaca mungkin dilakukan pada hari ketiga setelah pemberian atropin dan skopolamin dan pada 6 jam setelah

penetesan homatropin. dMidriasis dan paralisis akomodasi sempurna membutuhkan penetesan konsentrasi 5%

Dikutip dari: Frazier dkk.17

2.1.3.1. Siklopentolat

Siklopentolat merupakan ester yang larut air dan tersedia dalam konsentrasi

larutan 0,5, 1, dan 2%. Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama

untuk pemeriksaan sikloplegik anak karena mampu memberikan efek sikloplegik

yang hampir setara dengan atropin tetapi dengan onset yang lebih cepat, durasi yang

lebih pendek, dan efek samping sistemik lebih rendah. Berbeda dengan atropin dan

homatropin, siklopentolat memiliki onset sikloplegik maksimal yang mendekati

onset midriasis maksimalnya sehingga pemeriksaan refraksi sikloplegik yang

adekuat dapat dilakukan ketika pupil berdilatasi sempurna. Efek midriasis muncul

dalam 20 – 30 menit, sedangkan efek sikloplegiknya muncul dalam 30 – 40 menit.

Pemulihan sempurna terjadi dalam 24 jam, tetapi sebagian besar pasien sudah

merasa pemulihan amplitudo akomodatif yang cukup untuk aktivitas dekat dalam 6

– 12 jam.7,10,12,13,17,18

Kekurangan siklopentolat yaitu penetrasi kornea yang kurang baik dan adanya

ikatan signifikan dengan melanin iris. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya

Page 40: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

22

substansi aktif pada reseptor otot siliaris sehingga dosis yang diperlukan menjadi

lebih banyak atau konsentrasi yang lebih tinggi bagi subjek dengan iris gelap agar

tercapai efek sikloplegik dan midriasis yang adekuat. Pada orang dengan iris terang,

efek sikloplegia muncul dalam 10 menit setelah penetesan larutan 1%, tetapi pada

orang kulit hitam atau dengan iris gelap membutuhkan waktu 40 menit hingga efek

sikloplegia tersebut muncul. Efek sikloplegia dan midriasis bertahan lebih lama

pada orang kulit hitam dan iris gelap dibandingkan dengan iris terang. Penambahan

obat kombinasi, seperti fenilefrin atau tropikamid juga dapat dilakukan untuk

memperoleh pemeriksaan retinoskopi dan oftalmoskopi yang adekuat pada mata

dengan iris gelap.14–18

Efek samping okular siklopentolat yang paling sering adalah rasa perih dan

menyengat saat penetesan. Derajat iritasi tersebut tergantung pada konsentrasi yang

digunakan. Konsentrasi 0,5% memberikan rasa perih dan efek lakrimasi yang

paling minimal. Penggunaan berulang siklopentolat dengan konsentrasi tinggi

dapat menyebabkan keratitis pungtata superficial dengan hiperemis konjungtiva.

Siklopentolat juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular pada

pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer dan memicu serangan glaukoma akut

pada sudut tertutup.17,18,46

Siklopentolat juga memiliki efek samping sistemik, yaitu gangguan sistem saraf

pusat, seperti mengantuk, ataksia, disorientasi, bicara yang inkoheren, halusinasi

visual, gangguan emosional, dan kejang grand mal. Efek samping tersebut biasanya

terjadi pada anak dengan penggunaan konsentrasi 2%, atau penetesan multipel dari

konsentrasi 1% sehingga penggunaan dosis dan konsentrasi sekecil mungkin lebih

Page 41: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

23

direkomendasikan. Efek samping perifer lain seperti kekeringan pada kulit dan

membran mukosa, demam, dan takikardi jarang ditemukan pada penggunaan

siklopentolat. Potensi absorpsi sistemik dapat direduksi dengan oklusi

nasolakrimal.15,17,18,46

2.1.3.2. Tropikamid

Tropikamid merupakan derivat sintetis dari asam tropik dan tersedia dalam 2

konsentrasi, yaitu 0,5% dan 1%. Tropikamid memiliki ikatan terhadap melanin iris

yang lemah. Penetrasinya melalui epitel kornea lebih baik dibanding atropin,

homatropin, dan siklopentolat sehingga memberikan onset efek midriasis yang

lebih cepat dengan durasi yang lebih singkat. Efek midriasis maksimal tropikamid

tercapai dalam 20 – 35 menit, sedangkan efek sikloplegiknya tercapai dalam 20 –

45 menit. Durasi kerja tropikamid relatif pendek, yaitu sekitar 6 jam. Efek midriasis

tropikamid tidak tergantung pada dosis. Hal ini berbeda dengan efek sikloplegiknya

yang tergantung pada dosis dan konsentrasi obat. Efek midriasis yang ditimbulkan

juga lebih besar dibandingkan dengan efek sikloplegianya sehingga tropikamid

konsentrasi lebih rendah dapat dipergunakan untuk memperoleh efek midriasis,

tetapi untuk mencapai efek sikloplegia diperlukan konsentrasi lebih tinggi.11,16–18

Tropikamid bukan merupakan pilihan utama pada pemeriksaan refraksi

sikloplegik. Efek sikloplegik tropikamid tidak sekuat siklopentolat sehingga kurang

adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak bila dipergunakan sebagai agen

tunggal. Meskipun demikian, penggunaan tropikamid dengan konsentrasi 1% dapat

dipertimbangkan pada anak dengan hipermetropia ringan hingga sedang.11,18,47

Page 42: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

24

Efek samping okular dari tropikamid adalah rasa perih pada penetesan yang lebih

ringan dibanding siklopentolat. Tropikamid juga dapat meningkatkan tekanan

intraokular pada pasien dengan sudut bilik mata depan yang dangkal sehingga

dikontraindikasikan bagi pasien glaukoma sudut tertutup. Tropikamid dapat

diabsorpsi ke sirkulasi sistemik tetapi memiliki afinitas yang rendah terhadap

reseptor muskarinik sistemik sehingga efek samping sistemik jarang ditemukan.17,18

2.1.4. Agen Simpatomimetik

Agen simpatomimetik menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis pada iris

sehingga terjadi kontraksi otot dilator pupil yang menimbulkan dilatasi pupil.

Sebagian besar reseptor adrenergik pada otot dilator pupil adalah reseptor α dan

sedikit reseptor β2. Agen simpatomimetik juga menyebabkan peningkatan lebar

fisura palpebra, diameter pembuluh vaskular serta aliran akuos, tetapi hanya

memberikan sedikit efek terhadap akomodasi. Agen simpatomimetik sering

dikombinasikan penggunaannya bersama dengan agen sikloplegik untuk

memaksimalkan dilatasi pupil. Dilatasi pupil yang adekuat membantu dalam

visualisasi refleks retinoskopi pada pemeriksaan refraksi sikloplegik.7–9,12,18,20

Agen simpatomimetik dapat terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) agonis

adrenergik langsung, yang bekerja dengan berikatan secara langsung pada reseptor

adrenergik pada otot dilator pupil, contohnya yaitu epinefrin dan fenilefrin; serta

(2) agonis adrenergik tidak langsung, yang bekerja secara tidak langsung pada

sistem adrenergik, contohnya hidroksiamfetamin yang merangsang peningkatan

pelepasan norepinefrin atau kokain yang mencegah pengambilan kembali

Page 43: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

25

norepinefrin sehingga kadar neurotransmiter meningkat pada neuromuscular

junction.27

Gambar 2.9. Mekanisme kerja norepinefrin dan agen agonis adrenergik langsung

(A) Neurotransmiter norepinefrin (Ne) berikatan pada reseptor

adrenergik di otot dilator pupil

(B) Epinefrin (Ep) dan fenilefrin (Ph) bekerja seperti norepinefrin yang

langsung berikatan dengan reseptor adrenergik Dikutip dari: Remington27

2.1.4.1. Fenilefrin

Fenilefrin merupakan amin simpatomimetik sintetis yang secara struktural

serupa dengan epinefrin. Fenilefrin bekerja terutama pada reseptor α1-adrenergik

dan tidak memiliki atau sedikit efek pada reseptor β-adrenergik. Sediaan fenilefrin

yang tersedia sebagai agen midriatikum yaitu konsentrasi 2,5% dan 10%. Sebagai

agen midriatikum, fenilefrin 10% belum terbukti memiliki efikasi yang lebih tinggi

dibanding 2,5%, tetapi konsentrasi yang lebih tinggi berhubungan dengan efek

samping yang lebih besar.18,48–50

Efek dilatasi maksimal dari fenilefrin tercapai dalam 45 – 60 menit dan hilang 6

– 7 jam kemudian. Waktu tersebut bervariasi, di mana penderita diabetes melitus

berdilatasi lebih lama dan tidak selebar pasien nondiabetes. Fenilefrin 10%

Page 44: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

26

memiliki efikasi yang lebih tinggi dibanding 2,5% pada populasi diabetes. Orang

dengan iris gelap juga bertendensi lebih lambat untuk berdilatasi dengan durasi

kerja yang lebih panjang dibanding iris terang karena substansi aktif fenilefrin

berikatan dengan pigmen iris.18,48,51

Efek samping okular dari fenilefrin adalah rasa perih, lakrimasi, dan keratitis.

Penggunaan pada orang tua dapat menyebabkan pelepasan pigmen iris sehingga

tampak sebagai floaters akuos setelah 30 – 40 menit. Floaters ini biasanya akan

menghilang dalam 12 – 24 jam. Pengunaan jangka panjang menyebabkan efek

midriasis yang lambat dan kurang intensif. Fenilefrin juga memiliki efek samping

sistemik, yaitu hipertensi, nyeri kepala oksipital, takikardi, refleks bradikardia,

aritmia ventrikular, pecahnya aneurisma, dan perdarahan subarachnoid sehingga

penggunaannya harus diperhatikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,

hipertensi, diabetes melitus, aneurisma, dan arteriosklerosis. Fenilefrin dengan

konsentrasi 10% memiliki risiko lebih tinggi munculnya efek samping okular

maupun sistemik sehingga penggunaan dengan konsentrasi 2,5% lebih

direkomendasikan untuk anak dan orang lanjut usia.18,48

2.2. Kerangka Pemikiran

Mata memiliki tonus akomodasi saat dalam kondisi istirahat dan tanpa stimulus.

Tonus akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa sehingga diperlukan

pemeriksaan dengan sikloplegik yang adekuat untuk mendapatkan pengukuran

kelainan refraksi yang akurat. Akomodasi terjadi akibat aktivasi sistem saraf

parasimpatis melalui reseptor muskarinik pada otot siliaris. Aktivasi sistem saraf

Page 45: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

27

parasimpatis juga menyebabkan kontraksi sfingter pupil sehingga terjadi konstriksi

pupil. Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin dengan reseptor muskarinik

sistem saraf parasimpatis pada otot siliaris dan otot iris sehingga terjadi dilatasi

pupil dan berkurangnya akomodasi.

Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang cepat, waktu

pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat, dan tidak

menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Belum ada agen sikloplegik

tunggal yang memenuhi kriteria ideal sehingga banyak klinisi telah beralih

menggunakan regimen kombinasi untuk memperoleh efek sikloplegik dan

midriasis maksimal. Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama

untuk pemeriksaan sikloplegik anak karena mampu memberikan efek sikloplegik

yang hampir setara dengan atropin, tetapi efikasinya berkurang pada mata dengan

iris gelap akibat ikatan substansinya dengan pigmen iris. Tropikamid memiliki efek

yang tidak sekuat siklopentolat sehingga kurang adekuat untuk pemeriksaan

refraksi pada anak bila dipergunakan sebagai agen tunggal, tetapi tropikamid

memiliki kemampuan penetrasi kornea yang lebih baik dan ikatan dengan pigmen

iris yang lebih kecil.

Hingga saat ini masih belum ada konsensus tentang regimen obat sikloplegik

yang optimal untuk anak. Agen simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering

ditambahkan untuk meningkatkan efek midriasisnya. Regimen yang digunakan di

Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung untuk anak berusia di atas 1 tahun saat ini adalah kombinasi siklopentolat

1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 10%.

Page 46: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

28

Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya telah banyak dilakukan,

tetapi memberikan hasil yang berbeda-beda. Siklopentolat secara sinergis dapat

meningkatkan efek sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid terutama

pada mata dengan iris gelap. Akan tetapi, studi lain menyebutkan tropikamid bekerja

pada reseptor muskarinik yang sama dengan siklopentolat dengan efikasi yang lebih

rendah sehingga tidak mempengaruhi efek apabila dihilangkan. Oleh karena itu,

penggunaan tropikamid yang dikombinasikan dengan siklopentolat dan fenilefrin

perlu dievaluasi efektivitasnya.

Kebanyakan optometris atau oftalmologis menunggu sampai pupil berdilatasi

penuh atau tidak responsif terhadap cahaya untuk melakukan pemeriksaan refraksi

sikloplegik. Hal tersebut dapat mengakibatkan waktu tunggu yang lama atau

kesalahan dalam pengukuran refraksi karena onset midriasis agen sikloplegik tidak

selalu sama dengan onset sikloplegiknya.

Page 47: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

29

Gambar 2.10. Diagram kerangka pemikiran

Tonus akomodasi pada anak lebih tinggi

dibandingkan dewasa

Diperlukan pemeriksaan refraksi

sikloplegik yang adekuat pada anak.

Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin

dengan reseptor muskarinik pada otot siliaris

dan iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan

berkurangnya akomodasi.

Siklopentolat secara sinergis

dapat meningkatkan efek

sikloplegik apabila

dikombinasi dengan

tropikamid terutama pada

mata dengan iris gelap.

Digunakan regimen kombinasi obat.

Agen sikloplegik memiliki onset

midriasis yang tidak selalu sama

dengan onset sikloplegiknya.

Penggunaan dilatasi pupil sebagai

parameter untuk memulai

pemeriksaan refraksi menyebabkan

waktu tunggu yang lama atau hasil

pengukuran yang tidak akurat.

Siklopentolat memberikan

efek sikloplegik yang hampir

setara dengan atropin, tetapi

efikasinya berkurang pada

mata dengan iris gelap akibat

ikatan substansinya dengan

pigmen iris.

Tropikamid memiliki efek

sikloplegik yang tidak sekuat

siklopentolat, tetapi memiliki

onset lebih cepat, durasi lebih

pendek, dan ikatan terhadap

pigmen iris yang lebih kecil.

Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya

memberikan hasil yang berbeda-beda.

Belum ada konsensus tentang regimen obat

yang optimal untuk anak.

Belum ada agen sikloplegik tunggal yang

memenuhi kriteria ideal.

Agen simpatomimetik seperti

fenilefrin sering ditambahkan

untuk memaksimalkan efek

midriasis regimen obat.

Dilatasi pupil yang adekuat

diperlukan dalam pemeriksaan

refraksi sikloplegik.

Waktu puncak sikloplegik dan

midriasis regimen obat perlu

diketahui.

Penggunaan tropikamid yang dikombinasikan dengan siklopentolat

dan fenilefrin perlu dievaluasi efektivitasnya.

Studi lain menyebutkan

tropikamid memiliki mekanisme

kerja serupa dengan

siklopentolat, yaitu bekerja pada

reseptor muskarinik dengan

efikasi lebih rendah sehingga

tidak berpengaruh terhadap hasil

apabila dihilangkan.

Page 48: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

30

2.3. Premis dan Hipotesis

2.3.1. Premis

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka premis-premis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Premis 1 : Sikloplegik yang adekuat merupakan komponen penting dalam

pemeriksaan refraksi yang akurat pada anak karena tonus akomodasi

pada anak lebih tinggi dibanding orang dewasa.7,8,12,14

Premis 2 : Akomodasi terjadi akibat aktivasi sistem saraf parasimpatis.

Neurotransmiter asetilkolin yang dilepaskan berikatan dengan reseptor

muskarinik pada otot siliaris dan otot iris sehingga terjadi kontraksi otot

siliaris dan otot sfingter pupil.26,27,30

Premis 3 : Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin pada reseptor muskarinik

sehingga terjadi dilatasi pupil dan berkurangnya akomodasi.7,9,17,18,27

Premis 4 : Siklopentolat dan tropikamid merupakan dua agen sikloplegik yang

paling sering digunakan.7,10,12–14

Premis 5 : Siklopentolat memberikan efek sikloplegik yang hampir setara dengan

atropin, tetapi efikasinya berkurang pada mata dengan iris gelap akibat

ikatan substansinya dengan pigmen iris.7,12,15–17,52

Premis 6 : Tropikamid memiliki efek sikloplegik yang tidak sekuat siklopentolat

sehingga kurang adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak, tetapi

memiliki onset yang lebih cepat, durasi lebih pendek, dan ikatan

terhadap pigmen iris yang lebih kecil.15–18,52

Page 49: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

31

Premis 7 : Belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal sehingga digunakan

regimen kombinasi untuk memperoleh efek sikloplegik dan midriasis

yang adekuat. Agen simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering

ditambahan untuk memaksimalkan efek midriasisnya.7,14,18,20,21

Premis 8 : Kombinasi tropikamid, siklopentolat, dan fenilefrin serta kombinasi

siklopentolat dan fenilerin merupakan regimen yang paling sering

digunakan.14,21

Premis 9 : Tropikamid memiliki mekanisme antikolinergik yang serupa dengan

siklopentolat, yaitu sama bekerja pada reseptor muskarinik.7,22,53

2.3.2. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan premis-premis di atas, dapat dideduksi hipotesis sebagai berikut.

1. Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

2. Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat

1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

3. Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.

Page 50: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

32

4. Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.

Page 51: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

33

BAB III

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Subjek dan Sampel Penelitian

3.1.1. Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek anak dengan kelainan refraksi berusia 6 – 18

tahun yang datang ke Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit

Mata Cicendo Bandung serta bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar

persetujuan (informed consent) oleh orang tua.

Populasi target pada penelitian ini adalah anak dengan kelainan refraksi.

Populasi terjangkau adalah anak dengan kelainan refraksi yang datang ke Unit

Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.

3.1.2. Sampel Penelitian

3.1.2.1. Cara Pemilihan Sampel

Sampel dipilih berdasarkan alokasi subjek sesuai urutan kedatangan pasien

(konsekutif) di Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata

Cicendo Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria

eksklusi.

3.1.2.2. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.

• Pasien usia 6 – 18 tahun

Page 52: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

34

• Memiliki kelainan refraksi sebelum pemberian regimen sikloplegik berupa

miopia, hipermetropia, dan astigmatisme derajat ringan hingga sedang, yaitu

miopia <6,00 D, hipermetropia <3,00D, dan astigmatisme <3,00 D, baik yang

telah menerima maupun belum menerima terapi kacamata.33,54

3.1.2.3. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.

• Gangguan penglihatan yang tidak berhubungan dengan kelainan refraksi, yaitu

kekeruhan kornea, uveitis, glaukoma, katarak, kelainan segmen posterior, dan

kelainan saraf optik serta jaras visual

• Riwayat operasi okular sebelumnya

• Abnormalitas pupil atau kelainan neurologis lain

• Riwayat penyakit kardiovaskular

• Sedang mendapat terapi medikamentosa sistemik maupun okular yang

mempengaruhi kerja pupil dan/atau akomodasi

• Anisometropia tinggi (perbedaan status refraksi antara kedua mata ≥2,00 D)33

• Strabismus

• Ambliopia

• Iris berwarna terang (iris berwarna hijau atau biru) dan albinisme

• Riwayat alergi dengan komponen obat penelitian

Page 53: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

35

3.1.2.4. Kriteria Drop Out

Kriteria drop out adalah kriteria yang apabila ditemukan menyebabkan subjek

tidak dapat melanjutkan sebagai sampel dalam penelitian. Kriteria drop out adalah

sebagai berikut.

• Tidak kooperatif saat penetesan obat

• Tidak menyelesaikan pemeriksaan autorefraktometer dan pengukuran diameter

pupil secara lengkap

• Muncul reaksi efek samping obat setelah pemberian regimen

3.1.2.5. Penentuan Ukuran Sampel

Penentuan ukuran sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu

membandingkan perubahan kekuatan refraksi, perubahan ukuran diameter pupil,

serta waktu puncak sikloplegik dan midriasis antara pemberian kombinasi

siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) dibandingkan dengan

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF) pada anak dengan kelainan

refraksi. Penghitungan sampel menggunakan rumus analitik komparatif numerik

tidak berpasangan sebagai berikut.55,56

𝑛1 = 𝑛2 = 2 [(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)𝑆

𝑋1 − 𝑋2]

2

Keterangan:

n = jumlah sampel yang dibutuhkan untuk tiap kelompok dalam penelitian ini

Zα = derivat baku alfa untuk derajat kemaknaan 5%, yaitu 1,96

Zβ = derivat baku beta untuk dengan kekuatan uji 80%, yaitu 0,84

Page 54: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

36

S = simpang baku gabungan dari penelitian sebelumnya oleh Sherman dkk.7

X1 – X2 = perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna, yaitu 0,6

(𝑆)2 = [𝑆1

2 × (𝑛1 − 1) + 𝑆22 × (𝑛2 − 1)]

𝑛1 + 𝑛2 − 2

Keterangan:

S = simpang baku gabungan dari penelitian sebelumnya oleh Sherman dkk.7

S1 = simpang baku kelompok 1, yaitu 1,15

n1 = besar sampel kelompok 1, yaitu 49

S2 = simpang baku kelompok 2, yaitu 0,94

n2 = besar sampel kelompok 2, yaitu 49

Dari data tersebut, didapatkan perhitungan sebagai berikut.

(𝑆)2 = [1,152 × (49 − 1) + 0,942 × (49 − 1)]

49 + 49 − 2= 1,10305

𝑛1 = 𝑛2 = 2 × 1,10305 × [(1,96 + 0,84)

0,6]

2

= 48,043956 ≈ 48

Berdasarkan perhitungan di atas, penelitian ini memerlukan sampel minimal 48

mata untuk setiap kelompok perlakuan. Jumlah drop out (f) yang diperhitungkan

adalah 10% sehingga koreksi besar sampel tiap kelompok yang dibutuhkan untuk

mengantisipasi drop out yaitu:

𝑛′ =𝑛

1 − 𝑓=

41

1 − 0,1= 53,333333 ≈ 53

Penelitian ini memerlukan total sampel keseluruhan minimal sebesar 106 mata.

Page 55: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

37

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan single-blind randomized clinical trial dengan desain

paralel untuk membandingkan efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan

waktu puncak sikloplegik) serta efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil

dan waktu puncak midriasis) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF) pada anak dengan kelainan refraksi.

Penentuan kelompok perlakuan subjek penelitian dilakukan dengan randomisasi

blok.

3.2.2. Identifikasi Variabel

3.2.2.1. Variabel Bebas dan Tergantung

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian kombinasi siklopentolat 1%

dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%. Variabel tergantung pada

penelitian ini adalah efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan waktu

puncak sikloplegik) dan efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil dan

waktu puncak midriasis) yang dihasilkan setelah penetesan obat.

Page 56: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

38

3.2.2.2. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1. Definisi operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil

Ukur Skala

Status

kelainan

refraksi

Keadaan mata anak dengan kelainan

miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.

- - Kategorik

(Nominal)

Efek

sikloplegik

Pengaruh regimen obat terhadap

akomodasi mata. Penilaian berdasarkan

perubahan kekuatan refraksi dan waktu

puncak sikloplegik yang dihasilkan.

- - -

Efek

midriasis

Pengaruh regimen obat terhadap dilatasi

pupil. Penilaian berdasarkan perubahan

ukuran diameter pupil dan waktu puncak

midriasis yang dihasilkan.

- - -

Kekuatan

refraksi

Nilai kekuatan refraksi pada mata dengan

memperhitungkan kekuatan sferis untuk

miopia dan hipermetropia, serta SE untuk

astigmatisme.

- Autorefraktometer

TOPCON Auto

Keratorefracto-

meter KR-8800

D Numerik

(Rasio)

Perubahan

kekuatan

refraksi

Nilai perbedaan (selisih) kekuatan refraksi

mata antara sebelum dan setelah penetesan

obat. Perhitungan tersebut menggunakan

kekuatan sferis untuk miopia dan

hipermetropia, serta SE untuk

astigmatisme.

- Autorefraktometer

TOPCON Auto

Keratorefracto-

meter KR-8800

D Numerik

(Rasio)

Waktu

puncak

sikloplegik

Waktu yang dihitung sejak penetesan

pertama obat di mana didapatkan

kekuatan refraksi mata tercapai dan

terpelihara dalam batas ±0,25 D dari nilai

kekuatan refraksi terakhir; terbagi

menjadi 20, 30, 45, dan 60 menit.

- - Kategorik

(Ordinal)

Diameter

pupil

Ukuran diameter dari apertura pada

bagian tengah iris.

- IOLMaster® 700 mm Numerik

(Rasio)

Perubahan

ukuran

diameter

pupil

Nilai perbedaan (selisih) ukuran diameter

pupil antara sebelum dan setelah

penetesan obat.

- IOLMaster® 700 mm Numerik

(Rasio)

Waktu

puncak

midriasis

Waktu yang dihitung sejak penetesan

pertama obat di mana didapatkan ukuran

diameter pupil ≥7,0 mm; terbagi menjadi

20, 30, 45, dan 60 menit.

- - Kategorik

(Ordinal)

Kombinasi

obat tetes

Pemberian satu tetes obat diikuti oleh

satu tetes obat jenis lainnya dengan

masing-masing interval 5 menit.

- Kombinasi SFT: kombinasi obat

siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan

fenilefrin 2,5%

- Kombinasi SF: kombinasi obat

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%

- - Kategorik

(Nominal)

Page 57: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

39

3.2.3. Randomisasi

Pembagian subjek dalam kelompok penelitian dilakukan dengan cara

randomisasi blok menggunakan 2 blok. Susunan blok dibuat oleh petugas yang

tidak ikut serta dalam penyusunan prosedur penelitian. Berikut ini adalah langkah-

langkah randomisasi blok.57

1. Subjek penelitian terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kode A untuk kelompok

SFT dan kode B untuk kelompok SF.

2. Petugas mempersiapkan tabel sekuens sebagai berikut.

Nomor Sekuens

00 – 49 AB

50 – 99 BA

3. Petugas memilih rangkaian angka acak pertama dari tabel random dengan

menjatuhkan pena di atas tabel dengan mata tertutup.

4. Petugas mencatat 2 digit angka paling depan dari rangkaian angka terpilih.

Angka tersebut merupakan angka awal untuk menentukan sekuens.

5. Petugas mencatat 2 digit angka paling depan dari 26 rangkaian angka

berikutnya yang terdapat di bawah angka pertama. Bila belum cukup, petugas

mencatat angka dari kolom berikutnya dengan cara yang sama.

6. Petugas menyesuaikan 27 angka yang diperoleh dengan tabel sekuens sehingga

didapatkan susunan kode blok.

7. Petugas mempersiapkan 54 amplop dan menuliskan nomor urut 1 hingga 54.

Masing-masing kode huruf dimasukkan dalam amplop secara berurutan sesuai

dengan susunan yang diperoleh.

Page 58: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

40

8. Amplop dilem dan dipastikan tidak tembus pandang.

9. Amplop diberikan pada subjek yang memenuhi kriteria kelayakan secara

berurutan sesuai dengan urutan kedatangan di Unit PO PMN RSMC.

3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.4.1. Cara Kerja

Rancangan penelitian diajukan ke Komite Etik Penelitian hingga mendapatkan

persetujuan (ethical clearance). Pasien saat pertama kali datang ke Unit Pediatrik

Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo (Unit PO PMN

RSMC) dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, serta

pemeriksaan autorefraktometri tanpa sikloplegik pada kedua mata sebanyak 3 kali

oleh refraksionis berpengalaman. Anamnesis lengkap dilakukan terhadap orang tua

pasien, meliputi riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik yang berkaitan,

riwayat bedah okular sebelumnya, riwayat penggunaan obat-obatan, dan riwayat

alergi. Pasien selanjutnya menjalani pemeriksaan oftalmologi berupa pemeriksaan

tekanan bola mata, kedudukan dan gerak bola mata, refleks pupil, lampu celah

biomikroskopi, dan pemeriksaan segmen posterior dengan funduskopi direk.

Diagnosis klinis dibuat oleh salah satu dari lima dokter subspesialis di Unit

Pediatrik Oftalmologi dan kemudian dilakukan identifikasi sesuai kriteria inklusi

dan kriteria eksklusi penelitian. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak

memiliki kriteria eksklusi dikonsulkan ke pembimbing untuk dapat diikutsertakan

dalam penelitian. Orang tua pasien diberi penjelasan secara lisan mengenai

kegunaan dan prosedur pemeriksaan serta kegunaan penelitian. Bila orang tua

Page 59: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

41

setuju serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka diberikan lembar surat

persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani. Identitas pasien dicatat,

meliputi nama, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan anak. Subjek yang telah

memenuhi kriteria kelayakan diberi amplop kode secara berurutan sesuai dengan

urutan kedatangan untuk mengetahui jenis regimen kombinasi obat yang akan

diberikan.

Pemeriksaan biometri dilakukan dengan menggunakan IOLMaster® 700 untuk

memperoleh ukuran diameter pupil sebelum penetesan obat. Subjek selanjutnya

diberikan 1 tetes anestesi topikal dengan tetrakain 0,5% pada kedua mata. Lima

menit kemudian dilakukan pemberian regimen kombinasi obat pada kedua mata

sesuai dengan kode perlakuan dalam amplop sebagai berikut.

1. Kombinasi SFT, terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1%, diikuti 1 tetes fenilefrin

2,5%, dan diikuti 1 tetes tropikamid 1% yang diberikan secara individual

dengan masing-masing interval 5 menit.

2. Kombinasi SF, terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1% dan diikuti 1 tetes fenilefrin

2,5% yang diberikan secara individual dengan interval 5 menit.

Pemberian regimen obat dilakukan oleh satu orang petugas tanpa diketahui jenisnya

oleh peneliti. Pungtum lakrimalis dioklusi setelah setiap penetesan obat dengan

memberikan penekanan pada kanthus medial selama 10 detik untuk meminimalisasi

absorpsi sistemik.

Pengukuran diameter pupil dengan IOLMaster® 700 serta pemeriksaan

autorefraktometri dilakukan pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah penetesan

pertama regimen obat kombinasi. Pengukuran diameter pupil dan pemeriksaan

Page 60: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

42

autorefraktometri dilakukan oleh satu orang petugas. Data hasil pemeriksaan dicatat

dan dilakukan analisis data.

3.2.4.2. Alat Penelitian

1. Eye chart projector

2. Trial lens

3. Autorefraktometer TOPCON Auto Keratorefractometer KR-8800 (Topcon

Medical Systems, Inc., NJ, USA)

4. IOLMaster® 700 (Carl Zeiss Medical Technology, USA)

5. Tonometer nonkontak TOPCON CT80 (Topcon Medical Systems, Inc., NJ,

USA)

6. Lampu celah biomikroskopi

7. Direct ophthalmoscope

8. Penlight

9. Kapas dan kasa steril

10. Pengukur waktu

11. Tetes mata: Tetrakain 0,5% (Cendo Pantocain 0,5%), siklopentolat 1% (Cendo

Cyclon 1%), tropikamid 1% (Cendo Mydriatil 1%), dan fenilefrin 2,5% (Cendo

Efrisel 2,5%)

Page 61: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

43

3.2.4.3. Prosedur Pemeriksaan Autorefraktometri

Prosedur pemeriksaan autorefraktometri adalah sebagai berikut.

1. Subjek diminta duduk tegak dan lurus menghadap alat autorefraktometer. Dagu

diletakan pada chin rest dan dahi menempel pada head rest.

2. Pemeriksa mengarahkan alat agar fokus pada titik di tengah pupil mata yang

tampak pada monitor alat. Alat akan secara otomatis mengukur status refraksi

subjek.

3. Prosedur yang sama dilakukan pada mata kontralateral.

4. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pada masing-masing mata.

3.2.4.4. Prosedur Pemeriksaan IOLMaster® 700

Prosedur pengambilan foto digital diameter pupil adalah sebagai berikut.

1. Subjek diminta duduk tegak dan lurus menghadap IOLMaster® 700. Dagu

diletakan pada chin rest dan dahi menempel pada head rest.

2. Subjek diminta untuk memfiksasikan penglihatan pada alat di depannya.

3. Pemeriksa mengarahkan alat agar didapatkan gambar mata yang fokus yang

tampak pada monitor alat. Alat akan secara otomatis mengukur biometri okular

termasuk ukuran diameter pupil saat tanda indikator pada monitor berwarna

hijau.

4. Prosedur yang sama dilakukan pada mata kontralateral.

5. Pengukuran dilakukan sebanyak 1 kali pada masing-masing mata.

6. Pengukuran diulang apabila sentrasi, scan placement pupil, dan fiksasi pada

hasil pemeriksaan kurang baik.

Page 62: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

44

3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Pediatrik Oftalmologi dan Bagian Diagnostik Pusat

Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, dari bulan November hingga

Desember 2020 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran (nomor 985/UN6.KEP/EC/2020) dan Komite

Etik Penelitian PMN RS Mata Cicendo, Bandung

3.2.6. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data

menjadi informasi. Langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:

1. Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan.

2. Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka

atau bilangan.

3. Data entry, yaitu memasukkan data berupa hasil pemeriksaan dan pengukuran

yang telah di-coding dan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer.

4. Cleaning, yaitu apabila semua data dari subjek penelitian telah selesai

dimasukkan, maka perlu diperiksa kembali untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan

pengoreksian.

Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendeskripsikan variabel

bebas dan tergantung sehingga dapat membantu analisis selanjutnya secara lebih

mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga digunakan untuk

Page 63: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

45

mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel. Analisis data

untuk melihat gambaran proporsi masing-masing variabel yang akan disajikan

secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Data

yang berskala numerik, seperti usia, kekuatan refraksi, diameter pupil, perubahan

kekuatan refraksi, serta perubahan ukuran diameter pupil antara sebelum dan

setelah penetesan regimen dipresentasikan dalam rerata, simpangan baku, median,

dan rentang. Data karakteristik berupa data kategorik, seperti jenis kelamin, status

kelainan refraksi, serta waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis

diberikan coding dan dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan persentase.

Persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik dan midriasis dipresentasikan

dalam bentuk diagram batang.

Analisis yang dilakukan disesuaikan dengan jenis masalah penelitian dan data

yang digunakan. Data yang akan dianalisis dilakukan uji normalitas terlebih dahulu

sebelum dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk apabila

jumlah data sebesar 50 buah atau kurang, dan uji Kolmogorov-Smirnov apabila

jumlah data lebih dari 50 buah. Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk

menguji apakah data terdistribusi secara normal atau tidak.58

Analisis statistik selanjutnya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan hipotesis.

Uji statistik bertujuan untuk membandingkan antara data numerik dengan data

kategorik yang tidak berpasangan, yaitu perubahan kekuatan refraksi dan

perubahan ukuran diameter pupil dari 2 kelompok perlakuan. Uji yang digunakan

adalah uji t tidak berpasangan apabila data terdistribusi normal dan uji Mann-

Whitney apabila data tidak terdistribusi normal. Uji statistik selanjutnya bertujuan

Page 64: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

46

untuk membandingkan antara dua data kategorik yang tidak berpasangan, yaitu

waktu puncak sikloplegik dan midriasis dari 2 kelompok perlakuan. Uji yang

digunakan adalah uji Chi-square apabila data terdistribusi normal dan uji

Kolmogorov-Smirnov apabila data tidak terdistribusi normal.56,58

Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p sebagai berikut.

• p<0,05 berarti hipotesis nol ditolak sehingga didapatkan interpretasi terdapat

perbedaan rerata yang bermakna antara kedua kelompok secara statistik.

• p≥0,05, berarti hipotesis nol diterima sehingga didapatkan interpretasi tidak

terdapat perbedaan rerata yang bermakna antara kedua kelompok secara

statistik.56,58

Data penelitian yang diperoleh dicatat menggunakan Microsoft® Excel 2010 dan

kemudian diolah melalui program Statistical Package for the Social Sciences

(SPSS) version 26.0 for Windows.

3.3. Implikasi/Aspek Penelitian

Penelitian ini berpedoman pada 3 prinsip dasar penelitian terhadap manusia dengan

memperhatikan hal-hal berikut:

A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)

1. Pasien dan orang tuanya memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi

dengan peneliti mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian secara jelas.

2. Keikutsertaan subjek dalam penelitian dilakukan secara sadar, sukarela, dan

tanpa paksaan dari pihak manapun. Pasien dan orang tua sewaktu-waktu

Page 65: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

47

dapat mempergunakan haknya untuk menghentikan keikutsertaan dalam

penelitian.

B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficienceand non-maleficience)

1. Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat dalam mencari

regimen kombinasi obat yang optimal untuk pemeriksaan refraksi

sikloplegik sehingga efek samping okular dan sistemik dapat dihindari.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi pasien dan

keluarga berupa prosedur koreksi penglihatan yang lebih nyaman dan

efektif, waktu tunggu yang lebih singkat, serta hasil koreksi tajam

penglihatan yang maksimal.

3. Oklusi pungtum lakrimalis dilakukan setiap setelah penetesan obat untuk

meminimalisasi efek samping yang muncul pada subjek penelitian akibat

absorpsi sistemik.

4. Penelitian ini menggunakan premedikasi berupa anestesi topikal untuk

mengurangi rasa perih saat pemberian regimen obat kombinasi sehingga

dapat meningkatkan kenyamanan pasien.

5. Subjek yang mengalami efek samping obat saat penelitian akan dicatat dan

selanjutnya ditatalaksana sesuai keluhan yang muncul di Unit PO RSMC

dengan bekerja sama dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak PMN RSMC.

C. Prinsip keadilan (justice)

Penelitian ini dilakukan pada penderita kelainan refraksi yang diberikan

perlakuan dengan menggunakan alat dan cara yang sama sesuai dengan

prosedur yang telah ditentukan bersama.

Page 66: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

48

3.4. Alur Penelitian

Penelitian dilakukan dengan alur seperti tertera pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Alur penelitian

1. Anamnesis lengkap 2. Pemeriksaan visus dasar

3. Pemeriksaan autorefraktometri tanpa sikloplegik

4. Koreksi kelainan refraksi

5. Pemeriksaan tekanan bola mata 6. Pemeriksaan kedudukan dan gerak bola mata

7. Pemeriksaan refleks pupil

8. Pemeriksaan lampu celah biomikroskopi

9. Funduskopi direk

Penegakan diagnosis Identifikasi kriteria inklusi dan eksklusi

Informed consent tindakan dan penelitian pada orang tua

Pengukuran diameter pupil dengan IOLMaster®700

Anestesi topikal (1 tetes mata tetrakain 0,5%)

5 menit

Kode B:

Pemberian kombinasi SF

pada kedua mata

1 tetes siklopentolat 1%

5 menit

1 tetes fenilefrin 2,5%

Kode A:

Pemberian kombinasi SFT

pada kedua mata

1 tetes siklopentolat 1%

5 menit

1 tetes fenilefrin 2,5% 5 menit

1 tetes tropikamid 1%

Pemeriksaan autorefraktometri dan IOLMaster®700 pada kedua mata pada menit

ke-20, 30, 45, dan 60 setelah pemberian tetes pertama dari regimen kombinasi.

Pengolahan dan analisis data statistik

Hasil

Kesimpulan

Randomisasi blok

Page 67: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

49

BAB IV

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai perbandingan efek sikloplegik dan midriasis antara

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%

pada anak dengan kelainan refraksi dilakukan dalam pada bulan November hingga

Desember 2020. Sampel dipilih sesuai urutan kedatangan pasien (konsekutif) di

Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria

eksklusi. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (nomor 985/UN6.KEP/EC/2020) dan

Komite Etik Penelitian PMN RS Mata Cicendo, Bandung.

4.1. Hasil

Hasil penelitian terdiri dari karakteristik subjek penelitian, perbandingan

perubahan kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil, perbandingan waktu

puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis, serta perbandingan keseluruhan

parameter pada kelompok usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun.

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk

dalam kriteria eksklusi pada periode November hingga Desember 2020 adalah

sebanyak 54 pasien (108 mata). Tidak ada subjek penelitian yang termasuk kriteria

Page 68: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

50

drop out. Subjek penelitian terdiri dari 15 pasien laki-laki (27,8%) dan 39 pasien

perempuan (72,2%) dengan usia median 13 tahun dalam rentang 6 – 18 tahun (rata-

rata 12,85 ± 2,84 tahun). Status kelainan refraksi terbanyak yaitu astigmatisme

miopia kompositus (50,9%), diikuti miopia simpleks (32,4%), astigmatisme miopia

simpleks (7,4%), astigmatisme mikstus (3,7%), astigmatisme hipermetropia

simpleks (2,8%), hipermetropia simpleks (1,9%), dan astigmatisme hipermetropia

kompositus (0,9%). Rata-rata kekuatan refraksi dari keseluruhan subjek penelitian

yaitu -2,77 ± 2,092 D dengan ukuran diameter pupil 5,61 ± 0,70 mm. Karakteristik

keseluruhan subjek penelitian dapat dilihat dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Gambaran karakteristik subjek penelitian

Variabel (N = 108 mata)

Jenis kelamin

Laki-laki 30 (27,8%)

Perempuan 78 (72,2%)

Usia (tahun)

Rerata ± SB 12,85 ± 2,838

Median (rentang) 13 (6 – 18)

Kategori usia

6 – 12 tahun 40(37.0%)

13 – 18 tahun 68(63.0%)

Status kelainan refraksi

Miopia simpleks 35 (32,4%)

Hipermetropia simpleks 2 (1,9 %)

Astigmatisme miopia simpleks 8 (7,4%)

Astigmatisme miopia kompositus 55 (50,9%)

Astigmatisme hipermetropia

simpleks

3 (2,8%)

Astigmatisme hipermetropia

kompositus

1 (0,9%)

Astigmatisme mikstus 4 (3,7%)

Kekuatan refraksi (D)

Rerata ± SB -2,77 ± 2,092

Median (rentang) -2,50 (-7,00 – +0,50)

Ukuran diameter pupil (mm)

Rerata ± SB 5,61 ± 0,70

Median (rentang) 5,7 (3,3 – 6,9) Keterangan: SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter

Page 69: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

51

Seluruh subjek kemudian dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan, yaitu

kelompok SFT dan SF, berdasarkan randomisasi blok. Karakteristik subjek pada

masing-masing kelompok dijabarkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Perbandingan karakteristik subjek penelitian antara kelompok SFT dan SF

Variabel

Kelompok Nilai p

SFT

(N=54)

SF

(N=54)

Jenis kelamin 0,667a

Laki-laki 14 (25,9%) 16 (29,6%)

Perempuan 40 (74,1%) 38 (70,4%)

Usia (tahun) 0,921b

Rerata ± SB 12,85 ± 2,929 12,85 ± 2,771

Median (rentang) 13 (7 – 17) 13 (6 – 18)

Kategori usia 1,000a

6 – 12 tahun 20 (37,0%) 20 (37,0%)

13 – 18 tahun 34 (63,0%) 34 (63,0%)

Status kelainan refraksi 1,000c

Miopia simpleks 19 (35,2%) 16 (29,6%)

Hipermetropia simpleks 0 (0,00%) 2 (3,7%)

Astigmatisme miopia simpleks 2 (3,7%) 6 (11,1%)

Astigmatisme miopia kompositus 28 (51,9%) 27 (50,0%)

Astigmatisme hipermetropia

simpleks

3 (5,6%) 0 (0,00%)

Astigmatisme hipermetropia

kompositus

1 (1,9%) 0 (0,00%)

Astigmatisme mikstus 1 (1,9%) 3 (5,6%)

Kekuatan refraksi (D) 0,220b

Rerata ± SB -2,98 ± 2,024 -2.56 ± 2,156

Median

Rentang

-2,88

-7,00 - +0.50

-2.38

-7,00 - +0,25

Ukuran diameter pupil (mm) 0,946d

Rerata ± SB 5,61 ± 0,673 5,60 ± 0,733

Median

Rentang

5,65

4,0 – 6,6

5,65

3,3 – 6,9

Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aUji Chi-square bUji Mann-Whitney cUji Kolmogorov-Smirnov dUji t tidak berpasangan *Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

Data kategorik berupa jenis kelamin dan status kelainan refraksi dianalisis

dengan menggunakan uji Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis

menunjukkan tidak ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin dan status kelainan

Page 70: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

52

refraksi yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,667; p=1,000). Data numerik,

seperti usia, kekuatan refraksi, dan diameter pupil, dianalisis normalitasnya dengan

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji tersebut menunjukkan bahwa data usia

dan kekuatan refraksi tidak berdistribusi secara normal (p<0,05) sedangkan data

ukuran diameter pupil berdistribusi normal (p≥0,05) sehingga untuk

membandingkan nilai pada kedua kelompok digunakan uji Mann-Whitney untuk

usia dan kekuatan refraksi, serta uji t tidak berpasangan untuk data ukuran diameter

pupil. Hasil uji Mann-Whitney dan uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak

terdapat perbedaan usia, kekekuatan refraksi, dan ukuran diameter pupil antara

kedua kelompok perlakuan (p=0,921; p=0,220; p=0,946). Berdasarkan hasil

analisis perbandingan karakteristik kedua kelompok di atas, maka dapat

disimpulkan kedua kelompok sama atau tidak terdapat perbedaan karakteristik saat

awal pemeriksaan. Hal ini menunjukkan kedua kelompok sama atau homogen.

4.1.2. Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil Setelah Penetesan Obat

Besaran kekuatan refraksi dinilai dengan memperhitungkan kekuatan sferis

untuk miopia dan hipermetropia, serta spherical equivalent (SE) untuk

astigmatisme, sedangkan ukuran diameter pupil diperoleh dengan menghitung

diameter apertura pada bagian tengah iris. Kedua parameter tersebut diukur pada

menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah penetesan pertama regimen obat kombinasi pada

masing-masing kelompok. Hasil pengukuran kekuatan refraksi dan diameter pupil

dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Page 71: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

53

Tabel 4.3. Kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil setelah penetesan obat antara

kelompok SFT dan SF

Variabel

Kelompok

SFT

(N=54)

SF

(N=54)

Kekuatan refraksi (D)

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

-2,62 ± 2,242

-2,38

-6,75 – +2.00

-2,31 ± 2,251

-2,13

-7,00 – +1,00

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

-2,55 ± 2,264

-2,38

-7,00 – +2,00

-2,29 ± 2,215

-2,13

-7,00 – +0,75

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

-2,52 ± 2,207

-2,38

-6,75 – +2,00

-2,21 ± 2,240

-2,00

-6,75 – +1,00

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

-2,48 ± 2,238

-2,25

-7,00 – +2,00

-2,19 ± 2,256

-2,00

-6,50 – +1,00

Diameter pupil (mm)

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

6,87 ± 0,768

6,95

4,9 – 8,0

6,61 ± 0,690

6,65

4,8 – 8,0

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

7,97 ± 0,547

8,15

6,6 – 8,7

7,24 ± 0,663

7,30

5,9 – 8,4

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

8,46 ± 0,536

8,60

7,0 – 9,3

7,98 ± 0,543

8,00

6,9 – 9,1

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

8,65 ± 0,533

8,75

7,1 – 9,6

8,37 ± 0,467

8,40

7,1 – 9,2 Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter.

4.1.3. Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil

Besaran perubahan kekuatan refraksi (Δkekuatan refraksi) merupakan nilai

selisih kekuatan refraksi mata antara sebelum dan setelah penetesan obat.

Perhitungan tersebut menggunakan kekuatan sferis untuk miopia dan

hipermetropia, serta spherical equivalent (SE) untuk astigmatisme. Besaran

Page 72: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

54

perubahan ukuran diameter pupil (Δdiameter pupil) merupakan nilai selisih ukuran

diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. Analisis dilakukan

terhadap Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil antara kedua kelompok dan

dijabarkan pada Tabel 4.4. Hasil positif pada Δkekuatan refraksi menunjukkan

berkurangnya akomodasi mata. Hasil positif pada Δdiameter pupil menunjukkan

bertambahnya dilatasi pupil.

Besaran Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil menunjukkan adanya

peningkatan pada masing-masing kelompok pada menit ke-20, 30, 45, dan 60

setelah penetesan obat. Hal tersebut menunjukkan akomodasi mata semakin

berkurang dan dilatasi pupil semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu

setelah penetesan obat. Nilai rerata Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil lebih

besar pada kelompok SFT dibanding SF, baik pada menit ke-20, 30, 45, dan 60. Uji

statistik dilakukan untuk menilai perbandingan Δkekuatan refraksi dan Δdiameter

pupil antara kedua kelompok.

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data

Δkekuatan refraksi menit ke-20, 30, 45, dan 60, serta data Δdiameter pupil menit

ke-20 setelah penetesan obat tidak berdistribusi secara normal, sedangkan

Δdiameter pupil menit ke-30, 45, dan 60 berdistribusi normal. Uji statistik t tidak

berpasangan digunakan pada data dengan distribusi normal, sedangkan uji Mann-

Whitney digunakan pada data yang tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistik

menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara

Δkekuatan refraksi pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 serta Δdiameter pupil menit

Page 73: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

55

ke-20 dan 60 setelah penetesan obat pada kelompok SFT dan SF (p≥0,05), tetapi

Δdiameter pupil berbeda signifikan pada menit ke-30 dan 45 (p<0,05).

Tabel 4.4. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran

diameter pupil antara kelompok SFT dan SF

Variabel

Kelompok Nilai p

SFT

(N=54)

SF

(N=54)

ΔKekuatan refraksi (D)a

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,36 ± 0,499

+0,25

-0.25 – +2.00

+0,25 ± 0,375

+0,25

-0,25 – +1,25

0,357c

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,43 ± 0,542

+0,25

-0,25 – +2,50

+0,27 ± 0,401

+0,25

-0,25 – +1,25

0,104c

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,46 ± 0,542

+0,25

0,00 – +2,25

+0,36 ± 0,428

+0,25

-0,25 – +1,50

0,382c

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,50 ± 0,551

+0,25

0,00 – +2,25

+0,37 ± 0,428

+0,25

0,00 – +1,50

0,271c

ΔDiameter pupil (mm)b

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

1,26 ± 0,721

1,26

0,0 – 3,0

1,01 ± 0,615

1,00

0,0 – 2,7

0,089 c

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

2,36 ± 0,805

2,35

0,9 – 4,1

1,64 ± 0,709

1,55

0,3 – 3,5

0,0001*d

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

2,85 ± 0,841

2,70

1,0 – 4,6

2,38 ± 0,761

2,35

0,8 – 4,5

0,003*d

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

3,04 ± 0,878

2,85

1,1 – 4,8

2,77 ± 0,734

2,80

1,0 – 4,6

0,088d

Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aΔ = Nilai selisih spherical equivalent (SE) kekuatan refraksi antara sebelum dan setelah penetesan obat. bΔ = Nilai selisih ukuran diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. cUji Mann-Whitney dUji t tidak berpasangan *Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

Page 74: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

56

4.1.4. Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik dan Waktu Puncak Midriasis

Waktu puncak sikloplegik adalah waktu yang dihitung sejak penetesan pertama

obat di mana didapatkan kekuatan refraksi mata tercapai dan terpelihara dalam

batas ±0,25 D dari nilai kekuatan refraksi terakhir, yaitu menit ke-60 setelah

penetesan. Waktu puncak midriasis adalah waktu yang dihitung sejak penetesan

pertama obat di mana didapatkan ukuran diameter pupil ≥7,0 mm. Data waktu

puncak siklopegik dan waktu puncak midriasis merupakan data kategorik dan

terbagi menjadi menit ke-20, 30, 45, dan 60. Tabel 4.5 menunjukkan perbandingan

waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis antara kelompok SFT dan

SF.

Waktu puncak sikloplegik pada 29 subjek (53,7%) kelompok SFT dan 32

subjek (59,3%) kelompok SF tidak dapat dikategorikan karena nilai perbedaan SE

antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan hanya sebesar ±0,25D. Sebagian

besar dari subjek yang dapat dikategorikan, yaitu 35,2% pada kelompok SFT dan

25,9% pada kelompok SF mencapai waktu puncak sikloplegik pada menit ke-20

setelah penetesan pertama regimen obat. Sebanyak 2% dari kelompok SFT

mencapai waktu puncak sikloplegik dalam 30 menit, 2% dalam 45 menit, dan 2%

dalam 60 menit, sedangkan sebanyak 3% dari kelompok SF mencapai waktu

puncak sikloplegik dalam 30 menit, dan 5% dalam 45 menit. Uji statistik dilakukan

untuk membandingkan data kategorik waktu puncak sikloplegik antara kelompok

SFT dan SF dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis

menunjukkan tidak terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik yang signifikan

secara statistik antara kelompok SFT dan SF (p=1,000).

Page 75: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

57

Sebanyak 50,0% kelompok SFT mencapai waktu puncak midriasis dalam 20

menit, 45,6% dalam 30 menit, dan 3,7% dalam 45 menit, sedangkan pada kelompok

SF sebesar 33,3% mencapai waktu puncak midriasis dalam 20 menit, 35,2% dalam

30 menit, 27,8% dalam 45 menit, dan 3,7% dalam 60 menit. Uji statistik dilakukan

untuk membandingkan data kategorik waktu puncak midriasis antara kelompok

SFT dan SF dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis

didapatkan terdapat perbedaan waktu puncak midriasis yang signifikan secara

statistik antara kelompok SFT dan SF (p=0,031).

Tabel 4.5. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis

antara kelompok SFT dan SF

Variabel

Kelompok

Nilai p SFT

(N=54)

SF

(N=54)

Waktu puncak sikloplegik 1,000b

Tidak dapat diidentifikasia 29 (53,7%) 32 (59,3%)

Menit ke-20 19 (35,2%) 14 (25,9%)

Menit ke-30 2 (3,7%) 3 (5,6%)

Menit ke-45 2 (3,7%) 5 (9,3%)

Menit ke-60 2 (3,7%) 0 (0,0%)

Waktu puncak midriasis 0,031b*

Menit ke-20 27 (50,0%) 18 (33,3%)

Menit ke-30 25 (46,3%) 19 (35,2%)

Menit ke-45 2 (3,7%) 15 (27,8%)

Menit ke-60 0 (0,0%) 2 (3,7%) Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% aNilai perbedaan SE antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan adalah sebesar ±0,25 D sehingga kategori waktu puncak sikloplegik tidak dapat diidentifikasi. bUji Kolmogorov-Smirnov.

*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

Data waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis selanjutnya dihitung

dalam persentase kumulatif. Data waktu puncak sikloplegik yang tidak dapat

dikategorikan, yaitu sebanyak 29 mata dari kelompok SFT dan 32 mata dari

kelompok SF, tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Persentase kumulatif

disajikan dalam diagram batang seperti tertera pada Gambar 4.1 dan 4.2. Sebanyak

Page 76: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

58

92% dari kelompok SFT dan 100% kelompok SF mencapai waktu puncak

sikloplegik pada menit ke-45. Sebanyak 96% kelompok SFT mencapai waktu

puncak midriasis pada menit ke-30. Keseluruhan subjek pada kelompok SFT dan

SF mencapai waktu puncak midriasis pada menit ke-45. Tidak ditemukan adanya

efek samping obat yang muncul selama penelitian.

Gambar 4.1. Diagram persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik antara

kelompok SFT dan SF

Gambar 4.2. Diagram persentase kumulatif waktu puncak midriasis antara

kelompok SFT dan SF

76%

84%

92%100%

64%

77%

100% 100%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

20 menit 30 menit 45 menit 60 menit

SFT SF

50%

96% 100% 100%

35%

71%

100% 100%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

20 menit 30 menit 45 menit 60 menit

SFT SF

Page 77: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

59

4.1.5. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis pada Usia 6 – 12 tahun

dan 13 – 18 tahun

Data penelitian selanjutnya diolah dengan membagi subjek penelitian

berdasarkan usia, yaitu 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun. Tabel 4.6 menunjukkan

perbandingan Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil antara kelompok SFT dan

SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak

terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara Δkekuatan refraksi

pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 serta Δdiameter pupil menit ke-60 antara

kelompok SFT dan SF pada kategori usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18 tahun

(p≥0,05). Hal tersebut berbeda dengan Δdiameter pupil menit ke-30 pada kategori

usia 6 – 12 tahun serta Δdiameter pupil menit ke-20, 30, dan 45 kategori usia 13 –

18 tahun yang berbeda yang signifikan antara kelompok SFT dan SF (p<0,05).

. Tabel 4.7 menunjukkan perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu

puncak midriasis antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18

tahun. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan waktu puncak midriasis antara

kelompok SFT dan SF dan didapatkan tidak terdapat perbedaan rerata yang

signifikan secara statistik antara waktu puncak sikloplegik antara kelompok SFT

dan SF pada kedua kategori usia (p≥0,05). Waktu puncak midriasis juga tidak

berbeda signifikan secara statistik antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12

tahun, tetapi berbeda signifikan pada usia 13 – 18 tahun (p<0,05).

Page 78: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

60

Tabel 4.6. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran

diameter pupil antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan

13 – 18 tahun

Variabel

6 – 12 tahun 13 – 18 tahun

Kelompok

Nilai p

Kelompok

Nilai p SFT

(N=20)

SF

(N=20)

SFT

(N=34)

SF

(N=34)

ΔKekuatan refraksi (D)a

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,48 ± 0,658

+0,25

-0.25 – +2.00

+0,38 ± 0,441

+0,25

-0,25 – +1,25

0,989c

+0,29 ± 0,370

+0,25

-0.25 – +1,25

+0,19 ± 0,316

+0,25

-0,25 – +1,25

0,214c

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,55 ± 0,724

+0,25

-0,25 – +2,25

+0,35 ± 0,483

+0,25

-0,25 – +1,25

0,529 c

+0,36 ± 0,395

+0,25

-0,25 – +1,25

+0,23 ± 0,345

+0,25

-0,25 – +1,25

0,080c

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,63 ± 0,714

+0,25

0,00 – +2,25

+0,43 ± 0,494

+0,38

-0,25 – +1,25

0,461c

+0,36 ± 0,390

+0,25

0,00 – +1,50

+0,32 ± 0,386

+0,25

0,00 – +1,50

0,573c

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

+0,68 ± 0,726

+0,25

0,00 – +2,25

+0,49 ± 0,522

+0,38

0,00 – +1,50

0,461c

+0,40 ± 0,395

+0,25

0,00 – +1,50

+0,32 ± 0,355

+0,25

0,00 – +1,25

0,374c

ΔUkuran diameter pupil (mm)b

Menit ke-20

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

0,92 ± 0,600

0,90

0,0 – 2,4

0,89 ± 0,500

1,00

0,0 – 1,8

0,842d

1,46 ± 0,720

1,45

0,2 – 3,0

1,09 ± 0,668

1,10

0,0 – 2,7

0,031*d

Menit ke-30

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

2,23 ± 0,814

2,05

1,1 – 3,8

1,66 ± 0,621

1,45

0,6 – 2,8

0,017*d

2,43 ± 0,801

2,40

0,9 – 4,1

1,62 ± 0,764

1,60

0,3 – 3,5

0,0001*d

Menit ke-45

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

2,70 ± 0,858

2,45

1,4– 4,5

2,27 ± 0,638

2,30

1,3 – 3,8

0,157c

2,94 ± 0,830

2,95

1,0 – 4,6

2,44 ± 0,827

2,40

0,8 – 4,5

0,015*d

Menit ke-60

- Rerata ± SB

- Median

- Rentang

2,93 ± 0,913

2,65

1,7 – 4,8

2,67 ± 0,680

2,75

1,4 – 4,2

0,602c

3,10 ± 0,864

3,05

1,1 – 4,7

2,83 ± 0,767

2,80

1,0 – 4,6

0,177d

Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aΔ = Nilai selisih spherical equivalent (SE) kekuatan refraksi antara sebelum dan setelah penetesan obat. bΔ = Nilai selisih ukuran diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. cUji Mann-Whitney dUji t tidak berpasangan

*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

Page 79: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

61

Tabel 4.7. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis

antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun

Variabel

6 – 12 tahun 13 – 18 tahun

Kelompok

Nilai p

Kelompok

Nilai p SFT

(N=20)

SF

(N=20)

SFT

(N=34)

SF

(N=34)

Waktu puncak sikloplegik 0,978c 0,856b

Tidak dapat

diidentifikasia

10(50,0%) 10(50,0%) 19(55,9%) 22(64,7%)

Menit ke-20 5(25,0%) 8(40,0%) 14(41,2%) 6(17,6%)

Menit ke-30 2(10,0%) 2(10,0%) 0(0,0%) 1(2,9%)

Menit ke-45 2(10,0%) 0(0,0%) 0(0,0%) 5(14,7%)

Menit ke-60 1(5,0%) 0(0,0%) 1(2,9%) 0(0,0%)

Waktu puncak midriasis 0,329c 0,019*c

Menit ke-20 8(40,0%) 6(30,0%) 19(55,9%) 12(35,3%)

Menit ke-30 12(60,0%) 8(40,0%) 13(38,2%) 11(32,4%)

Menit ke-45 0(0,0%) 4(20,0%) 2(5,9%) 11(32,4%)

Menit ke-60 0(0,0%) 2(10,0%) 0(0,0%) 0(0,0%) Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% aNilai perbedaan SE antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan adalah sebesar ±0,25 D sehingga kategori waktu puncak sikloplegik tidak dapat diidentifikasi. bUji Kolmogorov-Smirnov. cUji Chi-Square

*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.

4.2. Uji Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

4.2.1. Hipotesis 1

Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

Hasil penelitian:

Uji hipotesis dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara perubahan kekuatan refraksi

pada menit ke-60 setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%,

Page 80: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

62

dan fenilefrin 2,5% dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan

fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi (p=0,271).

Kesimpulan:

Hipotesis dapat diterima.

4.2.2. Hipotesis 2

Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat

1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

Hasil penelitian:

Uji hipotesis dengan uji t tidak berpasangan menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara perubahan ukuran diameter

pupil pada menit ke-60 setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid

1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan

fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi (p=0,088).

Kesimpulan:

Hipotesis dapat diterima.

4.2.3. Hipotesis 3

Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.

Page 81: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

63

Hasil penelitian:

Uji hipotesis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara waktu puncak sikloplegik

setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%

dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak

dengan kelainan refraksi (p=1,000).

Kesimpulan:

Hipotesis dapat diterima.

4.2.4. Hipotesis 4

Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.

Hasil penelitian:

Uji hipotesis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan secara statistik antara waktu puncak midriasis setelah

pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%

dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak

dengan kelainan refraksi (p=0,031).

Kesimpulan:

Hipotesis ditolak.

Page 82: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

64

4.3. Pembahasan

Penggunaan agen sikloplegik dalam pemeriksaan refraksi anak penting untuk

dilakukan karena tonus akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa.

Hingga saat ini belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal sehingga sering

digunakan regimen kombinasi. Kombinasi siklopentolat, tropikamid, dan fenilefrin

(SFT) serta kombinasi siklopentolat dan fenilefrin (SF) merupakan regimen

kombinasi yang paling sering digunakan pada pemeriksaan refraksi anak.7,21,23

Penelitian ini membandingkan efek sikloplegik dari kedua regimen kombinasi

tersebut dan didapatkan tidak terdapat perbedaan perubahan kekuatan refraksi yang

signifikan antara keduanya. Analisis lanjutan dilakukan dengan membagi

berdasarkan kategori usia, yaitu 6 – 12 tahun dan 13 – 16 tahun dan didapatkan

hasil yang sama pada masing-masing kategori usia. Zetterström mengatakan

penggunaan dua obat parasimpatolitik dengan golongan yang sama secara

bersamaan tidak diperlukan karena menghambat kerja asetilkolin pada reseptor

yang sama. Tropikamid bekerja sebagai antimuskarinik reseptor M4, M1, dan M2,

sedangkan siklopentolat bekerja sebagai antimuskarinik reseptor M1. Jika

keduanya dikombinasikan, tropikamid dan siklopentolat akan secara kompetitif

menghambat aksi M1, tetapi tropikamid akan menambahkan efek dengan

menghambat M4 dan M2. Pada penelitian ini, regimen SFT memberikan rerata

perubahan kekuatan refraksi 0,13 D lebih besar dibanding SF, namun perbedaan

tersebut tidak signifikan secara statistik. Efek sikloplegik yang dimiliki tropikamid

tidak sekuat siklopentolat sehingga penambahannya dalam regimen kombinasi

tidak memberikan perubahan kekuatan refraksi yang bermakna.7,9,17,18,53

Page 83: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

65

Hasil penelitian ini serupa dengan Sherman dkk. yang menunjukkan regimen

kombinasi SFT dan SF tidak memiliki perbedaan perubahan kekuatan refraksi yang

signifikan, baik pada iris gelap dan terang. Regimen SF pada iris terang

menghasilkan perubahan kekuatan refraksi lebih besar dibanding SFT, dan

sebaliknya pada iris gelap, regimen SFT memberikan perubahan kekuatan refraksi

yang lebih besar dibanding SF, namun perbedaan tersebut tidak signifikan. Yoo

dkk. juga mengevaluasi regimen racikan pabrik yang terdiri dari tropikamid 0,5%

dan fenilefrin 0,5% lalu dikombinasikan dengan siklopentolat 1% dibandingkan

dengan siklopentolat 1% saja. Studi tersebut menunjukkan kedua regimen tidak

memberikan perbedaan efek sikloplegik yang signifikan pada anak hipermetropia

berusia 6 – 14 tahun. Namun, pada anak usia 5 tahun ke bawah terutama dengan

hipermetropia tinggi atau esotropia akomodatif, regimen siklopentolat saja

memberikan efek sikloplegik yang lebih kuat dibandingkan kombinasi

siklopentolat dengan tropikamid dan fenilefrin.7,11

Hal ini berbeda dengan studi Ebri dkk. yang dilakukan pada anak berusia 4 –

15 tahun di Nigeria. Kombinasi siklopentolat 1% dan tropikamid 0,5% dikatakan

memberikan efek sikloplegik yang lebih kuat dibandingkan siklopentolat 1% saja.

Hasil studi tersebut berbeda dengan penelitian ini dan dapat disebabkan oleh

perbedaan karakteristik dari masing-masing sampel penelitian. Studi tersebut

melibatkan ras Afrika dengan pigmentasi yang lebih gelap. Pigmentasi iris

merupakan faktor yang mempengaruhi efek yang dihasilkan oleh agen sikloplegik.

Wakamatsu dkk menunjukkan pigmentasi kulit sebanding dengan melanin iris.

Melanosit pada iris gelap mengandung jumlah melanin yang lebih banyak. Semakin

Page 84: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

66

banyak jumlah melanin iris, maka semakin banyak substansi obat yang berikatan

dengan pigmen iris sehingga substansi obat yang bebas berikatan dengan reseptor

di siliar akan semakin sedikit dan efek yang dihasilkan lebih rendah. Selain itu,

siklopentolat sendiri memiliki ikatan yang lebih kuat dengan pigmen melanin,

sedangkan tropikamid memiliki ikatan yang lemah, sehingga efektivitas

siklopentolat lebih rendah pada iris gelap, tetapi bertahan lebih lama dibanding

dengan iris terang.7,10,12–18,52

Penelitian ini juga membandingkan efek midriasis dari regimen kombinasi SFT

dan SF. Dilatasi pupil yang adekuat diperlukan untuk memudahkan penilaian

refleks retinoskop dan evaluasi segmen posterior dalam penegakan diagnosis

ambliopia. Dilatasi pupil seringkali digunakan sebagai parameter dalam

pemeriksaan refraksi sikloplegik. Kebanyakan optometris atau oftalmologis

menunggu sampai pupil berdilatasi penuh atau tidak responsif terhadap cahaya

untuk melakukan pemeriksaan refraksi sikloplegik.7–9,12,14,20

Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata perubahan ukuran

diameter pupil yang signifikan antara regimen kombinasi SFT dan SF, walaupun

pada pertengahan penelitian, yaitu menit ke-30 dan 45 sempat berbeda. Regimen

SFT memberikan ukuran diameter pupil 0,72 mm lebih besar dibanding SF pada

menit ke-30, dan 0,47 mm lebih besar pada menit ke-45. Tropikamid memiliki

penetrasi melalui epitel kornea lebih baik dibanding siklopentolat sehingga pada

regimen SFT, tropikamid memberikan efek midriasis yang lebih cepat.17,18

Page 85: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

67

Sherman dkk. menunjukkan regimen SFT memberikan ukuran pupil yang

berbeda signifikan dibandingkan SF pada subjek dengan iris gelap, yaitu 0,39 mm

lebih besar, tetapi studi tersebut melakukan pengukuran setelah penetesan obat

hanya sebanyak 1 kali, yaitu pada menit ke-30. Studi Ebri dkk menunjukkan

regimen siklopentolat ditambah tropikamid memberikan proporsi mata dengan

ukuran diameter pupil ≥6 mm lebih banyak dibanding siklopentolat saja pada 30

menit setelah penetesan obat di mana perbedaan tersebut signifikan secara statistik.

Kedua penelitian tersebut serupa dengan penelitian ini yang juga berbeda signifikan

pada menit ke-30. Analisis lanjutan dilakukan berdasarkan kategori usia dan

menunjukkan hasil yang sama, baik pada usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18

tahun.7,59

Beberapa agen sikloplegik memiliki onset sikloplegik yang tidak sebanding

dengan onset midriasisnya. Waktu untuk mencapai sikloplegik dan midriasis

maksimal juga berbeda sehingga menggunakan ukuran pupil sebagai parameter

memulai pemeriksaan sikloplegik merupakan hal yang kurang tepat. Kondisi

tersebut dapat mengakibatkan waktu tunggu yang lama jika efek sikloplegik

maksimal telah tercapai sebelum dilatasi pupil maksimal, atau kesalahan dalam

pengukuran refraksi bila efek sikloplegik belum adekuat saat pupil berdilatasi

maksimal.7–9,12,14,20

Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik

yang signifikan antara kedua regimen. Analisis lanjutan berdasarkan kategori usia

memberikan hasil yang sama pada usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18 tahun.

Sebanyak 53,7% kelompok SFT dan 59,3% kelompok SF tidak dapat diidentifikasi

Page 86: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

68

waktu puncak sikloplegiknya karena memiliki perubahan kekuatan refraksi antara

sebelum dan setelah penetesan hanya sebesar +/- 0,25D. Data waktu puncak

sikloplegik selanjutnya dihitung dalam persentase kumulatif dan dianalisis untuk

menentukan waktu puncak sikloplegiknya. Waktu puncak sikloplegik pada

sebagian besar kelompok SFT dan SF tercapai dalam 45 menit setelah penetesan.

Beberapa studi sebelumnya juga mengevaluasi waktu puncak sikloplegik dari

berbagai regimen agen sikloplegik. Lin dkk. mengevaluasi regimen 1 – 2 tetes

siklopentolat 1% dengan 2 tetes tropikamid 1% pada anak-anak Taiwan dengan

miopia dan didapatkan waktu puncak sikloplegik siklopentolat terjadi setelah 45

menit, sedangkan waktu puncak tropikamid tercapai setelah 30 menit. Kleinstein

dkk. memberikan kombinasi 1 tetes siklopentolat 1% ditambah 1 tetes tropikamid

1% pada anak Afrika-Amerika dan didapatkan waktu puncak sikloplegik tercapai

pada 30 menit setelah penetesan. Laojaroenwanit dkk. mengevaluasi waktu puncak

sikloplegik dari 3 tetes siklopentolat 1% pada anak-anak Thailand dan

menunjukkan waktu puncak sikloplegik tercapai setelah 30 menit penetesan obat

dan lebih lama pada subjek dengan miopia, yaitu setelah 50 menit. Studi tersebut

sebanding dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan waktu puncak sikloplegik

pada regimen SFT dan ST adalah sebesar 45 menit dengan sebagian besar subjek

merupakan miopia. Terdapat 2 mata pada kelompok SF dengan hipermetropia

simpleks, 1 mata pada kelompok SFT dengan astigmatisme hipermetropia

simpleks, dan 3 mata pada kelompok SFT dengan astigmatisme hipermetropia

kompositus. Tiga mata dari kelompok SFT mencapai waktu puncak sikloplegik

pada menit ke-20, 1 mata dari kelompok SFT pada menit ke-30, sedangkan 2 mata

Page 87: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

69

dengan hipermetropia ringan dari kelompok SF tidak dapat diidentifikasi waktu

puncak sikloplegiknya karena perubahan kekuatan refraksi yang kecil.8,52,60

Status kelainan refraksi mempengaruhi kemampuan akomodasi. Mata dengan

miopia memiliki accommodation lag yang lebih besar, sedangkan mata dengan

hipermetropia memiliki refleks akomodatif yang lebih kuat. Mata dengan

hipermetropia, terutama pada subjek usia muda, lebih sering menggunakan

kemampuan akomodasinya secara terus-menerus untuk penglihatan jauh dan dekat

dibanding emetropia dan miopia. Penggunaan akomodasi yang sering tersebut

menyebabkan kemampuan akomodasi menjadi lebih berkembang. Penelitian lebih

lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi waktu puncak sikloplegik pada anak dengan

kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama dengan hipermetropia tinggi atau

strabismus akomodatif.38,39,41

Hasil yang berbeda ditemukan pada waktu puncak midriasis yang menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua regimen. Efek

midriasis yang dihasilkan oleh regimen SFT terjadi lebih cepat dibandingkan SF. Hal

ini menyebabkan perbedaan perubahan ukuran diameter pupil yang signifikan antara

kedua regimen pada awal pengukuran, yaitu menit ke-30 dan 45. Ukuran 7,0 mm

dijadikan sebagai nilai batas dalam menentukan waktu puncak midriasis karena

merupakan diameter ideal untuk pemeriksaan funduskopik. Sebanyak 96% dari

kelompok SFT mencapai waktu puncak midriasis pada 30 menit setelah penetesan

obat, sedangkan hanya sebesar 71% dari kelompok SF yang mencapai waktu puncak

pada menit yang sama. Meskipun demikian, pada 45 menit setelah penetesan,

keseluruhan subjek pada kelompok SFT dan SF telah memiliki diameter pupil ≥7,0

Page 88: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

70

mm. Anderson dkk. mengevaluasi efek midriasis antara kombinasi tropikamid 1%

dan fenilefrin 2,5% (TF) dibandingkan dengan kombinasi tropikamid 1% dan

siklopentolat 1% (TS) pada subjek usia 4 – 32 tahun dengan iris gelap. Studi tersebut

menunjukkan nilai median dari waktu untuk mencapai ukuran diameter pupil 7 mm

adalah 32 menit pada regimen TF dan 52 menit pada TS , namun kelompok usia lebih

muda menunjukan waktu yang lebih lama.7,25

Penggunaan berbagai macam kombinasi obat yang banyak dapat meningkatkan

risiko efek samping serta biaya operasional. Banyaknya jumlah penetesan obat juga

dapat memberikan pengalaman yang traumatis bagi pasien akibat rasa perih dan

terbakar yang ditimbulkan. Pasien anak menjadi tidak nyaman dan kurang

kooperatif untuk pemeriksaan selanjutnya sehingga waktu pelayanan menjadi lebih

lama. Regimen agen sikloplegik yang digunakan di Unit Pediatrik Oftalmologi

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk anak berusia di

atas 1 tahun adalah kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin

10%. Regimen obat tersebut saat ini diberikan secara bergantian tiap 10 – 15 menit

hingga 4 – 5 kali pemberian dengan pola penetesan yang belum seragam.

Pemeriksaan refraksi sikloplegik juga dilakukan setelah menunggu pupil berdilatasi

maksimal dan tidak berespon terhadap cahaya. Hal tersebut turut memperpanjang

waktu pelayanan pasien karena tidak diketahui onset maksimal dari efek sikloplegik

dan midriasis regimen obat.7,15,21,23

Berdasarkan hasil penelitian ini, tropikamid dapat dihilangkan dari regimen SFT

dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik pada anak. Penambahan tropikamid dalam

regimen SFT tidak memberikan efek sikloplegik yang berbeda secara signifikan

Page 89: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

71

meskipun efek midriasis yang dihasilkan muncul lebih cepat. Regimen kombinasi

obat yang melibatkan fenilefrin 2,5% juga telah adekuat dalam memberikan efek

midriasis yang maksimal sehingga penggunaan konsentrasi 10% dianggap tidak

diperlukan. Penggunaan fenilefrin dengan konsentrasi tinggi memiliki risiko

munculnya efek samping sistemik, seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah,

terutama pada anak dan lansia. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya efek

samping okular dan sistemik yang muncul setelah penetesan obat.24,61

Regimen SF yang terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1% diikuti 1 tetes fenilefrin

2,5% dengan interval 5 menit cukup adekuat untuk pemeriksaan refraksi sikloplegik

pada anak. Pemeriksaan dapat dilakukan pada 45 menit setelah pemberian regimen

tetes pertama. Pasien anak dapat merasa lebih nyaman karena tidak dilakukan

penetesan obat berulang kali. Waktu pelayanan juga menjadi lebih efektif karena

telah diketahui lebih jelas mengenai waktu pemeriksaan refraksi setelah penetesan

obat. Meskipun demikian, terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu status

kelainan refraksi yang sebagian besar melibatkan mata dengan miopia sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas regimen kombinasi pada

anak dengan status kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama hipermetropia

tinggi dan strabismus akomodatif.

Page 90: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

72

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

2. Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat

1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah

kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan

refraksi.

3. Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi

siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.

4. Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,

tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% berbeda secara bermakna dibandingkan

dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan

kelainan refraksi.

Page 91: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

73

5.2. Saran

Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi standar operasional mengenai

pola penetesan, regimen, dan konsentrasi agen sikloplegik untuk anak dengan

kelainan refraksi di Unit Pediatrik Oftalmologi PMN RS Mata Cicendo. Penelitian

serupa juga dapat direncanakan dengan melibatkan subjek dengan usia lebih muda

atau status kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama dengan hipermetropia

tinggi dan strabismus akomodatif. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk

menilai efektivitas regimen kombinasi obat apabila diracik sebagai satu sediaan.

Page 92: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

74

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World report on vision. Switzerland; 2019.

2. Dhanesha U, Polack S, Bastawrous A, Banks LM. Prevalence and causes of

visual impairment among schoolchildren in Mekelle, Ethiopia. Cogent Med.

2018;5:1554832.

3. Harrington SC, Stack J, Saunders K, O’Dwyer V. Refractive error and visual

impairment in Ireland schoolchildren. Br J Ophthalmol. 2019;103(8):1112–8.

4. Halim A, Suganda R, Sirait NS, Memed KF, Syumarti, Rini M, et al. Prevalence

and associated factors of uncorrected refractive errors among school children in

suburban areas in Bandung, Indonesia. Cogent Med. 2020;7(1):1737354.

5. Mahayana IT, Indrawati SG, Pawiroranu S. The prevalence of uncorrected

refractive error in urban, suburban, exurban and rural primary school children

in Indonesian population. Int J Ophthalmol. 2017;10(11):1771–6.

6. Nikmah ST, Rifada RM, Santoso PTR. Refractive errors in state junior high

school students in Bandung. Althea Med J. 2016;3(4):545–8.

7. Sherman AE, Shaw MM, Ralay-Ranaivo H, Rahmani B. Tropicamide has

limited clinical effect on cycloplegia and mydriasis when combined with

cyclopentolate and phenylephrine. J AAPOS. 2019;2.e1-30.e5.

8. Laojaroenwanit S, Layanun V, Praneeprachachon P, Pukrushpan P. Time of

maximum cycloplegia after instillation of cyclopentolate 1% in children with

brown irises. Clin Ophthalmol. 2016;10:897–902.

9. Kyei S, Nketsiah AA, Asiedu K, Awuah A, Owusu-Ansah A. Onset and

duration of cycloplegic action of 1% cyclopentolate – 1% tropicamide

combination. Afr Health Sci. 2017;17(3):923–32.

10. Yazdani N, Sadeghi R, Momeni-Moghaddam H, Zarifmahmoudi L, Ehsaei A.

Comparison of cyclopentolate versus tropicamide cycloplegia: A systematic

review and meta-analysis. J Optom. 2018;11:135–43.

11. Yoo SG, Cho MJ, Kim US, Baek S-H. Cycloplegic refraction in hyperopic

children: Effectiveness of a 0.5% tropicamide and 0.5% phenylephrine addition

to 1% cyclopentolate regimen. Korean J Ophthalmol. 2017;31(3):249.

12. Pi LH, Zhao JL, Liu Q, Chen L, Fang J, Ke N, et al. Comparison of cycloplegic

retinoscopy using cyclopentolate or tropicamide eye drops in an epidemiologic

study of pediatric refraction among 1907 school-aged children. Sci Res Essays.

2011;6(3):635–40.

13. Bagheri A, Givrad S, Yazdani S, Mohebbi MR. Optimal dosage of

cyclopentolate 1% for complete cycloplegia: A randomized clinical trial. Eur J

Ophthalmol. 2007;17(3):294–300.

14. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Eye Evaluations Preferred

Practice Pattern®. Elsevier Inc.; 2017. p.185–227

Page 93: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

75

15. Fan DSP, Rao SK, Ng JSK, Yu CBO, Lam DSC. Comparative study on the

safety and efficacy of different cycloplegic agents in children with darkly

pigmented irides. Clin Exp Ophthalmol. 2004;32:462–7.

16. Minderhout HM, Joosse M V, Grootendorst DC, Schalij-Delfos NE. A

randomized clinical trial using atropine, cyclopentolate, and tropicamide to

compare refractive outcome in hypermetropic children with a dark iris; skin

pigmentation and crying as significant factors for hypermetropic outcome.

Strabismus. 2019;27(3):127–38.

17. Frazier M, Jaanus SD. Cycloplegics. In: Bartlett JD, Jaanus SD, editors. Clinical

ocular pharmacology. 5th ed. Missouri, USA: Elsevier; 2008. p. 124–38.

18. Gupra SK. Mydriatics and cycloplegics. In: Gupra SK, Agarwal R, Srivastava

S, editors. Textbook on clinical ocular pharmacology and therapeutics. New

Delhi, India: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2014. p. 87–95

19. Chng O, Jones N, Kian K, Ming K, Kee S. Is tropicamide a more effective

cycloplegic than cyclopentolate in children with dark irides? Aust Orthopt J.

2005;38:2–4.

20. Llewellyn S, Khandelwal P, Glaze S, Thomas P, Dahlmann-Noor A. Time to

drop the phenylephrine from the paediatric cycloplegia protocol: informing

practice through audit. Eye. 2019;33:337–8.

21. Patel AJ, Simon JW, Hodgetts DJ. Cycloplegic and mydriatic agents for routine

ophthalmologic examination: A survey of pediatric ophthalmologists. J

AAPOS. 2004;8:274–7.

22. Wren VQ, Krumholz DM, Portello JK, Rosenfield M, Rosenbaum JD. The

Effectiveness of cycloplegia and pupillary dilation with cyclopentolate,

tropicamide, and phenylephrine in a single combination solution. Optom Vis

Sci. 2000;77:129.

23. Sujuan JL, Handa S, Perera C, Chia A. The psychological impact of eyedrops

administration in children. J AAPOS. 2015;19:338–43.

24. Esteve-Taboada JJ, Del Águila-Carrasco AJ, Bernal-Molina P, Ferrer-Blasco T,

López-Gil N, Montés-Micó R. Effect of phenylephrine on the accommodative

system. J Ophthalmol. 2016;7968918.

25. Anderson HA, Bertrand KC, Manny RE, Hu YS, Fern KD. A Comparison of

two drug combinations for dilating dark irides. Optom Vis Sci. 2010;87(2):120–

4.

26. Skalicky SE. Ocular and visual physiology. Sydney, Australia: Springer; 2016.

p.58–60, 67–69, 85–96.

27. Remington LA. Clinical anatomy and physiology of the visual system. 3rd ed.

Vol. 53. Elsevier; 2012. p.1689–1699.

28. Szczepanowska-Nowak W, HachoŁ A, Kasprzak H. System for measurement

of the consensual pupil light reflex. Opt Appl. 2004;34(4):619–34.

29. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia, USA: Saunders

Elsevier; 2014.

Page 94: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

76

30. Hall CA, Chilcott RP. Eyeing up the future of the pupillary light reflex in

neurodiagnostics. Diagnostics. 2018;8(19).

31. Netter FH. Netter’s cranial nerve collection. Philadelphia, USA: Elsevier; 2016.

32. Park JH, Lee YC, Lee SY. The comparison of mydriatic effect between two

drugs of different mechanism. Korean J Ophthalmol. 2009;23(1):40–2.

33. Ciuffreda KJ. Accommodation, the pupil, and presbyopia. In: Benjamin WJ,

editor. Borish’s clinical refraction. 2nd ed. Missouri, USA: Elsevier; 2006. p.

93–144.

34. Rosenfield M. Development of accommodation in human infants. In: Duckman

RH, editor. Visual development, diagnosis, and treatment of the pediatric

patients. Philadelphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 110–23.

35. Maheshwari R, Sukul RR, Gupta Y, Gupta M, Phougat A, Dey M, et al.

Accommodation: its relation to refractive errors, amblyopia and biometric

parameters. Nepal J Ophthalmol. 2011;3(2):146–50.

36. Od MBT, Shallo-hoffmann J. A Comparison of three clinical tests of

accommodation amplitude to Hofstetter’s Norms to guide diagnosis and

treatment. Optom Vis Dev. 2012;43(4):180–90.

37. American Academy of Ophthalmology. Clinical optics. San Fransisco, USA;

2019.

38. Hashemi H, Pakbin M, Ali B, Yekta A, Ostadimoghaddam H, Asharlous A, et

al. Near points of convergence and accommodation in a population of university

students in Iran. J Ophthalmic Vis Res. 2019;14(3):306–14.

39. Chen Y, Drobe B, Zhang C, Singh N, Spiegel DP, Chen H, et al.

Accommodation is unrelated to myopia progression in Chinese myopic

children. Sci Rep. 2020;10(1):1–8.

40. Schultz KE, Sinnott LT, Mutti DO, Bailey MD. Ciliary body thickness in

children. Optom Vis Sci. 2009;86(6):677–84.

41. Mutti DO, Jones LA, Moeschberger ML, Zadnik K. AC/A ratio, age, and

refractive error in children. Investig Ophthalmol Vis Sci. 2000;41(9):2469–78.

42. Toor S, Horwood A, Riddell P. The effect of asymmetrical accommodation on

anisometropic amblyopia treatment outcomes. J AAPOS. 2019;23(4):203.e1-

203.e5.

43. Toor S, Horwood AM, Riddell P. Asymmetrical accommodation in hyperopic

anisometropic amblyopia. Br J Ophthalmol. 2018;102(6):772–8.

44. Marran L, Schor CM. Binocular accommodation. In: Franzen O, Stark L,

Richter H, editors. Accommodation and vergence mechanisms in the visual

system. Springer; 2000. p. 245–56.

45. Manh V, Chen AM, Tarczy-Hornoch K, Cotter SA, Candy TR. Accommodative

performance of children with unilateral amblyopia. Investig Ophthalmol Vis

Sci. 2015;56:1193–207.

46. Minderhout HM, Joosse M V, Grootendorst DC, Schalij-Delfos NE. Adverse

reactions following routine anticholinergic eye drops in a paediatric population:

An observational cohort study. BMJ Open. 2015;5:e008798.

Page 95: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

77

47. Bourne RRA, Flaxman SR, Braithwaite T, Cicinelli M V., Das A, Jonas JB, et

al. Magnitude, temporal trends, and projections of the global prevalence of

blindness and distance and near vision impairment: a systematic review and

meta-analysis. Lancet Glob Heal. 2017;5(9):e888–97.

48. Portello JK. Mydriatics and mydriolytics. In: Bartlett JD, Jaanus SD, editors.

Clinical ocular pharmacology. 5th ed. Missouri, USA: Elsevier; 2008. p. 112–

23.

49. Tanner V, Casswell AG. A comparative study of the efficacy of 2.5%

phenylephrine and 10% phenylephrine in pre-operative mydriasis for routine

cataract surgery. Eye. 1996 Jan;10(1):95–8.

50. Lim J, Chia A, Saffari SE, Handa S. Factors affecting pupil reactivity after

cycloplegia in Asian children. Asia-Pacific J Ophthalmol. 2019;8(4):304–7.

51. Suwan-Apichon O, Ratanapakorn T, Panjaphongse R, Sinawat S, Sanguansak

T, Yospaiboon Y. 2.5% and 10% phenylephrine for mydriasis in diabetic

patients with darkly pigmented irides. J Med Assoc Thail. 2010 Apr;93(4):467–

73.

52. Kleinstein RN, Mutti DO, Manny RE, Shin JA, Zadnik K. Cycloplegia in

African-American children. Vol. 76, Optometry and Vision Science. 1999. p.

102–7.

53. Zetterström C. A cross‐over study of the cycloplegic effects of a single topical

application of cyclopentolate‐phenylephrine and routine atropinisation for 3.5

days. Acta Ophthalmol. 1985;63(5):525–9.

54. Fredrick DR. Myopia. BMJ. 2002;324:1196–9.

55. Dahlan MS. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian

kedokteran dan kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika; 2010.

56. Madiyono B, Mz SM, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan

besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi

penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2008. h. 302–31.

57. Harun SR, Putra ST, Chair I, Sastroasmoro S. Uji klinis. Dalam: Sastroasmoro

S, Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta:

CV. Sagung Seto; 2008. h. 166–92.

58. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba

Medika; 2011.

59. Ebri A, Kuper H, Wedner S. Cost-effectiveness of cycloplegic agents: Results

of a randomized controlled trial in Nigerian children. Investig Ophthalmol Vis

Sci. 2007;48(3):1025–31.

60. Lin LLK, Shih YF, Hsiao CH, Su TC, Chen CJ, Hung PT. The cycloplegic

effects of cyclopentolate and tropicamide on myopic children. J Ocul Pharmacol

Ther. 1998;14(4):331–5.

Page 96: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

78

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik ............................................................................79

Lampiran 2 Lembar Informasi dan Persetujuan (Informed Consent) ..............80

Lampiran 3 Data Hasil Penelitian .....................................................................84

Lampiran 4 Analisis Statistik............................................................................90

Lampiran 5 Daftar Riwayat Hidup ................................................................ 102

Page 97: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

79

Lampiran 1

Page 98: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

80

Lampiran 2

Page 99: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

81

Page 100: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

82

Page 101: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

83

Page 102: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

84

Page 103: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

85

Page 104: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

86

Page 105: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

87

Page 106: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

88

Page 107: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

89

Page 108: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

90

Lampiran 4

ANALISIS STATISTIK

Uji Homogenitas Karakteristik Subjek Penelitian

antara Kelompok SFT Dan SF

Jenis Kelamin

Usia

Page 109: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

91

Kategori Usia

Page 110: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

92

Status Kelainan Refraksi

Kekuatan Refraksi dan Diameter Pupil

Page 111: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

93

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence

Interval of the Difference

Lower Upper

DiameterPupil Equal variances assumed

.156 .693 .068 106 .946 .0093 .1355 -.2593 .2778

Equal variances not assumed

.068 105.229 .946 .0093 .1355 -.2593 .2779

Page 112: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

94

Tabel Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil

pada Menit ke-20, 30, 45, dan 60

Kelompok SFT Statistics

Kekuatan

Refraksi

Menit 20

Kekuatan

Refraksi

Menit 30

Kekuatan

Refraksi

Menit 45

Kekuatan

Refraksi

Menit 60

Diameter

Pupil

Menit 20

Diameter

Pupil Menit

30

Diameter

Pupil

Menit 45

Diameter

Pupil

Menit 60

N Valid 54 54 54 54 54 54 54 54

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean -2.6204 -2.5463 -2.5185 -2.4769 6.869 7.967 8.461 8.650

Median -2.3750 -2.3750 -2.3750 -2.2500 6.950 8.150 8.600 8.750

Std. Deviation 2.24225 2.26388 2.20679 2.23779 .7684 .5474 .5360 .5333

Minimum -6.75 -7.00 -6.75 -7.00 4.9 6.6 7.0 7.1

Maximum 2.00 2.00 2.00 2.00 8.0 8.7 9.3 9.6

Kelompok SF Statistics

Kekuatan

Refraksi

Menit 20

Kekuatan

Refraksi

Menit 30

Kekuatan

Refraksi

Menit 45

Kekuatan

Refraksi

Menit 60

Diameter

Pupil

Menit 20

Diameter

Pupil Menit

30

Diameter

Pupil

Menit45

Diameter

Pupil

Menit60

N Valid 54 54 54 54 54 54 54 54

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean -2.3102 -2.2917 -2.2083 -2.1852 6.613 7.237 7.980 8.372

Median -2.1250 -2.1250 -2.0000 -2.0000 6.650 7.300 8.000 8.400

Std. Deviation 2.25180 2.21527 2.24015 2.25559 .6898 .6634 .5427 .4672

Minimum -7.00 -7.00 -6.75 -6.50 4.8 5.9 6.9 7.1

Maximum 1.00 .75 1.00 1.00 8.0 8.4 9.1 9.2

Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan

Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT Dan SF

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

PerbedaanKekuatanRef

20

SFT .251 54 .000 .823 54 .000

SF .264 54 .000 .856 54 .000

PerbedaanKekuatanRef

30

SFT .260 54 .000 .852 54 .000

SF .227 54 .000 .879 54 .000

PerbedaanKekuatanRef

45

SFT .261 54 .000 .782 54 .000

SF .246 54 .000 .861 54 .000

PerbedaanKekuatanRef

60

SFT .222 54 .000 .816 54 .000

SF .212 54 .000 .820 54 .000

PerbedaanDiameterPupil

20

SFT .121 54 .048 .969 54 .166

SF .101 54 .200* .966 54 .133

PerbedaanDiameterPupil

30

SFT .088 54 .200* .979 54 .478

SF .096 54 .200* .976 54 .342

PerbedaanDiameterPupil

45

SFT .114 54 .078 .967 54 .135

SF .062 54 .200* .986 54 .786

PerbedaanDiameterPupil

60

SFT .113 54 .082 .961 54 .076

SF .070 54 .200* .992 54 .982

*. This is a lower bound of the true significance.

a. Lilliefors Significance Correction

Page 113: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

95

Page 114: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

96

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Differe

nce

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

PerbedaanDiameter Pupil30

Equal variances assumed

.694 .407 4.937 106 .000 .7204 .1459 .4311 1.0097

Equal variances not assumed

4.937 104.338 .000 .7204 .1459 .4310 1.0097

PerbedaanDiameterPupil45

Equal variances assumed

1.078 .302 3.061 106 .003 .4722 .1543 .1664 .7781

Equal variances not assumed

3.061 104.953 .003 .4722 .1543 .1663 .7781

PerbedaanDiameter Pupil60

Equal variances assumed

2.896 .092 1.725 106 .088 .2685 .1557 -.0402 .5772

Equal variances not assumed

1.725 102.762 .088 .2685 .1557 -.0403 .5773

Tabel Analisis Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik

dan Waktu Puncak Midriasis antara Kelompok SFT dan SF

Page 115: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

97

Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan

Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT dan SF

pada Usia 6 – 12 Tahun

Page 116: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

98

Test Statisticsa

Perbedaan

Kekuatan

Ref 20

Perbedaan

Kekuatan

Ref 30

Perbedaan

Kekuatan

Ref 45

Perbedaan

Kekuatan

Ref 60

Perbedaan

Diameter

Pupil 45

Perbedaan

Diameter

Pupil 60

Mann-Whitney U 199.000 176.000 172.000 172.000 147.000 180.500

Wilcoxon W 409.000 386.000 382.000 382.000 357.000 390.500

Z -.028 -.658 -.770 -.775 -1.437 -.529

Asymp. Sig. (2-tailed) .978 .511 .441 .439 .151 .597

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .989b .529b .461b .461b .157b .602b

a. Grouping Variable: Kelompok

b. Not corrected for ties.

Page 117: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

99

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

PerbedaanDiameter Pupil20

Equal variances assumed

.100 .753 .200 38 .842 .0350 .1748 -.3190 .3890

Equal variances not assumed

.200 36.813 .842 .0350 .1748 -.3193 .3893

PerbedaanDiameter Pupil30

Equal variances assumed

1.974 .168 2.488 38 .017 .5700 .2291 .1062 1.0338

Equal variances not assumed

2.488 35.540 .018 .5700 .2291 .1051 1.0349

Page 118: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

100

Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan

Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT dan SF

pada Usia 13 – 18 Tahun

Page 119: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

101

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper

PerbedaanDiameter Pupil20

Equal variances assumed

.110 .741 2.199 66 .031 .3706 .1685 .0341 .7071

Equal variances not assumed

2.199 65.634 .031 .3706 .1685 .0341 .7071

PerbedaanDiameter Pupil30

Equal variances assumed

.017 .895 4.261 66 .000 .8088 .1898 .4298 1.1878

Equal variances not assumed

4.261 65.853 .000 .8088 .1898 .4298 1.1879

PerbedaanDiameter Pupil45

Equal variances assumed

.006 .936 2.489 66 .015 .5000 .2009 .0989 .9011

Equal variances not assumed

2.489 65.999 .015 .5000 .2009 .0989 .9011

PerbedaanDiameter Pupil60

Equal variances assumed

.709 .403 1.366 66 .177 .2706 .1981 -.1249 .6661

Equal variances not assumed

1.366 65.080 .177 .2706 .1981 -.1250 .6662

Page 120: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

102

Lampiran 5

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fany Gunawan

Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 25 Juli 1990

Alamat : Kopo Permai 1 Blok O no. 19, Bandung 40227

The Gardens Blok A1 no 17, Cirebon

Nama Orang Tua : Chandra Gunawan, B.Sc

Tjatjan Suharti

Nama Suami : Herman, dr., SpM

Nama Anak : Albert Pradipta Chandra

Riwayat Pendidikan Formal

1. SD Mardi Yuana, Cibadak, Sukabumi (1995 – 2000)

2. SD Maria Bintang Laut, Bandung (2000 – 2001)

3. SMP Waringin, Bandung (2001 – 2004)

4. SMA Trinitas, Bandung (2004 – 2007)

5. Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Maranatha, Bandung (2007 – 2011)

6. Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Maranatha, Bandung (2011 – 2012)

7. Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2017 – 2021)

Page 121: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

103

Riwayat Pekerjaan

1. Staf pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar “Medicuss” Bandung (2013)

2. Dokter internship, RST Ciremai, Cirebon dan Puskesmas Kalijaga

(2013 – 2014)

3. Dokter umum, RS Kebonjati, Bandung (2014 – 2015)

4. Dokter umum, Klinik Pratama Luhur Medica Center, Bandung (2014 – 2015)

5. Dokter umum, PT. Delapan Empat Sakti, Ketapang, Bandung (2014)

6. Dokter umum, RS Immanuel, Bandung (2015)

7. Dokter umum, Klinik Mitra Medika, Dayeuhkolot, Bandung (2015)

8. Dokter PTT, RS Fatima, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (2015 – 2017)

Pengalaman Organisasi

1. Bendahara II Asian Medical Students’ Association (AMSA) Fakultas

Kedokteran Universitas Kristen Maranatha (FK UKM) (2008 – 2009)

2. Anggota Divisi Konsumsi Musyawarah Nasional (Munas) XXIII AMSA,

Bandung (2008)

3. Sekretaris I AMSA FK UKM (2009 – 2010)

4. Perwakilan Universitas Kristen Maranatha dalam Munas AMSA XXIV di

Unika Atmajaya, Jakarta (2009)

5. Anggota Divisi Medis kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru UKM (2009)

6. Panitia simposium “Continuing Professional Development I” di Hotel Horison,

Bandung (2009)

7. Sekretaris I Komisi Pemilihan Umum (KPU) SEMA FK UKM (2010)

Page 122: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

104

8. Anggota Divisi Acara Cicendo International Ophthalmology Meeting, Bandung

(2019)

Penelitian/Penulisan Karya Ilmiah

1. Efek Antidiare Infusa Kulit Buah Rambutan (Nephelium lappaceium L.) pada

Mencit Swiss Webster Jantan (2010)

2. Kesadaran, Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Glaukoma pada

Kelompok Usia di Atas 50 tahun di Kecamatan Tempuran, Kabupaten

Karawang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia (2018)

3. Surgically Induced Necrotizing Scleritis setelah Eksisi Pterygium Metode Bare

Sclera, dimuat dalam Oftalmologica Indonesiana 2020 vol. 46 no. 2 (Agustus

2020)

4. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis antara Kombinasi Siklopentolat

1% dan Fenilefrin 2,5% Dengan dan Tanpa Tropikamid 1% pada Anak dengan

Kelainan Refraksi (2021)

Presentasi Ilmiah

1. Surgically Induced Necrotizing Scleritis After Pterygium Excision with Bare

Sclera Technique

Presentasi poster pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERDAMI ke-44,

Makassar (2019)

Page 123: PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA

105

2. Post-Traumatic Multiple Cranial Nerve Palsies Due to Cerebral Venous Sinus

Thrombosis

Presentasi poster pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERDAMI ke-44,

Makassar (2019)

3. Awareness and Knowledge About Glaucoma, Attitude and Behaviour to

Glaucoma Screening in Tempuran, Karawang District, West Java, Indonesia

Presentasi oral pada PERDAMI Virtual Scientific Meeting (PVSM) 2020

Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah Nasional dan Internasional

2016 Peserta Kongres Nasional (KONAS) ke-14/Pertemuan Ilmiah Tahunan

(PIT) PERDAMI ke-41, Jakarta

2019 Panitia dan Peserta Cicendo International Ophthalmology Meeting (CIOM)

Peserta Kongres Nasional (KONAS) ke-15/Pertemuan Ilmiah Tahunan

(PIT) PERDAMI ke-44, Makassar

2020 Peserta PERDAMI Virtual Scientific Meeting (PVSM) 2020

Peserta Didactic Course INAVRS: Laser Treatment in Retinal Disease,

PVSM 2020

2020 Peserta Didactic Course INOIIS: Surgical Approach of Corneal Disease,

PVSM 2020

Peserta Didactic Course INASOPRS: Superior Blepharoplasty, PVSM

2020