Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERCERAIAN AKIBAT SUAMI RIDDAH
(Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR. dan Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
YAOMIL AGUS MUHARRAMNIM. 106044101445
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “Perceraian Akibat Suami Riddah (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama
Bogor Perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor
378/Pdt.G/2009/PA.JP) ”, telah diujikan dalam munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Senin tanggal 23 September 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 23 September 2010Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, MMNip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN1. Ketua : Drs H. A. Basiq Djalil, SH, MH
Nip. 195003061976031001
(.........................)
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH
Nip. 197202241998031003
(.........................)
3. Pembimbing I : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, MA
Nip. 195507061992031001
(.........................)
4. Pembimbing II :
Dr. JM Muslimin, MA
Nip. 150295489
(.........................)
5. Penguji I :
6. Penguji II :
Kamarusdiana, S.Ag, MH
Nip. 197202241998031003
Hotnidah Nasution, S.Ag, MA
Nip. 197106301997032002
(.........................)
(.........................)
iv
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا هللا مسب
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT., karena rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum
Islam pada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Dr. Phil. JM. Muslimin, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi yang tak pernah
henti-hentinya.
5. Dr.H.Yayan Sopyan M.Ag selaku dosen Penasehat Akademik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis,
semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
7. Orang tua tercinta Bapak Fahyumi dan Ibu Asmawati yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu
memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materiil, dan adik-adikku tercinta Nur
Oktavianti Lestari, Yunia Rahmawati Fahmi dan Hilma Nayluzukka
8. Keluarga Besar Yayasan Pondok Pesantren Maj’maul Bahrain
iv
9. Sahabat-sahabat penulis Siti Khadijah, M.Taqiyuddin al-Qisty, Tubagus Chaerullaily, AlAzhar Yusuf, yang selalu
membantu dan memberikan motivasi.
10. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2006 khususnya kelas B, dan juga anak-anak Kos Cantik penulis
senang berteman dengan kalian.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah SWT. Amin.
Jakarta, 01 September 2010 22 Ramadhan 1431
Penulis
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. …….. i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... ......... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ......... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ......... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ........ vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ...................................................... 11
D. Studi Review ….............................................................................. 12
E. Metode Penelitian…........................................................................ 14
F. Kerangka Teori……………………………………………………. 18
G. Sistematika Penulisan ……………………………………………. 20
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian………………….......................................... 22
B. Dasar Hukum Perceraian................................................................. 25
C. Macam-macam Perceraian.............................................................. 27
D. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian…………................................ 36
E. Akibat Hukum Dari Perceraian....................................................... 39
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA TENTANG RIDDAH
A. Pengertian Riddah……………………........................................ 41
B. Dasar Hukum Riddah……………………................................... 45
C. Macam-macam Riddah…………................................................. 47
D. Sebab-sebab Terjadinya Riddah……........................................... 49
E. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Riddah................... 54
BAB IV : DATA PENELITIAN DAN ANALISA
A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara No
49/Pdt.G/2010/PA.BGR
vi
1. Duduk Perkara......................................................................... 58
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim..................................... 59
3. Penetapan Putusan Perkara...................................................... 60
B. Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No
378/Pdt.G/2009/PA.JP
1. Duduk Perkara........................................................................ 60
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim.................................... 61
3. Penetapan Putusan Perkara..................................................... 63
C. Analisis Penulis
1. Analisis Dengan Pendekatan Fiqh……...…………...…........ 63
2. Analisis Dengan Pendekatan Ushuliyyah.................….......... 68
3. Analisis Dengan Pendekatan Perundang-undangan ……….. 70
4. Analisis Dengan Pendekatan Perbandingan Hukum……….. 73
5. Analisis Dengan Pendekatan Hadhanah……………………. 75
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 78
B. Saran …………………............................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 82
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ 86
LAMPIRAN
Lampiran 1. Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara Nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR
Lampiran 2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor
378/Pdt.G/2009/PA.JP
Lampiran 3. Surat Pernyataan Bahwa sudah melakukan Observasi dan Wawancara
Lampiran 4. Surat Permohonan Bimbingan Skripsi
Lampiran 5. Surat Permohonan Observasi ke Pengadilan
vi
21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Kehidupan
manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan manusia lainnya tidak dapat dibatasi karena
sudah menjadi kodratnya, sebagai makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu
bersama, tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir batin yang cukup kuat diantara manusia yakni, dengan suatu
jalan perkawinan. Karena dengan suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami isteri
yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa.
Aris Toteles seorang filosofi Yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa manusia
adalah Zoon Politicon yaitu selalu mencari manusia yang lainnya untuk hidup bersama kemudian
berorganisasi. Hidup bersama merupakan suatu gejala yang biasa bagi seorang manusia dan
hanya manusia-manusia yang memiliki sifat- sifat tertentu sajalah yang mampu hidup
mengasingkan diri dari orang lain di sekitarnya. Dengan bentuknya yang kecil hidup bersama itu
dimulai dengan adanya suatu keluarga.1
Suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan bagian terkecil dari
masyarakat yang di dalam hidupnya pasti mempunyai sengketa baik di lingkungan keluarga
maupun sengketa di lingkungan masyarakat. Karena di Indonesia terdapat beberapa Badan
Peradilan, maka sengketa itu dapatlah untuk diselesaikan. Salah satunya adalah Pengadilan
Agama, yang fungsi dari pengadilan tersebut adalah sebagaimana tercantum didalam ketentuan
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 2 yang berbunyi ”Peradilan
Agama merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
bagi yang beragama islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini“.
Selain itu dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
1 Lilik Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), Hal 1
21
jo Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang bergama islam dibidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infak, Shodaqoh, dan Ekonomi syari’ah.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa2
. Masalah perkawinan sangat terkait juga dengan akad, dimana akad perkawinan dalam
hukum islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan disana terhadap ikatan suci yang
terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah SWT3
. Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Tujuan yang kedua adalah untuk menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat
lahirnya generasi yang berdiri diatas landasan yang kokoh dan teratur tata sosialnya.5
Pada dasarnya perkawinan merupakan perwujudan dari rasa ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan sangat erat hubungannya dengan agama. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal l disebutkan bahwa Pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang Pria dengan seorang Wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”.6
2 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta : Akademika Presindo, 1986), cet I,64 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2007),cet II, h.40-41 4 Undang-undang Perkawinan Indonesia, Undang-ndang No.1, LN No.1 Tahun 1974, TLN No.3019. Pasal.1 5 Abuttawad Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami dalam Islam vs Poligami Barat, (Jakarta : CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993),cet 1, h. 8-96 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
21
Oleh karena itu setiap perkawinan dicatat sebagai perbuatan keagamaan yang mengandung
nilai-nilai ibadah dan moral untuk mewujudkan ketenteraman hidup baik lahir maupun batin. Selain daripada
itu, perkawinan juga dicatat sebagai suatu perbuatan hukum karena menyangkut hubungan hukum antara dua
belah pihak yang bersangkutan.
Untuk mengatur perkawinan sebagai perbuatan hukum, maka negara menetapkan peraturan yang
akan menjadi dasar atau acuan bagi masyarakat yang akan melaksanakan perkawinan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang telah disahkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 02
Januari 1974, merupakan pedoman bagi pemeluk agama Islam yang berisi tentang tata cara perkawinan. Pada
pasal 1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Sedangkan pada pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan tentang keabsahan perkawinan yang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu.”
Berdasarkan dari bunyi pasal tersebut diatas telah jelas bahwa ikatan lahir batin yang dilakukan
antara seorang pria dengan seorang wanita, bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan.
Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, kita dapat mengartikan adanya prinsip kebebasan
beragama bagi setiap warga Negara. Hal ini sejalan dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menjamin tentang
kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing yang mana hal tersebut dilihat dari
keabsahan perkawinan, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing.
Dengan adanya Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo
Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang No 7 Tahun 1989 Tentang
Pengadilan Agama maka, Pengadilan Agama mempunyai wewenang untuk memeriksa sengketa
perkawinan bagi mereka yang beragama islam dan keputusannya telah berkekuatan hukum.7
7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Agama, Bandung : Mandar Maju,1990,Hal. 204.
21
Adapun wewenang tersebut sebagaimana terdapat dalam penjelasan Undang-undang
No 7 Tahun 1989 jo Undang-undang No 3 Tahun 2006 pasal 49 adalah sebagai berikut :
1. Ijin beristeri lebih dari seorang.
2. Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun,
dalam hal orang tua wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
3. Dispensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri.
8. Perceraian karena talaq.
9. Gugatan perceraian.
10. Penyelesaian harta bersama.
11. Penguasaan anak-anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang syah tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut.
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya.
21
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak dibawah harta
kekuasaannya.
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum islam.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran.
22. Pernyataan tentang syahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.
Perbuatan pindah agama (riddah) menurut syara’ adalah keluar dari agama Islam, baik menjadi
kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan perkawinan, murtadnya (orang yang melakukan pindah
agama) salah satu pihak, baik atas kemauan sendiri maupun karena bujukan dari orang lain akan dapat
mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas
pertimbangan keselamatan agama dari wanita yang beragama Islam, dan dikhawatirkan anak-anaknya akan
mengikuti agama bapaknya yang bukan Islam. Ada beberapa alasan atau sebab seseorang untuk pindah agama
yaitu :
1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri
2. Karena adanya tekanan atau ancaman yang memaksanya untuk pindah agama
3. Karena tertarik dengan ajaran agama lain
4. Karena belum mengetahui atau mengerti akibat dari perbuataannya, bahwa murtadnya itu akan
berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya.
Demikian juga dalam kitab-kitab fiqh diantaranya fiqh as-sunnah karangan sayyid sabiq, status
perkawinan bagi salah satu pihak yang keluar dari agama Islam atau riddah, dijelaskan sebagai berikut :
Artinya : “Apabila suami murtad, maka putuslah hubungan perkawinan karena riddahnya salah satu dari
suami isteri itu adalah hal mewajibkan pisahnya mereka”.8
8 Sayyid Sabiq, Fikih as-Sunnah, (Beirut : Daar El Fikr, 1983), juz 8, Jilid II, h.389.
21
Pada hakekatnya mentalaq seorang istri memang menjadi hak dari suami tetapi istri
juga dapat mengajukan gugatan perceraian kepada suami. Salah satu alasan yang dapat
digunakan adalah apabila suami murtad (riddah). Dari faktor tersebut antara suami istri sering
terus menerus terjadi pertengkaran dan percekcokan dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangganya. Didalam agama islam apabila salah seorang dari suami atau istri
keluar dari agama islam atau murtad (riddah), maka putuslah perkawinan mereka dan suatu
perkawinan itu putus ketika Hakim Pengadilan Agama telah memfasakhkan perkawinan tersebut
artinya telah diputuskannya hubungan perkawinan atas permintaan salah satu pihak karena
faktor-faktor tertentu. Allah juga melarang terjadinya perkawinan yang berbeda agama.9
Menurut Wahbah az-Zuhaili, riddah adalah “Kembali dari agama Islam menuju kepada
kekafiran, baik hal itu dilakukan dengan sebatas niat dengan perbuatan yang akibatnya pelaku
dianggap telah kafir maupun dengan ucapan baik, baik ucapannya itu sebagai penghinaan,
penentang maupun sebagai keyakinan”.10
Dari beberapa uraian diatas, sepengetahuan penulis penelitian ini belum pernah diteliti
oleh orang lain. Kiranya atas dasar itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini yang
akan dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “PERCERAIAN AKIBAT SUAMI
RIDDAH” ( Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara Nomor :
49/Pdt.G/2010/PA.BGR dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor :
378/Pdt.G/2009/PA.JP
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
9 Sutiono Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta : Liberty, 1989, Hal 37.10 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa-Adillatuh, cet.4, (Beirut : Dar el Fikr Al-Ma’asir, 1997), h.5576
21
Dimulai dari rasa keingintahuan dan didukung pertimbangan bahwasannya pengaruh masalah
agama dalam sebuah perkawinan sangat perlu mendapat perhatian dari setiap pasangan sebelum
melakukan pernikahan. Agar tidak terjadi adanya pembahasan yang meluas dan tidak terbatas sehingga
pembahasannya tidak terarah dan sulit untuk dimengerti maka penulis membatasi pembahasan dalam
skripsi ini dengan hanya membahas seputar permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu
tentang permasalahan riddah yang mencakup putusan-putusan dan wawancara dengan para Hakim di
Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat saja.
2. Rumusan Masalah
Menurut Fiqh (Islam) bahwasannya apabila dalam perkawinan pasangan suami isteri salah satunya
murtad maka dengan sendirinya batal perkawinannya.11
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 116 bahwa riddah menjadi salah satu alasan
dapat terjadinya perceraian.12
Mengacu pada pokok permasalahan yang dikemukakan di atas bahwa masalah Riddah yang terjadi
dalam kehidupan berumah tangga sangatlah komplek dan beragam sekali sehingga membawa pengaruh
dan dampak yang tidak kecil terhadap keutuhan dan kebahagiaan sebuah keluarga. Pada awalnya jelas
agamanya, namun selama mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga salah satu dari pasangan suami
isteri melakukan riddah, kenapa perkawinan mereka tetap dilanjutkan hingga pada akhirnya perceraian
terjadi sehingga penulis perlu mencoba merinci rumusan masalah ini dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut :
a) Bagaimana status hukum perkawinan bagi pasangan suami isteri yang tetap ingin melanjutkan
perkawinan setelah murtad salah satu pihak?
b) Bagaimana tinjauan fiqh tentang alasan murtad sebagai penyebab perceraian?
c) Apakah dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa dan memutuskan permasalahan tentang
cerai gugat karena suami riddah?
11 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh Islam wa Adillatuh, Juz. VII, h. 62112 Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI 1995
21
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar penulis mendapatkan jawaban yang konkrit dan pasti dari
permasalahan yang selama ini mengganjal dalam hati penulis, disamping itu penulis juga ingin menambah
pengetahuan dan mendapatkan ilmu baru dari permasalahan riddah dalam perkawinan. Penulis berharap
skripsi ini dapat dijadikan rujukan dalam permasalahan riddah apabila terjadi di lingkungan sekitar kita,
serta secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mendeskripsikan status hukum perkawinan bilamana pihak suami/isteri yang melakukan perbuatan
murtad, namun mereka tetap melanjutkan tali perkawinan walaupun pada akhirnya bercerai.
2) Mendeskripsikan bagaimana pandangan fiqh tentang permasalahan riddah dalam perkawinan
3) Mendeskripsikan alasan atau pertimbangan apa saja yang dijadikan pijakan bagi Majelis Hakim
Pengadilan Agama Bogor dalam mengambil keputusan
2. Manfaat Penelitian
Skripsi ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu :
1) Manfaat Teoritis
Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan di bidang hukum,
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2) Manfaat Praktis
Dengan tersusunnya skripsi ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pembinaan, pembangunan dan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, khususnya permasalahan riddah
dalam kasus cerai gugat.
D. Study Review
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis perlu
melengkapi ataupun menyempurnakan penelitian ini dengan melakukan study review karena disana ada
21
sumber yang dapat dijadikan tambahan untuk penyelesaian penelitian penulis ini.
Adapun kajian kepustakaan yang digunakan penulis adalah :
N
O
JUDUL DAN PENULIS ISI PERBEDAAN
1. “Riddah dalam status
Perkawinan dan
Implikasinya, Análisis
terhadap Kompilasi Hukum
Islam”
Fatima/SAS/2009
Skripsinya berisi uraian
tentang Pengertian Riddah,
Faktor penyebab terjadinya
riddah, akibat hukum
terjadinya riddah dalam status
perkawinan dan dalam ruang
lingkup kewarisan. Mencakup
juga menurut KHI.
Skripsi ini
mengangkat
permasalahan riddah
dalam status
perkawinan dan
implikasinya
menurut paparan
KHI, sedangkan
yang penulis angkat
adalah menganalisis
putusan Hakim yang
dimana
permasalahan
perceraian akibat
suami riddah dalam
análisis putusan
Pengadilan Agama
Bogor.
2. “Penetapan Hakim Agama
atas Hak Asuh Anak Akibat
Perceraian Terhadap Isteri
yang Murtad, studi analisa
putusan perkara
Skripsi ini menguraikan
masalah Riddah dimana
Hakim memutuskan hak
hadhanah jatuh pada suami
karena isteri yang Murtad
Skripsi ini
mengangkat
permasalahan
penetapan Hakim
Agama tentang
21
No.60/Pdt.G?2006/PA.JS”
Dewi Sapyuni/SAS/2007
hadhanah yang
mana pihak isteri
yang Murtadnya,
sedangkan yang
penulis angkat
adalah perceraian
akibat suami yang
murtad dan tidak
mempermasalahkan
hak asuh anak.
E. Metode Penelitian
Untuk mencapai sasaran yang tepat bagi penelitian, maka penulis memakai metode penelitian
sebagai berikut :
a) Metode Pendekatan
a. Secara Normatif
Yaitu hukum doktriner yang dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan dasar pemikiran,
perumusan dan operasional konsep yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari
buku, artikel-artikel di internet yang khusus membahas tentang riddah dalam permasalahan perceraian
karena suami riddah.
b. Secara kualitatif
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah penulis melakukan pendekatan kualitatif. Kualitatif
berasal dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif upaya menemukan
kebenaran dalam wilayah-wilayah konsep mutu.13
Yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisanya dengan cara menguraikan, dan mendeskripsikan
13 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet I, h,37.
21
isi dari putusan penulis dapatkan tersebut. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang
diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan
tujuan yang diinginkan penulis dalam penelitian ini.
b) Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk pada penelitian yang diskriptif yakni suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan suatu data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, dan
gejala-gejala lainnya, maksudnya yaitu dengan mempertegas hipotesa-hipotesa lama atau
baru dalam rangka menyusun teori baru.14
Alasan menggunakan penelitian diskriptif ini adalah untuk memberikan gambaran dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan putusan cerai gugat karena suami murtad.
c) Sumber Data
1. Data Primer
Yaitu data yang penulis langsung dapatkan dari petugas atau sumber pertamanya.15
Data didapatkan dari Pengadilan Agama Bogor berupa putusan cerai gugat mengenai perceraian
akibat riddah yang terjadi di Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan
cara wawancara dengan Hakim, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dengan
menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan tujuan mengadakan studi review atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang
dimaksud adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, buku-buku ilmiah, undang-undang, Kompilasi Hukum Islam
(KHI), skripsi yang terdahulu serta hal-hal lain yang ada kaitannya dengan masalah yang diajukan.
d) Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua macam teknis pengumpulan data
14 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indo Press, 1986, Hal.10.15 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.37.
21
yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research).16
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian Kepustakaan, yaitu dimana peneliti melakukan penelusuran literatur atau buku rujukan
yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Interview atau wawancara adalah percakapan dengan tujuan atau pembicaraan yang memiliki
tujuan.17
Interview yang sering disebut wawancara lisan adalah sebuah dialog atau pewawancaraan.18
Dalam hal ini penulis melakukan dialog langsung dengan Hakim Pengadilan Agama.
e) Analisis Data
Analisis data adalah sebuah proses percakapan dan pengaturan secara sistematik transkip
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan yang lain dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman
terhadap bahan-bahan tersebut. Agar dapat dipresentasikan temuannya kepada orang lain.19
Studi yang merupakan penelitian kepustakaan ini lebih bersifat deskriptif analisis.20 Analisa data dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara
menguraikan dan mendeskripsikan putusan riddah, kemudian dihubungkan dengan hasil interview dari
pihak yang menyelesaikan perkara ini, dalam hal ini yaitu Hakim Pengadilan Agama Kota Bogor. Sehingga
didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, sistematis, konsisten sesuai dengan tujuan yang
dilakukan penulis.
F. Kerangka Teori
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
16 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004), hal.6117 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang : Kalimasahada, Press, 1994) cet I, h. 36.18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1996), cet X, h.144.19 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu social dan Keagamaan, h.7720 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktik, Sinar Grafika Jakarta, 2008 h.9
21
kepercayaannya itu. Sedangkan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Seiringnya waktu berjalan dalam pernikahan pasti akan banyak timbul permasalahan, yang apabila
tidak bisa diselesaikan maka tidak jarang perceraian yang akan terjadi. Dalam perceraian haruslah ada
alasan-alasan yang dapat diberikan apabila perceraian tersebut ingin terjadi, karena hal ini sesuai yang diatur
dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39, PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2, dan Kompilasi Hukum
Islam pasal 116.
Dalam tinjauan hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan, salah satu yang menyebabkan
putusnya perkawinan adalah murtad. Persoalan kemurtadan seseorang dianggap sebagai suatu hal khusus dan
penting jika dikaitkan dengan perkawinan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antara wanita
muslimah dengan seorang laki-laki yang bukan Islam adalah tidak sah.
Murtad mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan seseorang, terutama dalam
hubungannya dengan masyarakat seperti perkawinan, hak waris dan hak-hak lainnya.
Di dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat larangan perkawinan
yang mengakibatkan adanya pencegahan dan pembatalan perkawinan. Larangan perkawinan itu dijelaskan
antara lain pada pasal 8 butir f yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Kompilasi Hukum Islam juga menuangkan hal tersebut pada pasal 40 yakni dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Untuk kasus riddah, banyak yang belum menyadari akan akibat yang ditimbulkan. Seperti yang
sering terjadi, ikatan perkawinan beda agama (murtad salah satunya) masih terus dipertahankan, bahkan tidak
sedikit yang terang-terangan mengakui bahwa perbuatannya itu tidak apa-apa.
21
G. Sistematika Penulisan
Sistematika ini disusun dalam lima bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub bab.
Sistematika penulisan merupakan uraian secara garis besar mengenai hal-hal pokok yang dibahas, guna
mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada
setiap bab adalah sebagai berikut :
Bab Pertama : Berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi
ini, merumuskan identifikasi permasalahan, menunjukkan maksud dan tujuan penelitian, Studi
Review, metode penelitian, yang dipergunakan sebagai kerangka menuju uraian yang
sistematis, kerangka teori konseptual dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab Kedua : Berisikan Tinjauan umum tentang Perceraian, dimana Tinjauan umum tentang perceraian
menguraikan pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian,
sebab-sebab terjadinya perceraian, akibat hukum dari perceraian.
Bab Ketiga : Berisikan Tinjauan umum tentang murtad menguraikan pengertian Murtad dasar hukum
murtad, sebab-sebab terjadinya murtad dan status hukumnya apabila salah satu pasangan
riddah menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam.
Bab Empat : Berisikan tentang perkara cerai gugat akibat suami riddah dalam putusan Pengadilan Agama
Bogor dan Jakarta Pusat, duduk perkara, pemeriksaan perkara dalam sidang, pertimbangan
hukum majelis hakim, serta penetapan putusan perkara. Dan Analisa penulis (analisis
komparatif perkara),
Bab Kelima : Berisikan uraian tentang penutup, yang berisi kesimpulan dan implikasi dari seluruh
pembahasan yang telah diteliti, dan saran yang dapat mendukung kesempurnaan skripsi, serta
akan dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
39
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian diambil dari kata “cerai” dan dalam bahasa Arab sering disebut dengan “thalaq” (قلط)
. Thalaq secara etimologis adalah sebagaimana tertera di dalam kitab Lisan al ‘Arab karangan Ibnu Manzur yang
mempunyai arti “لاسرإللاو لحلا” , artinya “melepaskan atau meninggalkan”.1 Perceraian adalah
merupakan akibat dari suatu hubungan yang disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan. Keduanya (antara
perkawinan dan perceraian) saling berhubungan, dimana perceraian hanya dapat terjadi karena adanya sebuah
ikatan perkawinan. Hal ini terdapat dalam hadis yang berbunyi :
انثدح ريثك نبا ديبع يصمحلا انثدح دمحم نبا دلاخ نع ديبع هللا نبا ديلولا يفاصولا نع براحم نبا راثد نع دبع هيلع هللا ىلص هللا لوسر لاق : امهنع هللا يضر رمع نبا هللا2(هجام نبا هاور) قالطلا هللا ىلا لالحلا ضغبا : ملسو
Artinya : “Telah Menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid al-Himsyi, telah menceritakan kepada kamiMuhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid Al- Dzashofi dari Muharib bin itsar dari Abdullahbin Umar R.A. : telah bersabda Rasulullah SAW : sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allahadalah thalaq atau perceraian.” (H.R. Ibnu Majah).
Sedangkan Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu” memberikan
definisi thalaq sebagai berikut :
3.هوحنو قالطلا ظفلب حاكنلا دقع لح وأ حاكنلا ديق لح
Thalaq ialah “melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan lafaz At-Thalaq dan
semisalnya.”
Menurut Abdurrahman Al Jaziry dalam kitabnya “Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arba’ah” thalaq
1 Imam Al ‘Allamah ibn Manzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.630
2 Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr, 1994), h. 6333 Wahbah Zuhailiy, AlFiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX (Damaskus: Dar Al Fikr, 2007), h.6873
39
didefinisikan sebagai berikut:
4.صوصخم ظفلب هلح ناصقن وأ حاكنلا ةلازإ قالطلا
Thalaq ialah “menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan
kata-kata tertentu.”
Perceraian dapat terjadi, bila suami dan isteri sekiranya sudah tidak dapat mempertahankan mahligai
rumah tangganya. Agama Islam memang membolehkan perceraian tersebut, dengan catatan bahwa dalam
pernikahan tersebut sudah tidak ada manfaatnya, justru yang terlihat lebih banyak adalah mudharatnya. Barulah
pintu perceraian dapat terbuka.
Kata thalaq menurut istilah (Terminologi) terdapat beberapa pendapat para ahli hukum :
1. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung
atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa yang akan datang.
2. Mazhab Syafi’i mendefinisikan thalaq sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna
dengan lafal itu.
3. Mazhab Maliki mendefinisikan thalaq sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan
hubungan suami isteri.5
4.
5. Prof. Subekti S.H mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.6
6.
7. Sayid Sabiq dalam kitabnya al-Fiqhu Sunnah memberi definisi thalaq :
7 ةيجوزلا ةقالعل ءاهباو جاوزلا ةطبار لح...
Artinya : “…Talak adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”.
4 Abdurrahman Al Jaziri, AlFiqh ‘Ala MazahibAl Arba’ah (Mesir: Dar Al Haisam, t.th), h.9645 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Nikah, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet. Ke-2, jilid 4, h. 536 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1995), cet. ke-27, h. 427 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut : Daar El Fattah, 1983), cet. Ke-2, juz 9, Jilid II, h. 278.
39
8. Dalam istilah Agama thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela
ucapan thalaq kepada isteri, dengan kata-kata yang jelas (Sarih) atau dengan kata-kata sindiran (kinayah).8
9.
10. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 117 thalaq adalah ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.9
11.
B. Dasar Hukum Perceraian
Dalam sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis, penulis akan mencantumkan beberapa ayat
Al-Qur’an serta Hadis yang menjadi dasar hukum perceraian, antara lain :
1.Firman Allah SWT :
(230-229 : ةرقبلا)
Artinya : “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf ataumenceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yangtelah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankanhukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankanhukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggarhukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim (229). Kemudian jika si suamimenthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua) maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga diakawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak adadosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapatakan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepadakaum yang (mau) mengetahui. ” (Q.S. Al-Baqarah : 229-230)
8 Salahuddin Khairi Sadiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta : CV. Sient Taraha, 1983), h. 3589 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007) h.227
39
2.Firman Allah SWT :
) 232 : ةرقبلا)
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka jangan lah kamu (para wali)menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantaramereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang berimandiantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allahmengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 232)
3.Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim, berbunyi :
هيلع هللا ىلص يبنلا نع :لاق هنع هللا يضر رمع نبا نعنباو دوادوبا هاور) قالطلا هللا ىلا لالحلا ضغبا:لاق ملسو10(هلاسرا متاحوبا حجرو مكاحلا هححصو هجام
Artinya : “Dari Ibnu Umar R.A. berkata: Dari Nabi SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci Allah adalah
thalaq.” (H.R. Abu Daud dan Hakim, dan disahkan olehnya)
C. Macam-macam Perceraian
Dalam Kompilasi Hukum Islam, perceraian atau putusnya hubungan perkawinan dapat terjadi karena :
thalaq, khulu’, syiqaq, fasakh, ta’lik thalaq, ila’, li’an, tafwid, dan riddah.
1. Thalaq
Pengertian thalaq menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, yang dimaksud disini adalah
melepaskan ikatan perkawinan. Didalam pasal 117 KHI, thalaq adalah ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu putusan perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131 KHI.
Adapun jenis-jenis thalaq adalah :
10 Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bab Thalaq), (Beirut: Dar Ibn Hazm) h. 334
39
a. Thalaq Raj’i (psl 118 KHI) adalah thalaq kesatu atau kedua, dimana suami berhak untuk rujuk dengan
isteri selama masa iddah,
b. Thalaq Ba’in, Thalaq Ba’in ada 2 macam yaitu : Thalaq Ba’in Sughra (psl 119 KHI) adalah thalaq yang
tidak boleh rujuk tetapi boleh akad baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
Sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : thalaq yang terjadi qabla al-dukhul, thalaq dengan tebusan
atau khulu’, thalaq yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Thalaq Ba’in Kubra (psl 120 KHI) adalah
thalaq yang terjadi untuk ketiga kalinya. Thalaq ini tidak boleh dirujuk dan tidak boleh dinikahi kembali,
kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikahi orang lain dan kemudian terjadilah
perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
c. Thalaq Sunni (psl 121 KHI) adalah thalaq yang dibolehkan, yaitu thalaq yang dijatuhkan terhadap isteri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut.
d. Thalaq Bid’i (psl 122 KHI) adalah thalaq yang dilarang, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada isteri pada
waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
2. Khulu’
Khulu’berasal dari kata علخي علخ yang berarti melepaskan atau meninggalkan.11
Khulu’ juga dapat berarti “Fidaaun” atau tebusan. Karena dalam hal ini, isteri meminta cerai kepada
suaminya dengan membayar sejumlah uang tebusan atau imbalan.12
Dasar pembolehan thalaq khulu’ terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 229 :
(229 : ةرقبلا) . . .
Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
11 A. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 36112 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), h. 95
39
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hokum-hukum Allah, maka tidakada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Q.S.Al-Baqarah : 229)
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan suci ataupun tidak. Hal ini
disebabkan khulu’ terjadi atas kehendak isteri.
3. Syiqaq
Syiqaq berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan suami dan isteri yang
diselesaikan oleh dua orang hakam (penengah), satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak
keluarga isteri dengan cara mendamaikan suami isteri yang berselisih. Tetapi apabila keadaan sangat terpaksa
dan hakam sudah sekuat tenaga berusaha untuk mendamaikan suami isteri namun tidak berhasil maka hakam
boleh mengambil keputusan untuk menceraikan suami isteri tersebut.13
Adapun pengangkatan hakam apabila terjadi syiqaq, berdasarkan surat An-Nisa ayat 35 :
(35 : ءاسنلا)
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakamdari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itubermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik kepada suami isteri itu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. (Q.S. An-Nisa/4: 35)
4. Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti rusak dan
membatalkan دسف) 14.(هضقنو Kalau dikaitkan kata ini dengan akad nikah maka berarti
membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.15
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara istilah pengertian fasakh ialah pembatalan ikatan
pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan
Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.16
13 Muhammad Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, (Padang: Aksara Raya, 1985), h. 23514 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak, 1984), h. 1133 15 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz 2, h. 26816 Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005), h.314
39
Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan salah satu pihak mendapatkan cela pihak lain atau merasa
tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum dilangsungkan perkawinan. Isteri yang diceraikan
pengadilan dengan fasakh tidak dapat dirujuk suaminya sebelum melalui perkawinan baru yaitu melaksanakan
akad nikah baru.17
5. Ta’lik Thalaq
Arti ta’lik adalah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik thalaq ini ialah suatu thalaq yang
digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam perjanjian yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu. Ta’lik thalaq ini diadakan untuk melindungi kepentingan isteri agar tidak
teraniaya oleh suami.18
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 128 :
ءاسنلا) : 128)
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidakmengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itulebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergauldengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), makasesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa : 128)
6. Zhihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum (zhihar, ila’, dan Li’an), adalah perbuatan berupa kata atau sumpah yang
tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan putusan ikatan perkawinan, tetapi oleh hukum
dinyatakan berdampak memutuskannya.
a) Zhihar merupakan kebiasaan orang jahiliyyah yang tidak lagi memfungsikan isterinya sebagai isteri
walaupun masih tetap diikat, seperti pernyataan “kamu seperti penggung ibuku” sambil memulai tidak
menggaulinya lagi. Ketika Islam dating, Islam menyelamatkan kaum perempuan dari kezhaliman, zhihar
17 Muhammad Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, h. 23518 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 64
39
adalah perkataan yang munkar karena bukan berada pada tempatnya. Sesungguhnya isteri bukanlah ibu
sehingga isteri menjadi haram seperti kedudukan ibu (haram dinikahi), Islam membatalkan hukum ini dan
menjadikan zhihar haram bagi perempuan sehingga suami yang mengucapkannya terkena kifarat.19
Firman Allah SWT :
((2 : ةل داجملا
Artinya : “Orang-orang yang menzhihar isterinya diantara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanitayang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatuperkataan munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun.”(Q.S. Al-Mujadalah : 2)
b) Ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyyah, pihak laki-laki bersumpah pada isterinya sendiri bahwa ia
tidak akan menggaulinya lagi dengan menyebut nama Allah atau menyebut sifat-sifatnya selamanya atau
tanpa waktu, lebih dari empat bulan. Ila’ berisi pelajaran bagi isteri yang bermaksiat dan durhaka kepada
suami. Ila’ boleh dilakukan sesuai dengan kebutuhan yakni empat bulan atau kurang, bila melebihi waktu
tersebut hukumnya haram dan merupakan kezhaliman karena ila’ berisi sumpah meninggalkan kewajiban
atasnya.20
c)
Firman Allah SWT :
(226 : ةرقبلا)
Artinya : “Kepada orang-orang yang meng-ila’ isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah mahapengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah : 226)
d) Li’an ialah laknat, yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah,
apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan, li’an merupakan perceraian
yang terjadi akibat sumpah suami bahwa isterinya telah melakukan zina. Sumpah li’an ini dapat
19 Kasmuri Slamet, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. I, h. 2420 Muhammad bin Abdullah At-Tawaijiri dan Ahmad Amir bin Jaber, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), cet. I, h. 1835
39
mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk selama-selamanya.21
e)
Firman Allah SWT :
: رونلا) 6)
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyaisaksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpahdengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (Q.S.An-Nur : 6)
7. Tafwidh
Seorang suami memberikan hak kepada isterinya, yaitu berupa hak thalaq. Syarat-syaratnya ditentukan
oleh keduanya secara sukarela, jadi bukan hak thalaq yang bersifat mutlak. Apabila syarat-syarat yang telah
ditentukan secara sukarela tersebut telah terpenuhi, maka isterinya mempunyai hak untuk menjatuhkan thalaq
kepada suaminya, maka terjadilah thalaq.22
Firman Allah SWT :
(28 : بازحآلا)
Artinya : “Hai nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan duniadan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan Aku ceraikan kamudengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab : 28)
8. Riddah
Secara etimologi kata ةدر berasal dari kata kerja در دري اةدر yang artinya adalah
yaituهفرص mengalihkan dan yaituهعجرأ mengembalikan. Riddah merupakan masdar dari kata
21 Muhammad Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, h. 24522 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, h. 56
39
yang secara harfiah berarti “kembali”, “dikembalikan”, “berpaling”, “dipalingkan”.23 دادترإ
Sedangkan dari segi istilah adalah keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun
perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikategorikan kufur.24
Jadi riddah atau murtad ialah keluar dari agama Islam, baik pada agama lain ataupun tidak beragama. Di
Indonesia, putusnya perkawinan karena murtadnya salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal
demi hukum, dalam pemutusannya dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama. Oleh karenanya, riddahnya
seorang yang dinyatakan bukan didepan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.25
D. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian
Didalam menjalankan kehidupan, perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawadah dan rohmah. Namun terkadang dalam perjalanannya sebuah perkawinan ada yang tidak mencapai tujuan
tersebut, maka terjadi putusnya perkawinan yakni melalui jalan perceraian. Dalam sebuah perceraian harus ada
alasan kuat yang melatar belakangi terjadinya perceraian ini.26
Dalam Hukum Islam perceraian dapat disebabkan oleh beberapa alasan:27
1. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang
yang merupakan tujuan dan hikmah dari perkawinan.
2. Karena salah satu pihak berpindah agama.
3. Salah satu pihak melakukan perbuatan keji yang dilarang agama.
4. Isteri meminta cerai kepada suami dengan alasan suami tidak berapologi dengan alasan yang dicari-cari dan
menyusahkan isteri.
5. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak isteri.
23 Ibnu Manzur Al-Ansari, Lisan al-Arab, Vol.II (Mesir: al-Dar al-Mishriyyat li al-Ta’lif wa al-Nasr, t.t.), h. 21824 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 6325 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, h. 72 26 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), cet. II, h. 26927 Muhammad Hamidy, Perkawinan dan Permasalahannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 89
39
6. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad pernikahan (ta’lik thalaq)
Menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah, sebab-sebab perceraian itu adalah :28
1. Suami tidak mampu member nafkah
2. Suami berbuat aniaya
3. Suami menjauh
4. Suami dihukum penjara
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebab-sebab terjadinya perceraian yaitu :29
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar ta’lik thalaq
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
E. Akibat Hukum dari Perceraian
Dengan adanya putusan perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, bukan berarti masalah
perceraian ini selesai, akan tetapi masih ada akibat-akibat hukum lainnya yang ditimbulkan dari perceraian
tersebut, yakni :
28 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hal.206 29 Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, 1996, h. 149
39
1. Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah halalnya persetubuhan antara suami isteri. Karena itu, akibat
hukum dari thalaq adalah menghilangkan kehalalan itu, dalam arti keduanya tidak boleh lagi hidup bersama,
tidak boleh saling memandang, apalagi melakukan hubungan layaknya suami isteri.
2. Apabila thalaq yang dijatuhkan itu thalaq ba’in, maka tidak diperbolehkan untuk rujuk, tetapi boleh kawin lagi
dengan akad nikah yang baru dan mahar yang baru pula. Sedangkan bila thalaqnya dijatuhkan lebih dari dua
thalaq atau thalaq ketiga, maka tidak boleh kawin lagi kecuali bekas isterinya telah kawin secara sah dengan
suami lain dan telah dicampuri oleh suaminya itu, dan telah bercerai pula, serta habis pula masa iddahnya.
3. Apabila suami atau isteri meninggal dunia dalam jangka waktu iddah pada thalaq raj’i, maka baik suami
maupun isteri berhak mendapatkan warisan dari harta peninggalan pewaris, tapi apabila suami atau isteri
meninggal dunia dalam jangka waktu iddah pada thalaq ba’in, maka tidak seorangpun daripada keduanya
mempunyai hak waris dari yang lain.
4. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya, baik dalam bentuk mahar maupun nafaqah, yang menurut sebagian
ulama wajib hukumnya. Bila pada waktunya itu dia tidak dapat membayarnya. Begitu pula dengan mahar yang
belum dibayar atau dilunasinya, maka harus dilunasi setelah bercerai.
5. Masalah hadhanah, dalam hal ini Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah mengatur masalah ini yang terdapat
dalam pasal 41 :
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang member
keputusannya.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu,
bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.30
d)
6. Adanya ketentuan masa iddah bagi isteri yang telah dicerai baik itu cerai hidup maupun cerai mati. 31
30 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Hadhanah31 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006),h.301
56
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG RIDDAH
A. Pengertian Riddah
Secara etimologi kata ةدر berasal dari kata kerja, اةدر دري در yang artinya adalah
yaitu mengembalikan.1 هعجرأ yaitu mengalihkan dan هفرص
Riddah merupakan masdar dari kata دادترإ yang secara harfiah berarti “kembali”, “dikembalikan”,
“berpaling”, “dipalingkan”.2 Yakni lari dari sesuatu menuju sesuatu yang lain, arti tersebut antara lain terdapat
dalam firman Allah SWT :
(21 : ةدءاملا)
Artinya :”Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi
orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Maidah/5:21)
Kata riddah juga mempunyai arti leksikal :
3 هريغ ىلا ءيشلا نع عوجرلا
“Kembali dari suatu kondisi kepada kondisi lain”.
Pengertian ini mencakup keluar dari iman dan kembali kepada kekafiran.
Sedangkan secara terminologi, riddah dikemukakan oleh beberapa pakar ulama fiqh antara lain sebagai
berikut :
1. Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud riddah adalah :
1 Ibnu Manzur Al-Ansari, Lisan al-Arab, Vol.II (Mesir: al-Dar al-Mishriyyat li al-Ta’lif wa al-Nasr, t.t.), h. 2182 Soleh A. Mahdi, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir,, cet.II, (Jakarta: PT. Arista Brahmatysa, 1994), h. 93 Mansyur Yunus Idris Al-Bahuti, Kasyf al-Qanna’a’an-Matn Al-IQna’, jilid VI, (Beirut: Daar al-Fikr, 1982), h. 167-168
56
عوجرلا نع نيد مالسإلا ىلا رفكلا ءاوس ةينلااب وأ اداقتعا وأ ءازهتسا هلاق ءاوسو لوقلاب وأ رفكملا لعفلاب4
“kembali dari agama Islam menuju kekafiran, baik hal itu dilakukan dengan sebatas niat dengan perbuatan
yang akibatnya pelaku dianggap telah kafir maupun dengan ucapan baik ucapannya itu sebagai penghinaan,
penentang maupun sebagai keyakinan.”
2. Menurut Abdul Qadir Audah, yang dimaksud riddah adalah :
عوجرلا نع نيد مالسإلا عطقوأ مالسإلا الكو نيريبعتلا 5 دحاو ىنعمب
“Kembali dari agama Islam atau memutuskan diri dari Islam, baik kembali meninggalkan Islam maupun
memutus keduanya bermakna satu.”
3. Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Minhaj at-Talibin, yang dimaksud dengan riddah adalah :
عطق مالسإلا ةينب لوقوا رفك لعفو ءاوس هلاق ءازهتسا الوسر بدكوا لوسرل وا عناصلا ىفن نمف اداقتعا وا دانعواعمجم بوجو ىفن وا هسكع و ىنزلااك عمجلاب امرحم للح واهيلع وا هسكع وأ مزع ىلع رفكلا ادغ وا ددرت هيف رفك هل ادوحجوا نيدلا احيرص ءازهتسا هدمعتام رفكملا لعفلاو6 سمش وا منصل دوجسو ةرود اقب فحصم ءاقلااك
“memutus keislaman yang disertai dengan niat atau ucapan dan perbuatan kufur, baik ucapan atau perbuatanitu dimaksudkan untuk menghina, menentang atau memang secara yakin. Orang yang tidak mengakui Allahsebagai pencipta, tidak mengakui para utusan Allah, mendustakan salah seorang utusan Allah, menghalalkansesuatu yang secra ijma’ telah dinyatakan haram seperti berzina atau sebaliknya (mengakui sesuatu yangsecara ijma’ tidak dianggap wajib) sebagai suatu kewajiban, seseorang berniat akan melakukan kekufuranbesok, atau seseorang maju mundur (ragu) dalam kekufurannya, maka semua itu bias menjadikannya kafir,perbuatan yang bisa berakibat pelakunya dianggap kafir adalah apa yang diniatkan dalam rangka menghinaagama secara terang-terangan atau secara tegas menolak agama tersebut, seperti melemparkan mushafAl-Qur’an ketempat yang kotor (menjijikkan) dan seperti sujud kepada berhala atau matahari."
4 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa-Adillatuh, cet.4, (Beirut : Daar El Fikr Al-Ma’asir, 1997), h.55765 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-jina’I al-Islami Muqaranan bi al-qanun al-wad’, cet. XI, Jilid II, (Beirut: Muassah ar-Risalah, 1992), h.7066 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, kannz ar-Raghibin Syarh Minhaj at-Thalibin, cet. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), h.535.
56
4. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud riddah adalah :
عوجر ملسملا لقاعلا غلابلا نع مالسإلا ىلإ رفكلا 7 ثانألاو روكذلا كلاذ ىف ءاوس دحأ نم هاركإ نود هرايتخام
“Riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran
karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik yang kembali itu dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan.”
5. Menurut Ash-Shawi dari mazhab Maliki, yang dimaksud riddah adalah “kafirnya seorang muslim dengan
perkataan yang terang-terangan, atau perkataan yang menuntut kekafirannya, atau perbuatan yang
mengandung kekafiran.”
6. Menurut Al-Kasani dari mazhab Hanafi, yang dimaksud riddah adalah “keluarnya perkataan kafir dari lisan
yang sebelumnya beriman, sebab riddah adalah rujuk (berpaling) dari keimanan”.
7. Menurut As-Sarbini dari mazhab syafi’i, yang dimaksud riddah adalah “putus dari Islam dengan niat atau
perbuatan, baik mengatakan tentangnya dalam rangka menghina, membangkang ataupun meyakini.
8. Menurut Al-Bahuti dari mazhab Hanbali, yang dimaksud riddah adalah “orang yang kafir setelah
keislamannya, baik melalui perkataan, keyakinan, keraguan maupun perbuatan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa murtad adalah berbalik kebelakang, berbalik
kafir, membuang iman, berganti menjadi ingkar.8
Tidak jauh berbeda dengan rumusan diatas, didalam Ensiklopedia Hukum Islam dinyatakan bahwa murtad adalah
keluar dari agama Islam dalam bentuk niat, perkataan dan perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir
atau tidak beragama sama sekali.9
Ringkasnya, Riddah adalah berpaling dari Islam, baik dengan keyakinan, perkataan ataupun perbuatan.
Artinya, definisi ini sesuai dengan definisi iman, yaitu keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan dan
perbuatan dengan anggota badan. Orang yang melakukan perbuatan riddah disebut murtad. Ad Dimyati.
Jadi secara garis besar perbedaan antara murtad dan riddah adalah, kalau murtad adalah pelakunya (
dalam bahasa arab istilahnya yaitu لعاف ) yang melakukan peralihan agama, sedangkan riddah adalah nama
7 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet.IV, Jilid.II, (Beirut: Dar el-Fikr, 1983), h. 381.8 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h.6759 Tim penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid 3, h.304
56
sifat dari pelaku yang melakukan pindah agama.
B. Dasar Hukum Riddah
1. Firman Allah SWT :
(217 : ةرقبلا)
Artinya : ”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalambulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya)di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidakhenti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepadakekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, laludia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, danmereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S.Al-Baqarah : 217)
2. Firman Allah SWT :
((109 : ةرقبلا
Artinya : “Sebahagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepadakekafiran setelah kamu beriman, Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampaiAllah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S. Al-Baqarah : 109)
56
C. Macam-macam Riddah
Sesungguhnya Riddah yang secara lantang diteriakkan para Zindiq zaman ini, seperti Salman Rusydi,
Nisrina (Murtaddah Bangladesh), Nashr Abu Zaid (Murtad Mesir) dan orang-orang semisal mereka, jauh lebih keji
dari Riddah yang telah dilakukan para pendahulu mereka seperti al-Hallaj dan al-Haitsi. Riddah yang dilakukan
para Zindiq, dulu dan sekarang, bukan hanya sekedar Riddah saja, tetapi juga telah menggabungkannya dengan
sikap memerangi Allah subhanahu wata'aala dan Rasul-Nya, berlebihan dalam memusuhi dan mencela agama
Allah subhanahu wata'aala. Riddah ada 3 macam yaitu:
1. Riddah dengan ucapan
a. Seperti mencaci Allah SWT atau Rasulullah SAW atau malaikat-malaikat-Nya atau salah seorang dari
rasul-Nya
b. Menyatakan bahwa Allah SWT adalah makhluk dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadap alam
jagat ini
c. Menyatakan bahwa syariat yang diturunkan Allah SWT adalah bukan untuk mengatur hubungan antara
manusia, masyarakat dan Negara
d. Mengaku mengetahui ilmu ghaib atau mengaku nabi atau membenarkan orang yang mengaku sebagai nabi
e. Menyatakan hukum Islam tidak wajib dilaksanakan pada waktu sekarang, karena tidak sesuai digunakan
pada kehidupan masyarakat hari ini
f. Berdo’a kepada selain Allah atau memohon pertolongan kepada-Nya
2. Riddah dengan perbuatan
a. Seperti sujud kepada patung, pohon, batu, kuburan dan memberikan sembelihan untuknya
b. Membuang mushaf Al-Qur’an ditempat-tempat yang kotor
c. Melakukan sihir, mempelajari dan mengajarkannya
d. Memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dan meyakini kebolehannya
3. Riddah dengan I’tiqad (kepercayaan)
Seperti kepercayaan adanya sekutu bagi Allah atau kepercayaan bahwa zina, khamr dan riba adalah
halal atau hal semisalnya yang telah disepakati kehalalan, keharaman atau wajibnya secara ijma’ (konsensus)
yang pasti, yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya. Macam-macamnya seperti:
56
1) Tidak mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang wajib disembah
2) Tidak mengakui bahwa nabi Muhammad itu adalah utusan Allah SWT
3) Tidak mengakui Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat
Jibril
4) Tidak mengakui adanya malaikat-malaikat dan segala urusan yang diserahkan oleh Allah SWT kepada para
Malaikat tersebut
5) Tidak mempercayai qadha dan qadar, yaitu ketentuan baik dan buruk itu semuanya datang dari Allah SWT
D. Sebab-sebab Terjadinya Riddah
Secara umum dapat dicatat dalam kajian ini bahwa faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya
murtad itu dapat dilihat dari berbagai aspek. Kemunculan itu dapat diakibatkan dari dalam diri masing-masing
manusia, ada juga yang muncul dari luar diri individu. Semua bentuk yang menjadi faktor penyebab munculnya
murtad diterangkan dalam uraian sebagai berikut :
1. Kepicikan dan Kebodohan
Manusia mengingkari Tuhan dapat disebabkan karena ia tidak mengetahui adanya Tuhan.
Ketidaktahuan itu bisa terjadi karena ketidaksengajaan atau ketidaksadaran dan bisa pula sebaliknya.
Ketidaksengajaan atau ketidaksadaran ini merupakan faktor yang memungkinkan seseorang tidak mengenal
Tuhan. Misalnya, karena hidup dalam masyarakat terpencil dan masih sangat bersahaja sehingga dakwah tidak
menyentuh mereka. Al-Tabatabai mengatakan bahwa orang yang tidak kesampaian dakwah termasuk dalam
katagori orang-orang yang mendapat kemuliaan Tuhan. Merka dianggap al-Mustadh’afun (orang-orang yang
lemah). Nasibnya diserahkan kepada Allah SWT.10
Sedangkan menurut Mu’tazilah bahwa setiap manusia yang sudah baligh dan berakal wajib mengenal
Tuhan dan mengimani Tuhan. Bagi Mu’tazilah, akal secara mandiri mampu mengenal Tuhan, mampu
mengetahui kewajiban mengenal Tuhan, mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan
kewajiban mengerjakan yang baik meninggalkan yang buruk. Oleh karena itu apabila sesorang tidak mengenal
10 Muhammad husein al-Tabatabai, Al-Mizan fi al-Tafsir al-Qur’an, (Taheran: Muassasat dar al-kutub al-islamiyyat, 1936), Juz XX, h.212.
56
Tuhan dan sebagainya, maka orang tersebut akan disiksa oleh Tuhan.11
2. Kesombongan dan Keangkuhan
Kesombongan dan keangkuhan adalah suatu sifat yang membuat seseorang bersikap esklusif karena
merasa bangga dengan dirinya dan memandang dirinya lebih hebat dari yang lain. Bahwa keangkuhan dan
kesombongan menjadi salah satu penyebab kemurtadan, karena dengan sifat ini manusia menjadi egois,
berpandangan sempit, sehingga sukar menerima dan mengakui realitas diluar dirinya. Rasyid Ridha
mengatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan akan menhalangi seseorang untuk berpikir secara jernih
guna memperoleh kebenaran dan hidayah.12
Sikap kesombongan dan keangkuhan dapat mengalahkan naluri keimanan yang ada dalam hati
seseorang. Sehingga dengan sikap itu dapat menjadi apriori terhadap kebenaran-kebenaran yang ditawarkan.
Sebagaimana firman Allah SWT :
(7 : حون)
Artinya: “Dan Sesungguhnya setiap kali Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampunimereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya(kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (Q.S.Nuh :7)
Berkaitan dengan kesombongan dan keangkuhan sebagai faktor penyebab munculnya murtad itu dapat
dilihat dari kasus yang terjadi dengan Iblis ketika Allah SWT memerintahkannya untuk sujud kepada Nabi
Adam. Semua malaikat mematuhi perintah itu akan tetapi Iblis dengan keangkuhan dan kesombongannya tidak
mau mematuhi perintah itu bahkan mengatakan ia tidak pantas sujud kepada Adam karena menganggap Adam
lebih rendah darinya, dia lebih baik dan hebat daripada Adam. Sehingga kemudian ia pun dilaknat oleh Allah
SWT.
3. Keputusasaan dalam hidup
11 Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-Sahrasani, Al-Milal waal Nihal, (Beirut: daar al-Fikr, t.t.), h.5212 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Dar al-Mannar, 1973), juz X, h.96
56
Sudah menjadi watak manusia yang sangat menonjol yaitu selalu ingin bersenang-senang didunia
semata. Apabila ia memperoleh kenikmatan hidup berupa rezeki yang melimpah atau sukses dalam cita-cita, ia
dapat larut dalam kegembiraan dan suka ria, akan tetapi sebaliknya, jika kesenangan itu dicabut darinya atau
gagal dalam meraih cita-citanya, maka secepat itu pula ia putus asa. Watak manusia semacam ini sebagaimana
terdapat dalam firman Allah SWT :
(49 : تالصفلا)
Artinya : “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi
putus asa lagi putus harapan”. (Q.S.Fussilat : 49)
4. Kesuksesan dan Kesenangan Dunia
Kesuksesan dan kesenangan dunia yang telah diraih seseorang dalam hidupnya bagaikanpisau bermata
dua. Dari satu sisi, kesuksesan itu dapat menjadi sarana baginya untuk mensyukuri nikmat Allah dan lebih
mendekatkan diri kepada-Nya.akan tetapi sebaliknya dari sisi lain kesuksesan dan kesenangan itu dapat pula
membuat manusia itu menjadi lupa daratan sehingga ia lalai dari mengingat tuhan. Kelalaian mensyukuri
nikmat Allah SWT yang diperoleh dalam hidup ini justru salah satu jenis kufr yang terdapat dalam firman
Allah SWT :
(36 : مورلا )
Artinya : ”Dan apabila kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira denganrahmat itu. dan apabila mereka ditimpa suatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang Telahdikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. (Q.S. Ar-Ruum : 36)
Dalam ayat diatas, al-farh diperlawankan dengan al-qunut. jika manusia diberi rahmat, mereka larut
dalam suka ria. Sebaliknya jika musibah datang menimpa, merekapun berputus asa. Dengan demikian baik
al-farh maupun al-qunut keduanya sama negatifnya karena keduanya dapat menjadikan manusia lupa diri dan
melupakan tuhan sebagai sumber segala nikmat.13
13 Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam Al-Qur’an : suatu kajian teologis dengan pendekatan tafsir tematik, (Jakarta: Bulan Bintang , 1997), h.99
56
5. Lingkungan Manusia
Tidak dapat disangkal bahwa factor lingkungan sangat besar, bahkan dominan pengaruhnya dalam
menentukan corak aqidah seseorang. Dalam hal ini Al-Qur’an menginformasikan bahwa alas an orang-orang
kafir menolak seruan beriman dari para rasul. Antara lain adalah karena mereka tetap teguh pendirian pada
tradisi dan kepercayaan nenek moyang mereka. Firman Allah SWT :
(170 : ةرقبلا ) Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan)nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itutidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(Q.S. Al-Baqarah : 170)
Menurut Runes, seorang yang dilahirkan dari rahim ibu yang mukmin kemudian tumbuh dalam
keluarga mukmin pula, justru merupakan hidayah tersendiri yang berada diluar ikhtiar atau usaha manusia.14
E. Status Hukum Apabila Salah Satu Pasangan Riddah
Menurut pandangan para ahli hukum fiqh Islam, bahwa apabila dalam suatu perkawinan, salah satu
pihak dari suami atau isteri berpindah agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain agama
Islam, maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera dipisahkan. Perpindahan
agama/murtadnya salah satu pihak dari suami isteri merupakan kejadian yang dapat mengakibatkan batal/putusnya
ikatan perkawinan demi hukum yaitu hukum Islam. Karena suatu perkawinan dapat menjadi fasakh karena
disebabkan oleh dua hal :
1) Apabila salah seorang dari suami isteri murtad dari Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya
fasakh/batal, disebabkan kemurtadan yang terjadi belakangan ini.
2) Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh.15
14 Degobert D.Runes, (ed), Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Littlefield, Adam & Co, 1997), h.7915 Sayid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, h.133
56
3)
Pengadilan pada dasarnya bersifat pasif terhadap status perkawinan yang dijalankan oleh pasangan
suami isteri terkecuali karna suatu alasan yang sah salah satu pasangan suami isteri itu mengajukan gugatan atau
permohonan kepengadilan, barulah pengadilan bersifat aktif untuk menentukan status perkawinan mereka. Apabila
beralasan maka tuntutannya dikabulkan, kalau tidak beralasan ditolak. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana kalau
isteri yg suaminya murtad lalu mengajukan gugatan kepengadilan? Kalau kemurtadannya terbukti maka
dikabulkan gugatannya, sedangkan kalau tidak terbukti maka ditolak. Dengan catatan sudah barang tentu cerai
gugatannya diajukan kepengadilan tersebut karna kemurtadannya mengakibatkan ketidaknyamanan atau ketidak
rukunan suami isteri, sebab kalau dia dalam keadaan rukun atau nyaman dalam menjalani perkawinannya yang
berbeda agama tersebut sudah barang tentu tidak akan mengajukan gugatan cerai kepengadilan, Lihat pasal 116 hrf
h.16
Akan tetapi Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur
bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan agama dalam suatu perkawinan. Dalam
Undang-undang perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada
3 golongan yaitu karena kematian, karena perceraian, dan karena putusan pengadilan.
Dan dalam pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri.
Adapun perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
16 Bahruddin, Wawancara Pribadi tentang Riddah, Hakim Pengadilan Agama Bogor
56
berlangsung
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain
e) Salah satu pihak cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri
f) Antara suami dan isteri terus menerus menjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974, suatu perkawinan baru dapat putus,
apabila pengadilan telah memutuskan melalui sidang pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam
pasal 19 PP No. 9 tahun 1975. Kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena tanpa diputuskan oleh
pengadilan, perkawinan itu telah putus dengan sendiri akibat adanya kematian tersebut. Jadi apabila salah seorang
dari suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), dan kemurtadan itu belum atau tidak diajukan kepengadilan,
dan pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda
halnya menurut hukum, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa apabila dalam rumah tangga mereka tidak ada pertengkaran
ataupun perselisihan yang disebabkan karena peralihan agama yang terjadi oleh salah satu pihak, maka perkawinan
mereka tetap fasakh dan harus segera diputuskan.
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
A. Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara Nomor : 49/Pdt.G/2010/PA.BGR
1. Duduk Perkara
Telah berlangsung pernikahan antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal 29 Juli 1971, di Kantor
Urusan Agama (KUA), kecamatan Bogor kaler Kota Bogor. Sejak menikah sampai dengan desember 1986
kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat masih rukun sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang
bahagia, meskipun pernah timbul perselisihan namun masih bisa diatasi. Pada waktu hidup rukun penggugat
dan tergugat berkediaman di Bogor.
Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak. Seiring perjalanan waktunya rumah
tangga antara penggugat dan tergugat, pada tahun 1987 Tergugat kembali memeluk agama semula yakni
agama Hindu dan secara terang-terangan melakukan sembahyang secara rutin dengan cara Hindu, suasana
rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai kurang harmonis karena sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran.
Selama perselisihan dan pertengkaran berlangsung terus menerus, Penggugat telah berupaya mengatasi
masalah tersebut dengan jalan musyawarah, namun upaya tersebut tidak menemukan titik terang. Tergugat
juga pernah melakukan jalan musyawarah tapi tidak berhasil menemukan jalan keluar. Penggugat merasa
rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
berumah tangga.
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Adapun pertimbangan hukumnya, bahwa maksud dan tujuan perkawinan tidak terwujud, Majelis
Hakim melalui mediator, telah mengadakan mediasi terhadap Penggugat, tetapi tidak berhasil karena
Penggugat tetap pada pendiriannya mohon untuk diceraikan dari Tergugat.
Pisahnya tempat tinggal antara Penggugat dan Tergugat merupakan indikasi bahwa antara Penggugat
dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk
hidup kembali rukun dalam rumah tangganya.
59
Berdasarkan fakta tersebut, maka terciptanya keluarga sakinah mawaddah warahmah antara Penggugat
dan Tergugat sudah tidak dapat terwujud, hal ini membuktikan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat
betul-betul telah pecah.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dalam suasana seperti
yang ada sekarang lebih banyak mendatangkan madharat, Majelis Hakim melalui mediator tidak berhasil
merukunkan Penggugat dan Tergugat, oleh karena itu Hakim dapat menjatuhkan fasakh terhadap
pernikahannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka gugatan Penggugat terbukti cukup
beralasan, karena telah memenuhi pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu
terdapat alasan bagi Penggugat untuk diputuskan perkawinannya dengan Tergugat.
3. Penetapan Putusan Perkara
Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan menetapkan fasakh
pernikahannya antara Penggugat dan Tergugat. Dimana putusan tersebut sudah sesuai dengan khazanah fiqh
dan Undang-undang. Dan putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor pada hari
Kamis tanggal 04 Februari 2010 M, bertepatan dengan tanggal 21 Shafar 1431 H.
B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor : 378/Pdt.G/2009/PA.JP
1. Duduk Perkara
Telah berlangsung pernikahan antara Penggugat dan Tergugat pada tanggal 05 Juni 1999, di Kantor
Urusan Agama (KUA), Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat. Sejak menikah kehidupan rumah tangga
penggugat dan tergugat masih rukun sebagaimana layaknya sebuah keluarga yang bahagia, meskipun pernah
timbul perselisihan namun masih bisa diatasi. Pada waktu hidup rukun penggugat dan tergugat berkediaman di
rumah kediaman bersama dirumah orangtua Penggugat.
Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 1 (satu) orang anak. Seiring perjalanan waktunya rumah
tangga antara Penggugat dan Tergugat, pada tahun 2001 Tergugat kembali memeluk agama semula yakni
agama Kristen Katholik dan secara terang-terangan pergi ke gereja dan membaca al-kitab, suasana rumah
59
tangga Penggugat dengan Tergugat mulai kurang harmonis karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran.
Selama perselisihan dan pertengkaran berlangsung terus menerus, Penggugat telah berupaya mengatasi
masalah tersebut dengan jalan musyawarah, namun upaya tersebut tidak menemukan titik terang. Tergugat
juga pernah melakukan jalan musyawarah tapi tidak berhasil menemukan jalan keluar. Penggugat merasa
rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
berumah tangga.
2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Adapun pertimbangan hukumnya, bahwa maksud dan tujuan perkawinan tidak terwujud, Majelis
Hakim melalui mediator, telah mengadakan mediasi terhadap Penggugat, tetapi tidak berhasil karena
Penggugat tetap pada pendiriannya mohon untuk diceraikan dari Tergugat.
Pisahnya tempat tinggal antara Penggugat dan Tergugat yang sekurang-kurangnya telah berjalan selama
4 tahun, merupakan indikasi bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk hidup kembali rukun dalam rumah tangganya.
Berdasarkan fakta tersebut, maka terciptanya keluarga sakinah mawaddah warahmah antara Penggugat
dan Tergugat sudah tidak dapat terwujud, hal ini membuktikan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat
betul-betul telah pecah.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat dalam suasana seperti
yang ada sekarang lebih banyak mendatangkan madharat, Majelis Hakim melalui mediator tidak berhasil
merukunkan Penggugat dan Tergugat, oleh karena itu Hakim dapat menjatuhkan thalaq ba’in sughra Tergugat
terhadap Penggugat.
Selama dalam perkawinan telah dikaruniai seorang anak berumur 10 tahun, karena anak tersebut masih
dibawah umur, maka berdasarkan ketentuan pasal 105 KHI huruf (a), Penggugatlah yang berhak memelihara
anak tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka gugatan Penggugat terbukti cukup
beralasan, karena telah memenuhi pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu
59
terdapat alasan bagi Penggugat untuk diputuskan perkawinannya dengan Tergugat.
3. Penetapan Putusan Perkara
Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat dengan menetapkan Thalaq Ba’in
Sughra pernikahannya antara Penggugat dan Tergugat. Dimana putusan tersebut kurang sesuai dengan
khazanah fiqh dan Undang-undang. Dan putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
C. Analisis Penulis
1. Analisis dengan Pendekatan Fiqh
Menurut jumhur ulama (Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali) yang menyatakan bahwa
riddahnya salah satu pasangan suami isteri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan dengan fasakh.
sebagaimana menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya al-Fiqhus Sunnah :
رخألا اب امهنم لك ةقالع تعطقنا ةجوزلاوا جوزلا دترا ذا
ةقرفلا هذهو ،امهنيب ةقرفلل ةبجوم امهنم دحاو يا ةدر نأل
1 اخسف ربتعت
Artinya : “Apabila suami atau isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena
riddahnya salah seorang dari suami isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka, hal itu
dinamakan fasakh.”
Kemudian dalam penjelasan lainnya yaitu :
قالط ريغب امهنيب ةقرفلا تعقو
Artinya : “Apabila salah satu pasangan suami isteri keluar dari agama Islam (riddah), maka putuslah ikatan
perkawinan mereka karena difasakh bukan dengan thalaq”
Sedangkan Imam Maliki berpendapat bahwa putusnya perkawinan karena murtad termasuk dalam
katagori thalaq, dikarenakan yang menjadi alasan putusnya perkawinan itu datangnya setelah akad nikah yang
1 Sayyid Sabiq, Al-Fiqhus Sunnah, Jilid.II hal. 389
59
berlangsung dengan sah. Disamping itu karena murtad tidak menyebabkan perkawinan putus untuk selamanya,
namun bisa utuh lagi dengan kembalinya ia pada agama Islam. 2
Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam hal waktu, kapan ikatan perkawinan harus diputus sebab
suami atau isteri riddah. Ada tiga pendapat yaitu :
1) Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan salah satu riwayat yang ada dari Ahmad, akad nikah menjadi batal
seketika itu juga, baik sebelum atau sesudah bersetubuh. Pendapat ini diriwayatkan dari Al-Hasan
Al-Basri, Umar bin Abdul Azis. Abu Nur dan Ibnu Al-Mundjir. Adapun dalil yang digunakan dalam
argumen ini adalah bahwa orang yang murtad diqiyaskan kepada orang mati, karena murtad merupakan
sebab buruk yang ada pada dirinya, sedangkan orang mati bukanlah obyek yang bisa untuk dinikahi. Oleh
karena itu tidak boleh menikah dengan orang yang murtad.
2) Syafi’iyah dan Hanabilah dalam riwayat yang masyhur dari mereka, apabila murtadnya sebelum melakukan
hubungan suami isteri, maka pernikahan itu batal seketika, namun apabila murtadnya setelah melakukan
suami isteri, maka pembatalan nikahnya ditangguhkan hingga masa iddahnya habis. Jika suaminya kembali
masuk Islam sebelum masa iddahnya habis, maka ia tetap pada status pernikahannya.
3) Syaihul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Apabila dari salah satu pasangan suami-isteri murtad maka
pernikahannya harus dibekukan, apabila masuk lagi ke Islam maka pernikahan sah lagi, baik sesudah
ataupun sebelum masa iddahnya habis.
Dari beberapa penjelasan diatas, maka menurut penulis bahwa putusan Pengadilan Agama di Indonesia
khususnya Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai masalah riddah termasuk
dalam katagori thalaq, dalam hal ini lebih mengadopsi pendapat Imam Malik. Sehingga sikap Pengadilan
Agama di Indonesia bersifat pasif, maksudnya jika hal tersebut menjadi masalah atau sengketa bagi kedua
pasangan suami isteri dan salah satunya mengajukan gugatan, maka Pengadilan Agama baru boleh memeriksa
dan menyelesaikannya3, namun jika tidak dipermasalahkan maka Pengadilan Agama tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan perkawinan tersebut dengan rusak atau fasakh, sehingga status perkawinan
setelah salah satu murtad masih dianggap sah.
Dalam perkara ini Majelis Hakim sudah berada pada posisi yang benar dengan memutuskan ikatan
2 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1997) Juz. VII, h. 6213 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. IV, hal. 20.
59
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang sudah tidak bisa didamaikan lagi karena perselisihan dan
pertengkaran disebabkan peralihan agama.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor yang
memutus dengan fasakh perkawinan antara suami isteri tersebut dalam mengabulkan gugatan Penggugat di
atas adalah tepat, karena sudah sesuai dengan kajian fiqh. Dan ketika fasakh, seketika itu juga batal demi
hukum. Dengan demikian pasangan suami isteri itu telah resmi bercerai.
Adapun perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat yaitu cerai gugat yang diajukan Penggugat terhadap
Tergugat dikarenakan riddah (kembali ke agamanya semula yaitu Kristen katholik), menyebabkan maksud dan
tujuan dari perkawinan sudah tidak dapat terwujud dan Penggugat tetap pada pendiriannya mohon untuk
diceraikan dari Tergugat.
Dalam perkara cerai gugat ini, pihak Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah berupaya
untuk mengambil langkah-langkah positif, seperti upaya perdamaian demi keberlangsungan hubungan suami
isteri itu. Seperti telah disinggung dalam duduk perkara diatas, bahwa pasangan ini mempunyai satu orang
anak mereka yang tentunya semakin memberi warna dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anak ini tentu
akan kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, bila kelak orang tuanya bercerai.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengabulkan gugatan
Penggugat terhadap Tergugat. Dimana Hakim memutus dengan thalaq ba’in sughra. Dikarenakan apabila
jatuhnya thalaq ba’in sughra, maka bisa kembali rujuk dengan catatan sang suami kembali memeluk agama
Islam. Putusan hakim tersebut mengadopsi pendapat Imam Malik yang menjatuhkan thalaq apabila salah satu
pasangan dari suami isteri melakukan riddah.
Dari beberapa pendapat diatas menurut hemat penulis bahwa Pengadilan Agama Jakarta Pusat
berkenaan dengan masalah cerai gugat akibat riddah yang memutus dengan thalaq ba’in sughra kurang tepat,
tidak sesuai dengan jumhur ulama. Dalam hal ini lebih mengadopsi pendapat Imam Malik yang menjatuhkan
thalaq dalam masalah pernikahan yang salah satunya melakukan riddah. Sehingga sikap PA di Indonesia
bersifat pasif yakni jika hal tersebut menjadi masalah atau sengketa bagi kedua pasangan suami isteri dan salah
satunya mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan baru boleh memeriksa dan
59
meyelesaikannya.4 Namun jika tidak dipermasalahkan maka Pengadilan tidak berwenang untuk merusak atau
fasakh perkawinan tersebut, sehingga status perkawinan setelah riddah salah satu dari pasangan suami atau
isteri masih dianggap sah.
2. Analisis dengan Pendekatan Ushuliyyah
Ulama Ushul fiqh mengatakan :
ذإ تتبث لوصألا ىف بولقلا تقطن نسلألا
عورفلاب
“Apabila telah ditetapkan ilmu ushul fiqh dalam hati maka akan
Didalam agama Islam apabila salah seorang dari suami atau isteri keluar dari agama Islam atau murtad
(riddah), maka putuslah perkawinan mereka dan suatu perkawinan itu putus ketika hakim Pengadilan Agama
telah memfasakhkan perkawinan tersebut yang artinya telah diputuskannya hubungan perkawinan atas
permintaan salah satu pihak karena faktor-faktor tertentu.
Melihat permasalahan dalam perkara Pengadilan Agama Bogor di atas, ada beberapa hal yang menarik
perhatian untuk penulis pelajari. Perkara tersebut adalah gugatan Penggugat, yaitu isteri yang menggugat cerai
suaminya disebabkan suaminya riddah (kembali ke agamanya semula yaitu agama Hindu).
Dalam perkara cerai gugat ini, pihak Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor telah berupaya untuk
mengambil langkah-langkah positif, seperti upaya perdamaian demi keberlangsungan hubungan suami isteri
itu. Seperti telah disinggung dalam duduk perkara diatas, bahwa pasangan ini mempunyai tiga buah hati
mereka yang tentunya semakin memberi warna dalam kehidupan rumah tangga mereka. Anak-anak ini tentu
akan kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya, bila kelak orang tuanya bercerai.
Menurut penulis bila dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, yang pertama yaituظفح نيدلا
(memelihara agama), dikarenakan antara penggugat dan tergugat sudah berbeda keyakinan dan secara otomatis
sudah keluar dari jalur memelihara agama. Dan yang kedua yaitu بسنلا ظفح(memelihara keturunan)
dikhawatirkan bila pernikahan ini terus dilanjutkan dapat mempengaruhi keimanan anak-anaknya kelak bila
4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. IV, h. 20.
59
pernikahan ini terus dipertahankan, bukan hal yang mustahil anak-anaknya kelak bisa mengikuti ajakan
ayahnya selaku Tergugat untuk mengikuti agama selain agama Islam.
3. Analisis dengan Pendekatan Perundang-undangan
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur secara tegas tentang
pindah agama atau riddah dapat digolongkan sebagai alasan perceraian. Tetapi hal ini didasarkan pada pasal 2
ayat (1) yaitu “Perkawinan adalah sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu”. Dan juga didasarkan pada pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu antara
suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga. Perselisihan tersebut terjadi salah satunya karena faktor perbedaan agama yang
menyebabkan tujuan perkawinan sebagaimana pasal 1 dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tidak dapat tercapai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa salah satu alasan yang menyebabkan perceraian
adalah riddah sebagaimana terdapat pada pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yaitu “peralihan agama
atau murtad yang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga” ketentuan tersebut
merupakan langkah maju kalau dibandingkan dengan alasan perceraian menurut pasal 19 Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975. Namun pada dasarnya muatan pasal 116 huruf (h) KHI terkesan ambigu, karena adanya isi
pasal yaitu “yang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga.” Teks tersebut
menunjukkan bahwa riddah, tidak dengan sendirinya menjadi alasan perceraian, kecuali kalau dengan
murtadnya salah satu pihak timbul perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Secara implisit dapat
dikatakan bahwa jika tidak timbul perselisihan dan pertengkaran akibat riddahnya salah satu pihak, maka
murtad tidak dapat menjadi alasan perceraian.
Untuk itu penulis berpendapat bahwa mengaitkan riddah dengan perselisihan dan pertengkaran sebagai
alasan perceraian kurang tepat, dikarenakan perselisihan dan pertengkaran merupakan alasan tersendiri
sebagaimana terdapat dalam pasal 116 huruf (f) KHI jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975. Tanpa merinci apakah perselisihan dan pertengkaran itu disebabkan perbedaan bakat, watak, karakter,
kepribadian ataupun agama. Yang terpenting perselisihan dan pertengkaran tersebut sedemikian rupa
bentuknya sehingga tidak ada harapan akan dapat hidup rukun dalam rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa
59
pasal 116 huruf (h) KHI dengan pasal 116 huruf (f) KHI jo pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 saling
berkaitan. Untuk itu penulis telah melakukan wawancara dengan para ahli hukum Islam yang berpendapat
bahwa pada isi dari pasal 116 huruf (h) KHI harus dipertegas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dengan
menghilangkan kata “yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga”, Sebagaimana terdapat dalam
pasal 103 huruf (h) RUU HMPA.
Dari penjelasan di atas, maka penulis simpulkan bahwa gugatan Penggugat yang dikabulkan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Agama Bogor dan Pengadilan Jakarta Pusat adalah tepat walaupun dalam
putusannya berbeda, hal tersebut sudah sesuai dengan konsep riddah yang ada dalam fiqh dan
perundang-undangan di Indonesia. Yang mana mengatur bahwa riddah adalah menjadi salah satu sebab bisa
terjadinya perceraian. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur secara
tegas, tetapi hal ini dadasarkan pada Pasal 2 ayat (1) yaitu, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan juga didasarkan pada Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran. Perselisihan tersebut terjadi salah satunya karena faktor perbedaan agama. Yang hal tersebut
menyebabkan tujuan perkawinan sebagaimana Pasal 1 dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak dapat tercapai. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam didasarkan Pada Pasal 116
huruf (h), Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dengan demikian menurut hemat penulis, Undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam telah
sepakat melarang pernikahan beda agama, hal ini sudah menjadi sebuah keharusan karena melihat kondisi
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim yang tidak pernah ingin terjadi pernikahan rusak disebabkan
riddah.
4. Analisis dengan Pendekatan Perbandingan Hukum
Dalam Hukum Islam Agama merupakan salah satu dari dharuriyat yang lima, harus dipertahankan dan
dibela secara optimal. Untuk pembelaan tersebut dibolehkan melakukan hal-hal yang dilarang dalam keadaan
normal. Cukup beralasan apabila al-Qur'an banyak bicara tentang murtad dengan segala implikasinya.
Dan menurut fiqh riddah atau murtadnya salah satu pihak antara suami isteri menyebabkan putusnya
ikatan perkawinan sebab perkawinannya menjadi terfasakh. Pengadilan Agama berwenang memutus masalah
59
perceraian dengan alasan salah satu pihak pindah agama. Hal tersebut didasarkan pada asas personalitas
keislaman yaitu perkara yang dapat tunduk dan ditundukkan pada Pengadilan Agama. Mengenai dasar hukum
Kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani masalah perceraian dengan alasan pindah agama dapat
diketahui dari beberapa peraturan, yaitu mulai dari peraturan tertinggi yaitu UUD 1945 pasal 29,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam putusan Pengadilan Agama Bogor dimana Penggugat mengajukan gugatannya terhadap
Tergugat dengan alasan karena Tergugat melakukan riddah (kembali ke agama semula yaitu agama Hindu)
yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Dan Majelis Hakim menetapkan
mengabulkan gugatan Penggugat dengan dijatuhkan sebagai fasakh. Jika dilihat dari khazanah fiqh bahwa
seseorang yang dalam ikatan perkawinan apabila salah satunya riddah (peralihan agama), maka jatuh fasakh
pernikahannya. Sebagaimana Hal tersebut berdasarkan dalil yang telah dipaparkan diatas. Maka jika dilihat
dari hukum tersebut, menurut penulis putusan Pengadilan Agama Bogor ini yang menetapkan jatuh fasakh
adalah tepat karena sesuai dengan kajian fiqh.
Sedangkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang dimana Penggugat mengajukan gugatannya
dengan alasan karena Tergugat melakukan riddah (kembali ke agama semula yaitu agama Kristen katholik)
yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran serta ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Dan Majelis
Hakim menetapkan mengabulkan gugatan Penggugat dengan dijatuhkan sebagai thalaq ba’in sughra. Maka
jika dilihat dari hukum tersebut, menurut penulis putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang menetapkan
jatuh thalaq ba’in sughra adalah kurang sesuai dengan kajian fiqh Islam. Karena menurut jumhur Ulama
apabila salah satu pasangan suami isteri melakukan riddah maka seharusnya jatuhnya adalah fasakh seketika
itu juga (batal demi hukum) bukan thalaq.
Maka berdasarkan Perundang-undangan di Indonesia, penetapan putusan Pengadilan Agama Bogor
yang mengabulkan gugatan Penggugat itu menurut penulis tepat karena jatuhnya fasakh, sedangkan penetapan
putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Penggugat itu menurut penulis tidak
tepat karena jatuhnya thalaq ba’in sughra.
5. Analisis Dengan Pendekatan Hadhanah
59
Perpindahan agama/riddah akan dapat mempengaruhi keabsahan suatu perkawinan, demikian pula anak
yang dilahirkannya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat, maka dalam pembahasan ini status anak itu
dapat dibedakan menjadi 3 golongan :
1. Menurut para fuqaha, anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim.
2. Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad, maka hukumnya adalah sama dengan
anak yang dilahirkan sewaktu Islam, karena dia telah dibuahi sewaktu Islam.
3. Anak yang dikandung dan dilahirkannya setelah murtad, maka anak itu hukumnya adalah kafir, karena dia
dilahirkan diantara kedua orang tuanya yang kafir, dan tidak ada pendapat lain dalam masalah ini.5
Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang beragama Islam tetap mengikuti pihak lain yang telah
murtad dan hidup sebagai suami isteri, maka perkawinan (rumah tangga) mereka sudah tidak sah lagi dan
haram menurut hukum Islam dan hubungan badan mereka adalah perzinahan.
Dan dijelaskan dalam pasal 99 KHI, masalah kedudukan anak yang berbunyi :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Berdasarkan bunyi pasal diatas tersebut diatas, maka sah atau tidaknya anak itu sangat ditentukan oleh
keabsahan perkawinan dari kedua ibu bapaknya. Hal ini mengandung arti bahwa apabila seorang anak yang
dilahirkan dari suatu perkawinan yang didalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku, maka menurut Undang-undang, anak tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja.
Perpindahan agama adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi nasab dari seorang anak, apabila
kedua suami isteri itu tetap melakukan hubungan badan layaknya suami isteri setelah adanya peralihan agama
dari salah satu pihak tanpa mengindahkan ketentuan hukum perkawinan yang melarang ikatan perkawinan
mereka.
Hal ini dijelaskan dalam KHI pasal 100 yang berbunyi : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Sedangkan dalam pasal 99 KHI menegaskan bahwa : “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah pula”. Maka apabila perkawinan (rumah tangga) yang didalamnya telah terjadi peralihan
5 Teungku Muhammad Hasbi, Hukum Antar Golongan, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, cet. 1), h. 80
59
agama (murtad) pada salah satu pihak baik suami atau isteri, maka menurut pasal 40 huruf c dan pasal 44 yang
melarang adanya perkawinan antar agama, perkawinan tersebut harus difasakhkan oleh hakim di Pengadilan
Agama.
Oleh karena itu, dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan karena perkawinan tersebut tidak
sah atau telah difasakhkan menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dlahirkan dari hasil
perkawinan tersebut adalah haram (tidak sah), sehingga berakibat sebagai berikut :
1. Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja
2. Anak hanya mewarisi dari ibunya saja
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam perkawinannya
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menganalisis putusan Pengadilan Agama Bogor perkara nomor 49/Pdt.G/2010/PA.BGR dan putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat perkara nomor 378/Pdt.G/2009/PA.JP. baik analisinya dari sudut perspektif fiqh maupun
Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penulis memberi kesimpulan yaitu :
1) Status hukum bagi pasangan suami isteri yang tetap melanjutkan perkawinan setelah salah satu pihak
melakukan riddah menurut perundang-undangan di Indonesia pernikahan tersebut masih dalam katagori sah,
selama pasangan tidak mempermasalahkannya ke Pengadilan Agama. Jadi Pengadilan Agama bersifat pasif
dan tidak serta merta dapat merusak perkawinan. Akan tetapi dalam tinjauan fiqh sesuai dengan pendapat
jumhur ulama yang menyatakan bahwa suatu pernikahan apabila salah satu pasangannya melakukan riddah,
maka pernikahannya fasakh (batal demi hukum) tanpa harus melalui proses persidangan. Adapun dalil yang
digunakan dalam argumen ini adalah orang murtad diqiyaskan kepada orang mati, yaitu orang mati bukan
obyek yang dapat dinikahi.
2) Dalam kajian fiqh yaitu menurut jumhur ulama (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali) telah sepakat
apabila salah satu pasangan suami isteri melakukan riddah maka akan mengakibatkan perkawinan tersebut
fasakh seketika itu juga, tanpa adanya putusan dari hakim. Sedangkan Imam Malik mengatakan murtadnya
seseorang tidak otomatis pernikahan menjadi fasakh akan tetapi terjadi thalaq dalam artian tidak putus
selamanya, akan tetapi bisa rujuk kembali jika pasangan kembali keagama Islam.
3) Dalam perkara ini Majelis Hakim mendasarkan pertimbangan perkara berdasarkan ketentuan pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yaitu perselisihan
dan pertengkaran terus menerus dimana sudah tidak ada harapan lagi untuk bisa hidup bahagia dalam rumah
tangga, kemudian didukung dengan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan dalil yang sama dengan
gugatan Penggugat. Dengan demikian Majelis Hakim menilai gugatan telah memenuhi ketentuan pasal 39 ayat
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu gugatan Penggugat dikabulkan.
80
B. Saran
Berdasarkan informasi dan data yang penulis dapatkan serta analisis penulisan skripsi ini, maka ada
beberapa hal yang ingin disarankan penulis, diantaranya adalah :
1) Kepada seluruh masyarakat, khususnya bagi para Tokoh Agama hendaknya lebih meningkatkan volume
sensitifitas dalam menyikapi kasus murtad (keluar dari agama Islam), jangan sampai perbuatan murtad ini
menjadi budaya yang dilakukan masyarakat. Na’udzubillahimindzalik
2) Untuk para pembaca semampu mungkin hindari dan jauhi kesempatan-kesempatan yang dapat mendorong
terjadinya murtad. Jangan pernah main-main dengan yang namanya agama, sebab apabila kita salah langkah
menyikapinya maka bukan saja didunia kita merugi menjadi seorang kafir melainkan diakhiratpun kita akan
menerima dampaknya yaitu masuk neraka selama-lamanya.
3) Putusan majelis hakim memang sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, namun alangkah
baiknya para majelis hakim memutuskan perkara tentang murtad supaya menggunakan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah ada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan
dengan murtad. Jika hal ini dilakukan, maka eksistensi Pengadilan Agama akan semakin terlihat.
4) Menurut penulis Undang-undang No. 1 Tahun 1974 perlu mengatur bentuk-bentuk dan tatacara perceraian
yang dikarenakan perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan, karena dalam Undang-undang ini
hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu karena
kematian, karena perceraian, dan karena putusan Pengadilan.
5) Kepada pemerintah supaya segera merancang dan mengatur Undang-undang tentang permasalahan riddah,
80
permasalahan ini bersifat kompleks. Karena dengan Undang-undang yang ada belum secara tegas dan fokus
mengatur permasalahan riddah yang bisa merusak tatanan pernikahan di Indonesia.
82
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Depag RI.
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta :Akademika Presindo, 1986), cet I.
Abdurrahman Al Jaziri, AlFiqh ‘Ala MazahibAl Arba’ah (Mesir: Dar Al Haisam, t.th).
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-jina’I al-Islami Muqaranan bi al-qanun al-wad’, cet. XI, Jilid II, (Beirut: Muassahar-Risalah, 1992).
Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut, Lebanon: Daar el-Fikr, 1994).
Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-Sahrasani, Al-Milal waal Nihal, (Beirut: daar al-Fikr,t.t.).
Abuttawad Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami dalam Islam vs Poligami Barat, (Jakarta : CV.Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet 1.
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bab Thalaq), (Dar Ibn Hazm)
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997), cet. II.
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak, 1984).
A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta : Kencana, 2007), cet II.
Al-Zuhaili Wahbah., Al-Fiqh Al-Islam Wa Addillatuhu, Damaskus, Daar al-Fikr, 1989, Jilid VI. cet. Ke-3.
As-Sayyid Sabiq, Fikih as-Sunnah, (Beirut : Daar El Fikr, 1983), juz 8, Jilid II.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007).
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktik, Sinar Grafika Jakarta, 2008
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya, 2004).
Degobert D.Runes, (ed), Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Littlefield, Adam & Co, 1997).
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Nikah, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet.Ke-2, jilid 4.
Harifuddin Cawidu, Konsep Kurf dalam Al-Qur’an : suatu kajian teologis dengan pendekatan tafsir tematik, (Jakarta:Bulan Bintang , 1997).
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Agama,Bandung : Mandar Maju,1990.
Ibnu Manzur Al-Ansari, Lisan al-Arab, Vol.II (Mesir: al-Dar al-Mishriyyat li al-Ta’lif wa al-Nasr, t.t.).
82
Imam Al ‘Allamah ibn Manzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Dar Al Hadis, 2003).
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang : Kalimasahada, Press,1994) cet I.
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet I.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, kannz ar-Raghibin Syarh Minhaj at-Thalibin, cet. 1, (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 2001)
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
Kasmuri Slamet, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. I.
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI 1996
Lilik Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982).
Mansyur Yunus Idris Al-Bahuti, Kasyf al_Qanna’a’an-Matn Al-IQna’, jilid VI, (Beirut: Daar al-Fikr, 1982).
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2001).
Muhammad husein al-Tabatabai, Al-Mizan fi al-Tafsir al-Qur’an, (Taheran: Muassasat dar al-kutub al-islamiyyat,1936), Juz XX.
Muhammad Hamidy, Perkawinan dan Permasalahannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980).
Muhammad Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, (Padang: Aksara Raya, 1985).
Muhammad bin Abdullah At-Tawaijiri dan Ahmad Amir bin Jaber, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Darus Sunnah,2007), cet. I.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Dar al-Mannar, 1973).
Salahuddin Khairi Sadiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta : CV. Sient Taraha, 1983).
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indo Press, 1986.
Soleh A. Mahdi, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir,, cet.II, (Jakarta: PT. Arista Brahmatysa, 1994).
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1995), cet. ke-27.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1996), cet X
Sutiono Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Yogyakarta : Liberty, 1989.
Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005).
Tim penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid 3.
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).
Undang-undang Perkawinan Indonesia, Undang-ndang No.1, LN No.1 Tahun 1974, TLN No.3019. Pasal.1
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa-Adillatuh, cet.4, (Beirut : Daar El Fikr Al-Ma’asir, 1997).
82
DAFTAR LAMPIRAN