5
Nama : Muslikhatun Umami NIM : 13505244016 Kelas : 4D Jurusan : Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan PERGESERAN PANDANGAN MASYARAKAT JAWA TENTANG PENDIDIKAN BAGI KAUM PEREMPUAN Masyarakat jawa dengan kebudayaan yang tumbuh berkembang di dalamnya telah mengalami banyak pergeseran dimasa ini. Bukan rahasia bila kaum perempuan jawa dimasa lalu mengalami pendiskriminasian di dalam masyarakat. Kata dapur, sumur, kasur atau kata masak, macak, manak (memasak, berdandan, melahirkan anak) adalah rumpun kata yang sering diidentikkan kepada kaum perempuan. Seolah perempuan hanyalah mahluk yang layak diletakkan di belakang (konco wingking). Perempuan diibaratkan mahluk lemah yang hanya perlu mengikuti rule yang sudah ada dan tak memberi kontribusi dalam masyarakat. Karenanya pendidikan tinggi bagi kaum perempuan dianggap sia-sia belaka. Perempuan hanya cukup mendapat pengetahuan tentang cara memasak, merawat anak, dan melayani suami. Sedangkan ilmu yang lain dianggap tak perlu diberikan pada kaum perempuan.

Pergeseran Pandangan Masyarakat Jawa Tentang Pendidikan Bagi Kaum Perempuan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

artikel SAP

Citation preview

Nama: Muslikhatun UmamiNIM: 13505244016Kelas: 4DJurusan: Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan

PERGESERAN PANDANGAN MASYARAKAT JAWA TENTANG PENDIDIKAN BAGI KAUM PEREMPUANMasyarakat jawa dengan kebudayaan yang tumbuh berkembang di dalamnya telah mengalami banyak pergeseran dimasa ini. Bukan rahasia bila kaum perempuan jawa dimasa lalu mengalami pendiskriminasian di dalam masyarakat. Kata dapur, sumur, kasur atau kata masak, macak, manak (memasak, berdandan, melahirkan anak) adalah rumpun kata yang sering diidentikkan kepada kaum perempuan. Seolah perempuan hanyalah mahluk yang layak diletakkan di belakang (konco wingking). Perempuan diibaratkan mahluk lemah yang hanya perlu mengikuti rule yang sudah ada dan tak memberi kontribusi dalam masyarakat. Karenanya pendidikan tinggi bagi kaum perempuan dianggap sia-sia belaka. Perempuan hanya cukup mendapat pengetahuan tentang cara memasak, merawat anak, dan melayani suami. Sedangkan ilmu yang lain dianggap tak perlu diberikan pada kaum perempuan.Hal ini diperkuat dengan sebuah filosofi jawa yang justru memojokkan para kaum perempuan. Tiga ingkang abener lakunya ring loka, iwirnya ikang iwah, ikang udwan, ikang janmassi. Yen ketelu wilut gatinya. Yadik pweka nang istri hara satya budhine, dadi ikang tunjung tamuwuh ring cila. Yang artnya adalah, tiga hal yang tidak benar jalanya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan wanita. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada wanita yang lurus budinya akan ada bunga tunjung tumbuh di batu. Filosofi ini semakin memperkuat anggapan bahwa masyarakat jawa zaman dulu memandang sebelah mata pada kaum perempuan. Perempuan dimasa lalu mayoritas buta akan aksara dan hidup bergantung pada suaminya. Pernikahan dini merajalela karena begitu menginjak usia belasan perempuan akan segera dinikahkan. Jika saat ini usia 17 tahun adalah usia minimal perempuan diijinkan menikah, namun dimasa lampau perempuan yang belum menikah sampai usia 17 tahun akan dikatakan perawan tua. Fenomena ini membuat natalitas di Indonesia sangatlah tinggi namun dengan sumberdaya manusia yang rendah. Hal ini menjadi sebuah boomerang yang membuat masyarakat jawa terkukung pada pemikiran out of date yang terus menerus mengorbankan kaum perempuan. Namun ketidak adilan yang diterima kaum perempuan ini justru membuat kaum perempuan berusaha bangkit dan menciptakan pemikiran untuk mengangkat derajatnya.Revitalisasi kaum perempuan mulai dibangkitkan melalui pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan bagi kaum estri. Menurut kartini kaum perempuan harus memiliki ketrampilan baik terkait cara mengurus keluaganya ataupun ketrampilan-ketrampilan yang lebih produktif misalnya saja ketrampilan menjahit. Perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya haruslah memiliki kualitas diri yang tinggi agar generasi yang dihasilkanpun memiliki kualitas yang baik. Sedangkan soft skill yang diajarkan bagi para perempuan bertujuan untuk membuat perempuan lebih produktif hingga mampu membantu perekonomian keluarga. Namun pemikiran Kartini masih pada pemikiran yang sangat sempit yaitu terbatas pada peningkatan kualitas perempuan dalam keluarga. Bukan peran perempuan pada masyarakat secara luas.Isu emansipasi wanita mulai didengungkan di seluruh belahan dunia, begitupun di Indonesia. Kaum perempuan diberi hak yang sama dengan kaum laki-laki termasuk dalam hal mengenyam pendidikan. Perempuan juga diberikan posisi tersendiri baik dalam legislatif ataupun pemerintahan. Keadaan ini membuat masyarakat jawa mulai merubah konsep pemikiranya. Masyarakat jawa mulai mengganggap pendidikan bagi kaum perempuan sama pentingnya dengan kaum laki-laki. Namun kelas sosial dalam masyarakat memiliki prioritas yang berbeda terkait pendidikan. Masyarakat berkelas sosial tinggi akan lebih mengutamakan pendidikan dibanding masyarakat menengah kebawah. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan akan mengusahakan pendidikan setinggi apapun untuk perempuan. Sedangkan masyarakat menengah kebawah rata-rata hanya memenuhi wajib belajar yang dicanangkan pemerintah. Perempuan dengan pendidikan tingginya telah banyak merubah masyarakat. Perempuan tidak lagi diremehkan dan dipandang sebelah mata. Bahkan kini mulai banyak pejabat atau pemimpin yang berasal dari kaum perempuan. Batasan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pengembangan diri sudah nyaris tidak ada. Kini laki-laki dan perempuan seolah memiliki derajat yang sama. Hanya saja pada masyarakat jawa pemimpin perempuan masih dianggap tabuh sehingga banyak pranata sosial dalam masyarakat yang hingga saat ini masih dipertahankan untuk diduduki kaum laki-laki. Sehingga dapat didimpulkan bahwa pergeseran pandangan masyarakat jawa terkait pendidikan bagi kaum perempuan telah banyak memberikan dampak positif bagi perkembangan dinamika masyarakat. Hanya saja masih ada beberapa sektor yang dirasa lebih pantas disi oleh kaum lelaki, bukan karena perempuan tidak mampu. Namun pranata masyarakat berdasarkan hukum adat adalah kaum lelaki.