Upload
dhanie-ardhan-alvar-pospos
View
192
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS
HUKUM DAGANG
“ PERBEDAAN HUKUM LINGKUNGAN
SEBELUM DAN SESUDAH ADANYA UU NO.
32 TAHUN 2009”
NAMA : WINNI UTARI
NIM : 1003101010135
I. PENDAHULUAN
Lingkungan hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari pada-Nya dan wajib
dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi
kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri
Masalah lingkungan hidup dewasa ini timbul karena kecerobohan manusia dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa
dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian yang
tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional,
karena dapat dikatakan Ia sebagai kekuatan yang mendesak untuk mengatur
kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan kebutuhan sumber daya alam,
dengan tetap menjaga kelanjutan dan kelestarian itu sendiri.
Dua hal yang paling essensial dalam kaitannya dengan masalah pengelolaan
lingkungan hidup, adalah timbulnya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Secara Yuridis formal kebijaksanaan umum tentang lingkungan hidup di Indonesia
telah di tuangkan dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan
Pokok Lingkungan Hidup, yang sejak tanggal 19 September 1997 telah diundangkan.
Undang-Uundang baru sebagai penggantinya yaitu Undang-Undang No.23 Tahun
1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang merupakan ketentuan Undang-
Undang paying terhadap semua bentuk peraturan-peraturan mengenai masalah di
bidang lingkungan hidup. Banyak prinsip ataupun azas yang terkandung dalam
U.U.P.L.H tersebut, sangat baik untuk tujuan perlindungan terhadap lingkungan
hidup beserta segenap isinya. Namun demikian untuk penerapannya masih perlu di
tindak lanjuti dengan berbagai peraturan pelaksana agar dapat beroperasi
sebagaimana yang diharapkan.
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah. Hal ini merupakan
dampak dari pola pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tak
bertanggung jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan. Hampir setiap hari
berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup mewarnai media masa, seperti
bencana banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi lumpur Lapindo, dan lain-lain.
Seiring dengan itu, muncul pula berita terungkapnya pembalakan liar, pembakaran
hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau proyek lain yang tidak mengindahkan
tata letak dan prosedur perizinan dan masih banyak lagi perilaku yang tak terpuji
yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Namun ironisnya,
permasalahan penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup
justru sangat lemah. Hukum Lingkungan Hidup nyaris tumpul dan tak berdaya
menghadapi berbagai perkara kejahatan lingkungan. Selama ini, kekecewaan atas
putusan pengadilan tampaknya cenderung ditimpakan kepada para penegak hukum
saja, yang dinilai tidak profesional dan integritasnya diragukan. Hal tersebut memang
tidak bisa dimungkiri, namun sebenarnya ketentuan hukumnya juga masih banyak
kelemahaan dan harus segera direvisi. Pada kenyataannya, UUPLH, 1997 sudah tidak
relevan lagi/tidak bisa optimal dalam melindungi lingkungan hidup dari perilaku
tidak terpuji para pelaku kejahatan lingkungan dan sekaligus memberikan
penghukuman yang setimpal bagi pelakunya.
Menurut Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, MSc, yang disampaikan pada
pembahasan RUUPPLH sebelum di sahkan tanggal 8 September 2009, Sumber
kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia banyak
berpangkal pada dua masalah utama, yakni masalah kelembagaan/ struktural dan
lemahnya pentaatan hukum. Ada dua fakta penting yang membuktikan hal ini.
Pertama, studi terbaru yang diterbitkan oleh KLH-DANIDA dan ditulis oleh Prof.
Maria Sumardjono et al (2008) menyimpulkan 13 UU yang mengatur penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (termasuk UU No 23 Tahun 1997),
ternyata satu sama lain saling tumpang tindih dan tidak komplemen bahkan
cenderung sebagai saling menegasikan. Temuan ini penting untuk disikapi oleh DPR.
Jangan sampai UU PLH yang baru justru menambah kerumitan dan kompleksitas
yang sudah ada. Kedua, hasil studi Kementerian Koordinasi Perekonomian (2007)
tentang Daya Dukung Pulau Jawa yang menyimpulkan bahwa salah satu penyebab
terlampauinya daya dukung Pulau Jawa adalah masalah kelembagaan. Sekitar 63
persen Perda (atau 176 Perda) yang diterbitkan oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota
se Jawa berorientasi ekstratif terhadap sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan
daya dukung lingkungan. Sisanya 31 persen Perda (atau 85 Perda) berorientasi
kolaboratif, dan hanya 6 persen saja (atau 17 Perda) yang berorientasi devolusi
pengelolaan sumberdaya alam.
Selain itu, sudah sepatutnya, RUU PLH mengintegrasikan lingkungan dalam
pembangunan ekonomi, termasuk menghitung degradasi lingkungan dalam neraca
ekonomi nasional dan sudah selayaknya RUU PLH sebagai UU yang mengikat UU
sektor lain. Artinya, faktor lingkungan menjadi acuan kebijakan sektor lain. RUU ini
diberi nama RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Alasannya,
kondisi lingkungan terkini membutuhkan penanganan lebih dari sekadar aturan-
aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan.
Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagai pengganti UUPLH, 1997
diharapkan dapat mengakomodir nyaris semua persoalan substansial, struktural, dan
kultural yang tidak dapat diatasi oleh UUPLH, 1997.
II. PEMBAHASAN
A. UUPLH no 23 Tahun 1997 Vs RUU PPLH no 32 Tahun 2009
Secara umum, perbedaan antara UUPLH, 1997 Dengan Rencana Undang-Undang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RUUPPLH), 2009 dapat dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. PERBEDAAN STRUKTUR (BATANG TUBUH)
a) UUPLH (UU No 23/1997) terdiri dari 11 bab dan 52 pasal
b) RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup 2009 yang telah disahkan tanggal 8
September 2009 terdiri atas 18 bab dan 86 pasal
2. PERBEDAAN MATERI
A. UUPLH UU No 23/1997
Isi UUPLH saat ini UU No 23/1997 lebih menitik beratkan pada isu
pencemaran lingkungan hidup brown issue, sedangkan pengelolaan sumberdaya alam
meskipun telah diatur dalam berbagai Undang-undang, namun terbatas pada masing-
masing komoditas (hutan, tambang, perkebunan), sedangkan implikasi terhadap
dampak negatif kumulatif di wilayah tertentu, belum ada yang mengaturnya.
1. kelembagaan pemerintah, termasuk hubungan pusat dan daerah, belum
mempunyai sinergi dan kapasitas untuk menjalankan kebijakan, baik yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya alam maupun pengelolaan lingkungan hidup.
2. Ruang lingkup pengelolaan lingkungan hidup sebatas pada
pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan pencemaran lingkungan
3. Azas subsidaritas
B. RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009
1. Dalam Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada
pengaturan yang memberikan kewenangan kuat kepada penyidik pegawai
negeri sipil. Wewenangnya mulai dari memeriksa kebenaran laporan, dokumen,
hingga menangkap dan menahan pelanggar lingkungan.
2. PPNS. Pada Bab XV tentang Penyidikan, terdapat sembilan kewenangan
PPNS, seperti memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/badan hukum,
meminta keterangan dan bukti, serta memeriksa pembukuan, catatan, dan
dokumen. Lainnya, menyita bahan dan barang hasil pelanggaran, meminta
bantuan ahli terkait penyidikan, memasuki lokasi untuk memotret, dan
membuat rekaman video. Terakhir, wewenang menangkap dan menahan
tersangka pelanggar lingkungan.
3. Dalam RUU PLH yang baru terkandung keinginan untuk memberi mandat
yang lebih luas kepada lingkup pengelolaan lingkungan. Ranah pengelolan
lingkungan hidup yang semula sebatas pada urusan kebijakan pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan pencemaran lingkungan; tampak diperluas
ke: i) alokasi dan fungsi ruang dan ii) pemanfaatan dan/atau pencadangan
sumberdaya alam.[1] Pasal 5, 6, 7, dan 8
4. Dalam RUU PLH, pemulihan diletakkan sebagai bagian elemen pengendalian
(bagian keempat dari Bab V Pengendalian, Pasal 23 dan 24), disamping itu
pemulihan atas kerusakan dan pencemaran yang selama ini telah terjadi belum
secara eksplisit dinyatakan untuk diatasi oleh negara dalam Pasal 23 dan 24.
Dalam RUU PLH, pemantauan hanya diletakkan sebagai bagian dari
kewenangan pejabat pengawas (Pasal 30). DalamPasal 7. kewajiban
pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam UU No. 23 Tahun 1997. Dari
penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan pembangunan berkelanjutan
sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan program
pembangunan.
5. penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu
diharapkan mencegah kerusakan lingkungan dengan peningkatan akuntablitas,
penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen Amdal, penerapan sanksi
hukum bagi pelanggar bidang Amdal, dan Amdal sebagaipersyaratan utama
memperoleh izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan
dan izin usaha/kegiatan.
6. Sistem hukum dapat ditegakkan oleh pejabat pengawas dengan penghentian
pelanggaran di lapangan dengan pemberlakukan UU PPLH. Begitu pula
penangkapan, penahan, hasil penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik PNS
yang dibawa ke jaksa penuntut umum (JPU) bersama kepolisian. Pemberi izin
lingkungan tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas
pengawasan lingkungan dapat dipidana. (bila pejabat publik yang berwenang
dengan sengaja melakukan tindakan yang menimbulkan kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup dapat dipidana setahun dan didenda Rp1 miliar)
B. UU PPLH No 32 Tahun 2009
Sejak tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang
kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih
menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan
mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang
terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan
Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang,
baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal,
upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,
perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-
undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup,
analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan
global;
8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi,
dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
lebih efektif dan responsif; dan
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk
melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain.
Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas
kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-
Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan
koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan
portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai
ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan
konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut
dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang
memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang
memadai untuk pemerintah daerah.
Kita semua berharap, kehadiran UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH ini akan
dapat memberikan lebih banyak manfaat dalam upaya kita, baik pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup
secara lebih baik dan bijaksana, sehingga apa yang menjadi titipan anak cucu kita
dapat kita serahkan kembali dalam kondisi yang masih layak. Semoga.
Pergantian adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, secara filosofi Undang-undang ini memandang dan menghargai bahwa arti
penting akan hak-hak asasi berupa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
bagi warga negara.
Munculnya konsep perlindungan hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1974 oleh
Rene Cassin dalam perkembangannya memasukan juga hak atas lingkungan yang
sehat dan baik (the right to a healthful and decent environment).Hal ini
dilatarbelangkani adanya persoalan lingkungan (khususnya pencemaran industri)
yang sangat merugikan perikehidupan masyarakat.
Secara implisit perlindungan dan fungsi lingkungan hidup telah dinyatakan dalam
instrumen hak asasi manusia, internasional covenant on economic, social and culture
right (ICESCR), namun pengakuan secara eksplisit hak atas lingkungan hidup yang
sehat (right to a healthy environment) dimulai dalam Deklarasi Stockholm dan
Deklarasi Rio sebagai non binding principle. Dalam berbagai konsitusi ditingkat
nasional, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik telah diakui seperti halnya
Konsitusi Afrika Selatan, Korea Selatan, Equador, Hungary, Peru, Portugal dan
Philippines.
Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui
dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang
Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di
Indonesia diakui sebagai HAM melalui ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia . Di salah pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM
menetapkan bahwa,” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik.
Dalam perkembanganya dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, di Bab HAM dan Kebebasan Dasar Manusia,dibawah bagian Hak untuk
Hidup.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD
1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat
semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu dilakukan suatu
perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk
mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.
UU No 32 Tahun 2009, juga memasuhkan landasan filosofi tentang konsep
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan
ekonomi . Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan
lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi.
Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah,
dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.
Reformasi yang ingin dibangun pada UU No.32 tahun 2009 , adanya era otonomi
daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah. Bukan
rahasia lagi bahwa dengan otonomi daerah yang ditandai adanya UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, telah memberi suatu kekuasaan pada raja-raja baru
di daerah dengan membabat habis sumber daya alam kita, baik berupa hutan,
tambang, perkebunan dan lain-lainnya. Yang semua itu tidak memperhatikan
lingkungan dan dianggap tidak penting lingkungan itu.
Kedepan dengan terbitnya UU No.32 Tahun 2009, yang filosofinya begitu
menghargai lingkunga, agar setiap orang menghormati hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat, tidak sewenang-wenang dalam memandang alam nan indah ini.
Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak
dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal
diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32
Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak
besar”. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup ……”, pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan
bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan .
Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat
dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan
implikasi yang besar bagi para pelakuAMDAL, termasuk pejabat pemberi izin.
Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32
Tahun 2009, antara lain:
1. AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun
dokumen AMDAL;
3. Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki
lisensi AMDAL;
4. Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin
lingkungan;
5. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
kewenangannya.
Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan
dalam UU No. 32 Tahu 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait
pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi
tersebut, yaitu:
1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan;
2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki
sertifikat kompetensi;
3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa
dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.
Kaitan UU No. 32 Tahun 209 dengan Peraturan Menteri LH No. 11 Tahun 2008:
Sebelum disahkannya UU No. 32 Tahun 2009, KLH sudah menerbitkan
peraturan menteri yang mengatur tentang Persyaratan Kompetensi Penyusun
Dokumen AMDAL (Permen. LH No. 11 Tahun 2008). Pada Pasal 4 Permen. LH No.
11 Tahun 2008 disebutkan bahwa persyaratan minimal untuk menyusun suatu
dokumen AMDAL adalah 3 (tiga) orang dengan kualifikasi 1 orang Ketua Tim dan 2
orang Anggota Tim yang kesemuanya sudah memiliki sertifikat kompetensi.
Sementara amanat dalam UU No. 32 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 28
adalah ”Penyusun dokumen sebagaimana … wajib memiliki sertifikat penyusun
dokumen AMDAL”. Jika yang dimaksud “penyusun dokumen AMDAL” pada
undang-undang lingkungan yang baru adalah seluruh tim yang ada dalam suatu
proses penyusunan dokumen AMDAL, maka dengan demikian Permen. LH No. 11
Tahun 2008 Pasal 4 sudah tidak berlaku lagi. Implikasinya selanjutnya adalah masa
berlakunya persyaratan tersebut harus mundur sampai ada peraturan menteri yang
secara rinci mengatur tentang hal itu sesuai amanat dalam Pasal 28 Ayat (4) yang
memberikan kewenangan kepada KLH untuk membuat peraturan yang mengatur
lebih rinci hal tersebut..
III. . KESIMPULAN
Meskipun dalam banyak hal RUUPPLH, 2009 secara substansial jauh lebih baik
dan terperinci dibandingkan dengan UU PLH, 1997, namun ada beberapa hal yang
masih menjadi kelemahan, antara lain :
1. RUU PLH justru tampak ‘mundur kebelakang” yang ditunjukkan dengan
hanya memperkuat instrumen yang cenderung bersifat reaktif seperti AMDAL.
Yang menguat di dalam RUU PLH justru instrumen AMDAL. Ada 9 Pasal di
dalam RUU PLH yang mengatur tentang AMDAL. Jauh lebih banyak dari pada
UU PLH No 23 Tahun 1997 yang mengatur AMDAL hanya di 3 Pasal.
penguatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Upaya itu
diharapkan mencegah kerusakan lingkungan dengan peningkatan akuntablitas,
penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen Amdal, penerapan sanksi
hukum bagi pelanggar bidang Amdal, dan Amdal sebagai persyaratan utama
memperoleh izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan
dan izin usaha/kegiatan.
2. Di dalam RUU PLH, KLHS tampak hanya ditempatkan sebagai pelengkap
dalam tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 40, 41,
dan 42). Padahal pengendalian kerusakan sumberdaya alam maupun
pencemaran lingkungan hidup tidak akan efektif apabila tidak disertai
instrumen KLHS untuk mencegahnya pada tingkat kebijakan, rencana maupun
program. KLHS mempertimbangkan unsur-unsur keterkaitan, keseimbangan
serta keadilan; seperti keterkaitan antar daerah, keseimbangan antara unsur-
unsur ekonomi, sosial dan ekologi serta keadilan bagi masyarakat sebagai
penerima dampak. RUU PLH perlu memberi mandat kepada pemerintah untuk
membuat Peraturan Pemerintah yang memerinci pelaksanaan KLHS tersebut.
Kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KHLS). Hal ini tidak terdapat dalam UU No. 23
Tahun 1997. Dari penerapan KHLS dalam UU PPLH diharapkan pembangunan
berkelanjutan sebagai dasar dan integrasi suatu kebijakan, rencana, dan
program pembangunan.
3. Total terdapat 26 kewenangan baru bagi KNLH, sejumlah kewenangan yang
diatur, di antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar
dan penting, mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH
dan daerah, mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan
dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan
menahan orang, serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian
terhadap negara. Ada juga kewenangan membuat kajian lingkungan hidup
strategis secara nasional untuk pembangunan wilayah, perencanaan, dan
program. Sebagaimana disebutkan oleh Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas
Achmad Santos, penambahan kewenangan tersebut membutuhkan syarat
pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan ketat pelaksanaan di
lapangan. Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa menjadi sumber
penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi (Kompas, September 2009)
DAFTAR PUSTAKA.
1. J.B. Daliyo, S.H, Pengantar Hukum Indonesia – Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhallindo, Jakarta, Tahun 2001.
2. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia - Bogor, Cetakan: Tahun 1995.
3. R. Subekti, SH, Prof., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – Burgerlijk Wetboek, Pradnya Paramita - Jakarta, Cetakan: Tahun 2009.
4. M. Karjadi, Kombes Pol pnw, R. Soesilo, Ajun Kombes Pol pnw, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politeia – Bogor, Cetakan: Tahun 1997.
5. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Citra Umbara – Bandung, Cetakan: Nopember 2009, dilengkapi:-UU RI No. 23 Tahun.1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup-PP RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.-PP RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.-PP RI No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.-PP RI No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.-KEPMEN Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2009.
6. Koesnadi Hardjasoemantri, SH, Prof., Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,Yogyakarta,l999.
7. Moenadjat Danusaaputro, Hukum Lingkungan, Buku I s./d V, Bina Cipta, Jakarta, l982
8. Siti Sundari Rangkuti, Prof., Hukum dan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya,2005
9. http://lingkarhayati.wordpress.com/2010/03/28/perbedaan-antara-uunri-no-23-tahun-1997-tentang-lingkungan-hidup-dengan-undang-undang-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup-uupplh-no-32-tahun-2009/