Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENOLAKAN
DAN PENERIMAAN PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA DENGAN NO
068/Pdt.P/2017/PA.Sal.DAN N0 040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Agus Alwi
NIM: 21211007
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
ii
iii
PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENOLAKAN
DAN PENERIMAAN PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA DENGAN NO
068/Pdt.P/2017/PA.Sal.DAN N0 040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Agus Alwi
NIM: 21211007
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
iv
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (Empat) Eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan,
Arahan dan koreksi, maka Naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Agus Alwi
NIM : 21211007
Judul :PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP
PENOLAKAN DAN PENERIMAAN PENGAJUAN
STATUS ANAK KANDUNG DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA DENGAN NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. DAN N0
040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salatiga, 14 Agustus 2018
Pembimbing,
Prof. Dr. H.Muh. Zuhri, M.A.
NIP. 196102101987031006
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Agus Alwi
NIM : 21211007
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam)
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi :PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP
PENOLAKAN DAN PENERIMAAN PENGAJUAN
STATUS ANAK KANDUNG DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA DENGAN NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. DAN
N0 040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam
skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 14 agustus 2018
Yang menyatakan
Agus Alwi
21211007
vi
KEMENTRIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH JL. Nakula Sadewa V No. 9 Telp. (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722
Website : www.iainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENOLAKAN DAN
PENERIMAAN PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA DENGAN NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.DAN N0
040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
Oleh:
Agus Alwi
21211007
Telah dipertahankan di depan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam (IAIN) Salatiga, pada tanggal hari Senin tanggal 3 September 2018 dan
telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam
hukum Islam.
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Penguji :Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. …………....
Sekretaris Sidang : Prof. Dr. H.Muh. Zuhri, M.A. …………....
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. ......................
Penguji II : Farkhani, S.H., S.HI., M.H. ......................
Salatiga, 3 September 2018
Dekan Fakultas Syari’ah
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag.
NIP 19670115 199803 2
002
vii
MOTTO
“Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan
engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta
terhukum. Kalau harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan,
tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan.”
(Sayidina Ali bin Abi Thalib)
بقىم ال يغير ما بقىم حتى يغيروا ما بأنفسهم وإذا أراد للا إن للا
سىءا فال مرد له وما لهم من دونه من وال
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu
kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu
kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.”
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan
Kepada kedua orang tua, istri dan Anak karena dengan kasih sayangnya , motivasi
dan do’anya berkat beliaulah penulis dapat terus bejuang meneruskan kuliah untuk
meraih cita-cita.
Saudara saudaraku yang selalu menyemangatiku tatkala mereka hadir di saat
menghadapi beratnya tantangan perjalanan hidup sekaligus proses kuliah hingga
kelulusan.
Teman-teman sekaligus sahabat satu angkatan AS - Non Reguler tahun 2011 IAIN
Salatiga yang selalu saling mendukung baik susah maupun senang.
Sahabat karib dari berbagai lulusan pondok pesantren dan Institusi pendidikan tinggi
lainnya yang selalu memberi motivasi serta bertukar ilmu sehingga penulis dapat teus
berjuang hingga lulus.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah
mengutus Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan agama yang hak, memberi
petunjuk kepada segenap manusia kejalan kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan
keselamatan di akhirat. Shalawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada Nabi
besar Muhammad Saw, semoga pada akhir kelak kita termasuk kedalam umatnya
yang mendapat syafaatnya.
Ahamdulillah dengan rasa syukur penulis, skripsi dengan judul:
PERBANDINGAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP PENOLAKAN DAN
PENERIMAAN PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA DENGAN NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.DAN N0
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. ini telah selesai. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi tugas
dan melengkapi syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1).dalam Ilmu
Syari’ah pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai apabila tanpa ada bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan tenaga, pikiran dan waktunya guna
memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesaikannya
pembuatan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan
terima kasih kepada:
x
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M, Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Bapak Syukron Makmun, M. Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah
(AS) IAIN Salatiga yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. H.Muh. Zuhri, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Imam Mas Arum, M.Pd. selaku dosen syariah yang membantu
membukakan pintu untuk penulis sehingga dapat melanjutkan kuliah di IAIN
Salatiga.
6. Para Dosen Syari’ah yang banyak memberikan ilmu, arahan serta do’a selama
penulis menuntut ilmu di IAIN Salatiga.
7. Teman-teman mahasiswa Ahwal Al-Syakhshiyyah baik Non-Reguler dan Reguler
khususnya angkatan tahun 2011 yang sangat berarti dalam dukungannya kepada
penulis selama masa kuliah.
8. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
xi
Semoga atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dalam skripsi ini
sebagaimana disebutkan di atas mendapat limpahan berkah dan imbalan yang
setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Skripsi
ini, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kasempurnaan
tulisan ini serta bertambahnya pengetahuan dan wawasan penulis. Akhir kata penulis
mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat khususnya bagi
Akademika IAIN Salatiga dan semua pihak yang membutuhkannya.
Demikian, atas perhatiannya penulis sampaikan banyak terimakasih.
Salatiga, 14 Agustus 2018
Penulis
Agus Alwi
xii
ABSTRAK
Alwi, Agus. 2018, Perbandingan Putusan Hakim TerhadapPenolakan Dan
Penerimaan Pengajuan Status Anak Kandung Di Pengadilan Agama Salatiga
Dengan No068/Pdt.P/2017/PA.Sal.Dan No 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. Skripsi
Jurusan Syari’ah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS), Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H.Muh.
Zuhri, M.A.
Kata Kunci : Putusan, Hakim, Anak Kandung
Akta kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak
terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas merupakan
bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum. Akibat
banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran banyak anak kehilangan haknya
untuk mendapatkan pendidikan maupun jaminan sosial lainnya.
Penelitian ini membahas tentang dasar yang dipergunakan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal dan putusan nomor
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. Tentang anak kandung.Bahwa berdasarkan dari kedua kasus
tersebut terdapat perbedaan putusan oleh hakim tentang penetapan permohonan asal
usul anak, padahal menurut penulis pernikahan yang dilakukan oleh kedua pasangan
tersebut sama-sama pernikahan dibawah tangan, dan sama-sama melahirkan anak
sebelum pernikahanya di catatkan di KUA setempat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Dasar yang dipergunakan hakim
mengabulkan permohonan No. 040/pdt.P/2017/PA.Sal. adalah berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2010 dan dalil
fiqhiyah kitab Al-Fiqh Al-islami Wa Adilatuhu jilid V halaman 690. Dan dasar yang
dipergunakan hakim memutus perkara No.068/Pdt.P/2017/PA.Sal. adalah karena
dalil hukum Islam yang memberi batasan minimal kelahiran anak dari
perkawinan ibunya adalah 6 bulan berdasarkan bunyi ayat Al-Quran dalam surat
Lukman ayat 14 dan surat Al-Ahqaf ayat 15. Dan yang terakhir penulis
menyimpulkan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dalam hal
ini dianggap Zina maka anak hanya bisa dinasabkan pada ibu kandungnya sedangkan
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah ( tidak dicatatkan di KUA) tapi
melakukan pernikahan adat atau nikah tradisional dapat ditetapkan nasabnya sebagai
anak dari suami istri yang bersangkutan.
xiii
DAFTAR ISI
Hal
Lembar Berlogo ...................................................................................... i
Nota Pembimbing.................................................................................... ii
Pernyataan Keaslian Tulisan................................................................... iii
Lembar Pengesahan................................................................................ iv
Motto ...................................................................................................... v
Persembahan .......................................................................................... vi
Kata Pengantar........................................................................................ vii
Abstrak x
Daftar Isi................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................ 5
C. Tujuan Penelitian............................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian....................................................... 6
E. Telaah Pustaka ............................................................... 7
F. Penegasan Istilah ........................................................... 9
G. Metode Penelitian .......................................................... 10
xiv
H. Sistematika Pembahasan ............................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA 14
A. Ketentuan Umum Tentang Perkawinan .................................. 16
1. Pengertian Perkawinan ...................................................... 16
2. Tujuan Pernikahan Untuk Sakinah........................................ 22
` 3. Tujuan Pernikahan untuk Mawaddah Dan Warohmah…… 23
B. Pengertian Anak.......................................................................... 24
1. Anak Sah ………….. ........................................................... 27
2. Anak Tidak Sah ….. ............................................................. 30
3. Iddah ………………............................................................ 31
4. Nasab……………………..................................................... 33
BAB III PUTUSAN PERMOHONAN IZIN PENGAJUAN
STATUS ANAK KANDUNGno 068/ Pdt.P/2017/PA.Sal. dan no
040/Pdt.P/2017PA.Sal
…………………………………….……………………………….. 36
A. Profil Pengadilan Salatiga..............................................................36
B. Kasus Putusan permohanan izin pengajuan Status Anak Kandung
No 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG PENGAJUAN STATUS
ANAK KANDUNG NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal DAN NO
040/Pdt.Pdt.P/2017/PA.SaL. ………………………………………63
xv
A. Analisis Putusan No. 40P dan No. 68P. di Pengadilan Agama
Saalatiga Dengan Perundang-undangan Di Indonesia ………. 63
B. Analisis Putusan No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal Dan No.
068/Pdt.P/2017/PA.Sal Dengan Hukum Islam ……..…………..70
C. Tabel persamaan dan perbedaan perbandingan putusan No
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017PA.Sal………..73
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 75
A. Kesimpulan ................................................................................. 75
B. Saran ............................................................................................ 77
Daftar Pustaka .................................................................................... 79
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang jumlah penduduknya mayoritas beragama
Islam, namun sistem hukum negaranya tidak menyatakan sebagai Negara yang
mempunyai sistem hukum Islam. Akan tetapi keberadaan agama berpengaruh
besar terhadap terbentuknya karakter bangsa sekaligus terbentuknya sistem hukum
Indonesia yang sebagian mengakomodir dari norma-norma agama. Sebagaimana
penerapan Hukum Keluarga di Indonesia seperti halnya bidang pencatatan dalam
perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat dan juga hak-hak anak , baik hak asuh,
hak perlindungan anak dan sebagainya (Khusen, 2013:9).
Anak sebagai generasi penerus bangsa juga menjadi perhatian khusus oleh
pemerintah Indonesia. Hal itu terwujud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa tujuan
Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. ( Pembukaan
UUD 1945)
2
Dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan pemerintah negara Indonesia
tersebut yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak, setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan hukum.( Pasal 28 B ayat (2) UUD Tahun 1945 ). Sebagaimana anak
yang masih dalam kandugan maupun yang telah dilahirkan berhak mendapatkan
perlindugan hukum dari Pemerintah ( Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ).Salah satu bentuk perlindungan hukum
itu adalah setiap anak yang dilahirkan di Indonesia berhak mendapatkan akta
kelahiran. Akta kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian
tidak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas
merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan
hukum. Akibat banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran banyak anak
kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan maupun jaminan sosial lainnya.
Dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum, anak juga
sering dirugikan dan kehilangan haknya. Salah satu contoh problematikanya
adalah ketika anak tersebut lahir diluar pernikahan yang sah, sehingga
menimbulkan permasalahan dalam pembuatan akta kelahiran. Padahal syarat
dikeluarkannya akte kelahiran diperoleh dari perkawinan yang dicatatkan
(disahkan oleh negara) yang dalam penulisan skripsi ini disebut perkawinan yang
dicatat oleh KUA atau kantor urusan agama.
3
Sebagaimana diketahui bahwa Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa syarat sahnya perkawinan
yaitu :
1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, dan di dalam ayat menyebutkan;
2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Melihat pentingnya pencatatan akta kelahiran bagi anak maka setiap anak
diharuskan memiliki akta kelahiran, akta kelahiran ini dapat diperoleh apabila
perkawinan dilakukan secara sah menurut agama dan perundang-undangan yang
berlaku di Negara Indonesia. Sah menurut peraturan perundang-undangan
maksudnya yaitu perkawinan tersebut di catat di Kantor Urusan Agama kecamatan
di tiap-tiap daerah pasangan yang melakukan perkawinan bagi pasangan yang
beragama Islam, namun bagi pasangan yang beragama non islam pencatatan
perkawinan tersebut dilakukaan di kantor catatan sipil.
Oleh karena itu pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mengatur mengenai tata cara untuk mendapatkan akta
kelahiran anak bagi anak yang tidak dapat memiliki akta kelahiran, tapi masih
menimbulkan pertanyaan bagaimana bukti-bukti yang memenuhi syarat. Pasal
tersebut menyebutkan :
1. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang
otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
4
2. Bila akta kelahiran tersebut dala ayat (1) pasalini tidak ada maka pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
3. Atas berdasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersagkutan.
Dilihat dari pasal tersebut, apabila anak diluar nikah yang tidak memiliki
akta kelahiran, maka akta kelahiran mengenai asal usul anak dapat dimintakan
penetapannya ke Pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari penetapan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Salatiga. Dalam Penetapan Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal
penetapan tersebut dimintakan oleh pasangan Sri Pamuji Eko Sudarko Bin Zaenal
dan Ony Suciati binti Sardjono (disebut sebagai pemohon I dan pemohon II). Para
pemohon mengajukan permohonan penetapan Pengadilan Agama Salatiga karena
anak mereka yang bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam tidak mendapatkan
akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil. Dalam kasus ini hakim mengabulkan
penetapan yang diajukan oleh para pemohon. Kasus yang kedua yang dialami oleh
pasangan Andika Cahya Nugraha bin Muh.Jaelani dan Cicik Hermina binti
Widodo, permohonan pasangan tersebut ditolak oleh Pengadilan Agama Salatiga
dengan nomor penetapan 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
5
Bahwa berdasarkan dari kedua kasus tersebut terdapat perbedaan putusan
oleh hakim tentang penetapan permohonan asal usul anak, padahal menurut
penulis pernikahan yang dilakukan oleh kedua pasangan tersebut sama-sama
pernikahan yang tidak sah secara hukum nasional, sehingga mengakibatkan
perbedaan akibat hukum bagi si anak. Oleh karena itu penulis ingin mengangkat
penelitian mengenai status anak yang terlahir dari perkawinan yang hanya sah
secara hukum Islam saja atau bisa dikatakan tidak dicatatkan guna mendapatkan
akta kelahiran.
Dari urain di atas tersebut, penulis bermaksud meneliti,”Analisis
Perbandingan Putusan Hakim Terhadap Penolakan dan Penerima’an Pengajuan
Status Anak Kandung Di Pengadilan Agama Salatiga Dengan No. 68P Dan 40P
2017”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan konteks latar belakang diatas, maka penulis menetapkan
beberapa rumusan masalah yang diantaranaya adalah sebagai berikut:
1. Apakah dasar yang dipergunakan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara No 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. Tentang
status anak kandung.
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penasaban anak yang dihasilkan
diluar perkawinan yang sah.
6
C. Tujuan penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam memutus dan menolak
permohonan izin Status anak kandung di Pengadilan Agama
2. Untuk mengetahui bagaimana pandagan hukum islam terhadab nasab anak
yang dihasilkan diluar perkawinan yang sah.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dasar yang dipergunakan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara No 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No
068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
D. Kegunaan peneliti
Penelitian ini sangat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada
umumnya, adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami ilmu
Hukum khususnya tentang permohonan status anak kandung di Pengadilan
Agama.
b. Untuk pengembangan ilmu Hukum dan penelitian Hukum serta berguna
untuk masukan bagi praktik penyelenggara dibidang Hukum Perkawinan
terutama terkait dengan masalah status anak kandug masa kini dan masa
yang akan datang.
7
c. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) Bagi Hakim
Dapat menerapkan kaidah-kaidah Hukum secara benar dan tepat
dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar Hukum yang dipakai
dalam permasalahan pengajuan status anak kandung.
2) Bagi Para Pihak
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan dengan
pemberian izin status anak kandung. Serta dapat menjadi solusi masalah
terkait dengan status anak kandung.
3) Bagi mahasiswa
Dapat menambah ilmu dan wawasan khususnya mahasiswa jurusan
syari’ah.
E. Telaah pustaka
Fungsi dilakukanya telaah pustaka terhadap skripsi adalah untuk membedakan
penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan
peneliti lain sebelumnya.
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu pendefinisian judul secara
terperinci, agar dapat diketahui secara jelas dan untuk menghindari
kesalahfahaman dan untuk membedakan kajian ini dengan kajian sebelumnya,
maka penulis akan sebutkan beberapa studi pustaka tentang pengajuan status anak
kandung.
8
Futurrahman Djamil dengan judul “Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat
Hukumnya” inti tulisan ini adalah menguraiakan hubumgan timbal balik yang
menjadi hak dan kewajiban antara anak luar nikah dengan orang tuanya.
Sedangkan dalam sekripsi ini yang menjadi pembahasan adalah putusan hakim
yang mengesahkan anak lahir di luar nikah menjadi anak sah.
Skripsi yang membahas mengenai anak di luar nikah, di antaranya adalah:
1. Skripsi yang dibuat oleh Septi Emilia yang bejudul “Permohonan Pengakuan
Anak Di Luar Nikah” dalam skripsi ini pemohon mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama Sleman untuk mengesahkan anak yang lahir diluar
pernikahan, yang dilakukan oleh pemohon dan termohon serta menasabkanya
kepada pemohon. Hasilnya Hakim memutus perkara tersebut bahwa anak yang
yang lahir Di luar nikah tersebut di nasabkan kepada ibunya dan keluarga
ibunya berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) dan KHI pasal 100.
Perbedaan skripsi Yang di buat oleh Septi Emilia dan skripsi yang di buat oleh
penulis adalah dalam skripsi yang dibuat oleh Septi Emilia pertimbangan
Hakim dalam memutus berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1)
dan KHI pasal 100 dan skripsi yang dibuat oleh penulis pertimbangan Majelis
Hakim adalah dengan putusan MK No 46/PUU-VIII/2010.
2. skripsi yang dibuat oleh Ardian Arista Wardana berjudul Tinjauan Yuridis
Tentang Pengakuan Anak Luar Kawin Menjadi Anak Sah. Dalam skripsi ini
penulis membahas anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
9
hubungan perdata dengan ibunya saja, namun dapat direvisi dengan putusan
MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Hasilnya putusan hakim yang mengesahkan
anak yang lahir di luar nikah dapat menjadi anak sah secara hukum asalkan
dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. skripsi yang dibuatberjudul “Nasab dan Nafkah Bagi anak yang lahir di luar
perkawinan (Telaah Ulang Terhadap Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan)”. Skripsi ini membahas masalah pentingnya nasab dalam rangka
pemeliharaan anak dari kesia siaan dan juga nafkah yang terkesan dinafikan
oleh UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 43,dengan alasan anak
tersebut lahir di luar perkawinan. Sedangkan dalam sekripsi ini yang menjadi
pembahasan adalah putusan hakim yang mengesahkan anak yang lahirdi luar
nikah menjadi anak sah.
Fungsi dilakukanya telaah pustaka terhadap buku-buku dan skripsi-skripsi
adalah untuk membedakan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian
yang sudah pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya.
F. Penegasan istilah
Untuk memahami judul sebuah skripsi perlu adanya pendefinisian judul
secara terperinci, dengan maksud dapat diketahui secara jelas. Maka penulis perlu
memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah judul tentang “Analisis
Putusan Hakim Pengadilan Agama Kota Salatiga Tentang Permohonan Asal Usul
10
Anak”(studi putusan No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal).
Istilah-istilah tersebut adalah:
a. Analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa, untuk mengetahui apa sebab-
sebabnya dan bagaimana duduk perkaranya (poerwadarminta, 2006:37).
Analisis mengandung arti suatu uraian pikiran yang mendalam, sistematis, dan
rasional (Abdul fatah, 2010:6).
b. Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapakan dalam sidang terbuka untuk umum (Arto, 1998:245).
c. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan (Farkhani, 2011:80).
G. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting. penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian pustaka (library
research). Yaitu sebuah penelitian yang menggunakan informasi yang diperoleh
dari buku-buku atau terbitan-terbitan resmi pemerintah (Saerozi, 2008:46).
2. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan normatif, yaitu dengan mendekati masalah yang akan diteliti
dengan mendasarkan pada Al-qur’an, Hadist, Kaidah Fiqih, Serta pendapat
ulama’ berkaitan dengan masalah Permohonan Status Anak.
11
b. Pendekatan yuridis, yaitu cara mendekaati masalah yang di teliti dengan
mendasarkan pada aturan perudang-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam (KHI).
3. Pengumpulan data
a. Observasi
Merupakan teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan
pemgamatan secara langsung ke objek penelitian. Sering kali diartikan
sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang
tampak pada subyek penilitian.
b. Metode Interview, yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya-
jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan tujuan
penyelidikan. Metode interview ini penulis pergunakan sebagai metode
penunjang dalam teknik pengumpulan data. Adapun wawancara yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara melakukan tanya
jawab secara langsung kepada majelis hakim yang memutus dua
perkara yang dibahas dalam skripsi ini.
c. Dokumentasi Yaitu cara memperoleh data dengan cara menelusuri dan
mempelajari data berupa dokumen terutama dari salinan putusan
Pengadilan Agama Salatiga No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. Yang merupakan sebagai data primer.
12
4. Lokasi dan kehadiran peneliti
Lokasi penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Salatiga karena
setiap masyarakat yang ingin mengajukan status anak harus mendapat ijin dari
Pengadilan Agama setempat. Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai
instrumen sekaligus menjadi pengumpul data. Kehadiran penulis dilapangan
sangat diperlukan, Penulis berperan sebagai partisipan penuh membaur
dengan subjek atau informan.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah diperoleh, kemudian dianalisis
menggunakan metode perbandingan Hukum. Metode perbandingan Hukum
adalah membandingkan suatu putusan yang satu dengan putusan yang lainnya
untuk masalah yang sama dengan mengungkapkan persamaan dan perbedaan.
Apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Metode ini digunakan untuk membandingkan kesamaan dan
perbedaan dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Salatiga menurut
Hukum formil dan Hukum Islam dalam menyelesaikan perkara permohonan
Asal usul anak, dalam hal ini difokuskan pada Putusan Hakim Pengadilan
Agama Salatiga No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Sebagi karya ilmiah Skripsi disusun berdasarkan hasil penelitian lapangan,
maka dalam sistematika penulisan skripsi menggambarkan struktur organisasi
13
penyusunan yang dapat dijelaskan dalam beberapa bab. Adapun sistematika
penulisanya sebagai berikut:
Bab Pertama adalah Pendahuluan terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka,metodoogi dan
sistematika Penulisan skripsi.
Bab Kedua adalah Tinjauan umum tentang Permohonan Penetapan Asal Usul
Anak meliputi: Perkawinan, Anak sah, Anak tidak sah, dasar hukum tentang
Perkawinan.
Bab Ketiga Adalah berisi tentang Putusan Permohonan Penetapan status anak
kandung Salatiga No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
Terdiri dari sekilas tentang sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Salatiga, visi
dan misi Pengadilan Agama Salatiga, struktur organisasi, kompetensi Pengadilan
Agama Salatiga, putusan No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. Pertimbangan hakim dalam Putusan No.
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
Bab Keempat Adalah berisi tentang analisis Putusan No.
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.tentang Permohonan
Penetapan status anak kandung meliputi: analisi Putusan No.
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. analisis syarat alternatif,
analisis syarat komulatif, analisis putusan Putusan No. 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan
No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. dengan hukum islam.
14
Bab Lima Adalah Penutup yang merupakan bab terakhir dari skripsi
ini yang berisi kesimpulan, saran dan kata penutup.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ketentuan Umum Tentang perkawinan
1. Pengertian perkawinan
Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah, bahwa
makhluk yang bernyawa itu di ciptakan berpasang-pasangan, baik laki-
lakimaupun perempuan (Q.S.Dzariat:49).
ن و ر ك ذ ت م ك ل ع ل ن ي ج و از ن ق ل خ ء ي ش ل ك ن م و
„‟Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”.
Secara Bahasa arti atau pengertian pernikahan adalah al-Jamru dan al-
Dhommu yang artinya kumpul. Makna ini disinyalir berasal dari sebuah syair
Arab: Wahai orang yang menikah, kesulitan bisa menjadi kemudahan, Allah
memanjangkan umurmu untuk bisa berkumpul, yaitu kesulitan bila terbebas,
dan kemudahan bila terlepas sisi kanannya." Maksud dari syair diatas adalah
bahwa orang yang berusaha menyatukan antara hal yang sulit dan halyang
mudah, sesungguhnya ia sedang melakukan sesuatu yang sulit untuk
terjadi. Pengertian pernikahan secara maknawi, makna nikah (zawaj) bisa
diartikan sebagai aqdu al-tazwiij yang artinya akad nikah. Nikah juga bisa
diartikan dengan (wathu' al zawjah) bermakna menyetubuhi isteri,
16
sebagaimana disebutkan oleh beberapa ahli fiqih. Abu Ali al-Qalii berkata:
Orang Arab membedakan penempatan kata akad dengan wath'u. Maka ketika
mereka mengatakan 'Menikahkan si fulanah', mereka mengarahkan pada
maksud aqdu al-tazwiij. Tapi bila mereka mengatakan 'Menikahi isterinya',
maka maknanya berkonotasi kepada Jima' dan wath'u."
Menurut Bachtiar (2004), Definisi Perkawinan adalah pintu bagi
bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat
keturunan. Perkawinan adalah merupakan ikatan yang kuat yang didasari
oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk
hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi.
Dalam hukum perkawinan Islam (munakahat) kata-kata “perkawinan”
merupakan alih bahasa dari istilah : Nikah (نكاح) atau zawaj (زواج): isim dari
tazawuj (تسوج). ( Masreq, 1975:310). Namun menurut pendapat yang sakhih:
nikah arti hakekatnya adalah akad ( العقد ) dan wati / bersenggama ( الىطء ) sebagai
arti kiasan atau majasnya.
Adapun nikah menurut istilah fuqaha adalah sebagai berikut :
a. Suatu akad yang menyebabkan halalnya bermesraan antara suami istri
dengan cara yang sudah ditentukan oleh Allah SWT.
17
b. Nikah menurut Syara’ ialah lafal akad yang sudah terkenal itu yang
mengandung beberapa rukun dan syarat.
c. Nikah menurut syara’ ialah suatu akad yang mengandung jaminan di
perbolehkanya persetubuhan dengan (menggunakan) lafal (yang mutlak
dari) nikah, tazwij atau terjemahannya.
Dari beberapa ta’rif yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut di atas dapat
ditarik kesimpulan adanya unsur-unsur pokok dalam ta’rifta’rif tersebut yaitu:
1. Nikah adalah suatu akad (perjanjian antara pria dan wanita)
2. Menghalalkan wati (bersetubuh) yang semula dilarang (haram)
3. Akad memenuhi syarat dan rukunnya seperti dengan sighat nikah, tazwij
atau terjemahanya. (Ghozali, Diklat Fiqih Munakahat:6).
Secara istilah arti nikah adalah akad yang telah terkenal yang mengandung
rukun-rukun syarat-syarat yang telah ditentukan untuk berkumpul.(abu
bakar,akhyar:268). Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan nikah sebagai akad
yang menghalalkan untuk bersenang-senang diantara masing-masing pihak atas
dasar syari’at. (Arabi,1957:18).
Menurut Scholten (Titik Triwulan Tutik, 2006:106), perkawinan ialah suatu
persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh Negara
untuk bersama/bersekutu yang kekal. Esensi dari pengertian tersebut diatas
18
adalah, bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada
didalamnya, maupun karena apa yang terdapat didalamnya.
Berdasarkan berbagai definisi tentang perkawinan di atas, dapat
disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki
dan perempuan sebagai suami isteri yang memiliki kekuatan hukum dan
diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan
yang menjanjikan pelestarian kebudayaan dan pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan inter-personal.
a. Rukun Pernikahan
Rukun Nikah adalah bagian terpenting yang menjadi pilar dalam
pernikahan dan itu wajib terpenuhi adanya.
Rukun perkawinan menurut Rasjid (2000 : 382) menyatakan
bahwa rukun perkawinan yaitu :
1. Sighat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan,seperti kata
wali,”saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama..” Jawab
mempelai laki-laki, “Saya terima menikahi....”.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau
terjemahan dari keduanya.
2. Wali (wali si perempuan).
Keterangannya adalah sabda Nabi SAW yang artinya “barang siapa
diantara yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya
batal”.
19
3. Dua orang saksi
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “tidak sah nikah kecuali
dengan wali dua saksi yang adil”.
4. Kerelaan kedua belah pihak atau tanpa paksaan.
5. Ada mempelai yang akan menikah.
b. Syarat Perkawinan
Syarat pernikahan adalah dasar sahnya bagi pernikahan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Sedangkan yang
dimaksud dengan syarat ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun
perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan
hijab qobul.
c. Tujuan Pernikahan
Dasar tujuan nikah yaitu “ Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui“.
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-
wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
20
Melaksanakan sunnah Rasul sebagaimana tersebut dalam hadits
Nabi SAW yang artinya :
“Perkawinan adalah peraturanku, barang siapa yang benci
kepada peraturanku, bukanlah ia termasuk umatku. (H.R. Bukhari
dan Muslim)“
Tujuan Pokok perkawinan dalam Islam adalah sebagaimana
difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, Yang Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Perkawinan dalam islam juga bertujuan untuk memelihara
pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan
dalam hadits Nabi SAW Yang Artinya :
"Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami
Rasulullah SAW : Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara
kamu yang telah sanggup kawin maka hendaklah ia kawin, maka
sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang
dilarang oleh Agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa
yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah
perisai baginya” (H.R. Buhkari dan Muslim).
Selain itu perkawinan dalam islam adalah bertujuan untuk mendapat
keturunan yang sah serta sehat jasmani, rohani dan social, memper erat
21
dan memperluas hubungan kekeluargaan serta membangun hari depan
individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapatlah kita simpulkan bahwa yang
menjadi inti pokok dari perkawinan adalah akad (perjanjian), yaitu serah terima
antara wali calon mempelai perempuan dengan calon mempelai laki-laki.
Penyerahan dan penerimaan tanggungjawab dalam arti yang luas untuk mencapai
satu tujuan perkawinan, telah terjadi pada saat akad nikah itu, disamping
penghalalan bercampur antara keduanya sebagai suami istri . Di dalam UU No 1
Tahun 1974 terdapat pangertian tentang perkawinan yaitu:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ( Semarang,Aneka
Ilmu,1990:1). Perkawinan adalah merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan merupakan awal kehidupan baru bagi dua insan yang semula
hidup sendiri, kemudian bisa hidup bersama. Dengan adanya perkawinan akan
melahirkan generasi baru dari satu kehidupan tersebut yang nantinya diharapkan
akan melanjutkan sistem keluarga yang telah ada sebelumnya.
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan
yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,
22
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa
tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya
bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti
Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang
perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah
tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan
defenisi kekal itu diambil dari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan
perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa
perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan
perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ”
Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam.
Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada
penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974
menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan
yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu
23
adalah sah menurut UU Perkawinan.Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI
yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep
hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut Marzuki Wahid, di dalam CLD KHI ada beberapa hal
yang mereka tawarkan yakni sebagai berikut:
1. Pernikahan bukan ibadah, tetapi akad sosial kemanusiaan
(Mu’amalah)
2. Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun
perkawinan 3. Perempuan bisa menikahkan sendiri dan menjadi wali nikah 4. Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri 5. Poligami dilarang 6. Perkawinan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan 7. Perkawinan antaragama dibolehkan 8. Istri memiliki hak talak dan rujuk 9. Hak dan kewajiban suami dan istri setara
2. Tujuan Pernikahan untuk Sakinah (ketenangan)
Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk
memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini
24
seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga
yang tenang dan tentram. Dalam Tafsirnya Al-Alusi mengatakan bahwa
sakinah adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini
merupakan satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa
cenderung terhadap dirinya. Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai
dengan aturan Islam maka yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman,
karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan. Ketenangan dan
ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau
perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian
hati agar terhindar dari perzinahan.
3. Tujuan Pernikahan untuk Mawadah dan Rahmah
Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh
keluarga yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu
untuk memiliki keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan
dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu
untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang,
yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.
Tujuan disyariatkannya nikah adalah agar terpelihara keturunan
nasab, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh allah SWT di dalam Al-
Qur’an surat an-Nahl(16) ayat 72 yang berbunyi:
25
جعل لكم من أنفسكم أزواجا وجعل لكم من أزواجكم بنن وحفدة ورزقكم وللاه
كفرون هم ؤمنون وبنعمت للاه بات أفبالباطل من الطه
Artinya:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?"
Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir ialah al
mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-ra’fah (kasih sayang).
Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi
dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah
dari keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada
juga yang mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang
masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.
Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini adalah
sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling memahami
hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang dari
kehormatan dan kemuliaan. Fungsi pernikahan diibaratkan seperti fungsi
pakaian, karena salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat
sendiri bermakna sesuatu yang memalukan, karena memalukan maka wajib
untuk ditutup. Dengan demikian seharusnya dalam hubungan suami istri, satu
26
sama lainnya harus saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling
membantu untuk mempersembahkan yang terbaik.
(http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-
pernikahanperkawinan.html)
B. Pengertian anak
Anak adalah amanat yang harus senantiasa kita jaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung
tinggi. Sebagai anugrah dari Tuhan anak harus dijaga secara normatif demi
kepntingan fisik maupun psikisnya(Djamil,2013:1)
Undang-undang No 23 Tahun 2003 tentang Pperlindungan Anak telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara untuk memberi perlindungan
kepada anak. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi
anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki
jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulai dan di nilai pancasila serta
kemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa (Djamil,2013:8).
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,serta tumpuan
harapan baik bagi orang tua, masyarakat, maupun negara. Anak sebagai
generasibpenerus bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk membangun negara
dan bangsa Indonesia. Anak yang dilahirkan dalam keadaan apapun juga, jika
iadilahirkanhidup maka ia sebagai subjek hukum yang perlu dilindungi
27
kepentinganya. Anak menurut alam pikiran sehat orang berakal adalah buah hati
yang dinantikan oleh orang tuanya untuk meneruskan keturunan, mengikat
melampiaskan curahan kasih sayang manusiawinya(Djatikumoro,2011:6).
Anak yang masih dalam kandugan maupun yang telah di lahirkan mendapatkan
perlindugan hukum dari Pemerintah. Perlindngan hukum tersebut bentuknya
bermacam-macam, salah satunya yaitu untuk mendapatkan akta kelahiran anak,
hal tersebut telah diperkuat dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mana isi pasal tersebut menyatakan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung
tolak ukur kapan seseorang digologkan sebagai anak. Akan tetapi hal tersebut
tersirat dalam pasal 6 ayat 2 yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi
orang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapati ijin orang tua. Pasal 7
ayat 1 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memuat batasan minimun usia untuk
dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Dalam pasal 47 ayat 1 dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat 1
dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah
kawin, tidak tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
28
kekuasaan wali. Dari pasal-pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa
anak dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa dan sudah
dewasa yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Menurut KUHP perdata pasal 330 tentang pengertian anak adalah orang yang
belum dewasa dan seorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum
sebagai subyek hukum atau layaknya subyek hukum nasional yang ditentukan
oleh undang-undang perdata.
Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 pasal 1 ayat 1 adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, kedalam linglungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
1. Macam-macam Anak
Menurut Hukum islam terdapat pembagian tentang anak yaitu anak
yang sah dan anak yang tidak sah, adapun pengertian anak sah dan anak tidak
sah adalah sebagai berikut:
a. Anak sah
Anak yang sah menurut Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974
pasal 42 adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
29
Anak sah menurut pasal 251 dan 255 KUHPer adalah anak yang sah
harus dilahirkan diantara masa sesudah 180 hari setelah perkawinan
dilangsungkan dengan masa sebelum 300 hari sesudah perkawinan
diputuskan.
Anak sah adalah anak yang lahir dari hubungan sorang laki-laki dan
seorang perempuan dangan didahului adanya ikatan perkawinan yang sah
antara keduanya. Pada hukum islam anak sah harus berasal dari benih
laki-laki yang ditanamkan kedalam rahim istrinya yang sah secara
hukum. Dengan demikian unsur hubungan biologis antara anak dengan
ayah dan ibuunya menjadi syarat utamakeabsahan anak, disamping syarat
adanya perkawinan sah yang mendahului kelahiran anak itu sendiri.
Seperti yang terkandung didalam Al-qur’an surat Al-Ahqof ayat 15
yang berbunyi:
ه كرها ووضعته كرها وحمله ه إحسانا حملته أم نا النسان بوالد ووص
ه وبلغ أربعن سنة قال رب وفصاله ثلثون شهرا حتى إذا بلغ أشد
وعلى والدي وأن أعمل أوزعن أن أشكر نعمتك الت أنعمت عل
ك وإن من المسلمن ت إن تبت إل صالحا ترضاه وأصلح ل ف ذر
Artinya:
30
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau
berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri”.
Dan di dalam Al-Qur,an surart luqman ayat 14
ن ه وهنا على وهن وفصاله ف عام ه حملته أم نا النسان بوالد ووصه
ك إل ه المصر أن اشكر ل ولوالد
Artinya:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.
b. Anak tidak sah
Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari hubungan laki-laki dan
perempuan tanpa didahului perkawinan yang sah. Dalam hukum islam
anak yang lahir diluar pernikahan mempunyai hubungan perdata dengan
pihak ibunya, baik dalam hal pemeliharaan, perwalian, maupun dalam hal
perwarisan. Hubungan tersebut diperoleh dengan sendirinya. Artinya
tidak diperlukan sesuatu perbvuatan hukum tertentu.
31
Anak tidak sah dapat juga disbut anak zina, karena alasan itu Allah
memberikan sangsi terhadap perzinahan dalam surat An-nur ayat 2
sebagai berikut:
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman (Qs. An-Nur:2).
Menurut pasal 43 ayat 1 Undang-undang perkawinan adalah anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyaihubungan
keperdataan dengan ibunya dengan demikian anak yang tidak sah, hanya
berhak mewarisi dari ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak luar
kawin ternyata lebih rendah dibanding dengan anak sah. Pada asasrya
berada dibawah tangan kekuasaan orang tua. Sedangkan anak luar kawin
berada dibaah perwalian.
c. Iddah
Waktu tunggu atau iddah ialah tenggang waktu dimana janda yang
bersangkutan tidak boleh kawin, bahkan dilarang pula menerima
pinanaga atau lamaran. Ketentuan waktu tunggu ini dimaksudkan antara
lain untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu bila ia hamil, dan
32
juga sebagai masa berkabung bila suami yang bersangkutan
meninggaldunia, begitu pula untuk menentukan ruju’ bagi suami bila
talak itu berupa tala’ raj’i.(sosoatmojo,aulawi,1975:70).
Seorang janda karena kematian suaminya,sedang ia tidak hamil maka
iddahnya ialah 4 bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang dari
pada iddah karena talak atau cerai,. Dalam iddah kematian selain untuk
menentuksn apakah janda itu hamil atau tidak guna penentuan nasab
sianak juga ia perlu berkabung kepada almarhum suaminya.
Bila perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj’I,
yaitu talak kesatu atau kedua, mnaka iddahnya ialah 3 kali suci atau 90
hari(pasal 39 ayat 91) huruf b pp.)
Dalam hukum islam talak raj’i itu mempunyai akibat-akibat hukum
sebagai berikut:
1. Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan pangan
kepada istri yang ditalak.
2. Suami berhak meruju’ (kembali kepada) istri selama masih dalam
iddah.
3. Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam masa iddah,
maka pihak yang masih hidup berhak mewaris dari yang meninggal.
Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya perkawinan itu belum
bubar, melainkan hanya berhenti semmentara. Dan nasib perkawinan
33
tersebut ditentukan dalam masa iddah, aokah tarjadi rujuk atu tidak. Bila
akhir masa iddahtidak terjadi rujuk, maka perkawinan itu menjadi bibar.
Adapun addah dari talak ketiga (bain kubra), atau bain yang lain (bain
sugra), maka suami tidak dapat merujuk. Begitu pula tak ada hak saling
mewarisi antara keduanya. Sebab pada hakekatnya perkawinan itu sudah
bubar. Dan iddah disini gunanaya ialah untuk menentukan nasb sianak
bila janda itu hamil. .(sosoatmojo,aulawi,1975:71).
Baik janda karena kematian suami, maupun karena cerai talak(roj’I
atau bain) atau cerai gugat, bila ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya
ialah sampai ia melahirkan(pasal 39 ayat (1) huruf c PP.). kehamilan ini
mungkin sudah diketahui pada saat terjadinya talak cerai atau matinya
suami, atau baru diketahui beberapa saat kemudian sebelum habisnya
waktu-waktu yang diterangkan dalam pasal 39 ayat (1)huruf a dan b
peraturan pemerintah(130 hari, 3 kali suci 90 hari0. Semuanyya itu
iddahnya sampai melahirkan.
d. Nasab
Nasab dalam hukum perkawinan indonesia dapat didefinisikan sebagai
sebuah hubungan darah(keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya,
karena adanya akad nikah yang sah.
34
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh
Allah SWT kepada hambanya, sebagai firman Allah dalam surat Al-
Furqon ayat 54, yaitu:
ك قدرا وهو الهذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا وكان رب
Artinya:
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu
Maha Kuasa.
Islam telah meletakkan lima tujuan pokok syari’at yang salah satunya
adalah menjaga nasab (keturunan), nasab adalah kejelasan hubungan
antara seseorang dengan orang-orang yang menyebabkannya terlahir ke
alam dunia ini. Siapakah bapak dan ibunya, yang dengan itu pula akan
diketahui siapa kerabat-kerabat dia lainnya, saudara, kakek, paman, dan
lainnya.(ahmad.2014.kaidah fikih nasab anak,(online)
https://ibnumajjah.wordpress.com/2014/05/21/kaidah-fikih-tentang-
nasab-anak/).
ه وضعا ه شرعا وإلى أم نسب الولد إلى أب
Artinya:
Seorang anak dinasabkan kepada bapaknya karena hubungan syar‟i,
sedangkan dinasabkan kepada ibunya karena sebab melahirkan.
35
Agama Islam juga melarang umatnya untuk mendekati zina apalagi
melakukan zina, Allah SWT menjelaskan laragan zina dalam firmannya
yaitu:
Artunya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk(Qs Al-
Isra‟:32).
36
BAB III
PUTUSAN PERMOHONAN IZIN
PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG
N0 068/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan NO 040/Pdt.P/2017/PA.Sal.
A. Profil Pengadilan Salatiga
1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Salatiga
Gedung Pengadilan Agama Salatiga yang baru, yang beralamat di jl.
Raya Lingkar Selatan, Dusun. Jagalan, kelurahan,Cebongan, Kecamatan,
Argo mulyo Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah 50736. Pengadilan Agama
Salatiga dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini embrionya sudah ada sejak
Agama Islam masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga timbul
bersama dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam
di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Masyarakat Islam di Salatiga dan di
daerah Kabupaten Semarang pada saat itu apabila terjadi suatu sengketa,
mereka menyelesaikan perkaranya melalui Qodli (Hakim) yang diangkat oleh
Sultan atau Raja, yang kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri
yakni Penguasa tertinggi. Qodli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah
alim ulama’ yang ahli di bidang Agama Islam.
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Peradilan yang ada di Indonesia adalah beraneka
37
nama dan dikategorikan sebagai peradilan kuasai, karena berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua putusan pengadilan Agama
harus dikukuhkan oleh peradilan umum (Rasyid, 2009:1).
Kemudian dalam pasal pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1986 tentang
peradilan Agama dinyatakan bahwa, Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasakan Undang-undang mengenai perkawian yang
berlaku. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut yaitu:
a) Izin beristri lebih dari seorang
b) Izin melangsungkan bagi orang yang belum berumur 21 tahun, dalam
halo rang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat.
c) Dispensasi kawin.
d) Pencegahan perkawinan.
e) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
f) Pembatalan perkawinan.
g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri.
38
h) Perceraian karena thalaq.
i) Penyelesaian harta bersama.
j) Penguasaan anak.
k) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya.
l) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupanoleh suami kepada
bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri’
m) Putusan tentang sah tidaknya seorang anak.
n) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
o) Pncabutan kekuasaan Wali.
p) Penunjukan orang lain sebagai Wali oleh Pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang Wali dicabut.
q) Menunjuk seseorang dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur
18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukan Wali oleh orang tuanya.
r) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap Wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaanya.
s) Penetapan asal-usul anak.
t) Putusan tentang penolakan pemberian keterangan melakukan perkawinan
campuran.
39
u) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berlaku yang dijalankan menurut
peraturan yang lain (Ali, 199:257-258).
B. Kasus Putusan permohanan izin pengajuan status anak kandung No
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. Dan No 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
1. Kasus Putusan Permohonan Ijin pengajuan status anak kandung
No.040/Pdt.P/2017/PA.Sal. Di pengadilan agama salattiga.
Dalam perkara No.040p di pengadilan agama salatiga pemohon
mengajukan permohoinan izin pengajuan status anak kandung tanggal 5 mei
2017, yang terdaftar dalam perkara Nomor 004/pdt.p/2017/PA.Sal.
Berdasarkan surat permohonan izin pengajuan status anak kandung
tanggal 5 mei 2017, yang terdaftar dalam perkara Nomor
004/pdt.p/2017/PA.Sal. telah mengajukan hal-hal sebagi berikut:
a. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah melangsungkan perkawinan
menurut agama islam pada tanggal 17 Januari 2013 didesa Candi dengan
wali nikah ayah kandung Pemohon II
b. Bahwa dalam perkawinan tersebut Pemohon 1 dan Pemohon II telah
melakukan hubungan selayaknya suami istri dan telah dikaruniai seorang
anak laki laki yang lahir pada tanggal 5 september 2013 diRumah Sakit
Mitra Setia Ungaran.
40
c. Bahwa atas kelahiran anak tersebut tidak dapat dibuatkan akte
Kelahirannya, karena Perkawinan Pemohon 1 dan Pemohon II sampai anak
tersebut lahir belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
d. Bahwa selanjutnya Pemohon 1 dan Pemohon II mencatatkan perkawinan di
KUA Sidorejo Salatiga pada tanggal 13 Februari 2017 dengan mendapatkan
Kutipan Akta Nikah Nomor : 0039 / 007/11/2017,Namun demikian adanya
akta nikah tersebut tidak dapat dijadikan dasar dikeluarkannya akta
kelahiran anak Pemohon I dan Pemohon II yang lahir pada 5 september
2013.
e. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II sangat membutuhkan penetapan
Pengadilan tentang asal usul anak tersebut sebagai dasar dikeluarkannya
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan, dan Pemohon I dan Pemohon
II sanggup mengajukan bukti bukti tentang asal usul anak tersebu. Bahwa
oleh karena itu Pemohon I dan Pemohon II mengajukan Permohonan
Penetapan Asal Usul Anak ini ke Pengadilan Agama Salatiga dan mohon
agar dijatuhkan penetapan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II
2) Menetapkan anak bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam yang
lahir tanggal 5 september 2013 adalah anak Pemohon I dan Pemohon II
3) Memerintahkan Pegawai Pencatat Kelahiran/Kantor Catatan Sipil Kota
Salatiga untuk mengeluarkan Akta Kelahiran anak tersebut
41
Bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan, Para Pemohon
telah hadir sendiri di persidangan, lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan
membacakan surat Permohonan tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh
Para Pemohon.
untuk memperkuat dalil Permohonannya, para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat berupa:
1. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon I Nomor :
3373/SKT/20170427/00127 tanggal 27 April 2017, yang dikeluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat
tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya,
yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.1.
2. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon II Nomor :
3373/SKT/20170427/00129 tanggal 27 April 2017, yang dikeluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat
tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya,
yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.2
3. Fotokopi Kartu Keluarga atas nama Pemohon I Nomor :
3373011004170002 tanggal 28 April 2017, yang dikeluarkan oleh Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat tersebut
telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, yang
ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.3
42
4. Fotokopi Surat Keterangan Lahir anak Pemohon I dan Pemohon II Nomor
42/IX/2013 tanggal 05 September 2013, yang dikeluarkan oleh RS Mitra
Setia. Bukti surat tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan
dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda
P.2
bahwa disamping surat-surat tersebut para Pemohon mengajukan
saksi-saksi sebagai berikut:
1. Saksi 1, umur 68 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat kediaman
di Dusun Dawangan, RT 10, RW 1, Desa Reksosari, Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang; Dihadapan sidang saksi tersebut memberikan
keterangan dibawah sumpahnya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga dekat
Pemohon I.
2) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak, anak
para Pemohon yang pertama yang lahir tanggal 5 September 2013
sebelum Pemohon I menikah resmi dengan Pemohon II di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Pebruari 2017.
3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan para Pemohon sebelum menikah
resmi, para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013 secara Agama
Islam dengan wali ayah kandung Pemohon II dengan diwakilkan kepada
43
pak Kyai dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan
disaksikan oleh 2 orang saksi.
4) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II selama ini tidak pernah bercerai dan
tidak pernah keluar dari Agama Islam.
5) Bahwa status Pemohon I saat itu adalah duda cerai sedang Pemohon II
adalah Janda Cerai.
2. Saksi 2, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan tani, tempat kediaman di
Kabupaten Kota Salatiga; Dihadapan sidang saksi tersebut memberikan
keterangan dibawah sumpahnya yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga dekat
Pemohon I
2) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak, anak
para Pemohon yang pertama yang lahir tanggal 5 September 2013
sebelum Pemohon I menikah resmi dengan Pemohon II di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Pebruari 2017.
3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan para Pemohon sebelum menikah
resmi, para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013 secara Agama
Islam dengan wali ayah kandung Pemohon II dengan diwakilkan kepada
pak Kyai Mawahib dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat
dan disaksikan oleh 2 orang saksi
44
4) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II selama ini tidak pernah bercerai dan
tidak pernah keluar dari Agama Islam
Bahwa selanjutnya, status Pemohon I saat itu adalah duda cerai sedang
Pemohon II adalah Janda Cerai, berdasarkan pengakuan Pemohon II bercerai
dengan suami pertama pada bulan Januari 2013, dalam keadaan ba’da dukhul.
Dan menyatakan bahwa terhadap surat bukti dan keterangan para saksi tersebut
para Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan sesuatu apapun dan mohon
penetapan.
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon
adalah sebagaimana diuraikan di atas
Menimbang, bahwa Para Pemohon mendasarkan permohonannya pada
tanggal 5 Mei 2017 adalah guna mendapatkan Penetapan Asal Usul Anak
terhadap satu orang anaknya. Para Pemohon kesulitan dalam mengurus Akta
Kelahiran anak tersebut, karena anak tersebut lahir sebelum Para Pemohon
melaksanakan nikah ulang secara resmi dan tercatat di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 dan P.2 yang berupa fotocopy
Surat Keterangan Penduduk , yang telah dibubuhi materai cukup dan telah
dicocokan dengan surat aslinya, ternyata cocok, maka telah terbukti bahwa
Pemohon I dan Pemohon II bertempat tinggal di Wilayah Hukum Pengadilan
45
Agama Salatiga, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan
Pemohon I dan Pemohon II telah diajukan sesuai pasal 49 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989, sehingga permohonan
Pemohon dapat diterima untuk dipertimbangkan lebih lanjut
Menimbang, bahwa bukti P.3, berupa fotokopi yang telah
bermaterai cukup, dinasegeln, dilegalisir, dan dicocokkan dengan aslinya, maka
telah terbukti bahwa pada tanggal 5 September 2013 telah lahir seorang anak
laki-laki dari ibu (pemohon II) dan ayah (pemohon I).
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.4 yang berupa fotocopy Kartu
Keluarga yang telah dibubuhi materai cukup dan telah dicocokan dengan surat
aslinya, ternyata cocok, dan dihubungkan dengan bukti P.3 maka telah terbukti
bahwa anak tersebut adalah anak Pemohon I dan Pemohon II
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II
tentang asal usul anak maka Majelis perlu mempertimbangkan terlebih dahulu
keabsahan nikah antara Pemohon I dan Pemohon II
Menimbang bahwa karena status Pemohon II adalah janda cerai maka
disamping harus memenuhi rukun dan syarat yang lain, harus pula diketahui
dengan jelas apakah saat menikah Pemohon II masih dalam masa iddah atau
sudah habis masa iddah.
46
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon II , Pemohon II
cerai dengan suami pertama pada bulan Januari 2013 dan Pemohon II menikah
dengan Pemohon I juga pada bulan Januari 2013.
Menimbang bahwa masa tunggu bagi seorang janda berdasarkan
ketentuan KHI pasal 153 (b) “Apabila perkawinan putus karena perceraian
waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan KHI pasal 40 (b) “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan
tertentu yaitu seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka telah
ditemukan fakta bahwa Pemohon II saat menikah dengan Pemohon I masih
dalam masa iddah yang mana dilarang untuk melakukan perkawinan dengan
pria lain, dengan demikian perkawinan yang dilakukan Pemohon I dan
Pemohon II pada tanggal 17 Januari 2013 adalah tidak sah.
Menimbang bahwa meskipun perkawian antara Pemohon I dan
Pemohon II tidak sah namun karena dalam perkawinan itu telah melahirkan
seorang anak dan secara hukum harus mendapatkan perlindungan maka untuk
47
kepastian hukum perlu ditetapkan sebagai anak biologis dari Pemohon I dan
Pemohon II.
Menimbang bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2010, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.
Menimbang, bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas sejalan
dengan dalil fiqhiyah yang tercantum dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu jilid V halaman 690 sebagai berikut:
48
Artinya: Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan
sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah
nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau
pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara
akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan
secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh
perempuan tersebut sebagai anak dari suami isteri (yang bersangkutan).
Menimbang, bahwa berdasarkan perimbangan-pertimbangan tersebut,
maka permohonan Para Pemohon tersebut dapat dikabulkan dan anak tersebut
ditetapkan sebagai anak biologis Pemohon I dan Pemohon II.
Menimbang, bahwa dengan dikabulankan permohonan Para Pemohon
tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 103 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Penetapan ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi Kantor
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kota Salatiga, untuk menerbitkan
akta kelahiran dari anak dimaksud.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan,
maka menurut pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, biaya
perkara ini dibebankan kepada Para Pemohon.
Memperhatikan, pasal-pasal dari ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dalil-dalil fiqhiyah lainnya yang berhubungan dengan perkara
ini.
49
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon.
2. Menetapkan tersebut adalah anak dari Pemohon I dan Pemohon II.
3. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara
ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,00- (Dua ratus empat
puluh satu ribu rupiah).
Demikian putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Agama Salatiga pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 M . bertepatan dengan
tanggal 12 Ramadlon 1438 H. dalam permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga oleh kami Drs. H. ANWAR ROSIDI, sebagai
Hakim Ketua Majelis, Drs. H. SALIM, S.H., M.H dan Drs. MOCH. RUSDI,
M.H, masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga
dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis
tersebut didampingi para Hakim Anggota dan dibantu oleh Dra. Hj. SITI
ZULAIKHAH, sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri Pemohon I dan
Pemohon II.
2. Kasus Putusan Permohonan Ijin pengajuan status anak kandung No
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. Di pengadilan agama salatiga.
Dalam perkara No.68p di pengadilan agama salatiga pemohon
mengajukan permohoinan izin pengajuan status anak kandung tanggal 5 mei
2017, yang terdaftar dalam dalam perkara Nomor 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
50
Berdasarkan surat permohonan izin pengajuan status anak kandung
tanggal 5 mei 2017, yang terdaftar dalam dalam perkara Nomor
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. telah mengajukan hal-hal sebagi berikut:
a. Bahwa pada tanggal 25 Mei 2017, Para Pemohon melangsungkan
pernikahan menurut agama Islam di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir,kota salatiga.
Bahwa sebelum pernikahan tersebut pada posita nomor 1, pada tanggal 30
April 2016 Para Pemohon telah melangsungkan pernikahan menurut
agama Islam di rumah orang tua Pemohon di Kauman Kidul Kecamatan
Sidorejo, Kota Salatiga yang mana akad nikahnya dilangsungkan antara
Pemohon I dengan wali nikah dan pengucapan ijabnya diwakilkan kepada
seorang tokoh agama dan Mas kawinya berupa seperangkat alat sholat dan
cicin emas 3 gram dibayar tunai.
b. bahwa dalam perkawinan tersebut Pemohon I dan Pemohon II telah
melakukan hubungan layaknya suami istri dan dikaruniai 1 orang anak
bernama Wilona Ramadhani (lahir 12 Juni 2016).
c. Bahwa sampai kelahiran anak tersebut perkawinan Pemohon I dan
Pemohon II belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama, selanjutnya
Pemohon I dan Pemohon II mencatatkan perkawinan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tingkir Kota Salatiga pada tanggal 25 Mei 2017 dan
mendapatkan kutipan Akta Nikah Nomor 0128/028/V/2017 tanggal 26
51
Mei 2017, namun demikian adanya akta nikah tersebut tidak dapat
dijadikan dasar dikeluarkannya akta kelahiran anak Para Pemohon .
d. Bahwa Para Pemohon sangat membutuhkan penetapan Pengadilan tentang
asal-usul anak tersebut sebagai dasar dikeluarkannya akta kelahiran anak
tersebut sebagai anak Pemohon I dan Pemohon II.
e. Bahwa Para Pemohon sanggup mengajukan bukti-bukti tentang asal-usul
anak tersebut.
f. Bahwa Para Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul
akibat perkara ini
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon mohon agar Ketua
Pengadilan Agama Salatiga segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai
berikut
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon
2) Menetapkan anak termohon adalah anak perempuan Pemohon I dan
Pemohon II.
3) Memerintahkan kepada Para Pemohon untuk mencatatkan kelahiran
anak tersebut di Kantor Catatan Sipil Kota Salatiga untuk dikeluarkan
akta kelahiran anak tersebut.
4) Membebankan biaya perkara menurut hukum.
52
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan,
Para Pemohon telah hadir sendiri di persidangan, pemeriksaan diawali
dengan membacakan surat permohonanPara Pemohon yang isinya tetap
dipertahankan oleh Para Pemohon.
Bahwa untuk memperkuat dalil permohonannya, Para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti surat berupa:
a. Foto kopi Surat Keterangan Pengganti Kartu Tanda Penduduk atas
nama Pemohon I Nomor : 3373/SKT/20170711/00094, tanggal 11 Juli
2017 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Salatiga, dibubuhkan materai cukup dan telah dicocokkan dengan
surat aslinya ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.1.
b. Fotokopi Surat Keterangan Pengganti Kartu Tanda Penduduk atas
nama Pemohon II Nomor : 3373/SKT/20170711/00095, tanggal 11 Juli
2017 yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Salatiga, dibubuhkan materai cukup dan telah dicocokkan dengan
surat aslinya ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.2.
c. Fotokopi Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga Nomor : 0128/028/V/2017, tanggal 26 Mei
2017, dibubuhkan materai cukup dan telah dicocokkan dengan surat
aslinya ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.3.
53
d. Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran atas nama termohon dari Dinas
Kependudukan dan Pencaatan Sipil Kota Salatiga Nomor
3373.LT.14022017.0001, tanggal 14 Februari 2017, dibubuhkan materai
cukup dan telah dicocokkan dengan surat aslinya ternyata sesuai, lalu oleh
Ketua Majelis diberi tanda P.4.
Bahwa selain surat-surat tersebut Para Pemohon juga mengajukan 2 (dua)
orang saksi yang secara terpisah telah didengar keterangannya dibawah
sumpah, masing-masing sebagai berikut:
1. Saksi 1, umur 49 tahun, agama Islam, , pekerjaan wiraswasta, tempat
kediaman di Jadi, Kauman Kidul RT. 02 RW. 04, Kelurahan Kauman
kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga
a. Bahwa saksi kenal dengan Para Pemohon karena saksi sebagai ayah
kandung Pemohon 1.
b. Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak untuk
anak Para Pemohon yang lahir tanggal 12 Juni 2016.
c. Bahwa Pemohon I sudah menikah dengan Pemohon II pada tanggal
30 April 2016 yang dilaksanakan di rumah orang tua Pemohon II di
Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.
d. Bahwa pada saat pelaksanaan pernikahan yang menjadi wali nikah para
Pemohon adalah ayah kandung Pemohon II namun pelaksanaan
ijabnya diwakilkan kepada tokoh agama, serta dua orang saksi-saksi
54
sedang mas kawin (mahar)nya berupa seperangkat alat sholatdan cincin
emas 3 gram sudah dibayar tunai.
e. Bahwa pada saat pelaksanaan pernikahan Pemohon I berstatus jejaka
dan Pemohon II berstatus perawan.
f. Bahwa pada saat pelaksanaan akad nikah Para Pemohon tidak ada
petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang hadir untuk
melakukan pencatatan pernikahannya.
g. Bahwa Para Pemohon sudah mencatatkan pernikahannya di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tingkir pada tanggal 25 Mei 2017.
2. Saksi II, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan mahasiswa, tempat
kediaman di Jadi, Kauman Kidul RT. 02 RW. 04, Kelurahan Kauman
kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.
a. Bahwa saksi kenal dengan Pemohon I karena saksi sebagai
tetangga dekat
b. Bahwa Para Pemohon bermaksud mengajukan permohonan asal-
usul anak untuk anak Para Pemohon yang lahir tanggal 12 Juni
2016.
c. Bahwa Pemohon I sudah menikah dengan Pemohon II pada tanggal
30 April 2016 yang dilaksanakan di rumah orang tua Pemohon II di
Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga
55
d. Bahwa pada saat pelaksanaan pernikahan yang menjadi wali nikah
para Pemohon adalah ayah kandung Pemohon II namun
pelaksanaan ijabnya diwakilkan kepada tokoh agamayang menjadi
saksi adalah ayah saksi sedang mas kawin (mahar)nya berupa
seperangkat alat sholatdan cincin emas 3 gram sudah dibayar tunai.
e. Bahwa pada saat pelaksanaan pernikahan Pemohon I berstatus jejaka
dan Pemohon II berstatus perawan.
f. Bahwa pada saat pelaksanaan akad nikah Para Pemohon tidak ada
petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang hadir untuk
melakukan pencatatan pernikahannya.
g. Bahwa Para Pemohon sudah mencatatkan pernikahannya di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tingkir pada tanggal 25
Mei 2017..
h. Bahwa terhadap surat bukti dan keterangan para saksi tersebut Para
Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan sesuatu apapun dan
mohon penetapan.
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon
adalah sebagaimana diuraikan di atas
56
Menimbang, bahwa pokok permasalahan Para Pemohon adalah
mengajukan permohonan untuk mendapatkan penetapan mengenai asal
usul anak Para Pemohon yang lahir pada tanggal 16 Juni 2016, karena
Para Pemohon hendak mendaftarkan guna mendapatkan akta kelahiran
untuk anak tersebut sebagai anak Para Pemohon.
Menimbang, bahwa sepanjang pemeriksaan perkara ini di
persidangan telah diteliti dan dipertimbangkan secara teliti pengakuan
Para Pemohon, bukti surat P.1 sampai dengan P.4 dan keterangan dua
orang saksi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, telah ditemukan
dan terungkap fakta-fakta sebagai berikut:
1. Bahwa pada mulanya Para Pemohon telah menikah secara Syari'at
Islam pada tanggal 30 April 2016 di rumah orang tua Pemohon II di
Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, dengan wali
nikah ayah kandung Pemohon II, di hadapan 2 orang saksi,
pengucapan ijabnya diwakilkan kepada tokoh agama .
2. Bahwa setelah menikah mereka dikaruniai seorang anak perempuan
yang lahir pada tanggal 12 Juni 2016.
3. Bahwa Para Pemohon mencatatkan pernikahannya ke Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga pada tanggal 25 Mei 2017.
57
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti
bahwa anak Para Pemohon lahir pada tanggal 12 Juni 2016, sedangkan
pernikahan Para Pemohon di bawah tangan dilaksanakan pada
tanggal 30 April 2016, dengan demikian jarak antara
dilangsungkannya pernikahan di bawah tangan Para Pemohon
dengan lahirnya anak tersebut hanya berselang selama 2 (dua) bulan
13 (tiga belas) hari.
Menimbang, bahwa selain hal tersebut dari fakta tersebut
terbukti pula Para Pemohon telah melakukan 2 kesalahan
pelanggaran terhadap aturan hukum Syar’i dan hukum menurut
ketentuan menurut undang-undang, yakni Para Pemohon telah
melanggar hukum melakukan hubungan layaknya suami istri di luar
nikah (zina) dan sewaktu melaksanakan pernikahan pada tanggal 30
April 2016 tidak mencatatkannya kepada petugas yang berwenang,
dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama dimana Pemohon II
berdomisili.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim mengutip tulisan bahwa
“Dalam Hukum Islam memberi batasan minimal kelahiran anak dari
perkawinan ibunya adalah 6 (enam) bulan, berdasarkan bunyi ayat
Al-Qur’an dalam surat 31 (Luqman) ayat 14
58
ن أن لهۥ فى عام هۥ وهنا على وهن وفص ه حملته أم لد ن بو نا ٱلنس ووصه
ك إل لد ىه ٱلمصر ٱشكر لى ولو
Artinya: Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.
Dan Al-Qur’an surat 46 (Al-Ahqaf) ayat 15
ه كرها ووضعته كرها وحمله ه إحسانا حملته أم نا النسان بوالد ووصه
ى إذا بلغ أش ه وبلغ أربعن سنة قال رب أوزعن وفصاله ثلثون شهرا حته ده
ه وعلى والديه وأن أعمل صالحا ترضاه أن أشكر نعمتك الهت أنعمت عل
ك وإن من المسلمن ت إن تبت إل ه وأصلح ل ف ذر
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia
telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya
Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang berserah diri".
Seluruh mazhab fiqh, baik Sunni maupun Syi’i, sepakat
bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan. Sebab surat Al-
Ahqaf ayat 15 menentukan bahwa masa kehamilan dan penyusuan
59
anak adalah 30 bulan, yaitu mengandungnya sampai menyapihnya,
yaitu tiga puluh bulan. Menyapih ialah menghentikan masa
penyusuan. Sedangkan surat Luqman ayat 14 menegaskan bahwa
masa menyusui itu lamanya dua tahun penuh (sebagaimana
disampaikan oleh Dr. H. Ichtiyanto, SA., SH., APU., dalam Mimbar
Hukum No. 46 Thn. XI 200, halaman 8).
Menimbang, bahwa Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Menimbang, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012 menyebutkan bahwa anak
yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan kepada yang
menghamili ibu dari anak tersebut, akan tetapi tidak menyatakan bahwa
anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan yang menghamili ibu
yang melahirkannya.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa anak yang
dilahirkan Pemohon II pada tanggal 12 Juni 2016 tidak bisa diisbatkan
hubungan nasabnya kepada Pemohon I sebagai ayah biologisnya karena
60
anak tersebut lahir sekira baru 2 bulan 13 hari dari pernikahan Para
Pemohon (dengan pernikahan di bawah tangan).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa anak yang
dilahirkan Pemohon II pada tanggal 12 Juni 2016 tidak bisa diisbatkan
hubungan nasabnya kepada Pemohon I sebagai ayah biologisnya karena
anak tersebut lahir sekira baru 2 bulan 13 hari dari pernikahan Para
Pemohon (dengan pernikahan di bawah tangan).
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, maka menurut Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, biaya perkara ini dibebankan kepada Para Pemohon
Memperhatikan, semua ketentuan peraturan perundang-undangan
dan dalil-dalil fiqhiyah lainnya yang berhubungan dengan perkara ini.
MENGADILI
1. Menolak Permohonan Pemohon.
2. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya
perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp 241.000,00 (dua
ratus empat puluh satu ribu rupiah).
61
Demikian penetapan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Agama Salatiga pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2017 M. bertepatan
dengan tanggal 26 Muharram 1439 H. dalam permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Agama Salatiga oleh kami Drs. SILACHUDIN sebagai
Ketua Majelis, Drs. H. ANWAR ROSIDI dan Drs. M. MUSLIH,
masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana pada hari Senin,
tanggal 16 Oktober 2017 M. bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1439
H. dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua
Majelis tersebut dihadiri oleh Hakim Anggota serta didampingi HJ.
WASILATUN, S.H., sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh Para
Pemohon.
62
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN HAKIM
TENTANG PENGAJUAN STATUS ANAK KANDUNG
N0 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan NO 068/Pdt.P/2017/PA.Sal.
A. Analisis Putusan No. 40P dan No. 68P. di Pengadilan Agama Saalatiga
Dengan Perundang-undangan Di Indonesia
Pada umumnya pemeriksaan perkara di Pengadilan agama mengacu pada
hukum acara perdata, kecuali yang diatur secara khusus, yaitu dalam memeriksa
perkara permohonan izin pengajuan status anak kandung yang diatur dalam
undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 43 ayat (1).
1. Analisis Putusaan No. 40P di Pengadilan Agama Saalatiga
a. Analisia Syarat Alternatif
Kesimpulan Majelis Hakim dalam perkara
Nomor.004/pdt.p/2017/PA.Sal. Bahwa berdasarkan pengajuan status anak
kandung permohon 1 dan Pemohon II, yang diperkuat dengan dalil-dalil
yang diajukan oleh saksi-saksi maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
permohonan pemohon I dan pemamohon II untuk mengajukan
permohonan status anak kandung telah cukup alasan sehingga dikabulkan.
Ketentuan bahwa Pengadilan Agama memberikan izin
permohonan pengajuan status anak kandung, apabila terpenuhi syarat
alternatif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
63
VIII/2010 tanggal 27 februari 2010, pasal 43 ayat (1) undang-undang
Nomor 1tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Menurut penulis, Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan
No.004/pdt.p/2017/PA.Sal. bertentangan dengan ketentuan KHI pasal 40
(b) “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain”. Majelis Hakim yang mengabulkan
permohonan No. 004/Pdt. p/2017/PA. Sal. Tersebut telah melakukan
penemuan Hukum dengan perluasan penafsiran Hukum. Majelis Hakim
dalam memutus perkara tersebut juga mempertimbangkan bahwa
64
meskipun perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II tidak sah namun
karena dalam perkawinan itu telah melahirkan seorang anak, maka secara
hukum harus mendapat perlindungan.
Karena dalam perkawinan tersebut telah melahirkan anak maka
Majelis Hakim juga mempertimbangkan dengan Undang-Undang RI
nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal I ayat 2 yaitu
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
b. Analisis Syarat Komulatif
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa permohonan
No.004/pdt.p/2017/PA.Sal. sudah memenuhi syarat komulatif yaitu
dengan dikuatkannya saksi-saksi yang diajukan oleh pemohon I dan
pemohon II serta berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat(1).
Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan ijin pengajuan
status anak kandung juga berpedoman dengan dalil fiqhiyah yang
tercantum dalam kitab Al fiqh Alislami wa adilatuhu jilid v halaman 690
65
“Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan
sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila
telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid
(rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi
dengan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam
akta pernikahan secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang
dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami isteri (yang
bersangkutan”
Pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan
No.004/pdt.p/2017/PA.Sal. ini menurut penulis lebih menekankan pada
nilai manfaat dalam arti anak yang dilahirkan antara pemihon I dan
pemohon II secara hukum harus mendapatkan perlindungan. Maka untuk
kepastian hukum Majelis Hakim perlu menetapkan anak yang dilahirkan
antara pemohon I dan pemohon II sebagai anak biologis. Akan tetapi
Putusan ini dapat juga memberi pengaruh negatif dalam masyarakat pada
umumnya yaitu anak yang lahir di luar pernikahan yang sah akan mudah
dalam mendapatkan status sebagai anak biologis.
66
2. Analisis Putusan No. 68P di Pengadilan Agama Saalatiga
a. Analisi Syarat Alternatif
Pada kasus permohonan izin pengajuan status anak kandung
dengan Nomor perkara No.068/Pdt.p/2017/PA.Sal. pemohon I dan
pemohon II mengajukan permohonan stautus anak kandung di Pengadilan
Agama salatiga. Dengan alasan sesuai ketentuan pasal 103 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam yaitu “Bila akta kelahiran alat bukti lainnya
tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.”
Akan tetapi perkara ini ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan tidak
terbukti memenuhi alasan berdasarkan pasal103 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam.
Sebelum melakukan penerapan Hukum dalam pertimbangan
Hukumnya, Majlis Hakim telah membuktikan benar tidaknya peristiwa
atau fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian yang diuraikan
para pemohon. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut terbukti bahwa
para pemohon melangsungkan pernikahan secara syari,at islam pada
tanggal 30 April 2016, dan dikaruniai seorang anakl pada tanggal 12 juni
2016. Dengan demikian jarak antara dilangsungkanya pernikahan di
67
bawah tangan Para Pemohon dengan lahirnya anak tersebut hanya
berselang selama 2 (dua) bulan 13 (tiga belas) hari.
Menurut pertimbangan majelis hakim yang menyimpulkan bahwa
terdapat dua kesalahan pelanggaran terhadap aturan hukum Syar’I dan
hukum menurut ketentuan undang-undang, yakni Para pemohon telah
melakukan hubungan layaknya suami istri diluar nikah (zina) dan sewaktu
melaksanakan pernikahan pada tanggal 30 April 2016 tidak
mencatatakannya kepada petugas yang berwenang, dalam hal ini Kantor
Urusan Agama dimana para pemohon berdomisili.
Majelis Hakim juga mengutip tulisan bahwa “Dalam Hukum Islam
memberi batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6
bulan, berdasarkan bunyi ayat Al-Qur’an dalam surat 31 (Luqman)
ayat 14 dan surat 46 (Al-Ahqaf) ayat 15, seluruh mazhab fiqh, baik
Sunni maupun Syi’i, juga sepakat bahwa batas minimal kehamilan
adalah enam bulan.
Majelis Hakim, juga mempertimbangkan bunyi Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”
68
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa anak yang dilahirkan Pemohon
II pada tanggal 12 Juni 2016 tidak bisa diisbatkan hubungan nasabnya
kepada Pemohon I sebagai ayah biologisnya karena anak tersebut lahir
sekira baru 2 bulan 13 hari dari pernikahan Para Pemohon (dengan
pernikahan di bawah tangan). Karena anak yang telah dilahirkan oleh
pemohonII telah dinyatakan tidak dapat diisbatkan kepada pemohon I
sebagai ayah kandubng maka permohonan Para Pemohon tidak dapat
dikabulkan atau ditolak.
Menurut pertimbangan majelis hakim yang menyimpulkan bahwa
alasan permohonan Pemohon sesuai pasal 43 ayat (1) undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut patut ditolak. Karena
hakim berpendapat bahwa para pemohon telah melakukan beberapa
pelanggaran tarhadap hukum syar’i dan hukum menurut undang-Undang.
b. Analisis Syarat Komulatif
Majelis Hakim yang memeriksa perkara No.
No.068/Pdt.p/2017/PA.Sal. Tentang permohonan pengajuan status anak
kandung tidak memenuhi syarat pada Undang-Undang No 1 tahun 1974
pasal 43 ayat (1) yaitu:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
69
Selanjutnya Majelis mempertimbangkan bahwa anak yang dilahirkan
pemohon II pada tanggal 12 juni 2016 tidak bisa diisbatkan hubungan
nasabnya kepada pemohon I sebagai anak biologisnya karena anak
tersebut lahir sekira baru 2 bulan 13 hari dari pernikahan para pemohon
dibawah tangan.
Dengan demikian putusan yang diambil oleh majelis Hakim sudah
tepat. Dikarenakan usia kelahiran anak tersebut baru 2 bulan 13 belas hari
sedangkan batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan adalah 6
bulan.
B. Analisis Putusan No. 40P dan No 68P. Di Pengadilan Agama Salatiga
Dengan Hukum Islam
1.Analisis Putusan No.40P Di Pengadilan Agama Salatiga
Majelis hakim dalam memutus perkara No.40P Di Pengadilan Agama
Salatiga yang diajukan Pemohon 1 dan Pemohon II serta dihubungkan dengan
keterangan saksi-saksi dapat dikabulkan, karena Majelis Hakim mengacu pada
dalil fiqhiyah yang tercantum dalam kitab Al-fiqh Al-Islami wa Adhilatuhu
jilid V halaman 690 sebagai berikut:
70
Artinya: Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah merupakan
sebab untuk menetapkan nasab didalam suatu kasus. Maka apabila
telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu
fasid(rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara adat,yang
terjadi dengan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa
didaftarkan didalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah
ditetapkan bahwa nasab anak yangdilahirkan olehperempuan
tersebut sebagai anakdari suami istri (yang bersangkutan).
2.Analisis Putusan No. 68P Di Pengadilan Agama Salatiga.
Didalam perkara No. 68P Di pengadilan Agama Salatiga pemohon 1
dan pemohon II dalam mengajukan permohonan pengajuan status anak
kandung ditolak oleh majelis hakim. Karena bertentangan dengan hukum
islam yang memberi batasan minimal kelahiran anak dari perkawinanan
ibunya adalah 6 (enam) bulan, dan Majelis Hakim berpendapat bahwa
menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 menyatakan bahwa “Anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya”.
Majelis Hakim juga berpendapat bahwa di tolaknya permohonan
pengajuan status anak kandung ini merupakan sanksi perzinahan sebagai
mana firmaan Allah dalam surat An-nur ayat (2) sebagai berikut:
71
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman (Qs. An-
Nur:2).
Menurut bapak Silachudin ketua Majelis yang memutus perkara No.
40P di Pengadilan Agama Salatiga. Perkara permohonan pengajuan status
Anak Kandung ditolak karena dalam faktanya anak pemohon II lahir sekira
baru berumur 2 bulan 13 hari dari pernikahan Para Pemohon (dengan
pernikahan di bawah tangan.
Agama Islam juga melarang umatnya untuk mendekati zina apalagi
melakukan zina, Allah SWT menjelaskan laragan zina dalam firmannya yaitu:
72
Artunya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk(Qs Al-
Isra‟:32).
Alquran secara tegas melarang perbuatan zina karena perbuatan
tersebut merusak sendi-sendi Agama Islam. Dan bagi pezina juga terdapat
sanksi yang berat. Tetapi pada kenyataannya kondisi sekarang ini banyak
sekali permasalahan akibat zina yang menuntut solusi terbaik tanpa terlepas
dari aturan hukum Islam.
Dalam Hukum Islam pengajuan permohonan yang di kabulkan adalah
berdasarkan pada kemaslakhatan bagi umat muslim itu sendiri, dan secara
Hukum harus mendapatkan perlindungan maka untuk kepastian hukum perlu
ditetapkan sebagai anak biologis. Islam hanya mengakui hubungan darah
(nasab) seseorang melalui jalinan perkawinan yang sah. Ini bisa dipahami
langsung dari salah satu tujuan pernikahan adalah untuk meneruskan
keturunan. Artinya, ketika seseorang telah melangsungkan akad nikah,
kemudian mereka bercampur(melakukan hubungan suamiistri) dan
memperoleh keturunan, maka anak yang dilahirkan tewrsebut adalah sah dan
dinasabkan ayahnya. Namun sebaliknya, jika keturunan yang diperoleh diluar
ikatan perkawinan, baik dilakukan dengan suka rela(perzinahan) atau paksaan
(perkosa), maka dalam hal ini, anak yang dilahirkan dinasabkan padaq si ibu
yang melahirkanya, bukan pada siayah.
73
C. Tabel persamaan dan perbedaan perbandingan putusan No
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017PA.Sal
Untuk memudahkan dalam memahami persamaan dan perbedaan
perbandingan putusan No 040/Pdt.P/2017/PA.Sal. dan No 068/Pdt.P/2017PA.Sal
Penulis menyajikan tabel sebagai berikut pada lembar berikutnya:
74
no no putusan jeda waktu nikah
agama pertimbangan
hakim persamaan perbedaan hasil
sampai kelahiran anak putusan
1 040/Pdt.P/2017/PA.Sal 17 jan 2013 sampai 5 sep 2013 putusan MK
perkawinan di anggap
melanggar iddah
Di kabulkan
(7 bulan lebih 22 hari) no 46/PUU-VIII/2010 tidak sah
tgl 27 feb 2010
kitab Al Fiqh Al Islami Wa
Adilatuhu jild V hal 690
2 068/Pdt.P/2017/PA.Sal 30 april 2016 sampai 12 jun 2016 putusan MK
perkawinan di anggap
melakukan hubungan Di tolak
(2 bulan 13 hari) no 46/PUU-VIII/2010 tidak sah
di luar nikah (zina)
tgl 17 feb 2012
surat Al Luqman ayat 14
surat Al Ahqaf ayat 15
75
Adapun dari keterangan tabel di atas yang menjadi hasil analisa penulis adalah
bahwa dasar yang dipergunakan Majelis Hakim untuk memutus perkara adalah
tentang batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 bulan.
Berdasarkan bunyi surat Al Ahqaf ayat 15 yang menyatakan bahwa masa
kehamilan dan penyusuan anak adalah 30 bulan, dan di pertegas dengan surat Al
Luqman ayat 14 bahwa masa menyusui itu lamanya dua tahun(24 bulan).
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat dan mencermati, uraian bab pertama sampai dengan bab ke
empat sekripsi ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar yang dipergunakan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
pengajuan permohonan penetapan status anak kandung dengan No.
040/pdt.P/2017/PA.Sal yang mengabulkan para pemohon adalah berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari
2010, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Walaupun penulis
77
berpendapat bahwa penetapan putusan yang bersifat mengabulkan bermula
dari keyakinan Hakim terhadap dalil fiqhiyah yang tercantum dalam Kitab Al
Fiqh Al Islami wa Adilatuhu jilid V hal. 690.
2. Dasar yang dipergunakan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
pengajuan permohonan penetapan status anak kandung dengan NO
068/Pdt.P/2017/PA.Sal. yang bersifat menolak adalah :
a) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17
Februari 2012 menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar nikah
mempunyai hubungan keperdataan kepada yang menghamili ibu dari anak
tersebut, akan tetapi tidak menyatakan bahwa anak tersebut mempunyai
hubungan nasab dengan yang menghamili ibu yang melahirkannya.
b) Para Pemonon dianggap melanggar 2 kesalahan yaitu melakukan hubungan
di luar nikah layaknya suami istri (zina) dan dianggap tidak mencatatkan
pernikahannya di KUA setempat.
c) Majelis Hakim juga mempunyai keyakinan yang kuat untuk menolak para
pemohon dengan dalil hukum Islam yang memberi batasan minimal
kelahiran anak dari perkawinan ibunya adalah 6 bulan berdasarkan bunyi
ayat Al-Quran dalam surat Lukman ayat 14 dan surat Al-Ahqaf ayat 15
serta seluruh madzab fiqh baik sunni maupun syi’ah sepakat bahwa batas
minimal kehamilan 6 bulan.
78
3. Tinjauan Hukum Islam terhadap penasaban anak yang dihasilkan di luar
perkawinan yang sah :
a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dalam hal ini dianggap
Zina maka anak hanya bisa dinasabkan pada ibu kandungnya berdasarkan
hadis bahwa
“Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...”
(HR. Abu Dawud)
b. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah ( tidak dicatatkan di
KUA) tapi melakukan pernikahan adat atau nikah tradisional dapat
ditetapkan nasabnya sebagai anak dari suami istri yang bersangkutan. Hal
ini berdasarkan dalil yang tercantum dalam Kitab Al Fiqh Al Islami wa
Adilatuhu jilid V hal. 690.
B. Saran
Perkawinan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-lakidan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
kedua belah pihak yang mempunyai kedudukan sakral, yang bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah rumah tangga yang sakinah,
mawaddah,warahmah dan bertujuan membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan serta mencegah perzinaan dan menjaga ketentraman jiwa atau batin.
Majelis Hakim hendaknya berhati-hati dalam memeriksa dan memutus perkara
79
permohonan penetapan status anak kandung karena putusan tarsebut akan
berakibat besar terhadap status anak.
Kepada semua pihak, terutama kepada pasangan suami istri yang baru
melangsungkan perkawinan dibawah tangan atau pernikahan secara agama
sebaiknya bersegeralah untuk mencatatkan pernikahanya di Kantor Urusan
Agama setempat. Agar perkawinanya di akui oleh negara dan tidak
menimbulkan suatu masalah di kemudian hari ketika di karuniai seorang anak
yang ingin mendapatkan akta nikah.
80
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Fatah, rohadi abdul. 2010. Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta:PT
Bumi Aksara
Arto, mukti H.A. 1998. Praktek perkara perdata, Yokyakrta:pustaka pelajar
Khusen, Moh. 2013. Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim. Salatiga :
STAIN Salatiga Press.
Djamil, faturrahman. 2013 Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat
Hukumnya.Jakarta:Firdaus
Djatikumoro, Lulik.2011 Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.
Farkhani. 2011. Ilmu Hukum, Yogyakarta:STAIN Salatiga Press
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 43 tentang perkawinan
Undang-undang RI nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
Luis Ma’luf, Munjid, Beirut : Daar El-Mashreq, 1975, hlm. 310 dan 836
Ghozali, Diktat Fiqh Munakahat, hlm. 6
Taqiyuddin Ibn Muhammad Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, hlm. 268.
81
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, Semarang : Aneka Ilmu, 1990, hlm. 1
Poerwadarminto. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia , Jakarta:Balai Pustaka
1 Lulik Djatikumoro, Hukum Pengangkatan Anak Di Indonesia, Bandung : PT Citra
AdityaBakti, 2011, hlm 6
H, Arso Sosroatmodjo,h.A Wasit aulawi,Hukum Perkawinan di indonesia
dindonesia,jakarta:1975,hal70
http://ibuhamil.com/ngobrol-apa-saja/77243-anak-hasil-di-luar-nikah-bagaimana-
islam-mengaturnya.html
Sumber: http://ibuhamil.com/ngobrol-apa-saja/77243-anak-hasil-di-luar-nikah-
bagaimana-islam-mengaturnya.html
Like us: IbuHamil.com on Facebook - @infoibuhamil on Twitter