Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Negara kepulauan Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas,
dengan wilayah perairan yang beragam memberikan karakteristik yang berbeda antara
satu wilayah dengan wilayah perairan yang lainnya. Dengan karakteristik yang berbeda
itu pula, maka teknologi dan manajemennyapun berbeda pula. Pada satu sisi, ada
wilayah yang memberikan kegiatan perikanan telah berkembang dengan pesat atau
industri perikanan yang maju, sementara di sisi lain masih banyak wilayah lain yang
kegiatan perikanannya sulit berkembang. Perikanan merupakan sub sector yang penting,
mengingat sumberdaya perikanan yang luas dengan sumberdaya ikan yang cukup
melimpah dan beraneka ragam dan sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat
terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang
mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, maka dalam pemanfaatannya
perlu dilakukan pengelolaan atau manajemen.
Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada
hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya perikanan secara
menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan
kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan nilai sumber daya perikanan
sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk di sekitar
pantai.
Menurut UU Perikanan (UU No.45/2009): “Pengelolaan perikanan adalah semua
upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati”.
Definisi pengelolaan tersebut dapat dijadikan pegangan dalam menyusun rencana
manajemen perikanan tangkap. Tahap pertama dalam penyusunan rencanan manajemen
perikanan tangkap adalah pengumpulan informasi.
2
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Untuk keperluan pengumpulan informasi diperlukan ilmu pengetahuan yang perlu
dipelajari terlebih dahulu yaitu tentang bagaimana Teknologi dan Manajemen Perikanan
Tangkap’ Dengan demikian tujuan pengelolaan yang sesungguhnya dapat tercapai.
Tujuan pengelolaan perikanan tangkap dapat diadopsi dari UU No 45 Tahun
2009, yaitu: meningkatkan taraf hidup nelayan, penerimaan dan devisa negara,
mendorong perluasan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi
sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan, meningkatkan
produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, meningkatkan ketersediaan bahan baku
industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan
sumberdaya ikan secara optimal dan menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Perikanan
tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan,
kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk
Indonesia perlu dikelola yang berorientasi pada jangka panjang (sustainability
management).
Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama
dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu:
(1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber daya yang memiliki batas-batas
fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya
dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang
berlaku; (3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan
serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk
menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat
dialihkan kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan
menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.
Para pengguna semberdaya, terutama yang memiliki hak memanfaatkan, harus
memperhatikan kegiatannya dalam proses optimalisasi penangkapan ikan yang
menguntungkan namun berwawasan lingkungan. Dalam proses tersebut banyak faktor
3
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
yang harus dipertimbangkan terutama yang terkait dalam aspek sumberdaya ikan,
lingkungan perairan dan aspek teknologi perikanan tangkap yang digunakan. Selain
memperhatikan aspek tersebut harus diketahui pula bahwa perikanan tangkap memiliki
sifat yang khas dan unik. Sifat-sifat yang khas dan unik ini tidak dimiliki oleh bidang-
bidang usaha lain, bahkan oleh bidang-bidang usaha pertanian sekalipun. Ciri-siri usaha
perikanan yang khas atau spesifik dan unik tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Ikan
(termasuk non ikan) hidup di permukaan, pertengahan dan atau di dasar air, sehingga
tidak tampak oleh mata secara langsung dan sulit diduga keberadaan dan jumlah atau
potensinya; (2) Walaupun hidup di air, tetapi untuk perairan yang luas (laut), ikan belum
tentu ada di setiap tempat/wilayah perairan. Hal ini berarti bahwa setiap wilayah perairan
belum tentu merupakan daerah penangkapan ikan; (3) Ikan sebagai hewan yang hidup di
air akan selalu bergerak dan berpindah-pindah tempat (migrasi). Perpindahan ini
dilakukan untuk mencari makan, memijah, melahirkan dan atau mencari tempat
lingkungan hidup yang cocok. Keadaan ini berlaku secara musiman, sehingga terjadi
musim penangkapan ikan di daerah-daerah perairan tertentu yang belum tentu sama
untuk daerah-daerah perairan lainnya; (4) Ikan termasuk komoditi yang mudah rusak dan
cepat busuk (perishable), memerlukan kecepatan dalam hal: pasca panen atau
penanganan dan pemrosesan (handling and processing), pelelangan (auction), pemasaran
(marketing) dan konsumsi. Jika tidak demikian, produsen akan mengalami kerugian,
karena mutu ikan akan selau merosot; (5) Akibat tekanan upaya penangkapan ikan yang
terus menerus, maka lama-kelamaan sumberdaya ikan dapat punah atau habis (deplet).
Jika keadaan ini terjadi, maka sumberdaya ikan ini (jenis ikan tertentu) tidak dapat
dipulihkan kembali (unrenewable). Jika diinginkan jenis ikan ini lagi, maka harus
didatangkan dari daerah lain atau impor; (6) Masyarakat beranggapan bahwa sumberdaya
ikan merupakan milik bersama (common properties). Akibatnya di suatu daerah
penangkapan ikan sering terjadi persaingan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan
secara besar-besaran. Hal ini akan mempercepat keadaan lebih tangkap (over fishing)
dan punahnya jenis sumberdaya yang dimanfaatkan;
4
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(7) Dalam operasi penangkapan ikan, diperlukan keahlian khusus dan kerjasama yang
baik/kompak dari tenaga-tenaga pelaksananya (Anak Buah Kapal/ABK dan atau
nelayan). Hal ini agar upaya penangkapan ikan yang dijalankan dapat berhasil dan
selamat dari bahaya selama di laut; (8) Operasi penangkapan ikan tidak bisa dijalankan
secara penuh selama satu tahun. Rata-rata hanya bisa dicapai 10 bulan per tahun. Hal ini
karena terjadinya cuaca buruk di laut dan dan tidak musim ikan (paceklik) serta
keperluan untuk perawatan kapal ikan secara rutin (docking), yaitu enam bulan sekali
untuk kapal yang terbuat dari besi/baja; (9) Harga ikan di tempat pelelangan Ikan (TPI)
ditetapkan berdasarkan lelang. Oleh karena itu, produsen (Pengusaha Perikanan Tangkap
dan atau Nelayan) tidak bisa menentukan harga ikan sesuai dengan kehendaknya; (10)
Bagi yang melakukan usaha penangkapan ikan secara Sistem Bagi Hasil, biaya
operasional penangkapan ikan hanya dikeluarkan sekali, karena biaya-biaya operasional
selanjutnya (untuk trip berikutnya) diambil (dipotong) dari Raman Kotor) atau Hasil
Lelang Kotor di TPI; (11) Usaha perikanan tangkap berisiko tinggi; karena selalu
berhubungan dengan media air laut yang sering menimbulkan ombak dan arus kuat serta
terjadinya cuaca buruk. Disamping itu adanya ancaman dari binatang buas (cucut dan
paus), hewan beracun (jenis ikan buntal tertentu dan ubur-ubur) dan hewan berbisa (ular);
(12) TPI pada umumnya sering berbau amis dan busuk, akibat dari sisa-sisa lendir ikan
dan ikan busuk yang belum atau tidak dibersihkan di sekitar TPI. Dengan ciri-ciri
tersebut tentu saja membutuhkan manajemen dengan sebaik-baiknya dan secara
bertanggung jawab.
Kode tindak perikanan bertanggung jawab (code of conduct for responsible
fisheries) yang digagas oleh FAO (Prado 1997) memili tujuan mulia yang terkait dengan
upaya mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya dalam kerangka
pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Bagaimanapun juga dalam melaksanakan usaha perikanan tangkap harus
menghayati karakteristik atau sifat khas perikanan tangkap tersebut. Kebanyakan
masyarakat berpendapat bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang mudah
didapat sehingga tak mungkin mengurangi usaha dengan membatasi masukan, artinya
pengusaha tak mungkin menyetop orang menggunakan sarana untuk mendapatkan ikan
5
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tersebut. Pendapat tersebut sekarang harus sudah bergeser dengan melakukan
optimalisasi perikanan tangkap berbasis manajemen.
Dasar pertimbangan perlunya manajemen perikanan tangkap yaitu tertuang dalam
UUD 45 pasal 33, bumi dan air milik negara dan dimanfaatkan untuk se-besar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan pertimbangan bahwa ikan itu adalah milik umum sehingga
tidak ada property right sehingga orang akan berlomba menangkapnya. Keberhasilan
seseorang secara tidak langsung memacu orang lain untuk ikut menangkapnya.
Akibatnya akan selalu ada kecenderungan peningkatan tingkat exploitasi baik karena
meningkatnya jumlah peserta maupun karena meningkatnya efisiensi penangkapan akibat
kemajuan teknologi kemudian hasil tangkapan akan menurun. Dengan kondisi demikian
tidak jarang terjadi konflik.
Manajemen perikanan tangkap perlu dilakukan sedini mungkin terhadap pelaku
perikanan tangkap agar tumbuh sikap dan perilaku untuk turut merasa memiliki
sumberdaya ikan beserta habitat dan lingkungannya. Menumbuhkan sikap dan perilaku
yang bertanggung jawab dalam melakukan usaha perikanan tangkap (Responsible
Fishing) sehingga ikan yang tertangkap tidak berlebihan dan lingkungannya tetap
terlpelihara. Mencegah terjadinya tangkap lebih (over fishing) dan kepunahan jenis
sumberdaya ikan, sehingga terkondisi kelestariannya. Membiasakan masyarakat nelayan
melakukan usaha perikanan tangkap yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang
berlaku (legal fishing).
Dengan demikian dapat menjamin agar sektor perikanan tangkap dapat
memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholders (akademisi, penentu kebijakan,
pengamat perikanan danmasyarakat umum) dalam melakukan pembangunan perikanan
baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang. Selain itu dapat menjamin
terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.
6
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
jaring yang di seret kedaratan dengan membawa ikan. Kini di abad moderen perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat membuat penangkapan ikan menjadi lebih mudah,
berbagai negara melakukan moderenisasi penangkapan. Dan jepang merupakan negara asia yang
sangat maju dalam hal teknologi, alat komunikasi dan penanganan hasil penangkapan.
Dalam perkembangannya usaha penangkapan ikan telah terjadi peningkatan mutu,
dimensi dan jumlah sarana tangkap secara bertahap dan berkesinambungan.
Perkembangan perikanan tangkap di Indonesia mempunyai tahahapan-tahapan yaitu: (1)
perikanan tradisional; (2) Motorisasi Perahu; (3) Modernisasi Alat dan Cata Penangkapan
Ikan.
Perikanan Tradisional; Pengetahuan nelayan terhadap bahan dan alat tangkap
yang baik kebanyakan bersumber pada pengalaman dan pengetahuan dari orang tua
mereka. Kebanyakan mereka tidak mempercayai penemuan teoritia, terutama karena
tidak tahu memanfaatkannya. Betapa pun dengan berbagai perubahan dinamis dalam
bidang perikanan belakangan ini, peningkatan pemilihan daerah penangkapan, alat dan
caranya dan masuknya alat canggih untuk memantau ikan, alat penangkapan yang sangat
besar, mesin otomatis, diperlukan nelayan yang mampu memadukan pengalaman praktis
dengan pengetahuan teori.
Perkembangan alat penangkapan ikan muncul sejak pada masyarakat primitive
dengan bentuk tombak, panah, lembing, harpoon dan pancing yang terbuat dari batu, kulit
kerang, tulang dan gigi binatang. Untuk menangkap ikan secara pasif di perairan
dangkal menggunakan penghadang terbuat dari tanah, atau batu, ranting serta rotan dan
terowongan di bangun, kemudian ikan di tangkap di dalam batang kayu yang berlubang,
perangkap dari tanah liat san keranjang. Penangkapan yang lebih efektif dilakukan
dengan lembing, sumpitan, penjepit dan alat penggaruk bersamaan dengan pancing.
Munculnya jarring yang terbuat dari serat merupakan langkah penting dalam
perkembangan alat perikanan. Di banyak negara, dongeng tentang seni pembuatan
jarring dianggap pelajaran dewa-dewa untuk manusia. Alat tangkap dan teknik penangkapan
ikan di beberapa daerah di Indonesia pada umumnya nelayan masih bersifat tradisional.
8
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Dilihat dari perinsip penangkapan ikan di Indonesia para nelayan lebih memanfaatkan sifat-sifat
yang dimiliki ikan, misalnya pada perairan di Kalimantan Selatan nelayan lebih banyak
menggunakan Sero yaitu alat penangkap ikan dengan teknik menghadang ikan dan menggiring ke
arah tertentu sehingga ikan terjebak dan tak bisa kembali ke perairan luas
Motorisasi Perahu; Salah satu bentuk modernisasi perikanan tangkap adalah
motorisasi perahu. Sebab dengan menggunakan perahu/kapal bermotor, para nelayan
dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh, dan dapat cepat kembali ke
tempat pendaratan dan pelelangan ikan, untuk menjual ikannya. Makin singkat waktu
yang dipakai untuk menangkap ikan dan kembali ke pangkalan, kesegaran ikan lebih
terjamin, sehingga harga jual ikan di pelelangan lebih baik. Di samping itu, dengan
jangkauan daerah penangkapan yang lebih jauh, hasil yang diperolehhh bias lebih
banyak. Para nelayan berperahu motor juga tidak tergantung pada kekuatan angin lagi.
Motorisasi sudah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, dengan percobaan
motorisasi penangkapan ikan dengan jarring paying di Teluk Jakarta. Percobaan
dilakukan oleh Instituut voor de Zeevissrij. Pada tahun 1948-1951, di perrrairan Teluk
Jakarta terdapat dua tipe perahu motor, yaitu Tipe A dan Tipe B. Istilah ini hanya
kebetulan yang diberikan oleh Prof. Ir. Cornelus, seorang arsitek kapal yang bekerja pada
Instituut itu Soewito et al. (2000).
Perbedaan kedua tipe itu sebagai berikut: Tipe A (Kasko disebut open boat,
karena tidak memakai geladak; Ukurannya tidak lebih dari 6 m; Tidak ada palkah untuk
menyimpan ikan hasil tangkapan; Bentuk dasar badan kasko ada yang rata dan ada yang
cekung; Tidak ada bangunan atas; alat tangkap pancing tonda dan jaring). Sedangkan
Tipe B (Kasko menggunakan geladak penuh; Ada palkah ikan yang tidak berisolasi untuk
menyimpan garam sebagai bahan pengawet; Badan perahu berlunas; Konstruksi gading
tidak beraturan; Perahu memakai mesin dalam yang kecil Soewito et al. (2000).
9
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Menurut Soewito et al. (2000) pada tahun 1951/1952, yayasan Perikanan Laut
membuat purwarupa kapal mayang dan disebut Tipe C dengan kecepatan tujuh knot:
(Kasko berukuran lebih besar; berukuran 12,00 x 3,25 x 1,20m; Kapal bermesin dalam
sehingga badan di dalam air mendapat getaran; Celah papan lambung di tutup dengan
majun (serat henep) yang didempul kappur dicampur minyak jarak; Konstruksi gading
lebih teratur; Mesin yang dipakai bervariasi, 10 DK buatan Deutz (Jerman), 15 DK
buatan Kobe (Jepang) dan 16 DK buatan Samofa (Belanda), semuanya bersumbu.
Selain membuat rancang bangun tipe kapal motor tersebut diatas, Abdul Salam
Sumintadirdja juga membuat rancang bangun KM. Cakalang kelas 30 GT untuk
Perusahaan perikanan Negara Sulawesi Utara/Tengah Air Tembaga dan 40 buah stern
trawler untuk udang kelas 15 GT serta 60 buah gillnetter tipe KB III kelas 7 GT untuk
PT. Karya Mina di Tanjung Pinang Soewito et al. (2000).
Pada tahun 1951/1952, Pemerintah Indonesia melalui Pusat Jawatan Perikanan
Laut mendapat bantuan/hibah 60 buah kapal mayang dan 14 buah kapal motor cakalang
dari pemerintah Amerika dengan program International Cooperation Administration
(ICA). Kapal mayang dibuat di Jepang dari kayu cemara/matsu berukuran
13,50x3,20x1,20m dengan mesin Yanmar 30 DK tipe 2 LD Soewito et al. (2000).
Kapal-kapal tersebut disalurkan kepada koperasi perikanan di pantai utara Jawa.
Sebagian di pakai sendiri oleh Jawatan Perikanan Laut. Seang kapal motor cakalang
disalurkan kepada koperasi perikanan di Ambon dan Air Tembaga, melalui Yayasan
Perikanan Laut setempat. Karena bantuan/hibah kapal motor dari Pemerintah Amerika
itu tidak mencukupi. Pusat jawatan Perikanan Laut melalui Yayasan Perikanan Laut
kemudian membangun 300 buah kapal mayang dengan biaya dari anggaran Rencana
Kesejahteraan Istimewa (RKI). Karena belum ada peraturan khusus tentang konstruksi
kapal ikan, Abdul Salam Soemintadirja yang telah mendapat pelatihan di Jepang,
menerapkan peraturan pembuatan kapal ikan dari kayu yang diperolehnya dari Jepang.
10
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Galangan yang membangun kapal motor mayang antara lain: YAYASAN
PERIKANA LAUT di Jakarta; DJOESDI dan TRIDAYA di Tegal; BATANG di Banten,
mesin yang dipakai ialah Callesen 25 DK 1 cyl semi diesel, Yanmar 30 DK 2 cyl tipe 2
LD; BACHTIAR di Pekalongan; PT BAJO dan KP3 di Juana; BRN di Tuban.
Kapal motor yang selesai di bangun, diserahkan kepada Yayasan Perikanan Laut,
untuk selanjutnya diberikan kepada kelompok nelayan secara kredit. Para nelayan
penerima kapal adalah mereka yang sudah menjadi anggota koperasi. Angsuran kredit,
kapal dilakukan melalui koperasi masing-masing kkelompok yang dipotong langsung
dari hasil penjualan ikan di pelelangan Soewito et al. (2000).
Pada tahun 1956/1957, Yayasan Perikanan Laut membuat purwarupa baru, yaitu
perubahan dari tipe C menjadi tipe GB (Gillnet-Bajo): (1) Bergeladak kerja di belakang,
lengkap dengan penggulung jarring untuk operasii gillnet; (2) Kapal dibangun di
galangan kapal Bajo, Juana, seluruhnya dari kayu jati, dengan ukuran 13,00 x 3,20 x
1,20m (10 GT) dan mesin diesel Yanmar 45 DK tipe 3 LD Soewito et al. (2000).
Pada tahun 1956, Yayasan Perikanan Laut membangun kapal stern trawl yang
dirancang bangun oleh Kennedy Brown, seorang pakar Amaerika Serikat. Kapal itu
diberi nama Lollypop, berukuran 9,6 X 3,05 x 1,15 meter dengan mesin Deutz 25 DK
D14, dan dioperasikan di Kota Baru, Pulau Laut.
Lebih lanjut Soewito et al. (2000) menandaskan bahwa pada tahun 1957,
Departemen Pertanian membeli galangan kapal CV. Taat milik orang Belanda di Bajo
Juana, dan dikelola oleh PT. Bajo yang didirikan pemerintah. Galangan kapal ini
selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada Yayasan Perikanan Laut. Galangan ini
telah dapat membuat kapal kelas 60 GT, untuk jarring tarik, long line dan mayang.
Galangan itu selanjutnya juga dipercaya membangun kapal cakalang kelas 15-20 GT
untuk dioperasikan di Air Tembaga dan Ambon. Kapal yang telah dibangun, antara lain:
11
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
- Km. Ardjuna (trawler) kayu 60 GT/120 DK,1950
- Km. Bima (long liner) kayu 60 GT/120 DK,1950
- Km. Ceta (carrier) kayu 60 GT/120 DK,1951
- Km. Drupadi (carrier) kayu 60 GT/120 DK,1951
- Km.Erowati (carrier) kayu 60 GT/120 DK,1952
- Km. Gondomono (trawler) kayu 60 GT/120 DK,1952
- Km. Hindra (trawler) kayu 60 GT/120 DK,1952
- Km. Peda (carrier) kayu 60 GT/120 DK,1953
Tanah galangan kapal PT Bajo ini cukup luas. Begitu juga peralatannya cukup
lengkap. Akan tetapi dengan pendangkalan sungai Juana, alur pelayaran tidak dapat
dilalui kapal motor hasil galangan itu. Dengan kurangnya pesanan kapal, akhirnya
galangan itu tidak dapat bertahan lagi dan dilikwidasi. Ini sangat disayangkan, karena
galangan kapal BUMN yang mampu membangun kapal motor perikanan menjadi tidak
ada lagi. Padahal galangan kapal khusus untuk kapal ikan sangat dibutuhkan Soewito et
al. (2000).
Pada tahun 1958 Yayasan Perikanan Laut mencoba membuat modifikasi perahu
jabur yang masih digerakkan dengan layar. Tipe ini disebut KB atau Kolek bermotor,
yang digerakan oleh layar dan mesin. Penggunaan mesin hanya kalau perlu saja, pada
saat tidak ada angin. KB terus disempurnakan dan berkembang di Jawa Tengah pada
tahun-tahun selanjutnya. P{erubahan tersebut antara lain linggih muka dan belakang
yang asli dibuat rata. Ukuran tipe KB 13,10 x 3,16 x 1,05, 8-9 GT, mesin 9-10 DK
Kubota tipe M.C.Z. Pada tahun-tahun berikutnya diadakan perubahan rancang bangun
KB I dan KB II sampai diperoleh rannncang bangun /kb III.
Dengan adanya Undang-Undang PMA (1967) dan PMDN (1968) berkembang
kapal penangkap udang (trawler) modern di kawasan Timur Indonesia (Maluku dan Irian
Jaya) dan pada waktu yang hamper bersamaan berkembang juga kapal-kapal Bagan
Siapi-api (disingkat Bagan) berjaring trawl atau pukat harimauu di kawasan batar
Indonesia (Sumatera dan Jawa) Soewito et al. (2000).
Pada Pelita I (1968/1969-1972/1973), Direktorat Jenderal Perikanan membuat
purwarupa kapal motor ukuran 10-15 GT antara lain berupa gillnetter untuk
disebarluaskan keseluruh daerah Indonesia.
12
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Berdasarkan Statistik Perikanan Indonesia (2010), dalam periode tahun 2000 -
2010, jumlah kapal penangkap ikan meningkat rata-rata 2,67% per tahun, yaitu dari
579.491 buah pada tahun 2000 meningkat menjadi 742.369 buah pada tahun 2010.
Peningkatan rata-rata jumlah kapal penangkap ikan terbesar terjadi pada perahu motor
tempel, yaitu sebesar 7,23 % per tahun. Kapal penangkap ikan di laut dalam periode yang
sama, jumlahnya meningkat rata-rata 2,53 % per tahun, yaitu dari 449.558 buah pada
tahun 2000 menjadi 570.827 buah pada tahun 2010. Jumlah perahu motor tempel dan
kapal motor masing-masing meningkat rata-rata sebesar 7,05 % dan 5,59 % per tahun,
sementara jumlah perahu tanpa motor turun rata-rata sebesar 2,53 % per tahun. Apabila
dilihat menurut ukuran dan kategori kapal, jumlah perahu/kapal motor berukuran 30 - 50
GT mengalami peningkatan rata-rata terbesar, yaitu 34,28 % per tahun. Kemudian diikuti
jumlah kapal motor ukuran 50 - 100 GT sebesar 10,81 % per tahun, kapal motor ukuran
20 – 30 GT sebesar 10,21 % per tahun, kapal motor ukuran 100 - 200 GT sebesar 9,40 %
per tahun dan kapal motor ukuran 10 - 20 GT sebesar 7,41 % per tahun. Sedangkan
jumlah perahu tanpa motor jenis jukung mengalami penurunan ratarata sebesar 3,92% per
tahun.
Dengan ditetapkannya ZEEI pada tahun 1980, memungkinkan Pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijaksanaan tentang kerjasama di bidang perikanan antara
perusahaan perikanan Indonesia dengan perusahaan perikanan asing mengadakan
penangkapan di perairan laut ZEEI dengan lisensi dan carteran. Kapal-kapal tersebut
pada umumnya beroperasi di perairan Laut Cina Selatan, Arafura, Selat Malaka, Laut
Sulawesi dan Samudera Hindia. Alat tangkap yang dipakai meliputi pukat udang, pukat
ikan, long line, pole and line, gillnet dan purse seine. Pengadaan kapal ikan bekas
dengan mesin baru dari luar negeri mengalami kesulitan. Ini disebabkan antara lain oleh
kebijaksanaan uang ketat, sehingga bunga pinjaman terlalu tinggi. Kemungkinan
membangun kapal dalam negeri oleh pengusaha Indonesia kecil sekali, karena biaya
pembuatan kapal di dalam negeri lebih mahal disbanding dengasn harga kapal yang
berukuran sama dari luar negeri. Keadaan itu menghambat upaya peningkatan armada
kapal penangkap ikan nasional (Soewito et al. 2000).
13
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Modernisasi Alat dan Cata Penangkapan Ikan; Teknik penangkapan ikan modern
berkembang bersamaan dengan teknik dan alat pelayaran. Mula-mula sampan dan alat
dioperasikan di perairan pantai. Kemudian muncul perahu layar yang memungkinkan
penangkapan ikan lebih jauh dengan alat yang lebih besar, kapal uap memungkinkan
pemakaian trawl besar, purse seine dan rangkaian gill net. Penggunaan tenaga m ekanis
untuk penggerak kapal diikuti oleh mekanisasi pekerjaan yang perlu banyak tenaga untuk
mengoperasikan alat seperti dalam penarikan trawl dan purse seine.
Perikanana komersial yang modern ditandai pertumbuhan yang terus menerus
cara penangkapan ikan secara aktif terutama dengan trawl dan purse seine. Berbagai
jarring trawl dapat menangkap gerombolan ikan mulai dari permukaan sampai dasar
perairan sedalam 2.000 m. Purse seine efektif untuk gerombolan ikan permukaan samapi
dasar perairan sedalam 200 m.
Gambaran utama perkembangan dan cara penangkapan ikan dewas ini adalah
penyempurnaan bentuk alat, khususnya makin besarnya ukuran alat, peningkatan
kecepatan penarikan dan pengenalan alat. Akibatnya, volume air yang lebih besar dapat
disapu lebih cepat sehingga daya tangkap meningkat. Hal ini dimungkinkan karena
pengenalan bahan buatan (sintetis). Dari segi lain, meningkatnya ukuran alat
penangkapan di tempat yang dalam dan jauh memerlukan kapal yang lebih kuat, cepat
dan besar; lebih banyak tenaga mekanis dan lstrik yang lebih kuat, cepat dan besar; lebih
banyak tenaga mekanis dan listrik per nelayan dan daya jangkau alat pencari ikan.
Perkembangan teknis serta peningkatan cara komunikasi dan peramalan cuaca
memungkinkan lebih banyak waktu di pakai untuk penangkapan dengan mengurangi
waktu mencari daerah penangkapan, mencari ikan dan penanganan alat. Perkembangan
alat untuk mengetahui dan mengikuti gerombolan ikan dan memantau serta
mengendalikan alat dalam operasi penangkapan telah meningkatkan ketelitian
penangkapan serta telah memulai tahapan otomatisasi. Tidak diragukan lagi, teknologi
penangkapan dapat menyumbang banyak untuk pengembangan perikanan di Negara
sedang berkembang, terutama dengan penyempurnaan alat dan cara yang telah ada serta
dengan memperkenalkan hal yang baru.
14
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Dalam rangka modernisasi alat dan cara penangkapan ikan, pemerintah telah
mengadakan uji coba berbagai peralatan dan cara penangkapan ikan baru yang lebih
produktif. Namun tidak seluruh teknologi baru tersebut diadopsi oleh para nelayan
secara relative cepat bahkan mungkin sama sekali tidak diadopsi. Banyak factor
mengapa suatu teknologi yang tidak diadopsi, antara lain menyangkut factor social
ekonomi, ekosistem, tingkat kemampuan menyerap ilmu dan teknologi baru dan factor
kebijakan pemerintah sendiri yang tidak relevan serta kurang kondusif.
Sejalan dengan perkembangan jaman, saat ini ada cara yang lebih maju dalam
menncari gerombolan ikan yaitu dengan menggunakan alat yang disebut sonar (sound
navigation and range) dan echo sounder. Echo sounder atau juga dikenal dengan nama
fish finder (dalam dunia perikanan) adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi target
yang berada di bawah kapal dengan kata lain adalah untuk mendeteksi ikan atau target
secara vertikal. Kedua alat ini prinsip kerjanya sama yaitu menggunakan sifat-sifat suara
atau bunyi (metode akustik) yang berbeda adalah cara penggunaanya. Karena kedua alat
ini merupakan alat berteknologi tinggi dan harganya relative mahal maka pelaku
perikanan tangkap yang berskala industri sajalah yang mampu melengkapi kapalnya
(Soewito et al. 2000).
Beberapa alat dan cara penangkapan modern diantaranya adalah: Trawl (Jaring
Tarik), Jaring Muro-ami, Jaring Lampara, Jaring Otoshi-ami (Teichi-ami), Tuna
Longline, Jaring insang (Gillnet), Jaring Lingkar (Purse seine), Pukat udang, Payaos
(Rumpon di Laut Dalam), Lampara Dasar, Gilltong, dan Lapdo dan Terumbu Karang
Buatan (Soewito et al. 2000).
(1) Trawl (Jaring Tarik)
Sebelum Perang Dunia Kedua Institute voor de Zeevisserij zaman penjajahan
Belanda telah membuat kapal motor, antara lain Lencam dari kayu jati 40 GT
dengan mesin Kromhout 80 DK. Kapal ini dibangun untuk menangkap ikan
dengan trawl (jarng tarik). Perairan yang dianggap cocok pada waktu itu ialah
Selat Madura di Perairan Makasar.
15
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Menjelang hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949,
kapal motor Lencam berada di Visseerij Stationn di Surabaya. Pada waktu itu ada
lima orang teknis Belanda yang bekerja di stasiun itu dipimpin E.Schol
Pada tahun 1951/1952 pimpinan stasiun Perikanan Surabaya diserahkan
kepada S. Danupradoto, sedangkan E.Schol lsendiri baru kembali ke negeri
Belanda pada tahun 1956. Pada tahun-tahun berikutnya kapal trawl ditambah
dengan Km. Arjuno, Km. Gondomono dan beberapa kapal mayang.
Pada tahun 1956 dengan bantuan K.Brown dari Amerika Serikat, Yayasan
Perikanan Laut dan Bagian Biologi, Pusat Jawatan Perikanan Laut, mulai
menggunakan trawl udang dengan KM. Muna untuk percobaan penangkapan di
perairan Palembang, Selat Berhala Jambi dan Tanjung Pinang. Kapal ini dibuat di
Pulau muna oleh orang-orang Belanda menjelang perang dunia kedua. Percobaan
trawl udang dilanjutkan di perairan Kalimantan selatan, dengan tenaga pakar
biologi Dr. T.H. Buttler dari Kanada.
Pada tahun 1959/1960, Soewito melakukan percobaan penangkapan ikan
dengan jaring tarik menggunakan kapal mayang yang dilengkapi dengan trawl
winch yang digerakkan dengan tangan, dengan maksud agar kapal mayanggg dapat
berfungsi ganda, yaitu untuk menangkap ikan demersal dengan jarring trawl dan di
musim ikan layang dipakai untuk menangkap ikan laying yang pelagis dengan
njaring mayang. Meskipun percobaan itu dinilai berhasil, namun kurang mendapat
tanggapan dari para nelayan, karena biaya untuk melengkapi kapal mayang dengan
trawl winch dan jarring trawl cukup mahal.
Dengan Undang-undang Penanaman modal Asing tahun 1967, Direktorat
Jenderal Perikanan member izin kepada mereka yang berminat mengusahakan
penangkapan udang dan ikan dengan trawl. Pada waktu yang sama, penangkapan
udang dengan pukat harimau (trawl) dari Malaysia mulai memenuhi daerah pantai
timur Sumatera. Usaha ini berkembang pesat, dan sejalan dengan itu galangan
kapal di Bangansiapi-api membangun kapal trawl secara besar-besaran dengan
ukuran 20-30 GT. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun dan meyebar ke
seluruh Indonesia. Pada tahun 1980 sudah ada 3.300 buah kapal lebih Soewito et
al. (2000).
16
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Perkembangan pukat harimau (trawl) yang tidak terkendali ini
menyebabkan terbitnya keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang
Penghapusan Jaring Trawl di Indonesia, karena diindikasikan telah mengganggu
kelestarian sumberdaya ikan demersal dan sering terjadi pertikaian dengan para
nelayan Tradisional.
(2) Jaring Muro-ami
Muro-ami adalah jarring khusus untuk menangkap ikan karang, seperti ekor
kuning, pisang-pisangan dan kakatua. Jaring ini diperkenalkan di Indonesia oleh
orang Jepang dari Okinawa, sebelum perang dunia kedua. Pada tahun 1993,
Instituut voor de Zeevisserij mencobannya di Kepulauan Seribu. Hasilnya baru
terlihat pada tahun 1938.
Jaring Muro-ami dioperasikan oleh beberapa orang nelayan (40 nelayan),
terutama sebagai penggiring ikan agar masuk ke dalam kantung jarring. Para
nelayan yang dilatih sebagai inti adalah nelayan dari kepulauan Seribu. Sampai
dengan tahun 1960-an muro-ami berkembang perat dan beroperasi selain di
Kepulauan Seribu juga di perairan Bangka, Belitunng dan Selat Karimata. Hasil
tangkapan sejak tahun 1950 diekspor ke Singapura oleh Koperasi Nelayan Pulau
Seribu Soewito et al. (2000).
Muro-ami dikembangkan ke kawasan timur Indonesia. Ukuran jarring yang
dipakai oleh nelayan di Kepulauan Spermonde Makasar lebih kecil ukurannya dari
pada yang dipakai oleh nelayan Kepulauan Seribu.
(3) Jaring Lampara
Jaring ini diperkenalkan pertamakali oleh para nelayan dari Kepulauan Fiji
yang membawa KM. Senirosi dan KM. Senileba ke Air Tembaga pada tahun 1952.
Pusatt Jawatan Perikanan Laut mendapatkan bantuan dua buah tuna-clipper dari
Pemerintah Amerika yang dilengkapi dengan jarring lampara untuk menangkap
ikan umpan seperti teri. Jaring ini selanjutnya diperkenalkan ke daerah lain
Soewito et al. (2000).
17
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Pada decade tahun 1970-an, alat ini pernah popular di Jawa Tengah,
meruupakan hasil modifikasi dari jarring payang.
(4) Jaring Otoshi-ami (Teichi-ami)
Jaring ini mulai dicoba di Indonesia pada tahun 1956. Otoshi-ami atau teichi
ami ini jarring tidak bergerak atau statis. Dalam bahasa Ingris disebut set-net.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada alat penangkap inkan semacam itu, seperti
sero, banjang dan jermal, yang dipasang secara tetap di suatu lokasi dengan
menggunakan tiang yang ditancapkan di dasar laut.
Maksud dan tujuan menggunakan otoshi-ami adalah agar alat tradisional
seperti sero, banjang dan jermal itu tidak digunaan lagi, mengingat sisa tonggaknya
yang ditinggalkan mengganggu kebersihan pantai dan alur pelayaran. Otoshi-ami
telah dicoba pula antara lain di Perairan Tanjung Satai, Kalimantan Barat tahun
1956, Tanjung Pinang, Riau, tahun 1957, Camplong Madura dan Besuki tahun 1958
Kotabaru Pulau Laut 1959, namun kurang mendapat tanggapan dari masyarakat
nelayan. Bahkan Sero, jermal dan sejenisnya masih tetap berkembangn bersamaan
dengan tumbuhnya bagan tancap dan bagan apung, yang melakukan penangkapan
di malam hari dengan bantuan lampu sebagai daya tarik ikan.
(5) Tuna Longline
Pada tahun 1956-1958 telah dilakukan percobaan penangkapan ikan tuna
dengan pancing rawai atau longline. Kapal yang dipakai ialah KM Bima 60 GT
yang bermesin Kromhout 120 DK. Percobaan dilakukan di bagian Penangkapan
dan bagian Penelitian Pusat Jawatan Perikanan Laut, dengan biaya dari Yayasan
Perikanan Laut. Peralatan longline mendapat bantuan dari Amerika Serikat berikut
pakarnya, yaitu Mr. Johnson. Penangkapan dilakukan hingga tahun 1958 di
perairan sebelah utara Balikpapan, Ujung Kulon Jawa Barat, Bali dan Lombok.
Umpan yang dipakai ialah ikan kembung, selar dan belanak.
18
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Pengembangan penggunaan longline ini selanjutnya dilakukan oleh BPU
PERIKANI dengan duabuah tuna long-liner, KM Minajaya I dan II, pada tahun
1962 yang dibeli dari California, Amerika Serikat secara kredit. Baru pada tahun
1974 usaha penangkapan dengan long line mulai berkembang dengan pesat.
(6) Jaring Insang (Gillnet)
Sejak tahun 1963 diintroduksikan jarring insang dari benang sintetis. Semula
jarring insang yang dipakai di Indonesia terbuat dari benang lawe yang disamak
secara tradisional. Pengembangannya dimulai di pantai utara Jawa, kemudian di
pantai Sumatera timur pada tahun-tahun berikutnya.
Perkembangan jarring insang dari benang sintetis sangat cepat menyebar ke
seluruh Indonesia, karena alat inii terbukti lebih produktif.
(7) Jaring Lingkar (Purse seine)
Penangkapan ikan pelagis kecil dengan purse seine sebetulnya sudah
dilakukan sejak lama. Misalnya di Aceh dengan nama pukat banting, di
Kalimantan Selatan dengan nama gae, dan di Ambon dengan nama jaring giob.
Pada pukat banting Aceh, cincin jarring dibuat dari rotan, sedangkan pada purse
seine impor model baru digunakan cincin dari logam.
Dengan membanjirnya bahan sintetis, purse seine berkembang dengan pesat
sejak tahun 1964.
(8) Pukat udang
Pada tahun 1982, Ir. Maman Surachman dari Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), bersama Tatang Sudjastani, M.Sc dari Balai
Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dan Ir. Daniel Monintja dari Institut Pertanian
Bogor (IPB) mengadakan peninjauan ke Pascagola (Amerika Serikat) untuk
menjajagi kemungkinan Turtte Excluder Device (TED) digunakan di Indonesia.
Sekembalinya dari Amerika Serikat mereka lalu membuat TED dan dicoba di
kapal pukat udang di Sorong. Selanjutnya di coba di pantai Cilacap dan
Kalimantan, ternyata TED tadi dapat juga melepaskan ikan-ikan besar yang ikut
19
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tertangkap oleh pukat udang tersebut. Maka berdasarkan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Perikanan No. IK.010/S3.8075/82 tanggal 31 Desember 1982
perusahaan-perusahaan penangkapan udang dengan pukat udang di laut Arafura
diharuskan memasang Alat Pemisah Ikan (API yang rancang bangunnya seperti
TED), ini sebagai pendukung Keppres No. 85 Tahun 1982 tanggal 24 Desember
1982 mengenai penggunaan pukat udang.
(9) Payaos (Rumpon Laut Dalam)
Payaos adalah alat pengumpul ikan pelagis besar yang telah dikembangkan
di Filipina. Penggunaannya di Indonesia telah dirintis oleh Direktorat Jenderal
Perikanan pada tahun 1980-1983 melalui berbagai uji coba di beberapa perairan
laut (Laut Flores, Sumatera Barat, Pelabuhan Ratu, Bali dan Dearah Istimewa
Aceh), kemudian dirintis pengembangannya oleh PT. Usaha Mina di Sorong dan
PT. Perikani di Air Tembaga dengan hasil yang cukup menggembirakan.
Sejak saat itu, payaos berkembang pesat di perairan laut Irian Jaya, Sulawesi
Utara, Selatan Pullau Jawa dan lain-lain.
(10) Lampara Dasar, Giltong dan Lapdu
Dalam rangka penggantian jaring trawl yang telah dilarang penggunaannya di
seluruh perairan laut Indonesia, Balai Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI)
Semarang telah merancang bangun beberapa alat penangkap udang baru pada
tahun 1980-1983, yaitu lampara dasar, giltong dan lapdu.
Setelah melalui berbagai uji coba di berbagai perairan, Direktorat Jenderal
Perikanan menyetujui alat itu untuk dikembangkan di Indonesia pada tahun 1986.
Giltong ialah singkatan dari gillnet berkantong, sedang lapdu ialah gillnet lapis
dua denga lebar mata jarring “11/4
dan 8”. Jaring tersebut banyak digunakan di
Kalimantan Tengah dan Selatan (Soewito et al. 2000).
20
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(11) Terumbu Karang Buatan
Tahun 1985, Pemerintah DKI Jakarta memasang TKB dengan cara
menenggelamkan 200 unit becak (satu unit terdiri dari 500 buah becak) dan 36
unit ex bus/truk (satu unit terdiri dari enam-tujuh buah bus/truk) di perairan Teluk
Jakarta. Pada waktu itu TKB masih dikenal dengan sebutan rumpun.
Sasaran pemasangan TKB dalam jangka pendek adalah untuk menarik populasi
ikan ke lokasi TKB dalam jangka panjang guna terjaminnya kelestarian ekosistem
terumbu karang, sehingga tercapai manfaat yang optimal dan berkesinambungan
serta meningkatkan kesadaran masyarakat dan nelayan akan arti pentingnya
pengelolaan sunberdaya ikan dan lungkungan bagi mereka yang bermukim di
sekitar kawasan perairan karang, sekaligus sebagai pengamanan jalur-jalur
penangkapan ikan.
Di beberapa daerah proyek pemasangan TKB ini ditindak lanjuti melalui APBD
dan swadaya masyarakat. Daerah-daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera
Utara, Riau, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Soewito et al. 2000).
2.2 Perkembangan Klasifikasi Alat Tangkap
Keberadaan alat tangkap di dunia ini sangat penting, karena dapat menjadi sarana
untuk mencari nafkah atau mata pencaharian bagi nelayan. Pada awalnya usaha
perikanan dilakukan oleh rakyat dengan cara sederhana. Hasilnya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan tidak mungkin diupayakan untuk
mengembangkan usaha lebih lanjut. Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan
para nelayan dan petani ikan ialah dengan memperkenalkan perikanan tangkap yang baru
dan lebih produktif
Untuk menangkap ikan manusia memerlukan peralatan. Peralatan tersebut pada
mulanya sederhana seperti tangan, tombak, penggunaan binatang lain dan sebagainya.
Kemudian peralatan tersebut berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi.
21
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Pengetahuan teoritis definisi dan penggolongan alat penangkap ikan berguna sebagi
rujukan dasar dan informasi umum bagi para insan perikanan tangkap, antara lain:
petugas statistic, para ahli dan peneliti, petugas pengawasan dan surveillance, petugas
penyuluh dan widyaswara, serta para teknisi dan pekerja yang bekerja yang berkaitan
dengan sub sector perikanan tangkap. Disamping itu berguna pula bagi pemerintah pusat
maupun daerah dalam menetapkan berbagai kebijakan, antara lain: dalam menerapkan
ketentuan peraturan dalam pengawasan terhadap nelayan asing serta dalam pengarahan
dan pembinaan kepada nelayan pengguna alat dan cara penangkapan terlarang.
Alat penangkap ikan atau biasa disebut alat tangkap ikan berperan penting dalam
berbagai aspek kehidupan, terutama bagi nelayan, yaitu orang yang pekerjaan atau mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pengetahuan mengenai alat penangkap
ikan yang sesuai dengan ikan yang menjadi tujuan operasi penangkapan sangat
diperlukan agar operasi penangkapan dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Pengembangan jenis teknologi di Indonesia diarahkan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Tujuan pembangunan
perikanan harus disepakati dengan syarat-syarat pengembangan teknologi yang dapat
menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok produksi,
menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan khususnya sumber
daya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat tangkap pancing dan purse
seine merupakan alat tangkap yang umum digunakan oleh rakyat yang skalanya sangat
kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal ini disebabkan karena keterbatasan modal
usaha. Kegiatannyapun bersifat tradisional hal ini berdampak pada rendahnya produksi
sehingga akan mempengaruhi daya saing.
Berdasarkan Kemajuan peradaban manusia. Disebabkan letak dan keadaan perairan,
maka banyak sekali ragam dan macam alat penangkap ikan yang diketahui dan
dipergunakan oleh manusia. Sejalan dengan perkembangan inovasi penciptaan alat
penangkapan ikan pada saat ini, semakin beraneka ragam bentuk, konstruksi serta
22
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
penamaan alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan, sehingga semakin sulit bagi
para insan perikanan (para ahli, guru, teknisi, penyuluh dan para penentu kebijakan)
dalam mengenal dan memahahaminya, maka diperlukan penggolongan yang jelas dan
disepakati oleh semua pihak yang terkait. Untuk itu diperlukan kesamaan persepsi dalam
menganalisa, menyimpulkan maupun dalam menentukan kebijakan dan tindakanterhadap
pemanfaatan teknologi penangkapan ikan diberbagai sector perikanan tangkap (perikanan
artisanal, perikanan skala industry madya dan industry maju).
Karena banyaknya bentuk alat penangkapan ikan saat ini diperlukan penggolongan
yang jelas sebelum teori, perhitungan dan desainya di buat. Ada berbagai cara
penggolongan alat penangkap ikan, hal ini disebabkan karena prinsip dan bentuk teknis
berbeda, titik pandang yang berbeda, tujuan yang berbeda, juga kondisi perairan dan
perikanan setempat yang berbeda. Berbagai cara penggolongan alat penangkap ikan di
kenal di masyarakat perikanan antara lain: (1) Kamakichi (1902); (2) Miyamoto (1956);
(3) Laevastu (1965); (4) penggolongan alat penangkap ikan menurut FAO; (5)
Penggolongan alat penangkap ikan menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di
dalam Ketentuan kerja Pengumpulan, Pengolahan dan penyajian Data Statistik Perikanan
Indonesia (K2P3DTPI); (6) Penggolongan alat tangkap menurut Brant (1984); (7)
penggolongan berdasarkan cara mempengaruhi kelakuan ikan dan mekanisme
penangkapan.
Penggolongan alat tangkap menurut Kamakichi (1902) terdiri atas 10 jenis, yaitu:
(1) Memaksakan ikan-ikan dengan sesuatu kecepatan untuk memasuki daerah alat
penangkap (arus air di hadang kanan kiri, penghadang makin lama makin menyempit
sehingga arus mencapai suatu kecepatan yang tak mampu lagi dilawan ikan, dengan
demikian ikan-ikan secara terpaksa masuk ke dalam alat penangkap misalnya jermal,
cakalak (Sumatera Barat).
(2) Menghadang arah renang ikan-ikan
(3) Mengajak/menggiring lalu menyesatkan kea lat penangkap (misalnya : leading net
pada set net, penaju pada sero)
23
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(4) Mengusahakan masuk kea lat penangkap dengan mudah tetapi dengan mempersulit
keluar, mengurung (misalnya: bubu, lukah).
(5) Menggarit, menggarut, menggaru (misalnya: menggarit kerang-kerangan, tiram,
seriping dari pasir atau lumpur)
(6) Menjerat (gilled)
(7) Terkait dan tidak terlepas lagi (pancing)
(8) Mencemarkan keadaan lingkungan hidup ikan (misalnya dengan mengeruhkan air)
(9) Membelit (entangled)
(10) Menjepit lalu menangkap
Miyamoto (1956) membagi metode penangkapan ikan atas 13 jenis. Dikatakan
bahwa pejenisan ini lebih ditekankan kepada cara langsung bagaimana ikan tersebut
tertangkap:
(1) Cara menusuk lalu menangkap, misalnya: penangkapan ikan paus dengan peluru
tajam bertali, panah ikan, tombak ikan untuk jenis-jenis sail fish
(2) Cara mengait, mengkaitkan, misalnya jenis-jenis pancing, mata kail terkait pada
bibir ikan.
(3) Cara menjepitkan dan setelah terjepit memulir, misalnya untuk mengambil jenis-
jenis kerang, bulu babi, jenis-jenis rumput laut.
(4) Cara menggarut, mengais, misalnya mengambil tiram yang terbenam dalam pasir,
lumpur.
(5) Cara mengundang masuk, mengajak masuk, masuk dipermudah tetapi dipersulit
untuk keluar, misalnya: lukah, bubu, lobster pot.
(6) Cara menghadang dan mengarahkan arah renang ikan kea lat penangkap, misalnya
leading net pada set net, pennaju pada sero, ikan dihadang dengan penaju agar
terarah ke bunuhan.
(7) Cara menghadang dengan paksa lalu menangkap, misalnya pada sungai batu atau
kayu disusun sehingga kayu ada satu aliran air yang menuju kea rah perangkap,
misalnya luni (Gayo), cakalak (Sumatera Barat), filtering mats, Yama (Jepang),
tubular traps.
24
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(8) Cara menyungkup dari atas, misalnya jala
(9) Cara menyerok, diserok dari bawah ke atas misalnya tanggunk
(10) Cara menyerok horizontal, misalnya jenis-jenis trawl
(11) Cara melingkari, membatasi dengan daerah luar, area ruang gerak dipersempit,
misalnya purse seine
(12) Cara menghamparkan alat, menunggu sampai ikan berada di atasnya, sesudah ikan
ada lalu diangkat dari bawah ke atas, misalnya hanco, yotsude ami, stick held dip
net.
(13) Cara terjerat (gilled) ataupun terbelit (entangled, misalnya jenis-jenis gillnet,
trammel net.
Laevastu (1965), membagi alat penangkap ikan menjadi 5 jenis pokok, yaitu:
(1) Collect : picking up mollusks, sponges, etc and dredging
(2) Kill and retain, simultaneously : with weapons and hunting animal
(3) Kill and then collect : using poisons, explosives and electricity
(4) Attract, then kill and hold : with baits and hook and line and some set gear
(5) Capture, then kill, with traps and nets
Dari beberapa penjenisan di atas, untuk masing-masing terdapat kelemahan-
kelemahan, kemudian pula terdapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan, dan
terkadang ada yang menganggap sesuatu hal merupakan prinsip sebaliknya dari segi lain
ada yang memandang bahwa hal iti bukanlah prinsip tetapi hanyalah merupakan
pelengkap. Juga ada yang beberapa prinsip pada sesuatu penjenisan dimasukkan kepada
hanya satu jenis yang ruang lingkupnya lebih luas pada penjenisan yang lain.
Fridman (1988) menyajikan 12 penggolongan utama alat penangkap ikan, yaitu:
(1) Surrounding net (jaring lingkar) dimana ikan tidak saja dikepung dari samping tetapi
dari bawah sehingga memungkinkan ikan tertangkap pada perairan yang amat
dalam. Jenis yang penting adalah purse seine yang memakai purse line untuk
menutup bagian bawah jarring dan diperasikan satu atau dua kapal dan ring nets dan
lampara tanpa purse seine.
25
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Seine net (pukat), dimana suatu daerah perairan dilingkari dengan jaring atau tali,
ditebar dari pantai dan bangunan pantai atau perahu termasuk rakit atau alat
bangunan lainnya. Sayap jaringnya bisa simetris atau tidak dengan satu atau lebih
kantong. Biasanya pengoperasian alat ini di sekitar pantai atau perairan dangkal
sehingga dasar dan permukaan berfungsi sebagai penghalang. Jenis yang penting
dari golongan ini adalah pukat pantai dan pukat perahu (Danis seines, Scottish seine,
Pair seine).
(3) Trawl, yang dioperasikan dengan menarik atau menyeret jarring yang flexible di
dalam air dengan kapal perikanan. Khususnya Otter trawl dapat dioperasikan dari
samping atau buritan kapal. Secara kasar golongan ini dapat dibagi atas Trawl dasar
yang menggarap dasar atau lapisan air dekat dasar perairan (beam trawl, one boat
otter trawl, two boat trawl) dan midwater trawl yang menggarap ikan jauh dari dasar
(otter trawl dan two boat trawl).
(4) Dredge (penggaruk) yang mempunyai bentuk yang kaku, diseret di dasar perairan
untuk menyaring kerang, udang, ikan dan sebagainya dari air, lumpur, pasir dan
sebagainya. Jenis yang penting adalah alat penggaruk pakai perahu dan penggaruk
tangan.
(5) Lift net (tangkul), yang dinaikkan atau di tarik ke atas dari posisi horizontal yang
ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air.
Mencakup tangkul kecil yang diangkat pakai tangan, tangkul bulat, blanket net dan
jarring yang dioperasikan secara mekanis atau hidraulis/pneumatic memakai galah
atau gawang (gallow) dan sebagainya. Golongan ini dibagi atas cara operasinya
menjadi tangkul yang dapat dipindahkan, tangkul perahu dan tangkul yang dipasang
di pantai.
(6) Falling gear (alat yang dijatuhkan) yang menutup ikan untuk kemudian di ambil
setelah alat diangkat dan air tersaring. Biasanya hanya di pakai di perairan dangkal.
Yang terpenting adalah jala, jala yang di lempar secara mekanis, jala pendek, jala
bergawang (gallow cast net), drive cast net, bubu atau keranjang penutup dan lantern
nets.
26
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(7) Gillnet entangling nets (jaring insang dan jaring puntal) dimana ikan terjerat atau
terpuntal pada jarring berlapis satu (gillnet), dua atau tiga (trammel net).
Penggunaan jarring dapat satu persatu atau dengan merangkaikan jarring yang sama
atau bermacam-macam. Bentuk yang penting adalah jarring tetap (di jangkar atau di
pancang di dasar perairan). Jaring hanyut (bebas atau terikat pada perahu, di
permukaan atau bawah permukaan) dan jarring insang lingkar (dimana ikan di
kepung dan dikejutkan dengan suara atau lain-lain agar melanggar jaring).
(8) Trap (perangkap) yang dipasang menetap. Ikan digiring ke dalam bagian
pengumpul yang menyukarkan ikan keluar karena banyak liku-liku atau alat
pencegah seperti injap atau corong. Bentuk yang penting adalah uncovered pound
net (jaring besar yang dijangkar atau dipancang, di Jepang terkenal dengan nama set
net), bubu (lukah) biasa, bubu jarring (menetap atau hanyut, di pasang satu per satu
atau di rangkai memakai sayap dan penggiring (penajur), jermal (di sungai atau
perairan yang berarus deras dengan mulut yang dibuka dengan rangka), belat, kerel,
penghadang dan sero biasanya terbuat dari bahan setempat, perasngkap di atas air,
rakit, perahu dan veranda nets untuk ikan peloncat atau ikan terbang.
(9) Hook and line (pancing) dimana ikan tergoda memakan umpan atau umpan palsu
kemudian terkait oleh pancing yang diikat seutas benang atau tali. Ikann dapat pula
terkait pada pancing yang dilanggarnya. Pancing dapat dipakai sendiri-sendiri atau
di rangkai. Contoh penting adalah pancing biasa, pancing berjoran, pancing genjot
(jig line), rawai dasar, rawai hanyut dan tonda.
(10) Grappling and wounding gear (pengait dan alat melukai, membunuh serta
mengaitnya. Yang penting adalah harpoon, tombak, serampang, penjepit, panah dan
lain-lain alat melukai dan membunuh.
(11) Harvesting mechines (mesin pemanen), merupakan perkembangan baru untuk
mengambil ikan secara mekanis dari air. Bentuk yang terpenting adalah pompa
untuk menyedot ikan dalam air dan alat penggaruk mekanis termasuk alat semprot
hidraulis, conveyor belt atau alat angkat lainnya.
27
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(12) Alat penangkap lainnya, termasuk jaring tangan, jaring penggiring, penangkapan
tanpa alat dengan atau tanpa alat selam, bahan pemabuk (racun) dan bahan peledak,
binatang terlatih atau listrik.
Sistem penggolongan yang paling terkenal adalah Internattional Standard Statistical
yang diterima FAO. Penggolongan alat penangkap ikan berdasarkan FAO, yaitu:
(1) Jaring lingkar
Bertali kerut (purse seine)
1.1 Purse seine satu kapal
1.2 Purse seine dua kapal
Tanpa tali kerut (lampara dasar, payang)
(2) Pukat
Pukat panntai
2.1 Pukat berkapal
2.2 Danish seine (dogol)
2.3 Scottish seine
2.4 Pair seine
Pukat lainnya
(3) Trawl
Trawl dasar (Bottom trawl)
3.1 Trawl berpalang
3,2 Trawl berpapan (otter trawl)
3.3 Trawl dua kapal (pair trawl)
3.4 Nepthtops trawl
3.5 Trwal udang
3.6 Trawl dasar lainnya
Trawl pertengahan (mid water trawl)
Trawl kembar berpapan
Trawl berpapan lainnya
Trawl dua kapal lainnya
Trawl lainnya
28
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Brant (1968) membagi metode penangkapan ikan atas 14 jenis, yaitu:
(1) Fishing without gear
(2) Fishing with wounding gear
(3) Fishing by stupefying
(4) Line fishing
(5) Fishing with traps
(6) Fishing with aerial traps
(7) Fishing with netbags with fixed mouth
(8) Fishing with gragged gear
(9) Seining
(10) Fishing with surrounding nets
(11) Fishing with the drive in method
(12) Fishing with lift nets
(13) Fishing with falling gear
(14) Fishing with tangle nets.
Secara umum di Indonesia standar alat penangkap perikanan laut diklasifikasikan
sebagai berikut (DJPT-KKP 2002):
(1) Pukat udang (shrimp net)
(2) Pukat kantong (seine net)
2.1. Payang (termasuk lampara)
2.2. Dogol
2.3. Pukat Pantai (beach seine)
(3) Pukat cincin (purse seine)
(4) Jaring insang (gillnet)
(5) Jaring angkat (lift net)
(6) Pancing (hook and line)
(7) Perangkap (traps)
29
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(8) Alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seaweed collection)
(9) Muro ami, dll
(10) Alat tangkap lainnya
Widodo et al. (1988), mengklasifikasikan alat tangkap ikan sebagai berikut:
(1) Pukat udang (shrimp net)
(2) Pukat ikan
(3) Pukat kantong (seine net)
3.1 Payang (termasuk lampara)
3.2 Dogol
3.3 Pukat pantai
(4) Pukat cincin (purse seine)
(5) Jaring insang (gillnet)
5.1 Jaring insang hanyut
5.2 Jaring insang lingkar
5.3 Jaring insang tetap
5.4 Trammel net
(6) Jaring angkat (lift net)
6.1 Bagan perahu/rakit
6.2 Bagan Tancap (termasuk kelong)
6.3 Serok
6.4 Jaring angkat lainnya
(7) Pancing (hook and line)
7.1 Rawai Tuna
7.2 Rawai hanyut lainnya selain rawai tuna
7.3 Rawai tetap
7.4 Huhate (pole and line)
7.5 Pancing lain selain huhate
7.6 Pancing tona
30
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(8) Perangkap
8.1 Sero
8.2 Jermal
8.3 Bubu
8.4 Perangkap lainnya
(9) Muro ami dan lain-lain (jala, tombak, dan lain-lain)
Umum di katakan bahwa perikanan di Indonesia (dalam hal ini terutama perikanan
laut) masih berada dalam taraf perikanan tradisional. Pendapat ini ada benarnya tetapi
tidaklah pula kurang kesalahannya. Jika kita tinjau dari segi prinsip metode penangkapan
ikan yang telah digunakan oleh para nelayan di tanah air, akan terlihat bahwa telah
banyak pemanfaatan tingkah laku ikan untuk tujuan fishing yang telah dilakukan.
31
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tabel 1 Alat penangkap ikan untuk statistik perairan laut melalui K2P3DSPI
No Group Kategori Statistik
1 Pukat Udang* 1.1 Pukat Udang BED equipment shrimp net
2 Pukat Ikan* 2.1 Pukat Ikan Fish net
3 Pukat kantong
(seine nets)
3.1 Payang (termasuk
lampara)
Payang (include lampara)
Danish Seine
Beach Seine
4 Pukat Cincin
(Purse seine)
4.1 Pukat cincin Purse seine
5 Jaring insang (Gill
nets)
5.1 Jaring insang hanyut
5.2 Jaring insang lingkar
5.2 Jaring klitik
5.4 Jaring insang tetap
Drift Gillnet
Encircling Gillnet
Shrimp Gillnet
Set Gillnet
6 Jaring Angkat (Lift
net)
6.1 Bagan perahu
6.2 Bagan Tancap (termasuk
kelong)
Boat / Raft Liftnet
Bagan (include kelong)
Scoop net, Other Gillnet
7 Pancing (Hook and
Lines)
7.1 Rawai Tuna
7.2 Rawai hanyut lainnya,
selain Rawai Tuna
7.3 Rawai Tetap
7.4 Huhate
7.5 Pancing dan Joran
lainnya
7.6 Pancing Tonda
Tuna Long line
Drift Gillnet Other than
Tuna Line
Set Long line
Skipjack pole line
Other Pole and line
Troll Line
8 Perangkap (Trap) 8.1 Sero
8.2 Jermal
8.3 Bubu
8.4 Perangkap lainnya
Guiding Barrier
Stow net
Portable Traps
Other traps
9 Alat pengumpul
kerang dan rumput
laut (Sell fish and
seaweed collection
with manual gear)
9.1 Alat pengumpul kerang
9.2 Alat pengumpul rumput
laut
Shellfish Collection
Seawed Collection
10 Muroami 10.1 Muroami (termasuk
Malalugis)
Muroami (include
Malalugis)
11 Lain-lain 11.1 Jala Tombak dan lain-
lain
Cast net, harpoon
32
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
3 Karakteristik Perikanan Tangkap
3.1 Pengertian Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan atau
pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di air laut atau perairan umum secara
bebas (Kesteven 1973). Setidaknya terdapat tiga pengertian terkait dengan perikanan
tangkap yakni perikanan, penangkapan ikan, dan kapal perikanan. Lebih lanjut Kesteven
(1973) menyatakan bahwa perikanan tangkap merupakan satuan yang bertujuan untuk
memanfaatakan sumberdaya hayati perairan guna kesejahteraan manusia melalui usaha
penangkapan. Satuan ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu sumberdaya hayati perairan
yang dimanfaatkan dan sarana prasarana yang digunakan untuk memanfaatkan
sumberdaya hayati perairan, mengolah dan memasarkan kepada konsumen. Antara
kedua bagian besar tersebut terdapat saling ketergantungan dan interaksi yang teratur.
Adanya interaksi ini maka perikanan tangkap dapat diidentifikasi sebagai suatu sistem.
Saling terkait dan bersinergi satu sama lain yang pada akhirnya akan memacu
kegiatan usaha penangkapan di suatu kawasan perairan, Pada akhirnya pengembangan
usaha penangkapan di suatu kawasan akan mendorong sektor-sektor lain sehingga
kesejahteraan masyarakat akan meningkat, sebasgai hasil dari roda ekonomi yang
berjalan dengan lancar. Dengan demikian secara makro akan mempengaruhi peningkatan
pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
33
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan (Monintja 1994) adalah
kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air
yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas
menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun memperoleh nilai tambah
lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewani,
devisa serta pendapatan bagi negara. Selain itu Hermawan (2006) menyatakan bahwa
perikanan tangkap adalah suatu kegiatan yang sangat bergantung pada ketersediaan dan
daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya.
Perikanan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, adalah
semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Kemudian yang
disebutkan pula yang dimaksud dengan penangkapan ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau
cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan / atau mengawetkannya.
Secara teoritis, proses penangkapan dapat dianggap sebagai pengendalian yang
sengaja terhadap sistem penangkapan. Salah satu unsurnya adalah ikan. Pengaruh alat
terhadap ikan adalah input terhadap unsur ini dan reaksi ikan adalah output. Dalam
hubungan ini cara penangkapan ikan dapat digolongkan menjadi (1) bentuk pengendalian
kelakuan ikan dan (2) mekanisme penangkapan. Dengan pendekatan ini bisa
digambarkan dan dinilai masalah komando yang baik dalam operasi penangkapan
memakai sistem otomatis.
34
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa untuk suatu metode penangkapan harus
dilandasi dengan suatu pengetahuan yang mendalam tentang tingkah laku ikan (fishing
behavior), baik secara individu ataupun bergerombol (shoul), dalam suatu saat tertentu
ataupun satu periode musim, dalam keadaan alamiah ataupun dalam perlakuan fishing.
Pengetahuan tentang fishing behavior adalah kunci untuk mengadakan perbaikan
(improvement) dari suatu kode yang umum telah diketahui, juga untuk mengetahui hal
baru. Sedangkan fishing tactis adalah bukan saja pengetahuan tentang bagaimana
mengoperasikan alat tangkap, tetapi juga berarti bagaiman cara menemukan ikan atau
gerombolan ikan dan bagaimana mempengaruhinya (memanfaatkan dan
mempergunakan) fishing behavior untuk memperbesar efesiensi suatu penangkapan.
Menangkap ikan mencakup segala cara yang di pakai untuk mengambil ikan dari
lingkungan alami mereka. Berbagai alat tangkap digunakan oleh para nelayan untuk
mewujudkan inovasinya sebagai upaya untuk menghasilkan ikan. Secara umum
penangkapan ikan diwujudkan dalam lima mekanisme utama yaitu: (1) menjerat dengan
jarring, antara lain gill net; (2) memerangkap, antara lain pukat pantai, pukat cincin,
pukat harimau (3) menyaring antara lain pukat pantai, pukat cincin, pukat harimau; (4)
memancing antara lain pancing tangan, pancing tonda (5) menombak antara lain :
tombak, harpoon (6) belakangan ini berkembang teknik penangkapan ikan baru dengan
cara “memompa”, yaitu membuat arus kuat yang tidak dapat di tentang ikan kemudian
menghisapnya ke dalam system penampungan khusus.
3.2 Perikanan Tangkap Merupakan Suatu Sistem
Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen atau
elemen atau subsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya
disebut sebagai sistem bisnis perikanan tangkap, Gambar 1 (Kesteven 1973, dimodifikasi
oleh Monintja 2000). Sistem tersebut terdiri dari berbagai komponen-komponen perikanan
tangkap sebagai berikut : (1) Subsistem sarana produksi (2) Subsistem usaha penangkapan (3)
subsistem pengolahan hasil perikanan (4) subsistem pemasaran (5) subsistem prasarana (6)
subsistem masyarakat.
35
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Keenam subsistem ini harus secara lengkap tersedia komponennya di suatu kawasan
perikanan laut atau minimal dapat dijangkau dari kawasan tersebut dengan kemampuan yang
serasi untuk menjamin aliran informasi dan aliran materinya. Untuk lebih jelasnya berikut ini
dijelaskan peranan masing-masing sub system dalam pengembangan usaha penangkapan ikan
(Kesteven 1973).
(1) Subsistem Sarana Produksi
Salah satu indikator berkembangnya usaha perikanan tangkap sangat tergantung dari
berjalannya fungsi sarana produksi dengan optimal. Sarana produksi merupakan salah satu
fasilitas yang menunjang berlangsungnya kegiatan perikanan. Sarana produksi tersebut
antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan, instalasi, air tawar, instalasi
listrik, dan pendidikan pelatihan tenaga kerja.. Keberadaaan sub sitem ini akan melancarkan
kegiatan usaha penangkapan ikan.
36
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Gambar 1 Sistem Perikanan Tangkap
(2) Subsistem Usaha Penangkapan
Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan, aspek legal dan unit sumber
daya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang
terdiri kapal, alat tangkap dan nelayan. Aspek legal menyangkut sistem informasi dan ijin.
Unit sumber daya terdiri dari spesies, habitat seperti mangrove, terumbu karang dan padang
lamun serta musim.
37
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Dalam sub sistem ini yang sangat menentukan adalah potensi sumberdaya ikan yang
terdapat dalam suatu perairan. Semakin melimpah suatu sumberdaya ikan berarti semakin
menjamin kelangsungan usaha penangkapan. Oleh sebab itu data yang akurat mengenai potensi
sumberdaya ikan di suatu kawasan perairan sangatlah penting, termasuk species, habitat dan
musimnya. Ketersediaan data ini akan meningkatkan efisiensi usaha penangkapan ikan yang
akan dikembangkan.
Teknologi penangkapan ikan juga sangat menentukan. Pada akhir-akhir ini tuntutan
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan menjadi suatu keharusan. Tujuan penangkapan
ikan tidak lagi menangkap ikan sebanyak-banyaknya, tetapi penangkapan yang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi sumber daya hayati laut menjadi suatu kebutuhan.
(3) Subsistem Pengolahan Hasil Tangkapan
Hasil tangkapan yang diperoleh tentu tidak semua dapat langsung dikonsumsi, karena
konsumen berada di beberapa tempat. Untuk menjamin mutu hasil tangkapan ikan yang
didaratkan maka perlu ada pengolahan.
Unit pengolahan termasuk didalamnya pengawetan bertujuan untuk mempertahankan
mutu dengan cara penanganan yang tepat agar ikan tetap sempurna segar atau dalam wujud
olahan, secara ekonomi nilai tambah produk juga meningkat. Pengolahan tersebut dapat
dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan atau
dengan cara modern. Unit pengolahan di sini adalah handling atau penanganan, processing
dan packaging. Pengembangan produk olahan yang kompetitif berkualitas standar sehingga dapat
menarik konsumen.
(4) Subsistem Pemasaran
Pemasaran merupakan tindakan yang berkaitan dengan distribusi atau pergerakan
barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. Dalam subsistem ini akan
dilakukan distribusi, penjualan pada berbagai segmen pasar. Kalau dapat hasil tangkapan bukan
hanya untuk kebutuhan domestik tetapi juga dapat memiliki akses ke pasar internasional. Oleh
sebab itu informasi pasar sangat penting, selanjutnya dilakukan promosi pasar.
38
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Pengembangan pemasaran diawali dengan introduksi sistem pemasaran ikan segar,
sehingga mendorong pengembangan ekspor ke luar negeri. Dengan demikian akan terkait dengan
pembangunan beberapa sarana seperti cool room dan pabrik es skala kecil di pasar-pasar umum
serta di pelabuhan perikanan.
(5) Subsistem Prasarana
Prasarana merupakan salah satu subsistem yang memegang peranan penting dalam
pengembangan usaha penaangkapan ikan di suatu kawasan perairan laut. Beberapa prasarana
yang penting artinya dalam memajukan usaha penangkapan adalah pelabuhan, pabrik es,
penyediaan air bersih dan bahan bakar minyak.
Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi
perikanan. Fungsi tersebut meliputi berbagai macam aspek yakni sebagai pusat pengembangan
masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan hasil tangkapan,
tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi
hasil tangkapan, serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. Pembangunan
pelabuhan perikanan di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009, pelabuhan perikanan adalah tempat
yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas kegiatan sistem
bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan
kegiatan penunjang perikanan.
Penyediaan fasilitas pelabuhan perikanan harus disesuaikan dengan tingkat kemajuan
perikanan pada kawasan perairan laut yang bersangkutan. Pembangunan pelabuhan
perikanan di wilayah yang sudah berkembang, pemerintah cukup hanya melengkapi
dengan fasilitas pokok dan beberapa fasilitas tambahan yang sangat diperlukan saja,
sedangkan fasilitas fungsional diserahkan kepada pihak swasta karena dapat
dioperasionalkan secara komersial. Pembangunan pelabuhan perikanan di wilayah yang
belum berkembang tetapi memiliki sumber daya perikanan yang sangat potensial maka
sebagai daya tarik investor perlu dibangun pelabuhan perikanan secara terpadu yaitu
menyediakan seluruh fasilitas baik fasilitas pokok, fungsional maupun fasilitas tambahan
kemudian dikaitkan dengan industri perikanan. Dengan demikian prasarana ini akan
memberikan dampak berkembangnya usaha perikanan, karena pelabuhan perikanan akan
39
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
mampu membantu usaha nelayan, pedagang ikan, pengolah hasil-hasil perikanan dan
pengusaha perikanan.
(6) Subsistem masyarakat
Dalam subsistem ini masyarakat sebagai komponen dari hasil tangkapan, pemilik
modal, pengguna teknologi dan salah satu unsur pembina dalam sistem secara
keseluruhan. Sebagai pemilik modal masyarakat akan membangun dan membuat sarana-
sara produksi yang dibutuhkan.
Pembinaan merupakan suatu proses untuk peningkatan produksi dan produktivitas
perikanan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor perikanan. Pembinaan
tersebut terdiri dari pembinaan usaha perikanan terdiri dan pembinaan mutu hasil perikanan.
Pembinaan usaha perikanan bertujuan untuk pengembangan usaha di bidang perikanan yang
merupakan bagian dari dunia usaha pada umumnya. Pembinaan usaha perikanan terdiri dari
pembinaan kelembagaan usaha perikanan, perkreditan dan permodalan dan pembinaan
perijinan usaha perikanan. Pembinaan mutu hasil perikanan diantaranya adalah pembinaan
unit pengolahan dan pengawasan mutu hasil perikanan.
Berkembangnya komponen perikanan tangkap tersebut dapat terjadi jika
pengelolaan komponen perikanan berlangsung optimum sehingga dibutuhkan sebuah
perencanaan yang terpadu untuk pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap.
Agar dapat dilakukan secara efektif dan efisien, maka diperlukan perencanaan strategis
dan pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan mengingat sumberdaya ikan memiliki
karakteristik khusus jika dibandingkan sumberdaya alam lainnya.
Keterkaitan komponen-kompenen di atas tentunya harus mempunyai tujuan jelas
dalam sistem yaitu optimalisasi perikanan tangkap secara berkelanjutan untuk mencapai
tujuan pembangunan perikanan tangkap, melalui kebijakan pembangunan perikanan
tangkap yang diarahkan untuk (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu
andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan dalam negeri; (2)
merasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada penangkapan secara bertahap
dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan
dalam negeri dan nelayan lokal; (3) menerapkan pengelolaan perikanan secara bertahap
berorientasi kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan. Kebijakan tersebut secara
40
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
nasional mempunyai sasaran untuk meningkatkan (1) produksi perikanan tangkap, (2)
volume ekspor perikanan, (3) nilai ekspor perikanan, (4) penyerapan tenaga jumlah kerja
khususnya nelayan, dan (5) pendapatan masyarakat nelayan.
Namun proses atau mekanisme yang terjadi dalam sistem tersebut dipahami
sangat kompleks, dimana setiap elemen saling mempengaruhi secara internal dalam
sistem serta tidak bisa dilepaskan dari pengaruh eksternal dan global terhadap sistem,
seperti kebijakan WTO tentang pelarangan subsidi perikanan oleh pemerintah, isu-isu
lingkungan, kualitas produk perikanan yang berkaitan dengan HACCP dan sebagainya.
Sistem perikanan mencakup tiga sub sistem yaitu: (1) sumberdaya ikan dan
lingkungannya; (2) sumberdaya manusia berserta kegiatannya; (3) manajemen perikanan.
Sumberdaya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen yaitu ikan, ekosistem dan
lingkungan biofisik. Sumberdaya manusia meliputi empat komponen yaitu nelayan
dengan kegiatan memproduksi ikan; kegiatan pasca panen, distribusi pemasaran dan
konsumen; rumah tangga nelayan dan masyarakat perikanan; serta kondisi sosial,
ekonomi dan budaya. Sub sistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen yaitu
perencanaan dan kebijakan perikanan; pengelolaan perikanan; serta pengembangan dan
penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen-komponennya mengalami
perubahan sepanjang waktu (Charles 2001). Selanjutnya Charles juga menyatakan
perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada
penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan
aspek perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada
masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara ekologi
terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap sumberdaya.
Keberlanjutan sosial ekonomi terkait dengan manfaat makro bagi penyerapan tenaga
kerja dan distribusi pendapatan yang layak bagi para pelaku. Keberlanjutan masyarakat
menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan,
penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan jangka panjang.
41
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Kesteven (1973) mengemukakan karakteristik khusus dalam sistem perikanan
tangkap yaitu: (1) Invisible, sumberdaya ikan yang tidak terlihat; (2) Common property,
bahwa sumber daya tersebut merupakan milik bersama; (3) High risk, usahanya memiliki
resiko yang tinggi; dan (4) Highly perishable, produk yang mudah rusak/membusuk.
Lebih lanjut disebutkan mengenai karakteristik usaha perikanan tangkap yaitu: (1)
Perikanan tangkap berbasis pada sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui
(renewable), namun dapat mengalami deplesi (depletion) atau kepunahan; (2)
pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat menjadi sumber konflik (di daerah
penangkapan ikan maupun dalam pemasaran hasil tangkapan; (3) usaha penangkapan
tidak cukup hanya menguntungkan, tetapi juga harus mampu memberi kehidupan yang
layak bagi para nelayan dan pengusahaannya; (4) kemampuan modal, teknologi dan akses
informasi yang berbeda antar nelayan dapat menimbulkan kesenjangan dan konflik; (5)
usaha penangkapan ikan dapat menimbulkan konflik dengan subsektor lainnya,
khususnya dalam zona atau tata ruang pesisir dan laut.
42
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
4 Beberapa Metode Penangkapan Ikan Penting
Jenis alat penangkap ikan terbagi di dua tempat yang berbeda yaitu di perairan laut
dan perairan umum daratan. Kedua jenis perairan tersebut mempunyai karakteristik
oceanis dan limnologis yang berbeda antar perairan satu dengan yang lainnya. Perbedaan
karakteristik tersebut menghasilkan perbedaan pula dalam produktifitas perairannya dan
potensi produksi ikannya. Dengan demikian alat penangkap ikan yang digunakanpun
berbeda. Berikut disajikan jenis-jenis alat penangkap ikan yang terdapat di perairan
Kalimantan Selatan.
4.1 Jenis Alat Penangkapan di Perairan Laut
4.1.1 Jaring Insang (Gillnet)
Gillnet sering diterjemahkan dengan “ jaring insang”, “jaring rahang”, “jaring” (gill
= insang, dan net = jaring). Istilah gillnet didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan
yang tertangkap “gilled = terjerat” pada sekitar operculum nya pada mata jaring. Dalam
bahasa Jepang gillnet disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran
bahwa tertangkapnya ikan pada gillnet ialah dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut
“memasukan diri –sasi” pada “jaring –ami”.
Menurut Sadhori (1985), prinsip penangkapan gillnet adalah dengan memasang
gillnet tersebut di perairan yang sering dilalui oleh ikan baik secara bergerombol maupun
satu persatu. Ikan-ikan tertangkap karena menabrak jaring dan kemudian tersangkut atau
tergulung oleh alat tangkap tersebut, karena pemasangan alat tangkap ini bertujuan agar
ditabrak oleh ikan, maka sebaiknya warna jaring harus disesuaikan dengan warna
perairan tempat gillnet akan dioperasikan atau dipergunakan bahan yang transparan untuk
pembuatan alat tersebut, seperti monofilament agar jaring tersebut tidak dapat dilihat oleh
ikan apabila dipasang di perairan.
Bentuk alat ini sederhana sekali, yaitu persegi panjang. Pada bagian atas di pasang
tali ris atas dan beberap buah pelampung, sedangkan pada bagian bawah dipasang tali ris
bawah serta beberapa buah pemberat yang pada umumnya di buat dari batu atau batu
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
karang. Ada juga gillnet nylon yang pada bagian bawahnya tidak memakai ris bawah dan
pemberat. Akan tetapi beberapa mata jaring bagian bawah diganti dengan benang saran
yang berfungsi sebagai pemberat, sebab berat jenis benang saran tersebut lebih berat dari
pada berat jenis benang nylon. Berat jenis benang nylon 1,14 sedangkan berat jenis
benang saran 1,40. Selain dari itu benang saran lebih banyak mengisap air (daya
absorbsinya lebih besar) dibandingkan dengan benang nylon (Syahrodin et al. 1982).
Dengan kata lain jaring insang adalah salah satu dari jenis alat penangkap ikan dari
bahan jaring monofilamen atau multifilamen yang dibentuk menjadi empat persegi
panjang, kemudian pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats)
dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (singkers) sehingga
dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang
di daerah penangkapan (permukaan, kolom perairan, atau di dasar perairan) dalam
keadaan tegak menghadang ikan. Jumlah mata jaring ke arah horisontal atau ke arah
Mesh length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah
vertikal atau ke arah Mesh depth (MD) (gambar 2)
Gambar 2 Perbandingan mata jarring horizontal dan vertikal jaring insang
Penentuan lebar jarring (jumlah mesh depth) didasarkan antara lain atas
pertimbangan terhadap dalamnya swimming layer dari jenis-jenis ikan yang menjadi
tujuan penangkapan, density dari gerombolan ikan dan lain sebagainya, sedangkan
panjang jarring (jumlah piece yang dipergunakan akan mempengaruhi besar kecilnya
Mata jaring ke arah horisontal (Mesh Length/ML)
Mata jaring
ke arah
vertikal
(Mesh
depth/MD)
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
usaha, demikian pula akan berpengaruh pada besar kecilnya catch yang mungkin akan
berpengaruh
Target ikan yang tertangkap pada jaring insang yaitu: (1) ikan yang mempunyai
bentuk strealine seperti bentuk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), kembung
(Rastrelliger spp), sarden (Sardinella spp) atau seperti bentuk ikan salem
(Onchorhynchus); (2) Ikan yang mempunyai sifat bergerombol, baik bergerombol secara
aggregation, school ataupun bergerombol secara pood; (3) Besar individu dalam
gerombolan hampir merata; (4) Mempunyai kekuatan untuk menusuk atau
memasuki mata jaring atau; (5) Jenis ikan yang mempunyai model berenang
Subcarangiform, Carangiform, Thunniform dan model berenang yang menyerupainya.
Supaya ikan-ikan mudah dapat terjerat (gilled) pada mata jarring ataupun ikan-ikan
mudah dapat terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring, maka baik material yang
dipergunakan ataupun pada waktu pembuatan jarring hendaklah diperhatikan hal-hal
yang antara lain seperti berikut ini:
(1) Kekuatan Twine (Rigidity of netting twine)
Twine yang digunakan hendaklah “lembut tidak kaku, pliancy, suppleness”,
terutama bagi jarring yang ditunjukan untuk menangkap pikan dengan cara entangled
hal ini sangatlah perlu. Dengan demikian maka twine yang digunakan adalah cotton,
hennep, linen, amylan, nylon, kremona dan lain-lain sebagainya, dimana twine ini
mempunyai fibres yang lembut. Bahan-bahan dari manila hennep, sisal, jerami dan
lain-lain yang fibresnya keras tidak dipergunakan. Untuk mendapatkan twine yang
lembut, ditempuh cara yang antara lain dengan memperkecil diameter twine ataupun
jumlah pilin per-satuan panjang dikurangi, ataupun bahan-bahan celup pemberi warna
ditiadakan.
(2) Ketegangan rentangan tubuh jarring
Yang dimaksud dengan ketegangan di sini ialah baik rentangan kea rah lebar
demikian pula rentangan kea rah panjang jarring. Jaring mungkin direntangkan
dengan tegang sekali, tetapi mungkin pula tidak terlalu tegang. Ketegangan
rentangan ini, akan menngakibatkan terjadinya tension baik pada float line ataupun
pada tubuh jarring, dan banyak sedikitnya akan berhubungan pula dengan jumlah
catch yang akan diperoleh. Dengan perkataan lain, jika jarring direntang terlalu
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tegang maka ikan akan sukar terjerat dan ikan yang telah terjeratpun akan mudah
terlepas. Terutama bagi ikan-ikan yang tertangkapnya secara enteangled, ketegangan
rentangan tubuh jarring ini akan mempunyai pengaruh yang besar.
Ketegangan rentangan tubuh jarring akan ditentukan terutama oleh buoyancy dari
float, berat tubuh jarring, tali temali, sinking force dari sinker dan juga shortening
yang digunakan.
(3) Shortening atau Shrinkage
Supaya ikan-ikan mudah terjerat (gilled) ataupun terbelit-belit (entangled) pada
mata jarring/jarring dan juga supaya ikan-ikan tersebut setelah sekali terjerat pada
jarring tidak akan mudah terlepas, maka pada jarring perlulah diberikan shortening
yang cukup. Yang dimaksud dengan shortening atau shrinkage dapat diterjemahkan
dengan “pengerutan”, yaitu pada panjang tubuh jarring dalam keadaan teregang
sempurna (stretch) dengan panjang jarring setelah dilekatkan pada float line ataupun
sinker line, disebutkann dalam prosen (%). Sebagai contoh: misalnya panjang tubuh
jaring (webbing) 100 m, setelah ditatah menjadi 70 m (panjang float line ataupun
sinker line), maka dikatakan shortening yang tersebut adalah :
(100-70)/100 x 100 % = 30 %
Terutama untuk jarring yang tertangkapnya ikan dengan cara entangled, maka
soal shortening ini memegang peranan penting. Dibandingkan dengan jenis-jenis
jarring lainnya, maka dapat dikatakan bahwa pada gillnet soal shortening ini lebih
berpengaruh pada catch.
Untuk gillnet yang ikannya tertangkap secara gilled, nilai shortening bergerak
sekitara 30-40%, dan untuk yang tertangkapnya ikan secara entangled maka nilai
shortening bergerak sekitar 35-60%.
(4) Tinggi jaring
Yang dimaksud dengan istilah tinggi jaring di sini ialah jarak antara float line ke
sinker line pada saat jarring tersebut terpasang di perairan. Istilah tinggi jarring ini
diperlukan untuk membedakannya dengan istilah lebar jarring (mesh depth) yang
biasanya diungkapkan dengan satuan jumlah mata ataupun meter.
Pada umumnya untuk surface gillnet dan drift gillnet, jaring lebih lebar jika
dibandingkan dengan bottom gillnet. Hal ini dapat pula dikatakan bahwa jenis jarring
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
yang tertangkapnya ikan secara gilled, lebih lebar jika dibandingkan dengan jarring
yang tertangkapnya ikan secara entangled. Hal ini tergantung pada swimming layer
dari pada jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapannya. Menurut
perhitungan, jika mesh size 2a, jumlah mata jarring pada lebar jarring n, shortening s;
maka tinggi gillnet tersebut dalam air akan menjadi 2 an V 2s – s2
(5) Mesh size dan besar ikan
Antara mesh size dan besar ikan yang terjerat (gilled) terdapat hubungan yang erat
sekali. Dari percobaan-percobaan terdapat kecendrungan bahwa sesuatu mesh size
mempunyai sifat untuk menjerat ikan hanya pada ikan-ikan yang besarnya tertentu
batas-batasnya. Dengan perkataan lain, gillnet akan bersifat selektif terhadap besar
ukuran dari catch yang diperoleh. Oleh sebab itu untuk mendapatkan catch yang
besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hhendaklah mesh size disesuaikan
besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing ground
tersebut.
Pada penentuan besar mesh size, sifat memanjang dan memendek (expantion dan
contraction) dari twine yang digunakan sehubungan dengan peristiwa water
absorption, daya mulur (elongation), elasticity, knot slippage sehubungan gaya-gaya
impact sesaat yang berasal dari gelepar-gelepar ikan yang terjerat, dan lain
sebagainya harus dipertimbangkan.
Gaya-gaya yang bekerja pada suatu simpul yang tidak sama besar dan arahnya,
antara lain akan menyebabkan terjadinya knot slippage ataupun putusnya twine pada
bagian dekat dengan simpul. Oleh sebab itu, ditinjau dari segi kestabilan luas mata
jarring, maka akan dapat dikatakan bahwa penentuan jenis simpul. Oleh sebab itu,
ditinjau dari segi kestabilan luas mata jarring, maka akan daoat dikatakan bahwa
penentuan jenis simpul akan menjadi penting. Secara umum untuk hal ini dapat
dikatakan sebagai berikut:
Webbing yang terbuat dengan simpul flat knot, pada pembuatan simpul, maka
jumlah twine yang dipergunakan akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan
webbing yang terbuat dengan simpul trawker knot. Dengan demikian maka webbing
dengan float knot akan lebih ringan jika dibandingkan dengan trawler knot.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Perbedaan berat yang akan terjadi dari jenis-jenis webbing ini akan mengikuti
kenyataan, bahwa semakin tebah diameter twine dan semakin kecil mesh size yang
dipergunakan, maka perbedaan ini akan menjadi lebih besar.
Pada fat knot, simpul akan mudah terlepas (bergeser, renggang, melonggar, slip),
dengan perkataan lain jika ada gaya-gaya yang tak seimbang yang bekerja pada
simpul, maka akan mengakibatkan mata jarring akan bergeser. Pada trawler knot,
simpul terbuhul erat, yang akibatnya simpul akan mengalami peristiwa slip lebih
sedikit. Akibat mudah skip pada flat knot maka putusnya twine pada bagian dekat
simpul akan lebih sedikit dibandingkan dengan pada trawler knot. Tetapi akibat
simpul simpul yang slip akan menyebabkan perubahan luas dan bentuk sesuatu mata
jarring, dan akan menularkan pengaruh pula pada bentuk mata jarring yang berada di
sekitarnya. Akibat tidak mudah slip pada trawler knot maka twine pada bagian dekat
simpul akan lebih sering putus. Hal ini akan mengakibatkan perubahan bentuk pada
mata jarring yang berada di sekitarnya dan juga sangatlah tidak diinginkan.
Akibat bentuk simpul, pada flat knot mata jaring cenderung lebih mudah
membuka kea rah tegak dbandingkan dengan membuka ke arah mendatar. Lengan
(legs) pada webbing trawler knot, jika kita mengambil simpul sebagai pusat akan
terlihat mendekati seperti tanda “tambah”, yang akibatnya baik kea rah tegak maupun
ke arah mendatar, mata jarring pada webbing dengan bebas akan dapat
tmembuka/melebar.
Pada gillnet banyak dipakai trawler knot, hal ini antara lain disebabklan oleh
karena :
(1) Simpul tidak mudah slip/terlepas/bergeser, yang berarti luas mesh size akan lebih
stabil
(2) Mata jarring mudah/bebas untuk terbuka/membuka baik kea rah vertical maupun
kea rah horizontal.
Pada suatu webbing, bagian simpul akan menjadi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan bagian lainnya, dibandingkan dengan pada float knot perbedaan
tinggi permukaan ini akan lebih besar pada trawler knot. Karena hal ini maka pada
waktu pengoperasian jarring (pergesekan sesamanya, pergesekan dengan tepi kapal,
dan lain sebagainya), maka bagian simpul ini akan mengalami pengausan (waste)
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
yang lebih besar. Hal ini akan berhubungan dengan ketahanan jarring, dengan
perkataan lain jumlah waktu/lama terpakat dari jarring tersebut.
(6) Warna jaring
Warna jaring yang dimaksud di sini ialah terutama warna webbing. Warna float,
ropes, sinkers dan lain-lain diabaikan, mengingat bahwa bagian terbesar dari gillnet
adalah webbing. Pada natural fibress, dengan tujuan mencegah pembusukan,
kerusakan dan lain-lain dilakukan pencelupan dan lain-lain usaha preservasi (net
preservation) terhadap jaring, yang dengan perlakuan ini juga berarti telah terlaksana
tugas peristiwa pewarnaan jaring. Pada synthetic fibres, set preservation dalam
bentuk pencelupan tidak diperlukan, kemudiann pada warna dari twine dapat dibuat
sekehendak hati, yang dengan demikian kemungkinan mengusahakan warna jarring
untuk memperbesar fishing ability ataupun catch akan lebih dapat diusahakan.
Dengan perkataan lain, warna jarring yang sesuai untuk tujuan menangkap jenis-jenis
ikan yang menjadi tujuan dapat diusahakan.
Warna jarring di dalam air akan dipengaruhi oleh factor-faktor depth dari
perairanm tranparancy, sinar matahari, sinar bulan dan lain-lain. Warna akan
mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda-beda. Hal ini
sehubungan dengan bahwa beradanya jarring yang terntang di dalam air bagi ikan-
ikan yang sedang berenang adalah akan merupakan suatu benda penghalang
(penghadang, pengganggu). Dengan demikian dapatlah dipikirkan bahwa pada waktu
siang hari kemungkinan terlihatnya jaring oleh ikan akan lebih besar dibandingkan
dengan pada waktu malam hari, demikian pula hendaklah warna jarring sama dengan
warna air di perairan tersebut, juga warna jarring hendaklah jangan membuat kontras
yang sangat tinggi, baik terhadap warna air juga terhadap warna dari dasar perairan.
Karena tertangkapnya ikan-ikan pada gillnet ini ialah dengan cara gilled dan
entangled, dan yang kedua-duanya ini barulah akan terjadii jika ikan tersebut
menubruk/menerobos jarring, maka hendaklah diusahakan bahwa efek jaring sebagai
penghadang sekelcil mungkin. Dikatakan bahwa ikan-ikan dapat mengetahui adanya
jarring dengan indera penglihatan, demikian pula diduga getaran-getaran yang
disebabkan gerakan-gerakan jarring dalam air akan dapat dirasakan oleh ikan-ikan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Penamaan gillnet dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan nelayan setempat, ada yang
memberi nama berdasarkan jenis ikan yang tertangkap, ada pula berdasarkan lokasi
fishing ground dan lain sebagainya. Berdasarkan letak alat di perairan, gillnet
dikelompokan menjadi :
1. Gillnet permukaan (surface gillnet)
Pada ujung jaring sepihak ataupun pada kedua pihaknya diikatkan tali jangkar, yang
dengan demikian letak (posisi) jaring menjadi tertentu oleh letak jangkar. Beberapa piece
digabungkan menjadi satu, dan jumlah piece harus disesuaikan dengan keadaan fishing
ground. Float line (tali pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air (sea
surface), yang dengan demikian arah rentngan, lurus atau tidaknya dengan rentangan,
sudut antara arah rentangan dengan arah arus, angin dan sebagainya akan dapat terlihat.
Dari segi lain, gerakan turun naik dari gelombang, akan menyebabkan pula gerakan
turun naik dari pelampung yang gerakan ini akan juga dituliskan ke tubuh jaring. Jika
irama gerakan ini tidak seimbang, juga tension yang dibebankan pada float line terlalu
besar, ditambah oleh pengaruh-pengaruh lainnya, kemungkinan akan terjadi peristiwa
”the rolling up of gill net”, yaitu peristiwa dimana tubuh jaring tidak lagi terentang lebar,
tetapi menjadi membulat. Dengan demikian berarti jaring tidak berfungsi lagi sebagai
penghalang/penjerat ikan.
2. Gillnet pertengahan (mid water gillnet).
Daerah-daerah teluk, pantai-pantai, muara, merupakan fishing ground yang umum,
dan jaring ini sesuai sekali untuk area fishing ground yang umum. Persoalan terentang
atau tidak terentangnya jaring baik ke arah panjang ataupun lebar hampir tidak perlu
diperhitungkan, dengan perkataaan lain akibat konstruksinya yang sederhana, jaring akan
terentang dengan sendirinya sebab pengaruh float, sinker dan pengaruh arus dan lain
sebagainya.
3. Gillnet dasar (bottom gillnet)
Pada kedua ujung jaring diikatkan jangkar, yang dengan demikian letak jaring akan
tertentu. Karena hal ini, sering juga disebut ”set bottom gillnet”. Karena jaring ini
direntang dekat pada dasar laut, maka dinamakan bottom gillnet, yang dengan demikian
berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan dasar (bottom
fish) ataupun ikan-ikan demersal. Posisi jaring dapat diperkirakan pada float
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
berbendera/bertanda yang yang dilekatkan pada kedua belah pihak ujung jaring, tetapi
tidaklah dapat diketahui keadaan baik buruknya rentangan jaring itu sendiri.
Pada umumnya yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, muara
yang mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap berbagai jenis, misalnya herring,
cod, flat fish, halibut, mackerel, yellow tail, sea bream dan lain sebagainya. Jenis-jenis
udang juga menjadi tujuan penagkapan dari jaring ini.
Berdasarkan kedudukan alat waktu dipasang di perairan, gillnet dikelompokan
menjadi :
1. Gillnet hanyut (drift gillnet)
Sering juga disebutkan dengan drift net saja, atau ada juga yang memberi nama
lebih jelas, misalnya ”salmon drift gillnet” dan ada pula yang menterjemahkannya dengan
”jaring hanyut”. Jaring insang hanyut adalah jaring insang yang pemasangannya di
biarkan hanyut mengikuti arus dan salah satu ujungnya diikatkan pada perahu atau kapal.
Alat ini ditunjukan untuk menagkap ikan-ikan permukaan (pelagic fish).
Posisi dari jaring ini tidak ditentukan (tertentu) oleh adanya jangkar, tetapi jaring
bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring
dilekatkan tali dan tali ini dihubungkan dengan kapal, yang dengan demikian gerakan
hanyut dari kapal banyak sedikit juga akan dapat mempengaruhi posisi jaring. Selain dari
pada gaya-gaya dari arus, gelombang, maka kekuatan angin juga akan mempengaruhi
keadaan hanyut dari jaring dengan perkataan lain gaya dari angin akan bekerja pada
bagian dari float yang tersembul pada permukaan air.
2. Gillnet tetap (set gillnet)
Jaring insang tetap adalah jaring insang yang di pasang menetap untuk semantara
waktu dengan menggunakan jangkar. Pemasangan jaring ini dapat bervariasi tergantung
dari ikan yang ditangkap, apabila di pasang dekat atau pada dasar perairan yang bertujuan
menangkap ikan dasar (demersal fish) atau pada lapisan tengah atau permukaan perairan.
Pada waktu-waktu tertentu jaring ini diangkat untuj diambil hasilnya.
Berdasarkan bentuk waktu alat dipasang, gillnet dikelompokan menjadi : (1) Gillnet
melingkar (encircling gillnet atau sorrounding gillnet; (2) Gillnet mendatar; (3) Jaring
insang menetap (set gillnet / fixed gillnet); (4) Jaring insang giring (frightening
gillnet/drive gillnet); (5) Jaring insang sapu (rowed gillnet).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Jaring insang lingkar, oleh nelayan di Kalimantas Selatan disebut ”Agungan”.
Disebut jaring insang lingkar karena dalam pengoperasiannya jaring ditebar dan
dilingkarkan pada sasaran tertentu yang dianggap adanya gerombolan ikan. Alat tangkap
ini memiliki bagian-bagian sebagai berikut:
1. Selembaran jaring yang merupakan bahan utama dari alat tangkap ini, dengan ukuran
mata jaring 2 inci panjang 250 m dan tinggi 30 m terbuat dari bahan PE
(polyetheline).
2. Tali ris terdiri atas tali ris atas dan tali ris bawah yang masing-masing rangkap dua,
yang satunya berfungsi sebagai tempat dikaitkannya pelampung dan pemberat dan
pasangannya sebagai tempat dikaitkan jaring. Terbuat dari bahan polyethelene dengan
ukuran tali ris atas lebih besar dari tali ris bawah, dengan maksud agar daya apung tali
ris atas lebih besar daripada tali ris bawah dan sewaktu hauling jaring lebih mudah
ditarik.
3. Pelampung (float) yang digunakan adalah pelampung yang terbuat dari (fibber)
plastik yang berjumlah 500 buah per pieces yang berarti jumlah totalnya sebanyak
7.500 buah.
4. Pemberat yang digunakan untuk mempertahankan agar bibir jaring bagian bawah
tetap berada di dasar perairan pada waktu dioperasikan. Pemberat ini terbuat dari batu
yang dibuat khusus sebagi pemberat. Jumlah pemberat untuk masing-masing pieces
sebanyak 20 buah atau jumlah totalnya sebanyak 300 buah.
5. Pelampung tanda (main buoy) yang digunakan berupa gabus/busa berwarna kuning
serta dilengkapi dengan bendera.
Jaring insang lingkar adalah jaring insang yang cara pemasanganannya dengan cara
melingkari gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Setelah ikan terkurung maka
gerombolan ikan tersebut dikejutkan sehingga menubruk jaring dan tersangkut pada
jaring. Cara melingkarkan jaring ini dilakukan dengan melepas jaring dari kapal yang
bergerak membuat lingkaran.
Gerombolan ikan dilingkari dengan jaring, ataupun jaring digunakan untuk
menghadang ikan pada arah larinya. Supaya gerombolan ikan dapat dilingkari/ditangkap
dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi ada yang berbentuk lingkaran,
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
setengah lingkaran, setengah lingkaran, berbentuk huruf V atau U, bengkok-bengkok
seperti alun gelombang dan banyak lagi jenis lainnya.
Ikan setelah terkurung dalam lingkaran jaring, dikejuti, sehingga ikan-ikan akan
terjerat pada mata jaring. Kadang kala pada bagian dalam dari lingkaran direntangkan
pada beberapa lembar jaring, sehinngga dengan demikian kemungkinan terjeratnya
seluruh ikan yang telah terkurung akan lebih cepat. Tinggi jaring diusahakan sesuai
dengan depth dari perairan, dengan perkataan lain sinker line haruslah menyentuh rapat
pada dasar perairan, yang dengan demikian pada saat operasi keadaan pasang naik/pasang
surut perlulah mendapatkan perhatian.
Sebelum mengadakan operasi penangkapan sangat perlu diadakan persiapan-
persiapan dan persiapan itut meliputi persiapan di pelabuhan dan persiapan waktu
berlayar. Persiapan di peliabuhan meliputi: (1) mempersiapkan bahan mekanan dan
minuman; (2) mempersiapkan bahan bakar; (3) mempersiapkan alat tangkap dan
perlengkapannya; (4) mempersiapkan lampu petromak dan lampu senter karena
penangkapan dilakukan pada malam hari; (5) Mempersiapkan batu duga atau galah duga,
dipakai untuk mengukur dalamnya laut; (6) Mempersiapkan alat-alat keselamatan kerja;
(7) Mempersiapkan alat-alat navigasi; (8) Mempersiapkan persiapan lainnya yang ada
hubungannya dengan operasi penangkapan. Sedangkap persiapan waktu berlayar
meliputi: (1) Mempersiapkan kondisi laut, cuaca, arah angin, arah arus, temperature air
dan posisi kapal; (2) Mencari daerah fishing ground atau tanda-tanda gerombolan ikan;
(3) Mempersiapkan alat-alat penangkapan, di lambung mana alat itu di simpan dan
bagaimana susunan alat itu (pelampung dan pemberat) sehingga mudah untuk melakukan
setting.
Jaring Tiga lapis (Trammel net)
Berdasarkan jumlah lapisan dari webbing jaring maka ada lagi satu jenis gillnet
yaitu jaring tiga lapis (Trammel net). Trammel net atau jaring kantong adalah alat tangkap
jaring lapis tiga yang berkembang pesat setelah alat tangkap trawl. Alat tangkap ini dapat
dioperasikan dalam bentuk usaha kecil, dengan menggunakan perahu tanpa motor atau
pun motor tempel. Namun demikian, alat tangkap ini dapat pula diusahakan dalam
bentuk usaha skala besar tergantung pada besarnya unit penangkapan. Usaha perikanan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
skala besar tergantung pada besarnya unit penangkapan. Usaha perikanan skala besar
umunya menggunakan kapal motor berukuran 5 sampai dengan 30 GT (Balai
Penelitian Perikanan Laut 1984).
Cara kerja trammel net menurut Dudley dan Tampubolon (1988) diacu dalam
Krishna Samudra (1998), ikan yang terhadang jaring bagian luar akan mendorong jaring
kebagian dalam (inner net yang lebih ringan dan dipasang kendur) melewati jaring bagian
luar (outter net yang lebih berat serta dipasang kencang), sehingga jaring membentuk
kantong dan ikan akan terjebak secara terpuntal.
Menurut Syahrodin dan Suhadja (1982), arus memegang peranan penting
sehubungan dengan peneyebaran ikan. Bila arus mengalir secara teratur, berarti ikan
dapat hanyut terbawa secara pasif, atau ada yang justru berenang secara aktif melawan
arus, bahkan ada dari mereka yang bergerak secara kombinasi antara keduanya.
Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa ikan-ikan berenang melawan arus pada siang
hari dan mengikuti arus pada malam hari.
Hasil tangkapan yang diperoleh dari pengoperasian trammel net terdiri dari jenis
udang dan ikan dasar. Dari beberapa jenis udang yang tertangkap dengan trammel net
diantaranya adalah udang jerbung (Penaeus merguensis) dan udang windu (Penaeus
monodon).
Jenis ikan dasar yang tertangkap trammel net antara lain adalah ikan pepetek
(Leiognathus sp.), ikan lidah (Cynoglosus sp.) cumi-cumi (Loligo sp.) serta ikan tiga waja
(Johnius dussumieri).
Jenis Ikan yang dapat tertangkap dengan jaring insang tiga lembar yaitu ikan yang
operculum girth nya lebih kecil dan maximum body girth nya lebih besar dari keliling
mesh size jaring bagian dalam (inner net) juga ikan yang mempunya keliling operculum
girth nya lebih besar dari keliling inner net tetapi keliling Maximum body girth nya lebih
kecil dari keliling jaring bagian luar (outer net). Cara tertangkapnya ikan pada ke dua
jenis jaring ini, selain terjerat pada mata jaring bagian inner net juga tertangkap secara
terpuntal pada mata jaring bagian inner net dan outer net.
Tahapan pengoperasian jaring kantong adalah sebagai berikut :
i. Jaring kantong yang telah dipersiapkan sebelumnya dimasukkan ke dalam
kapal. Jaring kantong harus sudah siap pakai sekitar pukul 06.00 WITA.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
ii. Setibanya di stasiun penangkapan (fishing ground), juru mudi yang juga
sekaligus sebagai crew memastikan bahwa dasar perairan tersebut tidak
terdapat batu karang dan sebagainya yang dapat menghambat jalannya operasi
penangkapan dan dapat mengganggu penawuran jaring sekaligus dapat
merusak alat.
iii. Pada saat menawur jaring, mesin dimatikan dengan posisi kapal meyamping
arah angin, dengan kata lain terpaan angin tepat mengenai samping kapal. Hal
tersebut dimaksudkan agar kapal bergerak oleh tiupan angin dan perlu
diperhatikan arah arus agar jaring tidak mengkerut. Arah angin akan
mempengaruhi kapal dan arus lebih dominan mempengaruhi jaring.
iv. Sambil melaju perlahan oleh tiupan angin, jaring ditawur (setting) didahului
dengan pelemparan pelampung tanda, ujung jaring yang berhubungan dengan
pelampung tanda, tubuh jaring (dimulai dari tinting 1 sampai dengan tinting 5)
dan terakhir adalah pelemparan pemberat (jangkar batu).
v. Pada pengoperasian jaring secara pasif, jaring dibiarkan hanyut selama kurang
lebih 1 (satu) jam, dengan posisi jaring tegak lurus dengan arah arus.
vi. Pada pengoperasian jaring secara aktif, jaring ditarik berlawanana arah arus
membentuk setengah lingkaran dan penarikan berlangsung selama lebih
kurang 0,5 jam.
vii. Jaring diangkat (hauling) melalui arah sebaliknya, diangkat mulai dari jangkar
batu. Pengangkatan jaring dilakukan sambil melepaskan hasil tangkapan.
Untuk pengoperasian secara pasif kapal dalam keadaan berjalan perlahan,
sedangkan untuk pengoperasian secara aktif kapal dalam keadaan berhenti.
Rata-rata waktu yang diperlukan dari penawuran jaring (setting) 5 menit,
perendaman jaring di perairan 60 menit dan waktu pengangkatan jaring (hauling) sambil
melepas hasil tangkapan hingga siap ditawur kembali 25 menit. Posisi alat dan kapal pada
pengoperasian Trammel net dapat dilihat pada gambar 3
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Keterangan gambar
: arah angin
: arah arus
: pelampung tanda
: pelampung bendera
: alat tangkap
: kapal
Gambar 3. Posisi alat dan kapal pada pengoperasian Trammel net
a.
b.
c.
d.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Rempa pantai
Menurut Pahlevi (1997), rempa pantai merupakan alat tangkap yang digunakan
untuk menangkap ikan-ikan di perairan pantai. Pada prinsipnya alat tangkap rempa pantai
ini merupakan alat tangkap yang bersifat aktif dan dioperasikan di perairan yang dangkal
di sekitar pantai, sedangkan teknik pengoperasiannya adalah dengan cara melingkari
gerombolan ikan. Satu set rempa pantai ini rata-rata terdiri dari 15 payah, dimana dalam
satu payah panjangnya berkisar antara 30-40 meter.
Secara garis besar rempa pantai merupakan alat tangkap yang berbentuk empat
persegi panjang. Bentuknya mirip sekali dengan jaring insang (gill net), namun ikan-ikan
yang tertangkap dengan rempa pantai ini tidak dengan cara terjerat (gilled) pada mata
jaring ataupun terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring, melainkan dengan cara
terkurung dalam jaring rempa pantai. Keseluruhan dari alat tangkap rempa pantai ini
terdiri dari : jaring, tali ris atas, tali ris bawah, pemberat, pelampung dan tali penarik.
Pada prinsipnya rempa pantai merupakan alat tangkap yang bersifat aktif dan
dioperasikan di perairan yang dangkal dan di sekitar pantai/tepi pantai, sedangkan dalam
teknik pengoperasiannya adalah dengan cara melingkari gerombolan ikan. Berdasarkan
hasil penelitian Pahlevi (1997), satu set rempa pantai rata-rata terdiri dari 15 payah,
dimana dalam satu payah panjangnya berkisar antara 3-4 meter. Ukuran mata jaring 2
cm, lebar jaring dan tinggi jaring darat dengan jarak tertentu dari garis pantai, sedangkan
ujung yang lain beserta jaring dibawa dengan perahu motor lebih jauh ke tengah perairan
sampai jaring teregang sempurna.
Bahan yang dipergunakan dalam membuat jaring pada rempa tarik adalah benang
kuralon (marlon) ada juga dari bahan monofilament. Pelampung yang digunakan ada dua
macam, yaitu pelampung tanda dimana bahannya terbuat dari plastik atau jirigen atau
bisa juga terbuat dari gabus yang ukuranya bermacam-macam. Ada juga pelampung kecil
(patau) yang bahannya terbuat dari gabus/plastik atau terbuat dari bahan yang mudah
dibentuk.
Pemberat yang digunakan pada rempa pantai ini adalah terbuat dari timah. Tali ris
atas dan bawah pada rempa pantai menggunakan bahan yang sama yaitu polyethylene
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(PE) yang berdiameter 5 mm. Tali penarik yang digunakan pada alat tangkap ini memiliki
diameter 8 mm dan terbuat dari bahan polyethylene.
Menurut Subani dan Barus (1989), cara pengoperasian rempa pantai yaitu: (1) Tali
slambar (tali penarik) diikatkan pada tiang atau patok yang telah disiapkan di darat; (2)
Tali slambar (tali penarik) terus diulur mengikuti jalannya perahu. Setelah sampai di
tengah perairan, jaring diturunkan mulai dari satu ujung kaki-kantong (badan jaring)
sampai ujung kaki yang lain dengan membentuk setengah lingkaran dari daratan pantai.
Tali slambar yang lainya terus diulur sampai ke pantai (darat); (3) Penarikan alat dimulai
dengan dibantu oleh beberapa orang hingga seluruh alat dinaikan/ditarik sampai pantai.
Daerah penangkapan untuk alat tangkap rempa pantai adalah pada perairan pantai
yang tidak terlalu dalam (dangkal) dengan bentuk dasar perairan yang berpasir, dengan
pedalaman perairan kurang lebih dari 5 meter. Waktu pengoperasian alat dilakukan pada
pagi hari,antara pukul 07.00 wita sampai dengan pukul 12.00 wita.
Hasil tangkapan rempa pantai di perairan Kalimantan Selatan adalah ikan dan
udang. Jenis ikan dan udang yang tertangkap antara lain udang manis,udang brown,
udang bintik, udang batu, udang tiger, gulamah, pari, ikan sebelah, ikan selungsungan
dan ikan jeblok.
Bagian-bagian yang terdapat pada alat rempa pantai yang diperguanakan di perairan
Takisung Kalimantan Selatan antara lain :
(1) Jaring
Bahan yang dipergunakan adalah dari benang kuralon (marlon), berwarna hijau tua
atau hijau muda,dan biru. mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) cm, panjang
jaring dalam satu payah adalah sekitar 35 meter sehingga panjang jaring yang
terdapat dalam 10 payah adalah 350 meter. Sedangkan lebar jaring /tinggi jaring
adalah 3 meter dan tinggi jaring ± 2 meter.
(2) Tali temali dan benang
Tali temali yang dipergunakan dalam mengoperasikan rempa pantai diperairan
antaralain :
i. Tali penarik, berfungsi untuk menarik rempa pantai yang mempunyai panjang
1000 meter dan ± 100 meter untuk tali penarik pada awal jaring.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
ii. Benang, berfungsi untuk menyambung bagian jaring yang mengikat tali ris dan
menyambung setiap payah jaring, dan terbuat dari marlon yang berwarna hijau
iii. Tali ris, yang terdiri dari tali ris atas dan tali ris bawah,panjang tali ris
disesuaikan dengan panjang jarring yang digunakan dan berdiameter 5 mm. pada
tali ris atas jumlahnya dua buah (berlapis dua) sedangkan pada tali ris bawah
hanya berjumlah satu.
(3) Pelampung
Jenis pelampung yang diperguanakan pada rempa pantai terdiri dari dua macam
yaitu:
i. Pelampung tanda (patau)
ii. Pelampung kecil
Pelampung tanda terbuat dari plastik (jirigen) atau terbuat dari gabus dengan
ukuran yang bervariasi. Jumlah pelampung tanda ada 1 buah dalam setiap payah.
Sedangkan bahan untuk pelampung kecil terbuat dari gabus/busa karet/plastik yang
mudah dibentuk dengan diameter 1-1,5 cm, dalam satu payah berjumlah ±100 buah
dengan jarak pemasangan ± 30 cm. Fungsi dari pelampung adalah untuk mengankat
bagian jaring atas sehingga badan jaring terbuka dengan sempurna.
Gambar 4 Pengoperasian Rempa Pantai
(4) Pemberat
Pemberat yang dipergunakan terbuat dari timah, jumlah pemberat dalam satu payah
berjumlah ±220 buah dengan berat keseluruhan ± 8 kg. Pemberat mempunyai
c f
d b
a g
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
diameter 1 cm dengan jarak pemasangan 15 cm. Fungsi dari pemberat adalah untuk
menenggelamkan bagian bawah dari alat sehingga alat dapat terbuka dengan
sempurna.
(5) Kapal / Perahu motor
Dalam pengoperasian rempa pantai diperlukan sebuah perahu motor. Perahu
motor yang digunakan pada umumnya mempunyai panjang ± 5 meter, dengan lebar
± 5 meter, dan tinggi ± 1 meter. Bahan perahu motor terbuat dari kayu ulin atau kayu
halaban. Tenaga penggerak untuk perahu menggunakan mesin kapal dengan kekuatan
yang berbeda-beda.
Waktu pengoperasiannya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi hari
(07.00 – 11.00 wita) dan pada siang hari (14.00 – 18.00 wita). Pengoperasian dilakukan
oleh nelatan setempat dengan jumlah tanaga penarik yang bervariasi dari yang berjumlah
4 -9 oarang, tergantung dari panjang alat yang digunakan. Jarak dalam pengoperasian
alat sejauh 1 mil laut dari pantai, waktu yang diperlukan dari fishing base ke fishing
ground ± 20 menit,dengan lama operasi antara 3 -4 jam.
4.1.2 Pukat Cincin (purse seine)
Alat tangkap purse seine yang digunakan nelayan di Kalimantan Selatan dikenal
dengan nama Gae, memiliki ukuran panjang 450 meter dan lebar 36 meter. Secara garis
besar gae terbagi menjadi tiga bagian yaitu badan, sayap, kantong. Alat ini juga
dilengkapi dengan beberapa bagian lain misalnya tali ris atas/bawah, pelampung,
pemberat, cincin dan tali kolor.
Bagian-bagian purse seine terdiri dari:
(1) Kantong; merupakan bagian yang terbuat dari seluruh bagian jaring atau lebih kurang
30 % dari keseluruhan bagian jaring. Besar mata jaring pada bagian kantong sekitar 1
inci dan besar benang biasanya 210 D/6 atau 210 D/9. Kantong ini dapat diletakkan
ditengah atau tergantung teknik penangkapan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Badan; pada bagian badan jaring besar mata jaring lebih besar dibandingkan pada
bagian kantong, yaitu 1,25 – 1,5 inci dengan nomor benang 210 D/3. Jumlah bagian
badan ini lebih kurang 40 % dari keseluruhan bagian jaring.
(3) Sayap; pada bagian sayap besar mata jaring lebih besar dibandingkan pada bagian
badan jaring, yaitu 1 2/3 – 2 inci dengan benang 210 D/3. Terletak di bagian ujung
dari jaring. Jumlah kedua bagian ini lebih kurang 30 % dari jumlah keseluruhan
bagian jaring.
(4) Tali ris atas; adalah tempat pengikatan jaring dan pelampung. Tali terbuat dari
polyethylene atau kuralon dengan diameter 4 – 5 mm. Panjang yang terikat dengan
bahan jaring merupakan panjang jaring keseluruhan
(5) Tali ris bawah; mempunyai fungsi dan ukuran yang sama dengan tali ris atas. Pada
bagian ini juga diikatkan cincin dan pemberat.
(6) Pelampung; berfungsi memberi bentuk pada jaring agar jaring tetap tegak dalam air.
Jumlahnya tergantung dari besar dan kecilnya alat. Bahan terbuat dari plastik dengan
bermacam-macam daya apung.
(7) Pemberat; berfungsi sebagai penambah kecepatan tenggelam pada jaring agar ikan
segera terkurung. Jumlahnya tergantung dari besar kecilnya alat. Bahan terbuat dari
timah, batu atau semen.
(8) Cincin; sebagai tempat lewatnya tali kolor. Mempunyai jarak tertentu antara cincin
yang satu dengan yang lain. Cincin yang terletak tepat di tengah diberi tanda khusus
untuk memudahkan penyusunan alat. Pemasangannya dapat tergantung atau melekat
pada tali ris bawah. Bahan terbuat dari plastik.
(9) Tali kolor; berfungsi menutup jaring bagian bawah agar ikan terkurung tidak
melarikan diri ke lapisan yang lebih dalam. Panjangnya lebih panjang dari tali ris
bawah. Bahan terbuat dari tali yang kuat seperti kuralon, polyethylene dengan
diameter 18 – 24 mm. Bagian tengah diberi tanda untuk memudahkan penyusunan
alat.
Desain alat tangkap purse seine yang dioperasikan di perairan Kalimantan Selatan
disajikan pada Gambar 5.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Keterangan:
1. Pelampung tanda (light bouy) 6. Tali kolor
2. Tali pelampung 7. Tali pemberat
3. Tali ris atas 8. Pemberat
4. Pelampung utama 9. Tali selambar
5. Tali ris bawah
Gambar 5 Desain Pukat Cincin (purse seine) (Sumber : Ghaffar , 2006).
Adapun teknik pengoperasi purse seine dibagi dalam beberapa tahap yaitu meliputi:
i. Tahap persiapan, merupakan tahap yang harus dilakukan setiap sebelum
penangkapan ikan. Tahap ini meliputi kegiatan pemeriksaan mesin dan semua
alat yang diperlukan harus diperiksa apakah dalam keadaan baik atau perlu
diperbaiki terlebih dahulu. Penyiapan bahan bakar, es serta konsumsi. Hal ini
dilakukan untuk memperlancar kegiatan penangkapan.
Kapal purse seine berangkat menuju daerah penangkapan (fishing ground). Pada
umumnya membutuhkan waktu 1 - 2 jam. Penentuan daerah penangkapan yang
tepat akan menjadi tujuan daerah penangkapan berdasarkan hasil pemantauan
oleh nelayan pemantau.
ii. Tahap Pengoperasian (Setting), dilakukan mulai dari pagi hari sekitar pukul
04.00 wita. Alat tangkap purse seine untuk satu kali pengopersian dilakukan
selama 4 jam. Tiba di daerah penangkapan kapal penangkap mulai menurunkan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
alat. Mula-mula ujung tali kolor di beri pelampung dan umbul sebagai tanda dan
disatukan dengan tali ris atas dan tali ris bawah ke posisi yang telah ditentukan.
Selanjutnya kapal penangkap segera melingkari gerombolan ikan sambil
menurunkan jaring dan peralatan (pemberat dan pelampung) menuju tali kolor
yang telah dilemparkan pada permulaan operasi. Setelah jaring membentuk satu
lingkaran penuh maka pelampung dan umbul yang pertama dilemparkan diangkat
ke atas kapal dan berikutnya tali kolor segera ditarik dan sampai menaikkan
sebagian alat (sayap jaring). Dengan demikian ikan-ikan yang terkurung tidak
dapat meloloskan diri.
iii. Penarikan Alat (Hauling), setelah tali kolor tertarik semua, maka sedikit demi
sedikit bagian bagian jaring ditarik. Penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa
bagian kantong dan ikan yang terkurung diambil dengan menggunakan serok.
Kemudian jaring dinaikkan seluruhnya ke atas kapal sambil disusun pada tempat
semula, dirapikan kembali sebagai persiapan agar memudahkan untuk
pengoperasian kembali.
Ikan yang menjadi tujuan penangakapan dari purse seine ialah ikan-ikan yang
‘pelagic shoaling species”, yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah membentuk suatu
shoal (gerombolan), berada dekat dengan permukaan air (sea surface) dan sangatlah
diharapkan pula agar densitas shoal tinggi, yang berarti jarak antara ikan dengan ikan
lainnya haruslah sedekat mungkin. Dengan perkataan lain dapat juga dikatakan per
satuan volume hendaklah jumlah individu ikan sebanyak mungkin. Hal ini dapat
dipikirkan sehubungan dengan volume yang terbentuk oleh jarring akan dibatasi oleh
ukuran dari jarring (panjang dan lebar) yang dipergunakan.
Jika ikan-ikan belum terkumpul pada suatu catchable area, ataupun jika ikan-ikan
berada di luar kemampuan tangkap dari jarring, maka haruslah diusahakan agar ikan-ikan
itu dating berkumpul ke sesuatu catchable area. Hal ini dapat ditempuh misalnya dengan
penggunaan cahaya, rumpon, floating dan lain sebagainya.
Pada mulanya purse seine mempunyai kantong (pocket), lama kelamaan berubah
dan ternyata bahwa jarring tanpa kantong lebih praktis. Pada garis besarnya jarring
terdiri dari bag, corck line (floating line), wing, lead line (sinker line), purse line, purse
ring, bridle. Dengan menarik purse line jarring pada bagian bawah akan menutup.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Penjenisan jaring-jaring ini ada yang mendasarkan pada ada atau tidak adanya
kantong, dengan perkataan lain jenis lain ber-pocket dan tanpa pocket. Tetapi ada juga
yang menamakan berdasarkan jumlah kapal yang digunakan pada saat operasi dilakukan,
dengan demikian menjadi one boat purse line jarring pada bagian bawah akan menutup.
Bentuk umum lainnya berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penanhkapan,
misalnya sardine purse seine, mackerel purse seine dan lain sebagainya. Lebih lengkap
ada pula yang menyebutkan misalnya one boat sardine purse seine, two boat tuna purse
seine dan lain sebagainya.
Jika kita membandingan antara system one boat dengan two boat purse seine, maka
akan terlihat hal-hal sebagai berikut:
One boat system
(1) Dibandingkan dengan two boat system, cara operasi lebih mudah (tidak terlalu
kompek). Pada operasi malam hari, lebih mungkin menggunakan lampu untuk
mengumpulkan ikan pada one boat system, sedang untuk two biat system lebih
cenderung hanya untuk menangkap jenis-jenis ikan yang bergerak (mobile)
dengan pergerakan yang cepat pada siang hari
(2) Memungkinkan pemakaian kapal yang lebih besar, dengan demikian area operasi
akan menjadi lebih luas.
(3) Pengaruh cuaca relative kecil (lebih dapat dikuasai), dengan demikian jumlah kali
operasi akan lebih banyak.
(4) Menarik jarring, mengangkat jarring, mengangkat ikan dan lain-lain pekerjaan di
dek berkemungkinan di-mekaniser, dengan demikian kerja akan lebih efisien.
(5) Dengan ukuran jarring yang sama, ukuran kapal akan lebih besar pada one boat
system dibandingkan dengan two boat system. Dengan demikian HP akan lebih
besar, yang menyebabkan kecepatan melingkari gerombolan ikan juga akan lebih
besar. Oleh sebab itu dapat dikatakan type one boat system akan lebih ekonomis
dan efisien jika kapal di-mekaniser.
Purse seine di Kalimantan Selatan disebut dengan GAE (Mini Purse Seine)
dibentuk dari dinding jaring yang sangat panjang, tali ris bawah sama atau lebih panjang
daripada tali ris atas. Tali ris atas memuat rangkaian pelampung yang menjaga posisi
jaring agar tetap berada di permukaan air. Tali ris bawah yang nerangkai kumpulan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
pemberat yang terbuat dari timah sehingga memungkinkan jaring untuk melebar secara
vertikal dengan maksimal. Pada pukat cincin, mata jaring hanya berfungsi sebagai
penghadang gerak ikan, bukan penjerat seperti pada gillnet .
Pengopersian dilakukan mulai dari pagi hari sekitar pukul 04.00 wita. Untuk satu
kali pengopersian berlangsung selama 24 jam. Pengoperasian purse seine dapat juga
dilakukan pada malam hari, mengumpulkan/menaikkan ikan ke permukaan laut
dilakukan dengan menggunakan cahaya. Biasanya dengan fish finder bias diketahui
depth dari gerombolan ikan, juga besar dan densitasnya. Setelah posisi ini tertentu
barulah lampu dinyalakan. Kuat cahaya (light intensity) yang digunakan berbeda-besa,
bergantung pada besarnya kapal, kapasitas sumber cahaya, juga pada sifat phototaxisnya
ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Setelah fish shoal diketemukan perlu diketahui pula swimming direction, swimming
speed, density, hal-hal ini dipertimbangkan lalu diperhitungkan pula arah, kekuatan,
kecepatan angin dan arus. Sesudah hal-hal diatas diperhitungkan barulah jarring di
pasang. Penentuan keputusan ini haruslah dengan cepat, mengingat bahwa ikan yang
menjadi tujuan terus dalam keadaan bergerak, baik oleh kehendaknya sendiri maupun
akibat dari bunyi kapal, jarring yang dijatuhkan dan lain-lain sebagainya. Tidak boleh
pula luput dari perhitungan, ialah keadaan dasar perairan, dengan dugaan bahwa ikan-
ikan yang telah terkepung akan berusaha melarikan diri mencari tempat yang aman (pada
umumnya ke tempat yang mempunyai depth lebih besar), yang dengan demikian arah
perentangan jarring harus pula dapat menghadang ikan-ikan yang terkepung dalam
keadaan kemungkinan ikan-ikan tersebut melarikan ke depth yang lebih dalam.
Selanjutnya kapal penangkap segera melingkari gerombolan ikan sambil
menurunkan jaring. Dalam waktu melingkari gerombolan ikan, kapal dijalankan cepat
dengan tujuan supaya gerombolan ikan segera dapat terkepung. Setelah jaring
membentuk satu lingkaran penuh maka pelampung dan umbul yang pertama dilemparkan
diangkat ke atas kapal dan berikutnya tali kolor (purse line) segera ditarik dan sampai
menaikkan sebagian alat (sayap jaring), dengan demilian bagian bawah jarring akan
tertutup. Ikan-ikan yang terkurung tidak dapat meloloskan diri baik secara vertical
maupun horizontal. Antara dua tepi jarring sering tak dapat tertutup rapat, sehingga
memungkinkan menjadi tempat ikan untuk melarikan diri. Untuk mencegah hal ini
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dipakai pemberat (Tom’s weight) ataupun dengan menggerak-gerakan galah, memukul-
mulkul permukaan air dan lain sebagainya.
Tahap selanjutnya dilakukan penarikan pukat cincin selesai hingga tersisa bagian
kantong dan ikan yang terkurung diambil dengan menggunakan sampe (serok),
Kemudian jaring dinaikkan seluruhnya ke atas kapal sambil disusun pada tempat semula,
dirapikan kembali sebagai persiapan agar memudahkan untuk pengoperasian kembali.
4.1.3 Pancing (Angling)
Dibandingkan dengan alat-alat penangkap ikan lainnys, alat pancing inilah yang
prinsipnya tidak banyak mengalami kemajuan. Dikatakan prinsip, yaitu dengan
melekatkan umpan pada mata pancing, lalu pancing diberi tali, setelah umpan dimakan
ikan maka mata pancing akan termakan juga dan dengan tali manusia menarik ikan itu ke
darat. Dalam teknisnya banyak mengalami perubahan dan kemajuan, misalnya benang
yang dipakai berwarna sedemikian rupa sehingga tidak tampak dalam air, umpan diberi
bau-bauan sehingga dapat memberikan rangsangan untuk dimakan, bentuknya diolah
sehingga menyerupai umpan yang umum disenangi oleh ikan. Sebagi alat penangkap
ikan, alat pancing terdiri dari mata pancing, tali pancing dan umpan sebagai alat pokok,
kemudian sebagai pelengkapnya ditambahi joran, pelampung dan pemberat.
Umumnya pada mata pancingnya di pasang umpan baik umpan buatan maupun
umpan asli (alami) yang berguna untuk menarik perhatian ikan/binatang air lainnya. Jika
ikan memakan umpan tersebut maka pancing di tarik dan diangkat dari air (pancing yang
mempunyai mata pancing tanpa kait dimasukan juga).
Secara umum segi-segi positiff dari perikanan pancing dapat disebutkan antara lain:
(1) Alat-alat pancing tidak susuah dalam strukturnya, dan operasi dapat dilakan
dengan mudah
(2) Organisasi usahanya kecil, dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan
(3) Syarat-syarat fishing groundnya relative sedikit dan dapat dengan bebas memilih
(4) Pengaruh cuaca, suasana laut dan lain-lain sebagainya relative kecil, dengan
manusia sedikit, usaha dapat dilakukan.
(5) Ikan yang tertangkap seekor demi seekor, sehingga freshness-nya dapat dijamin
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(6) Dan lain sebagainya.
Sebagai kebalikan dari hal tersebut diatas terdapat pula kelemahannya, antara lain
ialah:
(1) Dibandingkan dengan perikanan jarring, maka untuk mendapatkan catch yang
banyak jumlahnya dalam waktu yang singkat tidaklah mungkin. Biar
bagaimanapun hanya seekor ikan yang dapat sekali tangkap per satu mata pancing
(2) Memerlukan umpan, ada tidaknya umpan akan berpengaruh terhadap jumlah kali
operasi yang dapat dilakukan.
(3) Keahlian perseorangan sangatlah menonjol pada tempat, waktu dan syarat-syarat
lain yang sama sekalipun catch yang diperlukan seseorang belum tentu akan dapat
sama deengan orang lainnya.
(4) Pancing terhadap ikan adalah pasif
(5) Dan lain sebagainya.
Berbeda ikan yang akan menjadi tujuan penangkapan, maka akan berbeda pula jenis
pancing yang digunakan. Dengan demikian struktur pancing juga akan berbeda. Karena
struktur ini tidak terlalu kompeks, maka terlihatlah bahwa banyak sekali variasi dari alat
pancing imi.
Sehubungan dengan jenis ikan yang akan menjadi tujuan penangkapan maka fishing
ground dimana ikan itu berada akan berbeda pula kondisinya, dengan itu pula cara yang
mungkin dilakukan akan pula berbeda.
Pada garis besarnya perikanan pancing ini dapat dilihat jenisnya sebagai berikkut:
(1) pole and line, untuk ikan cakalang (skipjack, bonito), mackerel, tuna dan lain-lain (2)
long line, untuk jenis tuna, salmon, mackerel, cod, sea bream, octopus, dan lain-lain; (3)
trolling, untuk ikan-ikan tongkol, Spanish mackerel, yellow tail dan lain-lain; (4) vertical
long line, untuk ikan-ikan mackerel, bottom fish dan lain-lain; (5) hand line, untuk squid
dan lain-lain.
Dengan satu jenis alat pancing, diharapkan setidaknya satu jenis ikan tetentu akan
tertangkap, oleh sebab itu alat akan mengalami perbaikan-perbaikan berdasarkan
penagalaman-pengalaman. Ikan yang menjadi tujuan akan pula mempunyai sifat-sifat
tertentu, musim, migration dan lain sebagainya, demikian pula saat-saat feeding bagi
setiap ikan akan pula berbeda. Ikan-ikan ini dipengaruhi oleh musim, kemudian daam
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
saat sehari semalam aka nada waktu waktu tertentu, juga tempat-tempat tertentu dimana
ikan itu berada. Waktu dan tempat ini perlulah diketemukan. Umumnya dinihari dan
senja hari dikatakan adalah merupakan waktu yang baik.
(1) Pole and Line
Pole and line umum digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonua
pelamis, Euthynnus affinis, dan lain-lain), sehingga dengan kata perikanan pole and line
sering pengertian kita terarah ke perikanan cakalang; sesungguhnya dengan cara pole and
line juga dilakukan penangkapan albacore, mackerel dan lain-lain. Pole and line adalah
suatu alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali pancing dengan atau tanpa joran
dan bermata pancing yang digunakan untuk memancing ikan, baik operasinya dilakukan
dari pantai atau dari atas perahu/kapal.
Tangkapan “shipjack pole and line” diterjemahkan dengan “huhate”; adalah sejenis
pancing yang dalam operasinya terlebih dahulu dilakukan penebaran umpan ikan-ikan
hidup (jenis Sardine atau Teri) di dekat gerombolan ikan Cakalang untuk menarik
perhatian dan mengumpulkan ikan-ikan tersebut. Kemudian ikan di pancing dengan
menggunakan pancing yang mempunyai mata pancing yang tak berkait.
Daerah penangkapan cakalang untuk Indonesia ialah Laut Banda, Laut Maluku dan
lain-lain. Umum diketahui bahwa ikan Cakalang adalah merupakan ikan yang “good
swimmer” dan kemudian mempunyai sifat “varacious”. Keadaan sifat ini yang
digunakan untuk dimanfaatkan untuk menangkapnya. Ikan ini berenang bergerombolan,
melakukan ruaya baik sekitar pulau ataupun ruaya jarak jauh, bergerombolan biasanya
dalam ukuran besar (body length, body weight, umur) yang hampir bersamaan.
Karena sifat ikan pada penagkapan dengan pole and line adalah perenang cepat dan
lama waktunya dapat ditarik (attract) dengan tebaran umpan hidup mendekati kapal
(dalam batas jarak jangkau joran) adalah terbatas, maka haruslah operasi pemancingan
dilakukan dengan secepat mungkin. Dengan demikian haruslah jumlah pancing sebanyak
mungkin yang berarti jumlah nelayan juga akan banyak yang beroperasi di sepanjang
lambung kapal, supaya dalam waktu singkat dapat mencapai hasil yang banyak,
diperlukan keahlian dan pengalaman yang lama.
Hal-hal lain yang harus diperhatikan dan diketahi adalah bahwa; umumnya jika
seekor ikan terlepas kembali ke laut, maka gerombolan ikan akan melarikan diri ke arah
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
depth yang lebih dalam, meninggalkan kapal dan untuk menemukan gerombolan baru
diperlukan waktu. Untuk membawa live bait supaya tetap hidup segar dalam jangka
waktu operasi perlulah ketelitian dan untuk mendapatkan fishing ground menghendaki
pengalaman yang banyak.
Meskipun pada sesuatu fishing ground telah ditemukan gerombolan ikan,, belumlah
tentu ikan tersebut mau di pancing, sehubungan dengan adanya natural bait yang
berlimpah, demikian pula perlulah perhitungan besar kecil ikan yang bergerombol telah
ter-estimate sebelumnya, mengingat perhitungan hasil yang mungkin akan diperoleh.
(2) Long line
Kata “long line” diterjemahkan dengan “rawai tuna’ sungguhpun dengan demikian
dalam uraian selanjutnya istilah long line yang dipakai. Dengan perikanan long line
sering diartikan langsung “perikanan tuna long line” mengingat bahwa tujuan
penangkapan utama dari alat ini ialah jenis-jenis tuna, sungguhpun dengan prinsip yang
sama alat ini dipakai juga untuk menagkap ikan salmon, Spanish mackerel, shark dan
lain-lain. Long line untuk tuna pada kenyataan operasinya selain menangkap jenis-jenis
tuna, juga tertangkap ikan-ikan layaran, ikan hyu, dan lain-lain. Jenis-jenis tuna adalah
ikan oceanis, yang dengan demikian perikanan tuna long line merupakan perikanan
oceanis, yang dapat juga dikatakan perikanan laut bebas. Akibat dari hal ini, perikanan
tuna long line tentulah harus mempunyai struktur organisasi yang teratur.
Di Indonesia, fishing ground untuk perikanan ini ialah Laut Banda, Maluku,
perairan sebelah selatan Pulau Jawa terus menyusur ke tuimur, demikian pula perairan
sekitar sebelah selatan Sumatera, sekitar Andaman dan Nikobar, perairan sebelah Utara
Irian Jaya, perairan sebelah selatan Pulau Timor dan sebagainya.
Long line ini terdiri dari main line, branch line, tali pelampung, bendera,
pelampung, tali pancing, pancing dan lain-lain. Antara pelampung dengan pelampung
dipasang branch line sebanyak 4-6 buah, satuan untuk alat-alat ini biasa disebut “basket”,
yang berarti satu basket terdiri dari 4-6 mata pancing (hooks). Untuk umpan, nelayan
Jepang menggunakan ikan sanma (Pacific saury, Cololabis saira), cumi-cumi dan di
Indonesia dipakai ikan belanak, kembung, julung-julung, laying, bandeng, lemuru dan
lain-lain.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
4.1.6 Jaring Angkat (Lift net)
Jaring angkat adalah jarring yang biasanya berbentuk empat persegi panjang,
dibentangkan di dalam air secara horizontal dengan menggunakan batang-batang bambu
atau kayu sebagai rangkanya. Pemasangan jarring angkat ini dapat di lapisan tengah,
dasar perairan atau permukaan perairan dan ikan yang berada di atas jarring baik sebagai
akibat daya tarik lampu atau terbawa arus tertangkap dengan jalan menngankat jarring
tersebut.
(1) Bagan Perahut (Boat Lift net)
Bagan perahu ini adalah jarring angkat yang di pasang atau di bangun di atas satu
atau lebih rakit/perahu baik memakai jangkar atau tidak pada waktu operasi. Biasanya
dalam operasi pengkapan dipergunakan lampu sebagai dari penarik agar ikan-ikan
berkumpul di atas jaring.
Gambar 8 Bagan Perahu
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Bagan Tancap (Staked lift net)
Alat tangkap bagan tancap (Staked lift net), merupakan alat tangkap yang
memanfaatkan behavior ikan, dimana ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan yang
menyukai cahaya dan berkumpul pada cahaya tersebut (Fototaksis Positif). Biasanya
sumber cahaya yang digunakan berasal dari lampu listrik ataupun petromak. Jenis ikan
yang sering tertangkap dengan bagan seperti ikan teri, ikan selar, tembang, cumi-cumi
dan lainnya (Ayodhyoa 1981)
Bagan tancap (Staked lift net) adalah suatu alat penangkapan ikan berupa suatu
bangunan diperairan laut/pantai dengan jaring yang berbentuk seperti kelambu terbalik,
yang merupakan alat tangkap jaring angkat, dipasang disuatu tempat perairan pantai.
Dinamakan bagan tancap karena kedudukannya tidak dapat dipindah-pindahkan dan
sekali pasang (ditanam) berarti berlaku selama musim penangkapan. Musim
penangkapan untuk alat tangkap bagan tancap adalah sepanjang tahun, sedangkan untuk
kekuatan alat tangkap bagan tancap dapat digunakan selama 4-6 tahun.
Menurut Walujo (1972) ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan
ikan dengan memasang lampu, antara lain adalah :
(1) Faktor musim (season)
Pada daerah-daerah tertentu berntuk teluk atau alam memberikan perlindungan
terhadap gelombang, angin dan arus, yang semuanya memberikan keuntungan
terhadap perikanan dengan lampu. Sebab pada musim timur biasanya perairan
cukup tenang, tetapi pada musim barat kurang menguntungkan.
(2) Faktor kedudukan bulan
Pada saat bulan purnama sukar sekali diadakan penagkapan dengan lampu, karena
cahaya terbagi rata sehingga sukar mengkonsentrasi ikan pada satu titik, sedangkan
penangkapan dengan lampu memerlukan keadaan gelap, guna menarik ikan-ikan
ketempat yang terang.
(3) Faktor kecerahan
Faktor kecerahan penting dalam pemakaian kekuatan lampu. Jika transparansi air
kecil maka diperlukan cahaya yang lebih kuat. Sedangkan jika transparansi besar
maka sebaliknya dipergunakan lampu yang kekuatannya lebih kecil untuk
mencegah terjadinya pembiasan sempurna yang menyebabkan ikan-ikan terpencar.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(4) Faktor binatang buas
Ikan yang tertarik dengan cahaya lampu umumnya ikan-ikan kecil, maka kehadiran
ikan-ikan buas sebagai predator justru mengacaukan ikan-ikan yang sedang
berkumpul.
(5) Faktor gelombang
Faktor angin keras, gelombang besar dan arus yang kuat jelas akan mempengaruhi
pemakaian lampu. Karena faktor tersebut dapat merubah sinar yang mestinya lurus
menjadi bengkok, akhirnya menjadi sinar yang menakutkan ikan (flickering light).
Makin besar gelombang, makin besar flickering light dan semakin besar hilangnya
efesiensi penarik perhatian ikan, karena ikan akan lebih takut dan liar.
Bagan tancap (Staked lift net) digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang
menyenangi cahaya (fototaksis positif) dan ikan-ikan pemangsa yang berenang untuk
mencari makan (feeding). Alat tangkap ini dioperasikan pada malam hari terutama pada
malam-malam gelap dengan menggunakan alat bantu lampu yang diletakan di tengah-
tengah bagan tancap yang berfungsi menarik perhatian ikan, sehingga berkumpul di
bawah cahaya lampu (di atas jaring). Bagan tancap ini terbagi atas beberapa bagian, yaitu
berupa bangunan bagan, jaring, pondok dan gilingan. Berdasarkan hasil penelitian
Rusmilyansari (2005) mengenai bagan tancap yang banyak digunakan oleh nelayan di
Kecamatan Kusan Hilir Kaupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Bentuk
Bagan tancap (Staked lift net) merupakan alat tangkap yang berbentuk sebuah
bangunan panggung ditengah perairan laut atau pantai. Pada prinsipnya bagan tancap
terdiri dari jaring, bangunan bagan/anjang-anjang, lampu, pondok dan serok (scoop net)
sebagai alat bantu. Karena alat ini dilengkapi dengan lampu dan dioperasikan pada
malam hari maka ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan-ikan yang menyukai cahaya dan
berkumpul pada atau disekitar cahaya (fototaksis positif).
Bangunan bagan tancap (anjang-anjang) dibuat dari kayu dimana bagian
bawahnya lebih lebar dari bagian atasnya. Pada bagian inilah jaring, gilingan, lampu dan
pondok dipasang dan merupakan satu kesatuan. Bangunan atau rumah bagan ini terdiri
tiang, suai, panggar, dan para-para serta pacopo, masing-masing tiang dihubungkan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dengan suai dan panggar. Dibagian atas dipasang juga panggar, sehingga membentuk
segi empat dan secara melintang. Pada bagian tengah dipasang tiang untuk menggantung
bagian tengah dari pada panggar, yang bagian atas tersebut disangga oleh empat buah
kayu yang dipasang secara diagonal dan ditumpukan pada keempat bagian tengah sisi
bagan dan pada tiang tengah (disebut pacopo).
Gambar 9 Bagan Tancap
Pada bagian atas juga di pasang bambu-bambu dengan jarak tertentu sebagai para-
para. Di bagian tengah dibuat pondok sebagai tempat istirahat sambil menunggu ikan
terkumpul dan dibawah pondok inilah diletakan lampu-lampu petromaks. Pada salah
satu sisinya dan lebih tinggi dari para-para dipasang gilingan atau roller yang berfungsi
untuk menurunkan dan menaikan jaring, gilingan dan jaring dihubungkan dengan empat
utas tali yang diikatkan pada keempat sudut bingkai jaring.
Untuk mengambil hasil tangkapan setelah jaring diangkat digunakan alat bantu
berupa serok (scoop net). Alat ini berupa jaring berkerangka dan berbingkai, jaringnya
berbentuk kerucut terbalik atau silendris dan pada bukaan mulutnya berangka yang
terbuat dari rotan dan diberi tangkai.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Ukuran bagan tancap yang dimiliki oleh nelayan di Kecamatan Kusan Hilir
perairan Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut : (1) Bangunan Bagan, lebar dan
panjang bagian bawah adalah 11-13 meter dan bagian atasnya 12x12 meter, serta tinggi
dari dasar perairan adalah 8-12 meter (tergantung pada kedalaman perairan) tinggi dari
permukaan air 23-3 meter; (2) Jaring bagan, lebar dan panjang bagan adalah 8-12 meter
dengan tinggi 3-4 meter.
Bangunan atau rumah bagan yang berupa anjang-anjang berbentuk piramida
terpancung, merupakan rangkaian dari kayu halayung dan bambu. Ukuran dari anjang-
anjang bermacam-macam tergantung dari nelayan (pemilik) namun pada umumnya
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 12 x 12 m pada bagian atas dan 13 x 13 m pada
bagian bawah. Pada penelitian ini menggunakan bagan tancap dengan ukuran 12 x 12 m,
hal ini bertujuan agar kekuatan bangunan lebih kokoh dan dapat menahan terpaan angin
dan gelombang.
Bahan yang dipergunakan dalam membuat bangunan bagan adalah: tiang bahan
yang dipergunakan kayu gelondongan dari pohon halayung (Barringtonia sp) atau pohon
bakau (Rhizopora sp) dengan diameter bagian bawah atau pangkal 13 - 35 cm, tiang
jaring dibuat dari bahan kayu halayung dengan diameter 10 - 15 cm atau dari kayu bakau
dengan diameter yang sama. Panggar di buat dari bahan kayu halayung dengan ukuran
10 - 25 cm, suai atau sampa dibuat dari kayu halayung atau bakau dengan diameter 13 -
35 cm. Untuk para-para bahan yang digunakan adalah bambu (gigantichloa sp) dengan
diameter 8 - 13 cm, pacopo pada umumnya nelayan menggunakan kayu ulin
(Auxyderoxylon zwageri), bahan untuk pacopo ini berdiameter 6 - 15 cm.
Dalam pembuatan bagan tancap diperlukan tali untuk mengikat semua bagian
sehingga menjadi suatu kesatuan, seperti tiang dengan panggar, dan lainnya. Tali yang
digunakan adalah tali nylon dengan diameter 1-2 cm.
Jaring atau disebut juga dengan waring terpasang pada bagan berbentuk empat
persegi (bujur sangkar) dengan ukuran lebih kecil dari pada bangunan bagan bagian atas
yaitu dengan ukuran 11 x 11 m. Untuk mes sizenya sebesar 0,5 cm. Jaring bagan yang
ada di Kecamatan Kusan Hilir terbuat dari nilon yang pada umumnya berwarna hitam,
simpul yang digunakan adalah simpul minnow net sehingga dikenal dengan jaring nilon
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
minnow net, nilon ini berdiameter 0,033 cm sedangkan ukuran mata jaring 0,55 cm atau
dengan ukuran barnya 0,3 cm.
Lembaran waring ini mempunyai ukuran lebar antara 1 - 1,5 meter dengan
panjang 100 meter dalam setiap rol atau gulungan. Setelah lembaran jaring ini dipotong
sesuai dengan ukuran yang diinginkan kemudian lembaran jaring disatukan sehingga
terbentuk sebuah jaring (seperti kelambu terbalik). Pada umumbnya ukuran jaring yang
dibuat adalah panjang 11,5 - 12 m, lebar 11 – 12 m dan tinggi 3 - 4 meter. Untuk
menyatukan lembaran jaring tersebut digunakan tali nilon ukuran 0,2 - 0,5 cm dan tali
nilon dengan diameter 0,1 cm, serta pada bagian atas diberi tali ris yang berada pada
bagian atas jaring disatukan dengan bingkai jaring.
Bingkai waring yang digunakan untuk membuat bingkai jaring (pasaka) adalah
bambu dengan diameter 8 - 12 cm, sedangkan cincin untuk memasukan tiang jaring yang
terdapat pada sudut yang berseberangan terbuat dari kayu ulin dengan ukuran 4 x 6 cm
cincin ini mempunyai ukuran lebih besar sedikit dari tiang jaring. Jaring dipasang pada
bingkai jaring dengan menggunakan tali nilon yang berdiameter 0,6 - 1,2 cm. Tali ris
disatukan dengan bingkai jaring, kemudian diikat dengan menggunakan tali nilon dengan
jarak 1 - 1,5 meter.
Bagian lain yang sangat penting dari bagan adalah rumah jaga (Gambar 10).
Rumah jaga merupakan gubuk kecil sebagai tempat berteduh. Pondokan ini berukuan 2,5
x 3 m yang terbuat dari kayu balok dan bambu sebagai tiang, dan daun rumbia sebagai
atap, sedangkan untuk dinding dibuat dari bahan kayu atau daun rumbia, lantai terbuat
dari papan atau bambu Pada lantai terdapat lubang sebagai tempat menurunkan dan
menaikan lampu dan melihat keadaan pasang surut air.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
4.2 Alat Penangkap Ikan di Periaran Umum
Perairan umum merupakan istilah dari perairan tawar. Berdasarkan forum perairan
umum pada tanggal 22 Desember 2005 ditetapkan sebagai perairan umum daratan, yaitu
semua badan air yang berbentuk secara alami atau buatan dan terletak mulai garis pasang
surut terendah kea rah daratan serta bukan milik perorangan. Perairan umum daratan
terdiri dari sungai dan paparan banjirannya, danau, waduk, rawa dan genangan air
lainnya.
Introduksi alat tangkap di perairan umum perkembangannya tidak secepat
introduksi alat tangkap di perairan laut. Di Kalimantan Selatan dapat dikenal beberapa
alat tangkap yang bisa digunakan di perairan umum antara lain adalah: Pancing, Banjur,
Lukah, tempirai, jala, lalangit, Kabam, Tamba dan lain-lain.
4.2. 1 Pancing
Keterangan:
a = joran
b = tali pancing
c = pemberat
d = mata pancing
Gambar 13 Pancing
a b
c
d
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Di Kalimantan Selatan pancing dikenal dengan unjun. Bentuk unjun sangat
sederhana, terdiri dari terdiri dari joran, tali pancing, pemberat dari timah dan mata
pancing. Panjang joran berkisar antara 2-4 m dan berdiameter 1-2 cm dimana pada bagian
ujung lebih kecil daripada bagian pangkal. Pada bagian ujung joran diikatkan tali nylon
dari monofilament dengan panjang berkisar 2-3 m. pada tali nylon ini dipasang pemberat
dari timah serta mata pancing.
Pengoperasian pancing biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari di perairan
rawa/sungai. Pancing merupakan alat tangkap pasif dengan prinsip kerja menggunakan
umpan yang dikaitkan pada mata pancing kemudian dilemparkan ke dalam air, guna
umpan adalah untuk menarik ikan agar mendekat dan memakan umpan sehingga dapat
tersangkut pada mata pancing. Jika terasa ikan mulai memakan umpan maka dilakukan
sedikit hentakan pada joran. Jenis ikan yang biasa tertangkap pancing adalah ikan gabus
dan betok. Pengoperasian pancing tidak tergantung musim atau dapat dilakukan setiap
saat. Pancing dan umpan selalu disesuaikan dengan ikan yang dipancing, misalnya
pancing patin, pancing belida, pancing udang, pancing gabun dan sebagainya. Setiap
pencing punya teknik dan umpan tersendiri dalam menggunakannya.
Para ahli pancing di perairan umum Kalimantan Selatan mengatakan bahwa
meamcing ikan punya kekhasan tersendiri dan dapat menghilangkan keruwetan.
Pendapat ini ada benarnya juga, karena memancing bias membuat orang asyik dan
menjadi lupa makan bahkan lupa pada urusan keluarga, Namun kebenaran itu belum
pernah dikaji secara ilmiah atau medis.
4.2. 2 Banjur
Banjur merupakan alat penangkap ikan tradisional yang agak unik kalau dilihat dari
bentuk dan carapenggunaannya. Banjur di pasang membujur arus, pangkalnya diikatkan
pada sebuah pelepah rumbia kering yang berfungsi sebagai pelampung dan memudahkan
mengangkatnya. Banjur diperiksa secara berkala setiap pagi dan sore hari tanpa
memerlukan waktu khusus menungguna.
Banju bukan pancing, meskipun sama-sama menggunakan mata pancing. Banjur
terdiri seutas tali besar yang panjangnya tidak menentu, pada tali itu dipasang berderet
bergantung mata pancing dengan jarak 2,5 meter dan kadang-kadang mata pancing
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
banyaknyanya lebih dari seratus buah. Setiap mata pancing diikatkan pada sebuah bilah
bambu rotan yang diraut kecil berbentuk bulat kemudian bilah bambu tadi diikatkan lagi
pada tali besar banjur tersebut. Jarak mata pancing dengan tali besar banjur tersebut kira-
kira 20 cm.
Bisa dibayangkan makin panjang banjur makin banyak mata pancing yang bias
diikatkan, makin banyak pula ikan yang didapat. Ahli banjur di Kalimantan Selatan
mengatakan “kalau nasib lagi mujur sekali mengangkat banjur dapur mampu berkukus
sampai dua minggu”.
Gambar 14 Banjur
4.2.3 Lukah (Fish pots)
Lukah atau Bubu adalah alat perangkap tradisional berupa perangkap. Prinsip kerja
alat ini adalah menjebak atau memudahkan ikan masuk namun mempersulit ikan untuk
keluar. Alat ini bersifat pasif karena hanya menunggu ikan yang melintas dan kemudian
masuk ke dalam alat ini. Daerah operasi lukah adalah perairan rawa, dapat pula dipasang
di tepi sungai yang banyak tanaman airnya.
Keterangan : a. Pintu masuk ikan c. Badan lukah e. Penutup/sumpal
b. Perangkap/Hinjab d. Umpan
Gambar 15 Lukah
e
b
a
c
d
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Lukah dipasang dengan posisi miring sekitar 150, lubang masuk ditaruh
menghadap arus dan ditenggelamkan seluruhnya sedangkan pintu pengeluaran
ditonjolkan ke permukaan air kemudian rapikan tanaman air tempat pemasangan lukah
tersebut. Ikan yang terjebak di dalamnya dapat dilihat setelah 12 jam, biasanya lukah
dipasang pada pagi hari kemudian diangkat pada sore harinya. Jenis ikan yang biasa
tertangkap adalah gabus, betok dan sepat siam.
4.2.4 Tempirai (Stage trap) dan Hampang (Bamboo split)
Tempirai adalah alat penangkap ikan yang bersifat perangkap, yang terbuat dari
bilah-bilah bambu dan rotan yang berbentuk hati. Alat ini tingginya 1 – 1,5 m dan
berdiameter 50 cm, ukuran lebar pintu masuk atau bagian terbuka 2 – 4 cm.
Pengoperasian tempirai adalah di daerah rawa, tepi sungai atau daerah sawah yang
digenangi air. Penggunaannya bisa dibantu dengan hampang untuk memudahkan ikan
masuk ke dalam alat tersebut. Umumnya alat dipasang sore hari dan baru diangkat pada
waktu keesokan harinya atau dipasang pada saat air pasang tinggi dan diangkat setelah air
surut.
Keterangan:
a = bilah bambu
b = mulut tempirai
c = Hampang
d = Lubang pengeluaran
e = anyaman bambu
Gambar 16 Tempirai dan Hampang
c
b
d a
e
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Bagian-bagian dari Tempirai terdiri dari : (1) pintu masuk, berfungsi untuk
masuknya gerombolan ikan ke dalam ruangan tempat ikan terkumpu; (2) pintu keluar,
berfungsi untuk mengeluarkan ikan yang tertangkap dan biasanya diletakkan diatas
tempirai dengan ukuran 20 – 30 cm; (3) hampang atau penaju, berfungsi sebagai
penghalang dan penggiring gerombolan ikan agar masuk ke dalam alat tangkap melalui
pintu masuk.
Tahapan Pengoperasian Tempirai
(1) Persiapan
Pada tahap ini semua alat yang akan dipergunakan dipersiapkan terlebih dahulu untuk
selanjutnya di bawa ke fishing ground yang telah ditentukan. Daerah pemasangan alat
adalah perairan yang diduga terdapat ikan, dimana perairan tersebut banyak terdapat
kayu yang diduga sebagai tempat persembunyian bagi ikan
(2) Pemasangan dan pengoperasian
Semua alat yang telah dibawa ke fishing ground dipasang pada lokasi perairan yang
kedudukannya disesuaikan agar tidak menghadang arah arus agar sampah yang
terbawa arus tidak memasuli atau menutup mulut tempirai.
(3) Pengangkatan alat dan pengambilan hasil tangkapan
Setelah dioperasikan selama selang waktu (hari) yang telah ditentukan, alat tangkap
tempirai diangkat dan diambil hasil tangkapannya
Gambar 17 Pengoperasian Tempirai
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
4.2.6 Kabam (Trap)
Kabam (Trap) merupakan alat penangakap ikan Seluang (Rasbora sp). Konstruksi
bagian luarnya terbuat dari bilah bambu yang dijalin dengan anyaman rotan. Prinsip
penangkapan sama saja dengan alat golongan perangkap lainnya yaitu memmudah ikan
masuk dan mempersulit ikan keluar. Bagian Kabam terdiri dari satu pintu masuk.
Bukaan pintunya lebih kurang 1-2 meter. Tempat pengeluaran hasil tangkapan terletak di
bagian atas.
Keterangan :
a. Anyaman rotan
b. Kayu papan
c. Lubang masuknya ikan
d. Hinjap
e. Turus
Gambar 20 Kabam (Trap)
Tahapan kerja pengoperasian Kabam adalah sebagai berikut : (1) Persiapan,
Kabam dan umpan dan alat bantu lainnya untuk keperluan operasi disiapkan. Dengan
menggunakan perahu semua peralatan dibawa menuju fishing ground; (2) Pengoperasian,
Pengoperasian Kabam dilakukan di tepian sungai besar dan anak sungai, penempatan
dilakukan 2 – 3 meter dari tepi (pada waktu air surut) dengan jarak antar kabam antara 3
– 4 meter. Tali yang ada pada kabam diikatkan pada tongkat kayu yang ditancapkan; (3)
Pemasangan dilakukan pada saat air mulai pasang dimaksudkan agar seluruh alat dapat
terendam sampai permukaan alat. Lamanya operasi sekitar 6 jam; (4) Pengangkatan,
Pengangkatan dilakukan dengan cara menarik tali pengikat ke tongkat secara perlahan-
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
lahan hingga kabam terangkat dari permukaan. Hasil tangkapan yang diperoleh ikan
seluang (Rasbora sp) dimasukkan ke dalam kantong plastik
4.2.7 Tamba
Tamba merupakan alat tangkap golongan perangkap sejenis bubu yang
pengoperasiannya direndam di dalam perairan selama waktu tertentu sampai ikan
terperangkap ke dalamnya. Tamba terbuat dari bilahan bambu yang dianyam dengan
rotan dimana pada samping kiri dan kanannya berbentuk amor dan bagian depan
melengkung ke dalam sebagai tempat merayapnya udang ke dalam tamba. Panjang alat
40 cm dan tinggi bagian depan adalah 30 cm, jarak antara bilahan bambu berkisar 1 – 1,5
cm. Alat ini terdiri dari mulut tempat masuknya ikan sekaligus tempat pengeluaran,
pembimbing (leader), bingkai/kerangka, bilahan bambu, dan tempat peletakan umpan.
Ukuran mulut yang digunakan adalah 5 x 15 cm, dengan mulut sebesar ini akan
memberikan keleluasaan bagi udang untuk masuk. Di depan pintu masuk dibuat
melengkung sebagai tempat merayapnya udang masuk ke dalam tamba, pada kiri kanan
jembatan lengkung terdapat leader atau pembimbing arah gerak udang agar tertuju pada
mulut saat ia merayap masuk ke dalam tamba.
Keterangan : a. Anyaman rotan c. Tempat meletakkan umpan
a. Bingkai rotan d. Mulut tamba.
Gambar 21 Tamba
Bingkai terbuat dari rotan sebagai pembentuk bangun ruang tamba, ukuran rotan
yang digunakan untuk bingkai adalah 1,5 cm. Dinding tamba terbuat dari bilahan bambu
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
yang dianyam dengan rotan dengan ukuran bilahan berkisar 0,4 – 0,5 cm. Tempat
peletakan umpan terbuat dari bilahan bambu dengan ukuran panjang 20 cm dimana pada
ujungnya diruncing dengan tujuan untuk menusuk umpan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 21.
Tahapan Pengoperasian Tamba terdiri dari:
(1) Persiapan Pengoperasian Alat
Sebelum dioperasikan, tamba yang sudah dirakit terlebih dahulu direndam selama
2– 3 hari di sungai supaya bau bahan sesuai dengan peraiarn. Mempersiapkan tali temali
yaitu tali cabang, tali utama, kayu untuk mengikat tali utama, bambu, dan umpan. Setelah
semua siap maka alat dibawa ke perahu untuk menuju daerah penangkapan (fishing
ground).
(2) Pemasangan Tamba
Pemasangan alat dengan menggunakan tali utama. Dimana tiap alat dipasang
dengan jarak teratur yaitu sejauh 5 m. Adapun langkah kerja pemasangan alat, yaitu:
Memasang tali utama: (1) Tali utama bagian ujung diikat pada kayu berukuran panjang
70 cm dan diameter kurang lebih 2cm; (2) Kayu ditanam ke dasar perairan dengan
menggunakan bambu berukuran 5 m; (3) Tali utama dibentangkan searah sungai; (4)
Mengikat ujung tali utama berikutnya pada kayu yang berukuran 70 cm, kemudian
menanamnya ke dasar perairan. Agar bisa diangkat ke permukaan sungai saat
pengambilan hasil tangkapan, maka pemasangan tali utama tidak boleh kencang.
(3) Mengikat tali cabang dan pemasangan umpan
Pada bagian belakang tamba, tali cabang yang digunakan berukuran panjang 75 cm
dengan diameter 0,3 cm. Pemasangan umpan. Daging kelapa ditusuk dengan
menggunakan bilahan bambu kemudian dipasang di sebelah dalam pintu masuk.
Mengikat tali cabang pada tali utama. Tiap tamba dipasang dengan jarak 5 m. Tamba
dimasukkan ke dalam air, untuk operasi penagkapan dibiarkan terendam selama 24 jam.
Hasil tangkapan utama tamba adalah udang galah (Macrobrachium rosenbergii de
Man). Sedangkan hasil tangkapan sampingan adalah ikan betok (Anabas testudineu)
patung (Prestolepisgrooti), lais (Beladontichtys dinema) dan ikan betutu
(Oxyeolectrismarmorata Bleeker).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
4.2.8 Hancau atau Anco (Portable Lift Net)
Hancau terbuat dari benang marlon rangkap tiga, dengan panjang 1,5 m – 2,0 m
dengan mesh size kurang lebih 1 cm. Hancau mempunyai tangkai yang terbuat dari
bambu bulat atau kayu sebagai pegangan dengan ukuran panjang antara 2 – 3m, dengan
diameter 7 – 9 cm.
Hancau atau Anco adalah alat tangkap yang berbentuk bujur sangkar, prinsip
operasinya adalah menunggu ikan agar berkumpul di areal jaring dan diangkat dengan
tanngkai bambu. Tiap ujung bingkai dikaitkan dengan lembaran jaring segi empat dari
nilon. Panjang dan lebar jaring relatif sama, berkisar antara 1 – 1,5 meter, ukuran mata
jaring 1,5 cm.
Keterangan : a. Tangkai bambu/ kayu b. Jaring c. Bingkai cabang
Gambar 22 Anco (portable lift nets)
Hancau dioperasikan di perairan yang dangkal dengan kedalaman sekitar 0,5- 1,5
m, yaitu pada perairan sungai dan rawa prinsip kerja hancau tergolong pasip, dimana
jaring dimasukan ke dalam perairan sedangkan tangkainya diletakkan ditempat yang
lebih tinggi, kemudian dibiarkan untuk beberapa waktu. Lama pengoperasian sekitar 15-
30 menit kemudian hancau diangkat ke permukaan perairan. Jenis-jenis ikan yang
tertangkap dengan alat tangkap hancau ini adalah ikan betok (Anabas testudineus), sepat
rawa (Trichogaster trichopterus) dan sepat siam (Trichogaster pectoralis).
a
b
c
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
5 Daerah Penangkapan Ikan
5. 1 Pengertian Daerah Penangkapan
Menurut Syahrodin dan Suhadja (1982) yang dimaksud dengan daerah
penangkapan ikan (fishing ground) ialah suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul
dimana penangkapan ikan dapat dilakukan. Dengan kata lain daerah penangkapan ikan
merupakan daerah/area dimana populasi dari suatu organisme dapat dimanfaatkan
sebagai penghasil perikanan, yang bahkan apabila memungkinkan “diburu” oleh para
fishing master yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan dengan menggunakan
peralatan penangkapan yang dimilikinya.
Dengan perkembangan sumberdaya perikanan yang semakin mulai mengalami
penurunan, maka pengertian daerah penangkapan juga berkembang sebagaimana yang
ditandaskan Simbolon (2011) daerah penangkapn ikan adalah wilayah perairan dimana
alat penagkapan ikan dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi
sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Untuk itu suatu daerah penangkapan ikan harus
memenuhi kriteria berikut: (1) perairan sesuai dengan habitat yang disenangi ikan, dan
hal ini sangat dipengaruhi parameter oseanografi fisik, biologi dan kimia; (2) alat
penagkap ikan (fishing gear) mudah dioperasikan; (3) daerah pengangkapan memiliki
sumberdaya ikan yang banyak dan bernilai ekonomis tinggi.
125
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Dinyatakan pula bahwa suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah
penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target
penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap
ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat
sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat
dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka
kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula
jika terjadi sebaliknya.
Sebab-sebab utama jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan yautu: (1) ikan-
Ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk hidupnya; (2) mencari makanan; (3)
mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya.
Penangkapan ikan akan berhasil baik apabila dilakukan di daerah penangkapan
yang tepat, yakni tepat lokasi dan waktunya. Cara untuk mengetahui lokasi daerah
penangkapan dan waktu yang tepat itu diperlukan penyidikan. Mencari dan menentukan
lokasi daerah penangkapan ikan tidak mudah dan tidak dapat ditentukan dalam waktu
singkat, harus diuji melalui beberapa kali penangkapan dan melalui beberapa kali musim
penangkapan, barulah lokasi tersebut dapat dinyatakan sebagai daerah penangkapan ikan.
Para nelayan yang belum maju mencari daerah penangkapan ikan dengan cara
tradisional. Untuk mencari tempat menangkap sejenis ikan digunakan cara berdasarkan
pengalaman mereka mengenai keadaan angin, pasang surut, keadaan bulan dan lain-lain.
Dari pengalaman mereka menangkap ikan keadaan laut di lokasi penangkapannya dapat
dijadikan tempat yang tetap untuk mengadakan penangkapan ikan.
Berbagai bidang ilmu turut mengadakan penelitian dalam mencari daerah
penangkapan. Bidang ilmu lautan, ilmu binatang, ilmu kimia dan ilmu fisika, ilmu
tumbuh-tumbuhan semuanya turut menunjang.
126
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Lembaga-lembaga penelitian laut dan lembaga penelitian perikanan baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersama mengadakan penelitian. Lembaga penelitian antar
Negara mengadakan tukar menukar hasil penelitiannya dan antar Negara saling belajar
dari pengalaman masing-masing. Kerjasama di bidang penelitian laut yang dilakukan
antar Negara-negara yang bertetangga. Data penelitian sangat membantu dalam mencari
daerah penangkapan ikan. Beberapa petunjuk untuk menentukan daerah penangkapan
yang baik misalnya: (1) berdasarkan pengetahuan mengenai terdapatnya jenis plankton
tertentu; (2) keadaan dasar laut mengenai jenis sedimen yang menyusun dasar laut
tersebut serta sifat dan profil dasarnya; (3) sifat kimia dari air laut, suhu dan
kejernihannya; (4) data dari hasil penangkapan ikan selama beberapa tahun terhadap jenis
ikan tertentu.
Kondisi lingkungan ternyata dapat mempengaruhi daerah penangkapan ikan.
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan diantaranya adalah
temperature air, kadar garam (salinitas), pH, kecerahan (transparancy), gerakan air,
kedalaman perairan, topographi dasar perairan, bentuk bangunan yang ada di dasar
perairan (bottom properties), kandungan oksigen terlarut serta makanan.
Untuk mendapatkan daerah penagkapan ikan ada beberapa hal yang perlu dilacak
keberadaannya yaitu tentang adanya distribusi massa air sebagai akibat adanya daerah
pertemuan arus laut. Distribusi massa air ini membawa dan menyebarkan organisme
hidup. Fluktuasi keadaan lingkungan kenyataannya dapat mempengaruhi bebrapa hal
diantaranya adalah distribusi, migrasi, pertumbuhan dan reproduksi dari beberapa
organisme air termasuk ikan yang menghuninya.
Beberapa keadaan yang umumnya disukai oleh ikan dan hewan laut lainnya yaitu:
(1) daerah yang keadaan faktor fisiknya optimum yang menyebabkan species ikan dapat
beradaptasi karena fluktuasi yang terjadi di daerah tersebut relatif kecil; (2) daerah up
welling dari perairan yang dalam serta kaya akan nutrient yang bergerak ke atas ke daerah
Euphotic yang banyak phitoplanktonnya, dimana dari hasil proses photosintesanya dapat
dikonsumsi oleh hewan-hewan air; (3) daerah yang merupakan pertemuan dan puncak up
welling yang merupakan kombinasi thermoclin pada perairan yang dangkal dan kisaran
temperatur optimumnya bagi species ikan yang merupakan factor pembatas pada daerah
yang sempit; 127
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(4) migrasi ikan pada waktu tertentu yang melalui massa air yang mempunyai kisaran
temperature optimum sebagai hasil pertemuan dari dua massa air yang berbeda sebagai
contoh adalah daerah pertemuan dan arus kuroshio dan oyashio; (5) daerah yang dekat
dengan bangunan-bangunan yang ada di dasar laut seperti terumbu karang, daerah
topographi yang menghasilkan campuran antara lapisan air atas dan lapisan air di
bawahnya, dan organisme yang dibawanya merupakan makan ikan; (6) beberapa lokasi
yang merupakan daerah yang spesifik bagi ikan guna menempelkan telur-telurnya seperti
dekat rumput laut, bangunan-bangunan atau kapal karam yang ada di dasar laut.
5.2 Karakteristik dan Klasifikasi Daerah Penangkapan
Daerah penagkapan dikatakan baik apabila dapat memenuhi persyaratan yang cocok
untuk usaha penangkapan ikan. Di daerah tersebut banyak ikannya dan alat
tangkapannya dapat dioperasikan dengan baik dan menguntungkan. Meskipun pada
suatu daerahh perairan terdapat banyak ikan, tetapi jika alat tangkap tidak dapat
dioperasikan, maka daerah tersebut tidak dapat disebut sebaagai daerah penangkapan
ikan. Misalnya apabila disuatu perairan banyak ikannya tetapi keadaan dasar lautnya
berkarang atau terdapat banyak kerangka kapal sehingga alat tangkap tidak dapat
dioperasikan dengan semuprna, maka daerah tersebut bukan daerah penangkapan yang
baik. Jadi suatu daerah perairan dinamakan daerah penangkapan yang baik apabila
memmenuhi persyaratan berikut: (1) di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah
sepanjang tahun; (2) alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna; (3)
lokasinya tidak jauh dari pelabuhan sehingga dapat dijangkau oleh kapal ikan; (4)
daerahnya aman yaitu tudak lazim dilalui angin taufan yang membahayakan, tidak
dinyatakan terlarang oleh peraturan dan undang-undang.
Suatu daerah penangkapan ikan ada yang tetap berkondisi baik yaitu sepanjang
masa ikan dapat ditangkap di daerah tersebut. Ada juga daerah penangkapan ikan yang
semula merupakan daerahh yang subur banyak ikannya tetapi pada suatu waktu berobah
menjadi kurang subur bahkan ada yang berubah menjadi gersang. Perubahan tersebut
disebabkan berbagai hal antara lain: (1) adanya usaha penangkapan yang berlebihan,
tanpa mengindahkan keadaan ikan yang ditangkap; (2) daerah itu diadakan penangkapan
128
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
yang menggunakan alat dengan mata jarring yang lebih kecil dari yang diitentukan; (3)
mengadakan penangkapan pada sembarang waktu tanpa mengindahkan waktu ikan
sedang menghadapi masa pemijahan; (4) usaha penangkapan yang menggunakan racun
atau bahan peledak.
Sebab lainnya adalah perubahan lingkungan sekitar daerah penangkapan yang
secara tidak langsung merusak keseimbangan biologis, misalnya: (1) terjadinya
pencemaran atau pengotoran terhadap air di daerah penangkapan tersebut, misalnya
pengotoran oleh tumpahan minyak akibat bocor atau pecahnya tangki kapal; (2)
pengotoran oleh sampah yang dibuang oleh kapal laut yang melalui daerah penangkapan;
(3) Pengrusakan terhadap lingkungan hidup ikan seperti pembongkaran batu karang; (4)
adanya pemboran minyak bumi atau kegiatan lainnya di daerah penangkapan atau di
dekat faerah tersebut.
Sering terjadi pengrusakan lingkungan di daerah perairan pantai yang menyebabkan
mennurunnya hasil tangkapan perikanan pantai : (1) pengotoran oleh limbah dari pabrik
dan industri di darat yang terbawa oleh aliran sungai, misalnya limbah dari pabrik, cat,
pabrik diterjen, penyamakan kulit dan lain sebagainya; (2) pengotoran oleh racun yang
berasal dari pestisida dan insektisida dari daerah persawahan; (3) Penebangan pohon
yang merusak lingkungan di darat sehingga kemudian menyebabkan banjir dan erosi
yang merusak lingkungan di daerah penangkapan muara sungai; (4) terganggu oleh log
atau batang kayu hasil penebangan hutan, karena pembusukan oleh batang kayu tersebut
lingkungan perairan menjadi terganggu. (5) penebangan hutan bakau dan pohon lainnya
di daerah pantai sebab keadaan vegetasi di daerah pantai atau di pinggir laut merupakan
pertumbuhan ikan.
Wilayah perairan laut yang diduga menjadi menjadi daerah penangkapan ikan yang
cukup potensial akibat adanya pengaruh lingkungan adalah sebagai berikut:
(1) Front
Front yaitu daerah pertemuan antara dua massa air yang mempunyai
karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari laut Jawa yang
agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Robinson (1991)
menyatakan bahwa front penting dalam hal produktivitas perairan laut karena
cenderung membawa bersama-sama air yang dingin dan kaya akan nutrient
129
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin hara. Kombinasi
dari temperatur dan peningkatan kandungan zat hara yang timbul dari temperatur
dan peningkatan kandungan zat hara yang timbul dari percampuran ini akan
meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan
meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front merupakan penghalang
bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar.
Beberapa penelitian menunjukkan distribusi ikan layang diperairan laut Jawa
cenderung mengikuti lokasi terbentuknya front.
Peristiwa pertemuan arus karena perbedaan massa air adalah sangat
kompleks. Ikan-ikan mengikutinya dan bergerak ke arah permukaan mengikuti
pergerakan organism yang menjadi makanannya yang terbawa oleh arus. Contoh
lainnya adalah di perairan Jepang dimana terjadi pertemuan antara arus Kuroshio
(bersuhu panas) dengan Oyashio (bersuhu dingin) dari Sauriku. Disana terjadi
penetrasi, sehingga sekitar isotherm 22oC merupakan daerah penangkapan ikan
yang baik.
(2) Suhu Permukaan Laut
Suhu permukaan laut (SPL) merupakan salah satu parameter oseanografi yang
sangat penting. Berbagai proses yang terjadi di lautan mempunyai hubungan timbal
balik dengan SPL yakni SPL banyak mempengaruhi kejadian di lautan atau
sebaliknya dinamika di lautan mengakibatkan terjadinya perubahan SPL. Oleh
karena itu, karakteristik SPL adalah sangat penting dipelajari untuk memahami
dinamika atau kejadian di lautan. Bahkan suhu permukaan laut juga sangat berperan
di dalam sistem iklim dan cuaca di daratan, sehingga SPL tidak hanya penting
untuk penelitian kelautan, tetapi juga beberapa yang terjadi di daratan. Fenomena di
lautan seperti terjadinya up welling dan front yang sangat penting bagi perikanan,
juga dapat dipelajari melalui parameter suhu permukaan laut tersebut (GC Net
Home Page 1997).
130
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa perubahan suhu perairan
yang sangat kecil (sekitar 0,02 oC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi
ikan di suatu perairan (daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan
pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah
yang kondisi suhunya lebih rendah. Selanjutnya dinyatakan, kelimpahan suatu jenis
ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta
berbagai keadaan lainnya.
Selanjutnya Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa suhu perairan
sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan; ruaya,
penyebaran dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan;
masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Perubahan suhu
perairan dari suhu normal/suhu optimalnya menyebabkan pula perubahan aktifitas
gerakan dan aktifitas makan serta mempengaruhi berlangsungnya proses
pemijahannya.
(3) Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam,
angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen sampai kira-kira setebal 50 – 70 meter atau lebih tergantung dari
intensitas pengadukan. Di lapisan dengan salinitas homogen suhu juga biasanya
homogen, baru di bawahnya terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang
besar dimana dapat menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan
bawah (Nontji 1993).
Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan
dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang
mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi.
Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat
berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sugai yang
masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King 1963)
131
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(3) Konsentrasi Klorofil-a
Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktivitas primer yang
ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama
makanan ikan pelagis kecil. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai
umumnya lebih tinggi dari pada produktivitas primer perairan laut terbuka. Menurut
Valiela (1984) produktivitas primer perairan pantai dapat melebihi 60% dari
produktivitas yang ada di laut.
Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor
fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan
eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari di kolom air dan
laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric dan Parslow 1989). Beberapa penelitian
tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan pelapisan massa air,
menunjukkan informasi bahwa konsentrasi klorofil-a maksimum terdapat pada
kedalaman di bagian atas lapisan termoklin. Adapun pada lapisan permukaan
tercampur memiliki kosentrasi klorofil-a yang hampir homogen.
Nontji (1993) menyatakan bahwa faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi
klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa up welling yang salah satu pemicunya
adalah sistem angin muson, hal ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air
diperoleh. Dari pengamatan terhadap sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan
Indonesia bagian timur diketahui bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai
pada musin tenggara, sedangkan kandungan klorofil-a terendah dijumpai pada
muson barat laut. Rendahnya konsentrasi klorofil-a tersebut disebabkan konsentrasi
nutrien lebih rendah akibat up welling tidak terjadi dalam skala besar. Perbedaan
konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut telah dikemukakan oleh beberapa
peneliti. Nontji (1993) yang diacu dalam Monk et al. (1997), rata-rata konsentrasi
klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3, 0,16 mg/m
3 selama musim
barat dan 0,21 mg/m3 selama musim timur.
132
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(4) Arus
Arus merupakan pergerakan atau perpindahan suatu massa air dari suatu
tempat ke tempat lain yang dapat disebabkan oleh tiupan angin atau karena adanya
perbedaan dalam densitas air laut atau karena gerakan bergelombang panjang oleh
pasang surut. Karena laut merupakan medium yang tak pernah berhenti bergerak
baik di permukaan maupun di bawahnya menyebabkan terjadinya sirkulasi air baik
berskala kecil maupun dalam skala yang besar. Penampilan yang paling mudah
terlihat dari arus ini adalah arus permukaan laut (Nontji 1993).
Peran arus terhadap tingkah laku ikan yakni meliputi aspek-aspek sebagai
berikut: (1) arus mengangkat telur-telur dan anak-anak ikan dari spawning area ke
nursery ground, dan selanjutnya dari nursery ground ke feeding ground; (2) migrasi
ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh arus yaitu sebagai alat orientasi; tingkah laku
ikan diurnal juga dipengaruhi oleh arus (khususnya oleh arus pasang surut); (3)
arus, khususnya pada boundaries area mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana
pada daerah tersebut banyak terdapat makanan ikan.
Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek lingkungan alam dan secara tidak
langsung menentukan kelimpahan spesies-spesies tertentu dan bahkan membatasi
distribusi spesies tersebut secara geografis.
Pertemuan antara arus panas dan arus dingin juga mengakibatkan fluktuasi
perubahan arus karena ruangan dan waktu yang menyebnabkan massa air beradu,
dan hal ini mengakibatkan arah arus ke bawah atau sebaliknya malah ke atas.
Akibat dari adanya kecepatan arus dan arah yang saling bersilangan sehingga
masing-masing bertemu pada suatu daerah, maka yang demikian ini disebut
sebagai bentuk/Formasi Eddy. Hal ini mengingatkan kita pada mekanisme
terjadinya cyclone dan Typhoon di atmosphere.
Daerah yang dekat dengan pertemuan arus yang kemudian berkembang dan
menyebabkan gerakan air ke permukaan dan lantas menyebar ini disebut dengan
Surface Divergence, sedang sebaliknya yang menyebabkan gerakan air ke dasar
lantas menyebar ini disebut denngan Surface Convergence. Hal ini tentu
menyebabkan tingkat kepadatan pada perairan yang dalam serta kandungan gram-
garam mineral yang terbawa ke atas ke lapisan permukaan dimana phytoplankton
133
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
berpotoshyntesis, sehingga menarik Zooplankton yang langsung maupun tidak
langsung menjadi makanan bagi ikan-ikan.
Kenyataannya di sekitar daerah convergence maupun divergence merupakan
pertemuan arus. Disini kegiatan dalam rantai makanan bertambah, yaitu dengan
adanya hewan-hewan yang memakan plankton, yang kemudian menarik ikan
untuk memangsanya. Jadi convergence yang kuat dapat menngakibatkan ikan-
ikan menjadi terkonsentrasi, dan hal ini merupakan daerah penangkapan ikan
yang baik.
(5) Up-welling
Up-welling yaitu penaikan massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin dan
salinitas tinggi dibandingkan daerah sekitarnya, serta membawa zat-zat hara dari
lapisan bawah ke permukaan (Nontji 1993). Dengan demikian, dalam proses
upwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan laut, salinitas lebih tinggi, dan
kandungan zat hara lebih tinggi di lapisan permukaan dibandingkan daerah
sekitarnya. Zat hara tersebut akan nmerangsang perkembangan fitoplankton di
permukaan, karena pertumbuhan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan
tingkat kesuburan perairan. Pariwanto et al. (1988), menyatakan bahwa
upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu
perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan.
Sebab-sebab terjadinya daerah upwelling menurut Purnomo (2005) yaitu:
(1) bila angin yang bertiup kea rah lepas pantai (off shore wind) sangat keras dan
air dipermukaan terbawa, maka lapisan permukaan menjadi turun, dan hal
tersebut akan dikompensasikan dengan adanya upwelling dari laut Dalam yang
dekat pantai; (2) bila ada terumbu karang atau tepi tebing, maka arus bawah air
yang menghantamnya akan naik dan menjadi arus up-welling; (3) up-welling yang
diakibatkan karena bertemunya dua arus lalu naik dan kemudian setelah ada di
permukaan arahnya berlawanan; (4) upwelling yang diakibatkan karena adanya
arus bawah yang melewati sisi bawah pulau atau batu karang besar yang
kemudian arus tersebut naik kea rah atas; (5) upwelling yang diakibatkan naiknya
arus seperti yang terjadi pada bentuk / formasi Eddy (Bentuk Daerah Divergence).
134
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(6) Continental shelf
Continental shelf merupakan daerah pantai dimana sebagian dari
sumberdaya ikan berada di wilayah ini. Aliran sungai yang bermuara di kawasan
ini membawa banyak nutrient. Selain itu pengaruh gelombang, pasang surut, dan
konveksi thermal secara vertical akan menyebabkan terjadinya proses
pencampuran dan mengakibatkan perairan kaya nutrient dan menyebabkan
kelimpahan ikan banyak.
Separo dari sumber biologis di lautan aada pada daerah kemiringan benua
dan ikan-ikan sangat menyukai tinggal di daera tersebut. Banyak sungai yang
membawa nutrient dalam jumlah yang besar yang masuk ke perairan Continental
shelves. Kenyataannya gelombang dan arus dapat mempengaruhi suhu perairan
antara lapisan atas dengan lapisan di bawahnya. Daerah kemiringan benua mulai
dari permukaan hingga ke dasar kaya akan nutrient, penetrasi sinar matahari
berlimpah dan jumlah organic matternya besar, sehingga menghasilkan
phytoplankton dan zooplankton.
Di daerah kemiringan benua, banyak ikan dan binatang laut lainnya yang
menjadi target dari operasi penangkapan. Di daerah kemiringan benua
merupakan tempat yang ideal bagi ikan-ikan yang masih muda untuk tumbuh,
karena banyak organism dasar yang hidup di dasar perairan. Di daerah ini proses
rantai makanan berlangsung lebih cepat, sehingga produktivitas biologinya tinggi.
Daerah kemiringan benua yang merupakan daerah yang dangkal dengan
sudut dasar berkesinambungan adalah merupakan daerah operasi penangkapan
yang baik bagi jenis-jenis alat yang cara pengoperasiannya diseret (Drag Net).
Perairan pantai di daerah Kemiringan benua umumnya berhubungan dengan
langsung perairan laut terbuka. Contohnya di Timur Laut Cina tidak
hanyadijumpaii banyak ikan berenang, tetapi juga dipertemukan penambahan
ikan-ikan dasar
135
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6 Dinamika Stok Sumberdaya Ikan
6.1 Pandugaan Stok Ikan
Produktivitas potensial dari suatu stok merupakan suatu permasalahan yang
memerlukan pemahaman dan penentuan statusnya melalui analisa berdasarkan konsep-
konsep dan metode ilmiah yang telah disepakati di kalangan pakar ilmu perikanan.
Walaupun demikian apabila tidak tersedia cukup kapasitas untuk menentukan
produktivitas optimal secara memadai, estimasi dapat dilakukan dengan observasi
perkembangan jumlah produksi yang didaratkan dari tahun ke tahun (Murdiyanto 2004).
Untuk menghasilkan produksi perikanan, neleayn melalukan upaya penangkapan.
Upaya yang dilakukan nelayan untuk menangkap dan menghasilkan sejumlah ikan
tangkapan ini didefinisikan sebagai upaya penangkapan atau fishing effort.
Teori pendugaan stok ikan di perairan biasanya digunakan untuk mengkaji
sumberdaya ikan yang dapat dieksploitasi. Tujuan dari pendugaan stok ikan ini adalah
untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi di masa datang terhadap hasil tangkapan,
tingkat biomas (kelestarian) dan nilai tangkapan, jika tingkat usaha penangkapan tetap
atau berubah.
Pengkajian/pendugaan stok sumberdaya tropis telah berkembang cepat selama
dekade terakhir terutama melalui hasil kerja Pauly (1979, 1980, 1984), Saila dan Roedel
(1980), Pauly dan David (1981), Garcia dan Le Rese (1981) dan Munro (1983), tetapi
juga karena perkembangan perangkat keras dan lunak mikrokomputer. Maksud dari
pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan yang optimum dari
sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas
tetapi dapat diperbaharui/memperbaharui dirinya, dan pengkajian stok ikan dapat
diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang
memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot.
147
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
“Stok” diartikan sebagai suatu sub gugus dari satu spesies yang mempunyai
parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama, dan menghuni suatu wilayah geografis
tertentu atau stok adalah kelompok hewan yang terpisah yang menunjukkan sedikit
percampuran dengan kelompok sekelilingnya, dimana batas-batas sebaran geografisnya
dapat ditentukan. Menurut Gulland (1983), untuk keperluan pengelolaan perikanan,
suatu subkelompok dari satu spesies dapat diperlakukan sebagai satu stok jika perbedaan-
perbedaan dalam kelompok tersebut dan “pencampuran” dengan kelompok lain mungkin
dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah.
Pendugaan stok dibuat terpisah masing-masing stok. Hal ini memang
menyulitkan untuk daerah tropis yang keanekaragamannya tinnggi dalam satu wilayah
penyebaran dan atau dalam suatu schooling, baik berdasarkan jenis/species/variasi,
maupun ukuran/umur ikan. Dipersulit lagi adanya keragaman upaya tangkap baik
menurut jenis alat, ukuran kapal maupun kemampuan tangkap. Selain itu sifat penting
dari stok adalah parameter pertumbuhan dan tingkat kematiannya konstan sepanjang
daerah penyebarannya. Dengan kondisi ekosistem atau kualitas lingkungan yang berbeda
yang mengalami degradasi maka keterpurukan kualitas perairan mempercepat laju
kematian alami sehingga hasil dugaan potensi berdasarkan hubungan total tangkapan dan
upaya tangkap semakin tidak signifikan.
Fenomena keseimbangan stok ikan di perairan ditentukan oleh penambahan stok
melalui pertumbuhan dan rekrutmen, dan penurunan stok melalui kematian secara alami
dan kematian karena penangkapan. Pendugaan stok ikan sehubungan akibat
penangkapan berdasarkan asumsi, bahwa selain tingkat pertumbuhan dan tingkat
kematian konstan, juga pengurangan stok akibat aktivitas penangkapan tidak
mengganggu rekrutmen.
Pendugaan stok dimaksudkan untuk menjadi salah satu bahan penting dalam
menetapkan perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang diandalkan. Daata
tentang berat hasil tangkapan yang lengkap menjadi prasyarat setiap usaha pendugaan
stok. Bagian utama dari informasi data yang mampu mendiskripsikan stok dan
perikanannya adalah ukuran stok berdasarkan hasiil tangkap menurut umur (catch at
age). Dengan menggunakan metode Virtual Population Analisis (VPA) atau analisa
148
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
kohort dapat ditentukan ukuran stok absolute dan kematian akibat penangkapan saat yang
telah lewat, tetapi tidak untuk saat kegiatan perikanan yang telah berlangsung
Pendugaan stok yang berhubungan dengan penentuan target pengelolaan
sumberdaya perikanan seperti penilaian MSY digunakan teori Model Surpuls Produksi.
Model-model Produksi Surplus berhubungan dengan seluruh stok, seluruh upaya
penangkapan dan total hasil tangkapan yang didapat dari stok, tanpa memasukkan secara
rinci beberapa hal seperti parameter pertumbuhan dan mortalitas atau efek ukuran mata
jaring terhadap umur ikan yang tertangkap, dan sebagainya. Model-model Produksi
Surplus diperkenalkan oleh Graham (1935), akan tetapi model-model Produksi Surplus
sering disebut sebagai model-model Schaefer (Sparre dan Venema 1992).
Tujuan penggunaan model-model Produksi Surplus adalah untuk menentukan
tingkat upaya yang optimal, yaitu upaya yang menghasilkan hasil tangkapan maksimum
yang lestari tanpa berdampak pada produktivitas stok jangka panjang, yang disebut
sebagai hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield atau disingkat
MSY). Teori dibalik model-model Produksi Surplus ini telah dikaji ulang oleh banyak
pengarang seperti Ricker (1975), Caddy (1980), Gulland (1983), dan Pauly (1984).
Penentuan nilai MSY dan upaya pemanfaatan yang optimum diperlukan sebagai
dasar informasi dasar untuk menetapkan tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan.
Sebagai salah satu tolok ukur pengelolaan, telah ditetapkan bahwa jumlah ikan yang
diperbolehkan (JTB) atau dikenal di dunia perikanan dengan istilah Total Allowable
Catch (TAC) untuk wilayah pengelolaan perikanan adalah 80% dari potensi lestarinya
atau MSY.
Karena termasuk model holistik, maka Model Produksi Surplus termasuk model
yang sederhana, sehingga data yang diperlukan juga menjadi lebih sedikit. Sebagai
contoh, model ini tidak perlu menentukan kelas umur, sehingga dengan demikian tidak
perlu penentuan umur. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model Produksi
Surplus banyak digunakan dalam estimasi stok ikan di perairan tropis (Sparre dan
Venema, 1999).
Model Produksi Surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik
tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit
upaya (Catch per Unit Effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan
149
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami
perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999).
Model Produksi Surplus mempunyai keunggulan dari model lainnya, yakni data
yang dibutuhkan banyak tersedia, sehingga tidak perlu melakukan survei khusus di laut.
Hal ini akan mengurangi biaya dan pekerjaan menjadi ringan (Widodo 1990 diacu dalam
Bachri 1993).
Data CPUE seringkali digunakan untuk menduga perubahan-perubahan dalam
kelimpahan stok. Hal ini disebabkan karena pendugaan kelimpahan dengan cara lain
(misalnya dengan melakukan survei dengan kapal penelitian) seringkali sulit atau mahal.
Beberapa ukuran kelimpahan dan perubahan-perubahan dalam kelimpahan cukup
penting dalam banyak studi pendugaan stok. Untuk itu, mendapatkan data CPUE yang
dapat dipercaya merupakan satu dari langkah-langkah dasar yang terpenting dalam studi
pendugaan stok (Gulland 1982).
6.2 Model-model Produksi Surplus
6.2.1 Model Schaefer
Cara paling sederhana untuk memperlihatkan hasil tangkapan per unit upaya,
CPUE atau c/f, sebagai fungsi upaya (f) adalah model linear yang disarankan oleh
Schaefer (Sparre dan Venema 1992) :
ci/fi = a + bxfi jika fi -a/b
Persamaan diatas disebut dengan “model Schaefer”.
Slope (b) harus negatif jika CPUE, c/f, menurun pada saat upaya, f, meningkat.
Intersep, a, adalah nilai c/f yang diperoleh setelah kapal pertama menangkap stok untuk
pertama kalinya. Oleh karena itu intersep harus bernilai positif. Maka, -a/b adalah
positif dan c/f adalah nol untuk f = -a/b. Karena nilai negatif dari CPUE (c/f) tidak
mungkin, model ini hanya diterapkan untuk nilai f yang lebih rendah dari –a/b (Sparre
dan Venema 1992).
150
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6.2.2 Model Fox
Sebuah model alternatif diperkenalkan oleh Fox (1970). Model ini menghasilkan
garis lengkung apabila c/f secara langsung diplot terhadap upaya, f, akan tetapi apabila
c/f diplot dalam bentuk algoritma terhadap upaya, maka akan menghasilkan garis lurus :
ln ci/fi = a + bxfi
Persamaan diatas disebut dengan “model Fox”, yang juga dapat ditulis :
)fb (a expf
ci
i
i
Kedua model tersebut diatas mengikuti asumsi bahwa c/f menurun dengan
meningkatnya upaya, akan tetapi mereka berbeda dalam hal dimana model Schaefer
menyatakan satu tingkatan upaya dapat dicapai pada nilai c/f sama dengan nol, yaitu bila
f = -a/b, sedangkan pada model Fox, c/f adalah selalu lebih besar dari nol untuk seluruh
nilai f.
6.2.3 Standardisasi Upaya Penangkapan
Bila di suatu daerah terdapat berbagai alat tangkap maka salah satunya harus
dipakai sebagai standar dan alat tangkap lain distandardisasi terhadap alat tangkap
tersebut. Hal ini disebabkan karena kemampuan tangkap tiap alat tangkap berbeda-beda.
Dengan demikian, standardisasi ini bertujuan untuk menyeragamkan satuan upaya yang
berbeda menjadi satu satuan upaya yang seragam (Gulland, 1982 diacu dalam Oemry,
1993).
Upaya dapat dinyatakan sebagai jumlah seluruh satuan perlakuan antara
kemampuan penangkapan (fishing power) setiap tahun dengan waktu penangkapan atau
dengan jumlah satuan operasi. Umumnya pemilihan alat tangkap standar didasari pada
dominan atau tidaknya alat tangkap tersebut di suatu daerah (Gulland, 1982 diacu dalam
Oemry, 1993).
151
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6.2.4 Aplikasi Model
(1) Hasil Tangkapan per Upaya Penangkapan (Catch per Unit Effort)
Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang diperoleh dibuat dalam bentuk
tabel, lalu menghitung nilai hasil tangkapan per upaya penangkapannya (Catch per Unit
Effort atau CPUE). Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai CPUE adalah sebagai
berikut (Gulland 1982) :
n ..., 2, 1, i effort
catch CPUE
i
i i
Keterangan :
CPUEi = hasil tangkapan per upaya penangkapan dalam tahun i
catchi = hasil tangkapan dalam tahun i
efforti = upaya penangkapan dalam tahun i
(2) Standardisasi Upaya Penangkapan
Karena kemampuan tangkap tiap alat tangkap berbeda-beda, maka perlu
dilakukan standardisasi upaya penangkapan. Rumus yang dipakai untuk
menstandardisasi upaya penangkapan adalah sebagai berikut (Gulland 1982) :
Menghitung Fishing Power Index (FPI)
st
dst
CPUE
CPUE FPI
Keterangan :
FPI = Fishing Power Index
CPUEdst = CPUE alat tangkap yang akan distandardisasi
CPUEst = CPUE alat tangkap standar
Menghitung Upaya Standar
f FPI f dst s
Keterangan :
fs = upaya penangkapan hasil standardisasi
fdst = upaya penangkapan yang akan distandardisasi
152
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(3) Analisis CPUE
Nilai CPUE dihitung kembali dengan nilai upaya penangkapan yang baru, yaitu
nilai upaya penangkapan setelah dilakukan standardisasi upaya penangkapan. Adapun
nilai hasil tangkapan tetap sama.
n ..., 2, 1, i effort
catch CPUEs
i
i i
Keterangan :
CPUEsi = hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah
distandardisasi dalam tahun i (ton/trip)
catchi = hasil tangkapan dalam tahun i (ton)
efforti = upaya penangkapan alat tangkap yang telah distandardisasi
ditambah dengan upaya penangkapan alat tangkap standar
dalam tahun i (trip)
(1) Analisis Regresi
Untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap
hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) digunakan analisis regresi.
Persamaan regresi linear sederhana dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pengaruh
antar peubah, dan bisa juga untuk mengetahui (meramal) nilai satu atau lebih peubah
(Harahap 1987 diacu dalam Batubara, 1999).
Analisis terhadap hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan CPUE
ikan cakalang diperoleh dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil, yaitu dengan cara
meminimumkan error (simpangan). Hubungan fungsi tersebut adalah :
Y = + x + e
Keterangan :
Y = peubah tak bebas (CPUE) dalam ton/trip
x = peubah bebas (effort) dalam trip
e = simpangan
, = parameter regresi penduga nilai a dan b
153
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Kemudian diduga dengan fungsi dugaan yaitu : Ŷ = a + bx
sehingga e = Y – Ŷ, dan diperoleh Σe2 = (Y – Ŷ)
2. Dengan “metode kuadrat terkecil”
nilai Σe2
diminimumkan. Nilai e akan minimum bila turunan pertama fungsi sama
dengan nol, sehingga nilai dugaan dapat diperoleh sebesar a dan b. Nilai a dan b
selanjutnya dapat ditentukan, yaitu (Hayat, 1997) :
x)( xn
yx -xy n b
22
n
xb -y a
Pada model Schaefer, setelah diketahui nilai a dan b, selanjutnya dapat ditentukan
beberapa persamaan yang diperlukan, antara lain adalah (Sparre and Venema, 1992) :
(1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f) :
CPUE = a + bf
(2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dengan upaya penangkapan (f) :
c = CPUE x f
c = af + bf2
(3) Upaya penangkapan optimum (fopt atau fMSY) diperoleh dengan cara menyamakan
turunan pertama hasil tangkapan (c) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol:
c = af + bf2
c’ = a + 2bf
a + 2bf = 0 a = -2bf
fMSY = -a/2b
(4) Maximum Sustainable Yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan optimum
diperoleh dengan mensubstitusikan nilai upaya penangkapan optimum (fopt atau
fMSY) ke dalam persamaan pada butir (2) diatas :
c = af + bf2
copt = axfopt + bxfopt2
= a(-a/2b) + b(-a/2b)2
MSY = -a2/4b
154
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(5) CPUE optimum diperoleh dengan cara membagi nilai hasil tangkapan optimum (copt
atau MSY) yang telah lebih dahulu diperoleh dengan nilai upaya optimum atau fopt :
CPUEopt = MSY/fopt
Apabila menggunakan rumus, maka nilai CPUE-nya adalah :
CPUEopt = MSY/fopt
= -a2/4b x -2b/a
CPUEopt = 1/2 x a
Pada model Fox, setelah diketahui nilai a dan b, selanjutnya dapat ditentukan
beberapa persamaan yang diperlukan, antara lain adalah (Sparre dan Venema 1992) :
(1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f) :
CPUE = exp (a + bf)
(2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dengan upaya penangkapan (f) :
c = CPUE x f
c = af + bf2
(3) Upaya penangkapan optimum (fopt atau fMSY) diperoleh dengan cara menyamakan
turunan pertama hasil tangkapan (c) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol:
c = af + bf2
c’ = a + 2bf
a + 2bf = 0 a = -2bf
fMSY = -1/b
(4) Maximum Sustainable Yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan optimum
diperoleh dengan mensubstitusikan nilai upaya penangkapan optimum (fopt atau
fMSY) ke dalam persamaan pada butir (2) diatas :
c = af + bf2
copt = axfopt + bxfopt2
= a(-a/2b) + b(-a/2b)2
MSY = -1/b exp (c-1)
156
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(5) CPUE optimum diperoleh dengan cara membagi nilai hasil tangkapan optimum (copt
atau MSY) yang telah lebih dahulu diperoleh dengan nilai upaya optimum atau fopt :
CPUEopt = MSY/fopt
Apabila menggunakan rumus, maka nilai CPUE-nya adalah :
CPUEopt = MSY/fopt
= -a2/4b x -2b/a
CPUEopt = 1/2 x a
6.3 Tingkat Pengupayaan dan Tingkat Pemanfaatan
Tingkat pengupayaan alat tangkap dari suatu sumberdaya ikan dapat diketahui
setelah didapatkan nilai upaya optimum. Tingkat pengupayaan dihitung dengan cara
mempersenkan jumlah upaya penangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai upaya
penangkapan optimum.
100% f
f TP
optu
Keterangan :
TPu = tingkat pengupayaan
f = upaya penangkapan (trip)
fopt = upaya penangkapan optimum (trip)
Adapun tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya ikan dapat diketahui setelah
didapatkan nilai MSY. Tingkat pemanfaatan dihitung dengan cara mempersenkan
jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai MSY.
100% MSY
c TP
Keterangan :
TP = tingkat pemanfaatan
c = hasil tangkapan (ton)
MSY = maximum sustainable yield (ton)
157
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6.4 Asumsi dan Kelemahan umum penggunaan
Beberapa asumsi yang dapat digunakan dalam menduga stok suatu sumberdaya di
suatu perairan antara lain adalah :
(1) Stok sumberdaya menyebar merata di daerah tersebut.
(2) Seluruh data hasil tangkapan sumberdaya yang diperoleh berasal dari daerah
tersebut.
(3) Seluruh hasil tangkapan didaratkan di daerah tersebut.
(4) Tidak ada perubahan signifikan dalam tingkat teknologi penangkapan ikan
selama kurun waktu data diambil.
Kelemahan umum penggunaan teori pendugaan stok:
(1) Stok berlaku satu species dan mempunyai parameter stok yang tetap.
Kenyataan di lapangan sangat sulit terlebih daerah tropis terutama untuk stok
demersal yang sangat beragam (jenis, ukuran). Keragaman ekosistem dan kualitas
lingkungan perairan mempengaruhi fisiologi, tingkat pertumbuhan dan tingkat
kematian yang beragam.
Kondisi perikanan multi species akan semakin sulit dikendalikan oleh adanya
interaksi biologi terutama pada kelompok ikan berhunian local (sendentary stok).
Pada perikanan yang sering menangkap ikan berukuran kecil atau mangsa bila tak
terkendali dapat mengakibatkan penipisan stok ikan mangsa tersebut sehingga hal ini
sangat mempengaruhi keberadaan ikan pemangsa. Pada perikanan pelagis bentuk
oseanik maka semakin menipisnya mangsa menyebabkan fishing ground tidak
atraktif bagi stok migrasi pelintas batas (trans boundary fish stock) sehingga terkesan
stok ikan di fishing ground yang bersangkutan menurun.
Suatu konsekwensi penting dari efek multispecies dalam penangkapan ikan
adalah bahwa tidak mungkin memanen secara setentak pada tingkat hasil maksimum
lestari dari tisp species dalam suatu kawanan di suatu kawasan tertentu yang
merupakan campuran sepecies pemangsa dan mangsa (Tridoyo Kusumastanto 2005).
158
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Asumsi dasar perhitungan bertolak pada biomass yang masih virgin, seakan belum
tersentuh oleh kegiatan penangkapan, sedangkan kondisi demikian sudah sangat sulit
ditemukan. Pada umumnya pengelolaan secara serius dilakukan ketika kondisi
sumberdaya alam dan lingkungan telah mengalami gangguan mulai dari yang ringan
sampai sudah rusak.
(3) Constancy catchbility beragam/berubah dengan keragaman jenis alat tangkap yang
banyak dengan ukuran kapal yang berbeda untuk tujuan species yang sama atau
beragam.
6.7 Faktor-faktor yang Menentukan Ketersediaan Stok Ikan
6.7.1 Kondisi Lingkungan Habitat
Kondisi lingkungan habitat sumberdaya ikan sangat menentukan terhadap
ketersediaan sumberdaya (stok) ikan atau ideal bila mampu beperan sebagai buffer atau
penyangga keberadaan parameter pertumbuhan atau tingkat kematian alami yang
konstan. Dalam periode daur kehidupan ikan yang kritis sseperti pada saat pemijahan
dan semasa dalam asuhan (nursery period) berlangsung diperlukan lingkungan yang
cocok agar dapat dilewati masa rekrutmen itu dengan baik. Namun akibat dari keaneka
ragaman lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun sangat bervariasi.
Setiap tahap kehidupan dipengaruhi oleh lingkungan yang dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan, reprooduksi dan mortalitas. Periode kritis dialami selama awal daur
kehidupan yang keberadaannya lebih rentan terhadap pengaruh lingkunngan dan dpat
menjurus pada keanekaragaman yang tinggi dalam kelimpahan sumberdaya dan hasil
tangkap pada berbbagai skala waktu. Alasan inilah yang kian mempersulit teori dugaan
potensi itu diberlakukan di perairan yang mengandung multi species dan multi gear
dengan keberadaan kemampuan tangkap yang selau berubah.
Menurut Tridoyo Kusumastanto (2005), yang paling terkait dengan pengelolaan
perikanan adalah fluktuasi rekrutmen dari tahun ke tahun dan pergeseran dalam sistem
ekologi yang mengakibatkan ciri fungsional dan ekosistem, termasuk komposisi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
kelimpahan dan lokasi komunitas ikan, bias berubah secara dramatis sepanjang periode
beberapa dasawarsa. Oleh karena itu, yang terpenting dalam hal ini adlah bahwa
pengelolaan perikanan harus mampu mengatasi keadaan ini tanpa menambahkan dampak
merugiakan yang berlebihan terhadap stok, sehingga mampu mendorong stok dan
produktivitasnya kembali dalam kondisi normal atau berada di sekitar rata-rata fluktuasi
lingkungan alami.
Ikan dapat mati karena sebab alami atau karena ditangkap. Jumlah kematian akibat
penangkapan ataupun karena sebab lain secara keseluruhan merupakan mortalitas total.
Bila tingkat mortalitas penangkapan atau mortalitas alami salah satunya dapat diestimasi
maka jumlah kematian lainnya dapat dihitung dengan pengurangan dan mortalitas
totalnya. Dengan demikian ,aka estimasi mortalitas dapat dipakai untuk memperkirakan
pengaruh penangkapan terhadap stok. Cara lain melihat pengaruh penangkapan adalah
dengan membandingkan biomas yang memijah dalam suatu populasi yang ditangkap
denngfan kondisi apabila tidak diadakan penangkapan. Perbandingan antara biomas yang
memijah dari populasi yang ditangkap dan yang tidak dilakukan penangkapan disebut
rasio potensial memijah atau spawning potensial ratio (SPR). SPR dapat dipakai sebagai
parameter untuk memantau keseimbangan stik dengan mengendalikan mortalitas
penangkapan (Murdiyanto 2004).
Menurut teori Russel (1932), bahwa stok ikan di suatu wilayah perikanan (fishing
area) pada tahun ke-t (St) ditentukan oleh besarnya stok ikan pada tahun awal dimulainya
rejim (program) pengelolaan (S0) ditambah dengan rekrutmen (R), pertumbuhan individu
ikan (G); dan dikurangi dengan kematian alamiah ikan (M), banyaknya ikan yang
ditangkap oleh armada perikanan (F).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Gambar 29 Hubungan antara faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Stok Ikan
Secara matematis, formula russel tersebut adalah : St = S0 + (R+G)-(M+F),
dierjemahkan sebagai berikut:
(1) Stok seimbang atau lestari bila St = S0 sehingga G + R - M - F = 0 atau (G+R) =
(M+F)
(2) Stok produktif atau surplus bila St > S0 sehingga G + R – M – F > 0 atau (G+R)
> (M+F)
(3) Stok menurun atau berkurang bila St < S0 sehingga G + R – M – F < 0 atau
(G+R) < (M+F)
Berdasarkan tersebut, disimpulkan bahwa selain tingkat penangkapan ikan, factor-
faktor variable lain yang mempengaruhi kelestarian stok ikan tersebut sangat bergantung
pada kualitas habitat atau lingkungan tempat organisme air hidup yang tidak mendukung
keharmonisan lingkungan justru akan menyebabkan kegagalan adaptasi physiology yang
sering menyebabkan kematian individu atau populasi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6.7.2 Gejala Tangkap Lebih (Overf Fishing)
Zarochman (2005) menandaskan bahwa dalam sejarah perikanan di dunia bukan
suatu rahasia bahwa tidak jarang upaya pengelolaan summberdaya perikanan baru
dilaksanakan setelah kejadian kerusakan sumber daya yang terus kian menurun
sediaannya dan produksinya akibat pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan perairan
yang berlebih atau dikenal dengan ‘over fishing”.
Pada awal tahun 1950-an, FAO mencatat adanya pertumbuhan sektor perikanan
yang sangat cepat, baik di belahan bumi bagian utara maupun di sepanjang pantai negara-
negara yang saat ini dikenal sebagai negara berkembang. Dimana-mana penangkapan
berskala industri yang umumnya menggunakan trawl (ada juga dengan purse seining dan
long-lining) berkembang dan berkompetisi dengan perikanan skala kecil atau tradisional
(artisanal fisheries) yang berperalatan sederhana. Persaingan yang tidak seimbang ini
sangat jelas terlihat di perairan dangkal (kedalaman 10-100 m) di daerah tropis.
Perikanan tradisional menjadikan ikan tangkapan mereka untuk konsumsi penduduk
lokal, sedangkan perikanan skala besar menggunaan trawl dengan udang sebagai target
utama untuk ekspor dan membuang hasil tangkapan yang tidak memiliki nilai ekonomis
(by-catch). Dalam periode tahun 1950-an hingga 1960-an, peningkatan usaha
penangkapan telah meningkatkan jumlah hasil tangkapan yang sangat besar dan melebihi
laju petumbuhan umat manusia Pauly et al. (2002). Hal ini telah membuat para penyusun
kebijakan dan politisi menjadi percaya bahwa penambahan jumlah kapal yang cepat dan
tak terkendali telah melipat-gandakan jumlah tangkapan dalam waktu singkat serta
menurunkan hasil tangkapan dalam jangka panjang. Kegagalan perikanan tangkap
pertama kali dilaporkan untuk kasus anchovy di Peru pada tahun 1971-1972. Pada
awalnya, hancurnya perikanan anchovy ini sering dikaitkan dengan kejadian alam El
Nino. Namun demikian, data yang terkumpul menunjukkan bahwa jumlah tangkapan
aktual (sekitar 18 juta ton), yang telah melebihi dari apa yang dilaporkan yaitu 12 juta ton
menunjukkan bukti lain. Terbukti, runtuhnya perikanan anchovy tersebut adalah lebih
banyak karena pengaruh overfishing.
Pada pertengahan tahun 1970-an, total tangkapan ikan di Atlantik utara juga telah
menurun. Trend penurunan yang cepat lebih jelas terlihat pada akhir tahun 1980-an dan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
diawal tahun 1990-an sebagian besar stok ikan cod menjadi habis di New England dan
Canada bagian timur.
Kondisi stok ikan laut di kawasan Asia-Pasifik juga tidak jauh berbeda. Kawasan
Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar produksi ikan dunia juga sudah
mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik
sekitar 6-33% (FAO 2004). Lebih lanjut, diperkirakan bahwa stok ikan laut dunia saat ini
yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal hanya 24%. Sekitar 52%
stok sudah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut,
dan sisanya adalah sudah overeksploitasi atau stoknya sudah menurun
Salah satu jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk membantu pemulihanan stok
ikan laut akibat overfishing adalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan.
Disadari betul bahwa penambahan kapasitas armada penangkapan merupakan salah satu
ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya laut, dan juga penangkapan itu sendiri.
Perubahan perahu skala kecil berteknologi rendah menjadi kapal besar berteknologi
tinggi, subsidi pemerintah, kebijakan open-access pada beberapa wilayah perairan dunia,
dan beberapa aspek ekonomi lainnya telah disadari meningkatkan kapasitas penangkapan
ikan. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang tak terdeteksi seperti perubahan alat
bantu penangkapan seperti echosounder dan GPS juga diyakini telah mendorong tingkat
overcapacity dibeberapa wilayah perairan.
Gejala biological overfishing untuk stok di perairan tropis yang dilaporkan oleh
ICLARM Newsletter (Pauli 1980) terdapat 3 (tiga) kejadian:
(1) Growth overfishing ditandai dengan adanyagejala penangkapan ikan yang berusia
muda atau mereka tertangkap sebelum mereka tumbuh sampai ukuran dewasa.
Persoalan ini meminta perhatian para peneliti perikanan untuk dapat memperkirakan
usia yang ideal, dimana dan pada musim apa ikan boleh ditangkap. Pada lebih dari
setengah abad yang lalu, Beverton dan Holt telah memformulasikan teori cara
perhitungan dugaan ukuran optimal ikan yang sudah boleh ditangkap (optimal size at
fish capture) dengan menggunakan ukuan mata jarring tertentu. Dari hasil
perhitungan inilah muncul kebijakan tentang pengaturan ukuran mata jarring,
berapa, kapan dan dimana dapat dioperasikan. Namun peraturan ini kurang efektif
sering terabaikan di perairan tropis yang mengandung stok ikan terdiri dari multi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
species dengan berbagai ukuran dan umur dalam satu schooling yang ternyata juga
banyak macam alat tangkap yang dioperasikan dalam satu daerah penangkapan ikan.
(2) Recruitment overfishing terjadi bila stok ikan dewasa jumlahnya kian berkurang atau
tidak seimbang antar jantan dan betina atau dengan perkataan lain stok yang ada
mengalami kegagalan rekrutmen akibat ikan belum sempat mencapai dewasa atau
matang telur (mature), sebab lain belum atau tidak terjadi pemijahan (spawning) atau
telur yang pecah menjadi larva hanya sedikit sekali jumlahnya sehingga hanya
sedikit yang berhasil merekrut menjadi ikan muda, dan seterusnya. Bila tersedia
data komposisi umur, hubungan stok-rekrutmen dapat dipelajari secara langsung.
Informasi yang diperlukan pada dasarnya adalah bentuk kurva dari CPUE versus
waktu pada saat stok mulai stabil atau pada saat mulai pulih pada suatu tingkat upaya
penagkapan tertentu.
(3) Ecosystem overfishing terjadi akibat adanya persaingan (competation) dan
pemangsaan (predation). Menurut Ekologi modern merupakan perubahan dari
system yang efisien dengan kematangan yang relative menjadi system yang tidak
efisien sehingga gagal matang akibat mengalami tekanan/stress. Dalam prakteknya
sebagaimana terjadi dalam berbagai kegiatan perikanan dengan ragam sumberdaya
dan aktivitas penangkapan, ketika mengalami penurunan kelimpahan stok asli yang
tidak dapat dikompensasi sepenuhnya oleh peningkatan biomas dari kelompok jenis
biota laut lain yang dieksploitasi untuk sementara atau selama beberapa waktu.
Berkaitan dengan gejala overfishing ini, Rokhmin Dahuri (2003) mempertegas,
bahwa kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan tingkat penangkapan ikan yang
melampaui potensi lestari sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan kualitas
lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan akibat
pencemaran dan terjadinya degradasi fisik ekosistem perairan sebagai tempat pemijahan,
asuhan dan mencari makan bagi sebagian besar biota laut tropis. Selanjutnya Rokhmin
Dahuri (2003) dalam kaitan penurunan lingkungan bagi kelangsungan sumberdaya ikan,
digambarkan tiga komponen utama dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang
berinterseksi antara; komponen habitat, komponen manusia dan sumberdaya ikan.
Perbaikan kualitas lingkungan pada wilayah interseksi dari ketiga komponen tersebut
diharapkan akan dapat meningkatkan rekrutmen, pertumbuhan individu ikan, dan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
sekaligus menekan kematian alamiah ikan. Di wilayah interseksi tersebut sebenarnya
merupakan tempat yang akan dipersiapkan guna pemeliharaan habitat bagi suatu
kelangsungan kehidupan sumberdaya ikan agar terjadi kesinambungan bersamaan dengan
berjalannya aktivitas penangkapan secara rasional dan bertanggung jawab.
6.7.3 Faktor Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu
penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang
dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London
(FAO 2005). Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu
permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh
dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil
mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas
laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai
akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade
terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan
lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa
perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap
kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan
kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan
kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di
Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa
faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian
sumberdaya ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan
berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa
yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila
kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing,
juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-
ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak
telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah
terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan
kuota penangkapan yang optimal
6.7.4 Pengaruh Akuakultur
Penggunaan ikan hasil tangkapan dari alam sebagai bahan pakan ikan budidaya
menjadi tekanan langsung terhadap stok ikan di alam (Naylor et al. 2000). Budidaya ikan
laut yang umumnya bersifat karnivora membutuhkan suplemen minyak ikan yang
diekstraksi dari ikan laut sebagai sumber asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Akuakultur juga mungkin bisa menyebabkan hilangnya stok ikan di
alam secara tidak langsung melalui perubahan kondisi lingkungan, pengumpulan benih
alam, interaksi rantai makanan, introduksi jenis ikan asing dan penyakit yang menyerang
populasi ikan alami, dan polusi nutrient.
Naylor et al. (2000) memberikan alternatif yang sangat bagus untuk menanggulangi
tantangan serius yang dihadapi akuakultur. Menurut mereka, usaha akuakultur
selayaknya dilakukan dengan membudidayakan ikan dengan tingkat tropik rendah
(rendah pada rantai makanan); mengurangi input tepung ikan dan minyak ikan dalam
pakan; pengembangan sistem budidaya terintegrasi; dan praktek budidaya ramah
lingkungan. International Centre for Living Aquatic Resources Management
(ICLARM) mendukung penuh pendekaran tersebut. Pengembangan pulau-pulau kecil
mungkin juga bisa dijadikan sebagai penyangga rusaknya stok ikan laut yang juga bisa
dijadikan tumpuan mata pencaharian masyarakat. Akuakultur dapat juga me-restocking
populasi ikan terumbu karang yang nilainya mahal yang telah berkurang karena
overfishing.
Pelepasan burayak hasil budidaya juga dapat membantu pemecahan masalah
sedikitnya ikan kecil yang berhasil bertahan di area penangkapan. Cara seperti itu telah
dilakukan untuk 90 jenis ikan di Jepang dalam 30 tahun terakhir ini, khususnya untuk
kasus kerang-kerangan (scallop) dan bulu babi (sea urchin). Akuakultur dan pemulihan
stok perlu terus dilakukan, dan melanjutkan restoking dengan pengawasan yang ketat.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
7 Usaha Perikanan Tangkap
7.1 Ciri-ciri Usaha Perikanan
Menurut Peratutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.49/Men/2011 tentang perubahan atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Per. 14/Men/2011 tentang usaha perikana tangkap. Pasal (1) Usaha Perikanan
adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya disebutkan pada pasal
(2) usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan
penangkapan ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.
Berdasarkan Peratutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tersebut
isebutkan pula (Pasal 8) tentang rencana usaha perikanan tangkap yang selanjutnya
disebut rencana usaha adalah dokumen yang berusi tahapan kegiatan dalam mewujudkan
usaha perikanan tangkap. Selanjunya (pasal 9) penangkapan ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau
cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya.
Usaha perikanan di dunia ini ternyata memiliki sifat yang khas dan unik. Sifat-sifat
khas dan unik ini tidak dimiliki oleh bidang-bidang usaha pertanian sekalipun. Ciri-siri
usaha perikanan yang khas atau spesifik dan unik tersebut antara lain sebagai berikut:
(1) Ikan (termasuk non ikan) hidup di permukaan, pertengahan dan atau di dasar air,
sehingga tidak tampak oleh mata secara langsung. Oleh karena itu, sulit diduga
keberadaan dan jumlah atau potensinya. Untuk menagkapnya dilakukan upaya
berburu (hunting)
(2) Walaupun hidup di air, tetapi untuk perairan yang luas (laut), ikan belum tentu ada
di setiap tempat/wilayah perairan. Hal ini berarti bahwa setiap wilayah perairan
belum tentu merupakan daerah penangkapan ikan.
173
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(3) Ikan sebagai hewan yang hidup di air akan selalu bergerak dan berpindah-pindah
tempat (migrasi). Perpindahan ini dilakukan untuk mencari makan, memijah,
melahirkan dan atau mencari tempat / lingkungan hidup yang cocok. Keadaan ini
berlaku secara musiman, sehingga terjadi musim penangkapan ikan di daerah-
daerah perairan tertentu yang belum tentu sama untuk daerah-daerah perairan
lainnya.
(4) Ikan termasuk komoditi yang mudah rusak dan cepat busuk (perishable). Oleh
karena itu, memerlukan kecepatan dalam hal: pasca panen atau penaganan dan
pemrosesan (handling and processing), pelelangan (auction), pemasaran
(marketing) dan konsumsi. Jika tidak demikian, produsen akan mengalami
kerugian, karena mutu ikan akan selau merosot, sehingga harganyapun akan terus
menurun atau bahkan tidak laku lagi idijual, karena busuk, sehingga dapat
membahayakan kesehatan manusia (ikan yang demikian tidak layak konsumsi).
(5) Akibat tekanan upaya penangkapan ikan yang terus menerus, amaka lama-kelamaan
sumberdaya ikan dapat punah atau habis (deplet). Jika keadaan ini terjadi, maka
sumberdaya ikan ini (jenis ikan tertentu) tidak dapat dipulihkan kembali
(unrenewable). Jika diinginkan jenis ikan ini lagi, maka harus didatangkan dari
daerah lain atau impor.
(6) Masyarakat beranggapan bahwa sumberdaya ikan merupakan common properties.
Akibatnya di suatu daerah penangkapn ikan sering terjadi persaingan dalam
mengeksploitasi sumberdaya ikan secara besar-besaran. Hal ini akan mempercepat
keadaan over fishing dan punahnya jenis sumberdaya yang dimanfaatkan.
(7) Dalam operasi penangkapan ikan, diperlukan keahlian khusus dan kerjasama yang
baik/kompak dari tenaga-tenaga pelaksananya (Anak Buah Kapal/ABK dan atau
nelayan). Hal ini agar upaya penangkapan ikan yang dijalankan sapat berhasil dan
selamat dari bahaya selama di laut.
(8) Operasi penangkapan ikan tidak bias dijalankan secara penuh selama satu tahun (12
bulan). Rata-rata hanya bias dicapai 10 bulan per tahun. Hal ini karena terjadinya
cuaca buruk di laut dan dan tidak musim ikan (paceklik) serta keperluan untuk
perawatan kapal ikan secara rutin (docking), yaitu 6 bulan sekali untuk kapal yang
terbuat dari besi/baja.
174
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(9) Harga ikan di tempat pelelangan Ikan (TPI) ditetapkan berdasarkan lelang. Oleh
karena itu, produsen (Pengusaha Perikanan Tangkap dan atau Nelayan) tidak bisa
menentukan harga ikan sesuai dengan kehendaknya.
(10) Bagi yang melakukan usaha penangkapan ikan secara Sistem Bagi Hasil, biaya
operasional penagkapan ikan hanya dikeluarkan sekali, karena biaya-biaya
operasional selanjutnya (untuk trip berikutnya) diambil (dipotong) dari Raman
Kotor) atau Hasil Lelang Kotor di TPI
(11) Usaha perikanan tangkap berisiko tinggi; karena selalu berhubungan dengan media
air laut yang sering menimbulkan ombak dan arus kuat serta terjadinya cuaca buruk
(angain kuat/kencang atau badai, mendung, hujang dan atau kabut). Disamping itu
adanya ancaman dari binatang buas (cucut dan paus), hewan beracun (jenis ikan
buntal tertentu dan ubur-ubur) dan hewan berbisa (ular).
(12) TPI pada umumnya sering berbau amis dan bususk, akibat dari sisa-sisa
darah/le4ndir ikan dan ikan bususk yang belum atau tidak dibersihkan di sekitar
TPI.
Selain itu pemarasaran hasil perikanan juga memiliki ciri khas, Pemasaran
merupakan keragaan dari seluruh kegiatan bisnis yang mengalirkan produk dari pusat
produksi ke konsumen akhir. Dalam penyaluran barang tersebut melibatkan beberapa
lembaga pemasaran yang membentuk berbagai saluran pemasaran dengan struktur pasar
yang berbeda-beda. Pemasaran menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986) adalah suatu
kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa.
Kegiatan yang diciptakan oleh kegiatan pemasaran adalah kegunaan tempat, waktu dan
kepemilikan.
Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa masalah pemasaran juga
merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan
sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (pershable food).
Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada
tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar
penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan
dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan. Barang-barang perikanan
mempunyai ciri-ciri yang dapat mempengaruhi atau menimbulkan masalah dalam
175
5
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tataniaganya (pemasaran). Ciri-ciri yang dimaksud antara lain adalah: (1) produknya
musiman, berlangsung dalam skala kecil (small scale) dan di daerah terpencar-pencar
serta spesialisasi (2) konsumsi hasil perikanan berupa bahan makanannn relatif stabil
sepanjang tahun (3) barang hasil perikanan berupa bahan makanan mempunyai sifat cepat
atau mudah rusak (highly perishable) (4) jumlah atau kualitas dapat berubah-ubah.
Dengan ciri-ciri yang khas dan unik tersebut, maka Usaha Perikanan khususnya
Perikanan Tangkap perlu dikelola dengan sebaik-baiknya dan secara bertanggung jawab.
Usaha perikanan berdasarkan skala usahanya dapat dibedakan menjadi perikanan
skala besar dan perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil merupakan perikanan
artisanal atau tradisional (perikanan rakyat) yang dilakukan secara sederhana di perairan
laut yang sempit dan bersifat local dengan menggunakan perahu/kapal kecil, tanpa
mekanisasi, tanpa mesin atau bermesin temple dan sedikit peralatan teknis.
Sedangkan perikanan skala besar meliputi perusahaan industri perikanan modern
dan perikanan komersial. Perikanan industry dilakukan secara besar atau luas di perairan
laut yang luas dan wilayahnya dapat meliputi wilayah laut manca Negara serta laut bebas
(high sea), dengan menggunakan kapal motor, bermekanisasi, banyak peralatan teknis
dan komputerisasi. Adapun perikanan Komersial merupakan perusahaan industri
perikanan modern yang dilengkapi dengan obyek-obyek penangkapan lainnya berupa
biota laut.
Mengingat bahwa sebagian besar usaha perikanan Indonesia masih terdiri atas
perikanan skala kecil, maka perlu diberikan perhatian khusus kepada perlindungan dan
pengembangan perikanan skala kecil dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan.
Pengembangan dartikan sebagai suatu upaya untuk selalu maju dalam memperbaiki
kehidupan masyarakat. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi
berubah/meningkat pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi,
sosial dan insttitusional, baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan
perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat (Tara 2001)
176
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tujuan pengembangan perikanan tangkap adalah; (1) meningkatkan pendapatan
nelayan (2) menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya dan (3)
meningkatkan kontribusi perikanan tangkap terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Sasaran pengembangan perikanan tangkap meliputi; (1) peningkatan produksi perikanan
tangkap; (2) volume dan nilai ekspor hasil perikanan tangkap; (3) pengembangan armada
penangkapan ikan; (4) penyediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri; (5) penyediaan
lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja/nelayan; dan (6) peningkatan PNBP (DJPT-
DKP 2004)
Monintja (1987) menyatakan bahwa apabila pengembangan perikanan di suatu
wilayah perairan ditekankan pada perluasan tenaga kerja, maka teknologi yang perlu
dikembangkan adalah jenis unit penangkapan yang dapat menyerap tenaga kerja dengan
pendapatan per-nelayan memadai. Dalam kaitannya dengan penyediaan protein untuk
masyarakat Iindonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas
nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara
biologis dan ekonomis.
Kesteven (1973) menyatakan bahwa pengembangan usaha perikanan haruslah
ditinjau dengan pendekatan bio-technico-sosio-economic. Hal ini berarti bahwa
pengembangan suatu alat tangkap dalam usaha perikanann harus mempertimbangkan hal-
hal tersebut.
Monintja (1997) menyatakan bahwa perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu
teknologi yang tepat untuk diterapkann dalam pengembangan usaha perikanan dengan
kriteria usaha perikanan dengan kriteria usaha perikanan yang berkelanjutan adalah (1)
menerakan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (2) jumlah hasil
tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (3) investasi rendah (4)
penggunaan bahan bakar minyak rendah (5) memenuhi kketentuan hukum dan
perundangan yang berlaku.
177
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
7.2 Unsur-Unsur Usaha Penangkapan Ikan
Wahyono (2005) menandaskan bahwa dalam usaha penangkapan ikan, terdapat 3
(tiga) unsur penting yang saling berkaitan yaitu: (1) daerah penangkapan ikan; (2) tempat
pendaratan atau pangkalan; (3) pemasaran hasil. Tindakan efisiensi operasional
penangkapan ikan, dilakukan melaui upaya mendekatkan atau menyatukan masing-
masing unsur dalam satu sistem yang tapat. Ketiga unsur seperti digambarkan dalam
Gambar 30 menjelaskan keterkaitan ketiga unsur usahan penangkapan ikan.
Gambar 30 Bagan segitiga unsur usaha penangkapan ikan
Penanganan hasil
tangkapan
penyiapan
kembali
penangkapan
Pengoperasian
alat tangkap
Evaluasi
lingkungan
Tindakan
Navigasi
Fishing ground
Transportasi
Strategi
pemasaran
Pemasaran
hasil
Usaha penangkapan
ikan
Pendaratan
Bongkar
hasil
Perawatan
alat &kapal
Evaluasi
usaha
Distribusi hasil tangkapan
Pembukuan Persiapan melaut
Penyiapan
personalia
Perbekalan
178
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Upaya penyatuan unsur “pangkalan dan daerah penagkapan ikan” dapat ditempuh
melalui:
(1) Meningkatkan kemampuan penguasaan sumberdaya ikan (jenis, musim, dan
lingkungan hidupnya), dalam hal ini peran para ahli sangat diperlukan dalam
memberikan informasi yang tepat, terutaman hal-hal yang berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab, misalnya tentang
closing season pada musim berpijah.
(2) Meningkatkan sarana apung, dengan menggunakan sarana apung yang lebih besar
dan daya motor penggerak yang lebih besar memungkinkan untuk mencapai daerah
yang lebih jauh dan cepat/singkat.
(3) Menambah penggunaan atraktor yang berfungsi sebagai alat bantu pengumpul ikan,
sehingga adanya kemungkinan penemuan gerombolan ikan dan perburuan atau
pencarian gerombolan ikan dapat dikurangi.
(4) Melaksanakan operasional penangkapan terpola sesuai dengan musim penangkapan
dan alat penagkapan ikan yang tepat guna, sehingga kegiatan operasional dapat tepat
sasaran penagkapan dan tidak mengandalkan faktor keberuntungan.
(5) Menambah jenis alat penagkapan ikan, sehinggga memungkinkan usaha
penangkapan lebih efektif dan intensif.
Upaya penyatuan unsur ‘daerah penangkapan ikan dengan pemasaran hasil’ dapat
ditempuh melalui:
(1) Melaksanakan penangkapan ikan yang selektif pada jenis ikan ekonomis penting,
sehingga tidak terjadi kerugian dalam operasi penangkapan, penampungan dan
penanganan hasil tangkapan, baik dari faktor waktu maupun tenaga kerja.
(2) Meningkatkan penangnana ikan dalam mutu dan jumlah hasil tangkapan yang tepat
sesuai tuntutan pasar
(3) Menyesuaikan kebutuhan pasar
179
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Upaya penyatuan unsur “pemasaran hasil dengan pangkalan (home base)” dapat
ditempuh melalui:
(1) Meningkatkan kemampuan pasar yang dinamis, sehingga nelayan tidak perlu
membawa hasil tangkapan jauh dari lokasi pangkalan.
(2) Meningkatkan sarana dan prasarana pemasaran dan pengolahan yang terdekat
dengan daerah pangkalannya
(3) Meningkatkan kemampuan kelembagaan yang dapat mendukung pengembangan
perekonomian nelayan
7.3 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Mempersiapkan Usaha Perikanan Tangkap
Aspek pemasaran merupakan kunci strategis keberhasilan suatu unit usaha
perikanan tangkap. Dengan melalui hipotesa hasil perikanan tangkap diharapkan dapat
diperoleh indikasi sejauh mana kegiatan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara
efektif, efisien ndan rasional (Wahyono 2005). Adapun konsep dasar usaha penangkapan
ikan dapat diupayakan melalui hipotesa:
Keterangan:
Hp = Hasil pemasaran
P = Jumlah produksi hasil tangkapan ekonomis penting
α = Konstanta pemasaran hasil (agar hasil menguntungkan α > 1)
bop = Biaya operasional penangkapan per satuan produksi
Hp = P x α (bop)
180
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Produksi hasil tangkapan selama satu tahun tergantung dari jumlah hari operasi tiap
tahun yang mampu dilakukan dan hasil tangkapan per satuan unit usaha tiap tahun,
sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:
Keterangan:
P = Total produksi hasil tangkapan per tahun
D = Jumlah hari operasional penangkapan per tahun
Cpue = rata-rata hasil tangkapan tiap unit usaha per hari pada tingkat lestari SDI
Sedangkan jumlah hari operasi efektif untuk penangkapan ikan selama satu tahun
(12 bulan) sangat dipengaruhi oleh jumlah hari yang dapat dipergunakan untuk keperluan
perawatan/perbaikan kapal, perawatan/perbaikan alat tangkap, untuk keperluan
perbekalan, pemasaran hasil dan lain-lainnya. Hal ini dapat diformulasikan menjadi:
Keterangan :
D = Jumlah hari operasional penangkapan per tahun
12 = Satu tahun (12 bulan)
30 = Jumlah hari rata-rata per bulan
Hm = Jumlah hari yang diperlukan untuk perawatan/perbaikan sarana penangkapan
Hb = Jumlah hari yang diperlukan untuk pelabuhan (pemasaran, perbengkelan,
surat kapal, dan lain-lainnya)
Kalau formula-formula tersebut diatas digabung akan menjadi hipotesa sebagai
berikut:
Mengharapkan hasil pemasaran (Hp) yang lebih baik dengan cara menekan
sereendah-rendahnya waktu yang diperlukan untuk perwatan/perbaikan sarana
penangkapan (Hm) dan menekan serendah-rendahnya waktu yang diperlukan untuk
keperluan pelabuhan (Hb) sekaligus mempertinggi hasil tangkapan per satuan usaha pada
P = D x cpue
D = 12 x {30-(Hm + Hb)}
Hp = 12 x {30 – (Hm +Hb)} x cpue x α (bop)
180
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
batas tingkat lestari cpue) dan konstanta pemasaran (α) serta menekan biaya operasional
penangkapan (bop).
Wahyono 2005) menandaskan bahwa komponen dalam aspek pemasaran yang
mempunyai pengaruh terhadap kumulatif penjualan hasil tangkapan (Hp) terdiri dari: (1)
Waktu yang diperlukan untuk perawatan atau perbaikan sarana penangkapan (Hm); (2)
Waktu yang diperlukan untuk keperluan pelabuhan yang meliputi persiapan operasional
dan perijinan (Hb); (3) Hasil tangkapan per satuan unit usaha pada batas tingkat lestari
SDI (cpue)
(1) Waktu yang diperlukan untuk perawatan atau perbaikan sarana penangkapan
(Hm)
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan suatu usaha
penangkapan, adalah tersedianya komponen sebagai berikut: (i) Kasko kapal
penangkapan; (ii) Mesin kapal penangkapan; (iii) perlengkapan kapal; (iii) alat
penangkapan; (iv) alat bantu penangkapan; (v) alat bantu navigasi; (vi) yang selalu dalam
keadaan siap operasional atau layak tangkap. Untuk mempertahankan pada kondisi yang
diinginkan maka diperlukan pengelolaan yang memadai, atau setidak-tidaknya
mendapatkan perawatan secara terjadwal, sehingga dapat diperhitungkan dengan matang
dalam perencanaan operasionalnya.
(i) Perawatan dan Kesiapan kasko kapal penangkapan
Kapal berdasarkan jenis bahan yang digunakan sebagai pembentuk kasko
(body) nya dapat terbuat dari kayu, besi baja, bahan beton semen (ferro cement),
bahan FRP (Fiber Reinforced plastic) atau lebih dikenal dikalangan nelayan dengan
nama fibreglas. Kapal perlu dirawat menurut persyaratan teknis bahan dasarnya,
karena perawatan terhadap kapal kayu, berbeda dengan perawatan terhadap kapal
baja, demikian pula perawatan terhadap FRP.
(ii) Perawatan dan kesiapan mesin kapal penangkapan
Bagi kapal penangkap ikan yang telah dilengkapi mesin penggerak (kapal
bermotor), selain harus memelihara kasko, perlu pula memelihara mesin
penggeraknya. Dilihat dari peletakannya di atas kapal, mesin penggerak dapat
dibedakan atas: motor tempel (out board engine) dan motor dalam (inboard engine).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Walaupun prinsip kerja kedua jenis mesin tersebut sama, namun pada setiap
jenis dan merk mesin memiliki beberapa perbedaan karakter, antara lain: putaran
mesin, daya kuda mesin. Sebagai contoh nyata, perawatan mesin yang dibuat oleh
Carterpilar (buatan Amerika) berbeda dengan perwatan terhadap mesin Yanmar
(buatan Jepang).
Pada setiap tahun mesin kapal harus dilakukan perwatan secara berkala (annual
service), khususnya terhadap system pompa air pendingin (water cooling system),
system pompa bilga (bilge pump system), system pompa bahan bakar (fuel oil pump
system). Sistem pompa pelumasan (lubrication oil pump system), siatem hidraulik
(hidraulic system), perawatan terhadap sistem propulsi antara lain baling-baling
(propeller), poros baling-baling (propeller shaft), gear box dan lain-lain.
Pemeriksaan mesin pada saat perawatan besar (general service) dilakukan turun
mesin (general overhaul), dilakukan pemeriksaan torak mesin, poros engkol, poros
tetap mesin. Daun kemudi harus dilepas untuk diadakan pemeriksaan terhadap poros
kemudi. Baling-baling (propeller) harus diturunkan untuk ditimbang (disamakan
ketebalannya), serta dilakukan pemeriksaan kedudukan poros baling-baling,
diadakan penggantian glands packing dan lain-lain.
(iii) Perawatan dan kesiapan alat penangkapan
Pada setiap saat kapal melakukan perwatan tahunan maupun perawatan besar,
para nelayan (ABK) harus melakukan perawatan terhadap alat tangkapnya, anatar
lain mengganti bagian-bagian alat tangkap yang rusak, mempersiapkan suku cadang
alat tangkap.
(iv) Perawatan dan kesiapan alat bantu penangkapan
Secara berkala di setiap tahun dilakukan perawatan kepada mesin bantu, antara
lain: winch, windias, gallows, electric hoist, juga perawatan kepada boom, tackle
blockt, serta dilakukan perawatan alat bantu penangkapan (seperti lampu memikat
ikan, rumpon dan lain-lain)
(v) Persiapan dan Kesiapan Alat Navigasi
Pada kesempatan kapal docking dilakukan pula perawatan dan perbaikan
terhadap alat-alat navigasi (antara lain; radar, fish finder, sonar, penimbalan kompas,
pemeriksaan barometer dan lain-lain)
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
7.6 Upaya Maksimalisasi Usaha Penangkapan Ikan
Pada umumnya nelayan tradisional atau nelayan skala kecil masih belum maksimal
dalam melakukan usaha penagkapan ikan di laut. Terdapat beberapa upaya pertimbangan
yang masih dapat diraih dalam memaksimalkan atau mendapat nilai tambah usaha
penagkapan ikan, yaitu:
(1) Peralatan tangkap ikan layak secara teknis
Unuk memaksimalkan hasil tangkapan (produksi ikan), maka diperlukan kapal
ikan, mesin kapal ikan dan alat tangkap ikan serta peralatan bantunya yang layak
secara teknis; artinya dalam kondisi baik atau tidak rusak, sehingga dapat
beroperasi secara lancer sesuai dengan tujuannya.
(2) Peralatan tangkap ikan layak secara Eknomi
Selain diperlukan kelayakan teknis, peralatan tangkap ikan juga hendaknya layak
secara ekonomi atau financial; artinta akan diperoleh keuntungan usaha. Hal ini
perlu ditunjang dengan peralatan tangkap ikan yang terpelihara secara baik,
sehingga tidak boros BBM, tidak sering rusak dan tidak sering mogok atau macet.
(3) Penggunaan Alat bantu Penagkapan ikan
Alat bantu penagkapan ikan, baik yang berupa mesin bantu penagkapan ikan
(fishing dec machinery) maupun alat bantu pengumpul ikan (fish aggregating dvice/
FAD) atau lainnya, sangat dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dan efisiensi
usaha penagkapan ikan.
Dengan alat bantu tersebut, maka akan dapat dihemat penggunaan waktu, tenaga
dan biaya operasional. Sealin itu, beban kerja menjadi ringan dan pekerjaan dapat
diselesaikan secara cepat, sehingga frekwensi penagkapan ikan dapat ditingkatkan.
(4) Penggunaan pendingin (es batu)
Penggunaan es bau untuk melapisi ikan-ikan hasil tangkapan di dalam palka kapal
ikan ternyata dapat mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu yang lebih lama
dari pada tanpa es batu. Ikan-ikan yang diberi es ini akan tetap segar (berkualitas
baik) sehingga berharga mahal (tinggi).
195
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(5) Daerah penagkapan ikan dekat pantai
Jika memungkinkan, usahakan agar usaha penagkapan ikan tidak jauh dari pantai.
Hal ini dapat dilakukan jika potensi ikannya masih potensial atau melimpah. Oleh
karena itu akan dapat di hemat penggunaan BBM dan dipertahankan mutu ikan
hasil tangkapan, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi.
(6) Pemeberdayaan wanita nelayan
Yang dimaksud dengan wanita nelayan adalah isteri dan anak perempuan nelayan.
Keberadaan dari mereka ini perlu diberdayakan untuk dapat mendongkrak
perekonomian keluarha. Mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan
pembuatan alat tangkap ikan, perbaikan alat tangkap ikan dan penjualan ikan hasil
sampingan serta masakan ikan (warung makan serba ikan) dan kios BBM
(7) Patuh pada peraturan-perundangan
Usaha-usaha penangkapan ikan harus selau diupayakan sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku (legal fishing). Kepatuhan ini akan
memperlancar uasaha penangkapan ikan, karena tidak akan berurusan dengan
petugas Pengawas/Penyidik Perikanan atau keamanan laut yang berwewenag dan
tidak terkenan sanksi hokum (denda, sita dan penjara)
(8) Tidak merusak lingkungan perairan
Agar usaha penangkapan ikan dapat dilakukan secara terus menerus (lestari), maka
tangkaplah ikan tanpa merusak lingkungan atau habitaatnya.
Usahakan penagkapan ikan bertanggung jawab, yaitu secara rasional dan bermoral.
Hindari penggunaan alat tangkap ikan terlarang dan bahan-bahan yang merusak
perairan berkarang seperti ; bahan peledak/bom, aliran listrik/stroom dan racun
(potassium sianida atau tuba). Di samping itu tidak melakukan pembongkaran
terumbu karang dan pemababatan hutan bakau (mangrove) di tepi pantai. Hutan
bakau ini bermanfaat bagi tempat bertelur ikan dan non ikan, tempat pembesaran
anak-anak ikan (juvenile) dan tempat untuk mencari makan (sumber makanan) bagi
sumber daya ikan.
196
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(9) Amanah
Ananah ini harus tetap dipegang teguh oleh para nelayan dan ABK yang bekerja di
perusahaan-perusahaan perikanan atau pengusaha-pengusaha perikanan (juragan).
Cerminkanlah sikap amanah (mengemban tugas sebaik-baiknya) dalam
mewujudkan kinerja yang tinggi (semangat dan tidak malas) dan memegang teguh
kepercayaan yang diberikan oleh pihak kperusahaan yang terkait atau juragan
(Pemiliki armada penangkapan ikan) yang bersangkutan. Dengan perilaku seperti
ini, niscaya tidak akan kegilangann pekerjaan: bahkan akan memperoleh bonus tips
dari sang majikan atau juragan
(10) Menjadi anggota atau pengurus Koperasi Mina
Semua nelayan selayaknya menjadi anbggota atau pengurus Koperasi mina, selain
organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia.
Dengan berkoperasi, maka dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
Selain dari itu, akan mempermudah dalam perolehan fasilitas koperasi, misalnya
simpan pinjam, baik dalam bentuk uang maupun barang. Setiap panggota koperasi
akan mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU), dalam setiap tahunnya, sedangkan
yang menjadi pengurus koperasi, selain memperoleh SHU, juga menerima honor
(uang kehormatan) setiap bulan.
7.7 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap
Pengembangan merupakan suatu istilah tentang suatu perubahan yang dilakukan
dengan tujuan hasil yang lebih baik. Pengertian pengembangan dalam bidang perikanan
yaitu keberlanjutan melalui suatu peningkatan produksi yang didasari suatu kebijakan
yang baik akan meningkatkan produksi berikutnya. Inti dari pengembangan perikanan
yaitu suatu perubahan yang ingin dicapai berdasarkan suatu tujuan atau perubahan yang
kurang baik menjadi lebih baik (meningkat). Selanjutnya, menurut Sandy (1997) bahwa
tujuan suatu pengembangan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Pengembangan perikanan yang disampaikan oleh Bahari (1989) bahwa
pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk
meningkatkan produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan
197
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Haluan dan Nurani (1988)
mengungkapkan hal yang berkaitan dengan seleksi teknologi, yaitu bahwa perkembangan
perikanan dapat dilakukan melalui kriteria pengkajian aspek-aspek Bio-Technico-Socio-
Economic-Approach sebagai berikut: (1) secara biologi tidak merusak atau mengganggu
kelestarian sumberdaya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial dapat
diterima masyarakat nelayan, (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat
menguntungkan, (5) adanya izin dari pemerintah (kebijaksanan dan peraturan
pemerintah). Aspek-aspek tersebut penting untuk diperhatikan dalam pengembangan
perikanan. Upaya pengembangan perikanan laut dan pengelolaan di masa mendatang
akan lebih mudah dirasakan jika pengembangan perikanan dan pengelolaannya
disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dengan
pemanfaatan iptek diharapkan stakeholder akan mampu mengatasi keterbatasan
sumberdaya pada suatu tempat dimana dia berada melalui suatu langkah yang rasional
untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan melalui pengembangan dan
pengelolaan dengan mempertimbangkan aspek teknis, biologi, sosial budaya dan
ekonomi (Barus et al. 1991).
Menurut Ditjen Perikanan (1999), diacu dalam Baruadi (2004), pengembangan
sumberdaya perikanan di masa mendatang perlu persiapan lebih matang, untuk itu
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) perlu adanya pengembangan prasarana
perikanan, (2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan, (3) adanya
pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan, serta (4)
pengembangan sistem informasi manajemen perikanan yang tepat. Naamin (1987), diacu
dalam Monintja (1994) mengemukakan bahwa, dalam pengembangan perikanan
sumberdaya dan daya dukung lain perlu diperhatikan kebutuhan dan pengendalian dalam
menerapkan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya.
Keberhasilan pengembangan dan pembangunan di suatu daerah, perlu didukung
oleh pengembangan perikanan yang matang berdasarkan kebutuhan masing-masing
daerah, dengan mempertimbangkan kesesuaian kemampuan ilmu dan teknologi pada
sumberdaya manuasianya serta aspek-aspek yang berkaitan ”Bio-Technico-Socio-
Economi-Approach”
198
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Dalam menentukan jenis teknologi penangkapan ikan tepat guna yang dapat
dikembangkan di suatu wilayah perairan tertentu dapat dilakukan analisis kelayakan
usaha, sedangkan untuk mendapatkan rerekomendasi strategi pemanfaatan sumberdaya
ikan di suatu wilayah perairan tertentu dapat dilakukan analisis SWOT.
Menurut Kadariah (1988), Analisis kelayakan usaha pada prinsifnya dapat
dilakukan dengan dua pendekatan, tergantung dengan fihak yang berkepentingan
langsung dalam proyek yaitu; (1) Analisis Finansial, dilakukan apabila yang
berkepentingan langsung dalam proyek adalah individu atau kelompok individu yang
bertindak sebagai investor dalam proyek. Kelayakan proyek dilihat dari besarnya
manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut; (2) Analisis Ekonomi,
dilakukan apabila yang bekepentingan langsung dalam proyek adalah pemerintah atau
masyarakat secara keseluruhan. Kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih
tambahan yang diterima oleh masyarakat.
Analisis kelayakan usaha diperlukan untuk melihat kemungkinan/keuntungan
(profitability) atau kerugian yang diperoleh dari suatu usaha perikanan yang ada.
Demikian Kesteven (1973) mengemukakan bahwa analisis ekonomi yang diperhatikan
adalah hasil total atau keuntungan yang diperoleh dari semua sumberdaya yang
digunakan dalam usaha untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan.
Dengan kata lain, analisis usaha untuk pengembangan suatu usaha perikanan harus
ditinjau secara bio-technico-socioeconomic-approch.
Monintja (1987) mengungkapkan bahwa di dalam pengembangan usaha perikanan
pada suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan tenaga kerja, maka hal yang perlu
dikembangkan adalah unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja
yang banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai. Selain itu unit yang dipilih
adalah unit penangkapan ikan yang mempunyai produktivitas penangkapan tinggi, bila
dipandang dari aspek biologi dan ekonomisnya masih dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Husnan dan Suwarsono (1984), untuk mendapatkan suatu ukuran
menyeluruh sebagai dasar pengukuran kelayakan proyek, para ahli telah mengembangkan
indeks ukur ”invesment criteria” yang hakekatnya untuk mengukur hubungan antara
manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kebaikan,
sehingga dalam menilai kelayakan proyek sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
beberapa kriteria yang ada, empat diantaranya adalah kriteria net present value (NPV),
net benefit-cost ratio (Net B/C), break event point (BEP) dan rentabilitas.
Analisis SWOT yang merupakan singkatan dari Strengths, Weakneses,
Oportunities, Threats yaitu kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (Rangkuti 2001).
Analisis ini dapat dilihat dari dua sisi dapat mempengaruhi kesuksesan suatu program
yaitu sisi internal yang meliputi Strengths dan Weakneses serta faktor eksternal yang
meliputi Oportunities dan Threats.
Penggunaan analisis SWOT disesuaikan dengan fungsinya sebagai alat menyusun
strategi. Strategi yang dihasilkan merupakan hasil perbandingan secara logika atas faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang pada
akhirnya dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan
dan ancaman.
Dari analisis SWOT dihasil 4 strategi utama yaitu strategi SO, WO, ST dan WT.
Keempat strategi merupakan perbandingan dari keempat komponen yang ada dalam
analisis SWOT. Strategi SO disusun dengan menggunakan kekuatan secara maksimal
untuk merebut peluang yang ada. Strategi WO digunakan untuk bisa meminimalkan
kelemahan dalam menggunakan peluang sebesar-besarnya. Strategi ST dilakukan dengan
menggunakan kekuatan yang ada untuk mengatasi ancaman dari luar. Sedangkan strategi
WT dimaksudkan untuk kegiatan pertahanan atas kelemahan yang dimiliki dan ancaman
yang datang.
7.7.1 Menentukan Teknologi Penangkapan Tepat Guna
Data yang dikumpulkan untuk analisis skoring untuk menentukan teknologi
penangkapan tepat guna dilakukan berdasarkan masing-masing aspek kajian (aspek
biologi, teknis, sosial dan finansial) adalah sebagai berikut:
(1) Aspek biologi
Pengukuran parameter biologi yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan
kembung. Beberapa parameter biologi yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil skoring dari penelitian Rosadi (2006) dilihat dari aspek biologi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine berada pada urutan prioritas pertama
dari segi komposisi target species ikan kembung, rata-rata ukuran dari hasil tangkapan
dan lama waktu musim penangkapan. Setelah dilakukan standarisasi berdasarkan
keseluruhan fungsi nilai yang telah diperoleh menunjukan purse seine berada pada
urutan prioritas pertama.
Tabel 3 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan
kembung (purse seine dan jaring insang lingkar) di Kabupaten Tanah Laut
Unit Penangkapan
Ikan kembung
Kriteria Penilaian V(A)1 UP
X1 V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 V3(X3)
Pukat cincin
(Purse seine) 60 1 20 0 9 1 2 1
Jaring insang
lingkar (Encircling
gillnet)
50 0 22 1 8 0 1 2
Keterangan:
X1 = Komposisi target spesies (%)
X2 = Rata-rata ukuran hasil tangkapan utama (cm)
X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan kembung (bulan)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V i(Xi)
UP = Urutan prioritas
(2) Aspek teknis
Pengukuran parameter teknis dilakukan pada perahu dan alat penangkapan.
Parameter teknis penting untuk diketahui karena menyangkut masalah produksi unit
penangkapan ikan kembung yang dioperasikan. Beberapa parameter teknis yang
dikumpulkan dapat disajikan pada Tabel 4.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tabel 4 Pengukuran parameter biologi terhadap sumberdaya ikan kembung
No. Parameter Uraian
1.
2.
3.
Komposisi spesies yang
menjadi sasaran (target
species)
Ukuran Hasil Tangkapan
Musim penangkapan
Komposisi hasil tangkapan utama yaitu ikan
kembung.
Rata-rata ukuran panjang ikan kembung hasil
tangkapan.
Lama waktu nelayan melakukan operasi
penangkapan ikan kembung.
Tabel 5 Pengukuran parameter teknis pada perahu dan alat penangkapan ikan kembung
No. Parameter Uraian
1.
2.
3.
4.
Ukuran perahu
Jenis mesin
Jenis Bahan Bakar
Minyak (BBM)
yang digunakan
Ukuran alat
penangkapan ikan
kembung
Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui panjang, lebar
dan tinggi perahu yang digunakan oleh nelayan, tentunya
berkaitan dengan GT, jangkauan daerah penangkapan serta
kapasitas produksi.
Jenis mesin yang digunakan oleh nelayan sebagai tenaga
penggerak perahu, jenis mesin ini berkaitan dengan
kemudahan pengadaan materialnya, harganya terjangkau,
fasilitas pelayanannya seperti bengkel serta daya tahan
operasional penangkapan dilakukan.
Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digunakan sangat
tergantung dari jenis mesin yang dipakai oleh nelayan,
namun diharapkan BBM yang digunakan tersedia setiap
waktu, harganya terjangkau dan membuat mesin menjadi
tahan lama.
Pengukuran alat penangkapan ikan kembung seperti
dimensi (panjang dan lebar) dan pengukuran mata jaring
(mesh size).
5.
6.
Material alat
penangkapan ikan
kembung
Produksi per tahun
Jenis alat penangkapan ikan kembung terbuat dari
bermacam-macam material, yang diharapkan dari bahan ini
adalah tahan lama, harganya terjangkau serta mudah
didapatkan oleh nelayan.
Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit
penangkapan ikan kembung selama lima tahun terakhir.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
7. Produksi per trip Jumlah hasil tangkapan yang dihasilkan setiap unit
penangkapan ikan kembung per trip. Satu kali trip yaitu satu
kali armada penangkapan ikan kembung terhitung sejak
armada meninggalkan fishing base menuju daerah
penangkapan untuk melakukan kegiatan penangkapan dan
kembali ke fishing base semula atau fishing base lainnya.
(3) Aspek sosial
Pengukuran parameter sosial diarahkan kepada nelayan sebagai pelaku utama
dalam kegiatan penangkapan ikan kembung. Pentingnya mengetahui parameter sosial
masyarakat nelayan karena didorong oleh perubahan faktor produksi seperti alat
penangkapan ikan kembung yang setiap kurun waktu tertentu mengalami perubahan dari
unit penangkapan yang berteknologi tradisional ke unit penangkapan yang skala
usahanya lebih besar. Terdapat kecenderungan bahwa alat tangkap dengan teknologi
yang lebih baik yang dapat diterima oleh nelayan. Parameter sosial yang dikumpulkan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Pengukuran parameter sosial pada nelayan yang menggunakan unit penangkapan
No. Parameter Uraian
1.
2.
3.
Jumlah nelayan yang
terserap setiap unit
penangkapan ikan
kembung
Pendapatan nelayan
per tahun
Tingkat penguasaan
teknologi
Banyaknya nelayan yang bekerja atau digunakan oleh
setiap unit penangkapan ikan kembung dalam setiap
kegiatan operasi penangkapan ikan kembung dengan
pendapatan yang sesuai.
Pendapatan nelayan dari bagi hasil antara pemilik kapal
dengan ABK tanpa memperhitungkan kelebihan satu
sama lainnya.
Bagaimana pengusaan nelayan terhadap teknologi alat
tangkap (1) mudah; (2) sedang; (3) sukar.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(4) Aspek finansial
Pengukuran parameter finansial dilakukan untuk mengetahui manfaat dari suatu
usaha penangkapan ikan kembung. Parameter finansial yang dikumpulkan dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Pengukuran parameter finansial terhadap unit penangkapan ikan kembung
No. Parameter Uraian
1.
2.
3.
4.
Biaya
investasi
Biaya
operasional
Biaya
perawatan
Nilai
produksi
Biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan kapal/perahu, alat
penangkapan ikan kembung, mesin dan perlengkapan lainnya.
Biaya yang dikeluarkan saat kegiatan operasional penangkapan
seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), perbekalan dan es.
Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan perahu, alat
penangkapan ikan kembung, mesin dan perlengkapan lainnya.
Berat produksi dikalikan harga per satuan berat pada tingkat
harga produsen, dinyatakan dalam rupiah.
Aminah (2010) menandaskan bahwa pemilihan teknologi tepat guna
penangkapan ikan kembung di perairan Tanah Laut Kalimantan Selatan, maka analisis
dilakukan terhadap kedua alat tangkap (purse seine dan jaring insang lingkar). Kedua
alat tangkap tersebut dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan finansial
untuk menentukan urutan prioritas alat tangkap terbaik untuk dikembangkan dalam
usaha perikanan kembung di Kabupaten Tanah Laut.
Analisis aspek biologi, berdasarkan hasil skoring dari penelitian dilihat dari
aspek biologi menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine berada pada urutan
prioritas pertama dari segi komposisi target species ikan kembung, rata-rata ukuran
dari hasil tangkapan dan lama waktu musim penangkapan. Setelah dilakukan
standarisasi berdasarkan keseluruhan fungsi nilai yang telah diperoleh menunjukkan
purse seine berada pada urutan prioritas pertama (Tabel 8).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tabel 8 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan
kembung (pukat cincin dan jaring insang lingkar) di Kabupaten Tanah Laut
Unit
Penangkapan
Ikan kembung
Kriteria Penilaian
V(A)1 UP X1 V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 V3(X3)
Pukat cincin 60 1 20 0 9 1 2 1
Jaring insang
lingkar 50 0 22 1 8 0 1 2
Keterangan:
X1 = Komposisi target spesies (%)
X2 = Rata-rata ukuran hasil tangkapan utama (cm)
X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan kembung (bulan)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Analisis aspek teknis, aspek teknis merupakan aspek yang berhubungan dengan
pengoperasian alat penangkapan ikan kembung, apakah alat tangkap tersebut efektif
atau tidak bila dioperasikan. Berdasarkan hasil skoring dan standarisasi aspek teknis
maka purse seine menempati urutan pertama dan jaring insang lingkar pada urutan
kedua. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine dari segi teknis
merupakan alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan kembung di perairan
Kabupaten Tanah Laut. Hasil penilaian aspek teknis dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek teknis unit penangkapan ikan
kembung ( pukat cincin dan jaring insang lingkar) di Kabupaten Tanah Laut
Unit
Penangkapan
Ikan kembung
Kriteria Penilaian V(A)2 UP
X1 V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 V3(X3)
Purse seine 48600 1 300 1 30 1 3 1
Jaring insang
lingkar 18000 0 150 0 25 0 0 2
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Keterangan: X1 = Produksi per tahun (kg)
X2 = Produksi per trip (kg)
X3 = Produksi per tenaga kerja (kg)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V i(Xi)
UP = Urutan prioritas
Analisis aspek sosial, bBerdasarkan hasil skoring dan standarisasi untuk aspek
sosial maka alat tangkap purse seine menempati urutan pertama dalam hal jumlah
tenaga kerja dan pendapatan nelayan pertahun tetapi dalam hal penguasaan teknologi
maka jaring insang lingkar menempati urutan pertama kerena lebih mudah dalam
pengoperasiannya. Hasil skoring dan standarisasi untuk aspek sosial dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan ikan
kembung (pukat cincin dan jaring insang lingkar) di Kabupaten Tanah Laut
Unit
Penangkapan
Ikan kembung
Kriteria Penilaian
V(A)3 UP X1 V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 V3(X3)
Pukat cincin 10 1 371.282.000 1 2 0 2 1
Jaring insang
lingkar 6 0 129.560.000 0 1 1 1 2
Keterangan:
X1 = Jumlah tenaga kerja
X2 = Pendapatan nelayan per tahun (Rp)
X3 = Tingkat penguasaan teknologi (1) mudah; (2) sedang; (3) sukar
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi)
UP = Urutan prioritas
Analisis aspek finansial, berdasarkan hasil skoring untuk aspek finansial (Tabel
11), alat tangkap pukat cincin menempati urutan prioritas pertama karena dari hasil
penerimaan kotor per tahun, penerimaan kotor per trip dan penerimaan kotor per
tenaga kerja alat tangkap pukat cincin memperoleh penerimaan lebih banyak dari
jaring insang lingkar.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tabel 11 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek finansial unit penangkapan ikan
kembung (purse seine dan jaring insang lingkar) di Kabupaten Tanah Laut
Unit
Penangkapan
Ikan
kembung
Kriteria Penilaian
V(A)4 UP
X1 V1 (X1) X2 V2 (X2) X3 V3 (X3)
Purse seine 486000000 1 3000000 1 300000 1 3 1
Jaring insang
lingkar 180000000 0 1500000 0 250000 0 0 2
Keterangan:
X1 = Penerimaan kotor per tahun (Rp)
X2 = Penerimaan kotor per trip (Rp)
X3 = Penerimaan kotor per tenaga kerja (Rp)
V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V i(Xi)
UP = Urutan prioritas
Analisis aspek biologi, teknis, sosial dan finansial, pemilihan unit penangkapan
ikan kembung adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap yang mempunyai nilai
yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan finansial sehingga alat
tangkap yang terpilih merupakan alat tangkap yang pantas dikembangkan. Hasil
skoring dilakukan pada kedua jenis alat tangkap yang digunakan dalam perikanan
tangkap ikan kembung di Kabupaten Tanah Laut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial dan finansial unit
penangkapan ikan kembung (pukat cincin dan jaring insang lingkar) di
Kabupaten Tanah Laut
Unit Penangkapan
Ikan kembung
Kriteria Penilaian V(A)
Total UP
V(A)1 V(A)2 V(A)3 V(A)4
Pukat cincin 3 3 2 3 11 1
Jaring insang lingkar 0 0 1 0 1 2
Keterangan :
V(A)1 = Aspek biologi
V(A)2 = Aspek teknis
V(A)3 = Aspek sosial
V(A)4 = Aspek finansial
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
V(A) total = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V i(Xi)
UP = Urutan Prioritas
Berdasarkan dari hasil total standarisasi aspek biologi, teknik, sosial dan
finansial, unit penangkapan ikan kembung di Kabupaten Tanah Laut yang menjadi
prioritas utama pengembangan adalah alat tangkap pukat cincin.
7.7.2 Kelayakan usaha
Perhitungan terhadap kelayakan finansial dari pengembangan unit perikanan
tangkap yang ada yaitu dengan menganalisis pendapatan dan biaya dari usaha masing-
masing alat tangkap. Menurut (Kadariah 1988), kelayakan finansial dapat dihitung
berdasarkan kriteria net present value (NPV), net benefit-cost ratio (Net B/C), break
event point (BEP) dan rentabilitas. Adapun rumus yang digunakan untuk analisis aspek
ini adalah sebagai berikut:
1) Net present value (NPV)
Net present value digunakan untuk menilai manfaat investasi, yaitu berapa nilai kini
(present value) dari manfaat bersih proyek yang dinyatakan dalam rupiah. Proyek
dinyatakan layak untuk dilanjutkan apabila NPV > 0, sedangkan apabila NPV < 0 , maka
investasi dinyatakan tidak menguntungkan yang berarti proyek tersebut tidak layak untuk
dilaksanakan. Pada keadaan ini nilai NPV = 0 maka berarti pada proyek tersebut hanya
kembali modal atau tidak untung dan juga tidak rugi. Rumus yang digunakan untuk
menghitung NPV adalah:
NPV = i) 1(
C - t
1
tn
t
B
Keterangan:
B = Benefit; C = Cost; i = Discount Rate; dan t = Periode
2) Net benefit-cost ratio (Net B/C)
Net benefit-cost ratio merupakan perbandingan dimana sebagai pembilang terdiri
atas present value total yang bernilai positif, sedangkan sebagai penyebut terdiri atas
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
present value total yang bernilai negatif, yaitu biaya kotor lebih besar daripada manfaat
(benefit) kotor. Persamaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Net B/C rato =
t
n
t
t
n
t
i
CtBt
i
CtBt
)1(
)1(
1
1
Keterangan:
B = Benefit; C = Cost; i = Discount Rate; t = Periode
Berdasarkan persamaan tersebut yaitu : jika Net B/C ≥ 1 maka suatu investasi layak
karena memberikan keuntungan. Jika Net B/C = 1, maka usaha tidak memberikan
keuntungan tetap juga tidak rugi. Jika Net B/C < 1, maka investasi tidak layak karena
mengalami kerugian.
3) Break even point (BEP)
Break even point dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu; atas dasar produksi dan
atas dasar nilai jual dalam rupiah.
Analisis break even point atas dasar produksi (banyaknya hasil tangkapan) dapat
dilakukan dengan rumus:
BEP (kg) = iabelvBiayapenjualanHasil
produksixtetapBiaya
ar
Analisis break even point atas dasar harga jual dapat dilakukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
BEP (Rp) =
penjualan Hasil
variabelBiaya -1
tetapBiaya
4) Return on investment (ROI)
Return on investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan
keuntungan. Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya
keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besar investasi yang ditanamkan
(Rangkuti 2001).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Rumus yang digunakan adalah:
Investasi
KeuntunganROI x 100%
Nilai rasio yang diperoleh akan tergolong ”Baik” jika bernilai > 25%, ”Cukup
Baik” jika bernilai > 15 – 25%, ”Cukup Buruk” jika bernilai 5 – 15 % dan ”Buruk” jika
bernilai < 5%.
Analisis aspek kelayakan usaha dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
tingkat kelayakan pengembangan perikanan kembung di kabupaten Tanah Laut
terhadap dua jenis alat tangkap yaitu pukat cincin dan jaring insang lingkar.
Parameter penilaian kelayakan usaha didasarkan pada 4 (empat) kriteria yaitu : NPV,
Net B/C ratio, BEP dan ROI. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha dari alat
tangkap pukat cincin dan jaring insang lingkar diperoleh bahwa dalam rangka
pengembangan perikanan kembung di Kabupaten Tanah Laut kedua alat tersebut
layak untuk dikembangkan. Hasil analisis kelayakan usaha berdasarkan kriteria-
kriteria tersebut di atas dapat di lihat di Tabel 13.
Tabel 13 Hasil analisis kelayakan usaha purse seine dan jaring insang lingkar
di Kabupaten Tanah Laut
Alat tangkap
Kriteria Net B/C NPV
(juta)
ROI (%) BEP
Nilai Nilai Nilai Nilai (Rp ) Nilai (kg) Keputusan
Pukat cincin 2,01 344 35,43 3.676.752 367,6 layak Jaring Insang Lingkar
2,08 124 33,33 2.552.204 255,2 layak
Nilai Net B/C untuk pukat cincin diperoleh sebesar 2,01. Hal ini
mempunyai arti bahwa pendapatan yang di peroleh sebesar 2,01 kali dari
besarnya biaya yang dikeluarkan sehingga usaha tersebut layak untuk
dikembangkan, sedangkan untuk nilai Net Present Value (NPV) pukat cincin
sebesar 344.066.734 dimana keuntungan yang diperoleh selama umur ekonomis
usaha nilai NPV > 0 menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang
diperoleh usaha pukat cincin selama 10 tahun ke depan. Nilai ROI sebesar
35,43% untuk pukat cincin menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
pukat cincin di Kabupaten Tanah Laut dalam artian setiap satu rupiah
yang akan diinvestasikan akan memberi keuntungan sebesar Rp. 35.43.
Hasil penjualan minimum atau hasil tangkapan minimal (BEP) dari suatu unit
penangkapan purse seine selama 1 tahun usaha. BEP merupakan jumlah dari nilai
minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya produksi per tahun
sehingga usaha ini akan memberikan keuntungan apabila berada pada titik sama atau
lebih besar dari Rp. 255.220.418,- dengan volume produksi per tahun sebesar
2.552,21 kg.
Alat tangkap pukat cincin diprioritaskan untuk dikembangkan di Kabupaten Tanah
Laut, namun harus tetap memperhatikan jumlah alat tangkap ini yang optimal untuk
dioperasikan di perairan Kabupaten Tanah Laut, sehingga tidak akan terjadi kelebihan
penggunaan alat tangkap. Dalam beberapa penelitian juga dikatakan bahwa alat tangkap
pukat cincin mampu memberikan keuntungan yang maksimal. Selain dengan melakukan
analisis finansial juga diperlukan penelitian mengenai faktor-faktor produksi terhadap
usaha pukat cincin. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyahoro (2001) yang menyatakan
bahwa faktor lama operasi/trip dan ukuran panjang jaring pukat cincin akan memberikan
pengaruh yang nyata terhadap besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan
kembung. Keunggulan alat tangkap tangkap pukat cincin antara lain adalah tingginya
produktivitas, hal ini menyebabkan besarnya pendapatan kotor yang diterima bila
dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap lain, misalnya jaring insang lingkar.
Dalam mempertahankan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan kembung
yang ada di Kabupaten Tanah Laut, maka ketersediaan data dan informasi yang memadai,
aktual dan akurat mutlak diperlukan. Ketersediaan data dan informasi tersebut akan
membantu dalam menetapkan rencana dan strategi pengelolaan secara optimal, terpadu
dan berkelanjutan, maka diperlukan penelitian mengenai strategi pengembangan
sumberdaya ikan kembung di perairan Kabupaten Tanah Laut.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
7.7.3 Strategi pengembangan sumberdaya perikanan kembung
Berdasarkan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang dilakukan
terhadap pengembangan usaha perikanan perikanan di Kabupaten Tanah Laut maka
dilakukan pengujian dengan menggunakan metode SWOT (Tabel 14).
Tabel 14 Identifikasi, skoring dan arahan pengembangan perikanan kembung
Kode Identifikasi SWOT Kemungkinan Pengembangan
Kekuatan (Strength)
S1 Sumberdaya ikan masih
dapat dikembangkan
Pemanfaatan sumberdaya ikan kembung
secara rasional
S2 Sumberdaya nelayan lokal
tersedia Peningkatan kualitas sumberdaya nelayan
S3
Adanya dukungan
pemerintah daerah dalam
sub sektor perikanan tangkap
Inventarisasi kapal perikanan dan proyek
pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan
Kelemahan (Weakness)
W1 Masih beroperasi di perairan
pantai
Peningkatan pemanfaatan armada
penangkapan dijalur 2 (6 – 12 mil laut)
W2 Terbatasnya modal usaha
perikanan tangkap
Penyediaan modal usaha dengan bunga
rendah
W3 Kurangnya sarana dan
prasarana
Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana
perikanan tangkap
Tabel 14 (lanjutan)
Peluang (Opportunity)
O1 Letak geografis Kabupaten
Tanah Laut yang strategis Peningkatan produksi perikanan
O2 Harga ikan kembung cenderung
meningkat Peningkatan produksi ikan kembung
O3
Permintaan pasar yang
meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk
Identifikasi permintaan pasar
Ancaman (Threats)
T1
Adanya nelayan yang datang
dari luar daerah Kabupaten
Tanah Laut
Peningkatan peran pemerintah dan
masyarakat dalam pengawasan usaha
perikanan tangkap di peraiaran
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Kabupaten Tanah Laut
T2
Penggunaan Bahan Bakar
Minyak (BBM) sebagai bahan
operasi cukup besar karena
ketidakpastian informasi Daerah
Penangkapan Ikan (DPI)
Penggunaan bahan bakar sehemat
mungkin
Strategi pengembangan perikanan kembung yang didasarkan pada potensi yang
dimiliki Kabupaten Tanah Laut (Strategi SO) diarahkan pada optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan kembung dengan purse seine. Strategi ST
diarahkan pada pengembangan usaha penangkapan ikan kembung yang efisien dan
efektif. Strategi WO adalah peluang pengembangan yang harus ada intervensi dari
luar untuk pelaksanaannya. Strategi tersebut adalah peningkatan fasilitas sarana dan
prasarana perikanan tangkap. Strategi WT adalah peningkatan peran pemerintah dan
masyarakat dalam pengawasan penegakan aturan hukum yang berlaku. Adapun strategi
pengembangan yang didasarkan pada analisis keterkaitan antar unsur dapat dilihat
pada Tabel 15.
Tabel 15 Analisis keterkaitan antar unsur SWOT
No Unsur SWOT Keterkaitan
Strategi SO
1 SO1 Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan kembung
S1, S2, S3, O1, O2, O3
Strategi ST
2 ST1
Pengembangan usaha penangkapan ikan kembung yang efisien
dan efektif
S1, S2, S3, T1, T2
Strategi WO
3 WO1
Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana perikanan tangkap
W3, O1,O2,O3
Strategi WT
4 WT1
Peningkatan peran pemerintah dan masyarakat dalam
pengawasan penegakan aturan hukum yang berlaku
W3, T1
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Hasil analisis SWOT tersebut dapat dipergunakan sebagai arahan dan kebijakan
dari program pengembangan pukat cincin sebagai teknologi tepat guna dalam usaha
perikanan kembung. Urutan kebijakan berdasarkan hasil SWOT sebagai berikut:
(1) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan kembung
Pemanfaatan sumberdaya perikanan kembung secara rasional dan optimum
diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih luas, baik untuk peningkatan
kesejahteraan nelayan, sumber penerimaan negara/daerah dan peningkatan konsumsi
ikan. Oleh karena itu potensi sumberdaya kembung di Kabupaten Tanah Laut sudah
seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya dengan tetap menjaga kelestarian
sumberdaya. Kelestarian sumberdaya kembung dapat terjaga bilamana regulasi dalam
pengelolaannya dapat dijalankan dengan baik oleh pelaku-pelaku perikanan yaitu
nelayan, pedagang ikan, pengusaha perikanan dan pemerintah.
Pola kerjasama yang dibangun dengan baik akan menghasilkan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kembung yang optimal dan berkelanjutan. Menurut
Gaspers (1992), optimasi adalah suatu proses pencarian yang terbaik. Karena
optimisasi mencakup usaha untuk menemukan cara terbaik dalam melakukan suatu
pekerjaan, cara terbaik dalam memecahkan persoalan, maka aplikasinya dapat meluas
ke berbagai haluan (Haluan 1985).
Pengoptimalan perikanan yang dimaksud adalah peningkatan produksi secara
rasional dengan memperhatikan sumberdaya kembung yang ada. Pemanfaatan
sumberdaya ikan yang belum optimal di Kabupaten Tanah Laut salah satunya
disebabkan karena skala usaha yang dikembangkan masih terbatas untuk pemenuhan
kebutuhan lokal. Pemikiran untuk mengembangkan skala usaha dan melakukan bisnis
dalam arti luas, belum banyak dipikirkan nelayan. Oleh karena itu diperlukan adanya
pendampingan oleh pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi, baik dalam
bentuk bantuan ataupun dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan.
Prinsip dari pengoptimalan dengan memperhatikan sumberdaya adalah tetap
memperhatikan pengelolaan sumberdaya perikanan karena keterpaduan dalam
pengelolaan bukan hanya dapat melindungi keberadaan sumberdayanya saja, tetapi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
juga dapat menjamin kelangsungan usaha masyarakat nelayan, yang akhirnya
menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan.
Murdiyanto (2004) menyebutkan bahwa dalam perikanan tangkap, tindakan
pengelolaan (action) sebagai mekanisme untuk mengatur, mengendalikan dan
mempertahankan kondisi sumberdaya ikan berupa biomas dan produktivitas agat tetap
pada tingkat yang diinginkan adalah dengan mengatur berapa banyak ikan yang harus
ditangkap, ukuran berapa atau umur berapa sebaiknya ikan ditangkap dan kapan harus
melakukan penangkapan.
(2) Pengembangan usaha penangkapan ikan kembung yang efisien dan efektif.
Pengembangan usaha perikanan tangkap dalam rangka pemanfaatan sumberdaya
ikan kembung secara efisien dan efektif di Kabupaten Tanah Laut yaitu dengan
pengembangan usaha penangkapan di jalur 2 (6 - 12 mil) karena keadaan di jalur 1(1 -
3 mil) sudah mengalami padat tangkap, sehingga diperlukan penambahan unit
penangkapan ikan yang produktif seperti pukat cincin dan membatasi pemberian izin
terhadap unit penangkapan ikan terutama jaring insang lingkar yang beroperasi di
jalur 1. Penambahan yang dilakukan akan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah unit
penangkapan ikan. Strategi ini tentunya akan menimbulkan reaksi pro dan kontra
antar nelayan jika tidak dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Dari hasil analisis skoring terhadap unit penangkapan ikan kembung
menunjukkan bahwa pukat cincin yang paling produktif. Pukat cincin menjadi
prioritas pengembangan karena lebih unggul dari alat tangkap jaring insang lingkar
dari aspek biologi, teknik, sosial maupun finansial. Adanya bantuan dari pemerintah
maupun instansi terkait sangat diharapkan untuk pengembangan usaha penangkapan
pukat cincin. Pemberian pinjaman modal dengan bunga yang rendah sehingga dapat
dimanfaatkan nelayan untuk membeli alat tangkap pukat cincin. Apabila hal ini bisa
dilakukan, maka upaya penangkapan yang dilakukan dapat lebih optimal, dengan
waktu penangkapan yang lebih singkat, produksi lebih banyak dan penyerapan tenaga
kerja juga lebih banyak, dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan nelayan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(3) Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana perikanan tangkap
Perkembangan aktivitas penangkapan ikan telah menyebabkan makin banyaknya
usaha perikanan, fasilitas umum, maupun perumahan penduduk. Hal ini
mengakibatkan areal di sekitar PPI menjadi padat. Ini juga yang dihadapi oleh PPI
Muara Kintap. Pemerintah berjanji untuk membenahi fasilitas-fasilitas penunjang
kelancaran usaha perikanan melalui proyek pengembangan yang dilaksanakan pada
tahun 2002 dengan sumber dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) melalui proyek sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi
Kalimantan Selatan. Kegiatan pengembangan PPI Muara Kintap memiliki fasilitas
pokok dermaga kapal perikanan seluas 1.525,675 m2, sebagai tempat sandar kapal dan
bongkar muat kapal perikanan yang berbobot 1 - 10 GT. Rencana pengembangan PPI
Muara Kintap dengan melengkapi fasilitas-fasilitas untuk menunjang kelancaran
usaha perikanan. Fasilitas-fasilitas tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu: fasilitas
jangka pendek dan fasilitas jangka panjang. Fasilitas jangka pendek merupakan
fasilitas yang dibangun segera saat pengembangan, seperti gudang es, bengkel, kios
BBM dan menara air. Fasilitas jangka panjang merupakan fasilitas yang
penyediaannya dibangun setelah fasilitas jangka pendek terpenuhi. Fasilitas jangka
panjang meliputi balai pertemuan nelayan, rumah mesin, jaringan telekomunikasi.
Sampai saat ini fasilitas jangka pendek baru sebagian kecil terealisasi dan fasilitas
jangka panjang belum terealisasi pengadaannya. Guna menunjang pengembangan
usaha perikanan kembung, fasilitas yang paling penting untuk segera direalisasi
adalah kios BBM dan dermaga sehingga proses bongkar muat menjadi lancar.
(4) Peningkatan peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengawasan
hukum yang berlaku.
Kegiatan perikanan laut/pantai di Kabupaten Tanah Laut umumnya didominasi
usaha perikanan rakyat (nelayan pesisir). Kebanyakan nelayan rakyat hanya
memiliki kemampuan sarana /alat yang terbatas (tradisional), sehingga rata-rata hanya
mancapai jarak aktivitas penangkapan ikan sejauh 3 – 5 mil dari pantai.
Mata pencarian nelayan skala kecil tersebut sebenarnya telah dilindungi dengan
larangan bagi kapal-kapal di atas 5 GT untuk beroperasi dalam jarak 3 mil laut dari
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
pesisir dan kapal yang lebih besar dari 25 GT juga dilarang beroperasi dalam jarak 7
mil dari pesisir. Namun kenyataannya masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan tersebut, masih adanya nelayan-nelayan yang datang
dari luar Kabupaten Tanah Laut bahkan dari luar provinsi. Nelayan-nelayan tersebut
memiliki unit penangkapan yang lebih modern dari nelayan setempat sehingga
menimbulkan kerugian bagi nelayan Kabupaten Tanah Laut. Akibatnya sumberdaya
perikanan laut di kawasan pesisir mengalami ancaman kelestarian, yang ditunjukkan
dengan menurunnya hasil tangkapan dikawasan ini. Hal ini semua terjadi akibat
lemahnya sistem pengawasan aktifitas penangkapan ikan di laut yang telah
menyebabkan banyaknya pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur aktivitas
usaha penangkapan di laut, oleh karena itu pemahaman terhadap ketentuan yang
mengatur kegiatan penangkapan ikan di laut harus dipahami oleh masyarakat.
Diharapkan dengan pemahaman ini masyarakat memiliki kesadaran untuk
melestarikan sumberdaya perikanan laut dan lingkungannya, yang pada dasarnya
adalah untuk menjamin kesejahteraan nelayan itu sendiri. Pemahaman akan rasa
memiliki juga akan timbul, sehingga diharapkan masyarakat juga tergerak untuk
membantu mengamankan lingkungan perairan laut yang menjadi lahan untuk mencari
penghidupan dari ancaman aktivitas penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab.
Bantuan pemerintah dan instansi terkait sangat diharapkan dalam upaya
pengawasan dan penegakkan peraturan, dengan menindak tegas semua pelanggar
peraturan yang ada, dan didukung dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang memberikan otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya
kelautan.
7.7.4 Menetapkan prioritas pengembangan alat penangkapan ikan berdasarkan
status keramahan lingkungan di perairan Kabupaten Tanah Laut
Untuk menentukan prioritas alat tangkap yang akan dikembangkan di Kabupaten
Tanah Laut menggunakan metode Analysis Hierarcy Process (AHP) dengan analisis
program Expert Choice 9.1 yang merupakan software komputer untuk menentukan
pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan dengan multikriteria yang berdasarkan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
metodologi pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Saaty (1993). Metode ini
merupakan penyempurnaan dari sistem skoring
Kelebihan metode Analisis Proses Hierarki adalah dapat mengetahui interaksi dari
berbagai faktor yang berpengaruh terhadap alternatif solusi yang diajukan. Metode ini
memberikan kerangka yang memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif
untuk persoalan yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian komponennya.
Menata bagian atau variabel dalam suatu susunan hierarki, memberi pertimbangan
numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel atau elemen yang
memiliki prioritas relatif yang lebih tinggi (Saaty 1993).
Menurut Noor (2003) menjelaskan bahwa dalam menyelesaikan persoalan dengan
menggunakan AHP ada beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya adalah :
1. Decomposition, setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi
yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsure-unsur, jika ingin
mendapatkan hasil yang lebih akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-
unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga
didapatkan beberapa tingakatan persoalan tadi.
2. Comparative Judgement, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan
relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat
diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap
prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian akan lebih baik jika disajikan dalam bentuk
matriks yang dinamakan matriks pairwise comparason.
3. Synthesis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparason kemudian dicari eigen
vector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparason
terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan
sintesis diantara local priority. Prosedur melakukan sintesis berbeda dengan bentuk
hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui sintesis
dinamakan priority setting.
4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah bahwa obyek-
obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi,
kedua adalah tingkat hubungan antara obyek didasarkan pada kriteria tertentu.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Sebelum melakukan pengambilan keputusan alternatif mana yang terbaik maka
terlebih dahulu perlu diketahui berapa besar pengaruh setiap elemen dengan elemen
yang lain di dalam suatu tingkatan hirarki. Untuk mengetahui intensitas pengaruh
masing-masing elemen dapat dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan
dengan memberi bobot nilai antara satu elemen dengan elemen yang lain. Langkah
selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadar hasil penilaian untuk memilih elemen
mana yang menjadi prioritas tinggi pada setiap tingkatan hirarki yang disusun.
Untuk mempermudah metode perbandingan berpasangan ini maka antara
elemen-elemen yang dibandingkan disusun dalam bentuk matriks. Jika C1, C2, .... Cn
merupakan set elemen, maka kuantifikasi perbandingan berpasangan tiap elemen
terhadap elemen yang lain akan membentuk matriks A yang berukuran n x n. Apabila Ci
dibandingkan dengan elemen Cj, maka diperoleh nilai aij yang merupakan hasil
perbandingan kedua elemen dimana mencerminkan tingkat kepentingan Ci terhadap Cj
Nilai matriks aij = 1/aji yaitu merupakan nilai kebalikan aij untuk / = j, maka nilai matriks aij =
aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Secara
formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1 C2 ...... , Cn untuk /, j = 1, 2
....... n dapat dituliskan sebagai berikut:
C2 C2 .........Cn
C1 a11 a12 ........a1n
pA = (aij) = C2 a21 a22 ........a2n
.... .... .... ....
Cn 1/ain 1/a2n .....an
Pengisian nilai matriks perbandingan berpasangan digunakan bilangan yang
menggambarkan tingkat pentingnya suatu elemen dengan elemen yang lain dengan skala
nilai 1-9 seperti disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Skala banding secara berpasangan antar elemen berdasarkan taraf relatif
pentingnya untuk Analisis Hirarki (Saaty 1993)
Kepentingan Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
penting daripada elemen yang
Lainnya
menyokong satu elemen dibanding
elemen lainnya
5 Elemen yang satu lebih
penting daripada elemen yang
lainnya
Pengalaman dan penilaian dengan
kuat menyokong satu elemen
dibanding elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
daripada elemen yang lainnya
Satu elemen yang kuat disokong
dan dominan terlihat dalam
kenyataan
9 Satu elemen mutlak lebih
penting daripada elemen yang
lainnya
Bukti yang mendukung elemen
yang satu terhadap elemen lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dan
pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua
komponen diantara dua pilihan
Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktifitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
7.7.5 Arah kebijakan sektor kelautan dan perikanan Kabupaten Tanah Laut
Pembangunan sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu bagian dari
kegiatan yang berperan penting dalam penyediaan pangan dan gizi, penyumbang devisa,
penciptaan dan peningkatan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Pembangunan sektor ini mengarah selain untuk menyelamatkan nalayan yang
terkena dampak krisis ekonomi juga diupayakan untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia, penyediaan dan distribusi pangan, memperluas kesempatan kerja,
pertumbuhan industri dan penerimaan devisa dengan tetap menjaga kelestarian
sumberdaya kelautan dan perikanan.
Sektor Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Tanah Laut di kendalikan oleh
lembaga Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tanah Laut sebagai
perpanjangan tangan DKP Provinsi Kalimantan Selatan dan DKP pusat. Untuk
menjalankan semua tugas dan fungsinya DKP Kabupaten Tanah Laut berkoordinasi
dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan sektor kelautan dan
perikanan ini. Visi DKP Kabupaten Tanah Laut ialah terwujudnya usaha kelautan dan
perikanan yang modern, tangguh dan efesien sebagai sumber kehidupan dan
penghidupan dengan pengelolaan optimal dan berwawasan lingkungan dalam rangka
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya dan nelayan. Sedangkan misinya
ialah (1) Memberdayakan pembudidaya dan nelayan menuju masyarakat perikanan
yang mandiri, tangguh, maju dan sejahtera; (2) Mengembangkan usaha perikanan
dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkesinambungan dan
memperhatikan kelestariannya; (3) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan; (4) Menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk peningkatan produksil dan produktifitas usaha, kelautan dan perikanan.
Mengingat masih terdapatnya berbagai keterbatasan dan kelemahan yang ada
pada masyarakat pesisir maka Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tanah
Laut menetapkan arah kebijakan sebagai berikut : (1) Pengembangan dan pembangunan
kelautan dan perikanan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat,
peningkatan sumber devisa dan PAD, menyediakan sarana dan prasarana serta
pengembangan potensi kelautan dan perikanan. (2) Menata, mengembangkan dan
membina serta memberdayakan desa dan asyarakat pesisir. (3) Pengembangan usaha
kelautan dan perikanan yang difokuskan pada kegiatan budidaya, penangkapan,
penanganan dan pengolahan hasil-hasil perikanan yang dilakukan melalui penguatan
modal usaha, baik swadaya masyarakat maupun dengan bantuan dari pemerintah. (4)
Pelestarian dan perlindungan sumberdaya hayati kelautan dan perikanan. (5) Peningkatan
produksi dan produktifitas usaha kelautan dan perikanan sekaligus peningkatan
pendapatan nelayan dan pembudidaya serta perluasan lapangan kerja.
Kerangka regulasi sektor kelautan dan perikanan Kabupaten Tanah Laut
diantaranya ialah UU No. 45/2009 revisi UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan,
peraturan daerah (perda) Kabupaten Tanah Laut nomor 9 tahun 2006 tentang
penangkapan ikan dan perlindungan sumberdaya perikanan (perairan laut dan perairan
umum), perda nomor 3 tahun 2003 tentang retribusi izin usaha kelautan dan perikanan di
wilayah Kabupaten Tanah Laut dan perda nomor 4 tahun 2003 tentang retribusi
penerbitan surat keterangan kecakapan kapal motor perairan daratan dan kelautan.
Permasalahan/hambatan yang dihadapi pada pengembangan sektor Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Tanah Laut diantaranya : (1) Sumberdaya manusia (petani/nelayan)
pada umumnya masih rendah baik dilihat dari tingkat pendidikan, keterampilan maupun
etos kerjanya; (2) Masih terbatasnya jumlah maupun kualitas aparat Dinas Kelautan dan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
0
200
400
600
Jumlah Unit Alat Tangkap
2005 392 148 133 125 98 22 38 34 282 164
2006 582 380 159 262 193 43 45 300 380 48
Lampara Sungkur JIL JIH JTL PC Jermal PP Rawai JIT
Perikanan sehingga pelaksanaan tugas belum maksimal; (3) Masih terjadinya
pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan (illegal fishing) seperti penggunaan alat
tangkap yang dilarang/modifikasi alat tangkap, pelanggaran jalur penangkapan dan tidak
mempunyai izin penangkapan (4) Masih lemahnya pengawasan pengendalian dan
penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang kelautan dan perikanan
(7) Minimnya pengetahuan nelayan terhadap pola pemanfaatan sumberdaya ikan secara
berkelanjutan.
Untuk meminimalisir permasalahan tersebut, maka upaya yang dilakukan antara
lain ialah (1) Sosialisasi UU perikanan dan Perda. (2) Pelatihan/penyuluhan perikanan
yang bertanggung jawab. (3) Peningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum. (4)
Koordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait. (5) Penumbuhan dan
pemberdayaan pengawasan masyarakat. (6) Peningkatan sarana/prasarana pengawasan.
Untuk mencari langkah-langkah solusi (kebijakan) pengelolaan terhadap alat
tangkap kategori kurang ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan, maka ada
beberapa hal yang harus dijadikan sebagai informasi awal. Hal itu diantaranya ialah
seberapa besar jumlah dan intensitas penggunaan alat tangkap kategori tersebut yang
beroperasi. Berdasarkan informasi tersebut, maka akan bisa dilihat gambaran potensi
ancaman atau tekanannya terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Rusmilyansari dan Rosadi (2010) jumlah dan
intensitas penggunaan alat tangkap (trip) kategori kurang ramah dan tidak ramah
lingkungan dapat dilihat pada Grafik 8 dan 9.
Grafik 8 Perkembangan jumlah alat tangkap kategori kurang dan tidak ramah
lingkungan di Kabupaten Tanah Laut
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
0
100,000
200,000
300,000
Jumlah Trip Alat Tangkap
2005 203,369 69,385 42,332 39,244 31,585 11,894 9,555 10,821 86,557 74,813
2006 204,357 115,927 50,611 77,572 58,153 10,416 9,855 62,184 110,312 15,912
Lampara Sungkur JIL JIH JTL PC Jermal PP Rawai JIT
Berdasarkan gambar 38 dan 39 maka hampir semua alat tangkap kategori kurang
ramah lingkungan dan tidak ramah lingkungan mempunyai potensi untuk menjadi
ancaman dan memberikan tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan. Untuk
mengurangi tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan akibat penggunaan alat
tangkap kurang ramah dan tidak ramah lingkungan, maka harus ada alternatif
solusi/manajemen yang dapat dijadikan acuan bagi semua stakeholder perikanan tangkap
di Kabupaten Tanah Laut.
Untuk alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yakni alat tangkap lampara dasar
(Bottom seine net) dan Sungkur (Skimming net), ada beberapa alternatif kebijakan yang
dapat dilakukan ialah :
(1) Modifikasi alat tangkap
Modifikasi ini dilakukan pada alat tangkap yang memiliki selektivitas rendah.
Ukuran mata jaring harus disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi target
penangkapan. Penerapan konsep alat tangkap ikan yang menggunakan Turtle Excluder
Device (TED) atau Bycatch Excluder Device (BED), sehingga ada jaminan berkurangnya
tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan.
Grafik 9 Jumlah trip penangkapan menurut alat tangkap kategori kurang dan
tidak ramah di Kabupaten Tanah Laut
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Pengendalian jumlah alat tangkap
Lampara dasar dan sungkur merupakan alat tangkap yang dominan dioperasikan
di perairan pantai Kabupaten Tanah Laut. Berdasarkan hal inilah maka pengendalian
jumlah alat tangkap (secara otomatis akan mengurangi upaya penangkapan) menjadi
alternatif kebijakan sehingga akan dapat mengurangi tekanan terhahap sumberdaya dan
lingkungan. Pengendalian jumlah alat tangkap ini dapat diimplementasikan dengan
menentukan jumlah unit penangkapan ikan yang boleh dioperasikan melalui sistem
perizinan. Dalam hal ini, Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2003 tentang Retribusi
Izin Usaha Kelautan dan Perikanan di wilayah Kabupaten Tanah Laut harus diperbarui
dengan menambahkan klausul tentang batasan jumlah alat tangkap yang dapat beroperasi
sehingga alat tangkap berizin saja yang boleh beroperasi. Kemudian hal yang penting
selanjutnya ialah cara pengalokasian perizinan harus betul-betul menerapkan asas yang
berkeadilan sehingga tidak terjadi konflik horizontal antar nelayan.
(3) Penutupan daerah penangkapan
Penutupan daerah penangkapan berarti menghentikan kegiatan penangkapan ikan
disuatu perairan. Penutupan daerah penangkapan ikan ini dapat dilakukan secara
permanen (daerah konservasi) atau sementara pada saat ikan memijah (spawning ground)
dan saat diasuh (nursery ground). Untuk melakukan penutupan daerah penangkapan ini,
maka informasi yang sangat penting ialah mengenai studi ekologi dan biologi
(ekobiologi) sumberdaya ikan. Studi ekobiologi ini akan banyak memberikan informasi
tentang pola migrasi ikan dan komposisi umur ikan. Setelah diketahui informasi
ekobiologi sumberdaya ikan tersebut, maka selanjutnya akan dapat dijalankan kebijakan
penggunaan alat tangkap lampara dasar dan sungkur.
(4) Pelarangan alat tangkap ikan
Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat
tangkap yang merusak/destruktif. Pelarangan ini dapat dikecualikan apabila alat tangkap
telah dimodifikasi sehingga memberikan jaminan terhadap kelestarian sumberdaya
kelautan. Meski demikian, dalam implementasinya harus memperhatikan pertimbangan
asas kehati-hatian, dalam artian tetap harus memperhatikan dinamika sosial, politik dan
ekonomi yang berkembang di kalangan nelayan/stakeholder perikanan tangkap, sehingga
tidak akan memicu terjadinya konflik sosial.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Berdasarkan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan untuk alat tangkap yang
termasuk kategori tidak ramah lingkungan (lampara dasar dan sungkur) maka yang paling
efektif untuk diterapkan ialah kebijakan penutupan daerah penangkapan. Hal ini
disebabkan alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang secara sosial dapat menyerap
tenaga kerja. Secara ekonomi berdasarkan B/C ratio, pengoperasian kedua alat ini
menguntungkan dan tingkat investasi yang rendah per unit alat tangkap. Pertimbangan
yang lain ialah alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan dioperasikan oleh
nelayan Kabupaten Tanah Laut sehingga banyak nelayan yang menggatungkan hidupnya
dengan menggunakan alat tangkap ini. Dengan diterapkannya kebijakan ini pula maka
dampak terhadap lingkungan dapat dikurangi yakni aman terhadap biodiversitas dan
tidak menyebabkan kematian banyak spesies.
Suatu hal yang penting dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang terkait
dengan perikanan berkelanjutan ialah dengan melakukan upaya seraca kontinyu tentang
peningkatan kesadaran masyarakat nelayan terhadap lingkungan. Bentuk kegiatan yang
dapat dilakukan untuk membangun kesadaran nelayan ini bisa bervariasi, bisa dalam
bentuk penyebaran informasi melalui media massa (koran, televisi, radio), pameran, tour,
pelatihan, kaos promosi yang menyampaikan pesan kegiatan dengan tetap fokus pada
tujuan penyadaran (Salm et al. 2000).
Harus dijelaskan bahwa tujuan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan
semata-mata untuk keuntungan mereka sendiri dan juga sekaligus keuntungan bagi
generasi penerus mereka dikarenakan adanya jaminan ketersediaan sumberdaya ikan
secara berkelanjutan. Sebaliknya, kalau alat tangkap yang mereka gunakan menimbulkan
dampak merusak lingkungan, maka hal ini cepat atau lambat akan berpengaruh pada hasil
tangkapan yakni terjadinya penurunan jumlah hasil tangkapan.
7.8 Usaha Penangkapan Ikan yang bertanggung Jawab
Usaha penangkapan ikan atau usaha perikanan tangkap dikatakan bertanggung
jawab jika usaha ini dikerjakan secara rasional dan bermoral, artinya selalu mengikuti
hasil-hasil perhitungan mengenai potensi lestari yang ditetapkan atau diduga oleh
lembaga yang berwewenang, yaitu Komisi Nasional pengkajian stok sumberdaya ikan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
laut. Selain itu, juga mengikuti ketentuan pemerintah mengenai jumlah tangkapan ikan
yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) yang besarnya yang
besarnya 80 % dari potensi Lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). JTB ini
merupakan salah satu tindakan atau pendekatan kehati-hatian (precautionary approach)
agar SDI tidak mengalami lebih tangkap (over fishing). Lebih jauh lagi usaha
penangkapan ikan ini juga diupayakan secara lestari atau berkelanjutan, sehingga sampai
kepada generasi penerus bangsa atau generasi yang akan datang.
Usaha penangkapan ikan yang bertanggung jawab adalah usaha yang juga meliputi
ketentuan-ketentuan dan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
(1) Mengikuti atau sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku, baik secara
local, Nasional, aregional maupun Internasional. Hal ini merupakan Usaha
Penangkapan Ikan yang sah (legal fishing). Usaha ini dilengkapi dengan
dokumentasi Usaha (Perusahaan Perikanan Tangkap), Dokumen Kapal Ikan, Surat-
surat perizinan dari instansi yang berwewenang.
(2) Tidak melakukan penangkapan ikan di daerah konservasi atau daerah terlarang
lainnya (pencurian ikan)
(3) Menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan yaitu allat tangkap ikan
yang selektif dan tidak merusak lingkungan perairan (ekosistem atau habitat sumber
daya ikan)
(4) Menangkap ikan di jalur penangkapan ikan yang telah ditetapkan sesuai dengan
ukuran kapal dan alat tangkap ikan yang digunakan.
(5) Tidak menggunakan bahan yang dapat merusak lingkungan perairan, yaitu bahan
peledak (dinamit atau bom), aliran listrik (stroom), racun (potassium sianida atau
tuba).
(6) Melakukan perbaikan SDI dan lingkungannya yang rusak akibat aktifitas
penanggkapan ikan. Kegiatan ini mencakup: (i) Reboisasi hutan mangrove (bakau);
(ii) Restocking atau Sea Rancing; (iii) Transpantasi Terumbu karang; (iv) Terumbu
karang buatan; (v) Habitat buatan (rumah ikan); (vi) Tidak menebarkan jenis ikan
baru yang akan merusak (memangsa) jenis-jenis ikan yang telah ada atau yang dapat
merusak lingkungan di sekitarnya.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(7) Melakukan npembukuan perusahaan dan pendataan aktifitas penangkapan ikan, yang
meliputi pencatatan data pada lembar atau blanko log book dan pada buku
perusahaan. Data yang dimuat atau dicatat antara lain:
(i) Tanggal melaut dan atau tanggal pulang dari laut (sampai di pangkalan
penangkapan ikan atau fishing base)
(ii) Lamanya tripLokasi / posisi penangkapan ikan (lintang dan bujurnya)
(iii) Banyak / berat ikan hasil tangkapan
(iv) Jenis-jenis ikan hasil tangkapan
(v) Jumlah unit dan jenis alat tangkap ikan yang digunakan
(vi) Data kapal ikan yang digunakan
(vii) Alat-alat bantu penangkapan ikan yang digunakan
(viii) Jenis dan volume penggunaan BBM
(ix) Jumlah crew atau Anak Buah Kapal (ABK) dan daerah asal masing-masing.
7.9 Usaha Penangkapan Ikan yang tidak Bertanggung Jawab
Suatu hal yang berbalikan, bertentangan atau berlawanan dengan Usaha
Penangkapan Ikan yang bertanggung jawab adalah Usaha penagkapan Ikan yang tidak
bnertanggung jawab. Usaha ini dilakukan secara tidak rasional dan tidak bermoral.
Penagkapan ikan dilakukan secara sembrono atau ngawur tanpa perhitungan dan
mengabaikan kelestarian, baik kelestarian sumberdaya ikan maupun lingkungannya.
Oleh karena itu, kondisi lebih tangkap (over fishing) akan cepat tercapai. Dengan
demikian, generasi penerus bangsa tidakk akan bias menikmati jenis-jenis ikan ini.
Usaha penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Tidak mengindahkan atau melanggar Peraturan Perundangan yang berlaku, baik
secara local, Nasional, Regional maupun Internasional. Hal ini merupakan Usaha
penangkapan ikan yang tidak syah (Illegal, Unregulated and Unreported Fishing
atau IUU fishing atau Illegal Fishing). Usaha ini dapat juga tidak dilengkapi atau
tidak memiliki dokumenm usaha, dokumen kapal ikan dan tidak memiliki surat-surat
perijinan dari instansi yang berwewenang.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(2) Melakukan pencuruan sumberdaya ikan di daerah konservasi atau di daerah yang
dilindungi lainnya
(3) Menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (tidak selektif dan atau
merusak lingkungan perairan)
(4) Menangkap ikan di jalur penangkapan ikan yang bukan menjadi haknya
(5) Menggunakan bahan-bahan yang dapat merusak lingkungan perrairan (bahan
peledak, aliran listrik atau racun potassium sianida.
(6) Tidak melakukan perbaikan sumberdaya ikan dam lingkungan yang rusak sebagai
akibat aktifitas penangkapan ikan yang dilakukannya.
(7) Tidak melakukan pembukuan perusahaan dan atau pendataan kegiatan penangkapan
ikan yang dilakukan
Selain dari kegiatan illegal fishing tersebut, ada kegiatan lain yang sifatnya juga
illegal, yaitu Illegal non fishing. Kegiatan ini merusak lingkungan perairan, tetapi
hasilnya tidak digunakan untuk kepentingan perikanan tangkap, misalnya:
(1) Reklamasi (pengurungan) daerah pantai untuk kepentingan “buka took/warung”
tempat rekreasi atau pembangunan gedung
(2) Menebang (membabat) hutan bakau (mangrove) untuk keperluan bahan nbakar,
bahan bangunan, jembatan dan atau “membuka tambak”
(3) Membongkar terumbu karang untuk kebutuhan bahan bangunan, pengurungan jalan,
perhiasan dan atau bahan pengisi akuarium.
7.10 Sikap dan Perilaku Operasi Penangkapan Ikan
7.10.1 Sikap dan Perilaku yang Bertanggung Jawab
Menurut Mulyadi Rasdani (2000), landasan pijakan untuk bersikap dan
berperilaku secara bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan ikan dijalankan,
meliputi landasan moral, landasan normative dan landasan konstitusional, yang
dijelaskan sebagai berikut:
(1) Landasan Moral
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Landasan moral ini merupakan landasan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap
perilaku perikanan tangkap. Landasan moral bersumber pada rasio (pemikiran), perasaan,
keyakinan (agama) dan kepercayaan secara umum. Misalnya setiap orang percaya bahwa
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela dan verdosa bila dilakukan. Hal ini karena
merupakan larangan Agama dan akan berdampak negatif bagi yang dicurinya (merugikan
orang lain). Demikian pula dengan perlakuan pencurian sumberdaya ikan di daerah
penangkapan yang bukan menjadi jatahnya dan pencurian terumbu karang, baik jenis-
jenis ikan konsumsi maupun ikan hias.
Dengan demikian secara moral, sikap dan perilaku yang demikian merupakan
perbuatan yang salah dan tidak boleh terjadi. Penangkapan ikan yang melebihi JTB dan
potensi lestarinya juga merupakan perbuatan (sikap dan perilaku) yang tidak bertanggung
jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang.
(2) Landasan Normatif
Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus
masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbeda-beda aturannya
antara satu tempat dan tempat yang lainnya. Misalnya di daerah Aceh, masyarakat tidak
menangkap ikan di laut pada setiap ahri jumat. Hal ini bila ditinjau dari aspek biologis
dapat memberi kesempatan bagi sumberdaya ikan untuk bermigrasi ke wilayah perairan
laut yang lain atau bagi induk-induk ikan dapat memijah (bertelur) sebelum tertangkap
oleh nelayan pada hari-hari sebelum atau setelah hari jumat. Disamping itu segala
urusan penangkapan ikan di laut sekitar Aceh menjadi kewenagan dan kekuasaan
Panglima Laut di daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian, Landasan Normatif ini turut menentukan sikap dan perilaku
perikanan tangkap di daerah tersebut, karena jika di langgarnya akan berurusan dengan
masyarakat setempat melalui Panglima Laut yang disegani beserta “aparat-aparat” nya.
(3) Landasan Konstitusional
Landasan konstitusional merupakan landasan resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun institusional. Landasan
konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengikat
setiap pelaku perikanan tangkap (Pengusaha, ABK dan Nelayan). Landasan ini berisi
perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para pelanggarnya. Intensitas pengaturan di
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan
perikanan.
Intervensi regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan
terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial.
Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring
sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan
tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain, meliputi: (1)
Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan; (2) Larangan
penggunaan alat penangkap jenis trawl; (3) Ketentuan tentang ukuran mata jaring;
(4) Pengaturan jalur penangkapan ikan; (5) Pengawasan Penangkapan Ikan; (6) UU No
45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan; (7) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan; (8) Pengaturan Usaha
Perikanan; (9) Integrasi Perikanan Kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; (10) Undang-
Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, kemudian direvisi menjadi UU No.
45 Th 2009; (11) Peraturan Daerah
Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan
pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan
perairan kepulauan.
Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk perizinan
diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan
Kabupaten/Kota untuk kapal < 10 GT dan daya mesin < 30 PK. Juga telah dilaksanakan
perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal
perpanjangan izin.
Larangan penggunaan alat penangkap jenis trawl: (i) Kepres Nomor 39 tahun
1980 tentang penghapusan jaring trawl, bertujuan untuk melindungi kelestarian
sumberdaya selain untuk melindungi kepentingan nelayan kecil; (ii) Keppres Nomor 85
tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang; (iii) SK. Mentan Nomor 503 tahun 1980
mengenai langkah-langkah penghapusan jaring trawl tahap I; (iv) SK. Dirjen Perikanan
Nomor 340 tahun 1997 mengenai penjabaran Teknis dari SK Mentri Pertanian No. 503
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tahun 1980, khususnya mengenai petunjuk teknis penggunaan alat-alat penangkap ikan
menyerupai trawl.
Ketentuan tentang ukuran mata jaring: (i) SK Mentan No. 123/1975 mengatur
ukuran mata jaring purse seine yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan pelagis
adalah 60 mm; (ii) SK Mentan No. 197 tahun 1996 mengatur ukuran panjang maksimum
jaring jenis gill net yaitu 5 km; (iii) SK Mentri Pertanian RI No. 123/Kpts/Um3/1975
mengatur lembar mata jaring jenis purse seine untuk penangkapan ikan kembung, layang,
selar, lemuru dan ikan-ikan pelagis sejenisnya, melarang purse seine yang menggunakan
ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inchi pada bagian sayap dan kurang dari 1 inchi
pada bagian kantong.
Pengaturan jalur penangkapan ikan: (i) SK Mentan No. 607/1976 pada dasarnya
dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil sehingga kapal-kapal ukuran menengah
keatas harus beroperasi lebih jauh sehingga tidak mengganggu nelayan kecil dan tidak
menimbulkan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan; (ii) SK. Mentan Pertanian RI No.
392/Kpts/IK. 120/4/99 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat
tangkap dan kapal-kapal perikanan dari jalur penangkapan ikan lebih rendah, tetapi
sebaiknya dari jalur penangkapan ikan yang lebih rendah boleh memasuki jalur
penangkapan ikan yang lebih tinggi (lebih jauh lagi dari garis pantai). Yang dimaksud
dengan jalur penangkapan ikan adalah (1) Jalur Penangkapan Ikan I (a) : 0-3 mil laut (2)
Jalur Penangkapan Ikan I (b) : 3-6 mil laut (3) Jalur Penangkapan Ikan II : > 6-12 mil laut
(4)Jalur Penangkapan Ikan III : > 12-200 mil laut atau batas terluar dari ZEE
Selanjutnya peraturan ini melarang penggunaan jaring jenis gillnet dengan ukuran
mata jaring kurang dari 25 mm dan pukat cincin untuk penangkapan tuna/cakalang yang
berukuran mata jaring kurang dari 75 mm, kecuali untuk pukat teri dan jaring angkat (lift
net). Selain itu juga melarang panjang total rangkaian gillnet lebih dari 1.000 meter
beroperasi di jalur penangkapn ikan I (b) (3-6 mil laut) dan lebih dari 2.500 meter
beroperasi di jalur penangkapan Ikan II (6-12 mil laut)
Pengawasan Penangkapan Ikan: (i) Kep. Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002
menetapkan pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan. Pengawasan
perikanan bidang penangkapan meliputi pengawasan terhadap penangkapan ikan dan atau
pengangkutan ikan. Prinsip pengawasan bidang penangkapan terdiri atas pemantauan,
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
pemeriksaan, pengamatan dan atau penyidikan (ii) Keputusan Direktur Jenderal
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 14/DJ-PSDKP/2002 perihal
tata cara pengawasan penangkapan dan atau pengangkutan ikan adalah:
1 Pelaksanaan pemeriksaan dokumen perizinan usaha perikanan;
2 Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan;
3 Pelaksanaan pemeriksaan alat penangkapan ikan;
4 Pelaksanaan pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan;
5 Pelaksanaan pemeriksaan daerah operasi penangkapan ikan;
6 Pelaksanaan pemeriksaan nakhoda dan anak buah kapal;
7 Pelaksanaan pemeriksaan suaka perikanan, jenis-jenis ikan yang dilindungi dan
lingkungan sumberdaya ikan yang sedang direhabilitasi;
8 Pelaksanaan pemeriksaan penerapan log book perikanan (LBP) dan Lembar Laik
Operasional (LLO) kapal perkanan; dan
9 Hasil pemeriksaan dan pengambilan keputusan.
UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan: (i) pasal
3 huruf i, tujuan pelaksanaan pengawasan perikanan adalah untuk menjamin kelestarian
sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Oleh karena itu
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara lestari dan
berkesinambungan (ii) pasal 67, masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan
perikanan. Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan.
Pokok-pokok isisnya antara lain: (i) Larangan melakukan kegiatan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan dan alat yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan
dan lingkungannya; (ii) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia atau
badan Hukum Indonesia, kecuali dalam bidang penangkapan sepanjang hal tersebut
menyangkut kewajiban negara republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan
Internasioanal atau hukum internasional yang berlaku; (iii) Setiap orang atau badan
hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki Ijin Usaha Perikanan
(IUP), kecuali nelayan atau perorangan lainnya yang sifatnya merupakan mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; (iv) Setiap orang atau badan
hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
ikan di laut atau di perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan
pungutan perikanan, kecuali nelayan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Pengaturan Usaha Perikanan: (i) PP No. 15 tahun 1990 junct. PP No. 46 tahun
1993 junct. PP 141/2000 junct. PP No. 54/2000 tentang usaha perikanan dan SK Mentan
No. 428 tahun 1999 tentang perubahan SK Mentan No. 815 tahun 1990 yang mengatur
langkah-langkah pengendalian pemangfaatan sumberdaya ikan; (ii) SK Mentan No. 561
tahun 1973 dan No. 40 tahun 1974 mengenai kewajiban pengusaha penangkapan udang
untuk memanfaatkan hasil sampingan secara optimal; (iii) PP No. 54 Tahun 2002 dan
Kep. Menteri Kalautan dan Perikanan No. 10/MEN/2003 tentang usaha perikanan.
Menetapkan kewajiban bagi setiap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan
ikan baik kapal berbendera asing maupun Indonesia, harus dilengkapi dengan surat
penangkapan ikan (SPI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan IUP; (iv)
Kepmen No. 10 Tahun 2004 Tentang Perizinan Usaha Perikanan; (v) Permen No. 17
Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap
Integrasi Perikanan Kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir: (i) Kep. Mentri KP
No. 41 Tahun 2000 menetapkan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil yang
berkelanjutan dan berbasis masyarakat; (ii) RUU pesisir yang juga mengakomodir
kegiatan perikanan tangkap sebagai bagian integral pengelolaan pesisir sedang dalam
tahap pembahasan.
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, kemudian direvisi
menjadi UU No. 45 Th 2009. Pokok- pokok isinya antara lain: (i) Pengelolaan perikanan
adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan
implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang
disepakati; (ii) Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian sumberdaya.
Peraturan Daerah berupa: (i) Perda No 03 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha
Kelautan dan Perikanan di Wilayah kabupaten Tanah Laut; (ii) Perda No 22 Tahun 2004
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Tanah Laut; (iii) Perda No 9 Tahun 2006 tentang penangkapan ikan dan perlindungan
sumberdaya perikanan (Perairan laut dan Perairan umum).
Selain dari kepatuhan terhadap landasan-landasan tersebut, sikap dan perilaku
operasi penangkapan ikan yang bertanggung jawab masih harus ditunjukan pula terhadap:
(1) potensi Lestari; (2) daerah penangkapan ikan; (3) hasil tangkapan sampingan (by-
catch); (4) sisa-sisa (limbah) Buangan BBM; (5) sisa-sisa (limbah) alat tangkap ikan; (6)
pengawasan terhadap pencurian ikan oleh pihak asing.
7.10.2 Sikap dan Perilaku yang tidak bertanggung jawab
Operasi penagkapan ikan dapat dikatan tidak bertanggung jawab (Irresponsible
Fishing), jika tidak memenuhi (melanggar) peraturan dan perundangan yang berlaku,
baik secara lokal, Nasional, Regional maupun International; merusak sumberdaya Ikan
atau lingkungan perairannya; tidak mau memperbaiki kembali lingkungan yang rusak
sebagai akibat operasi penangkapan ikan; dan tidak mau turut serta mengawasi pencuruan
ikan (illegal fishing), terutama yang dilakukan oleh pihak Asing, baik di Perairan Laut
Indonesia maupun ZEEI.
Kondisi tersebut merupakan hal yang gberbalikan, bertentangan atau berlawanan
dengan kondisi “Operasi penangkapan ikan yang bertanggung jawab” (Responsible
Fishing). Contoh konkrit atau nyata dari operasi penangkapan ikan yang tidak
bertanggung jawab antara lain:
(1) Menggunakan alat tangkap ikan terlarang
Sampai saat ini trawl masih dilarang pengoperasiannya di wilayah perairan
laut seluruh Indonesia (termasuk ZEEI). Namun demikian, prakteknya masih
banyak yang dioperasikan di berbagai perairan laut di Indonesia.
Pelarangan trawl tersebut karena selain tidak selektif terhadap hasil-hasil
tangkapannya, juga dapat merusak lingkungan perairannya (mematahkan dan
merontokkan terumbu karang muda, dan mengaduk-aduk dasar perairan yang
berlumpur hingga keruh sehingga dapat mengakibatkan ikan-ikan kecil atau juvenile
tertutup/tersumbat lapisan insangnya lalu tidak bias bernafas dan mati).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Selain dari pelarangan trawl, semua jarring (termasuk gill net atau jarring
insang) yang ukuran mata jarring (mesh size)-nya kurang dari 1 inchi, juga dilarang
dioperasikan. Namun pada prakteknya, pada bagian pembentuk kantong (bunt)
pukat cincing atau purse seine masih ada yang berukuran ¾ inchi. Demikian ini pula
bagi pukat cincin Tuna dan Cakalang yang ukuran mata jaringnya kurang dari 75
mm atau kurang dari 3 inchi dilarang beroperasi di semua Jalur Penangkapan Ikan,
kecuali Pukat Teri dan Jaring Angkat (Lift Net).
Jaring insang Hanyut (Drift Gill Net) yang panjang seluruh rangkaian piece
nya lebih dari 1.000 meter dilarang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan I;
sedangkan yang panjangnya melebihi 2.500 meter dilarang beroperasi di Jalur
Penangkapan Ikan II (>6-12 mil laut). Kenyataannya di lapangan, ukuran total
panjang rangkaian dari jarring insang hanyut telah melebihi ketentuan-ketentuan
tersebut.
(2) Menggunakan Bahan Terlarang
Jika bahan-bahan yang terlarang digunakan untuk melakukan Operasi
Penangkapan Ikan, maka perbuatan (sikap dan perilaku) ini benar-benar tidak
bertanggung jawab.
Bahan-bahan yang sering dihunakan dalam upaya penangkapan ikan di laut
terdiri dari: (1) bahan peledak (2) aliran atau arus listrik (stroom) (3) racun.
Bahan peledak dikemas atau dirakit menjadi bom atau dinamit dan diledakkan
di perairan karang. Maksudnya adalah untuk memperoleh ikan tangkapan secara
cepat, murah biayanya dan mudah, karena ikan-ikan yang terkena pengaruh dari
peledakan ini akan mati seketika, sehingga mudah ditangkap, baik dengan tangan
maupun dengan alat yang sangat sederhana sekalipun, misalnya caduk atau seser.
Selain cara ini mudah, juga dalam waktu singkat dapat menangkap ikan dalam
jumlah banyak.
Sangat disayangkan, perbuatan tersebut menimbukan dampak negatif bagi
terumbu karang yang terkena, yaitu menyebabkan kehancuran dan kematian atau
kepunahannya. Disamping itu, juga mematikan biota lainnya yang bukan menjadi
sasaran penangkapan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Penggunaan stroom dapat mengakibatkan matinya ikan sasaran/target/tujuan
penangkapan, anak ikan (juvenile), induk ikan, telur-telur ikan dan terumbu karang
yang terkena imbasnya. Maksud penggunaannya juga untuk mempermudah hasil
tangkapan secara mudah, cepat dan murah baiyanya.
Racun yang digunakan pada umumnya adalah Potassium sianida (Potas) atau
Tuba. Akibat dari penggnaannya, selain mematikan ikan yang dituju dalam
penangkapan, juga biota lain yang terkena imbasnya. Begitu pula dengan telur-telur
dan terumbu karangnya akan mati. Cara peracunan ini juga untuk memperoleh hasil
tangkapan secara mudah, muarah biayanya dan cepat. Jika kadar racun yang
digunakan tinggi, maka dapat berdampak negative bagi konsumennya, yaitu turut
keracunan.
(3) Membongkar Terumbu Karang
Ada operasi penangkapan ikan yang dilakukan dengan terlebih dahulu
membongkar terumbu karang. Pembongkaran ini dilakukan dengan menggunakan
linggis atau alat lainnya.
Bongkahan terumbu karang tersebut digunakan untuk menutupi bubu-bubu
yang dipasang, guna menjebak ikan agar masuk ke dalam bubu. Dengan cara ini,
meskipun bubu bukanlah alat tangkap ikan yang terlarang bias menjadi terlarang
karena merusak terumbu karang. Perusakan inilah yang merupakan perbuatan
terlarang.
Pengoperasian Moro Ami di sekitar karang atau terumbu karang, juga sering
menyebabkan rusaknya karang yang diakibatkan oleh para penggiring ikan dari arah
dalam keluar karang, agar ikan-ikan memasuki Muro Ami yang dipasang di bagian
luar karang. Kerusakan karang ini dapat disebabkan secara sengaja, yaitu dengan
mematahkan atau membongkar agar ikannya dapat keluar dari karang, lalu digiring
ke Muro Ami (Pukat Karang).
Selain dari perbuatan tersebut, perbuatan-perbuatan lainnnn yang termasuk
tidak bertanggung jawab adalah perbauatan yang dapat mengakibatkan
pencemmatan perairan laut, seperti membuang bekas atau sisa-sisa (limbah) BBM
dan sampah serta alat tangkap bekas ke laut. Hal ini dapat mematikan biota (flora
dan fauna) laut yang terkena.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
8 Manajemen Perikanan Tangkap
8. 1 Konsep Manajemen Perikanan Tangkap
Secara global, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap disebutkan secara
spesifik dalam pasal 61 dan 62 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
(UNCLOS). Indonesia telah menerima konvensi tersebut dan telah mendepositkan
Piagam Ratifikasi pada tanggal 13 Februari 1986 kepada sekretaris Jenderal PBB (Pusat
Studi Hukum Internasional dan Penyajian Internasional 2000). Selanjutnya Agenda 21
Global United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) tahun
1992 juga memuat ketentuan-ketentuan tentang perlindungan laut, penggunaan yang
rasional dan pengembangan kehidupan sumberdaya laut.
Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan
untuk menjamin adanya hasil dari sumber daya alam yang optimal bagi masyarakat
setempat, daerah dan Negara, yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya ikan secara
berkelanjutan. Untuk membentuk kesamaan persepsi tentang arti pengelolaan perikanan,
Undang Undang (UU) Perikanan No 45 Tahun 2009 mendefinisikan pengelolaan
perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,alokasi sumberdaya
ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah otoritas lainyang diarhkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dantujuan yang telah
disepakati.
Berdasarkan definisi tersebut pula dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama,
perlunya pengetahuan tentang informasi dasar yang sangat diperlukan tentang proses
biologi dan ekonomi yang menyangkut setiap jenis kegiatan perikanan.
241
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Proses biologi yang perlu dikaji meliputi informasi tentang populasi species ikan tertentu
atau kelompok species ikan dan dinamikanya, parameter habitat dan lingkungan yang
mempengaruhinya, reproduksi, pertumbuhan dan mortalitasnya. Proses ekonomi perlu
dikaji dengan sejumlah metode terutama untuk menentukan pemanfaatan sumberdaya
ikan, investasi permodalan yang diperlukan dan keluaran berupa hasil dan pendapatan
usaha.
Kedua, untuk menanggulangi penipisan stok ikan perlu menyusun teori untuk bisa
menetapkan tingkat penipisan stok ikan dan menetapkann tingkat pemanfaatan dan
tingkat upaya yang diinginkan. Ketiga adalah rancangan kelembagaan dan regulasi untuk
mempertegas hak pemanfaatan sumberdaya dan mengendalikan eksploitasi sumberdaya
ikan dan pemasarannya. Walaupun tidak mudah, perlu diupayakan mengkaji ketiga
faktor kajian tersebut dan mengaplikasikannya dalam menyusun suatu rencana
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Menurut Widodo dan Nurhakim (2002) melaksanakan proses pengelolaan
sumberdaya perikanan sangat membutuhkan berbagai informasi sebagai dasar untuk
menetapkan berbagai rencana dan aturan yang harus di buat untuk menata kegiatan
pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Hal tersesebut sejalan dengan (Cochrane 2002)
yang menandaskan bahwa tahap pertama dalam menyusun rencana pengelolaan adalah
pengumpulan informasi dan dilanjutkan dengan tahap analisis dan perencanaan.
Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik,
karena sumberdaya perikanan sangat sensitif terhadap tindakan manusia. Pendekatan
apapun yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya, jika pemanfaatan
dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya akan mengalami tekanan secara
ekologi dana akan menurun kualitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan patut
dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan
pembangunan dapat tercapai.
Dalam pengelolaan perikanan tangkap, terdapat beberapa ketentuan/peraturan
yang seyogyanya dimengerti dan dipahami untuk dapat dilaksanakan dengan benar,
khususnya oleh para pelaku utama penangkapan ikan (nelayan), pelaku usaha maupun
para stakeholder perikanan tangkap lainnya. Beberapa peraturan/ketentuan yang
mengatur kegiatan penangkapan ikan tersebut adalah Kewenangan Daerah dalam
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Pengelolaan Wilayah Penangkapan Ikan. Sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah), bahwa
daerah diberikan wewenang untuk mengelola wilayah penangkapannya sesuai dengan
kemampuan daerah masing-masing.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 telah diatur tentang beberapa kewenangan
dalam pengelolaan perkanan tangkap. Pasal yang mengatur kewenangan adalah Pasal 18.
Hal yang penting dari Pasal 18 adalah sebagai berikut: Pasal 18 (1), daerah yang
memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah
laut. Pasal (3) kewenangan tersebut meliputi: (i) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut; (ii) pengaturan administratif; (iii) pengaturan tata ruang; (iv)
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; (v) ikut serta dalam pemeliharaan
keamanan; (vi) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.
Pasal 18 (4), kewenangan untuk Provinsi paling jauh 12 mil laut dari pantai, dan
untuk Kabupaten/Kota sepertiganya (4 mil laut); Ayat (6) ketentuan tersebut tidak
berlaku bagi nelayan kecil; Ayat (7) pelaksanaan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan. Terkait dengan pasal tersebut diatas, telah terbit
berbagai macam peraturan perundang-undangan (Peraturan Pemerintah, Keppres,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Perda dan lain-lain). Beberapa aturan tersebut
diantaranya adalah peraturan tentang jalur penangkapan ikan dan pelaksanaan
pengawasan penangkapan ikan.
Perlu dipahami bersama, bahwa laut adalah akses terbuka, artinya kewenangan
yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan sebagaimana Pasal 18 ayat (1), (3) dan
(4) tersebut diatas. Sehingga tidak ada kewenangan untuk melarang nelayan dari daerah
lain yang melakukan kegiatan penangkapan di daerah tertentu. Bedasarkan Undang-
Undang tersebut membawa konsekwensi berupa perubahan dalam tata pengelolaan dan
manfaat sumberdaya kelautan dan perikanan. Pemda memiliki landasan yang kuat untuk
mengimplementasikan pembangunan secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya dalam upaya menerapkan
pembangunan kelautan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tindakan pengelolaan perikanan tangkap adalah mekanisme untuk mengatur,
mengendalikan dan mempertahankan kondisi sumber daya ikan pada tingkat tertentu
yang diinginkan. Salah satu kunci pengelolaan ini adalah status dan tren aspek sosial
ekonomi dan aspek sumber daya. Data dan informasi status dan tren tersebut
baik dikumpulkan secara rutin (statistik) maupun tidak rutin (riset) sekaligus digunakan
untuk validasi kebijakan dan menjejak kinerja pengelolaan. Tren pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia saat ini cenderung dilakukan dengan intensifikasi alat tangkap atau
armada penangkapan pada hampir semua daerah penangkapan di Indonesia.
Prinsip kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan, disebutkan bahwa
Negara memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi
konservasi, pengelolaan dan pengusahaan sumberdaya hayati akuatik guna melindungi
dan mengawetkan lingkungan akuatiknya. Lebih lanjut CCRF 1995 menekankan
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendekatan yang bersifat kehati-
hatian, diantaranya ketidak pastian yang bertalian dengan ukuran dan produktivitas stok
ikan, titik rujukan, kondisi stok yang berhubungan dengan titik rujukan tersebut, tingkat
dan persebaran mortalitas penangkapan dari dampak kegiatan penangkapan, termasuk
ikan buangan terhadap species bukan target dan species terkait (dependent species) serta
keadaan lingkungan dan sosial ekonomi.
Sementara itu, dalam menghadapi ketidakpastian sistem perikanan dan
mengambil tindakan dengan pengetahuan yang tidak lengkap, pendekatan yang bersifat
kehati-hatian mengharuskan beberapa hal, antara lain (FAO 1977); (1) pertimbangan
kebutuhan generasi mendatang dan upaya menghindari perubahan yang potensial tidak
dapat dipulihkan; (2) identifikasi awal dan hasil terhadap langkah untuk menghindari atau
memperbaikinya dengan segera (3) tiap langkah perbaikannya yang diperlukan harus
segera diawali tanpa penundaan dan langkah itu harus mencapai tujuannya dengan segera
pada skala waktu tidak lebih dari dua atau tiga dasawarsa; (4) jika dampak yang paling
mungkin dari penggunaan sumberdaya adalah ketidakpastian harus ada prioritas untuk
melestarikan kapasitas produktif dari sumberdaya tersebut; (5) kapasitas memanen dan
mengolah harus sepadan dengan tingkat pelestarian sumberdaya yang diperkirakan,
peningkatan dalam kapasitas selanjutnya harus ditahan jika produktivitas sumberdaya
sudah sangat tidak pasti; (6) semua kegiatan penangkapan harus memiliki hak
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
pengelolaan terlebih dahulu dan tunduk pada tinjauan ulang secara berkala; (7) kerangka
kerja kelembagaan dan hukum untuk pengelolaan perikanan yang di dalamnya
dilembagakan rencana pengelolaan yang melaksanakan butir-butir di atas untuk setiap
perikanan; (8) penempatan secara tepat tanggung jawab pembuktian yang memuaskan
dengan cara melekatkan pada persyaratan diatas.
Prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab yaitu tidak
memperbolehkan hasil tangkapan melebihi jumlah potensi lestari yang boleh ditangkap.
Hal itu karena pengelolaan perikanan dipengaruhi tingkat fluktuasi dalam kegiatan
penangkapan tiap tahun secara signifikan. Namun tidak bertarti tangkapan setiap
tahunnya tidak pernah melampaui produksi bersih tahunan. Dalam lingkup kebanyakan
strategi permanen, variabilitas alami dan ketidakpastian menjadi sedemikian rupa
sehingga hasil tangkapan ikan mungkin melampaui produsi dalam beberapa tahun.
Prinsip keterpaduan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan
dan perikanan merupakan hal penting untuk diupayakan. Lewat keterpaduan di antara
stakeholders yang meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat, proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan akan dapat belajar dengan baik. Selain itu
terakomodasinya kepentingan masing-masing pihak serta keterpaduan antara hulu dan
hilir dan antar sector. Prinsip keterpaduan itu akan teraktualisasikan dalam bentuk saling
tukar informasi dan akses diantara stakeholders dalam meningkatkan kualitas
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan.
Prinsip keterpaduan itu pun bersifat dimensional dengan konteks pembangunan
berkelanjutan yaitu berdimensi ekologis, ekonomis, sosial budaya, hukum dan
kelembagaan serta politik. Dengan demikian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan akan berjalan dengan baik.
Prinsip pengelolaan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan didefinisikan
sebagai pembangunan yang dapat mematuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang mengintegrasikan komponen ekologi, ekonomi dan social.
Setiap komponen itu saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu kekuatan dan
tujuan. Sektor ekonomi dipakai melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
lewat peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan
pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor siosial bertujuan untuk
meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, serta
penguatan nilai institusi (Munasinghe 2002).
8.2 Instrumen Pengelolaan Perikanan Tangkap
Terdapat beberapa pola yang telah dikembangkan dalam pengelolaan perikanan
tangkap. Charles (2001) menyatakan bahwa konsep perikanan tangkap yang
berkelanjutan mencakup aspek; (1) Keberlanjutan ekologi, memelihara keberlanjutan
stok/biomas sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan
kualitas ekosistem dengan perhatian utama; (2) keberlanjutan sosio-ekonomi,
memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.
Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi
merupakan perhatian keberlanjutan; (3) keberlanjutan komunitas, keberlanjutan
kesejahteraan dari komunitas atau masyarakat harus menjadi perhatian pembangunan
perikanan yang berkelanjutan; (4) keberlanjutan kelembagaan; menyangkut pemeliharaan
aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai syarat ketiga pembangunan
perikanan.
Keterpaduan aspek-aspek pengelolaan tersebut dapat menggambarkan
keberlanjutan perikanan, karena aspek-aspek tersebut telah mencakup semua aspek
keberlanjutan perikanan sekaligus tolok ukur pembangunan berkelanjutan. Selanjunya,
Charles (2001) menyebutkan, ada tiga komponen kunci dalam sistem perikanan
berkelanjutan, yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ikan, ekosistem,
dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang mencakup nelayan,
sector pengolah, pengguna, komunitas perikanan, dan lingkungan
social/ekonomi/budaya; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system)
yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan,
pembangunan perikanan dan penelitian perikanan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Berbagai wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sudah sangat padat, seperti
Laut Jawa, laut Arafura, Selat Karimata atau Laut Sulawesi. Pengelolaan perikanan ke
depan memerlukan upaya bersama dan serius dalam mengendalikan penagkapan (fishing
capacity) dan pemberantasan IUU fishing melalui berbagai instrumen antara lain Code of
Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) (Dirjend Perikanan Tangkap 2011).
Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu
kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma
pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995 yang
secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries.
Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan
organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung
pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut.
Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku
bagi praktek yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan
maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan
pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini mengakui arti penting aspek gizi,
ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang menyangkut kegiatan perikanan dan terkait
dengan semua pihak yang berkepertingan yang peduli terhadap sektor perikanan.
Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi sumberdaya perikanan yang terkait
dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan
kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya.
Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela. Namun beberapa bagian dari pola
perilaku tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982. Standar pola perilaku
tersebut juga memuat beberapa ketentuan yang mungkin atau bahkan sudah memberikan
efek mengikat berdasarkan instrumen hukum lainnya di antara peserta, seperti pada
"Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (Compliance
Agreement 1993)'. Oleh sebab itu negara-negara dan semua yang terlibat dalam
pengusahaan perikanan didorong untuk memberlakukan Tatalaksana ini dan mulai
menerapkannya.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Ada Enam (6) Topik yang diatur dalam Tata laksana ini adalah: (1) Pengelolaan
Perikanan; (2) Operasi Penangkapan; (3) Pengembangan Akuakultur; (4) Integrasi
Perikanan ke Dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir; (5) Penanganan Pasca Panen dan
Perdagangan; (6) Penelitian Perikanan.
Prinsip-prinsip Umum Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
yaitu:
1. Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk
melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin
keberhasilan upaya konservasi dan pengelolaannya;
2. Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk
mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber-
sumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi
sekarang dan yang akan datang;
3. Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan
sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan
pemanfaatannya;
4. Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada bukti-
bukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang
pengelolaan sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
5. Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara
dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) seluas-luasnya;
6. Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif
dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan
keanekaragaman jenis dan populasinya;
7. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemprosesan, dan pendistribusiannya harus
dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya;
8. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan
direhabilitasi;
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
9. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya
kedalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
10. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring, Controlling
and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum di
bidang konservasi sumber-sumber perikanan;
11. Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap
kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan
tata laksana ini secara efektif;
12. Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan
cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam maupun di luar
wilayah yurisdiksinya;
13. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara
transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap
pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
14. Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak,
dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization
(WT0);
15. Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk
mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang
relevan;
16. Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam proses
pengambilan keputusan;
17. Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta
lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
18. Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan
kecil dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan
kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
19. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk
menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Sasaran-sasaran penting implementasi Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF) di Indonesia:
1. Fisheries management (pengelolaan perikanan)
- Memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam
merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan.
- Menetapkan kerangka hukum – kebijakan.
- Menghindari Ghost Fishing atau tertangkapnya ikan oleh alat tangkap yang
terbuang / terlantar.
- Mengembangkan kerjasama pengelolaan, tukar menukar informasi antar
instansi dan Negara.
- Memperhatikan kelestarian lingkungan.
2. Fishing operations (Operasi Penangkapan).
- Penanganan over fishing atau penangkapan ikan berlebih.
- Pengaturan sistem perijinan penangkapan.
- Pembangun sistem Monitoring Controlling Surveillance (MCS).
3. Aquaculture development (Pembangunan Akuakultur)
- Menetapkan strategi dan rencana pengembangan budidaya .
- Melindungi ekosistem akuatik.
- Menjamin keamanan produk budidaya.
4. Integration of fisheries into coastal area management (Integrasi Perikanan ke dalam
pengelolaan kawasan pesisir)
- Mengembangkan penelitian dan pengkajian sumberdaya ikan di kawasan
pesisir beserta tingkat pemanfaatannya.
5. Post-harvest practices and trade (Penanganan Pasca Panen dan Perdagangan).
- Bekerjasama untuk harmonisasi dalam program sanitasi, prosedur sertifikasi
dan lembaga sertifikasi.
- Mengembangkan produk value added atau produk yang bernilai tambah.
- Mengembangkan perdagangan produk perikanan.
- Memperhatikan dampak lingkungan kegiatan pasca panen.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
6. Fisheries research (Penelitian Perikanan)
- Pengembangan penelitian.
- Pengembangan pusat data hasil penelitian.
- Aliansi kelembagaan internasional.
Kewajiban Mengikuti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF):
(1) Semua Negara yang memanfaatkan sumberdya ikan dan lingkungannya; (2) Semua
pelaku perikanan (baik penangkap dan prosesing); (3) Pelabuhan-pelabuhan perikanan
(kontruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan); (4) Industri disamping harus
menggunakan alat tangkap yang sesuai; (5) Peneliti untuk pengembangan alat tangkap
yang selektif; (6) Observer program (pendataan diatas kapal); (7) Perikanan rakyat, perlu
mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan penggunaan energi yang efisien.
Dalam acara Refleksi 2010 dan Outlook 2012 Pembangunan Perikanan Tangkap
Dedy H. Sutisna mengatakan outlook Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2011 adalah
Industrialisasi perikanan pangkap berbasis pemberdayaan nelayan. Berbagai fokus
aktivitas direncanakan untuk merealisasikan industrialisasi tersebut. Pertama dilakukan
pemulihan sumberdaya ikan dan kampanye mengenai peningkatan produktivitas
perikanan dengan jargonya “One Man One Thousand Fies”. Kedua Minapolitan yang
pada tahun ini bergerak pada tahap yang lebih operasional pada 9 lokasi minapolitan
(Kota Ternate dengan zona inti PPN Ternate, Kota Bitung dengan zona inti PPS Bitung,
Kab. Pcitan dan Zona Inti PPP Tamperan, Kab. Banyuwangi dengan zone inti PPP
Muncar, Kab. Cilacap dengan zona inti PPS Cilacap, Kab. Sukabumi dengan zona inti
PPN Pelabuhan Ratu, Kab. Bangka dengan zona inti PPN Sungai Liat, Kota Ambon
dengan zona inti PPN Ambon dan Kota Medan dengan Zona Inti PPS Belawan serta
rancangan Mega Minapolitan di Morotai.
Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis
manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak sektor kelautan dan perikana
dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat.
Pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan dengan konsepsi Minapolitan
dikembangkan melalui peningkatan efisiensi dan optimalisai keunggulan komparatif dan
kompetitif daerah sesuai dengan eksistensi kegiatan pra produksi, produksi, pengolahan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dan atau pemasaran, serta jasa pendukung lainnya, yang dilakukan secar terpadu, holistic
dan berkelanjutan.
Minapolitan bertujuan untuk; (1) meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat
skala mikro dan kecil; (2) meningkatkan jumlah dan kualitas usaha menengah ke atas
sehingga berdaya saing tinggi; dan (3) meningkatkan sektor kelautan dan perikanan
menjadi penggerak ekonomi regional dan nasional.
Dalam implementasinya, pengembangan suatu kawasan minapolitan
dikarakteristikan pada sentra-sentra produksi dan pemasaran berbasis perikanan dan
mempunyai multiflier effect tinggi terhadap kegiatan ekonomi, produksi, perdagangan,
jasa, pelayanan, kesehatan dan sosial yang saling terkait, dan mempunyai sarana dan
prasarana memadai sebagai pendukung keanekaragaman aktivitas ekonomi layaknya
sebuah kota.
Ketiga pemberdayaan nelayan yang ditempuh dengan beberapa langkah, yang
diantaranya sertifikasi hak atas tanah nelayan, asuransi bagi nelayan, inpres kapal mina
1000 kapal, dan lain-lain. Keempat water front city dan konsep mall perikanan. Kelima
konversi BBM ke gas. Keenam kesyahbandaran yang akan menjadi control hasil
perikanan yang masuk keluar. Ketujuh capaian IKU dan pengembangan buku kapal
perikanan di 33 provinsi dan perijinan yang lebih cepat.
Tahun 2011
Tahun 2012
Gambar 31 Minapolitan Percontohan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Tata laksana pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan konsep
minapolitan difokuskan pada percepatan pengingkatan produksi kelautan dan perikanan
untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan ekonomi daerah.
Paket-paket kegiatan perikanan tangkap sekurang-kurangnya memenuhi unsure-
unsur sebagai berikut: (1) komoditas unggulan dan target produksi; (2) distribusi wilayah
penangkapan pro nelayan; (3) struktur armada nasional; (4) system pengkayaan stok,
moratorium dan peningkatan produksi; (5) system pelayanan perijinan; (6) system
pengelolaan pelabuhan perikanan dan TPI efisien pro nelayan; (7) system insentif usaha
investasi; (8) teknologi penangkapan dan penanganan ikan di atas kapal; (9) bantuan
teknis, seperti sarana dan permodalan serta pendampingan, dan (10) pembangunan
prasarana.
8.3 Beberapa Pendekatan Manajemen Perikanan Tangkap
Pengendalian perikanan tangkap dapat dilakukan dengan aturan yang bersifat
teknis, bersifat manajemen upaya penangkapan (input control) dan manajemen hasil
tangkapan (output control), serta pengendalian ekosistem (Murdiyanto 2004).
Sementara itu Suseno (2007) menandaskan bahwa terdapat sepuluh prioritas pendekatan
dalam pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan yaitu: (1) mengerjakan
penataan sistem pendataan perikanan secara akurat dan menyeluruh; (2) meningkatkan
kualitas SDM perikanan tangkap; (3) pengendalian produksi perikanan tangkap; (4)
reposisi rezim pengelolaan perikanan tangkap; (5) rehabilitasi dan perlindungan terhadap
ekosisttem; (6) merumuskan peraturan presiden tentang percepatan pemberantasan IUU
Fishing; (7) peningkatan produksi perikanan budidaya; (8) kebijakan pengembangan
pemasaran produksi perikanan nasional; (9) perberdayaan masyarakat secara partisipatif
dan dukungan perbankan; (10) peningkatan koordinasi dan komunikasi antar pengelola
perikanan.
(1) Penataan Sistem Pendataan Perikanan
Pemerintah hendaknya mulai merencanakan untuk membentuk lembaga
independen yang bertugas menyusun sistem pendataan perikanan nasional. Lembaga
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tersebut hendaknya bestatus fungsional. Hal yang sama telah dilakukan Jepang dengan
membentuk JAFIC (Japan Fisheries Information Center). Nilai data yang baik, tepat
waktu, dan akurat hanya dapat dilakukan lembaga independen yang ditangani tenaga-
tenaga professional dengan basis keilmuan di bidang perikanan.
Menurut Murdiyanto (2004), secara teoritis bila cukup tersedia data,
dimungkinkan untuk menentukan efisiensi relatif untuk setiap kapal dengan cara
membandingkan data historis CPUE dalam database kapal ikan. Akan tetapi dalam
prakteknya, kelangkaan data dan perubahan yang terus menerus sering dikaitkan dengan
peningkatan efiiensi sehingga sukar dikalibrasi. Hal ini menunjukkan betapa perlunya
pengumpulan data yang baik dan lengkap.
Kehadiran data yang tepat waktu dan akurat sangatlah dibutuhkan bagi para
pengguna, terutama decision marker dalam proses perencanaan pengelolaan perikanan.
Di masa depan, perencanaan pembangunan perikanan hendaknya dilakukan secara
matang dan didukung basis data yang akurat agar terhindar dari kesalahan dan kegagalan.
Keberadaan data perikanan yang akurat tidak hanya bermanfaat bagi para
pengambil kebijakan, tetapi juga bagi para pengusaha. Investasi perikanan dapat berjalan
sesuai kapasitas sumberdaya yang tersedia dan teralokasi pada lokasi yang berpeluang
untuk dikembangkan sehingga tidak terjadi penumpukan modal (over capital).
(2) Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia Perikanan Tangkap
Peningkatan kualiatas SDM mencakup peningkatan kapasitas aparatur perikanan di
tingkat daerah dan kapasitas pelaku usaha perikanan, terutama pelaku usaha tradisional.
Adapun pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengatasi terjadinya krisis SDM,
yaitu: pendekatan pendidikan formal dan pendekatan pendidikan informal. Pendekatan
pendidikan formal, misalnya penyediaan beasiswa pendidikan kepada nelayan yang tidak
mampu. Langkah tersebut dimaksudkan agar anak-anak nelayan tetap memiliki akses
pendidikan meskipun pendapatan orangtua mereka terbatas. Langkah itu termasuk
bagian dari upaya mencapai target program belajar 9 tahun. Selain dilakukan pemerintah,
hendaknya langkah itu dilaksanakan pihak terkait lain dalam menyediakan program
beasiswa pendidikan bagi anak nelayan yang memiliki kecerdasan melanjutkan
pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk perguruan tinggi. Pentingnya
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
beasiswa pendidikan bagi para anak nelayan itu sangat penting karena sampai saat ini
hanya sebagian kecil dari mereka yang dapat mengakses pendidikan hingga perguruan
tinggi.
Penyiapan SDM perikanan tangguh tidak terbatas pada tuntuan menghadapi era
globalisasi semata, tetapi upaya untuk mengurangi pula kerusakan lingkungan akibat
ketidakpahaman para pelaku usaha perikanan. Selain itu SDM perikanan yang tangguh
diharapkan mampu mewujudkan babak baru dalam proses pembangunan perikanan yang
lebih berwawasan lingkungan, berkeadilan, dan dilakukan sesuai kaidah pembangunan
perikanan yang berkelanjutan.
Pendekatan pendidikan informal (pendidikan luar sekolah). Cara itu dapat
dilakukan dengan mengadakan pelatihan/diklat, magang, studi banding dan penyuluhan
bagi para nelayan. Kegiatan pelatihan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
masyarakat nelayan, misalnya: pelatihan kewirausahaan dan penyusunan rencana usaha
(business plan). Pelatihan tersebut bertujuan meningkatkan keterampilan peserta dalam
menyusun rencana dan pengelolaan usahanya serta meningkatkan pengetahuan peserta
mengenai sumber permodalan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan skala
usahanya.
(3) Pengendalian Produksi Perikanan Tangkap
Untuk menjaga keberlanjutan produksi perikanan tangkap nasional agar tidak
melebihi TAC yang ditetapkan sebesar 5,1 juta ton/tahun. Langkah nyata untuk
mengimplementasikann kebijakan itu antara lain: Pengendalian upaya penangkapan
(input control) dan Pengendalian hasil tangkapan (output control).
Pengendalian upaya penangkapan (input control), dapat dilakukan dengan
membatasai jumlah unit penangkapan dengan membatasi pengeluaran surat izin dan
jumlah unit-waktu penangkapan misalnya dengan pembagian kuota upaya penangkapan
untuk individu dan pembatasan ukuran kapal dan/atau alat tangkap.
Murdiyanto (2004) menyatakan dengan membatasi jumlah upaya penangkapan
berarti mengurangi mortalitas penangkapan. Dalam menjalankan industri perikanan yang
bertanggung jawab, pembatasan upaya penangkapan harus dilakukan sebagai salah satu
syarat pengelolaan terlepas dari telah adanya aturan pengelolaan dalam bentuk lain.
Pengalaman menunjukkan, tanpa adanya pembatasan unit, upaya penangkapan akan sulit
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
untuk dikendalikan secara efektif. Secara umum, jika akses dan hak pemanfaatan telah
ditempatkan secara wajar, pemegang hak pemanfaatan cenderung mengatur kapasitas dan
upayanya sendiri sesuai kepentingan ekonominya. Kapasitas yang berlebihan umumnya
terkait dengan adanya akses yang terbuka terhadap kawasan SDI dan cenderung menurun
setelah pengalokasian pembatasan hak pemanfaatan dapat dilakukan dengan benar.
Kesulitan terbesar dalam memakai input control untuk mengatur perikanan
berkaitan dengan masalah penentuan berapa sebenarnya jumlah upaya masing-masing
unit penangkapan yang ada. Setiap unit penangkapan yang telah tertentu tipe dan
spesifikasinyapun mempunyai variasi yang besar dalam hal sifat alat tangkap, teknologi
penunjangnya, kualitas pemeliharaan (maintenance) kapal, keterampilan nakhoda dan
faktor lainnya. Perbedaan variasi ini menyebabkan sulitnya menentukan kwantitas upaya
efektifitas dalam kegiatan perikanan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan membatasi jumlah hasil tangkapan yang
diperbolehkan bagi suatu wilayah pemanfaatan sumberdaya ikan tertentu yang lalu
dilanjutkan menjadi pembatasan jumlah hasil tangkapan untuk setiap unit penangkapan
secara individu seperti yang dilakukan Komisi Uni Eropa. Pengaturan semacam itu,
khususnya ditujukan bagi perikanan industri dan berskala besar.
Menurut Murdiyanto (2004) dalam teorinya, output control memberikan estimasi
dan pelaksanaan penangkapan yang optimal dari suatu stok sumberdaya ikan dalam suatu
strategi penangkapan. Untuk mencapai tujuan pengendalian ini perlu adanya informasi
dan teori yang benar tentang dinamika populasi dari stok dan responnya terhadap
mortalitas penangkapan. Output control biasanya berkaitan dengan penetapan angka
TAC atau JTB yang kemudian dipecah menjadi kuota individu bagi Negara atau kapal
atau perusahaan penangkapan atau nelayan yang bersama-sama memanfaatkan
sumberdaya yang bersangkutan.
Secara teoritis output control mengabaikan kebutuhan untuk melakukan estimasi
efisiensi penangkapan terhadap semua unit dalam perikanan, serta untuk memantau dan
merespon perubahan efisiensi penangkapan terhadap waktu, yang merupakan ciri-ciri
input control. Walaupun demikian kajian semacam ini akan tetap diperlukan dari waktu
ke waktu untuk memfasilitasi penyesuaian kapasitas sumberdaya dan jumlah kapal yang
perlu dipertimbangkan bagi perkembangann teknologi penangkapan. Tanpa penyesuaian
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
tersebut, peningkatan kapasitas penangkapan yang tidak terkendali akan mendorong
terjadinya penambahan penangkapan yang berlebihan yang tidak dilaporkan.
Lebih lanjut Murdiyanto (2004) menjelaskan bahwa pengendalian hasil tangkapan
juga mempunyai masalah dalam implementasinya: Sementara pengendalian hasil
tangkapan dapat melindungi sumberdaya ikan, dengan tidak adanya pembatasan akses
dan kuota penangkapan, maka distorsi social dan ekonomi akibat adanya persaingan
untuk memperoleh bagian alokasi JTB yang tersisa, masih belum dapat dikurangi.
Persoalan terbesar dari pengendalian hasil tangkapan adalah masalah monitoring terhadap
hasil tangkapan tersebut. Dorongan bagi nelayann untuk tidak melaporkan hasil
tangkapannya cendrung menjadi tinggi bila laporan hasil tangkapan ini merupakan faktor
yang dijadikan alat untuk membaaatasi atau mengatur haknya untuk menangkap ikan.
(4) Reposisi rezim pengelolaan perikanan tangkap
Selama ini, rezim pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlaku di Indonesia-
terutama di ZEE dan laut lepas adalah rezim open acces (non property). Artinnya hampir
tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya ikan. (Charles 2001)
menyatakan, ada dua makna dalam rezim open access (non property) yaitu: (1)
Sumberdaya ikan yang tidak tak terbatas itu diakses kapal yang hamper tidak terbatas
(laissez-faire) pula diyakini akan menimbulkan kerusakan sumberdaya, sosial dan
ekonomi; (2) Tidak ada kendali terhadap akses kapal, padahal ada pengaturan terhadap
hasil tangkapan. Hal itu diyakini menjadi salah satu pembentu over-capitalization
terhadap kapal yang didorong pemahaman rush for the fish; menangkap ikan sebanyak-
banyaknya.
Salah satu titik awal dari reposisi rezim perikanan nasional adalah dengan
mengubah secara gradual rezim quasi open acces menjadi limited entry atau, paling tidak
controlled-open acces. Rezim itu menitik beratkan pada pengelolaan sumberdaya
perikanan dari sisi input atau output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata
pemerintah yang baik (good govermance) menjadi syarat penerapan rezim tersebut
karena menyangkut mekanisme pemberian izin yang adil, transparan dan efisien.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(5) Rehabilitasi perlindungan terhadap ekosistem
Dalam hal ini pemerintah harus melindungi ekosisterm mangrove dari ancaman
kerusakan, bahkan sudah harus merehabilitasinya guna mengembalikan fungsi ekosistem
mangrove yang menunjang kehidupan ikan. Begitu pula perlakuan terhadap ekosistem
terumbu karang yang perananya sangat signifikan bagi kelangsungan hidup ikan.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk merehabilitasi dan
perlindungan terhadap ekosistem adalah melalui reorientasi pendekatan pengelolaan
perikanan tangkap ke arah pengelolaan yang berbasis ekosisterm (ecosystem-based
management to marine fisheries). Konsep dasar pendekatan itu, mengelola aktivitas
manusia bersama ekosistem di sekitarnya (King 1995). Salah satu bentuk nyata
pendekatan iotu adalah Marine Protected Area (MPA), yaitu pengelolaan tidak
dimaksudkan pada salah satu species tertentu, melainkan pada upaya pemnbatasan
aktivitas manusia di daerah yang dimaksud (Charles 2001).
Daerah perlindungan laut dapat merupakan alat penting untuk mencapai tujuan
perikanan yang berkelanjutan, terutama untuk jenis-jenis ikan yang kehidupannya
menetap. MPA juga berperan penting dalam mempertahankan dan memperbaiki habitat
yang kritis atau mempertahankan kehidupan ikan-ikan yang pertumbuhannya sensitif
pada fase-fase tertentu.
Perlindungan dan rehabilitasi lingkungan hendaknya diatur pula melalui
penegakan hukum (law enforcement) terhadap para pelaku kegiatan penangkapan ikan
secara destruktif. Bentuk nyata perhatian pemerintah atas masalah itu adalah UU No. 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan yang di
dalamnya mengatur sangsi yang berat bagi para pelaku perusakan lingkungan laut, di
dalamnyapun diatur pula adanya hakim ad hoc yang khusus menangani para pelaku
pelanggaran dan perusakan lingkungan laut.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(6) Merumuskan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pemberantasan IUU
Fishing
Perpu tentang IUU Fishing itu harus dilihat secara komprehensif dari berbagai
aspek, antara lain masalah kedaulatan, keamanan, ekonomi, dan citra sebagai bangsa
yang besar. Oleh karena itu, beberapa hal yang hendaknya diatur dalam perpu adalah:
1. Badan pelaksana Perpu merupakan gabungan berbagai instansi pemerintah
yang terkait seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI AL,
Departemen Kehakiman, Polairut, Mahkamah Agung, dan Jaksa Agung.
Tugas badan pelaksana itu, antara lain memberantas praktek kolusi perizinan
perikanan yang dilakukan pihak dari pemerintah atau swasta yang hanya
mementingkan kepentingan sendiri (Rent Seekers).
2. Memperbaiki manajemen perikanan dengan menerapkan pengaturan musim
penangkapan untuk jenis-jenis tertentu dan memetapkan daerah perlindungan
guna menjamin kelestariannya. Pembatasan musim penangkapan dapat
digunakan untuk melindungi komponen stok ikan misalnya pada fase juwana
(juvenile) atau fase dewasa dan memijah. Pembatasan ini dimaksudkan untuk
mengatur total mortalitas penangkapan. Akan tetapi untuk melaksanakan
pengaturan ini staf pengelola perikanan harus memonitor upaya yang ada dan
pembatasan area dan waktu yang tepat.
Menurut Murdiyanto (2004), untuk melindungi stok, pemijahan,
perkembangan larva, juvenile dan ikan dewasa dapat dilakukan antara lain
dengan menutup suatu areal perairan terhadap kegiatan penangkapan ikan.
Perairan dekat pantai dapat ditutup untuk melindungi fauna habitat bakau
yang hidup di air dangkal, dikenal sebagai daerah asuhan (nursery area) bagi
berbagai spesies. Di beberapa daerah perairan pantai penutupan dapat
dilakukan secara permanen. Di beberapa daerah perairan pantai penutupan
dapat dilakukan secara permanen. Penutupan areal terhadap kegiatan
penangkapan dapat juga dilakukan pada musim tertentu saja, atau di luasan
tertentu atau kombinasi keduanya. Penutupan areal penangkapan dapat
dilakukan beberapa bulan sesuai dengan musim penangkapan untuk memberi
kesempatan kepada jenis-jenis ikan tertentu melakukan pemijahan dan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
bertelur. Bila perlu penutupan daerah penangkapan ikan dilakukan selama
satu tahun penuh agar dapat memulihkan populasi jenis organisme tertentu
yang telah menipis, misalnya melarang penangkapan udang dengan trawl di
perairan tertentu selama satu tahun.
Untuk menetapkan lokasi daerah perairan dan waktu penutupan secara tepat
memerlukan studi dan kajian yang mendalam sebelumnya agar benar-benar
dapat diketahui secara lebih pasti dan akurat di mana dan kapan terjadinya
masa pemijahan dan masa bertelur dari ikan atau organisme laut lainnya yang
dikelola.
3. Meningkatkan peran serta nelayan. Peningkatan peran serta nelayan dalam
upaya memanfaatkan dan menjaga kelestarian potensi SDI di perairan
Indonesia saat ini sangat perlu diatur dalam perpu tadi mengingat peran serta
nelayan hingga saat ini belum dilaksanakan secara optimal.
(7) Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya
Kebijakan itu untuk memenuhi kebutuhan ikan dan produk perikanan masyarakat
Indonesia dan dunia. Menurut Dirjend Perikanan Tangkap KKP (2011), Sektor
perikanan budidaya secara khusus peride 2006-2010 mengalami peningkatan hingga
19,56 persen. Pada tahun 2005 potensi produksi budidaya Indonesia mencapai 57,7
juta/tahun. Pada tahun 2010 pencapaian potensi produksi budidaya sebesar 10,83 juta
ton. Hal tersebut berarti melampaui target sasaran yang dipatok yaitu sebesar 10,76 juta
ton. Sektor perikanan budidaya secara khusus telah menjadi ujung tombak pencapaian
tujuan itu. Pendayagunaan potensi perikanan budidaya akan menghantarkan Indonesia
sebagai Negara yang mencapai surplus produksi perikanan (swasembada ikan). Dengan
begiatu, harapan produk perikanan Indonesia dapat menjadi pemasok utama kebutuhan
dunia dapat terealisasi.
Strategi yang dapat dikembangkan dalam upaya mencapai swasembada ikan
adalah:
1. Penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan. Artinya, jangan sampai
pengembangan budidaya menimbulkan eksternalitas yang negatif terhadap
keberlanjutan lingkungan di sekitar lokasi budiaya. Oleh karena itu, pemerintah
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
hendaknya menjadi jembatan antara pembudidaya dan perguruan tinggi dalam
mengembangkan teknologi budidaya ramah lingkungan.
2. Merehabilitasi lahan pesisir yang mengalami degradasi lingkungan. Lahan pesisir
yang telah mengalami degradasi itu sebagian besar merupakan lahan yang
potensial untuk dikembangkan sebagai lahan budidaya. Dengan demikian,
rehabilitasi lahan pesisr itu saat ini meupakan kebutuhan utama dalam upaya
mengembangkan dan merevitalisasi budidaya perikanan di Indonesia. Selain itu,
upaya rehabilitasi lahan pesisir tadi bertujuan menjaga kerusakan wilayah pesisir
yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
3. Memudahkan akses modal para pembudidaya ikan. Selama ini, akses modal dari
perbankan dan pemilik modal lainnya bagi pembudidaya ikan sangat minim. Hal
itu karena para pemilik modal masih belum percaya pada kedahsyatan sektor
perikanan. Untuk itu, pemerintah harus terus menerus meyakinkan pihak
perbankan agar berpartisipasi dalam upaya pengembangan sector perikanan
nasional.
4. Mengembangkan pabrik-pabrik pakan ikan nasional. Selama ini, sebagian pakan
ikan nasional dipasok produk luar negeri sehingga ketika terjadi krisis ekonomi
tahun 1997, peningkatan pendapatan produk perkebunan. Itu karena beberapa
produk perikanan masih sangat bergantung pada produk luar negeri seperti halnya
produk tepung ikan.
(8) Kebijakan Pengembangan Pemasaran Produksi Perikanan Nasional
Kebijakan tersebut bertujuan agar produk perikanan Indonesia dapat dipasarkan
lebih luas lagi ke Negara-negara pengonsumsi ikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya
jika pemerintah membentuk tim khusus yang bertanggung jawab dalam pemasaran
produk perikanan nasional. Selain bertugas memasarkan produk perikanan Indonesia,
tim itu pun bertugas meyakinkan Negara-negara di dunia bahwa perikanan Inndonesia
sangat ramah lingkungan dan memiliki daya saing tinggi
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
(9) Pemberdayaan masyarakat secara partisipatif dan dukungan perbankan.
Pengelolaan partisipatif merupakan paradigma pengelolaan sumberdaya yang kini
banyak dianut di Negara berkembang. Di Indonesia, paradigma itu baru diperkenalkan
sejak pertengahan decade 90-an. Pengelolaan itu disebut pula sebagai pengelolaan
berbasis masyarakat, pengelolaan kooperatif atau pengelolaan kolaboratif.
Pada dasarnya, pengelolaan partisipatif merupakan pengelolaan sumberdaya yang
melibatkan partisipasi masyarakat atau yang dilakukan bersama masyarakat dan
pemerintah (kolaboratif). Tidak ada pedoman yang baku tentang proporsi partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat sangat bervariasi
dalam pengelolaan partisipatif.
Pengelolaan partisipatif berada di tengah pendulum dua kutub, yaitu pengelolaan
adat dan pengelolaan pemerintah. Contoh pengelolaan yang murni dilakukan adat adalah
pengelolaan perdagangan siput Trochus melalui system sasi di Maluku sejak zaman
Belanda hingga pertengahan tahiun 1970-an (Zerner 1994). Adapun contoh pengelolaan
yang murni dilakukan pemerintah adalah pembagian wilayah penangkapan ikan serta
larangan pemakaian bom dan racun. Dari pengalaman pada dua kutub pendulum itu, kita
melihat efektivitas pengelolaan adat sangat tinggi, sedangkan pengelolaan pemerintah
biasanya tidak efektif (Fraser et al. 1999).
Namun, kearifan lokal dalam memahami sumberdaya ikan tidak selalu ada dalam
adat dan tepat untuk mengatasi permasalahan masa kini. Pada umumnya, pemahaman
masyarakat adat tentang pengelolaan sumberdaya ikan di masa kini masih sangat kurang
sehingga pengelolaan adat dapat menimbulkan salah kelola. Mobilisasi masyarakat yang
sangat tinggi kini dapat pula membuat pengelolaan adat berbenturan dengan kepentingan
nasional. Untuk itu pengelolaan sumberdaya ikan perlu dilakukan secara partisipatif
yang melibatkan seluruh stakeholder perikanan.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan desa pesisir hendaknya dilakukan
mulai dari penyususnan perencanaan desa sampai tahapan implementasinya.
Perencanaan pembangunan desa merupakan langkah penting yang harus dilaksanakan
dalam rangka suatu proses pembangunan. Fungsi penting perencanaan pembangunan
adalah untuk mempengaruhi, memberikan arahan dan dalam beberapa hal mengendalikan
perubahan social, ekonomi dan budaya masyarakat dlam kurun waktu tertentu.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Selain itu dengan bergulirnya otonomi daerah dan semangat reformasi,
perencanaan pembangunan yang baik hendaknya beranjak dari realitas sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat setempat serta harus aspiratif dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat. Dalam kaitan itu, suatu proses perencanaan pembangunan hendaknya
disususn dengan melibatkan masyarakat terkait (stakeholders). Hal itu sangat penting
dilakukan agar segenap program yang berhasil di rancang merupakan buah pemikiran
para stakeholders yang pada gilirannya menambah kebersamaan dalam pelaksanaannya.
(10) Peningkatan Koordinasi dan Komunikasi antar Pengelola Perikanan.
Sejalan dilaksanakannya era desentralisasi, pengelolaan perikanan pun
mengalami babak baru yang berbeda dengan masa sentralisai, yaitu perubahan
mekanisme dalam proses penyususnan kebijakan pengelolaan perikanan; dari pendekatan
top down menjadi bottom up.
Selain itu, kedua pihak hendaknya memiliki peran dan tugas masing-masing
dalam pembangunan perikanan tangkap. Pemerintah pusat hendaknya mengembangkan
kebijakan yang terpadu dalam mengelola sumberdaya pesisir dan lautan melalui
Integrated Coastal Management (ICM), menyususun dan menyelaraskan kebijakan
nasioanal dalam kerangka pengelolaan SDI yang bekelanjutan dan menjadi mediator
beragam isu pengelolaan perikanan yang dilaksanakan pemerintah daerah. Untuk tingkat
provinsi pemerintah daerah setempat hendaknya melakukan identifikasi tertahap titik
kunci perikanan, seperti area peminjahan dan daerah juvenile melalui penilaian secara
partisipatif dan kajian ilmiah, melakukan penyusunan perencanaan pengelolaan perikanan
di tingkat regional, meningkatkan kapasitas kelembagaan SDM yang mengelola
sumberdaya perikanan, serta sebagai mediator terhadap beragam kualitas isu pengelolaan
perikanan yang ada di tingkat kabupaten/kota hendaknya melakukan beberapa peran
antara lain: (1) bersama masyarakat melakukan penilaian dan monev (pengawasan,
monitoring dan evaluasi) atas SDI; (2) menentukan alokasi jumlah pemanfaatan SDI
secara optimal; (3) melalukan pendataan dan informasi terhadap SDI; (4) melakukan
kerjasama dengan daerah tetangga dalam pengelolaan secara bersama dan (5)
menetapkan daerah tertutup untuk kegiatan penangkapan karena over-exploitation seperi
daerah perlindungan laut (marine sanctuary).
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Selain itu, pemerintah dapat pula memberi fasilitas bagi masyarakat untuk
membuka akses jaringan pemasaran ikan dan produk perikanan, penegakan hukum
terhadap beragam pelanggaran dalam pemanfaatan sumber daya ikan di daerahnya, dan
memfasilitasi masyarakat yang terlibat konflik pemanfaatan sumber daya ikan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
22 hal.
Aminah S. 2010. Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kembung (Rastrelliger spp) Di
Perairan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan Thesis (tidak
dipublikasikan). Fakkultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Anonymous. 2008. Rencana Strategis Kabupaten Tanah Laut. Pemkab Tanah Laut.
Pelaihari.
Ansyari A. 2001. Pengaruh Pemberian Lampu Pada Alat Tangkap Tempirai (Portable
traps) Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru. 38 halaman.
Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 65 hal.
Badan Pusat Statistik. 2007. Tanah Laut dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten Tanah Laut.
350 hal.
Bachri M. 1993. Pendugaan Stok dan Potensi Lestari Maksimum Ikan Demersal di
Pantai Utara Batang-Pekalongan, Jawa Tengah. Laporan Praktek Lapangan
(Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal.
Bahari R. 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat.
Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta., 18 -19 Desember 1989.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 156-180 hal.
Balai Penelitian Perikanan Laut. 1992. Alat Penangkap Ikan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Baruadi ASR. 2004. Model Pengembangan Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Pelagis di
Provinsi Gorontalo. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.176 hal.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Barus HR. Badrudin, Naamin N. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi
Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prosiding Forum
II Perikanan Sukabumi, 18 – 21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. 165-180 hal.
Batubara P. 1981. Suatu Studi tentang Prospek Perikanan Tuna di Perairan Indonesia. Fakultas
Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor.
Brandt AV. 1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing News Books. London.
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Black well Science.
Cochrane KL. 2002. A fishery manager’s guidebook. Management measures and their
application. FAO Fisheries Technical Paper, N0. 424. Rome. 231 p.
Collette B, Nauen CE. 1983. Scombrids of The World. FAO Species Catalogue. FAO
Fisheries Synopsis.IV (125): 137 p.
DJPT DKP. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. DKP. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2005. Juknis Penangkapan Ikan Ramah
Lingkungan (http://www.dkp.go.id )
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2005. Spesies Sumberdaya Ikan
(http://www.dkp.go.id/pipp2/alat_tangkap/spesies.html)
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2003. Laporan Final Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Kabupaten Tanah Laut.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. Pelaihari
Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Statistik Perikanan Indonesia. Departemen
Pertanian. Jakarta. 75 hal.
Dirjen Perikanan Tangkap. 2002. Hasil Sosialisasi Usaha Perikanan Tangkap dan
Workshop Rasionalisasi Usaha Penangkapan Ikan di Pantai Utara Jawa.
Departemen Kelautan dan Perikanan Semarang. 85 hal.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2006. Laporan Tahunan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut. 2007. Laporan Tahunan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut.
FAO. 1977. Fisheries Management. FAO Technical Guidelines for Resposible Fisheries.
81 p.
Fox WW Jr. 1970. An Exponential Surplus-Yiel Model for Optimizing Exploited Fish
Population. Trans. Am. Fish. Soc. J: 99;80-88.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Fridman A.L, 1968. Perhitungan Dalam Merancang Alat Penangkap Ikan direvisi dan
diedit dan dikembangkan oleh PJG Carrothern. Team Penerjemah BPPI Semarang.
232 hal.
Gabric AJ, Parslow J. 1989. Effect of Physical Factor on the Vertikal Distribution of
Phytoplankton Eutrophyc Coastal Water. Aust. J. Mar. Freshwater Resc.
Gazpers. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri.
Tarsito. Bandung. 56 hal.
Ghaffar MA. 2006. Optimasi Pengembangan Usaha Perikanan Mini Purse Seine Di
Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis (Tidak Dipublikasikan).
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 75 hal.
Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment; A Manual of Basic Methods. John Willey
and Sons. Inc. New York. 223 hal.
G.C. Net Home Page.1997. AVHRR Sensor Characteristics. Data Guide/Sensor.
(http://www.ccrs.nrcan.gc.ca./gcnet/guides/avhrr/ch3.html).
Haluan J. 1985. Proses Optimasi dalam Operasi Penangkapan Ikan. Pedoman Kuliah
Metode Penangkapan Ikan II (Bagian Pertama). Sistem Pendidikan Jarak Jauh
Melalui Satelit Sisdiksat Intim. Bogor. 55 hal.
Haluan J, Nurani TW. 1988. Penetapan Metode Skoring Penangkapan Ikan yang Sesuai
Untuk Dikembangkan di suatu Wilayah Perairan. Buletin PSP. Vol. II. No 1. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. 3 – 16 hal
Hanafiah AV dan Saefuddin AM. 1986. Tata niaga Hasil Perikanan. UI Press. Jakarta.
Hendriati N, Suwarso E, Aldrian K, Amri R, Andiastuti SI, Shacoemar, Wahyono IB.
2005. Seasional Variation of Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography
18(4);112-123)
Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus perikanan
pantai. IPB. Bogor
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hal
Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science. Part I. An Introduction to Fisheries
Science. FAO of The United Nation. Rome. 43 p.
King, A.H. 1963. An Introduction to Oceanography. Hill Books Company Inc. San
Fransisco.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Kusumastanto dan Adrianto. 2005. Revitalisasi Sektor Perikanan dan Kelautan Secara
Berkelanjutan. “Working Paper Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-
IPB. Bogor.
Laevastu T, Favorite F. 1988. Fishing and Stock Fluctuations. Fishing News Books
Ltd. London. 240 hal.
Malm, T. 2001. The tragedy of the commoners: the decline of the customary marine
tenure system in Tonga. SPC Traditional Marine Resource Management and
Knowledge Inforormation Bull. No. 13 : 3 – 13.
McCay, B.J. 1993. Management Regimes. Beijer Discussion Paper Series No. 38. The
Royal Swedish Academy of Science. 12 p.
Masyahoro A. 2001. Analisis Berbagai Faktor Produksi pada Perikanan Purse Seine di
Periran Teluk Tomini. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agroland. Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako. Vol. 8 No.2 216-233 hal.
Monintja DR. 1987. Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut
di Indonesia. Buletin PSP Vol. 1 No 1. Fakultas Perikanan. IPB Bogor. 14 – 25 hal.
Monintja DR. 1993. Study on The Development of Rumpon as Fish Aggregation Device
in Indonesia. Buletin ITK, Maritek Vol. III No 2 : 137 p.
Monintja DR. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah
Disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan
Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. Jakarta: 12 hal.
Monk KY, De Fretes Y, G. Reksodihardjo-Liley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara
and Maluku. The Ecology of Indonesia Series. No.V. Periplus Editions.
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta. COFISH
Project. 200 hal.
Naanim N. 1987. Perikanan Laut Indonesia : Prospek dan Problem Pengembangan
Sumberdaya Perikanan Laut. Seminar Laut Nasional II, Jakarta. 18 hal.
Nomura M, Yamazaki. 1975. Fishing Techniques. Japan International Corperation
Agency. Tokyo.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Noor A. 2003. Analisis Kebijakan Pengembangan Marikultur Di Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu Propinsi Dki Jakarta, Tesis. IPB Bogor.
Nikijuluw, V.P.H. 1998. Ko-manajemen sebagai paradigma baru pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Inovasi teknologi pertanian.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Seperempat abad penelitian dan pembangunan pertanian. BPPP, Jakarta. Hal. 931
– 939.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo.
Jakarta.
Oemry AF. 1993. Aplikasi Pendugaan Stok Ikan Demersal di Perairan Utara Kabupaten
Batang. Laporan Praktek Lapangan (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu
dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64
hal.
Pahlevi K. 1997. Studi Tentang Alat Tangkap Rempa Tarik (Beach Seine) Di Takisung
Kecamatan Takisung Kabupaten (Skripsi) tidak dipublikasikan. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Lambung
Mangkurat. Banjarbaru. 46 Halaman.
Pasaribu BP. 1967. Menemukan Kelompok Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di
Perairan Tapanuli. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.
Parerung YM. 1996. Pendugaan Potensi Sumberdaya Ikan Kembung (Rastrelliger spp)
di Perairan Pantai Sulawesi Selatan. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program
Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 56 hal.
Panayotou T. 1982. Management concepts for small-scale fisheries: economic and social
aspects. FAO Fisheries Technical Paper No. 228. FAO, Rome. 53 p.
Pemerintah Kabupaten Tanah Laut. 2006. Rencana Strategis Kabupaten Tanah Laut.
(http://www.tanah-laut.go.id)
Radarwati S, Baskoro MS, Monintja DR, Purbayanto A. 2010. Alokasi Optimum dan
Wilayah Pengembangan Berbasis Alat Tangkap Potensial Teluk Jakarta. . Marine
Fisheries 1(2): 189-198
Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorentasi Konsep
Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. Hal 18-35.
Rasdani M, Sudarja Y, Prihartini A. 2001. Pedoman Regional untuk Perikanan Yang
Bertanggungjawab di Asia Tenggara (Regional Guidelines for Responsible
Fisheries in South East Asia: Responsible Fishing Operation). Penerjemah. BPPI
Semarang.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Rasdani M. 2005. Usaha Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab. Makalah
disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Ikan tanggal 14 – 24 Juni
2005. BPPI Semarang.
Robinson. 1991. Satelite Oceanography, an Introduction for Oceanographer and remote
sensing scientist. Ellis Horwood Limited. John Wiley and Sons. New York.
Rusmilyansari. 2005. Desain Kapal dan Model Trammel net Yang Sesuai Untuk
Meningkatkan Efektifitas. Fakultas Perikanan Unlam. Banjarbaru. 44 Hal.
Rusmilyansari. 2006. Disain, Bahan Dan Konstruksi Alat Tangkap “Rakang (Crab Lift
And Stake Drip Net) Yang Sesuai Untuk Meningkatkan Efektifitas Penangkapan
Kepiting. Fakultas Perikanan. Banjarbaru. 81 Hal.
Rusmilyansari 2008. Kajian material jaring lalangit untuk penangkapan ikan betok di
Perairan Rawa. Majalah Ilmiah Kalimantan Scientiae. Hal 114-123
Rusmilyansari. 2008. Pengkajian Rancangan Dasar (Basic Design) Kapal Perikanan yang
sesuai untuk penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut. Jurnal Ilmiah
Chlorophyl. Vol. 4, No.2. Hal 95-102.
Rusmilyansari. 2009. Modifikasi Tamba (Trap) Untuk Meningkatkan Efektifitas
Penangkapan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii). Majalah Ilmiah
Kalimantan Scientiae.
Rusmilyansari. 2009. Penggunaan papan Layang (Otter board) pada lampara Dasar
(Bottom seine net) untuk meningkatkan hasil tangkapan. Jurnal ilmiah
Chlorophyl Hal 12-18
Rusmilyansari dan Rosadi E. 2010. Status Perikanan Ramah Lingkungan Untuk
Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan. Fakultas
Perikanan. Banjarbaru. 15 Hal.
Rusmilyansari dan Irhamsyah. 2011. Teknologi Trammel net Dalam Kajian Selektivitas
Penangkapan Ikan. Alhaka Publishing. Banjarmasin. 94 Hal
Sandy LM. 1997. Pembangunan Wilayah. Direktorat Tata Guna Tanah. Departemen
Dalam Negeri. Jakarta. 295 Hal.
Sparre PE, Ursin, Venema SC. 1989. Introductional to Tropical Fish Stock Assessment:
Part -1 Manual. FAO Fish Tech. Paper. 301.1. Rome. 337 hal.
Sparre PE, Ursin, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1.
Manual. (Diterjemahkan oleh J. Widodo, I. G. S. Merta, S. Nurhakim dan M.
Badrudin). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dan Pengembangan Pertanian (Berdasarkan Kerjasama dengan Organisasi
Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa). Jakarta. 438 hal.
Setiawan R. 1999. Analisis Potensi,Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim Pengkapan
Tongkol di Peraiaran Binuangeun, Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 63 hal.
Simbolon D. 2011. Bioekologi dan Dinamika Daerah Penangkapan Ikan. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor.
Soewito, Sobono, Soeparso, Malangjoedo MS, Soesanto V. 2000. Sejarah Perikanan
Indonesia. Yasamina. Jakarta. 213 hal.
Subani W, Barus H. R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia.
Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
DEPTAN.
Suhendrata T. Amin EM. 1990. Pendugaan Pertumbuhan dan Pola Penambahan Bara
Ikan Kembung Lelaki (R. kanagurta) di Peraian Selat Madura. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. (54) : 59 – 64 hal.
Suparmoko. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Suatu Pendekatan
Teoritis. BPFE, Yogyakarta
Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 160 Hal.
Suyasa. 1989. Analisis Efisiensi Ekonomi Relatif Usaha Tani Tambak di Kecamatan
Pontang, Kabupaten Serang, Jawa Barat. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB.
Valiela I. 1984. Marine Ecological Process. Springer-Verlag. New York. USA.
Vitner Y. 2006. Ekolabel Produk Perikanan (http://www.kompas.com) direkam pada 16
Sep 2006
Widodo J, Nurhakim S. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan pada
Training of Trainers on Fisheries Resources Management. Hotel Golden Clarion,
Jakarta.
Wiyono ES. 2005. Pengembangan Teknologi Penangkapan Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Ikan (http://www.beritaiptek.com) yang direkam pada 22 Sep 2010
Zarochman, Fauzi, Siregar N. 1996. Klasifikasi Alat Penangkap Ikan Yang disesuaikan
Untuk Perairan Indonesia. Bagian Proyek Pengembangan Teknologi
Penangkapan Ikan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Zen, S. and J.R. Nielsen. 1996. Fisheries Co-Management: A Comparative Analysis.
Marine Policy 20(5): 374 – 382.
Glosarium
1 Alat penangkap ikan : Sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang
dipergunakan untuk menangkap ikan.
2 By-catch : Hasil tangkapan sampingan; merupakan bagian dari
hasil tangkapan yang didapatkan pada saat operasi
penangkapan sebagai tambahan dari tujuan utama
penangkapan (target spesies).
3 Code of Conduct for
Responsible Fisheries
: Kode tindak perikanan bertanggung jawab,
merupakan acuan bagi pelaksanaan kegiatan
perikanan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh
FAO
4 Demersal : sifat hidup ikan yang menyukai perairan bagian
dalam atau dasar, contahnya: udang, ikan kerapu
dan ikan kakap.
5 Effort : adalah menunjukkan jumlah alat penangkapan ikan
berjenis khusus yang digunakan di daerah
penangkapan ikan dalam satu satuan waktu
6 Echo sounder : Alat yang digunakan untuk mendeteksi target yang
berada di bawah kapal untuk mendeteksi ikan atau
target secara vertikal
7 Fishing Power Index : Perbandingan kemampuan tangkap antar alat
tangkap selanjutnya dinyatakan dalam bentuk
indeks
8 Fishing : usaha melakukan penangkapan ataupun
pengumpulan ikan dan jenis-jenis aquatic
resources lainnya dengan dasar pemikiran
bahwa ikan dan aquatic resources tersebut
mempunyai manfaat ataupun mempunyai nilai
ekonomi.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
9 Fishing ground : Wilayah perairan yang digunakan sebagai lokasi
penangkapan
10 Fishing method : kebiasaan, cara, metode yang dipergunakan
dengan mana ikan dapat tertangkap
11 Gross Tonnage (GT) : Ukuran besarnya kapal secara keseluruhan yang
merupakan jumlah isi semua ruang-ruang tertutup
(volume)
12 Hasil tangkapan : porsi dari hasil penangkapan yang di daratkan di
pangkalan pendataran ikan atau didistribusikan ke
pasar
13 Hasil tangkapan sasaran : komponen atau unsure stok ikan/sumberdaya
(ukuran, jenis dan lain-lain) terutama yang dicari
atau dituju oleh nelayan industry
14 Hasil tangkapan
insedental
: hasil tangkapan yang tidak diperkirakan
sebelumnya/tidak diantisipasi akan tertangkap
dalam operasi penangkapan ikan, tetapi tertangkap
secara sepintas lalu/kebetulan
15 Hauling : proses pengangkatan alat tangkap ke atas dek kapal
pada operasi penangkapan ikan
16 High risk : karakter pemanfaatan sumberdaya ikan di laut
mengandung risiko tinggi, baik dalam segi
keamanan teknis proses produksinya, maupun
kepastian hasil tangkapannya.
17 Highly perishable : sifat produk perikanan (ikan) sangat cepat menjadi
busuk.
18 Invisible : sifat sumberdaya ikan tidak terlihat secara kasat
mata, menyebabkan ketidakpastian usaha.
19 Illegal Fishing : alat penangkapan ikan dan praktek penangkapannya
yang dilarang oleh hokum dan peraturan
perundangan
20 Keseimbangan bio-
ekonomi
: Kondisi dimana pada setiap effort dibawah
EoA,penerimaan total akan melebihi biaya total,
sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih
banyak tertarik (entry) untuk melakukan
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
penangkapan ikan
21 Kebijakan : suatu peraturan untuk mengatur atau mengubah
suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik
22 Light fishing : Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan
cahaya sebagai pengumpul ikan
23 Maximum Sustainable
Yield
: Suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil
tangkapan maksimum yang lestari tanpa
Mempengaruhi produktivitas biomassa secara
secara jangka panjang
24 Model bio-ekonomi : Salah satu alternatif pengelolaan yang dapat
diterapkan demi upaya optimalisasi pengusahaan
sumberdaya perikanan berkelanjutan
25 Multi species : populasi yang terdiri dari banyak jenis tanpa satupun
yang menjadi jenis dominan.
26 Nelayan : orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalan
operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya
atau tanaman air.
27 Net B/C : bersih dan total biaya produksi atau perbandingan
antara total penerimaan
28 Net Present Value : selisih antara nilai sekarang dari penerimaan atau
nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga
tertentu
29 Otter board : Papan pembuka mulut jarring yang umumnya
digunakan dalam pengoperasian trawl
30 Overfishing : suatu resiko yang dapat ditimbulkan oleh
penangkapan yang berlebihan
31 Penangkapan Ikan : kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan
diperairan yang tidak dalam dengan alat atau cara
apapun termasuk kegiatan yang menggunakan kapal
untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, mengolah atau mengawetkan.
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
32 Pelagis : sifat hidup ikan yang menyukai perairan terbuka
atau bagian tengah ataupun bagian permukaan
perairan, contohnya: ikan cakalang, ikan lemuru dan
ikan tuna.
33 Perairan Teritorial : daerah laut yang membentang ke arah laut sampai
jarak tiga mil dari garis air surut pulau-pulau yang
termasuk wilayah Republik Indonesia: dengan
pulau-pulau diartikan juga karang-karang, batu-batu
dan gosong-gosong yang ada di atas permukaan laut
pada waktu air surut termasuk wilayah Republik
Indonesia.
34 Perikanan Sebagai Suatu
Kegiatan Ekonomi
: usaha manusia memanfaatkan sumberdaya
perikanan dengan cara menerapkan kaedah
teknologi secara ekonomis untuk mencapai
kesejahteraannya melalui produksi hasil perikanan.
35 Perikanan pantai : unit/sastuan penangkapan ikan yang beroperasi di
perairan pantai (mulai dari pantai kea rah laut
sampai mencapai jarak 3-5 mil laut)
36 Pengelolaan
Berkelanjutan
: pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan
aspirasi manusia saat ini tanpa mengorbankan
potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasinya pada
masa yang datang.
37
Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang
kepada sesuatu
38 Perairan umum daratan : semua badan air yang terbentuk secara alami atau
buatan dan terletak mulai garis pasang surut
terendah ke arah daratan serta bukan milik
perorangan
39 Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan
40 Perikanan Tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang
tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang
mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
dan/atau mengawetkannya.
41 Perikanan yang
bertanggung jawab
: konsep mengenai ruang lingkup pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang lestari dan serasi
dengan lingkungannya
42 Produksi : jumlah semua ikan, binatang air lainnya dan
tanaman air yang telah ditangkap/diambil dari
sumber perikanan alami atau dari tempat
pemeliharaan yang diusahakan oleh
perusahaan/rumah tangga perikanan.
43 Produktivitas : Suatu alat untuk melihat efisiensi teknik dan suatu
proses produksi yang merupakan perbandingan
antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan input
sumberdaya yang dipergunakan
44 Selektifitas alat : sifat dari alat penangkapan ikan yang
mengurangi/mengeluarkan hasil tangkapan yang
ukurannya tidak diinginkan dan melepaskan hasil
tangkapan insedental
45 Stakeholders : pemangku kepentingan
46 Stok : populasi atau bagian dari populasi dimana semua
anggotanya dikarakteristik oleh persamaan-
persamaan yang tidak dapat diturunkan tetapi
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
47 Sistem : sebagai suatu kumpulan objek yang saling berkaitan
dan saling bergantung secara tetap (reguler) untuk
mencapai tujuan bersama dalam suatu lingkungan
yang kompleks.
48 Sonar : Merupakan salah satu alat penginderaan jarak jauh
dengan prinsip kerja menggunakan metode akustik
yaitu sistem sinyal
49 Sumberdaya ikan : Salah satu sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui tetapi terbatas
50 Sustainable development : pembangunan berkelanjutan, kegiatan pembangunan
yang mempertimbangkan aspek kelestarian
sumberdaya dan lingkungan sehingga menjamin
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
keberlanjutan komunitas, keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan social ekonomi dan keberlanjutan
institusi.
51 Skala kecil : usaha yang serba terbatas, misalnya bermodal kecil,
alat tangkap yang digunakan sederhana dan
berukuran kecil, sarana apungnya berukuran kecil,
tanpa mesin atau bermesin temple, atau bermesin
duduk, dengan ukuran kapal motor maksimal 10 GT
dan daerah penangkapan di sekitar pantai
52 Subsisten : unit-unit penangkapan ikan yang menangkap hasil
perairan terutama untuk konsumsi sendiri dan
keluarga
53 Usaha perikanan tangkap : Kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di
perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan
dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk
menampung, mengangkut,menyimpan,
mendinginkan, mengolah dan mengawetkan.
54 Unit Penangkapan Ikan : Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi
penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan,
alat tangkap, dan nelayan.
55 ZEEI : Zone Ekonomi Ekskusif; Daerah laut Indonesia dan
wilayah laut negara lain sebagaimana ditetapkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan
Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah
dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar
200 mil laut di ukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Teknolgi dan Manajemen Perikanan Tangkap